Ceritasilat Novel Online

Sayembara Maut 3


Pendekar Rajawali Sakti Sayembara Maut Bagian 3



"Ka..., kau bukankah pemuda yang menjadi peserta sayembara itu?!"

   Seru laki-laki ini dengan sorot mata tidak percaya.

   "Jangan ribut! Setelah terjadi keributan nanti, gunakan kesempatan untuk meloloskan diri dari tempat ini. Pergilah kau sejauh mungkin dari istana ini!"

   Ujar Pendekar Rajawali Sakti. Sanggawa hanya manggut-manggut, walau tak sepenuhnya mengerti.

   "Gunakan pakaian prajurit yang teronggok di luar. Bersikaplah seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Jangan keluar dulu. Tunggu sebentar lagi, ketika suasana mulai ramai!"

   Ujar pemuda itu mengingatkan, seraya berkelebat dari tempat ini.

   Sanggawa masih belum jelas maksud pemuda itu.

   Tapi kalau mesti menunggu di sini, maka jelas berbahaya sekali.

   Kalau saja ada prajurit jaga yang lewat dan mengenalinya, maka dia segera ditangkap kembali.

   Bahkan mungkin saja Prabu Puntalaksana akan memberi hukuman yang lebih berat.

    *** Ternyata, Sanggawa tidak langsung keluar dari lingkungan istana.

   Dengan mengendap-endap, tubuhnya menyelinap dari satu bangunan ke bangunan lain.

   Dan yang dituju adalah sebuah bangunan kecil, di pojok istana.

   Begitu tiba di samping bangunan kecil itu, Sanggawa langsung mengetuk jendela.

   "Siapa?"

   Terdengar suara dari dalam bangunan kecil ini.

   "Jangan keras-keras, Ki Sabdo! Ini aku...!"

   Ujar Sanggawa, agak ditekan suaranya.

   "Siapa?"

   "Sanggawa!"

   "Apa?!"

   Terdengar suara terkejut kaget dari dalam sebelum akhirnya membuka jendela.

   Lalu disuruh-nya Sanggawa yang berada di luar untuk buru-buru masuk.

   Jendela itu kemudian kembali terkunci rapat-rapat.

   Laki-laki berusia empat puluh lima tahun ber-nama Ki Sabdo ini tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

   Dipandanginya Sanggawa di depannya itu dalam-dalam dengan wajah masih memperlihatkan sisa keterkejutannya.

   "Apa yang kau lakukan sehingga terbebas dari penjara?!"

   Tanya Ki Sabdo.

   "Aku kabur!"

   Sahut Sanggawa seraya terse-nyum cerah.

   "Apa maksudmu? Kau kabur begitu saja?!"

   Sentak Ki Sabdo.

   "Bukan begitu. Seseorang telah membebas-kanku!"

   "Siapa?"

   "Aduh! Aku haus sekali, Ki! Beri aku air dulu!"

   Ki Sabdo buru-buru memberi kendi berisi air minum. Dan Sanggawa segera menenggaknya sampai tandas. Terasa lega sekali hatinya. Rasa letih dan penat seperti sirna dari wajahnya.

   "Siapa orang itu, Sanggawa?!"

   Kejar Ki Sabdo dengan nada penasaran.

   "Kau pasti tidak akan percaya kalau kukatakan, Ki!"

   Sahut Sanggawa.

   "Katakan saja dulu! Nanti akan kutentukan, apakah aku percaya atau tidak,"

   Tukas Ki Sabdo.

   "Pemuda itu!"

   "Pemuda yang mana?"

   "Pemuda yang mengikuti sayembara itu!"

   "Dia?! Apa maksudnya membebaskanmu? Lagi pula, dari mana dia tahu kalau kau dihukum? Bukankah dia tidak mengenalmu?!"

   "Entahlah, Ki. Aku sendiri tidak tahu. Mungkin ada hubungannya dengan peristiwa siang tadi."

   "Orang bertopeng yang mencegat kalian?"

   Sanggawa mengangguk.

   "Kudengar dari Jumeneng, diduga orang bertopeng yang mencegatmu adalah pemuda itu."

   "Mungkin juga, Ki!"

   "Apa sebenarnya yang diinginkannya?"

   "Entahlah, Ki. Tapi orang bertopeng itu sepertinya ingin tahu betul apa yang tengah terjadi di sini. Dia tanya macam-macam!"

   "Ya, itulah yang membuatmu dijebloskan ke penjara! Kau tidak tahu, bagaimana harus bersi-kap!"

   Sahut Ki Sabdo bersungut-sungut.

   "Kita tidak bisa terus dalam keadaan begini, Ki! Harus ada sesuatu yang mesti kita kerjakan?!"

   Desak Sanggawa.

   "Apa yang bisa kita kerjakan?! Jumlah para prajurit yang berpihak kepada Prabu Puntalaksana demikian banyak. Kedudukan mereka amat kuat. Kalau kita coba macam-macam, mereka akan menggilas kita!"

   "Aku mengerti, Ki. Tapi kali ini, kita punya pendukung kuat!"

   "Siapa yang kau maksudkan? Prabu Kuntadewa? Jangan harap! Kedudukan beliau sendiri dalam bahaya."

   "Bukan. Tapi pemuda itu!"

   "Pemuda itu? Bagaimana kau tahu dia di pihak kita? Lagi pula, bagaimana kau bisa yakin bahwa dia peduli pada persoalan di sini? Dia hanya peserta sayembara. Dan yang ada di benaknya hanya kemenangan, lalu bisa mempersunting Gusti Ayu Sekar Arum!"

   "Jangan berprasangka buruk dulu kepadanya, Ki. Buktinya dia peduli kepadaku dengan membebaskan aku dari tahanan."

   "Mungkin itu hanya kebetulan saja...."

   "Kebetulan bagaimana? Apakah perasaanmu, yang putus asa telah membuat semangatmu pa-dam? Kita mesti melihat semua peluang yang ada meskipun kecil. Dan pemuda itu adalah salah satu peluang. Yang bisa dilakukannya cukup banyak, Ki. Dan pertolongan yang diberikannya kepadaku cukup membuktikan, bahwa dia peduli terhadap semua persoalan di sini. Bahkan aku curiga kalau kedatangannya justru bukan untuk mempersunting sang putri,"

   Tukas Sanggawa.

   "Apa maksudmu?"

   Tanya Ki Sabdo dengan ke-ning berkerut.

   "Bisa saja dia orang kepercayaan Gusti Prabu Kuntadewa untuk melindungi sekaligus membereskan kekacauan di kerajaan ini."

   Ki Sabdo terdiam beberapa saat merenungkan kata-kata Sanggawa.

   "Kita harus menghubunginya, Ki. Katakan, kalau dia berada di pihak kita. Maka, mintalah bantuan padanya. Dan, kita pun harus berhubungan dengan pengawal pribadi Gusti Prabu Kuntadewa!"

   Desak Sanggawa.

   "Yang kau maksudkan Ki Bagaspati?"

   Tanya Ki Sabdo ingin meyakinkan.

   "Tentu saja!"

   "Tidak semudah itu. Kita belum tahu persis. Jangan-jangan dia malah orang kepercayaan Prabu Puntalaksana!"

   "Aku yakin, Ki Bagaspati adalah orang yang dipercaya Gusti Prabu!"

   "Dari mana kau bisa begitu yakin?"

   "Aku pernah melihatnya memasuki kamar pemuda itu."

   "Masuk ke dalam?"

   "Tidak. Hanya mendekat ke jendela. Sepertinya, tengah berbicara. Tapi aku tahu, apa yang dilakukannya. Karena saat itu, amat gelap. Tapi ketika dia berlalu dari kamar pemuda itu, aku bisa melihat persis kalau dia memang Ki Bagaspati."

   Ki Sabdo kembali tercenung memikirkan kata-kata Sanggawa. Tiba-tiba saja Sanggawa menunjuk ke arah jendela. Dari lubang-lubang jendela, tampak memancar cahaya kemerahan.

   "Ki, coba lihat! Apa yang terjadi?!"

   Seru Sanggawa. Ki Sabdo terperangah. Cepat dibukanya jendela sedikit. Tampak cahaya merah menyapu bangunan istana kerajaan.

   "Ada apa, Ki?"

   "Bangunan istana terbakar!"

   Jelas Ki Sabdo.

   "Apa?!"

   Sanggawa terkejut. Dan dia berusaha mengintip dari belakang tubuh kawan satu perjuangan yang mendukung Prabu Kuntadewa.

   "Bangunan apa yang terbakar menurutmu?" "Entahlah. Sepertinya gudang persenjataan...."

   "Ya. Dan gedung yang satu lagi seperti..., tempat kediaman Prabu Puntalaksana!"

   Seru Ki Sabdo.

   "Hm.... Siapa yang berani berbuat seperti itu selain dia?"

   Gumam Sanggawa.

   "Siapa yang kau maksud? Pemuda itu?"

   "Siapa lagi kalau bukan dia?!"

   "Jangan terlalu yakin. Kau tidak punya cukup bukti untuk menuduhnya!"

   "Dia sendiri yang mengatakan padaku. Kata-nya, sebentar lagi ada keributan. Dan saat itulah aku mesti melarikan diri. Tadi aku masih bingung tentang keributan yang dimaksudnya, sehingga kuputuskan untuk bersembunyi di sini. Mungkin ini keributan yang dimaksudkannya. Hm.... aku tertarik mengikuti sepak terjang berikutnya, Ki!"

   "Kau gila! Ini kesempatanmu yang paling baik untuk melarikan diri!"

   Seru Ki Sabdo.

   "Apakah kau tidak hendak menyelamatkanku? Kau bisa menyembunyikanku di sini!"

   "Bukan itu yang kupikirkan tapi ada hal-hal lain!"

   "Apa?"

   "Prabu Puntalaksana akan marah besar. Dan dia akan menjebloskan siapa pun orangnya yang bukan di pihaknya. Dia akan menggeledah kamar setiap prajurit. Dan kalau sampai menemukan kau di sini, maka tamatlah riwayat kita berdua. Oleh sebab itu, demi kebaikan bersama, kau mesti menyingkir dulu. Pergilah ke utara. Temui saudaraku yang ada di sana. Mintalah perlindungannya. Aku akan menemuimu bila ada perkembangan selanjutnya!"

   Ujar Ki Sabdo, khawatir.

   "Baiklah, Ki. Apa yang kau katakan memang benar. Aku akan angkat kaki. Tapi, jangan lupa pesanku. Kau mesti berhubungan dengan pemuda itu. Dia satu-satunya peluang kita!"

   Sahut Sanggawa, sebelum melompat ke jendela. *** "Eh, siapa?!"

   Ki Sabdo terkejut setengah mati saat pintu kamarnya digedor dari luar. Dengan cepat dia berusaha bersikap biasa. Segera dibukanya pintu. Tampak dua prajurit telah menunggu di luar pintu.

   "Ada apa?"

   Tanya Ki Sabdo pura-pura mengu-cek-ucek mata.

   "Gudang persenjataan serta tempat kediaman Prabu Puntalaksana terbakar!"

   Lapor seorang prajurit.

   "Apa? Astaga!"

   Ki Sabdo pura-pura terkejut.

   Segera diajaknya kedua prajurit itu untuk mengikuti yang lain.

   Di luar sana telah banyak prajurit berkeliaran.

   Mereka berusaha memadamkan api sebelum menjalar ke tempat lain.

   Sementara yang berada di gudang persenjataan, berusaha menyelamatkan senjata-senjata.

   Namun karena pada umumnya senjata-senjata itu terbuat dari besi, sehingga amat panas sekali.

   Sulit bagi mereka untuk mengamankannya.

   "Kurang ajar! Siapa yang berani melakukan ini kepadaku?!"

   Umpat Prabu Puntalaksana yang telah keluar dari kamarnya. Wajahnya tampak tegang, penuh keheranan. Sejak tadi Prabu Puntalaksana mondar-mandir sambil membentak-bentak agar para prajurit yang bertugas memadamkan api bekerja lebih cepat.

   "Ayo, ambil air lebih banyak! Cepaaat...! Jangan diam saja! Cepat kerja kalian...!"

   Teriak adik tiri Prabu Kuntadewa.

   "Ini juga sudah cepat, Gusti Prabu...,"

   Sahut seorang anak buahnya.

   "Kurang ajar! Aku tidak perlu jawabanmu! Cepat padamkan api itu! Cepat, cepat, cepaaat...!"

   Teriak Prabu Puntalaksana seperti orang kesurupan! "Baik..., baik, Gusti Prabu...!"

   Para prajurit makin lintang pukang mengambil air dengan ember, lalu menyerahkannya pada ka-wan-kawannya yang bertugas memadamkan api. Kerja keras para prajurit itu memang tidak sia-sia. Tidak berapa lama, api berhasil dipadam-kan.

   "Bereskan semua sisa-sisa kebakaran! Aku akan mengusut, siapa saja yang berani berbuat seperti ini. Orang itu akan mendapat hukuman sekeras-kerasnya!"

   Teriak Prabu Puntalaksana, lantang.

   Para prajurit yang mendengar maklumat itu bergidik ngeri.

   Namun bagi mereka yang merasapunya hubungan dekat dengan Prabu Puntalaksana, kelihatan tenang-tenang saja.

   Orang-orang itu merasa yakin bahwa mereka tidak akan terkena hukuman panglima utama Kerajaan Krojowetan itu.

   Menjelang dini hari, para prajurit masih saja disibuki untuk membenahi kedua bangunan yang terbakar.

   Sementara Prabu Puntalaksana sendiri sibuk menjalankan rencana bersama komplotannya.

   Orang yang dipercaya sudah barang tentu Nyai Saptaningrum yang selalu bersamanya, serta beberapa panglima kerajaan yang berada di pihaknya.

   "Akan kujebloskan mereka semua ke dalam penjara!"

   Dengus Prabu Puntalaksana.

   "Itu usul yang bagus, Gusti Prabu!"

   Sahut salah seorang panglima.

   "Ya. Dengan begitu, kekuatan mereka berku-rang. Dan istana kerajaan kita kuasai sepenuhnya!"

   Sambut Panglima Jumeneng yang juga hadir di tempat ini.

   "Bagaimana menurutmu, Nyai?"

   Tanya Prabu Puntalaksana. Wanita itu tidak langsung menjawab. Sepertinya, dia tengah berpikir keras untuk menyum-bangkan usul.

   "Bila mereka semua dijebloskan ke dalam penjara, maka istana kita kuasai sepenuhnya. Dan Kuntadewa tidak bisa berkutik lagi!"

   Desak Prabu Puntalaksana.

   "Betul! Rencana Gusti Puntalaksana itu amat cerdik dan bagus sekali!"

   Timpal panglima lain yang dikenal bernama Panglima Jatmika.

   "Kau melupakan pemuda itu?"

   Nyai Saptaningmm tiba-tiba mengalihkan per-cakapan.

   "Untuk apa kupikirkan dia? Bukankah kau telah menyanggupi untuk membereskannya?! Atau barangkali kau tidak mampu? Kalau begitu, biar kucari orang lain saja!"

   Sahut Prabu Puntalaksana, sinis. Nada suaranya menyiratkan ketidaksenangan terhadap pertanyaan wanita tua itu.

   "Hi hi hi...! Bukan begitu maksudku, Puntalaksana. Aku hanya sekadar mengingatkan, kalau kau belum boleh bergembira. Kita harus memikirkan semua hal yang kelak bisa menjadi batu sandungan. Lagi pula, he he he...! Apa kau kira semudah itu memecatku, dan menggantikannya dengan orang lain? Aku banyak tahu tentang rahasiamu! He he he...!"

   Sahut Nyai Saptaningmm sambil terkekeh kecil.

   Prabu Puntalaksana mendongkol betul mendengar kata-kata wanita tua ini.

   Kalau tidak ingat budi baik, sekaligus ancaman di balik itu, ingin rasanya wanita tua itu dijebloskan ke penjara untuk dihukum mati! Tapi Prabu Puntalaksana memang orang yang cerdik.

   Sebisa mungkin disembunyikan kekesalan hatinya.

   Wajahnya tetap tersenyum ramah.

   "He he he...! Nyai terlalu memasukkan ke hati tentang kata-kataku tadi. Padahal, aku hanya bercanda,"

   Kilah Prabu Puntalaksana.

   "Syukurlah kalau memang demikian. Karena, kita tidak mau hal-hal buruk terjadi di antara ki berdua, bukan?"

   "Tentu saja. Nah, bagaimana dengan rencanamu tadi?"

   "Yaaah... Boleh saja dilaksanakan."

   "Baiklah. Aku akan menjebloskan mereka ke penjara dengan tuduhan berkomplot membakar gedung kediamanku!"

   Dengus Prabu Puntalaksana.

    *** Prabu Puntalaksana benar-benar melaksana-kan niatnya untuk menjebloskan prajurit-prajurit yang tidak disukai dan tidak mau berpihak kepadanya.

   Bermacam-macam alasan dibuat.

   Dan yang lebih kuat, tentunya adalah soal kebakaran yang terjadi di tempat kediamannya.

   "Mereka berkomplot hendak membunuhku. Oleh sebab itu sudah sepatutnya dijebloskan ke dalam penjara!"

   Jelas Prabu Puntalaksana lantang tatkala Prabu Kuntadewa mempertanyakannya.

   "Apakah kau punya bukti bahwa mereka yang membakar tempat kediamanmu?"

   Tanya Prabu Kuntadewa.

   "Kutemukan busur serta anak panah yang dibalut sumbu. Dan setelah diselidiki, ternyata penyebab kebakaran adalah anak panah yang ujungnya disulut api,"

   Papar adik tiri Prabu Kuntadewa ini.

   "Di mana kau temukan busur serta anak panah itu?"

   "Di tempat kediaman Ki Jiwandana!"

   Sahut Prabu Puntalaksana lantang.

   Prabu Kuntadewa terkesiap.

   Dia betul-betul kaget mendengar tuduhan adik tirinya.

   Siapa pun di istana kerajaan ini tahu, Ki Jiwandana adalah penasihat Gusti Prabu Kuntadewa.

   Maka dengan menangkapnya, sama artinya Prabu Puntalaksana mempermalukan Raja Krojowetan itu.

   "Tapi kenapa kau menjebloskan sekian banyak prajurit? Ini perbuatan yang tidak adil, Pang-lima!"

   Tanya Prabu Kuntadewa. Meskipun Prabu Puntalaksana adalah adik tirinya, namun di muka umum, Prabu Kuntadewa selalu memanggilnya sesuai jabatannya.

   "Hamba memeriksanya lebih terliti. Dan ter-nyata Ki Jiwandana bersekutu dengan para prajurit itu. Ketahuilah, bahwa hal ini hamba lakukan demi keselamatan Gusti Prabu sendiri!"

   Jelas Prabu Puntalaksana dengan kata-kata manis-yang dibuat-buat.

   Prabu Kuntadewa tidak mampu berkata apa-apa lagi.

   Beliau masih terpaku, tatkala Prabu Puntalaksana telah meninggalkan tempat itu.

   *** "Sabarlah, Ayahanda.

   Mudah-mudahan sega-lanya akan cepat berakhir...."

   Prabu Kuntadewa terkejut dan cepat menoleh. Bibirnya tersenyum ketika mengetahui siapa yang baru saja bicara membujuknya.

   "Sekar Arum anakku...,"

   Sambut laki-laki setengah baya ini.

   "Sudahlah. Ayah jangan terlalu merisaukan soal ini,"

   Hibur gadis cantik bernama Sekar Arum.

   "Bagaimana aku tidak risau? Pamanmu telah menangkap dan menjebloskan sekian banyak prajurit ke dalam penjara. Bahkan dia telah menangkap Ki Jiwandana...,"

   Keluh Prabu Kuntadewa.

   "Ini betul-betul hal buruk dan kelewatan! Sementara itu, aku tidak mampu berbuat apa-apa untuk mencegahnya.

   "Aku mengerti perasaan Ayah. Tapi, apakah selama ini Ayah telah cukup berusaha?"

   Tanya Se-kar Arum.

   "Apa maksudmu? Tentu saja aku telah berusaha. Bahkan sayembara ini kau kira untuk apa? Tapi, semuanya nihil. Utusan-utusan yang kukirim untuk meminta bantuan kepada kawan-kawanku, tidak pernah kembali. Mereka raib seperti ditelan bumi. Bahkan para peserta sayembara semua tewas tak tersisa. Apalagi yang bisa Ayah lakukan untuk menghentikan niat keji pamanmu?"

   "Apakah Ayah lupa, saat ini kita masih mempunyai seorang peserta lagi?"

   Tanya gadis itu, ter-senyum penuh arti.

   "Pemuda itukah yang kau maksudkan?" 'Tentu saja!"

   "Dia hanya sendiri. Tidak ada yang bisa dian-dalkan...,"

   Sahut Prabu Kuntadewa.

   "Memang dia hanya sendiri. Namun kehebat-annya telah terbukti, Ayah. Kenapa Ayah tidak berusaha bicara lebih mendalam lagi?"

   "Dan kau ingin agar pamanmu mengetahuinya?"

   "Ayah bisa menggunakan cara lain, agar pa-man Puntalaksana tidak mengetahuinya!"

   "Cara bagaimana?"

   "Entahlah. Tapi Ayah kan pintar. Maka, carilah jalan untuk bisa bertemu dan bicara dengan leluasa padanya. Itu salah satu usaha dan tidak hanya pasrah menerima keadaan!"

   Ujar Sekar Arum dengan suara meninggi. Prabu Kuntadewa merenung sebentar.

   "Kalau Ayah tak mau, biar aku yang menghubunginya!"

   Lanjut gadis itu.

   "Itu bukan sikap bijaksana. Seorang gadis semestinya tidak menghampiri laki-laki. Apalagi, gadis terhormat sepertimu. Biar Ayah yang mendekatinya dan membicarakan hal ini kepadanya."

   Wajah Sekar Arum tampak berseri mendengar jawaban ayahnya.

   "Nah! Ini baru ayahku yang bijaksana dan tidak mudah menyerah!"

   Prabu Kuntadewa ikut tersenyum seraya mengelus-elus rambut putrinya. *** Pendekar Rajawali Sakti keluar dari kamarnya. Dan dia pura-pura heran melihat keributan yang terjadi. Dihampirinya seorang prajurit.

   "Apa yang terjadi? Kenapa kalian menangkap sesama kawan sendiri?"

   Tanya Rangga.

   "Mereka berusaha mencelakakan Prabu Puntalaksana,"

   Jelas prajurit itu.

   "Mencelakakan bagaimana?"

   "Kebakaran tadi malam. Itu adalah ulah mereka."

   "O, begitu?"

   "Orang-orang itu sudah sepatutnya mendapat ganjaran setimpal!"

   Sahut prajurit itu, sinis.

   "Ya! Orang-orang seperti mereka memang sudah sepatutnya mendapat hukuman!"

   Timpal Rangga.

   "Lalu, bagaimana dengan sayembara itu? Bukankah menurut rencananya akan dilaksanakan pagi ini?"

   "Aku tidak tahu menahu soal itu. Dengan adanya keadaan seperti ini, maka kemungkinan pengujian ketiga diundur."

   "Benarkah? Lalu, siapa yang bertanggung jawab dalam soal sayembara ini?"

   "Semula Ki Jiwandana. Namun karena beliau terlibat dalam persekutuan ini, maka mungkin di-alihkan kepada Prabu Puntalaksana."

   "Kalau begitu, aku harus menemui Prabu Puntalaksana sekarang juga!"

   "Tidak bisa! Kau harus berurusan dengan Panglima Jumeneng, sebagai wakil beliau. Begitu biasanya ketentuan yang berlaku,"

   Sergah prajurit ini.

   "Hm.... Kalau begitu, di mana bisa kutemui Panglima Jumeneng?"

   "Bangunan di sebelah timur sana, nomor tiga dari kiri. Tapi kurasa beliau tidak ada di sana...,"

   Sahut prajurit itu.

   "Ke mana?"

   "Beliau tengah sibuk mengurusi para tawanan itu."

   "Hm.... Jadi kepada siapa aku mesti bicara mengenai sayembara itu?"

   "Tunggu saja sebentar lagi. Mungkin Panglima Jumeneng akan ke sini membicarakannya padamu.

   "

   Sahut prajurit itu.

   "Yah.... Kalau begitu, baiklah. Biar kutunggu saja keputusan beliau...."

   Pendekar Rajawali Sakti kembali ke kamarnya. Panglima Jumeneng telah muncul di kamar Pendekar Rajawali Sakti. Wajahnya tidak sedap dipandang. Dan lagaknya angkuh sekali.

   "Kau boleh kembali sekarang juga!"

   Kata Panglima Jumeneng tanpa banyak bicara.

   "Kembali? Apa maksudnya?"

   Tanya Rangga.

   "Sayembara ini dibatalkan!"

   Jelas panglima itu.

   "Dibatalkan? Mana mungkin! Aku telah melewati dua tahap. Dan kalian tidak bisa membatalkannya begitu saja tanpa alasan jelas!"

   "Sebaiknya jangan susahkan dirimu!"

   Desis panglima itu seraya menyeringai kecil. Wajahnya didekatkan pada pemuda itu.

   "Prabu Puntalaksana telah memutuskan begitu, maka tak seorang pun yang boleh membantah. Pergilah sebelum aku berubah pendirian. Kalau kau tetap bersikeras, maka kau akan kujebloskan ke penjara karena melawan perintah!"

   "Tidak! Walau bagaimanapun, aku akan tetap bertahan. Sayembara itu telah berlangsung. Dan kalian tidak boleh membatalkannya begitu saja!"

   Tukas Rangga.

   "Aku mesti menghadap Gusti Prabu. Biar kudengar jawaban itu dari mulut beliau sendiri."

   "Prajurit, tangkap dia!"

   Bentak Panglima Jumeneng, ketika pemuda itu akan melangkah. Dua prajurit segera meringkus Rangga.

   "Jebloskan dia ke penjara!"

   Lanjut Panglima Jumeneng memberi perintah.

   "Apa-apaan ini?! Kau tidak bisa melakukan ini padaku! Lepaskan aku!"

   Teriak Pendekar Rajawali Sakti pura-pura berontak.

   "Aku bisa melakukan apa saja kepada siapa pun!"

   Dengus Panglima Jumeneng disertai senyum sinis.

   "Terkutuk kau, Panglima Keparat! Aku tidakbersalah apa-apa! Kenapa kau menangkapku?!" Panglima Jumeneng tersenyum mengejek. Sementara, tak lama muncul wanita tua yang sering bersama Prabu Puntalaksana.

   "Jumeneng, hentikan ini! Lepaskan dia!"

   Ujar Nyai Saptaningrum.

   "Tapi, Nyai...?!"

   Panglima Jumeneng hendak membantah. Namun wanita tua itu telah mengangkat tangannya, menahan kata-kata Prabu Puntalaksana.

   "Lepaskan dia kataku!"

   Perintah Nyai Saptaningrum. Panglima Jumeneng agaknya tidak berani membantah kata-kata wanita tua itu. Segera di-perintahkannya prajurit-prajurit itu untuk melepaskan Rangga.

   "Nah, Bocah. Sekarang kau bebas, bukan? Pergilah sejauh-jauhnya dari istana ini. Dan jangan sampai kau terlihat lagi oleh kami,"

   Ujar Nyai Saptaningrum.

   "Tapi aku ingin tahu, kenapa sayembara dibatalkan? Kalian tidak bisa berbuat sesuka hatinya. Sayembara diadakan untuk diselesaikan. Kecuali, kalau memang sudah tidak ada peserta lagi,"

   Kilah Rangga.

   "Tujuan seyambara ini adalah untuk mencari calon suami bagi Gusti Ayu Sekar Ayum. Nah! Dia telah mendapatkan calon suaminya. Oleh karena itu, sayembara ini dibatalkan. Harap kau maklum. Kami pun berterima kasih atas kesediaanmu menjadi peserta. Nah! Kalau kau tetap bersikeras dengan maklumat ini, sama artinya melawan Gusti Prabu. Dan untuk itu, kau bisa dihukum berat. Pergilah sekarang juga,"

   Lanjut Nyai Saptaningrum datar.

   Setelah berkata begitu perempuan tua ini segera meninggalkan Rangga yang masih termangu di tempatnya.

   Rangga tidak bisa berkata apa-apa lagi, selain merutuk di hati.

   Semestinya wanita ini membiarkan saja Panglima Jumeneng meringkus dan menjebloskannya ke penjara.

   Karena, memang hal itu yang diinginkannya.

   Dia punya rencana sendiri nantinya setelah tiba di sana.

   Tapi siapa sangka wanita tua itu ternyata jeli juga dengan membiarkannya pergi begitu saja.

    *** Pendekar Rajawali Sakti melangkah perlahan meninggalkan Istana Kerajaan Krojowetan.

   Dan sekarang dia telah berada di perbatasan ibukota kerajaan.

   Sambil terus berjalan, benaknya mencari akal agar dapat memasuki istana itu lagi.

   "Kisanak, tunggu!"

   "Hei?!"

   Rangga tersentak kaget ketika terdengar panggilan dari belakangnya.

   Seketika langkahnya ter-henti.

   Tubuhnya berbalik.

   Matanya liar mencari-cari ke setiap sudut.

   Dan ketika seseorang melambaikan tangan dari balik sebuah rumah kecil, segera dihampirinya.

   "Kaukah yang memanggilku?"

   Tanya Rangga, begitu sampai di tempat orang yang memanggilnya.

   "Benar. Kau tentu belum lupa padaku, bukan?!"

   Sahut laki-bki berusia sekitar tiga puluh lima tahun dengan muka berseri.

   "Kau yang bernama Sanggawa, bukan? Kenapa belum juga meninggalkan negeri ini?"

   Tanya Rangga.

   "Aku tidak bisa pergi begitu saja sebelum keadaan di sini selesai. Kau mengerti, Kisanak? Ada sesuatu yang tidak beres tengah berlangsung di dalam istana. Aku tidak bisa membiarkan Prabu Puntalaksana berbuat sewenang-wenang. Dia orang jahat. Dan kalau dia berkuasa, maka rakyat akan sengsara,"

   Papar Sanggawa, bersemangat.

   "Lalu apa maksudmu!"

   Kejar Pendekar Rajawali Sakti.

   "Bantulah aku! Kita bereskan mereka!"

   "Baiklah."

   Memang kesempatan ini yang ditunggu-tunggu Pendekar Rajawali Sakti.

   Selama ini, dia hanya berjuang sendiri, tanpa tahu siapa yang bisa diajak bekerja sama untuk menyingkap tabir di Istana Kerajaan Krojowetan itu.

   Maka begitu Sanggawa memintanya, dia langsung setuju.

    *** Prabu Kuntadewa mondar-mandir di ruangan khusus ini.

   Dia tidak habis pikir, bagaimana adik tirinya menangkapi para prajurit.

   Namun yang terpenting baginya adalah, rencananya bisa berantakan.

   Karena pemuda itu sudah diusir dari sini! "Apa kau punya usul bagus untukku, Bagas-pati?"

   Tanya Prabu Kuntadewa kepada seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh dua tahun.

   "Gusti Prabu harus secepatnya meninggalkan istana, sebab...."

   "Tidak!"

   Tukas Prabu Kuntadewa memotong kata-kata orang yang dipanggil Bagaspati.

   "Itu bu-kan usul bijaksana. Aku tidak bisa membiarkan Puntalaksana berbuat sesuka hati. Lagi pula tidak mudah bagiku untuk keluar begitu saja. Dia telah menguasai istana ini, dan menjaga ketat di semua tempat."

   Laki-laki pembantu setia Prabu Kuntadewa ini terdiam. Dia pun merasa bingung, apa yang mesti dilakukannya untuk menyelamatkan junjungannya.

   "Apakah kau tidak bisa menyuruh seseorang untuk membuntuti pemuda itu?"

   Tanya Prabu Kuntadewa.

   "Sudah, Gusti Prabu. Namun Panglima Jumeneng mencegahnya. Dan hamba tak bisa berbuat apa-apa. Prabu Puntalaksana telah menguasai semua prajurit. Maka semua kendali berada di tangannya,"

   Jelas Bagaspati.

   "Kurang ajar dia!"

   Umpat Prabu Kuntadewa. Baru saja Prabu Kuntadewa menutup mulutnya, mendadak terdengar sesuatu berderak dari atas. Cepat keduanya bersiaga. Terutama Bagaspati, yang berkewajiban melindungi junjungannya.

   "Hamba di sini, Gusti Prabu...."

   "Hei?!"

   Prabu Kuntadewa terkesiap dan Bagaspati melompat cepat seraya mencabut pedang begitu terdengar sebuah suara dari arah jendela.

   Dan mereka langsung berseri, ketika melihat seorang pemuda tampan berbaju rompi putih telah memasuki ruangan ini.

   Dalam hati mereka heran, bagaimana pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti itu bisa masuk tanpa diketahui? Berarti, pemuda itu memang memiliki kepandaian tinggi.

   "Hormatku untukmu, Gusti Prabu!"

   Ucap Rangga penuh hormat. Prabu Kuntadewa tersenyum ramah dan langsung menghampiri Rangga. Sedang Bagaspati segera menyarungkan pedangnya kembali.

   "Ah! Syukurlah ternyata kau muncul. Kami baru saja membicarakanmu!"

   Sambut Prabu Kuntadewa. Sementara Pendekar Rajawali Sakti tersenyum ketika melihat Prabu Kuntadewa dan Bagaspati masih melirik-lirik ke atas.

   "Itu hanya tipuan saja agar Gusti Prabu tidak ribut. Dan hamba bisa masuk lewat jendela ini!"

   Jelas Rangga sambil menunjuk jendela di belakangnya.

   "Tapi kita tidak punya banyak waktu, Gusti Prabu. Perlawanan telah diberikan!"

   "Perlawanan? Perlawanan apa yang kau maksudkan?"

   "Perlawanan terhadap orang-orang Prabu Puntalaksana tentunya!"

   Sahut Rangga enteng.

   "Oh! Bagaimana hal itu kau lakukan?!"

   Tanya Prabu Kuntadewa dengan wajah kaget.

   "Sebenarnya bukan hamba sendiri yang melakukannya. Tapi, juga dibantu para prajurit yang masih setia pada Gusti Prabu!"

   "Siapa yang kau maksudkan?"

   "Mereka yang telah dijebloskan ke dalam penjara ini!"

   "Oh! Kau membuatku takjub, Anak Muda! Bagaimana hal itu bisa kau lakukan?"

   "Mudah saja. Mereka kubebaskan, kemudian kubekali senjata. Dan tidak usah diberitahu, mereka mengerti apa yang mesti dilakukan. Yaitu, menangkap orang-orangnya Prabu Puntalaksana,"

   Jelas Rangga.

   Prabu Kuntadewa berdecak kagum.

   Lalu buru-buru dia melongok ke jendela untuk memper-hatikan keadaan sekelilingnya.

   Namun yang terlihat hanya kegelapan malam dan obor-obor terpancang sebagai penerangan, serta pepohonan yang memang banyak tumbuh di halaman istana.

   "Aku tidak melihat apa pun...?!"

   Desis Prabu Kuntadewa seraya memandang heran pada pemu-da itu.

   "Mereka kusuruh untuk bergerak hati-hati. Dan perang belum dilakukan secara terbuka. Hal ini mengingat, jumlah lawan cukup banyak!"

   Sahut Rangga.

   "Tapi tidak berapa lama lagi, mungkin akan terjadi perang terbuka. Sebab lambat laun, mereka akan menyadari bahwa sesuatu tengah menggerogoti. Apa yang dikatakan pemuda itu terbukti. Sesaat kemudian terdengar teriakan pertempuran. Tak lama, tampak beberapa prajurit berhamburan ke sana kemari.

   "Cepat, Gusti Prabu! Hamba mesti menolong mereka. Gusti Prabu mesti mencari tempat yang aman, yaitu di kaputren!"

   Ujar Rangga seraya menggamit pergelangan tangan Raja Krojowetan itu, kemudian bergegas keluar ruangan.

   Sementara Bagaspati mengikuti di belakang.

   Karena jarak yang amat dekat, dalam waktu.

   singkat mereka tiba di istana kaputren.

   Untungnya tempat itu kini telah dikuasai oleh orang-orang yang masih setia kepada Prabu Kuntadewa.

   "Siapa namamu?"

   Tanya Rangga pada Bagaspati ketika Prabu Kuntadewa telah berada di dalam.

   "Bagaspati...."

   "Nah! Pergilah ke dalam dan lindungi junjung-anmu, Bagaspati!"

   "Tapi aku ingin berjuang membela beliau...."

   "Dengan melindunginya, sama artinya kau berjuang membela beliau. Cepat! Sebelum ada penyusup masuk ke dalam!"

   Tegas Rangga, mantap.

   "Ba..., baiklah!"

   Sahut Bagaspati sedikit gugup.

    *** Rangga memang sudah memikirkan matang-matang.

   Dengan adanya perang terbuka seperti sekarang, maka Prabu Puntalaksana akan memerintahkan para prajuritnya untuk membunuh semua pemberontak.

   Dan Nyai Saptaningrum, penasihatnya yang jeli itu, pasti akan memberi saran untuk menyandera Prabu Kuntadewa dan Sekar Arum.

   Dengan cara seperti itu tentu pertempuran akan cepat berakhir.

   Sebab mereka akan tahu, para prajurit yang keluar dari penjara adalah pengikut setia Prabu Kuntadewa.

   Dugaan pemuda itu tidak salah.

   Tiga prajurit yang ditugaskan ke istana Prabu Kuntadewa tampak buru-buru ke kaputren.

   Di belakang mereka, tampak mengikuti Prabu Puntalaksana serta Nyai Saptaningrum.

   "Huh! Kau rupanya! Minggir!"

   Bentak seorang prajurit.

   "Kaulah yang minggir!"

   Dengus Rangga, yang telah berdiri tenang di depan pintu kaputren. Begitu selesai kata-katanya, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat sambil mengibaskan tangannya. Desss! "Aaakh...!"

   Keruan saja prajurit itu terpekik. Tubuhnya langsung terjungkal ke belakang. Terhajar tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dua prajurit lain akan turun tangan. Namun....

   "Minggirlah! Ini bagianku!"

   Cegah Nyai Saptaningmm. Perlahan-lahan perempuan tua ini melangkah mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Tatapan matanya tajam bagai sembilu.

   "Sudah kuduga, kau akan ikut campur dalam urusan ini!"

   Desis Nyai Saptaningrum! "Tapi kuperingatkan padamu, sebaiknya tidak usah ikut campur. Karena, masih ada kesempatan bagimu untuk angkat kaki dengan selamat dari sini!"

   "Sayangnya aku orang paling benci pada orang telengas sepertimu,"

   Sahut Rangga, enteng.

   "Kalau begitu kau akan merasakan gebukanku, Bocah!"

   Bentak Nyai Saptaningrum.

   "Heaaa...!"

   Dengan teriakan menggelegar, perempuan tua itu meluruk dengan pukulan bertubi-tubi ke segala jalan kematian Pendekar Rajawali Sakti.

   "Uts!"

   Namun dengan meliuk-liukkan tubuhnya dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', semua se-rangan mudah sekali dihindari Pendekar Rajawali Sakti.

   "Keparat! Jangan hanya menghindar! Lawan aku! Atau kupecahkan batok kepalamu!"

   Dengus perempuan tua itu geram melihat serangannya tak satu pun yang berhasil.

   Pendekar Rajawali Sakti memang sengaja me-mancing-macing amarah Nyai Saptaningrum de-ngan terus menghindar.

   Bagi tokoh tingkat tinggi macam dia, cara bertarung Pendekar Rajawali Sakti sama saja menganggap remeh.

   Dan nyatanya Nyai Saptaningrum terus menyerang dengan gencar, seperti mengumbar seluruh kemampuannya.

   Ini adalah suatu keuntungan bagi Rangga.

   Dengan demikian dia akan lebih mudah mencari titik lemah lawannya.

   Pada satu kesempatan, Nyai Saptaningrum mengebutkan tongkat pendeknya yang tadi terselip di pinggang.

   "Hih...!"

   "Uts...!"

   Dengan gerakan indah sekali, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke belakang sambil menggerakkan tangannya ke punggung. Sring! "Hei?!"

   Nyai Saptaningrum terkesiap ketika Pendekar Rajawali vSakti menjejak tanah.

   Ternyata di tangan pemuda itu telah tergenggam sebilah pedang yang memancarkan cahaya biru terang.

   Seketika, malam yang semula kelam jadi terang benderang.

   Sejenak perempuan tua itu tercenung.

   Dan dia ingat, siapa pemuda yang mempunyai pedang seperti ini.

   "Aku tahu. Kau pasti Pendekar Rajawali Sakti?!"

   Tebak Nyai Saptaningmm.

   "Syukurlah kalau sudah tahu,"

   Sahut Rangga, dingin.

   "Huh! Jangan kira aku takut menghadapimu!"

   Sahut perempuan tua itu menyembunyikan rasa kecutnya. Sebagai tokoh persilatan, Nyai Saptaningrum tahu siapa Pendekar Rajawali Sakti. Dan, sampai di mana kehebatannya. Namun dengan cepat dite-lannya rasa kecutnya. Lalu.... "Hiaaat...!"

   Nyai Saptaningrum langsung berkelebat sambil mengebut-ngebutkan tongkat pendeknya.

   "Kau terlalu memaksaku, Nyisanak. Baik-lah..!"

   Rangga langsung menyilangkan Pedang Pusa-ka Rajawali Sakti di depan dadanya. Dan begitu serangan meluncur dekat...

   "Hiaaat...!"

   Disertai teriakan menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan pedangnya memapak tongkat pendek Nyai Saptaningrum. Dan.... Tras! "Uhhh...!"

   Mestinya Nyai Saptaningrum tahu bahwa pedang Pendekar Rajawali Sakti bukan senjata sembarangan.

   Namun perasaan geram membuatnya nekat.

   Akibatnya sungguh parah.

   Tongkat itu kontan putus tersambar pedang Rangga.

   Bahkan ujung pedang itu terus berkelebat ke arah leher.

   "Eh?!"

   Secepat kilat Nyai Saptaningrum mencelat ke samping, menghindari serangan. Namun pada saat yang sama Rangga telah memutar tubuhnya seraya melepaskan sapuan dengan kaki ke arah perut. Begitu cepat gerakannya sehingga.... Des! "Aaakh...!"

   Nyai Saptaningrum terpekik begitu perutnya terhajar sapuan kaki berisi tenaga dalam tinggi. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung ke belakang. Dalam keadaan begitu, dia masih sempat mengebutkan tangannya... Wurrr! "Heh?!"

   Rangga tersentak melihat sinar putih berkilatan yang meluruk ke arahnya.

   "Hiiih!"

   Namun dengan gerakan dahsyat Pendekar Rajawali Sakti memutar pedangnya membuat tameng. Maka tak satu pun sinar putih yang ternyata jarum-jarum beracun itu menyentuh tubuhnya.

   "Hup!"

   Pada saat Pendekar Rajawali Sakti memutar pedangnya untuk memapak jarum-jarum beracun, Nyai Saptaningrum telah mencelat, sambil melemparkan sisa tongkatnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti disertai tenaga dalam tinggi.

   "Hiiih!"

   Wuttt...! Pada saat sisa tongkat meluncur, perempuan tua itu telah pula meluncur dahsyat melepaskan tendangan menggeledek.

   Namun di luar dugaan, Pendekar Rajawali Sakti telah melenting ke atas menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.

   Begitu potongan tongkat lewat menyambar angin kosong, Rangga langsung meluruk dengan merubah jurusnya menjadi 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

   Perubahan yang tak diduga-duga ini membuat Nyai Saptaningrum tercekat.

   Apalagi, saat ini tubuhnya telah meluruk deras tak tercegah lagi.

   Sementara saat yang sama Rangga telah menyambutnya dengan sabetan pedang.

   Dan....

   Crasss...! "Aaa...!"

   Tidak ayal lagi, wanita tua itu terpekik begitu pedang Pendekar Rajawali Sakti menyabet leher-nya.

   Tubuhnya langsung tersuruk dengan kepala menggelinding.

   Darah langsung menyembur dari lehernya.

   Tubuhnya meregang nyawa untuk sesaat, lalu diam untuk selama-lamanya.

   Trek! Begitu mendarat di tanah setelah berputaran beberapa kali, Pendekar Rajawali Sakti langsung memasukkan pedangnya ke dalam warangka di punggung.

   "Hm...!"

   Pendekar Rajawali Sakti bergumam dingin melihat Prabu Puntalaksana hendak melarikan diri, begitu Nyai Saptaningrum tewas.

   Secepat kilat, tubuhnya berkelebat menjejak.

   Dan hanya sekali melenting saja, Rangga telah mampu menyusul dan mendaratkan kakinya di depan Prabu Puntalaksana.

   "Heh?!"

   "Kau tidak akan bisa pergi ke mana-mana, Puntalaksana!"

   Begitu mendarat, Pendekar Rajawali Sakti langsung berkelebat ke arah Prabu Puntalaksana. Seketika tangannya bergerak cepat. Dan... Tuk! Tuk! "Aaakh...!"

   Prabu Puntalaksana kontan ambruk tak berdaya ketika dua totokan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di dadanya.

   Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti menyambar tubuh laki-laki setengah baya itu, dan membawanya ke hadapan Prabu Kuntadewa.

    *** "Berhenti! Pertarungan harap dihentikan.

   Bagi para prajurit pemberontak harap menyerah, sebab Prabu Puntalaksana telah kami tangkap! Bagi yang menyerah akan diperlakukan baik-baik!"

   Teriak Sanggawa di atas dinding pagar istana, sambil mencekal leher Prabu Puntalaksana.

   Melihat pemimpinnya tertawan, para prajurit pemberontak langsung melempar senjata masing-masing tanda menyerah.

   Maka para prajurit yang berada di bawah pim-pinan Sanggawa segera meringkus tanpa banyak mendapat kesulitan.

   Sementara itu Prabu Kuntadewa segera keluar dengan hati-hati bersama putrinya, setelah Ba-gaspati memberitahu bahwa keadaan di luar telah aman.

   "Terimalah hormat kami, Gusti Prabu!"

   Seru semua prajurit yang setia ketika Prabu Kuntadewa berada di depan istana. Mereka semua berlutut di depan Raja Krojovvetan ini.

   "Bangunlah kalian semua. Aku terharu dan bangga atas semangat serta kesetiaan kalian kepadaku!"

   "Terima kasih, Gusti Prabu!"

   "Gusti Prabu, izinkanlah hamba bicara mewa-kili yang lain!"

   Seru Sanggawa, ketika telah menyerahkan tubuh Prabu Puntalaksana pada prajurit bawahannya.

   "Ada apa, Sanggawa?"

   Tanya Prabu Kuntadewa.

   "Sebenarnya semua ini karena andil pemuda peserta sayembara itu. Sedangkan kami hanya sekadar membantu saja,"

   Jelas Sanggawa.

   "Hm, ya. Aku mengerti. Kemana pemuda itu? Aku mesti berterima kasih kepadanya!"

   Tanya Gusti Prabu Kuntadewa, seraya memandang ke sekeliling.

   Ternyata pemuda berjujuk Pendekar Rajawali Sakti telah menghilang entah ke mana.

   Beberapa prajurit segera diperintahkan mencari namun tidak juga kunjung ditemukan.

   Mereka berusaha mencari di sekitar halaman istana serta di luar istana, tidak juga melihat batang hidung pemuda yang telah berjasa itu.

   Dan hal itu membuat Prabu Kuntadewa sedikit merasa kecewa.

   "Ke mana dia? Apakah pergi secara diam-diam setelah menyelesaikan semua ini? Jangankan hendak menjodohkan putriku. Bahkan dia tidak memberi kesempatan padaku untuk mengucapkan terima kasih,"

   Gumam Prabu Kuntadewa.

   "Mungkin anggapan hamba benar. Pemuda itu ikut sayembara bukan untuk mempersunting sang putri, melainkan untuk membenahi keadaan di istana ini...,"

   Timpal Bagaspati yang berada di dekatnya.

   "Siapa dia sebenarnya? Datang dan pergi bagai angin...!"

   "Mungkin sebangsa dewa yang diturunkan untuk menolong kita, Gusti Prabu...."

   Lama Prabu Kuntadewa terdiam sebelum mengangguk.

   "Kau benar. Dia mungkin Dewa yang diturunkan untuk membantu kita...." SELESAI Serial Pendekar Rajawali Sakti selanjutnya . MISTERI TABIB SILUMAN www.duniaabukeisel.blogspot.com www.jagatsatria.com Pendekar Rajawali Sakti Articles de Pendekar Rajawali Sakti Bahasa Indonesia s

   

   

   

Pendekar Sejagat Karya Wen Rui Ai Pendekar Mabuk Pertarungan Di Bukit Jagal Pendekar Rajawali Sakti Siluman Muka Kodok

Cari Blog Ini