Ceritasilat Novel Online

Siluman Pemburu Perawan 1


Pendekar Rajawali Sakti Siluman Pemburu Perawan Bagian 1


 .

   177.

   Siluman Pemburu Perawan Bag.

   1 -4 7.

   MArz 2015 um 21.38 Pendekar Rajawali Sakti episode.

   Siluman Pemburu Perawan Oleh Teguh S.

   Penerbit Cintamedia, Jakarta Senja baru saja berlalu, dan kegelapan pun menyergap Kadipaten Welirang.

   Termasuk, Desa Cendanu yang kelihatan sepi.

   Tak seorang pun yang terlihat berada di luar rumah.

   Kabut tebal dan udara dingin setelah tadi turun hujan agaknya yang jadi penyebab kesunyian ini.

   Namun keheningan itu mendadak pecah oleh....

   'Tolong...! Tolooong....

   Aaa...!"

   Terdengar jeritan minta tolong yang diikuti te-riakan kesakitan. Pada saat yang sama dari atap sebuah rumah tempat asal jeritan, tampak berkelebat sebuah bayangan sambil memondong satu sosok tubuh ramping terkulai tak berdaya.

   "Eh! Apa?! Oh!"

   Dua penjaga yang tengah terlelap tersentak kaget, mendengar teriakan barusan. Sesaat mereka mondar-mandir tak tahu tujuan. Namun salah seorang langsung sempat melihat sesosok bayangan yang tengah berkelebat di atap rumah.

   "Hei?! Itu dia! Berhenti! Berhenti...!"

   "Berhenti atau kubunuh kau!"

   Sambut yang lain.

   Sosok berpakaian serta hitam itu berhenti se-bentar.

   Dan tiba-tiba dia mengebutkan tangannya, ke arah para penjaga.

   Wusss! Terdengar desir angin berhawa panas dari te-lapak tangan sosok berpakaian serba hitam itu, langsung melesat ke arah dua penjaga.

   Desss...! Desss...! "Aaa...!"

   Keduanya terpental ke belakang sambil menje-rit menyayat.

   Begitu ambruk di tanah, di dada mereka terlihat tanda hitam seperti daging terbakar.

   Keduanya tergeletak tanpa nyawa lagi.

   Sedangkan sosok berpakaian serba hitam, begitu melepas serangan mendadak langsung berkelebat kembali dari satu atap ke atap rumah lainnya.

   Sebentar saja, tubuhnya telah lenyap dalam kegelapan.

   Memang begitu cepat dan ringan sekali gerakannya, pertanda bukan orang sembarangan.

   Sementara itu, teriakan dari rumah yang disa-troni sosok berpakaian hitam tadi, mendapat sambutan.

   Beberapa orang penduduk langsung keluar, membawa obor dan berbagai macam senjata.

   Dalam waktu singkat di halaman depan bangunan rumah besar itu keadaan jadi terang benderang oleh para penduduk yang berkumpul.

   "Tolong! Tolong...! Seseorang menculik anak-ku! Dan dia juga membunuh suamiku! Tolooong...!"

   Teriak seorang wanita setengah baya yang tergopoh-gopoh keluar. Wajah wanita ini tampak pucat. Airmatanya tumpah tak karuan. Bias kecemasan terlihat jelas pada wajahnya, yang bercampur ketakutan.

   "Ke mana larinya penculik itu, Nyi Sati?"

   Tanya seorang lelaki tua berusia sekitar enam puluh lima tahun.

   "Ke atas, Ki Langser!"

   Tunjuk perempuan setengah baya yang dipanggil Nyi Sati cepat.

   "Hei, lihat! Dua orang penjaga rumah Ki Nya-mat mati!"

   Teriak seorang penduduk.

   Orang-orang segera mengerubungi kedua penjaga rumah Ki Nyamat, seorang saudagar kaya di desa ini.

   Mereka menggotong mayat itu ke beranda depan.

   Sementara Nyi Sati, istri Ki Nyamat tak bisa berbuat apa-apa lagi melihat itu.

   Didampingi beberapa orang pelayannya, wanita ini cuma menangis sesegukan.

   "Ayo menyebar dan buat kelompok! Kita cari penculik itu!"

   Teriak laki-lald tua yang bernama Langser, memberi perintah.

   Ki Langser yang di Desa Cendanu ini menjabat sebagai kepala desa, kelihatan geram dan marah.

   Selama beberapa tahun tinggal di sini, bahkan sejak kecil, belum pernah terjadi peristiwa penculikan.

   Tidak tanggung-tanggung.

   Karena yang diculik bukan harta benda, melainkan anak perawan Ki Nyamat.

   Seorang gadis yang terkenal cantik dan menjadi kembang desa ini.

   Tanpa diperintah dua kali, orang-orang desa yang tengah berkumpul langsung membentuk kelompok dan melakukan pengejaran.

   Apalagi para pemudanya.

   Mereka kelihatan bersemangat melakukan pengejaran.

    *** Ki Nyamat bukan orang sombong di desa ini.

   Dia tergolong kaya.

   Tak heran kalau kematiannya yang mengenaskan serta kematian dua penjaga rumahnya, banyak dikunjungi penduduk desa.

   Sementara Nyi Sati tampak masih kelihatan belum sempurna keadaannya, meski pemakaman telah usai.

   Beberapa kali dia terpaksa dipapah para pelayan saat pergi dan pulang dari pekuburan.

   Keadaan ini membuat Kepala Desa Cendanu segera bertindak.

   Para penduduk desa dikumpul-kan.

   Dan mereka mulai membicarakan persoalan itu.

   "Kisanak semua.... Kejadian ini tidak bisa kita pandang sebelah mata. Si penculik mungkin akan kembali untuk mencari korban lagi. Maka kita mesti waspada...!"

   Kata Ki Langser ketika membuka musyawarah di beranda rumahnya.

   "Lalu apa yang mesti kita lakukan, Ki Langser?"

   Tanya seorang penduduk berusia sekitar empat puluh lima tahun. Dia dikenal dengan nama Ki Sabrang.

   "Ya, apa yang mesti kita lakukan sekarang?"

   Sambung seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun. Badannya tegap, dengan kumis lipis menghias wajahnya.

   "Bukankah beberapa waktu lalu kami telah memberi tahu akan datangnya bahaya seperti ini? Tapi ketika itu Ki Langser seperti tak percaya. Bahkan meremehkannya."

   "Sudahlah. Jangan permasalahkan hal itu, Panca! Yang berlalu biarkan berlalu. Yang terpenting sekarang, kita bahas dulu soal ini,"

   Sahut salah seorang laki-laki tua berpakaian serba putih.

   "Ya.... Aku tahu, dan mengaku salah,"

   Sahut Ki Langser dengan suara lirih penuh penyesalan.

   "Mestinya aku mendengarkan keluhan warga yang mendengar berita ini dari desa tetangga...."

   "Sudahlah.... Tak apa, Ki,"

   Sambung laki-laki yang dipanggil Panca.

   "Aku juga tidak bermaksud menyalahkan."

   "Iya. Yang penting kita cari tahu dulu, siapa penculik itu,"

   Lanjut laki-laki tua berpakaian serba putih, yang berwajah lembut menampakkan kearifan dan perbawa kuat. Tak heran kalau oleh penduduk desa ini dia diangkat sebagai ketua desa. Para penduduk sering memanggilnya dengan nama Ki Tambika.

   "Baiklah. Apakah di antara kita ada yang bisa menduga siapa penculik itu sebenarnya?"

   Tanya Ki Langser.

   "Tidak seorang pun yang bisa mengetahuinya. Yang jelas, dia bukan warga desa sini, atau desa tetangga,"

   Sahut Panca ketika yang lain terdiam.

   "Berarti kita tidak tahu ke mana mesti menca-rinya?"

   "Orang itu berilmu tinggi. Dan rasanya mustahil bisa dilacak oleh kita...."

   "Apa maksudmu, Panca?"

   Tanya seorang penduduk.

   "Dua desa tetangga kita telah mengalami nasib yang sama seperti yang dialami Ki Nyamat. Yaitu, anak gadisnya diculik. Namun tak seorang pun yang pernah melihat atau mengetahui, siapa penculiknya. Dia datang dan pergi bagai setan,"

   Jelas Panca.

   "Jangan-jangan memang hantu!"

   Desis penduduk lainnya, takut-takut.

   "Bisa jadi! Sebab, beberapa orang menju-lukinya sebagai Siluman Pemburu Perawan. Hal itu jelas, karena yang diincar bukan harta benda, tapi seorang perawan belasan tahun dan berparas cantik!"

   Jelas Panca.

   "Apa maksud penculik itu sebenarnya?"

   Gu-mam beberapa penduduk yang ada di ruang itu.

   "Kalau dia seorang laki-laki, maksudnya mungkin lebih jelas. Yaitu....,"

   Ki Langser tidak melanjutkan kata-katanya karena yakin, bahwa mereka semua mengerti.

   "Tapi kalau dia wanita? Apa yang dicarinya?"

   "Ada beberapa orang penganut ilmu sesat yang menjadikan gadis perawan sebagai tumbal,"

   Sahut Ki Tambika.

   "Siapa kira-kira penganut ilmu sesat itu?"

   Tanya Panca.

   Untuk sesaat ruangan serambi Kepala Desa Cendanu seperti pekuburan.

   Suasana hening mencekam bercampur wajah-wajah berkerut yang menyimpan amarah, kesal, namun tak tahu mesti berbuat apa.

   Mereka tengah berpikir, atau juga mengingat-ingat.

   Siapa gerangan yang pernah mendalami ilmu sesat seperti yang dikatakan Ki Tambika tadi.

   "Rasanya, di desa ini belum ada terdengar ada orang yang menganut ilmu sesat...,"

   Cetus seseorang.

   "Ya. Kurasa, begitu juga di desa tetangga kita,"

   Timpal Panca.

   "Kurasa orang asing yang sengaja mencari kor-ban di desa-desa sekitar sini. Dengan begitu, je-jaknya tidak tercium...,"

   Duga Ki Tambika.

   "Lepas dari itu semua, kita tetap mesti waspada. Tingkatkan keamanan di wilayah masing-masing. Jangan sampai kita kecolongan lagi seperti semalam. Juga ada hal yang terpenting. Yaitu, kita mesti waspada pada setiap orang asing yang lewat dan singgah di desa ini!"

   Lanjut Ki Langser, memberi pengarahan.

   "Ya. Itu usul yang bagus!"

   Dukung Ki Sabrang. Sementara yang lain mengangguk-angguk sebagai tanda mendukung pendapat itu. Tapi baru saja pertemuan itu akan bubar, mendadak seorang pemuda bertubuh kurus memasuki serambi rumah kepala desa ini.

   "Maaf, Ki...,"

   Ucap pemuda ini "Ada apa, Gandung?"

   Tanya Kepala Desa Cendanu.

   "Seseorang melewati desa kita,"

   Lapor pemuda bertubuh kurus yang dipanggil Gandung.

   "Apa maksudmu?"

   Kejar Ki Langser dengan kening berkerut tajam.

   "Orang asing! Aku belum pernah melihat se-belumnya,"

   Jelas Gandung.

   "Bagaimana ciri-cirinya?"

   Tanya Ki Tambika.

   "Seorang pemuda tampan barbaju rompi putih. Di punggungnya terselip sebatang pedang bergagang kepala burung. Dia menunggang kuda hitam,"

   Jelas Gandung.

   "Hm.... Kalau begitu, beritahu semua penduduk! Kita cegat pemuda itu. Aku punya dugaan kuat, dialah penculik yang tengah kita cari!"

   Ujar Ki Langser.

   Ki Tambika baru saja akan menimpali, tapi su-aranya tenggelam di antara semangat kemarahan penduduk desa yang berada di serambi ini.

   Mereka semua menyambut ajakan Ki Langser penuh semangat.

   Bahkan segera angkat kaki dari ruangan ini.

   Pada akhirnya, mau tak mau Ki Tambika terpaksa mengikuti.

   "Dasar orang-orang tak sabar...!"

   Umpat Ki Tambika dalam hati.

    *** Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih tampak tenang-tenang saja menjalankan kudanya di jalan utama Desa Cendanu ini.

   Bola matanya beredar ke sekeliling memperhatikan tiap-tiap su-dut.

   Keningnya tampak berkerut dengan mata agak menyipit.

   Sepertinya, dia menangkap gejala keanehan yang terjadi di desa ini.

   Pada sebuah rumah yang paling besar di desa ini terlihat tanda-tanda bahwa penghuninya tengah berduka, tapi keadaannya sepi.

   Sementara penduduk desa ini jarang yang berkeliaran di depan rumah atau di jalan.

   Boleh dikatakan, desa ini seperti hampir mati.

   Padahal dari jumlah rumahnya, mestinya penduduknya ramai.

   Dan mendadak saja pemuda itu menghentikan kudanya dengan sikap terkejut.

   Karena tahu-tahu beberapa penduduk desa keluar dari segala penjuru dengan senjata terhunus.

   Sikap mereka yang mengancam jelas ditujukan padanya.

   Wajah-wajah mereka menunjukkan permusuhan.

   Pemuda itu memandang pada seorang laki-laki setengah baya yang berada paling depan pada jarak sepuluh langkah.

   "Kisanak.... Kenapa tiba-tiba orang-orang ini berkumpul mengerubungiku?"

   Tanya pemuda itu berusaha bersikap ramah.

   "Jangan berpura-pura, Penculik Terkutuk! Se-rahkan putri Ki Nyamat! Juga, serahkan dirimu untuk kami adili!"

   Bentak laki-laki setengah baya yang tak lain Ki Langser, Kepala Desa Cendanu ini.

   Pemuda berbaju rompi putih ini bukan main kagetnya mendengar tuduhan itu.

   Dari mana mereka bisa berkata seperti itu, padahal baru pertama kali menginjakkan kaki di desa ini? "Maaf, Ki! Ini salah paham.

   Aku Rangga, seorang pengembara.

   Dan aku sama sekali tidak mengerti tuduhan itu...,"

   Sahut pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti, berusaha menjelaskan.

   "Tidak usah banyak bicara! Serahkan dirimu. Dan, serahkan pula putri Ki Nyamat yang kau culik semalam?!"

   Bentak Ki Langser lagi.

   "Aku tidak pernah menculik siapa pun, Ki. Dan aku juga tidak kenal Ki Nyamat yang kau sebutkan tadi. Ini salah paham. Dan kalian salah menuduh orang,"

   Kilah Pendekar Rajawali Sakti. Agaknya percuma saja Rangga berusaha menjelaskan. Mereka bukannya mengerti, malah me-ngurungnya semakin dekat.

   "Kau lihat mereka, bukan? Kalau kau masih membangkang, maka jangan salahkan kalau kami bertindak keras. Kau telah membunuh tiga orang dalam semalam. Maka jangan harap kebaikan kami untuk mengampunimu!"

   Lanjut Kepala Desa Cendanu ini.

   Pendekar Rajawali Sakti hanya menarik napas panjang.

   Lalu perlahan-lahan dia turun dari punggung kudanya.

   Kejengkelannya mulai naik ke kepala, melihat tingkah orang-orang desa yang tidak bisa diajak bicara baik-baik.

   Dan dia telah mempersiapkan diri, jika sewaktu-waktu mereka mengamuk tiba-tiba.

   "Bagus kalau kau menyerahkan dirimu dengan baik-baik!"

   Sambut Ki Langser. Rangga tersenyum sambil menggeleng-geleng. Sorot matanya berusaha dibuat selembut mungkin.

   "Jangan salah sangka, Ki. Aku tidak ingin terjadi apa-apa di antara kita. Tapi kalau kau memaksa, aku terpaksa mempertahankan diri,"

   Desah Rangga tetap dengan senyum.

   "Kurang ajar! Kalau begitu kau mencari penya-kit!"

   Hardik Ki Langser. Seketika Ki Langser menggerakkan tangannya, memberi isyarat pada penduduk desa yang telah nengepung.

   "Tangkap dan habisi dia! Pemuda ini menolak kita adili secara baik-baik!"

   Perintah Ki Langser. "Beres, Ki!"

   "Yeaaa...!"

   "Uts!"

   Sambil mendesah panjang Pendekar Rajawali Sakti mengegos ke kiri ketika seorang pemuda telah merangsek lebih dulu dengan ayunan golok-nya ke perut.

   Sebelah tangannya cepat menangkap pergelangan tangan yang memegang golok.

   Tap! Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti meram-pas senjata tajam itu, lalu sebelah kakinya menyodok perut.

   Duk! "Aaakh...!"

   Tidak keras, namun sudah membuat pemuda itu menjerit kesakitan.

   Namun belum lagi Rangga menarik napas lega, dua orang telah kembali meluruk dengan senjata terhunus dari belakang.

   Wuttt! Wuttt! Dengan gerakan mengagumkan, Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya.

   Lalu golok ram-pasan, dihantamkan ke senjata-senjata yang meluruk tajam hampir bersamaan.

   Tras! Tak! "Hei?!"

   Senjata berupa cangkul dan golok, mendadak patah dan terpental ditebas golok Rangga. Dan belum sempat mereka menyerang lebih lanjut, satu sapuan tendangan Pendekar Rajawali Sakti sudah meluruk deras. Desss...! Diegkh...! "Aaakh...!"

   Dua orang kontan terjengkang ambruk, disertai jerit kesakitan begitu tendangan Rangga mendarat tepat di sasaran.

   "Hei?! Kurang ajar!"

   "Bunuh dia...!"

   Teriak Ki Langser.

   Rangga benar-benar hanya bisa menggeleng lemah.

   Dia sudah berusaha membuktikan kalau dirinya bukan pembunuh.

   Bahkan para penduduknya hanya dibuat pingsan.

   Pemuda ini memang hanya sekadar memberi pelajaran saja pada manusia-manusia berkepala batu.

   Namun, agaknya dengan tindakan Rangga, hal ini membuat para penduduk lainnya marah.

   Dan tanpa kenal takut, mereka menyerbu ke arah Rangga secara bersamaan dari segala penjuru.

   "Heaaa...!"

   Pendekar Rajawali Sakti mendadak berkelebat cepat sambil melepaskan kibasan tangan ke setiap orang yang mendekatinya. Des..., diegkh..., dug...! "Aaa...!"

   Disertai jerit hampir berbarengan, tujuh orang langsung berpentalan tak tentu arah.

   Dan ini cepat menyadarkan Ki Langser, kalau pemuda yang dituduhnya sebagai penculik tidak bisa dianggap sembarangan.

   Sementara para penduduk mulai ciut nyalinya.

   Mereka tak gegabah menyerang lagi setelah melihat kedigdayaan pemuda berbaju rompi putih ini.

   Terlebih lagi, karena Ki Langser telah memberi isyarat agar menghentikan penyerangan.

   Kepala Desa Cendanu kini memandang pemuda itu dengan seksama.

   Namun, tidak berarti kemarahannya telah surut.

   "Kisanak! Kenapa kau tega membunuh penduduk desa ini dan menculik putri Ki Nyamat?!"

   "Jadi kau masih menduga kalau aku adalah penculik gadis yang tidak kukenal?"

   Tanya Rangga, kalem.

   "Siapa lagi kalau bukan kau?! Kau datang untuk mengejek kami, karena kami tak mampu me-ringkusmu semalam!"

   Sentak Ki Langser.

   "Sadarlah, Ki. Kau lihat orang-orang itu. Mereka menderita akibat tuduhanmu. Dan aku terpaksa membela diri,"

   Kilah Rangga kalem. *** Ki Langser memandang Rangga dengan dahi berkerut. Dia belum sepenuhnya mengerti.

   "Apa maksudmu?"

   Tanya kepala desa ini.

   "Kesempatan untuk membunuh kalian banyak. Namun tidak kulakukan, karena kuanggap ini salah paham,"

   Jelas Rangga.

   "Jadi, apa maksudmu ke desa ini?"

   "Telah kujelaskan, aku hanyalah seorang pengembara. Dan tujuanku bukan desa ini. Jadi kalau kalian menyerangku, tentu saja aku akan membela diri. Maaf, kalau orang-orang itu kubuat pingsan sementara,"

   Kata Rangga, seraya melirik beberapa penduduk desa ini yang dibuat pingsan. Kepala desa itu jadi ragu. Hatinya sedikit mulai condong, tidak sekeras tadi seperti pertama kali.

   "Anak muda.... Kelihatannya kau memang bukan sembarang orang. Melihat gerak-gerikmu, pastilah kau seorang pendekar. Kalau boleh kami tahu, siapakah kau sebenarnya?"

   Tanya Ki Tambika yang juga telah berada di tempat ini.

   "Namaku Rangga. Aku memang mempunyai julukan tak berarti. Orang-orang persilatan memanggilku Pendekar Rajawali Sakti...,"

   Jelas Rangga berusaha merendah.

   "Pendekar Rajawali Sakti?!"

   Sentak Ki Tambika, terkejut.

   Bagi penduduk yang jarang bepergian dan hanya menghabiskan sebagian besar usianya di desa ini, tentu tidak akan pernah mendengar julukan itu.

   Beda halnya Ki Tambika.

   Meski dalam usia setua sekarang, dia masih suka bepergian.

   Entah itu mengunjungi sanak saudara di tempat lain, atau berdagang ke tempat-tempat yang jauh.

   Dengan demikian perjalanan dan pengetahuan laki-laki tua ini tentang tokoh persilatan, tidak tertinggal.

   Dan julukan itu pernah didengarnya.

   "Benarkah kau pendekar termasyhur itu?!"

   Tanya Ki Tambika, ingin meyakinkan.

   "Bagaimana aku harus membuktikannya, Ki? Tapi yang jelas, Pendekar Rajawali Sakti bukanlah pendekar termasyhur. Mungkin kau terlalu melebih-lebihkan,"

   Sahut Rangga, tetap merendah.

   "Oh, terimalah salam hormatku, Pendekar Rajawali Sakti.... Dan aku tidak bisa menganggapmu sebagai orang biasa. Namamu amat terkenal, Aku amat yakin. Sebab sepanjang aku melakukan perjalanan jauh, banyak kudengar tentang sepak terjang serta kehebatanmu. Pendekar Rajawali Sakti.... Perkenalkan, aku sering dipanggil Ki Tambika. Atas nama warga desa ini, aku meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi. Mudah-mudahan kau sudi memaafkan kekeliruan kami!"

   Kata Ki Tambika, nyerocos seraya menjura memberi hormat.

   "Sudah biasa dalam pengembaraanku akan selalu menemukan kesalahpahaman, Ki. Sudahlah... Kau tak perlu sungkan-sungkan padaku,"

   Sahut Rangga, setelah membalas salam hormat Ki Tambika. Sementara itu, para penduduk Desa Cendanu hanya terlongong bengong melihat Ki Tambika bersikap ramah pada Pendekar Rajawali Sakti. Apalagi, Ki Langser yang semula begitu marah pada Rangga.

   "Ki Langser!"

   Panggil Ki Tambika yang meru-pakan tetua desa, seraya menoleh ke arah Kepala Desa Cendanu itu.

   "Kita telah salah paham menuduh pemuda ini sebagai penculik putri Ki Nyamat. Apalagi membunuh Ki Nyamat dan dua orang penjaga rumahnya!"

   "Tapi, Ki...."

   "Sudahlah. Jika pemuda ini berbuat yang ti-dak-tidak, aku yang bertanggung jawab. Kau boleh menghukumku, jika pernyataanku salah!"

   Potong Ki Tambika, meyakinkan. Sebagai tetua di desa ini, apalagi Ki Tambika menjaminkan dirinya sebagai jaminan, Ki Langser dan para penduduk mematuhinya.

   "Pendekar Rajawali Sakti, kalau tidak keberatan sudilah kiranya mampir ke pondokku? Sekadar mencicipi seteguk dua teguk teh hangat dan membicarakan persoalan yang menimpa desa kami,"

   Ajak Ki Tambika.

   "Maaf, Ki! Panggilah aku dengan nama saja. Jangan julukanku...."

   "Baiklah, Pendekar Rajawali Sakti. Eh, Rangga. Bagaimana? Kau bersedia,"

   Ulang Ki Tambika.

   Rangga berpikir sebentar, sebelum akhirnya mengangguk perlahan.

   Kemudian, didampingi Ki Langser dan beberapa penduduk lain yang berjumlah sekitar tujuh orang, mereka beranjak ke rumah Ki Tambika.

   Sementara yang masih pingsan segera ditolong penduduk lain.

    *** Setiba di mmah Ki Tambika, Rangga mendapat penjelasan mengenai kejadian yang menimpa desa ini, dengan peristiwa yang terjadi di Desa Cendanu ini.

   Dan Pendekar Rajawali Sakti hanya manggut-manggut mendengarkan sampai penuturan itu tuntas.

   "O.... Jadi, karena itu makanya kalian mencu-rigai aku sebagai orang asing?"

   Tanya Rangga kemudian.

   "Ya.... Kami kira kau adalah penculik itu yang datang siang hari untuk mengejek, bahwa kami tak mampu menangkapmu malam hari,"

   Jelas Ki Tambika seraya melirik sekilas pada Ki Langser yang sesekali tertunduk malu.

   "Tidak apa.... Aku bisa memaklumi...,"

   Desah Rangga.

   "Syukurlah. Kami berterima kasih atas kela-pangan hatimu, Rangga,"

   Ucap Ki Tambika.

   "Sebenarnya aku pun tengah mengadakan perjalanan untuk mencari seseorang. Dan, kurasa tidak ada hubungannya dengan penculik ini. Dia bukan menculik para gadis, tapi malah sebaliknya,"

   Papar Pendekar Rajawali Sakti.

   "Para pemuda?"

   Rangga mengangguk.

   "Jadi yang kau cari seorang wanita?"

   "Benar. Dia bukan wanita sembarangan, melainkan seorang tokoh hebat yang berkepandaian tinggi. Orang-orang menyebutnya Bidadari Penak-luk!" (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode .

   "Bidadari Penakluk").

   "Ya, ya. Nama itu memang pernah kudengar sekilas,"

   Kata Ki Tambika, mengangguk-angguk.

   "Kurasa penculik para gadis itu bukan dia. Tapi dalam pencarian dan perjalananku, biarlah kubantu kalian untuk menangkap penculik itu,"

   Lanjut Rangga menawarkan jasa baiknya.

   "Benarkah, Rangga? Kami tak tahu, mesti bagaimana mengucapkan rasa terima kasih!"

   Seru Ki Tambika.

   "Ah! Tidak usah berlebihan! Aku hanya berusaha, belum tentu berhasil menangkapnya. Doa-kan saja!"

   Sergah Rangga, merendah.

   "Nama Pendekar Rajawali Sakti telah tersohor di delapan penjuru angin. Rasanya tanpa doa kami pun, kau bakal berhasil!"

   Mendengar keyakinan itu Rangga tersenyum sendiri. 'Tidak bisa begitu, Ki. Aku manusia biasa seperti yang lain. Bisa merasakan sakit dan bakal mati kelak. Soal keberhasilan, bukan menjadi urusanku. Tapi urusan Yang Maha Kuasa,"

   Tukas Rangga. Ki Tambika dan yang lain mengangguk-angguk mendengar kata-kata pemuda ini yang merendah.

   "Nah, kurasa aku tak bisa lama-lama. Makin cepat pencarian dilakukan, makin baik. Aku pamit dulu, Kisanak semua!"

   Kata Rangga seraya bangkit berdiri.

   "Ah! Pertemuan ini rasanya kelewat angkat, Rangga! Sudikah kau mampir ke sini lagi di lain kesempatan?"

   Kali ini Ki Langser yang buka mulut, setelah sejak tadi Ki Tambika yang lebih banyak bicara pada pemuda itu.

   "Tentu saja kalau ada umur panjang. Kisanak semua, maafkan. Aku mohon diri sekarang juga!"

   Sahut Pendekar Rajawali Sakti seraya membung-kukkan tubuhnya memberi hormat, lalu angkat kaki dari rumah itu.

    *** Melewati batas Desa Cendanu, Rangga melam-batkan lari kuda hitamnya yang bernama Dewa Bayu.

   Tujuannya tidak pasti, sebab jejak Bidadari Penakluk yang tengah dicari-carinya belum juga terlihat.

   Padahal pencarian yang dilakukannya telah memakan waktu lebih dari dua minggu.

   "Ke mana dia? Apakah lenyap ditelan bumi?"

   Gumam Pendekar Rajawali Sakti tak habis pikir.

   Selama ini Rangga telah berkeliling di wilayah yang dicurigai sebagai tempat persembunyian Bidadari Penakluk.

   Namun segalanya nihil.

   Tidak ada jejak yang ditemuinya sedikit pun! "Apakah ada gunanya pencarianku ini?"

   Lanjut Pendekar Rajawali Sakti dengan wajah lesu. Belum juga pertanyaan itu tetjawab mendadak....

   "Tolooong...!"

   Tiba-tiba terdengar teriakan minta tolong dari arah kanan, membuat Pendekar Rajawali Sakti tersentak kaget. Sejenak pemuda itu menajamkan pendengarannya. Lalu....

   "Ayo, Dewa Bayu! Kita lihat apa yang terjadi di Sana!"

   Teriak Rangga, langsung menggebah kudanya ke kanan.

   "Hieee...!"

   Dewa Bayu meringkik halus, lalu berlari ken-cang mengikuti perintah Pendekar Rajawali Sakti.

   Semakin Dewa Bayu mendekati sumbernya, suara itu sendiri jelas terdengar di telinga.

   Dan begitu tiba di tepian hutan, Rangga mengerutkan keningnya dengan pandangan tajam menyimpan kemarahan.

   Kira-kira lima belas tombak di depan, Pendekar Rajawali Sakti melihat beberapa laki-laki bertampang kasar tengah mengurung seorang gadis yang menjerit-jerit ketakutan.

   Kelihatannya gadis itu tak berdaya karena dalam keadaan terikat.

   Sedangkan lima laki-laki yang mengelilinginya, agaknya hendak berbuat tidak senonoh.

   "Kisanak! Kalian tidak pantas berbuat seperti itu pada seorang wanita!"

   Teriak Rangga, keras menggelegar.

   "Hei?!" Lima laki-laki bertampang kasar itu tersentak kaget. Seketika mereka menoleh memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan geram karena merasa urusannya diganggu. Seorang yang berbadan besar dengan cambang bauk yang tidak rata, maju ke depan. Matanya mendelik sambil berkacak pinggang.

   "Bocah! Boleh saja kau pentang bacot, tapi tidak di sini! Pergilah. Dan jangan campuri urusan orang! Kalau tidak, akan kupecahkan kepalamu!"

   Bentak laki-laki ini. Demi melihat siapa pemuda yang menunggang kuda hitam itu, gadis yang terikat itu berubah ce-rah.

   "Kisanak! Tolonglah aku! Mereka hendak berbuat kurang ajar kepadaku...!"

   Teriak gadis ini.

   "Hm, kau...."

   Rangga coba mengingat-ingat siapa gadis itu. Dan rasanya, dia memang pernah mengenalnya.

   "Aku Kembang Harum, putri Ki Jagad Lor!"

   Teriak gadis itu mengingatkan.

   "Ah, betul!"

   Sahut Rangga.

   "Kurang ajar! Bocah keras kepala! Kau belum juga minggat dari hadapanku!"

   Dengus laki-laki cambang bauk yang memandang penuh amarah meluap-luap.

   "Kisanak.... Terus terang aku tidak bisa men-diamkan tindakan kalian begitu saja,"

   Sahut Rangga sambil menggeleng lemah.

   "Kurang ajar! Rupanya kau belum kenal Ken-dung Belor, he?! Anak-anak! Coba beri pelajaranpada bocah ini supaya tahu diri!"

   Perintah laki-laki bercambang bauk. Serentak dua dari empat laki-laki bertampang kasar itu melompat sambil mencabut golok masing-masing. Sret! Begitu golok tercabut, mereka meluruk sambil membabatkan senjatanya. 'Yeaaa...!"

   "Hm!"

   Pendekar Rajawali Sakti hanya mendengus dingin.

   Lalu sekali melompat ke atas dua serangan itu luput dari sasaran.

   Kedua laki-laki bertampang kasar itu cepat berbalik.

   Namun sebelum mereka melakukan serangan satu sapuan kaki Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat cepat bagai kilat.

   Duk! Des! "Aaakh...!"

   Kedua orang itu kontan terjungkal disertai jerit kesakitan, begitu dada mereka terhantam kaki Rangga.

   "Kurang ajar! Bantu mereka!"

   Desis laki-laki bercambang bauk yang mengaku bernama Ken-dung Belor. Tanpa diperintah dua kali, serentak dua anak buah Kendung Belor mencabut golok. Bahkan se-ketika menyerang Rangga dengan garang.

   "Yeaaa...!"

   Rangga berbalik. Lalu tubuhnya kembali berputar, menyongsong serangan. Dan sebelum kedua orang itu membabatkan golok, kaki Rangga telah bergerak dengan kecepatan luar biasa. Des! Des! "Aaakh...! Aaakh...!"

   Kembali dua orang terjungkal disertai jerit kesakitan ketika tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat telak di perut masing-masing. Bukan main geramnya Kendung Belor melihat anak buahnya dijatuhkan dengan sekali gebrak.

   "Keparat! Rupanya kau mesti mendapat ha-jaran dari tanganku sendiri, Bocah Gendeng!"

   Dengus Kendung Belor. Sambil mendengus geram, laki-laki bercambang bauk itu mencabut goloknya. Sret! "Mampus kau, Bocah!"

   Dengan gerakan cepat.

   Kendung Belor mela-brak Pendekar Rajawali Sakti disertai sambaran goloknya.

   Bet! Namun Rangga cukup sedikit memiringkan tu-buhnya, sehingga tebasan itu menyambar angin.

   Dalam hati, Rangga sempat memuji permainan silat Kendung Belor.

   Buktinya, baru saja Rangga menghindar, secepat itu pula golok di tangan laki-laki itu memapas pinggangnya.

   Dengan gerakan mengagumkan Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas sambil berputar.

   Dan tiba-tiba kedua belah kakinya melakukan tendangan beruntun.

   Duk! Des! "Aaakh...!"

   Kendung Belor terpekik. Tubuhnya kontan terjungkal roboh ketika tendangan Pendekar Rajawali Sakti menghantam muka dan dadanya. Kelihatan dari lobang hidungnya mengucurkan darah segar. Wajahnya tampak meringis, ketika berusaha bangkit.

   "Aku bisa memberi hajaran yang lebih parah lagi!"

   Desis Rangga seraya mendekati Kendung Belor dengan sikap mengancam.

   Mendengar ancaman ini jantung Kendung Belor seperti mau copot.

   Dia tahu, percuma saja me-lawan.

   Karena, kepandaian pemuda di hadapannya jauh dibanding kemampuannya.

   Maka secepatnya dia berlutut! "Oh, Tuan Pendekar.

   Ampuni, Tuan! Am-pun...!"

   "Maaf, aku sudah sering bertemu penjahat kambuhan macam kalian. Rasanya kalau tidak cepat dilenyapkan, dunia tak akan tenang,"

   Kata Rangga kalem, namun nadanya menakut-nakuti.

   "Oh, ampun...! Kali ini aku sungguh-sungguh, Tuan! Sumpah! Aku berjanji!"

   Seru Kendung Belor dengan tubuh menggigii dan wajah memelas. Rangga tersenyum sinis. Wajahnya tampak masih terselimuti kegarangan. Namun lambat laun, berangsur-angsur cerah.

   "Baiklah. Kali ini kalian kuampuni. Tapi bila lain kali kudengar membuat kekacauan, maka aku akan datang serta membunuh kalian tanpa ampun!"

   Ancam Rangga, tegas.

   "Oh, terima kasih! Terima kasih, Tuan. Aku tak akan mengingkari janji!"

   Sahut Kendung Belor dengan wajah cerah.

   "Sudah, pergi Sana!"

   "Eh! Ba..., baik...!"

   Tanpa disuruh dua kali, Kendung Belor langsung ngeloyor dari tempat itu, diikuti keempat ka-wannya. *** "Orang seperti mereka mestinya tidak boleh diampuni!"

   Cibir gadis bernama Kembang Harum bersungut-sungut, ketika Rangga melepaskan be-lenggu pengikatnya.

   "Mereka telah minta ampun. Dan mereka juga perlu hidup...,"

   Kilah Rangga. "Hidup mereka hanya menimbulkan masalah bagi orang lain!"

   Dengus Kembang Harum.

   "Tidak ada yang tahu, apakah hidup mereka nanti merugikan atau membantu orang lain. Tapi aku berharap, setelah kejadian ini mereka ber-tobat,"

   Tegas Rangga.

   "Orang seperti mereka rasanya jauh dari to-bat!"

   "Seperti yang kukatakan, tak seorang pun yang bisa mengetahui jalan hidup manusia selanjutnya. Sebab, semua itu telah diatur Yang Maha Kuasa...."

   "Bagaimana kalau mereka tidak berubah?"

   "Aku akan menagih janji. Atau paling tidak mereka akan menemukan balasannya. Bukankah tidak hanya kita yang membenci perbuatan-perbuatan buruk yang mereka lakukan?"

   Gadis itu tidak menjawab lagi, karena keha-bisan kata-kata untuk menumpahkan kekesalan hatinya kepada kelima begundal yang nyaris saja merenggut kehormatannya.

   "Sudahlah.... Yang penting, saat ini kau telah selamat. Lalu bagaimana sampai kau bisa bertemu mereka, Kembang? Dan kenapa kepergianmu tidak disertai Ki Karmapala dan Ki Laron Nunggal?"

   "Aku memang sengaja pergi seorang diri. Karmapala tidak lagi bekerja untukku. Demikian pula yang lainnya. Ki Laron Nunggal sementara ini tidak mau membantu. Padahal aku mesti membalaskan kematian orangtuaku,"

   Sahut gadis itu.

   "Wanita itu memiliki kepandaian tinggi. Dengan cara apa kau hendak menuntut balas kematian orangtuamu?"

   "Dengan cara apa saja!"

   "Dia juga kembal. Kau bisa terbunuh, sebelum berhasil membalaskan dendammu padanya."

   "Aku tak peduli!"

   Rangga menggeleng lemah.

   "Aku tidak merendahkanmu. Tapi sudah dua minggu lebih aku mencarinya, namun hasilnya nihil. Wanita itu hilang seperti ditelan bumi. Banyak rintangan yang bisa terjadi. Apalagi kepada seorang gadis sepertimu. Contohnya seperti tadi."

   "Apa pun akan kulakukan untuk membalaskan kematian ayahku. Aku punya uang untuk melakukannya,"

   Tegas Kembang Hamm.

   "Uang? Apa maksudmu?"

   Tanya Rangga, dengan kening berkerut tajam.

   "Aku bisa membayar seseorang untuk membunuh wanita itu. Apakah kau tertarik? Aku bisa membayar mahal untukmu!"

   Jelas gadis itu mantap.

   "Kau hanya buang-buang uang dan tenaga, Kembang! Sudahlah, aku tak perlu bayaranmu. Tapi yang jelas aku akan menangkap Bidadari Penakluk,"

   Sahut Rangga, kalem.

   "Tidak! Aku harus membayarmu. Dan aku minta kepastian kalau kau benar-benar membunuh wanita itu. Dengan begitu, dendamku terbalas sudah. Dan kau tak berhak mencampuri urusanku!"

   "Kepandaianku belum tentu setara dengannya, Kembang!"

   Tukas Rangga berusaha merendah.

   "Lagi pula katamu barusan, aku memang tidak berhak ikut campur. Kalau begitu selamat tinggal!"

   Rangga cepat mendekati Dewa Bayu. Lalu dengan gerakan ringan dia melompat ke atas punggung kudanya.

   "Heaaa...!"

   Kembang Harum terpana, memandang pemuda itu yang telah menggebah kudanya sejurus lamanya.

   Dalam pikirannya, pemuda itu mungkin tengah mempertimbangkan tawarannya.

   Tapi siapa kira tawarannya sama sekali tidak dipedulikan.

   Bahkan meninggalkannya di tempat ini seorang diri.

   "Huh! Pemuda sombong!"

   Dengusnya kesal.

   Pada akhirnya Kembang Harum pun segera angkat kaki.

   Dan entah kenapa, tak terasa dia malah mengikuti jejak yang ditinggalkan Pendekar Rajawali Sakti! *** Telaga kecil di kaki Gunung Karimun kelihatan tenang.

   Suasananya indah sejuk dan damai, jauh dari keramaian manusia.

   Tempatnya pun agak menjorok ke bawah, seperti sebuah lembah yang dipenuhi pohon-pohon berdaun rimbun.

   Bila dilihat dari kejauhan, maka tempat itu laksana sebuah rimba yang jarang dimasuki manusia, hingga berkesan angker! "Pruuuaaah...!"

   Mendadak ketenangan telaga itu terusik oleh munculnya sebentuk kepala dari dalamnya.

   Lalu, diikuti sesosok tubuh yang bergerak cepat.

   Lincah sekali tubuhnya berputaran beberapa kali di udara, kemudian mencelat ke tepi telaga.

   Dan ringan sekali kakinya mendarat di tepian telaga.

   Sosok yang baru mendarat ini dari ujung ram-but sampai ke kaki bawah kuyup.

   Pakaiannya yang berukuran besar menempel ketat, membentuk tubuhnya yang indah.

   Sesosok tubuh ramping itu memang milik seorang gadis jelita.

   Tatapan matanya sayu.

   Bibirnya yang indah terkatup rapat.

   "Eyang. Aku menghaturkan sembah padamu...!"

   Bibir sosok ini membuka suara dengan nada datar.

   Tubuhnya membungkuk ke satu arah.

   Entah dari mana asalnya, mendadak angin lembut bertiup yang diiringi berkelebatnya satu sosok bayangan gelap ke arah gadis cantik ini.

   Dan tahu-tahu, di situ telah berdiri tegak seorang laki-laki tua pada jarak dua langkah di depan gadis ini.

   Usianya sekitar delapan puluh tahun.

   Pakaiannya agak kelabu dan lusuh.

   Rambutnya yang sebagian telah memutih dibiarkan tumbuh liar sampai punggung.

   "Kau telah menyelesaikan semadimu dengan baik, Cucuku. Pakailah pakaian ini!"

   Kata laki-laki tua ini seraya melempar seperangkat pakaian yang dibawa.

   "Terima kasih, Eyang!"

   Cepat gadis ini mengambil pakaian yang ter-onggok di tanah.

   Dan sebentar saja, kakinya telah beranjak ke balik semak-semak.

   Sementara gadis itu memakai pakaian yang di-terima, kakek ini menatap tajam ke permukaan air telaga yang bergelembung tenang tertiup angin sepoi-sepoi.

   Sepertinya ada sesuatu yang ingin di-dapatkannya dari situ.

   Laki-laki tua ini baru menoleh ketika terdengar suara langkah halus dari belakangnya.

   Rupanya, gadis tadi telah berubah lain dengan pakaian scderhana yang melekat di tubuhnya.

   Bibirnya tersenyum manis melihat laki-laki tua yang takjub memandanginya.

   "Bagaimana aku sekarang, Eyang?"

   Tanya gadis itu seraya berputar sebentar, seperti hendak menunjukkan pakaian yang diberikan.

   "Begini lebih baik. Bagaimana keadaanmu sekarang, Suti?"

   Orang tua itu malah balik bertanya sambil beranjak pelan ke sebuah batu besar yang beijarak sepuluh tombak di depannya.

   "Baik, Eyang...,"

   Sahut gadis yang dipanggil Suti, langsung merendengi langkah orang tua itu.

   "Perasaan-perasaan aneh itu?"

   Tanya laki-laki tua ini lagi.

   "Kurasa masih ada, Eyang. Hanya saja aku bisa menindasnya,"

   Jelas Suti.

   "Syukurlah. Memang mestinya begitu. Dalam setiap kesempatan, kau harus melatih pernapasan seperti yang kuajarkan."

   "Baik, Eyang...."

   Sesaat kedua orang itu terdiam sambil sama-sama duduk dibatu sebesar kerbau.

   "Eyang...,"

   Panggil Suti, seraya berpaling ke arah laki-laki tua itu.

   "Hm..., apa?" 'Telah beberapa waktu Eyang membawaku ke sini. Apakah..., apakah aku akan mendapat hukuman?"

   Tanya gadis itu dengan suara bergetar penuh ketakutan. Orang tua itu tidak langsung menjawab. Kelihatan sikapnya begitu tenang. Padahal sebenarnya dia tengah berusaha menahan sesuatu yang cukup berat di hatinya.

   "Mestinya aku menghukummu karena kelan-canganmu, Suti Raswati,"

   Desah laki-laki tua ini, menyebut nama lengkap gadis itu.

   Mendadak Suti menjatuhkan diri dan berlutut di depan orang tua itu.

   Memang gadis ini tak lain dari Suti Rasawati yang dijuluki orang-orang persilatan sebagai Bidadari Penakluk, karena tindakannya.

   Setelah bertarung melawan Pendekar Rajawali Sakti, gadis ini menderita luka dalam yang cukup parah.

   Untunglah seorang tokoh berjuluk Resi Jayadwipa yang juga guru gadis itu cepat menolongnya (Baca seriai Pendekar Rajawali Sakti dalam episode.

   "Bidadari Penakluk").

   "Eyang, bunuhlah aku sekarang! Aku terima semua hukuman yang Eyang berikan!"

   Ratap Suti Raswati.

   "Berdirilah kau!"

   Ujar Resi Jayadwipa, seraya bangkit dari duduknya. 'Tapi, Eyang...."

   "Berdiri kataku!"

   Gadis itu tak bisa membantah lagi. Kini mereka berdiri saling berhadapan. Namun Suti tidak berani memandang orang tua di depannya.

   "Lihat ke arahku, Suti!"

   Perintah Resi Jayadwipa.

   "Eyang...."

   Lirih terdengar suara gadis itu, ketika meng-angkat kepala. Jantungnya berdetak lebih cepat tatkala matanya melihat tatapan tajam laki-laki tua ini laksana sembilu yang mengiris jantung dan hatinya.

   "Aku tidak menyalahkanmu...,"

   Desah Resi Jayadwipa lirih.

   "Apa..., apa maksudmu, Eyang? Aku jelas-jelas bersalah. Hukumlah aku dengan hukuman yang paling berat, Eyang!"

   Ratap Suti Raswati.

   "Dengarlah kata-kataku,"

   Tegas Resi Jayadwipa.

   "Baiklah, Eyang...."

   Suti Raswati menunggu Resi Jayadvwpa melanjutkan kata-katanya. Namun untuk beberapa waktu tak terlihat kalau orang tua itu akan melanjutkan kata-katanya.

   "Eyang...,"

   Panggil Suti Raswati, mengingatkan.

   "Ya, aku tahu. Kejadian ini tidak terlepas dari tanggung jawab. Mestinya, aku tidak menyibuk-kan diri mencari Kitab 'Jagad Welung' yang hilang itu...,"

   Desah Resi Jayadwipa.

   "Maksud, Eyang?"

   "Mestinya aku melarangmu untuk mendekati ruang perpustakaan, dan juga melarangmu untuk membaca buku-buku yang tak patut. Apalagi dipelajari. Dan ternyata, hal itu menjadi kenyataan. Kau membaca Kitab 'Serat Biru'. Bahkan malah mempelajarinya. Akibatnya sungguh buruk bagimu, seperti yang kau alami beberapa waktu lalu...."

   Resi Jayadwipa tidak langsung melanjutkan kata-katanya.

   Agaknya dia perlu melihat perubahan raut wajah gadis yang diajaknya bicara.

   Tapi wajah Suti Raswati belum menunjukkan perubahan berarti.

    *** "Tahukah kau, Suti.

   Kau telah berurusan dengan Pendekar Rajawali Sakti.

   Ini berarti, kau waktu itu berusaha mengeterapkan ilmu 'Serat Biru' pada pemuda itu.

   Untung saja, aku cepat datang dan menolongmu....

   Dan yang lebih buruk lagi adalah, kau bermaksud menerapkan ilmu 'Serat Biru' kepadaku!"

   Lanjut Resi Jayadwipa, membuat Suti Raswati tersentak.

   "Eyang, ampuni salahku! Aku tahu, itu amatmemalukan sekali"

   Ratap gadis itu hendak kembali berlutut, namun sempat dicegah orang tua ini.

   "Sudahlah. Itu hal yang telah lalu. Namun yang amat menyakitkan bagiku adalah...."

   "Adakah sesuatu rahasia yang hendak Eyang katakan padaku?"

   Selak Suti Raswati, ketika melihat Resi Jayadwipa kembali memutus kata-katanya.

   "Ya...."

   "Apa gerangan itu, Eyang?"

   "Kau adalah cucuku, Suti."

   "Bukankah itu bukan rahasia? Eyang telah menganggapku cucu sejak pertama kali memungutku ketika bayi!"

   "Cerita itu tidak benar, Suti. Aku mengarang-ngarangnya saja, agar kau tidak bertanya-tanya tentang orangtuamu."

   "Maksud, Eyang?!"

   Kali ini baru mulai terlihat perubahan berarti pada paras Suti Raswati. Bola matanya memandang tajam kepada laki-laki tua ini. Dan dia berharap, Resi Jayadwipa mau melanjutkan ceritanya buru-buru.

   "Ya! Kau adalah cucu kandungku sendiri!"

   Jelas Resi Jayadwipa menegaskan.

   "Eyang, berarti...?"

   Suara gadis itu tercekat, karena laki-laki tua itu langsung memeluknya dengan wajah haru, seperti hendak menumpahkan kesedihan karena tak mampu menjaga cucunya dengan baik.

   Suti Raswati terdiam.

   Untuk beberapa saat, dia tak tahu mesti berkata apa dan bersikap bagaimana.

   "Eyang.... Mengapa kau menyembunyikan semua ini dariku?"

   Tanya Suti Raswati ketika orang tua itu melepaskan pelukannya.

   "Aku terpaksa berbuat begitu, agar kau tidak menanyakan orangtuamu. Maka, kukatakan saja kau kupungut sejak bayi. Serta kukatakan bahwa kedua orangtuamu telah tiada,"

   Jelas Resi Jayadwipa.

   "Kenapa Eyang menyembunyikan aku? Apakah kedua orangtuaku masih ada?"

   Desak Suti Raswati.

   "Beberapa tahun berselang, mereka masih hidup. Namun belakangan kudengar kabar bahwa mereka telah tiada...,"

   Jelas laki-laki tua ini dengan wajah keruh penuh kedukaan.

   "Oh...!"

   Seru Suti Raswati kaget. Wajahnya seketika tertunduk sedih.

   "Inilah yang menjadi pangkal persoalan...,"

   Lanjut orang tua itu, setelah kesedihan cucunya berkurang.

   "Apa maksud, Eyang?"

   "Pada waktu itu ayahmu membawa seorang saudaranya ke padepokan. Sejak itu, suasana yang tenteram perlahan berubah. Aku tahu, saudara ayahmu berhati culas. Lagi pula, dia suka menggoda ibumu. Namun aku tidak enak hati mengusirnya pergi. Segala isyarat yang kuberikan padanya agar meninggalkan padepokan, seperti tak digubrisnya. Dan ternyata, saudara ayahmu itu bermuka tembok. Dan untuk menekan perasaan karena kelakuannya, aku akhirnya sering bepergian. Namun tidak disangka kalau pada akhirnya, dia menghasut ayahmu untuk melanggar aturan...,"

   Tutur Resi Jayadwipa.

   "Melanggar aturan bagaimana, Eyang?"

   TanyaSuti.

   "Aku melarang mereka masuk ruang perpustakaan. Namun saudara ayahmu itu terus membujuknya. Sampai akhirnya, mereka nekat masuk ke Sana. Beberapa waktu kemudian ketika aku pulang, ayahmu memberitahukan persoalan yang menimpa padepokan. Beberapa buah kitab pusaka hilang dibawa kabur saudara ayahmu. Aku marah besar dan tak dapat mengendalikan diri. Meski saat itu ibumu baru saja melahirkanmu, mereka kuusir. Dan mereka tidak kuperbolehkan membawamu!"

   Lanjut orang tua itu.

   "Eyang sungguh kejam! Hehhh...! Bisa kura-sakan kesedihan mereka kala itu...,"

   Desis Suti Raswati, seraya mendesah. 'Ya, aku memang kejam!"

   Cetus orang tua itu.

   "Bahkan mereka tidak kuizinkan menginjakkan kaki ke padepokan, dan kularang menjengukmu!"

   "Mengapa? Mengapa Eyang bertindak begitu kejam kepada mereka?"

   Tanya Suti.

   "Jangan kau tanyakan hal itu."

   "Aku patut mengetahui karena mereka orangtuaku!"

   Tukas gadis itu cepat.

   Resi Jayadwipa kelihatan bergetar entah karena apa.

   Namun bias wajahnya tidak menunjukkan apa-apa.

   Sepertinya, dia memang pandai menyembunyikan perasaan.

   Tidak peduli cucunya mulai menitikkan airmata sambil menangis terisak.

   Lirih.

   "Kenakan topeng ini. Dan pergilah dari sini!"

   Aneh! Bukannya menjawab, Resi Jayadwipa malah menyerahkan topeng kayu yang sejak tadi dipegangnya kepada gadis itu. Kemudian tubuhnya berbalik, meninggalkan tempat ini.

   "Eyang mengusirku?"

   Tanya gadis itu lirih. "Kalau memang kau tak suka padaku, apa yang bisa kukatakan? Pergilah. Dalam pengemba-raan, kuharap kau bisa berpikir dewasa dan mengerti keadaan. Setelah kau menguasai dirimu, maka carilah pembunuh orangtuamu!"

   Lanjut orang tua itu, setelah menghentikan langkah. Namun begitu dia tetap membelakangi cucunya.

   "Apa maksud, Eyang? Siapa pembunuh kedua orangtuaku?"

   Ujar Suti.

   "Saudara ayahmu itu!"

   "Siapa namanya?!"

   Seru gadis ini bersemangat Terasa ada bibit dendam di hatinya.


Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Kuda Putih Karya Sd Liong Menyingkap Rahasia Tabir Hitam Karya Danang HS

Cari Blog Ini