Ceritasilat Novel Online

Hantu Karang Bolong 1


Pendekar Rajawali Sakti Hantu Karang Bolong Bagian 1


HANTU KARANG BOLONG Oleh Teguh Suprianto Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta Penyunting .

   Puji S.

   Gambar sampul oleh Arie Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Teguh Suprianto Serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode; Hantu Karang Bolong 128 hal ; 12 x 18 cm Hujan rintik-rintik membasahi bumi.

   Angin bertiup kencang menaburkan udara dingin yang membekukan tulang.

   Kabut tebal bergulung-gulung bercampur awan hitam menghalangi pandangan mata empat orang yang berjalan tertatih-tatih menembus rinai hujan.

   Mereka adalah seorang laki-laki tua, seorang pemuda, seorang wanita, dan seorang anak kecil berusia sekitar tujuh tahun.

   Mereka terus berjalan meskipun hujan semakin besar.

   "Sebaiknya kita berhenti dulu, Yah. Kasihan Surya Paku,"

   Kata yang wanita dengan suara menggigil kedinginan.

   "Tidak di sini. Terlalu berbahaya...,"

   Sahut laki-laki tua yang berjalan paling depan.

   "Tapi hujan semakin besar, Yah,"

   Kata wanita itu lagi.

   "Sebentar. Di depan sana ada dangau."

   Wanita yang masih muda itu kembali diam.

   Digamitnya lengan bocah kecil yang berjalan di sampingnya, kemudian digendongnya.

   Mereka terus berjalan tanpa berkata-kata lagi.

   Sementara cuaca semakin buruk.

   Kegelapan menyelimuti sekitarnya.

   Hujan yang semakin besar itu, dihiasi pula oleh sambaran kilat yang membelah angkasa.

   Suaranya mengguntur memekakkan telinga.

   Setiap kali kilat menyambar, wanita yang berjalan di belakang laki-laki tua itu memekik kecil.

   Tubuhnya semakin keras menggigil kedinginan.

   Memang benar apa yang dikatakan laki-laki tua tadi.

   Mereka kini sudah melihat suatu bangunan terbuka yang hanya beratapkan daun rumbia, dan bersama-sama bergegas melangkah setengah berlari.

   Sementara tanah yang dipijak sudah berair dan berlumpur.

   Mereka menuju ke dangau kecil tanpa dinding itu.

   Untung di dangau itu terdapat sebuah balai-balai kecil yang beralaskan anyaman tikar daun pandan.

   Meskipun sudah koyak, tapi cukup untuk beristirahat sambil menunggu hujan reda.

   "Hhh...! Seharusnya kita tidak berangkat hari ini...,"

   Wanita itu mengeluh lirih seraya duduk di balai-balai sambil memangku bocah laki-laki.

   "Jangan mengeluh begitu, Laras. Apa pun yang terjadi kita harus cepat sampai,"

   Kata laki-laki muda yang duduk di sebelahnya. Sedangkan laki-laki tua yang memakai baju berjubah putih hanya berdiri saja sambil bersandar pada tiang dangau itu. Pandangannya tertuju lurus ke depan.

   "Hhh...! Kenapa nasib kita selalu malang, Kakang? Sepertinya tidak ada tempat lagi di dunia ini yang bersedia menampung kita,"

   Lagi-lagi wanita yang dipanggil Laras mengeluh.

   "Sudahlah, Laras. Tidak baik mengeluh terus seperti itu,"

   Lembut nada suara laki-laki itu.

   Tangannya merentang memeluk pundak Laras.

   Sesaat kemudian tidak lagi kata-kata yang terucapkan.

   Sementara hujan terus turun deras sekali, seakan-akan tidak mau berhenti.

   Secercah kilat menyambar membuat keadaan sekelilingnya terang sejenak dan disusul oleh suara mengguntur keras.

   Laras kontan memekik kaget.

   "Ih.... Perasaanku jadi tidak enak, Kakang,"

   Rintih Laras lirih.

   "Hssst..!"

   "Prakasa...!"

   Panggil laki-laki tua yang tetap berdiri bersandar pada tiang dangau.

   "Ya, Ayah,"

   Sahut laki-laki muda yang dipanggil Prakasa itu.

   Pandu Prakasa berdiri dan menghampiri laki-laki yang sebenarnya bernama Ki Selong.

   Laki-laki tua itu Ayah dari Pandu Prakasa, dan Laras adalah istri pemuda itu.

   Pandu Prakasa berdiri di samping ayahnya.

   "Kau tahu, jalan mana yang terdekat?"

   Tanya Ki Selong.

   "Hanya ini jalan satu-satunya. Ayah.

   "

   Sahut Pandu Prakasa.

   "Istrimu tahu?"

   Prakasa hanya menggeleng saja.

   Kembali secercah kilat menyambar membuat suasana terang benderang sesaat Dua orang laki-laki itu menatap ke arah yang sama.

   Tampaklah sebuah ba ngunan batu yang ditumpuk menyerupai kuil kecil, begitu sinar kilat yang sesaat itu menerangi sekitarnya.

   Mereka sama-sama terkesiap dan terkejut begitu menyadari bentuk bangunan itu.

   Batu-batu yang bertumpuk itu membentuk kerucut yang tingginya tidak lebih dari tinggi orang dewasa.

   Bagian bawah bangunan itu sudah terendam air bercampur lumpur.

   "Ayah, apakah jalan yang kita lalui tidak salah?"

   Tanya Pandu Praka sa tanpa berpaling sedikit pun.

   "Kenapa?"

   Ki Selong balik bertanya.

   "Bukankah ini..,"

   Pandu Prakasa tidak melanjutkan kata-katanya. Matanya tidak berkedip menatap tumpukan batu berbentuk kuil di depannya.

   "Kau yang memilih jalan ini, bukan?"

   Pelan suara Ki Selong "Benar! Tapi...,"

   Kembali suara Pandu Prakasa terputus.

   Saat itu kembali secercah kilat menyambar.

   Dan ujung kilat itu menghantam tumpukan batu berbentuk kuil kecil itu, sehingga menimbulkan suara ledakan dahsyat Tumpukan batu itu hancur berkeping-keping, menyebar ke segala arah.

   Ki Selong bergegas menarik tangan anaknya, lalu melangkah mundur mendekati Laras yang memeluk erat-erat anaknya.

   Cahaya pun menyemburat dari kobaran api yang membakar batu-batu itu.

   Tampak wajah Ki Selong dan Pandu Prakasa pucat pasi.

   Mata mereka sama-sama tidak berkedip memandangi kobaran api itu.

   Suasana yang semula gelap, berubah terang benderang oleh kobaran api yang ditimbulkan sambaran kilat tadi..

   "Ada apa, Ayah? Kakang....?"

   Tanya Laras yang ketakutan melihat wajah ayah mertua dan suaminya pucat pasi.

   Baik Ki Setong mau pun Pandu Prakasa tidak menjawab, tapi malah saling berpandangan satu sama lain.

   Saat itu, tiba-tiba saja suatu ledakan keras terdengar menggelegar dari api yang berkobar besar.

   Percikan bunga api menyebar ke segala arah, dan salah satunya menyambar atap dangau yang terbuat dari daun rumbia.

   Api itu langsung melalap atap dangau.

   "Cepat, pergi...!"

   Seru Ki Selong.

   Pandu Prakasa bergegas menarik tangan istrinya dan membawanya keluar dari dalam dangau.

   Sedangkan Ki Selong bergegas melompat keluar menyusul anak dan menantunya.

   Bocah laki-laki berusia tujuh tahun, memeluk erat ibunya dan menyembunyikan wajahnya di dada wanita itu.

   Mereka berlari-lari menjauhi tempat itu.

   *** Api terus berkobar semakin besar.

   Hujan pun turun deras bagai ditumpahkan dari langit Ki Selong bersama anak, menantu, dan cucunya terus berlari semakin jauh masuk ke dalam hutan.

   Cahaya api yang begitu besar menerangi alam sekitarnya.

   Sesekali mereka menoleh ke belakang melihat sumber api itu.

   Dan ketika menoleh untuk kesekian kalinya, mendadak mereka berhenti berlari.

   Saat itu secercah kilat kembali menyambar ke arah kobaran api.

   Satu ledakan keras terdengar dahsyat, menggetarkan bumi yang dipijak.

   Tidak berapa lama berselang, terdengar suara raungan keras disusul padamnya api itu.

   "Jagat Dewa Batara...!"

   Desah Ki Selong terperanjat Matanya membeliak tidak berkedip.

   Tampak dari reruntuhan batu itu, berdiri sesosok tubuh tinggi besar dengan kedua tangan terangkat tinggi ke atas.

   Kepalanya menengadah lurus ke atas, dan mulutnya terbuka lebar sambil meraung keras menggelegar.

   Sepasang bola matanya terlihat merah menyala bagai.bara api yang berkobar-kobar.

   Gigi-giginya bertaring tajam dan berkilat Pakaiannya koyak dan penuh lumpur, tidak jelas lagi warnanya.

   "Graaagh...!"

   Makhluk itu menggerung keras, lalu menoleh ke arah orang-orang yang memperhatikan-nya.

   "Kakang...,"

   Laras merapatkan tubuhnya di belakang suaminya.

   Makhluk mengerikan itu melompat cepat ke arah orang-orang itu.

   Dengan kecepatan kilat, diterkamnya Ki Selong yang masih terperangah.

   Laki-laki tua itu memekik keras.

   Lehernya dicengkeram kuat oleh kuku-kuku yang panjang dan berlumpur.

   "Ayah...!"

   Jerit Laras tersentak kaget ketakutan.

   "Akh...! Lari...! Cepat lari...!"

   Teriak Ki Selong.

   Laki-laki tua itu memberontak berusaha melepaskan diri dari cengkeraman itu.

   Dia berteriak-teriak memerintahkan anak dan menantunya untuk cepat lari.

   Tapi Pandu Prakasa seperti terkesima melihat kejadian mengerikan itu, dan hanya berdiri serta membeliak tidak berkedip.

   Sementara Ki Selong semakin lemah gerakannya.

   Suaranya juga tertelan gemuruh hujan yang masih deras.

   "Lepaskan ayahku...!"

   Teriak Pandu Prakasa begitu melihat tubuh ayahnya sudah tidak bergerak-gerak lagi.

   Pandu Prakasa melompat sambil mencabut goloknya yang terselip di pinggang.

   Dengan kekuatan penuh, dibabarkan goloknya ke punggung makhluk liar mengerikan itu.

   Tapi goloknya malah terpental begitu menghantam punggung makhluk itu.

   "Gragh...!"

   Makhluk itu menggeram keras.

   Cepat sekali dia memutar tubuhnya sambil mengibaskan tangannya yang penuh lumpur.

   Pandu Prakasa yang tengah terpana, tidak bisa lagi berkelit dari sampokan itu.

   Mulutnya hanya mampu menjerit melengking, dan tubuhnya terlontar keras menghantam sebatang pohon.

   "Graaah...!"

   Kembali makhluk itu menggerung keras, lalu melompat menerkam Pandu Prakasa. Dengan buas dikoyaknya leher laki-laki muda itu dengan taringnya. Pandu Prakasa menjerit keras, dan tubuhnya menggelepar kuat. Darah langsung muncrat dari leher yang koyak.

   "Kakang...! Oh, tidaaak...!"

   Jerit Laras histeris.

   "Ibuuu...,"

   Rintih Surya Paku menangis dalam gendongan ibunya.

   Makhluk itu menggerung dan menoleh pada Laras.

   Sepasang bola matanya berkilat merah begitu melihat wanita muda berdiri bergetar menggendong seorang bocah.

   Laras terpaku seketika, dan tubuhnya semakin keras menggigil.

   Tapi entah dari mana, tiba-tiba datang suatu kekuatan yang membuatnya harus berbalik cepat dan segera berlari kencang.

   "Graaagh...!"

   Makhluk itu menggerung keras.

   Dilepaskan cengkeramannya pada Pandu Prakasa.

   Bergegas makhluk itu melompat hendak mengejar Laras.

   Namun, Pandu yang masih mampu berlahan hidup, cepat melompat menerkam dengan sisa-sisa tenaganya.

   Tidak dipedulikannya lagi lehernya yang koyak mengeluarkan darah.

   Pandu memeluk erat-erat tubuh makhluk itu dari belakang.

   "Ghraaaghk...!"

   Makhluk itu menggeram marah.

   Kuat sekali sibakan kedua tangannya, sehingga dekapan Pandu terlepas.

   Tubuh laki-laki muda itu terpelanting jatuh dengan kerasnya ke tanah.

   Makhluk itu menjadi marah, dan kembali menerkam Pandu yang menggeletak di tanah basah.

   Dengan buas sekali dicabik-cabiknya tubuh laki-laki muda itu.

   Jeritan melengking mengiringi kematiannya.

   Makhluk aneh mengerikan itu meraung keras, dan kepalanya berputar memandang ke sekeliling.

   Tapi Laras sudah tidak terlihat lagi bayangannya, lenyap ditelan kegelapan malam dan lebatnya hutan.

   Kembali makhluk itu meraung keras menggetarkan seluruh alam persada ini.

   Dua mayat bergelimpangan, bersimbah darah.

   Makhluk itu kemudian melampiaskan kemarahannya dengan mencabik-cabik kedua mayat laki-laki yang menjadi korbannya.

   Sementara itu Laras terus berlari-lari sekuat tenaga.

   Tidak dipedulikannya lagi arah yang ditempuh.

   Beberapa kali kakinya tersangkut akar yang menyembul dari dalam tanah, sehingga wanita itu terjerembab.

   Namun segala rintangan sudah tidak dipedulikannya lagi, dan terus berlari sekuat tenaga.

   Air matanya bercucuran bercampur air hujan yang turun deras sekali.

   "Ibuuu...,"

   Surya Paku merintih lirih dalam pelukan ibunya.

   "Oh!"

   Laras tersentak mendengar rintihan lirih anaknya.

   Wanita itu berhenti berlari, dan jatuh duduk di tanah yang berlumpur sambil menangis dan menciumi anaknya.

   Seluruh tubuhnya terasa letih, seakan tidak kuat lagi untuk melangkah.

   Apalagi untuk berlari.

   Laras memandang sekelilingnya.

   Naluri keibuannya mengatakan kalau putra satu-satunya ini harus diselamatkan.

   Dengan sisa-sisa tenaganya, Laras bangkit berdiri dan berjalan tertatih-tatih menembus kelebatan hujan sambil memeluk anaknya.

   Dilindunginya anak itu dari terpaan air hujan yang begitu deras menyakitkan.

   Laras tidak tahu lagi arah yang dituju, dan di mana sekarang berada.

   Hanya satu tekadnya.

   Menyelamatkan Surya Paku dari makhluk buas yang telah merenggut nyawa ayah mertua dan suaminya! *** Pagi begitu bening.

   Matahari bersinar indah dengan cahayanya yang hangat menyinari bumi.

   Burung-burung berkicau membangunkan seluruh makhluk di muka bumi ini yang semalaman terlelap dalam buaian curah hujan.

   Titik-titik air hujan masih terlihat di puncak-puncak pohon, memantulkan cahaya indah membentuk lingkaran pelangi.

   Di atas rerumputan basah, tampak tergolek seorang wanita muda berpakaian basah dan kotor.

   Di sampingnya tergolek seorang bocah laki-laki berusia sekitar tujuh tahun.

   Hangatnya cahaya matahari pagi membuat dua orang itu menggeliat.

   Kelopak mata mereka mengerjap.

   "Oh...!"

   Wanita itu langsung beranjak bangun, dan memandang berkeliling.

   Kicauan burung seakan-akan menyambutnya.

   Wanita itu menoleh menatap bocah laki-laki kecil yang juga sudah terbangua Tubuhnya masih tergolek, meskipun matanya terbuka penuh.

   Raut wajah mereka tampak begitu letih, dan pandangan mata sayu.

   Sesaat kemudian, wanita itu menutup wajah dengan kedua tangannya.

   Terdengar suara isak lirih.

   Bahunya pun terguncang pelahan.

   "Ibu...,"

   Pelan sekali suara bocah kecil itu. Dia bangkit dan beringsut duduk di samping ibunya.

   "Oh, Anakku...."

   Wanita itu menggamit dan memeluk anaknya.

   Dia terus menangis sambil menciumi wajah laki-laki kecil yang kelihatan kebingungan.

   Tidak berapa lama kemudian wanita itu menghapus air matanya.

   Tubuhnya masih terduduk lesu, dan pandangannya kosong ke depan, menatap hutan yang lebat.

   Ingatannya kembali pada peristiwa mengerikan yang merenggut nyawa ayah mertua serta suaminya semalam.

   Wanita yang tidak lain adalah Laras, kembali menitikkan air matanya.

   Kedua telapak tangannya menutup muka, tidak sanggup mengingat peristiwa itu.

   Sedangkan anak laki-laki di sampingnya hanya bisa memeluk.

   Hatinya yang masih polos dapat merasakan kesedihan yang dirasakan ibunya.

   Meskipun belum mengerti, tapi dia ikut menyaksikan peristiwa yang mengerikan itu.

   "Bu..., Ayah mana?"

   Tanya Surya Paku pelan.

   "Oh...!"

   Laras memeluk anaknya, dan kembali menangis mendengar pertanyaan polos itu.

   Surya Paku semakin tidak mengerti.

   Dibiarkan saja ibunya memeluk dan menciuminya, bagai baru saja bertemu setelah berpisah sekian tahun lamanya.

   Namun tiba-tiba Laras melepaskan pelukannya ketika mendengar derap langkah kaki kuda dari kejauhan, yang jelas mengarah ke tempatnya.

   Bergegas Laras bangkit berdiri dan menggendong anaknya, lalu cepat-cepat berlari ke arah semak belukar yang tidak jauh dari tempat itu.

   Dia bersembunyi di dalamnya.

   Tidak lama berselang, muncul seorang pemuda tampan menunggang kuda hitam.

   Langkah kaki kuda itu tidak tergesa-gesa.

   Dan penunggangnya seperti tengah menikmati keindahan di sekelilingnya sambil menghirup udara segar sebanyak-banyaknya.

   Penunggang kuda hitam itu menghentikan langkah binatang jinak tinggi besar itu, di tempat Laras dan anaknya tadi berada.

   Pemuda tampan penunggang kuda itu melompat turun.

   Gerakannya indah tanpa menimbulkan suara sedikit pun.

   Sebentar dipandangi keadaan sekeliling, kemudian ditekuk lututnya hingga menyentuh tanah.

   Tangan kanannya meraba-raba rumput yang rebah bekas tertindih benda berat.

   "Hm..., tampaknya masih baru,"

   Gumam pemuda itu pelan.

   Sebentar kemudian kepalanya terangkat naik.

   Pada saat itu, Laras menyembulkan kepalanya keluar dari semak.

   Tapi buru-buru ditarik kembali kepalanya.

   Namun pemuda tampan berbaju rompi putih itu sudah melihatnya.

   Dia berdiri dan melangkah ke arah semak belukar itu.

   "Nisanak, keluarlah. Kenapa takut?"

   Lembut suara pemuda itu menyapa.

   Tapi Laras tidak kunjung keluar.

   Semak belukar itu bergoyang menimbulkan suara gemerisik.

   Pemuda tampan itu melangkah lebih mendekat Dan begitu disibakkan semak itu, tampak Laras merungkut memeluk erat anak laki-lakinya.

   Pemuda itu mengerutkan alis melihat keadaan wanita muda bersama seorang anak laki-laki yang tampak ketakutan.

   Seluruh tubuhnya menggigil, dan wajahnya pucat pasi.

   "Oh, tidak...! Jangan, jangan sakiti aku...,"

   Rintih laras memelas.

   "Nisanak...."

   "Jangan..!"

   Jerit wanita itu langsung bangkit berdiri dan berlari kencang menerobos semak itu.

   Pemuda berbaju rompi putih itu melompat menghindari terjangan Laras.

   Wanita muda itu terus berlari sambil menggendong anaknya dalam pelukan yang begitu erat.

   Tapi belum lama berlari, kakinya terantuk sebongkah batu.

   Tak ayal lagi, tubuhnya terjerembab bergulingan.

   Surya Paku terlepas dari pelukannya, dan melayang hampir mencium tanah.

   "Hup!"

   Cepat sekali pemuda itu melompat, seraya menangkap Surya Paku sebelum bocah itu jatuh ke tanah. Sementara wanita itu bangkit kembali, dan langsung menjerit melihat anaknya berada di dalam gendongan pemuda asing yang belum dikenalnya.

   "Lepaskan anakku...!"

   Jeritnya keras.

   Wanita itu berlari cepat menubruk pemuda tampan berbaju rompi itu.

   Dengan paksa direbutnya Surya Paku dari gendongan pemuda itu, kemudian beringsut mundur dengan wajah pucat ketakutan.

   Seluruh tubuhnya menggigil keras bagai terserang demam.

   Sedangkan bocah laki-laki di dalam gendongan-nya memeluk ibunya erat-erat.

   Sementara pemuda itu kelihatan bingung dan keheranan melihat sikap wanita muda itu.

   Dia tidak mengerti, mengapa wanita itu jadi histeris ketakutan melihatnya.

   Sepertinya tengah melihat sosok makhluk mengerikan yang siap mencabik-cabik seluruh tubuhnya.

   "Nisanak...,"

   Pemuda itu mencoba bicara lembut.

   "Jangan! Pergi kau...! Pergiii...!"

   Jerit Laras melengking.

   Pemuda itu mengurungkan niatnya untuk mendekati.

   Sementara Laras terus melangkah mundur menjauh.

   Dipeluk anaknya erat-erat.

   Seluruh tubuhnya yang kotor berlumpur, masih terlihat menggigil ketakutan.

   Wajahnya semakin pucat bagai tidak teralirkan darah.

   "Jangan sakiti aku. Aku tidak bersalah. Aku tidak tahu apa-apa. Pergi kau....! Pergi....!"

   Jerit Laras.

   "Nisanak, aku tidak akan menyakitimu. Apa yang terjadi denganmu?"

   Tanya pemuda itu lembut.

   "Jangan dekat!"

   Kembali pemuda itu mengurungkan langkahnya.

   "Baiklah, aku akan pergi,"

   Kata pemuda itu menyerah.

   Pemuda itu melangkah menghampiri kudanya, lalu melompat naik ke punggung kuda hitam itu.

   Sebentar dipandangi wanita bersama anaknya itu, kemudian dihela kudanya pelahan-lahan.

   Kuda hitam itu berjalan pelan-pelan masuk ke dalam hutan.

   Laras langsung menjatuhkan dirinya berlutut Seluruh tubuh dan perasaannya terasa lemas.

   *** Hari terus merayap semakin tinggi.

   Laras terus melangkah tertatih-tatih menuntun anaknya yang berjalan pelan di sampingnya.

   Hampir seharian mereka berjalan, namun belum juga menemukan perkampungan.

   Sepanjang jalan yang dilalui hanya padang gersang dan hutan lebat.

   Laras sengaja menghindari hutan karena takut kalau-kalau bertemu makhluk aneh mengerikan yang telah membunuh ayah mertua serta suaminya secara liar dan buas.

   "Bu, ke mana kita pergi?"

   Tanya Surya Paku lesu.

   "Entahlah,"

   Sahut Laras yang juga lesu.

   "Kau lelah, Sayang?"

   "He-eh."

   Surya Paku mengangguk.

   "Kita istirahat sebentar di sini."

   Tempat itu memang cocok untuk beristirahat.

   Pemandangannya cukup indah, dan terdapat juga sungai kecil yang mengalir jernih.

   Surya Paku menceburkan dirinya ke dalam sungai itu.

   Dibersihkan tubuhnya yang kotor berlumpur.

   Sedangkan Laras juga membersihkan tubuh dan pakaiannya.

   Mereka beristirahat sambil menikmati segarnya air jernih sungai kecil itu.

   Tidak lama mereka berada di dalam sungai, kemudian naik ke darat dengan pakaian basah kuyup.

   Memang hanya itu satu-satunya pakaian yang bisa dibawa.

   Mereka tidak sempat lagi menyelamatkan barang bawaan yang tertinggal di dangau.

   Laras duduk di atas batu ceper yang menyerupai piring.

   "Ha ha ha..!"

   Tiba-tiba saja terdengar suara tawa keras.

   Laras tersentak kaget dan buru-buru bangkit berdiri seraya menggendong anaknya.

   Suara tawa itu terdengar menggema, seolah-olah datang dari segala penjuru.

   Laras jadi bingung.

   Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak terlihat ada orang lain di tempat ini.

   Belum juga Laras bisa menyadari apa yang bakal terjadi, tiba-tiba saja empat orang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berwajah kasar bermunculan dari balik semak belukar.

   Mereka tertawa-tawa terkekeh sambil menatap liar pada Laras.

   Tentu saja wanita itu jadi ketakutan dan beringsut mundur.

   Tapi....

   "Ah...!"

   Laras memekik kaget.

   Entah kapan dimulainya, tahu-tahu salah seorang dari empat laki-laki kasar itu sudah melompat dan menerkamnya.

   Wanita itu tidak bisa lagi mengimbangi tubuhnya, lalu jatuh bergulingan bersama laki-laki yang menerkamnya.

   Surya Paku terlepas dari gendongan Ibunya.

   Tiga laki-laki lainnya hanya tertawa-tawa melihat pergumulan seorang temannya.

   "Lepaskan! Bajingan...! Auh!"

   Laras menjerit-jerit sambil meronta berusaha melepaskan diri.

   Tapi dengan kasar laki-laki itu merenggut pakaian yang dikenakan Laras, sehingga wanita itu terpekik.

   Dengan berusaha susah payah ditutupi tubuhnya yang mulai terbuka.

   Tiga laki-laki lainnya semakin keras tertawa, dan mulai berlompatan mendekati.

   Tatapan matanya begitu liar, dan lidahnya menjulur ke depan menjilati bibirnya sendiri.

   Laras benar-benar tidak berdaya lagi.

   Tubuhnya menggeliat-geliat di tanah dikeroyok empat orang laki-laki.

   Sementara Surya Paku hanya bisa menangis menyaksikan ibunya direjam empat orang dengan buas.

   Namun ibu anak kecil itu masih juga berusaha meronta melepaskan diri, meskipun seluruh pakaiannya sudah cabik-cabik tidak karuan lagi.

   Namun pada saat yang kritis, tiba-tiba saja laki-laki yang mengerubuti Laras berpentalan ke udara.

   Mereka memekik keras dan bergelimpangan di tanah.

   Laras buru-buru beringsut sambil membenahi pakaiannya yang sudah tidak berbentuk lagi.

   Tidak jauh darinya berdiri seorang laki-laki muda dan tampan.

   Empat orang laki-laki itu bergegas bangkit, langsung menggeram marah.

   "Aku muak melihat manusia-manusia berhati iblis macam kalian!"

   Dengus pemuda itu dingin.

   "Kurang ajar! Kau cari mampus rupanya, heh!"

   Geram salah seorang.

   "Seharusnya kalian malu, mengeroyok wanita lemah tanpa daya."

   "Setan! Kubunuh kau, keparat..!"

   Empat orang laki-laki itu segera mencabut goloknya, dan melompat menerjang pemuda yang memakai baju rompi putih.

   Namun terjangan itu manis sekali dapat dielakkan.

   Bahkan-pemuda itu mampu menyarangkan pukulannya secara beruntun.

   Empat orang laki-laki berwajah kasar itu memekik keras, dan tubuhnya berpentalan bagai daun kering.

   Entah bagaimana caranya, tahu-tahu senjata mereka sudah berpindah tangan.

   Pemuda itu melemparkan golok yang dirampasnya, dan senjata itu menancap tepat di depan empat orang itu.

   Mata mereka membeliak lebar melihat goloknya terbenam dalam sampai ke tangkal "Cepat pergi, sebelum pikiranku berubah!"

   Tetap dingin suara pemuda itu.

   Empat laki-laki itu saling berpandangan, lalu bergegas meninggalkan tempat itu.

   Mereka tidak peduli lagi dengan goloknya yang tertanam dalam di tanah.

   Pemuda itu berbalik menghadap pada Laras yang sudah berada di samping anaknya.

   Pakaian wanita itu sudah tidak karuan lagi sehingga beberapa bagian tubuhnya terbuka.

   "Kau tidak apa-apa?"

   Tanya pemuda itu lembut.

   "Tidak, terima kasih,"

   Sahut Laras.

   "Suit!"

   Pemuda itu bersiul pendek.

   Terdengar ringkikan, kemudian disusul oleh munculnya seekor kuda hitam yang tinggi dan tegap.

   Kuda itu menghampiri pemuda berbaju rompi putih sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Pemuda itu mengambil buntalan kain usang dari pelana kudanya, dan menyerahkannya pada Laras.

   "Aku menemukan ini tidak jauh dari sini,"

   Kata pemuda itu.

   "Hanya ada beberapa potong pakaian, mungkin pas ukurannya denganmu."

   "Oh, di mana Tuan temukan ini?"

   Laras mengenali buntalan kain miliknya itu.

   "Di sebuah dangau,"

   Sahut pemuda itu.

   "Hm..., sebaiknya jangan memanggil aku tuan. Panggil saja Rangga. Itu namaku."

   Laras memberikan senyuman sedikit.

   Dibukanya buntalan kain itu, lalu diambilnya selembar kain yang terlipat rapi.

   Sesaat kemudian dililitkan kain itu ke tubuhnya Pemuda berbaju rompi putih yang ternyata adalah Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti, melangkah menjauhi dan membalikkan tubuhnya menghadap ke arah lain.

   Sejenak Laras memandanginya, kemudian bergegas mengambil sepotong baju yang dengan cepat dikenakannya.

   Dia pun harus mengganti baju anaknya yang sudah kotor itu.

   Laras kelihaian cantik dengan baju merah muda yang bersih.

   Sengaja dipakainya celana sebatas lutut untuk memudahkannya bergerak.

   Kembali dipandangi punggung Rangga yang menghadap ke arah lain.

   "Tuan...,"

   Pelan suara Laras memanggil.

   Rangga menoleh sedikit, lalu berbalik menghadap wanita itu.

   Pendekar Rajawali Sakti itu bersiul kecil melihat Laras sudah berganti pakaian.

   Seketika wajah wanita itu jadi merah tersipu malu.

   Pelahan-lahan Rangga melangkah menghampiri dan berlutut di depan anak laki-laki kecil.

   "Siapa namamu?"

   Tanya Rangga lembut. Surya Paku tidak langsung menjawab, tapi hanya menengadah menatap ibunya.

   "Surya,"

   Laras yang menyahuti.

   "Nama yang bagus,"

   Ucap Rangga seraya berdiri.

   "Terima kasih, Tuan...."

   "A a a...,"

   Rangga menggerak-gerakkan jari telunjuk di depan mulutnya dengan kepala menggeleng-geleng.

   "Jangan panggil aku tuan, panggil saja Rangga."

   "Maaf,"

   Ucap Laras kembali tersipu.

   Laras menundukkan kepalanya.

   Dia tadi telah menyangka buruk terhadap pemuda itu.

   Tapi sekarang, pemuda itu telah menolongnya, bahkan membawakan pakaiannya kembali.

   Laras jadi malu dan tidak sanggup memandang wajah laki-laki tampan di depannya.

   Untuk beberapa saat, dirinya hanya bisa diam sambil tertunduk.

   *** Rangga memutar-mutar dahan kecil di atas api yang dibuatnya.

   Pada ujung dahan kecil itu terpanggang seekor kelinci gemuk yang ditangkap tadi.

   Di sampingnya duduk Surya Paku, yang kelihatan lahap sekali menikmati daging kelinci panggang.

   Sedangkan di depannya, Laras juga tengah menikmati daging yang sama.

   Masih ada seekor lagi yang belum dipanggang.

   "Kau bilang barang-barang itu milikmu, kenapa ditinggalkan di dangau?"

   Tanya Rangga seraya mengangkat kepalanya menatap Laras.

   Mulut Laras yang sudah terbuka hendak menggigit daging kelinci, jadi terkatup kembali mendengar pertanyaan itu.

   Sesaat wanita itu menatap Rangga, kemudian kepalanya tertunduk.

   Terpancar kesedihan yang amat dalam pada raut wajahnya.

   Kilatan sinar matanya juga menunjukkan perasaan takut dan kengerian yang mendalam.

   "Aku juga menemukan bekas-bekas...."

   "Ah!"

   Laras terpekik tanpa sadar, dan langsung mengangkat kepalanya.

   Rangga jadi heran melihat wajah Laras jadi pucat pasi.

   Tubuhnya mendadak saja bergetar bagai terserang demam.

   Wanita itu beringsut mendekati anaknya, lalu memeluknya erat-erat.

   Tatapannya masih tertuju pada Pendekar Rajawali Sakti.

   "Kau sakit, Laras?"

   Tanya Rangga tidak mengerti akan sikap wanita itu.

   "Oh, tid..., tidak,"

   Sahut Laras tergagap.

   "Tapi..., wajahmu pucat."

   "Aku..., aku...,"

   Suara Laras jadi tercekat di tenggorokan.

   "Hssst..., sudah. Maaf, aku tidak akan menyinggung lagi tentang itu,"

   Rangga menenangkan.

   Laras kembali tertunduk.

   Tubuhnya masih terlihat bergetar.

   Wajahnya juga masih memucat.

   Di benaknya terbayang kembali peristiwa mengerikan yang merenggut orang-orang yang dicintainya, yang tidak akan pernah terlupakan seumur hidup.

   Sungguh mengerikan! Rasanya Laras tidak sanggup membayangkannya lagi.

   Tubuhnya selalu bergetar jika teringat peristiwa malam itu.

   "Boleh aku tahu, ke mana tujuanmu?"

   Tanya Rangga membelokkan pembicaraan. Laras tidak langsung menjawab. Diangkat kepalanya pelahan-lahan, langsung ditatap bola mata pemuda di sampingnya. Pelahan sekali kepalanya bergerak menggeleng, hampir tidak kelihatan.

   "Jarang orang yang datang ke daerah ini. Apa kau dari Desa Caruban?"

   Kembali Rangga membuka suara.

   "Caruban...?!"

   Nada suara Laras seperti baru saja mendengar nama desa itu.

   "Iya, Caruban. Desa itu tidak jauh dari sini. Hanya setengah hari perjalanan. Kau bukan dari sana?"

   Rangga ingin kejelasan.

   "Bukan,"

   Sahut Laras pelan seraya menggeleng lemah.

   "Ha.., tidak ada desa lagi di sekitar Gunung Puring ini,"

   Suara Rangga terdengar bergumam.

   "Apakah ini Gunung Puring?"

   Laras jadi bertanya.

   "Benar! Kita sekarang berada di sebelah Timur Lereng Gunung Puring. Kenapa kau bertanya begitu? Kau tidak tahu, Laras?"

   Rangga jadi heran.

   "Oh...,"

   Laras menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. Desahannya begitu berat dan panjangi Tangannya mengusap-usap kepala anaknya yang hanya diam saja di pangkuan ibunya.

   "Aneh.... Kau berada di sini bersama anakmu, tapi tidak tahu nama tempat ini...,"

   Gumam Rangga pelan, seolah untuk dirinya sendiri.

   "Rangga...,"

   Panggil Laras pelan.

   "Hem...."

   "Kau berasal dari mana?"

   Tanya Laras seraya menatap wajah Pendekar Rajawali Sakti itu.

   "Aku hanya seorang pengembara yang tidak mempunyai tempat tinggal pasti.

   "Kau bukan orang suruhan...,"

   Suara Laras terputus.

   "Tidak ada yang bisa menyuruhku,"

   Kata Rangga seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

   Meskipun kelihatannya biasa saja, namun hati Pendekar Rajawali Sakti itu sudah bisa menebak kalau Laras mempunyai persoalan, sehingga berada di tempat yang sangat terasing dan tidak pernah didatangi orang ini.

   Tapi Rangga tidak ingin mendesaknya, khawatir akan menyinggung perasaannya dan mem buat wanita itu pucat dan menggigil.

   Laras terdiam, mungkin sedang mempertimbangkan pemuda tampan yang telah menolongnya dari tangan-tangan kotor tadi.

   Kembali dinikmati daging kelinci panggangnya.

   Sementara Rangga juga menyantap kelinci bakar, lalu memanggang seekor lagi.

   Sementara Surya Paku tetap tenang, seperti tidak mengetahui yang ada di dalam hati dan pikiran ibunya.

   Mereka menghabiskan kelinci panggang itu tanpa berbicara lagi.

   Sampai kelinci panggang tak tersisa, belum ada yang membuka suara.

   Rangga bangkit berdiri dan mendekati kudanya yang tertambat di pohon, lantas memasang pelana pada kuda hitam itu.

   Sebentar diliriknya Laras yang sudah bersiap untuk meninggalkan tempat ini.

   Buntalan kain sudah tersandang di pundaknya yang kecil.

   Tangan kirinya menggandeng Surya Paku.

   "Ke mana tujuanmu?"

   Tanya Rangga baru membuka suara kembali.

   "Entahlah,"

   Desah Laras menjawab.

   "Bu, katanya...."

   "Ssst...!"

   Laras menyentakkan tangan anaknya, sehingga Surya Paku langsung diam.

   "Bukannya aku menakut-nakuti, tapi rasanya tidak aman jalan seorang diri, apalagi membawa anak. Tempat ini penuh manusia-manusia liar tidak beradab,"

   Kata Rangga memperingatkan.

   "Terima kasih, tapi...,"

   Ucap Laras terputus.

   "Aku berharap kau bisa selamat. Sampai ketemu lagi,"

   Ucap Rangga seraya melompat naik ke punggung kuda Dewa Bayu.

   "Eh..!"

   Rangga tidak jadi menggebah kudanya. Ditatpnya Laras yang kelihatan bimbang.

   "Ada yang ingin kau katakan?"

   Lembut suara Rangga.

   "Tid..., eh, iya,"

   Laras jadi gugup.

   "Katakanlah,"

   Pinta Rangga seraya turun kembali dari punggung Dewa Bayu.

   "Aku percaya kau orang baik...,"

   Kembali kata-kata Laras terputus. Rangga menghampiri sambil menuntun kudanya.

   "Jangan katakan apa-apa kalau tidak ingin mengatakannya. Tapi aku bersedia mengantar sampai tujuanmu,"

   Kata Rangga melihat Laras masih tampak bimbang. Rangga meraih tubuh Surya Paku dan menaikkan-nya ke kudanya. Bocah itu kelihatan senang berada di atas punggung Dewa Bayu yang hitam dan gagah.

   "Mau jalan kaki, atau naik kuda ini?"

   Rangga menawarkan.

   "Terima kasih,"

   Hanya itu yang bisa terucapkan dari bibir Laras.

   Tanpa berkata-kata lagi, mereka berjalan pelahan-lahan meninggalkan tempat itu.

   Rangga berjalan di samping Laras sambil menuntun kudanya.

   Wanita itu kelihatan masih bimbang dan terus berpikir.

   Entah apa yang ada dalam kepalanya saat ini.

   Dia sendiri tidak tahu arah yang di tuju sekarang.

   Rangga dan Laras terus berjalan pelahan-lahan memutari Lereng Gunung Puring.

   Mereka berjalan tanpa arah dan tujuan pasti.

   Hari terus berjalan demikian cepat.

   Tak terasa keadaan sekitarnya telah gelap.

   Saat Rangga, Laras, dan Surya Paku, terdiam membisu, tiba-tiba terdengar suara raungan dahsyat bagai seekor binatang buas.

   Raungan itu demikian keras, sehingga terdengar jelas.

   Seketika itu juga wajah Laras pucat pasi, dan tubuhnya menggigil bagai terserang demam mendadak.

   Rangga sampai terlonjak dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

   "Rangga, awas...!"

   Seru Laras tiba-tiba.

   Rangga membalikkan tubuhnya cepat.

   Pada saat yang sama sesosok makhluk tinggi besar dan berwajah mengerikan muncul.

   Makhluk itu menggeram keras memperlihatkan giginya yang bertaring tajam.

   Seluruh tubuhnya kotor berlumpur.

   Hampir-hampir Rangga tidak percaya dengan penglihatannya.

   Belum pernah dia melihat makhluk seram seperti ini.

   "Grauuugh...!"

   Makhluk itu menggeram dahsyat.

   Tiba-tiba saja makhluk itu melompat cepat bagaikan kilat menerkam Pendekar Rajawali Sakti.

   Saat itu Rangga masih terpaku.

   Perasaannya diliputi berbagai macam perasaan melihat makhluk yang baru pertama kali dilihatnya ini.

   Rangga benar-benar tidak sempat lagi menghindar.

   Jari-jari tangan yang kotor dan berkuku panjang, kini telah mencengkeram leher Pendekar Rajawali Sakti itu.

   Seketika itu juga Rangga merasakan pernapasan-nya terganggu.

   Dicobanya untuk melepaskan cengkeraman makhluk itu.

   Tapi semakin berusaha, semakin keras cekikan itu pada lehernya.

   "Ugh! Cekikan ini...!"

   Dengus Rangga dalam hati.

   *** Rangga menghimpun tenaga dalamnya.

   Ditekankan kakinya ke perut makhluk itu, dan tangannya menekan dada.

   Sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalam yang sudah mencapai kesempurnaan, Pendekar Rajawali Sakti itu menghentakkan makhluk itu kuat-kuat.

   "Hiyaaa...!"

   "Graghk...!"

   Makhluk itu melayang deras ke angkasa, lalu jatuh menghantam sebongkah batu besar hingga bumi terasa bergetar begitu tubuh makhluk besar itu jatuh menghantam batu.

   Sementara Rangga bergegas melompat bangkit berdiri.

   Sebentar dipegangi lehernya yang terasa perih.

   Untung tidak ada luka, tapi cukup membuat napasnya sesak.

   "Graghk...!"

   Makhluk besar dan berlumpur itu kembali melompat cepat.

   Namun kali ini Rangga sudah siap.

   Dia segera melompat ke kiri, sambil melayangkan satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

   Tapi apa yang terjadi sungguh di luar dugaan sama sekali.

   Tubuh Pendekar Rajawali Sakti justru malah terpental menabrak pohon hingga tumbang.

   Sedangkan makhluk itu berdiri tegak sambil menggeram keras.

   "Gila! Makhluk apa ini..?"

   Rungut Rangga seraya bangkit berdiri.

   Sementara, makhluk besar dan kotor itu sudah melangkah menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.

   Geramannya begitu keras' sehingga mendirikan bulu roma.

   Matanya merah menyala bagai kobaran api.

   Rangga melangkah ke samping sambil mempersiapkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.

   Kedua tangannya jadi merah bagai terbakar.

   "Ghraaakh...!"

   "Hiyaaat..!"

   Begitu makhluk itu menyerang, dengan cepat Rangga melompat ke atas.

   Tubuhnya kemudian menukik tajam sambil melontarkan dua pukulan mautnya ke arah kepala, dan tepat menghantam sasaran.

   Tapi, makhluk itu bukannya roboh! Justru Pendekar Rajawali Sakti-lah yang terpental dan bergulingan di tanah.

   Rangga bergegas bangkit berdiri.

   Hatinya benar-benar heran menghadapi makhluk yang begitu kuat Tidak sedikit pun terpengaruh jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.

   Bahkan makhluk itu masih tetap tegar, dan kini sudah kembali menyerang ganas Menghadapi lawan seperti ini.

   Rangga tidak punya pilihan lagi.

   Langsung dikerahkannya jurus-jurus andalan yang jarang dikeluarkan dalam pertarungan.

   Tapi setiap jurus yang dikeluarkan, tidak berpengaruh sama sekali.

   Makhluk itu tetap tegar, bahkan kini semakin liar saja.

   Kali ini Rangga benar-benar kewalahan menghadapinya.

   "Hup!"

   Rangga melompat jauh ke belakang sambil memutar tubuhnya di udara.

   Dengan manis sekali kakinya mendarat di tanah, tidak jauh dari Laras dan Surya Paku.

   Wanita itu sudah menggendong anaknya dengan tubuh gemetar ketakutan.

   Sementara makhluk itu menggerung-gerung marah.

   Tenaganya begitu luar biasa.

   Pohon besar hancur begitu terkena amukannya.

   "Cepat kalian tinggalkan tempat ini,"

   Perintah Rangga.

   "Kau...?"

   Nada suara Laras terdengar cemas.

   "Pakai kudaku! Dia tahu ke mana harus membawamu,"

   Kata Rangga lagi.

   Kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu meringkik, seakan-akan bisa mengerti apa yang dikatakan Rangga.

   Kuda Dewa Bayu melangkah mendekati, dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Rangga tidak banyak bicara lagi.

   Diangkatnya tubuh Laras yang menggendong anaknya, lalu ditempatkan di punggung kuda hitam itu.

   "Kau tahu ke mana harus membawa mereka?"

   Tanya Rangga pada kuda Dewa Bayu sambil menepuk leher kuda itu.

   Kuda Dewa Bayu meringkik keras, lalu berlari kencang membawa dua orang di punggungnya.

   Sementara Rangga kembali bersiap-siap menghadapi makhluk aneh mengerikan itu.

   Makhluk itu kelihatan marah melihat Laras pergi menunggang kuda.

   Dia menggeram keras, lalu melompat hendak mengejar.

   Tapi Rangga tidak bisa mendiamkan begitu saja, dan cepat-cepat ikut melompat sambil mengirimkan beberapa pukulan keras bertenaga dalam tinggi.

   Tindakan Pendekar Rajawali Sakti itu memang tepat.

   Makhluk itu kini memusatkan perhatiannya pada Rangga.

   Kemarahannya ditumpahkan pada Pendekar Rajawali Sakti itu, lalu mengamuk membabi buta.

   Rangga tahu kalau makhluk ini tidak pandai ilmu silat, tapi hanya mengandalkan kekuatan tubuh saja.

   Sret! Rangga mencabut pedang pusakanya, dan mempersiapkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.

   Makhluk itu menggeram dahsyat melihat pedang yang bersinar biru itu.

   Kembali diserangnya Rangga dengan ganas.

   Dengan pedang di tangan, Rangga semakin lincah dan sukar didekati.

   "Modar!"

   Seru Rangga keras.

   Seketika itu juga Rangga menyabetkan pedangnya ke dada yang terbuka.

   Gerakan makhluk itu memang cepat, tapi terasa lamban bagi Pendekar Rajawali Sakti.

   Tebasan pedang itu tepat menghantam dadanya.

   Semula Rangga mengira makhluk itu akan meraung dan menggelepar di tanah.

   Tapi, kenyataan yang dihadapi sungguh di luar dugaan sama sekali.

   Tidak ada luka sedikit pun di dadanya.

   Bahkan Rangga kini merasakan jari-jari tangannya menjadi kaku.

   Buru-buru dia melompat mundur beberapa tombak.

   "Hiyaaat...!"

   Kembali Rangga menerjang sambil membabatkan pedangnya beberapa kali ke tubuh makhluk itu.

   Tidak ada satu pun tebasannya yang luput dari sasaran.

   Namun makhluk besar dan kotor itu tetap tegar, dan tidak terluka sedikit pun.

   Hal ini membuat Rangga perasaran, bercampur heran.

   Baru kafi ini Pedang Rajawali Sakti tidak bermanfaat "Phuih! Dari mana setan ini muncul...? Huh! Bisa habis tenagaku kalau begini terus!"

   Dengus Rangg seraya melompat mundur sejauh tiga batang tombak.

   *** Rangga tidak ingin membuang-buang tenaga menghadapi makhluk kebal itu.

   Segera dikerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'.

   Pendekar Rajawali Sakti itu menekuk lututnya, hingga tubuhnya sedikit merendah.

   Kemudian tangan kirinya menggosok mata pedang yang melintang di depan dada.

   Sementara makhluk itu menggerung pelan memperhatikan.

   Pelahan-lahan cahaya biru kemilau bergulung membentuk lingkaran bulat seperti bola di ujung pedang.

   Dan lingkaran itu bergerak menggulung seluruh mata pedang Rajawali Sakti, hingga ke tangkainya.

   "Grrrh...!"

   Makhluk itu menggerung pelahan sambil menggerakkan kepalanya miring ke kanan.

   Namun tiba-tiba saja makhluk itu melompat cepat, lalu masuk ke dalam hutan lebat.

   Rangga tersentak kaget melihat makhluk tinggi besar berlumpur itu kabur.

   Cepat-cepat dihentakkan pedangnya ke depan, maka bola biru itu melesat cepat bagai anak panah lepas dari busurnya.

   Satu ledakan keras terdengar menggelegar begitu bola biru menghantam pepohonan.

   Trak! Rangga memasukkan kembali pedang ke dalam warangkanya di balik punggung.

   Dipandangi pepohonan yang tumbang, hancur berkeping-keping terhantam aji 'Cakra Buana Sukma'.

   Kini tidak terlihat lagi makhluk itu.

   Rangga jadi keheranan juga melihat makhluk itu lari begitu dikerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'.

   "Hhh...! Makhluk apa itu? Bentuknya seperti manusia. Tapi..,"

   Rangga bergumam sendiri disertai hembusan napas panjang.

   Rangga jadi teringat akan sikap Laras yang begitu ketakutan ketika mendengar suara makhluk itu.

   Padahal bentuknya saja belum kelihatan.

   Sepertinya, makhluk itu memang mengincar Laras.

   Pendekar Rajawali Sakti jadi bertanya-tanya sendiri di dalam hati.

   Dicobanya untuk menghubung-hubungkan keberadaan Laras di hutan Lereng Gunung Puring ini, dengan sikap aneh wanita itu.

   "Memang aneh sikap Laras. Tapi, apa hubungan-nya dengan makhluk itu?"

   Rangga bergumam, bertanya pada dirinya sendiri.

   Pendekar Rajawali Sakti itu menggeleng-geleng kan kepalanya.

   Belum bisa dijawab semua pertanyaan yang mengalir di dalam benaknya.

   Langkah Rangga cepat ke arah perginya kuda Dewa Bayu membawa Laras dan Surya Paku.

   Sudah diketahui ke mana kuda Dewa Bayu membawa wanita dan anaknya itu pergi.

   Rangga mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang diimbangi ilmu lari cepat.

   Ilmu yang dimilikinya sudah mencapai taraf kesempurnaan, sehingga gerakannya begitu cepat.

   Larinya saja seperti tanpa menyentuh tanah.

   Rangga terus berlari menerobos hutan.

   Kadang-kadang harus melompat di pohon yang satu ke pohon yang lain.

   Pendekar Rajawali Sakti itu terus berlari cepat, dan baru berhenti setelah tiba pada sebuah perkampungan yang ada di kaki Lereng Gunung Puring.

   Perkampungan itu tidak terlalu besar, tapi cukup padat penghuninya.

   Rangga melangkah tenang menyusuri jalan utama perkampungan itu.

   "Laras...!"

   Teriak Rangga ketika melihat seorang wanita berjalan menuntun kuda hitam yang di punggungnya duduk seorang anak laki-laki.

   Wanita itu berhenti melangkah dan menoleh.

   Dia langsung berlari menghampiri Rangga yang melangkah cepat ke arahnya.

   Kuda hitam itu juga berbalik dan melangkah menghampiri majikannya.

   "Oh! Aku cemas sekali, Rangga,"

   Ucap Laras.

   Wajahnya masih terlihat pucat.

   Rangga hanya tersenyum saja.

   Diambilnya tali pelana kudanya, lalu kembali melangkah sambil menuntun kuda itu.

   Laras juga ikut berjalan di sampingnya.

   Mereka melangkah tanpa bicara lagi, dan baru berhenti setelah tiba di depan rumah kecil berdinding papan.

   Seorang laki-laki tua yang tengah duduk di balai-balai bambu, langsung melompat dan menghampiri.

   "Den...,"

   Laki-laki itu tampaknya sudah kenal dengan Rangga.

   "Ki, aku ingin menumpang lagi untuk beberapa hari di sini,"

   Kata Rangga ramah.

   "Oh, tentu. Tentu saja boleh, Den. Silakan masuk,"

   Sambut laki-laki tua itu ramah.

   "Laras, ini Ki Giri. Aku pernah menginap di sini beberapa hari,"

   Rangga memperkenalkan.

   "Ha ha ha.... Rumah ini selalu terbuka untuk Den Rangga, dan Den Ayu,"

   Sambut Ki Giri.

   "Panggil saja aku Laras, Ki,"

   Kata Laras.

   "Oh ya..., silakan masuk! Tentunya kalian semua sudah lelah dan lapar. Tadi aku mencabut ketela di kebun, dan sudah ada yang kurebus. Ayo, masuk."

   "Terima kasih,"

   Ucap Laras.

   Rangga menurunkan Surya Paku dari punggung kuda Dewa Bayu, kemudian menambatkannya di bawah pohon kemuning.

   Sementara Ki Giri sudah membawa masuk Laras dan anaknya ke dalam rumahnya.

   Rangga memandangi sekitarnya beberapa saat.

   Kemudian melangkah masuk ke dalam rumah itu.

   Dihenyakkan tubuhnya di dipan kayu yang hanya beralaskan tikar daun pandan.

   Sedangkan Laras duduk di dipan itu juga, tidak jauh dari Pendekar Rajawali Sakti, dipan ini memang cukup besar dan tampaknya kuat, dan terbuat dari kayu jati yang sudah tua usianya.

   Ki Giri keluar dari ruangan belakang membawa sepiring ketela rebus yang masih mengepulkan uap.

   Diletakkannya piring yang penuh ketela itu di meja dekat dipan itu.

   "Ayo dimakan, mumpung masih hangat,"

   Ki Giri mempersilakan.

   "Terima kasih, Ki,"

   Ucap Laras seraya mengambil sepotong dan sebelahnya.

   Diberikan yang sebelah itu pada anaknya.

   Sedangkan Rangga juga mengambil sepotong.

   Ki Giri menuangkan air ke dalam gelas bambu dari dalam kendi tanah liat.

   Kemudian diambil tembakau dan digulungnya dengan daun kawung.

   Tidak lama Ki Giri sudah asyik bersama asap tembakaunya.

   "Tadinya, kukira Den Rangga tidak akan kembali lagi ke sini,"

   Celoteh Ki Giri membuka pembicaraan kembali.

   "Siapa bilang, Ki. Kan sudah kukatakan, pasti aku akan kembali lagi ke sini,"

   Sambut Rangga ringan.

   "Hampir seluruh penduduk Desa Caruban ini selalu menanyakanmu, Den. Hampir kewalahan aku menjawabnya. Lebih-lebih Ki Bonang,"

   Kata Ki Giri lagi.

   "Ada apa dengan kepala desa itu?"

   Tanya Rangga.

   "He he he..., dia berharap kau bersedia meminang anak gadisnya,"

   Ki Giri terkekeh.

   "Ada-ada saja Aki ini...,"

   Rangga tersenyum kecut "Dia benar-benar menyesali sikapnya terhadapmu, Den.

   Katanya, kalau tahu Aden seorang pendekar yang digdaya, pasti dia tidak akan bersikap kaku.

   Perasaannya malu sekali, karena telah menyepelekan Aden yang telah menyelamatkan nyawanya.

   He he he....

   Biasa, Den.

   Penyesalan itu datangnya selalu belakangan,"

   Kembali Ki Giri terkekeh.

   Rangga hanya tersenyum saja.

   Memang desa ini belum ada satu pekan ditinggalkan.

   Desa yang semula seperti mati akibat tekanan satu gerombolan liar.

   Semula gerombolan itu hanya menjarah harta benda penduduk saja.

   Tapi semakin lama semakin liar saja.

   Bahkan dengan berani, kepala rombongan itu meminta anak gadis kepala desa untuk dijadikan istrinya.

   Sebenarnya waktu itu Rangga tidak ingin ikut campur.

   Dia hanya kebetulan saja lewat di desa ini.

   Tapi melihat kebrutalan gerombolan itu, jelas tidak bisa tinggal diam.

   Lebih-lebih setelah Ayu Kumala meminta untuk membebaskan dirinya dan seluruh penduduk desa ini dari tekanan gerombolan liar itu.

   Ya, Ayu Kumala memang cantik.

   Apalagi dia putri bungsu Kepala Desa Caruban.

   Kakak laki-lakinya tewas di tangan pemimpin gerombolan itu, sedangkan kakak perempuannya bunuh diri, karena hendak diperkosa.

   "He he he.... Kau ingat dengan Ayu, Raden?"

   Goda Ki Giri.

   "Ah, Ki Giri...,"

   Wajah Rangga menyemburat merah.

   "Kau tidak istirahat, Laras?"

   Rangga mengalih kan perhatiannya pada Laras, ingin menghindari godaan Ki Giri.

   "Ya, rasanya lelah sekali,"

   Sahut Laras.

   "Oh, mari.... Mari kutunjukkan kamar untukmu Den Ayu,"

   Kata Ki Giri seraya bangkit berdiri.

   Laras menggendong anaknya yang kelihatan sudah mengantuk, kemudian turun dari dipan, dan melangkah mengikuti Ki Giri.

   Rangga menyandarkan tubuhnya pada dinding papan.

   Tidak berapa lama kemudian Ki Giri sudah muncul kembali.

   "Tidak ada kamar lagi, Dea Terpaksa kamar bekas Aden dipakai,"

   Kata Ki Giri sambil duduk kembali di kursinya.

   "Tidak apa, Ki. Aku bisa tidur di sini,"

   Sahut Rangga.

   "Jangan! Raden bisa tidur di kamarku, dan biar aku saja yang tidur di sini."

   "Terima kasih, aku sudah begitu merepotkan.

   "Aaah.... Kalau dibandingkan jasa Aden, ini belum seberapa."

   Lagi-lagi Rangga tersenyum saja.

   "Den, wanita itu siapa?"

   Tanya Ki Giri setengah berbisik.

   Rangga kembali tersenyum dan menceritakan pertemuannya dengan Laras.

   Juga diceritakannya peristiwa yang terjadi, hingga diputuskanlah untuk kembali lagi ke sini.

   Ki Giri mendengarkan penuh perhatian.

   Raut wajahnya langsung berubah begitu mendengar adanya makhluk aneh mengerikan yang muncul di sebelah Selatan Lereng Gunung Puring.

   Rangga melihat perubahan wajah itu, tapi tidak ingin menanyakannya sekarang.

   Rasanya saat ini ingin istirahat saja, melepaskan lelah setelah pertarungannya yang begitu banyak menguras tenaga.

   *** Kedatangan kembali Pendekar Rajawali Sakti ke Desa Caruban cepat menyebar.

   Sehingga, banyak penduduk yang berdatangan ke rumah Ki Giri, hanya untuk melihat dan berbicara dengan orang yang telah membebaskan desa ini dari tekanan gerombolan orang liar dan tak beradab.

   Sebagian besar penduduk desa ini memang belum pernah melihat, meskipun sudah mendengar tentang kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti.

   Rangga tidak bisa menolak kehadiran mereka.

   Sampai jauh malam, dia baru bisa tenang setelah tidak ada lagi penduduk desa yang datang.

   Rangga baru saja akan merebahkan diri di dipan kayu yang berada di ruangan depan rumah Ki Giri, ketika pintu rumah itu diketuk dari luar.

   Sambil mendengus panjang, Pendekar Rajawali Sakti bangkit dan melangkah ke pintu.

   "Siapa?"

   Tanya Rangga sebelum membuka pintu.

   "Aku.... Ayu,"

   Terdengar sahutan halus.

   Rangga tersentak kaget.

   Buru-buru dibukanya pintu itu.

   Tampak seorang gadis muda berusia sekitar sembilan belas tahun, berdiri di ambang pintu.

   Gadis itu mengenakan baju hijau muda yang cukup ketat! Rambutnya yang hitam panjang, terkepang menjuntai di depan dada.

   Rangga buru-buru keluar, kemudian menutup kembali pintunya.

   "Ada apa ke sini?"

   Tanya Rangga setengah berbisik, karena tidak ingin mengganggu tidur Ki Giri.

   "Kau tidak suka kedatanganku, Kakang?"

   Ayu Kumala memberengut manja.

   "Bukannya aku tidak suka, tapi ini sudah larut malam Ayu."

   "Memangnya, kenapa?"

   Rangga mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

   Rasanya malu jika kedatangan gadis ini ada yang melihat.

   Saat ini memang telah larut malam, dan tidak ada lagi yang berada di luar rumah.

   Seluruh penduduk Desa Caruban ini sudah terlelap dalam tidur.

   Rangga menarik tangan gadis itu, lalu membawanya ke samping rumah.

   Mereka kemudian duduk di kayu pohon ara, persediaan kayu bakar yang belum dibelah.

   "Kau pasti tidak suka dengan kedatanganku, Kakang,"

   Tebak Ayu Kumala masih memberengut manja.

   "Aku suka,"

   Sahut Rangga tidak ingin mengecewakan gadis ini "Tapi, mengapa sikapmu begitu?"

   "Begitu, bagaimana?"

   "Kau tidak menyuruh masuk, tapi malah membawaku ke sini."

   "Ayu..., Ki Giri sudah tidur. Aku tidak mau mengganggunya. Ini kan sudah larut malam. Lagi pula, tidak baik kalau dilihat orang,"

   Rangga coba memberi pengertian.

   "Masa bodoh dengan mereka!"

   Dengus Ayu Kumala.

   Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya.

   Sejak bertemu gadis ini, sulit rasanya memberi pengertian pada Ayu Kumala.

   Sebagai anak bungsu, apalagi kedua kakaknya telah tewas, maka kedua orang tuanya sangat memanjakannya.

   Jadi, sikapnya sering seenaknya sendiri saja.

   Tapi gadis ini cukup pintar, dan ilmu olah kanuragannya juga lumayan.

   "Baiklah,"

   Rangga menyerah.

   "Apa keperluanmu datang malam-malam begini?"

   "Hanya ingin bertemu,"

   Sahut Ayu kalem.

   "Tidak ada hal lain?"

   Desak Rangga. Ayu tidak menjawab, tapi hanya mempermainkan ujung rambutnya dengan sikap manja. Matanya mengerling pada Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan Rangga sempat menelan ludahnya melihat kerlingan mata yang indah itu.

   "Kakang tidak marah jika aku tanya sesuatu?"

   Manja sekali suara gadis itu.

   "Kamu ini ada-ada saja, Ayu. Katakan saja, apa yang ingin ditanyakan."

   "Hm...,"

   Ayu Kumala ragu-ragu.

   "Katakan saja, mengapa ragu-ragu?"

   Desak Rangga.

   "Benar Kakang datang bersama seorang wanita?"

   Tanya Ayu agak ditekan suaranya. Tawa Rangga hampir meledak mendengar pertanyaan itu, tapi masih mampu ditahannya. Dia tidak ingin gadis itu marah dan tersinggung. Bagaimanapun juga harus bisa dijaga perasaan gadis manja ini.

   "Benar,"

   Sahut Rangga.

   "Memangnya kenapa?"

   "Kekasihmu?"

   Tanya Ayu Kumala langsung.

   "Bukan."

   "Istrimu?"

   Rangga menggeleng. Sudah bisa ditebak arah pembicaraan ini. Pasti Ayu cemburu. Mungkin itu sebabnya gadis itu tidak ikut bersama ayahnya datang ke sini sore tadi Rupanya tengah menyimpan sesuatu yang baru sekarang dibuka.

   "Sungguh?"

   Ayu Kumala ingin memastikan.

   "Kau ini aneh. Apa sih sebenarnya yang diinginkan?"

   "Tidak apa-apa. Hanya ingin tahu saja,"

   Sahut Ayu kalem.

   "Sekarang sudah tahu, lalu?"

   "Ya sudah. Toh dia bukan apa-apamu. Lagi pula, kalau memang kekasihmu, aku juga tidak apa-apa,"

   Ada sedikit tekanan pada nada suara Ayu Kumala. Rangga mengangkat bahunya, lalu bangkit berdiri.

   "Sudah larut malam. Ayu. Sebaiknya pulanglah dulu. Aku antar, ya...?"

   Kata Rangga tidak ingin memperpanjang pembicaraan ini.

   Ayu Kumala bangkit berdiri dan melangkah ringan.

   Rangga menyamakan langkahnya di samping gadis ini.

   Mereka berjalan menembus kegelapan tanpa berkata-kata.

   Dan Rangga memang enggan untuk berkata lagi.

   Apalagi untuk memikirkan sikap gadis ini Hanya saja, dia tidak ingin hubungan yang sudah baik ini retak karena persoalan sepele.

   Persoalan yang seharusnya tidak perlu timbul.

   *** Matahari belum lagi naik tinggi.

   Tapi udara sekitar Desa Caruban begitu terasa panas menyengat sehingga seperti membuat semua orang cepat lelah.

   Dan biasanya mereka memilih berendam di dalam sungai.

   Tapi para petani, seperti tidak terpengaruh.

   Padahal, sengatan matahari begitu panas, bagai hendak menghanguskan seluruh benda yang ada di belahan muka bumi ini.

   Sungai yang membelah Desa Caruban siang ini dipenuhi anak-anak dan wanita.

   Mereka begitu bergembira sambil bermain air.

   Di antara mereka, terlihat Surya Paku bermain bersama anak-anak sebayanya.

   Anak laki-laki itu cepat sekali akrab.

   Lain dengan ibunya, yang kelihatan duduk menyendiri di atas sebongkah batu di tepi sungai.

   Tubuhnya hanya dililit selembar kain usang.

   "Nyi Laras...?"

   "Oh!"

   Laras tersentak dari lamunan ketika mendengar suara lembut menyebut namanya.

   Laras langsung menoleh.

   Tampaklah seorang gadis cantik memakai baju kuning gading sudah berdiri di dekatnya.

   Laras belum mengenal gadis ini.

   Memang sudah hampir satu pekan berada di desa ini, rasanya belum pernah melihat gadis yang baru saja menyebut namanya.

   "Aku Ayu Kumala,"

   Gadis itu memperkenalkan diri.

   "Oh, aku...."

   "Tidak perlu memperkenalkan diri, Nyi. Aku tahu siapa namamu,"

   Potong Ayu Kumala cepat.

   Laras menggeser duduknya agak ke tepi, dan nempersilahkan Ayu Kumala duduk.

   Tapi dengan halus gadis itu menolak, dan tetap berdiri memandang ke arah anak-anak bermain di sungai.

   Sementara Laras memandanginya sampai tidak berkedip.

   Memang pernah didengar nama gadis ini, karena sering jadi bahan pembicaraan Ki Giri dan Rangga.

   Pembicaraan yang bernada menggoda Pendekar Rajawali Sakti.

   "Kita memang belum pernah saling mengenal dan bertemu muka. Tapi aku yakin, di antara kita sudah sering mendengar perihal diri masing-masing,"

   Kata Ayu Kumala, tenang suaranya.

   "Ya,"

   Desah Laras.

   "Mungkin sekarang saatnya yang tepat untuk saling mengenal lebih jauh. Nyi Laras,"

   Sambung Ayu Kumala.

   Laras diam saja.

   Hanya diduga-duga saja arah pembicaraan gadis itu.

   Tapi dugaannya selalu tertuju pada hubungan antara Ayu Kumala dengan Rangga.

   Laras sering mendengar gurauan Ki Giri tentang Ayu Kumala yang ditujukan kepada Rangga.

   Meskipun kedengarannya hanya gurauan, namun Laras dapat menangkap maksud yang sebenarnya.

   Ayu Kumala memang cantik, dan tampaknya memiliki ilmu kanuragan yang lumayan.

   Lebih-lebih dia seorang anak kepala desa ini.

   Tapi Laras tidak mempedulikan semua itu.

   Dia sudah cukup senang jika bisa tinggal di desa ini dan melupakan semua yang telah terjadi terhadap dirinya.

   "Kakang Rangga pernah cerita tentang dirimu, dan pengalaman pahitmu, Nyi Laras. Tapi aku ingin sekali mendengar sendiri darimu. Kau tidak keberatan, kan?"

   Ayu Kumala membuka suara lagi.

   "Untuk apa?"

   Tanya Laras, enggan membuka lembaran penderitaannya lagi. Lembaran yang hanya menimbulkan rasa belas kasihan saja. Padahal dia tidak ingin dikasihani.

   "Mungkin ada gunanya. Atau mungkin juga, aku bisa mengurangi penderitaanmu,"

   Sahut Ayu Kumala.

   "Terima kasih. Aku sudah begitu banyak merepotkan. Bukan hanya Ki Giri, tapi Ayahmu dan seluruh penduduk desa ini begitu baik padaku. Mereka semua bersedia menerimaku yang tidak punya apa-apa ini,"

   Ucap Laras terharu.

   "Penduduk di sini memang mencintai persahabatan. Aku juga...,"

   Terdengar terputus nada suara Ayu Kumala.

   Laras kembali menatap dalam-dalam wajah gadis itu.

   Bisa dirasakan adanya tekanan pada suara Ayu Kumala.

   Dan ini sudah bisa diduga apa penyebabnya.

   Entah kenapa, dirinya jadi bergetar, dan jantungnya terasa lebih cepat berdetak.

   Tiba-tiba saja Laras jadi tidak suka dengan pembicaraan ini.

   "Sudah lama aku di sini dan harus segera pulang. Aku belum menyiapkan makan untuk Ki Giri,"

   Kata Laras seraya bangkit berdiri.

   "Untuk apa buru-buru? Ki Giri biasa hidup sendiri,"

   Cegah Ayu Kumala. Laras hanya tersenyum saja. Diambilnya keranjang cucian, lalu melangkah pergi. Ayu Kumala hanya memandangi saja tanpa mencegah lagi. Tapi belum begitu lama Laras pergi, tiba-tiba terdengar jeritan nyaring melengking tinggi.

   "Nyi Laras...!"

   Sentak Ayu Kumala mendesis.

   Jeritan itu jelas terdengar dari arah kepergian Laras tadi.

   Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ayu Kumala bergegas melompat dan berlari cepat menuju arah jeritan tadi Bukan itu saja.

   Orang-orang yang ada di sungai ternyata juga bergegas berlari mengikutinya.

   *** Sementara di jalan setapak tidak jauh dari sungai, tampak Laras menggigil ketakutan dengan wajah pucat pasi.

   Jarak beberapa tombak di depannya, berdiri sesosok makhluk tinggi besar.

   Tubuhnya penuh berlumur lumpur.

   Makhluk itu menyeringai memperlihatkan taringnya yang menyembul.

   "Grauuugh...!"

   Makhluk aneh menyeramkan itu meraung keras sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

   "Akh!"

   Laras memekik tertahan.

   Wanita itu seperti akan pingsan begitu makhluk tinggi besar itu melompat ke arahnya.

   Namun belum sempat mencapai tubuh yang hanya terlilit selembar kain itu, mendadak satu bayangan putih melesat cepat menghajarnya.

   Makhluk itu meraung keras, dan tubuhnya terlontar balik ke belakang.

   Sebatang pohon besar hancur berkeping-keping terlanda tubuhnya yang besar penuh lumpur itu.

   Saat itu dari arah sungai muncul Ayu Kumala.

   Gadis itu membeliak setengah tidak percaya melihat makhluk tinggi besar dan berwajah menyeramkan itu berdiri tegak sambil meraung-raung.

   Sedangkan di depan Laras, berdiri Pendekar Rajawali Sakti.

   Tidak berapa lama, muncul orang-orang yang tadi berlarian dari sungai.

   Mereka langsung berhenti, dan bergerak mundur begitu mendapati makhluk mengerikan menggeram dahsyat sambil mengangkat tangannya ke atas.

   "Kakang...,"

   Ayu Kumala mendekati Rangga.

   "Tinggalkan tempat ini, cepat!"

   Seru Rangga tegas. Ayu Kumala kelihatan bingung.

   "Ayu, bawa Laras dan yang lainnya pergi. Makhluk ini sangat berbahaya! Ayo, cepat..!"

   "Kau...,"

   Suara Ayu Kumala tertahan di tenggo rokan.

   "Jangan hiraukan aku. Cepat pergi!"

   Ayu Kumala bergerak mundur mendekati Laras yang sudah menggendong anaknya.

   Tidak dipedulikannya lagi keranjang cuciannya yang tergeletak berentakan.

   Ayu Kumala menyuruh orang-orang yang berkerumun itu segera pergi, dan segera membawa Laras menyingkir dari tempat itu.

   Mereka mengambil jalan memutar menuju ke Desa Caruban.

   Sementara itu Rangga memutar tubuhnya, untuk memancing perhatian makhluk itu.

   Diambilnya sepotong ranting yang cukup besar dan panjang.

   Dengan mengerahkan tenaga dalam, ranting tadi dilemparkan ke arah makhluk itu.

   "Gragh...!"

   Makhluk itu meraung marah sambil menyambar ranting itu dengan tangan kanannya.

   Dengan cepat makhluk itu melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.

   Kali ini Rangga memang hanya ingin memancing makhluk itu agar menjauhi penduduk yang sedang menuju kembali ke desanya.

   Digunakannya jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', sehingga tubuhnya bergerak lincah memutari tubuh makhluk itu.

   Rangga menggiringnya masuk ke dalam hutan.

   Makhluk itu semakin marah, karena tidak bisa menyentuh manusia kecil yang berlompatan mengitari tubuhnya.

   Pepohonan dan bebatuan hancur berantakan diterjang makhluk liar dan kotor berlumpur itu.

   Rangga terus menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.

   Sesekali dirubah jurusnya menjadi 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

   Meskipun dikerahkan sampai pada tingkat terakhir, tetapi sama sekali tak berarti bagi tubuh makhluk itu.

   Walaupun demikian Rangga tetap menggunakannya.

   "Hup...!"

   Rangga melentingkan tubuhnya ke belakang, sejauh empat batang tombak.

   Makhluk itu menggeram dahsyat, lalu mencabut pohon besar di dekatnya.

   Pohon itu bagai segumpal kapas saja di tangannya, dengan kuat dilemparkan pohon itu ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

   "Hiyaaa...!"

   Rangga menghentakkan kedua tangannya ke depan, menyambut lemparan pohon itu.

   Satu ledakan keras terdengar, bersama hancurnya pohon itu.

   Tapi belum juga Rangga menarik pulang tangannya, makhluk itu sudah mengangkat sebongkah batu sebesar kerbau, dan dilemparkan ke arah Rangga.

   Kali ini Rangga tidak sempat lagi melawan lemparan batu itu.

   Cepat-cepat dijatuhkan dirinya ke samping, lalu berguling beberapa kali di tanah, sebelum melompat bangkit berdiri.

   Batu sebesar kerbau menghantam tanah dengan keras, membuat bumi yang dipijak bergetar hebat bagai terjadi gempa.

   "Keluarkan semua kekuatanmu, keparat!"

   Tantang Rangga memanasi.

   "Graaaghk...!"

   Makhluk itu menggeram marah.

   Makhluk itu melompat, dan kembali menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

   Rangga kini tidak main-main lagi.

   Jelas bahwa makhluk berbentuk manusia itu begitu luar biasa kuatnya bagai binatang liar.

   Dikeluarkanlah jurus-jurus andalannya yang dahsyat, dibarengi pengerahan ajian kesaktian simpanannya.

   Tapi makhluk liar itu memang luar biasa.

   Tubuhnya benar-benar kebal terhadap segala macam bentuk kesaktian yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti.

   Bahkan pedang pusaka Rajawali Sakti tak ada artinya sama sekali pada tubuhnya.

   Benar-benar kebal! Belum pernah Rangga mendapatkan lawan seperti ini.

   Dirasakan tenaganya makin terkuras, karena tidak ada satu ajian atau jurus yang mampu membinasakan makhluk itu.

   "Hm.... Akan kucoba dengan aji 'Cakra Buana Sukma',"

   Gumam Rangga dalam hati.

   Rangga memasukkan pedangnya ke dalam warangkanya di punggung.

   Kini aji 'Cakra Buana Sukma' siap-siap dikerahkannya tanpa menggunakan pedang.

   Tidak tanggung-tanggung lagi, ajian itu dikerahkan pada tahap terakhir, yang belum pernah digunakan sebelumnya selama ini.

   "Graghk...!"

   Makhluk itu menggeram sambil melantangkan tangannya lebar-lebar, seolah-olah menantang.

   Cahaya biru bergulung-gulung pada kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti, dan semakin lama semakin membesar membuat bulatan.

   Makhluk itu meraung-raung keras bersikap menantang.

   "Aji 'Cakra Buana Sukma'...!"

   Teriak Rangga keras.

   Seketika itu juga Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil menghentakkan tangannya ke depan kuat-kuat.

   Aneh, makhluk itu tidak bergerak sedikit pun! Bahkan menanti dengan tangan terbuka lebar.

   Tak pelak lagi, dadanya menjadi sasaran kedua belah tangan Rangga yang mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'.

   Glarrr...! Satu ledakan keras dan dahsyat terjadi begitu kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti menghantam-dada makhluk besar mengerikan itu.

   Sukar untuk dipercaya! Makhluk itu tetap berdiri tegap.

   Bahkan sebaliknya, Pendekar Rajawali Sakti terlontar jauh ke belakang.

   Entah berapa pohon yang hancur terlanda tubuhnya.

   Rangga baru berhenti meluncur setelah menghantam dinding batu cadas hingga berguguran.

   Rangga bergegas melompat, menghindari batu-batu cadas yang berguguran.

   Namun begitu kakinya menyentuh tanah, tubuhnya limbung dan ambruk menggelimpang.

   Pendekar Rajawali Sakti itu berusah bangkit berdiri sambil memuntahkan darah kenlal kehitaman dua kali.

   Seluruh tubuhnya terasa remuk.

   Kepalanya berat, dan matanya berkunang-kunang.

   Napasnya tersengal, karena dadanya seperti pecah.

   "Ugh! Gila...!"

   Dengus Rangga seraya bangkit berdiri.

   Pendekar Rajawali Sakti itu masih limbung, dan belum bisa berdiri tegak.

   Sebentar digosok-gosok matanya.

   Hatinya terkesiap begitu melihat makhluk tinggi besar itu masih tetap berdiri tegak bersikap menantang.

   Namun pelahan-lahan terjadi keanehan.

   *** Makhluk bertubuh tinggi besar dan penuh lumpur itu, tampak menggigil bagai terserang demam.

   Dari mulutnya yang menyeringai, keluar suara erangan lirih.

   Sementara Rangga pelahan-lahan melangkah lebih mendekat.

   Dia juga sedang mengatur pernapasan dan menyalurkan hawa murni untuk mengembalikan kondisi tubuhnya.

   Makhluk itu menggeletar semakin kuat.

   Dan erangannya kini terdengar keras bagai raungan seekor binatang buas.

   Dengan tubuh masih menggeletar, dia duduk bersila.

   Tangannya dilipat di depan dada.

   Pelahan-lahan kelopak matanya terpejam, namun bibirnya masih terlihat menyeringai.

   "Eh...!"

   Rangga terkejut.

   Dari tubuh makhluk itu mengepul asap tipis berwarna putih kehitam-hitaman.

   Asap itu semakin lama semakin menebal, dan pada akhirnya menyelimuti seluruh tubuh makhluk itu.

   Sementara Rangga terus memperhatikan tanpa berkedip.

   Asap itu terus berkepul menebal dan semakin banyak, menutupi seluruh tubuh makhluk itu.

   Siap! Tiba-tiba saja secercah kilat menyambar ke arah asap yang berkepul itu.

   Disusul kemudian terdengar suara ledakan keras menggelegar.

   Begitu kerasnya, sampai-sampai bumi ini bergetar.

   Memang sukar dipercaya.

   Hari yang begini cerah dan panas, bisa terjadi petir.

   Tapi itu memang kejadian yang dilihat Rangga.

   Kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti itu tidak berkedip memandanginya.

   Kini asap tebal yang menyelimuti seluruh tubuh makhluk besar kotor berlumpur dan mengerikan itu, langsung lenyap setelah tersambar kilat.

   "Oh..., apakah aku tidak salah lihat...?"

   Desah Rangga setengah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya kini.

   Kini, di tempat makhluk mengerikan tadi duduk bersila, duduk seorang laki-laki muda berwajah tampan, namun terlihat keras.

   Pakaiannya begitu indah dan bersih, bagaikan seorang pengeran.

   Namun sinar matanya begitu tajam, memerah bagai mata seekor banteng marah.

   Pemuda itu bangkit berdiri dengan tenangnya.

   Baju yang longgar pada bagian bawah, berkibar tertiup angin.

   Sedangkan pada bagian atasnya cukup ketat, sehingga memetakan bentuk tubuh yang tegap dan berotot Warna hijau muda sungguh cocok menimpali kulitnya yang putih.

   Pemuda itu tetap berdiri tegak, kemudian pelahan-lahan kedua tangannya terangkat ke atas.

   Kepalanya menengadah menatap lurus ke langit biru tanpa awan.

   Sementara dari tempat yang tidak begitu jauh, Rangga memperhatikan tanpa berkedip.

   Dia ingin tahu, apa yang akan dilakukan laki-laki muda jelmaan makhluk aneh berlumpur itu.

   "Wahai iblis-iblis yang bersemayam di neraka! Berilah aku kekuatan abadi untuk menguasai seluruh dunia...!"

   Lantang suara pemuda itu.

   Secercah kilat menyambar angkasa, disusul ledakan dahsyat mengguruh.

   Tiba-tiba saja angkasa jadi hitam, terselimut awan tebal.

   Angin bertiup kencang, bagai terjadi badai topan.

   Semakin lama angin semakin kencang menerbangkan pohon-pohon, melontarkan bebatuan, dan mengguncangkan bumi.

   Saat ini sepertinya dunia akan kiamat! Tidak lama peristiwa itu beriangsung, maka alam pun kembali seperti semula.

   Langit kembali cerah, tanpa awan sedikit pun menggantung di angkasa.

   Sementara Rangga masih berdiri mematung memandangi laki-laki muda jelmaan dari makhluk buas dan liar.

   Memang, tidak ada yang tahu asalnya, kecuali Laras dan anaknya.

   Laki-laki muda itu berbalik, dan nampak terkejut melihat Pendekar Rajawali Sakti ada di tempat ini.

   Namun cepat dibiasakan dirinya kembali, seperti pernah terjadi apa-apa.

   "Aku tidak kenal denganmu. Sebaiknya jangan mencampuri urusanku!"

   Kata laki-laki muda itu dingin dan datar nada suaranya.

   Rangga ingin membuka mulutnya.

   Tapi belum juga sempat berbicara, pemuda aneh itu sudah lenyap bagaikan hilang begitu saja.

   Rangga jadi celingukan mencari-cari.

   Tapi bayangan laki-laki itu tidak nampak lagi.

   Hilang bagai ditelan bumi.

   Sungguh sempurna ilmu meringankan tubuhnya, bisa lenyap tanpa dapat diketahui arahnya oleh Rangga! *** "Kakang..!"

   Rangga membalikkan tubuhnya ketika mendengar suara panggilan dari belakang.

   Tampak Ayu Kumala bersama ayahnya, dan diikuti beberapa penduduk Desa Caruban serta Ki Giri berlari-lari menghampirinya.

   Mereka semua membawa senjata yang bermacam-macam bentuknya.

   Bahkan ada yang membawa cangkul, ataupun arit penyabit rumput.

   Ayu Kumala lebih dahulu yang mencapai tempat itu.

   "Kau tidak apa-apa, Kakang?"

   Tanya Ayu Kumala dengan perasaan cemas, yang tidak dapat disembunyikan.

   "Tidak,"

   Sahut Rangga tersenyum tipis.

   Pendekar Rajawali Sakti itu memandang orang-orang yang sudah berada di depannya.

   Mereka adalah penduduk desa yang setiap hari bergelut dengan lumpur dan ladang, dan bukanlah orang rimba persilatan.

   Mereka tidak mengerti ilmu olah kanuragan sedikit pun, tapi berani mengambil resiko tinggi untuk mengamankan desanya.

   "Mana makhluk itu...?"

   Tanya Ayu Kumala lagi.

   "Pergi,"

   Sahut Rangga singkat.

   "Aku yakin, kau pasti sudah mengalahkannya,"

   Celetuk Ki Bonang memuji.

   Rangga tersenyum tipis dan menggeleng pelan.

   kemudian melangkah pelahan-lahan.

   Semua oraing mengikutinya.

   Ki Bonang berjalan di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti itu, diikuti Ki Giri.

   Sedangkan Ayu Kumala tidak lepas memegangi lengan kiri pendekar muda itu.

   Untuk beberapa saat mereka berjalan tanpa berbicara sedikit pun.

   Sementara Rangga sendiri masih diliputi berbagi macam pertanyaan yang sukar dijawab.

   Masih belum bisa dipahami kejadian yang dilihatnya tadi.

   Sangat sulit untuk diterima akal sehat.

   Juga sulit dimengerti, bagaimana mungkin makhluk liar bagai binatang buas itu tiba-tiba berubah ujud menjadi seorang laki-laki muda.

   Bahkan hanya mengeluarkan satu kalimat saja untuknya.

   Ya..., satu kalimat yang hanya ditujukan untuk Pendekar Rajawali Sakti.

   Rangga memperlambat langkahnya, dan membiarkan orang-orang itu berjalan lebih dahulu.

   Sedangkan Ayu Kumala masih tetap berjalan di sampingnya meskipun ayahnya sudah berjalan lebih dahulu bersama penduduk Desa Caruban.

   Ki Giri sendiri masih tetap berada di belakang.

   "Sejak tadi kau diam saja, Kakang. Apa yang kau pikirkan?"

   Ayu Kumala membuka suara.

   Rangga menghentikan langkahnya.

   Dengan halus dilepaskan pegangan tangan Ayu Kumala pada lengan-nya.

   Sebentar dia menarik napas panjang, lalu menatap Ki Giri yang juga berhenti melangkah.

   Laki-laki tua itu cengar-cengir, dan melangkah pelahan.

   "Mau ke mana, Ki?"

   Tanya Rangga.

   "Pulang,"

   Sahut Ki Giri tanpa berhenti melangkah.

   "Aku memerlukan dirimu, Ki,"

   Kata Rangga.

   Ki Giri berhenti dan berbalik.

   Agak terkejut juga keningnya mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti itu tadi.

   Namun dihampirinya juga, ketika melihat wajah Rangga begitu sungguh-sungguh.

   Sementara Ayu Kumala memandang wajah tampan pemuda itu dengan alis hampir menyatu rapat.

   "Ada apa?"

   Tanya Ki Giri.

   "Ki, kau masih ingat ceritaku ketika datang membawa Laras?"

   Tanya Rangga. Ki Giri mengangguk, dan alisnya bertaut.

   "Waktu itu memang tidak lengkap kuceritakan, tapi sempat kulihat kau terkejut,"

   Lanjut Rangga.

   "Ada apa ini?"

   Celetuk Ayu Kumala tidak mengerti.

   "Kau akan tahu nanti, Ayu,"

   Kata Rangga.

   "Den, apakah makhluk itu sama dengan yang pertama kau jumpai di lereng sebelah Selatan?"

   Tanya Ki Giri pelahan.

   "Benar, Ki,"

   Sahut Rangga.

   "Hanya....

   "Hanya apa?"

   Tanya Ki Giri mulai serius.

   "Aku tidak tahu, Ki. Rasanya sulit untuk dipercaya. Kejadiannya begitu cepat, dan...,"

   Rangga terputus kata-katanya.

   "Teruskan, Den,"

   Pinta Ki Giri serius.

   "Terus terang, Ki. Aku sering menghadapi berbagai peristiwa, baik yang masuk akal maupun yang tidak. Tapi yang ini rasanya sukar untuk dimengerti. Hampir-hampir aku tidak percaya dengan penglihatan ku sendiri. Rasanya sulit dibayangkan, Ki. Terlalu ganjil...,"

   Suara Rangga bernada kurang percaya dengan yang diucapkannya.

   "Sebaiknya Aden istirahat dulu, tenangkan diri dan pikiran. Nanti kita bicarakan lagi hal ini,"

   Kata Ki Giri bijaksana.

   "Entahlah, Ki. Rasanya belum tenang kalau hal ini belum terpecahkan,"

   Desah Rangga pelan.

   "Kita pulang dulu, Den,"

   Ajak Ki Giri.

   Rangga tidak menolak saat Ki Giri menggamit tangannya, dan mengajaknya pergi meninggalkan hutan ini Sementara Ayu Kumala yang sejak tadi diam saja, belum bisa memahami pembicaraan itu.

   Langkahnya juga kurang mantap, karena benaknya diliputi berbagai macam pikiran.

   Dia berusaha mengerti, namun sulit untuk dicapai oleh jalan pikirannya.

   Mereka terus berjalan tanpa berbicara lagi.

   *** Sejak peristiwa di dalam Hutan Lereng Gunung Puring itu Rangga jadi lebih banyak diam.

   Sedang Laras sendiri iebih senang menyendiri di dalam rumah.

   Dia jadi takut pergi ke mana-mana seorang diri.

   Sosok makhluk mengerikan bagai mayat hidup, masih terus menghantui pikirannya.

   Sementara Ayu Kumala jadi sering mengunjungi rumah Ki Giri.

   Beberapa kali gadis itu mendesak untuk lebih tahu kejadian di Lereng Gunung Puring, tapi Pendekar Rajawali Sakti enggan untuk membicarakannya.

   Lebih-lebih lagi setelah tahu kalau makhluk itu adalah seorang tokoh sakti yang hidup entah berapa tahun silam.

   Mungkin puluhan atau bahkan ratusan tahun lalu.

   "Sudah lama orang melupakan tentang Hantu Karang Bolong itu, Den. Semua orang percaya kalau hantu itu sudah musnah. Aku sendiri hampir tidak percaya waktu Aden mengatakannya pertama kali..,"

   Kata Ki Giri ketika mempunyai kesempatan bicara berdua bersama Rangga.

   "Ki, apakah mungkin orang yang sudah mati dapat bangkit kembali?"

   Tanya Rangga.

   "Kalau percaya dengan adanya kebangkitan kembali, maka kau akan percaya datangnya kehidupan kembali setelah manusia mati,"

   Sahut Ki Giri.

   "Maksudku bukan itu, Ki,"

   Sergah Rangga.

   "Kebangkitan dari alam kubur, maksud Aden?"

   "Mungkin,"

   Nada suara Rangga terdengar ragu-ragu.


Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu Pendekar Rajawali Sakti Jago Dari Mongol Pendekar Mabuk Pusaka Tuak Setan

Cari Blog Ini