Jago Dari Mongol 2
Pendekar Rajawali Sakti Jago Dari Mongol Bagian 2
Dan selanjutnya tidak ingat lagi.
Kesadarannya langsung lenyap bersamaan dengan melesatnya tubuh pemuda itu melewati pagar tembok benteng sebelah barat.
*** "Gusti Prabu...!"
Patih Raksajun-ta terperanjat begitu melihat Prabu Duta Nitiyasa tiba-tiba berada di depannya.
Di samping Prabu Duta Nitiyasa berdiri seorang pemuda berwajah tampan berbaju rompi putih.
Gagang pedang berbentuk kepala burung menyembul dari balik punggungnya.
Patih Raksajunta langsung menjatuhkan diri berlutut.
Dua orang wanita yang diselamatkan dari Istana Jiwanala turut berlutut memberi sembah.
"Bangunlah kalian,"
Kata Prabu Duta Nitiyasa berwibawa.
"Ampun, Gusti,"
Ucap Patih Raksajunta. Patih Raksajunta bangkit berdiri diikuti dua orang wanita di belakangnya. Prabu Duta Nitiyasa menoleh pada pemuda di sampingnya. Ditepuknya pundak pemuda itu disertai senyuman.
"Kisanak, kuucapkan banyak terima kasih. Kau telah menyelamatkanku,"
Ucap Prabu Duta Nitiyasa.
"Ah. Ini semua berkat Paman Pa-tih, Gusti,"
Sahut pemuda itu merendah.
"Hm...,"
Prabu Duta Nitiyasa memandang Patih Raksajunta.
"Ampun, Gusti. Pemuda ini bernama Rangga, seorang pendekar kelana yang juga menyelamatkan nyawa hamba. Dia bergelar Pendekar Rajawali Sakti,"
Ujar Patih Raksajunta seraya memberi hormat.
"Ah..., tidak kusangka. Pendekar besar dan digdaya ternyata masih begitu muda,"
Ungkap Prabu Duta Nitiyasa.
"Gusti, sebaiknya kita segera meninggalkan tempat ini. Rasanya masih kurang aman dan terlalu dekat dengan istana,"
Rangga membelokkan arah pembicaraan. Baru saja Rangga berkata demi-kian, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut, disusul munculnya beberapa orang prajurit Mongol.
"Cepat, tinggalkan tempat ini!"
Seru Rangga seraya melompat.
"Mari, Gusti,"
Ajak Patih Raksajunta.
"Tunggu sebentar! Kita tidak bisa meninggalkan dia sendirian."
"Gusti, Rangga pasti bisa menghadapi mereka sendirian. Mari tinggalkan tempat ini,"
Bujuk Patih Raksajunta.
Sebentar Prabu Duta Nitiyasa ber-pikir, kemudian melangkah meninggalkan tempat ini.
Sementara orang-orang Mongol yang muncul sudah dihadang Pendekar Rajawali Sakti.
Pendekar muda itu memancing perhatian orang-orang asing itu agar tertumpah padanya.
Tapi sempat juga diperhatikan Prabu Duta Nitiyasa, Patih Raksajunta, dan dua orang dayang yang telah meninggalkan tempat ini.
Rangga tidak bisa lagi menghinda-ri pertempuran.
Orang-orang dari Daratan Mongol itu langsung menyerang ganas.
Mereka bagaikan binatang liar yang menemukan mangsa di tengah pa-dang.
Sepuluh orang itu menyerang tanpa memberi kesempatan bernapas sedikit pun pada Rangga.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu kelihatannya memang sengaja memperlam-bat pertempuran.
Tidak satu pun dilon-tarkan pukulan balasan.
Rangga hanya menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
Jurus ini memang mengandalkan kecepatan gerak kaki dan kelenturan tubuh untuk menghindari setiap serangan yang datang.
Jadi tidak heran jika setiap serangan orang Mongol itu sulit untuk menyentuh tubuhnya sedikit pun.
"Hm..., mereka sudah jauh. Aku harus menyelesaikan pertarungan menje-mukan ini,"
Gumam Rangga dalam hati.
Seketika itu juga dirubah jurusnya.
Rangga mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Dengan jurus itu kedua tangannya bagaikan sepasang palu godam yang siap menghancurkan apa saja.
Satu persatu orang Mongol itu dibuat ambruk tidak berkutik lagi.
Setiap pukulannya mengandung hawa panas yang membuat lawan merasa sesak dan tidak mampu lagi menghindar.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring, Pendekar Rajawali Sakti itu berlompatan cepat sambil mengirimkan beberapa pukulan mautnya.
Dan orang-orang Mongol itu memang tidak bisa lagi berbuat banyak.
Mereka menjerit dan bergelimpangan.
Tubuh orang-orang Mongol itu remuk bagaikan tertimpa bongkahan batu cadas yang besar dan tajam.
Dalam waktu singkat, tidak ada seorang pun yang bergerak lagi.
"Hhh...!"
Rangga mendengus berat.
Saat itu dia mendengar langkah-langkah kaki menuju ke arahnya.
Sebentar ditolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, lalu dilentingkan tubuhnya ke atas.
Begitu kakinya menjejak dahan pohon, kembali digenjot tubuhnya ke arah Prabu Duta Nitiyasa pergi bersama Patih Raksajunta dan dua orang dayang.
Pada saat bayangan tubuh Pendekar Rajawali Sakti lenyap, dari arah Istana Jiwanala muncul dua puluh orang prajurit Mongol yang dipimpin langsung Panglima Ogodai Leng.
Mereka begitu terkejut begitu melihat teman-temannya terbujur tak karuan jadi mayat.
Panglima Ogodai Leng menghentak-hentakkan kakinya.
Gerahamnya bergemeletuk menahan amarah.
Dia berbicara keras pada pengawalnya yang bernama Temujin dengan bahasa yang sukar dimengerti.
Temujin membungkuk, kemudian memberikan isyarat tangannya.
Dengan membawa lima belas orang prajuritnya, dia bergerak menelusuri hutan itu.
Sedangkan Panglima Ogodai Leng kembali ke istana bersama sisa prajuritnya.
Sementara malam terus merayap semakin tinggi.
Udara di sekitarnya pun bertambah dingin menggigilkan.
Namun Temujin dan lima belas prajuritnya terus bergerak menyusuri hutan mencari orang yang telah membunuh banyak prajuritnya, dan yang telah membebaskan tawanan pentingnya.
*** Sementara itu Prabu Duta Nitiyasa dan Panglima Raksajunta serta dua orang dayang telah jauh meninggalkan perbatasan hutan yang masih termasuk wilayah Kerajaan Jiwanala.
Mereka terus berjalan cepat tanpa berhenti sejenak pun.
Saat itu fajar sudah mulai menyingsing.
Cahaya merah jingga menyemburat dari ufuk timur.
Mereka baru berhenti setelah tiba di tepi sebuah sungai yang cukup besar dan deras arusnya.
"Rangga...,"
Desis Patih Raksa-junta begitu melihat seorang pemuda berbaju rompi putih duduk di atas batu di tepi sungai.
Pemuda yang memang adalah Rangga itu menoleh dan tersenyum menyambut kedatangan rombongan kecil itu.
Tidak jauh darinya terdapat seonggok api unggun kecil yang di atasnya terdapat seekor kijang panggang.
Bau harum daging kijang panggang itu menggugah selera empat orang yang baru tiba.
"Silakan. Maaf aku sudah mendahu-lui,"
Kata Rangga mempersilakan.
Dua orang dayang menghampiri ki-jang panggang itu.
Dengan selembar daun waru, salah seorang mengambil sekerat dan memberikannya pada Prabu Duta Nitiyasa yang sudah duduk di bawah pohon rindang.
Dayang itu memberikannya sambil bersikap hormat.
Prabu Duta Nitiyasa menerimanya disertai senyuman di bibir.
"Aku kagum padamu, Kisanak. Kau bisa lebih cepat sampai ke sini,"
Kata Prabu Duta Nitiyasa.
"Ah, tadi aku memotong jalan,"
Sahut Rangga merendah.
"Rangga, bagaimana dengan orang-orang Mongol itu?"
Tanya Patih Raksajunta.
"Masih mengejar. Tapi aku yakin mereka tidak akan sampai ke sini dalam waktu singkat."
Mereka kemudian menikmati kijang panggang tanpa bicara lagi.
Tapi Prabu Duta Nitiyasa sesekali bertanya juga tentang diri Pendekar Rajawali Sakti.
Tentu saja Rangga menjawabnya tidak berterus terang.
Ditutupi jati dirinya yang sebenarnya.
Bahkan ketika Prabu Duta Nitiyasa menanyakan pertemuannya dengan Patih Raksajunta, bukan Rangga yang menjawab.
Tapi patih itu sendiri yang menjawabnya.
Mereka saling mengenal diri masing-masing dalam suasana yang akrab.
Meskipun Patih Raksajunta dan kedua dayang itu selalu bersikap hormat, tapi Prabu Duta Nitiyasa memperlaku-kannya seperti sahabat.
Dan ini sangat menarik simpati Pendekar Rajawali Sakti.
Seorang raja yang tidak angkuh dan bisa menyadari keadaan dirinya.
"Oh, ya. Apa rencana selanjut-nya?"
Tanya Rangga setelah lama terdiam.
"Aku tidak tahu. Hanya yang pas-ti, aku akan menyusun kekuatan untuk merebut kembali istanaku,"
Ujar Prabu Duta Nitiyasa.
"Tentu saja, Gusti. Hamba akan mengumpulkan prajurit yang tercecer secepat mungkin. Mudah-mudahan dalam waktu singkat kita dapat mengusir mereka untuk selamanya,"
Sambut Patih Raksajunta.
"Memang harus cepat, sebelum mereka mengirim utusan ke negerinya dan membentuk kekuatan di sini."
"Tapi, Gusti. Kita harus punya tempat yang aman untuk menyusun kekuatan,"
Usul Patih Raksajunta.
"Hm.... Bagaimana menurutmu, Anak Muda?"
Prabu Duta Nitiyasa meminta pendapat Rangga yang diam saja.
"Sayang sekali, aku tidak punya pendapat. Mungkin aku hanya bisa membantu jika diperlukan,"
Sahut Rangga tetap merendah.
"Kisanak, namamu begitu masyhur. Aku percaya kau punya kemampuan lebih daripada orang biasa. Terus terang, kami butuh bantuan pikiran dan tenaga-mu untuk mengusir orang asing itu dari tanah ini,"
Kata Prabu Duta Nitiyasa.
"Ah, Gusti Prabu melebih-lebihkan,"
Rangga masih merendah.
"Tidak! Sering kudengar nama dan sepak terjangmu dalam menumpas keang-karamurkaan. Meskipun bukan berasal dari negeri ini, tapi aku percaya kau bersedia menyumbangkan tenaga dan pikiranmu,"
Kata Prabu Duta Nitiyasa penuh wibawa.
"Rangga, kami yakin dengan ban-tuanmu mereka bisa cepat terusir sebelum keadaan lebih parah lagi,"
Sambung Patih Raksajunta mendesak.
Rangga terdiam beberapa saat.
Sebenarnya dia tidak ingin mencampuri urusan pemerintahan suatu negara.
Tapi melihat kebrutalan dan kekejaman orang-orang Mongol itu, jiwa kepende-karannya tidak mungkin diam saja.
Tugas pentingnya sebagai seorang pendekar beraliran lurus memang harus menumpas segala jenis keangkaramur-kaan.
"Baiklah,"
Ucap Rangga akhirnya.
"Tapi bantuanku ini jangan diartikan lebih. Bantuanku hanya sekedar mengusir mereka dari negeri ini, tidak lebih!"
"Aku mengerti, Rangga. Dan untuk ini, kuucapkan banyak terima kasih,"
Ucap Prabu Duta Nitiyasa.
"Matahari semakin tinggi. Sebaiknya, jangan terlalu lama berada di sini,"
Kata Rangga mengingatkan.
"Gusti, apa tidak sebaiknya kita pergi ke Padepokan Arang Watu? Hamba yakin, Gusti Resi Kamuka bersedia membantu untuk mengirimkan murid-muridnya,"
Usul Patih Raksajunta.
"Terus terang, semula aku enggan meminta bantuan ayah mertuaku itu. Tapi..., yah! Mungkin memang harus kulakukan. Aku yakin Dinda Dita Wardhani juga sudah menceritakan hal ini pada ayahnya,"
Sahut Prabu Duta Nitiyasa.
"Jadi..., Gusti Permaisuri sudah berada di sana?"
Ada kegembiraan pada nada suara Patih Raksajunta.
"Kalau tidak ada halangan, mudah-mudahan sudah tiba dengan selamat."
"Oh, syukurlah kalau begitu. Sebelumnya hamba sangat cemas, Gusti."
"Paman Patih, sebaiknya kita berangkat segera,"
Ajak Prabu Duta Nitiyasa seraya beranjak berdiri.
"Baik, Gusti,"
Sahut Patih Raksajunta juga bangkit berdiri.
"Untuk lebih cepat, bagaimana kalau kita menunggang kuda,"
Kata Rangga yang sudah bangkit lebih dahulu.
"Kuda...?!"
Prabu Duta Nitiyasa memandang pendekar muda itu dalam-dalam.
"Dari mana kita akan menda-patkannya? "
"Tidak terlalu sulit,"
Sahut Rangga.
Setelah berkata demikian, Rangga bersiul tiga kali.
Dan tidak berapa lama kemudian, dari balik hutan muncul seorang punggawa dan tiga puluh orang prajurit berkuda.
Mereka juga membawa kuda-kuda kosong tanpa penunggang.
Prabu Duta Nitiyasa dan Patih Raksajunta hanya memandang setengah tidak percaya.
"Punggawa Parian...,"
Desis Prabu Duta Nitiyasa.
"Gusti Prabu, terimalah salam dan rasa hormat hamba,"
Ucap Punggawa Parian begitu turun dari kudanya seraya berlutut memberi sembah.
"Bangunlah, Punggawa,"
Ujar Prabu Duta Nitiyasa. Punggawa Parian bangkit berdiri setelah menyembah sekali lagi. Tiga puluh orang prajurit yang juga telah turun dari kuda dan memberi sembah, ikut bangkit berdiri. Prabu Duta Nitiyasa memandangi dengan mata berbi-nar-binar.
"Rangga, bagaimana kau bisa kumpulkan mereka?"
Tanya Prabu Duta Nitiyasa seraya berpaling pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Bukan aku, Gusti Prabu. Mereka memang sudah berada di sini sejak semalam. Maaf, aku memang sengaja meminta mereka untuk sembunyi beberapa saat,"
Sahut Rangga kalem.
"Punggawa...,"
Prabu Duta Nitiya-sa mengalihkan pandangannya kembali pada Punggawa Parian.
"Hamba, Gusti Prabu,"
Punggawa Parian memberi hormat.
"Kalau tidak salah, kau ikut bersama Panglima Sembada. Bagaimana kalian semua bisa berpencar?"
Tanya Prabu Duta Nitiyasa ingin tahu.
"Ampun, Gusti Prabu, Hamba memang bersama-sama Panglima Sembada dan prajurit lainnya. Hamba dan Gusti Panglima sempat membakar perahu orang Mongol itu dan membunuhi awak kapalnya. Tapi malang, Gusti. Pada saat kembali ke istana, kami diserang mereka. Sungguh kami tidak tahu kalau mereka telah menguasai istana. Panglima Sembada bersama beberapa punggawa dan puluhan prajurit tewas dalam pertempuran. Sedangkan hamba dan tiga puluh prajurit berhasil meloloskan diri dan sampai di sini,"
Jelas Punggawa Parian secara rinci dan singkat.
"Hm..., kalian bertemu prajurit-prajurit lainnya?"
Tanya Patih Raksajunta.
"Tidak, Gusti Patih. Hamba hanya bertemu Tuan Pendekar ini. Kalau tidak ada Tuan Pendekar ini, mungkin hamba juga sudah tewas,"
Punggawa Parian menunjuk Rangga dengan ibu jarinya.
"Bagaimana kejadiannya?"
Tanya Prabu Duta Nitiyasa.
"Semalam hamba dan prajurit bermaksud menyerang istana. Tapi sebelum sampai di istana, kami telah diserang mereka. Kami berusaha bertahan, tapi mereka terlalu tangguh, Gusti. Akhirnya kami terdesak sampai ke hutan. Untung saja Tuan Pendekar ini membantu dan memukul mundur mereka. Kemudian hamba mencari prajurit lain yang masih bertebaran di dalam hutan dan berhasil dikumpulkan kembali di tempat ini."
"Kau hebat, Rangga. Padahal semalam kau ke istana menyelamatkanku. Hm.... Sukar bagiku untuk mengerti, bagaimana caranya kau bisa melakukan begitu banyak pekerjaan dalam satu malam saja,"
Ujar Prabu Duta Nitiyasa memuji tulus.
"Ah. Itu hanya kebetulan saja, Gusti Prabu,"
Sahut Rangga tetap merendah.
"Apa pun yang kau lakukan dan kau katakan, aku tetap kagum padamu."
Rangga hanya tersenyum saja, kemudian mempersilakan Prabu Duta Nitiyasa untuk naik ke punggung kuda.
Patih Raksajunta dan dua dayang juga naik ke punggung kuda yang memang sudah disiapkan.
Punggawa Parian dan tiga puluh orang prajurit yang tersisa, bergegas melompat naik ke punggung kudanya masing-masing.
Tinggal empat ekor kuda yang belum ada penunggang-nya, tapi mereka berangkat juga meninggalkan tepian sungai di dalam hutan itu.
Sepanjang perjalanan, Prabu Duta Nitiyasa selalu meminta Rangga untuk berada di sampingnya.
Raja Jiwanala itu terus menanyakan tentang kejadian yang dialami Pendekar Rajawali Sakti semalam.
Hanya saja semua itu dijawab Rangga secara merendah, bahkan tidak diceritakan secara persis.
Dia tidak ingin membanggakan diri meskipun Prabu Duta Nitiyasa secara jujur mengagu-minya.
Raja Jiwanala itu semakin kagum akan kerendahan hati Pendekar Rajawali Sakti.
*** Perjalanan ke Gunung Waja dengan berkuda memang tidak begitu lama.
Saat matahari condong ke barat, mereka sudah tiba.
Resi Kamuka tidak lagi terkejut menerima kedatangan menantunya yang diiringi tiga puluh prajurit, seorang punggawa, dan seorang patih.
Bahkan laki-laki tua renta berjubah putih itu gembira manakala diberitahu kalau pemuda tampan yang menyertai menantunya adalah Pendekar Rajawali Sakti.
"Sudah kudengar banyak tentang dirimu, Pendekar Rajawali Sakti,"
Ucap Resi Kamuka saat punya kesempatan berbincang-bincang berdua di balai latihan.
"Rangga.... Panggil saja aku Rangga, Resi,"
Ucap Rangga meminta.
"Baiklah. Rupanya kau lebih suka dipanggil namamu sendiri. Tidak seperti kebanyakan orang rimba persilatan yang lebih suka menyembunyikan namanya dan selalu memamerkan julukannya,"
Sahut Resi Kamuka.
"Malah sebaliknya, Resi. Nama pemberian orang tua patut dijunjung tinggi."
"Ha ha ha...!"
Resi Kamuka terta-wa terbahak-bahak.
Rangga jadi terdiam.
Dia heran juga, mengapa Resi Kamuka tertawa? Apakah ada yang salah pada perkataan-nya! Rangga mengingat-ingat apa yang diucapkannya tadi.
Rasanya tidak ada yang salah! Ucapannya seadanya, tidak dilebih-lebihkan.
"Rasanya sukar mencari pendekar digdaya sepertimu, Rangga,"
Kata Resi Kamuka setelah berhenti tertawa.
"Tidak, Resi. Masih banyak pendekar yang lebih tangguh dan memiliki kepandaian yang sukar diukur tingka-tannya. Aku hanya segelintir saja dari mereka,"
Rangga merendah.
Saat itu Prabu Duta Nitiyasa masuk ke dalam balai latihan ini.
Pakaiannya telah berganti dengan yang bersih.
Meskipun terbuat dari bahan yang tidak mahal, tapi cukup enak dipandang.
Memang, Prabu Duta Nitiyasa sudah tidak bisa dikatakan muda lagi.
Tapi bentuk tubuh dan wajahnya masih terlihat tampan dan gagah.
Dengan mengenakan baju kependekaran berwarna biru langit, Prabu Duta Nitiyasa tampak lebih gagah! Bahkan pamornya sebagai raja agung tidak pudar sama sekali.
Kewibawaannya semakin bertambah saja.
"Ayahanda Resi, ananda mohon pa-mit,"
Ucap Prabu Duta Nitiyasa.
"Eee...! Mau ke mana, Nanda Pra-bu?"
Resi Kamuka terkejut.
"Belum ada satu hari kau datang, sekarang akan pergi lagi. Apa tidak salah pendenga-ranku?"
"Tidak, Ayahanda Resi."
"Ke mana kau akan pergi?"
"Mengusir orang-orang asing itu,"
Tegas jawaban Prabu Duta Nitiyasa.
"Ck ck ck...!"
Resi Kamuka menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdecak bagai cicak.
Sementara Rangga yang berada di samping Resi Kamuka, hanya diam.
Ba-ginya tidak baik mencampuri urusan keluarga ini jika tidak diminta terle-bih dahulu.
Lagi pula, bantuannya sudah cukup banyak.
Bahkan masih ada satu lagi yang harus dikerjakannya.
Dia sudah berjanji untuk membantu mengusir orang-orang Mongol itu sampai tuntas.
"Ananda Prabu, bukannya aku hendak mencampuri urusan pemerintahanmu. Tapi, tidakkah keberangkatanmu terlalu terburu-buru? Niatmu itu membutuhkan waktu dan persiapan yang tidak pendek. Mereka telah menguasai istanamu, dan mereka lebih kuat dari prajuritmu. Pikirkanlah itu, Ananda Prabu,"
Resi Kamuka memberikan pertimbangan.
"Ayahanda Resi, semua ini sudah ananda pikirkan masak-masak. Dalam perjalanan nanti, ananda akan mengumpulkan sisa-sisa prajurit yang ada. Lagi pula, dengan bantuan Pendekar Rajawali Sakti, mereka pasti dapat dikalahkan,"
Sahut Prabu Duta Nitiyasa.
"Memang tidak kuragukan kemampuan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kau jangan hanya mengandalkannya saja. Aku rasa jumlah mereka tidak sedikit, bahkan sudah terkenal kehebatannya dalam bertempur di negeri orang. Mereka juga memiliki ilmu keprajuritan yang tangguh. Kusarankan, sebaiknya pertimbangkanlah lebih dahulu barang dua atau tiga hari lagi. Kasihan anak dan istrimu. Mereka pasti masih merin-dukanmu untuk beberapa hari ini,"
Bujuk Resi Kamuka.
Prabu Duta Nitiyasa diam membisu.
Dalam hatinya, dibenarkan juga bapak mertuanya ini.
Memang tidak bisa gega-bah menghadapi orang-orang Mongol itu yang sudah bisa dilihat ketangguhan dan kekejamannya.
Perlu satu pasukan terlatih untuk menghadapi dan mengu-sirnya dari tanah ini.
Dan itu tidak dimilikinya sekarang.
Prajurit yang tersisa kini tidak lebih dari lima puluh orang jumlahnya.
Itu pun bukan prajurit terlatih dan pilihan.
"Sebaiknya Ananda beristirahat dulu. Keletihan belum lagi hilang. Jangan paksakan diri meskipun niatmu suci,"
Kata Resi Kamuka bijaksana.
"Baiklah, Ayahanda Resi,"
Ucap Prabu Duta Nitiyasa menurut.
Resi Kamuka tersenyum dan men-ganggukkan kepalanya.
Prabu Duta Nitiyasa berbalik dan melangkah pergi.
Tinggal Resi Kamuka dan Rangga yang masih diam di bangsal latihan ini.
Kemudian Resi Kamuka mengajak Rangga untuk melihat-lihat sekitar padepokan-nya, lalu memperkenalkannya pada murid-muridnya.
Dia merasa bangga dan gembira karena padepokan terpencil ini telah kedatangan seorang pendekar besar yang sudah ternama dalam rimba persilatan.
Resi Kamuka merasa seperti mendapat anugrah besar dengan kedatangan Pendekar Rajawali Sakti ini.
*** Tiga hari Rangga berada di ling-kungan Padepokan Arang Watu.
Dan selama itu pula dia tidak bisa menolak keinginan Resi Kamuka untuk memberikan sedikit ilmu yang dimiliki pada murid-murid padepokan itu.
Rangga juga tidak bisa menolak ketika diminta untuk melatih prajurit-prajurit Jiwanala yang semakin hari semakin bertambah banyak jumlahnya.
Waktu tiga hari memang tidak bisa berharap banyak dalam peningkatan kemampuan tempur para prajurit itu.
Tapi Prabu Duta Nitiyasa sudah cukup senang melihat ikut sertanya Pendekar Rajawali Sakti menempa prajurit-prajuritnya.
Dan apa yang dilakukan Rangga hanya sekedar untuk membantu.
Sama sekali tidak punya niatan untuk menyombongkan diri.
Memang hanya itulah yang bisa dilakukannya untuk membantu rakyat Kerajaan Jiwanala yang saat ini tengah tertekan oleh kekuasaan orang-orang dari Daratan Mongol.
"Sepertinya dia datang memang di-utus Dewata...,"
Resi Kamuka bergumam pelan, seolah-olah bicara untuk dirinya sendiri. Tatapan matanya tidak lepas ke arah Rangga yang tengah memberikan beberapa jurus ilmu olah kanu-ragan pada para prajurit yang kini semakin membengkak saja jumlahnya.
"Maksud Ayahanda Resi?"
Tanya Prabu Duta Nitiyasa.
"Apa tidak bisa kau lihat cara dia datang, Ananda Prabu? Juga kebera-daannya di sini, seperti sudah ditun-jukkan oleh Hyang Widi untuk membebaskan rakyatmu dari tekanan orang asing."
"Dia seorang pengembara, Ayahanda Resi. Tidak aneh kalau tiba-tiba muncul dan membantu perjuangan ini,"
Bantah Prabu Duta Nitiyasa tidak se-pendapat.
"Hm.... Apa pun yang kau katakan, aku merasa ada sesuatu yang lain pada diri anak muda itu. Baik sikap, caranya bertutur, dan kerendahan hatinya.... Aku tidak pernah menemukan pribadi seperti itu pada diri orang lain. Aku merasakan ada sesuatu yang lain pada dirinya. Entah apa namanya...,"
Kata Resi Kamuka setengah bergumam.
Saat itu Rangga berlari-lari kecil menghampiri Resi Kamuka yang berdiri memperhatikan latihan itu bersama Prabu Duta Nitiyasa.
Rangga membungkuk sedikit memberi hormat setelah tiba di depan dua orang terkemuka di Kerajaan Jiwanala ini.
"Ah. Kau terlalu merendahkan di-ri, anakku Rangga,"
Ucap Resi Kamuka yang menganggap Rangga adalah pu-tranya.
Memang sejak Rangga berada di padepokan ini, Resi Kamuka sudah tertarik dan ingin mengangkatnya sebagai anak.
Keinginannya ini memang dikemuka-kan langsung pada Pendekar Rajawali Sakti itu.
Dan betapa gembiranya dia begitu melihat Rangga menyambut kein-ginannya dengan tangan terbuka.
Memu-puk tali persaudaraan memang tidak mudah.
Lain halnya jika mencari musuh, yang dalam waktu singkat saja bisa didapat.
Rangga selalu menyambut baik jika ada seseorang yang menginginkan persaudaraan dengannya.
"Gusti Prabu, Resi, rasanya ke-mampuan para prajurit sudah lebih maju. Jumlahnya pun semakin bertambah. Banyak pemuda yang bergabung dengan sukarela,"
Rangga memberitahukan per-kembangan kemajuan para prajurit yang ditempanya.
"Hm..., apakah itu berarti sudah waktunya merebut kembali Kerajaan Jiwanala?"
Gumam Resi Kamuka. Rangga tidak menjawab, tapi hanya memandang Prabu Duta Nitiyasa. Sedangkan yang ditatap malah memandang pada ayah mertuanya.
"Sebaiknya kita tunggu dulu laporan dari telik sandi,"
Kata Prabu Duta Nitiyasa bijaksana.
"Itu lebih baik,"
Sambut Resi Kamuka. Mereka hampir berbarengan menoleh ketika Punggawa Narayama datang menghampiri. Punggawa itu melangkah tergo-poh-gopoh. Napasnya tersengal ketika memberi hormat dengan membungkukkan tubuhnya di depan Prabu Duta Nitiyasa.
"Ada apa, Punggawa? Apakah ada seorang telik sandi yang datang?"
Tanya Prabu Duta Nitiyasa.
"Benar, Gusti Prabu. Seorang telik sandi melaporkan kalau suasana di sekitar kerajaan sedang kacau,"
Lapor Punggawa Narayama.
"Kacau...!? Apa yang terjadi?"
Tanya Prabu Duta Nitiyasa.
"Maksud hamba, bukan kekacauan antar mereka sendiri. Tapi tindakan mereka yang semakin brutal, tidak lagi mengindahkan peri kemanusiaan. Banyak rakyat yang tewas terbunuh. Tidak sedikit gadis-gadis yang dijadikan permainan. Mereka memperlakukan rakyat seperti hewan buruan,"
Lapor Punggawa Narayama lagi.
"Biadab!"
Desis Prabu Duta Ni-tiyasa menggeram.
"Kendalikan dirimu, Ananda Pra-bu,"
Resi Kamuka mencoba mendinginkan hati Prabu Duta Nitiyasa yang mendidih seketika.
"Tidak, Ayahanda Resi. Kekejaman ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Mereka harus enyah, atau mati di sini!"
Tegas Prabu Duta Nitiyasa.
"Tapi kekuatan yang kau miliki belum cukup."
"Jumlah mereka hanya sepertiganya saja, Ayahanda Resi. Mereka pasti bisa dikalahkan!"
Resi Kamuka merasa sukar untuk meredakan amarah anak menantunya ini.
Dia menoleh ke arah Rangga tadi berdiri, tapi Pendekar Rajawali Sakti itu sudah tidak terlihat lagi.
Resi Kamuka melayangkan pandangannya ke sekeliling.
Tetap saja Pendekar Rajawali Sakti itu tak nampak.
"Heh...! Ke mana dia...?"
Seru Resi Kamuka tetap mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Siapa?"
Tanya Prabu Duta Nitiya-sa belum menyadari.
"Rangga...."
Prabu Duta Nitiyasa terperanjat begitu menyadari kalau Pendekar Rajawali Sakti tidak ada lagi. Dia juga melayangkan pandangannya ke sekeliling. Tapi sepanjang mata memandang, yang terlihat hanya para prajurit dan murid-murid padepokan ini.
"Dia pasti sudah ke sana, Ayahan-da Resi,"
Kata Prabu Duta Nitiyasa setengah bergumam.
"Mustahil!"
Bantah Resi Kamuka.
"Punggawa! Siapkan seluruh prajurit! Sekarang juga kita berangkat ke Jiwanala!"
Perintah Prabu Duta Nitiyasa.
"Tunggu!"
Cegah Resi Kamuka.
"Tidak ada waktu lagi, Ayahanda Resi!"
Sergah Prabu Duta Nitiyasa cepat.
Prabu Duta Nitiyasa bergegas meninggalkan balai latihan itu.
Punggawa Narayama pun bergegas menghubungi punggawa lain, untuk mempersiapkan para prajurit.
Tidak ada lagi panglima di sini.
Semua panglima telah tewas dalam pertempuran.
Sedangkan para patih tidak sedikit yang gugur.
Ada juga yang melarikan diri begitu Istana Jiwanala terenggut.
Prajurit yang kembali bergabung juga belum seluruh-nya.
Masih banyak yang belum jelas nasibnya.
Resi Kamuka tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Maka dipanggillah semua muridnya yang berjumlah hampir lima puluh orang.
Seluruh muridnya diminta untuk bersiap-siap membantu Prabu Duta Nitiyasa merebut kembali kejayaan kerajaannya dari tangan orang asing.
Bagaimanapun juga anak menantunya harus dibela.
Apalagi dalam perjuangan yang suci merebut negeri dari jajahan orang asing.
*** Sementara seluruh prajurit Jiwanala tengah bersiap-siap di Padepokan Arang Watu, saat yang sama Rangga yang diam-diam meninggalkan padepokan itu sudah tiba di depan Istana Jiwanala.
Saat itu keadaan istana tampak sepi tenang.
Terlihat beberapa prajurit Mongol berjaga-jaga di depan pintu gerbang istana.
Beberapa prajurit lainnya terlihat di atas benteng yang mengelilingi istana ini.
Rangga mengawasi sekitarnya dari balik pohon yang cukup rindang untuk melindungi dirinya dari penglihatan para prajurit Mongol itu.
Tidak ada seorang penduduk kota yang terlihat.
Rumah-rumah kelihatan begitu sepi, bahkan beberapa di antaranya hancur berantakan.
Ada juga yang hangus bekas terbakar.
Tidak sedikit bangkai binatang bercampur dengan mayat manusia yang bergelimpangan di jalan-jalan atau emperan rumah.
Bau busuk terasa mengganggu pernapasan.
"Hei! Siapa itu...?"
Tiba-tiba terdengar satu bentakan keras.
Rangga terkejut juga, namun segera dapat menarik napas panjang begitu melihat seorang laki-laki tua terbungkuk-bungkuk melintasi jalan yang sepi.
Dua orang prajurit Mongol yang menjaga pintu gerbang menghampi-rinya.
Laki-laki tua berpakaian kumal itu tetap melangkah tertatih-tatih dibantu sebatang tongkat yang kelihatan rapuh.
"Berhenti...!"
Bentak salah seorang prajurit Mongol itu.
"Oh..., ada apakah, Tuan?"
Tanya kakek tua yang kelihatan seperti pengemis itu.
"Mau ke mana kau?"
Tanya prajurit itu yang tadi membentak.
"Hanya lewat,"
Sahut kakek tua itu.
"Kau tahu, ini daerah terlarang! Siapa saja yang berani lewat sini harus bayar upeti!"
"Upeti...?! Oh, maaf. Aku tidak tahu kalau ada peraturan baru di sini. Maaf, Tuan. Aku tidak punya uang barang sepeser pun. Maklumlah, hanya seorang pengemis tua yang mencari hidup dari belas kasihan orang."
"Phuih!"
Rangga yang menyaksikan kejadian itu dari tempat persembunyiannya jadi terkejut ketika tiba-tiba salah seorang prajurit mengayunkan tangannya ke wajah laki-laki tua itu.
Tamparan yang cukup keras itu membuat laki-laki tua berpakaian kumal itu terpental ke tanah.
Belum lagi kakek tua itu sempat bangun, satu tendangan keras mendarat di tubuhnya yang kurus renta.
Tidak pelak lagi, laki-laki tua itu mengge-limpang beberapa depa jauhnya.
Dua orang prajurit itu tertawa terbahak-bahak.
Mereka menghampiri kakek tua itu, dan kembali mendaratkan tendangan keras.
Tampak beberapa prajurit lain yang berada di atas benteng menyaksikan sambil tertawa-tawa.
Seperti tengah melihat satu tontonan menarik yang menggelitik tenggorokan.
"Biadab...!"
Desis Rangga dari tempat persembunyiannya.
Rangga hampir-hampir tidak bisa menahan diri lagi.
Tapi tiba-tiba saja satu kejadian yang mengejutkan terlihat.
Hampir tidak dipercaya dengan apa yang baru saja terjadi, dua orang prajurit Mongol itu tiba-tiba saja menjerit keras, lalu menggelepar di tanah.
Tampak dada mereka sobek, men-gucurkan darah segar.
Suara tawa yang semula terdengar, mendadak saja hilang.
Sementara, laki-laki tua renta berbaju kumal itu bangkit berdiri dengan bantuan tongkatnya.
Sebentar dipandangi dua orang prajurit yang tadi menyiksanya.
Sangat jelas terlihat kalau kakek tua renta itu tidak kekurangan satu apa pun.
Padahal tubuhnya telah menerima pukulan dan tendangan yang sangat keras dari dua orang prajurit itu.
"Hhh! Kalian bisa seenaknya di negeri sendiri. Tapi di sini...,"
Laki-laki tua renta itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kata-katanya begitu sinis.
Saat itu, tiba-tiba saja puluhan anak panah meluncur deras bagai hujan ke arah laki-laki tua itu.
Rangga yang berada di tempat persembunyiannya sempat menarik napas dalam-dalam.
Namun yang terjadi di luar dugaannya sama sekali.
Kakek tua renta itu dengan sigap memutar tongkatnya yang kelihatan rapuh.
Putaran yang begitu cepat mampu memayungi dirinya dari hujan anak panah.
"Yeaaah...!" *** Puluhan, bahkan ratusan anak panah yang meluncur bagai hujan itu rontok terkena sapuan tongkat yang berputar cepat bagai baling-baling. Bahkan kakek tua renta itu melangkah perlahan-lahan mendekati pintu gerbang istana. Hujan anak panah itu tidak juga berhenti, meskipun tidak satu pun yang berhasil menemui sasaran.
"Ya, ya, yaaah...!"
Sambil berteriak keras, kakek tua renta itu melompat dan langsung hendak menerobos gerbang yang terbuka lebar itu. Tapi belum juga sampai, mendadak datang serbuan tombak yang begitu gencar.
"Haaait...!"
Laki-laki tua kumal itu cepat melentingkan tubuhnya berputaran di udara seraya mengibaskan tongkatnya dengan cepat.
Sungguh luar biasa! Tongkat yang kelihatan rapuh itu mampu membabat hancur tombak-tombak yang mengancam nyawanya! Dan begitu serbuan tombak berakhir, disusul dengan munculnya sekitar sepuluh orang berpakaian prajurit Mongol.
Sepuluh orang Mongol itu serentak menyerang dengan ganas.
Mereka semua menggunakan senjata golok besar dan panjang.
Tangkai golok hampir menyamai panjang golok itu sendiri.
Namun kelihatannya kakek tua itu mudah saja menghadapi mereka.
Tongkatnya berkelebatan cepat diimbangi gerakan tubuh dan kaki yang lincah.
Tongkat yang kelihatan rapuh itu ternyata mampu menahan gempuran senjata lawan yang berkilat tajam.
"Hiyat..!"
Trak! Ting! Hebat! Dua golok terpotong jadi dua bagian begitu berbenturan dengan tongkat kakek tua itu.
Dan belum lagi pemiliknya menyadari apa yang terjadi, kakek tua itu mengibaskan tongkatnya tepat ke arah dada.
Dua suara jeritan panjang terdengar melengking, disusul robohnya dua tubuh bersimbah darah.
Dada mereka sobek sangat lebar dan dalam.
Tapi belum juga dua orang Mongol itu menyentuh tanah, mendadak satu bayangan berkelebat cepat menyambar punggung kakek tua itu.
Sambaran yang begitu cepat dan tidak terduga, membuat kakek tua itu jatuh terguling-guling.
Punggungnya terasa nyeri, seolah-olah tulang punggungnya patah.
"Phuih! Kunyuk busuk...!"
Umpat kakek tua itu geram.
"He he he...!"
Seorang laki-laki Mongol tahu-tahu sudah berdiri bertolak pinggang.
Dia tidak lain dari Temujin, salah seorang pengawal pribadi Panglima Ogodai Leng.
Delapan orang prajurit yang tersisa, bergegas mengundurkan diri.
Tapi mereka tetap bersiaga penuh menjaga segala kemungkinan yang akan terjadi.
Sedangkan Temujin melangkah mendekati laki-laki tua itu.
"Kau punya nyali besar juga, Kakek Tua!"
Ketus kata-kata Temujin.
"Siapa pun akan berbuat yang sama denganku untuk mengenyahkan kalian!"
Dengus kakek tua itu tidak kalah ke-tusnya.
"Rupanya kau sudah tidak sabar lagi menanti kematian, Kakek Tua!"
"Kematian yang terhormat, bukan sebagai anjing busuk sepertimu!"
"Setan...!"
Temujin tidak dapat lagi menahan kemarahannya.
Dengan cepat dicabut pedangnya, dan langsung dirangsek laki-laki tua renta itu.
Namun terjan-gan yang cepat itu dengan manis dapat dielakkan.
Hal ini membuat Temujin semakin geram, dan terus mencecar dengan serangan-serangan yang dahsyat.
*** Sementara itu, Rangga yang berada di tempat persembunyiannya serius memperhatikan jalannya pertarungan.
Sepasang matanya tidak berkedip mengamati setiap gerakan yang dilakukan dua orang itu.
Dalam hatinya diakui kehebatan kakek tua yang mampu menandingi Temujin sampai dua puluh jurus.
"Hm..., orang Mongol itu tangguh juga. Jurus-jurusnya aneh,"
Gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti itu juga menebak-nebak sambil tidak lepas memperhatikan pertarungan itu.
Dan dugaannya hampir mendekati kenyataan.
Temujin tampaknya dapat menguasai jalannya pertarungan.
Memasuki jurus yang ke tiga puluh, sudah kelihatan kalau kakek tua itu mulai kehabisan napas.
Usianya yang sudah lanjut tidak memungkinkan lagi untuk bertarung dalam jangka waktu lama.
Meskipun gerakan-gerakannya masih cepat dan lincah, namun tidak lagi seampuh semula.
Kesalahan terlalu sering dilakukan, sehingga membahaya-kan dirinya sendiri.
Kalau saja tidak ditunjang dengan gerakan kaki yang lincah, mungkin sudah sejak tadi Temu-jin dapat menghentikan perlawanan kakek tua itu.
Dugaan Rangga semakin tepat saat memasuki jurus ke empat puluh.
"Akh...!"
Satu tendangan keras mendarat telak di dada laki-laki tua itu. Sehingga membuat tubuhnya terjengkang ke belakang beberapa langkah. Belum lagi sempat menguasai tubuhnya, Temujin sudah melompat sambil mengibaskan pedangnya ke arah leher.
"Awas...!"
Rangga berteriak keras tiba-tiba. Dan secepat itu pula, tubuhnya melesat bagai kilat menyampok pedang Temujin dengan sentilan ujung jarinya. Tring! "Heh...!"
Temujin terperanjat.
Sentilan jari Pendekar Rajawali Sakti itu demikian hebat karena disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
Akibatnya, jari-jari tangan Temujin kesemutan.
Buru-buru ditarik pulang pedangnya sambil melompat mundur.
Sedangkan Rangga membantu kakek tua itu berdiri.
"Terima kasih, Anak Muda,"
Ucap kakek tua itu.
"Siapa Kakek ini?"
Tanya Rangga.
"Orang-orang memanggilku Kakek Pengemis dari Utara,"
Kakek tua itu memperkenalkan diri.
"Aku...."
"Tidak perlu kau perkenalkan di-ri. Aku sudah tahu siapa dirimu,"
Potong Kakek Pengemis dari Utara cepat.
"O...!"
Rangga agak terperanjat juga.
Rupanya nama Pendekar Rajawali Sakti sudah begitu terkenal di daerah pesisir timur ini.
Sepertinya hampir semua orang sudah bisa mengenali, meskipun dia sendiri belum pernah bertemu.
Mungkin ciri-cirinya yang begitu khas, sehingga orang bisa cepat mengenalinya.
Rangga memang selalu mengenakan baju rompi putih dalam setiap pengembaraannya.
Dan baju itulah yang menjadi ciri khasnya, di samping pedang pusaka yang bergagang kepala burung rajawali.
"Awas...!"
Tiba-tiba Kakek Pengemis dari Utara berteriak keras.
"Eits...!"
Rangga menoleh seraya memiringkan tubuhnya ke kanan.
Pada saat itu Temujin menusukkan pedangnya ke punggung Pendekar Rajawali Sakti.
Tusukan itu melesat di samping tubuh Rangga.
Pada saat yang hampir bersamaan, kaki Rangga mendupak ke belakang, dan tepat menghantam perut lawan.
"Hugh!"
Temujin mengeluh pendek.
Tubuhnya tersuruk ke belakang beberapa langkah.
Cepat sekali Rangga memutar tubuhnya bertumpu pada kaki kiri, sedangkan kaki kanannya melayang cepat ke atas.
Temujin yang masih sedikit membungkuk, tidak bisa lagi menghindar sepakan kaki itu.
Dia memekik keras sambil memegangi kepalanya.
Darah mengucur deras dari sela-sela jari tangan Temujin.
Tendangan menyilang milik Pendekar Rajawali Sakti itu demikian keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi.
Akibatnya kepala pengawal khusus Panglima Mongol itu pecah.
Selagi Temujin meraung memegangi kepalanya, Rangga sudah melompat cepat bagaikan kilat mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Tangan kanannya berkelebat cepat ke arah kepala orang Mongol itu.
Tak pelak lagi, kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti menghajar kepala yang memang sudah pecah.
"Aaakh...!"
Temujin memekik ke-ras.
Hanya sebentar ia mampu bertahan dengan kedua kakinya, kemudian tubuhnya limbung dan ambruk menggelepar di tanah.
Darah bercucuran dari kepala yang pecah.
Delapan orang prajurit Mongol yang menyaksikan kematian Temujin hanya bengong dengan mulut tern-ganga lebar.
"Kalian juga harus menyusul! Hiyaaa...!"
Seru Kakek Pengemis dari Utara keras menggelegar.
Bagaikan seekor kijang, laki-laki tua itu melompat sambil mengibaskan tongkatnya ke arah delapan orang itu.
Serangan Kakek Pengemis dari Utara yang tiba-tiba dan cepat tidak dapat dihindarkan lagi.
Tongkatnya bagaikan sebuah parang yang tengah menebas jajaran batang pisang.
Jerit dan pekik terdengar membahana mengiringi kematian delapan orang prajurit Mongol itu.
Belum lagi kedua tokoh sakti itu menarik napas, ratusan anak panah tiba-tiba meluncur deras menghujani mereka.
Rangga berseru nyaring, lalu melompat menjauh seraya menyambar tangan Kakek Pengemis dari Utara itu.
Hujan anak panah terus mencecar mereka.
Namun, lesatan Pendekar Rajawali Sakti demikian sempurna, sehingga dalam beberapa kali lompatan saja, sudah jauh dari benteng istana itu.
"Huh!"
Kakek Pengemis dari Utara menyentakkan cekalan tangan Rangga sambil memberengut.
"Maaf,"
Ucap Rangga.
Mereka kini sudah berada jauh da-ri jangkauan anak panah.
Kakek Pengemis dari Utara bersungut-sungut tidak jelas.
Kakinya dihentak-hentakkan ke tanah.
Rangga tahu kalau laki-laki tua itu kesal karena dia dibawa paksa menyingkir dari benteng istana.
Tapi kalau tidak menyingkir, jelas mereka akan tercincang dihujani anak panah.
Setangguh-tangguhnya seseorang, tidak akan mampu menghindari gempuran anak panah yang tiada habis-habisnya itu.
*** "Sudah lama kutunggu kesempatan ini, tapi semuanya kau buat berantakan!"
Rungut Kakek Pengemis dari Utara.
"Maaf, aku tidak bermaksud begi-tu,"
Ucap Rangga menyesal.
"Tidak perlu! Kau lihat, mereka sudah keluar!"
Rangga mengalihkan perhatiannya ke istana itu.
Memang benar, para prajurit Mongol bermunculan dari dalam benteng istana.
Mereka semua menunggang kuda.
Terlihat paling depan adalah Panglima Ogodai Leng.
Di sampingnya yang menunggang kuda coklat adalah Hulagu Leng.
Rupanya adik kandung Panglima Mongol itu sudah kembali bebas dari tawanan.
Cukup banyak juga jumlah mereka.
Seluruhnya tidak kurang dari lima puluh orang.
Bahkan mungkin bisa lebih.
Mereka berkuda tidak tergesa-gesa.
Ini membuat Pendekar Rajawali Sakti maupun Kakek Pengemis dari Utara keheranan.
Mereka tentu melihat dua orang tokoh sakti itu, tapi tampaknya tidak mempedulikan.
Rangga sengaja menampakkan diri berdiri di pinggir jalan yang bakal dilalui rombongan orang Mongol itu.
Kakek Pengemis dari Utara ikut melangkah menghampiri Pendekar Rajawali Sakti itu.
Mereka berdiri berdampingan dengan pandangan tidak berkedip pada rombongan berkuda itu.
Panglima Ogodai Leng rupanya melihat juga.
Maka diangkat tangannya tinggi-tinggi.
Para prajurit berkuda di belakangnya menghentikan langkah kudanya.
Panglima Ogodai Leng turun dari kuda, diikuti Hulagu Leng.
Mereka berdua melangkah menghampiri dua orang yang telah membunuh banyak orang Mongol.
Bahkan pengawal pribadi Panglima Mongol itu pun tewas terbunuh.
"Kalian orang-orang yang pembera-ni,"
Kata Ogodai Leng setelah jaraknya tinggal beberapa langkah lagi.
"Kalian juga lebih berani lagi. Menjarah negeri orang dan membuat kekacauan,"
Sahut Kakek Pengemis dari Utara ketus.
"Kalau saja raja kalian berhati lunak, tentu tidak akan seperti ini,"
Kata Ogodai Leng kalem.
"Apa pun maksud kalian datang ke sini, kami semua tidak menghendaki. Dan sebaiknya tuan-tuan segera meninggalkan negeri ini, sebelum kami buat kuburan bagi tuan-tuan semua!"
Kata-kata Kakek Pengemis dari Utara jelas bernada ancaman.
"Kakak Ogodai Leng, memang se-baiknya kita tinggalkan negeri ini,"
Celetuk Hulagu Leng yang sejak tadi diam saja.
"Diam kau, Hulagu Leng!"
Bentak Panglima Ogodai Leng.
"Kakak, ingatlah dengan amanat yang dibawa utusan Yang Mulia Jengis Khan!"
Sentak Hulagu Leng agak keras suaranya.
"Ini urusanku! Kalau kau ingin kembali ke Mongol, silakan! Aku tidak akan ingin melihatmu seumur hidupku!"
"Kak..!"
Panglima Ogodai Leng mendorong adiknya ke belakang. Hulagu Leng berusaha mencegah, tapi kakaknya itu malah memukul keras wajahnya. Hulagu Leng pun terjajar beberapa langkah. Dari sudut bibirnya mengucur darah segar.
"Kak, dengarlah dulu! Utusan itu sudah menunggu di kapal. Yang Mulia membutuhkan kita saat ini!"
Hulagu Leng terus mendesak kakaknya.
"Diam...!"
Bentak Panglima Ogodai Leng sambil menahan kemarahannya.
"Baiklah. Jika Kakak ingin tetap di sini, aku akan ke kapal penjemput bersama seluruh prajurit!"
Kata Hulagu Leng keras.
"Silakan! Cepat kau pergi, tapi jangan coba-coba membawa satu prajurit pun!"
Hulagu Leng melompat naik ke punggung kudanya.
Dipandangi prajurit-prajurit yang berjumlah lebih dari lima puluh orang itu.
Tampaknya mereka bimbang.
Tapi begitu melihat tatapan mata panglimanya, mereka tidak ada yang berani ikut bersama Hulagu Leng.
Dan tetap berada di punggung kudanya masing-masing.
"Kalian akan menyesal! Di sini bukan tempat kalian!"
Kata Hulagu Leng keras.
"Cepat kau pergi, Hulagu Leng!"
Bentak Ogodai Leng "Ingat kata-kataku! Menjarah negeri orang tidak akan membawa kebaikan. Yang Mulia juga tidak akan menerima tindakan kalian di sini! Dengar itu...!"
Keras nada suara Hulagu Leng.
Setelah berkata demikian Hulagu Leng segera memacu kudanya menuju ke pelabuhan.
Tampak sebuah kapal penjemput yang sangat besar berlabuh di dermaga.
Sementara Ogodai Leng memandangi prajurit-prajuritnya yang tengah diliputi kebimbangan.
Beberapa prajurit mulai bergerak memisahkan diri, kemudian memacu kudanya dengan cepat menuju ke pelabuhan.
"Kembali kalian!"
Seru Panglima Ogodai Leng geram.
Tapi prajurit-prajurit yang me-ninggalkan pemimpinnya itu tidak lagi peduli.
Mereka terus memacu kudanya menyusul Hulagu Leng.
Hal ini membuat Panglima Mongol itu jadi geram.
Ama-rahnya meluap! Dia berteriak keras seraya menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Secercah sinar merah melesat dari kedua telapak tangan Panglima Mongol itu.
Sinar merah itu meluruk cepat bagai kilat melanda separuh prajurit yang meninggalkannya.
Jerit dan pekik melengking terdengar saling sahut begitu sinar merah itu menerpa tubuh mereka.
"Lihat...! Siapa yang berani mem-bangkang perintahku, maka akan berna-sib sama dengan mereka!"
Seru Ogodai Leng pongah. *** "Biadab...!"
Rangga menggeram muak melihat kekejaman Panglima Mongol itu.
Lebih dari dua puluh orang tewas dalam seketika terhantam pukulan jarak jauh Panglima Ogodai Leng.
Mereka adalah prajurit-prajuritnya sendiri.
Sisa prajurit yang masih berada di punggung kudanya tidak berani lagi coba-coba mengkhianati panglimanya.
Tapi lima orang yang mungkin sudah tidak tahan akan kekejaman pangli-manya itu, tidak mengindahkan peringa-tan tadi.
Mereka menggebah kudanya agar berlari cepat menuju ke pelabuhan.
"Keparat...!"
Geram Panglima Ogodai Leng gusar.
"Hiyaaa...!"
Ogodai Leng menghentakkan tangannya ke depan, maka sinar merah kembali meluncur cepat bagai kilat dari telapak tangannya.
Melihat nyawa lima orang yang kelihatannya terancam, Rangga tidak bisa tinggal diam lagi.
Cepat-cepat dikerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'.
"Hiyaaat...!"
Rangga menghentakkan tangannya ke depan, menghadang cahaya merah yang melesat ke arah lima orang penunggang kuda itu.
Dari telapak tangannya melesat cahaya biru menggumpal bagai bola sebesar kepala.
Cahaya biru itu langsung menghantam cahaya merah.
Glarrr...! Ledakan dahsyat terdengar bagai letusan gunung berapi.
Tampak Panglima Ogodai Leng terpental sejauh lima batang tombak.
Begitu pula Pendekar Rajawali Sakti.
Punggungnya sampai menghantam dinding sebuah rumah hingga jebol.
Dua jenis kesaktian yang bertemu, memang menimbulkan suatu kekuatan dahsyat.
Ledakan itu juga menimbulkan pijaran bunga api ke segala arah, sehingga membakar beberapa rumah di sekitar tempat itu.
Rangga melompat keluar dari dalam rumah yang terlanda tubuhnya.
Rumah itu sudah terbakar sebagian atapnya.
Saat yang sama, Panglima Ogodai Leng pun sudah bisa bangkit berdiri.
Mereka berdiri saling berhadapan.
Ogodai Leng menggeram marah melihat lima orang prajuritnya telah mencapai dermaga.
Bahkan sepuluh orang lagi memacu cepat kudanya memasuki pelabuhan.
Tinggal sekitar dua puluh orang lagi yang tersisa.
"Setan! Berani kau menghalangiku, Anak Muda!"
Geram Ogodai Leng.
"Aku tidak bisa melihat kekejaman berlangsung di depan mataku!"
Sahut Rangga ketus.
"Kalau begitu, kau harus mampus!"
Setelah berkata demikian, Ogodai Leng segera mencabut senjatanya yang berupa golok besar dan panjang, bergagang sepanjang mata goloknya.
Kelihatan berat sekali senjata itu.
Tapi di tangan Ogodai Leng, golok itu seperti terbuat dari karet saja.
Kini diputar-putar senjatanya dengan cepat, sehingga menimbulkan angin menderu-deru.
Siapa saja yang mendengarnya pasti menjadi ciut hatinya.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti kelihatan tenang saja.
Dia masih berdiri tegak dengan mata tajam mengamati setiap gerakan yang dilakukan Panglima Mongol itu.
Sekecil apa pun gerakannya, menjadi perhatian Rangga.
"Hiyaaat...!"
Ogodai Leng berteriak keras menggelegar.
Dia berlari kencang sambil men-gangkat senjatanya tinggi-tinggi di atas kepala.
Kedua tangannya menggenggam gagang golok yang panjang.
Sedangkan Rangga masih tetap berdiri tegak tidak bergeming sedikit pun.
Semua orang yang melihatnya hanya menahan napas.
Demikian pula Kakek Pengemis dari Utara.
"Edan! Apa dia mau bunuh di-ri...?!"
Dengus Kakek Pengemis dari Utara.
Panglima Ogodai Leng mengayunkan goloknya dengan keras dan bertenaga penuh.
Ayunan golok itu menimbulkan suara menderu disertai desiran angin yang dahsyat.
Namun Rangga masih tetap diam tidak bergeming, meskipun golok itu mengancam ke arahnya.
Tapi ketika golok itu dekat...
"Yap...!"
Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu menarik kakinya ke belakang, lalu tubuhnya melenting ke udara.
Hanya sekali berputar di udara, tiba-tiba kakinya mendupak keras ke arah kepala Ogodai Leng.
Saat itu Ogodai Leng masih terpusat pada ayunan goloknya yang menghantam tanah, sehingga begitu terperangah setelah merasakan desiran halus di atas kepalanya.
Buru-buru dirundukkan kepalanya, maka ayunan kaki Rangga lewat di atas kepala Panglima Mongol itu.
"Yaaa...!"
Sambil berteriak nyaring, Ogodai Leng memutar tubuhnya sambil mengibaskan goloknya.
Saat itu Rangga tengah meluruk turun dan tidak sempat lagi menghindar.
Dengan manis sekali ujung jari kakinya menotok ujung golok Panglima Ogodai Leng.
Dengan meminjam tenaga panglima itu, Rangga melentingkan tubuhnya kembali ke udara.
"Awas kepala...!"
Teriak Rangga keras.
"Ikh...!"
Ogodai Leng terpekik kaget. Sungguh tidak diduga sama sekali kalau Rangga bisa cepat berbalik arah, bahkan kini menyerangnya dengan tangan kanan mengibas ke arah kepala. Ogodai Leng buru-buru melompat mundur seraya mengibaskan goloknya ke depan.
"Hap!"
Tangkas sekali Rangga menangkap golok lawannya ini. Tapi rupanya Ogodai Leng memiliki tenaga dalam yang tinggi juga. Dengan sekali sentak saja goloknya sudah terlepas dari jepitan tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Bagus!"
Seru Panglima Ogodai Leng tiba-tiba.
Dia kini berdiri tegak dengan senjata tersandang di pundak.
Rangga yang sudah menjejakkan kakinya di tanah, juga berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada.
Tatapan matanya tajam, menembus langsung ke bola mata Panglima Mongol itu.
Bibirnya terkatup rapat.
"Jauh-jauh aku mengelilingi dunia hanya untuk mencari orang tangguh! Ternyata di sinilah aku mendapatkannya. Bagus, Anak Muda! Yang kuinginkan pertarungan yang sungguh-sungguh sampai salah satu di antara kita ada yang mati!"
Kata Panglima Ogodai Leng, wajahnya tampak berseri-seri.
"Hm...,"
Rangga bergumam pelan.
Tidak diduga sama sekali, ternya-ta Panglima Ogodai Leng datang ke sini hanya untuk mencari seseorang yang bisa menandinginya.
Mengelilingi dunia hanya untuk mencari lawan! Namun tindakannya yang kasar dan brutal memberikan kesan buruk padanya.
Dan citra buruk Panglima Mongol itu tidak dapat lagi dihilangkan dari hati siapa pun, termasuk pendekar muda itu.
"Siapa namamu, Anak Muda?"
Tanya Panglima Ogodai Leng.
"Rangga,"
Sahut Rangga singkat.
"Ingat kata-kataku, Rangga. Jangan menyesal kalau memandangku rendah. Aku tidak segan-segan membunuhmu!"
Kata Panglima Ogodai Leng tegas dan lantang.
"Majulah!"
Tantang Rangga.
"He he he...! Kau tidak bersenja-ta, Rangga,"
Panglima Ogodai Leng terkekeh.
"Rasanya belum perlu mengeluarkan senjata,"
Sahut Rangga tenang.
"O.... Begitu? Baiklah. Jangan menyesal kalau kau mampus tanpa senjata. Kau sudah kuperingatkan, Anak Muda."
Setelah berkata demikian, Pangli-ma Ogodai Leng melompat menyerang menggunakan jurusnya yang dahsyat.
Rangga menarik kakinya ke belakang seraya mengegoskan tubuhnya ke kiri.
Terjangan senjata Ogodai Leng hanya lewat di samping tubuhnya.
Dan dengan cepat, kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti itu melayang ke arah iga.
Tapi manis sekali berhasil dielakkan Panglima Mongol itu.
*** Sementara Rangga bertarung melawan Panglima Ogodai Leng, Kakek Pengemis dari Utara terus mengawasi prajurit-prajurit Mongol yang masih berada di punggung kudanya masing-masing.
Kakek tua renta itu berjaga-jaga sean-dainya salah seorang dari mereka melakukan kecurangan.
Pertarungan Pendekar Rajawali Sakti dengan Panglima Ogodai Leng adalah suatu pertarungan dua orang jantan sejati.
Pada saat pertarungan mencapai taraf yang sangat tinggi, dari arah selatan muncul Prabu Duta Nitiyasa yang didampingi Resi Kamuka.
Di belakang mereka berbaris para prajurit dan murid-murid Padepokan Arang Watu.
Pada saat yang sama, dari arah pelabuhan juga datang Hulagu Leng.
Resi Kamuka memberi aba-aba lewat tangannya agar prajurit-prajurit lain tidak ikut campur dalam pertarungan ksatria itu.
Dia turun dari kudanya diikuti Prabu Duta Nitiyasa.
Resi Kamuka mendekati Kakek Pengemis dari Utara.
Laki-laki tua kumal itu hanya melirik sedikit.
Sepertinya tidak ingin kenikmatannya terganggu sedikit pun dalam menyaksikan pertarungan yang dahsyat dan menarik ini.
"Bagaimana ini bisa terjadi?"
Tanya Resi Kamuka.
"Kejantanan,"
Sahut Kakek Pengemis dari Utara singkat.
"Lalu mereka?"
Resi Kamuka melirik para prajurit Mongol yang menonton di atas punggung kudanya masing-masing.
"Mereka akan pergi kalau panglimanya kalah,"
Sahut Kakek Pengemis dari Utara tidak menoleh sedikit pun.
Kakek Pengemis dari Utara tidak mempedulikan para prajurit Mongol lagi.
Perhatiannya terus tertuang pada pertarungan dua satria itu, karena merasa yakin ada orang lain lagi yang mengawasi para prajurit itu.
Dan ini satu kesempatan yang tidak disia-siakannya.
Masalahnya, jarang bisa menyaksikan dua orang berilmu tinggi bertarung.
Sementara itu pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan Panglima Ogodai Leng sudah mencapai taraf yang tinggi.
Masing-masing mengeluarkan jurus andalannya.
Bahkan kini Rangga mengeluarkan senjata pusakanya, Pedang Rajawali Sakti.
Cahaya biru langsung menyemburat menerangi sekitarnya, membuat mata silau.
Tampak Panglima Ogodai Leng ter-kesiap juga melihat pamor pedang di tangan lawannya yang begitu dahsyat.
Ada sedikit kegentaran di hatinya, namun cepat-cepat dibuang perasaan itu.
Dengan tangan kosong saja Rangga mampu menandingi sampai lebih dari lima puluh jurus, apalagi kini dia memegang senjata yang memiliki pamor demikian dahsyat! Sesaat pertarungan terhenti.
Dua orang itu saling berhadapan dalam jarak yang tidak begitu jauh.
Mereka saling menatap tajam, seolah-olah tengah mengukur tingkat kepandaian lawan.
"Kakak Ogodai Leng...,"
Terdengar suara Hulagu Leng yang sudah kembali berada di tempat itu.
"Jangan ikut campur, Hulagu Leng. Pergilah! Bawa seluruh prajurit kembali ke Mongol!"
Kata Ogodai Leng tanpa memalingkan mukanya.
"Kak, mengapa kau masih juga mencari lawan? Bertahun-tahun mengelilingi dunia hanya untuk memuaskan ambisi-mu untuk menjadi orang terkuat di dunia. Sadarlah, Kak! Itu tidak akan terjadi. Tidak sedikit orang kuat dan tangguh di dunia ini. Kau tidak akan bisa menandingi mereka semuanya,"
Hulagu Leng masih mencoba menyadarkan kakaknya.
"Pergi kataku, Hulagu Leng!"
Dengus Ogodai Leng geram.
"Kak...."
"Pergi...! Hiyaaa...!"
Ogodai Leng tidak mendengar lagi kata-kata adiknya.
Dan segera diter-jangnya Rangga dengan golok terangkat ke atas.
Pada saat itu, Rangga sudah siap dengan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.
Jurus yang sangat diandalkan jika menggunakan Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
Trang! Rangga sengaja menghantamkan pedangnya ke senjata Panglima Ogodai Leng.
Bunga api memercik begitu dua senjata beradu keras.
Pada saat yang sama, kaki Pendekar Rajawali Sakti melayang ke arah perut.
Tendangan yang tidak terduga itu tak terhindarkan lagi.
"Hug...!"
Panglima Ogodai Leng mengeluh pendek.
Tubuhnya terjajar beberapa langkah ke belakang.
Belum lagi sempat mengatur napasnya yang mendadak sesak, Rangga sudah melompat sambil mengayunkan pedangnya ke arah kepala.
Ogodai Leng cepat-cepat mengangkat goloknya melindungi kepalanya dari tebasan pedang itu.
Tring! "Akh...!"
Panglima Ogodai Leng memekik tertahan.
Semua orang yang berada di situ jadi terbeliak melihat senjata Panglima Ogodai Leng terpenggal jadi dua bagian.
Dan belum lagi rasa heran itu hilang, tiba-tiba saja Rangga berteriak keras.
Tubuhnya melesat sambil mengibaskan pedangnya beberapa kali ke beberapa bagian tubuh Ogodai Leng.
"Aaa...!"
Panglima Ogodai Leng menjerit keras.
Meskipun sudah berusaha menghindari serangan itu, namun satu tebasan pedang berwarna biru itu berhasil membuntungkan tangan kiri Ogodai Leng sebatas pangkal lengan.
Dan ketika tubuhnya limbung, Rangga kembali mengibaskan pedangnya ke arah leher.
Kali ini Panglima Ogodai Leng tidak bisa bersuara lagi.
Sebentar tubuhnya masih mampu berdiri tegak, kemudian limbung dan ambruk ke tanah.
Lehernya putus terba-bat pedang Pendekar Rajawali Sakti.
Darah mengucur deras dari pangkal lengan dan leher yang buntung.
"Kak..!"
Pekik Hulagu Leng histeris.
Hulagu Leng berlari menubruk mayat kakaknya yang menggeletak tidak bergerak-gerak lagi.
Pemuda berwajah tampan bagai wanita itu meratapi kematian kakaknya.
Disesali sikap kakaknya yang begitu keras dan merasa terhebat di jagad ini.
Sudah tidak terhitung berapa negeri yang dimasukinya, berapa nyawa melayang di tangannya.
Hari ini dia menemui kematiannya di tangan seorang pendekar muda yang tangguh.
Rangga berdiri tegak memandangi Hulagu Leng yang meratapi dan menyesa-li kematian kakaknya.
Dimasukkan kembali Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di balik punggung.
Seketika keheningan mencekam sekitar tempat ini.
Hanya ratapan Hulagu Leng saja yang terdengar lirih.
Kata-kata yang diucapkannya sangat sukar untuk dimengerti.
Hanya mereka yang dari Mongol saja bisa memahami.
Hulagu Leng bangkit berdiri perlahan-lahan, dan langsung menatap pada Pendekar Rajawali Sakti yang masih berdiri di tempatnya.
Sesaat mereka hanya saling tatap tanpa berkata-kata.
Entah apa yang ada dalam hati masing-masing.
"Aku tidak akan dendam padamu. Memang inilah yang diinginkan kakakku. Mati di tangan seorang yang tangguh dan sakti melebihi kemampuannya,"
Kata Hulagu Leng agak tersendat.
"Maafkan aku,"
Ucap Rangga pelan.
"Tidak. Kau tidak perlu meminta maaf. Hanya kematianlah yang dapat menghentikan sepak terjang kakakku. Seandainya kau tadi kalah, entah berapa nyawa lagi akan melayang melalui tangannya. Terus terang, aku sendiri tidak setuju dengan segala tindakannya. Yang Mulia Jengis Khan sengaja menempatkan aku pada pasukan ini untuk mengontrol tindakan kakakku. Tapi Kak Ogodai Leng memang keras dan sulit untuk menghentikannya...,"
Semakin lirih suara Hulagu Leng.
Semua orang terdiam.
Hati mereka tersentuh dengan kata-kata yang diucapkan adik panglima itu.
Terlebih lagi Pendekar Rajawali Sakti.
Sebenarnya dia sangat menyesal telah mene-waskan Ogodai Leng.
Kalau saja dia tahu, mungkin hanya membuatnya kalah tanpa harus membunuhnya.
Ternyata selama ini segala tindakan Ogodai Leng dan prajurit-prajuritnya memang disengaja untuk memancing keluarnya tokoh-tokoh sakti agar bisa bertarung dengannya.
Itulah yang menjadi tujuan utamanya.
Tapi jika Rangga tidak mene-waskannya, Ogodai Leng akan tertekan sepanjang hidupnya.
Bahkan mungkin akan menyimpan dendam yang semakin berkobar.
Tindakannya pun akan bertambah brutal lagi.
Memang hanya kematian sajalah yang dapat menghentikan ambi-sinya itu, seperti yang dikatakan adiknya, Hulagu Leng.
*** Hulagu Leng memerintahkan para prajurit yang masih ada di tempat itu untuk mengangkat mayat panglima mereka dan meletakkannya di punggung kuda.
Hulagu Leng menghampiri Rangga dan menyodorkan tangannya.
Sebentar Rangga menatap, lalu menerima uluran tangan itu.
"Kuharap kita bisa bertemu lagi. Bukan sebagai musuh, melainkan sebagai sahabat,"
Ucap Hulagu Leng.
"Mudah-mudahan,"
Sahut Rangga terharu akan kebesaran jiwa orang Mongol ini. Hulagu Leng menghampiri Prabu Du-ta Nitiyasa.
"Aku berharap Tuan rela memaafkan atas segala kerusakan dan penderitaan yang terjadi selama kami berada di sini,"
Ucap Hulagu Leng seraya menjabat tangan Prabu Duta Nitiyasa.
"Yah...,"
Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Prabu Duta Nitiyasa.
Dia tidak tahu lagi harus berkata apa.
Semuanya sudah terjadi.
Hulagu Leng memerintahkan prajuritnya menuju ke pelabuhan.
Sedangkan dia sendiri masih berdiri menghadap Prabu Duta Nitiyasa.
Para Prajurit Mongol itu sudah bergerak membawa mayat panglimanya.
"Terima kasih atas kebaikan hati Tuan dan seluruh rakyat di sini,"
Ucap Hulagu Leng. Prabu Duta Nitiyasa mengangkat bahunya, sepertinya masih sulit untuk mengucapkan kata-kata.
"Aku berharap Tuan sudi datang ke Kerajaan Mongol. Tuan bisa melihat bahwa sebenarnya bangsa kami cinta damai. Dan antara bangsa Tuan dan bangsa kami bisa saling mengikat tali persahabatan,"
Kata Hulagu Leng lagi.
"Dengan senang hati kuterima undangan ini,"
Sahut Prabu Nitiyasa.
"Terima kasih."
Hulagu Leng menjabat tangan Prabu Duta Nitiyasa sekali lagi, kemudian menghampiri kudanya dan melompat naik.
Sebentar dipandangi semua orang yang berada di tempat ini, kemudian menggebah kudanya meninggalkan tempat itu.
Prabu Duta Nitiyasa melangkah perlahan-lahan menuju ke pelabuhan.
Resi Kamuka, Kakek Pengemis dari Utara, dan beberapa prajurit mengikuti dari belakang.
Sementara itu orang-orang Mongol yang sudah berada di atas kapal, datang menjemput Hulagu Leng dan prajurit lain.
Saat semuanya sudah berada di atas kapal, Prabu Duta Nitiyasa dan yang lainnya sudah sampai di dermaga.
Kini, perlahan-lahan kapal besar itu bergerak meninggalkan dermaga.
Tampak di anjungan, Hulagu Leng melam-bai-lambaikan tangannya.
Prabu Duta Nitiyasa membalas dengan lambaian tangan juga.
Kapal itu terus bergerak ke tengah laut lepas.
Semakin lama semakin jauh menuju cakrawala.
Saat itu senja mulai merayap turun.
Kere-mangan pelahan menyelimuti sekitarnya.
Prabu Duta Nitiyasa masih berdiri di dermaga memandang ke laut lepas.
"Hhh..., ternyata masih ada orang Mongol yang berbudi luhur,"
Desah Prabu Duta Nitiyasa.
"Di mana pun tempatnya, pasti ada yang baik dan ada yang buruk,"
Jelas Resi Kamuka.
"Ya..., ini satu pelajaran untuk kita semua,"
Desah Prabu Duta Nitiyasa kembali.
"Marilah, Ananda Prabu. Hari semakin gelap,"
Ajak Resi Kamuka.
"Tunggu dulu, Ayahanda Resi...!"
Sentak Prabu Duta Nitiyasa tiba-tiba, lalu berbalik. Raja Jiwanala itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Resi Kamuka tahu apa yang dicari anak menantunya ini. Ditepuknya bahu Prabu Duta Nitiyasa sambil tersenyum dikulum.
"Dia sudah pergi,"
Kata Resi Kamuka.
"Pergi...!? Ke mana?"
Tanya Prabu Duta Nitiyasa.
"Untuk apa kau tanyakan itu, Ananda Prabu?"
Resi Kamuka balik bertanya.
Prabu Duta Nitiyasa bungkam.
Ya..., untuk apa bertanya begitu? Bukankah Rangga seorang pendekar kelana yang tidak pernah menetap dan tidak tentu tujuannya? Tapi Prabu Duta Nitiyasa tidak peduli.
Dia begitu mengagumi Pendekar Rajawali Sakti itu, dan ingin mengundangnya tinggal di istana barang beberapa hari.
Rasanya tidak pantas kalau tidak memberi kesan apa-apa, setelah Rangga mempertaruhkan nyawanya untuk memulihkan kembali Kerajaan Jiwanala.
"Ananda Prabu, mau ke mana...?"
Seru Resi Kamuka melihat Prabu Duta Nitiyasa berlari cepat dan melompat ke punggung kudanya yang dipegangi salah seorang punggawa.
Prabu Duta Nitiyasa tidak menjawab, tapi langsung menggebah kudanya dengan cepat.
Resi Kamuka bergegas menghampiri kudanya.
Kuda itu belum digebah meskipun laki-laki tua itu sudah naik ke punggung kuda.
Dipandangi para prajurit dan murid-muridnya.
"Hm..., ayo kembali ke istana!"
Ajak Resi Kamuka.
*** Ke mana sebenarnya Rangga pergi? Pendekar Rajawali Sakti itu me-mang belum meninggalkan Kerajaan Jiwanala.
Dia berada di kedai milik Ki Jantar.
Kedai itu memang tidak pernah tutup.
Meskipun orang-orang Mongol menguasai istana kerajaan, Ki Jantar tidak berniat untuk mengungsi.
Laki-laki tua pemilik kedai itu gembira sekali melihat kedatangan Rangga.
"He he he.... Den Rangga memang hebat!"
Puji Ki Jantar menyambut kedatangan Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Hebat bagaimana, Ki?"
Tanya Rangga pura-pura bodoh.
"Aku tahu apa yang Den Rangga lakukan. Wah..., kalau saja tidak ada Den Rangga, apa jadinya kerajaan ini...? Untung Raden bisa mengalahkan Panglima Mongol itu,"
Ki Jantar mengo-ceh.
"Minta araknya, Ki,"
Sela Rangga mengalihkan ocehan itu.
"Tidak perlu dibayar, Den,"
Kata Ki Jantar sambil menyediakan arak yang diminta Rangga. Bahkan juga disediakan makanan istimewa.
"Kenapa?"
Tanya Rangga.
"Jasa Raden tidak akan terbayar hanya dengan seguci arak dan makanan ini,"
Sahut Ki Jantar.
"Ah! Sudahlah, Ki. Aku hanya melakukan semampuku saja. Selebihnya..., aku angkat bahu saja,"
Kata Rangga tidak ingin membicarakan hal itu lagi.
"Pendekar sejati memang begitu, selalu merendahkan diri! Seperti padi, semakin berisi semakin merunduk. He he he...,"
Ki Jantar terkekeh.
Rangga hanya tersenyum saja mendengar celoteh itu.
Dituang araknya ke dalam gelas, dan diteguknya hingga tandas.
Pertarungannya melawan Panglima Ogodai Leng sangat menguras tena-ganya.
Baru kali ini didapatkan lawan yang begitu tangguh, hingga semua kemampuannya hampir terkuras.
Tapi dalam hati diakui jiwa ksatria yang dimiliki Panglima Ogodai Leng meskipun tindakannya salah.
Dan yang membuat hatinya merasa tersentuh adalah sikap Hulagu Leng.
Meskipun kakak kandungnya terbunuh, tapi tidak mendendam.
Bahkan memintakan maaf untuk kakaknya yang telah bertindak keliru selama ini.
Sungguh besar ji-wanya! "Kok melamun, Den...?"
Tegur Ki Jantar yang masih duduk di depan Rangga.
"Ah, tidak...,"
Desah Rangga ter-bangun dari lamunannya.
Rangga menatap laki-laki tua pemilik kedai ini.
Selama berada di Kerajaan Jiwanala ini, banyak yang dapat didengar dan diketahuinya.
Kerajaan ini boleh dikatakan seumur ja-gung! Tidak lebih tua dari usia Rangga sendiri sekarang.
Dan lagi kebanyakan penduduknya berasal dari Karang Setra, tempat kelahiran Pendekar Rajawali Sakti.
Bahkan Prabu Duta Nitiyasa sendiri masih saudara sepupu Adipati Arya Permadi, ketika Karang Setra masih berupa kadipaten.
Jelas dia masih ada ikatan darah dengan Rangga.
Jadi, Rangga harus memanggil Prabu Duta Nitiyasa dengan sebutan paman.
"Ada apa, Den?"
Tanya Ki Jantar merasa jengah dipandangi terus.
"Ada yang ingin kutanyakan pada-mu, Ki,"
Kata Rangga.
"Tentang apa?"
"Ki Jantar berasal dari Karang Setra, bukan?"
Tanya Rangga ingin membuktikan kebenaran cerita yang didapatnya.
"Benar,"
Sahut Ki Jantar, agak heran juga dengan pertanyaan itu.
"Kapan Ki Jantar meninggalkan Karang Setra?"
"Kira-kira lima belas atau dua puluh tahun yang lalu. Tepatnya ketika Gusti Adipati mendapat musibah,"
Sahut Ki Jantar.
"Ki Jantar tahu, apa yang terjadi terhadap keluarga Adipati Karang Setra?"
"Wah, tidak Den. Tapi kalau Raden ingin tahu, bisa tanyakan pada Gusti Prabu Duta Nitiyasa. Soalnya beliau masih sepupu Gusti Adipati Karang Setra. Malah kalau Raden ingin tahu lebih jauh, ada bekas pembesar kadipaten yang tinggal di sini. Sekarang pun jadi pembesar di istana, Den."
"Siapa namanya, Ki?"
"Patih Raksajunta."
Rangga tersentak.
Tidak diduga kalau Patih Raksajunta dulunya juga seorang pembesar Karang Setra.
Rangga memang sengaja datang ke kerajaan ini untuk maksud tertentu.
Memang sudah banyak didengarnya kalau rakyat Kerajaan Jiwanala di pesisir pantai ini kebanyakan berasal dari Karang Setra.
Mereka yang datang ke sini karena tidak suka dengan kepemimpinan Adipati Wira Permadi yang menggantikan Adipati Arya Permadi, ayahnya Rangga.
"Hm..., apakah bisa kudapatkan di sini?"
Rangga bertanya dalam hati.
Apa sebenarnya yang dicari Pendekar Rajawali Sakti itu? Bagaimana sikap Prabu Duta Nitiyasa jika mengetahui Pendekar Rajawali Sakti adalah keponakannya? Untuk mengetahui jawa-bannya, ikutilah serial Pendekar Rajawali Sakti selanjutnya dalam episode "KEMELUT PUSAKA LELUHUR".
SELESAI Scan/E-Book.
Abu Keisel Juru Edit.
Nya.Ber
http.//duniaabukeisel.blogspot.com/ Document Outline JAGO DARI MONGOL *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** 7 *** *** *** *** SELESAI
Kiang Chu Gie Karya Siao Shen Sien Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Dewa Arak Dewi Penyebar Maut