Ceritasilat Novel Online

Misteri Naga Laut 1


Pendekar Rajawali Sakti Misteri Naga Laut Bagian 1


MISTERI NAGA LAUT Oleh Teguh Suprianto Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta Penyunting.

   Puji S.

   Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh Isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Teguh Suprianto Serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode.

   Misteri Naga Laut 128 hal.

   ; 12 x 18 cm
http.//duniaabukeisel.blogspot.com/ Clark! Glarrr...! Ledakan keras terdengar menggelegar, tak lama setelah cahaya kilat membelah langit hitam oleh gulungan awan tebal.

   Di bawahnya, permukaan Laut Utara tampak bergolak bagai diamuk ribuan tan-gan-tangan raksasa.

   Rintik-rintik air hujan pun mulai terlihat turun dari gumpalan awan hitam yang menutupi seluruh langit Pesisir Pantai Laut Utara ini.

   Dari gulungan ombak yang setinggi gunung, terlihat sebuah perahu kecil bercadik tengah berusaha menepi.

   Hanya seorang laki-laki setengah baya saja yang ada di dalamnya.

   Dan tampaknya, dia begitu takut melihat laut yang bergelombang besar, bagai hendak menenggelamkan perahu kecilnya.

   Sedikit demi sedikit perahu bercadik itu mulai menepi.

   Laki-laki setengah baya yang bertelanjang dada itu, bergegas melompat keluar begitu perahunya sudah menepi.

   Dengan sekuat tenaga, perahunya berusaha ditarik.

   Kemudian, talinya diikatkan di tonggak kayu.

   Sebentar dipandanginya langit yang hitam sambil menyeka keringat di leher dengan punggung tangan.

   "Huh! Bakal ada kejadian apa ini...?"

   Keluhnya berat.

   Setelah meyakinkan kalau perahunya sudah aman, bergegas tubuhnya berputar dan melangkah pergi meninggalkan pesisir pantai.

   Tapi baru saja kakinya terayun beberapa langkah, mendadak saja terdengar ledakan keras menggelegar yang menge-jutkan, bersamaan dengan percikan cahaya kilat di angkasa.

   Laki-laki setengah baya itu cepat memutar tubuhnya berbalik kembali.

   "Oh...?!"

   Kedua bola mata laki-laki itu jadi terbeliak le-bar, dan mulutnya ternganga.

   Seluruh tubuhnya langsung mengejang kaku.

   Hampir penglihatannya sendiri tidak dipercaya.

   Ternyata di tengah laut yang bergelombang sangat besar terlihat seekor ular naga raksasa berwarna hijau dan memancarkan cahaya terang menyilaukan mata.

   Binatang yang hidup di alam dongeng itu ternyata benar-benar ada, dan kini muncul di permukaan laut! "Dewata Yang Agung....

   Apa itu...?"

   Desahnya dengan suara bergetar.

   Namun pada saat itu juga, kilat kembali me-nyambar dari angkasa.

   Dan begitu cahayanya le-nyap, ular naga raksasa berwarna hijau bercahaya terang itu pun langsung lenyap.

   Sementara, laki-laki setengah baya yang otot tubuhnya bertonjolan itu masih tetap berdiri terpaku memandang ke tengah laut "Oh...."

   Kembali dia melenguh panjang, saat langit yang semula kelam terselimut awan hitam mendadak jadi terang dan sangat cerah.

   Bahkan sedikit pun tak ada awan yang terlihat menggantung di angkasa sana.

   Hujan rintik-rintik pun ikut lenyap.

   Semua yang terjadi saat itu benar-benar lenyap, begitu ular naga raksasa berwarna hijau bercahaya di tengah laut menghilang.

   "Mimpikah aku...? Benarkah itu Naga Laut?"

   Laki-laki setengah baya itu jadi bertanya-tanya sendiri di dalam hati.

   Rasanya saat itu tengah bermimpi saja.

   Tapi saat tubuhnya diputar, perkam-pungan nelayan yang ada di Pesisir Pantai Utara ini kelihatan sunyi sekali.

   Bahkan tak ada seorang pun yang terlihat.

   Semua rumah dalam keadaan tertutup, baik pintu maupun jendelanya! Dan keadaan perkampungan itu benar-benar seperti baru dilanda badai.

   "Hal ini harus cepat-cepat kulaporkan pada Ki Amus,"

   Ujar laki-laki setengah baya itu berbicara pada diri sendiri.

   "Dia kepala desa. Jadi, harus tahu peristiwa ini lebih dulu daripada yang lain."

   Bergegas laki-laki setengah baya itu me-langkah dengan ayunan kaki lebar-lebar.

   Nafasnya langsung memburu, begitu memasuki perkampungan nelayan di Pesisir Pantai Utara ini.

   Dia terus berjalan dengan langkah lebar dan cepat, walaupun tarikan nafasnya semakin tersengal.

   *** "Kau tidak bergurau, Paman Ardaga?"

   Ter-dengar dalam sekali nada suara Ki Amus.

   "Aku berani sumpah, Ki,"

   Sahut Paman Ardaga bersungguh-sungguh.

   "Hm...."

   Ki Amus terdiam sambil mengelus-elus jeng-gotnya yang putih dan panjang.

   Pandangannya te-rus tertuju ke arah laut, dari beranda depan ru-mahnya.

   Sedangkan laki-laki setengah baya yang tidak mengenakan baju dan tadi dipanggil Paman Ardaga itu terus memandangi wajah laki-laki tua yang menjadi kepala desa nelayan di perkampungan Pesisir Pantai Utara ini.

   "Aku berani sumpah, Ki. Aku melihat sendiri. Naga Laut itu benar-benar muncul saat badai tadi,"

   Tegas Paman Ardaga terus berusaha meyakinkan kepala desa itu.

   "Naga Laut hanya ada dalam dongeng, Pa-man,"

   Kata Ki Amus, masih belum percaya terhadap cerita laki-laki setengah baya itu. 'Tapi aku benar-benar melihatnya, Ki."

   "Di mana kau melihatnya?"

   Tanya Ki Amus.

   "Di pantai, Ki. Aku buru-buru pulang, karena badai itu datangnya tiba-tiba sekali. Perahu sudah kutambatkan waktu Naga Laut muncul. Ini benar-benar terjadi, Ki. Aku tidak bohong. Apalagi ber-mimpi,"

   Paman Ardaga terus berusaha meyakinkan kepala desa itu.

   Ki Amus terdiam dengan pandangan terus ke tengah laut Begitu indah dan cerah, seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.

   Dan riak gelombang laut pun terlihat sangat tenang.

   Tapi, tak ada seorang nelayan pun yang pergi menangkap ikan.

   Se-mua penduduk desa ini masih terlalu sibuk mem-benahi kerusakan rumah, akibat badai yang tadi datang tiba-tiba dan sangat aneh.

   "Bagaimana keadaan perahu mu?"

   Tanya Ki Amus membelokkan pembicaraan, seakan-akan tidak ingin terus membicarakan kemunculan Naga Laut "Rusak akibat badai tadi,"

   Sahut Paman Ardaga polos.

   "Tapi tidak terlalu berat."

   "Sebaiknya, kau pulang saja dulu. Anak dan is-trimu pasti sudah gelisah menunggu di rumah,"

   Ka-ta Ki Amus sambil menepuk pundak warga desanya itu.

   "Baik, Ki. Aku permisi,"

   Ucap Paman Ardaga.

   Ki Amus hanya mengangguk saja, dan masih tetap berdiri di depan beranda rumahnya sambil memandang ke tengah laut.

   Sementara Paman Ar-daga sudah pergi meninggalkannya, kembali ke ru-mahnya yang ada di ujung jalan perkampungan ne-layan ini.

   "Hm...,"

   Ki Amus menggumam panjang dan perlahan.

   Dan sambil menghembuskan napas panjang, kepala desa itu memutar tubuhnya berbatik.

   Lalu, kakinya melangkah memasuki beranda depan ru-mahnya yang cukup luas.

   Dan baru saja tubuhnya dihenyakkan di kursi, dari dalam rumah muncul seorang gadis muda yang cukup cantik.

   Bajunya agak ketat dan berwarna merah muda.

   Sehingga, membentuk tubuhnya yang ramping dan indah.

   Ki Amus hanya melirik sedikit saja.

   Pan-dangannya kembali tertuju ke arah laut yang kelihatan tenang dan biru.

   Sedangkan gadis cantik itu mengambil tempat tidak jauh di sebelah kanannya.

   Hanya sebuah meja bundar dengan alas terbuat da-ri batu pualam putih yang membatasi mereka.

   Kembali Ki Amus melirik sedikit pada gadis cantik itu.

   "Ayah percaya pada cerita Paman Ardaga ta-di...?"

   Terdengar pelan suara gadis Itu, seakan-akan tidak ingin didengar orang lain.

   "Kau mendengar semuanya tadi, Layung?"

   Ki Amus malah balik bertanya.

   Gadis cantik berbaju biru yang dipanggil Layung itu hanya mengangguk sedikit.

   Dan nama gadis itu adalah Layung Sari.

   Pandangannya juga diarahkan lurus ke tengah laut yang kelihatan begi-tu tenang, seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.

   Dan hampir bersamaan mereka sama-sama berpaling, lalu saling bertatapan.

   "Aku ke dalam dulu, Ayah,"

   Pamit Layung seraya bangkit berdiri.

   Ki Amus tidak menjawab, dan hanya meman-dangi anak gadisnya yang berlalu masuk kembali ke dalam rumah berukuran cukup besar ini.

   Laki-laki tua yang juga kepala desa itu tetap duduk di kur-sinya, dan kembali memandang ke tengah laut.

   En-tah, apa yang ada di dalam kepalanya sekarang ini.

   Tapi, pandangan matanya tidak terlepas dari biru-nya riak gelombang Laut Utara di depan sana.

   "Ki...! Ki Amus...!"

   "Heh...?! Ada apa lagi ini...?"

   Ki Amus langsung terlompat bangkit berdiri, saat telinganya mendengar orang berteriak-teriak memanggilnya.

   Saat kepalanya berpaling ke kiri, tampak seorang laki-laki berusia sekitar enam pu-luh lima tahun tengah berlari-lari menghampirinya.

   Bergegas Ki Amus melangkah, keluar dari dalam be-randa depan rumahnya.

   Sebentar kemudian, mere-ka bertemu di tengah-tengah halaman yang sedikit berpasir.

   "Ada apa, Ki Adong?"

   Tanya Ki Amus.

   "Aduh.... Tolong, Ki. Tolong aku...,"

   Tersedak suara laki-laki tua yang ternyata bernama Ki Adong.

   "Tenang.... Ada apa? Ceritakanlah yang te-nang,"

   Pinta Ki Amus.

   Ki Adong menarik nafasnya panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat beberapa kali.

   Dicobanya untuk menenangkan diri, namun nafas-nya masih saja tersengal.

   Sedangkan Ki Amus me-nunggu dengan sabar, sampai laki-laki tua warga desanya itu bisa tenang.

   "Katakan, ada apa...?"

   Ujar Ki Amus dengan suara lembut.

   "Anakku, Ki. Anak gadisku...,"

   Suara Ki Adong masih terdengar tersendat.

   "Maksudmu, si...?"

   "Puspita."

   "Iya, ada apa dengan Puspita?"

   "Puspita hilang, Ki. Tolong aku, Ki. Aku sudah mencari ke mana-mana, tapi Puspita benar-benar hilang."

   "Kapan kejadiannya?"

   "Waktu badai, Ki."

   Ki Amus langsung terdiam. Sedangkan Ki Adong terus merengek meminta pertolongan kepala desanya untuk mencari anak gadisnya yang hilang, tepat di saat badai berlangsung dan melanda per-kampungan nelayan di Pesisir Pantai Utara ini.

   "Tolong aku, Ki. Puspita anakku satu-satunya. Tidak ada lagi yang mengurus ku, kalau Puspita tidak ada,"

   Rengek Ki Adong memohon.

   "Baik, baik. Tenanglah. Aku akan menolong,"

   Bujuk Ki Amus mencoba menenangkan.

   "Terima kasih, Ki. Memang tidak ada lagi yang bisa menolongku selain kau, Ki. Tolong temukan Puspita."

   Ki Amus mencoba tersenyum, tapi terasa kalau seperti dipaksakan. Ditepuknya sedikit pundak laki-laki tua yang mengenakan baju warna hitam dari kain yang sudah lusuh itu.

   "Pulanglah dulu. Aku akan mengerahkan orang-orangku untuk mencari Puspita,"

   Kata Ki Amus.

   "Baik, Ki. Terima kasih,"

   Ucap Ki Adong seraya membungkukkan tubuh sedikit.

   "Pulanglah."

   Ki Adong segera berlalu tergesa-gesa. Se-dangkan Ki Amus masih tetap berdiri mematung memandangi. Dia masih tetap berdiri di tengah-tengah halaman rumahnya, walaupun Ki Adong su-dah tidak terlihat lagi.

   "Hhh...!" *** Kemunculan Naga Laut cepat sekali tersebar ke seluruh desa nelayan di Pesisir Pantai Utara. Semua orang membicarakan tentang munculnya Naga Laut. Bahkan langsung saja menghubungkannya dengan hilangnya Puspita, anak satu-satunya Ki Adong itu. Berbagai macam pikiran dan dugaan terlontar. Dan kebanyakan dugaan mereka sulit diterima akal pikiran sehat Sementara, Paman Ardaga yang meli-hat langsung kemunculan Naga Laut itu jadi merasa sangat cemas. Terlebih lagi, hilangnya Puspita bersamaan dengan munculnya Naga Laut. Dan kecemasan Paman Ardaga memang ber-alasan, karena juga memiliki anak gadis yang sudah menginjak usia delapan belas tahun. Kecemasannya semakin menjadi-jadi, bila mendengar kemunculan Naga Laut akan membawa korban seorang gadis muda. Hal ini sudah cepat tersebar luas dan tentu saja membuat seluruh penduduk desa nelayan di Pesisir Pantai Utara menjadi cemas. Terlebih lagi, bagi yang memiliki anak gadis.

   "Sudah malam, Ayah. Kenapa belum juga ti-dur...?"

   "Oh...?!"

   Paman Ardaga tersentak kaget, dan langsung terbangun dari lamunannya.

   Cepat wajahnya ber-paling, lalu tersenyum saat melihat seraut wajah manis yang dekat di belakangnya.

   Duduknya di geser, untuk memberi tempat pada gadis cantik yang berdiri di ambang pintu.

   Gadis berwajah manis dan berkulit kuning langsat itu duduk di samping laki-laki setengah baya ini.

   "Kau sendiri, kenapa belum juga tidur, Andari?"

   Tanya Paman Ardaga sambil mencoba memberi se-nyum.

   "Aku tidak bisa tidur,"

   Sahut gadis manis yang bernama Andari, juga tersenyum.

   Andari anak gadis Paman Ardaga.

   Dia seorang gadis manis, walaupun bentuk tubuhnya sedikit gemuk Dan sebenarnya, Paman Ardaga masih mempunyai dua anak lagi, tapi berjenis kelamin la-ki-laki.

   Sedangkan Andari adalah anak bungsu Pa-man Ardaga.

   "Ayah...,"

   Terdengar ragu-ragu suara Andari.

   "Ada apa?"

   Tanya Paman Ardaga seraya berpaling menatap wajah manis anak gadisnya.

   "Benar Ayah melihat Naga Laut itu?"

   Tanya Andari masih dengan suara terdengar seperti takut-takut.

   "Hhh...!"

   Paman Ardaga tidak langsung menjawab per-tanyaan itu.

   Dihembuskan nafasnya panjang-panjang, dan terasa berat.

   Memang sejak siang tadi, dia tidak menceritakan tentang Naga Laut yang dilihatnya saat terjadi badai pada anak-anaknya.

   Dan Paman Ardaga sendiri sebenarnya sedang kebingungan, karena apa yang dilihatnya siang tadi hanya diceritakan pada Ki Amus saja.

   Tapi, ternyata munculnya Naga Laut itu sudah cepat sekali tersebar.

   Paman Ardaga sendiri jadi tidak mengerti, dari mana berita tentang Naga Laut cepat tersebar.

   Padahal hal itu tidak diceritakannya pada siapa pun juga, kecuali pada Ki Amus saja.

   Pada ketiga anaknya pun juga tidak diceritakannya.

   Dan sekarang, anak gadisnya menanyakan tentang Naga Laut itu.

   "Dari mana kau tahu kalau aku yang melihat Naga Laut itu, Andari?"

   Paman Ardaga malah balik bertanya.

   "Semua orang mengatakan kalau Ayah melihat langsung Naga Laut waktu badai berlangsung,"

   Sahut Andari agak manja nada suaranya.

   "Hhh...!"

   Kembali Paman Ardaga menarik napas pan-jang, dan menghembuskannya kuat-kuat.

   Ta-ngannya meraih guci dari tanah liat, lalu meneguk arak yang ada di dalamnya.

   Pandangannya langsung tertuju ke tengah laut yang kini tampak hitam.

   Deburan ombak terdengar begitu keras, menghan-tam karang dari pantai.

   Begitu akrab di telinga pen-duduk desa ini.

   "Kau percaya pada omongan mereka?"

   Paman Ardaga kembali bertanya.

   Dan kini, Andari tidak bisa menjawab.

   Hanya dipandanginya saja kedua bola mata ayahnya yang tidak berkedip, memandang lurus ke tengah laut Seakan-akan, gadis itu sedang mencari kesunggu-han dari cerita orang-orang tentang Naga Laut yang didengarnya.

   Dia ingin kepastian, apakah kata mereka benar kalau ayahnya melihat naga raksasa itu muncul.

   "Waktu itu, Ayah memang tidak ada di rumah. Dan Ayah baru pulang setelah badai berhenti,"

   Kata Andari perlahan.

   "Benar Ayah melihat Naga Laut itu...?"

   "Benar,"

   Sahut Paman Ardaga agak mendesah perlahan suaranya.

   "Jadi...?"

   Suara Andari terputus.

   Paman Ardaga memalingkan wajah, dan me-mandangi wajah anak gadisnya dalam-dalam.

   Ke-mudian direngkuhnya Andari ke dalam pelukan pe-nuh kasih sayang seorang ayah terhadap putrinya.

   Andari jadi manja.

   Seketika kepalanya ditelusupkan ke dalam pelukan laki-laki setengah baya ini.

   Beberapa saat lamanya mereka baru melepaskan pelu-kan, dan sama-sama memandang ke tengah laut yang hitam dan penuh cahaya, yang dipantulkan cahaya bulan dan bintang bagai taburan mutiara.

   "Ayah memang melihat Naga Laut itu, Andari. Tapi ayah tidak pernah menceritakannya pada siapa pun, kecuali pada Ki Amus,"

   Jelas Paman Ardaga.

   "Kalau begitu, mereka mendengarnya dari Ki Amus, Ayah?"

   Tanya Andari ingin memastikan.

   "Entalah...,"

   Sahut Paman Ardaga mendesah.

   "Mungkin benar, mungkin juga tidak."

   "Atau barang kali ada orang lain yang juga me-lihatnya, Ayah,"

   Duga Andari.

   "Mungkin,"

   Desah Paman Ardaga.

   "Lalu hilangnya Puspita, apa ada hubung-annya dengan Naga Laut itu, Ayah?"

   Tanya Andari lagi.

   "Ayah tidak dapat memastikan. Mungkin benar, mungkin juga tidak,"

   Sahut Paman Ardaga mencoba jawab bijaksana.

   Saat itu, Andari terdiam.

   Dan Paman Ardaga juga tidak mengeluarkan suara lagi.

   Mereka sama-sama terdiam membisu untuk beberapa saat.

   Perla-han Andari berdiri dari duduknya di balai bambu yang ada di depan rumahnya.

   "Aku pergi tidur dulu, Ayah,"

   Pamit Andari.

   Paman Ardaga hanya menganggukkan kepala saja sedikit Sedangkan Andari sudah menghilang di dalam rumah yang hanya terbuat dari belahan pa-pan dan bilik anyaman bambu ini.

   Sementara, Pa-man Ardaga masih tetap duduk di atas balai bambu beralaskan tikar daun pandan.

   Pandangannya ma-sih tidak beralih dari tengah laut yang menghitam pekat, dan bertaburkan cahaya bagai lautan mutiara.

   "Hhh! Dari mana mereka bisa tahu...?"

   Desah Paman Ardaga bertanya pada diri sendiri.

   *** Wrrr! Angin begitu kencang menghantam seluruh Pe-sisir Pantai Laut Utara ini, seakan-akan ingin menghancurkan desa yang ada di sepanjang te-piannya.

   Debu-debu pasir berputaran, beterbangan ke angkasa.

   Para nelayan sibuk mengamankan pe-rahunya dari hantaman ombak yang tinggi dan ga-nas.

   Matahari yang semula bersinar sangat terik, mendadak saja lenyap tersaput awan hitam yang datang bergulung-gulung cepat sekali.

   Entah, da-tang dari mana.

   Dalam waktu sekejap saja, seluruh Pesisir Pantai Utara ini diliputi kegelapan bagai malam yang teramat pekat.

   Keadaan yang begitu cepat berubah, membuat seluruh penduduk desa nelayan itu jadi kalang kabut.

   Mereka berlarian kembali ke rumah masing-masing dan meninggalkan perahunya yang sudah tertambat aman di pantai.

   Beberapa buah perahu yang tidak sempat diamankan, sudah hanyut ter-bawa arus gelombang yang begitu ganas.

   Bahkan ada beberapa perahu yang sudah hancur dihantam gelombang yang sangat besar.

   Sebentar saja, di pantai itu tidak terlihat orang lagi.

   Mereka semua berlindung dari amukan alam yang ganas ini di dalam rumah masing-masing.

   Hanya seorang laki-laki tua saja yang masih terlihat berada di depan ru-mahnya.

   Dialah Ki Amus, kepala desa nelayan ini.

   "Hm.... Ini bukan badai biasa,"

   Gumam Ki Amus perlahan.

   "Aku merasakan adanya kekuatan lain. Hm...."

   Saat itu....

   Clraaak! Glaaar...! Begitu cepat kilat membersit, terdengar ledakan bagai hendak membelah angkasa yang gelap tersa-put awan hitam.

   Peristiwa alam itu terjadi, tepat di tengah laut yang bergelombang setinggi gunung.

   Dan pada saat itu terlihat sebuah bentuk tengah menggeliat di tengah laut.

   Sebuah bentuk seekor ular naga raksasa berwarna hijau yang me-mancarkan cahaya terang berkilau, menyilaukan mata.

   "Oh...?!"

   Ki Amus jadi terkejut setengah mati.

   Begitu terkejutnya, sampai-sampai terlompat ke belakang beberapa langkah.

   Kedua bola matanya jadi terbe-liak, dan mulutnya ternganga lebar.

   Pandangannya sedikit pun tidak berkedip, ke arah ular naga raksasa berwarna hijau yang memancarkan cahaya te-rang berkilau di tengah laut.

   "Oh! Benarkah yang kulihat ini...?"

   Ki Amus merasakan seperti sedang bermimpi.

   Sungguh tak disangka, ular naga itu benar-benar ada.

   Bahkan sekarang muncul, dan terlihat di te-ngah laut Warnanya hijau, memancarkan cahaya terang berkilau.

   Dan kini, tampak binatang itu bergerak ke arah pantai.

   Dari lubang hidungnya, api menyembur disertai asap kehijauan yang mengepul, membumbung ke angkasa.

   Clark! Glarrr...! Tepat di saat Naga Laut itu berada di garis pan-tai, kilat menyambar dari angkasa, diikuti ledakan guntur yang menggelegar dan menggetarkan jantung.

   Dan pada saat itu, Naga Laut sudah menghi-lang dari pandangan.

   Bersamaan dengan lenyapnya ular naga raksasa, alam pun mendadak jadi cerah kembali.

   Awan hitam yang bergulung-gulung di ang-kasa, seketika lenyap tak berbekas sedikit pun juga.

   Langit kembali cerah.

   Cahaya matahari sudah ber-sinar terang menghangatkan bumi.

   Angin pun kini tidak lagi bertiup kencang.

   Bahkan laut pun tampak tenang, dengan lidah-lidah ombak yang lembut me-nebur batu-batu karang di Pesisir Pantai Utara.

   Sementara, Ki Amus masih tetap berdiri mema-tung di depan rumahnya.

   Matanya masih meman-dang lurus ke tengah laut.

   Rasanya, seakan-akan seperti tengah bermimpi.

   Begitu cepat keadaan alam ini berubah.

   Laki-laki tua berjubah panjang berwarna putih itu baru tersentak sadar, saat mendengar batuk kecil dari belakang.

   Cepat tubuhnya diputar.

   Matanya langsung menyipit begitu melihat Paman Ardaga tahu-tahu sudah ada di depan rumah-nya.

   "Kau percaya pada cerita ku, Ki? Naga Laut itu memang ada,"

   Kata Paman Ardaga seraya melangkah mendekati kepala desa itu.

   "Entahlah.... Rasanya aku tadi bermimpi,"

   Sahut Ki Amus mendesah pelan.

   "Kemunculan Naga Laut itu pasti akan mem-bawa bencana bagi desa ini, Ki,"

   Kata Paman Ardaga.

   Ki Amus tidak langsung menanggapi, dan hanya diam saja.

   Seakan-akan perasaannya masih diliputi suasana yang begitu mencekam dan sukar sekali diterima akal sehat.

   Kenyataan itu benar-benar belum bisa diterima akalnya.

   Bahkan me-mang sukar dipahami.

   Naga Laut yang selama ini selalu menjadi dongeng anak-anak kecil sebelum tidur, kini benar-benar menjadi kenyataan dengan kemunculannya.

   Apakah dugaan Paman Ardaga menjadi kenyataan, kalau kemunculan Naga Laut itu akan membawa bencana.

   *** Satu pekan sudah perkampungan desa nela-yan di Pesisir Pantai Utara dilanda ketakutan atas munculnya Naga Laut.

   Ketakutan mereka memang sangat beralasan.

   Betapa tidak? Setiap kali Naga Laut muncul, selalu saja ada seorang gadis yang masih berusia sekitar delapan belas atau sembilan belas tahun hilang.

   Bahkan sudah banyak orang yang melihat munculnya Naga Laut itu.

   Dan belakangan ini, ke-munculannya selalu menimbulkan kerusakan.

   Ma-lah, sudah beberapa orang anak buah Ki Amus yang tewas, karena mencoba mengusir Naga Laut dari desa nelayan ini.

   Ular naga raksasa berwarna hijau yang memancarkan cahaya terang di seluruh tubuhnya itu kelihatannya semakin ganas saja.

   Dan kemunculannya pun tidak lagi hanya sekejap.

   Dia baru pergi setelah mendapatkan seorang gadis, dan melahap satu atau dua orang laki-laki yang dite-muinya.

   Siang itu, udara di sekitar Pesisir Pantai Utara terasa sangat panas, tidak seperti hari-hari bi-asanya.

   Matahari bersinar sangat terik, seakan-akan ingin membakar semua yang ada di Pesisir Pantai Utara itu.

   Sedikit pun tak terasa adanya angin berhembus.

   Dan laut pun kelihatan begitu te-nang dengan riak gelombangnya yang kecil menerpa pasir putih di pantai.

   Saat ini, tak ada seorang nelayan pun yang tu-run ke laut.

   Mereka semua dilanda ketakutan, ka-rena sudah empat perahu hilang di tengah laut.

   Ke-gairahan mereka pun lenyap.

   Wajah-wajah muram terlihat jelas dari mereka yang kini hanya duduk-duduk di beranda depan rumah, sambil memper-baiki jala yang rusak.

   Di tengah-tengah kemurungan wajah desa ne-layan itu, terlihat seorang pemuda tengah menung-gang kuda putih menyusuri tepian pantai.

   Pakaian-nya yang berwarna biru terang, kelihatan mewah membungkus tubuhnya yang tegap dan berotot Se-bilah pedang tergantung di pinggangnya.

   Wajahnya pun sangat tampan, bagai seorang putra mahkota.

   Sementara semua penduduk desa nelayan itu hanya bisa memandangi.

   Namun pemuda itu keliha-tan tidak peduli, dan terus saja mengendalikan kudanya agar berjalan perlahan-lahan memasuki per-kampungan di Pesisir Pantai Utara ini.

   Langkah kudanya baru dihentikan, setelah sampai di depan rumah Ki Amus.

   "Hup!"

   Dengan gerakan ringan sekali, pemuda tam-pan berpakaian mewah itu melompat turun dari punggung kudanya.

   Sebentar dia berdiri meman-dangi rumah Ki Amus yang kelihatan sepi, seperti sudah ditinggalkan penghuninya.

   Beberapa pendu-duk yang ada didepan rumahnya, terus memperha-tikan dengan sinar mata memancarkan kecurigaan.

   Setelah memperhatikan keadaan rumah itu be-berapa saat, pemuda itu baru mengayunkan ka-kinya memasuki halaman yang hanya dipagari be-lahan bambu.

   Sementara, kuda putih tunggangan-nya mengikuti dari belakang.

   Pemuda itu terus me-langkah perlahan-lahan, namun ayunannya terlihat mantap.

   Pandangannya tertuju lurus, sedikit pun tak berkedip ke arah pintu rumah yang tertutup rapat.

   Dan begitu ayunan kakinya berhenti tepat di ujung bawah anak tangga beranda, pintu rumah itu bergerak terbuka.

   Kemudian, dari dalam muncul Ki Amus.

   "Kau kepala desa di sini...?"

   Tanya pemuda itu langsung tanpa memberi hormat sedikit pun.

   "Benar,"

   Sahut Ki Amus agak terkejut "Na-ma ku Ki Amus."

   Laki-laki tua kepala desa itu memandangi pe-muda yang berdiri tegak didepan beranda rumah-nya dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.

   Perlahan kakinya melangkah mendekati, dan berhenti pada undakan kedua.

   Sedangkan pemuda tampan yang mengenakan baju kain sutra halus berwarna biru terang, tetap berdiri tegak dengan sorot mata tajam, menusuk langsung ke bola mata Ki Amus.

   "Maaf, siapa Kisanak ini? Dan ada keperluan apa denganku?"

   Tanya Ki Amus. Sikap dan sua-ranya terdengar sopan.

   "Namaku Raden Banyu Samodra. Aku diutus Ayahanda Prabu Naga Pendaka untuk menemui se-seorang di sini."

   Sahut pemuda itu mem-perkenalkan diri, dan langsung mengatakan tu-juannya datang ke desa nelayan di Pesisir Pantai Utara ini.

   "Oh...! Kau seorang pangeran,"

   Desah Ki Amus tersedak, tidak menyangka kalau pemuda tampan yang datang menemuinya ternyata seorang putra raja.

   "Tapi..., dari kerajaan mana Raden datang?"

   "Kerajaan Karang Emas."

   "Lalu, siapa yang akan Raden temui?"

   Tanya Ki Amus lagi.

   "Raja Karang Setra."

   "Maksud Raden..., Gusti Prabu Rangga Pari Permadi...?"

   Ki Amus ingin menegaskan.

   "Benar,"

   Tegas Raden Banyu Samodra.

   "Wilayah ini memang masih termasuk Kera-jaan Karang Setra. Tapi, ibu kotanya masih jauh da-ri sini. Paling tidak memerlukan waktu satu pekan kalau ingin menempuh ke sana,"

   Jelas Ki Amus.

   "Aku tidak akan ke ibu kota. Apa lagi, datang ke istana. Aku ingin menemuinya di sini,"

   Kata Raden Banyu Samodra, tetap tegas nada suaranya.

   "Maaf, Raden. Apakah Raden sudah ada janji untuk bertemu di sini?"

   Tanya Ki Amus, ingin tahu "Tidak. Tapi aku harus menunggu di sini. Dan itu perintah langsung dari Ayahanda Prabu Naga Pendaka."

   Ki Amus mengangguk-anggukkan kepala.

   Se-kali lagi, diperhatikannya pemuda yang mengaku putra raja itu dalam-dalam.

   Dan memang, kalau di-lihat dari perawakan serta pakaian yang dikenakan, orang pasti akan menyangka kalau dia seorang putra mahkota.

   Atau paling tidak, seorang putra bang-sawan.

   Tapi, sikapnya yang angkuh membuat Ki Amus jadi ragu-ragu.

   Bahkan memandangnya dengan si-nar mata curiga.

   Namun yang dipandangi seperti tidak menangkap kecurigaan laki-laki tua kepala de-sa itu.

   Bahkan malah melangkah menaiki undakan tangga beranda depan rumah kepala desa itu, lalu berhenti dengan jarak satu undakan di depan Ki Amus.

   "Boleh aku beristirahat di sini sambil menung-gu Raja Karang Setra...?"

   Pinta Raden Banyu Samodra dengan sikap masih kelihatan angkuh.

   "Jika Raden bersedia istirahat di gubuk reyot ini, aku sama sekali tidak berkeberatan,"

   Sahut Ki Amus tidak bisa menolak permintaan itu.

   Tanpa mengucapkan satu kata pun, Raden Banyu Samodra melangkah melewati kepala desa itu.

   Dan dengan enak sekali tubuhnya dihempaskan di kursi rotan.

   Kedua kakinya diangkat, lalu ditum-pangkan ke atas meja.

   Kedua bola mata Ki Amus jadi terbeliak melihat sikap kurang ajar pemuda itu.

   Dia benar-benar tidak memandang hormat sedikit pun sebagai tamu.

   "Kau tidak memiliki pelayan di sini, Orang Tua?"

   Terasa angkuh sekali nada suara Raden Banyu Samodra.

   "Untuk apa?"

   Ki Amus malah balik bertanya ke-tus.

   Laki-laki setengah baya itu mulai tidak senang terhadap sikap pemuda tampan yang seperti tak punya tata krama.

   Sedikit pun tidak memandang hormat pada pemilik rumah, sehingga membuat jengkel.

   Tapi Ki Amus masih berusaha mengendali-kan din, mengingat pemuda yang tengah diha-dapinya adalah seorang pangeran dan sedang me-nunggu Raja Karang Setra.

   Sedangkan wilayah Pe-sisir Pantai Utara ini masih termasuk ke dalam wilayah Kerajaan Karang Setra.

   Dan itu yang mem-buat Ki Amus terpaksa harus bisa menahan diri melihat sikap angkuh dan ketidak-sopanan pemuda asing ini.

   "Aku ingin kau melayaniku dengan baik, Ki. Juga seluruh penduduk desa ini harus mematuhi semua yang kukatakan. Termasuk kau...!"

   Kata Raden Banyu Samodra seraya menuding ke wajah Ki Amus dengan jari telunjuknya.

   "Edan...!"

   Desis Ki Amus langsung memerah wajahnya.

   Terdengar keras gemeretuk gerahamnya me-nahan kemarahan.

   Harga diri Ki Amus merasa telah terinjak dalam sesaat saja.

   Seluruh tubuh laki-laki tua itu jadi menggeletar menahan kemarahan yang sudah memuncak sampai ke ubun-ubun.

   Sedang-kan pemuda yang mengaku pangeran itu sikapnya semakin membuat mual perut Ki Amus.

   "Aku akan tinggal di sini sampai Raja Karang Setra muncul. Dan kau, serta semua penduduk de-sa ini, harus tunduk pada perintahku!"

   Tegas Raden Banyu Samodra.

   "Keparat..! Iblis dari mana kau ini, heh?"

   Geram Ki Amus tidak dapat lagi menahan kejengkelannya.

   Tapi Raden Banyu Samodra hanya tersenyum saja melihat kejengkelan laki-laki tua kepala desa itu.

   Bahkan sikapnya tampak mengejek dan meremehkan.

   Sedangkan wajah Ki Amus sudah keliha-tan semakin memerah, menahan kemarahan yang meluap-luap tak tertahankan lagi.

   "Kuharap, kau segera angkat kaki dari desa ini, Anak Muda,"

   Desis Ki Amus dingin, tidak memandang kepangeranan pemuda itu.

   "Sudah kuduga, kau pasti akan menjadi orang pertama yang membangkang, Ki,"

   Sambut Raden Banyu Samodra datar.

   "Pergi kau, cepaaat...!"

   Bentak Ki Amus langsung. Raden Banyu Samodra masih tetap tersenyum meremehkan. Perlahan dia bangkit berdiri. Dan ti-ba-tiga saja....

   "Hih!"

   Slap! *** "Hap!"

   Ki Amus cepat-cepat menarik tubuhnya ke ka-nan, ketika tiba-tiba sekali Raden Banyu Samodra mengebutkan tangan kirinya ke depan.

   Saat itu ju-ga, terlihat sebuah benda bercahaya kehijauan me-luncur deras hendak menyambar tubuh laki-laki tua kepala desa ini.

   Tapi gerakan menghindar yang dilakukan Ki Amus memang cepat dan manis sekali.

   Hingga, benda bercahaya kehijauan itu hanya lewat sedikit di samping tubuhnya.

   Namun hatinya jadi tersentak kaget setengah mati, karena pada saat benda bercahaya kehijauan tadi lewat di samping tubuhnya, saat itu juga terasakan adanya hembusan hawa yang sangat panas dan menyengat.

   Cepat-cepat Ki Amus melompat, keluar dari beranda depan rumah-nya.

   Dua kali dia berputaran di udara, sebelum menjejakkan kakinya di halaman dengan manis dan ringan sekali.

   Glarrr! "Heh...?!"

   Ki Amus langsung berpaling dan terkejut sete-ngah mati, begitu tiba-tiba terdengar ledakan keras menggelegar dari arah belakang.

   Dan kedua bola matanya langsung terbeliak lebar, begitu melihat pohon beringin besar yang tumbuh didepan rumahnya mendadak saja hancur berkeping-keping sete-lah terlanda benda bercahaya kehijauan yang dile-paskan Raden Banyu Samodra tadi.

   "Gila...!"

   Desis Ki Amus masih dihinggapi rasa terkejut yang amat sangat "Mudah sekali aku melumatkan tubuhmu hingga jadi debu, kalau kau tidak mau menuruti perintahku, Orang Tua,"

   Terasa sangat dingin nada suara Raden Banyu Samodra.

   "Phuih! Siapa pun dan dari mana pun kau be-rasal, sekarang juga angkat kaki dari desa ini!"

   Dengus Ki Amus sengit.

   "Kau akan menyesali sikapmu, Ki,"

   Raden Banyu Samodra memperingatkan.

   "Sekali lagi kuperingatkan, pergi!"

   Sentak Ki Amus lantang.

   Tapi Raden Samodra hanya diam saja.

   Bahkan bibirnya menyunggingkan senyuman yang sangat tipis.

   Dia masih berdiri didepan kursi yang tadi di-dudukinya.

   Perlahan kakinya terayun melangkah ke depan dua tindak.

   Dan begitu berhenti, cepat bagai kilat, tangan kirinya kembali mengebut ke depan.

   Slap! "Hap!"

   Ki Amus langsung saja melenting ke udara, tapi tak ada satu pun benda yang meluncur dari telapak tangan kiri yang menjulur ke depan itu.

   Dan ini membuat Ki Amus jadi tersedak.

   Cepat disadari ka-lau gerakan yang dilakukan pemuda tampan itu hanya tipuan belaka.

   Dan pada saat itu juga, Raden Banyu Samodra melesat cepat bagai kilat mener-jang Ki Amus yang masih berjumpalitan di udara.

   "Yeaaah...!"

   "Hup! Yeaaah...!"

   Cepat-cepat Ki Amus meluruk ke bawah, menghindari terjangan kilat Raden Banyu Samodra.

   Tapi begitu kakinya menjejak tanah berpasir dide-pan rumahnya, tanpa diduga sama sekali Raden Banyu Samodra cepat memutar tubuhnya.

   Saking cepatnya, sehingga sukar sekali diikuti oleh mata biasa.

   Dan tahu-tahu, dia sudah melepaskan satu tendangan keras menggeledek yang mengarah lang-sung ke dada kepala desa itu.

   "Hih!"

   Tidak ada lagi kesempatan bagi Ki Amus untuk berkelit menghindari tendangan keras menggeledek itu. Maka cepat-cepat tangannya dikebutkan untuk menangkisnya. Hingga tak pelak lagi.... Plak! "Akh...!"

   Ki Amus memekik kecil agak tertahan.

   Ber-gegas dia melompat mundur beberapa langkah sambil memegangi tangan kirinya yang tadi diguna-kan untuk menangkis.

   Namun belum juga melihat tangannya yang langsung membiru, pemuda tam-pan yang mengaku bernama Raden Banyu Samodra itu sudah melompat cepat sambil mencabut pedang yang tergantung di pinggang.

   Sret! Cring! "Hiyaaa...!"

   "Hap!"

   Ki Amus bergegas merundukkan kepala, meng-hindari tebasan pedang yang berkilat dan meman-carkan cahaya hijau.

   Namun belum juga tubuhnya bisa ditarik tegak kembali, Raden Banyu Samodra langsung melepaskan satu tendangan keras meng-geledek ke arah perut.

   Begitu cepat serangan susulannya, sehingga Ki Amus tidak sempat lagi berkelit menghindari.

   Hingga....

   Des! "Ugkh...!"

   Ki Amus terlenguh pendek. Tubuh tua berjubah putih panjang itu seketika terpental deras sekali ke belakang. Dan luncuran-nya baru berhenti setelah menabrak sebatang po-hon yang langsung hancur terlanda tubuh tua dan kurus itu.

   "Hiyaaat...!"

   Raden Banyu Samodra kembali melompat hen-dak menyerang laki-laki tua kepala desa itu lagi.

   Maka satu pukulan yang teramat keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi pun mendarat di dada laki-laki tua ini.

   Akibatnya, Ki Amus terpekik cukup keras.

   Semua penduduk desa nelayan yang mendengar pekikan itu kontan keluar dari dalam rumah masing-masing.

   Dan mereka langsung ber-hamburan ke tempat ini.

   Sebentar saja, sekeliling halaman depan rumah kepala desa itu sudah dipadati orang yang baru keluar dari dalam rumahnya.

   "Katakan pada mereka, kalau sekarang aku yang berkuasa di desa ini, Ki Amus,"

   Kata Raden Banyu Samodra dingin.

   "Phuih! Kau tidak akan bisa merebut desa ini begitu saja, Anak Setan! Langkahi dulu mayat ka-mi!"

   Sambut Ki Amus lantang.

   "Hm. Rupanya kau keras kepala juga, Ki Amus,"

   Desis Raden Banyu Samodra dingin. Setelah berkata begitu, dengan kecepatan luar biasa sekali pemuda tampan berpakaian mewah da-ri sutra halus itu melompat menerjang Ki Amus.

   "Hiyaaat...!"

   "Hap! Yeaaah...!" *** Ki Amus cepat-cepat melesat, begitu Raden Banyu Samodra melompat menerjang dengan ke-cepatan sangat tinggi. Maka serangan pemuda tam-pan berpakaian mewah dari bahan sutra halus itu tidak mengenai sasaran. Tapi kegagalan serangan-nya malah membuat Raden Banyu Samodra malah tertawa terkekeh, seakan-akan senang mendapat sambutan dari serangannya tadi.

   "Bagus! Rupanya kau punya simpanan juga, Orang Tua. Tapi tahanlah seranganku berikutnya. Hiyaaat..!"

   "Hait!"

   Ki Amus segera memiringkan tubuhnya ke kiri, begitu Raden Banyu Samodra melepaskan satu pu-kulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali.

   Namun, dia jadi terkejut dan cepat-cepat melompat ke belakang beberapa langkah, saat merasa-kan adanya hembusan angin berhawa panas me-nyengat dari sambaran pukulan lawan.

   "Hap!"

   Kepala desa itu segera melakukan beberapa ge-rakan dengan kedua tangannya.

   Sementara, Raden Banyu Samodra sudah bersiap hendak menghadang lagi.

   Jelas kalau dari sikapnya, pemuda itu mere-mehkan kemampuan kepala desa itu.

   Perlahan ka-kinya bergeser ke kanan.

   Bahkan pandangannya sedikit pun tidak berkedip, lurus ke bola mata laki-laki tua yang berada sekitar satu batang tombak di depannya.

   "Hiyaaa...!"

   Sambil berteriak keras menggelegar, Raden Banyu Samodra tiba-tiba saja melesat tinggi ke uda-ra.

   Dan bagaikan kilat, tubuhnya meluruk deras dengan kedua tangan terkembang seperti sayap seekor burung yang hendak menghantam mangsa.

   Begitu cepat sekali gerakannya, hingga membuat Ki Amus jadi terperangah sesat.

   "Hap!"

   Namun dengan gerakan cepat dan ringan seka-li, Ki Amus melompat ke belakang.

   Maka serangan pemuda tampan itu dapat dihindarinya.

   Dan tepat di saat Raden Banyu Samodra baru menjejakkan kaki di tanah, Ki Amus sudah memberi satu ten-dangan keras menggeledek yang disertai pengera-han tenaga dalam tinggi.

   "Yeaaah...!"

   "Uts!"

   Hampir saja tendangan Ki Amus menghantam dada.

   Untungnya, Raden Banyu Samodra cepat-cepat menarik tubuhnya ke kanan.

   Lalu sambil menggeser kaki ke samping, tubuhnya meliuk se-raya melepaskan satu sodokan cepat terarah ke pe-rut laki-laki tua kepala desa itu.

   "Hih!"

   "Hap!"

   Tidak ada lagi kesempatan bagi Ki Amus untuk menghindari sodokan tangan kiri lawan.

   Maka den-gan cepat tangan kanannya dikebutkan untuk me-nangkis sodokan yang sangat cepat dan terarah ke perutnya.

   Hingga tak pelak lagi, dua tangan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu pun beradu tepat didepan perut Ki Amus.

   Plak!"

   "Ikh...!"

   Ki Amus jadi terpekik kecil, begitu tangannya beradu dengan tangan Raden Banyu Samodra.

   Saat itu juga tulang-tulang tangannya terasa bagaikan remuk terhantam besi baja yang sangat keras.

   Lalu cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang beberapa langkah, sambil memegangi tangan kirinya dengan tangan kanan.

   Namun pada saat itu, Raden Banyu Samodra sudah memberi serangan kembali yang ti-dak kalah dahsyatnya.

   "Hiyaaa...!"

   Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Ra-den Banyu Samodra, sehingga Ki Amus tidak sem-pat lagi menghindarinya. Dan.... Des! "Akh...!"

   Ki Amus terpekik agak tertahan, begitu da-danya terhantam pukulan keras mengandung pen-gerahan tenaga dalam tinggi.

   Begitu keras pukulan itu, sehingga membuat tubuh Ki Amus terpental sejauh dua batang tombak.

   Brak! Tubuh tua itu baru berhenti meluncur setelah menghantam sebatang pohon yang cukup besar ba-tangnya, hingga hancur berkeping-keping.

   "Hiyaaat...!"

   Rupanya, Raden Banyu Samodra tidak sudi lagi memberi kesempatan pada laki-laki tua kepala desa itu untuk dapat melihat matahari esok pagi.

   Bagaikan kilat tubuhnya melesat, seraya melepaskan sa-tu pukulan dahsyat menggeledek mengandung pen-gerahan tenaga dalam tinggi.

   Namun belum juga pukulan mematikan itu mendarat di tubuh Ki Amus, mendadak saja....

   Slap! "Heh...?! Utfs...!" *** Raden Banyu Samodra segera melenting dan berputar ke belakang, begitu tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan memapak arus serangannya ter-hadap Ki Amus.

   Dan begitu kakinya menjejak ta-nah, tampak seorang gadis berwajah cantik berbaju ketat warna merah muda sudah berdiri menghadang di depan laki-laki tua kepala desa nelayan itu.

   "Iblis pengecut...! Bisanya hanya menghadapi orang tua!"

   Dengus gadis itu mendesis geram.

   "Hhh! Rupanya ada juga gadis cantik ber-kepandaian tinggi di desa ini,"

   Dengus Raden Banyu Samodra begitu rasa terkejutnya hilang dari dadanya.

   Saat itu, Ki Amus sudah bisa bangkit berdiri.

   Lalu, dihampirinya gadis cantik berpakaian ketat berwarna merah muda itu.

   Dia berdiri di sebelah kanannya.

   Dan begitu melihat wajah cantik yang telah menyelamatkan nyawanya, Ki Amus jadi kaget setengah mati.

   "Layung...,"

   Desis Ki Amus perlahan, hampir tidak terdengar suaranya.

   Belum juga gadis cantik yang ternyata Layung Sari bisa membuka mulutnya untuk menghilangkan keterkejutan kepala desa itu, Raden Banyu Samo-dra segera bergerak menghampiri.

   Kakinya meng-geser, menyusuri tanah berpasir putih di halaman depan rumah Ki Amus yang sangat luas ini.

   "Jangan banyak omong! Pergi kau dari sini, atau kepalamu ingin pecah!"

   Bentak Layung Sari langsung kasar.

   "Wueh...! Galak juga kau rupanya, Cah Ayu...."

   Saat itu, Ki Amus sudah berada di samping pu-trinya. Ditariknya tangan Layung Sari hingga gadis itu tertarik ke belakang dua langkah.

   "Jangan layani dia, Layung. Biar aku saja yang mengusirnya,"

   Kata Ki Amus setengah berbisik.

   "Orang kurang ajar seperti dia harus diberi sedikit pelajaran, Ayah,"

   Suara Layung Sari terdengar agak menyentak.

   "Sudah, kau minggir sana!"

   Perintah Ki Amus.

   Layung Sari hendak membantah, tapi Ki Amus sudah melangkah ke depan sambil mendorong tu-buhnya.

   Maka terpaksa gadis itu harus menarik kakinya ke belakang beberapa langkah.

   Sementara, Raden Banyu Samodra masih kelihatan tenang den-gan sikap meremehkan.

   Sedikit pun dia tidak me-mandang sebelah mata laki-laki tua kepala desa itu.

   Sedangkan Layung Sari sudah begitu gemas melihat kecongkakan pemuda tampan yang baru pertama kali ini dilihatnya.

   "Sudahlah, Orang Tua. Jangan paksakan diri-mu lagi. Kalau aku mau, dengan mudah batang le-hermu bisa kupatahkan,"

   Kata Raden Banyu Samodra merendahkan.

   "Anak Muda, kuperintahkan sekali lagi. Kalau kau tidak segera angkat kaki dari sini, semua orang di desa ini bisa merancah mu jadi daging cincang!"

   Ancam Ki Amus tidak main-main lagi.

   "He he he...!"

   Tapi Raden Banyu Samodra malah tertawa terkekeh.

   Sama sekali pemuda itu tidak gentar men-dengar ancaman Ki Amus tadi.

   Bahkan kakinya me-langkah beberapa tindak mendekati laki-laki tua kepala desa itu.

   Sedikit matanya melirik Layung Sa-ri.

   Senyumnya terkembang melihat kecantikan ga-dis itu.

   Tapi, Layung Sari Malah menyemburkan lu-dahnya dengan wajah memerah berang.

   "Anak gadismu cantik sekali, Orang Tua. Ra-sanya dia pantas mendampingiku di istana,"

   Kata Raden Banyu Samodra sambil memandang wajah cantik Layung Sari.

   "Keparat...!"

   Desis Layung Sari, menggeram.

   "Kata-katamu semakin kurang ajar saja, Anak Muda. Jangan memaksaku bertindak lebih kasar lagi padamu,"

   Desis Ki Amus langsung menggelegak amarahnya.

   "He he he...,"

   Raden Banyu Samodra hanya terkekeh saja mendengar kata-kata kasar bernada ma-rah itu.

   Sedangkan Ki Amus sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya melihat sikap kurang ajar pemuda asing ini.

   Sementara, Layung Sari sudah menggenggam gagang pedang di pinggang, walau-pun masih belum mencabutnya.

   Wajah gadis itu ke-lihatan memerah menahan amarah yang sudah me-luap-luap dalam dada.

   Sementara, pertengkaran yang terjadi sudah menarik perhatian seluruh penduduk di desa ne-layan Pesisir-Pantai Utara.

   Sekitar halaman rumah Ki Amus yang cukup luas, sudah hampir dipadati penduduk desa.

   Mereka semua memandang geram pada Raden Banyu Samodra.

   Tapi, yang dipandangi malah tersenyum dan terkekeh kecil.

   Dia benar-benar tidak memandang sedikit pun, walau kea-daannya bisa dikatakan sudah terkepung.

   "Ki Amus! Aku akan mengadakan perjanjian denganmu,"

   Kata Raden Banyu Samodra agak lantang suaranya. Sehingga, bisa terdengar jelas oleh orang-orang yang berada di sekitar halaman rumah kepala desa ini.

   "Hm, perjanjian apa?"

   Tanya Ki Amus agak sinis.

   "Aku akan menantang kau dan anak gadismu. Tapi dengan satu perjanjian yang adil,"

   Kata Raden Banyu Samodra menawarkan.

   Ki Amus berpaling sedikit ke belakang, me-mandang Layung Sari.

   Sedangkan gadis itu hanya diam saja.

   Sorot matanya masih tetap tajam, tertuju lurus ke bola mata Raden Samodra.

   Perlahan Ki Amus kembali memalingkan wajahnya, dan mena-tap pemuda tampan yang berada sekitar enam langkah lagi di depannya.

   "Katakan, apa perjanjianmu?"

   Dengus Ki Amus tegas.

   "Kau dan anak gadismu boleh bertarung me-lawanku bersamaan. Tapi kalau kalian kalah, desa ini ada di bawah kekuasaanku. Dan kalau aku ka-lah, desa ini aman dari gangguan siapa pun juga. Aku akan menjaga desa ini, walaupun tidak tinggal di sini. Bagaimana...?"

   Ki Amus tidak langsung menjawab.

   Kembali di-pandangnya Layung Sari.

   Dan pandangannya bera-lih pada deretan orang tua yang ada di belakang gadis itu.

   Tatapan matanya terpaku pada Paman Ar-daga beberapa saat lamanya.

   Permintaan Raden Banyu Samodra yang diucapkan lantang, terdengar jelas sekali oleh semua orang yang ada di sekitar halaman rumah kepala desa itu.

   Cukup lama juga Ki Amus mempertimbangkan permintaan perjanjian Raden Banyu Samodra.

   Dan tampaknya, semua orang menyerahkan segala ke-putusan padanya.

   Tak ada seorang pun yang mem-buka suara.

   Tapi dari sorot mata, mereka mengha-rapkan Ki Amus dapat mengalahkan pemuda con-gkak itu.

   Walaupun, tanpa dibantu anak gadisnya yang memang memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup tinggi.

   Malah, tak ada seorang pun pemuda di desa ini yang berani mendekatinya.

   "Bagaimana, Ki Amus...?"

   Tanya Raden Banyu Samodra tidak sabar lagi menunggu.

   "Baik! Tantanganmu kuterima,"

   Sahut Ki Amus tegas.

   "Ha ha ha...!"

   Raden Banyu Samodra tertawa terbahak-bahak.

   Semua orang yang memadati halaman depan rumah kepala desa itu segera menyingkir menjauh.

   Sedangkan Layung Sari sudah berada sekitar lima langkah di sebelah kanan ayahnya.

   Sementara, Ra-den Banyu Samodra menyunggingkan senyuman yang sangat manis.

   Tapi di dalam pandangan se-mua orang, senyuman itu merupakan seringai iblis yang akan menghancurkan desa di Pesisir Pantai Utara ini.

   "Bersiaplah, Ki,"

   Ujar Raden Banyu Samodra kalem.

   "Hm...,"

   Ki Amus hanya menggumam kecil.

   "Kau boleh menyerang lebih dulu, Cah Ayu,"

   Kata Raden Banyu Samodra sambil menatap Layung Sari.

   "Phuih!"

   Layung Sari menyemburkan ludahnya sengit.

   Kaki gadis itu langsung bergerak mantap, me-nyusuri tanah berpasir putih.

   Tatapan matanya be-gitu tajam tanpa berkedip sedikit pun, bagai hendak melahap bulat-bulat seluruh tubuh pemuda tampan dan congkak itu.

   Perlahan pedangnya ditarik keluar dari warangkanya yang tergantung di pinggang.

   "Hiyaaat..!"

   Bet! Sambil berteriak nyaring, Layung Sari melom-pat begitu cepat sambil membabatkan pedangnya yang diarahkan langsung ke leher Raden Banyu Samodra.

   Semua orang yang melihat, seketika itu juga menahan nafasnya.

   Terlebih lagi, Raden Banyu Samodra seperti tidak berusaha menghindari sabetan pedang yang berkilatan tajam itu.

   "Hhh!"

   Tapi begitu mata pedang yang berkilat hampir saja memenggal batang lehernya, men-dadak saja Raden Banyu Samodra menarik kepalanya ke bela-kang dengan gerakan manis sekali.

   Dan begitu ujung pedang Layung Sari lewat didepan tenggoro-kan, cepat sekali kedua telapak tangannya diayun-kan.

   Hingga....

   Tap! "Heh...?!"

   Layung Sari jadi terkejut setengah mati, begitu ujung mata pedangnya terjepit di antara kedua telapak tangan Raden Banyu Samodra.

   Cepat seluruh kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan untuk me-narik pedangnya dari jepitan kedua telapak tangan itu.

   Tapi sungguh sulit dipercaya, ternyata pedangnya sedikit pun tidak bergeming dari jepitan kedua telapak tangan pemuda itu.

   "Yeaaah...?!"

   Namun pada saat itu, Ki Amus sudah me-lompat cepat sekali sambil melepaskan satu puku-lan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Pukulannya langsung diarahkan ke kepala Raden Banyu Samodra.

   "Utfs!"

   Namun hanya sedikit saja mengegoskan ke-pala, Raden Banyu Samodra bisa menghindari se-rangan laki-laki tua kepala desa itu.

   Dan tanpa diduga sama sekali, kedua tangannya yang menjepit pedang dihentakkan ke samping, tepat terarah pada Ki Amus.

   Dan tindakan itu tentu saja membuat Ki Amus jadi terbeliak.

   Terlebih lagi Layung Sari.

   "Haiiit..!"

   Cepat-cepat Ki Amus melenting ke udara, menghindari terjangan pedang Layung Sari yang sudah tidak terkendali lagi setelah dihentakkan Raden Banyu Samodra.

   Dan saat itu juga, Layung Sari mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya.

   Cepat pedangnya dikebutkan ke bawah, hingga lewat di bawah telapak kaki Ki Amus.

   "Hup!"

   Layung Sari bergegas melompat ke belakang beberapa tindak jauhnya.

   Sementara, Ki Amus ber-putaran beberapa kali di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya kembali di tanah berpasir putih.

   Sedangkan Raden Banyu Samodra tampak ber-diri tegak dengan kedua tangan tepat didepan dada.

   Bibirnya terus menyunggingkan senyum.

   "Kau serang dia dari bawah, Layung,"

   Kata Ki Amus agak berbisik perlahan. Layung Sari cepat mengangguk. Dan....

   "Hiyaaat..!"

   Sambil berteriak nyaring, Layung Sari kembali melompat menghampiri Raden Banyu Samodra. Dan begitu kakinya menjejak tanah berpasir putih, bagaikan kilat pedangnya dikebutkan ke arah kaki pemuda itu.

   "Hup!"

   Raden Banyu Samodra cepat-cepat melompat menghindari sabetan pedang yang mengarah ke ka-kinya. Tapi begitu berada di udara, Ki Amus sudah melesat cepat sambil melepaskan satu pukulan keras menggeledek yang mengarah langsung ke dada.

   "Hap!"

   Sungguh di luar dugaan sama sekali, ternyata Raden Banyu Samodra tidak berusaha menghindari sedikit pun juga.

   Bahkan memapak pukulan kepala desa itu dengan menghentakkan kedua tangannya ke depan.

   Hingga tak pelak lagi, dua tangan berkekuatan tenaga dalam tinggi beradu.

   Plak! "Akh...!"

   "Ayah...!"

   Jerit Layung Sari terperanjat.

   Cepat-cepat gadis itu menghambur, begitu me-lihat ayahnya terpental ke belakang dan jatuh ber-gulingan beberapa kali di tanah.

   Seketika dari mulut orang tua itu keluar darah kental berwarna agak kehitaman.

   Ki Amus berusaha bangkit berdiri, tapi saat itu juga seluruh tubuhnya terasa jadi lemas seperti tidak memiliki tulang-tulang lagi.

   Seluruh tenaganya seketika itu juga seperti lenyap.

   "Ayah...."

   Layung Sari berusaha membantu ayahnya ber-diri.

   Tapi, Ki Amus memang tidak sanggup lagi berdiri.

   Sedangkan darah semakin banyak saja keluar dari mulutnya.

   Hal ini tentu saja membuat Layung Sari jadi kalang kabut.

   Seketika mulutnya mendesis geram begitu sorot matanya tertumbuk pada Raden Banyu Samodra yang tengah tertawa terkekeh, sete-lah berhasil menjatuhkan satu orang lawan.

   "Setan keparat! Kubunuh kau! Hiyaaat..!"

   Layung Sari tidak dapat lagi mengendalikan di-ri.

   Seperti seekor singa betina yang kehilangan anaknya, langsung diserangnya pemuda tampan yang baru sekali ini datang ke desa nelayan itu.

   Bagaikan kilat, Layung Sari mengebutkan pedangnya beberapa kali, bagai hendak merancah tubuh la-wan.

   "Haiiit...!"

   Tapi dengan gerakan-gerakan indah dan ringan sekali, Raden Banyu Samodra berhasil menghinda-rinya.

   Dan tampaknya, dia seperti sengaja mem-permainkan, sehingga membuat Layung Sari sema-kin dihinggapi perasaan marah.

   Semua serangan-nya satu pun tidak ada yang berhasil mengenai sa-saran.

   "Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

   Layung Sari semakin memperhebat serangan-serangannya.

   Semua kebutan pedangnya mengan-dung penyaluran tenaga dalam tingkat tinggi.

   Hing-ga setiap berkelebat, selalu menimbulkan desiran angin yang dapat membuat hati siapa saja yang mendengarnya langsung ciut.

   "Mampus kau! Yeaaah...!"

   Sambil berteriak keras menggelegar, Layung Sari melompat ke atas. Pedangnya langsung diba-batkan ke arah kepala Raden Banyu Samodra den-gan kecepatan bagai kilat dan sukar diikuti pan-dangan mata biasa.

   "Hap!"

   Tapi sungguh di luar dugaan, ternyata Raden Banyu Samodra bukannya berusaha berkelit meng-hindar.

   Bahkan malah ikut melompat dan tiba-tiba sekali tangan kirinya mengibas cepat.

   Tahu-tahu, kini ujung pedang Layung Sari sudah terjepit di antara dua jemari tangan pemuda itu.

   "Ikh...!"

   Layung Sari cepat berusaha mencabut pe-dangnya dari jepitan dua jemari tangan itu, tapi sedikit pun tidak bergeming.

   Apalagi terlepas.

   Dan pada saat itu juga, Raden Banyu Samodra mele-paskan satu pukulan keras yang begitu cepat, hing-ga sukar diikuti pandangan mata biasa.

   Begitu cepat pukulannya, sehingga Layung Sari tidak punya kesempatan menghindar lagi.

   Terlebih lagi, seluruh perhatiannya tengah tertumpah pada pedangnya yang terjepit di antara dua jari tangan pemuda itu.

   Hingga tak pelak lagi, pukulan Raden Banyu Samodra tepat menghantam dadanya.

   Des! "Akh...!"

   Layung Sari terpekik agak tertahan.

   Seketika, tubuhnya terpental ke belakang se-jauh beberapa langkah.

   Dan pedangnya tidak dapat lagi dipertahankan, hingga terlepas dari genggaman.

   Gadis itu juga kontan jatuh terjerembab cukup ke-ras.

   Dan pada saat hendak bangkit berdiri, tahu-tahu Raden Banyu Samodra sudah berdiri dekat.

   Se-ketika ujung pedang di tangannya ditempelkan tepat di tenggorokan Layung Sari.

   "Kau kalah, Manis,"

   Ujar Raden Banyu Sa-modra sambil tersenyum menyeringai lebar.

   "Phuih!"

   Layung Sari menyemburkan ludahnya.

   "He he he...!" *** Sambil tertawa terbahak-bahak, Raden Banyu Samodra menghampiri rumah Ki Amus. Dan dengan angkuh sekali dia memasuki beranda, lalu berdiri tegak sambil berkacak pinggang di pinggiran beran-da depan rumah kepala desa itu. Sementara, Layung Sari, Paman Ardaga, dan beberapa orang tua membantu berdiri Ki Amus. Kepala desa itu ma-sih menderita kelumpuhan, akibat beradu tenaga dalam dengan Raden Banyu Samodra tadi.

   "Dengar kalian semua...! Mulai saat ini, aku yang berkuasa di sini. Kalian harus patuh pada perintahku. Siapa saja berani membangkang, tidak segan-segan kepala kalian kujadikan hiasan tiang-riang perahu!"

   Lantang sekali suara Raden Banyu Samodra.

   Tak ada seorang pun yang membuka suara, meskipun di dalam hati mengutuki pemuda itu.

   Semua penduduk di desa nelayan itu sudah melihat kedigdayaannya.

   Dan tak ada seorang pun yang be-rani menantang.

   Ki Amus saja yang diketahui me-miliki ilmu olah kanuragan tingkat tinggi, bisa dibuat lumpuh seketika.

   "Ha ha ha...!"

   Sambil tertawa terbahak-bahak, pemuda ber-pakaian sutra halus yang mengaku bernama Raden Banyu Samodra itu melangkah masuk ke dalam rumah Ki Amus.

   Dia memang bermaksud menjadi-kan rumah kepala desa itu sebagai istananya.

   Dan memang, hanya rumah Ki Amus saja yang paling bagus di desa nelayan Pesisir Pantai Utara.

   "Ayo, Ki. Sebaiknya tinggal di rumahku saja du-lu,"

   Kata Paman Ardaga sambil memapah Ki Amus.

   "Terima kasih,"

   Ucap Ki Amus pelan.

   Memang tidak ada lagi yang bisa dilakukan Ki Amus, Kecuali menurut saja saat dipapah Paman Ardaga dan Layung Sari.

   Sementara, semua orang hanya dapat memandangi dengan wajah lesu.

   Mere-ka baru meninggalkan halaman depan rumah kepa-la desanya setelah Ki Amus tidak terlihat lagi, tenggelam di dalam rumah Paman Ardaga bersama pu-trinya.

   *** Sejak Raden Banyu Samodra menguasai desa nelayan di Pesisir Pantai Utara, keadaannya bagaikan berada dalam lingkaran api neraka.

   Keinginan-nya macam-macam saja dan tidak bisa dibantah la-gi.

   Beberapa pemuda desa yang mencoba menen-tang, kepalanya benar-benar menjadi hiasan tiang perahu.

   Bahkan tidak sedikit gadis yang diambil paksa dari tangan orang tuanya.

   Bahkan setiap ga-dis yang sudah jatuh ke tangannya, tak akan ada yang bisa melihat lagi.

   Tidak ada seorang pun yang tahu, bagaimana nasib gadis-gadis itu.

   Hari demi hari berlalu.

   Keadaan di desa itu se-makin gersang oleh ulah Raden Banyu Samodra.

   Dia benar-benar menancapkan kuku kekuasaannya begitu dalam.

   Hingga, tak ada seorang pun yang berani menentangnya.

   Tapi anehnya, sejak Raden Banyu Samodra menguasai desa itu, Naga Laut berwarna hijau yang memancarkan cahaya tidak pernah kelihatan lagi.

   Bahkan desa itu tidak pernah lagi dilanda badai.

   "Kita harus segera bertindak, Ki,"

   Kata Paman Ardaga dengan nada suara terdengar geram.

   "Dengan cara apa...?"

   Tanya Ki Amus lesu.

   "Sedangkan aku sudah tidak punya daya lagi. Jangan-kan untuk menantang, mengangkat tanganku saja sudah tidak mampu lagi." 'Tapi, Ki. Kalau didiamkan terus begini, desa kita ini bisa hancur,"

   Desah Paman Ardaga.

   "Desa ini memang sudah hancur. Bahkan su-dah musnah,"

   Selak Layung Sari sambil menyuapi ayahnya.

   "Aku tidak akan tinggal diam begitu saja, Ki,"

   Kata Paman Ardaga lagi.

   "Apa yang akan kau lakukan?"

   Tanya Ki Amus.

   Paman Ardaga tidak segera menjawab.

   Tapi memang, dia tidak mempunyai satu cara pun untuk mengusir Raden Banyu Samodra.

   Sedangkan ilmu olah kanuragan saja hanya sedikit dimilikinya.

   Jadi tidak mungkin dia bisa menantang Raden Banyu Samodra yang semakin menggila saja tingkahnya.

   "Ki! Bukankah kau pernah mengatakan kalau kedatangan si iblis keparat itu karena mencari seseorang...,"

   Kata Paman Ardaga, setelah cukup lama berdiam diri termenung.

   "Benar. Dia sendiri yang mengatakannya pada-ku,"

   Sahut Ki Amus.

   "Siapa orangnya yang sedang dicari, Ki?"

   Tanya Paman Ardaga ingin tahu.

   "Untuk apa kau tanyakan itu, Ardaga?"

   Ki Amus malah batik bertanya.

   "Mungkin kalau kita bisa bertemu orang yang dicarinya lebih dahulu, desa ini bisa dikembalikan seperti semula, Ki,"

   Kata Paman Ardaga agak ragu-ragu nada suaranya terdengar.

   "Hm.... Kau yakin itu?"

   Tanya Ki Amus juga ra-gu-ragu.

   "Itu hanya kemungkinan saja, Ki,"

   Sahut Paman Ardaga.

   Ki Amus terdiam.

   Matanya melirik sedikit pada Layung Sari yang masih tetap duduk di samping-nya.

   Sedangkan gadis itu malah memandangi, se-akan-akan sedang membaca jalan pikiran laki-laki setengah baya yang menampung mereka di rumah-nya ini, sejak Raden Banyu Samodra menjadikan rumah mereka untuk tempat tinggalnya.

   Saat itu, dari dalam sebuah kamar muncul seo-rang gadis cantik yang mengenakan baju dari bahan sederhana.

   Kepalanya mengangguk sedikit pada Ki Amus.

   Lalu, dengan cekatan sekali dibenahinya be-kas makan yang berserakan di atas meja.

   Layung Sari bergegas turun dari balai bambu, dan mem-bantu gadis itu membenahi bekas makan mereka semua.

   "Mari kubantu kau mencuci ini semua, An-dari,"

   Kata Layung Sari.

   "Ah, jangan. Biar aku saja yang menger-jakannya,"

   Tolak Andari halus.

   "Sudah beberapa hari aku dan ayahku me-numpang di sini. Sudah selayaknya kalau ikut mengerjakan apa saja yang bisa kukerjakan di sini,"

   Kata Layung Sari memaksa.

   Andari melirik sedikit ayahnya.

   Sedangkan Pa-man Ardaga hanya tersenyum saja.

   Maka Andari ti-dak bisa menolak lagi.

   Kedua gadis itu sebentar saja sudah menghilang di bagian belakang rumah sederhana yang hanya terbuat dari balik anyaman bam-bu ini.

   Sementara, Ki Amus dan Paman Ardaga ma-sih tetap duduk di balai bambu, di ruangan depan.

   Beberapa saat lamanya mereka terdiam, dan tidak ada yang membuka suara.

   Sampai Andari dan Layung Sari muncul lagi, belum ada yang membuka suara sedikit pun.

   Kini kedua gadis itu duduk berdampingan di bangku panjang yang ada di bawah jendela.

   "Kau lihat Ki. Tidak ada seorang pun yang pergi ke laut lagi. Padahal, dari sanalah sumber penghi-dupan semua orang di sini,"

   Kata Paman Ardaga ba-ru membuka suara lagi.

   Ki Amus hanya diam saja.

   Kedua bola mata-nya kelihatan nanar, memandang ke arah laut dari jendela yang terbuka lebar.

   Angin laut yang ber-hembus lembut, membawa aroma yang sudah tidak asing lagi bagi hidung mereka.

   Dan di sana, terlihat perahu nelayan yang semuanya tertambat di pantai.

   Tak ada seorang pun yang kelihatan berada di ten-gah laut.

   Dan kejadian ini sudah berlangsung lebih dari dua pekan lamanya.

   "Ki, kurasa tidak ada salahnya kalau salah satu dari kita berusaha bertemu lebih dahulu dengan orang yang dicari si iblis keparat itu,"

   Kata Paman Ardaga lagi.

   "Inilah yang menjadi persoalannya, Ardaga,"

   Kata Ki Amus agak mendesah perlahan.

   "Maksudmu, Ki...?"

   Paman Ardaga meminta penjelasan.

   "Orang yang dicari adalah Raja Karang Setra,"

   Sahut Ki Amus pelan.

   "Maksudmu..., Gusti Prabu Rangga Pari Per-madi...?"

   Jelas sekali, kalau dari nada suaranya Paman Ardaga terkejut mendengar maksud kedatangan Raden Banyu Samodra sebenarnya yang hanya un-tuk mencari Raja Karang Setra.

   Sedangkan wilayah Pesisir Pantai Utara ini masih termasuk Kerajaan Karang Setra.

   Dan semua orang sudah tahu, Raja Karang Setra juga seorang pendekar digdaya yang lebih banyak mengembara daripada di istananya.

   Jelas sangat sulit untuk bertemu Raja Karang Setra.

   Dan rupanya, hal ini yang menjadikan beban pikiran Ki Amus sampai saat sekarang.

   Paman Ardaga sendiri jadi terdiam termenung begitu men-dengar penjelasan Ki Amus, tentang tujuan Raden Banyu Samodra.

   "Tapi, Ayah.... Untuk apa dia mencari Gusti Prabu Rangga?"

   Tanya Layung Sari menyelak, di saat semua terdiam membisu.

   Ki Amus tidak langsung menjawab, karena memang tidak tahu tujuan Raden Banyu Samodra mencari Raja Karang Setra.

   Tapi, Raden Banyu Sa-modra memang pernah berkata kalau Raja Karang Setra yang juga dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti akan datang ke desa ini.

   Tapi entah kapan, tak ada seorang pun yang bisa memastikannya.

   Se-dangkan saat ini, hampir semua orang di Karang Setra tahu kalau Rangga sedang mengembara ber-sama Pandan Wangi.

   Dan seorang pun tak ada yang tahu, di mana mereka berada.

   Apakah benar Rang-ga akan datang ke desa nelayan ini, seperti yang dikatakan Raden Banyu Samodra...? *** Malam sudah cukup larut menyelimuti selu-ruh Pesisir Pantai Utara.

   Angin berhembus cukup kencang, membuat udara terasa sangat dingin.

   Na-mun, langit kelihatan cerah dihiasi cahaya bulan yang penuh, serta gemerlapnya bintang-bintang.

   Namun semua keindahan itu hanya bisa dinikmati sendu oleh seorang gadis cantik yang duduk men-cangkung di depan rumah Paman Ardaga.

   Gadis berwajah cantik yang mengenakan baju merah cu-kup ketat itu memukul-mukulkan pedang yang ma-sih tersimpan di dalam warangka, ke tanah ber-pasir putih.

   Entah, sudah berapa lama dia duduk men-cangkung di atas dahan pohon yang sudah roboh itu.

   Dan pandangannya lurus tanpa berkedip sedikit pun, ke tengah laut yang meriak bergelombang kecil, mempermainkan perahu-perahu nelayan yang sudah beberapa hari tidak pernah melaut lagi.

   "Hhh...!"

   Terdengar tarikan nafasnya yang panjang dan terasa berat.

   Sedikit tubuhnya menggeliat, dan me-masang kembali tali pedangnya ke pinggang.

   Perla-han-lahan dia bangkit berdiri.

   Kepalanya sedikit berpaling ke pintu rumah yang sedikit terbuka.

   Tak terlihat seorang pun di dalam rumah itu.

   Mungkin semua penghuninya sudah tertidur lelap.

   Dan me-mang, malam sudah begitu larut.

   Hanya debur om-bak saja yang memecah kesunyian malam ini.

   Per-lahan kakinya terayun hendak masuk ke dalam rumah itu.

   Tapi baru saja berjalan beberapa lang-kah, mendadak saja...

   Clraaak! "Heh...?!"

   Gadis cantik yang tak lain Layung Sari, jadi terkejut setengah mati begitu tiba-tiba membersit cahaya kilat di angkasa.

   Padahal, malam ini langit kelihatan begitu cerah.

   Dan begitu kepalanya menengadah, tiba-tiba saja datang awan hitam bergu-lung-gulung, seakan-akan datang dari tengah laut Dan sebentar saja, seluruh Pesisir Pantai Utara sudah terselimut awan hitam yang begitu tebal.

   Saat itu, hembusan angin pun semakin terasa kencang, memperdengarkan suara menggemuruh menggetar-kan jantung.

   Crasss! Kembali kilat membersit bagai hendak mem-belah angkasa.

   Ujung kilat itu tempat menyambar ke permukaan laut yang kini bergelombang sangat besar.

   Dan pada saat itu....

   "Oh...?!"

   Kedua bola mata Layung Sari jadi terbeliak le-bar.

   Bahkan mulutnya sampai ternganga begitu me-lihat di tengah laut ada seekor ular raksasa yang memancarkan cahaya hijau terang, bergerak-gerak menggeliat menuju tepi pantai.

   Begitu cepat sekali gerakannya, sehingga dalam waktu sebentar saja binatang yang selama ini selalu disebut Naga Laut sudah sampai di tepi pantai.

   Dan pada saat itu, terlihat seseorang berlari-lari kecil sambil memanggul sesuatu di pundaknya.

   "Raden Banyu Samodra...,"

   Desis Layung Sari agak tercekat suaranya di tenggorokan.

   Jelas sekali terlihat kalau orang yang berlari-lari kecil menghampiri Naga Laut itu Raden Banyu Samodra.

   Tapi Layung Sari jadi terkesiap, begitu ta-hu kalau benda yang dipanggul adalah seorang ga-dis yang seluruh tubuhnya terbungkus kain putih.

   Hanya bagian kepalanya saja yang terlihat Rambut-nya yang panjang bergerai tampak menjuntai ke bawah.

   "Hup...!"

   Layung Sari cepat melompat.

   Dia kemudian berlindung di balik sebatang pohon yang cukup be-sar, begitu Raden Banyu sudah dekat di depan Naga Laut yang memancarkan cahaya hijau.

   Tampak Raden Banyu Samodra menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu memutar tubuhnya untuk menyelidiki sekitar-nya.

   Seakan-akan dia takut ada orang lain yang melihatnya.

   Kemudian pemuda itu menurunkan beban yang ada di pundaknya, tepat didepan Naga Laut.

   Semua itu terlihat jelas sekali dari tempat persembunyian Layung Sari.

   Pemuda yang kini menguasai desa ini dengan cara kejam, tampak membungkuk-kan tubuhnya dengan kedua telapak tangan mera-pat di depan dada.

   Rupanya, dia memberi hormat pada Naga Laut.

   "Gila...! Apa yang dilakukannya...?"

   Desis Layung Sari hampir tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.

   Sedikit pun gadis itu tidak mengerdipkan ma-tanya dan terus memperhatikan semua yang dila-kukan Raden Banyu Samodra.

   Begitu inginnya un-tuk mengetahui lebih jelas lagi, Layung Sari pelan-pelan segera menggeser kakinya lebih mendekat.

   Tapi, dia terus berusaha berlindung dan tidak ingin diketahui kehadirannya.

   Gadis itu baru berhenti menggeser kakinya, setelah jaraknya terasa sudah cukup dekat dengan Raden Banyu Samodra.

   "Edan...!"

   Desis Layung Sari dalam hati.

   Apa yang disaksikannya, saat ini benar-benar sukar bisa dipercaya.

   Bahkan perutnya terasa jadi mual hendak muntah.

   Ternyata, Raden Banyu Samodra tengah mempersembahkan seorang gadis yang dirampasnya dari tangan orang tuanya untuk Naga Laut.

   Dan dengan buas sekali, Naga Laut mengoyak tubuh gadis malang itu hingga tidak ter-sisa sedikit pun juga.

   Setelah puas melahap gadis muda itu, Naga Laut kembali masuk ke dalam laut.

   Tepat di saat ular naga raksasa bercahaya hijau terang itu lenyap ke dalam laut langit yang diselimuti awan tebal pun kembali cerah.

   Bahkan angin pun tidak lagi berhembus menggila.

   Perubahan ini terjadi begitu cepat bersamaan dengan menghilangnya Naga Laut.

   Sementara Layung Sari terus memperhatikan dari tempat persembunyiannya, Raden Banyu Sa-modra kembali ke rumah kepala desa yang kini menjadi tempat tinggalnya.

   Sama sekali tidak di sa-darinya kalau semua yang dilakukan mendapat perhatian dari seorang gadis cantik, putri kepala desa nelayan di Pesisir Pantai Utara ini.

   *** "Gila...! Ini tidak bisa didiamkan terus.

   Bisa habis semua gadis-gadis desa ini, kalau setiap malam harus dipersembahkan pada Naga Laut,"

   Desis Layung Sari dalam hati.

   "Hhh! Apa yang harus kulakukan...?"

   Memang sulit menghentikan sepak terjang Ra-den Banyu Samodra. Terlebih lagi, pemuda yang ki-ni menguasai seluruh desa di Pesisir Pantai Utara memiliki kepandaian yang sulit dicari tandingannya.

   "Aku harus bicarakan semua ini pada Paman Ardaga. Hanya dia saja yang bisa diajak bicara sekarang ini,"

   Ujar Layung Sari dalam hati lagi.

   Mendapat pikiran begitu, bergegas gadis itu melesat kembali ke rumah Paman Ardaga.

   Ilmu me-ringankan tubuh yang dimilikinya memang sudah cukup tinggi.

   Sehingga dalam waktu sebentar saja, dia sudah sampai di rumah Paman Ardaga yang selama ini juga menjadi tempat tinggalnya bersama ayahnya.

   Hampir saja Layung Sari bertabrakan dengan Paman Ardaga saat akan masuk ke pintu.

   Cepat-cepat gadis itu melompat ke belakang.

   Sementara, Paman Ardaga juga langsung terlompat ke bela-kang, dan masuk lagi ke dalam rumah.

   Tapi, seben-tar kemudian mereka sudah bertemu lagi didepan pintu.

   "Layung...,"

   Desah Paman Ardaga sambil menggeleng-gelengkan kepala.

   "Paman.... Bikin aku terkejut saja,"

   Desah Layung Sari sambil menarik napas dalam-dalam.

   "Kenapa terburu-buru?"

   Tanya Paman Ardaga sambil duduk di balai bambu yang ada di beranda depan rumahnya.

   Layung Sari tidak langsung menjawab.

   Lalu, diambilnya tempat tidak jauh dari laki-laki setengah baya bertubuh kekar berotot itu.

   Sedangkan Paman Ardaga sudah asyik melinting tembakau, dan di su-lutkan ke ujung api pelita yang tergantung di tiang beranda.

   Harum sekali bau tembakau, sehingga membuat Layung Sari seakan-akan sulit me-ngatakan semua yang telah disaksikannya di tepi pantai tadi.

   "Ada yang ingin kau katakan, Layung?"

   Tanya Paman Ardaga sambil membuang lintingan temba-kaunya yang sudah hampir habis terhisap.

   "Hhh...,"

   Layung Sari malah menghembuskan napas panjang.

   Paman Ardaga memandangi dengan kening berkerut dan mata menyipit.

   Bisa diduga kalau ada sesuatu yang ingin disampaikan gadis itu, tapi kelihatannya begitu berat Sedikit duduknya bergeser lebih mendekat.

   Sedangkan Layung Sari mengarah-kan pandangan lurus ke arah laut yang mengge-lombang kecil menghantam pantai.

   Begitu indah permukaan laut malam ini, dihiasi pantulan cahaya bulan dan bintang yang bagai bertaburkan ribuan batu-batu mutiara gemeriapan.

   "Paman, ada yang ingin kuceritakan. Tapi...,"

   Ucapan Layung Sari terputus.

   "Katakan saja, Layung,"

   Pinta Paman Ardaga lembut.

   "Aku..., aku baru saja melihat Naga Laut,"

   Terdengar pelan sekali suara Layung Sari.

   "Kau..., melihat...?!"

   Paman Ardaga tidak bias melanjutkan.

   Suara laki-laki setengah baya itu seperti terta-han di tenggorokan.

   Hanya bisa dipandanginya saja wajah cantik Layung Sari.

   Sedangkan yang dipandangi malah mengarahkan pandangannya ke tengah laut.

   Beberapa saat lamanya mereka terdiam, dan tak ada yang membuka suara lagi.

   Perlahan Layung Sari menarik napas panjang, lalu menghembuskan-nya kuat-kuat.

   Seakan-akan, dia ingin mencari ke-kuatan untuk mengatakan semua yang telah disak-sikannya tadi.

   "Ceritakan, apa saja yang sudah kau lihat, Layung,"

   Pinta Paman Ardaga setelah cukup lama terdiam membisu karena terkejut.

   Dengan suara pelan, Layung Sari kemudian menceritakan semua yang disaksikannya di tepi pantai tadi.

   Sedangkan Paman Ardaga mendengar-kannya penuh perhatian.

   Sedikit pun cerita gadis itu tidak diselaknya.

   Seakan-akan, semua kata-kata yang meluncur bagai air sungai dari bibir yang merah menawan itu ditelan bulat-bulat.

   Paman Ardaga masih tetap terdiam, walau-pun Layung Sari sudah menyelesaikan ceritanya.

   Di-hembuskannya napas panjang, sambil mengalihkan pandangan ke tengah laut saat Layung Sari berpal-ing menatapnya.

   Beberapa saat mereka masih tetap terdiam, Entah, apa yang ada dalam kepala mereka masing-masing saat ini.

   "Paman..., apa yang harus kita lakukan seka-rang...?"

   Tanya Layung Sari pelan, seperti bertanya untuk diri sendiri.

   "Bagaimanapun juga, hal ini harus dilaporkan ke Istana Karang Setra. Ada atau tidak Gusti Prabu Rangga di istana, kita harus segera melaporkan-nya,"

   Sahut Paman Ardaga terdengar tegas sekali nada suaranya.

   "Tapi, Paman.... Kelihatannya ayah tidak setu-ju."

   "Salah satu dari kita harus pergi ke kotaraja. Ini harus, dan tidak bisa didiamkan terus-menerus. Bisa-bisa, kau atau anakku yang menjadi korban-nya nanti,"

   Kata Paman Ardaga terdengar tegas na-da suaranya.

   "Kalau begitu, biar aku saja yang pergi, Paman,"

   Pinta Layung Sari mantap.

   "Perjalanan dari sini ke kotaraja sangat jauh, Layung. Bisa tiga hari tiga malam dengan berkuda."

   "Aku bisa menunggang kuda dengan baik, Pa-man."

   "Hanya seorang diri?"

   "Andari bisa menemaniku."

   Paman Ardaga terdiam.

   Dia tahu, anak gadis-nya sangat mahir menunggang kuda.

   Tapi Andari tidak menguasai ilmu olah kanuragan sedikit pun juga.

   Dan inilah yang membuatnya jadi harus ber-pikir dua kali untuk mengizinkan Andari pergi ke Kotaraja Karang Setra.

   Walaupun, kepergiannya bersama Layung Sari yang sudah tidak diragukan lagi kepandaian ilmu olah kanuragannya.

   Tapi kehidupan di dunia luar tidak bisa mudah diramalkan.


Pendekar Romantis Hancurnya Samurai Cabul Pendekar Mabuk Bocah Tanpa Pusar Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung

Cari Blog Ini