Perempuan Siluman 2
Pendekar Rajawali Sakti Perempuan Siluman Bagian 2
"Edan...! Manusia macam apa ini...?"
Desis Rangga jadi terlongong bengong keheranan.
Tapi, Pendekar Rajawali Sakti tidak sempat berpikir lebih panjang lagi.
Apalagi serangan wani-ta berbaju kumal penuh tambalan itu begitu cepat.
Bahkan sangat beruntun, sehingga membuat Rangga terpaksa harus berjumpalitan dan meliuk-liukkan tubuhnya untuk menghindari.
"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti me-lenting tinggi-tinggi ke udara, tepat ketika wanita kumal itu mengarahkan satu pukulan keras menggeledek ke arah perut.
Beberapa kali Rangga berputaran di udara, lalu cepat sekali meluruk tu-run dengan mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
"Hiyaaa...!"
Kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti berge-rak cepat luar biasa, dan langsung mengarah ke kepala wanita kumal berbaju kotor penuh tamba-lan itu.
Sungguh cepat luar biasa serangan yang dilancarkannya dari jurus 'Rajawali Menukik Me-nyambar Mangsa', sehingga wanita kumal dan ko-tor itu tidak sempat lagi berkelit menghindar.
Dan....
Plak! Tepat dan keras sekali kaki kanan Rangga menghantam kepala wanita itu.
Tapi seketika itu juga, Rangga jadi tersentak kaget setengah mati.
Karena, tendangannya sama sekali tidak membuat wanita itu bergeming sedikit pun.
Bahkan tanpa diduga sama sekali, tangan kanannya mengibas cepat luar biasa.
Akibatnya, Pendekar Rajawali Sakti tidak sempat lagi menghindarinya.
Bet..! Desss! "Akh...!"
Rangga jadi terpekik keras.
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh pemuda berbaju rompi putih itu terpental sekitar dua ba-tang tombak ke belakang.
Rangga langsung berge-limpangan, begitu tubuhnya menghantam tanah dengan keras.
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sak-ti melenting bangkit berdiri, tepat pada saat wani-ta berbaju kumal penuh tambalan itu meluruk de-ras dengan kedua tangan menjulur lurus ke de-pan.
"Hap! Yeaaah...!"
Bet! Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti men-gerahkan jurus 'Cakar Rajawali' untuk mengim-bangi serangan wanita kumal seperti gembel jala-nan itu.
Kedua tangannya bergerak cepat luar bi-asa, dengan jari-jari tangan terkembang kaku se-perti cakar seekor burung rajawali raksasa yang siap mencengkeram mangsa.
Plak...! Beberapa kali tangan-tangan mereka ber-benturan keras.
Dan pada benturan entah yang ke berapa, tiba-tiba saja wanita itu memutar tangan-nya.
Gerakannya begitu cepat, diimbangi liukan tubuhnya yang lentur seperti ular.
Rangga jadi tersentak kaget, karena tiba-tiba saja tangan ka-nan wanita itu sudah menjulur cepat ke arah lam-bungnya.
"Hap!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti men-gibaskan tangan kirinya, menangkis tangan kanan yang sudah menjulur begitu cepat ke arah lam-bung. Tap! *** "Hiyaaa...!"
Sambil mengerahkan seluruh kekuatan te-naga dalamnya yang sudah mencapai tingkat ke-sempurnaan, Pendekar Rajawali Sakti langsung menghentakkan tangannya ke atas, begitu berha-sil mencengkeram pergelangan tangan wanita ber-baju kumal dan kotor penuh tambalan itu.
Keras sekali sentakan tangan Pendekar Ra-jawali Sakti.
Sehingga tak pelak lagi, tubuh wanita kumal dan kotor itu terpental tinggi ke udara.
Pa-da saat yang bersamaan, Rangga melesat tinggi sambil mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Mem-belah Mega' untuk mengejar lawannya ini.
"Hiyaaa...!"
Bet! Desss...! Beberapa kali kebutan tangan Pendekar Rajawali Sakti menghantam tubuh wanita berbaju kumal penuh tambalan ini.
Tapi sedikit pun tak terdengar suara jeritan.
Bahkan wanita itu malah berputar di udara dengan manis sekali.
Dan seper-ti segumpal kapas, tubuhnya meluncur turun.
Ge-rakannya sangat ringan, hingga sedikit pun tak ada suara yang ditimbulkannya saat kedua ka-kinya menjejak tanah.
"Hiyaaa...!"
Rangga cepat-cepat meluruk turun, dan merubah jurusnya menjadi 'Rajawali Menukik Me-nyambar Mangsa'.
Cepat sekali gerakannya, se-hingga bentuk tubuhnya lenyap.
Yang terlihat hanya bayangan putih saja yang berkelebat bagai kilat ke bawah, tepat di atas kepala wanita berbaju kumal penuh tambalan itu.
Plak! "Aaakh..!"
Tiba-tiba saja wanita itu menjerit keras me-lengking tinggi, begitu kaki Rangga berhasil meng-hantam kepala dengan keras.
Terlebih lagi, Rangga menyertainya dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.
Aki-batnya wanita itu terpelanting keras ke tanah.
"Hap...!"
Tepat di saat Rangga menjejakkan kakinya di tanah, wanita kumal berbaju kotor penuh tam-balan itu berhasil melompat bangkit berdiri.
Gera-kannya sungguh ringan dan indah.
Sesaat Rangga jadi terkesiap, karena wanita itu tidak mengalami luka sedikit pun pada kepalanya.
Padahal, tadi Rangga mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' pada tingkat terakhir.
Dan biasanya, tidak ada seorang pun yang sanggup bertahan.
Setiap lawannya yang terkena tendangan dari jurus itu, kepalanya langsung pe-cah berantakan! Tapi wanita itu..., sama sekali tidak mengalami luka sedikit pun.
Apalagi sampai pecah kepalanya, seperti yang diduga Rangga se-belumnya.
"Gila...! Siluman apa dia...?"
Desis Rangga dalam hati.
"Hik hik hik...!"
Wanita itu malah tertawa terkikik.
Sementara Rangga menggeser kakinya ke kanan beberapa langkah.
Tatapan matanya begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata wanita muda dan kotor itu.
Rangga langsung menyadari kalau kali ini tengah berhadapan dengan seorang wanita siluman yang tidak mudah ditundukkan.
Beberapa jurus dahsyat dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti' sudah dikerahkan.
Tapi, tidak juga mampu menaklukkan wanita yang seperti gembel jalanan itu.
Meskipun menyadari kalau lawannya tang-guh luar biasa, tapi Pendekar Rajawali Sakti masih enggan mengeluarkan senjata pusakanya.
Dan dia juga belum mau mengeluarkan aji kesaktian, se-lama lawannya juga tidak mengeluarkan ilmu-ilmu kesaktian maupun senjata.
Rangga memang selalu menginginkan suatu pertarungan jujur dan seim-bang.
Hingga dia selalu mengikuti semua yang di-lakukan lawannya.
Beberapa saat mereka berdiri tegak saling berhadapan, dengan sorot mata tajam bagai mata pisau.
Seakan-akan mereka sedang mengukur tingkat kepandaian masing-masing.
Perlahan-lahan Rangga kembali menggeser kakinya ke samping beberapa langkah.
Dan setiap gerakan yang dilakukannya selalu diikuti tatapan mata yang tajam sekali dari perempuan siluman berbaju kumal dan kotor penuh tambalan itu.
Sret! Tiba-tiba saja wanita muda bertubuh kotor dari berbaju kumal penuh tambalan itu mencabut sebuah senjata yang tersembunyi dari balik depan lipatan bajunya.
Sebuah senjata yang berbentuk kujang, dan terbuat dari emas.
Namun mendadak saja....
"Inten...!"
"Oh...?!"
"Heh...?!" *** Bukan hanya wanita kumal itu saja yang terkejut. Bahkan Rangga tersentak kaget ketika ti-ba-tiba saja terdengar bentakan keras yang begitu mengejutkan. Dan belum lagi hilang rasa terkejut mereka, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan hitam begitu cepat luar biasa. Tahu-tahu di antara mereka sudah berdiri seorang perempuan tua berbaju hitam kumal yang sudah lusuh dan pudar warnanya, dengan beberapa tambalan menghiasi.
"Nek Paring...,"
Desis wanita muda berpa-kaian seperti gembel kotor itu, masih terkejut atas kemunculan perempuan tua yang berpakaian seperti dirinya.
"Simpan pusaka itu, Inten. Kau belum bo-leh menggunakannya,"
Ujar perempuan tua yang ternyata memang Nek Paring. 'Tapi, Nek...."
"Simpan kataku!"
Wanita bertubuh kotor dan berpakaian kumal penuh tambalan yang dipanggil Inten itu memasukkan kembali senjata Kujang Emasnya ke dalam lipatan baju.
Sedikit matanya melirik Rang-ga yang masih tetap berdiri memperhatikan.
Tam-pak jelas kalau Pendekar Rajawali Sakti masih ter-longong, seperti tidak mengerti dengan semua yang tengah terjadi di depan matanya.
Perlahan Nek Paring memutar tubuhnya, hingga berhadapan langsung dengan Pendekar Ra-jawali Sakti.
Sementara, Inten melangkah mende-kati perempuan tua itu, lalu berdiri di samping kanannya.
Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti masih tetap berdiri tegak, bersikap penuh waspa-da.
Disadari kalau di depannya sekarang ini berdi-ri dua orang perempuan siluman.
Dia tidak tahu, seberapa tingginya tingkat kepandaian perempuan tua yang wajahnya tidak terlihat itu.
Karena, hampir seluruh kepalanya tertutup kain kerudung hitam yang sudah memudar warnanya.
"Aku tidak suka kehadiranmu di desa ini, Anak Muda. Sebaiknya segeralah pergi, dan jan-gan kembali lagi ke sini. Aku tidak ingin lagi meli-hatmu. Kau mengerti maksudku, Anak Muda...?"
Terasa begitu dingin nada suara Nek Paring.
"Hm...,"
Gumam Rangga perlahan.
Pende-kar Rajawali Sakti tahu, kata-kata perempuan tua itu tidak bisa lagi dipandang main-main.
Dan ka-ta-kata itu mengandung nada ancaman begitu te-gas.
Tapi, Rangga tidak sudi menuruti begitu saja keinginan itu.
Terlebih lagi Pendekar Rajawali Sak-ti sudah melihat dengan mata kepala sendiri, ba-gaimana kekejaman yang dilakukan Inten pada dua orang peronda malam ini.
Dan Rangga sudah banyak mendengar cerita tentang semua pembu-nuhan keji yang terjadi di Desa Mungkit ini dari Darkan.
Memang, pemuda itu sudah menganggap Pendekar Rajawali Sakti sebagai sahabatnya.
Bah-kan Rangga yang datang ke desa ini bersama Pan-dan Wangi disambut baik.
Juga diberikan tempat tinggal yang cukup bagus.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau kebaikan yang diberikan Darkan ada maksud tertentu.
Dan Rangga juga memaha-minya, walaupun Darkan tidak pernah mengu-capkan sedikit pun juga.
"Ayo kita pergi, Inten,"
Ajak Nek Paring.
Tanpa mempedulikan pemuda berbaju rompi putih itu, mereka segera melesat pergi dengan cepat se-kali.
Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejapan mata saja mereka sudah lenyap tak terlihat lagi seperti tertelan malam yang begitu pekat dan ke-lam.
Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak memandangi arah kepergian dua orang wanita aneh itu.
"Hm..., aneh sekali. Mereka membunuh orang hanya untuk diambil darahnya. Siapa mere-ka sebenar-nya...?"
Gumam Rangga dalam hati.
Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti ma-sih berdiri mematung memandang lurus menem-bus kegelapan, kemudian berbalik dan melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
*** Lewat tengah malam, Rangga baru sampai di rumah yang diberikan Darkan, selama berada di Desa Mungkit ini.
Sebuah rumah yang tidak begi-tu besar, namun sangat rapi dan bersih.
Pendekar Rajawali Sakti agak tertegun sedikit, begitu meli-hat daun pintu rumah masih terbuka lebar.
Dan nyala api pelita di dalam rumah itu pun terlihat besar, membuat keadaannya sangat terang.
Berge-gas kakinya melangkah menghampiri.
Dan baru saja kakinya menginjak ambang pintu, seorang pemuda sudah menyambutnya disertai senyum lebar tersungging di bibir.
Tampak Pandan Wangi duduk saja di bawah jendela yang sedikit terbuka.
"Oh, Darkan...,"
Desah Rangga, lega.
"Dari mana saja? Tengah malam begini ba-ru pulang,"
Tanya Darkan masih dengan bibir menyunggingkan senyum lebar dan manis sekali.
"Jalan-jalan, melihat keadaan,"
Sahut Rangga seraya melangkah masuk, dan langsung menghempaskan tubuhnya di kursi samping Pan-dan Wangi.
'Terlalu berbahaya berjalan-jalan sendiri, Rangga.
Tidak semua orang-orangku yang meron-da malam ini sudah mengenalmu.
Bisa-bisa, nanti kau mendapat kesulitan,"
Kata Darkan mengin-gatkan. Rangga hanya tersenyum saja.
"Sudah lama kau di sini...?"
Tanya Rangga.
"Sejak kau pergi tadi,"
Sahut Darkan seraya melirik Pandan Wangi.
Sedangkan gadis cantik yang lebih dikenal berjuluk si Kipas Maut itu hanya diam saja.
Bah-kan pandangannya dialihkan ke luar melalui jen-dela yang dibiarkan sedikit terbuka.
Rangga juga melirik sedikit pada gadis itu.
Entah kenapa, tiba-tiba saja dirasakannya ada sesuatu atas sikap Pandan Wangi yang tidak seperti biasanya, jika menghadapi orang yang sudah berbaik hati dan mau menganggapnya sebagai sahabat.
Berbagai pikiran buruk langsung terlintas, namun cepat-cepat Rangga membuang jauh-jauh.
Dan dia kem-bali menatap Darkan yang duduk di dekat pintu.
"Aku datang sengaja ingin bertemu den-ganmu, Rangga,"
Kata Darkan memecah keheningan yang terjadi beberapa saat lamanya.
"Hm..., ada apa?"
Tanya Rangga ingin tahu.
"Kau tentu tahu, aku bukanlah anak Ki Labur...,"
Nada suara Darkan terdengar terputus.
"Ya, aku tahu. Lalu...?"
Sambut Rangga. 'Tapi kau beruntung, masih memiliki orang tua. Meskipun, orang tua dari istrimu. Tapi kulihat, mereka sangat mencintaimu. Dan menganggapmu seperti anak kandung sendiri."
"Ya! Itu setelah istriku meninggal,"
Pelan sekali desahan Darkan.
"Aku ikut sedih atas peristiwa yang me-nimpa Istrimu,"
Kata Rangga.
Rangga memang sudah mengetahui begitu banyak tentang diri Darkan dan keluarga mertua-nya.
Sedangkan Darkan sendiri sejak kecil sudah tidak lagi mempunyai orang tua.
Dia diambil dan dirawat Ki Labur.
Segala macam pendidikan dibe-rikan kepala desa itu.
Dan akhirnya, Darkan be-nar-benar menjadi anak setelah dinikahkan den-gan anak gadisnya yang hanya semata wayang.
Sebuah kebahagiaan yang begitu panjang dinik-mati Darkan.
Tapi semua kebahagiaan itu lenyap, sejak peristiwa mengerikan yang meminta korban nyawa istrinya.
"Belum lagi aku bisa membalas kematian istriku, sudah muncul lagi peristiwa yang mem-buat kepala serasa ingin pecah. Aku tidak tahu la-gi, apa yang harus kulakukan. Orang itu benar-benar siluman. Sama sekali aku tidak pernah bisa mendapatkannya. Dia muncul dan menghilang be-gitu rupa seperti setan.. kata Darkan lagi.
"Rangga! Aku sudah tahu, siapa kau sebenarnya. Kau adalah Pendekar Rajawali Sakti yang banyak dibi-carakan orang. Aku tidak tahu lagi, apa yang ha-rus kukatakan padamu...."
"Sudahlah, Darkan. Aku bisa mengerti. Aku pun tidak akan mungkin tinggal diam begitu saja setelah menyaksikan sendiri, apa yang telah mereka lakukan, kata Rangga.
"Kau..., kau sudah melihat sendiri...?"
Darkan tampak terkejut.
"Ya,"
Sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti lalu menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya tadi.
Semua diceritakannya dan tak ada sedikit pun yang diku-rangi atau ditambah.
Sementara Darkan menden-garkan penuh perhatian.
Sungguh tidak disangka kalau ternyata ada dua orang perempuan siluman.
Dan malam ini, dua orang peronda sudah jadi korban mereka lagi.
Tiba-tiba saja Darkan bangkit berdiri dan bergegas melangkah ke luar.
Rangga bergegas mengejar, tapi Darkan sudah cepat melompat naik ke punggung kudanya.
Sedangkan Rangga hanya bisa berdiri saja di ambang pintu.
Dipandanginya kepergian menantu kepala desa yang menggebah kudanya dengan ce-pat sekali seperti dikejar setan itu.
Rangga memu-tar tubuhnya berbalik, dan jadi tertegun begitu melihat Pandan Wangi tetap duduk di kursinya tanpa sedikit pun peduli pada sikap Darkan yang tiba-tiba saja pergi.
Perlahan Rangga menghampiri gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu.
Lalu ditariknya kursi, dan duduk di depannya.
Sedangkan Pandan Wangi masih tetap saja duduk mematung seperti arca porselen.
Beberapa saat, mereka terdiam dan sal-ing berpandangan saja.
"Kenapa kau, Pandan...?"
Tegur Rangga.
"Hhh...,"
Pandan Wangi hanya menarik na-pas saja.
Begitu panjang sekali helaan napasnya.
Perlahan gadis itu bangkit berdiri dan melangkah mendekati jendela.
Dia berdiri tegak di depan jen-dela, dan membukanya lebar-lebar.
Dibiarkannya angin malam yang dingin menerobos masuk ke da-lam ruangan depan yang tidak begitu besar ini.
Sedangkan Rangga hanya memperhatikan saja.
Dirasakan ada sesuatu yang ter-sembunyi dan mengganjal di dalam hati Pandan Wangi.
Sesuatu yang belum bisa diketahui.
Bahkan untuk mene-baknya pun, Rangga belum mampu.
"Tidak biasanya kau bersikap begitu, Pan-dan. Ada sesuatu yang merisaukan hatimu?"
Tegur Rangga lagi.
Kali ini nada suaranya dibuat begitu lembut.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri dan melangkah menghampiri Pandan Wan-gi.
Berdiri di belakang gadis itu.
Tangannya bergerak melingkar memeluk pinggang yang berbentuk indah dan ramping ini.
Pandan Wangi segera me-rebahkan kepalanya di dada Rangga yang bidang dan tegap berotot.
Butir-butir keringat masih terlihat menitik di dada yang bidang itu.
Namun, Pan-dan Wangi tidak peduli.
Bahkan tubuhnya malah dirapatkan, seakan-akan ada yang ingin ditum-pahkan.
Hanya saja terasa begitu sulit.
"Aku tahu, kau menyimpan sesuatu. Kata-kan padaku, Pandan. Mungkin aku bisa meme-cahkan persoalan yang kau hadapi sekarang,"
Bujuk Rangga dengan suara lembut sekali.
Pandan Wangi memutar tubuhnya.
Perla-han-lahan dilepaskannya pelukan Pendekar Raja-wali Sakti pada pinggangnya.
Kemudian, kakinya melangkah menghampiri dipan bambu yang ada di sudut ruangan ini.
Sambil menghembuskan napas panjang, gadis itu merebahkan tubuhnya.
Se-dangkan Rangga masih tetap berdiri membelakan-gi jendela, memandangi Kipas Maut yang sudah terbaring menelentang dengan kelopak mata terpe-jam.
"Hhh...!"
Rangga hanya bisa menarik napas panjang sambil mengangkat bahunya, melihat sikap Pan-dan Wangi yang terasa begitu aneh.
Dan memang, tidak biasanya si Kipas Maut itu menyembunyikan sesuatu pada Pendekar Rajawali Sakti.
Biasanya, mereka selalu terbuka.
Semua persoalan yang se-dang dihadapi selalu dibicarakan, lalu dipecahkan bersama-sama.
Tapi kali ini, sikap Pandan Wangi membuat Rangga jadi tidak habis mengerti.
Sikap yang tidak pernah terlihat se-belumnya.
*** Pagi-pagi sekali Pandan Wangi sudah ban-gun.
Dia terkejut mendengar suara ribut-ribut di luar.
Bergegas melompat bangkit dari pembarin-gan, dan langsung membuka jendela lebar-lebar.
Tampak begitu banyak orang berada di jalan.
Me-reka berbondong-bondong seperti hendak menuju ke rumah kepala desa.
Pandan Wangi cepat men-gedarkan pandangannya berkeliling.
Tapi, tidak ada Rangga di rumah ini.
"Ke mana Kakang...?"
Desis Pandan Wangi bertanya-tanya sendiri.
Tapi memang Rangga sudah tidak ada lagi.
Dan gadis itu tidak tahu, ke mana perginya Pen-dekar Rajawali Sakti.
Juga tidak tahu, kapan per-ginya.
Pandan Wangi bergegas menghampiri pintu, dan membukanya lebar-lebar.
Tapi....
"Oh...?!"
Hampir saja Pandan Wangi terpekik, begitu membuka pintu. Tahu-tahu di depan pintu sudah ada seorang pemuda berwajah tampan. Tubuhnya yang tegap dan berotot, terbalut kulit kuning lang-sat, bagai putra bangsawan.
"Darkan...,"
Desah Pandan Wangi, pelan.
"Aku minta kau jangan keluar rumah seka-rang,"
Kata Darkan, agak dalam nada suaranya.
"Kenapa...?"
Tanya Pandan Wangi tidak mengerti.
"Ikuti saja kata-kataku, Pandan. Sangat berbahaya bagimu kalau keluar dari rumah,"
Kata Darkan lagi. 'Tapi.., Kakang Rangga...."
"Di mana dia?"
Tanya Darkan.
"Dia sudah pergi pagi-pagi sekali tadi,"
Sahut Pandan Wangi. Padahal, Pandan Wangi sendiri tidak tahu, kapan perginya Pendekar Rajawali Sakti.
"Ke mana?"
Tanya Darkan tampak khawatir.
Pandan Wangi hanya mengangkat bahu sa-ja.
Dia memang tidak tahu, ke mana perginya Rangga.
Gadis itu sendiri baru bangun, karena mendengar suara ribut-ribut di luar.
Dan tampak-nya, semakin banyak saja orang memadati jalan, berbondong-bondong menuju rumah Kepala Desa Mungkit ini.
"Mau apa mereka?"
Tanya Pandan Wangi.
"Mereka menuntut agar siluman pembu-nuh itu segera ditangkap. Memang, sudah terlalu banyak korban yang jatuh,"
Sahut Darkan.
"Sebaiknya, kau cepat tenangkan mereka, Darkan. Kau jangan ter...,"
Pandan Wangi tidak meneruskan ucapannya. Darkan hanya diam saja memandangi ga-dis cantik yang berjuluk si Kipas Maut itu. Se-dangkan Pandan Wangi sendiri kelihatan kikuk mendapat pandangan mata yang begitu dalam, penuh arti yang sukar dimengerti.
"Maaf...,"
Ucap Pandan Wangi cepat-cepat menutup pintu kembali.
Sementara Darkan masih tetap berdiri mematung di depan pintu yang sudah tertutup ra-pat.
Dan di jalan, orang-orang masih terus ber-bondong-bondong memadati jalan tanah berdebu.
Setelah beberapa saat berdiri mematung di depan pintu, kemudian Darkan bergegas melangkah per-gi menghampiri kudanya yang tertambat di hala-man depan rumah berukuran kecil itu.
"Hyaaa...!"
Cepat-cepat Darkan menggebah kudanya keluar dari halaman yang tidak begitu luas ini.
"Minggir...!Minggir! Yeaaah...!"
Sementara di dalam rumah, Pandan Wangi terus memperhatikan dari balik jendela yang sedi-kit terbuka.
Matanya terus memperhatikan Dar-kan yang menggebah kudanya, menyeruak keru-munan orang yang memadati jalan tanah ini.
Debu semakin banyak mengepul, membumbung tinggi ke udara.
*** Sementara itu di halaman depan rumah Ki Labur yang cukup luas, orang-orang sudah me-madatinya.
Semua penduduk Desa Mungkit tum-pah ruah di halaman depan rumah kepala desa itu, karena menginginkan agar Ki Labur segera menghentikan semua pembunuhan keji selama ini.
Sebuah petaka yang membuat semua orang te-rus-menerus dicekam rasa takut yang amat san-gat.
Karena Perempuan Siluman itu sekarang ti-dak lagi memilih-milih korbannya.
Siapa saja yang ditemui pasti mati menjadi korban hanya untuk dihirup darahnya.
Dan dalam beberapa hari ini, mereka tidak lagi melihat Ki Labur.
Mereka tidak tahu, apa yang terjadi pada diri kepala desanya.
Kedatangan para penduduk ke rumahnya membuat Ki Labur yang masih terbaring lumpuh di ranjangnya, berusaha bangkit.
Tapi, dia malah jadi terguling di lantai.
Sedangkan di dalam kamar itu tak ada seorang pun yang terlihat.
Ki Labur berusaha mencapai sebatang tongkat yang terletak di sudut ruangan.
Dengan susah payah, Ki Labur te-rus merangkak menyeret tubuhnya, mencoba mencapai tongkat itu.
"Hih...!"
Sambil mengerahkan seluruh kekuatan yang ada, laki-laki tua itu akhirnya berhasil me-raih tongkat.
Dengan tongkat kayu itu dicobanya untuk berdiri, meskipun kelihatan begitu sulit.
Perlahan-lahan Ki Labur akhirnya mampu juga berdiri, walau tubuhnya jadi limbung.
"Oh...! Uhhh...!"
Pada saat itu pintu kamar terbuka. Dan muncul Darkan dengan keringat mengucur deras membasahi tubuhnya. Pemuda itu tampak terke-jut melihat Ki Labur sudah bisa berdiri, meskipun limbung dan tersangga tongkat.
"Ki..,."
Bergegas Darkan menghampiri dan meno-pang tubuh Ki Labur yang sudah hampir saja ja-tuh terguling lagi. Darkan ingin membawanya kembali ke pembaringan, tapi Ki Labur tegas-tegas menolaknya.
"Bawa aku keluar, Darkan,"
Pinta Ki Labur. 'Tapi, Ki...."
"Aku harus menemui mereka."
"Kau sakit Ki. Sebaiknya beristirahat saja,"
Kata Darkan.
"Tidak...! Aku harus menemui mereka. Ba-wa aku keluar, Darkan,"
Tegas Ki Labur.
Darkan tidak bisa lagi menolak.
Dipapah-nya laki-laki tua itu keluar kamar ini.
Mereka berjalan perlahan-lahan melintasi ruangan depan, dan terus menuju ke beranda depan rumah.
Seke-tika keadaan yang ribut, langsung menjadi sunyi senyap begitu Ki Labur keluar dipapah menan-tunya.
Seluruh rakyat Desa Mungkit yang tidak percaya kalau kepala desanya sakit, langsung ter-kesiap melihat keadaan Ki Labur yang begitu le-mah.
Bahkan untuk berdiri pun harus dipapah orang lain.
"Aku sudah menyatakan pada mereka ka-lau kau sakit akibat bertarung melawan Perem-puan Siluman itu, Ki,"
Jelas Darkan.
Suaranya terdengar berbisik perlahan.
Ki Labur melepaskan tangan Darkan yang memapahnya.
Dengan bantuan tongkat kayu, ka-kinya melangkah gontai sampai mencapai tepian beranda, Sementara, tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara lagi.
Semua orang yang ber-kumpul di depan, masih terpana melihat keadaan laki-laki tua yang menjadi tumpuan harapan selu-ruh kelangsungan hidup Desa Mungkit ini.
"Apa yang kalian harapkan dariku, hingga sampai ke sini...?"
Agak lantang suara Ki Labur.
Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara, Suasana jadi begitu sunyi.
Tampak mereka semua menundukkan kepala, seakan-akan me-nyesal telah membuat keributan di rumah kepala desa yang tengah sakit akibat pertarungannya me-lawan Perempuan Siluman yang sudah mengambil korban manusia begitu banyak.
Mereka semula ti-dak percaya waktu Darkan mengatakan kalau Ki Labur sedang sakit.
Tapi setelah melihat kenya-taannya, tak ada seorang pun yang mampu men-geluarkan suara lagi.
"Dengar semua...! Sebaiknya kalian kemba-li ke rumah masing-masing. Aku berjanji akan menyelesaikan persoalan ini, dan akan memperta-ruhkan nyawa untuk kalian semua. Perempuan Siluman itu memang sangat tangguh dan sudah meminta banyak korban. Tapi, aku tetap akan menghadapinya walau dalam keadaan seperti ini. Pulanglah kalian...!"
Ujar Ki Labur lagi.
Suara laki-laki tua itu terdengar begitu lan-tang dan sangat berwibawa, hingga tak ada seo-rang pun yang mampu bersuara lagi.
Sementara Darkan melangkah mendekati laki-laki tua berju-bah putih itu.
Beberapa orang pemuda bersenjata-kan golok terselip di pinggang, terlihat berjaga-jaga di sekitar beranda rumah ini.
Bahkan ada sekitar dua puluh orang yang berdiri berjajar di depan be-randa.
Mereka menjaga kalau-kalau penduduk de-sa itu berbuat sesuatu yang dapat merugikan.
Di saat keheningan menyelimuti sekitar ha-laman depan rumah Ki Labur ini, mendadak saja semua orang yang ada dikejutkan suara tawa ke-ras yang terkikik kering mengerikan.
Suara tawa itu menggema, seakan-akan datang dari langit.
"Hik hik hik...!" *** Seketika itu juga, orang-orang yang ber-kumpul di halaman depan rumah Ki Labur lang-sung berhamburan sambil berteriak-teriak ketaku-tan. Keadaan jadi kacau. Tidak sedikit yang terja-tuh dan terinjak-injak. Masing-masing berusaha untuk menyelamatkan diri sendiri. Sementara su-ara tawa yang terkikik itu terus terdengar kering mengerikan.
"Hik hik hik...!"
Suara tawa itu semakin terdengar keras menggema.
Dan ini membuat semua orang jadi semakin bertambah kacau balau.
Terlebih lagi, ke-tika tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat begitu cepat dari atas atap rumah, dan langsung menyambar seorang penduduk yang ten-gah berlarian kalang kabut.
Seperti seekor kelinci yang disambar bu-rung rajawali, orang itu terangkat naik ke udara, lalu meluncur turun tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
Jeritan-jeritan panjang melengking penuh kengerian langsung terdengar begitu terli-hat tubuh orang itu terpotong-potong hancur tak berbentuk lagi, dan berhamburan di halaman de-pan rumah kepala desa ini.
Sementara itu, bayan-gan hitam yang berkelebat cepat tadi sudah tidak terlihat lagi.
Namun suara tawanya yang serak dan kering masih juga terdengar.
Sebentar saja, orang-orang yang tadi me-madati seluruh halaman rumah Ki Labur kini su-dah menghilang tak terlihat lagi, setelah kembali ke rumah masing-masing.
Saat itu juga kehenin-gan kembali mencekam, tanpa terdengar suara se-dikit pun.
Dan di tengah-tengah halaman yang ki-ni sudah sepi itu tampak berserakan potongan-potongan tubuh manusia yang berlumuran darah seperti potongan bangkai binatang! Sementara Darkan sudah memerintahkan orang-orangnya untuk berwaspada.
Sedangkan Ki Labur sendiri berdiri tegak dengan tongkat kayu menyangga tubuhnya.
Laki-laki tua itu kelihatan tetap tegar, walaupun masih dalam keadaan sakit.
Suara tawa yang terkikik kering mengerikan itu pun kini tidak terdengar lagi.
Keadaan benar-benar sunyi, seperti berada di tengah-tengah ku-buran.
Hanya desis angin saja yang terdengar mempermainkan dedaunan.
Pada saat itu, terdengar derap langkah kaki kuda dari ujung jalan.
Tak berapa lama kemudian, terlihat dua ekor kuda berpacu cepat menimbul-kan kepulan debu yang membumbung tinggi di angkasa.
Sebentar saja, kedua penunggang kuda itu sudah memasuki halaman depan rumah Kepa-la Desa Mungkit ini.
Mereka bergegas berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing.
Namun mereka jadi terperanjat begitu melihat di tengah halaman itu berserakan potongan-potongan tu-buh manusia bercampur darah yang sudah mulai mengering.
"Rangga..., Pandan Wangi...,"
Desis Darkan langsung mengenali dua orang penunggang kuda yang baru datang itu.
Bergegas Darkan melangkah keluar dari beranda menghampiri dua orang pendekar muda itu.
Sementara, Ki Labur yang dikelilingi orang-orangnya yang sudah menghunus golok masing-masing, masih tetap berada di beranda.
Dia hanya memandangi saja dua orang pendekar muda yang baru datang itu.
Sedangkan Darkan sudah berada dekat di depan Rangga dan Pandan Wangi yang masih tetap berdiri di depan kuda masing-masing.
"Ada apa ini...?"
Tanya Rangga langsung.
"Untunglah kau segera datang, Rangga. Tadinya aku sudah begitu cemas,"
Kata Darkan.
Rangga mengarahkan pandangan pada po-tongan tubuh yang berserakan di tengah halaman, kemudian beralih pada Ki Labur yang dikelilingi tidak kurang dari sepuluh orang pemuda bersenja-ta golok terhunus.
Bergegas kakinya melangkah menghampiri laki-laki tua berjubah putih itu, di-ikuti Pandan Wangi.
Kedua pendekar muda itu se-gera menjura memberi hormat, namun dibalas oleh Ki Labur dengan anggukan kepala saja.
Dan baru saja Rangga dan Pandan Wangi menegakkan tubuhnya kembali, mendadak saja pendengaran Pendekar Rajawali Sakti yang tajam menangkap desiran halus dari arah atas atap.
Ce-pat kepalanya mendongak.
Langsung tangan ka-nannya dikebutkan ke atas, sambil melompat ke depan hingga naik ke atas beranda.
Tap! "Heh...?! Apa itu...?!"
Sentak Ki Labur terkejut.
"Hup!"
Namun pertanyaan laki-laki tua itu tidak sempat terjawab, karena Rangga sudah melesat cepat.
Tubuhnya melenting begitu cepat ke atas atap rumah kepala desa ini, sehingga dalam seke-japan mata saja sudah berdiri tegak di atas atap.
Pada saat itu juga, Pandan Wangi segera melesat naik ke atas atap.
Gerakannya juga sangat cepat dan ringan.
Kini kedua pendekar muda dari Ka-rang Setra itu sudah berdiri di atas atap rumah Kepala Desa Mungkit.
Sementara Ki Labur dengan dibantu dua orang pemuda yang menjaganya, bergegas keluar dari beranda.
Mereka semua mendongak ke atas, melihat Rangga dan Pandan Wangi yang kini su-dah berdiri tegak di atas atap rumah itu.
Dan pada saat itu, terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat dari belakang rumah.
Begitu cepatnya bayan-gan hitam itu melesat, sehingga tahu-tahu di de-pan Rangga dan Pandan Wangi sudah berdiri seo-rang wanita muda berbaju hitam kumal penuh tambalan yang sudah memudar warnanya.
"Hik hik hik...!"
"Hm...."
Cukup sulit untuk mengenali wajahnya, karena rambutnya yang panjang teriap dan tidak teratur menutupi hampir seluruh wajahnya yang kotor.
Namun mereka semua tahu, wanita itulah yang selama ini membuat kekacauan di Desa Mungkit.
Dan dialah yang selalu disebut sebagai Perempuan Siluman.
Namun tidak hanya dia sen-diri yang menjadi wanita siluman, karena Rangga sudah bertemu dua orang Perempuan Siluman semalam.
Dan yang seorang lagi kini tidak tam-pak.
"Hik hik hik...! Kita tuntaskan urusan kita yang tertunda semalam sekarang juga, Pendekar Rajawali Sakti,"
Terasa begitu dingin dan kering suara si Perempuan Siluman itu.
"Baik! Aku pun sudah muak melihat kela-kuanmu yang menjijikkan itu, Inten,"
Sambut Rangga tidak kalah dinginnya.
"Hik hik hik...!"
Wanita yang selalu dipanggil Inten itu hanya tertawa terkikik saja.
Suara tawanya begitu kering, membuat siapa saja yang mendengar langsung berdiri bulu kuduknya.
Sementara Rangga merentangkan tan-gan kirinya sedikit ke samping.
Sedangkan Pandan Wangi yang berada di sebelah Pendekar Rajawali Sakti segera melangkah mundur beberapa tindak.
Dia tahu, Pendekar Rajawali Sakti ingin menyele-saikan persoalannya seorang diri saja.
"Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti. Hiyaaat..!" *** Tanpa membuang-buang waktu lagi, Inten langsung melompat cepat bagai kilat menerjang Rangga. Beberapa pukulan keras beruntun yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, langsung terlontar ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan gerakan indah dan manis sekali, Rangga berhasil menghalau semua seran-gan beruntun yang begitu cepat dan dahsyat ini.
"Hup! Yeaaah...!"
Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti me-lenting ke udara.
Lalu begitu kakinya kembali menjejak atap rumah kepala desa ini, tangan ka-nannya langsung bergerak cepat menyambar.
Jari-jari tangannya terkembang, dan meregang kaku bagai cakar seekor burung rajawali yang hendak mengoyak tubuh mangsanya.
"Hiyaaa...!"
Bet! Saat itu juga, Rangga mengerahkan jurus 'Cakar Rajawali' salah satu jurus dahsyat dari lima rangkai jurus 'Rajawali Sakti'.
Rupanya, Rangga tidak ingin tanggung-tanggung lagi menghadapi si Perempuan Siluman ini.
Dan itu bisa dirasakan Pandan Wangi yang terus memperhatikan jalannya pertarungan.
Gadis itu tahu, Rangga tidak akan pernah langsung mengeluarkan jurus-jurus dah-syatnya dalam setiap pertarungan, bila lawan yang dihadapinya memiliki kepandaian pas-pasan.
Tapi kini, lawannya berkepandaian tinggi! Mau tak mau, jurus-jurus dahsyat harus segera di kelua-rkan.
"Yeaaah...!"
Bet! Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti men-gebutkan tangan kanannya ke arah perut.
"Uts!"
Hampir saja jari-jari tangan pemuda berba-ju rompi putih itu merobek perut, kalau saja Inten yang selama ini dijuluki Perempuan Siluman tidak cepat-cepat menarik tubuhnya ke belakang.
Dan pada saat tubuh Perempuan Siluman itu sedikit terbungkuk, Rangga cepat sekali merubah jurus-nya.
Bagaikan kilat dilepaskannya satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.
"Hiyaaa...! Wuk! Desss! Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Inten tidak sempat lagi menghindarinya. Maka satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir telak mendarat di wajahnya.
"Akh...!"
Perempuan Siluman itu menjerit keras.
Tak pelak lagi, tubuh wanita itu langsung terpental deras sekali ke belakang, dan langsung meluncur turun ke halaman depan rumah kepala desa ini.
Pada saat itu juga, Rangga melesat cepat mengejar wanita berbaju hitam kumal penuh tambalan itu.
Gerakannya sungguh cepat bagai kilat Sehingga belum juga Inten bisa mencapai tanah, Pendekar Rajawali Sakti sudah lebih dulu menje-jakkan kakinya di tanah.
Dan....
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Rang-ga segera melepaskan satu tendangan dahsyat menggeledek, menyambut tubuh Perempuan Si-luman itu.
Begitu cepat dan keras tendangannya sehingga tubuh wanita berbaju kumal dan kotor penuh tambalan itu kembali terpental ke udara, memperdengarkan jeritan panjang melengking tinggi.
"Hiyaaa...!"
Kembali Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara, mengejar Perempuan Siluman ini.
Dan pada saat berada di udara, Rangga mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Kedua tangannya merentang lebar ke samping, dan ber-gerak begitu cepat.
Sehingga, yang terlihat hanya bayangan tangannya saja.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Bet! Diegkh! "Aaa...!"
Kembali Perempuan Siluman menerima te-basan tangan Rangga yang mengandung pengera-han tenaga dalam tingkat sempurna.
Maka tubuh yang tengah melayang di udara itu kembali melu-ruk turun dengan deras sekali.
Pada saat yang bersamaan pula, Rangga cepat meluruk mengejar sambil mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Me-nyambar Mangsa'.
Kedua kakinya bergerak cepat luar biasa bagaikan berputar saja, dan tertuju langsung ke kepala wanita berbaju hitam kumal penuh tambalan itu.
"Hiyaaa...!"
Plak! "Aaakh...!"
"Hap!"
Rangga cepat-cepat melentingkan tubuh-nya ke belakang, begitu berhasil mendaratkan ka-kinya tepat di kepala wanita yang dijuluki si Pe-rempuan Siluman itu.
Manis sekali Pendekar Ra-jawali Sakti menjejakkan kakinya di tanah.
Se-mentara, si Perempuan Siluman yang bernama In-ten itu terhuyung-huyung sambil memegangi ke-palanya.
Erangan kecil agak tertahan terdengar keluar dari bibirnya yang kering dan memucat bi-ru.
Sementara, Rangga sudah berdiri tegak dengan kedua tangan tersilang di depan dada.
Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berke-rut, melihat Perempuan Siluman hanya sebentar saja merasakan sakit akibat beberapa kali terkena serangan dahsyat.
Dan kini, dia sudah berdiri te-gak.
Bahkan sorot matanya makin tajam meme-rah, tertuju langsung ke bola mata pemuda berba-ju rompi putih di depannya.
"Edan...! Seharusnya dia sudah mati...,"
Desis Rangga dalam hati.
Memang sulit dipercaya, karena Perem-puan Siluman itu benar-benar tangguh.
Sama se-kali tidak mengalami cidera sedikit pun.
Padahal serangan-serangan yang diberikan Rangga tadi merupakan jurus-jurus dahsyat tingkat terakhir yang selama ini belum ada seorang pun bisa me-nahannya.
Tapi wanita itu kini masih tetap berdiri tegar, walaupun secara beruntun tadi terkena pukulan maupun tendangan yang begitu keras dan dahsyat luar biasa.
"Ghrrr.... Keluarkan semua kesaktianmu, Pendekar Rajawali Sakti...!"
Desis Inten mengge-reng seperti binatang buas.
"Hhh...!"
Rangga hanya menghembuskan napas saja.
"Kau sudah ditakdirkan untuk mati di tan-ganku, Pendekar Rajawali Sakti. Bersiaplah men-jemput kematianmu. Hih! Yeaaah...!"
"Hap!" *** Rangga cepat-cepat melompat mundur, ke-tika Inten meluruk deras sambil melontarkan be-berapa pukulan keras bertenaga dalam yang san-gat tinggi. Sungguh dahsyat sekali pukulan-pukulan yang dilancarkannya. Setiap kali puku-lannya terlempar, selalu mengeluarkan hawa pa-nas yang sangat menyengat. Pukulan itu juga me-nimbulkan hempasan angin keras disertai suara menggemuruh yang sanggup menggetarkan jan-tung.
"Hup! Yeaaah...!"
Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan dahsyat yang di-lancarkan Perempuan Siluman itu.
Beberapa kali pukulan yang dilepaskan Inten hampir menemui sasaran, tapi Pendekar Rajawali Sakti masih mampu berkelit menghindarinya.
Diakui, tampak-nya Rangga benar-benar kewalahan menghadapi serangan-serangan yang sangat dahsyat luar biasa ini.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Rang-ga melenting tinggi-tinggi ke udara, lalu melaku-kan beberapa kali putaran.
Dan dengan manis se-kali Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya di atas atap rumah Ki Labur, tepat di samping ka-nan Pandan Wangi yang masih tetap berada di atas atap sambil memperhatikan jalannya perta-rungan tadi.
"Phuih!" 'Turun kau, Pengecut..!"
Bentak Inten, lan-tang menggelegar suaranya. Baru saja Rangga hendak melompat turun, Pandan Wangi sudah lebih cepat mencekal perge-langan tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Biar aku yang menghadapinya, Kakang,"
Kata Pandan Wangi, agak dalam suaranya.
Sebentar Rangga menatap gadis itu.
Dia tahu, Pandan Wangi bukan seorang gadis lemah.
Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu memiliki tingkat kepandaian yang tidak bisa dianggap sebe-lah mata saja.
Tapi bagaimanapun juga, tingkat kepandaian yang dimiliki Pandan Wangi masih be-rada di bawah kepandaian Pendekar Rajawali Sak-ti.
Sedangkan tadi saja, Rangga sempat dibuat ke-walahan menghadapi Perempuan Siluman itu.
Hanya saja, Rangga tidak mau mengecilkan arti gadis ini.
"Hati-hatilah, Pandan. Dia bukan manu-sia...,"
Kata Rangga memperingatkan. Pandan Wangi hanya tersenyum saja. Begi-tu tipis senyumnya, sehingga hampir tidak terli-hat. Kemudian....
"Hup! Hiyaaa...!"
Sungguh ringan dan indah gerakan Pandan Wangi saat melompat turun dari atas atap. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, si Kipas Maut itu menjejakkan kedua kakinya, tepat sekitar lima langkah di depan Perempuan Siluman itu. Hup!"
Pada saat Pandan Wangi sudah mendarat di halaman depan rumah Ki Labur, Rangga segera meluruk turun dengan indah dan ringan sekali.
Pendekar Rajawali Sakti langsung mendarat di samping Ki Labur yang terus didampingi Darkan dan orang-orangnya.
Mereka semua tampak sudah siap menyerang dengan golok terhunus di tangan.
Sementara Pandan Wangi sudah menggeser kakinya sedikit ke kanan.
Tatapan matanya begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata wanita bertubuh kotor seperti baru keluar dari kubangan lumpur sawah di depannya ini.
Seakan-akan, dia sedang mengukur tingkat kepandaian calon la-wannya.
"Kau lawanku, Perempuan Iblis...!"
Desis Pandan Wangi, begitu dingin nada suaranya.
"Hik hik hik...! Siapa kau, Bocah Ayu?"
Tanya Inten diiringi tawanya yang terkikik kering mengerikan.
"Aku Pandan Wangi, yang akan mengirim-mu ke neraka!"
Sahut Pandan Wangi masih men-desis nada suaranya.
"Hik hik hik...! Apa yang kau andalkan un-tuk melawanku, Bocah Ayu?"
Pandan Wangi hanya diam saja.
Namun ta-tapan matanya masih tetap menyorot tajam.
Per-lahan senjatanya yang berupa sebuah kipas dari baja putih berwarna keperakan dicabut.
Kipas be-rujung runcing seperti mata panah itu langsung terbuka di depan dada.
Perlahan-lahan si Kipas Maut itu menggeser kakinya ke kanan.
'Terimalah seranganku, Perempuan Iblis...! Hiyaaat..!"
Wuk! *** Bagaikan kilat, Pandan Wangi melompat sambil mengebutkan kipasnya ke dada Perempuan Siluman.
Namun hanya sedikit saja tubuhnya di-tarik ke belakang, kebutan kipas keperakan beru-jung runcing itu dapat mudah dihindari.
Namun tanpa diduga sama sekali, Pandan Wangi meng-hentakkan kakinya ke depan, sambil memutar tu-buhnya sedikit.
"Hiyaaa...!"
"Ufts!"
Inten cepat-cepat meliukkan tubuhnya, menghindari tendangan keras menggeledek yang dilancarkan si Kipas Maut itu.
Dan ketika kaki Pandan Wangi lewat di samping tubuhnya, tiba-tiba saja tangannya dihentakkan ke arah kaki yang masih menjulur itu.
'Yeaaah...!"
"Hait!"
Namun Pandan Wangi sudah lebih cepat menarik kakinya pulang.
Sehingga, pukulan yang dilepaskan Perempuan Siluman itu cepat dapat dihindari.
Pada saat itu pula, Pandan Wangi sudah mengebutkan kipasnya kembali ke arah leher.
Be-gitu cepat serangannya, sehingga membuat si Pe-rempuan Siluman jadi terbeliak lebar.
"Hap!"
Bergegas Perempuan Siluman menarik ke-palanya ke belakang, sambil mengebutkan tangan kirinya. Maksudnya, hendak menyampok perge-langan tangan yang menggenggam kipas itu.
"Hap!"
Namun kembali Pandan Wangi bergerak begitu indah.
Begitu manisnya tangannya berpu-tar, sehingga membuat semua orang yang me-nyaksikan pertarungan itu jadi terpana kagum.
Bahkan si Perempuan Siluman yang juga bernama Inten itu jadi terbeliak kaget tidak menyangka.
Ternyata Pandan Wangi bisa melakukan putaran tangan begitu indah dan manis.
Belum juga Perempuan Siluman itu hilang rasa terkejutnya, tahu-tahu Pandan Wangi sudah cepat mengebutkan kipasnya kembali ke arah pe-rut.
Begitu cepat kebutan kipasnya, sehingga Inten tidak sempat lagi menarik dirinya menghindar.
Dan....
Bet! Bret! "Ikh...!"
Inten jadi terpekik setengah mati. Maka buru-buru dia melompat ke belakang, membuat ujung kipas yang runcing berbentuk mata panah itu hanya mampu merobek sedikit kulit perutnya saja. Namun, hal itu sudah membuat Inten jadi meringis pedih.
"Hup...!"
Pandan Wangi cepat-cepat melompat ke be-lakang beberapa tindak, begitu melihat darah yang keluar dari perut Perempuan Siluman itu ternyata berwarna hitam dan menyebarkan bau busuk yang sangat memualkan.
Walaupun hanya sedikit saja lukanya, tapi darah yang keluar sangat deras, seperti ketel air yang bocor.
Step! Tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan hi-tam berkelebat cepat keluar dari dalam rumah.
Dan sebelum ada seorang pun yang menyadari, tahu-tahu di depan si Perempuan Siluman itu su-dah berdiri seorang wanita tua berbaju hitam kumal dan penuh tambalan.
Sebatang tongkat kayu yang tidak beraturan bentuknya tergenggam di tangan kanan, untuk menyangga tubuhnya yang agak terbungkuk.
Tidak mudah untuk mengenali wajahnya, karena selembar kerudung berwarna hitam yang sudah lusuh dan memudar warnanya menutupi seluruh kepala dan sebagian wajahnya.
Tanpa menghiraukan orang-orang yang berada di seki-tarnya, dihampirinya si Perempuan Siluman.
Lalu, jari-jari tangannya bergerak cepat untuk memberi beberapa totokan di sekitar luka pada perut Pe-rempuan Siluman itu.
Seketika, darah hitam yang sudah berbau busuk itu berhenti mengalir dari lu-ka di bagian perut Perempuan Siluman ini.
"Siapa yang melukaimu, Inten?"
Tanya perempuan tua berbaju kumal penuh tambalan yang ternyata Nek Paring.
Inten tidak menjawab, tapi hanya menun-juk Pandan Wangi saja.
Nek Paring langsung men-garahkan tatapan matanya pada si Kipas Maut itu.
Terdengar suara mendesis seperti ular yang keluar dari bibirnya.
Sementara Rangga yang tadi berada di samping Ki Labur, kini sudah berdiri di samping kanan Pandan Wangi.
Pendekar Rajawali Sakti langsung bisa membaca gelagat yang tidak men-guntungkan untuk Pandan Wangi.
*** "Sudah kukatakan, kau tidak bisa berta-rung dengan sesama perempuan, Inten.
Kau hanya dipersiapkan untuk bertarung melawan la-ki-laki,"
Kata Nek Paring begitu pelan sekali suaranya. Bahkan ham-pir tak terdengar oleh orang-orang yang berada di sekitar-nya. 'Tapi dia menantangku, Nek,"
Inten menco-ba membela diri.
"Kau harus menghindar. Kau bisa mati ka-lau terus melawan perempuan. Ingatlah itu, In-ten...! Kau sudah hampir sempurna. Dan tidak akan ada seorang laki-laki pun yang bisa menan-dingi mu lagi. Ingat! Aku membangkitkan mu kembali untuk satu tujuan. Dan itu harus kau laksanakan. Mengerti...?!"
Tegas Nek Paring, berbisik.
"Mengerti, Nek."
"Pergilah sekarang. Biar mereka aku yang tangani,"
Kata Nek Paring lagi.
"Ke mana aku harus pergi, Nek?"
"Kau sudah tahu, apa yang harus kau la-kukan, Inten. Pergilah. Dan cari mereka. Aku akan mati tersenyum kalau kau berhasil. Jangan kece-wakan aku, Inten."
"Baik, Nek."
Setelah membungkuk memberi hormat pa-da perempuan tua itu, Inten langsung saja melesat pergi.
Begitu cepat gerakannya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandan-gan.
Bahkan bayangan tubuhnya pun sudah tidak lagi bisa terlihat.
Dan kini, di halaman depan rumah Ki Labur berdiri seorang perempuan tua ber-baju hitam kumal dan penuh tambalan.
Di depan-nya, dua pendekar muda dari Karang Setra berdiri berdampingan, melindungi Ki Labur, Darkan, dan orang-orangnya.
"Kenapa kau masih saja ada di desa ini, Pendekar Rajawali Sakti?"
Terasa begitu dingin na-da suara Nek Paring.
"Aku akan pergi kalau kau dan cucumu berhenti membantai orang-orang tidak bersalah,"
Sahut Rangga tidak kalah dinginnya.
"Kau tidak mengerti, Pendekar Rajawali Sakti. Semua itu kulakukan karena cinta. Kau ti-dak akan bisa mengerti, Pendekar Rajawali Sakti. Juga kalian semua...!"
Agak lantang suara terakhir perempuan tua berbaju kumal penuh tambalan itu.
"Apa pun alasannya, perbuatanmu tidak bisa dibenarkan, Nek Paring. Kau harus memper-tanggung-jawabkan semua perbuatanmu,"
Tegas Rangga.
Perempuan tua itu tidak berkata apa-apa lagi.
Dari balik kain kerudungnya, pandangannya di edarkan pada semua orang yang berada di de-pannya.
Dan pandangannya langsung berhenti ke-tika bertemu wajah Ki Labur yang didampingi Darkan serta orang-orangnya yang berjumlah ti-dak kurang dari tiga puluh.
Sementara itu dengan dibantu Darkan, Ki Labur melangkah tertatih-tatih mendekati.
Semua pemuda yang mendampinginya juga bergerak ma-ju mengikuti.
Kepala Desa Mungkit itu baru berhenti me-langkah setelah tiba di samping Rangga.
Untuk beberapa saat, suasana di halaman depan rumah kepala desa itu jadi sunyi.
Tak ada seorang pun yang berbicara.
"Siapa kau sebenarnya?! Kenapa kau me-nyembunyikan wajah di balik kerudung?"
Tanya Ki Labur memecah kesunyian yang terjadi sesaat itu.
Tapi wanita tua itu tidak menjawab sedikit pun pertanyaan kepala desa ini.
Malah ditatapnya dalam-dalam wajah Ki Labur dari balik kerudung-nya.
Tapi sebentar kemudian, pandangannya bera-lih pada Rangga yang berada di samping Ki Labur.
Bibirnya yang sedikit terlihat dan mengeriput itu tampak terkatup rapat.
"Seharusnya kau tidak perlu ada di sini, Pendekar Rajawali Sakti. Kau membuat jerih payahku hampir berantakan. Bahkan membuatku tidak bisa menyempurnakan pekerjaanku. Kau ha-rus bertanggung jawab, Pendekar Rajawali Sakti,"
Terasa begitu dingin nada suara Nek Paring.
"Hm...,"
Rangga hanya menggumam perla-han saja.
Bukan untuk sekali ini Pendekar Rajawali Sakti menjadi sasaran kemarahan orang-orang yang merasa terusik atas kehadirannya.
Tapi Pen-dekar Rajawali Sakti sama sekali tidak menangga-pi.
Karena dia tahu, mereka yang merasa terusik selalu melakukan perbuatan-perbuatan keji, di luar batas peri kemanusiaan.
Dan itu memang menjadi tugas utamanya sebagai seorang pende-kar yang berdiri pada keadilan dan kebenaran.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Nek Paring mengebutkan tangannya ke depan.
Begitu cepat sekali, sehingga membuat semua orang yang ada di depannya jadi terbeliak kaget setengah mati.
Dan dari telapak tangan perempuan tua itu melesat beberapa buah benda halus berwarna hitam berkilat.
"Hiyaaa...!"
Sret! Wuk! Memang tidak ada pilihan lain lagi bagi Rangga, karena bukan hanya dirinya saja yang te-rancam.
Bahkan semua orang yang berada di de-katnya juga terancam maut dari benda-benda ha-lus berwarna hitam itu.
Secepat kilat, Pendekar Rajawali Sakti mengeluarkan pedang pusaka dari warangkanya.
Dan secepat kilat pula pedangnya dikebutkan berputar, sambil berlompatan meron-tokkan benda-benda kecil berwarna hitam berkilat itu.
Sinar biru berkilau yang memancar dari pedang itu bergulung-gulung menyilaukan mata, baru berhenti setelah seluruh benda kecil berwar-na hitam berkilat itu berguguran ke tanah.
Satu pun tak ada yang luput dari sabetan pedangnya.
Manis sekali pemuda berbaju rompi putih itu men-jejakkan kakinya, tepat sekitar lima langkah lagi di depan Nek Paring.
"Hiyaaa...!"
Belum juga Rangga bisa menarik napas le-ga, Nek Paring sudah kembali menyerang cepat bagai kilat.
Tongkat kayunya yang tidak beraturan bentuknya mengibas cepat bagai kilat ke arah da-da.
Namun tangkas sekali, Rangga mengebutkan pedangnya untuk menangkis serangan tongkat pe-rempuan tua terselubung teka-teki ini.
"Yeaaah...!"
Bet! Trang! Bunga api langsung memercik begitu dua senjata beradu keras, tepat di depan dada Rangga.
Dan hampir bersamaan, mereka sama-sama me-lompat mundur beberapa langkah.
Sementara itu, Pandan Wangi, Ki Labur, Darkan, dan yang lain segera menyingkir menjauh dari arena pertarun-gan.
"Hiyaaat..!"
Nek Paring tidak lagi membuang-buang waktu.
Begitu kakinya menjejak tanah, langsung dia melompat kembali, sambil melakukan seran-gan cepat dan dahsyat luar biasa.
Tongkatnya ber-gerak sangat cepat berkelebatan mengincar ba-gian-bagian tubuh Rangga yang mematikan.
Bet! Wuk! Begitu tingginya pengerahan tenaga dalam perempuan tua itu, sehingga setiap kebutan tong-katnya menimbulkan deru angin yang menggetar-kan jantung.
Namun dengan menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', Rangga berhasil meng-hindari setiap serangan yang datang.
"Hih...! Bet! Tring! Kembali dua senjata beradu keras di depan dada Pendekar Rajawali Sakti. Dan pada saat itu juga, Nek Paring melentingkan tubuhnya ke udara sambil cepat memutar tongkatnya. Dan secepat itu pula, tongkatnya dikebutkan ke arah kepala Pen-dekar Rajawali Sakti.
"Hait..!"
Wuk! Cepat-cepat Rangga mengebutkan pedang-nya, melindungi kepala dari sabetan tongkat kayu yang tak beraturan bentuknya.
Kembali Pedang Rajawali Sakti yang memancarkan sinar biru te-rang menyilaukan berbenturan dengan tongkat kayu di tangan Nek Paring.
"Hup! Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Rangga segera melenting ke belakang.
Lalu, beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti melakukan putaran manis sekali.
Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kedua kakinya kembali menjejak tanah, tepat ketika Nek Paring juga sudah mendarat kembali di tanah.
"Yeaaah...!"
Pada saat itu juga, Nek Paring menghen-takkan tangan kirinya ke depan, dengan kedua kaki terpentang lebar ke samping. Dan dari tela-pak tangan kirinya meluncur deras secercah sinar merah ke arah Rangga.
"Hup!"
Cepat-cepat Rangga melentingkan tubuh-nya ke udara, menghindari terjangan sinar merah yang keluar dari telapak tangan perempuan tua itu.
Glarrr...! Sebuah ledakan keras menggelegar terden-gar, tepat ketika ujung sinar merah itu menghan-tam tanah, tempat Rangga berdiri tadi.
Seketika itu juga, tanah terbongkar hingga menimbulkan debu yang membumbung ke angkasa.
Pada saat itu Rangga beberapa kali melakukan putaran di udara, dan kembali menjejakkan kakinya di tanah.
"Hiyaaa...!"
"Hup!" *** Kembali Rangga terpaksa harus melenting ke udara, menghindari serangan dahsyat Nek Par-ing. Dan untuk kedua kalinya, terjadi ledakan dahsyat menggelegar begitu ujung cahaya merah menghantam tanah. Sedangkan serangan-serangan Nek Paring tidak berhenti sampai di situ saja. Tangan kirinya terus dihentakkan cepat se-tiap kali Rangga berhasil menjejakkan kaki di ta-nah. Suara ledakan-ledakan keras menggelegar terus terdengar, sampai membuat tanah bergetar bagai diguncang gempa. Debu semakin banyak bertebaran, membumbung tinggi ke angkasa. Bahkan beberapa pohon yang tumbuh di sekitar halaman yang cukup luas ini sudah bertumban-gan dan langsung terkena sinar-sinar merah yang memancar keluar dari telapak tangan kiri perem-puan tua berbaju kumal penuh tambalan itu.
"Mampus kau, Pendekar Rajawali Sakti...! Hiyaaa...!"
"Hap!"
Kali ini Pendekar Rajawali Sakti tidak lagi berusaha menghindari serangan dahsyat perem-puan tua itu.
Dan ketika Nek Paring menghentak-kan tangan kirinya, seketika itu juga Rangga men-gebutkan pedangnya hingga tersilang di depan da-da.
Dan tak pelak lagi, ujung cahaya merah itu langsung menghantam bagian tengah mata pedang yang memancarkan sinar biru terang dan tersilang di depan dada Pendekar Rajawali Sakti.
Glarrr...! "Ugh!"
"Akh...!"
Tampak mereka sama-sama terpental ke belakang sambil memekik tertahan. Namun cepat sekali mereka bisa menguasai keseimbangan tu-buh kembali.
"Setan...! Hiyaaat..!"
Nek Paring jadi geram setengah mati, begi-tu ilmunya yang sangat dahsyat berhasil ditahan Rangga dengan pedang pusakanya.
Sambil mema-ki dan berteriak keras menggelegar, perempuan tua itu langsung melompat secepat kilat untuk menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
Wuk! Deras sekali tongkatnya dikebutkan, dan langsung diarahkan ke kepala Rangga.
Namun, Pendekar Rajawali Sakti tidak bergeming sedikit pun.
Lalu dengan cepat sekali pedangnya dikebutkan sambil mengerahkan jurus 'Pedang Peme-cah Sukma' untuk menangkis tebasan tongkat Nek Paring.
"Hih!"
Trang! "Ikh...!"
Lagi-lagi Nek Paring terpekik, begitu tongkatnya membentur pedang Pendekar Rajawali Sakti.
Cepat-cepat perempuan tua itu melompat ke belakang sejauh beberapa langkah.
Kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, begitu melihat tong-katnya gompal akibat berbenturan keras dengan pedang yang memancarkan cahaya biru berkilau dan menyilaukan mata itu.
Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak dengan mata pedang ter-silang di depan dada.
"Keparat..! Hih!"
Prak! Nek Paring membuang tongkatnya yang sudah gompal cukup besar itu.
Lalu, perempuan tua itu segera menciptakan gerakan-gerakan cepat dengan asap berwarna merah mengepul.
Dan begi-tu telapak tangannya menyatu rapat di depan da-da, tampak gumpalan cahaya merah memancar te-rang menyelimuti tangannya.
Asap kemerahan semakin banyak keluar bergulung-gulung.
"Hm...,"Rangga menggumam perlahan. Cring! Segera Pendekar Rajawali Sakti memasuk-kan Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung. Kemudian, Pendekar Rajawali Sakti merapatkan kedua tangannya di depan dada. Ke-dua kakinya dipentang lebar ke samping. Perla-han-lahan, tubuhnya bergerak doyong ke kanan, lalu bergerak lagi hingga miring ke kiri.
"Hhhhp...!"
Sambil menarik napas dalam-dalam, Rang-ga menegakkan tubuhnya kembali.
Kemudian, di-lakukannya beberapa gerakan dengan kedua tan-gan, diikuti liukan-liukan tubuh yang begitu len-tur dan indah seperti karet.
Dan ketika kedua te-lapak tangannya disatukan di depan dada kemba-li, seketika itu juga kedua tangannya dilapisi sinar biru terang yang bergulung menyilaukan mata.
Si-nar biru yang sama persis dengan yang memancar pada pedang pusakanya.
"Hiyaaa...!"
"Hep!" *** Tiba-tiba saja Nek Paring menghentakkan kedua tangannya ke depan sambil berteriak keras menggelegar, bagai guntur yang memecah angkasa di siang bolong ini. Dan pada saat itu juga....
"Aji 'Cakra Buana Sukma' Yeaaah...!"
Rangga juga menghentakkan kedua tan-gannya ke depan, sambil menyerukan aji kesak-tian andalannya yang amat dahsyat! Pada saat yang hampir bersamaan, dua cahaya kesaktian melesat cepat dan bertemu pada satu titik di ten-gah-tengah.
Blarrr...! Sebuah ledakan keras kembali terdengar.
Dan kali ini sungguh dahsyat luar biasa, membuat bumi yang dipijak jadi bergetar bagai diguncang gempa sangat dahsyat.
"Aaakh...!"
Terdengar pekikan keras melengking tinggi, bersamaan terdengarnya ledakan dahsyat mengge-legar tadi.
Tampak Nek Paring terpental deras ke belakang.
Sedangkan sinar biru yang memancar dari kedua telapak tangan Rangga, terus meluruk deras ke depan, dan langsung menyambar tubuh perempuan tua itu.
"Hih...!"
Rangga menghentakkan sedikit tangannya ke belakang.
Seketika itu juga, tubuh Nek Paring yang sudah terselubung sinar biru tertarik ke de-pan, hingga mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
Tampak perempuan tua itu menggeliat-geliat di dalam selubung cahaya biru yang menyelimuti se-luruh tubuhnya.
Sedangkan Rangga tetap berdiri tegak, dengan kedua kaki terbuka lebar agak ter-tekuk lututnya.
Titik-titik keringat mulai terlihat membanji-ri wajah Pendekar Rajawali Sakti.
Bahkan tubuh-nya juga terlihat menggeletar.
Sedangkan Nek Par-ing sendiri terus menggelepar, berusaha keluar da-ri cahaya biru yang menyelimuti seluruh tubuh-nya.
Namun semakin keras berusaha, semakin banyak pula kekuatannya yang tersedot keluar.
Hingga akhirnya, dia tidak mampu lagi mengenda-likan arus kekuatannya yang makin banyak terse-dot.
"Celaka...!"
Desis Nek Paring langsung menyadari keadaan dirinya.
Meskipun perempuan tua itu tidak menge-rahkan kekuatan tenaga, tapi jelas sekali kalau kekuatannya terus mengalir tanpa dapat dicegah lagi.
Cepat-cepat dia duduk bersila, dan mera-patkan kedua telapak tangannya di depan dada.
"Heh...?!"
Saat itu juga, Rangga jadi terkejut setengah mati. Ternyata dirasakannya ada perlawanan arus tenaga pada aji kesaktiannya. Bahkan perlawanan itu semakin kuat saja. Sehingga....
"Hap!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti mena-rik kembali aji 'Cakra Buana Sukma' andalannya.
Lalu, bergegas dia melompat mundur beberapa langkah.
Seketika itu juga cahaya biru dari aji 'Cakra Buana Sukma' menghilang lenyap dari pandangan mata.
Tampak Nek Paring masih tetap duduk bersila, dengan kedua telapak tangan ter-katup rapat di depan dada.
Namun tiba-tiba saja perempuan tua itu ja-tuh terkulai dan menggeletak di tanah.
Tarikan napasnya begitu lemah dan perlahan sekali.
Dan dari sudut bibir serta hidungnya mengalir darah agak kental.
Rupanya seluruh kekuatan yang ada pada dirinya dikerahkan untuk melawan aji 'Cakra Buana Sukma' tadi.
Sehingga, kini dia sedikit pun tak memiliki kekuatan lagi.
Bahkan jelas sekali Nek Paring menderita luka dalam yang sangat pa-rah.
Ini bisa terlihat dari darah berwarna agak kehitaman yang keluar dari mulut dan hidungnya.
Bergegas Rangga menghampiri, lalu mem-buka kerudung yang menutupi hampir seluruh wajah perempuan tua itu.
Dan pada saat itu ju-ga....
"Nyai..?!"
"Nyai Labur...."
Suara-suara mendesis terkejut terdengar dari arah belakang Pendekar Rajawali Sakti.
Ki Labur yang masih dibantu tongkatnya untuk ber-diri, bergegas menghampiri begitu kain kerudung yang menutupi kepala perempuan tua itu terbuka.
Dia tampak terkejut sekali, dan tidak menyangka kalau Nek Paring sebenarnya adalah istrinya sen-diri.
Bahkan Darkan sampai berdiri terpaku, tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan.
Perlahan kelopak mata wanita tua yang ternyata Nyai Labur itu bergerak membuka.
Jelas sekali kalau sinar matanya begitu redup, seakan-akan gairah hidupnya sudah hilang.
Sementara, Ki Labur sudah berlutut di sampingnya.
Namun, ma-sih belum bisa dipercayai kalau wanita penuh te-ka-teki yang sudah mengambil begitu banyak kor-ban nyawa dari penduduk Desa Siluman ini ter-nyata istrinya sendiri.
"Nyai...,"
Parau sekali suara Ki Labur.
Perlahan bibir Nyai Labur yang selama ini dikenal se-bagai Nek Paring, bergerak menyunggingkan se-nyuman.
Sementara sinar matanya semakin redup melemah.
Tidak jauh dari situ, Rangga tetap berdi-ri saja.
Sedangkan Pandan Wangi sudah berada di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.
Di sisi lain dari Nyai Labur, tampak Darkan berlutut den-gan kepala tertunduk.
Sungguh sukar melukiskan perasaan mereka saat ini.
Karena, sungguh tidak disangka kalau pelaku pembunuhan keji selama ini, dilakukan istri kepala desa itu sendiri.
"Kenapa kau lakukan semua ini, Nyai...?"
Tanya Ki Labur dengan suara masih terdengar pa-rau, seakan-akan tidak percaya dengan perta-nyaannya sendiri.
"Semua ini kulakukan untuk anak kita, Ki. Untuk keluarga kita semua,"
Sahut Nyai Labur.
"Apa maksudmu, Nyai?"
"Aku tidak rela anak kita mati secara de-mikian, Ki. Aku ingin agar anak kita mencari me-reka, dan melakukan pembalasan,"
Sahut Nyai Labur.
"Jadi...."
"Aku melanggar sumpah dan janji ku, Ki. Ilmu warisan leluhur ku kugunakan untuk mem-bangunkan Kaminten dari kematian. Aku berusa-ha keras untuk membangkitkan dan menyempur-nakan kehidupannya. Dan untuk semua itu, di-perlukan pengorbanan yang tidak kecil, Ki. Aku membutuhkan banyak darah bagi kehidupannya. Sedangkan dia hanya bisa hidup jika setiap hari meminum darah manusia. Bahkan seluruh kekua-tan yang ada pada dirinya pun berasal dari darah yang diminumnya. Tapi, aku belum bisa menyem-purnakannya. Dia masih memerlukan banyak pe-nyempurnaan untuk mencari pembunuh-pembunuhnya,"
Jelas Nyai Labur.
"Oh.... Mengapa kau lakukan itu, Nyai?"
Desah Ki Labur, tidak mengerti.
"Aku kecewa padamu, Ki. Juga pada me-nantu kita yang hanya diam saja, tidak berusaha mencari pembunuh-pembunuh anak kita...,"
Se-makin terdengar lemah suara Nyai Labur.
"Oh, Nyai...,"
Desah Ki Labur lagi.
*** "Sekarang aku sudah puas, Ki.
Aku seka-rang rela mati.
Anak kita kini akan tetap hidup dan mencari pembunuh-pembunuhnya.
Dia akan terus hidup selama masih ada manusia yang bisa diambil darahnya.
Semakin banyak mendapatkan darah, semakin besar dan sempurna kekuatan-nya,"
Kata Nyai Labur lagi, sambil tersenyum penuh kepuasan.
"Kau menyiksa anak kita sendiri, Nyai. Apa kau tidak menyadari perbuatanmu...? Kau sama saja menyengsarakan banyak orang yang tidak berdosa,"
Kata Ki Labur menyesali perbuatan istrinya.
Tapi Nyai Labur hanya tersenyum saja.
Namun, mendadak saja senyuman di bibirnya menghilang.
Tubuhnya langsung mengejang kaku, dan kedua bola matanya terbeliak lebar.
Mulutnya juga ternganga.
Lalu tiba-tiba saja dari mulutnya menyemburkan darah kental berwarna kehitaman.
Maka saat itu juga, tubuh Nyai Labur melemah lunglai.
"Nyai...."
Ki Labur mengguncang-guncang tubuh is-trinya yang sudah diam tak bergerak-gerak lagi.
Perempuan tua itu sudah menghembuskan napas terakhir dengan bibir menyunggingkan senyum.
Sementara, Ki Labur hanya tertunduk saja.
Dia ti-dak tahu lagi, apa yang harus dilakukan.
Perbua-tan istrinya sungguh disesali, karena telah meng-gunakan ilmu warisan leluhurnya untuk memba-las kematian anak mereka berdua.
Bahkan seka-rang ini, anak mereka sudah bangkit dari kubur-nya dan entah berada di mana sekarang.
Suasana menjadi sunyi sekali, tak ada seo-rang pun yang mengeluarkan suara lagi.
Perlahan Ki Labur bangkit berdiri dengan bantuan tongkat-nya, walaupun agak limbung.
Darkan cepat-cepat berdiri dan memapah laki-laki tua itu.
Mereka memandangi Rangga dan Pandan Wangi yang ma-sih berdiri di tempatnya.
Darkan segera memerin-tahkan orang-orangnya untuk memindahkan jasad Nyai Labur ke dalam rumah.
"Kau sudah tahu apa yang terjadi, Pende-kar Rajawali Sakti. Aku benar-benar menyesali semua peristiwa ini. Sama sekali cara yang dila-kukan istriku tidak ku setujui,"
Kata Ki Labur agak tertahan nada suaranya.
Sedangkan Rangga hanya diam saja me-mandangi laki-laki tua ini.
Dia juga tidak tahu, apa yang harus dikatakan untuk menghibur hati Kepala Desa Mungkit ini.
Mereka sama-sama ma-sih diselimuti suasana keterkejutan, karena tidak menyangka kalau di balik semua peristiwa ini ter-nyata Nyai Labur dalangnya.
"Aku tahu, apa akibatnya kalau sampai In-ten bebas berkeliaran. Dia akan terus mencari orang untuk dihirup darahnya. Siapa saja yang di-temuinya, pasti akan menjadi korbannya. Sedang-kan dia sendiri tidak tahu, siapa saja dan di mana keempat orang pembunuhnya,"
Kata Ki Labur lagi.
"Apakah wanita yang pergi tadi itu anak-mu, Ki?"
Tanya Rangga. Ki Labur hanya mengangguk saja. 'Tapi sebenarnya dia sudah mati,"
Tambah Ki Labur perlahan sekali suaranya, hampir saja ti-dak terdengar. Rangga melirik sedikit pada Pandan Wangi. Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu su-dah bisa menangkap maksud kata-kata Ki Labur barusan.
"Aku yakin, dia masih ada di sekitar desa ini. Dia tidak akan keluar dari sini,"
Kata Ki Labur lagi.
"Hm...,"
Rangga menggumam kecil.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti melirik Pandan Wangi yang sejak tadi hanya diam saja.
Dan gadis itu tetap saja diam, tidak memberi tanggapan sedikit pun juga.
Biasanya, Pandan Wangi selalu memberi keputusan lebih dahulu, Sebelum Rangga bisa memutus-kan.
Tapi, kali ini gadis itu kelihatan diam saja.
Dan Rangga merasa kan adanya keanehan pada sikap si Kipas Maut ini.
"Aku mohon pada kalian berdua untuk menghentikan perbuatan Inten. Karena, dia bukan lagi manusia. Dan rasanya terlalu sulit untuk bisa ditundukkan. Aku yakin, hanya kalian berdua saja yang bisa menghentikannya,"
Kata Ki Labur lagi.
Rangga tidak bisa langsung menjawab.
Su-dah beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti bentrok dengan Perempuan Siluman itu.
Dan setiap kali pula, merasa kewalahan menghadapinya.
Terlebih lagi, Nyai Labur memang mempersiapkan Inten untuk berhadapan dengan laki-laki.
Sehingga, sangat sulit bagi laki-laki manapun juga mengha-dapinya.
Apakah Pendekar Rajawali Sakti bersedia menerima permintaan Ki Labur? Mampukah dia menghentikan sepak terjang si Perempuan Silu-man yang haus darah itu? Lalu, apa yang menjadikan Pandan Wangi bersikap aneh dan tidak seperti biasanya? Jika ingin mengetahui jawabannya, ikuti saja pe-tualangan Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah "Siluman Penghisap Darah" .
SELESAI Scan/E-Book.
Abu Keisel Juru Edit.
Lovely Peace
http.//duniaabukeisel.blogspot.com
Pendekar Mabuk Murka Sang Nyai Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP