Ceritasilat Novel Online

Ratu Bukit Brambang 1


Pendekar Rajawali Sakti Ratu Bukit Brambang Bagian 1


RATU BUKIT BRAMBANG Oleh Teguh Suprianto Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta Penyunting.

   Fuji S.

   Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-gian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Teguh Suprianto Serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode.

   Ratu Bukit Brambang 128 hal.

   ; 12 x 18 cm "Aaa...!"

   Suatu jeritan melengking terdengar memecah keheningan malam.

   Bulan yang bersinar penuh, lang-sung redup tertutup awan hitam.

   Seakan-akan, sang dewi malam tersentak mendengar jeritan panjang yang menyayat hati tadi.

   Belum lagi gema jeritan tadi hilang, mendadak terdengar suara genderang dipukul bertalu-talu.

   Suara itu datang dari sebuah bukit yang curam dan terlihat rapuh.

   Cahaya dari api unggun menyemburat, mene-rangi tengah-tengah bukit itu.

   Sekitar sepuluh orang tampak berdiri berjajar mengeliling api unggun.

   Tam-pak sesosok tubuh menggeliat-geliat terpancang di tiang, di tengah-tengah api unggun, Jeritan-jeritan melengking kembali terdengar menyayat.

   Api yang besar kembali menjilati tubuh yang terpancang di tiang itu.

   Tidak jauh dari api itu, tampak seorang wanita menge-nakan jubah panjang berwarna merah menyala.

   Tan-gannya terangkat tinggi-tinggi ke atas.

   "Aaa...!"

   Kembali terdengar jeritan panjang ketika tan-gan wanita berjubah merah menghentak ke depan.

   Api langsung berkobar membesar, menimbulkan percikan dan suara gemuruh dari kayu-kayu yang terbakar.

   Tampak di dalam api itu, sesosok tubuh meng-geliat-geliat, kemudian diam lunglai tidak bergerak-gerak lagi.

   "Hi hi hi...!"

   Sambil memperdengarkan suara mengikik, pe-rempuan berjubah merah panjang itu berbalik.

   Tam-pak raut wajahnya yang menyerupai tengkorak, ham-pir tertutup rambut panjang terurai.

   Sepuluh orang yang mengelilinginya, menjatuhkan diri dan berlutut dengan kepala tertunduk.

   Mereka semua adalah wani-ta muda dengan wajah cantik.

   Pakaian mereka semua berwarna merah dengan ikat pinggang berwarna kun-ing emas.

   Suara genderang yang dipukul bertalu-talu oleh seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap, kini berhenti terdengar.

   Penabuh genderang itu juga berlutut dengan kepala tertunduk menekuri tanah.

   Sebentar wani-ta berjubah merah dan berwajah bagai tengkorak itu memandang berkeliling, kemudian tertawa terbahak-bahak.

   "Hi hi hi...!"

   Tangan kanan wanita berwajah tengkorak itu terangkat perlahan-lahan.

   Kemudian salah seorang wanita bangkit berdiri, membawa sebuah baki dengan sebuah cawan di atasnya.

   Kakinya melangkah perla-han-lahan mendekati, lalu berlutut di depan perem-puan berjubah merah itu.

   Dengan sikap hormat, dibe-rikannya baki itu.

   Wanita berjubah merah itu mengambil cawan dari atas baki yang disodorkan.

   Diangkatnya cawan itu tinggi-tinggi, lalu berbalik menghadap api yang masih berkobar besar.

   Mulutnya bergerak-gerak, kemudian perlahan-lahan tangannya turun.

   Ditenggaknya isi ca-wan itu, dan cawannya dibuang ke dalam api.

   Maka mendadak saja api itu padam.

   "Ha ha ha..!"

   Perempuan berjubah merah itu kembali tertawa terbahak-bahak.

   "Akulah Ratu Bukit Brambang! Mulai saat ini, setiap malam harus ada persembahan darah dari seorang laki-laki muda yang sehat dan perkasa! Ha ha ha...!"

   "Hamba akan melayani Yang Mulia Gusti Ra-tu...!"

   Sahut semua orang yang berada di puncak bukit itu, bersamaan.

   "Bagus! Kalian memang harus patuh pada pe-rintahku! Siapa yang mencoba membangkang, yang pantas hanya hukuman mati!"

   Mantap dan lantang suara wanita berjubah merah yang wajahnya mirip tengkorak itu.

   "Bakti, Yang Mulia Gusti Ratu...!"

   "Ha ha ha...!"

   Perempuan berjubah merah yang mengangkat dirinya sebagai Ratu Bukit Brambang ini tertawa terbahak-bahak.

   Sebentar Ratu Bukit Brambang memandang berkeliling, kemudian melangkah perlahan-lahan.

   Se-puluh orang wanita dan seorang laki-laki bertubuh te-gap, bergegas berdiri.

   Mereka berjalan mengikuti dari belakang.

   Laki-laki tegap dan berkulit agak hitam itu melangkah paling belakang membawa genderang di pundaknya.

   Mereka berjalan beriringan perlahan-lahan, melintasi bukit ini.

   Suasana di Bukit Brambang itu kini menjadi hening.

   Tidak lagi terdengar suara, kecuali desir angin malam saja yang menggaung di sekitar bukit itu.

   Malam terus merayap semakin larut.

   Sementara bulan pun kembali bersinar penuh, menyibak awan hitam yang tadi sempat menghalanginya.

   *** Kabut masih menyelimuti sebagian permukaan bumi.

   Matahari belum lagi sempurna menampakkan diri.

   Di sebelah Barat Bukit Brambang, tampak sebuah per-kampungan yang tidak begitu besar.

   Namun bila dilihat dari bentuk rumah yang ada, dapat dipastikan kalau perkampungan itu sangat makmur.

   Hari me-mang masih sangat pagi, tapi penduduk Desa Gedan-gan ini sudah banyak yang ke luar.

   Bahkan tidak sedi-kit yang sudah sibuk di ladangnya.

   Saat matahari sudah muncul sempurna di ufuk Timur, seluruh penduduk Desa Gedangan tidak ada lagi yang berada di dalam rumah.

   Mereka sibuk den-gan pekerjaan masing-masing.

   Anak-anak berlarian menuju ke sungai.

   Gadis-gadis bergerombol membawa rinjing cucian dengan canda tawa serta senda gurau mereka yang mewarnai pagi nan cerah ini.

   Ditingkahi lenguhan lembu dan kicauan burung di dahan-dahan, suasana pagi memang terasa indah.

   Anak-anak muda duduk bergerombol menggoda gadis-gadis yang hendak pergi ke sungai.

   Segala ma-cam celotehan dan gurauan mewarnai canda mereka.

   Dan semua yang terjadi pagi ini, selalu terjadi di pagi-pagi sebelumnya.

   Keceriaan memang selalu mewarnai Desa Gedangan.

   Tak ada kemurungan membias di wajah mereka.

   Terlebih lagi, saat masa pa-nen sudah dekat.

   Sehingga membuat keceriaan sema-kin bertambah di wajah mereka.

   Tidak ada seorang pun yang menyadari kalau di lereng bukit dekat sungai, terlihat dua orang wanita berbaju merah duduk di atas punggung kuda.

   Dua orang wanita berwajah cantik itu memperhatikan seke-lompok pemuda yang tengah menggoda gadis-gadis.

   "Mana yang kau pilih, Widarti?"

   Tanya salah seorang dari dua wanita yang menunggang kuda di lereng bukit itu.

   "Menurutmu, mana yang lebih baik, Karina?"

   Widarti balik bertanya.

   "Hm...,"

   Wanita yang bernama Karina hanya menggumam tidak jelas.

   Dia sendiri bingung untuk menentukan salah satu dari sekian banyak pemuda di tepi sungai itu.

   Desa Gedangan memang terkenal dengan gadis-gadisnya yang cantik-cantik, serta pemudanya yang tampan-tampan dan gagah-gagah.

   Tidak heran kalau kedua wanita di lereng bukit itu kebingungan untuk memilih.

   Mereka memandangi satu persatu sekelom-pok pemuda yang belum juga menyadari kalau tengah diincar.

   "Bagaimana kalau yang memakai baju hijau, Karina?"

   Widarti meminta pendapat.

   "Yang di bawah pohon kenanga itu?"

   "Iya. Kelihatannya, dia lebih tampan dari yang lain. Lagi pula, dia menyendiri. Jadi, mudah untuk membawa nya."

   "Penglihatanmu tajam juga, Widarti,"

   Puji Karina.

   "Ayolah, selagi masih pagi."

   Kedua wanita berbaju merah dan berikat ping-gang kuning keemasan itu melompat turun dari pung-gung kuda.

   Mereka berlompatan menuruni lereng bu-kit, dengan gerakan yang sungguh ringan dan cepat.

   Sehingga dalam sebentar saja, mereka sudah berada di belakang seorang pemuda berbaju hijau yang tengah duduk menyendiri di bawah pohon kenanga.

   "Ehm-ehm...!"

   Widarti mendehem.

   "Eh...!"

   Pemuda itu terkejut, dan langsung menoleh.

   "Boleh bertanya, Kisanak?"

   Lembut suara Widarti.

   "Boleh..., boleh,"

   Sahut pemuda itu agak tergagap. Buru-buru pemuda itu bangkit berdiri. Agak heran juga dia melihat dua orang wanita cantik tahu-tahu sudah di belakangnya.

   "Kisanak tahu, di mana Padang Saga?"

   Tanya Widarti, tetap lembut suaranya.

   "Padang Saga...?!"

   Pemuda itu terkejut. Wajahnya langsung pucat mendengar tempat yang dis-ebutkan itu.

   "Kenapa, Kisanak?"

   "Oh, tidak.... Tidak apa-apa. Aku hanya terkejut saja,"

   Sahut pemuda itu tergagap.

   "Untuk apa Nisanak berdua menanyakan tem-pat itu?"

   "Kami dengar, di sana tempat tumbuhnya ja-mur obat yang sangat mujarab. Orangtua kami sakit keras. Dan tabib menyarankan agar mencari obat dari jamur yang tumbuh di Padang Saga,"

   Kata Widarti, jelas semua itu hanya alasannya saja.

   Paling tidak, un-tuk memancing pemuda itu menjauh dari keramaian.

   Memang, di sana tumbuh sejenis jamur untuk obat.

   Tapi sangat sukar mencapai ke sana, karena dae-rah itu kini dikuasai seorang perempuan iblis yang sangat kejam.

   Sekarang ini, tidak ada orang yang be-rani ke sana.

   Kalaupun ada, tidak akan pernah kem-bali lagi,"

   Jelas pemuda itu.

   "Tapi kami harus ke sana. Kau bersedia men-gantarkannya, Kisanak?"

   Bujuk Widarti. Pemuda itu ragu-ragu menjawab. Dipandan-ginya kedua wanita itu bergantian. Ada rasa iba dan sayang kalau wanita secantik ini harus menjadi korban keganasan perempuan iblis yang menguasai Padang Saga.

   "Kami tidak memintamu untuk mengantarkan sampai ke sana. Cukup menunjukkan jalannya saja. Kalau sudah dekat, biar kami saja yang ke sana,"

   Kata Widarti mengetahui kalau pemuda itu kelihatan ragu-ragu.

   "Kalau boleh kuberi saran, sebaiknya urungkan saja niat Nisanak berdua,"

   Ujar pemuda itu.

   "Sudah jauh kami berjalan. Dan rasanya tidak akan mundur lagi, apa pun yang akan terjadi,"

   Mantap kata-kata Widarti.

   "Baiklah. Aku akan mengantarkan kalian. Tapi hanya sampai di persimpangan jalan saja. Setelah itu, kalian sendiri yang ke sana,"

   Pemuda itu menyerah.

   "Terima kasih,"

   Ucap Widarti senang.

   Mereka bergegas berangkat.

   Widarti lalu men-gerling pada Karina yang sejak tadi diam saja.

   Kedua wanita cantik berbaju merah menyala itu berjalan di belakang pemuda yang tidak menyadari kalau dirinya tengah terjebak.

   Mereka terus berjalan menyusuri ja-lan setapak semakin jauh, meninggalkan sungai.

   Me-reka kemudian merambah hutan, menuju ke jalan se-tapak yang agak mendaki.

   Jalan setapak itu kelihatan tidak pernah lagi di-lalui manusia.

   Rumput-rumput mulai tinggi menyema-ki, hampir menutupi jalan kecil itu.

   Pemuda yang ber-jalan di depan, berhenti melangkah setelah sampai pa-da persimpangan jalan yang bercabang tiga.

   Tubuhnya berbalik, dan memandang kedua wanita cantik di be-lakangnya.

   "Maaf. Aku sampai di sini saja. Kalian bisa te-rus mengikuti jalan ini. Tidak berapa jauh lagi, Padang Saga bisa kalian temukan,"

   Kata pemuda itu.

   "Kau baik sekali. Tapi sayang, kami harus membawamu,"

   Kata Widarti dengan bibir mengulas senyum.

   "Heh...!"

   Pemuda itu terkejut. Tapi belum sempat pemuda itu menyadari apa yang terjadi, mendadak Karina sudah bergerak cepat menotok jalan darahnya. Widarti buru-buru menyang-ga tubuh pemuda yang kini lunglai tertotok jalan da-rahnya.

   "Gusti Ratu pasti senang menerima persemba-han kita ini, Karina,"

   Kata Widarti.

   "Benar. Tapi kita harus cepat sebelum ada orang yang melihat,"

   Kata Karina.

   "Cepatlah kau ambil kuda, Karina. Aku tunggu di sini."

   "Jangan ke mana-mana, aku pasti segera kembali."

   "Cepatlah!"

   Karina melesat cepat menggunakan ilmu me-ringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat cukup tinggi.

   Sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata.

   Sementara Widarti menarik tu-buh pemuda yang sudah lemas tertotok jalan darah-nya.

   Disandarkannya pemuda itu pada sebatang pohon yang cukup rindang.

   Sedangkan dia sendiri duduk di sampingnya.

   Matanya tidak lepas merayapi wajah tampan itu.

   Entah kenapa, bibirnya tersenyum.

   Dan tangannya mengusap-usap wajah pemuda itu dengan lembut.

   *** "Hi hi hi...! Bagus! Kau memang muridku yang paling hebat, Widarti,"

   Puji perempuan berjubah merah.

   "Bukan hanya hamba sendiri, Yang Mulia Gusti Ratu. Hamba dibantu Karina,"

   Jelas Widarti, seraya melirik Karina yang duduk bersimpuh di sampingnya.

   "Kalian patut mendapat hadiah dariku. Datan-glah ke bilikku tengah malam nanti." 'Terima kasih, Gusti Ratu,"

   Ucap Widarti dan Karina bersamaan.

   Perempuan berjubah merah dan berwajah bagai tengkorak itu melangkah meninggalkan dua orang wa-nita cantik yang mengenakan baju warna merah juga.

   Mereka saling berpandangan, kemudian sama-sama tersenyum.

   Widarti bergegas mengajak Karina keluar dari ruangan besar berlantaikan batu pualam putih ini.

   Wajah mereka cerah, dengan bibir menyungging senyum.

   "Mudah-mudahan saja, Gusti Ratu memberi, kita satu ilmu yang tangguh, Karina,"

   Kata Widarti sambil terus melangkah keluar dari ruangan besar itu.

   "Kalau Gusti Ratu menawarkan, kau ingin min-ta apa?"

   Tanya Karina.

   Kedua wanita itu terus saja melangkah keluar dari bangunan besar bagai istana yang terletak di puncak Bukit Brambang.

   Beberapa orang wanita terlihat di sekitar halaman berumput itu.

   Mereka yang tengah berlatih ilmu olah kanuragan, segera menghentikan la-tihannya dan langsung mengerumuni Widarti dan Ka-rina.

   "Hebat kau, Widarti. Pasti Gusti Ratu memberi kalian hadiah besar,"

   Puji salah seorang dengan perasaan kagum.

   "Minta saja ilmu kesaktian yang tinggi,"

   Sambung seorang lagi mengusulkan.

   "Benar. Di antara kita semua, hanya kau yang paling tinggi tingkat kepandaiannya."

   Widarti dan Karina jadi berbunga hatinya.

   Me-reka tidak bisa berkata-kata lagi, kecuali tersenyum dengan wajah cerah menerima pujian dan saran-saran teman-temannya.

   Kedua wanita itu kemudian ikut ber-latih memantapkan ilmu-ilmunya yang dipelajari dari pemimpin, sekaligus guru mereka dalam ilmu olah ka-nuragan.

   Sementara hari terus merayap semakin tinggi.

   Siang pun berganti senja, dan terus bergerak menjadi malam.

   Udara yang panas di sekitar bukit itu, kini berubah dingin bagaikan terselimut salju yang membe-kukan.

   Tampak cahaya api membias di tengah-tengah dataran luas di depan bangunan besar bagai istana yang hanya satu-satunya di puncak Bukit Brambang itu.

   Suasana sunyi senyap mewarnai sekitar pun-cak bukit itu.

   Deru angin malam terasa kencang mem-bawa udara dingin menggigilkan tulang.

   Tidak ada seo-rang pun yang terlihat, kecuali dua orang wanita can-tik berbaju merah.

   Mereka adalah Widarti dan Karina.

   Kedua wanita itu tengah berjalan mendekati sebuah mulut gua yang terletak di bagian kanan bangunan be-sar bagai istana yang bagian belakangnya menempel pada dinding tebing batu cadas.

   Widarti dan Karina berlutut di depan mulut gua.

   Kepala mereka tertunduk menekuri tanah be-rumput lembab tersiram titik-titik air embun.

   Semen-tara, malam terus merayap semakin larut.

   Angin yang berhembus kencang membawa udara dingin tidak di-pedulikan.

   Mereka tetap berlutut dengan kepala ter-tunduk dalam.

   "Masuklah kalian...!"

   Terdengar suara kering dari dalam gua itu.

   Wi-darti dan Karina beranjak bangkit, kemudian melang-kah perlahan-lahan memasuki gua itu.

   Keadaan di da-lam sangat gelap, sehingga tidak bisa melihat apa-apa.

   Namun begitu kaki mereka menginjak bagian tengah, mendadak ruangan gua jadi terang-benderang.

   Entah bagaimana datangnya, tahu-tahu di depan mereka ter-dapat seonggok kayu bakar yang menyala termakan api.

   Di balik api, terlihat seorang wanita berambut panjang terurai tengah duduk bersila di atas sebuah altar batu pualam putih berkilat.

   Di sampingnya, tam-pak tergolek seorang pemuda bertelanjang dada.

   Pe-muda berwajah tampan itu hanya tertutup selembar kain merah dari batas pinggang ke bawah.

   Widarti sempat melirik pada pemuda yang dibawanya siang ta-di untuk ratunya.

   "Seperti yang kukatakan siang tadi pada kalian, aku akan memberi hadiah sebagai tanda terima kasih-ku pada kalian. Suatu hadiah yang tidak bisa kalian duga sebelumnya,"

   Kata wanita berjubah merah yang selalu dipanggil Ratu Bukit Brambang itu. 'Terima kasih, Gusti Ratu,"

   Ucap Widarti dan Karina bersamaan.

   "Kalian lihat itu...?!"

   Ratu Bukit Brambang menunjuk sebuah kotak yang tertutup rapat, terletak di sebelah kanan Widarti. Kedua gadis itu menoleh ke arah yang ditunjuk Ratu Bukit Brambang.

   "Di dalam kotak itu terdapat sepasang pedang yang sudah kupersiapkan untuk siapa saja yang ber-hasil membawa seorang pemuda pertama kali padaku. Dan kalian yang berhasil. Maka, senjata pusaka itu menjadi hak kalian."

   Widarti dan Karina saling berpandangan.

   Mere-ka tahu, pedang itu adalah senjata pusaka yang di-banggakan Ratu Bukit Brambang.

   Keampuhannya ti-dak tertandingi sampai saat ini.

   Dengan sepasang pe-dang itu, Ratu Bukit Brambang telah berhasil menak-lukkan rimba persilatan.

   "Ambillah. Dan gunakan senjata itu sebaik mungkin. Terutama, gunakan untuk mempertahankan diri. Sebab aku mempercayakan kalian berdua untuk me-mimpin yang lain, di saat aku tengah memusatkan diri menyempurnakan ilmu-ilmuku,"

   Ujar Ratu Bukit Brambang.

   Widarti memberi hormat, kemudian mengambil kotak itu.

   Matanya agak terbeliak begitu tutup kotak terbuka.

   Tampak sepasang pedang berwarna merah berada di dalam kotak yang berlapis kain beludru me-rah berkilat.

   Widarti mengambil satu pedang, dan memberikannya pada Karina.

   Kemudian satu nya lagi diambil untuknya sendiri.

   "Sarung pedang itu sudah ada di kamar kalian masing-masing. Nah, sekarang keluarlah. Masih ba-nyak yang harus kukerjakan malam ini."

   "Hamba mohon pamit, Gusti Ratu,"

   Ucap Wi-darti dan Karina bersamaan.

   Kedua wanita itu membungkuk memberi hor-mat, kemudian melangkah mundur keluar dari gua itu.

   Mereka baru berbalik setelah berada di luar, dan ber-gegas melangkah pergi kembali ke bangunan besar ba-gai istana itu.

   Wajah mereka berseri-seri karena men-dapatkan senjata yang selalu diinginkan seluruh pen-gikut Ratu Bukit Brambang.

   Sementara di dalam gua, wanita berjubah me-rah dan berwajah bagai tengkorak itu memandang pe-muda, yang tergolek di sampingnya.

   Sepasang bola matanya berkilat.

   Terdengar tawanya yang mengikik kecil dan bernada kering.

   Kemudian tangan kanannya mengebut ke arah api yang berkobar melahap kayu di tengah-tengah ruangan itu.

   Seketika api padam, dan gua jadi gelap gulita.

   "Hi hi hi..!"

   Kembali terdengar suara tawa mengikik.

   Kemu-dian suara tawa itu menghilang, dan disusul desah napas mendengus kencang.

   Tidak berapa lama berse-lang, terdengar erangan-erangan dan rintihan lirih disertai dengusan napas memburu bagai kuda yang dipa-cu cepat mendaki bukit.

   Tidak lama hal itu berlang-sung, karena sesaat kemudian terdengar jeritan me-lengking tinggi.

   "Aaa...!"

   "Hi hi hi..!" *** Hari terus berjalan sesuai dengan peredaran waktu. Dan waktu-waktu yang berjalan itu digunakan pengikut Ratu Bukit Brambang untuk memamerkan sepak terjangnya yang semakin merajalela. Dalam waktu singkat saja, nama Ratu Bukit Brambang telah melambung tinggi dan sangat ditakuti semua orang. Dan pengaruh yang paling terasa adalah di Desa Ge-dangan, yang paling dekat dengan Bukit Brambang. Desa yang biasanya selalu ceria, kini tampak muram dan lengang. Tidak lagi terlihat anak-anak muda ber-keliaran di jalan-jalan. Tidak terdengar lagi senda gurau pemuda yang menggoda gadis-gadis. Mereka se-mua sepertinya takut menjadi korban Ratu Bukit Brambang. Hampir tiap hari terdengar tangisan dan rintihan me-ratap dari rumah-rumah penduduk Desa Gedangan. Bahkan ratapan yang sama juga terdengar di desa-desa lain, di sekitar Bukit Brambang. Hampir tiap hari, pasti ada seorang pemuda yang hilang tidak ketahuan rimbanya. Para penculik itu tidak lagi menggunakan kelembutan, tapi sudah menjurus kasar dan paksaan. Tidak sedikit orang yang tewas dibantai, karena men-coba mempertahankan anaknya. Bahkan banyak para pemuda yang mencoba melawan, terbunuh seketika itu juga. Dan tidak sedikit yang dibawa pergi dalam kea-daan tertotok pingsan. Siang itu udara di sekitar Desa Gedangan tera-sa lebih panas daripada biasanya. Angin bertiup keras membawa udara kering. Langit cerah tanpa sedikit pun awan menggantung. Matahari memancarkan sinarnya dengan garang, seakan-akan hendak membakar selu-ruh yang ada di permukaan bumi ini. Seekor kuda hi-tam bertubuh tinggi tegap berotot, tampak berjalan perlahan-lahan melintasi jalan berdebu. Penunggang-nya seorang pemuda berwajah tampan dengan rambut panjang meriap. Bajunya rompi putih, dengan pedang bergagang kepala burung menyembul di balik pung-gungnya. Kuda hitam itu berhenti di pinggir galangan pematang sawah. Penunggangnya melompat turun, la-lu melangkah menghampiri seorang laki-laki tua yang sedang duduk di pematang. Pandangannya lurus me-natap padi yang menguning, siap untuk dipanen.

   "Kapan dituainya, Ki?"

   Tegur pemuda itu ramah.

   "Oh...!"

   Laki-laki tua itu terkejut langsung menoleh.

   "Maaf, aku mengejutkanmu."

   "Tidak, Aku tadi sedang melamun, jadi tidak tahu kalau ada orang datang."

   Laki-laki tua itu menggeser duduknya untuk memberi tempat.

   Maka pemuda itu duduk di samping-nya.

   Pandangannya menatap hamparan sawah yang menguning.

   Agak heran juga dia, karena sepanjang mata memandang tidak ada seorang pun terlihat.

   Bu-rung-burung pipit tampak berpesta pora mengganyang padi yang tidak terjaga.

   Pemuda itu menoleh menatap laki-laki tua yang juga tengah memandang ke tengah sawah.

   Pandangannya kosong, dan sepasang bola ma-ta tuanya terlihat berkaca-kaca.

   "Kau kelihatan sedih, Ki. Ada apa?"

   Tanya pemuda itu hati-hati.

   "Hhh...!"

   Laki-laki tua itu menarik napas panjang dalam-dalam.

   "Tidak lama lagi, padi-padi ini dituai. Tapi, tidak ada lagi yang mau mengerjakannya. Jerih payah selama berbulan-bulan ternyata harus ditinggal-kan sia-sia."

   "Kenapa? Sayang sekali kalau padi sebagus ini harus ditinggalkan begitu saja."

   Laki-laki tua itu mendesah berat. Kepalanya kemudian menoleh, menatap pemuda di sampingnya. Begitu dalam, seakan-akan tengah menyelidik.

   "Kau tentu bukan dari desa ini, atau desa-desa lain di sekitar sini. Aku belum pernah melihatmu,"

   Pelan suara laki-laki tua itu.

   "Aku hanya seorang pengembara yang kebetu-lan lewat di sini, Ki,"

   Sahut pemuda itu ramah, disertai senyum di bibir.

   "Sebaiknya cepat tinggalkan desa ini. Terlalu berbahaya bagimu. Kau seorang pemuda tampan dan gagah. Mereka pasti menginginkanmu,"

   Agak tersendat suara laki-laki tua itu.

   Pemuda itu mengerutkan keningnya, sehingga sepasang alisnya yang tebal jadi bertaut.

   Sungguh sulit dimengerti, kenapa tiba-tiba laki-laki tua ini menyu-ruhnya segera pergi? Dan hal ini membuat pemuda itu jadi bertanya-tanya.

   Belum lagi pemuda itu sempat bertanya, men-dadak laki-laki tua itu bangkit berdiri bagai terserang ribuan lebah berbisa.

   Pandangannya lurus menatap ke satu arah.

   Melihat hal ini, pemuda tampan berbaju rompi putih itu jadi keheranan.

   Dia juga ikut berdiri, dan menoleh ke arah yang sama dengan laki-laki tua di sampingnya.

   Agak terkejut juga dia begitu melihat ada empat orang wanita berwajah cantik tahu-tahu te-lah berdiri agak jauh darinya.

   Mereka semua menge-nakan baju merah dengan sabuk berwarna kuning keemasan.

   Di punggung masing-masing tersandang sebilah pedang yang tangkai ujungnya berbentuk tengkorak manusia.

   'Tua-tua masih suka membual! Apa kau sudah bosan hidup, heh?!"

   Bentak salah seorang yang berdiri paling kanan.

   "Ampun, Nini.... Aku..., aku..."

   Laki-laki tua itu tergagap dengan tubuh membungkuk beberapa kali.

   "Phuih! Tidak ada alasan buatmu, Pembual! Kau menyimpan seorang pemuda, tapi tidak menye-rahkannya pada kami! Kau tahu, apa hukumannya, Orang Tua? Mati...!"

   "Ampun, Nini.... Ampun.,.,"

   Rintih laki-laki tua itu seraya menjatuhkan diri berlutut.

   "Bersiaplah untuk mampus, Tua Bangka! Hiyaaa...!"

   Salah seorang dari empat wanita itu melompat sambil mencabut pedangnya.

   Cepat sekali terjangan-nya.

   Pedangnya dikibaskan kuat-kuat, sehingga me-nimbulkan suara angin berdesir.

   Namun begitu mata pedang hampir memenggal leher laki-laki tua itu, men-dadak dia terpekik.

   Seketika, tubuhnya kembali men-celat ke belakang.

   *** Wanita berbaju merah itu terhuyung-huyung sambil memegangi tangan kanannya.

   Wajahnya kontan merah padam, dan bibirnya mendesis bagai ular.

   Se-dangkan yang tiga orang lagi langsung berlompatan mengurung pemuda berbaju rompi putih yang tetap berdiri tegak di samping laki-laki tua itu.

   "Keparat kau berani melawan kami, heh!"

   Ge-ram perempuan itu sengit.

   "Maaf, Nisanak. Aku tidak bisa membiarkanmu untuk membunuh orang tua yang tidak berdaya begitu saja,"

   Kalem namun bernada tantangan kata-kata pemuda itu.

   "Pembual itu tidak pantas lagi hidup lebih la-ma. Dia harus mati. karena berani membangkang ke-hendak Yang Mulia Gusti Ratu Bukit Brambang!"

   Lantang kata-kata wanita yang berada di depan pemuda itu.

   "Benar itu, Ki?"

   Tanya pemuda itu pada laki-laki tua yang tetap berlutut dengan tubuh bergetar.

   "Anak muda! Sebaiknya, kau cepat pergi. Biar-kan aku di sini. Mereka sangat kejam. Kau akan mati jika menuruti keinginannya,"

   Kata laki-laki tua itu.

   "Tutup mulutmu, Tua Bangka!"

   "Hm..."

   Gumam pemuda itu pelan. Tatapannya tajam, lurus pada wanita yang berada di sebelah ka-nannya. Wanita itu yang tadi mengeluarkan bentakan.

   "Kisanak, sebaiknya segera ikut kami. Dan tua bangka itu akan bebas hidup,"

   Kata yang seorang lagi lebih lembut.

   "Ke mana?"

   Tanya pemuda itu.

   "Menemui Yang Mulia Gusti Ratu."

   "Untuk apa? Aku tidak kenal kalian. Dan aku tidak pernah mendengar ratumu. Aku baru hari ini ada di sini."

   "Jangan membantah! Hanya ada dua pilihan, mati atau ikut!"

   "Edan! Untuk apa' harus ikut tanpa tahu uru-sannya? Kalian boleh membawaku asal mampu!"

   "Keparat! Rupanya kau lebih senang mampus, heh!"

   Salah seorang wanita itu segera mencabut pedangnya, lalu melompat cepat sambil berteriak me-lengking.

   Pedangnya dikibaskan kuat-kuat.

   Namun hanya sedikit saja pemuda itu menarik tubuhnya ke belakang, maka tebasan pedang itu luput dari sasaran.

   Hal ini membuat ketiga wanita lainnya jadi berang, sehingga segera berlompatan menyerang.

   Sementara itu, laki-laki tua itu cepat-cepat me-ninggalkan tempat ini.

   Tapi hatinya merasa penasaran, dan berhenti setelah cukup jauh.

   Dengan tubuh geme-taran disaksikannya pertempuran itu.

   Tampak empat orang wanita berbaju merah itu kewalahan juga meng-hadapi pemuda yang mengenakan baju rompi putih.

   Bahkan sampai jatuh bangun, dan tidak satu pun se-rangannya berhasil menyentuh lawan.

   "Lepas...!"

   Tiba-tiba pemuda tampan itu berteriak keras.

   Sedangkan tangannya menyampok tangan salah seo-rang penyerangnya.

   Orang itu memekik tertahan, dan pedangnya melesat tinggi ke udara.

   Belum lagi hilang rasa terkejutnya, mendadak satu tendangan keras mendarat di tubuhnya.

   "Akh!"

   Kembali wanita itu memekik tertahan.

   Pada saat wanita itu terjengkang, pemuda tam-pan berbaju rompi putih memutar tubuhnya.

   Lang-sung disampoknya dua orang lawan.

   Pekikan keras tertahan terdengar saling sahut.

   Kemudian satu orang lawan terakhir dibuat sampai terjungkal mencium ta-nah.

   Empat wanita pengikut Ratu Bukit Brambang se-karang mengerang kesakitan sambil berusaha bangkit.

   Dan pemuda itu bergerak cepat.

   Tahu-tahu, di tan-gannya sudah tergenggam pedang-pedang lawan.

   "Pergilah kalian!"

   Bentak pemuda itu keras. Keempat wanita itu bangkit berdiri sambil me-ringis menahan sakit. Mereka saling berpandangan se-jenak, lalu berbalik.

   "Nih, pedang kalian!"

   Pemuda itu melemparkan pedang yang dirampasnya.

   Empat batang pedang itu melayang, dan jatuh tepat di ujung kaki mereka.

   Cepat-cepat keempat wa-nita cantik berbaju merah itu memungutnya, kemu-dian melompat cepat dan berlari masuk ke dalam hu-tan.

   Pemuda itu berbalik setelah keempat wanita itu tidak terlihat lagi.

   Dihampirinya laki-laki tua yang masih berdiri memandanginya dengan rasa kagum.

   "Kau tidak apa-apa, Ki?"

   Tanya pemuda itu ramah.

   "Oh, tidak,... Tidak apa-apa' sahut lelaki tua itu.

   "Terima kasih, Raden. Kau telah mengusir me-reka."

   "Jangan panggil aku raden, Ki. Panggil saja Rangga,"

   Ujar pemuda itu memperkenalkan diri. Dia memang Rangga yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.

   "Aku Ki Kusha, penduduk Desa Gedangan ini,"

   Laki-laki tua itu juga memperkenalkan diri.

   "Hm.... Apa sebenarnya yang terjadi di sini, Ki? Tampaknya mereka sudah mengenalmu,"

   Selidik Rang-ga.

   "Ceritanya panjang, Rangga. Dan sebaiknya, segera kita tinggalkan tempat ini. Mari ke rumahku sa-ja,"

   Ajak Ki Kusha.

   "Dengan senang hati, Ki,"

   Sambut Rangga.

   Pendekar Rajawali Sakti menghampiri kudanya.

   Lalu me-langkah menuntun kuda hitam yang bernama Dewa Bayu.

   Sedangkan Ki Kusha berjalan di samping ka-nannya.

   Mereka melangkah tanpa berkata-kata lagi.

   *** Rangga duduk bersila di atas dipan bambu yang rendah, beralaskan tikar daun pandan.

   Di de-pannya duduk Ki Kusha yang didampingi istrinya.

   Seo-rang anak perempuan berusia sekitar tiga tahun ten-gah tiduran di pangkuan Nyai Kusha.

   Sebentar ma-tanya yang bulat bening terbuka menatap Rangga, se-bentar kemudian terpejam kembali.

   Pendekar Rajawali Sakti mengangkat kepalanya ketika seorang wanita muda keluar dari bilik kamar belakang sambil membawa sebuah baki yang di atas-nya terdapat beberapa gelas tanah liat mengepulkan uap hangat.

   Sepiring ketela rebus terhidang juga.

   Wa-nita itu mengangguk dan tersenyum pada Rangga, ke-mudian menghidangkan apa yang dibawanya.

   "Silakan, Rangga. Hanya ini yang masih ada,"

   Ucap Ki Kusha.

   "Terima kasih, Ki. Ini juga sudah lebih dari cu-kup,"

   Ujar Rangga seraya mengangkat gelas dan meng-hirup sedikit isinya.

   "Beginilah keadaan di sini sekarang. Sepi, sela-lu dicekam ketakutan,"

   Kata Ki Kusha pelan.

   "Semua ini gara-gara si Ratu Bukit Brambang itu!"

   Sambung Nyai Kusha.

   "Lihat anak ini. Ayahnya diculik. Sampai sekarang, tidak ketahuan nasibnya. Ibunya jadi gila dan bunuh diri di jurang."

   Rangga menatap anak perempuan yang tiduran di pangkuan Nyai Kusha, kemudian beralih pada wani-ta muda yang memakai baju merah muda di samping Ki Kusha.

   Wanita itu hanya menunduk saja.

   Sore tadi, Ki Kusha telah memperkenalkannya.

   Dan Rangga ma-sih ingat, anak gadis Ki Kusha itu bernama Lasmi.

   Dia juga kehilangan ke kasihnya.

   Padahal selesai panen ini rencananya mereka akan menikah.

   "Mereka sangat kejam, Rangga. Selalu menculik pemuda-pemuda, dan membunuh anak-anak serta orang tua. Kalau begini terus, bisa habis semua orang sini. Mereka akan membunuh siapa saja kalau tidak mendapatkan pemuda,"

   Kata Ki Kusha bernada mengeluh.

   "Apakah pemuka desa tidak bertindak?"

   Tanya Rangga.

   "Sudah, Rangga. Bahkan kepala desa kami te-was karena mencoba melawan. Sekarang ini, Desa Ge-dangan tidak punya pemimpin. Tidak ada yang memi-kirkan itu lagi. Yang penting, bisa selamat itu juga sudah cukup,"

   Sahut Ki Kusha lagi.

   "Aneh.... Untuk apa mereka menculik anak-anak muda?"

   Gumam Rangga seperti bertanya pada di-ri sendiri.

   "Mungkin buat tumbal, Rangga,"

   Celetuk Nyai Kusha."

   Tumbal...?"

   Rangga mengernyitkan keningnya.

   "Biasanya begitu, Rangga. Orang yang menga-nut Ilmu sesat, biasanya memerlukan tumbal untuk kelangsungan hidup dan ilmunya. Yaaah..., macam-macam saja jenis tumbalnya,"

   Ki Kusha mencoba menjelaskan, tapi hanya menduga-duga saja.

   Rangga terdiam dengan kepala tertunduk.

   Ka-lau memang dugaan Ki Kusha benar, tidak ada hara-pan hidup lagi bagi mereka yang diculik.

   Biasanya, tumbal dipersembahkan bagi sesembahan dan dalam bentuk sudah menjadi mayat atau masih hidup yang kemudian dibunuh.

   Untuk sesaat keheningan menyelimuti mereka semua.

   Tidak ada yang membuka suara.

   Masing-masing sibuk dengan pikirannya.

   Nyai Kusha bangkit berdiri, lalu turun dari dipan bambu ini.

   Dia membawa cucunya ke dalam, dan tidak lama kemudian kembali lagi.

   'Temani adikmu tidur, Lasmi,"

   Perintah Nyai Kusha.

   "Baik, Bu,"

   Sahut Lasmi seraya beranjak bangkit "Tinggal dulu, Kang."

   "Silakan,"

   Ucap Rangga seraya tersenyum dengan kepala sedikit terangguk.

   Lasmi melangkah pergi masuk ke dalam kamar.

   Entah lupa atau disengaja, pintunya tidak ditutup kembali.

   Rangga sempat melirik gadis itu saat memba-ringkan tubuhnya di samping anak kecil yang sudah lelap dibuai mimpi.

   Kemudian pandangannya dialih-kan ketika Lasmi berbalik memiringkan tubuhnya.

   Dia tidak ingin lama-lama menatap gadis itu.

   "Desa ini sekarang hanya dihuni orang tua dan anak-anak saja. Pemuda-pemudanya telah meninggal-kan desa, dan pergi ke kota atau ke desa lain yang jauh. Banyak juga yang tewas atau diculik mereka...,"

   Kata Ki Kusha setelah lama terdiam.

   "Apakah mereka masih suka datang ke sini?"

   Tanya Rangga.

   "Sering, Rangga. Kalau tidak mendapatkan yang dicari, mereka membunuh siapa saja yang dite-mui. Bahkan merusak, dan membakar rumah-rumah penduduk. Desa ini sudah menjadi neraka saja, Rang-ga,"

   Sahut Ki Kusha lirih.

   "Oh...! Sampai sejauh itukah perbuatan mere-ka...?"

   Desah Rangga sedikit terkejut.

   "Mereka memang kejam, tapi sangat tangguh. Tidak ada yang bisa menandinginya."

   "Mereka harus segera dihentikan!"

   Desis Rangga datar.

   "Percuma, Rangga. Sudah ada beberapa pendekar yang mencoba menghentikan mereka, tapi semua-nya tewas. Mereka sangat tangguh. Lebih-lebih yang bernama Widarti dan Karina. Tidak ada yang sanggup menandinginya. Apalagi, si Ratu Bukit Brambang...,"

   Keluh Ki Kusha pelan.

   "Aku yang akan menghentikan mereka, Ki!"

   Tegas Rangga.

   "Rangga...!"

   Ki Kusha tersentak kaget.

   "Aduh.... Jangan, Rangga. Lebih baik tinggal-kan saja desa ini. Mereka sangat tangguh dan ke-jam...,"! ujar Nyai Kusha memohon.

   "Harus ada orang yang bisa menghentikan me-reka, Nyai. Mungkin sang Hyang Widi menunjukkan jalan padaku hingga sampai ke sini,"

   Kata Rangga tanpa bermaksud menyombongkan diri.

   "Rangga...."

   Belum habis Ki Kusha bicara, tiba-tiba terden-gar tawa terbahak-bahak mengikik.

   Suara tawa itu demikian jelas terdengar.

   Ki Kusha dan Nyai Kusha langsung bergetar, dan wajah mereka pucat pasi.

   Rangga melompat tangkas, turun dari dipan bambu.

   Dia berdiri tegak menatap ke pintu.

   "Rangga...,"

   Bergetar suara Ki Kusha.

   "Sebaiknya Aki dan Nyai masuk saja ke dalam. Biar aku yang menghadapi,"

   Kata Rangga tanpa menoleh.

   "Hati-hati, Rangga,"

   Ucap Ki Kusha.

   Rangga tidak menjawab, dan hanya melangkah tenang mendekati pintu.

   Perlahan-lahan dibukanya pintu itu.

   Sementara, Ki Kusha membawa istrinya ke dalam kamar.

   Di sana, Lasmi juga terbangun.

   Kedua wanita itu berpelukan.

   Ki Kusha keluar kembali dari kamar, dan melihat Rangga berjalan tenang ke luar.

   Dan ditutupnya kembali pintu rumah itu.

   Ki Kusha bergegas mendekati, dan mengintip melalui celah-celah papan pintu.

   *** Malam begitu pekat Angin berhembus kencang membawa udara dingin menggigilkan.

   Saat ini Rangga tengah berdiri tegak di tengah-tengah halaman rumah Ki Kusha yang cukup luas.

   Di depannya, berdiri seki-tar enam orang wanita berbaju merah dengan sabuk kuning keemasan.

   Masing-masing menyandang sebilah pedang yang bergagang kepala tengkorak di punggung.

   Tampak dua orang gadis berwajah cantik berdiri paling depan.

   Sudah bisa ditebak, kedua gadis yang berdiri paling depan adalah Widarti dan Karina.

   Sedangkan empat wanita lagi yang berada di belakangnya sudah dikenali Rangga.

   Merekalah yang siang tadi sempat di-perdaya Pendekar Rajawali Sakti.

   Rupanya, mereka mengadu, dan kini datang kembali untuk membuat perhitungan.

   Apalagi, kini ada dua orang yang memili-ki kepandaian lebih tinggi.

   Dan Rangga sudah mendu-ga semua itu.

   "Rupanya kau memiliki nyali besar juga, Kisa-nak,"

   Ketus nada suara Widarti.

   "Siapa namamu?"

   Selak Karina membentak.

   "Untuk apa kau tahu namaku?"

   Sambut Rangga sinis.

   "Sombong!"

   Dengus Karina sengit.

   "Sebaiknya, kalian angkat kaki dari sini. Aku malas berurusan dengan gadis-gadis telengas macam kalian!"

   Kata Rangga sinis.

   "Keparat! Kau belum tahu siapa kami, heh?! Sekalipun kau tampan seperti pangeran, nyawamu be-rada di ujung pedang, tahu!"

   Bentak Widarti panas.

   "Aku hanya punya nyawa satu. Tapi, cukup un-tuk membungkam mulut kalian yang nyinyir!"

   "Setan alas! Kurobek mulutmu, Keparat!"

   Karina tidak bisa lagi menahan diri, sehingga langsung berteriak keras dan melompat menerjang.

   Diberikannya dua pukulan beruntun yang begitu cepat di-sertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.

   Tapi, Rangga hanya menggeser kakinya sedikit sambil memiringkan tubuh, maka serangan Karina lewat begitu sa-ja tanpa mengenai sasaran.

   'Bagus! Rupanya kau punya mainan juga, Pe-muda Tampan!"

   Dengus Karina sambil bersiap menyerang kembali. 'Tahan seranganku! Hiyaaat..!"

   "Hup!"

   Sret! Karina tidak tanggung-tanggang lagi.

   Langsung pedangnya dicabut, dan dikibaskan cepat ke arah kaki Pendekar Rajawali Sakti.

   Namun dengan sigap, Rangga melompat.

   Kemudian, kakinya melayang mengarah ke kepala.

   Karina terpekik terkejut.

   Buru-buru kepalanya merunduk, menghindari sepakan kaki itu.

   Dan belum lagi sempurna menarik tubuhnya ke belakang, Rangga sudah menggedor dadanya dengan satu pukulan ke-ras.

   "Akh...!"

   Karina kembali memekik tertahan.

   Tubuhnya terhuyung ke belakang.

   Meskipun tadi Rangga tidak mengerahkan te-naga dalam, tapi gedoran itu cukup membuat dada Ka-rina sesak juga.

   Wajahnya merah padam menahan ma-rah.

   Kembali gadis itu bersiap menyerang.

   Dan pada saat itu, Widarti sudah mencabut pedangnya diikuti empat gadis lain.

   Mereka langsung mengurung Pende-kar Rajawali Sakti.

   "Hm...,"

   Rangga menggumam tidak jelas.

   Dari sudut matanya, Pendekar Rajawali Sakti memperhatikan setiap gerak gadis-gadis cantik yang mengepungnya.

   Rangga mempersiapkan diri menggu-nakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.

   Dia juga siap-siap dengan perubahan cepat, menuju jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

   "Hiyaaa...!"

   "Yeaaat..!"

   Teriakan-teriakan keras terdengar, disusul ber-lompatannya keenam gadis berbaju merah itu.

   Pedang mereka berkelebatan langsung, mengurung Pendekar Rajawali Sakti.

   Begitu cepat serangan mereka, tapi sayangnya Rangga sukar didekati.

   Jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' memang sangat ampuh.

   Gerakan ka-kinya begitu lincah, diimbangi tubuh yang meliuk-liuk lentur bagai belut.

   Serangan yang datang dari enam jurusan, tidak satu pun mengenai sasaran.

   Bahkan sekali-sekali Rangga membalas dengan pukulan-pukulan mautnya.

   Jurus demi jurus terlampau dengan cepat.

   Tidak tera-sa, enam orang pengikut Ratu Bukit Brambang itu su-dah menghabiskan sepuluh jurus.

   Tapi, Pendekar Ra-jawali Sakti hanya menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang diseling jurus 'Pukulan Maut Pa-ruh Rajawali'.

   Hanya dengan dua jurus saja, enam orang gadis itu sukar mendesak.

   Lebih-lebih berharap menjatuhkannya.

   Menyentuh ujung rambutnya saja, tidak ada yang mampu.

   "Jebol...!"

   Tiba-tiba Rangga berseru keras.

   Tangan ka-nannya cepat mengibas ke samping.

   Pada saat itu, sa-tu orang penyerangnya sudah melompat sambil men-gibaskan pedang ke arah leher.

   Tapi, kibasan tangan Rangga yang begitu cepat, tidak bisa dihindari lagi.

   Gadis itu memekik keras, dan tubuhnya kontan terlon-tar sejauh dua batang tombak ke belakang.

   Belum lagi hilang jeritan itu, Rangga sudah ce-pat memutar tubuhnya.

   Kakinya langsung melayang deras menghantam dada seorang lagi, disusul sodokan tangan kiri yang masuk telak ke perut seorang lagi.

   Dua orang langsung menggeletak mengerang kesaki-tan.

   Pendekar Rajawali Sakti kemudian cepat melent-ing ke atas, lalu meluruk dengan kaki bergerak bagai kilat.

   Kini, Rangga mengerahkan jurus 'Rajawali Me-nukik Menyambar Mangsa'.

   "Aaa...! Satu jeritan melengking tinggi terdengar, begitu ada suara sesuatu yang berderak bagai sebuah benda keras retak. Tampak salah seorang dari gadis itu menggelimpang sambil memegangi kepalanya. Darah mengucur dari kepala yang pecah. Rangga melenting-kan tubuhnya kembali ke atas, dan hinggap di tonggak kayu yang menjadi pembatas halaman rumah Ki Ku-sha dengan jalan.

   "Satu peringatan buat kalian! Cepat tinggalkan tempat ini, sebelum aku haus darah kalian!"

   Bentak Rangga dingin.

   Widarti dan Karina saling berpandangan seje-nak.

   Kemudian, mereka mengedarkan pandangan pada empat tubuh yang menggeletak.

   Satu orang jelas su-dah tewas.

   Sedangkan yang lainnya masih merintih kesakitan.

   Kedua gadis itu memasukkan kembali pe-dangnya, kemudian bergegas melompat pergi tanpa menghiraukan teman-temannya.

   Ketiga gadis yang tertinggal, berusaha bangkit meskipun harus menahan sakit.

   Mereka segera me-nyarungkan senjatanya kembali, dan menggotong yang tewas dengan kepala hancur.

   Rangga masih berdiri te-gak di atas tonggak bambu.

   Diperhatikannya gadis-gadis yang melangkah tergesa-gesa membawa mayat temannya.

   Pendekar Rajawali Sakti baru melompat tu-run setelah gadis-gadis itu tidak terlihat lagi.

   *** Pendekar Rajawali Sakti melangkah perlahan-lahan menghampiri pintu rumah yang terbuka tiba-tiba.

   Maka muncullah Ki Kusha dari dalam rumah.

   Dengan tergopoh-gopoh, dihampirinya pemuda berbaju rompi putih itu.

   Wajahnya masih kelihatan pucat, meskipun sinar matanya berbinar.

   Dipandanginya wa-jah Rangga dengan perasaan kagum.

   Baru kali ini dia melihat Orang-orang Ratu Bukit Brambang dibuat ti-dak berkutik.

   Bahkan salah seorang tewas dengan ke-pala hancur.

   "Wah...! Kau hebat! Mereka pasti kapok!"

   Puji Ki Kusha tulus.

   "Mereka pasti kembali lagi, Ki,"

   Sahut Rangga kalem. Ki Kusha tampak terkejut.

   "Jangan khawatir, Ki. Selama mereka masih , berkeliaran, aku akan tetap di sini,"

   Rangga menjamin. 'Terima kasih, Rangga,"

   Ucap Ki Kusha.

   Pendekar Rajawali Sakti mengajak laki-laki tua itu masuk ke dalam rumahnya.

   Ki Kusha bergegas menutup pintu dan menguncinya dengan palang begi-tu mereka berada di dalam.

   Rangga menghenyakkan tubuhnya di dipan bambu.

   Diambilnya gelas yang beri-si kopi dan diteguknya hingga tandas.

   Dari bilik ka-mar, Lasmi muncul.

   Gadis itu menghampiri dan men-gambil gelas yang masih di tangan Rangga.

   "Biar kubuatkan lagi, Kang,"

   Kata Lasmi. 'Terima kasih, tidak usah,"

   Ucap Rangga meno-lak. 'Tidak apa, Kang. Kau pasti haus."

   "Cepat bikinkan, Lasmi,"

   Perintah Ki Kusha seraya duduk bersila di depan Pendekar Rajawali Sakti.

   Lasmi berbalik dan melangkah ke belakang.

   Rangga sempat melirik ke pintu, tempat gadis itu menghilang.

   Lasmi keluar lagi sambil membawa gelas yang mengepulkan uap hangat.

   Diletakkannya gelas berisi kopi itu di depan Rangga.

   Bibirnya yang mungil dan selalu merah basah mengulum senyum.

   Rangga mem-balasnya dengan senyuman tipis saja.

   Diambilnya ge-las itu dan isinya dihirup sedikit.

   Kemudian diletakkannya kembali di tempat semula.

   "Kau past mengantuk. Tidurlah dulu,"

   Kata Rangga lembut.

   "Tidak, Kang. Kantukku jadi hilang,"

   Sahut Lasmi.

   "Kalau begitu, biar aku saja yang tidur,"

   Celetuk Ki Kusha tiba-tiba.

   "Silakan, Ki. Aku akan jaga malam ini,"

   Kata Rangga.

   Ki Kusha beranjak turun dari dipan itu, lalu melangkah ke kamar tidur yang pintunya terbuka.

   Tampak Nyai Kusha duduk di tepi pembaringan.

   Ki Kusha berhenti tepat di ambang pintu.

   Wajahnya me-noleh pada Rangga yang tetap duduk bersila di tem-patnya.

   Sedangkan Lasmi duduk tidak jauh di depan agak ke kanan dari Pendekar Rajawali Sakti.

   "Lasmi. Kalau Rangga perlu sesuatu, jangan se-gan-segan melayani,"

   Pesan Ki Kusha.

   "Baik, Ayah,"

   Sahut Lasmi tanpa menoleh. Kepalanya selalu tertunduk menekuri ujung bajunya.

   "Aku tinggal dulu, Rangga."

   "Silakan, Ki."

   Ki Kusha masuk ke dalam kamar tidurnya.

   Di-tutupnya pintu kamar itu, maka nyala pelita di dalam kamar langsung meredup.

   Rangga mendesah panjang.

   Dipandangnya gadis di depannya yang selalu tertun-duk.

   Jari-jari tangan yang lentik itu memain-mainkan ujung baju.

   "Kau tidak mengantuk, Lasmi?"

   Tegur Rangga pelan setengah berbisik. Lasmi hanya menggelengkan kepala saja. Sama sekali kepalanya tidak diangkat.

   "Kuperhatikan kau selalu murung...,"

   Kata Rangga terputus. Saat itu, Lasmi mengangkat kepala. Tatapan matanya langsung menembus bola mata pemuda di depannya. Rangga segera menggeser duduknya lebih mendekat.

   "Sekilas, ayahmu sudah menceritakan tentang dirimu. Aku ikut prihatin,"

   Ucap Rangga perlahan.

   "Terima kasih,"

   Ucap Lasmi, hampir tidak ter-dengar suaranya. 'Tapi, aku sudah mencoba melupakan-nya. Aku tahu, Kang Jeje tidak akan kembali lagi."

   Rangga menarik napas dalam-dalam. Dia ka-gum juga dengan ketabahan hati gadis ini.

   "Boleh aku mengatakan sesuatu padamu?"

   Pin-ta Lasmi berharap.

   "Katakanlah,"

   Desah Rangga.

   "Aku merasa, kejadian malam ini akan berbun-tut panjang. Dan yang pasti, mereka akan membunuh kami semua. Terus terang, aku tidak takut pada mere-ka sekalipun harus mati...,"

   Agak tersendat suara Lasmi.

   "Kau menginginkan aku pergi, Lasmi?"

   Tebak Rangga.

   "Aku tidak berkata begitu, Kang. Tapi, demi ke-baikan dan keselamatanmu juga. Aku tidak ingin ada korban lagi. Kau begitu baik, dan mereka pasti men-ginginkanmu. Karena, kau...,"

   Lagi-lagi ucapan Lasmi terputus. Gadis itu kembali tertunduk menekuri ujung bajunya.

   "Lasmi.... Sekalipun tidak di sini, aku tetap akan menghentikan mereka. Aku bertanggung jawab atas keselamatan kalian semua. kalau saja aku tidak menemui ayahmu, mereka tentu tidak akan ke rumah ini.

   "

   Kata Rangga mantap.

   "Sama saja, Kakang,"

   Desah Lasmi "Sama...? Maksudmu?"

   "Mereka sudah beberapa kali datang ke sini. Dan ayah termasuk sesepuh di sini yang masih hidup. Mereka mendesak dan mengancam ayah untuk me-nyediakan seorang pemuda. Paling tidak, satu orang dalam sepekan. Tapi ayah tidak sudi menuruti. Maka setiap mereka menagih, selalu ada tiga orang pendu-duk yang dibunuh. Kalau sampai pekan depan ayah tidak juga menyediakan seorang pemuda, mereka akan membunuh kami semua,"

   Pelan suara Lasmi.

   "Biadab!"

   Desis Rangga geram.

   "Mereka bisa lebih kejam lagi, Kakang. Apalagi mereka sudah tahu kalau kau ada di sini,"

   Sambung Lasmi.

   "Dengar, Lasmi. Apa pun yang akan terjadi pa-da diriku, aku tetap akan menyelamatkanmu dan selu-ruh keluargamu, serta penduduk desa ini. Mereka ha-rus dihentikan. Aku tidak bisa berdiam diri begitu saja melihat keangkaramurkaan merajalela,"

   Mantap kata-kata Rangga.

   "Mereka begitu kuat, Kakang. Kau tidak akan bisa melawan mereka seorang diri. Sudah banyak pen-dekar tangguh yang mencoba, tapi semuanya tewas. Tidak ada seorang pun yang mampu menandingi Ratu Bukit Brambang. Dia itu seperti iblis yang tidak bisa, mati,"

   Ujar Lasmi.

   "Dia hanya manusia biasa, Lasmi. Tidak ada satu pun makhluk di bumi ini yang hidup abadi. Ke-matian pasti menjemput mereka. Dan itu sudah takdir yang dlgariskan sang Hyang Widi. Kau percaya dengan kekuasaan sang Hyang Widi, Lasmi? Hanya dia yang bisa menentukan segala-galanya. Lasmi tidak berkata-kata lagi. Ucapan Rangga barusan begitu menyentuh hatinya. Maka ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam, seolah-olah in-gin memastikan saat ini tidak berhadapan dengan de-wa yang turun ke bumi. Kata-kata Rangga begitu lem-but, namun sangat mengena. Entah kenapa, perasaan gadis itu jadi tenteram. Rasanya seperti bara api yang tersiram air dingin menyejukkan.

   "Sudah larut malam. Tidurlah,"

   Ucap Rangga melihat air muka gadis itu berubah tenang.

   "Izinkan aku menemanimu, Kakang,"

   Pinta Lasmi.

   "Besok kau pasti mengantuk. Kau harus membantu ibumu, bukan?"

   "Tidak ada yang bisa dikerjakan. Sejak perem-puan iblis itu merambah desa ini, tidak ada lagi yang perlu dikerjakan. Semuanya seperti mati."

   "Baiklah. Tapi kalau besok mengantuk, jangan salahkan aku,"

   Pinta Rangga menyerah.

   Sebenarnya, Pendekar Rajawali Sakti senang juga ditemani seorang gadis cantik seperti Lasmi ini.

   Namun karena hatinya terikat dengan Pandan Wangi yang kini berada di Kerajaan Karang Setra, Rangga be-rusaha menekan perasaannya dalam-dalam.

   "Aku senang bercakap-cakap denganmu, Ka-kang. Kau seperti dewa dari kahyangan yang turun ke bumi. Kata-katamu bagai air sejuk, sehingga membuat hati jadi damai,"

   Ujar Lasmi terus terang.

   Sebenarnya Rangga ingin tertawa mendengar-nya.

   Tapi, dia berusaha menahan perasaan geli yang menggelitik tenggorokannya.

   Malam-malam begini ti-dak pantas tertawa.

   Bisa-bisa malah menimbulkan ke-curigaan macam-macam.

   Apalagi, dalam suasana se-perti ini.

   Malam terus merambat semakin larut.

   Rangga dan Lasmi masih tetap terjaga.

   Bahkan kini terlibat percakapan ringan yang tidak membosankan.

   Dan Lasmi selalu terpesona bila Rangga bertutur tentang hakikat hidup manusia.

   *** Sudah tiga hari Rangga berada di rumah Ki Ku-sha.

   Dan selama itu, tidak ada lagi peristiwa yang di-alami.

   Sepertinya Ratu Bukit Brambang tidak ingin memper-panjang persoalannya dengan Pendekar Raja-wali Sakti.

   Namun meskipun demikian, Rangga tetap yakin kalau suatu saat mereka pasti datang lagi.

   Te-wasnya salah seorang dari mereka, tentu tidak akan mungkin didiamkan begitu saja.

   Rangga tahu betul watak-watak tokoh rimba persilatan golongan hitam.

   Mereka selalu menurut kata hati dan perasaan dendam.

   Kehilangan satu nyawa, harus ditebus sepuluh nyawa.

   Bahkan lebih dari itu bisa dilakukan.

   Dari herannya, selama tiga hari ini tidak kelihatan seorang pun pengikut Ratu Bukit Bram-bang berkeliaran.

   Mereka seperti menghilang begitu sa-ja.

   Sementara, hubungan Rangga dengan keluarga Ki Kusha semakin erat saja.

   Terlebih Lasmi.

   Wajah ga-dis itu tidak lagi murung seperti hari-hari yang lalu.

   Perubahan pada diri Lasmi mendapat perhatian dari kedua orangtuanya.

   Namun, mereka tidak ingin men-duga lebih jauh lagi.

   Yang jelas, mereka sudah senang melihat anaknya tidak lagi murung dan menyendiri di dalam kamar.

   "Bu, Lasmi ke sungai dulu,"

   Kata Lasmi pagi itu. Gadis itu sudah menjinjing keranjang cucian. Dia hanya mengenakan selembar kain yang melilit tu-buhnya. Sehingga bagian dada atas dan bahunya ter-buka lebar, menampakkan kulit yang putih halus.

   "He?! Apa katamu...?!"

   Nyai Kusha terkejut.

   "Lasmi ingin ke sungai,"

   Lasmi mengulangi perlahan-lahan dengan suara agak dikeraskan.

   "Jangan macam-macam, Lasmi!"

   Sentak ibunya.

   "Sudah lama tidak ke sungai, Bu. Cucian sudah banyak,"

   Lasmi beralasan.

   "Dengar, Lasmi. Tidak ada seorang pun di sun-gai. Jangan mencari penyakit!"

   Tukas ibunya sengit.

   "Jangan khawatir, Bu. Kang Rangga bersedia menemani, kok,"

   Kalem jawaban Lasmi.

   "Rangga...?"

   Nyai Kusha setengah tidak per-caya.

   "Biarkan saja, Bu,"

   Tiba-tiba Ki Kusha muncul.

   "Pergi dulu, Bu, Yah...!"

   Pamit Lasmi dengan wajah ceria.

   Gadis itu langsung melangkah mengepit keran-jang cucian yang terbuat dari anyaman bambu.

   Lang-kahnya begitu ringan dan lincah.

   Bahkan terdengar gumamannya mendendangkan satu tembang ceria.

   Nyai Kusha hanya memandangi setengah tidak per-caya.

   Bahkan sampai terbengong melihat perubahan anak gadisnya yang begitu luar biasa.

   Sedangkan Ki Kusha hanya tersenyum-senyum saja.

   Lasmi menghampiri Rangga yang sedang mem-belah kayu bakar dengan kapak.

   Gadis itu berjingkat-jingkat, dan menepuk bahu Pendekar Rajawali Sakti.

   Rangga terlonjak kaget, sedangkan Lasmi hanya tertawa sambil berlari menghindar.

   "Heh!? Awas kamu, Lasmi...!"

   Rutuk Rangga sambil berlari mengejar.

   Lasmi terus berlari sambil tertawa renyah.

   Se-mentara, dari balik jendela Ki Kusha memperhatikan dengan bibir menyungging senyum.

   Lain halnya Nyai Kusha.

   Wanita tua itu tampak masih belum percaya kalau anak gadisnya begitu riang seperti dulu-dulu la-gi.

   Suara tawa Lasmi begitu lepas, pecah berderai.

   "Heh! Melamun...!"

   Tegur Ki Kusha, tahu-tahu sudah duduk di samping istrinya.

   Nyai Kusha tersentak kaget.

   Seorang anak pe-rempuan kecil berlari-lari menghampiri, dan langsung duduk di pangkuan Nyai Kusha.

   Perempuan tua itu memeluknya dan menggoyang-goyangkan kakinya.

   Anak itu segera merebahkan kepala di dada yang kempes.

   Tampaknya, bocah perempuan itu mengan-tuk.

   Sebentar saja matanya terpejam.

   "Apa yang kau lamunkan, Nyai?"

   Tegur Ki Ku-sha sambil mengasah goloknya dengan batu asahan.

   "Lasmi...,"

   Sahut Nyai Kusha seraya melayangkan pandangannya ke depan. Namun anak gadisnya sudah tidak terlihat lagi.

   "Memangnya, Lasmi kenapa?"

   Tanya Ki Kusha setengah memancing.

   "Apa kau tidak melihat perubahannya, Ki?"

   Dengus Nyai Kusha sewot.

   "Biar saja. Daripada murung terus."

   "Aku malah jadi cemas, Ki."

   "Aneh...! Waktu dia murung dan menyendiri te-rus, kau cemas. Dan sekarang setelah berubah, kau juga cemas. Memangnya Lasmi itu harus bagaima-na...?" 'Tapi, Ki...."

   "Kau mencurigai Rangga?"

   Tebak Ki Kusha langsung.

   "Entahlah,"

   Sahut Nyai Kusha ragu-ragu.

   "Jangan berprasangka buruk, Nyai. Rangga itu orang baik. Seorang pendekar lagi. Aku bisa merasa-kan keluhuran jiwanya. Mungkin saja Lasmi bisa. me-nyadari, setelah Rangga memberi nasihat yang menge-na di hatinya. Nyai..., seharusnya kita bersyukur dan berterima kasih padanya. Bukan malah mencurigainya dengan prasangka buruk,"

   Ki Kusha me-nasihati panjang lebar.

   "Aku tidak berprasangka buruk padanya, Ki. Aku hanya heran, kenapa begitu cepat Lasmi bisa be-rubah,"

   Bantah Nyai Kusha.

   "Seseorang bisa saja berubah mendadak, Nyai."

   "Dan pendekar itu juga manusia, bukan...?"

   "Lagi-lagi kau menaruh kecurigaan!"

   Dengus Ki Kusha.

   "Curiga itu boleh, Ki. Toh sampai saat ini kita belum tahu tentang dia dan asal-usulnya. Ki.... Kalau ada waktu, tanyakan asal-usulnya. Kau harus tahu, siapa dia sebenarnya. Saat seperti ini, kita tidak boleh percaya penuh pada siapa saja."

   "Baik. Nanti akan kutanyakan,"

   Sahut Ki Kusha tidak mau memperpanjang.

   Ki Kusha bangkit berdiri dan menyelipkan golok yang baru diasah di pinggangnya.

   Kemudian kakinya melangkah, menghampiri kayu-kayu bakar yang sudah dibelah Rangga tadi.

   Laki-laki tua itu mengumpulkan dan menumpuknya di samping rumah.

   *** Rangga duduk di atas batu memperhatikan Lasmi yang sedang mandi di sungai, setelah selesai mencuci gadis itu merendam tubuhnya sampai sebatas dada dan seperti tidak peduli kalau ada seorang pe-muda situ.

   Dia juga tidak peduli dengan beberapa ba-gian tubuhnya yang tersingkap ketika kain yang mem-belit dipermainkan arus sungai.

   Beberapa kali Rangga mengalihkan perhatiannya ke arah lain.

   "Kau tidak mandi sekalian, Kakang...?!"

   Seru Lasmi "Sudah tadi,"

   Sahut Rangga seraya menoleh.

   Pada saat itu Lasmi membenahi kainnya.

   Maka bagian dadanya sedikit terbuka.

   Buru-buru Rangga mengalihkan pandangannya ke arah lain.

   Sebagai laki-laki yang sehat nafsunya, Rangga tak memungkiri ka-lau saat ini jantungnya jadi berdetak keras, dan da-rahnya berdesir cepat tidak teratur.

   Sekuat mungkin Rangga berusaha menenangkan perasaannya yang mendadak jadi tidak menentu.

   Dia bangkit berdiri, dan melompat ke batu lain yang agak ke tepi.

   Lasmi keluar dari dalam sungai Sebentar dibe-nahinya kain yang basah, kemudian memandangi Pen-dekar Rajawali Sakti yang sudah berada di tepi sungai.

   Melihat pemuda itu memandang ke arah lain dengan sikap memunggungi, Lasmi buru-buru mengganti kainnya yang basah dengan kain kering.

   Kemudian, kakinya melangkah ke tepi sambil mengepit rinjing cu-ciannya.

   "Pulang, yuk,"

   Ajak Lasmi yang sudah di samping Pendekar Rajawali Sakti.

   "Sudah mencucinya?"

   Tanya Rangga seenaknya.

   "Sudah,"

   Sahut Lasmi seraya tersenyum.

   Mere-ka kemudian berjalan bersisian tanpa bicara lagi.

   Tapi baru saja beberapa depa melangkah, mendadak Rangga berhenti.

   Langsung ditariknya tangan Lasmi ke de-katnya.

   Lasmi jadi heran dan memandang pemuda itu lekat-lekat.

   Dengan halus dilepaskannya, genggaman pemuda itu.

   "Ada apa?"

   Tanya Lasmi melihat Rangga memiring-miringkan kepalanya.

   Belum sempat Rangga menjawab, tiba-tiba saja dari balik semak bermunculan gadis-gadis cantik ber-baju merah dengan pedang terhunus.

   Mereka langsung mengepung Pendekar Rajawali Sakti dan Lasmi.

   Seke-tika, wajah gadis itu jadi pucat pasi.

   Tubuhnya juga gemetar menggigil ketakutan.

   Gadis-gadis berbaju me-rah itu berjumlah sepuluh orang.

   Dua di antaranya adalah Widarti dan Karina.

   "Berikan rinjingmu padaku, Lasmi,"

   Ujar Rang-ga setengah berbisik. Belum juga Lasmi memberikan keranjang cu-ciannya, Rangga sudah merebut dan mengepitnya di pinggang. Kemudian ditariknya gadis itu ke belakang tubuhnya.

   "Jangan jauh-jauh dariku,"

   Pinta Rangga.

   "Baik,"

   Sahut Lasmi, agak bergetar suaranya.

   "Kisanak! Yang Mulia Gusti Ratu memerintah-kan agar kau menyerah dan bersedia ikut dengan kami ke istana!"

   Kata Widarti lantang.

   "Kalau aku tidak mau?"

   Tantang Rangga ketus.

   "Kau benar-benar keras kepala! Gusti Ratu menginginkanmu, dan berjanji tidak akan mengganggu Desa Gedangan lagi!"

   "Sama sekali aku tidak mempercayai janji pe-rempuan iblis itu!"

   Dengus Rangga dingin.

   "Keparat! Kau berani menghina junjungan kami bentak Karina.

   "Sebaiknya, suruh saja ratu iblismu itu mene-muiku. Biar kucincang tubuhnya!"

   Kata Rangga mengejek.

   "Kadal buduk! Kurobek mulutmu, Kepa-rat...!'geram Karina yang tidak pernah bisa menahan kesabaran. 'Setelah berkata demikian, Karina langsung me-lompat menerjang sambil berteriak keras. Rangga yang harus melindungi Lasmi, tidak berani mengegos meng-hindari serangan itu. Maka tangannya yang bebas se-gera diangkat. Dengan demikian, pedang Karina yang mengarah dadanya, langsung terjepit kedua jarinya. Pada saat yang hampir bersamaan, kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti melayang ke depan. Langsung dihantamnya perut Karina. Hantaman yang begitu ke-ras, meskipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam, membuat Karina mengeluh pendek, Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang begitu Rangga melepaskan jepitan jarinya pada pedang gadis itu.

   "Serang..!"

   Seru Widarti keras.

   Seketika itu juga, yang lain berlompatan me-nyerang Rangga.

   Agak repot juga Pendekar Rajawali Sakti menghadang serangan sepuluh orang yang rata-rata memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi.

   Terle-bih lagi, harus juga melindungi Lasmi yang tidak men-gerti sama sekali ilmu olah kanuragan.

   Rangga tidak punya pilihan lain lagi.

   Apalagi gadis-gadis itu bukan hanya menyerang dirinya, tapi juga mengancam nyawa Lasmi.

   Sret! Cahaya biru langsung menyemburat berkilat begitu Rangga mencabut Pedang Rajawali Sakti dari warangka.

   Dan dengan kecepatan kilat, pedangnya di-kibaskan untuk melindungi dirinya serta Lasmi dari serangan sepuluh orang gadis itu.

   Trang! Tring! "Akh...!"

   Pekik tertahan terdengar saling sambut begitu Rangga mengadukan senjatanya dengan pedang-pedang yang mengurungnya.

   Dua orang melompat mundur dengan bibir meringis kesakitan.

   Meskipun ti-dak mengalami luka, namun tangan mereka jadi kaku akibat benturan senjata yang mengandung tenaga da-lam luar biasa dahsyatnya.

   "Hiyaaa...!"

   Rangga berteriak keras.

   Seketika itu juga, kaki Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat mengelilingi Lasmi.

   Pedangnya diputar-putar bagaikan kilat, menghantam senjata-senjata yang berkelebatan di sekitarnya.

   Suara denting senjata terdengar beberapa kali, disusul pekik tertahan.

   Tampak gadis-gadis itu berlompatan mundur dengan bibir meringis, seraya mengurut-urut pergelangan tangan.

   "Mundur...!"

   Seru Widarti tiba-tiba.

   Sepuluh orang gadis berpakaian merah menya-la itu langsung berlompatan kabur.

   Ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki memang cukup tinggi ting-katannya.

   Sehingga dalam sekejap saja, sudah lenyap tidak terlihat lagi.

   Rangga menyarungkan kembali pe-dangnya.

   Maka, cahaya biru lenyap seketika begitu Pe-dang Rajawali Sakti tenggelam dalam warangka.

   "Ayo kita pulang,"

   Ajak Rangga.

   Setengah berlari, Lasmi mengikuti langkah Pendekar Rajawali Sakti.

   Padahal Rangga terlihat hanya berjalan biasa saja.

   Memang tanpa disadari, Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan ilmu meringan-kan tubuh.

   Dan Rangga baru sadar setelah Lasmi ber-teriak.

   "Kakang, tunggu...!"

   Lasmi berlari secepat-cepatnya menyusul.

   Rangga sendiri jadi terkejut, karena baru sadar kalau tadi menggunakan ilmu meringankan tubuh.

   Lasmi terengah-engah begitu sampai di dekat Rangga.

   Wajah-nya memerah kecapaian.

   Dia tadi berlari sekuat tenaga untuk mengimbangi langkah Pendekar Rajawali Sakti.

   Namun, Lasmi memang tidak memiliki ilmu olah kanu-ragan.

   Sehingga nafasnya jadi tersengal-sengal.

   "Maaf. Aku lupa kalau kau tidak bisa...."

   "Huh! Hampir habis napas ku!"

   Dengus Lasmi memotong ucapan Rangga.

   "Mari aku gendong,"

   Kata Rangga langsung.

   "Apa...?!"

   Lasmi terbeliak kaget.

   "Biar lebih cepat,"

   Rangga beralasan.

   "Tidak! Biar jalan saja!"

   Tolak Lasmi, langsung memerah wajahnya.

   "Baiklah. Tapi cepat ya,"

   Rangga menyerah.

   Lasmi tidak menyahut, dan kembali melang-kah.

   Wajah gadis itu masih memerah jambu.

   Perka-taan Rangga yang tadi, membuat jantungnya jadi ber-degup keras.

   Mereka terus melangkah cepat tanpa berkata-kata lagi.

   Dan Lasmi sampai lupa kalau keran-jang cuciannya masih berada di tangan Rangga.

   Lasmi duduk menyendiri di bangku ruangan depan rumahnya.

   Pandangannya lurus ke depan, me-natap jalan yang sepi lengang.

   Beberapa kali ditariknya napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.

   Sementara, malam sudah semakin larut.

   Namun gadis itu belum juga beranjak masuk ke dalam kamar.

   Se-pertinya ada sesuatu yang membuatnya begitu gelisah malam ini.

   'Belum tidur, Lasmi...?"

   "Oh!"

   Lasmi tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar teguran dari belakang.

   Gadis itu langsung berbalik, dan Rangga tahu-tahu sudah berdiri di dekatnya.

   Lasmi langsung bang-kit dan melangkah ke dipan bambu, dan kembali du-duk di sana.

   Kakinya menjulur ke depan.

   Gadis itu membenahi kainnya yang tadi sedikit tersingkap.

   Rangga menghampiri, dan duduk di samping gadis itu setelah menutup jendela.

   "Maaf, kata-kataku siang tadi,"

   Kata Rangga pelan.

   Lasmi menghembuskan napas panjang, dan agak terkejut juga dengan kata-kata Rangga.

   Memang, tadi dia melamun karena perkataan Rangga siang tadi yang ingin menggendongnya.

   Padahal, belum pernah ada seorang pemuda yang berkata begitu padanya.

   Meskipun punya kekasih yang hampir menikah, tapi kekasihnya itu belum pernah menyentuhnya.

   Dan kini kekasihnya hilang diculik anak buah Ratu Bukit Brambang.

   Gadis itu sendiri tidak tahu, kenapa tidak ma-rah atau tersinggung.

   Bahkan seperti ada satu doron-gan kuat untuk mendengar kembali.

   Kini malah Lasmi sering membanding-bandingkan antara Rangga dengan kekasihnya dulu.

   Dan dia tidak menemukan apa yang diinginkannya pada kekasihnya.

   Seolah-olah, apa yang ada dalam diri Pendekar Rajawali Sakti ada dalam se-tiap mimpinya.

   Tapi, bagaimana dengan Rangga sendiri? Sebe-narnya, cinta Rangga tetap pada Pandan Wangi yang kini tinggal di Kerajaan Karang Setra.

   Sikapnya terhadap Lasmi hanya karena sifat kelaki-lakiannya saja, namun dalam batas-batas wajar.

   Atau boleh dibilang, sifat ingin melindungi kaum lemah.

   'Tadi aku ke Bukit Brambang,"

   Kata Rangga me-rasa bosan karena diam terus.

   "Mau apa ke sana...?!"

   Sentak Lasmi terkejut.

   "Menyelidiki keadaan,"

   Sahut Rangga kalem. Lasmi menatap lurus ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Ada cahaya kecemasan di dalam sinar matanya. Entah kenapa, dia begitu cemas mendengar pemuda itu pergi ke Bukit Brambang. Lasmi seperti menjadi takut kehilangan.

   "Cukup luas juga puncak bukit itu. Malah, cu-kup sulit untuk mencapainya,"

   Kata Rangga lagi.

   "Kau sendiri ke sana?"

   Tanya Lasmi tidak bisa menyembunyikan perasaannya.

   "Iya,"

   Sahut Rangga mendesah.

   "Lalu?"

   "Aku sempat bentrok dengan beberapa orang. Yaaah..., terpaksa lima orang di antara mereka kute-waskan." 'Terus...?"

   Lasmi jadi ingin tahu.

   "Aku terpaksa pergi, karena jumlah mereka se-makin banyak. Entah berapa pastinya. Yang jelas, le-bih dari tiga puluh orang. Dan rata-rata memiliki ke-pandaian yang cukup tinggi. Tidak heran kalau banyak pendekar yang tewas di sana,"

   Rangga mengakui terus terang.

   "Mereka pasti akan mencarimu, Kakang,"

   Desah Lasmi lirih.

   "Itu yang kuharapkan,"

   Sahut Rangga kalem.

   "Kau...?!"

   Lasmi terbeliak kaget. Sungguh mati Lasmi tidak mengharapkan ja-waban itu. Tanpa disadari, Lasmi menggamit tangan Rangga dan menggenggamnya erat-erat. Sorot matanya begitu banyak menyimpan arti yang sukar dilukiskan.

   "Kau kelihatan cemas, Lasmi,"

   Bisik Rangga pelan.

   "Aku.... Oh...!"

   Lasmi jadi tergagap.

   Gadis itu menunduk dan melepaskan gengga-mannya.

   Tapi, Rangga malah menarik kembali tangan gadis itu dan menggenggamnya dengan hangat.

   Perla-han-lahan ujung jari Pendekar Rajawali Sakti meng-gamit dagu Lasmi dan membawanya ke atas.

   Sehingga, pandangan mereka saling beradu.

   Terlihat bibir gadis itu bergetar setengah terbuka.

   Wajah mereka begitu dekat, sehingga dengus napas Rangga menerpa hangat kulit wajah gadis itu.

   "Jangan pikirkan yang macam-macam. Aku su-dah menyelidiki kekuatan mereka. Dan aku sudah punya rencana untuk menghancurkannya,"

   Kata Rangga setengah berbisik.

   "Kakang..., aku...,"

   Tersekat suara Lasmi di tenggorokan.

   Lasmi tidak sanggup lagi menahan gejolak ha-tinya.

   Kepalanya direbahkan di dada Pendekar Rajawa-li Sakti.

   Rangga melingkarkan tangannya, memeluk gadis itu.

   Sesaat lamanya mereka terdiam.

   Kemudian perlahan-lahan Lasmi melepaskan diri dan kembali menatap pemuda itu dalam-dalam.

   "Aku takut, Kakang...,"

   Desah Lasmi lirih.

   "Apa yang kau takutkan?"

   Tanya Rangga lem-but.

   "Aku..., aku takut kehilanganmu...,"

   Tersendat suara Lasmi.

   Rangga tersenyum lembut.

   Baru disadari kalau gadis itu ternyata sudah menaruh hati padanya.

   Dan ini yang tidak diinginkannya.

   Rangga tidak ingin gadis ini terlalu jauh dihanyutkan perasaannya.

   Pendekar Rajawali Sakti tidak mau menyakitkan hati wanita lain.

   Dia merasa sudah menjadi milik Pandan Wangi, seorang wanita yang sangat dicintainya.

   Karena itu Rangga harus menghindarinya, tanpa harus menyakiti.

   "Lasmi. Kau percaya adanya kedatangan dan kepergian dalam kehidupan?"

   Nada suara Rangga seperti bertanya.

   Lasmi tidak menjawab, dan hanya menatap sa-ja.

   Sang Hyang Widi selalu menciptakan semua yang ada di bumi dalam berpasangan.

   Dan hidup se-mua pasangan itu sudah digariskan.

   Semua itu tidak terlepas dari takdir yang berhubungan erat dengan ke-datangan dan kepergian,"

   Kata Rangga, memberi we-jangan. Lasmi tetap diam.

   "Manusia datang ke mayapada ini melalui kela-hiran, dan akan kembali ke asalnya melalui kematian. Begitu juga makhluk lainnya. Mereka semua ada di bumi ini hanya untuk sementara, tidak selamanya. Mereka datang, untuk kemudian kembali. Ibarat seo-rang tamu yang berkunjung, tidak akan selamanya be-rada di sana,"

   Lanjut Rangga.

   "Jadi...,"

   Suara Lasmi terputus.

   "Aku adalah tamu di sini. Bukan hanya di ru-mah ini, tapi juga di seluruh desa ini. Tidak mungkin aku menetap selamanya tanpa harus kembali ke tempat asalku,"

   Kata Rangga.

   "Oh, Kakang...,"

   Lasmi menjatuhkan kepalanya di dada Pendekar Rajawali Sakti.

   "Lasmi. Aku bisa memahami perasaanmu. Tapi, kau juga harus bisa mengerti keberadaanku,"

   Rangga. meminta pengertian gadis itu.

   "Aku mengerti, Kakang,"

   Sahut Lasmi seraya mengangkat kepalanya.

   Mereka kembali saling berpandangan tanpa berkata-kata.

   Sementara, malam terus merayap sema-kin larut.

   Udara dingin berhembus masuk melalui ce-lah-celah jendela.

   Lasmi menggeser tubuhnya lebih mendekat, sehingga tidak ada jarak lagi di antara me-reka.

   "Kehadiranmu bagaikan matahari yang mene-rangi kegelapan hatiku, Kakang,"

   Bisik Lasmi seraya merebahkan kepala kembali di dada pemuda itu. Rangga memeluk tubuh ramping itu lebih erat. Hatinya bergetar juga mendengar ucapan Lasmi yang begitu polos dan sederhana.

   "Aku pasti akan merindukanmu,"

   Bisik Lasmi lagi.

   Rangga mengangkat wajah gadis itu.

   Ditatap-nya dalam-dalam bola mata yang bening indah itu.

   Da-rah kelaki-lakian Pendekar Rajawali Sakti bergolak sejenak.

   Dan untuk sementara, dilupakannya Pandan Wangi.

   Paling tidak, agar Lasmi tidak kecewa.

   Maka perlahan-lahan kepalanya merunduk.

   Nafasnya begitu hangat menerpa kulit wajah Lasmi Sesaat, mata gadis itu terpejam.

   Sedangkan bibirnya hanya bergetar keti-ka bibir Rangga menyentuhnya lembut.

   Kehangatan menjalar seketika, membuat seluruh tubuh gadis itu bergetar.

   Hanya sedikit Rangga mengecup bibir gadis itu, namun cukup membuat perasaan Lasmi tidak menentu.

   Gadis itu membuka matanya, dan langsung menyurukkan kepalanya di dada Pendekar Rajawali Sakti.

   Disembu-nyikannya rona merah yang menjalar seketika.

   Ada ra-sa bahagia, malu, dan segudang perasaan lain yang menyatu di dalam hati.

   *** Sementara itu di Istana Bukit Brambang, Ratu Bukit Brambang tampak berang menerima laporan pa-ra gadis pengikutnya yang gagal membawa Rangga.

   Terlebih lagi, siang tadi lima orang pengikutnya tewas terbunuh di bukit ini.

   "Kalian semua bodoh! Dungu...!"

   Gerutu Ratu Bukit Brambang berang.

   "Ampun, Gusti Ratu. Pemuda itu sangat tang-guh. Kepandaiannya sangat tinggi...,"

   Kilah Widarti seraya memberi hormat.

   "Kalian memang gentong nasi! Tidak punya otak, dengus Ratu Bukit Brambang berang. Widarti, Karina, dan sekitar dua puluh lima orang gadis lainnya terdiam sambil menundukkan ke-pala. Sejak kemunculan pemuda berbaju rompi putih itu Ratu Bukit Brambang yang wajahnya seperti teng-korak jadi sering berang. Terlebih, sekarang ini mereka kesulitan mencari pemuda-pemuda untuk kesempurnaan ilmu Ratu Bukit Brambang. Memang, setiap malam harus ada seorang pe-muda yang akan dijadikan tumbal untuk wanita ber-jubah merah yang wajahnya bagai tengkorak itu. Pe-muda-pemuda itu dipaksa melayani hasratnya sebe-lum dibunuh dan diambil jantungnya. Dengan cara begitu, ilmu iblis yang dimiliki Ratu Bukit Brambang tetap abadi dan semakin sempurna. Di samping untuk kelangsungan hidupnya dari zaman ke zaman.

   "Kuperintahkan pada kalian, bawa pemuda itu ke sini besok malam! Dan sebagian, harus menyedia-kan satu pemuda malam ini. Paham...!"

   Agak keras suara Ratu Bukit Brambang. 'Paham, Gusti Ratu,"

   Sahut gadis-gadis itu se-rempak.

   "Kerjakan sekarang!"

   Perintah Ratu Bukit Brambang. Semua gadis itu serempak memberi hormat dengan membungkukkan badan. Kemudian, mereka berbalik dan melangkah ke luar.

   "Widarti, Karina...!"

   Panggil Ratu Bukit Bram-bang.

   "Hamba, Gusti Ratu,"

   Sahut Widarti dan Karina bersamaan. Mereka kembali berbalik dan membungkuk memberi hormat.

   "Ada tugas khusus untuk kalian berdua,"

   Kata Ratu Bukit Brambang seraya bangkit dari singgasana.

   Singgasananya berbentuk seperti kepala teng-korak manusia yang sangat besar.

   Perempuan berju-bah merah itu juga berpijak pada tumpukan tengko-rak-tengkorak manusia.

   Entah berapa puluh orang di-bunuhkan untuk membuat singgasana itu.

   Seluruh hiasan di ruangan pengap ini terbuat dari tulang-belulang manusia.

   Bokor pendupaan yang berada di samping kiri dan kanan singgasana, juga tersusun dari kepala tengkorak manusia.

   Suatu tempat yang membuat bulu kuduk merinding bila memandangnya.

   "Berapa kali kalian bentrok dengan pemuda itu tanya Ratu Bukit Brambang.

   "Lebih dari tiga kali, Gusti Ratu,"

   Sahut Widarti seraya membungkuk memberi hormat.

   "Hm.... Dari ciri-ciri yang kalian ceritakan pa-daku sepertinya aku pernah mendengar namanya,"

   Gumam Ratu Bukit Brambang pelan, seolah-olah bica-ra pada diri sendiri.

   "Apa kalian tahu namanya?"

   "Tidak, Gusti Ratu. Dia tidak pernah menye-butkan namanya,"

   Sahut Widarti.

   "Ampun, Gusti Ratu. Hamba telah menyelidiki tentang pemuda itu. Namanya Pendekar Rajawali Sak-ti", selak Karina.

   "Pendekar Rajawali Sakti...,"

   Gumam Ratu Bukit Brambang dengan kepala menengadah ke atas.

   Sebentar kemudian, wanita berwajah bagai tengkorak itu menatap kedua gadis yang berdiri seten-gah membungkuk.

   Dia memang pernah mendengar nama itu sebelumnya.

   Nama yang selalu menjadi pem-bicaraan di kalangan tokoh sakti rimba persilatan.

   Sangat disegani dan sangat ditakuti.

   Ratu Bukit Brambang mendesah panjang, lalu berbalik dan melangkah kembali ke singgasananya.

   Dia duduk di sana dengan wajah terlihat berubah agak mendung.

   Dipandanginya kedua gadis cantik yang ma-sih berdiri setengah membungkuk itu.

   Sementara, yang dipandang hanya diam tidak bergeming sedikit pun.

   "Dia selalu bersama-sama dengan seorang gadis Desa Gedangan, Gusti Ratu,"

   Kata Widarti.

   "Kadal buduk...! Kenapa baru sekarang kalian bilang, heh?!"

   Sentak Ratu Bukit Brambang.

   "Ampun, Gusti Ratu. Hamba tidak punya ke-sempatan bicara,"

   Ujar Widarti takut-takut.

   "Kami juga sudah mencoba menculik gadis itu, tapi tetap saja sulit, Gusti Ratu. Pendekar Rajawali Sakti seperti ada di mana-mana. Selalu saja bisa me-nolongnya,"

   Celetuk Karina.

   "Rasanya, aku tidak perlu mengajarkan kalian. Bawa gadis itu ke sini. Pancing Pendekar Rajawali Sak-ti agar datang ke sini. Kalian mengerti maksudku?"

   "Mengerti, Gusti Ratu,"

   Sahut Widarti dan Karina serempak.

   "Ini tugas kalian. Dan aku tidak sudi lagi men-dengar kegagalan."

   "Hamba, Gusti Ratu."

   "Berangkatlah sekarang juga!"

   Widarti dan Karina membungkuk memberi hormat.

   Mereka melangkah mundur beberapa tindak, kemudian berbalik dan bergegas keluar dari ruangan pengap mengerikan itu.

   Ratu Bukit Brambang masih duduk di singgasananya meskipun kedua gadis pili-hannya sudah keluar dari ruangan ini.

   "Pendekar Rajawali Sakti...,"

   Desisnya pelan.

   *** Malam terus merayap semakin larut Udara din-gin berhembus kencang, mempermainkan pucuk pe-pohonan.

   Langit tampak kelam tertutup awan hitam.

   Desa Gedangan tampak gelap.

   Hanya beberapa pelita saja terlihat redup dengan api meliuk-liuk dipermain-kan angin malam.

   Sepanjang malam jalan utama desa itu tampak lengang, tak terlihat seorang pun di luar rumah.

   Di malam yang hening dan gelap ini, masih juga terlihat dua sosok tubuh manusia bergerak cepat, me-nyelinap dari rumah-rumah penduduk dan balik pepo-honan.

   Begitu cepat bergeraknya, sehingga yang terli-hat hanya bayangan merah saja.

   Dua sosok tubuh itu berhenti tepat di depan rumah Ki Kusha.

   "Sebarkan ilmu 'Sirep', Karina,"

   Bisik salah seorang perlahan. Begitu pelannya hampir tidak terden-gar.

   "Aku tidak yakin ilmu 'Sirep'ku berpengaruh bagi Pendekar Rajawali Sakti,"

   Sahut Karina. Memang, mereka adalah Karina dan Widarti yang mendapat tugas khusus dari Ratu Bukit Bram-bang.

   "Kalau dia tidak terpengaruh, biar aku yang hadapi. Dan kau culik gadis itu,"

   Kata Widarti. Karina tidak menyahut. Pandangannya lurus menatap rumah yang tampak terang bagian dalamnya. Malam ini, mereka hendak melaksanakan tugas men-culik Lasmi untuk memancing Pendekar Rajawali Sakti agar datang ke Bukit Brambang.

   "Cepatlah, Karina. Aku masih mendengar suara dari dalam rumah itu,"

   Desah Widarti tidak sabar.

   "Hm...,"

   Karina bergumam perlahan.

   Kemudian Karina mengangkat tangannya ke atas kepala, lalu perlahan-lahan kedua tangannya turun membentuk si-lang di depan dada.

   Kedua matanya terpejam dengan kepala setengah menunduk.

   Sebentar kemudian, ter-dengar suara mendesis bagai ular.

   Lalu, gadis itu mendorong tangannya ke depan dengan telapak tangan terbuka lebar.

   Kedua matanya terbuka menatap tajam ke de-pan.

   Tubuhnya agak bergetar, dan dari bibirnya ter-dengar suara mendesis halus.

   Tidak berapa lama ke-mudian, kedua tangannya bergerak turun.


Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Hancurnya Sebuah Kerajaan Karya Siao Shen Sien Emas Di Ngarai Gelap Karya Darmo Ario

Cari Blog Ini