Ratu Bukit Brambang 2
Pendekar Rajawali Sakti Ratu Bukit Brambang Bagian 2
Kini kepa-lanya menoleh pada Widarti yang sejak tadi memper-hatikan rumah di depan itu.
"Bagaimana, Karina?"
Tanya Widarti.
"Mudah-mudahan berhasil,"
Sahut Karina.
"Ayo, jangan buang-buang waktu."
Kedua gadis berbaju merah itu segera melompat cepat dan ringan mendekati rumah Ki Kusha.
Mereka tiba di depan pin-tu rumah dengan tubuh agak merapat ke dinding.
Se-bentar mereka terdiam dengan mata saling melempar pandang.
Widarti mendorong pintu itu, tapi kepalanya menggeleng.
Pintu itu ternyata tidak bergerak sedikit pun.
Widarti menganggukkan kepala sedikit.
Sementara, Karina menggeserkan kakinya lebih ke depan di pintu dengan jarak sekitar tiga langkah.
Sebentar perhatiannya dipusatkan, kemudian dengan cepat kedua tangannya dihentakkan ke depan.
Brakkk! Pintu kayu itu jebol begitu tangan Karina men-dorong kuat ke depan.
Widarti langsung melompat ma-suk ke dalam, diikuti Karina.
Mereka berdiri berdam-pingan dengan mata merayapi sekitarnya.
Tidak ada yang dapat dilihat di dalam ruangan depan yang tidak begitu besar ini.
Hanya ada sebuah dipan bambu yang kosong, dua kursi kayu, dan sebuah meja bundar di bawah jendela.
Tidak ada seorang pun yang terlihat.
"Kau periksa setiap kamar, Karina. Biar aku menjaga di sini,"
Kata Widarti setengah berbisik.
"Hup!"
Karina bergegas melompat menuju ke sebuah kamar yang pintunya sedikit terbuka.
Dengan hati-hati sekali didorongnya pintu itu.
Cahaya pelita langsung menerobos keluar.
Gadis itu menggelengkan kepala, karena di dalam kamar itu tidak terlihat seorang pun.
Karina kembali melompat mendekati pintu ka-mar satunya lagi.
Didorongnya pintu itu perlahan-lahan.
Kembali kepalanya menggeleng perlahan, kare-na di dalam kamar ini juga tidak ada seorang pun.
Ka-rina memandang Widarti yang berdiri dengan sikap siaga penuh di tengah-tengah ruangan depan yang menjadi satu dengan ruangan tengah.
"Mustahil. Tadi aku mendengar ada suara di si-ni, desah Widarti jadi keheranan juga."
"Aku lihat ke belakang, Widarti,"
Kata Karina.
"Cepatlah!"
Karina bergegas melompat ke bagian belakang rumah ini, namun tidak lama kemudian sudah kemba-li lagi dengan bahu terangkat dan kepala menggeleng.
Widarti mendengus kesal.
Dipandangnya setiap sudut ruangan kecil ini.
Keningnya sedikit berkerut.
Ada keanehan di rumah ini setiap ruangan begitu terang benderang, tidak seperti rumah-rumah lain.
"Hm..., jangan-jangan...,"
Gumam Widarti perlahan seperti untuk dirinya sendiri.
"Jebakan...!"
Desis Karina.
Kedua gadis itu berpandangan sejenak, lalu ce-pat melompat ke luar.
Tapi alangkah terkejutnya me-reka, begitu sampai di luar rumah.
Ternyata sekeliling rumah ini sudah terkepung puluhan orang bersenjata aneka macam bentuknya.
Mereka semua membawa obor dengan senjata terhunus.
Tampak di antara me-reka, berdiri paling depan adalah Pendekar Rajawali Sakti.
"Keparat..!"
Desis Widarti geram begitu menyadari dirinya sudah terkepung rapat.
"Apa akal kita, Widarti?"
Tanya Karina berbisik.
"Terpaksa. Malam ini harus banjir darah,"
Sahut Widarti datar.
"Hm..."
Karina menggumam perlahan.
Sret! Kedua gadis itu langsung saja mencabut pe-dangnya.
Pedang berwarna merah dengan tangkai ber-bentuk kepala tengkorak manusia.
Dengan gerakan yang hampir serentak, mereka menyilangkan pedang di depan dada.
Pandangan mata mereka begitu tajam menatap ke sekeliling.
Rangga merentangkan tangannya ke samping, kemudian melangkah ke depan beberapa tindak.
Pen-dekar Rajawali Sakti berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan kedua gadis cantik berbaju merah itu.
Untuk sesaat lamanya, mereka hanya saling pandang saja.
Sementara puluhan orang yang sehari-harinya bergelut di ladang, bergerak mun-dur beberapa langkah.
Namun, sikap mereka masih te-tap waspada.
Widarti menganggukkan kepalanya pada Karina yang disambut dengan anggukan kepala juga.
Pada saat itu, Rangga sudah membuka mulutnya akan bicara.
Namun, mendadak saja kedua gadis itu berte-riak nyaring sambil melompat menerjang.
Pedang me-reka berkelebat cepat mengarah ke bagian-bagian tu-buh Pendekar Rajawali Sakti yang mematikan.
"Hait...!"
Tangkas sekali Pendekar Rajawali Sakti melom-pat ke belakang sambil menghindari terjangan kedua gadis itu.
Namun baru saja kakinya menjejak tanah, serangan berikut sudah datang lagi secara beruntun.
Rangga terpaksa berlompatan dengan tubuh meliuk-liuk menghindari setiap serangan yang datang.
Pende-kar Rajawali Sakti mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
Jurus yang sangat sulit ditaklukkan, meskipun dengan jurus ampuh sekalipun.
Sementara itu, di antara penduduk Desa Ge-dangan yang mengepung sekitar pertarungan, terlihat Lasmi berdiri di samping ayahnya.
Gadis itu tampak gelisah sekali melihat pertarungan antara Rangga me-lawan dua gadis pengikut Ratu Bukit Brambang.
Meskipun sudah beberapa kali melihat kehebatan Pendekar Rajawali Sakti, namun kekhawatiran masih juga menyelimuti hatinya.
"Ayah, kenapa tidak dikeroyok saja?"
Bisik Lasmi tidak bisa menutupi kecemasannya.
"Rangga tidak mengizinkan. Nanti kalau sudah diberi tanda, baru semuanya bergerak,"
Sahut Ki Kusha.
"Tapi..."
"Jangan terlalu dicemaskan, Lasmi Rangga seo-rang pendekar yang sudah ternama. Dia pasti bisa mengatasi kedua perempuan iblis itu,"
Ki Kusha mencoba menenangkan anak gadisnya.
Lasmi tidak bicara lagi.
Namun kecemasan ma-sih menghantui seluruh relung hatinya.
Sementara pertarungan itu berjalan semakin sengit.
Dan sampai se-jauh ini, belum ada tanda-tanda kalau Rangga memberi perlawanan berarti.
Tapi, kedua gadis pengi-kut Ratu Bukit Brambang sudah mengeluarkan jurus-jurus andalan.
"Karina, cari jalan keluar. Biar ku hadang ma-nusia keparat ini!"
Desah Widarti di sela nafasnya yang tersengal.
Widarti sudah merasa tidak akan mampu menghadapi Pendekar Rajawali Sakti.
Dan dia men-gambil keputusan agar Karina bisa meloloskan diri da-ri kepungan ini.
Namun, Karina rupanya tidak mem-pedulikan peringatan itu, dan terus saja merangsek lawannya dengan jurus-jurus andalan yang terakhir.
"Karina, cepat pergi...!"
Sentak Widarti jadi gusar.
"Kau saja yang pergi, Widarti!"
Sahut Karina sambil terus melancarkan serangan-serangan dahsyat pada Pendekar Rajawali Sakti.
Widarti jadi bimbang, tapi akhirnya mengambil keputusan juga.
Selagi Rangga sibuk melayani Karina, gadis itu mengambil kesempatan meloloskan diri.
Dan pada saat itu, Rangga berhasil mendaratkan pukulan mautnya ke dada Karina.
Akibatnya, gadis itu meme-kik keras dan tubuhnya terlontar beberapa depa ke be-lakang.
"Karina...!"
Jerit Widarti terkejut.
"Jangan hiraukan aku! Cepat pergi!"
Seru Karina seraya melompat bangkit.
Gadis itu kembali menyerang Rangga.
Namun sekali lagi, Pendekar Rajawali Sakti sudah menyarang-kan satu pukulan telak ke arah dada, disusul tendan-gan ke perut.
Dan belum lagi Karina ambruk, Rangga mengibaskan tangannya mempergunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
"Aaa...!"
Karina menjerit keras melengking.
Dari kepala gadis itu kontan mengucur darah segar.
Kibasan tangan Rangga tepat menghantam batok kepala hingga retak.
Karina jatuh menggelepar di tanah.
Se-mentara, Widarti jadi terpaku.
Namun seketika itu ju-ga, dia melesat kabur selagi semua orang terpana me-mandang kematian Karina dengan kepala pecah dan dada melesak ke dalam.
Rupanya beberapa orang penduduk yang meli-hat Widarti lari, segera mencoba mengejar.
Cepat-cepat Widarti mengibaskan pedangnya sambil melompat ke atas.
Kibasan yang cepat bagai kilat itu kontan me-menggal dua kepala sekaligus.
Dua penduduk yang mencoba mengejar, langsung ambruk.
Dan sisanya, langsung terpaku diam dengan hati kecut.
"Biarkan dia pergi!"
Seru Rangga melihat beberapa penduduk ingin mengejar kembali.
Mereka langsung menghentikan niatnya, dan membiarkan Widarti melarikan diri.
Saat itu Karina sudah terbujur kaki dengan nyawa hilang dari badan.
Darah masih mengalir deras membasahi tanah bagian depan halaman rumah Ki Kusha.
Sementara, Ki Kusha dan Lasmi serta para penduduk Desa Gedangan berge-rak mengerumuni Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri di samping mayat Karina.
Rangga kemudian meminta semua penduduk Desa Gedangan untuk berjaga-jaga sepanjang malam ini.
Dan dia juga meminta beberapa orang untuk men-gurus mayat Karina.
Bagaimanapun juga, gadis itu adalah manusia yang kematiannya harus disempurna-kan selayaknya.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian melangkah ke rumah Ki Kusha.
Tubuhnya dihenyak-kan di balai-balai bambu reot yang ada di beranda ru-mah itu.
Ki Kusha dan Lasmi menghampiri, lalu duduk mengapit Pendekar Rajawali Sakti.
*** "Untung kau cepat bertindak, Kakang.
Tapi aku cemas juga tadi,"
Kata Lasmi seraya menghembuskan napas panjang untuk melonggarkan rongga dadanya.
"Bagaimana kau bisa tahu kalau mereka akan datang ke sini?"
Tanya Ki Kusha.
"Aku sempat melihat kedatangan mereka tadi, Ki. Mereka begitu ceroboh, datang secara terang-terangan. Hhh...! Tadinya aku tidak mengharapkan pen-duduk desa ini bergerak,"
Ucap Rangga pelan.
"Mereka sudah mendengar kehebatanmu. Ma-kanya, begitu aku memberi tahu kedatangan iblis-iblis itu, mereka langsung saja bersemangat. Tekanan yang mereka derita cukup parah, Rangga. Mereka memang menunggu saat-saat seperti ini. Bahkan tidak takut man lagi demi membela kebenaran,"
Kata Ki Kusha sedikit bangga bisa mengumpulkan sekian banyak pen-duduk dalam waktu singkat.
"Mungkin sudah saatnya bangkit...,"
Desah Rangga seperti bicara untuk dirinya sendiri.
"Benar, Rangga,"
Sambut Ki Kusha cepat ,Rangga menarik napas panjang.
Tatapannya di-layangkan ke depan.
Tampak desa yang semula gelap, kini terang benderang oleh beberapa obor terpancang.
Rumah-rumah juga menyalakan pelita besar-besar.
Beberapa laki-laki yang sudah tidak bisa dika-takan muda lagi, berjaga-jaga di depan rumah masing-masing.
Mereka memegang senjata apa saja yang bisa digunakan.
"Oaaah,..!"
Ki Kusha menguap lebar sambil menutup mulutnya.
Tidak berapa lama kemudian, Lasmi juga men-guap.
Namun, gadis itu mampu menahannya.
Padahal, punggung tangannya sudah menggosok-gosok mata.
Rangga memperhatikannya dengan bibir menyung-gingkan senyum.
Dia tahu, rumah ini masih dipenuhi Ilmu 'Sirep' yang dilepaskan Karina.
Ilmu itu tidak akan berpengaruh pada Pendekar Rajawali Sakti, ka-rena hawa murni dalam tubuhnya sudah begitu sem-purna dan selalu bekerja secara langsung bila menda-pat rangsangan.
"Kalian terkena ilmu 'Sirep'. Tidurlah,"
Ujar Rangga.
"Uh! Aku mengantuk sekali...!"
Keluh Ki Kusha seraya bangkit berdiri.
Ki Kusha melangkah masuk ke dalam rumah-nya.
Pintu depan yang jebol, tidak dipedulikan lagi.
Laki-laki tua itu langsung merebahkan diri di balai-balai bambu, dan tertidur seketika.
Rangga sempat melirik sebentar, kemudian menoleh menatap Lasmi yang sudah menguap beberapa kali.
Gadis itu masih mencoba menahan rasa kantuk akibat pengaruh aji 'Strep' yang masih bekerja di rumah ini.
Meskipun ke-kuatannya tidak begitu besar lagi, namun masih mampu membuat orang ingin tidur.
"Tidurlah. Jangan paksakan diri menahan ajian itu kata Rangga seraya menepuk punggung tangan ga-dis itu.
"Aku masih ingin menemanimu, Kakang,"
Sahut Lasmi sedikit lesu.
"Percuma. Kau pasti akan tidur tanpa disadari."
"Uh...!"
Lasmi mengeluh.
Kelopak matanya semakin terasa berat, dan rasanya tidak sanggup lagi bertahan.
Lasmi beranjak bangkit, namun jadi limbung.
Kalau Rangga tidak cepat-cepat menyanggah, mungkin gadis itu sudah ambruk karena tidak kuat lagi mena-han kantuknya.
Rangga memapah gadis itu masuk ke dalam.
Lasmi antara sadar dan tidak, mengayunkan kakinya dengan berat.
Dan kini, Pendekar Rajawali Sakti membawanya masuk ke dalam kamar.
Dengan hati-hati sekali, Rangga membaringkan Lasmi di pembaringan.
Gadis itu masih mencoba ber-tahan untuk tidak tidur.
Namun, kelopak matanya se-makin berat dan selalu ingin terpejam.
Rangga me-mandanginya dengan bibir tersungging senyuman.
"Kakang, di mana kau titipkan ibu tadi?"
Tanya Lasmi teringat ibunya yang terpisah ketika Rangga menyuruh mereka keluar tadi dari rumah ini.
"Ada di tempat yang aman,"
Sahut Rangga lembut.
"Di mana?"
Desah Lasmi semakin lirih.
"Di rumah adiknya."
"Seharusnya aku ada di sana, Kakang. Kasihan ibu. Pasti cemas menunggu."
"Besok pasti bisa bertemu kembali,"
Rangga menjamin.
Sekali lagi Lasmi menguap.
Diraihnya tangan Pendekar Rajawali Sakti, dan digenggamnya erat-erat.
Lalu dibawanya tangan pemuda itu ke dadanya, sea-kan-akan tidak ingin dilepaskan lagi.
Rangga mem-biarkan saja, dan duduk di tepi pembaringan ini.
"Aku tahu kau akan pergi, Kakang. Aku tidak bisa menghalangimu. Aku sadar, hidup kita berbeda jauh...,"
Ujar Lasmi seraya menahan kantuknya.
"Tidurlah,"
Desah Rangga lembut.
"Hm...,"
Lasmi menggumam seraya tersenyum.
Tangan gadis itu menjulur menggapai leher Rangga dan menariknya agar mendekat.
Rangga ter-paksa membungkuk, sehingga wajah mereka begitu dekat.
Dengus napas mereka terasa hangat menerpa kulit wajah.
Sesaat, mereka saling berpandangan den-gan jarak begitu dekat.
"Peluklah aku, Kakang. Berilah aku kedamaian untuk sekali lagi,"
Pinta Lasmi mendesah.
Rangga tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Meno-lak saja tidak mampu.
Terlebih lagi, Lasmi sudah me-lingkarkan tangannya di leher Pendekar Rajawali Sakti, dari menekannya ke bawah.
Sesaat kemudian, bibir mereka sudah menyatu rapat.
Hanya sebentar saja Rangga merasakan balasan kecupan hangat itu.
Sesaat kemudian, gadis itu benar-benar tertidur.
Rangga melepaskan pelukan Lasmi, kemudian bangkit berdiri.
Sebentar dipandanginya sekujur tubuh ramping yang tertidur pulas.
Kemudian, diambilnya kain dan ditutupinya tubuh Lasmi sampai sebatas da-da.
Rangga melangkah ke luar, dan langsung menutup pintu kamar itu.
Pendekar Rajawali Sakti terus berja-lan keluar rumah Ki Kusha, dan kembali duduk di ba-lai-balai bambu yang ada di beranda depan.
*** Brakkk! Ratu Bukit Brambang menggebrak meja di de-pannya hingga hancur berantakan.
Sepasang bola ma-tanya yang celong ke dalam, tampak merah membara dan berkilatan seperti bola api.
Di depannya, tampak Widarti duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk dalam.
Di belakang gadis itu, duduk bersimpuh sekitar tiga puluh orang gadis yang semuanya memakai baju merah menyala dengan sabuk kuning emas.
Ratu Bukit Brambang menatap tajam gadis-gadis muda di depannya.
Dia begitu geram, karena ma-lam ini tidak ada seorang pun pemuda yang diperoleh pengikutnya.
Bahkan Widarti membawa laporan buruk tentang tewasnya Karina, salah seorang pengikutnya yang terbaik.
"Kalian semua bodoh! Percuma kalian kuambil sebagai murid kalau baru segitu saja tidak becus!"
Rungut Ratu Bukit Brambang gusar.
"Maaf, Gusti Ratu. Pemuda itu tangguh sekali. Bahkan seluruh penduduk Desa Gedangan sudah be-rani melawan,"
Ujar Widarti tetap menunduk bersimpuh.
"Aku tidak peduli dengan alasanmu, Widarti! Aku lebih senang menerima kabar kematianmu dari-pada kau kembali dengan kegagalan!"
Bentak Ratu Bukit Brambang.
Widarti tidak berkata lagi, dan diam sambil te-tap menekuri lantai.
Sedangkan tiga puluh gadis lain di belakang Widarti juga tidak bergeming.
sedikit pun.
Tidak ada yang berani mengangkat kepala saat Ratu Bukit Brambang diliputi kemarahan besar begini.
"Aku tidak peduli kalian akan cari ke mana. Malam ini, kalian harus dapatkan satu pemuda un-tukku! Mengerti...?.'"
Keras suara Ratu Bukit Brambang.
"Mengerti, Gusti Ratu...!"
Sambut gadis-gadis itu serempak.
"Cepat kerjakan!"
Tiga puluh orang gadis berbaju seragam merah itu segera bangkit dan menjura memberi hormat hanya Widarti yang masih tetap duduk bersimpuh tanpa ber-geming, meskipun teman-temannya sudah meninggal-kan ruangan pengap menyeramkan ini.
Ratu Bukit Brambang menatap tajam pada gadis itu.
"Kalau tidak berangkat juga, Widarti...?"
Dengus Ratu Bukit Brambang dingin.
"Ampun, Gusti Ratu. Hamba mohon diberi ke-sempatan sekali lagi,"
Ujar Widarti seraya memberi hormat "Kesempatan apa lagi?"
"Membawa pemuda itu ke sini."
"Percuma! Kau tidak akan mampu menghada-pinya!"
Dengus Ratu Bukit Brambang.
"Jika Gusti Ratu memberi hamba sepuluh orang, hamba yakin mampu membawa pemuda itu ke sini."
"Jika gagal?"
Widarti diam membisu.
"Sudahlah, Widarti. Kau satu-satunya muridku yang tertua. Aku tidak ingin lagi kehilangan murid utamaku, Biarlah Karina menjadi korban.... Hm...,"
Ra-tu Bukit Brambang memutus kata-katanya. Dan pe-rempuan itu bergumam dengan ujung jari menggaruk-garuk pipi yang terlihat seperti tulang saja. Gusti Ratu punya pemikiran lain...?"
Widarti berharap.
"Tidak,"
Sahut Ratu Bukit Brambang seraya bangkit berdiri dari singgasananya.
Widarti juga ikut bangkit.
Badannya segera di-bungkukkan begitu wanita berjubah merah dan berwa-jah seperti tengkorak itu melangkah melewatinya.
Wi-darti masih membungkuk meskipun Ratu Bukit Bram-bang sudah meninggalkan ruangan pengap penuh tengkorak manusia bersusun itu.
Sebentar Widarti memandangi ruangan pengap itu, kemudian berjalan ke luar dengan langkah lesu.
Gadis itu menarik napas dalam-dalam setelah berada di luar.
Angin malam yang dingin langsung menerpa kulit wajahnya.
Sejenak dia berhenti berjalan.
Kepa-lanya lalu menengadah menatap rembulan yang meng-gantung penuh di langit kelam.
Perlahan-lahan ka-kinya kembali terayun melangkah menyusuri tanah berumput halus yang dibasahi embun.
"Widarti...!"
Widarti menoleh ketika mendengar panggilan arah samping kanannya.
Tampak tiga orang gadis ber-jalan cepat menghampirinya.
Ketiga gadis itu masing-masing bernama Sitara, Tila, Andini.
Mereka juga per-nah bentrok dengan Rangga beberapa kali.
Dan bi-asanya mereka selalu berempat, tapi yang seorang su-dah tewas ketika Rangga mencoba menyelidiki Bukit Brambang ini.
Ketiga gadis itu berdiri di depan Widarti.
Dari pandangan, tampaknya mereka seperti ingin mengata-kan sesuatu.
Dan Widarti paham maksudnya, meski-pun ketiga temannya ini belum mengatakan apa-apa.
Saat ini, nasib mereka bisa dikatakan sama.
Sama-sama kehilangan seorang teman dekat yang selalu ber-sama-sama ke mana pun pergi dalam menjalankan tu-gas dari ratu mereka.
"Aku sedih dengan kematian Karina, Widarti, ucap Andini pelan.
"Dia terlalu nekat. Padahal, aku sudah menyu-ruhnya pergi,"
Kata Widarti menyesal.
"Widarti, kita harus membalas. Keparat itu ti-dak boleh terlalu lama dibiarkan hidup. Sudah banyak teman kita tewas di tangannya!"
Tegas Tila.
"Hhh...!"
Widarti menarik napas panjang dan berat.
"Ada apa, Widarti?"
Tanya Sitara melihat kemurungan menyemburat di wajah Widarti.
Lagi-lagi Widarti hanya mendesah panjang.
Ke-palanya menggeleng beberapa kali, kemudian melang-kah pergi meninggalkan ketiga temannya yang jadi bengong keheranan saling berpandangan.
Mereka tidak mengerti terhadap sikap Widarti yang terasa aneh.
Ke-tiga gadis itu mengayunkan kakinya menghampiri Wi-darti yang terus berjalan perlahan-lahan, langsung mensejajarkan langkah di samping gadis itu.
"Aku berharap, kau masih menganggap kami teman, Widarti,"
Kata Andini. Widarti hanya diam saja.
"Kau seperti sedang mengalami kesulitan. Jika kau masih sudi menganggap kami teman, tidak ada sa-lahnya bila mengutarakan kesulitanmu. Sekarang ini, nasib kita sama. Sama-sama kehilangan sahabat de-kat,"
Kata Andini lagi. Widarti menghentikan langkahnya. Langsung dipandanginya ketiga temannya. Desahan panjang kembali terhembus dari sela-sela hidungnya.
"Kalian memang baik, Tapi, aku tidak tahu ha-rus mengatakan apa pada kalian. Semua ini memang salahku, sehingga banyak teman-teman jadi korban. Kalau saja aku berhasil mengalahkan si keparat itu, tidak akan begini jadinya,"
Kata Widarti setengah mengeluh.
"Kalau hanya itu, bukan kesalahanmu, Widarti. Pemuda itu memang tangguh. Tingkat kepandaiannya jauh berada di atas kita semua. Aku rasa, semua te-man kita juga tidak ada yang sanggup menghadapinya. Entah kalau Gusti Ratu sendiri,"
Sahut Andini.
"Itulah persoalannya...,"
Desah Widarti tanpa sadar.
"Maksudmu?"
Desak Andini. Widarti tidak segera menyahuti. Ditariknya na-pas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Disadari betul kalau tadi sudah keterlepasan bicara. Dan ini tidak mungkin ditarik kembali. Padahal ketiga gadis te-mannya itu sudah mendesaknya.
"Lupakan saja. Kalian tidak akan percaya kalau aku mengatakannya,"
Kata Widarti setengah mendesah.
"Katakan saja, Widarti,"
Desak Andini.
"Ah sudahlah...!"
Desah Widarti menghindar.
Widarti kembali melangkah meninggalkan keti-ga gadis temannya, dan terus berjalan tanpa menoleh-noleh lagi.
Sementara ketiga gadis itu hanya saling berpandangan saja.
Mereka sama-sama mengangkat bahu, dan membiarkan Widarti pergi entah ke mana.
*** Malam masih menyelimuti sebagian permukaan mayapada.
Suasana di Desa Gedangan juga belum menampakkan perubahan.
Meskipun penduduknya sudah bangkit dan berani menentang Ratu Bukit Brambang, namun sebagian masih ada yang merasa takut akan ancamannya.
Sedangkan Rangga sendiri ti-dak mungkin bisa menjamin keselamatan mereka se-mua.
Desa Gedangan ini cukup besar, meskipun jum-lah penduduknya tidak begitu banyak.
Di depan rumah Ki Kusha, tampak Rangga du-duk menyendiri di balai-balai bambu yang terletak di bawah jendela depan rumah itu.
Sepasang bola matanya tidak lepas merayapi sekitarnya yang sunyi sepi.
Angin malam yang dingin berhembus kencang, mem-permainkan rambutnya yang panjang sedikit tergelung ke atas.
"Hm...."
Pendekar Rajawali Sakti bergumam pelan keti-ka matanya menangkap sesosok tubuh berlindung dari bayang-bayang pohon besar tidak jauh dari rumah ini.
Pandangan matanya seketika beralih.
Pada saat itu terlihat satu bayangan merah berkelebat cepat menyeli-nap ke bagian belakang rumah.
Rangga langsung menggelinjang bangkit.
Dan bagaikan seekor burung rajawali, tubuhnya melesat cepat ke atas.
Tanpa men-geluarkan suara sedikit pun, kakinya mendarat lunak di atap.
Lututnya tertekuk hampir menyentuh atap.
Sebentar matanya mengawasi sekitarnya.
Tiba-tiba Rangga tersentak.
Dia melihat satu bayangan merah berkelebat cepat, keluar dari dalam rumah.
Rangga lebih terkejut lagi, karena bayangan merah itu keluar dari jendela kamar Lasmi.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat bagaikan kilat.
Begitu sempurnanya il-mu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga Pende-kar Rajawali Sakti bisa melewati bayangan merah dan langsung berdiri menghadang di depan.
"Berhenti...!"
Bentak Rangga keras.
"Keparat!"
Geram bayangan merah yang ternya-ta Widarti. Di pundak gadis itu terpanggul sesosok tubuh ramping terbungkus kain.
"Tidak semudah itu kau menculik Lasmi, Pe-rempuan Iblis!"
Rangga langsung dapat menebak, siapa yang berada di pundak Widarti.
"Aku memang tidak butuh barang rongsokan ini. Hih...!"
Tiba-tiba saja Widarti melemparkan tubuh ramping di pundaknya.
Rangga terkejut bukan main.
Maka buru-buru dia melompat dan menangkap tubuh yang melayang deras ke arahnya.
Dan pada saat tubuh itu berhasil ditangkapnya, Widarti sudah melompat sambil mencabut pedang.
Sret! "Hiyaaat!"
"Hup! Hyaaa...!"
Begitu jari kakinya menyentuh tanah, Rangga langsung melentingkan tubuhnya kembali.
Maka kiba-san pedang Widarti hanya mengenai angin kosong di bawah kaki Pendekar Rajawali Sakti.
Dua kali Rangga berjumpalitan di udara, kemudian hinggap di atas atap sebuah rumah.
Pendekar Rajawali Sakti meletakkan tubuh wa-nita yang diyakininya adalah Lasmi di situ, kemudian cepat melesat turun.
Langsung dilepaskannya dua pu-kulan beruntun ke arah Widarti.
Namun, gadis itu su-dah cepat berkelit sambil membalas menyerang dengan mengibaskan pedangnya.
Pertarungan tidak dapat di-hindari lagi.
Dan kali ini, rupanya Rangga tidak main-main.
Langsung jurus andalannya dikerahkan, sehing-ga menyulitkan Widarti menghadapinya.
"Akh...!"
Tiba-tiba Widarti memekik keras.
Satu sodokan keras berhasil disarangkan Rangga pada bagian perut gadis itu.
Dan selagi tubuh Widarti terdorong limbung ke belakang, Rangga cepat melompat sambil menggerakkan tangannya dengan lincah.
Widarti tidak bisa lagi menghindar, dan kemba-li memekik tertahan.
Tubuhnya langsung ambruk ke tanah, tidak bergerak lagi.
Hanya bagian leher ke atas saja yang masih bisa digerakkan, Pedangnya terlepas cukup jauh, Rangga melangkah menghampiri gadis itu.
Dia memang berhasil menotok jalan darah Widarti.
Se-hingga, gadis itu seperti lumpuh, tidak bisa bergerak lagi.
"Keparat! Bunuhlah aku...!"
Dengus Widarti geram.
"Kau terlalu enak kalau cepat dibunuh, Perempuan Iblis!"
Sahut Rangga dingin dan datar.
"Phuih!"
Widarti menyemburkan ludahnya.
Rangga tersenyum saja melihat keberangan ga-dis itu.
Tapi mendadak, dia jadi tersentak.
Pendenga-rannya yang setajam pisau, mendengar desiran angin yang halus di belakangnya.
Pendekar Rajawali Sakti langsung menoleh.
Dan pada saat itu, satu bayangan merah melesat cepat bagaikan kilat menyambar tubuh yang ditinggalkan Rangga di atas atap.
"He...!"
Rangga terkejut bukan main.
Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti melenting, mengejar bayangan merah lain yang menyambar tubuh Lasmi.
Namun begitu Rangga ada di atas atap sebuah rumah, mendadak dari arah depan melesat satu bayangan merah ke arahnya.
Sesaat, Pendekar Rajawali Sakti terperangah.
"Hup...!"
Cepat sekali Rangga melenting, dan bayangan merah itu lewat bagaikan kilat di bawah tubuhnya.
Rangga langsung meluruk mengejar dengan menyen-tilkan ujung jari kakinya pada atap.
Tubuhnya kembali melenting cepat bagai kilat.
Tapi, bayangan merah itu tiba-tiba berbalik cepat dan mengibaskan sesuatu ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Jarum beracun...!"
Desis Rangga tersentak.
Rangga tidak punya pilihan lain lagi.
Dengan cepat tubuhnya berputar di udara, menghindari ser-buan jarum-jarum beracun berwarna merah itu.
Dan begitu kakinya menjejak tanah, bayangan merah itu sudah tidak tampak lagi.
Entah pergi ke mana...? "Sial...!"
Umpat Rangga kesal seraya menghentakkan kakinya ke tanah.
Pendekar Rajawali Sakti berpaling ke arah Wi-darti.
Tampak gadis itu masih tergeletak dengan jalan darah tertotok.
Namun dari bibirnya, tersungging senyuman mengejek.
Bahkan tiba-tiba saja gadis itu ter-tawa terbahak-bahak.
Rangga jadi kesal.
Dihampirinya gadis itu dan diangkatnya berdiri.
Widarti masih terta-wa saja, meskipun Rangga mencekal pundaknya den-gan keras.
"Siapa dia?!"
Tanya Rangga tajam.
"Kau akan terkejut kalau kuberi tahu, Pemuda Tampan,"
Sahut Widarti sinis.
"Siapa...?!"
Bentak Rangga kasar.
"Ratu Bukit Brambang!"
Dingin jawaban Widar-ti.
"Hih!"
Dengan kasar Rangga menyentakkan tangan-nya, sehingga tubuh Widarti terlempar ke belakang be-berapa depa.
Gadis itu memekik tertahan begitu tu-buhnya menghantam tanah dengan keras.
Namun, dia tidak bisa berbuat banyak.
Totokan di tubuhnya begitu kuat, dan tidak bisa dilepaskan meskipun sudah mengerahkan hawa murni.
Pada saat itu, terlihat beberapa orang datang membawa obor dan senjata beraneka macam.
Melihat itu, Widarti agak ciut juga hatinya.
Sementara, Rangga sudah menghampiri lagi dengan wajah menahan geram.
Ada sekitar dua puluh orang penduduk yang ra-ta-rata sudah berusia lanjut, langsung mengepung Wi-darti.
Gadis itu memandang berkeliling dengan wajah agak pucat.
"Rangga...! Rangga...!"
Rangga menoleh. Tampak Ki Kusha berlari-lari menghampirinya. Nafasnya tersengal begitu sampai di depan Rangga. Wajahnya tampak pucat, dan tubuhnya gemetar.
"Lasmi, Rangga.... Lasmi hilang...,"
Lapor Ki Kusha, terengah-engah nafasnya.
"Tenang, Ki. Aku sudah tahu,"
Kata Rangga seraya melirik Widarti yang masih menggeletak di tanah.
"Keparat...! kau menculik anakku...!"
Geram Ki Kusha begitu melihat Widarti.
"Ki...!"
Rangga langsung menarik tangan Ki Kusha.
"Lepaskan! biar kubunuh perempuan iblis ini! dengus Ki Kusha memberontak. Dengan sekuat tenaga, Ki Kusha memberontak untuk melepaskan cekalan Rangga. dan begitu terle-pas, langsung ditubruknya tubuh Widarti. Kedua tan-gannya bergerak cepat menghajar gadis berbaju me rah yang sudah tidak berdaya itu. Tapi, Widarti malah tertawa terbahak-bahak.
"Hentikan, ki!"
Sentak Rangga sambil mereng-gut pundak laki-laki tua itu.
Hentakan Rangga yang begitu keras, membuat tubuh laki-laki tua itu langsung terangkat Ki Kusha menatap tajam Rangga.
Wajahnya merah padam me-nahan kemarahan yang memuncak.
Nafasnya men-dengus kencang bagai kuda pacu yang sudah berlari satu harian penuh.
"Dengar, Ki. mereka tidak akan mencelakakan anakmu. Mereka hanya menginginkan diriku, percaya-lah. Aku akan menyelamatkannya,"
Kata Rangga berusaha lembut.
"Aku mengerti, Rangga. Tapi Lasmi anak ga-disku satu-satunya yang masih hidup. kakak laki-lakinya mereka culik dan kakak perempuannya bunuh di karena suaminya diculik juga. Sekarang mereka ju-ga menculik anakku yang tersisa..."
Rintih Ki Kusha tidak bisa menahan kesedihannya.
"Percayalah, Ki. Lasmi akan selamat,"
Rangga meyakinkan laki-laki tua itu.
"Tolong, Rangga. selamatkan anakku. Hanya dialah satu-satunya harapanku sekarang. Tolong, Rangga, selamatkan anakku...."
"Aku akan menyelamatkannya, Ki."
Rangga kemudian meminta para penduduk membawa Ki Kusha ke rumahnya.
kemudian, dia sen-diri menghampiri Widarti.
Pendekar Rajawali Sakti membebaskan totokannya, tapi tetap membiarkan ke-dua tangan gadis itu tetap tertotok.
Rangga mengang-kat tubuh gadis itu agar berdiri.
Sedangkan Widarti menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti.
Dia bisa ber-diri, tapi kedua tangannya tidak lagi bisa bergerak.
"Kau harus membantuku membebaskan Las-mi,"
Kata Rangga dingin.
"Huh! kau pikir aku akan membantumu?"
Sinis nada suara Widarti.
"Suka atau tidak suka, aku akan membawamu kembali ke ratumu. aku akan menukarnya dengan Lasmi!"
"Kau gila!"
Sentak Widarti terkejut.
"Tidak ada waktu lagi buat berdebat!"
"Hey...!"
Widarti terkejut bukan main, karena tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti sudah menyambar tu-buhnya dan langsung melompat cepat bagaikan kilat begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehing-ga dalam waktu sekejap saja sudah lenyap tanpa be-kas.
Beberapa penduduk Desa Gedangan yang masih berada di sekitar situ jadi terperangah keheranan.
*** Matahari baru saja menampakkan diri di bela-han bumi Timur.
Cahayanya yang hangat menyibak-kan embun-embun dan kabut yang menyelimuti selu-ruh Bukit Brambang.
Di pinggir bukit tampak Pende-kar Rajawali Sakti berdiri tegak memandang sekitar puncak bukit yang tidak begitu luas, namun tampak luas dengan hamparan rumput hijau.
Di sampingnya, berdiri Widarti dengan tangan lunglai tertotok jalan darahnya.
"Urungkan saja niatmu. Kau tidak akan berhasil...,"
Kata Widarti dengan suara pelan.
Rangga menoleh dan menatap tajam gadis di sampingnya.
Sedangkan Widarti melayangkan pandan-gannya ke depan.
Perlahan-lahan kepalanya menoleh, dan langsung bertumbukan dengan tatapan mata pe-muda tampan itu.
Tampak Widarti agak serba salah, namun memang pandai mengatur perasaannya.
Dan gadis itu malah tersenyum tipis.
"Dengar, Widarti. Kalau terjadi apa-apa pada Lasmi, kau akan menanggung akibatnya. Aku tidak peduli siapa pun yang menculiknya. Tapi, aku hanya memandangmu yang bertanggung jawab!"
Ancam Rangga tegas.
Widarti menoleh kembali, menatap ke arah puncak bukit.
Dia tahu, ancaman itu tidak main-main.
Meskipun diyakini Pendekar Rajawali Sakti tidak akan mampu menandingi Ratu Bukit Brambang, namun da-lam hatinya menyayangkan kalau pemuda setampan ini akan menjadi korban ratunya.
Sejak pertama kail melihat pemuda ini, Widarti memang sudah tertarik, Tapi dia tidak bisa mementingkan diri sendiri, karena harus patuh pada perintah ratunya.
"Di mana ruangan pribadi ratumu?"
Tanya Ranggi dingin. Widarti tidak segera menjawab.
"Hm.... Mungkin aku harus menggunakan cara lain untuk membuka mulutmu,"
Gumam Rangga.
"He! Apa yang kau lakukan...?"
Bentak Widarti terkejut.
Tiba-tiba saja Rangga memondong tubuh gadis itu.
Tangannya cepat menjambret sulur pohon yang banyak tergantung di sini.
Kemudian, tubuhnya mele-sat tinggi dan hinggap di atas dahan yang cukup ting-gi.
Widarti mencoba memberontak, tapi Rangga cepat-cepat bekerja.
Diikatnya kedua kaki gadis itu hingga menyatu, kemudian ujung sulur lainnya diikatkan di dahan yang kuat.
Pendekar Rajawali Sakti lalu melom-pat turun sambil membawa tubuh gadis itu, Dan pada saat kakinya menjejak tanah, tubuh Widarti menggan-tung dengan kaki di atas.
"Keparat! Lepaskan aku...!"
Bentak Widarti berusaha memberontak.
"Aku akan menemui ratumu, sementara kau menunggu di sini. Berdoalah agar nasibmu baik tidak bertemu serigala lapar,"
Kata Rangga kalem.
"Lepaskan aku! Lepaskan...!"
Jerit Widarti ketakutan juga.
Widarti tahu, di sekitar lembah ini bila malam hari dipenuhi serigala liar yang kelaparan mencari makan.
Jarak tubuhnya dengan tanah tidak seberapa jauh, dan mudah dicapai binatang liar.
Dalam keadaan tangan tertotok dan tubuh terikat terbalik begini, tidak mungkin bisa melepaskan diri.
Sementara Rangga sudah melangkah mundur menjauhi.
"Tunggu...!"
Seru Widarti keras.
"Kau berubah pikiran?"
Rangga berhenti me-langkah.
"Akan kutunjukkan, di mana Gusti Ratu bera-da. Lepaskan dulu ikatan ini!"
Kata Widarti menyerah.
"Apa itu bukan alasanmu saja untuk kabur...?"
"Sumpah! Aku tidak akan kabur. Aku tahu, di mana Gusti Ratu mengurung Lasmi. Aku juga tahu, di mana biasanya Gusti Ratu berada. Kau tidak akan bi-sa mencapai istana itu tanpa bantuanku!"
Kata Widarti langsung berubah pikiran.
"Baik. Tapi, jangan coba-coba mengkhianatiku!"
Ancam Rangga.
"Aku bersumpah akan membantumu!"
Janji Wi-darti.
Rangga melompat ke atas, dan tangannya lang-sung mengibas ke arah sulur yang menggantung Wi-darti.
Gadis itu terpekik begitu tubuhnya melorot tu-run jatuh dengan keras di tanah.
Mulutnya tampak meringis sedikit merasakan sakit pada tubuhnya.
Rangga membuka ikatan di kaki gadis itu dan mem-bantunya berdiri.
"Tanganku...,"
Kata Widarti. Rangga menatap tajam.
"Aku tidak bisa membawamu ke sana dengan tangan begini. Kau tahu. Sekali saja aku ketahuan membantumu, tidak ada ampun lagi. Gusti Ratu su-dah tahu kalau aku tertawan olehmu. Kalau dia meli-hatku masih hidup, itu tandanya aku telah berkhianat. Dia pasti akan membunuhku. Kau harus percaya pa-daku, Pen...."
"Rangga. Panggil saja aku Rangga,"
Potong Rangga cepat.
"Kau bisa mempercayaiku, Rangga. Keadaanku saat ini terjepit. Aku tidak mungkin kembali ke sana dalam keadaan hidup. Sudah menjadi peraturan, siapa saja yang tertangkap harus mati bunuh diri atau ter-bunuh,"
Widarti mencoba meyakinkan.
"Kenapa tidak kau lakukan itu?"
Pancing Rang-ga.
"Bodoh! Aku masih ingin hidup, tahu!"
Dengus Widarti.
"Kau pikir aku gila, sehingga lebih suka bunuh diri hanya karena tertangkap? Lebih baik mati da-lam pertarungan, daripada mati tanpa guna!"
"Aku kagum pada pendirianmu. Tapi sayang, kau berada di jalan yang salah,"
Ujar Rangga tulus.
"Terima kasih. Sekarang bukan saatnya untuk memuji."
Rangga mengangkat bahunya, lalu kembali ke sisi bukit.
Sementara Widarti mengikuti dan berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara, matahari semakin naik tinggi.
Udara di sekitar Bukit Bram-bang ini terasa panas.
Rangga masih tetap diam den-gan mata menatap langsung ke bangunan besar dan indah bagai istana itu.
*** Rangga sendiri tidak mengerti, suasana di seki-tar Bukit Brambang ini tampak sepi dan tenang.
Ham-pir setengah harian berada di sini, tapi tidak terlihat seorang pun.
Sangat berbeda dengan kunjungannya pertama kali, yang langsung disambut gadis-gadis can-tik dan serangan-serangan dahsyat mematikan.
Seper-tinya, puncak bukit ini sudah ditinggalkan mereka, Pendekar Rajawali Sakti menoleh menatap Wi-darti.
Pada saat yang bersamaan, Widarti juga menoleh ke arahnya.
Sesaat mereka saling melempar pandang.
Tanpa berkata-kata lagi, Rangga menjulurkan tangan-nya hendak membebaskan totokan pada kedua lengan gadis itu.
Tapi belum juga niatnya tersampaikan, men-dadak dari arah belakang melesat sekitar empat orang gadis berpakaian merah menyala, langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hait..!"
Tangkas sekali Rangga mendorong tubuh Wi-darti.
Sementara, dia sendiri melenting ke samping.
Serangan pedang keempat gadis itu luput dari sasaran.
Tiga orang kembali menyerang tanpa mengeluarkan kata-kata, dan seorang lagi menghampiri Widarti yang jatuh ke tanah.
Dibebaskannya totokan pada kedua tangan Widarti dan membantunya berdiri.
"Aku harus membawamu pada Gusti Ratu, Wi-darti,"
Kata gadis itu.
Widarti tidak menyahuti.
Matanya segera mena-tap Rangga yang tengah dikeroyok tiga orang gadis bersenjata pedang berwarna merah.
Kemudian, pan-dangannya beralih pada gadis sebayanya yang baru membebaskan totokannya.
Dia tahu, menghadap Ratu Bukit Brambang sama saja mendapat hukuman mati.
Dan itu memang sudah peraturan yang ditetapkan Ra-tu Bukit Brambang.
"Katakan pada Gusti Ratu, aku akan datang sendiri nanti,"
Kata Widarti.
"Tidak bisa, Widarti. Gusti Ratu menginginkan aku yang membawamu. Maaf, aku harus mengikatmu,"
Kata gadis itu.
Widarti paham sekarang.
Matanya langsung menatap tajam gadis sebayanya itu.
Dan tiba-tiba saja, tangannya bergerak cepat langsung direbutnya pedang gadis itu.
Sebelum gadis itu bisa menyadari apa yang terjadi, Widarti sudah mengibaskan pedang rampa-sannya ke perut.
"Haaait...!"
"Aaa...!"
Gadis itu menjerit melengking tinggi.
Darah langsung menyembur keluar dari perut yang sobek terbabat pedang.
Jeritan melengking itu mem-buat ketiga gadis yang mengeroyok Rangga jadi terpe-ranjat.
Mereka berlompatan mundur, dan memandang Widarti setengah tidak percaya.
"Widarti! Apa yang kau lakukan?!"
Bentak salah seorang.
"Katakan pada Gusti Ratu, mulai saat ini aku tidak akan kembali lagi ke sana!"
Lantang kata-kata Widarti.
"Widarti...!"
Ketiga gadis itu terkejut.
"Cepat pergi"
Bentak Widarti. Ketiga gadis itu saling berpandangan.
"Widarti! Sadarkah apa yang kau lakukan? Kau akan menerima hukuman lebih besar kalau Gusti Ratu tahu,"
Salah seorang mencoba membujuk.
"Sebaiknya, menyerah dan berserah diri saja pada Yang Mulia Gusti Ratu. Beliau pasti akan men-gampunimu."
"Menyerah...? Heh! Aku tahu, apa yang akan kuterima. Dan aku belum ingin mati sekarang! Kalian dengar itu!"
Tetap lantang suara Widarti.
"Widarti! Semua peraturan yang berlaku sudah disetujui bersama waktu menjadi pengikut Gusti Ratu. Dan kita semua wajib mentaatinya. Beliau sudah ber-buat banyak untuk kita, dan sepantasnyalah kalau...."
"Cukup!"
Bentak Widarti memotong cepat.
"Aku tidak peduli semua peraturan. Aku masih ingin hidup!"
"Widarti...."
"Sebaiknya, kalian cepat pergi sebelum aku be-rubah pikiran! Kalian semua bodoh. Kalian tahu, siapa 'Ratu Bukit Brambang?! Dia hanya nenek-nenek tua yang menginginkan jadi gadis kembali.' Kalian semua tidak akan diperlukan lagi kalau semua cita-citanya terlaksana. Kalian semua akan dibunuh untuk kesem-purnaan terakhir ilmu setannya!"
Tandas Widarti.
"Widarti! Apa yang kau katakan?"
Sentak gadis yang berada di tengah.
"Kalian tahu, aku sempat mendengar pembica-raan Ratu Bukit Brambang dengan Cakarang. Kalian semua bodoh. Cakarang tidak bisu, dan tidak tuli. Di-alah yang membantu semua maksud nenek-nenek itu. Dengar! Sebelum kalian semua dibunuh, kalian akan diserahkan pada Cakarang. Dan itu memang sudah perjanjian mereka berdua!"
"Kau pembual, Widarti! Pengkhianat..!"
Geram salah seorang gadis yang berada paling kanan.
"Kau pikir kami percaya bualanmu itu, heh?!"
Sambung gadis satunya lagi.
"Kau akan menanggung akibatnya, Widarti."
Ketiga gadis itu langsung melesat pergi, menuju bangunan besar bagai istana itu dengan gerakan rin-gan dan cepat.
Widarti menarik napas panjang dan melangkah menghampiri Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti hanya menatap saja setengah tidak percaya.
Sungguh sukar dipercaya kalau Widarti bisa berubah begitu cepat, dan kini berbalik berada di pihaknya.
"Aku terpaksa mengatakan semua ini di de-panmu, Rangga. Sebenarnya, aku kasihan pada mere-ka yang tidak tahu apa-apa. Mereka akan mati semua, dan Cakarang akan menikmati mereka satu persatu,"
Kata Widarti pelan. Rangga diam saja.
"Sebenarnya sudah lama aku tahu tentang se-mua ini. Tapi, aku belum punya kesempatan untuk pergi. Lagi pula, aku tidak tega meninggalkan mereka yang tidak tahu apa-apa. Hanya satu yang sudah kuberi tahu, tapi sudah tewas di tanganmu. Karina me-mang memilih tewas dalam pertarungan daripada ha-rus menjadi santapan Cakarang. Kasihan Karina.... Padahal, aku dan dia sudah merencanakan mening-galkan tempat ini,"
Ada sedikit keluhan pada nada suara gadis itu.
"Siapa Cakarang itu?"
Tanya Rangga.
"Dia seorang laki-laki setengah baya. Tubuhnya tinggi besar. Dan wajahnya menyeramkan seperti gori-la. Selama ini, kami semua hanya tahu kalau dia pem-bantu setia Ratu Bukit Brambang yang sebenarnya bernama Nyai Pancalas. Aku tidak tahu, berapa umur-nya. Mungkin sudah seratus tahun lebih. Dia memiliki ilmu yang bisa membuat umur panjang. Dan sekarang, dia ingin menjadi muda kembali dengan bersekutu pa-da Cakarang yang punya ilmu awet muda. Sehingga, Ratu Bukit Brambang masih tetap kelihatan muda meskipun usianya sudah lebih dari seratus tahun,"
Jelas Widarti.
"Kau tahu, apa perjanjiannya?"
Tanya Rangga jadi tertarik.
"Tentu! Nyai Pancalas menyanggupi menyedia-kan dua puluh lima gadis muda untuk Cakarang, asal bisa memperoleh Ilmu untuk menjadi muda kembali dan bisa hidup lebih lama lagi. Mereka juga bersekutu untuk menguasai seluruh rimba persilatan."
"Dari mana kau tahu semua itu? tanya Rangga.
"Aku menguping ketika mereka berbicara di ruangan pribadi Ratu Bukit Brambang. Aku sendiri terkejut, tapi mencoba bertahan karena ingin tahu se-mua nya. Mereka membicarakan semua itu, karena kau telah menewaskan banyak gadis. Cakarang kha-watir kalau gadis-gadis itu akan habis dan tidak ada dua puluh lima lagi. Padahal, Nyai Pancalas sudah menyediakan lebih dari empat puluh. Hhh...!Sekarang jumlahnya sudah berkurang. Tidak ada lagi tiga pu-luh."
Rangga mengangguk-anggukkan kepala.
Tu-buhnya segera dihenyakkan, duduk di pohon yang tumbang.
Widarti juga duduk di samping Pendekar Ra-jawali Sakti.
Pandangan mereka tetap tertuju ke arah puncak Bukit Brambang, di mana berdiri sebuah ban-gunan besar menyerupai istana.
Di bangunan besar itulah Ratu Bukit Brambang tinggal bersama gadis-gadisnya.
*** Rangga benar-benar memanfaatkan kesempa-tan ini untuk mengorek keterangan sebanyak-banyaknya dari Widarti.
Gadis pengikut Ratu Bukit Brambang ini rupanya sudah benar-benar bertekad ke-luar memisahkan diri, setelah tahu maksud sebenar-nya dari Nyai Pancalas atau Ratu Bukit Brambang.
"Widarti! Kenapa kau dulu ikut dengan perem-puan tua itu?"
Tanya Rangga, ingin tahu.
"Seperti yang lain, aku sudah tidak punya sia-pa-siapa lagi. Kedua orangtua ku tewas terbunuh keti-ka desa kami diserang gerombolan perampok. Aku dendam dan ingin membalas, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu aku bertemu Karina yang waktu itu su-dah menjadi murid Nyai Pancalas. Karina sendiri tidak tahu, siapa sebenarnya Ratu Bukit Brambang itu. Perempuan tua itu memang datang ke desa untuk men-cari gadis-gadis yang ingin belajar ilmu olah kanura-gan. Aku tertarik dan bersedia ikut dengannya,"
Widarti menceritakan kisahnya.
"Dan langsung ke tempat ini?"
Tebak Rangga.
"Benar. Waktu itu, hanya aku dan Karina saja yang ada. Karina sendiri belum tinggi tingkatannya. Dan aku berhasil mengejar ketinggalan, sehingga bisa melebihi Karina. Sejak saat itu kami berdua menjadi akrab dan mendapat tugas mencari gadis-gadis lain-nya. Itu pun setelah Nyai Pancalas merasa kalau ilmu yang kami miliki sudah cukup untuk turun dari bukit ini."
"Kau mendapatkannya?"
"Tidak sulit mencari gadis-gadis. Di desaku ba-nyak gadis yang kehilangan orangtua dan saudara. Mereka semua menyimpan dendam, dan berharap bisa keluar dari bukit ini setelah menamatkan pelajaran-nya. Ratu Bukit Brambang menyetujui dengan satu syarat. Memang, kami semua harus patuh dan taat akan peraturan-peraturan yang dibuatnya. Termasuk, harus mencari pemuda-pemuda untuk kesempurnaan ilmunya. Terus terang, kami semula tidak sadar kalau selama ini hanya diperalat. Aku juga begitu sebelum mengetahui siapa sebenarnya Ratu Bukit Brambang itu."
Rangga bisa merasakan ada nada penyesalan pada suara Widarti.
Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa menyalahkan Widarti ataupun gadis-gadis lain dalam hal ini.
Dan, seharusnyalah mereka diselamatkan se-belum telanjur menjadi korban lebih jauh lagi.
Rangga sadar, kalau harus menghadapi Ratu Bukit Brambang tanpa harus melukai salah seorang dari gadis-gadis itu lagi.
Apalagi membunuhnya.
"Kau yang tahu seluk-beluk tempat ini, Widarti. Kita harus menyelamatkan mereka secepatnya sebe-lum terlambat,"
Kata Rangga.
"Kau tidak akan mampu menandingi Ratu Bu-kit Brambang, Rangga. Ilmunya sangat tinggi,"
Kata Widarti pelan.
"Setinggi apa pun ilmunya, aku harus membu-nuhnya,"
Tegas Rangga.
"Percuma...,"
Widarti menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Apa yang percuma?"
"Kalaupun kau berhasil, mereka pasta akan mengeroyokmu. Kau lihat sendiri. Tiga orang sudah ti-dak percaya, meskipun aku sudah menjelaskan. Mere-ka sudah begitu patuh dan rela mati demi gurunya. Itu sudah menjadi sumpah mereka dulu, Rangga. Aku yakin, kau juga akan bersikap begitu pada gurumu."
Rangga terdiam.
Kata-kata Widarti memang su-kar dibantah.
Setiap orang yang berguru, pasti akan membela gurunya.
Entah itu benar, atau salah.
Kalau men-coba membangkang, jelas dianggap murid mur-tad.
Dan hukuman yang pantas adalah mati.
Itu sudah menjadi satu hukum rimba persilatan.
Seorang guru bisa saja membunuh muridnya yang dianggap berk-hianat Tidak ada seorang pun yang bisa menghalan-ginya.
Cukup lama juga mereka berdiam diri, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Beberapa kali Rangga mendesah panjang.
Rasanya memang sulit mencari jalan keluar, melenyapkan Ratu Bukit Bram-bang tanpa melukai atau membunuh salah seorang dari gadis-gadis itu.
Dan rasanya hal itu mustahil bisa dilakukan.
Pendekar Rajawali Sakti menatap Widarti, dan tiba-tiba saja mendapat satu pikiran yang belum terjawab.
"Widarti, kenapa kau menculik Lasmi sema-lam?"
Tanya Rangga.
"Sebenarnya untuk menghindarinya dari inca-ran Nyai Pancalas,"
Sahut Widarti. 'Tapi, justru dia malah diculik oleh murid Nyai Pancalas yang lain."
"Kenapa dengan cara itu? Kau kan bisa bicara denganku,"
Rangga menyesalkan.
"Kau tidak akan mempercayaiku, Rangga. Lagi pula, aku baru tahu tentang Ratu Bukit Brambang yang sebenarnya juga belum lama ini."
"Waktu bersama temanmu, kau sudah tahu siapa ratumu itu?"
Selidik Rangga.
"Sudah,"
Sahut Widarti.
"Kenapa masih juga melakukan pekerjaan itu?"
"Untuk yang terakhir kali. Ratu Bukit Bram-bang biasanya memberikan kebebasan pada siapa saja yang berhasil melakukan tugasnya. Pada saat itu, aku dan Karina merencanakan melarikan diri. Tapi, yaaah.... Karina memang malang. Dia tewas sebelum berhasil."
"Aku menyesal, Widarti. Seandainya tahu, mungkin waktu itu aku tidak membunuh temanmu. Bahkan dengan sukarela akan ikut kalian agar bisa bertemu Ratu Bukit Brambang. Dengan begitu, aku akan bisa cepat membereskannya. Tapi, semua sudah telanjur,"
Sesal Rangga.
"Tidak perlu disesalkan, Rangga. Karina me-mang menginginkan begitu. Seharusnya, aku saja yang mati. Bukan dia."
Kembali mereka terdiam. Tampak kemurungan menyelimuti wajah gadis itu. Sementara, Rangga sen-diri kembali sibuk mencari jalan keluar dari kemelut ini.
"Apa yang harus kita lakukan, Widarti?"
Tanya Rangga meminta pendapat.
"Entahlah. Aku tidak tahu lagi,"
Desah Widarti.
"Kau ingin pergi?"
Widarti tidak menjawab. Ditatapnya Rangga da-lam-dalam, kemudian kepalanya menggeleng perlahan beberapa kali.
"Aku akan bersamamu membebaskan Lasmi dan yang lain,"
Kata Widarti.
Rangga tersenyum dan bangkit berdiri.
Kakinya melangkah lebih ke tepi lagi dari bibir bukit ini.
Widarti juga ikut berdiri dan menghampirinya.
Mereka sama-sama memandang ke arah bangunan besar bagai ista-na itu.
Dan bagaikan dua ekor kijang yang berlompa-tan lincah mereka menuju ke sana.
*** Sementara itu di dalam ruangan depan bangu-nan istana di Bukit Brambang, Ratu Bukit Brambang tampak berang mendengar laporan ketiga gadisnya yang kembali.
Ketiga gadis itulah yang tadi bertemu Widarti.
Ratu Bukit Brambang benar-benar berang, ka-rena Widarti jelas-jelas membangkang.
Bahkan berani menguping pembicaraannya yang teramat rahasia.
Ratu Bukit Brambang berdiri, lalu menghampi-ri"
Tiga gadis yang duduk bersimpuh di lantai dengan kepala tertunduk.
Tidak ada lagi orang lain di ruangan itu selain mereka berempat, dan seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap berwajah penuh brewok lebat.
Laki-laki itu juga tampak berang, dan wajahnya memerah menambah keseramannya.
"Kalian memang setia padaku. Tapi, kalian su-dah mengetahui siapa aku sebenarnya. Juga tentang Cakarang. Rasanya, aku tidak lagi membutuhkan ka-lian bertiga,"
Kata Ratu Bukit Brambang dingin.
Ketiga gadis itu terkejut, dan langsung men-gangkat kepala.
Namun belum juga bisa bersuara, mendadak perempuan berjubah merah dan berwajah bagai tengkorak itu mengibaskan pedang yang selalu tergantung di pinggang.
Begitu cepat kibasannya, se-hingga ketiga gadis itu tidak bisa lagi bersuara.
Kepala mereka kontan menggelinding, tertebas pedang.
Lantai dari batu pualam putih itu jadi merah bersimbah darah yang mengucur deras dari ketiga leh-er yang buntung.
Ratu Bukit Brambang menyarungkan kembali pedangnya yang berwarna merah dengan ga-gang berbentuk kepala tengkorak manusia.
Tubuhnya berbalik dan kembali duduk di kursinya.
Pandangan-nya tertuju langsung pada laki-laki di sampingnya.
Ratu Bukit Brambang kemudian menjambak rambutnya sendiri, dan mengangkatnya.
Rambut putih panjang itu terangkat dan kulit wajahnya yang menye-rupai tengkorak juga terangkat.
Dicampakkannya ben-da.
itu, begitu saja ke lantai.
Tampak seraut wajah yang cantik terpampang.
Lelaki berwajah kasar penuh brewok itu memandanginya.
"Aku tidak perlu lagi topeng itu,"
Ujar Ratu Bukit Brambang dingin.
"Wajahmu sudah berubah cantik kembali. Tapi, suaramu masih belum sempurna, Nyai Pancalas."
"Tinggal satu pemuda lagi, Cakarang. Dan pe-muda itu berada tidak jauh dari sini,"
Kata Ratu Bukit Brambang yang sebenarnya bernama Nyai Pancalas. Suaranya masih terdengar seperti orang tua renta, meskipun wajahnya cantik seperti seorang gadis beru-sia delapan belas tahun.
"Pemuda itu sangat tangguh, Nyai. Kau harus ingat. Sebelum seluruhnya sempurna, kekuatanmu sedang berkurang separuh. Aku khawatir, kau tidak akan mampu menghadapinya,"
Kata Cakarang mempe-ringatkan.
"Kau bisa menghadapinya, Cakarang?"
"He he he...!"
Cakarang terkekeh.
"Bisa saja, asal ada imbalannya."
"Setan!"
Rungut Nyai Pancalas.
"Bagaimana?"
"Apa imbalannya?"
"Seratus gadis lagi."
"Keparat kau, Cakarang! Dari mana aku bisa memperoleh begitu banyak...?"
"Terserah. Satu pemuda lagi kau sudah sem-purna. Dan kau bisa mendapatkan seratus gadis den-gan mudah. He he he.... Kita bisa menjadi pasangan serasi dan akan menguasai dunia, Nyai Pancalas. Den-gan seratus gadis, aku akan bisa lebih muda lagi. Dan tentunya, lebih tampan dari seorang pangeran di dunia ini."
"Apa dua puluh lima tidak cukup?"
"Itu hanya untuk kesempurnaan ilmuku saja, Nyai. Sedangkan kau sendiri, sudah hampir mencapai seratus pemuda. Dan sekarang tinggal membutuhkan satu lagi. Setelah itu, seluruh ilmu dan tubuhmu be-nar-benar menjadi muda dan sempurna. Tidak ada lagi yang bisa menandingi ilmu dan kecantikanmu."
"Huh!"
Dengus Nyai Pancalas.
"Ingat, Nyai. Semua ini karena jasaku. Kau ti-dak mungkin bisa seperti ini kalau bukan karena aku. Semua itu ilmuku. Kau lihat, Aku bisa hidup lebih dari seratus tahun."
"Baiklah, aku terima syaratmu. Tapi, kau harus serahkan pemuda itu dalam keadaan hidup. Belakan-gan ini, aku hanya menikmati mayat. Dan sekarang aku inginkan yang masih hidup."
"He he he...,"
Cakarang terkekeh kesenangan.
"Dia ada di puncak bukit sebelah Utara. Kau bisa ke sana dan bawa dia ke sini,"
Kata Nyai Pancalas lagi.
"Untuk apa repot-repot ke sana? Dia pasti datang sendiri ke sini. He he he.... Tawananmu cantik sekali, Nyai. Dia pasti akan datang untuk membe-baskan gadisnya."
"Dia tawananku, Cakarang. Aku tidak suka ka-lau kau menyentuhnya!"
Dengus Nyai Pancalas. 'Tentu saja tidak. Tapi, aku inginkan dia yang pertama setelah aku serahkan pemuda itu padamu."
"Terserah. Asal, kau tidak menggangguku."
"He he he...!"
Lagi-lagi Cakarang terkekeh.
Cakarang bangkit berdiri dan menghampiri Nyai Pancalas.
Tangannya langsung diletakkan di pun-dak, dan segera dipeluknya wanita itu dari belakang.
Dengan liar sekali, diciumi wajah dan lehernya.
Nyai Pancalas menggelinjang, berusaha melepaskan pelu-kan itu.
Dia berdiri dan berbalik, tapi Cakarang kem-bali memeluknya erat-erat.
Nyai Pancalas tidak bisa la-gi menghindari ciuman-ciuman Cakarang yang mem-buru.
Dia berusaha melepaskan pelukan itu, tapi Ca-karang memeluknya terlalu kuat.
Ciuman-ciumannya juga gencar memburu, membuat Nyai Pancalas tidak mampu lagi, membendung gairahnya.
Perlahan namun pasti, dia tidak memberontak lagi.
Bahkan kini malah membalasnya dengan hangat.
"Ah...!"
Nyai Pancalas memekik tertahan.
Tubuhnya jatuh terguling di lantai, bersamaan tubuh Cakarang.
Tidak ada kesempatan lagi bagi wani-ta itu untuk melepaskan himpitan tubuh besar dan kekar itu.
Cakarang sudah mencumbunya penuh gai-rah menggelegak.
Tidak ada lagi kata-kata yang ter-dengar.
Semuanya berganti erangan dan rintihan lirih, disertai dengus napas memburu.
Mereka tidak lagi mempedulikan tiga mayat yang tergeletak dengan ke-pala buntung.
*** "Setan...!"
Nyai Pancalas menggeretak geram.
Buru-buru perempuan tua yang berwajah mu-da itu bangkit dan merapikan pakaiannya kembali.
Cakarang juga bergegas melompat sambil membetul-kan pakaiannya.
Di luar sana terdengar jeritan-jeritan melengking ditingkahi denting senjata beradu.
Mereka langsung saja melompat ke luar, dan kontan terkejut begitu melihat Widarti mengamuk dikeroyok beberapa orang gadis.
Tidak jauh dari Widarti, tampak seorang pemuda berbaju rompi putih menghadapi keroyokan gadis-gadis berbaju merah.
"Berhenti...!"
Bentak Nyai Pancalas keras disertai pengerahan tenaga dalam pada suaranya.
Seketika pertarungan terhenti, Tidak kurang dari dua puluh enam gadis berbaju merah berlompa-tan mundur.
Dan tinggal Widarti serta Rangga berdiri di tengah-tengah kepungan gadis bersenjata pedang terhunus.
Widarti menggeser kakinya mendekati Pen-dekar Rajawali Sakti.
"Widarti, kemari!"
Bentak Nyai Pancalas keras.
"Huh! Kau tidak bisa seenaknya menyuruhku, Nyai Pancalas. Aku bukan lagi budakmu!"
Sahut Widarti sinis.
"Keparat! Rupanya kau benar-benar ingin memberontak, heh!"
Geram Nyai Pancalas.
"Aku tidak memberontak, tapi melepaskan diri dari semua rencana busukmu!"
"Setan! Kubunuh kau, Widarti! Hiyaaat..!"
Nyai Pancalas tidak bisa lagi menahan amarah-nya.
Ratu Bukit Brambang itu melompat cepat sambil cepat mencabut pedangnya.
Dan bagaikan kilat, pe-dangnya dikibaskan ke arah leher Widarti.
Sesaat Wi-darti terkesiap.
Tapi sebelum pedang itu memenggal lehernya, Rangga cepat bertindak.
Pendekar Rajawali Sakti melompat menghadang, dan menangkap pedang itu dengan kedua telapak tangannya.
"Hih!"
Nyai Pancalas berusaha menarik kembali pe-dangnya, tapi jepitan Rangga begitu kuat. Dan tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tangan-nya kuat-kuat ke depan sambil membuka jepitannya.
"Akh!"
Nyai Pancalas memekik tertahan.
Tubuh wanita tua itu terdorong hebat ke bela-kang.
Kalau saja Cakarang tidak segera menangkap-nya, wanita itu sudah jatuh tersuruk.
Nyai Pancalas menggeram dahsyat.
Dan dia ingin menyerang lagi, ta-pi Cakarang cepat menahannya.
Nyai Pancalas mena-tap laki-laki berwajah kasar itu.
"Kenapa tidak bicara saja, Cakarang. Kau tidak bisu dan tuli, bukan?"
Ejek Widarti sinis. Cakarang menggeram marah mendengar ejekan itu.
"Buka telinga kalian lebar-lebar! Kalian akan dijadikan tumbal oleh mereka...!"
Lantang suara Widarti.
"Tutup mulutmu, Widarti!"
Bentak Nyai Pancalas gusar.
"O... Rupanya kau takut juga kedokmu terbu-ka, Nyai Pancalas. Dan rupanya topeng tengkorakmu juga sudah terlepas,"
Sinis nada suara Widarti.
Nyai Pancalas baru tersadar kalau tidak mema-kai topeng tengkorak lagi.
Wajahnya merah padam, ka-rena kedoknya sudah terbongkar muridnya sendiri.
Dengan menggeram marah, wanita berjubah merah itu melompat menerjang Widarti.
Tapi Rangga yang sudah siap sejak tadi, lebih cepat lagi menghadang.
Nyai Pancalas jadi geram setengah mati.
Dan matanya langsung melirik Cakarang.
Tapi, laki-laki berwajah kasar itu malah diam saja.
"Cakarang, bunuh dia! Aku tidak peduli, kau serahkan dalam keadaan hidup atau sudah mati!"
Seru Nyai Pancalas gusar.
Pada saat ini, Nyai Pancalas sendiri sudah ke-walahan menghadang gempuran Rangga yang dahsyat dan bertubi-tubi.
Memang, kekuatan dan ilmunya se-dang berkurang jauh.
Bahkan hanya separuhnya saja.
Sehingga dalam menghadapi gempuran Rangga, Ratu Bukit Brambang itu kewalahan setengah mati.
"Cakarang! Bantu aku...!"
Teriak Nyai Pancalas semakin terdesak.
"Maaf, Nyai. Aku tidak bisa,"
Kata Cakarang.
"Heh...!"
Nyai Pancalas terkejut Pada saat yang sama, Rangga menggedor dadanya disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
Gedoran yang cepat dan tidak terduga itu, tidak dapat dihindari lagi.
Nyai Pancalas memekik keras, dan tubuhnya terlontar jauh ke belakang sampai menghantam pilar.
Belum lagi wanita ber-jubah merah itu sanggup berdiri, Rangga sudah me-lompat sambil mengirimkan dua pukulan sekaligus.
"Modar!"
"Aaakh...!"
Nyai Pancalas menjerit melengking tinggi.
Kembali wanita berjubah merah itu terlontar ke belakang.
Tubuhnya juga kembali menghantam tembok.
Seperti juga pilar itu, tembok itu juga hancur berantakan.
Nyai Pancalas berusaha bangkit berdiri, dan langsung memuntahkan darah kental.
Tubuhnya limbung, meskipun bisa berdiri.
Rangga yang mengetahui kelemahan wanita berjubah merah yang berjuluk Ratu Bukit Brambang, bersiap-siap mengeluarkan ajian pamungkasnya.
Dia tidak ingin lebih lama lagi bertarung.
Apalagi, mem-biarkan manusia berhati iblis seperti ini yang akan menimbulkan masalah di kemudian hari.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras, Pendekar Rajawali Sakti melompat dengan kedua tangan menjulur ke depan.
Nyai Pancalas terperangah sesaat, dan buru-buru me-lompat ke samping.
Namun, gerakannya sudah lemah.
Dan dia sudah tidak keburu lagi menghindari serangan itu.
Kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti tepat dan telak menggedor dadanya.
"Aaa...!"
Dengan satu jeritan panjang melengking, Nyai Pancalas terjungkal dan tewas seketika.
Dadanya kon-tan hancur.
Dan dari mulutnya menyembur darah kental.
Rangga berdiri tegak, dan berbalik menghadapi Cakarang.
Perlahan-lahan Rangga melangkah menghampi-ri laki-laki berwajah kasar penuh brewok itu.
Cakarang bergerak mundur dengan wajah pucat seketika.
Tubuhnya yang tinggi tegap, jadi bergetar.
Pendekar Ra-jawali Sakti juga jadi heran melihat perubahan laki-laki menyeramkan ini.
Dia berhenti melangkah, setelah jaraknya tinggal sekitar empat langkah lagi.
Sementara begitu melihat Nyai Pancalas mati, gadis-gadis itu seperti ciut nyalinya.
Jangankan untuk menyerang Pendekar Rajawali Sakti, maju setindak sa-ja tidak mereka lakukan.
"Jangan..., jangan bunuh aku.... Aku hanya ah-li obat dan ramuan. Aku tidak bersalah apa-apa...,"
Ratap Cakarang dengan suara tersendat dan bergetar.
"Siapa kau sebenarnya?"
Tanya Rangga dingin.
"Aku Cakarang, seorang tabib ahli pengobatan, Aku menemukan ramuan yang bisa membuat orang kembali muda. Terus terang, aku sendiri tidak yakin. Tapi, Nyai Pancalas mendesak terus dengan semua akibatnya. Aku sendiri belum pernah mencobanya. Sungguh. Aku tidak bisa ilmu olah kanuragan. Aku hanya seorang tabib", kata Cakarang sungguh-sungguh.
"Kenapa kau pura-pura bisu?"
Tanya Widarti ketus.
"Aku.... Aku..., hanya disuruh Nyai Pancalas, Katanya, untuk menutupi maksud sebenarnya."
Rangga menggeser kakinya mendekati Widarti.
Pandangannya masih tetap tajam menusuk langsung ke bola mata Cakarang.
Meskipun Rangga mendengar adanya nada kesungguhan, tapi masih belum memper-cayai semua kata-kata laki-laki tinggi besar itu.
Widarti sendiri menggeser kakinya mendekati Rangga.
Dan kini mereka berdiri bersisian.
"Kau cari Lasmi, dan bawa ke sini,"
Kata Rangga setengah berbisik.
"Baik,"
Widarti mengangguk.
Gadis berbaju merah itu langsung melompat cepat melewati kepala beberapa orang.
Dia langsung menuju bagian belakang bangunan besar bagai istana itu.
Sepertinya, Widarti sudah begitu paham tempat Lasmi disekap.
Sementara, Rangga kembali menggeser kakinya lebih dekat lagi ke arah Cakarang..
"Cakarang! Benar kau ingin menjadikan gadis-gadis ini sebagai tumbalmu?"
Tanya Rangga. Cakarang tidak langsung menjawab. Dipandan-ginya gadis-gadis di sekitarnya. Sedangkan gadis-gadis itu tampak malah kebingungan, tidak mengerti kejadian semua ini.
"Jawab pertanyaanku, Cakarang!"
Sentak Rang-ga agak keras.
"Bu..., bukan tumbal. Tapi..."
Jawab Cakarang tergagap. 'Tapi apa?"
Desak Rangga.
"Hanya sebagai alat pembayaran saja. Nyai Pancalas membayar semua usahaku dengan gadis-gadis ini. Dan itu pun masih kurang,"
Aku Cakarang terus terang. Tampak dua puluh tujuh gadis itu terkejut mendengar pengakuan Cakarang.
"Itu syarat yang kau ajukan, Cakarang?"
Desak Rangga lagi. Cakarang kembali diam tidak menjawab. Wa-jahnya semakin kelihatan pucat. Tapi, sebentar kemu-dian berubah memerah bagai seorang gadis menyem-bunyikan rasa malu.
"Jawab!"
Bentak Rangga keras.
"Iy... iya."
"Setan! Keparat! Kubunuh kau...!"
Gadis-gadis itu menggerutu marah mendengar pengakuan Cakarang.
Tanpa dapat dicegah lagi, mereka langsung ber-lompatan menyerbu dengan pedang terhunus.
Caka-rang jadi gugup, tapi buru-buru dia melompat.
Entah bagaimana, tiba-tiba saja di tangannya sudah tergeng-gam seutas cambuk yang tidak begitu besar dan tipis.
Ctar! Cakarang menghentakkan cambuknya kuat-kuat.
Dan satu kali hentakan saja, sudah membuat seorang gadis menjerit keras sambil bergulingan di tanah.
Tampak darah merembes keluar dari wajah, dada, dan perutnya yang sobek.
Gadis itu menggelepar se-saat, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
Kejadian ini membuat yang lain semakin ma-rah.
Mereka langsung merangsek mengeroyok dengan jurus-jurus dahsyat.
Sementara, Rangga tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Pendekar Rajawali Sakti hanya bisa memperhatikan dan menjaga kalau-kalau Caka-rang bermain curang.
Pada saat itu, Widarti datang menghampiri.
Di sampingnya tampak berjalan tergesa-gesa seorang gadis lain.
Dialah Lasmi, yang diculik semalam dari kamar tidurnya.
"Ada apa ini?"
Tanya Widarti begitu dekat.
"Mereka marah mendengar pengakuan Caka-rang,"
Sahut Rangga.
"Hentikan, Rangga. Cakarang punya kepan-daian tinggi. Aku tidak percaya dengan pengakuan-nya!"
Sentak Widarti cemas.
"Mereka bisa mati semua, Rangga!"
"Hm...,"
Gumam Rangga tidak jelas.
Rangga semakin tajam memperhatikan gera-kan-gerakan Cakarang yang tengah menghadapi ke-royokan lebih dari dua puluh orang gadis.
Sementara, sudah empat orang gadis yang menggeletak tak ber-nyawa lagi.
Sedangkan tampaknya gadis-gadis itu ke-sulitan untuk mendesak.
Gerakan Cakarang begitu lincah, dan sukar didekati.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba Cakarang berteriak keras. Dan seketika itu juga, tubuh Cakarang melesat tinggi ke udara. Mendadak, tangannya cepat diki-baskan. Tampak puluhan jarum beracun berwarna merah meluncur deras bagaikan hujan ke arah gadis-gadis itu.
"Hup, hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti me-lompat ke atas.
Langsung pedangnya dicabut, maka cahaya biru kontan menyemburat.
Cepat sekali Rangga berlompatan memutar pedangnya bagai baling-baling, menyampok semua jarum yang dilepaskan Cakarang.
Rangga langsung mendarat begitu jarum-jarum merah terbabat habis selagi masih di udara.
Tampak Cakarang terkejut, dan langsung melangkah mundur begitu kakinya mendarat di tanah.
"Pengecut! Licik...!"
Umpat Rangga menggeram.
"Mereka yang memulai. Aku hanya memperta-hankan diri,"
Bela Cakarang.
"Itukah yang namanya membela diri, setelah kau tipu mereka?"
Sinis nada suara Rangga. Cakarang tidak menyahuti.
"Akulah lawanmu, Cakarang! Bukan mereka!"
Tantang Rangga.
Cakarang tetap diam, tapi tatapan matanya su-dah demikian tajam menusuk Perlahan-lahan, kakinya bergerak menggeser ke samping.
Kedua tangannya tampak memegang cambuk yang merentang di depan dada.
Sesaat keheningan meliputi sekitarnya.
Rangga tidak berkedip memperhatikan setiap gerak langkah kaki laki-laki tinggi besar itu.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Cakarang menjerit keras. Seketi-ka tubuhnya melesat ke udara. Kuat sekali cambuknya dihentakkan begitu berada di udara. Ujung cambuk itu menjurus ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti.
"Hap!"
Rangga cepat mengangkat tangannya.
Dan saat ujung cambuk itu berada di depan wajah, langsung di-tangkapnya dengan kedua tangan.
Dengan mengerah-kan tenaga dalam, Pendekar Rajawali Sakti menarik-nya kuat-kuat.
Cakarang kontan tersentak tertarik ke bawah, namun manis sekali memutar tubuhnya.
Dipinjamnya tenaga tarikan itu untuk meluruk ke arah Rangga sambil melayangkan satu tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi.
"Hait!"
Pendekar Rajawali Sakti mengegos ke kanan.
Pada saat itu, pegangannya pada ujung cambuk dile-paskan.
Lalu, dengan cepat sekali tangannya bergerak ke bawah memapak tendangan itu.
Cakarang terperan-jat setengah mati, dan berusaha menarik kembali ka-kinya.
Tapi, gerakannya kalah cepat.
Pukulan tangan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam tulang ke-ringnya.
"Aaakh...!"
Cakarang menjerit keras. Tubuh besar itu jatuh ke tanah dan bergulin-gan beberapa kali. Dia berusaha bangkit berdiri, na-mun limbung dan kembali ambruk ke tanah. Satu ka-kinya patah terkena pukulan Pendekar Rajawali Sakti.
"Setan keparat..!"
Umpat Cakarang sambil berusaha bangkit berdiri.
Namun belum juga bisa bangkit, Widarti sudah berteriak dan melompat cepat.
Dengan pedang di tan-gan, Widarti menghambur ke arah laki-laki tinggi besar berwajah brewok itu.
Cakarang terkesiap.
Buru-buru tubuhnya digelimpangkan, menghindari tebasan pedang gadis itu.
Namun Widarti tidak berhenti sampai di situ saja.
Dia terus mencecar dengan tebasan pedangnya yang bertubi-tubi.
Cakarang bergelimpangan ke sana ke mari, menghindari tebasan yang begitu cepat tidak ada hentinya.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja gadis-gadis yang tadi diam ber-lompatan ke arah Cakarang. Dan mereka langsung menghujani dengan tusukan pedang. Cakarang terke-siap, tidak bisa lagi menghindar. Dan....
"Aaa...!"
Cakarang menjerit keras melengking.
Darah langsung muncrat dari tubuh Cakarang yang terpanggang pedang.
Belum lagi hilang rasa sakitnya, datang lagi tusukan beruntun, ditambah tebasan dari berbagai arah.
Cakarang tewas seketika dengan tubuh tercincang.
Lima bilah pedang tertancap di tubuhnya.
Dan gadis-gadis itu seperti kerasukan setan saja.
Selesai mencincang Cakarang, mereka memburu mayat Nyai Pancalas.
Kembali kemarahan dilampiaskan pada perempuan berjubah merah yang telah menjadi mayat itu.
Rangga tidak bisa lagi mencegah, dan hanya bi-sa mendesah panjang.
Kini Pendekar Rajawali Sakti menghampiri Lasmi yang tidak sanggup memandang semua kejadian itu.
Dirangkulnya pundak Lasmi dan dibawanya melangkah pergi.
"Bagaimana dengan mereka, Kakang?"
Tanya Lasmi sambil melirik gadis-gadis yang tengah menge-royok, mencincang tubuh Nyai Pancalas.
"Mereka bisa pulang ke desanya masing-masing,"
Sahut Rangga. Pendekar Rajawali Sakti berhenti melangkah. Dan tiba-tiba, diangkatnya tubuh gadis itu dan dipon-dongnya. Lasmi terpekik kaget "Kakang, turunkan...!"
"Biar cepat. Kalau takut, pejamkan matamu,"
Kata Rangga.
"Ah...!"
Lasmi langsung menutup matanya rapat-rapat begitu Rangga melompat cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Pada saat itu dari kerumunan gadis-gadis, mencuat seorang gadis.
Dialah Widarti yang sekilas mendengar pekikan ketakutan dari Lasmi yang dipondong dan dibawa lari cepat bagaikan angin.
"Rangga...,"
Desis Widarti seraya memandang bayangan tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Widarti menarik napas panjang.
Disadari kalau Rangga hanya mengantarkan Lasmi pulang pada orangtuanya.
Karena pendekar muda macam Pendekar Rajawali Sakti untuk saat ini lebih mementingkan pen-gabdian daripada kesenangan pribadi.
Lagi pula, Rangga seorang pendekar yang tidak pernah tinggal menetap pada satu tempat saja.
Widarti tahu itu.
Pen-dekar Rajawali Sakti pasti akan pergi mengembara kembali.
"Aku akan pergi mengembara. Mudah-mudahan bisa bertemu Pendekar Rajawali Sakti.
"
Gumam Widarti, mendesah perlahan.
Widarti langsung melompat, meninggalkan puncak bukit ini.
Tidak dipedulikan lagi yang lain.
Gadis itu berlari cepat, berlompatan menuruni tebing Bukit Brambang yang cukup curam dan berbatu cadas rapuh.
Sebentar saja, tubuhnya lenyap di bibir lem-bah.
Dan bersamaan dengan itu, semua gadis yang ada di puncak Bukit Brambang bergerak pergi.
Puncak Bukit Brambang kembali sunyi.
Dan akan selamanya sunyi seperti sediakala, sebelum Ratu Bukit Brambang muncul.
SELESAl Scan/E-Book.
Abu Keisel Juru Edit.
Lovely Peace
Pendekar Rajawali Sakti Sepasang Walet Merah Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Pendekar Rajawali Sakti Darah Dan Asmara