Ceritasilat Novel Online

Sepasang Walet Merah 1


Pendekar Rajawali Sakti Sepasang Walet Merah Bagian 1


SEPASANG WALET MERAH oleh Teguh S.

   Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta Gambar sampul oleh Soeryadi Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Teguh S.

   Serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode.

   Sepasang Walet Merah 128 hal.

   ; 12 x 18 cm Pembuat Ebook .

   Scan buku ke djvu .

   Abu Keisel Convert .

   Abu Keisel Editor .

   Kucing Listrik Ebook oleh .

   Dewi KZ
http.//kangzusi.com/
http.//dewi-kz.info/

   
http.//kangzusi.info/

   
http.//ebook-dewikz.com/ Bulan bersinar penuh, menampakkan wajah bulat indah keemasan.

   Angin bertiup lembut membawa butir-butir embun yang menitik dari pucuk-pucuk daun pepohonan yang meliuk-liuk seperti menari.

   Malam semakin indah manakala binatang-binatang malam mulai menembang dengan suara-suara mereka yang merdu.

   Namun keindahan itu mendadak pecah oleh suara-suara teriakan disertai denting senjata beradu.

   Suara-suara itu ternyata datang dari sebuah bukit batu yang berdiri gagah menyerupai sebuah batok kelapa terbelah.

   Di tempat itu terlihat kilatan-kilatan cahaya putih keperakan menyambar-nyambar di bawah siraman cahaya bulan.

   Trang! Trang! Denting senjata beradu makin sering terdengar.

   Pijaran-pijaran bunga api berpencaran ke segala penjuru.

   Tiba-tiba dua orang yang saling mengadu senjata itu melompat ke belakang sejauh dua tombak, bersamaan dengan terdengarnya suara tawa terbahak-bahak "Kakang Jaka, rupanya kita kedatangan tamu kurang ajar malam ini,"

   Kata salah seorang dari mereka.

   Orang itu bertubuh kecil ramping mengenakan pakaian ketat berwarna serba merah.

   Dari suaranya dapat dipastikan kalau dia adalah seorang wanita.

   Sementara yang diajak bicara melangkah perlahan ke depan.

   Tampak jelas wajahnya yang begitu tampan, berkeringat.

   Sinar matanya tajam menyorot lurus ke depan.

   Pakaiannya ketat dan serba merah pula.

   "Tentu maksudnya sama dengan tamu-tamu yan lain. Bersiaplah, Adik Wulan,"

   Sahut pemuda itu yang dipanggil Jaka."Haha ha..!"

   Suara tawa itu kembali menggelegar.

   Kedua muda-mudi itu sudah berdiri berdampingan dengan senjata tombak pendek bermata dua menyilang di depan dada.

   Semakin lama suara tawa itu semakin memekakkan telinga.

   Angin pun mendadak bergemuruh disertai batu-batu kerikil berlompatan.

   Jelas sekali kalau suara tawa itu dibarengi pengerahan tenaga dalam.

   Rupanya dua orang muda ini sama sekali tidak gentar dengan kedatangan suara tawa itu.

   Mereka seperti tidak terpengaruh, bahkan tetap berdiri tegak dengan mata menatap lurus ke depan.

   "Tapak Geni!"

   Tiba-tiba Jaka berteriak lantang.

   Dengan cepat mereka mendorong tangan kanan masing-masing ke depan Seketika dari telapak tangan kanan yang terbuka, meluncur deras seberkas sinar merah yang kemudian menghantam sebongkah batu besar.

   Blar...! Batu sebesar rumah itu pun hancur berkeping-keping menimbulkan ledakan yang sangat dahsyat Pada saat yang sama, melesat sebuah bayangan hitam dari bongkahan batu yang hancur.

   Debu mengepul pekat menghalangi sinar bulan menembus permukaan bumi.

   Bayangan hitam itu berputar beberapa kali di udara sebelum mendarat manis di tanah berumput tebal.

   Jaka dan Wulan sudah menarik tangan kanannya kembali.

   Mereka masih berdiri tegak dengan mata tajam memandang tubuh hitam yang telah berdiri sekitar sepuluh langkah di depan.

   "Sudah kuduga, dia pasti si Gila Jubah Hitam,"

   Gumam Jaka begitu mengenali sosok tubuh itu. Si Gila Jubah Hitam, adalah tokoh sakti yang tidak jelas golongannya. Tingkahnya yang mirip orang gila sering membuat bingung tokoh-tokoh rimba persilatan, baik dari gotongan hitam maupun putih.

   "He he he..., tidak percuma bertahun-tahun kalian mengurung diri di Bukit Batok,"

   Si Gila Jubah Hitam terkekeh sambil menggaruk-garuk rambutnya yang panjang dan kusut.

   Kalau dilihat dari wajah, pakaian, dan tubuhnya orang pasti menyangka si Gila Jubah Hitam ini seorang kakek-kakek.

   Padahal dia masih berusia tiga puluh tahun.

   Hanya karena tidak pernah mengurus diri, jadi kelihatan seperti berumur tujuh puluhan "Mau apa kau datang ke sini?"

   Tanya Jaka. Matanya tetap tajam menatap si Gila Jubah Hitam.

   "Hanya mengunjungi kalian. Tidak boleh?"

   Jaka memandang adiknya yang berdiri di sampingnya.

   Memang sulit diduga niat dan keinginan orang itu.

   Dalam sekejap saja bisa berubah.

   Jaka kembali mengalihkan pandangan pada laki-laki aneh yang kini telah duduk di atas rerumputan.

   Dari kantung kulit yang selalu dibawanya, dikeluarkan seguci arak.

   "Kalian punya makanan?"

   Tiba-tiba si Gila Jubah Hitam bertanya. Sikapnya acuh, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal mereka tadi sempat mengadu ilmu, meskipun hanya satu jurus saja.

   "Mana ada makanan di sini?"

   Wulan jadi geli juga. Rasa tegang yang menyelimuti dadanya berangsur-angsur berkurang.

   "Lho, kalian selama bertahun-tahun di sini makan apa?"

   Si Gila Jubah Hitam seperti kebingungan. Kembali tangannya garuk-garuk kepala.

   "Apa saja, asal bisa dimakan,"

   Sahut Wulan.

   "Kau punya apa saja?"

   Sekelebatan Wulan melihat seekor rusa yang kemalaman di jalan.

   Secepat kilat tangannya bergerak, lalu seberkas cahaya keperakan pun meluncur deras.

   Tak pelak lagi, rusa gemuk itu terjungkal langsung mati.

   Jaka tersenyum akan ketangkasan adiknya melempar bintang perak yang menjadi andalan senjata rahasia mereka berdua.

   "Itu!"

   Sahut Wulan menunjuk rusa yang mati dengan leher tertembus bintang bersegi delapan dari perak.

   "He he he... !"

   Si Gila Jubah Hitam terkekeh, lalu berdiri.

   Wulan hampir saja tertawa melihat tingkahnya yang seperti anak kecil mendapat mainan.

   Dengan berjingkrak kegirangan dihampirinya rusa yang ter-geletak itu.

   Sambil menari-nari dan bernyanyi-nyanyi tidak karuan, si Gila itu mengangkat rusa gemuk bagai mengangkat sekantung kapas.

   Si Gila Jubah Hitam kembali ke tempatnya semula seraya menjatuhkan rusa itu di depannya.

   Dia kembali duduk dan meminum arak langsung dari guci.

   Dengan lengan baju, disekanya mulut yang basah oleh arak.

   Orang aneh itu mencabut bintang bersegi delapan yang menancap di leher rusa, lalu dengan cepat dilemparkannya kembali pada Wulan.

   Tangkas sekali gadis itu menangkap senjata rahasia miliknya.

   Dimasukannya kembali senjata itu ke dalam kantung yang tersembunyi di balik baju, setelah sebelumnya dibersihkan dari noda darah.

   "Aku senang sekali rusa ini dimasak wanita cantik yang baik hati,"

   Kata si Gila menatap Wulan.

   Wulan memandang Jaka.

   Kakaknya hanya tersenyum dan menganggukkan kepala.

   Jaka tahu betul tabiat orang aneh ini.

   Dia akan selalu baik kalau ada yang membuatnya baik lebih dulu.

   Wulan menghampiri laki-laki aneh itu, lalu dikeluarkan sebilah pisau dari lipatan bajunya.

   Kini rusa malang itu mulai dikulitinya.

   Sementara Jaka mengumpulkan ranting dan membuat api.

   Sebentar saja rusa itu telah terpanggang di atas api "He he he..

   ,"

   Si Gila terkekeh senang.

   Perutnya mendadak lapar sekali mencium bau harum daging panggang.

   Laki-laki aneh itu menggeser duduknya mendekati rusa panggang yang masih di atas api.

   Hidungnya kembang kempis mencium bau harum yang lezat.

   Tangannya menjulur hendak mencuil daging rusa, tapi Wulan telah terlebih dulu menepisnya.

   "Nanti, belum matang!"

   Rungut Wulan, persis seorang ibu pada anaknya.

   "Aku sudah lapar, boleh mencicipi sedikit saja,"

   Rengek si Gila Jubah Hitam.

   "Kubilang nanti! Kita pesta sama-sama!"

   "Pesta.. ! Kau bilang kita akan pesta?"

   Mata si Gila Jubah Hitam seketika berbinar-binar.

   "Iya, kenapa?"

   "Wah, wah! Nasibku memang mujur malam Ini. Datang membuat ribut, malah ditawari pesta. Maafkan aku,"

   Si Gila Jubah Hitam mendadak murung.

   "Sudahlah, yang penting malam ini kita akan pesta dan gembira!"

   Jaka menimpali.

   "He he he..., kalian memang baik!"

   Orang aneh itu terkekeh lagi. Wulan tersenyum dan mengerling pada kakaknya. Jaka cepat memahami arti kerlingan itu, dan segera bangkit beranjak dari situ.

   "Mau ke mana kakakmu?"

   Tanya si Gila Jubah Hitam.

   "Mengambil arak,"

   Sahut Wulan terus membalik-balik rusa panggangnya.

   "Arak..?! Wah, jadi kita benar-benar pesta?"

   Wulan mengangguk dan tersenyum manis.

   Si Gila Jubah Hitam kembali berjingkrak-jingkrak kegirangan.

   Mulutnya tidak henti-hentinya bernyanyi.

   Tawa Wulan tidak tertahankan lagi.

   Sementara Jaka telah kembali dengan lima guci arak di pelukan tangannya.

   Si Gila Jubah Hitam makin gembira.

   Apalagi Jaka juga membawa gelas perak indah sebagai pelengkap pesta mereka.

   * * * Laki-laki aneh yang dikenal sebagai si Gila Jubah Hitam kini tengah duduk bersandar di pohon.

   Dibiarkan saja perutnya yang kekenyangan itu terbuka.

   Jaka dan Wulan duduk tidak jauh dari situ.

   Wulan sejak tadi tersenyum-senyum melihat tingkah polah si Gila Jubah Hitam yang selalu memancing tawa itu.

   Nafsu makan si Gila ini juga luar biasa.

   Setengah badan rusa gemuk Itu, dihabiskannya sendiri.

   Sedangkan Wulan dan Jaka saja hanya makan sekedarnya.

   Sengaja mereka makan berlambat-lambat untuk mengimbangi makan laki-laki aneh itu.

   "Sudah berapa orang yang datang ke sini?"

   Tanya Si Gila Jubah Hitam tiba-tiba. Suaranya terdengar teperti bergumam.

   "Maksudmu?"

   Tanya Jaka sambil memandang adiknya.

   "Aku yakin, aku bukan orang pertama yang datang ke Bukit Batok ini,"

   Gumam si Gila Jubah Hitam tidak menghiraukan pertanyaan Jaka.

   "Memang bukan. Aku dan adikku sudah sepuluh tahun tinggal di sini,"

   Sahut Jaka seenaknya.

   "Bukan kalian, tapi yang lain!"

   "O..maksudmu orang-orang yang...,"

   Jaka tidak melanjutkan kata-katanya.

   "Iya, mereka yang gila pusaka!"

   Sambung si Gila sambil membenahi letak bajunya.

   "Aku tidak mengerti, kenapa mereka mengira kami yang menyimpan benda pusaka itu,"

   Kata Wulan seperti mengeluh.

   "Jadi kalian tidak menyimpannya?"

   Tanya si Gila Jubah Hitam.

   "Jangankan menyimpan, melihat bentuknya pun belum pernah! Dengar namanya saja baru-baru ini,"

   Sahut Wulan. Si Gila menatap Wulan tajam.

   "Kau pasti tidak percaya!"

   Dengus Wulan agak Jengkel.

   "Entahlah. Yang jelas aku tidak peduli dengan benda pusaka macam itu,"

   Sahut si Gila Jubah Hitam.

   "Lantas, kenapa kau ke sini?"

   Tanya Jaka.

   Si Gila Jubah Hitam tak menjawab.

   Hanya kepalanya yang terdongak menengadah.

   Ada kemurungan terpencar dari sinar matanya yang cekung.

   Desah nafasnya berat, lalu perlahan-lahan kepalanya tertunduk.

   Sepertinya sedang mengenang sesuatu sehingga wajahnya kelihatan murung.

   Kedua anak muda itu saling berpandangan.

   Mereka benar-benar tidak mengerti dengan perubahan yang tiba-tiba pada si Gila Jubah Hitam Beberapa saat mereka hanya berdiam diri saja.

   Jaka mengalihkan pandangannya kembali pada laki-laki aneh itu.

   Wulan juga mengarahkan pandangannya ke sana.

   Si Gila Jubah Hitam masih tertunduk, diam.

   "Ada yang menyusahkanmu?"

   Tanya Wulan lembut Kembali si Gila Jubah Hitam mendesah berat.

   Pelan-pelan kepalanya terangkat.

   Matanya langsung tertumbuk pada wajah Wulan.

   Gadis ini tersentak melihat butir-butir air bening menetes dari sudut mata laki-laki aneh ini.

   Wulan menggeser duduknya lebih dekat "Kau menangis, kenapa?"

   Tanya Wulan pelan dan lembut "Oh, ah! Tidak. ., tidak !"

   Si Gila Jubah Hitam gugup. Cepat-cepat diseka air matanya dengan lengan baju.

   "Aku menangkap kesedihan di wajahmu. Kalau kau percaya pada kami, ungkapkanlah! Mungkin kami bisa membantu mengatasi kesedihanmu,"

   Lebih lembut suara Wulan.

   "Aku tidak yakin kalian akan menemukan,"

   Parau suara si Gila Jubah Hitam.

   Wulan dan Jaka saling berpandangan.

   Belum dapat mengerti maksudnya.

   Mereka segera menggeser duduknya agar lebih dekat lagi pada orang aneh ini "Kalau kau bersedia mengatakannya, kami berjanji akan membantu kesulitanmu,"

   Kata Jaka seraya meletakkan tangannya ke punggung laki-laki itu.

   "Persoalan yang kalian hadapi sekarang, lebih berat daripada persoalanku. Aku tidak ingin menambah beban buat kalian lagi. Dosaku akan semakin besar dan menumpuk,"

   Lirih suara si Gila Jubah Hitam.

   "Kami tidak punya persoalan apa-apa. Kami mengasingkan diri ke Bukit Batok ini karena ingin memperdalam ilmu-ilmu yang kami miliki,"

   Kata Wulan meyakinkan.

   "Jangan bohongi diri kalian sendiri! Kalian tengah berhadapan dengan tokoh-tokoh rimba persilatan yang gila benda pusaka! Mereka menyangka kalian yang menyimpan benda itu. Atau paling tidak, mengetahui di mana letak penyimpanannya."

   Kembali sepasang anak muda itu saling berpandangan.

   Memang dalam beberapa hari ini sudah empat orang yang datang mencari benda pusaka Cupu Manik Tunjung Biru.

   Empat orang yang hanya memiliki kepandaian tanggung itu, tentu saja harus rela melepaskan nyawa mereka di tangan sepasang anak muda ini.

   Di kalangan rimba persilatan, sepasang anak muda ini dikenal sebagai Sepasang Walet Merah.

   Kemunculan si Gila Jubah Hitam di Bukit Batok ini memang sedikit menambah persoalan baru bagi Sepasang Walet Merah.

   Entah ada hubungannya dengan Cupu Manik Tunjung Biru atau tidak, tetapi yang jelas saat ini tokoh-tokoh rimba persilatan tengah geger ingin mendapatkan benda pusaka itu.

   Tidak jelas bersumber dari mulut siapa, kini Sepasang Walet Merah menjadi sasaran buruan.

   Tokoh-tokoh rimba persilatan menduga sepasang anak muda inilah yang paling tahu tentang benda itu.

   Padahal yang menjadi buruan tidak tahu sama sekali tentang benda itu.

   Mengapa orang-orang menyangka kalau Sepasang Walet Merah yang menyimpannya? "Dari mana kau dengar kabar bohong itu?"

   Tanya Jaka.

   "Semua orang rimba persilatan sudah tahu, dan mereka pasti mengatakan kalau mereka tahu sendiri,"

   Sahut si Gila Jubah Hitam.

   "Dan kau juga akan mengatakan begitu? Juga menyangka kalau kami menyimpan benda yang kami sendiri tidak tahu sama sekali? Iya?"

   Desak Jaka agak sewot juga.

   "He he he...,"

   Tiba-tiba si Gila kumat lagi edannya.

   "Mereka semua mengatakan aku gila. Padahal, siapa sebenarnya yang gila?"

   Si Gila Jubah Hitam memberi pertanyaan yang cukup sulit.

   "Baiklah! Aku tidak peduli apakah kau, mereka, atau kami yang gila. Aku hanya ingin tahu, untuk apa kau datang ke sini, kenapa tiba-tiba kau sedih, dan untuk apa datang memberi kabar tidak enak?"

   Jaka memberondong pertanyaan.

   "Banyak amat?! Yang mana harus aku jawab lebih dulu?"

   Si Gila Jubah Hitam bingung.

   "Terserah!"

   Jawab Jaka. Si Gila menggaruk-garuk kepalanya. Mulutnya komat-kamit mengulangi pertanyaan-pertanyaan Jaka tadi. Wulan yang memperhatikannya tidak dapat menahan geli. Mendadak saja perutnya mules karena menahan tawa.

   "Kebanyakan, ah! Aku akan pergi!"

   Dengus si Gila.

   "Hey.. ,!"

   Jaka terkejut.

   Tapi laki-laki aneh itu telah lebih cepat menghilang.

   Tokoh satu ini memang boleh juga tingkat kepandaiannya.

   Dalam keadaan duduk saja masih bisa mencelat dengan cepat.

   Jaka yang masih sempat mengetahui arah perginya, akan mengejar.

   Tetapi Wulan telah lebih cepat mencegahnya.

   "Sudahlah, Kakang. Satu saat nanti kita pasti tahu,"

   Kata Wulan lembut.

   "Aku masih penasaran. Adik Wulan,"

   Sahut Jaka.

   "Aku juga, tapi tidak ada gunanya mendesak. Bisa-bisa dia berbalik memusuhi kita."

   "Memang sulit juga menghadapi orang seperti itu,"

   Jaka mengangkat bahunya.

   "He he he. .!"

   Tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh suara tawa. Tidak salah lagi kalau suara itu milik si Gila Jubah Hitam. Sepasang Walet Merah paham betul dengan suaranya.

   "Terima kasih, kalian telah berbaik hati mengundangku pesta. Lain waktu kita jumpa lagi, sobat!"

   Jaka yang akan membuka mulut untuk menjawab, jadi mengurungkan niatnya.

   Wulan telah lebih cepat menepuk pundaknya.

   Dan memang suara itu tidak terdengar lagi.

   Si Gila Jubah Hitam benar-benar telah pergi meninggalkan Bukit Batok.

   Hebat juga pengerahan tenaga dalam orang aneh itu.

   Dia dapat mengirimkan suara dari jarak yang cukup jauh."Aku rasa sebaiknya kita mendahului mereka."

   Kata Jaka.

   "Jadi, kita turun kembali merambah rimba persilatan?"

   Nada suara Wulan seperti tidak setuju.

   "Terpaksa,"

   Desah Jaka sambil mengangkat bahunya "Yaaah, lagi pula kita memperdalam ilmu silat memang untuk menjaga dan mempersiapkan diri. Mungkin sudah waktunya,"

   Pelan suara Wulan.

   "Kita berangkat besok saat fajar."

   "Baiklah." * * * Fajar baru saja menyingsing. Dua ekor kuda hitam berlari menuruni lereng Bukit Batok. Penunggangnya Sepasang Walet Merah. Wulan memperlambat lari kudanya ketika mencapai kaki bukit.

   "Sebaiknya kita lebih cepat lagi meninggalkan bukit ini, Adik Wulan,"

   Ujar Jaka."Untuk apa ? Toh tidak ada yang harus diburu."

   Jaka mengangkat bahunya. Benar juga kata Wulan tadi. Mereka memang tidak sedang memburu seseorang. Jadi untuk apa harus cepat-cepat? Dan lagi, dengan berjalan seperti ini tidak akan menarik perhatian orang.

   "Semalaman aku berpikir,"

   Kata Jaka agak bergumam.

   "Tentang apa?"

   Tanya Wulan.

   "Tentang Cupu Manik Tunjung Biru."

   "Apa yang kau pikirkan dari benda itu?"

   "Aku berpikir sebaiknya kita mencari keterangan tentang benda itu."

   "Maksudmu?"

   "Yaaah, kita harus tahu jenis benda apa, untuk apa, dan kenapa orang-orang sampai menginginkannya? Tidak mungkin mereka berani mempertaruhkan nyawa untuk sebuah benda kalau tidak bermanfaat sama sekali!"

   Jaka mengemukakan pikirannya.

   "Si Gila Jubah Hitam mengatakan kalau benda itu merupakan benda pusaka. Jelas banyak kegunaannya,"

   Wulan menimpali.

   "Kau tahu benda apa itu?"

   "Kalau aku tahu, kau pun pasti tahu, Kakang."

   "Susah juga, ya. Kita sendiri tidak tahu, tapi orang menyangka lain."

   "Itulah hidup."

   Mereka tertawa bersama, tapi tidak tahu apa yang ditertawakan. Namun mendadak tawa mereka berhenti. Seketika itu juga, mereka menarik tali kekang kudanya. Belum sempat menarik napas, mendadak secercah sinar keemasan meluncur deras ke arah mereka.

   "Awas, Kakang. .!"

   Teriak Wulan.

   Dengan sigap Jaka melompat dari kudanya melesat ke udara sambil bersalto dua kali.

   Sinar keemasan Itu lewat di bawah kakinya, dan hampir menyambar Wulan.

   Untung gadis itu tak kalah sigap dengan Jaka.

   Dia melompat cepat dari kudanya.

   Sepasang Walet Merah dengan manis mendarat di atas tanah dan berdiri tegak berdampingan.

   Hampir bersamaan, mereka mencabut tombak yang kedua ujungnya bermata tajam.

   Kembali dua berkas sinar keemasan meluncur deras ke arah mereka.

   Tapi Sepasang Walet Merah sama sekati tidak bergeming.

   Dan ketika dua sinar keemasan itu hampir menyentuh tubuh, dengan cepat masing-masing menggerakkan tongkatnya.

   Trak! Trak! Dua sinar itu meluruk ke tanah.

   Tampak sebentuk bunga anggrek dari bahan logam keemasan menggeletak di ujung kaki mereka.

   "Dewi Anggrek Emas,"

   Desis Wulan mengenali senjata itu.

   Belum lagi selesai kata-kata terucap, tiba-tiba di depan mereka muncul seorang wanita cantik.

   Dia mengenakan baju berwarna kuning keemasan.

   Pada rambutnya yang panjang terkepang, terselip bunga anggrek berwarna kuning emas.

   Wanita itu adalah Dewi Anggrek Emas.

   Tangannya menggenggam setangkai bunga anggrek yang sangat besar."Panjang jodoh kita bisa bertemu di sini,"

   Suara Dewi Anggrek Emas terdengar lembut mempesona. Kedua matanya yang bulat indah tidak lepas menatap wajah Jaka."Apa yang kau inginkan. Dewi Anggrek Emas? Mengapa kau menghadang jalan kami?"

   Tanya Wulan ketus. Dia benci melihat pandangan mata itu terhadap kakaknya.

   "Sepuluh tahun tidak bertemu, rasa rindu sekali. Apakah perasaanmu sama denganku, Jaka?"

   Dewi Anggrek Emas tidak menghiraukan pertanyaan Wulan.

   "Tentu saja aku rindu,"

   Sahut Jaka.

   "Kakang!"

   Bentak Wulan kesal.

   Jaka menatap adiknya yang kelihatan sewot.

   Dia paham betul kalau Wulan membenci wanita itu.

   Rasa benci itu memang dapat dimaklumi.

   Sebab, mes-kipun Dewi Anggrek Emas memiliki wajah cantik dan bentuk tubuh indah, namun tingkah lakunya liar.

   Segala macam cara selalu digunakannya untuk menjerat pemuda-pemuda tampan untuk memuaskan nafsunya.

   Dewi Anggrek Emas sampai sekarang masih penasaran karena belum juga dapat menundukkan Jaka.

   Hatinya belum puas kalau pemuda tampan itu belum lunduk di bawah kakinya.

   Hanya saja yang jadi ganjalan utamanya adalah Wulan.

   "Dewi Anggrek Emas! Kalau kau tidak ada keperluan penting, sebaiknya angkat kaki dari sini!"

   Bentak Wulan penuh kebencian.

   "Justru aku datang memang sengaja mencari kalian,"

   Sahut Dewi Anggrek Emas."Kau pasti sama seperti yang lain. Menyangka kami memiliki benda keparat itu!"

   Dengus Wulan.

   "Sebaiknya kalian serahkan saja benda pusaka itu padaku. Bukankah dengan demikian kalian akan selamat?"

   Dewi Anggrek Emas mengerling genit pada Jaka.

   "Kami tidak tahu di mana benda itu! Jelas?!"

   Lantang suara Wulan.

   "Benar begitu, Jaka?"

   Tanya Dewi Anggrek Emas dengan suara dibuat selembut mungkin.

   "Mungkin,"

   Sahut Jaka sambil mengangkat bahunya. Dia senang membuat wanita ini jadi penasaran. Jaka tahu betul kalau Dewi Anggrek Emas selalu menginginkan dirinya. Maka setiap bertemu, Jaka selalu mempermainkannya dengan halus.

   "Dan itu berarti benda pusaka ada pada kalian, bukan?"

   "Tanyakan saja sendiri pada Wulan,"

   Kata Jaka.

   Wulan jadi gemas melihat sikap kakaknya yang seperti memberi angin pada wanita liar itu.

   Rasanya ingin memaki-maki, namun saat ini bukanlah waktu yang tepat.

   Wulan jadi tambah geregetan melihat Jaka tersenyum-senyum.

   Di tangannya tidak lagi tergeng-gam tombak bermata dua.

   Senjata itu sejak tadi sudah diselipkan di pinggangnya.

   "Kalau benar benda itu ada padaku, kau mau apa?"

   Gemas Wulan menantang. Dewi Anggrek Emas hanya tertawa saja.

   "Nenek jelek, rebut benda pusaka itu dari tanganku!"

   Teriak Wulan mengejek.

   "Kadal buduk! Kurobek mulutmu!"

   Geram Dewi Anggrek Emas.

   Muka dan telinganya merah saat itu juga ketika dipanggil nenek jelek.

   Secepat kilat Dewi Anggrek Emas melompat sambil mengibaskan bunga anggrek raksasa yang menjadi senjata kebanggaannya.

   Wulan yang sudah muak sejak tadi langsung menggeser kakinya ke samping.

   Dan tombak bermata dua pun digerakkan dengan cepat ke atas.

   Trang! Dua senjata beradu sangat keras sehingga menimbulkan pijaran bunga api.

   Dewi Anggrek Emas lantas melesatkan tubuhnya dan berputar satu kali tanpa menjejak tanah lebih dulu, lalu kembali menyerang dari atas.

   Wulan segera memutar tombak pendeknya seolah-olah memayungi kepalanya dari gempuran lawan.

   Namun tanpa diduga sama sekali, Dewi Anggrek Emas mengegos ke samping, lalu kakinya melayang deras ke iga Tawan.

   "Ih!"

   Wulan tersentak.

   Buru-buru digerakkan tangannya menangkis kaki yang mengarah ke iganya, sambil memiringkan tubuh sedikit.

   Dewi Anggrek Emas tidak ingin mengambil resiko.

   Cepat ditarik kakinya kembali dan dijejakkan di tanah.

   Namun baru saja kakinya sampai di tanah, Wulan menyerangnya dengan satu tombak mengarah dada.

   Tidak ada pilihan lain bagi Dewi Anggrek Emas.

   Ditangkis tombak pendek itu dengan senjatanya yang berbentuk bunga anggrek raksasa.

   Trang! Kembali dua senjata beradu keras.

   Seketika tangan Wulan seperti kesemutan.

   Bergegas ditarik pulang senjatanya.

   Demikian juga yang dialami Dewi Anggrek Emas.

   Jari-jari tangannya menjadi kaku.

   Hampir saja senjatanya lepas kalau tidak segera dipindahkannya ke tangan kiri.

   Pertarungan yang baru berlangsung dua jurus itu mendapat perhatian serius dari Jaka.

   Diam-diam dikaguminya kemajuan Wulan.

   Dua kali adu senjata, dua kali pula Wulan hampir melontarkan senjata lawan.

   Kelihatannya selama sepuluh tahun ini, Dewi Anggrek Emas tidak mengalami perubahan.

   Baru dua jurus saja, Jaka telah dapat menilainya "Kenapa berhenti, takut?"

   Ejek Wulan.

   "Sepuluh orang sepertimu, aku tidak akan mundur setapak pun!"

   Dengus Dewi Anggrek Emas.

   "Bersiaplah! Terima jurus 'Mata geledek'ku!"

   Selesai berkata demikian, Wulan menggerakkan kakinya menyusur tanah dengan cepat.

   Tombaknya dibolak-balikkan cepat ke depan.

   Dua ujung tombak yang bermata tajam mengarah ke dada lawan.

   Dewi Anggrek Emas menyambut serangan itu dengan jurus 'Anggrek Maut' itu diputar-putar bagai baling-baling.

   Tubuhnya meliuk-liuk bagai karet.

   "Lihat kaki!"

   Teriak Wulan keras dan tiba-tiba.

   Secepat itu pula ujung tombaknya mengibas ke kaki lawan.

   Dewi Anggrek Emas menggeser kakinya segera, tetapi ternyata terpedaya.

   Serangan Wulan yang mengarah ke kaki hanya tipuan saja.

   Sedangkan dalam waktu yang hampir bersamaan, kaki kanannya naik cepat dan menyambar pinggang.

   "Setan!"

   Dengus Dewi Anggrek Emas kaget.

   Cepat-cepat Dewi Anggrek Emas mengarahkan senjatanya untuk melindungi pinggangnya.

   Tapi lagi-lagi tertipu.

   Ternyata kaki Wulan tidak sampai menyambar pinggang.

   Justru pada saat kaki itu bergerak, Wulan membarengi dengan memutar tombaknya ke atas.

   Kali ini Dewi Anggrek Emas tidak bisa lagi mengelak Tombak itu sangat cepat menyambar ke lehernya.

   Mau tidak mau Dewi Anggrek Emas menangkis de-ngan tangan kirinya yang masih bebas.

   "Akh!"

   Dewi anggrek emas memekik tertahan.

   Dengan cepat dia melompat sejauh dua tombak ke belakang.

   Tangan kirinya sobek cukup lebar.

   Darah segar mengucur deras.

   Dewi Anggrek Emas segera menotok jalan darah di tangan yang luka itu.

   Sekejap saja darah berhenti mengalir * * * Dewi Anggrek Emas memandang sengit pada lawannya.

   Giginya terkatup rapat dengan geraham bergemeletuk menahan geram.

   Dia hampir tidak percaya kalau Wulan memperoleh kemajuan begitu pesat.

   Jurus-jurusnya makin berbahaya.

   Gerakannya sangat cepat, sukar diduga arah dan tujuannya.

   Sementara Jaka yang sejak tadi mengawasi dengan seksama pertarungan itu, tersenyum-senyum melihat Dewi Anggrek Emas mendapat luka.

   Di-acungkan ibu jarinya saat Wulan menoleh dengan bibir tersungging senyum.

   "Jangan besar kepala dulu, Wulan. Aku belum kalah,"

   Desis Dewi Anggrek Emas dongkol.

   "Kau ingin adu kesaktian?"

   Wulan menantang.

   "Bersiaplah! Terima jurus 'Anggrek Seribu'ku!"

   Dewi Anggrek Emas memasukkan senjata bunga anggrek raksasanya ke balik ikat pinggang.

   Kemudian direntangkan kedua belah tangannya ke samping.

   Dengan diiringi jerit melengking, secara cepat kedua tangannya bergerak.

   Seketika benda-benda yang memancarkan sinar keemasan bertebaran deras ke arah Wulan.

   "Hait..!"

   Wulan berjumpalitan menghindari serbuan anggrek emas yang dilontarkan Dewi Anggrek Emas.

   Senjata yang berbentuk bunga anggrek berwarna emas itu datang bagai hujan tumpah dari langit.

   Begitu derasnya sehingga Wulan agak kerepotan menghindarinya.

   Trang! Trang! Trang! Beberapa kali tombak bermata dua beradu menahan serangan anggrek-anggrek emas yang datang tanpa henti.

   Bahkan kini Dewi Anggrek Emas meng-gerakkan kakinya dengan cepat seperti ingin memutari tubuh Wulan.

   Wulan sadar betul melihat keadaan ini.

   Tanpa menunggu waktu lagi, tombak bermata dua itu pun diputar-putar bagai baling-baling.

   Dewi Anggrek Emas sangat terkejut melihat tubuh Wulan seperti hilang di balik gulungan sinar keperakan.

   Dengan hati panas diliputi penasaran yang tinggi, Dewi Anggrek Emas makin mempercepat gerakan sambil melontarkan senjata andalannya.

   "Habiskan semua senjatamu, Nenek Sihir!"

   Teriak Wulan mengejek.

   "Phuih!"Dewi Anggrek Emas makin geram hatinya mendengar ejekan itu. Dewi Anggrek Emas semakin cepat bergerak memutari tubuh Wulan. Senjata anggreknya menyebar dari segala penjuru. Namun sampai sejauh itu belum ada satu pun yang dapat menembus benteng per-tahanan Wulan. Sinar keperakan yang menyelimuti tubuh gadis itu sulit ditembus. Dewi Anggrek Emas makin geram. Tiba-tiba Dewi Anggrek Emas menjerit melengking, lalu tubuhnya melompat tinggi ke udara. Tangannya bergerak cepat melontarkan senjata andalannya dari udara.

   "Setan!"

   Dengus Wulan terkejut dengan perubahan serangan yang tiba-tiba.

   Anggrek-anggrek emas itu datang sangat cepat dari atas kepalanya Wulan Bdak mungkin merobah lagi pertahanannya Bagian atas memang lowong, dan tidak ada pilihan lain.

   Segera Wulan menjatuhkan diri dan bergulingan di tanah.

   Anggrek-anggrek emas itu meluruk deras menancap di tanah beberapa jengkal saja dari tubuh Wulan.

   "Mampus kau!"

   Jerit Dewi Anggrek Emas.Setelah berkata demikian, dengan cepat Dewi Anggrek Emas meluruk ke bawah sambil tidak henti melontarkan senjatanya.

   Seperti bermata saja, senjata itu mengejar ke mana saja Wulan menghindari sambil bergulingan.

   Wulan tidak punya kesempatan lagi menggunakan tombaknya.

   "Pakai ujung tombakmu, Wulan. Pinjam tenaga!"

   Tiba-tiba Jaka berteriak keras."Baik,Kakang!"balasWulan.

   Tanpa menunggu lagi, Wulan menekan ujung tongkatnya ke tanah.

   Ketika sebuah senjata meluncur deras ke arahnya, dengan cepat Wulan membalikkan tombaknya.

   Sebelah ujung tombaknya menutuk senjata bunga anggrek itu.

   Kemudian dengan meminjam tenaga dari tongkatnya, Wulan langsung melompat ke angkasa.

   "Curang!"

   Sungut Dewi Anggrek Emas.Manis sekali kaki Wulan mendarat di tanah.

   Senjata tombak bermata dua kembali menyilang di depan dada.

   Sesaat Wulan memberikan kerlingan mata pada Jaka, yang kemudian dibalas dengan senyuman.

   Sedangkan Dewi Anggrek Emas kelihatan bersungut-sungut setelah lawannya mampu menandingi jurus 'Anggrek Seribu' nya tanpa mendapat celaka sedikit pun "Jaka, hadapi aku!"

   Bentak Dewi Anggrek Eams sengit.

   "Tidak perlu manis. Adikku pun sudah cukup,"

   Tenang dan lembut Jaka menyahuti. Tetapi kelembutan suara Jaka justru menyakitkan di telinga Dewi Anggrek Emas. Jelas, kata-kata yang diucapkan tenang itu mengandung nada ejekan serta meremehkan dirinya. Dewi Anggrek Emas makin dongkol saja.

   "Bagaimana, Nenek Sihir? Menyerah?"

   Tantang Wulan.

   "Phuih!"

   Tambah geram hati Dewi Anggrek Emas "Jaka, jangan salahkan aku kalau adikmu yang masih bau kencur ini mati di tanganku!"

   "Apa tidak sebaliknya?"

   Ejek Wulan.

   "Tikus busuk! Terima seranganku!"

   Seketika saja Dewi Anggrek Emas mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Lalu dengan gerakan perlahan, tangannya diturunkan hingga sejajar dengat ketiak.

   "Hati-hati, Wulan. Dia mengeluarkan ajian 'Wisanggeni',"

   Kata Jaka memperingatkan.

   "Lawan dengan 'Bayu Segara'!"

   "Baik, Kakang,"

   Sahut Wulan. Segera saja Wulan menekuk kaki kanannya ke depan. Sedangkan kaki kirinya ditarik ke belakang agak menyamping. Kemudian tangan kirinya dipentang lurus ke depan, lalu tangan kanannya ditempelkan di siku kiri.

   "Aji 'Wisanggeni'.. !"

   Teriak Dewi Anggrek Emas melengking.

   Seketika tubuhya mencelat bagai anak panah lepas dari busur.

   Pada saat yang bersamaan kaki Wulan bergerak cepat menyusur tanah.

   Tangannya merentang ke samping, lalu dengan cepat dikebut ke depan.

   Pada saat yang sama, Dewi Anggrek Emas telah mendorong kedua tangannya ke depan pula.

   Maka kedua pasang tangan itu pun beradu keras hingga menimbulkan suara ledakan dahsyat.

   Tubuh Dewi Anggrek Emas terjengkang ke belakang dua depa.

   Sedangkan Wulan melentingkan tubuhnya ke angkasa.

   Dua kali berputar di udara, kemudian dengan cepat meluruk bagai seekor elang menerkam mangsa, ter-arah ke kepala Dewi Anggrek Emas.

   Dewi Anggrek Emas yang terjengkang itu belum dapat menguasai diri.

   Dia terkejut sekali karena Wulan telah menyerang kembali dari atas kepalanya.

   "Setan!"

   Umpat Dewi Anggrek Emas.

   Tanpa pikir panjang lagi, disambutnya serangan Wulan yang mendadak.

   Kembali dua pasang telapak tangan beradu.

   Begitu dahsyatnya serangan itu sampai-sampai kaki Dewi Anggrek Emas melesak masuk ke tanah hingga sebatas lutut Wulan kembali melenting berputar dua kali di udara, lalu dengan lincah mendarat ke tanah.

   "Hoek!"

   Dewi Anggrek Emas memuntahkan darah kental kehitaman.

   Wajah wanita itu mendadak merah.

   Betapa malunya Dewi Anggrek Emas karena dapat dikalahkan oleh seorang gadis yang dulu menjadi bulan-bulanan dirinya.

   Setelah menyeka mulutnya, Dewi Anggrek Emas mengerahkan tenaga dalamnya.

   Dan....

   "Hait..!"

   Tubuh Dewi Anggrek Emas terlonjak ke atas.

   Kakinya telah keluar dari tanah.

   Kini tubuhnya melesat ke udara dan membuat putaran tiga kali sebelum menjejak tanah.

   Tubuhnya sedikit limbung ketika kakinya sampai di tanah.

   Dari mulutnya kembali memuntahkan kental kehitaman.

   Matanya menjadi perih berkunang-kunang.

   "Kau terluka dalam, Dewi Anggrek Emas. Perlu waktu satu bulan untuk memulihkan kekuatanmu,"

   Kata Wulan kalem.

   "Bocah setan! Aku tidak akan melupakan penghinaan ini. Satu saat kelak, akan kubalas kau!"

   Dengus Dewi Anggrek Emas dendam.

   "Aku rasa dalam satu bulan belum tentu kau dapat memulihkan tenaga dalammu,"

   Jaka menimpali.

   Dewi Anggrek Emas mendengus.

   Dia baru tahu kalau aji 'Bayu Segara' yang dilepaskan Wulan dapat menyedot setengah lebih tenaga dalam yang di-milikinya.

   Memang bukan sedikit waktu yang dibutuhkan untuk memulihkannya Aji 'Bayu Segara' memang tidak kelihatan akibatnya secara langsung Tapi siapa saja yang terkena ajian itu, dapat dipastikan lebih dari setengah tenaga dalamnya akan tersedot.

   Dan lagi jurus-jurus serta ilmu-ilmu kesaktiannya juga akan berkurang kehebatannya Tidak nyata secara fisik, tapi mampu membuat mental seorang tokoh jadi frustasi.

   "Tunggu pembalasanku, Wulan!"

   Teriak Dewi Anggrek Emas.

   Setelah berkata demikian, Dewi Anggrek Emas segera melompat pergi.

   Tetapi tanpa diduga sekali, lompatannya jadi lambat dan pendek seperti orang sedang belajar ilmu olah kanuragan.

   Dia benar-benar lupa kalau setengah kekuatan tenaga dalamnya telah tersedot.

   Melihat kenyataan ini, Dewi Anggrek Emas menjadi geram setengah mati.

   Matanya merah menyala menatap Wulan yang hanya tersenyum-senyum.

   "Jangan gunakan tenaga dalam, bisa mati lemas nanti,"

   Kata Jaka kalem.

   "Huh!"

   Dewi Anggrek Emas bersungut-sungut. Hatinya benar-benar tidak dapat melupakan penghinaan ini. Dendam terbalut rapat di dasar hatinya. Sambil menggerutu jengkel, Dewi Anggrek Emas melangkah pergi tanpa berani lagi menggunakan tenaga dalamnya.

   "Kau tidak apa-apa, Wulan?"

   Tanya Jaka ketika Dewi Anggrek Emas sudah tidak kelihatan lagu "Tidak,"

   Sahut Wulan cepat.

   "Tapi kau harus semadi sebentar untuk memulihkan tenagamu. Barangkali ada sedikit pengaruh aji 'Wisanggeni' di jalan darahmu,"

   Kata Jaka penuh perhatian.

   Wulan tersenyum, lalu duduk bersimpuh di bawah pohon yang berumput tebal.

   Segera diambilnya sikap bersemadi, memusatkan seluruh perhatian dan semua indranya dari hubungan dengan dunia fana.

   Disatukan diri dan jiwanya kepada Sang Pencipta.

   Perlahan-lahan Wulan merasakan tubuhnya kian ringan, darahnya mengalir tenang.

   Hawa sejuk mulai merembes masuk ke seluruh jaringan syarafnya.

   Hawa sejuk nyaman perlahan-lahaan berganti menjadi panas.

   Semakin lama panas yang menyambar ke seluruh tubuhnya semakin menyengat.

   Keringat mulai menitik di kening dan seputar lehernya.

   Selanjutnya tubuh Wulan bagai terserang demam.

   Dan....

   "Hoek!"

   Wulan memuntahkan darah merah kental dari mulutnya dua kali.

   Berangsur-angsur seluruh jiwa dan raganya kembali tenang.

   Wajah yang memerah pun kembali pulih seperti semula.

   Cerah bagai bayi tanpa dosa.

   Perlahan-lahan Wulan membuka matanya yang bulat bening seperti bertaburkan bintang berkilauan.

   Dengan lengan baju diseka mulutnya Segera Wulan bangkit berdiri.

   Matanya langsung tertuju pada Jaka yang duduk bersandar di bawah pohon rindang.

   Kakaknya itu pun tengah memperhatikannya dengan bibir tersenyum.

   "Sudah?"

   Tanya Jaka setelah Wulan mendekat. Wulan mengangguk.

   "Kau terkena aji 'Wisanggeni' tadi,"

   Kata Jaka sambil bangkit dari duduknya.

   "Bagaimana kau tahu?"

   Tanya Wulan. Kakinya terus melangkah mendekati kuda yang setia menunggu sambil merumput.

   "Aku melihat noda merah pada telapak tanganmu,"

   Sahut Jaka seraya melompat ringan ke atas punggung kuda.

   Wulan segera naik ke punggung kudanya sendiri.

   Sikapnya tenang, setenang air sungai mengalir.

   Digebah kudanya perlahan agar berjalan lambat-lambat saja Jaka juga menyentak tali kekang kudanya.

   Dua ekor kuda dengan penunggang Sepasang Walet Merah itu berjalan perlahan.

   "Kalau saja aji 'Bayu Segara' mu sudah sempurna, pasti perempuan itu akan mati tanpa luka,"

   Kata Jaka setengah bergumam.

   "Yah, seharusnya aku menyempurnakannya dulu baru turun bukit lagi,"

   Desah Wulan.

   "Kau bisa melakukannya dalam perjalanan."

   "Apa mungkin?"

   "Kenapa tidak? Setiap lawan yang terkena aji 'Bayu Segara' akan menitipkan sebagian tenaga dalamnya padamu. Dengan demikian kau tidak perlu susah-susah bersemedi menyempurnakan tenaga dalam. Enak, kan?"

   "Kau lupa, Wulan. Aji 'Bayu Segara' hanya cocok dimiliki wanita. Sedangkan aku melatih padanannya yang dapat menunjang ajianmu itu. Namanya, aji 'Tirta Segara'."

   "Maaf, aku lupa,"

   Wulan tersipu.

   "Kita dipersiapkan eyang resi untuk menjadi Sepasang Walet Merah. Jadi apa yang kita miliki ini saling menunjang. Memang tidak ada salahnya kalau di-lakukan sendiri-sendiri. Tapi akan lebih sempurna jika dilakukan bersama-sama dalam satu jiwa."

   "Itu kan pesan Eyang Resi, Kakang."

   "Iya, aku hanya memperingatkan saja kok."

   Wulan mendadak tercenung.

   Dia ingat dengan kata-kata yang diucapkan guru mereka sebelum meninggal.

   Semua yang telah diturunkan dan dikuasai kakak beradik ini akan lebih sempurna jika memakan jantung burung walet merah yang hanya ada sepasang saja di dunia ini.

   Dan sepasang jantung itu telah disimpan eyang resi dalam satu tempat.

   Sayang beliau belum sempat menyebutkan, dimana jantung sepasang walet merah Ku disimpan.

   "Kakang..,"

   Kata Wulan.

   "Ada apa?"

   Tanya Jaka.

   "Kau Ingat pesan terakhir Eyang Resi?"

   Wulan balik bertanya.

   "Pesan apa?"

   Jaka belum mengerti.

   "Coba kau ingat-ingat dulu,"

   Kata Wulan seolah-olah memberi teka-teki.

   Jaka mengerutkan keningnya.

   Terlalu banyak pesan yang dibenkan guru mereka sebelum meninggal.

   Jaka mencoba untuk mengingat satu per satu.

   Menduduk dia tersentak ketika teringat salah satu pesan yang hampir terlupakan.

   Hanya satu kalimat saja, dan kelihatannya tidak begitu penting.

   "Aku rasa ini ada hubungannya dengan tokoh-tokoh rimba persilatan yang tengah mencari-cari kita,"

   Kata Wulan.

   "Mungkin juga,"

   Gumam Jaka.

   Keningnya masih berkerut * * * Hari sudah menjelang senja.

   Matahari bersiap-siap pergi tidur.

   Di atas pepohonan, burung-burung nampak sibuk kembali ke sarangnya.

   Sedangkan di bawahnya, terlihat dua ekor kuda yang tengah ditunggangi Sepasang Walet Merah.

   Mereka terus berjalan menyusuri lereng Bukit Batok.

   Tidak jauh dari situ, terlihat sebuah desa yang mulai kelihatan sepi.

   Desa yang satu-satunya terdekat dengan lereng bukit ini dinamakan Desa Batok.Suasana sepi itu tiba-tiba pecah oleh teriakan keras disusul dengan munculnya sesosok tubuh menjebol atap sebuah rumah.

   Sosok tubuh berpakaian ketat serba putih itu bersalto beberapa kali.

   Di sebuah dahan pohon sosok itu hinggap dengan manis.

   Matanya memandang sebentar pada rumah yang baru saja dijebolnya, lalu kembali mendarat di tanah.

   Gerakannya ringan, menandakan orang itu memiliki kepandaian yang tidak rendah.

   Sepasang Walet Merah segera menghentikan langkah kudanya.

   Serentak mereka melompat turun dan menuntun kuda mendekati sebuah pohon di pinggir jalan utama desa itu.

   Wulan mengamati rumah yang ternyata sebuah penginapan.

   Tatapannya lalu beralih pada orang berpakaian ketat serba putih yang berdiri tegang menghadap ke pintu rumah penginapan.

   "Sarmapala,"

   Desah Wulan mengenali orang itu.

   Brak! Tiba-tiba saja pintu rumah penginapan itu hancur berantakan.

   Kemudian disusul berkelebatnya seberkas cahaya merah meluncur deras ke arah Sarmapala.

   Dalam waktu yang bersamaan, Sarmapala melompat ke udara.

   Sinar merah itu lewat di bawah kakinya, lalu tepat menghantam pohon yang berada di belakang laki-laki muda itu.

   Seketika pohon itu meledak dan tumbang.

   Sarmapala kembali mendarat manis di ta-nah.

   "Klabang Hijau, ke luar kau! Jangan seperti tikus bersembunyi di parit!"

   Bentak Sarmapala keras.

   "He he he... Sungguh besar nyalimu, Sarmapala. Tapi lebih besar bualanmu daripada besarnya gunung,"

   Terdengar suara keras dari dalam penginapan.

   "Nyalimu yang seperti liur! Kalau jantan, ke luar!"

   Balas Sarmapala dengan tajam.Belum lagi selesai bibir Sarmapala berkata, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan hijau ke luar dari pintu rumah penginapan yang hancur berantakan.

   Sekejap saja di depan Sarmapala sudah berdiri seorang laki-laki tua bertubuh bungkuk dengan tongkat hijau di tangannya.

   Bajunya yang menyerupai jubah, seluruhnya berwarna hijau.

   Bahkan wajah dan tangannya pun berwarna hijau.

   Dia kini tengah memandang Sarmapala dengan tajam.

   "Sarmapala bisa mati di tangan Klabang Hijau."

   Desis Jaka ketika melihat laki-laki tua berdiri dengan tiba-tiba di depan Sarmapala.

   "Kau akan membantu Sarmapala, Kakang?"

   Tanya Wulan "Tidak,"

   Sahut Jaka tegas.

   Seperti apapun bahayanya Sarmapala, tidak bakalan Jaka membantu.

   Dia tidak pernah menyukai laki-laki itu yang selalu saja menginginkan Wulan menerima cintanya, meskipun Sarmapala seorang pendekar digdaya yang berhati lurus.Jaka masih ingat ketika Sarmapala mempermalukannya di depan orang banyak.

   Saat itu tubuh Jaka dibuat babak belur hanya karena salah pengertian yang sepele.

   Meskipun dulu hidup bergelandang dan mengemis, tapi Jaka tidak pernah melakukan perbuatan yang merugikan orang lain.

   Waktu itu, Sarmapala masih remaja, sama seperti dirinya yang masih berusia sekitar lima belas tahun.

   Dia anak seorang pembesar kerajaan yang sangat dihormati dan disegani.

   Suatu saat, di pusat kerajaan sedang diadakan pesta besar-besaran menyambut datangnya peringatan Dasawarsa Kerajaan.

   Dalam keadaan seluruh penduduk bersenang-senang, tiba-tiba terjadi ribut-ribut Keributan itu berawal dari seorang wanita setengah baya yang kecopetan.

   Kebetulan Jaka yang waktu itu masih bergelandang berada dekat dengan kejadian itu.

   Semua orang langsung menuduhnya mencopet wanita setengah baya itu.

   Sarmapala yang saat itu juga berada di sana bersama sejumlah prajurit, segera bertindak tanpa bertanya lebih dulu.

   Tentu saja, Jaka yang hanya seorang gelandangan dan awam terhadap ilmu kanuragan, menjadi babak belur.

   Untunglah seorang kakek tua cepat menolongnya dan membawanya dari tempat itu.

   Kakek yang bernama Eyang Resi Suralaga lalu mengangkat Jaka sebagai anak sekaligus murid bersama cucu kakek itu yang bernama Wulan.

   Kejadian itu tidak terlupakan bagi Jaka hingga saat ini.

   "Kakang...,"

   Wulan mencolek lengan Jaka."Oh!"

   Jaka tersentak dari lamunannya.

   "Kita di sini terus, Kakang?"

   Tanya Wulan "Sebentar, biarkan mereka selesai dulu dengan urusannya, baru kita lanjutkan perjalanan,"

   Jawab Jaka.

   Wulan tidak membantah.

   Dia cukup mengerti perasaan Jaka saat ini.

   Wulan pun tahu peristiwa yang sekitar dua puluh tahun yang lalu.

   Saat itu dia masih berusia sekitar lima tahun.

   Masih jelas dalam ingatannya bagaimana kedaan Jaka waktu itu.

   Tetapi Wulan tidak menyalahkan Jaka ataupun Sarmapala.

   Baginya hal itu hanya salah pengertian saja.

   Lain halnya dengan Jaka.

   Rupanya dia mengingatnya sebagai sesuatu yang tidak patut dilupakan.

   Dan itu memang hak seseorang, dan Wulan tidak ingin mencampurinya.

   Sementara itu Sarmapala sudah bertarung melawan Klabang Hijau.

   Jaka yang selalu memperhatikan dengan serius, sudah bisa menghitung kalau pertarungan itu sudah berjalan hampir lima jurus.

   Dan kelihatannya Sarmapala sudah sangat terdesak sekali.

   Kepandaian Klabang Hijau memang jauh di atas Sarmapala.

   Hanya saja sikap Sarmapala yang congkak dan tinggi hati membuatnya enggan mengakui keung-gulan lawan.

   Hidupnya yang serba kecukupan dan dikelilingi para pengawal, membuatnya selalu memandang rendah pada siapa.

   Rupanya ini berlanjut sampai dewasa.

   Lebih-lebih sekarang menjabat sebagai Kepala Pasukan Kerajaan, semakin jelas sikap congkaknya.

   Namun demikian, Sarmapala selalu berjalan dalam alur yang lurus.Kini Sarmapala telah mengeluarkan jurus-jurus ilmu pedang andalannya.

   Sementara Klabang Hijau kelihatan masih melayaninya setengah-setengah.

   Bahkan sampai lewat tiga puluh jurus, Klabang Hijau belum sekali pun membalas setiap serangan Sarmapala.

   Dia hanya berkelit menghindar, sambil terkekeh tidak henti-hentinya Hal ini membuat Sarmapala semakin gusar dan panas hatinya.

   "Klabang Hijau, jangan hanya berkelit saja! Serang aku!"

   Teriak Sarmapala jengkel karena merasa diremehkan.

   "He he he. .. Aku tidak pemah berurusan dengan pihak kerajaan. Bahkan selamanya aku tidak ingin berurusan!"

   Sahut Klabang Hijau.

   "Jangan katakan aku kejam kalau pedangku menembus jantungmu!"

   Dengus Sarmapala.

   "Silakan, kalau kau mampu."

   Mendengar tantangan ini, Sarmapala makin geram hatinya.

   Dia pun segera memperhebat serangan-serangannya Pedang pusaka warisan Ayahandanya, berkelebat cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh lawan.

   Rasa penasaran di dalam hatinya semakin menebal.

   Tetapi sampai sejauh ini, pedangnya belum sedikit pun menyentuh ujung jubah orang tua itu.

   Hingga pada suatu saat..

   "Tahan...!"

   Seru Klabang Hijau keras.

   "Celaka!"

   Sentak Jaka dan Wulan hampir berbarengan.

   Apa yang dilakukan Klabang Hijau? * * * Tiba-tiba saja Klabang Hijau melesat ke udara.

   Setelah berputar satu kali, dalam keadaan masih di atas, disentakkan tangan kanannya Sepasang Walet Merah tahu betul kalau Klabang Hijau tengah menge-luarkan jurus 'Kala Wisa' yang sangat berbahaya.

   Tidak semua tokoh mampu menandingi jurus 'Kala Wisa' termasuk Sarmapala yang hanya mengandalkan ilmu kanuragan dan sedikit menguasai ilmu kesaktian lainnya.

   Dapat dipastikan jika 'Kala Wisa' menghantam Sarmapala, dia pasti tewas seketika dengan tubuh membiru.

   Pukulan jarak jauh 'Kala Wisa' memiliki gelombang racun yang sangat mematikan.

   Cras! Pada detik yang sangat kritis dan mendebarkan itu, tiba-tiba saja sebuah bayangan berkelebat cepat memapak serangan Klabang Hijau.

   "Setan belang! Siapa berani mencampuri urusanku?!"

   Umpat Klabang Hijau gusar, karena serangannya patah di tengah jalan. 'Tidak kusangka, nama besar Klabang Hijau ternyata hanya untuk menakut-nakuti bocah kemarin sore,"

   Terdengar suara serak dan parau.

   Semua mata langsung tertuju pada arah suara tadi.

   Tampak seorang perempuan tua berambut putih se-luruhnya, berdiri di atas batu besar sebesar kerbau.

   Orang mengenalinya dari sabuk hitam yang melilit pinggangnya.

   Namanya, Nenek Sumbing.

   "Tidak ada gunanya kalian mengadu nyawa di sini,"

   Kata Nenek Sumbing lagi. Suaranya tetap terdengar serak dan parau.

   "Ha ha ha.. , ternyata mulutnya yang somplak mampu juga memberi nasehat,"

   Sarmapala tertawa mengejek. Nenek Sumbing hanya tersenyum. Bibirnya yang telah sobek bagian atas semakin jelek dipandang. Senyuman itu juga lebih mirip seringaian. Gigi-giginya yang hitam mencuat ke luar.

   "Kau datang ke desa ini tentunya bermaksud ke Bukit Batok. Aku rasa langkahmu hanya untuk mengantar nyawa saja, anak muda,"

   Tenang Nenek Sumbing berkata. Merah padam wajah Sarmapala ketika mendengar ucapan Nenek Sumbing yang bernada tenang itu, namun membuat panas telinga. Jelas kalau perempuan tua itu meremehkan dirinya.

   "Nenek jelek! Semua orang tahu kalau Cupu Manik Tunjung Biru milik siapa saja yang berhasil mendapatkannya. Pusaka itu bukan hanya milik kalian kaum rimba persilatan!"

   Kata Sarmapala keras dengan nada gusar.

   Kata-kata yang diucapkan lantang dan keras, membuat Sepasang Walet Merah yang sejak tadi mengamati mereka, menjadi tersentak kaget.

   Ternyata berita tentang pusaka Cupu Manik Tunjung Biru sudah tersebar begitu luas.

   Bukan hanya tokoh-tokoh rimba persilatan saja yang ingin memilikinya, tetapi orang-orang kerajaan seperti Sarmapala ini pun juga tertarik.

   "Rasanya tidak ada gunanya berdebat di sini. Kalau kau punya nyali, kita dapat saling mengadu nyawa nanti di Goa Larangan Bukit Batok,"

   Kata Nenek Sumbing seraya mencelat tinggi dan lenyap di antara rumah-rumah penduduk.

   "Perhitungan kita belum selesai, Klabang Hijau,"

   Sarmapala langsung menatap Klabang Hijau. Dia tidak peduli lagi dengan Nenek Sumbing yang entah sudah pergi ke mana.

   "He he he. .,"

   Klabang Hijau terkekeh, kemudian dibalikkan tubuhnya, lalu melangkah.

   "Hey, tunggu! Kau tidak bisa pergi begitu saja sebelum salah satu di antara kita mati!"

   Teriak Sarmapala lantang.

   "Percuma aku melayanimu. Buang-buang tenaga saja,"

   Dengus Klabang Hijau terus saja berlalu.

   Dengan kemarahan memuncak, Sarmapala berteriak nyaring sambil melompat membabatkan pedangnya.

   Namun ketika mata pedangnya hampir menyentuh tubuh Klabang Hijau, sekejap saja sasarannya telah melompat tinggi dan telah hinggap di atas genteng rumah penginapan.

   "Kutunggu kau di Goa Larangan Bukit Batok,"

   Kata Klabang Hijau sambil melompat dan hilang di antara pepohonan.

   "Pengecut!"

   Umpat Sarmapala geram.

   Sambil bersungut-sungut, dihampiri kudanya yang ditambatkan di depan rumah penginapan.

   Setelah melompat ringan ke punggung kuda putih tunggang-annya, kuda itu pun melesat bagai anak panah lepas dari busur ketika digebah tali kekangnya.

   Sepasang Walet Merah yang sejak tadi memperhatikan, hanya diam saja melihat kejadian itu.

   Masing-masing sibuk dengan pikirannya.

   Sebentar saja keadaan di depan rumah penginapan kembali sunyi lengang.

   Sementara senja telah semakin merayap menjelang malam.

   Suasana gelap mulai menyelimuti desa itu.

   "Mereka pasti menuju makam Eyang Resi,"

   Gumam Jaka. Wulan hanya memandang Jaka tanpa bicara.

   "Kau dengar kata-kata Nenek Sumbing tadi, Wulan?"

   Tanya Jaka.

   "Ya,"

   Sahut Wulan.

   "Mereka menyangka Cupu Manik Tunjung Biru ada di Goa Larangan Bukit Batok. Dan kau tahu di dalam goa itu Eyang Resi Suralaga dimakamkan. Apakah kita hanya berdiam diri saja?"

   "Aku tidak rela makam eyang diobrak-abrik tangan-tangan kotor!"

   Dengus Wulan geram.

   Tanpa banyak bicara lagi, mereka melompat ke punggung kuda masing-masing.

   Secepat kilat digebah kuda tunggangan mereka, kembali ke Bukit Batok.

   Sepasang Walet Merah kini semakin yakin bahwa benda pusaka yang tengah diperebutkan dan dicari-cari tokoh-tokoh rimba persilatan adalah milik Eyang Resi Suralaga.

   Benda pusaka yang bernama Cupu Manik Tunjung Biru kini jadi rebutan setelah pemiliknya meninggal dunia.

   Eyang Resi Suralaga memang tidak pernah cerita panjang lebar mengenai hal itu.

   Tetapi kata-kata terakhirnya yang merupakan teka-teki, kini hampir terungkap.

   Bahkan sekarang jadi permasalahan serius.

   Sepasang Walet Merah belum tahu, apa manfaat pusaka itu bagi orang lain.

   Mereka sampai rela mengadu nyawa hanya untuk memperebutkan sebuah cupu yang belum ketahuan bentuk dan khasiatnya.

   Bagi Sepasang Walet Merah cupu itu sangat bermanfaat.

   Tapi bagi orang lain? Ini yang menjadi pertanyaan.

   * * * Bukit Batok tampak berdiri angkuh terselimut kabut tebal yang bergerak tertiup angin.

   Bukit yang semula tidak dikenal, kini mendadak jadi pusat perhatian.

   Setiap hari selalu saja ada yang pergi ke sana.

   Tujuan mereka hanya satu.

   Cupu Manik Tunjung Biru.

   Kini Goa Larangan Bukit Batok ramai oleh tokoh-tokoh rimba persilatan baik dari golongan putih maupun hitam.

   Mereka datang sendiri-sendiri, dan ada pula yang bersama murid-muridnya.

   Bahkan terlihat pula serombongan prajurit-prajurit kerajaan yang dibagi beberapa kelompok.

   Masing-masing kelompok dipimpin seorang punggawa atau pembesar kerajaan.

   Walaupun maksud memiliki Cupu Manik Tunjung Biru berlainan, tapi yang jelas orang-orang dari segala penjuru telah berdatangan ke Bukit batok.

   Tempat itu kini seperti akan diadakan pesta saja.

   Bahkan ada beberapa kelompok orang yang hanya memiliki kepandaian pas-pasan ikut hadir.

   Mereka rata-rata hanya ingin melihat saja tokoh-tokoh tingkat tinggi saling bertarung untuk memperebutkan benda yang bukan miliknya.

   "Tidak kusangka, Cupu Manik Tunjung Biru punya daya tarik luar biasa,"

   Gumam seorang pemuda sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

   Pemuda itu bertubuh kurus jangkung.

   Sepasang matanya bulat cekung, masuk ke dalam di antara dua pipinya yang kempot.

   Namun masih juga terlihat garis garis ketampanannya dengan kulit yang kuning langsat.

   Pakaiannya rapih perlente bagai seorang pangeran.

   Disampingnya berdiri seorang pemuda de-ngan bentuk tubuh dan wajah yang sama.

   Pakaiannya pun persis sama.

   Sulit membedakan kalau mereka berdampingan bersama.

   Mereka dikenal dengan julukan si Setan Kembar.

   "Kau lihat, Adik Sencaki. Pihak kerajaan ternyata berminat juga dengan Cupu Manik Tunjung Biru,"

   Kata pemuda itu lagi yang bernama Sencaka.

   "Ya, mereka datang secara terbuka,"

   Sahut Sencaki.

   Matanya meneliti keadaan sekitar.

   Sepertinya tempat ini tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi.

   Di balik pepohonan, batu-batu, bahkan di pucuk-pucuk pohon sudah dihuni tokoh-tokoh rimba persilatan yang selalu mengincar kesempatan untuk me-nembus Goa Larangan.

   Tiba-tiba mata Sencaki yang tajam menangkap sepasang anak muda berpakaian serba merah tengah duduk di atas punggung kuda.

   Memang agak jauh dari tempat ini, tapi jelas kalau mereka tengah mengawasi keadaan sekitarnya.

   "Bukankah itu Sepasang Walet Merah?"

   Sencaki seperti bertanya pada diri sendiri.

   "Benar. Rupanya kau melihat juga,"

   Sahut Sencaka.

   "Kelihatannya mereka tenang-tenang saja, Kakang,"

   Kata Sencaki tidak mengalihkan perhatian pada Sepasang Walet Mwrah.

   "Mungkin cupu itu telah berada di tangannya,"

   Sahut Sencaka menebak.

   "Kalau begitu, untuk apa kita berada di sini? Bukankah lebih baik merebut cupu itu dari tangan mereka?' "Jangan terburu nafsu. Lihat dulu perkembangan. Biarkan orang-orang dungu itu saling bunuh! Dengan demikian, rintangan kita berkurang."

   Sencaki mengangguk-anggukan kepalanya. Matanya tetap tidak berkedip mengawasi Sepasang Walet Merah yang berada di puncak bukit. Dari puncak itu memang bisa terlihat jelas keadaan di sekitar Goa Larangan.

   "Aku yakin Sepasang Walet Merah tidak rela tempat ini dijadikan ajang pertempuran,"

   Gumam Sencaki.

   "Mereka juga harus berpikir dua kali untuk langsung turun tangan. Kau lihat saja di situ. Ada Nenek Sumbing, Klabang Hijau, Pendekar Mata Elang, dan hampir seluruh tokoh sakti tumplek di tempat ini. Kita sendiri belum tentu mampu menandingi salah satu di antara mereka."

   "Jadi, menurutmu bagaimana, Kakang?"

   "Diam di sini sambil mengamati perkembangan. Dan kau jangan lepas mengawasi setiap gerak Sepasang Walet Merah."

   Sencaki mengangguk-anggukan kepalanya.

   Dia mengerti maksud kakak kembarnya ini.

   Dalam keadaan seperti ini, memang bukan tenaga dan kesaktian yang diperlukan, tapi kelicikan dan kecerdikan lah yang bermain.

   Siapa yang lebih cerdik, dia yang berhasil mendapatkan Cupu Manik Tunjung Biru.

   Tapi bukan si Setan Kembar saja yang punya pikiran seperti itu.

   Tidak jauh dari mereka, juga terlihat lima orang bertubuh kekar dengan golok tersampir di punggung.

   Mereka lebih di kenal dengan sebutan Lima Golok Neraka.

   "Rasanya aku sudah tidak sabar lagi,"

   Gumam salah seorang dari Lima Golok Neraka yang mengenakan baju berwarna kuning.

   "Sabar, Baga Kuning. Kita datang ke sini untuk mendapatkan Cupu Manik Tunjung Biru. Bukan untuk mengantarkan nyawa sia-sia!"

   Kata seorang lagi yang mengenakan baju biru. Memang kelima orang itu dapat dikenal namanya dari pakaian yang dikenakan. Warna yang berbeda merupakan ciri khas dari nama mereka.

   "Lalu sampai kapan kita harus menunggu? Rasanya tanganku sudah gatal,"

   Sembur Baga Ungu.

   "Ingat, Baga Ungu, Baga Kuning, dan kalian semua. Keadaan seperti ini sudah kita duga sebelumnya. Dan cara yang terbaik bukan dengan jalan adu otot dan ilmu kesaktian, tapi!"

   Kata Baga Biru sambil telunjuknya diketuk-ketukan ke keningnya sendiri. Memang, adik-adiknya sudah tidak sabaran lagi untuk mendapatkan benda pusaka itu.

   "Lalu bagaimana menurut pikiranmu?"

   Tanya Baga Putih.

   Baga Biru tidak segera menjawab.

   Dia sendiri tengah memikirkan cara terbaik agar dapat memenangkan persaingan ini tanpa terlalu menguras tenaga.

   Masalahnya, yang datang ke Bukit Batok ini bukanlah orang-orang sembarangan.

   Mereka rata-rata memiliki kepandaian yang cukup tinggi.

   Jadi tidak mungkin menghadapi mereka semua dengan mengandalkan ilmu olah kanuragan dan kesaktian.

   Langkah yang terpenting sekarang adalah dapat menjaga emosi, dan mencari yang tepat tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga.

   Tentu saja hal ini membutuhkan kerja otak yang berat.

   Kecerdikan lebih berperan untuk memenangkan persaingan ini.

   Pada saat Baga Biru memeras otak, tiba-tiba terdengar ribut-ribut yang disusul suara jerit kematian.

   Tampak satu pasukan berseragam prajurit kerajaan porak-poranda bagai diterjang banteng liar yang mengamuk.

   Beberapa mayat terlihat bergelimpangan dengan dada tertembus batang panah.

   "Ada apa?"

   Tanya Baga Biru.

   "Ada orang gila membantai prajurit kerajaan,"

   Sahut Baga Kuning.

   Mata Baga Biru membeliak melihat anak-anak panah datang bagai hujan membantai para prajurit itu.

   Bukan hanya satu kelompok pasukan saja yang mengalami hal ini Kelompok-kelompok lain pun ikut kacau dengan datangnya hujan panah secara tiba-tiba itu.

   Jerit melengking disertai tumbangnya beberapa tubuh manusia mewarnai keadaan Bukit Batok.

   Semua orang yang ada di situ langsung memusatkan perhatian pada kejadian yang datang secara tiba-tiba itu.

   Terlihat beberapa prajurit yang masih hidup berusaha menyelamatkan diri.

   Namun karena derasnya anak panah yang datang, seperti tak ada kesempatan lagi buat mereka untuk meloloskan diri.

   Satu dua anak panah dapat mereka hindari, tapi anak panah berikutnya berhasil menembus tubuh mereka.

   Malang benar nasib mereka.

   Siapakah orang yang begitu tega dan kejam membantai puluhan orang tanpa diberi kesempatan sedikit pun untuk balas menyerang? Anak-anak panah itu bagai datang dari segala penjuru.

   Hanya mata yang telah terlatih baik saja yang dapat melihat kalau anak panah itu datang dari satu arah.

   Kini jeritan kematian yang menyayat itu sebentar saja sudah tidak terdengar lagi.

   Yang ada hanya tubuh-tubuh bergelimpangan tidak tentu arah.

   Darah membanjiri rerumputan.

   Bau anyir darah mulai tercium dibawa angin.

   * * * "Ha ha ha.

   ., mampus kalian semua anjing-anjing Pasirwatu!"

   Terdengar suara menggelegar bersamaan dengan berhentinya hujan panah.

   Terlihat seorang laki-laki muda dengan tubuh tinggi tegap berdiri di atas sebuah batu besar yang bertumpuk-tumpuk.

   Di tangan kanannya tergenggam sebuah busur.

   Sedangkan di pinggangnya tergantung sebuah kantong anak panah yang telah kosong.

   Pongah sekali lagaknya sambil berdiri membelakangi matahari.

   Matanya tajam memandangi mayat-mayat prajurit Kerajaan Pasirwatu.

   Mendadak dibuangnya busur, dan dengan gerakan lincah, kedua tangannya mencabut tombak pendek bermata tiga yang terselip di pinggang.

   Dialah Rakawigirang.

   Rakawigirang membantai habis prajurit Pasirwatu memang ada alasannya.

   Lima tahun lalu putri Kerajaan Pasirwatu pernah disayembarakan.

   Ternyata pemuda bernama Rakawigirang ini ikut pula dalam sayembara itu.

   Tapi dia dapat dikalahkan oleh putri yang disayembarakan itu.

   Memang putri itu seorang yang digdaya.

   Rupanya dari peristiwa itu Rakawigirang memendam dendam.

   "Siapa yang akan membela anjing-anjing Pasirwatu? Tunjukkan muka!"

   Teriak Rakawigirang pongah menantang.

   "Rakawigirang, tingkahmu sungguh menjijikan!"

   Suara balasan terdengar menggeram, disusul munculnya seorang laki-laki muda berpakaian ketat serba putih."O, rupanya masih ada juga tikus busuk Pasirwatu,"

   Rakawigirang tersenyum sinis melihat Sarmapala muncul.

   Sarmapala, salah seorang abdi utama dengan jabatan kepala pasukan prajurit Kerajaan Pasirwatu.

   Hatinya murka melihat pembantaian brutal yang di-lakukan Rakawigirang.

   Lebih-lebih kata-kata yang terlontar dari mulut Rakawigirang sangat menyakitkan telinga.

   "Kurobek mulutmu, Rakawigirang!"

   Geram Sarmapala.

   "Majulah! Keluarkan senjatamu!"

   Tantang Rakawigirang.

   "Menghadapimu tidak perlu menggunakan senjata!"

   Rakawigirang segera menyelipkan kembali dua tombak bermata tiga ke pinggangnya, lalu melesat ke udara dan bersalto dua kali. Dengan manis kakinya menjejak tanah sejauh lima langkah di depan Sarmapala.

   "Kau datang ke sini tentu ingin mencari Cupu Manik Tunjung Biru, bukan? Nah, sebelum itu hadapi aku dulu!"

   Kata Rakawigirang pongah.

   "Bersiaplah!"

   Dengus Sarmapala enggan bertele-tele.

   Bibirnya belum lagi kering mengucapkan kata-kata itu, Sarmapala langsung membuka jurus-jurus tangan kosong.

   Sedangkan Rakawigirang tampak berdiri tenang dengan mata tajam mengawasi setiap kembangan jurus tangan kosong Sarmapala.

   Bibirnya ter-sungging senyuman tipis.

   Dia sudah tidak aneh lagi menghadapi jurus-jurus itu, karena telah pernah berhadapan sewaktu melawan putri Rasmala dari Kerajaan Pasirwatu lima tahun lalu.

   Tentu saja Sarmapala juga mendapatkan sumber yang sama.

   Seandainya putri sombong itu ada di sini, belum tentu dapat mengalahkan Rakawigirang lagi.

   Selama lima tahun Rakawigirang memperdalam ilmu-ilmunya.

   Apalagi kini dia mempelajari ilmu baru yang lebih dahsyat dan dapat diandalkan.

   "Tahan serangan!"

   Teriak Sarmapala tiba-tiba.

   Bersamaan dengan itu, kaki Sarmapala bergerak cepat melompat menerjang Rakawigirang Masih dalam posisi di atas tanah, digerakkan kakinya dengan cepat ke arah bagian-bagian tubuh lawan.

   Rakawigirang yang sudah mengetahui gerakan-gerakan itu sebelumnya, hanya memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri dan ke kanan menghindari sabetan kaki lawan yang beruntun.

   Tidak sedikit pun digeser ka-kinya.Serangan pertama Sarmapala gagal total.

   Segera dibukanya serangan baru dengan jurus kedua.

   Kali ini tubuh Sarmapala dimiringkan ke kanan.

   Sebelah kakinya menekuk.

   Dengan cepat, tangan kanannya menyambar kepala lawan.

   Pembahan serangan yang cepat dan mendadak itu tidak diduga sebelumnya oleh Rakawigirang.

   Dia kaget, lalu cepat-cepat menundukkan kepala.

   Tapi tanpa diduga sama sekali, kaki kanan Sarmapala yang tertekuk bergerak cepat menendang ke depan.

   "Setan!"

   Dengus Rakawigirang sengit.

   Jarak mereka begitu dekat dan tidak mungkin Rakawigirang mengelak.

   Terpaksa diayunkan tangannya memapak tendangan itu.

   Buk! Benturan keras terjadi antara tangan dan kaki.

   Seketika itu juga Rakawigirang melompat dua kali ke belakang.

   Bibirnya meringis menahan sakit yang amat sangat pada tangannya.

   "Babi buntung, keluarkan senjatamu!"

   Umpat Rakawigirang sambil meringis. Untung tulang tangannya tidak patah. Hanya memar sedikit.

   "Sudah kubilang, menghadapimu tidak perlu menggunakan senjata,"

   Sahut Sarmapala dingin.

   "Setan! Jangan menyesal kalau kau mati di ujung senjataku!"

   Geram Rakawigirang sambil mencabut tongkat pendek berujung tiga dari pinggangnya.

   "Ha ha ha. ., anak kecil pun tidak akan gentar melihat mainanmu!"

   Ejek Sarmapala.

   "Hiyaaa...!"

   Rakawigirang tidak lagi bisa menahan amarahnya.

   Langsung saja dia melompat dengan dua senjata di tangan terhunus ke depan.

   Sarmapala melesat tinggi ke udara menghindari terjangan yang bagai banteng mengamuk itu.

   Ujung senjata Rakawigirang meleset beberapa rambut di bawah kaki Sarmapala.

   Dua kali dia bersalto di udara, lalu mendarat di belakang Rakawigirang.

   "Mampus kau!"

   Bentak Rakawigirang.

   Dengan cepat tubuhnya berputar.

   Satu ujung tombak itu mengancam perut sedangkan tombak lainnya mengarah ke leher.

   Sarmapala yang baru saja mendarat ke tanah, segera melenting ke belakang beberapa tombak menghindari serangan yang begitu cepat "Setan!"

   Dengus Sarmapala.

   "Lima tahun begitu pesat kemajuannya."

   Belum lagi Sarmapala bernapas sedikit, telah datang lagi serangan selanjutnya.

   Sarmapala hanya bisa berkelit dan melompat menghindari setiap serangan lawan.

   Namun sampai lewat lima jurus, Rakawigirang belum menyentuhkan ujung senjatanya ke tubuh Sarmapala.

   Gerakan Sarmapala benar-benar cepat berkelit menghindari setiap serangan beruntun lagi berbahaya.

   Namun setelah lewat sepuluh jurus, kelihatan Sarmapala mulai terdesak.

   Beberapa kali harus jatuh bangun menghindari senjata lawan yang nyaris menikam tubuhnya.

   Rakawigirang benar-benar tidak memberi kesempatan pada lawan untuk bernapas.

   Dia mendesak terus dengan jurus-jurus mautnya.

   Bret! Tiba-tiba saja ujung senjata Rakawigirang berhasil merobek baju Sarmapala.

   Bukan main terkejutnya pemuda itu.

   Cepat-cepat dia melompat tinggi ke udara, dan menarik pedangnya.

   "Bagus! Aku sungkan membunuh lawan tanpa memegang senjata!"

   Seru Rakawigirang.

   Sebenarnya Sarmapala enggan menggunakan senjata.

   Tetapi karena serangan-serangan lawan sangat berbahaya, terpaksa dikeluarkan juga senjatanya.

   Mau tidak mau dia harus menahan malu karena telah meremehkan lawan tadi.

   Kini pertarungan mulai berjalan seimbang.

   Sarmapala tidak lagi harus jatuh bangun menghindari serangan.

   Bahkan kini serangan-serangannya kelihatan mengganas.

   Sebentar saja telah dua puluh jurus terlewati.

   Namun sejauh ini belum ada yang kelihatan terdesak.

   "Awas kepala!"

   Teriak Sarmapala tiba-tiba.

   Dengan cepat disabetkan pedangnya ke arah kepala lawan.

   Begitu cepatnya sabetan pedang Sarmapala membuat Rakawigirang tidak punya pilihan lain.

   Dengan cepat pula diangkatnya satu senjatanya untuk melindungi kepala.

   Trang! Dua senjata beradu keras sehingga menimbulkan pijaran bunga api.

   Tangan Rakawigirang pun sampai-sampai bergetar hebat.

   Belum lagi hilang rasa kagetnya, tiba-tiba saja Sarmapala memutar pedangnya dan...Bret! "Akh!"

   Rakawigirang memekik tertahan. Darah mengucur dari perut yang sobek tergores ujung pedang Sarmapala. Cepat-cepat Rakawigirang melompat dua depa ke belakang. Dia meringis menahan perih yang menyayat perutnya. Darah terus merembes membasahi bajunya.

   "Setan!"

   Geram Rakawigirang sengit.

   "Melawan Gusti Putri saja kau tak mampu, apalagi melawan aku. .?"

   Sarmapala mengejek.

   Rakawigirang mendengus geram.

   Setelah menotok beberapa jalan darah sekitar perutnya, dia kembali menyerang dengan ganas.

   Sarmapala kini tidak sungkan-sungkan lagi.

   Ditandinginya Rakawigirang dengan jurus-jurus pedang mautnya.

   Pertarungan kembali berlangsung seru.

   Tepat pada jurus yang kelima puluh, Sarmapala merubah jurusnya.

   Ditarik pedangnya ke samping, seakan-akan memberikan kebebasan lawan untuk menikam tubuhnya yang kosong.

   Hal ini dimanfaatkan oleh Rakawigirang yang sudah kalap dibalut amarah.

   Dengan cepat ditusukan kedua senjatanya ke arah perut dan dada.

   Semua orang melihat pasti akan menyangka Sarmapala sengaja bunuh diri dengan membuka jurus pertahanannya.

   Namun apa yang terjadi selanjutnya? Trang! Trang! Tepat pada saat ujung-ujung senjata Rakawigirang hampir mencapai sasaran, mendadak Sarmapala mendoyongkan tubuhnya ke belakang.

   Dalam keadaan doyong ke belakang itu, tangan Sarmapala yang semula terentang, riba-riba bergerak cepat mengarahkan pedangnya dari bawah ke atas.

   "Akh"

   Pekik Rakawigirang terkejut Rakawigirang tidak mungkin menarik senjatanya lagi.

   Dengan bebas Sarmapala memapak Dua senjata tombak pendek bermata cabang tiga itu pun terpental ke udara.

   Belum lagi hilang rasa kagetnya, secepat kilat Sarmapala membuat setengah putaran pada pedangnya.

   Dan....

   "Aaaa...!"

   Rakawigirang menjerit melengking Ujung pedang Sarmapala berhasil menembus tepat dada Rakawigirang hingga tembus ke punggung.

   Sambil mendengus, Sarmapala mengayunkan kakinya menendang tubuh lawan yang telah tertembus pedang.

   Rakawigirang pun terlontar ke belakang bersamaan dengan tertariknya pedang keluar dari tubuhnya.

   Darah segar menyembur dari tubuh Rakawigirang.

   Rakawigirang menggeletak tidak bernyawa lagi.

   Sarmapala berdiri tegak menatap tubuh lawannya yang telah menjadi mayat.

   Setelah membersihkan mata pedang dari noda darah, dimasukkannya pedang itu ke sarungnya di punggung.

   * * * Sarmapala melangkah ringan.

   Matanya mengamati ke sekeliling.

   Dia tahu benar kalau di sekitarnya bersembunyi tokoh-tokoh rimba persilatan baik dari golongan hitam maupun putih.

   Dan tentunya mereka telah menyaksikan pertarungan tadi.

   Tapi sepertinya Sarmapala tidak peduli.

   Langkahnya terus terayun menuju ke Goa Larangan.

   Tetapi bani saja kakinya melangkah sekitar tiga tombak, tiba-tiba di depannya meluncur sebuah bayangan berwarna hijau, yang kemudian berhenti di depannya.

   Ternyata bayangan itu adalah Klabang Hijau yang telah berdiri angker dengan sikap menantang.

   "Belum saatnya kau melangkah ke sana, anak setan,"

   Kata Klabang Hijau dingin.

   "Hm, rupanya Klabang Hijau masih juga penasaran,"

   Gumam Sarmapala.

   "Aku belum puas kalau belum mematahkan lehermu!"

   "Silakan kalau kau mampu."

   "Bersiaplah untuk mati, anak setan! Arwah cucuku yang kau nodai belum puas kalau kau belum mampus di tanganku!"

   Setelah berkata demikian, Klabang Hijau segera mengerahkan aji 'Kala Wisa'.

   Sarmapala yakin kalau lawannya kali ini tidak main-main lagi untuk menggunakan kesaktiannya.

   Makanya dia pun tidak menganggap remeh, segera disiapkan aji 'Guntur Geni', ajian yang cukup dahsyat.

   Dua orang memiliki persoalan pribadi sudah siap-siap dengan ilmu kesaktian masing-masing.

   Dan sebenarnya Klabang Hijau ke Bukit Batok ini hanya untuk menemui Sarmapala.

   Klabang Hijau tahu betul kalau manusia satu ini sangat gila akan benda-benda pusaka yang memiliki kekuatan tinggi.

   Selain itu, Sarmapala juga gemar mempelajari ilmu-ilmu kesaktian.

   Tidak heran kalau dia selalu meninggalkan tugas-tugasnya sebagai kepala pasukan kerajaan hanya karena ingin memenuhi ambisinya.

   Klabang Hijau tidak pernah tertarik dengan Cupu Manik Tunjung Biru.

   Dia tahu kalau benda pusaka itu milik Eyang Resi Suralaga yang mangkat beberapa tahun lalu.

   Klabang Hijau pun tahu kalau mendiang tokoh tua itu memiliki cucu perempuan dan seorang murid laki-laki yang diangkat menjadi cucunya.

   Jadi sudah pasti kalau Cupu Manik Tunjung Biru harus jatuh ketangan cucu-cucunya sebagai pewaris yang sah.

   "Aji 'Kala Wisa'!"

   "Aji 'Guntur Geni'!"

   Dua teriakan keras terdengar hampir bersamaan waktunya, disusul dengan melesatnya dua tubuh lengkap dengan kesaktian masing-masing.

   Klabang Hijau meluncur deras dengan kedua telapak tangan terbuka ke depan.

   Sedangkan Sarmapala melompat dengan kedua tangan terkepal ke depan.

   Hingga pada satu titik di udara, dua pasang tangan bertemu.

   Biar! Ledakan keras terjadi diikuti berpencarnya bunga api yang berwarna-warni ke segala arah.

   Dia bergulingan beberapa tombak.

   Sementara itu Sarmapala tidak kalah jauhnya terpental.

   Punggungnya sampai menghantam sebuah batu besar hingga hancur berkeping-keping.

   Debu mengepul dari batu yang hancur itu.

   Sarmapala menggeletak di antara batu-batuan yang berserakan terlanggar tubuhnya.

   Dari mulut, hidung, dan telinga keluar darah kental kehitaman.

   Pelan-pelan dia berusaha bangkit berdiri.

   Tetapi baru saja bangun sedikit, dari mulutnya kembali memuntahkan darah kental kehitaman.

   Sarmapala berusaha duduk, dan segera mengambil sikap bersemedi.

   Lain halnya dengan Klabang Hijau.

   Setelah bergulingan di tanah beberapa kali, dengan cepat dia langsung mengambil posisi bersemedi.

   Dari sudut bibirnya juga mengalir darah kental kehitaman.

   Namun keadaannya tidak separah Sarmapala.

   Dengan menyalurkan hawa mumi ke seluruh tubuh, tidak lama kemudian tenaga Klabang Hijau telah pulih kembali.

   Masih dalam posisi bersila, tubuhnya terangkat naik dan bergerak ke depan menghampiri Sarmapala yang telah membuka matanya.

   "Edan!"

   Dengus Sarmapala ketika lawannya sudah kembali menyerang dengan posisi bersila.

   Dengan cepat ditarik tangan kirinya ke atas, lalu perlahan-lahan turun, tangan kanannya menyilang di dada dengan telapak tangan terbuka.

   Perlahan-lahan tubuhnya juga terangkat naik.

   Wush! Klabang Hijau mengebut dua tangannya ke depan ketika jaraknya dengan Sarmapala sudah dekat.

   Dan bersamaan dengan itu, Sarmapala mendorong dua telapak tangannya ke depan.

   Kembali dua pasang telapak tangan bertema Namun kali ini tidak diiring dengan ledakan.

   Mereka sama-sama mendorong rapat Tubuh mereka juga berada sejauh batang anak panah di atas tanah.

   Perubahan mulai terlihat pada wajah kedua orang itu.

   Tegang sekali.

   Asap putih mengepul dari telapak tangan yang menyatu rapat.

   Dua tubuh yang masih mengambang di atas tanah itu perlahan-lahan bergerak berputar.

   Semakin lama putaran itu semakin cepat.

   Yang terlihat kini hanya berupa bayangan berputar pada satu titik.

   "Aaaa...!"

   Tiba-tiba terdengar teriakan memilukan.

   Sejurus kemudian, tampak satu tubuh terpental dari lingkaran yang berputar cepat.

   Ternyata itu adalah tubuh Sarmapala.

   Dia menggelepar-gelepar sebentar, lalu diam tak bergerak lagi.

   Seluruh tubuhnya hangus bagai terbakar.

   Sementara Klabang Hijau telah duduk di tanah masih dengan sikap bersemedi.

   Kedua tangannya menyatu rapat di depan dada.

   Terlihat dari pergelangan tangan hingga telapak berwarna merah bagai darah.

   Agak lama dia bersemedi, sampai berangsur-angsur warna merah di tangannya memudar, dan hilang sana sekali.

   Klabang Hijau membuka matanya, lalu menarik napas dalam-dalam sebentar, dan bangkit berdiri.

   Matanya sempat melihat mayat Sarmapala yang hangus menggeletak di tanah."Sungguh hebat aji 'Guntur Geri',"

   Gumam Klabang Hijau memuji kesaktian lawannya yang telah tewas.

   * * * Malam baru saja menjelang.

   Udara dingin menyelimuti seluruh puncak Bukit Batok.

   Kabut tebal datang bergulung-gulung sedikit menghalangi pemandangan.

   Namun semua itu tidak menghalangi tokoh-tokoh rimba persilatan untuk tetap tinggal di sana.

   Sementara lolongan anjing hutan semakin ramai terdengar saling sambut.

   Beberapa ekor bahkan telah menghampiri mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitar Goa La-rangan.

   Pesta pora anjing-anjing liar itu tidak luput dari perhatian Sepasang Walet Merah yang masih berdiri di puncak tertinggi bukit ini.

   Sepuluh tahun mereka tinggal di Bukit Batok, setiap jengkal tanah dapat mereka hafal dengan baik.

   Mereka dapat memandang dengan leluasa di bawahnya hingga dapat tahu siapa-siapa saja yang datang ke tempat itu dengan tujuan yang sama, mencari Cupu Manik Tunjung Biru.

   "Kematian yang sia-sia,"

   Gumam Wulan lirih.

   "Hanya orang tolol yang membuang nyawa percuma."

   Sepasang Walet Merah terkejut mendengar suara yang datang tiba-tiba dari belakang. Tampak seorang laki-laki berpakaian kumuh berdiri dengan tangan membawa guci arak. Wulan langsung tersenyum mengetahui orang yang ada di depannya itu.

   "Kau datang lagi, Gila Jubah Hitam?"

   Lembut suara Wulan.

   "Ya. Aku datang untuk menyaksikan orang-orang tolol memperebutkan pepesan kosong,"

   Sahut si Gila Jubah Hitam. Kata-katanya belum lagi hilang ditelan angin, wajah si Gila Jubah Hitam kembali kelihatan murung. Matanya yang cekung menatap Wulan sayu.

   "Aku senang jika kalian tidak lagi memanggilki dengan sebutan si Gila Jubah Hitam,"

   Lirih suaranya "Lantas, kami harus memanggilmu apa?"

   Tanya Jaka.

   "Sebenarnya namaku Atmaya."

   "Atmaya. .?!"

   Hampir bersamaan Jaka dan Wulan berseru kaget "Kenapa kalian kaget?"

   Tanya si Gila Jubah Hitam atau Atmaya.

   "Bagaimana mungkin kami tidak kaget? Eyang Resi Suralaga sering menyebut-nyebut namamu,"

   Kata Jaka.

   "Benar begitu?"

   Tanya Atmaya tidak percaya.

   "Kau lihat aku berbohong?"

   Jaka malah balik bertanya.

   "Bohong atau tidak, itu urusanmu. Aku hanya ingin tahu si Suralaga bicara apa saja tentang aku?"

   "Kau jangan sembarangan menyebut Eyang Resi dengan namanya saja!"

   Dengus Wulan gusar. Dia tidak senang kakeknya seperti tidak dihormati.

   "He he he. ., rupanya kau tidak senang aku menyebut namanya saja,"

   Atmaya dapat mengetahui perasaan Wulan.

   "Kakek Atmaya, sebenarnya ada hubungan apa antara kau dengan eyang resi?"

   Tanya Jaka mencoba mendinginkan suasana.

   "Pertanyaanku belum dijawab, kau sudah bertanya lagi!"

   Atmaya seolah-olah bersungut kesal.

   "Baiklah,"

   Jaka mengalah.

   "Eyang resi sering menyebut namamu, tapi beliau tidak pernah bercerita tentang dirimu yang sebenarnya. Beliau hanya beri pesan agar kami mencarimu setelah penyelesaian dan penyempurnaan semua ilmu."

   "Untuk apa dia menyuruh kalian mencariku?"

   Tanya Atmaya.

   "Aku sendiri tidak tahu,"

   Sahut Jaka. Atmaya memandang Wulan.

   "Aku tahu, tapi jawab dulu pertanyaan Kakang Jaka,"

   Kata Wulan mengerti arti pandangan Atmaya.

   "He he he.. , kau memang mirip dengan ibumu. Cantik dan cerdik!"

   Atmaya terkekeh.

   "Kau tahu ibuku?"

   Wulan kaget campur penasaran.

   Memang tidak pernah disangka kalau Atmaya atau si Gila Jubah Hitam tahu banyak tentang diri Wulan.

   Tentu saja gadis ini makin penasaran ingin mengetahui orang tua ini sebenarnya.

   Tampaknya dia tahu banyak tentang Eyang Resi Suralaga dan dirinya.

   "Aku tahu siapa ibumu. Wanita cantik, cerdas, dan pandai dalam segala hal. Tidak heran kalau banyak pemuda yang ingin mempersuntingnya,"

   Atmaya seperti sedang mengenang masa lalu.

   Wulan semakin heran dengan kebenaran ucapan Atmaya.

   Meskipun ibunya meninggal ketika dia berusia tiga tahun, tapi Wulan kenal betul dengan ibunya.

   Ibunya meninggal karena menjadi korban musuh-musuh suaminya.

   Malang sekali nasibnya.

   Wulan tidak menyalahkan ayahnya yang memang seorang pendekar.

   Pendekar mana pun pasti punya banyak musuh.

   "Sayang aku terlambat datang waktu itu. Aku hanya mendapatkan ibumu telah meninggal. Sedangkan kau sendiri dibawa Suralaga ke Bukit Batok ini. Aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi karena memang dia lebih berhak merawatmu daripada aku,"

   Lanjut Atmaya.

   "Siapa kau sebenarnya?"

   Tanya Wulan. Suara terdengar bergetar.

   "Meskipun Suralaga lebih tua umurnya dari aku, tapi dalam urutan keluarga dia adik misanku,"

   Lanjut Atmaya "Jadi.. ,"

   Wulan tidak bisa berkata-kata lagi. pandangnya laki-laki yang berdiri di depannya setengah tidak percaya.

   "Ya. Kau adalah cucuku, Wulan."

   "Kakek...!"

   Wulan langsung menubruk Atmaya dan memeluknya.

   Tidak dapat lagi ditahannya air mata haru.

   Sedangkan Atmaya tampak berkaca-kaca matanya.

   Bagi Wulan pertemuan itu benar-benar mengharukan dan tiba-tiba sekali.

   Jaka hanya dapat menatap dengan pandangan kosong, seperti sedang mimpi saja.

   Cukup lama mereka saling berpelukan menumpahkan rasa.

   yang terpendam dalam dada Pelan-pelan Atmaya melepaskan pelukan gadis itu.

   Matanya masih berkaca-kaca memandang wajah Wulan yang bersimbah air mata.

   Dengan tangan bergetar, diusapnya air mata di wajah gadis itu.

   "Kenapa baru sekarang kakek datang ke sini?"

   Tanya Wulan setelah tenang kembali.

   "Aku sudah janji pada Suralaga untuk tidak menganggumu,"

   Sahut Atmaya.

   "Menggangguku? Apa maksud kakek?"

   Tanya Wulan tidak mengerti.

   "Semua peristiwa menyedihkan itu berawal dari ulahku. Aku telah menyebar kabar yang sebenarnya sangat rahasia. Aku menyesal dan merasa berdosa. Ketika aku berniat merawatmu, Suralaga tidak mengijinkan. Tapi aku berjanji akan datang lagi sampai kau selesai mewarisi seluruh ilmu-ilmu Suralaga Aku hanya bisa memberimu rahasia tentang cupu."

   "Rahasia tentang cupu? Lalu, rahasia yang kakek sebar?"

   Tanya Jaka.

   "Ya mengenai cupu itu,"

   Sahut Atmaya.

   "Cupu? Maksud kakek, Cupu Manik Tunjung Biru?"

   Desak Jaka lagi.

   "Benar. Cupu itu sebenarnya ada padaku dan kusimpan di suatu tempat. Tapi aku mengatakan kalau benda itu dipegang ayahmu,"

   Sahut Atmaya meman-dang Wulan.

   "Kenapa kakek berbuat demikian?"

   Tanya Wulan sedikit menyesalkan.

   "Aku sakit hati pada ayahmu. Beliau telah membuatku malu di depan keluarga sehingga aku diusir dari keluarga besar,"

   Sebentar Atmaya terdiam. Setelah menarik napas panjang, dilanjutkannya lagi.

   "Sebenarnya memang salahku juga. Aku mencuri pedang pusaka miliknya dan kusembunyikan. Ternyata perbuatanku dilihat oleh si Suralaga. Aku ditantang oleh ayahmu. Kami lalu bertarung dan aku kalah. Tapi itu tidak berarti pedang pusakanya kukembalikan. Setelah aku mengabarkan kabar bohong tentang cupu itu pada orang-orang, baru aku sadar bahwa jiwa ayahmu terancam oleh orang-orang yang gila benda pusaka. Aku pun berniat akan mengembalikan pedang milik ayahmu, tapi terlambat"

   Beberapa saat kemudian keadaan menjadi sunyi. Pundak Atmaya berguncang-guncang menahan isak tangis penyesalan.

   "Kalau saja pedang itu kukembalikan pada ayahmu tentu dia tidak akan terbunuh,"

   Kata Atmaya lagi.

   "Ah, sudahlah. Semuanya telah berlalu. Semua sudah takdir Yang Maha Kuasa, Kek,"

   Lembut suara Wulan.

   "Kau tidak dendam padaku, Wulan?"

   Atmaya memandang sayu pada Wulan.

   "Untuk apa? Tinggal kau satu-satunya kakekku sekarang. Lagi pula semua yang telah terjadi tidak perlu dijadikan dendam yang tidak akan pernah berkesudahan."

   Atmaya tidak dapat menahan harunya.

   Langsung dipeluknya Wulan dengan perasaan haru yang dalam.

   Betapa besar jiwa gadis ini.

   Setelah pelukan itu lepas, Wulan mengajak Atmaya dan Jaka duduk di bawah pohon.

   Mereka duduk melingkar tanpa membuat api unggun.

   Padahal udara di puncak Bukit Batok dingin menusuk pada malam hari.

   Tapi buat tokoh rimba persilatan seperti mereka, dengan mudah saja mengusir hawa dingin lewat penyaluran hawa murni ke seluruh tubuh.

   "Aku tidak menyangka kalau mereka masih menginginkan Cupu Manik Tunjung Biru,"

   Kata Atmaya agak bergumam setelah lama terdiam.

   "Sebenarnya apa sih istimewanya cupu itu, Kek?"

   Tanya Wulan.

   Atmaya menatap Wulan dan Jaka bergantian.

   Bibirnya tersungging senyuman.

   Wulan heran jugal melihat wajah kakek itu mendadak jadi cerah lagi.

   Memang aneh si Gila Jubah Hitam ini, sehingga orang yang diajak bicara sering kali mengerutkan kening.

   "Kakek akan menjelaskannya, bukan?"

   Desak Jaka.

   "Apa Suralaga tidak pernah memberitahu kalian berdua?"

   Atmaya balik bertanya. Sepasang Walet Merah menggeleng bersamaan.

   "Edan! Rupanya dia lebih gila daripada aku!"

   Rungut Atmaya.

   Lagi-lagi Wulan dan Jaka saling berpandangan.

   Sulit sekali memperoleh keterangan dari laki-laki aneh ini.

   Persoalan yang dibicarakan, selalu saja dibolak-balik.

   Ada rahasia apa yang sebenarnya dibalik Cupu Manik Tunjung Biru, sehingga tokoh-tokoh rimba persilatan nekad mengadu nyawa untuk memperebutkannya? * * * Malam terus merambat bertambah larut.

   Suasana puncak Bukit Batok sebenarnya sunyi senyap.

   Tapi seakan-akan suara anjing-anjing liar yang berpesta menikmati mayat-mayat di sekitar Goa Larangan, terus merusak suasana itu.

   Angin yang berhembus agak kencang, menyebarkan bau anyir darah.

   Mencekam sekali seperti mengandung hawa kemahan.

   Wulan masih tetap duduk bersimpuh di depan Atmaya.

   Jaka yang duduk di samping gadis itu, tidak berkedip mengamati Atmaya.

   Wajah laki-laki yang diam membisu itu, seperti tengah memikirkan sesuatu.

   Desahan napasnya terdengar keras dan tiba-tiba.

   Kemudian perlahan-lahan kepalanya terangkat mene-ngadah.

   Secara mendadak digelengkan kepalanya sambil menyemburkan ludah dengan keras.

   "Akh!"

   Seketika itu juga Sepasang Walet Merah terkejut mendengar keluhan tertahan, disusul dengan suara benda berat jatuh ke semak-semak. Jaka segera melompat ke arah datangnya suara keluhan pendek tadi "Bawa dia ke sini!"

   Seru Atmaya berat penuh wibawa.

   Jaka yang belum hilang rasa terkejutnya, mendapatkan seorang laki-laki muda terkapar di semak-semak Segera diseretnya tubuh orang itu ke depan Atmaya.

   Kelihatannya orang itu masih bernapas, dengan setemplokan ludah kental menempel di keningnya Rupanya semburan ludah Atmaya tadi disertai pengerahan tenaga dalam.

   Sungguh luar biasa, Atmaya Dia cepat tahu kalau di sekitar sini ada orang yang mengintai.

   Padahal Sepasang Walet Merah tidak mendengar apa-apa tadi.

   "Bangun!"

   Dengus Atmaya sambil mengetuk jidat orang yang terkapar di depannya. Seketika itu juga orang itu bangun. Tiba-tiba saja ludah yang menempel di jidat orang itu langsung hilang, dan lengket menepel di ujung ranting kering yang dipegang Atmaya. Aneh.

   "Ampun, Ki, jangan bunuh aku,"

   Kata orang itu segera berlutut di depan Atmaya "Siapa yang menyuruhmu memata-mataiku?"

   Tanya Atmaya dingin suaranya Jaka memperhatikan laki-laki yang kelihatan masih muda dan sebaya dengan dirinya.

   Dia sendiri heran dengan sikap orang itu yang seperti ketakutan di depan Atmaya.

   Padahal, kalau dilihat dari cara mengintip tadi, sepertinya dia memiliki kepandaian yang lumayan.

   Sampai-sampai sepasang Walet Merah tidak me-ngetahui kehadirannya "Kau datang ke sini bersama gurumu, heh?"

   Tegas dan berat suara Atmaya.

   "I.. , akh!"

   Belum lagi orang itu mengucapkan satu kata, tiba-tiba tubuhnya terjungkal.

   Di keningnya menancap sebuah paku emas.

   Wulan dan Jaka serentak melompat dan bersiaga dengan tombak pendek bermata dua pada ujung-ujungnya.

   Sedangkan Atmaya masih tetap duduk bersila di tempatnya.

   Dia seperti tidak terpengaruh sama sekali.

   "Paku Emas.. ,"

   Gumam Atmaya dengan mata menatap lurus pada paku emas yang tertancap pada kening orang itu.

   Sret! Sret! Dua kilatan sinar kuning melesat cepat ke arah Atmaya.

   Dengan sigap, digerakkan tangan kanannya.

   Dan...

   Tap! Tap! Seketika itu di jari-jari tangan Atmaya sudah terselip dua batang paku emas Secepat kilat Atmaya menggerakkan tangannya, dan kembali sinar kuning melesat ke arah yang berlawanan menuju serangan gelap tadi.

   "Aaaakh.. !"

   Terdengar dua kali teriakan kesakitan saling susul. Kemudian terlihat dua sosok tubuh terguling, tersuruk dari semak-semak. Masing-masing keningnya tertan-cap sebuah paku emas.

   "Hm. ., hanya cunguk busuk!"

   Gumam Atmaya agak mendengus.

   "Siapa mereka, Kakang?"

   Tanya Wulan.

   "Orang-orang partai Paku Emas,"

   Jawab Jaka setengah berbisik "Kau tahu mereka?"

   "Ya. Dari senjata yang digunakan. Eyang resi pernah cerita padaku tentang partai itu."

   Wulan mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Jika Eyang Resi Suralaga menceritakan seseorang atau sebuah partai, tentulah ada maksudnya.

   Paling tidak mereka yang diceritakan punya tingkatan kepandaian yang cukup tinggi dan punya nama dalam rimba persilatan.

   Ketika Wulan akan membuka mulutnya lagi tiba-tiba beberapa sinar kuning kembali meluncur deras ke arah mereka dan Atmaya.

   Jelas di sekitar sini tidak hanya tiga orang saja dari partai Paku Emas.

   Selain mereka yang telah tewas tadi masih ada beberapa orang yang mengintai.

   Bahkan kemungkinan guru mereka juga hadir di sini.

   Tring! Tring! Sepasang Walet Merah menangkis serangan-serangan itu dengan memutar-mutar tombak pendek senjata andalan mereka.

   Paku-paku emas yang meng-ancam jiwa, rontok di tengah jalan tersapu senjata Sepasang Walet Merah.

   Sementara itu Atmaya hanya melompat-lompat berkelit menghindari serangan beruntun yang datang bagai hujan.

   Paku-paku itu datang saling susul tidak hentinya mengancam tubuh si Gila Jubah Hitam.

   "Hanya beginikah tikus-tikus yang kau bawa, Jenggala?"

   Atmaya berkata nyaring mengejek Setelah berkata demikian, tangannya bergerak cepat Dan tiba-tiba saja beberapa paku emas berbalik arah, disusul dengan terdengar jerit kematian. Beberapa tubuh terjungkal dari semak-semak dan balik pohon.

   "Gunakan 'Sapuan Badai', Adik Wulan!"

   Seru Jaka ketika melihat Atmaya berhasil merobohkan beberapa orang lagi dengan senjata lawannya pula.

   "Baik, Kakang!"

   Sahut Wulan.

   Seketika itu juga Sepasang Walet Merah melompat dan berpegangan tangan.


Pendekar Cambuk Naga Pedang Semerah Darah Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Siluman Rase Souw Tat Kie Karya Siao Shen Sien

Cari Blog Ini