Sepasang Walet Merah 2
Pendekar Rajawali Sakti Sepasang Walet Merah Bagian 2
Tombak mereka berputar bagai baling-baling.
Bagai terjadi angin topan saja, paku-paku yang berkelebatan mengancam jiwa mereka tertiup keras dan berbalik arah mengarah ke pemiliknya.
Kembali terdengar jerit melengking disusul dengan robohnya beberapa orang dari semak-semak.
Senjata makan tuan.
Deru angin dari ajian Sepasang Walet Merah terus bekerja dan semakin dahsyat Pohon-pohon kecil mulai melayang tercabut sampai ke akar-akarnya.
Batu-batu kerikil berterbangan tersapu angin dari jurus 'Sapuan Badai' milik Sepasang Walet Merah.
Bahkan kini pohon-pohon besar mulai tumbang.
Kembali jerit kematian dan kepanikan yang menyayat "He he he..., bagus, bagus!"
Atmaya terkekeh gembira.
Dengan sikap tenang dia berdiri sambil melipat tangannya di dada.
Sepertinya tidak terpengaruh sama sekali dengan jurus 'Sapuan Badai' Suara Atmaya terdengar terus terkekeh.
Gilanya seperti kumat lagi Namun angin badai tidak bertahan lama ketika tiba-tiba saja dua berkas sinar kuning berhasil menembus badai buatan itu.
Dua sinar kuning itu mengarah deras ke kepala Sepasang Walet Merah.
"Awas, Kakang!"
Teriak Wulan langsung melompat sambil melepaskan pegangan tangannya pada Jaka.
Seketika itu juga Jaka melompat ke arah yang berlawanan.
Dua sinar kuning meluruk cepat mengenai sasaran kosong dan hanya menghantam sebuah pohon besar.
Terdengar suara ledakan yang dahsyat.
Ternyata berasal dari pohon yang hancur berkeping-keping dihantam dua sinar kuning tadi.
"Tidak percuma kalian menguras ilmu si tua bangka Suralaga. Sayang, kalian harus lebih banyak membuka mata dan telinga,"
Terdengar suara menggema yang disertai pengerahan tenaga dalam.
Sepasang Walet Merah kembali melompat dan berdiri berdampingan.
Mata mereka melayang mengamati ke sekitarnya yang gelap diselimuti kabut tebal.
Suara itu seperti datang dari segala arah.
Jelas, sumber suara itu milik orang yang cukup tinggi ilmunya.
Dia dapat memperdengarkan suara tanpa diketahui di mana orangnya.
Sepasang Walet Merah memang telah menyadari sejak semula kalau yang datang ke Bukit Batok adalah orang-orang yang berilmu cukup tinggi.
"Muncullah, Jenggala. Aku tidak suka main petak umpet macam anak kecil!"
Seru Atmaya atau si Gila Jubah Hitam. Suaranya pun dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup sempurna.
"Ha ha ha...!"
Kembali terdengar suara.
Kali ini suara tawa keras disertai pengerahan tenaga dalam yang kuat.
Suara itu terdengar menggelegar dan menyakitkan telinga.
Saat setelah suara tawa itu berhenti, dari sebuah batu besar muncul sesosok tubuh berpakaian serba kuning yang ketat.
Pada bagian dadanya tersulam gambar sebuah paku dari benang emas yang indah.
Dia berambut panjang yang digulung ke atas.
Beberapa helai dibiarkan meriap sampai bahu.
Wulan agak tersekat juga ketika melihat wajah orang itu.
Tak disangka sama sekali kalau wajah itu begitu tampan dengan kulit putih bersih.
Dua bola matanya bening bagai bayi baru lahir.
Bibirnya merah seperti bibir seorang gadis, dengan senyum tersungging.
Tubuhnya pun ramping, namun "Dia kah yang bernama Jenggala?"
Wulan bertanya dalam hati.
* * * Jenggala.
Wajah yang tampan itu tenang saja berdiri sekitar lima tombak di depan mereka.
Sungguh tidak sesuai sekali dengan namanya.
Wulan dibuat tak berkedip menatap laki-laki muda itu.
Pikir Wulan, nama Jenggala adalah seorang laki-laki tua renta dengan wajah yang buruk.
Ternyata dugaannya meleset Yang berdiri di depannya adalah seorang pe-muda dengan pandangan mata mempesona serta senyum memikat setiap gadis yang meliriknya.
"Oh!"
Wulan tersentak ketika Jaka menyenggol sikunya dengan keras.
"Jangan terpesona dengan ketampanannya,"
Bisik Jaka sambil menekan suaranya.
Seketika wajah Wulan memerah.
Malu.
Ternyata sejak tadi Jaka memperhatikannya Wulan jadi salah tingkah setelah kepergok tengah mengagumi ketampanan seorang pria.
Apalagi suara Jaka tadi seperti ditekan dengan maksud mengingatkan Wulan agar jangan terlalu terbawa perasaannya sendiri.
"Jenggala, apa maksudmu datang ke sini?"
Tanya Atmaya setelah lama saling berdiam diri.
"Huh! Kau sendiri, ada apa muncul di sini?"
Jenggala balas bertanya tanpa menjawab.
"Urusanku di sini tidak ada sangkut pautnya denganmu!"
Dengus Atmaya "Kalau begitu, menyingkirlah! Aku ada perlu sedikit dengan Sepasang Walet Merah!"
"Kutu busuk! Pongah sekali lagakmu!"
Rungut Atmaya sambil menghentakkan kakinya ke tanah dengan kesal."Mungkin aku pongah, tapi tidak bejat sepertimu!"
Sinis suara Jenggala.
Sambil menggeram berat, si Gila Jubah Hitam langsung menggerakkan tangan kanannya.
Dengan seketika dari telapak tangannya yang terbuka, meluncur seberkas sinar merah ke arah Jenggala.
Si Gila Jubah Hitam rupanya tidak sungkan-sungkan lagi mengerahkan kesaktiannya.
"Uts!"
Jenggala melompat ke atas menghindari sinar merah yang meluncur deras mengancam nyawanya.
Sinar merah itu terus meluncur, lalu menghantam pohon di belakang Jenggala.
Akibatnya memang tidak langsung.
Perlahan-lahan daun-daun pohon itu ber-guguran.
Pengaruh sinar merah itu terus bekerja, sedikit demi sedikit mulai kelihatan hasilnya.
Batang pohon mulai hangus seluruhnya, kemudian luruh hancur jadi debu.
Sungguh hebat ilmu 'Arang Geni' yang dilepaskan si Gila Jubah Hitam.
Tanpa memberi kesempatan, si Gila Jubah Hitam segera menyerang kembali lawannya yang masih berada di udara.
Mau tidak mau Jenggala bersalto di udara menghindari sinar-sinar merah itu.
Baru saja kakinya sampai di tanah, kembali dia harus melesat ke udara sambil jungkir balik beberapa kali.
Sinar-sinar merah itu terus mengancam jiwanya.
"Setan!"
Umpat Jenggala geram.
Seketika itu juga dilontarkan paku-paku emas andalannya ke arah si Gila Jubah Hitam atau Atmaya.
Kini gantian si Gila Jubah Hitam yang harus jumpalitan menghindari paku-paku emas, sambil melancarkan ajian 'Arang Geni'.
Sinar-sinar merah dan kuning saling berkelebat di tengah kegelapan malam yang pekat oleh selimut kabut tebal.
Sepasang Walet Merah hanya terpaku saja melihat pemandangan yang indah namun mengancam nyawa itu.
Sinar-sinar merah dan kuning yang berseliweran itu kadang-kadang berbenturan hingga nienimbulkan percikan bunga-bunga api berwarna kebiru-biruan.
Sedikit demi sedikit jarak mereka makin dekat saja.
Namun sinar-sinar yang indah tapi mengandung maut itu semakin jarang terlihat.
Selanjutnya yang terlihat hanya kelebatan-kelebatan dua tubuh yang saling balas menyerang mempergunakan jurus-jurus silat yang cukup tinggi.
"Tampaknya pertarungan ini akan berjalan lama,"
Gumam Jaka seperti bicara sendiri.
"Kau menyangka begitu, Kakang?"
Tanya Wulan tanpa mengalihkan pandangannya pada pertarungan itu.
"Ya. Mereka tokoh-tokoh sakti yang sudah cukup punya nama dalam rimba persilatan. Aku yakin tingkat kepandaian mereka seimbang,"
Sahut Jaka sambil menjatuhkan diri, duduk di rerumputan.
Wulan menoleh sebentar, lalu ikut duduk di samping Jaka.
Kembali pandangan terarah pada pertarungan itu.
Bagi Wulan dan Jaka ini adalah kesem-patan buat mereka menyaksikan pertarungan dua tokoh sakti yang sudah cukup punya nama dengan jurus-jurus silat cukup tinggi.
Tiba-tiba Wulan tersentak ketika Atmaya merubah jurusnya.
"Kakang, bukankah itu jurus 'Kelelawar Sakti',"
Tanya Wulan disela-sela keterkejutannya.
"Benar. Rupanya Kakek Atmaya dan Eyang Suralaga memiliki ilmu yang sama,"
Sahut Jaka yang juga mengenali jurus itu.
"Sungguh dahsyat jurus 'Kelelawar Sakti', sayang eyang resi tidak mengajarkannya padaku,"
Gumam Wulan.
"Kau sudah memiliki padanannya, Wulan,"
Kata Jaka menangkap nada kekecewaan pada Wulan.
"Tapi, apakah jurus 'Pukulan Batara Karang"
Sehebat dan sedahsyat jurus 'Kelelawar Sakti'?"
"Dua jurus itu memiliki kehebatan dan kelemahan sendiri-sendiri. Tapi jika keduanya dipadukan dengan satu kerjasama yang serasi, sangat sulit dicari tandingannya,"
Jaka menjelaskan.
"Kalau begitu, Eyang Resi pasti menurunkan jurus 'Kelelawar Sakti' padamu?"
Tanya Wulan.
"Benar,"
Sahut Jaka "Kenapa kita tidak berlatih kerjasamanya, Kakang?"
"Tanpa berlatih pun, jika kita gunakan secara bersama-sama sudah merupakan satu kesatuan jurus yang ampuh."
Wulan menganggguk-anggukan kepalanya.
Namun dalam hati masih belum mengerti dengan sikap eyang resi yang tidak pernah bercerita tentang kedahsyatan jurus-jurus yang dipelajarinya bila dipadukan dengan jurus-jurus yang dimiliki Jaka.
Memang dalam beberapa jurus, mereka dapat bekerjasama secara kompak.
Tapi sepertinya masih banyak yang belum diketahui Wulan.
Sedangkan Jaka seperti tahu banyak tentang jurus-jurus yang diberikan Eyang Resi Suralaga.
Apakah Eyang Resi hanya memilih Jaka untuk mengetahui banyak tentang jurus-jurus itu? Kalau memang demikian, berarti Eyang Resi Suralaga bersikap pilih kasih! Memberikan teka-teki padanya, tapi kuncinya diberikan kepada Jaka.
Sungguh tidak adil! Benak Wulan terus berkecamuk.
Sementara itu pertarungan antara Atmaya dan Jenggala terus berlangsung semakin seru.
Dua puluh jurus telah berlalu dengan cepat, tapi belum ada tanda-tanda yang terdesak.
Kelihatannya mereka masih seimbang, entah sampai berapa jurus lagi.
Sepasang Walet Merah tidak berkedip mengamati setiap gerakan juris yang mereka keluarkan.
Walaupun mata Wulan tertuju pada pertarungan itu, tapi benaknya teras bertanya-tanya tentang sikap Eyang Resi Suralaga yang dirasanya tidak adil * * * Ketika lewat lima puluh jurus, mendadak Jenggala melompat mundur sejauh lima lompatan katak.
Keringat telah membasahi sekujur tubuhnya.
Wajahnya yang tampan kelihatan memerah.
Dengus napasnya memburu.
Sedangkan keadaan Atmaya tidak jauh berbeda dengan, lawannya.
Baju kumal yang dikenakannya telah basah oleh keringat.
Garis-garis wajahnya terlihat menegang.
Selama malang melintang di rimba persilatan, baru kali ini Atmaya mendapat lawan yang tangguh.
Kali ini dia benar-benar serius menghadapi lawannya hingga menghabiskan lima puluh jurus.
"Aku akui kau hebat Atmaya Tapi belum cukup untuk memiliki Cupu Manik Tunjung Biru,"
Kata Jenggala dengan tenang.
"He he he..., cupu itu memang bukan hakku, dan bukan pula hakmu,"
Sahut Atmaya terkekeh.
"Cupu itu milik semua orang, maka aku berhak pula memilikinya!"
Dengus Jenggala.
"Aku yakin, kau tidak bisa menggunakannya,"
Sinis penuh ejekan suara Atmaya.
Jenggala hanya mendengus saja.
Memang secara jujur, dia belum tahu kegunaan cupu itu.
Tapi dari kabar yang tersiar, di dalam cupu itu terukir tulisan tentang jurus-jurus sakti.
Di dalam cupu itu pun terdapat jantung Walet Merah yang berkhasiat untuk menolak berbagai racun yang terganas sekali pun.
Secara alamiah, tubuh orang yang memakan jantung itu akan timbul hawa murni secara terus menerus dan teratur.
Tidak mustahil kekuatan tenaga dalam akan berlipat ganda.
Goresan tulisan yang terdapat dalam Cupu Manik Tunjung Biru adalah jurus-jurus sakti Walet Merah.
Semua yang terdapat pada Cupu Manik Tunjung Biru sebenarnya yang berhak memilikinya hanya Sepasang Walet Merah.
Jadi secara langsung mereka adalah ahli waris dari ilmu Walet Merah.
Eyang Resi Suralaga sendiri, dulu telah mempersiapkan jurus-jurus dasar Walet Merah untuk Wulan dan Jaka Untuk lebih menguasai dan menyempurnakan jurus-jurus itu, mereka harus menemukannya pada Cupu Manik Tunjang Biru.
Jika kelak terlaksana, tidak mustahil mereka menjadi sepasang pendekar yang tangguh dan sulit dicari tandingannya.
Sementara itu Jenggala telah bersiap-siap dengan jurus andalannya.
Kedua kakinya terpentang lebar ke samping Tangan kirinya terkepal ke atas, dan tangan kanan terbuka di depan dada.
Atmaya paham betul kalau Jenggala hendak mengeluarkan jurus 'Tapak Karang Waja'.
"Aku tidak boleh main-main,"
Usik Atmaya dalam hati. Segera saja digeser sebelah kaki kanannya ke depan agak menyamping. Kemudian kaki kirinya ditekuk sehingga lututnya hampir menyentuh tanah. Sedangkan kedua tangannya terbuka menyilang di dada.
"Jurus 'Naga Wisa'!"
Sentak Wulan mengenali jurus yang diperagakan Atmaya.
Memang yang diperagakan Atmaya adalah jurus andalan yang sangat ampuh dan berbahaya.
Jari-jari tangannya membiru, mengandung racun yang me-matikan.
Lebih dahsyat lagi kalau seluruh tubuh Atmaya telah timbul sisik-sisik seperti seekor naga.
Ini berarti dia telah sampai pada tingkat terakhir jurus 'Naga Wisa'.Apa yang dibayangkan Wulan memang kenyataan.
Seluruh tubuh Atmaya perlahan-lahan muncul sisik-sisik yang berkilauan.
Jari-jari tangan seluruhnya sudah membiru.
Lebih menakutkan lagi, kedua bola mata Atmaya merah menyala bagai bola api yang siap membakar apa saja.
Bahkan dari mulutnya menjulur lidah yang bercabang.
"Gawat!"
Jenggala pasti mati!"
Desis Wulan.
Wulan tahu betul kehebatan jurus 'Naga Wisa' karena jurus itu pernah dipelajarinya dari Eyang Resi Suralaga meski belum sampai tingkat terakhir.
Gadis ini baru menguasai tingkat kelima.
Sedangkan jurus 'Naga Wisa' ada sepuluh tingkatan.
Gambaran mengenai jurus-jurus selanjutnya itu, sudah diketahuinya karena Eyang Resi Suralaga sudah memperlihatkan semuanya "Kau cemas?"
Jaka berbisik melihat Wulan seperti gelisah.
"Ah, tidak!"
Sahut Wulan gugup.
Cepat-cepat dia bersikap wajar.
Jaka semakin yakin kalau Wulan sudah terpikat dengan ketampanan Jenggala.
Memang tidak bisa dipungkiri kalau sebenarnya Jaka cemburu, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Hubungannya dengan Wulan hanya sebatas seperti kakak beradik saja, meskipun satu sama lain telah sama-sama tahu kalau mereka bukanlah saudara.
Kembali Sepasang Walet Merah memusatkan perhatian pada kedua tokoh yang sudah siap dengan jurus andalan masing-masing.
Atmaya kini berdiri tegak dengan bola mata merah menyala mengarah pada Jenggala yang telah siap dengan jurus 'Tapak Karang Waja' "Aku tidak peduli setan apa yang merasuk dalam tubuhmu, Atmaya,"
Desis Jenggala.
"Malam ini kau harus mampus oleh 'Tapak Karang Waja'!"
Selesai berkata, Jenggala langsung menarik turun tangan kirinya. Dengan satu teriakan keras, kakinya terangkat lalu dijejakkan ke tanah dengan kuat Dalam sekejap saja, tubuh Jenggala sudah meluncur deras ke arah Atmaya.
"Mampus kau, Atmaya!"
Teriak Jenggala lantang.
"Aaaargh...!"
Atmaya menggeram dahsyat Sungguh sangat sukar dipercaya, Atmaya sedikit pun tidak merobah posisinya. Dia tetap berdiri tegar walaupun Jenggala telah menyerang dengan mengerahkan jurus andalannya Dan pada detik selanjutnya.. Blarr!!! "Aaaargh...!"
"Aaaakh.. !"
Suara ledakan dahsyat saling susul bersama jerit melengking dan geraman keras ketika kedua telapak tangan Jenggala membentur dada Atmaya.
Seketika dua tubuh terpental keras ke belakang.
Badan Jenggala membentur pohon besar hingga hancur.
Tidak berhenti di situ, beberapa pohon tumbang terhantam tubuh yang terus meluncur itu Luncuran tubuh Jenggala baru berhenti ketika jatuh bergulingan di tanah, lalu menghantam batu sebesar kerbau hingga hancur berantakan.
Jenggala menggeletak dengan darah kental keluar dari mulutnya.
"Kakek...!"
Jerit Wulan histeris.
Memang, nasib yang dialami si Gila Jubah Hitam tidak jauh berbeda Tubuhnya terpental jauh ke belakang membentur dinding bukit cadas yang keras.
Dinding batu cadas itu hancur dan menimbulkan getaran yang amat kuat bagai terjadi gempa.
Atmaya, atau si Gila Jubah Hitam menggelatak di antara reruntuhan batu-batu cadas.
Dari mulut dan hidungnya mengalir darah segar.
"Kakek...,"
Rintih Wulan menghambur ke arah si Gila Jubah Hitam.
Gadis Ini semakin yakin kalau laki-laki itu memang kakeknya.
Jurus-jurus yang dimiliki sangat mirip dengan Eyang Resi Suralaga.
Ketika Wulan akan menubruk, tangan Atmaya bergerak lemah mencegah.
Wulan berhenti.
Matanya menatap cemas terhadap keadaan kakeknya.
Seluruh tubuh laki-laki itu penuh sisik keperakan.
Dadanya bergerak pelan dan tersengal.
Di dadanya juga terlihat ada tanda dua tapak tangan berwarna merah kehitaman.
"Jangan dekat, Wulan. Kau belum sempurna menguasai jurus 'Naga Wisa'. Sangat berbahaya bagimu,"
Lemah suara Atmaya.
"Kek. .,"
Suara Wulan tersekat di tenggorokan.
"Cupu Manik Tunjung Biru milikmu dan Jaka. Di dalamnya banyak tersimpan jurus-jurus maut yang harus kalian kuasai penuh sebagai Sepasang Walet Merah. Dua jantung yang ada di dalamnya harus kalian makan. Aku yakin, ketak kalian akan menjadi sepasang pendekar yang sulit dicari tandingannya,"
Semakin lemah suara Atmaya.
Sinar matanya pun semakin redup.
Wulan tak kuasa lagi membendung air matanya.
Sementara Jaka hanya berdiri saja di samping gadis itu yang berlutut di sisi tubuh Atmaya "Hanya satu pesanku, jadilah kalian sepasang pendekar yang berada di jalan lurus.
Kalian tidak boleh berpisah satu sama lain.
Aku senang jika kalian menurunkan ilmu pada anak cucu kalian, juga cucu-cucu buyutku.
Wulan..., kau bersedia meluluskan permintaanku, juga permintaan Suralaga?"
Mulut Wulan seperti terkunci.
Dia hanya memandang pada Jaka yang telah berlutut juga.
Memang sulit untuk meluluskan permintaan terakhir itu.
Di antara mereka berdua sudah terjalin tali persaudaraan yang erat.
Hal ini sulit bagi Wulan yang telah menganggap Jaka sebagai kakaknya.
Entah bagi Jaka.
"Aku akan mati tersenyum jika kalian mau berjanji,"
Kata-kata Atmaya makin melemah.
Beberapa kali dia terbatuk-batuk dan diiringi dengan darah yang muncrat dari mulutnya.
Tidak ada pilihan lain bagi Wulan kecuali mengangguk Jaka pun ikut menganggukkan kepalan ketika Atmaya memandang lemah kepadanya.
Laki-laki kumal itu tersenyum bahagia.
"Jika aku mati, timbuni saja dengan batu-batu. Jangan kalian sentuh tubuhku. Sangat berbahaya. Racun yang berada di seluruh tubuhku akan mematikan kalian seketika! Se... lamat. ., ting.. , gal!"
"Kek. .!"
Wulan tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Atmaya atau si Gila Jubah Hitam telah menghembuskan napasnya yang terakhir.
Bibirnya menyungging senyum.
Sesaat keadaan menjadi sunyi lengang.
Bahu Wulan terguncang-guncang, menangis terisak.
Sedangkan Jaka hanya tertunduk dengan hati terbalut duka dan berbagai perasaan lainnya.
Pesan terakhir Atmaya sangat persis dengan pesan Eyang Resi Suralaga sebelum meninggal.
"Jenggala, kubunuh kau!"
Geram Wulan tiba-tiba! "Wulan...!"
Jaka tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk mencegah gadis itu yang tiba-tiba kalap.
Wulan telah melompat cepat sambil menghunus tombak pendek bermata dua.
Ketika sampai di tubuh Jenggala, langsung senjata andalannya berkelebat cepat.
Tetapi apa yang terjadi? Wulan langsung mundur ketika ujung senjatanya menyentuh jasad Jenggala.
Hanya terkena ujungnya saja, jasad itu segera hancur jadi debu.
Benar-benar dahsyat jurus 'Naga Wisa'.
Jasad Jenggala kini menjadi tepung dalam seketika.
Baru kali ini Wulan menyaksikan keampuhan jurus 'Naga Wisa' yang sesungguhnya.
"Wulan...."
Wulan menoleh.
Matanya basah oleh air bening yang merembang di kelopak matanya yang bulat indah.
Jaka mengambil senjata di tangan Wulan, dan diselipkan di pinggang gadis itu.
Pandangan matanya lembut lurus ke arah bola mata Wulan.
Sesaat mereka hanya terdiam saling pandang.
"Sebaiknya kita kubur dulu jenazah Kakek Atmaya,"
Bisik Jaka lembut.
Wulan menoleh ke arah jasad Atmaya.
Hatinya sedih melihat satu-satunya keluarga terakhir telah meninggal dunia.
Sepertinya baru sedetik mereka bertemu.
Dan kini harus berpisah untuk selama-lamanya.
Maut kembali memisahkan Wulan dari orang-orang yang dicintainya * * * Pagi baru saja menjelang.
Matahari mengukir dirinya dengan sinar kemerahan menyapu lembut mengusir kabut.
Burung-burung membangunkan teman-temannya untuk mencari makan entah di mana.
Di samping tumpukkan batu, Wulan masih berdiri mematung membayangkan kenangan-kenangan manis yang telah dialaminya.
Sedangkan Jaka masih setia menunggu di samping gadis itu.
Sudah cukup lama mereka saling berdiam diri.
Masing-masing sibuk dengan pikirannya.
"Wulan...,"
Bisik Jaka tiba-tiba sambil menepuk pundak Wulan lembut.
Wulan mengangkat kepalanya dan tersentak kaget.
Tiba-tiba saja di depan mereka telah duduk bersila seorang pemuda berambut panjang.
Laki-laki muda itu hanya mengenakan rompi dengan pedang bergagang kepala burung tersampir di punggungnya.
Dialah Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga, atau Pendekar Rajawali Sakti juga mengangkat kepalanya pelan-pelan.
Jarak mereka tidak terlalu jauh, hanya sekitar dua tombak lebih.
Secara serentak, Sepasang Walet Merah telah menggenggam tombaknya masing-masing yang masih terselip di pinggang.
Kehadiran Rangga yang tidak diketahui sama sekali, membuat Sepasang Walet Merah cepat waspada.
"Maaf, mungkin kehadiranku membuat kalian terkejut,"
Kata Rangga lembut disertai senyum terkembang.
"Kau datang ke sini tentunya ingin mencari Cupu Manik Tunjung Biru, bukan?"
Wulan langsung menuduh.
"Benda atau makanan itu?"
Tanya Rangga sambil berdiri.
"Jangan berlagak bodoh!"
Sentak Wulan sengit "Kehadiranmu tanpa kami ketahui sudah menandakan kalau kau bukan orang sembarangan. Tentunya maksud dan tujuanmu sama seperti yang lain,"
Ucap Jaka masih dapat bersikap sabar dan lunak."Maaf,"
Ucap Rangga sedikit hormat "Aku di sini memang telah sejak malam tadi"
"Nah, jelas sekarang! Kau mengintai kami dan mengira kami menyimpan cupu itu!"
Ucap Wulan ketus.
"Ayo, Kakang. Orang ini jelas-jelas menginginkan Cupu Manik Tunjung Biru!"
"Tunggu, Wulan!"
Jaka cepat-cepat mencegah tangan Wulan yang akan menarik senjatanya.
"Apakah kehadiranku di sini mengganggu?"
Tanya Rangga.
"Maaf atas kekasaran sikap adikku,"
Ucap Jaka sudah dapat menuai kalau Rangga tidak bermaksud buruk.
"Kalau boleh tahu, siapa namamu dan bermaksud apa datang ke Bukit Batok ini?"
"Namaku Rangga. Aku datang ke sini secara kebetulan saja. Sebenarnya aku hanya ingin lewat saja. Tetapi ketika aku melihat begitu banyak orang dan mayat bergelimpangan, lalu aku singgah sebentar,"
Rangga menjelaskan secara jujur.
"Apa kedatanganku mengganggu?"
"Jangan percaya kata-katanya, Kakang!"
Kembali ketus suara Wulan.
Rangga hanya tersenyum saja mendengar suara tanpa persahabatan itu.
Bisa dimakluminya sikap gadis cantik ini.
Semalam dia telah tahu permasalahannya yang sedang terjadi.
Itulah sebabnya, mengapa tidak dilanjutkan perjalanannya.
Hati nuraninya merasa tergerak ingin membantu sepasang anak muda yang tengah dilanda bahaya ini.
Rangga sama sekali tidak menyalahkan sikap Wulan yang terlalu emosi itu.
Tapi Rangga kagum dengan sikap Jaka yang lebih sabar dan tenang dalam menghadapi persoalan.
Benar-benar sikap seorang ksatria sejati Baru saja Rangga ingin membuka mulutnya, tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik, yang disusul dengan kelebatan bayangan Dan detik itu juga muncul seorang perempuan tua berambut putih.
Pada bibir bagian atasnya terdapat luka panjang sehingga giginya yang hitam terlihat mencuat "Nenek Sumbing,"
Desis Jaka mengenali perempuan tua itu.
Wulan sedikit terkejut dengan kedatangan perempuan tua itu yang secara tiba-tiba di Bukit Batok ini.
Memang telah diduga sebelumnya, tapi tak disangka harus begini cepat berhadapan dengan tokoh tua yang sulit diukur tingkat kepandaiannya.
Belum lagi hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki tua berpakaian serba hijau.
Dari warna pakaiannya, jelas kalau dia adalah Klabang Hijau.
Kemunculannya didasari oleh rasa penasaran melihat Nenek Sumbing yang telah berhasil meng-gagalkan aji 'Kala Wisa' ketika Klabang Hijau berhadapan dengan Sarmapala di depan penginapan.
Klabang Hijau yang gemar mencari lawan untuk mengadu kesaktian, seperti merasa ditantang dengan kata-kata Nenek Sumbing waktu itu.
Makanya setelah dilampiaskan dendamnya pada Sarmapala, dia tidak segera pergi.
Ditunggu saat yang tepat untuk bertemu nenek jelek ini.
Dan inilah saat yang tepat ketika dia melihat Nenek Sumbing muncul di Bukit Batok.
"He he he..., kita bertemu lagi, nenek usil,"
Klabang Hijau terkekeh.
"Huh! Aku tidak ada urusan denganmu!"
Dengus Nenek Sumbing.
"Siapa bilang? Kau telah berani mencampuri urusanku, berarti kau sudah berani menantangku!"
Jawab Klabang Hijau.
Nenek Sumbing segera teringat kejadian di depan rumah penginapan.
Baru disadari kalau sikapnya telah membuat persoalan baru bagi Klabang Hijau.
Dia tahu tabiat tokoh tua yang aneh ini.
Kegemarannya adalah berkelana hanya untuk mengukur tingkat kepandaiannya saja.
Memang diakui, sampai detik ini belum ada seorang pun yang mampu mengalahkannya.
Klabang Hijau sendiri tidak peduli dengan kemelut yang terjadi dalam rimba persilatan.
Baginya seorang lawan lebih menarik perhatian daripada segala macam tetek bengek persoalan dunia.
Dia tidak peduli dengan cupu yang tengah diperebutkan.
Dia ke sini hanya ingin bertarung dengan Nenek Sumbing.
Itu saja.
Wataknya memang hampir sama dengan si Gila Jubah Hitam.
Dia tidak bisa dimasukkan dalam salah satu golongan.
"Sekarang aku menagih tantanganmu, Nenek Sumbing!"
Tegas nada suara Klabang Hijau.
"Hh...!"
Nenek Sumbing mendesah panjang Sebenarnya, tidak ada setitik pun niatan di hatinya untuk mencari perkara dengan Klabang Hijau.
Tapi sekarang dihadapkan pada salah satu pilihan yang amat sulit Terpaksa harus dihadapinya Klabang Hijau lebih dulu, dan menangguhkan mencari Cupu Manik Tunjung Biru.
* * * Klabang Hijau memutar-mutar tongkatnya yang berwarna hijau.
Tidak pakai basa-basi lagi, segera dikeluarkannya jurus 'Tongkat Sakti Membelah Badai'.
Putaran tongkat yang cepat menimbulkan suara menderu.
Hawa panas mulai menyebar ke sekitarnya.
Semakin lama semakin menyengat Sementara Nenek Sumbang masih terdiri tegak menatap tajam putaran tongkat itu.
Tampaknya tidak gentar dan terpengaruh oleh hawa panas yang semakin menyengat.
Padahal daun-daun pepohonan di sekitarnya sampai berguguran hingga berwarna kuning kering.
"Jangan gunakan hawa murni,"
Bisik Rangga. Sepasang Walet Merah telah menyalurkan hawa murni menjadi terkejut mendengarnya. Segera saja mereka hentikan penyaluran hawa murni itu.
"Ke sinilah. Pegang tanganku!"
Bisik Rangga lagi.
Jaka yang sejak semula sudah menduga kalau Rangga tidak bermaksud buruk, langsung menarik tangan Wulan dan membawanya mendekati Rangga.
Cepat dipegangnya tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Seketika tubuh Jaka teraliri hawa dingin yang nyaman, sehingga udara panas yang menyengat hilang begitu saja.
"Pegang tanganku, sebelum kau terkena akibatnya!"
Perintah Rangga pada Wulan. 'Tidak apa-apa, Adik Wulan. Kau akan selamat,"
Lembut suara Jaka Wulan masih kelihatan ragu-ragu.
Tapi udara panas kian menyengat kulit, membuatnya harus melangkah juga ke samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.
Lebih-lebih ketika melihat Jaka segar setelah tangannya menggenggam tangan Rangga Tiga orang itu akhirnya saling berpegangan tangan.
Sekejap saja hawa panas yang menyengat di tubuh Wulan berganti menjadi sejuk dan nyaman.
Hati Wulan kini malah menjadi malu sendiri karena telah menyangka buruk pada Rangga.
Mendadak saja tangan Wulan malah menjadi dingin karena digenggam terus oleh seorang laki-laki tampan.
Baru kali ini tangannya digenggam sedemikian rupa sehingga mendadak saja dadanya berdetak keras tidak beraturan.
Ganggaman seorang laki-laki tampan lagi asing yang menggetarkan itu.
Selama hidupnya, laki-laki yang dekat hanya Jaka.
Tidak heran kalau dia jadi salah tingkah ketika tangannya digenggam laki-laki lain.
Wulan bagaikan sekuntum bunga yang belum pernah terjamah oleh tangan iseng manusia.
Dia bagaikan bunga yang belum tahu bentuknya kumbang.
Gadis itu pun memejamkan matanya untuk menghilangkan segala macam perasaan yang berkecamuk dalam dadanya.
Sementara itu Klabang Hijau semakin hebat memutar tongkatnya.
Putaran itu membentuk sinar hijau yang melingkar dan mengeluarkan kilat yang menyambar-nyambar.
Seperti bermata saja, ujung kilat itu menyambar tubuh Nenek Sumbing Tentu saja hal ini membuat si nenek tua berlompatan ke sana kemari, menghindari sambaran kilat.
"Setan! Terima sabuk saktiku!"
Umpat Nenek Sumbing merasa kewalahan menghadapi serangan Klabang Hijau.
Selesai dengan kata-katanya, Nenek Sumbing melepaskan sabuk hitamnya.
Dengan seketika dikebutkan sabuk itu beberapa kali.
Suara menggelegar bagai guntur terdengar memekakkan telinga.
Ujung sabuk hitam itu selalu menghalau arah kilat yang menyambar ke arahnya.
"Hiya. .!"
Nenek Sumbing tiba-tiba menjerit tinggi.
Seketika itu juga tubuhnya melesat tinggi ke angkasa sambil berjungkir balik tiga kali.
Tubuh itu langsung meluncur cepat ke bawah, tepat ke arah kepala Klabang Hijau.
Bersamaan dengan itu, tangannya bergerak cepat mengecutkan sabuk hitamnya.
Trak! Ujung sabuk menembus lingkaran hijau yang menutupi seluruh tubuh Klabang Hijau.
Hal ini membuat serangan Klabang Hijau menjadi berantakan.
Dalam sekejap lingkaran yang menyelimuti tubuhnya buyar.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Nenek Sumbing.
Dengan cepat diayunkan kakinya ke arah dada lawan.
"Uts!"
Klabang Hijau langsung menyabet kaki itu dengan tongkatnya.
Namun secepat kilat Nenek Sumbing menarik kakinya.
Dengan gerakan yang tak terduga Nenek Sumbing mengebutkan sabuknya ke kepala lawan.
Untunglah Klabang Hijau cepat menarik kepalanya ke belakang, sehingga ujung sabuk lewat di depan mukanya Pertarungan terus berlangsung berganti-ganti jurus, saling sambung tanpa henti.
Tampaknya dalam jurus-jurus awal mereka masih kelihatan seimbang.
Pada saat yang sama, Jaka mengalihkan pandangannya ke Goa Larangan.
Matanya tiba-tiba saja mendelik ketika melihat lima orang sedang mendekati mulut goa.
"Wulan...,"
Bisik Jaka.
"Aku sudah tahu. Ayo kita halangi,"
Potong Wulan cepat.
Tanpa banyak bicara lagi, Sepasang Walet Merah segera melepaskan genggamannya pada Rangga, langsung melompat cepat ke arah Goa Larangan.
Mereka tidak lagi menghiraukan pertarungan dua tokoh sakti itu.
Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti seperti acuh saja terhadap Sepasang Walet Merah.
Dia dengan seksama memperhatikan setiap pertarungan itu.
"Berhenti!"
Teriak Wulan melengking.
Teriakan yang disertai tenaga dalam, membuat terkejut lima orang yang berpakaian dengan warna berbeda itu.
Mereka adalah Lima Golok Neraka.
Mereka semakin terkejut ketika melihat Sepasang Walet Merah tiba-tiba saja telah meluruk dan berdiri di depan mulut goa.
Di tangan mereka telah ter-genggam senjata tombak bermata dua.
* * * "Sungguh beruntung sekali bertemu langsung dengan kalian,"
Kata Baga Biru, salah satu dari Lima Golok Neraka yang tertua.
"Huh! Kalian orang-orang tidak tahu diri! Datang hanya untuk merusak peristirahatan orang!"
Dengus Wulan.
"Kalau begitu, serahkan saja Cupu Manik Tunjung Biru pada kami,"
Kata Baga Biru lagi.
"Langkahi dulu mayat kami!"
Seru Wulan menantang.
Baga Biru menjentikan dua jarinya.
Seketika itu juga empat orang lainnya serentak mencabut senjata masing-masing yang berupa golok besar dengan sebelah sisinya bergerigi.
Senjata-senjata itu berkilatan tertimpa sinar matahari.
Baga Kuning dan Baga Ungu menggeser posisinya berada di sebelah kiri Baga Biru.
Sedangkan Baga Merah dan Baga Putih mengambil tempat di kanannya.
"Hati-hati, Wulan. Tampaknya mereka punya kepandaian cukup tinggi,"
Bisik Jaka.
Jika dilihat dari cara mereka mengambil posisi saja, sudah terlihat kalau ilmu peringan tubuh mereka tidak rendah.
Kaki-kaki mereka seperti tidak bergerak, tapi tiba-tiba saja telah siap dengan posisi masing-masing.
Wulan tidak bersuara.
Matanya tajam menatap pada lima orang yang sudah siap dengan senjata di tangan.
Sedikit pun hatinya tidak merasa gentar.
Setinggi apa pun tingkat kepandaian lawan, harus dipertahankan hak miliknya sampai titik darah penghabisan.
"Hiyaaat.. !"
Tiba-tiba Wulan memekik keras.Seketika itu juga tombaknya berpindah ke tangan kiri, sedang tangan kanannya bergerak cepat Cahaya keperakan berkelebat keluar dari tangan kanan Wulan.
Ternyata gadis itu telah menyerang lebih dulu dengan melemparkan bintang-bintang besi bersegi delapan.
Cring! Cring! Cring! Lima Golok Neraka mengebut-ngebutkan senjatanya menangkis bintang-bintang besi yang meluncur cepat mengancam jiwa.
Wulan terus menghujani lima orang itu dengan senjata rahasianya.
Namun sampai sejauh ini, tak satu pun senjata itu menyentuh kulit lawan.
Semuanya rontok di tengah jalan.
"Hanya sampai di sinikah kepandaian murid Suralaga?"
Baga Biru mengejek.
"Kurobek mulutmu, bangsat'"
Wulan seperti kalap mendengar ejekan yang membawa-bawa nama Eyang Resi Suralaga.
Setelah berkata demikian, Wulan langsung mencelat menerjang Baga Biru.
Ujung tombaknya berkelebat mengancam leher.Trang! Baga Biru menangkis serangan itu dengan mengayunkan goloknya.
Wulan mencelat lagi ke belakang sejauh satu batang tombak.
Tangannya terasa ke-semutan ketika ujung tombaknya berbenturan dengan golok Baga Biru.
Padahal dia menyerang dengan mengerahkan tenaga dalam.
Itu baru satu dari Lima Golok Neraka.
Bagaimana jika semuanya bergabung bersatu padu? Ada sedikit rasa gentar terselip di hati Wulan.
Dia sadar kalau lawannya mempunyai tingkat kepandaian yang jauh di atasnya.
Ternyata hal ini pun dirasakan oleh Jaka.
Segera dia melompat menghampiri Wulan.
"Kita hadapi bersama. Adik Wulan Tahan emosimu,"
Kata Jaka setengah berbisik.
Tanpa banyak bicara lagi, Wulan segera memegang tangan Jaka.
Mereka langsung mengerahkan jurus 'Tapak Geni'.
Melihat Sepasang Walet Merah telah siap akan menyerang lagi, Baga Biru memberi isyarat pada yang lain.
Serentak mereka merapat dan menyatukan ujung-ujung golok."Tapak Geni...!"
Wulan dan Jaka berteriak bersamaan.
Seketika itu juga mereka mendorong tangan ke depan.
Dari telapak tangan mereka meluncur sinar merah ke arah Lima Golok Neraka.
Dalam waktu yang bersamaan, dari ujung-ujung golok yang menyatu, keluar seberkas sinar bagai kilat.
Pada satu titik, kedua sinar itu saling bertemu.
Ledakan keras pun tetjadi disertai percikan bunga api.
Belum tuntas suara ledakan keras tadi, kembali Sepasang Walet Merah mengerahkan ajiannya.
Lima Golok Neraka pun tak kalah sigap untuk menyambut serangan itu.
Suara ledakan kembali terdengar beruntun.
Lima Golok Neraka mulai bergerak maju sambil terus menyatukan ujung goloknya.
Semakin lama jarak mereka semakin dekat saja.
Ketika jarak mereka hanya tinggal setengah tombak lagi, tiba-tiba Baga Biru melepaskan diri seraya mengibaskan goloknya.
"Awas!"
Teriak Jaka sambil melepaskan pegangannya pada tangan Wulan.
Sepasang Walet Merah melompat ke samping menghindari tebasan golok Baga Biru.
Tanpa diduga sama sekali, Baga Biru melompat ke arah Jaka seraya menebaskan goloknya.
Jaka yang belum siap benar, sedapat mungkin menangkis serangan itu yang mengancam iganya dengan tombak pendek bermata dua.
Trang! Serangan cepat Baga Biru memang berhasil dipatahkan, tetapi dengan cepat Baga Biru melayangkan kakinya.
Buk! Tanpa dapat dihindari lagi, kaki itu bersarang telak di dada Jaka.
Tubuh Jaka terdorong ke belakang sejauh dua tombak.
Baga Biru tidak memberi kesempatan lawannya untuk bernapas.
Dia langsung melompat sambil berteriak nyaring.
Jaka yang masih sempoyongan dengan dada sesak, terkejut mendapati lawannya sudah kembali menyerang Tapi belum sempat dia berbuat sesuatu, tiba-tiba..Cras! Ujung tombak Baga Biru menggores dada Jaka.
Darah segar keluar deras dari luka yang dalam dan memanjang.
Kembali Baga Biru mengirimkan satu tendangan keras.
Buk! Tendangan itu tepat bersarang di luka yang diderita Jaka.
"Akh!"
Jaka memekik pendek dan tertahan.
Tubuhnya tersuruk ke belakang dan membentur pohon.
Jaka meluruk roboh di tanah.
Darah semakin mengalir deras dari dadanya yang terluka.
Dalam keadaan kritis, Jaka masih berusaha untuk bangkit.
Matanya berkunang-kunang.
Bibirnya meringis menahan sakit yang amat sangat.
Seluruh tulang dadanya terasa remuk.
"Kakang...!"
Wulan memekik cemas melihat keadaan Jaka yang kritis.
Dengan dada penuh diliputi berbagai perasaan, gadis itu berlari ke arah Jaka yang tertunduk bersandar di pohon.
Tampaknya dia sudah tidak sanggup lagi untuk dapat berdiri.
Napasnya satu dua.
Wulan langsung menubruk tubuh Jaka dan memeluknya.
"Kakang...,"
Suara Wulan tercekat.
Dilepaskan pelukannya sambil matanya nanar melihat darah membasahi tubuh Jaka.Cepat-cepat Wulan menotok beberapa bagian tubuh Jaka untuk membekukan aliran darah.
Seketika darah itu tidak mengalir.
Wulan membuka ikat kepalanya dan membalut luka Jaka yang cukup lebar.
Selesai menolong Jaka, dia berdiri membalikkan tubuh menghadapi Lima Golok Neraka.
"Kubunuh kalian!"
Pekik Wulan mengkelap.
Selesai mengatakan itu, Wulan langsung berteriak nyaring.
Tubuhnya yang ramping berkelebat cepat bagai seekor burung walet Diterjangnya Lima Golok Neraka seraya mengarahkan dua ujung tombaknya ke bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan.
Wulan bertarung bagai singa betina terluka.
Tidak dipedulikannya lagi lawan yang jauh lebih tinggi tingkat kepandaiannya.
Rasa marah dan dendam membalut seluruh perasaan takut gadis ini, sehingga tidak dapat berpikir jernih lagi.
Serangan-serangannya memang hebat, tapi kurang terkontrol.
Lima Golok Neraka dengan mudah dapat menghindari setiap serangan Wulan yang gencar.
* * * Baga Biru yang mengetahui Wulan yang tak terkontrol itu, dengan tenang selalu dapat mengantisipasinya.
Bibirnya tersenyum ketika tahu beberapa kelemahan pada setiap serangan Wulan yang beruntun.
Dia pun mencari-cari kesempatan yang baik untuk menjatuhkan lawan sambil membuatnya malu.
Baga Biru memberi isyarat kepada yang lain untuk terus bertahan sambil mendesak Wulan.
Empat orang itu mengangguk sambil tersenyum-senyum.
Wulan tidak sadar kalau Lima Golok Neraka mempunyai rencana kotor terhadapnya.
Dia terus saja menyerang membabi buta.
"Hup!"
Baga Biru menurunkan tangan kanannya setelah melempar golok ke tangan kirinya. Wulan yang sibuk menghadang empat golok, tidak memperhatikan Baga Biru. Tiba-tiba saja tangan kanan Baga Biru menepuk bokong gadis itu.
"Auw!"
Wulan memekik kaget "Ha ha ha...!"
Lima Golok Neraka tertawa terbahak-bahak bersama-sama.
Wajah Wulan seketika merah padam.
Sambil mendengus geram, tangannya bergerak cepat menerjang leher Baga Biru.
Namun terjangan tangan yang menggenggam tongkat itu hanya dilayani dengan mengegoskan kepala sedikit ke samping.
Bahkan tangan kanan Baga Biru menjulur ke depan.
"Setan!"
Maki Wulan sambil melompat mundur. Tangan Baga Biru hampir saja menyentuh buah dadanya. Laki-laki itu makin tertawa-tawa liar. Bola matanya jalang penuh nafsu memandang paras Wulan yang cantik.
"Serahkan saja Cupu Manik Tunjung Biru, dan kau akan senang bila jadi istriku,"
Kata Baga Biru.
"Phuih!"
Wulan semakin geram hatinya.
Lima Golok Neraka kembali tertawa gelak.
Mereka melangkah maju mendekati Wulan.
Dada mereka bergolak penuh nafsu.
Liur mereka seperti tak tertahan memandangi kecantikan Wulan.
Mendadak mereka melompat serempak Wulan menjadi bingung.
Sedapat mungkin diputarnya tombak pendek bermata dua untuk melindungi dirinya.
Trang! Trang! "Akh!"
Wulan menjerit tertahan.
Tangannya bergetar kesemutan ketika tombak pendeknya beradu dengan golok mereka.
Pada saat yang tepar, ujung golok Baga Biru berkelebat cepat.
Bret...! Bagian dada baju Wulan sobek, sehingga kulit bukitnya yang putih, terbuka.
Dua bukit kembar terlihat akan mencuat hendak keluar.
Wulan memekik kaget bukan main.
Buru-buru ditutupinya bagian yang terbuka itu dengan tangannya.
Wajahnya semakin merah karena marah campur malu.
Baga Biru yang sempat melihat kemulusan kulit dua bulat kembar itu, semakin bernafsu.
Perhatiannya terhadap Cupu Manik Tunjung Biru terasa hilang seketika.
Kini dia hanya terpusat pada gadis cantik yang sudah tidak berdaya di depannya.
"He he he. .,"
Baga Biru terkekeh. Liurnya menetes menahan gejolak birahi.
"Kubunuh kalian!"
Geram Wulan.
Baga Biru tidak peduli.
Kakinya melangkah maju mendekati Wulan yang sibukmemegangi sobekan baju di dadanya.
Dengan kalap gadis itu menerjang Baga Biru.
Tapi laki-laki ini hanya memiringkan sedikit tubuhnya, sehingga tusukan tombak pendek Wulan hanya lewat menyambar tempat kosong.
Bahkan tangan kiri Baga Biru berhasil menjambret bahu gadis itu.
Bret! "Akh!"
Lagi lagi Wulan memekik.
Kini bahunya terbuka lebar sampai ke punggung.
Keadaan Wulan benar-benar tidak menguntungkan saat ini.
Sebagian tubuhnya kini telah terbuka lebar.
Kulit tubuhnya yang putih mulus terlihat leluasa membangkitkan gairah lima laki-laki yang menatapnya liar penuh nafsu.
Baga Biru sudah tidak bisa lagi menahan gejolak nafsunya.
Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh, dia melompat menerjang.
Wulan yang sudah tak berdaya hanya bisa mendelik, serta repot berusaha menutupi tubuhnya.
Pada saat yang kritis itu, tiba-tiba.
..
"Akh.. !"
Tubuh Baga Biru yang hampir mencapai Wulan, tiba-tiba saja terjengkang ke belakang.
Empat orang lainnya hanya ternganga.
Di depan Wulan kini berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi dengan pedang di punggung Laki-laki muda itu tidak lain dari Rangga, atau Pendekar Rajawali Sakti.
"Rangga. .,"
Wulan mendesah.
"Menyingkirlah. Bawa saudaramu ke tempat yang aman,"
Kata Rangga pelan, namun tegas suaranya.
Sementara itu Baga Biru terlempar sejauh dua batang tombak ke belakang telah berdiri kembali.
Mukanya merah padam karena ada orang yang berani menghalangi maksudnya.
Dengan cepat dia melompat menerjang Rangga.
Rangga hanya memiringkan sedikit tubuhnya menghindari tebasan golok Baga Biru.
Kemudian tangan kirinya bergerak cepat menotok pergelangan tangan lawan.
Baga Biru terperanjat, cepat-cepat ditarik tangannya sambil berputar mengarahkan mata goloknya ke perut Rangga.
Lagi-lagi Pendekar Rajawali Sakti hanya mengegos sedikit Tangan kanannya segera bergerak menotok kembali pergelangan tangan lawan.
Makin kalap saja Baga Biru.
Dua serangannya gagal total, bahkan dua kali pula hampir terkena totokan pada jalan darah di pergelangan tangannya.
"Serang, anjing keparat ini!"
Teriak Baga Biru keras.
Seketika itu juga empat orang saudaranya segera bergerak mengepung Pendekar Rajawali Sakti.
Golok mereka berkelebatan menyerang ke bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Pendekar Rajawali Sakti hanya mengegoskan tubuhnya ke kiri dan ke kanan menghindari setiap tebasan golok lawan.
Semakin lama serangan Lima Golok Neraka semakin dahsyat mematikan.
Menyadari lawannya bukan hanya sekedar nama kosong belaka.
Rangga mengeluarkan jurus 'Cakar Rajawali'.
Kini gerakan tubuhnya semakin cepat.
Kedua tangannya bergerak mencari sasaran.
Kesepuluh jari tangannya menjadi keras bagai baja.
Pendekar Rajawali Sakti menarik kepalanya ke belakang ketika golok Baga Kuning mengarah ke lehernya.
Secepat kilat dinaikkan tangan kiri, dan disentilnya ujung golok yang berada tepat di depan lehernya.
Tring! Baga Kuning kaget bukan main.
Tangannya bergetar hebat bagai terkena sengatan ribuan kalajengking.
Cepat-cepat ditarik pulang senjatanya.
Baga Kuning segera mundur dua tindak ke belakang.
Seluruh tangan kanannya seperti mati, sulit digerakan.
Satu demi satu Pendekar Rajawali Sakti menyentil ujung-ujung golok lawannya.
Mereka semua langsung melompat mundur karena seperti tersengat tangan mereka.
Merah Padam wajah Lima Golok Neraka.
Segera dipindahkan golok mereka ke tangan kiri.
Bagi mereka, tangan kanan atau kiri sama aktifnya.
"Aku masih mau memaafkan kalian. Nah, pergilah. Benda itu bukan milik kalian,"
Ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Kutu busuk! Jangan sok jadi pahlawan, kau!"
Bentak Baga Biru berang.
"Aku peringatkan sekali lagi. Pergilah kalian sebelum aku jatuhkan tangan maut pada kalian!"
Dingin suara Rangga.
"Seraaang...!"
Baga Biru berteriak lantang.
Serempak Lima Golok Neraka berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Saku.
Namun serangan yang mendadak dan cepat itu hanya menemui tempat kosong saja.
Rangga telah lebih dulu menjejak kakinya dan melesat ke atas dengan menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Tentu saja hal ini membuat kelima penyerangnya kebingungan.
Dan di tengah-tengah kebingungan itu, tiba-tiba saja Rangga menggerakan tangannya dengan cepat.
Plak! Plak! Lima kali tangan Rangga menem-peleng kepala mereka.
Lima Golok Neraka bergulingan di tanah.
Rangga masih memberikan kelonggaran bagi lawannya dengan tidak mengerahkan seluruh kekuatan.
Hanya saja kepala Lima Golok Neraka dibuat benjol sebesar telur ayam.
"Setan!"
Dengus Baga Biru sambil menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba menghilangkan rasa pening.
Baga Biru cepat melejit ke atas ketika rasa pening di kepalanyahilang.
Diayunkan goloknya dengan cepat disertai pengerahan tenaga dalam yang penuh.
Pendekar Rajawali Sakti tidak sedikit pun berkelit Dia seperti menanti datangnya golok itu.
Dan ketika ujung golok hampir mencapai tubuhnya, dengan cepat dijepitnya ujung golok itu dengan dua jari tangannya.
"Trek!"
Baga Biru hanya melompong melihat goloknya patah dengan mudah oleh Pendekar Rajawali Sakti.
Belum lagi hilang rasa bingungnya, tiba-tiba sebelah tangan Rangga berkelebat cepat.
Baga Biru tidak mampu lagi berkelit.
Lehernya terbabat tangan Pendekar Rajawali Sakti, dan disusul dengan tendangan telak menghantam dadanya.
Baga Biru tidak mampu lagi bersuara.
Tubuhnya melayang deras ke tanah tanpa kepala lagi.
Tangan Pendekar Rajawali Sakti yang setajam pedang telah memisahkan kepala dari badannya.
Empat orang lainnya hanya bisa melongo menyaksikan Baga Biru menggeletak tanpa kepala lagi.
"Siapa di antara kalian yang ingin menyusul?"
Keras dan lantang suara Rangga.
Empat orang dari Lima Golok Neraka saling berpandangan.
Di wajah mereka tergambar jelas rasa kengerian yang amat sangat Buru-buru mereka menggotong tubuh Baga Biru yang sudah tidak memiliki kepala lagi.
Tiga orang menggotong badan, seorang lagi membawa kepala Baga-Biru.
Bergegas mereka meninggalkan Bukit Batok.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti masih melayang tegak lurus di angkasa, dan perlahan-lahan turun kembali.
Ketika kakinya sampai di tanah, segera dihampirinya Wulan yang tengah merawat luka-luka Jaka.
Gadis itu menoleh ketika merasa di dekatnya ada orang lain.
"Bagaimana lukanya?"
Tanya Rangga.
"Aku masih tidak tahu. Dia masih belum sadar juga,"
Sahut Wulan lirih.
"Bawa saudaramu ke goa itu. Biar aku yang jaga di luar,"
Kata Rangga.
"Goa Larangan...?!"
Wulan terkejut "Iya. Kenapa?"
Rangga heran.
"Apa kau tidak tahu kalau goa itu sekarang jadi pusat perhatian semua orang?"
Rangga hanya mengerutkan keningnya.
Dia semakin paham dengan apa yang tengah terjadi di Bukit Batok ini.
Rupanya orang-orang yang berkumpul di tempat ini menduga kalau Cupu Manik Tunjung Biru ada di dalam Goa Larangan.
Rangga menatap mulut goa yang tampak hitam gelap.
Tiba-tiba matanya menyipit.
Dilihatnya sebuah titik cahaya di dalam kegelapan goa itu.
Cahaya itu terlihat jauh di relung goa.
"Cahaya Cupu Manik Tunjung Biru kah itu?"
Tanya Rangga dalam hati.
Mendadak saja cahaya itu hilang dari pandangan matanya.
Rangga menoleh ke arah Wulan, lalu jongkok di samping tubuh Jaka yang masih belum siuman.
Dadanya tampak bergerak lemah, menandakan masih hidup.
Rangga menempelkan telapak tangannya di dada yang bergerak lemah itu.
"Racun...,"
Desis Rangga kaget.
"Apa?!"
Wulan semakin cemas.
"Dia harus cepat ditolong "
Wulan tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Didiamkan saja ketika Rangga menyobek baju bagian dada Jaka.
Selanjutnya kedua tangan Rangga menempel di dada yang bidang itu.
Perlahan-lahan kedua tangan Rangga bergetar.
Sebentar kemudian, asap putih mengepul dari tangan yang menempel di dada itu.
"Buka balutannya,"
Kata Rangga.
Wulan segera membuka kain pembalut luka Jaka.
Tampak darah yang menghitam seperti mendidih, meleleh keluar dari luka yang lebar dan panjang Dari mulut Jaka juga mengalir darah kehitaman.
Rangga menyalurkan hawa murni melalui kedua telapak tangannya ke seluruh tubuh Jaka.
Dicobanya untuk mengeluarkan racun yang bersarang di dalam tubuh salah seorang dari Sepasang Walet Merah.
Sedikit demi sedikit darah yang keluar berubah merah segar.
Rangga melepaskan tangannya setelah darah yang mengandung racun tuntas.
"Bisa minta kain bajumu sedikit?"
Pinta Rangga.
Tanpa membantah lagi, Wulan lantas menyobek bajunya.
Tidak dipedulikan lagi sebagian tubuhnya yang terbuka.
Pikirannya hanya terpusat pada keselamatan Jaka.
Rangga membalut luka di dada Jaka dengan kain sobekan baju Wulan.
Kemudian diangkatnya tubuh Jaka dan dibawa ke rimbunan pepohonan.
Wulan mengikuti sambil mengikat cabikan-cabikan bajunya.
Yang penting tubuhnya tidak terlalu lebar terbuka.
* * * Tanpa ragu-ragu lagi Wulan menceritakan semua tentang Cupu Manik Tunjung Biru yang diketahuinya.
Wulan merasa yakin kalau Pendekar Rajawali Sakti tidak seperti tokoh-tokoh lain yang datang hanya untuk merebut benda yang bukan miliknya.
Rangga mendengarkannya dengan serius.
Sedikit pun dia tidak bersuara sampai Wulan selesai dengan ceritanya.
Bahkan sampai lama Wulan terdiam, masih juga belum membuka mulut.
Wulan memandang Jaka yang kelihatan tidur pulas di sampingnya.
Hanya sebentar Jaka sadar tadi, lalu merasa lelah dan mengantuk.
Sampai sekarang Jaka belum juga bangun.
Wulan kembali teringat pesan terakhir Eyang Resi Suralaga dan Kakek Atmaya.
"Kau tunggu di sini, Wulan,"
Kata Rangga tiba-tiba seraya bangit berdiri.
"Kau akan ke mana?"
Tanya Wulan "Ke Goa Larangan,"
Sahut Rangga.
"Untuk apa ke sana?"
"Aku akan mencoba masuk ke dalam goa itu, Wulan,"
Ujar Rangga sambil berbalik menghadap ke muka goa.
"Rangga...!"
Teriak Wulan mencemaskan kepergian Rangga yang nekat ingin masuk ke goa itu. Sebab banyak pihak lain yang tidak akan membiarkan Rangga masuk begitu saja! "Mengambil Cupu Manik Tunjung Biru. Jangan khawatir, cupu itu akan menjadi milik kalian berdua."
"Aku tidak yakin benda itu ada di sana,"
Wulan setengah bergumam.
"Kau bilang, selama ini tinggal di goa itu. Berarti Eyang Resi Suralaga juga tinggal di sana. Aku yakin beliau pasti menyimpan benda itu di sana juga."
"Aku kenal betul Goa Larangan, tapi aku belum pernah melihat benda itu. Namanya saja baru dengar sekarang-sekarang ini,"
Polos sekali Wulan berkata.
"Tidak ada salahnya kan aku ke sana?""Mereka tidak akan membiarkanmu masuk ke goa itu."
"Aku akan coba."
Rangga segera melangkah, tapi.. .
"Rangga. ,"
Suara Wulan agak tersekat di tenggorokan.
Rangga berbalik.
Dilihatnya Wulan telah berdiri.
Tampak bagian atas bajunya terbuka.
Kulit dada yang putih terlihat jelas seakan dua bukit kembarnya ingin keluar.
Darah muda Pendekar Rajawali Sakti sedikit bergetar melihat pemandangan itu.
Cepat-cepat dialihkan perhatiannya ke arah lain.
Wulan menangkap sikap Rangga, jadi merasa canggung dan serba salah.
Dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menutupi dadanya yang terbuka.
Hanya tangannya saja yang sibuk agar kemulusan tubuhnya sedikit tidak terlihat oleh orang lain.
Keadaanlah yang membuatnya menahan malu.
"Aku tidak tahu harus berkata apa. Budimu terlalu besar bagi kami berdua,"
Pelan suara Wulan.
"Ah, sudahlah. Aku senang jika dapat mengembalikan cupu itu padamu,"
Sahut Rangga.
Wulan ingin berkata lagi, tapi Rangga telah lebih cepat menghilang dari hadapannya.
Cepat sekali Rangga pergi, sampai-sampai gadis itu tidak melihat arahnya pergi.
Wulan menarik napas panjang, lalu kembali duduk di samping Jaka yang terbaring lelap.
Mata Wulan merayapi wajah Jaka yang tampak lelap.
Seolah-olah baru disadarinya kalau laki-laki yang selama sekian tahun selalu bersama-sama bukan saudaranya.
Wulan seperti baru pertama kali melihat wajah Jaka yang tampan, yang selama ini lepas dan perhatiannya.
Rasanya tidak berlebihan kalau dua kakeknya menginginkan Wulan dan Jaka menjadi sepasang pendekar suami istri.
"Jaka...,"
Wulan mendesah ketika melihat kelopak mata Jaka bergerak-gerak.
Jaka menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu perlahan-lahan membuka matanya.
Yang pertama kali dilihatnya adalah wajah Wulan yang duduk di sam-pingnya.
Pelan-pelan dia berusaha bangun.
Tubuhnya memang masih terasa lemah, tapi kesegaran mulai merambat ke seluruh tubuhnya.
Jaka duduk bersandar di pohon.
"Wulan...!"
Jaka tersentak kaget ketika melihat keadaan Wulan yang sobek-sobek bajunya "Kau...Kenapa begini?"
"Aku..., aku tidak apa-apa. Hanya bajuku saja yang rusak,"
Sahut Wulan.
"Seorang pendekar telah menolong kita."
"Pendekar. .?"
"Iya. Dia menamakannya Pendekar Rajawali Sakti"
Jaka berusaha mengingat-ingat. Rasanya tidak pernah dengar nama itu. Namun begitu, dalam hatinya mengucapkan terima kasih pada pendekar yang telah menolong mereka.
"Dia yang tadi pagi bersama kita,"
Kata Wulan seolah-olah mengingatkan "O. ., Itu,"
Jaka jadi teringat dengan laki-laki muda yang sebaya dengannya. Ternyata matahatinya tidak salah menilai.
"Dia juga yang menyembuhkanmu dari racun Lima Golok Neraka,"
Sambung Wulan.
Jaka langsung menatap Wulan.
Dirasakan ada nada-nada aneh pada suara Wulan.
Laki-laki itu memang masih muda dan tampan.
Ilmunya pun sangat tinggi.
Buktinya, dengan mudah Lima Golok Neraka dapat dikalahkannya.
Tidak aneh kalau Wulan seperti terpikat karenanya.
Secara jujur, Jaka cemburu juga.
Namun dia tidak berusaha memperlihatkan cem-burunya pada Wulan.
Memang sulit bagi mereka untuk menghilangkan perasaan saudara yang telah tertanam sejak lama.
"Aku sudah ceritakan semuanya pada pendekar itu. Kau tidak keberatan, kan?"
Kata Wulan "Oh, tidak,"
Sahut Jaka.
"Asal kau tidak ceritakan tentang permintaan Eyang Resi dan Kakek Atmaya yang terakhir."
"Juga itu."
"Apa. .?"
Jaka kaget bukan main.
"Tapi ditangagapinya dengan baik . Katanya kita memang cocok untuk...,"
Wulan tidak melanjutkan ucapannya. Kepalanya tertunduk, tidak sanggup lagi meneruskan kata-kata yang hanya karangannya sendiri. Dia sebenarnya hanya ingin tahu perasaan Jaka saja.
"Wulaa..,"
Jaka meletakkan tangannya ke pundak gadis itu yang terbuka.
Seketika aliran darah Jaka seperti terhenti.
Baru kali ini dia menyentuh pundak Wulan tanpa penghalang.
Sangat halus kulit pundak itu.
Rasanya Jaka seperti sulit bernapas.
Debar jantungnya pun kian cepat berdetak.
Perlahan-lahan Wulan mengangkat kepalanya.
Pandangannya langsung tertuju pada satu titik perasaan yang sukar diungkapkan.
Seketika dirasakan ada sesuatu yang lain pada dirinya.
Dia tidak mengerti perasaan apa yang tengah melanda dirinya.
Yang jelas, debar jantungnya jadi semakin kuat saja.
Tangan Jaka yang berada di pundak Wulan, perlahan-lahan merayap naik.
Lalu dengan lembut jari-jari tangannya mengusap pipi yang halus bagai sutra.
Wulan membiarkan saja ketika tangan itu secara perlahan-lahan menarik kepalanya.
Dia malah memejamkan matanya ketika desah napas Jaka mengusap kulit wajahnya.
Begitu hangat dan lembut Seketika itu juga, Wulan seperti terserang demam luar biasa ketika bibir Jaka menyentuh bibirnya dengan lembut Jaka merasakan seluruh tubuh Wulan menggigil.
Cepat-cepat dilepaskan bibirnya yang memagut tadi.
Sungguh mati, Jaka tidak tahu kenapa Wulan demikian "Wulan, kau kenapa?"
Tanya Jaka seperti orang bodoh.
"Aku...,"
Wulan tidak sanggup berkata-kata lagi. Wajahnya menyemburat merah. Kepalanya kembali tertunduk.
"Maafkan aku, Wulan. Tidak seharusnya aku berbuat seperti ini padamu,"
Pelan suara Jaka.
Wulan mengangkat kepalanya.
Mereka kembali saling pandang.
Entah kenapa, tiba-tiba saja Wulan jadi seperti takut kehilangan Jaka.
Apakah ini yang dinamakan cinta? Begitu cepatkah cinta itu datang? "Kita akan selalu bersama kan, Kakang?"
Lirih suara Wulan.
"Tentu,"
Sahut Jaka tersenyum Tanpa berpikir banyak, Wulan segera menjatuhkan tubuhnya ke dalam pelukan Jaka.
Sesaat mereka saling berpelukan tanpa berkata-kata lagi.
Kini hanya hati dan debar jantung mereka yang terpaut jadi satu.
Mengalun dalam irama cinta yang indah.
Dengan jari-jari tangannya, Jaka mengangkat dagu gadis itu.
Mata mereka kembali bertemu.
Jaka secara lembut mendekatkan wajahnya.
Yang terjadi kini hanya desahan napas dari dua insan berlainan jenis yang menyatukan bibir mereka dengan rapat.
Anehnya, Wulan seperti sudah biasa saja melakukannya.
Dibalasnya kecupan dan lumatan bibir Jaka penuh dengan gelora cinta.
Mendapat balasan yang bergelora dari Wulan, gairah Jaka bangkit seketika.
Pelan-pelan dibaringkan tubuh ramping itu di atas rerumputan.
Tangannya kini mulai merayap menjelajahi tubuh indah yang terbaring pasrah.
Luka yang ada pada tubuh Jaka seakan-akan lenyap saat itu juga, terbawa desah napas Wulan yang memburu hangat menggairahkan.
"Oh, Kakang.. ,"
Desah Wulan.
* * * Sementara itu Pendekar Rajawali Sakti semakin dekat dengan Goa Larangan.
Malam yang berkabut tebal hanya menampakkan bayangan tubuhnya saja yang bergerak ringan bagai melayang di atas tanah.
Tanpa disadari dua pasang mata mengawasi setiap geraknya yang tersembunyi tidak jauh dari situ.
"Uts!"
Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti melompat.
Seberkas sinar kebiruan menyambar cepat ke arah tubuhnya.
Untungnya Pendekar Rajawali Sakti selalu waspada.
Sinar biru itu hanya lewat sedikit di bawah kakinya.
Dua kali jumpalitan di udara, lalu dengan manis menjejakkan kakinya di tanah."Rupanya ada juga yang ingin main-main denganku,"
Gumam Rangga pelan.
Baru saja selasai bergumam, sinar biru kembali meluncur menyambar tubuh Rangga.
Pendekar ini hanya memiringkan tubuhnya sedikit, maka sinar itu hanya lewat di depan dadanya.
Matanya yang tajam, segera dapat mengetahui dari mana datangnya sinar-sinar itu.
"Keluar, kalian!"
Dengus Rangga.
Dengan kekuatan luar biasa, tangan kanannya bergerak mengibas.
Seberkas cahaya kemerahan pun meluncur deras dari telapak tangannya.
Sinar itu langsung menghantam pohon besar tidak jauh darinya.
Pohon itu pun tumbang tanpa menimbulkan suara ledakan sedikit pun.
Dari pohon yang tumbang itu, berkelebat dua sosok bayangan putih.
Dalam sekejap saja di depan Rangga telah berdiri dua orang dengan pakaian, wajah, dan bentuk tubuh yang sama.
"Ah, rupanya Setan Kembar dari Gunung Wetan tertarik juga dengan kabar kosong,"
Kata Rangga mengenali dua laki-laki kembar di depannya.
"Kami sudah mendengar nama besarmu, Pendekar Rajawali Sakti. Beruntung sekali bisa bertemu di sini,"
Kata Sencaka.
"Tentunya maksudku berbeda dengan kalian."
"Aku tidak peduli dengan alasanmu datang ke Bukit Batok. Yang jelas, siapa saja berani mendekati Goa Larangan, harus mati!"
Dingin suara Sencaki.
"Apa ada larangan seperti nama goa itu?"
Rangga berlagak pion.
"Aku yang melarang!"
Dengus Sencaki "Apakah goa ini milikmu?"
"Jangan banyak bacot!"
Bentak Sencaki yang tidak pernah dapat meredam emosi. Lain dengan saudara kembarnya yang lebih tenang dan kalem dalam wataknya. Mereka memang selalu sama dalam banyak hal, tapi dalam watak mereka berbeda jauh.
"Meskipun kau punya nama besar yang bisa membuat jantung orang copot tapi kami tidak gentar menghadapimu!"
Lanjut Sencaki.
"Aku pun tahu nama besar kalian, tapi aku muak dengan sepak terjang kalian!"
Rangga tidak kalah dingin serta pedas suaranya.
"Bersiaplah untuk mati!"
Dengus Sencaki seraya mencabut senjata andalannya berupa sepasang pedang pendek melengkung.
Sret! Sencaka pun telah mencabut senjata yang sama bentuknya dengan Sencaki.
Rangga tetap berdiri tenang walaupun dua orang dari Setan Kembar telah mencabut senjatanya.
Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak menyentuh gagang pedangnya.
Dia sengaja bersikap seolah-olah meremehkan, untuk memancing kemarahan lawan.
"Cabut pedangmu!"
Dengus Sencaki Rangga hanya tersenyum tanpa mempedulikan bentakan Sencaki "Jangan salahkan kami bila kau mati tanpa senjata,"
Kata Sencaka. Suaranya masih terdengar tenang dan tanpa emosi.
"Silakan kalau kalian mampu"
Setan Kembar segera bergerak membuka jurus.
Rangga masih tetap tenang, namun dua bola matanya tajam mengamati setiap gerakan lawan.
Sambil berteriak nyaring, dua orang kembar itu melompat menyerang.
Sadar kalau lawan memiliki kepandaian cukup tinggi, Rangga melayaninya dengan jurus 'Cakar Ra-jawali'.
Tubuhnya bergerak cepat menghindari setiap sabetan dan tusukan pedang lawan yang sangat berbahaya dan mematikan.
Hingga pada saat yang tepat Rangga berhasil menyentil ujung pedang Sencaki.
Namun dengan cepat Sencaki memutar pedangnya menyabet ke perut Rangga;
"Uh!"
Rangga mendengus sambil menarik perutnya ke belakang.
Ujung pedang Sencaki lewat di depan perut Rangga.
Tampaknya Sencaki tidak terpengaruh oleh sentilan jari Pendekar Rajawali Sakti.
Bahkan semakin ganas saja menyerang Demikian pula dengan saudara kembarnya yang selalu mendukung setiap serangan Sencaki.
Tidak jarang ujung pedang Sencaka hampir bersarang di tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Nampaknya mereka bisa menandingi jurus 'Cakar Rajawali'. Hm. ., akan kucoba lagi,"
Bisik Rangga dalam hati.
Pada saat yang tepat pedang Sencaki masuk mengarah dada Pendekar Rajawali Sakti.
Dengan cepat tangan Rangga bergerak menjepit pedang Itu dengan dua jarinya.
Jepitan itu sangat kuat dan disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi.
Tapi hanya sekali sentak saja, Sencaki berhasi melepaskan jepitan itu Bahkan dia langsung memutar pedangnya mengarah ke leher.
Rangga benar-benar terkejut.
Pendekar Rajawali Sakti tidak punya pilihan lain.
Segera dikerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Seketika itu juga tubuhnya mencelat ke udara.
Pedang Sencaki hanya menyambar tempat kosong di bawah kaki Rangga.
Tetapi sungguh di luar dugaan sama sekali.
Setelah Pendekar Rajawali Saka melesat ke udara, ternyata Setan Kembar pun bisa melayang bagai burung.
Apalagi serangan-serangan mereka juga semakin dahsyat.
Baru kali ini Pendekar Rajawali Sakti menemui lawan yang mampu menandingi duel di udara.
Sungguh lawan yang cukup tangguh.
Kibasan-kibasan tangan pendekar muda itu selalu dapat dihindari lawan.
Namun serangan-serangan balasan Setan Kembar juga tidak kalah dahsyatnya.
Empat buah pedang pendek seperti mengurung Pendekar Rajawali Sakti.
"Sungguh hebat kalian,"
Puji Rangga dalam hati.
Dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti merubah jurusnya.
Kini-dia melesat tinggi, lalu secepat itu pula menukik dengan kaki bergerak mengancam kepala lawan.
Jelas, ini adalah jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
Begitu cepat gerakan kakinya, sehingga membuat Setan Kembar kewalahan.
Secepat itu pula mereka merubah jurusnya.
Kembali pertarungan beijalan seimbang.
Rangga terus saja menukik turun dan menjejakkan kakinya di tanah dengan gerakan indah.
Setan Kembar juga segera turun sambil terus menyerang, membuat Pendekar Rajawali Sakti sedikit kewalahan juga.
"Terpaksa harus kugunakan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'"
Dengus Rangga dalam hati.
* * * Ketika Pendekar Rajawali Sakti merubah jurusnya, baru kelihatan kalau lawan mulai terdesak sedikit demi sedikit.
Gerakan pendekar muda ini selalu penuh tipuan.
Bahkan setiap pukulannya mengandung hawa panas yang luar biasa.
Hal ini membuat Setan Kembar menjadi kacau dalam permainan jurus-jurusnya.
"Hm. ,."
Rangga mendengus ketika melihat Sencaki sedikit lowong pertahanannya.
Dengan cepat dimiringkan tubuhnya menghindari tebasan pedang Sencaka.
Tapi tanpa diduga, tangan kirinya menyodok iga Sencaki yang kosong.
Sencaki yang tengah memusatkan perhatiannya pada kaki lawan, benar-benar terkejut Padahal dia tadi ingin cepat-cepat melompat, tapi pukulan tangan kiri Rangga bagai kilat datangnya.
Tanpa ampun lagi iga Sencaki terhantam 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Aaaakh!"
Sencaki memekik keras.
Sencaki terjungkal beberapa langkah ke belakang.
Tampak pada bagian iganya seperti hangus terbakar.
Warna hitam sebesar kepalan tangan menghanguskan bajunya, tembus sampai ke bagian tubuh.
Melihat saudara kembarnya terkena pukulan, Sencaka pun memperhebat serangannya.
Dua pedang pendeknya berkelebat cepat mengancam tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara itu Sencaki yang roboh, berusaha bangun kembali Mulutnya meringis kesakitan merasakan tulang-tulang iganya remuk.
Cepat digerakkan jari-jari tangannya ke bagian sekitar luka hitam di iga.
Walaupun masih terasa nyeri, Sencaki bergerak berdiri.
"Bangsat!"
Umpat Sencaki geram.
Segera dia terjun lagi dalam pertarungan.
Sencaka agak senang juga melihat saudaranya mampu melanjutkan pertarungan lagi.
Sedangkan Rangga sedikit terkejut karena pukulan mautnya tidak membuat lawan tewas.
Bahkan kini mampu menyerang kembali dengan ganas.Sret! Rangga tidak ada pilihan lagi.
Segera dicabut pedang saktinya.
Seketika keadaan malam yang diliputi kabut menjadi terang oleh sinar biru yang terpancar dari pedang pusaka itu.
Betapa terkejutnya Setan Kembar melihat pamor pedang itu.
Tapi rasa terkejut itu pun lenyap ketika Rangga mengibaskan pedangnya.
Trang! Trang! Dua kali terdengar senjata berbenturan.
Kali ini Setan Kembar terlonjak dan langsung mencelat mundur dua langkah.
Mata mereka membelalak melihat sebuah pedang mereka masing-masing buntung.
Bahkan akibat benturan itu, tangan mereka seperti kaku.
Rasa kaget yang menyentak jantung mereka belum lagi hilang, Rangga kini kembali menyerang dengan menggunakan jurus gabungan antara 'Cakar Rajawali' dengan 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Awas...!"
Seru Sencaka keras.
Sencaki yang masih dalam keadaan terluka, tidak dapat mengelak cepat.
Terpaksa ditangkisnya pedang yang mengancam jiwanya.
Trang! Pedang Sencaki buntung! Dan tanpa diduga sama sekali, pedang Rangga terus menerobos tanpa henti."Aaaakh..!"
Sencaki menjerit melengking. Pedang itu telah membuat leher Sencaki hampir putus. Sebentar masih mampu bertahan, tapi tak lama ambruk dan menggelepar di tanah. Darahnya mengucur deras dari leher yang koyak.
"Sencaki...!"
Teriak Sencaka kaget.
Benar-benar hampir tak percaya Sencaka melihat saudara kembarnya tewas mengerikan.
Sencaka memang tidak bisa berbuat banyak lagi.
Pedang itu kini telah berkelebat lagi mengancam dirinya.
Pikirannya cerdik.
Dia tidak mau mengambil resiko dengan menghadang pedang itu dengan pedangnya.
Cepat-cepat dia melompat sejauh satu tombak ke belakang.
Pedang Pendekar Rajawali Sakti hanya menebas bagian kosong "Kubunuh kau, bangsat!"
Geram Sencaka.
Secepat kilat Sencaka menyerang Rangga dengan melompat.
Tapi kalah cepat dengan Rangga.
Karena baru saja akan melompat, pedang Rangga telah lebih dulu mengibas.
Sencaka yang dirasuki amarah tidak dapat lagi menghindar.
Pedang itu tepat menancap di dadanya.
Dengan satu jeritan melengking panjang, tubuh Sencaka roboh mandi darah.
Rangga kembali memasukkan pedang pusaka ke dalam sarung di punggung.
Kembali gelap menyelimuti sekitarnya.
Sebentar Rangga memandangi dua mayat lawannya, lalu cepat melompat ke arah mulut goa.
* * * Rangga mengamati sebentar mulut goa yang gelap pekat Kakinya melangkah ringan memasuki Goa Larangan Semakin masuk, semakin lembab udaranya.
Rangga mengerahkan ilmu 'Mata Dewa Elang' se-hingga dapat melihat jelas dalam keadaan gelap sekali pun Kakinya terus melangkah lebih dalam lagi, dan baru berhenti melangkah ketika didapatkannya sebuah makam yang indah di depannya.
Segera Rangga berlutut dengan sikap memberi hormat.
Dari cerita Wulan dapat dipastikan kalau ini makam Eyang Resi Suralaga.
Pendekar Rajawali Sakti kembali berdiri.
"Maaf, saya datang untuk membantu cucu-cucumu,"
Kata Rangga sopan Baru saja Rangga selesai berkata, tiba-tiba makam itu bergetar yang semakin lama semakin kuat.
Rangga tetap berdiri tenang.
Matanya tertuju pada makam yang masih bergetar bagai terjadi gempa.
Tiba-tiba asap putih mengepul perlahan-lahan di tengah-tengah makam.
Kian lama kian menebal.
Rangga kembali memberi hormat, namun matanya tetap tertuju ke arah makam yang masih mengepulkan asap putih tebal.
Pelan-pelan getaran itu melemah bersamaan dengan pudarnya asap, hingga akhirnya hilang sama sekali.
Goa kembali tenang.
"Apakah Eyang Resi berkenan cupu itu saya bawa untuk Sepasang Walet Merah?"
Rangga bertanya halus dan sopan.
Rangga menunggu beberapa saat sambil tetap menjura hormat Matanya tertuju pada sebuah benda berbentuk kendi berwarna keemasan yang muncul setelah asap tebal menghilang.
Itulah Cupu Manik Tunjung Biru.
Besarnya seukuran kepala orang dewasa, berada tepat di tengah-tengah makam.
Tiba-tiba saja cupu itu bergerak-gerak dan melayang ke arah Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti ini pun berdiri seraya mengeluarkan tangannya.
Cupu Manik Tunjung Biru berhenti tepat di telapak tangannya.
Tanpa ragu-ragu lagi, dia menjura dan berbalik.
Kembali dilangkahkan kakinya menuju luar goa.
Ketika kakinya baru melangkah sejauh dua tombak di depan mulut Goa Larangan, tiba-tiba di depannya muncul seorang perempuan tua dengan rambut yang serba putih.
"Nenek Sumbing,"
Gumam Rangga mengenali perempuan tua itu.
"Apakah telah kau selesaikan pertarunganmu?"
"Hik hik hik..,"
Nenek Sumbing tertawa ngikik.
"Sangat mudah melenyapkan si tua Klabang Hijau."
Pendekar Rajawali Sakti tak perlu penjelasan lagi. Dia cepat mengerti kalau Klabang Hijau telah tewas di tangan perempuan tua ini. Jadi jelas, tingkat kepandaian Nenek Sumbing tidak bisa diremehkan.
"Heh! Rupanya kau sudah berhasil menemukan Cupu Manik Tunjung Biru, bocah!"
Seru Nenek Sumbing. Matanya jelalatan memandang benda yang berada di kempitan ketiak Pendekar Rajawali Sakti."Benda pusaka ini akan kuserahkan pada pemiliknya,"
Sahut Rangga.
"Kalau begitu, kau tak usah repot-repot mencarinya. Benda itu milikku."
"Aku sudah tahu siapa pemiliknya. Yang pasti bukan kau, Nenek Sumbing."
"Kampret jelek! Berani umbar bacot di depanku. Apa kau punya nyawa rangkap?"
Nenek Sumbing mendelik gusar."Bukanhanyarangkap, tapi seribu."
Nenek Sumbing berjingkrak geram. Kata-kata Rangga yang diucapkan tenang itu sangat menyakitkan telinganya. Jelas mengandung tantangan meski tidak diucapkan secara langsung.
"Bocah, serahkan saja cupu itu! Jangan sampai kuturunkan tangan kejam padamu!"
Dengus Nenek Sumbing mengancam.
"Aku rasa kau telah kejam sejak dulu,"
Sahut Rangga kalem.
"Setan belang! Rupanya kau tidak bisa diajak damai!"
"Tidak ada kata damai untuk orang serakah sepertimu."
Nenek Sumbing tidak bisa lagi menahan geram.
Seketika itu juga diterjangnya Pendekar Rajawali Sakti.
Namun terjangan itu luput, karena pendekar ini telah menggeser kakinya sedikit ke kanan.
Nenek Sumbing yang semula menganggap remeh, semakin gusar.
Segera dia berbalik dan menyerang kembali dengan jurus-jurus tangan kosong Perhatiannya terpusat penuh pada cupu yang aman dalam ketiak Pendekar Rajawali Sakti.
Dalam lima jurus saja, Rangga paham kalau Nenek Sumbing mengarahkan jurus-jurusnya hanya untuk merebut Cupu Manik Tunjung Biru.
Namun demikian, pertahanan Nenek Sumbing juga sangat kokoh.
Beberapa kali Rangga mencoba untuk membuka pertahanan itu dengan pancingan, tapi kenyataannya gagal.
Nenek Sumbing seperti mampu membaca ke mana arah gerakan dan tujuan lawan.
Sebenarnya, pertarungan itu berjalan lamban seperti dua orang yang sedang berlatih olah kanuragan.
Sampai matahari terbit di ufuk Timur, mereka hanya menyelesaikan sepuluh jurus tangan kosong.
Rangga penasaran juga melihat Nenek Sumbing seperti main-main.
"Aku tidak punya waktu untuk main-main denganmu, Nenek Sumbing!"
Seru Rangga agak gusar.
"Siapa yang main-main? Lihat tanganku!"
Dengus Nenek Sumbing.
Belum lagi kering mulutnya berkata, Nenek Sumbing memiringkan badannya ke kiri sambil tangan kanannya dengan cepat didorong ke depan.
Rangga hanya berkelit ke kanan, karena serangan itu mudah dibaca.
Tapi tak diduga sama sekali, kaki perempuan itu terangkat naik cepatBuk! Rangga tersentak ketika dirasakan perutnya terkena hantaman kaki perempuan tua itu.
Dua langkah dia terdorong ke belakang, lalu dengan cepat menguasai diri.
Dan memang benar, Nenek Sumbing sudah kembali menyerang dengan jurus-jurus yang cepat "Awas kaki!"
Seru Nenek Sumbing tiba-tiba. Rangga hanya mengangkat kaki kanan sedikit ketika kaki Nenek Sumbing bergerak cepat menyambar. Dan sebelum perempuan tua itu berdiri dengan leluasa, dengan cepat kaki Pendekar Rajawali Sakti terayun ke depan.
"Uts!"
Nenek Sumbing cepat menarik kepalanya.
Kibasan kaki Rangga meleset beberapa senti di depan muka Nenek Sumbing.
Masih dalam keadaan kaki kanan di atas, Rangga menaikkan kaki kirinya.
Cepat sekali Rangga bergerak memutar tubuh.
Dan tanpa diduga kaki kiri pendekar itu melayang ke arah dada.
"Ukh!"
Nenek Sumbing yang tidak menyangka secepat itu datangnya serangan susulan, tidak bisa mengelak lagi.
Satu tombak Nenek Sumbing terjengkang ke belakang.
Dadanya terasa sesak terkena tendangan yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang sempurna.
Nenek Sumbing mendengus, sambil mengerahkan hawa murni ke seluruh tubuhnya.
Ini dilakukan untuk menghilangkan rasa sesak yang me-nyelimuti dadanya.
* * * Duel dua tokoh tingkat tinggi itu terjadi sampai matahari naik cukup tinggi.
Sampai sejauh ini belum ada yang terlihat terdesak.
Masing-masing sudah me-ngeluarkan jurus-jurus andalan yang sangat berbahaya.
Pada kesempatan yang memungkinkan, Rangga menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Tubuhnya melayang cepat ke angkasa.
Tidak diduga, Nenek Sumbing pun mampu melesat cepat mengejar Pendekar Rajawali Sakti.
"Jangan lari, Bocah!"
Seru Nenek Sumbing.
Tangan Nenek Sumbing bergerak cepat melontarkan benda-benda kecil berbentuk jarum.
Senjata rahasia itu melesat cepat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Saat itu juga Rangga memang telah siap dengan jurusnya itu, sehingga dengan mudah tangannya mengibas cepat menghalau serangan jarum-jarum Nenek Sumbing.
Gerakannya bagai sepasang sayap burung saja yang hendak menghalau kumpulan awan di langit.
Jarum-jarum senjata rahasia Nenek Sumbing pun rontok di tengah, jalan.
Bahkan beberapa di antaranya berbalik menyerang sang pemilik.
Tentu saja Nenek Sumbing terkejut.
Segera dia jumpalitan di udara menghindari senjata rahasianya sendiri.
Pada saat perempuan itu sibuk dengan senjata rahasianya sendiri, Rangga dengan cepat merubah jurusnya menjadi 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
Begitu cepat gerakan kakinya meluruk mengincar kepala lawan.
Nenek Sumbing tidak mampu mengelak lagi.
Terpaksa dihadangnya kaki itu dengan tangannya.
Krek! "Akh!"
Nenek Sumbing memekik tertahan.
Bunyi tulang patah terdengar cukup keras.
Tampak tangan kiri perempuan tua itu seperti layu, menyambar disamping tubuhnya.
Nenek Sumbing merasa tidak menguntungkan bertarung di udara.
Cepat-cepat dia kembali turun.
Sementara itu Rangga tenis mengikutinya dengan tetap mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
Ketika kaki Nenek Sumbing sampai di tanah, tiba-tiba dari atas datang serangan bagai seekor rajawali hendak menyambar mangsa.
Nenek Sumbing menjerit kaget.
Buru-buru dijatuhkan tubuhnya dan bergulingan di tanah.
Kaki Rangga menyambar tempat kosong.
Tapi secepat itu pula Rangga kembali melesat ke udara, lalu turun kembali langsung menyambar lawan yang bergulingan di tanah.
Nenek Sumbing benar-benar seperti seekor tikus yang terancam oleh elang lapar.
Tiga kali serangan Rangga berhasil dihindari.
Kini Pendekar Rajawali Sakti merubah jurusnya menjadi 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' ketika kakinya menjejak tanah.
Mendapat sedikit kesempatan, Nenek Sumbing bergegas bangkit "Tamat riwayatmu, Nenek Sumbing!"
Seru Rangga keras.
Seketika Nenek Sumbing harus menerima serangan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Kedua tangan Rangga bergerak cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Perempuan tua itu kembali repot menghindari serangan yang datang beruntun bagai hujan yang tumpah dari langit.
Lebih-lebih hanya sebelah tangan saja yang bergerak menahan gempuran itu.
Beberapa kali Nenek Sumbing hampir kecolongan.
Jurus yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti penuh dengan tipuan.
Dan lagi, setiap ayunan tangannya mengandung hawa panas menyengat kulit.
Hal ini membuat Nenek Sumbing kian sulit mengatur napasnya.
"Ikh!"
Nenek Sumbing kembali tersentak ketika tangan kiri Rangga tiba-tiba menerobos mengarah dada.
Buru-buru Nenek Sumbing melompat ke belakang.
Dalam keadaan tangan masih mengarah sasaran, kaki Rangga sudah bergerak cepat melompat sambil menyepak.
Nenek Sumbing segera mengegoskan tubuhnya ke kiri.
Sepakan kaki Rangga luput dari sasaran.
"Hiya. .!"
Rangga berteriak nyaring. Dengan kaki masih melayang, tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat. Kali ini Nenek Sumbing tidak bisa lagi menghindar. Hawa panas yang datang lebih dulu, membuat tubuhnya kaku. Dan...
"Aaaakh.. !"
Nenek Sumbing menjerit menyayat hati.
Tangan kanan Rangga telak masuk ke bagian dada perempuan tua itu.
Seketika tubuh Nenek Sumbing terlontar keras ke belakang, dan baru berhenti setelah menabrak pohon yang cukup besar.
Tubuh itu pun terhempas keras di tanah.
Tampak dari mulutnya darah kental kehitaman muncrat membasahi pakaian.
Nenek Sumbing meregang nyawa sebentar, lalu diam dengan dada melesak ke dalam.
Rangga berdiri tegak memandang tubuh tua yang menggeletak tak bernyawa lagi Kemudian mata Rangga beredar ke sekeliling.
Bibirnya menyungging senyum, karena yakin tidak ada lagi orang-orang yang terlihat di sekitar tempat ini.
Mereka yang rata-rata memiliki kepandaian di bawah Nenek Sumbing, segera melarikan diri ketika melihat perempuan tua itu tewas.
Rangga mengalihkan pandangannya ke arah Wulan yang berdiri memapah Jaka.
Pendekar Rajawali Sakti itu pun tersenyum seraya melangkah mendekati Sepasang Walet Merah.
Cupu Manik Tunjung Biru masih berada di dalam kempitan ketiaknya.
* * * Rangga menyerahkan Cupu Manik Tunjung Biru kepada Sepasang Walet Merah.
Wulan yang menerimanya tidak mampu untuk berkata-kata lagi selain matanya saja yang berkaca-kaca meluapkan keharuan.
Agak lama mereka tidak saling bicara.
"Aku rasa tempat ini tidak aman untuk kalian berdua,"
Kata Rangga memulai pembicaraan. Wulan menatap Jaka sebentar, lalu kembali memandang Pendekar Rajawali Sakti."Jika kalian setuju, aku punya tempat cukup baik,"
Kata Rangga lagi.
"Boleh kami tahu?"
Tanya Jaka.
"Tentu saja. Tempat itu bernama Pulau Karang. Memang tempatnya di seberang laut, tapi kalian bisa menyewa perahu dari para nelayan."
"Di mana letaknya?"
Tanya Wulan.
"Kalau ingin ke sana, pergi saja ke arah selatan. Jika telah sampai pantai, minta tolonglah pada nelayan untuk mengantarkan. Rata-rata mereka tahu tempat itu."
Wulan mengerutkan keningnya.
"Jangan khawatir. Di sana ada banyak pulau karang Kalian bisa memilihnya salah satu. Sulit bagi orang lain untuk mencari pulau yang akan kalian tempati. Bahkan nelayan yang mengantar kalian belum tentu dapat ingat."
"Bagaimana, Kakang?"
Tanya Wulan meminta pendapat "Aku rasa itu lebih baik,"
Sahut Jaka menerima penuh usul Pendekar Rajawali Sakti."Tapi keadaanmu..."
"Aku tidak apa-apa. Hanya luka ini perlu sedikit perawatan lagi."
Sepasang Walet Merah kembali menoleh pada Rangga, tapi pendekar muda itu telah tidak ada lagi di tempatnya.
Tentu saja mereka jadi mencari-cari.
Rangga seolah-olah lenyap ditelan bumi, hilang tanpa jelas ke mana perginya.
Bahkan suaranya pun tak terdengar saat pergi.
"Sungguh tinggi ilmunya,"
Gumam Jaka kagum.
"Ya. Kalau saja seluruh tokoh sakti seperti dia, dunia ini pasti aman,"
Sahut Wulan bergumam pula. Jaka memandang Wulan dan tersenyum. Tangannya melingkar di pundak gadis itu. Wulan juga tersenyum sambil melingkarkan tangannya di pinggang Jaka. Sesaat mereka berdiri mematung.
"Kita berangkat sekarang?"
Usul Jaka setelah lama terdiam.
"Sebentar, aku ganti pakaian dulu.
"sahut Wulan baru sadar kalau pakaiannya cabik-cabik tidak karuan. Sepasang Walet Merah mengayunkan kakinya menuju ke Goa Larangan. Goa itu sebenarnya memang tempat tinggal mereka. Bertahun-tahun mereka tinggal di sana, dan sebentar lagi harus hengkang dari situ. Entah untuk waktu berapa lama, atau mungkin tak lama lagi.
"Sebenarnya aku berat meninggalkan tempat ini,"
Bisik Wulan.
"Aku juga,"
Sahut Jaka "Tapi kita harus berlatih lagi untuk menyempurnakan ilmu 'Walet Merah'."
"Kau tetap ingin jadi pendekar?"
Jaka bertanya.
"Kenapa?"
Wulan balas bertanya.
"Tidak apa-apa,"
Desah Jaka.
"Kau tidak suka, Kakang?"
"Aku suka, tapi aku lebih suka jadi orang biasa. Punya ladang, keluarga, dan anak-anak yang manis. Hidup tentram tanpa selalu dibayangi bahaya."
"Kita akan hidup tentram setelah menguasai ilmu "Walet Merah',"
Sahut Wulan.
Jaka hanya tersenyum saja.
Wulan tak kalah dengan senyumnya yang manis.
Dan matahari pun tersenyum seperti mengiringi sepasang anak manusia memasuki goa.
Tanpa diketahui, sepasang mata mengawasi dari jarak yang tidak begitu jauh.
Sepasang mata itu milik Pendekar Rajawali Sakti.
Bibirnya menyungging senyum, lalu berbalik dan melangkah pergi.
TAMAT Pembuat Ebook .
Scan buku ke djvu .
Abu Keisel Convert .
Abu Keisel Editor .
Fujidenkikagawa Ebook oleh .
Dewi KZ
http.//kangzusi.com/
http.//dewi-kz.info/
http.//kangzusi.info/
http.//ebook-dewikz.com/
Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung Pendekar Mabuk Darah Asmara Gila Pahlawan Gurun Karya Liang Ie Shen