Dendam Dan Asmara 2
Pendekar Slebor Dendam Dan Asmara Bagian 2
Tanpa dapat dikendalikan, kuda-kuda itu menendang-nendang dengan kaki depan disertai ringkikan riuh.
Pada saat itu orang bercaping ini sudah menjejakkan kaki di antara lawan-lawannya.
Dan tanpa banyak kesulitan, sepasang pisau kecil di tangannya merobek perut para penunggang kuda itu.
Sret! Sret! "Aaakh!"
Darah kembali berhamburan dari perut dua lelaki yang terbabat pisau orang bercaping ini.
Tidak hanya itu.
Isi perut mereka pun terburai melalui sayatan tadi.
Tanpa dapat menarik napas untuk kedua kali, mereka ambruk kehilangan nyawa.
Dan seperti tak ingin memberi peluang pada para lawan untuk hidup lebih lama, orang bercaping terus menyabetkan pisau kecilnya, ke arah sisa penunggang kuda yang lain.
Dengan begitu, makin besar kesempatan orang bercaping untuk membantai seluruh lawan.
Maka satu persatu mereka tertebas dan mati, dengan darah berhamburan dari bagian yang terluka.
Di antara ringkikan kuda, teriakan mengerikan ikut mengimbangi.
Sampai akhirnya, kuda-kuda itu berlarian liar tanpa penunggang sama sekali.
Dan kini, tinggal pemimpin pasukan yang terpaku di atas kudanya, melihat seluruh anak buahnya berkalang tanah! "Cepatlah kau ke sini! Aku tak mau membuang-buang waktu!"
Seru orang bercaping itu pada si pemimpin. Menyadari keadaannya terjepit, pemimpin pasukan itu segera menghentakkan tali kekang kuda, hendak lari.
"Hiaaa...!"
Begitu kudanya berbalik ke belakang dengan kecepatan penuh, si pemimpin itu melesat cepat.
Namun belum lagi jauh dia sudah terpental dari punggung kuda.
Rupanya, orang bercaping telah melemparkan sepasang pisau di tangannya lalu menembus bokong pemimpin pasukan.
"Aaakh!"
Brukkk! Sekali lagi, bumi dihantam oleh tubuh tak bernyawa.
Darah mengalir tampak dari lubang tembusan pisau di tubuh pemimpin pasukan yang menyusul anak buahnya ke neraka.
Suasana kembali lengang.
Sayup-sayup terdengar gemeretak puing-puing rumah yang habis termakan api.
Di angkasa, asap hitam merayap dalam satu iring-iringap panjang.
Demikian pula isak tangis kehilangan dari para istri, anak, atau saudara penduduk Desa Karangwesi.
"Mereka pantas membayar semua perbuatan ini dengan nyawa. Kalaupun mereka memiliki sepuluh nyawa tetap saja belum bisa melunasi petaka yang diciptakan,"
Desah orang bercaping.
Setelah itu, dia melangkah gontai di bawah terpaan terik mentari.
*** Waktu berlalu tanpa dapat ditahan.
Suka atau tidak hari bergulir terus.
Dan sudah sepuluh hari ter-lewati, sejak kejadian di Desa Karangwesi.
Sementara di Kerajaan Alengka sedang diadakan pertemuan di dalam ruang kehormatan, setelah Purwasih mengusulkan untuk mengadakan penyam-butan sederhana untuk kedatangan Andika.
Itu pun tanpa sepengetahuan Andika.
Purwasih tahu, Andika tidak bakal menyukainya.
Dalam pribadinya yang sering ugal-ugalan.
Andika memang menyimpan kerendahan hati.
Ruang kehormatan yang luas ini terletak di tengah istana, berbatasan dengan Taman Anjangsana keluarga raja.
Di tengah ruangan tampak meja persegi yang besar dan panjang.
Di sisinya tersusun kursi-kursi jati berukir, ditambah kursi khusus untuk Bayureksa di ujung meja.
Dinding ruang itu diperindah oleh lukisan keluarga istana dan lukisan-lukisan panorama negeri Alengka.
Setelah para dayang menyajikan makanan serta minuman yang ditata dengan apik, para undangan memasuki ruangan besar ini.
Satu persatu mereka masuk, termasuk Patih Ranggapati yang sudah tampak segar kembali setelah luka di bahunya dirawat dengan baik oleh tabib istana.
Mahapatih Guntur Slaksa, dan beberapa pembesar lain juga terlihat di situ.
Sedangkan Bayureksa masuk paling akhir, beriringan dengan Purwasih dan Andika.
Begitu tiba di istana, Purwasih langsung memperkenalkan Andika pada ayahandanya, Prabu Bratasena.
Tentu saja beliau menjadi gembira ketika putrinya memberitahukan kalau anak muda yang bersamanya adalah seorang keturunan keluarga Pendekar Lembah Kutukan.
Jadi tidak heran kalau ketika orang itu nampak sudah akrab ketika memasuki ruang kehormatan.
Andika dan Purwasih duduk di kursi di depan Prabu Bratasena, satu baris dengan undangan lain.
Saat ketiganya mengambil tempat duduk, para pembesar kerajaan serentak berdiri seraya menjura hormat.
Dan Prabu Bratasena membalas penghormatan, dengan senyum serta anggukan kepala.
Begitu juga Purwasih.
Kecuali, Andika.
Anak muda itu malah ikut menjura.
Purwasih berusaha menahan, karena menurutnya Andika adalah tamu kehormatan yang tak pantas menjura seperti itu.
Dengan tangan kanannya, Purwasih menahan tubuh Andika yang bergerak membungkuk.
Tapi bukan Andika kalau tidak keras kepala.
Dalam hatinya, orang yang menghormati seseorang sudah semestinya dibalas dengan penghormatan setimpal.
Jadi, dengan acuh tak acuh, dipegangnya pergelangan tangan Purwasih.
Lalu, tubuhnya digeser ke samping agar bisa tetap membungkuk untuk menjura.
Purwasih langsung memperlihatkan wajah asam.
"Huh! Dasar kepala batu!"
Umpat gadis itu dalam hati.
Setelah Prabu Bratasena mempersilakan duduk, semua yang hadir pun meletakkan tubuh di kursi masing-masing.
Beberapa saat suasana sunyi.
Para pembesar kerajaan menatap wajah Prabu Bratasena yang berumur sekitar enam puluh delapan tahun.
Tak heran kalau rambut, alis, dan kumisnya sudah memutih.
Namun, kerutan di kening dan pipinya sama sekali tidak menghapus kewibawaan yang terpancar di wajahnya.
Apalagi, dengan mata yang bergaris ramah serta hidung mancung.
Sehingga menambah kesan kalau dia memiliki keteguhan hati.
Tubuhnya tidak terlalu gemuk, terlihat dari pakaian kebesarannya yang agak longgar.
"Saudara-saudara sekalian, para pembesar Kerajaan Alengka yang sangat aku kasihi. Hari ini kita berkumpul di sini untuk menyambut kedatangan seorang pendekar yang patut dipuji sebagai pendekar bagi kaum tertindas...,"
Kata Prabu Bratasena memulai.
"Namanya, Andika. Dia adalah pendekar muda dari keluarga Pendekar Lembah Kutukan yang amat dekat di hati rakyat. Pendekar yang menjadi cerita kepahlawanan hingga saat ini...."
Mendengar sanjungan yang menurutnya ber-lebihan, Andika hanya dapat menundukkan kepala.
Sedangkan Purwasih yang melihat sikap Andika menjadi suka melihat kerendahan hati pemuda itu.
Memang di dunia yang dipenuhi beragam watak manusia, sikap rendah hati sangat jarang ditemui.
Manusia seringkali lebih suka terkagum-kagum pada setiap kelebihan diri sendiri, ketimbang harus menyembunyikannya.
Sementara itu, Patih Ranggapati tampak terkejut ketika Prabu Bratasena memperkenalkan Andika sebagai keturunan Pendekar Lembah Kutukan.
Sungguh sama sekali tidak disangka akan hal itu.
Melihat penampilannya saja, orang tentu tidak yakin kalau pemuda itu seorang pendekar sakti! Apalagi melihat wajahnya yang terlalu muda dan terkadang terlihat agak bodoh.
Memang, sewaktu pertama kali Purwasih mem-perkenalkannya pada anak muda itu, Andika langsung memotong ucapan Purwasih.
Sehingga, Purwasih tidak sempat menyebutkan, siapa Andika sebenarnya.
"Pendekar muda kita ini berniat membantu kita memecahkan masalah pemberontakan Begal Ireng dan gerombolannya. Mereka telah terlalu banyak menimbulkan penderitaan rakyat. Terlalu banyak membuat keangkaramurkaan. Karena itu, hati anak muda ini rupanya tergerak untuk segera mengulurkan tangan. Bukan begitu, Andika?"
Sambung Prabu Bratasena. Andika sebentar terkesiap.
"Oh! Ng... iya. Begitulah..., kira-kira,"
Jawab pemuda itu terbata.
"Apa kau tak ingin memperkenalkan julukanmu pada para pembesar kerajaan? Agar kami bisa lebih dekat mengenalmu?"
Tambah Prabu Bratasena. Andika segera berdiri. Dan dia sendiri tak tahu, kenapa harus berdiri. Pokoknya, hanya ingin berdiri saja.
"Aku sebenarnya tidak pernah dijuluki oleh tokoh persilatan dengan sebutan apa pun. Karena, aku sendiri baru terjun ke dunia persilatan, setelah...,"
Andika ragu.
"Setelah apa, Andika?"
Desak Prabu Bratasena. Sementara pandangan Purwasih dan para pembesar kerajaan tertuju lurus ke arah Andika, seperti menanti kelanjutannya.
"Setelah aku menjalani penyempurnaan di Lembah Kutukan...,"
Sambung Andika akhirnya.
Seketika terdengarlah decakan kagum yang susul-menyusul memenuhi ruang kehormatan.
Bagi orang lain di luar keluarga Pendekar Lembah Kutukan, lembah yang baru saja disebut Andika memang amat mengerikan.
Tak seorang pun yang pernah kembali, ketika secara kebetulan menemukan tempat itu.
Mereka pernah mendengar cerita dari mulut ke mulut, kalau lembah itu dihujani petir setiap saat.
Pernah juga seorang tokoh aliran sesat tanpa sengaja menemukan lembah itu, melalui jajaran pegunungan selatan yang terkenal ganas.
Ketika melihat kedahsyatan lembah itu, dia kembali dalam keadaan gila dengan mulut terus mengoceh tentang ribuan lidah petir.
"Jadi, aku belum menerima julukan,"
Lanjut Andika, mengusik ketercengangan para pembesar istana.
"Tapi. beberapa orang menyebutku..."
Para pembesar istana dan Prabu Bratasena menunggu kelanjutan ucapan Andika. Dalam benak masing-masing, terdapat dugaan kalau julukan yang diberikan orang-orang yang disebutkan Andika tadi berkesan garang, segarang Lembah Kutukan.
"Ng.... Aku disebut sebagai Pendekar Slebor. He he he...."
Mendadak saja, semua orang yang hadir di situ memegang perut masing-masing, menahan tawa yang mau meletus! "Yang Mulia!"
Tiba-tiba seorang prajurit berdiri di ambang pintu masuk ruang kehormatan.
"Ada apa?"
Tanya Prabu Bratasena.
"Ada seorang yang mengaku kenal baik dengan Tuan Andika. Dia ingin bertemu Tuan Andika,"
Lapor si prajurit. Andika mengernyitkan kening. Rasanya, dia memang belum banyak mengenal orang selama terjun ke dunia persilatan. Bahkan hanya Purwasih yang dikenalnya.
"Kalau begitu, suruh dia masuk!"
Titah Prabu Bratasena. Prajurit tadi segera berlari dari ambang pintu. Tak lama kemudian, dia datang lagi bersama seorang wanita. Mata Andika terbelalak. Lebih-lebih, Purwasih.
"Ningsih?"
Ucap Andika.
"Ningrum?"
Ucap Purwasih.
Lalu keduanya saling berpandangan.
Ningrum atau Ningsih? *** Andika sulit mengerti, mengapa Ningsih menyusulnya hingga ke istana.
Sepengetahuannya, Ningsih maupun Perguruan Naga Merah telah menyelesaikan tugasnya, mengantarkan Andika dalam menjalani penyempurnaan kesaktian.
Setelah memohon diri pada Prabu Bratasena dan para pembesar kerajaan, Andika dan Purwasih segera menemui wanita itu lalu mengajaknya ke taman istana.
Mereka lalu berjalan beriring menuju taman istana.
"Ada apa Ningsih?"
Tanya Andika, begitu tiba di taman istana.
"Ningrum! Rupanya kau...,"
Timpal Purwasih. Purwasih lalu memandang Andika. Dia masih bingung kenapa Andika memanggil wanita itu Ningsih? Bukankah dia bernama Ningrum? "Sudah dua kali kau menyebut Ningrum dengan panggilan Ningsih. Apa memang dia punya dua nama?"
Tanya Purwasih pada Andika.
"Ah! Aku hampir lupa,"
Tukas Andika bergegas. Andika memang lupa untuk menjelaskan pada Purwasih tentang saudara kembar Ningrum, yaitu Ningsih.
"Ini Ningsih, saudara kembar Ningrum." (Lihat episode pertama. 'Lembah Kutukan').
"Jadi Ningrum benar-benar telah mati di tangan Begal Ireng? Ah! Kasihan sekali dia.... Kukira kau Ningrum. Habis mirip sekali dengan dia,"
Tutur Purwasih pada wanita di sisinya dengan wajah prihatin. Wanita yang diajak bicara malah menggelengkan kepala.
"Aku memang Ningrum,"
Kata gadis yang justru malah mengaku Ningrum, perlahan. Kini giliran Andika yang dibuat bingung. Bibirnya ditekuk seperti sedang meringis.
"Kau sedang bercanda kan, Ningsih?"
Tanya Andika seraya menggaruk-garuk kepala.
"Sungguh! Aku memang Ningrum,"
Jawab gadis itu lagi. Dipandangnya wajah pemuda tampan itu lekat-lekat. Wajah dan bias mata gadis itu sulit digambar-kan dengan kata-kata, bagai memendam sebongkah kekalutan serta kehilangan. Andika mengernyitkan kening dalam-dalam.
"Aku pasti salah dengar,"
Gumam Andika.
"Tapi Andika...,"
Sela Ningrum.
"Bisa kubuktikan kalau aku adalah Ningrum! Aku kenal Purwasih atau Naga Wanita. Dia pernah bertempur denganku sewaktu pertama kali berjumpa di Lembah Pandam. Waktu itu, kau hendak menunggu si 'Penjaga Pintu'. Dan ternyata orangnya, aku.
"Kalau aku Ningsih, mana mungkin kenal Purwasih?"
Andika menghentikan langkahnya.
Tubuhnya mematung, membelakangi Ningrum dan Purwasih.
Tampak, hatinya masih belum percaya kalau Ningrum masih hidup.
Masih dapat dirasakan puing-puing kehancuran dalam hatinya, ketika mendengar berita kematian Ningrum, orang yang menanam benih cinta pertamanya.
Sampai kini, luka di hatinya masih menganga.
Dan tiba-tiba saja, wanita di belakangnya mengaku Ningrum? Semestinya Andika gembira.
Tapi kenapa yang hadir dalam hatinya pada saat itu justru setumpuk kekecewaan? Dia sendiri tak tahu.
Atau, barangkali karena merasa telah dibohongi? Dengan kebohongan itu, harapan dan kebeningan cintanya pada Ningrum hancur.
"Kau tak gembira kalau aku masih hidup Andika?"
Desah Ningrum, dibebani rasa penyesalan.
"Aku mengaku salah. karena telah membohongimu. Dan tentang saudara kembarku yang sebenarnya, memang tak pernah ada. Tapi itu terpaksa kulakukan, agar kau memiliki semangat berapi-api untuk menjalani penyempurnaan, karena dorongan dendam terhadap Begal Ireng yang telah berusaha membunuhku...."
"Aku sudah memiliki dendam pada Begal Ireng waktu itu!"
Penggal Andika kasar.
"Kau ingat pada Ki Sanca, guru Perguruan Trisula Kembar yang kuanggap sebagai orangtuaku? Atau, pada Kang Soma yang sudah menjadi kakak bagi diriku? Mereka dibunuh oleh keparat itu! Dan itu cukup menjadi pembakar semangatku untuk menjalani penyempurnaan!"
Dada Andika turun naik.
Napasnya kontan ber-hembus cepat.
Kegusaran yang tiba-tiba membludak berusaha dihelanya.
Sementara Purwasih jadi tercekat.
Sungguh tidak disangka Andika yang selama ini dikenal sebagai anak muda ugal-ugalan, ternyata dapat meledak-ledak seperti itu.
Sementara itu, Ningrum menundukkan kepala dalam-dalam.
Matanya terhujam pada rerumputan halus di sekitar kakinya.
Taman yang asri, berhias ragam bunga aneka warna tidak membuatnya menjadi nyaman.
Kegalauan seketika mengepungnya dari setiap sudut.
"Kalau begitu, maafkan aku, Andika. Aku mengira...."
Ningrum terdiam sesaat. Seperti ada sesuatu yang berat hendak diangkat ke tenggorokannya.
"Aku mengira kau mencintaiku. Sehingga, aku mengarang cerita itu agar kau benar-benar memiliki kekerasan hati untuk menjalani penyempurnaan,"
Tutur Ningrum, lirih.
"Rupanya aku salah. Ternyata, kau tidak mencintaiku. Maafkan aku, Andika...."
Kali ini kata-kata gadis itu dibarengi dengan isak halus.
"Tapi kedatanganku ke sini bukan untuk meminta belas kasihanmu, Andika. Yang jelas, ada sesuatu yang mesti kusampaikan. Begal Ireng dan gerombolannya dua minggu lalu berhasil menemukan perguruan kami. Bahkan semua murid Perguruan Naga Merah dibantainya tanpa belas kasihan. Termasuk, guru besar kami sendiri. Meski sebenarnya aku ingin mati saja bersama mereka, tapi guru menyuruhku lari dari sebuah jalan rahasia agar aku dapat menyampaikan kabar ini kepadamu,"
Sambung Ningrum. Ningrum tak kuasa lagi membendung tangisnya. Dua tetes bening merambat perlahan di kedua belah pipinya yang putih.
"Begal Ireng keparat!"
Bentak Andika meledak, tiba-tiba. Tubuhnya langsung berbalik menghadang Ningrum dan Purwasih.
"Dari mana dia tahu letak perguruan itu? Bukankah letaknya dirahasiakan?"
"Kau ingat kitab kayu warisan Pendekar Lembah Kutukan yang dulu kau miliki?"
Tanya Ningrum, masih tersendat.
"Astaga! Tentu dia mencurinya dari balik bajuku, ketika aku tergeletak sehabis bertempur dengannya di Desa Banyu Gerabak!"
"Ya! Itu sebabnya, dia tahu tentang 'Penjaga Pintu' yang memiliki Kipas Naga. Ketika seorang murid perguruan kami turun gunung untuk mencari kebutuhan sandang, pasukan Begal Ireng berhasil mengikutinya sampai di perguruan kami. Entah bagaimana, anak buah Begal Ireng dapat melihat Kipas Naga milik murid itu. Sehingga, salah seorang murid Perguruan Naga Merah itu dapat mengenalinya sebagai 'Penjaga Pintu' juga,"
Sambung Ningrum masih menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Tangisnya makin kentara.
Saat itu, kegusaran Andika terhadap Ningrum perlahan-lahan surut.
Bahkan sudah diganti dengan rasa iba melihat gadis yang terseguk-seguk di hadapannya.
Hatinya yang sebenarnya lembut ter-sentuh.
Hatinya benar-benar terenyuh.
"Kini aku sebatang kara, Andika,"
Kata Ningrum lirih, nyaris tak kentara. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Andika segera menghampiri dan mendekapnya. Lalu, dibiarkannya Ningrum menumpahkan segala duka yang kini merejamnya di dada Andika.
"Maafkan aku, Ningrum. Aku tidak bermaksud kasar padamu. Sebenarnya, aku juga mencintaimu,"
Bisik Andika, di antara anak rambut Ningrum yang dipermainkan angin.
Purwasih yang ada di dekat mereka hanya memperhatikan.
Sinar matanya sulit dijabarkan.
Sebuah tatapan yang didorong rasa iba dan cemburu, berbaur jadi satu.
*** Desa Umbulwetan direbahi cahaya jingga.
Matahari memang telah begitu redup tanda datang-nya senja.
Di saat seperti itu, penduduk desa itu seorang demi seorang meninggalkan sawah, memanggul cangkul masing-masing.
Mereka me-lenggang ke rumah, menemui keluarga tercinta yang telah menunggu.
Desa Umbulwetan yang berbatasan dengan kotapraja bagian utara ini memerlukan waktu beberapa hari perjalanan untuk menuju ke pusat pemerintahan Alengka.
Karena letaknya cukup dekat dengan pelabuhan di pesisir selatan, maka Desa Umbulwetan selalu menjadi jalan tembus bagi kereta-kereta kerajaan yang datang dari dermaga.
Seperti juga hari ini, sebuah kereta yang ditarik empat ekor kuda meluncur cepat di jalan tanah yang membelah Desa Umbulwetan.
Di belakangnya, enam prajurit berkereta mengawal penuh waspada.
"Hiaaa...!"
Kusir kereta kuda berteriak lantang, seraya menghentakkan tali kekang.
Memang muatan ini mesti secepatnya dibawa ke kerajaan.
Dorongan tangung jawab membuatnya begitu bersemangat.
Lagi pula, dia tidak ingin pasukan Begal Ireng mengetahui perjalanan ini, lalu merampok muatan keretanya.
Tanah yang digenangi air karena baru saja diguyur hujan sesaat, menghamburkan percikan berwarna coklat ketika kaki-kaki kuda menghantamnya.
Tapi laju kereta kuda itu tiba-tiba terhenti, ketika sepasukan orang berkuda menghadang.
Kusir seketika menarik tali kekang dan kuda pun berhenti.
Sebagai orang yang berpengalaman membawa muatan, dia amat hafal gelagat orang-orang yang berniat tak baik.
Segera tali kekangnya ditarik ke kiri, agar kuda-kudanya berbalik untuk menghindari penghadangan.
Sementara, enam prajurit pengawal terus melaju menuju para penghadang.
"Usahakan agar muatan itu benar-benar sampai! Sampaikan pada pasukan Bratasena, kalau kami menghadapi kawanan Begal Ireng!"
Teriak pemimpin prajurit pengawal, pada kusir kereta kuda.
Kemudian, keenam prajurit gagah itu berhenti sekitar tujuh tombak di depan para penghadang berkuda yang terdiri dari lima belas orang.
Keenam prajurit itu sudah tahu, kalau sedang menghadapi gerombolan Begal Ireng yang memang memiliki ciri khas.
Mereka berpakaian hitam, seperti juga Begal Ireng.
"Rupanya kalian memilih mati, Prajurit-Prajurit dungu!"
Bentak seorang anak buah Begal Ireng kasar.
"Kami tidak akan membiarkan kalian merampok muatan kereta yang amat dibutuhkan rakyat!"
Sahut pemimpin prajurit kerajaan. Dia seorang lelaki gagah berkumis melintang. Umurnya masih muda, sekitar tiga puluh tahun. Wajahnya tampan, dengan raut mencerminkan keberanian dan kegagahan.
"Apa kau kira akan menang melawan kami?!"
"Aku tak berharap menang! Aku hanya ingin, muatan itu sampai kepada rakyat. Untuk itu, kami rela mempertaruhkan nyawa!"
"Hua ha ha...! Benar-benar Tikus-tikus tolol! Kalian hanya buang nyawa saja!"
"Kami cukup tahu, mana yang benar dan mana yang harus ditumpas!"
Seru pemimpin pasukan pengawal.
"Babi congek! Bantai mereka!"
Perintah laki-laki setengah baya yang berwajah seram.
Dialah pemimpin para penghadang ini.
Maka seketika para penghadang berseragam hitam itu menyerang para pengawal barang.
Dan pertempuran meletus.
Diawali oleh gemuruh langkah kuda, dua pasukan pun bertemu.
"Hiaaat...!"
Trang! Trang! Sebentar saja sudah terdengar senjata yang berbenturan ganas.
Dalam kancah pertempuran di punggung kuda seperti itu, gerakan mereka jadi terbatas.
Tapi bagi enam prajurit istana, pertempuran di punggung kuda memang suatu keahlian khusus.
Meski dikeroyok lima belas lawan, mereka nyatanya mampu mengadakan perlawanan sengit.
Trang! Trang! Suasana jadi gegap gempita oleh denting senjata, ringkik kuda, dan teriakan perang.
Biarpun matahari bersinar redup, cahaya yang menimpa senjata masing-masing menghasilkan kelebatan-kelebatan menggidikkan.
Setiap kelebatan mengarah pada bagian yang mematikan.
Namun sampai sejauh itu, belum ada yang menjadi korban.
Dan itu bukan berarti tidak ada pihak yang terdesak.
Menghadapi kekuatan yang tidak seimbang, tentu saja para prajurit kerajaan mulai kerepotan.
Meskipun sudah mencoba beberapa siasat perang berkuda, harus tetap diakui kalau tenaga mereka sedikit demi sedikit terkuras menghadapi kekuatan yang lebih besar.
Siasat perang terakhir yang dikerahkan kini adalah 'Benteng Melingkar'.
Bentuk seperti itu biasanya hanya digunakan pada saat-saat terdesak.
Mereka menggiring kuda dalam bentuk lingkaran rapat, sehingga ekor kuda masing-masing hampir bertemu.
Dengan siasat perang seperti itu, mereka bisa menghindari musuh yang menyerang dari belakang dan samping.
Dan musuh hanya bisa menyerang dari depan.
Dan itu jelas lebih mengurangi tenaga yang terbuang sia-sia.
Tapi, rupanya musuh benar-benar bisa membaca siasat ini.
Dengan satu siasat licik, tujuh orang di antara mereka mundur teratur.
Sedangkan yang lain tetap menggempur dari sisi yang berbeda.
Tanpa takut terkena kawan sendiri, ketujuh orang itu mengeluarkan senjata rahasia masing-masing.
Begitu tangan mereka mengebut, senjata rahasia itu melayang ke arah para prajurit istana.
Dalam keadaan yang rapat, tentu saja para prajurit mengalami kesulitan untuk menghindari pisau-pisau kecil yang meluncur deras ke arah mereka.
Prajurit terdepan yang melihat, segera berkelit seraya memperingatkan kawannya yang berada di belakang.
"Awas pisau terbang!"
Namun, terlambat bagi tiga kawannya yang membelakangi. Mereka tentu saja jadi santapan empuk pisau-pisau terbang tadi. Jep! Jep! Jep! "Aaakh!"
Tiga prajurit langsung rubuh dari punggung kudanya begitu tertembus pisau pada badan bagian belakang masing-masing.
Beberapa saat tubuh mereka meregang-regang, kemudian diam dijemput maut.
Ketiga lelaki gagah itu mati sebagai pahlawan kerajaan.
Dan akibat matinya tiga prajurit, bentuk perang 'Benteng Melingkar' menjadi kacau-balau.
Tiga lelaki lain yang selamat dari tikaman pisau terbang segera diserbu delapan lawan di belakangnya.
Tanpa ampun, mereka dibokong dengan pedang dan golok setajam taring iblis pada punggung.
Sret! Jep! "Aaakh...!"
Ketiga lelaki itu pun menyusul temannya yang lebih dahulu tewas sebagai ksatria sejati, begitu ambruk di tanah.
Begitu tak ada lagi prajurit yang hidup, para penghadang berseragam hitam itu segera meninggalkan tempat ini.
Maka suasana kembali dikungkung sepi.
Alam membisu dalam seribu makna yang sulit dipahami! Mungkin mentari, bumi, pepohonan, dan langit sedang meratapi kepergian enam lelaki gagah yang merelakan nyawa demi rakyat menderita.
*** Senja telah ditelan malam.
Kini alam dikuasai sepenuhnya oleh kegelapan.
Angin dingin berlari di permukaan bumi, sebagai sekutu malam yang setia.
Di singgasananya, Prabu Bratasena terduduk gelisah.
Enam prajurit pilihan dan seorang kusir yang ditugaskan menjemput rempah-rempahan dengan kereta kuda mestinya sudah kembali sejak sore tadi.
Tapi hingga kini, belum juga menampakkan batang hidung.
"Pasti ada yang tidak beres,"
Gumam Prabu Bratasena, setengah berbisik.
"Tampaknya ada gangguan dari pihak Begal Ireng, Paduka,"
Duga Mahapatih Guntur Slaksa, menang-gapi gumaman Prabu Bratasena yang sempat tertangkap telinganya. Bersama beberapa pembesar kerajaan, patih bertubuh tinggi besar itu duduk di hadapan raja mereka. Sementara Patih Ranggapati pun tampak di sana.
"Itu yang kutakutkan, Mahapatih,"
Sahut Prabu Bratasena pada lelaki bertubuh tinggi besar.
Wajah Mahapatih Guntur Slaksa amat angker, seangker namanya.
Rahangnya yang berbentuk persegi, bermata bulat dan besar, sungguh-sungguh memperjelas keangkerannya.
Saat itu, secara tiba-tiba datang kusir kuda yang membawa muatan rempah-rempah dengan napas memburu.
"Ampun Paduka. Izinkan hamba melapor,"
Pinta kusir itu tersengal seraya menjura.
"Katakanlah, Paman."
Pinta Prabu Bratasena. berusaha setenang mungkin.
"Kami telah dijegal kawanan Begal Ireng di Desa Umbulwetan, Paduka,"
Lanjut lelaki tua berusia sekitar enam puluh tujuh tahun yang masih tetap gagah itu.
"Untunglah para prajurit pilihan berhasil menahan mereka. Kalau tidak, rempah-rempah yang sangat dibutuhkan rakyat tidak akan sampai ke sini."
Demi mendengar laporan ini, Prabu Bratasena menjadi geram. Rahangnya mengeras seketika. Seraya memegangi keningnya yang terasa berdenyut akibat luapan marah, Raja Alengka itu merayapi para pembantunya dengan sapuan mata yang sulit diartikan.
"Pemberontak itu rupanya benar-benar ingin menghancurkan negeri ini...,"
Kata Prabu Bratasena, dengan suara bergetar.
"Yang hamba heran, Paduka,"
Kata kusir kembali.
"Kenapa gerombolan Begal Ireng dapat mengetahui perjalanan kami? Sedangkan semua prajurit pengawal sudah mengenakan pakaian biasa, sehingga tidak tampak lagi sebagai prajurit kerajaan. Lalu, dari mana gerombolan itu tahu tentang kami? Dan, dari mana pula mereka tahu kalau kami akan menjemput muatan pada saat itu?"
"Karena di antara kita ada seorang pengkhianat. Dia telah membocorkan rencana itu,"
Jawab Prabu Bratasena cepat. Wajahnya menegang demikian rupa, memperlihatkan kemurkaan. Kembali mata Prabu Bratasena beredar tajam pada semua pembesar kerajaan yang hadir di tempat itu. Warna merah mulai menyapu sepasang matanya.
"Di antara kita pasti ada seorang pengkhianat,"
Ulang penguasa Kerajaan Alengka.
"Setiap pembesar kerajaan, bisa saja jadi manusia busuk itu!"
Para pembesar kerajaan tampak tertunduk, tidak kuasa beradu pandang dengan Prabu Bratasena yang terlihat seperti seekor naga murka.
Kecuali, seseorang Mahapatih Slaksa Guntur! "Maaf, Paduka.
Bukankah dengan begitu Paduka telah meragukan kesetiaan kami pada kerajaan dan rakyat?"
Cetus Mahapatih Guntur Slaksa, agak risih mendengar ucapan Prabu Bratasena. Rupanya lelaki tinggi besar itu tersinggung oleh perkataan rajanya tadi. Di antara pembesar kerajaan lain, Mahapatih Guntur Slaksa memang seorang yang berwatak keras.
"Bukannya meragukan kalian semua, tapi hanya meragukan kesetiaan seorang di antara kalian,"
Sahut Prabu Bratasena.
"Sekali lagi hamba mohon maaf, Paduka. Tapi bukankah itu sama saja artinya mencurigai setiap orang dari kami?"
Desak Mahapatih Guntur Slaksa. Dari getar ucapannya, tampak sekali kalau hatinya setengah gusar.
"Aku tahu, kalian memang telah banyak berjuang untuk kepentingan negeri ini. Pantas saja kalau kau berkata seperti itu, Mahapatih. Tapi kalau merasa tidak berkhianat, kenapa kau mesti tersinggung?"
Sahut Prabu Bratasena.
Meski dirinya sedang dikecamuk kemurkaan, tapi selaku seorang raja, dia merasa harus menghadapi segala sesuatu dengan kepala dingin.
Dan ini membuat Mahapatih Guntur Slaksa tersudut, sehingga tidak bisa membantah lagi.
Matanya saja yang berbinar gusar, namun hal itu tidak diperlihatkan pada Prabu Bratasena.
Kewibawaan rajanya, membuat dia hanya bisa menyembunyikan kegusaran dalam hatinya.
"Hamba mohon diperbolehkan angkat bicara, Paduka,"
Selak Patih Ranggapati.
"Silakan, Patih,"
Sahut Prabu Bratasena.
"Hamba rasa, Paduka maupun Mahapatih Guntur Slaksa dalam hal ini sama-sama tidak salah. Di antara kami memang ada seorang pengkhianat. Itu pasti. Yang tak pasti, kami semua berkhianat. Mungkin Mahapatih Guntur Slaksa hanya mengingatkan Paduka, supaya tidak melontarkan pendapat tadi terlalu dini,"
Jelas Patih Ranggapati, bijak.
"Untuk itu, kami semua akan berembuk untuk mencari jalan keluar agar dapat menemukan si pengkhianat. Kami tak segan-segan akan memancung kepalanya jika telah jelas terbukti."
Prabu Bratasena mengangguk berwibawa, menyetujui ucapan Patih Ranggapati.
*** Taman Anjangsana keluarga istana temaram di malam hari.
Bunga beraneka warna tertunduk menikmati udara malam.
Hanya bunga sedap malam yang bermekaran, menebar keharuman ke seluruh taman.
Sejak Ningrum datang, Andika lebih sering bersamanya daripada bersama Purwasih.
Termasuk, malam ini.
Mereka tampak asyik berbincang-bincang dalam siraman cahaya purnama.
"Aku dendam sekali pada gerombolan Begal Ireng, Andika,"
Kata Ningrum.
"Aku tahu. Aku juga pernah merasa kehilangan, kan? Meski Perguruan Naga Merah bukan keluarga-mu sendiri, tapi mereka sudah menjadi bagian dari dirimu. Begitu, kan?"
Timpal Andika.
Tapi, bukan berarti kau harus berbuat bodoh dengan mendatangi gerombolan itu untuk menuntut balas.
Serahkan semuanya pada Yang Maha Kuasa.
Kalau kita tak mampu menuntut keadilan dari orang-orang yang telah merampas sesuatu yang kita cintai, Tuhan tak akan mengharuskan kita.
Berbuatlah hal-hal yang bisa diperbuat, sebatas kemampuanmu."
"Tapi aku tidak bisa begitu saja melupakan pem-bantaian mereka terhadap orang-orang yang kucintai. Bagaimana mereka menghabisi guru, dan saudara seperguruanku,"
Ucap Ningrum penuh desakan dendam.
"Aku ingin melihat mereka mati di tanganku, Andika."
"Ssst... ssst!"
Andika menggeleng-gelengkan kepala, mencoba untuk meredupkan kemarahan Ningrum dengan lembut.
"Aku tidak mau kehilangan-mu. Kalau kau berbuat nekat, maka hidupku akan seperti neraka...."
Andika langsung meraih bahu Ningrum, lalu mengajaknya berjalan ke ruang kehormatan yang bersebelahan dengan Taman Anjangsana keluarga raja. Dan saat kaki mereka melangkah beriringan, mendadak Andika memperdengarkan tawa kecil.
"Kenapa tertawa?"
Tanya Ningrum, heran.
"Aku hanya teringat kenekatanku dulu, sewaktu ingin membunuh Begal Ireng di Desa Banyu Gerabak. Saat itu, aku juga tak memikirkan apa-apa, kecuali membunuh keparat itu. Sekarang, bisa-bisanya aku menasihatimu. Aku merasa diriku mendadak menjadi orang bijak karbitan,"
Kata Andika, seraya tertawa lagi. Ningrum tak juga terikut keriangannya.
"Ayolah, Ningrum.... Kenapa tidak tertawa sedikit saja untukku?"
Bujuk Andika.
"Kalaupun tawamu sejelek cengiran kuda, aku tetap bahagia...."
Kali ini Ningrum tampak memperlihatkan senyum kecil.
Kini mereka sampai di dalam ruang kehormatan.
Sambil tetap bergandengan, mata keduanya memperhatikan lukisan-lukisan yang terpajang di dinding ruangan.
Ketika mata Andika tertumbuk pada satu lukisan keluarga kerajaan, mendadak keningnya berkerut rapat.
Alisnya yang legam menukik, turut bertaut.
Wajah lelaki tua dalam lukisan itu seperti dikenalinya.
Dan tiba-tiba pula tangannya dilepas dari bahu Ningrum.
"Kau tunggu di sini sebentar, Ningrum...,"
Ujar Andika terburu.
"Kau mau ke mana, Andika?"
Tapi Andika sudah melesat, melalui pintu keluar.
"Purwasih! Dari mana saja kau? Aku mencari-cari kau ke mana-mana!"
Andika datang tergesa-gesa.
Pemuda itu memang tengah mencari-cari Purwasih yang menghilang entah ke mana setelah melihat Andika dan Ningrum selalu berdua.
Dan ternyata gadis itu tengah berdiri di halaman istana.
Entah, apa yang diperbuatnya.
Sementara, orang yang dipanggil tampak tak peduli dan terus mematung.
Pandangannya menerawang ke arah bintang-bintang yang saling menger-dip.
"Aku harus bicara padamu,"
Kata Andika setelah berada di sisinya. Purwasih tetap tak peduli. Entah apa yang ada dalam benaknya saat itu. Andika berusaha menduga-duga, tapi tak dilanjutkannya. Masalahnya, ada hal yang lebih penting yang harus disampaikan pada Purwasih.
"Kau kemasukan setan pusing, ya? Aku ingin bicara denganmu, Purwasih. Ada hal penting yang mesti kutanyakan!"
Seru Andika persis di telinga Purwasih.
"Aku tak mau bicara denganmu!"
Dengus Purwasih, ketus. Dan hal ini membuat Andika menggaruk-garuk kepala tak mengerti.
"Kenapa kau jadi aneh begitu? Apa tindakanku salah?"
"Apa pedulimu?!"
"Wah, tambah gawat...,"
Gumam Andika. Kembali tangan pemuda itu menggaruk-garuk kepalanya sendiri. Sungguh-sungguh sulit dimengerti perubahan sikap Purwasih yang tiba-tiba ini.
"Apa sikapmu yang panas seperti kotoran kerbau ini karena kedatangan Ningrum?"
Duga Andika asal bunyi.
Purwasih tak menjawab, dan hanya sibuk menyembunyikan wajahnya yang mendadak memerah.
Pertanyaan Andika barusan rupanya tepat mengusik sudut hatinya.
Memang, kecemburuannya pada Ningrum membuatnya merasa dibuang oleh pemuda itu.
Dia sendiri sering bertanya pada diri sendiri.
"Kenapa harus mencintai seseorang yang usianya jauh di bawahnya? Andika berusia delapan belas tahun. Sedangkan dirinya berusia dua puluh sembilan tahun. Apakah itu pantas?"
Pantas tidak pantas, hati Purwasih tetap mengakui kalau pribadi Andika membuatnya terjatuh dalam kubangan cinta yang ganjil.
Ya! Ganjil karena mencintai pemuda yang usianya terpaut jauh.
Tapi, bukankah cinta tak mengenal kata ganjil? Karena, cinta itu sendiri pun aneh.
Bisa datang tiba-tiba, dan menimpa siapa saja.
"Apakah aku sungguh-sungguh mencintai pemuda ini?"
Keluh gadis itu dalam hati. Terkadang Ningrum memang bersikap seperti remaja belasan tahun ketika bersama Andika. Apakah itu tanda cintanya pada Andika? "Ah, aku bingung...,"
Desah Purwasih, tak sabar. Pemuda tampan di sisinya yang menangkap gumaman tadi langsung saja mengernyitkan keningnya.
"Mestinya aku yang bilang begitu! Apa kita memang sama-sama bingung? Daripada kau bingung dan aku bingung, lalu kita seperti orang yang ber-lomba bingung, ah...! Kenapa omonganku malah jadi bikin bingung! Pokoknya kau mesti ikut aku!"
Ujar Andika. Lantas tangan Purwasih ditarik Andika. Tak peduli apakah nanti wanita itu akan mengamuk.
"Mau dibawa ke mana aku?"
Jerit Purwasih jengkel.
"Yang pasti tidak ke kamar!"
"Kunyuk jorok!"
"Hua ha ha...!"
Dengan langkah terseret-seret, Purwasih mengikuti Andika.
Dan tak lama keduanya sampai di ruang kehormatan.
Di tempat itu, Ningrum masih menunggu kedatangan Andika.
Dan melihat pemuda yang ditunggunya telah datang terburu-buru bersama Purwasih.
Ningrum jadi agak heran.
Apalagi Andika menarik pergelangan tangan Purwasih yang tampak sewot.
Tanpa mempedulikan Ningrum yang terpaku.
Andika langsung menarik Purwasih ke tempat lukisan yang menarik perhatiannya.
"Kau tahu, siapa orang dalam lukisan ini?"
Tanya Andika pada Purwasih.
"Ada perlu apa kau bertanya tentang lukisan itu?"
Purwasih malah balik bertanya. Suaranya terdengar makin ketus, saat melihat Ningrum juga berdiri di ruang ini.
"Ini penting, Purwasih!"
Tegas Andika sungguh-sungguh. Namun. Purwasih malah menatapnya tajam.
"Baik..., baik. Aku memang suka konyol, suka bergurau keterlaluan. Tapi, kali ini aku tidak main-main, Purwasih!"
Ujar Andika lagi.
"Kenapa aku harus mempercayaimu?"
Cibir Purwasih. Pandangan gadis itu dibuang ke arah lain. Dan ini membuat Andika digelayuti kejengkelan, yang terasa sekali di tenggorokannya.
"Kalau aku bilang ini menyangkut kepentingan negeri Alengka, berkaitan dengan pemberontakan Begal Ireng dan gerombolannya, kau mau percaya?"
Desah Andika agak kasar. Sekali lagi, mata lentik Purwasih menghujam manik-manik mata pemuda itu. Kalau tadi binarnya diwarnai kejengkelan, kini binar matanya memperlihatkan keterkejutan.
"Kenapa kau menatapku seperti melihat naga gondrong? Cepat katakan padaku, siapa orang dalam lukisan ini?"
Hardik Andika, tidak sabar.
"Lelaki tua itu bernama Saptacakra. Dia adik buyutku, raja keturunan kesembilan Kerajaan Alengka,"
Jawab Purwasih, akhirnya.
"Sekarang jelaskan padaku, ada apa sebenarnya?"
"Yah! Sudah kuduga!"
Bukannya menjawab pertanyaan Purwasih, Andika malah berteriak seperti orang edan! Tangannya ter-kepal keras seraya meninju angin. Saat itu, dia teringat pada lelaki tua di Lembah Kutukan.
"Kau menduga apa?!"
Tanya Purwasih, penasaran. Ningrum pun melangkah mendekati keduanya. Gadis itu ikut tertarik mendengar pembicaraan Andika dan Purwasih. Kemudian dia berdiri di sisi kanan Andika.
"Kau ingat pembicaraan kita dulu? Kau bilang padaku, Begal Ireng sebenarnya memiliki kekuatan yang cukup untuk menyerbu ke istana ini. Tapi, itu tak dilakukannya. Kenapa hal itu terjadi...?"
Tanya Andika. Ucapannya dihentikan, membuat Purwasih makin penasaran setengah mati.
"Kenapa?!"
Desak Purwasih sengit.
"Karena tujuan Begal Ireng sebenarnya hanya ingin membunuh ayahmu, Prabu Bratasena,"
Jawab Andika, sambil menatap Purwasih dengan ekor mata yang naik ke atas kelopak mata. Purwasih kontan menautkan alis. Gadis cantik itu masih belum menangkap maksud Andika.
"Kenapa tak dijelaskan secara gamblang, Andika! Jangan buat Purwasih mati berdiri karena penasaran!"
Timpal Ningrum.
"Baik..., baik. Kenapa kalian jadi kelewat tolol, sih?"
"Aku bukan tolol! Aku hanya tidak tahu, apa yang kau maksudkan!"
Selak Purwasih, tersinggung oleh ucapan Andika yang asal bunyi. Andika cengar-cengir seraya mengangkat-angkat kedua alisnya yang lebat.
"Iya, ya. Mana ada putri raja yang tolol?"
Ejek pemuda itu.
"Diam! Jelaskan saja padaku!"
Bentak Purwasih. Wajahnya merah padam, seperti baru dipanggang.
"Ki Saptacakra yang kau kenal sebagai paman buyutmu, sebenarnya adalah Pendekar Lembah Kutukan. Rupanya, beliau memilih untuk hidup di antara rakyat, daripada di dalam kemewahan istana. Lalu, dia menuntut kesaktian agar dapat melindungi rakyat dari angkara murka,"
Urai Andika.
"Dari mana kau tahu?"
Tanya Purwasih, heran. Andika memelototi Purwasih. Memang pertanyaan wanita itu terdengar seperti tidak mempercayai keterangannya.
"Aku pernah bertemu langsung dengan beliau!"
Tukas Andika.
"Jangan ngigau! Pendekar Lembah Kutukan lebih dari seratus tahun yang lalu. Kisah kependekarannya pun tinggal menjadi cerita rakyat. Bagaimana mungkin dia masih hidup?"
Andika tambah dongkol. Dibukanya ikatan kain bercorak catur dari lehernya.
"Ini buktinya! Aku dapat kain ini dari tempat bersemadi beliau!"
Tegas Andika ngotot, sampai urat lehernya tertarik. Tangan Purwasih menyambar kain yang dipegang Andika.
"Kain lusuh ini? Di pasar bisa didapat dengan harga amat murah!"
Cemooh Purwasih. Lalu sepasang tangannya bergerak hendak mengoyak kain itu.
"Hey, jangan! Itu kain tanda mata milikku dari Lembah Kutukan!"
Cegah Andika.
Tapi, tangan Purwasih sudah telanjur bergerak.
Dan....
Kain itu ternyata tidak terkoyak! Sekali lagi Purwasih merentangkannya kuat-kuat.
Tapi, tetap juga kain di tangannya tidak terkoyak.
Bahkan ketika mencoba mengerahkan tenaga dalamnya untuk menghancurkan benda itu, tetap saja hasilnya nihil.
Purwasih jadi kesal.
Pedang besar dikeluarkannya dari punggung.
Lalu, kain yang terpegang di tangan kiri dilemparkannya ke udara.
Dan sebentar saja, tangannya sudah membabatkan pedangnya ke arah kain itu.
Wut! Wut! Wut! Andika dan Ningrum melihat, bagaimana pedang itu membabat kain bercorak catur milik Andika beberapa kali.
Tapi, apa yang terjadi? Kain itu hanya melayang ringan, lalu jatuh terkulai di lantai tanpa cacat sedikit pun.
Tentu saja mata Andika dan Ningrum jadi terbelalak lebar menyaksikan kenyataan itu.
Lebih-lebih Purwasih.
"Jadi tanpa sengaja, aku telah membawa kain pusaka Lembah Kutukan?"
Desis Andika. Wajahnya masih terlolong, disarati kesan keterkejutan.
"Sekarang aku baru percaya,"
Ujar Purwasih lemah dan menyerah.
"Jadi, apa kaitannya Begal Ireng dengan Prabu Bratasena, Andika?"
Tanya Ningrum saat Andika memungut kain miliknya. Andika tidak menjawab. Matanya masih me-melototi kain gombal di tangannya. Sementara. dari mulutnya terdengar decakan beberapa kali.
"Cepat jawab, Andika! Bukankah kau bilang ini adaah persoalan keselamatan negeri ini?!"
Omel Purwasih.
Andika tetap mematung.
Sepertinya pemuda di sisinya kehilangan akal.
Namun, Purwasih tidak peduli.
Asal Andika bisa menjelaskan hubungan antara pemberontakan Begal Ireng dengan ayahnya.
Tapi, pemuda konyol itu terlihat lebih bodoh dari orang yang kehilangan akal.
Itulah yang membuatnya jadi mangkel.
Maka tiba-tiba saja Purwasih menggunakan tangannya yang masih memegang pedang.
Dan....
Tak! Gagang pedang Purwasih mendarat gemas di kening Andika.
"Aouw!"
"Cepat katakan, atau kau kupukul lagi!"
Ancam Purwasih, setengah berteriak.
"Jangan berteriak-teriak, aku tidak tuli! Baik, akan kujelaskan. Ayahmu, Prabu Bratasena, hendak dibunuh Begal Ireng karena termasuk keluarga Ki Saptacakra. Atau...."
"Cucu dari saudara Ki Saptacakra!"
Duga Ningrum.
"Pintar! Begal Ireng sebenarnya tidak sungguh-sungguh bermaksud merebut kekuasaan Prabu Bratasena. Kepentingannya hanyalah melenyapkan seluruh garis keturunan Pendekar Lembah Kutukan. Dia begitu dendam pada Ki Panji Agung yang telah menggagalkan rencananya saat pertama kali hendak merebut kekuasaan prabu." (Mengenai Ki Panji Agung, lihat kembali episode. 'Lembah Kutukan').
"Jadi, kali ini rencananya untuk merebut kekuasaan hanya sebagai topeng untuk menutupi niat sesungguhnya?"
Tanya Purwasih, ingin memastikan.
"Ya! Kalau dia sungguh-sungguh ingin merebut kekuasaan Prabu Bratasena, tentu sudah mengerahkan seluruh kekuatannya yang mampu meng-hancurkan kerajaan ini. Dan dia hanya menunggu kesempatan yang tepat untuk membunuh ayahmu. Dengan begitu, kekuatan gerombolannya bisa tetap terjaga,"
Jelas Andika lagi.
"Ya..., ya. Tanpa meruntuhkan kerajaan ini, Begal Ireng pun sebenarnya sudah lebih berkuasa daripada Prabu Bratasena. Tokoh aliran sesat yang dikumpul-kannya begitu banyak. Sehingga, kekuatan gerombolannya bisa jadi lebih hebat daripada seluruh pasukan tempur istana,"
Selak Ningrum.
"Lalu, bagaimana dia tahu kalau ada kesempatan yang tepat untuk membunuh ayahku?"
Tanya Purwasih, cemas.
"Kau tidak ingat pengkhianat kerajaan ini? Tentu orang itu yang akan memberitahukan, kapan bajingan Begal Ireng dapat menghabisi Prabu Bratasena tanpa membuang-buang nyawa pasukannya,"
Jawab Andika pasti.
"Oh, Tuhan...,"
Desah Purwasih bergetar. Hati gadis itu langsung didera lecutan kekhawatiran terhadap keselamatan ayahnya.
"Aku takut, ayahku akan terbunuh, Andika,"
Desah gadis itu lirih, nyaris terisak.
"Jangan cengeng! Apa kau lupa dengan julukan si Naga Wanita yang disegani?"
Bentak Andika, tidak sungguh-sungguh.
Pemuda itu sebenarnya hanya ingin menekan kekhawatiran yang berlebihan pada diri wanita itu.
Andika sendiri dapat maklum kalau Purwasih seperti itu.
Biar bagaimanapun dia tetap tak lepas dari kodratnya sebagai seorang wanita yang berhati halus dan peka.
Apalagi, ini menyangkut orang yang paling dicintainya.
"Jangan khawatir, aku punya rencana bagus. Kalau Tuhan mengizinkan, kita akan segera menumpas Begal Ireng keparat itu."
Janji Andika pada Purwasih, sambil menepuk-nepuk pipinya yang halus.
*** Malam makin terlelap kegelapan.
Bulan sepotong masih menebar cahaya temaram, meski telah condong sepenggalan.
Di kamarnya, Andika tidak bisa memicingkan mata sedikit pun.
Pikirannya masih terseret pada rencananya untuk menumpas Begal Ireng, biang kekacauan negeri.
Dari rebahnya, Andika bangkit.
Sedikit udara segar memang diperlukan untuk menenangkan pikirannya.
Perlahan kakinya berjalan menuju pintu.
Perlahan pula dikuaknya pintu kamar, lalu kembali melangkah keluar.
Dari serambi kamarnya di Istana Kerajaan Alengka, Andika bisa melihat jelas Taman Anjangsana keluarga istana, serta bagian lain.
Tapi matanya lebih suka memperhatikan bintang yang bertaburan di langit lepas.
Keindahan alam tak mungkin ditandingi oleh karya manusia mana pun! Kemegahan langit yang dihampar Tuhan, seakan mengingatkan tentang kelemahan manusia.
Tentang ketidakberdayaan manusia, dan tentang kekerdilan manusia dibanding kekuasaanNya.
Ingat ketidakberdayaan manusia, Andika tiba-tiba teringat kembali pada asal-usul dirinya.
Banyak pertanyaan yang belum terjawab mengenai dirinya sendiri.
Meskipun beberapa saat lalu Andika telah mengetahui kalau buyutnya yang bernama Ki Saptacakra, adalah seorang keluarga istana, bukan berarti bisa mengetahui pasti siapa orangtuanya.
Silsilah keluarga istana pada keturunan kesembilan ternyata tidak lengkap.
Dalam buku riwayat keluarga kerajaan di perpustakaan istana, keturunan Ki Saptacakra memang tidak tercantum di dalamnya.
Ya! Andika merasakan ketidakberdayaannya untuk menemukan orangtua yang selama ini dirindukan.
Juga tentang penyebab, kenapa dirinya dibuang di pinggir hutan (baca serial Pendekar Slebor, dalan episode.
'Lembah Kutukan').
Hatinya hanya bisa berharap pada Tuhan, agar dirinya dipertemukan kembali.
Tanpa pertolonganNya, Andika memang tidak mampu berbuat apa-apa.
Lama Andika memperhatikan tanda berbentuk bintang berwarna merah di tangan kanannya yang didapat sejak lahir.
Mudah-mudahan Tuhan akan menjadikan tanda ini menjadi satu titik terang untuk menemukan mereka, seperti bintang yang menunjuk-kan arah bagi nahkoda kapal dalam malam gelap.
Lalu matanya kembali menatap kerlip bintang yang tetap bercahaya selama berjuta tahun.
Ditariknya napas dalam-dalam, seakan hendak memuji secara tak langsung ke hadapan Yang Maha Kuasa.
"Memang bodoh sekali manusia yang menyombongkan kekuasaan yang hakikatnya hanya bernilai setitik debu di luasnya alam semesta!"
Bisik hatinya.
Di saat hatinya terhanyut dalam renungan yang dalam, tiba-tiba saja perhatiannya teralih pada sesosok bayangan yang mengendap-endap di atas istana.
Dari kejauhan, Andika bisa melihat orang itu mengenakan caping lebar.
Sinar bulan yang cukup terang juga membuatnya bisa mengenali warna pakaian orang di atap itu.
"Heh?! Itu orang yang telah membokong Patih Ranggapati di hutan cemara...,"
Bisik Andika, setelah mengenali pakaian merah darah orang yang mengendap-endap.
"Mau apa dia menyantroni istana? Mau cari koreng?"
Dalam sekejap, tubuh pemuda yang telah dijuluki Pendekar Slebor itu sudah berada di atap istana.
Kali ini, orang itu tidak akan dibiarkan lolos begitu saja.
Andika menduga, dia adalah kaki tangan Begal Ireng.
Dengan menangkapnya, barangkali bisa mengorek keterangan tentang gerombolan pemberontak itu.
"Bakikuk!"
Seru Andika ketika tubuhnya sudah berdiri tepat di belakang orang yang dicurigainya.
Tentu saja orang bercaping menjadi tersentak.
Tubuhnya langsung berbalik, seraya memasang kuda-kuda sigap.
Tapi Andika sudah raib entah ke mana.
Sesaat orang itu hanya terpaku, seperti tidak mempercayai pendengarannya.
"Bakikuk!"
Seru Andika lagi.
Tubuh Pendekar Slebor sudah berdiri di belakang orang bercaping.
Sudah pasti kecepatan seperti itu sangat sulit dilakukan orang berkepandaian tanggung.
Dan sekali lagi orang bercaping itu bergerak cepat berbalik.
Dan sekali lagi dia terkecoh.
Matanya ternyata tidak menemukan seorang pun.
"Keparat,"
Desis orang itu, setelah mengetahui ada seseorang yang sedang mempermainkannya.
"Bakikuknya sekarang pakai jurus 'Ular Iseng Menotok Babi',"
Ucap seseorang di belakang orang bercaping itu.
Belum sempat tubuh orang bercaping bergeming, sebuah totokan sudah mendarat di bagian punggungnya.
Tuk! Tubuh orang bercaping itu kontan terkulai lemas, tanpa sempat menghindar.
Dan sebelum orang itu menyentuh tanah, Andika cepat menyambarnya.
"Wah! Rupanya kau sudah mengantuk berat, ya? Apa kau mabuk? Kapan minumnya? Kemarin?"
Oceh Pendekar Slebor, saat memanggul tubuh orang bercaping dengan senyum lebar di bibirnya.
Secepat bayangan setan, tubuh Pendekar Slebor berkelebat.
Orang itu memang akan dibawanya ke kamar, agar bisa dipaksa bicara.
Mudah-mudahan dia termasuk orang yang tidak pelit dengan keterangan.
"Nah, sekarang kau boleh beristirahat di sini...,"
Kata Andika sesampai di kamar.
Lalu....
Buk! Tubuh orang bercaping menggeloso di lantai kamar.
Andika rupanya berusaha bersikap sekasar mungkin pada orang yang telah membokong Patih Ranggapati waktu itu.
Buktinya, tubuh itu dilempar begitu saja ke lantai.
"Aku cukup ramah, bukan? Tapi kalau memasuki kamar orang lain, harus membuka capingmu...,"
Kata Pendekar Slebor. Setelah itu, tangan Andika menyambar caping lebar tawanannya.
"Setan buntung gantung diri!"
Seru Andika. Mata Pendekar Slebor langsung terbelalak lebar saat melihat wajah orang itu.
"Ningrum...?"
Desis Andika, nyaris tak percaya. Ningrum hanya bisa menatap Andika. Sebenarnya, dia bisa bicara. Tapi karena kartunya sudah terbuka, mulutnya jadi malas berkata-kata.
"Apa-apaan kau ini?!"
Gerutu Andika. Segera dibebaskannya totokan di tubuh Ningrum. Dan gadis itu segera bangkit. Tangannya memegangi pinggangnya yang terasa berdenyut-denyut nyeri akibat menghantam lantai kamar. Dan bibirnya juga meringis-ringis.
"Jadi, kau yang menyerang Patih Ranggapati waktu itu?"
Tanya Andika.
Ningrum hanya menyembunyikan wajah ayunya dengan kepala yang tertunduk.
Memang, gadis itulah yang telah membokong Patih Ranggapati dengan pisau-pisau terbang saat Andika, Purwasih, Bayureksa, dan Patih Ranggapati menembus hutan cemara di atas bukit.
"O, bagus!"
Rutuk Andika.
"Kau telah menyerang pembesar istana. Itu tindakan bagus! Kau tahu artinya itu? Kalau ketahuan, kau bisa dianggap bersekongkol dengan gerombolan Begal Ireng!"
"Tapi Andika...!"
"Tapi apa?! Aku tidak mengerti, apa maumu sebenarnya!"
Potong Pendekar Slebor.
"Kau akan mengerti kalau memberiku kesempatan bicara!"
Andika melotot, lalu membanting caping di tangannya keras-keras.
"Baik, bicaralah! Tapi, ingat. Kalau kau mengarang cerita yang bukan-bukan, aku tak segan-segan menyerahkanmu pada Patih Ranggapati supaya bisa menerima hukumanmu!"
Ancam Andika, sungguh-sungguh.
Dalam hal menegakkan keadilan, Pendekar Slebor tidak mau pandang bulu.
Meski yang harus menerima hukuman adalah orang yang amat dicintai.
Selama orang itu memang terbukti bersalah, Andika tak peduli.
Sebelum mulai bicara, Ningrum menarik napas beberapa kali.
Seakan, dia hendak mempersiapkan sesuatu yang hendak didorong tenggorokannya.
"Sejak Begal Ireng dan gerombolannya membantai perguruanku, aku menyimpan dendam yang tak dapat kukuasai lagi. Lalu, aku bertekad menuntut balas. Untuk muncul terang-terangan, aku takut kaki tangan Begal Ireng mengenali. Bahkan bisa-bisa mereka menangkapku untuk dijadikan sandera, agar kau menyerahkan diri pada Begal Ireng. Maka itu, aku menyamar dengan pakaian lelaki dan caping lebar ini. Sengaja senjata kipasku tak kugunakan dengan alasan tadi. Sebagai gantinya, kugunakan pisau-pisau kecil sebagai senjataku,"
Jelas Ningrum.
"Tapi bagaimana kalau tokoh-tokoh golongan hitam yang bergabung dengan Begal Ireng menangkap, kemudian menyerahkan dirimu pada pemimpin mereka? Bukankah Begal Ireng sudah mengenalimu? Kalau sudah begitu, kau tetap akan dijadikan sandera!"
Penggal Andika keras.
Pendekar Slebor bukan takut menghadapi tokoh aliran sesat itu, tapi hanya khawatir keselamatan Ningrum.
Ningrum kembali menancapkan pandangan ke lantai kamar.
Mulutnya membisu, seperti juga lantai kamar yang ditatapnya.
Dalam hati diakui kebenaran ucapan Andika barusan.
Betapa bodohnya dia, hanya mengikuti gejolak dendam tanpa berpikir panjang! "Lalu, kenapa kau menyerang Patih Ranggapati?"
Cukil Andika kembali.
"Pembesar itu berkhianat, Andika. Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, dia sedang mengadakan pertemuan rahasia bersama seorang kaki tangan Begal Ireng. Aku mengenal kaki tangan Begal Ireng, karena dia juga ikut membantai Perguruan Naga Merah...."
"Astaga...,"
Desis Andika. *** "Purwasih! Kau tahu, siapa yang berkhianat dalam kerajaan ini?"
Tanya Andika berbisik, ketika menemukan Purwasih sedang melatih jurus-jurus silat di halaman istana.
Saat itu matahari tidak begitu ganas, karena memang belum lama lagi.
Purwasih langsung menghentikan gerakan.
Tanpa memasukkan pedang ke sarungnya kembali, ditatapnya Andika penuh keingintahuan.
"Siapa?"
Tanya gadis itu.
"Patih Ranggapati...,"
Jawab Andika hati-hati.
"Ha ha ha...."
Wanita itu mendadak tertawa keras-keras. Tentu saja Andika jadi kelimpungan menahan suara tawa yang begitu keras-.
"Ssst! Gila, kau! Bisa dicurigai pengkhianat itu!"
Pendekar Slebor memperingatkan.
"Kau yang gila, Andika. Aku kenal betul lelaki itu. Dia sudah seperti pamanku sendiri. Itu sebabnya, kenapa dia memanggilku Purwasih saja, tanpa embel-embel tuan putri yang memuakkan itu,"
Tukas Purwasih, dan hendak melanjutkan latihannya.
"Hey! Aku sedang tidak ingin bercanda!"
Tegas Andika dengan wajah sungguh-sungguh.
"Kau sungguh-sungguh?"
Tanya Purwasih seraya menatap lelaki di depannya lekat-lekat.
"Ningrum yang menyaksikan Patih Ranggapati sedang mengadakan pertemuan rahasia bersama seorang kaki tangan Begal Ireng...."
Secara singkat, Andika menguraikan cerita tentang Ningrum pada Purwasih.
"Ah! Rasanya sulit sekali kupercayai berita ini, Andika,"
Desah Purwasih setelah Andika selesai bicara.
"Tapi, begitulah kenyataannya."
"Tapi Patih Ranggapati sudah seperti keluargaku sendiri!"
Ucap Purwasih tak mau kalah.
"Aku yakin, pernah terjadi bentrokan antara ayahmu dengan lelaki itu,"
Duga Pendekar Slebor. Lama mata Purwasih terhujam pada dinding benteng istana. Tampaknya dia sedang diusik sesuatu yang tersembul di benaknya. Beberapa kali wanita itu menghempas napas galau.
"Kau ingat sesuatu, Purwasih?"
Usik Andika.
"Ya. Patih Ranggapati memang pernah ber-sengketa dengan ayahku. Dia mencintai seorang wanita bernama Tanjungsari. Bertahun-tahun wanita itu berusaha untuk diperistrinya, tapi tidak berhasil. Dan wanita itu malah terpincut pada ayahku, sampai akhirnya keduanya menikah...,"
Cerita Purwasih. Matanya tetap menerawang jauh.
"Wanita itu ibumu?"
Purwasih mengangguk lamat.
Jelas sudah bagi Andika, alasan Patih Ranggapati berkhianat pada Kerajaan Alengka...
*** Pagi baru berlalu sekian saat.
Sang Raja Siang merayap perlahan menuju puncaknya.
Panas terasa mulai tak bersahabat.
Di sebuah jalan rumput yang membelah padang luas, terlihat arak-arakan kecil.
Beberapa orang terlihat berjalan di belakang kereta kuda yang dihela seorang kusir bertubuh ramping.
Empat orang di antaranya mengendarai kuda.
Dua berada paling depan, sedangkan sisanya berada di barisan paling belakang.
Melihat dari bendera yang dibawa, bisa ditebak kalau arak-arakan itu adalah rombongan kerajaan.
Dua hari yang lalu, Prabu Bratasena merencana-kan pergi untuk menemui raja dari negeri tetangga yang akan bekerjasama dengannya memberantas gerombolan Begal Ireng.
Menurut Prabu Bratasena, raja negeri tetangga mulai merasa khawatir oleh meluasnya kekuasaan Begal Ireng ke wilayahnya.
Makanya, dia mengirim pesan rahasia pada Prabu Bratasena untuk mengadakan kerjasama.
Tawaran itu tentu saja diterima gembira.
Agar kepergian ini tidak dicurigai mata-mata Begal Ireng, Prabu Bratasena memerintah para prajurit pengawal untuk mengenakan pakaian biasa.
Pakaian kerajaan yang menandakan mereka sebagai prajurit istana harus ditanggalkan.
Sementara pembesar kerajaan yang ikut bersama rombongan adalah Mahapatih Guntur Slaksa.
Lima belas prajurit khusus serta tiga perwira istana langsung dipimpinnya.
Dan seorang perwira yang menyertainya adalah Patih Ranggapati.
"Berjalanlah perlahan, agar kita tidak dicurigai!"
Seru Prabu Bratasena dari dalam kereta kudanya yang tertutup.
"Mudah-mudahan pengkhianat kerajaan tidak mengetahui rencana kita."
Tapi, apa benar begitu? *** Di ujung padang rumput yang dibatasi deretan bukit kecil, Begal Ireng bersama beberapa orang pilihannya ternyata telah menunggu.
Wajah pemimpin pemberontak itu terlihat berapi-api, diberontaki hasrat membunuh.
Bibirnya sesekali menyeringai, seakan seekor serigala menunggu mangsa.
Lelaki itu berpakaian hitam-hitam, terbuat dari sutera.
Wajahnya tampan dan kelimis, namun berkesan amat dingin.
Di bagian pinggangnya melilit sebuah cemeti pusaka yang terbuat dari akar tumbuhan langka berduri tajam, seperti ekor ikan pari.
Dia duduk gagah di punggung kuda putihnya.
Di sisi kanan dan kirinya, berdiri dua lelaki tangan kanannya.
Mereka adalah, si Kembar dari Tiongkok yang berpenampilan serupa.
Baik dari wajah, hingga pakaian mereka.
Kepala mereka juga sama-sama gundul, dan mata mereka juga sipit.
Ditambah oleh keadaan kulit yang kuning, sudah dapat diduga kalau keduanya berasal dari daratan Tiongkok.
Dan sebenarnya, si Kembar dari Tiongkok adalah dua tokoh aliran sesat yang lari dari negerinya, karena menjadi buronan pihak kerajaan di Tiongkok.
Bekal mereka ke nusantara ini adalah ilmu bela diri yang tinggi dan kekejaman.
Empat lelaki lain tampak berdiri dengan wajah tegang di belakang Begal Ireng.
Mereka adalah tokoh sesat aliran hitam yang akan membantu penyerangan Begal Ireng terhadap rombongan kerajaan.
Seperti juga Begal Ireng, keempat orang itu berpakaian hitam-hitam pula.
Itu memang salah satu ciri khas gerombolan pemberontak di bawah perintah Begal Ireng.
Dua orang yang tidak mengenakan pakaian hitam-hitam dalam gerombolan ini hanyalah si Kembar dari Tiongkok.
Mereka justru berpakaian putih-putih.
Di balik bebatuan besar di kaki bukit, ketujuh lelaki itu mengintai.
Mata mereka lepas ke padang rumput yang terhampar di depan.
Dan ketika rombongan kerajaan mulai terlihat seperti titik kecil di kejauhan, Begal Ireng mengangkat tangannya.
"Saat Bratasena keparat dan pasukannya tiba di celah bukit, kita habisi mereka. Ingat! Habisi! Jangan biarkan ada yang tersisa!"
Si Kembar dari Tiongkok hanya mengangguk-angguk lamat.
Sedangkan empat lelaki lain menjawab dengan suara dingin dan datar, seakan sedang menikmati gelora nafsu membunuh.
Sehari lalu, seorang kaki tangan Begal Ireng menyampaikan berita tentang kepergian Prabu Bratasena yang didapat dari si pengkhianat.
Tak heran kalau kini mereka menghadang rombongan.
Sementara itu, rombongan kerajaan makin dekat menuju tempat persembunyian Begal Ireng dan pengikutnya yang berjumlah enam orang itu.
Dugaan Andika beberapa waktu yang lalu memang tidak meleset.
Begal Ireng memang tidak ingin membuang nyawa pasukannya.
Tujuan sebenarnya adalah membunuh Prabu Bratasena, yang memiliki garis keturunan Pendekar Lembah Kutukan.
Dia tak akan menyerang kerajaan secara langsung, dan hanya menunggu kesempatan yang baik untuk menghabisi raja bijaksana itu.
Setombak demi setombak, rombongan kerajaan makin menghampiri perangkap yang dipasang Begal Ireng.
Saat mereka berada di celah antara dua bukit yang menjadi jalan tembus, Begal Ireng dan kaki tangannya siap akan menyergap.
Saat itu, rombongan kerajaan sudah memasuki mulut celah bukit.
Dan....
"Maju!"
Perintah Begal Ireng pada anak buahnya, penuh nafsu.
Seketika dari bebatuan besar yang menyembunyikan tubuh mereka, Begal Ireng dan anak buahnya berhamburan keluar.
Bersama si Kembar dari Tiongkok, dia menghadang di depan.
Sementara, empat anak buahnya yang lain menghadang di belakang.
Rombongan kerajaan kini benar-benar terjepit, tanpa dapat meloloskan diri lagi.
Bagaimana mereka bisa meloloskan diri kalau di sisi-sisi adalah tebing terjal menjulang yang mustahil didaki.
Sedangkan di depan dan di belakang mereka, musuh sudah siap merencah.
Celah bukit sepi, maut yang akan menjemput.
Hanya desir angin yang meluncur di antara dinding cadas.
"Bratasena! Akhirnya kau akan menyusul saudaramu Panji Agung ke dasar neraka!"
Seru Begal Ireng keras, namun dingin. Tak ada perubahan sedikit pun di wajahnya. Sementara, anak rambut dan ujung pakaiannya dipermainkan angin. Tak ada jawaban dari pihak kerajaan.
"Bratasena! Apakah kau sudah siap untuk menerima kematianmu. Atau, kau memang tuli?"
Bentak Begal Ireng sekali lagi.
"Hua ha ha...!"
Kali ini, terdengar tanggapan dari kereta kuda. Tapi hanya tawa.
"Kau pikir ini lucu, hah?!"
Bentak Begal Ireng kembali.
"Ya. Tapi aku tak tertawa karena ucapanmu. Aku hanya teringat pada syair Iagu. Kau mau dengar? Begini...."
Kemudian dari dalam kereta kuda terdengar senandung berisi pantun.
"Debrut-brut-brut kentut kuda. Bikin ngantuk sejuta angsa. 'Cecurut tua 'yang awet muda. Mengira mampu berkuasa...?"
"Keparat!"
Hardik Begal Ireng.
Memang, usia Begal Ireng sebenarnya hampir mencapai sembilan puluh tahun, tapi karena menganut ilmu awet muda, penampilannya masih tampak seperti lelaki berusia tiga puluhan.
Tanpa memerintah anak buahnya, Begal Ireng langsung meluruk ke arah kereta kuda.
Tentu saja ini sangat mengejutkan Mahapatih Guntur Slaksa.
Maka lelaki itu segera ikut melesat ke arah kereta kuda.
Namun sebelum Begal Ireng atau Mahapatih Guntur Slaksa benar-benar sampai, tiba-tiba sesosok tubuh mencelat bagai bayangan hantu.
Setelah berputar beberapa kali di udara, orang yang melesat dari kereta kerajaan itu menjejak persis setombak di depan Begal Ireng yang mendadak menghentikan larinya.
"Bakikuk!"
Seru orang itu.
Ternyata, dia adalah Andika! Tentu saja Begal Ireng terkesiap.
Matanya terbelalak bagai kelereng.
Sungguh tak diduga.
Ternyata orang yang berada dalam kereta kuda itu bukan Prabu Bratasena.
Memang, inilah rencana yang pernah dijanjikan Andika pada Purwasih.
Dengan rencananya ini, dia berhasil memancing Begal Ireng keluar dari sarang-nya.
Sengaja Andika mengatur agar Prabu Bratasena tampak sungguh-sungguh hendak me-nemui raja negeri tetangga.
Dan hal itu, lalu dibicarakan di depan para pembesar kerajaan.
Ternyata perhitungan Andika berjalan lancar.
Rencana kepergian itu buktinya bocor, sampai ke telinga Begal Ireng.
Hanya saja, orang yang berada dalam kereta sudah berganti.
Bukan Prabu Bratasena, tapi Andika sendiri.
Bukan hanya Begal Ireng yang terkejut.
Mahapatih Guntur Slaksa pun demikian.
Bahkan telah melompat dari punggung kudanya, lalu melesat menuju kereta kuda.
Namun langkahnya dihentikan seperti halnya Begal Ireng.
Bahkan dua perwira dan lima belas prajurit kerajaan tadi membelalakkan mata.
Apalagi, Patih Ranggapati.
Kenapa mereka bisa ikut terkecoh? Sekali lagi, ini akal bulus Pendekar Slebor itu.
Andika memang mengatur rapi, agar kusir kereta kuda digantikan Ningrum yang mengenakan pakaian lelaki.
Pada saat Prabu Bratasena sudah masuk ke dalam kereta kuda di hadapan para pembesar istana, Andika men-jentikkan kerikil kecil ke tubuh salah seekor kuda.
Akibatnya kuda itu langsung terkejut dan berlari sehingga ketiga kuda lain yang mengikutinya.
Ketika kuda berlari sekian langkah di dekat sebuah pohon besar, Andika segera masuk ke dalam.
Sedangkan, Prabu Bratasena keluar dan bersembunyi di balik pohon besar itu.
Kejadian ini begitu cepat.
Sehingga, beberapa perwira yang memburu untuk menghentikan lari kuda tak sempat melihatnya.
"Wah wah wah...! Kenapa matamu melotot seperti orang banyak hutang, Begal Ireng?"
Ejek Andika seraya memutar-mutar kain bercorak catur di depan dada, seperti orang kepanasan.
"Kau..., ternyata kau belum mati?"
Kata Begal Ireng, geram.
"Aku selalu punya nyawa cadangan yang kusimpan dalam perutku. Kau mau lihat nyawa cadanganku?"
Ujar Andika acuh.
"Nih...."
Truut... dut! Du... brot! Andika mengeluarkan angin yang dikatakannya tadi sebagai nyawa cadangan. Dan angin itu dikeluarkan melalui lubang pantatnya! "Hebat, bukan?"
"Keparat!"
Geram Begal Ireng amat memuncak. Mata tokoh hitam ini mendadak memerah. Wajahnya pun terbakar kemurkaan. Karena dirinya telah dipermainkan anak muda bau kencur berpakaian hitam pupus ini.
"Kali ini kau tak akan lolos lagi dari maut, Anak Babi!"
Umpat Begal Ireng.
"Tapi kalau aku lolos lagi, bisa jadi kau yang akan dijemput maut, Bapak Babi!"
Timpal Andika, semakin membakar kemarahan lawannya.
Sampai di situ Begal Ireng tidak bisa lagi menahan kemurkaannya.
Dengan satu genjotan, tubuhnya meluruk ke arah Pendekar Slebor.
Di benaknya hanya terbayang bagaimana anak muda kurus itu tergeletak menjadi mayat.
"Adouw, tidak kena!"
Teriak Andika seraya bergeser ke samping.
Namun, kaki kirinya yang masih tetap di tempat semula langsung menyapu kaki lawan.
Begal Ireng yang menyerang Andika dengan jurus 'Terkaman Naga', segera menghentak kakinya yang hendak disapu lawan.
Tubuhnya langsung melenting ke udara.
Setelah berputar di udara beberapa kali, kakinya kembali menjejak mantap di tanah.
Dari sini bisa dilihat kehebatan ilmu meringankan tubuhnya.
"Kau bertempur menggunakan jurus apa, Begal Ireng? Apakah nama jurus itu 'Kodok Bisul Cari Makan'? Kalau begitu, aku harus menghadapimu dengan jurus 'Kupu-kupu Bingung',"
Kata Andika, pendekar muda yang mendapat julukan Pendekar Slebor ini.
Tubuh tegap pemuda itu bergerak.
Kain bercorak papan catur yang tergenggam di tangannya terlihat dibentangkan.
Sepasang kakinya melekuk keluar seperti seorang yang menahan sakit perut.
Lalu, tubuhnya mulai berputar-putar setengah terhuyung dalam satu lingkaran kecil.
"Anak sinting cari mampus!"
Maki Begal Ireng ketika melihat lawannya mulai mengejek kembali.
Serangan selanjutnya dilancarkan Begal Ireng, langsung memasuki jurus kesepuluh 'Terkaman Naga'.
Di samping karena sudah menduga kalau lawannya telah menjalani penyempurnaan, lelaki itu juga ingin secepatnya menyudahi pertarungan ini.
Sementara itu tanpa diduga Patih Ranggapati, dari kereta kuda meluncur seseorang berpakaian merah menyala dengan kepala ditutup caping pelepah kelapa.
Dan dia tepat mendarat di depan Patih Ranggapati.
Memang, rupanya Andika tidak mau tanggung-tanggung menjalankan rencananya untuk memancing pengkhianat Kerajaan Alengka.
Secara sembunyi-sembunyi, Purwasih disuruhnya untuk naik kereta, setelah diminta untuk mengenakan pakaian Ningrum berikut capingnya.
Lagi-lagi semua orang di sekitar tempat itu menjadi terperanjat.
Terlebih Patih Ranggapati.
Dan matanya jadi terbelalak untuk yang kedua kali! "Kau terkejut, Paman Patih?"
Tanya Purwasih seraya membuka caping penutup wajahnya.
"Purwasih?"
Sahut Patih Ranggapati, tanpa sadar.
"Ya, aku Purwasih, putri Prabu Bratasena yang kau khianati. Aku juga seorang yang menganggap kau adalah pamanku, tapi mulai saat ini dengan berat hati kau kuanggap sebagai musuh negeri Alengka...."
"Purwasih! Apa-apaan kau ini?!"
Kata Patih Ranggapati, bergetar.
"Paman Guntur Slaksa, periksalah bahu kiri Patih Ranggapati! Sewaktu pulang bersamaku dulu, dia mengatakan kalau luka di bahunya adalah akibat serangan orang-orang Begal Ireng. Sesungguhnya, luka itu akibat sayatan Kipas Naga milik Ningrum, yang kini menjadi kusir kereta kuda kita...,"
Sambung Purwasih pada Mahapatih Guntur Slaksa, tanpa mempedulikan keterkejutan Patih Ranggapati.
Rupanya, Purwasih sudah mulai mempercayai siasat yang diterapkan Andika, untuk membuktikan keterlibatan Patih Ranggapati dalam menebar bencana di Kerajaan Alengka.
Lelaki tinggi besar bernama Mahapatih Guntur Slaksa menatap Patih Ranggapati dengan sinar mata tidak percaya.
Bagaimana mungkin orang yang selama ini dikenal baik sebagai perwira kerajaan dengan kesetiaannya yang tak diragukan itu ber-khianat? Namun mengingat yang memerintah adalah putri raja, mau tak mau Mahapatih Guntur Slaksa mengabulkannya.
"Kemarilah, Patih Ranggapati!"
Ujar Mahapatih Guntur Slaksa. Dia berusaha menjangkau pakaian Patih Ranggapati untuk melihat bahu sebelah kirinya, tapi ternyata lelaki yang dicurigai sebagai pengkhianat kerajaan ini menghindar cepat.
"Kenapa kau menghindar, Patih Ranggapati? Apa memang benar ucapan Tuan Putri Purwasih kalau kau adalah pengkhianat kerajaan?"
Desis Mahapatih Guntur Slaksa penuh tekanan.
Melihat tindakan Patih Ranggapati, Purwasih makin yakin kalau laki-laki yang selama ini sudah dianggap pamannya adalah seorang pengkhianat.
Pantas saja selama ini segala kegiatan kerajaan selalu bocor ke telinga Begal Ireng.
Dan kini, jelas pancingan Andika mengena.
Sementara Patih Ranggapati hanya menatap Mahapatih Guntur Slaksa dengan wajah memerah.
Setapak demi setapak kudanya melangkah ke belakang seperti siap hendak melarikan diri.
"Tangkap pengkhianat itu, Paman Guntur Slaksa!"
Seru Purwasih.
"Hiaaa...!"
Tubuh Mahapatih Guntur Slaksa langsung melenting tinggi ke arah Patih Ranggapati.
Sementara, orang yang diserang juga tidak tinggal diam.
Dia juga langsung melenting, memapak serangan Mahapatih Guntur Slaksa.
Kini kancah pertempuran makin hingar-bingar karena pertarungan meluas menjadi beberapa bagian.
Andika melawan Begal Ireng, Mahapatih Guntur Slaksa dengan Patih Ranggapati, menyusul Purwasih dan Ningrum yang menyerbu ke arah si Kembar dari Tiongkok.
Sedangkan prajurit khusus kerajaan menyerang empat kaki tangan Begal Ireng yang lain.
Sementara itu, pertempuran Andika melawan Begal Ireng makin sengit.
Keduanya bertukar jurus bertubi-tubi dalam satu kelebatan yang sulit ditangkap mata orang awam.
Berkali-kali Begal Ireng dibuat penasaran oleh jurus-jurus Pendekar Slebor yang tampak seperti main-main.
Dan setiap kali Begal Ireng melabrak, selalu saja dapat dipatahkan Andika.
Sampai suatu saat....
Begal Ireng mencoba melepaskan tendangan tipuan ke arah pinggang Pendekar Slebor.
Dan begitu melihat lawannya menghindar dengan melenting ke atas, Begal Ireng tak menyia-nyiakannya.
Seketika tenaga dalamnya kini digenjot.
Lalu, tubuhnya melesat sambil melepaskan pukulan maut ke arah Andika yang masih berputaran di udara.
Melihat serangan mendadak ini, Pendekar Slebor rupaya memang sudah menduga.
Dalam keadaan masih di udara, langsung dipapaknya serangan Begal Ireng dengan tangan kanannya.
Sehingga....
Plak! Begitu kuat tenaga dalam yang dikerahkan Pendekar Slebor, sehingga tangan kanannya yang tak tergoyah langsung meluruk dengan jari-jari lurus ke arah dada Begal Ireng.
Tak ada kesempatan bagi tokoh hitam ini untuk menghindar.
Apalagi, keseimbangannya cukup goyah akibat benturan tangan tadi.
Akibatnya....
Des! Tak ayal lagi, dada Begal Ireng kontan terhantam jari-jari tangan kanan Andika dengan telak.
Tubuhnya terdorong deras, dan jatuh keras di tanah, menimbulkan debu-debu yang berterbangan di sekitarnya.
Bukan main terkejutnya Begal Ireng menerima totokan jari Pendekar Slebor.
Sambil menahan sesak luar biasa, dia berusaha bangkit.
Sebenarnya jurus-jurus Pendekar Slebor memang sulit diduga.
Bahkan seringkali terlihat ngawur.
Namun akibat yang dihasilkannya sungguh sulit dipercaya.
Padahal, benteng pertahanan Begal Ireng selama ini tidak bisa ditembus oleh tokoh sakti mana pun.
Ki Panji Agung lawannya dulu pun harus bertempur lebih dari ratusan jurus untuk bisa menembus pertahanannya.
Tapi lawannya yang berusia belasan tahun ini mampu membobol pertahanan Begal Ireng tak kurang dari tiga puluh jurus! "Kenapa kaget? Sekarang kau baru berkenalan dengan Pendekar Slebor yang baru turun gunung.
Kau ingin lihat kekonyolanku? Lihatlah...."
Selesai berkata demikian, Andika melabrak lawan seperti orang gila yang sedang mengamuk sejadi-jadinya.
Sepasang tangannya mengebut kian kemari dengan telapak dan jari tangan terbuka lebar-lebar.
Kakinya menendang-nendang kacau seperti seekor kuda liar.
Sedangkan kepalanya berputar-putar, sehingga rambutnya berantakan tak karuan.
"Hus... hus! Hus... hus!"
Andika menggusah.
Seakan-akan menganggap Begal Ireng, tokoh sakti papan atas aliran hitam itu sebagai ayam miliknya yang hendak digiring ke dalam kandang.
Begal Ireng menjadi kalang kabut menghadapi serangan ganjil lawannya.
Selama menjadi tokoh sakti, dia hanya berhadapan dengan lawan yang mengerahkan jurus-jurus terarah.
Tapi lawannya kali ini sungguh membingungkan.
Serangan yang dikira mengarah ke biji mata, ternyata menyempong ke biji 'terlarang'.
Serangan yang mengarah ke ulu hati, ternyata meliuk ke ubun-ubun.
Gerakannya seperti daun kering tertiup angin, sewaktu-waktu dapat berubah arah tanpa terduga! Itulah jurus 'Memapak Petir Membabibuta'! Jurus yang berhasil dicipta-kannya dalam purnama kedua di Lembah Kutukan.
Maka akibatnya....
Duk! Plak! Plak! Secara beruntun, serangan gencar Pendekar Slebor bersarang di tubuh lawan.
Kepalanya berhasil menyeruduk kening lawan.
Sedangkan telapak tangannya yang terbuka mengenai dua belahan pantat lawan.
Tubuh Begal Ireng langsung terjengkang, lalu kembali menghantam tanah dengan keras.
Sesaat mata tokoh hitam ini mengerjap-ngerjap dan kepalanya digerak-gerakkan.
Kepalanya pusing bukan kepalang akibat benturan kepala lawannya pada bagian kening.
Sedangkan kedua tangannya memegangi bagian pantatnya yang terasa seperti tersayat.
"Hua ha ha...!"
Andika tergelak-gelak sambil memegangi perut.
"Kau seperti anak kecil yang sedang antri di jamban, Begal Ireng!"
"Anjing kurap!"
Begal Ireng bangkit kembali. Kemarahan tokoh sesat ini sudah membakar seluruh dadanya. Ubun-ubunnya pun sudah seperti mau meledak. Segera dilepasnya cemeti dari pinggang. Dia tak mau tanggung-tanggung lagi menghadapi lawannya yang ganjil ini.
"Waduh! Kau mulai main-main dengan buntut tuyulmu itu, ya? Hati-hati, nanti bisa dimarahi abahmu!"
Andika berkoar seenak udel.
"Hiaaat!"
Wut! Pertempuran berlanjut.
Tapi kali ini lebih ganas, karena masing-masing telah mengeluarkan senjata.
Begal Ireng yang telah kalap, tak peduli lagi dengan lawannya yang masih muda.
Yang jelas, keturunan Pendekar Lembah Kutukan harus dilenyapkan.
Begal Ireng ccpat mengebutkan cemetinya ke bagian kepala Andika, lewat jurus ketujuh 'Sabetan Ekor Iblis".
Namun, tubuh Pendekar Slebor itu justru mencelat ke atas menuju kepala lawan.
Di udara, tangannya yang telah memegangi kain catur pusaka memecutkan senjata itu ke tangan Begal Ireng.
setelah terlebih dahulu meliukkan tubuhnya menghindari jilatan cemeti.
Ctar! Cemeti di tangan Begal Ireng terlepas seketika.
Sedangkan tubuh Pendekar Slebor meluncur turun di belakang Begal Ireng.
Begitu mendarat, dengan satu gerakan sulit dihindari, kain catur pusakanya menyergap wajah Begal Ireng saat masih di udara.
Akibatnya Begal Ireng tidak dapat melihat apa-apa lagi.
Kain itu berusaha dilepaskan dari wajahnya dengan melempar tubuh ke belakang.
Tapi, dengan segera Andika mengikuti gerakannya.
Beberapa kali tubuh mereka bergantian berputaran.
Dan ternyata Begal Ireng tetap tak dapat melepaskan cengkeraman kain catur pusaka yang membelit seluruh wajahnya.
Sampai suatu ketika....
"Aaakh!"
Dalam keadaan begitu, mata Pendekar Slebor melihat tubuh Ningrum melayang mengerikan.
Rupanya, seorang dari si Kembar dari Tiongkok berhasil menghempaskan tubuh gadis itu dengan pukulan jarak jauh yang pernah dipakai untuk melumpuhkan Ki Panji Agung dulu.
"Ningrum!"
Teriak Andika terkejut. Pada saat itu, perhatiannya pada Begal Ireng buyar. Sehingga, pegangan pada kain catur pusaka mengendor.
"Hiaaat!"
Berbareng satu gerakan berputar, Begal Ireng yang berjuluk Pencabut Nyawa berhasil melepaskan kain catur pusaka milik Andika dari wajahnya.
Setelah tubuhnya menghadap ke arah Pendekar Slebor, tangannya bergerak bergantian secara beruntun.
Des! Des! Des! Des! Empat pukulan sakti ajian 'Brajamusti' menghantam dada pendekar itu.
Jika satu pukulan itu dapat meremukkan batu karang sebesar benteng, bisa dibayangkan bagaimana parahnya luka yang diderita Andika menerima empat pukulan sekaligus! "Aaakh!"
Tubuh Andika terjengkang menyusul Ningrum yang lebih dulu menghantam sisi bukit karang.
Tubuh Pendekar Slebor lunglai setelah menabrak tebing terlebih dahulu.
Dari celah bibirnya mengalir darah kental kehitam-hitaman.
Sedangkan dari dadanya tampak mengepul asap tipis.
"Andikaaa!"
Pekik Purwasih, melihat pemuda yang dicintainya tergeletak tanpa gerak.
"Hua ha ha...! Jangan dikira dapat mengalahkanku, Bocah Ingusan,"
Ledek Begal Ireng puas.
Pertempuran terhenti ketika Purwasih berlari menuju tubuh Andika dengan derai air mata di pipi.
Semuanya tertegun menyaksikan seorang pendekar dari keluarga Pendekar Lembah Kutukan ternyata mengalami nasib mengerikan di tangan Begal Ireng.
Di langit, awan gelap yang pekat berarak menutupi seluruh celah bukit.
Warnanya yang menyeramkan, sedikit pun tidak membiarkan sinar matahari menerobos.
Gumpalan raksasa berkekuatan sengatan alam yang mana dahsyat itu saling berbenturan.
Dan....
Jlegar! Jlegar! Jlegar! Jlegar! Empat jilatan lidah petir mengkerjap, menyengat tubuh lunglai Andika, sebelum Purwasih sempat memeluknya.
Bahkan tubuh wanita itu terhempas karena ledakan petir yang merasuki tubuh Andika secara aneh.
Krttt! Dari tempat yang agak jauh, semua mata menyaksikan bagaimana tubuh pendekar muda itu menyala terang bagai disinari ribuan lidah api.
Warnanya merah kebiru-biruan, memancar hingga sepuluh tombak dari tubuhnya.
Purwasih yang berada paling dekat dengan Andika langsung memekik nyaring, seraya menutupi kedua mata dengan tangan.
Bahkan para prajurit yang berada di ujung celah ikut menyipitkan mata karena silau.
Sesaat berikutnya tubuh Andika mengejang, lalu bergetar hebat.
Sebuah kekuatan alam yang maha dahsyat telah bergolak dalam tubuhnya.
Itulah akibat yang terjadi, setelah beberapa waktu lalu Pendekar Slebor ini memakan buah langka Inti Petir warisan Ki Saptacakra.
Dan mendadak saja tubuhnya bangkit dalam satu erangan panjang.
"Ngrh!"
Dengan tubuh masih berpijar menyilaukan, sepasang tangan Pendekar Slebor menyilang ke depan dalam getaran keras.
Dari sepasang telapaknya, tiba-tiba saja meluncur dua larik sinar tebal berwarna kebiru-biruan seperti petir, menuju ke arah Begal Ireng.
Tokoh berjuluk si Pencabut Nyawa yang tertegun menyaksikan keajaiban itu, tak mampu lagi menghindar.
Dia benar-benar terpaku melihat kejadian itu.
Ctarrr! "Aaakh!"
Lengkingan tinggi menguak angkasa terdengar.
Hanya sesaat mulut tokoh sakti itu melontarkan teriakan menggidikkan.
lalu tubuhnya ambruk dan telah hangus matang di atas tanah.
Asap tipis berbau menjijikkan menyebar di celah bukit, lalu hilang tersapu angin.
Melihat kenyataan yang mengendorkan keberanian mereka, anak buah Begal Ireng langsung mengambil keputusan untuk melarikan diri.
Termasuk, si Kembar dari Tiongkok.
Mereka tidak mau menjadi korban berikutnya dari ilmu aneh Pendekar Slebor! Begitu cepat mereka melesat, sesaat kemudian keenam lelaki itu sudah menghilang di balik bukit tanpa ada yang bisa mencegahnya.
Sementara, tubuh Andika kini telah biasa kembali.
Sinar menyilaukan telah menghilang perlahan beberapa saat lalu, bagai diisap bumi.
Lalu, Pendekar Slebor melangkah menghampiri Ningrum.
"Bawa Patih Panggapati ke istana, Paman Guntur Slaksa,"
Ujar Purwasih memecah kesunyian celah bukit.
Mahapatih Guntur Slaksa mengangguk.
Dengan cukup hormat, diajak Patih Ranggapati yang telah menyerah untuk ikut ke istana untuk diadili.
Bersama dua perwira dan sembilan prajurit yang masih hidup, mereka meninggalkan celah bukit.
Di pangkuan Andika, Ningrum tersengal-sengal mempertahankan nyawa yang di ambang maut.
Darah membasahi sebagian pakaiannya, setelah mengalir dari mulutnya yang tersapu warna merah.
"Andika. Rupanya takdir akan memisahkan kita. Kalau dulu aku bisa diselamatkan guruku, kini aku tak yakin akan ada orang yang bisa menyelamat-kanku. Aku mencintaimu, Andika. Dan aku yakin, kau memang mencintaiku. Tapi ketika aku tahu kalau kau ternyata seorang keluarga kerajaan, aku merasa tidak berharga di matamu. Dan itu kuketahui sewaktu berada di ruang kehormatan untuk melihat lukisan Ki Saptacakra. Barangkali, kau harus menerima cinta Purwasih, Andika...."
Setelah itu, Ningrum meregang. Nyawanya pun hanyut dalam alunan irama kematian. Kelopak matanya yang mengatur perlahan bersama hembusan napas terakhir.
"Ningrum...,"
Desis Andika. Sebenarnya ada sesuatu yang mengganjal dada Andika.
"Walaupun dia keluarga kerajaan, tapi siapakah orangtuanya yang sebenarnya? Dan mengapa dia dibuang di pinggir hutan?"
Ini yang menjadi beban pikirannya.
Awan gelap beringsut diatas sana.
Sinar matahari sore menerabas lembut di celah bukit yang bisu, menyinari Andika yang memeluk tubuh Ningrum.
Tak ada kata yang ingin diucapkannya.
Tak ada sesuatu pun yang ingin diperbuatnya.
Kecuali, memeluk erat tubuh beku Ningrum, untuk mengantar kepergiannya ke alam abadi.
SELESAI Created ebook by Sean & Conyert to pdf (syauqy_arr) Edit Teks (paulustjing) Weblog,
http.//hanaoki.wordpress.com Thread Kaskus.
http.//www.kaskus.us/showthread.php?t=B97228
Gembong Kartasura Karya Sri Hadijojo Dewa Arak Mahluk Dari Dunia Asing Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja