Ceritasilat Novel Online

Neraka Lembah Tengkorak 1


Pendekar Pedang Matahari Neraka Lembah Tengkorak Bagian 1


PENDEKAR PEDANG MATAHARI Dalam Episode 4 .

   NERAKA LEMBAH TENGKORAK By .

   chimilly Edit .

   Gilang (pendekarpinilih@yahoo.com) (sebagian naskah telah mengalami pengeditan sesuai dengan EYD untuk lebih memudahkan dalam membaca naskah ini dengan tidak mengurangi isi dari naskah yang bersangkutan) PAGI yang cerah begitu terasa indah ketika panorama alam terbentang luas di depan mata, setidaknya hal itulah yang kini tengah di rasakan oleh pasangan muda mudi yang sedang berjalan-jalan di sebuah bukit hijau yang sangat indah.

   Mereka bercanda tawa begitu riangnya sambil menikmati keindahan alam ciptaan Sang Hyang Widi Jagad Raya ini.

   "Adik, betapa cantiknya alam di tempat kita ini. Tenang dan sangat menyejukkan hati,"

   Ucap pemuda yang cukup tampan berkulit sawo matang dengan kumis tipis di wajahnya. Perawakan pemuda ini sangat kekar dan menarik hati para wanita.

   "Hmmm ...

   "

   Gumam si gadis menanggapi ucapan sang pemuda acuh tak acuh.

   "Alam ini seperti dirimu adik, cantik dan sangat menawan hatiku,"

   Ucap pemuda itu merayu. Si gadis hanya tersenyum lembut mendengar rayuan dari pemuda itu. Hatinya berbunga-bunga mendengar rayuan tersebut, namun tidak ia tunjukkan dalam raut wajahnya yang ayu mempesona.

   "Bagaimana menurutmu tempat ini, Adik Purbasari?"

   Tanya pemuda tersebut kalem. Gadis yang di panggil Purbasari itu hanya angkat bahu saja, tidak mau membuka suara.

   "Kelak jika kita menikah, aku ingin membangun rumah di tempat yang indah ini,"

   Ucap pemuda itu sambil menatap alam di depannya itu.

   "Apa?! Menikah?!"

   Seru Purbasari kaget.

   "I ya, menikah."

   "Maksud, Kakang?"

   Tanya Purbasari tidak mengerti.

   "Jika kita menikah, aku ingin membangun rumah bagi kita berdua di tempat ini. Pasti kita sangat bahagia,"

   Ucap pemuda itu sambil tersenyum lembut.

   "Apa?! Kita? Maksud Kakang aku menikah dengan Kakang?"

   Ucap Purbasari masih bingung. Pemuda itu tersenyum lalu mengangguk pelan.

   "Heh! Kakang bermimpi apa!? Siapa yang mau menikah denganmu. Huh!"

   Seru Purbasari sengit.

   "Kenapa? Apa kamu tidak mau kita menikah?"

   Ucap pemuda itu sedikit terkejut namun masih bersikap sabar.

   "Maaf, Kakang! Bukannya aku mengecewakanmu, tapi aku tidak mencintai Kakang. Sebaiknya Kakang cari saja calon istri yang bisa menerima Kakang dan mencintai Kakang,"

   Ucap Purbasari pelan.

   "Tapi ... aku mencintaimu, adik. Aku ingin menikahimu. Aku ingin kamu yang jadi istriku,"

   Ucap pemuda itu berapi-api.

   "Maaf, Kakang ... aku tidak bisa."

   Purbasari menyahuti dengan lembut.

   "Tapi ...

   "

   Pemuda itu jadi bingung sendiri. Mereka akhirnya sama-sama terdiam larut dalam pikiran masing-masing.

   "Permisi Kisanak Nisanak. Maaf mengganggu waktu kalian. Boleh saya numpang bertanya?"

   Ucap seseorang tiba-tiba tanpa mereka sadari kehadirannya.

   Purbasari dan pemuda disampingnya saling pandang heran karena kemunculan seseorang di depan mereka tidak mereka ketahui sebelumnya.

   Mereka sama-sama berpikir pastilah orang yang hadir di depan mereka adalah orang yang memiliki ilmu yang cukup tinggi, terbukti kehadirannya sama sekali tidak mereka rasakan sebelumnya.

   "Maaf kalau saya mengejutkan kalian,"

   Ucap orang yang datang tadi. Orang ini adalah pemuda gagah dan tampan sekali, berpakaian putih agak ketat menampilkan bentuk tubuhnya yang berotot, tampak gagang pedang berhulu matahari terlihat dari balik punggungnya.

   "Ekh, tidak. Tidak apa-apa Kisanak. Kami tidak terganggu, silakan Kisanak mau bertanya apa?"

   Sahut Purbasari cepat sambil tersenyum lembut.

   "Oh, terima kasih. Saya hendak ke Perguruan Tongkat Emas, dimana tempatnya kalau saya boleh tahu?"

   Ucap pemuda tampan itu kalem.

   Pemuda ini tak lain dan tak bukan adalah Surya atau yang lebih dikenal Pendekar Pedang Matahari dalam rimba persilatan.

   Purbasari dan pemuda disampingnya kembali saling pandang, mereka menatap pemuda asing di depan mereka dari atas sampai bawah seolah sedang menyelidik.

   "Mau apa Kisanak ke Perguruan Tongkat Emas?"

   Tanya pemuda teman Purbasari sedikit penuh curiga. Surya tersenyum kecil.

   "Saya ingin menghadiri pertemuan yang diadakan oleh Guru Besar Perguruan Tongkat Emas,"

   Ucapnya memberitahu tujuannya.

   "Oh, begitu. Kebetulan kami juga mau kesana. Bagaimana kalau kita bersama-sama menuju kesana,"

   Ucap Purbasari kalem sambil tersenyum lembut.

   "Adik!"

   Seru pemuda di samping Purbasari kaget. Dia tidak suka dengan sikap Purbasari yang mengajak pemuda asing yang belum mereka kenal jalan bersama.

   "Mari Kisanak,"

   Ucap Purbasari lembut.

   "Oh, terima kasih. Mari!"

   Ucap Surya kalem. Mereka lalu berjalan bersama menuju Perguruan Tongkat Emas.

   "O ya siapa nama Kisanak dan apa tujuan Kisanak ke Perguruan kami?"

   Tanya Barda membuka obrolan.

   "Eh ya maaf. Kenalkan saya Barda dan ini adik sePerguruan saya, Purbasari. Kami murid Perguruan Tongkat Emas."

   Lanjut Barda mengenalkan diri dengan maksud agar pemuda asing disampingnya tahu dan menghormatinya.

   Bagaimanapun juga Perguruan Tongkat Emas cukup disegani di wilayah Gunung Bromo.

   Jelas itu adalah sikap jumawa yang tidak sepatutnya ditunjukkan para murid Perguruan Tongkat Emas yang terkenal santun.

   Pemuda itu jelas sekali menangkap sikap yang agaknya kurang bersahabat dari Barda, tapi pemuda itu tersenyum kalem menanggapinya.

   Yang jelas dia tidak mau cari permusuhan sesama orang dari satu golongan.

   "Kebetulan sekali saya bisa bertemu dengan kalian. Namaku Surya, tujuanku ke Perguruan kalian sekedar silaturahmi dan datang dalam pertemuan yang diadakan Perguruan kalian,"

   Ucap Surya dengan lembut dan penuh persahabatan.

   "Benarkah apa hanya itu. Kisanak?"

   Tanya Barda cepat. Jelas sekali Barda seperti mendakwa Surya.

   "Maksud Kisanak apa?"

   Sahut Surya heran tapi masih dengan sikap sopan.

   "Bisa saja Kisanak punya tujuan lain. Seperti yang sudah-mudah."

   Surya mengerutkan keningnya tidak mengerti.

   "Banyak yang datang ke Perguruan kami dengan niat baik awalnya, tapi setelah tujuan dan maksud mereka tidak tercapai langsung berbalik memusuhui kami,"

   Ucap Barda tak terkontrol.

   "Maaf, Kisanak. Saya benar-benar tidak mengerti maksud Kisanak apa,"

   Ucap Surya kalem seolah ingin minta penjelasan.

   "Kakang!"

   Seru Purbasari cepat.

   "Tidak sepantasnya Kakang bicara begitu. Yang berhak memutuskan segala sesuatu mengenai Perguruan adalah ayah, bukan Kakang,"

   Kata Purbasari tidak suka dengan sikap Barda yang dinilainya sudah tidak sopan terhadap tamu yang hendak berkunjung ke Perguruan Tongkat Emas.

   "Adik. Kita wajib tahu siapa dan apa tujuan orang yang datang ke Perguruan. Apa kamu tidak belajar dari pengalaman yang sudah-mudah!"

   Sahut Barda cepat.

   "Aku tahu. Tapi tidak sepantasnya Kakang bersikap tidak sopan seperti itu!"

   Seru Purbasari tegas.

   "Huh! Aku duluan. Hupp ...

   "

   Purbasari melesat cepat meninggalkan Barda dan Surya. Purbasari merasa kecewa dengan sikap Barda yang keterlaluan terhadap orang yang hendak datang ke Perguruan.

   "Adik!!"

   Teriak Barda cepat tapi Purbasari sudah jauh dan hilang di tikungan jalan. Barda menghela nafas cepat lalu menoleh ke arah Surya.

   "Kisanak! Aku peringatkan kau, jika tujuanmu ingin mendapatkan adik Purbasari, jangan harap kau bisa!"

   Surya terkejut mendengar omongan Barda yang buatnya bingung dan tidak mengerti.

   Apa maksud Barda sebenarnya, kenapa bisa sampai Barda berkata seperti itu, murid-murid Perguruan Tongkat Emas yang dikenal ramah dan sopan santun, kenapa berbeda dengan apa yang dibicarakan orang.

   Sungguh sesuatu yang aneh.

   Itulah berbagai macam pikiran dalam kepala Surya yang merasa heran dengan sikap Barda salah satu murid Perguruan Tongkat Emas.

   "Tunggu dulu Kisanak. Apa maksud Kisanak sebenarnya? Di antara kita belum pernah saling ketemu dan tidak ada silang sengketa. Kenapa Kisanak seperti mencurigai saya?"

   Tanya Surya tenang tapi dengan suara sopan.

   Mungkin ini hanya salah paham saja, pikir Surya dalam hati.

   Barda menatap tajam pemuda disampingnya.

   Tanpa bicara lagi Barda melesat pergi meninggalkan Surya yang masih heran dan bingung dengan dua orang yang baru saja ia temui.

   Surya geleng-geleng kepala saja sambil terseyum tipis.

   "Dasar orang-orang aneh. Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba main tuduh saja. Ha-ha-ha-ha."

   Surya tertawa pelan menertawai kejadian yang baru saja di alaminya.

   Mentari semakin beranjak tinggi, embun-embun yang menempel di dedaunan sudah mengering.

   Tetapi kicauan burung masih mewarnai pagi yang mulai berganti siang.

   --o0o--BANGUNAN megah berdiri gagah di atas tanah lapang yang dikelilingi pagar setinggi dua tombak, tampak di sekitar bangunan rumah besar berbentuk aula besar itu juga berdiri rumah panjang yang berukuran lebih kecil di banding bangunan berbentuk aula itu.

   Bangunan-bangunan itu tertata sangat rapi dan cukup terawat.

   Di bagian gerbang pagar terdapat simbol tongkat emas yang menyilang.

   Itulah simbol dari Perguruan Tongkat Emas yang namanya cukup terkenal di kawasan Gunung Bromo.

   Di tiap-tiap dinding pagar juga terdapat umbul-umbul berjarak dua tombak dengan posisi berjajar rapi.

   Dilihat dari umbul-umbul yang ada terlihat kalau Perguruan Tongkat Emas tengah mengerjakan suatu hajat yang besar, karena tepat di hari ini Perguruan Tongkat Emas meresmikan hari berdirinya Perguruan yang sudah menginjak lima belas tahun.

   Selama itu pula Perguruan Tongkat Emas menelurkan pendekar-pendekar berbakat yang mengharumkan nama Perguruan Tongkat Emas.

   Di gerbang masuk, tampak beberapa murid Perguruan tengah berjaga sambil menyalami para tamu yang datang karena ingin menghadiri peringatan berdirinya Perguruan Tongkat Emas.

   Di antara tamu yang datang juga terlihat Surya yang dengan tenang berjalan sendirian masuk ke dalam Perguruan.

   Dia disambut dengan hangat dan ramah oleh para murid Perguruan.

   Karena belum ada yang mengenal Surya, maka Surya hanya dilayani oleh murid-murid Perguruan yang bertugas saja.

   Sedang para sahabat dan pendekar yang dikenal langsung disambut oleh Guru Besar Perguruan Tongkat Emas.

   Ki Wonoyoso adalah pendiri sekaligus Guru Besar Perguruan Tongkat Emas.

   Di kalangan persilatan beliau bergelar Malaikat Tongkat Emas dan gelar itu cukup disegani di daerah timur, bahkan di wilayah utara dan selatan pun namanya cukup dikenal.

   Surya duduk dengan tenang di tempat yang telah disediakan bagi para tamu.

   Surya menyadari sedari tadi dia diperhatikan terus oleh seorang gadis jelita yang duduk di tempat terhormat tak jauh dari Ki Wonoyoso berada.

   Selain gadis jelita itu yang ternyata adalah Purbasari, ada juga memperhatikan Surya dengan pandangan tidak senang.

   Sesekali orang itu melirik Purbasari lalu beralih melihat Surya, orang yang melihat dengan pandangan tidak senang adalah Barda, murid yang cukup berbakat Perguruan Tongkat Emas.

   Jelas Barda sangat cemburu pada Surya, karena berkali-kali Barda melihat Purbasari selalu memandangi Surya, meskipun Surya diam dengan tenang melihat ke arah panggung kehormatan tapi ini tetap membuat Barda terbakar hatinya.

   Selain Barda ternyata ada beberapa orang yang menatap Surya, karena mereka yang kagum akan kecantikan paras Purbasari jadi heran karena gadis yang mereka gilai sedang memperhatikan seorang pemuda tampan tanpa berpaling sedikit pun.

   Mereka adalah orang-orang yang gagal mendapatkan cinta sang gadis jelita Purbasari! Di tempat duduk terhormat seorang pria berumur juga memperhatikan kehadiran si pemuda tampan yang telah membuat Purbasari tidak melepaskan pandangannya dari pemuda yang duduk di tempat duduk umum.

   Pria berumur itu berbisik pada lelaki di sebelahnya yaitu Ki Wonoyoso Guru Besar Perguruan Tongkat Emas.

   "Kakang! Perhatikan pemuda yang duduk di tempat duduk umum barisan ke lima nomer tujuh,"

   Ucap pria berumur itu yang bernama Ki Badrun, dia adalah adik sePerguruan Ki Wonoyoso yang bergelar Si Golok Terbang yang juga cukup disegani lawan maupun kawan.

   Pria berumur 46 tahunan itu menoleh sejenak ke Ki Badrun lalu melihat ke arah yang disebutkan Ki Badrun tadi.

   "Ada apa dengan pemuda itu, Adi?"

   Tanyanya tidak mengerti.

   "Lihat Purbasari dari tadi terus memperhatikan pemuda itu,"

   Ucap Ki Badrun yang sesekali menunjuk ke arah Purbasari yang masih menatap Surya.

   Ki Wonoyoso mengikuti arah yang ditunjuk Ki Badrun.

   Setelah memperhatikan Purbasari yang tidak menoleh sedikitpun pandangannya terus melihat pemuda yang duduk di tempat duduk umum dengan tenang sekali.

   "Sepertinya ada yang aneh dengan Purbasari. Siapa pemuda itu, Adi Badrun? Apa kau mengenalnya?"

   "Tidak Kakang. Sepertinya aku belum pernah bertemu dengan pemuda itu. Mungkin pemuda itu baru turun gunung,"

   Kata Ki Badrun menggeleng pelan.

   "Mungkin kau benar, Adi. Pemuda itu mungkin saja baru turun gunung."

   "Pemuda itu sangat tampan, mungkin Purbasari tertarik dengan pemuda itu, Kakang."

   Ki Wonoyoso menatap Ki Badrun mengerutkan keningnya. Kemudian Ki Wonoyoso manggut-manggut sambil mengelus jenggotnya.

   "Tolong kamu cari tahu siapa pemuda itu, Adi."

   "Baik, Kakang!"

   Seru Ki Badrun cepat. Tak berapa lama ada salah seorang naik ke atas mimbar panggung.

   "Saudara-saudara yang hadir di sIni, kami ucapkan selamat datang di hari jadi Perguruan Tongkat Emas yang ke 15 tahun. Kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas kesediaan para saudara-saudara yang sudi hadir di tempat kami. Salam sejahtera untuk kita semua. Silakan menikmati sajian-sajian yang kami hadirkan untuk sarudara semua. Selamat menikmati,"

   Kata orang di atas panggung yang ternyata selaku pembawa acara hajatan ke 15 tahun berdirinya Perguruan Tongkat Emas.

   Hari jadi ke 15 tahun Perguruan Tongkat Emas dimeriahkan oleh beberapa tarian dan musik yang membuat semakin meriahnya acara tersebut.

   Ada juga pertunjukan kepandaian dari beberapa murid pilihan.

   Menjelang sore hari acara itupun selesai, para tamu undangan umumnya telah disediakan tempat untuk menginap, sedang tamu umum diberi kebebasan untuk menginap ataupun tidak karena mereka bukan tamu undangan.

   Rata-rata tamu umum adalah para penduduk sekitar Perguruan dan ada juga sedikit orang-orang persilatan yang sengaja hadir untuk mengucapkan ucapan selamat kepada Perguruan Tongkat Emas.

   Sementara itu Surya yang sudah beranjak dari tempat duduknya segera berjalan keluar dari aula besar Perguruan.

   Dengan tenang Surya berjalan menuju gerbang keluar pintu Perguruan.

   "Surya ... !!"

   Seru suara memanggil Surya. Surya menoleh ke asal suara. Surya melihat seorang gadis jelita tersenyum padanya. Surya membalas tersenyum lembut dan mengangguk sopan. Ternyata gadis itu adalah Purbasari, putri dari Ki Wonoyoso.

   "Nisanak memanggil saya?"

   Tanya Surya kalem. Purbasari mengangguk pelan.

   "Kamu mau kemana?"

   "Saya hendak ke kembali ke desa tempat saya menginap. Nisanak ada perlu dengan saya?"

   "Panggil saja Purbasari. Itu namaku."

   Surya mengangguk dan tersenyum lembut.

   "Desa mana kamu menginap?"

   Tanya Purbasari.

   "Di Desa Watu Ireng."

   "Oh ... cukup lumayan jauh dari sini. Sebaiknya menginap saja disini, hari sudah sore banget. Malam baru tiba di Desa Watu Ireng kalau kamu kembali sekarang."

   Purbasari menawarkan pada Surya.

   "Yang boleh menginap disini hanyalah para tamu undangan. Yang tidak di undang harusnya sadar diri."

   Tiba-tiba datang Barda dan beberapa murid Perguruan. Ucapan Barda barusan tidak enak didengar, bernada mengusir secara halus.

   "Apa kau tamu di undang Kisanak?"

   Seru Barda dengan nada suara merendahkan.

   "Kakang Barda. Apa-apaan kamu ini!"

   Seru Purbasari tegas tidak senang dengan ucapan Barda yang sungguh merendahkan orang lain. Surya tersenyum tipis saja mendengar ucapan Barda yang merendahkannya itu.

   "Kamu benar, Barda. Tamu yang tidak di undang harus sadar diri. Heh!"

   Seru seorang pemuda gagah dengan berpakaian serba coklat. Pemuda ini bernama Bagus Kalianjar, dia salah satu orang yang tergila-gila dengan Purbasari. Bagus Kalianjar menepuk bahu Barda pelan.

   "Bagus Kalianjar!"

   Seru Purbasari keras. Surya melihat pemuda bernama Bagus Kalianjar dengan heran, karena pemuda itu juga kelihatannya tidak menyukai kehadiran dirinya.

   "Ha-ha-ha-ha! Tentu saja, Bagus Kalianjar. Kecuali tamu tanpa undangan ini tidak punya malu. Ha-ha-ha-ha!"

   Ledek Barda tertawa.

   "Ha-ha-ha-ha!"

   Tawa semua yang ada di depan Surya. Tapi Surya tetap tenang dan tersenyum tipis.

   "Adi Bagus Kalianjar! Biar aku beri pelajaran pada tamu tak punya malu ini,"

   Ucap orang yang bersama Barda, bernama Sujiman.

   Tanpa menunggu persetujuan Barda dan Bagus Kalianjar, orang yang bernama Sujiman dengan gerakan cepat menyerang Surya tiba-tiba.

   Serangan mendadak yang dilontarkan Sujiman membuat Surya cukup terkejut, namun pukulan yang mengarah wajahnya itu dengan cepat dia elakan dengan menarik kepalanya ke samping.

   Begitu pukulan Sujiman lewat dengan cepat Surya berputar menjauhi Sujiman.

   Namun Sujiman dengan cepat berputar juga dengan kaki kanan bergerak ke arah kepala Surya.

   Melihat serangan susulan itu Surya segera menarik badannya ke belakang sehingga tumit kaki lawan lewat di depan kepala Surya.

   Sujiman terus menyerang Surya dengan jurus-jurus yang dipelajarinya di Perguruan Tongkat Emas.

   Namun Sujiman tidak tahu siapa yang tengah dia serang, padahal jika Sujiman tahu yang diserangnya adalah pendekar yang sudah membuat geger dunia persilatan dengan kemunculan mampu membunuh tokoh sesat golongan hitam yang menjadi momok nomor satu selama puluhan tahun.

   "Tunggu Kisanak! Kenapa kau menyerangku?"

   Seru Surya sambil menghindari serangan Sujiman dengan jurus ''Sembilan Langkah Ajaib''.

   Seruan Surya tidak dihiraukan oleh Sujiman, dia terus menyerang Surya dengan jurus-jurus berbahaya dari rangkaian jurus Perguruan Tongkat Emas.

   Pertarungan itu kontan membuat semua orang yang ada di tempat itu jadi kaget, semua orang langsung melihat apa yang terjadi.

   Tak terkecuali Ki Wonoyoso dan Ki Badrun serta para pendekar undangan segera menghampiri tempat terjadinya pertarungan tersebut.

   Begitu melihat siapa yang bertarung membuat Ki Wonoyoso kaget.

   "Hentikan!"

   Bentak Ki Wonoyoso keras membuat dua orang yang bertarung menghentikan pertarungan. Ki Wonoyoso melangkah di antara dua orang yang bertarung.

   "Kenapa kalian bertarung?!"

   Seru Ki Wonoyoso tandas menatap tajam Sujiman dan Surya. Sujiman menunduk takut tidak berani memandang gurunya.

   "Guru! Orang itu telah mengganggu adik Purbasari!"

   Seru Barda mengadu. Ki Wonoyoso menoleh ke arah Barda.

   "Benar, Paman. Pemuda itu tadi kulihat hendak mencelakai Purbasari!"

   Seru Bagus Kalianjar menambahi. Ki Wonoyoso menoleh ke arah Bagus Kalianjar sejenak lalu menatap Surya tajam. Ki Wonoyoso menghampiri Surya.

   "Anak muda, benar apa yang dikatakan oleh mereka?"

   Tanya Ki Wonoyoso kalem mencoba mencari tahu kenapa sampai ada pertarungan. Surya membungkuk hormat.

   "Maafkan saya Paman yang telah membuat kekacauan ini. Saya tidak punya maksud mengganggu ketenangan hajat Paman. Sekali lagi saya mohon maaf,"

   Ucap Surya sopan sambil kembali sedikit membungkuk.

   Ki Wonoyoso sedikit tersentak melihat sikap pemuda didepannya yang sangat sopan.

   Apa benar yang dua orang tadi dikatakan? Melihat sikapnya yang sopan dan tulus, rasanya itu sangat tidak mungkin kalau pemuda ini hendak mencelakai Purbasari, pikir Ki Wonoyoso dalam hati.

   "Ayah! Mereka bohong. Surya tidak mengganggu aku bahkan hendak mencelakaiku!"

   Seru Purbasari cepat menghampiri Surya.

   "Kamu tidak apa-apa?"

   Tanya Purbasari kuatir dengan keadaan Surya.

   "Tidak. Aku baik-baik saja Nisanak,"

   Ucap Surya menggeleng pelan.

   "Syukurlah,"

   Ucap Purbasari lega. Purbasari menghadap ayahnya.

   "Ayah, pemuda ini tidak mencelakaiku. Mereka yang mulai duluan mengganggu Surya."

   "Adik! Apa yang kamu katakan!"

   Seru Barda cepat.

   "Maaf, saya tidak ingin membuat kesalahpahaman ini berlarut-larut. Saya mohon diri dulu. Sekali maafkan saya,"

   Ucap Surya cepat lalu beranjak hendak berlalu dari tempak itu.

   "Nakmas Surya!"

   Tiba-tiba ada orang memanggil Surya. Surya menoleh ke arah suara yang memanggilnya, setelah melihat siapa yang memanggilnya Surya langsung tersenyum senang.

   "Nakmas kita ketemu lagi. Mana Nini Pandan Wangi? Tidak ikut?"

   Tanya orang berumur 30 tahunan.

   "Ki Jarot! Pandan di penginapan Desa Watu Ireng. Maaf Ki, saya harus segera pergi takut Pandan kelamaan menungguku."

   Ki Jarot mengangguk cepat.

   "Titip salam sama Nimas Pandan Wangi."

   "Baik, Paman. Saya pergi."

   Surya langsung melesat cepat meninggalkan Perguruan Tongkat Emas. Ki Jarot menatap kepergian Surya dengan perasaan senang bisa berjumpa lagi dengan sosok pendekar muda yang sangat mengagumkan baginya. Tiba-tiba bahu Ki Jarot di tepuk seseorang pelan.

   "Adi Jarot! Adi kenal dengan pemuda tadi?"

   Ucap orang yang menepuk bahu Ki Jarot pelan. Ki Jarot menoleh ke arah penepuk bahunya lalu tersenyum tipis.

   "Maksud Kakang ... Nakmas Surya?"

   Ucap Ki Jarot balik bertanya. Si penepuk yang ternyata Ki Badrun mengangguk cepat.

   "Oh namanya Surya."

   "Dialah yang bergelar Pendekar Pedang Matahari,"

   Kata Ki Jarot menjelaskan.

   "Apa?!"

   Ki Badrun tentu saja terlonjak kaget mendengar gelar pemuda tadi.

   Meski belum pernah bertemu secara langsung dengan Pendekar Pedang Matahari namun Ki Badrun sangat mengagumi sosok Pendekar Pedang Matahari.

   Tidak disangka dirinya bisa melihat sosok pendekar muda yang telah menggemparkan dunia persilatan.

   Tapi sangat disayangkan kenapa harus terjadi pertengkaran yang cuma sepele saja penyebabnya.

   "Kakang Badrun. Aku pamit dulu, sampai jumpa lagi,"

   Ucap Ki Jarot lalu beranjak pergi.

   Ki Badrun mengangguk cepat.

   Semua orang yang tadi berkumpul melihat pertarungan kini sudah bubar.

   Para tamu undangan di antar ke kamar tempat mereka menginap.

   Haripun beranjak senja dan berganti malam.

   --o0o--SURYA masuk ke sebuah kamar tempat dia dengan Pandan Wangi menginap.

   Begitu melihat Surya sudah kembali, maka Pandan Wangi segera beranjak bangun dari tempat tidur.

   "Gimana pertemuannya?"

   Tanya Pandan pelan. Surya tersenyum tipis lalu duduk di kursi dekat jendela. Perlahan jendela itu di bukanya, malam baru saja hadir menyelimuti mayapada ini.

   "Pertemuannya lancar Pandan, tapi ...

   "

   Surya menghentikan ucapannya. Dia lalu memandang Pandan.

   "Terjadi salah paham,"

   Kata Surya pendek.

   "Salah paham gimana?"

   Sahut Pandan mengerutkan keningnya tidak mengerti. Surya hanya mengangkat bahunya.

   "Entahlah. Salah satu murid Perguruan Tongkat Emas menyangka kalau aku hendak melamar putri Ki Wonoyoso,"

   Ucap Surya pelan.

   "Melamar?"

   Surya mengangguk.

   "Yach, mungkin juga dia mengira aku hendak merebut kekasihnya kali. Waktu hendak kembali kesini, salah seorang murid Perguruan menyerang aku."

   "Apa?!"

   "Tapi untungnya tidak sampai menimbulkan masalah yang terlalu besar. Hehmmhh ... Sudahlah ... O, ya bagaimana dengan persIapanmu besok? Apa kamu sudah siap bertemu dengan Rangga?"

   Tanya Surya mengalihkan pembicaraan. Pandan angkat bahu.

   "Entahlah, Kakang. Tapi siap tidak siap aku memang harus menolong Kakang Rangga. Seperti apa yang Kakang kasih tahu."

   Pandan menghela nafas panjang. Surya tersenyum lebar melihat Pandan yang sepertinya masih bingung.

   "Kuatkan hatimu, Pandan. Pedang Rajawali Sakti saat ini bukanlah tandingan Pedang Naga Suci-mu. Untuk menyempurnakan kekuatan Pedang Rajawali Sakti harus bisa mengeluarkan makhluk yang bersemayam di dalam pedang itu dan itu hanya bisa dilakukan dengan cara pertarungan antara Pedang Naga Suci dengan Pedang Rajawali Sakti."

   "Tapi Kakang. Apa tidak ada cara lain?"

   "Ada."

   "Apa?"

   Surya kembali tersenyum tipis.

   "Menyatukan Pedang Lima Unsur."

   "Menyatukan Pedang Lima Unsur? Maksud Kakang?"

   Seru Pandan cepat. Surya menghela nafas pendek.

   "Menyatukan pedang yang memiliki lima unsur tertinggi dengan alam. Ada lima pedang di dunia ini yang memiliki unsur alam. Yaitu api, angin, air, tanah dan petir. Jadi pedang dengan unsur tersebut harus di satukan agar lima pedang tersebut bisa sempurna,"

   Jelas Surya. Pandan diam mendengar itu.

   "Kita gunakan saja cara itu Kakang!"

   Seru Pandan cepat. Surya tertawa kecil mengerti maksud Pandan.

   "Boleh saja, tapi untuk menyatukan lima pedang itu butuh waktu sangat lama. Kita juga tidak tahu dimana Pedang Lima Unsur yang lain. Kalau saja mereka ada disini pasti akan sangat mudah memanggil pedang-pedang itu."

   "Mereka? Mereka siapa Kakang?"

   "Lima orang muridku. Mereka adalah pemilik Pedang Lima Unsur itu."

   "Hmmkh?!"

   Surya lalu menceritakan kebenaran yang selama ini tidak pernah disangka oleh Pandan Wangi. Semua Surya ceritakan ke Pandan Wangi dengan detail sekali sampai asal-usul sebenarnya tentang Pandan Wangi sendiri.

   "Nah, itulah kebenaran yang sebenarnya terjadi Pandan,"

   Kata Surya mengakhiri ceritanya. Pandan Wangi terdiam mendengar cerita Surya tersebut. Memang cerita Surya susah untuk diterima dengan akal sehat dan logika. Tapi Pandan sepenuhnya mempercayai cerita Surya, kakaknya itu.

   "Tidurlah. Siapkan tenagamu untuk besok,"

   Ucap Surya mengusap kepala Pandan lembut penuh kasih sayang sebagai kakak.

   Pandan mengangguk pelan, kemudian merebahkan tubuhnya di pembaringan yang terbuat dari balai-balai bambu.

   Surya sejenak memandang Pandan Wangi kemudian melangkah keluar kamar.

   --o0o--PAGI yang cerah telah menyambut datangnya hari.

   Mayapada kembali terang seiring datangnya sang mata dewa menyinari bumi.

   Di sebuah jalan setapak di pinggiran hutan kecil, tampak dua manusia tengah berjalan berjajar menyusuri jalan berumput yang masih basah oleh embun pagi.

   Dua manusia berlainan jenis itu tampak lain dari biasanya, di wajah mereka kini terpasang topeng perak tipis menutupi muka mereka.

   Sesekali tawa mereka terdengar dalam candaan mereka selama berjalan menyusuri jalanan.

   Ketika mereka sampai di sebuah pertigaan jalan, mereka bertemu dengan seorang gadis jelita berpakaian cukup bagus sedang menunggang kuda warna coklat gagah.

   Gadis jelita itu segera turun dari punggung kuda begitu melihat dua orang sedang berjalan.

   "Maaf, permisi. Apa kalian habis dari Desa Watu Ireng?"

   Tanya gadis itu dengan suara merdu bernada sopan. Dua orang yang di tanya memandang gadis jelita itu.

   "Benar,"

   Sahut si gadis bertopeng yang ternyata adalah Pandan Wangi. Gadis jelita itu tersenyum tipis.

   "Apa kalian melihat seorang pemuda tampan berpakaian putih dengan sebilah pedang di punggungnya. Nama pemuda itu Surya."

   Pandan menoleh ke arah Surya sejenak dan melihat Surya hanya angkat bahu saja.

   "Ya, betul. Pemuda itu siapanya Nisanak?"

   Tanya Pandan ingin tahu apa maksud gadis itu mencari Surya.

   "Dia kekasihku,"

   Ucap gadis jelita itu mantap. Gadis jelita itu tak lain adalah Purbasari putri tunggal Ki Wonoyoso Guru Besar Perguruan Tongkat Emas.

   "Apa?!"

   Pandan tentu saja terkejut bukan main mendengar pengakuan gadis jelita di depannya itu.

   Dalam hati Pandan memaki-maki gadis itu yang enak saja mengaku-ngaku kekasih Surya, kakaknya itu.

   Pandan melirik Surya yang cuma geleng-geleng kepala sambil tersenyum.

   "Apa pemuda itu masih di Desa Watu Ireng?"

   Tanya Purbasari cepat. Pandan menghela nafas cepat.

   "Pemu ...

   "

   "Kami lihat tadi dia sepertinya pergi terburu-buru ke arah timur saat ketemu dengan kami,"

   Sahut Surya cepat memotong ucapan Pandan Wangi.

   "Ekh?! Kalau begitu makasih Kisanak. Saya permisi dulu."

   Purbasari langsung melompat ke punggung kuda dan menggebrak kudanya dengan cepat. Kuda coklat itu meringkik keras lalu berlari cepat ke arah Desa Watu Ireng.

   "Siapa gadis itu, Kakang? Kenapa dia mencarimu dan mengaku sebagai kekasihmu?"

   Tanya Pandan cepat setelah gadis jelita penunggang kuda itu jauh.

   "Itu Purbasari putri tunggal Ki Wonoyoso,"

   Sahut Surya.

   "Ouh ternyata dia yang menyebabkan terjadinya salah paham itu, ya?"

   "Sudahlah. Kita lanjutkan perjalanan lagi Pandan. Ayo."

   Surya melangkah pelan diikuti Pandan yang tertawa kecil. Belum juga mereka melangkah tak begitu jauh tiba-tiba datang seorang pemuda berkuda menghadang langkah mereka.

   "Maaf, Kisanak. Apa tadi ada wanita berkuda lewat?"

   Tanya pemuda itu cepat. Pandan dan Surya saling Pandang.

   "Ada. Dia ke arah Desa Watu Ireng baru saja lewat!"

   Seru Pandan cepat.

   "Brengsek. Purbasari pasti ingin menemui pemuda sialan itu. Hiaaa ...

   "

   Pemuda berkuda itu tanpa mengucapkan terima kasih langsung menggebrak kudanya cepat. Surya dan Pandan menatap kepergian pemuda berkuda itu dengan heran karena sikapnya tidak sopan sekali.

   "Sombong sekali orang itu. Tidak punya sopan santun."

   Maki Pandan jengkel.

   "Sudahlah biarkan saja. Ayo,"

   Ucap Surya sambil menarik tangan Pandan untuk melanjutkan perjalanan lagi.

   Walau hatinya jengkel akhirnya Pandan mengikuti Surya juga.

   Mereka dengan berlari cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf sempurna, menjadikan sosok mereka bagai bayangan yang berkelebatan menembus sebuah hutan dengan pepohonan jarang.

   Menjelang siang hari mereka tiba di atas bukit dengan tanah lapang yang luas.

   Hanya ada satu pohon besar yang tumbuh di atas bukit itu.

   Itulah Bukit Tandur tempat perjanjian antara Surya dengan Rangga, si Pendekar Rajawali Sakti satu purnama yang lalu.

   Pandan dan Surya duduk di bawah pohon besar itu dengan tenang tapi Pandan tampak gelisah sendiri karena akan bertemu dengan Rangga kekasihnya setelah satu purnama tidak ketemu lagi.

   "Tenanglah Pandan, jangan gelisah begitu. Sebentar lagi kamu pasti ketemu dengan kekasihmu itu,"

   Ucap Surya menenangkan.

   Pandan hanya merengut saja mendengar itu, jauh dalam hatinya dia sangat tidak ingin melakukan apa yang Surya suruh yaitu menolong Rangga dengan cara bertarung.

   Tapi mau tidak mau Pandan harus melakukannya karena itu adalah jalan yang terbaik untuk bisa menolong kekasihnya tersebut.

   "Krraaagkh ...

   "

   Tiba-tiba suara bagai halilintar menggelegar di angkasa.

   Surya dan Pandan Wangi langsung berdiri melihat ke atas.

   Tampak seekor burung rajawali putih raksasa melayang berputar-putar di angkasa.

   Dengan menukik cepat burung raksasa itu dalam sekejap sudah mendarat tak jauh dari pohon besar tempat Surya dan Pandan Wangi berada.

   Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih melompat turun dari punggung rajawali putih itu.

   Pemuda itu mengedarkan pandangannya ke sekitar, lalu menatap dua orang yang berdiri di bawah pohon besar.

   Pemuda yang bernama Rangga itu melangkah pelan ke arah pohon besar dimana Surya dan Pandan berada.

   Rangga berhenti setelah jaraknya dengan dua orang di depannya kurang lebih tujuh langkah.

   Rangga menatap tajam pemuda bertopeng yang berdiri di depannya.

   Rangga masih ingat bagaimana pemuda bertopeng itu bertarung melawan Pandan Wangi dan dengan mudah mengalahkan Pandan Wangi bahkan pemuda bertopeng itu menculik Pandan Wangi.

   Walau hatinya geram dan dendam dengan pemuda bertopeng itu, namun jiwa kependekaran yang selalu mengutamakan kebaikan dan menegakkan kebenaran membuatnya mampu bersikap tenang.

   Sungguh jiwa seorang pendekar besar yang dikagumi banyak orang! "Kita ketemu lagi, Sobat.

   Apa kau masih ingat padaku?"

   Ucap Surya tenang sekali membuka omongan. Rangga mengangguk cepat.

   "Mana Pandan, Kisanak?"

   Seru Rangga cepat. Rangga melirik ke gadis bertopeng di samping Surya.

   "Hmmm ... apa gadis bertopeng itu Pandan Wangi? Dilihat dari postur tubuhnya memang sama dengan Pandan. Tapi gadis bertopeng itu tidak membawa kipas sakti dan Pedang Naga Geninya. Pedang yang ada di punggung gadis bertopeng itu memang berkepala naga tapi itu bukan Pedang Naga Geni. Aku paham dengan Pedang Naga Geni milik Pandan,"

   Batin Rangga dalam hati mengira-ira siapa gadis bertopeng di samping Surya. Surya tertawa kecil melihat lirikan mata Rangga ke arah Pandan yang kini memakai topeng.

   "Hemmh! Soal Pandan Wangi kekasihmu, aku minta maaf karena gadis itu telah tewas di tangan adikku ini, Dewi Topeng Perak. Aku menyesalkan atas kejadian naas pada kekasihmu itu,"

   Ucap Surya berbohong untuk memancing emosi Rangga.

   "Apa?!"

   Teriak Rangga kaget.

   "Kau jangan berdusta, Kisanak. Pandan tidak akan mudah dikalahkan. Itu tidak mungkin terjadi!"

   Teriak Rangga mulai gusar. Surya tersenyum tipis melihat reaksi Rangga yang mulai gusar terpancing omonganya.

   "Kalau kau tidak percaya lihat ini buktinya."

   Surya memajukan dua tangannya yang dari tadi di belakang badannya.

   Tampak di tangan Surya tergenggam Pedang Naga Geni dan kipas baja putih.

   Rangga kontan terperanjat melihat dua senjata milik Pandan Wangi.

   Amarahnya mulai tak bisa dia bendung lagi.

   Melihat dua senjata andalan Pandan Wangi dibawa pemuda bertopeng itu jelas pasti Pandan Wangi telah tewas di tangan dua orang itu.

   "Bangsat! Akan kubunuh kalian. Hiaaaattt ... !"

   Rangga berteriak nyaring penuh amarah langsung menerjang pemuda bertopeng tapi belum sempat pukulannya mengenai Surya, dari arah samping berkelebat cepat bayangan biru mematahkan pukulan Rangga.

   "Baik! Kau yang akan kubunuh pertama kali!"

   Teriak Rangga geram.

   Sorot matanya begitu tajam bernafsu ingin membunuh lawannya.

   Mendengar kekasih yang ia cintai tewas, membuat Rangga jadi murka dan tak bisa lagi mengontrol emosinya.

   Pandan yang melihat teriakan dan sikap Rangga yang begitu garang sesaat membuatnya terkejut dengan perubahan sikap kekasihnya itu.

   Namun Pandan segera menepis perasaan itu karena tujuannya adalah menolong Rangga kekasihnya itu.

   "Hiaaaatt ... !"

   "Haiiitt!"

   Rangga langsung menerjang gadis bertopeng dengan rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'.

   Pandan mengimbangi dengan rangkaian jurus 'Naga Suci'.

   Pertarungan mereka terlihat seimbang dan sangat sengit sekali.

   Sementara itu Surya dengan tenang duduk bersandar di bawah pohon mengamati pertarungan Pandan dan Rangga.

   Surya melirik ke arah burung rajawali raksasa yang sedari tadi terus menatap dirinya dengan pandangan aneh.

   "He-he-he! Ternyata si Putih sudah besar dan sepertinya dia mengenaliku,"

   Ucap Surya dalam hati.

   Pertarungan Pandan dengan Rangga berlangsung semakin cepat dan meningkat namun Rangga sangat heran karena jurus-jurusnya dapat dipatahkan terus oleh gadis bertopeng.

   Apalagi gerakan jurus si gadis begitu unik dan sangat berbahaya.

   Sriiiiiiing ...

   ! Rangga mencabut Pedang Rajawali Saktinya, tampak cahaya biru terang keluar dari badan pedang.

   Pamornya kuat sekali.

   Pandan tidak mau ketinggalan, maka dengan cepat dia mencabut Pedang Naga Sucinya.

   Tampak cahaya putih kemerahan mampu menekan pamor dari Pedang Rajawali Sakti milik Rangga.

   Dua pedang sakti beradu di udara, setiap sabetan selalu membuat satu ledakan keras sehingga Bukit Tandur benar-benar bagai di landa gempa hebat.

   Deru angin berhembus kencang menambah parahnya keadaan Bukit Tandur.

   Rangga melompat ke belakang empat langkah.

   "Gadis itu luar biasa hebat! Aku harus gunakan Ajian 'Pedang Pemecah Sukma'!"

   Rangga dengan cepat memutar Pedang Rajawali Saktinya di depan lalu menariknya ke belakang.

   Sungguh luar biasa sekali, Rangga langsung jadi terlihat berlipat ganda dan semakin banyak.

   Itulah Ajian 'Pedang Pemecah Sukma' yang mampu memperbanyak diri tapi itu semua hanyalah bayangan belaka dan berguna untuk membingungkan lawan karena Rangga terlihat jadi banyak.

   "Ajian 'Pedang Pemecah Sukma'! Akan gunakan jurus yang sama yaitu 'Naga Suci Pemecah Sukma'!"

   Batin Pandan.

   Dengan gerakan halus Pandan mengangkat Pedang Naga Sucinya tinggi-tinggi kemudian tangannya memutar lebar dan berhenti di depan dada.

   Tiba-tiba tubuh Pandan menjadi banyak sama halnya seperti Rangga.

   Melihat kenyataan itu membuat Rangga jadi terkejut.

   Karena lawan juga memiliki jurus yang bersifat sama.

   Sebenarnya ini tidak mengherankan karena semua ilmu yang dimiliki oleh dua orang itu bersumber dari Surya.

   Pertarungan dua pendekar sakti itu sudah menghabiskan ratusan jurus namun belum ada yang kelihatan terdesak, tapi jika dilihat dengan teliti sebenarnya Rangga sudah mencapai batas kemampuannya karena ilmu yang dikeluarkan selalu sama serta nafas Rangga sudah tidak teratur, beda dengan Pandan Wangi yang masih teratur nafasnya serta masih mampu mengeluarkan ilmu-ilmu baru.

   Tak terasa pertarungan mereka sudah sampai malam, sementara itu Surya sudah membuat api unggun untuk memanggang beberapa ikan dan ayam hutan yang Surya tangkap dari bawah Bukit Tandur.

   Pertarungan Pandan Wangi dengan Rangga berlangsung sangat sengit sekali karena kedua pendekar kelas atas itu seimbang namun jika dilihat dengan seksama Pandan Wangi lebih unggul sebab nafas Pandan masih teratur agak sedikit memburu sedangkan Rangga nafasnya sudah memburu dan mulai kelelahan.

   Sudah ratusan jurus yang mereka keluarkan tapi belum ada yang terdesak.

   Rangga yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti tampak terheran-heran dengan lawannya kali ini.

   Biasanya Rangga akan selalu unggul jika berhadapan musuh sekuat apapun, namun melawan seorang gadis bertopeng yang belum pernah dia lihat dan terkenal Rangga malah kesulitan menghadapinya.

   Berbagai macam jurus dan ilmu yang Rangga miliki tak mampu menjatuhkan gadis bertopeng lawannya itu.

   Variasi serangannya selalu dapat dibaca dan dimentahkan oleh gadis itu.

   Bahkan ilmu pamungkasnya yang sangat Rangga andalkan yaitu Ajian 'Pedang Pemecah Sukma' juga tidak berguna karena si gadis juga memiliki ilmu yang sealiran dengan Ilmu 'Pedang Pemecah Sukma' miliknya.

   Menjelang larut malam dua pendekar itu tampak mulai kendur serangannya, sebab batas ketahanan tubuh mereka sudah mencapai batasnya.

   Inilah yang sangat ditunggu Surya karena jika batas ketahanan tubuh dua pendekar itu mencapai batasnya maka otomatis kekuatan makhluk yang bersemayam dalam pedang mereka akan keluar untuk menolong penggunanya.

   Benar yang Surya pikirkan, tak berapa lama kedua pendekar itu kelelahan yang amat sangat kehabisan tenaga.

   Dua pendekar kelas atas dunia persilatan itu roboh lalu pingsan! Secara gaib dua pedang pusaka yaitu Naga Suci dan Rajawali Sakti melayang-layang di udara saling bertarung.

   Bahkan dua pedang pusaka itu telah berubah ke bentuk aslinya yaitu perwujudan naga putih besar bermata biru indah dan rajawali putih raksasa.

   Dua hewan perwujudan dua pedang pusaka itu bertarung dengan kekuatan maha dahsyat mengerikan.

   Bukit Tandur laksana terkena bencana alam hebat, semua porak-poranda dihajar kekuatan dari dua hewan sakti tersebut.

   Melihat keadaan yang semakin gawat itu membuat Surya segera bertindak cepat.

   Sriiiiiiing ...

   ! Surya mencabut Pedang Matahari dari sarungnya.

   Seketika tempat itu menjadi terang oleh cahaya kuning keemasan dari pamor Pedang Matahari.

   Suiiiing ...

   ! Pedang Matahari milik Surya dilempar ke udara maka dengan gerakan agak cepat Pedang Matahari itu berputar-putar di udara membentuk lingkaran besar.

   Tak berapa lama lingkaran kuning besar itu meluruk cepat membungkus dua hewan sakti tersebut.

   Naga Suci menggeliat-geliat terbungkus lingkaran kuning keemasan, begitu pula dengan rajawali putih raksasa juga menggelihat seolah ingin meronta melepaskan diri dari lingkaran kuning keemasan yang membungkus tubuh mereka.

   Semakin dua hewan sakti itu meronta maka semakin erat pula tubuh mereka terbungkus lingkaran kuning keemasan itu, hingga akhirnya dua hewan sakti itu diam tak meronta lagi.

   Slaappp ...

   ! Dua hewan sakti itu tiba-tiba berubah menjadi sosok manusia.

   Naga Suci berubah menjadi seorang gadis cantik jelita bermata biru indah, sedangkan rajawali putih raksasa berubah menjadi seorang pemuda tampan dan gagah bermata biru juga.

   Dua sosok manusia perwujudan hewan gaib itu melayang di udara lalu perlahan-lahan melayang turun di hadapan Surya.

   Mereka merapatkan dua tangan masing-masing di depan hidung menunduk hormat.

   "Hormat hamba, Yang Mulia Pangeran,"

   Ucap mereka bersamaan. Surya membuka topeng peraknya lalu mengangguk cepat.

   "Naga Suci, Rajawali Sakti. Akhirnya kita bertemu lagi sejak kalian aku hukum di dalam pedang. Wujud kalian sudah kembali ke wujud asli kalian. Mulai sekarang kalian telah aku bebaskan dari hukuman yang selama ini aku jatuhkan pada kalian,"

   Ucap Surya penuh wibawa. Naga Suci dan Rajawali Sakti kembali menunduk hormat.

   "Sekarang kalian boleh kembali ke asal kalian. Sampaikan pesanku pada raja kalian bahwa lima purnama ke depan, aku ingin Raja kalian menemuiku di Goa Lima Warna,"

   Ucap Surya lagi. Mereka mengangguk pelan lalu merapatkan tangan di depan hidung.

   "Pergilah. Jalani kehidupan kalian yang selama ini tidak kalian dapatkan."

   Mereka saling pandang, tetapi tak juga beranjak pergi dari hadapan Surya.

   "Ada apa?"

   Tanya Surya heran melihat mereka tak juga beranjak pergi.

   "Ampun, Gusti. Apakah hamba boleh mengajukan satu permintaan Gusti."

   Rajawali Sakti membuka suara. Surya mengerutkan keningnya heran.

   "Ijinkan hamba untuk tetap menjadi Pedang Rajawali Sakti. Hamba ingin berbuat jasa kepada bangsa kami dengan jalan membasmi keangkaramurkaan di dunia ini. Hamba mohon Gusti Pangeran Matahari mengabulkan keinginan hamba,"

   Rajawali Sakti yang berwujud pemuda gagah itu berlutut di depan Surya.

   "Begitu pula dengan hamba, Gusti. Ijinkan hamba tetap menjadi Pedang Naga Suci,"

   Ucap Naga Suci juga berlutut di depan Surya. Mendengar permintaan mereka Surya malah tersenyum lebar. Dia tidak menyangka dua orang perwujudan hewan gaib itu mengajukan hal yang tidak wajar bagi bangsa mereka.

   "Hemm ... apa kalian sadar dengan permintaan kalian itu?"

   Tanya Surya meyakinkan permintaan mereka berdua.

   "Ketahuilah. Jika kalian tetap menjadi pedang sakti, maka kalian tahu apa akibat yang kalian tanggung. Kalian tidak akan bisa kembali ke wujud asal kalian lagi. Apa kalian mengerti itu?"

   Tanya Surya ingin tahu kesungguhan hati mereka. Naga Suci dan Rajawali Sakti sejenak terdiam, mereka saling pandang lalu mengangguk mantap dengan keinginan mereka itu.

   "Tekad kami sudah bulat, Gusti. Kami siap menanggung segala akibatnya meski kami tidak bisa kembali ke wujud asli kami!"

   Seru mereka dengan penuh keyakinan. Surya manggut-manggut melihat tekad mereka yang begitu kuat. Kemudian Surya melangkah maju menghampiri mereka berdua. Sejenak Surya menatap tajam pada mereka.

   "Kembalilah ke istana. Minta pada Raja kalian Mustika Langit, katakan aku yang mengutus kalian. Pergilah,"

   Ucap Surya tenang penuh kewibawaan.

   Walau tidak mengerti apa maksud Surya tapi mereka segera pergi mengerjakan apa yang di perintahkan oleh mereka itu.

   Surya menatap Naga Suci dan Rajawali Sakti yang berubah jadi dua hewan raksasa kemudian melesat ke angkasa, hilang ke dua arah yang berbeda.

   Naga Suci ke timur sedang Rajawali Sakti ke arah selatan.

   --o0o--PAGI yang cerah menyambut datangnya hari, sang mata dewa bersinar hangat dari ufuk timur cakrawala.

   Kicau burung bersahutan menyambut pagi yang sangat cerah ini.

   Di atas sebuah bukit yang keadaannya porak-poranda dengan hanya menyisakan satu pohon besar di atasnya tampak dua orang tengah terbaring pingsan di samping seekor burung rajawali putih raksasa.

   Tak jauh dari burung rajawali terdapat perapian yang masih menyala.

   Dari arah timur bukit, tampak seorang pemuda bertopeng tengah berjalan ringan sambil membawa beberapa ekor ikan di tangannya.

   Setelah sampai di perapian pemuda bertopeng yang tak lain adalah Surya langsung memanggang ikan-ikan yang ia bawa tadi.

   Bau harum daging ikan terbakar langsung menusuk hidung.

   Bau harum pengundang nafsu makan langsung menusuk hidung dua orang yang pingsan tadi.

   Perlahan-lahan salah satu orang yang pingsan tersadar siuman dari pingsannya akibat sesuatu yang harum menusuk hidungnya.

   Pemuda berbaju rompi yaitu Rangga bangkit dari tidurnya.

   pandangannya langsung tertuju pada burung rajawali putih disampingnya.

   "Putih. Kau masih disini sobat?"

   Ucap Rangga pelan. Rangga mengalihkan pandangannya ke samping, ia melihat di dekatnya gadis bertopeng tengah terlelap tidur atau masih pingsan.

   "Kau sudah sadar, Kisanak?"

   Ucap Surya kalem setelah melihat Rangga sadar dari pingsan.

   "Ekh?!"

   Rangga terkejut melihat pemuda bertopeng tak jauh dari tempatnya. Sejenak pikiran sehatnya bekerja.

   "Pemuda itu masih disini. Sebenarnya siapa orang bertopeng itu? Dari golongan mana dia sebenarnya? Benar-benar aneh."

   Batin Rangga dalam hati.

   "Kemarilah. Aku sudah siapkan ikan bakar untukmu. Pasti kamu lapar setelah satu hari satu malam bertarung,"

   Ucap Surya tenang.

   "Kisanak. Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau tidak membunuhku saat pingsan tadi? Bukankah itu kesempatanmu!"

   Seru Rangga dengan nada suara penuh tekanan.

   Matanya tajam menatap orang bertopeng tak jauh darinya itu.

   Surya tersenyum lembut mendengar pertanyaan Rangga itu.

   Dia malah melempar gelas bambu yang berisi air ke Rangga.

   Sungguh luar biasa air dalam gelas dari bambu itu tidak tumpah sedikitpun.

   Rangga dengan cepat menangkap gelas bambu berisi air tersebut.

   "Minumlah,"

   Ucap Surya kalem.

   Rangga agak ragu-ragu meminum air dalam gelas bambu itu namun akhirnya air dalam gelas bambu itu ditenggaknya juga sampai habis.

   Rangga tidak takut diracuni karena tubuhnya kebal terhadap racun jadi dia tenang saja.

   Tak berapa lama gadis bertopeng di sebelah Rangga tersadar karena bau harum ikan bakar membuatnya jadi siuman.

   Gadis bertopeng yaitu Pandan Wangi duduk dan menguap lalu menggerakkan tangan dan tubuhnya untuk merenggangkan ototnya yang kaku.

   "Kau sudah sadar, Pandan?"

   Seru Surya begitu melihat Pandan duduk sambil merenggangkan otot. Sama seperti Rangga, Surya juga melemparkan gelas bambu berisi air ke Pandan. Pandan langsung menangkap gelar bambu itu dan langsung menghabiskan air dalam gelas itu.

   "Uuhk, segarnya!"

   Seru Pandan setelah menghabiskan air dalam gelas bambu.

   "Pandan?!"

   Ucap Rangga lirih terkejut mendengar orang bertopeng memanggil gadis bertopeng dengan nama . Pandan. Rangga langsung menatap gadis bertopeng dengan tajam.

   "Pandan! Buka topengmu. Agaknya kekasihmu ingin sekali melihat wajahmu!"

   Seru Surya cepat.

   Pandan membuka topeng yang melekat di wajahnya.

   Rangga melihat gadis bertopeng itu membuka topengnya dengan perasaan tak menentu.

   Begitu topeng perak lepas dari wajah si gadis, maka Rangga terkejut bukan main melihat wajah yang sangat ia kenal dan sangat dirindukannya.

   "Pandan?!"

   Seru Rangga keras seolah tidak percaya dengan wajah yang ia lihat di hadapannya.

   "Kakang!"

   Pandan tersenyum lembut pada pemuda yang dicintainya tersebut.

   "Pandan?! Benarkah ini kau? Pandan!"

   Seru Rangga langsung memeluk Pandan dengan erat. Tanpa malu-malu Rangga menciumi wajah Pandan Wangi.

   "Syukurlah kau selamat. Aku sangat khawatir sekali. Aku sangat merindukanmu, Pandan."

   "Aku juga sangat merindukanmu, Kakang,"

   Ucap Pandan sambil memeluk erat pemuda yang sangat dicintainya. Dua insan saling mencintai itu saling berpelukan erat melepas rasa rindu karena satu purnama tidak ketemu. Mereka sampai melupakan kalau ada Surya di tempat itu juga.

   "Sampai kapan kalian akan terus berpelukan. Apa kalian tidak lapar?"

   Ucap Surya menyadarkan dua insan saling mencinta itu.

   "Ekh?! Kakang. Maaf sampai lupa kalau Kakang ada disini,"

   Ucap Pandan tersipu malu.

   "Kalian makanlah. Ikan bakarnya sudah matang. Cukup untuk kalian berdua,"

   Kata Surya sambil berdiri. Surya lalu melangkah mendekati rajawali putih tunggangan Rangga.

   "Putih! Ayo kita jalan-jalan. Biarkan mereka disini melepas kangen,"

   Ucap Surya sambil mengusap leher rajawali putih itu.

   "Khrrrrgghk ...

   "

   Suara rajawali mengerti ucapan Surya sambil kepalanya mengangguk-angguk.

   Surya naik ke punggung rajawali putih itu dan menyuruh rajawali itu terbang.

   Maka dengan cepat rajawali putih raksasa itu melesat terbang ke angkasa.

   Rangga yang dari tadi melihat orang bertopeng bicara dengan rajawalinya jadi tersentak heran.

   Apalagi kini rajawali putih itu terbang tinggi bersama Surya, ini membuat Rangga jadi tak habis pikir.

   Rajawali miliknya itu sangat sukar didekati apalagi sampai naik di atas punggungnya, rajawalinya itu akan mengamuk dan tanpa ampun menyerang orang yang coba mendekatinya.

   Tapi kini orang bertopeng yang tidak Rangga kenal telah terbang di atas punggung rajawalinya.

   Bahkan rajawali itu begitu jinak dan hormat sekali sama orang bertopeng itu.

   "Kakang, ada apa?"

   Tanya Pandan pelan melihat Rangga yang dari tadi terdiam sambil menatap ke angkasa dimana burung rajawali miliknya terbang bersama orang lain. Rangga tersadar lalu menoleh ke Pandan Wangi.

   "Tidak. Tidak apa-apa,"

   Ucap Rangga. Pandan Wangi tersenyum lebar.

   "Aku tahu. Kakang pasti heran dengan rajawali-mu yang begitu jinak terhadap orang bertopeng itu. He-he-he-he. Itu wajar,"

   Kata Pandan Wangi kalem.

   "Wajar? Maksudmu?"

   Seru Rangga penasaran.

   "Sudahlah. Nanti akan aku ceritakan semua ke Kakang. Sebaiknya kita makan dulu ikan bakar ini. Aku sudah kelaparan."

   Pandan Wangi langsung memakan ikan bakar di tangannya.

   Rangga walau masih bingung akhirnya makan juga.

   --o0o--MALAM ini adalah malam bulan punama.

   Bulan begitu terang cahayanya di langit malam yang begitu cerah.

   Semilir angin sepoi-sepoi berhembus begitu sejuknya.

   Suara suara nyanyian serangga malam begitu merdu terdengar mengiri malam yang sangat tenang itu.

   Di kegelapan malam yang sunyi terlihat berkelebatan lima orang dengan pakaian yang berlainan warna.

   Merah, hijau, biru, kuning dan putih.

   Lima orang yang ternyata adalah gadis memakai topeng tipis menyerupai tengkorak membuat wajah mereka jadi terlihat menyeramkan.

   Jika tidak teliti melihatnya, maka semua pasti mengira kalau lima gadis itu berwajah menakutkan, ini akibat topeng mereka sangat tipis hampir tidak bisa diterka kalau sebenarnya itu adalah topeng.

   Kelima gadis bewajah tengkorak itu bergerak dengan cepat menembus kegelapan malam menuju ke sebuah Perguruan Silat Tongkat Emas.

   Begitu sampai di depan gerbang Perguruan, kelima gadis berwajah tengkorak itu langsung menghabisi penjaga gerbang Perguruan Tongkat Emas.

   Tidak hanya itu saja, kelima gadis berwajah tengkorak tersebut langsung menyerbu masuk ke Perguruan Tongkat Emas membantai siapa saja yang mereka temui.

   Seluruh murid Perguruan Tongkat Emas langsung disibukkan dengan pertarungan melawan lima gadis berwajah tengkorak tersebut.

   Keganasan lima gadis berwajah tengkorak sungguh mengerikan, dalam tempo singkat, hampir setengah murid Perguruan Tongkat Emas tewas dibantai dengan sadis oleh lima gadis berwajah tengkorak tersebut.

   "Berhenti!"

   Teriak seseorang keras. Dia adalah Ki Wonoyoso atau si Malaikat Tongkat Emas. Matanya begitu tajam menatap lima gadis berwajah tengkorak.

   "Siapa kalian? Kenapa menyerang Perguruanku?"

   Seru Ki Wonoyoso, geram.

   "Ha-ha-ha-ha! Akhirnya kau keluar juga Malaikat Tongkat Emas!"

   Seru gadis yang berpakaian merah. Kelihatannya gadis berpakaian merah adalah pemimpin dari lima gadis berwajah tengkorak itu.

   "Ha-ha-ha-ha. Kami adalah Lima Iblis Lembah Tengkorak!"

   Seru si gadis berpakaian merah menyebutkan nama mereka.

   "Lima Iblis Lembah Tengkorak?!"

   Seru Ki Wonoyoso pelan mengerutkan keningnya.

   "Malaikat Tongkat Emas! Malam ini nama besarmu akan berakhir. Ha-ha-ha-ha!"

   "Huh! Jangan anggap enteng kemampuanku, Gadis Muka Tengkorak. Hari ini aku bersumpah akan kubunuh kalian yang telah membantai murid-muridku!"

   Ucap Ki Wonoyoso geram sekali.

   "Ha-ha-ha-ha! Majulah. Aku ingin lihat apa benar nama besar Malaikat Tongkat Emas begitu hebat atau hanya omong kosong saja!"

   Seru si Gadis Merah Muka Tengkorak meremehkan. Panaslah hati Ki Wonoyoso diremehkan oleh Gadis Muka Tengkorak.

   "Tutup mulutmu, Gadis Muka Tengkorak. Akan kubuat kalian tidak bisa melihat matahari esok lagi. Hiaaaatt ... !"

   Ki Wonoyoso langsung menerjang si gadis merah dengan senjata andalannya yaitu Tongkat Emas yang selama ini telah banyak merobohkan tokoh-tokoh sakti dunia persilatan.

   Senjata tongkat yang terbuat dari baja berlapis emas putih sangat keras tidak mudah patah.

   "Ha-ha-ha-ha. Serang ... !!"

   Teriak Gadis Merah Muka Tengkorak memerintahkan empat temannya menyerang Ki Wonoyoso.

   Pertarungan lima melawan satu sungguh pertarungan yang tidak seimbang jika dilihat dengan kasat mata, tetapi jika diamati pertarungan itu sangat seru dan berimbang.

   Ki Wonoyoso yang bergelar Malaikat Tongkat Emas begitu lincah menangkis setiap gempuran yang dilancarkan Lima Iblis Lembah Tengkorak.

   Murid-murid Perguruan Tongkat Emas berdiri memegang senjata tongkat mengitari arena pertempuran Lima Iblis Lembah Tengkorak melawan guru mereka, Ki Wonoyoso.

   Jurus-jurus tingkat tinggi sudah dikeluarkan oleh Ki Wonoyoso dan ini membuat Lima Iblis Lembah Tengkorak jadi terdesak.

   Lima Iblis Lembah Tengkorak berlompatan ke belakang sejauh dua tombak di hadapan Ki Wonoyoso.

   "Huh! Rupanya tidak sia-sia kau menyandang gelar Malaikat Tongkat Emas. Tapi jangan senang dulu karena kami belum mengeluarkan seluruh ilmu kami. Bersiaplah!"

   Seru Gadis Muka Tengkorak.

   "He-he. Majulah, keluarkan ilmu yang kalian miliki. Aku tidak takut,"

   Ucap Ki Wonoyoso tandas. Matanya begitu tajam bagai singa kelaparan mengintai buruannya.

   "Keluarkan jurus 'Lima Kala Menari Membius Kematian'!"

   Seru Gadis Merah Muka Tengkorak cepat.

   Kelima Gadis Muka Tengkorak bergerak membentuk formasi siap menyerang.

   Di mulai dari gadis merah yang bergerak ke depan meliuk liukan tubuhnya bagai orang menari membuat lawan jadi terlena karena gerakan lembut lima Gadis Muka Tengkorak itu.

   Di dalam kelembutan gerakan mereka menyimpan bahaya kematian jika lawan sampai terbius oleh gerakan mereka.

   Itulah efek yang ditimbulkan oleh jurus 'Lima Kala Menari Membius Kematian'.

   Sungguh jurus mematikan yang membuat lawan tidak menyadari bahaya yang mengancam.

   Ki Wonoyoso bukan pendekar kemarin sore, dengan pengalamannya selama berkelana di dunia persilatan dulu membuat Ki Wonoyoso tahu akan bahaya yang mengancam di setiap gerakan yang dilakukan lima Gadis Muka Tengkorak bagai orang menari.

   Ki Wonoyoso langsung menggunakan jurus 'Tongkat Emas Memukul Air'.

   Ini jurus yang jarang di keluarkannya.

   Jurus 'Tongkat Emas Memukul Air' sungguh luar biasa sekali.

   Setiap sabetan selalu menimbulkan desiran angin yang bergelombang.

   Suara angin yang ditimbulkan juga mengerikan.

   Namun gerakan jurus 'Lima Kala Menari Membius Kematian' juga sangat unik.

   Gerakannya-gerakan yang silih berganti oleh Lima Iblis Lembah Tengkorak sangat membingungkan sekali, hingga di saat kuda-kuda Ki Wonoyoso agak limbung tiba-tiba Gadis Merah Muka Tengkorak menyebarkan serbuk beracun.

   Seketika pernafasan Ki Wonoyoso jadi tercekat, kepalanya pusing dan mata berkunang-kunang.

   Di sisi lain, Gadis Muka Tengkorak berpakaian putih melemparkan senjata rahasia berupa jarum hitam yang sangat beracun.

   "Aaakh!"

   Teriak Ki Wonoyoso keras terkena senjata rahasia. Tubuh Ki Wonoyoso langsung menghitam roboh dan nyawanya melayang. Sungguh licik sekali cara bertarung Lima Iblis Lembah Tengkorak.

   "Kala Biru, Kala Putih! habisi murid Perguruan Tongkat Emas yang tersisa!"

   Seru Kala Merah cepat.

   "Kala Hitam dan Kala Kuning bakar Perguruan ini."

   Dengan cepat mereka membantai semua murid Perguruan Tongkat Emas tanpa ada yang tersisa satupun.

   Rumah-rumah di bakar tanpa belas kasihan.

   Perguruan Tongkat Emas musnah rata dengan tanah.

   Sungguh pembantaian yang sadis di bulan purnama malam ini.

   --o0o--SIANG yang terik membuat bumi menjadi panas, sinar mentari langsung menyinari bumi tanpa terhalang awan sedikitpun.

   Memang siang ini cuaca sangat cerah sekali.

   Tiada sedikitpun awan yang memayungi bumi.

   Di sebuah sungai yang cukup besar namun dangkal dan berbatu-batu memiliki air yang sangat jernih.

   Di salah satu batu besar yang terletak di bawah pohon yang cukup lebat daunnya, tampak seorang pemuda berbaju putih agak ketat dengan memakai topeng perak di wajahnya.

   Siapa lagi kalau bukan Surya alias Pendekar Pedang Matahari.

   Surya duduk dengan tenang memandangi ikan-ikan yang berlarian di sela-sela batu sungai.

   Tiba-tiba Surya lamat lamat mendengar suara ribut.

   "Hemmm! Ada suara perkelahian. Siapa yang bertarung di tengah hutan yang sepi ini?"

   Batin Surya sambil mengerahkan Ilmu 'Pembeda Gerak Dan Suara'.

   "Agaknya pertarungan terjadi di sebelah barat. Aku harus melihat siapa yang tengah bertarung,"

   Ucap Surya lirih.

   Dengan cepat Surya beranjak dari atas batu melompat tinggi lalu berlari ke arah barat.

   Begitu sampai di tanah yang cukup luas, Surya melihat seorang gadis sedang dikeroyok lima orang pria yang rata-rata memiliki perawakan tegap dan berwajah sangar dipenuhi cambang tebal serta codet di pipi mereka.

   Tampak si gadis dengan lincah memainkan pedangnya menangkis setiap serangan yang mengarah padanya.

   Gerakan jurusnya juga sangat cepat, hingga tak berapa lama lima pria pengeroyoknya berhasil di robohkan.

   Secepat kilat lima pria itu kabur melarikan diri.

   Si gadis dengan tenang memasukkan kembali pedannya ke dalam warangkanya.

   Plok, plok, plok! Suara tepuk tangan pelan terdengar dari tangan Surya yang kagum melihat kemampuan silat si gadis yang sangat lincah sekali.

   "Ekh?!"

   Si gadis terkejut lalu berbalik ke arah suara tepuk tangan tadi.

   "Luar biasa sekali."

   Puji Surya tulus. Surya berjalan mendekati si gadis dengan tenang.

   "Maaf Nisanak jika aku mengagetkanmu."

   Si gadis menatap tajam pemuda bertopeng yang ia tidak kenal di hadapannya.

   "Siapa kau? Apa kau teman mereka tadi?"

   Ucap gadis itu tandas. Surya tersenyum lembut mendengar si gadis yang mencurigai dirinya.

   "Bukan. Aku tidak kenal mereka. Namaku Surya, Nisanak?"

   Si gadis mendengus saja mendengar pemuda bertopeng itu mengenalkan diri. Tanpa bicara si gadis melangkah pergi meninggalkan Surya.

   "Eh, Nisanak ... tunggu!"

   Seru Surya cepat. Surya mencoba untuk mencegah gadis cantik itu pergi. Surya menjura hormat pada gadis cantik tersebut.

   "Maafkan saya, Nisanak. Jikalau saya mengganggu, Nisanak. Apakah hanya sekedar tahu nama Nisanak saja tidak boleh,"

   Ucap Surya lembut.

   "Hai, apa maumu? Jangan halangi aku. Atau kalau tidak aku pecahkan kepalamu!"

   Bentak gadis cantik itu jengkel karena langkahnya dihadang oleh pemuda bertopeng yang tak dikenalnya. Matanya mendelik mengisyaratkan kejengkelannya.

   "Waduh! Masa' cuma mau tahu nama saja musti dipecahkan kepalaku."

   Surya berlagak menutupi kepalanya. Si gadis menatap tajam orang bertopeng di depannya.

   "Apa maumu sebenarnya?"

   Tanya si gadis jengkel. Surya cengengesan saja sambil garuk-garuk kepala.

   "Cuma pengen tahu namamu saja,"

   Jawab Surya polos.

   "Lalu mau apa kalau sudah tahu namaku?"

   Surya malah jadi bingung sendiri hendak menjawab apa.

   Surya garuk-garuk kepala yang tidak gatal.

   Ketika Surya bingung itulah digunakan si gadis pergi dari tempat itu tanpa disadari Surya.

   Ketika Surya menoleh maka Surya jadi kaget melihat gadis yang tadi di dekatnya sudah tidak ada hilang bagai di telan bumi.

   "Hah! Siapa ya gadis tadi? Ilmu meringankan tubuhnya luar biasa. Bahkan aku sendiri tidak menyadari kepergiannya. Sungguh gadis yang penuh misteri. Hemhmmm,"

   Ucap Surya lirih. Surya lalu beranjak menuju barat dengan berjalan tenang. Di atas pohon ternyata si gadis tidak pergi tapi bersembunyi dari orang bertopeng yang tidak dikenalnya.

   "Orang bertopeng itu ada hubungan apa dengan perampok-perampok tadi. Jangan-jangan dia salah satu mereka,"

   Ucap si gadis pelan seolah untuk dirinya sendiri.

   "Bukan! Aku tidak kenal mereka, Nisanak!"

   Suara orang menyahuti tepat di samping si gadis yang duduk di dahan pohon.

   "Ekh?!"

   Si gadis jelas kaget bukan kepalang. Karena orang bertopeng yang dilihatnya pergi ke arah barat kini tiba-tiba sudah duduk disampingnya. Surya tersenyum lembut sambil mengangkat tangan kanannya.

   "Kau?! Bag ... bag ... bagaimana kau bisa ada disini?!"

   Seru si gadis keheranan sambil kepalanya menolah-noleh.

   Surya tertawa kecil saja melihat raut muka si gadis yang kebingungan.

   Si gadis melompat turun dari dahan pohon lalu tanpa menoleh segera berjalan pergi.

   Surya dengan cepat melompat turun dari dahan pohon dan mengikuti si gadis.

   Kontan saja si gadis makin jengkel dibuatnya.

   Si gadis berhenti dan menatap Surya dengan kesal.

   "Baik. Aku katakan namaku, tapi jangan mengikuti aku lagi!"

   Seru si gadis gregetan kesal. Surya cengengesan saja kemudian mengangguk cepat.

   "Aku ... Lestari. Nah, aku sudah beritahu namaku, jadi jangan ikuti aku lagi!"

   Seru si gadis yang bernama Lestari itu. Lestari segera balik badan hendak pergi.

   "Lestari, tunggu!"

   Seru Surya cepat, mencegah Lestari yang hendak pergi. Lestari balik badan lagi menghadap Surya.

   "Apa lagi?!"

   Bentak Lestari galak.

   "Astaga, galaknya! Jangan marah-marah gitu, donk. Kalau marah-marah ntar cepat tua, loh. He-he-he-he,"

   Ucap Surya cengengesan.

   "Edan! Bukan urusanmu!!"

   Bentak Lestari mulai emosi, tangannya sudah dia kepalkan tanda amarahnya sudah tinggi. Surya kembali tertawa kecil.

   "Tenanglah. Aku cuma mau tanya, kamu hendak kemana?"

   "Sudah aku katakan bukan urusanmu. Aku mau kemana kek itu bukan urusanku. Sudah jangan ganggu aku lagi."

   Lestari segera berlari meninggalkan Surya, tapi baru beberapa langkah tiba-tiba ada orang muncul di depan Lestari.

   "Lestari! Mau kemana kau?"

   Seru orang baru datang cepat. Orang ini adalah nenek-nenek dengan berpakaian serba merah. Sebuah tongkat hitam tergenggam di tangan kanannya. Lestari yang mengetahui siapa yang barusan muncul segera menjura hormat.

   "Eyang Rakanini,"

   Ucap Lestari menyebut nenek di hadapannya.

   "Lestari! Kenapa kau kelihatan terburu-buru. Ada apa?"

   Tanya Eyang Rakanini dengan suara agak parau. Muka Eyang Rakanini ini cukup angker juga karena rongga mata yang cekung serta warna kulit agak merah. Di dunia persilatan Eyang Rakanini berjuluk Hantu Tongkat Hitam.

   "Tidak, Eyang. Aku ...

   "

   Lestari menghentikan ucapannya, sejenak Lestari melirik ke arah pemuda bertopeng yang masih ada di situ. Eyang Rakanini mengikuti arah lirikan mata Lestari. Eyang Rakanini tertawa mengekeh melihat seorang pemuda bertopeng perak.

   "Anak muda! Ada urusan apa kau dengan cucu ku? Apa kau menyukai cucuku? Khe-khe-khe,"

   Ucap Eyang Rakanini pelan namun di sertai tenaga dalam.

   Surya merasakan tubuhnya seperti dihimpit tembok yang tidak terlihat, namun dengan tertawa kecil Surya mengeluarkan ilmu 'Sindat Tenze' untuk membentengi diri dari himpitan tenaga dalam yang dikirimkan oleh Eyang Rakanini.

   Tampak Surya berdiri dengan tenang sekali tanpa pedulikan kalau sebuah kekuatan besar tengah menghimpit dirinya namun di pihak lain tampak Eyang Rakanini bergetar tubuhnya karena tenaga dalam yang ia keluarkan sudah hampir mencapai batas kemampuannya.

   Eyang Rakanini tidak menyangka seorang anak muda memiliki tenaga dalam yang luar biasa tinggi, tenaga dalamnya kalah tinggi dari anak muda itu.

   "Sudah hentikan, Nisanak. Tidak ada gunanya diteruskan,"

   Ucap Surya tenang sekali.

   "Heh. Aku belum kalah anak muda. Jangan kau anggap remeh diriku!"

   Seru Rakanini tandas.

   "Hmmm. Jikalau begitu aku yang mengaku kalah, Nisanak. Maaf,"

   Ucap Surya sambil melompat tinggi di atas dahan pohon lalu melesat cepat tinggalkan tempat itu.

   Bruaaakk ...

   ! Pohon sebesar dua dekapan tangan manusia hancur lalu roboh karena tenaga dalam yang dikeluarkan Rakanini meleset dari sasaran hingga langsung menghantam pohon besar di belakang Surya berdiri tadi.

   Rakanini terengah-engah nafasnya, keringat membanjiri dahinya.

   "Eyang!"

   Seru Lestari yang keheranan melihat Eyang Rakanini terengah-engah bagai habis berlari jauh. Rakanini menoleh ke arah Lestari.

   "Sebaiknya kita pergi dari sini, Lestari."

   Lestari mengangguk cepat.

   Mereka melesat cepat ke arah barat dimana Surya melesat pergi.

   --o0o--SEPAK terjang Lima Iblis Lembah Tengkorak kian merajalela, tidak hanya Perguruan Tongkat Emas yang mereka bantai, tapi juga Perguruan-Perguruan di sekitar Gunung Puting mereka hancurkan.

   Sudah lima Perguruan yang mereka hancurkan selama satu purnama ini, Lima Iblis Lembah Tengkorak kini menjadi momok menakutkan bagi dunia persilatan.

   Bahkan para penduduk desa yang berada di wilayah Gunung Puting juga ikut was-was jikalau sampai orang-orang Lembah Tengkorak tidak hanya membantai Perguruan silat tetapi juga para penduduk desa, itulah yang membuat para penduduk desa menjadi dicekam rasa ketakutan.

   "Kakang!"

   Seru wanita cantik bagai bidadari dengan pakaian serba hijau.

   Gadis cantik tersebut berlarian kecil dari arah sungai ke sebuah batu sebesar kerbau dimana seorang pemuda tampan berjubah putih duduk dengan tenang sambil tersenyum lembut ke arah gadis cantik yang berlarian kecil ke arahnya.

   "Kakang! Aku dapat dua ikan besar di sungai. Kita bakar ya buat pengganjal perut!"

   Seru si gadis sambil menunjukkan dua ikan besar yang ia bawa dari sungai.

   "Kau dapat dari mana dua ikan itu, Kenanga?"

   Ucap pemuda itu lembut.

   "Di sungai dekat air terjun itu, Kakang,"

   Sahut si gadis yang dipanggil Kenanga menunjuk ke arah dimana dia mendapatkan dua ikan tersebut. Si pemuda memandang mengikuti arah yang ditunjuk si gadis.

   "Hmmm. Baiklah, ayo kita panggang ikan itu lumayan bisa mengganjal perut,"

   Ucap pemuda itu. Mereka segera membuat perapian dengan kayu-kayu yang berserakan di sekitar tempat itu, begitu api menyala maka dua ikan besar itu mereka panggang.

   "Kakang! Kemana tujuan kita sekarang?"

   Pemuda itu menatap Kenanga dengan lembut.

   "Ke Desa Kaliadem,"

   Ucapnya pendek sambil membolak-balikkan ikan yang dipanggangnya di atas api.

   "Desa Kaliadem?! Mau ngapain kita kesana?"

   Ucap Kenanga mengerutkan keningnya.

   "Mengunjungi teman lama."

   "Siapa?"

   "Nanti kau akan tahu sendiri Kenanga,"

   Ucap pemuda itu kalem lalu mulai memakan ikan bakarnya yang sudah matang itu.

   Kenanga hanya merengut menghela nafas pendek.

   Pemuda berjubah putih itu tersenyum saja melihat kekasihnya yang merengut.

   Hari semakin sore menjelang senja berarti malam akan segera tiba.

   Dua insan berlainan jenis itu terus mengobrol hingga tak terasa malam telah datang menyelimuti bumi.

   Sang Dewi malam bersinar redup di langit malam yang berhiaskan bintang.

   --o0o--Slapp! Tak ...

   !!! Sebuah benda menancap di tiang pilar pendopo yang berbentuk joglo.

   Lima orang yang berada di pendopo itu tersentak kaget langsung berdiri menghadap ke arah datangnya asal benda yang menancap di pilar pendopo.

   Orang berpakaian warna coklat dengan blangkon di kepala melesat cepat keluar dari pendopo menuju asal benda tadi datang.

   Laki-laki separuh baya dengan janggut agak panjang berjubah coklat hitam mengambil benda yang menancap di tiang pilar pendopo.

   Ternyata benda itu adalah pisau kecil berwarna hitam dengan panjang setengah jengkal, ada kain putih kecil di gagang pisau tersebut.

   "Guru, hati-hati. Kelihatannya pisau beracun!"

   Seru seorang pemuda mengingatkan orang separuh baya yang dipanggil guru tadi.

   "Aku tahu, Sagara,"

   Ucap orang tua itu kalem.

   Orang tua yang dipanggil guru oleh pemuda yang bernama Sagara itu adalah Ki Handoyo, beliau adalah guru Padepokan Silat Ruyung Sakti di daerah Kaliadem.

   Ki Handoyo memungut kain putih di gagang pisau lalu membukanya.

   Ternyata itu adalah sebuah undangan yang di tulis dengan darah.

   Bunyi tulisan yang tertera di kain putih itu ...

   DATANGLAH PADA HARI KE 15 DI LEMBAH TENGKORAK ...

   DEWI LEMBAH TENGKORAK "Guru.

   Apa rencana Guru mengenai undangan itu?"

   Tanya Sagara setelah membaca tulisan di kain putih yang ternyata adalah sebuah undangan. Ki Handoyo mengusap-usap janggutnya sambil mondar-mandir tenang. Sesekali beliau menghela nafas pelan.

   "Orangnya tidak ketemu, Guru. Mungkin sudah pergi setelah melempar pisau tadi,"

   Kata pria berbaju coklat cepat setelah sampai di pendopo. Pria ini yang tadi melesat keluar pendopo untuk mengejar si pelempar pisau tadi.

   "Apa kau melihat orang yang melempar pisau tadi, Kakang Sadewo?"

   Seru Sagara cepat pada orang yang dipanggil Sadewo. Sadewo menoleh ke arah Sagara yang juga adik sePerguruannya.

   "Sekilas saja, Adi. Seorang wanita berbaju putih berwajah tengkorak,"

   Sahut Sadewo cepat.

   "Apa?! Berwajah tengkorak?"

   Seru Sagara kaget. Dua orang yang lain juga ikut kaget mendengar hal itu, hanya Ki Handoyo saja yang masih berdiri tenang.

   "Aku merasa undangan ini menyimpan misteri yang bisa mendatangkan maut. Dewi Lembah Tengkorak? Siapa adanya dia, aku tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya,"

   Ucap Ki Handoyo pelan namun bisa didengar oleh empat orang murid utamanya.

   "Guru! Sebaiknya tidak usah pedulikan undangan itu. Paling itu kerjaan orang iseng saja!"

   Seru Sagara.

   "Dewi Lembah Tengkorak?!"

   Gumam Sadewo sambil mengingat-ingat sesuatu dalam pikirannya.

   "Tidak. Aku merasa bakal terjadi peristiwa besar di dunia persilatan dengan dikirimkannya undangan ini. Sagara, pergilah kau ke Perguruan Tongkat Emas. Apa mereka juga mendapatkan undangan seperti ini juga!"

   Seru Ki Handoyo.

   "Baik, Guru."

   Sagara segera berlalu dari pendopo itu.

   "Sudiro dan Putu Ayu, kalian pergilah ke Desa Kaliadem dan juga Desa Kalideres. Cari tahu berita yang berhubungan dengan undangan ini!"

   Seru Ki Handoyo pada dua muridnya yaitu Sudiro dan Putu Ayu.

   "Baik, Guru,"

   Sahut mereka bersamaan lalu beranjak pergi.

   "Guru,"

   Ucap Sadewo pelan.

   "Sadewo! Suruh semua murid untuk waspada dan perketat penjagaan. Aku memiliki firasat tidak enak."

   "Tapi, Guru ... ?"

   "Lakukan saja, Sadewo."

   "Baik, Guru!"

   Seru Sadewo lalu bergegas pergi. Tak berapa lama datang seorang murid ke pendopo itu.

   "Maaf, Guru. Ada dua orang yang ingin bertemu Guru,"

   Ucap orang itu membungkuk hormat.

   "Siapa?"

   Tanya Ki Handoyo cepat.

   "Seorang pemuda dengan seorang wanita. Namanya Panji, Guru. Katanya dia teman Guru,"

   Ucap orang itu menjelaskan.

   "Panji?!"

   Gumam Ki Handoyo pelan.

   "Bagaimana ciri-ciri pemuda itu?"

   Tanya Ki Handoyo kemudian dengan cepat.

   "Tampan, berjubah putih dan memiliki pedang kepala naga di punggungnya. Usianya kurang lebih dua puluh tahun."

   "Pendekar Naga Putih?!"

   Seru Ki Handoyo sumringah mengenali ciri-ciri pemuda yang disebutkan muridnya itu.

   "Cepat, suruh masuk."

   "Baik, Guru."

   Orang itu segera berlalu dari hadapan Ki Handoyo. Lalu tak berapa lama orang itu kembali lagi bersama dua orang. Ki Handoyo tersenyum lebar melihat dua orang yang sangat ia kenal.

   "Nakmas Panji dan Nimas Kenanga. Apa kabar kalian? Sudah lama kita tidak berjumpa. Ha-ha-ha-ha,"

   Ucap Ki Handoyo senang.

   "Ha-ha-ha-ha. Baik, Paman. Paman sendiri gimana?"

   Ucap Panji bersalaman dengan Ki Handoyo.

   "Ha-ha-ha. Aku juga baik. Mari silakan masuk."

   "Terima kasih, Paman."

   Mereka lalu masuk ke dalam pendopo dan duduk di kursi ruang tamu pendopo tersebut.

   "Sudah lama kita ketemu, sejak peristiwa melawan Partai Kelabang Ireng,"

   Ucap Ki Handoyo membuka obrolan.

   "Benar, Paman. Sejak saat kita tidak saling ketemu. O ya maaf Paman, tadi aku lihat penjagaan di perketat. Apa yang terjadi Paman?"

   Tanya Panji lembut. Ki Handoyo menghela nafas panjang kemudian berdiri dan berjalan ke pilar pendopo. Tampak Ki Handoyo sedikit gelisah.

   "Ada apa Paman? Maaf jika pertanyaanku menyinggung Paman,"

   Ucap Panji merasa tidak enak hati melihat perubahan Ki Handoyo.

   "Tidak. Bukan Nakmas. Tadi sebelum Nakmas datang aku mendapatkan undangan yang dikirim oleh orang tak dikenal."

   "Undangan?!"

   "Benar. Ini undangannya."

   Ki Handoyo menunjukkan kain yang bertuliskan darah. Panji menerima kain putih tersebut dan melihat apa yang tertulis.

   "Hmmm ... ini undangan yang aneh. Di tulis dengan darah. Hari ke 15 di Lembah Tengkorak."

   Gumam Panji pelan mencermati isi undangan tersebut.

   "Dewi Lembah Tengkorak. Siapa dia, Paman?"

   "Aku juga tidak tahu, Nakmas. Lembah Tengkorak cukup jauh dari sini. Apa maksud Dewi Lembah Tengkorak mengirimkan undangan seperti ini,"

   Ucap Ki Handoyo kalem.

   "Hmmm. Apapun itu, ini tidak bisa dianggap angin lalu saja. Undangan ini mengandung maksud yang tersembunyi."

   "Aku juga berpikir begitu, Nakmas. Tapi apa itu aku juga belum mengetahuinya."

   "Lalu apa tanggapan, Paman? Memenuhi undangan itu atau mengabaikannya."

   "Entahlah."

   Ki Handoyo kembali duduk di tempatnya.

   "Sebaiknya abaikan saja, Paman,"

   Ucap Kenanga menimpali setelah dari tadi diam saja. Panji dan Ki Handoyo menoleh ke arah Kenanga. Mereka sama-sama tersenyum lebar.

   "Kenapa?"

   Seru Kenanga yang heran melihat Panji dan Ki Handoyo malah tersenyum lebar. Tak berapa lama Sadewo datang ke ruang tamu pendopo.

   "Guru! Semua aku tempatkan sesuai perintah Guru."

   "He-em."

   Ki Handoyo mengangguk.

   "Sadewo. Kenalkan ini orang yang Guru sering ceritakan yaitu Panji, Pendekar Naga Putih."

   Sadewo menoleh ke arah Panji.

   "Oh, sungguh tak ku duga hari ini saya bisa bertemu dengan pendekar kesohor di dunia persilatan. Salam hormat saya pada Pendekar Naga Putih,"

   Ucap Sadewo menunduk hormat.

   "Kisanak terlalu berlebihan, saya tidaklah seperti apa yang orang bicarakan. Saya hanya manusia biasa saja. Di atas langit masih ada langit, jadi apa yang bisa saya banggakan. Jangan sungkan Kisanak,"

   Ucap Panji dengan tutur kata yang halus.

   "Ah, selain kesohor rupanya Pendekar Naga Putih bersifat rendah hati. Sungguh mulia sekali,"

   Ucap Sadewo kagum dengan sifat Panji yang sopan santun.

   "Panggil saya Panji saja, Kisanak,"

   Ucap Panji kalem tersenyum.

   "Baik. Saya ... Sadewo."

   "Ini Kenanga, temanku."

   Panji mengenalkan Kenanga pada Sadewo.

   "Nini Kenanga. Salam."

   Kenanga mengangguk pelan saja.

   "Paman. Apakah Paman sudah berjumpa dengan pendekar yang dulu membantu kita waktu menghancurkan Partai Kelabang Ireng?"

   Tanya Panji mengalihkan pembicaraan.

   "Maksud Nakmas ... Pendekar Pedang Matahari?"

   Ucap Ki Handoyo. Panji mengangguk cepat.

   "Belum, Nakmas."

   "Sewaktu kami singgah di Kadipaten Jatiluhur. Kami mendengar Pendekar Pedang Matahari juga membantu menggulingkan kekuasaan Adipati yang memberontak dan kini pewaris sah Kadipaten Jatiluhur kembali menduduki singgasana kadipaten."

   "Benarkah itu, Nakmas?"

   Seru Ki Handoyo cepat. Panji mengangguk.

   "Kini Kadipaten Jatiluhur sudah berdiri sendiri menjadi sebuah kerajaan dengan rajanya Arya Soma. Orang-orang di sana sering membicarakan sepak terjang Pendekar Pedang Matahari dan nama pendekar itu adalah Surya."

   "Hmmm! Pendekar Pedang Matahari. Orang baru di rimba persilatan yang langsung menggegerkan dunia persilatan. Kesaktiannya sukar dijajaki dan berhasil membinasakan tokoh sesat yang selama puluhan tahun menjadi momok di dunia persilatan,"

   Ucap Ki Handoyo lirih namun masih bisa didengar jelas.

   "Benar, Paman. Dia dengan mudah dapat mengalahkan Datuk Sesat yang hampir saja mengalahkan aku."

   Panji manggut-manggut.

   Sejenak pendopo itu menjadi sunyi karena semua larut dalam pikirannya masing-masing.

   --o0o--DI sebuah kedai makan yang terletak di Desa Kalianget tampak seorang pemuda bertopeng perak tengah asyik menyantap hidangan yang ada di depannya.

   Dia dengan asyik makan tanpa peduli sepasang mata tengah memperhatikan dirinya.

   Sepasang mata seorang wanita muda berpakaian biru kuning dengan ikat kepala warna biru.

   Sebilah pedang terlihat dari punggung gadis itu, paras cantik gadis itu membuat mata para lelaki sejenak melihat dirinya namun gadis itu cuek saja malah memperhatikan pemuda bertopeng yang lagi asyik makan.

   Pemuda bertopeng perak dengan pedang bergagang matahari yang tak lain adalah Surya segera beranjak pergi dari kedai makan tersebut setelah membayar makanan itu.

   Di lain pihak si gadis yang dari tadi memperhatikan Surya juga bergegas beranjak dari tempat duduknya namun tiba-tiba ada seorang pria datang mencegah gadis itu.

   "Hai, Cah Ayu. Mau kemana kamu. Temani aku disini janganlah buru-buru pergi. He-he-he,"

   Ucap pria yang memiliki perawakan tegap dengan bulu dada yang tebal.

   Mata kiri di tutupi penutup mata dan ada codet melintang di pipi kanannya.

   Tampangnya keras dan sangar sekali.

   Si gadis menatap pria bercodet itu dengan pandangan tidak suka karena merasa terganggu.

   "Ha-ha-ha-ha. Janganlah memasang wajah masam gitu, nanti wajah ayu-mu jadi tidak ayu lagi. He-he-he,"

   Ucap pria bercodet tersenyum. Walaupun pria bercodet itu tersenyum tapi tetap saja tidak merubah tampangnya yang sangar. Malah jadi terlihat semakin angker! "Mau apa kau?"

   Seru si gadis cepat dengan tatapan mata tajam ke arah pria bercodet.

   Pria bercodet itu senyum-senyum sambil pandangannya menyusuri setiap jengkal tubuh si gadis.

   Merasa risih dipandangi orang begitu rupa membuat gadis itu segera beranjak pergi tapi lagi-lagi pria bercodet itu kembali menghalanginya bahkan pria bercodet itu sudah berani memegang tangan si gadis.

   "He-he-he. Mau kemana, Cah Ayu. Disini saja bersamaku, aku traktir deh. He-he-he,"

   Ucap pria bercodet sambil tertawa kecil.

   "Lepaskan!!"

   Bentak si gadis keras. Bentakan gadis itu membuat pengunjung di kedai tersebut jadi melihat kearah mereka berdua.

   "Lepaskan!!"

   Bentak si gadis kembali sambil menarik tangannya yang dipegang pria bercodet.

   "Ha-ha-ha-ha, Kakang Bergola Ireng! Agaknya gadis itu tidak menyukaimu. Sudah, bawa saja langsung. Ha-ha-ha-ha!"

   Seru seorang pria yang berpakaian hampir sama dengan pria bercodet namun pria ini memiliki cambang lebat di dagunya.

   "Benar, Kakang. Agaknya hari ini rejekimu besar sekali, Kakang. Kami pun juga mau dapat sisanya. Ha-ha-ha-ha!"

   Seru pria yang lain dengan ikat hitam melingkar di kepalanya.

   "Ha-ha-ha-ha. Rupanya kau juga kepengen juga dengan gadis ini, Jampari! Sampai-sampai kau mau sisanya juga. Ha-ha-ha-ha."

   Tawa orang bercodet yang di panggil dengan nama Bergola Ireng.

   "Ha-ha-ha-ha. Tentu saja Kakang. Atau Kakang bermurah hati padaku agar aku yang mencobanya dulu!"

   Seru orang dipanggil Jampari.

   "Ha-ha-ha-ha. Kau sendiri gimana, Bedul?"

   Seru Bergola Ireng pada orang bernama Bedul.

   "Atur ajalah. Yang penting beres,"

   Sahut Bedul tanpa menoleh sedikitpun.

   "Ha-ha-ha-ha."

   Mereka bertiga ketawa bersama dengan lantang.

   Mendengar perkataan ketiga orang itu membuat si gadis jadi geram.

   Hatinya panas sekali karena merasa dilecehkan di depan banyak orang, dengan gerakan cepat gadis itu mengibaskan tangannya dengan kekuatan tenaga dalam yang ia miliki sehingga membuat pria bercodet jadi tersungkur menabarak meja.

   "Huh! Dasar manusia-manusia sampah. Sebaiknya bercermin dulu sebelum unjukan muka buruk kalian padaku!"

   Seru si gadis keras karena jengkel sekali mendengar ucapan yang sangat melecehkan dirinya.

   Bergola Ireng bangkit berdiri dengan sikap yang marah karena telah di buat jatuh tersungkur, dia sangat malu di hadapan banyak orang telah di jatuhkan oleh gadis yang kelihatannya lemah itu.

   "Kurang ajar. Rupanya kau harus diberi pelajaran, Gadis Sundel!"

   Teriak Bergola Ireng geram.

   "Hehh! Apa katamu?! Kurang ajar!!"

   Seru si gadis marah mendengar dirinya di panggil Gadis Sundel.

   "Hiaaatt."

   Gadis cantik itu menerjang menyerang Bergola Ireng dengan mengarahkan pukulannya ke arah muka Bergola Ireng.

   Pukulan si gadis hampir mengenai sasaran namun dengan gerakan cepat Bergola Ireng memiringkan tubuhnya menghindari pukulan yang mengarah ke mukanya.

   Di tengah jalan tiba-tiba pukulan si gadis berubah menjadi tamparan ke arah pipi Bergola Ireng.

   Plakk!! Suara tamparan mengenai pipi Bergola Ireng yang tidak sempat menghindari tamparan si gadis.

   Bergola Ireng meringis mengusap pipinya yang terkena tamparan si gadis.

   "Bedebah!!"

   Maki Bergola Ireng keras.

   "Akan kubuat kau menyesal seumur hidup Gadis Sundel. Hiaaatt!!"

   Dengan teriakan lantang Bergola Ireng menerjang si gadis dengan jurus-jurus berbahaya yang mengancam wajah si gadis.

   Tangan yang membentuk cakar bergerak cepat menyerang si gadis.

   Jelas Bergola Ireng ingin membuat cacat wajah si gadis, namun si gadis dengan tenang menghindar dari cakar Bergola Ireng yang mengarah ke wajahnya.

   Tapi di tengah jalan arah serangan cakar Bergola Ireng berubah ke lambung si gadis, ini membuat si gadis kaget namun dengan sigap dia melompat ke samping sehingga cakar Bergola Ireng hanya lewat di samping si gadis.

   Begitu serangannya dapat dihindari si gadis maka dengan gerakan memutar cepat Bergola Ireng mengarahkan tendangan putarnya ke perut si gadis.

   Gerakan memutar yang cepat dari Bergola Ireng cukup membuat si gadis terlonjak kaget, maka dengan susah payah si gadis melompat menghindari tendangan memutar Bergola Ireng.

   Begitu lolos dari tendangan Bergola Ireng maka dengan cepat si gadis melesat keluar dari kedai makan.

   Bergola Ireng juga melesat cepat menyusul si gadis keluar dari kedai makan.

   Kini mereka saling berhadapan dengan kuda-kuda siap menyerang.

   "Bersiaplah menemui dewa kematian, Gadis Sundel!"

   Seru Bergola Ireng tandas. Si gadis menyeringai sinis dengan sorot matanya tajam bagai seekor elang mengincar mangsa. Tiba-tiba Jampari dan Bedul sudah berdiri di samping Bergola Ireng.

   "Kakang! Kita ringkus saja gadis itu lalu kita bawa ke hutan Bukit Tunggul,"

   Ucap Jampari cepat.

   "Benar, Kakang! Sungguh sangat sayang jika gadis secantik dia dibunuh!"

   Seru Bedul menambahkan.

   "Hmmm. Baiklah. Kita serang gadis itu dengan jurus 'Serigala Menangkap Mangsa'!"

   Ucap Bergola Ireng sambil mengangguk cepat.

   "Baik,"

   Sahut Bedul dan Jampari cepat.

   Ketiga orang itu dengan cepat mengurung gadis cantik itu, mereka sudah tidak mau main-main lagi dan ingin secepatannya meringkus gadis cantik tersebut.

   Bergola Ireng menerjang mengarahkan cakarnya ke arah leher si gadis sedang Jampari dan Bedul mengarahkan cakarnya ke lambung dan kaki si gadis.

   Di serang tiga orang dengan tiga sasaran yang mengancam keselamatan jiwanya, maka dengan cepat si gadis melompat tinggi bersalto di udara lalu mendarat mulus di tanah.

   Serangan tiga orang itu terus mengarah ke arah-arah berbahaya di bagian tubuh si gadis.

   Dikeroyok begitu rupa tidak membuat si gadis gentar, dengan tenang dia menghindari setiap serangan yang mengarah ke daerah vital tubuhnya.

   Kian lama pertarungan mereka sudah cepat sekali dan kali ini si gadis jadi semakin terpojok hingga suatu ketika seseorang dari tiga pria tersebut berhasil menyarangkan totokan tepat di leher si gadis, seketika gadis itu jadi kaku tidak bisa bergerak.

   "Ha-ha-ha-ha. Akhirnya tertangkap juga kau Gadis Sundel."

   Bergola Ireng tertawa penuh kemenangan.

   "Bangsat. Lepaskan aku!"

   Teriak si gadis marah.

   "Ha-ha-ha-ha. Tenanglah, Cah Ayu. Sebentar lagi kita akan bersenang senang. Ha-ha-ha-ha."

   "Ayo kita bawa gadis itu, Kakang!"

   Seru Jampari.

   "Bangsat! Lepaskan aku! Lepaskan! Akan kubunuh kalian. Lepaskan!!!"

   Maki si gadis marah-marah.

   Dengan memondong gadis itu mereka melesat pergi meninggalkan tempat itu.

   Para penduduk Desa Kalianget yang kebetulan menyaksikan kejadian itu hanya bisa menghela nafas panjang karena kasihan melihat nasib buruk yang akan menimpa si gadis.

   Tiga orang, Bergola Ireng dengan dua temannya berlarian cepat menyusuri pinggiran hutan Bukit Tunggul, saat tiba di ujung jalan mereka masuk menerobos kelebatan hutan Bukit Tunggul.

   Tanpa mereka sadari ada seorang pemuda tengah mengikuti mereka dari tempat yang cukup jauh sehingga mereka tidak sadar kalau sedang di ikuti.

   Pemuda itu berhenti di balik pohon besar ketika tiga orang yang di ikutinya berhenti di sebuah pondok kayu.

   Pemuda itu langsung melompat ke dahan pohon yang cukup rimbun untuk tempat bersembunyi.

   Dia memperhatikan tiga orang yang tengah bicara di depan pondok.

   "Jampari, Bedul! Kalian jaga di luar, begitu aku selesai menikmati gadis ini, maka giliran kalian nanti yang juga menikmatinya,"

   Ucap Bergola Ireng, cepat.

   "Baik, Kakang!"

   Sahut Jampari dan Bedul bareng.

   Bergola Ireng melangkah masuk ke dalam pondok kayu sambil memodong si gadis yang yang sudah tak berdaya di punggungnya.

   Di dalam pondok kayu terdapat pembaringan yang terbuat dari balai-balai bambu.

   Bergola Ireng membaringkan tubuh gadis itu di atas balai-balai bambu.

   Tampak si gadis melotot marah ke arah Bergola Ireng.

   "He-he-he. Sebentar lagi akan kuajak kau menikmati sorga dunia, Cah Ayu. Kamu pasti senang dan akan minta lagi setelah merasakan nikmatnya sorga dunia. He-he-he,"

   Ucap Bergola Ireng menatap wajah gadis cantik di pembaringan dengan tatapan penuh birahi.

   Dia mengusap rambut, pipi dan bibir si gadis dengan lembut lalu mulai turun ke leher.

   Tangan Bergola Ireng meremas payudara indah si gadis yang menonjol di dada si gadis yang masih terbungkus pakaian.

   Remasan itu lembut lalu agak keras karena gemas sekali.

   Si gadis memaki menyumpah habis-habisan dalam hati.

   Dia tidak bisa berontak karena tertotok.

   Air matanya mengalir dari sela matanya karena nasib buruk yang sebentar lagi akan menimpa dirinya.

   Nasib akan di gagahi oleh orang yang tidak ia kenal.

   Dalam hati si gadis bersumpah akan bunuh diri jika kehormatannya direnggut oleh Bergola Ireng.

   Bergola Ireng yang sudah terbakar nafsu dengan kasar merobek kain penutup dada si gadis, sehingga payudara si gadis tampak membusung indah di dada si gadis.

   Melihat payudara putih membusung di dada si gadis membuat nafsu Bergola Ireng jadi meledak, maka dengan cepat Bergola Ireng menindih tubuh si gadis.


Pahala Anak Berbakti Karya Siao Shen Shien Pendekar Mabuk Darah Asmara Gila Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung

Cari Blog Ini