Ceritasilat Novel Online

Neraka Lembah Tengkorak 2


Pendekar Pedang Matahari Neraka Lembah Tengkorak Bagian 2



Bruaakkk ...

   !!! Pintu pondok tiba-tiba hancur berantakan, dua sosok tubuh melayang jatuh di dekat pembaringan dimana Bergola Ireng tengah menindih si gadis.

   Suara keras hancurnya pintu pondok membuat Bergola Ireng terlonjak kaget sampai turun dari atas balai-balai bambu.

   Lalu tak lama dari luar muncul seorang pemuda bertopeng perak berdiri dengan tenang di ambang pintu yang hancur berantakan.

   "Bangsat! Setan alas! Siapa kau? Berani sekali mengganggu kesenanganku!"

   Teriak Bergola Ireng berang.

   "Aku Malaikat Kematian-mu, manusia iblis!"

   Ucap pemuda bertopeng itu penuh tekanan.

   "Bedebah!"

   "Sebentar lagi kau akan menyusul dua temanmu itu, manusia iblis,"

   Ucap pemuda bertopeng itu tandas. Bergola Ireng menatap dua temannya. Dia tersentak karena melihat dua temannya sudah menjadi mayat dengan dada hitam remuk. Mendidihlah darah Bergola Ireng melihat kematian dua temannya yang sudah tewas.

   "Kubunuh kau, bangsat. Hiaaat!"

   Bergola Ireng melompat mengarahkan pukulannya ke muka pemuda bertopeng, namun dengan ringan pemuda bertopeng itu memiringkan kepalanya lalu dengan gerakan kilat pemuda bertopeng itu mengirimkan pukulan ke dada Bergola Ireng. Diegkh !! "Aakh ... !"

   Jerit Bergola Ireng terkena pukulan di dadanya.

   Bruaakk!!! Dinding pondok jebol di tabrak tubuh Bergola Ireng yang terpental.

   Dinding kayu itu jebol dan tubuh Bergola Ireng terlempar keluar dari pondok akibat pukulan yang dilepaskan pemuda bertopeng dengan tenaga dalam itu.

   Pemuda bertopeng itu segera menghampiri si gadis dan membebaskan totokan si gadis.

   Begitu si gadis terbebas dari totokan, maka dengan cepat gadis itu melesat keluar menerjang Bergola Ireng yang berdiri limbung akibat luka dalam yang dideritanya.

   Tak ampun lagi Bergola Ireng di hajar habis-habisan oleh si gadis yang kalap, karena marah akibat perbuatan Bergola Ireng yang hampir saja di rusak kehormatannya oleh Bergola Ireng.

   Dengan penuh emosi si gadis mencabut pedang di punggungnya lalu menyabetkan pedang itu ke arah leher Bergola Ireng.

   Crass ...

   !! "Aakh ...

   !"

   Jerit Bergola Ireng tercekat lalu suaranya lenyap seiring kepalanya menggelinding putus dari raganya.

   Tak puas dengan memutus leher Bergola Ireng, si gadis menendang keras tubuh Bergola Ireng hingga mencelat menabrak pohon.

   Si gadis berdiri menatap tajam tubuh Bergola Ireng dengan nafas terengah-engah.

   Hatinya masih belum puas maka dia melompat menuju ke tubuh Bergola Ireng.

   "Hentikan!"

   Teriak seseorang menghentikan si gadis yang hendak melompat menerjang tubuh Bergola Ireng.

   "Sudah hentikan, Nisanak. Tidak ada gunanya kau teruskan. Dia sudah menjadi mayat,"

   Ucap pemuda itu lalu melemparkan sesuatu ke arah si gadis. Si gadis menangkap sesuatu yang di lemparkan pemuda bertopeng itu.

   "Aku belum puas sebelum mencincang orang itu sampai hancur!"

   Seru si gadis dengan nada yang masih menunjukkan kemarahan. Pemuda bertopeng itu tersenyum lembut.

   "Aku tahu perasaanmu, Nisanak. Tapi pakailah baju itu agar auratmu tidak kau biarkan terlihat begitu saja,"

   Ucapnya mengingatkan keadaan si gadis yang masih tidak sadar akan aurat atasnya masih terlihat akibat bajunya dirobek oleh Bergola Ireng tadi.

   "Ekh?!"

   Si gadis tersentak kaget menyadari keadaan dirinya, buru-buru dia menutup dadanya dengan dua tangannya lalu berlari di balik di sebuah pohon besar.

   Pemuda bertopeng itu tertawa kecil melihat tingkah si gadis yang panik.

   Surya lalu berjalan pergi dari tempat itu.

   "Tunggu!!"

   Teriak si gadis mencegah pemuda bertopeng itu pergi.

   "Tunggu!"

   Seru si gadis kembali sambil berlari mengejar pemuda bertopeng tadi. Pemuda bertopeng itu membalikkan tubuhnya menghadap si gadis.

   "Nisanak ada perlu denganku?"

   Tanyanya kalem tersenyum lembut. Si gadis menatap pemuda bertopeng sejenak.

   "Terima kasih atas pertolonganmu. Aku berhutang budi padamu, entah dengan apa aku bisa membalasnya."

   Si gadis menunduk sedikit menghormati orang yang telah menolong dirinya.

   "Aku ... Intan Ayu. Nama Kisanak siapa?"

   Pemuda bertopeng menatap lembut gadis cantik di depannya yang mengaku bernama Intan Ayu.

   "Aku Surya,"

   Sahut Surya kalem.

   "Surya. Sekali lagi terima kasih banyak atas pertolonganmu tadi."

   "Tidak usah dipikirkan, Nisanak Intan Ayu. Hanya kebetulan saja aku lewat tempat ini dan melihat Nisanak di bawa oleh tiga orang tadi,"

   Ucap Surya lembut.

   "Apapun itu aku sangat berterima kasih padamu,"

   Sahut si gadis yang bernama Intan Ayu.

   "Kalau tidak ada kamu entah apa jadinya diriku. Mungkin aku sudah ...

   "

   Intan menghentikan ucapannya. Tampak tangannya terkepal erat menahan kejengkelan hatinya akibat kejadian buruk yang hampir menimpa dirinya kalau tidak di tolong oleh Surya.

   "O ya, Nisanak mau kemana?"

   Ucap Surya mengalihkan pembicaraan. Intan menatap pemuda bertopeng itu sejenak. Lalu dia menghela nafas pendek.

   "Aku sebenarnya sedang mencari kakakku. Mungkin Kisanak pernah bertemu dengan dia, namanya Lestari, dia bersama Eyang Rakanini atau orang menjulukinya Hantu Tongkat Hitam."

   Surya memegang dagunya berpikir sejenak. Sepertinya dia pernah bertemu dengan seorang gadis bernama Lestari dan juga wanita tua bernama Rakanini. Apakah mereka orang yang tengah di cari oleh Intan Ayu, batin Surya.

   "Kamu pernah bertemu mereka?"

   Tanya si gadis kalem. Surya melirik Intan Ayu, dia menggeleng pelan saja.

   "Sebaiknya kita keluar dari hutan ini dulu. Mari."

   Surya melangkah ringan di ikuti Intan Ayu. Dalam perjalanan mereka banyak ngobrol dan becanda.

   "Jadi kamu juga mendapat undangan dari orang-orang Lembah Tengkorak? Hmmm. Agaknya aku memiliki firasat buruk tentang undangan itu. Bisa saja itu adalah undangan maut,"

   Ucap Intan Ayu pelan. Dia diam merenung mencermati arti dari undangan maut tersebut.

   "Hari ke 15 tinggal 3 hari lagi. Mari kita sama-sama ke Lembah Tengkorak, aku penasaran dengan undangan itu. Bagaimana?"

   Tanya Surya menatap Intan yang terdiam karena merenung.

   Intan menoleh menatap pemuda bertopeng itu beberapa lama lalu mengangguk sedikit.

   Intan sebenarnya merasa ragu namun rasa penasarannya akan undangan itu membuatnya ingin mengetahui apa maksud dan tujuan si Pengirim Undangan yang mengatas namakan dirinya Dewi Lembah Tengkorak.

   Tak terasa matahari bergulir sangat cepat sehingga sorepun telah tiba.

   Mereka terus berjalan menyusuri jalan setapak menuju ke sebuah desa yang berada di kawasan Gunung Puting timur.

   --o0o--MALAM ini Desa Ngasinan tampak lain dari biasanya, desa yang biasanya tidak terlalu ramai jika malam hari, sekarang jadi tampak ramai karena malam ini banyak sekali para pengunjung yang singgah di desa tersebut.

   Umumnya para pengunjung itu adalah para pengembara dan ada juga dari beberapa orang-orang kerajaan.

   Mereka rata-rata memiliki tujuan yang sama yaitu hadir dalam undangan yang di kirim oleh orang yang menamakan dirinya Dewi Lembah Tengkorak.

   Di sudut ruang kedai yang terletak di ujung jalan desa tampak dua orang tengah duduk menikmati hidangan yang tersedia di depan mereka.

   Si gadis sesekali memandang ke sekitar dalam kedai yang di penuhi orang-orang dari rimbar persilatan yang berbeda aliran.

   Si pemuda bertopeng perak malah asyik menyantap ayam goreng yang ada di piring.

   Dia tidak pedulikan orang-orang yang juga ada di dalam kedai.

   Si gadis menepuk bahu pemuda bertopeng perak.

   "Surya! Lihat yang datang ke kedai ini rata-rata orang persilatan yang cukup memiliki nama. Yang duduk di dekat jendela itu adalah Malaikat Biru Kali Gede sedang dua orang yang bersamanya adalah Sepasang Pendekar Pedang Timur. Tak jauh dari tempat mereka itu adalah si Tongkat Ular Sanca lalu disampingnya Dewa Tangan Api."

   Si gadis yang tak lain adalah Intan Ayu menyebut nama nama tokoh yang ada di dalam kedai. Si pemuda yang tak lain adalah Surya, Pendekar Pedang Matahari hanya berguman acuh tak acuh saja.

   "Mereka pasti juga penasaran dengan undangan dari Dewi Lembah Tengkorak,"

   Ucap si gadis kalem. Surya melirik gadis cantik yang beberapa hari ini bersamanya.

   "Tujuan mereka sama dengan kita, Intan. Mereka juga ikut hadir dalam undangan yang misterius itu,"

   Ucapnya pelan lalu kembali menyantap ayam gorengnya.

   Intan Ayu mengangguk cepat lalu mulai menyantap makanannya.

   Tak berapa lama datang dua orang ke kedai makan itu, satu orang tua berjubah putih dengan jenggot putih agak panjang.

   Yang satu gadis cantik dengan berpakaian hijau biru terdapat sebilah pedang di punggungnya.

   Dua orang itu menuju ke meja dimana Surya dan Intan Ayu berada.

   "Maaf Kisanak dan Nisanak. Boleh kami ikut duduk disini karena kami tidak dapat tempat duduk,"

   Ucap orang tua itu lembut penuh keramahan.

   "Silakan,"

   Sahut Intan ramah.

   "Terima kasih."

   Orang tua dan gadis cantik itu lalu duduk berhadapan dengan Surya dan Intan Ayu.

   Tampak sejenak si gadis melirik ke arah Surya dengan lirikan penuh arti.

   Entah apa arti lirikan itu dan hanya si gadis mengetahuinya.

   Lalu si gadis mengalihkan pandangannya ke orang tua di sebelahnya.

   "Mudah-mudahan saja kita bisa bertemu dengan Pangeran Matahari di Lembah Tengkorak nanti, Gayatri. Di Kitab Babad Tanah Leluhur tertulis dengan kalau Pangeran Matahari akan muncul kembali 200 tahun setelah Istana Tapak Suci mengalami kehancuran,"

   Ucap kakek tua berjubah putih tersebut.

   "Ekh?!"

   Surya tersentak kaget mendengar kakek tua di depannya menyebut Pangeran Matahari. Surya bertanya-tanya dalam hati kenapa kakek tua itu menyebut soal Pangeran Matahari dan juga Istana Tapak Suci. Ini adalah hal yang aneh menurutnya.

   "Ya, tapi di kitab itu tidak menyebutkan ciri-ciri Pangeran Matahari tersebut, Guru. Di situ hanya disebutkan Pangeran Matahari akan muncul kembali di masa 200 tahun setelah Istana Tapak Suci hancur. Sangat sulit Guru menemukan orang di maksud. Sedangkan ibu harus terbaring menahan sakit menunggu Pangeran Matahari muncul mengobati beliau,"

   Ucap si gadis yang bernama Gayatri dengan nada putus asa.

   "Selagi kita berusaha maka Sang Hyang Widi pasti menunjukkan jalan untuk kita. Janganlah kamu berputus asa. Kuatkan hatimu Gayatri,"

   Ucap si kakek sambil menepuk bahu Gayatri lembut untuk menenangkan hati Gayatri.

   Gayatri menghela nafas pendek, dia kembali melirik ke arah pemuda bertopeng perak dan secara kebetulan pemuda bertopeng perak itu juga melirik Gayatri sehingga pandangan mereka sejenak bertemu lalu mereka sama-sama menghindar, ada suatu perasaan aneh yang tiba-tiba menjalar di hati Gayatri, seolah seperti perasaan kangen, rindu dan juga seperti merasa sudah dekat dengan pemuda bertopeng tersebut.

   "Kita kembali ke penginapan yuk,"

   Ucap Intan Ayu sambil beranjak berdiri.

   Surya menoleh ke Intan Ayu, lalu mengangguk pelan.

   Surya dan Intan Ayu segera beranjak pergi dari kedai tersebut.

   Kembali ketika melirik pandangan Surya bertemu dengan pandangan Gayatri yang juga melirik padanya.

   Sejenak mereka saling pandang kemudian Surya melangkah mengikuti Intan Ayu yang sudah duluan keluar.

   Gayatri menatap pemuda bertopeng yang melangkah keluar dari dalam kedai.

   Gayatri benar-benar merasa aneh dengan perasaan yang tiba-tiba menjalar merasuki hatinya, tapi perasaan apa itu Gayatri tidak bisa mengartikannya.

   "Gayatri. Ada apa?"

   Tanya kakek tua cepat melihat Gayatri yang bersikap sedikit aneh. Gayatri menoleh ke kakek tua di sebelahnya lalu menggeleng sedikit.

   "Tidak. Tidak apa-apa Guru,"

   Ucapnya cepat.

   "Dari tadi Guru lihat kamu memperhatikan pemuda bertopeng terus. Apa kamu kenal dia?"

   Tanya kakek tua itu menyelidik. Gayatri menggeleng cepat.

   "Tidak. Aku tidak kenal orang bertopeng itu,"

   Sahut Gayatri.

   "Hmmmm. Ya, sudah. Kita makan saja dulu setelah itu kembali ke penginapan."

   "Baik. Guru."

   Mereka lalu mulai melahap makanan yang telah disediakan pemilik kedai. --o0o--Duaaarr ... !!! Suara ledakan keras menghantam pohon hingga hancur berkeping-keping.

   "Ha-ha-ha-ha. Mampus kau, Rejo Warang. Ha-ha-ha-ha!"

   Tawa seorang kakek tua berpakaian serba hitam.

   Tongkat berbentuk ular tergenggam di tangan kanannya.

   Rupanya tongkat inilah yang mengeluarkan sinar kehijauan dan mengenai pohon hingga hancur berkeping-keping.

   Di depan kakek tua itu ada orang tua terduduk memegangi dadanya yang sakit akibat adu tenaga dalam dengan kakek tua tersebut.

   Di samping orang tua itu ada seorang gadis memegangi bahu orang tua itu.

   "Uhuk ... uhuk. Jalak Ireng! Apa maumu sebenarnya?"

   Seru si orang tua yang bernama Rejo Warang dengan suara parau.

   "Mauku?! Ha-ha-ha-ha. Tentu saja membunuhmu tapi sebelum itu katakan dimana kau sembunyikan Pusaka Pedang Samudra itu. Atau kau ingin aku siksa dulu Rejo Warang. Katakan!!"

   Bentak Jalak Ireng garang.

   "Manusia terkutuk! Kami tidak takut mati. Hiaaatt!"

   Teriak si gadis yang ternyata adalah Gayatri. Tanpa tanggung-tanggung Gayatri mencabut pedang di punggungnya.

   "Gayatri, jangan. Dia bukan tandinganmu!"

   Teriak Rejo Warang parau.

   "Ha-ha-ha-ha. Nyalimu besar juga, Cah Ayu. Ayo majulah. Ha-ha-ha-ha!"

   Ejek Jalak Ireng meremehkan serangan Gayatri.

   Dengan ilmu yang di dapat dari Gurunya yaitu Rejo Warang, Gayatri memainkan jurus-jurus pedang dengan kecepatan tinggi.

   Tampak sekali kilatan-kilatan cahaya yang berkilau dari pedang membuat Gayatri bagai bidadari menari.

   Secepat kilat Gayatri menyerang daerah-daerah vital Jalak Ireng.

   Serangannya sungguh berbahaya sekali namun yang tengah ia hadapi bukanlah tokoh sembarangan.

   Gurunya saja di buat tersungkur apa lagi Gayatri yang hanya seorang murid pasti bukanlah tandingan si Jalak Ireng.

   Agaknya Jalak Ireng sengaja mempermainkan si gadis karena dia hanya melawan dengan tangan kiri saja, setiap serangan yang datang dengan mudah sekali dipatahkan.

   Sebenarnya Gayatri juga tidak bisa di anggap remeh, sebab semua ilmu Gurunya telah ia kuasai dengan sempurna.

   Namun menghadapi tokoh kosen yang di dunia persilatan di juluki Datuk Tongkat Ular ini membuat Gayatri hanya jadi mainan saja oleh Jalak Ireng.

   "Ha-ha-ha-ha! Ayo anak manis keluarkan semua kemampuanmu. Ha-ha-ha-ha."

   Ledek Ki Jalak Ireng meremehkan Gayatri.

   "Huh! Jangan sombong kau orang tua. Tahan pukulanku!!"

   Seru Gayatri geram.

   Dengan gerakan cepat Gayatri mengumpulkan tenaga dalamnya di tangan kanan, kaki kanan di tarik ke belakang, Gayatri bersiap melepaskan pukulan sakti jarak jauh dengan tenaga dalam penuh.

   Maka dari tangan kanan Gayatri melesatlah sinar merah menerjang ke arah Datuk Tongkat Ular.

   Itulah pukulan sakti yang diturunkan Gurunya Ki Rejo Warang yang bergelar Malaikat Tangan Besi.

   Pukulan sakti itu bernama Pukulan 'Telapak Kematian'.

   Pukulan 'Telapak Kematian' dulu sempat menggegerkan dunia persilatan karena keganasannya.

   Dalam sekali pukulan saja mampu membunuh lima ekor kerbau dewasa dengan tubuh hangus.

   "Pukulan 'Telapak Kematian'?!"

   Seru Ki Jalak Ireng tersentak kaget.

   Maka kali ini Ki Jalak Ireng tidak mau berlaku ayal, dengan cepat dia gerakkan Tongkat Ularnya berputar tiga kali lalu disentakkan Tongkat Ular itu ke depan, dari ujung tongkat yang berkepala ular itu melesatlah sinar hijau yang memapaki sinar merah Pukulan 'Telapak Kematian'.

   Sinar hijau yang bernama Ajian 'Ular Hijau Mematuk Mangsa' itu bertemu di udara dalam satu titik.

   Duaaaarr!!! Ledakan dahsyat terjadi begitu dua pukulan sakti beradu, tempat itu bergetar bagai terkena lindu.

   "Aaakh!"

   Jerit Gayatri terpental dua tombak ke belakang.

   Tiba-tiba sekelebat bayangan putih menyambar tubuh Gayatri yang hampir saja menabrak pohon.

   Ki Jalak Ireng hanya sedikit limbung saja namun dadanya agak terasa sakit akibat benturan tenaga dalam tadi, dengan cepat Ki Jalak Ireng mengerahkan hawa murni guna mengusir rasa sakit di dadanya.

   Sementara itu Gayatri yang muntah darah terluka dalam tengah diberi hawa murni oleh seorang pemuda bertopeng perak yang tak lain adalah Surya.

   Di tempat lain tampak Intan Ayu tengah menolong kakek tua Ki Rejo Warang untuk berdiri.

   "Terima kasih, Nisanak,"

   Ucap Ki Rejo Warang parau.

   "Kakek tidak apa-apa?"

   Ucap Intan Ayu pelan.

   "Tidak. Aku tidak apa-apa."

   Ki Rejo Warang menoleh ke arah Gayatri yang tengah diberi hawa murni.

   "Gayatri!"

   Serunya pelan. Ki Rejo Warang menghampiri Gayatri muridnya itu.

   "Kisanak! Terima kasih banyak Kisanak telah menolong muridku, Gayatri."

   Surya menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan. Surya menoleh ke arah orang tua yang tadi bertanya. Dia mengangguk sedikit lalu berdirI.

   "Untung muridmu cepat di tolong kalau terlambat sedikit saja nyawanya pasti melayang. Benar-benar pukulan yang sangat mengerikan,"

   Ucap Surya dengan tenang.

   "Ouh, terima kasih Kisanak terima kasih."

   "Uhuk ... uhuk. Guru,"

   Ucap Gayatri terbatuk-batuk.

   "Gayatri. Kamu tidak apa-apa?"

   Ucap Ki Rejo Warang mencemaskan keadaan muridnya itu. Gayatri menggeleng cepat.

   "Aku tidak apa-apa, Guru,"

   Ucapnya pelan.

   "Sebaiknya kalian bersemedilah untuk memulihkan tenaga kalian,"

   Ucap Surya kalem. Surya berbalik badan menghadap kakek tua pemegang Tongkat Ular.

   "Hati-hati, Kisanak. Dia sangat berbahaya. Tongkat Ularnya mampu menghancurkan batu besar, jadi berhati-hatilah,"

   Ucap Ki Rejo Warang mengingatkan Surya. Surya menoleh ke arah Ki Rejo Warang lalu mengangguk cepat.

   "Intan. Kamu jaga mereka disini!"

   Seru Surya pada Intan Ayu.

   "Baik,"

   Sahut Intan Ayu mengangguk cepat. Surya melangkah lima tindak ke arah Ki Jalak Ireng yang sudah berdiri dari duduknya sehabis mengobati luka dalamnya akibat beradu tenaga dalam dengan Gayatri.

   "Orang tua! Sebaiknya hentikan saja semua ini. Tidak ada untungnya meneruskan permasalahan yang ada,"

   Ucap Surya tenang mengajak jalan berdamai. Ki Jalak Ireng menatap pemuda bertopeng dengan tajam. Ki Jalak Ireng mendengus saja mendengar ucapan si pemuda yang mengajak berdamai.

   "Heh! Siapa kau bocah? Jangan jadi pahlawan kesiangan. Lekas pergi dari hadapanku kalau masih ingin melihat matahari esok hari,"

   Ucap Ki Jalak Ireng ketus.

   Surya tersenyum lembut mendengar ucapan orang tua yang jelas-jelas meremehkan dirinya namun Surya tak mau terpancing maka dengan sabar dia masih menginginkan jalan damai daripada harus terjadi pertumpahan darah yang sia-sia saja.

   "Hmmm. Kita manusia hanya memiliki selembar nyawa jadi untuk apa tidak gunakan hidup ini di jalan kebenaran dan berbuat kebajikan,"

   Ucap Surya kalem.

   "Heh! Jangan mengguruiku, Bocah. Tahu apa kau soal hidup? Jadi jangan sok berlagak di hadapanku. Lekas minggat dari hadapanku kalau masih sayang nyawa!"

   Bentak Ki Jalak Ireng garang. Surya kembali tersenyum.

   "Kenapa musti harus ada pertumpahan darah jika jalan damai masih terbentang ...

   "

   "Jangan banyak bacot kau, Bocah. Diberi madu malah minta racun. Rasakan tongkat ini!"

   Sergah Ki Jalak Ireng.

   Dengan gerakan kilat Ki Jalak Ireng mengayunkan Tongkat Ularnya ke kepala Surya.

   Deru angin berhembus cepat ketika Tongkat Ular itu bergerak cepat.

   Tinggal sejengkal lagi tongkat itu memecahkan kepala Surya, tiba-tiba tangan Surya bergerak kilat menahan tongkat tersebut hanya dengan satu jari saja.

   Surya berbuat begitu agar Ki Jalak Ireng sadar dan bisa di ajak berdamai.

   "Ekh?!"

   Justru perbuatan Surya itu membuat semua orang yang ada tempat itu jadi tersentak kaget.

   Itu adalah kejadian yang membuat takjub bagi siapa saja yang melihatnya.

   Padahal tanpa Surya sadari telah ada beberapa orang yang berdatangan di tempat itu.

   Mereka terpana melihat kejadian yang ada di depan mereka.

   Tongkat Ular milik Datuk Tongkat Ular yang terkenal sakti hanya di tahan dengan satu jari saja, ini sungguh luar biasa hebat.

   Semua pada bertanya-tanya siapakah pemuda bertopeng yang mampu menahan Tongkat Ular milik Ki Jalak Ireng.

   Pastilah orang itu memiliki tingkat tenaga dalam yang maha sempurna karena sangat mustahil menahan Tongkat Ular Sakti hanya dengan satu jari saja.

   Benar-benar menakjubkan dan itu benar-benar terjadi di hadapan mereka semua.

   Datuk Tongkat Ular mengerahkan seluruh tenaga dalamnya namun tak sedikitpun tongkatnya bisa bergerak.

   Kini Ki Jalak Ireng mulai sadar kalau tenaga dalam lawan jauh lebih tinggi dibanding tenaga dalamnya maka Ki Jalak Ireng mulai bergetar hatinya gentar.

   Tapi bila dia mundur atau melarikan diri maka mukanya mau di taruh mana, pasti orang-orang persilatan akan menertawakan dirinya.

   Akhirnya Ki Jalak Ireng nekat juga akan bertarung hidup mati melawan pemuda bertopeng itu.

   "Huh! Hari ini aku mengadu kesaktian denganmu, bocah!"

   Seru Ki Jalak Ireng menarik Tongkat Ularnya lalu melompat lima langkah ke belakang.

   Surya menghela nafas pendek.

   Surya sadar dengan ucapan Ki Jalak Ireng yang berarti pertarungan ini di tentukan siapa yang mati dialah yang kalah.

   Tak ada jalan damai sama sekali.

   Dalam hati Surya sangat menyesalkan kecerobohannya yang berbuat seperti itu tadi.

   "Terimalah pukulan 'Ular Hijau Memburu Kematian'-ku, Bocah!!"

   Seru Ki Jalak Ireng lantang.

   Ki Jalak Ireng memutar Tongkat Ularnya di depan, tubuhnya bergetar hebat mengeluarkan seluruh tenaga dalamnya.

   Ki Jalak Ireng benar-benar ingin mengadu kesaktian dengan Surya sampai mati.

   Surya menghela nafas pendek, tak ada jalan baginya untuk menghindari pertarungan adu kesaktian dengan Ki Jalak Ireng, mau tidak mau Surya harus menghadapinya dengan jalan ksatria.

   Maka dengan cepat tangan kanan Surya di angkat ke atas dengan telapak tangan terbuka mengerahkan tenaga dalam di telapak tangan, lalu telapak tangan itu tergenggam erat hingga berwarna keperakan.

   Itulah Pukulan 'Matahari' tingkat terakhir dari rangkaian Ilmu 'Sembilan Matahari'.

   Sengaja Surya menggunakan Pukulan 'Matahari' tingkat terakhir untuk menghormati lawannya.

   Melihat dua orang yang tengah melakukan pengerahan pukulan dengan tenaga dalam tinggi membuat semua orang yang ada di tempat itu langsung beranjak menjauhi tempat itu, mereka sadar bila berada di dekat dua orang yang tengah adu kesaktian itu bisa membahayakan diri mereka sendiri, salah salah mereka bisa terkena pukulan nyasar.

   Jadi mereka berlaku mencari aman dengan jalan menjauh dari tempat pertarungan adu kesaktian tersebut.

   "Ekh?! Pendekar Pedang Matahari?!"

   Seru salah seorang di antara mereka begitu melihat siapa yang sedang adu kesaktian dengan Datuk Tongkat Ular.

   "Ekh?! Pendekar Pedang Matahari?!!"

   Seru semua tercekat kaget mendengar ada yang menyebut gelar Pendekar Pedang Matahari.

   Siapa yang tak kenal dengan gelar tersebut, gelar Pendekar Pedang Matahari yang telah menggegerkan dunia persilatan.

   Mereka menoleh ke arah pemuda berjubah putih dengan pedang bergagang kepala naga di punggungnya.

   "Pendekar Naga Putih?!"

   Seru orang separuh baya cepat.

   "Apa benar pemuda bertopeng perak itu Pendekar Pedang Matahari?"

   Ucap orang tua itu. Pendekar Naga Putih menoleh ke orang separuh baya.

   "Paman Santiko Aji!"

   Seru Panji mengenal orang separuh baya tersebut.

   "Benar, Paman. Dialah yang Pendekar Pedang Matahari,"

   Ucap Panji kemudian. Mereka kembali memusatkan perhatiannya ke arah pertarungan Surya dengan Ki Jalak Ireng.

   "Ajian 'Ular Hijau Memburu Kematian'!"

   Teriak Ki Jalak Ireng keras. Dari ujung tongkat yang berbentuk kepala ular melesak sinar hijau yang menderu menerjang ke arah Surya.

   "Pukulan 'Matahari'!"

   Teriak Surya lantang.

   Dari tangan kanan Surya tergenggam keperakan melesat sinar putih keperakan mengandung hawa panas luar biasa menerjang ke arah Ki Jalak Ireng.

   Dua sinar pukulan sakti berada di satu garis lurus lalu bertemu di satu titik.

   Duaarrr ...

   !!! Ledakan maha dahsyat terdengar keras membuat tanah di tempat itu bergetar bagai terkena gempa.

   Efek pukulan sakti yang beradu itu sampai ke tempat orang-orang yang menyaksikan pertarungan itu.

   Mereka sampai mengerahkan tenaga dalam untuk meredam efek yang ditimbulkan beradunya dua pukulan sakti tersebut.

   Orang yang memiliki tenaga dalam menengah langsung roboh tidak kuat menahan efek dahsyat dua pukulan sakti tersebut.

   Sedang orang-orang yang memiliki tenaga dalam yang dapat di andalkan tidak mengalami goncangan yang berarti.

   Tampak sinar putih keperakan Pukulan 'Matahari' menekan dan menembus sinar hijau ajian 'Ular Hijau Memburu Kematian' dan langsung melabrak tubuh Ki Jalak Ireng.

   "Uaaagkh ...

   "

   Jerit Ki Jalak Ireng.

   Tubuh Ki Jalak Ireng terpental sepuluh tombak menabraki pohon-pohon hingga bertumbangan, tubuh Ki Jalak Ireng baru berhenti setelah menabrak batu besar.

   Tampak tubuh Ki Jalak Ireng jadi hitam gosong kemudian meleleh jadi abu hitam.

   Benar-benar mengerikan akibat terkena Pukulan 'Matahari'.

   Surya hanya terseret ke belakang tiga langkah saja, dia merasakan dadanya agak nyeri di dalam, dengan cepat Surya bersila mengobati luka dalamnya dengan pengerahan hawa murni ke setiap aliran darahnya agar kembali normal.

   "Uhuk-uhuk."

   Surya terbatuk pelan.

   "Agaknya aku terlalu memforsir tenaga dalamku. Dalam 7 hari kedepan aku tak mungkin lagi bisa menggunakan pelindung sakti ku. Yaitu 'Sindat Tenze'. Mulai sekarang aku harus berhati-hati. Dalam 7 hari kedepan aku hanya bisa melindungi diriku dengan Ilmu 'Sembilan Bulan' saja. Ilmu 'Sembilan Matahari' tidak akan bisa keluarkan selama 7 hari kedepan,"

   Batin Surya dalam hati.

   Itulah kelemahan ilmu yang Surya miliki, bila dia menggunakan salah satu dari tiga Ilmu 'Dewa' maka ilmu yang beraliran dengan yang di gunakan Ilmu 'Dewa' tersebut akan musnah selama beberapa hari.

   Ini tergantung besar kecilnya tenga dalam yang dikeluarkan.

   Beruntung tadi Surya hanya menggunakan sepertiga tenaga dalamnya karena tadi sewaktu mengerahkan Pukulan 'Matahari' Surya melindungi dirinya dengan Ilmu 'Pelindung Raga'.

   Sehingga efek pukulan lawan dapat di buyarkan oleh ilmu tersebut, namun akibatnya Surya harus kehilangan dua ilmunya untuk sementara waktu.

   Yaitu Ilmu 'Sembilan Matahari'nya dan Ilmu 'Pelindung Raga' atau 'Sindat Tenze'.

   "Anak muda kamu baik-baik saja?"

   Ucap Ki Rejo Warang kalem sambil menyentuh pundak Surya. Ki Rejo Warang agak mencemaskan keadaan penolongnya tersebut. Surya membuka matanya dan menatap orang tua itu lembut.

   "Tidak. Aku tidak apa-apa,"

   Ucapnya kalem menenangkan kecemasan orang tua di depannya itu.

   "Syukurlah tuan pendekar baik-baik saja. Saya mengira tuan pendekar terluka dalam akibat bentrokan tenaga dalam dengan Ki Jalak Ireng tadi,"

   Ucap Ki Rejo Warang. Surya beranjak berdiri dari bersila.

   "Tidak. Saya baik-baik saja."

   "Surya. Kamu tidak apa-apa?"

   Seru Intan Ayu cepat setelah sampai di samping Surya. Surya menoleh ke arah Intan Ayu lalu menggeleng cepat.

   "Syukurlah kamu baik-baik saja. Aku sudah cemas tadi melihat pertarungan adu kesaktianmu dengan orang tua itu,"

   Ucap Intan Ayu menarik nafas lega. Surya tersenyum lebar mendengar itu.

   "Pendekar Pedang Matahari memang luar biasa sekali. Hebat!"

   "Pendekar Pedang Matahari?!"

   Seru Ki Rejo Warang dan beberapa orang yang ada tempat terkejut.

   Mereka tidak menyangka kalau pemuda bertopeng perak di depan mereka adalah tokoh pendekar yang saat ini telah membuat geger dunia persilatan wilayah timur dengan sepang terjangnya yang membuat semua jadi kagum.

   "Benarkah Kisanak ini adalah pendekar besar yang saat sedang ramai dibicarakan orang? Sungguh anugrah bagi kami bisa bertemu dengan Pendekar Pedang Matahari,"

   Ucap Ki Rejo Warang menjura hormat sedikit membungkuk. Surya tersenyum tipis lalu mengangguk pelan.

   "Maaf. Kami mohon permisi dulu. Intan, ayo!"

   Ucap Surya lalu tanpa menunggu jawaban semua orang segera menggandeng tangan Intan lalu melesat cepat dari tempat tersebut.

   Semua orang hanya diam terpana dengan gerakan kilat Pendekar Pedang Matahari yang sungguh luar biasa cepat bagai hilang di telan bumi.

   "Hmmm! Sungguh luar biasa hebat ilmu meringankan tubuhnya."

   Guman beberapa orang sambil geleng-geleng kepala kagum.

   Semua orang yang ada tempat itu segera beranjak pergi ke arah timur menuju ke Lembah Tengkorak.

   Sementara Itu Surya yang berlari cepat dengan menggandeng tangan Intan Ayu sudah keluar dari hutan kecil itu.

   Mereka sampai di sebuah anak sungai yang airnya mengalir sangat jernih, di batu besar di bawah pohon cempedak yang tumbuh menjorok ke arah sungai mereka berhenti, tampak nafas Surya sangat memburu tidak seperti biasanya, agaknya Surya menyembunyikan sesuatu.

   "Hah-hah-hah. Aku tidak kuat lagi,"

   Ucap Surya dengan nafas yang terengah-engah.

   "Surya! Surya! Kamu tidak apa-apa?"

   Seru Intan Ayu heran dengan keadaan Surya yang tidak seperti biasanya. Intan memegang tangan Surya.

   "Ekh?!"

   Seru Intan Ayu tersentak kaget.

   "Tubuhmu panas. Apa yang terjadi?"

   Intan mulai merasa cemas melihat keadaan Surya yang suhu tubuhnya panas.

   "Uhuk-uhuk!!"

   Surya batuk lalu muntah darah segar dari mulutnya.

   "Hehh ... aahh."

   Surya mendesah lalu roboh pingsan di atas batu.

   "Surya! Surya! Surya!"

   Teriak Intan Ayu panik.

   Intan Ayu panik sekali melihat Surya roboh pingsan.

   Dengan cepat Intan Ayu mengangkat tubuh Surya, Intan merasakan suhu tubuh Surya semakin tambah panas.

   Dalam bingungnya Intan Ayu sekilas melihat di tebing ada goa kecil maka dengan cepat Intan Ayu membawa Surya dengan sekuat tenaga menuju goa kecil tersebut.

   Matahari semakin merambat naik tepat di atas kepala.

   Gemericik air sungai terdengar memecah kesunyian siang bolong.

   Kembali tempat itu menjadi sunyi kembali.

   --o0o--KUDA putih tegap dan gagah berlari kencang menembus angin laksana anak panah yang terlepas dari busurnya, tanah yang ditinggalkannya tampak debu tebal menggulung-gulung karena habis di lewati kuda putih tersebut.

   Sang penunggang kuda putih ternyata adalah gadis jelita dengan paras yang cantik bagai bidadari dari khayangan, tampak semakin anggun di atas kuda putih betina tersebut.

   Sesekali kepala gadis itu menengok ke belakang memastikan tidak ada lagi yang mengikuti dirinya.

   "Heaa ! Heaa ... !"

   Si gadis semakin memacu kuda putihnya dengan cepat karena hari sudah beranjak siang, ini terlihat dari matahari yang sudah mencapai atas kepala.

   Kuda putih itu meringkik keras lalu dengan cepat menerobos kelebatan hutan, hingga tak berapa lama telah keluar dari hutan tersebut.

   Di pengkolan jalan si gadis mengambil arah ke kanan menuju ke sebuah pemukiman penduduk yaitu Desa Ngampon.

   Memasuki mulut gerbang desa maka si gadis membawa kuda putihnya pelan-pelan.

   Tampak para penduduk desa yang berpapasan membungkuk hormat tanda penduduk Desa Ngampon sangat ramah dan sopan serta menghormati orang lain.

   Sampai di tengah desa si gadis berhenti di sebuah kedai yang cukup besar, tampak dari dalam kedai keluar orang tua setengah baya langsung menghampiri si gadis jelita.

   Orang tua itu membungkuk hormat lalu memegang tali kekang kuda putih tersebut.

   Si gadis turun dari kuda putihnya.

   "Mangga, Den Ayu. Silakan!"

   Ucap orang tua separuh baya tersebut penuh sopan santun dan ramah.

   Si gadis mengangguk sedikit kemudian melangkah memasuki kedai makan tersebut yang kebetulan agak sedikit sepi.

   Biasanya kedai tersebut cukup ramai di datangi pengunjung karena masakannya terkenal enak.

   Si gadis dengan tenang duduk di pojok ruangan dekat dengan jendela.

   Si gadis mengedarkan pandangannya ke luar kedai sejenak lalu menoleh ke samping karena ada orang yang mendekati tempat dia duduk.

   "Den Ayu mau pesan apa?"

   Ucap pelayan kedai tersebut kalem.

   "Satu porsi makan dan minum,"

   Sahut si gadis lembut. Nada suaranya terdengar enak sekali di telinga.

   "Baik. Saya persiapkan dulu."

   Si pelayan kembali menuju belakang kedai. Si gadis menarik nafas dalam dalam lalu menghembuskannya dengan cepat.

   "Hehh mmm ... Sudah hampir seminggu aku meninggalkan Salatiga. Semoga saja mereka tidak berusaha lagi mencariku. Aku capek dan bosen harus terus tinggal di istana kadipaten. Aku ingin merasakan dunia luas ini tanpa harus terikat segala aturan yang membuatku bagai di penjara. Hehhmm ...

   "

   Ucap gadis itu lirih sekali.

   Si gadis menghempaskan tubuhnya ke belakang bersandar pada dinding kedai yang terbuat dari kayu.

   Dia menghela nafas panjang seolah melepas kepenatan setelah seharian berkuda.

   Tak berapa lama pelayan kedai menghampiri si gadis.

   "Lembah Tengkorak masih sangat jauh dari Desa Ngampon ini. Haruskah aku kesana atau langsung ke Gunung Gede?"

   Batin si gadis dalam hati.

   "Ahhh ... aku coba ke Lembah Tengkorak saja. Aku penasaran dengan desas-desus tentang undangan misterius yang hingga sampai ke wilayah tengah. Ya aku akan kesana. Harus!"

   Ucap si gadis lirih yang hampir tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.

   "Ini Den Ayu pesanannya. Silakan!"

   Ucap pelayan kedai yang datang membawa pesanan si gadis jelita itu.

   "Terima kasih."

   Si gadis mengangguk sedikit. Dia segera menyantap makanan yang telah disediakan oleh pelayan kedai tadi. Tak berapa lama datang dua orang memasuki kedai tersebut.

   "Pendekar Pedang Matahari memang sangat luar biasa hebat. Datuk Tongkat Ular dapat dikalahkan dengan begitu mudahnya. Padahal Datuk Tongkat Ular adalah salah dedengkot golongan hitam yang sudah sangat tersohor di dunia persilatan Tanah Jawa ini,"

   Kata orang yang sebelah kanan. Orang ini memiliki perawakan tegap dan cukup gagah. Sebilah pedang tersampir di pinggangnya.

   "Kau benar, Barong. Di usianya yang masih muda sudah memiliki ilmu yang begitu tinggi. Aku kagum dengan pemuda itu. Luar biasa!"

   Sahut orang yang sebelah kiri. Orang ini bernama Sukiran. Mereka adalah Sepasang Pendekar Pedang Dari Timur.

   "Aku rasa untuk berhadapan dengan Pendekar Pedang Matahari pasti berpikir seribu kali,"

   Ucap Barong.

   "Pendekar Pedang Matahari?!"

   Gumam si gadis lirih dengan kening mengerut. Dengan cepat si gadis menghampiri dua orang yang baru datang tadi.

   "Maaf Kisanak mengganggu sebentar ...

   "

   Ucap si gadis kalem. Dua orang tadi sama-sama menoleh ke arah si gadis.

   "Siapa itu Pendekar Pedang Matahari? Dimana aku bisa menemuinya?"

   Tanya si gadis dengan nada suara kalem. Dua orang itu saling Pandang sejenak lalu kembali menatap ke arah si gadis.

   "Maaf. Siapa Nisanak?"

   Tanya Sukiran dengan mimik ingin tahu maksud si gadis jelita.

   "Namaku Dewi Sekarwati. Aku sedang mencari orang yang bergelar Pendekar Pedang Matahari. Apakah Kisanak berdua tahu dimana aku bisa menemuinya?"

   Ucap si gadis cepat.

   "Oh! Kami tidak tahu dimana Nisanak bisa ketemu dengan Pendekar Pedang Matahari. Tapi kami tadi melihat Pendekar Pedang Matahari pergi ke arah utara Hutan Welirang. Ada urusan apa Nisanak ingin bertemu dengan Pendekar Pedang Matahari?"

   Sahut Sukiran cepat.

   "Oh! Terima kasih Kisanak!"

   Ucap si gadis cepat lalu segera melesat keluar dari kedai menghampiri kuda putihnya.

   Dengan cepat si gadis naik ke punggung kuda lalu menggebrak kuda putihnya menuju Hutan Welirang.

   Begitu matahari sudah condong ke barat si gadis baru sampai di pinggiran Hutan Welirang.

   Si gadis agak bimbang juga melihat Hutan Welirang yang begitu lebat apa lagi hari sudah sore menjelang senja.

   Akhirnya si gadis memutuskan untuk kembali ke desa dan mencari penginapan, dia tidak mau ambil resiko jika tetap nekat masuk ke Hutan Welirang yang juga terkenal sangat angker.

   --o0o--API unggun kecil tampak menyala di ruangan goa, apinya cukup menerangi ruangan goa tersebut.

   Bau harum daging panggang tampak menyengat di hidung dan membuat selera makan jadi tergugah.

   Tampak Intan Ayu sedang membolak balik kelinci hutan yang tengah di panggangnya.

   Sesekali Intan Ayu menoleh ke arah sudut goa dimana Surya tergeletak belum sadarkan diri.

   Intan menghela nafas panjang karena masih bingung dan cemas dengan keadaan Surya belum sadarkan diri dari tadi siang.

   Intan Ayu lalu beranjak mendekati Surya dan duduk di samping pemuda yang selalu menutupi wajahnya dengan topeng perak.

   "Heehhh! Suhu tubuhnya masih tinggi. Aku kuatir Surya dengan keadaannya yang mencemaskan itu. Apa yang terjadi sebenarnya dengan Surya? Apa dia terkena racun jahat setelah bertarung dengan Datuk Tongkat Ular tadi?"

   Ucap Intan Ayu lirih.

   Intan Ayu meletakkan kelinci panggangnya di atas daun pisang yang ada di atas batu.

   Nafsu makannya jadi hilang setelah melihat keadaan Surya yang begitu mencemaskan.

   Dia tidak tahu harus berbuat apa untuk menolong Surya karena dia tidak tahu tentang ilmu pengobatan.

   "Ehm-ehm ... Tidak usah cemas Nisanak! Dia baik-baik saja!"

   Tiba-tiba ada suara orang bicara dari arah mulut goa.

   Kontan saja Intan Ayu jadi terkejut dan langsung berdiri menghadap ke arah mulut goa.

   Tangannya segera memegang gagang pedang untuk berjaga-jaga.

   Tampak di mulut goa berdiri seorang kakek dengan berjubah putih memegang tongkat berliku liku di tangan kanannya.

   "Heh. Siapa kau?"

   Seru Intan Ayu dengan sorot mata tajam menatap orang tua berjubah putih di mulut goa. Kakek berjubah putih tersenyum lembut sambil melangkah pelan ke arah Intan Ayu.

   "Berhenti! Jangan berani mendekat atau aku harus bersikap kasar padamu, Orang Tua!"

   Seru Intan Ayu cepat. Kembali kakek tua tersebut tersenyum lembut.

   "Kita satu golongan. Tidak perlu menaruh wasangka yang bukan bukan. Nisanak!"

   Ucap kakek tua itu dengan suara halus menunjukkan sikap bersahabat.

   Intan Ayu tidak mau berlaku lengah karena bisa saja sikap ramah si kakek hanyalah pura-pura belaka dan di kala dirinya lengah bisa saja si kakek menyerang dirinya dan juga Surya yang tengah pingsan tidak berdaya.

   Setiap orang yang hendak berniat jahat pasti menghalalkan segala cara meskipun itu dengan cara licik.

   Intan tidak mau kecolongan dengan hal ini dan memilih bersikap waspada.

   "Tenanglah, Nisanak! Aku bukan orang jahat. Aku hendak menolong temanmu itu. Kalau tidak segera di tolong aku kuatir sakitnya tambah parah!"

   Ucang kakek berjubah putih tersebut dengan nada suara tenang dan lembut. Intan Ayu sejenak menoleh ke arah Surya lalu kembali menatap orang tua di depannya penuh selidik.

   "Katakan dulu siapa kau orang tua!"

   Seru Intan Ayu cepat. Kakek tua itu tersenyum lembut sambil mengusap janggut putihnya yang panjang.

   "Hehhm ... aku Ki Wanengpati. Orang-orang menjulukiku . Tabib Putih Delapan Penjuru Angin,"

   Ucap orang tua itu lembut mengenalkan siapa dirinya.

   "Hah?!"

   Intan Ayu terperanjat mendengar julukan orang tua di depannya itu.

   Siapa yang tidak tahu dengan julukan Tabib Putih Delapan Penjuru Angin, seluruh dunia persilatan Tanah Jawa pasti mengenal dengan julukan itu.

   Orang tua sakti dari daratan Jawa bagian tengah yang terkenal akan kemahirannya dalam mengobati segala macam penyakit.

   Tapi untuk menemui orang sakti itu sangatlah sulit karena orang tua sakti itu selalu mengembara di setiap pelosok daratan Tanah Jawa ini.

   Kemunculannya di goa tempat Intan Ayu dan Surya berada pasti suatu takdir yang membawanya ke goa itu.

   "Apakah aku boleh memeriksa temanmu itu, Nisanak?"

   Ucap Ki Wanengpati memecah lamunan Intan Ayu.

   Intan Ayu diam saja dan hanya bergerak agak menyingkir memberi jalan pada orang tua tersebut.

   Ki Wanengpati melangkah perlahan ke arah Surya yang tergeletak.

   Sejenak Ki Wanengpati mengamati Surya dari atas sampai bawah.

   "Hehhhm! Sungguh luar biasa ilmu pemuda ini. Kekuatan yang ada di tubuhnya adalah murni kekuatan dari mata batinnya. Bukan kekuatan yang di dapat dari hasil berlatih ataupun pemberian orang lain namun murni kekuatan yang benar-benar lahir dari mata batinnya. Bisa dikatakan pemuda ini memiliki kekuatan di atas dewa sekalipun. Tidak aku sangka ada manusia yang seperti ini hidup di dunia ini. Mungkin hanya ada satu manusia saja yang bisa memiliki kekuatan seperti ini dalam sejarah hidup manusia selama ini. Sungguh tidak dapat di percaya ada manusia seperti ini jika aku tidak melihatnya secara langsung. Hehhhm ...

   "

   Ucap Ki Wanengpati dalam hati. Orang tua itu menengok ke arah gadis cantik di sebelahnya itu sejenak. Kemudian dia mengusap dada Surya tiga kali. Usapan itu bukan hanya usapan biasa namun di iringi pengerahan hawa murni.

   "Bangunlah! Anakku, bangunlah! Bangunlah!"

   Ucap Ki Wanengpati lembut. Tampak Surya mulai siuman, kepalanya bergerak pelan di iringi erangan dari mulutnya. Matanya perlahan terbuka. Ki Wanengpati tersenyum senang melihat Surya sudah mulai siuman.

   "Bangunlah, anakku!"

   Ucapnya lembut. Surya mengerjapkan matanya lalu mulai merayapi seluruh ruangan goa sampai matanya melihat dua orang disampingnya.

   "Ehhhmm ...

   "

   Surya beranjak dari berbaringnya untuk duduk. Setelah duduk bersila Surya melakukan semedi ini bertujuan mengembalikan tenaganya dan mengatur jalan darahnya yang tidak teratur. Tak berapa lama Surya membuka matanya.

   "Ki Wanengpati?"

   Ucap Surya kalem.

   "Terima kasih sudah menolongku."

   "Hemm."

   Ki Wanengpati bergumam mengangguk.

   "Apa yang terjadi, anakku?"

   Tanyanya kemudian. Surya menghela nafas panjang. Hidungnya kembang kempis membaui bau harum yang menggugah rasa laparnya.

   "Ada bau harum. Apa ini?"

   Ucapnya cepat. Intan Ayu cepat cepat mengambil kelinci bakar yang ada di atas daun pisang.

   "Kau lapar? Ini makanlah!"

   Ucap Intan Ayu menyerahkan kelinci bakarnya pada Surya.

   Tanpa ragu-ragu Surya langsung menyambar kelinci panggang di tangan Intan dan langsung melahapnya dengan cepat.

   Maklum perutnya sangat kelaparan.

   Intan Ayu dan Ki Wanengpati hanya tertawa kecil melihat Surya yang sangat lahap makannya itu.

   "Ini minumnya."

   Intan Ayu menyodorkan bambu yang berisi air putih. Gluk gluk gluk ... ! Suara air yang di minum Surya.

   "Ahh, kenyang,"

   Ucapnya tanpa malu-malu. Kembali Intan Ayu dan Ki Wanengpati tertawa kecil melihat hal itu.

   "Apa yang terjadi, anakku?"

   Tanya Ki Wanengpati lagi. Surya menatap orang tua di depannya lembut.

   "Hehhh. Aku terlalu ceroboh Ki,"

   Ucapnya pelan bagai untuk dirinya sendiri. Ki Wanengpati mengerutkan keningnya tidak mengerti.

   "Aku ceroboh telah melanggar pantangan,"

   Ucap Surya lagi.

   "Apa maksudmu, anakku? Pantangan apa?"

   Ucap Ki Wanengpati tidak mengerti. Surya menghela nafas panjang.

   "Pantangan untuk tidak menggunakan tiga Ilmu 'Dewa'. Aku telah memagari tiga Ilmu 'Dewa' tersebut agar tidak aku gunakan tapi aku telah melanggarnya,"

   Ucap Surya. Ki Wanengpati manggut-manggut mendengar hal itu.

   "Apa yang terjadi bila kau sudah melanggar pantangan itu, anakku?"

   Tanya Ki Wanengpati ingin tahu.

   "Semua ilmu yang bersumber dari tiga Ilmu 'Dewa' itu akan musnah."

   "Apa?!"

   Ki Wanengpati dan Intan Ayu sampai terlonjak kaget mendengar itu.

   "Semua ilmumu akan musnah?!"

   Seru Ki Wanengpati ingin kejelasan.

   Surya diam dan menunduk menekuri tanah.

   Ki Wanengpati dan Intan Ayu menatap Surya dengan seribu pertanyaan di dada.

   Tanpa mereka ketahui ternyata ada sesorang yang mendengarkan pembicaraan mereka.

   Orang itu tersenyum penuh arti lalu berkelebat pergi dari tempat itu.

   Surya kembali menatap Ki Wanengpati.

   "Tidak semua ilmuku musnah, Ki. Hanya Ilmu 'Matahari'-ku saja yang sementara ini tidak bisa aku keluarkan, sebab aku telah menggunakan Pukulan 'Matahari'. Dalam tujuh hari ke depan aku tidak dapat menggunakan Ilmu 'Matahari'-ku,"

   Ucap Surya.

   "Maksudmu?"

   "Setiap kali aku gunakan salah satu dari Ilmu 'Dewa' maka saat itu juga ilmuku akan musnah untuk beberapa lama. Tergantung dari besar kecilnya tenaga dalam yang aku gunakan."

   Ki Wanengpati manggut-manggut paham.

   "Begitu. Lalu apa yang sekarang kamu gunakan?"

   "Hanya Ilmu 'Sembilan Bulan' dan berapa ilmu lain yang tidak beraliran dengan Ilmu 'Matahari'."

   "Ilmu 'Sembilan Bulan' termasuk ilmu yang luar biasa dahsyat. Aku rasa dengan ilmu itu kamu tidak perlu kuatir dalam pengembaraanmu. Apa lagi Pedang Matahari masih di tanganmu. Jadi tidak ada masalah lagi."

   "Tidak!! Pedang Matahari sudah tidak ada gunanya jika Ilmu 'Matahari'-ku belum kembali. Lihatlah!"

   Surya mengambil Pedang Mataharinya dari punggung.

   Sring!! Pedang Matahari tercabut dari sarungnya.

   Tampak Pedang Matahari tidak seperti biasanya yang memancarkan pamor kuning keemasan.

   Pedang itu kini tak lebih hanya pedang biasa yang tidak memiliki kesaktian apa-apa.

   "Ki Wanengpati lihat sendiri. Pamor Pedang Matahari juga ikut lenyap. Pedang ini tak lebih hanya sebuah pedang biasa saja."

   Ki Wanengpati dan Intan Ayu menatap Pedang Matahari di tangan Surya yang memang berubah jadi pedang biasa saja.

   Surya meletakkan Pedang Mataharinya di tanah bersama sarungnya.

   Sungguh ajaib! Tiba-tiba pedang dan sarung Pedang Matahari amblas masuk ke dalam tanah.

   "Untuk sementara ini Pedang Matahari telah kembali ke tempatnya dan akan muncul lagi jika kekuatan Ilmu 'Matahari'-ku sudah kembali,"

   Ucap Surya kalem.

   "Aku akan bersemedi malam ini dan aku harap kalian menjauh dari sini,"

   Ucapnya lagi. Ki Wanengpati mengangguk paham kemudian beranjak berdiri.

   "Sebaiknya kita keluar dari goa ini, Cah Ayu!"

   Ucapnya pada Intan Ayu.

   Ki Wanengpati melangkah keluar sedang Intan Ayu masih bingung dan menatap Surya yang sudah mulai bersemedi.

   Mau tidak mau akhirnya Intan Ayu beranjak juga keluar dari goa tersebut.

   Di mulut goa Intan menatap Surya sejenak lalu kembali melangkah keluar hingga tubuhnya hilang dari mulut goa.

   --o0o--SEBUAH panggung megah tampak berdiri di tanah yang lapang, umbul-umbul warna warni tampak menghiasi sudut-sudut panggung serta jalanan yang menuju area lapang dimana panggung megah itu berada.

   Panji-panji kebesaran bergambar kalajengking hitam tampak berkibar gagah di belakang panggung.

   Di depan panggung terdapat kursi-kursi yang di tata rapi.

   Di kanan kiri panggung juga terdapat kursi-kursi berjajar dengan rapi.

   Agaknya tempat itu akan ada hajat secara besar-besaran yang diselenggarakan tuan rumah yaitu Dewi Lembah Tengkorak.

   Siang itu tampak tempat duduk depan panggung sudah di isi oleh para tamu undangan dari kalangan persilatan dan juga dari beberapa wakil kerajaan.

   Mereka umumnya orang-orang dari golongan putih.

   Sedang di kanan panggung juga sudah di isi oleh orang-orang berbaju hitam, mereka dari golongan hitam.

   Di kiri panggung juga sudah di isi orang-orang yang berbaju biru merah.

   Mereka adalah orang-orang dari Lembah Tengkorak.

   Sementara itu di suatu tempat tak jauh dari tempat panggung berada.

   "Bagaimana, apa persiapan sudah selesai?"

   Tanya seorang wanita yang sangat cantik berbaju biru anggun dengan mahkota kecil di kepalanya.

   Gayanya sangat anggun dan wajahnya sangat cantik sekali bagai seorang dewi dari khayangan.

   Dia duduk di kursi empuk dengan setengah berbaring.

   Di kanan kiri tempat ia duduk ada dua orang gadis kecil yang sibuk mengipasi wanita itu.

   Wanita inilah yang bernama Dewi Lembah Tengkorak! "Sudah semua, Ratu!"

   Sahut seorang wanita berpakaian merah. Wajah wanita ini sangat mengerikan karena mirip tengkorak. Sebenarnya gadis ini hanya memakai topeng tipis saja yang menyerupai wajah tengkorak. Dialah Kala Merah! "Bagus ! Ha-ha-ha-ha!"

   Dewi Lembah Tengkorak tertawa renyah lalu menatap empat orang di depannya yang merupakan muridnya. Dewi Lembah Tengkorak mengerutkan keningnya.

   "Hmmm. Aku tidak melihat Kala Putih. Dimana dia?"

   "Ampun, Ratu. Adik Kala Putih belum kembali dari tugasnya. Mungkin dia mengalami rintangan di jalan. Sehingga terlambat kembali kesini,"

   Ucap Kala Merah takut-takut.

   "Goblok!"

   Bentak Dewi Lembah Tengkorak keras.

   "Tugas ringan begitu saja tidak bisa diselesaikan dengan cepat. Akan aku jatuhi hukuman jika nanti dia kembali!"

   Seru Dewi Lembah Tengkorak, marah. Tampak semua menunduk takut dan tidak berani buka suara lagi.

   "Sudah! Kalian segera laksanakan tugas yang telah aku berikan pada kalian. Cepat!"

   Seru Dewi Lembah Tengkorak keras. Tanpa banyak bicara empat gadis itu segera berlalu dari hadapan Ratu mereka yaitu Dewi Lembah Tengkorak. Tak berapa lama datang seorang gadis berpakaian serba putih namun wajahnya berupa tengkorak mengerikan.

   "Kala Putih menghadap Ratu!"

   Ucap gadis itu menjura dalam dalam.

   "Kala Putih! Dari mana saja kau baru datang?!"

   Seru Dewi Lembah Tengkorak keras karena marah melihat muridnya si Kala Putih terlambat datang. Kala Putih menjura hormat dengan takut-takut.

   "Ampuni saya, Ratu. Ada berita yang hendak saya laporkan pada Ratu."

   Dewi Lembah Tengkorak menatap tajam pada Kala Putih.

   "Katakan! Berita apa yang hendak kamu sampaikan. Apa berita penting?"

   "Ini menyangkut Pendekar Pedang Matahari, Ratu."

   "Pendekar Pedang Matahari?! Kau bertemu dengan Pendekar Pedang Matahari? Dimana?"

   "Di Hutan Welirang."

   "Hutan Welirang. Berita apa itu?"

   "Ketika saya dalam perjalanan kembali kesini, secara tidak sengaja saya melihat dua orang yang sedang mengadu kesaktian. Dua orang itu adalah Ki Jalak Ireng yang berjuluk Datuk Tongkat Ular melawan seorang pemuda bertopeng perak yang baru saya ketahui kalau pemuda itu adalah Pendekar Pedang Matahari."

   Kala Putih lalu menceritakan kejadian yang dia temui ketika kembali ke Lembah Tengkorak.

   "Begitulah Ratu yang saya dengar dari telinga saya sendiri,"

   Kala Putih mengakhiri ceritanya.

   "Ha-ha-ha-ha!! Langit berpihak pada kita. Sekarang tidak ada penghalang lagi untukku menguasai dunia persilatan! Ha-ha-ha-ha!"

   Dewi Lembah Tengkorak tertawa keras karena senang mendengar berita dari Kala Putih itu.

   "Ha-ha-ha-ha! Akulah penguasa dunia persilatan! Ha-ha-ha-ha!"

   Kala Putih tetap diam saja melihat ratunya tertawa keras setelah mendengar berita darinya.

   "Kala Putih! Lekas kau bergabung dengan yang lain. Ingat dengan rencana yang sudah lama kita persiapkan!"

   Seru Dewi Lembah Tengkorak cepat memerintahkan Kala Putih untuk bergabung dengan empat rekannya yang sudah berada di tempat pertemuan.

   "Baik, Ratu!"

   Kala Putih membungkuk hormat lalu segera berlalu dari tempat itu.

   Tinggal Dewi Lembah Tengkorak bersama dua pelayannya yang mengipasi dirinya.

   Plok, plok, plok! Suara tepuk tangan pelan dari arah samping pintu ruangan yang bernuansa serba biru tersebut.

   Dewi Lembah Tengkorak menoleh ke kanan arah suara tepuk tangan tersebut, wajahnya langsung berseri ceria, senyumnya mengembang lebar setelah melihat orang yang bertepuk tangan tadi.

   Tampak di pintu samping berdiri seorang pria gagah dengan perawakan tegap dan berwajah tampan.

   Dadanya bidang terlihat dari belahan bajunya yang tidak berkancing.

   Otot-ototnya tampak kekar menambah kegagahan tubuhnya.

   "Kakang Bagus Sampurno!"

   Seru Dewi Lembah Tengkorak sumringah menyebut nama pemuda tersebut. Pemuda yang bernama Bagus Sampurno itu berjalan tenang menghampiri Dewi Lembah Tengkorak.

   "Kemana saja kau Kakang tiga hari ini tidak muncul menemuiku?"

   Bagus Sampurno hanya tersenyum lembut saja, dia meraih tangan Dewi Lembah Tengkorak lalu mencium punggung tangannya dengan kecupan mesra membuat gadis cantik itu bersemu merah karena bahagia.

   Si gadis memejamkan matanya ketika wajah Bagus Sampurno mendekat ke wajahnya dan tak lama dia merasakan sesuatu yang lembut telah melumat bibirnya.

   Nafas jadi agak memburu dan dadanya jadi bergemuruh.

   "Aku merindukanmu, Dewi,"

   Ucap Bagus Sampurno lembut di telinga Dewi Lembah Tengkorak.

   "Aku juga merindukanmu Kakang,"

   Sahut Dewi Lembah Tengkorak lirih.

   "Aku senang sebentar lagi impian kita akan tercapai. Impian untuk menguasaI dunia persilatan."

   "Iya Kakang. Apa lagi penghalang kita Pendekar Pedang Matahari telah musnah ilmunya akibat melanggar pantangan."

   "Ya! Aku sudah mendengarnya tadi,"

   Ucap Bagus Sampurno lalu mengecup bibir Dewi Lembah Tengkorak.

   "Sekarang kau cepatlah ke tempat pertemuan. Aku lihat semua pendekar sudah berkumpul di sana."

   Dewi Lembah Tengkorak mengangguk pelan.

   "Kau sendiri mau ngapain Kakang?"

   "Ada yang harus aku kerjakan. Aku sudah membuat jebakan-jebakan di sekitar lembah. Akan aku buat Lembah Tengkorak menjadi neraka dan kuburan bagi para pendekar yang menentang kita,"

   Ucap Bagus Sampurno tersenyum licik penuh arti. Dewi Lembah Tengkorak juga tersenyum penuh kelicikan.

   "Baiklah ! Aku kesana dulu Kakang."

   Dewi Lembah Tengkorak beranjak berdiri lalu melangkah menuju pintu belakang singgasananya.

   Begitu sosok Dewi Lembah Tengkorak hilang di balik pintu maka Bagus Sampurno menghempaskan tubuhnya di singgasana kebesaran istana Lembah Tengkorak.

   Dia memandang ke sekeliling ruangan yang bernuansa serba biru itu dengan senyum kelicikan.

   Matanya melirik ke arah gadis belia yang tadi mengipasi Dewi Lembah Tengkorak.

   Gadis belia yang mungkin berusia tiga belas tahun namun memiliki tubuh sintal menggemaskan.

   Dengan cepat Bagus Sampurno menarik gadis itu kepangkuannya.

   "Siapa namamu, Manis?"

   Tanya Bagus Sampurno sambil mengelus rambut pipi dan dagu gadis itu.

   "Bunga, Raden,"

   Sahut gadis itu takut-takut.

   "Oh, Bunga! Nama yang cantik secantik dirimu. He-he-he!"

   Bagus Sampurno mencium bibir gadis itu dan tangannya meremasi bagian yang membusung indah di dada si gadis belia yang bernama Bunga.

   Bunga sangat ketakutan sekali namun apa daya bagi dirinya yang tidak bisa apa-apa.

   Dia hanya bisa menggigit bibirnya ketika laki-laki itu menelanjangi dirinya.

   Bunga berteriak tinggi saat merasakan benda yang keras lunak menerobos paksa pada kemaluaannya.

   Bunga hanya menggigit bibir untuk mereda rasa perih di kemaluannya saat benda asing mengobok-obok lubang kencingnya.

   Deru nafas Bagus Sampurno begitu cepat saat menggauli gadis belia yang bernama Bunga tersebut.

   Hingga pada suatu ketika dia bagai tersengat listrik dan tubuhnya tegang mendesah panjang.

   Lalu tak berapa lama tubunya lunglai menindih Bunga.

   Setelah itu Bagus Sampurno merapikan pakaiannya lalu pergi tanpa peduli dengan gadis belia yang ia perkosa tadi.

   Sungguh biadab sekali kelakuan Bagus Sampurno itu! --o0o--TEMPAT pertemuan di Lembah Tengkorak terlihat begitu ramai sekali.

   Di antara para undangan yang datang tampak beberapa tokoh persilatan yang sudah terkenal gelarnya, ada Pengemis Tongkat Putih, Dewa Tangan Api, si Jari Malaikat dan beberapa tokoh yang sudah kawakan di dunia persilatan.

   Tampak juga Surya hadir di antara para pendekar golongan putih.

   Di samping Surya terlihat Intan Ayu dan Ki Wanengpati alias Tabib Putih Delapan Penjuru Angin.

   Tak jauh dari Surya terlihat Pendekar Naga Putih bersama Kenanga serta beberapa murid Padepokan Ruyung Sakti.

   Di barisan agak ke depan ada Ki Rejo Warang bersama muridnya Gayatri.

   Mereka berdua tengah mengamati setiap orang yang hadir di tempat itu.

   Di barisan belakang ada gadis cantik yaitu Dewi Sekarwati, ada juga Rakanini dan Lestari.

   "Intan! Itu orang yang kamu cari. Eyang Rakanini dan kakakmu Lestari,"

   Ucap Surya pelan menunjuk ke arah Rakanini dan Lestari. Intan Ayu menoleh ke arah yang ditunjuk Surya.

   "Ekh ... ! Iya itu Eyang Rakanini dan kak Lestari!"

   Seru Intan Ayu cepat.

   "Sebaiknya kamu hampiri mereka Intan,"

   Ucap Surya. Intan Ayu menatap Surya sejenak seolah minta persetujuan. Surya mengangguk sedikit.

   "Aku tidak apa-apa. Hampiri mereka mumpung kalian bisa ketemu."

   "Kamu tidak apa-apa?"

   Ucap Intan Ayu meyakinkan.

   "He-em!"

   Surya mengangguk cepat.

   Intan Ayu nampak agak ragu-ragu untuk beranjak dari tempatnya namun akhirnya Intan Ayu tidak jadi berniat menemui Eyang Rakanini dan kakaknya Lestari.

   Dia malah duduk bersandar dengan sikap acuh.

   Surya mengerutkan keningnya karena heran dengan sikap Intan Ayu yang malah acuh saja.

   "Kenapa?"

   Tanya Surya penasaran.

   Intan Ayu melirik Surya lalu geleng-geleng kepala tanda tidak apa-apa.

   Surya angkat bahu saja lalu menghela nafas panjang.

   Tak berapa lama datang rombongan menuju ke arah kursi di sisi kiri panggung.

   Tampak seorang wanita cantik jelita berpakaian serba biru dan berhiaskan mahkota kecil di atas kepalanya berjalan di iringi beberapa gadis cantik dan juga pengawal enam orang yang rata-rata berpenampilan sangar dengan sebilah golok tergantung di pinggangnya.

   Sesaat semua mata pandangannya beralih ke arah wanita yang datang bersama rombongan tersebut.

   Mereka berbisik-bisik bertanya-tanya dalam hati siapa adanya wanita cantik tersebut.

   "Surya. Kamu tahu siapakah wanita yang datang bersama rombongan itu? Aku rasa dialah Dewi Lembah Tengkorak!"

   Ucap Ki Wanengpati pelan ke arah Surya.

   "Kamu benar, Ki! Aku juga rasa juga begitu,"

   Sahut Surya setengah berbisik.

   "Hmmm. Aku tidak menyangka gadis semuda dia biang keladi semua kejadian berdarah yang selama ini terjadi, sungguh tidak di sangka."

   "Coba perhatikan baik-baik sekitar mata dan juga bawah telinganya, Ki."

   "Ekh! Apa maksudmu?"

   Ki Wanengpati mengerutkan keningnya tidak mengerti tapi dia tetap melihat dengan teliti ke tempat yang ditunjuk Surya.

   "Hehm?! Gadis itu memakai topeng tipis yang benar-benar sempurna. Jika diperhatikan wanita itu mirip seorang gadis muda. Apa yang kamu lihat, Surya?"

   "Wanita itu memakai penyamaran yang mampu mengelabuhi mata semua orang. Di balik topeng tipisnya tersembunyi wajah aslinya. Tapi ...

   "

   Surya menggantung ucapannya. Dia memandang ke setiap sudut tempat pertemuan tersebut dengan seksama.

   "Tapi apa?"

   Sahut Ki Wanengpati cepat.

   "Coba lihat tempat ini baik-baik, Ki! Ada banyak sekali alat jebakan yang terpasang dan terhubung dengan pemicu yang entah berada dimana. Aku merasa tempat ini sebentar lagi akan menjadi neraka bagi semua orang yang hadir di tempat ini,"

   Ucap Surya kalem.

   "Aku juga sudah melihatnya. Kita harus waspada menjaga segala sesuatu yang tidak di inginkan!"

   Sahut Ki Wanengpati pelan. Surya mengangguk cepat.

   "Ya, Ki!"

   Dari arah samping kiri panggung ada seorang pria naik ke atas panggung.

   Laki-laki separuh baya berjubah coklat dan memegang sebuah tongkat di tangan kanannya.

   Pria ini berdiri di tengah tengah panggung memandang ke semua para tamu yang hadir dalam pertemuaan tersebut.

   Setelah berdehem beberapa kali pria separuh baya tersebut mulai membuka suara.

   "Selamat siang dan selamat datang di Lembah Tengkorak kepada para pendekar yang telah hadir di tempat ini. Perkenalkan nama saya Ki Arjo Seno dan julukanku . si Tongkat Iblis,"

   Kata orang itu lantang membuka acara serta mengenalkan dirinya. Setelah diam sejenak Ki Arjo Seno mulai buka suara kembali.

   "Kalian pasti penasaran dan bertanya-tanya kenapa kalian di undang di Lembah Tengkorak ini. Baik akan saya beritahukan pada para pendekar sekalian. Kami atas nama Partai Lembah Tengkorak mengajak kalian untuk bergabung dengan kami dan mulai hari ini kami mengumumkan bahwa Partai Lembah Tengkorak adalah penguasa dunia persilatan!!"

   Seru Ki Arjo Seno lantang dan mantap.

   War wer wor ...

   ! Kontan saja semua orang yang hadir di tempat itu jadi geger mendengar pengumuman yang membuat mereka kaget.

   Sejenak tempat itu jadi ramai dengan omongan-omongan yang bernada bermacam macam tanggapan.

   Ada yang setuju dan ada juga yang mencela serta ada juga yang menentang keputusan gila tersebut.

   "Tenang! Tenang! Tenang!"

   Seru Ki Arjo Seno keras di barengi pengerahan tenaga dalam. Seketika tempat itu kembali tenang. Ki Arjo Seno menatap tajam ke semua orang yang hadir di tempat itu.

   "Dengar baik-baik! Bagi siapa saja yang ingin bergabung kami persilakan mengambil ikat kepala berwarna biru yang ada di bawah tempat duduk kalian!"

   Beberapa orang mengambil ikat kepala warna biru yang ada di bawah tempat duduk mereka lalu memakainya.

   Mereka rata-rata hanya dari golongan hitam saja, sedang orang dari golongan putih memilih tetap diam.

   Ki Arjo Seno mendengus pelan melihat orang-orang dari golongan putih yang sama sekali tidak menyentuh ikat kepala warna biru lambang Partai Lembah Tengkorak tersebut.

   Maka seketika pertempuran tidak bisa di hindarkan lagi! Orang-orang Lembah Tengkorak menyerbu para orang golongan putih yang menentang Partai Lembah Tengkorak menjadi penguasa dunia persilatan.

   Orang-orang golongan hitam yang bergabung dengan Lembah Tengkorak juga ikut menyerbu orang-orang golongan putih.

   Lembah Tengkorak seketika menjadi ajang pertumpahan darah antar dua golongan yang selama ini bersiteru.

   Dentuman benda keras mewarnai pertempuran yang di iringi teriakan teriakan keras dari mereka.

   "Hiaaatt!!"

   "Hiaaaatt !!"

   Teriakan teriakan keras menggelegar mewarnai pertempuran yang memekakkan telinga namun menambah semangat pertempuran mereka. Lembah Tengkorak benar-benar bagai sebuah neraka karena jerit kematian silih berganti menghiasi aroma pertumpahan darah itu.

   "Munduuuur ... !!"

   Teriak keras dari pihak Partai Lembah Tengkorak.

   Seketika orang-orang Lembah Tengkorak berlompatan mudur menjauh dari arena pertempuran.

   Namun tiba-tiba ratusan anak panah beterbangan menghujani para pendekar golongan putih di susul senjata-senjata tajam berupa paku-paku hitam yang datang laksana gelombang.

   Orang-orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi dan kemampuan yang memadai mampu menghindari serbuan anak panah dan paku-paku yang datang laksana gelombang badai tersebut.

   Dengan susah payah mereka terus menghindari dan mematahkan anak panah dan paku-paku terbang itu.

   Belum selesai anak panah dan paku-paku menghujani mereka tiba-tiba terdengar ledakan-ledakan dahsyat yang menewaskan hampir sebagian besar orang-orang golongan putih.

   Lembah Tengkorak berubah jadi neraka bagi orang-orang golongan putih! "Biadab!"

   Seru Surya melihat kekejaman Partai Lembah Tengkorak yang telah berlaku licik. Surya melompat tinggi lalu mengerahkan pukulan bertenaga dalam tinggi ke arah tempat tempat alat-alat rahasia yang di siapkan orang-orang Lembah Tengkorak.

   "Pukulan 'Es Pembeku Raga'!"

   Seru Surya lantang.

   Dari tangan Surya melesat sinar putih yang menyebar ke arah tempat tempat yang di anggapnya tempat alat rahasia berada.

   Sungguh luar biasa tiba-tiba tempat yang terkena Pukulan 'Es Pembeku Raga' jadi beku bagai di lumuri es salju sehingga alat-alat rahasia itu tidak berfungsi lagi.

   Maka hujan anak panah dan paku-paku terbang serta ledakan jadi berhenti.

   Surya melesat ke arah orang-orang Lembah Tengkorak mundur tadi.

   Di belakang nampak beberapa orang juga mengejar orang-orang Lembah Tengkorak.

   Begitu sampai di sebuah bangunan megah mereka di serang orang-orang Lembah Tengkorak.

   "Hiaaatt!!"

   "Hiaatt!!"

   Pertempuran kembali berlangsung sengit.

   Surya langsung melancarkan Pukulan 'Es Pembeku Raga' dengan cepat maka orang-orang yang terkena pukulan itu langsung membeku laksana dibungkus es.

   Surya melompat tinggi di ikuti sebuah bayangan putih yang tak lain adalah Panji alias Pendekar Naga Putih.

   Mereka bergerak bagai malaikat maut yang hendak mencabut nyawa siapa saja yang mereka temui.

   Tiba di ruangan yang serba biru mereka di hadang oleh lima gadis bermuka tengkorak.

   "Biar aku yang melawan mereka. Kalian kejar pimpinan mereka!"

   Seru orang tua keras. Orang tua berjubah putih ternyata adalah Ki Wanengpati. Di belakangnya ada Rakanini dan Pengemis Tongkat Putih. Surya menoleh ke belakang lalu mengangguk setelah tahu siapa yang teriak tadi. Surya menoleh ke arah Panji.

   "Ayo, Kisanak!"

   Seru Surya.

   Panji mengangguk cepat lalu mengikuti Surya yang sudah melesat menuju pintu di belakang singgasana Dewi Lembah Tengkorak.

   Mereka sampai di sebuah tempat yang berbatu-batu dan beberapa pohon besar tumbuh.

   Mereka berdiri sejajar dengan sikap penuh kewaspadaan karena mereka melihat tidak ada orang di tempat itu namun mereka yakin Dewi Lembah Tengkorak bersembunyi di salah satu sudut tempat itu.

   "Hati-hati ! Aku merasa Dewi Lembah Tengkorak sedang mengawasi kita di tempat tersembunyi!"

   Seru Panji dengan sikap penuh kewaspadaan.

   Surya mengangguk.

   Tidak di kasih tahu pun sebenarnya Surya sudah paham dengan bahaya yang sedang mengintai mereka.

   Pandangan mereka begitu tajam merayapi setiap sudut tempat itu.

   Tiba-tiba ada desiran angin halus ke arah mereka.

   Mereka segera menoleh ke arah suara itu, dengan gerakan cepat mereka berkelit menghindari benda kecil-kecil yang beterbangan mengancam tubuh mereka.

   Benda itu adalah jarum-jarum hitam yang meluncur dengan cepat sekali laksana hujan.

   "Pukulan 'Tameng Sakti Menerpa Hujan'!"

   Teriak Surya sambil melompat mengarahkan pukulan jarak jauhnya ke arah jarum-jarum beracun itu berdatangan.

   Serangkum angin menderu ganas memporak-porandakan jarum-jarum beracun tersebut.

   Tidak sampai di situ saja gerakan Surya, tangan kirinya segera melepaskan pukulan sakti yang lain ke arah sumber datangnya jarum-jarum beracun tadi berasal.

   "Pukulan 'Naga Langit Melebur Batu Karang'!"

   Selarik sinar putih melesat menuju batu besar.

   Blaarrr ...

   !!! Batu itu hancur berkeping-keping berantakan.

   Debu tebal membumbung tinggi akibat hancurnya batu besar yang terkena pukulan jarak jauh Surya yang bernama Pukulan 'Naga Langit Melebur Batu Karang'.

   Dari debu yang membumbung melesat bayangan biru yang tiba-tiba berdiri di depan Surya dan Panji dalam beberapa langkah.

   Dialah Dewi Lembah Tengkorak! Sebenarnya waktu Surya melepaskan pukulan naga langit melebur batu karang membuat Panji tersentak kaget karena Pukulan 'Naga Langit Melebur Batu Karang' adalah salah satu pukulan saktinya dalam rangkaian Ilmu 'Naga Sakti'.

   Dalam hati Panji bertanya-tanya bagaimana mungkin Pendekar Pedang Matahari memiliki pukulan sakti tersebut, jelas ini sangat membingungkan hati Panji.

   Tapi Panji menghiraukan rasa bingungnya itu dulu karena ini bukan saatnya untuk mencari tahu semua itu.

   Di hadapannya kini berdiri pimpinan Partai Lembah Tengkorak.

   "Ha-ha-ha-ha! Nyali kalian besar juga berani mengejarku sampai disini!"

   Ucap Dewi Lembah Tengkorak dengan tatapan mata yang sangat tajam menggetarkan hati siapa saja yang melihatnya.

   "Huh! Hari ini akan kuhentikan kekejamanmu, Dewi Lembah Tengkorak!"

   Ucap Surya tandas. Tatapan matanya tak kalah tajam dengan tatapan Dewi Lembah Tengkorak.

   "Ha-ha-ha-ha! Pendekar Pedang Matahari. Aku tahu kau tak akan sanggup melawanku. Sebaiknya lekas minggat dari hadapanku."

   "Oh ya?"

   "Aku tahu semua Ilmu 'Matahari'-mu sudah musnah karena kau telah melanggar pantangan! Benarkan kataku?"

   Seru Dewi Lembah Tengkorak.

   "Ekh?!"

   Surya tersentak kaget mendengar itu.

   "Dari mana dia tahu kalau Ilmu 'Matahari'-ku sudah musnah?"

   Batin Surya dalam hati.

   "Ha-ha-ha-ha! Kenapa? Apa kau kaget aku tahu ilmumu sudah musnah? Ha-ha-ha-ha!"

   Surya terdiam tidak bisa berkata apa-apa.

   Memang benar apa yang dikatakan Dewi Lembah Tengkorak.

   Ilmu 'Matahari'-nya memang sudah musnah karena melanggar pantangan.

   Tapi Dewi Lembah Tengkorak tidak mengetahui kalau ilmu Surya tidak semuanya ikut musnah, masih ada Ilmu 'Sembilan Bulan' yang kekuatannya setingkat dengan Ilmu 'Matahari' karena Ilmu 'Sembilan Bulan' adalah pasangan dari Ilmu 'Sembilan Matahari'.

   Surya menatap tajam Dewi Lembah Tengkorak.

   "Biar aku yang menghadapinya, Kisanak!"

   Ucap Panji tiba-tiba sambil memegang pundak Surya. Surya menoleh ke arah Pendekar Naga Putih.

   "Baiklah! Hati-hati,"

   Ucap Surya mengangguk sedikit. Panji mengangguk lalu maju dua tindak ke depan.

   "Aku yang akan melawanmu!"

   Seru Panji tenang.

   "Hmmm. Pendekar Naga Putih ! Ilmu 'Naga Sakti'-mu sudah kuketahui kelemahannya. Majulah! Akan kukirim kau ke neraka menyusul Gurumu!"

   Tandas sekali ucapan Dewi Lembah Tengkorak. Jelas tujuannya untuk memancing amarah Pendekar Naga Putih. Panji tersenyum tipis menanggapi pancingan Dewi Lembah Tengkorak.

   "Hehh! Aku takut malah kau yang nanti bertemu setan neraka duluan!"

   Ucap Panji tenang.

   "Huh! Sombong kau, Bocah! Rasakan jurusku!"

   Teriak Dewi Lembah Tengkorak murka.

   Dengan gerakan bagai kilat Dewi Lembah Tengkorak melesat menerjang dengan mengarahkan pukulannya ke arah kepala Panji.

   Serangkum angin yang menderu kencang juga mengikuti gerakan pukulan Dewi Lembah Tengkorak, ini menunjukkan pukulan Dewi Lembah Tengkorak di sertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi.

   Panji dengan gesit berkelit memiringkan kepalanya ke samping namun angin yang menderu dahsyat harus membuatnya melompat ke atas untuk menghindari terjangan tenaga dalam Dewi Lembah Tengkorak.

   Tiba-tiba serangan Dewi Lembah Tengkorak berubah arah ke samping dimana Panji menghindar, tentu saja ini mengejutkan Panji.

   Namun dengan gerakan cepat Panji mau tidak mau harus menangkis pukulan Dewi Lembah Tengkorak.

   Diegkh ...

   !! Dua tangan bertenaga dalam tinggi beradu di udara.

   Mereka sama-sama terpental ke belakang akibat beradu tenaga dalam.

   Panji manis sekali menjejakkan kakinya di tanah tanpa terpengaruh benturan tenaga dalam tadi.

   Sedang Dewi Lembah Tengkorak agak limbung begitu menjejakan kaki di tanah.

   Ini menunjukkan bahwa tenaga dalam Panji sedikit lebih unggul di atas Dewi Lembah Tengkorak.

   "Hyaaaatt!!"

   "Hiaaaatt!!"

   Dengan teriakan nyaring dua pendekar kelas atas melesat melancarkan jurus-jurus tingkat tinggi yang mereka kuasai.

   Jika dilihat pertarungan mereka seimbang karena belum ada yang terdesak sejauh ini, tapi tiba-tiba dari arah pohon tak jauh dari mereka bertarung melesat sinar merah darah menerjang Panji dan ini tidak di sadari Panji sama sekali.

   Sesaat sinar merah darah hampir mengenai tubuh Panji tiba-tiba dari arah samping melesat sinar putih cepat sekali membelokkan arah sinar merah darah tadi yang hampir mengenai Panji.

   Duaaarr ...

   !!! Ledakan dahsyat mengguncang tempat itu sehingga tempat itu laksana di terjang gempa, sebuah batu besar hancur berantakan terkena sinar merah darah yang di belokkan arahnya oleh sinar putih.

   Panji melompat mundur beberapa langkah tepat di samping Surya.

   "Terima kasih kau sudah menolongku!"

   Ucap Panji cepat karena dia tahu siapa yang telah melancarkan sinar putih dan membelokkan sinar merah yang hampir saja mencelakai dirinya.

   "Pengecut!"

   Maki Surya geram karena ada seseorang yang membokong Panji dari suatu tempat yang tidak terlihat.

   Itu adalah tindakan licik dan pengecut.

   Serangan secara membokong begitu adalah cara-cara yang dilakukan oleh orang-orang yang berjiwa picik serta pengecut.

   Mereka rata-rata menghalalkan segala cara agar lawan bisa kalah bahkan tewas jika perlu.

   Sungguh tindakan yang tidak bisa di toleransi, Surya sangat membenci orang-orang yang berlaku curang seperti tadi.

   "Ha-ha-ha-ha! Kau beruntung bisa selamat dari Pukulan 'Ular Merah'-ku, Pendekar Naga Putih!"

   Terdengar suara membahana dari empat penjuru di sertai tenaga dalam tinggi.

   Lalu tak berapa lama muncul seseorang dari balik pohon dan berdiri di samping Dewi Lembah Tengkorak.

   Seorang pemuda yang berumur 30 tahunan dengan memakai baju bagus warna coklat hitam dan berbelangkon di kepala.

   Sebilah pedang tersampir di pinggangnya.

   "Hari ini kalian akan aku lenyapkan dari muka bumi ini. Akan aku balaskan dendam Guru serta saudara-saudaraku yang telah kalian bunuh ! Aku bersumpah pada Guru dan saudara-saudaraku!"

   Ucap pria itu dengan dingin sekali, matanya tajam sekali seolah ingin melumat sampai hancur pada dua orang di depannya itu. Jelas sekali matanya menyiratkan kemarahan dan api dendam yang begitu membara.

   "Kakang!"

   Seru Dewi Lembah Tengkorak tersenyum senang melihat pria yang berdiri di sampingnya.

   "Siapa kau Kisanak?"

   Seru Surya cepat pada orang yang baru datang tersebut.

   "Huh! Pendekar Pedang Matahari. Kau harus mati di tanganku! Akan kukorek jantungmu untuk menebus kematian Guru dan saudara-saudaraku yang telah kau bunuh!"

   Dingin sekali ucapan orang itu dengan tatapan mata yang begitu tajam menusuk hati.

   "Aku Bagus Sampurno! Aku adalah murid Datuk Pulau Ular dan adik ke Lima Kelabang Ireng!"

   Lanjutnya. Surya dan Panji terdiam mendengar hal itu. Tidak di sangka kalau ada murid Datuk Pulau Ular dan adik dari Lima Kelabang Ireng yang telah mereka binasakan kini datang untuk menuntut balas atas kematian Guru dan saudara-saudaranya.

   "Pendekar Pedang Matahari! Rasakan seranganku! Hiaaaaatt!"

   Teriak Bagus Sampurno keras langsung melesat cepat menerjang Surya.

   Dewi Lembah Tengkorak pun juga ikut melesat menerjang Pendekar Naga Putih.

   Pertarungan empat orang yang memiliki ilmu dan jurus-jurus tingkat tinggi berlangsung sangat sengit.

   Panji menghadapi serangan Dewi Lembah Tengkorak dengan menggunakan jurus 'Naga Sakti'-nya, 'Tenaga Dalam Gerhana Bulan'-nya tampak melindungi tubuh Panji, seketika tempat itu menjadi dingin akibat 'Tenaga Dalam Gerhana Bulan' yang dikeluarkan oleh Panji.

   Tubuh Panji mengeluarkan sinar keperakan berhawa dingin.

   Surya menyambut serangan ganas Bagus Sampurno menggunak rangkaian jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' dengan 'Tenaga Dalam Ilmu Sembilan Bulan'.

   Seketika tubuh Surya mengeluarkan hawa dingin juga sama seperti yang dikeluarkan Panji tapi bedanya tubuh Panji diselimuti sinar keperakan karena mengeluarkan 'Tenaga Dalam Gerhana Bulan' sedang tubuh Surya tidak mengeluarkan cahaya keperakan seperti Panji.

   Namun yang nampak berubah pada diri Surya adalah rambut Surya berubah jadi berwarna kuning keemasan.

   Inilah wujud Surya jika berubah menjadi Pangeran Es bila menggunakan Ilmu 'Sembilan Bulan'.

   Tiap kali Surya menggunakan tenaga dalam dari 'Sembilan Bulan' maka Surya akan berubah menjadi Pangeran Es dimana rambut Surya menjadi berwarna kuning keemasan.

   Bila menggunakan tenaga dalam Ilmu 'Sembilan Matahari' maka Surya berubah menjadi Pangeran Matahari yang tidak mengeluarkan ciri seperti Pangeran Es.

   Dua hawa dingin yang bersatu menyebabkan tempat pertarungan itu menjadi dingin sedingin salju di kutub.

   Bagus Sampurno yang menyangka kalau lawannya yaitu Pendekar Pedang Matahari telah musnah ilmunya jadi terperanjat kaget karena tidak menyangka lawanya masih mampu mengimbangi setiap serangannya.

   Bahkan sampai jurus ke delapan puluh dia belum mampu mendesak Surya malah dia yang berkali-kali kena pukulan balasan Surya.

   Bagus Sampurno dengan gerakan cepat melompat ke belakang menjauh dari Surya.

   Dia berdiri dengan tatapan mata tajam ke arah Surya.

   "Hebat juga kau. Ilmu apa yang kau gunakan itu? Bukakan ilmumu sudah musnah?"

   Seru Bagus Sampurno penasaran. Surya tersenyum sinis dan dingin.

   "Kau kira semua ilmuku musnah. Heh, tidak semua ilmuku musnah. Apa kau ingin tahu ilmu apa yang kugunakan sekarang?"

   "Katakan saja, bangsat!"

   Surya kembali tersenyum sinis.

   "Apa kau pernah mendengar Ilmu 'Sembilan Bulan'? Itulah ilmu yang aku gunakan sekarang!"

   "Ekh?! Apa?!"

   Bagus Sampurno terperanjat kaget bukan main mendengar nama Ilmu 'Sembilan Bulan'. Bagus Sampurno tidak menyangka Pendekar Pedang Matahari memiliki ilmu langka yang hampir punah tersebut. Bagus Sampurno jadi teringat ucapan Gurunya dulu.

   "Ilmu 'Sembilan Bulan' adalah sumber kekuatan dari ilmu-ilmu Ular yang Guru miliki. Semua ilmuku akan sangat tidak berdaya bila berhadapan dengan orang yang memiliki Ilmu 'Sembilan Bulan' secara sempurna. Di dunia ini hanya tiga orang yang memiliki Ilmu 'Sembilan Bulan' secara sempurna yaitu Pangeran Es, Putri Bulan dan raja dari segala bangsa siluman yaitu Ksatria Naga Emas. Tapi ...

   "

   Datuk Pulau Ular menghentikan ucapannya sejenak lalu mulai buka suara lagi.

   "Tapi tiga orang itu sudah tidak akan muncul lagi di dunia ini. Pangeran Es dan Putri Bulan sudah menghilang 200 tahun yang lalu sedangkan Ksatria Naga Emas adalah raja dari segala siluman di dunia tidak akan mengganggu manusia karena itu adalah larangan baginya. Jadi tidak akan ada yang bisa menghalangi ilmu 'Ular'-ku,"

   Ucap Datuk Pulau Ular. Bagus Sampurno terngiang ucapan Gurunya itu. Dia menatap tajam Surya dengan seribu pertanyaan di hatinya.

   "Dari mana Pendekar Pedang Matahari bisa mendapatkan Ilmu 'Sembilan Bulan' itu? Bukankah Ilmu 'Sembilan Bulan' adalah ilmu yang berlawanan dengan Ilmu 'Matahari' yang dimilikinya. Ini sungguh tidak masuk akal. Lebih baik aku menghindar saja dari pada aku celaka,"

   Batin Bagus Sampurno dalam hati. Bagus Sampurno mengedarkan pandangannya ke sekeliling, rupanya tanpa dia sadari semua orang golongan putih sudah berdatangan mengurung tempat itu. Tidak ada jalan baginya untuk kabur.

   "Bangsat! Tidak celah untuk kabur dari sini. Lebih baik adu nyawa dengan Pendekar Pedang Matahari!"

   Batin Bagus Sampurno geram.

   "Pendekar Pedang Matahari. Aku beradu kesaktian denganmu! Bersiaplah!"

   Seru Bagus Sampurno lantang. Surya tersenyun sinis.

   "Akan kulayani! Keluarkan semua kesaktianmu!"

   Balas Surya dengan tenang.

   Bagus Sampurno menyatukan telapak tangannya di depan dada sambil mulutnya komat-kamit merapal ajian yang hendak di keluarkannya.

   Badannya agak merunduk lalu kedua tangannya di tarik kesamping tubuhnya dengan terkepal, kaki kanan sedikit di tarik ke belakang.

   Tatapan matanya tajam lurus menatap Surya.

   Surya merentangkan tangan kanannya lurus kesamping, tangan kirinya terbuka di depan dada, tangan kanannya di tarik kebelakan lalu di putar ke depan di barengi kaki kanan mundur ke belakang.

   Mereka bersamaan memukulkan tangan kanan mereka ke depan di ikuti teriakan lantang.

   "Pukulan 'Ular Merah'!"

   "Pukulan 'Gerhana Bulan'!"

   Dari kepalan tangan Bagus Sampurno yang berwarna merah membara tanda Bagus Sampurno mengerahkan seluruh tenaga dalam penuh melesat sinar merah darah ke arah Surya.

   Sedangkan kepalan Surya yang berwarna keemasan juga melesat sinar kuning keemasan ke arah Bagus Sampurno.

   Dua sinar tersebut bertemu di udara dalam satu titik.

   Dieesss!! Blaaarr!! Duaaarr!! Ledakan dahsyat mengguncang tempat itu saat dua sinar pukulan sakti beradu di udara dalam satu titik.

   Dua sinar beradu di udara itu menimbulkan percikan bunga api ke segala arah.

   Benar-benar dua kekuatan dahsyat yang saling tindih menindih saling mengalahkan.

   Hingga akhirnya sinar kuning keemasan mampu mendorong sinar merah darah lalu melabrak dada Bagus Sampurno.

   "Aaakhh ... !!"

   Jerit Bagus Sampurno menyayat hati terkena sinar kuning keemasan Pukulan 'Gerhana Bulan'.

   Tubuh Bagus Sampurno terpental jauh ke belakang tiga tombak, tenaga dorongan masih terasa menyeret tubuh Bagus Sampurno, baru berhenti setelah menabrak pohon hingga tumbang.

   Bagus Sampurno tewas seketika dengan sekujur tubuh pucat membeku.

   Itulah akibat yang ditimbulkan dari Pukulan 'Gerhana Bulan', membuat lawan yang terkena pukulan itu akan langsung membeku kaku.

   Surya sendiri bukannya tidak apa-apa tapi Surya juga terserek dua langkah ke belakang lalu jatuh berlutut dan muntah darah, tanda Surya juga mengalami luka dalam akibat efek beradunya dua pukulan sakti tadi.

   Surya segera menotok beberapa tempat di dadanya kemudian bersila mengalirkan hawa murni guna menyembuhkan luka dalam yang dia alami.

   Di tempat lain, pertarungan Panji dengan Dewi Lembah Tengkorak juga sudah sampai penggunaan pukulan-pukulan sakti mereka.

   Jeritan Bagus Sampurno membuat Dewi Lembah Tengkorak kaget dan ini mengakibatkan fatal bagi dirinya, karena kelengahannya itu sebuah sinar putih Pukulan 'Naga Langit Meluruk Bumi' langsung menghantam tubuh Dewi lembah tengkoraj.

   "Aaakhh ... !!"

   Jerit Dewi Lembah Tengkorak menggidikkan bulu kuduk yang mendengarkan.

   Tak ayal lagi Dewi Lembah Tengkorak langsung terpental ke belakang terkena sapuan pukulan sakti tingkat tinggi milik Panji.

   Tubuh Dewi Lembah Tengkorak menabrak batu besar hingga hancur dan langsung tewas seketika.

   Panji segera bersila mengalirkan hawa murni di dadanya guna meredam getaran akibat dari efek beradunya dua pukulan hebat tersebut.

   "Kakang!!"

   Seru Kenanga panik langsung menghampiri Panji.

   "Surya!!"

   Seru Intan Ayu cepat menghampiri Surya yang tengah mengalirkan hawa murni di tubuhnya.

   "Intan!"

   Seru Eyang Rakanini dan Lestari. Mereka menghampiri Intan Ayu yang berada di samping Surya.

   "Eyang! Kak Lestari!"

   Ucap Intan Ayu menoleh ke arah Rakanini dan Lestari.

   "Kenapa kau bisa ada disini intan? Kau pergi dari Perguruan lagi?"

   Ucap Lestari memarahi Intan Ayu.

   "Surya, kau baik-baik saja?"

   Ucap Ki Wanengpati setelah melihat Surya membuka matanya. Surya menatap Ki Wanengpati lalu menggeleng pelan.

   "Aku tidak apa-apa."

   "Surya. Kamu tidak apa-apakan?"

   Seru Intan Ayu cemas. Surya tersenyum lembut lalu menggeleng pelan.

   "Kau sendiri tidak terluka, kan?"

   Tanya Surya kalem.

   "Tidak! Aku tidak apa-apa,"

   Sahut Intan Ayu menggeleng cepat.

   "Intan!"

   Seru Lestari.

   Surya menoleh ke arah arah gadis cantik yang bernama Lestari itu, Surya tersenyum lembut ketika Lestari melihat dirinya.

   Tampak Lestari jadi kikuk melihat Surya yang juga menatap dirinya, buru-buru Lestari membuang muka menghindari tatapan langsung dengan Surya.

   "Intan. Ayo pulang!"

   Seru Eyang Rakanini.

   Intan menatap Surya sejenak seolah enggan berpisah dengan pemuda yang sudah sangat dekat dengan dirinya itu.

   Surya diam saja tidak pedulikan Intan Ayu yang menatap dirinya karena merasa berat untuk berpisah.

   Surya malah menghampiri Ki Wanengpati.

   "Kita pergi, Ki!"

   Ucap Surya. Ki Wanengpati mengangguk cepat. Surya dan Ki Wanengpati segera melesat cepat meninggalkan tempat tesebut.

   "Surya!"

   Teriak Intan Ayu cepat coba mencegah Surya namun Surya sudah hilang dari tempatnya bersama Ki Wanengpati.

   Satu persatu semua orang yang berada di Lembah Tengkorak melangkah pergi dari tempat tersebut meninggalkan reruntuhan bangunan di Lembah Tengkorak tersebut.

   --TAMAT--SEGERA HADIR KISAH PENDEKAR PEDANG MATAHARI DALAM EPISODE .

   "PRAHARA DARAH BIRU"

   

   

   

Delapan Kitab Pusaka Iblis Karya Rajakelana Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen

Cari Blog Ini