Ceritasilat Novel Online

Pembalasan Ratu Sihir 1


Pendekar Pulau Neraka Pembalasan Ratu Sihir Bagian 1


PEMBALASAN RATU SIHIR Oleh Teguh S.

   Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta Gambar sampul oleh Tony G.

   Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.

   Teguh S.

   Serial Pendekar Pulau Neraka dalam episode.

   Pembalasan Ratu Sihir 128 hal.

   ; 12 x 18 cm Dari kejauhan, Gunung Tangkar tampak menjulang tinggi mencakar langit.

   Puncaknya yang membentuk kerucut, selalu terselimut oleh kabut tebal.

   Dalam Ibeberapa tahun belakangan ini, tak seorang pun yang berani mendaki gunung itu.

   Hal itu disebabkan oleh adanya seorang perempuan tua yang bersemayam di puncaknya.

   Dia adalah seorang yang ahli dalam ilmu sihir dan sangat kejam.

   Maka tidak heran kalau desa-desa di sekitarnya selalu tampak sunyi, jauh dari kegiatan sehari-hari.

   Namun keangkeran gunung itu tidak menghalangi seorang laki-laki tua yang diikuti oleh sekitar dua puluh orang, mendaki Lereng Gunung Tangkar itu dengan langkah-langkah lebar dan tergesa-gesa.

   Laki-laki itu adalah Ketua Padepokan Tongkat Merah, yang bernama Ki Pulut.

   Sedangkan para pengikutnya yang berjumlah dua puluh orang tersebut, adalah murid-muridnya.

   Mereka terus mendaki tanpa menghiraukan lagi keangkeran gunung itu.

   Di samping Ki Pulut, berjalan seorang gadis yang beusia sekitar delapan belas tahun.

   Dia berpakaian warna hijau muda dan sangat ketat, sehingga lekuk-lekuk tubuhnya yang indah dan ramping terlihat jelas, sementara rambutnya yang hitam dan panjang terikat oleh kain pita yang warnanya hijau.

   Sedangkan dipinggangnya terselip sebilah pedang pendek yang gagangnya berbentuk kepala naga, dan bermata dari batu merah delima.

   "Masih jauhkah letak puncaknya, Ayah?"

   Tanya gadis itu. Suaranya mendesah dan terputus-putus lantaran kecapaian.

   "Kenapa? Takut?"

   Ki Pulut balik bertanya. Gadis itu tidak menjawab.

   "Dewi, sudah kukatakan sejak semula, sebaiknya kau tinggal saja di padepokan. Nyai Lumping itu orangnya sangat kejam dan ilmu sihirnya sangat tinggi. Aku saja belum tentu mampu menandinginya,"

   Kata Ki Pulut setengah kesal.

   "Kalau Ayah sendiri sudah merasa tidak akan mampu menandinginya, kenapa menyanggupi juga perintah Gusti Prabu Indrajaya?"

   "Titah seorang raja tidak bisa dibantah, Anakku. Kau tahu, apa akibatnya kalau aku sampai menolak perintah itu? Bukan saja padepokan kita akan hancur tapi kita semua juga akan mati di tiang gantungan!"

   "Huh! Apakah sikap semua raja selalu begitu?"

   Dengus Dewi Puspita.

   "Tidak semuanya begitu, Dewi. Ada juga seorang raja yang bijaksana dan adil. Dan tidak pernah membebani rakyat dengan tugas-tugas yang berat."

   "Kan masih banyak padepokan-padepokan lain yang lebih besar, Ayah. Kenapa Gusti Prabu menunjuk padepokan kita?"

   "Dewi, sebelum aku mendirikan Padepokan Tongkat Merah, aku adalah seorang panglima perang. Dulu, kerajaan Bumi Loka masih diperintah oleh Ayahanda Gusti Prabu Indrajaya. Dan aku mengundurkan diri setelah Gusti Prabu Swarajaya mangkat. Aku merasa sudah tua dan tidak kuat lagi untuk memimpin sekian ribu prajurit."

   "Aku merasa bahwa perintah ini bukan datang dari Gusti Prabu Indrajaya. Aku menduga hal ini adalah ulah...."

   "Dewi! Jangan coba-coba berprasangka buruk dulu pada orang lain,"

   Potong Ki Pulut agak membentak.

   "Ayah tidak perlu menutup-nutupi hal ini, aku sudah tahu semuanya. Aku juga mengerti kenapa Ayah mengundurkan diri dari jabatan panglima. Dan aku juga sudah tahu, kenapa...?"

   "Sudahlah, Dewi. Tuhan Maha Adil, barang siapa yang menanam, pasti akan memetik hasilnya! Yang penting sekarang, kita harus melaksanakan tugas berat ini. Lihat, sebentar lagi kita akan sampai di puncak. Mudah-mudahan Nyai Lumping mau menerima kedatangan kita dengan baik."

   Meskipun dalam hatinya Dewi Puspita tidak menyetujui sikap ayahnya itu, namun dia tidak banyak bertanya lagi.

   Dia hanya berpikir, siapa pun orangnya, pasti akan menolak tugas ini.

   Karena semua orang tahu, menemui Nyai Lumping berarti menyerahkan nyawa dengan sia-sia! Tiba-tiba Ki Pulut mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi di hadapan murid-muridnya.

   Seketika pula pengikutnya itu langsung berhenti melangkah, dan segera mencabut senjatanya masing-masing.

   Tapi Ki Pulut segera memerintahkan untuk menyimpan kembali senjata mereka.

   Kini perasaan tegang dan mencekam melanda mereka semua.

   Sejenak Ki Pulut mengedarkan pandangan berkeliling.

   Namun sejauh matanya memandang, hanya kabut tebal yang terlihat.

   Sementara angin yang bertiup kencang menyebarkan hawa dingin seperti menusuk tulang.

   Mereka sekarang sudah berada Puncak Gunung Tangkar, di mana wanita tua yang berjuluk Ratu Sihir itu tinggal.

   *** Pelahan-lahan Ki Pulut mengayunkan kakinya.

   Sementara Dewi Puspita dan semua murid-muridnya mengikuti dari belakang.

   Bola mata mereka terus mengawasi dengan tajam keadaan sekitarnya.

   "Barangkali Nyai Lumping sudah tidak ada di sini lagi, Ayah,"

   Kata Dewi Puspita setengah berbisik. Namun keadaan yang sunyi di sekitar tempat itu membuat suara gadis itu terdengar jelas.

   "Hm...,"

   Kl Pulut hanya bergumam tidak jelas.

   "Graaagh...!"

   Tiba-tiba terdengar suara menggerung yang dahsyat dan menggetarkan jantung. Mereka semua langsung bersiaga dengan menghunus senjatanya masing-masing! "Hati-hati, kedatangan kita sudah diketahui,"

   Kata Ki Pulut memperingatkan.

   Suaranya terdengar setengah berbisik.

   Belum lagi kering kata-kata laki-laki tua itu, mendadak di sekitar tempat itu melayang batu-batu cadas yang runcing dan tajam.

   Batu-batu itu datang dari empat penjuru, bagaikan dilontarkan oleh tangan-tangan yang besar dan kuat.

   Tentu saja keadaan itu membuat dua puluh orang murid Padepokan Tongkat Merah jadi panik.

   "Tenang! Itu cuma tipuan!"

   Bentak Ki Pulut.

   Aneh! Batu-batu itu langsung hilang begitu menyentuh tanah, dan tidak ada satu batu pun yang sempat mengenai tubuh mereka.

   Namun tak lama sesudah hujan batu itu reda, mendadak mereka dikejutkan kembali dengan munculnya sesosok makhluk yang bertubuh seperti raksasa.

   Tubuh makhluk itu dipenuhi oleh bulu-bulu hitam yang tebal dan kasar.

   Sedangkan wajahnya tidak berbeda jauh dengan seekor kera, dengan sepasang bola mata berwarna kemerahan dan bersorot tajam.

   "Grhaaagh...!"

   Makhluk itu kembali menggeram dahsyat "Tolooong...!"

   Mendadak salah seorang murid Ki Pulut menjerit keras sambil berlari.

   Namun baru beberapa batang tombak dia berlari, makhluk itu sudah melompat, dan langsung mencengkeram pundaknya.

   Maka tanpa ampun lagi, dengan giginya yang bertaring tajam, makhluk mengoyak tubuh salah seorang murid Padepokan Tongkat Merah itu! "Kejam...!"

   Desis Dewi Puspita tidak sanggup untuk menyaksikan makhluk itu memakan tubuh korbannya.

   "Jangan!"

   Sentak Ki Pulut ketika melihat tiga muridnya maju.

   Namun ketiga orang tersebut sudah keburu lompat seraya menghunus senjatanya.

   Tampak dua orang sudah memegang pedang, dan seorang lagi menggenggam sebuah tongkat pendek berwarna merah.

   Mereka langsung menyerang makhluk yang mengerikan itu.

   "Hiya...!"

   "Yeaaa...!"

   "Aaargh!"

   Dengan bertubi-tubi mereka segera membabatkan senjatanya masing-masing ke tubuh makhluk itu.

   Namun makhluk itu hanya menggeram dan membiarkan saja tubuhnya jadi bulan-bulanan mereka.

   Tidak sedikit pun kulitnya cidera.

   Tiba-tiba saja tangan makhluk itu bergerak menyambar, sehingga salah seorang dari mereka terpental jauh sampai puluhan tombak.

   Suara jeritannya terdengar melengking dan menyayat hati.

   Belum lagi suara jeritan itu hilang dari pendengaran, segera disusul dengan terdengarnya satu jeritan, dan satu pekikan tertahan.

   Tampak dua tubuh dengan kepala hancur dan dada terbelah, menggeletak di samping kaki makhluk itu.

   "Graaagh...!"

   Mendadak makhluk itu kembali menggeram dahsyat sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.

   "Kalian semua diam! Jangan ada lagi yang bergerak tanpa perintahku!"

   Seru Ki Pulut.

   Seketika mereka yang mulai ribut, kembali terdiam.

   Tampak jelas wajah mereka pucat dengan tubuh gemetaran.

   Sementara makhluk raksasa itu terus menggerung-gerung, sehingga menggetarkan tanah yang mereka pijak.

   Namun lama kelamaan raungan-nya makin melemah, bersamaan dengan tubuhnya yang menyusut kecil.

   Kini yang ada di depan mereka hanyalah seekor kera biasa yang kelihatan jinak.

   Dan hewan itu segera berlari menembus kabut dengan meninggalkan suara yang mencericit ribut.

   "Kalian harus tetap menuruti kata-kataku, agar tidak ada lagi yang bernasib seperti teman-temanmu!"

   Kata Ki Pulut agak tertahan suaranya.

   Bagaimanapun juga dia menyesali kejadian barusan.

   Kini suasana di Puncak Gunung Tangkar itu kembali sunyi.

   Hanya terdengar deru angin dan detak jantung mereka yang bergerak cepat.

   Sementara kabut di sekitar tempat itu semakin tebal dan menghalangi perjalanan mereka.

   *** "Guru, sebaiknya kita kembali saja,"

   Kata seorang memberanikan diri dengan wajah pucat.

   "Benar, Guru,"

   Sambung yang lainnya dengan tubuh bergemetaran.

   Sejenak Ki Pulut memandangi wajah murid-muridnya yang kini jumlahnya tinggal enam belas orang.

   Hatinya sedih melihat kekerdilan jiwa mereka, namun dengan bijaksana, Ki Pulut segera bisa memakluminya.

   Nama Nyai Lumping memang mampu menggetarkan jiwa orang yang mendengarnya, apalagi mereka telah menyaksikan kejadian yang sangat mengerikan itu.

   Bagi Ki Pulut, kematian seseorang dengan cara apa pun juga, tidak membuatnya gentar lagi.

   Sejak masih berkelana dalam dunia persilatan, hingga menjadi seorang panglima perang, dan sekarang menjadi guru dan ketua sebuah padepokan, dia sudah biasa menghadapi kematian.

   Tapi bagi murid-muridnya yang belum pernah bertarung secara sungguh-sungguh tentu kematian merupakan hal yang baru.

   Padepokan yang didirikannya boleh dikatakan masih seumur jagung, maka sudah sepantasnya kalau murid-muridnya yang baru beberapa orang itu masih memiliki jiwa yang kerdil.

   "Hik hik hik..!"

   Tiba-tiba terdengar suara tawa yang mengikik keras.

   Suara tawa itu panjang dan mengerikan, seolah-olah bergema dari segala arah! Seketika enam belas orang pengikut Ki Pulut saling berpandangan dengan wajah pucat pasi.

   Sedangkan tubuh mereka juga semakin keras menggigil.

   Kini mereka tidak sanggup lagi untuk menahan diri, dan segera lari pontang-panting sambil berteriak-teriak ketakutan.

   Sementara Ki Pulut dan Dewi Puspita masih terlihat tenang.

   Tiba-tiba terlihat sinar-sinar yang menyilaukan mata berkelebat cepat dan menyambar-nyambar di antara tubuh-tubuh yang sedang berlari tersebut.

   Seketika terdengar jerit dan pekik kematian yang memilukan, disusul dengan bergelimpangannya enam tubuh orang-orang pengikut Ki Pulut.

   Benar-benar mengerikan! Tubuh mereka hangus terbakar, dan tewas tanpa bisa berkutik lagi.

   "Manusia-manusia bodoh! Berani-beraninya kalian mengotori tempat tinggalku!"

   Mendadak terdengar suara nyaring melengking tinggi.

   Belum lagi gema suara itu hilang, tiba-tiba di hadapan mereka muncul seorang perempuan tua yang usianya sekitar seratus tahun.

   Dia mengenakan baju longgar yang warnanya sudah kusam.

   Sedangkan di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat berkeluk-keluk yang ujungnya berbentuk tengkorak kepala manusia.

   Wajahnya nyaris tertutup oleh rambut yang warnanya sudah putih dan kusut.

   Namun sinar matanya masih terlihat nyalang dan tajam.

   Sementara jari tangannya berkuku hitam panjang dan runcing.

   Kini semua mata memandang pada perempuan tua itu tidak berkedip.

   Degup jantung mereka terasa lebih cepat dari biasanya.

   "Hik hik hik.., aku sudah tahu maksud kedatanganmu, Ki Pulut,"

   Perempuan tua itu kembali bersuara.

   Ki Pulut tidak heran lagi kalau Nyai Lumping sudah mengetahui namanya, dan bisa menebak maksud kedatangannya.

   Perempuan tua itu memang punya kepandaian yang jarang dimiliki oleh orang lain.

   Dia bisa mengetahui jalan pikiran seseorang, dan juga bisa melihat semua kejadian meskipun sangat jauh tempatnya.

   "Tidak ada seorang pun yang mampu menghalangi kehendakku, Ki Pulut! Dewa pun pasti akan berpikir seribu kali sebelum menegurku!"

   Kata perempuan tua itu pongah.

   "Ketahuilah, Nyai Lumping. Aku datang dengan maksud untuk menghentikan segala tindakan angkara murkamu! Sudah banyak orang-orang yang tak berdosa mati di tanganmu!"

   Kata Ki Pulut lantang dan tak merasa gentar sedikit pun.

   "Hik hik hik...! Nyalimu cukup besar juga, Ki Pulut. Tapi sayang, kau belum cukup kuat untuk meredamku!"

   "Atas nama Gusti Prabu lndrajaya, aku rela menyabung nyawa demi kebenaran!"

   "Hebat! Hik hik hik...! Rupanya bocah ingusan ini kini sudah mulai mengikuti jejak orang tuanya. Hebat...!"

   Kembali Nyai Lumping tertawa mengikik dan menyeramkan.

   Dan pada saat itu, diam-diam Ki Pulut mencabut senjatanya yang berupa sebatang tongkat berwarna merah.

   Sejak tadi tongkat sepanjang lengan itu terselip di pinggangnya dan tertutup jubah yang panjang.

   Tangannya sedikit bergetar sambil menggenggam ujung tongkat.

   "Tahan seranganku, Perempuan Iblis!"

   Bentak Ki Pulut keras.

   "Hih! Hiyaaa...!"

   "Huh! Hik hik hik...!" *** Suara tawa Ratu Sihir itu terus terdengar meskipun dia tengah melayani serangan-serangan Ki Pulut yang dahsyat dan mematikan. Tongkat merah di tangan laki-laki tua itu terus berlebatan cepat hingga menimbulkan suara angin yang menderu-deru. Sementara kabut yang menyelimuti Puncak Gunung Tangkar tersibak, dann terhempas oleh hembusan angin yang ke luar dari klbasan-kibasan tongkatnya. Sedangkan Dewi Puspita dan sepuluh orang lainnya tampak sudah berjaga-jaga dengan senjata terhumus. Pertarungan antara Ki Pulut dengan Nyai Lumping terus berjalan makin sengit dan cepat. Begitu cepatnya, sehingga yang tampak hanyalah dua bayangan berkelebatan saling serang dan bertahan.

   "Hik hik hik...! Keluarkan seluruh kepandaianmu, Kl Pulut!"

   Ejek Nyai Lumping terus mengikik.

   "Setan...!"

   Geram Ki Pulut sengit.

   Ketua Padepokan Tongkat Merah itu semakin memperhebat serangan-serangannya.

   Bahkan kini tidak tanggung-tanggung lagi, dia langsung mengeluarkan jurus-jurus andalannya! Namun tampaknya Nyai Lumping masih menanggapinya dengan ringan.

   Gerakan-gerakan tubuhnya begitu lincah.

   Tak sedikitpun tongkat merah milik Ki Pulut mampu menyentuhnya.

   Hal itu tentu saja membuat Ki Pulut semakin penasaran, karena serangan-serangannya selalu dapat dipatahkan dengan mudah.

   Kini hampir semua ilmu yang dia andalkan sudah dikerahkan, namun belum juga mampu mendesak perempuan tua itu.

   Bahkan sudah beberapa kali dia harus jatuh bangun untuk menghindari serangan-serangan balasan dari Ratu Sihir itu.

   Melihat ayahnya semakin kewalahan dan mulai terdesak, Dewi Puspita segera memerintahkan kepada sepuluh orang murid ayahnya untuk membantu.

   Dan tanpa menunggu perintah dua kali, mereka langsung berlompatan ke depan.

   "Hik hik hik...! Bagus...! Biar sekalian kubereskan kalian semua!"

   Seru Nyai Lumping gembira..

   Sementara Ki Pulut yang sudah merasa kewalahan, tidak melarang murid-muridnya ikut menyerang Nyai Lumping.

   Sedangkan Dewi Puspita juga tidak mau ketinggalan, dengan pedang peraknya dia segera merangsek dengan jurus-jurus pedangnya yang dahsyat.

   "Lebih enak kalau kalian mati terpanggang! Hup!"

   Wus...! Mendadak Ratu Sihir itu melenting tinggi sambil mengebutkan kedua tangannya.

   Dan begitu kakinya menjejak tanah, dari kedua telapak tangannya tiba-tiba meluncur api.

   Seketika tempat di sekitar itu terbakar hebat! Sebentar saja jerit pekik terdengar memilukan, mengiringi beberapa orang yang belingsatan terjilat oleh api.

   Bahkan ada beberapa orang yang berguling-guling di tanah dengan tubuh berkobar api.

   Buru-buru Ki Pulut segera menyambar tangan Dewi Puspita, dan membawanya ke luar dari lingkaran api itu.

   Sementara sepuluh orang muridnya sudah menggelepar-gelepar di tanah.

   "Hik hik hik...!"

   Nyai Lumping tertawa mengikik menyaksikan lawan-lawannya tidak berdaya terkurung oleh api buatannya.

   Namun tawa perempuan itu tiba-tiba terhenti! Mendadak di sekitar tempat itu bertiup angin topan yang langsung memadamkan api itu.

   Tampak Ki Pulut lengah merentangkan tangannya ke depan.

   Ternyata laki-laki tua itulah yang menciptakan angin yang sangat dahsyat itu.

   Namun terlambat, karena seluruh murid-muridnya sudah tewas terbakar.

   "Grrr...!"

   Nyai Lumping langsung menggeram bagai singa betina.

   Tiba-tiba perempuan tua itu mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi, dan dengan cepat tongkat itu dibantingkan ke tanah.

   Lalu secepat kilat tongkatnya diarahkan ke depan, seketika itu juga meluncurlah sinar-sinar yang sangat menyilaukan mata.

   Sinar-sinar itu kemudian meluruk deras ke arah Ki Pulut dan Dewi Puspita.

   "Dewi, awas...!"

   Seru Ki Pulut memperingatkan.

   Dengan cepat Ki Pulut kemudian memutar tongkat merahnya, membuat tameng! Dan sinar-sinar itu segera berlompatan dan tak mampu menembus lingkaran merah yang keluar dari tongkat itu.

   Sementara itu Dewi Puspita juga tengah sibuk berlompatan untuk menghindari sinar-sinar yang tertuju kepadanya.

   Beberapa kali dia memekik tertahan sambil menghalau sinar-sinar itu dengan pedangnya.

   Aneh! Sinar itu seakan-akan memiliki nyawa, dan mampu menghancurkan benda apa saja.

   Kalau saja pedang gadis itu hanya sebuah pedang biasa, mungkin sudah hancur sejak tadi terhantam sinar itu.

   "Dewi! Cepat tinggalkan tempat ini!"

   Seru Ki Pulut sambil terus menghindar dari gempuran sinar-sinar itu! "Bagaimana dengan Ayah!"

   "Jangan hiraukan aku, aku akan segera menyusul!"

   Sebentar Dewi Puspita menatap ayahnya, lalu dengan cepat dia melompat dan meninggalkan tempat itu.

   Namun kepergian Dewi Puspita segera diketahui oleh Nyai Lumping.

   Dan perempuan tua itu langsung mengarahkan kepala tongkatnya kepada gadis itu.

   Namun dengan cepat Ki Pulut melenting dan menghajar tongkat itu.

   Seketika satu ledakan keras terdengar begitu tongkat merah membentur kepala tongkat berbentuk tengkorak manusia itu.

   Tubuh Ki Pulut terpental sejauh sepuluh batang tombak.

   Sedangkan Nyai Lumping hanya terdorong dua langkah ke belakang.

   Saat itu Dewi Puspita sempat berbalik, dan dia tersentak ketika melihat ayahnya terpental jauh dan membentur sebuah dinding batu yang keras.

   "Ayah...!"

   Jerit Dewi Puspita tak bisa menahan diri "Cepat pergi!"

   Bentak Ki Pulut seraya berusaha bangkit. Sejenak Dewi Puspita masih ragu-ragu, namun begitu melihat ayahnya kembali berdiri dengan tegar, gadis itu segera berbalik dan berlari cepat dengan mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya.

   "Kalian tidak akan bisa lolos dariku, keparat...!"

   Geram Nyai Lumping seraya melenting dan mengejar Dewi Puspita.

   Melihat itu, dengan cepat Ki Pulut melenting dan memapak perempuan tua itu.

   Kembali mereka saling berbenturan di udara.

   Dan untuk kedua kalinya terdengar satu ledakan dahsyat disusul dengan terpentalnya tubuh mereka.

   Namun dengan cepat keduanya segera bangkit kembali.

   Sementara itu Dewi Puspita sudah jauh meninggalkan Puncak Gunung Tangkar.

   "Setan! Kubunuh kau. Pulut...!"

   Geram Nyai Lumping gusar.

   Dan tanpa menghiraukan Dewi Puspita lagi, Nyai Lumping langsung menyerang Ki Pulut yang sudah dalam kondisi tidak stabil lagi.

   Dengan sisa-sisa tenagannya, Ki Pulut masih mampu menandingi serangan-serangan perempuan tua itu.

   Namun baru berjalan beberapa jurus saja, nampaknya Ki Pulut sudah tidak mampu lagi untuk bertahan.

   Gerakan-gerakannya kini mulai tidak beraturan lagi, dan pertahanannya semakin mengendur.

   Hingga suatu saat....

   "Mampus kau, hiyaaa...!"

   Pekik Nyai Lumping sambil melompat cepat.

   Saat itu juga ujung tongkatnya menusuk ke dada Ki Pulut.

   Dengan bersusah payah, Ki Pulut berusaha menghindar dengan menjatuhkan diri ke tanah, namun ujung tongkat perempuan tua itu masih juga sempat merobek bahunya.

   Darah segar mengucur deras keluar dari bahu yang menganga lebar.

   Kl Pulut terhuyung-huyung kebelakang.

   Dan tanpa dapat dicegah lagi, satu tendangan keras mendarat di dadanya.

   Kembali laki-laki tua itu terpental jauh membentur pohon hingga tumbang.

   Rupanya Nyai Lumping belum juga merasa puas.

   Sambil berteriak nyaring, dia melompat dan menghunjamkan ujung tongkatnya ke dada Ki Pulut.

   "Aaakh...!"

   Ki Pulut langsung menjerit keras.

   Darah segar menyembur dari dada Ki Pulut begitu ujung tongkat yang tertanam dalam di dada tercabut.

   Nyai Lumping segera membersihkan ujung tongkatnya yang penuh darah dengan baju yang dikenakan oleh Ki Pulut yang kini telah tidak bernyawa lagi itu.

   "Huh! Anak setan itu harus segera dilenyapkan, kalau tidak pasti dia akan menjadi penghalangku kemudian hari!"

   Geram Nyai Lumping.

   Lolosnya Dewi Puspita membuat Ratu Sihir itu marah luar biasa.

   Dan dia tidak akan membiarkan seorang pun lolos dari tangannya.

   Dan sekali loncat saja, perempuan tua itu sudah lenyap ditelan kabut, meninggalkan beberapa mayat yang bergelimpangan.

   Kini kesunyian kembali menyelimuti Puncak Gunung Tangkar itu.

   Sementara angin yang berhembus kencang menyebarkan bau anyir darah yang menggenang di tanah sekitar tempat itu.

   *** Di Istana Kerajaan Bumi Loka, Prabu Indrajaya tengah duduk di singgasana, didampingi oleh permaisurinya yang cantik dan anggun.

   Sedangkan para patih, panglima dan pembesar-pembesar kerajaan lainnya duduk menghadap dengan takjim.

   Mereka kini tengah membicarakan keadaan kerajaan yang belakangan ini sering dilanda musibah.

   Bahkan ada sebuah desa yang tidak jauh dari Kaki Gunung Tangkar hampir musnah diserang wabah penyakit yang sulit untuk diberantas.

   Sudah puluhan tabib didatangkan untuk dimintai pertolongan, namun tidak satu pun yang mampu mengusir wabah itu Dan mereka semua punya pendapat yang sama, wabah itu sengaja dikirimkan oleh seorang ahli sihir yang tinggal di Puncak Gunung Tangkar.

   Semua orang tahu, siapa ahli sihir itu.

   Seorang perempuan tua yang dijuluki Ratu Sihir dan bernama Nyai Lumping "Paman Patih Ardareja, apakah tidak ada lagi seorang tabib atau orang pandai di negeri ini yang mampu mengusir wabah itu?"

   Tanya Prabu lndrajaya sambil memandang seorang laki-laki setengah baya.

   "Ampun, Gusti Prabu. Hamba sudah mengerahkan berpuluh-puluh tabib dan orang pandai, namun wabah itu sukar untuk diberantas. Karena wabah itu memang sengaja diciptakan oleh nenek sihir jahat yang bermukim di Puncak Gunung Tangkar,"

   Sahut Patih Ardareja seraya memberi sembah.

   "Hm..., maksudmu Nyai Lumping?"

   Tanya Prabu Indrajaya seraya mengerutkan keningnya.

   "Benar, Gusti Prabu."

   Untuk beberapa saat lamanya Prabu Indrajaya terdiam merenung.

   Sementara semua orang yang berada di Balai Agung Istana Bumi Loka itu juga diam membisu.

   Namun saat suasana tengah dicekam kesunyian itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara tawa yang mengikik keras.

   "Hik hik hik...!"

   Seketika mereka semua tersentak seraya mengangkat kepalanya.

   Sedangkan suara tawa mengikik itu semakin jelas terdengar, dan bergema ke seluruh ruangan.

   Para patih dan panglima segera berdiri seraya menghunus senjata masing-masing.

   Sedangkan para prajurit yang menjaga, juga sudah siap dengan senjata.

   Sementara dayang-dayang yang berjumlah tidak lebih dari dua puluh orang, segera membawa masuk Permaisuri Puspa Sari ke kaputren.

   Kemudian dengan diiringi oleh empat orang panglima perang kerajaan, Prabu lndrajaya segera melangkah ke luar.

   *** Seorang perempuan tua berbaju kusam dengan memegang tongkat berkepala tengkorak, berdiri di tengah-tengah halaman depan istana yang luas.

   Tidak kurang dari tiga puluh orang prajurit sudah mengepungnya.

   Sementara perempuan tua itu terus terkekeh, membuat tubuhnya yang bungkuk semakin bertambah bungkuk.

   Sedangkan Prabu Indrajaya sudah berdiri tegak pada undakan pertama tangga istana didampingi oleh empat orang panglima.

   Di belakangnya berjejer para patih dan pembesar-pembesarnya.

   Wajah-wajah mereka kelihatan tegang.

   Mereka sudah tahu, siapa perempuan tua yang datang dengan tiba-tiba dan tanpa aturan itu.

   "Hik hik hik...!"

   "Nyai Lumping! Apa maksudmu datang ke sini? tanya Patih Ardareja lantang suaranya.

   "Hik hik hik...! Sudah bertahun-tahun aku melupakan semuanya. Aku menyepi tanpa mau diganggu oleh siapa pun. Aku juga sudah berusaha untuk mematuhi perjanjianku dengan ayahmu, Indrajaya!"

   Nyai Lumping tidak sedikit pun hormat pada Prabu Indra jaya.

   "Nyai Lumping, jika kedatanganmu memang bermaksud baik, marilah kita bicara baik-baik di dalam."

   Ajak Prabu Indrajaya ramah dan sopan.

   Dia sama sekali tidak merasa tersinggung dengan sikap perempuan tua itu yang tidak menghormatinya sebagaimana mestinya "Kedatanganku bisa bermaksud baik ataupun buruk, tergantung dari sikap tikus-tikusmu, Indrajaya!"

   Para panglima, patih dan pembesar kerajaan lainnya hanya bisa menggerutu dalam hati. Dan tidak ada satu pun yang berani menunjukkan sikap berang pada wanita itu. Meskipun kata-katanya sangat menusuk dan menyakitkan.

   "Mari, silakan masuk,"

   Ajak Prabu Indrajaya dengan ramah.

   "Tidak perlu! Kedatanganku hanya ingin mengatakan bahwa kau telah membuka kembali pertikaian lama!"

   Tegas kata-kata Nyai Lumping.

   "Nyai Lumping, aku tidak mengerti maksudmu! Tolong dijelaskan,"

   Pinta Prabu Indrajaya setengah kaget.

   "Hm..., aku tidak percaya kalau ternyata kau pandai berpura-pura. Seluruh rakyatmu akan binasa jika kau tidak mau meminta maaf padaku seperti yang telah dilakukan oleh ayahmu, Indrajaya! Camkan itu baik-baik!"

   "Nyai Lumping, aku merasa tidak pernah melakukan tindakan apa pun terhadapmu! Katakan, apa yang telah terjadi,"

   Prabu Indrajaya jadi bingung.

   "Aku yakin, kau telah mengirim tikus-tikus yang tak berguna ke Puncak Gunung Tangkar! Itu berarti bahwa kau telah melanggar janji ayahmu terhadapku! Kau pasti sudah tahu akibatnya, Indrajaya!"

   Seketika Prabu Indrajaya tersentak kaget.

   Dia sama sekali tidak merasa telah mengirim satu orang pun ke Puncak Gunung Tangkar, apalagi dengan maksud membunuh perempuan tua ini.

   Dia memang tahu betul akan perjanjian yang telah disepakati antara ayahnya dengan Nyai Lumping, yaitu untuk tidak saling mengganggu dan menyeberangi batas wilayah masing-masing.

   Dan jika ada seorang rakyatnya yang kesasar, itu tanggung jawabnya sendiri, pihak kerajaan tidak akan ikut campur.

   "Semua orang yang telah kau kirim sudah mampus, lndrajaya! Hanya satu orang yang berhasil lolos dari tanganku, dan kau harus segera menyerahkan orang itu padaku, paling lambat satu pekan setelah kedatanganku ini!"

   Kata Nyai Lumping lagi seraya hendak beranjak pergi.

   "Tunggu dulu, Nyai...!"

   Teriak Prabu Indrajaya.

   Tapi Nyai Lumping sudah keburu menghilang dengan meninggalkan kepulan asap putih.

   Kini Prabu Indrajaya tidak dapat berbuat apa-apa lagi.

   Kedatangan wanita tua itu adalah suatu tanda akan terjadinya malapetaka besar, dan tidak mudah untuk dihadapi.

   Satu pekan bukanlah waktu yang panjang, lagi pula di antara mereka tidak ada yang tahu, siapa orang yang dimaksud oleh Nyai Lumping.

   Beberapa saat kemudian, Prabu Indrajaya bergegas masuk kembali ke Balai Agung.

   Tampak wajahnya muram, dan keningnya berkerut dalam.

   Sementara para panglima, patih dan pembesar kerajaan lainnya juga makin bingung.

   Ancaman wanita penyihir itu bukan hanya gertak kosong belaka! Ancaman itu sudah didahului dengan sebuah tindakan, yakni menyebarkan wabah penyakit pada salah satu desa.

   "Aku tidak tahu, siapa orang yang telah berani menggunakan namaku...?"

   Gumam Prabu Indrajaya seraya menghenyakkan tubuhnya di singgasana.

   "Gusti Prabu, ijinkanlah hamba untuk mencari orang yang diinginkan oleh Nyai Lumping,"

   Kata Patih Ardareja pelan.

   "Bukan hanya kau saja, Paman Patih Ardareja. Aku juga akan perintahkan kepada seluruh patih dari panglima untuk segera menangkap orang itu. Nanti biarlah aku sendiri yang akan menyerahkannya pada Nyai Lumping!"

   Kata Prabu lndrajaya tegas.

   Semua patih dan panglima segera menghaturkan sembah, lalu tanpa diperintah dua kali, mereka segera meninggalkan tempat itu.

   Sementara Prabu Indrajaya duduk merenung dengan kening berkerut dalam.

   Persoalan yang dihadapi kali ini sangat berat.

   Tidak ada jalan lain lagi, selain menuruti keinginan Nyai Lumping.

   Sedangkan para pembesar kerajaan lainnya masih tetap menemani tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.

   *** Hari terus berlalu menurut perputaran waktu yang telah ditentukan oleh Yang Kuasa.

   Sementara keadaan di Kerajaan Bumi Loka, sejak kedatangan Nyai Lumping ke istana, semakin dilanda keresahan.

   Setiap hari ada saja seorang prajurit yang tewas di tangannya.

   Sedangkan Prabu lndrajaya nampaknya juga semakin gelisah menghadapi kenyataan itu.

   Selama dua hari ini, sudah tidak terhitung lagi jumlah rakyatnya yang tewas! Sementara itu, para panglima dan patih-patih kerajaan terus berusaha mencari orang yang diinginkan oleh Nyai Lumping.

   Dan hampir seluruh prajurit dikerahkan, namun sampai saat ini belum juga berhasil.

   Memang sulit, karena Nyai Lumping tidak mau memberitahu siapa nama orang yang dimaksudkan itu.

   Sedangkan dalang yang telah membuat perempuan ahli sihir itu berang, juga belum ketahuan.

   Pagi itu langit di atas Kerajaan Bumi Loka diselimuti oleh awan hitam, seolah-olah ikut bersedih de ngan keadaan yang tengah menimpa Kerajaan Bumi Loka.

   Kini tak ada seorang pun yang berani ke luar rumah, mereka takut bertemu dengan Nyai Lumping yang selalu berkeliaran membunuh siapa saja yang ditemuinya.

   "Uh! Kalau keadaan begini terus, bisa bangkrut aku, Mak...!"

   Keluh seorang pemilik kedai.

   Seorang perempuan tua yang tengah sibuk mengunyah sirih, hanya diam saja mendengar keluhan itu.

   Pandangan matanya tetap lurus ke depan melalui pintu jendela yang terbuka sedikit.

   Tampak laki-laki tua yang mengeluh tadi, hanya duduk sambil bersungut-sungut di dalam kedainya yang sepi.

   "Sampai kapan tindakan perempuan iblis itu mau berhenti? Kalau cuma menginginkan satu orang saja, kenapa harus menghancurkan sebuah kerajaan? Huh! Bisa rusak semua daganganku kalau begini!"

   Laki-laki tua itu terus mengeluh.

   "Hati-hati kalau bicara, Ki. Kalau dia dengar, bisa celaka kita!"

   Rungut perempuan tua itu seraya meludahkan air sirih yang berwarna merah kekuningan.

   "Peduli setan! Kalau iblis itu mau membunuhku, bunuh saja! Habiskan semua rakyat Bumi Loka! Tuhan pasti akan mengutuk perbuatannya!"

   Laki-laki tua pemilik kedai itu tidak peduli.

   "Ki..!"

   Sentak wanita itu gemetaran Dan saat laki-laki tua itu mau membuka mulutnya lagi, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu.

   Sejenak mereka saling berpandangan dengan wajah pucat pasi.

   Tampak seluruh tubuh perempuan tua itu menggigil, dan titik-titik keringat yang sebesar-besar jagung merembes dari keningnya.

   "Apa kubilang, hati-hati kalau bicara!"

   Rungut perempuan tua itu menyalahkan suaminya.

   "Sss..., siapa...?"

   Seru laki-laki tua itu bergetar tiaranya.

   "Aku...!"

   Sahut sebuah suara dari luar.

   "Aku, siapa...?"

   "Aku! Boleh masuk?"

   Laki-laki tua itu kembali menoleh pada istrinya, kemudian dengan pelan ia beringsut bangun dari kursinya. Namun tampaknya dia masih ragu-ragu untuk melangkah.

   "Ki...!"

   Parau suara wanita tua itu.

   Laki-laki tua pemilik kedai itu memandang istrinya sejenak, lalu kakinya terayun menghampiri pintu kedainya yang masih tertutup rapat.

   Dan dengan tangan bergetar, dia membuka palang pintu.

   Sedikit demi sedikit pintu dari kayu itu terkuak, dan menimbulkan suara bergerit.

   Tampak di depan pintu sudah berdiri seorang pemuda yang gagah dan tampan.

   Pemuda itu segera tersenyum seraya menganggukkan kepalanya sedikit.

   Sedangkan laki-laki tua pemilik kedai itu menyambutnya dengan tersenyum dan mengangguk pula.

   Sejenak dia melangkah mundur beberapa tindak sambil mengamati tamunya itu.

   Sementara pemuda itu mulai melangkah masuk sambil menunduk agar tidak membentur tiang pintu yang rendah.

   "Apakah kedai ini masih menerima tamu, Pak?"

   Tanya pemuda itu dengan sopan.

   Laki-laki pemilik kedai itu tidak segera menjawab.

   Dia kemudian menoleh pada istrinya yang masih gemetaran.

   Lalu buru-buru dia menghampiri pintu dan menutupnya dengan rapat.

   Keadaan itu tentu saja membuat pemuda itu heran.

   "Maaf, kalau kedatanganku telah membuatmu takut,"

   Kata pemuda itu tetap sopan.

   "Oh, tid..., tidak, Tuan. Silakan,"

   Sambut laki-laki tua pemilik kedai itu agak tergagap.

   "Terima kasih."

   Pemuda itu kemudian duduk di kursi yang berada di tengah-tengah ruangan kedai itu. Sementara perempuan tua yang sejak tadi memperhatikan dengan wajah pucat, bergegas melangkah ke belakang.

   "Aku seorang pengembara, namaku Bayu Hanggara. Bapak cukup memanggilku Bayu,"

   Pemuda itu memperkenalkan diri.

   "Aku biasa dipanggil Ki Bawuk. Sedangkan perempuan yang tadi itu adalah istriku. Maaf kalau penyambutan kami tidak berkenan di hati Tuan,"

   Kata laki-laki pemilik kedai itu juga memperkenalkan diri.

   "Kenapa kedaimu tutup, Ki?"

   Tanya Bayu atau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Pulau Neraka.

   "Sudah dua hari ini aku memang menutup kedai. Sepi, Tuan."

   "Hm..., kenapa? Aku lihat keadaan di luar sana juga sepi,"

   Tanya Bayu sambil mengerutkan keningnya. Ki Bawuk tidak segera menjawab. Dia malah melangkah ke pintu belakang.

   "Mak, cepat sediakan makanan dan minuman!"

   Serunya agak keras.

   "Iya, sebentar!"

   Terdengar teriakan dari dapur. Lalu Ki Bawuk kembali mendekati pemuda itu. Sejenak dia menarik sebuah kursi dan duduk di depan pemuda itu.

   "Tampaknya ada sesuatu yang tengah terjadi di sini,"

   Gumam Bayu.

   "Oh, ya. Apa nama tempat ini, Ki?"

   "Kerajaan Bumi Loka, rajanya bernama Gusti Prabu Indrajaya. Di sini memang sedang terjadi suatu bencana besar, Tuan,"

   Sahut Ki Bawuk menjelaskan.

   "Bencana...? Bencana apa, Ki?"

   Belum lagi Ki Bawuk sempat menjawab, istrinya sudah ke luar sambil membawa hidangan sederhana. Dan tanpa bicara sepatah kata pun, dia segera menghidangkan makanan dan minuman itu di atas meja.

   "Maaf, kami tidak bisa menyediakan yang lebih baik dari ini,"

   Kata Ki Bawuk seraya mempersilakan.

   "Terima kasih. Bagiku ini saja sudah lebih dari cukup,"

   Sahut Bayu tersenyum maklum.

   Kemudian Pendekar Pulau Neraka itu segera menikmati hidangannya itu dengan lahap.

   Hampir satu bulan dia tidak pernah menikmati masakan seperti itu.

   Selama dalam pengembaraannya, yang biasa menjadi makanannya hanyalah binatang-binatang buruan saja.

   Ki Bawuk dan istrinya terus memandanginya dengan kepala yang dipenuhi berbagai macam tanda tanya.

   Mereka belum pernah melihat pemuda ini sebelumnya.

   Sementara Bayu tetap makan tanpa peduli dirinya diperhatikan.

   Dia memang lapar, karena perutnya dari pagi belum terisi makanan sedikit pun.

   *** Bayu tampak tengah mengamati keadaan sekitarnya dari balik jendela kamarnya.

   Beruntung dia telah mendapatkan kamar sewaan yang menghadap langsung ke jalan utama Kerajaan Bumi Loka.

   Di samping membuka kedai, Ki Bawuk juga menyediakan kamar untuk menginap bagi para pelancong.

   Dan kini, sedikitnya Bayu sudah bisa mengetahui situasi yang sedang terjadi dari Ki Bawuk.

   Selama dalam pengembaraannya, Bayu belum pernah sekali pun mendengar atau bertemu dengan seorang ahli sihir.

   Dia sudah merasakan adanya keganjilan saat dia mulai memasuki pintu gerbang kerajaan ini.

   "Masuk!"

   Seru Bayu sambil menoleh ke pintu ketika mendengar suara ketukan dari luar.

   Tampak pintu kamar itu kemudian terkuak pelahan-lahan, lalu muncullah seorang gadis cantik yang memakai baju ketat berwarna hijau.

   Di pinggangnya terselip sebilah pedang pendek.

   Dari tanpa dipersilakan lagi, dia segera melangkah masuk seraya menutup pintu kamar kembali.

   Sejenak Bayu memandangi tamunya itu, kemudian dia membalikkan tubuhnya dan membelakangi jendela.

   "Benarkah kau yang bernama Bayu Hanggara, si Pendekar Pulau Neraka?"

   Nada suara gadis itu seperti ingin meyakinkan.

   "Benar,"

   Sahut Bayu seraya kembali memutar tubuhnya, dan menutup pintu jendela. Kemudian dia berbalik lagi dan melangkah ke kursi. Dan dengan enak dia segera duduk di kursi itu.

   "Silakan duduk."

   Gadis itu pun mengambil tempat di kursi dekat pintu.

   "Siapa nama Nona?"

   Tanya Bayu "Namaku Dewi Puspita, tapi kau cukup memang gilku Dewi saja,"

   Gadis itu memperkenalkan diri.

   "Dari mana kau tahu namaku? Apakah Ki Bawuk yang telah mengatakannya padamu?"

   "Ya, dan aku memang sudah mengetahui kedatanganmu sejak siang tadi,"

   Sahut Dewi Puspita terus terang.

   "Lalu, apa maksudmu menemuiku?"

   "Sebenarnya ini adalah persoalan rahasia, dan ada hubungannya dengan keadaan yang sedang terjadi di Kerajaan Bumi Loka ini."

   Sejenak Bayu mengerutkan keningnya.

   Matanya agak menyipit sambil terus memandangi wajah cantik di depannya.

   Sejak pertama kali datang ke kerajaan ini, dia memang menyimpan berbagai macam pertanyaan.

   Dan sekarang datang seorang gadis cantikyang tampaknya sudah mengetahui persis keadaan yang tengah terjadi di sini.

   "Terus terang. Pamanku sendiri, Ki Bawuk, tidak mengetahui persoalan yang sesungguhnya. Dan sampai sekarang pun aku masih merahasiakannya,"

   Lanjut Dewi Puspita.

   "Hm..., kenapa kau justru ingin mengatakannya padaku?"

   Selidik Bayu.

   "Aku sudah sering mendengar namamu, seorang pendekar yang tangguh dan digdaya. Meskipun banyak orang dari kalangan rimba persilatan tidak menyukai tindakanmu, tapi pada saat ini aku membutuhkan pertolonganmu. Aku percaya bahwa kau akan membantuku dalam mengatasi kemelut ini."

   Kembali Bayu terdiam untuk beberapa saat.

   Dia tidak kaget lagi mendengar gadis itu mengetahui tentang dirinya, meskipun mereka belum pernah berjumpa sebelumnya.

   Nama Pendekar Pulau Neraka memang sedang menjadi buah bibir di kalangan rimba persilatan.

   Sepak terjangnya yang tegas dan tidak mengenal kata ampun itu, membuat tokoh-tokoh rimba persilatan, baik golongan hitam maupun putih merasa terusik.

   Sedangkan Bayu sendiri tidak mengenal golongan dalam rimba persilatan.

   Dia punya prinsip yang dipegang kuat.

   Dibunuh, atau membunuh! Namun selama dalam masa pengembaraannya, belum pernah Bayu mencampuri urusan orang lain.

   Persoalannya sendiri saja belum tuntas, dan masih banyak lagi orang-orang yang harus dicarinya untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya.

   Di samping itu, Bayu juga masih diliputi oleh rasa penasaran, karena dia belum menemukan pusara ibunya, tapi pusara ayahnya.

   Dewa Pedang, sudah dia ketahui dari salah seorang murid Padepokan Teratai Putih yang selamat, dan kini mengurus pusara gurunya itu.

   "Aku tahu, memang akan sia-sia saja menemuimu. Tapi setidaknya aku kan sudah berusaha. Maaf aku telah mengganggu waktu istirahatmu,"

   Kata Dewi Puspita seraya beranjak dari duduknya.

   "Tunggu dulu,"

   Cegah Bayu. Dewi Puspita tidak jadi membuka pintu. Dia lalu menoleh dengan tatapan mata penuh harap. Wajahnya nampak murung, dan terlihat adanya keputusasaan.

   "Aku memang pengecut, mementingkan keselamatan diri sendiri tanpa menghiraukan orang lain. Seharusnya aku segera menyerahkan diri,"

   Lirih suara Dewi Puspita.

   "Apa sebenarnya yang sedang terjadi?"

   Tanya Bayu.

   Secercah harapan muncul di wajah gadis itu.

   Sinar matanya yang semula redup, kini kembali bercahaya.

   Pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu menyiratkan suatu maksud yang semula dianggapnya mustahil.

   Kini Bayu kembali meminta gadis itu untuk duduk dan menceritakan semua peristiwa yang tengah melanda Kerajaan Bumi Loka ini.

   *** Sampai tengah malam Dewi Puspita masih berada di kamar penginapan Bayu Hanggara.

   Gadis itu telah menceritakan semua peristiwa dari awal hingga saat ini.

   Sementara Bayu pun mendengarkan semua itu dengan penuh perhatian.

   Kini hatinya jadi semakin tertarik untuk mengetahui semuanya dengan jelas.

   Dia ingin tahu, seperti apa ilmu sihir itu.

   Sering dia mendengar cerita tentang ilmu sihir, tapi belum pernah melihat langsung dengan mata kepala sendiri.

   "Kau sudah yakin, bahwa tugas itu tidak datang dari raja, kenapa masih mau melakukannya juga?"

   Tanya Bayu setelah Dewi Puspita selesai dengan ceritanya.

   "Aku sudah katakan hal itu pada Ayah, tapi Ayah tidak mau mendengar. Dia terlalu patuh pada titah Gusti Prabu,"

   Sahut Dewi Puspita setengah menyesali sikap ayahnya.

   "Siapa yang telah menemui ayahmu?"

   Tanya Bayu.

   "Patih Ardareja dan Panglima Rupadi dengan dikawal beberapa prajurit,"

   Sahut Dewi Puspita menjelaskan "Hm..., menarik juga ceritamu...,"

   Gumam Bayu pelan.

   "Tampaknya kau tidak percaya, Pendekar Pulau Neraka,"

   Keluh Dewi Puspita agak lesu.

   "Aku percaya, dan aku merasa tertarik dengan ceritamu barusan. Memang aneh, dan.... Yah!"

   Bayu mengangkat pundaknya.

   "Terima kasih atas kepercayaanmu, Pendekar Pulau Neraka. Tapi kepercayaan saja tidak cukup, cepat atau lambat, mereka pasti bisa menangkapku, dan tamatlah riwayatku...,"

   Agak sinis nada suara Dewi Puspita. Entah dia sinis kepada siapa. Mungkin juga dia mencibir pada dirinya sendiri.

   "Dengar. Dewi. Aku berjanji akan membantumu! dan kau sebaiknya jangan memanggilku Pendekar Pulau Neraka. Panggil saja aku Bayu. Bagaimana?"

   Dewi Puspita tersenyum cerah.

   Pernyataan Pendekar Pulau Neraka barusan menumbuhkan kembali rasa percaya pada dirinya, dan harapannya untuk tetap tegar dalam menghadapi kemelut ini Memang bukan saja Nyai Lumping yang akan dihadapi, tapi juga pihak kerajaan yang telah menjadi sumber malapeta ini.

   Dewi Puspita memang mencurigai Patih Ardareja dan Panglima Rupadi yang mengatur semua ini, namun dia belum memiliki bukti yang cukup kuat.

   Setelah lewat tengah malam.

   Dewi Puspita baru meninggalkan kamar penginapan itu.

   Dan sepeninggal gadis itu, Bayu masih duduk sambil merenung diatas pembaringannya.

   Inilah untuk pertama kalinya akan mengurusi persoalan orang lain.

   Persoalan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan dirinya.

   Sebenarnya dia datang ke sini hanya sekedar lewat dalam pengembaraannya mencari para pembunuh Ayahnya, juga ingin mendapatkan kepastian tentang nasib ibunya.

   "Hm..., aneh juga. Aku merasakan ada sesuatu di balik semua peristiwa ini. Sesuatu yang tersembunyi...." *** Pagi-pagi sekali Bayu tampak sudah keluar dari kamarnya. Dia terkejut ketika telinganya mendengar suara ribut-ribut di bagian depan. Kemudian bergegas Pendekar Pulau Neraka itu melangkah menuju bagian depan rumah ini, yang merupakan sebuah kedai. Tampak di sana sudah berdiri beberapa orang yang berseragam prajurit kerajaan. Buru-buru dia berlindung di bidik pintu untuk menghindari penglihatan mereka. Sementara itu Ki Bawuk tampak duduk berdampingan dengan istrinya. Seluruh tubuh mereka bergetar, dan wajahnya pucat pasi. Sedangkan di depan suami istri itu berdiri dua orang laki-laki yang berusia setengah baya dengan pakaian indah. Jelas kalau mereka adalah para pembesar Kerajaan Bumi Loka.

   "Ampun, Gusti. Hamba benar-benar tidak tahu di mana Dewi Puspita berada. Hamba memang mendengar kalau padepokan ayahnya sudah hancur digempur oleh para perampok, tapi hamba tidak tahu kalau..."

   "Bohong!"

   Bentak seorang yang berpakaian panglima perang.

   "Ampun, Gusti Panglima. Hamba tidak bohong. Hamba berani sumpah,"

   Kata Ki Bawuk mencoba menyakinkan.

   "Dengar Ki Bawuk, kini keselamatan seluruh keluarga Gusti Prabu, dan semua rakyat Kerajaan Bumi Loka ada di tangan keponakanmu itu. Nyai Lumping menginginkannya karena dia telah berani melanggar perjanjian yang telah dibuat bersama mendiang Gusti Prabu Swarajaya. Jadi Dewi Puspita harus bertanggung jawab!"

   Keras dan tegas kata-kata Panglima Rupadi.

   "Tapi hamba benar-benar tidak tahu, Gusti. Hamba hanyalah seorang pedagang. Hamba tidak pernah mencampuri urusan Kakang Pulut. Kalau Dewi Puspita ada di sini. pasti sudah hamba serahkan. Sungguh Gusti...,"

   Kata Ki Bawuk menghiba.

   "Apakah kata-katamu bisa dipercaya, Ki Bawuk? dingin suara Patih Ardareja.

   "Hamba bersedia dipancung jika berdusta, Gusti Patih,"

   Sahut Ki Bawuk.

   Patih Ardareja dan Panglima Rupadi berpandangan sejenak, lalu mereka kembali melangkah meninggalkan kedai itu.

   Sementara para prajurit segera mengikutinya dari belakang.

   Untuk beberapa saat, Ki Bawuk masih duduk berlutut di lantai.

   Sedangkan istrinya sudah tidak mampu lagi bersuara.

   Seluruh tubuhnya tampak bergetar hebat dengan keringat mengucur deras membasahi bajunya.

   Sementara Bayu yang sejak tadi menguping pembicaraan itu, pelahan-pelahan ke luar setelah Patih Ardareja dan Panglima Rupadi serta beberapa prajurit, jauh meninggalkan kedai Ki Bawuk ini.

   Dia jadi heran dengan semua pembicaraan yang didengarnya barusan.

   Semalam dia baru saja berbicara panjang lebar dengan Dewi Puspita, tapi kini laki laki tua itu sampai berani bersumpah, dan merelakan lehernya dipancung demi keselamatan Dewi Puspita.

   "Ki..,"

   Pelan suara Bayu.

   "Oh!"

   Ki Bawuk tersentak.

   "Tuan..., Tuan sudah bangun...?"

   Dengan tergopoh-gopoh Ki Bawuk berdiri.

   Sejenak dia membantu istrinya untuk bangkit Kemudian menuntun wanita itu ke belakang, melewati Bayu.

   Tak lama kemudian, Ki Bawuk sudah ke luar lagi dengan tergesa-gesa.

   Tampak bibirnya menyunggingkan senyum, tapi Bayu melihatnya sebagai senyum yang dipaksakan.

   "Maaf, kami terlambat menyiapkan makan pagi,"

   Kata Ki Bawuk.

   "Tidak apa, Ki,"

   Sahut Bayu tersenyum.

   "Hm..., siapa mereka tadi, Ki?"

   Ki Bawuk tidak segera menjawab.

   Dia tampak kebingungan untuk menjawab pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu.

   Sinar matanya tidak dapat lagi menyembunyikan kegelisahan.

   Sedangkan Bayu hanya tersenyum, dan segera mengajak Ki Bawuk duduk di balai-balai bambu dekat jendela.

   "Sekilas tadi aku mendengar percakapanmu dengan orang-orang itu. Apakah mereka Patih Ardareja dan Panglima Rupadi?"

   Lembut suara Bayu terdengar. Ki Bawuk tidak menyahut, tapi kepalanya menangguk juga.

   "Aku seharusnya memang tidak mencampuri urusanmu, Ki. Tapi tidak ada salahnya jika kau mempercayaiku. Siapa tahu aku bisa membantu mengatasi persoalanmu,"

   Masih tetap lembut suara Bayu.

   "Tuan...,"

   Tercekat suara Ki Bawuk.

   Dia masih bingung harus berkata apa.

   Persoalan yang tengah dihadapinya bukanlah persoalan biasa.

   Masalah itu menyangkut nyawa dan keutuhan Kerajaan Bumi Loka.

   Rasanya berat jika dia harus memasukkan pemuda yang begitu baik padanya itu.

   Ki Bawuk memang bukan seorang tokoh rimba persilatan, dari dulu dia hidup dari hasil membuka kedai dan rumah penginapan.

   Dan dia tidak tahu sama sekali, siapa sebenarnya pemuda yang kini tengah berada di depannya.

   "Aku seorang pengembara, Ki. Aku sudah biasa menghadapi segala macam persoalan. Dan aku tidak akan bisa tinggal diam melihat seseorang menderita dalam tekanan berat. Kau bersedia mengatakan padaku, kan? Percayalah, Ki. Aku pasti akan membantu mengatasinya,"

   Desak Bayu tetap lembut.

   "Ini bukan persoalan biasa, Tuan...

   "

   Kata Ki Bawuk setelah cukup lama berpikir.

   "Katakan saja, Ki. Jangan ragu-ragu,"

   Desak Bayu.

   "Kau pasti pernah mendengar nama Nyai Lumping...,"

   Kata Ki Bawuk pelan.

   "Ya,"

   Sahut Bayu Hanggara asal saja.

   "Dia seorang wanita penyihir yang jahat dan kejam. Dia tinggal di Puncak Gunung Tangkar. Sudah bertahun-tahun dia tidak pernah lagi membuat bencana di sini, tapi beberapa hari ini dia kembali menghancurkan beberapa desa dan membunuh banyak orang yang tidak berdosa. Semua itu terjadi akibat dari kecerobohan beberapa orang. Mereka telah melanggar perjanjian yang telah disepakati antara Nyai Lumping dan mendiang Gusti Prabu Swarajaya. Perjanjian itu berisi untuk tidak saling mengganggu dan melanggar wilayah masing-masing. Dan jika hal itu sampai dilanggar, maka bencana besar akan segera menimpa seluruh wilayah Kerajaan Bumi Loka,"

   Ki Bawuk mulai menceritakan.

   "Lalu, kenapa Patih Ardareja dan Panglima Rupadi mencari Dewi Puspita?"

   Tanya Bayu memancing.

   "Dewi Puspita adalah keponakanku, dia ikut ayahnya dan murid-muridnya ke Gunung Tangkar untuk mendatangi Nyai Lumping. Akhirnya semuanya hancur binasa, dan hanya Dewi Puspita yang bisa meloloskan diri. tDan kini Nyai Lumping menginginkan nyawa gadis itu. Dia memberi jangka waktu selama tujuh hari, dan sekarang sudah berjalan tiga hari dari waktu yang diberikan. Kalau sampai Dewi Puspita tidak segera diserahkan, maka seluruh Kerajaan Bumi Loka akan dihancurkan dengan kekuatan sihirnya yang dahsyat "Hm..., kenapa Ki Pulut ingin membinasakan Nyai Lumping?"

   Gumam Bayu seperti bertanya pada dirinya sendiri.

   "Kakang Pulut telah mendapat perintah dari Gusti Prabu Indrajaya,"

   Sahut Ki Bawuk.

   "Lho, aneh...?! Kalau raja sendiri yang memerintahkan, lalu kenapa sekarang dia juga memerintahkan para pembesar kerajaan untuk mencari Dewi Puspita?"

   "Itulah yang membuatku tidak habis pikir, Tuan. Padahal sampai saat ini belum ada seorang pun yang mengetahui, siapa sebenarnya dalang di balik semua ini. Tapi anehnya Patih Ardareja dan Panglima Rupadi sudah mengetahuinya. Sedangkan sampai saat ini Dewi Puspita tidak ketahuan di mana adanya,"

   Kata-kata Ki Bawuk bernada mengeluh.

   "Jadi, kau sendiri juga tidak tahu, di mana Dewi Puspita berada?"

   Tanya Bayu terperanjat.

   "Sejak peristiwa itu, aku tidak pernah lagi melihat keponakanku itu."

   Untuk beberapa saat Bayu terdiam tercenung.

   Rasanya mustahil kalau laki-laki tua itu tidak mengetahui kehadiran Dewi Puspita semalam.

   Kini Bayu merasakan bahwa persoalan yang sedang dihadapinya semakin bertambah rumit dan membingungkan.

   Dan sepertinya, masing-masing orang saling menutup diri tidak mau terlibat dengan persoalan ini! Bayu bisa merasakan adanya nada lain pada suara KI Bawuk.

   Keterangannya memang tidak jauh berbeda dengan cerita Dewi Puspita, maupun yang dia dengar dari percakapan dua pembesar kerajaan di kedai ini.

   Namun nada suara Ki Bawuk seperti menyembunyikan sesuatu yang dirahasiakan.

   *** Bukan saja Pendekar Pulau Neraka yang kebingungan dalam menghadapi masalah di Kerajaan Bumi Loka ini, Prabu Indrajaya yang menjadi rajanya pun juga merasakan hal yang sama.

   Dia sama sekali tidak pernah mengutus Ki Pulut untuk datang ke Puncak Gunung Tangkar.

   Dia sudah tahu betul, siapa Ki Pulut.

   Bekas seorang Panglima Perang Kerajaan Bumi Loka, yang sangat setia dan patuh pada perintah rajanya.

   Dan rasanya tidak mungkin dia bertindak ceroboh seperti itu.

   Prabu Indrajaya segera mengangkat kepalanya ketika melihat seorang wanita cantik dan bergaun indah datang menghampiri.

   Senyumnya langsung terkembang membalas senyum wanita itu.

   Kemudian wanita canntik itu duduk dengan anggunnya di samping Prabu Indrajaya.

   "Kau datang seorang diri. Ke mana dayang-dayangmu. Dinda?"

   Tanya Prabu Indrajaya lembut.

   "Sengaja, aku ingin bicara berdua saja denganmu, Kanda Prabu,"

   Sahut wanita cantik itu yang ternyata adalah Permaisuri Puspa Sari.

   "Begitu pentingkah, sehingga tidak seorang kau perkenankan mendengar?"

   Prabu Indra mengamati wajah permaisurinya itu.

   "Menyangkut keutuhan Bumi Loka, Kanda,"

   Sahut Puspa Sari membalas tatapan suaminya.

   Sejenak Prabu lndrajaya mengerutkan keningnya.

   Dia hampir tidak percaya dengan pendengaran sendiri.

   Selama ini belum pernah permaisurinya membicarakan masalah pemerintahan dan seluk-beluk kerajaan.

   Dia merasakan, persoalan yang akan bicarakan permaisurinya pasti sangat penting! "Apa yang ingin kau bicarakan.

   Dinda?"

   Tanya Prabu lndrajaya.

   "Kemelut yang sedang kita hadapi."

   "O...?!"

   "Kanda, aku merasakan ada sesuatu di balik semua kejadian ini. Sesuatu yang belum kita ketahui maksudnya, tapi sudah jelas merongrong kewibawaan Kanda Prabu sebagai raja di Kerajaan Bumi Loka Maaf, Kanda. Bukannya aku ingin mencampuri urusan kerajaan, tapi aku merasa ikut prihatin dan tanggung jawab atas keutuhan dan kejayaan Bumi Loka,"

   Kata Permaisuri Puspa Sari.

   Prabu Indrajaya merasa terharu dengan kata-kata yang meluncur lancar dari bibir mungil yang indah Kata-kata itu juga merupakan pukulan baginya, karena selama ini dia selalu menganggap bahwa urusan pemerintahan adalah urusan laki-laki.

   Dan kini Prabu Indrajaya merasa seolah-olah baru terbuka matanya.

   Dia sebenarnya memang tengah memerlukan seseorang untuk diajak bicara dari hati ke hati.

   "Maaf, Kanda. Mungkin apa yang akan kukatakan dapat menyinggung perasaanmu, tapi ini demi keutuhan Kerajaan Bumi Loka yang kita cintai ini,"

   Lanjut Permaisuri Puspa Sari.

   "Katakanlah, Dinda. Apa pun yang akan kau katakan, aku akan mempertimbangkannya dengan baik."

   "Terus terang. Kanda. Aku merasa adanya keanehan pada diri Paman Patih Ardareja dan Panglima Rupadi."

   "Maksudmu?"

   "Kanda telah mengatakan bahwa tidak pernah merasa memberi perintah pada Paman Pulut. Tapi Nyai Lumping juga tidak akan berdusta dan mencari-cari perkara. Padepokan Tongkat Merah yang dipimpin Paman Pulut memang hancur, sehari sebelum Nyai Lumping muncul disini. Sedangkan wanita penyihir itu tidak memberitahukan, siapa-siapa saja yang telah mendatangi tempatnya di Puncak Gunung Tangkar. Namun Paman Patih Ardareja dan Panglima Rupadi mengetahui persis kalau Paman Pulut dan anak gadisnya serta murid-muridnyalah yang telah ke sana. Apakah hal ini tidak aneh, Kanda?"

   Panjang lebar Permaisurl Puspa Sari mengemukakan perasaan hatinya.

   "Tidak kusangka, kau punya pikiran sampai kesitu, Dinda Puspa Sari,"

   Puji Prabu lndrajaya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Maaf, Kanda. Aku tahu, kau sangat mempercayai Paman Patih Ardareja. Di antara patih-patih lainnya, memang dialah yang terbaik dan paling tinggi ilmunya. Tapi Kanda harus ingat, mundurnya Paman Pulut dari kerajaAn juga diakibatkan pertentangannya dengan Paman Patih Ardareja. Aku sama sekali tidak bermaksud buruk, apalagi memfitnah. Aku hanya mengatakan berdasarkan beberapa kenyataan yang aku lihat, Kanda,"

   Kembali Permaisudi Puspa Sari mengutarakan pendapatnya.

   "Dinda, apakah kau sudah mengatakan hal ini pada orang lain?"

   "Belum, hanya pada Kanda saja."

   "Dengar, Dinda. Semua yang telah kau katakan itu akan menjadi pertimbangan dan pemikiranku. Tapi kau harus bisa merahasiakan semua itu. Jangan sampai ada seorang pun yang mengetahuinya,"

   Kata Prabu Indrajaya berpesan.

   "Kecuali aku...!"

   Tiba-tiba terdengar suara menyelak.

   Seketika Prabu lndrajaya dan Permaisuri Puspa Sari tersentak! Dan belum lagi hilang rasa terkejut mereka, tiba-tiba dari balik tembok pembatas taman belakang dengan luar, melompat sesosok bayangan.

   Prabu Indrajaya langsung melompat dan berdiri begitu di depannya tahu-tahu sudah berdiri seorang laki-laki muda yang gagah dan tampan.

   "Siapa kau? Berani benar kau masuk ke taman Istana ini tanpa ijin!"

   Bentak Prabu Indrajaya. Tangannya tampak meraba gagang pedang yang masih tersimpan di warangkanya. Sementara pemuda itu hanya tersenyum saja sambil melipat kedua tangannya di depan dada. *** "Pengawal...!"

   Teriak Prabu Indrajaya keras.

   "Percuma saja, Gusti Prabu. Tidak ada seorang pengawal pun yang akan mendengar,"

   Kata pemuda itu tenang.

   Sret! Tanpa berkata-kata lagi, Prabu Indrajaya langsung mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang.

   Bola matanya beredar ke sekitarnya yang sepi, tanpa seorang prajurit penjaga pun terlihat.

   Sejenak tangannya sedikit mendorong permaisurinya ke belakang.

   "Kau pasti akan mendapal hukuman berat atas kelancanganmu, Kisanak!"

   Kata Prabu Indrajaya dengan suara agak membentak.

   "Tapi Gusti Prabu pasti akan segera berterima kasih jika mengetahui bahwa kedatanganku ke sini untuk mewakili Dewi Puspita,"

   Kata pemuda itu tetap tenang.

   "Heh! Siapa kau sebenarnya?"

   Sentak Prabu Indrajaya terkejut "Namaku Bayu Hanggara.

   Aku berada di sini hanya singgah dan menginap di rumah penginapan Ki Bawuk.

   Kedatanganku ini bukan sebagai musuh, atau ingin menambah keruh suasana, tapi justru akan membawa angin segar bagi Gusti Prabu dan seluruh rakyat Bumi Loka."

   "Jangan berbelit-belit! Katakan cepat, apa maksud kedatanganmu?"

   "Ki Pulut memang telah datang ke Puncak Gunung Tangkar bersama anak gadisnya dan seluruh murid-muridnya. Tapi malang, mereka semua tewas kecuali Dewi Puspita...,"

   Kata Bayu "Aku sudah tahu itu! Apa lagi yang akan kau sampaikan?"

   Potong Prabu Indrajaya.

   "Gusti Prabu, aku juga telah bertemu dengan Dewi Puspita. Dan kami telah berbicara banyak tentang kemelut yang tengah melanda seluruh Kerajaan Bumi Loka ini. Ayahnya memang datang ke Gunung Tangkar dengan maksud untuk membunuh Nyai Lumping. Namun hal itu dilakukannya dengan perasaan terpaksa, karena rasa pengabdian dan kesetiaannya pa Gusti Prabu."

   "Hm..., kau akan mengatakan bahwa Paman Pulut bertindak atas perintahku, begitu kan?"

   Kembali Prabu Indrajaya memotong ucapan Bayu "Semula aku memang telah berpikir demikian! Gusti Prabu.

   Tapi setelah mendengar penuturan Dewi Puspita, dan juga mendengar sendiri pembicaraan Gusti Prabu dengan Gusti Permaisuri tadi, rasanya ada hal yang tersembunyi di balik semua kejadian ini.

   Danrahasia itu sudah kuketahui."

   "O...! Apa saja yang telah kau ketahui?"

   Agak terkejut juga Prabu Indrajaya mendengarnya.

   "Apa yang aku ketahui, tidak jauh berbeda dengan yang telah dikatakan oleh Gusti Permaisuri. Semua peristiwa ini memang sudah diatur oleh Patih Ardareja dan Panglima Rupadi. Merekalah yang telah menemui Ki Pulut dan mengatakan, bahwa dia mendapat perintah dari Raja Bumi Loka untuk menumpas Nyai Lumping,"

   Tegas dan jelas kata-kata Bayu.

   "Heh! Kau jangan berkata sembarangan, Kisanak!"

   Bentak Prabu lndrajaya terperanjat.

   "Sejak semula aku memang sudah menduga, kau pasti tidak akan menerima pernyataanku. Tapi apa yang telah aku katakan ini bisa dipertanggungjawabkan, hanya saja aku belum mengetahui maksud sebenarnya yang terkandung di balik rencana itu,"

   Kata Bayu tetap tegas.

   "Kanda...,"

   Lembut suara Permaisuri Puspa Sari. Tangannya menepuk pundak Prabu Indrajaya dengan pelahan. Prabu Indrajaya segera memasukkan kembali pedangnya ke warangkanya di pinggang. Kemudian dia melangkah menghampiri Pendekar Pulau Neraka itu.

   "Apa jaminanmu jika kau ternyata memfitnah salah seorang patihku, dan seorang panglimaku?"

   Tanya Prabu lndrajaya dingin.

   "Kepala, Gusti Prabu,"

   Sahut Bayu tegas.

   "Kepalamu tidak ada harganya bagiku, Kisanak "

   "Hm...,"

   Bayu mengerutkan keningnya.

   "Kau sudah berani masuk ke taman pribadiku tanpa ijin. Kau pasti juga sudah melumpuhkan penjaga taman ini, dan itu harus kau tanggung hukumannya ditambah lagi dengan beritamu yang membuat keruh suasana. Tapi aku akan mengampunimu jika kau berani menghadapi Nyai Lumping, si Ratu Sihir!"

   Tegas kata-kata Prabu Indrajaya.

   "Hm..., jadi Gusti Prabu juga menghendaki wanita itu lenyap?"

   "Selama masih ada wanita iblis itu, Kerajaan Bumi Loka tidak akan pernah merasa damai. Terus terang aku memang menginginkan dia segera lenyap untuk selamanya, tapi aku tidak ingin mengorbankan seorang pun dari rakyatku. Nah, sekarang aku mengutusmu untuk tugas itu, tapi bukan atas namaku!"

   Tentu saja Bayu terkejut bukan main mendengar perintah itu.

   Dia benar-benar tidak menyangka kalau Prabu Indrajaya sendiri ternyata juga menginginkan wanita penyihir itu lenyap dari muka bumi.

   Sebenarnya itu adalah suatu keinginan yang wajar, namun membuat benak Bayu berpikir keras juga.

   Lalu tanpa mengatakan apa-apa lagi, Pendekar Pulau Neraka itu segera melesat cepat dan melompati pagar benteng yang tinggi dan tebal.

   Sedangkan Prabu Indrajaya segera tersenyum lebar sambil memandangi kepergian pemuda itu.

   "Kanda, kenapa mesti memberi perintah itu? Bukankah dengan begitu Kanda malah memperuncing suasana?"

   Tegur Pennaisuri Puspa Sari.

   "Bagaimanapun juga, wanita iblis itu tetap merupakan ancaman bagi kita, Dinda.

   "Tapi...."

   "Ah sudahlah. Kalau pemuda itu berhasil mengalahkan Nyai Lumping, aku akan memberinya hadiah dan pangkat yang tinggi. Tapi jika ternyata dia tewas, tidak ada urusannya denganku lagi.

   "Kanda...,"

   Permaisuri Puspa Sari menggeleng-gelengkan kepalanya.

   *** Bayu tampak tengah memandangi puing-puing bekas reruntuhan Padepokan Tongkat Merah.

   Padepokan itu letaknya di pinggir sebelah Utara perbatasan Kerajaan Bumi Loka dengan Hutan Gunung Tangkar.

   Dia agak heran juga karena tidak mendapati satu sosok mayat pun di antara puing-puing itu.

   Sementara keadaan di sekitarnya juga tidak nampak seperti baru saja terjadi pertarungan.

   Mungkinkah Padepokan Tongkat Merah sengaja dibakar hangus setelah seluruh penghuninya meninggalkan tempat itu? Hal itu berarti bahwa Ki Pulut hanya dijadikan boneka untuk nafsukeji seseorang! "Kakang,..

   "

   Seketika Bayu tersentak kaget dan berbalik saat mendengar suara dari arah belakangnya.

   Tampak seorang gadis cantik berbaju hijau sudah berdiri tidak jauh darinya.

   Di pinggang gadis itu tergantung sebilah pedang dengan gagang berbentuk kepala naga, dan bermata dari batu merah delima.

   "Sejak kapan kau berada di sini. Dewi?"

   Tanya Bayu seraya menghampiri.

   "Sejak kau meninggalkan Istana Bumi Loka,"

   Sahut Dewi Puspita kalem.

   "Kau sudah tahu kalau aku ke sana?"

   Bayu setengah terkejut.

   "Aku selalu mengikutimu terus, Kakang. Maaf, bukannya aku tidak percaya padamu, tapi aku hanya bermaksud menjaga segala kemungkinan."

   Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya.

   Dia tak habis pikir, bagaimana Dewi Puspita selalu mengikutinya tanpa bisa diketahui sama sekali.

   Ini jelas membuktikan, bahwa tingkat kepandaian gadis itu cukup tinggi.

   Tapi yang lebih penting, ilmu meringankan tubuhnya pasti sangat tinggi.

   "Kau tidak perlu mengatakan apa-apa padaku, Kakang. Aku sudah tahu semua pembicaraanmu dengan Gusti Prabu Indrajaya,"

   Kata Dewi Puspita menyerobot begitu melihat mulut Bayu sudah ternganga hendak berkata.

   "Bagaimana kau bisa mengetahui dan mendengar semua pembicaraanku?"

   Tanya Bayu.

   "Mudah saja, aku rasa semua orang yang berkecimpung di dalam rimba persilatan juga mampu melakukannya.

   "

   Sahut Dewi Puspita kalem. Bayu hanya mengangkat pundaknya.

   "Aku merasa bersalah, telah menyeretmu terlalu jauh dalam masalah ini, Kakang,"

   Desah Dewi Puspita menyesal.

   Lagi-lagi Bayu hanya mengangkat pundaknya dan tersenyum.

   Lalu pelahan-lahan kakinya mulai terayun melangkah meninggalkan tempat itu.

   Sedangkan Dewi Puspita segera mengikutinya dan mensejajarkan langkahnya di samping pemuda itu.

   "Tenis terang, aku jadi heran dengan sikap Gusti Prabu. Aku malah punya pikiran lain, jangan-jangan semua ini memang sudah direncanakan sebelumnya, dan dia pura pura tidak tahu,"

   Kata Bayu setengah bergumam.

   "Sejak nenek moyangnya dulu, keluarga istana memang sudah bermusuhan dengan Nyai Lumping. Dan aku tidak heran, kalau Gusti Prabu menghendaki perempuan tua itu segera lenyap dari muka bumi,"

   Sahut Dewi Puspita.

   "Kau bilang tadi, sejak dari nenek moyangnya... Jadi Nyai Lumping itu...,"

   Bayu tidak melanjutkan ucapannya.

   "Nyai Lumping juga mempunyai keluarga, bahkan dulu memiliki pengikut yang tidak sedikit jumlahnya,"

   Dewi Puspita menjelaskan.

   "Kenapa sekarang hanya tinggal dia sendiri?"

   Bayu jadi ingin tahu.

   "Dulu, yaitu pada masa pemerintahan Gusti Prabu Swarajaya, terjadi perselisihan yang mengakibatkan meletusnya perang, antara Kerajaan Bumi Loka dengan kerajaan penyihir yang bersemayam di Puncak Gunung Tangkar. Pertempuran itu begitu hebatnya sehingga menimbulkan korban yang cukup banyak. Tapi meskipun Gusti Prabu kehilangan banyak prajurit, dia berhasil memenangkan pertempuran. Hampir semua keluarga penyihir itu serta para pengikutnya tewas!"

   "Hm..., terus...?"

   Pinta Bayu yang mulai tertarik dengan cerita itu.

   "Saat itu, sebenarnya masih ada tiga orang lagi yang lolos. Tapi kemudian yang dua orang bunuh diri, karena tidak mau menjadi tawanan dan mendapat hukuman. Dan tinggal Nyai Lumping sendiri yang pada saat itu belum begitu tua. Lalu atas kesepakatan bersama, Gusti Prabu memberikan kebebasan pada Nyai Lumping dengan satu perjanjian, yakni tidak akan saling mengganggu dan melewati batas kekuasaan masing-masing. Dan semua perjanjian itu akan berakhir jika Nyai Lumping telah tiada. Dan Gunung Tangkar masuk kembali ke dalam wiiayah Kerajaan Bumi Loka."

   "Sepertinya aku tidak melihat adanya hubungan dengan persoalan yang sedang terjadi,"

   Kata Bayu agak bergumam.

   "Memang tidak ada, kalau ayahku tidak terjebak dan mendatangi Puncak Gunung Tangkar,"

   Sahut Dewi Puspita.

   "Kau yakin ada seseorang yang dengan sengaja membuat malapetaka ini?"

   "Ya, dan dari dulu orang itu memang selalu ingin menyingkirkan Ayah. Padahal Ayah sudah mengalah dengan mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai panglima perang tertinggi kerajaan, tapi rupanya hal itu belum membuatnya puas."

   "Patih Ardareja, maksudmu?"

   Tebak Bayu.

   "Ya, sejak muda Patih Ardareja dan ayahku memang sudah bermusuhan."

   "Rupanya kau sudah tahu segalanya, Dewi."

   "Aku tahu, sebab Ayah sering menceritakann padaku. Dan dia selalu berpesan, agar aku selalu berhati-hati dengan Patih Ardareja dan kaki tangannya. Mereka semua licik, dan tak segan-segan menggunakan segala macam cara untuk memperoleh kekuasaan dan kedudukan."

   Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Sekarang dia sudah bisa mengerti semuanya dengan jelas meskipun di benaknya masih tersimpan berbagai macam pertanyaan yang sulit untuk dijawab.

   Namun pada garis besarnya, dia sudah bisa menarik kesimpulan! Sementara itu di dalam kedai milik Ki Bawuk, Patih Ardareja dan Panglima Rupadi, kembali mendesak laki-laki tua pemilik kedai dan rumah penginapan itu.

   Sementara para prajurit yang berjumlah tidak kurang dari dua puluh orang, telah menghancurkan semua perabot dan barang-barang yang ada di dalam kedai itu.

   Bahkan sampai ke seluruh kamar penginapan yang ada di bagian belakang kedai, hancur diobrak-abrik! Kini keadaan Ki Bawuk benar-benar mengenaskan.

   Wajahnya tampak bengkak-bengkak biru lebam dan darah terus menetes dari sudut bibir, hidung dan pelipisnya.

   Sedangkan Nyi Bawuk hanya bisa menangis dan merintih memohon belas kasihan.

   Keadaan wanita tua itu juga tidak jauh berbeda dengan suaminya.

   "Aku sebenarnya enggan berbuat kasar padamu, Ki Bawuk. Tapi kau telah memaksaku untuk bertindak keras!"

   Dingin suara Patih Ardareja. Ki Bawuk hanya diam saja dengan kepala terkulai lemah.

   "Katakan, di mana Dewi Puspita kau sembunyikan?"

   Desak Patih Ardareja emosi.

   Tapi Ki Bawuk tetap diam membisu.

   Sedangkan darah makin banyak menetes dari luka-luka di wajahnya yang sudah keriput.

   Hal itu tentu saja membuat Patih Ardareja semakin geram! Maka tanpa mengenal rasa kasihan lagi, tangannya langsung melayang dan mendarat telak di wajah Ki Bawuk.

   "Akh!"

   Ki Bawuk memekik tertahan.

   Darah kembali mengucur deras dari mulutnya.

   Sedangkan Nyi Bawuk menjerit melengking, namun dia tidak mampu berbuat apa-apa.

   Karena kaki dan tangannya terikat di kursi.

   Dua orang prajurit menodongkan pedangnya ke leher wanita tua itu.

   "Kakang, rasanya tidak ada gunanya lagi menyiksa orang tua ini,"

   Kata Panglima Rupadi yang sudah hilang kesabarannya.

   "Memang sudah tidak ada gunanya! Bahkan hidup pun mereka sudah tidak ada gunanya lagi!"

   Dengus Patih Ardareja. Patih Ardareja kemudian merebut pedang yang berada di tangan salah seorang prajurit Dan tanpa berkedip sedikit pun, dia langsung mengibaskan pedang itu ke leher Nyi Bawuk.

   "Aaakh...!"

   Nyi Bawuk segera menjerit melengking.

   Bersamaan dengan itu, darah langsung muncrat dari leher yang terpenggal hampir putus.

   Dan belum puas juga, Patih Ardareja lalu menendang tubuh perempuan itu hingga terguling bersama kursinya.

   Ki Bawuk hanya bisa memejamkan matanya sambil menggeram hebat.

   Hatinya menjerit, namun dia tidak mampu untuk memberontak.

   Kedua tangan dan kakinya terikat tambang dengan kuat.

   "Kau akan bernasib sama jika terus membungkam, Ki Bawuk!"

   Ancam Patih Ardareja seraya menempelkan mata pedang yang telah berlumur darah ke leher laki-laki tua pemilik kedai itu.

   "Iblis...! Bunuh saja aku! Kau tidak akan bisa menemukan keponakanku!"

   Bentak Ki Bawuk dengan sisa-sisa keberaniannya.

   Patih Ardareja menggeram marah.

   Tiba-tiba saja tangannya berkelebat cepat, dan langsung membabat leher Ki Bawuk.

   Tak sedikit pun terdengar laki-laki tua itu mengeluh atau berteriak.

   Kepalanya langsung terkulai dengan darah segar yang memuncrat deras.

   Beberapa saat kemudian, Patih Ardareja membuang pedang yang berlumuran darah itu.

   Wajahnya merah padam memandangi dua mayat yang telah menggeletak di lantai kedai itu.

   "Huh! Orang tua tidak tahu diuntung,"

   Gumam Patih Ardareja kesal.

   Patih Ardareja segera melangkah ke luar setelah menyemburkan ludahnya beberapa kali.

   Sementara para prajurit yang mengawalnya hanya bisa diam dengan sinar mata yang sulit untuk diartikan.

   Sedangkan Panglima Rupadi segera mengikutinya, diiringi para prajurit yang berjumlah dua puluh orang itu.

   Sebentar kemudian terdengar suara derap langkah kaki-kaki kuda yang dipacu cepat meninggalkan halaman depan kedai itu.

   Kini keadaan kembali sunyi, tak terdengar suara sedikit pun juga.

   Kuda-kuda itu terus berlari semakin jauh meninggalkan kehancuran di dalam kedai.

   Sementara itu dari arah yang berbeda, tampak Bayu dan Dewi Puspita berjalan sambil mengendap-endap mendekati kedai.

   "Paman...!"

   Pekik Dewi Puspita begitu kakinya menginjak ambang pintu depan kedai.

   Bayu juga tertegun menyaksikan satu pemandangan yang memilukan hati itu.

   Dewi Puspita segera berlari menubruk tubuh paman dan bibinya bergantian.

   Gadis itu tidak bisa menahan diri lagi, dia segera menangis dan meratapi nasib paman dan bibinya itu.

   Sementara Bayu hanya bisa diam dengan mulut terkatup rapat.

   "Dewi...,"

   Pelan suara Bayu.

   Dengan lembut tangannya menyentuh pundak gadis itu.

   Dewi Puspita mengangkat kepalanya, dan menoleh agak ke atas.

   Kemudian pelahan lahan dia bangkit, namun pandangannya tetap tertuju pada dua gundukan tanah merah yang masih baru.

   Mereka terpaksa menguburkan jenazah Ki Bawuk dan Nyi Bawuk ili belakang rumah, agar tidak menarik perhatian orang lain.

   "Aku harus membalas kekejaman mereka, Kakang. Harus...!"

   Dengus Dewi Puspita menggeram, namun suaranya masih bergetar.

   "Kau tidak akan mampu menghadapi mereka dengan hati panas, Ratih,"

   Kata Bayu lembut.

   "Mereka telah membunuh ayahku, dan sekarang mereka membunuh orang yang bisa kujadikan sandaran hidupku. Paman dan Bibi tidak tahu apa-apa, bahkan mereka juga tidak tahu kalau aku menyelinap ke sini, Kakang...,"

   Kata Dewi Puspita dengan air mata mengalir deras.

   Dalam suasana seperti itu, Bayu tidak mau berdebat, meskipun Dewi Puspita kadang-kadang juga berdusta.

   Kini pemuda itu melingkarkan tangannya kepundak gadis itu, dan membawanya masuk ke dalam rumah.

   Sejenak Bayu menutup dan mengunci semua pintu dan jendela.

   Sementara Dewi Puspita segera duduk dengan wajah lesu di atas dipan kayu yang beralaskan tilam bersulam.

   Kemudian Bayu menghampiri dan duduk bersandar di samping gadis itu.

   "Dewi, kenapa kau selalu bersembunyi dan mebohongiku? Padahal kau bisa berterus terang, dan mengatakan apa adanya. Kalau sejak semula kau berterus terang padaku, mungkin peristiwa ini tidak perlu terjadi,"

   Kata Bayu menyesali sikap Dewi Puspita selama ini.

   "Maaf, Kakang. Aku terpaksa, dalam situasi seperti ini, aku tidak boleh begitu saja percaya pada siapa pun,"

   Sahut Dewi Puspita membela diri.

   "Aku Bdak mengerti, Dewi,"

   Desah Bayu.

   "Hhh.. sudah banyak korban berjatuhan, bukan saja dari pihak kerajaan, tapi juga dari orang-orang yang belum kita ketahui dengan pasti apa maksud dan tujuan sebenarnya?"

   "Kakang...."

   "Hm."

   "Kita harus segera menemui Gusti Prabu."

   "Untuk apa?"

   "Kita harus menjelaskan persoalan ini pada Gusti Prabu. Kalau hal ini didiamkan sampai berlarut-larut, keadaannya bisa bertambah parah. Aku yakin, Patih Ardareja juga tengah mengincar kedudukan Gusti Prabu."

   "Jangan menduga begitu jauh, Dewi."

   "Aku yakin, pasti Patih Ardareja juga menginginkan tahta Kerajaan Bumi Loka,"

   Dewi Puspita tetap bertahan pada pendiriannya.

   "Tampaknya kau yakin sekali, Dewi."

   "Kalau kau tahu siapa sebenarnya Patih Ardareja itu, kau pasti akan punya pikiran yang sama denganku!"

   Bayu mengerutkan keningnya.

   "Patih Ardareja adalah adik tiri dari Gusti Prabu Swarajaya, Ayahanda Gusti Prabu Indrajaya. Dan sammpai saat ini kematian Gusti Prabu Swarajaya juga masih dirahasiakan. Bahkan Ayah sendiri juga tidak tahu sebab-sebabnya. Waktu itu Gusti Prabu Swarajaya tahu-tahu sudah dimakamkan tanpa ada upacara terlebih dahulu. Hanya pihak keluarga saja yang boleh menghadiri, katanya hal itu adalah pesan dari Gusti Prabu Swarajaya sendiri,"

   Ujar Dewi Puspita menjelaskan.

   "Dewi, kalau Patih Ardareja benar-benar menginginkan tahta Kerajaan Bumi Loka, dia pasti sudah merebutnya sejak dulu begitu Prabu Swarajaya wafat. Untuk apa dia sampai menunggu bertahun-tahun? Sudahlah, Dewi. Mungkin Patih Ardareja menginginkan sesuatu yang lain. Atau bisa saja dia ingin Kerajaan Bumi Loka hancur. Pokoknya begitu banyak kemungkinan yang kita sendiri tidak bisa mengetahuinya sekarang,"

   Ujar Bayu yang mencoba bertindak bijaksana dalam masalah ini.

   Dewi Puspita hanya terdiam.

   Memang begitu banyak kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, dan tidak mereka ketahui saat ini.

   Tapi gadis itu tetap pada pendiriannya, bahwa Patih Ardareja-lah yang menjadi biang keladi dari semua malapetaka ini.

   Hanya saja yang masih menjadi beban pertanyaannya, kenapa Patih Ardareja melibatkan Nyai Lumpung? Padahal sudah tahu, kalau perempuan rua itu sangat kejam, dan bisa menghancurkan Kerajaan Bumi Loka dengan kekuatan sihirnya.

   *** Matahari baru saja menampakkan dirinya di ufuk tmur.

   Namun kabut masih tebal menyelimuti Puncak Gunung Tangkar.

   Angin pun tetap bertiup kencang dan menebarkan udara dingin yang membekukan tulang.

   Dan keadaan seperti itu tidak terasakan oleh mereka yang berada di dalam sebuah bangunan batu tua yang berusia ratusan tahun.


Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP Dendam Kesumat Karya Tabib Gila Banjir Darah Di Pulau Neraka Hiat Sie Tee Gak To Karya Kiam Hong

Cari Blog Ini