Ceritasilat Novel Online

Selendang Mayat 1


Pendekar Perisai Naga Selendang Mayat Bagian 1


SELENDANG MAYAT Oleh Werda Kosasih Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta Gambar sampul oleh Soeryadi Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Werda Kosasih Serial Pendekar Perisai Naga dalam episode.

   Selendang Mayat 128 hal.

   ; 12 x 18 cm
https.//www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-Keisel/511652568860978 Tiga kuntum bunga kamboja putih rontok keti-ka sebuah sekop membentur pohon kamboja yang me-naungi kubur Ki Linggar.

   Salah seorang dari tiga lelaki yang tengah menggali kubur Ki Linggar ini menarik napas dalam-dalam.

   Rasa lega menyejukkan rongga dadanya sewaktu dilihatnya peti jenazah dalam keremangan sinar bulan itu.

   Ini berarti pekerjaan menggali liang lahat telah selesai.

   Tak diperlukannya lagi sekop atau linggis.

   Untuk membuka tutup peti jenazah itu, cukuplah dengan satu pukulan tangan.

   Meski peti jenazah itu terbuat dari kayu jati pilihan, lelaki itu merasa pasti tenaga dalam yang dialirkan ke telapak tangannya bisa membuat peti jenazah itu hancur berkep-ing-keping.

   "Cukup! Biar kubuka di sini saja!"

   Kata lelaki itu kepada kedua temannya. Akan tetapi, sewaktu ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi sambil mengatur pernapasan, salah seorang temannya mencengkeram pergelangan tangan yang siap dihempaskan itu.

   "Kita angkat dulu ke atas!"

   Kata temannya yang mencekal pergelangan tangannya.

   "Untuk apa? Buang-buang waktu! Toh sama saja pecah di sini dan di atas"

   Sahut lelaki itu seraya mengibaskan tangan temannya.

   "Aku khawatir, gundukan tanah itu rontok dan mengotori kain kafan yang kita perlukan. Pesan Ki Demang Kerpa, kain kafan itu harus bersih sewaktu kita serahkan. Jangan sampai pekerjaan kita sia-sia sebab jangan-jangan Ki Demang tidak mau membayar upah kita!"

   "Betul kau!"

   Sokong teman yang satunya lagi.

   "Aku juga ingat pesan wanti-wanti Ki Demang Kerpa. Katanya, jika kain itu terkena tanah kubur sedikit sa-ja, tidak akan berguna lagi!"

   "Sebenarnya untuk apa Ki Demang Kerpa me-nyuruh kita mengambil kain kafan Ki Linggar ini?"

   Tanya lelaki yang tadi hampir memukulkan tangannya ke tutup peti Jenazah.

   "Mana aku tahu? Mungkin ada hubungannya dengan pangkat demang yang dulu pernah disandang Ki Linggar."

   "Apa hubungannya kain kafan itu dengan pangkat demang?"

   Bantah teman yang satunya lagi sambil menahan tawa.

   "Bukan begitu maksudku. Ini hanya perkiraan saja, kok. Mungkin, untuk bisa menjadi demang di De-sa Sanareja dalam waktu yang lama, Ki Kerpa harus bisa memiliki kain kafan bekas demang di desa itu."

   "Siapa yang mengharuskan begitu?"

   Sahut lela-ki yang tadi membantah.

   "Kudengar Ki Demang Kerpa sedang berguru ilmu setan...."

   "Alaaah, itu hanya perkiraanmu saja! Ayo, ce-pat kita naikkan ke atas. Badanku terasa gatal-gatal. Aku kepingin cepat-cepat mandi!"

   Lelaki yang bertindak sebagai pimpinan penggalian menukas, la tak sa-bar mendengar cerita temannya yang belum pasti be-nar itu.

   la tahu Ki Demang Kerpa memang sedang ber-guru ke Gunung Merapi.

   Tetapi, apa hubungannya kain kafan dengan ilmu silat? Lalu, kenapa harus kain kafan yang membungkus tulang-tulang Ki Linggar? Akhirnya peti jenazah Ki Linggar mereka kelua-rkan dari liang lahat.

   Mereka bertiga bergegas mem-bersihkan sisa-sisa tanah merah yang menempel pada tutup peti jenazah itu.

   Betapapun mereka ingin sece-patnya membuka peti jenazah itu, mereka tetap ingat keinginan Ki Demang Kerpa.

   Kalau sampai Ki Demang Kerpa tidak mau membayar upah yang dijanjikannya, mereka pun harus berpikir dua tiga kali untuk me-maksa demang baru Desa Sanareja itu.

   "Congkel saja dengan linggis,"

   Usul salah seo-rang dari mereka.

   "Tak perlu! Untuk apa kita belajar ilmu silat ka-lau membuka peti saja pakai linggis? Ini bukan peti besi, tolol!"

   Sergah lelaki yang paling penasaran untuk segera membuka peti jenazah itu.

   "Ya, tapi bersihkan dulu tanganmu."

   Lelaki yang memimpin penggalian bergegas membersihkan telapak tangannya dengan ujung kaki celana pangsinya.

   Setelah yakin tangan itu tidak lagi dilumuri tanah merah, ia mengangkat telapak tangan itu tinggi tinggi, mengatur pernapasan, dan dengan sekuat tenaga ia menghantamkan sisi telapak tangannya ke tutup peti jenazah.

   Brettt! Wusss! Blukkk! Setengah jengkal sebelum sisi telapak tangan itu menyentuh tutup peti jenazah, tiba-tiba ada sesuatu yang melilit pergelangan tangan kanan lelaki itu.

   Se-jurus kemudian tubuh lelaki itu terpelanting ke belakang dan jatuh menimpa sebuah nisan.

   Seketika itu juga lelaki itu tewas dengan perut tertembus nisan runcing yang terbuat dari kayu nangka.

   Dua orang temannya terbelalak memandangi sosok bayangan putih yang kini berdiri tegap di hadapan mereka.

   Sejenak saja mereka diguncang rasa ka-get.

   Selebihnya, mereka berdua secepat kilat menghunus golok yang terselip di pinggang masing-masing seraya memasang kuda-kuda.

   "Iblis laknat! Bosan hidup!"

   Seru salah seorang dari mereka sambil membabatkan goloknya ke leher sosok serba putih yang berdiri di depan mereka.

   Akan tetapi, dengan mudahnya sabetan golok itu dihindari oleh bayangan serba putih itu.

   Hanya dengan sedikit membungkukkan badan maka golok itu lewat di atas kepala dan hanya mengenai angin malam.

   Namun, orang kedua segera memburu dengan bacokan ke arah kepala yang menjulur ke depan itu.

   Kali ini, bayangan serba putih itu membentur golok lawan dengan gagang cambuknya.

   Tring! Golok di tangan lelaki itu patah menjadi dua, dan lelaki itu membuang goloknya yang kutung sebab jari-jari tangannya dirasakannya kejang dan nyeri.

   Melihat temannya meringis sambil memegangi pergelangan tangan kanannya, lelaki yang tadi lebih dulu menyerang kini lebih waspada menghadapi lawan yang ternyata berilmu tinggi itu.

   Kalaupun tadi ia gegabah menyerang, hanya karena ia melihat lawan yang dihadapinya bukanlah salah seorang dari orang-orang sakti yang sudah dikenalnya.

   Lagi pula, dari terangnya sinar bulan purnama, akhirnya bisa dikenali juga wajah anak muda yang usianya tak lebih dari dua puluh tiga tahun.

   "Kisanak, sebelum hilang kesabaranku, kupe-ringatkan kau bahwa di antara kita tidak pernah ada urusan!"

   Kata lelaki itu untuk menutupi rasa takutnya.

   "Di antara kita memang tidak ada urusan. Te-tapi, aku punya urusan untuk memelihara kubur yang kalian bongkar itu,"

   Jawab anak muda itu sambil melilitkan kembali cambuknya ke pinggang.

   "Tak ada yang berhak mengawasi kuburan ini kecuali juru kunci di sini, Kisanak! Dan, akulah juru kunci di kuburan ini!"

   "Oh, jadi begitukah tugas juru kunci? Mem-bongkar kuburan itukah tugas juru kunci desa ini? Aneh! Lalu, siapa yang mengangkatmu sebagai juru kunci di sini?"

   "Peduli apa kau dengan urusanku?"

   "Sudah kukatakan, aku memang tidak pernah peduli dengan urusanmu. Tetapi, aku peduli dengan kuburan yang baru saja kalian bongkar itu. Dan, sebelum kalian bertiga ku masukkan ke liang lahat itu bersama peti jenazah ini, harap kalian kubur kembali peti jenazah ini dan mintalah maaf kepada arwah jenazah yang ada dalam peti itu!"

   "Lancang benar mulutmu!"

   Sergah lelaki itu.

   "Walaupun kau memiliki ilmu demit mana pun, jangan kau kira aku takut menghadapimu!"

   "Kalau memang tidak takut, kenapa tak kau te-ruskan serangan golokmu?"

   Werrr! Tiba-tiba lelaki yang tadi terdiam dan meringis-ringis kesakitan, dengan tangan kirinya menyabetkan linggis ke pelipis anak muda berpakaian serba putih itu.

   Namun, untuk kesekian kalinya serangan itu hanyalah membentur angin.

   Bahkan untuk yang kedua kalinya lelaki itu meringis kesakitan sebab tangan anak muda itu menampar pelipisnya.

   "Kalau masih juga menyerangku, pelipis mu akan kubuat bolong dan otakmu akan berhamburan, Pak Tua!"

   Bentak anak muda itu memperingatkan.

   Sewaktu ia menampar tadi, ia memang tidak mengerahkan tenaga sepenuhnya sehingga tamparan itu hanya membuat pelipis lelaki itu memerah dan pedih.

   Kalau saja anak muda itu mengerahkan seluruh tenaganya, sudah pasti pelipis lelaki itu pecah dan nyawa lelaki itu melayang.

   "Mereka berdua memang bukan tandingan mu, Anak Muda. Sekarang, bersiaplah menghadapi seran-ganku!" 'Tunggu!"

   Sahut anak muda berpakaian serba putih itu.

   "Sekarang kita adakan perjanjian sebelum kita teruskan perkelahian kita! Bagaimana?".

   "Katakanlah, dan kau sendiri yang akan mene-bus perjanjian yang kau buat itu!"

   "Jika kau kalah, berjanjilah bahwa kau akan mengatakan siapa yang menyuruh kalian menggali kuburan ini. Sebaliknya, jika aku kalah, sebelum kau bunuh aku, aku sanggup merapikan kembali kuburan ini setelah kalian dapatkan apa yang kalian inginkan. Setuju?"

   "Kau tidak akan pernah mendengar jawabanku, Anak Muda! Karena kaulah yang harus menepati janji yang kau buat sendiri!"

   "Baik! Kita lihat saja nanti. Nah, aku sudah bersiap!"

   Anak muda itu menarik kaki kirinya ke belakang dan menyilangkan tangan kirinya di depan dada serta melipat tangan kanannya hingga kepalan tangan kanan itu berada persis di bawah ketiaknya.

   "Jangan terlalu pongah, Anak Muda! Apa kau pikir aku tak layak berhadapan dengan cambuk di tanganmu?"

   Lelaki bodoh, pikir anak muda itu.

   Lalu, untuk melegakan lawannya, ia terpaksa mengurai cambuk yang melilit di pinggangnya.

   Namun anak muda itu hanya menggunakan gagang cambuknya untuk me-nangkis serangan golok lawan.

   Bunga api berpijaran ketika gagang cambuk yang terbuat dari batu hitam itu membentur mata golok lawan.

   Lelaki itu diam-diam bersyukur tadi telah men-gerahkan tenaga dalamnya sebelum menyerang lawan.

   Kalau tidak, sudah pasti tenaga dalam yang dialirkan ke gagang cambuk itu akan membuat tubuhnya terpental dan tangan kanannya terkilir.

   Lebih dari itu, lelaki itu juga semakin mawas diri.

   Ia tahu, anak muda itu sengaja hanya menggunakan gagang cambuknya sebab belum merasa perlu menggunakan ujung cam-buknya yang sejak tadi digenggamnya.

   Entahlah apa yang terkait di ujung cambuk itu.

   Hanya saja, selintasan tadi lelaki itu melihat sinar-sinar hijau kebiru-biruan berpendar-pendar dari sela jari-jari tangan yang menggenggam ujung cambuk itu.

   Lelaki itu, juga dua orang temannya, tentu saja tidak mengenal siapa sesungguhnya anak muda yang mereka hadapi ini.

   Mereka bertiga adalah pendatang baru di Desa Sanareja.

   Mereka adalah orang-orang serakah yang memburu upah.

   Di desa asalnya, di Kaki Gunung Merapi, mereka bertiga dikenal sebagai jago-jago bayaran.

   Mereka bersedia membunuh siapa saja asalkan dijanjikan upah yang memadai.

   Tiga hari yang lalu, mereka mendengar kabar bahwa Kerpa, demang yang menggantikan kedudukan Ki Demang Sanareja alias Ki Linggar, menginginkan kain kafan Ki Linggar dengan imbalan bayaran yang memuaskan.

   Untuk apa kain kafan itu nantinya, me-reka bertiga tidak ambil peduli.

   Bagi mereka, secepat-nyalah mereka bertiga bisa membawa kain kafan itu kepada Demang Desa Sanareja yang baru itu dan mengambil upah mereka.

   Akan tetapi, mereka bertiga tidak pernah me-nyangka bakal berhadapan dengan Joko Sungsang alias Pendekar Perisai Naga yang selalu mereka ingat nama besarnya.

   Rasa penasaran yang menggeluti dada Joko Sungsang membuatnya ingin secepatnya menghenti-kan perkelahian, ia ingin segera tahu siapa yang menginginkan dibongkarnya kubur ayahnya itu.

   Ketika ta-di ia tiba di tempat itu, ia melihat seorang lelaki tengah mengangkat telapak tangannya untuk memecahkan peti jenazah itu.

   Maka tak ada jalan pintas untuk mencegah tangan itu kecuali dengan melilitkan Perisai Na-ga ke tangan lelaki itu.

   Tiga kali serangan golok lawan berhasil dite-piskannya.

   Dan, Joko Sungsang semakin bisa mengu-kur kekuatan lawannya.

   Kalau saja lelaki setengah umur itu tidak berilmu cukup tinggi, sudah barang tentu benturan-benturan gagang Perisai Naga akan membuatnya terpental dan tak bangun lagi.

   Bahkan lelaki itu masih bisa meloloskan diri dari serangan balasan yang dilancarkan Joko Sungsang dengan kecepa-tan sulit diikuti mata.

   Namun begitu, Joko Sungsang tetap harus bisa mengekang diri agar tidak melancarkan jurus-jurus yang mematikan.

   Toh ia menginginkan pengakuan dari mulut lelaki itu.

   Oleh sebab itu, untuk tidak mencelakakan la-wan, Joko Sungsang terpaksa menggunakan lilitan Pe-risai Naga nya.

   Sewaktu lawan untuk yang kesekian kalinya membabatkan golok ke arah lehernya, Joko Sungsang merunduk seraya melilitkan Perisai Naga ke pinggang lawan.

   Lalu dengan sekuat tenaga tubuh itu diputar sehingga lelaki itu kehilangan keseimbangan dan terhuyung jatuh seraya muntah-muntah.

   Sebelum laki-laki itu bangkit, gagang Perisai Naga telah menempel di bagian belakang kepalanya.

   "Sedikit saja kau bergerak, kepalamu akan ber-derak dan pecah, Pak Tua,"

   Ancam Joko Sungsang.

   "Aku mengaku kalah, Anak Muda. Tentu saja aku akan menepati perjanjian yang sudah kita sepaka-ti tadi,"

   Kata lelaki setengah umur itu tanpa berani bergerak sedikit pun. Joko Sungsang menyimpan kembali Perisai Na-ga di pinggangnya.

   "Sebelum kau jelaskan siapa yang menyuruh kalian bertiga menggali kuburan ini, lebih dulu kalian kembalikan peti jenazah itu ke tempatnya dan rapikan kembali gundukan tanahnya seperti sediakala,"

   Perintah Joko Sungsang.

   *** Joko Sungsang diam-diam menyesali tindakan-nya lima tahun yang lalu, membiarkan Kerpa tetap hidup.

   Dari penjelasan kedua orang upahan ini, jelas baginya bahwa Kerpa sekarang sedang berusaha mem-perdalam ilmu silatnya.

   Usaha memperdalam ilmu silat ini sudah barang pasti untuk berjaga-jaga diri.

   Sebagai demang, agaknya ia tak ingin kehilangan kenikmatan sehari-hari hanya karena dikalahkan oleh seseorang.

   Dan, se-seorang yang dianggapnya musuh bebuyutan tak lain adalah Joko Sungsang.

   Toh sudah bukan ra-hasia lagi bahwa kematian Ki Linggar disebabkan oleh fitnah yang ditebarkan Kerpa.

   "Tetapi, kalau boleh, kami ingin tahu siapa se-sungguhnya Kisanak ini,"

   Kata lelaki yang baru saja menghentikan ceritanya.

   "Saya? Saya anak bekas demang desa ini,"

   Ja-wab Joko Sungsang tanpa mengalihkan pandang ma-tanya. Mata anak muda itu menatap bulan purnama yang berada di atas ubun-ubun mereka bertiga.

   "Jadi, benar kuburan yang baru saja kami gali tadi kubur ayahmu, Kisanak?"

   Lelaki itu bertanya dengan paras muka memucat. Takut jika anak muda itu marah dan membunuh mereka bertiga.

   "Kalian berdua tetap menginginkan upah dari demang itu?"

   Tanya Joko Sungsang di luar dugaan me-reka berdua.

   "Bagaimana mungkin kami mengharapkan upah dari Ki Demang kalau nyatanya pekerjaan kami gagal?" 'Kalian tetap akan mendapatkan upah da-rinya!"

   Sahut Joko Sungsang. Dua orang lelaki setengah umur itu melebarkan mata. 'Kalian ikut aku ke kademangan. Nanti aku yang akan memintakan upah untuk kalian,"

   Kata Joko Sung sang seraya melangkah meninggalkan kuburan itu.

   Dua orang lelaki upahan itu saling memandang sebelum mereka mengangguk berbarengan dan men-guntit langkah anak muda itu Setiba mereka di depan regol kademangan, Jo-ko Sungsang memberikan isyarat agar kedua lelaki upah an itu mendahului masuk regol.

   Setelah kedua-nya masuk halaman kademangan, Joko Sungsang me-nyelinap ke samping kademangan melompati tembok samping Seperti yang pernah dilakukannya sewaktu menculik Trinil, Joko Sungsang bertengger di genting, persis dl atas pendopo kademangan.

   Dari tempat ini ia bisa menguping pembicaraan antara Kerpa dengan dua lelaki upahan itu.

   "Kalau memang kalian tidak berhasil menda-patkan kain kafan Ki Linggar, kenapa kalian masih berani menghadapku?"

   Kata Ki Demang Kerpa.

   "Sebenarnya kami tidak akan menuntut upah kami. Tetapi, ada seseorang yang menyuruh kami tetap harus menuntut upah....' "Apa?"

   Mata Ki Demang Kerpa terbeliak dan memerah.

   "Jadi, kalian mau merampokku? Kalian su-dah punya nyawa rangkap?"

   "Sudah kubilang, ada seseorang yang menyu-ruh kami berdua agar tetap menuntut upah dari Ki Demang,"

   Kata lelaki yang lebih tua sambil menoleh ke belakang.

   Tetapi, kenapa anak muda itu tidak menyusul mereka berdua? "Walaupun kalian disuruh oleh sundel bolong, demit, setan, banaspati, apa kalian pikir aku lantas memberikan uangku kepada kalian? Sebaiknya, kalian pergi saja sebelum kesabaranku hilang!"

   Ki Demang Kerpa meraba hulu pedangnya sambil menyibakkan kumis yang berjuntai menutupi bibirnya.

   Tanpa menimbulkan suara, Joko Sungsang membuka dua buah genting.

   Kemudian ia mengurai Perisai Naga dari pinggangnya.

   Maka sewaktu Ki De-mang Kerpa menyabetkan pedangnya ke leher lelaki upahan itu, secepat kilat Perisai Naga melilit pedang Itu dan menariknya ke atas genting.

   Ki Demang Kerpa, dua orang upahan itu, dan dua orang pengawal Ki Demang Kerpa secara serentak memandang ke atas.

   Tetapi, mereka hanya melihat dua buah genting yang terbuka.

   Dan, sinar bulan purnama menerobos masuk lewat lubang genteng itu.

   "Bedebah keparat! Bosan hidup!"

   Berkata begi-ni Ki Demang Kerpa langsung melenting ke atas dan menerobos lubang genting itu. Dua orang pengawalnya berlarian ke halaman, bersiap-siap memberikan bantuan.

   "Anak muda itu benar-benar memiliki ilmu se-tan,"

   Kata salah seorang lelaki upahan itu sambil melangkah keluar.

   Dari halaman pendopo kademangan, mereka menyaksikan perkelahian seru antara Ki Demang Ker-pa dengan Joko Sungsang.

   Mereka berdua berkelahi dengan tangan kosong sebab mereka melihat pedang milik Ki Demang Kerpa terselip di pinggang anak muda yang berpakaian serba putih itu.

   Sewaktu Joko Sungsang mengarahkan seran-gannya ke kaki, Ki Demang Kerpa terpaksa berjumpalitan ke belakang dan akhirnya mendarat di halaman kademangan.

   Akan tetapi, dalam sekejap mata saja Joko Sungsang telah berdiri di belakangnya seraya menyapa.

   "Aku di sini, Ki Demang." 'Tangkap anak muda ini,"

   Perintah Ki Demang Kerpa kepada dua orang pengawalnya..

   Dua ujung tombak bersamaan meluncur ke arah dada Joko Sungsang.

   Namun, Joko Sungsang se-perti menghilang dari pandang mata mereka.

   Sewaktu anak muda itu menampakkan diri lagi, dua orang pen-gawal Ki Demang Kerpa itu sudah tersungkur di tanah sambil merintih-rintih.

   Kedua sisi telapak tangan Joko Sungsang baru saja menggedor punggung mereka berdua.

   'Jahanam keparat!"

   Maki Ki Demang Kerpa, te-tapi tak kunjung menyerang lawan yang sudah me-nunggunya.

   "Rupanya pedang ini jadi barang andalanmu, Ki Demang?"

   Kata Joko Sungsang sembari melemparkan pedang milik Ki Demang Kerpa.

   Terhuyung dua langkah ke belakang Ki Demang Kerpa ketika menangkap pedangnya.

   Ada tenaga yang mendorongnya ketika pedang itu jatuh di telapak tangannya.

   Sewaktu ia berhasil menguasai tubuhnya, tiba tiba anak muda yang berpakaian serba putih itu telah menimang-nimang cambuk yang ujungnya terkait bola berduri.

   "Perisai Naga..?"

   Ki Demang Kerpa mendesis.

   Tanpa disadarinya, kakinya bergerak mundur bebera-pa langkah.

   la mengutuki ketololannya sendiri.

   Ya, kenapa tidak sejak tadi ia mengenali anak muda itu sebagai Pendekar Perisai Naga? "Sekarang kau tahu siapa aku, Ki Demang?"

   Kata Joko Sungsang setelah melilitkan Perisai Naga kembali di pinggangnya.

   "Den... Den...?"

   "Tak usahlah memanggilku 'Den', Ki Demang. Aku bukan lagi anak demang yang terpaksa harus kau hormati. Dan, tentunya kau sekarang ini menghendaki kematianku, bukan?"

   Tukas Joko Sungsang. Ki Demang Kerpa menoleh ke kanan dan ke ki-ri. Dua orang pengawalnya masih tergeletak di tanah. Tak ada lagi orang yang diharapkan membantunya. Ti-dak boleh tidak ia harus menghadapi musuh besarnya ini seorang diri.

   "Aku sudah siap jika kau memang menghenda-ki nyawaku, Ki Demang,"

   Kata Joko Sungsang seraya memasang kuda-kuda.

   Kaki kiri anak muda itu terte-kuk hingga tumitnya menyentuh pantat, sedangkan kaki kanan tegak lurus menyanggah badan.

   Lalu tan-gan kiri anak muda itu menyilang di depan dada se-mentara siku tangan kanan ditarik ke belakang hingga kepalan telapak tangan berada di ketiak.

   Inilah jurus pembuka ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan'! "Nama besarmu memang sudah aku dengar, Pendekar Perisai Naga.

   Tetapi, betapa tinggi hatimu ji-ka nyatanya kau hanya dengan tangan kosong menco-ba menghadapi ilmu pedangku?"

   Kata Ki Demang Ker-pa.

   "Ha ha ha! Dasar mabuk pangkat kau, Ki De-mang! Pikiranmu tak lagi bersih sebab dikotori oleh keserakahan mu, rasa iri mu, dan rasa jahil mu! Baik-lah, Ki Demang yang terhormat. Kalau kau memang yakin ilmu pedangmu bisa mengalahkan silat tangan kosong ku, aku turuti kemauanmu. Tetapi sebenarnya aku juga menyangsikan silat tangan kosong mu. Jan-gan-jangan kau menantangku adu senjata karena kau sebenarnya tidak becus menggunakan tangan kosong mu, Ki Demang!"

   "Jahanam keparat bosan hidup!"

   Seru Ki De-mang Kerpa sebelum menyarungkan pedangnya.

   Lalu, secepat kilat tubuhnya melayang ke atas kepala Joko Sungsang sambil mengirimkan tendangan ke arah leher.

   Namun, sebelum sisi telapak kaki itu menyen-tuh kulit lehernya, Joko Sungsang meraih pergelangan kaki lawan dan dengan sekuat tenaga menghentakkan kaki itu ke tanah.

   "Desss!"

   Kedua tumit Ki Demang Kerpa menghunjam tanah. Tetapi, secepat kilat Ki Demang Kerpa melenting lagi dan mengirimkan kedua tumitnya ke dada Joko Sungsang.

   "Desss! Desss! Blukkk!"

   Kali ini tubuh Ki Demang Kerpa jatuh telak.

   Untuk sejenak ia bergulingan di tanah.

   Dan, ketika ia mencoba bangkit dan menapakkan tumit itu ke tanah, ia merasakan kedua tulang tumitnya pecah.

   Seolah ba-ru saja ia jatuh dari tebing dan kedua tumitnya menghunjam karang.

   Maka kembali Ki Demang roboh dan bergulingan di tanah.

   Itulah akibat dari benturan ilmu 'Pukulan Om-bak Laut Selatan"yang tersalur pada punggung tangan Joko Sungsang.

   Sewaktu Ki Demang menghunjamkan kedua tumitnya ke dadanya, Joko Sungsang tidak menghindar, tetapi melindungi dadanya dengan kedua punggung tangannya.

   Kalau saja punggung kedua tan-gan itu tidak dilambari ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan', bisa dipastikan tulang-tulang kedua tangan itulah yang patah.

   "Kau lihat sendiri aku tetap bertangan kosong, Ki Demang?"

   Ejek Joko Sungsang sambil merentang-kan kedua tangannya.

   Memang terasa sedikit ngilu kedua punggung tangannya, tetapi cepat-cepat ia mengalirkan hawa murni untuk mengatasi rasa ngilu itu.

   Ki Demang Kerpa menggigit bibirnya kuat-kuat.

   Kemudian ia bangkit dengan bersitelekan pada pe-dangnya.

   Hati-hati ia menapakkan kakinya agar tumit malang itu tidak menyentuh kerikil yang berserakan di halaman kademangan itu.

   "Bagaimana, Ki Demang? Masih pilih mencoba silat tangan kosongku?"

   Kata Joko Sungsang sembari menyesali kebodohan lawannya.

   Betapapun sudah be-lasan tahun malang-melintang di rimba persilatan, nyatanya Ki Demang Kerpa belum mengenal ilmu silat tangan kosong dari Padepokan Karang Bolong yang tersohor itu.

   Matanya masih tertutup! *** Menghadapi Pendekar Perisai Naga, Ki Demang Kerpa merasa menemukan lawan yang bukan tandin-gannya.

   Selama lima tahun ia berguru kepada Ki Da-nyang Bagaspati, ia telah mewarisi ilmu silat yang cukup tinggi.

   Sayang ia belum berhasil menguasai jurus pamungkas yang disebut jurus 'Selendang Mayat Penyapu Awan'.

   Akan tetapi, untuk menghadapi anak muda seusia Pendekar Perisai Naga ini seharusnyalah ia tak memerlukan jurus pamungkas itu.

   Maka diam-diam Ki Demang Kerpa mengutuki dirinya sendiri.

   Ya, kenapa tugas menggali kubur Ki Linggar itu tidak dijalaninya sendiri? Kenapa ia takut melakukannya? Kenapa ia menyuruh orang-orang upahan yang akhirnya justru mendatangkan kesuli-tan? Padahal, kalau saja ia telah mendapatkan kain kafan Ki Linggar, ia hanya membutuhkan waktu tak lebih dari sebulan untuk mempelajari jurus 'Selendang Mayat Penyapu Awan'! Dengan kedua tumit terangkat, Ki Demang Ker-pa harus tetap mati-matian melawan Joko Sungsang.

   Kini terpaksa ia meloloskan pedangnya sebab serangan lawan makin lama semakin membahayakan.

   Tak mungkin baginya terus-menerus berkelit menghindari serangan lawan.

   Dengan pedangnya, ia akan menang-kis serangan lawan tanpa harus berloncatan ke sana-sini.

   Kalaupun Joko Sungsang tetap bertahan pada jurus-jurus tangan kosongnya, tidak berarti ia menye-pelekan jurus-jurus pedang lawan.

   la memang sengaja mempraktekkan ilmu silat tangan kosong yang dipela-jarinya dari Ki Sempani baru baru ini.

   Seperti yang pernah diceritakan Wiku Jaladri kepadanya, ia mengakui bahwa ilmu silat tangan kosong dari Padepokan Karang Bolong memang boleh diandaikan.

   Belum lagi jurus pamungkasnya yang disebut ilmu 'Pukulan Om-bak Laut Selatan'.

   Pukulan yang tanpa meninggalkan bekas, tetapi membuat seisi dada lawan rontok.

   Kalaupun mengenai anggota tubuh yang lain, maka tulang yang ada di dalamnyalah yang pasti luluh lantak.

   Seperti yang baru saja diderita tumit Ki Demang Kerpa.

   Tulang pada kedua tumit itu hancur akibat berbentu-ran dengan punggung lengan Pendekar Perisai Naga yang telah dialiri ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan'.

   Lalu, sewaktu Ki Demang Kerpa membabatkan pedangnya ke kaki Joko Sungsang, kembali Demang Desa Sanareja ini mengaduh sebab tulang lengannya senasib dengan tulang pada kedua tumitnya.

   Tidak di-duganya bahwa anak muda itu akan menghindar ma-suk dan menabrak lengannya dengan sisi telapak kaki kanannya.

   Ki Demang Kerpa meloncat mundur sambil memegangi lengannya yang tak berdaya lagi.

   Ia benar benar tidak tahu, ilmu apa yang dipakai anak Ki Linggar itu.

   Selama belasan tahun malang melintang di dunia persilatan, baru kali ini ia merasa kewalahan menghadapi lawan yang hanya bertangan kosong.

   "Bagaimana, Ki Demang? Masih ingin dite-ruskan? Atau mungkin kau menghendaki aku me-mainkan cambuk ku?"

   Ejek Joko Sungsang.

   Menghadapi Perisai Naga? Baru juga mengha-dapi ilmu silat tangan kosong, ia sudah selayaknya mengaku kalah.

   Bagaimana mungkin ia mengadu ju-rus-jurus pedangnya dengan Perisai Naga! "Bedebah! Jangan cepat tinggi hati, Anak Mu-da! Silat tangan kosong mu memang hebat.

   Tetapi be-lum tentu permainan cambuk mu sehebat permainan tangan kosong mu!"

   Kata Ki Demang Kerpa untuk me-nutupi rasa takutnya.

   "Baiklah! Karena aku sudah kenal baik den-ganmu sebelum kau mencuri kedudukan demang di desa ini, aku turuti kemauanmu. Nah, bersiaplah!"

   Jo-ko Sungsang mengurai Perisai Naga nya dan memutar cambuk itu di atas kepalanya.

   Bola berduri di ujung cambuk itu meraung-raung.

   Warnanya menyilaukan mata.

   Melihat warna hijau kebiru-biruan yang kini berwujud lingkaran itu, serta merta Ki Demang Kerpa ingat warna benda langit yang sering melintas-lintas pada malam hari.

   Ki Demang Kerpa memindahkan pedangnya ke tangan kiri.

   Tangan kanannya ternyata betul-betul tak berdaya lagi mengangkat pedang itu.

   Bahkan untuk dilipat pun tak bisa.

   Bagaimana bisa jika tulang yang menyangga tangan itu hancur! Lecutan Perisai Naga membuat Ki Demang Ker-pa mengurungkan niatnya menyerang.

   Ia harus bergu-lingan di tanah sebab ujung cambuk itu hampir saja melibas pinggangnya.

   Namun, justru dalam keadaan seperti inilah Ki Demang Kerpa merasa menemukan kesempatan untuk menyerang.

   Maka cepat ia mengi-baskan gagang pedangnya, dan meluncurlah beberapa butir kerikil beracun dari gagang pedang itu.

   Inilah kerikil beracun yang diambil dari Kepundan Gunung Me-rapi! "Sring! Sring! Sring!"

   Tiga butir kerikil terbentur bola berduri di ujung cambuk, sedangkan sisanya menyambar angin.

   Sambil memutar Perisai Naga, Joko Sungsang berjum-palitan ke udara.

   Dua orang upahan yang sejak tadi mengikuti jalannya pertarungan di halaman kademangan itu kembali berdecak-decak kagum.

   "Benar-benar ilmu setan!"

   Bisik yang lebih tua kepada temannya.

   "Untung kita tadi tidak nekad melawannya, ya?" 'Seharusnya Ki Demang Kerpa sudah menye-rah sejak tadi. Tetapi, ia memang keras kepala! Ba-ginya, lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai! Bukan main!"

   "Tetapi, untuk apa mati-matian melawan kalau akhirnya juga kalah?"

   "Semestinya Ki Demang Kerpa berpikiran seper-ti kau. Lihat saja tangan kanan dan kedua tumitnya!"

   "

   Desss! Blukkk!"

   Tubuh Ki Demang Kerpa terhuyung-huyung mundur.

   Pedangnya tergeletak di tanah, dan tangan kirinya memegangi dada.

   Maka yang terjadi kemudian membuat kedua penonton itu melongo.

   Betapa tidak! Seperti kain basah, tubuh Ki Demang Kerpa pelan-pelan terjatuh duduk dan akhirnya ngelimpruk tak berdaya.

   "Gara-gara aku mendengarkan ocehanmu, ja-dinya...!"

   "Kau sendiri kenapa mendengarkannya pakai mata, bukan pakai kuping, jangkrik!"

   Sergah temannya kesal. 'Kalian geledah sakunya. Pasti ada uang di sa-na!"

   Perintah Joko Sungsang mengejutkan kedua orang upahan itu.

   "Terima kasih, Kisanak,"

   Ucap mereka berdua bersamaan.

   Kemudian mereka berebut langkah meng-hampiri mayat Ki Demang Kerpa.

   *** Untuk sejenak Joko Sungsang termenung me-mandangi lawannya yang terbaring di tanah dengan mulut bersimbah darah.

   Begitu mengerikan ilmu 'Pu-kulan Ombak Laut Selatan'.

   Meski Perisai Naga dalam genggamannya, Joko Sungsang tetap ingin menjatuhkan lawannya dengan jurus pamungkas dari Padepo-kan Karang Bolong itu.

   Itulah kenapa Ki Demang Ker-pa tewas meski tanpa tersentuh Perisai Naga sedikit pun.

   Joko Sungsang mengelus punggung jari-jari tangannya.

   Terasa sedikit nyeri.

   Sesungguhnyalah Ki Demang Kerpa memiliki punggung yang kuat.

   Kalau saja kepalan tangan Joko Sungsang tidak dilambari ajian ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan', belum tentu pukulan itu dirasakan oleh punggung Ki Demang Kerpa.

   Punggung itu hampir sekeras cadas gunung.

   Se-waktu Joko Sungsang masih kanak-kanak, sering ia melihat Kerpa memamerkan kekuatan punggungnya.

   Pintu rumah yang terpalang bisa didobrak dengan ke-kuatan punggung itu.

   Lebih-lebih setelah Kerpa belajar ilmu silat, semakin berlipat ganda kekuatan punggungnya.

   "Boleh kami menggeledah isi rumah, Kisanak?"

   Tanya salah seorang lelaki upahan itu setelah tak menemukan sepeser pun uang di kantong Ki Demang Kerpa. 'Boleh. Tetapi, jangan ganggu seisi rumah ini setelah kau dapatkan upah yang kau cari!"

   Jawab Jo-ko.

   "Kami berjanji, Kisanak!"

   Berkata begini kedu-anya langsung berebut lebih dulu menggapai pintu rumah. Mereka mendobrak lemari pakaian, dan me-mang di situlah Ki Demang Kerpa menyimpan ua-ngnya. Mereka tertawa-tawa sambil menciumi uang di telapak tangan.

   "Sayang, kita hanya boleh mengambil ua-ngnya,"

   Kata lelaki yang lebih muda.

   "Itu pun sudah merupakan karunia! Kalau bu-kan anak muda itu mana mungkin kita dibiarkan hi-dup? Ha ha ha, betul-betul pendekar sejati! Beruntung kita bisa bertemu dengan Pendekar Perisai Naga yang kesohor itu, ya?"

   Mereka kembali berada di pelataran kademan-gan.

   Mereka ingin sekali lagi mengucapkan terima kasih kepada anak muda berhati emas itu.

   Akan tetapi, mereka tidak lagi melihat anak muda yang berpakaian serba putih itu.

   Sebaliknya, mereka malahan melihat lelaki tua yang berpakaian serba merah.

   "Empu Wadas Gempal...!"

   "Ya, aku, cacing belang! Ha ha ha, ho ho ho, he he he!"

   Empu Wadas Gempal berkacak pinggang sem-bari tertawa terpingkal pingkal.

   Dia adalah gurunya Hantu Lereng Lawu.

   Muridnya itu tewas di tangan Jo-ko Sungsang karena itu dia sangat dendam pada Joko Sungsang (Untuk lebih jelasnya baca serial Pendekar Perisai Naga dalam episode "Hantu Lereng Lawu").

   Kedua lelaki setengah umur yang baru saja ter-tawa riang sebab mendapatkan uang yang tidak sedikit jumlahnya itu kini berdiri dengan kaki menggigil.

   Mereka secepatnya menyadari bahwa sebentar lagi nyawa mereka pasti melayang.

   "Cacing tanah!"

   Bentak Empu Wadas Gempal dengan mata melotot.

   "Katakan, siapa yang membu-nuh Kerpa, demang goblok itu? Sebab aku yakin kalian berdua tidak akan bisa membunuhnya!"

   "Kami... kami... kami tidak tahu...."

   "Goblok! Dungu! Otak kerbau! Kalian tak perlu tahu namanya! Sebutkan saja ciri-ciri orangnya, cacing dungu!" 'Orangnya... eh, anak muda itu... anu... anu masih muda...."

   "Ha ha ha! Dasar pikiranmu masih bercampur tanah! Dasar mata duitan! Bicara asal buka bacot! Mana ada anak muda yang sudah tua, cacing kudi-san!"

   "Maksud kami, anak muda itu... pakai baju pu-tih-putih, dan senjatanya...."

   "Cambuk kambing?"

   Tukas Empu Wadas Gem-pal menebak.

   "Betul, betul Ki Lurah. Ki Demang bilang, dia... Pendekat Perisai...."

   "Perisai kambing!"

   Sahut Empu Wadas Gempal.

   "Sekarang, di mana penggembala kambing itu, he?!"

   "Kami... kami juga... juga sedang mencari dia, Ki Lurah. Kami kira tadi dia... dia masih di sini...."

   "Mata kalian lantas buta kalau sudah melihat uang!"

   Empu Wadas Gempal meloncat maju dan tiba-tiba telah mencengkeram leher kedua lelaki upahan itu.

   "Ampuni kami, Ki Lurah...."

   "Tak ada ampun buat perampok macam kalian! Mengerti?! Kalian cuma pantas dihabisi, bukan diam-puni!"

   Tangan kedua laki-laki upahan itu berusaha meraih gagang golok yang mencuat dari balik baju mereka. Akan tetapi, sebelum jari-jari tangan itu menyentuh tanduk kerbau itu, tubuh mereka terangkat tiga jengkal dari tanah.

   "Jangan coba-coba kau gunakan akalmu untuk melawanku, cacing kremi!"

   Bentak Empu Wadas Gem-pal sambil menurunkan kembali tubuh kedua lelaki itu ke tanah.

   "Ha ha ha! Rupanya ada juga rajawali yang doyan cacing tanah!"

   Tiba-tiba terdengar suara seseorang dari luar regol.

   kademangan.

   Empu Wadas Gempal membuang tubuh kedua lelaki itu seraya menoleh ke arah datangnya suara.

   Meski pemilik suara itu berada di keremangan malam, orang sesat dari Hutan Ketapang ini tetap saja bisa mengenalinya.

   "Dari suaramu yang mirip burung gagak, aku tahu kau Danyang Gunung Merapi!"

   Kata Empu Wadas Gempal.

   "Tetapi, apa urusanmu datang kemari men-campuri urusanku, Bagaspati?"

   Ki Danyang Bagaspati menampakkan dirinya di samping obor yang menempel di tiang regol.

   Kini nampak jelas perwujudan lelaki tua itu.

   Rambutnya yang putih terbalut ikat kepala berwarna putih kusam.

   Di tubuhnya yang kurus itu menyilang kain putih yang juga berwarna kusam.

   Dan, dari pinggang hingga lutut dibalut kain batik kawung.

   "Tentu saja aku jauh-jauh datang kemari kare-na ada urusan, Wadas Gempal! Tetapi, sayang orang yang punya urusan denganku sudah kau bunuh. Ka-lau begitu, dengan kaulah aku harus berhadapan se-karang!"

   "Jangan lancang bicara, Bagaspati! Buat apa aku membunuh cacing macam Kerpa? Kalau tidak percaya, tanyailah cacing-cacing ini!"

   Empu Wadas Gempal menuding kedua lelaki yang telentang di tanah tanpa berani bergerak itu.

   "Untuk apa aku harus mempedulikan jawa-banmu, Wadas Gempal? Kau atau bukan yang mem-bunuh Kerpa, tetap saja kau harus berurusan dengan-ku. Kecuali jika kau berbaik hati meninggalkan tempat ini...."

   "Ho ho ho!"

   Tawa Empu Wadas Gempal menyahut.

   "Kita memang sama-sama punya urusan, Bagas-pati! Kau datang ke sini karena Kerpa pernah berguru kepadamu, bukan? Dan, aku datang ke sini karena akulah yang menjadikannya demang di desa ini. Teta-pi, kalau saja waktu itu aku mau menjadikannya mu-rid, tak mungkin kau berada di tempat ini sekarang."

   "Jadi, kenapa tidak segera kau tinggalkan tem-pat ini?"

   "Begini saja! Ini semua hanyalah urusan kecil. Tetapi, kalau aku begitu saja pergi dari sini, kau pasti mengira aku takut dengan kain bungkus mayatmu itu. Nah, sekarang kita uji saja siapa yang paling pantas tinggal di sini lebih lama. Setuju?"

   "Ha ha ha, hmm! Usulan yang menarik! Maumu apa, orang hutan?"

   "Kebutkan kain kafan mu, dan aku dorong dengan angin puyuhku. Nah, siapa yang terdorong mundur, itulah yang harus minggat lebih dulu dari tempat ini!"

   "Bersiaplah, Wadas Gempal!"

   Sahut Ki Danyang Bagaspati, dan secepat kilat ia menyabetkan kain kafan yang semula mengikat rambut di kepalanya.

   Akan tetapi, pada saat yang sama, Empu Wa-das Gempal pun telah mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan dada.

   Inilah jurus 'Angin Puyuh Melabrak Gunung'! Wusss! Wusss! Desss! Dua kekuatan angin bertabrakan.

   Kedua orang sakti itu terpental mundur beberapa langkah.

   Dua orang lelaki yang tadi telentang di tanah bergulingan terbawa angin dan tubuh mereka membentur tiang pendopo.

   Seketika itu juga mereka tewas dengan punggung patah terganjal tiang pendopo.

   "Apa perlu kita mengadu kekuatan kita yang lain, Wadas Gempal?"

   Ki Danyang Bagaspati mendahu-lui bertanya.

   Suasana di pelataran kademangan itu kini re-mang-remang.

   Dua buah obor yang menempel di tiang regol seketika tadi mati terhembus angin yang mendo-rong tubuh Ki Danyang Bagaspati.

   Namun begitu, ma-ta kedua orang sakti itu terlalu tajam untuk menem-bus kegelapan malam.

   Apalagi masih ada bantuan si-nar bulan purnama yang berada di balik mendung.

   "Ada baiknya orang tua bangka macam kita se-sekali berlatih silat berdua, Bagaspati,"

   Jawab Empu Wadas Gempal.

   "Majulah. Dan, aku berjanji akan meninggalkan tempat ini lebih dulu jika kau menyentuh kain ka-wungku, Wadas Gempal!"

   "Bukan orang Hutan Ketapang kalau tidak bisa menjambret kain lusuhmu itu, Wong Gunung!"

   Sahut Empu Wadas Gempal sebelum menerkam ke depan dengan jari-jari tangan terkembang.

   Jari-jari yang semula berwarna kecoklatan Itu kini berubah menjadi hitam kebiru-biruan.

   Menyadari betapa berbahayanya jari-jari tangan orang tua dari Hutan Ketapang ini, Ki Danyang Bagaspati secepatnya merentangkan kain kafannya untuk menyambut serangan lawan.

   "Hiyaaa!"

   Empu Wadas Gempal menarik kem-bali kedua tangannya. Sebagai gantinya, ia mengirimkan tendangan ke arah lutut lawan.

   "Bagus juga jurus tipuanmu, Wadas Gempal!"

   Seru Ki Danyang Bagaspati setelah berhasil mencegah tendangan lawan dengan kain kafannya.

   Hampir saja kain kafan itu membalut kaki Empu Wadas Gempal kalau saja ia tidak sigap membelokkan tendangan ka-kinya.

   Ki Danyang Bagaspati memilin kain kafannya, kemudian melecutkannya ke arah kaki Empu Wadas Gempal.

   Dan, ketika orang sesat dari Hutan Ketapang itu melenting ke udara maka kain kafan terpilin itu pun sudah siap memburu ke udara.

   Empu Wadas Gempal menyadari bahwa lawannya tak lagi sekedar main-main.

   Kalau ia masih meladeninya dengan sikap bersahabat, sama halnya menyerahkan nyawa dengan cuma-cuma.

   Mengingat itu semua, Empu Wadas Gem-pal menukik sambil mendorong lawan dengan jurus 'Angin Puyuh Melabrak Gunung'.

   Sambaran angin yang begitu kuat membuat kuda-kuda Ki Danyang Bagaspati goyah.

   Ia terhuyung sehingga arah senjatanya melenceng.

   Kesempatan ini dipergunakan oleh Empu Wadas Gempal untuk menje-jakkan kaki di tanah.

   "Menurutku, cukuplah latihan kita kali ini, Ba-gaspati! Lain kali bolehlah kita teruskan!"

   Kata Empu Wadas Gempal.

   "Apakah tidak lebih enak didengar jika kau ka-takan bahwa kau takut menghadapiku?"

   Ejek Ki Da-nyang Bagaspati.

   "Katakan saja kapan kau siap bertarung sam-pai mati, aku akan selalu melayanimu, kodok gunung!"

   "Aku akan melabrakmu di Hutan Ketapang jika hujan pertama turun nanti, babi hutan! Tetapi, sebelum kau minggat dan sini, katakan siapa pembunuh Demang Kerpa tolol ini agar aku tidak dendam pada-mu, demit hutan' "Ha ha ha! Kalaupun aku tahu, tidak akan ku-katakan kepadamu, kodok gunung! Cecurut yang membunuh murid mu itu harus mati di tanganku se-bab ia pun pernah membunuh murid kesayanganku!"

   Sahut Empu Wadas Gempa!.

   "Pendekar Perisai Naga?"

   Bisik hati Ki Danyang Bagaspati ia pernah mendengar cerita tentang tewasnya Hantu Lereng Lawu oleh lecutan Perisai Naga.

   "Nah, aku tunggu kau di Hutan Ketapang jika hujan pertama nanti turun, penggali kubur. Tetapi jika kau ingkar janjimu, aku akan tatakan Gunung Merapi biar kau mampus tertimbun di sana!"

   Ujar Empu Wa-das Gempal sebelum menghilang di keremangan ma-lam.

   Setelah mendapat keterangan tentang siapa pembunuh Ki Demang Kerpa orang sesat dari Hutan Ketapang ini berjanji dalam hati untuk secepatnya menemukan Pendekar Perisai Naga.

   Lima tahun sudah ia mencari pembunuh mu-rid kesayangannya itu, tetapi rupanya baru sekarang nama Pendekar Perisai Naga muncul lagi di dunia persilatan.

   Tuntutan balas dendam atas kematian Hantu Lereng Lawu ini menyebabkan Empu Wadas Gempal tidak ingin meneruskan pertarungannya dengan Ki Danyang Bagaspati.

   Dalam beberapa jurus tadi, ia sudah bisa mengukur tingkatan ilmu orang sakti dari Gunung Merapi itu.

   Dengan senjata Selendang Mayat-nya, Ki Danyang Bagaspati bukan lagi tawan yang bisa diremehkan.

   Empu Wadas Gempal merasa tidak yakin bisa mengalahkan lawan tangguh sesama golongan ini.

   Bahkan bukan tidak mungkin ia sendiri yang tewas ji-ka pertarungan tadi diteruskan.

   Dan, ini tidak dikehendakinya.

   Ia tidak ingin mati sia-sia sebelum berhasil membalaskan kematian murid kesayangannya.

   Sambil berloncatan meninggalkan Desa Sanare-ja, Empu Wadas Gempal terus menaksir naksir, di mana kiranya ia bisa menemukan Pendekar Perisai Naga.

   Kemudian, ia mengutuk kemunculan Wasi Eka-cakra di mulut Desa Cemara Pitu lima tahun yang lalu.

   Kalau saja petani dari Desa Dadapsari itu tidak muncul malam itu, sudah pasti Pendekar Perisai Naga mati di tangannya.

   Tidak akan Pendekar Perisai Naga mampu menghadapi guru dan murid dari Hutan Ketapang.

   Toh menghadapi keroyokan Hantu Lereng Lawu dan Kebo Dungkul saja Joko Sungsang sudah kerepotan.

   Andaikata saja tidak muncul gadis bertombak pendek itu, belum tentu Pendekar Perisai Naga mampu mero-bohkan Hantu Lereng Lawu (Baca serial Pendekar Perisai Naga dalam episode "

   Hantu Lereng Lawu").

   "Terkutuk pulalah kau, gadis binal!"

   Dengus Empu Wadas Gempal sembari mempercepat langkah-nya.

   *** Sepeninggal Empu Wadas Gempal, bergegas Ki Danyang Bagaspati meneliti sosok tubuh yang berge-limpangan di pelataran kademangan itu.

   Ia harus tahu siapa pembunuh Ki Demang Kerpa.

   Ia berharap salah seorang dari mereka bisa memberikan keterangan yang diperlukannya.

   Sewaktu ia membalikkan tubuh salah seorang pengawal Ki Demang Kerpa, saat itulah terdengar erangan kesakitan.

   "Ha, masih hidup rupanya kau!"

   Seru Ki Da-nyang Bagaspati kegirangan.

   "Nah, katakan cecurut mana yang telah membunuh Demang Kerpa, he?"

   Orang itu menggerakkan bibirnya. Suaranya terdengar bisik-bisik. Ki Danyang Bagaspati mende-katkan telinganya ke mulut lelaki malang itu.

   "Siapa?"

   Tanyanya sambil menggoyang-goyang paha lelaki yang tengah sekarat itu.

   "Pendekar... Perisai... Na... Na...."

   Dan, kepala pengawal Ki Demang Kerpa itu terkulai.

   "Pendekar Perisai Naga?"

   Ujar Ki Danyang Ba-gaspati sambil memicingkan mata.

   Lalu buru-buru ia meneliti kembali mayat Ki Demang Kerpa.

   la sangsi sebab pada mayat itu tidak terdapat jejak Perisai Naga seperti yang pernah didengarnya dari mulut ke mulut.

   Tak ada sayatan-sayatan dengan garis-garis biru di kanan kiri luka.

   Mayat itu bahkan utuh.

   Hanya ada darah , yang sudah mengering di bibir dan dagu.

   Itu pun darah muntahan.

   Setaraf dengan tingkatan ilmu silat yang dimili-kinya, Ki Danyang Bagaspati berani menyimpulkan bahwa Ki Demang Kerpa mati akibat terkena pukulan yang hanya menimbulkan luka dalam.

   Dan pukulan itu begitu sempurna sehingga tidak meninggalkan be-kas apa pun di kulit korban.

   "'Pukulan Ombak Laut Selatan'!"

   Dengus Ki Da-nyang Bagaspati.

   Kemudian ia ingat akan Ki Sempani, satu-satunya tokoh dalam dunia persilatan yang berhasil mempelajari ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan'.

   Dan, ia pun ingat masih punya urusan dengan orang sakti dari Padepokan Karang Bolong itu.

   Untuk bisa mengalahkan Ki Sempani inilah ia harus mencuri kain kafan di kuburan sebagai sarana mempelajari jurus 'Selendang Mayat Penyapu Awan'.

   Enam tahun ia berdiam di Kaki Gunung Merapi demi memperdalam ilmu ini.

   Enam tahun yang lalu, Ki Danyang Bagaspati terlibat pertempuran hidup dan mati dengan Ki Sem-pani di Pesisir Laut Selatan.

   Ia yang datang ke tempat itu untuk mengajarkan ilmu sesat kepada penduduk desa di pinggiran laut itu, tidak boleh tidak harus berurusan dengan Ki Sempani.

   Sebagai pendekar yang mengabdi pada kepentingan rakyat banyak, Ki Sempa-ni terpaksa turun tangan mencegah kejahatan yang meracuni Pesisir Laut Selatan dan sekitarnya.

   Maka pertarungan hidup dan mati dengan Ki Danyang Ba-gaspati tak bisa dielakkannya lagi.

   Da-lam pertarungan inilah Ki Danyang Bagaspati terdesak dan tergiring ke dalam pelukan ombak laut Selatan yang ganas itu.

   Akan tetapi, nasib baik masih mengekornya Seseorang yang mengaku sebagai kaki tangan penguasa Laut Selatan menyelamatkannya Malahan kemudian menu-runkan ilmu silat yang disertai 'aji pamungkas berna-ma jurus 'Selendang Mayat Penyapu Awan"kepadanya.

   "Untuk bisa menguasai jurus ini, kau harus bi-sa mendapatkan kain kafan yang membungkus mayat orang yang paling kau benci, Bagaspati,"kata sang guru 'Kain kafan?"

   Bulu kuduk Ki Danyang Bagaspati berdiri. Sungguh, tak pernah bisa membayangkan bakal mendapat perintah membongkar kuburan dan mengambil kain kafan yang membungkus mayat peng-huni kuburan itu.

   "Kau takut? Hi hi hik! Kalau untuk membong-kar kuburan seseorang saja kau takut. bagaimana mungkin kau bisa mengalahkan musuh besarmu? "Tidak, tidak Guru Saya hanya kaget menden-gar persyaratan yang sangat aneh ini"

   Sahut Ki Danyang Bagaspati untuk menutupi rasa malunya.

   Bagus Kalau begitu, malam Jum'at Kliwon nan-ti kau harus sudah menyerahkan kain kafan yang membungkus mayat orang yang paling kau benci Dan kain kafan itu harus sudah terkubur lebih dari tiga tahun.

   Paham?"

   "Paham, paham, Guru "

   Ki Danyang Bagaspati mengangguk berulang-ulang.

   "Jangan sampai lupa pesan-pesanku tadi. Sa-lah ambil, tidak akan berfaedah kain kafan itu!"

   "Saya mengerti, Guru. Saya harus menda-patkan kain kafan orang yang paling saya benci, dan kain kafan itu harus sudah terkubur di liang lahat selama lebih dari tiga tahun. Benar begitu, Guru?"

   Begitulah kenapa akhirnya orang sesat dari Ka-ki Gunung Merapi ini berhasil menguasai jurus 'Selendang Mayat Penyapu Awan"Dan hampir saja jurus maut itu diturunkan kepada Ki Demang Kerpa.

   Ki Danyang Ragaspati menyeringai.

   Lalu ia ter-tawa terbahak-bahak sambil melompat pergi mening-galkan halaman kademangan.

   Bayangan Ki Sempani memajang di pelupuk matanya Hatinya girang sebab ia melihat jejak-jejak munculnya murid Ki Sempani.

   "Dari muridnya inilah aku bisa memaksa kepit-ing pantai itu untuk menongolkan dirinya!"

   Kata hati Ki Danyang Ragaspati.

   *** Bulan tak lagi tampak penuh.

   Purnama sudah berlalu beberapa hari yang lalu.

   Peristiwa di Kademangan Desa Sanareja itu sudah dilupakan oleh Joko Sungsang.

   Kalaupun Ki Demang Kerpa terbunuh da-lam pertarungan di halaman kademangan itu, ini se-mua di luar rencana anak bekas demang Desa Sanare-ja ini.

   Di luar dugaannya jika malam itu dia akan berurusan dengan Ki Demang Kerpa, bahkan sampai mem-bunuhnya.

   Lima tahun yang lalu Joko Sungsang telah memaafkan Kerpa.

   Meski ia tahu bahwa tewasnya Ki Linggar karena fitnah yang ditebarkan Kerpa, tetap sa-ja ia menganggap bahwa Hantu Lereng Lawu dan anak buahnyalah yang harus menebus kematian Ki Linggar.

   Itulah kenapa Joko Sungsang membiarkan Kerpa tetap hidup setelah ia berhasil membunuh Hantu Lereng Lawu.

   Malam itu, setelah berhasil membunuh Hantu Lereng Lawu (Baca serial Pendekar Perisai Naga dalam episode "Hantu Lereng Lawu") di mulut Desa Cemara Pitu, Joko Sungsang mengantarkan Sekar Arum kem-bali ke Padepokan Karang Bolong.

   Ia terpaksa me-nangguhkan rasa rindunya bertemu dengan ibunya sebab ia merasa harus lebih mengutamakan kepentin-gan orang lain.

   Ia harus secepatnya menggiring Sekar Arum kembali ke Karang Bolong demi keselamatan gadis itu.

   Tanpa ilmu silat yang tinggi, belum selayaknya-lah Sekar Arum malang-melintang di dunia persilatan.

   Dan, gadis itu pun mengaku bahwa hampir saja ia ce-laka di tangan Kebo Dungkul jika tidak muncul Wiku Jaladri menolongnya.

   "Aku yakin, jika kau sudah menguasai seluruh ilmu yang diajarkan Ki Sempani, jangan lagi seorang Kebo Dungkul, sedangkan Hantu Lereng Lawu pun akan roboh berhadapan denganmu, Arum,"

   Kata Joko Sungsang.

   "Mungkin,"

   Kata gadis itu sambil mengerling.

   "Bukan mungkin lagi Pasti!"

   Sahut Joko Sung-sang.

   "Siapa orangnya yang tak kenal ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan'? Guruku sendiri mengakui bahwa ilmu pukulan tangan kosong itu tidak ada duanya di dunia persilatan."

   "Tetapi, tidak gampang mempelajari ilmu puku-lan yang satu itu."

   "Karena tidak gampang dipelajari itulah maka tidak gampang juga dicarikan tandingannya, Arum."

   "Ya. Tetapi, sudah berkali-kali aku gagal me-nempuh."

   "Cobalah sekali lagi. Siapa tahu sekaranglah saatnya kau berhasil menguasai ilmu pukulan maut itu. Dan, kalau memang Ki Sempani mengizinkan aku bersedia belajar denganmu."

   Gadis itu menghentikan langkahnya. Ia mena-tap tidak percaya wajah anak muda yang berada di sampingnya itu.

   "Kau sudah bergelar Pendekar Perisai Naga. Kau sudah menguras semua ilmu yang dimiliki Kiai Wiku Jaladri. Bahkan kau dengan mudah bisa mem-bunuh Hantu Lereng Lawu dan Mahesa Lawung den-gan jurus 'Perisai Naga"mu. Kenapa kau masih ingin mempelajari ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan'?"

   Kata gadis itu seolah tidak percaya mendengarkan pengakuan Joko Sungsang.

   "Tak ada sesuatu pun yang paling hebat di mu-ka bumi ini, Arum Begitu pula tak ada ilmu silat yang paling hebat di muka bumi ini. Memang benar aku telah mewarisi seluruh ilmu silat yang dimiliki Kiai Wiku Jaladri. Tetapi, pantaskah aku merasa menjadi orang yang paling sakti di muka bumi ini? Tidak, Arum. Bahkan aku merasa tidak mungkin mampu mengha-dapi Empu Wadas Gempal jika tidak datang Kiai Wasi Ekacakra menolongku,"

   Jawab Joko Sungsang tulus.

   Diam-diam Sekar Arum mengagumi kerenda-han hati anak muda ini.

   Meski anak muda ini sudah bergelar Pendekar Perisai Naga, tetap saja ia merasa tidak akan bisa mengalahkan Empu Wadas Gempal, guru Hantu Lereng Lawu.

   Padahal gadis itu melihat sendiri bagaimana anak muda itu memainkan Perisai Naga di tangannya.

   Karena itu pula ia menganggap bahwa anak muda ini memang pantas bergelar sebagai Pendekar Perisai Naga.

   Lalu gadis itu menengok dirinya sendiri.

   Lalu ia merasa kecil sekali berada di samping Pendekar Perisai Naga, la yang hanya memiliki ilmu silat sekuku hitam sudah berani kiprah di dunia persilatan, la bahkan sudah berani meninggalkan Padepokan Karang Bolong sebab merasa sudah memiliki ilmu silat yang hebat.

   Tetapi, nyatanya hampir saja ia celaka dan diperkosa oleh Kebo Dungkul.

   "Aku merasa malu sekali bertemu denganmu, Joko,"

   Ucap gadis itu seraya menundukkan kepala.

   "Malu?"

   Joko Sungsang mengangkat kedua alisnya.

   "Ya. Aku terlalu pongah dengan ilmu silatku yang...."

   "Arum,"

   Tukas Joko Sungsang.

   "Menurutku, il-mu silatmu sangatlah tangguh. Permainan tombak pendek-mu mengagumkan. Buktinya Kebo Dungkul akhirnya tewas tertikam tombak pendekmu. Kalaupun beberapa waktu yang lalu guruku terpaksa menolong-mu, itu karena dia melihat kecurangan dalam perta-rungan di depan kedai itu. Aku yakin, tanpa bantuan Hantu Lereng Lawu, tak mungkin Kebo Dungkul lolos dari aji pamungkas tombak pendekmu."

   Sekar Arum membenarkan ucapan anak muda itu.

   Ya, kalau saja tidak datang Hantu Lereng Lawu membantu, tentulah Kebo Dungkul sudah tewas di depan kedai itu.

   Tewas oleh jurus 'Memancing Mangsa Keluar Sarang'! "Maksudku, aku malu kenapa aku tidak berpi-kiran sepertimu.

   Kau yang sudah menguasai seluruh ilmu Padepokan Jurang Jero saja masih ingin belajar dari padepokan lain.

   Tapi, .kenapa aku yang belum berhasil menguasai seluruh ilmu yang diajarkan Ki Sempani...?"

   "Penyesalan tidak ada gunanya, Arum."

   Kemba-li Joko Sungsang memotong keluhan gadis itu.

   "Yang penting sekarang kau berniat kembali ke Karang Bo-long, dan berjanji akan lebih tekun lagi belajar. Bukan begitu?"

   "Dengan bantuanmu, semoga kali ini aku tidak patah semangat!"

   Ujar gadis itu sambil mempercepat langkah.

   Menjelang pagi hari, mereka tiba di Padepokan Karang Bodong.

   Ki Sempani terkejut melihat kedatan-gan Sekar Arum disertai seorang anak muda yang ber-senjatakan Perisai Naga.

   Tak disangka-sangka ia bakal melihat lagi kemunculan Pendekar Perisai Naga dimu-ka bumi ini.

   "Kisanak, kalau mata tuaku ini tidak salah li-hat, cambuk yang melilit di pinggang Kisanak itu tidak lain dari Perisai Naga,"

   Kata Ki Sempani sebelum Sekar Arum sempat memperkenalkan Joko Sungsang kepada gurunya.

   "Kalaupun pandang mata Kiai terpengaruh oleh bertambahnya usia Kiai, tetapi saya percaya mata hati Kiai tidak akan salah melihat,"

   Jawab Joko Sungsang seraya mengangguk hormat.

   "Jadi, benar aku sedang berhadapan dengan Pendekar Perisai Naga?"

   "Begitulah kalau memang Kiai mengizinkan saya mewarisi gelar dari Kiai Wiku Jaladri.

   "

   "Gusti Allah Maha agung!"

   Desis orang tua itu.

   "Sejak dulu aku tidak percaya Kakang Wiku Jaladri tewas di dasar jurang itu. Suatu ketika pasti dia muncul lagi untuk membangun bumi yang bobrok ini."

   "Sewaktu saya meninggalkan Padepokan Ju-rang Jero, keadaan Guru sehat walafiat, Kiai. Malahan Guru mengirimkan salam teruntuk Kiai di Padepokan Karang Bolong sini."

   "Ha ha ha, rasanya umurku bertambah panjang mendengar kabar baik tentang Kakang Wiku Jaladri! Apalagi kabar baik itu disampaikan oleh muridnya yang bergelar Pendekar Perisai Naga! Oh, siapa nama Kisanak... eh, Anakmas ini?"

   "Joko Sungsang, Kiai."

   "Joko Sungsang? Wah, wah, pasti Anakmas ini ketika lahir dalam keadaan sungsang. Artinya, Anak mas lahir dengan kaki mendahului kepala. Betul begitu?" 'Menurut pengakuan ayah saya, memang begi-tulah alasannya kenapa saya diberi nama Joko Sung-sang, Kiai." 'Tetapi, saya lebih suka memanggilnya Pende-kar Perisai Naga, Guru,"

   Sela Sekar Arum sambil meli-rik Joko Sungsang.

   "Ya, ya, ya. Kalau aku tadi menanyakan nama lahir, tidak berarti aku menganggap Anakmas Joko Sungsang ini tidak pantas bergelar Pendekar Perisai Naga, Arum. Hanya saja, aku percaya Anakmas Joko Sungsang akan merasa risih jika aku memanggilnya dengan Anakmas Pendekar Perisai Naga! Bukan begitu, Anakmas?"

   "Betul sekali, Kiai. Apalah artinya gelar saya ji-ka saya sedang berhadapan dengan pertapa sakti ma-cam Kiai?"

   Sahut Joko Sungsang merasa tidak enak hati.

   Tentu saja ia merasa kecil sekali berhadapan dengan Ki Sempani.

   Dan, selama ini toh musuh-musuhnya yang menggelarinya Pendekar Perisai Naga.

   Sesungguhnya, ia sendiri merasa belum pantas me-nyandang gelar warisan dari gurunya itu.

   "Ho ho ho, tidak juga begitu, Anakmas. Kalau memang Anakmas Joko Sungsang benar-benar telah mewarisi seluruh ilmu yang dimiliki Kakang Wiku Ja-ladri, tidak perlu Anakmas merasa kecil hati berhada-pan denganku. Aku ini hanyalah orang tua yang tidak tahu diri. Sudah seharusnya aku ini hidup menyepi, jauh dari kekotoran dunia. Tetapi, aku masih saja ingin campur tangan. Tidak seperti Kakang Wiku Jaladri maupun Dimas Wasi Ekacakra. Bukan begitu, Anakmas?"

   "Maaf, Kiai. Saya tidak berani membenarkan ucapan Kiai. Sebab, menurut saya, justru orang-orang sakti macam Kiai ini sedang dibutuhkan oleh rakyat yang tertindas, Kiai. Tentang Guru dan Kiai Ekacakra, sebenarnya mereka pun tidak tega melihat orang-orang sesat menyebarkan penderitaan dari desa ke desa. Kiai boleh bertanya kepada Arum, siapa yang menolong kami berdua sewaktu Empu Wadas Gempal mencam-puri urusan kami berdua dengan Hantu Lereng Lawu, kalau bukan Kiai Wasi Ekacakra!"

   "Betul, Guru. Kami yang muda ini masih tetap membutuhkan dukungan dari sesepuh macam Guru. Malahan Pendekar Perisai Naga jauh-jauh datang dari Padepokan Jurang Jero kemari karena ingin belajar ilmu silat lagi dari Guru,"

   Kata Sekar Arum menimpali.

   "Ha ha ha, kojur, kojur! Susah memang bicara ' dengan anak muda macam kalian ini,"

   Ki Sempani menggeleng-gelengkan kepala. Lengan bajunya yang komprang bergoyang goyang.

   "Apa yang dikatakan Arum memang benar, Kiai. Saya datang kemari memang dengan niat berguru ke pada Kiai. Tetapi, tentu saja jika Kiai tidak merasa hi-na menerima saya sebagai murid,"

   Kata Joko Sungsang menegaskan.

   "Anakmas, tentu saja aku akan besar kepala punya murid macam Anakmas. Tetapi, apa lagi yang bisa aku ajarkan? Semua yang aku punyai pasti sudah dipunyai oleh Kakang Wiku Jaladri, dan sudah diajar-kan kepada Anakmas Joko Sungsang...."

   "Guru.

   "

   Tukas Sekar Arum.

   "Kalau memang benar ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan"merupakan jurus andalan Padepokan Karang Bolong, berarti Joko Sungsang tidak mungkin mendapatkan ilmu itu dari gurunya!"

   "Ho ho ho, itu hanyalah jurus mainan anak ke-cil, Anakmas,"

   Sahut Ki Sempani.

   "Kalau begitu, aku ini hanya bayi kemarin sore!"

   Sergah Sekar Arum sambil memberengut.

   "Lha, kenapa begitu?"

   Mata Ki Sempani yang sipit itu melebar.

   "Guru bilang bahwa ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan"hanyalah mainan anak-anak kecil. Tetapi sampai sekarang aku tidak...."

   "Ha ha ha!"

   Tawa Ki Sempani memenggal uca-pan muridnya.

   "Bukan itu maksudku, Arum. Aku ka-takan ilmu itu hanyalah mainan anak-anak kecil, ka-rena aku sedang berbicara dengan Pendekar Perisai Naga. Kalau aku bicara dengan musuhku, tentu akan kukatakan bahwa ilmu itu paling jempolan di muka bumi ini! Mengerti?"

   Sekar Arum tetap memberengut. Joko Sung-sang merasa tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya menatap guru dan murid itu bergantian.

   "Lagi pula, dengan tombak pendekmu itu kau sebenarnya mempunyai senjata andalan yang tak ku-rang ampuhnya jika dibandingkan dengan ilmu 'Puku-lan Ombak Laut Selatan', Arum. Bukan begitu, Anak-mas Joko Sungsang?"

   "Tepat sekali, Kiai!"

   Joko Sungsang manggut-manggut.

   "Saya sudah melihat sendiri bagaimana Arum memainkan tombak pendeknya, Kiai. Saya me-rasa pasti, andai saja jurus-jurus tombak pendek itu diperdalam, akan sulit dicarikan tandingannya, Kiai."

   "Apakah berarti Guru tidak mengizinkan aku mencoba mempelajari ilmu 'Pukulan Ombak Laut Sela-tan"lagi?"

   "Cah Denok, kapan saja kau mau mempelaja-rinya, aku selalu mengizinkan. Tetapi, kali ini kau harus berjanji, tidak akan meninggalkan Padepokan Ka-rang Bolong lagi sebelum kau berhasil dalam latihan-mu Bagaimana?"

   "Aku berjanji!"

   Sekar Arum menyahut tegas.

   *** Akan tetapi, Sekar Arum ternyata mengingkari janjinya.

   Ia diam-diam pergi meninggalkan padepokan setelah untuk kedua kalinya gagal dalam latihannya.

   Gadis keras kepala dan keras hati ini merasa malu dan minder melihat keberhasilan Joko Sungsang mempelajari ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan'.

   Oleh sebab itulah Joko Sungsang ditugaskan oleh Ki Sempani untuk mencari gadis itu dan membu-juknya agar mau kembali ke Padepokan Karang Bo-long.

   Dan, sebelum menemukan adik seperguruannya ini, Joko Sungsang lebih dulu menemukan orang-orang upahan yang menggali kubur ayahnya.

   Maka tak bisa dihindari lagi pertarungan hidup dan mati melawan Ki Demang Kerpa di halaman kademangan itu.

   Sementara Joko Sungsang melacak jejak Sekar Arum dari desa ke desa, dunia persilatan sedang di-landa pergolakan.

   Tokoh-tokoh dari golongan hitam bermunculan dan berebut untuk bisa menduduki desa desa tertentu yang mereka pandang makmur.

   Di samp-ing itu, mereka juga berlomba untuk bisa menda-patkan julukan sebagai tokoh dunia persilatan yang paling disegani.

   Maka tak jarang terjadi pertarungan hidup dan mati antar sesama tokoh sesat.

   Seperti yang terjadi di Desa Gedong Alit malam itu.

   Dua orang tokoh dari golongan hitam bertarung untuk bisa saling menaklukkan satu sama lain.

   Mere-ka berdua tak lain adalah Empu Wadas Gempal mela-wan Cekel Janaloka.

   Sewaktu Joko Sungsang tiba di tempat itu, ia melihat Empu Wadas Gempal sudah berhasil mende-sak lawannya.

   Jari-jari mautnya bahkan sudah berha-sil melukai pundak Cekel Janaloka.

   "Tak perlu aku membunuhmu, besok pagi juga kau bakal sekarat, Janaloka!"

   Seru Empu Wadas Gem-par sambil berkelit menghindari ruyung hitam yang mematuk kepalanya.

   "Jangan banyak bacot, demit hutan! Selama kau tidak lari, kaulah yang akan lebih dulu modar!"

   Sahut Cekel Janaloka sebelum mengubah arah senja-tanya. Kini ruyung hitam yang ujungnya dihiasi baja mirip mata kail itu mengancam perut Empu Wadas Gempal.

   "Ho ho! Kau pikir aku ini mujair di kali?"

   Empu Wadas Gempal menangkis senjata lawan dengan tan-gan kanannya yang seolah telah berubah menjadi besi. Sudah barang pasti ia menangkis tepat pada sambun-gan yang menghubungkan ruyung hitam itu dengan mata kail sebesar sabit itu.

   "Desss! Krakkk!"

   Akibatnya sungguh di luar dugaan mereka yang menyaksikan pertarungan itu.

   Joko Sungsang sendiri heran melihat ruyung hitam itu patah berbenturan dengan sisi telapak tangan orang sakti dari Hutan Ketapang itu.

   Merasa senjata andalannya kutung, Cekel Ja-naloka mundur beberapa langkah.

   Selain ia merasa kehilangan senjata, ia juga merasakan nyeri di pundak kirinya semakin menjadi-jadi.

   Kini bahkan terasa panas bak tersengat bara.

   Inilah akibat cakaran jari-jari Empu Wadas Gempal yang dilumuri racun laba-laba hitam dari Hutan Ketapang.

   "He he he, Janaloka! Menyerahlah agar aku bi-sa mengampunimu dan memberimu obat penangkal racun laba-laba hitamku!"

   "Singgg!"

   Cekel Janaloka menyambitkan sisa ruyung hi-tam yang masih dipegangnya. Penggalan ruyung itu berputar dan mengarah ke leher Empu Wadas Gempal. Namun, seketika itu juga tubuh orang sesat dari Hutan Ketapang itu berputar searah putaran ruyung.

   "Jurus 'Bidadari Mengurai Benang Kusut'!"

   Bi-sik hati Joko Sungsang.

   Serta-merta ia ingat Hantu Lereng Lawu yang menggunakan jurus ini untuk me-nangkal lilitan Perisai Naga.

   Lima tahun yang lalu, selama Hantu Lereng Lawu berputar mirip gasing maka selama itu pula Perisai Naga tak akan berhasil membe-litnya.

   Untuk itu Joko Sungsang lantas menggunakan jurus 'Mematuk Elang Dalam Mega"untuk menghenti-kan putaran tubuh murid Empu Wadas Gempal itu.

   Ruyung hitam itu berputar-putar dan berbenturan dengan tubuh Empu Wadas Gempal yang juga berpu-tar.

   Namun, tak diduga-duga oleh siapa pun jika ruyung itu akan mental dan melabrak leher tuannya sendiri.

   Cekel Janaloka berjumpalitan ke belakang menghindari serangan balik senjatanya.

   Sayang, ia ti-dak bersiap-siap bahwa Empu Wadas Gempal akan memburunya dengan tendangan kakinya.

   "Augh!"

   Cekel Janaloka bergulingan di tanah dengan bahu kanan patah.

   "Kau tinggal bisa menggunakan kedua kakimu, Janaloka!"

   Ujar Empu Wadas Gempal sambil mengu-sap kumisnya yang basah oleh keringat.

   Tertatih-tatih Cekel Janaloka bangkit dengan kedua bahu tak bertenaga lagi.

   Meski demikian, tetap saja tokoh hitam dari Gunung Sumbing ini berusaha menyerang lawan.

   Kaki kanannya ditarik jauh-jauh ke belakang, telapak tangan kiri menyerong ke kiri, dan tiba-tiba tubuhnya melenting mengirimkan tendangan beruntun.

   "Ciaaat!"

   Desss!"

   Tubuh Cekel Janaloka terbanting ke tanah dengan mulut memuntahkan darah segar.

   Kali ini Em-pu Wadas Gempal membenturkan siku tangan kanan-nya ke tulang kering lawan.

   Dan, sebelum lawan turun dari udara, secepat kilat sisi telapak tangannya menimpa punggung lawan.

   "Karena kau tetap tidak mau menyerah, aku harus menyatukan tubuhmu dengan debu, Janaloka!"

   Berkata begini, Empu Wadas Gempal siap merobek-robek tubuh lawannya dengan kuku-kuku jari tangan-nya.

   Tetapi, sebelum kelima jari maut itu tertanam di tubuh Cekel Janaloka, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dari balik semak-semak dan langsung mela-brak lengan kanan Empu Wadas Gempal.

   "Haiyaaa!"

   Empu Wadas Gempal mengegoskan tubuhnya hingga tumit kaki yang mengarah ke len-gannya lewat begitu saja. Berdesing di atas telinganya.

   "Arum!"

   Teriak Joko Sungsang tertahan.

   Lalu, secepat kilat ia melecutkan Perisai Naga ke arah tubuh gadis itu.

   Cambuk itu melilit pinggang Sekar Arum, dan dengan sekali sentak tubuh gadis itu tertarik ke balik semak-semak tempat Joko Sungsang bersembunyi.

   'Kenapa...?"

   Joko Sungsang tidak menjawab, la menarik lengan gadis itu dan dibawanya tubuh gadis itu me-lenting ke kerimbunan dahan jati. Dari dahan ke da-han Joko Sungsang terus melarikan Sekar Arum men-jauhi tempat pertarungan itu.

   "Dia bukan lawanmu, Arum.

   "

   Kata Joko Sung-sang setelah yakin Empu Wadas Gempal tak mungkin menemukan mereka.

   "Tetapi, dia iblis kejam! Aku tidak tega melihat-nya...!"

   "Aku pun demikian, Arum.

   "

   Tukas Joko Sungsang. 'Tapi, kau mungkin tidak tahu siapa lawan Empu Wadas Gempal itu."

   "Cekel Janaloka, bukan?"

   "Betul. Maksudku, Cekel Janaloka pun sebe-narnya manusia kejam. Apa salahnya jika ia mendapat balasan atas kekejaman yang pernah dibuatnya."

   "Maksudmu, dia juga tega membunuh lawan yang sudah tidak berdaya?"

   "Membunuh dan menghancurkan tubuhnya dengan cabikan besi di ujung ruyung hitamnya!"

   "Hiiih!"

   Gadis itu mengedikkan bahunya.

   "Nah, sekarang ceritakan kenapa kau bisa be-rada di tempat itu, Arum?"

   Kata Joko Sungsang setelah mereka kembali menginjakkan kaki di tanah.

   "Lho, seharusnya aku yang bertanya, kenapa kau juga ada di tempat Itu? Kalau aku, memang sudah tiga malam aku menginap di Desa Gedong Alit"

   "Tiga malam? Ada apa rupanya sampai kau ke-rasan tinggal di desa itu selama tiga malam?"

   Joko Sungsang memperlambat langkah kakinya.

   "Jawab dulu pertanyaanku!"

   Sekar Arum bersi-keras. 'Kebetulan saja aku lewat di desa itu. Dan, rupanya firasatku benar bahwa orang yang aku cari se-lama ini ada di desa itu!"

   "Siapa?"

   Sekar Arum berpura-pura.

   "Bidadari Karang Bolong!"

   Sekar Arum mencubit pinggang anak muda itu.

   Tak dihindari cubitan itu sebab Joko Sungsang me-mang ingin sekali menikmati cubitan gadis yang dicintainya ini.

   Sudah puluhan hari ia tidak bercanda dengan gadis pautan hatinya itu.

   Tepatnya, sejak gadis itu meninggalkan Padepokan Karang Bolong karena gagal mempelajari ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan'.

   Joko Sungsang memaklumi jika Sekar Arum ti-dak tahan bermalam-malam harus bergulat dengan ombak Laut Selatan.

   Kalau saja ia tidak pernah digembleng di dasar jurang yang udaranya menggigit-gigit tulang, sudah pasti ia pun akan gagal seperti halnya gadis itu.

   Maka Joko Sungsang bersyukur telah dipaksa oleh Wiku Jaladri hidup di dasar jurang di Gunung Lawu itu.

   Ia bukan saja terlatih dengan udara dingin, melainkan juga darahnya menjadi panas sebab setiap hari ia makan daging ular sanca.

   Bahkan tak jarang ia harus makan daging biawak.

   Suhu darahnya yang lain dengan suhu darah Sekar Arum inilah yang membuat-nya tahan bermalam-malam bergelut dengan ombak.

   Sebaliknya, Sekar Arum yang tubuhnya cepat menggigil, dengan mudah terpelanting dihantam om-bak.

   Kendatipun ia berhasil bangkit lagi, tetapi ombak akan terus membuatnya terhempas ke pasir pantai.

   Padahal, ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan"harus didasari oleh kekuatan kuda-kuda dalam menahan hempasan ombak.

   Tanpa kuda-kuda yang benar, mus-tahil tenaga inti jasmani akan bisa dilontarkan.

   Lonta-ran tenaga inti jasmani inilah yang nantinya akan me-rontokkan apa saja yang tersembunyi di dalam anggota tubuh manusia, tanpa harus melukai bagian luar anggota tubuh itu sendiri.

   "Kau pasti disuruh Guru untuk mengajakku pulang ke padepokan lagi,"

   Kata Sekar Arum mem-buyarkan lamunan Joko Sungsang.

   "Syukurlah jika kau sudah berpikir begitu." 'Tetapi, aku tidak akan sudi dipermalukan un-tuk yang kedua kalinya, Pendekar Perisai Naga!"

   Tiba-tiba nada bicara gadis itu meninggi. Malahan Joko Sungsang melihat sorot mata gadis itu menjadi agak liar.

   "Arum, siapa yang sebenarnya kau anggap membuatmu malu?"

   Tanya Joko Sungsang hati-hati.

   "Siapa lagi kalau bukan ombak keparat itu!"

   "Dan, kau malu kepada siapa?"

   "Aku murid tunggal di padepokan itu sebelum kau datang! Akulah yang semestinya mewarisi ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan'! Tetapi, nyatanya justru kau yang lebih dulu mewarisinya!"

   "Arum, aku sama sekali tidak merasa menjadi ahli waris ilmu Padepokan Karang Bolong. Sungguh, Arum. Aku belajar di sana juga atas izinmu. Dan, sebenarnya aku ke sana hanyalah semata-mata karena ingin menyampaikan kabar baik guruku kepada guru-mu. Kalau memang sekarang kau malu terhadapku, biarlah aku berjanji tak akan menggunakan aji pa-mungkas dari Padepokan Karang Bolong itu. Biarlah aku cukup mengandalkan jurus-jurus Perisai Naga ku." 'Bukan itu yang kumaksudkan! Aku senang kau bisa merangkap dua ilmu dari dua perguruan se-kaligus! Aku bangga jika kau menjadi pendekar yang tidak terkalahkan di kolong langit ini! Aku... ah!"

   Gadis itu mendekap mukanya dengan kain parang rusak yang membalut pinggulnya.

   Joko Sungsang semakin kebingungan mengha-dapi ulah gadis itu.

   Seumur hidupnya, belum pernah ia melihat dan mengetahui bagaimana cara menghen-tikan tangis seorang gadis.

   Terlebih gadis yang diam-diam dicintainya.

   "Aku tidak akan kembali ke Karang Bolong.

   "

   Kata Sekar Arum di sela isak tangisnya.

   "Aku hanya akan mempermalukan Guru di depan musuh-musuhnya. Mereka mengira aku telah mewarisi ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan'. Tetapi, nyatanya aku tidak pernah berhasil!"

   "Arum, dengarlah penjelasan dariku. Beri aku waktu untuk menjelaskan kenapa oleh Ki Sempani kau dipersenjatai tombak pendek itu. Kau mau menden-garkannya?"

   Sekar Arum menyusut air matanya.

   Kini pan-dang matanya tak lagi galak dan liar.

   Mata itu sedikit sembab, tetapi tidak mengurangi daya tarik wajah gadis itu.

   'Tombak pendek yang sekarang terselip di pinggangmu itu, sebenarnya bukan sembarang tom-bak, Arum.

   Tombak itu tidak terbuat dari sembarang besi atau baja seperti umumnya tombak.

   Tombak itu terbuat dari tanah liat dari liang kubur seorang pendekar yang dibentuk menjadi tombak bermata dua, lalu dibakar di kawah gunung.

   Setelah itu, barulah diren-dam pasir pantai selama puluhan tahun.

   Nah, cobalah kau teliti sekali lagi tombak pendekmu.

   Kau timang-timang, benarkah berat tombak itu cocok dengan ba-han bakunya.

   Maksudku, jika tombak itu terbuat dari baja atau besi, belum tentu tangan semungil tanganmu akan mampu memainkan dengan lincah dan gesit."

   Sekar Arum melolos tombak pendeknya dari balik kain parang rusak di pinggangnya la mengamati dua mata tombak pendek itu.

   Ada cahaya kebiru-biruan yang diseling warna merah bata.

   Maka ia ingat warna batu bata yang terlampau lama terbakar, yang disebut bata leleh.

   "Tapi, kenapa Guru mewariskannya kepada-ku?"

   Tanya gadis itu setelah mempercayai berita yang dituturkan Joko Sungsang.

   "Hanya murid kesayangannya yang akan mene-rima tombak pendek itu, Arum."

   "Tapi, kenapa asal-usul tombak ini tidak per-nah diceritakan kepadaku oleh Guru sendiri?"

   "Karena Ki Sempani takut kau menuduh cerita itu hanya untuk menghiburmu."

   "Aku tidak mengerti maksudmu."

   "Arum, sebenarnya sejak semula Ki Sempani ti-dak yakin bahwa kau bakal bisa mewarisi ilmu 'Puku-lan Ombak Laut Selatan'. Sebagai gantinya, Ki Sempa-ni menciptakan jurus-jurus tombak pendek khusus untukmu. Itulah kenapa Ki Sempani sendiri tidak pernah dikenal sebagai Pendekar Bertombak Pendek di rimba persilatan. Sebab, sebelum kau menjadi murid-nya, Ki Sempani sama sekali tidak mengenal jurus jurus tombak pendek. Sampai-sampai kalangan persila-tan menjulukinya sebagai pendekar bertangan kosong yang sulit dicari tandingannya. Dan, kau tahu kenapa Ki Sempani tidak pernah mau menggunakan senjata dalam bertarung?"

   Gadis itu menggeleng pelahan. Lehernya yang jenjang semakin memikat mata Joko Sungsang. Goyangan leher kuning langsat itu benar-benar mem-buat darah anak muda itu tersirap. Ingin rasanya anak muda itu mencium leher yang mulus itu.

   "Pantang bagi Ki Sempani melihat darah lawan, Arum.

   "

   Mata gadis itu membulat. Bulu matanya yang lebat bergerak-gerak seperti daun songgo langit.

   "Dari mana kau tahu kalau Guru takut melihat darah?" 'Dari guruku tentu saja. Mereka berdua teman sejati sejak mereka masih kanak-kanak. Sudah pasti mereka mengenal lebih dalam satu sama lain."

   "Tentu ada sesuatu yang membuat Guru takut melihat darah."

   "Darah membuat Ki Sempani ingat pada den-damnya yang tak kesampaian."

   "Dendam tak kesampaian?"

   "Ya. Ki Sempani mengurung diri di Padepokan Karang Bolong karena ingin membalaskan kematian kedua orang tuanya. Tetapi, sewaktu ia merasa mam-pu menandingi musuh bebuyutannya itu, orang yang dicarinya itu telah bunuh diri dengan pedang merobek-robek dada. Orang itu mati dengan sekujur tubuh di-lumuri darah! *** 'Bedebah! Ular busuk! Kau tambahi dosamu sendiri dengan mencuri mangsaku! Aku ratakan wa-jahmu jika kutemukan kau, gembala sapi!"

   Rungut Empu Wadas Gempal begitu menyadari bahwa lawan barunya ditolong deh Joko Sungsang alias Pendekar Perisai Naga.

   Hutan jati itu dikitarinya, diselusupinya, tetapi tak diketemukannya gadis belia dan anak muda yang telah membunuh murid kesayangannya itu.

   Kemara-han Empu Wadas Gempal semakin menjadi-jadi.

   Maka dengan jari-jari tangannya dirobohkannya beberapa pohon jati yang dianggapnya telah menyembunyikan buruannya.

   "Guru dan murid sama saja! Sama-sama pen-gecutnya! Ayo, lawan Empu Wadas Gempal jika kau memang pantas bergelar Pendekar Perisai Naga! Atau, kau lebih seriang aku sebut Pendekar Perisai Kerbau? Sapi? Kuda? Kambing? Bebek? Ayo, keluar! Ledakkan cambukmu di kepalaku!"

   Suara Penguasa Hutan Keta-pang itu bergema.

   Hewan-hewan yang hidup di hutan jati itu berlarian.

   Lalu sepi.

   Hanya terdengar kesiur angin ber-campur dengan suara daun-daun jati bergesekan.

   Daun-daun yang kering melahirkan suara yang me-nyakitkan gen-dang telinga.

   "Kucincang dan ku gantung lehermu dengan cambuk kambing mu sendiri, dan kusuruh telan bola berduri yang menghiasi ujung cambuk mu!"

   Masih ju-ga Empu Wadas Gempal bersumpah-serapah ketika melangkah meninggalkan pinggiran hutan jati yang membatasi Desa Gedong Alit dengan Desa Gedong Tengen itu.

   Tiba-tiba mendung menutup cahaya bulan.

   Empu Wadas Gempal menadahkan telapak tangannya.

   Beberapa titik air hujan membasahi telapak tangan itu.

   "Hujan pertama? Hujan pertama, aku ada janji. Tapi, dengan siapa? Di mana? Janji apa?"

   Orang sesat dari Hutan Ketapang itu menepuk-nepuk jidatnya.

   Namun begitu, apa yang berusaha diingatnya tak per-nah muncul di batok kepalanya.

   Syukurlah gerimis segera berhenti.

   Angin ken-cang membuyarkan mendung hitam yang memayungi hutan jati itu.

   Empu Wadas Gempal tertawa tergelak-gelak.

   Justru sewaktu gerimis berhenti, ia ingat janjinya dengan Ki Danyang Bagaspati.

   "Tetapi, aku belum berhasil mencincang si Gembala Kambing itu, Bagaspati,"

   Ujarnya dalam hati.

   Kemudian ia membayangkan adegan pertarungannya nanti dengan Ki Danyang Bagaspati.

   Bagaimanapun juga ia merasa was-was menghadapi orang tua berilmu demit itu.

   Banyak senjata di muka bumi ini, tetapi orang aneh dari Gunung Merapi itu justru memakai kain kafan sebagai senjata andalan.

   Meskipun hanya kain kafan, kain lusuh yang tentunya sudah tak ulet lagi, jika sudah dipilin dan dialiri tenaga dalam maka akan menjadi ancaman bagi benda apa saja yang dis-entuhnya.

   Belum lagi jika kain kafan itu berpasangan dengan senjata rahasia kerikil kepundan yang setiap butirnya mampu menembus kulit dan meracuni darah dalam tubuh.

   Sebutir saja kerikil beracun itu merobek kulit maka tubuh akan kejang dan mata terbeliak mirip orang ayan.

   "Biarlah aku mati di tangan demit itu asalkan aku lebih dulu bisa membunuh Pendekar Perisai Na-ga,"

   Keluh Empu Wadas Gempal setelah menaksir-naksir tingkatan ilmu Ki Danyang Bagaspati.

   *** Tewasnya Cekel Janaloka membuat murid tunggalnya gusar bukan kepalang.

   Ia seorang gadis yang berusia kurang dari dua puluh tahun.

   Namun demikian, tingkatan ilmu silatnya hampir bisa disejajarkan dengan ilmu silat yang dimiliki gurunya.

   Kalau bisa dianggap sebagai satu kelebihan jika dibandingkan dengan Cekel Janaloka, gadis ini memiliki senjata andalan berupa toya, terbuat dari kayu dewondaru.

   Toya ini berwarna merah-kecoklat coklatan dan tak akan mungkin terlukai oleh segala jenis senjata tajam.

   Serat-serat kayu dewondaru memungkinkan toya itu tidak mudah terpatahkan.

   Selama senjata andalan Perguruan Gunung Sumbing ini berada di tangan Ce-kel Janaloka, belum sekali pun terlukai oleh senjata lawan, apalagi terpatahkan.

   Oleh sebab itulah, tanpa senjata andalannya ini, Cekel Janaloka tak mampu bertahan melawan Empu Wadas Gempal.

   Kalau saja orang sakti dari Gunung Sumbing ini belum mewa-riskan toya dewondarunya kepada murid tunggalnya, bukan tidak mungkin telapak tangan Empu Wadas Gempal yang hancur dalam pertarungan di Desa Ge-dong Alit malam itu.

   Endang Cantikawerdi, gadis murid Cekel Jana-loka itu, langsung berniat mencari Empu Wadas Gem-pal di Hutan Ketapang.

   Dari keterangan yang dida-patkannya, ia tidak ragu lagi bahwa Empu Wadas Gempallah yang harus menebus kematian Cekel Jana-loka.

   Dalam perjalanan menuju Hutan Ketapang in-ilah Endang Cantikawerdi terpaksa harus berurusan dengan Sekar Arum.

   Meski merasa harus secepatnya tiba di Hutan Ketapang, melihat kegaduhan di hala-man kedai minum itu, ia menyempatkan diri untuk melihat-lihat.

   Meluap kemarahan Endang Cantikawerdi begi-tu melihat seorang gadis merobohkan tiga orang lelaki yang diketahuinya sebagai penduduk Kaki Gunung Sumbing.

   Maka gadis murid Cekel Janaloka ini lang-sung memutar toyanya dan menyongsong serangan tombak pendek yang sejengkal lagi merobek dada seo-rang lelaki yang masih mampu bertahan.

   "Trang! Trang! Trang!"

   Tombak pendek bermata dua itu bertemu den-gan toya dewondaru milik Endang Cantikawerdi. Aki-batnya kedua gadis itu sama-sama berjumpalitan ke belakang untuk kemudian memasang kuda-kuda.

   "Gadis liar yang tak tahu adat! Katakan nama-mu sebelum toyaku ini menggebuk pantatmu dan mengempiskan dadamu!"

   Hardik Endang Cantikawerdi dengan pandang mata mirip pandang mata harimau lapar. 'Perempuan jalang bermulut kotor! Siapa pun namaku, aku tak ada urusan denganmu! Dan, jangan berkhayal tongkat penggebuk anjingmu itu bisa me-nyentuh kulitku!"

   Sekar Arum tak kalah gertak. 'Kuntilanak busuk!"

   Bentak Endang Cantika-werdi, yang langsung menerjang dengan sodokan toyanya ke arah ulu hati Sekar Arum Secepat Itu pula Sekar Arum melompat ke samping, dan segera mengeluarkan senjata andalan-nya yang berbentuk tombak pendek mata dua! Menyadari bahwa lawan langsung melancarkan serangan yang mematikan, Sekar Arum melompat ke samping dan mengirimkan serangan balasan.

   Namun, gadis liar yang tidak dikenalnya ini ternyata sudah siap menerima serangan balasan.

   Dengan sigap ia menarik toyanya dan membenturkannya pada mata tombak yang mengancam pelipisnya.

   Tangkisan yang disertai aliran tenaga dalam yang sempurna ini membuat Se-kar Arum mengaduh mundur beberapa langkah.

   Kini ia benar-benar meyakini bahwa lawannya memang menghendaki kematiannya, Maka secepatnya ia men-galirkan tenaga murni untuk mengusir rasa nyeri di bahu kanannya.

   "Hi hi hik! Rupanya besar mulutmu tak sesuai dengan besar tenagamu, sundel bolong!"

   Ejek Endang Cantikawerdi yang merasa di atas angin.

   Joko Sungsang yang menyaksikan pertarungan itu dari dalam kedai menyesali sikap Sekar Arum yang mudah meremehkan lawan.

   Seharusnya, gadis itu tak cukup hanya mengandalkan kecepatan dalam menye-rang tetapi juga harus menyertai serangan itu dengan tenaga dalam.

   Rupanya ia lupa bahwa yang dihadapi nya bukan lagi lelaki-lelaki hidung belang yang hanya mengandalkan otot itu.

   Setelah rasa nyeri di bahu kanannya teratasi Sekar Arum kembali menerjang dengan tombak pen-deknya.

   Dua mata tombaknya susul-menyusul men-gancam pinggang lawan.

   Serangan itu memang ditung-gu oleh Endang Cantikawerdi.

   Itulah kenapa ia tadi membuka pinggangnya agar lawan mengiranya lena.

   Ia ingin mengadu lagi toya dewondaru-nya dengan tom-bak pendek milik lawan.

   "Trang! Trang!"

   Kedua mata tombak pendek itu bertemu lagi dengan kedua ujung toya berwarna merah kecoklat-coklatan itu.

   Namun, kali ini tubuh kedua gadis itu sama-sama terpental ke belakang dan bergulingan di tanah.

   Dua tenaga dalam yang teralirkan lewat dua senjata bertemu.

   "Cukup!"

   Dalam sekejap mata, Joko Sungsang tiba-tiba saja telah berdiri di antara kedua gadis itu.

   Mata Endang Cantikawerdi terbelalak meman-dangi anak muda yang berpakaian serba putih dan di pinggangnya terlilit Perisai Naga.

   Kendatipun gadis ini belum lama terjun di dunia persilatan, setidaknya ia pernah mendengar cerita dari gurunya perihal Pendekar Perisai Naga ini.

   Endang Cantikawerdi melenting bangkit, ke-mudian menyilangkan toyanya di depan dada.

   Matanya meneliti sosok anak muda yang berdiri menghadapnya.

   Ia berani memastikan anak muda ini kawan baik gadis bertombak pendek itu! "Aku sudah mendengar nama besarmu, Pende-kar Perisai Naga! Tetapi, kalaupun kau hendak meng-gantikan gadismu itu menghadapiku, jangan kau pikir aku takut!"

   Ujar gadis itu seraya memutar toya dewondarunya.

   "Jangan buruk sangka. Aku terpaksa menghen-tikan perkelahian ini sebab aku tidak melihat alasan kalian berdua mesti berkelahi hidup dan mati. Aku lebih dulu berada di tempat ini sebelum...."

   "Bagaimana mungkin kau yang bergelar Pende-kar Perisai Naga membiarkan gadis liar itu membunuh penduduk desa yang tidak bersalah? Atau, memang kau senang melihat kekejaman terjadi di depan mata-mu?"

   Tukas Endang Cantikawerdi.

   "Bagaimana mungkin kau menyimpulkan bah-wa para lelaki hidung belang itu tidak bersalah?"

   Balik Joko Sungsang.

   "Sudahlah, Joko! Biarkan dia memuaskan ke-hendaknya! Dia pikir aku gentar menghadapinya!"

   Sela Sekar Arum.

   "Tidak, Arum. Kita tidak punya perselisihan dengannya.

   "

   "Siapa bilang? Ayo, keroyoklah aku kalau me-mang kalian takut menghadapiku satu lawan satu!"

   Sahut Endang Cantikawerdi.

   "Aku tahu kau seorang pendekar budiman. Kau ingin melindungi penduduk desa yang tertindas. Teta-pi, apakah tidak lebih baik kau tanyakan dulu kenapa mereka sampai terlibat perkelahian dengan gadis ini?"

   Kata Joko Sungsang menunjuk Sekar Arum yang ber-diri di sampingnya.

   Endang Cantikawerdi bimbang sejenak.


Banjir Darah Di Pulau Neraka Hiat Sie Tee Gak To Karya Kiam Hong Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Ibu Hantu Karya Ang Yung Sian

Cari Blog Ini