Ceritasilat Novel Online

Selendang Mayat 2


Pendekar Perisai Naga Selendang Mayat Bagian 2



Bagai-manapun juga ia tidak ingin gegabah menanam per-musuhan dengan Pendekar Perisai Naga yang kesohor ini.

   Lagi pula, ia masih punya urusan dengan Empu Wadas Gempal.

   Seharusnyalah ia menanamkan per-saudaraan terhadap anak muda murid Wiku Jaladri ini.

   "Hei, kemari kau!"

   Endang Cantikawerdi menu-dingkan tongkatnya ke arah lelaki yang berdiri di antara mayat teman-temannya. Lelaki itu takut-takut mendekati gadis murid Cekel Janaloka itu.

   "Apa yang telah kalian perbuat sehingga kalian berurusan dengan gadis ini?"

   Tanya Endang Cantika-werdi sambil menaruh toyanya di pundak lelaki itu.

   "Kami... kami... hanya bergurau menggo-danya...."

   "Bohong!"

   Tukas Sekar Arum cepat. 'Tangan kotor tikus-tikus itu hampir saja me-nodai bajuku!"

   "Kembali kau ke desamu, bawa serta mayat te-man-temanmu itu sebelum kuhancurkan batok kepa-lamu dengan toyaku ini!"

   Endang Cantikawerdi mendo-rong dada lelaki itu dengan toyanya. Tubuh lelaki itu terhuyung dan kemudian jatuh terduduk di tanah.

   "Nah, kiranya di antara kita memang tidak ada yang harus diperselisihkan,"

   Kata Joko Sungsang.

   "Kalau begitu, izinkan kami meninggalkan desa ini. Tetapi, alangkah bangga hati kami jika kami tahu dengan siapa kami berhadapan sekarang ini."

   Sekar Arum memberengut.

   la jengkel melihat Joko Sungsang begitu merendahkan diri di depan ga-dis binal ini.

   Kenapa mesti ingin tahu nama perem-puan jalang bermulut kotor ini? "Aku memang bukan pendekar terkenal seper-timu.

   Tetapi, nama Perguruan Gunung Sumbing sudah cukup dikenal di rimba persilatan.

   Maaf, aku masih punya urusan!"

   Endang Cantikawerdi melompat pergi, meninggalkan halaman kedai minum itu.

   *** Joko Sungsang kebingungan menentukan langkah.

   Semula ia ingin mengajak Sekar Arum mem-buntuti gadis bertoya dari Perguruan Gunung Sumbing itu.

   Akan tetapi, di luar dugaannya, Sekar Arum sendiri menghilang ke arah yang berlawanan dengan arah kepergian gadis murid Cekel Janaloka itu.

   Sungguh, anak muda itu tidak mengira bahwa Sekar Arum akan tersinggung dan lari meninggalkannya.

   Sudah barang pasti Sekar Arum tersinggung melihat perlakuan Joko Sungsang terhadap gadis liar itu.

   Meski ia merasa belum tentu bisa mengalahkan gadis bertoya itu, setidaknya ia merasa belum berhasil membalas rasa nyeri di bahu kanannya.

   Padahal hampir-hampir Sekar Arum tadi mengeluarkan aji pa-mungkas nya ketika tiba-tiba Joko Sungsang datang melerai perkelahian kedua gadis itu.

   Dengan jurus 'Memancing Mangsa Keluar Sarang', Sekar Arum me-rasa pasti bisa merobohkan gadis binal dari Perguruan Gunung Sumbing itu.

   la tidak yakin gadis binal itu il-mu silatnya lebih tinggi dibandingkan ilmu silat Kebo Dungkul.

   Kalau nyatanya Kebo Dungkul tewas oleh aji pamungkasnya, kenapa gadis binal ini tidak? Lebih dari itu, Sekar Arum merasa dibanding-bandingkan dengan gadis bertoya itu.

   Karena gadis itu cantik maka Joko Sungsang memaafkan perbuatannya dan membiarkan gadis itu pergi? Karena gadis itu ber-tubuh molek maka Joko Sungsang lantas merendah-kan diri dan berusaha tahu nama gadis itu? Atau mungkin Joko Sungsang menganggap gadis itu ilmu silatnya hebat.

   Sekar Arum terus berlari.

   Ia mengerahkan ilmu meringankan tubuh sekuatnya.

   Maka yang tampak hanyalah bayangan putih berkelebat.

   Dan, Sekar Arum baru mengurangi kecepatan larinya setelah yakin Joko Sungsang tidak mengejarnya.

   "Atau, jangan-jangan ia mengejar perempuan jalang itu!"

   Kata Sekar Arum terkesiap.

   Kemudian ia menghentikan langkahnya, menajamkan pendenga-rannya, sambil dalam hati berharap mudah-mudahan Joko Sungsang mengejarnya.

   Namun, harga diri gadis itu berkata lain.

   Untuk apa ia harus menunggu orang yang belum tentu men-cintainya? Apalagi orang itu sekarang sedang menaruh perhatian kepada gadis lain! "Ya, pasti ia mengejar perempuan jalang itu!"

   Kata hati Sekar Arum sambil kembali melangkah.

   Ia yang beberapa waktu yang lalu sudah memutuskan untuk kembali ke Padepokan Karang Bolong, kini mengubah keputusan itu.

   Ia harus pergi jauh agar tidak terbujuk lagi oleh kata-kata manis Joko Sungsang! Sekar Arum mengayun langkahnya sambil me-naksir-naksir bagaimana kiranya perasaan Joko Sung-sang terhadapnya.

   Dia memang penuh perhatian ter-hadapku.

   Tetapi, pada saat-saat tertentu, Joko Sungsang seperti tak ambil peduli.

   Seperti ketika sikapnya di kedai sewaktu para lelaki mata keranjang itu meng-godaku, pikir gadis itu.

   Kendatipun Sekar Arum yakin bisa mengatasi lelaki-lelaki kasar itu, setidaknya ia berharap Joko Sungsang merasa cemburu dan lantas melabrak mereka.

   Namun, toh yang terjadi justru sebaliknya.

   Joko Sungsang malahan menahan-nahan tawanya ketika dua dari empat orang lelaki kasar itu mulai mencolek-colek lengan baju Sekar Arum.

   Bahkan sewaktu Sekar Arum bereaksi, dan empat orang lelaki kasar itu mengurungnya, tetap saja Joko Sungsang tidak beranjak dari duduknya.

   "Itukah yang namanya cinta? Itukah bukti cin-ta lelaki terhadap wanita yang dicintainya?"

   Kata hati Sekar Arum lagi.

   Lalu gadis itu menyesal kenapa tadi ia membiarkan saja perempuan jalang dari Perguruan Gunung Sumbing itu berlalu.

   Seharusnya ia tak perlu mempedulikan ucapan-ucapan Joko Sungsang.

   Seharusnya ia memburu perempuan jalang itu dan menga-jaknya bertarung hingga salah satu dari mereka mati.

   Lebih baik mati daripada hidup hanya untuk diband-ing-bandingkan dengan gadis lain! Tidak mustahil jika Sekar Arum cemburu meli-hat Endang Cantikawerdi.

   Gadis muda belia dari Per-guruan Gunung Sumbing ini memang tak kalah cantik jika dibandingkan dengan gadis murid Ki Sempani itu.

   Dengan pakaian yang serba jingga, Endang Cantika-werdi nampak begitu cantik dan menggemaskan.

   Bi-birnya yang tipis sungguh selaras dengan matanya yang sedikit sipit.

   Apalagi jika dipadukan dengan hi-dungnya yang runcing dan sedikit mendongak.

   Kulit-nya kuning langsat, kontras dengan warna rambutnya yang hitam legam.

   Pinggulnya yang menggemaskan terbungkus kain lereng berwarna merah bata.

   Nampak sekali kalau saja gadis itu tidak membawa-bawa toya dewondarunya, tak akan mereka yang melihat me-nyangka bahwa gadis itu murid orang sesat macam Cekel Janaloka.

   Sungguh amat disesalkan jika gadis semolek itu ternyata seorang pembunuh kejam berali-ran sesat!.

   Tak ada yang tahu kenapa Endang Cantikawer-di terseret ke lingkungan orang-orang sesat kecuali Cekel Janaloka sendiri.

   Bahkan kedua orang tuanya pun tidak tahu bahwa ilmu silat gadis itu beraliran hitam.

   Mereka hanya tahu bahwa anak mereka berada di bawah asuhan orang sakti dari Perguruan Gunung Sumbing.

   Lima tahun yang lalu, sewaktu Endang Canti-kawerdi berusia empat belas tahun, seorang kepala rampok hampir saja menodai gadis itu di depan mata kedua orang tuanya yang terikat tak berdaya.

   Ketika kepala rampok itu sudah berhasil merobek baju bagian dada pakaian gadis itu, muncullah Cekel Janaloka menyelamatkannya.

   Dengan sekali ayun, tongkat de-wondaru di tangan Cekel Janaloka membuat pelipis kepala rampok itu pecah.

   Dan, dalam beberapa jurus kemudian sembilan anak buahnya menyusul roboh.

   Orang tua Endang Cantikawerdi yang tidak mengenal dunia persilatan itu sama sekali tidak bisa membedakan mana pendekar yang beraliran sesat dan mana pendekar yang beraliran lurus.

   Itulah kenapa mereka tanpa sungkan-sungkan lagi menyerahkan anak gadisnya kepada Cekel Janaloka untuk dijadikan murid.

   "Ha ha ha, kebetulan sekali! Kedatanganku ke desa ini memang terdorong oleh mimpiku semalam! Kalian tahu aku bermimpi apa?"

   Kata Cekel Janaloka kegirangan. Kedua orang tua Endang Cantikawerdi mengge-leng bersamaan.

   "Aku bermimpi melihat mutiara yang belum di-asah tersembunyi di rumah ini! Nah, nyatanya anak gadis kalian yang sesungguhnya berbakat menjadi pendekar, tetapi sama sekali tak melawan menghadapi kambing-kambing bandot itu!"

   "Jadi, Kiai tidak keberatan jika kami menye-rahkan anak gadis kami untuk Kiai gembleng di Perguruan...?"

   "Perguruan Gunung Sumbing!"

   Timpal Cekel Janaloka meneruskan ucapan ayah Endang Cantika-werdi yang terputus oleh ketidaktahuannya.

   'Ya, ya! Sudah lama sekali aku mencari-cari anak gadis yang sekiranya cocok menjadi murid tunggalku.

   Tetapi ru-panya anak gadis kalianlah yang berjodoh mewarisi il-mu silatku.

   Ha ha ha!"

   "Terima kasih. Kiai. Selain Kiai telah menyela-matkan harta dan nyawa kami sekeluarga, Kiai juga mengabulkan permintaan kami. Kami berdua memang orang-orang bodoh yang tidak menyadari betapa keja-hatan semakin merajalela di muka bumi ini. Kami hi-dup hanya untuk memburu harta, tanpa tahu bagai-mana cara melindunginya, Kiai,"

   Ratap ayah Endang Cantikawerdi sambil bersujud di depan kaki Cekel Janaloka.

   *** Sebelum Endang Cantikawerdi menyebutkan nama perguruannya, sebenarnya Joko Sungsang su-dah bisa menebak murid siapakah gadis yang bersen-jatakan toya itu.

   Jurus-jurus silat yang digunakan gadis itu sewaktu melawan Sekar Arum tak beda dengan jurus-jurus yang diterapkan Cekel Janaloka dalam pertarungannya melawan Empu Wadas Gempal di De-sa Gedong Alit.

   Oleh sebab itulah, Joko Sungsang sempat mencemaskan pertahanan Sekar Arum sewak-tu melawan gadis yang berpakaian serba jingga itu.

   Kalau saja murid Cekel Janaloka itu tidak memberikan kesempatan kepada Sekar Arum untuk mengalirkan tenaga mumi ke pundaknya yang terasa nyeri, bukan tidak mungkin Sekar Arum akan tewas seketika itu ju-ga.

   Joko Sungsang tak habis pikir, kenapa gadis molek itu bisa mewarisi ilmu sesat.

   Mana mungkin ia tidak tahu bahwa Cekel Janaloka adalah tokoh aliran sesat! Atau mungkin, gadis itu memang benar-benar tidak tahu? Atau, gadis itu menaruh dendam terhadap salah seorang pendekar golongan lurus? Atau, adakah kemungkinan gadis itu dipaksa oleh Cekel Janaloka agar mewarisi ilmu sesatnya.

   Untuk menemukan jawaban yang tepat, tidak boleh tidak Joko Sungsang harus berusaha kenal lebih dekat dengan gadis itu.

   Tetapi, bagaimana dengan pengawasannya terhadap Sekar Arum? Bukankah ia sudah berjanji di depan Ki Sempani untuk membawa Sekar Arum kembali ke Padepokan Karang Bolong?.

   Joko Sungsang untuk sejenak dilanda keragu-raguan.

   Tak mungkin ia bisa menguntit kepergian ga-dis murid Cekel Janaloka itu tanpa mengabaikan pen-gawasannya terhadap Sekar Arum.

   Sebaliknya, tak mungkin ia bisa mengawasi Sekar Arum tanpa melu-pakan gadis bertoya dari Perguruan Gunung Sumbing itu.

   Akan tetapi, setelah menghubung-hubungkan kemunculan gadis itu dengan kematian Cekel Janaloka di Desa Gedong Alit, tahulah Joko Sungsang langkah mana yang harus ditempuhnya lebih dulu.

   Pengeja-rannya terhadap Sekar Arum masih mungkin ditun-danya.

   Sebaliknya, ia tidak mungkin membiarkan ga-dis murid Cekel Janaloka itu memasuki Hutan Keta-pang dan berhadapan dengan Empu Wadas Gempal.

   Tak ada tujuan lain gadis itu kecuali Hutan Ketapang!.

   Dengan ilmu meringankan tubuh yang sulit di-carikan tandingannya, Joko Sungsang dengan cepat berhasil menyusul langkah Endang Cantikawerdi.

   Se-belum gadis itu memasuki kawasan Hutan Ketapang, Joko Sungsang telah menangkap bayangan Jingga yang berkelebat di sela-sela pepohonan.

   Sampai kemudian jarak mereka tinggal bebera-pa tombak, Joko Sungsang belum menemukan cara mencegah gadis itu menemui Empu Wadas Gempal.

   Bersyukurlah Pendekar Perisai Naga ini begitu ingat cerita penyamaran Wiku Jaladri sewaktu menyelamatkan Sekar Arum dari ancaman Kebo Dungkul lima tahun yang lalu.

   Maka buru-buru ia menanggalkan ba-ju putihnya, ikat kepala dari kulit ular yang menjadi ciri khasnya, dan yang terpenting menyembunyikan Perisai Naga dari penglihatan gadis itu.

   Baju putih itu kini membalut separuh wajah-nya, rambutnya yang biasa terikat di atas kepala kini tergerai melewati pundak, dan Perisai Naga yang semula melilit pinggangnya berpindah melilit paha kanan dalam lindungan celana pangsi komprang.

   Adapun ikat kepala yang biasanya melingkar di atas alis mata itu kini mengikat paha kirinya, tersembunyi di balik celana pangsi putih itu.

   Endang Cantikawerdi menimang-nimang toyanya sambil mengamati lelaki aneh yang mengha-dang langkahnya.

   "Kalaupun kau menutup seluruh mukamu, aku akan tetap melabrakmu, gembel busuk!"

   Ujar gadis itu yang menganggap lelaki di hadapannya itu mencoba menakut-nakutinya.

   "He he he, jangan lantaran kau cantik dan pa-kaianmu indah maka kau menganggapku gembel!"

   Ujar Joko Sungsang sengaja meniru suara kebanyakan tokoh dari golongan hitam.

   "Kalau kau ingin kuanggap sebagai orang wa-ras, bukalah tutup mukamu! Tetapi, kalau kau me-mang malu karena bibirmu sumbing, aku maafkan tingkahmu yang memuakkan itu!"

   Endang Cantika-werdi tersenyum sinis.

   "Ha ha ha, ho ho ho, hm! Apa urusanmu bila aku tutup sekujur badanku atau aku buka semua pa-kaianku? Ah, rupanya di Gunung Sumbing tidak ada orang aneh sepertiku...."

   "Tutup mulutmu, jahanam!"

   Sergah gadis itu sembari menyabetkan toyanya ke arah mulut Joko Sungsang.

   "Sejak tadi aku sudah menutup mulutku, ma-can betina!"

   Sahut Joko Sungsang sambil menarik ke-palanya ke belakang.

   Hampir saja tutup mukanya ter-sambar toya merah-kecoklat-coklatan itu.

   Bahkan an-gin yang terbawa gerakan toya itu cukup kuat untuk menerbangkan penutup muka itu kalau saja Joko Sungsang tidak kuat menalikannya ke belakang telin-ga.

   "Badut keparat! Bosan hidup!"

   Semakin ganas serangan Endang Cantikawerdi.

   Kini toya dewonda-runya menyambar leher, dada, dan kaki lawan secara beruntun.

   Karena merasa tidak mungkin lagi merunduk, melompat ke samping kiri atau kanan, Joko Sungsang mengenjot tanah dan tubuhnya berjumpalitan di uda-ra.

   Dan, sewaktu kakinya hampir mendarat lagi di tanah, gadis itu menyambutnya dengan sodokan toya ke arah lutut.

   "Desss!"

   Terpaksa Joko Sungsang mengadu tumit ka-kinya dengan toya peninggalan Cekel Janaloka itu.

   Tentu saja ia lebih dulu mengisi tumitnya dengan tenaga dalam yang didasari ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan', Sengaja ia menggunakan ilmu silat dari Padepokan Karang Bolong agar penyamarannya tidak ter-cium oleh gadis murid Perguruan Gunung Sumbing ini.

   Cepat-cepat Endang Cantikawerdi menarik tongkatnya yang sempat tergencet tumit Joko Sung-sang.

   Dan, kalau saja ia tidak mengerahkan tenaga dalamnya, ia pastikan toya itu terlepas dari genggaman tangannya.

   Mulailah gadis itu menyadari bahwa lawannya kali ini bukan lelaki sembarangan yang hanya mengandalkan keberanian.

   "Luar biasa jurus seranganmu, Cah Denok! An-dai saja gurumu masih bisa menyaksikan, dia akan bangga. Sayang, dia buru-buru pulang ke asalnya!"

   Ujar Joko Sungsang.

   Endang Cantikawerdi kaget bukan kepalang.

   Siapa sebenarnya lelaki bertopeng ini? Kenapa ia tahu Perguruan Gunung Sumbing baru saja kehilangan Ce-kel Janaloka? Dan, ada hubungan apa lelaki bertopeng ini dengan Empu Wadas Gempal? "Kisanak, sebenarnya apa maksudmu mengha-lang-halangi perjalananku? Bukankah di antara kita tidak pernah ada urusan?"

   Endang Cantikawerdi me-nahan-nahan kemarahannya. Bagaimanapun juga la-wannya kali ini tidak mungkin dihadapinya dengan membabibuta.

   "Siapa bilang kita tidak ada urusan?"

   Balik Jo-ko Sungsang.

   "Selama kau melintasi daerah ini, berarti kau harus berurusan denganku! Akulah penguasa pinggiran Hutan Ketapang ini, mawar gunung!"

   "Manusia licik!"

   Sergah Endang sigap.

   "Buka kedokmu kalau memang kau ingin bertarung secara jantan! Tidak sudi aku membunuh manusia yang tidak aku ketahui asal-usulnya, dan apa urusannya!"

   "Ho ho, jadi kau tetap yakin bisa menjatuhkan-ku?"

   Ejek Joko Sungsang.

   "Nah, kalau kau bisa me-nyentuh kulitku dengan toyamu itu aku berjanji akan membuka tutup wajahku! Bagaimana?"

   "Bersiaplah, manusia pongah! Bukan saja ku-litmu yang akan tersentuh toyaku, melainkan juga jan-tungmu!"

   Endang Cantikawerdi benar-benar telah ke-hilangan kesabarannya.

   Kali ini ia menyerang dengan jurus 'Toya Sakti Pengusir Malaikat'.

   Gerakan toya itu begitu aneh sehingga Joko Sungsang kerepotan menebak ke arah mana serangan tawan kali ini.

   Untuk itu, terpaksa ia melenting ke udara dan menyambar ranting pohon untuk menjaga kulitnya dari sentuhan toya maut itu.

   "Trak! Trak! Krak!"

   Ranting sebesar gagang Perisai Naga itu patah menjadi dua begitu berbenturan dengan toya merah-kecoklat-coklatan itu.

   Hal ini memang sudah ada da-lam perhitungan Joko Sungsang.

   Apalah artinya seba-tang ranting jika diadu dengan toya yang terbuat dari kayu dewondaru! Melihat lawan berjumpalitan ke belakang, En-dang Cantikawerdi semakin bersemangat untuk me-nyerang.

   Maka semakin garang ia menyerang dengan jurus andalannya.

   Betapapun lawan begitu lincah menghindar, ia merasa pasti bisa menyentuhkan toyanya ke kulit tawan.

   Jika tawan terpaksa menang-kis serangannya, ini berarti tawan terpaksa menyentuh toya! Namun, semuanya sudah ada dalam muslihat Joko Sungsang.

   Ia sengaja menghindar terus agar ga-dis itu terus pula memburunya.

   Maka tanpa disadari oleh gadis itu, Hutan Ketapang akan semakin jauh di-tinggalkannya.

   Apalagi Sesekali Joko Sungsang berlari kencang dengan lagak ketakutan.

   Hanya saja, rencana Joko Sungsang ternyata berjalan tidak semulus yang diharapkan.

   Justru se-waktu Hutan Ketapang sudah jauh ketinggalan di be-lakang mereka, tiba-tiba muncul Empu Wadas Gempal membuyarkan rencana Joko Sungsang.

   "Ho ho ho! Rupanya ada belalang sedang dike-jar-kejar burung merak! Tetapi, sayangnya si Merak terlalu bodoh!"

   Suara Empu Wadas Gempal membuat Endang Cantikawerdi menghentikan putaran toyanya. Lalu, begitu mengenali siapa yang bertengger di atas dahan, gadis itu langsung bersumpah serapah.

   "Gembel busuk! Kebetulan jika kau ada di sini, orang hutan! Turunlah biar ku pecah batok kepalamu!"

   "He he he! Kenapa kau tidak minta tolong aku saja untuk menangkap belalang itu, Cah Ayu? Apa kau kira dengan marah-marah begitu...?"

   "Tutup mulutmu, Empu Wadas Gempal!"

   Tukas Endang Cantikawerdi. Bersamaan dengan itu, ia me-nyabetkan toyanya ke tanah, dan melayanglah batu hitam sebesar kepalan tangan ke arah dahi Empu Wadas Gempal.

   "Heiiit!"

   "

   Plak!"

   Dengan mengandalkan tenaga angin yang ke-luar dari telapak tangannya, Empu Wadas Gempal berhasil menjinakkan luncuran batu itu.

   Kini batu hitam itu berada dalam genggamannya.

   Semakin marah Endang Cantikawerdi melihat kelihaian orang tua dari Hutan Ketapang itu.

   Kini toya di tangannya berkelebat dan robohlah pohon yang menyangga tubuh Empu Wadas Gempal.

   "He he he, kukira burung merak, tidak tahunya ular beludak!"

   Ujar Empu Wadas Gempal sembari me-layang turun mendahului gerak pohon tumbang.

   Sam-bil melayang turun inilah Penguasa Hutan Ketapang itu mengirimkan angin dari kedua telapak tangannya ke arah betina liar yang tidak dikenalnya itu.

   Cepat-cepat Endang Cantikawerdi memutar toyanya untuk melindungi tubuhnya dari serangan la-wan.

   Namun begitu, tetap saja tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang hingga beberapa tombak.

   "Ular betina tidak tahu tatakrama! Sebenarnya ada urusan apa kau tiba-tiba berbelok menyerangku? Bukankah kau harus menangkap belalang tanpa baju itu?"

   Empu Wadas Gempal menuding ke arah Joko Sungsang. Tetapi, ketika matanya memandang ke arah tudingan jari tangannya, anak muda itu sudah tidak berada di tempatnya.

   "Urusanku dengannya hanyalah urusan kecil, Wadas Gempal! Tetapi, urusanku denganmu adalah urusan hidup dan mati!"

   "Apa? Ha ha ha Apa kupingku yang tua ini ti-dak salah dengar?"

   "Lebarkan lubang telingamu kalau memang kau ingin tahu siapa aku, dan kenapa aku menan-tangmu, kakek pikun!"

   "Ha ha ha! Kau tentu bidadari kahyangan yang ingin membagikan kebahagiaan kepadaku! Bukan be-gitu?"

   Empu Wadas Gempal merapikan jubah merah-nya seakan sedang berhadapan dengan wanita yang dihormatinya.

   "Kalau kau rasa neraka itu membahagiakanmu, bacotmu memang tidak salah, kakek gembel!"

   "Wah, rupanya ada juga bidadari yang mulut-nya kotor! He he he! Tapi, tak apalah! Kepingin juga rasanya menikmati cubitan gadis cantik macam kau! He he he!"

   "Rasakan toya dewondaruku, iblis hutan!"

   Sa-hut Endang Cantikawerdi seraya menerjang perut la-wan dengan sodokan-sodokan toyanya.

   "Hei, ada hubungan apa kau dengan Cekel Ja-naloka, Cah Ayu?"

   Empu Wadas Gempal sama sekali tak menggeser kuda-kudanya.

   Ia hanya merendahkan tubuhnya sambil mendorongkan kedua telapak tan-gannya ke depan Meski demikian, angin yang keluar dari telapak tangan itu mampu membuat ujung toya dewondaru melenceng ke samping kirinya hingga dua jengkal.

   Endang Cantikawerdi menarik kembali toyanya, menaruh kedua telapak tangannya pada satu ujung toya, dan menggunakan ujung yang lain untuk menje-jak tanah.

   Kalau saja Empu Wadas Gempal belum per-nah berhadapan dengan Cekel Janaloka, tentu ia tidak akan mengira bahwa gadis itu akan mengirimkan tendangan ke arah mukanya.

   "Plak! Plak!"

   Tubuh Endang Cantikawerdi bergulingan di ta-nah.

   Sungguh, ia tidak mengira bahwa serangan kilat kedua tumitnya akan terbaca oleh orang sakti dari Hutan Ketapang itu.

   Dengan sigapnya Empu Wadas Gem-pal menepiskan kedua betis gadis itu setelah menarik kepalanya sejengkal ke arah kanan.

   Beruntung gadis itu sebab Empu Wadas Gempal belum menggunakan jurus jari-jari mautnya yang mengandung racun.

   "Tahu aku sekarang, kenapa kau bernafsu se-kali membunuhku, Cah Denok! Rupanya kau ingin membalaskan kematian gurumu, ya?"

   Ujar Empu Wa-das Gempal.

   Endang Cantikawerdi merasakan kedua betis-nya sedikit nyeri.

   Namun, dengan cepat ia berhasil mengalirkan tenaga mumi untuk mengatasi rasa nyeri itu.

   Kemudian, tanpa mempedulikan ucapan-ucapan lawannya, kembali ia menerjangkan kedua ujung toyanya susul-menyusul.

   Inilah jurus 'Toya Sakti Pengusir Malaikat"yang beberapa saat yang lalu mere-potkan pertahanan Joko Sungsang.

   Kombinasi antara sodokan dan pukulan toya ini tak lagi diremehkan oleh Empu Wadas Gempal.

   Tak mungkin lagi baginya untuk menangkis serangan lawan dengan kedua telapak tan-gannya.

   Maka Penguasa Hutan Ketapang ini melompat ke belakang dua tombak, dan kemudian menyongsong serangan lawan dengan putaran tubuhnya.

   Angin yang ditimbulkan oleh putaran tubuh ini menyebabkan ujung toya gadis itu seakan memukul roda karet yang tengah berputar kencang.

   "Trak! Trak! Trak!"

   Endang Cantikawerdi menghentikan serangan-nya, dan tubuhnya berjumpalitan ke belakang untuk menghindari putaran tubuh Empu Wadas Gempal yang mendesaknya.

   Ia memang pernah mendengar ce-rita tentang jurus 'Bidadari Mengurai Benang Kusut' ini, tetapi ia tidak mengira bahwa jurus pertahanan ini sekaligus bisa dijadikan jurus untuk menyerang.

   "Nah, sudah berapa jurus aku membiarkanmu menyerangku terus-menerus, Cah Ayu? Sekarang, ba-gaimana kalau aku dapat giliran menyerangmu?"

   Ujar Empu Wadas Gempal setelah menghentikan putaran tubuhnya.

   "Sejak tadi aku sudah bersiap menerima seran-ganmu, kakek pikun!"

   Sahut Endang Cantikawerdi te-tap garang.

   Betapapun ia mengakui bahwa lawannya kali ini ternyata bukan tandingannya, tetap saja ia pantang mengaku kalah.

   Bagaimana mungkin ia bisa memenangkan pertarungan ini jika nyatanya lawan tak mempan diterjang dengan jurus 'Toya Sakti Pengusir Malaikat"yang diandalkannya? "Bersiaplah menyusul gurumu ke neraka, kuc-ing betina!"

   Ujar Empu Wadas Gempal seraya mengembangkan kesepuluh jari tangannya.

   Dalam sekejap jari-jari tangan Penguasa Hutan Ketapang ini berubah warna.

   Inilah pertanda racun laba-laba hitam Hutan Ketapang telah mengaliri kesepuluh jari tangan itu.

   Endang Cantikawerdi memegang toyanya erat-erat.

   Selintasan ia memang pernah mendengar cerita bahwa gurunya mati bermula karena cakaran jari-jari maut ini.

   Malahan ruyung hitam dari Gunung Sumbing pun patah berbenturan dengan jari-jari beracun ini! Namun begitu, gadis dari Perguruan Gunung Sumbing ini merasa pasti bahwa toya dewondarunya masih mampu menahan keganasan cakar Iblis Hutan Ketapang ini.

   Ketika serangan Empu Wadas Gempal bertubi-tubi mengurungnya, tak ada jalan lain bagi Endang Cantikawerdi kecuali menghadang jari-jari lawan dengan kedua ujung toyanya.

   Maka sembari bersalto, ia memagari tubuhnya dengan putaran toyanya.

   "Trak! Trak! Trak!"

   Kedua ujung toya dewondaru susul-menyusul membentur jari-jari maut Empu Wadas Gempal.

   Na-mun, orang sesat dari Hutan Ketapang ini seolah tak merasakan benturan toya pada kesepuluh jari tangannya.

   Ia malahan semakin mendesak maju, memburu lawan yang masih berjumpalitan di udara.

   Hampir saja Empu Wadas Gempal berhasil menanamkan jari-jari mautnya ke paha gadis itu ketika tiba-tiba dari tangan gadis itu menyembur Pasir Beracun Gunung Sumbing.

   Inilah pertahanan terakhir yang dimiliki Endang Cantikawerdi! "Hiyaaat!"

   Seru Empu Wadas Gempal sembari mengebutkan jubah merahnya untuk menangkis sem-buran senjata rahasia lawan.

   Tubuh Endang Cantikawerdi kembali mendarat di tanah.

   Kalaupun pasir beracun itu akhirnya gugur ke tanah, setidaknya ia memiliki kesempatan untuk mendaratkan kaki dan memasang kuda-kuda kembali.

   "Nah, apa lagi yang bisa kau pamerkan, pera-wan gunung?"

   Ejek Empu Wadas Gempal sambil men-gibas-ngibaskan jubah. Beberapa butir pasir sempat menempel di jubah merah itu.

   "Kau memang bukan tandinganku, Wadas Gempal! Tetapi, jangan harap aku menyerah begitu sa-ja! Selama toya ini berada di tanganku, jangan berangan-angan kau bisa menyentuh kulitku!"

   "Ha ha ha! Kalau begitu, akan ku paksa kau menyerahkan tongkat pengemismu itu! Nah, pegang erat-erat tongkatmu kalau tidak ingin cepat-cepat kehi-langan senjata andalanmu, Cah Denok!"

   Empu Wadas Gempal secepat kilat memutar tubuhnya dan mener-jang toya yang menyilang di depan dada gadis itu.

   "Brettt! Dukkk!"

   Tubuh Endang Cantikawerdi terpelanting ke samping dan toya dewondaru-nya telah berpindah ke tangan lawan.

   Sengaja Empu Wadas Gempal menotok jalan darah di pundak gadis itu agar dengan mudah ia bisa menguasai toya yang diincarnya.

   Endang Cantikawerdi ingin bangkit, tetapi ia merasakan sekujur badannya kejang.

   Barulah ia me-nyadari bahwa kedua tangannya tak lagi bisa digerakkan.

   Sementara itu, kedua pergelangan kakinya tertekan kedua ujung toya, dan telapak kaki Empu Wadas Gempal bertengger di tengah-tengah toya yang menyi-lang itu.

   "Kalau kugenjot sedikit saja kaki kananku, pa-tahlah kedua kakimu yang menggairahkan ini, gadis bengal!"

   Hardik Empu Wadas Gempal.

   "Tua bangka keparat! Lakukanlah kalau me-mang kau mampu melakukannya!"

   Tantang Endang Cantikawerdi. Meski ia sudah putus asa, tetap saja ia mencoba mengalirkan tenaga dalamnya ke pergelangan kakinya yang terancam patah.

   "Ha ha ha! Untuk apa aku menyakiti gadis can-tik macam kau? Tidakkah lebih baik aku nikmati ke-cantikan dan keindahan tubuhmu?"

   Kata Empu Wadas Gempal seraya mengirimkan dua totokan lagi untuk melumpuhkan kaki gadis itu "Iblis cabul mata bakul! Terkutuklah kau jika kau berani melakukan niat busukmu!"

   Sengaja En-dang Cantikawerdi melontarkan sumpah serapan agar orang tua mata keranjang itu marah dan membunuh-nya.

   "Ho ho ho, apa perlu mulutmu yang menggai-rahkan itu aku bungkam agar aku tenang menikmati keindahan tubuhmu, Cah Denok?"

   "Nama besarmu tak sesuai dengan moralmu yang bejat, Wadas Gempal1"

   "Sesukamulah kau memaki makiku, sebelum kubuat mulutmu senasib dengan tangan dan kakimu! Tapi, sayangnya aku tidak banyak waktu untuk me-manjakanmu! Nah, ingin kulihat apa yang bisa kau lakukan jika kulucuti pakaianmu yang indah ini!"

   Kedua tangan Empu Wadas Gempal terjulur ke arah kain Se-reng yang membelit pinggang gadis itu Lalu dengan sekali sentak terlepaslah lilitan kain lereng itu Maka ma-ta Empu Wadas Gempal membelalak memandangi pe-rut berwarna kuning langsat yang dihiasi pusar mun-gil.

   Empu Wadas Gempal menelan ludahnya yang tiba-tiba menyumpal tenggorokan.

   Kini tangannya menjulur ke arah dada Endang Cantikawerdi Tali jing-ga yang tersimpul di dada gadis itu pun ditariknya.

   *** Akan tetapi, ketika jari-jari tangannya hendak menyingkapkan kain jingga penutup dada gadis itu, satu ledakan cambuk mengharuskan Empu Wadas Gempal membuang tubuhnya dari atas tubuh mang-sanya.

   Tubuh itu bergulingan dari tubuh gadis yang tak berdaya itu.

   Sengaja Joko Sungsang hanya mele-dakkan Perisai Naganya di dekat kuping sebelah kanan Penguasa Hutan Ketapang itu.

   Pantang baginya mem-bokong lawan.

   "Kadal buntung! Jahanam keparat!"

   Maki Em-pu Wadas Gempal setelah berdiri di atas kuda-kuda kalanya.

   Dan, melihat siapa yang berjongkok di sisi tubuh gadis Itu, mata orang sesat dari Hutan Ketapang ini menyala-nyala.

   Serta-merta ia mengembangkan kesepuluh jari tangannya dan menerkam Joko Sungsang.

   Sambil bergulingan menghindar Joko Sungsang merengkuh tubuh Endang Cantikawerdi untuk kemu-dian melemparkan tubuh gadis itu ke tumpukan daun kering.

   Sengaja ia tak membebaskan totokan di tubuh Endang Cantikawerdi agar gadis itu nantinya tidak mencampuri pertarungannya dengan Empu Wadas Gempal.

   "Maaf, terpaksa untuk sementara kau jadi pe-nonton saja!"

   Seru Joko Sungsang sambil bersalto bangkit.

   "Ha ha ha! Rupanya kau juga menghendaki tu-buh mulus gadis itu, gembala kambing!"

   Ejek Empu Wadas Gempal. Tetapi, sebelum kau berangan-angan menikmatinya, nyawamu akan kukirim ke neraka me-nemui muridku yang kau bunuh lima tahun yang la-lu!"

   Joko Sungsang tidak menyahut.

   Ia berlagak sibuk merapikan lilitan Perisai Naga di pinggangnya, la merasa belum membutuhkan cambuk itu.

   Agaknya ilmu silat tangan kosong dari Padepokan Karang Bolong perlu dipertunjukkan di depan mata Iblis Hutan Ketapang ini.

   "Bocah pongah, kenapa kau simpan lagi cam-buk kambingmu? Bukankah kau pikir batu akik di ujung cambukmu itu bisa menghancurkan pelipisku?"

   "Hancurkan pelipis itu dengan Perisai Naga-mu, Pendekar Perisai Naga!"

   Teriak Endang Cantikawerdi dari tempatnya berbaring.

   Murid Perguruan Gunung Sumbing ini ingin sekali melihat kehebatan Perisai Na-ga seperti yang pernah diceritakan oleh gurunya.

   Baru mendengar ledakannya pun Iblis Hutan Ketapang itu terbirit-birit menghindar, apalagi jika bola berduri di ujung cambuk itu mematuk pelipisnya.

   Namun, harapan Endang Cantikawerdi tetap saja terbatas pada harapan.

   Anak muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga itu tetap membiarkan cambuknya melingkari pinggangnya, la hanya mengandalkan kelincahannya menghindar ketika serangan-serangan Empu Wadas Gempal mulai mengurungnya.

   Bahkan kemudian ia berani membenturkan sisi telapak tan-gannya pada punggung tangan yang dialiri racun itu.

   "Desss!"

   Tubuh Joko Sungsang terpental satu tombak ke belakang.

   Ia merasakan dorongan angin yang mele-bihi dorongan ombak Laut Selatan.

   Kalau saja ia tidak biasa menerima terjangan ombak Laut Selatan, sudah barang pasti tubuhnya akan terbanting ke tanah dan tulang punggungnya akan luluh lantak.

   Secepatnya Joko Sungsang mengalirkan tenaga murni untuk men-cegah racun menjalari telapak tangannya.

   Seperti halnya yang dialami Joko Sungsang, tubuh Empu Wadas Gempal pun terdorong mundur.

   Tokoh hitam dari Hutan Ketapang ini diam-diam men-gagumi ilmu pukulan yang dilancarkan lawan.

   Dan, rasanya ia pernah mendengar kehebatan ilmu pukulan ini.

   Yang pasti ini bukan ilmu pukulan tangan kosong dari Padepokan Jurang Jero.

   Belum pernah ia merasakan berbenturan tangan dengan Wiku Jaladari hingga terdorong tiga langkah ke belakang seperti sekarang ini.

   "Pantas saja muridku mati di tanganmu, gem-bala kerbau! Rupanya kau mewarisi pula ilmu setan dari Pesisir Laut Selatan!"

   Tiba-tiba Empu Wadas Gempal ingat seseorang yang sudah lama tidak dijum-painya. Siapa lagi kalau bukan Ki Sempani, orang sakti dari Pesisir Laut Selatan.

   "Mari, kita adu cakar iblismu dengan ilmu 'Pu-kulan Ombak Laut Selatan', Wadas Gempal!"

   Joko Sungsang menyilangkan tangan kirinya ke depan da-da, kaki kanannya dilipat ke depan, dan tangan ka-nannya dilipat ke belakang dengan tinju persis berada di bawah ketiak.

   "Ho ho ho! Rupanya cambuk kambingmu sudah tidak manjur lagi makanya kau berguru lagi, Anak Demang!"

   Berkata begini Empu Wadas Gempal mendo-rongkan kedua telapak tangannya ke depan.

   "Wusss!"

   Joko Sungsang terpaksa melenting ke udara untuk menghindari sambaran angin yang menerjang sekujur tubuhnya.

   Ketika turun, tumit kanannya menghunjam ke arah tengkuk lawan.

   Namun, dengan jari-jari tangan kanannya, Empu Wadas Gempal me-nyongsong hunjaman tumit itu.

   "Desss!"

   Secepat kilat Joko Sungsang membelokkan arah tumit kanannya, kemudian dengan sisi telapak kaki kanannya pula ia menendang bahu lawan.

   Tubuh Empu Wadas Gempal bergulingan di tanah.

   Di luar dugaan Joko Sungsang jika Iblis Hutan Ketapang itu masih mampu bersalto dan berdiri di atas kuda-kudanya.

   "Ha ha ha! Lumayan juga ilmu silat tangan ko-song dari Pantai Selatan! Kalau saja bukan aku yang menerima tendanganmu, rontoklah isi dada ini!"

   Empu Wadas Gempal menyingsingkan lengan jubahnya, dan lagi-lagi ia menyerang dengan jurus 'Angin Puyuh Menabrak Gunung'.

   Hanya saja, kali ini angin itu hanya mengarah ke lutut Joko Sungsang.

   Meski belum pernah mengalami menerima se-rangan semacam ini, Joko Sungsang merasa pasti bahwa ini hanyalah serangan tipuan.

   Maka ia pun berjumpalitan di udara sambil menunggu serangan susu-lan dari lawan.

   Dan, serangan susulan yang merupa-kan serangan inti itu terlampau cepat datangnya se-hingga Joko Sungsang tak sempat lagi mengelakkan-nya.

   Benturan keempat tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam itu tak terelakkan lagi.

   "Desss! Desss!"

   Tubuh Joko Sungsang melayang turun dan ter-guling-guling di tanah.

   Sementara itu, Empu Wadas Gempal masih mampu turun dengan kaki dalam posi-si-kuda-kuda.

   Namun, kedua telapak tangannya tak mampu lagi mengembangkan kesepuluh jarinya.

   Ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan"telah meremukkan tu-lang yang menghidupkan kesepuluh jari maut itu.

   Joko Sungsang bersalto bangkit, untuk kemu-dian mengatur kuda-kuda.

   Akan tetapi, ia merasakan seribu jarum menusuk-nusuk sisi kedua belah telapak tangannya.

   Inilah akibat dari cakaran jari-jari Empu Wadas Gempal yang mengandung racun laba-laba hitam dari Hutan Ketapang.

   'Tanganmu keracunan, Pendekar Perisai Naga! Bebaskan totokan keparat di tubuhku ini biar aku am-bilkan penawar racun untukmu!"

   Teriak Endang Canti-kawerdi dari tempatnya berbaring. Mendengar teriakan gadis itu, semangat Joko Sungsang bangkit kembali. Seganas apapun racun la-ba-laba hitam itu, ia masih tetap punya waktu untuk menyudahi pertarungan hidup dan mati itu.

   "Untuk mempercepat sekaratmu, terimalah hunjaman kedua siku tanganku, gembala sapi!"

   Ujar Empu Wadas Gempal seraya melipat kedua tangannya, merapatkan kedua siku tangan itu, dan berputarlah tubuhnya yang gemuk itu.

   Tak ada jalan lain bagi Joko Sungsang untuk menghadapi jurus 'Bidadari Mengurai Benang Kusut' ini kecuali dengan Perisai Naga nya.

   Sigap ia mengurai Perisai Naga dari pinggangnya, dan meraung-raung bo-la berduri di ujung cambuk itu.

   Ketika putaran tubuh Empu Wadas Gempal yang menyerupai putaran roda bertombak itu menerjangnya, Joko Sungsang mele-cutkan Perisai Naga-nya dengan jurus 'Mematuk Elang Dalam Mega'.

   Tarrr! Tarrr! Tasss! Pada lecutan yang ketiga, bola berduri di ujung Perisai Naga mematuk dahi Empu Wadas Gempal Pu-taran tubuh Iblis Hutan Ketapang ini tak lagi terarah.

   Dan, sewaktu putaran itu melambat, Perisai Naga telah siap membelit kedua lutut yang merapat menjadi satu itu.

   Maka dengan sekali hentak, tubuh orang sesat dari Hutan Ketapang itu terpelanting dan akhirnya terbanting di tanah.

   "Cepat bebaskan totokan keparat ini kalau kau tidak ingin terbunuh oleh racun itu, Pendekar Perisai Naga!"

   Sekali lagi Endang Cantikawerdi mengingatkan.

   Joko Sungsang melompat ke sisi gadis itu, membalikkan tubuh gadis itu, dan membebaskan keempat totokan jalan darah pada tubuh gadis dari Perguruan Gunung Sumbing ini.

   *** Endang Cantikawerdi mengeluarkan serbuk an-ti racun dari balik kain lerengnya.

   Ramuan khusus yang dibuat deh Cekel Janaloka ini memang mampu melawan segala jenis racun binatang.

   Joko Sungsang tak bisa lagi memikirkan siapa-kah gadis yang berusaha menolongnya ini.

   Tak lagi terpikir olehnya bahwa gadis murid tokoh sesat ini justru bisa mempercepat kematiannya dengan racun yang lebih ganas lagi.

   Racun laba-laba hitam dari Hutan Ketapang itu membuat kepalanya berputar.

   Kesa-darannya mulai mengambang.

   Wajah gadis yang bera-da di hadapannya nampak kabur.

   Pakaian berwarna jingga yang dikenakan gadis itu berubah menjadi hi-tam.

   Pepohonan di sekitarnya pun berwarna hitam.

   Dan, akhirnya gelap menyelimuti segalanya.

   Endang Cantikawerdi cepat-cepat menaburkan serbuk anti racun pada luka-luka yang menganga pada sisi telapak tangan anak muda yang baru saja dikenalnya ini.

   Sudah ada gambaran dalam benaknya bahwa anak muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga ini akan mengalami hilang ingatan.

   Meskipun demikian, diam-diam ia memuji daya tahan anak muda murid Wiku Jaladri ini.

   Dengan racun laba-laba hitam yang mulai menyerang aliran darah di tubuhnya, ia masih mampu memainkan jurus andalan Perisai Naga-nya.

   "Perempuan jalang berotak kotor!"

   Tiba-tiba muncul bayangan serba putih dan langsung menye-rang Endang Cantikawerdi.

   "Trang! Trang! Trang!"

   Sambil bergulingan di tanah, Endang Cantika-werdi memutar toya dewondaru-nya untuk melindungi tubuhnya dari hunjaman tombak pendek bermata dua di tangan Sekar Arum.

   "Betina liar tak punya otak! Kau pikir apa yang aku lakukan terhadap temanmu ini?"

   Mata Endang Cantikawerdi berapi-api menatap Sekar Arum.

   "Apa lagi yang kau lakukan kalau bukan hen-dak berbuat mesum, perempuan sesat!"

   Sahut Sekar Arum. Ia tetap yakin bahwa gadis murid Cekel Janalo-ka ini hendak melampiaskan nafsu binatangnya kepa-da Joko Sungsang yang tidak berdaya itu.

   "Mulutmu memang pantas dihancurkan dengan ujung toya ini, ular betina!"

   Kata Endang Cantikawerdi seraya menyabetkan ujung toyanya ke mulut Sekar Arum.

   Namun, gadis dari Padepokan Karang Bolong ini sudah meramalkan akan datangnya serangan.

   Be-tapapun sabetan toya itu sulit diikuti mata, dengan mudah Sekar Arum membebaskan mulutnya dari ancaman toya Dewondaru itu.

   Dengan merundukkan ke-pala, Sekar Arum maju selangkah sambil memutar ka-ki kanannya.

   Tendangan baling-baling yang mengarah ke betisnya ini memaksa Endang Cantikawerdi harus mengubah arah senjatanya.

   Kini toya berwarna me-rah-kecoklat-coklatan itu berkelebat membabat kaki Sekar Arum.

   "Trang!"

   Sekar Arum menyambut serangan lawan den-gan putaran tombak pendeknya.

   Endang Cantikawerdi melompat mundur.

   Matanya liar menatap Sekar Arum.

   Ini adalah perkelahian mereka untuk yang ke-dua kalinya.

   Pada perkelahian pertama kemarin, En-dang Cantikawerdi merasa telah memaafkan gadis te-man Pendekar Perisai Naga ini.

   Kalau saja bukan Pendekar Perisai Naga yang melerai mereka kemarin, tidak akan ia meninggalkan begitu saja lawannya.

   Namun, kali ini agaknya tak diperlukan lagi sikap bersahabat.

   Sikap mengalah hanya akan membuat gadis bertom-bak pendek itu semakin besar kepala.

   Lagi pula, En-dang Cantikawerdi merasa sangat tersinggung men-dengar tuduhan Sekar Arum pada awal pertemuan me-reka tadi.

   Padahal, ia telah berbuat baik dengan memberikan obat pemunah racun kepada Pendekar Perisai Naga.

   Tetapi apa balasan gadis temannya itu? Tudu-han yang begitu menyalatkan! la merasa dituduh hen-dak memperkosa Pendekar Perisai Naga yang sedang tidak berdaya? "Perempuan keparat! Lancang mulut! Terimalah jurus 'Toya Sakti Pengusir Malaikat"jika kau merasa sakti dan berhati suci!"

   Seru Endang Cantikawerdi seraya membuka jurus andalan toya dewondarunya.

   "Sejak tadi aku siap menghadapi tongkat pen-gusir anjingmu itu, perempuan jalang! Tetapi, sayangnya aku bukan anjing yang dengan mudah bisa kau usir!"

   Sahut Sekar Arum. Dan, melihat lawan telah mengeluarkan jurus andalannya, ia pun bersiap-siap dengan jurus 'Memancing Mangsa Keluar Sarang'.

   "Arum, tunggu!"

   Suara Joko Sungsang menga-getkan mereka berdua. Masih dengan langkah lim-bung, anak muda ini mendekati 'Sekar Arum dan En-dang Cantikawerdi.

   "Biarkan aku habisi riwayat iblis betina ini! Ka-lau tidak, bumi ini akan semakin dikotori oleh tingkahnya yang menjijikkan!"

   Kata Sekar Arum.

   "Kau salah sangka, Arum. Dia baru saja mem-beriku obat penangkal racun. Karena aku memang su-dah tidak berdaya lagi, terpaksa ia membubuhkan obat itu ke luka luka di telapak tanganku...."

   "Dia tidak membutuhkan penjelasan! Sejak kemarin dia memang ingin menanam permusuhan denganku, Pendekar Perisai Naga!"

   Tukas Endang Can-tikawerdi sigap.

   "Mana mungkin murid tokoh sesat berbuat ke-bajikan? "bantah Sekar Arum.

   "Arum, lihatlah mayat siapa yang tergeletak di belakangmu."

   Sekar Arum malas-malasan menoleh. Akan te-tapi, matanya lantas membelalak begitu melihat mayat siapa yang menggeletak dengan dahi pecah itu.

   "Penguasa Hutan Ketapang...?"

   Desis Sekar Arum "Ya. Dari jari-jari mautnyalah aku terkena racun laba-laba hitam dari Hutan Ketapang Tetapi, syukurlah ada yang berbudi baik memberikan obat pemu-nahnya. Jadi, yang baru saja kau lihat bukan seperti yang kau bayangkan, Arum,"

   Jelas Joko Sungsang.

   Semburat merah mewarnai seluas pipi Sekar Arum.

   Rasa malu membuat gadis itu bungkam.

   Bah-kan untuk berdiam diri di depan Joko Sungsang dan Endang Cantikawerdi pun ia tak lagi mempunyai kebe-ranian.

   Maka Sekar Arum membalikkan badan dan meloncat pergi meninggalkan mereka berdua.

   ."Arum!"

   Joko Sungsang hanya bisa mencegah dengan suaranya.

   Ia bimbang.

   Untuk meninggalkan gadis murid Cekel Janaloka ini begitu saja, rasanya sangatlah tidak sopan.

   Gadis itu telah menyelamatkan jiwanya.

   Ucapan terima kasih pun belum terlontarkan dari mulutnya.

   Tetapi untuk membiarkan Sekar Arum pergi untuk yang kedua kalinya, rasanya terlalu masa bodoh terhadap adik seperguruan yang harus diawa-sinya.

   Lebih dari itu, sesungguhnya ia merasa sedih ji-ka harus berjauhan dengan gadis yang telah merebut hatinya itu.

   "Pergilah menyusul dia. Biarkan aku mene-ruskan perjalananku,"

   Kata Endang Cantikawerdi.

   "Terima kasih atas budi baikmu menyela-matkan nyawaku dan racun itu. Dan, sekali lagi aku ingin tahu dengan siapa aku sekarang ini berhadapan,' ucap Joko Sungsang. 'Namaku memang tidak ada artinya jika diban-dingkan dengan namamu yang kesohor, Pendekar Pe-risai Naga...."

   "Panggil saja aku 'Joko'. Joko Sungsang, itulah namaku sejak aku dilahirkan di bumi ini,"

   Tukas Joko Sungsang merasa risi menerima julukan Pendekar Perisai Naga.

   Selain itu, ia juga sedang bersiasat agar gadis itu mau menyebutkan namanya "Aku lahir di kaki gunung.

   Anak gadis yang la-hir di kaki gunung biasanya dinamai Endang.

   Aku En-dang Cantikawerdi,"

   Kata gadis itu setelah sejenak dilanda keraguan.

   "Aku akan selalu mengingat namamu, Endang Cantikawerdi. Dan, sekali lagi aku mengucapkan teri-ma kasih atas pertolonganmu.

   "

   "Kau lebih dulu menolongku, Joko. Tanpa per-tolonganmu maka aku tidak mungkin bisa menolong-mu Terima kasih. Maaf, aku harus pergi, dan kau juga harus mengejar gadis temanmu itu " *** Joko Sungsang semakin yakin bahwa Endang Cantikawerdi bukan murid yang tepat bagi Cekel Janaloka yang berilmu sesat. Meski gadis itu menguasai il-mu sesat dari Perguruan Gunung Sumbing, tetap saja ia tak mau sembarangan mengumbar kekejaman. Ter-bukti dua kali ia membiarkan Sekar Arum lolos dari Jurus mautnya. Ia juga tahu membalas budi orang yang belum dikenalnya. Kalau saja ia memang menji-wai ilmu sesat, tak akan ia mau memberikan obat pe-munah racun bagi siapa saja yang beraliran lurus. Tidak berarti Joko Sungsang meremehkan ilmu silat Sekar Arum. Hanya saja, jika dibandingkan dengan ilmu silat Endang Cantikawerdi, apa yang dida-patkan Sekar Arum dari Padepokan Karang Bolong be-lum bisa disejajarkan dengan ilmu silat dari Perguruan Gunung Sumbing itu. Betapapun Sekar Arum tangkas menggunakan tombak pendeknya, belum tentu ia mampu menghadapi jurus 'Toya Sakti Pengusir Malai-kat. Apalagi jika jurus itu digabung dengan senjata rahasia yang berupa pasir beracun dari Gunung Sumb-ing itu. Joko Sungsang sendiri melihat betapa cepatnya tangan gadis itu menyebarkan pasir beracunnya ke tubuh Empu Wadas Gempal. Andai saja bukan Empu Wadas Gempal yang diserang dengan senjata rahasia itu, belum tentu mampu mencampakkan pasir bera-cun itu ke tanah. Benar-benar Joko Sungsang ingin mengetahui lebih jauh lagi siapa sesungguhnya Endang Cantika-werdi itu. Melihat usia gadis Itu, rasanya memang ada kemungkinan ia tidak tahu ilmu silat yang diwarisinya adalah ilmu sesat. Ilmu silat Perguruan Gunung Sumbing hanya layak dimiliki oleh golongan hitam yang selalu menebarkan kejahatan di sana-sini. Sungguh amat disayangkan jika ilmu sesat dari Perguruan Gunung Sumbing telanjur meracuni gadis macam Endang Cantikawerdi.

   "Selain membasmi kejahatan, membela kebena-ran, dari melindungi orang-orang yang tertindas, tugas-mu juga meluruskan segala sesuatu yang me-nyimpang, Joko. Kalau kau melihat orang yang bersa-lah dan tidak menyadari tindakannya yang salah, tu-gasmulah mengingatkannya.

   "

   Terngiang kembali di telinga Joko Sungsang sebagian dari pesan serta nasihat Wiku Jaladri.

   Maka Joko Sungsang kembali memutuskan un-tuk membuntuti ke mana gadis bertoya itu pergi Akan halnya tugas untuk mengawasi Sekar Arum, agaknya tidak harus diutamakan lagi.

   Setelah Empu Wadas Gempal tewas, bahaya besar bagi gadis lewatlah su-dah.

   Sebaliknya, jika ia membiarkan Endang Cantika-werdi lebih lama lagi, ilmu sesat gadis itu akan semakin menjerumuskan gadis itu sendiri.

   Meski punya julukan Pendekar Perisai Naga, meski lawan dan kawan segan mendengar julukan itu, tetap saja Joko Sungsang masih 'ingusan"di dunia persilatan.

   Kurangnya pengalaman di dunia persilatan membuatnya kurang tahu persis tokoh-tokoh jahat mana yang harus diperhitungkannya.

   Baik dari Wiku Jaladri maupun Ki Sempani, ia telah mendengar ba-nyak nama tokoh sesat dari golongan hitam yang berusaha merajai dunia persilatan Akan tetapi, ia kurang memperhitungkan bahwa tokoh-tokoh sesat yang diceritakan gurunya tadi kapan saja bisa muncul dan mengancam siapa saja yang mereka anggap sebagai pihak lawan.

   Seperti halnya tokoh sesat dari Kaki Gunung Merapi, yang lebih dikenal sebagai Orang Sesat Berse-lendang Mayat alias Ki Danyang Bagaspati ini.

   Menu-rut penuturan Ki Sempani, orang sesat dari Kaki Gu-nung Merapi ini sudah tewas tertelan ombak Laut Se-latan.

   Akan tetapi, tidak seharusnya Joko Sungsang menganggap Ki Danyang Bagaspati sudah lenyap dari muka bumi.

   Banyak tokoh-tokoh dari dunia persilatan yang dikabarkan tewas, ternyata muncul kembali dengan ilmu silat yang lebih tinggi lagi.

   Tak jauh berbeda dengan yang dialami oleh Wiku Jaladri sendiri.

   Orang sakti yang melahirkan julukan Pendekar Perisai Naga ini pernah dikabarkan tewas ditelan kedalaman Jurang Jero.

   Tetapi, toh akhirnya muncul lagi dan menggem-parkan dunia peralatan dengan jurus-jurus Perisai Naganya yang diperdalam selama puluhan tahun di Pa-depokan Jurang Jero.

   Pengalaman malang-melintang di dunia persila-tan, sayangnya belum dimiliki oleh Joko Sungsang.

   Ia memang lebih banyak bersembunyi di Padepokan Jurang Jero, dan lima tahun ia berada dalam gemblengan Ki Sempani di Padepokan Karang Bolong.

   Tidak meng-herankan jika ia mudah beranggapan bahwa tewasnya Empu Wadas Gempal berarti musnahnya bahaya besar bagi Sekar Arum.

   Maka Joko Sungsang sangatlah kaget begitu mendengar kabar tentang kemunculan Ki Danyang Bagaspati dari penduduk Desa Gedong Tengen.

   "Apakah saya tidak salah dengar?"

   Tanya Joko Sungsang kurang yakin.

   "Betul, Kisanak. Siapa lagi yang memakai kain kafan sebagai senjata kalau bukan Ki Danyang Bagas-pati?" 'Tetapi, lima tahun yang lalu ombak Laut Selatan telah menewaskannya."

   "Apa Kisanak melihat mayatnya?"

   "Memang tidak."

   "Sebelum kita melihat mayatnya, sebaiknya jangan percaya begitu saja kabar tentang tewasnya orang-orang sakti. Banyak orang sakti yang dikabar-kan tewas, tetapi nyatanya masih hidup. Seperti um-pamanya kabar tentang tewasnya Pendekar Perisai Na-ga puluhan tahun yang lalu. Kisanak pernah menden-garnya?"

   "Ya, ya! Saya memang pernah mendengar,"

   Sa-hut Joko Sungsang sebelum menutup Perisai Naga di pinggangnya dengan lengan bajunya.

   la bersyukur le-laki di depannya ini belum mengenal macam mana senjata yang disebut Perisai Naga.

   Kalaupun lelaki itu melihat, pastilah ia menganggap cambuk di pinggang Joko Sungsang itu hanyalah Perisai Naga tiruan.

   Sa-lah-salah malah menuduh Joko Sungsang mencuri cambuk itu! "Sebaiknya Kisanak jangan sampai mencampu-ri urusan Ki Danyang Bagaspati.

   Sudah banyak anak muda yang tewas di tangannya.

   Mereka yang baru be-lajar ilmu silat sehari-dua hari, tetapi mereka sudah berani mencampuri urusan orang sakti macam Ki Danyang Bagaspati."

   Joko Sungsang hanya mengangguk dalam-dalam.

   "Seperti yang terjadi siang tadi di mulut desa ini,"

   Lanjut lelaki berpakaian petani itu.

   "Ada apa siang tadi, Ki?"

   Tanya Joko Sungsang menyahut cepat "Seorang gadis mencoba membela penduduk desa ini yang hampir dibunuh Ki Danyang Bagaspati."

   "Seorang gadis? Bagaimana ciri-ciri gadis itu, Ki? Maksud saya pakaian gadis itu, mungkin senja-tanya?"

   "Pakaiannya putih putih, senjatanya tombak pendek..""

   "Boleh saya tahu di mana gadis itu sekarang, Ki?"

   Tukas Joko Sungsang was-was.

   "Nasib baik masih melindungi gadis itu! Ada se-seorang yang menyelamatkannya. Tetapi, hampir se-mua penduduk desa yang melihat perkelahian itu ti-dak bisa menerangkan bagaimana ujud pendekar yang menyelamatkan gadis itu. Kejadiannya begitu cepat berlalu. Orang sakti itu hanya seperti bayangan. Maksud saya, hanya merupakan bayangan berwarna putih, dan lalu hilang di balik rumah penduduk desa."

   "Mungkinkah Ki Sempani yang menyelamatkan Sekar Arum?"

   Tanya Joko Sungsang kepada dirinya sendiri. 'Tapi, bagaimana jika yang membawa lari Sekar Arum tadi tokoh jahat lainnya?"

   Maka bergegas Joko Sungsang meninggalkan Desa Gedong Tengen.

   Ia harus mendapat keterangan yang lebih jelas tentang siapa yang telah menyela-matkan Sekar Arum dari ancaman Ki Danyang Bagas-pati! *** Endang Cantikawerdi benar-benar tidak me-mahami perasaannya sendiri.

   Perasaan aneh yang seumur hidupnya baru dialaminya sekarang ini.

   Kena-pa ia merasa berat hati meninggalkan anak muda yang bergelar Pendekar Perisai Naga itu? Kenapa sosok anak muda itu terus melintas-lintas di pelupuk matanya? Kenapa pula ia membenci gadis bertombak pendek itu? Hanya karena gadis itu lebih dekat dengan Pendekar Perisai Naga? Karena Pendekar Perisai Naga telah menyelamatkan nyawanyakah? Atau, karena anak muda itu ilmu silatnya lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu silat yang dimilikinya? Padahal, sudah seharusnya ia marah melihat Pendekar Perisai Naga membunuh Empu Wadas Gem-pal.

   Seharusnya ia merasa bahwa musuh besarnya te-lah direbut oleh anak muda murid Wiku Jaladri itu.

   Atau, setidaknya ia harus malu sebab musuh besarnya tewas bukan oleh tangannya sendiri.

   Maka sudah selayaknya jika ia melupakan anak muda yang telah mempermalukannya itu! Endang Cantikawerdi menyabetkan toya de-wondarunya ke batu sebesar kepala kerbau yang menghadang langkahnya.

   Batu yang tak aus oleh kiki-san arus sungai itu hancur berkeping-keping.

   Maka perasaan gadis itu sedikit lega.

   Seolah ia telah membuang perasaan aneh dalam dadanya lewat sabetan toyanya.

   Dan, andai saja ia menjumpai lawan, ia ingin menjadikan kepala lawannya senasib dengan batu itu.

   Tetapi, siapakah lawan yang harus dicarinya? Adakah musuh bebuyutan bagi dirinya? Pernahkah ia menanam permusuhan dengan seseorang? Atau, mungkin seseorang itulah yang menanam permusuhan dengan-nya? Keinginannya membunuh makhluk hidup yang tidak disenanginya tiba-tiba meracuni hati gadis murid Perguruan Gunung Sumbing itu.

   Matanya liar menatap sekeliling.

   Dan, ketika pandang mata itu membentur pada sesuatu yang bergerak melata ke arahnya, gadis itu melompat dan menusukkan ujung toya dewondarunya ke kepala ular sanca yang malang itu.

   "Sekalipun kau keluarkan jurus andalan toya-mu, ia tak akan mungkin melawanmu, gadis kejam!"

   Teriak seseorang mengejutkan gadis itu.

   Endang Cantikawerdi menoleh ke arah datang-nya suara.

   Di sana, di atas sebongkah batu cadas, berdiri seorang lelaki dengan wajah separuh tertutup.

   Rambutnya yang panjang tergerai melewati bahu, ber-kibar-kibar tertiup angin.

   "Manusia licik! Memang kau yang sebenarnya hendak aku bunuh!"

   Sergah Endang Cantikawerdi se-raya melayang ke arah lelaki itu sambil mengirimkan serangan. Namun, dengan tenangnya lelaki berkedok se-paruh wajah itu menarik kaki kanannya ke belakang, dan lewatlah ujung toya gadis itu sejengkal di depan matanya.

   "Katakan apa sebenarnya maumu mengikutiku terus!"

   Hardik Endang Cantikawerdi sambil bersiap menyerang lagi.

   "Aku berhak melarangmu duduk-duduk di pinggir kali ini. Sebab, kali ini masih termasuk wilayah yang harus...."

   "Jahanam keparat!"

   Kali ini Endang Cantika-werdi menyerang dengan pasir beracunnya, la memang ingin agar lelaki itu secepatnya roboh.

   "Hiyaaat!"

   Seru lelaki itu sambil melenting ke udara. Endang Cantikawerdi benar-benar tak ingin melihat lelaki itu lebih lama lagi. Maka ia secepatnya menyusul ke udara sambil-menyabetkan toya dewondaru-nya ke arah tubuh yang tengah berjumpalitan itu.

   "Desss! Desss!"

   Lelaki itu, yang tak lain adalah Joko Sungsang, terpaksa membenturkan kedua punggung tangannya untuk menangkis serangan lawan.

   Dua tenaga dalam yang berbenturan mengakibatkan tubuh mereka ber-dua mental berlawanan arah.

   Endang Cantikawerdi merasakan nyeri yang bukan kepalang menyerang telapak tangannya.

   Toya yang dipegangnya seolah berbalik menyerang dirinya sendiri.

   Di lain pihak, Joko Sungsang pun merasakan kedua punggung tangannya ngilu bukan main.

   Rasanya toya dewondaru itu telah meremukkan tulang-tulang tangannya.

   Bisa dibayangkan akibat dari benturan itu pada dirinya jika ia tadi tidak mengaliri kedua tangannya dengan ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan'.

   Setelah berhasil mengatasi rasa nyeri di tela-pak tangan kanannya, Endang Cantikawerdi menatap tajam sosok lelaki yang sudah bersiap lagi menunggu serangan.

   Tiba-tiba ia merasa harus lebih berhati-hati menghadapi lawan yang tak dikenalnya ini.

   Dari ujud badannya yang telanjang, jelas lelaki itu masih teramat muda.

   Dadanya yang bidang belum sedikit pun menampakkan kerut-merut.

   Usia lelaki ini tak akan lebih dari dua puluh lima tahun.

   Tetapi, tenaga dalamnya begitu sempurna.

   Rasanya ia belum pernah bertemu dengan lawan yang berani membenturkan anggota tu-buhnya pada toya dewondaru.

   "Kenapa diam saja, Perawan Gunung Sumb-ing?"

   Usik Joko Sungsang begitu melihat gadis itu hanya menatapnya tanpa usaha untuk menyerangnya kembali.

   Endang Cantikawerdi tak mengacuhkan uca-pan lelaki itu.

   Ia masih terus memeras otak, mengingat-ingat siapa kiranya lelaki muda usia yang begitu sempurna tenaga dalamnya.

   Tak ada lagi, kecuali Pendekar Perisai Naga! "Aku sama sekali tidak mengira bahwa Pende-kar Perisai Naga senang mempermainkan wanita!"

   Dengus Endang Cantikawerdi.

   "Maafkan aku, Cantikawerdi,"

   Kata Joko Sung-sang setelah membuka tutup wajahnya.

   "Aku hanya ingin mengatakan kepadamu bahwa akulah yang men-cegatmu di pinggiran Hutan Ketapang waktu itu. Tan-pa bertingkah seperti tadi, mustahil kau akan mem-percayai pengakuanku."

   Endang Cantikawerdi menghela napas lega.

   Le-ga bahwa tebakannya ternyata tidak meleset.

   Tetapi, ia pun merasa malu sebab begitu mudahnya ia diper-mainkan anak muda ini.

   Seharusnya, sudah sejak di pinggiran Hutan Ketapang itu ia tahu siapa sebenar-nya lelaki berkedok separuh wajah itu.

   "Kau masih tetap ingin membunuhku?"

   Kemba-li Joko Sungsang yang membuka suara.

   Endang Cantikawerdi menundukkan kepalanya dalam-dalam.

   Pertanyaan itu dirasakannya sebagai ejekan.

   Bagaimana mungkin ia berani berangan-angan membunuh Pendekar Perisai Naga yang dikaguminya! Sejak pertemuan mereka di depan kedai minum itu, Endang Cantikawerdi langsung memutuskan untuk ti-dak menanam permusuhan dengan Pendekar Perisai Naga ini.

   Terlebih lagi setelah mereka bertemu kembali di Hutan Ketapang, dan Pendekar Perisai Naga ini telah menyelamatkannya dari ancaman nafsu hewani Empu Wadas Gempal.

   "Aku ingin membunuh lelaki yang berkedok, bukan Pendekar Perisai Naga,"

   Jawab gadis itu sambil menahan senyum.

   "Panggil aku Joko Sungsang saja. Julukan Pen-dekar Perisai Naga itu sebenarnya hanya pantas dis-andang oleh guruku,"

   Sahut Joko Sungsang.

   "Para pendekar berlomba-lomba mengadu ilmu untuk mencari nama besar. Tetapi, kau justru meno-lak." 'Apalah artinya nama besar jika ilmu yang kita miliki hanya sebesar biji sawi?"

   "Meskipun aku baru saja turun dari gunung, tetapi aku percaya ilmu silatmu tidak ada yang bisa menandingi!"

   "Meskipun kau baru saja turun gunung, tetapi ilmu toyamu amat luar biasa!"

   Joko Sungsang tak mau kalah bicara.

   "Ya, luar biasa. Tetapi, apalah artinya gebukan toya ini jika berhadapan dengan ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan'? Tiba-tiba saja toya ini berubah menjadi sebatang lidi!"

   "Baiklah. Bukan berarti aku membenarkan ucapanmu. Hanya saja, aku memang tidak pandai ber-silat lidah. Aku kalah."

   Joko Sungsang membungkuk-kan badannya sebagai penghormatan.

   "Aku, bocah gunung yang tidak tahu diri inilah yang lebih pantas mengaku kalah."

   Endang Cantika-werdi membalas penghormatan anak muda itu.

   *** Matahari telah melompat ke belahan bumi ba-gian Barat Sinarnya keperak-perakan dipantulkan oleh air kali yang bening itu.

   Mata Endang Cantikawerdi mengerjap-ngerjap memandangi bayangan matahari di permukaan kali itu.

   Selama tinggal di Gunung Sumb-ing, hampir tak pernah ia menatap langsung bulatan matahari.

   Maka mata indah itu agak kaget menerima sergapan pantulan cahaya matahari yang berkilat ta-jam itu.

   Dalam pada itu, Joko Sungsang belum lagi menemukan kalimat untuk mengisi kebisuan mereka berdua.

   Entahlah, ia merasa tidak lagi pandai bicara berada di depan gadis berpakaian serba jingga itu.

   Tidak seperti halnya jika berhadapan dengan Sekar Arum.

   Barangkali karena Sekar Arum sudah diang-gapnya sebagai saudara? Dan lagi, mereka berdua memang satu perguruan.

   Sama-sama berguru kepada Ki Sempani.

   "Jadi, kenapa kau waktu itu mencegatku di pinggiran Hutan Ketapang, Pendekar... eh, Joko Sung sang?"

   Suara Endang Cantikawerdi memecah kehenin-gan.

   "Aku tidak ingin kau terlibat permusuhan den-gan Penguasa Hutan Ketapang itu, Cantikawerdi."

   "Karena ilmu silatku masih begitu rendahkah?"

   "Jangan salah mengartikan. Maksudku, sebe-narnya tak ada alasan bagimu untuk membalaskan kematian gurumu. Gurumu tewas melawan Empu Wa-das Gempal karena memang sudah dikehendakinya."

   Mata Endang Cantikawerdi membulat Bulu mata-nya yang indah itu hampir bersentuhan dengan alis ma-tanya yang rimbun.

   "Aku tidak mengerti maksudmu. Setahuku, tak pernah guruku ingin mati di tangan Iblis Hutan Ketapang itu!"

   Agak meninggi suara Endang Cantikawerdi.

   "Mereka yang berlomba mengadu kesaktian demi mendapatkan sebutan 'paling sakti', tentunya sudah didasari niat membunuh atau kesediaan dibu-nuh. Nah, siapa bisa menyalahkan pihak yang mem-bunuh jika pertarungan itu sudah mereka sepakati bersama? Lain halnya jika kematian seseorang tadi disebabkan oleh kesewenang-wenangan orang lain. Mungkin, untuk kejadian seperti inilah balas dendam perlu ditegakkan. Seperti penyebab balas dendamku terhadap Hantu Lereng Lawu lima tahun yang lalu, mi-salnya. Ayahku yang sama sekali tidak pernah berurusan dengannya, tiba-tiba saja dibunuh. Tanpa ada perlawanan sebab ayahku memang tidak memiliki ilmu si-lat secuil pun. Paham maksudku?"

   "Bukan seperti itu nasihat yang pernah aku te-rima dari guruku,"

   Sahut Endang Cantikawerdi meski-pun samar-samar ia bisa memahami maksud penutu-ran Joko Sungsang.

   "Ya. Perbedaan antara nasihat yang kau terima dari gurumu dengan nasihat yang aku terima dari gu-ruku tentu ada. Bukan tidak mungkin berlawanan. Ya, karena memang kita berbeda aliran. Tetapi, aku tidak percaya kau sengaja mempelajari aliran yang berbeda dengan aliran yang aku pelajari.

   "

   Joko Sungsang menemukan kesempatan baik untuk memancing penga-kuan gadis itu.

   "Maksudmu, ilmu silat yang aku pelajari terma-suk aliran hitam?"

   Tanya Endang Cantikawerdi agak tersendat.

   "Aku tidak mengatakan begitu. Tetapi, bukan rahasia lagi bahwa penduduk desa, juga orang-orang yang telah lama malang-melintang di rimba persilatan mengatakan bahwa Cekel Janaloka termasuk tokoh sesat dari golongan hitam. Sekali lagi aku katakan bahwa aku tak bermaksud menuduhmu berilmu sesat, Cantikawerdi.

   "

   "Bukankah aku murid salah seorang tokoh se-sat seperti yang dikatakan orang banyak tadi?' "Menurutku, ukuran sesat atau lurus tidak se-gampang yang kita ketahui. Bisa saja aku tersesat dan akhirnya aku menggunakan ilmu silatku untuk menyebarkan kejahatan. Nah, apa bisa dikatakan bahwa aku ini berilmu lurus? Padahal sudah jelas, guruku dikenal sebagai pendekar dari golongan lurus. Sebaliknya, selama kau mempergunakan ilmu silatmu untuk kebajikan, hanya orang bodoh yang akan mengatakan bahwa kau berilmu sesat. Ah maaf, agaknya aku terla-lu. .."

   "Aku paham,"

   Tukas Endang Cantikawerdi.

   "Dan, sebenarnya selama ini aku sendiri bingung me-mikirkan nasibku. Bagaimana aku bisa sampai tidak menyadari telah berguru kepada tokoh sesat? Tetapi, mana mungkin aku melupakan begitu saja ilmu si-latku sedangkan aku merasakan kehebatan ilmu si-latku? Pemikiran seperti ini yang membuatku tak mempunyai keberanian untuk pulang menghadap ke-dua orang tua-ku...

   "

   "Jadi?"

   Tukas Joko Sungsang kaget.

   "Maksud-mu, kau takut jika kedua orang tuamu...?"

   "Ya."

   Endang Cantikawerdi menyahut sigap.

   "Kalau memang benar guruku dikenal orang banyak sebagai orang sesat, sudah sepantasnya kedua orang tuaku pun akan menuduhku berilmu sesat."

   "Kau menjadi murid Cekel Janaloka tanpa se-pengetahuan orang tuamu? Maksudku, tanpa izin me-reka?" 'Justru merekalah yang menyerahkan aku ke-pada guruku. Tetapi, aku percaya mereka tidak tahu bahwa orang sakti yang telah menyelamatkan kami se-keluarga waktu itu ternyata orang sesat."

   "Aku percaya, kedua orang tuamu bisa memak-lumi. Malahan, bukan tidak mungkin mereka hanya bisa menyalahkan diri mereka sendiri. Tetapi, tentunya bukan itu yang kita harapkan."

   "Lalu, apa yang bisa aku lakukan?"

   Tanya En-dang Cantikawerdi semakin terbuka. Meski ia baru beberapa hari mengenal Pendekar Perisai Naga ini, ia merasa tak perlu lagi menyembunyikan sesuatu di hada-pan anak muda ini.

   "Apa yang bisa kau lakukan? Temui kedua orang tuamu, buktikan kepada mereka bahwa ilmu si-latmu hanya akan kau pergunakan untuk berbuat ke-bajikan,"

   Jawab Joko Sungsang.

   Endang Cantikawerdi tak ragu lagi untuk me-nentukan langkahnya.

   Lima tahun ia memendam ke-rinduan.

   Lima tahun lebih ia tidak melihat bagaimana ujud kedua orang tuanya.

   Selama ini, ia hanya men-dengar kabar tentang kesehatan ayah ibunya dari mu-lut Cekel Janaloka.

   "Kita masih bisa bertemu lagi, Joko Sungsang?"

   Kata Endang Cantikawerdi sambil bersiap-siap me-ninggalkan pinggiran kali itu.

   "Pasti! Kita mempunyai tugas yang sama, Can-tikawerdi. Bertahun-tahun kita digembleng oleh guru kita hanya karena kita diharapkan bisa menjadi pelin-dung bagi mereka yang lemah. Kita pasti bertemu lagi, dan bukan sebagai lawan!"

   "Kau sendiri hendak ke mana, Joko?"

   "Aku harus kembali dulu ke Karang Bolong. Ba-ru saja aku mendapat kabar bahwa Sekar Arum dis-elamatkan oleh seseorang...."

   "Gadis temanmu itu?"

   Tukas Endang-Cantikawerdi dengan harapan akan mendapatkan pen-jelasan, siapakah gadis itu sebenarnya bagi Pendekar Perisai Naga.

   "Sekar Arum adalah adik seperguruanku. Se-benarnya ia lebih dulu berguru kepada Ki Sempani, tetapi sifat keras kepalanya menghambat kemajuannya belajar ilmu silat. Aku yang memintakan maaf jika kau merasa sakit hati melihat ulahnya.

   "

   "Kau merasa pasti yang menyelamatkannya itu guru kalian?"

   "Itulah yang ingin aku pastikan. Kalau memang benar Ki Sempani yang menyelamatkannya, berarti se-karang juga Sekar Arum sudah berada kembali di Pa-depokan Karang Bolong."

   "Aku berharap, memang begitulah yang terjadi."

   "Kita saling berharap, saling memohon agar Gusti Yang Maha asih senantiasa melindungi orang-orang yang kita cintai."

   "Dan, aku selalu berharap bahwa kita akan ber-temu lagi."

   "Begitu pula aku."

   Dengan berat hati, Endang Cantikawerdi me-langkahkan kaki meninggalkan anak muda yang dika-gumi-nya itu. Dan, dalam perjalanan menuju Desa Ka-rangreja, ia mulai berandai-andai.

   "Ya, andaikata saja aku diperbolehkan mempelajari ilmu silat Pendekar Perisai Naga, aku akan tinggalkan ilmu silat yang kudapatkan dari Perguruan Gunung Sumbing!" *** Rasa lega menyejukkan hati Joko Sungsang. Lega bahwa ia telah berhasil menasehati Endang Can-tikawerdi yang hampir saja terperosok ke dunia orang-orang sesat. Melangkahkan kaki pun rasanya ringan sekali. Tak ada lagi jalan simpang yang menghadang-nya. Tak perlu bingung lagi ke mana ia harus melangkahkan kakinya. Ke mana lagi kalau bukan ke Pade-pokan Karang Bolong! Namun, baru beberapa tombak ia melangkah, tiba-tiba ada angin kencang menerpanya. Ini jelas bukan angin yang ditimbulkan oleh perjalanan alam se-mesta. Ini pastilah angin yang keluar dari tubuh seseorang untuk mencelakakannya. Maka secepat kilat Joko Sungsang mengurai Perisai Naga dari pinggangnya, melecutkan cambuk itu ke sebuah dahan besar, dan tubuhnya pun bergelayutan sambil berpegangan pada gagang Perisai Naga.

   "Ha ha ha! Rupanya yang kucari selama ini ha-nyalah anak bau kencur!"

   Ujar Ki Danyang Bagaspati sambil melompat keluar dari persembunyiannya.

   "Kau, Ki Danyang Bagaspati! Tidak kuduga orang dari Gunung Merapi hanya pandai membokong!"

   Joko Sungsang melayang turun, dan mendarat persis di hadapan Ki Danyang Bagaspati.

   "Hanya berani membokong? Ha ha ha! Kalau memang aku berniat membokongmu, sejak kau duduk berdua dengan gadismu tadi, pendekar ingusan!"

   "Bagaspati, kau bilang mencariku? Apa kau ti-dak salah ucap?"

   "Salah ucap? Ho ho! Aku memang sudah tua, tetapi ingatanku lebih baik daripada ingatanmu, Anak Muda! Kau agaknya sudah lupa dengan peristiwa di halaman Kademangan Sanareja malam itu? Nah, se-dangkan aku yang sudah tua masih ingat! Bagaimana mungkin kau mengatakan aku salah ucap?"

   "Karena aku membunuh Demang Kerpa? Kalau begitu, kaulah yang memesan kain kafan itu!"

   "Bagus! Dan, karena kau sudah mengerti pe-nyebab kenapa aku mesti mencarimu, bersiaplah un-tuk menebus dosa-dosamu, Pendekar Perisai Naga!"

   "Sebelum aku atau kau yang mati, akan sedikit mengurangi dosa-dosamu jika kau mau mengatakan di mana sekarang gadis bertombak pendek yang kau te-mui di Desa Gedong Tenge itu, Bagaspati! "

   Tiba-tiba Joko Sungsang ingat cerita tentang perkelahian antara Sekat Arum dengan orang sesat dari Gunung Merapi ini.

   "Ada sangkut paut apa kau dengan gadis itu? Kau pikir kau terlalu gagah untuk dicintai gadis-gadis cantik?" 'Dia adik seperguruanku, Bagaspati!"

   "Ho ho! Jadi, benar kau berguru kepada kepit-ing pantai itu?"

   Tukas Ki Danyang Bagaspati dengan mata berbinar-binar.

   "Jangan gegabah memberikan julukan buat gu-ruku, Bagaspati! Langkahi dulu mayatku sebelum kau sebut-sebut nama guruku! "Baiklah! Sebelum ku langkahi mayatmu, me-mang ada baiknya kau tahu bahwa gadis bertombak pendek itu telah diselamatkan gurumu. Tetapi, sebe-lum malam nanti, mereka pun akan mengalami nasib yang sama denganmu..."

   "Lancang mulut!"

   Sergah Joko Sungsang sambil melecutkan Perisai Naga ke mulut Ki Danyang Bagas-pati.

   Brettt! Begitu cepat Ki Danyang Bagaspati menyambar kain kafan yang mengikat kepalanya dan memben-tangkan gulungan kain itu untuk menangkis ujung Pe-risai Naga.

   'Tariklah cambuk mu, dan jika aku maju se-langkah saja, artinya kau bisa mengalahkanku, Anak Muda!"

   Tantang Ki Danyang Bagaspati sambil menahan lilitan Perisai Naga pada kain kafannya.

   Joko Sungsang mengerahkan tenaga dalamnya untuk melawan tenaga dalam lawan.

   yang dialirkan lewat kain kafannya.

   Kemudian ia mencoba menghen-takkan Perisai Naga, tetapi tubuh orang tua dari Gunung Merapi itu sama sekali tidak bergeming.

   "Ha ha ha! Nama besar Pendekar Perisai Naga ternyata hanya digembar-gemborkan oleh orang-orang tolol! Omong kosong mereka!"

   Ejek Ki Danyang Bagas-pati.

   Kesempatan inilah yang memang ditunggu-tunggu Joko Sungsang.

   Pada saat la wan berbicara, ia melihat pertahanan lawan sedikit kendur Maka ia menjejakkan kedua kakinya ke tanah, dan sambil menghentakkan Perisai Naga nya, ia bersalto ke udara.

   Sewaktu turun, kedua tumitnya menerjang sepasang bahu ki Danyang Bagaspati.

   "Haladalah!"

   Dengus Ki Danyang Bagaspati sambil menjatuhkan tubuhnya ke tanah.

   Terpaksa ia melepaskan sebelah ujung kain kafannya agar bisa membebaskan diri dari terjangan tumit lawan.

   Begitu kedua tumitnya menyentuh tanah, Joko Sung-sang kembali melentingkan tubuh ke udara.

   Se-bab kain kafan di tangan Ki Danyang Bagaspati telah siap menyambar kedua lututnya! Sambil melompat, dia pun melontarkan Perisai Naga-nya! "Ha ha ha! Lumayan juga ilmu silatmu, Anak Muda! Rasanya aku boleh percaya bahwa kaulah yang merobohkan Demit Hutan Ketapang itu! Kalau benar begitu, artinya dosamu tambah satu lagi! Kau telah merebut calon korban Selendang Mayatku!"

   "Tak akan ada dosa bagi pembunuh iblis pe-nyebar maut macam kau, Bagaspati!"

   Sahut Joko Sungsang.

   "Terimalah pahala dariku kalau memang paha-la yang kau harapkan, pendekar ingusan bau kencur!"

   Ujar Ki Danyang Bagaspati sebelum memilin-milin kain kafannya, dan kemudian menyabetkannya ke kepala Joko Sungsang.

   Joko Sungsang merunduk sembari merentang-kan Perisai Naga-nya di atas kepala.

   Maka ketika kain ka~ fan itu berubah haluan, menghantam ke arah bawah, kembali dua senjata itu bertemu.

   Hanya saja, kali ini Perisai Naga lah yang terbelit kain kafan itu.

   Namun, sebelum Ki Danyang Bagaspati me-nyentakkan kain kafannya, Joko Sungsang telah men-dahului membabat sepasang kaki keriput itu dengan balingan kaki kanannya.

   Desss! Bukkk! Tubuh Ki Danyang Bagaspati terbanting ke ta-nah.

   Namun, bak seekor belalang, orang tua kurus kering itu melenting dan kembali berdiri di atas kuda-kuda kakinya.

   "Jahanam keparat! Jangan berpikir kau akan bisa menyentuh kulitku lagi, anak setan!"

   Maki Ki Danyang Bagaspati seraya memutar senjatanya di samp-ing badannya.

   Inilah jurus 'Selendang Mayat Penyapu Awan"yang diandaikan orang sesat dari Gunung Merapi itu.

   Dari mendengarkan suara berciutan yang di-timbulkan kain kafan itu, tahulah Joko Sungsang bahwa lawannya telah melancarkan jurus andalannya.

   Maka segera ia mengerahkan tenaga dalamnya untuk meredam suara aneh yang menyerang telinganya.

   la yakin, suara itu akan mampu merobohkan lawan yang hanya mengandalkan kekuatan jasmani.

   Orang-orang dari golongan hitam memang berusaha menempuh se-gala -cara untuk bisa secepatnya membunuh lawan.

   "Hiyaaat!"

   Sambil berteriak lantang, Ki Danyang Bagaspati menyabetkan kain kafannya dengan dah-syat-nya.

   Sabetan yang membentuk angka delapan ini memaksa Joko Sungsang harus membuang tubuhnya ke belakang, dan kemudian berjumpalitan ke udara untuk balas menyerang.

   Namun, sewaktu ia mele-cutkan Perisai Naga ke arah kepala lawan, dengan ce-katan orang sesat dari Gunung Merapi itu memben-tangkan kain kafannya di atas kepala.

   Untuk yang kesekian kalinya ujung Perisai Naga terkait senjata lawan.

   Joko Sungsang mengerahkan tenaga dalamnya untuk membebaskan Perisai Naga dari belitan kain kafan itu.

   Sambil menghentakkan Perisai Naga, ia mem-buang tubuhnya ke bawah dan mengirimkan tendan-gan ke betis lawan.

   Wusss! Ki Danyang Bagaspati rupanya telah membaca gerakan lawan.

   Oleh sebab itu, begitu Joko Sungsang menghentakkan cambuknya, Ki Danyang Bagaspati menggenjot tanah sembari mengirimkan angin dari telapak tangannya.

   Hampir saja tubuh Joko Sungsang terbentur batu cadas kalau tidak secepatnya ia menghancurkan batu cadas itu dengan bola berduri di ujung cambuk-nya.

   Begitu deras dorongan angin dari telapak tangan lawan sebab masih ditambah lagi dengan tenaga luncuran tendangan Joko Sungsang sendiri.

   Melihat batu cadas sebesar tubuh kerbau itu hancur lebur, tersirap darah Ki Danyang Bagaspati.

   Sungguh-sungguh ia tidak mengira bahwa bola berduri sebesar buah kecubung itu ternyata mampu melebur batu cadas sebesar itu.

   Namun demikian, ia tak mau lagi memberikan kesempatan kepada lawan untuk ber-siap diri.

   Oleh karenanya, secepatnya pula ia menye-rimpung kaki Joko Sungsang dengan kain kafannya begitu kaki anak muda itu menyentuh tanah.

   Akan tetapi, pada saat yang sama cambuk d tangan Joko Sungsang berputar memagari kedua ka-kinya.

   Srettt! Krekkk! Kali ini perhitungan Joko Sungsang tidak mele-set lagi.

   Bola berduri di ujung cambuknya bertemu dengan kain kafan itu.

   Tak pernah terbayangkan oleh Ki Danyang Bagaspati bahwa bola berduri itu berhasil merobek kain kafannya.

   "Jahanam busuk! Kau robekkan kain kafan-ku?"

   Dengus Ki Danyang Bagaspati setelah bersalto ke belakang untuk mengambil jarak.

   "Bukankah kain itu memang sudah rapuh dari sananya, Bagaspati?"

   Ejek Joko Sungsang.

   "Jangan besar kepala, anak setan! Sekalipun kau bisa membelah kain kafanku ini, tetap saja aku bakal bisa memecahkan batok kepalamu!"

   Ki Danyang Bagaspati menarik kain selempang di dadanya dan menjadikannya sebagai senjata pengganti kain ikat kepalanya yang robek.

   Serangan tokoh hitam dari Gunung Merapi itu semakin ganas mengurung Joko Sungsang.

   Panjang kain selempang itu dua kali lipat panjang kain kafan yang mengikat kepala.

   Sudah barang pasti angin yang ditimbulkannya pun lebih kencang dibandingkan angin yang menyembur dari ikat kepala itu.

   Tak pelak lagi, Joko Sungsang semakin kehi-langan ruang untuk menghindar.

   Ke mana pun ia me-lompat, ke situlah kain kafan itu memburunya.

   Berka-li-kali ia terpaksa bersalto ke belakang untuk menghindari ganasnya terjangan senjata lawan.

   Melihat lawan berkali-kali surut ke belakang inilah Ki Danyang Bagaspati merasa dirinya berada di atas angin.

   Terlebih lagi ketika ia berhasil menggiring Joko Sungsang ke tebing kali yang curam.

   "Sekaranglah ajalmu tiba, pendekar bau ken-cur!"

   Ujar Ki Danyang Bagaspati yang mengira lawan tidak mungkin lagi menghindar mundur.

   Sebenarnya tak ada masalah bagi Joko Sung-sang menghadapi kecuraman tebing kali itu.

   Diban-dingkan dengan kedalaman Jurang Jero, jelas tak ada seperlimanya.

   Namun, ia tidak ingin meninggalkan lawannya.

   Untuk itulah ia harus menepis serangan la-wan yang mengurungnya.

   Maka tak ada jalan lain ba-ginya kecuali mengeluarkan ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan'.

   Sambil melecutkan Perisai Naga nya, tumit Joko Sungsang melabrak perut Ki Danyang Ba-gaspati.

   Brettt! Desss! Tubuh Ki Danyang Bagaspati terpelanting bebe-rapa tombak ke belakang dan kemudian terbanting ke tanah.

   Perut orang sesat dari Gunung Merapi ini menjadi sasaran empuk tumit Joko Sungsang, sebab tan-gan kiri yang semestinya melindungi perut itu terpaksa memegangi ujung kain kafan yang lain, untuk menahan lecutan Perisai Naga.

   Ki Danyang Bagaspati tertatih-tatih bangun se-belum memuntahkan darah segar dari mulutnya.

   Na-mun begitu, tangan kanannya masih mampu memutar kain kafannya untuk melindungi tubuhnya dari anca-man bola berduri yang mematuk dari segala arah.

   Bahkan tangan kiri orang tua itu masih sempat mene-barkan kerikil beracun.

   Sring! Sring! Sring! Melihat gerakan tangan kiri Ki Danyang Bagas-pati, Joko Sungsang secepatnya memagari tubuhnya dengan putaran Perisai Naga-nya.

   Sejak semula ia memang sudah menebak bahwa di balik kain batik kawung itu tersimpan senjata rahasia.

   Inilah kerikil beracun yang berasal dari Kepundan Gunung Merapi! Dan, luncuran senjata rahasia ini tentu saja lebih ganas jika dibandingkan dengan luncuran senjata raha-sia dari tangan Ki Demang Kerpa.

   Diam-diam Joko Sungsang kagum melihat daya tahan Ki Danyang Bagaspati ini.

   Meski perutnya telah terkena tendangan yang dialiri ilmu 'Pukulan Ombak Laut Selatan', tetap saja ia masih mampu bertahan.

   'Tendanganmu memang menghancurkan isi pe-rutku, Anak Muda! Tetapi, aku belum mau mati sebe-lum ku gantung lehermu dengan kain kafanku ini!"

   Ujar Ki Danyang Bagaspati sebelum menyerang mem-babi buta.

   Dan, hampir saja kain kafan itu berhasil melilit leher Joko Sungsang kalau saja gagang Perisai Naga tidak menghalanginya.

   Ketika kain kafan itu membelit gagang Perisai Naga, saat itulah Joko Sungsang menyambitkan bola berduri di ujung Perisai Naga-nya ke pelipis lawan.

   Meski Ki Danyang Bagaspati berhasil menghindari bola berduri itu, di luar dugaan tendangan kaki kanan Joko Sungsang kembali bersarang di perutnya.

   Sambitan bola berduri tadi memang hanya sebagai tipuan agar Ki Danyang Bagaspati lengah melindungi perutnya.

   Tghhh!"

   Ki Danyang Bagaspati melepaskan pegangan pada kain kafannya.

   Ia surut beberapa langkah ke belakang sambil mendekap perutnya dengan tangan ka-nannya.

   Sementara itu, tangan kirinya kembali meng-genggam kerikil beracun dan siap disambitkan.

   Na-mun, dengan kecepatan yang sulit diikuti mata, Perisai Naga meledak dan melilit leher orang sesat dari Gunung Merapi itu.

   Srettt! Darah menyembur dari leher Ki Danyang Ba-gaspati bersamaan dengan terjerembabnya tubuh ku-rus kering itu ke tanah.

   Duri-duri pada bola yang menghiasi ujung Perisai Naga memotong urat-urat leh-er yang menyangga kepala Ki Danyang Bagaspati.

   "Anggap saja ini semua Balasan dari Sekar Arum penghinaanmu di Desa Gedong Tengen, Bagas-pati!"

   Kata Joko Sungsang sambil menyimpan kembali Perisai Naganya di pinggang.

   Ketika Ki Danyang Bagaspati tengah sekarat meregang maut, Joko Sungsang telah pergi meninggal-kannya.

   Dia kembali melanjutkan pengembaraannya.

   Melanjutkan tugas kependekarannya yang dinanti-nanti oleh rakyat banyak.

   SELESAI Scan/E-Book.

   Abu Keisel Juru Edit.

   Avicke
https.//www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-Keisel/511652568860978

   

   

   

Pendekar Cambuk Naga Gerhana Tebing Neraka Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja Pendekar Cambuk Naga Pedang Semerah Darah

Cari Blog Ini