Ceritasilat Novel Online

Algojo Gunung Sutra 2


Pendekar Naga Putih Algojo Gunung Sutra Bagian 2



Memasuki jurus kedua puluh, kembali terdengar jeritan dua orang pengikut Ular Muka Kuning yang melengking.

   Tubuh mereka terpental, dengan luka menganga di perut dan lehernya.

   Jelas itu akibat tebasan ilmu 'Tangan Pedang' yang dimiliki Ki Surya Kencana.

   Maka, seketika kepungan lawan-lawannya agak mengendor.

   Rupanya mereka agak gentar juga melihat kelihaian laki-laki tua itu.

   Secara serentak mereka pun melompat mundur sambil mempersiapkan serangan berikut.

   Untuk beberapa saat Ki Surya Kencana dapat bemapas lega.

   Namun tiba-tiba, tubuh orang tua itu bergoyang-goyang.

   Ternyata dari tangannya yang telah buntung itu, darah kembali mengalir deras.

   Rupanya totokan pada pangkal lengannya sudah terbuka, akibat terlalu banyak bergerak dan mengerahkan tenaga dalam secara berlebihan.

   Sehingga, keadaan orang tua itu semakin melemah.

   "He he he.... Rupanya malaikat maut sudah tidak sabar menunggumu, tua bangka!"

   Ejek Ular Muka Kuning. Rupanya dia telah membaca keadaan lawannya.

   "Ayo, anak-anak! Kuras tenaga Orang Tua itu!"

   Setelah berkata demikian Ular Muka Kuning kembali menerjang lawan, diikuti sisa para pengikutnya.

   Maka pertarungan pun kembali berjalan sengit.

   Kali ini Ki Surya Kencana benar-benar dibuat tidak berdaya.

   Setiap kali dia membalas serangan salah seorang lawan, namun Ular Muka Kuning selalu membokongnya dengan serangan dahsyat Hal ini membuat Ki Surya Kencana semakin marah dan penasaran.

   Menginjak jurus keempat puluh tiga, gerakan Ki Surya Kencana sudah tidak lincah lagi.

   Darah semakin banyak keluar dari lukanya.

   Akibatnya, gerakannya pun kembali teriihat semakin lambat.

   Peluh telah membanjiri wajah dan tubuhnya.

   Kelelahan yang sangat terpancar di wajah tua itu.

   Namun meskipun demikian, dia masih berusaha untuk membunuh lawan sebanyak-banyaknya.

   Suatu kesempatan, Ular Muka Kurang menusukkan goloknya yang cepat bagai kilat ke arah lambung lawan.

   Angin sambaran goloknya berdesing tajam.

   Jelas, betapa kuatnya tenaga yang terkandung dalam serangan itu.

   Wuuuttt! Ki Surya Kencana bergegas menggeser kedua kakinya hingga serangan itu luput.

   Dan ketika golok itu meliuk dengan gerakan lemas, Ki Surya Kencana cepat-cepat memapak ke arah pergelangan lawan.

   Namun hatinya jadi kaget.

   Ternyata tiba-tiba Ular Muka Kuning menarik pulang tangannya sambil melepaskan tendangan kilat ke lambung Ki Surya Kencana.

   Orang tua itu berusaha memutar tubuh dan meng-gerakkan tangan menangkis tendangan lawan.

   Namun, sayang.

   Gerakannya sudah terlambat.

   Maka....

   Buuukkk! "Ouuuggghhh...!"

   Lenguh Ki Surya Kencana.

   Tubuh laki-laki tua itu terjengkang ketika tendangan lawan mendarat telak di lambung kiri.

   Untuk sejenak dirasakan keadaan sekitarnya bergoyang-goyang.

   Ki Surya Kencana mendesis pelahan sambil mendekap lambungnya yang terasa nyeri dan ngilu.

   Untuk beberapa saat, hatinya merasa menyesal karena kehilangan tangan kiri.

   Kalau saja tidak kehilangan sebelah tangan tentu hal seperti ini tidak akan terjadi.

   Ular Muka Kuning segera berteriak kepada anak buahnya untuk menyerbu Ki Surya Kencana yang telah terluka itu.

   Beberapa batang senjata langsung meluncur, mengancam tubuhnya.

   Dengan tangan masih menekap lambung, orang tua itu berusaha berkelit.

   Namun gerakannya yang lambat itu, sudah diduga Ular Muka Kuning.

   Maka dia segera menyambutnya dengan tebasan ke leher.

   Gerakannya cepat bukan main.

   Ki Surya Kencana melempar tubuhnya ke belakang untuk menghindari serangan lawan.

   Tapi sungguh tidak diduga kalau empat orang pengikut Ular Muka Kuning sudah menunggu dengan ujung ujung senjatanya.

   Laki-laki tua itu berusaha memutar tubuh sambil menusukkan tangannya.

   Cappp! Brertt! Crakkk! "Aaahhhkkk...!"

   "Uhhhkkk...!"

   Terdengar teriakan kesakitan dari seorang lawan.

   Tubuhnya terpelanting dan tewas dengan leher berlubang.

   Sedangkan tubuh Ki Surya Kencana melintir tersambar tiga buah senjata lawan.

   Orang tua itu jatuh terduduk, dan wajahnya langsung berubah pucat.

   Darah mengalir dari luka di dada dan punggungnya akibat sambaran pedang lawan.

   "Ohhh Rupanya ajalku sudah hampir tiba. Sayang, belum sempat kulaporkan keberhasilan tugasku, kepada Kakang Sukma Kelana,"

   Desah Ki Surya Kencana dengan wajah murung.

   Dengan susah payah, laki-laki tua itu berusaha bangkit berdiri.

   Pakaiannya yang berwarna putih itu, sudah dibasahi darah yang bercampur peluh.

   Keadaannya saat itu benar-benar menyedihkan.

   Namun, meskipun telah mendapat luka yang cukup parah, orang tua itu tidak ingin mati sia-sia.

   "Hm. Sebelum ajal tiba, aku harus dapat membunuh mereka sebanyak-banyaknya!"

   Tekad Ki Surya Kencana geram.

   "He he he, peot! Sekarang, terimalah kematianmu!"

   Ejek Ular Muka Kuning sambil tertawa terkekeh berkepanjangan.

   Setelah berkata demikian Ular Muka Kuning segera menggerakkan tangan memberi isyarat kepada enam orang anak buahnya.

   Maka tanpa buang-buang waktu lagi mereka serempak berlompatan sambil membabatkan senjata ke tubuh lawan yang sudah hampir tidak berdaya itu.

   Enam buah senjata itu berkelebat sehingga menimbulkan suara berdesing.

   Tubuh Ki Surya Kencana bergeser ke kanan, mencoba menghindari serangan enam buah senjata lawan.

   Dan langsung digerakkan tangannya ke punggung lawan terdekat.

   Tak ayal lagi orang itu terhantam kibasan tangan laki-laki tua itu.

   Tubuhnya terjungkal dengan luka memanjang di punggung.

   "Bangsat! Rupanya setan tua ini masih berbahaya juga!"

   Umpat Ular Muka Kuning dengan wajah merah padam.

   Dan dengan kemarahan yang meluap-luap dia segera melesat, menyerang dahsyat.

   Golok besarnya diputar sedemikian rupa hingga menimbulkan suara mengaung.

   Bagai ribuan ekor lebah yang sedang marah saja layaknya.

   Ki Surya Kencana yang menyadari bahaya itu, berlompatan menghindari serangan dahsyat Ular Muka Kuning.

   Gerakan kakinya terlihat goyah, ketika mela-kukan lompatan-lompatan.

   Dengan pengerahan sisa-sisa tenaga, sesekali Ki Surya Kencana melepaskan serangan disertai ilmu 'Tangan Pedang'.

   Hanya saja sekarang tidak lagi seampuh semula, tapi cukup kuat untuk melukai kulit tubuh lawan.

   Sayang sekali perlawanan Ki Surya Kencana tidak banyak membantu untuk menghadapi serangan-serangan ganas Ular Muka Kuning.

   Sehingga dalam beberapa jurus saja, Ki Surya Kencana sudah tidak dapat lagi memberi perlawanan berarti.

   Secara lambat tapi meyakinkan, Ular Muka Kuning mulai mendesak lawan disertai serangan yang mematikan.

   Ki Surya Kencana kini hanya mampu menghindar sambil bermain mundur.

   Sehingga ketika Ular Muka Kuning melakukan serangan ganda, Ki Surya Kencana tidak mampu berbuat apa-apa lagi.

   Walaupun berusaha mengangkat tangannya untuk memapak, tapi gedoran telapak tangan lawan tetap saja lolos dan menghantam dada sebelah kiri.

   Dheeesss! Seketika Ki Surya Kencana terpelanting keras! Segumpal darah segar kontan menyembur dari mulutnya.

   Hantaman telapak tangan lawan memang benar-benar kuat.

   Laki-laki tua itu berusaha melompat bangkit, sambil menekap dadanya yang terasa panas dan sesak.

   Belum lagi tubuhnya sempat berdiri tegak, beberapa sosok bayangan berkelebat disertai suara desingan senjata.

   Crasss! Brettt! Crattt! "Aaarrrggghhh...!"

   Jerit Ki Surya Kencana.

   Tubuh orang tua itu telah tertembus beberapa batang senjata.

   Darah kontan berhamburan dari luka-luka akibat tertembus senjata-senjata lawan.

   Tubuh Ki Surya Kencana terdorong dan terhuyung-huyung, seperti tak kuat lagi berdiri.

   Dan sebelum tubuhnya ambruk ke tanah, sebuah bayangan berkelebat cepat sambil menggerakkan senjata secara mendatar ke leher Ki Surya Kencana.

   Siiinnng! Croookkk! Dengan ganas golok besar bergerigi itu menebas putus leher Ki Surya Kencana.

   Darah segar kembali memancur dari luka di leher laki-laki tua yang telah buntung.

   Dan golok besar itu kembali berkelebat menembus ulu hati tubuh yang sudah tak berkepala itu.

   Seketika tubuh Ki Surya Kencana yang tanpa kepala itu ambruk ke tanah berumput hijau yang langsung berubah memerah oleh darah.

   Laki-laki tua tokoh sakti dari Perguruan Gunung Salaka kini tewas dalam keadaan sangat menyedihkan! Tubuhnya sudah hampir tidak berbentuk lagi.

   Di sana-sini terdapat bekas-bekas senjata tajam.

   "Ha ha ha.... Orang-orang Gunung Salaka memang terlalu sombong! Kalian lihat nanti. Kami akan datang dengan membawa bencana! Ha ha ha...!"

   Ular Muka Kuning tertawa terbahak-bahak.

   Hati orang berwajah kuning itu gembira bukan main, karena telah berhasil membunuh salah seorang tokoh utama perguruan yang sangat dibencinya itu.

   Memang,t itu sudah menjadi sifat tokoh golongan hitam yang selalu menganggap golongan putih sebagai manusia sombong.

   Bagi mereka, golongan putih adalah ancaman yang harus dimusnahkan.

   Setelah puas dengan tawanya, Ular Muka Kuning dan delapan orang sisa anak buahnya bergegas meninggalkan tempat itu sambil memperdengarkan suara lawa yang berkumandang ke sekitarnya.

   Suasana ditempat itu kembali sepi, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

   Sinar mentari yang semula memancar garang, mendadak meredup.

   Seolah-olah turut berkabung atas kematian Ki Surya Kencana di tangan orang-orang yang berjiwa binatang.

   Tiupan angin lembut telah merontokkan sehelai daun pohon yang menguning.

   Daun itu melayang-layang dan jatuh ke permuka bumi.

   * * * Hari baru menjelang sore.

   Dua orang laki-laki berjalan menyusuri jalan utama Desa Cikunir.

   Mereka adalah Santiaji dan Ranjita, dua orang tokoh tjngkat empat Perguruan Gunung Salaka.

   Keduanya memang tengah melakukan penyelidikan tentang kematian murid-murid Gunung Salaka yang misterius.

   Mereka baru saja meninggalkan rumah Kepala Desa Cikunir, untuk mencari keterangan tentang si pelaku.

   Menurut keterangan yang didapat dari warga dan kepala desa setempat, memang pernah terjadi bentrokan antara dua perguruan pada dua minggu yang lalu.

   Tapi kedua perguruan itu hanya bertengkar mulut dan tidak menjurus pada perkelahian.

   Apalagi sampai menimbulkan korban jiwa.

   Seorang pemilik kedai yang tempatnya dijadikan arena pertengkaran mulut mengatakan, bahwa mungkin saja kedua belah pihak mengadakan perjanjian untuk bertemu di luar desa.

   Di sana mereka kemudian bertempur tanpa sepengetahuan penduduk desa.

   Dan dugaan itu bisa diterima Santiaji maupun Ranjita, tapi bukan berarti harus mempercayainya.

   Mereka harus menyelidiki kebenarannya terlebih dahulu, setelah ilu barulah berani memastikan.

   Memang sebagaimana pesan guru, mereka harus berhati-hati dalam mengambil tindakan agar tidak sampai menimbulkan persoalan baru lagi.

   Kedua orang itu kini melangkah tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

   Pikiran Santiaji maupun Ranjita masih dipenuhi pertanyaan yang sulit terjawab.

   "Hhh...!"

   Ranjita menghela napas yang berat memecah kesunyian di antara mereka. Wajahnya terlihat murung karena sampai sejauh ini belum juga mendapat tanda-tanda yang berarti sebagai pegangan.

   "Yahhh...! Persoalan ini memang masih gelap. Bagaimana kalau kita kembali, dan melaporkan kepada Guru?"

   Usul Santiaji sambil menoleh kepada saudara seperguruannya. Tatapan matanya seperti menunggu tanggapan.

   "Tidak, Santiaji! Kita sudah bertekad untuk tidak kembali keperguruan sebelum menemukan jawaban dari semua peristiwa yang menimpa perguruan kita. Tapi kalau kau ingin kembali, silakan. Biar aku sendiri yang meneruskan penyelidikan ini,"

   Tegas Ranjita tanpa menolehkan kepalanya kepada Santiaji.

   Santiaji tidak langsung menanggapi penegasan Ranjita tadi.

   Dialihkan pandang matanya ke depan dengan helaan napas berat.

   Murid tingkat empat Perguruan Gunung Salaka itu berusaha memahami perasaan saudara seperguruannya itu.

   Seperti halnya Ranjita, Santiaji pun sebenarnya mempunyai pikiran sama.

   Rasanya memang malu kembali keperguruan tanpa hasil sedikit pun.

   "Sebenarnya aku pun mempunyai pikiran yang sama denganmu, Ranjita! Aku juga merasa malu untuk menghadap Guru dengan tangan hampa. Apa kata Guru nanti?"

   Ungkap Santiaji tanpa semangat. Saat itu pikirannya benar buntu. Dia tidak tahu lagi, ke mana harus mencari keterangan sesudah ke Desa Cikunir.

   "Hmm. Bagaimana kalau kita mendatangi Gunung Sutra, dan menanyakannya langsung kepada Ki Ageng Pandira yang menjadi ketua perguruan itu?"

   Usul Ranjita tiba-tiba yang langsung membuyarkan lamunan Santiaji.

   "Hei, jangan Ranjita! Tanpa persetujuan Guru, aku tidak berani untuk berkunjung ke sana. Bisa-bisa kedatangan kita ke sana hanya akan memperuncing keadaan saja. Masalahnya, sama sekali kita belum tahu, apakah dipihak mereka juga telah timbul korban atau tidak? Nah! Seandainya di sana juga terjadi korban, bukankah kedatangan kita hanya akan membangkitkan kemarahan di hati mereka,"

   Tegas Santiaji.

   Laki-laki setingkat dengan Ranjita ini memang memiliki pandangan lebih luas daripada Ranjita.

   Demikian pula dalam menghadapi persoalan yang sangat rumit dan peka ini.

   Dia lebih mengandalkan otak daripada amarah.

   Oleh karena itu, mengapa Ki Sukma Kelana menugaskan Santiaji dalam menyelidiki persoalan itu.

   Orang tua itu percaya akan kebijaksanaan muridnya dalam menghadapi setiap persoalan.

   "Lalu, Ke mana lagi kita harus mencari keterangan?"

   Tanya Ranjita yang suaranya mengandung rasa penasaran.

   Benar-benar tidak dimengerti jalan pikiran Santiaji, yang menurutnya terlalu lemah dan terlalu banyak perhitungan.

   Bahkan dia sampai mempunyai pikiran kalau Santiaji ini seorang pengecut.

   Dan sengaja menyembunyikan sifat pengecutnya itu dengan berkedok kesabaran, dan kehati-hatian dalam bertindak.

   "Entahlah. Tapi, kurasa tidak ada salahnya kalau mencari keterangan di desa-desa sekitar Gunung Salaka. Siapa tahu di sana dapat menemukan petunjuk yang dapat dipakai sebagai pegangan,"

   Ujar Santiaji penuh harap.

   "Kalau memang sudah menjadi keputusanmuj tunggu apa lagi? Ayo, berangkat!"

   Sahut Ranjita Tidak banyak bicara lagi! "Baiklah. Mari,"

   Sambut Santiaji yang segera bangkit semangatnya.

   Kedua orang tokoh Perguruan Gunung Salaka itupun segera bergegas menuju perbatasan Desa Cikunir.

   Mereka melangkah dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, sehingga dalam waktu yang, tidak begitu lama telah meninggalkan Desa Cikunir.

   Santiaji maupun Ranjita sepakat untuk mengambill arah Selatan terlebih dahulu, sebagai langkah awalj penyelidikan.

   Untuk mempersingkat waktu, keduanya sengaja menempuh jalan pintas yang jarang dilalui orang.

   Sekarang mereka harus menerobos semak belukar dan hutan kecil yang banyak terdapat di daerah itu.

   Kini mereka telah tiba pada sebuah padang rumput yang cukup luas.

   "Setelah melewati padang rumput ini, kita akan menemukan sebuah bukit. Nah! Di balik bukit itu terdapat sebuah perkampungan yang akan menjadi penyelidikan kita,"

   Jelas Santiaji.

   "Berapa lama lagi kira-kira waktu yang diperlukan, untuk mencapai perkampungan itu ?"

   Tanya Ranjita.

   "Kalau melakukan perjalanan biasa, bisa memakan waktu setengah harian. Dan berarti akan tiba di sana setelah hari gelap. Maka untuk mempersingkat waktu kita harus tetap mengerahkan ilmu meringankan tubuh, agar tidak kemalaman di jalan."

   Ranjita mendengarkan sambil manggut-manggut. Tanpa berpikir dua kali, mereka segera melanjutkan perjalanan.

   "Baik, Santiaji. Ayo, nanti kita malah kemalaman!"

   Kata Ranjita dengan wajah berseri-seri.

   *** Di tengah padang rumput yang cukup luas dan sunyi itu, melesat cepat bagaikan kilat dua buah bayangan.

   Kedua bayangan itu sepertinya tengah berlomba menggunakan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki.

   Santiaji maupun Ranjita sama-sama mengerahkan kemampuannya agar tiba lebih dahulu di bukit yang dimaksud.

   Santiaji dan Ranjita terus berlari, sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah hampir mencapai taraf kesempurnaan.

   Keduanya seperti saling mendahului, memang tingkat kepandaian mereka pada dasarnya seimbang.

   Maka tanpa banyak mengalami kesulitan, keduanya tiba di bukit yang dituju secara bersama.

   Plok plok plok! Tiba-tiba terdengar tepukan riuh, yang menyambut kedatangan mereka.

   Keduanya tersentak kaget, dan segera menoleh ke arah asal suara tepukan itu.

   Dan betapa terkejutnya mereka, ketika melihat seorang bertubuh jangkung dan berkumis lebat telah berdiri tidak jauh dari situ.

   Orang itu memandang Santiaji dan Ranjita disertai senyum mengejek.

   "Ha ha ha...! Hebat.,, hebat! Suatu ilmu meringankan tubuh yang mengagumkan. Tapi sayang masih mentah,"

   Ujar orang itu, seperti menghina.

   "Hm, kata-katamu tepat sekali, Kisanak. Sungguh kami bukan bermaksud memamerkan kepandaian yang tidak seberapa ini di hadapanmu. Siapakah, Kisanak ini?"

   Tanya Santiaji sambil membungkuk hormat.

   Wajahnya teriihat tenang, seolah-olah tidak terpengaruh hinaan orang itu.

   Orang bertubuh jangkung dan berkumis lebat itu tertegun sejenak ketika mendengar jawaban Santiaji yang di luar dugaannya.

   Sehingga untuk beberapa saat lamanya, hanya berdiri mematung karena kehilangan kata-kata.

   Tapi hal itu tidaklah berlangsung lama.

   Tiba-tiba saja orang itu sudah mulai membuka mulut lagi.

   "Ha ha ha...! Apakah kalian tidak akan lari terbirit-birit kalau kuperkenalkan nama besarku?"

   Seketika wajah Santiaji dan Ranjita memerah ketika mendengar perkataan yang bernada penghina-an.

   Santiaji segera menyentuh tangan Ranjita yang sudah melangkah maju, sambil mengepalkan tangan.

   Sejenak keduanya saling bertatapan.

   Dan Ranjita segera mengurungkan niatnya ketika Santiaji mengedipkan sebelah matanya sebagai isyarat untuk bersabar.

   "Maafkanlah kami yang tidak mengenai nama besarmu, Kisanak! Maklumlah, kami hanya perantau yang memiliki sedikit bekal untuk menjaga diri. Dan karena takut kemalaman di jalan, maka kami harus mempercepat perjalanan untuk mencari tempat menginap. Dapatkah Kisanak membantu untuk mendapatkan tempat bermalam yang terdekat dari sini?"

   Tanya Santiaji yang masih mencoba untuk menghindari keributan.

   "Tentu saja dapat. Jaraknya dekat sekali!"

   Jawab laki-laki kurus dan berkumis lebat itu, penuh teka-teki. Seringainya semakin melebar, sehingga wajahnya semakin tak sedap dipandang.

   "Oh, benarkah?"

   Di manakah tempat itu, Kisanak tanya Santiaji berwajah cerah. Meskipun sebenarnya merasa curiga, namun pertanyaan itu terlompat begitu saja dari bibir Santiaji.

   "Ha ha ha.... Tentu saja di sini. Memangnya di mana lagi? Tempat ini sangat cocok utuk menginap kalian selama-lamanya! Bahkan tidak akan dipungut uang sewa. Ha ha ha...!"

   Setelah berkata demikian, meledaklah tawa orang berkumis tebal itu.

   "Kurang ajar! Monyet kurus, rupanya kau memang sengaja ingin mencari perkara dengan kami. Baiklah, kalau memang itu yang diingini! Nah, sambutlah seranganku! Hiaaattt...!"

   Begitu ucapannya habis, tubuh Ranjita segera melesat dibarengi teriakan menggeledek.

   Kedua tangan nya bergerak cepat mencari kelemahan-kelemahan di tubuh lawan.

   Rupanya dalam kemarahannya itu Ranjita telah mengeluarkan salah satu ilmu andalannya, 'Menggetar Langit Mengacau Bumi.

   Wuuuttt! Wuuusss! Akibat yang ditimbulkan jurus yang dikeluarkan Ranjita memang begitu dahsyat.

   Angin keras berputar, seolah-olah di tempat itu tengah terjadi topan hebat.

   Sehingga untuk beberapa saat lamanya, tempat itu menjadi gelap tertutup debu-debu yang mengepul keudara.

   Sesaat orang bertubuh jangkung itu dibuat kagum oleh kehebatan ilmu lawannya, namun sesaat kemudian senyum mengejek menghias wajahnya.

   Tiba-tiba dengan gerakan gesit, orang bertubuh jangkung itu segera menyelinap di antara sambaran-sambaran tangan Ranjita.

   Gerakannya hebat sekali, seolah-olah yang terlihat hanya bayangan tubuhnya yang berkelebat cepat mengurung Ranjita.

   Sehingga ke mana pun Ranjita bergerak, tubuh jangkung itu selalu membayanginya.

   Dan tentu saja hal ini membuat Ranjita menjadi terkejut.

   Dan diam-diam diakui kehebatan lawannya itu.

   Tiba-tiba saja Ranjita dikejutkan oleh sambaransambaran angin kuat yang ditimbulkan pukulan lawan.

   Rupanya orang bertubuh jangkung itu sudah mulai melepaskan serangan di antara kelebatan tubuhnya.

   Dan secara pelahan-lahan Ranjita mulai terdesak hebat.

   Hingga pada suatu saat, sebuah hantaman telapak tangan lawan tidak dapat lagi dihindari lagi.

   Deeesss! "Aaakh!"

   Terdengar suara keluhan dari mulut Ranjita.

   Pukulan yang mengandung tenaga dalam yang tinggi itu telah mendarat di dada kirinya.

   Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Ranjita terlempar dari arena pertempuran, dan jatuh tepat di hadapan Santiaji.

   Ranjita berusaha bangkit, meski dadanya terasa bagai terbakar.

   Dari sela-sela bibirnya tampak mengalir darah segar.

   Dadanya terasa sesak, dan napasnya tersengal.

   "Kau... kau tidak apa-apa, Ranjita?"

   Tanya Santiaji cemas, sambil berusaha membantu adik seperguruannya bangkit "Uhuk..,, uhuk! Uh! Dia hebat sekali, Santiaji. Pukulannya mengandung hawa panas yang amat kuat! Berhati-hatilah menghadapinya,"

   Ujar Ranjita di antara batuknya.

   Ranjita benar-benar tidak menyangka sama sekali bahwa kepandaian lawannya ternyata demikian hebat.

   Rasanya untuk dapat mengatasi orang itu, dia harus bergabung bersama Santiaji.

   Maka segera dikerahkan hawa murni untuk mengusir hawa panas yang membakar dadanya.

   Sementara itu, Santiaji sudah mulai bersiap untuk menghadapi orang bertubuh jangkung yang sama sekali belum dikenalnya.

   "Kisanak, apa maksudmu mencelakai kami?! Bukankah di antara kita tidak saling mengenai dan tidak memiliki persoalan? Siapakah kau sebenarnya?!"

   Tanya Santiaji. Kemarahan di dadanya mulai memuncak, karena tanpa sebab apa pun orang bertubuh jangkung itu ingin membunuh mereka.

   "Ha ha ha...! Dengarlah, manusia-manusia sombong dari Gunung Salaka! Aku adalah Algojo Gunung Sutra yang akan menuntut balas atas kematian murid-muridku. Nah, bersiaplah menerima hukuman!"

   Bentak orang beriubah jangkung yang temyata berjuluk Algojo Gunung Sutra.

   Suaranya begitu bengis dan berbau hawa maut.

   Santiaji terkejut, sebab orang itu ternyata mengetahui asalnya.

   Tapi yang membuatnya benar-benar terkejut adalah ketika orang bertubuh jangkung itu memperkenalkan diri sebagai Algojo Gunung Sutra.

   Untuk beberapa saat lamanya, Santiaji hanya dapat memandang dengan mulut ternganga.

   Sebab, siapa yang tidak mengenai nama Algojo Gunung Sutra? Meskipun dalam urutan perguruan hanya tergolong tokoh tingkat dua, namun menurut kabar kepandaiannya cukup tinggi.

   Memang Santiaji yang sebelumnya tidak pernah bertemu tokoh itu, tidak segera dapat mengenali.

   Baru setelah orang itu menyebutkan julukannya, ia segera teringat akan ciri-ciri dari tokoh tersebut.

   Setelah mengamati sesaat, barulah dapat dipastikan kalau orang itu benar-benar Algojo Gunung Sutra, atau bernama asli Ki Ageng Sampang.

   Tapi hal itu justru membuat lega hati Santiaji.

   Sebab biar bagaimanapun juga, sebagai tokoh yang kepandaiannya tinggi, Ki Ageng Sampang tentu lebih berpandangan luas dan tak akan turun tangan secara membabi buta.

   "Ah! Maafkan aku, Ki. Benar-benar tidak kusangka kalau sekarang tengah berhadapan dengan Ki Ageng Sampang yang sangat kuhormati. Sekali lagi aku mohon maaf. Dan marilah kita membicarakan masalah yang sedang dihadapi ini, agar semuanya menjadi terang dan jelas,"

   Ujar Santiaji, penuh hormat.

   "Hm..., tidak perlu kau banyak tingkah lagi! Sekarang, kau bersiaplah untuk segera kukirim keneraka!"

   Teriak orang yang berjuluk Algojo Gunung Sutra itu, dengan wajah berang.

   "Tapi... tapi..., Ki...!"

   Santiaji menjadi heran melihat sikap yang ditunjukkan oleh tokoh utama dari Gunung Sutra itu.

   Dan sebelum dapat berpikir lebih jauh lagi, Ki Ageng Sampang sudah menerjangnya dengan pukulan ganas dan keji.

   Tentu saja Santiaji tak membiarkan tubuhnya dijadikan sasaran pukulan itu.

   Dengan gerakan yang indah tubuhnya meliuk menghindari pukulan lawan.

   Dan langsung dibalasnya dengan serangan-serangan cepat dan kuat.

   Sehingga dalam waktu singkat, keduanya segera teriihat sebuah pertempuran sengit.

   Tapi, memang pada dasarnya kepandaian Santiaji masih jauh di bawah kepandaian Algojo Gunung Sutra.

   Maka setelah lewat dua puluh jurus, tampak' Santiaji mulai terdesak.

   Dapat dipastikan, tidak lama lagi Santiaji pasti tidak dapat menahan gempuran lawan.

   Algojo Gunung Sutra atau Ki Ageng Sampang nampak semakin bernafsu untuk segera menjatuhkan lawannya.

   Pukulannya pun semakin cepat dan kuat sehingga Santiaji semakin tak berdaya dibuatnya.

   Melihat keadaan saudara seperguruannya yang tengah diincar maut itu, Ranjita yang keadaannya sudah pulih kembali segera melompat ke arena pertempuran membantu Santiaji.

   Tentu saja hal ini, sangat menggembirakan hati Santiaji.

   Dengan masuknya Ranjita, dia dapat terbebas dari desakkan lawannya.

   Tanpa banyak bicara lagi, keduanya pun segera bekerja sama menghadapi Algojo Gunung Sutra yang amat lihai itu.

   Menghadapi gempuran dan kerja sama yang kompak saudara seperguruan itu, Algojo Gunung Sutra pun semakin memperhebat serangannya.

   Namun karena Santiaji dan Ranjita bertempur secara saling mengisi dan melindungi, maka cukup sulit bagi lawan untuk segera menguasai mereka.

   Sudah tiga puluh jurus kedua belah pihak berusaha saling menjatuhkan.

   Tapi sampai sejauh itu, belum ada tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang.

   Dan hal ini membuat Algojo Gunung Sutra menjadi marah dan penasaran.

   Hingga pada suatu kesempatan, dia melepaskan pukulan cepat Kedua telapak tangannya terbuka mengarah dada dua lawannya sambil mengerahkan seluruh tenaga dalam.

   Wuuusss! Wuuusss! Bukan main hebatnya serangan Algojo Gunung Sutra itu.

   Jangankan terkena hantaman telapak tangan.

   Terlanggar angin pukulan saja, lawan yang tidak mempunyai tenaga dalam kuat akan tewas seketika dengan dada ringsek.

   Santiaji dan Ranjita tentu saja menyadari bahaya pukulan lawan.

   Keduanya segera mengempos semangat, dan langsung menggabungkan tenaga dalam sambil berpegangan tangan.

   Dengan kuda-kuda rendah, mereka segera menyambut pukulan lawan dengan telapak tangan kiri.

   Blannng! "Aaahhh...!"

   Terdengar ledakan dahsyat ketika tenaga dalam mereka beradu.

   Hebat sekali akibat bentrokan tenaga dalam tingkat tinggi itu, sehingga ledakan itu menggetarkan udara di sekitar arena pertempuran.

   Santiaji dan Ranjita yang mengalami benturan itu, terlempar ke udara diiringi jerit kesakitan.

   Keduanya jatuh terduduk sambil menekan dada yang terasa berguncang.

   Terlihat dari sela-sela bibir mereka, cairan merah menetes.

   Sedangkan lawannya yang juga terpental akibat benturan tadi, mudah sekali mendaratkan kakinya di tanah.

   Gerakannya ringan, tanpa luka sedikit pun.

   Hanya kedua lengannya saja yang terasa bergetar.

   Dari sini saja sudah dapat diketahui kalau tenaga dalam Ki Ageng Sampang jauh lebih tinggi daripada mereka berdua.

   "Ha ha ha...! Bersiaplah! Sebentar lagi malaikat maut akan datang menjemput kalian!"

   Ejek Algojo Gunung Sutra itu, jumawa. Setelah berkata demikian, tubuh laki-laki tinggi berkumis itu segera melayang. Kedua lengannya ter-kembang, mengarah pada batok kepala Santiaji dan Ranjita yang masih terduduk tak bergerak.

   "Heaaattt...!"

   Darrr! Darrr! Debu mengepul tinggi, ketika pukulan kedua tangan Ki Ageng Sampang mengenai tanah yang terdiri dari batu-batu cadas itu.

   Rupanya Santiaji dan Ranjita yang semula sengaja berdiam diri untuk memulihkan tenaga, segera melesat menghindari serangan ketika pukulan lawan hampir tiba.

   Serangan lawan hanya mengenai batu-batu cadas sehingga hancur berkeping-keping.

   Dan kini mereka sudah bersiap-siap kembali menghadapi orang tua lihai itu.

   Melihat lawannya dapat menghindari serangan, Algojo Gunung Sutra semakin meluap-luap kemarahannya.

   "Huh, sayang! Aku tidak mempunyai banyak waktu untuk menghadapi kalian!"

   Ujar Algojo Gunung Sutra geram.

   Setelah berkata demikian, mulutnya segera bersiul nyaring dan panjang.

   Suaranya bergema ke seluruh penjuru karena didorong tenaga dalam tinggi.

   Seketika tempat itu sudah diramaikan belasan sosok tubuh yang berloncatan dari balik bukit.

   Melihat dari gerakan mereka, dapat dipastikan bahwa semuanya memiliki kepandaian yang tidak rendah.

   Begitu tiba, belasan sosok tubuh itu langsung menerjang Santiaji dan Ranjita dengan senjata terhunus! Keduanya segera berloncatan menghindari sambaran senjata-senjata lawan yang berdesingan mengancam tubuh.

   Sambil berusaha mengelak, Santiaji dan Ranjita melepaskan pukulan-pukulan balasan yang ampuh.

   Sehingga dalam waktu singkat, kedua belah pihak sudah terlibat pertempuran yang seru dan mendebarkan.

   Santiaji dan Ranjita menjadi terkejut.

   Ternyata mereka mendapat kenyataan bahwa kepandaian lawan rata-rata cukup tinggi.

   Siiinnng! Siiinnng! "Aaahhh...!"

   Keduanya melenguh tertahan ketika dua buah senjata lawan hampir melukai tubuh mereka.

   Dengan wajah agak pucat, keduanya segera berloncatan mundur sambil mencabut senjata masing-masing.

   Di tangan Santiaji sudah tergenggam dua buah pedang pendek.

   Sedangkan Ranjita sudah pula mencabut sebuah pedang yang bersinar kuning.

   Dengan senjata di tangan, kini mereka kembali menghadapi belasan orang lawannya itu.

   Melihat keadaan itu, Algojo Gunung Sutra yang semenjak tadi hanya berdiam diri tiba-tiba melayang ke arena pertempuran.

   Diputar kedua tangannya hingga menimbulkan angin yang menderu-deru.

   Langsung dihantamkan telapak tangannya ke arah Santiaji dan Ranjita yang tengah bertempur saling bahu membahu itu.

   Deeesss! Plaaakkk! "Aaarrrggghh...!"

   Santiaji dan Ranjita yang tengah kerepotan meng hadapi belasan orang lawan, tak sempat lagi untuk menghindari hantaman telapak tangan Ki Ageng Sampang yang mengandung tenaga dalam tinggi itu, Keduanya terpelanting akibat hantaman yang keras pada bahu dan punggung.

   "Huaaak...!" . Santiaji yang terhantam punggungnya, memuntahkan darah kental berwarna kehitaman. Punggungnya dirasakan bagai terbakar akibat hawa panas yang terkandung dalam pukulan Algojo Gunung Sutra. Santiaji berdiri limbung dengan pandangan mata berkunang-kunang.

   "Ranjita, lari! Selamatkan dirimu! Biar aku yang menghadang mereka!"

   Teriak Santiaji dengan napas tersengal-sengal. Santiaji benar-benar menyadari bahwa pihak musuh terlalu kuat. Setelah berkata demikian, dia langsung melompat membendung serangan lawan-lawannya yang sudah melancarkan serangan kembali.

   "Tidak, Santiaji! Aku tidak akan meninggalkanmu. Biarlah kita mati bersama-sama!"

   Teriak Ranjita.

   Ternyata Rajita juga tidak tega membiarkan kawannya menghadapi musuh sendirian.

   Walaupun sebelah tangannya lumpuh akibat hantaman telapak tangan Algojo Gunung Sutra itu, dia ikut pula melompat membantu Santiaji yang tengah kerepotan menghadapi belasan orang lawannya.

   "Ranjita, pergi! Bodoh kau! Kalau kita berdua mati, lalu siapa... aduh!"

   Teriak Santiaji.

   Laki-laki tingkat empat di Perguruan Gunung Salaka itu merasa kesakitan akibat sabetan pedang lawan yang mengenai pangkal lengan kirinya.

   Dengan penuh kegeraman segera dibabatkan pedang pendeknya membelah dada lawan itu.

   Kontan orang itu menjerit menyayat.

   Tubuhnya langsung ambruk dan tewas dengan dada terbelah.

   "Aaahhhkkk...!"

   Kembali Santiaji berteriak kesakitan karena pundaknya tertusuk pedang lawan yang tainnya.

   "Lari, Ranjita! Lari! Kau harus melaporkan hal ini kepada Guru! Aku..., aku sudah tidak kuat lagi. Cepat...! Aduh...!"

   Lagi-lagi senjata lawan menyabet lambungnya.

   Santiaji kembali mengamuk membabi buta, tanpa mempedulikan keselamatannya lagi.

   Ranjita berdiri dengan wajah bingung.

   Pelahan-lahan butir-butiran air bening mengalir membasahi pipinya.

   Hatinya benar-benar trenyuh menyaksikan pengorbanan yang dilakukan saudara seperguruannya itu.

   la masih berdiri bimbang tanpa dapat mengambil keputusan.

   Saat itu Santiaji melompat ke arahnya sambil melepaskan sebuah tendangan ke arah Ranjita.

   Bukkk! "Pergi, manusia bodoh! Jangan korbankan nyawamu sia-sia!"

   Bentak Santiaji, tak sabar.

   Memang keadaannya sudah menyedihkan sekali.

   Sekujur tubuhnya telah dibanjiri darah yang mengalir dari luka-luka akibat sabetan golok lawan.

   Meskipun demikian dia masih dapat melakukan perlawanan hebat "Jangan biarkan orang itu lolos! Habisi mereka!"

   Teriak Algojo Gunung Sutra ketika melihat Ranjita berlari meninggalkan arena pertempuran sambil memegangi tangan kirinya yang lumpuh itu.

   Beberapa orang segera berlompatan mengejar Ranjita.

   Namun, Santiaji tidak membiarkan hal itu.

   Segera tubuhnya melompat menghadang lawan dengan senjata di tangan.

   "Monyet-monyet busuk! Rasakan seranganku ini! Heaaattt...!"

   Santiaji segera menggerakkan kedua senjatanya menerjang orang-orang yang hendak mengejar Ranjita.

   Sayang gerakannya sudah sangat lemah.

   Sehingga, lawannya mudah sekali dapat menghindari serangannya dan langsung membalas ganas.

   Crasss! Brettt! Craaasss! "Aaarrrggghhh...!"

   Santiaji meraung tinggi, ketika beberapa tusukan dan bacokan senjata lawan menembus tubuhnya. Dia langsung ambruk dan tewas seketika.

   "Santiaji...!"

   Ranjita berteriak parau, ketika mendengar suara jeritan kematian saudara seperguruannya itu.

   Dari kejauhan, sempat disaksikan bagaimana tubuh Santiaji tertembus beberapa buah senjata lawan.

   Ranjita hanya memandang dengan tubuh menggigil menahan luapan amarah yang memenuhi rongga dada.

   "Manusia keparat! Inilah pembalasanku! Hiaaa...!"

   Tanpa mempedulikan keselamatannya lagi, Ranjita segera berlari dan menerjang lawan-lawannya.

   Rupanya ia telah lupa dengan pesan terakhir Santiaji.

   Ini terjadi akibat kemarahan yang meledak-ledak dalam dada.

   Namun sebelum Ranjita dan musuh-musuhnya berlaga, tiba-tiba melesat cepat sebuah bayangan yang langsung mendarat di tengah-tengah mereka.

   Dan bayangan itu segera mendorong telapak tangannya ke arah belasan orang yang meluncur ke arah Ranjita.

   Wuuusss! Hembusan angin yang dingin luar biasa, menyambut kedatangan belasan orang itu.

   Tubuh belasan orang itu kontan berpentalan ke kiri dan kanan akibat terlanggar hembusan angin dingin.

   Belasan orang itu jatuh terduduk sambil menggigil kedinginan.

   "Pendekar Naga Putih...!"

   Seru orang yang berjuluk Algojo Gunung Sutra, terkejut.

   "Pendekar Naga Putih...!"

   Gumam Ranjita pelahan, seolah-olah berkata pada dirinya sendiri.

   Tiba-tiba terlintas di benaknya secercah harapan yang membuatnya menarik napas lega.

   Memang bepar apa yang diucapkan Algojo Gunung Sutra itu.

   Di tengah-tengah arena pertempuran, berdiri seorang pemuda berbaju putih.

   Selapis kabut berwarna keperakan menyelimuti sekujur tubuhnya.

   Orang itu adalah Pendekar Naga Putih atau..., murid tunggal Malaikat Petir atau Tirta Yasa! "Hm....

   Menyingkiriah kau Pendekar Naga Putih.

   Aku tidak mempunyai urusan denganmu!"

   Bentak Algojo Gunung Sutra atau Ki Ageng Sampang sambil memasang wajah bengis.

   "Tapi aku mempunyai urusan denganmu, Orang Tua!"

   Seru Pendekar Naga Putih bersikap tenang.

   Sementara sinar matanya menyorot tajam, bagalkan mata naga yang sedang marah.

   Algojo Gunung Sutra tergetar hatinya ketika beradu pandang dengan sinar mata Panji yang tajam itu.

   Cepat-cepat dikerahkan tenaga untuk menekan debaran dalam dadanya.

   "Huh! Jangan kira aku akan gentar mendengar nama besarmu, Pendekar Naga Putih. Dan sekarang, sambutlah seranganku! Yeaaattt...!"

   Tegas Algojo Gunung Sutra. Setelah berkata demikian, tubuh jangkung itu melayang dengan kecepatan tinggi, disertai teriakan menggeledek. Kedua tangan berputar dan susul-menyusul dengan serangan yang berbahaya.

   "Menyingkirlah, Paman! Biar aku yang menghadapinya,"

   Ujar Panji kepada Ranjita yang berdiri terpaku di belakangnya.

   Setelah berkata demikian, Panji mengegoskan tubuhnya sambil memasang kuda-kuda rendah untuk menghindari serangan lawan.

   Begitu serangan lawan lolos, Panji segera membalasnya dengan serangan yang tidak kalah berbahayanya.

   Dalam waktu singkat, keduanya sudah bertempur sengit.

   Panji yang tidak pernah lalai melatih ilmunya dalam setiap kesempatan, teriihat bergerak semakin gesit dan matang.

   Kedua tangannya yang berbentuk cakar naga itu, menyambar-nyambar di sekitar tubuh lawan.

   Bahkan kecepatannya sukar diikuti mata.

   Hingga dalam beberapa jurus saja, Algojo Gunung Sutra tampak terdesak oleh sambaran-sambaran tangan yang berbentuk cakar itu.

   Breeettt! "Uuuhhh...!"

   Lenguh Algojo Gunung Sutra.

   Dan memang tahu-tahu pangkal lengannya terkena sambaran tangan lawan yang amat kuat.

   Tubuh jangkung itu sampai melintir seperti gangsing.

   Cepat-cepat Algojo Gunung Sutra bergulingan menjauhi lawannya.

   Orang tua itu bangkit berdiri sambil memandang luka di pangkal lengan.

   Untunglah sambaran tangan lawan tidak terlalu telak mengenainya.

   Kalau saja telak, bukan hanya kulit dan bajunya yang terkelupas.

   Bahkan daging pangkal lengannya bisa hancur akibat cakaran yang berbahaya itu.

   Cepat orang tua itu mengerahkan hawa murni untuk mengusir hawa dingin yang menyelusup dari lukanya.

   "Gila! Anak Muda ini gerakannya seperti iblis saja!"

   Ucap Algojo Gunung Sutra dalam hati. Dia memang tidak tahu, bagaimana caranya pendekar itu bisa melukainya.

   "Anak-anak, serbu...!"

   Teriak laki-laki tua itu tanpa malu-malu lagi.

   Tanpa diperintah dua kali, belasan orang anak buahnya yang telah terbebas dari hawa dingin itu segera berlompatan sambil membabatkan pedangnya ke arah Panji.

   Pendekar Naga Putih memang sudah memperhitungkan hal itu.

   Dengan kecepatan yang luar biasa, tubuh Panji berkelebatan di antara belasan sinar pedang yang berdesingan mengincar tubuhnya.

   Dan setiap kali tangannya bergerak, selalu disertai terlemparnya tubuh lawan yang kemudian tewas dengan tubuh membiru.

   Hal ini akibat hawa dingin yang terpancar dari kedua belah tangan Pendekar Naga Putih.

   Dalam beberapa jurus saja, serangan belasan orang itu menjadi kacau dan tidak teratur lagi.

   Rasa gentar mulai menyelimuti hati mereka, setelah melihat kelincahan pemuda yang menjadi lawannya itu.

   Tanpa disadari, mereka mulai merenggangkan kepungan.

   Tentu saja hal ini membuat gerakan Panji semakin leluasa untuk melancarkan serangan-serangan balasan.

   Desss! Blaggg! "Aaahk!"

   Kembali dua orang lawannya terjungkal, sambil memperdengarkan jerit kematian.

   Dua orang yang terkena hantaman sisi telapak tangan Panji itu tergeletak tewas, dan tubuhnya membiru.

   Menyaksikan hal ini, kawan-kawannya segera berloncatan mundur disertai wajah yang memucat.

   "Ombak besar, lari!"

   Teriak Algojo Gunung Sutra yang merasa bahwa anak buahnya tidak akan mampu menghadapi lawannya.

   Setelah berkata demikian orang tua bertubuh jangkung itu segera melompat ke arah semak-semak, diikuti anak buahnya.

   Dalam sekejap saja, belasan orang itu sudah lenyap di balik rimbunnya pepohonan.

   "Mengapa tidak dikejar, Kisanak?"

   Tanya Ranjita, keheranan.

   "Biarlah, Paman! Sekarang sebaiknya kita pergi. Di perjalanan kita bisa berbincang-bincang tentang pengeroyokan mereka terhadap Paman,"

   Tegas Pendekar Naga Putih kalem.

   * * * Perguruan Gunung Salaka kembali dilanda kegemparan.

   Suasana di sekitar perguruan terlihat sunyi, karena para murid dan tokoh-tokoh perguruan tengah berkumpul di ruang utama perguruan itu.

   Mereka duduk bersimpuh mengelilingi sebuah peti mati.

   Wajah mereka semua menggambarkan perasaan sedih dan marah.

   Memang, sejak Ki Tunggul Jagad mengundurkan diri, malapetaka itu terus saja mengancam.

   Kejadian yang melanda Perguruan Gunung Salaka secara berturut-turut, telah membuat perguruan itu seolah-olah larut dalam mimpi yang buruk dan menakutkan.

   Mereka yang selalu hidup dalam ketentraman tiba-tiba saja dikejutkan kejadian-kejadian yang membuat hati penasaran dan marah.

   Baru saja, perguruan itu kedatangan beberapa orang penduduk Desa Cikunir yang dipimpin langsung kepala desanya sendiri.

   Mereka mengantarkan sebuah bungkusan yang tidak diketahui isinya.

   Menurut mereka, bungkusan itu diterima dari seorang laki-laki tua yang mengaku berjuluk Algojo Gunung Sutra.

   Dia telah berpesan agar menyampaikan bungkusan itu pada Perguruan Gunung Salaka.

   "Ketika kami tanyakan mengapa tidak mengantarkannya sendiri, ia mengatakan bahwa masih mempunyai tugas yang amat mendadak. Begitulah, yang dikatakan orang bertubuh jangkung itu,"

   Tutur Kepala Desa Cikunir kepada beberapa orang murid perguruan yang menyambut kedatangannya.

   Setelah menyampaikari bungkusan itu, Kepala Desa Cikunir dan beberapa orang warganya segera mohon diri.

   Murid-murid Perguruan Gunung Salaka yang memang sudah mengenai mereka, tentu saja tidak menjadi curiga.

   Dan dibiarkan saja kepala desa dan beberapa orang warganya itu meninggalkan perguruan itu.

   Dua orang murid perguruan bergegas menyampaikan bungkusan itu kepada guru besar mereka.

   Segera diceritakannya asal-usul bungkusan itu.

   "Algojo Gunung Sutra...!"

   Gumam Ki Sukma Kelana dengan kening berkerut setelah mendengar keterangan dua orang muridnya.

   Lalu diperintahkanlah dua orang muridnya untuk melanjutkan tugasnya.

   Dengan disaksikan empat orang tokoh tingkat tiga, Ki Sukma Kelana segera membuka bungkusan tadi.

   "Aaah!"

   Empat orang tokoh tingkat tiga itu kontan menjerit tertahan ketika menyaksikan isi bungkusan.

   Tubuh mereka menggigil menahan gejolak amarah yang memenuhi rongga dada.

   Wajah keempat orang itu pucat dan merah berganti-ganti.

   Sedangkan Ki Sukma Kelana sendiri hanya termangu-mangu, namun wajahnya pucat.

   Wakil ketua yang diserahi tugas memegang jabatan ketua sementara selama gurunya mengasingkan diri itu, memandang sayu.

   Jelas sekali gambaran kesedihan dan penyesalan membayang di wajah tua nya.

   "Oh..., Adi Surya Kencana. Apa yang harus kukatakan kepada Guru nanti? Mengapa begitu berat tanggungjawab yang harus kupikul? Ya, Tuhan..., dosa apa kiranya yang telah hamba lakukan?"

   Tatap orang tua itu sambil memandangi kepala Ki Surya Kencana yang tanpa tubuh itu.

   "Guru, benarkah yang melakukan perbuatan keji itu adalah Ki Ageng Sampang?"

   Tanya salah seorang dari keempat murid itu. Suara mereka mengandung rasa penasaran yang tak dapat disembunyikan.

   "Hhh..., entahlah! Aku sendiri masih meragukannya,"

   Desah Ki Sukma Kelana.

   Helaan napasnya terdengar berat.

   Keempat orang murid tingkat tiga Perguruan Gunung Salaka itu terdiam ketika menyadari bahwa Ki Sukma Kelana tidak ingin membicarakan persoalan itu saat ini.

   Menyadari hal ini, empat orang murid utama itu pun segera berpamit kepada gurunya.

   Itulah kejadian yang menggemparkan seisi Perguruan Gunung Salaka.

   Kiriman mayat kepala tanpa tubuh Ki Surya Kencana itu, benar-benar membuat seluruh penghuni perguruan menjadi marah dan penasaran.

   Jadi, itulah mengapa pada hari ini Perguruan Gunung Salaka teriihat sunyi tanpa kegiatan.

   Rupanya Perguruan Gunung Salaka tengah berkabung.

   Di tengah suasana berkabung yang hening dan mencekam itu, tiba-tiba terdengar teriakan lantang yang bergema ke seluruh penjuru bangunan besar itu.

   "Ki Tunggul Jagad! Aku utusan Ki Ageng Pandira, datang berkunjung!"

   Murid-murid Gunung Salaka yang tengah dilanda kesedihan itu saling pandang satu sama lain. Entah siapa yang memulainya, tiba-tiba saja mereka berloncatan sambil menghunus pedang.

   "Berhenti...!"

   Tiba-tiba terdengar bentakan keras mengandung tenaga dalam tinggi.

   Bagaikan ledakkan petir di angkasa saja layaknya.

   Para murid perguruan yang berlarian serentak menghentikan langkahnya, ketika mendengar teriakan yang terdengar marah.

   Puluhan orang murid dengan senjata di tangan itu berpaling menatap gurunya.

   Pandangan mereka menyiratkan kekecewaan.

   "Apa maksud kalian semua, heh! Jawab!"

   Bentak Ki Sukma Kelana dengan wajah merah padam karena amarah.

   "Apakah kalian ingin main hakim sendiri? Kalian anggap apa aku, hah!"

   Puluhan orang murid Gunung Salaka itu menunduk dalam-dalam.

   Tidak ada seorang pun yang berani mengangkat wajahnya.

   Sama sekali tidak disangka bahwa guru besar mereka menjadi sedemikian marahnya.

   Tanpa diperintah murid-murid Gunung Salaka itu segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan Ki Sukma Kelana.

   "Ampunilah kami, Guru...!"

   Seru mereka serentak. Tersentuh hati ki Sukma Kelana melihat permohonan maaf murid-muridnya itu. Dia pun sebenarnya merasa maklum akan perasaan murid-muridnya itu. Apalagi untuk menyalahkan sikap mereka yang sedang dilanda kesedihan.

   "Bangkitlah, kalian murid-muridku! Marilah kita sambut mereka dengan kepala dingin,"

   Ajak orang tua itu lembut. Sekarang, bukalah pintu untuk mereka!"

   "Baik, Guru,"

   Jawab dua orang di antara murid-muridnya yang kemudian bangkit dan bergegas mengerjakan perintah.

   "Selamat bertemu, Kakang Sukma Kelana. Apakah sehat-sehat saja? Bagaimana pula kabar Ki Tunggul Jagad?"

   Tanya orang bertubuh jangkung dan berkumis lebat itu, sambil melangkah masuk diikuti empat orang lainnya.

   "Baik-baik saja! Bagaimana pula keadaan Ki Ageng Pandira?"

   Tanya Ki Sukma Kelana berbasa-basi, sambil berusaha menekan kemarahan dalam hatinya. Meskipun begitu, tetap tidak menyembunyikan nada suaranya, yang terdengar dingin dan kaku.

   "Ada kabar apa sehingga kau berkunjung kemari?"

   "Guru, untuk apa berbasa-basi lagi? Bukankah sudah jelas kalau dia yang telah mengirimkan bungkusan itu!"

   Teriak salah seorang dari empat murid utama Gunung Salaka itu, tak sabar.

   "Eh... eh! Ada apa ini? Apa maksud kalian?"

   Tanya Ki Ageng Sampang dengan wajah keheranan. Seolah-olah orang tua itu memang tidak mengetahui maksud perkataan tokoh utama Perguruan Gunung Salaka itu.

   "Oh, Apakah Algojo Gunung Sutra sudah kehilangan keberanian utuk mengakui, perbuatannya?"

   Ujar tokoh yang lain bernada mengejek.

   "Nanti dulu..., nanti dulu, hei! Kakang Sukma, ada apa ini sebenarnya? Aku sungguh tidak mengerti?"

   Sahut Ki Ageng Sampang dengan wajah yang mulai diliputi ketegangan.

   "Hm. Benarkah kau tidak mengetahuinya?"

   Tanya Ki Sukma Kelana dingin. Nada suara orang tua itu benar-benar tidak enak terdengar di telinga.

   "Sungguh! Aku sama sekali tidak mengerti, Kakang! Dan kedatanganku kemari pun, bukan tidak membawa persoalan!"

   Jawab Ki Ageng Sampang yang amarahnya mulai terpancing.

   "Kedatanganku kemari sebenarnya ingin meminta pertanggungjawaban Ki Surya Kencana dan beberapa murid perguruan ini. Mereka telah membantai puluhan murid Gunung Sutra dan tiga tokoh utama secara biadab! Di sini aku sengaja bersikap sabar dan tidak ingin bertindak sembarangan, namun ternyata sikap baikku malah tidak kalian anggap sama sekali!"

   "Huh! Kau sengaja ingin memutar balikkan kenyataan, Ki Ageng Sampang! Belum lama ini kami telah menerima bungkusan yang kau titipkan kepada Kepala Desa Cikunir! Kau tahu apa isi bungkusan itu?"

   Jelas salah seorang tokoh Gunung Salaka penuh amarah.

   "Oh! Apa... apa isinya...?"

   Yang bertanya kali ini adalah seorang tokoh Gunung Sutra yang sejak tadi hanya diam saja.

   "Hm. Baiklah kalau kalian enggan berterus terang kepada kami. Kalian tahu, bungkusan itu adalah isi mayat kepala tanpa tubuh dari Ki Surya Kencana, yang dituduh telah membantai murid-murid kalian itu!"

   Jawab tokoh Gunung Salaka itu lagi, geram.

   "Mustahil! Guru, mereka pasti sengaja menyembunyikan Ki Surya Kencana dan sengaja membuat cerita yang tidak masuk akal itu!"

   Selak salah seorang tokoh Gunung Sutra kepada Ki Ageng Sampang yang berjuluk Algojo Gunung Sutra itu.

   "Ya! Kalau memang cerita itu benar, coba tunjukkan kepada kami!"

   Sambung tokoh Gunung Sutra yang lainnya, diiringi senyum mengejek.

   "Bangsat! Apa kau kira kami ini orang-orang pengecut yang tidak berani menghadapi kalian?! Huh! Manusia sombong, rasakanlah pukulanku!"

   Teriak salah seorang tokoh Gunung Salaka yang sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi.

   Begitu ucapannya selesai, tokoh itu segera melompat menerjang salah seorang tokoh Gunung Sutra yang menjadi lawan bicaranya itu.

   Dan tanpa dapat dicegah lagi, keduanya segera terlibat dalam sebuah pertempuran sengit.

   Kedua orang tokoh dari dua perguruan berbeda itu saling serang dengan hebatnya.

   Karena satu sama lain ingin segera menjatuhkan lawannya, maka dikeluarkan ilmu andalan masing-masing.

   Namun, kepandaian kedua orang tokoh dari perguruan berbeda itu, ternyata seimbang.

   Sehingga pertarungan itu bagaikan dua saudara seperguruan yang sedang berlatih saja.

   Melihat kawannya sudah mulai terlibat pertarungan, maka tiga orang murid tingkat tiga dari Gunung Salaka segera melesat ke arah tiga murid Gunung Sutra lainnya.

   Maka kini masing-masing pihak sudah saling menyerang ganas.

   Algojo Gunung Sutra atau Ki Ageng Sampang yang berniat mencegah pertempuran itu, ternyata disalah artikan oleh Ki Sukma Kelana.

   "Sabar dulu. Biarkanlah mereka bermain-main sejenak. Tapi kalau memang tanganmu sudah gatal, aku sanggup melayanimu bermain-main barang satu atau dua jurus. Nah, sambutlah seranganku."

   Setelah berkata demikian tubuh orang tua itu sudah tiba di hadapan Ki Ageng Sampang dan langsung melancarkan pukulan ke arah Algojo Gunung Sutra.

   Laki-laki pemimpin Perguruan Gunung Sutra itu terkejut dibuatnya karena serangan Ki Sukma Kelana begitu cepat datangnya.

   Itulah salah satu keistimewaan tokoh tua dari Gunung Salaka itu.

   Maka tidak heran kalau orang menjulukinya Pendekar Tangan Kilat Gerakan orang tua itu benar-benar bagai kilat saja cepatnya.

   Tentu saja Algojo Gunung Sutra atau Ki Ageng Sampang tidak membiarkan tubuhnya jadi sasaran pukulan yang berbahaya itu.

   Dengan gerakan indah, tubuhnya segera berkelebat menghindarinya.

   Langsung dibalasnya serangan itu dengan tidak kalah dah-syat! Dalam sekejap saja tokoh sakti itu segera terlibat dalam pertarungan dahsyat dan mendebarkan! Menyaksikan pertempuran tiba-tiba itu, muridmu-rid Perguruan Gunung Salaka yang belum bertempur segera berlari menjauhi arena pertarungan.

   Memang sambaran angin pukulan yang dikeluarkan dua tokoh sakti itu sangat berbahaya.

   Jika terlanggar akibatnya sangat fatal.

   Sudah sepuluh jurus terlewat, namun sama sekali belum dapat dipastikan pihak mana yang akan keluar sebagai pemenang.

   Memang mereka semua sama-sama gesit dan sama-sama lihai.

   Di antara pertarungan lima pasang tokoh itu, yang paling seru dan mendebarkan adalah pertarungan antara Algojo Gunung Sutra melawan Ki Sukma Kelana si Pendekar Tangan Kilat.

   Apalagi, kedua tokoh itu sudah menggunakan ilmu andalan perguruan masing-masing.

   Ki Sukma Kelana yang sudah mengeluarkan jurus 'Sebelas Jurus Penahan Ombak', bergerak agak lambat namun tenaga yang terkandung dalam setiap serangannya benar-benar tidak dapat dianggap ringan.

   Setiap lontaran pukulannya, menimbulkan getaran udara yang kuat.

   Sehingga mau tidak mau lawan harus bersikap lebih hati-hati.

   Di lain pihak, Algojo Gunung Sutra pun sudah menggunakan jurus 'Tinju Delapan Bayangan', yang menjadi salah satu ilmu andalan perguruannya.

   Ilmu itu memiliki keampuhan yang tidak kalah dahsyatnya.

   Gerakannya yang cepat dan tak terduga itu seolah-olah bergerak dari delapan penjuru angin.

   Akibatnya, lawan bagaikan dikeroyok delapan orang saja.

   Setelah bertempur kurang lebih selama empat puluh jurus, kedua tokoh sakti itu mulai merasa penasaran.

   tiba-tiba masing-masing melompat ke belakang dan langsung membentuk kuda-kuda kokoh bagaikan batu karang.

   Angin berhembus keras, ketika kedua tokoh sakti yang berdiri berhadapan dalam jarak tiga tombak itu mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya.

   "Heaaattt...!"

   "Hiaaa...!"

   Disertai teriakan mengguntur, satu sama lain langsung melesat sambil melepaskan pukulan yang terampuh dari ilmu masing-masing.

   Dan....

   Blaaarrr! Terdengar ledakan keras yang memekakkan telinga.

   Ternyata ada tiga sosok tubuh saling bertubruk-kan di udara.

   Mereka berpentalan dan jatuh sejauh tujuh tombak dari titik benturan tadi.

   Ki Sukma Kelana maupun Ki Ageng Sampang langsung bangkit, meskipun tubuh masing-masing limbung.

   Dari sela-sela bibir mereka menetes darah segar.

   Kedua tokoh sakti itu merasa terkejut sekali, karena disaat hampir beradu pukulan tadi tiba-tiba sesosok bayangan putih langsung melesat ke tengah-tengah sambil mendorongkan telapak tangan ke tubuh mereka.

   Kedua orang tokoh sakti itu bergegas menghampiri sesosok tubuh yang tengah berusaha bangkit dengan susah payah.

   Dan tanpa menghiraukan keadaan sekelilingnya, sosok tubuh berjubah putih itu segera bersemadi untuk memulihkan kekuatannya.

   Sementara kegiatan di sekitar tempat itu menjadi terhenti.

   Para tokoh dari dua perguruan berbeda telah menghentikan pertempuran ketika mendengar ledakkan dahsyat tadi.

   Mereka pun segera menepi dan berkumpul pada kelompok masing-masing "Guru...!"

   Seru seorang laki-laki yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun tiba-tiba. Langsung dijatuhkan dirinya berlutut di hadapan Ki Sukma Kelana.

   "Oh, Ranjita! Apa yang terjadi denganmu? Mana Santiaji?"

   Tanya Ki Sukma Kelana. Keningnya berkerut ketika melihat keadaan Ranjita yang seperti habis bertempur itu.

   "Panjang sekali ceritanya, Guru!"

   Jawab Ranjita pelan.

   "Guru! Dia itu, Pendekar Naga Purih,"

   Seru Ranjita sambil menunjuk pemuda berjubah putih yang tengah bersila untuk menghimpun tenaga.

   "Oh, Pendekar Naga Putih!"

   Gumam sepuluh orang tokoh dari dua perguruan itu, mereka semua memasang wajah heran.

   Sementara itu.

   Panji yang telah selesai bersemadi segera bangkit dan menghampiri mereka.

   Langkahnya begitu tenang.

   Wajahnya yang semula memucat akibat benturan dahsyat tadi, kini tampak memerah pertanda sudah dapat dipulihkan tenaganya.

   Setelah saling bertegur sapa, Ki Sukma Kelana segera mengajak mereka memasuki bangsal utama perguruan Gunung Salaka.

   Tak lupa, mereka juga mengajak tokoh-tokoh dari Perguruan Gunung Sutra untuk melanjutkan pembicaraan dan memecahkan masalah misterius ini.

   * * * "Nah! Sekarang, marilah kita pecahkan teka-teki ini dengan kepala dingin.

   Ranjita, coba ceritakan pengalamanmu,"

   Usul Ki Sukma Kelana ketika mereka telah berkumpul di ruang bangsal utama.

   Ki Sukma Kelana rupanya sudah menyadari kekeliruannya, dan kini bersikap lebih hati-hati.

   Ranjita segera menceritakan apa-apa yang dialami dari awal, hingga akhirnya ditolong Panji Pendekar Naga Putih.

   Murid tingkat empat itu sama sekali tidak melebih-lebihkan atau pun mengurangi ceritanya.

   "Demikianlah, Guru. Kalau saja saat itu tidak datang Pendekar Naga Putih, pasti aku tidak akan pernah kembali lagi ke perguruan!"

   Desah Ranjita menutup ceritanya.

   "Tidak mungkin!"

   Selak salah seorang tokoh Gunung Sutra.

   "Selama dua hari ini, kami selalu bersama. Jadi bagaimana mungkin kalau Ki Ageng Sampang melakukan hal itu?!"

   "Sabarlah! Bukankah Ki Sukma Kelana sudah mengatakan akan membahas masalah ini dengan kepala dingin. Mengapa kau menjadi tidak sabar?"

   Tegur Algojo Gunung Sutra.

   "Ah, maafkan aku. Aku benar-benar bingung!"

   Ucap orang yang menyelak tadi dengan wajah kemerahan.

   Ki Sukma Kelana lalu melanjutkan pembicaraan itu.

   Akhirnya kedua belah pihak memutuskan untuk menunda perselisihan di antara mereka, sampai bisa ditemukan bukti-bukti nyata.

   Lalu mereka sepakat untuk mengutus murid andalan masing-masing untuk menyelidiki dan memperjelas persoalan itu.

   "Adi Panji, kami sangat memerlukan bantuanmu untuk menyertai seorang murid kami dalam melakukan penyelidikan. Mudah-mudahan kau bersedia,"

   Ujar Ki Sukma Kelana penuh harap.

   "Benar! Sebenarnya kami tidak dapat meninggalkan perguruan tanpa seijin ketua. Sedangkan saat ini ketua Perguruan Gunung Salaka maupun Gunung Sutra tengah mengasingkan diri. Dan sekarang ini kami diberi tugas untuk mengurus perguruan selama beliau pergi,"

   Sambung Ki Ageng Sampang menimpali ucapan Ki Sukma Kelana.

   "Baiklah, Ki. Akan kucoba untuk membantu memperjelas persoalan ini,"

   Jawab Pendekar Naga Putih.

   Tidak berapa lama, Ki Ageng Sampang beserta rombongannya bergegas meninggalkan perguruan itu diikuti Panji dan seorang murid andalan dari Perguruan Gunung Salaka yang bernama Suntara.

   Suntara adalah murid langsung Ki Tunggul Jagad yang dirahasiakan.

   Hanya dua orang murid kepala yaitu Ki Sukma Kelana dan Ki Surya Kencana yang mengetahuinya.

   Karena Suntara dibimbing langsung Ki Tunggul Jagad, maka kepandaiannya pun tidak jauh di banding dua tokoh itu.

   Itulah sebabnya, mengapa Ki Sukma Kelana berani mempercayakan tugas ini kepadanya.

   "Ayo, kita harus mempercepat perjalanan,"

   Ajak Algojo Gunung Sutra sambil melesat mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.

   Melihat orang tua itu sudah berlari meninggalkan mereka, tapa dikomando lagi enam orang lainnya segera berlari mengejar.

   Terjadilah kejar-kejaran yang seru di antara tujuh orang sakti itu.

   Ki Ageng Sampang semakin mempercepat larinya karena diam-diam, ingin diujinya kepandaian Panji dan Suntara yang masih belum diketahuinya jelas.

   Tapi, alangkah terkejutnya orang tua itu ketika menoleh ke belakang.

   Ternyata baik Pendekar Naga Putih maupun Suntara sudah berada di belakangnya.

   Sedangkan empat tokoh Gunung Sutra lainnya tertinggal di belakang.

   Karena masih merasa penasaran, Ki Ageng Sampang segera mengempos semangatnya.

   Segera dikerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya.

   Tubuh orang tua itu meluncur bagaikan anak panah lepas dari busur.

   Napasnya agak sedikit memburu dan butir-butir keringat mulai membasahi dahinya.

   Dan untuk kedua kalinya ia menjadi terkejut ketika menoleh.

   Ternyata dua pemuda itu masih saja berada di belakangnya.

   "Hm, anak-anak muda yang hebat!"

   Ucapnya dalam hati. Merasa sudah cukup menguji dua pemuda itu, Ki Ageng Sampang kembali memperlambat larinya.

   "Kalau kuteruskan, bisa-bisa putus napasku,"

   Ujar Ki Ageng Sampang dalam hati sambil tersenyum mesem.

   Setelah melakukan perjalanan selama kurang lebih satu setengah hari, maka tujuh orang itu tiba di daerah Gunung Sutra.

   Kegelapan telah menyelimuti bumi, ketika Ki Ageng Sampang, Panji, Suntara, dan empat orang tokoh Gunung Sutra tiba di Perguruan Gunung Sutra.

   Ki Ageng Sampang segera mengajak Panji dan Suntara untuk bermalam di perguruan itu, agar keesokan paginya dapat melanjutkan perjalanan dengan tubuh segar.

   "Apakah Ki Ageng akan ikut dengan kami, besok?"

   Tanya Panji kepada Ki Ageng Sampang, sebelum memasuki kamar yang disediakan untuknya dan Suntara.

   "Oh! Tidak, Saudara Panji. Kami akan mengutus seorang murid kesayangan Ki Ageng Pandira yang bernama Rahayu. Dialah yang akan menyertai kalian berdua dalam melakukan penyelidikan. Nah, sekarang beristirahatlah dulu, agar kalian menjadi lebih segar,"

   Ujar Ki Ageng Sampang.

   Setelah berkata demikian, orang tua itu beranjak meninggalkan mereka.

   Malam semakin larut.

   Nyanyian binatang-binatang malam saling bersahutan sehingga membuat suasana malam semakin semarak.

   * * * Hari masih sangat pagi.

   Bumi pun masih terselimut kegelapan.

   Di kejauhan terdengar kokok ayam hutan yang bersahut-sahutan, Semilir angin pagi yang berhembus masih terasa dingin menyentuh kulit.

   Dari kejauhan teriihat tiga sosok tubuh tergesa-gesa menuruni Lereng Gunung Sutra, yang puncaknya masih dilapisi kabut tebal.

   Ketiga sosok tubuh itu berlompatan dengan lincahnya, bagai tiga ekor burung yang tengah menikmati keindahan suasana pagi.

   Lereng Gunung Sutra yang masih basah oleh embun itu, sepertinya tidak menjadi halangan bagi mereka untuk menuruninya.

   Tidak beberapa lama, ketiganya sudah tiba di kaki gunung.

   Sejenak mereka berhenti, sambil menoleh ke kiri dan kanan.

   "Arah mana yang harus ditempuh, Panji?"

   Tanya lelaki di sebelahnya yang bertubuh agak jangkung. Dia tak lain dari Suntara, murid kesayangan Ki Tunggul Jagad.

   "Lebih baik ambil jalan Selatan saja, karena di Utara banyak perkampungan penduduk,"

   Jawab orang yang tak lain adalah Panji Pendekar Naga Putih.

   "Bagaimana menurutmu, Adik Rahayu?"

   Tanya Panji sambil menoleh kepada orang yang dipanggil Rahayu, dan ternyata seorang wanita.

   "Kalau aku terserah kalian saja,"

   Jawab gadis yang bernama Rahayu itu.

   Suaranya begitu halus.

   Rahayu adalah satu-satunya murid wanita dari Ki Ageng Pandira yang menjadi ketua Perguruan Gunung Sutra.

   Biarpun seorang wanita, namun tidak mungkin dipandang remeh.

   Sebab sebagai murid Ki Ageng Pandira yang berjuluk Dewa Berlengan Delapan itu.

   Rahayu pasti memiliki kepandaian yang tidak rendah.

   Apalagi sudah dipercayakan untuk menunaikan tugas yang berbahaya seperti itu.

   Pasti ia telah dibekali ilmu-ilmu yang tinggi dan hebat.

   Memang, akhirnya arah yang diambil tiga orang muda-mudi itu adalah ke arah Selatan, sebagaimana yang diusulkan Pendekar Naga Putih.

   Mereka melangkah bersisian, melewati sebuah hutan kecil yang jarang dijamah manusia.

   Jalan itu sengaja dipilih, karena itu adalah jalan pintas.

   Setelah hampir setengah harian berjalan, beberapa ratus depa di hadapan mereka terbentang sebuah jalan besar yang banyak dilalui orang.

   "Hm, rasanya kita akan melewati sebuah perkampungan penduduk,"

   Gumam Panji tak jelas.

   "Apakah kita akan singgah, Panji?"

   Tanya Rahayu yang rupanya mendengar gumaman Panji tadi.

   "Tentu saja. Perutku sudah keroncongan minta diisi,"

   Jawab Suntara tanpa malu-malu sambil menepuk-nepuk perutnya hingga menimbulkan suara nyaring.

   "Apa kau kira perutku dari batu? Dengarlah nyanyian cacing-cacing di perutku yang sudah segera minta diisi,"

   Timpal Panji seraya tertawa terbahak-bahak.

   "Kalau begitu, tunggu apa lagi? Ayo!"

   Seru Rahayu sambil melesat mendahului kedua kawannya.

   Gerakan gadis itu gesit sekali, bagaikan seekor burung walet yang baru keluar dari sarangnya.

   Melihat gadis itu sudah mendahului, kedua pemuda itu tidak mau ketinggalan.

   Sekali menjejak tanah, tubuh mereka segera melayang mengejar Rahayu.

   Timbul kegembiraan di hati gadis itu ketika melihat dua kawannya yang sama-sama tampan dan gagah mengejar di belakangnya.

   la pun segera mempercepat larinya seraya mengerahkan seluruh tenaga, sehingga dua orang pemuda itu tertinggal di belakangnya.

   Suntara dan Panji tentu saja mengetahui maksud gadis itu sebenarnya.

   Maka segera dikerahkan kemampuan mereka untuk mengejar Rahayu, yang beberapa ratus depa di depan.

   Namun meskipun Suntara telah mengerahkan seluruh kemampuan tetap saja jarak di antara mereka tidak berubah.

   Panji yang mengetahui bahwa Suntara tertarik kepada Rahayu, tidak berusaha untuk mengejar gadis itu.

   Sebenarnya dia bisa mengejarnya, tapi sengaja berpura-pura lelah dan mengalah kepada mereka.

   "Eh! Di mana Panji?"

   Tanya Rahayu, yang sudah duduk di atas sebuah batu di tepi jalan ketika Suntara tiba di dekatnya.

   "Entahlah. Mungkin sudah merasa kelelahan,"

   Jawab Suntara yang teriihat agak sedikit lelah itu. Namun tak lama kemudian Panji muncul, dengan napas dibuat tersengal-sengal.

   "Wah! Tega-teganya kalian meninggalkan aku, hhh...,"

   Setelah berkata demikian, Panji segera menjatuhkan tubuhnya di atasa tanah berumput.

   "Sudahlah. Ayo kita mencari kedai makan,"

   Ajak Suntara.

   Dia segera berjalan memasuki perbatasan desa, yang tinggal beberajpa ratus meter itu.

   Tanpa berkata-kata lagi, Panji dan Rahayu segera melangkah mengikuti Suntara.

   Pemuda itu kini sudah memasuki sebuah kedai makan yang terletak di tepi jalan utama desa.

   Panji dan Rahayu juga segera memasuki kedai, dan langsung mengambil tempat duduk dihadapan Suntara.

   Setelah selesai mengisi perut tiga muda-mudi itu segera melanjutkan perjalanan.

   *** "Wah! Terpaksa harus menginap di dalam hutan!"

   Ujar Suntara, ketika hari telah gelap.

   "Aku kira demikian. Rasanya tidak ada desa terdekat di sekitar sini!"

   Jawab Panji.

   "Mari, kita cari tempat yang lebih enak."

   Maka mereka segera meneruskan langkahnya memasuki hutan, dan akhirnya tiba pada sebuah tempat yang agak luas. Dan tempat itu baik sekali untuk melewati malam.

   "Kalian tunggulah di sini. Aku mau mencari air. Sepertinya, tidak jauh dari tempat ini ada sebuah sungai. Aku telah mendengar gemericik air,"

   Jelas Panji sambil melangkah meninggalkan kedua kawannya.

   "Baiklah. Biarlah aku yang mencari ranting-ranting kering, agar dapat digunakan untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin, Kau tunggulah di sini, Adik Rahayu!"

   Ujar Suntara.

   Tidak berapa lama kemudian, kedua orang pemuda itu pun sudah tidak terlihat lagi.

   Rahayu yang ditinggal seorang diri itu, tiba-tiba menjadi gelisah.

   Diputuskanlah untuk jalan-jalan saja, daripada berdiam diri sendiri seperti patung.

   Maka segera kakinya melangkah mengitari tempat itu.

   Ketika tengah melangkah dengan hati resah, tiba-tiba telinganya yang terlatih menangkap sebuah desiran halus dari arah belakang.

   Cepat bagaikan kilat gadis itu berbalik, dan cepat sekali tangannya bergerak menampar sambil memiringkan kuda-kudanya.

   Dan gadis itu menjadi terkejut, ketika merasakan tangannya bergetar setelah bergerak menampar.

   "Hm, hebat juga tenaga orang yang berjiwa curang itu!"

   Desis Rahayu.

   Penasaran sekaligus geram.

   Rahayu yang semula ingin berteriak menyuruh penyerang gelap itu keluar, segera mengurungkan niatnya.

   Alisnya yang indah itu berkerut, ketika memperhatikan benda yang menyerangnya secara gelap tadi.

   Dengan sikap waspada diraihnya benda yang ternyata adalah sebuah daun lontar yang terlipat rapi.

   "Hm. Apa maksud orang itu sebenamya? Jelas orang itu tidak berniat mencelakakan. Sebab kalau berniat jahat, mengapa harus menggunakan daun lontar?"

   Desah Rahayu di tengah keheranannya. Tangan gadis itu bergerak membuka lipatan daun lontar. Hatinya berdebar tegang, ketika membaca tulisan yang tertera di dalamnya. Dibacanya berulang-ulang, seolah-olah tidak mempercayai matanya.

   "Kalau ingin menemukan orang ketiga yang mengacaukan perguruanmu, temuilah aku di sebuah danau. Letaknya tidak jauh dan tempatmu. Cepatlah, sebelum semuanya terlambat."

   Rahayu membaca berulang-ulang surat yang tertera di atas daun lontar tadi.

   Dadanya berdebar cepat antara perasaan girang dan tegang.

   Sebab tugas yang dikatakan berat oleh gurunya itu, ternyata dapat dilakukan amat mudah.

   Tanpa berpikir dua kali, Rahayu berkelebat cepat mencari tempat yang dimaksudkan si pengirim daun lontar tadi.

   Karena gembira yang meluap-luap, sehingga Rahayu terlupa akan Suntara dan Panji yang juga mempunyai tujuan serupa.

   Di tempat lain, Suntara yang tengah memunguti ranting-ranting kering menjadi terkejut ketika mendengar suara langkah kaki yang berjalan ke arahnya.

   Semula Suntara tidak mempedulikannya, karena dikira itu adalah suara langkah kawannya.

   Namun ketika menoleh, mendadak wajahnya menegang.

   Ternyata orang yang tengah menghampirinya itu adalah Algojo Gunung Sutra atau Ki Ageng Sampang.

   Suntara yang sudah mendengar cerita Ranjita dan Panji tentang seorang yang menyamar menjadi Ki Ageng Sampang itu, sejenak meragu.

   Tapi keraguannya menjadi pudar ketika mendengar sapaan orang tua itu.

   "Ha ha ha..., Suntara! Apakah kau sudah menemukan tanda-tanda orang yang kau curigai?"

   Tanya Algojo Gunung Sutra, sambil terus melangkah menghampirinya.

   "Oh! Belum. Belum, Ki! Kami... kami belum menemukan apa-apa,"

   Jawab Suntara gagap. Sementara pandang matanya tetap meneliti sekujur tubuh Ki Ageng Sampang.

   "Mengapa Ki Ageng berada di tempat ini? Bukankah dia harus mengurus perguruan?"

   Suntara bertanya-tanya dalam hati dengan sikap tetap waspada.

   Biar bagaimanapun, Suntara masih tetap meragukan keaslian orang tua itu.

   Sebab sebelum meninggalkan Gunung Sutra, Ki Ageng Sampang berkata bahwa ia tidak bisa meninggalkan perguruan.

   Hal ini karena ketua Perguruan Gunung Sutra tengah menyepi di suatu tempat yang tidak diketahui siapa pun kecuali Ki Ageng Sampang sendiri.

   Memang sampai saat ini ia masih belum mempercayai orang tua di hadapannya itu.

   Maka diam-diam dikerahkan tenaga saktinya untuk menghadapi segala kemungkinan.

   Orang tua bertubuh jangkung dan berkumis lebat itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Seakan-akan dipahami betul keraguan Suntara.

   "Yahhh.... Dapat kumengerti sikapmu yang mencurigai aku, Suntara. Memang, kita tidak boleh mempercayai sesuatu yang belum diketahui kebenarannya,"

   Tegas orang yang mengaku sebagai Ki Ageng Sampang disertai helaan napas yang dalam.

   Wajah orang itu memang teriihat sedih seolah-olah menyesali perbuatan orang yang telah menyamar sebagai Algojo Gunung Sutra.

   Sedangkan kedua kakinya terus melangkah mendekati Suntara.

   Suntara tertunduk malu mendengar kata-kata bernada sedih dari orang tua yang dihormatinya itu.

   Untuk beberapa saat lamanya kesiagaannya lenyap tersentuh kata-kata halus tadi.

   Namun, kalau saja Suntara tidak menundukkan wajahnya tentulah akan terkejut melihat sinar mata orang tua itu.

   Sinar mata yang semula meredup, kini tampak berkilat penuh cahaya nafsu membunuh.

   Jarak di antara mereka hanya tinggal satu jangkauan tangan saja.

   Dan, tiba-tiba saja tangan orang tua itu terangkat dengan cengkraman maut Suntara yang tengah lengah itu mengira bahwa orang yang diduganya Ki Ageng Sampang itu ingin menepuk pundaknya, sehingga sama sekali tidak merasa curiga.

   Tapi, ketika dirasakan sambaran angin kuat yang keluar dari kedua tangan orang tua itu, rasanya sudah terlambat untuk menghindar.

   Untung saja, tenaga dalamnya merasakan ada tekanan membahayakan dan segera cepat bergolak melindungi dirinya.

   Deeesss! Tubuh Suntara terpelanting ketika tamparan keras itu menghantamnya.

   Untunglah pada saat yang berbahaya itu masih dapat dimiringkan tubuhnya.

   Sehingga tamparan yang semula tertuju ke kepalanya, melesat menghantam bahunya dengan keras.

   Cepat-cepat Suntara bergulingan mengikuti dorongan itu, agar dapat menjauhi lawannya.

   "Huaaakkk...!"

   Suntara seketika memuntahkan darah berwarna kehitaman.

   Jelas itu akibat hantaman kuat, yang rupanya telah melukai bagian dalam tubuhnya.

   Meskipun demikian Suntara masih mencoba bangkit.

   Untunglah tenaga dalamnya telah bergerak melindungi tubuhnya.

   Kalau tidak, pasti bahu yang terkena hantaman lawan itu akan patah tulang-tulangnya.

   Saat itu, orang yang menyamar sebagai Algojo Gunung Sutra sudah meluncur sambil mengarahkan totokan-totokan yang dapat melumpuhkan tubuh lawan.

   Kedua tangannya bergerak susul-menyusul, seolah-olah berebut untuk menyentuh tubuh Suntara.

   Dengan gerakan limbung bagaikan orang mabuk tuak, Suntara berusaha menghindari serangan lawannya.

   Dalam posisi seperti ini, Suntara masih mencoba untuk melontarkan serangan-serangan balasan.

   Sehingga untuk beberapa saat lamanya, dia masih melakukan perlawanan yang cukup berarti.

   "Setan! Bocah ini ternyata alot juga,"

   Umpat orang bertubuh jangkung itu mengumpat, penuh kegeraman.

   Mau tidak mau harus diakui keuletan pemuda yang menjadi lawannya itu.

   Wuuuttt! Orang tua itu memiringkan tubuhnya menghindari sambaran "tangan kanan Suntara yang mengarah kepala.

   Dan memang, serangan pemuda itu luput.

   Ki Ageng Sampang palsu itu langsung membalas dengan sebuah totokan yang menimbulkan desingan angin tajam.

   Suntara melempar tubuh ke belakang untuk menghindarinya.

   Tapi alangkah terkejutnya pemuda Itu ketika melihat jari-jari tangan lawan masih tetap mengejar dan mengancam tubuhnya.

   Suntara yang tidak melihat jalan keluar, terpaksa menyambutnya dengan sisi telapak tangan miring.

   Pemuda itu kembali terkejut ketika jari-jari yang hendak ditepis, tiba-tiba meliuk dan meluncur pesat menuju lehernya.

   "Aaahhh...!"

   Keluh Suntara agak terkesiap.

   Segera dijatuhkan tubuhnya dan bergulingan menghindari kejaran tangan lawan yang bagai seekor ular hidup itu.

   Setelah memasrikan bahwa lawannya cukup jauh, pemuda itu melenting berdiri.

   Namun, belum juga Suntara memantapkan posisi berdirinya, tiba-tiba orang tua itu bersalto melewati kepalanya dan mendarat di belakangnya.

   Sementara Suntara yang masih terkesiap tiba-tiba merasakan....

   Desss! "Uuughhh...!"

   Suntara melenguh tertahan.

   Tubuh Suntara terlontar keras ke depan, ketika sebuah tendangan berkekuatan hebat menghantam bagian belakangnya.

   Pemuda itu ambruk tak sadarkan diri, setelah terlebih dahulu memuntahkan darah segar.

   Sejenak orang tua itu tertawa, lalu mendekati tubuh Suntara.

   Segera dipanggulnya tubuh murid kesayangan Ki Tunggul Jagad itu.

   *** Sementara itu, Panji yang sudah kembali ke tempat Rahayu menunggu, menjadi keheranan ketika tidak menemukan gadis itu.

   Nalurinya yang tajam mengisyaratkan adanya bahaya yang mengancam di sekitar tempat ini.

   Panji mengitari sekitarnya dengan kewaspadaan penuh.

   Pendekar Naga Putih itu mengurungkan niatnya untuk memanggil Rahayu, ketika pendengarannya yang terlatih menangkap samar-samar suara orang tengah melangkahkan kaki.

   Cepat bagai kilat Panji melesat ke arah asal suara tadi.

   Beberapa saat kemudian, pemuda itu menjadi kebingungan ketika suara itu mendadak terhenri.

   Pendekar Naga Putih itu mengerutkan keningnya sambil mengerahkan seluruh kepekaan pendengarannya.

   Panji segera menyusupkan tubuhnya di balik semak-semak, ketika mendengar suara langkah kaki kembali terdengar mendatanginya.

   "He he he.... Ki Tunggul Jagad, tunggulah kehancuranmu!"

   Terdengar suara tawa kemenangan dari mulut orang tua bertubuh jangkung ketika melintas tidak jauh di hadapan Panji Pendekar Naga Putih itu menjadi terkejut melihat tubuh yang terkulai di atas bahu orang yang mengaku sebagai Algojo Gunung Sutra.

   "Suntara...!"

   Desisnya keheranan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya segera melesat melampaui kepala orang tua tersebut.

   "Berhenti...!"

   Bentak Panji begitu kakinya mendarat di hadapan orang bertubuh jangkung itu.

   "Hm..., lagi-lagi kau membuat ulah, Orang Tua!"

   Desis Panji penuh kemarahan. Orang tua itu tersentak kaget, sambil melangkah mundur. Jelas tergambar rasa gentar di wajahnya ketika mengenali pemuda yang menghalangi jalannya. Matanya berputar liar mencari jalan untuk menghindar.

   "Huh! Mengapa kau selalu mencampuri urusanku, Pendekar Naga Putih?!"

   Dengus orang tua itu.

   Mulutnya berkata demikian, tapi sementara otak-nya berputar mencari jalan selamat.

   Rupanya Ki Ageng Sampang palsu yang sudah pernah merasakan kehebatan Panji, merasa yakin tidak akan dapat mengatasi pemuda sakti itu.

   Makanya, sekarang ini dia berusaha untuk mengulur waktu sambil memutar otaknya mencan jalan keluar.

   "Tidak perlu banyak bicara lagi, Orang Tua! Terimalah hukumanmu!"

   Bentak Panji geram.

   Begitu ucapannya selesai, tubuh pemuda itu melesat cepat membawa serangan berbahaya.

   Selapis kabut tipis yang berwarna putih keperakan kini telah menyelimuti tubuhnya.

   Pertanda bahwa pemuda sakti itu telah mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang menimbulkan hawa dingin luar biasa.

   Kedua tangannya yang telah membentuk cakar naga itu terulur disertai hembusan udara dingin yang menggigit.

   Algojo Gunung Sutra palsu terkejut ketika merasakan sambaran hawa dingin yang sangat kuat menerpa tubuhnya.

   Cepat-cepat dilempar tubuhnya kebelakang untuk menghindari serangan yang luar bisa hebatnya.

   Wajah orang tua itu berubah pucat ketika sepasang tangan yang bagaikan cakar-cakar naga itu terus mengejarnya.

   Karena tidak mempunyai peluang untuk lolos, orang tua itu pun menggerakkan tangan nya menangkis serangan Pendekar Naga Putih dengan sekuat tenaga! Dukkk! "Aiiihhh.,.!"

   Jerit orang tua itu.

   Seketika dirasakan hawa dingin yang amat kuat menyusup dari tangan pemuda itu.

   Saat menangkis serangannya.

   Tubuhnya terpelanting ke belakang sejauh tiga tombak.

   Sehingga tubuh Suntara yang semula berada di bahunya ikut pula terlempar.

   Cepat dia bangkit sambil mengerahkan hawa mumi untuk mengusir hawa dingin yang membuat tubuhnya menggigil hebat.

   Darah merah yang agak mengental karena hawa dingin itu mengalir melalui sela-sela bibirnya.

   "Ilmu iblis...!"

   Dengus orang yang mengaku-ngaku sebagai Algojo Gunung Sutra. Wajahnya nampak semakin memucat Setelah dapat mengusir hawa dingin tubuhnya, orang tua itu segera bersiap menghadapi gempuran lawannya.

   "Huh! Jangan bertepuk dada dulu, Anak Muda! Ayo kita bertempur sampai seribu jurus!"

   Gertak Algojo Gunung Sutra palsu di tengah keputusasaannya.

   Namun, sebelum kedua orang itu saling bergebrak, tiba-tiba terdengar lengkingan halus yang menyakitkan telinga, Panji terkejut ketika merasakan kekuatan yang terkandung dalam suara lengkingan itu.

   Meskipun tidak membahayakan dirinya, tapi hatinya cemas juga.

   Dari suara lengkingan itu Pendekar Naga Putih dapat menebak kepandaian orang yang mengeluarkan suara lengkingan itu.

   Di lain pihak, orang yang menyamar sebagai Algojo Gunung Sutra itu menjadi berseri-seri wajahnya.

   "Ha ha ha...! Syukurlah kau segera datang, Nyai Serondeng!"

   Ujar orang tua itu tertawa gembira. Sementara tubuh Suntara sudah pula berada dalam pondongannya. Dia memang ingin menculik pemuda ini.

   "Cepat tinggalkan tempat ini, goblok!"

   Perintah wanita tua yang tiba-tiba saja sudah berada di tempat itu.

   "Berhenti! Langkahi dulu mayatku kalau kalian ingin meninggalkan tempat ini!"

   Bentak Panji. Segera dia melesat mengejar Algojo Gunung Sutra palsu yang sudah bergerak meninggalkan tempat pertarungan.

   "Hi hi hi.... Selamat tinggal, Pendekar Naga Putih! Sayang sekali, hari ini aku tidak mempunyai waktu untuk bermain-main denganmu!"

   Tegas wanita tua itu.

   Suaranya begitu tinggi dan nyaring.

   Setelah berkata demikian, wanita tua itu menggerakkan tangannya ke arah Pendekar Naga Putih.

   Melihat luncuran sebuah benda putih yang berbentuk bulat itu bagitu deras, cepat-cepat Panji melesat ke atas dan berputar dua kali di udara.

   Darrr! Benda sebesar telur puyuh itu meledak ketika menyentuh permukaan tanah.

   Asap putih tebal yang menebarkan bau itu bergulung-gulung menutupi sekitarnya.

   Pendekar Naga Putih yang baru saja mendaratkan kakinya di tanah, tidak dapat mengejar kedua musuhnya.

   Tentu saja, karena asap tebal telah menghalangi penglihatannya.

   "Asap beracun...!"

   Sentak Panji sambil melompat keluar dari gulungan asap tebal tersebut Kedua tangan pemuda sakti itu mendorong ke depan seraya mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

   Wuuusss! Angin yang berhawa dingin luar biasa seketika berhembus keras mengusir asap beracun yang menyelimuti sekitarnya.

   Dalam beberapa saat saja, tempat itu kembali terang.

   Hanya sayangnya, Panji sudah tidak menemukan dua orang musuhnya.

   Pendekar Naga Putih berlari mengitari seluruh daerah itu untuk mencari dua orang musuhnya tadi.

   Tapi mereka bagaikan lenyap ditelan bumi.

   Dengan langkah gontai, Panji kambali ke tempatnya semula, tempat mereka berniat melewatkan malam.

   Pemuda itu termenung mengingat-ingat kejadian-kejadian yang baru beberapa hari ini dialaminya.

   Memang, masih menjadi misteri yang harus diungkapnya.

   Angin malam bersilir lembut menyejukan tubuh.

   Seolah-olah ingin menghibur dan menghilangkan keresahan di hati pemuda itu.

   Sekejap kemudian, Panji sudah terlelap.

   Kemanakah perginya Rahayu? Dan bagaimana nasib Suntara? Siapakah orang tua yang menyamar sebagai Algojo Gunung Sutra, dan siapa pula tokoh yang bernama Nyai Sorendeng itu? Dan yang terpenting, siapakah yang mendalangi semua kemelut ini?! Untuk jawabnya, ikutilah kisah selanjutnya dalam episode "PARTAI RIMBA HITAM."

   SELESAI ABU KEISEL
http.//duniaabukeisel.blogspot.com/

   

   

   

Mencari Busur Kumala Karya Batara Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP Hancurnya Sebuah Kerajaan Karya Siao Shen Sien

Cari Blog Ini