Ceritasilat Novel Online

Pusaka Tuak Setan 2


Pendekar Mabuk Pusaka Tuak Setan Bagian 2



"Keparat!"

   Geram hati Selendang Kubur.

   "Hampir saja jalan darahku terkena totokannya. Jelas totokan itu bertenaga dalam cukup besar, sampai membuat bekas seperti ini di kulit pergelangan tanganku. Rupanya ia punya gerakan jari yang cukup cepat dan membahayakan jika tidak diperhatikan!"

   "He, he, he... diam mengapa, Selendang Kubur? Anggap jangan enteng diriku. Bisa aku membuat jebol kepalamu, kau inginkan saja kapan. Jadi, pergilah sebaiknya sekarang kau juga, sebelum kujebol pusar dan lainnya pusarmu."

   Geram hati Selendang Kubur bertambah mengganas.

   Maka, ia pun segera menarik selendangnya ke belakang dan melecutkannya dengan kaki menghentak ke tanah satu kali.

   Wusss...! Dueaarr...! Ujung selendang memercikkan api.

   Suara menggelegar tersentak keluar dari kibasan angin selendang.

   Tubuh lelaki bergelang akar bahar terpental terbang, dan jatuh hampir mencapai tepian tebing sungai.

   Pukulan yang bernama 'Selendang Petir' itu telah dilancarkan.

   Pujangga Kramat tidak menduga akan mendapat serangan sehebat itu.

   Sekujur tubuhnya bagai dihantam angin topan berkekuatan besar.

   Untung saja sikunya menghantam gugusan batu di tepi tebing sungai.

   Jika tidak, ia pasti telah terjun ke tebing sungai itu.

   Napasnya sendiri terasa bagaikan hilang dalam beberapa jurus.

   Ketika ia temukan lagi napasnya, ia terengah-engah dengan mata berkunang-kunang.

   Sejenak ia kibas-kibaskan kepalanya untuk membuang kunang-kunang dalam penglihatannya itu.

   "Samber gledek!"

   Makinya dalam hati.

   "Untung ujung selendang itu tidak mengenai kepalaku. Kalau saja tepat mengenai kepalaku, pasti kepalaku hancur disambar ekor petir yang keluar dari ujung selendang keparat itu! Uuff...! Pusing juga kepalaku jadinya! Aku harus memberi balasan kepadanya. Biar tahu perempuan itu bagaimana rasanya orang disambar angin petir."

   Pujangga Kramat segera bangkit, tidak menampakkan kepusingannya.

   Namun ketika ia maju satu langkah, tubuhnya terasa gontai.

   Agar tak kentara gontainya, ia berhenti dan tetap berdiri dengan kaki tegak menghadap Selendang Kubur.

   Sementara itu, Selendang Kubur pun mempunyai kecamuk batin.

   "Orang ini manusia apa banteng?! Mestinya ia terluka dalam dan tak sadarkan diri. Setidaknya rambutnya terbakar atau pakaiannya terbakar oleh percikan api dari pukulan 'Selendang Petir'-ku tadi. Tapi, kenyataannya ia dalam keadaan utuh! Berarti ia cukup mampu melapisi dirinya dengan kekuatan tenaga dalamnya yang cukup tinggi juga rupanya."

   Dari arah belakang terdengar Dewi Murka berkata merendahkan ilmu yang digunakan Selendang Kubur.

   "Kau ini mau bertarung apa menari? Sejak tadi tak ada hasilnya sama sekali. Buang-buang waktu saja!"

   "Diamlah kau!"

   Sentak Selendang Kubur, tanpa memandangi Dewi Murka.

   "Minggirlah. Biar aku yang maju! Kau belajar dari jurus-jurusku dalam merubuhkan lawan seperti dia!"

   Selendang Kubur tidak mau mundur, la tidak mempedulikan kata-kata Dewi Murka.

   la bahkan maju dua langkah dengan memutar-mutarkan kain selendangnya di atas kepala.

   Pujangga Kramat meletakkan kedua tangannya kebelakang kepala.

   Dari sana kedua tangannya mengeras, dan hanya dua jari di masing-masing tangannya yang mengembang lurus, lalu kedua tangan itu segera berkelebat ke depan dalam satu sentakan kedua jari dari masing-masing tangannya.

   Wuugh...! Sebuah tenaga begitu besar melesat keluar dari keempat jari yang tertuding kaku itu.

   Tenaga besar itu tidak menghantam, melainkan mendorong tubuh Selendang Kubur.

   Tubuh tersebut pada mulanya terdorong mundur mendekati Dewi Murka.

   Setelah itu, tubuh tersebut berputar di atas tumitnya.

   Putarannya semakin kencang.

   Tubuh itu terangkat sedikit dari tanah.

   Bahkan tubuh Dewi Murka pun ikut terangkat dan berputar dengan kuat.

   Wusss...

   wuuss...

   wuusss...! Kedua perempuan itu tidak bisa mengendalikan diri.

   Mereka berdua sama-sama berusaha melawan kekuatan yang memutarkan tubuh.

   Namun semakin dilawan terasa semakin cepat saja putaran tersebut.

   Mereka bagai hanyut di dalam pusaran angin lesus yang cukup besar.

   "Jangan dilawan! Pecah peredaran darahmu jika dilawan!"

   Seru Selendang Kubur kepada Dewi Murka yang tampak mau melawannya dengan kekuatan tenaga dalamnya.

   Namun begitu mendengar kata-kata Selendang Kubur, hatinya membenarkan kata-kata itu.

   Maka ia tak jadi melawan kekuatan dahsyat yang telah membuatnya seperti baling-baling.

   Bahkan kini mereka bergerak terlempar bersama-sama ketika tangan Pujangga Kramat menghentak ke samping, bagai melemparkan sebuah benda dari jarak jauh.

   Buuk...

   buukkk...! Kedua tubuh perempuan itu berjatuhan saling tindih.

   Dewi Murka terkulai tak mampu bergerak untuk sesaat.

   la ditertawakan oleh Pujangga Kramat.

   Dan tawa itu tiba-tiba berhenti melihat Selendang Kubur telah berdiri tegak dalam sekejap.

   "Edan! Perempuan itu tidak merasakan pusing sedikit pun?! Dia masih bisa berjalan dengan lurus!"

   Pujangga Kramat terkesiap melihat Selendang Kubur tidak terbujur lemas seperti Dewi Murka.

   Bahkan kini Selendang Kubur menyabetkan kain selendangnya ke bagian kaki.

   Wuusss...! Sreett...! Terperangkap sudah kedua kaki Pujangga Kramat, bagai terikat kuat dengan selendang putih itu.

   Brukkk...! Tubuh Pujangga Kramat jatuh karena selendang disentakkan oleh pemiliknya.

   Lelaki bergeleng akar hitam itu sempat menggeragap sebentar.

   Tubuhnya terasa mulai terseret tanpa mendapat pegangan apa pun.

   Lalu, ia juga merasakan tubuhnya mulai melayang.

   Selendang Kubur telah berhasil menarik tubuh itu dan kini sedang melayangkan tubuh tersebut dengan cara memutarkan selendangnya.

   Tubuh pria berusia antara empat puluh tahunan itu dipakai mainan, diputar-putar di udara dengan ringannya.

   Semakin lama semakin cepat putarannya.

   Membentur pohon sedikit, pecah kepala Pujangga Kramat itu.

   Seandainya ikatan pada kakinya terlepas dari selendang, maka tubuh itu akan meluncur cepat, terbuang entah ke mana dan jika membentur benda keras, sedikitnya akan ada tulang yang patah.

   Bayangan itu yang membuat Pujangga Kramat menjadi panik.

   la memekik dengan suara mirip gaung sejuta kumbang.

   "Waooow...!"

   Saat itu Dewi Murka mulai sadar dari rasa pusing yang memabukkan.

   la mulai bisa melihat dengan jelas apa yang dilakukan Selendang Kubur.

   Maka dengan cepat ia menghunus trisulanya.

   Gerakan tubuh Pujangga Kramat akan disongsong dengan pucuk trisula.

   Jelas gerakan putar itu akan berhenti dan tubuh Pujangga Kramat akan tertusuk ujung trisula.

   Tetapi, ketika trisula itu dihunus dan hendak dihadangkan ke garis putaran tubuh Pujangga Kramat, tiba-tiba ada angin baru yang berkelebat membuat trisula itu lenyap dari tangan Gewi Murka.

   Perempuan itu sempat terbengong melompong melihat tangannya kosong.

   Mata Dewi Murka kian terbelalak ketika melihat sesuatu yang berkelebat cepat sekali itu telah membuat tubuh Pujangga Kramat lenyap.

   Tinggal selendang tanpa bandul apa pun yang dibawa berputar-putar oleh perempuan yang berjuluk Selendang Kubur itu.

   Dewi Murka menahan tawa keheranan melihat Selendang Kubur berputar-putar bersama selendangnya yang sudah tanpa tubuh Pujangga Kramat itu.

   "Selendang Kubur! Berhentilah! Mangsamu telah lenyap!"

   Seru Dewi Murka. Dan seruan itu didengar oleh Selendang Kubur.

   "Hah...?!"

   Selendang Kubur terkejut melihat ujung selendangnya telah kosong.

   Matanya terbelalak memandang sekeliling, kemudian sepasang matanya itu menangkap sesosok tubuh yang berdiri dalam jarak antara tujuh langkah dari tempatnya.

   Sosok yang ditangkap matanya itu berpakaian coklat tua dengan celana putih.

   Rambutnya panjang sebatas punggung, lurus rapi, lembut gemulai.

   Bersamaan dengan itu, mata Dewi Murka pun menangkap kehadiran seorang pemuda berpakaian coklat dengan sebuah bumbung dari bambu yang ada di bagian punggungnya, melintang miring bagaikan sebilah pedang pusaka kebanggaan para pendekar.

   Kedua perempuan itu memandang dengan mata tak berkedip.

   Apalagi ketika pemuda itu sunggingkan senyum di bibirnya, hati kedua perempuan tersebut menjadi berdesir, berdebar-debar penuh bunga-bunga indah bermekaran membuai jiwa.

   Dewi Murka berbisik kepada Selendang Kubur.

   "Tak salah lagi, pasti dialah murid si Gila Tuak yang disebut-sebut Murbawati dengan nama Suto Sinting itu!"

   "Ya. Memang benar. Pasti dia. Ketampanannya sesuai dengan pujian yang selalu meluncur dari mulut Murbawati,"

   Balas Selendang Kubur berbisik lirih sekali.

   "Paman Sugiri,"

   Kata Suto kepada Pujangga Kramat.

   "Sebaiknya Paman kembali ke tempat dan biarlah urusan ini saya yang selesaikan."

   "Baiklah, Suto,"

   Jawab Pujangga Kramat dengan suara gemetar. la pun melangkah, sambil sesekali berusaha menjaga keseimbangan tubuh yang mau rubuh. Gerakannya itu menimbulkan perasaan geli di hati Suto, juga di hati kedua perempuan itu.

   "Pasti dia pusing akibat kau putar-putarkan!"

   Bisik Dewi Murka, tapi hanya dijawab dengan gumaman pendek oleh Selendang Kubur, karena perhatian Selendang Kubur telah kembali tertuju pada pemuda tampan itu.

   Senyum Suto semakin mekar ketika ia sadar dipandangi penuh kagum oleh kedua perempuan berwajah cantik-cantik itu.

   Bahkan sekarang ia melangkah mendekati mereka dan berhenti dalam jarak tiga langkah di depan mereka.

   "Kaukah yang tadi mau membunuh Paman Sugiri, alias Pujangga Kramat itu?"

   Katanya kepada Dewi Murka.

   "Hmmm... maksudku... maksudku...."

   Belum selesai Dewi Murka bicara, tiba-tiba Suto yang masih menggenggam trisula itu bergerak cepat menerjang tubuh Dewi Murka.

   Perempuan itu sempat terpelanting nyaris jatuh ketika tangan kirinya berusaha menangkis pukulan tangan kiri Suto.

   Sreppp...! Jliiggg...! Suto telah berdiri tegak membelakangi kedua perempuan itu.

   Kepalanya berpaling menoleh ke belakang, senyumnya kembali mekar indah mengguncang hati kedua perempuan yang nyaris tak sempat berkedip melihat gerakan Suto yang begitu cepat.

   Bahkan Dewi Murka terbelalak kaget melihat trisulanya sudah terselip di pinggangnya dengan rapi, persis pada tempat semula.

   "Edan gerakannya! Melebihi angin menurutku. Sampai tak terasa ia telah mengembalikan trisulaku pada tempatnya. Luar biasa!"

   Gumam hati Dewi Murka sambil mundur mendekati Selendang Kubur.

   Suto berbalik arah.

   Kini ia berhadapan dengan kedua perempuan itu.

   Matanya yang memancar indah dengan sedikit sayu akibat pengaruh tuak yang diminumnya di dalam gua, telah membuat daya pikat tersendiri di hati kedua perempuan itu.

   "Siapa kalian berdua, dan ada urusan apa dengan Paman Sugiri sehingga kalian saling bertempur melawannya?"

   Tanya Suto sambil meraih bumbung tuaknya untuk dilepas dari punggung.

   "Kami orang-orang Perguruan Merpati Wingit,"

   Jawab Selendang Kubur.

   "Kami... kami... kami..,,"

   Ucapannya tak mampu dilanjutkan karena sepasang mata Suto menatap dengan kelembutan yang meneduhkan hati.

   Namun agaknya Selendang Kubur merasa malu jika tak bisa melanjutkan ucapannya karena tatapan mata Suto, maka ia segera mengalihkan pandangannya ke arah lain dan berkata lagi.

   "Kami ingin bertemu dengan si Gila Tuak, untuk menyampaikan permohonan maaf dari guru kami, Nyai Guru Betari Ayu, atas salah sangka tempo hari, yang membuat teman kami menderita sakit akibat pukulan tenaga dalam dari Pujangga Kramat."

   "Apakah temanmu itu juga seorang perempuan muda berkuda hitam?"

   "Benar!"

   Jawab Selendang Kubur.

   "O, dia yang mencuri dengar percakapanku dengan guruku itu?"

   "Buk... bukan... buk... bukan...,'' Dewi Murka ingin ikut bicara tapi menjadi gagap karena hatinya berdebar-debar menikmati ketampanan seraut wajah lelaki yang belum pernah ia jumpai di mana pun juga. Jantungnya gemetar, sehingga ia tak bisa melontarkan kata-kata dengan baik. Tetapi, Selendang Kubur yang sengaja tak memperhatikan Suto segera menjelaskan maksud temannya.

   "Temanku itu bukan menyadap percakapanmu dengan si Gila Tuak. Hanya secara kebetulan saja ia mendengar Pusaka Tuak Setan sedang kalian bicarakan. Tapi sebenarnya temanku itu hanya... hanya merasa tertarik padamu dan ingin melihat lebih jelas ketampananmu."

   Suto selesai meneguk tuak, lalu tertawa terkekeh mirip orang tua, sambil berkata.

   "Jadi dia hanya ingin mengintip ketampananku? Apa benar begitu? Apa benar pula saat ini kalian juga ingin mengintip ketampananku? Apakah kalian tidak bermaksud mencuri dengar pembicaraanku dengan Guru?"

   "Tidak,"

   Jawab Selendang Kubur.

   "Kalau toh kami mendengar tentang Telaga Manik Intan, itu suatu hal yang kebetulan saja. Tapi tujuan utama kami datang ke sini untuk meluruskan salah duga antara pihak perguruanku dengan pihak si Gila Tuak."

   Mata jeli Suto Sinting itu melirik ke pepohonan sebelah kanannya.

   Ada sesuatu yang ia curigai di sana.

   Tetapi sesuatu itu telah pergi dengan melesat cepat tak bisa ditangkap penglihatan bentuk dan wujudnya.

   Suto membiarkan hal itu berlalu, karena ia merasa masih perlu bicara dengan kedua perempuan tersebut.

   "Siapa namamu?"

   Tanyanya kepada Selendang Kubur.

   Yang ditanya menatap, dan bola matanya segera blingsatan karena hatinya makin berdebar pada saat beradu pandang.

   la tak berani terlalu lama beradu pandang dengan Suto, karena ia tak akan bisa bicara jika dalam keadaan beradu pandang.

   "Namaku Selendang Kubur,"

   Jawab Selendang Kubur dengan mata menatap ke arah Dewi Murka. Sambungnya lagi.

   "Dan ini saudara seperguruanku yang bergelar Dewi Murka."

   "Bagus sekali. Nama kalian tak ada hubungannya dengan rupa ayu kalian. Tapi aku tidak peduli. Yang perlu kujelaskan, aku mewakili pribadi guruku, si Gila Tuak, telah menerima penjelasan dari pihak Merpati Wingit. Aku menyatakan tidak ada urusan apa-apa lagi di antara kita."

   "Kami memohon maaf jika sikap teman kami ini tidak berkenan di hati pihakmu,"

   Kata Selendang Kubur dengan mata sengaja memandang ke arah gugusan batu di tanah lereng.

   "Permintaan maaf kuterima,"

   Jawab Suto.

   "Tapi sikapmu bicara padaku masih kurang sopan."

   "Harus bagaimana aku bicara padamu?"

   "Pandanglah orang yang kau ajak bicara. Itu sikap yang sopan."

   "Aku belum sanggup."

   "Tapi temanmu yang bernama Dewi Murka ini, sejak tadi sanggup menatapku."

   "Tapi ia tidak sanggup bicara apa-apa padamu."

   Suto tertawa panjang. Tuaknya kembali ditenggak sedikit. Setelah itu ia berkata lagi kepada Selendang Kubur.

   "Persoalan sudah selesai. Kalian boleh pulang."

   "Tid... tidak... tidakkah... kam... kami...,"

   Dewi Murka tak pernah mampu menyelesaikan kata-katanya, membuat Suto semakin tertawa geli.

   "Apa maksudmu?"

   "Kam... kam... kam...." 'Kambing?"

   Sahut Suto menerka. Dewi Murka menggeleng. Wajahnya makin pucat. Napasnya tampak tidak teratur lagi. Badannya tidak bergerak, matanya masih menatap Suto tak berkedip sejak tadi.

   "Ak... ak... aku... aku...."

   "Sudahlah, jangan bicara,"

   Potong Suto.

   "Napasku bisa putus mendengar bicaramu! Sekarang, sebaiknya kalian lekas pergi dari sini, karena aku pun akan segera pergi."' Selendang Kubur menatap sebentar, lalu memalingkan pandangan ke arah lain, sambil melontarkan pertanyaan.

   "Ke mana kau akan pergi? Ke Telaga Manik Intan?"

   "Kau tak perlu tahu."

   "Ak... aku...,"

   Dewi Murka mencoba bicara lagi.

   "Ak... aku... aku dal... dal... dalam... ke... keadaan... bah... bah...." . El "Bahagia?"

   Sahut Suto.

   "Bah... bah... bahaya...."

   Serentak wajah Selendang Kubur berpaling menatap Dewi Murka.

   "Apa maksudmu, Dewi?"

   Wajah Dewi Murka makin pucat walau mata tetap memandang Suto. la berkata gagap lagi.

   "Tol... tolong... ak... aku.... Di punggung...."

   Suto berkerut dahi melihat perubahan wajah kian memucat. la segera membalikkan tubuh Dewi Murka. Ternyata punggung perempuan itu telah berdarah karena ditembus oleh sepucuk jarum besi sepanjang kelingkingnya.

   "Dewi...?!"

   Sentak Selendang Kubur dengan sangat terkejut.

   Dewi Murka rubuh ke dada Suto.

   Wajahnya kian memucat.

   la telah menjadi salah sasaran dari seseorang yang ingin menyerang Suto dengan menggunakan jarum beracun.

   * * * PADA saat Suto menenggak tuak dengan mendonggakkan kepalanya, pada saat itulah seseorang di balik persembunyiannya melepaskan jarum beracun ke arah Suto.

   Tetapi, bertepatan dengan itu pula tubuh Dewi Murka bergeser tanpa sadar menutup jalannya jarum beracun, sehingga yang menjadi sasaran adalah punggungnya.

   Rupanya perkataan Dewi Murka yang terputus-putus itu bukan lantaran gugup melihat ketampanan Suto, melainkan karena tertahan oleh racun dari jarum di punggungnya.

   Jarum itu yang membuat napas Dewi Murka menjadi terputus-putus.

   Sebenarnya sejak tadi ia sudah hampir rubuh, namun ia mencoba bertahan mengeluarkan jarum itu melalui kekuatan tenaga dalamnya secara diam-diam.

   Tetapi, usaha itu tidak berhasil.

   "Ini perbuatan orang berilmu tinggi,"

   Kata Suto kepada Selendang Kubur.

   "Gerakan jarumnya sampai tak sempat terdengar oleh telingaku. Entah kalau aku memakai telinga guruku, mungkin mendengarnya."

   "Tubuhnya semakin membiru. Tak bisakah kau berbuat sesuatu untuk menolong jiwa temanku ini?"

   "Biar saja begitu. Nasibnya sesuai dengan namanya. Sekarang jiwanya benar-benar nungging."

   "Begitukah ajaran si Gila Tuak? Tidak bisakah si Gila Tuak mendidik muridnya untuk menjadi orang yang bijak dan suka menolong?"

   "Coba kutanyakan pada guruku dulu, apakah dia mendidikku untuk menjadi orang yang bijak atau orang yang pelit."

   Suto mau melangkah, tetapi dengan cepat Selendang Kubur berani menahan tangan Suto sambil berkata.

   "Tak perlu kau tanyakanl Aku akan segera pergi membawa temanku ini pulang ke perguruan."

   "Itu langkah yang bagus!"

   Kata Suto, lalu kembali penenggak tuak dari bumbung bambunya.

   "Manusia yang tak berperasaan adalah kamu, Suto!"

   Geram Selendang Kubur dengan mata memandang menyipit, memancarkan benci.

   "Mengapa kau berkata begitu, Selendang Kubur?"

   "Karena aku tahu kau bisa memberi pertolongan pada diri temanku, tapi kau tidak mau melakukannya."

   "Apakah kau percaya betul bahwa aku sanggup menolongnya?"

   "Aku percaya!"

   Sentak Selendang Kubur. Suto terkekeh, mulai mabuk walau belum banyak.

   "Kalau kau percaya, baiklah! Aku akan menolong menyembuhkannya."

   Selendang Kubur menghempaskan napas, sedikit merasa lega. Tapi kecemasan masih ada di hatinya, karena ia melihat wajah Dewi Murka semakin membiru, parahnya benar-benar beku.

   "Baringkan tubuhnya,"

   Kata Suto kepada Selendang Kubur.

   "Bagaimana dengan jarum di punggungnya?"

   "O, iya! Jarum itu harus dicabut dulu!"

   Dengan satu kali sentak, jarum itu pun dicabut oleh tangan Suto.

   Cuuur...! Darah hitam muncrat dari lubang bekas jarum.

   Suto menarik wajahnya supaya tidak terkena semburan darah hitam.

   Setelah darah itu tidak memancar lagi dari lubang luka, Suto segera meneguk tuaknya lagi.

   Kali ini tidak semua tuak ditelannya.

   Sebagian disimpan di mulut.

   Kemudian, tuak di mulut itu disemburkan satu kali ke punggung Dewi Murka.

   Bruusss...! Air tuak ada yang memercik ke wajah Selendang Kubur, membuat perempuan itu menyentak berani.

   "Kau mau mengobati temanku atau mau meludahi aku, hah?!"

   Suto hanya tertawa sambil berkata.

   "Maaf, aku tidak sengaja, Kalau aku sengaja meludahimu, wajahmu pasti hangus saat ini juga."

   Tangan Selendang Kubur mengibas-ngibas wajah, mengusap air tuak yang melekat di pipi dan rahangnya. la bersungut-sungut dongkol.

   "Sudah, bawalah pulang dengan segera!"

   Kata Suto.

   "Pengobatan macam apa ini?! Baru disembur satu kali sudah disuruh membawanya pulang!"

   "Kau percaya atau tidak kalau dia akan sembuh?"

   "Yah, percaya!"

   Jawab Selendang Kubur dengan bimbang.

   "Kalau kau percaya, dia akan sembuh. Kalau kau tidak percaya, dia tetap akan sembuh juga!"

   Mata Selendang Kubur menatap Suto.

   Kali ini debaran indah di hatinya tidak terlalu membuatnya gugup, sehingga ia berani menatap agak lama.

   Mungkin ia mulai terbiasa menerima debaran indah dari sorot pandangan mata itu, sehingga ia pun dapat berkata dengan lancar, tidak segeragap tadi.

   "Apa maksud kata-katamu sebenarnya?"

   "Tidak ada maksud apa-apa,"

   Kata Suto sambil nyengir, matanya kian sayu, bagai semakin memberat karena terlalu banyak tuak.

   Tetapi Selendang Kubur segera terperanjat kaget melihat Dewi Murka mulai menggerakkan tangannya, warna biru di wajahnya berkurang menjadi tipis.

   Hal itu membuat mata Selendang Kubur tak mau berkedip memperhatikan temannya.

   Semakin lama ia semakin tahu dengan jelas bahwa racun dari jarum itu telah hilang.

   Karena wajah Dewi Murka pun sudah berkurang dari pucatnya.

   Perempuan itu mulai mengeluarkan keluhan kecil yang pelan sekali.

   Dalam hati Selendang Kubur membatin.

   "Luar biasa caranya mengobati luka beracun. Hanya dengan disembur memakai tuak dalam mulutnya, racun itu cepat hilang. Dan, oh... ternyata bekas luka jarum pun cepat kering. Jelas ini ilmu pengobatan yang cukup aneh dan cukup tinggi. Jarang dimiliki oleh pendekar lain."

   Wajah Dewi Murka menjadi semakin segar. Bahkan kedua matanya mulai terbuka. Selendang Kubur sedikit lega melihat temannya semakin membaik. la segera berkata sambil berpaling ke arah Suto yang ada di belakangnya.

   "Dia benar-benar telah...."

   Selendang Kubur terperanjat.

   Suto sudah tidak ada di belakangnya.

   Suto telah pergi tanpa meninggalkan suara apa pun.

   Selendang Kubur sama sekali tidak merasakan kepergian Suto sebelum ia memandang ke arah belakangnya yang ternyata telah kosong.

   Ada rasa kecewa tersembunyi di hati Selendang Kubur.

   Ada rasa tak yakin bahwa dirinya telah ditinggal pergi oleh Suto Sinting itu.

   Maka, ia segera bangkit dengan membaringkan kepala Dewi Murka di tanah.

   la segera memeriksa sekeliling.

   Ternyata memang tak ada lagi Suto di sekitar tempat itu.

   "Manusia itu mirip sekali dengan siluman! Pergi tanpa suara dan rupa, muncul juga begitu! Ke mana perginya? Mungkinkah dia langsung menuju ke Telaga Manik Intan?"

   Pikir Selendang Kubur sambil masih tetap mengawasi sekeliling.

   "Haruskah aku menyusulnya ke Telaga Manik Intan? Atau kubawa pulang Dewi Murka kepada Nyai Guru?"

   "Selendang Kubur,"

   Sapa Dewi Murka yang saat itu sudah berdiri dengan tegak, seperti tidak pernah menderita luka berbahaya sedikit pun. Selendang Kubur terkesiap melihat Dewi Murka dapat berdiri tegak.

   "Apa yang telah terjadi pada diriku? Mengapa aku terbaring di tanah? Mengapa punggungku terasa basah?"

   Selendang Kubur makin berkerut dahi. la bertanya.

   "Apakah kau tidak menyadari sesuatu yang telah menimpamu?"

   "Aku merasa sedang tidur karena lelah. Tapi begitu aku bangun, ternyata aku tidur di sini. Apa maksudmu membawaku kemari, hah?"

   "Jangan salah sangka padaku, Dewi. Kau tadi terluka."

   "Terluka? Omong kosong! Tidak ada orang yang bisa melukaiku!"

   "Kau tadi disembuhkan oleh Suto."

   "Suto...?! Siapa itu Suto?"

   Dewi Murka menampakkan keheranannya. Setelah hening sejurus, Selendang Kubur berkata.

   "Apakah kau tak ingat seorang pemuda tampan yang menjadi murid si Gila Tuak?"

   "Ah, jangan dulu tergesa-gesa memuji ketampannya sebelum kau melihat sendiri rupa orangnya. Kau terpengaruh oleh kata-kata dari Murbawati!"

   Selendang Kubur membatin.

   "Rupanya ada bagian ingatan Dewi Murka yang terhapus karena penyembuhan Suto tadi. Hmmm... agaknya ia benar-benar tak ingat dengan pertemuannya bersama Suto. Aneh sekali. Mengapa ia jadi begitu?"

   Dengan sedikit menahan kesabarannya, Selendang Kubur berkata.

   "Kau tadi benar-benar telah bertemu dengan si tampan Suto itu! Kita berdua telah melihat ketampanannya yang menggiurkan hati!"

   "Ah, omong kosong! Aku merasa tidak bertemu siapa-siapa kecuali Pujangga Kramat."

   "Kita telah bertemu dengannya!"

   Selendang Kubur berusaha meyakinkan Dewi Murka, tetapi perempuan itu tetap bersikeras mengatakan belum pernah bertemu dengan Suto Sinting. Akhirnya Selendang Kubur berkata.

   "Kalau begitu, ada baiknya jika kita susul dia ke Telaga Manik Intan. Dia ada di sana dan kau mungkin bisa menemukan ingatanmu kembali tentang ketampanan Suto."

   "Tidak. Aku akan menemui si Gila Tuak untuk menyelesaikan urusan antara perguruan kita dengan si Gila Tuak."

   "Itu sudah kita lakukan saat kita bertemu Suto. Sudah tidak ada persoalan lagi antara kita dengan pihak si Gila Tuak!"

   "Aku tidak percaya! Kurasa itu hanya tipu dayamu untuk menutupi perasaan takutmu bertemu Pujangga Kramat, seperti tadi."

   Menjengkelkan sekali pendirian Dewi Murka. Selendang Kubur menyadari, jika hal itu diteruskan maka perselisihan antara dirinya dengan Dewi Murka akan terjadi lagi. Karena itu, Selendang Kubur tak mau banyak bicara. la hanya berkata.

   "Kalau kau tetap berkeras hati untuk menemui si Gila Tuak, temuilah sendiri! Aku akan pergi ke Telaga Manik Intan untuk menjaga kemungkinan Suto dicelakai orang di sana! Kita berpisah di sini, Dewi...!"

   Kalau saja Suto masih ada, maka Suto bisa menjelaskan bahwa ketika ia menyemburkan tuak dari mulutnya ke luka di punggung Dewi Murka, ada kekuatan yang menyertainya merasuk dalam jiwa Dewi Murka.

   Kekuatan itu telah menghapus ingatan Dewi Murka bertemu dengan Suto.

   Itu adalah salah satu akibat dari penyembuhan menggunakan cara sembur.

   Cepat sembuh, cepat kering, dan cepat pula hilang ingatannya tentang Suto.

   Sayang sekali Suto sudah berkelebat pergi dengan kecepatan lari yang cukup tinggi.

   la bukan semata-mata menuju Telaga Manik Intan, namun karena ingin mengejar sesosok bayangan yang berkelebat di balik kerimbunan pohon.

   Suto yakin, sosok yang berkelebat itu adalah orang yang mengirimkan jarum beracun itu.

   Suto ingin tahu, apa alasan orang itu ingin mencelakainya dengan jarum beracun.

   Tetapi gerakan orang itu cukup gesit dan begitu cepatnya, sehingga Suto kehilangan jejak.

   Akhirnya mau tak mau ia terbawa sampai di sebelah barat pegunungan Suralaya.

   Rasa-rasanya orang yang kemarin siang berkelebat dari Lembah Lindu itu juga lari menuju ke sebelah barat pegunungan Suralaya itu.

   "Apakah orang itu bermaksud membunuhku agar mudah memperoleh Pusaka Tuak Setan?! Jika itu menjadi tujuannya, berarti orang itu telah menyadap percakapanku dengan Guru, dan mungkin ia sudah cukup lama menunggu kabar tentang Pusaka Tuak Setan. la pasti sudah sangat lama mengincar pusaka tersebut,"

   Pikir Suto.

   Mendadak langkah Suto terhenti karena ia mendengar suara pekik pertarungan.

   Arahnya ada di sebelah kiri.

   Suto segera mengikuti arah suara pekik pertarungan itu.

   Ketika ia berhasil menemukan daerah tempat suara pekik pertarungan itu terdengar lantang, Suto jadi sedikit terperanjat.

   Karena kedua orang yang sedang adu kesaktiannya itu berada di tepi sebuah danau berair bening bagian atasnya, dan berair keruh di pertengahannya.

   Danau itulah sebenarnya Telaga Manik Intan.

   * * * SEKALIPUN tubuhnya kurus kering, namun ketika sebuah pukulan menghantam punggungnya dengan keras, orang itu hanya tersentak sedikit.

   la masih tegak berdiri tanpa mengeluarkan suara mengaduh sedikit pun.

   Hanya saja, beberapa saat kemudian ia membuka mulutnya, dan mulut itu mengeluarkan asap.

   Sepertinya ia sengaja menyentakkan asap supaya keluar dari dalam tubuhnya.

   Dan asap itu adalah asap yang timbul akibat pukulan di punggungnya tadi.

   Sementara itu lawannya yang tadi berhasil memukul punggung dengan pukulan yang mengandung tenaga dalam cukup besar, segera mundur setindak dan berdiri dengan tegar.

   Matanya yang memang kecil terkesan sipit itu menatap orang bertubuh kurus kering dengan tajam.

   Wajah dingin, tanpa keramahan sedikit pun.

   Orang ini mempunyai tubuh sedikit lebih gemuk dari lawannya.

   la mengenakan baju berlengan panjang kombor warna hitam dengan bagian tepinya dililit kain kuning emas.

   Celananya juga hitam dan punya lilitan kain emas.

   Di pinggangnya terselip sebuah pedang dengan sarung pedang warna perak.

   Sementara di bagian kepalanya ada kain pengikat berwarna merah tua, membuat penampilannya kelihatan lebih ganas lagi.

   Orang ini mempunyai kumis sedikit tebal dan cambang tipis yang menambah angker wajahnya, yang berusia antara empat puluh lima tahun.

   Sedangkan orang kurus kering itu bermata cekung, berjenggot abu-abu dan rambut acak-acakan tanpa ikat kepala.

   Pakaiannya serba biru dengan baju potongan jubah yang tidak pernah dikancingkan bagian depannya.

   Dadanya terlihat tipis bertonjolan tulang iga.

   Orang ini dalam keadaan basah kuyup, sepertinya habis terendam air dalam telaga tersebut.

   "Siapa mereka itu?! Ada persoalan apa sehingga mereka bertarung di tepi telaga? Hmmm... sebaiknya aku tak perlu ikut campur urusan mereka. Lebih baik aku duduk di balik semak ini sambi! menonton pertarungan mereka,"

   Kata Suto dalam hatinya, la segera menggeser bumbung tuak dari punggung, lalu menengadahkan kepala dan menenggak tuak sedikit.

   Terdengar orang berpakaian serba hitam itu berkata kepada lawannya, yang masih tegar berdiri dengan kedua tangan berkuku panjang siap menyambut serangan.

   "Satu gebrakan lagi kau akan rubuh dan nyawamu minggat! Kuperingatkan padamu, menyerahlah! Selagi hatiku baik padamu, cepat serahkan benda itu dan selamatkan nyawamu dari amukanku!"

   Kata-kata itu ditertawakan oleh orang kurus berpakaian serba biru. Rambutnya yang meriap di mata kanan dibiarkan saja membuat wajah itu semakin berkesan bengis dalam usia antara lima puluh tahunan.

   "Kau salah alamat, Datuk Marah Gadai!"

   Katanya.

   "Benda yang kau cari itu tidak ada di tanganku."

   "Omong kosong! Kau telah menyelam di dalam telaga itu dan pasti kau telah memperoleh benda itu!"

   Sentak orang yang disebut Datuk Marah Gadai itu. Dan sentakan itu kembali ditertawakan orang kurus yang kali ini berdiri dengan tenang, sambil mengusap-usap jenggot abu-abunya. Suto membatin.

   "O, orang yang berpakaian hitam itu bernama Datuk Marah Gadai. Hi, hi, hi... lucu. Mungkin dia kalau sedang marah mempunyai kebiasaan menggadaikan barang-barangnya, sehingga dijuluki Datuk Marah Gadai. Hi, hi, hi...!"

   Suto cekikikan sendiri di balik persembunyiannya. Matanya kembali menatap dua tokoh tua yang masih bersitegang tentang barang yang harus diperebutkan. Orang kurus kering itu berkata.

   "Aku memang telah menyelam di dalam telaga itu, tapi di sana tidak ada apa-apa. Tidak ada yang kuperoleh dari dasar telaga kecuali kekecewaan!"

   "Puih! Mana ada orang yang mau percaya dengan mulut kotor murid Malaikat Tanpa Nyawa?!"

   Datuk meludah.

   "Orang paling licik di seantero jagat adalah kau, Cadaspati! Dan mulut orang licik selalu menyemburkan kebohongan. Agaknya aku terpaksa harus memaksamu menyerahkan Pusaka Tuak Setan dengan menghancurkan mulutmu lebih dulu, Cadaspati!"

   Suto terperanjat begitu mendengar Pusaka Tuak Setan disebut-sebut oleh Datuk Marah Gadai. Hati kecilnya berkata.

   "Rupanya mereka berebut Pusaka Tuak Setan? Orang yang basah kuyup itu ternyata murid Malaikat Tanpa Nyawa, yang bernama Cadaspati. Aku pernah mendengar kisahnya dari cerita Guru, dan aku ingat orang kurus itulah yang semasa kecilku menyalurkan ilmu 'Inti Neraka' ke dalam tubuhku, sehingga tubuhku seakan menjadi dirinya dan menyerang Bibi Guru dan Kakek Guru sendiri. Hmmm... sekarang ilmu 'Inti Neraka' itu sudah menjadi milikku. Tiba saatnya aku membalas perbuatan Cadaspati waktu itu."

   Suto bergeser dari tempat persembunyiannya.

   la mencari tempat yang lebih leluasa lagi untuk memandang daerah tepian telaga.

   Satu-satunya tempat yang enak untuk bersembunyi adalah di atas pohon.

   Maka, tubuh Suto pun segera melesat dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang cukup tinggi.

   Dalam sekali hentakan kaki, tubuh itu telah hinggap di sebuah dahan dari pohon berdaun lebat.

   Kakinya yang mendarat di dahan itu tidak menimbulkan guncangan sedikit pun pada dedaunan pohon, tanpa suara dan tanpa hempasan angin dalam gerakannya.

   "Nah, dari sini lebih enak menonton pertarungan orang-orang bodoh itu,"

   Kata Suto dalam hatinya.

   "Sebaiknya kupelajari dulu, apakah benar Pusaka Tuak Setan itu sudah berhasil jatuh di tangan Cadaspati atau belum. Kubiarkan dulu ia didesak oleh Datuk Marah Gadai sampai pada pengakuan terakhirnya. Hmmm... tapi bagaimana kalau ternyata yang terdesak justru Datuk sendiri? Karena kelihatannya ilmu yang dimiliki Cadaspati tidak bisa dianggap ringan oleh Datuk Marah Gadai."

   Pada saat itu Datuk Marah Gadai sudah siap lancarkan pukulan jarak jauhnya.

   Kedua tangannya terangkat sampai batas dada.

   Kemudian tangan itu saling menyilang dengan gemetar.

   Telapak tangan yang mengembang kaku dengan jari-jarinya mengeras itu mulai kelihatan berasap tipis.

   Cadaspati tidak tinggal diam.

   la mengerahkan tenaga dalamnya yang membuat setiap kuku tangannya memercik-mercikkan bunga api.

   Seperti ada aliran tenaga yang berlompatan dari kuku yang satu ke kuku yang satunya lagi.

   "Hiaaat...!"

   Datuk Marah Gadai menjejakkan kaki ke tanah dan tubuhnya melambung cepat di udara.

   "Hiaaah...!"

   Cadaspati juga menjejakkan kaki ke tanah dan tubuhnya bagaikan terbang ke arah Datuk Main Gadai. Begitu dua tubuh itu bertemu, dengan cepat mereka saling menghantamkan pukulan masing-masing. Plak...! Plak...! Wugh... wuugh...! "Hugh...!"

   Keduanya sama memekik tertahan.

   Tubuh mereka saling terpental ke belakang.

   Datuk Marah Gadai hampir saja tersungkur masuk ke dalam telaga.

   la jatuh dalam posisi terduduk di tepian telaga.

   Namun kakinya segera dihentakkan hingga ia bangkit kembali.

   Sementara itu, Cadaspati setelah mengadu pukulan segera bersalto ke belakang satu kali dan kakinya mendarat di tanah dengan rapi tanpa limbung sedikit pun.

   Matanya yang cekung itu memantang penuh nafsu membunuh.

   Rambutnya yang panjang tersingkap oleh angin telaga.

   Datuk Marah Gadai menggeram ketika melihat Cadaspati menyeringai bagai mengejek kekuatannya.

   "Jahanam kau! Rupanya kau sudah bosan bernapas. Cadaspati! Tak ada waktu lagi untuk bermain-main denganmu! Sekaranglah saatnya kucabut nyawamu! Hiaaat...!"

   Datuk Marah Gadai menyentakkan kaki kanannya ke depan dengan satu tendangan miring.

   Dari telapak kakinya berkelebat sinar putih keperakan yang melesat ke arah Cadaspati.

   Sinar putih keperakan itu segera dihindari oleh Cadaspati dengan satu lompatan ke atas.

   Dan bersamaan dengan itu, Cadaspati mengibaskan tangannya bagai merobek angin.

   Wuuusss...! Lima berkas sinar meluncur dari kuku-kuku tangan kanan Cadaspati.

   Sinar merah api itu begitu cepat menerjang tubuh Datuk Marah Gadai.

   Segera orang berpakaian hitam itu berguling-guling ke samping dan akhirnya melesat bangkit dalam satu hentakan tangan kuat.

   Kelima sinar merah api itu masuk ke dalam telaga hingga airnya berguncang hebat.

   Sebagian air ada yang muncrat ke tanah tepiannya.

   Sisa kekuatan sinar merah api itu membuat gelombang di permukaan air telaga.

   Telaga bagai ada yang mengguncang-guncangnya dari dalam.

   Sementara itu, sinar putih perak dari kaki Datuk Marah Gadai tadi menghantam gugusan batu, yang membuat gugusan batu itu sirna dalam sekejap.

   Tinggal debu halus yang menggunduk sebagai tanda hancurnya gugusan batu tersebut.

   "Rupanya keduanya sama-sama berilmu tinggi,"

   Pikir Suto dari atas pohon. la meneguk tuaknya kembali. Tanpa sadar ia sebenarnya sudah dikuasai oleh keadaan mabuknya. Bahkan tak sengaja ia melontarkan suara legukan satu kali.

   "Huk...!"

   Buru-buru Suto menutup mulutnya karena takut suara cegukannya terdengar oleh kedua tokoh sakti itu. Di hati Suto ada rasa waswas karena setelah suara cegukan satu kali itu, Datuk Marah Gadai mulai memandang sekelilingnya penuh curiga.

   "Celaka!"

   Gumam Suto dalam hati.

   "Aku tak bisa meredam suara cegukanku ini!"

   Cadaspati sendiri membatin.

   "Dia mulai lengah. Dia mencari-cari sesuatu. Sebaiknya aku segera tinggalkan tempat ini dan tak perlu melayani dia!"

   Niat Cadaspati untuk kabur ternyata diketahui oleh Datuk Marah Gadai. Ketika Cadaspati berbalik memunggungi lawannya, Datuk Marah Gadai segera mengirimkan pukulan jarak jauhnya melalui telapak tangan. Wuuugh...! Beegh...! "Huggh...!"

   Tubuh Cadaspati melengkung ke belakang. Punggungnya terkena telak pukulan jarak jauh Datuk Marah Gadai. la segera berbalik arah dengan wajah semakin mendendam bengis.

   "Keparat kau, Datuk!"

   "Mau lari ke mana kau, hah? Jangan lari dulu kau. Selesaikan dulu urusan kita ini!"

   Mata cekung yang memandang bengis itu tiba-tiba berubah menjadi lunak, sayu dan kebengisannya pun berkurang. Datuk berkerut dahi karena merasa heran. Ia berkata dalam hatinya.

   "O, rupanya pukulanku tadi telah mengenai titik kelemahannya. la menjadi lemah dan langkahnya mulai terhuyung-huyung. Hmmm... sekarang aku tahu di mana titik kelemahan Cadaspati. Rupanya ada di bagian punggung! Kalau begitu, kugempur habis punggungnya!"

   Cadaspati memang berdiri dengan oleng. Langkahnya pun terhuyung limbung. Bahkan bicaranya bernada mengambang.

   "Hei, Datuk... jangan terlalu lama kalau marah, nanti barang-barangmu habis kau gadaikan, he, he, he...!"

   Datuk diam, menatap dengan curiga dan semakin merasa aneh melihat sikap Cadaspati.

   Kebengisannya menjadi hilang.

   Cahaya nafsu membunuh tidak tampak sama sekali dari sorot mata cekungnya.

   Cadaspati mencoba bersandar pada sebatang pohon.

   Tapi sandarannya meleset dan ia jatuh tergagap-gagap.

   la segera bangkit dan menggerutu sendiri.

   "Siapa yang menaruh pohon tidak pas pada tempatnya?! Kurang ajar! Hai, Datuk... kau yang menyingkirkan pohon ini waktu mau kusandari! Sekarang pindahkan kembali ke tempatnya, biar aku bisa tepat bersandar di pohon itu. Lekas!"

   Datuk Marah Gadai tertawa sinis.

   "Aku tak mengerti arah bicaramu, Cadaspati!"

   "Tidak perlu pakai arah!"

   Sentaknya dengan suara mengambang. Matanya semakin sayu, kelopak mata bagai menggantung. la menuding Datuk dengan tangan lemas. Katanya lagi.

   "Kau... sini! Kau ke sini, Datuk!"

   Datuk masih diam, tapi ia membatin.

   "Hmm... ada yang tak beres dalam diri Cadaspati. Kurasa bukan akibat pukulanku tadi. Pasti ada sesuatu yang telah mengacaukan urusanku dengan Cadaspati."

   Dugaan itu memang benar.

   Suto telah menyusupkan ilmu 'Inti Neraka' ke dalam diri Cadaspati.

   Gerak-gerik dan suaranya berubah menjadi suara Suto.

   Hal ini dilakukan oleh Suto sebagai tindakan balas dendam atas kelakuan Cadaspati semasa Suto masih kecil (baca serial Pendekar Mabuk dalam episode.

   "Bocah Tanpa Pusar"). Datuk Marah Gadai pun segera membentak.

   "Siapa kau sebenarnya, hah?!"

   "Apa kau lupa pada tampang gantengku, Datuk?"

   Kalau saja kata-kata itu diucapkan oleh Suto sendiri, mungkin bisa dimaklumi dan memang pantas.

   Tetapi, kata-kata itu diucapkan oleh orang yang sudah cukup umur, berkulit wajah keriput dengan tulang-tulang pipi bertonjolan, sungguh ungkapan kata yang lucu jika wajah seperti itu dikatakan ganteng.

   Namun Datuk Marah Gadai tidak mau tertawa lebar-lebar.

   la hanya tertawa sinis dan segera berkata kepada Cadaspati.

   "Jangan kau campuri urusanku dengan Cadaspati! Menyingkirlah! Atau kuremukkan kepalamu sekarang juga, nah?"

   "Remukkanlah! Ini bukan kepalaku. He he he...!"

   "Jahanam kau! Hiih...!"

   Datuk Marah Gadai menghantamkan pukulan tangan kosongnya ke wajah Cadaspati. Plook...! "Uts...!"

   Cadaspati mundur selangkah, ia mendekap mulutnya.

   Sedikit bengkak bibir atasnya.

   Untung saja pukulan itu pukulan tangan kosong yang tidak mengandung kekuatan tenaga dalam.

   Andai saja Datuk memukulnya dengan mengerahkan tenaga dalamnya, pasti mulut itu akan hancur berantakan ke mana-mana giginya.

   Cadaspati yang tadi menggeloyor, kali ini segera mendekat kembali dan berkata sambil menuding-nuding dengan tangan lemas.

   "Kamu jahat! Kamu tidak tahu kebaikan. Aku benci sama kamu, Datuk. Aku benci sekali!"

   "Tutup mulutmu, hiiih...!"

   Datuk Marah Gadai menghantam pukulan lagi ke mulut Cadaspati.

   Kali ini bertenaga lebih kuat dari yang pertama.

   Tetapi, Cadaspati segera menangkis pukulan itu dengan kelebatan tangan kanannya, lalu punggung pergelangan tangan kanan itu disodokkan ke ulu hati Datuk.

   Bukkk...! "Ugh...!"

   Datuk Marah Gadai tersentak kaget. Pukulan punggung tangan itu terasa begitu keras bagai hantaman palu godam. Mata Datuk Marah Gadai sempat terbeliak lebar. la segera mengeraskan perut dan menahan napas.

   "Kurang ajar! Aku dibuat mainan seenaknya saja!"

   Geram Datuk Marah Gadai. Segera ia hentakkan telapak tangan kirinya ke depan. Sebuah pukulan bertenaga dalam melesat dalam jarak empat langkah darinya. Wuuugh...! "Aaahg...!"

   Cadaspati terpekik, Pukulan itu mengenai dadanya.

   la tersentak ke belakang.

   Melayang jauh, antara tujuh langkah.

   Kemudian tubuhnya jatuh di bawah pohon.

   Punggungnya membentur akar pohon yang bertonjolan keras itu.

   Pada saat itu, Suto melepaskan ilmu 'Inti Neraka' dari tubuh Cadaspati.

   Kini keadaan Cadaspati menjadi dirinya sendiri.

   Dan ia terkejut menyadari sudah terbaring di bawah pohon dengan dada sakit dan tulang punggung bagai mau patah.

   "Apa yang kualami tadi?"

   Pikir Cadaspati. la berusaha untuk bangkit. Pelan-pelan ia bangkit dan menyeringai menahan sakit. Melihat keadaan Cadaspati mulai rapuh, Datuk Marah Gadai pun segera memanfaatkan dengan melancarkan pukulan bertenaga dalam yang lebih besar lagi.

   "Hiaaat...!"

   Tangan kanan disentakkan ke depan dengan otot lengannya mengeras.

   Pukulan itu mempunyai gelombang panas yang mampu membakar kulit pohon.

   Cadaspati segera menghadang pukulan itu dengan sentakkan tangan kirinya.

   Namun, agaknya kekuatan tangan itu tidak sebanding, sehingga pukulan hawa panas itu menerjang telapak tangan kiri Cadaspati.

   Tangan itu menjadi memar membiru, berkesan hangus sampai di bagian ketiak dan dada sebelah kiri.

   Tubuh Cadaspati pun terdorong keras hingga membentur pohon besar di belakangnya.

   "Uughh...!"

   Cadaspati mengaduh tertahan. la menggeliat bangkit. Tetapi Datuk Marah Gadai segera mengerahkan tendangan intinya yang mempunyai kekuatan tenaga dalam mampu meleburkan gugusan batu tadi.

   "Lebih baik matilah kau daripada tetap tak mau menyerahkan Pusaka Tuak Setan!"

   Seru Datuk Marah Gadai, lalu kaki kanannya pun dihentakkan menendang ke depan.

   Sinar putih keperakan melesat dari kaki itu, mengarah cepat ke tubuh Cadaspati.

   Namun tiba-tiba sekilas sinar biru telah melesat cepat dan membentur sinar putih keperakan itu.

   Benturan itu menimbulkan ledakan hebat yang mengguncangkan pepohonan di sekitarnya.

   Blarrr...! Datuk Marah Gadai belalakkan mata lebar-lebar.

   Makin terkejut lagi ia begitu melihat sosok tua berambut putih yang muncul dari balik semak belukar.

   Sosok orang berambut putih panjang tanpa ikat kepala itu tahu-tahu sudah berdiri di antara Cadaspati dan Datuk Marah Gadai.

   Posisinya lebih dekat ke Cadaspati.

   "He, he, he...,"

   Orang tua yang lebih kurus dari Cadaspati itu tertawa terkekeh-kekeh.

   Tongkatnya yang berwarna putih itu digenggam tangan kanan.

   la mengenakan celana hitam dan kain putih yang diselempangkan lewat pundak kiri dan sebagian melilit di pinggang.

   Di pinggang itu pun ia mengenakan sabuk besar dari kulit binatang warna hitam berbulu.

   Dari tempat persembunyiannya Suto membatin.

   "Siapa tokoh tua yang baru saja muncul ini? Sepertinya ia ada di pihak Cadaspati."

   "Selamat jumpa lagi, Datuk Marah Gadai. Kali ini kita jumpa dalam keadaan kau sudah berhasil melukai adikku, Cadaspati!"

   "Aku tidak ada urusan denganmu, Peramal Pikun! Menyingkirlah. Biar nyawa tuamu tak jadi korban kemarahanku!"

   "He, he, he.... Mana bisa aku menyingkir kalau kau ingin mencelakai adikku, Datuk?! Bebaskanlah adikku ini, supaya kita tidak punya persoalan lagi. Bukankah persoalan kita sepuluh tahun yang lalu sudah kita selesaikan dengan baik? Apakah kita harus bikin persoalan baru lagi, Datuk Marah Gadai?"

   "Aku membutuhkan benda pusaka yang dibawa oleh adikmu itu! Tak akan kubiarkan ia melangkah sejengkal pun sebelum Pusaka Tuak Setan itu diserahkan kepadaku!"

   Orang yang berjuluk Peramal Pikun itu segera bertanya kepada Cadaspati.

   "Apakah kau membawa Pusaka Tuak Setan?"

   "Tidak!"

   Jawab Cadaspati sambil berdiri bersandar di pohon akibat luka pukulan dari Datuk Marah Gadai tadi.

   "Datuk, adikku tidak membawa Pusaka Tuak Setan. Jadi, tak ada yang bisa diserahkan olehnya kepadamu!"

   "Omong kosong!"

   Sentak Datuk Marah Gadai. Lalu, ia diam sebentar. Hatinya berkata.

   "Sebenarnya aku sudah enggan bentrokan dengan Peramal Pikun ini. Ilmunya sangat tinggi. Sepuluh tahun yang lalu aku melawannya gara-gara persoalan perempuan. Hampir saja aku habis binasa diterjang ilmunya yang tinggi. Untung waktu itu Rindani segera ketahuan bahwa dia pun punya lelaki simpanan lainnya, sehingga kami memutuskan untuk menghentikan perselisihan dan membiarkan Rindani dengan lelaki simpanannya. Kalau waktu itu aku dan dia tidak mengambil keputusan untuk melepaskan Rindani, pasti aku akan mati di tangannya. Dan sekarang, ilmuku memang sudah bertambah. Tapi tentunya Peramal Pikun itu juga semakin tinggi lagi ilmunya. Hmmm... haruskah aku melawannya lagi?"

   "Hei, Datuk..., mengapa diam saja? Apakah bungkamnya mulutmu sebagai tanda kau melepaskan adikku? Atau kita teruskan persoalan ini dengan cara kau menghadapiku lebih dulu?"

   Tantang Peramal Pikun. Dari tempat persembunyiannya Suto membatin.

   "Tokoh yang satu ini biar tua tapi masih punya nyali juga. Tapi dilihat dari wajahnya, ia tidak mempunyai kesan bengis seperti wajah adiknya. Wajah itu malah berkesan selalu ceria dan tersenyum."

   Datuk Marah Gadai berkata dengan suara lantang.

   "Aku tidak percaya kalau Cadaspati tidak memiliki Pusaka Tuak Setan. Aku melihat sendiri ia muncul dari dalam telaga itu. Pasti dia sudah menemukan pusaka tersebut!"

   "Mengapa kau berkeyakinan begitu, Datuk Marah Gadai?! Apakah kau belum tahu, bahwa Pusaka Tuak Setan itu milik si Gila Tuak?"

   Diam-diam Suto terkejut mendengar nama gurunya disebut-sebut. la tetap menutup mulut supaya suara cegukannya tidak berbunyi.

   "Aku memang tahu, pusaka itu milik si Gila Tuak. Tapi dia sudah tidak mementingkannya lagi!"

   Kata Datuk Marah Gadai.

   "Aku mendengar percakapan si Gila Tuak dengan muridnya, bahwa pusaka itu akan dihancurkan. Jadi sebelum dihancurkan, aku harus sudah lebih dulu mencurinya dari tempat kuburan pusaka itu. Ternyata, adikmulah yang sudah mendahului langkahku masuk ke dalam telaga ini!"

   "He, he, he..., siapa tahu adikku masuk ke dalam telaga hanya sekadar mandi, sebab bertahun-tahun ia tak pernah mandi sampai badannya bau terasi!"

   "Tidak mungkin! Dia pasti telah memperoleh Pusaka Tuak Setan! Mungkin disembunyikan di balik pakaiannya itu!"

   Sekali lagi Suto membatin.

   "Iya. Kurasakan agak berat waktu ilmu 'Inti Neraka' masuk ke raganya. Bagian belakang pakaiannya yang mirip jubah itu sepertinya mempunyai kantong untuk menyimpan Guci Tuak Setan. Atau mungkinkah benda lain yang tak berharga yang ada di kantong jubah belakangnya itu?"

   Datuk Marah Gadai mengambil sikap siap menyerang. Kedua tangannya mulai dinaikkan sebatas dada. Tapi Peramal Pikun masih tetap tenang dan cengar-cengir saja.

   "Peramal Pikun, terpaksa kau juga perlu kukirim ke neraka karena membela adikmu yang punya urusan denganku!"

   "Tunggu, tunggu...,"

   Peramal Pikun tetap kalem.

   "Bukan soal ke neraka yang kupikirkan, tapi kesia-siaan pertarungan ini yang kupertimbangkan. Sebab menurut ramalanku, Pusaka Tuak Setan itu tidak akan jatuh ke tangan siapa-siapa, kecuali ke tangan murid tunggalnya si Gila Tuak."

   "Ramalanmu semakin tua semakin tak manjur!"

   "Manjur atau tidak, tapi kenyataannya si murid Gila Tuak sudah siap mengambil pusaka itu. Bahkan dia pun siap berhadapan denganmu, Datuk Marah Gadai."

   "Persetan dengan murid si Gila Tuak. Yang kubutuhkan Pusaka Tuak Setan yang sudah ada di tangan adikmu itu!"

   "Murid si Gila Tuak tidak bisa dipersetankan, Datuk. Sekarang pun dia sudah berada di sini."

   Datuk Marah Gadai tampak sedikit waswas. la melirik sekelilingnya.

   "Ramalanmu tak ada artinya bagiku. Kau hanya ingin mengelabuiku, Peramal Pikun. Tak ada orang lain di sini, kecuali kita bertiga! Jadi, bersiaplah untuk mati bersama adikmu!"

   Kaki Datuk Marah Gadai mulai bergeser merendah. Tangannya mengeras bagai besi. Kaku. Peramal Pikun masih kalem, melangkah maju dua tindak.

   "Tunggu dulu, Datuk.... Siapa bilang di sini hanya ada kita bertiga? Di sini ada empat orang. Ya, menurut ramalanku di sini ada empat orang, Datuk."

   "Mana yang seorang lagi!"

   Sentak Datuk Marah Gadai dengan suaranya yang besar.

   "Ada di atas sana,"

   Jawab Peramal Pikun sambil tangannya seperti menebarkan sesuatu namun sebetulnya menebarkan tenaga dalam yang melesat ke dalam tempat Suto bersembunyi.

   Datuk Marah Gadai pun terkejut ketika memandang ke atas dan melihat seorang pemuda bertengger di sana.

   Pemuda itu kini melompat turun dengan dua kali salto, karena ia harus menghindari tenaga dalam yang dilemparkan oleh Peramal Pikun.

   Tenaga dalam itu membentur dahan dan membuat dahan itu berderak, lalu patah dan jatuh ke tanah.

   Tepat pada waktu itu, Suto sudah berada di antara Datuk Marah Gadai dan Peramal Pikun.

   Bukan hanya mata Datuk Marah Gadai yang terperanjat, namun mata Cadaspati pun ikut terbelalak melihat kehadiran Suto.

   * * * MELIHAT sikap berdiri Suto yang tak bisa tegak, melihat bentuk mata Suto yang sayu, dan melihat bumbung tuak yang masih dipegang dengan tangan kiri Suto, Datuk Marah Gadai segera dapat menyimpulkan, pemuda berpakain coklat inilah yang tadi mengganggunya dengan menggunakan raga Cadaspati.

   Pemuda yang mengenakan baju tanpa lengan inilah yang mengendalikan Cadaspati bertingkah seperti orang gila di hadapannya.

   "Berarti dia sudah ada di atas sejak tadi!"

   Geram Datuk Marah Gadai dalam hatinya. Matanya pun memandang lebih menyipit kepada Suto yang saat itu sedang cengar-cengir memandang Peramal Pikun.

   "Menurut ramalanku, kau yang bernama Suto Sinting, murid si Gila Tuak!"

   Kata Peramal Pikun. Suto menjawab.

   "Menurut ramalanku, kau kakaknya Cadaspati yang berjuluk Peramal Pikun."

   "Dari mana kau tahu?"

   "Dari tadi!"

   Jawab Suto dengan suara mabuknya yang sesekali cegukan itu. Bahkan ketika Suto tertawa bersama Peramal Pikun, suara cegukannya masih sesekali menyentak tubuh.

   "Menurut ramalanku, kelak kau dijuluki orang Pendekar Mabuk! Kau akan menjadi orang sakti. Bahkan jauh di masa tuamu nanti, kau bisa menjadi seorang tokoh yang bergelar Tokoh Sinting. Tentu saja kau akan mempunyai murid yang sinting-sinting semua. He he he he...!"

   "Kalau... huk... kalau begitu, huk... aku buka perguruan, huk... perguruan Sinting Teladan saja, huk...!"

   Sambil Suto cegukan. Datuk Marah Gadai membentak.

   "Ini bukan urusan ramal-meramal! Ini urusan Pusaka Tuak Setan!"

   "Sudah kubilang tadi, huk... Paman. Kalau kau, huk... minum tuak itu, huk... maka kau akan... akan menjadi setan, huk!"

   "Itu bukan urusanmu! Menyingkirlah, biar kuhancurkan dulu kedua orang tua itu, Bocah ingusan!"

   "He he he...,"

   Suto tertawa dan bicara kepada Peramal Pikun.

   "Dia mengatakan aku sebagai bocah ingusan, huk...! Padahal aku cuma ingusnya bocah, huk... he he he...!"

   Rupanya kesempatan itu digunakan oleh Cadaspati untuk menelusup pergi. Dan dengan sisa tenaganya ia segera melarikan diri dari arena pertarungan. Karena pada waktu itu Cadaspati membatin.

   "Aku tak akan mampu menghadapi Datuk Marah Gadai dalam keadaan terluka begini. Aku bisa mati di tangannya! Sebaiknya aku melarikan diri, biar masalah Datuk diurus oleh Renggono, kakakku!"

   Datuk Marah Gadai sempat melihat kelebatan sosok Cadaspati yang meninggalkan tempatnya. Maka ia pun segera berteriak.

   "Hai, mau ke mana kau?! Jangan lari, Jahanam!"

   Serta-merta Datuk Marah Gadai melompat untuk mengejar Cadaspati.

   Namun, secepatnya pula Peramal Pikun melompat dengan bersalto satu kali di udara.

   Tongkatnya dibabatkan ke arah kepala Datuk Marah Gadai.

   Wungng...! Tongkat itu tidak mengenai sasaran, namun membuat tubuh Datuk Marah Gadai bagaikan dihantam seribu topan.

   Tubuh yang terkena kibasan angin tongkat itu terjerembab jatuh ke tanah dengan wajah membentur semak-semak.

   Prosss...! Peramal Pikun kembali berdiri tegak di tanah dengan tongkat digenggam tangan kanan.

   la menertawakan keadaan Datuk Marah Gadai, yang segera berusaha bangkit dengan mengusap-usap wajahnya.

   Wajah itu menjadi merah tergores-gores akibat duri semak yang ditabraknya.

   "Keparat kau, Peramal Pikun! Terang sudah kau turut campur dengan urusanku! Jelas sudah kau bikin persoalan baru denganku!"

   Geram Datuk Marah Gadai dengan wajah menampakkan kemarahannya.

   "He he he... terpaksa aku bikin urusan lagi denganmu, karena kau mengancam nyawa adikku!"

   Napas Datuk Marah Gadai terengah-engah. Sekarang sedang berusaha diredakan. Pada saat itu, terucap dalam batin Datuk Marah Gadai.

   "Angin pukulannya lebih hebat dari yang dulu. Sekalipun aku bisa mengalahkan dia di sini, tapi aku akan kehilangan pusaka yang sudah kuincar bertahun-tahun lamanya itu. Aku tak boleh larut melayani dia. Aku harus mencari kesempatan untuk mengejar Cadaspati. Tak mungkin ia bisa berlari jauh karena ia dalam keadaan terluka oleh pukulanku tadi."

   Suto tidak ikut campur.

   la bahkan menenggak tuaknya lagi.

   Diteguk sedikit, sebagai pembasah tenggorokan, kemudian duduk di sebuah batu sambil menyaksikan pertarungan tersebut, sambil sesekali memperdengarkan suara cegukannya.

   Mata Suto sempat terperanjat ketika Datuk Marah Badai tiba-tiba menghantamkan pukulan jarak jauhnya ke telapak kaki Peramal Pikun yang punya nama asli Renggono itu.

   Pukulan tersebut mampu membuat tanah tempat berpijak kaki Peramal Pikun tersentak naik bersama tubuh di atasnya yang terdorong ke belakang.

   Broolll...! Wusss...! Tubuh Peramal Pikun bagai didorong kuat dan dijumpalitkan ke belakang.

   Mau tak mau manusia keriput berambut putih panjang itu bersalto satu kali.

   Belum sampai kakinya memijakkan tanah lagi, Datuk Marah Gadai telah kembali mengirimkan pukulan tenaga dalamnya dengan menyentakkan kedua tangannya ke depan.

   Wuuugh...! Angin besar melesat dari kedua tangan.

   Peramal Pikun segera menghentakkan tongkatnya ke depan dalam keadaan berdiri.

   Rupanya ia menahan pukulan Datuk Marah Gadai dengan tenaga dalam yang disalurkan melalui kepala tongkatnya yang berbentuk kepala burung garuda itu.

   Duub...! Dua tenaga dalam berilmu tinggi saling berbenturan di pertengahan jalan.

   Satu benturan itu mengakibatkan tubuh Datuk Marah Gadai tersentak ke belakang dan oleng ke kiri, lalu jatuh di atas kayu runcing.

   "Aaauh...!"

   Datuk Marah Gadai memekik karena pantatnya tertusuk kayu runcing.

   la segera bangkit dan mencabut ranting kayu yang terbawa pantatnya.

   Pada saat itu, Suto tertawa geli melihat Datuk Marah Gadai seperti sedang dipermainkan oleh Peramal Pikun.

   Sedangkan Peramal Pikun sendiri hanya tersenyum-senyum dengan tubuh tetap berdiri pada tempatnya.

   la berkata kepada Suto.

   "Pernah melihat beruang kecocok paku? Nah, lihatlah dia! Persis seperti beruang kecocok paku!"

   Suto yang ada di belakang Peramal Pikun itu semakin tertawa terbahak-bahak dalam pengaruh mabuknya.

   Mendengar suara tawa Suto, hati Datuk Marah Gadai semakin panas.

   Maka, ia pun segera mengangkat kakinya dan menendang penuh kerahan tenaga dalam ke arah depan.

   Dari tendangan kaki itu melesatlah sinar putih keperakan.

   Meluncur dengan cepat ke arah tubuh Peramal Pikun.

   Dengan gerakan tua yang masih gesit, Peramal Pikun melompat ke samping dan bersalto satu kali.

   Akibatnya sinar putih keperakan itu melesat terus ke arah Suto yang sedang duduk di batu.

   Melihat kilatan cahaya putih keperakan melesat ke arahnya, Suto segera menyilangkan bumbung tuaknya di depan wajah.

   Sinar itu tepat mengenai bumbung, namun tidak segera meledakkan bumbung, juga tidak segera padam, melainkan justru berbalik melesat ke tempat asalnya.

   Wusss...! Kecepatannya melebihi kecepatan semula.

   Datuk Marah Gadai tersentak kaget bukan kepalang.

   Terpaksa ia segera melentingkan tubuh, menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi, hingga dalam kejap berikutnya ia sudah berada di atas sebuah pohon, ia terhindar dari sinar putih keperakan itu.

   Sinar tersebut menghantam sebuah pohon lain.

   Pohon itu segera lenyap seketika, tinggal serpihan bubuk yang menggunduk di tempatnya.

   "Sinting betul bocah itu!"

   Geram hati Datuk Marah Gadai.

   "Jurus 'Tapak Dewa'-ku bisa dikembalikan sambil cengengesan! Baru sekarang aku melihat ada orang yang bisa menangkis jurus 'Tapak Dewa' dengan sebatang bambu dan mengembalikan ke asalnya. Benar-benar sinting bocah itu!"

   Datuk Marah Gadai terheran-heran.

   Sementara itu, Peramal Pikun pun sempat terkejut melihat Suto bisa mengembalikan jurus 'Tapak Dewa' yang terkenal dahsyat dan berbahaya itu.

   Jurus 'Tapak Dewa' adalah salah satu jurus andalan Datuk Marah Gadai.

   Peramal Pikun tahu, jurus itu tak bisa ditangkis kecuali dihindari atau diadu dengan kekuatan yang lebih dahsyat lagi.

   Peramal Pikun pun ingat, bahwa dulu ketika sepuluh tahun yang lalu ia melawan Datuk Marah Gadai, ia dibuat kelabakan menghindari jurus 'Tapak Dewa' tersebut.

   Dulu, ia belum punya ilmu yang bisa menandingi jurus 'Tapak Dewa'.

   Sekarang ia sudah mempunyai jurus tandingan sehingga tadi ia bisa menyelamatkan Cadaspati dengan sinar merah dari kepala tongkatnya, yang dinamakan jurus 'Patuk Garuda'.

   Peramal Pikun mengakui, ia tak akan berani menangkis jurus 'Tapak Dewa'.

   Karenanya ia sangat terheran-heran melihat Suto dengan cengengesan menangkis jurus itu menggunakan bumbung tempat tuaknya.

   Peramal Pikun pun membatin.

   "Bumbung itu pasti bukan sembarang bumbung. Dan ilmu anak ini sungguh telah mewarisi ilmunya si Gila Tuak. Hanya si Gila Tuak-lah yang selama ini selalu bisa menangkis jurus-jurus maut atau ilmu-ilmu sedahsyat apa pun. Hmmm... rupanya di dalam jiwa Suto Sinting ini terpendam jiwa si Gila Tuak bersama seluruh kesaktiannya. Jika bukan orang berilmu tinggi, mempunyai kesaktian tingkat atas, tak mungkin ia bisa menangkis dan sekaligus mengembalikan jurus 'Tapak Dewa' itu. Aku berani bertaruh, bocah sinting ini akan cepat dikenal namanya di rimba persilatan. Tapi, o, ya... aku sedang ada urusan dengan Datuk Marah Gadai! Bukan mengagumi kehebatan bocah sinting itu...!"

   Kesadaran Peramal Pikun terlambat.

   Pandangannya dilayangkan ke atas, ternyata tempat itu sudah kosong.

   Pohon yang semula dipakai bertengger oleh Datuk Marah Gadai itu bagai menelan tubuh sedikit gemuk milik Datuk Marah Gadai.

   Peramal Pikun mulai bingung, la bertanya kepada Suto Sinting.

   "Ke mana orang itu tadi?"

   Murid si Gila Tuak menjawab.

   "Pergi. Lari ke sana!"

   Ia menunjuk ke arah perginya Cadaspati tadi.

   "Mungkin dia mengejar adikmu, huk... yang bernama Kadaspati itu!"

   "Cadaspati! Bukan Kadaspati!"

   Sentak Peramal Pikun membetulkan ucapan Suto yang keliru. Suto hanya tertawa sambil mengangguk.

   "Mengapa kau tidak menahannya?!"

   Kata Peramal Pikun, sepertinya menyalahkan Suto. Murid Gila Tuak itu menjawab.

   "Aku tidak ada urusan dengan dia! Jadi kubiarkan dia lari ke sana, huk...!"

   "Tapi dia akan berhasil merebut Guci Pusaka Tuak Setan dari tangan adikku!"

   "Kau bilang tadi, menurut ramalanmu, Guci Pusaka Tuak Setan akan jatuh ke tanganku, huk...! Jadi, untuk apa aku menghalangi kepergiannya!"

   "Memang akan jatuh ke tanganmu. Tapi kalau kau tidak merebutnya, tentu saja akan jatuh ke tangan orang lain!"

   "Berarti ramalanmu itu palsu!"

   "Palsu atau tidak, itu tergantung anggapan orang. Yang jelas, kau harus merebut Pusaka Tuak Setan itu dari tangan si Datuk Marah Gadai!"

   "Dia, huk... dia tidak membawa Pusaka Tuak Setan. Yang membawa adalah adikmu! Apakah kau ingin agar aku membunuh adikmu untuk merebut Guci Pusaka Tuak Setan itu?"

   "Itu berarti kau harus berurusan denganku Suto Sinting!"

   "Aku malas berurusan denganmu! Bukan karena aku takut padamu, tapi aku segan melawan orang lemah, huk!"

   Tersinggung hati Peramal Pikun dikatakan sebagai orang lemah. Tapi ia menahan diri untuk tidak melepaskan kemarahannya. la hanya berkata dalam hati.

   "Kalau bukan karena aku sedang membutuhkan dia, sudah kuhajar habis mulutnya yang mabuk itu! Sayang aku harus membujuknya untuk ikut mengejar Datuk Marah Gadai, sebab ia bisa kujadikan tameng dan menambah kekuatanku jika ia ada di pihakku. Yang jelas, Datuk Marah Gadai jangan sampai menemukan Cadaspati. Sebab aku tahu, Cadaspati terluka cukup parah. Dia tak akan mampu lagi melawan Datuk Marah Gadai."

   Suto berdiri dari duduknya dengan sempoyongan. la berkata dengan suara mabuknya.

   "Aku mau mandi, biar segar badanku!"

   "Hei, bukankah tugasmu menghancurkan Pusaka Tuak Setan?"

   "Dari mana kau tahu?"

   "Kudengarkan percakapanmu dengan si Gila Tuak dari kejauhan."

   "Oh, kalau begitu ilmumu tinggi juga, huk...! Aku mau mandi!"

   "Bocah ini benar-benar sinting!"

   Kata Peramal Pikun dalam hati.

   "Sebaiknya aku segera menyusul Datuk Marah Gadai, sebelum ia menewaskan Cadaspati!" * * * PERAMAL Pikun pergi dengan berkelebat bagaikan angin atau hantu siang hari. Suto tidak peduli lagi dengan kepergian Peramal Pikun. Hasratnya untuk mandi begitu kuat, tak bisa ditahan lagi. Bahkan dalam hatinya ia berkata.

   "Siapa tahu habis mandi bisa bertemu dengan Dyah Sariningrum. Setidaknya bunga rindu di hati yang belum pernah bertemu ini akan terpupus habis."

   Suto mulai meletakkan bumbung tuaknya.

   Baru sana ia mau membuka baju, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara orang berlari cepat ke arahnya.

   Suto buru-buru merapatkan bajunya kembali dengan wajah celingak-celinguk penuh curiga.

   Dari kerumunan semak di seberang telaga, muncul sesosok tubuh berbaju merah dan bercelana hitam.

   Suto menghempaskan napas dan menggeram jengkel dalam hatinya.

   "Kau membuatku terkejut, Paman Giri!"

   Orang yang dipanggil sebagai Paman Giri itu tak lain adalah Pujangga Kramat, manusia yang tak pernah benar dalam bicaranya. Orang tersebut segera mendekati Suto dan berkata dengan napas masih terengah-engah.

   "Itu perempuan desak aku! Desak aku itu perempuan!"

   "Paman ini mau ngomong apa kok desak-desakan sama perempuan?"

   "Itu perempuan,..!"

   "Perempuan itu?"

   Suto tertawa dalam suara tawa mabuknya yang terkekeh-kekeh.

   "Mengapa wajahmu memar begitu, Paman? Ada apa, huk?"

   "Ya, itu perempuan desak aku ketemu dia sama Guru."

   "Maksud Paman Giri, ada perempuan mendesak Paman untuk bertemu dengan Guru?"

   "Betul sangat!"

   "Sangat betul!"

   Suto membenarkan susunan katanya.

   "Lalu, apa yang membuat Paman menyusulku kemari, huk?"

   "Bahaya itu perempuan. Ganas jago dan. Dia masuk nekat dalam ke gua. Ki Gila Tuak ditantangnya pasti."

   "Guru ditantang perempuan itu?"

   "Begitu mestinya dugaanku. Dibunuh bisa guru olehnya."

   "Guru bisa dibunuh olehnya? Ah, tak mungkin itu, Paman Guru pasti bisa mengatasi seorang perempuan. Huk...!"

   "Datang cepatlah bantu Guru selamatkan."

   "Aku mau mandi."

   "Dulu tundalah!"

   "Tundalah dulu!"

   Sentak Suto membetulkan kalimat.

   "Iya. Dulu tundalah mandimu. Dari keganasan perempuan itu selamatkan gurumu!"

   "Ah, pusing aku mengartikan bahasamu, Paman! Aku mau mandi!"

   "Tahanlah!"

   "Huk..., tak bisa kutahan. Aku mau bertemu dengan Dyah Sariningrum. Malu aku, huk... kalau tak segera mandi."

   "Tega kepada kau Guru, hancurlah dia oleh perempuan itu?!"

   "Tega tak aku Guru kepada dan... aduh, kenapa bahasaku jadi ikut-ikutan kacau begini?!"

   "Pergi cepatlah ke sana!"

   "Aku mau mandi! Tahu...?!"

   Sentak Suto merasa jengkel akhirnya.

   Sentakan itu membuat Pujangga Kramat menjadi ciut nyali.

   Sentakan itu sepertinya mempunyai kekuatan tersendiri yang bisa mempengaruhi keberanian seseorang menjadi surut.

   Jika bukan berilmu tinggi, orang itu akan menjadi penurut.

   Itulah kekuatan ilmu 'Sentak Bidadari' yang diturunkan oleh Bidadari Jalang kepada Suto.

   Suto segera melepaskan bajunya dengan gerakan susah-payah karena mabuk.

   Pujangga Kramat diminta untuk membantu menarikkan bajunya.

   Karena keberanian yang surut, Pujangga Kramat menuruti perintah itu tanpa banyak bicara.

   Tetapi pada saat itu Suto sempat mendengar detak jantung di balik kerimbunan pohon.

   Mata Suto yang seperti orang mengantuk itu segera melirik ke arah rimbunan pohon.

   Baju yang telah dilepaskan segera dikenakan kembali.

   Pujangga Kramat memandang dengan heran, tak mengerti maksud Suto.

   la segera menghentakkan kaki kanannya ke tanah.

   Hentakan kaki itu bukan sembarang hentakan.

   Hentakan itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang bisa membuat air telaga di tepian sebelah seberang memercik ke arah rimbunan semak yang dicurigai Suto.

   Crattt...! "Auh...!"

   Terdengar suara pekik dari rimbunan semak. Pujangga Kramat terperanjat dan berkata.

   "Orang ada rimbunan semak dibalik."

   "Aku tahu, ada orang di balik rimbunan semak. Sebaiknya suruh keluar dia dari sana dan bicara padaku apa maunya!"

   "Itu suara perempuan. Perempuan itu jangan-jangan mau yang lawan gurumu dan bonyokkan mukaku."

   "Kau takut, Paman?"

   Suto tersenyum geli.

   "Takut tidak. Jera iya."

   Suto tertawa terkekeh, la berseru.

   "Perempuan di balik semak, keluarlah dari sana! Aku tak jadi mandi. Percuma kau tunggu aku di sana, tak bisa kau intip aku dari sana!"

   Merasa persembunyiannya sudah diketahui, perempuan yang ada di balik rimbunan semak itu pun akhirnya menampakkan wajah. la keluar dari sana dengan satu lompatan tanpa menimbulkan suara gemerisik daun. Padahal tubuhnya jelas menyentuh dedaunan.

   "Aku tidak bermaksud mengintipmu, Suto!"

   Kata perempuan itu setelah berdiri dengan kaki tegak sedikit merenggang, tampak sigap dan tegar.

   "Oh, rupanya kau, Selendang Kubur!"

   Suto memandang dengan mata merahnya yang mirip orang mengantuk. Pandangan mata itu tertuju lekat ke sorot pandangan mata Selendang Kubur. Pada saat itu, Pujangga Kramat berbisik.

   "Ini perempuan bersama tadi dengan perempuan membonyokkan wajahku. Punya teman dia masuk ke gua, temui Ki Gila Tuak."

   "Hmmm... ya, ya. Aku paham dengan maksudmu,"

   Sambil Suto mengangguk-angguk. la biarkan Selendang Kubur berjalan mendekat. Suto segera berkata.

   "Selendang Kubur, temanmu mengamuk dan masuk ke tempat istirahatnya guruku. Tolong ingatkan padanya, aku segera datang dan akan menyeretnya keluar dari gua dengan kasar!"

   "Tidak. Dewi Murka tidak bermaksud jahat menemui gurumu. la masih tidak percaya bahwa persoalan tadi sudah kita selesaikan. la bahkan tidak ingat bahwa ia telah bertemu kamu. Jadi, ia nekat masuk ke dalam gua untuk menemui gurumu dan meminta maaf atas sikap mencurigakan dari Murbawati, teman kami."

   "O, begitu?"

   "Percayalah padaku, Suto! Dewi Murka tidak akan perbuat jahat kepada gurumu."

   "Bagus kalau begitu! Huk...!"

   Ia masih sesekali celukan.

   "Lantas mengapa dia bikin bonyok wajah Paman Giri ini?"

   "Barangkali Pujangga Kramat menghalangi niat baiknya hingga ia melakukan kekerasan."

   "O, begitu?"

   "Kami orang-orang Perguruan Merpati Wingit tidak suka mencari persoalan dengan orang lain."

   "Bagus. Lalu, apa perlumu datang kemari?"

   "Menjagamu,"

   Jawab Selendang Kubur sambil memalingkan pandangan mata ke arah lain.

   "Jawabanmu sungguh lucu bagiku,"

   Suto tertawa.

   "Jawaban itu hanya alasan belaka yang dibuat-buat. Aku tahu, kau kemari, huk... untuk mengintip aku mandi!"

   Mata Selendang Kubur menyipit, tanda tak suka dengan tuduhan itu. la pun berkata dengan tegas dan berkesan ketus.

   "Kalau aku mau, tak perlu aku mengintipmu mandi. Cukup dengan keadaan seperti ini, aku sudah bisa melihatmu telanjang."

   "Hah...?l"

   Pujangga Kramat terkejut. la segera merapatkan kedua pahanya dan menutupkan tangannya ke bawah. Suto tidak demikian. Suto hanya tertawa pelan, setengah tidak percaya pada kata-kata Selendang Kubur. la berkata.

   "Jangan menyombongkan ilmu di depanku, Selendang Kubur."

   "Aku tidak menyombongkan ilmu. Memang aku bisa melihat tubuhmu tanpa pakaian walaupun kau mengenakan baju rangkap tujuh dari kulit kerbau sekalipun. Aku mempunyai 'Candra Tembus Pandang'. Dan hanya aku satu-satunya murid Perguruan Merpati Wingit yang menoleh ilmu 'Candra Tembus Pandang'."

   Senyum Suto tipis dan masih berkesan tidak percaya.

   "Kau mempunyai tahi lalat di bawah pinggulmu!"

   Kata Selendang Kubur setelah menatap Suto beberapa saat. Suto terperanjat kaget, karena kata-kata itu memang benar. Lebih terkejut lagi setelah Selendang Kubur berkata.

   "Kau tidak mempunyai pusar, dan ada noda hitam semacam tompel kecil di atas pahamu yang kanan, dekat dengan tulang pinggul."

   Menggeragap bingung Suto menghadapi perempuan berhidung mancung dan bermata bundar itu.

   Salah tingkah ia menyembunyikan dirinya, karena apa yang dikatakan Selendang Kubur mengandung kebenaran semua.

   Suto jadi percaya bahwa Selendang Kubur mampu mempunyai sorot mata tembus pandang.

   Akibatnya, Suto segera bersembunyi di belakang Pujangga Kramat.

   Tetapi Pujangga Kramat pun segera bergeser berdirinya, pindah ke belakang Suto sambil merapatkan kaki dan kedua tangan mendekap bagian bawah.

   Suto kebingungan, maka ia segera berpindah tempat kembali ke belakang Pujangga Kramat.

   Karena malu dipandang, Pujangga Kramat lari dan bersembunyi di balik pohon besar.

   Hanya kepalanya yang nongol dan berseru.

   "Bersembunyi cepat pohon di balik!"

   Buru-buru Suto mengambil bumbungnya dan lari ke balik pohon. Selendang Kubur tertawa malu dan berbalik wajah, memunggungi Suto. Dari sana ia berseru.

   "Pohon itu pun masih bisa kutembus dengan pandanganku, Suto!"

   "Celaka! Perempuan itu bikin aku susah berdiri saja?!"

   Gerutu hati Suto.

   "Pantas waktu jumpa di atas gua, dia bicara denganku memalingkan wajahnya, tak berani menatapku. Rupanya dia punya kekuatan tembus pandang, dan tak enak hati melihat tembus keadaan tubuhku saat itu. Kupikir ia bersikap tidak sopan padaku."

   Suto yang salah tingkah itu segera mengambil keputusan untuk menceburkan diri ke telaga.

   Setidaknya dengan begitu ia bisa menyembunyikan tubuhnya dan bisa memanfaatkan waktu untuk mandi.

   Maka, serta-merta Suto melompat dari balik pohon setelah melemparkan bumbungnya ke tangan Pujangga Kramat.

   Lompatannya bersalto satu kali dan, byuurrr...! Selendang Kubur terperanjat kaget dan segera menatap ke arah telaga.

   la sedikit tegang dengan berseru kepada Pujangga Kramat.

   "Apakah dia bunuh diri?"

   "Tidak dia bunuh diri, mandi tapi,"

   Jawab Pujangga Kramat yang membuat Selendang Kubur merenungkan arti kata sebenarnya.

   Setelah memahami makna kata-kata itu, Selendang Kubur tampak lega.

   la segera melesatkan tubuhnya dengan menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi, melompat bagaikan terbang dan hinggap di atas sebuah pohon.

   Duduk di dahan berukuran besar.

   la bagai seorang penjaga yang menunggu majikannya sedang mandi.

   Matanya memandang sekeliling, mengawasi kalau-kalau ada bahaya datang pada waktu Suto sedang mandi.

   la siap menghalau bahaya itu sebelum bahaya mendekati Suto.

   Semakin lama semakin berkerut cemas dahi Selendang Kubur.

   Suto tidak timbul-timbul ke permukaan air telaga.

   Hati Selendang Kubur menjadi cemas sekali, takut kalau-kalau Suto tenggelam di telaga itu.

   Maka, ia pun berseru kepada Pujangga Kramat yang masih bersembunyi di belakang pohon.

   "Hai, Pujangga Kramat...! Apakah dia bisa berenang?"

   "Entahlah!"

   Jawab Pujangga Kramat.

   "Tak pernah melihatnya aku berenang, tak pernah melihatnya aku tenggelam!"

   Selendang Kubur tidak mengerti bahwa Suto mempunyai kekuatan menahan napas cukup lama.

   Suto yang punya niat untuk sekadar mandi itu menjadi punya minat lain, yaitu ingin menyelam ke dasar telaga yang konon menjadi kuburan Pusaka Tuak Setan.

   Suto ingin mengetahui apakah Cadaspati benar sudah membawa lari Pusaka Tuak Setan, atau memang tidak menemukan apa-apa di telaga itu.

   Air di pertengahan berwarna keruh, tapi di bagian mendekati dasar telaga berwarna bening lagi.

   Mata Sumo sempat melihat benda yang separonya terkubur tanah dasar telaga.

   Benda itu sangat mencurigakan.

   Letaknya tepat ada di tengah dasar telaga.

   Suto bergegas berenang mendekatinya.

   "Hei, itu seperti benda berbentuk guci?!"

   Pikir Suto.

   Lalu, ia menghentakkan tanah yang menimbun separo benda itu.

   Dan, ternyata benda tersebut adalah guci berlumut, dibungkus dengan anyaman pandan sebagai tempat guci yang juga berlumut, bahkan ada beberapa rumah keong kecil-kecil melekat di anyaman pandan.

   "Inilah guci yang kulihat pada saat aku bersemadi di dalam gua. Berarti guci inilah yang disebut Pusaka Tuak Setan?! Hmmm... kelihatannya keras sekali dan sukar dihancurkan dengan tangan kosong. Sebaiknya kuhancurkan di darat saja. Aku harus segera muncul ke permukaan!"

   Suto bergegas berenang naik. Dalam hatinya ia sempat berkata.

   "Jadi, apa yang direbutkan oleh Cadaspati dan Datuk Marah Gadai itu? Ternyata Cadaspati memang tidak memiliki Pusaka Tuak Setan!"

   Selendang Kubur merasa lega begitu melihat kepala Suto muncul dari kedalaman air telaga.

   la tidak segera mendekatinya, karena ia tahu hal itu akan membuat Suto malu dan tak jadi naik ke darat.

   Selendang Kubur hanya duduk diam di atas pohon.

   Tapi pandangan matanya selalu tertuju pada tubuh Suto yang berpakaian basah kuyup.

   Pandangan mata yang semula menemukan keindahan dan membuat bibirnya menyunggingkan senyum itu, tiba-tiba berubah menjadi sedikit tegang.

   Rupanya pandangan mata perempuan berselendang putih di pinggangnya itu telah menangkap sebuah benda berukuran kecil di tangan Suto.

   Benda itu berbentuk guci kuno yang ukurannya sebesar genggaman tangan Suto.

   "Pusaka Tuak Setan!"

   Gumam Selendang Kubur dengan hati berdebar-debar.

   "Tuak itukah yang dikatakan sebagai Tuak Setan dan dapat menimbulkan bencana besar jika disalahgunakan? Seingatku Guru pernah menceritakan kehebatan tuak itu, yang dapat mendatangkan badai topan lewat hembusan napas orang yang meminum tuak tersebut. Oh, jelas orang itu akan menjadi sakti dan tak terkalahkan menghadapi lawan manapun juga! Jelas orang tersebut menjadi raja di atas segala raja di tanah Jawa ini. Hmmm...,"

   Selendang Kubur masih tetap diam, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Paman Giri, Pusaka Tuak Setan kutemukan!"

   Kata Suto kepada Pujangga Kramat.

   Orang berperut agak buncit itu memandang tak berkedip dengan perasaan kagum.

   Hatinya berdebar-debar.

   Sementara Guci Tuak Setan itu diperhatikan oleh Pujangga Kramat, Suto memikirkan satu keanehan pada dirinya.

   la berkata dalam hati.

   "Rasa puyeng di kepalaku jadi hilang? Hei... jalanku pun tadi tidak limbung lagi. Apakah mabukku telah hilang akibat aku menyelam di air telaga itu? Atau mabukku hilang akibat aku memegang Guci Tuak Setan ini?"

   "Suto,"

   Kata Pujangga Kramat.

   "Satu ada lagi pusaka terkubur Tuak Setan bersama!"

   "Maksudmu, ada satu pusaka lagi yang terkubur bersama Tuak Setan ini? Oh, ya... aku ingat! Cincin Manik Intan."

   "Ya. Ambillah. Ki Gila Tuak menyuruh menghancurkan pusaka dua-duanya!"

   Suto berpikir beberapa saat, kemudian kepalanya mengangguk-angguk. Mulutnya mengeluarkan kata pelan.

   "Ya, satu lagi pusaka milik Bibi Guru masih ada di dasar telaga. Sebaiknya kuambil sekarang juga. Aku tadi melihatnya di sana!"

   "Ambillah, orang lain sebelum mengambilnya!"

   "Baik, Paman Giri. Bawalah dulu guci kuno ini, aku akan menyelam kembali ke dasar telaga."

   "Lama-lama jangan. Nanti hilang napasmu."

   Suto segera melompat kembali ke dalam telaga. Tindakannya itu membuat Selendang Kubur merasa heran dan perlu berkerut dahi.

   "Mengapa ia kembali masuk ke dalam telaga?"

   Pikir Selendang Kubur.

   "Apakah dia meneruskan mandinya atau ada sesuatu yang tertinggal di dasar kubur? Mungkin sebuah atau dua buah pusaka lagi yang masih ada di sana. Hmmmm...! Sebaiknya kutunggu saja hasilnya."

   Pada saat Suto menyelam di dasar telaga kembali, tiba-tiba hatinya menjadi gundah dan resah.

   Ada sesuatu yang membuat hatinya begitu.

   la berusaha melupakan keresahan tersebut dan tetap mencari Cincin Manik Intan.

   Anehnya, cincin itu tidak ditemukan.

   Suto mengorek tanah di tempat Pusaka Tuak Setan tadi ditemukan, namun cincin itu tidak ada.

   Suto bertambah gelisah karena tidak mudah menemukan cincin itu.

   Hasratnya ingin naik ke permukaan air menjadi semakin besar.

   Sampai-sampai timbul pertanyaan di batinnya.

   "Ada apa di atas? Mengapa hasratku ingin muncul ke permukaan menjadi begitu besar? Mengapa cincin itu sendiri hilang? Tadi kulihat kilau batuannya ada di sini? Ke mana larinya cincin itu?"

   Cukup lama Suto menahan kegundahan hati. Cukup lama pula Suto menyelam mencari cincin itu. Akhirnya ia tak tahan dengan keresahan hatinya, maka ia pun segera muncul di permukaan telaga.

   "Paman Giri, aku tidak...,"

   Kata-kata Suto terhenti seketika.

   Pandangan matanya menemukan sesuatu yang amat mengejutkan.

   Mata Suto pun melebar.

   la segera jejakkan kakinya yang ada di dalam air, dan tubuhnya melesat terbang dari kedalaman air, lalu ia bersalto satu kali di udara.

   Kakinya mendarat dengan tegar di samping sesosok tubuh yang terbujur kaku membiru.

   "Paman Giri...!"

   Suto menyentakkan kata untuk membangunkan Pujangga Kramat.

   Ternyata orang itu masih belum bisa membuka matanya.

   Sekujur tubuhnya menjadi pucat kebiru-biruan.

   Di bagian lehernya ada jarum.

   Suto mencabut jarum itu.

   Diamatinya beberapa saat, dan ternyata jarum itu serupa dengan jarum beracun yang mengenai punggung Dewi Murka.

   "Celaka! Pusaka Tuak Setan tidak ada di tangan Paman Giri! Pasti ada yang telah mencuri atau merebutnya dengan terlebih dulu merubuhkan Paman Giri memakai jarum beracun. Hmmmm... Selendang Kubur... di mana dia? Mengapa Selendang Kubur pun hilang? Benarkah Selendang Kubur yang merebut Pusaka Tuak Setan itu?"

   Suto bergegas mengambil bumbung tempat tuak yang masih tetap bersandar di bawah pohon. Tapi dalam hatinya ia masih berkata.

   "Jika benar Selendang Kubur telah mencuri Pusaka Tuak Setan dan meminum tuaknya, maka dia adalah satu-satunya orang yang bisa menghancur leburkan tanah Jawa! Keparat! Ke mana perginya Selendang Kubur? Pulang ke perguruannya? Hmmm... jelas tak mungkin! Jadi, ke mana aku harus mencari Selendang Kubur?"

   SELESAI Segera menyusul!!! Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting dalam episode. DARAH ASMARA GILA E-book by. paulustjing Email. paulustjing@yahoo.com

   

   

   

Dewa Arak Dewi Penyebar Maut Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung/Tjan Id

Cari Blog Ini