Ceritasilat Novel Online

Tiga Iblis Gunung Tandur 2


Pendekar Naga Putih Tiga Iblis Gunung Tandur Bagian 2



Untunglah Panji hanya mengerahkan sepertiga dari tenaga dalamnya itu.

   Kalau tidak, tentu tubuh Lujita sudah remuk dibuatnya.

   Panji berniat mengirimkan kembali tendangannya.

   Tapi niatnya segera diurungkan karena telinganya menangkap desiran angin tajam di belakangnya.

   Ternyata Lukita ingin mengambil kesempatan selagi Panji mendesak Lujita dengan serangan beruntun.

   Serangan Lukita yang menimbulkan desir angin tajam itu, untuk beberapa saat dapat menyelamatkan jiwa saudaranya dari kematian.

   Tapi, Panji yang memang sudah merasa muak dengan kelakuan mereka tidak mau tanggung-tanggung lagi Segera dibalasnya serangan Lukita dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya.

   Tentu saja Lukita menjadi kalang kabut menerima serangan balasan dari pemuda itu.

   Laki-laki saudara Lujita itu menghindari serangan-serangan yang dahsyat dan berbahaya.

   Sementara itu, Lujita yang masih terkapar akibat tendangan Panji tadi, berusaha untuk bangkit berdiri.

   Dicobanya mengusir hawa dingin yang mengeram dalam tubuhnya, dengan mengerahkan tenaga dalamnya.

   Bebe-rapa saat kemudian, Lujita sudah mampu tegak berdiri.

   Di tangan kanannya tergenggam sebatang golok besar.

   "Aaakh...!"

   Terdengar sebuah jeritan yang panjang dari tengah arena pertempuran.

   Rupanya, Lukita yang sudah terdesak oleh Panji itu, tak dapat mempertahankan dirinya lagi.

   Sebuah serangan yang dilakukan oleh pemuda itu dalam rangkaian ilmu 'Naga Sakti' itu, bersarang dengan telak dada Lukita! Tubuh Lukita terhempas bagai sebra daun kering yang tertiup angin.

   Dari mulutnya mengalir darah kental.

   Orang termuda Sepasang Harimau Terbang itu, tewas seketika dengan dada terobek lebar! Bukan main marahnya Lujita melihat kematian adiknya itu.

   Maka tubuhnya pun melesat diiringi teriakan yang mengguntur.

   Golok besarnya berkelebat ganas.

   Dicecarnya Panji dengan sabetan-sabetan golok besar yang berkelebatan cepat.

   Suara golok mengaung dahsyat, menandakan kalau golok besar itu digerakkan oleh tenaga yang kuat.

   Panji sudah tidak ingin memperpanjang waktunya.

   Maka, ketika Lujita membabatkan golok besarnya ke arah pinggangnya, pemuda itu menggeliat dengan kuda-kuda rendah, sambil melepaskan pukulan jarak jauh dengan jari-jari terbuka membentuk cakar naga.

   Serangkum angin yang amat dingin bertiup keras mengiringi pukulan itu.

   Inilah jurus 'Pukulan Naga Sakti'.

   Desss! Pukulan jarak jauh Panji bersarang telak di tubuh lawannya itu.

   Lujita menjerit kesakitan Tubuhnya ter-pental sejauh tujuh tombak dari tempatnya sendiri.

   Kontan orang tertua dari Sepasang Harimau Terbang itu tewas dengan tubuh membiru! Para pengikut Sepasang Harimau Terbang yang masih selamat, segera menjatuhkan diri bersimpuh hadapan Panji.

   "Ampunkan kami, Tuan Pendekar! Kami... Kami ber-janji... Tidak akan melakukan perbuatan jahat lagi. Ja-ngan bunuh kami, Tuan Pendekar!"

   Ratap mereka, sambil membentur-benturkan kepalanya ke tanah.

   "Hm! Manusia-manusia macam kalian, mestinya tidak bisa diberi hati! Sekarang kalian meratap-ratap meminta ampun, tapi besok kalian akan mengulangi perbuatan jahat lagi!"

   Dengus Panji sengit. Tubuh orang-orang itu menjadi gemetar. Wajah-wajah mereka pucat seperti kertas mendengar kata-kata Panji itu.

   "Ampun, Tuan Pendekar! Kami tobat...! Sungguh, Tuan Pendekar...! Kami berjanji...!"

   Ujar mereka lagi, dengan suara terputus-putus.

   "Baiklah! Untuk kali ini, kuampuni! Tapi ingat! Apabila kudapati kalian berbuat jahat lagi, maka akan kubunuh! Mengerti?!"

   Ancam Panji.

   "Kami mengerti, Tuan Pendekar! Dan kami berjanji tidak akan mengulanginya lagi!"

   Jawab mereka sambil mengangguk-anggukkan kepala.

   "Nah! Sekarang minggatlah dari hadapanku!"

   Bentak pemuda itu. Sambil mengucapkan terima kasih berulang-ulang, mereka segera berlari meninggaikan tempat itu. Panji lalu melangkah, mendekati ketiga orang wanita yang masih berangkulan. Wajah mereka nampak pucat.

   "Mereka sudah pergi semua,"

   Ujar Panji sambil terse-nyum. Ketiga orang wanita itu mencoba untuk tersenyum sambil memandang kagum kepada Panji.

   "Ah! Ternyata Tuan adalah seorang pendekar yang sangat sakti!"

   Kata gadis yang berambut sebahu.

   "Benar. Sepak terjang Tuan tadi mirip seekor naga yang sedang mengamuk,"

   Sambung gadis yang berwajah bulat telur dan berambut panjang sampai ke pinggang. Gadis yang paling cantik.

   "Benar, Tuan. Tepatnya seperti seekor naga putih!"

   Ucap yang satunya lagi. Panji berdebar dadanya, ketika melihat sinar keme-sraan dari pandangan ketiga orang wanita itu.

   "Ayolah kita berangkat! Hari akan gelap!"

   Ajak Panji, untuk menyembunyikan kegugupannya.

   Mereka lalu meneruskan perjalanan menuju desa tem-pat tinggal ketiga orang gadis itu.

   Panji berjalan agak jauh di belakang mereka karena merasa kikuk melihat tatapan penuh pesona kepadanya.

   Di ufuk Barat, mulai terlihat sinar kemerahan.

   Pertan-da sang matahari sudah menyelesaikan tugasnya untuk hari ini.

   Sementara kegelapan pun mulai menyelimuti bumi.

   Sang dewi malam pun bersiap-siap memancarkan keindahan sinarnya.

   *** Alam telah diselimuti kegelapan, ketika empat sosok tubuh memasuki perbatasan Desa Tambak.

   Mereka terdiri dari tiga orang wanita dan seorang pemuda tampan berjubah putih.

   Ketiga orang wanita itu rata-rata berwajah cantik.

   Terlebih lagi, wanita yang berambut paling panjang.

   Wajahnya yang bulat telur itu, nampak sedap dipandang mata.

   Bibirnya yang merah dan berbentuk bagus, nampak selalu dihiasi senyum menggoda.

   Tubuhnya yang tinggi semampai, semakin menambah daya tariknya.

   "Ehm, inikah desa tempat tinggal kalian?"

   Tanya si Pemuda Tampan, yang ternyata adalah Panji.

   "Benar, Tuan Pendekar! Inilah desa kelahiran kami!"

   Jawab dua orang dari ketiga wanita itu. Sedangkan si gadis yang berwajah bulat telur, hanya menoleh sekilas disertai dengan senyumnya yang menawan.

   "Ah! Janganlah memanggilku dengan sebutan seperti Itu! Kalian hanya membuatku serba salah saja,"

   Ujar Panji kikuk.

   "Hm, bagaimana kalau kalian panggil aku Panji saja."

   "Baiklah, hm... Kakang Panji,"

   Jawab keduanya meng-goda.

   Belum jauh mereka memasuki Desa Tambak, tampak di sebelah depan serombongan orang berkuda bergerak menuju perbatasan.

   Rombongan itu terdiri dari dua pu-luh orang laki-laki, dengan senjata di pinggang.

   Keliha-tannya mereka bersiap-siap untuk menghadapi sebuah pertarungan.

   Rombongan berkuda itu, dipimpin seorang laki-laki yang berusia sekitar enam puluh tahun.

   Wajahnya yang gagah dan bersih itu, ditumbuhi bulu-bulu halus di seki-tar pipi dan dagunya, sehingga semakin terlihat berwi-bawa.

   Lelaki gagah itu, diapit dua orang yang merupakan pembantu-pembantu utamanya.

   Yang di sebelah kanan mengenakan baju serba biru dengan ikat kepala dari kain yang sama.

   Dilihat dari wajahnya yang cukup tampan itu, paling tidak dia berusia sekitar tiga puluh tahun.

   Sinar matanya yang tajam, menandakan bahwa ia bukan orang yang lemah.

   Sedangkan yang di sebelah kiri, mempunyai wajah agak kasar.

   Sebaris kumis lebat melintang di antara hidung dan bibimya, sehingga terlihat galak dan angker.

   la berusia sekitar tiga puluh lima tahun Di punggungnya tampak tergantung sebilah pedang.

   Sepertinya si Kumis Lebat ini tidak asing dengan ilmu olah kanuragan.

   Rombongan jtu terus melarikan kudanya keluar perba-tasan Desa Tambak.

   Wajah-wajah mereka terlihat tegang, sehingga tidak lagi memperhatikan keadaan sekelilingnya.

   "Ayah...!"

   Teriak si gadis berambut panjang, yang ber-jalan didepan Panji. Gadis berambut panjang itu segera berlari menyong-song rombongan berkuda. Direntangkan tangannya di tengah jalan, yang akan dilewati rombongan itu "Ayah...!"

   Teriaknya lagi dengan suara yang lebih nyaring. Lelaki gagah yang memimpin rombongan berkuda segera mengangkat sebelah tangannya ke atas. Serentak, orang-orang yang berada di belakang orang tua gagah Itu menghentikan kuda-kudanya.

   "Eh! Bukankah itu Adik Kenanga?"

   Tanya si Kumis Lebat, dengan wajah keheranan.

   "Kau... kau...,"

   Ujar orang tua itu gugup. Dikucek-kucek kedua matanya, seolah-olah tak percaya dengan yang dilihatnya. Matanya melotot bagaikan melihat hantu di siang bolong. Dengan wajah bingung, orang tua itu melorot turun dari atas punggung kudanya.

   "Benar, Tuan! Dia adalah Den Ayu Kenanga...!"

   Tegas kedua orang wanita yang sudah pula berdiri di samping gadis yang benama Kenanga itu. Sementara Panji hanya membisu di belakangnya.

   "Anakku...,"

   Ujar orang tua gagah itu bergetar. Dia segera melangkah mendekati gadis itu. Kedua tangannya dikembangkan.

   "Ayah...!"

   Gadis yang bernama Kenanga itu segera menghambur ke dalam pelukan ayahnya. Tangisnya pun meledak, ketika tangan orang tua gagah itu memeluknya penuh kasih sayang.

   "Anakku... anakku...,"

   Desah orang tua itu penuh rasa haru.

   Para anggota rombongan yang menyaksikan pertemuan ayah dan anak itu menjadi terharu.

   Sebentar kemudian wajah mereka berubah cerah, karena berarti tidak perlu lagi bersusah-payah mencari Kenanga.

   Sementara, Panji memalingkan wajahnya ke tempat lain Rasanya tak sanggup menyaksikan keharuan itu.

   la jadi teringat dengan kedua orang tuanya yang telah tiada.

   Samar-samar terbayang wajah ketiga orang pembunuh ayah ibunya.

   Panji cepat-cepat mengusir bayangan itu, karena suasananya jelas tidak memungkinkan.

   Sementara, suasana haru antara ayah dan anak itu sudah mereda, dan telah berganti dengan suasana gembira.

   "Anakku, bagaimana caranya kau dapat terbebas dari tangan Sepasang Harimau Terbang yang terkenal ganas itu?"

   Tanya orang tua yang masih belum memperhatikan orang-orang di sekelilingnya itu.

   "Oh!"

   Sentak gadis itu terkejut.

   "Aku sampai lupa! Ayah, mari kuperkenalkan dengan Kakang Panji!"

   Ajak Kenanga sambil menggandeng tangan ayahnya dengan wajah berseri-seri. Kedua orang ayah beranak itu, segera melangkah mendekati Panji. Sedangkan pemuda itu hanya tersenyum sambil memberi hormat kepada orang tua yang tengah digandeng Kenanga.

   "Ayah! Inilah Kakang Panji yang telah menyelamatkan kami bertiga. Entah apa yang akan terjadi terhadap kami, apabila tidak ada Kakang Panji!"

   Ujar gadis itu memper-kenalkan pemuda itu kepada ayahnya. Orang tua gagah itu, memperhatikan Panji sejenak. Seraut wajah yang tampan dengan jubah putih dari kain sederhana itu masih tertunduk malu. Rasanya dia enggan untuk menyombongkan diri.

   "Orang muda! Aku Ki Umbaran, mengucapkan banyak terima kasih atas pertolonganmu!"

   Ucap orang tua itu sambil mengulurkan tangannya kepada Panji.

   "Ah! Hanya kebetulan saja, Paman! Lagi pula, bukan-kah memang sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong!"

   Sambut Panji merendah.

   Orang tua gagah yang ternyata bernama Ki Umbaran, menjadi kagum akan perkataan yang tulus dari Panji itu.

   Seorang pemuda yang berjiwa bersih dan menolong tanpa pamrih.

   Panji lalu diperkenalkan kepada Kenanga dan juga kedua orang wanita yang ditolongnya itu.

   Sebab, selama dalam perjalanan Panji sama sekali tidak pernah tahu nama mereka! Masalahnya, ketiga gadis itu pun Juga tak mau menyebutkan namanya.

   Mungkin malu.

   "Hm.... Begini, Paman! Berhubung persoalan ini sudah selesai, maka saya mohon diri untuk meneruskan perja-lanan saya,"

   Ujar Panji lagi.

   "Eh, mengapa begitu, Panji? Mengapa tidak singgah dulu di rumah kami? Lagi pula, hari sudah larut malam. Bukankah tidak enak melakukan perjalanan di malam hari?"

   Mohon Ki Umbaran sungguh-sungguh.

   "Eh..., saya..., saya masih banyak urusan yang harus diselesaikan!"

   Ujar Panji Heran! Mengapa aku menjadi demikian gugup? Pikir pemuda itu tak mengerti.

   Mungkin kegugupannya karena tatapan Kenanga yang begitu mem-pesona.

   Karena asyiknya melamun, Panji tidak mendengar uca-pan Kenanga yang ditujukan kepadanya.

   Sehingga, gadis itu harus mengulangi lagi perkataannya sambil menyen-tuh lengan Panji.

   "Eh! Oh..., apa...?"

   Ucapnya dengan wajah ketololan-nya. Kenanga tersenyum geli melihat pemuda itu terkejut, dan menatapnya dengan bingung.

   "Kakang sih, terlalu asyik melamun! Sampai-sampai pertanyaanku tidak terdengar!"

   Kata gadis itu. Suaranya begitu merdu terdengar.

   "Oh..., maaf! Aku tadi sedang berpikir tentang perjala-nanku!"

   Panji berbohong. Kenanga yang tidak ingin menggoda Panji, segera mengulangi pertanyaannya.

   "Aku tadi bertanya, ke mana Kakang akan pergi pada malam selarut ini? Apakah tidak lebih baik Kakang me-nginap di desa kami? Ayah tentu akan menyediakan tempatnya! Bukankah begitu. Ayah?"

   Ujar Kenanga sam-bil menoleh kepada Ki Umbaran. Ki Umbaran menganggukkan kepalanya, lalu melang-kah mendekati Panji. Dan dipegangnya kedua pundak pendekar itu.

   "Benar, Panji! Menginaplah di sini untuk barang sema-laman. Dan esok pagi, kau bisa melanjutkan perjalanan-mu dengan tubuh yang lebih segar,"

   Tegas Ki Umbaran.

   "Ayolah, Kakang!"

   Pinta kedua orang wanita yang telah ditolongnya itu.

   "Baiklah, Paman! Maaf kalau aku telah mengganggu,"

   Jawab Panji tak kuasa untuk menolak terus-menerus.

   "Ah! Tidak apa-apa, Panji! Malah sebaliknya, kamilah yang telah mengganggu perjalananmu!"

   Jawab Ki Umba-ran.

   Maka, rombongan itu pun segera kembali ke desa.

   Sementara, seraut wajah dengan senyum sinis selalu memperhatikan Panji.

   Matanya memancarkan sinar keben-cian.

   Rombongan itu kemudian berhenti didepan sebuah rumah yang cukup besar, dan berhalaman luas.

   Ki Um-baran berpaling menghadap ke arah rombongannya.

   "Saudara-saudara sekalian! Sekarang kalian boleh pulang ke rumah masing-masing. Dan aku mengucapkan terima kasih atas bantuan saudara-saudara,"

   Ucap Ki Umbaran.

   Suaranya terdengar berat dan berwibawa.

   Selesai Ki Umbaran berkata demikian, warga desa itu pun bergegas meninggalkan tempat itu dengan perasaan lega.

   Tinggallah di situ, Ki Umbaran, Kenanga, Panji dan dua orang pembantu utama kepala desa itu.

   "Jadi, Paman adalah kepala desa ini?"

   Tanya Panji pelahan.

   "Begitulah yang mereka percayakan kepadaku, Panji!"

   Jawab Ki Umbaran merendah.

   "Mari, kita bicara di dalam saja."

   Kelima orang itu pun segera melangkah memasuki ruangan depan rumah besar itu. Sedangkan kedua orang pembantu utama Ki Umbaran, tetap berjaga-jaga di luar gedung. Sepasang mata penuh rasa iri kembali mengikuti langkah kaki Panji.

   "Silakan, Panji!"

   Ujar Ki Umbaran setelah mereka ber-ada di sebuah ruangan yang cukup luas. Sepertinya, ruangan itu dikhususkan untuk pertemuan jika ada tamu agung.

   "Terima kasih, Paman!"

   Ki Umbaran lalu meminta agar Panji bercerita tentang kejadian di hutan itu, hingga ia dapat membebaskan Kenanga dan dua orang pembantunya.

   Dengan sederhana dan singkat, Panji pun segera menceritakan pengalamannya.

   Dia sama sekali tak menying-gung tentang kepandaian, apalagi pamrihnya.

   "Eh! Jadi, Sepasang Harimau Terbang itu sudah ter-bunuh olehmu?"

   Tanya Ki Umbaran. Wajahnya meman-carkan ketidakpercayaan.

   "Ah, sebenarnya itu hanya karena mereka lengah saja, Paman!"

   Ujar Panji merendah.

   "Ah! Padahal kepandaian Sepasang Harimau Terbang hebat sekali! Bagaimana caranya pemuda ini dapat mem-bunuh mereka?"

   Tanya Ki Umbaran dalam hati. Tentu saja, pertanyaan Ki Umbaran ini tidak diungkapkannya kepada Panji. Dugaannya, pemuda itu pasti tidak akan mengatakannya. Hanya saja dia menduga-duga, sampai di mana kepandaian yang dimiliki pemuda di hadapannya ini.

   "Apakah kau juga telah melepaskan para pengikut Sepasang Harimau Terbang yang masih hidup?"

   Tanya Ki Umbaran lagi. Wajahnya agak gelisah.

   "Betul, Paman! Karena mereka telah berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya,"

   Jawab Panji.

   "Eh! Ada apakah, Paman?"

   Tanyanya ketika melihat wajah Ki Um-baran gelisah.

   "Ah! Sungguh berbahaya sekali...!"

   Desah orang tua itu sambil menghela napas berat.

   "Kenapa, Paman...?"

   Tanya Panji.

   Dia masih belum mengerti hal apa yang membuat Ki Umbaran resah.

   Ki Umbaran terdiam sejenak, seperti sedang memikir-kan sesuatu.

   Dahinya berkerut seperti tengah memba-yangkan sesuatu.

   Dengan sebuah helaan napas berat bagai ingin melepaskan beban di dadanya, Ki Umbaran membuka suaranya.

   "Panji, sebenarnya Sepasang Harimau Terbang masih mempunyai seorang guru yang sangat kejam dan memiliki kepandaian yang tinggi."

   "Sepasang Harimau Terbang masih mempunyai guru?"

   Tanya Panji heran Setelah berpikir sejenak, barulah dapat ditangkapnya arah pembicaraan Ki Umbaran itu.

   "Jadi, maksud Paman, orang-orang yang saya bebaskan akan mengadu kepada guru mereka?"

   Lanjutnya.

   "Bisa jadi begitu!"

   Jawab Ki Umbaran.

   "Lalu, Guru Sepasang Harimau Terbang akan datang ke desa ini?"

   Tanya Panji lagi.

   "Itulah yang kukhawatirkan, Panji."

   "Siapa nama guru Sepasang Harimau Terbang itu, Paman?"

   "Julukannya Laba-Laba Beracun. Tak seorang pun yang mengetahui nama aslinya. Kepandaiannya sangat tinggi, dan jarang ada tokoh persilatan yang dapat me-nandingi kesaktiannya! Dan, kalau iblis itu datang ke desa ini, sudah dapat dipastikan bahwa desa ini akan musnah!"

   Tegas Ki Umbaran, penuh duka.

   "Ah! Sungguh berbahaya sekali!"

   Desah Panji. Jelas dia ikut khawatir karena secara tidak langsung dialah yang telah menjadi sebabnya.

   "Paman! Kalau benar iblis itu akan menyerang desa ini, biarlah saya yang akan meng-hadapinya!"

   Lanjut Panji, tanpa bermaksud ingin menonjolkan kepandaiannya sedikit pun.

   "Ah! Terima kasih, Panji! Tentu saja bantuanmu sangat berarti bagi kami!"

   Ujar Ki Umbaran.

   Wajahnya kembali berseri.

   Meskipun belum menyaksikannya sendiri, namun ia merasa yakin bahwa kepandaian pemuda di hadapan-nya tentu sangat tinggi.

   Kalau tidak, bagaimana mungkin dapat mengalahkan Sepasang Harimau Terbang yang hebat itu? Walaupun tentu saja ia tidak yakin kalau pe-muda ini akan mampu menghadapi Laba-Laba Beracun! "Hhh! Hari sudah semakin jauh malam, Panji! Kau ten-tu sudah lelah, dan ingin beristirahat, bukan? Ah! Dasar aku tuan rumah tidak tahu adat! Masa tidak tahu tamu-nya sudah merasa lelah!"

   Kata kepada desa itu sambil tertawa.

   "Ah! Tidak mengapa, Paman! Aku pun belum mengan-tuk!"

   Jawab Panji tersenyum.

   "Ah, sudahlah,"

   Ucap Ki Umbaran, kemudian segera memanggil salah seorang pelayannya.

   Dengan segera, seo-rang pelayan terbungkuk-bungkuk datang menghampiri.

   Pelayan itu diperintahkan untuk mengantarkan Panji ke kamar yang telah dipersiapkan.

   Sebentar Panji memandang Ki Umbaran lalu segera mengikuti pelayan itu.

   KI Umbaran menganggukkan kepalanya yang penuh dengan bayangan kejadian yang akan menimpa desanya.

   Sementara, Panji sudah merebahkan tubuhnya di pembaringan.

   Sejenak pikirannya melayang pada kejadian sore tadi yang dialaminya.

   Dan sekilas muncul bayangan seraut wajah berbentuk bulat telur.

   Rambutnya yang panjang dan hitam.

   Wajah Kenanga! Cepat-cepat dihapus-nya bayangan indah yang melintas di alam pikirannya itu.

   Sebentar kemudian, terdengar suara dengkurnya yang halus.

   *** Hari masih gelap.

   Fajar pun belum lagi terbit.

   Suara jengkerik pun masih terdengar bersahut-sahutan.

   Namun, di pagi yang segar itu Panji telah terbangun dari tidurnya.

   Tubuhnya terasa segar sekali.

   Dibukanya jen-dela, agar udara sejuk dapat masuk memenuhi ruangan kamarnya..Panji melangkah keluar dari kamarnya karena ingin menikmati udara di pagi yang sejuk dan menyegarkan.

   Pemuda itu terus melangkah pelahan sambil bibirnya ter-senyum-senyum sendiri.

   Sesekali pemuda itu menghirup udara sebanyak-banyaknya sambil mengangkat kedua tangannya.

   Tanpa disadari, Panji telah memasuki taman yang berada di belakang rumah kepala desa itu.

   Hatinya yang diliputi kegembiraan itu, semakin bertambah gembira ke-tika melihat di sekitarnya banyak bunga yang bermekaran beraneka ragam.

   Tiba-tiba, telinganya yang tajam menangkap suara desiran-desiran angin.

   Suaranya jelas berbeda, dan lebih tajam dari sekedar tiupan angin.

   Tidak lama kemudian, terdengar bentakan-bentakan merdu dan bertenaga, yang membuat hati Panji semakin penasaran.

   "Hm.... Siapakah yang sedang berlatih silat di pagi buta begini?"

   Gumamnya tak jelas.

   Rasa ingin tahu yang me-nguasai perasaan membuat Panji lupa bahwa dirinya ada-lah seorang tamu yang tentu saja tidak boleh keluar masuk seenaknya.

   Pemuda itu terus melangkah pelahan, menuju bela-kang taman.

   Gerakan-gerakan yang cukup mantap diser-tai bentakan-bentakan halus bersuara merdu itu, ter-nyata datangnya dari seorang gadis.

   Begitu indah sekali, bagaikan sebuah tarian saja layaknya.

   Kakinya yang ram-ping bergerak gesit, mengikuti gerakan tangan mungil berkulit halus.

   Panji menyaksikan semua itu, dengan mata tidak ber-kedip.

   Seolah-olah ia takut kalau gadis itu menghentikan gerakannya.

   Ia sengaja bersembunyi di balik rerimbunan tanaman bunga.

   Tiba-tiba, gadis itu melompat ke belakang, lalu seorang gadis lain memberikan sebilah pedang yang besi gagang indah kepadanya.

   Gagang pedang itu dihiasi rangkaian bunga berwama biru, sehingga nampak semakin menarik.

   Apalagi yang memegang adalah seorang gadis cantik bagai bidadari, maka semakin sedap lah dipandang mata.

   "Haiiit..!"

   Gadis itu berteriak lembut disertai ayunan pedangnya.

   Dan mulailah dia memainkan jurus-jurus pedang yang indah dan menawan.

   Suara ayunan pedangnya berdesing membelah udara pagi yang bening.

   Meskipun jurus-jurus ilmu pedang yang dimainkannya mempunyai banyak kelemahan di sana-sini, namun Panji harus mengakui kalau permainannya benar-benar indah dipandang mata.

   Panji bagaikan melihat seorang bidadari yang sedang memainkan tarian pedang.

   Tidak lama kemudian, gadis jelita itu pun menyudahi permainan pedangnya.

   Wajahnya kemerahan, karena aliran darahnya semakin lancar.

   Sehingga semakin me-nambah kecantikannya.

   Gadis itu segera menyeka peluh di sekitar leher dan dahinya.

   Karena terlalu terpesonanya dengan permainan pedang gadis itu, tanpa sadar Panji keluar dari tempat persembunyiannya sambil bertepuk tangan.

   "Ah, hebat sekali, Adik Kenanga! Hebat sekali!"

   Puji pe-muda itu sambil bertepuk tangan. Senyumnya mengem-bang di bibir. Si Gadis Jelita yang ternyata adalah Kenanga, menjadi terkejut sekali ketika Panji muncul. Wajah gadis itu men-jadi semakin merah karena rasa jengah dan malu.

   "Ah! Kakang Panji! Membuat aku malu saja! Mana bisa kepandaianku yang jelek disejajarkan dengan kepandaian Kakang?"

   Kilah gadis itu sambil tersipu malu.

   "Eh! Bagai-mana Kakang bisa berada di sini?"

   Tanya gadis itu. Panji baru menyadari kesalahannya. Pemuda itu men-jadi kikuk, sehingga untuk beberapa saat lamanya ia hanya berdiri bengong.

   "Eh! Aku... aku... itu...!"

   Jawab Panji gugup. Dia jadi serba salah dan malu akibat kecerobohannya itu. Diam-diam pemuda itu mengutuk dirinya, yang telah berbuat tolol itu.

   "Ah, sudahlah, Kakang! Kau tidak berbuat salah!"

   Kata gadis itu sambil tersenyum, yang membuat dada Panji terguncang.

   "Lagi pula, aku hanya terkejut karena kau sudah bangun sepagi ini,"

   Lanjut Kenanga lagi. Panji, yang sudah dapat menguasai perasaannya itu hanya dapat tersenyum masam.

   "Maafkan aku, Adik Kenanga! Sungguh tidak ku-sengaja untuk melangkah ke sini! Suasana pagi yang begitu segar tanpa terasa telah membawa langkahku ke taman!"

   Ucap Panji, dengan perasaan bersalah.

   "Benar, Tuan Pendekar... eh! Kakang Panji! Kami ha-nya terkejut!"

   Jawab gadis berambut sebahu, yang sudah pula datang mendekat. Sementara itu, Kenanga mempunyai pikiran untuk menggunakan kesempatan ini. Dia sudah menyaksikan kepandaian pemuda di hadapannya itu, mengapa tidak meminta petunjuk kepadanya.

   "Kakang Panji! Menurutmu, bagaimanakah permai-nanku tadi?"

   Tanya Kenanga memancing "Bagus! Dan indah sekali!"

   Jawab Panji, tanpa menyembunyikan kekagumannya Panji memang berkata yang sebenarnya.

   "Eh! Maksudku bukan begitu, Kakang!"

   Bantah Kena-nga, meskipun ia merasa bangga juga dipuji pemuda se-perti Panji. Siapa yang akan tidak merasa bangga, apabila orang yang diimpikannya memuji-muji dirinya? "Lalu, maksudmu?"

   Tanya Panji tak mengerti.

   "Ah! Kakang Panji ini, mengapa harus berpura-pura?"

   Sergah gadis yang lainnya lagi.

   "Bukankah apa yang dimaksudkan Den Ayu Kenanga sudah jelas?"

   Sambung-nya lagi.

   "Eh! Aku.. Aku sungguh belum mengerti?"

   Jawabnya bingung. Sebab pemuda itu memang benar-benar belum mengerti maksud perkataan Kenanga.

   "Hm.... Begini, Kakang!"

   Ujar Kenanga.

   "Aku... eh! Bo-lehkah aku meminta petunjukmu tentang ilmu olah ka-nuragan?"

   Pintanya sambil menundukkan kepala dalam-dalam.

   "Ah! Aku... aku tidak bisa apa-apa...,"

   Tolak Panji halus.

   "Aaah! Sudah kuduga kalau Kakang akan menolak-nya,"

   Jawab gadis itu. Wajahnya penuh sinar kekecewaan. Hati Kenanga menjadi kecewa ketika mendengar penola-kan pemuda pujaannya itu.

   "Eh... oh! Bukan... bukan begitu maksudku, Adik Ke-nanga! Aku... aku... aaah...!"

   Panji tak sanggup menerus-kan kata-katanya.

   "Ah! Sudahlah, Kakang! Aku memang tak patut men-dapat petunjuk darimu!"

   Tegas Kenanga sambil memba-likkan tubuh dan berlari meninggalkan tempat itu. Keli-hatannya dia kecewa sekali.

   "Adik Kenanga! Tunggu!"

   Kata Panji serak.

   Dan pemuda itu pun segera melesat mengejar Kenanga yang dirundung kekecewaan.

   Dengan sekali lompatan saja, tubuh Panji telah berdiri menghadang di depan Kenanga.

   Karena ter-bawa perasaan yang tak menentu, Panji mengulurkan kedua tangannya dan memegang bahu gadis itu.

   Keduanya berdiri bingung.

   Tubuh sepasang muda-mudi itu bergetar.

   Aliran darah mereka seolah-olah ter-balik.

   Begitu sadar, Panji menarik kedua tangannya dan wajahnya langsung berubah kemerahan.

   Demikian pula halnya dengan Kenanga.

   Untuk bebe-rapa saat tadi, ia seperti terlena oleh sentuhan tangan Panji.

   Bidadari jelita itu pun tertunduk malu.

   Pipinya me-merah saga.

   "Eh.... Adik Kenanga, aku..., aku minta maaf! Sebenamya bukan maksudku untuk menolak, tapi aku...,"

   Panji bagaikan kehabisan kata-kata, sehingga tidak tahu hams mengucapkan apa.

   "Ah! Sudahlah, Kakang! Lupakan saja permintaanku tadi!"

   Jawab Kenanga bersungguh-sungguh.

   "Adik Kenanga, sebenarnya aku suka sekali untuk memberikan petunjuk kepadamu. Tapi, bagaimana dengan ayahmu?"

   "Aku tidak keberatan, Panji!"

   Jawab sebuah suara. Dan tiba-tiba saja sesosok tubuh gagah, melangkah keluar dari batik semak-semak dan langsung menghampiri mereka.

   "Ayah...!"

   Seru gadis jelita itu sambil tersipu malu.

   "Ah! Paman..!"

   Ujar Panji kaget. Sosok tubuh gagah itu ternyata adalah Ki Umbaran. Dia tersenyum sambil menepuk-nepuk punggung Panji. Memang Ki Umbaran merasa maklum akan alasan pemuda itu.

   "Nah! Apa lagi yang kalian tunggu? Bukankah aku telah menyetujuinya?"

   Kata Ki Umbaran, mempertegas keragu-raguan Panji.

   Selama ini, memang Ki Umbaran lah yang mendidik ilmu olah kanuragan kepada Kenanga.

   Sebenarnya dia ingin menitipkan anaknya kepada padepokan yang ba-nyak terdapat di daerah Selatan.

   Namun, karena Kenanga anak satu-satunya, maka Ki Umbaran tidak sampai hati melepaskannya.

   Dan kini, ada seorang pemuda yang menurut anaknya memiliki kepandaian tinggi.

   Maka apa salahnya jika hanya untuk menyetujuinya.

   Lagi pula pemuda itu sangat sopan! Jadi, tidak perlu ada yang ditakutkannya.

   Akhirnya, Panji pun setuju akan permintaan Kenanga itu.

   Pada pagi hari itu juga, Panji mulai memberi petunjuk tentang kelemahan ilmu olah kanuragan pada gadis itu.

   Sementara Ki Umbaran yang tidak ingin mengganggu ketekunan Panji, sudah meninggalkan taman itu.

   Kepala Desa Tambak itu, merencanakan akan membuat sebuah pesta untuk menyambut kedatangan anaknya kembali.

   Dan tanpa sepengetahuan Kenanga, diam-diam orang tua gagah itu segera mempersiapkan segala sesuatu yang akan diperlukan dalam pesta nanti.

   *** Malam itu bulan bersinar terang.

   Bintang-bintang yang bertaburan, bagaikan pelita penghias malam.

   Langit yang bening saat ini membuat suasana malam itu semakin meriah.

   Demikian pula keadaan Desa Tambak.

   Obor-obor yang berjejer sepanjang jalan, membuat desa itu menjadi terang benderang.

   Para penduduk berduyun-duyun men-datangi balai desa, tempat diadakannya pesta atas kem-balinya putri sang kepala desa dengan selamat.

   Ki Umbaran sengaja mengadakan pesta di halaman balai desa, agar seluruh penduduk desanya dapat menik-mati pesta itu.

   Hiasan-biasan pun telah dipasang di seki-tar balai desa.

   Panggung juga telah berdiri di tengah hala-man yang luas itu.

   Ketika seluruh penduduk Desa Tambak telah meme-nuhi halaman balai desa, nampaknya pesta pun segera pula dimulai.

   Berbagai hiburan ditampilkan.

   Mulai dari tari tarian sampai sandiwara rakyat Tampak Ki Umbaran duduk di sebuah kursi paling depan, menghadap ke panggung Di sebelah kirinya, duduk si Jelita Kenanga dengan anggunnya.

   Bibirnya yang merah merekah, tak henti-hentinya menebarkan senyuman manis.

   Hatinya bukan main gembiranya menyaksikan hiburan di pang-gung.

   Terlebih lagi melihat sambutan penduduk Desa Tambak yang begitu hangat atas keselamatan dan ke-pulangan dirinya.

   Sementara di sebelah kanan Ki Umbaran, Panji pun ikut pula merasakan kegembiraan yang belum pernah di-temui sebelumnya.

   Pesta itu benar-benar meriah! Meski-pun seluruh pertunjukan berasal dari rakyat, namun benar-benar menarik dan mempesona.

   Seluruh rakyat Desa Tambak kelihatannya betul-betul bahagia pada malam itu.

   Tapi, rupanya tidak semua orang yang menghadiri pesta itu merasa bahagia.

   Seperti hatnya sosok tubuh yang berdiri tidak jauh dari panggung.

   Orang itu tampak-nya tidak peduli dengan keramaian itu.

   Wajahnya yang cukup tampan hanya tersenyum sinis.

   Tatapan matanya yang penuh rasa iri menusuk ke arah Panji tanpa ber-paling sedikit pun.

   Sedangkan orang yang diperhatikan oleh mata se-merah bara itu, tampak duduk dengan tenang tanpa memperhatikan keadaan sekelilingnya.

   Panji sama-sekali tidak merasa terganggu oleh pandangan menusuk itu.

   Sementara itu di atas panggung beberapa pertunjukan sudah berakhir.

   Suara tepukan bergemuruh membahana bagai hendak merubuhkan panggung.

   Malam sudah semakin larut, kerika semua acara segera usai.

   Tiba-tiba sesosok bayangan hitam melayang naik ke atas pang-gung.

   Dengan dua kali bersalto di udara, didaratkan kaki-nya di atas panggung.

   Sorak-sorai menyambut kehebatan orang berbaju hitam itu.

   "Saudara-saudara sekalian! Rasanya kurang lengkap apabila pesta ini tidak ditutup dengan pertunjukan ilmu olah kanuragan!"

   Orang berbaju hitam berhenti sejenak untuk mengetahui sambutan para penonton yang meng-hadiri tempat itu.

   Ketika mendengar teriakan-teriakan ribut yang menyatakan setuju, orang berbaju hitam itu tersenyum.

   Segera diangkatnya kedua tangannya ke atas, untuk mengatasi kebisingan itu.

   Beberapa saat kemu-dian, suara bising itu lenyap.

   "Jagal! Apa maksudmu?!"

   Teriak Ki Umbaran yang sudah bangkit dari kursinya dengan kedua tangan ter-kepal menahan geram. Wajah kepala desa itu tampak memerah. Orang yang dipanggil Jagal itu segera berpaling kepada kepala desanya. Tubuhnya dibungkukkan sebagai tanda hormat.

   "Maaf, Ki! Saya hanya ingin menambah semarak sua-sana pesta saja!"

   Sahut orang yang dipanggil Jagal, dengan suara nyaring.

   Jagal adalah seorang jagoan yang cukup terkenal di Desa Tambak.

   Meskipun sikapnya agak sedikit urakan, namun belum pernah melakukan kesalahan besar.

   Pa-ling-paling hanya minta sedikit uang jago dari para peda-gang di pasar.

   Dan antara Jagal dengan Ki Umbaran memang ada semacam 'perang dingin'.

   "Lalu, apa maumu?"

   Tanya sang kepala desa lagi. Sebenarnya Ki Umbaran sudah dapat menduga apa maunya laki-laki bertampang seram itu. Tapi, ia ingin memastikannya lewat jawaban dari mulut orang yang bernama Jagal itu.

   "Begini, Ki! Saya mendengar di desa kita telah keda-tangan seorang pendekar muda yang hebat, sehingga dapat membunuh Sepasang Harimau Terbang!' Tapi saya tidak percaya! Saya tahu pasti kehebatan ilmu kepala rampok itu. Jadi, saya ingin bukti sampai di mana kehe-batan pendekar muda itu?"

   Jagal berkata seolah-olah ke-pada Umbaran, namun matanya tak lepas-lepas meman-dang Panji.

   "Huh! Manusia tak tahu diri!"

   Bentak Kenanga yang sudah bangkit dari tempat duduknya.

   "Mengapa baru se-karang kau jual lagak? Dulu semasa setan-setan keparat itu masih hidup kau mirip sapi ompong!"

   Sambung Kenanga ketus. Merah seluruh wajah Jagal mendengar sindiran itu, namun ia tidak bisa mengelak dari kata-kata yang tepat mengenai sasarannya itu. Untuk beberapa saat lamanya, orang sok jago yang bernama Jagal itu tidak berkutik.

   "Nah! Mana lagakmu, heh!"

   Ejek Kenanga lagi ketika mielihat Jagal seperti kehabissan kata-kata.

   "Nini Kenanga! Hebat sekali ucapanmu. Aku jadi ingin tahu, apakah ilmu silatmu sehebat lidahmu?"

   Tanya Jagal gemetar bemada tantangan. Dia marah sekali dihinakan oleh gadis itu didepan umum.

   "Hei! Apa kau pikir, aku takut?"

   Balas Kenanga tak kalah garangnya. Tanpa banyak bicara lagi, gadis jelita itu segera melesat ke atas panggung. Kenanga berdiri di hadapan Jagal sejauh dua tombak Senyumnya terlihat mengejek.

   "Ayo! Tunjukkan kehebatanmu, jagoan kampung!"

   Ejek Kenanga pedas. Mendengar julukan itu, Jagal marah bukan main. Se-mentara orang-orang yang menonton tertawa geli men-dengar julukan yang diberikan Kenanga. Wajah Jagal yang hitam, menjadi semakin gelap.

   "HaH-hatilah, Nini! Jangan sampai mulutmu yang indah itu kusobek!"

   Ancam Jagal dengan suara gemetar.

   "Majulah! Jangan hanya pentang bacor!"

   "Bangsat! Kubunuh kau!!"

   Teriak Jagal.

   Tubuhnya segera melesat menerjang Kenanga yang masih berdiri bertolak pinggang.

   Kerika kepalan Jagal hampir menyentuh tubuhnya, Kenanga segera menggeser kaki kanannya ke belakang Kemudian, tangan kirinya mengirim serangan ke dada lawan.

   Ini adalah salah satu ilmu yang telah disempurna-kan oleh Panji.

   Melihat serangan balasan dari gadis itu, Jagal tidak menjadi bingung.

   Segera dielakkannya pukulan itu seraya membalas dengan tidak tanggung-tanggung lagi.

   Terjadi-lah pertarungan yang cukup seru dan menarik.

   Jagal yang sudah marah itu, menyerang dengan puku-lan-pukulan yang berbahaya.

   Dia seolah-olah ingin men-jatuhkan lawannya dengan sekali pukul saja.

   Tangannya yang kasar dan terlihat kuat itu, berkeiebatan cepat.

   Sampai sepuluh jurus terlewat, serangan-serangan Jagal belum juga mengenai sasaran.

   Gerakan-gerakan Kenanga yang lincah itu, benar-benar telah membuat Jagal penasaran.

   Maka Jagal pun semakin memperhebat serangan-serangannya.

   Pada jurus ke dua belas, pukulan Jagal meluncur ke arah lambung Kenanga.

   Gadis jelita itu, segera memiring-kan tubuhnya ke kanan dibarengi gebrakan tangan kanannya ke perut lawan.

   Desss! Tubuh Jagal terdorong mundur sejauh empat langkah.

   Namun, tubuh orang itu ternyata kuat sekali! Pukulan itu tidak menimbulkan luka yang berarti.

   Sedangkan Kena-nga malah sebaliknya.

   Lengannya terasa nyeri dan linu, ketika membentur tubuh jagoan pasar itu.

   Diam-diam ga-dis itu sedikit ciut hatinya, melihat kekuatan lawan yang sama sekali di luar dugaannya.

   Sementara itu, Jagal sudah membangun serangan kembali.

   Kali ini dia bersikap lebih hati-hati! Serangan-serangannya tidak seganas semula namun penuh per-hitungan.

   Justru serangan yang seperti Inilah yang lebih berbahaya, dan sulit dltembus pertahanannya.

   Sebentar saja, Kenanga sudah mulai terdesak dan hanya dapat bermain mundur.

   Berkali-kali serangan Jagal hampir menghantam tubuhnya.

   Untunglah berkat kegesitannya, ia masih dapat lolos dari pukulan-pukulan lawan.

   Tapi, biar bagaimanapun pertahanannya pasti bobol juga.

   Ki Umbaran begitu cemas melihat putrinya hampir tidak berdaya membalas serangan Jagal.

   Orang tua gagah itu meremas-remas kedua tangannya dengan perasaan gelisah.

   Keadaan Kenanga memang benar-benar mulai gawat.

   Pada saat itu, dua buah pukulan Jagal meluncur ke arahnya! Kenanga berusaha sebisanya menghindari serangan itu, namun terlambat karena ketika dia berusaha mem-buang tubuhnya ke kanan, pukulan Jagal telah lebih dulu menghantam perutnya.

   Plak! Desss! Tubuh gadis jelita itu terjengkang ke belakang.

   Namun, sebelum tubuh Kenanga jatuh ke bawah panggung, tiba-tiba sesosok bayangan putih melayang, menyambar tubuh gadis itu.

   Tubuh ramping itu pun tidak sampai terbanting ke tanah yang keras.

   Bayangan putih yang ternyata adalah Panji, segera menurunkan tubuh Kenanga di atas lantai panggung.

   Pada saat yang bersamaan, Jagal sudah pula menerjang Panji.

   Kedua tangan Jagal meluncur cepat ke arah tengkuk dan dahi pendekar itu.

   Sebuah serangan yang curang dengan cara membokong.

   Panji sama sekali tidak menoleh ke arah serangan Jagal.

   la sibuk menotok beberapa bagian tubuh Kenanga agar tidak menderita luka dalam.

   Kerika serangan yang berbahaya itu hampir menyentuh tubuhnya, Panji hanya mengebutkan lengan kanannya secara sembarangan untuk memapak kedua serangan Jagal.

   Kelihatannya per-lahan saja.

   Plakkk! Akibatnya hebat sekali! Tubuh Jagal terlempar balik Tubuhnya melayang, dan terdengar suara benda berat ja-tuh ke bumi.

   Tubuh jagoan yang bernama Jagal itu jatuh ke bawah panggung dalam keadaan pingsan.

   Sementara dari sela-sela bibirnya, mengalir darah segar.

   Para penduduk desa yang melihat kejadian itu, hanya dapat berdiri bengong.

   Baru setelah tubuh Jagal tergele-tak di tanah, mereka berlari mengerubungi tubuh jagoan kampung itu.

   Sementara Ki Umbaran pun tersentak kaget Sampai terbangkit dari kursinya.

   la yang sudah dapat mengukur kepandaian Panji, tidak menyangka kalau pemuda itu sedemikian hebatnya.

   Jagal yang mempunyai ilmu yang cukup tinggi, hanya dengan sekali kebutan tangannya sudah tergeletak pingsan! "Luar biasa! Tak kusangka kepandaian pemuda itu demikian hebatnya! Ah! Rasa-rasanya pemuda itu pasti akan mampu menghadapi Laba-Laba Beracun, yang ganas dan memiliki kepandaian seperti iblis itu,"

   Gumam Ki Umbaran penuh harap. Di tempat lain, sepasang mata penuh iri itu pun tidak kalah terkejutnya. Wajahnya mendadak pucat bagai tak teraliri darah.

   "Gila! Apakah anak muda itu mempunyai kepandaian seperti malaikat?"

   Desah orang itu dengan hati gelisah. Sementara itu Kenanga si Bidadari Jelita sudah mulai sadar dari pingsannya. Gadis jelita itu mengehih sejenak. Kemudian dikerjap-kerjapkan matanya dan memperhati-kan keadaan di sekelilingnya.

   "Oh..., Kakang Panji,"

   Ujar Kenanga ketika melihat pe-muda itu duduk di dekatnya.

   "Apa yang terjadi, Kakang?"

   Tanyanya kemudian.

   "Kau tadi terjatuh terkena pukulan lawanmu, lalu pingsan!"

   Jawab Panji sambil memandang mata yang ber-sinar bagai bantang kejora itu. Ah, sungguh indah sekali mata itu, bisik hatinya mengagumi indahnya mata Kenanga.

   "Lalu..., ke manakah perginya manusia keparat itu?"

   Tanya Kenanga.

   Gadis itu lalu bangkit berdiri, dan men-cari-cari orang yang dimaksud sambil mengedarkan pan-dangannya.

   Kenanga lalu melangkah menghampiri kerumunan orang desa, yang berada agak jauh di depannya.

   Ketika ia sampai di situ, orang-orang desa segera menyingkir agar putri kepala desanya dapat melihat jelas.

   Kenanga men-jadi terkejut sekali, kerika melihat tubuh jagoan kampung itu tergeletak pingsan.

   Darah masih mengalir dari sela-sela bibirnya.

   "Dia kenapa, Kakang?"

   Tanya Kenanga kepada Panji, yang sudah berdiri di sebelahnya.

   "Ah! Dia hanya terjatuh ketika aku menangkis puku-lannya,"

   Jawab Panji menyembunyikan keadaan yang sebenarnya. Kenanga yang sudah tahu akan silat Panji, tidak ber-tanya lebih jauh.

   "Oh.., hanya terjatuh!"

   Ujarnya meng-goda. Panji hanya tersenyum mendengar sindiran Kenanga. Melihat keadaan sudah aman, Ki Umbaran segera me-lesat ke atas panggung.

   "Saudara-saudara sekalian! Pesta sudah berakhir. Dan saya persilakan untuk kembali ke rumah masing-masing!"

   Kata Ki Umbaran.

   Suaranya berat dan berwibawa.

   Tidak berapa lama kemudian, orang-orang desa itu pun segera bergegas meninggalkan arena keramaian.

   Hanya beberapa orang saja yang masih tinggal, untuk membereskan tempat pesta itu.

   Baru beberapa tombak para penduduk meninggalkan halaman balai desa, tiba-tiba terdengar suara tawa yang menggelegar dan bergema di empat penjuru.

   Suara tawa itu demikian keras dan menyeramkan, disalurkan dengan tenaga dalam yang cukup tinggi.

   "Ha ha ha...!"

   Suara tawa itu terus berkumandang bagaikan tiada habis-habisnya.

   Seolah-olah bukan suara tawa manusia saja! Para penduduk berlarian cerai-berai sambil mendekap kedua telinganya, tanpa mempedulikan arah lagi.

   Bahkan banyak di antara mereka yang jatuh terguling-guling me-nahan sakit.

   Sementara dari mulut dan hidung mengalir darah segar! Dalam sekejap saja, gemparlah suasana di halaman balai desa itu.

   Ki Umbaran sendiri, sudah duduk bersila menghimpun hawa murninya untuk melawan pengaruh tawa yang dah-syat dan menyakitkan itu.

   Untuk beberapa saat lamanya ia masih dapat bertahan dari pengaruh suara tawa itu.

   Namun tidak lama kemudian tubuhnya mulai bergetar, karena suara tawa itu mulai mendesak hawa murninya.

   Tenaga dalam dari tawa itu begitu kuatnya.

   Untunglah saat kejadian itu, Kenanga berada di sam-ping Panji.

   Pemuda itu segera menempelkan telapak ta-ngannya ke punggung gadis itu, sehingga Kenanga tidak lagi terpengaruh oleh suara tawa yang dahsyat itu.

   Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Panji.

   Segera ia mengerahkan tenaganya.

   Tidak lama kemudian, terdengar suara lengkingan halus yang kian meninggi sehingga menindih gema suara tawa yang menyakitkan itu.

   Tiba-tiba, suara tawa itu pun lenyap terhimpit oleh suara lengkingan halus yang keluar dari mulut Panji.

   Dan untuk beberapa saat lamanya, suasana di sekitar tempat itu menjadi hening.

   Panji yang telah menghentikan lengki-ngannya, segera mengedarkan pandangannya ke atas pohon besar yang berada di sekitarnya.

   "Hm.... Hanya seorang pengecut sajalah yang tidak berani menyerang secara terus terang!"

   Teriak Panji keras disertai pengerahan tenaga dalamnya.

   Belum lagi gema suara pemuda itu hilang, mendadak telinganya yang terlatih menangkap desiran angin halus yang menuju ke arahnya.

   Serrr! Serrr! Panji segera menduga, bahwa desiran angin yang halus itu berasal dari senjata-senjata rahasia.

   Cepat bagai kilat, pemuda itu berbalik menghadap ke arah serangan itu berasal.

   Dan, dugaan pemuda itu ternyata tidak meleset! Dalam keremangan sinar obor, terlihat tujuh buah sinar meluncur ke arah tujuh jalan darah kematian di tubuh-nya.

   Kecepatannya sukar diikuti mata biasa.

   Dari cara penyerang gelap itu memperdengarkan tawa maupun melepaskan senjata rahasianya, Panji sudah dapat menilai bahwa orang itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi.

   Oleh karena itu, ia pun tidak ingin main-main lagi.

   'Tenaga Sakti Gerhana Bulan"

   Langsung dikeluar-kannya.

   Pelahan namun pasti sekujur tubuh Panji diseli-muti cahaya putih keperakan.

   Dan seiring dengan mun-culnya sinar putih keperakan itu, hawa dingin pun per-lahan menyebar di sekitar Panji.

   Kian lama kian dingin menggigilkan! Cepat bagai kilat, pemuda itu segera mengibaskan lengan kirinya.

   Maka terdengarlah suara bergemuruh yang dahsyat disertai hembusan angin dingin yang hebat mengiringi kibasan tangannya.

   Akibatnya, senjata-senjata rahasia itu berguguran di tengah jalan.

   Tidak sampai di situ saja! Panji yang sudah tidak ingin bertindak kepalang tanggung, segera mengirimkan sebuah pukulan jarak jauh ketika senjata-senjata rahasia itu kembali menye-rangnya.

   Wusss! Angin yang amat dingin berhembus keras memapak serbuan senjata-senjata rahasia yang mengarah ke tubuhnya.

   Seluruh senjata rahasia itu langsung runtuh ke tanah, disertai suara berderak keras yang ditimbulkan oleh se-buah pohon besar di sebelah kiri panggung.

   Pohon besar itu kontan tumbang diterjang angin pukulan dari Panji.

   Berbarengan dengan tumbangnya pohon itu, sesosok bayangan hitam melayang turun dan mendarat dua tom-bak dari Panji berdiri.

   Tubuhnya tinggi besar dan kokoh bagaikan batu karang.

   Wajahnya tertutup brewok yang tak terurus.

   Jubah hitamnya berwarna abu-abu yang di dada sebelah kirinya terdapat sulaman benang emas ber-bentuk seekor laba-laba.

   Ki Umbaran yang sudah bangkit dari duduknya, me-natap orang yang baru datang itu, dengan wajah pucat bagai mayat.

   Tidak disangkanya kalau iblis itu akan da-tang demikian cepatnya.

   Buru-buru ia melangkah meng-hampiri Panji yang masih berdiri mengamati manusia di hadapannya itu.

   "Dia... dia... Laba-Laba Beracun! Hati-hati, Panji! Kepandaian iblis itu hebat sekali!"

   Bisik Ki Umbaran dengan hati gentar.

   "Heh, Anak Muda! Engkaukah yang mempunyai julu-kan Pendekar Naga Putih?"

   Tanya orang berjubah abu-abu, yang berjuluk Laba-Laba Beracun itu.

   "Dan yang telah membunuh kedua orang muridku?"

   Sambungnya dengan suara dingin.

   Memang, Laba-Laba Beracun telah mendapat penga-duan dari para pengikut Sepasang Harimau Terbang yang dilepaskan Panji waktu itu.

   Mereka menceritakan dua orang pemimpinnya telah tewas di tangan seorang pen-dekar yang memiliki gerakan bagai seekor naga dan me-ngeluarkan sinar yang berwarna putih keperakan dari tubuhnya.

   Pendekar Naga Putih, demikian kata mereka.

   Oleh karena itulah, mengapa si Laba-Laba Beracun pun menyebut Panji sebagai Pendekar Naga Putih.

   "Hai, orang tua! Aku tidak tahu, siapa yang kau mak-sud! Dan siapa pula yang telah membunuh kedua murid-mu itu?"

   Ujar Panji balik bertanya.

   Memang pemuda itu tidak tahu, siapa yang memiliki julukan Pendekar Naga Putih.

   Diakah? Dan dia pun ingin memastikan, apakah yang dimaksud dengan kedua orang muridnya adalah Sepasang Harimau Terbang.

   Meskipun telah diberitahu Ki Umbaran, namun ia ingin mendengarnya langsung dari mulut orang yang bersangkutan.

   "Hm.... Ternyata kau adalah seorang pengecut, Pendekar Naga Putih! Tidak mau mengakui perbuatanmu yang telah membunuh Sepasang Harimau Terbang itu! Hutang nyawa harus dibayar nyawa! Tapi kalau kau mau minta ampun padaku, dan bersujud di kakiku, mungkin aku akan memperrimbangkan, apakah aku harus meng-ampunimu atau tidak!"

   Ujar Laba-Laba Beracun dengan nada yang amat menghina.

   Sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan haus akan kesaktian, Laba-Laba Beracun penasaran se-kali ketika mendapat laporan dari para pengikut murid-nya.

   la yang sudah lama malang-melintang dalam dunia persilatan, tentu saja paham betul dengan ilmu-ilmu tinggi dari berbagai aliran.

   Tapi ketika mendapat laporan dari pengikut muridnya yang selamat, ternyata ia sama sekali tidak dapat menduga, ilmu apa yang dipergunakan oleh pemuda itu untuk membunuh muridnya.

   Kecuali dugaan kasar bahwa pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih itu menggunakan jurus naga! Paras Panji berubah merah ketika mendengar kata-kata 'pengecut' yang dilontarkan orang itu.

   Ia mungkin tidak akan mempedulikan orang itu, apabila kata 'penge-cut' tidak didengarnya.

   Memang, Panji paling pantang disebut pengecut! Amarah pemuda itu pun segera bang-kit.

   "Hm, orang tua! Memang benar! Akulah yang mem-bunuh Sepasang Harimau Terbang Aku, Pendekar Naga Putih!"

   Dalam kemarahannya Panji mengiyakan julukan yang baru pertama kali didengarnya.

   "Huh! Tidak penting, apakah engkau berjuluk Pende-kar Naga Putih, Naga Belang, Naga Buduk pun. Aku tidak peduli! Yang jelas, engkau harus membayar nyawa dua orang muridku dengan nyawamu dan nyawa seluruh penduduk Desa Tambak! Setelah itu barulah kuanggap lunas!"

   Tegas Laba-Laba Beracun geram.

   Setelah berkata demikian, tubuh Laba-Laba Beracun segera melesat ke arah Panji disertai serangan yang dah-syat! Jari-jari tangannya yang berbentuk taring laba-Jaba itu, meluncur ke arah ubun-ubun dan ulu hati Panji.

   Ke-lebatannya menimbulkan angin yang bersiutan.

   Sebuah serangan yang berbahaya! Panji segera menggeser tubuhnya ke kiri, sambil menggerakkan tangannya menangkis serangan lawan.

   Sengaja dikerahkan sebagian dari tenaganya untuk mengukur ke-kuatan lawannya.

   Dukkk! Keduanya terdorong mundur.

   Kuda-kuda Panji tergem-pur, dan tubuhnya terdorong sejauh tiga langkah.

   Se-dangkan Laba-Laba Beracun terjajar sejauh lima langkah ke belakang.

   Dari sini saja sudah bisa diketahui, bahwa tenaga dalam Laba-Laba Beracun masih di bawah Panji.

   Padahal, ia baru mengerahkan tiga perempat bagian dari tenaganya.

   Bukan main terkejutnya Laba-Laba Beracun.

   Tangki-san pemuda itu bukan saja membuatnya terjajar, dan dadanya tergetar.

   Tapi juga telah membuat sekujur tu-buhnya diselusupi hawa dingin yang membekukan darah! Buru-buru dikerahkan tenaganya untuk mengusir sera-ngan hawa dingin yang menggigilkan itu.

   Bukan main! Baru kali inilah ditemui lawan yang berat, padahal usia lawannya masih sangat muda.

   Benar-benar sulit untuk dimengerti.

   "Huh! Pantas saja sudah berani berlagak! Rupanya kau memiliki kepandaian yang lumayan! Sekarang cobalah kau sambut ini! Hiaaat...!"

   Tubuh Laba-Laba Beracun kembali melayang ke arah Panji.

   Kali ini serangannya ter-lihat lebih ganas dan cepat! Kedua tangannya menyerang berganti-ganti, dan menyambar-nyambar ganas.

   Panji yang sudah menduga kalau lawannya memiliki kepandaian yang tinggi, tidak ingin tubuhnya menjadi sasaran pukulan lawan.

   Tubuh pemuda itu segera berke-lebatan di antara sambaran tangan lawannya.

   Tidak sam-pai di situ saja! Pemuda itu pun mulai melancarkan serangan-serangan balasan yang tidak kalah ganasnya.

   Keduanya segera terlibat dalam pertempuran sengit! Tubuh Laba-Laba Beracun maupun Panji sudah tidak terlihat lagi.

   Keduanya bergerak sangat cepat, sehingga yang terlihat hanyalah dua bayangan hitam dan putih yang saling terjang dengan hebatnya.

   Pertempuran kedua orang sakti itu, demikian seru dan mencekam.

   Ki Umbaran memperhatikan perkelahian itu dengan hati yang berdebar-debar.

   Bagaimana tidak? Se-bab, nasib seluruh warga desanya berada di tangan Panji.

   Maka kalau pemuda itu tewas di tangan Laba-Laba Be-racun, berarti kehancuran bagi Desa Tambak! Lain yang dipikirkan Ki Umbaran, lain pula yang dipi-kirkan gadis jelita yang berdiri di sampingnya.

   Kenanga memandang ke arah pertempuran dengan hati yang tidak karuan.

   Apabila melihat bayangan hitam itu dapat men-desak bayangan putih, maka ia meremas-remas tangan-nya disertai perasaan gelisah.

   Dan kalau bayangan hitam terdesak, wajahnya kembali tenang.

   Tapi, biar bagaima-napun pertarungan itu telah membuat hatinya kacau.

   Sementara pertarungan sudah memasuki jurus yang keempat puluh.

   Dan secara pelahan-lahan, bayangan putih sudah mulai mendesak bayangan hitam.

   Panji terus melancarkan serangan-serangan dahsyat dan berbahaya sehingga memaksa lawannya untuk mundur.

   Sedangkan Laba-Laba Beracun, mulai merasakan teka-nan-tekanan berat dari lawannya.

   Apalagi setelah Panji mengeluarkan ilmu 'Naga Sakti'-nya di jurus ke empat puluh satu.

   Laba-Laba Beracun segera terdesak Ruang geraknya semakin sempit, sehingga hanya dapat bertahan tanpa mampu membalas.

   Rupanya kali ini ia harus me-lihat kenyataan pahit! Terpaksa dikuras seluruh kemam-puannya untuk menandingi seorang pemuda yang pantas jadi cucunya! Pada jurus yang ke empat puluh dua, Panji menyerang dengan jurus 'Raja Naga Membuka Jalan'.

   Kedua tangan-nya yang membentuk cakar naga itu, meluncur deras ke arah perut dan tenggorokan Laba-Laba Beracun.

   Serang-kum angin yang dingin berhembus keras mengiringi sera-ngannya.

   Melihat serangan yang berbahaya itu, Laba-Laba Be-racun berusaha menghindar.

   Dengan jurus 'Laba-Laba Melepas Jaring', laki-laki tua itu berputar setengah ling-karan.

   Dengan posisi kuda-kuda yang rendah, dihentak-kan kedua tangannya ke arah kedua tangan lawan dengan jari-jari terbuka.

   Namun, rupanya serangan Panji hanyalah serangan tipuan saja! Karena, secara tiba-tiba pemuda itu menarik pulang kedua serangannya.

   Entah dengan cara bagai-mana, tahu-tahu saja kaki kiri pemuda itu sudah melun-cur ke arah sambungan lutut lawan.

   Bukan cuma itu saja! Sapuan kaki itu pun, langsung disusul oleh doro-ngan kedua tangannya.

   Hebat sekali serangan mendadak itu.

   Desss! Bukkk! "Aaakh...!"

   Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Laba-Laba Beracun melambung ke udara disertai jeritan menyayat.

   Kedua serangan pemuda itu telak mengenai sasarannya.

   Tubuh Laba-Laba Beracun terbanting ke tanah dengan keras.

   Sementara darah segar berhamburan dari muhitnya, di-sertai suara gemeletuk gigi karena hawa dingin yang hebat.

   Panji segera menghampiri tubuh lawannya yang se-dang sekarat itu.

   Sejenak Panji termenung, ketika melihat tubuh lawannya itu berkelojotan meregang nyawa.

   Tidak lama kemudian, tubuh Laba-Laba Beracun itu pun diam untuk selama-lamanya.

   Tokoh sakti yang sesat itu tewas dalam keadaan yang menyedihkan! Ki Umbaran yang ikut menyaksikan saat-saat terakhir iblis itu, menarik napas lega.

   Hilang sudah rasa khawatir dalam dirinya.

   Dengan tewasnya Laba-Laba Beracun, ber-arti Desa Tambak terbebas dari kehancuran.

   "Sekali lagi, kuucapkan terima kasih kepadamu, Panji! Kau telah membebaskan Desa Tambak dari kehancuran! Entah dengan cara bagaimana kami dapat membalas-nya?"

   Ujar Ki Umbaran sambil menjabat erat tangan Panji.

   Kemudian secara berturut-turut warga desa yang masih berada di tempat itu, ikut pula menyalami Panji.

   Demikian pula dengan sepasang mata yang semula me-mancarkan sinar iri.

   Sepasang mata yang berasal dari se-raut wajah yang cukup tampan berusia sekitar tiga puluh tahun.

   la pun ikut pula menyalami pemuda yang telah menewaskan Laba-Laba Beracun itu.

   Sepasang mata itu telah berubah dengan tatapan penuh rasa kagum dan hormat Telah disadari kekeliruannya.

   Demikianlah, mulai malam ini nama Pendekar Naga Putih mulai dibicarakan orang di pasar-pasar dan di ke-dai-kedai minuman, nama Pendekar Naga Putih menjadi pokok pembicaraan yang hangat.

   Pelahan-lahan berita itu meluas hingga ke desa-desa sekitarnya.

   Setelah beberapa hari tinggal di Desa Tambak, Panji berniat untuk melanjutkan perjalanannya.

   Ki Umbaran berusaha untuk menahan pemuda itu beberapa hari lagi karena sudah terlanjur menyukai pemuda sederhana itu.

   Terpaksa akhirnya Panji membuat janji untuk mengun-jungi Desa Tambak setelah urusannya selesai.

   Biar bagaimanapun, perpisahan adalah sesuatu yang sangat berat.

   Meskipun setiap orang tidak menyukainya, namun perpisahan selalu menjadi bagian dalam kehidu-pan setiap manusia.

   Hari masih pagi.

   Matahari hanya mengintip malu di ufuk Timur.

   Embun pun bak mutiara berceceran di de-daunan.

   Sementara itu, Panji tengah berjaian menuju perbatasan Desa Tambak.

   Ia merasa heran sekali, ketika tidak menjumpai Kenanga di antara orang yang melepas-nya kepergiannya.

   "Ke mana perginya bidadari jelita itu? Apakah aku mempunyai kesalahan terhadapnya? Ataukah... aaah! Sudahlah! Mengapa aku harus memikirkan yang bukan-bukan, sedangkan urusanku sendiri masih banyak!"

   Kata batin Panji. Dan tanpa sadar ia menepak kepalanya keras-keras.

   "Huh! Manusia tak tahu malu! Apa yang kupikirkan?"

   Gumam pemuda itu sambil meringis menahan sakit aki-bat tepakannya yang terlalu keras.

   Beberapa orang yang berpapasan dengannya di jalan, tersenyum-senyum melihat tingkah laku pemuda itu yang terasa aneh.

   Mirip orang gila.

   Panji jadi malu hati, ketika menyadari kesalahannya.

   Tapi tak urung dia pun menjadi tersenyum sendiri me-nyadari kelakuannya yang aneh itu.

   Dan ketika lihat pemuda itu tersenyum-senyum sendirian, maka makin yakinlah orang-orang itu bahwa pemuda tampan itu benar-benar tidak waras! Dan akibatnya mereka pun ber-jalan menjauhi Panji.

   "Sialan! Mungkin aku dikira orang sinting barangkali!"

   Gerutu Panji sambil bergegas mempercepat langkahnya.

   Belum jauh melewati perbatasan, Panji mendengar suara mencurigakan di kerimbunan semak yang terdapat di tepi jalan itu.

   Pemuda itu pun segera menghentikan langkahnya seraya berpaling ke arah datangnya suara yang mencurigakan itu.

   Alangkah terkejutnya Panji ketika melihat seraut wajah yang cantik, berdiri menatapnya dengan mata basah.

   "Kenanga...?"

   Tegur Panji dengan suara bergetar.

   Bagaimana hati pemuda itu tidak terkejut? Sepanjang jalan hanya wajah dara jelita itulah yang selalu mengganggu pikirannya.

   Dan secara tiba-tiba saja, wajah itu sudah berdiri di hadapannya.

   Sungguh sulit untuk dipercaya! "Kakang Panji...!"

   Kata gadis itu.

   Suaranya serak, seperti tercekat di tenggorokan.

   Entah siapa yang lebih dahulu, yang jelas kedua orang itu telah melangkah saling mendekat dan saling berpe-gang tangan.

   Tubuh keduanya bergetar.

   Aliran darah me-reka seperti berbalik.

   Untuk beberapa saat lamanya, ke-duanya tidak mampu untuk berkata-kata.

   Hanya kedua pasang mata mereka yang saling bercerita mewakili pera-saan masing-masing.

   Panji yang lebih dahulu dapat menguasai perasaannya, segera membawa bidadari jelita itu ke sebuah tempat yang banyak terdapat batu besar, dan mengajaknya duduk di salah satu batu besar.

   "Kenanga, maafkan aku! Aku tidak sempat berpamitan kepadamu, karena tidak melihatmu sejak kemarin ma-lam. Apakah aku punya salah?"

   Ujar Panji ketika kedua insan itu telah duduk di bebatuan.

   "Maafkan aku, Kakang! Aku tidak ingin orang lain mengetahui, kalau aku tidak sanggup melepaskan kepergi-anmu, Kakang!"

   Ungkap Kenanga.

   Suaranya masih tetap merdu.

   Sementara, beberapa butir air telah menetes dari kedua matanya.

   Panji segera mengulurkan kedua tangannya untuk menghapus air mata di pipi dara jelita itu.

   Untuk beberapa saat, jari-jari pemuda itu gemetar ketika menyentuh kulit yang halus bagai sutera itu.

   Kenanga segera menangkap tangan Panji, yang masih slbuk menghapus sisa-sisa air mata di pipinya itu, Seke-tika dilekatkannya lebih erat di pipinya, olah-olah tidak ingin untuk melepaskannya kembali.

   Sejenak kedua mata yang indah itu terpejam, sehingga nampaklah sebaris bulu mata yang lentik dan mempesona.

   Dada Panji berdegup keras, ketika daya tarik mata itu menguasai dirinya.

   Cepat-cepat ditundukkan wajahnya untuk melawan rangsangan itu.

   "Kakang, begitu pentingkah kepergianmu?"

   Desah Ke-nanga lembut. Sementara kedua matanya masih juga ter-pejam. Seolah-olah bidadari jelita itu tengah mengigau.

   "Kenanga, sebenarnya berat sekali langkahku untuk meninggalkan desa ini, tapi masih banyak urusan yang harus kuselesaikan."

   "Jadi, bukan karena aku?"

   Potong Kenanga dengan wajah cemberut.

   "Ah! Tentu saja karenamu, Kenanga! Mengapa engkau harus bertanya lagi?"

   Jawab Panji tersenyum menggoda.

   "Lalu, urusan apakah yang demikian pentingnya itu, Kakang?"

   Tanya Kenanga lagi.

   "Hm, Kenanga. Maukah kau disebut sebagai anak yang tidak berbakti?"

   Panji balik bertanya.

   "Tentu saja tidak, Kakang!"

   Jawab gadis itu tegas. Kenanga yang tengah merasa bahagia itu, memandang wajah lelaki yang dipujanya dengan mata yang berbinar-binar. Panji yang melihat mata gadis idamannya bersinar ba-gai bintang Timur itu hampir tak sanggup untuk meman-dangnya.

   "Matamu indah sekali, Kenanga,"

   Ujar Panji penuh perasaan. Sejenak pemuda itu terbawa lamunannya, baru ia tersadar, ketika Kenanga tertawa geli melihat pemuda idamannya terbengong-bengong.

   "Hei! Kakang Panji. Pertanyaanku belum kau jawab, Kakang!"

   Seru Kenanga lagi.

   "Oh! Pertanyaan yang mana?"

   Jawabnya bingung.

   Setelah terdiam beberapa saat lamanya, barulah ia dapat mengingatnya.

   Panji pun lalu menceritakan tujuan perjalanannya itu.

   Setelah mendengar keterangan dari Panji, gadis jelita itu termenung sejenak.

   Wajahnya terlihat murung, karena pasti akan berpisah dalam waktu yang tidak dapat di-pastikan.

   Matanya kosong memandang jauh ke depan.

   Panji menjadi iba melihat wajah jelita itu menjadi mu-rung.

   Namun kepergiannya kali ini, betul-betul tidak dapat ditundanya.

   Wajah kedua orang tuanya selalu ter-bayang.

   Seolah-olah memintanya untuk segera membalas kematian mereka.

   "Kakang, apakah setelah urusanmu selesai, kau akan segera mengunjungiku?"

   Tanya Kenanga tiba-tiba. Se-dangkan matanya tetap memandang lurus ke depan.

   "Tentu, Kenanga! Begitu urusanku selesai, maka aku akan segera mengunjungimu. Aku berjanji, Kenanga,"

   Ucap Panji bersunguh-sungguh.

   "Sungguh, Kakang?"

   Tanya Kenanga minta kepastian sambil menoleh dengan mata bersinar. Panji memandang wajah Kenanga seraya mengangguk dengan bibir tersenyum. Kemudian diraihnya kedua tangan gadis itu, lalu dikecupnya jemarinya penuh pera-saan.

   "Aku berjanji, Kenanga!"

   Ucap Panji lembut.

   "Baiklah, Kakang! Aku akan selalu menantimu!"

   Ujar Kenanga.

   Wajahnya kembali berseri.

   Kedua insan itu pun bangkit dari duduknya.

   Sebelum berpisah, Panji mengecup lembut dahi Kenanga.

   Segera dilangkahkan kakinya meninggalkan Kenanga yang masih berdiri memandangnya.

   Setelah bayangan pemuda itu lenyap, barulah Kenanga beranjak meninggalkan tempat itu.

   Sementara tak terasa sang mentari semakin meninggi.

   Sepertinya si raja siang itu tersenyum ketika menyaksi-kan perpisahan sepasang kekasih yang dimabuk cinta.

   *** Hari masih sangat pagi, ketika serombongan orang berkuda meiintasi daerah perbukitan yang terdiri dari batu cadas.

   Kepulan debu membumbung tinggi diterjang derap kaki kuda yang bergemuruh.

   Rombongan berkuda itu kurang lebih berjumlah empat puluhan orang.

   Wajah mereka terlihat gagah dan tenang.

   Tatapannya yang tajam bagaikan mata seekor burung elang.

   Di bahu dan punggung mereka, tampak tersembul gagang-gagang senjata.

   Suatu tanda bahwa rombongan itu terdiri dari orang yang pandai ilmu olah kanuragan.

   Paling-depan, terlihat dua orang yang merupakan pimpinan rombongan itu.

   Yang pertama, berusia sekitar limapuluh tahun lebih.

   Wajahnya cukup tampan, bersih, dan berwibawa.

   Sebaris kumis yang lebat dan berwarna agak keputihan menghias atas bibirnya.

   Sementara di punggungnya, nampak sepasang pedang Pada gagangnya dihiasi batu-batu merah delima, membuat pedang itu semakin indah dipandang mata.

   Sedangkan orang kedua sukar ditaksir usianya, karena mengenakan sebuah topeng hitam.

   Di punggungnya tergantung sebuah tombak yang berujung golok besar tanpa gagang.

   Dia terkenal dengan julukan Pendekar To-peng Hitam.

   Memang, rombongan itu terdiri dari pen-dekar persilatan dari berbagai aliran.

   Mereka sengaja ber-kumpul untuk menggempur Tiga Iblis Gunung Tandur, karena kejahatannya yang telah melampaui batas.

   Ketiga Iblis Gunung Tandur itu telah membumi hanguskan beberapa padepokan terkenal yang tidak bersedia tunduk di bawah kekuasaan mereka.

   Perbuatan ketiga iblis itu telah mendatangkan kemur-kaan di hati para pendekar persilatan.

   Mereka lalu berga-bung di bawah pimpinan dua orang pendekar yang ber-juluk Pendekar Pedang Langit dan Pendekar Topeng Hitam.

   Setelah mendapatkan kata sepakat, rombongan pendekar itu pun segera bergerak menuju Gunung Tan-dur yang menjadi sarang ketiga manusia iblis itu.

   Setelah kurang lebih setengah harian melakukan per-jalanan, maka rombongan itu tiba di bawah kaki Gunung Tandur.

   Dan untuk beberapa saat lamanya, mereka se-gera beristirahat sambil rnengamati keadaan di sekitar tempat itu.

   Pendekar Pedang Langit dan Pendekar Topeng Hitam segera berembuk untuk mengatur siasat dalam mengada-kan penyerbuan.

   Lalu dua pendekar sakti itu, segera me-ngumpulkan pendekar lainnya untuk diminta pendapat.

   Setelah mendapat kata sepakat, para pendekar itu pun segera dipecah menjadi tiga bagian.

   Rombongan pertama yang dipimpin Pendekar Pedang Langit, bergerak dari arah Timur.

   Rombongan kedua yang dipimpin Pendekar Topeng Hitam, bergerak dari arah Barat.

   Sedangkan rom-bongan ketiga yang dipimpin tiga pendekar lainnya, ber-gerak dari Utara.

   Tidak lama kemudian, ketiga kelompok itu pun segera bergerak dari tiga jurusan.

   Kelompok yang dipimpin Pen-dekar Pedang Langit berjumlah sekitar sebelas orang.

   Mereka segera mendaki gunung itu.

   Disusul kemudian kelompok kedua dan ketiga secara berurutan.

   Kini, kelompok pertama telah tiba di atas Puncak Gunung Tandur.

   Kesebelas orang pendekar itu bergegas menghampiri sebuah bangunan mewah yang terdapat di tengah-tengah puncak gunung.

   Sekejap saja mereka telah berada didepan pintu gerbang yang tebal dan kuat.

   Pendekar Pedang Langit segera memerintahkan bebe-rapa orang pendekar untuuk mendobrak pintu gerbang.

   Dengan menggunakan sebuah batang pohon kayu yang cukup besar, enam orang dari mereka segera mengerah-kan tenaga sekuat-kuatnya.

   "Hiaaat...!"

   Brakkk...! Pintu gerbang yang terbuat dari kayu pilihan itu lang-sung pecah, menimbulkan suara hiruk-pikuk.

   Maka begitu pintu itu pecah, para pendekar itu serentak berlon-catan masuk sambil menghunus senjata masing-rnasing.

   Namun betapa herannya mereka, ketika melihat keadaan di dalamnya ternyata sunyi sekali! Akibatnya kesebelas orang pendekar itu menjadi tegang! Para pendekar itu langsung menyebar dan mendekati bangunan mewah itu melalui semak-semak yang banyak terdapat di sekitar tempat itu.

   Keadaan yang mencuriga-kan itu, membuat para pendekar menjadi tegang.

   Apalagi mereka tidak mengetahui secara pasti di mana musuh berada, sebaliknya, justru keadaan merekalah yang su-dah diketahui musuh! *** "Ha ha ha...!"

   Tiba-tiba terdengar suara tawa mengge-legar dan bergema ke sekeliling mereka. Sepertinya suara itu datang dari segala penjuru. Hanya saja, tidak seorang pun yang menampakkan dirinya, sehingga membuat hati para pendekar itu bertambah tegang.

   "Berkumpul semua!"

   Teriak Pendekar Pedang Langit Sebab kalau tidak demikian, mereka dapat terbantai satu persatu.

   Memang hal seperti itulah yang ingin dicegah pendekar itu.

   Belum lagi suara Pendekar Pedang Langit hilang, tiba-tiba berkelebatan enam sosok tubuh yang segera mengu-rung mereka.

   Dan tanpa banyak bertanya lagi, keenam orang pengepung itu pun langsung menyerang hebat ke arah para pendekar itu.

   Namun, tokoh-tokoh rimba persilatan itu pun bukan-lah tokoh kosong.

   Mereka pun segera menyambut lawan-lawannya lewat serangan yang tidak kalah ganasnya.

   Sebentar saja, kedua kelompok itu sudah terlihat dalam pertempuran yang sengit.

   Melihat kesepuluh kawannya dapat menghadapi gem-puran musuh-musuhnya, Pendekar Pedang Langit mele-sat meninggalkan arena pertempuran itu.

   Dia berniat mencari sasaran utama, yakni Tiga Iblis Gunung Tandur.

   Sementara itu kelompok yang dipimpin Pendekar Topeng Hitam, sudah terlibat pula dalam sebuah pertaru-ngan yang tidak kalah seru.

   Kelompok Pendekar Topeng Hitam yang terdiri dari dua belas orang tokoh persilatan itu, bertempur melawan pihak musuh yang berjumlah de-lapan orang.

   Meskipun jumlah musuh lebih sedikit, tapi ternyata memiliki kepandaian yang hebat.

   Maka pertem-puran pun berjalan seimbang.

   Pendekar Topeng Hitam segera meninggalkan kedua belas orang kawannya, untuk mencari musuh utamanya yang sama dengan Pendekar Pedang Langit.

   Sedangkan kelompok yang bergerak dari Utara, sama sekali tidak menemui hambatan.

   Mereka yang terdiri dari dua puluh satu orang itu, terus bergerak menuju ke belakang bangunan mewah itu.

   Ketika kelompok itu tiba di belakang bangunan besar itu, terdengarlah suara per-tempuran dari halaman samping.

   Kelompok itu pun bergegas menghampiri sumber suara pertempuran itu.

   Dan alangkah terkejutnya hati para pendekar itu ketika melihat Pendekar Pedang Langit dan Pendekar Topeng Hitam tengah bertempur melawan se-orang musuh yang menggunakan pisau terbang.

   Semen-tara dua orang berwajah bengis, hanya berdiri menonton seperti tak peduli.

   Tanpa diperintah lagi, kelompok pendekar itu segera menyerbu ke arah dua orang yang sedang berdiri mengamati pertandingan.

   Dua orang itu taklain adalah Lodra dan Badra, dua dari Tiga Iblis Gunung Tandur.

   Lodra, yang merupakan orang pertama Tiga Iblis Gu-nung Tandur itu menyambut serangan itu Sepasang ta-ngannya yang kokoh menyambar nyambar ganas.

   Kepan-daian ketiga iblis itu tidaklah sama dengan waktu sepu-luh tahun yang lalu.

   Dalam kurun waktu selama itu ke-pandaian mereka telah maju dengan pesat.

   Maka dapat dibayangkan, betapa hebatnya serangan yang dilancarkan Lodra.

   Lain Lodra, lain pula dengan Badra Orang kedua yang berjuluk Iblis Cambuk Api itu, menggerakkan cambuknya yang meliuk-liuk bagaikan seekor ular.

   Bahkan kadang-kadang diseling ledakan yang memercikkan bunga-bunga api ke tubuh lawan.

   Dalam waktu singkat, para tokoh persilatan yang mengeroyok Iblis Cambuk Api itu pun menjadi kewalahan.

   Pertarungan yang berlangsung antara Pendekar Pedang Langit dan Pendekar Topeng Hitam melawan Iblis Golok Terbang atau Sudra, berjalan tampak seru dan seimbang.

   Sepasang pedang Pendekar Pedang Langit berkelebat cepat mengarah ke titik-titik kelemahan di tubuh lawan.

   Suara sambaran pedang yang mendesing dahsyat, menandakan betapa kuatnya tenaga yang digunakan pendekar itu.

   Sedangkan Pendekar Topeng Hitam sudah pula menggunakan senjata andalannya yaitu sebatang tombak ber-golok.

   Serangannya yang menimbulkan suara bergemu-ruh dan berdesing mengincar tubuh lawan.

   Dapat diba-yangkan, betapa hebatnya serangan kedua pendekar sakti itu.

   Namun yang sekarang dihadapi bukanlah tokoh sem-barangan! Iblis Golok Terbang adalah orang ketiga dari Tiga Iblis Gunung Tandur Kepandaiannya tidak dapat disamakan dengan penjahat-penjahat lainnya.

   Benar-benar sukar dicari tandingannya! Dan pada masa seka-rang ini kepandaian Tiga Iblis Gunung Tandur berada di urutan atas di antara penjahat lainnya.

   Dalam mengha-dapi serangan kedua orang pendekar itu, Sudra menggu-nakan sepasang golok terbangnya.

   Tubuhnya yang tinggi kurus itu menyelinap lincah di antara sambaran senjata lawan.

   Bahkan kadang-kadang diselingi serangan golok terbangnya secara mendadak.

   Tentu saja hal ini membuat kedua orang pendekar sakti itu harus lebih hati-hati menghadapi kelicikan iblis itu.

   Tanpa terasa, pertarungan sudah berlangsung empat puluh jurus.

   Iblis Golok Terbang semakin memperhebat serangannya.

   Sepasang golok terbang di tangannya, mela-kukan serangan gencar yang sambung-menyambung ba-gaikan ombak di lautan.

   Suaranya yang mendengung tajam itu bagaikan suara ribuan ekor lebah marah, se-hingga mengganggu konsentrasi lawan.

   Pendekar Pedang Langit berusaha membendung sera-ngan Iblis Golok Terbang, dengan memutar sepasang pe-dangnya membentuk sebuah benteng yang kokoh.

   Untuk beberapa waktu lamanya, ia dapat bertahan dari gempu-ran-gempuran dahsyat itu.

   Pendekar Topeng Hitam pun melakukan hal yang serupa.

   Melihat serangan lawan yang seperti air bah itu, Pendekar Topeng Hitam segera memutar senjatanya di depan dada, membentuk segulung sinar hitam untuk me-lindungi diri.

   Serangan-serangan yang dilancarkan Iblis Golok Terbang memang sedikit terhambat.

   Namun, Iblis Golok Terbang rupanya tidak kehilangan akal.

   Melihat keadaan itu, Sudra hanya tersenyum sinis.

   Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu di tangannya telah tergenggam empat buah golok terbangnya.

   Dengan sebuah teriakan mengguntur, Sudra cepat melepas golok terbangnya ke dua arah.

   Keempat buah golok terbang itu, membelah udara dengan kecepatan luar biasa! Betapa terkejutnya dua pendekar sakti itu mendengar desingan tajam yang menuju ke arah mereka.

   Cepat-cepat diperhebat pertahanan senjata mereka, dengan menge-rahkan tenaga dalam sepenuhnya.

   Trang! Trang! Trang! Trang! Terdengar suara keras benturan senjata sebanyak empat kali.

   Untuk sejenak, putaran senjata kedua orang pendekar itu pun terhenti.

   Dan kesempatan yang hanya sekejap itu rupanya telah dtperhitungkan Iblis Golok Terbang! Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuh iblis itu melesat ke arah dua orang pendekar sakti itu.

   Sepasang kakinya melakukan tendangan kilat ke arah dada lawannya.

   Desss! Desss! Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua pendekar itu terpental keras, dan jatuh sekitar tiga tombak jauhnya dari tempat semula.

   Keduanya terbatuk-batuk, lalu me-muntahkan darah segar.

   Dada mereka serasa remuk dan sesak akibat tendangan yang dilakukan Iblis Golok Ter-bang itu.

   Kedua pendekar itu kini hanya terduduk lemas.

   Sudra yang melihat serangannya berhasil baik, cepat mempersiapkan serangan berikut untuk menghabisi la-wan-lawannya.

   Dengan jurus 'Membentur Seribu Gunung', tubuh Iblis Golok Terbang itu meluncur deras ke arah dua pendekar itu.

   Terdengar suara bergemuruh bagai angin topan yang mengiringi serangan Sudra.

   Pendekar Pedang Langit maupun Pendekar Topeng Hitam, hanya dapat memejamkan matanya dengan hati pasrah.

   Mereka mengakui kehebatan serangan dahsyat dari lawannya itu.

   Kini, mereka hanya bisa pasrah me-nanti maut yang akan datang menjemput.

   Blarrr! "Akh...!"

   Tubuh Sudra terhempas bagai sehelai daun kering dan jatuh ke tanah sehingga menimbulkan suara bergedebuk. Sudra mendekap dadanya yang serasa pecah akibat ben-turan yang dahsyat itu. Sekujur tubuh terserang hawa dingin yang hebat.

   "Huakkk...!"

   Segumpal darah yang agak mengental meluncur dari mulutnya.

   Iblis Golok Terbang menyadari kalau dirinya mengalami luka dalam yang cukup parah! Sementara di tengah arena telah berdiri seorang pe-muda berjubah putih yang membelakangi Pendekar Pe-dang Langit dan Pendekar Topeng Hitam.

   Raut wajahnya tampan dengan potongan tubuh sedang.

   Sepis kabut yang bersinar putih keperakan, tampak menyelimuti dirinya.

   "Pendekar Naga Putih...!"

   Teriak Pendekar Pedang Langit dan Pendekar Topeng Hitam berbarengan.

   Dalam suara mereka terkandung rasa gembira yang amat sangat.

   Memang, kedua pendekar itu merasa heran ketika pukulan Iblis Golok Terbang tidak kunjung datang Saat mendengar suara benturan keras, kedua pendekar itu segera membuka matanya.

   Dan tampaklah tubuh Iblis Golok Terbang terpental dahsyat.

   Belum lagi hilang rasa terkejutnya, kini telah berdiri sesosok tubuh pemuda berjubah putih yang seluruh tubuhnya diselimuti kabut yang bersinar putih keperakan.

   Melihat ciri-ciri itu, kedua pendekar sakti itu segera teringat akan selentingan kabar tentang seorang pendekar yang belum lama ini telah mengguncang dunia persilatan dengan menghancurkan gerombolan perampok di bawah pimpinan Sepasang Harimau Terbang, bekaligus membu-nuh Sepasang Harimau Terbang.

   Akan tetapi yang lebih membuat nama Pendekar Naga Putih mencuat adalah setelah ia menewaskan Laba-Iaba Beracun! Guru dari Sepasang Harimau Terbang yang memiliki kepandaian yang tinggi.

   Dan salah satu dari ciri-ciri pendekar itu adalah selapis kabut yang bersinar putih keperakan.

   Makanya kedua orang pendekar itu tanpa ragu-ragu lagi menyebut julukan itu.

   Pemuda yang memang adalah Panji itu, segera berbalik menghadap ke arah kedua orang pendekar yang berada di belakangnya.

   Setelah membungkuk memberi hormat, ia pun segera menghampiri.

   "Hm, kelihatannya Paman berdua mengalami luka da-lam! Bolehkah saya melihatnya?"

   Ujar Panji setelah mem-perhatikan sejenak. Setelah mendapat persetujuan, pemuda itu lalu meno-tok di beberapa bagian tubuh mereka secara bergantian Beberapa saat kemudian, pemuda itu pun segera bangkit berdiri.

   "Saya rasa Paman berdua harus segera memulihkan tenaga untuk mengusir sisa-sisa pengaruh dari pukulan lawan,"

   Ujar Panji lagi.

   Sementara itu, ketika mendengar suara jeritan adiknya tadi, Lodra dan Badra serentak melesat meninggalkan lawan-lawannya.

   Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya dua iblis itu ketika mendapatkan Sudra tengah tergeletak dengan napas satu-satu.

   Cepat Lodra menotok di bebe-rapa bagian tertentu di tubuh adiknya.

   Setelah yakin kalau keadaan adiknya sudah tidak berbahaya lagi, Iblis Tangan Maut segera berpaling ke arah Panji yang telah berdiri dan juga tengah menatapnya.

   Untuk beberapa saat, dua pasang mata yang sama tajamnya itu saling berpandangan dan menilai kepandaian lawan.

   "Siapa kau, Anak Muda?! Apakah kau sudah bosan hidup sehingga ikut campur urusan kami, heh?!"

   Bentak Iblis Tangan Maut Suaranya menggelegar.

   "Hm.... Aku Panji, yang ingin mencabut nyawamu!"

   Sahut Panji sambil tersenyum sinis mengejek. Sepasang matanya memancarkan hawa maut! Sungguh pun se-nyum menghias bibirnya.

   "Huh! Bocah sombong! Rupanya kau memang sudah bosan hidup. Bersiaplah!"

   Bentak Iblis Tangan Maut gu-sar.

   "Eiiit tunggu dulu!"

   Seru Panji masih dengan senyum di bibirnya.

   "Hm! Ada apa? Kau takut? Kalau begitu, menyingkir-lah!"

   Dengus Lodra kesal.

   "Huh! Siapa takut kepadamu, iblis peot! Aku hanya ingin bertanya sedikit,"

   Tegas Panji.

   "Huh! Apa yang ingin kau tanyakan?!"

   Tanya Lodra tak sabar.

   "Aku hanya ingin bertanya, apakah peti mati untukmu sudah tersedia?"

   Ejek Panji dingin.

   Tentu saja ejekan itu disambut oleh tawa para tokoh persilatan yang merasa geli mendengar pertanyaan yang aneh itu.

   Dapat dibayangkan, betapa murkanya Iblis Tangan Maut Wajahnya merah menahan amarah yang meledak-ledak.

   Tulang-tulang lengannya bergemeletak karena di-aliri kekuatan yang dahsyat.

   "Bocah setan, mampuslah!"

   Teriak Lodra dibarengi le-satan tubuhnya yang meluncur deras ke arah Panji.

   Tiu-pan angin dahsyat mendahului serangan Iblis Tangan Maut, sehingga menimbulkan suara keras bergemuruh.

   Panji segera menggeser tubuhnya, untuk menghindari serangan lawan.

   Dengan cepat langsung dibalasnya sera-ngan itu dengan sebuah serbuan yang tidak kalah dah-syatnya.

   Sebentar kemudian, keduanya segera terlibat dalam pertarungan yang sangat menegangkan.

   Debu dan pasir beterbangan akibat terkena pukulan-pukulan yang tidak mengenai sasaran.

   Batu-batu yang tersepak kaki kedua orang yang sedang mengadu nyawa Itu, beter-bangan ke sekeliling arena pertempuran.

   Para pendekar yang menyaksikan pertarungan itu, se-gera berlarian ke tempat yang terlindung.

   Memang batu-batu kerikil yang beterbangan itu terasa menyakitkan apabila mengenai tubuh mereka.

   Dalam sekejap saja se-kitar arena pertempuran menjadi porak-poranda bagaikan habis diobrak-abrik ribuan gajah.

   Pendekar Pedang Langit dan Pendekar Topeng Hitam yang juga ikut menghindar, berdecak kagum menyaksi-kan kepandaian dua orang yang sedang bertempur itu.

   Selama hidup mereka, baru kali inilah menyaksikan se-buah pertarungan yang demikian dahsyat dan mengeri-kan.

   Di hati mereka terbesit perasaan minder melihat kepandaian dua orang sakti itu.

   Mereka belum apa-apa dibanding keduanya.

   "Luar biasa! Hebat sekali kepandaian pemuda itu! Pantas saja kalau tokoh sesat seperti Laba-Laba Bera-cun, bisa sampai tewas di tangannya! Hm! Pendekar Naga Putih.... Sungguh sebuah julukan yang tepat. Entah, mu-rid siapakah anak muda itu...,"

   Gumam Pendekar Pedang Langit pelan.

   "Ya! Rasanya kepandaian kita tidak ada apa-apanya, Kakang!"

   Jawab Pendekar Topeng Hitam sambil menghela napas berat.

   Sementara, pertarungan semakin bertambah seru saja.

   Lodra yang menggunakan jurus 'Sepasang Tangan Penga-cau Lautan', benar-benar terlihat mengerikan! Sepasang tangannya yang kokoh, menyambar-nyambar sehingga menimbulkan putaran angin dingin yang menerbangkan apa saja di dekatnya.

   Pohon-pohon yang terlanggar puku-lan Lodra, langsung tumbang menimbulkan suara yang ribut.

   Memang tidak berlebihan apabila ia dijuluki Iblis Tangan Maut.

   Sedangkan Panji, tidak kalah hebatnya! Dengan ilmu "Naga Sakti', pemuda itu bagaikan seekor naga yang sedang murka.

   Gerakan-gerakannya yang kokoh kuat Itu, benar-benar sulit dicari kelemahannya.

   Tubuhnya diseli-muti kabut bersinar putih keperakan sehingga pemuda itu bagaikan seekor naga putih yang sedang bermain-main di angkasa.

   Pantaslah kalau orang menjulukinya Pendekar Naga Putih! Pada jurus yang keenam puluh tiga, tampak Panji mulai mendesak Lodra dengan serangan susul-menyusul.

   Iblis Tangan Maut benar-benar tidak diberi kesempatan sekali pun untuk membalasnya.

   Orang pertama dari Tiga Iblis Gunung Tandur itu mulai kelabakan menghadapi tekanan lawannya yang masih muda itu.

   Dapat dipasti-kan, tidak lama lagi iblis itu tentu akan rubuh di tangan Panji.

   Namun sebelum hal itu terjadi, tiba-tiba dua bayangan meluncur memasuki kancah pertempuran, dan langsung melancarkan serangan ke arah Panji.

   Ledakan-ledakan suara cambuk terdengar memekakkan telinga.

   Rupanya Iblis Cambuk Api dan Iblis Golok Terbang, yang sudah agak pulih dari lukanya ikut maju mengeroyok pemuda itu.

   Pertempuran pun semakin sengit dan menegangkan.

   Panji yang dikeroyok Tiga Iblis Gunung Tandur, tampak mulai terdesak.

   Pemuda itu kini tidak lagi mampu mem-balas serangan tiga orang lawannya.

   la mulai merasakan tekanan berat dari lawan-lawannya.

   Memasuki jurus yang kesembilan puluh, posisi pemuda itu benar-benar dalam keadaan gawat.

   Cambuk api di tangan Badra meledak-ledak ke arah ubun-ubunnya.

   Sedangkan sepasang golok terbang di tangan Sudra, me-luncur cepat bagai kilat ke arah lambung dan tenggoro-kannya.

   Sementara Lodra pun sudah pula mendorongkan telapak tangannya ke arah punggung Panji, dari bela-kang.

   Keadaan Panji, benar-benar bagai telur di ujung tanduk! Para pendekar yang menyaksikan jalannya pertempu-ran, sama-sama menahan napas dengan wajah tegang.

   Sudah bisa dibayangkan kalau pemuda ini akan tewas di tangan Tiga Iblis Gunung Tandur.

   Tiba-tiba, entah dari mana datangnya tahu-tahu di tangan Panji telah tergeng-gam sebatang pedang bersinar berwarna putih keperakan.

   Dengan gerakan yang tak tampak oleh mata biasa, Panji segera mengibaskan pedangnya membabat cambuk milik Badra dan kedua tangan Sudra yang menggenggam golok terbang.

   Dan dengan menekuk kedua kakinya, dilontar-kan pukulan tangan kiri untuk menyambut serangan Lodra.

   Crasss! Crasss! "Aaakh...!" ' Brettt..! Blarrr...! Tubuh Iblis Golok Terbang terhuyung-huyung sejauh dua tombak disertai jeritan panjang.

   Kedua tangannya putus sebatas pergelangan, dan langsung menyemburkan darah segar yang tak henti-hentinya.

   Sedangkan tubuh Iblis Cambuk Api terdorong sejauh sepuluh langkah.

   Dari sela-sela bibirnya tampak mengalir cairan merah.

   Semen-tara cambuk di tangannya terbabat putus hingga jadi dua bagian.

   Tubuh Panji sendiri jatuh berguling-guling akibat ber-benturan dengan sepasang tangan Lodra yang mengan-dung tenaga dalam dahsyat itu.

   "Huakkk...!"

   Segumpal darah segar menyembur dari mulut Panji.

   Sedangkan sinar putih keperakan yang selalu menyeli-muti tubuhnya mendadak lenyap.

   Ini pertanda aliran tenaga dalamnya mengalami hambatan.

   Dengan sigap, Panji segera mengatur pernapasannya untuk melancar-kan kembali aliran tenaga dalamnya yang terhambat.

   Di Iain pihak, keadaan Iblis Tangan Maut tidaklah lebih baik.

   Tubuhnya terlempar keras lalu terbanting ke tanah yang menimbulkan suara berdebum.

   Lodra mende-kap dadanya yang berguncang akibat tangkisan Panji yang mengandung "Tenaga Sakti Gerhana Bulan' itu.

   Tubuh Iblis Tangan Maut terbungkuk-bungkuk.

   Dan ketika ia terbatuk, langsung memuntahkan darah segar dari mulutnya.

   Untuk beberapa saat lamanya pertempuran pun terhenti.

   Panji maupun Iblis Tangan Maut, sama-sama terdiam untuk memulihkan tenaga masing-masing.

   "Hiaaat..!"

   Tiba-tiba Iblis Cambuk Api berteriak nyaring.

   Tubuhnya yang tinggi besar meluncur deras ke arah Panji.

   Dengan menggunakan sebatang golok besar, dia siap merejam tubuh pemuda itu.

   Suara senjatanya berdesing tajam mengarah ke leher Panji.

   Panji yang sudah mulai pulih tenaganya, segera me-mutar kepalanya dan langsung membabatkan pedangnya ke tubuh lawan.

   Pertarungan pun kembali berlangsung hebat.

   Pedang di tangan Panji membentuk gulungan sinar putih kepera-kan, bagaikan seekor naga yang sedang bermain di ang-kasa.

   Dalam beberapa jurus saja, Iblis Cambuk Api mulai terdesak hebat.

   Dia hanya mampu bermain mundur.

   Pada saat yang gawat itu, Iblis Tangan Maut juga segera melesat membantu adiknya, yang berada dalam posisi berbahaya.

   Iblis Tangan Maut sudah pula menca-but sepasang trisulanya, dan langsung menerjang dengan serangan-serangan yang cepat dan ganas.

   Setelah Iblis Tangan Maut ikut membantunya, barulah Iblis Cambuk Api dapat menarik napas lega.

   Sebab sera-ngan-serangan Panji yang ditujukan ke arahnya mulai berkurang.

   Panji memang harus juga membagi perhatian-nya terhadap Iblis Tangan Maut.

   Dua puluh jurus pun terlewat sudah.

   Panji tampak mulai meningkatkan serangannya.

   Pedangnya yang bersi-nar putih keperakan, bergulung-gulung menekan senjata lawannya.

   Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Iblis Tangan Maut dan Iblis Cambuk Api mulai dapat didesak oleh pemuda itu.

   Darah-darah di dalam tubuh serasa mem-beku.

   Mereka bagaikan terkurung dalam sebuah lingka-ran salju saja.

   Segera dikerahkan seluruh tenaganya untuk mengusir hawa dingin yang mempengaruhi gera-kan-gerakan mereka.

   "Gila! Bocah ini benar-benar memiliki ilmu iblis!"

   Umpat Iblis Tangan Maut sambil melompat menghindari sabetan pedang lawan.

   Semakin lama ruang gerak kedua iblis itu semakin me-nyempit.

   Serangan-serangan yang dilancarkan Iblis Ta-ngan Maut maupun Iblis Cambuk Api, selalu kandas bagai membentur sebuah dinding salju yang kokoh.

   Para tokoh persilatan yang menyaksikan pertandingan itu dari kejauhan, tersentak kaget.

   Ternyata mereka pun tidak terlepas dari pengaruh hawa dingin yang memenuhi sekitar situ.

   Cepat-cepat tokoh-tokoh persilatan itu mengerahkan hawa murni untuk melindungi tubuh dari pengaruh hawa dingin yang luar biasa itu.

   Saat itu, pertarungan sudah menginjak pada jurus yang ketiga puluh lima.

   Tiba-tiba kedua Iblis Gunung Tandur itu berteriak nyaring, dan langsung menerjang secara berbarengan.

   Senjata mereka berkelebat mengarah ke bagian-bagian yang berbahaya di tubuh Panji.

   Jurus 'Tangan Maut', milik Iblis Tangan Maut kini dimainkan dengan menggunakan senjata trisula.

   Senjata itu berkelebatan mengancam Panji sambil mengeluarkan suara berdesingan bagai suara ribuan ekor lebah yang sedang marah.

   Sementara Iblis Cambuk Api yang kini menggunakan golok, juga masih cukup dahsyat sera-ngannya, sungguhpun kini tidak menggunakan senjata andalannya.

   Melihat kedua serangan yang dahsyat itu, Panji segera memutar pedangnya, disertai kekuatan penuh tenaga dalamnya.

   Mendadak cahaya yang semula menyelimuti pedangnya, berpijar ke segala penjuru bagaikan ada pesta kembang api.

   Kedua manusia iblis itu, tersentak mundur.

   Dan untuk beberapa saat lamanya pandangan mereka terhalang oleh pancaran sinar itu.

   Akibatnya mereka pun sulit untuk menentukan di mana posisi lawan.

   Sebelum kedua manusia iblis itu sempat berpikir banyak, Panji segera melesat menerjangnya.

   Karuan saja Iblis Tangan Maut dan Iblis Cambuk Api tersentak kaget dan menjadi kalang kabut.

   Dengan secara serabutan, mereka menggerakkan senjatanya ke segala arah.

   Tranggg! Tringgg! Brettt! "Akh...!"

   "Akh...!"

   Iblis Tangan Maut dan Iblis Cambuk Api, berhasil menangkis beberapa serangan yang dilakukan Namun tak luput sebuah bacokan pemuda itu dapat melukai ping-gang Iblis Cambuk Api.

   Cairan merah pun merembes keluar, dan membasahi pakaiannya.

   Sedangkan Iblis Tangan Maut terhuyung-huyung sam-bil memegangi lengannya yang terbabat putus sebatas siku.

   Cepat-cepat Iblis Tangan Maut menotok di beberapa tempat untuk menghentikan darah yang terus mengalir.

   Wajah kedua iblis itu berubah pucat Kini mata mereka baru terbuka dan mengakui kepandaian pemuda yang menjadi lawannya ini.

   Bahkan kini rasa takut pun mulai menjalari perasaan mereka.

   Panji kembali menerjang kedua iblis yang sudah ter-luka itu.

   Segulung sinar putih keperakan, segera mengu-rung kedua orang lawannya.

   Iblis Tangan Maut dan Iblis Cambuk Api berusaha mati-matian menghindari serangan yang dilancarkan Panji.

   Namun ke mana saja mereka menghindar, sinar putih keperakan Itu tetap mengurung mereka.

   Bukan main terkejutnya hati dua manusia iblis itu.

   Keringat dingin mulai mengalir membasahi tubuh.

   Merasa tidak mungkin mendapat ampunan dari lawannya, Iblis Tangan Maut dan Iblis Cambuk Api pun nekad menerjang ke arah Panji.

   Senjata di tangan Iblis Tangan Maut berkelebatan cepat dan sukar diikuti mata biasa.

   Suaranya mengaung membelah udara.

   Tiba-tiba senjata itu meluncur deras ke arah lambung Panji.

   Dan pada saat yang bersamaan, Iblis Cambuk Api pun telah pula membabatkan golok besarnya ke pinggang lawan.

   Melihat kedua serangan yang luar biasa itu datang, Panji segera memutar pedangnya dari luar ke dalam.

   Ini dilakukan untuk mematahkan serangan kedua iblis itu.

   Trang! Trang! Terdengar dua kali benturan keras di udara, yang menimbulkan percikan bunga api.

   Memang, betapa kuatnya tenaga benturan tadi.

   Dengan kecepatan yang luar biasa, tubuh Panji me-lambung ke depan sambil mengayunkan pedangnya.

   Suara gemuruh disertai hawa dingin yang hebat, mengi-ringi ayunan pedangnya.

   Brettt! Brettt! "Akh...!"

   Terdengar suara raungan dahsyat yang mendirikan bulu roma, ketika pedang Panji membabat kedua leher manusia iblis.

   Tubuh Iblis Tangan Maut dan Iblis Cam-buk Api terjungkal ke belakang.

   Darah mengucur deras dari luka di leher mereka.

   Sebentar mereka berkelojotan, lalu tewas dengan leher hampir putus! Melihat kedua musuhnya telah tewas, Panji menja-tuhkan lututnya ke atas tanah.

   la merasa lelah sekali, karena telah bertarung hampir dua ratus jurus untuk menghadapi musuh-musuhnya.

   Tiba-tiba Panji tersentak ketika mendengar desiran angin yang bersiulan.

   Cepat bagai kilat ditolehkan kepalanya ke arah sumber suara itu.

   Panji segera memutar kepalanya ketika sebuah tenda-ngan yang dahsyat meluncur ke arah kepalanya.

   Rupanya tendangan itu berasal dari Iblis Golok Terbang yang telah dibuntungi lengannya oleh pemuda itu.

   Dengan tenda-ngan kilat, Iblis Golok Terbang menyerang Panji secara bertubi-tubi.

   Panji segera berkelit menghindari tendangan geledek itu.

   Segera dicarinya kelemahan dari serangan lawannya.

   Hingga pada jurus yang kelima, Panji memiringkan tubuhnya sehingga tendangan dari Iblis Golok Terbang hanya lewat di sebelah kirinya.

   Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji segera melepaskan pukulan ke arah lutut Iblis Golok Terbang, ke-mudian dlsusul dengan sebuah tendangan yang meluncur ke dada.

   Krakkk! Desss! "Akh...!"

   Sudra meraung keras! Pukulan Panji telah mematah-kan lutut kanannya.

   Sedangkan tendangan pemuda itu, telak sekali menghajar dadanya hingga melesak ke dalam.

   Setelah berkelojotan sejenak, Iblis Golok Terbang lang-sung tewas dengan dada hancur.

   Panji berdiri limbung, karena rasa lelah yang amat sangat Satu persatu pemuda itu memandangi wajah musuh-musuhnya yang telah menjadi mayat.

   Tibat-tiba, dari arah Timur dan Barat tampak para pendekar berlarian mendatangi bekas arena pertempu-ran.

   Rupanya para pendekar sudah pula menyelesaikan pertarungan melawan anak buah Tiga Iblis Gunung Tan-dur.

   Betapa tercengangnya para pendekar yang baru datang itu, ketika melihat Tiga Iblis Gunung Tandur telah menggeletak tanpa nyawa.

   Selagi para pendekar itu sibuk satu sama lainnya, Panji cepat melesat meninggalkan tempat itu.

   Gerakan-nya yang disertai ilmu meringankan tubuh, tidak diketa-hui para tokoh persilatan yang tengah sibuk itu.

   Ilmu me-ringankan tubuhnya, memang sudah hampir pada taraf kesempurnaan.

   "Eh! Kemana perginya Pendekar Naga Putih tadi?"

   Ta-nya Pendekar Pedang Langit ketika tidak melihat Panji di tempatnya.

   "Pendekar yang mana?"

   Tanya para tokoh persilatan tak mengerti.

   "Pendekar Naga Putih,"

   Tegas Pendekar Topeng Hitam.

   "Dialah yang telah membunuh Tiga Iblis Gunung Tandur itu!"

   Sambungnya.

   "Pendekar Naga Putih...!"

   Seru para tokoh persilatan terkejut.

   "Jadi, dia juga berada di sini tadi?"

   Tanya yang lainnya.

   "Benar! Dan kini, pendekar itu telah pergi entah ke mana!"

   Desah Pendekar Pedang Langit pelahan.

   Sementara, matahari semakin naik tinggi.

   Sinar yang garang memancar ke seluruh permukaan bumi dan terasa menyengat kulit.

   Hembusan angin yang sepoi-sepoi, bagaikan elusan tangan bidadari yang terasa sejuk dan melenakan.

   Nun di bawah kaki Gunung Tandur, tampak seorang pemuda berjubah putih melangkah mengikuti ayunan kakinya, tanpa tahu arah mana yang akan dituju.

   Dia adalah Panji yang mendapat Julukan Pendekar Naga Putih.

   SELESAI Pembuat Ebook .

   Scan buku ke djvu .

   Abu Keisel Convert .

   Abu Keisel Editor .

   A-kriee/Adnan Sutekad Ebook oleh .

   Dewi KZ
http.//kangzusi.com/ atau
http.//dewikz.byethost22.com/
http.//kangzusi.info/

   
http.//ebook-dewikz.com/

   

   

   

Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja Kedele Maut Karya Khu Lung Kisah Pendekar Sakti Putri Bulan Bintang Karya Lovely Dear

Cari Blog Ini