Ceritasilat Novel Online

Gerhana Tebing Neraka 1


Pendekar Cambuk Naga Gerhana Tebing Neraka Bagian 1


GERHANA TEBING NERAKA Oleh Barata Penerbit Wirautama, Jakarta Cetakan Pertama Dilarang mengutip, memproduksi dalam bentuk apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit Serial Pendekar Cambuk Naga episode Gerhana Tebing Neraka Wirautama, 1991 128 Hal.; 12.18 Cm.; 01.1290.50.4 DEBU beterbangan dan denting senjata tajam beradu semakin tiada hentinya.

   Seorang kakek ber-jenggot panjang memainkan tongkat besinya dengan gerakan cepat, ia menangkis pedang bermata dua yang dilancarkan ke arahnya.

   Bukan hanya pedang bermata dua yang ia layani, namun sebuah tombak bermata pedang pun sesekali ditangkisnya dengan gerakan me-liuk-liuk.

   Kakek berjenggot panjang berwarna putih ke-merah-merahan itulah yang dikenal sebagai Si Tongkat Besi.

   Sedangkan kedua lawannya itu, sebelum mereka menyerang, mereka telah memperkenalkan diri sebagai Perampok Bergolo.

   Nama Perampok Bergolo cukup kondang kekejamannya.

   Mereka adalah.

   Naroma dan Mando.

   Keduanya dikenal sebagai manusia haus da-rah.

   Setiap bertemu dengan orang yang melintasi hu-tan Bergolo, mereka selalu tidak memberikan orang tersebut untuk bernafas seterusnya.

   Tak peduli lelaki atau perempuan, besar atau kecil, asal lewat kawasan hutan Bergolo, pasti mereka bunuh.

   Adakalanya mereka cincang mayat orang tersebut dan direbus untuk dijadikan santapan.

   "Rupanya kau cukup tangguh juga, Kakek peot!"

   Kata Mando dengan mengibaskan pedangnya ke arah perut si Tongkat Besi. Tetapi menangkisnya sambil mengayunkan kaki kanannya ke wajah Mando.

   "Heaaat...!"

   Pekik Naroma seraya meloncat dan menerjang Tongkat Besi.

   Pinggang kakek tua itu terkena tendangan Naroma hingga ia tersungkur ke depan.

   Tongkatnya segera menancap di tanah, dan kakek tua itu tak sempat roboh.

   Tubuhnya bagai ditopang tong-kat besi berkepala monyet.

   Ujung tongkat yang berbentuk kepala monyet dari ukiran besi itu segera menyo-dok Naroma dengan gerakan balik yang cukup menga-getkan Naroma sendiri.

   "Heeg...!"

   Naroma mendelik, dan ujung tongkat yang lain segera berputar ke atas lalu menghantam kepala Naroma.

   Lelaki berpakaian serba merah itu mengaduh sambil berjungkir balik di tanah.

   Senjata pedang bermata dua dari Mando menebas dari arah belakang kakek tua.

   Tapi dengan tanpa memandang lawannya, kakek tua itu menggerakkan tongkatnya, menyodok ke belakang dan tepat mengenai selangkan-gan Mando.

   Akibatnya, lelaki bercelana hitam dengan bajunya yang hitam pula itu menyeringai kesakitan.

   Ia sempat terpincang-pincang menjauhi Tongkat Besi.

   Kakek tua itu terkekeh sebentar, sambil berdiri seenaknya menunggu serangan berikutnya.

   "Masa' perampok yang sudah kesohor kekejamannya cuma bisa mengaduh dan meringis? Ayo, keluarkan semua ilmu kalian, jangan sungkan-sungkanlah... aku siap mene-rimanya."

   "Kakek sombong!"

   Geram Naroma dengan sen-git.

   "Terimalah jurus Tapak Braja-ku ini, hiaaat...!"

   Kedua tangan Naroma terbuka, diarahkan ke kakek tua dengan satu gerak pukulan berganda.

   Tong-kat Besi berdiri tegak, kedua kakinya sedikit meren-tang, dan kedua tangannya ditarik mundur, sehingga seakan ia menonjolkan dadanya.

   Dengan telak sekali kedua telapak tangan Naroma menghantam dada Tongkat Besi.

   "Daab...!"

   Lalu keluarlah asap dari pukulan itu.

   Namun si Tongkat Besi yang berjubah kuning itu hanya terkekeh selagi kedua telapak tangan Naroma belum terlepas dari dadanya.

   Kakek tua itu malahan mengangkat pundaknya dengan tangan terbuka, sea-kan menyepelekan pukulan Tapak Braja tersebut.

   Melihat temannya disepelekan oleh kakek tua, maka Mando buru-buru melepas senjatanya dan ber-gerak gesit mengerahkan tenaganya.

   Jurus yang dipa-kai hampir sama gerakannya dengan yang digunakan Naroma tadi.

   Hanya saja, Mando tidak membuka tela-pak tangannya, namun ada dua jari yang terlipat, jari kelingking dan jari manis.

   Kedua jari itu ditekuk sedang yang lainnya mengejang kaku.

   Kedua tangan yang berposisi demikian itu disodokkan dengan kuat-kuat ke arah punggung kakek tua.

   "Jubb...!"

   Kedua jari dari masing-masing tangan Mando bagai membenam di punggung kakek tua.

   Asap tipis mengepul berwarna abu-abu.

   Saat itu pula, asap putih yang mengepul dari tangan Naroma masih terlihat menempel di dada kakek tua.

   Si Tongkat Besi terkekeh-kekeh.

   Lalu menung-gu sejenak, dan ia mencibirkan bibirnya dengan wajah kecewa.

   Mando dan Naroma segera mundur, mencabut pukulan andalan masing-masing.

   Mereka sama-sama memandang bengong dan terheran-heran.

   Mando mendekat Naroma dan berbisik.

   "Setan alas! Jurus andalan kita tidak membuatnya bergeming sedikit pun."

   "Ada lagi?"

   Tanya Si Tongkat Besi dengan sorot mata orang yang sedang kecewa.

   "Jangan jadi perampok kalau tidak bisa membunuh orang. Jadi penari sa-jalah...."

   Ejek Tongkat Besi dengan sinis.

   Kedua perampok Bergolo itu semakin geram.

   Mereka merasa tidak dihargai sama sekali.

   Baru seka-rang mereka menemukan lawan yang sama sekali ti-dak punya rasa takut atau pun ngeri terhadap mereka.

   Baru kali ini juga pukulan Tapak Braja Naroma sama sekali tidak berguna.

   Biasanya batu besar saja hancur oleh pukulan Tapak Braja, tetapi kali ini bahkan ma-nusia tua seperti Si Tongkat Besi, benar-benar melebi-hi dari batu manapun.

   Bergeming saja tidak, malah sempat menyepelekan dan mengejeknya.

   "Gila! Orang macam apa dia?"

   Pikir Naroma. Demikian pula Mando yang berbisik geram kepada Naroma.

   "Kita ketemu setan. Sukar dipercaya kalau pukulan Gempur Batu-ku tak punya kekuatan sama sekali buat menghancurkan si tua bangka ini! Bah!"

   Tongkat Besi bersandar di pohon serapa berka-ta.

   "Yah... berembuklah dulu sana. Cari jurus yang bi-sa buat membunuh. Jangan cari jurus yang hanya bi-sa buat membakar jagung, Tidak hebat itu...!"

   "Kurang ajar...!"

   Geram Mando.

   "Kita serang dengan jurus Hujan Darah...!"

   "Mari...!"

   Jawab Naroma dengan gemas.

   Lalu keduanya memanfaatkan senjata masing-masing lagi.

   Jurus Hujan Darah mereka lancarkan, yaitu suatu ju-rus yang harus menggunakan senjata tajam, di mana masing-masing senjata telah dialiri tenaga inti.

   Gerakannya begitu cepat, keduanya mempunyai gerakan yang serupa.

   Kemudian mereka meluncur bagai sepa-sang kumbang terbang.

   "Heaaat...!!"

   Kakek tua itu malah an tenang-tenang saja, menonton gerakan mereka yang meluncur bagai kum-bang hendak menyerbu kelopak bunga.

   Kakek tua itu hanya memegangi tongkat besinya dan menundukkan kepala bagai mendapat serangan angin yang bisa membuat mata pedas.

   Tapi ia tidak melawan atau menghindar sama sekali.

   "Crak...! Crak...! Juub...! Juub, jub, jub...!!"

   Senjata perampok Bergolo dengan rakus meng-hunjam tubuh tua renta itu.

   Bertubi-tubi dengan ke-cepatan melebihi derasnya hujan, senjata-senjata itu menebas dan menusuk ke seluruh tubuh kurus, tinggal tulang dan kulit.

   Anehnya, sejauh ini belum ada darah dan belum ada luka yang ke luar dari tubuh yang tinggal tulang terbungkus kulit itu.

   Bahkan sehe-lai jenggotnya tak ada yang terpotong.

   Tapi kedua perampok kondang dari hutan Bergolo itu masih terus menghujani tubuh kurus itu dengan senjata mereka masing-masing.

   Pada saat itu, ada sepasang mata yang me-mandang adegan tersebut.

   Sepasang mata itu milik seorang lelaki bertubuh tegap, kekar dan bermata ta-jam namun meneduhkan.

   Ia mengenakan ikat kepala dari kulit macan tutul untuk merapikan rambutnya yang panjang sebatas punggung, namun tidak menu-tupi sebilah pedang bergagang kepala ular kobra yang bertengger di punggungnya.

   Orang itu, tak lain adalah Pendekar Pusar Bumi, atau yang bernama asli.

   Domas Lanangseta.

   "Keterlaluan! Memalukan sekali, seorang kakek sampai dikeroyok dua dan dihujani senjata bertubi-tubi!"

   Geram Lanangseta. Ia buru-buru melesat cepat ke arah mereka. Kemudian dengan bersalto dalam satu loncatan, kedua kakinya berhasil menendang Naroma dan Mando dengan keras.

   "Lepaskan...! Pengecut kalian!"

   Perampok Bergolo terpental lima langkah dari tempat Si Tongkat Besi berdiri.

   Naroma sempat men-cium tanah dengan kasar, akibatnya mulutnya nyo-nyor dan berdarah.

   Sedangkan Mando, hanya tergul-ing-guling ke arah semak-semak.

   Lalu ia segera bang-kit dengan pedang bermata duanya di angkat ke atas.

   Ia segera menyerang Lanangseta dengan geram dan buas.

   "Bangsat busuk... heeaaat...!"

   "Wes, wes...!"

   Dua kali tebasan diberikan untuk Lanang.

   Tapi gerakan Lanang dalam menghindar cukup dengan memiringkan badan ke kanan dan kemu-dian ke kiri.

   Lewat sudah sabetan pedang bermata dua itu.

   Kini tinggal sebuah pukulan yang selayaknya pan-tas diberikan di pelipis Mando.

   "Aaahkk...!"

   Mando menjerit kesakitan. Kepalanya menjadi puyeng. Ia tersungkur mencium akar pohon.

   "Jangan turut campur dengan urusan kami!"

   Bentak Naroma sambil sesekali meludah karena mu-lutnya berdarah.

   "Kami tidak punya urusan dengan-mu, setan kencur!"

   Lanangseta memandang kakek tua itu sebentar. Oh, ia tidak terluka, pikir Lanang. Dan kakek tua itu malahan tetap bersandar di pohon dengan tenang, seakan ia menyaksikan suatu pertarungan yang seru.

   "Pergi kau, atau memang ingin mencoba kebua-san kami. perampok-perampok Bergolo? Iya?!"

   Naroma berseru dari arah belakang Lanangseta. Saat itu, Lanang hanya menyunggingkan senyum tipis. Matanya yang tajam bergerak-gerak penuh kewaspadaan.

   "Kalau boleh kutahu, apa kesalahan kakek tua itu sehingga kalian menyerangnya sampai membabi buta?"

   Tanya Lanangseta.

   "Kami lapar! Sudan tujuh hari tidak ada orang lewat sini, sebab itu sudah tujuh hari kami puasa!"

   Jawab Mando.

   "O, jadi kalian membunuh manusia untuk di-makan?!"

   "Ha, ha, ha... kau belum tahu kalau daging manusia itu lebih gurih, lebih manis dan sangat men-guatkan badan!"

   Naroma berkata sambil bertolak ping-gang sebelah. Mando menyahut.

   "Kalau perlu, tubuh kekar seperti kamu itulah yang menjadi santapan istimewa kami! Tetapi, terlebih dulu kami akan menikmati dag-ing kakek tua peot ini yah... sebagai hidangan kecil atau buat camilan."

   "Biadab!"

   Geram Pendekar Pusar Bumi.

   "Manusia seperti kalian memang harus di musnahkan...!!"

   "Naroma...! Serang...!"

   Kedua perampok Bergolo meloncat dan menye-rang Lanangseta dari arah kiri dan kanan.

   Lanangseta bersalto mundur dua loncatan.

   Kedua perampok Bergolo itu hampir saja saling bertabrakan.

   Namun hal itu dapat dihindari dengan bergulirnya tubuh Naroma ke arah samping.

   Begitu kakinya menjejakkan bumi, ia berada dalam satu jangkauan di depan Lanangseta.

   Tanpa menunggu serangan law an, Lanangseta menye-rang dengan pukulan kuat yang mengenai rahang Na-roma.

   Orang bersenjata tombak itu terdongak dan memekik kesakitan.

   Tombaknya yang berujung mata pedang itu digerakkan menusuk Lanangseta.

   Tetapi belum sempat tombak itu menyentuh perut Lanangse-ta, kaki Pendekar Pusar Bumi itu telah lebih dulu menendang tulang rusuk Naroma hingga terdengar bunyi berderak.

   "Kraak...!"

   "Aaaoow...!!"

   Naroma menjerit sambil memegangi tulang rusuknya.

   Ia terhuyung-huyung dan jatuh.

   Lanangseta hendak menendang kepala Naroma, tetapi sekelebat pedang bermata dua melintas di kepalanya membuat Lanang terpaksa berguling menghindarinya.

   Mando menyusul ikut berguling sembari mene-baskan pedangnya, tetapi Lanangseta lebih dulu mele-jit bagai udang.

   Melambung ke udara dan kembali ber-diri dalam posisi sigap.

   Pendekar Pusar Bumi merasa tak perlu terlalu banyak membuang waktu.

   Ia harus segera memberi pelajaran terhadap kedua orang terse-but.

   Dan seketika itu pula.

   "srett..!"

   Pedang Wisa Kobra melesat dari sarungnya yang ada di punggung.

   Mando tampak paling penasaran, karena sejak tadi mereka tak dapat menyentuh tubuh Lanangseta.

   Maka dengan gerakan jurus Hujan Darah, ia menye-rang, menebaskan pedangnya dalam berbagai arah dan berbagai cara.

   Tetapi pada saat pedang Wisa Kobra menangkisnya, terdengar bunyi.

   "Trrakk...!"

   Mando terbengong menatap pedang mata duanya.

   Pedang itu telah buntung, tinggal beberapa jari dari gagangnya.

   Melihat pedang temannya buntung di tebas pe-dang lawan, Naroma melompat seraya melemparkan tombaknya dengan cepat.

   Gerakan tombak itu bagai tak bisa diikuti oleh pandangan mata manusia.

   Tetapi agaknya pedang Wisa Kobra lebih awas, sehingga dengan sekali sekelebat saja pedang itu telah berhasil menangkis tombak Naroma.

   Agaknya Naroma juga mengalami nasib sama seperti Mando.

   Tombaknya itu jatuh ke tanah dalam keadaan patah terpotong menjadi dua bagian.

   "Jahanaaaam...!!"

   Naroma menyerang dengan marah.

   Lanangseta menghindar sambil menyarungkan pedangnya kembali.

   Mando menyerang dari arah bela-kang, tetapi tangan kiri Lanang dengan tangkas berhasil memegang pergelangan tangan Mando, tanpa ia menoleh ke belakang lebih dulu.

   Dengan satu tarikan kuat, tubuh Mando melayang dan jatuh di depan La-nangseta.

   Secepat itu pula tangan kanan Lanangseta memukul dada Mando.

   Kuat dan bertenaga pukulan itu.

   Mando memekik kesakitan, dadanya menjadi biru legam.

   Naroma tak bisa tinggal diam.

   Ia mengeluarkan jurus tendangan Kipas Rantai.

   Tendangannya begitu cepat dan berputar-putar, yang kiri ganti kanan, ganti kiri, dan sangat cepat.

   Debu tanah berhamburan.

   Lanangseta menghindar beberapa kali, lalu tiba-tiba ia memperoleh peluang untuk menghantam tulang iga Naroma.

   "Kraak...!"

   Bunyi tulang iga patah. Naroma melejit sambil mengaduh kesakitan. Tanpa banyak pertimbangan lagi, Naroma me-lompat semakin menjauhi Lanangseta. Mando tahu ge-lagat, Naroma ingin kabur. Lalu ia berkata kepada Lanangseta;

   "Ada saat untuk bertemu dan membalas. Tung-gulah itu...!"

   Mando segera melesat dengan memegangi dadanya yang terkena pukulan hebat dari Lanangseta.

   Keduanya kabur dengan cepat, bagai menghilang di balik tumpukan batu cadas.

   Lanangseta hendak men-gejar, tapi tiba-tiba langkahnya terhenti karena kakek tua itu telah berdiri menghadangnya dengan tongkat besi di tangan, ujungnya menancap di tanah.

   "Hebat...! Pedangmu itu sungguh hebat...!"

   Kata Tongkat Besi. Janggutnya yang berbulu merah kepu-tih-putihan itu melambai-lambai dihempaskan semilir-nya angin.

   "Kau punya kesaktian di dalam pedangmu itu, anak muda."

   "Hanya sekedar pedang biasa, Kek. Tetapi...."

   Belum habis Lanangseta berkata-kata, kakek tua itu mendadak menyerangnya dengan menggunakan tong-kat besi tersebut.

   "Hei, apa-apaan ini...?!"

   Lanang terkejut heran. Ia sempat melompat untuk menghindari sodokan tongkat besi.

   "Cobalah tongkat besiku ini, anak muda...!"

   Mampukah kau memotong-motongnya? Heaaahh...!"

   Lanangseta berguling di udara.

   Hempasan an-gin tongkat besi begitu kuat sehingga tubuh Lanangse-ta bagai terdorong oleh suatu tenaga besar.

   Lanang sedikit menggeragap, ia canggung untuk melawan.

   Ia bingung, mengapa kakek ini sudah ditolong .

   malah ganti menyerang? Bahkan serangannya amat cepat, bertubi-tubi sehingga tidak memberi kesempatan ke-pada Lanangseta untuk bicara.

   Lanang hanya melom-pat, menghindar, berguling, berkelit, dan begitu seterusnya sampai-sampai hal itu membuat Si Tongkat Besi menjadi geram dan dongkol sendiri.

   "Keparat...! Seranglah aku jangan hanya berta-han! "Gunakan pedangmu itu! Ayo...! Ayooo...!"

   "Wuss... Wsuuss...!"

   Tongkat memukul dan menyodok dengan satu kekuatan dalam yang tersalur di batang tongkat itu.

   Lanangseta tak berani menangkis pukulan tongkat yang dialiri tenaga dalam itu.

   Ia hanya menghindar terus sampai-sampai keringatnya membanjir di sekujur tubuh.

   Untuk menguji kekuatan tenaga dalam tongkat itu, Lanang sengaja mencari tempat di dekat pohon, tempat di mana kakek tua itu tadi bersandar santai.

   Ternyata dugaan Lanangseta tidak meleset.

   Ketika tongkat besi itu melayang ke arah kepalanya, Lanang menyempatkan diri untuk tetap di-am.

   Dalam jarak beberapa mili saja ia segera merun-duk, dan tongkat itu mengenai batang pohon.

   Tanpa tanggung-tanggung lagi, kulit batang pohon itu menge-lupas dan tongkat itu ada di kedalaman batang pohon tersebut.

   Bagai sebilah pisau menancap pada gedebong pisang yang busuk.

   "Pukulan yang hebat!"

   Kata Lanangseta. Kakek tua itu sedang berusaha mencabut kembali tongkatnya dari batang pohon. Sebab itu ada kesempatan bagi La-nang untuk bertanya.

   "Mengapa kakek menyerangku dengan sungguh-sungguh?"

   "Karena kau tolol, tidak mau menyerangku!"

   "Aku sudah menolong kakek, dan di antara kita memang tidak ada masalah? Haruskah aku menyerang orang tanpa salah dan tanpa persoalan apapun?"

   "Ya. Harus...!"

   "Beet...!"

   Tongkat berhasil dicabut, dan segera dipukulkan ke arah Lanangseta.

   Hampir saja perut Lanangseta terkena goresan dari ujung tongkat itu jika ia tidak berkelit ke belakang.

   Lalu gerakan tongkat itu cukup mencengangkan Lanangseta, di mana ia mendapat serangan lagi, tong-kat itu bergerak bagai hendak menebas perutnya.

   La-nang menggerakkan perutnya ke belakang, otomatis kepalanya maju ke depan.

   Tapi ternyata tongkat itu tidak menebas melewati depan perut, melainkan berhen-ti di depan perut, lalu dengan cepat dihentakkan ke atas menuju muka Lanang.

   Karena terlatih bergerak gesit, maka Lanang dapat menghindari gerakan tipuan itu dengan memiringkan kepala ke kiri pada saat tongkat bergerak ke atas.

   Tapi tongkat itu turun kembali dengan kecepatan yang luar biasa, sehingga hampir saja menghantam ubun-ubun Lanangseta jika ia tidak segera berguling sambil mencabut pedangnya.

   Baru saja ia bangun, tahu-tahu tongkat besi itu berkelebat di depan batang.

   hidungnya dengan cepat.

   Anginnya cukup kuat sehingga ia terjengkang jatuh.

   Kakek tua dengan seringai kemenangan segera meng-hunjamkan tongkatnya ke perut Lanangseta, tetapi pedang Wisa Kobra menangkisnya.

   Dengan satu kali tebasan, pedang itu mampu memotong tongkat terse-but menjadi dua bagian.

   Lalu menebas lagi, dan tong-kat itupun terpotong lagi.

   Lanang segera melejit bagai udang, dan bersalto ke belakang menjauhi kakek tua.

   Tawa terkekeh dan tepuk tangan terdengar dari arah Si Tongkat Besi berdiri.

   "Hebat...! Bagus...! Itu namanya pendekar sak-ti...!"

   Puji Tongkat Besi yang sempat membingungkan pikiran Lanang.

   Ia benar-benar tak tahu, mengapa kakek tua yang bernafsu membunuhnya itu sekarang malahan kelihatan gembira setelah senjatanya terpo-tong-potong menjadi tiga bagian.

   Ia manggut-manggut seraya memandang bangga kepada musuhnya.

   Bahkan kini ia mengacungkan jempol tanda memuji.

   Dengan dahi masih berkerut, Lanangseta me-nyarungkan kembali pedangnya ke punggung.

   Tapi kakek tua itu segera berteriak dengan cemas.

   "Hei, hei... jangan sarungkan dulu pedangmu!"

   "Aku tidak punya urusan denganmu, Kakek Tua."

   "Namaku Si Tongkat Besi. Kumohon dengan hormat, bertarunglah denganku. Ku mohon dengan sangat, jangan kecewakan aku. Ayo, bertarunglah dan gunakan senjatamu itu. Aku tak akan menggunakan senjata apa-apa...."

   "Itu bahkan tidak adil,"

   Seraya Lanang me-nyunggingkan senyum sinisnya.

   "O, tidak. Tidak apa-apa. Aku tidak menuntut keadilan, aku hanya menuntut suatu pertarungan."

   "Aneh!"

   Pikir Lanangseta.

   "Sudah tua renta, tinggal tulang terbungkus kulit, kok masih senang berkelahi? Apa maunya sebenarnya?"

   "Ayo, seranglah aku dengan pedangmu. Aku ta-hu, pedang itulah yang akan mampu memotong kepa-laku!"

   "Tidak!"

   Jawab Lanang.

   "Tidak ada pertarungan di antara kita, tidak ada permusuhan dan tidak ada persoalan. Seharusnya kakek berterima kasih kepada-ku, karena aku telah menyelamatkan kamu, kek. Tapi mengapa...?"

   "Nah, sekarang kau tahu aku tidak berterima kasih kepadamu. Sebab itu, marahlah. Tuntutlah aku, dan bertarunglah bersamaku. Ayo, jangan. sungkan-sungkan...!"

   Lanang menggeleng, ia mendekati kakek tua itu.

   "Kakek Tongkat Besi... jangan memaksa seseo-rang untuk bertindak jahat, karena dirimu akan digo-longkan sebagai orang yang lebih jahat dari yang kau suruh. Nah, sekarang, pertemuan kita cukup sampai di sini saja. Aku punya urusan penting di tempat lain...!"

   "Tunggu...! Tunggu dulu dan jangan pergi...!"

   Tongkat Besi memegangi tangan Lanangseta.

   "Siapa namamu, nak?"

   Ia bertanya dengan ramah.

   "Lanangseta...!"

   "Lanangseta, ooh... nama yang bagus. Kama yang punya perlambang bahwa kau akan menjadi orang terkenal di rimba persilatan dari seluruh pelosok dunia. Tetapi hal itu hanya akan terjadi apabila kau mau melawanku untuk bertarung. Kau memakai pedangmu dan aku tidak. Bagaimana? Mau...?"

   Lanangseta merasa berhadapan dengan orang gila. Kemudian ia menggeleng dan menarik genggaman tangan Tongkat Besi, dan ia berjalan kembali. Tetapi kakek tua itu kembali memegang tangan Lanangseta seraya memohon dengan nada kasihan.

   "Tolonglah... ayo, bertarung denganku. Kau pasti akan menang. Percayalah! Bertarunglah sebentar saja, dan kujamin dengan sekali tebas kepalaku akan terpisah dari leher. Kau bisa melanjutkan perjalanan kembali...."

   Lanang jengkel sendiri.

   "Aku bukan jagoan ten-gik!"

   Bentaknya. Dan tiba-tiba Tongkat Besi menarik tangan Lanangseta kuat-kuat, kemudian melempar-kannya tubuh yang kekar dan tegap itu. Dengan sekali ayun, Lanang terlempar dan jatuh di dekat potongan tongkat besi itu.

   "Gila...!"

   Teriak Lanangseta. Kakek tua atau Si Tongkat Besi, itu tersenyum.

   "Rupanya kau perlu kusiksa dulu supaya mau melawanku...!"

   "Kakek gila?! Apa-apaan ini sebenarnya? Men-gapa kau bernafsu sekali bertarung denganku...?"

   Kakek tua tidak menjawab, ia menendang La-nangseta.

   Mau tak mau Lanangseta berguling ke kiri, dan melejit ke atas, dan disambut dengan pukulan be-rantai dari dua tangan kurus itu.

   Lanang sempat lim-bung dan sempoyongan.

   Pernafasannya sangat sesak, ia nyaris tak bisa bernafas lagi.

   Padahal yang diterimanya adalah pukulan tan-pa tenaga dan dilancarkan dari kedua tangan kurus kering.

   "Ayo, lawan aku. Jangan dengan tangan kosong, nanti kau mati jika melawanku dengan tangan kosong. Pakai pedangmu!"

   "Gila! Betul-betul gila! Apa maunya sebenar-nya?!"

   Pikir Lanang sambil melangkah mundur. Memandang penuh keheranan. * ** KAKEK TUA itu memungut kembali potongan-potongan tongkat besinya.

   "Barangkali kau mau belajar padaku tentang ilmu Sambung Besi, asal kau janji, setelah kuajarkan ilmu itu, kau mau bertarung denganku dun harus memakai pedangmu itu."

   Karena penasaran, Lanangseta bertanya.

   "Ke-napa harus memakai pedangku ini?"

   "Menurut dugaanku, pedangmu itu bisa memo-tong besi, atau benda apapun. Dan itu berarti akan bi-sa memotong leherku juga."

   Mulut Lanangseta masih dalam kebisuan, ma-tanya memandang potongan tombak besi yang dira-patkan kembali.

   Bekas kedua potongan itu digenggam oleh kakek tua, lalu diurut sambil tersenyum meman-dang Lanang.

   Dan kali ini, Lanang jadi terbelalak.

   Tongkat Besi yang terpotong itu telah tersambung lagi tanpa meninggalkan bekas sama sekali.

   Dua tempat potongan telah menyatu, rapat dan halus, sepertinya tongkat itu tak pernah terpotong sebelumnya.

   "Hebat...!"

   Gumam Lanangseta.

   "Memang. Dan kau bisa mempelajari ilmu Sambung Besi dengan syarat seperti yang kukatakan tadi,"

   Kata kakek tua dengan suaranya yang serak.

   "Keinginan yang aneh,"

   Desis Lanangseta.

   "Kalau kau melawanku tanpa pedang itu, kau akan kalah. Aku punya ilmu silat lebih tinggi dari ka-mu. Juga beberapa jurus tenaga dalam yang lebih he-bat dari kamu. Aku bisa membuat harimau mati seke-tika jika aku membentakkan kata mati di hadapannya. Dan aku bisa menghancurkan gunung sekokoh apa-pun, jika aku bilang hancur kepada gunung itu. Hebat kan kesaktianku itu? Kau mau coba?"

   Pendekar Pusar Bumi masih tertegun dan ber-pikir bingung. Kakek tua itu berkata lagi dengan seenaknya, bagai seseorang sedang membual.

   "Kalau pedangmu bisa melukaiku, apalagi sam-pai bisa memotongku, maka pedangmu itu akan dapat terbang sendiri dan menuruti kehendakmu. Pedangmu dapat membunuh siapa saja yang kau perintahkan un-tuk dibunuh. Kau bisa enak-enak duduk sambil ma-kan, atau tidur di samping istri mu. Eh, kau sudah punya istri, anak muda?"

   "Belum."

   "Nah, kalau kau bisa membunuhku dengan pe-dangmu, maka oleskanlah darahku pada bibirmu, dan seumur hidup kau akan menjadi rebutan perempuan-perempuan cantik. Tak ada perempuan yang mampu berpaling dan pergi jika memandang bibirmu. Mereka akan merengek dan kasmaran, lalu bersedia menuruti perintahmu tanpa punya rasa cemburu."

   Senyum Lanangseta tersungging tipis, kaku, seakan menyepelekan kata-kata Si Tongkat Besi.

   Ka-kek tua itu merasa sedang diremehkan oleh pemuda tegap dan perkasa yang dari tadi berdiri di depannya.

   Kemudian Tongkat Besi mengambil sebutir batu kerikil "Ini apa...?"

   Ia memperlihatkan batu itu kepada Lanang.

   "Batu,"

   Jawab Lanang yang semakin seperti orang bego.

   "Iya, yang bilang ini kepalamu siapa?"

   Kakek tua itu terkekeh. Lanang geli sendiri. Orang ini sangat aneh dan punya daya tarik tersendiri, pikir Lanang. Kakek tua itu berkata lagi.

   "Nah, menurut pen-glihatan siapa pun, ini adalah batu. Lalu, kugeng-gam...!"

   Ia menggenggam batu tersebut.

   "Ini bukan ba-tu, tapi emas...!"

   Tongkat Besi membuka genggamannya, dan mata Lanangseta terbelalak, bahkan ia sempat merun-duk untuk memperjelas penglihatannya.

   "Gila...! Menjadi emas? Emas betulan...?!"

   Dibiarkan tangan Lanangseta memungut batu yang telah berubah menjadi emas. Lanangseta me-mandanginya lekat-lekat, nyaris tidak mempercayai penglihatannya. Kakek tua itu hanya terkekeh-kekeh dengan gayanya yang sombong dibuat-buat.

   "Ambillah kalau kau mau. Dan buktikan, sam-pai berapa tahun pun ia tetap akan menjadi emas...!"

   Kata kakek tua.

   Lama sekali Lanangseta tertegun dan memper-hatikan keanehan itu.

   Kakek tua berkipas-kipas den-gan menggunakan bagian jubahnya.

   Rambutnya yang putih sudah mulai kemerah-merahan itu sudah pasti amat panjang, namun karena ditekuk dan digulung menjadi satu di atas kepalanya, maka ia kelihatan ra-pi.

   Hanya kumis dan jenggotnya saja yang kelihatan acak-acakan.

   "Kau bisa mempelajari ilmu itu, kalau kau mau bertarung denganku memakai pedang itu. Ku ajarkan dulu semua ilmuku, dan kalau sudah habis, baru kita bertarung. Ku jamin kau pasti menang."

   "Dan kakek akan mati?"

   "Ya."

   "Tidak menyesal mati di tanganku?"

   Ia menghela napas. Santai sekali, seakan ogah-ogahan berbicara. Katanya.

   "sebetulnya mati di tangan siapa pun aku mau. Tapi sudah lama aku menunggu orang yang bisa membunuhku, nyatanya tak ada."

   Kata-kata itu kedengarannya sangat aneh dan ganjil, sehingga Lanangseta merasa perlu ikut duduk di sebelah Si Tongkat Besi.

   "Jadi, apa inti kemauan kakek sebenar-nya?"

   Tanya Lanangseta setelah membisu beberapa saat sambil memandangi batu yang telah menjadi emas itu.

   "Keinginan mu yang paling utama apa, Kek?"

   "Mati!"

   Jawabnya pelan, tapi tegas. Hanya saja Lanang masih merasa hal itu adalah main-main.

   "Aku bertanya dengan sungguh-sungguh, Kek. Jangan dijawab dengan becanda."

   "Hei, kau kira mati itu pekerjaan becanda? Kau kira orang ingin mati itu lucu? Kau saja yang tolol jika menganggap begitu. Mati itu suci. Mati itu suatu kegia-tan yang memerlukan kesungguhan. Tidak main-main. Dan bagiku, mati itu indah."

   "Indah...?"

   Lanangseta tertawa pendek.

   "Nah, sekarang kau yang becanda,"

   Ujar Tongkat Besi.

   "Ada pepatah yang mengatakan. mati itu sebagian dari pada hidup. Dan hidup itu kodrat!"

   Lanang menatap dengan bingung, dan Tongkat Besi menjelaskan.

   "Kamu bisa hidup, itu karena memang kamu dikodratkan untuk hidup. Jadi hidup itu adalah ko-drat. Dan di dalam kehidupan mu itu, kau akan me-nemui berbagai perjalanan yang berujung pada kema-tian. Jadi, kematian itu adalah sebagian dari pada hidup. Jelas?"

   Lanangseta menggeleng. Kakek tua menghela nafas. Kesal. Kemudian Lanangseta buru-buru bertanya..

   "Yang membuatku kurang jelas adalah. menga-pa kakek ingin mati? Orang-orang berjuang memper-tahankan hidup dengan berbagai cara, kadang-kadang cara salah pun dilanggarnya, asal dia bisa tetap hidup. Nah, sekarang aku menemukan seseorang yang den-gan cara apa pun ingin mati. Ini aneh. Janggal bagi alam pikiran saya, Kek."

   Tongkat Besi menggumam lirih, merenung se-bentar, kali ini ia kelihatan lebih serius memandang Lanangseta.

   "Usiaku sudah ratusan tahun. Mungkin empat ratus tahun, barangkali juga enam ratus tahun. Aku sendiri tidak jelas dan bingung mengingat-ingatnya."

   Pendekar Pusar Bumi berkerut dahi meman-dang Tongkat Besi dengan keheranan yang menyolok. Tongkat Besi mengusap-usap jenggotnya seraya berka-ta.

   "Jenggotku sudah bukan putih lagi. Sudah bu-kan uban lagi, tapi sudah mulai kemerah-merahan. Jadi ibarat buah anggur, aku ini sudah kelewat ma-tang dan busuk. Sudah banyak ulatnya. Tapi karena kesaktianku, aku jadi sulit mati. Padahal aku sudah bosan hidup. Betul, aku tidak becanda. Aku sudah bo-san hidup. Sebab itu, aku ingin segera mati."

   "Orang lain berusaha untuk mempertahankan hidup, supaya panjang umur. Tapi, kakek malahan in-gin memperpendek umur. Bagaimana bisa begitu? Bu-kankah hidup itu indah?"

   "Orang yang tidak memahami kehakikian hi-dup, akan berkata begitu. Tetapi kalau orang yang sudah mengerti betul apa itu hidup dan apa itu mati, maka akan memilih mati. Sebab di dalam kematian itu sebenarnya terdapat kehidupan yang langgeng, yang abadi. Bukankah orang-orang yang cetek pikiran selalu menghendaki hidup yang langgeng atau yang abadi? Nah, untuk mencapai itu, dia harus mati. Kalau dia takut mati, berarti dia takut hidup langgeng. Kalau dia takut hidup langgeng, untuk apa ia punya cita-cita panjang umur segala? Kan begitu?"

   Lanangseta dihadapkan pada suatu falsafah yang berputar-putar memusingkan. Ia tertegun, mela-mun panjang, merenungi kata demi kata. Tapi ia be-lum juga menemukan suatu pemahaman yang kongkrit. Tiba-tiba ia berkata.

   "Kenapa kakek tidak bunuh diri saja? Dengan begitu kakak dapat mati sesuai keinginan Kakek itu?"

   "Itu kalau bisa,"

   Jawabnya kalem.

   "Seratus kali aku mencoba bunuh diri dengan berbagai cara, sampai minum racun yang paling ganas sekalipun pernah ku-lakukan. Tapi, nyatanya, aku tidak mati. Cuma sakit, kelojotan, cengap-cengap, ehh... sembuh lagi, sembuh lagi. Sampai akhirnya aku bosan bunuh diri. Dan secara jujur kuakui, bahwa...."

   Ia berhenti sebentar lalu berbisik kepada Lanangseta.

   "Aku ini orang tolol. Nyatanya bunuh diri saja tidak becus. Kalau orang mem-bunuh dirinya saja tidak bisa, bagaimana dia akan bi-sa mengatasi hidupnya? Sebab bunuh diri itukan pe-kerjaan gampang. Guampaaaang... sekali...! Bagi yang bisa. Nah, kalau pekerjaan yang gampang itu tidak mampu dikerjakan, apalagi pekerjaan yang sukar, yaitu hidup. Eh, percaya atau tidak, kau harus mengakui bahwa hidup itu su-kar lho? Iya,. kan?"

   Lanangseta mengangguk tanpa memahami per-tanyaan itu. Tapi tiba-tiba ia berkata.

   "Cuma... saya rasa sama sukarnya dengan mati, Kek. Memang ada persamaannya dan ada perbedaannya. Persamaannya adalah sama-sama membutuhkan waktu dan kesaba-ran, perbedaannya adalah. beda artinya."

   Kakek tua itu tertawa senang.

   "Nah, sekarang kau mulai masuk dalam lingkaran hidup dan mati. Aku senang apabila kaulah orang yang akan membu-nuhku. Mati di tangan orang pandai itu lebih bermak-na daripada mati di tangan orang bodoh. Mengerti maksudku?"

   Lanangseta hanya mendesah dalam gumaman nya. Kemudian ia bergegas bangkit.

   "Maaf, Kek... senang sekali sebenarnya aku bisa ngobrol panjang-lebar denganmu. Tapi ada satu keperluan yang harus kuker-jakan sekarang ini. Aku harus pergi meninggalkan ka-kek."

   "Mungkin aku bisa membantu menyelesaikan pekerjaanmu. Mari kubantu...! Asal nanti kau bunuh aku. Setuju?"

   "Ini persoalan pribadi. Maaf...!"

   Setelah bicara begitu, Pendekar Pusar Bumi melesat cepat dengan menggunakan peringan tubuhnya yang cukup handal. Tongkat Besi masih sempat berseru.

   "Lanangseta...! Tunggu...!"

   Kakek tua berjenggot kemerah-merahan itu ikut mengejar Pendekar Pusar Bumi.

   Larinya lebih cepat, dan dalam tempo singkat ia dapat mengejar La-nangseta.

   Tahu-tahu kakek tua itu sudah berada di depan Lanangseta.

   Gawat! Padahal Lanangseta tidak ingin urusannya dicampuri orang lain.

   Ia ingin meng-hadapi resiko itu sendiri, tanpa bantuan siapapun.

   Sebab itu, untuk menghindari Si Tongkat Besi, Lanang segera mengalihkan arah ke kiri, maka Tongkat Besi menjadi salah arah.

   Ia terpaksa menyusul ke arah kiri.

   Ia sempat berteriak lagi.

   "Akan kubantu segala kesukaranmu! Tunggu-lah aku, Lanangsetaaa...!"

   Melihat Tongkat Besi berkelebat menyusulnya, Lanangseta segera menggunakan ilmu Lindung Bumi.

   Tubuhnya yang tegap, kekar dan perkasa itu tiba-tiba hilang bagai tersedot ke dasar bumi.

   Ia berjalan dalam lapisan tanah tanpa bisa diketahui Tongkat Besi.

   Tentu saja kakek tua itu merasa kehilangan jejak, dan menggerutu, menyumpah-nyumpah tak karuan.

   Pa-dahal ia yakin, pedang yang bertengger di punggung Lanangseta itulah yang mampu membunuhnya kelak.

   Sedangkan bagi Lanangseta, ia merasa tidak puas jika tugas yang diberikan oleh Rama Sabdawana, ayah dari Kirana Sari itu, dikerjakan secara bahu-membahu dengan orang lain.

   Mengingat tugas itu ada-lah tugas yang menyangkut harga dirinya, maka harus dikerjakan secara pribadi.

   Lanang masih ingat kata-kata ayah Kirana ke-tika perempuan itu bicara di depan ayahnya.

   "Aku akan kawin dengan Lanangseta, Ayah. Aku minta izin dan doa restu."

   Waktu itu, Lanangseta berdiri di samping Kira-na dan Sabdawana, ayah Kirana itu, duduk di atas se-buah batu yang dijadikan tempat duduk antik.

   Berla-pis kain halus yang empuk, dan berukir gambar bunga teratai, sehingga lelaki lanjut usia itu bagaikan duduk di atas bunga teratai.

   Sebab itu pula rumah tersebut dinamakan Griya Teratai Wingit.

   "Apakah kalian saling mencintai?"

   Pertanyaan itu meluncur dari mulut ayah Kira-na dengan suara halus, bahkan hampir tidak terden-gar oleh Lanang. Untuk pertanyaan itu, Kirana menja-wab lebih dulu.

   "Sudah, Ayah."

   Sabdawana yang bermata lembut dan bersikap kalem itu melirik Pendekar Pusar Bumi. Maksudnya ia ingin mendengar jawaban dari pemuda itu juga. Maka buru-buru Lanang pun memberi jawaban.

   "Sudah, Rama.", Lelaki tua yang duduk bersila itu tersenyum sambil memandang ke arah lain.

   "Bagaimana dengan Putri Ayu Sekar Pemikat itu?"

   Lanangseta masih ingat, ketika itu ia sangat terkejut, sebab tak pernah menyangka sama sekali ka-lau ayah Kirana ternyata sudah mengetahui hubungan Lanang dengan Sekar Pamikat.

   Kirana sendiri meng-hempaskan nafas, kemudian melirik Lanang, dari pan-dangan matanya seakan ia mengatakan bahwa ia tidak tahu kalau ayahnya bisa menyebutkan nama Putri Ayu Sekar Pamikat.

   Maka, Lanang pun paham bahwa ayah Kirana mengetahui hal itu bukan atas dasar informasi dari putrinya, melainkan karena ilmu yang dimiliki itu dapat membaca sejarah hidup dan latar belakang Lanangseta.

   Barangkali juga ia hanya menuntut kejuju-ran dari Lanangseta akan hal itu.

   Dengan tegas dan polos, Lanang pun menjawabnya.

   "Apakah menurut Rama saya masih ada ke-sempatan mengawani Pendekar Cambuk Naga itu? Saya memang masih menyimpan cinta kepadanya. Ta-pi kalau memang dia akan menjadi milik Goa Malaikat itu, maka saya tak akan memilikinya lagi. Dan pene-bus kehancuran cinta saya adalah... putri Rama sendi-ri ini. Saya berusaha mengubur cinta saya kepada Se-kar Pamikat, asalkan putri Rama bisa memandu hidup saya. Saya akan mencintai gadis di samping saya ini, asalkan dia juga mencintai saya. Cuma itu yang ada, Rama."

   Lelaki tua berambut putih semua itu manggut-manggut. Dalam hati ia mengakui suatu ucapan yang jujur, yang tidak mempunyai kepalsuan sedikitpun. Ia bahkan sempat berbisik kepada Kirana, walau tidak harus mendekatkan mulut ke telinga putrinya.

   "Dia jujur, dan kau beruntung."

   "Aku tahu, Ayah,"

   Kirana mengangguk.

   "Jadi, Ayah menyetujui dan merestui perkawi-nan kami?"

   Kali ini Sabdawana turun dari tempat duduk-nya, melangkah ke tangga teras, memandang alam di sekitarnya. Lalu dengan sangat berwibawa dan me-nyimpan kharisma ia berkata.

   "Apakah dia sanggup memenuhi persyaratan-ku?"

   Kirana berkerut dahi. Ia tidak suka ayahnya banyak tingkah begitu. Ia memprotes syarat apa pun yang akan disampaikan oleh ayahnya.

   "Apakah aku harus menunggu beruban baru boleh kawin?"

   "Sekarang pun sudah kelewat waktumu untuk bersuami."

   Itu jawaban ayah Kirana yang tetap kalem, na-mun tegas. Lalu sambungnya lagi.

   "Aku hanya ingin mempunyai menantu yang sesuai dengan seleraku, ta-pi juga sesuai dengan seleramu."

   "Lanangseta sesuai dengan seleraku, Ayah."

   Sabdawana mengangguk-angguk.

   "Yah, me-mang sesuai dengan seleramu.

   "Tapi belum tentu sesuai dengan seleraku. Ingat, Kirana, kalau kau kawin dengan dia, berarti dialah yang akan menjadi penguasa tunggal di Bukit Badai ini setelah aku tiada. Jadi, aku bukan hanya sekedar memilihkan calon suami buat-mu, tetapi sekaligus memilih calon penggantiku sendi-ri. Jelas?"

   Mau tidak mau, Kirana pun mengangguk.

   Ia tahu bahwa kelak, jika ayahnya tidak ada lagi, sua-minya itulah yang akan menjadi penguasa Bukit Ba-dai, penjaga makam leluhur mereka, sekaligus pengu-asa segala isi goa-goa yang ada di sekitar wilayah Bukit Badai.

   Hanya Goa Malaikat yang tidak boleh dikuasai, kecuali dijaga dan dipertahankan menjadi milik leluhur Kirana.

   Bukit Badai tidak boleh dipimpin oleh seo-rang perempuan.

   Harus lelaki.

   Jadi, bukan Kirana yang akan menjadi pengganti ayahnya kelak, melain-kan suaminyalah yang akan menjadi pengganti pengu-asa Bukit Badai nantinya.

   "Rama, boleh saya tahu syarat apa yang harus saya kerjakan? Dan apakah itu berupa maskawin buat... putri Rama?"

   "Ya. Maskawin dan penobatan.!"

   Jawab Sabdawana, tegas.

   Suasana hening sejenak.

   Lanangseta mencoba mengira-ngira bentuk maskawin yang dikehendaki.

   Tapi ia masih kurang berani memastikan.

   Hanya saja dalam saat itu juga, ayah Kirana berkata dengan jelas di depan Lanangseta dan anak gadisnya.

   "Lanangseta, kau boleh memperistri putriku, te-tapi pertama kali yang kuminta. Hancurkan Puri Teb-ing Neraka, dan carilah bunga teratai di dalam Goa Malaikat!"

   "Ayah...?!"

   Kirana tersentak kaget.

   "Itu sama saja penolakan. Sama saja Ayah ingin membunuh Lanangseta!"

   Sambung Kirana dengan ce-mas. Ayahnya diam saja, tidak mengomentari kata-kata anaknya. Ia hanya memandang tajam pada La-nangseta dan bertanya.

   "Bagaimana? Sanggup?"

   Setelah menghempaskan nafas panjang, La-nangseta menjawab dengan tegas.

   "Demi menda-patkan... dia,"

   Lanangseta tak berani menyebutkan nama Kirana, takut terjadi hujan badai seperti dulu la-gi (dalam kisah Misteri Goa Malaikat). Lalu ia me-nyambungnya.

   "Saya sanggupi persyaratan itu, Rama."

   "Bagus! Lakukanlah mulai sekarang, Nak."

   "Aku akan menyertaimu, Lanang,"

   Ujar Kirana. Tapi Ayahnya menyahut.

   "Jangan! Berilah kesempatan kepadanya untuk menunjukkan betapa ia mencintaimu, Ki..."

   "Tapi, orang-orang Tebing Neraka itu bukan orang-orang sembarangan, Ayah. Mereka mempunyai ilmu yang tinggi dan kekejamannya di luar batas ke-manusiaan!"

   Debat Kirana.

   "Justru itulah letak cinta kasih Lanang kepa-damu. Kalau dia kusuruh membunuh seekor kerbau, hargamu hanya seharga seekor kerbau. Dan, maukah kau mendapat maskawin hanya seekor kerbau?"

   "Ayah, orang-orang Tebing Neraka itu...."

   "Maskawinmu sangat berharga,"

   Sahut ayah-nya.

   "Yaitu sejumlah nyawa yang susah dikalahkan. Untuk itu, kau pun kelak tak akan bertindak sembro-no terhadap suamimu. Ia telah membelimu dengan nyawa dan darah. Ini juga demi mengikat dirimu, agar kau tidak semena-mena terhadap suami!"

   Lanangseta masih ingat apa yang dikatakan Ki-rana pada malam sebelum ia berangkat.

   "Kau... kau keberatan sebenarnya dengan ke-dua syarat itu, bukan?"

   Lanangseta menggeleng.

   "Aku senang. Aku mempunyai kesempatan untuk menunjukkan cintaku kepadamu."

   "Tebing Neraka, benar-benar neraka bagi setiap orang asing yang datang ke sana. Selain tempatnya yang sulit dicapai, juga banyak perintang yang mengerikan. Setiap orang asing datang ke sana, ia tak pernah pulang selamanya. Dan... kau...."

   Kirana ragu untuk melanjutkan ucapannya, sedangkan Lanangseta semakin melebarkan senyum.

   "Kau menyangsikan cintaku?"

   Tanya Lanangse-ta.

   "Tidak. Tanpa kau ke sana, aku tidak sangsi dengan kasih setiamu, Lanang."

   "Dari mana kau tahu?"

   "Aku sering mendengar kata hatimu yang san-gat mendambakan aku dan sangat menyayangiku. Aku pernah mendengar kata hatimu, bahwa kelak kau in-gin memanjakan aku, sebab itu adalah cita-citamu, yaitu memanjakan seorang istri. Ah, sudahlah lupakan saja permintaan ayahku, Lanang."

   "Itu sama saja kau menyuruh aku untuk melu-pakan cintamu. Tidak. Aku tidak mau meminta per-syaratan lain. Aku harus ke Puri Tebing Neraka. Mungkin memang bahaya, tapi di sana ada cinta yang ingin kupersembahkan kepadamu."

   Kirana menjatuhkan kepalanya dalam pelukan Lanangseta.

   Bau harum dari rambut Kirana tercium oleh Lanang dan menjadikan suatu gelora yang berde-baran di dalam dadanya.

   Karena itu, Lanangseta se-makin mempererat pelukannya.

   Saat itu pula ia men-dengar bisikan Kirana dalam keluh.

   "Lanang... aku takut kehilangan kamu...."

   "Aku juga,"

   Bisik Lanangseta. Pelukannya semakin mesra, seolah-olah diresapi betul, betapa han-gat dan mesranya berada dalam kerapatan tubuh Ki-rana.

   "Percayalah, kita tak akan saling kehilangan,"

   Kata Lanangseta. Dan, Kirana membisikkan kata lain.

   "Carilah dulu Sekar Pamikat, mintalah restu darinya supaya cintanya pun ikut menyertaimu. Bu-kan mengutukmu!"

   Sekar? Mencari dia di dalam Goa Malaikat? Ha-ruskah itu dilakukan Lanangseta? Betulkan dia akan terkutuk jika tak direstui Sekar Pamikat? Ah, ada-ada saja yang mengganggu otaknya kali ini.

   * ** DOMAS LANANGSETA menuang minumannya dari dalam guci.

   Orang-orang di kedai itu sesekali mencuri pandang ke arah Lanangseta.

   Sebenarnya ta-tapan mata mereka yang secara sembunyi-sembunyi sudah diketahui Lanangseta.

   Ia sadar bahwa dirinya menjadi pusat perhatian di kedai itu.

   Tetapi itu semua jelas dikarenakan dia orang asing di situ.

   Kecurigaan lain sebenarnya tak ada pada piki-ran Lanang, kalau saja pemilik kedai itu berbisik pada saat mengantar makanan yang dipesan Lanang.

   "Sebaiknya Tuan lekas makan dan cepat ting-galkan desa kami."

   Bisikan itulah yang membuat Lanang jadi curi-ga dan memasang kewaspadaannya.

   "Memangnya, kenapa?"

   Lanang balas berbisik. Ia sendiri tak enak kalau kehadirannya sampai mere-sahkan pemilik kedai. Tetapi pemilik kedai itu menjadi ragu-ragu untuk menjawab pertanyaan Lanang.

   "Kenapa Bapak kelihatannya gelisah?"

   Desak Lanang.

   "Mereka pasti akan datang, cepat atau lambat."

   "Mereka siapa?"

   Lanang semakin tidak menger-ti.

   "Tuan datang dari Barat, bukan?"

   "Betul."

   "Tujuannya mau ke mana?"

   Selidik pemilik kedai.

   "Mau ke Tebing Neraka. Apakah saya salah ja-lan?"

   Wajah pemilik kedai menjadi pucat. Ia bertam-bah gelisah, kecemasannya sempat membuat giginya gemetar.

   "Berarti... berarti Tuan datang dari Bukit Ba-dai?"

   Sambil mengangguk Lanangseta menjawab.

   "Ya. Benar."

   "Celaka...!"

   Desis pemilik kedai yang berbadan kurus dan berkumis tipis itu.

   "Kenapa celaka?"

   "Mereka akan semakin bernafsu membunuh Tuan!"

   Bisikannya semakin tegang. Tapi Lanangseta tetap tenang. Ia menikmati paha ayam hutan dan se-cangkir tuak. Pemilik kedai itu sangat ketakutan. Ia berbisik lagi.

   "Setiap orang yang datang dari Barat, pasti me-reka bunuh. Tak ada ampun lagi bagi pendatang dari arah Barat. Apalagi Tuan mengaku dari Bukit Badai, ooh... pasti mereka tak akan memberi kesempatan ke-pada Tuan untuk bicara dan meminta maaf."

   Aneh pembicaraan pemilik kedai ini, pikir La-nang. Bagaimana pun aneh dan ganjilnya suasana di kedai itu, Lanang masih tetap berpenampilan tenang. Ia ingat pesan Kirana sebelum ia pergi.

   "Tenang. dan bersabarlah. Tanpa ketenangan dan kesabaran yang tinggi, kau tak akan dapat menga-lahkan orang-orang Tebing Neraka."

   Kata-kata Kirana bagai bekal seorang istri ke-pada suaminya yang akan ke medan tempur.

   Berbekal pesan Kirana itulah, maka Lanang tidak ikut gelisah seperti orang-orang yang berada di kedai itu.

   Banyak yang tergesa-gesa pulang, atau berpindah tempat duduk menjauhi Lanang.

   Namun semua itu tidak mem-buat Lanang berubah sikap.

   "Tuan..."

   Bisik pemilik kedai seraya menyajikan lalap sayuran mentah.

   "Saya mohon, jika mereka datang, Tuan mau bicara dengan mereka di luar kedai ya? Terus terang saja, saya takut kedai saya jadi rusak dan kacau semuanya. Saya tidak ingin terulang untuk yang kedua kalinya."

   "Siapa maksud Bapak yang akan datang itu? Raja? Kaisar?"

   Tanya Lanangseta sambil mengunyah makanannya dengan kalem.

   "Mereka itu, maksud saya... hem... anak buah Surobedog! Apa Tuan belum mendengar kabar bahwa Surobedog itu kaki tangan penguasa Puri Tebing Nera-ka? Kejam-kejam dan rakus-rakus. Setiap sebulan se-kali anak perawan dari desa kami selalu dijadikan korban bakar, sebab memang desa kami inilah desa yang terdekat dengan Tebing Neraka."

   Lanang manggut-manggut.

   "Apakah Surobedog penguasa di Tebing Neraka?"

   "Memang bukan. Tapi, untuk daerah desa ka-mi, dialah yang diserahi tugas menjadi ketua pengawasan. Kalau ketua pusatnya, Si Cakar Setan, memang belum pernah datang ke mari. Sebab, anak buahnya saja sudah cukup mampu menangani pengawasan se-kaligus penguasaan terhadap rakyat desa ini. Para pemuda desa ini telah banyak menjadi korban kegana-san Si Cakar Setan."

   "Dijadikan korban bulanan?"

   "Bukan. Bukan dijadikan korban, tapi... dipak-sa untuk menjadi anak buah Cakar Setan. Lalu mere-ka disuruh menyerang ke mana-mana, tanpa memper-hitungkan keselamatan nyawa mereka. Jadi, para pe-muda desa itu banyak yang dijadikan umpan di mana mereka hendak menyerang."

   "Dan Si Cakar Setan sendiri?"

   "Si Cakar Setan...? Oh, dia tidak pernah ke luar dari Puri Tebing Neraka. Dia hanya bisa memberi perintah dari tempat kerjanya."

   "Kalau begitu, Si Cakar Setan itulah yang harus kutemui, sebab dialah penguasa Tebing Neraka,"

   Gumam Lanang.

   "Eh, bukan. Penguasanya bukan Si Cakar Se-tan. Ada sendiri, dan kami tidak pernah mendengar namanya. Yang kami dengar mereka, orang-orang Teb-ing Neraka itu, Bering menyebut-nyebut nama Gusti Dalem. Orang yang disebut Gusti Dalem itulah yang memegang tampuk kekuasaan Tebing Neraka seluruh-nya. Tapi... kalau Tuan mau menuruti saran saya jan-gan ke sana. Orang yang pergi ke sana, pasti tidak pernah kembali lagi."

   "Mungkin kali ini hanya aku yang akan kembali lagi,"

   Ujar Lanang setelah meneguk tuaknya satu kali. Pemilik kedai mendesah dalam resah. Semakin gelisah lagi setelah ia melihat empat orang berjalan mendekati kedainya. Pemilik kedai mengenal siapa mereka, sebab itu ia menjadi tegang dan berkata.

   "Ssstt... Tuan, mereka datang... Betul apa kata saya tadi, bukan? Wah, gawat...!"

   Lanang hanya melirik kehadiran empat orang bertubuh kekar, dengan pakaian semacam rompi yang dihiasi dengan logam-logam putih berbentuk bintang lima.

   Hiasan itu sangat banyak menempel di dada dan seluruh baju itu.

   sehingga mereka bagai mengenakan pakaian lapis logam.

   Orang-orang yang berada di dalam kedai mulai beranjak meninggalkan tempat, makin menjauhi La-nangseta.

   Wajah-wajah mereka penuh ketegangan, te-rutama wajah pemilik kedai.

   Lelaki kurus yang masih berkalung serbet makan itu kelihatan lebih pucat dan sangat ketakutan.

   Lanang tak tega melihat ketakutan pemilik ke-dai.

   Pasti yang ditakutkan adalah kehancuran kedai dan dagangannya.

   Sebab itu, Lanangseta segera mem-bayar semua ongkos makan dan minumnya lalu ke luar lewat pintu samping.

   Ia berjalan meninggalkan kedai bagai tak menghiraukan kehadiran keempat orang kekar itu.

   Rupanya keempat orang menyeramkan itu me-rubah arah, yang semula hendak masuk ke dalam ke-dai lewat pintu depan, kini berbelok ke arah samping kedai.

   Mereka memburu Lanang dengan langkah-langkah beremosi.

   "Berhenti...!"

   Seru salah seorang dari keempat orang itu.

   Lanangseta tetap melangkah, sengaja menjauhi kedai.

   Orang-orang di sekitar situ memandan-ginya dengan tegang dan penuh kecemasan.

   Ada pula yang memperhatikan dengan bersembunyi di balik po-hon atau di balik gerobak sapi.

   "Berhenti, congek!"

   Bentak lelaki bermuka tebal, hitam.

   Lanangseta seperti tidak mendengar seruan itu.

   Ia tetap melangkah kendati ia tahu orang-orang yang memperhatikannya semakin ngeri sendiri.

   Dengan kecepatan yang hebat dan ketangkasan yang tinggi, Lanangseta berbalik secara mendadak.

   Tangannya bergerak menangkap sebuah pisau yang di-lemparkan dengan cepat ke arahnya.

   Pisau itu ter-genggam erat di tangan Lanangseta, tepat pada bagian gagang pisau.

   Orang-orang yang memperhatikan dengan sembunyi-sembunyi itu tercengang sendiri.

   Kaki Lanangseta berdiri tegap, sedikit renggang, dan tan-gannya mempermainkan pisau yang berhasil ditang-kapnya.

   Keempat lelaki bengis itu mendekat, lalu men-gepung Lanang; dua di depan, dua di samping kiri ka-nan.

   "Kamu orang Bukit Badai, ya?!"

   Tanya orang di depannya.

   "Anggap saja begitu. Mau apa kalian?"

   Lanang bicara dengan tenang, tanpa menun-jukkan rasa takut sedikit pun.

   "Berarti kamu yang ikut membantai saudara-saudara kami, yang sedang berusaha mencari Goa Ma-laikat itu. Iya?"

   "Kalau tidak salah, memang akulah yang mem-bantai mereka. Apa kalian ingin menyusul mereka...?!"

   Lanang bicara semakin membakar kemarahan keem-pat orang bengis itu.

   "Kunyuk! Bunuh dia...!"

   Si Muka Tebal memberi perintah, dan ketiga temannya segera menyerang Lanang dalam satu hentakan serempak. Senjata-senjata mereka di arahkan ke tubuh Lanangseta. Mereka ber-tiga melayang bagai peluru, meluncur dalam satu te-riakan.

   "Heeaaatt...!!!"

   Lanangseta melompat ke atas sambil mem-buang pisau yang berhasil ditangkapnya itu.

   Ketiga orang itu berguling, karena senjata mereka menemui tempat kosong, Tanpa diduga-duga pisau lemparan Lanang itu menuju ke arah ubun-ubun Si Muka Tebal.

   Dengan gerakan bagai mengibas burung terbang, pisau itu dapat ditangkis oleh Si Muka Tebal.

   Lanang sudah berdiri di suatu tempat, dalam jarak yang tak terlalu jauh dari mereka.

   Lelaki bersenjata dua trisula itu segera berlari ke arah Lanangseta dan menghunjamkan trisula kanannya.

   "Waoww...!"

   Lanang berkelit ke kiri dengan nada meremehkan serangan itu.

   Trisula lolos melewati samping pinggang Lanang.

   Sementara itu, trisula yang satunya hendak dilancarkan menghunjam perut Lanangseta.

   Namun dengan melompat semakin ke kiri, senjata itu berhasil dielakkan oleh Lanangseta.

   Ka-kinya segera menendang tangan yang memegangi tri-sula kanan.

   "Plak...!"

   Keras sekali tendangan itu sehingga pemilik senjata trisula meringis kesakitan.

   Tulang tangannya terasa ngilu, sampai-sampai ia tak sanggup mengangkat trisulanya lagi.

   Kini tinggal satu trisula di tangan kirinya.

   Sementara itu, dari samping kiri datang seran-gan lelaki bergolok pendek.

   Kendati pendek namun ge-rakan golok itu tak dapat dilihat oleh mata penonton karena cepatnya.

   Namun pandangan mata Lanang sudah terlatih melihat kelebatan senjata apa pun, se-hingga dapat bersalto ke belakang menghindari baco-kan golok pendek itu.

   Posisinya tepat jatuh di depan Si Muka Tebal, yang tanpa menunggu waktu lama lagi, ia langsung menyerang Lanangseta dengan pedangnya yang berujung runcing.

   Lanang bahkan semakin ber-gerak mendekati tubuh Muka Tebal sehingga gerakan pedang runcing yang hendak menusuknya itu terle-watkan.

   Bertepatan dengan lolosnya pedang runcing yang bagai hendak mengiris pinggang Lanang, pada saat itu juga kedua pukulan Lanangseta menghantam keras wajah Si Muka Tebal dengan pukulan ganda.

   Si Muka Tebal terpental beberapa langkah.

   Dan kaki La-nangseta segera menyambut kehadiran lawan satunya lagi yang datang dari arah samping kanannya.

   Ten-dangan samping itu nyaris beradu dengan pedang orang itu.

   Hanya berjarak beberapa inci saja.

   Tetapi tendangan samping itu tidak pernah meleset.

   Tepat mengenai leher orang itu, sehingga untuk beberapa saat orang itu tersedak dan sukar bernafas.

   Keseim-bangan orang itu mulai limbung, dan Lanangseta tak tanggung-tanggung lagi, mendekat satu langkah dan menghantamkan pukulannya di ulu hati lawan dengan pukulan ganda.

   Darah tersembur dari mulut orang itu yang membungkuk kesakitan.

   Secepat itu Lanang melompat ke udara, bersal-to ke depan.

   Sebuah kilatan senjata melesat ke arah-nya.

   Benda kecil yang semula berbentuk bintang lima itu hampir saja menyerempet pelipisnya, kalau saja Lanang tidak memiringkan kepala ke arah kanan.

   Orang yang habis menyerang dengan lemparan bintang tajam itu tahu-tahu terpekik tertahan dan terguling-guling di tanah, karena Lanangseta melancarkan pukulan jarak jauhnya dengan tepat.

   Dua orang yang masih dalam keadaan segar segera maju bersa-ma.

   Mereka adalah Si Muka Tebal dan lelaki bersenjata trisula kembar.

   Pertama-tama kedua trisula menyerang bersamaan dalam posisi sejajar.

   Tujuannya ke dada Lanangseta.

   Tak dapat ditawar lagi, Lanangseta terpaksa segera berguling ke dengan, tepat di bawah kaki lawannya.

   Kemudian sebuah pukulan mengguna-kan ujung-ujung jari tangannya menyerang paha lelaki bersenjata trisula.

   Lelaki itu menjerit, pahanya seperti ditutul dengan jari tangan Lanangseta.

   Tapi ia kelihatannya sangat kesakitan.

   Ketika ia berbalik sambil memegangi salah satu pahanya, Lanangseta meletik bagai udang, dan melancarkan pukulan totok jari ke punggung orang itu.

   Pukulan totok jari tersebut mem-buat lelaki bertrisula tak mampu bergerak lagi.

   Tan-gan, kaki dan bahkan jari-jarinya pun tak mampu di-gerakkan.

   Tetapi kepalanya masih bisa menengok kian ke mari.

   Ia berteriak kepada Muka Tebal.

   "Aku... aku tertotok, tak bisa bergerak! Hancurkan dia!"

   "Hiaaaaat...!"

   Si Muka Tebal berteriak sambil mengibaskan pedang runcingnya ke arah lengan Lanangseta.

   Tubuh kekar itu hanya miring ke depan, dan pedang runcing tak sempat menggores lengannya.

   Ia melancarkan tendangan samping ke wajah Muka Teb-al, namun Si Muka Tebal menangkis tendangan itu dengan salah satu tangan yang tidak bersenjata.

   Ru-panya gerakan menangkis itu diiringi dengan gerakan cabut bintang, sehingga ketika tangan itu lempang la-gi, sekilas benda mengkilat melayang cepat tertuju ke dada Lanangseta.

   Hanya dengan cara berguling ke tanah secepatnya senjata kecil itu mampu dihindari La-nangseta.

   Namun di luar dugaan, senjata itu melesat ke belakang Lanang, dan di sana ada orang yang tadi mengeluarkan darah dari mulutnya akibat pukulan Lanang.

   Orang itu tak sadar kalau senjata Si Muka Tebal melesat ke arahnya, sehingga terpekiklah ia karena senjata bintang itu menancap di keningnya.

   Me-nancap dalam, hampir terbenam seluruhnya.

   Lalu orang itu roboh oleh senjata temannya sendiri.

   Si Muka Tebal semakin ganas.

   Ia menyerang dengan kibasan pedangnya secara bertubi-tubi.

   La-nang sempat keteter mundur menghindari kibasan pe-dang yang cepat itu.

   Tahu-tahu dari belakang pung-gungnya, ada tangan yang menyekap kuat leher La-nang.

   Tangan itu adalah tangan pemilik golok pendek Tangan itu begitu kekar, dan Lanang sudah dapat memperkirakan bahwa sesaat lagi golok pendek itu akan merobek tubuhnya, mungkin di pinggang, mung-kin langsung berkelebat ke depan merobek perutnya.

   Atau, kalau tidak ia akan ditahan dalam posisi leher terjepit begitu sehingga Si Muka Tebal dapat memba-batnya habis-habisan.

   Maka secara refleks, Lanang memutar tubuh dengan kuat, sehingga orang bergolok pendek itu menjadi berbalik ke arah belakangnya.

   Punggungnya menghadapi amukan pedang Muka Teb-al.

   Tangannya kuat-kuat menghimpit leher Lanang.

   Tangan kirinya siap mengayunkan golok ke pinggang Lanang.

   Namun perkiraan Lanang cukup tepat, sebe-lum golok menyentuh kulitnya, pasti punggung orang itu sudah terbabat lebih dulu oleh pedang Si Muka Tebal.

   Dan ternyata benar;

   "breet...!"

   Orang itu tersabet pedang Muka Tebal. Ia menjerit dan melemas, lalu roboh. Sedangkan Muka Tebal semakin garang setelah ia melihat pedangnya mengenai teman sendiri. Wajah Muka Tebal semakin kelihatan bermi-nyak, bagai dibakar oleh kemarahannya.

   "Bangsat buruk...!"

   Geram orang itu.

   "Kau pikir hanya kaulah orang berilmu silat tinggi, hah?"

   Lanangseta tampak tenang, berdiri dengan te-gap dan bersikap menunggu serangan berikutnya. Ka-ta-katanya cukup jelas, tegas, tapi santai.

   "Kau telah mengakuinya sendiri, bukan?!"

   "Manusia busuk! Terimalah jurus Karang Sak-tiku ini...."

   Si Muka Tebal menggerakkan kedua tangannya ke samping kanan-kiri.

   Kemudian salah satu tangan dilipat ke dada dengan menggenggam kuat-kuat, sam-pai bergetar.

   Sementara itu kaki kirinya ditarik mundur dan direndahkan hingga lututnya hampir menyen-tuh tanah.

   Ia bergerak maju dalam posisi kerendahan tubuh yang tetap sama dan gerak tangan yang gemetar ke depan ke belakang bergantian, seperti orang hendak berenang.

   Lalu, semua orang yang menyaksikan pertarungan itu dengan sembunyi-sembunyi menjadi ter-cengang melihat tubuh Muka Tebal menjadi putih, berbintik-bintik.

   Mirip karang berjalan.

   Tubuh itu melesat cepat, menghantam Lanangseta.

   Pendekar Pusar Bumi tak kalah cepat, ia pun melesat naik ke atas dan bersalto beberapa kali.

   Ketika ia berguling-guling di udara, rupanya Muka Tebal pun mengikutinya, sehingga ketika Lanang menapakkan kaki ke tanah, Si Muka Tebal pun telah berdiri di sampingnya, lalu me-mukul kuat-kuat.

   Lanangseta terpental akibat angin pukulan Ka-rang Sakti itu, sedangkan pukulan itu sendiri menge-nai pohon dan robeklah pohon itu bagai selembar kain dicabik binatang buas.

   Daun-daun pohon berguguran dan pohon itupun menjadi gundul seketika.

   Semua orang yang melihat dengan sembunyi-sembunyi mulai terkagum-kagum dan takjub, mereka tak sadar menye-rukan kata.

   "Oohh?!"

   Sebagai pelampiasan ketakjuban mereka.

   Lanang baru saja hendak menyerang Muka Tebal yang sudah berubah menjadi batu karang yang lentur, namun kakinya bagai tertahan sesuatu.

   Ra-sanya perih sekali.

   Sepintas sebelum itu, ia mendengar lecutan cambuk dua kali.

   Oh, ternyata sebuah cambuk bertali dua telah membelit salah satu kakinya.

   Cambuk itu berduri pada setiap talinya yang agaknya terbuat dari semacam ka-wat.

   Tentu saja darah mulai membasah di kaki kiri Lanangseta dan ia menyeringai menahan sakit.

   Cambuk itu ditahan kuat-kuat oleh seorang bertubuh gemuk tanpa memakai baju.

   Salah seorang penonton gelap ada yang berseru;

   "Itu dia Surobedog...!!"

   Lanangseta mendengar seruan itu, dan ia me-natap orang yang mengenakan ikat kepala dari bahan semacam logam perak yang bulat bagaikan pipa kecil.

   Di bagian keningnya terdapat semacam simbol berben-tuk muka raksasa bermulut lebar.

   Oh, dia yang na-manya Surobedog? Pikir Lanang sambil menahan sa-kit.

   Muka Tebal melihat musuhnya terjerat cambuk Surobedog segera memanfaatkan keadaan.

   Ia melayang dan menyerang Lanangseta.

   Tapi Lanangseta secepat itu pula menjatuhkan tubuhnya ke samping kendati kakinya masih terikat cambuk dua tali.

   Namun ia su-dah berhasil menghindari goresan tubuh Si Muka Teb-al yang seperti karang tajam itu.

   Tubuh Muka Tebal meluncur dan jatuh beberapa langkah dari tempat La-nang merobohkan badan.

   Surobedog menggeret kaki Lanangseta dengan satu hentakan kuat.

   Selain luka di kaki Lanang semakin terluka parah, juga tubuhnya menjadi lebih dekat dengan Muka Tebal.

   Menurut per-kiraan Lanangseta, tubuh yang sudah berubah menja-di seperti karang itu sangat beracun dan tak boleh ter-sentuh kulit manusia lain.

   Buktinya pohon saja bisa menjadi robek dan daunnya berguguran semua.

   Lain tanah tempatnya berpijak dan sekarang diduduki itu mengepulkan asap dan menjadi hangus.

   Karena itu, tak ada jalan lain bagi Lanangseta kecuali segera mencabut pedang Wisa Kobranya dari punggung.

   Kaki semakin dihentakkan oleh Surobedog, dan dia semakin dekat dengan Muka Tebal.

   Pada saat tangan Muka Tebal hendak menjamahnya, tiba-tiba pedang Wisa Kobra membabat kuat tangan itu.

   Ter-dengar teriakan keras dari Muka Tebal ketika tangan-nya terpotong.

   Buntung seketika.

   Karena Lanangseta menganggap Muka Tebal sangat berbahaya untuk po-sisinya kali ini, maka dengan satu kali kibasan lagi, Lanangseta menghantamkan pedangnya ke tubuh Mu-ka Tebal.

   Tubuh yang seperti karang itu terbelah menjadi dua bagian.

   Ia tak sempat menjerit atau berseru sepatahpun.

   Ia langsung berkelojot sebentar lalu mati tak berkutik lagi.

   "Biadab! Kau bunuh teman baikku, bangsat...!"

   Teriak Surobedog dengan kemarahan yang meluap.

   Dengan keras ia menarik cambuknya yang masih membelit dan menancap pada kaki Lanangseta.

   Tari-kan itu membuat Lanangseta menyeringai kesakitan.

   Ia berusaha menahannya walau rasa sakit semakin meresap sampai ke ubun-ubun.

   Lalu dengan satu kali loncatan menggunakan kakinya yang satu lagi, pedang Wisa Kobra berhasil menebas tali cambuk ganda.

   "Breet...!"

   Tak ayal lagi, cambuk itu pun putus.

   Ujung-ujungnya tertinggal di kaki Lanangseta.

   Pada saat Lanangseta berusaha melepas potongan cambuk yang tertinggal, Surobedog diam terbengong memandang cambuknya telah menjadi pendek.

   Rupanya orang yang bernama Surobedog itu punya ilmu yang cukup tinggi pula.

   Ia segera mem-buang cambuknya yang dirasakan tidak berguna lagi itu.

   Kini ia berkonsentarasi dengan merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada.

   Lanangseta selesai melepasi duri yang menusuk daging kakinya.

   Ia segera berdiri hendak menghadapi Surobedog.

   Namun tiba-tiba dari ujung-ujung jari yang saling-merapat itu ke luarlah asap putih.

   Kedua tangan yang merapat itu diarahkan ke tubuh Lanangseta, dan asap putih yang menyembur dari tiap ujung jarinya membuat tubuh Lanangseta menggigil.

   Asap itu semakin banyak men-gurung Lanangseta, dan akhirnya beku bagaikan es.

   Lanangseta makin meringis kesakitan dan kedinginan.

   Ia terpaku di tempat, di mana asap putih yang menye-limutinya itu membeku.

   Kian lama kian keras, dan La-nangseta mulai seperti berada dalam lapisan balok es yang tebal.

   "Gawat...! Aku terkurung dalam lapisan es, dan ini sangat memudahkan Surobedog untuk menghan-curkan es bersama diriku. Uuhh...! Sialan!"


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Pohon Kramat Karya Khu Lung Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long

Cari Blog Ini