Ceritasilat Novel Online

Gerhana Tebing Neraka 2


Pendekar Cambuk Naga Gerhana Tebing Neraka Bagian 2



Pikir Pendekar Pusar Bumi. Ia ingin menggerakkan salah satu jarinya saja sukar sekali. Namun pada saat itu ia sempat mendengar su-ara keras Surobedog yang masuk di telinganya secara sayup-sayup.

   "Kali ini tamatlah riwayatmu, haram ja-dah! Ha, ha, ha...!"

   Surobedog bersiap melancarkan pukulan anda-lannya ke arah Lanangseta.

   Lanangseta berusaha be-rontak, tapi gagal.

   * ** BETAPApun juga Lanangseta masih teringat akan pukulan berbahaya yang dimiliki oleh orang-orang Tebing Neraka.

   Sebuah pukulan yang mempu-nyai kekuatan dahsyat, memancarkan sinar biru tua, dan membuat korbannya hilang tanpa bekas.

   Itulah pukulan maut andalan mereka.

   Seperti halnya yang pernah dialami Lanangseta ketika melawan orang-orang Tebing Neraka yang hendak menguasai Goa Ma-laikat dulu (dalam seri Rahasia Goa Malaikat).

   Dan kali ini agaknya Surobedog juga akan me-lancarkan ilmu tersebut kepada Lanangseta.

   Gerak ju-rus pembukanya masih diingat oleh Lanang, hanya nama jurus itu yang tidak diketahui oleh Lanangseta.

   Dugaan Lanang ternyata memang benar.

   Dari telapak tangan Surabedog yang dihentakkan ke depan itu ke-luarlah sinar biru tua, terarah kepada Lanangseta yang tak dapat bergerak karena dibekukan oleh balok-balok es.

   "Oh, tamat betul riwayatku kali ini,"

   Keluhnya dalam hati.

   Sinar warna biru tua itu meluncur cepat menghantam balok es yang berisi Lanangseta.

   Namun sebelum sinar biru tua itu menyentuh balok es tersebut, tiba-tiba ada sesosok tubuh yang melesat dari suatu tempat, langsung berdiri di depan balok es itu.

   Sesosok tubuh kurus berjubah kuning menghalangi penglihatan Lanangseta terhadap sinar biru tua itu.

   Yang ia tahu, sinar biru tua yang melesat cepat itu menghantam tubuh kurus berjubah kuning.

   Namun tubuh itu tidak hilang seperti biasanya, me-lainkan justru sinar biru tua itu yang memantul kem-bali ke arah Surobedog.

   "Bangsat...!"

   Surobedog kelabakan menghindari sinar itu.

   Surobedog melompat sambil berguling-guling ke arah kiri, dan sinar biru tua yang memantul ke arah-nya itu melesat terus, melewati tempat berdiri semula, lalu menghantam sebuah rumah di mana di situ banyak orang menonton secara sembunyi-sembunyi.

   La-lu, dalam sekejap mata rumah tersebut hilang tanpa bekas, dan orang-orang yang ada di situ juga hilang semua tanpa kecuali.

   Orang yang berdiri menghalangi serangan sinar biru tua itu terkekeh-kekeh.

   Samar-samar Lanangseta mendengar suara kekehannya.

   Dan ia yakin, bahwa orang berjubah kuning dan berjenggot putih kemera-han itu tak lain dari Si Tongkat Besi.

   Kakek tua itu langsung menyerang Surobedog dengan tongkat besinya.

   Tubuhnya yang kurus melayang seperti kapas ditiup angin.

   Surobedog berdiri tegak siap menerima serangan kakek tua.

   Namun, ternyata dia tidak mam-pu menahan pukulan Tongkat Besi yang menotok le-hernya.

   Ia menjerit dengan leher miring, tanpa bisa berbalik lagi.

   "O, hanya begitu...? Wah, masih harus belajar lagi kamu, Celeng Mabok!"

   Ucap Si Tongkat Besi.

   Kemudian ia melesat, dan mendarat di dekat balok es tempat Lanangseta tersekap di dalamnya.

   Kakek tua itu tersenyum, memperlihatkan giginya yang tinggal beberapa gelintir itu.

   Kemudian ia memukulkan tong-katnya pada balok es itu dengan pukulan seakan iseng-iseng saja.

   Namun, akibatnya cukup menga-getkan orang yang masih menyaksikan adegan terse-but dari balik persembunyian mereka.

   Balok es itu pecah dan menimbulkan suara letupan kecil.

   Lalu La-nangseta ke luar dari dalam pecahan balok es tersebut.

   Ia masih menggigil ketika Tongkat Besi berkata.

   "Dingin? Ah, itu biasa. Anggap saja mandi pagi hari. O, ya... itu musuhmu di sana. Tulang-tulangnya sebentar lagi akan melemas akibat pukulan tongkat besiku. Hebat aku, ya?"

   Lanangseta melihat Surobedog sedang berusa-ha melepaskan diri dari kekakuan lehernya. Kepalanya masih tetap miring. Lanangseta hanya berkata.

   "Terima kasih, Kek...."

   Kemudian ia segera mendekati Surobedog.

   Namun baru saja ia maju selangkah, Surobedog melancarkan pukulan jarak jauhnya.

   Lanangseta me-lompat, dan secara tak sengaja pukulan itu mengenai Tongkat Besi yang berada di belakang Lanangseta.

   Tongkat Besi berjumpalitan sambil mencaci maki tak karuan.

   Namun ia segera bangkit, ketika itu Lanang sudah menyerang Surobedog.

   Kedatangan kaki Lanangseta begitu cepat menghentak kuat dada Surobedog.

   Lelaki gemuk tanpa baju itu terpental ke belakang dan terguling-guling be-berapa kali.

   Ia pun menyeringai menahan sakit di da-danya yang menjadi merah akibat tendangan itu.

   Su-robedog merasa tak akan sanggup melawan pedang Wisa Kobra yang masih di tangan Pendekar Pusar Bu-mi itu.

   Ia ketakutan, dan segera berusaha melarikan diri dengan kepala miring ke kanan.

   Lanangseta tak mau tinggal diam begitu saja.

   Ia sempat berseru.

   "Tunggu! Jangan pulang ke pimpi-nanmu begitu saja. Sampaikan salamku buat dia! Hihh...!"

   Lanangseta meloncat dan berguling di udara, sambil begitu ia mengibaskan pedangnya dan tepat memotong telinga Surobedog.

   Tentu saja lelaki tanpa baju itu menjerit sekuat tenaga dan berlutut seketika.

   Telinga kirinya yang terpotong itu mengucurkan darah segar.

   Ia berusaha mencari potongan daun telinganya sambil menangis kesakitan.

   Seorang anak kecil yang bersembunyi di balik gerobak sapi melihat potongan daun telinga, lalu dengan polos dan seperti orang kebingungan anak itu memungut potongan daun telinga Surobedog, kemudian menyerahkannya kepada si pe-milik daun telinga itu.

   "Pak... ini Pak, telinganya jatuh di situ...."

   Surobedog geram.

   Segera menyambut daun te-linganya, dan memukul anak kecil itu dengan keras sebagai pelampiasan amarahnya.

   Tentu saja anak kecil itu terpental jauh dan kepalanya membentur kayu rumah.

   Anak itu pingsan atau mati, entahlah, tapi yang jelas Surobedog segera melarikan diri seperti seekor babi yang ketakutan.

   Perhatian orang-orang terpecah menjadi empat bagian.

   Ada yang memperhatikan Lanangseta, ada yang memperhatikan larinya Surobedog yang lucu itu, ada juga yang memandangi kakek tua Si Tongkat Besi, dan ada yang memperhatikan anak kecil itu.

   Agaknya anak itu mati akibat pukulan Surobedog yang keji itu.

   "Tidak kau kejar dia?"

   Tanya Tongkat Besi ketika Lanang duduk di bawah pohon sambil memegangi kakinya yang berdarah. Lanangseta menggeleng.

   "Biar dia lapor kepada ketuanya, bahwa aku telah menan-tang mereka."

   "Mereka, siapa maksudmu?"

   Desak kakek tua yang ingin tahu tujuan Lanangseta. Tapi Lanang me-nyadari hal itu, karenanya ia hanya menjawab.

   "Siapa mereka itu tidak penting bagimu, Kek. Hanya akulah yang penting berurusan dengan mereka. Kuminta jangan ikuti saya...!"

   "Aku tidak mengikutimu. Aku hanya sekedar lewat dan melihat kau terkurung dalam gumpalan es. Lalu lawanmu akan memusnahkan kamu dengan ilmu Tapak Musti yang dapat melenyapkan apa saja yang di serangnya. Lalu, yaah... aku iseng-iseng saja meno-longmu."

   "Kakek tahu itu ilmu Tapak Musti dari mana?"

   Kakek tua berjubah kuning dan berjenggot pan-jang itu menyeringai, memperlihatkan giginya yang tinggal beberapa biji itu.

   "Semua ilmu aku kuasai, aku kenal dan aku pernah miliki. Termasuk ilmu totok tongkatku yang jarang dimiliki orang ini...."

   Seketika itu Tongkat besi menotok luka di kaki Lanangseta akibat goresan cambuk ganda berduri itu.

   Tentu saja La-nang menjerit dan berteriak kesakitan.

   Tubuhnya mengejang.

   Totokan tongkat besi pada lukanya sangat luar biasa sakitnya.

   Namun itu terasa hanya beberapa hitungan saja.

   Setelah itu, tak ada rasa perih, pegal.

   sakit ataupun ngilu.

   Tak ada.

   Yang ada hanya rasa dingin, nikmat.

   Dan ketika Lanangseta kembali me-mandang luka kakinya, ternyata sudah tak ada.

   Kaki itu mulus kembali.

   Lukanya hilang tanpa bekas.

   Bah-kan setetes darah pun tak ada.

   Baik di kaki maupun di tangan yang bekas menyapu lelehan darah tadi, sama sekali bersih, sepertinya tak pernah ada luka di kaki Lanangseta.

   Mata yang memandang kagum pada kaki itu akhirnya merambat pelan-pelan ke wajah Si Tongkat Besi yang keriput.

   Lanang memandangnya dengan ter-bengong.

   Tapi Tongkat Besi melengos seraya berkata pada diri sendiri.

   "Dua kali sudah aku menolongnya, apakah ia tidak tahu berterimakasih?"

   Karena Lanangseta mendengar kata-kata itu, maka ia pun segera berkata.

   "Terima kasih, Kakek yang baik hati...!"

   "Makanya belajarlah kalau kau belum pintar,"

   Ujarnya. Tapi Lanang tak mau membuang-buang waktu lagi. Pada saat Si Tongkat Besi berpaling, ia terkejut karena sudah tidak menemukan Lanangseta duduk di tempatnya semula. Ia clingak-clinguk sebentar, kemu-dian menyumpah serapah.

   "Manusia dungu! Keras kepala! Goblok...! Pergi tanpa pamit! Seenaknya saja! Kucing kurap dia itu...!"

   Seraya kakek tua itu bersun-gut-sungut pergi dari situ.

   Ke mana Lanangseta sebenarnya? Ia melejit ke atas pohon dengan ilmu peringan tumbuh yang sem-purna, yang sampai tak terdengar dan tak terasa an-ginnya.

   Ketika Tongkat Besi pergi semakin jauh, berla-wanan arah dengan larinya Surobedog tadi, maka La-nangseta pun turun dari atas pohon, kemudian mele-sat menyusul Surobedog.

   Ia yakin langkah Surobedog akan menuju Tebing Neraka.

   Setidaknya ia harus me-laporkan atas kematian tiga anak buahnya dan satu anak buahnya lagi masih terdiam kaku tak diurus, akibat terkena totokan darah dari Lanangseta.

   Betul dugaan Lanang.

   Surobedog lari menuju arah jurang, yang konon diberi nama Jurang Gempal.

   Barangkali di sana tidak jauh dari tempat Puri Tebing Neraka.

   Pendekar Pusar Bumi mengamati dari kejauhan.

   Ketika Surobedog melompat ke bawah jurang, La-nangseta terbelalak kaget.

   "Wah, dia bunuh diri?! Sialan!"

   Gerutu Lanangseta seraya menghambur mendekati tepian jurang.

   Ternyata ia salah duga.

   Dari tepian jurang ia melihat Surobedog berjalan pada suatu lereng tebing yang datar.

   Tempat itu sepertinya sengaja dibuat datar sebagai jalan rutin yang akan dilalui oleh beberapa orang.

   Dari jalanan datar di lereng tebing sampai ke tepian jurang mempunyai ketinggian yang cukup mengerikan.

   Tapi, mungkinkah jalanan datar itu menuju ke Puri Tebing Neraka? Untuk menjaga kepenasaran-nya, Lanangseta pun turun ke lereng tebing yang cu-ram.

   Ia melompat-lompat, menggunakan ilmu peringan tubuhnya.

   Namun pada satu kali ia nyaris salah me-napakkan kaki.

   Sebuah batu yang diperkirakan cukup kuat menahan berat badannya, ternyata ambrol.

   La-nangseta terpelanting, terguling-guling.

   Gemuruh batu berjatuhan terdengar samar-samar.

   Batu itu mengge-linding melewati jalanan datar, masuk ke celah jurang di bawah jalanan datar itu.

   Batu tersebut hilang, tanpa bunyi lagi.

   Dan itu berarti jurang di seberang jalan itu sangat dalam.

   Mungkin tak ada manusia yang dapat selamat jika jatuh ke sana.

   Lanangseta segera berhasil menguasai keseim-bangan tubuhnya kembali.

   Akhirnya ia pun mampu mendarat di jalanan datar tersebut dengan baik.

   "Woww...! Rupanya jalanan ini cukup panjang, dan makin lama semakin melebar,"

   Pikir Pendekar Pusar Bumi. Ia sempat melihat Surobedog di kejauhan sana. Hampir seperti setitik yang berjalan cepat.

   "Aku harus mengikuti Surobedog. Pasti dia me-nuju pusat pemerintahan orang-orang Tebing Neraka."

   Lanangseta pun meneliti keadaan sekeliling, ternyata jurang yang di seberang jalanan datar itu pun makin lama semakin melebar.

   Ada satu keunikan dalam jurang tersebut, yaitu adanya asap tipis, sangat tipis, yang bergerak berputar-putar.

   Meski jurang itu berasap tipis, namun tidak mengganggu pemandangan di dasarnya.

   Jurang itu tidak setinggi antara jalanan datar dengan tepian jurang tempat kedatangan Lanang tadi.

   Jurang berasap tipis itu cukup rendah.

   Dasarnya terlihat mengkilat, bagai berlapis batu-batu permata warna putih.

   Bagus dan indah sekali.

   Dari batas asap tipis ke bawah, dinding jurang itu pun bagai ber-hiaskan batu-batu mutiara laut.

   Berkerelap menak-jubkan.

   Barangkali batu-batu permata yang indah itu-lah yang dipertahankan oleh penguasa Puri Tebing Ne-raka itu.

   Lanangseta bermaksud turun ke dasar jurang berasap tipis itu.

   Namun ia takut kehilangan jejak Surobedog, sehingga ia membatalkan niatnya, menarik kakinya yang sudah hendak turun ke tebing jurang be-rasap.

   Ia segera lari secepat mungkin, mengejar Surobedog.

   "Gila...!"

   Gumam Lanangseta.

   Ia memandang sebuah dataran yang berada di tengah jurang berasap.

   Dataran itu bagai tersembul dari dasar jurang dan membentuk bukit, atau pulau kecil terdiri dari beba-tuan dan cadas merah.

   Jurang semakin lebar, kedala-mannya tetap, seperti sebuah kawasan bekas sungai yang kering.

   Asapnya tipis mengitari pulau cadas me-rah itu.

   Di atas cadas merah yang selebar alun-alun di depan Kadipaten Nilakencana itu terdapat sebuah bangunan.

   Bangunan semacam rumah bersama, atau lebih tepatnya sebuah asrama itu terbuat dari batu pualam seluruhnya.

   Dindingnya jelas amat kokoh.

   Bangunan itu agaknya bertingkat dengan genting dari kayu-kayu berukir.

   Mewah dan mengagumkan sekali.

   Jika orang akan ke sana, ia harus turun ke ju-rang berasap dan menaiki tangga menuju dalam ban-gunan tersebut.

   Tetapi, Lanang tidak melihat ada tang-ga yang menuju ke sana.

   Surobedog juga tidak berja-lan menuruni jurang berasap, tapi dia meniti sebuah jembatan yang terdiri dari seutas akar pohon yang telah dirajut menjadi seutas tali.

   Hanya seutas.

   Jembatan aneh itu terentang dari jalanan datar sampai ke pintu gerbang bangunan tersebut.

   Jelas hanya orang-orang yang punya ilmu peringan tubuh yang dapat meniti jembatan tersebut.

   Pendekar Pusar Bumi segera bersembunyi di balik suatu celah tebing ketika tubuh Surobedog terlihat melayang bagai daun kering melewati seutas jem-batan itu.

   "Hemm... ilmu peringan tubuhnya cukup lumayan,"

   Pikir Lanangseta.

   Semakin dekat Lanangseta mengintai, semakin jelas bahwa bangunan besar di atas pulau cadas merah itu tidak mempunyai pintu gerbang seperti layaknya pintu gerbang di sebuah ista-na, atau sebuah Kadipaten.

   Pintu gerbang itu hanya berbentuk sebuah pintu yang tertutup, namun sebe-narnya itu adalah pagar dari batu pualam yang diukir menyerupai pintu gerbang.

   Buktinya sewaktu Surobedog memasuki pintu gerbang, ia mengandalkan ilmu peringan tubuhnya, meloncat dengan cepat dan masuk dalam bangunan berpagar batu pualam itu.

   Lanangseta manggut-manggut.

   Sebelum jauh ia bergerak, memang ada baiknya ia mempelajari kele-mahan dan kekuatan daerah tersebut.

   Bagi Lanangse-ta, masuk ke dalam bangunan itu memang tidak mu-dah.

   Resikonya cukup besar, kalau tidak jatuh ke da-sar jurang, mati dihunjam jebakan.

   Pasti ada jebakan di sekitar jembatan seutas itu, atau di depan pintu gerbang palsu itu.

   Kalau jatuh ke dasar jurang berasap masih lumayan, kemungkinan mati tipis, tapi kemungkinan patah tulang besar.

   Hemm...

   jadi harus bagaimana untuk masuk ke sana dan bertemu dengan Cakar Setan? Pikir Pendekar Pusar Bumi dari tempat persembunyiannya.

   Sebenarnya Lanangseta ingin segera bergerak mendekati jembatan kecil itu.

   Namun terpaksa ia ber-guling sejenak, karena merasa ada angin kencang da-tang dari arah belakang.

   Lalu.

   "craak...!"

   Sebuah tombak menancap pada batu cadas coklat tempatnya ber-sembunyi.

   Ia berpaling, ooh...

   Tiga orang berotot dan bertampang sangar ber-diri tegap dalam jarak kira-kira sepuluh langkah dari Lanangseta.

   Mereka memandang dengan sorot mata yang dingin, menyeramkan.

   Pastilah mereka itu adalah pengawal jalanan datar yang tidak pernah mempunyai belas kasihan sedikitpun.

   Wajah-wajah mereka, adalah wajah-wajah pembunuh berdarah dingin yang tidak bi-sa diremehkan.

   Lanangseta mengajaknya tersenyum.

   Namun tidak ada balasan.

   Jelas sudah naluri bermusuhan te-lah menjalar pada darah mereka, dan nafsu membu-nuh tak terelakkan lagi.

   Hei, sobat...

   aku ingin bertemu dengan Si Cakar setan, bagaimana caranya?"

   Lanang tetap bersikap ramah namun penuh kewaspadaan.

   "Kau ingin bertemu pimpinan kami?"

   Tanya seseorang dari ketiga manusia berdarah dingin itu.

   "Ya, bagaimana caranya untuk mencapai ke bangunan itu?"

   "Dengan melangkahi mayat kami,"

   Jawab orang yang berkumis tebal, paling tebal dari kedua kumis temannya.

   "O, kalau begitu kalian harus mati dulu? Apa tidak sayang pada nyawa sendiri? Apa tidak menyesal mati di tanganku?"

   "Jangan banyak bacot! Kalau sudah masuk ke wilayah Tebing Neraka, berarti sudah mati! Ciaaaat..!"

   Orang bersenjata semacam clurit itu berteriak dan melompat menyerang Lanangseta.

   Tebasan clurit-nya begitu cepat, dan menimbulkan hentakan angin yang membuat Lanang terhuyung-huyung ke belakang.

   Kemudian dua orang lagi melompat ke dua sisi, kiri dan kanan.

   Maka terkepunglah Lanangseta, masuk da-lam perangkap jurus ketiga penjaga jembatan itu.

   Orang di samping kanan Lanangseta mencabut senjatanya berupa bumerang logam yang tajam dan mengkilap itu.

   Sedangkan orang berbaju merah di samping kiri memegang senjata tombak trisula berga-gang pendek, kira-kira separoh dari ukuran tombak biasanya.

   Trisula itu cukup tajam.

   Buktinya ketika Lanang diserang dengan gerakan menebas, dan berhasil dielakkan oleh Lanang dengan menarik kepala ke bela-kang, senjata itu menyasar mengenai batu besar di samping Lanangseta.

   Batu itu gompal beberapa bagian dan bunyi denting akibat benturan senjata dengan ba-tu amat keras dan jelas.

   Juga sebuah bumerang besi yang melayang ce-pat berputar-putar nyaris menebas hidung Lanang, begitu berhasil dielakkan, senjata itu menyentuh se-buah tonjolan batu hitam.

   Batu keras itu bagai terkikis hancur pada bagian ujungnya, dan senjata bumerang itu kembali lagi ke tangan pemiliknya.

   "Busyet...! Tak bisa dibuat malas-malasan ka-lau begini...."

   Pikir Lanangseta sambil mencabut pedang Wisa Kobra dari punggungnya. Tepat pada waktu ia mencabut, datangnya serangan dari orang yang ber-senjata tombak trisula.

   "Wuuus...!"

   Benda itu hampir saja menebas perut Lanangseta kalau tidak segera berkelit miring ke kiri. Namun rupanya itu suatu gerak tipuan, di mana saat Lanang berkelit, ia disambut dengan satu tendangan amat kuat.

   "Aaakh...!"

   Lanangseta kesakitan, ia terjengkang ke bela-kang.

   Tendangan itu cukup keras.

   Jika orang biasa yang menerimanya mungkin orang itu akan mati seke-tika, atau pingsan mendadak.

   Lanangseta segera bangkit, tapi sebuah benda melayang ke arah lehernya.

   Seinci lagi menggores dada Lanang.

   Untung dia segera merebah telentang, lalu dengan gesit kedua kakinya melengkung ke bagian kepala dan dengan satu henta-kan kuat ia melentik ke udara.

   Pedang siap di tangan pada saat ia disambut oleh lelaki berkumis paling tebal.

   Senjata cluritnya membabat leher Lanang beru-langkali, namun Lanang menundukkan kepala dan berguling secepatnya.

   Ia baru saja hendak mene-baskan pedangnya, tapi tombak pendek bermata trisu-la tajam itu telah lebih dulu menancapnya di tanah.

   Untung gerakan pedang sangat cepat sehingga trisula itu mampu ditebasnya dan patah menjadi dua bagian.

   Ketiga penjaga tercengang melihat kehebatan pedang tersebut.

   "Serang bersamaaa...!"

   Teriak salah seorang, dan Lanangseta segera menjejakkan kakinya ke tanah walau dalam keadaan terbaring.

   Tubuhnya melesat tinggi, dan serangan ketiga pengawal itu mem-bentur tanah cadas.

   Lanang mendarat tepat di bibir tebing berasap.

   Pikirnya, kalau keadaan memaksa ia bisa melarikan diri dengan terjun ke dalam jurang berasap itu.

   Menu-rutnya ia lebih baik buru-buru lari ke bawah jurang dan menunggu mereka menyerang.

   Baru saja ia hendak melompat ke bawah, tahu-tahu ia terpaksa sibuk menangkis serangan bumerang yang mengagetkan.

   Bumerang itu diadu dengan pe-dang Wisa Kobra.

   Terdengar bunyi.

   "craang...!!"

   Dan bumerang itu pun pecan menjadi tiga bagian.

   Pemiliknya semakin emosi.

   Ia melayang dengan kaki kanan lurus menyerang Lanangseta dan kaki kirinya ditekuk ke arah selangkangan.

   Gerakan itu sangat cepat, bagai hembusan angin.

   Kalau saja dada Lanang terkena tendangan, sudah pasti setidaknya ia akan terjungkal ke dasar jurang berasap.

   Tetapi kegesitan Lanang mem-buktikan bahwa dalam keadaan bagaimanapun sem-pitnya, ia masih mampu menghindari tendangan maut itu dengan meloncat ke arah samping depan dan ka-kinya bergerak memutar seperti kipas.

   Kaki Lanangse-ta mengenai kepala orang itu, dan orang itulah yang terjungkal ke jurang berasap.

   Ia menjerit ketakutan, untuk kemudian diam selamanya.

   Sepi.

   Kedua temannya membelalakkan mata dan memburu ke tepi ju-rang, melongok ke bawah, sama seperti Lanang juga.

   Lalu Lananglah yang menjadi amat heran melihat tu-buh orang tadi tidak kelihatan sama sekali.

   Ia hilang.

   Musnah dan di dasar jurang tak tertinggal bekas baju atau pun sobekan celananya.

   Seketika itu merindinglah tubuh Lanangseta.

   Ternyata jurang berasap tipis itu bukan jurang yang ramah.

   Ia mampu menelan orang atau benda apa pun tanpa meninggalkan bekas.

   Uff...

   untung Lanang tadi tak sempat nekad terjun ke dasar jurang dan menung-gu lawannya di sana.

   Kalau dia tadi sempat terjun ke dasar jurang berasap, atau berjalan menyusuri dasar jurang seperti rencananya semula, sudah pasti ia akan lenyap seperti itu.

   Iih...

   selamat, selamat.....pikir Lanang sambil bergidik.

   Itulah saat kelengahan Lanang.

   Ia tak sadar ka-lau musuhnya sudah menyiapkan pukulan jarak jauh secara bersamaan.

   Pukulan itu melancar keras, men-genai dada serta ulu hati Lanang.

   terpentallah tubuh Pendekar Pusar Bumi yang kekar itu.

   Ia tak dapat mengontrol diri sehingga jatuh ke tepian jurang berasap.

   Kepalanya sudah terjuntai ke arah dasar jurang.

   Lawannya bergegas untuk merampungkan serangan berikutnya, sebagai serangan yang akan melemparkan Lanang ke dasar jurang berasap.

   Namun pada saat itu, sekelebat bayangan berkelit dan menyambar tubuh Lanangseta.

   Dengan ringan bayangan warna hijau itu mengangkat tubuh Lanang dan pergi bagai kilat mele-sat.

   * * * FAJAR pagi masih menghantarkan butiran em-bun dingin.

   Kendati matahari telah bergegas bangkit dari peraduannya dan memancarkan surya kehanga-tan, namun udara dingin masih tersisa di kulit tubuh Pendekar Pusar Bumi.

   Lelaki tampan yang berbadan tegap perkasa itu berkejap-kejap matanya.

   Seluruh tulangnya terasa ngilu, pegal, sepertinya ia baru saja bangkit dari kematian.

   Sebuah tangan halus mengusap keningnya.

   Ia mulai sadar bahwa saat itu ia sedang merebah dalam bantalan kedua paha yang hangat.

   Dan saat itu pula ia sadar, bahwa ia berada dalam Goa Malaikat, tepat di persimpangan lorong.

   Seraut wajah anggun yang menggetarkan hati terpampang jelas di matanya.

   Wa-jah itu, wajah Kirana Sari yang sepanjang perjalanan menuju Tebing Neraka selalu lekat di pelupuk mata Lanangseta.

   "Lanang...."

   Sapa perempuan berwajah cantik dan anggun itu. Sapaan itu bagai ucapan selamat pagi dari sekerat hati yang mencintainya. Lanangseta bergegas bangkit dari rebahannya. Tapi ia terpaksa menyeringai karena ada rasa nyeri pada bagian dada dan ulu hati.

   "Pelan-pelan...."

   Bisik Kirana yang ayu.

   "Kau baru saja terbebas dari Racun Neraka."

   Kirana membantu Lanangseta untuk duduk. Jemari tangan lentik itu mengusap lembut rambut La-nangseta dan merapikannya anak rambut yang meriap di kening.

   "Apakah aku terkena Racun Neraka?"

   Lanang sedikit parau. Kirana mengangguk lembut.

   "Kau terkena pu-kulan tenaga dalam dari Kumba Kumbi. Pukulannya itu mengandung racun yang sangat berbahaya, ber-nama Racun Neraka."

   Lanangseta berkerut dahi dan mencoba men-gingat-ingat apa yang telah terjadi padanya.

   Lalu, ingatannya telah berhasil merekam segala kejadian; jala-nan datar di lereng tebing, jembatan seutas, jurang berasap tipis yang mampu melenyapkan salah satu mu-suhnya, dan kedua orang bengis yang melancarkan pukulan jarak jauh secara tiba-tiba.

   "Oh, ya...."

   Lanangseta mengangguk-angguk dalam renungannya.

   "Tapi mengapa aku bisa berada di Goa Malaikat ini? Siapa yang membawaku dari Tebing Neraka itu?"

   Senyum manis mekar di bibir Kirana Sari yang sensual.

   Pendekar Pusar Bumi merasa diguyur seper-cik air surgawi yang menyegarkan hati begitu melihat senyuman itu.

   Pandangan matanya tak mau terlepas dari sorot mata Kirana.

   Dalam bisik yang samar La-nangseta berkata.

   "Kaukah penyelamatku? Yang membawaku ke mari?"

   Dalam kedipan mata bagai kerling permata itu Kirana mengangguk, senyumnya pun masih menghias wajah cantik yang anggun.

   sorot mata tajam yang me-neduhkan itu masih memandang Lanangseta.

   Kedip-kedip.

   Lalu menjadi sayu.

   Dan itulah sebuah pertanda yang dimiliki Kirana Sari.

   Ia telah meregangkan bibirnya yang ranum, merekah pasrah.

   Lanangseta tak mau mengecewakan harapan hati Kirana.

   Maka dike-cupnya bibir itu perlahan-lahan.

   Semula hanya tersentuh-sentuh lembut, kemudian menjadi menghangat dalam dekapan yang mesra.

   Darah berdesir dan mem-buat debaran di dalam dada semakin nyata.

   Itulah de-baran cinta mereka, dibarengi rindu mereka yang kian hangat kian membuat sejuta bunga bertaburan me-rangkai sukma.

   Desir kemesraan berhenti di ujung genggaman tangan mereka.

   Kirana tersenyum puas, membiarkan kepalanya bersandar di pundak Pendekar Pusar Bumi.

   Jemarinya yang lentik itu bermainkan ujung rambut kekasihnya.

   Mereka bungkam sesaat, menikmati de-rasnya aliran kerinduan.

   yang tadi sempat berdesir di dalam darah mereka.

   Lambat laun, ingatan Lanangseta kembali menerawang pada tebing maut berpemandan-gan aneh.

   Tebing Neraka yang menyeramkan di balik kesunyiannya, sungguh membuat merinding bulu ku-duk tiap manusia.

   "Baru sekarang seseorang berhasil melukaiku dengan pukulan jarak jauhnya,"

   Ujar Lanangseta bagai bicara pada diri sendiri.

   "Kumba, Kumbi... memang cukup tangguh. Ka-rena itu mereka ditempatkan sebagai penjaga Jemba-tan Kubur. Mereka tak dapat mati. Jika seorang mati, yang seorang menghentakkan kakinya ke tanah, maka yang mati akan hidup kembali. Mereka kakak beradik yang mempunyai ilmu tinggi."

   Kirana berkata dengan mempermainkan ram-but Lanangseta.

   "Jembatan Kubur itu yang seperti seutas tali?"

   Tanya Lanangseta seraya berpaling memandang Kira-na, dan Kirana mengangguk. Lanang bertanya lagi.

   "Dari mana kau tahu daerah itu dan seluk-beluk ma-nusianya?"

   Lama sekali Kirana terbungkam, seperti sedang meresapi suatu kenyerian di hatinya. Beberapa saat kemudian, ia pun menjawab dengan suara datar.

   "Ibuku, tewas di sana...."

   "Oh...?!"

   Lanangseta bagai disengat kelabang. Ia membelalakkan mata dan memandang Kirana lebih tegas lagi.

   "Ibumu...?!"

   Kirana mengangguk.

   "Kekuatan kami tidak seimbang. Mereka orang-orang yang bagaikan tak bisa mati. Terutama Si Cakar Setan dan...."

   "Dan siapa yang dimaksud dengan sebutan Gusti Dalem itu?"

   Sahut Lanangseta.

   "Pucuk pimpinan mereka yang tidak setiap orang bisa bertemu dengannya. Dia paling jahat dari semua penjahat di bumi ini. Kabarnya, dia pernah memakan bayi mentah-mentah dalam keadaan bayi itu masih hidup, sampai akhirnya mati sebelum habis termakan semua."

   "Gila...!"

   Desis Lanangseta membayangkan kekejaman itu.

   "Karena itu, sejak ayah menyuruhmu menum-pas orang-orang Tebing Neraka, sejak saat itu hatiku selalu cemas dan gelisah. Kubayang-bayangi kau dari rumah, dan ternyata kecemasanku menjadi kenyataan. Kau hampir saja lenyap ditelan waktu."

   Berkerut dari Lanang mendengar kata-kata yang terasa janggal di hatinya.

   "Ditelan waktu? Bukankah aku nyaris masuk ke jurang berasap itu?"

   Kirana bangkit, berjalan menatap sinar mata-hari dari mulut goa. Lalu ia berkata dengan tenang, tanpa memandang kekasihnya.

   "Manusia memandang jurang itu sebagai jurang berasap yang kelihatannya tidak mempunyai suatu kedahsyatan. Tetapi di situlah sebetulnya letak pusaran arus waktu. Dari jurang berasap itulah alam ini terpengaruhi masanya. Semakin mendekati jurang itu, semakin cepat perbedaan waktu dengan di sini atau di tempat lain."

   "Aku kurang jelas,"

   Sergah Lanangseta sambil berkerut-kerut memandang Kirana. Lalu, Kirana pun mendekat.

   "Berapa hari kau pergi ke Tebing Neraka itu da-ri rumahku?"

   Tanya Kirana. Ia menyempatkan mengusap-usap pipi Lanangseta dengan lembut.

   "Tiga hari sejak keberangkatanku dari rumah-mu itu."

   Kirana menggeleng dalam senyum tipis yang disuguhkan kepada Lanangseta.

   "Dua hari kau be-rangkat dari rumah, kau tiba di sebuah desa, bukan?"

   "Ya."

   "Lalu kau berjalan dari desa itu ke Jurang Gempal kira-kira hampir satu hari.'"

   "Ya. Hampir satu hari aku mengikuti Surobe-dog,"

   Kata Lanangseta sambil mengangguk.

   "Dan kau turun pada saat itu juga?".

   "Benar. Aku turun ke tebing, mencapai jalanan datar yang berada di lereng tebing itu."

   "Pada saat kau berada di jalanan datar itu, kau tidak terasa telah melewati empat kali masa matahari terbenam."

   "Hah...?!"

   Lanangseta terkejut, wajahnya tegang, mulutnya melongo. Namun bagi Kirana ia tetap tampan dalam keadaan seperti itu. Kirana menjelaskan lagi.

   "Semakin kamu masuk ke kawasan tebing itu, semakin cepat waktu berputar. Kau melihat sorot matahari di sana?"

   Setelah berkerut mengingat-ingat, Lanang pun menggeleng.

   "Tidak. Aku hanya menemukan alam yang teduh, mendung tidak, panas tidak. Teduh dan nya-man sekali tinggal di sana."

   "Nah, itulah sebabnya kau tidak akan merasa bahwa kau telah ada dalam pengaruh perputaran wak-tu. Kau tidak merasa kalau di permukaan bumi ini su-dah berjalan 4 hari, empat kali matahari terbit dan tenggelam."

   "Gila...."

   Desis Lanang, sekali lagi dengan mata terbelalak dan mulut melongo. Kirana tertawa pendek melihat pendekar tampan tertegun bengong seperti itu. Lalu ia mencium dengan gemas pipi Lanangseta dalam tawanya.

   "Jadi, aku telah berada empat hari di sana? Ah rasanya baru beberapa saat saja."

   "Kau sudah seminggu berpisah dengan ku, La-nang."

   Bisik Kirana dalam pelukannya.

   "Sukar dipercaya. Sungguh sukar dipercaya hal itu."

   "Memang. Tapi itulah keajaiban alam semesta ini."

   "Oh, jadi... bukan karena bikinan orang-orang Tebing Neraka itu?"

   Kirana menggeleng.

   "Mereka hanya meman-faatkan keganjilan yang ada di jagad ray a ini. Dan memang bukan hanya jurang berasap saja yang men-jadi keganjilan seperti itu. Sebenarnya banyak keganjilan alam lainnya yang bisa dimanfaatkan, tapi umum-nya manusia bahkan menjauhi dan merasa ngeri. Ber-beda dengan orang-orang Tebing Neraka itu, mereka memanfaatkan keganjilan alam tersebut, hanya saja berada di jalan yang hitam."

   "Ob, ya... ya... ya... sekarang aku baru tahu, mengapa lawanku yang terlempar ke dasar jurang be-rasap itu hilang. Tak ada bekas sesobek pun pakaian-nya yang terlihat di dasar jurang."

   "Ia tak pernah menyentuh dasar jurang. Ia hi-lang sebelum kulitnya menyentuh dasar jurang. Kare-na di situlah letak perbedaan waktu yang amat jauh dengan waktu di permukaan bumi ini. Dan... orang itu mengalami nasib serupa dengan ibuku. Lenyap, tak tahu di mana rimbanya. Tapi menurut ayah, ibu bera-da di alam lain."

   "Alam kematian?"

   "Tak pasti alam kematian. Tetapi menurut ayah, ada alam lain yang membentang di jagad raya ini. Yaitu tempat suatu kehidupan yang tak pernah ter-jangkau oleh mata dan pikiran manusia, sehingga hanya disimbolkan dalam sebuah dongeng, dan di go-longkan sebagai dunia khayalan. Menurut ayah, piki-ran manusia sangat terbatas, sehingga tidak dapat menjangkau pengetahuan soal itu. Jadi, sarannya, le-bih baik kita menerima keganjilan itu sebagai sesuatu yang aneh, yang tak perlu ditelusuri kehakikiannya. Saranku pun demikian kepadamu...."

   "Saran apa?"

   "Lebih baik kau cari Sekar Pamikat sekarang juga, dan mintalah restu darinya. Ingat, saat ini Sekar Pamikat jauh lebih sakti dari kita, bahkan dari ayahku sendiri."

   "Sekar...?"

   Lanangseta termenung.

   Ada guratan duka di permukaan wajah tampannya.

   Guratan duka itu tak jauh dari segenggam kenangan.

   Kenangan ma-sa lalu bersama Sekar Pamikat.

   Dan, kenangan itulah yang mencipta rindu menyengat hati, lalu menumbuh-kan kilasan-kilasan duka di wajahnya.

   Kirana tahu hal itu, namun ia tidak cemburu.

   Ia bisa memaklumi perasaan orang lain, sebab ia ingin orang lain pun dapat memaklumi perasaannya.

   "Aku khawatir Sekar sudah masuk ke dalam kenyataan goa ini, seperti yang pernah kau sebut-sebutkan."

   "Memang. Itu tidak salah."

   "Tapi di mana letak goa ini sebenarnya? Di ma-na pusat goa ini yang kau sebut sebagai kenyataan goa itu?"

   Kirana angkat bahu.

   "Aku belum pernah menemukan. Tetapi, mungkin aku bisa menemanimu mencarinya."

   Lanangseta bangkit dari duduknya. Rasa nyeri di dada serta ulu hati telah berkurang. Ia mengusap dadanya sebentar. Kirana berkata.

   "Mungkin pengoba-tanku kurang sempurna, ya? Masih sakit?"

   Lanangseta tersenyum.

   "Tak seberapa. Tapi... terima kasih atas pengobatanmu. Aku kagum padamu, cantik...."

   Kata Lanangseta dengan menyebut kata 'cantik' sebagai ganti nama Kirana.

   Perempuan anggun yang berpandangan dewasa itu tersenyum tipis, lalu melangkah lebih dulu sebelum Lanangseta bergerak.

   Sebenarnya mereka akan melangkah berdua, mencari pusat goa yang sebenarnya, yang menurut is-tilah Kirana sebagai 'kenyataan goa' itu.

   Tetapi mereka terpaksa membatalkan niatnya untuk melangkah berdua, sebab dari arah depan mereka, terlihat seorang berlari-lari membawa api pada sebatang kayu.

   Lanang-seta menatap di kedalaman lorong, menggumam lirih pada saat api itu semakin mendekati mereka.

   Lalu ter-lontarlah kata panggilan.

   "Ludiro...?! Paman Ludirokah itu...?!"

   "Ya, aku...! Ada kabar buruk, Lanang...!"

   Suara Ludiro yang semakin lama menghilang bagaikan biasa-biasa saja.

   "Paman...?! Aku mencemaskan dirimu. Sudah satu minggu lebih aku mencari kesempatan untuk mencarimu tapi...."

   "Seminggu lebih?!"

   Ludiro kaget.

   "Astaga...! Aku sampai tidak merasa kalau sudah seminggu lebih mencari Putri Ayu Sekar Pamikat...?! Dan... dan aku tidak merasa lapar atau dahaga di dalam goa ini? Aneh!"

   Kirana dan Lanangseta juga merasakan keanehan itu. Lalu Kirana berkata kepada Lanangseta.

   "Mungkin itulah keistimewaan Goa Malaikat ini...."

   "Maaf, Nona siapa?"

   Ludiro bertanya.

   Lanang menjelaskan kepada Ludiro siapa Kira-na itu, dan juga menceritakan tentang Pendekar Maha Pedang yang telah selamat serta telah pergi bersama kekasihnya.

   Andini, si gadis manja itu.

   Lanang perlu menceritakan hal itu, sebab Ludiro tidak ikut dalam pertempuran melawan serbuan orang-orang Tebing Ne-raka (dalam kisah Rahasia Goa Malaikat).

   Sudah tentu hal itu sangat mengagetkan Ludiro dan membuat lelaki pendek berbadan kekar itu terheran-heran.

   Kepada Kirana sendiri.

   Lanangseta menjelaskan sekali lagi siapa itu Ludiro, dan apa hubungannya dengan Sekar Pamikat.

   Kirana hanya mengangguk-angguk memahami ke-terangan tersebut.

   "Baiklah, ada yang lebih penting yang harus kusampaikan kepadamu, Lanang,"

   Kata Ludiro.

   "Tentang apa?"

   "Sekar,"

   Katanya terputus karena ia harus menelan ludah. Ludiro kelihatan tegang.

   "Saya menemukan lorong lain, tempatnya masuk ke dalam melalui tangga batu. Kemudian di sana aku juga menemukan ruangan aneh, ada semacam kamar besar yang tertu-tup batu atau tembok batu amat kokoh. Aku yakin itu ruangan. Dan di depan ruangan itu, aku menemukan Cambuk Naga milik Putri Ayu Sekar Pamikat...!"

   "Dia sendiri?"

   Lanang semakin ikut tegang.

   "Putri sendiri... tidak kutemukan di mana-mana. Dan... marilah ikut aku. Coba perhatikan apa-kah cambuk itu benar milik Putri Ayu atau bukan...."

   Lanang dan Kirana mengikuti langkah Ludiro yang membawa kayu bakar. Nyala api kayu itu cukup stabil, tidak meliuk-liuk karena hembusan angin. Lu-diro bahkan berkata.

   "Semua ini terjadi sangat aneh. Sudah seminggu lebih aku berada di dalam goa, se-dangkan api kayu ini belum sempat padam sejak ku-nyalakan tempo hari itu, Lanang."

   Lanang hanya menggumam dan merenungi keanehan yang ada.

   Entah berapa lama mereka berja-lan menyusuri lorong demi lorong.

   Ludiro yang tahu li-ku-likunya tempat itu.

   Rupanya ia sengaja memperta-jam ingatannya untuk dapat kembali ke tempat yang dimaksud.

   Dan ternyata, setelah beberapa saat, mere-ka tiba di sebuah lorong yang menuju ke bawah.

   Lo-rong itu mempunyai tangga batu yang menuju ke ba-wah dengan ukuran lebar 3 kali ukuran tombok.

   "Di dalam sana saya menemukan Cambuk Naga milik Putri,"

   Kata Ludiro kepada Kirana Sari.

   "Mari kita ke bawah,"

   Bisik Kirana kepada Lanang, dan Ludiro segera melangkah lebih dulu.

   Mereka menuruni anak tangga dari batu yang tersusun rapi.

   Jumlahnya lebih dari 100 anak tangga, bahkan La-nang sendiri sempat berhenti satu kali untuk menga-tur pernafasannya.

   Maklum, ia baru saja sembuh dari sakitnya, sehingga kondisinya tidak seprima biasanya.

   Jika tanpa penerangan lampu kayu yang diba-wa Ludiro, mungkin mereka akan tersasar ke lorong kiri, sebab di situ ada juga anak tangga yang menuju lorong kiri.

   Tetapi berkat bantuan nyala api kayu itu, mereka akhirnya tiba di ruangan yang lembab.

   Hawa dingin menembus tulang.

   Debu-debu melekat dengan barang yang ada di sana karena kelembapan.

   Juga lu-mut-lumut menghijau pada dinding sebuah ruangan besar.

   Menurut Kirana, ruangan itu adalah sebuah ba-lairung yang disebut oleh sejarah leluhurnya sebagai Pendopo Agung.

   Tepat seperti tertulis dalam kitab sejarah leluhur Kirana, di situ memang ada sebuah ban-gunan; menyerupai sebuah kotak atau kamar besar yang terbuat dari batu.

   Bangunan itu, dan juga dind-ing di sekitar Pendopo Agung itu, mempunyai beba-tuan yang terpotong rapi dan halus.

   Disusun rapi den-gan tanah perekat yang begitu kokoh.

   Di sisi bangunan tengah itu terdapat sebuah pintu dari batu berbentuk lengkung bagian atasnya.

   Di depan pintu itulah Ludiro memperlihatkan ada Cambuk Naga tergeletak di sana.

   Selain Cambuk Naga, juga Pedang Jalak Pati milik Se-kar Pamikat.

   Lanangseta memungut benda itu dan mengamatinya dengan keharuan hati yang menyayat.

   Tak sadar mulutnya mengucap kata.

   "Sekar...."

   Dalam desah menghibakan.

   "Aku yakin, Putri ada di kamar ini,"

   Kata Ludiro. Lanangseta memandang kamar tersebut, lalu berusaha membukanya namun berulangkali ia gagal mendorong pintu tersebut. Kirana memegang tangan Lanangseta ketika pendekar itu hendak memukul pintu. Kirana berkata dengan tenang.

   "Jangan bertindak bodoh. Aku tahu tempat ini tidak seperti tempat lainnya. Banyak jebakan dan pe-rangkap yang mematikan."

   "Aku butuh bertemu dengan Sekar! Paling tidak untuk minta restu kepadanya seperti saranmu itu."

   "Tapi tidak harus dengan kekuatan pisik. Pen-dopo Agung ini, menurut catatan sejarah leluhurku, dikerjakan dengan segala kelembutan; pekerjaan yang lembut, tenaga-tenaga yang lembut, dan hati mereka pun penuh kelembutan, sehingga dengan kelembutan pun kita harus bertindak di sini."

   Kirana memandang sekeliling, sebuah kesunyian membentang di sana-La-lu, tiba-tiba ia bicara setelah berpikir beberapa saat.

   "Ketuklah pintu itu dengan lembut sebanyak tujuh kali."

   "Apa?!"

   Lanang merasa heran dengan anjuran itu.

   Kirana mengulangi kata-katanya dan Lanangseta nyata betul menampakkan keheranannya.

   Namun ke-mudian ia mengikuti juga saran Kirana.

   Ia mengetuk pintu batu yang kokoh itu sebanyak tujuh kali Ya.

   Tujuh kali ia mengetuk pintu dengan ke-lembutan, lalu pintu itu benar-benar terbuka.

   Bergeser pelan-pelan bagai langkah seorang putri yang penuh kelembutan.

   Lanang dan Kirana tersentak mundur, demikian juga Ludiro yang merasa ngeri berada di tempat tersebut.

   Mata Lanang berkejap-kejap bagai tidak mempercayai apa yang telah dilihatnya pada saat pintu batu tersebut terbuka semua.

   Seorang perempuan cantik.

   dengan rambut te-rurai dan mengenakan kain putih yang hanya diba-lutkan pada tubuhnya itu, kelihatan begitu memukau dan sempat membuat lutut bergetar.

   Wajah itu, jelas wajah yang tak asing bagi Lanangseta maupun Ludiro.

   Tetapi ketika Lanang hendak mendekati sambil berse-ru.

   "Sekar...?!"

   Perempuan itu berkata dengan kelembutan yang nyata.

   "Lanangseta...."

   Ia tersenyum sambil mengulur-kan tangan, memberi isyarat agar Lanang jangan men-dekat. Gemuruh hati Lanangseta menahan gejolak ke-haruannya. Sekar Pamikat yang berpenampilan jauh berbeda dari sebelumnya itu berkata bagai perkataan seorang dewi.

   "Aku sudah tahu apa kata hatimu, Lanangseta. Tapi semua itu adalah garis hidup yang tak terelakkan oleh siapapun. Berangkatlah ke Tebing Neraka, selesaikan urusan mu di sana. Genggamlah cinta kasih yang ada dan peruntukkan bagi gadis yang kau cinta itu. Aku tak dapat lama-lama menemui kalian. Hanya saja, satu yang harus kau ingat, Lanangseta, yaitu gerhana bulan akan datang tiba. Pada saat gerhana bulan itu] ah orang-orang Tebing Neraka kehilangan kekuatan. Serang mereka, jangan izinkan mereka ma-suk ke tempat semadiku ini. Percayalah, aku tetap mendampingi kalian. Aku merelakan Cambuk Naga menjadi milik Paman Ludiro, beserta Pedang Jalak Pati itu. Tetapi untuk keperluanmu, pakailah dulu pusaka Cambuk Naga itu, Lanang. Berangkatlah pada saat gerhana tiba, dan hati-hatilah. Jika kau selamat, kau pasti akan datang lagi ke mari, dan aku sudah menyiapkan sebuah hadiah perkawinan kalian, yaitu se-tangkai bunga teratai Goa Malaikat. Aku akan per-siapkan dan akan kuberikan padamu kelak jika kau pulang dari Tebing Neraka. Paman Ludiro... bantu La-nangseta...."

   "Ba... baik Putri Ayu...."

   Mulut Lanang bagaikan terpatri rapat.

   Lidah-nya kelu tak dapat berkata apapun.

   Sekar Pamikat masuk ke dalam kamar itu, dan .pintu kamar tertutup sendiri, rapat, kokoh serta tegar.

   Ludiro orang yang pertama kali berani berge-rak.

   Ia memungut Pedang Jalak Pati dan Cambuk Naga dengan hati-hati sekali.

   Senjata yang diwariskan kepadanya itu, bagai sebuah mimpi yang tak pernah me-nembus di hati.

   Namun, kali ini ia harus menyerahkan Cambuk Naga kepada Lanangseta, sesuai dengan amanat Putri Ayu Sekar Pamikat, yang agaknya sudah menjadi orang suci, atau seorang resi perempuan yang muda dan cantik itu.

   "Bawalah cambuk ini, dan mari kita hancurkan Tebing Neraka,"

   Kata Ludiro kepada Lanangseta yang masih terbengong.

   Lanangseta melangkah menaiki anak tangga dengan perasaaan haru.

   Sesekali ia me-nengok ke belakang, memandang Pendopo Agung itu.

   Sedangkan Kirana, dengan penuh kesetiaan menggan-dengnya dan sabar menunggu langkah kaki Lanang yang sebenar-sebentar berhenti itu.

   Seperti biasa, Ludiro berjalan di belakang, mengawal Lanangseta seba-gai pengganti Sekar Pamikat.

   Langit mulai menampakkan kesuramannya.

   Sebentar lagi malam akan menjelma.

   Di tepi tebing Jurang Gempal, dua sosok berdiri tegap.

   Mereka adalah Lanangseta dan Ludiro.

   Mereka menunggu malam.

   Me-reka menunggu rembulan muncul dari balik awan.

   Me-reka memandang ke bawah, terlihat juga sempit yang nantinya akan melebar itu mengepulkan asap tipis.

   Jurang itu tampak memerah, bagai nyala bara.

   Di bawah sana, ladang pembantaian telah siap menunggu penggarapnya.

   Pedang Jalak Pati di ping-gang Ludiro, dan Pedang Wisa Kobra bertengger di punggung Pendekar Pusar Bumi.

   Sementara itu, Cam-buk Naga tampak terselip di balik ikat pinggang yang terbuat dari kulit buaya.

   Malam telah menyelubungi bumi dan kesu-nyian begitu mencekam.

   Sinar bulan muncul dari balik mega, lalu surut karena gerhana telah tiba.

   "Saatnya kita bergerak, Paman! Hati-hati den-gan jurang berasap itu. Ingat keteranganku tadi."

   "Aku siap! Mari...!"

   Dengan ilmu peringan tubuh yang cukup sem-purna, mereka berjumpalitan menuruni tebing Jurang Gempal, yang menurut banyak orang disebut Tebing Neraka.

   Keduanya bergerak dengan gesit dan lincah.

   Namun suatu keanehan telah terjadi setibanya mereka menapak di jalanan datar yang menyusuri tebing itu.

   Mereka bagai berada di alam lain, asing.

   Gelap tidak teramat pekat, dan terang tidak benderang.

   Namun pancaran pijar bara terlihat jelas di jurang berasap.

   Dasar jurang yang dulu dilihat Lanangseta sebagai pemandangan indah, bergemerlap batuan permata, saat ini menjadi merah, bagai bara neraka yang siap melumatkan tubuh yang menyentuhnya.

   Kepulan asap semakin banyak, tidak seperti dulu saat Lanangseta melihatnya untuk yang pertama kali.

   Jalanan keliha-tan terang.

   Batu-batuannya terlihat jelas.

   Mereka bagai berada di luar malam.

   Tidak seperti di tepi jurang tadi.

   "Kita bergerak ke sana, Paman,"

   Kata Lanangseta sambil melesat menuju arah di mana terdapat jem-batan seutas, yang menurut Kirana sebagai Jembatan Kubur.

   Sayup-sayup terdengar suara berdengung.

   Se-makin mendekati Jembatan itu, semakin nyata suara berdengung itu.

   Lanang dan Ludiro saling tatap, saling bertanya-tanya dalam hati.

   suara apakah itu? "Sebuah gumam orang banyak...."

   Bisik Ludiro menerka suara dengung itu. Lanangseta menggeleng-kan kepala.

   "Bukan. Sepertinya orang banyak yang sedang mengucapkan mantra, atau semacam kidung pujaan."

   "Arahnya dari bangunan di atas cadas merah itu." 'Ya...."

   Lanang mengangguk.

   "Kita harus masuk ke gedung tersebut dan memukul mereka pada saat seperti ini. Pasti mereka tak berani keluar, karena kekuatan mereka hilang pada saat ini. Pasti mereka tabu, bahwa saat ini di atas jurang terjadi gerhana bulan."

   "Sekarang kita bergerak, sebelum bulan menja-di purnama kembali."

   "Hati-hati...."

   Bisik Lanangseta.

   "Ada dua penjaga tangguh yang berada di ujung jembatan seutas itu. Dulu aku terkena pukulan beracunnya."

   "Aaah... dulu mereka memang kuat. Tapi seka-rang kan tidak. Mereka dalam keadaan lemah."

   Pendekar Pusar Bumi membenarkan kesimpu-lan Ludiro.

   Lalu mereka bergerak, melesat bagai se-buah cahaya hitam.

   Ketika mereka tiba di ujung jem-batan, dugaan Lanangseta memang benar, mereka di-hadang dua orang bertampang bengis.

   Lanangseta kenal betul, dua orang itu adalah Kumba dan Kumbi, yang konon jika mati, salah satu menghentakkan kaki akan menjadi hidup lagi.

   Tapi apakah ilmu itu berguna untuk saat gerhana begini? "Mau apa kau datang lagi, kunyuk?!"

   Bentak Kumba.

   "Mereka masih menjaga wibawa, walau sudah kehilangan tenaga,"

   Bisik Ludiro.

   "Manusia memang kadang bersifat begitu,"

   Balas Lanang. Kemudian ia berkata kepada kedua penja-ga jembatan itu.

   "Kau pikir akan apa aku ke sini kalau bukan akan membunuh kalian? Semua orang-orang Tebing Neraka ini!"

   Sepintas Lanang dan Ludiro sama-sama meli-hat Kumba dan Kumbi tercengang. Ketakutan tampak di permukaan wajah mereka, namun sengaja ditutupi dengan kebengisan yang ada.

   "Kuingatkah kepadamu, pulanglah daripada mati di Tebing Neraka ini. Lihat, jurang berasap itu, betapa panas pijar bara di dasarnya. Kalian akan mati hangus di sana!"

   "Bukankah setiap orang datang ke mari tak pernah boleh hidup lagi? Bukankah kalian pasti akan membunuhnya? Kenapa sekarang kalian justru meme-rintahkan kami untuk pulang? Sejak kapan kalian menjadi murah kasih?!"

   Agaknya Kumbi masih bertahan untuk menjaga kewibawaan, sekaligus mengulur waktu. Ia berkata dengan sombongnya.

   "Kau tidak tahu, kunyuk.... bah-wa kami ini sukar dikalahkan. Seorang dari kami mati, seorang lagi akan menghentakan tanah dan dia yang mati akan hidup lagi."

   "O, ya?! Apakah hal itu berlaku pula di saat gerhana bulan seperti ini?!"

   Kata Lanang dengan tersenyum sinis. Kedua orang bengis itu semakin gelisah. Saling memandang, saling mencari kesempatan untuk berbuat sesuatu, saling kebingungan. Dan hal itu tak bisa dibiarkan oleh Ludiro.

   "Mereka sengaja mengulur waktu supaya ger-hana cepat sirna, serang sekarang juga...!"

   Kemudian Ludiro maju menyerang sambil menghunus Pedang Jalak Pati.

   Kumbi yang diserang berjumpalitan menghin-dar tebasan pedang.

   Sementara itu, Lanangseta segera mencabut Pedang Wisa Kobra dan membabat leher Kumba.

   Kegesitan memang masih ada pada mereka, terbukti mereka bisa menghindar serangan Ludiro dan Lanangseta, namun sejauh ini mereka tak melakukan serangan balasan.

   Ludiro berteriak.

   "Lanang, mereka hanya mengulur waktu! Ger-hana hanya sebentar, cepat selesaikan urusan ini, aku akan menerjang ke bangunan kokoh itu...!!"

   Ludiro melentik meniti jembatan dengan tiga kali kakinya menyentuh seutas tali panjang itu.

   Me-nyadari kata-kata Ludiro, Lanangseta segera bergerak cepat.

   Pedang Wisa Kobra menebas kian ke mari, dan akhirnya menyentuh leher salah seorang dari mereka.

   Kepala orang itu terlepas dari lehernya.

   Salah seorang menghentak-hentakkan kaki ke tanah dengan bingung, namun yang terpenggal tetap saja mati.

   Dengan satu tendangan menyamping yang cukup kuat, La-nangseta berhasil membuat tubuh Kumba terpental ja-tuh, terguling-guling dan akhirnya masuk ke jurang berasap itu.

   Tubuh Kumba hilang tak berbekas, se-mentara dengan kasar Lanangseta menendang kepala Kumbi yang terpotong itu, lalu menyeret tubuhnya dan memasukkan ke dalam jurang, dan tubuh serta kepala itu pun lenyap.

   Lanang tak mau bertahan di situ terla-lu lama, ia segera menyusul Ludiro yang sudah berada di tanah cadas merah.

   Ia berseru.

   "Paman Ludiro... tunggu!"

   Dalam sekejap tubuh Lanangseta sudah berada di depan Ludiro. Ludiro sempat berkata.

   "Kita masuk lewat pintu gerbang saja!"

   "Jangan. Itu bukan pintu gerbang sebenarnya. Bangunan ini tidak mempunyai pintu gerbang. Mereka semua menggunakan ilmu peringan tubuh untuk me-masuki bangunan itu."

   "Kalau begitu, cepat kita bertindak...!"

   Kata Ludiro setelah memandang ke arah rembulan dalam ger-hana di langit.

   Rembulan itu kelihatan sangat samar-samar, bagai tersapu kabut tebal.

   Dan dalam satu kali hentakan, tubuh mereka melejit, bersalto satu kali dan sampailah mereka pada bagian dalam halaman bangunan tersebut.

   Suara orang menggumam bagai mengucapkan mantra dan kidung yang tetap itu semakin jelas.

   Arahnya dari ruangan di sebelah kanan.

   Sekali lagi Ludiro mengingatkan.

   "Gunakan jurus-jurus pamungkas. Keadaan ini tidak bisa diulur-ulur. Mereka harus bina-sa sebelum gerhana sirna!"

   Lanangseta mengangguk, kemudian ia segera mencabut Cambuk Naga.

   "Hiaaaatt...!"

   Gelegar suara cambuk membahana.

   Bangunan itu goyah.

   Suara ricuh dan kalang kabut terjadi di dalam gedung.

   Kemudian satu persatu mereka berham-buran keluar dalam keadaan ketakutan.

   Lanangseta melecutkan Cambuk Naga dengan gerakan asal saja.

   Ia tidak menyadari bahwa gerakan itu sebenarnya jurus-jurus pamungkas dari Sekar Pamikat.

   Sementara La-nang mengibaskan cambuk berulangkali dan menim-bulkan ledakan bergema, Ludiro menerjang masuk ke arah lain, membantai setiap orang yang ditemuinya dengan Pedang Jalak Pati.

   Ludiro sendiri juga merasa heran, mengapa dirinya bisa bermain pedang seperti yang pernah dimainkan oleh Sekar Pamikat.

   Tapi, hal itu tidak terlalu dipikirkan.

   Ia melompat, bagai terbang di atas mereka yang panik, lalu pedang Jalak Pati menebas beberapa kepala.

   Jerit dan teriakan histeris terjadi membisingkan.

   Terbayang di benak Ludiro, mung-kin beginilah keadaan di neraka sebenarnya.

   Jerit, tangis dan rintihan saling berpacu dalam lengking kematian yang membuat bulu kuduk merinding.

   Orang-orang itu, benar seperti orang-orang tanpa ilmu silat apapun.

   Mereka tak dapat mengguna-kan ilmu dan kekuatan tenaga dalam mereka.

   Bahkan ketika seorang lelaki bermata buta sebelah berdiri di depan Lanangseta, ia pun menyembunyikan rasa takut.

   Melihat kukunya yang tajam pada setiap ujung ja-ri, Lanangseta yakin, dialah Si Cakar Setan, pimpinan mereka setelah Gusti Dalem.

   "Cakar Setan...! Ayo, bergeraklah...!"

   Bentak Lanang. Cakar Setan berusaha tetap tenang.

   "Kami me-nunggu perintah dari Gusti Dalem. Kalau kau memang seorang kesatria tangguh, mari kita bertarung satu lawan satu di lain tempat. Tentukan waktunya. Silakan kau yang menentukan waktu dan tempat untuk adu tanding denganku!"

   "Sekarang waktunya, dan di sini!"

   Teriak Lanangseta. Cakar Setan kelihatan gugup.

   "Tidak. Jangan di sini. Ini tempat suci, tak baik untuk...."

   Belum habis Cakar Setan bicara, Cambuk Naga melecut dirinya dengan satu ledakan yang menggema.

   "Blegaarr...!!"

   Jerit kematian menggema pula, tubuh Cakar Setan yang konon sadis dan sakti itu meliuk-liuk sambil menjerit kesakitan.

   Kemudian Lanangseta men-cambuknya sekali lagi sambil tubuhnya melayang ting-gi menuju ke arah serambi bangunan tersebut.

   Untuk yang kedua kali Cakar Setan meliukkan tubuh, namun kali ini ia terbelah menjadi dua bagian pada perutnya.

   Lanangseta segera masuk ke dalam, mengobrak-abrik tempat itu dengan lecutan Cambuk Naga berulangkali.

   Jerit kematian semakin riuh dan mengerikan.

   Pada saat itu, muncullah seorang perempuan yang berdiri tanpa mengenakan busana kecuali bagian bawah pusarnya.

   Dia sangat mengenal Lanangseta, dan Lanangseta pun mengenalnya.

   Sebelum ia bicara, beberapa orang telah bersujud menyembahnya sambil meratap.

   "Gusti Dalem... tolonglah kami...! Bertindaklah Gusti Dalem...!"

   Lanangseta tersenyum sinis.

   "Oh, kau rupanya yang disebut Gusti Dalem? Kau, Peri Sendang Bang-kai?! Hah...! Sekarang pun kau akan binasa seperti mereka!"

   "Tunggu...! Kuakui kau menang terhadap me-reka, tapi belum tentu dapat mengalahkan aku!"

   Peri Sendang Bangkai, yang dulu pernah me-rencanakan menjadikan Lanangseta sebagai 'bibit un-ggul' dari sebuah pembuahan keturunan, kini sedang melayang menyerang Lanangseta.

   Dari kedua tangan-nya terpancar sinar biru tua yang dulu nyaris mereng-gut jiwa Lanangseta.

   Tapi sekali lagi, sesuatu yang di luar dugaan terjadi sangat mencengangkan Lanangseta.

   Kali ini ia merasa dihalang-halangi oleh seseorang berpakaian serba putih.

   Orang itu yang mengembali-kan sinar biru tua ke arah Peri Sendang Bangkai.

   Si-nar biru tua itu nyaris mengenai tubuh Peri sendiri, namun ia segera melesat ke samping dan sinar tersebut menghantam orang-orang yang panik.

   Lalu, mere-ka pun hilang, lenyap begitu saja tanpa bekas.

   Peri Sedang Bangkai menggeram.

   "Lagi-lagi kau muncul Sekar Pamikat. Bah...!"

   "Sekar...."

   Desah Lanangseta yang tercengang.

   Namun Sekar Pamikat yang berpakaian putih itu me-nerjang Peri Sendang Bangkai.

   Dalam kesempatan itu, perempuan bugil tersebut berubah diri menjadi bayang-bayang yang bergaris tipis.

   Serangan Sekar Pamikat bagai menembus udara hampa.

   Lalu terden-gar suara Peri Sendang Bangkai sebelum ia menghi-lang lenyap bagai ditelan bumi.

   "Tunggulah... saat pembalasanku pasti akan ti-ba untuk kalian...!!"

   Dan Lanangseta kelabakan mencari di mana sosok Gusti Dalem atau Peri Sendang Bangkai itu. Namun ia juga kebingungan lagi, karena Sekar Pamikat pun hilang begitu saja tanpa mening-galkan pesan apapun.

   "Dewiii...?!"

   Teriak Lanangseta. Kemarahannya bagai meluap, ia melesat ke luar dan menemukan Ludiro sedang sibuk membantai beberapa orang. Lanang berseru.

   "Kiranaaaa...!!"

   Badai pun datang. Ludiro dipegang erat-erat oleh Lanangseta.

   "Bertahanlah, Paman...!"

   Alam mengamuk.

   Guntur menggelegar di ang-kasa.

   Yang mati maupun yang masih hidup terlempar dan.

   terhempas.

   Seperti yang sudah-sudah, jika nama Kirana disebutkan, maka langit pun bergemuruh, me-merah bagai terbakar kilatan petir yang sahut-menyahut.

   Badai begitu kencang sehingga tembok ba-tu pualam roboh.

   Mayat-mayat dan mereka yang berla-rian dengan panik terlempar ke jurang berasap.

   La-nang dan Ludiro saling berdekapan menahan diri agar tidak ikut terlempar oleh hembusan angin maha ken-cang itu.

   "Kita harus segera menyingkir dari sini, sebe-lum bangunan ini rubuh semua...!"

   Teriak Ludiro.

   "Dapatkah kita menyeberangi jembatan seutas itu?"

   Lanangseta sangsi.

   Mereka sudah berdiri di tepi tebing jurang berasap.

   Ternyata keadaannya semakin mengerikan.

   Dasar jurang itu menyala dan asap men-gepul berputar-putar bagai membentuk satu pusaran mengerikan.

   Mereka nyaris ikut terlempar ke dasar jurang itu karena hempasan badai amat kencang.

   Un-tung pada waktu itu, tangan Lanangseta menancapkan Pedang Wisa Kobra ke tanah dan pedang itulah yang dipakai sebagai pegangan mereka berdua.

   Bangunan tersebut benar-benar rubuh.

   Bumi semakin terasa berguncang keras.

   Langit masih meme-rah menyemburkan petir bertubi-tubi.

   Batu-batu pua-lam bergelimpangan.

   Dan tanah cadas merah yang di-pakai berdirinya bangunan itu perlahan-lahan berge-rak miring, seakan hendak menuang seluruh penghuni di atasnya.

   Gawat! Mereka pasti ikut tertuang ke ju-rang berasap.

   Namun pada saat itu, badai mulai reda.

   Alam kembali tenang, dan sekarang tenang sekali.

   Kepulan asap reruntuhan, hancurnya alam, begitu mengerikan dipandang mata.

   Sedangkan posisi pulau cadas merah sangat miring.

   Jembatan seutas telah hilang, mungkin tersapu badai saat tadi.

   Tinggal Ludiro dan Lanangseta yang masih bertahan berpegangan Pedang Wisa Kobra.

   "Kita harus melompati jurang itu...."

   Bisik Lanang.

   "Perbuatan gila...."

   Balas Ludiro. Namun mereka berdua tetap berusaha untuk bangkit dalam kemi-ringan. Lanang mencoba lebih dulu menggunakan ilmu peringan tubuhnya.

   "wesss...!"

   Ia menjejakkan kaki ke tanah dan tubuhnya melayang di udara, berguling beberapa kali dan dengan mulus sampai di jalanan datar.

   Lalu Ludiro melentikkan tubuh, bersalto beberapa kali, dan nyaris terpeleset jatuh di bibir jurang berasap.

   Tangan Lanangseta meraih baju Ludiro sehingga sela-matlah ia.

   Keduanya saling tertawa dalam pelukan.

   Setibanya di atas Jurang Gempal, mereka dis-ambut oleh seorang perempuan cantik yang anggun.

   Kirana Sari.

   Perempuan itu tersenyum tipis, namun menyembunyikan kebanggaan yang luar biasa.

   Ia sege-ra memeluk Lanangseta erat-erat, dan membiarkan pendekar muda itu mencium pipinya.

   "Dari mana kau tahu kalau tugasku sudah se-lesai, Cantik?"

   Bisik Lanangseta. Kirana menjawab dalam bisikan.

   "Kau me-manggil namaku, bukan?"

   Lanangseta hanya tertawa pelan, seperti dalam gumam.

   Pelukannya semakin erat melekat.

   Kirana me-nyelusupkan kepalanya di dalam dekapan Pendekar Pusar Bumi.

   Sementara itu Ludiro sibuk menggerutu karena bajunya sobek pada saat Lanangseta menarik-nya dari bibir jurang berasap.

   Terlepas dari kewaspadaan mereka bertiga, se-kelebat bayangan melesat dan menyambar Pedang Wi-sa Kobra.

   Spontan Lanangseta terpekik sambil meraba punggungnya.

   "Ooh... pedangku...?!"

   Dan seorang kakek berjubah kuning telah ber-diri di atas pohon.

   Kakek tua itu memegang Pedang Wisa Kobra dan Tongkat Besi.

   Jenggotnya yang pan-jang berwarna putih kemerahan dihempaskan angin bagai melambai-lambai mengejek Lanangseta.

   Dia ada-lah Si Tongkat Besi yang susah mati.

   Setelah terkekeh panjang, Tongkat Besi berka-ta;

   "Lanang... sudah sebulan aku mencarimu, rupanya kau sedang memadu kasih, ya? Eh, Nang... aku pinjam pedangmu ini. Percayalah, dia akan kembali sendiri setelah aku mati dalam tikamannya. Selamat jumpa...! He, he, hee...!"

   Kakek tua itu melesat bagai bayangan, hilang entah ke mana. Kirana hendak mengejar, tapi tangan Lanangseta menggenggamnya kuat-kuat.

   "Tak usah kau kejar...! Dia bukan orang jahat! Dia akan menemuiku sendiri. Dia tak akan bisa meng-gunakan pedang itu. Percayalah...!"

   "Tapi... tapi kau akan kehilangan senjatamu...! Kau kehilangan pusakamu dan..."

   Dan kaulah kini pusakaku, Cantik...!"

   Lanangseta tertawa dalam gumam. Kirana se-makin tersipu. Lalu ia membiarkan keningnya dikecup Pendekar Pusar Bumi. Dan pada. saat itu Ludiro ber-paling dengan gerutu tak jelas. TAMAT E-BOOK BY ABU KEISEL

   

   

   

Pendekar Cacad Karya Gu Long Pendekar Cacad Karya Gu Long Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung

Cari Blog Ini