Mahluk Dari Dunia Asing 1
Dewa Arak Mahluk Dari Dunia Asing Bagian 1
MAKHLUK DARI DUNIA ASING Oleh Aji Saka Cetakan pertama Pcnerbit Cintamedia, Jakarta Penyunting .
Puji S.
Gambar sampui oleh Henky Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak scbagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Aji Saka Serial Dewa Arak dalam episode.
Makhluk dari Dunia Asing 128 hal.
; 12 x 18 cm Siang ini cuaca di persada terasa panas sekali.
Matahari tepat di atas kepala.
Sinarnya yang garang, memancar tanpa halangan oleh awan yang menggantung di angkasa.
Seolah-olah, sang raja siang ingin memanggang semua makhluk yang ada di bawahnya.
Glarrr...! Sungguh mengherankan! Betapa tidak? Langit tampak cerah, tapi kenapa terdengar suara seperti halilintar.
Malah tidak hanya sekali saja, tapi berulang-ulang.
Sesaat kemudian, keadaan angkasa tampak mulai berubah.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di langit muncul awan tebal dan hitam yang berarak.
Sehingga, suasana di persada perlahan-Iahan mulai gelap.
Apalagi, ketika kumpulan awan itu mulai menutupi matahari.
Peristiwa itu berlangsung demikian cepat.
Dalam beberapa saat saja, suasana yang tadi terang benderang segera berubah gelap pekat.
Dan untuk yang kesekian kalinya, terjadi peristiwa lain yang mengejutkan! Hujan turun dari langit secara tiba-tiba, Bahkan langsung lebat.
Sama sekali tidak didahului titik-titik hujan gerimis.
Tapi, anehnya sesaat kemudian hujan langsung berhenti.
Lebih anehnya lagi, semua peristiwa itu hanya terjadi di Desa Maja! Halilintar yang tiba-tiba menyalak, langit yang mendadak gelap, dan hujan lebat yang tahu tahu turun dan berhenti, semua itu terjadi di langit di atas Desa Maja! Sementara, langit di sekelilingnya nampak cerah.
Karuan saja kejadian janggal ini membuat para penduduk Desa Maja menjadi heran bercampur bingung.
Para penduduk yang masih berada di sawah, ladang, kebun, dan tempat-tempat lain, bergegas berlari-lari cepat ke rumah.
Kejadian yang aneh itu ternyata menarik perhatian dua orang muda-mudi yang berada di dalam dangau.
Mereka sebenarnya hendak menyantap makanan, sehabis lelah bekerja.
Yang laki-laki bertubuh kekar dan berpakaian coklat.
Dia kemudian bangkit berdiri, lalu menjulurkan kepala ke luar melalui bagian dangau yang terbuka.
Segera pandangannya dilayangkan ke angkasa.
Wajah pemuda itu langsung berubah hebat.
Buru-buru dia kembali ke tempat semula, kemudian bergegas berlari keluar dangau.
Tidak dipedulikan lagi makanannya yang belum disantap.
"Cepat, Seriti...!"
Seru laki-laki bertubuh kekar berpakaian coklat. Tangan kanannya menyambar tangan wanita cantik yang tidak lain istrinya, agar berlari meninggalkan tempat itu.
"Tapi, Kang Sampur...! Bekal yang kita bawa dari rumah belum disantap...,"
Bantah wanita cantik berpakaian biru yang ternyata bernama Seriti. Namun, dia juga berlari tertatih-tatih mengikuti langkah suaminya. Tanah tampak agak basah karena hujan lebat, meskipun hanya sekejapan saja.
"Lupakanlah, Seriti,"
Potong Sampur.
"Yang penting kita harus tiba lebih dulu di rumah."
Suara laki-laki yang ternyata bernama Sampur terdengar terengah-engah. Di samping karena tengah berlari-lari, juga karena perasaan tegang yang melanda.
"Memangnya ada apa sih, Kang?"
Tanya Seriti, dengan suara terengah-engah. Nada suaranya terdengar penuh tuntutan. 'Kau tidak melihat kejadian aneh itu, Seriti?"
Sampur malah balas bertanya. Seriti mengangguk membenarkan.
"Ya, Kang. Aku melihatnya. Tapi..., apa anehnya? Bukankah hal seperti itu biasa. Malah kita sering melihatnya. Langit cerah dan gelap itu kan merupakan gejala alam, Kang?"
Meskipun agak terengah-engah, Seriti berhasil memuntahkan semua uneg-uneg yang bersarang dalam dadanya.
"Tapi kali ini lain, Seriti!"
Sergah Sampur agak keras karena terbawa amarah. Dalam keadaan terburu-buru seperti ini, istrinya malah justru mengajak berdebat! Dan itu yang membuat amarahnya bangkit.
"Lainnya di mana, Kang?"
Tanya istrinya lagi, seperti tidak tahu kemarahan yang melanda hati Sampur. Tapi, mungkin saja benar-benar tidak mengetahuinya.
"Semua peristiwa itu terjadi secara tiba-tiba! Dan hal itu tidak pernah terjadi sebelumnya, Seriti! Itu anehnya!"
Semakin meninggi suara Sampur, karena amarah yang semakin menggelegak.
Dan dengan sendirinya, sauranya pun jadi semakin terdengar terengah-engah.
Di samping karena lelah, tegang, juga karena perasaan amarah.
Kini Seriti terdiam.
Dia mulai menangkap ada nada kemarahan yang terkandung dalam suara suaminya.
"Tidak bisa kubayangkan hal yang akan terjadi, Seriti,"
Sambung laki-laki berpakaian coklat itu lagi.
"Kalau alam sampai menunjukkan keanehan seperti ini, tak bisa kubayangkan peristiwa yang akan terjadi..."
"Oh...!"
Pekik Seriti kaget. Dia memang tidak menyangka akan sejauh itu, akibat perubahan alam yang secara mendadak.
"Dan yang lebih membuatku merasa ngeri, peristiwa aneh dan beruntun itu hanya terjadi di desa kita. Desa Maja! Tadi sempat kulihat kalau langit di sekelilingnya cerah."
"Maksudmu, Kang...."
Seriti tidak melanjutkan ucapannya. Sampur tidak langsung menanggapi pertanyaan istrinya. Sementara, kakinya terus saja melangkah cepat dan beruntun.
"Aku khawatir malapetaka akan menimpa Desa Maja...,"
Kali ini suara Sampur lebih pelan dari biasanya.
"Entah malapetaka apa..."
Wajah Seriti jadi bertambah pucat begitu mendengar ucapan suaminya.
Dan kini keheningan menyelimuti mereka.
Apalagi Sampur tidak lagi melanjutkan ucapan.
Sementara Seriti juga tidak menanggapi.
Yang terdengar hanyalah langkah kaki mereka yang menerobos rerumputan.
"Kang..., bulu kudukku merinding...,"
Kata Seriti pelan dan terengah-engah ketika mereka telah berlari cukup jauh.
Ucapan itu membuat Sampur menoleh ke arah istrinya dengan wajah pucat.
Memang, dia pun mengalami hal yang sama.
Tapi, karena mengira hal itu terjadi akibat rasa takut dan tegang, dia tidak terlalu mempedulikannya.
Baru ketika istrinya mengatakan, laki-laki itu bersikap lain.
"Kang..., aku lelah sekali...,"
Desah Seriti lagi ketika tidak terdengar adanya tanggapan dari Sampur, selain tolehan kepala.
Terpaksa Sampur menghentikan lari.
Tampak keadaan Seriti memang sudah payah.
Kalau dipaksakan terus, bukan tidak mungkin istrinya akan tewas kelelahan.
Bahkan tadi sudah beberapa kali Seriti tersandung.
"Hhh...!"
Wanita berpakaian biru itu menghembus napas lega. Kemudian dihapusnya peluh yang membasahi wajah dan lehernya dengan saputangan. Sampur pun juga bertindak demikian. Napas sepasang suami istri itu memburu hebat, dengan dada turun naik cepat.
"Kang..., sekarang tidak hanya bulu kudukku saja yang berdiri,"
Kata Seriti dengan napas yang mulai tidak memburu lagi.
"Tapi juga bulu-bulu di tanganku, Kang...."
Sampur sama sekali tidak menyambutinya.
Seperti halnya Seriti, dia pun dilanda keadaan yang sama.
Tapi hal itu sengaja tidak diutarakan agar istrinya tidak semakin ketakutan.
Kini yang dilakukan laki-laki berpakaian coklat itu justru mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Hanya kesunyian dan remang-remang yang terlihat, selain hamparan rumput pendek dan beberapa pepohonan.
Namun, mendadak saja Sampur terjingkat kaget ketika melihat sesosok tubuh keluar dari balik pepohonan.
Bahkan jantungnya kontan berdebar tegang.
Pandangan matanya langsung terpaku ke arah sosok tubuh itu.
Seriti yang merasa heran melihat kelakuan suaminya, ikut mengalihkan tatapan ke arah yang sama dengan mata Sampur.
"Ikh...!"
Kontan seru keterkejutan keluar dari mulut Seriti ketika pandangannya tertumbuk pada sesosok tubuh yang juga ditatap Sampur.
*** Wajar saja kalau Sampur dan Seriti dilanda ke-terkejutan yang amat sangat.
Mereka memang melihat sosok tubuh yang berdiri di dekat sebatang pohon, dengan berbagai macam keanehan.
Sosok itu memang hanya memiliki tubuh sedang.
Namun anehnya, kulitnya berwarna putih berkilauan.
Itu bisa dilihat karena tak ada pakaian yang menutupi bagian atas tubuhnya.
Di dadanya tampak bulu-bulu hltam dan lebat, sehingga menambah keangkerannya saja.
Yang lebih mengerikan lagi, di bagian kepalanya yang botak itu nampak bertengger dua buah telinga berujung lancip.
Sepasang matanya berkilatan aneh seperti bersinar.
Bahkan gigi-giginya tampak runcing-runcing.
Dua buah taring berkilatan tampak menjulur keluar.
Sosok yang tidak pantas disebut manusia itu melangkah mendekati Sampur dan Seriti yang masih terpaku.
Jelas, sepasang suami istri itu dilanda keterkejutan yang amat sangat.
Semakin lama, jarak Sampur dan Seriti dengan makhluk aneh itu semakin dekat.
Namun, sepasang suami istri itu tetap saja belum sadar dari keterpakuannya.
Sepasang mata mereka terbelalak, dengan mulut lemganga lebar.
"Hmrrrhhh...!"
Kembali makhluk itu menggeram.
Tapi kali ini sambil menjulurkan tangannya yang berkuku runcing dan berwarna hitam ke depan.
Kemudian tangannya dltarik ke dalam, seperti orang melambai.
Akibatnya hebat bukan kepalang! Sampur dan Seriti seperti tertahan oleh sesuatu yang tidak tampak.
Meskipun kedua kaki tetap berlari, tapi gerakan mereka tetap berada di situ-situ saja.
Sampur dan Seriti seperti orang berlari-lari di tempat.
Makhluk itu menyeringai, sehingga membuat wajahnya yang sudah seram jadi semakin terlihat mengerikan.
Gerakan-gerakan kedua tangannya tetap diteruskan, tapi kali ini lebih bertenaga daripada sebelumnya.
"Aaa...!"
Sampur dan Seriti menjerit berbareng ketika tubuh mereka tertarik ke belakang, sehingga terjatuh di tanah.
Ada kekuatan yang tidak tampak, sehingga membuat tubuh mereka tertarik ke belakang.
Bahkan ketika mereka jatuh, kekuatan yang menarik itu pun tidak juga lenyap.
Tak pelak lagi, tubuh Sampur dan Seriti tertarik hingga bergulingan di tanah.
Arahnya menuju makhluk berkepala botak itu.
Dan kekuatan yang tidak tampak itu baru lenyap, ketika tubuh Sampur dan Seriti telah berada tepat di bawah kakinya.
"Hmrrrhhh...! Katakan, siapa di antara kalian yang bernama Eyang Bantara?! Hmrrrhhh...! Cepat katakan! Sebelum kesabaranku hilang!"
Ancam makhluk botak yang ternyata bisa berbicara dengan bahasa manusia.
"Aku tidak kenal orang yang kau maksudkan, Kisanak..,"
Sahut Sampur, terbata-bata.
"Hmrrrhhh...!' geram makhluk itu keras. Sepasang matanya berkilat-kilat, menyiratkan kemarahan hebat.
"Berani kau membohongi Gandula?!"
Setelah berkata demikian, makhluk bernama Gandula itu menjulurkan tangannya ke arah Sampur yang masih belum mampu bangkit. Lalu....
"Aaakh...!"
Jari-jari tangan Gandula yang berkuku runcing dan hitam itu langsung mencengkeram perut Sampur hingga amblas ke dalamnya.
Darah pun mengalir keluar dari bagian yang terluka.
Sampur merasakan sakit yang amat sangat pada perutnya.
Wajahnya menyeringai, dipenuhi butir-butir peluh sebesar biji jagung.
Gandula mempererat cengkeramannya, sehingga membuat Sampur melolong-lolong kesakitan.
"Hmrrrhhh...! Cepat katakan, Manusia! Di mana Eyang Bantara, sebelum aku bertindak lebih kejam lagi!"
Ancam Gandula masih memberi kesempatan pada Sampur.
Sampur menggigit bibirnya kuat-kuat hingga berdarah.
Namun hal itu tidak dihiraukannya.
Bahkan rasa sakit amat sangat pada perutnya jadi terlupakan ketika mendengar ucapan Gandula.
Makhluk botak itu menyebutnya manusia! Memangnya, dia bukan manusia? Bergidiklah Sampur ketika mendapat dugaan seperti itu "Hmrrrhhh...! Katakan, Manusia!"
Ancam Gandula lagi sambil mempererat cengkeramannya. Akibatnya Sampur kembali berdesis karena rasa sakit yang menyengat.
"Aku benar-benar tidak tahu...,"-sahut Sampur terputus-putus.
"Hmrrrhhh ...!"
Gandula menggeram hebat. Tangan yang mencengkeram daging perut Sampur ditarik, seraya mem-pererat cengkeramannya.
"Aaakh...!"
Jerit Sampur keras ketika perutnya koyak, karena sebagian dagingnya terbawa tangan Gandula. Tubuh laki-laki berpakaian coklat ini pun menggelepar-gelepar menahan rasa sakit yang mendera. Darah semakin banyak menyembur keluar dari bagian yang terluka.
"Kang Sampur...!"
Jerit Seriti keras melihat kenya taan menyedihkan yang menimpa suaminya.
Memang, hanya sampai sebatas itu saja yang mampu dilakukan Seriti.
Karena, dia sendiri pun belum mampu bangkit dari berbaringnya.
Meskipun kekuatan tak tampak yang menariknya telah tidak ada lagi, tapi akibatnya masih terasa.
Sekujur tubuhnya lemah tak bertenaga, bagai tidak mempunyai tulang dan otot sama sekali....
Tanpa menghiraukan jerit kesakitan dan tubuh Sampur yang menggelepar-gelepar seperti ayam disembelih, Gandula membawa daging perut Sampur yang berada dalam cengkeraman ke mulut.
Kemudian daging itu dikunyahnya.
Hampir saja seluruh isi perut Seriti keluar melihat kelakuan makhluk berkepala botak itu.
Apalagi ketika dengan enaknya Gandula mengunyah.
Sepasang mata makhluk botak itu merem-melek seperti tengah menikmati makanan yang amat lezat! Maka hanya dalam waktu singkat daging perut Sampur telah lenyap ke dalam perut Gandula.
"Hmrrrhhh...!"
Geram Gandula sambil mendecap-decapkan lidah. Tak puas hanya dengan itu, tangannya yang masih berlumuran darah juga dijilati hingga ludas! "Hmrrrhhh...!"
Kembali Gandula menggeram. Sepasang matanya berkilat aneh ketika menatap Sampur.
"Hmrrrhhh...! Tidak kusangka, ternyata manusia mempunyai daging yang begini lezat..!"
Bulu tengkuk Sampur dan Seriti kontan berdiri mendengar ucapan itu.
Jelas, ucapan itu mengandung pengertian kalau makhluk berkepala botak ini bukan manusia! Lalu, apa? Besarnya rasa takut yang mendera ketika dugaan itu muncul membuat Sampur dan Seriti seketika ngeri.
Jantung mereka terasa copot, menyadari kalau makhluk berkepala botak ini memakan daging manusia.
Dengan sorot mata mengancam, kini Gandula membungkukkan tubuhnya.
Kemudian, tangannya yang berbentuk cakar itu terulur ke arah tubuh Sampur.
Dan..., mulai merobek-robek sekujur tubuh Sampur, kemudian dimakannya! Sampur kontan menjerit-jerit, merasakan sakit yang amat sangat.
Sedangkan Seriti juga menjerit, karena perasaan ngeri yang menggelegak melihat Sampur meraung-raung saat tubuhnya sedikit demi sedikit dipereteli.
Suara gerengan seperti seekor kucing lapar tengah memakan sepotong ikan, terdengar ketika Gandula melahap tubuh Sampur.
Gandula sama sekali tidak mempedulikan tubuh korbannya yang menggelepar-gelepar menahan sakit.
Makhluk berkepala botak itu terus saja menyantap dengan nikmatnya.
Bahkan ketika suara Sampur melemah dan akhirnya tidak terdengar lagi, Gandula belum juga menghentikan kesibukannya.
Baru ketika tidak ada lagi daging yang tersisa di tubuh Sampur, Gandula menghentikan kesibukannya.
Dipandanginya sejenak tubuh yang hanya tinggal tulang belulang itu.
"Hmrrrhhh...!"
Terdengar suara geram kepuasan dari mulut Gandula.
Mulutnya mendecap-decap.
Bahkan lidahnya pun ikut menjilat-jilat untuk membersihkan sisa-sisa darah yang masih berada di mulut dan di jari-jari tangan.
Kemudian Gandula bangkit berdiri.
Dipandanginya sejenak tubuh Seriti yang tergolek tidak bergerak di tanah.
Memang, wanita berpakaian biru itu telah sejak tadi jatuh pingsan karena tak kuat menahan guncangan hati melihat pemandangan mengerikan di depannya.
Pemandangan yang belum pernah disaksikan, sekalipun dalam mimpinya yang paling buruk Sesaat lamanya, Gandula berlaku demikian sebelum akhirnya melangkah perlahan meninggalkan tempat itu, tanpa mengganggu sedikit pun tubuh Seriti.
Sementara, halilintar terus menyalak.
Sehingga, bumi yang semula remang-remang menjadi terang-benderang dalam sekejap.
"Kalau semua yang dikatakan Seriti benar..., aku tidak tahu makhluk macam apa yang telah memangsa Sampur siang tadi..,"
Keluh seorang laki-laki setengah baya berpakaian coklat.
Wajahnya yang berbentuk persegi, ditambah lagi cambang bauk lebat, membuatnya tampak gagah.
Sambil berkata demikian, laki-laki berpakaian coklat itu mengedarkan pandangan ke arah beberapa sosok tubuh yang duduk bersila di sekelilingnya.
Memang, mereka semua tengah berbincang-bincang di sebuah ruangan tengah yang cukup luas di dalam sebuah rumah.
"Mungkinkah dia makhluk biadab, Anabrang?"
Duga seorang laki-laki setengah baya berdandan urakan. Kumis dan jenggotnya seperti dibiarkan tak terurus. Matanya yang agak lebar menatap orang yang dipanggil Anabrang.
"Aku masih belum mengerti maksudmu, Saraji?"
Laki-laki berpakaian coklat yang sebenarnya Kepala Desa Maja dan bernama Ganda Anabrang malah balas menatap wajah laki-laki urakan yang ternyata bernama Saraji.
Saraji memang dikenal sebagai orang yang gemar mengembara.
Telah banyak tempat yang dijelajahinya.
Maka, tidak aneh kalau memiliki pengetahuan luas.
Di samping itu, dia juga diketahui memiliki kepandaian slat yang tidak rendah, dan termasuk orang penting dl Desa Maja.
Bukan hanya Ganda Anabrang saja yang menatap Saraji.
Tapi, empat orang lain yang duduk bersila di situ pun menatap ke arah yang sama, dengan sorot mata mengandung rasa keingintahuan yang mendalam.
"Ini hanya dugaanku saja..., jadi belum tentu benar,"
Kata Saraji lagi, seraya mengedarkan pandangan ke arah wajah-wajah yang menggambarkan rasa ingin tahu yang amat besar.
"Kami paham, Saraji. Katakanlah dugaanmu itu,"
Ujar laki-laki bertubuh gemuk yang mengenakan pakaian mewah. Nada suaranya menyiratkan ketidaksabaran.
"Apa yang dikatakan Juragan Donggala benar, Saraji,"
Sambut yang lain. Dia adalah seorang laki-laki berwajah gagah. Tubuhnya yang kekar terbungkus pakaian silat, sehingga semakin menampakkan kegagahannya. Memang, dia adalah seorang guru silat Desa Maja. Raksakipu namanya.
"Kalau menurutku..., makhluk yang ditemui Seriti adalah manusia biadab yang masih suka makan daging manusia. Aku pernah menjumpai sekumpulan orang seperti itu dalam pengembaraanku. Mungkin yang ditemui Seriti salah seorang dari mereka yang terpisah dari kelompoknya...,"
Urai Saraji panjang lebar. Ganda Anabrang dan empat orang lainnya me-ngernyitkan dahi beberapa saat, setelah Saraji menyelesaikan penjelasannya.
"Aku kurang setuju dengan pendapatmu, Saraji,"
Sanggah Ganda Anabrang, setelah beberapa saat lamanya terdiam.
"Hm.... Aku bisa memakluminya, Anabrang,"
Sahut Saraji.
"Tapi..., boleh kutahu alasanmu sehingga tidak setuju dengan pendapatku?"
"Aku memang mempunyai alasan cukup kuat, Saraji,"
Kata Kepala Desa Maja itu seraya mengangguk-anggukkan kepala.
"Bahkan sangat kuat"
Ganda Anabrang menghentikan ucapannya sejenak. Pandangannya beredar berkeliling, menatap satu persatu wajah-wajah yang berada di sekelilingnya.
"Apakah kalian setuju dengan dugaan Saraji?"
Tanya Ganda Anabrang. Juragan Donggala mengangkat bahu.
"Sebenarnya aku agak kurang setuju.... Tapi..., aku juga tidak mempunyai dugaan apa-apa. Jadi..., yahhh.... Aku tidak bisa bicara apa-apa,"
Kata laki-laki bertubuh gemuk itu pelan.
"Kau, Raksakipu?"
Ganda Anabrang mengalihkan tatapan ke arah guru silat Desa Maja.
"Sama seperti Juragan Donggala, aku pun tidak setuju dengan pendapat yang dikemukakan Saraji,"
Jawab Raksakipu seraya mengerling ke arah laki-laki berwajah urakan.
"Tapi aku mempunyai alasan, mengapa aku tidak menyetujui dugaannya."
"Katakan, Raksakipu. Apa alasanmu,"
Desah Kepala Desa Maja. Guru silat Desa Maja itu tidak langsung menjawab pertanyaan Ganda Anabrang. Dia malah menarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat "Cerita Seritilah yang menjadi alasan ketidak-setujuanku."
"Cerita Seriti?!"
Potong Saraji cepat Memang meskipun wajahnya tidak tampak perasaan apa-apa, tapi sebenarnya hati laki-laki urakan ini agak dongkol juga melihat rekan-rekannya tidak ada yang menyetujui pendapatnya.
"Cerita Seriti yang mana, Raksakipu?"
Sungguhpun hanya Saraji yang bertanya, tapi bukan berarti rekan-rekannya yang lain tidak ingin mengetahui alasan Raksakipu.
Hanya saja, mereka kalah dulu mengucapkannya.
Dan kini, mereka semua diam menunggu ucapan yang akan keluar dari mulut Raksakipu.
"Kedatangan makhluk aneh itu kemari, karena tidak mampu menunjukkan apa yang telah dicarinya. Kalian tahu kan, apa yang tengah dicarinya?"
Kepala semua orang yang berada di situ terangguk.
"Ya. Makhluk aneh itu mencari Eyang Bantara,"
Juragan Donggala yang menyambutinya.
"Tepat! Jadi, tindakannya memangsa Sampur berarti bukan tujuan utama,"
Sambung Raksakipu lagi.
"Padahal, sepanjang yang kutahu..., manusia-manusia biadab itu tidak pernah mempedulikan urusan apa pun selain makan."
Kembali semua kepala terangguk pertanda menyetujui pendapat Raksakipu. Bahkan Saraji pun menganggukkan kepala, karena menyadari adanya kebenaran ucapan guru silat Desa Maja itu.
"Sekarang giliranmu, Anabrang,"
Pinta Raksakipu mempersilakan.
"Kami juga ingin mendengar alasanmu."
"Hhh...!"
Ganda Anabrang menghela napas berat.
"Alasan ketidaksetujuanku atas pendapat Saraji, benar-benar membuatku merasa ngeri. Dan kuharap, dugaanku ini salah."
Kepala Desa Maja menghentikan ucapannya. Gerak-geriknya menunjukkan kalau hatinya merasa berat untuk mengemukakan alasannya. Karuan saja hal ini membuat semua yang hadir di situ merasa heran bukan kepalang.
"Katakanlah, Anabrang,"
Desah Saraji.
"Janganlah menyimpan perasaan takut itu sendiri. Bagi-bagilah pada kami. Percayalah. Kami semua berdiri di belakangmu. Dan kita semua bertanggung jawab atas keamanan desa ini."
"Benar, Anabrang,"
Timpal Juragan Donggala.
"Apa yang dikatakan Saraji tadi benar. Katakanlah, Anabrang. Daripada hal itu menjadi beban di hati ini?"
Ganda Anabrang menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Tidak hanya sekali saja hal itu dilakukan. Tapi berulang-ulang agar perasaannya benar-benar tenang.
"Aku yakin, makhluk yang telah memangsa Sampur bukan berasal dari alam kita,"
Ujar Ganda Anabrang membuka pembicaraan dengan suara serak.
"Apa?!"
Hampir berbareng, Juragan Donggala, Saraji, dan Raksakipu berseru keras. Di raut-raut wajah mereka tampak terbayang keterkejutan yang amat sangat.
"Tidak salahkah ucapanmu itu, Anabrang,"
Sergah Saraji yang mempunyai watak urakan.
"Bukan dari alam kita? Lalu..., dari alam mana?"
"Mana kutahu, Saraji?!"
Ganda Anabrang malah balas bertanya.
"Tapi yang jelas, dia bukan manusia seperti kita!"
"Lalu, mengapa kau menduga demikian?"
Rimpal Raksakipu cepat. Memang, seperti juga saraji, guru silat Desa Maja ini merasa heran mendengar ucapan Kepala Desa Maja itu.
"Kalian tidak ingat peristiwa aneh tadi siang?"
Tanya Ganda Anabrang kembali, yang disambut anggukan kepala tiga orang yang berada di dekatnya.
"Aku yakin, kejadian alam yang begitu mendadak ada hubungannya dengan kemunculan makhluk yang memangsa Sampur!"
Kepala Desa Maja itu menghentikan ucapannya sebentar untuk mengambil napas. Dan sebelum rekan-rekannya mengucapkan sesuatu, dengan penuh semangat dan berapi-api ucapannya dilanjutkan.
"Alam tidak akan menunjukkan perubahan aneh seperti itu kalau tidak ada peristiwa luar biasa! Masuknya makhluk dari alam lain ke alam kita, sepertinya merupakan sebuah kejadian luar biasa!"
Suasana kontan hening ketika Ganda Anabrang menghentikan ucapannya.
Wajah Saraji, Rupaksa, dan Juragan Donggala, menyiratkan keterkejutan yang amat sangat.
Bahkan bukan hanya keterkejutan saja yang nampak di sana.
Tapi juga kengerian bila hal itu benar-benar terjadi.
"Jadi.., kau menduga makhluk itu sebangsa jin, setan..., atau dedemit, Anabrang?"
Tanya Saraji.
Suara laki-laki itu terdengar serak.
Padahal telah berkali-kali dia berdehem untuk melonggarkan tenggorokannya yang seperti tersangkut sesuatu.
Ganda Anabrang menatap tajam wajah Saraji beberapa saat lamanya, sebelum akhirnya menganggukkan kepala disertai helaan napas berat.
"Tapi..., mengapa makhluk itu sampai keluar dari alamnya dan memasuki alam kita?"
Tanya Juragan Donggala dengan suara kering.
"Mengapa kau tanyakan hal itu padaku, Juragan Donggala?"
Ganda Anabrang malah balas bertanya.
"Aku sama seperti kalian juga. Tidak tahu apa-apa. Kalau hanya menduga-duga..., mungkin aku bisa."
"Katakanlah dugaanmu itu, Anabrang,"
Raksakipu ikut angkat bicara. Kepala Desa Maja itu tidak langsung menanggapi permintaan Raksakipu Kepalanya lantas menoleh menatap wajah-wajah yang terpampang di hadapannya. Wajah-wajah yang dicekam kengerian.
"Kalau makhluk itu bisa sampai keluar dari alamnya, sudah pasti ada alasan yang mendorongnya. Dan ini pasti berhubungan erat dengan orang yang bernama Eyang Bantara. Mungkin Eyang Bantara telah bertindak sesuatu yang merugikan makhluk itu."
Saraji, Raksakipu, dan Juragan Donggala sama sekali tidak mengangguk atau menggelengkan kepala mendengar pendapat yang gamblang oleh Anabrang. Walaupun hati mereka membenarkan kemungkinan itu.
"Memang..., alasan dan dugaan yang kau kemukakan lebih masuk akal ketimbang dugaan yang dikemukakan Saraji, Anabrang,"
Kata Raksakipu pelan. Kali ini semua orang menganggukkan kepala. Tak lerkecuali, Saraji. Diakui dugaan yang dikemukakan Ganda Anabrang memang lebih masuk akal.
"Aku malah berharap kalau dugaanku itu salah, Kaksakipu,"
Sambut Ganda Anabrang.
"Kami pun mengharapkan hal yang sama, Anabrang,"
Timpal Juragan Donggala.
"Aku lebih suka dugaan Sarajilah yang benar. Tidak bisa kubayangkan, bagaimana kita harus melawan makhluk itu." 'Yahhh...! Sebagai makhluk dari alam galb, sudah pasti dia memiliki banyak keanehan. Igauan Seriti bisa kita ambil sebagai dasarnya,"
Tandas Raksakipu pula.
Untuk yang kesekian kalinya, keempat orang itu termenung.
Benak mereka semua melayang ke arah Seriti.
Wanita berpakaian biru itu memang belum sadar.
Sungguhpun sebenarnya sudah sadar, tapi sama sekali tidak ingat apa-apa kecuali teriakan-teriakannya tentang semua kejadian yang dialami.
Jelas, batin Seriti terguncang hebat.
"Ada apa, Saraji?"
Tanya Ganda Anabrang ketika melihat laki-laki urakan itu terlihat resah.
"Entahlah, Ki,"
Sahut Saraji gugup.
"Tapi.., naluriku membisikkan adanya bahaya mengancam...."
Kontan ucapan Saraji membuat semua yang berada di situ tersentak.
Memang, sudah sejak tadi mereka semua dilanda perasaan tegang.
Tak aneh kalau ucapan itu membuat kengerian mereka semakin memuncak! Bagai diberi aba-aba, kepala-kepala mereka semua dialihkan ke arah pintu.
Sikap mereka semua tampak waspada dan telah siap menghadapi segala kemungkinan.
Semua tangan telah mencekal erat-erat gagang senjata masing-masing.
Wajah-wajah mereka juga tampak tegang menatap ke arah pintu! Ada satu hal yang membuat mereka langsung percaya pada ucapan Saraji mengenai adanya bahaya, sekalipun belum mendengar suara apa-apa.
Saraji adalah seorang perantau tulen.
Dia telah berpuluh tahun masuk keluar hutan, turun naik gunung, dan bergaul dengan berbagai macam suku.
Tak terhitung sudah bahaya-bahaya maut yang dihadaplnya.
Dan berkat pengalamannya itulah sehingga nalurinya amat tajam.
Dia bisa mengetahui adanya bahaya sebelum orang lain tahu.
Saraji benar-benar mempunyai naluri seperti binatang! Dan hal itu diketahui secara pasti oleh keempat orang rekannya.
*** "Bulu kudukku merinding, Anabrang,"
Kata Juragan Donggala dengan suara berdebar tegang. Raksakipu, Ganda Anabrang, dan Saraji menatap ke arah Juragan Donggala dengan sorot mata tegang dan ngeri. Karena, kejadian yang dialami laki-laki berpakaian mewah itu dialami pula oleh mereka.
"Mungkinkah..., makhluk itu menuju kemari, Ana-brang?"
Tanya Raksakipu dengan suara serak "Bisa jadi...,"
Sahut Ganda Anabrang tak kalah serak, setelah beberapa kali gagal menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering.
Trak! Klotrak...! Empat pasang mata yang berada di dalam rumah Ki Ganda Anabrang terbelalak lebar begitu melihat palang pintu terangkat naik dan jatuh ke lantai.
Padahal, jelas-jelas mereka semua melihat kalau tidak ada sepotong makhluk pun yang mengangkatnya.
Dan belum lagi keterkejutan mereka lenyap, daun pintu bergerak membuka pelan-pelan sampai akhirnya menyentuh dinding.
Ganda Anabrang, Juragan Donggala, Raksakipu, dan Saraji menatap dengan wajah tegang ke arah pintu.
Dan kontan jantung mereka berdetak keras ketika melihat sesosok tubuh yang berdiri sekitar dua tombak dari ambang pintu.
Benak Ganda Anabrang, Juragan Donggala, RakJ sakipu, dan Saraji sama-sama diliputi ketegangan hebat.
Dua kejadian aneh yang baru saja disaksikan, telah menambah tebalnya keyakinan mereka akan kebenaran dugaan Ganda Anabrang, Memang, sosok tubuh yang berdiri berjarak dua tombak dari daun pintu rumah Ganda Anabrang adalah Gandula.
Makhluk berkepala botak yang telah memangsa Sampur.
"Hmrrrhhh...!"
Sambil menggeram, Gandula melangkah menghampiri ambang pintu. Maka karuan saja tindakan Gandula membuat Ganda Anabrang dan rekan-rekannya bangkit berdiri.
"Kurasa dugaanmu benar, Anabrang,"
Kata Saraji.
"Makhluk ini bukan manusia, tapi siluman!"
"Jangan menampakkan sikap bermusuh padanya,"
Bisik Ganda Anabrang.
"Aku yakin, dia tidak bermaksud jahat..."
"Tapi..., bagaimana kalau dia menyerang kita, Anabrang,"
Tanya Juragan Donggala, pelan.
"Tentu saja kita harus melawannya. Donggala. Kalau dia yang menyerang kita, masalahnya jadi lain. Yang penting, jangan melakukan gerakan-gerakan permusuhan terhadapnya. Dan ucapanku ini bukan hanya tertuju padamu, Donggala. Tapi juga untuk yang lain."
Juragan Donggala, Saraji, dan Raksakipu men-angguk-anggukkan kepala pertanda mengerti.
Maka, meskipun keinginan untuk segera menghunus senjata sangat besar, keempat orang itu bertahan untuk tidak melakukannya.
Mereka berdiri menunggu kedatangan Gandula sambil mengembangkan senyum.
Tapi karena perasaan tegang yang melanda, senyum yang tercipta lebih mirip seringai.
Selangkah demi sdangkah jarak antara Gandula dengan mereka semakin dekat.
Dan seiring dengan itu, perasaan tegang yang melanda pun semakin menjadi-jadi.
Jantung keempat orang itu semakin berdetak cepat dan keras.
"Hmrrrhhh...!"
Gandula menggeram keras begitu kakinya telah melangkah melewati ambang pintu.
Hal ini membuat kedua kaki Juragan Donggala kontan lemas.
Bukan karena geraman itu ditopang tenaga dalam tinggi, tapi karena laki-laki berpakaian mewah itu sudah tidak kuasa lagi menahan rasa takut yang melanda hatinya.
Sementara, Juragan Donggala, Saraji, Ganda Ana-brang, dan Raksakipu masih bisa menguasai diri.
Sehingga, meskipun geraman Gandula membuat ketegangan yang melanda hati semakin memuncak, hal itu dapat ditanggulanginya.
Ketegangan Saraji, Ganda Anabrang, dan Raksakipu semakin besar ketika melihat keadaan Juragan Donggala.
Mereka khawatir laki-laki berpakaian mewah itu tidak mampu menguasai diri dan jatuh pingsan.
Tapi kekhawatiran itu lenyap.
Ternyata Juragan Donggala berhasil menguasai diri dan tidak sampai jatuh.
"Siapa di antara kalian yang bernama Eyang Bantara?"
Tanya Gandula dengan suara parau. Sepasang matanya menatap berganti-ganti ke arah wajah-wajah yang berdiri di hadapannya.
"Sayang sekali, Kisanak Tidak ada di antara kami yang bernama Eyang Bantara,"
Jawab Ganda Anabrang pelan, sambil menyunggingkan senyum.
"Hmmmrrrhhh...! Jangan coba-coba hendak menipu Gandula, Manusia! Akan mengerikan akibatnya!"
Ancam makhluk berkepala botak itu keras penuh ancaman.
"Kami sama sekali tidak bohong, Kisanak,"
Kata Ganda Anabrang masih dengan suara lembut.
"Tidak ada di antara kami yang bernama Eyang Bantara. Aku bernama Ganda Anabrang."
"Aku Saraji,"
Sainbung Saraji cepat "Aku Raksakipu."
"Aku Donggala,"
Sebut Juragan Donggala lemah.
"Hmrrrhhh...!"
Kembali Gandula menggeram setelah mengedarkan sepasang matanya ke arah keempat orang yang telah memperkenalkan nama itu.
"Aku tidak peduli nama kalian! Yang kuperlukan, Eyang Bantara! Cepat tunjukkan sebelum kesabaranku hilang!"
"Sayang sekali, Kisanak! Jangankan memberitahukannya padamu, mendengar namanya pun baru kali ini. Itu pun dari mulutmu sendiri. Barangkali, Eyang Bantara tidak berada di desa ini."
"Hmrrrhhh...! Kalian mencoba menipuku rupanya. Kalian semua sudah bosan hidup! Aku tahu pasti, Eyang Bantara tinggal di Desa Maja. Bukankah ini desa yang kumaksudkan?!"
Sergah Gandula, terdengar keras suaranya.
"Tidak salah, Kisanak!"
Sambut Ganda Anabrang masih tetap tenang.
"Tapi sungguh mati, tidak ada orang yang bernama Eyang Bantara di desa kami. Kami tidak bohong!"
"Hmrrrhhh...! Kalian telah membuat kesabaranku habis! Rupanya kalian menginginkan kekerasan!"
Keempat tetua Desa Maja itu merasa heran melihat kelakuan Gandula.
Tapi sesaat kemudian, keheranan itu berganti keterkejutan ketika melihat senjata-senjata mereka mendadak keluar dari sarungnya! Tentu saja Ganda Anabrang dan ketiga warga desanya terperanjat.
Untuk sesaat lamanya, mereka hanya terpaku.
Belum pernah seumur hidup mereka melihat senjata keluar dari sarungnya tanpa si pemilik yang mengeluarkannya.
Itulah sebabnya, untuk beberapa saat mereka sama sekali tidak melakukan tindakan apa pun.
Begitu telah berada di udara, mendadak saja empat buah senjata yang terdiri dari pedang dan golok, meluncur ke arah masing-masing pemiliknya.
Singgg...! Suara berdesing nyaring mengiringi meluncurnya senjata-senjata itu ke arah sasaran.
Karuan saja hal itu membuat Ganda Anabrang dan tiga orang warga desanya terperanjat dan bergegas menyelamatkan diri.
Mereka semua membanting tubuh di lantai, kemudian bergulingan menjauh.
Cappp! Empat buah senjata itu langsung menancap di dinding, hingga setengahnya lebih.
"Mengapa kau menyerang kami, Kisanak?!"
Tanya Ganda Anabrang begitu telah bangkit dari bergulingnya.
"Hmrrrhhh...!"
Hanya geram kemarahan Gandula saja yang menyambuti pertanyaan Kepala Desa Maja itu.
"Tidak ada gunanya berbasa-basi dengan makhluk jahanam ini, Anabrang!"
Seru Saraji. Selesai berkata demikian, laki-laki urakan ini ke-mudian melompat menerjang. Kedua tangannya yang terkepal, diluncurkan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati Gandula. Angin berkesiutan tampak mengiringi Bbanya serangan itu.
"Hmrrrhhh...! Pergilah kau ke neraka, Manusia Lancang!"
Seru Gandula seraya menudingkan tangannya ke arah dinding yang tertembus senjata.
Ajaib! Bagai dilemparkan sebuah kekuatan raksasa, tubuh Saraji yang tengah menerjang Gandula, terlempar ke arah dinding, tempat jari tangan Gandula menuding.
Sementara laki-laki urakan itu belum mampu berbuat apa-apa.
Maka....
Jreppp! "Aaakh...!"
Saraji menjerit memilukan ketika punggungnya membentur tembok yang tertancap pedang.
Darah langsung muncrat-muncrat dari perut yang tertembus gagang pedang.
Saraji menggelepar-gelepar menjelang maut sesaat, kemudian diam tidak bergerak lagi.
Mengenaskan sekali nasib laki-laki urakan itu.
Dia tewas dalam keadaan terpaku di dinding.
Darah yang keluar dari luka di tubuhnya mengalir ke bawah melalui dinding.
"Saraji...!"
Hampir berbareng Ganda Anabrang, Raksakipu, dan Juragan Donggala menjerit keras ketika melihat nasib buruk yang menimpa Saraji.
"Ilmu iblis...!"
Desis Raksakipu geram bercampur ngeri.
Sebagai seorang guru silat, meskipun tidak tertalu tinggi, Raksakipu tahu kalau ilmu yang dimiliki Gandula tidak mungkin dimiliki manusia.
Betapapun tingginya kepandaian manusia itu.
Ilmu seperti itu hanya bisa dimiliki makhluk-makhluk dunia gaib.
Biasanya, makhluk gaib memang banyak memiliki kemampuan yang tidak masuk akal! "Hmrrrhhh...! Kau pun ingin menyusul temanmu? Pergilah!"
Kembali tangan Gandula ditudingkan.
Kali ini ke arah lantai! Maka hal yang mengerikan kembali terjadi! Raksakipu tiba-tiba saja membenturkan kepalanya ke lantai.
Kalau tidak melihat wajah Raksakipu yang tampak jelas melakukan perlawanan, tentu Ganda Anabrang dan Juragan Donggala akan menyangka kalau Raksakipu ingin bunuh diri! "Raksakipu! Tahan...!"
Hampir berbareng, Ganda Anabrang dan Juragan Donggala berteriak keras seraya melompat ke depan untuk mencegah guru silat itu melakukan rindakan seperti bunuh diri.
Namun sayang rindakan kedua orang itu terlambat.
Suara kepala pecah disusul muncrat-muncratnya darah segar dari kepala yang hancur langsung terdengar, begitu kepala Raksakipu berbenturan dengan lantai.
Maka tanpa sempat menjerit lagi, tubuh Raksakipu terkulai.
Saat itu juga nyawanya telah melayang meninggalkan raga.
Ganda Anatrang dan Juragan Donggala memandang Gandula dengan sorot mata ngeri.
Kedua orang itu tahu, Gandula akan bisa melenyapkan mereka secara mudah dengan ilmunya yang mengerikan.
"Hmrrrhhh...! Kalian berdua tidak akan kubunuh,"
Kata Gandula.
"Karena aku membutuhkan bantuan kalian untuk mencari Eyang Bantara. Hmrrrhhh...!"
Ganda Anabrang dan Juragan Donggala saling pandang.
"Hmrrrhhh! Jangan harap bisa menipuku, Manusia! Aku tidak sebodoh yang kalian kira! Hmrrrhhh...! Kemari kalian!"
Kembali Ganda Anabrang dan Juragan Donggala saling pandang.
Dari adu pandang yang sekilas itu, keduanya memutuskan untuk mematuhi perintah Gandula.
Mereka memutuskan untuk berpura-pura takluk, sambil mencari jalan untuk melenyapkan Gandula.
Ganda Anabrang tahu kalau Juragan Donggala tidak akan mau disuruh melangkah lebih dulu.
Oleh karena itu, Kepala Desa Maja itu melangkah maju.
Sedangkan Juragan Donggala mengikuti di belakangnya.
"Hmrrrhhh! Kau yang bernama Ganda Anabrang?"
Tanya Gandula ketika Kepala Desa Maja itu telah barjarak setengah tombak darinya. Ganda Anabrang menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang memang sudah kering sejak tadi. Baru kemudian kepalanya dianggukkan.
"Benar, aku Ganda Anabrang,"
Sahut Kepala Desa Maja itu.
"Kau Kepala Desa Maja?"
Tanya Gandula lagi disertai geraman. Kembali Ganda Anabrang menganggukkan kepala.
"Cepat tunjukkan padaku orang yang bernama Eyang Bantara! Hmrrrhhh...! Kalau tidak, kau akan bernasib seperti kedua orang kawanmu itu!"
Ancam Gandula. Ganda Anabrang membasahi bibirnya yang kering dengan lidahnya.
"Sudah kukatakan, aku tidak kenal orang yang kau maksudkan,"
Terdengar lesu ucapan Ganda Anabrang. Dia tahu, nasibnya tak akan jauh berbeda dengan Saraji dan Raksakipu.
"Hmrrrhhh...!"
Gandula menggeram.
Sepasang matanya bernyala-nyala ketika menatap ke arah wajah Kepala Desa Maja itu.
Beberapa saat lamanya, pandangannya terpaku di sana.
Baru kemudian, pandangannya dialihkan ke arah Juragan Donggala yang berdiri di belakang Ganda Anabrang.
"Bagaimana denganmu? Apakah bisa memberi tahu padaku tempat tinggal Eyang Bantara?"
Juragan Donggala yang sejak tadi sudah merasa gentar bukan kepalang, sama sekali tidak mampu mengeluarkan suara, karena saklng takutnya.
Kedua kakinya tampak menggigil keras menandakan besarnya perasaan takut yang melanda.
Dia hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala pertanda tidak tahu.
"Hmrrrhhh...!"
Gandula kembali menggeram. Sepasang matanya menatap wajah Ganda Anabrang dan Juragan Donggala berganti-ganti.
"Kalian jangan coba-coba menipuku. Eyang Bantara tinggal dan berasal dari Desa Maja. Bukankah ini Desa Maja?"
Ganda Anabrang kembali menelan ludah. Ini memang Desa Maja. Tapi, tidak ada seorang pun di sini yang bernama Eyang Bantara...."
"Hmrrrhhh...!"
Gandula menggerung keras.
"Mampuslah kalian!"
Usai berkata demikian, makhluk berkepala botak itu menggerakkan tangannya.
Untuk yang kesekian kalinya peristiwa yang mengerikan kembali terjadi.
Tubuh Ganda Anabrang dan Juragan Donggala mendadak terangkat naik ke atas.
Betapapun berusaha turun dengan memberatkan tubuh, tetap saja mereka tidak mampu mencegah terangkatnya tubuh mereka.
Ganda Anabrang dan Juragan Donggala tahu kalau usaha mereka gagal.
Yang kini dapat dilakukan hanya saling pandang dengan wajah pucat pasi dan sepasang mata menyiratkan kengerian yang menggelegak.
Rasanya tak sanggup dua orang sesepuh Desa Maja ini membayangkan kejadian yang akan menimpa.
Kematian Saraji dan Raksakipu telah membuat sebagian besar nyali mereka melayang entah ke mana.
Perlahan namun pasti, tubuh Ganda Anabrang dan Juragan Donggala semakin tinggi terangkat.
Dan ketika jarak kedua kaki telah satu tombak dari lantai, kekuatan aneh yang mengangkat mereka terhenti.
Dan begitu tubuh mereka mulai rebah, lalu bagai disentakkan kekuatan raksasa, tubuh Ganda Anabrang dan Juragan Donggala saling meluncur cepat hingga bertumbukan.
Maka, sudah bisa diperkirakan kejadian yang terjadi.
Prakkk...! Suara berderak keras terdengar ketika kedua batok kepala itu berbenturan keras bukan kepalang.
Seketika itu juga, kepala kedua Sesepuh Desa Maja itu hancur berantakan.
Darah bercampur otak kontan muncrat-muncrat dari kepala yang pecah.
Brukkk! Tubuh Ganda Anabrang dan Juragan Donggala jatuh berdebuk di tanah, diam tidak bergerak lagi untuk selamanya.
Karena pada saat tubuh masih di udara dan tengah melayang jauh, nyawa mereka pun melawat ke alam baka.
Mendadak Gandula membalikkan tubuhnya.
Pan-dangan matanya menyorot tajam keluar.
Dan sekali tangannya ditudingkan, dari luar berlari-lari sesosok tubuh ke arahnya.
Larinya benar-benar lucu.
Sambil berlari, dia terhuyung-huyung ke depan.
Bahkan beberapa kali hampir jatuh.
Tapi, terus saja kedua kakinya melangkah cepat ke depan.
Bisa diketahui kalau pemilik sosok tubuh itu tidak berlari secara wajar.
Ada sebuah kekuatan aneh yang membawa tubuhnya ke arah Gandula.
Dan kekuatan itu berasal dari keinginan makhluk berkepala botak itu.
Brukkk...! Tepat di bawah kaki Gandula, pemilik sosok tubuh itu jatuh berdebuk di lantai.
"Hmrrrhhh...!"
Kembali Gandula menggeram.
Sepasang matanya yang memancarkan hawa maut menyorot ke arah sekujur tubuh milik sosok tubuh yang ternyata seorang pemuda.
Usianya sekitar dua puluh lima tahun.
Wajahnya cukup tampan.
Apalagi, tubuhnya yang cukup kekar itu terbungkus pakaian indah.
"Jangan bunuh aku...,"
Ratap pemuda berpakaian indah itu. Suara pemuda itu terdengar bergetar. Jelas, hatinya dilanda perasaan takut. Wajahnya pun pucat pasi, ketika menengadah untuk memandang Gandula yang berdiri tegak di hadapannya.
"Hmrrrhhh...!"
Gandula menggeram memperlihatkan gigi-giginya yang runcing dan tajam.
"Aku akan membantumu untuk menemukan orang yang kau cari,"
Kata pemuda berpakaian indah itu lagi! Masih gemetar dan bergetar suaranya.
"Kau tahu orang yang kucari?"
"Eyang Bantara, kan?"
Duga pemuda berpakaian indah.
"Benar."
"Tentu saja benar, karena aku melihat dan mendengar semua kejadian di tempat ini,"
Jawab pemuda itu, tapi hanya dalam benaknya saja. Dan karena melihat kejadian itulah, sehingga pemuda berpakaian indah menawarkan bantuannya. Tentu saja tidak keluar dari hati yang tulus, melainkan karena keinginan untuk mencari keuntungan.
"Namaku Caraka,"
Sebut pemuda berpakaian indah itu memperkenalkan diri. Gandula sama sekali tidak mengatakan apa pun, kecuali sebuah geraman keras yang membuat bulu kuduk merinding.
"Aku memang tidak mengetahui, di mana Eyang Bantara. Tapi aku bisa mengantarkanmu pada orang yang mengetahui tempatnya. Bagaimana?"
Tanya Caraka.
Dia berusaha bersikap tenang, walaupun sebenarnya amat cemas.
Gandula menatap Caraka lekat-lekat sambil meng-geram.
Sepertinya, tawaran yang diajukan Caraka tengah dipikirkan.
Sedangkan Caraka hanya bisa menduga kalau Gandula tengah dilanda kebimbangan.
Maka siasat terakhirnya segera dilancarkan.
"Daripada melakukan pencarian sendiri dengan hasil tidak memuaskan, lebih baik kau menerima bantuanku. Bagaimana?"
Rupanya ucapan Caraka termakan juga oleh Gandula. Terbukti, kepala makhluk dari dunia asing itu terangguk pelan.
"Kalau begitu, kita harus bergegas,"
Ajak Caraka, seraya bangkit berdiri.
Kali ini, tidak ada lagi geram kemarahan yang keluar dari mulut Gandula.
Maka, Caraka pun semakin berani melangkah menuju keluar sambil mengeluarkan ajakan.
Maka tanpa banyak membantah lagi, Gandula segera mengekor di belakang Caraka.
Di luar pengetahuan Gandula, Caraka mengerling ke arah mayat Juragan Donggala.
Memang, laki-laki kaya raya itu adalah pamannya.
Tapi sedikit pun tidak ada rasa sedih dalam wajahnya.
Karena, Caraka memang tidak menyukai pamannya.
Malam telah datang menjelang.
Kegelapan pun mulai menyelimuti mayapada.
Tapi, suasana malam Ini berbeda dengan sebelumnya.
Tidak terdengar adanya kukuk burung hantu, kepak kelelawar, kerik jangkrik, atau nyanyian binatang malam lain.
Suasana terasa hening, sepi, dan seperti mati! Suasana seperti itu sebenarnya sudah cukup menyeramkan hati.
Tapi yang lebih menggetarkan hati lagi, adalah keadaan alam di malam ini! Langit tampak merah membara seperti terbakar.
Tidak tampak adanya awan, bulan, ataupun bintang di angkasa raya.
Seluruh penjuru langit tampak berwarna merah, sungguh beda dan bertentangan dengan biasanya.
Karuan saja peristiwa yang aneh itu membuat orang-orang yang menyaksikan jadi kaget bercampur ngeri.
Para penduduk yang tidak mengerti ilmu silat, buru-buru masuk ke dalam rumah, seraya menutup pintu dan jendela rapat-rapat.
Mereka semua yakin, kalau keadaan alam demikian adalah pertanda akan terjadinya sesuatu yang mengerikan.
Berbeda dengan para penduduk desa, orang-orang yang merasa memiliki ilmu bela diri, paling tidak suka bersembunyi.
Hal seperti ini dilakukan semua anggota Perguruan Ayam Emas.
Dari sang Ketua, sampai murid-murid yang terendah, semuanya berdiri di halaman perguruan dengan kepala menengadah menatap langit "Apa yang terjadi sebenarnya, Guru?"
Tanya seorang laki-laki berambut dikuncir. Tubuh laki-laki itu tegap dan kekar, dan terbungkus pakaian berwarna putih. Di bagian dada kirinya tampak tersulam gambar kepala seekor ayam jantan dari benang emas.
"Aku juga tidak mengerti, Lintar,"
Jawab orang yang dipanggil guru. Dia adalah seorang kakek tinggi kurus, berjenggot putih panjang mirip kambing. Dialah Ketua Perguruan Ayam Emas. Ki Tarung namanya.
"Tapi yang jelas, sesuatu yang hebat pasti akan terjadi,"
Sambung Ki Tarung. Pemuda yang ternyata bernama Lontar mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kemarin siang aku menjumpai hal yang aneh pula. Guru,"
Lapor seorang murid Perguruan Ayam Emas yang berhidung besar.
"Hm...!"
Ki Tarung menghela napas berat.
"Katakanlah, kejadian apa yang kau anggap aneh itu. Samba."
Murid berhidung besar yang ternyata bernama Samba itu membasahi tenggorokannya yang mendadak kering.
"Kemarin siang, sewaktu melewati Desa Maja, aku menjumpai hal yang aneh, Guru."
Kemudian Samba menceritakan kejadian aneh yang dijumpainya.
"Begitulah, Guru."
Tutur Samba menyelesaikan ceritanya.
Suasana kontan hening ketika Samba menghentikan ucapannya.
Semua orang yang berada di situ tercenung dengan sepasang mata menatap tajam pada satu titik.
Jelas, mereka semua tengah hanyut dalam akan pikiran masing-masing.
Ki Tarung mengelus-elus jenggotnya.
"Kini masalahnya mulai jelas...,"
Gumam Ketua Perguruan Ayam Emas.
Menilik dari ucapannya yang pelan, seperrinya Ki Tarung tengah berbicara untuk diri sendiri.
Tapi tak urung, semua murid Perguruan Ayam Emas menoleh ke arahnya.
Memang, mereka semua juga mendengar ucapan itu, dan ingin mengetahui kesimpulan yang telah didapat guru mereka.
Ki Tarung menyadari, pandangan murid-muridnya itu jelas penuh pertanyaan.
"Kurasa, kejadian di Desa Maja adalah merupakan awal kejadian malam ini,"
Lanjut Ketua Perguruan Ayam Emas, tetap dengan suara pelan.
"Kejadian apa, Guru?"
Selak Samba tidak sabar.
"Sabarlah, Samba,"
Sergah Lintar seraya menatap Samba dengan sorot mata penuh teguran.
"Biarkan guru menyelesaikan ucapannya dulu."
"Maafkan aku, Kang,"
Ucap Samba pelan sambil menundukkan kepala.
Lintar, murid utama Perguruan Ayam Emas, menganggukkan kepala.
Sementara, Ki Tarung membiarkan saja keributan kecil itu.
Benaknya tengah disibuki kejadian aneh itu.
Dan dia tidak ingin menambah keruwetannya dengan memikirkan hal lainnya.
"Apa yang kau katakan itu benar, Tarung."
Hampir berbareng, Ki Tarung dan murid-muridnya menolehkan kepala ke arah asal suara.
Tampak tahu-tahu saja tidak jauh dari situ sudah berdiri seorang kakek bertubuh tinggi besar.
Cambang bauk berwarna hitam dan lebat tampak menghias wajahnya.
Pakaian dalamnya berwarna merah menyala, terbungkus jubah berwarna hitam kelam.
"Ah! Kiranya Pandanaran...,"
Sebut Ki Tarung.
"Apa maksud ucapanmu tadi, Pandanaran?"
Kakek tinggi besar yang ternyata Eyang Pandanaran tidak langsung menjawab. Kakinya terus melangkah menghampiri.
"Dugaan yang kau kemukakan itu benar, Tarung,"
Tegas Eyang Pandaranan. Memang dia adalah kawan akrab Ki Tarung. Seorang ahli pengobatan, sekaligus memiliki banyak kemampuan ajaib. Eyang Pandanaran tidak ubahnya dukun.
"Maksudmu..., semua keanehan alam ini berasal dari Desa Maja?"
Tanya Ki Tarung menegaskan.
"Benar,"
Eyang Pandanaran menganggukkan kepala.
"Ada hal luar biasa yang terjadi di mayapada ini, sehingga memaksaku keluar dari tempat tinggalku yang menyenangkan."
"Ah...!"
Seru Ki Tarung kaget.
Ki Tarung baru teringat kalau Eyang Pandanaran tinggal agak jauh dari markas Perguruan Ayam Emas.
Tambahan lagi, kakek tinggi besar itu sudah tidak berkeinginan lagi untuk terjun ke dunia ramai.
Keberadaannya di sini, jelas menjadi pertanda adanya urusan yang amat besar.
Sehingga, dia harus keluar dari tempat tinggalnya."
"Bisa kau ceritakan secara lebih jelas, Pandanaran?"
Pinta Ki Tarung.
"Hhh...!"
Eyang Pandanaran menghela napas berat. Sementara, Ki Tarung dan murid-muridnya menunggu-nunggu keluarnya ucapan dari mulut kakek tinggi besar itu.
"Kalau menuruti perasaan, lebih baik aku tidak menceritakannya. Paling tidak, agar kalian tidak ikut menjadi ngeri karenanya...,"
Pelan dan satu-satu ucapan yang keluar dari mulut Eyang Pandanaran.
"Aku tidak setuju dengan pendapatmu, Pandanaran,"
Kata Ki Tarung.
"Kalau menurutku, lebih baik kau katakan apa sebenarnya yang tengah terjadi. Dengan begitu kita akan siap menghadapinya "
Eyang Pandanaran menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat, sebelum memutuskan untuk memulai ceritanya.
"Sejak sekitar seminggu yang lalu..,, aku selalu merasa gelisah tanpa sebab. Perasaan hatiku selalu waswas...,"
Eyang Pandanaran memulai ceritanya dengan suara kering dan getir. Sedangkan Ki Tarung dan murid-muridnya menunggu dengan sabar. Mereka tidak ingin menyelak cerita, sekalipun Eyang Pandanaran menghentikannya beberapa saat.
"Dengan kemampuan yang kumiliki, aku mencoba mencari sebab kegelisahanku. Tapi, hasilnya malah membuat kegelisahanku bertambah. Peralatan yang kupakai untuk mencari penyebab kegelisahanku malah porak-poranda tak tentu arah ketika aku tengah menggunakannya. Karuan saja hal ini membuatku kaget, karena kejadian seperti ini belum pernah kualami."
Eyang Pandanaran menghentikan ceritanya sejenak.
Diperhatikannya satu persatu wajah-wajah yang berada di sekelilingnya.
Wajah-wajah yang tampak penuh rasa ingin tahu, terkecuali wajah Ki Tarung.
Wajah Ketua Perguruan Ayam Emas itu tampak tegang di samping rasa ingin tahu yang membayang.
Memang, Ki Tarung merasa tegang bukan kepalang.
Dia kenal berul, siapa Eyang Pandanaran itu.
Dia adalah seorang yang memiliki berbagai kepandaian gaib.
Bahkan dapat menyembuhkan atau membunuh orang sekalipun dari jarak jauh.
Dia dapat mengetahui keberadan seseorang, hanya dengan melihat pada telapak tangannya.
Kenyataan kalau Eyang Pandanaran merasa gelisah dan tidak mampu menemukan penyebabnya, bahkan peralatannya juga porak-poranda, telah membuktikan kalau ancaman yang datang bukan main-main.
"Meskipun hasil yang kuperoleh mengejutkan, tapi tidak membuatku kapok dan putus asa. Apalagi ketika kusadari rasa gelisah tanpa sebab yang melanda hatiku makin lama semakin membesar,"
Lanjut Eyang Pandanaran.
"Aku terus mencoba mengetahuinya. Dan anehnya, kejadian yang menimpa peralatanku semakin menjadi-jadi. Semula, aku masih belum paham. Tapi ketika dua hari yang lalu kembali kucoba, peralatanku hancur berantakan semua. Bahkan aku sendiri terlempar jauh ke belakang."
"Jadi, sekarang kau telah paham?"
Selak Ki Tarung dengan suara kering.
"Yahhh...!"
Jawab Eyang Pandanaran, mendesah.
"Saat semua peralatanku hancur dan aku terjengkang jatuh pingsan, berarti sesuatu yang menggelisahkan hatiku telah datang"
"Lalu..., apakah yang menyebabkanmu gelisah tanpa sebab itu, Pandanaran?"
Tanya Ki Tarung lagi.
"Bahaya yang akan muncul itu, Tarung."
"Sebenarnya..., apa bahaya itu, Pandanaran?"
"Makhluk alam gaib yang keluar dari dunianya, dan memasuki dunia kita,"
Jawab kakek tinggi besar itu pelan.
"Maksudmu..., siluman?!"
Tanya Ketua Perguruan Ayam Emas minta penegasan, dengan suara tercekat di tenggorokan.
"Kira-kira begitu, Tarung."
"Dari mana kau bisa mengetahuinya, Pandanaran?"
Ki Tarung membasahi tenggorokannya yang mendadak kering.
"Dari tanda-tanda yang ada pada alam,"
Ja Eyang Pandanaran, lemah.
"Kau tahu, setiap akan ada peristiwa aneh, alam akan menunjukkan tanda-tanda. Tentu saja itu akan kau ketahui bila kau mempelajari ilmu-ilmu gaib. Angin yang berhembus, bila kau mempelajari ilmu gaib dapat diketahui, apakah itu angin sewajarnya, atau angin yang timbul dari berlalunya makhluk gaib."
Ki Tarung sama sekali tidak menanggapinya. Dia tahu, dalam hal ilmu gaib Eyang Pandanaran adalah ahlinya. Dia sendiri tidak tahu apa-apa. *** "Kita kembali ke pokok persoalan, Tarung,"
Kata Eyang Pandanaran memecah keheningan yang tercipta ketika tidak ada yang menanggapinya ketika ucapannya telah selesai.
"Kau benar, Pandanaran,"
Sahut Ki Tarung, lesu.
"Memang, sejak tadi aku pun tengah menunggu-nunggu alasanmu, untuk membenarkan dugaanku yang mengatakan kalau awal semua kejadian ini adalah Desa Maja."
"Dugaanmu itu memang tidak salah, Tarung. Desa Maja adalah tempat kedatangan makhluk alam gaib yang belum kuketahui jenisnya. Jin, Siluman, Kuntilanak, atau dedemit. Tapi sekarang, kemungkinan besar tidak hanya Desa Maja yang akan menjadi sasaran. Tapi seluruh desa."
"Lalu..., apa yang harus kita lakukan, Pandanaran?"
Tanya Ki Tarung, bingung.
"Mencari penjelasan, mengapa makhluk alam gaib itu memasuki alam kita,"
Jawab Eyang Pandanaran kalem.
"Aku yakin, makhluk itu tidak hanya sekadar melancong. Tapi, ada sesuatu yang tengah dicarinya...."
Mendadak Eyang Pandanaran menghentikan ucapannya. Kepalanya ditolehkan ke arah belakangnya. Bahkan sikapnya telihat gelisah sekali.
"Ada apa, Pandanaran?"
Tanya Ki Tarung, heran melihat kelakuan rekannya.
"Aku merasakan keberadaan makhluk itu,"
Jawab Eyang Pandanaran. Karuan saja ucapan itu membuat semua orang yang berada di situ terkejut bukan kepalang. Tak terkecuali Ki Tarung. Hanya saja, Ketua Perguruan Ayam Fmas ini mampu menyembunyikannya sehingga tidak tampak pada wajahnya.
"Dari mana kau tahu, Pandanaran?"
Tanya Ki Tarung, setengah tak percaya. Eyang Pandanaran menatap wajah sahabatnya lekat-lekat.
"Sukar diutarakan dengan kata-kata, Tarung. Yang jelas, aku bisa mengetahuinya. Ah! Celaka! Makhluk itu sepertinya tengah menuju kemari. Keberadaannya semakin jelas tertangkap olehku. Ini berarti, dia tengah mendekati tempat ini!"
Bagaikan kumpulan semut-semut dilemparkan api kerumunan murid murid Perguruan Ayam Emas itupun membuyar.
Ketegangan yang hebat tampak jelas di wajah-wajah mereka.
Memang, sudah sejak tadi mereka merasa gentar dan ngeri begitu mendengar keterangan tentang kedatangan makhluk dari alam gaib itu.
Dapat dibayangkan, betapa besar kengerian yang melanda ketika Eyang Pandanaran mengatakan makhluk alam gaib itu tengah menuju kemari.
"Bersiap-siaplah kalian! Kurasakan kehadiran makhluk dari alam gaib itu semakin nyata. Tidak salah lagi, dia pasti menuju kemari!"
Walaupun masih merasa ragu, tapi melihat sikap Eyang Pandanaran yang terlihat bersungguh-sungguh, Ki Tarung jadi terpengaruh juga.
Apalagi ketika melihat ketegangan yang membayang jelas pada raut wajah kakek tinggi besar itu.
Maka, dia semakin percaya saja.
Oleh karena itu, Ki Tarung segera mengedarkan pandangan ke arah wajah murid-muridnya.
"Kalian semua harus bersikap waspada. Mungkin ucapan sahabatku ini benar. Tidak ada salahnya bila kita terjaga-jaga,"
Ujar Ketua Perguruan Ayam Emas itu.
Baru saja ucapan Ki Tarung selesai, mendadak...
Brakkk...! Daun pintu gerbang Perguruan Ayam Emas hancur berantakan.
Dan dari balik serpihan kayu tebal, nampak berdiri dua sosok tubuh yang tak lain adalah Caraka dan Gandula.
Karuan saja suara ribut-ribut itu membuat semua yang ada di situ terjingkat kaget.
Memang, mereka semua tengah dilanda ketegangan.
Jadi tak heran suara ribut yang mendadak itu membuat mereka terlonjak kaget.
Wajah-wajah mereka tampak sudah berubah pucat.
Ki Tarung dan Eyang Pandanaran pun dilanda pe-rasaan yang sama.
Hanya saja, kedua kakek yang telah kenyang makam garam dunia persilatan itu tidak menampakkan keterkejutannya.
Baik dalam sikap maupun raut wajah.
Hanya ada sentakan kuat dalam dada karena keterkejutan yang melanda.
Puluhan pasang mata milik murid Perguruan Ayam Emas, Ki Tarung, dan Eyang Pandanaran, menatap hampir tak berkedip ke arah pintu gerbang.
Meskipun ada dua sosok tubuh di sana, tapi yang menjadi perhatian mereka hanya Gandula! Sedangkan Caraka tidak diperhatikan sama sekali! Memang, mereka mengenal orang yang bernama Caraka itu! "Itukah makhluk alam gaib yang kau maksudkan, Pandanaran?"
Tanya Ki Tarung.
Pelan suaranya, dan lebih mirip bisikan.
Eyang Pandanaran menganggukkan kepala.
Perasaan terkejut melihat kedatangan makhluk alam gaib yang demikian cepat, membuatnya tidak mampu berbicara untuk beberapa saat lamanya.
Lidahnya benar-benar terasa kelu! Sementara itu, Gandula langsung mengedarkan pandangan berkeliling.
Diperhatikannya satu persatu sosok-sosok tubuh yang ada di hadapannya, seakan-akan ingin mencari mana orang yang patut menjadi ayahnya.
"Mana di antara mereka yang bernama Eyang Bantara?"
Tanya Gandula keras seraya menolehkan kepala ke arah Caraka.
"Tidak ada,"
Sahut Caraka.
"Hmrrrhhh...!"
Geram Gandula keras.
"Berani kau mempermainkan Gandula?"
Kemarahan Gandula menyadarkan Caraka akan kesalahan sikapnya. Buru-buru kedua tangannya dijulurkan ke depan dan digoyang-goyangkannya.
"Sabar dulu, Gandula. Mereka memang bukan Eyang Bantara. Tapi, mereka tahu tempat persembunyiannya,"
Kata Caraka memulai tindakan liciknya. Ucapan itu membuat Gandula mengurungkan maksudnya. Dengan sendirinya, Caraka pun selamat dari maut. Sehingga, pemuda berpakaian mewah itu bisa menghembuskan napas lega dalam hati.
"Cepat kau tanyakan pada mereka, Gandula. Kalau mereka tidak mau memberitahukannya, paksa sampai mengaku!"
Gandula melangkah maju beberapa tindak.
Sepasang matanya beredar mengawasi sekilas wajah-wajah yang berada di hadapannya.
Dan dalam waktu sesingkat itu, dia tahu kalau di antara sekian banyak orang yang ada di situ hanya Ki Tarung dan Eyang Pandanaranlah yang merupakan tokoh penting.
"Hmrrrhhh...!"
Gandula menggeram keras.
Tanpa sadar, murid-murid Perguruan Ayam Emas melangkah mundur.
Hanya Ki Tarung dan Eyang Pandanaran yang tidak bergeming dari tempatnya.
Meskipun demikian, tak urung raut wajah keduanya menampakkan ketegangan.
Memang, sekalipun belum terlihat adanya tindak-tanduk yang mencurigakan, Ki Tarung dan Eyang Pandanaran sudah bersiap siaga untuk menghadapi segala kemungkinan.
Bahkan yang terburuk sekalipun! Malah urat-urat syaraf dan otot-otot mereka sudah menegang waspada.
"Cepat kalian tunjukkan padaku, di mana Eyang Bantara!"
Kata Gandula keras disertai geramannya. Ki Tarung dan Eyang Pandanaran saling pandang. Dalam adu pandang yang hanya sebentar itu, mereka maklum kalau masing-masing pihak tidak mengetahui jawabannya.
"Sayang sekali, Kisanak. Kami tidak mengenal orang yang kau maksud. Sungguh kami belum pemah mengenal orang yang bernama Eyang Bantara,"
Jawab Ki Tarung mewakili Eyang Pandanaran.
Hati-hati sekali Ketua Perguruan Ayam Emas ini mengucapkannya.
Di dalam hati, Ki Tarung menerima kebenaran ucapan Eyang Pandanaran.
Memang, ada sesuatu yang tengah dicari makhluk asing itu.
Dan yang dicarinya adalah Eyang Bantara.
Hanya saja yang masih membuat Ketua Perguruan Ayam Emas ini tidak habis mengerti adalah, hubungan antara Caraka dengan Gandula! Bagaimana Caraka bisa datang bersama-sama makhluk alam gaib itu.
Ki Tarung tahu betul, siapa Caraka itu.
"Mampuslah kau...!"
Bentak Gandula keras setelah dldahului geraman keras.
Berbareng keluarnya bentakan itu, Gandula menudingkan telunjuknya ke tanah.
Maka karuan saja semua orang yang berada di situ merasa heran.
Hanya Eyang Pandanaran saja yang tidak.
Dan memang, kekhawatiran kakek ahli ilmu gaib itu beralasan.
Tampak tubuh Ki Tarung tertekan ke bawah secara cepat.
Ki Tarung seakan-akan ingin memecahkan kepalanya dengan cara membenturkannya ke tanah.
"Guru...!"
Hampir berbareng, seluruh murid Perguruan Ayam Emas menjerit keras.
Mereka merasa keget dan heran bukan kepalang melihat tindakan guru mereka.
Memang, keanehan itu belum mereka sadari.
Tapi, tidak demikian halnya dengan Eyang Pan-danaran.
Sebagai orang yang telah berkecimpung dalam ilmu-ilmu gaib, langsung disadari kalau adanya keanehan dalam ucapan dan gerak tangan Gandula.
Eyang Pandanaran merasakan ada kekuatan dahsyat yang tidak tampak dalam suara dan gerak tangan makhluk aneh itu.
Oleh karena itu, sebelum kepala Ki Tarung sempat membentur lantai, Eyang Pandanaran bertindak cepat.
Mulutnya secepat kilat berkomat-kamit membaca sesuatu yang tidak jelas bunyinya.
Kemudian, kedua kakinya dihentakkan ke tanah.
Dan....
"Tarung...! Tahan...!"
Teriak kakek tinggi besar itu.
Tidak percuma usaha yang dilakukan Eyang Pan-danaran.
Ki Tarung berhasil memunahkan pengaruh gaib yang membuat kepalanya hampir dibenturkan ke tanah.
Ketua Perguruan Ayam Emas ini segera menghentak kepalanya ke belakang sambil berteriak nyaring menggetarkan.
Nyawa Ki Tarung pun lolos dari bahaya maut.
Dan tentu saja, ini semua karena bantuan Eyang Pandanaran.
Tanpa bantuannya Ki Tarung pasti sudah tewas.
Walaupun tentu saja bila Ki Tarung pun tidak berusaha melawan pengaruh aneh itu, usaha Eyang Pandanaran akan sia-sia.
Dengan kata lain, Ki Tarung berhasil lolos dari maut karena usaha bersama.
"Hmrrrhhh...!"
Gandula menggeram keras melihat calon korbannya berhasil meloloskan diri.
Kini, kedua telunjuknya sama-sama digerakkan.
Yang kanan digerakkan ke kiri dan yang kiri bergerak ke kanan.
Akibanya, kedua jari telunjuk itu seperti akan berbenturan di depan dada.
Ki Tarung dan Eyang Pandanaran sudah bersiap sedia.
Mereka pun berusaha mempertahankan diri dari pengaruh serangan Gandula dengan cara masing-masing.
Eyang Pandanaran segera menghentakkan kedua kakinya di tanah.
Itu dilakukan setelah terlebih dahulu mengucapkan kalimat-kalimat yang tidak jelas.
Sedangkan Ki Tarung mempertahankan diri dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya ke kaki.
Sehingga, tubuh Ketua Perguruan Ayam Emas ini seperti bersatu dengan tanah.
Tapi, usaha kedua orang kakek sakti itu sama sekali tidak membawa hasil seperti yang diharapkan.
Memang, pengaruh ilmu Gandula terlalu kuat.
Dan ini terbukti dengan melayangnya tubuh Ki Tarung dan Eyang Pandanaran, mengikuti arah telunjuk tangan Gandula.
Hanya saja melayangnya tubuh kedua orang itu tidak berbarengan.
Tubuh Ki Tarung melayang lebih dulu, baru kemudian tubuh Eyang Pandanaran.
Dari sini bisa dibuktikan kalau perlawanan kakek ilmu gaib itu lebih kuat.
Prokkk! Suara berderak keras terdengar ketika kepala Eyang Pandanaran dan Ki Tarung berbenturan.
Darah bercampur otak kontan berhamburan dari kepala yang pecah.
Seketika itu juga, nyawa kedua kakek melayang meninggalkan raga.
Karuan saja hal itu membuat murid-murid Perguruan Ayam Emas marah bukan kepalang, di samping perasaan kaget yang mendera.
Maka, tanpa mempedulikan keselamatan diri, mereka meluruk menerjang Gandula dengan senjata terhunus.
Gandula hanya menggeram.
Kembali kedua ta-ngannya bergerak.
Dan sesaat kemudian, jerit-jerit kematian terdengar saling susul.
Serbuan murid-murid Perguruan Ayam Emas itu tak ubahnya sekumpulan semut menyerang api.
Mereka semuanya roboh sebelum berhasil mendekati tubuh Gandula.
Caraka tersenyum gembira melihat tewasnya murid-murid Perguruan Ayam Emas.
Sungguh tidak pernah diimpikannya sehingga bisa membalas sakit hatinya.
"Aaakh...!"
Dua jeritan terakhir, menjadi akhir dari serbuan murid-murid Perguruan Ayam Emas. Caraka melangkah menghampiri Gandula yang berdiri memandangi sosok mayat yang berada di sekelilingnya.
"Mereka memang orang-orang keras kepala,"
Kata Caraka, bernada menghibur.
"Mereka lebih suka mati daripada memberitahukan tempat persembunyian Eyang Bantara. Tapi jangan khawatir, Gandula masih ada orang yang mengetahui tempat tinggal Eyang Bantara, si Jari Maut. Mari ikut aku...!"
Usai berkata demikian, Caraka lalu meninggalkan tempat itu.
Mau tak mau, Gandula pun melangkah mengikuti.
Kini hanya keheningan yang menyelimuti Perguruan Ayam Emas.
Tidak ada lagi jerit kesakitan atau teriakan bemada kemarahan.
Semuanya telah lenyap terbawa angin.
Sang surya sudah sejak tadi menampakkan diri.
Cahayanya yang lembut menerangi persada.
Bias-bias sinarnya menembus hutan, melalui celah-celah daun.
Sehingga membentuk jalan-jalan sinar yang terlihat indah dipandang mata.
Kicau burung dan teriakan penghuni hutan lainnya menyemaraki suasana pagi yang hampir beranjak siang.
Di saat seperti itulah tampak seorang gadis cantik melangkah melewati deretan pepohonan.
Gadis itu berpakaian biru, membungkus kulitnya putih halus dan mulus.
Apalagi, rambutnya yang berwarna hitam mengkilat itu dikepang.
Sehingga semakin menambah kecantikannya.
Melihat dari keadaannya, usia gadis itu tak akan lebih dari dua puluh tiga tahun.
Gadis itu melangkah hati-hati, menyusuri jalan di tengah hutan.
Sepasang matanya beredar mengawasi sekeliling.
Jelas, ada sesuatu yang tengah dicarinya.
Dan menilik sebatang anak panah yang siap meluncur di busurnya, bisa diketahui sesuatu yang tengah dicarinya adalah binatang buruan! Mendadak kepala gadis berpakaian biru itu menoleh ke samping ketika mendengar adanya suara berkeresekan pelan.
Gerakannya terlihat sigap pertanda bukan gadis kebanyakan.
Begitu matanya menangkap bayangan seekor binatang, busurnya segera dijepretkan.
Twanggg...! Anak panah itu meluncur cepat ke arah binatang yang ternyata seekor kijang.
Cepat bukan main luncurannya.
Tapi, masih lebih cepat lagi gerakan kijang itu.
Begitu melihat adanya bahaya mengancam, kijang itu segera melesat kabur.
Dan...
Tappp! Anak panah itu langsung menancap di batang sebuah pohon besar hingga setengahnya lebih.
"Brengsek!"
Gadis berpakaian biru memaki, karena bidikannya tidak mengenai sasaran.
Meskipun begitu, dia tidak putus asa dan langsung berlari mengejar.
Gadis itu membuktikan kalau dirinya bukan gadis lemah.
Larinya cepat sekali.
Bahkan kedua kakinya hampir tidak menapak tanah ketika berlari mengejar binatang buruannya.
Si kijang tahu kalau orang yang akan mencelakainya mengejar.
Maka, larinya pun semakin dipercepat.
Melihat hal ini, gadis berpakaian biru itu segera menambah kecepatan larinya.
Beberapa saat kemudian, mulai terlihat kijang itu memang memiliki kemampuan lari yang cepat.
Apalagi saat itu tengah kalap, karena ada bahaya besar mengancam.
Betapapun gadis itu mengerahkan seluruh kemampuannya, tapi tetap saja tidak mampu menandinginya.
Perlahan-lahan jarak antara dua makhluk itu semakin menjauh.
Dengan napas terengah-engah, gadis itu menatap sosok tubuh binatang buruannya yang semakin lama semakin menjauh, dan akhirnya lenyap di kerimbunan pepohonan lebat.
"Brengsek!"
Untuk yang kedua kalinya makian itu keluar mulut mungil berbentuk indah itu.
Kemudian, dihapusnya peluh yang membasahi selebar wajah dan lehernya dengan saputangan.
Baru setelah itu, kakinya melangkah menghampiri sebatang pohon besar di dekatnya dan berdiri bersandar di situ.
Di samping untuk meredakan deru napasnya, juga untuk menghilangkan rasa kesal yang melanda.
Mendadak...
"Ssshhh...!"
Desisan tajam yang berasal dari atas kepalanya membuat gadis berpakaian biru itu terkejut bukan kepalang.
Secepat kilat, kepalanya menengadah.
Maka kontan sepasang matanya terbelalak ketika melihat kepala seekor ular besar yang mulutnya telah terbuka meluncur cepat ke arah kepalanya.
Menilik dari besarnya mulut ular itu, bisa dipastikan gadis berpakaian biru itu bisa masuk ke dalam mulut ular itu dalam sekali caplok.
Tentu saja gadis itu tidak ingin kepalanya tertelan mulut ular itu.
Maka walaupun sepasang matanya terbelalak lebar karena takut, disertai jerit kekagetan, dia masih sanggup melakukan lompatan harimau.
Maka dengan mempergunakan kedua telapak tangannya sebagai tempat bertumpu, gadis berpakaian biru itu menggulingkan tubuhnya di tanah.
Tapi, ternyata ular itu merasa penasaran melihat mangsanya berhasil lolos.
Maka binatang melata itu pun melesat turun dari atas pohon, dan mengejar buruannya.
Rupanya, dia kelaparan! Gadis itu sangat kaget ketika melihat ular yang tadi hampir memangsanya begitu besar.
Badannya hampir sebesar batang pohon kelapa.
Panjangnya pun tak akan kurang dari empat tombak.
Jelas, binatang berbisa itu mampu menelannya bulat-bulat.
Wajah gadis berpakaian biru itu pucat pasi ketika membayangkan tubuhnya akan masuk ke dalam perut ular itu.
Dengan menggigil, kakinya melangkah mundur.
Tampak jelas, dia merasa takut terhadap binatang melata itu.
Sebenarnya, gadis berpakaian biru itu memiliki kepandaian cukup tinggi.
Tapi sayangnya sebagai seorang wanita, dia mempunyai sebuah kelemahan.
Takut pada binatang yang menjijikkan.
Dan ular adalah merupakan binatang yang paling ditakutinya.
Tak heran bila dia mundur melihat ular itu mendekatinya.
Tapi, langkahnya langsung terhenti ketika punggungnya membentur sesuatu.
Dan ketika ditoleh, ternyata hanya batang sebuah pohon besar.
"Sssshhh...!"
Diawali sebuah desisan tajam, kepala ular besar itu meluncur ke arah dada buruannya.
Karuan saja gadis itu terperanjat.
Secara tergesa-gesa, kepalanya menoleh kembali ke arah semula.
Dan tampak moncong ular yang tengah meluncur ke arahnya.
Gadis itu sadar, tidak ada kesempatan lagi baginya untuk mengelakkan serangan itu.
Hanya ada satu cara yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan selembar nyawanya, yakni menangkis! Maka sambil menggertakkan gigi, gadis berpakaian biru itu mengulur tangannya.
Dan....
Tappp! Leher ular besar itu berhasil ditangkapnya.
Langsung saja tenaga dalamnya dikerahkan untuk meremas hancur leher binatang melata itu.
Namun binatang itu tidak menyerah begitu saja.
Segera ekor ular itu bergerak menyambar.
Dan...
Bukkk! Telak dan keras sekali sambaran ekor ular itu menghantam dada buruannya.
Kontan tubuh gadis itu terlempar ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah.
Dia berusaha bangkit tapi malah seringai kesakitan yang muncut di mulutnya.
Dadanya yang terkena sambaran tadi terasa sesak bukan kepalang.
Untuk beberapa saat lamanya, gadis berpakaian biru itu mengalami kesulitan bemapas.
Sebelum buruannya sempat berbuat sesuatu, ular besar itu telah bergerak cepat menghampirinya.
Dan tahu-tahu, tubuh gadis itu telah dililit, mulai dari bawah lutut sampai ke bawah leher.
Sedangkan kepala ular berada di atas kepala si gadis.
Mulut ular itu terbuka lebar.
Jelas, maksudnya untuk menelan gadis itu hidup-hidup setelah terlebih dulu meremukkan tulang-belulang tubuhnya.
Gadis berambut kepang semakin geram.
Maka, seluruh tenaga dalamnya segera dikerahkan untuk menahan belitan badan ular besar yang akan meluluhlantakkan tulang-tulang tubuhnya.
Sebuah perjuangan mati-matian untuk menyelamatkan selembar nyawa, dilakukan gadis berpakaian biru itu.
Namun akhirnya, gadis berpakaian biru itu harus mengakui kuatnya belitan ular besar ini.
Semakin lama, belitan ular itu semakin terasa menyakitkan.
Urat-urat, otot-otot dan tulang-belulang tubuhnya seperti luluh lantak! Disadari kalau tak akan lama lagi tenaganya akan habis.
Di saat yang amat gawat bagi keselamatan gadis berambut dikepang ini, melesat sekelebatan benda berwarna gelap ke arah kepala ular besar itu Suara berdesing nyaring yang terdengar menjadi pertanda besarnya tenaga yang terkandung dalam luncuran benda gelap tadi.
Prokkk..! Diiringi suara berderak keras, kepala ular besar itu hancur berantakan ketika benda gelap yang ternyata sebuah batu sebesar kepalan bayi telak menghantam.
Gadis berpakaian biru memekik ngeri bercampur jijik.
Sepasang matanya buru-buru dipejamkan.
Bahkan mulutnya langsung dirapatkan ketika darah memercik ke sana kemari dari kepala ular yang pecah, Dan sebagian besar, memerciki wajahnya.
Seiring pecah kepalanya, nyawa ular besar itu pui melawat ke alam baka.
Dan dengan sendirinya, belitan pada sekujur tubuh gadis berpakaian biru itu pun mengendur, lalu terlepas.
Sementara, gadis itu langsung bergerak menjauh dengan sikap jijik.
Dengan saputangannya, buru-buru percikan darah ular pada wajahnya dihapus.
Setelah diyakini tidak ada lagi darah yang mengotori wajahnya, pandangannya dilayangkan ke sekeliling.
Dia ingin tahu, siapa orang yang telah menyelamatkan nyawanya Dalam jarak empat tombak dari tempatnya berdiri, tampak berdiri dua sosok tubuh yang menatap ke arahnya dengan bibir menyunggingkan senyum.
Semula, pandangan gadis berpakaian biru itu biasa saja.
Tapi sesaat kemudian, sepasang alisnya yang berbentuk indah itu hampir bertautan.
Jelas, ada sesuatu yang menyebabkannya demikian.
Memang, gadis itu merasa heran pada salah satu sosok yang ternyata seorang pemuda.
Memang melihat wajah dan tubuhnya, tidak ada yang aneh.
Wajah pemuda itu tampan dan gagah.
Tubuhnya terlihat tegap dan berisi.
Pakaiannya yang berwarna ungu, semakin menonjolkan ketampanannya.
Namun yang membuat alis gadis berpakaian biru itu heran adalah rambutnya.
Rambut pemuda itu hitam, seperti pada pemuda umumnya.
Tapi berwarna putih seperti layaknya orang yang telah berusia lanjut.
Namun begitu, sungguh kelihatan lebih indah.
Karena, warna putihnya berkilauan seperti perak.
Seumur hidup, baru kali inilah gadis itu melihat pemuda yang memiliki rambut demikian.
Tapi, tunggu dulu! Selintas, gadis itu teringat sesuatu.
Memang dia pernah mendengar kalau ada seorang pemuda yang memiliki rambut putih keperakan.
Berita itu begitu mengguncangkan dunia persilatan.
Dan pemiliknya adalah Dewa Arak! Sementara itu, sosok yang seorang lagi adalah gadis berwajah cantik jelita.
Rambutnya berwarna hitam, dan dibiarkan panjang tergerai.
Pakaiannya serba putih, sehingga semakin menonjolkan kecantikannya.
Di dalam hati, gadis berpakaian biru itu harus mengakui kalau gadis di hadapannya memiliki kecantikan yang melebihinya.
Kini gadis berpakaian biru itu memperhatikan pemuda berambut putih keperakan lebih lanjut.
Memang, pemuda itu adalah tokoh yang menggemparkan dunia persilatan! Ini bisa dilihat dari ciri-ciri yang menyolok, yakni rambutnya yang berwarna aneh.
Maka dengan agak terburu-buru, gadis berambut kepang itu menghampiri.
"Apakah penglihatanku tidak salah? Benarkah kau Dewa Arak?"
Tanya gadis berpakaian biru, sambil menatap wajah pemuda berambut putih keperakan itu lekat-lekat.
Karuan saja pemuda berpakaian ungu yang tak lain dari Arya Buana alias Dewa Arak, menjadi kikuk mendapat tatapan seperti itu dari seorang gadis! Cantik lagi.
Sungguh pun memang, masih jauh bila dibandingkan Melati.
"Itu adalah julukan yang diberikan orang padaku, Nisanak!"
Jawab Arya, merendah.
"Sedangkan namaku..."
"Arya, kan?! Arya Buana?!"
Selak gadis berambut dikepang, cepat.
"Betul,"
Arya menganggukkan kepala. Dia tidak merasa heran kalau gadis itu mengetahui namanya. Memang, hampir semua orang persilatan tahu kalau nama Dewa Arak yang sebenarnya adalah Arya Buana.
"Kau sendiri siapa?"
"Aku Wigati,"
Sebut gadis berpakaian biru itu.
"Kaukah yang telah menolongku dari ular keparat itu?"
Gadis berambut dikepang yang ternyata bernama Wigati menudingkan jari telunjuknya ke arah bangkai ular besar yang tergolek di tanah. Sedangkan Arya menyunggingkan senyuman lebar di mulutnya. Kemudian, perlahan kepalanya menggeleng.
"Bukan aku yang menolongmu, tapi teman wanitaku ini,"
Kalem jawaban Arya.
"Ahhh...!"
Wigati mendesah kaget. Kontan wajahnya memerah ketika menyadari ketidakpantasan sikapnya. Sejak tadi, dia hanya mencecar Dewa Arak saja. Sama sekali tidak dipedulikannya kalau ada sosok lain yang berdiri di sebelah tokoh yang menggemparkan itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu..,"
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Putri Raja Yang Dikorbankan Karya Widi Widayat Kedele Maut Karya Khu Lung