Ceritasilat Novel Online

Mahluk Dari Dunia Asing 2


Dewa Arak Mahluk Dari Dunia Asing Bagian 2



Wigati menggantung ucapannya di tengah jalan, karena belum mengetahui nama gadis teman Arya.

   "Aku Melati,"

   Potong Melati buru-buru.

   "O, ya.... Kuucapkan ribuan terima kasih atas pertolongan yang kau berikan padaku, Melati. Kalau tidak..., entah bagaimana nasibku ini,"

   Ulang Wigati.

   "Ah! Tidak perlu banyak peradatan, Wigati. Tolong-menolong di antara sesama manusia adalah hal yang wajar."

   Seulas senyum tulus terkembang di bibir Melati, meskipun beberapa saat sebelumnya sempat merasa dongkol melihat sikap Wigati pada Arya.

   "Ucapanmu seperti orang tua, Melati,"

   Kata Wigati.

   "Maksudmu?"

   Tanya Melati disertai kernyitan pada dahinya.

   "Tidak ada maksud apa-apa,"

   Ringan jawaban yang keluar dari mulut Wigati.

   "Aku hanya teringat ucapan ayahku setiap kali selesai menolong orang. Ucapan yang tadi keluar dari mulutmu itulah yang selalu dikatakannya."

   Melati mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti maksudnya.

   Sedangkan Arya hanya menundukkan kepala, menyembunyikan senyum lebar yang tidak bisa ditahan.

   Melati tentu saja tahu, mengapa tunangannya menundukkan kepala.

   Kalau saja tidak ada Wigati, sudah dicubitnya Arya! Tapi karena keadaan tidak memungkinkan, terpaksa sikapnya seolah-olah tidak mengetahui.

   "Hm..., boleh kutahu siapa orang tuamu, Wigati?"

   Tanya Melati setengah hati.

   "Tentu saja boleh!"

   Jawab Wigati cepat sambil mengerling ke arah Arya.

   "Ayahku meskipun tidak setenar Dewa Arak, tapi cukup ditakuti tokoh-tokoh persilatan aliran hitam. Julukannya, si Jari maut."

   Melati dan Dewa Arak agak terkejut ketika mendengar julukan ayah Wigati.

   Bahkan wajah Melati sampai berubah.

   Sedangkan Arya sampai mendongakkan kepala.

   Mengapa bisa begitu kebetulan? Bukankah murid Perguruan Ayam Emas mengatakan kalau iblis yang telah membantai demikian banyak orang di perguruan itu akan menyerbu kediaman si Jari Maut.

   Sungguh sama sekali tidak disangka kalau akan bertemu putri si Jari Maut sendiri.

   "Kalian mengenal ayahku?"

   Tanya Wigati ragu ketika melihat keterkejutan pada wajah Arya dan Melati Hampir berbareng Arya dan Melati menggelengkan kepala.

   "Tapi kalian tampak terkejut ketika aku menyebut julukan ayahku?!"

   Desak Wigati penasaran.

   Arya dan Melati saling berpandangan.

   Sesaat keduanya kebingungan.

   Haruskah mereka katakan pada Wigati berita yang mereka dapatkan dari mulut Perguruan Ayam Emas? Dan dalam adu pandang sesaat itu, Arya tahu kalau Melati menyerahkan persoalan itu padanya.

   Rasa penasaran Wigati semakin menjadi-jadi ketika melihat sepasang muda-mudi itu malah saling pandang ketika habis dilontarkan pertanyaan.

   "Katakan, mengapa kalian seperti terkejut ketika kusebutkan julukan ayahku?!"

   Mulai meninggi suara yang keluar dari mulut gadis berpakaian biru itu.

   Sepasang matanya menatap berganti-ganti ke arah wajah Arya dan Melati.

   Ada nada kepenasaran yang menggebu-gebu, baik pada raut wajah maupun nada suara Wigati.

   Namun, Arya tidak langsung menjawab.

   Dia malah berdehem sebentar untuk melonggarkan tenggorokannya.

   "Kami hanya terkejut karena tidak menyangka ayahmu adalah seorang tokoh pendekar yang terkenal,"

   Kata Arya sekenanya.

   Sungguh, pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak menyangka apabila jawabannya tepat pada sasaran.

   Si Jari Maut adalah tokoh besar aliran putih pada puluhan tahun yang lalu.

   Julukannya disebut-sebut dengan perasaan gentar oleh tokoh-tokoh aliran hitam.

   Dan hal itu terjadi karena sepak terjangnya yang terlalu kejam pada tokoh-tokoh aliran hitam.

   "Jadi, kau pernah mendengar julukan ayahku, Dewa Arak?!"

   Sambut Wigati gambira.

   "Hal ini benar-benar di luar dugaanku. Karena, ayahku mengatakan kalau tokoh-tokoh persilatan jarang yang mengenalnya. Kecuali, tokoh-tokoh tua atau keturunan tokoh hitam yang tewas di tangannya. Sungguh tidak kusangka kau pernah mendengarnya, Dewa Arak!"

   Arya menyunggingkan senyum.

   Tapi karena tidak keluar dari lubuk hati, jadi terlihat kaku dan dipaksakan malah lebih mirip sebuah seringai ketimbang senyuman.

   Tapi Wigati yang tengah dilanda kegembiraan karena mengetahui Dewa Arak mengenal julukan ayahnya, sama sekali tidak melihat kejanggalan itu Dewa Arak adalah tokoh yang amat dikaguminya.

   Apalagi, ketika diketahuinya bahwa tokoh yang menggemparkan itu seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah.

   Itulah sebabnya, Wigati merasa gembira bukan kepalang mengetahui Arya pernah mendengar julukan ayahnya.

   "Kalau boleh kutahu, dari mana kau tahu julukan ayahku, Dewa Arak? Padahal, sudah lebih dari dua puluh tahun ayahku meninggalkan dunia persilatan. Malah pada saat itu, kau mungkin masih sangat kecil. Dan aku yakin, kau belum tahu apa-apa!"

   Cecar Wigati penuh semangat.

   Mendapat desakan bertubi-tubi itu, membuat Arya kelabakan namun untungnya, pemuda berambut putih keperakan itu mampu menyembunyikannya.

   Sehingga, tidak terlihat pada sikapnya.

   Memang, Wigati tidak mengetahuinya.

   Tapi tidak demikian halnya Melati.

   Putri angkat Raja Bojong Gading itu tentu saja tahu kalau kekasihnya tengah kelabakan.

   Keringat yang bermunculan di dahi, dan sorot mata Arya yang tidak biasanya, telah menggambarkan kekalutan Arya.

   Untuk pertama kalinya, Arya dibuat kelabakan dan kebingungan.

   Bukan karena apa-apa, tapi karena mau tak mau terpaksa harus berbohong! Yang lebih membingungkan lagi, kebohongannya harus dilanjutkan untuk menutupi kebohongan yang pertama.

   Inilah yang membuat Arya kelabakan! Diam-diam, Dewa Arak menyesali jawabannya tadi.

   Sama sekali tidak disangka kalau jawaban asal-asalan itu mengenai sasarannya.

   Dan lebih celaka lagi, Wigati demikian bernafsu untuk menanyainya terus-menerus.

   Maka dengan demikian, dia harus berbohong lagi.

   "Katakan, Dewa Arak. Tidak usah ragu-ragu. Dari siapa kau mengetahui julukan ayahku?! Jangan katakan kalau kau telah mendengar julukan ayahku sewaktu masih bayi?!"

   Desak Wigati setengah bergurau.

   "Aku mohon, kau jangan memanggilku Dewa Arak, Wigati. Panggillah Arya saja,"

   Kata Arya mencoba mengalihkan pembicaraan.

   "Baiklah,"

   Wigati menganggukkan kepala.

   "Katakan, Arya. Dari mana kau tahu julukan ayahku?!"

   Arya terdiam. Rupanya, Wigati termasuk gadis yang memiliki watak keras. Sebelum mengetahui sampai tuntas desakannya belum juga dihentikan. Namun melihat Arya belum juga menyambuti pertanyaannya, Wigati jadi kehilangan kesabaran.

   "Biar kutebak sendiri, deh! Kau pasti mengetahui julukan ayahku dari gurumu kan?!"

   Duga Wigati, sok tahu.

   "Benar kan dugaanku?!"

   "Hhh...!"

   Arya menghela napas berat. Dia ingin buru-buru lepas dari desakan Wigati. Maka meskipun dengan berat hati, kepalanya dianggukkan.

   "Maafkan aku, Guru. Aku telah mencatut nama mu,"

   Ucap Arya dalam hati.

   "Tepat kan dugaanku, Arya?"

   Kata Wigati samba tersenyum lebar. Kembali Arya menganggukkan kepala. Sedangkan Melati terpaksa berpura-pura batuk, untuk menutupi tawanya yang hampir meledak melihat peristiwa di hadapannya.

   "O ya, Wigati. Bisa kau bawa kami menemui ayahmu? Kami ingin sekali berbincang-bincang dengan beliau,"

   Arya buru-buru mengalihkan persoalan agar tidak terlibat dalam kebohongan lagi.

   "Tentu saja bisa, Arya,"

   Sambut Wigati gembira.

   "Aku yakin, ayah akan gembira berkenalan denganmu. Ayah sering menyebut-nyebut namamu, Arya. Dia kagum sekali padamu. Kau pendekar bijaksana katanya. Dia yakin, banyak orang jahat yang sadar berkat kebijaksanaanmu. Tampaknya, ayah menyesali rindakannya yang keras terhadap tokoh-tokoh hitam dulu."

   Arya hanya mengangguk-anggukkan kepala. Hanya dia sendiri yang mengetahui maksudnya.

   "Mengapa kau bisa dilibat ular, Wigati?"

   Tanya Melati untuk mengurangi perasaan tidak enak mengigat sikapnya tadi.

   Putri angkat Raja Bojong Gading ini khawatir, Wigati merasa tersinggung melihat sikapnya tadi.

   Itulah sebabnya, dia mengajukan pertanyaan pada gadis itu.

   Walaupun sebenarnya dia kurang berminat untuk mengutarakannya.

   "Aku tengah berburu kijang,"

   Jawab Wigati. Kemudian gadis berpakaian biru itu menceritakan semua kejadian yang dialaminya.

   "Untunglah kau memberi pertolongan, Melati. Kalau tidak, mungkin tubuhku sudah berada di dalam perut ular sialan itu,"

   Tutur Wigati menutup ceritanya. Melati menyunggingkan senyuman lebar. Dia sama sekali tidak mengucapkan apa pun sebagai tanggapan terhadap cerita Wigati.

   "Bagaimana kalau perbincangan ini dilanjutkan dalam perjalanan menuju ke rumah ayahmu, Wigati?"

   Usul Arya bernada mengingatkan.

   "Sebuah usul yang baik sekali,"

   Sambut Wigati cepat.

   Melati dan Arya saling berpandangan.

   Sama sekali tidak disangka kalau perjalanan mencari si Jari Maut tidak terlalu sulit.

   Seorang penunjuk jalan yang tidak mungkin salah, telah menjadi pemandunya.

   Kini, ketiga orang muda itu bergerak menuju tempat kediaman si Jari Maut.

   Sepanjang perjalanan Wigati tak henti-hentinya berceloteh.

   Terutama sekali pada Arya.

   Perasaan kagumnya terhadap pemuda berambut putih keperakan tampak jelas sekali.

   Namun hal ini justru membuat Arya dan Melati sedikit merasa kasihan.

   Mereka berdua tahu, Wigati merupakan seorang gadis lugu.

   Tanpa ragu-ragu perasaan kagumnya ditonjolkan! Melati yang semula mendongkol, akhirnya malah jatuh kasihan.

   Dia tahu, Arya hanya mencintai dirinya.

   Di hati Dewa Arak hanya ada satu nama, yakni Melati! *** "Kau yang salah bicara, atau telingaku yang salah dengar, Arya?!"

   Tanya seorang kakek bertubuh tinggi kurus laksana galah.

   Dia mengenakan pakaian berwarna kuning, membungkus tubuhnya yang kurus kering.

   Kakek itu tengah duduk bersila di sebuah ruangan tengah di dalam sebuah rumah.

   Di sekelilingnya, duduk bersila juga Melati, Wigati, dan Arya yang mengelilinginya.

   Arya duduk tepat di hadapan kakek berpakaian kuning itu.

   "Aku hanya menyampaikan semua yang kulihat dan kudengar, Ki,"

   Ucap Arya, kalem. Kakek tinggi kurus itu menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Raut wajahnya tampak menyiratkan kesedihan.

   "Ayah! Aku percaya kalau Arya mengatakan hal yang sebenarnya,"

   Tegas Wigati, seraya memandang wajah kakek tinggi kurus. Kakek tinggi kurus yang ternyata ayah Wigati dan berjuluk si Jari Maut, menatap wajah putrinya tajam-tajam beberapa saat lamanya.

   "Bukannya aku tidak percaya ceritamu, Arya,"

   Ucap si Jari Maut setengah mengeluh.

   "Tapi, berita yang kau sampaikan ini terlalu mengejutkan bagiku. Kau mengatakan, Perguruan Ayam Emas telah musnah. Dan ketuanya sendiri telah tewas. Kau tahu, Arya. Ki Tarung adalah sahabat kentalku! Aku sering mengunjunginya. Bahkan beberapa hari yang lalu, aku mengunjunginya. Hhh...! Sukar dipercaya!"

   Arya diam saja.

   Sama sekali tidak ditanggapinya ucapan si Jari Maut.

   Disadari kalau kakek tinggi kurus itu merasa terpukul.

   Maka, membiarkannya adalah tindakan yang paling bijaksana.

   Orang seperti si Jari Maut tidak akan lama tenggelam dalam kesedihan.

   Suasana di sekitar tempat itu kontan hening.

   Se-muanya tidak ada yang membuka suara, dan tenggelam dalam lamunannya masing-masing.

   Plak! Keheningan suasana itu dipecahkan dengan dipukulnya kepalan tangan kanan si Jari Maut ke telapak tangan kirinya yang terbuka.

   Maka kontan tiga pasang mata terarah pada wajah si Jari Maut.

   "Kau bilang, pembunuh itu akan datang kemari, Arya?!"

   Ada nada dendam dalam pertanyaan kakek berpakaian kuning itu.

   "Begitulah berita yang kudengar dari mulut seorang murid Perguruan Ayam Emas yang belum tewas, Ki,"

   Javuab Arya. Memang Arya dan Melati telah menemukan murid Perguruan Ayam Emas yang menjadi korban keganasan Gandula. Dan dari salah seorang murid yang masih hidup, berita itu didapatkannya.

   "Hm...!"

   Si Jari Maut mengggumam pelan. Kepalanya terangguk-angguk. Entah apa maksudnya, hanya dia sendiri yang tahu.

   "Baik! Aku akan menunggunya di sini. Dan kalau benar-benar datang, pembunuh itu akan menerima pembalasannya dariku!"

   Ada nada ancaman dalam ucapan kakek tinggi kurus itu.

   Arya diam saja tidak menanggapi.

   Bisa dimaklumi kemarahan yang melanda hati si Jari Maut.

   Ki Tarung Ketua Perguruan Ayam Emas adalah sahabat akrabnya.

   Tidak aneh kalau si Jari Maut begitu murka mendengar kematian sahabatnya, berikut kehancuran perguruannya.

   *** "Jari Maut! Keluar kau...!"

   Sebuah panggilan bernada tantangan membuat si Jari Maut, Dewa Arak, Melati dan Wigati tersadar dari lamunan masing-masing.

   Dan bagai diberi perintah keempat orang itu berbareng bangkit berdiri.

   Si Jari Mautlah orang yang pertama kali bangkit dari duduk bersilanya, dan langsung melangkah keluar.

   Memang, panggilan itu datangnya dari luar rumah! Wajah si Jari Maut tampak merah membara memancarkan kemarahan yang amat sangat.

   Dengan langkah lebar-lebar kakinya terayun keluar.

   Arya, Melati, dan Wigati bergegas melangkah menyusul di belakang si Jari Maut.

   Arya dan Melati sempat saling berpandangan dengan sorot mata menyiratkan keheranan.

   Dan memang sebenarnya kedua orang itu merasa heran bukan kepalang.

   Mereka tahu kalau panggilan bernada tantangan itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam.

   Dan dari kekuatan suara itu, sepasang pendekar muda itu bisa mengukur kekuatan tenaga dalam si pemiliknya yang tidak begitu kuat.

   Dan itulah sebabnya, mengapa mereka merasa heran.

   Kalau hanya sampai di situ saja kekuatan tenaga dalam pemiliknya, mengapa dengan leluasa bisa menyebar maut di Perguruan Ayam Emas? Bahkan sampai Ki Tarung yang merupakan ketuanya berhasil dibunuh! Padahal menurut kabar yang terdengar, kepandaian Ki Tarung amat tinggi! Di halaman rumah tampak berdiri dua sosok tubuh, yang tak lain adalah Caraka dan Gandula.

   Caraka berdiri sekitar setengah tombak di hadapan Gandula, dengan dada dibusungkan.

   Bahkan kepalanya pun agak ditengadahkan.

   Kedua tangannya yang terkacak pinggang semakin memperjelas kesombongan sikapnya.

   Ternyata, Caraka-lah yang tadi meneriakkan tantangan pada si Jari Maut.

   Meskipun Caraka berdiri di depan, tapi pandangan mata si Jari Maut, Dewa Arak, Melati, dan Wigati sama sekali tidak tertuju padanya.

   Tapi tertuju pada sosok tubuh asing di belakang Caraka.

   Pandangan mata mereka semua menyorotkan keheranan.

   Bukan karena ciri-ciri yang terdapat pada Gandula, tapi juga bulu-bulu kuduk mereka merinding tanpa sebab.

   "Makhluk dari mana ini...?"

   Desis si Jari Maut bernada kaget dan tidak percaya. Tanpa sadar, kakek tinggi kurus ini menoleh ke arah Arya yang telah berdiri di sebelahnya.

   "Kau mengenal makhluk aneh itu, Arya?"

   Tanya si Jari Maut, pelan. Arya menggelengkan kepala.

   "Seumur hidup, baru kali ini aku melihat makhluk seperti ini, Ki,"

   Jawab pemuda berambut putih keperakan itu.

   Dan memang, Arya sama sekali tidak berbohong.

   Gandula memang memiliki keadaan mengerikan.

   Sungguhpun Arya telah pernah melihat makhluk-makhluk biadab, tapi tidak seperti Gandula.

   Arya merasa keanehan timbul dalam dirinya.

   Sebuah perasaan gelisah tanpa sebab tiba-tiba muncul.

   Dan inilah yang membuatnya heran bukan kepalang.

   Mengapa sekarang merasa gelisah? Padahal tadi tidak! Benak Arya pun berputar untuk mencari-cari penyebab timbulnya perasaan gelisah itu.

   Cukup lama juga benaknya berpikir keras, sebelum akhirnya timbul pada satu kesimpulan yang tidak bisa dibantah lagi.

   Perasaan gelisahnya itu muncul ketika dia melihat Gandula.

   Ada apa dengan Gandula? Tapi Arya segera membuang pertanyaan yang menggelayuti benaknya itu jauh-jauh.

   Karena tampak si Jari Maut sudah siap memuntahkan kemarahannya.

   "Jari Maut....'"

   Seru Caraka keras, masih dengan tangan berkacak di pinggang. Si Jari Maut yang tengah sibuk memperhatikan Gandula jadi mengalihkan pandangan ke arah Caraka.

   "Kau...?! Apa maumu, Caraka?! Cepat pergi dari sini, sebelum kemarahanku timbul!"

   Memang, si Jari Maut mengenal Caraka yang merupakan keponakan Juragan Donggala.

   Caraka mencintai Wigati.

   Dan beberapa bulan silam, dengan perantaraan pamannya, Caraka meminang Wigati.

   Tapi lamarannya ditolak mentah-mentah oleh si Jari Maut, karena kakek itu tahu kalau Caraka adalah seorang pemuda yang berwatak tidak baik! Bahkan sering mengganggu anak gadis orang! Sebenarnya kalau saja si Jari Maut tidak disibuki oleh pikiran tentang Gandula, mungkin akan merasa heran.

   Mengapa Caraka berani bersikap seperti itu padanya? Apakah pemuda itu sudah mempunyai nyawa rangkap! "Tidak usah banyak bicara, Jari Maut!"

   Bentak Caraka, semakin berani "Cepat katakan padaku, di mana Eyang Bantara! Jangan coba-coba menyembunyikannya! Cepat, sebelum segalanya terlambat! Dan kau akan bernasib seperti si Tarung dan perguruannya!"

   Terdengar suara gemeretak dari mulut si Jari Maut mendengar ucapan dan sikap Caraka yang kurang ajar.

   Tapi, kemarahannya sedikit bercampur keheranan besar! Ancaman Caraka mengisyaratkan seakan-akan pemuda itulah yang telah melakukan pembantaian Perguruan Ayam Emas.

   Karuan saja hal itu membuat si Jari Maut bingung.

   Apakah telinganya tidak salah dengar? Sampai mati pun dia tidak percaya kalau orang seperti Caraka mampu melakukan itu.

   Dia tahu betul, sampai di mana ketinggian ilmu Caraka.

   Walaupun diakui Caraka mempunyai ilmu tinggi, tapi paling hebat hanya setingkat dengan Lintar, murid utama Perguruan Ayam Emas! Tak akan mungkin bila mampu membunuh Ki Tarung! "Rupanya kau mengetahui tentang pembunuhan di Perguruan Ayam Emas itu juga, Caraka?"

   Panci si Jari Maut.

   "Hmh...""

   Caraka mendengus, kemudian melangkah ke belakang beberapa tindak. Tangannya diulurkan menyentuh tangan Gandula, yang sejak tadi hanya menggeram saja.

   "Aku dan kawanku inilah yang telah menghancur-leburkan Perguruan Ayam Emas itu, Jari Maut!"

   Jelas Caraka penuh nada bangga.

   "Hukh!"

   Tubuh si Jari Maut terhuyung ke belakang seperti diseruduk seekor kerbau. Ucapan Carakalah yang menyebabkannya demikian. Wigati bergegas menghampiri.

   "Apa yang terjadi, Ayah...?"

   Tanya Wigati penuh rasa khawatir.

   Berbeda dengan Wigati, Arya dan Melati diam saja.

   Mereka tahu, si Jari Maut hanya mengalami guncangan hati.

   Sepasang muda-mudi ini lebih memusatkan perhatian pada Gandula, sosok yang mengherankan hati Sepasang mata Caraka berkilat-kilat ketika melihat Wigati, gadis yang teiah membuatnya tergila-gila.

   Tapi dasar mata keranjang, ekor matanya pun sejak tadi beberapa kali mengerling ke arah Melati.

   Tampak liar, dan menyimpan nafsu birahi! "Sekarang ayahmu tidak apa-apa, Wigati.

   Tapi tak lama lagi, aku tidak berani menjamin keselamatannya!"

   Ejek Caraka.

   "Hmrrrhhh...!"

   Gandula menggeram keras.

   Rupanya dia merasa sudah tidak sabar lagi mengetahui berita tempat Eyang Bantara berada.

   Caraka terjingkat kaget, karena geraman Gandula menyadarkannya.

   Maka, dia tidak berani bertele-tele lagi.

   Memang, dia belum mengenal betul watak Gandula.

   Jadi, bukan hal yang mustahil apabila makhluk berkepala botak itu tiba-tiba mengamuk.

   Jangan-jangan, dia pun ikut menjadi korban amukannya.

   "Cepat, Jari Maut! Katakan, di mana Eyang Bantara!"

   Teriak Caraka keras.

   "Cuhhh...!"

   Wigati menyemburkan ludahnya ke arah Caraka.

   Kini gadis itu tidak merasa heran lagi melihat sikap Caraka yang sombong.

   Dia seperti juga ayahnya, tahu kalau Caraka pasti mengandalkan makhluk aneh yang diakui sebagai teman.

   Si Jari Maut menggeram keras.

   "Sikapmu telah melampaui batas, Caraka. Kau harus diberi pelajaran agar tidak semakin kurang ajar! Dan kalau Donggala, pamanmu itu marah, aku tidak ragu-ragu lagi menghajarnya pula!"

   Usai mengucapkan ancaman, si Jari Maut melangkah menghampiri Caraka. Tentu saja Caraka yang telah mengetahui kesaktian ayah Wigati itu, tidak mau mencari penyakit. Buru-buru kakinya melangkah mundur dan berlindung di belakang Gandula.

   "Dia tidak mau mengatakan di mana adanya Eyang Bantara, Gandula. Kini semuanya kuserahkan padamu untuk mengurusnya!"

   Kata Caraka, licik.

   "Hmrrrhhh...!"

   Gandula menggeram keras.

   Dia murka bukan kepalang terhadap si Jari Maut.

   Telah didengarnya sendiri, Caraka berkali-kali mengajukan pertanyaan, tapi sama sekali tidak dijawab oleh si Jari Maut.

   Dan ini sudah membuatnya cukup mempunyai alasan untuk membunuh kakek berpakaian kuning itu.

   Si Jari Maut sama sekali tidak merasa gentar.

   Bahkan sebaliknya, dadanya terasa panas karena hawa amarah yang membakar dada.

   Sudah bisa diperkirakan, Gandula-lah pelaku pembantaian di Perguruan Ayam Emas.

   Siapa pun makhluk aneh ini, dan dari mana pun asalnya, sudah tidak terpikirkan lagi.

   Yang menjadi keinginannya hanya satu.

   Membunuh Gandula dan Caraka untuk membalaskan kematian sahabat kentalnya.

   Si Jari Maut tahu, Gandula pasti bukan tokoh sembarangan.

   Makhluk berkepala botak itu pasti memiliki kepandaian yang amat tinggi.

   Kalau tidak, mustahil Ki Tarung bisa tewas di tangannya.

   Padahal, kepandaian Ketua Perguruan Ayam Emas itu hanya berselisih sedikit daripadanya.

   Itulah sebabnya, si Jari Maut bersiap-siap mengeluarkan ilmu andalannya, 'Jari Pengejar Nyawa'! Kakek tinggi kurus ini menyusun jari-jari tangannya.

   Jari telunjuk diacungkan, sedangkan jari-jari tangan lainnya dikepalkan.

   Inilah ilmu 'Jari Pengejar Nyawa'.

   Wigati, Arya, dan Melati segera menyingkir.

   Demikian pula Caraka.

   Mereka memperhatikan pertarungan yang akan berlangsung dengan perasaan tegang, Sementara, Caraka sambil tersenyum simpul juga terus memperhatikan.

   Jelas dia merasa yakin, Gandula akan keluar sebagai pemenang.

   Sementara itu, Arya semakin dilanda rasa heran ketika mengetahui perasaan gelisah yang melandanya semakin besar.

   Bahkan sudah menjurus ke arah perasaan takut.

   Siapakah Gandula sebenarnya? "Apakah ayahmu mengenal orang yang bernama Eyang Bantara, Wigati?"

   Tanya Arya pelan.

   "Entahlah, Arya,"

   Wigati menggelengkan kepala.

   "Tapi aku yakin dia tidak mengetahuinya."

   "Apakah makhluk berkepala botak itu kawan Caraka?"

   Arya kembali bertanya, setelah beberapa saat lamanya tercenung dengan dahi berkernyit "Aku baru pertama kali ini melihatnya, Arya. Mengapa?"

   Wigati malah balik bertanya. Arya tidak langsung menjawab pertanyaan itu, ia malah menghembuskan napas dalam-dalam.

   "Aku merasa ada keanehan pada laki-laki berkepala botak itu, Wigati. Dugaanku, Caraka memperalatnya untuk kepentingan dirinya sendiri,"

   Jelas Arya.

   "Dari mulut murid Perguruan Ayam Emas, sempat kudengar kalau Caraka dan kawannya pernah menanyakan tentang orang yang bernama Eyang Bantara. Dan ketika jawaban itu tidak didapat, mereka semua dibantai!"

   Wigati terdiam dengan dahinya berkernyit.

   Jelas, ada sesuatu yang dipikirkannya.

   Tapi hal itu segera dilupakannya ketika melihat ayahnya telah siap bertarung dengan Gandula.

   Arya pun rupanya sudah merasa cukup mengeluarkan uneg-unegnya.

   Pandangannya dilayangkan ke arah yang sama dengan Wigati.

   Demikian pula halnya dengan Melati yang sejak tadi hanya bertindak sebagai pendengar saja.

   "Haaat...!"

   Diiringi bentakan keras yang membuat Caraka dan Wigati menutup telinga, si Jari Maut melancarkan serangan.

   Dia melompat menerjang dengan kedua jari telunjuk meluncur cepat ke arah makhluk berkepala botak itu.

   Serangkaian serangan bertubi-tubi tampak mengarah ke ubun-ubun.

   Ada suara mendecit nyaring seperti seekor tikus terjepit ketika jari-jari tangan itu meluncur ke arah sasaran.

   "Terimalah kematianmu, Manusia Dungu!"

   Seru Gandula keras, seraya menudingkan jari telunjuk ke tanah.

   Untuk yang kesekian kalinya, terjadi peristiwa yang membuat berpasang-pasang mata terbelalak.

   Keadaan yang dialami si Jari Maut, laksana seekor burung yang tengah terbang di angkasa, kemudian meluncur sebatang anak panah menembus tubuhnya! Namun, terjangan si Jari Maut terhenti secara mendadak.

   Dan tahu-tahu, tubuhnya meluncur deras ke tanah dengan kepala lebih dulu! Cepat sekali meluncurnya tubuh itu ke tanah! "Ayah...!"

   "Ki...!"

   Hampir berbareng, Arya, Melati dan Wigati terpekik.

   Mereka semua merasa terkejut bukan kepalang melihat kejadian aneh yang menimpa kakek tinggi kurus itu.

   Memang buat Wigati dan Melati, mereka sama sekali tidak mengerti kejadian yang tengah menimpa si Jari Maut.

   Tapi tidak demikian halnya dengan Arya.

   Pemuda berambut putih keperakan itu sudah bisa memperkirakan, mengapa tubuh si Jari Maut bisa meluncur ke bawah.

   Memang Arya pernah mengalami hal seperti itu.

   Hanya saja, waktu itu saat berlatih dengan gurunya, Ki Gering Langit.

   Kejadiannya persis seperti yang dialami oleh si Jari Maut.

   "Mungkinkah laki-laki berkepala botak ini memiliki ilmu 'Pitunduk'?"

   Tanya Arya dalam hati.

   Tapi, Dewa Arak tidak sempat berpikir lebih lama lagi.

   Maka buru-buru dia melompat ke arah si Jari Maut.

   Maksudnya hendak menyelamatkan kakek tinggi kurus itu sebelum kepalanya menghantam tanah! Sementara itu, si Jari Maut sendiri dicekam rasa kaget yang tidak terperikan.

   Betapa tidak? Tubuhnya meluncur ke bawah tanpa mampu berbuat apa-apa.

   Betapapun seluruh ilmu meringankan tubuhnya telah dikerahkan untuk menahan kecepatan luncuran, tetap saja tidak mampu! Tubuhnya terus meluncur ke tanah dengan kecepatan tinggi.

   "Hih...!"

   Saat itulah, pertolongan Dewa Arak tiba.

   Memang, dengan keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', Dewa Arak jadi seperti mempunyai sepasang sayap.

   Sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk melakukan gerakan dan lompatan seperti apa pun, dan dalam keadaan yang bagaimanapun.

   Tappp...! Dewa Arak berhasil menangkap pergelangaikai si Jari Maut.

   Tapi akibatnya tubuhnya malal ikt terbawa turun! Untung saja secepat dia menangkap pergelangan kaki si Jari Maut, secepat itu pula disetakkannya, sambil melepaskan cekalan.

   Suara bergemeletuk yang terdengar menjadi pertanda lepasnya sambungan tulang kaki kanan si Jari Maut.

   Memang, sentakan Dewa Arak keras bukan main! Namun usaha Dewa Arak ternyata tidak percuma! Walaupun, sentakan itu sama sekali tidak mampu menghalangi luncuran tubuh si Jari Maut namun ternyata nyawanya bisa diselamatkan.

   Karena sentakan itu telah membuat arah luncuran agak nyerong, sehingga hanya bahu kanan nya saja yang menghantam tanah.

   Brukkk...! Keras sekali tubuh si Jari Maut menghantam tanah.

   Sebuah seringai kesakitan tampak di mulutyna.

   Tapi si Jari Maut pantang menyerah.

   Tanpa memperdulikan rasa sakit yang melanda, dia langsung bangkit dan menerkam Gandula.

   Kali ini Gandula sama sekali tidak berbuat sesuatu, dan malah seperti membiarkan terkaman lawan.

   Anehnya, tubuh si Jari Maut mendadak terjengkag ke belakang.

   Dirasakan ada sebuah kekuatan tak nampak yang membuat kekuatannya membalik sendiri.

   Di sekitar tubuh Gandula seperti dikungkungi gumpalan karet yang mampu membuat tubuh lawan yang nyerang malah terpental balik! Maka, seketika tubuh si Jari Maut melayang deras ke belakang, tanpa mampu berbuat sesuatu untuk mematahkan lontaran itu.

   Semua itu diperhatikan Melati dan Wigati dengan pandangan mata cemas, ngeri, bercampur takjub.

   Bahkan Arya yang telah berhasil mendaratkan kedua kakinya di tanah pun, menyaksikannya pula.

   *** Wigati yang merasa cemas bukan kepalang melihat keadaan ayahnya, hendak bergerak menolong.

   Tapi, keburu dicegah Melati.

   "Lebih baik diam saja, Wigati. Biarkan Dewa Arak dan ayahmu yang melawannya. Kalau mereka saja tidak mampu menghadapinya apalagi kita?"

   Kepala Wigati bagai diguyur seember air es.

   Langsung disadari kalau Melati benar! Kalau ayahnya dan Dewa Arak saja tidak mampu, apalagi dirinya?! Maka kini gadis itu hanya bisa memperhatikan Dewa Arak yang langsung melesat ke arah si Jari Maut.

   Jelas, pemuda berambut putih keperakan itu ingin mematahkan kekuatan yang membuat tubuh ayah Wigati terlempar! Tappp! Dewa Arak berhasil menangkap tangan si Jari Maut, dan langsung membawanya.

   Agak sedikit heran hati Dewa Arak ketika menyadari kekuatan yang mendorong tubuh kakek itu tidak seberapa kuat! Namun Dewa Arak cepat menyadari kalau Gandula sama sekali tidak melakukan gerakan penyerangan apa pun.

   Dan memang, makhluk berkepala botak itu sama sekali tidak menyerang! "Hup!"

   Dengan gerakan indah dan manis, Dewa Arak mendaratkan kedua kakinya di tanah.

   Sementara si Jari Maut buru-buru melompat turun.

   Sesaat Arya dan si Jari Maut saling berpandangan.

   Mereka merasa heran, ketika melihat Gandula sama sekali tidak menyerang lagi.

   Meskipun begitu, keduanya tetap bersikap waspada.

   Sepasang mata keduanya pun menatap Gandula penuh selidik, dan bersiap-siap menghadapi munculnya serangan mendadak.

   "Kau hebat juga, Pemuda Rambut Putih!"

   Kata Gandula, selalu diiringi geraman.

   "Aku kagum padamu. Maka, kau kuberi kesempatan untuk bertarung denganku dalam keadaan kau siap! Berdua dengan kawanmu pun boleh!"

   Arya dan si Jari Maut saling berpandangan. Kini keduanya mengerti, mengapa tidak muncul serangan lanjutannya. Rupanya, Gandula ingin mereka bersiap-siap lebih dulu.

   "Kuterima tantanganmu..., Kisanak,"

   Sahut Dewa Arak lantang.

   "Tapi kumohon, kau mau melepaskan orang yang tidak tersangkut dengan urusan ini!"

   "Hmrrrhhh...! Apa maksudmu?!"

   Sentak Gandula keras.

   "Jangan main-main denganku!"

   Dewa Arak menggelengkan kepala.

   "Aku tidak main-main,"

   Kata Arya sungguh-sungguh.

   "Aku hanya ingin kau membiarkan kedua orang wanita itu pergi!"

   "Jangan kabulkan permintaannya, Gandula! Wanita-wanita itulah yang bisa kita gunakan untuk mengorek keterangan tentang Eyang Bantara. Dengan adanya wanita itu sebagai sandera, kita bisa membuat mereka bercerita mengenai Eyang Bantara!"

   Seru Caraka buru-buru Pemuda berpakaian indah, keponakan Juragan Donggala ini khawatir Gandula akan mengabulkan permintaan itu.

   Padahal, dia sudah tidak sabar lagi untuk mendapatkan Wigati.

   Dan yang lebih menggembirakan hatinya, di sana masih ada gadis yang jauh lebih cantik daripada Wigati.

   Melati! "Sayang sekali, aku tidak bisa memenuhi keinginanmu!"

   Tegas Gandula.

   Dewa Arak dan si Jari Maut saling berpandangan.

   Semula mereka yakin, Gandula akan memenuhi permintaan mereka.

   Tapi, maksudnya diurungkan oleh ucapan Caraka.

   Karuan saja hal ini membuat dua tokoh sakti ini khawatir.

   Mereka tahu, Gandula telah kena diperalat Caraka! Padahal, pemuda berpakaian indah itu adalah seorang yang memiliki watak bejat.

   Tidak mustahil kalau kekacauan pasti akan timbul.

   Sebuah dugaan menyelinap di hati si Jari Maut dan Dewa Arak.

   Jangan-jangan, tindakan pembantaian di Perguruan Ayam Emas pun terjadi karena keinginan Caraka.

   Begitu pula dengan kejadian yang akan menimpa si Jari Maut.

   Si Jari Maut mempunyai alasan yang lebih kuat.

   Dia tahu, Caraka memang mempunyai dendam terhadap murid Perguruan Ayam Emas.

   Terutama sekali pada Lintar.

   Karena murid kepala Perguruan Ayam Emas itu telah beberapa kali menggagalkan tindak kejahatan Caraka.

   Tambahan lagi, Lintar lah yang direncanakan menjadi suami Wigati! Namun keadaan yang tengah dihadapi, memaksa Dewa Arak dan si Jari Maut melupakan pikiran-pikiran yang menggeluti kepala.

   Maka mereka bersiap-siap mengadakan perlawanan.

   Si Jari Maut buru-buru mempersiapkan ilmu 'Jari Pengejar Nyawa' andalannya.

   Sedangkan Arya segera mengambil guci arak yang tergantung di punggung dan kemudian menuangkan ke dalam mulut Gluk....

   Gluk....

   Gluk...! Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Arya dalam perjalanan menuju ke perut.

   Kontan ada hawa hangat yang merayapi perut Dewa Arak, kemudian merayap ke atas kepala.

   Sikap kaki Dewa Arak pun mulai tidak tetap.

   Ini menjadi pertanda kalau pemuda berambut putih keperakan itu telah siap menggunakan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya.

   "Haaat...?"

   Teriak si Jari Maut keras.

   Seiring keluarnya teriakan, kakek tinggi kurus itu melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah dada ulu hati dan pusar lawan.

   Decitan angin tajam pun kontan terdengar.

   Wusss...! Pada saat yang hampir bersamaan, Dewa Arak pun menerjang Gandula.

   Tubuhnya melayang udara, dan bersalto beberapa kali.

   Kemudian, guci yang tergenggam di tangan kanannya diayunkan ke arah kepala Gandula.

   Apabila mengenai sasaran, sudah bisa dipastikan kalau kepala makhluk aneh akan hancur berantakan.

   Kali ini di sekeliling Gandula tidak ada kekuatan aneh yang mampu membuat tubuh si penyerang terlontar kembali.

   Sehingga, Dewa Arak dan si Jari Maut leluasa melancarkan serangan.

   "Pergilah kalian ke neraka!"

   Bentak Gandula.

   Akibatnya luar biasa bagi Dewa Arak dan si Jari Maut.

   Terjangan mereka kontan pupus.

   Bahkan sebaliknya, tubuh mereka terlempar deras ke belakang! Dewa Arak yang berada di udara, terpental melayang ke belakang, dengan arahnya agak menyerong ke atas.

   Sedangkan si Jari Maut yang berada terjengkang ke belakang, tapi tidak ke udara seperti Dewa Arak "Kang Arya...!"

   Teriak Melati.

   "Ayaaah...!"

   Jerit Wigati pula. Hampir berbareng, kedua gadis yang sama-sama cantik manis ini menghambur ke arah Dewa Arak dan si Jari Maut.

   "Tangkapkan gadis berpakalan biru untukku, Gan-dula,"

   Kata Caraka bernada perintah.

   Gandula hanya menggeram pelan.

   Jari telunjuk kanannya bergerak pelan, tapi akibatnya, Wigati yang tengah berlari merasa sekujur tubuhnya langsung lemas mendadak! Sekujur otot-otot dan urat-urat syarafnya seperti kehilangan daya.

   Hasilnya, tubuhnya pun terjerembab ke tanah.

   Namun demikian, Wigati sempat melihat tubuh ayahnya yang meluncur deras ke arah gundukan batu sebesar gajah.

   Dan....

   Prakkk! Tanpa sempat bersambat lagi, nyawa si Jari Maut pun pergi meninggalkan raga Darah bercampur otak muncrat-muncrat dari kepalanya yang hancur berantakan.

   Tubuh itu pun kemudian ambruk di tanah, dan tak bergerak lagi untuk selamanya.

   "Ayah...!"

   Wigati berusaha menjerit keras. Tapi perasaan lemas mendadak yang melanda tubuhnya, ternyata juga mempengaruhi suaranya. Sehingga jeritan yang keluar terdengar seperti keluhan! "Ha ha ha...!"

   Caraka tertawa bergelak-gelak. Hatjnya merasa gembira bukan kepalang melihat si Jari Maut telah tewas. Dengan langkah lebar-Iebar dihampirinya Wigati yang masih tergolek tak berdaya.

   "Akhirnya kau kudapatkan juga, Wigati,"

   Kata Caraka bernada kemenangan.

   Pemuda berpakaian indah itu kemudian mengulurkan tangan.

   Dan sekali jari tangannya menotok punggung, Wigati pun terkulai.

   Caraka terpaksa menotok karena Gandula telah memberitahukan, kalau rasa lemas yang melanda Wigati tidak akan berlangsung lama! "Hup...!"

   Dengan wajah berseri-seri gembira, diangkatnya tubuh Wigati.

   Meskipun ada sedikit perasaan kecewa karena Melati tidak berhasil didapatkan.

   Memang, gadis berpakaian putih itu telah lenyap ke balik kerimbunan pepohonan dalam usahanya mengejar tubuh Dewa Arak yang melayang jauh ke udara, tak ke tahuan di mana jatuhnya.

   Kalau menuruti perasaan, Caraka ingin mengejarnya.

   Tapi dia khawatir tidak akan mampu menandingi Melati.

   Maka, maksudnya itu diurungkan.

   Biarlah kali ini hatinya puas dengan hanya berhasil mendapatkan Wigati! Sementara itu, Gandula hanya mengawasi saja semua kelakuan Caraka.

   Ada perasaan putus asa yang menyelinap, mengingat orang-orang yang ditemuinya tidak mengetahui Eyang Bantara.

   Jangankan tempat tinggalnya, namanya pun jarang dikenal.

   Kini dia hanya menggantungkan harapan pada Caraka yang mengaku tahu sahabat-sahabat Eyang Bantara.

   "Mari, Gandula. Kita kembali dulu untuk beristirahat. Nanti kutunjukkan kawan-kawan Eyang Bantara yang lain. Sayang, si keparat Jari Maut tidak menunjukkannya."

   Setelah berkata demildan, Caraka melangkah meninggalkan tempat itu.

   Ada senyum gembira tersungging di bibirnya.

   Dia merasa gembira berhasil mendapatkan gadis yang diidam-idamkannya selama ini.

   Sedangkan Gandula hanya menggeram pelan, kemudian melangkah mengikuti Caraka yang telah melangkah lebih dulu.

   Sepeninggal Gandula dan Caraka suasana kembali hening.

   Tidak terdengar lagi suara sedikit pun.

   Kesunyian menyelimuti tempat itu, sehingga tampak menyeramkan! *** Dengan pandangan mata tertuju pada tubuh Dewa Arak yang terus melayang, Melati mengayunkan kakinya mengejar.

   Beberapa kali kakinya tersandung akar-akar pohon melintang yang menyembul keluar permukaan tanah.

   Hanya berkat ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan tinggi saja, sehingga dia tidak jatuh tersungkur di tanah.

   Wajah Melati kontan pucat pasi ketika melihat tubuh kekasihnya meluncur ke arah sebatang pohon besar.

   "Kang Arya...! Awas... ! Kau akan menabrak pohon besar...!"

   Teriak Melati kalap.

   Arya yang sejak tadi melihat Melati memburunya, tentu saja mendengar seruan itu.

   Dia memang tidak melihat sasaran tempat tubuhnya meluncur, karena luncurannya didahului oleh dengan punggung.

   Namun apa dayanya? Sejak tadi pun kekuatan yang membuat tubuhnya meluncur telah diusahakan untuk dipatahkan.

   Tapi, tetap saja dia tidak mampu.

   Sekarang pun Dewa Arak masih tetap melanjutkan usahanya, walaupun tanpa hasil! Apakah nasibnya akan berakhir di sini? Arya sudah bisa memperkirakan, apabila tubuhnya menghantam batang pohon itu, pasti akan tewas.

   Atau paling tidak, akan terluka parah.

   Tulang-tulang punggungnya akan hancur berantakan karena dia sama sekali tidak bisa mengerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi tubuhnya.

   Sementar a Melati hanya bisa memperhatikan semua kejadian itu dengan sepasang mata terbelalak.

   Gadis itu sama sekali tidak bisa berbuat apa pun untuk menyelamatkan kekasihnya.

   Karena, tubuh Arya meluncur melewati sebuah sungai yang cukup lebar.

   Paling tidak, akan membutuhkan waktu beberapa saat, sebelum sampai ke seberang.

   Dan andaikata bisa mencapai seberang sungai pun, tubuh Arya pasti sudah menghantam pohon besar itu.

   Namun meskipun demikian, Melati tidak putus asa.

   Maka segera dipungutnya potongan kayu yang ada di sekitar shu.

   Benda-benda itu diperlukannya untuk mencapai seberang.

   "Hih...!"

   "Hih...!"

   Belum juga Melati mencapai pertengahan sungai, daya lompatannya sudah habis.

   Melati buru-buru menjauhkan potongan kayu pertama, untuk tempat berpijaknya di atas air.

   Meskipun tengah sibuk dengan usahanya, Melati masih sempat memperhatikan tubuh Dewa Arak yang terus meluncur deras ke arah pohon besar! Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya, Melati melompat.

   Tapi seperti yang sudah diduga, belum juga mencapai pertengahan sungai, daya lompatannya habis.

   Tubuhnya kontan meluncur ke permukaan sungai.

   Dan sebelum tubuhnya tercebur ke dalam sungai, Melati buru-buru menjatuhkan potongan kayu pertama, tepat di bagian sungai tempat tubuhnya akan terjatuh.

   Prattt...! Begitu kakinya menyentuh kayu itu, Melati langsung menotolkan kaki.

   Maka, tubuhnya pun kembali melenting ke atas.

   Dan hal yang sama dilakukan Melati ketika tubuhnya hampir meluncur ke sungai kembali.

   Meskipun tengah sibuk dengan usahanya, Melati masih sempat memperhatikan Arya.

   Hampir sepasang matanya terbelalak ketika melihat tubuh Arya yang tengah meluncur deras ke arah pohon besar, mendadak terhenti dan melayang turun! Sambil melentingkan tubuh kembali sehabis menjejak potongan kayu, Melati mengalihkan pandangan ke arah tempat tubuh Arya meluncur turun.

   Kontan bulu tengkuk Melati merinding ketika melihat seorang kakek berpakaian putih bersih berdiri di situ.

   Kumis, jenggot, dan jambangnya telah memutih semua.

   Bahkan panjang jenggotnya sampai ke dada! Sekujur tubuh kakek itu tampak seperti mengeluarkan sinar berkilauan! Terutama sekali wajahnya! Bahkan Melati sampai memejamkan mata karena tak kuat memandang wajah kakek itu berlama-lama.

   Silau! "Hup...!"

   Pada saat yang bersamaan dengan mendaratnya kedua kaki Melati di seberang sungai, Arya pun hinggap di tanah pula, tepat di depan kakek itu.

   "Guru...,"

   Sebut Arya sambil memberi hormat.

   Kini keheranan yang melanda hati Arya lenyap.

   Memang, semula hatinya merasa heran ketika merasakan luncuran tubuhnya terhenti, lalu meluncur turun.

   Apalagi ketika dirasakan kepandaiannya mampu dikeluarkan kembali! Tapi setelah mengetahui keberadaan kakek berpakaian putih bersih di situ, keheranannya pun langsung hilang.

   Kakek berpakaian putih bersih yang memang tidak lain adalah Ki Gering Langit hanya tersenyum lebar.

   "Bangunlah, Arya,"

   Ujar Ki Gering Langit pelan Arya pun bangkit berdiri. Dan pada saat itulah, Melati melangkah ragu-ragu menghampiri. Kemudian, gadis itu berdiri di sebelah kekasihnya.

   "Syukur kau selamat, Kang,"

   Ucap Melati, masih bergetar suaranya karena perasaan tegang yang melanda.

   "Padahal, tadi aku sudah khawatir sekali...."

   "Gurulah yang telah menyelamatkanku, Melati,"

   Jelas Arya. Melati pun buru-buru memberi hormat pada Ki Gering Langit.

   "Terima kasih atas pertolonganmu pada Arya, Ki,"

   Kata Melati penuh terima kasih.

   "He he he...!"

   Ki Gering Langit tertawa. Lembut sekali suaranya, sehingga menyejukkan dada.

   "Guru manapun akan menyelamatkan muridnya selama bisa dilakukan, Melati."

   Wajah Melati kontan berubah muram.

   Ucapan Ki Gering Langit mengingatkannya akan nasib gurunya yang tewas secara mengenaskan.

   Tapi toh, gurunya yang bernama Ki Julaga itu merasa gembira sebelum mati.

   Gembira karena murid yang disayanginya berhasil dibujuk untuk menyelamatkan diri, persis seperti ucapan Ki Gering Langit.

   Teringat akan nasib gurunya membuat Melati teringat akan pesan yang dititipkan kepadanya sebelum kakek itu meninggal dunia.

   "Boleh aku bertanya, Ki,"

   Tanya Melati sambil menatap wajah guru Arya, tapi pandangannya kemudian dipalingkan lagi karena tak tahan menghadapi sinar-sinar pada wajah itu terlalu lama.

   "Tanyakanlah,"

   Sambut Ki Gering Langit lembut.

   Keberanian Melati semakin membesar mendengar sambutan kakek berpakaian putih bersih itu.

   Memang, semula dia merasa segan untuk mengajukan pertanyaan.

   Ada sesuatu dalam diri Ki Gering Langit yang membuat orang merasa segan dan hormat padanya.

   "Apakah kau yang bernama Ki Gering Langit, Ki?"

   Tanya Melati, polos. Di bibir Ki Gering Langit tersungging senyuman ketika Melati mengucapkan pertanyaannya.

   "Benar, Melati. Aku Ki Gering Langit. Apakah Arya tidak pernah bercerita tentang diriku padamu?"

   Ki Gering Langit malah balas bertanya.

   "Padahal padaku, Arya banyak bercerita tentang dirimu."

   Ucapan bernada godaan ini membuat wajah Melati memerah.

   Bahkan Arya pun memaksakan diri untuk berdehem, karena terasa ada sesuatu yang mengganjal di lehernya.

   Sungguh sama sekali tidak disangka kalau gurunya bisa bercanda pula! "Pernah, Ki.

   Arya pemah bercerita tentang dirimu,"

   Jawab Melati setelah rasa malunya lenyap "Guruku pun banyak bercerita tentang dirimu, Ki."

   Ki Gering Langit mengangguk-anggukkan kepala.

   "Arya pun sudah menceritakannya padaku, Melati. Bukankah gurumu adalah Ki Julaga?"

   Tanya Ki Gering Langit "Benar, Ki,"

   Jawab Melati sambil menganggukkan kepala.

   Di dalam hati, Melati merasa heran bercampur kagum.

   Tampak tidak ada kemarahan, kejengkelan atau dendam baik pada raut wajah maupun nada suara guru Arya.

   Padahal, Ki Julaga itu adalah pelayan Ki Gering Langit yang telah mengkhianatinya.

   Dia telah kabur dari tempat tinggalnya dan membawa lari kitab-kitab pusaka.

   Lalu Melatilah yang menjadi pewaris tunggal dari ilmu-iimu yang dimiliki Ki Julaga.

   Berarti, Melati terhitung cucu murid Ki Gering Langit.

   "Sudah cukup lama aku ingin menemuimu, Ki,"

   Kata Melati lagi setelah beberapa saat lamanya terdiam.

   "Mengapa kau ingin bertemu denganku, Melati?'"

   Tanya Ki Gering Langit tersenyum dikulum.

   Arya bertanya-tanya dalam hati.

   Mengapa Melati ingin bertemu dengan Ki Gering Langit? Malahan niat itu, katanya, sudah lama! Untuk apa? Dan mengapa Melati tidak pemah menyatakan hal itu padanya? Dan lagi, seingatnya Melati tidak pernah bertemu dengan Ki Gering Langit (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode 'Tinju Penggetar Bumi").

   Berbagai pertanyaan bergelayut di benak Arya.

   Tapi tidak ada satu jawaban pun yang didapatkannya.

   "Bukankah waktu itu kau telah bertemu denganku?"

   Tanya Ki Gering Langit. Arya mengangguk membenarkan ucapan gurunya.

   "Waktu itu, aku belum dititipi amanat, Ki,"

   Jawab Melati yang membuat Arya dan Ki Gering Langit mengangguk-anggukkan kepala.

   "Jadi..., ada orang yang ingin menyampaikan pesan padaku. Dan kau yang menjadi kurirnya, Melati?"

   Duga Ki Gering Langit, tetap dengan suara lembut.

   Melati menganggukkan kepala.

   Arya memandang wajah gurunya sekilas.

   Kini sudah bisa diduga, orang yang telah menyampaikan pesan pada Melati itu pasti Ki Julaga (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Dendam Tokoh Buangan").

   "Sebelum meninggal..., guru telah meniripkan pesan padaku untuk meminta maaf padamu, Ki. Dia merasa bersalah karena telah mengkhianatimu...,"

   Kata Melati dengan suara serak dan terbata-bata. Ki Gering Langit mengelus-elus jenggotnya.

   "Sebenarnya..., aku sudah lama memaafkannya, Melati. Apalagi ketika kutahu, dia sudah menyadari kesalahannya. Tambahan lagi, dia telah berhasil mendidik seorang pendekar wanita yang gagah seperti dirimu. Aku sudah lama memaafkanmu, kalau tidak, mungkin sudah sejak dulu kusuruh Arya untuk menghukumnya,"

   Urai kakek berpakaian putih bersih itu panjang lebar.

   "Tapi..., dia ingin mendengar kau sendiri yang mengatakan bahwa semua kesalahannya telah kau maafkan, Ki,"

   Kata Melati lagi.

   "Biar hatinya tenang, Begitu katanya, Ki."

   "Baiklah,"

   Ki Gering Langit mengalah.

   "Kalian berdua menjadi saksi atas ucapanku ini. Aku, Ki Gering Langit telah memaafkan semua kesalahan-kesalahan yang dibuat Ki Julaga."

   "Terima kasih atas kebaikan hatimu, Ki,"

   Ujar Melati penuh haru karena teringat nasib gurunya kembali. Ki Gering Langit mengulapkan tangannya.

   "Tidak perlu berterima kasih, Melati, bahkan kalau kutahu ilmu yang dicurinya malah menimbulkan seorang pendekar wanita sepertimu, aku malah mengizinkannya untuk mencuri kitabku yang lain. Andaikata kitab itu ada!"

   Seulas senyum sendu tersungging di bibir Melati. Senyum yang hadir dalam cekaman hati yang masih dilanda kedukaan. Arya buru-buru merangkulnya.

   "Kalau saja gurumu masih hidup, tak bisa kubayangkan, betapa besar perasaan gembiranya melihat bakti yang kau berikan padanya, Melati,"

   Kata Ki Gering Langit lagi.

   Memang, kakek berpakaian putih bersih itu telah mendengar kematian Ki Julaga dari Dewa Arak.

   Sedangkan Arya sendiri mendengarnya dari Melati.

   Suasana langsung hening ketika Ki Gering Langit menghentikan ucapannya.

   Karena, baik Arya maupun Melati tidak memberikan tanggapan.

   "Sekarang giliranmu, Arya,"

   Kata Ki Gering Langit sambil menoleh ke arah pemuda berambut putih keperakan itu "Katakanlah ganjalan di hatimu."

   Arya agak tergagap mendapat pertanyaan yang sama sekali tidak disangka-sangka itu. Tapi hanya sebentar saja, karena sesaat kemudian sudah bisa mengendalikan diri.

   "Memang ada hal-hal yang ingin kutanyakan, Guru,"

   Kata Arya setelah tercenung beberapa saat lamanya.

   "Mengenai belalang raksasa yang ada di alam gaib."

   Kemudian, Arya menceritakan semua kejadian yang dialaminya sampai bertemu belalang raksasa.

   Ki Gering Langit mendengarkan semua cerita Arya penuh perhatian.

   Sama sekali cerita murid nya tidak diselak.

   Namun bukan hanya kakek berpakaian putih itu saja yang mendengarkan cerita Arya.

   Melati pun ikut mendengarkan.

   Kini dia pun mengerti, hal-hal aneh yang terjadi sewakru Arya berhasil menewaskan Dedemit Api (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Dalam Cengkeraman Biang Iblis").

   "Begitulah ceritanya, Guru,"

   Tutur Arya, menyelesaikan ceritanya. Ki Gering Langit mengangguk-anggukkan kepala.

   "Apa yang kau dengar dan kau lihat di dalam mimpimu itu memang benar, Arya. Mimpi itu bukan hanya sebagai bunga tjdur. Itu memang cara lain yang bisa kugunakan untuk memberitahukanmu,"

   Kalem jawaban Ki Gering Langit.

   "Jadi..., belalang raksasa itu benar-benar ada, Guru?"

   Desak Arya ingin tahu. Ki Gering Langit menganggukkan kepala.

   "Dan benarkah belalang raksasa itu bisa kubawa masuk ke dalam diriku. Guru?"

   Tanya Arya lagi meminta kepastian.

   "Bukankah kau sendiri telah membuktikannya, Arya?"

   Ki Gering Langit malah balas bertanya. Arya menganggukkan kepala. Kini hatinya merasa lega, karena pertanyaan yang sudah lama menggelayuti benaknya telah terjawab.

   "Satu hal yang perlu kau tahu, Arya. Kau jangan sembarangan membawa masuk belalang raksasa itu. Lakukanlah hal itu apabila sudah tidak sanggup menghadapi lawanmu!"

   Jelas Ki Gering Langit ' Akan kuingat-ingal semua nasihatmu itu, Guru,"

   Janji Arya.

   "Bagus!"

   Puji Ki Gering Langit "Ada satu hal lagi yang perlu kau ketahui, Arya.

   Setiap kali kau membawa belalang raksasa itu ke dalam dirimu, kemampuan ilmu 'Belalang Sakti'mu akan bertambah.

   Baik tenaga dalam, maupun kemampuan jurus-jurus dalam ilmu 'Belalang Sakti'mu.

   Semakin lama belalang raksasa itu ada di dalam dirimu.

   semakin banyak ilmu yang akan kau serap."

   Kembali sebuah teka-teki yang selama ini menggelayuti benak Arya, terjawab.

   Tidak heran jika pada saat itu dia mampu mengalahkan Dedemit Salju.

   Padahal, Dedemit Salju belum tentu kalah menghadapi Dedemit Api.

   Sedangkan Dewa Arak menghadapi Dedemit Api tanpa bantuan belalang raksasa, pasti akan roboh.

   "O ya, Arya. Ada sebuah hal lagi yang ingin kuberitahukan padamu,"

   Kata Ki Gering Langit lagi.

   "Mengenai lawan yang tadi kau hadapi."

   "Ada apa dengan lawanku, Guru?"

   "Dia bukan manusia biasa, Arya,"

   Jawab kakek berpakaian putih bersih itu.

   "Dia merupakan gabungan antara makhluk alam gaib dengan manusia biasa. Ibunya, makhluk alam gaib. Entah itu berupa siluman, jin, atau dedemit, aku kurang jelas. Dan ayahnya adalah manusia biasa."

   "Ah!"

   Hampir berbareng Arya dan Melati terpekik keras.

   "Dari mana kau mengetahui kalau lawanku itu adalah makhluk alam gaib. Guru?"

   Tanya Arya ingin tahu. Ki Gering Langit tidak langsung menjawab pertanyaan itu, tapi malah terdiam beberapa saat lamanya.

   "Pertama kali, adalah kejadian-kejadian aneh pada alam. Apabila tidak ada sesuatu yang menggemparkan, alam tidak akan menunjukkan gejala-gejala seperti itu,"

   Jawab Ki Gering Langit "Dan yang kedua, ibu dari lawanmu datang menemuiku. Dia menceritakan semuanya."

   "Bagaimana mungkin, manusia dan makhluk halus bisa kawin dan mendapatkan keturunan, Ki?"

   Tanya Melati, heran bercampur ingin tahu.

   "Kalau menurut sewajarnya tidak mungkin, Melati. Tapi karena kedua-duanya menyimpang, yahhh..., terjadilah hal seperti itu. Menurut berita yang kudapatkan, seorang penduduk yang bernama Bantara ingin memperoleh kedudukan, kekayaan, dan juga ilmu pengobatan. Dia bertapa beberapa lamanya, lalu menggauli seorang makhluk gaib yang berwujud binatang."

   Ki Gering Langit menghentikan ceritanya sejenak.

   "Bantara sama sekali tidak mengetahui kalau kejadian itu menyebabkan makhluk dari alam gaib itu hamil, dan akhirnya melahirkan anak berjenis laki-laki. Setelah besar, anak campuran itu kemudian menanyakan ayahnya pada sang Ibu. Hal itu karena dia memiliki keanehan ketimbang makhluk lainnya."

   Kembali Ki Gering Langit menghentikan ceritanya sejenak, untuk mengambil napas. Sementara, Melati dan Arya tetap mendengarkan dengan perasaan semakin tertarik.

   "Semula sang Ibu tidak memberitahukannya. Tapi karena Gandula terlalu mendesak, akhirnya diberitahukannya juga. Akibatnya, seperti ini. Gandula melakukan pencarian terhadap ayahnya secara membabi buta."

   "Lalu..., Eyang Bantara itu sekarang di mana. Guru?"

   Tanya Arya ingin tahu.

   "Hhh...!"

   Ki Gering Langit menghela napas berat. Karuan saja hal ini membuat Arya dan Melati merasa heran dan menduga-duga. Apakah telah terjadi sesuatu terhadap Eyang Bantara? "Eyang Bantara telah meninggal dunia sekitar seratus tahun yang lalu, Arya."

   "Ahhh...!"

   Hampir berbareng, Arya dan Melati terpekik kaget.

   "Mengapa Gandula sama sekali tidak mengetahui hal itu?"

   Tanya sepasang muda-muda itu dalam hati.

   "Gandula sama sekali tidak tahu kalau perbedaan waktu di alam gaib dengan di alam nyata sangat jauh. Satu hari disana, mungkin sama dengan sepuluh tahun di sini,"

   Jelas Ki Gering Langit ketika melihat keheranan yang membayang di wajah Arya dan Melati.

   Kontan kepala Arya dan Melati terangguk-angguk.

   Perasaan bingung yang melanda pun kontan lenyap.

   Yang tinggal hanya perasaan kasihan terhadap Gandula.

   Sebab, usaha pencariannya ternyata sia-sia! "Kalau begitu, aku harus memberitahukan hal ini pada Gandula, Guru,"

   Kata Arya mengambil keputusan.

   "Aku tidak yakin Gandula akan mendengarkan ucapanmu, Arya,"

   Sahut Ki Gering Langit.

   "Keinginannya untuk bertemu ayahnya terlalu menggebu-gebu. Aku yakin, dia tidak mau mendengarkan ucapan apapun selain pemberitahuan tempat tinggal ayahnya."

   Arya langsung terdiam. Disadari ada kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam ucapan gurunya.

   "Meskipun begitu, memang lebih baik kau memberitahukannya dulu, Arya. Barangkali saja Gandula bisa sadar. Apabila tidak, baru kau harus menunaikan tugasmu selaku seorang pendekar. Memberantas semua kekacauan yang terjadi di muka bumi, sebatas kemampuanmu!"

   Tandas Ki Gering Langit.

   Arya menganggukkan kepala, pertanda siap memenuhi perintah itu.

   Tapi ternyata anggukan kepala pemuda berambut putih keperakan itu terlihat kaku.

   Melati tentu tahu sebabnya.

   Dewa Arak sama sekali tidak berdaya menghadapi Gandula! "He he he...!"

   Ki Gering Langit tertawa terkekeh. Rupanya masalah yang tengah melibat muridnya diketahuinya.

   "Kau merasa kesulitan untuk menghadapinya, Arya?"

   "Benar, Guru,"

   Sahut Arya sambil menganggukkan kepala.

   "Dia memiliki ilmu yang luar biasa. Tanpa susah payah, dia mampu membuatku tidak berdaya. Ilmunya mengingatkanku akan ilmu 'Pitunduk' milik Guru."

   Ki Gering Langit menganggukkan kepala.

   "Memang begitulah makhluk-makhluk alam gaib, Arya. Mereka banyak memiliki keistimewaan. Tapi, percayalah. Kau akan bisa menghadapinya. Bahkan mungkin bisa mengalahkannya,"

   Tegas Ki Gering Langit, bernada yakin. Arya dan Melati saling pandang.

   "Bagaimana aku bisa menghadapinya, Guru? Apakah Guru akan menurunkan ilmu lagi padaku?"

   Ki Gering Langit menggelengkan kepala.

   "Ilmu yang kau miliki sudah cukup untuk membuat kau mampu mengalahkannya, Arya,"

   Jawab kakek berpakaian putih bersih itu.

   "Aku sudah mengerahkan seluruh kemampuanku sewaktu menghadapinya, Guru. Tapi, dengan mudah aku berhasil ditundukkannya,"

   Bantah Arya.

   "Kau hanya menggunakan ilmu-ilmu kasar, Arya. Padahal apabila menghadapi ilmu gaib, kita harus menghadapi dengan ilmu yang sama. Dan apabila tidak, kita harus mencari kelemahan dari ilmu itu,"

   Papar Ki Gering Langit.

   "Tapi bagaimana aku akan bisa menemukan kelemahannya. Guru? Sebelum aku berbuat sesuatu, makhluk itu sudah bisa membinasakanku dengan ilmu ajaibnya itu!"

   Ki Gering Langit tersenyum lebar.

   "Akan kuterangkan sejelas-jelasnya agar kau mengerti, Arya. Begini. Gandula adalah keturunan dua jenis makhluk yang berbeda. Dia bisa hidup di alam gaib dan alam nyata, karena mempunyai raga di samping jiwa. Berbeda dengan makhluk halus lainnya,"

   Urai Ki Gering Langit panjang lebar.

   "Sebagai keturunan makhluk alam gaib, dia pun memiliki berbagai keistimewaan yang dimiliki leluhurnya. Kemampuan-kemampuan yang tidak masuk akal manusia!"

   Ki Gering Langit menatap wajah Arya dan Melati berganti-ganti untuk mengetahui apakah sepasang muda-mudi itu mengerti atau tidak pada penjelasannya. Tapi setelah sesaat ditunggu, ternyata tidak ada pertanyaan yang muncul.

   "Seperti juga Gandula, kau memiliki raga kasar dan raga halus. Hanya saja, raga halusmu tidak memiliki keistimewaan seperti halnya Gandula. Sehingga, kau bisa dipecundanginya. Raga halusmu pedu memiliki kemampuan agar bisa menghadapi ilmu-ilmu mengerikan milik Gandula. Memang, bisa saja aku memberi sebagian ilmu-ilmu gaib yang kumiliki padamu, Arya. Tapi..., hanya ilmu-ilmu gaib yang layaknya dimiliki manusia biasa saja. Tentu saja tidak akan berarti saat menghadapi Gandula."

   "Kalau begitu..., bagaimana Kang Arya akan bisa menghadapi makhluk itu, Ki?"

   Tanya Melati tanpa menyembunyikan perasaan cemasnya.

   "Kau bisa menduga, ke mana harus mencari bantuan untuk raga halusmu itu?"

   Ki Gering Langit malah melontarkan pertanyaan itu kembali pada Arya.

   Arya tercenung.

   Dahi pemuda berambut putih keperakan ini tampak berkernyit, pertanda tengah berpikir keras untuk menjawab pertanyaan gurunya.

   Sekelebatan dugaan, melintas di benaknya.

   "Apakah..., aku harus membawa masuk belalang raksasa itu ke dalam diriku, Guru?"

   Terka Arya.

   "Tepat!"

   Ki Gering Langit mengacungkan jempolnya.

   "Jadi..., belalang raksasa itu juga memiliki kemampuan seperti yang dimiliki Gandula, Guru?"

   Tanya Arya setengah tak percaya.

   "Meskipun belalang raksasa itu tidak berwujud raga halus seperti yang dimiliki Gandula, tapi karena berada di alam gaib, belalang itu pun mempunyai banyak keistimewaan. Tapi mengenai mampu tidaknya mengalahkan Gandula aku tidak tahu pasti!"

   Jawab Ki Gering Langit, tak mau memberi kepastian. Arya mengangguk-anggukkan kepala.

   "O ya, Ki,"

   Celetuk Melati tiba-tiba.

   "Bukankah apabila belalang raksasa itu masuk ke dalam tubuh Kang Arya, maka kemampuannya ada yang tertinggal di tubuh Kang Arya. Apakah ilmu-ilmu gaibnya pun ikut pula diwarisi Kang Arya."

   Ki Gering Langit menggelengkan kepala.

   "Kemampuan gaib belalang raksasa itu tidak akan diwarisi Arya. Kemampuan yang diwarisinya hanya bersifat menambahi kemampuan yang sudah dimiliki Arya. Jadi, mana mungkin Arya akan menerima cipratan kemampuan gaib karena tidak memiliki dasarnya. Dia hanya mendapat tambahan tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh, dan semakin sempurnanya ilmu 'Belalang Sakti'. Di samping itu, Arya pun jadi seperti memiliki indera keenam. Dia bisa lebih dulu mengetahui akan adanya sebuah bahaya, ketimbang orang lain,"

   Urai Ki Gering Langit panjang lebar.

   Melati tidak bertanya lagi.

   Sedangkan Arya kini mengerti, mengapa tadi perasaan gelisahnya timbul ketika bertemu Gandula.

   Indera keenamnya yang pada binatang disebut naluri, ternyata telah menajam.

   Sehingga, dia bisa mengetahui adanya bahaya mengancam.

   "Apakah kalian berdua sudah mengerti?"

   "Mengerti, Guru,"

   Jawab Arya.

   "Mengerti, Ki,"

   Sahut Melati tak mau kalah.

   "Kalau begitu..., aku pergi dulu. Selamat bertugas, Arya."

   Arya dan Melati bergegas memberi hormat, sebelum akhirnya tubuh Ki Gering Langit raib dari pandangan.

   *** Riuh suara makian mengusik keheningan malam yang sudah mendekati dini hari.

   Suara itu ternyata berasal dari salah sebuah kamar di dalam sebuah pondok.

   Di dalam kamar itu, ternyata ada dua sosok tubuh manusia yang tengah bergumul di balai-balai.

   Sementara makian-makian itu keluar dari mulut orang yang digumuli.

   Dia adalah seorang gadis berwajah cantik jelita dan berambut dikepang.

   Wajah gadis itu cukup cantik.

   Meskipun sepasang matanya tampak merah dan agak membengkak, pertanda habis menangis.

   Beberapa kali mulutnya yang berbentuk mungil dan indah itu mengeluarkan keluhan-keluhan memohon belas kasihan, di samping makiannya.

   Tapi sambutan yang diterimanya adalah ciuman dan remasan bertubi-rubi di sekujur tubuhnya, disertai dengus napas memburu yang menerpa wajahnya.

   Sampai akhirnya....

   "Akh...!"

   Gadis berambut kepang yang tak lain dari Wigati itu menjerit tertahan. Dan beberapa saat kemudian, sosok tubuh di atasnya yang bukan lain adalah Caraka segera bangkit. Sebuah seringai kepuasan tersungging di bibirnya.

   "Biadab! Terkutuk kau, Caraka! Akan kurobek-robek jantungmu dan kuhirup darahmu!"

   Maki Wigati kalap. Sepasang mata gadis berambut dikepang itu memancarkan hawa kebencian yang memuncak. Kalau saja, tidak tertotok lemas, mungkin Caraka sudah diterjangnya.

   "He he he...!"

   Caraka hanya tertawa terkekeh-kekeh, meskipun bulu tengkuknya sempat meremang mendengar ancaman itu.

   Sorot mata, wajah, dan nada suara, membuktikan Wigati tidak main-main dengan ancamannya.

   Tapi, semua itu tidak dipedulikannya.

   Dia kini malah beranjak meninggalkan ruangan itu.

   Belum juga kakinya mencapai pintu, terdengar bentakan yang membuat Caraka terlonjak kaget.

   Memang, dia mengenal siapa pemilik suara itu.

   Suara yang baru saja didengarnya, yang ternyata Dewa Arak! "Hoooi...! Caraka! Keluar kau...! Kembalikan Wigati...!"

   Karuan saja hal itu membuat Caraka kelabakan.

   Dia tahu, dirinya bukan tandingan Dewa Arak yang telah disaksikan sendiri kesaktiannya.

   Tapi, hatinya kemudian tenang ketika teringat akan Gandula.

   Bukankah makhluk aneh yang memiliki kemampuan ajaib itu berada di ruang depan? Teringat akan Gandula, membuat Caraka tidak ragu-ragu lagi melangkah keluar dari ruangannya.

   Dan memang, ketika daun pintu dibuka, terlihat Gandula tengah melangkah keluar.

   Jelas, makhluk berkepala botak itu akan menghampiri Dewa Arak! Maka, buru-buru dia bergegas mengejar untuk membarengi langkah Caraka.

   Di depan pondok yang letaknya terpisah dari pondok-pondok lainnya, berdiri dua sosok tubuh yang memang tak lain dari Dewa Arak dan Melati.

   Memang, sepeninggal Ki Gering Langit, Melati dan Arya langsung mencari jejak Gandula.

   Tidak sulit menemukannya, karena makhluk dari dunia asing itu memang memiliki ciri-ciri yang menyolok.

   Di sepanjang perjalanan, Arya tidak lupa memusatkan perhatian pada belalang raksasa, agar nanti tidak mengalami kesulitan untuk membawanya masuk ke dalam tubuhnya.

   "Gandula...!"

   Seru Arya ketika Gandula dan Caraka telah beberapa langkah melewati ambang pintu.

   "Aku membawa berita tentang orang yang kau cari!"

   Tepat seperti yang sudah diduga, Gandula langsung kelabakan. Makhluk dari dunia asing ini menggeram keras.

   "Katakan, di mana Eyang Bantara!"

   Bentak Gandula tidak sabaran.

   "Eyang Bantara, ayahmu, telah lama tewas, Gandula. Kau terlambat datang. Dan...."

   "Hmrrrhhh...!"

   Gandula meraung seperti binatang buas terluka.

   Telunjuk tangan kanannya langsung ditudingkan ke bawah.

   Maka, hebat akibatnya bagi Dewa Arak Sekujur tulang-tulangnya bagai lolos dan tubuhnya terasa lemas bukan kepalang.

   Maka seperti karung basah, tubuhnya ambruk ke tanah! "Kang...!"

   Jerit Melati kaget.

   Dan kekagetan Melati berganti kekhawatiran ketika melihat Gandula menghampiri Arya dengan langkah lebar.

   Geraman-geraman kemurkaan terdengar jelas dari mulutnya.

   Memang, Gandula merasa murka bukan kepalang mendengar ucapan Dewa Arak.

   Dan karena kemarahan yang amat sangat, membuatnya mengambil keputusan untuk menghabisi nyawa Dewa Arak.

   Srattt...! Melati langsung mencabut pedangnya ketika melihat bahaya besar yang tengah mengancam keselamatan kekasihnya.

   "Haaat..!"

   Didahuiui pekikan melengking nyaring, Melati menerjang Gandula.

   Pedang di tangannya mengeluarkan suara menggerung seperti naga murka ketika diluncurkan ke arah leher Gandula.

   Gandula yang tengah murka kembali menudingkan jari telunjuknya.

   Seketika itu pula, luncuran tubuh Melati kontan terhenti, dan ganti meluruk ke bawah.

   Melati merasakan seluruh tenaganya langsung habis.

   Bahkan sekujur otot-otot dan tulang-tulangnya loyo, tak bertenaga.

   Sementara itu, Dewa Arak memang dilanda perasaan lemas secara mendadak ketika Melati menyerang Gandula.

   Tapi apa dayanya? Jangankan berteriak melarang, menggerakkan bibir saja tidak mampu! Tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya memusatkan pikirannya untuk membawa belalang raksasa ke dalam tubuhnya.

   "Hmrrrhhh...!"

   Gandula menggeram keras.

   Langkahnya kontan terhenti.

   Sepasang matanya menatap ke kejauhan.

   Rupanya, dia mengetahui ada 'makhluk gaib' lain yang muncul.

   Sesaat kemudian, Arya merasakan angin pelan tapi dingin menggigilkan, menghembus tubuhnya.

   Dalam sekejapan saja, sekujur bulu-bulu di tubuhnya kontan bangun.

   Dewa Arak tampak menggigil.

   "Arrrggghhh...!"

   Dengan geraman aneh yang belum pernah keluar dari mulutnya selama belum mengenal belalang raksasa, Dewa Arak membuka mulut.

   Kemudian, diambilnya guci arak dari punggung, dan dituangkan ke atas kepala.

   Gluk...

   Gluk...

   Gluk....! Suara tegukan kasar terdengar dari mulut Arak ketika arak itu melewati kerongkongannya.

   Memang, kali ini tokoh muda yang menggemparkan dunia persilatan ini meminum araknya dengan kasar.

   Sebagian araknya berceceran di sekitar mulut dan di tangan tapi segera diusapnya dengan punggung tangan.

   Ketika hawa panas yang semula muncul di perut perlahan naik ke atas kepala, keadaan kaki Dewa Ara pun tidak tetap lagi.

   Oleng sana, oleng sini.

   Ini menjadi pertanda, Dewa Arak telah siap dengan ilmu 'Belalang Mabuk'nya.

   "Hmrrrhhh...! Binatang jelek! Mengapa kau membela orang yang menjadi lawanku?! Apakah kau pun ingin kumusnahkan?!"

   Ancam Gandula seraya menatap Dewa Arak.

   Memang, Gandula tahu di dalam tubuh Dewa Arak telah bersemayam belalang raksasa dari alam gaib.

   Maka dia pun menegurnya.

   Bahkan sebelum binatang itu masuk, Gandula telah melihat kedatangannya.

   Berbeda dengan Gandula yang melihat belalang raksasa itu mulai dari awal kedatangannya, Caraka tidak demikian.

   Pemuda berpakaian indah itu melihat belalang raksasa itu telah masuk ke dalam tubuh Dewa Arak, tapi tidak terlihat jelas.

   Caraka hanya melihat bayang-bayang samar, tapi cukup jelas di belakang Dewa Arak! Usai mengucapkan kata-kata ancaman itu, Gandula segera menudingkan telunjuk ke bawah.

   "Pergilah ke neraka bersama pemuda itu, Binatang Jelek!"

   Bentak Gandula keras.

   Seketika itu pula, Dewa Arak merasa sebuah kekuatan raksasa yang tidak tampak menekannya ke bawah.

   Rupanya, Gandula ingin membuat kepala lawannya hancur menghantam tanah.

   Di saat gawat itu, tiba-tiba dalam diri Dewa Arak timbul keinginan untuk membuka mulut.

   Keinginan itu begitu kuat, sehingga membuat Dewa Arak mengikutinya.

   Ketika mulut Dewa Arak membuka, terdengar geraman keras dari mulutnya.

   Keras sekali! Tapi anehnya, kekuatan yang menekan tubuh pemuda itu langsung hilang! Jelas, geraman itulah yang telah memunahkan kekuatan yang hampir saja menghancurkan kepala Dewa Arak! "Keparat!"

   Gandula memaki keras melihat Dewa Arak berhasil melepaskan diri dari pengaruh ilmunya.

   Diiringi geraman menyeramkan tangannya kembali bergerak.

   Kali ini telunjuknya ditudingkan ke atas.

   Tapi untuk yang kedua kalinya pengaruh serangan itu lenyap ketika Dewa Arak mengeluarkan geraman keras.

   Memang, sekarang pemuda berambut putih keperakan itu tidak merasa ragu-ragu lagi untuk mengikuti keinginan yang muncul mendadak.

   Dia tahu keinginan itu muncul dari belalang raksasa! Gandula menggeram keras.

   Disadari, tidak ada gunanya lagi melancarkan serangan seperti itu.

   Serangan anehnya yang didasari pada ucapan dan pemusatan pikiran, dipunahkan oleh belalang raksasa dengan suara pula! Kini, Gandula menyerang tanpa menggunakan ilmu ajaibnya! Dan ternyata, makhluk gaib ini juga memiliki kepandaian silat.

   Ilmu meringankan tubuhnya amat tinggi! Begitu pula kepandaian dan mutu ilmu silatnya! Untung saja yang dihadapinya adalah Dewa Arak! Meskipun masih muda tapi memiliki kesaktian luar biasa! Maka pertarungan pun jadi berlangsung sengit Pertarungan antara dua makhluk yang berasal dari alam yang berbeda itu berlangsung sengit bukan kepalang.

   Deru angin keras dari pergerakan setiap serangan keduanya, diselingi geraman yang berbunyi berbeda satu sama lain.

   Dan juga, diiringi terdengarnya tegukan arak ketika di tengah-tengah pertarungan, ketika Dewa Arak menenggak araknya.

   Caraka memperhatikan jalannya pertarungan dengan hati berdebar tegang.

   Sama sekali tidak diduganya kalau Dewa Arak mampu mengimbangi Gandula.

   Karena sibuk memperhatikan pertarungan, Caraka sama sekali tidak melihat ketika Melati bangkit dan bergerak mengendap-endap menuju pondok.

   Memang, Melati memutuskan untuk menyelamatkan Wigati lebih dulu.

   Tanpa menemui kesulitan sedikit pun, putri angkat Raja Bojong Gading itu berhasil masuk ke dalam rumah.

   Lalu, dia perlahan-lahan melangkah menghampiri sebuah kamar yang pintunya tertutup rapat Kriiit...! "Ikh...!"

   Melati menjerit kaget ketika melihat sesosok tubuh yang terlentang di balai-balai tanpa sehelai benang pun melekat di tubuh.

   Apalagi, ketika mengetahui kalau sosok tubuh itu adalah Wigati! Dengan langkah gemetar Melati melangkah menghampiri.

   Sedangkan Wigati hanya menatap Melati dengan air mata berlinang.

   Kalau saja Melati bukan gadis berwatak keras, mungkin sudah terisak-isak karena terharu melihat malapetaka yang menimpa Wigati.

   Meski dengan tangan gemetar, Melati masih mampu untuk membebaskan totokan pada Wigati! Gadis berambut kepang itu langsung memeluk Melati ketika pengaruh totokannya telah punah.

   Melati pun balas memeluk dengan perasaan tak karuan.

   "Melati...!"

   Jerit Wigati pilu.

   Dada Wigati tampak berguncang-guncang karena isak tangis yang melanda.

   Sementara, Melati mengelus-elus rambut gadis itu.

   Putri angkat Raja Bojong Gading itu merasa terenyuh sekali pada Wigati.

   Tapi hanya sesaat saja Wigati larut dalam kesedihan.

   Dilepaskan pelukannya pada Melati.

   "Terima kasih atas pertotonganmu, Melati,"

   Ucap Wigati tersendat karena bercampur isak.

   "Sekarang aku harus membalaskan sakit hati ini pada jahanam keparat itu!"

   Setetah berkata demikian, Wigati bergegas mengenakan pakaiannya, lalu melesat keluar. Sedangkan Melati mengikuti di belakangnya.

   "Caraka! Iblis keji! Rasakan pembalasanku!"

   Wigati langsung memaki ketika tiba di luar pintu, dan langsung menerjang dengan sepasang pisaunya.

   Karuan saja seruan itu membuat Caraka terkejut dan langsung menolehkan kepala.

   Keterkejutannya semakin bertambah ketika melihat Wigati tengah melesat ke arahnya dengan sepasang pisau siap untuk menjagal dirinya! Dengan agak gugup, Caraka mengelakkan serangan itu dan langsung mencabut senjata andalannya, berupa sepasang golok pendek! Dan dengan kedua senjata itu di tangan, dihadapinya serangan membabi buta Wigati! Sesaat kemudian, keduanya sudah terlibat dalam pertarungan mati-matian! Dua kancah pertarungan mempertahankan nyawa itu disaksikan seorang penonton saja, yakni Melati! Gadis berpakaian putih ini beberapa kali harus menoleh ke sana kemari untuk memperhatikan jalannya pertarungan kedua belah pihak.

   Sebuah senyum lega tersungging di mulut Melati ketika melihat Wigati berhasil mendesak Caraka.

   Memang, kepandaian putri si Jari Maut itu berada di atas lawannya.

   Wigati unggul dalam segala hal.

   Tidak aneh apabila dalam tiga puluh jurus saja, Caraka terdesa hebat.

   Dan akhirnya pada jurus ke tiga puluh dua....

   "Akh...!"

   Caraka roboh tersungkur ketika pisau Wigati menembus lambungnya.

   Dan belum sempat keponakan Juragan Donggala ini berbuat sesuatu, Wigati melesat memburu.

   Dan dengan amarah meluap-luap, sepasang pisau itu dihunjamkan bertubi-tubi ke sekujur tubuh Caraka.

   Maka seketika lolong kesakitan terdengar berkali-kali dari mulut Caraka, tapi Wigati bagaikan sudah kesetanan.

   Pisaunya terus dihunjamkan.

   Melati sampai menutup matanya, tidak sanggup lagi melihat tubuh Caraka hancur tercacah.

   Dan begitu tubuh Caraka telah tidak berbentuk lagi, Wigati baru menghentikan perbuatannya.

   Dengan disertai keluhan tertahan, gadis itu pergi dari situ.

   "Wigati...!"

   Panggil Melati.

   Tapi Wigati terus saja berlari, seolah-olah tidak mendengar panggilan itu.

   Sebentar kemudian tubuhnya lenyap ditelan kegelapan malam.

   Melati bermaksud mengejar Wigati, tapi kemudian mengurungkan niatnya ketika mendengar dua buah geraman yang berbeda, tapi sama-sama mengandung getaran kuat.

   Sehingga membuatnya tidak kuasa berdiri karena lututnya kontan lemas.

   Tapi putri angkat Raja Bojong Gading itu masih mampu untuk menolehkan kepala ke arah asal suara geraman yang tak lain adalah pertarungan antara Dewa Arak dan Gandula.

   Saat itu, pertarungan antara Dewa Arak melawan Gandula telah mencapai seratus delapan puluh jurus.

   Dari kedua kepala kedua tokoh sakti itu pun tejah mengepul asap, ketika keduanya sama-sama melompat menerjang lawan! Wuttt, wuttt..! Dukkk...! "Aaargh...!"

   Kejadian itu berlangsung demikian cepat.

   Kedua sampokan tangan Gandula berhasil dielakkan Dewa Arak dengan menundukkan kepala.

   Sebaliknya tendangan kaki kanan Dewa Arak langsung mengeml telak lawan.

   Tak pelak lagi, tubuh Gandula pun terlempar disertai semburan darah dari mulutnya.

   Nyawa Gandula melayang sebelum tubuhnya ambruk ke tanah menimbulkan suara berdebuk! "Sebelum kedua kaki Dewa Arak menyentuh tanah, belalang raksasa itu melesat keluar dari tubuhnya.

   "Kang Arya...!"

   Didahului seruan dari hati yang lega, Melati menghambur ke arah Arya dengan tangan terkembang.

   Arya pun menyambutnya.

   Sesaat kemudian, keduanya sudah saling peluk penuh rasa syukur.

   Perlahan-lahan sepasang pendekar muda itu melepaskan pelukannya, dan memandang ke arah lenyapnya tubuh Wigati yang pergi dengan hati hancur.

   Ada rasa iba yang amat sangat dalam hati sepasang pendekar muda itu.

   Sementara itu, malam telah mulai mendekati dini hari.

   Keruyuk ayam jantan di kejauhan telah mulai terdengar.

   Tak lama lagi, sang surya akan menampakkan diri SELESAI Pembuat Ebook .

   Scan buku ke djvu .

   Abu Keisel Convert .

   Abu Keisel Editor Fuji Ebook oleh .

   Dewi KZ
http.//kangzusi.com/
http.//dewi-kz.info/

   
http.//kangzusianfo/
http.//ebook-dewikz.com/

   

   

   

Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung

Cari Blog Ini