Ceritasilat Novel Online

Mencari Busur Kumala 4


Mencari Busur Kumala Karya Batara Bagian 4


tuannya dan mereka roboh oleh senjata sendiri.

   Sia-tiauw-eng-jin melayang turun bersama jenasah puterinya.

   Ia mengamuk dan menerjang siapa saja.

   Tubuh dan pakaiannya yang penuh darah amatlah mengerikan, belum lagi wajah yang merah kehitam-hitaman itu.

   Dan ketika semalam ia mengamuk dan mundurlah semua musuh-musuhnya, kakek ini benar-benar gagah berani akhirnya pembunuhan yang menguras tenaga ini membuat Siatiauw-eng-jin kelelahan.

   Mayat puterinya tersampir di pundak dan ia terhuyung-huyung.

   Akan tetapi jangan coba-coba mendekati kakek ini.

   Siapapun yang berhadapan berarti siap menerima maut.

   Malam berangsur lenyap dan datanglah matahari pagi.

   Mayat bergelimpangan di mana-mana, tak kurang dari seribu orang.

   Dan ketika semua mundur dan membiarkan kakek itu jatuh terduduk, semua mengepung dari jauh maka Sia-tiauw-eng-jin hampir pingsan oleh pukulan batin amat berat ini.

   Akan tetapi kakek itu benar-benar manusia luar biasa.

   Ia dikepung dan dibiarkan sehari penuh, kalau menyerang maka pasukanpun mundur.

   Terdengar aba-aba bahwa biarkan kakek itu mati kelaparan dan tercekik haus.

   Dan ketika semua ini membuat Siatiauw-eng-jin tersiksa dan marah bukan main maka di hari ketiga di saat matahari memanggang tubuhnya iapun roboh dan terguling.

   Akan tetapi tak ada yang berani mendekat.

   Sudah ada yang mencoba namun tiba-tiba sebatang panah meluncur.

   Perwira Ceh roboh.

   Dan ketika kakek itu dibiarkan terguling dan siapapun gentar mendekati maka dua hari dua malam kakek ini siuman dan pingsan berulang-ulang.

   Musuh tak menyerangnya lagi kecuali berjagajaga.

   Sia-tiauw-eng-jin bagaikan seekor harimau tlia yang dibiarkan kelaparan.

   Lambat tetapi pasti kakek itu bakal binasa.

   Semua minum dan ransum disembunyikan pasukan.

   Dan ketika malam keempat kakek ini menggeliat dan roboh lagi maka berkelebatlah sesosok bayangan putih menyambar.

   Orang tak sempat tahu karena begitu cepatnya kejadian ini.

   Sebuah sinar berkelebat dan pengepung terjengkang bergelimpangan.

   Mereka menjerit dan tumpang tindih dan bayangan putih itu melesat ke arah Sia-tiauw-eng-jin.

   Dan ketika pengawal meloncat bangun berteriak kaget maka bayangan itu menyambar mereka dan sebuah suling mendengung merobohkan perajurit-perajurit Nepal ini.

   "Wut-wut-wutt!"

   Dengung dan bayangan putih itu menyebabkan setiap orang silau.

   Samar-samar mereka melihat seorang laki-laki ber tubuh tegap gagah beterbangan di antara mereka.

   Geraknya bagai burung menyambar-nyambar dan sekejap kemudian kepungan cerai-berai.

   Dengung atau suara suling itu menciptakan deru lembut, mendayu namun bergemuruh dan akhirnya seperti topan badai.

   Siapapun yang tersambar terlempar bergulingan.

   Dan ketika se mua berteriak dan menyelamatkan diri maka bayangan itu telah lenyap membawa Sia-tiauw-engjin, juga mayat puterinya.

   Istana benar-benar gempar.

   Untuk kedua kalinya mereka dibuat pucat oleh ke jadian ini.

   Rupanya ada sahabat atau teman Sia-tiauw-eng-jin datang, menolong dan menyelamatkan kakek itu.

   Dan ketika selanjutnya mereka bersiap dan melapor sri baginda, raja bersembunyi di ruang bawah tanah maka sri baginda tampak pucat dan menggigil.

   Ia sungguh-sung guh tak tahu bahwa sedemikian hebat ekor peristiwa itu.

   "Jaga dan perketat penjagaan. Awas kalau ia datang lagi!"

   "Dan isterinya?"

   "Kurung ia di dalam kamar dan aku membujuk nya nanti!"

   Akan tetapi Simuna, wanita itu tewas bunuh diri.

   Sri baginda tertegun dan kecewa melihat betapa orang yang dicintainya melilitkan leher di atas belandar.

   Rupanya tak kuat dan menderita guncangan batin hebat akhirnya wanita ini menggantung diri.

   Habislah harapannya melihat anaknya terbunuh.

   Dan karena mengikuti Sia-tiauw-eng-jin merupakan bayangan suram bagi wanita ini, lebih baik ia melepas kan hidupnya maka itulah pilihannya dan wanita ini terkulai lemas dan mati secara menyedihkan.

   Raja terguncang lagi.

   Peristiwa itu pukulan berat baginya.

   Dan ketika rakyat akhirnya tahu apa yang menjadi sebab amukan Sia-tiauw-eng-jin maka mereka tiba-tiba tak senang kepada rajanya sendiri terutama bagi mereka yang kehilangan ayah atau anak di tangan laki-laki gagah itu.

   Dengung ketidaksenangan ini memasuki telinga sri baginda.

   Raja mulai dimusuhi secara diam-diam hingga akhirnya jatuh sakit.

   Ancaman pembalasan Siatiauw eng-jin masih juga merupakan bayang-bayang mengerikan.

   Siapa mau terbunuh di tangan laki-laki gagah perkasa itu.

   Dan ketika raja tak mampu bangun lagi dari sakitnya yang berat akhirnya raja meninggal dunia dan Nepal mengangkat raja baru, yang lebih bijak dan tahu perasaan rakyat.

   Anehnya Sia-tiauw-eng-jin tak pernah muncul juga.

   Hanlun, muridnya menghilang pula entah ke mana.

   Dan ketika rakyat mulai tenang dan raja berganti dua kali, peristiwa itu sudah dilupakan orang maka empat puluh tahun kemudian kakek ini muncul di Liang-san, menangkap atau merobohkan Kui Yang dan Kang Hu.

   Dua muda-mudi itu sendiri tentu saja tak tahu siapa kakek ini.

   Bahkan Fang Fang pun tidak.

   Maka ketika hari itu dilewatkan tanpa terasa dan Sia-tiauweng-jin menunggu tiga hari ternyata yang muncul kemudian adalah bocah laki-laki, si pemanah lihai yang datang ke puncak dengan beberapa hewan buruan ai pundaknya! Tentu saja kakek ini terbelalak melihat seorang anak laki-laki datang dengan langkah berani.

   Terbiasa naik turun gunung mendaki tempat-tempat terjal membuat anak laki-laki ini tak kesulitan mendaki Liang-san.

   Ia sendiri sebenarnya masih berkeliaran di tempat itu setelah tiga hari yang lalu bertengkar dengan Kui Yang, melihat betapa tempat itu sepi dan enak untuk berburu.

   Maka ketika ia naik ke atas dan heran melihat sebuah bangunan kecil di puncak, sunyi dan tak ada orangnya anak inipun naik dan si kakek tiba-tiba menghilang untuk mengikuti anak itu dari jauh.

   Anak ini terkejut melihat Kui Yang dan Kang Hu roboh di sudut.

   Dua muda-mudi itu memang masih tertotok dan belum dibebaskan.

   Mereka juga terkejut dan heran melihat anak ini tiba-tiba di situ.

   Akan tetapi ketika anak itu tertawa dan meloncat ke depan maka ia menudingkan gendewanya di hidung gadis ini.

   "Kau, ha-ha! Kalian meringkuk seperti tikus kena perangkap. He, kenapa rebahan seperti ini, enci siluman. Rumah siapa ini dan tampaknya kosong pula. Apakah kalian dirobohkan setan!"

   "Tutup mulutmu dan pergi dari sini. Kau tak boleh menginjakkan kaki di sini, anak setan. Kakimu terlalu kotor masuk ke tempat ini. Enyahlah dan jangan banyak mulut!"

   "Ha, kau selalu memusuhiku, dan kalian tampaknya lapar. Kebetulan aku mendapatkan kelinci hutan ini dan biar kubakar di sini. Kalau kalian mau baik-baik kepadaku mungkin dapat kutolong, tapi kalau tidak biarlah kalian menonton saja dan jangan ganggu aku. Rumah ini jelas bukan milik kalian!"

   Dan menurunkan hewan buruannya serta busur di tangan anak ini tertawa-tawa melihat dua muda-mudi itu tertotok, jelas bersikap mengejek dan tak lama kemudian ia sudah mengumpulkan kayu-kayu kering.

   Di depan mereka berdua anak ini lalu membuat api unggun, lalu ketika ia menguliti dan memanggang kelinci gemuk itu, cekatan dan pandai maka Kang Hu menahan napas karena bau sedap segera keluar dan menyerang hidung.

   Perutpun tiba-tiba berkeruyuk, maklum tiga hari ini si kakek tak mengurus makan minum mereka.

   "Ha-ha, lezat sekali. Ah, gurih dan sedap benar kelinci panggangku ini. Kalau aku tidak dapat menghabiskannya sendirian bukanlah Siauw-toh (Unta Kecil) nama ku!"

   Kui Yang memaki-maki sementara Kang Hu menelan ludah dan memandang anak itu lekat-lekat.

   Sekarang setelah sama-sama di ruangan itu dan si bocah menikmati makanannya ia dapat memandang jelas anak laki-laki ini.

   Wajahnya bundar bulat dengan hidung sedikit bengkok.

   Alisnya hitam tebal dan kulitnyapun agak coklat kehitam-hitaman.

   Anak ini rupanya bukan seorang anak Han murni, campuran dengan suku bangsa lain dan Kang Hu tertarik.

   Namun ketika ia mengamati dan si anak tertawa-tawa, menggigit paha kelinci yang gemuk tebal mendadak berkesiur angin dingin dan lenyaplah sisa kelinci di api unggun.

   "He!"

   Anak itu terkejut.

   "Siluman dari mana ini berani mengambil makananku!"

   Kui Yang yang memaki-maki mendadak terkekeh dan terpingkal.

   la melihat bayangan Siatiauw-eng-jin berkelebat dan kakek itu mengambil makanan si bocah.

   Siauw-toh berlari keluar mencari kakek ini.

   Akan tetapi karena kakek itu lenyap dan hanya bayangannya yang sempat ditangkap anak ini maka anak itu mengejar dan membentak keluar, celingukan.

   "He, siapa berani main-main dengan aku. Setan dari mana berani mencuri makananku. Keluarlah dan hadapi aku secara jantan!"

   "Hi-hik, heh-heh-heh!"

   Kui Yang tak dapat menahan gelinya, mendapat kesempatan membalas.

   "Kau berteriak-teriak tak ada gunanya, tikus cilik. Lihat makananmu yang lain lenyap pula!"

   Anak itu terkejut dan berlari masuk.

   Benar saja tiga tekukur dan seekor bajing hasil buruannya lenyap.

   Ia kelabakan dan memaki-maki.

   Dan ketika ia mencakmencak sementara Kui Yang semakin terkekeh dan geli mendadak anak itu membentaknya dan gendewa disambar dipukulkan ke pundak gadis ini.

   "Diam kau dan jangan menghina aku!"

   Kui Yang menjerit.

   Ia kesakitan dan menyumpah-serapah, Kang Hu terkejut dan membentak agar anak ini tidak memukul temannya.

   Akan tetapi ketika anak itu geram dan mengayunkan gendewanya pula maka...

   buk, leher Kang Hu kena hantam.

   Tentu saja pemuda ini marah dan memaki-maki.

   Kalau saja mereka tak tertotok dan bebas bergerak pasti ia menghajar anak ini.

   Siauw-toh marah-marah makanannya disambar orang.

   Dan ketika mereka bertengkar dan ribut mulut mendadak Sia-tiauw-engjin muncul.

   Kakek ini tertawa-tawa dan mulutnya penuh potong an daging kelinci, nikmat menggayem dan memuji masakan anak itu.

   "Heh-heh, sedap. Kau setan cilik benar-benar pandai membuat makanan men takjubkan. He, aku yang mencuri dan mengambilnya, bocah. Kau siapa dan dari mana. Apakah panah di punggungmu itu benar-benar dapat kaugunakan!"

   Anak ini terkejut, membalik.

   Ia telah berhadapan dengan kakek itu dan melihat potongan daging di mulut.

   Nikmat benar kakek ini menggayem makanannya.

   Akan tetapi ketika ia marah dan sadar maka ia membentak kakek itu, sikapnya yang tidak kenal takut membuat Sia-tiauw-eng jin kagum.

   "Kau siapakah mengganggu anak kecil. Kenapa mencuri dan mengambil makananku. Hayo tukar atau ganti rugi!"

   "Heh-heh, ha-ha-ha. Kau anak kecil tahu apa. He, aku mengambilnya karena lapar, bocah. Tapi kalau panggang kelincimu tidak enak tak mungkin pula kuambil. Kau pintar, rupanya anak seorang pemburu dan agaknya sudah kenal dengan calon-calon muridku ini. Bagus, nih buruanmu yang lain dan pangganglah lagi sesedap mungkin. Perutku masih lapar!"

   Kakek itu membuang tekukur dan bajing hasil curiannya tadi dan anak laki-laki itu membelalakkan mata.

   Tadinya ia marah dan siap menyerang kakek Ini kalau saja si kakek tidak memuji-muji dan mengembalikan buruannya.

   Siapa tidak senang dipuji.

   Maka ketika ia berseri menangkap burung-burung itu, tertawa dan bangga panggang kelincinya enak iapun berkata bahwa kakek itu boleh menikmati burung tekukurnya, juga tupai yang gemuk dan berdaging tebal itu.

   "Akan tetapi jangan suruh aku merugi, masa kau makan gratisan saja.

   Apa yang dapat kauberikan padaku kalau kubuatkan lagi masakan yang sedap.

   Dan mereka ini, eh...

   calon-calon muridmu?"

   "Ha-ha, benar, akan tetapi mereka kurang ajar dan masih kuhukum. Aku dapat memberimu apa saja yang kauminta. Hayo panggang mereka itu dan buatkan yang lebih enak!"

   Anak ini tersenyum dan mengerjakan apa yang diminta.

   Ia melirik Kang Hu dan Kui Yang kemudian duduk memanggang daging buruan itu.

   Sedikit bumbu ia usap kan lembut.

   
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Lalu ketika tak lama tercium bau sedap, tekukur dan bajing itu dibolak-balik maka kakek inipun menyambar terkekeh-kekeh.

   "Nanti dulu,"

   Anak itu berseru.

   "Apa yang akan kauberikan padaku sebagai penukar ini!"

   "Apa saja dapat kuberikan, uang atau baju baru."

   "Wah, aku tak butuh uang, juga baju. Aku ingin kau mengajarkan ilmumu menghilang itu!"

   "Apa?"

   "Benar,"

   Si bocah ternyata cerdik.

   "Tadi kau mengambil dan mencuri makananku, kakek gagah, pergi dan datang seperti siluman. Kau pandai menghilang. Nah, ajarkan itu dan boleh kau merasakan daging bakarku. Atau aku tak mau membuat lagi dan cukup ini saja!"

   Kakek itu tertawa bergelak. la menepuk lantai hingga si bocah terlempar mencelat, kaget dan berseru keras akan tetapi kakek itu sudah menangkapnya lagi. Dan ketika anak ini tertawa hilang kagetnya maka kakek itu berseru padanya.

   "Tahukah kau dengan siapa kau berhadapan. Aku adalah Siatiauw-eng-jin, setan cilik. Melihat panah di punggungmu mengingatkan aku akan dua calon muridku ini. Kalau ingin belajar menghilang coba dulu kepandaianmu memanah, mana lebih baik mereka itu ataukah kau!"

   "Kau ingin menguji? Tiga hari yang lalu mereka ini berebut denganku, tapi aku kalah karena dikeroyok. Tentu saja aku pandai memanah dan lihat ini!"

   Cepat dan tidak terduga-duga mendadak anak itu menjepretkan panahnya ke arah Kui Yang.

   Gerakannya begitu refleks ketika menyambar busur.

   Dan ketika Kui Yang terkejut sementara Kang Hu juga berseru keras, kaget temannya dipanah maka anak panah mendesing namun yang menjadi sasaran adalah ikat rambut di atas kepala gadis itu.

   Kui Yang sendiri tersirap dan berhenti darahnya.

   Siapa tidak kaget diserang seperti itu.

   "Ha-ha, lihat!"

   Anak ini tertawa gembira.

   "Dia pucat dan ketakutan, orang tua. Kalau aku menyerang matanya tentu mampus dan roboh dia. Tidakkah ilmuku memanah hebat!"

   Kakek itu tertawa memuji, la bertepuk tangan dan mengangguk-angguk akan tetapi bangkit dan berkata bahwa anak itu masih bodoh.

   Kepandaiannya memanah belum baik benar.

   Dan ketika anak ini mengerutkan kening dan penasaran maka kakek itu mengeluarkan sebuah panah kecil menunjuk dinding.

   "Kau tak perlu bangga berlebihan, coba panah lah semut kecil itu tepat kepalanya."

   Anak ini terkejut, membelalakkan "Semut, mana ada semut?"

   Mata.

   "Ha-ha, ada tiga ekor beriringan. Di dinding itu ada semut, bocah, lihat dan dekatilah. Kalau kau dapat memanah dan tepat mengenai kepalanya barulah ilmu memanahmu hebat. Kalau tidak jangan kau sombong."

   Anak ini melompat dan penasaran.

   Ia melihat dinding yang ditunjuk kakek itu dan terkejut.

   Setelah dekat barulah tampak semut-semut itu, kecil beriringan dan tentu saja ia tertegun.

   Dari jarak empat lima tombak semut-semut ini tak kelihatan, mana mungkin dipanah, apalagi mengenai kepalanya! Maka ketika ia terkejut menahan napas, menoleh maka kakek itu terbahak terkekeh-kekeh.

   "Bagaimana,"

   Serunya.

   "Mampukah kau memanah semut-semut kecil itu. Kalau tidak maka katakan menyerah saja!"

   "Binatang itu terlalu kecil,"

   Anak ini berteriak.

   "Kau main-main, orang tua, mana mungkin memanah nya. Biarpun mereka berdua juga tak mampu memanah, apalagi tepat mengenai kepala!"

   "Ha-ha, bagaimana kalian,"

   Kakek itu memandang Kang Hu dan Kui Yang.

   "Kalau dapat kubebaskan totokan kalian dan boleh makan bersama!"

   Kang Hu dan Kui Yang membelalakkan mata.

   Setelah kakek itu bertanya jawab dengan si bocah mau tak mau mereka tertarik juga.

   Merekapun ahli-ahli panah yang baik.

   Hanya dengan pengerah an tenaga saja mereka baru dapat menangkap semut-semut itu, membawa makanan dan beriringan dan anak itu rupanya memandang dengan pandang mata biasa.

   Dan Kang Hu yang tertarik dan penasaran tiba-tiba berseru.

   "Kupikir kami berdua dapat melakukan itu!"

   "Benar,"

   Kui Yang tak mau kalah.

   "Rasanya aku mampu dan dapat melakukan nya!"

   "Kalian dapat?"

   Anak ini terkejut.

   "Tak mungkin, kalian bohong!"

   "Ha-ha, berarti kepandaianmu kalah tinggi. Biarkan mereka mencobanya, bocah, minggir dan biarkan ini mereka coba!"

   Kakek itu mengebutkan lengan bajunya dan tiba-tiba dua muda-mudi itu dapat melompat bangun.

   Totokan mereka dibuka dan kakek itu melempar sebuah gendewa kecil dengan anak panahnya yang kecil pula, hanya sebesar jarum! Dan ketika Kang Hu terkejut tak biasa itu maka ia terbelalak dan tampak bingung.

   Kui Yang juga terkejut karena se lama hidup mereka tak pernah mempergunakan busur sekecil itu, busur super mini.

   "Ayo, jangan mendelong saja. Mereka akan segera lenyap!"

   "Ini... ini..."

   Pemuda itu gugup. "Anak panahmu demikian kecil, locianpwe Mana mungkin dipakai. Selama hidup aku tak pernah memakai sekecil ini!"

   "Kalau begitu kau mundur dan berikan teman mu!"

   "Aku juga sulit mempergunakannya,"

   Kui Yang menggeleng dan merasa tak mungkin.

   "Kalau kau mampu cobalah kau sendiri!"

   "Heh, belum apa-apa menyerah? Sungguh bodoh, berikan dan lihat ini!"

   Si kakek merebut dan tahu-tahu gendewa super kecil itu dijepret, anak panah melesat dan lenyap akan tetapi karena begitu kecil dan halusnya maka tak tampak apa-apa di dinding.

   Kakek itu tertawa bergelak sementara tiga anak muda ini terbelalak.

   Akan tetapi ketika Kang Hu dan Kui Yang mengerahkan pandang mata mereka maka terkejutlah mereka karena semut di tengah itu terpantek dan dua yang lain berhamburan dan lari pergi.

   Dengan pandang mata biasa tak mungkin kejadian itu dilihat.

   "Hebat!"

   Pemuda ini kagum dan memuji.

   "Kau betul-betul hebat, locianpwe, kami mengaku kalah!"

   Akan tetapi Siauw-toh berlari menghampiri.

   Anak laki-laki ini sendiri tak melihat itu karena tak sanggup, penasaran dan terkejut ketika melihat betapa anak panah kecil itu menancap di sasarannya, tepat di kepala semut yang amat kecil.

   Dan ketika ia tertegun membelalakkan mata maka kakek itu terkekeh-kekeh berseru padanya.

   "Bagaimana, apa yang kaulihat. Tidak kah sasaranku tepat di kepalanya!"

   "Kau mengagumkan,"

   Anak ini mendecak.

   "Kau betul-betul hebat, orang tua. Aku tak mampu melakukan ini!"

   "Kalau begitu kalian menjadi muridku semua. Akupun tertarik kepadamu dan kita tinggalkan tempat ini. Fang Fang tak datang!"

   "Tunggu!"

   Kui Yang meloncat mundur, bersinarsinar.

   "Kami berdua diminta menjaga tempat ini, locianpwe. Kalau kau hendak mengambilku sebagai murid ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Pertama!"

   Gadis itu tak memperdulikan Kang Hu.

   "Tak mungkin bagi kami meninggalkan tempat ini begitu saja, apa kata Fang-taihiap kepada kami. Kalau kau ingin menurunkan ilmu panahmu biarlah belajar di sini dulu. Kedua, bocah siluman itu tak boleh ikut. Aku tak mau bersamanya dan kalau kau memaksa pilih saja di antara kami, aku atau dia!" Kakek itu terbelalak dan bocah laki-laki itu marah. Kang Hu sendiri terkejut mendengar kata-kata temannya ini akan tetapi akhirnya menganggukangguk. Rupanya Kui Yang cerdik. Setelah kakek itu tampak akrab dengan lawan mereka dan betapa ilmu panah itu memang hebat sekali maka mau tak mau gadis ini tertarik juga mempelajari kepandaian itu. Harus diakui bahwa kakek ini luar biasa sekali. Akan tetapi karena kepandaiannya yang lain belum tentu selihai Fang Fang maka secara cerdik dan pintar Kui Yang hendak menahan kakek itu di situ. Kalau Fang Fang datang tentu dapat dilihat siapa lebih unggul, betapapun penghuni Liang-san ini bukan orang sembarangan. Dan karena Kui Yang tak menyukai anak laki-laki itu yang mengganggu dan selalu bentrok dengan mereka maka gadis ini memaksa kakek itu agar si bocah tak perlu menjadi muridnya, atau dia mundur dan keluar tak menerima kakek ini menjadi guru! "Ha-ha, heh-heh-heh!"

   Akhirnya kakek itu tertawa terkekeh-kekeh.

   "Baru kali ini calon murid mengikat calon guru, bocah perempuan. Belum pernah kudengar hal seperti ini diucapkan orang kepadaku. Dia menjadi muridku atau tidak terserah aku, akan tetapi aku juga menginginkan seorang murid perempuan. Hm, kau!"

   Tiba-tiba dia memandang Kang Hu.

   "Bagaimana pendapatmu, apakah permintaan temanmu ini kuturuti?"

   Kang Hu menarik napas dalam, berat. Akan tetapi karena ia pun khawatir kalau anak itu semakin lihai dan sombong apa boleh buat iapun mengikuti temannya.

   "Aku pribadi membenarkan temanku, bocah ini selalu memusuhi kami. Kalau kami bertiga menjadi muridmu dan selalu bertengkar memang rasanya tidak baik. Kui Yang sudah merobah pikirannya, ia mau menjadi muridmu. Akan tetapi karena anak itu mengganggu dan kami juga sedang mendapat tugas menjaga tempat ini harap kau orang tua berpikir lurus dan panjang. Pilihlah di antara kami siapa yang lebih kau suka, dia atau kami!"

   "Repot,"

   Kakek itu menggaruk-garuk ubannya.

   "Kalian berdua lebih dulu menarik perhatianku, anak muda, akan tetapi bocah ini juga tak kalah dengan kalian. Melepaskan dia rugi pula bagiku, bakatnya besar. Sedang melepaskan kalian? Ah, terus terang juga berat. Kalian tak kalah bagus. Aku jadi pusing memilih begini. Kalian bocah-bocah ingusan membuat aku serasa kopyor!"

   "Aku juga tak sudi kalau dia kau ambil murid!"

   Anak laki-laki itu tiba-tiba berseru.

   "Ayahku pun seorang ahli panah jempolan, orang tua. Kalau ia ada di sini dan bertanding denganmu belum tentu ia kalah!"

   "Ha, siapa ayahmu!"

   Kakek itu seakan teringat sesuatu.

   "Kau dari mana dan mana ayahmu itu!"

   "Aku tak tahu di mana ia berada, ia pergi sejak lama. Justeru aku berkeliaran di sini karena mencari dan ingin menemukannya!"

   "Siapa ayahmu itu?"

   "Ahli panah dari Barat, aku tak tahu namanya karena hanya kutahu dari ibu."

   "Weh, siapa ibumu?"

   "Ibuku sudah meninggal dunia, aku tak ingin menyebut namanya!"

   Kakek itu tertegun, dan Kang Hu tiba-tiba merasa haru.

   Baru sekarang ia tahu bahwa anak ini seorang anak malang, ayahnya pergi sementara sang ibu meninggal dunia.

   Pantas gerak-geriknya begitu mandiri dan tidak kekanak-kanakan, layaknya seorang laki-laki dewasa saja.

   Dan Kui Yang yang berkerut namun mencibir ternyata sama sekali tidak merasa iba.

   Dia masih marah betapa anak itu tadi memanahnya secara kurang ajar.

   "Baiklah,"

   Kakek itu tiba-tiba mengangguk.

   "Biar kupikir dulu siapa di antara kalian yang lebih menarik. Karena kalian sama-sama tak bisa akur dan rupanya bermusuhan saja baiklah semalam ini kupikir baikbaik. Aku butuh murid perempuan juga, namun kalau mendesak dan merepotkan aku agaknya anak ini lebih berharga!"

   Kang Hu terkejut dan berdebar.

   Kui Yang juga sedikit berubah namun karena menganggap pemilik Liang-san masih lebih lihai maka gadis ini menekan perasaannya.

   Kakek itu hanya hebat ilmu panahnya saja, bukan kepandaian lain sebagaimana misalnya Fang Fang, tokoh yang di kagumi dan terus terang ingin diwarisi ilmunya.

   Maka ketika kakek itu mengangguk-angguk dan malam itu mereka menunggu ternyata keesokannya kakek ini memilih Siauw-toh, bocah lelaki itu, berkelebat dan lenyap.

   "Aku tak mau dibuat pusing oleh tingkah kalian, aku telah menemukan jawabnya. Biarlah anak ini menjadi muridku dan kelak ia akan mengalahkan kalian, ha-ha!"

   Siauw-toh anak laki-laki itu terkejut.

   Semalam ia duduk di sudut bersungut-sungut, beringsut dan mau keluar akan tetapi kakek itu menggerakkan tangannya.

   Setiap mengebut anak itu roboh kembali.

   Dan ketika anak ini memaki-maki namun akhirnya diam, melempar tubuh dan tidur mendengkur maka pagi itu ia tercekat dibawa terbang.

   Kakek ini meluncur dan turun gunung dengan amat cepatnya.

   Dan bersamaan itu tentu saja Kui Yang maupun Kang Hu kecewa, terutama Kang Hu.

   "Ia telah menjatuhkan pilihannya. Ia membawa anak siluman itu. Ah, ia bakal semakin lihai dan hebat di masa mendatang, Kui Yang, kau terlalu keras kepada kakek itu dan sekarang meninggalkan kita!"

   "Apa perdulimu!"

   Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Gadis ini membentak "Dia boleh hebat tapi hanya ilmu panahnya, Kang Hu, aku sendiri lebih suka tinggal di sini menjadi murid Fangtaihiap. Bukankah ia sudah berjanji untuk menambah kepandaian kita!"

   "Benar, akan tetapi anak itu..."

   "Ia hanya akan pandai memanah, selebihnya tidak. Betapapun tak mungkin kakek itu mampu mengalahkan Fang-taihiap ...i"

   Tiba-tiba terdengar desir angin dan Kui Yang maupun Kang Hu terkejut.

   Baru saja Sia-tiauw-eng-jin lenyap mendadak muncul kakek lain berwajah putih.

   Kakek ini berpakaian serba putih dan alis serta jenggot dan rambutnya putih melulu.

   Ia muncul bagai iblis atau siluman saja, dua anak muda ini mencelat.

   Akan tetapi ketika mulut di balik kumis dan jenggot berbulu lebat itu tersenyum, disusul tawa dan kata-katanya yang renyah maka Kui Yang maupun temannya tertegun.

   Darah mereka serasa berhenti berdenyut melihat kakek ini, kakek berpakaian dan berpenampilan serba putih! (Bersambung

   Jilid VI.) COVER =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0= Karya . Batara

   Jilid VI *** "KALIAN tak usah bertengkar, jodoh sudah di tangan sendiri-sendiri.

   Kalian sama-sama benar akan tetapi Tuhanlah penentunya, anak-anak.

   Suteku juga benar akan tetapi bukan dia seorang ahli panah di dunia ini.

   Kalau jodoh menentukan aku pun dapat memberikan ilmu panah kepada kalian."

   Dua muda-mudi itu terkejut dan Kui Yang menggigil di belakang Kang Hu.

   Gadis ini menyangka bertemu hantu akan tetapi segera lega, kakek itu sareh dan kakinyapun menginjak bumi.

   Kalau hantu tentu menggantung! Maka ketika ia hilang kagetnya dan melepaskan pegangannya kepada Kang Hu, ia tadi mencekal pemuda ini erat-erat maka gadis itupun timbul keberaniannya berseru heran.

   Kemarahannya hilang mendengar semua kata-kata ini yang memang benar.

   "Kau siapa, kedatanganmu mengejutkan.

   Kau seperti iblis yang muncul begitu saja, orang tua, aku sampai kaget dan menyangkamu hantu!"

   "Heh-heh, aku pengelana seperti sute-ku itu. Tiga hari aku mengawasi gerak-geriknya, nona, untung tak sampai mencelakai kalian. Sudahlah, maaf kalau aku mengejutkan tapi aku datang untuk melerai kalian. Tak ada gunanya bersitegang leher karena kalian sama-sama benar. Kalian sama-sama keras akan tetapi sebaiknya yang lelaki mengalah kepada yang pe rempuan."

   Kang Hu mengangguk-angguk, kagum, bertemu sorot mata halus itu dan tertarik.

   Sesungguhnya ia pun akan mengalah kepada Kui Yang, kata-kata itu tepat.

   Akan tetapi mengerutkan alis bahwa Sia-tiauw-eng-jin adalah sute kakek ini iapun memandang bersinar dan kagetpun hilang.

   Iapun tadi menyangka bahwa kakek ini hantu.

   "Locianpwe adalah suheng kakek Locianpwe juga seorang ahli panah jempolan?"

   Itu? "Heh-heh, tak berani aku mengatakan begitu.

   Yang jelas aku mampu mengimbangi suteku itu, anak muda, tentang jempol tak ada yang jempolan.

   Di dunia ini banyak yang lebih tinggi di antara yang tinggi." "Kalau begitu coba locianpwe seberapa hebat ilmu panah locianpwe!"

   Buktikan, Kakek itu tertawa geli. Ia mengatakan bahwa ilmu kepandaian bukan untuk dipamer-pamerkan, apalagi ilmu panah. Sekali busur menjepret nyawalah taruhan nya. Dan ketika anak muda itu tertegun kakek ini menarik napas dalam, berkata.

   "Aku bukan anak kecil yang suka diadu seperti layaknya orang mengadu jengkerik. Kalau kau percaya bagus tidak percaya pun tak apa, anak muda. Yang jelas aku mampu mengimbangi ilmu panah suteku itu. Sudahlah aku datang bukan untuk memamerkan ini melainkan melerai kalian. Hati-hati kalau bertemu suteku dan waspadalah terhadap anak laki-laki itu."

   "Tunggu!"

   Kang Hu meloncat melihat kakek itu hendak pergi.

   "Kau hendak ke mana, locianpwe, bolehkah kami bertanya lebih jauh tentang dirimu. Siapa kau dan dari mana. Apakah Fang-taihiap mengenalmu!"

   "Heh-heh, pendekar itu belum ada ketika aku sudah ada. Rasanya ia tak mengenalku, anak muda, akan tetapi tak menjadi soal. Aku seorang pengelana dan tadi sudah kujawab." "Tidak, bukan itu. Locianpwe belum memberi tahukan nama atau gelar yang terhormat!"

   "Gelar? Ha-ha-he-he-heh! Aku si tua ini lak lagi dikenal orang, anak muda, lagi pula apa artinya nama. Aku lupa namaku, dan tak perduli namaku. Kalau ingin mencari aku buah inilah tandanya. Aku suka menyuguh buah!"

   Lalu mengeluarkan sesuatu dari saku jubahnya.

   Kang Hu pun tertegun melihat sebutir apel yang merah manis disodorkan kakek itu, ramah dan berseri-seri sementara bibir kakek itu bergerakgerak seperti orang bergumam.

   Kang Hu tertegun akan tetapi secara tak sadar menerima itu.

   Lalu ketika ia merasa betapa buah itu amat berat dan dingin, ia pun terkejut maka kakek itu memutar tubuhnya dan tahu-tahu meluncur bagai terbang.

   "Locianpwe!"

   Kakek itu melambaikan tangan.

   Tanpa menoleh ia terus meluncur meninggalkan anak-anak muda ini, begitu cepatnya hingga tahu-tahu sudah di kaki gunung.

   Akan tetapi ketika Kang Hu terkejut berseru keras tiba-tiba pemuda itu pun mengejar dan berteriak ulang.

   "Locianpwe!" Kui Yang terkejut. Temannya mengerahkan seluruh ilmu cepat akan tetapi larinya seperti siput dibanding kakek itu. Si kakek tahu-tahu hampir lenyap di kaki gunung. Dan ketika Kang Hu berteriak agar ia mengejar, kakek itu berhenti tapi melanjutkan larinya lagi, mendadak Kui Yang berdesir melihat Kang Hu melepas panah menyambar punggung kakek Itu, menyuruh agar ia menyerang pula.

   "Cegat dan jangan biarkan ia hilang. Kepung dengan pagar panah!"

   Kui Yang baru mengerti.

   Kiranya temannya bukan menyerang sungguh-sungguh melainkan mengurung kakek itu dengan pagar panah.

   Sebelas panah dilepas dengan amat cepatnya dan masingmasing menancap membentuk pagar senjata, kakek itu berada di tengah.

   Akan tetapi ketika si kakek tertawa dan meloncat ke atas, berkelebat dan lolos maka gadis itu lah yang diminta menyambar dan mengepung dengan sebelas panahnya.

   Kui Yang pun tak kalah tangkas dibanding pemuda ini.

   Akan tetapi Kui Yangpun terbelalak.

   Si kakek mengebut dan semua panahnya buyar.

   Dan ketika saat itu temannya membentak melepas panah lagi mendadak kakek itu membalik dan...

   trik-trik-trik, sebelas panah Kang Hu terpental oleh sebelas panah kecil yang jatuh dan menancap membentuk huruf Hian-ko (Penyuguh Buah).

   "Ah!"

   Dua muda-mudi itu kaget berseru keras.

   Sekarang terlihat si kakek membawa gendewa kecil.

   Gendewa ini tak kalah kecil dengan yang dimiliki Siatiauw-eng-jin hanya gendewa di tangan kakek itu berkilau-kilauan seperti emas.

   Ya, gendewa itu terbuat dari emas! Dan ketika dua muda-mudi itu tertegun akan tetapi mengejar lagi, si kakek melambai maka Kang Hu bertanya keras di mana si kakek bisa dijumpai, di mana tempat tinggalnya.

   "Locianpwe harap beritahukan di mana tempat tinggalmu. Bagaimana kalau satu saat kami ingin menemuimu. Apakah Fang-taihiap tahu di mana kau tinggal!"

   "Heh-heh, tak ada yang tahu. Kalau ingin menemuiku tepuk saja buah itu, anak muda, kau akan segera tahu di mana aku berada. Selamat tinggal!"

   Kang Hu tak mungkin lari mengejar kakek ini yang tiba-tiba meledak dan hilang.

   Di balik asap putih tebal ia tak melihat apa-apa lagi.

   Maka ketika ia berhenti dan terbelalak di sini, mengusap keringat maka Kui Yangpun terkagum-kagum dan heran serta takjub.

   "Dia seperti iblis, lenyap begitu saja!"

   "Benar, dan ia tak memberitahukan apa-apa kepada kita. Ah, kakek itu hebat sekali, Kui Yang, sayang ia pergi!"

   "Akan tetapi ia memberikan sesuatu kepadamu, buah itu!"

   "Benar, akan tetapi, ah... buah ini tak dapat dimakan!"

   Kang Hu menggeleng dan Kui Yang pun terkejut.

   Gadis ini melihat buah itu dan ternyata ini adalah apel yang sudah membatu.

   Mereka tak tahu bahwa itu bukan sembarang buah.

   Inilah buah Sin-ko yang usianya ratusan tahun, mampu menawarkan racun dan memiliki keistimewaan yang lain, yakni pemiliknya kebal senjata.

   Namun karena mereka tak tahu dan Kui Yang menyerahkan kembali buah itu, terkejut bahwa buah ini demikian berat maka Kang Hu menyimpannya hati-hati karena saku bajunya robek dan harus diikat kuat.

   Buah ini seperti besi! "Ia berkata kau akan dapat menemuinya kalau mempergunakan buah ini.

   Berarti setiap saat kakek itu dapat dihubungi, Kang Hu, beruntung kau akan tetapi berhati-hatilah.

   Siapa tahu dia menipu!" "Kupikir tidak, ia kakek baik-baik.

   Kalau jahat untuk apa menasihati kita, Kui Yang.

   Sikap dan tutur katanya mengesankan."

   "Akan tetapi ia suheng Sia-tiauw-eng-jin!"

   "Betapapun ia lembut, tidak kasar. Dan ia ternyata mengawasi sutenya di sini. Hm, aku suka kakek itu akan tetapi sayang telah pergi. Kalau saja..."

   "Kalau muridnya?"

   Saja apa? Kau hendak menjadi "Entahlah, kenapa cemberut. Aku tak bilang itu dan, he... itu panah-panahnya tadi. Baru kuingat!"

   Kang Hu menyambar panah-panah kecil itu dan kaget bahwa panahnya sendiri tertusuk tepat tengah.

   Dari tusukan dan panah yang malang-melintang inilah terdapat huruf-huruf Hian-ko, indah dan menakjubkan sekaligus memukau Kang Hu bahwa kakek itu memang tukang panah jempolan.

   Maka ketika ia terkagumkagum dan bengong memandang anak-anak panah ini, memungut dan menyimpannya maka Kui Yang pun minta bagian dan menyimpannya lima buah.

   "Aku mengagumi kakek ini, akan tetapi masih lebih mengagumi Fang-taihiap. Mari pulang dan kelak kita ceritakan ini, Kang Hu. Siapa tahu Fang-taihiap mengenal mereka!"

   Pemuda itu mengangguk dan kembali ke atas.

   Mereka turun di bawah gunung sampai jauh mendekati perkampungan terdekat, terlalu jauh mereka mengejar kakek itu.

   Akan tetapi baru saja di pinggang gunung mendadak terdengar lengking menggetarkan.

   Sesosok bayangan hitam berkelebat disusul bayangan putih.

   "Subo, mampus!"

   Kembalikan puteraku atau kau Dan baru saja bayangan ini lewat berkelebatlah bayangan putih itu, membentak atau mengejar bayangan hitam.

   "Eng-moi, jangan gegabah. Tanya dulu ayah dan jangan menuduh May-may locianpwe!"

   "Persetan dengan itu. Dialah yang kulihat pertama kali, Hong-ko. Kembalikan puteraku atau siapapun mampus... bress!"

   Kang Hu terlempar ketika dikibas dan terbanglah dua sosok tubuh itu ke atas.

   Begitu cepatnya gerakan mereka hingga pemuda ini tak sempat minggir memberikan jalan.

   Kang Hu bergulingan bangun dengan muka pucat.

   Dan ketika Kui Yang juga terpelanting dan kaget bukan main, gadis itu memaki-maki maka ia telah mendahului Kang Hu mengejar ke atas.

   "Jahanam, enak saja menabrak orang. Kalian siapa datang-datang tak punya aturan, tikus-tikus busuk. Jangan kira aku takut. Berhenti!"

   Gadis ini berkelebat dan naik dengan cepat akan tetapi dua orang itu sudah lenyap di puncak.

   Ia memaki-maki melepas marah sambil mencabut busurnya dan dengan anak panah siap di tangan gadis ini mendaki puncak.

   Dan ketika Kang Hu juga menyusul akan tetapi pemuda itu mencekal lengan temannya, berseru agar hati-hati maka Kui Yang membentak dan bersikap tak perduli.

   "Takut apa, siapa suruh mereka begitu kurang ajar. Biarpun mereka lihai akan tetapi kita di pihak yang benar, Kang Hu. Jelek-jelek kitapun penghuni Liang-san saat ini. Kalau orang seenaknya saja mengacau di sini apa kata Fang-taihiap nanti, kita dianggapnya tak becus!"

   "Benar, akan tetapi jangan gegabah. Yang wanita itu tampaknya marah sekali, Kui Yang, dan menghadapi orang marah sama seperti menghadapi iblis. Hati-hati dan jangan sembrono!" Gadis itu mendengus. Mereka bergerak cepat dan di puncak sana akhirnya berdiri tertegun. Kang Hu melihat bayangan hitam melengking naik turun menyambar ini-itu. Setiap sentuhan membuat apa saja hancur. Dan ketika bayangan putih berkelebat menangkis bayangan ini, ternyata mereka seorang pemuda gagah dan seorang wanita cantik berusia duapuluh empat tahunan maka tangkisan pemuda itu membuat suara begitu kerasnya hingga Kang Hu berdua terpelanting, padahal jarak di antara mereka lebih sepuluh tombak.

   "Dengar dan hentikan kemarahanmu. Ayahmu tak ada di sini, Eng-moi, tempat ini ternyata kosong. Daripada mengamuk tak keruan lihat dan dengar katakataku ... dukk!"

   Suara itu begitu kuat hingga lembah dan puncak Liang-san tergetar.

   Pohon di samping mereka roboh.

   Dan ketika wanita itu terpental sementara yang lelaki terhuyung maka pemuda ini bergerak dan telah menangkap pergelangan temannya itu.

   Mereka ini bukan lain Kiok Eng dan suaminya, Tan Hong.

   "Ayah dan siapapun tak ada di sini. Dengar dan sebaiknya turut nasihatku, Eng-moi. Semua ini harus dihadapi penuh kesabaran dan kepala dingin. Kalau kau marah-marah dan seperti kesetanan begini apa pun tak dapat diselesaikan."

   "Tapi Cit Kong, puteraku...!"

   Wanita itu tersedusedu.

   "Kita tetap mencarinya dan sabar. Ayahmu tak di sini dan lihat dua muda-mu di itu."

   Kang Hu dan Kui Yang tercekat ketika pria dan wanita itu memandang mereka.

   Terutama wanita baju hitam itu berkilat matanya dan sekonyong-konyong berkelebat, lepas dari suaminya.

   Dan ketika pemuda ini tersentak kaget iapun tahu-tahu diangkat dan dibanting.

   "Tikus dari mana berani menginjak tempat ini. Pergi! Dan kau...!"

   Kui Yang juga terkejut.

   "Enyahlah dan jangan nguping pembicaraan orang!"

   Dua muda-mudi itu kaget bukan main karena tanpa dapat dicegah lagi mereka sama-sama terlempar dan bergulingan.

   Kang Hu bahkan jauh di pinggang gunung, terbanting babak-belur.

   Dan karena Kui Yang rupanya sama-sama wanita dan sedikit lebih lunak, gadis itu hanya terangkat dan terlempar di semak-semak maka gadis ini lecet kulitnya kena duri.

   Akan tetapi gadis inilah yang justeru lebih marah.

   Begitu memaki dan meloncat bangun langsung menjepretkan gendewanya melepas dua panah sekaligus.

   
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kurang ajar, siluman kuntilanak jahanam. Kalau kau mengira dirimu terlalu gagah sambutlah ini... sing-singg!"

   Dua panah Kui Yang melesat dari busurnya akan tetapi dengan mudah ditangkis.

   Kang Hu berteriak agar temannya tidak gegabah.

   Dan ketika gadis itu terkejut melepas panahya lagi maka sebelum ia membidik lawanpun hilang dan...

   plak, gadis ini terpelanting dan roboh pingsan.

   Wanita baju hitam itu menampar tengkuknya.

   "Jangan celakai temanku!"

   Kang Hu terkejut berseru tertahan.

   Ia telah melompat bergulingan dan kaget serta pucat.

   Kui Yang tak bergerak-gerak lagi.

   Akan tetapi ketika dilihatnya temannya masih bernapas dan wanita baju hitam itu mau menyerangnya lagi maka pemuda di sampingnya berkelebat dan menahan lengannya.

   Bukan main telengas dan ganasnya wanita itu.

   Kang Hu tergetar oleh pandang mata seperti api membara.

   "Siapa kau dan kenapa di sini. Tidak tahukah bahwa tempat ini bukan sembarang tempat. Pergi dan bawa temanmu dan jangan ladeni isteriku yang sedang marah-marah!"

   Pemuda itu berkata kepada Kang Hu dan melihat sikapnya yang lebih lunak tahulah Kang Hu bahwa lawan yang berbahaya adalah wanita itu.

   Sinar matanya benar-benar berbahaya, bagai api.

   Akan tetapi karena ia menjaga Liang-san dan betapapun tak boleh takut maka ia mengeraskan hatinya berkata lan tang, balik bertanya.

   "Justeru kalian siapakah, ada apa di tempat ini. Aku Kang Hu mewakili Fang taihiap menjaga Liang-san. Siapa kalian dan telengas benar isterimu itu meroboh kan temanku!"

   "Kau menjaga menyuruhmu di sini?"

   Liang-san? Fang-suheng Kang Hu terkejut.

   Pemuda itu membelalakkan mata dan balas memandang dengan muka terheranheran.

   Dia menyebut pemilik Liang-san sebagai "Fangsuheng", berarti pemuda ini sute (adik seperguruan) Fang-taihiap! Maka ketika Kang Hu terkejut dan heran serta kaget tiba-tiba saja pemuda ini merobah sikap.

   Pemuda ini berarti tuan rumah! "Maaf, jiwi (kalian berdua) siapakah.

   Memang betul aku disuruh menjaga gunung dan itu temanku Kui Yang.

   Kami sudah beberapa hari di sini."

   "Aku Tan Hong, dan itu isteriku Kiok Eng..." "Ah, enci Kiok Eng? Kalau begitu maaf, aku cucu Bu-goanswe!"

   Kang Hu buru-buru berseru dan ia tentu saja berubah bahwa wanita baju hitam itu adalah Kiok Eng.

   Siapa tidak kenal wanita gagah yang pernah mengobrak-abrik istana ini.

   Siapa tidak kenal puteri Fang-taihiap yang keras namun berkepandaian tinggi itu! Maka ketika ia terkejut dan buru-buru merobah sikap, pantas wanita itu demikian galak dan amat lihai maka Kang Hu cepat memperkenalkan dirinya sebagai cucu Bu-goanswe.

   Dan benar, dua orang itu juga terkejut.

   Kiok Eng yang telah melempar dan membanting pemuda ini tiba-tiba berubah, begitu pula Tan Hong yang tak menyangka bahwa pemuda di depan mereka ini adalah cucu Bu-goanswe.

   Siapa tidak kenal kakek gagah itu, bahkan Tan Hong dua tiga kali disambut baik di istana.

   Maka ketika pemuda itu terkejut namun buru-buru maju, menyambar dan memegang pemuda ini maka Kang Hu ditanya siapa gadis temannya itu, di mana Fang Fang dan lainnya.

   "Kui Yang adalah puteri Kok-taijin, sedang Fangtaihiap dan hujin katanya ke Bukit Mawar, di Chinghai. Entah kenapa kalian marah-marah dan mengamuk di sini, Tan-twako. Tentu sesuatu yang hebat menimpa kalian." Tan Hong tertegun. Lagi-lagi ia terkejut bahwa gadis di sana itu puteri Kok-taijin. Siapa pula tak kenal menteri gagah perkasa ini. Maka ketika ia melirik isterinya dan menyesal telah menghajar anak-anak muda itu, ia berkelebat dan menotok Kui Yang maka ia berseru bahwa sesuatu memang membuat mereka marah, tentu saja sekaligus minta maaf atas perbuatan isterinya tadi.

   "Tak kusangka kalian adalah sahabat-sahabat sendiri, bahkan cucu dan putera Kok-taijin. Maafkan kami berdua, Kang Hu, tapi harap maklum akan kemarahan isteriku itu. Anak kami diculik, seseorang mengambilnya!"

   "Hilang? Diculik orang?"

   "Ya, dan kami menduga seseorang, datang dan ternyata kecele di sini. Ah, sudahlah maafkan kami dan temanmu sadar!"

   Benar, Kui Yang mengeluh dan membuka mata.

   Namun begitu melihat Tan Hong tiba-tiba gadis itu menjerit dan menyerang marah.

   Untunglah Kang Hu berseru menyambar temannya itu dan berkata bahwa mereka ini adalah keluarga Liang-san, wanita itu bahkan puteri Fang-taihiap adanya.

   "Tunggu, tahan seranganmu.

   Ia Tan Hong putera locianpwe Dewa Mata Keranjang, Kui Yang, sedang itu Kiok Eng ci-ci puteri Fang-taihiap.

   Anak mereka hilang diculik orang dan ingat cerita Fangtaihiap sebelum meninggalkan rumah!"

   Kui Yang tertegun, menahan serangan.

   Ia masih marah sekali oleh pukulan Kiok Eng akan tetapi seketika menjadi terkejut.

   Wanita itu puteri Fangtaihiap? Kiok Eng yang ganas dan keras itu? Pantas! Maka ketika ia terpaku dan membelalakkan mata, Kiok Eng terisak tak enak hati segera wanita ini menyambar gadis itu berkata menahan tangis.

   "Seseorang menggangguku sedemikian hebat, aku tak dapat menahan diriku. Maaf bahwa aku menghajar kalian, Kui Yang, aku tak tahu bahwa kau puteri Kok-taijin. Biar kusampaikan penyesalanku nanti kepada ayahmu pula. Cit Kong, anakku... ahh!"

   Wanita itu mengguguk, balik disambar Kui Yang dan selanjutnya Kiok Eng yang gagah perkasa ini tersedusedu.

   Tampaklah bahwa tangis senjata yang paling kuat, itulah milik wanita pelampias duka.

   Dan ketika Kui Yang tertegun namun merangkul cepat, kemarahan pun hilang maka ia mendengar berita lenyapnya Cit Kong.

   Kang Hu menuturkan cepat dan penuh kekhawatiran, mengangguk-angguk.

   sementara Tan Hong "Nah, begitulah.

   Pantas mereka marah dan siapa dapat mengendalikan ini.

   Mereka benar-benar dirundung malang, Kui Yang, kasihan enci Kiok Eng!"

   Gadis itupun bercucuran air mata.

   Tangis mudah menular dan kemarahan serta ketidak senangan Kui Yang lenyap.

   Gadis ini bertangistangisan pula.

   Akan tetapi setelah Tan Hong batukbatuk dan menyentuh pundak isterinya maka pemuda itu berkata bahwa mereka harus melanjutkan perjalanan lagi.

   "Di sini tak ada, siapapun pergi. Mari ke lain tempat dan cari sampai dapat, Eng-moi. Terima kasih kepada Kang Hu dan Kui Yang yang telah membantu ayahmu. Tanpa mereka tentu tempat ini kosong."

   "Twako jangan bicara seperti itu. Kami di sini atas perintah orang-orang tua kami dan kebetulan Fang-taihiap kesusahan. Melihat sesama berduka mana mungkin tinggal diam. Sudahlah kalian cari anak itu dan nanti kalau Fang-taihiap datang segera kami laporkan. Maaf kami tak dapat meninggalkan gunung!" "Tak apa, terima kasih bahwa kalian turut merasa prihatin. Baiklah kami harus pergi dan sampaikan semuanya ini bila mereka kembali, Kang Hu, katakan bahwa Cit Kong diculik orang. Kami juga tak dapat lama-lama di sini karena mereka juga tak ada."

   "Dan katakan bahwa tuduhan kami ke pada nenek May-may. Nenek itulah yang kulihat bayangan nya dan akan kucari sampai dapat!"

   "Maaf, ini baru dugaan. Isteriku melihatnya begitu, Kang Hu, akan tetapi siapa sebenarnya akupun masih ragu!"

   Tan Hong memotong isterinya dan Kang Hu lagi-lagi mengangguk.

   Untuk kesekian kalinya lagi pemuda itu melihat betapa putera Dewa Mata Keranjang ini lebih halus dan berhati-hati, jauh sekali dengan Kiok Eng yang keras dan pemberang.

   Maka ketika ia mengiyakan berulang-ulang sementara Kui Yang melepaskan wanita itu maka Kiok Eng berkelebat setelah se kali lagi minta maaf kepada mereka berdua.

   Untunglah tangannya yang ganas tak sampai membunuh dua muda-mudi itu! "Sekali lagi maaf.

   Selamat tinggal dan sampai ketemu lagi, Kui Yang.

   Aku tak akan mengulangi kesalahanku tadi dan harap kalian tak menaruh di hati!"

   "Encipun turutlah kata-kata suami. Tan-twako juga benar, Eng-cici, hati-hati dan akan kulaporkan ini kepada ayah kalian!"

   Tan Hong berkelebat dan membalik mengejar isterinya itu.

   Mereka tak bertemu ayah di sini sementara bayangan nenek May-may juga tak kelihatan.

   Maka lenyap dan meninggalkan dua mudamudi itu pemuda inipun minta maaf atas kelakuan isterinya tadi, jawaban yang disambut helaan napas dalam oleh Kang Hu.

   Dua muda-mudi ini melihat lenyapnya suami isteri muda itu sampai di bawah gunung.

   Di sini Kang Hu berkerut-kerut mengherankan temannya.

   Dan ketika pemuda itu membalik memasuki rumah maka selanjutnya Kang Hu tampak murung dan akhirnya kata-katanya membuat gadis itu terkejut.

   "Rasanya tak mungkin lagi menjadi murid Fangtaihiap. Aku akan segera pergi begitu ia datang, Kui Yang, sudah kutetapkan ini sebagai cara terbaik."

   "Kau bicara apa? Apa maksudmu?" "Aku tak dapat lagi tinggal di sini, harus tahu diri. Mana mungkin mengganggu Fang-taihiap sementara persoalan demi persoalan menimpanya terus!"

   Kui Yang tertegun, mendadak berubah.

   Tibatiba kening pun berkerut dan gadis itu terisak, sesuatu menamparnya.

   Dan ketika Kang Hu beristirahat dan malam itu ia sendiri, kata-kata temannya begitu membekas maka Kui Yangpun berpikir bahwa apa yang diucapkan tadi benar.

   Dan sesuatu terasa menggores menyakitkan! "Kang Hu, kau menghancurkan keinginanku.

   Akan tetapi, ah!"

   Kui Yang tiba-tiba tersedu dan malam itupun ia menangis sendirian.

   Ia hendak marah kepada temannya akan tetapi semua itu benar.

   Tuan rumah kesusahan, mana mungkin di ganggu mereka lagi.

   Maka ketika ia menutupi mukanya dan hatipun mulai bimbang, pecah maka keesokannya gadis ini melampiaskannya kepada Kang Hu.

   "Kau merobek cita-citaku, kau menghancurkan nya. Kalau kau pergi tentu saja aku pergi, Kang Hu. Mana mungkin aku mengganggu Fang-taihiap pula. Ia pasti pergi dan akan pergi lagi!" "Aku tak membujukmu. Apa yang kukatakan kemarin berlaku untuk diriku sendiri, Kui Yang, bukan untukmu. Kalau kau tetap di sini silakan, mau ikut juga baik. Akan tetapi kulihat pula keraguan dalam keinginan kita."

   "Keraguan apa? Kenapa kau tiba-tiba berobah begini?"

   "Hm, akupun sebenarnya tetap ingin menjadi muridnya. Akan tetapi ingatkah kau akan kata-kata Fang-taihiap terhadap orang tua kita. Ingatkah sebelum ayah atau kakek kita meninggalkan tempat ini."

   "Kata-kata apa?"

   "Bahwa Fang-taihiap hanya memoles saja ilmuilmu yang telah kita punyai. Aku tiba-tiba terbentur kenyataan pahit akan ini, Kui Yang, bahwa tak mungkin Fang-taihiap akan memberikan semua kepandaiannya kepada kita. Bukankah ada anak dan cucunya, kenapa harus diberikan orang lain!"

   Gadis itu terkejut, tiba-tiba memerah.

   "Coba pikir dan renungkan ini. Kita begitu tergila-gila kepada kepandaian pendekar ini, Kui Yang, dan kita begitu mabok akan keinginan kita bahwa Fang-taihiap kelak akan memberikan semua kepandaiannya kepada kita. Padahal mungkinkah itu? Bukankah ia memiliki anak isteri sendiri? Dan sekarang bertambah dengan cucunya Cit Kong itu. Tak mungkin dia memenuhi cita-cita kita dan kita inilah yang terlalu mabok! Aku tiba-tiba sa dar diri bahwa betapapun diri kita adalah orang luar, bukan sanak bukan kadang. Jadi benar juga kalau Fang-taihiap hanya akan memoles kita berdua, tidak memberikan semua ilmunya secara sungguh-sungguh. Dan daripada ini terjadi dengan akibat kita kecewa sebaiknya kita tak teria lu mengharap dan aku mulai melepaskan keinginanku ini!"

   Kui Yang tak dapat lagi menahan sedu-sedannya dan gadis inipun mengguguk.

   Sekarang benar-benar hancurlah harapannya dan kata demi kata begitu tepatnya.

   Kang Hu mengupas itu demikian lugas dan masuk akal.

   Dan ketika ia serasa terlempar dan robohlah tiang cita-cita untuk menjadi murid Fang Fang maka gadis ini pun menjadi begitu sedihnya hingga terguncang-guncang.

   "Kang Hu, kau jahat. Kau tega benar meng hancurkan aku. Padahal bukankah kita berdua samasama ingin menjadi muridnya!" "Benar, akan tetapi waktu itu kita mabok. Aku juga masih menggantungkan harapan dan cita-citaku kepada Fang-taihiap ini, Kui Yang, akan tetapi setelah kejadian demi kejadian menimpa kita mendadak saja aku sadar bahwa kita menaruh harapan terlalu berlebihan. Fang-taihiap memiliki keluarga, ia tidak sendiri. Tentunya inilah yang akan didulukan bukan nya kita!"

   "Tapi... tapi..."

   "Diamlah, hentikan dan tenangkan tangismu. Seseorang telah menggantikan ke dudukannya, Kui Yang, dan aku menaruh harapan besar. Kita tetap tak kandas di tengah jalan!"

   "Kakek itu?"

   "Benar!"

   Kui Yang tiba-tiba melompat bangun, menghapus air matanya.

   Kang Hu begitu terharu ketika sepasang pipi basah yang kemerah-merahan ini diusap keras.

   Pipi itu tergosok memerah dadu.

   Akan tetapi karena keraguan dan kekecewaan masih membayang di situ, juga kemarahan maka pemuda ini menahan getaran hatinya melihat telunjuk itu menuding.

   "Kau! Kau begitu percaya kepandaian kakek itu mampu menandingi Fang-taihiap? Kau yakin ia tak mengecewakan kita? Dia sama sekali belum menandingi jago kita ini, Kang Hu, jangan mulukmuluk pula menaruh kepercayaan.

   Aku pribadi belum yakin kakek itu!"

   "Akan tetapi ada dasar-dasar kuat yang membuatku percaya."

   "Apa itu!"

   "Bahwa Sia-tiauw-eng-jin berani menunggu di sini tiga hari."

   "Ah, kakek itu bukan dia!"

   "Benar, akan tetapi justeru suheng-nya. Kalau sutenya berani menantang dan menunggu tiga hari berarti kepandaian kakek itu tidak main-main, Kui Yang, dan kita dapat mengujinya nanti di depan Fangtaihiap sendiri!"

   "Maksudmu?"

   "Kita tanya Fang-taihiap apakah mengenal seseorang bernama Sia-tiauw-eng-jin ini, bagaimana reaksinya. Kalau berubah berarti berbobot, dugaan kita tepat. Dia bukan kakek main-main." "Akan tetapi kakek itu tak memperkenalkan nama!"

   "Cukup Sia-tiauw-eng-jin saja. Kalau yang ini mendapat tanggapan berarti kakek berpakaian serba putih tentu lebih hebat lagi!"

   Gadis ini tertegun, berkejap-kejap.

   Sikap dan kata-kata temannya begitu meyakinkan, iapun terguncang.

   Dan ketika ia mulai tergerak dan Kui Yang teringat bahwa di atas gunung masih ada gunung maka perlahan-lahan iapun menaruh harapan.

   Apalagi ketika harapan menjadi murid Liang-san terkikis.

   Buat apa kalau hanya dipoles saja.

   Ia menginginkan guru yang sungguh-sungguh, bukan setengah-setengah.

   Dan ketika iapun mengangguk dan mulai percaya, keluarga Liang-san dirundung persoalan maka beberapa hari kemudian datanglah pendekar itu bersama isterinya.

   Wajahnya murung dan gelap! "Aku tak dapat menemani kalian lagi di sini, urusan semakin panjang.

   Maafkan bila kami harus pergi lagi, Kang Hu, orang yang kami cari tak ada di tempat dan sesuatu yang mencemaskan mengharus kan kami pergi."

   "Dan kami pulang semata teringat kalian. Tentunya tak enak kalau meninggalkan berbulan28 bulan, Kang Hu. Maafkan kami dan agaknya kalian pulang dulu ke orang tua kalian."

   Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Lengkaplah sudah pahitnya sebuah kenyataan.

   Fang Fang suami isteri telah bicara kepada mereka dan kembalinya mereka semata teringat anak-anak muda ini.

   Nyatalah bahwa Kang Hu dan Kui Yang memberat kan suami isteri itu.

   Dan ketika Kang Hu cepat-cepat memberi hormat sementara Kui Yang terisak menahan duka, juga kecewa maka pemuda inilah yang maju bicara.

   "Locianpwe berdua benar-benar dibuat susah, kami turut prihatin. Kalau jiwi hendak pergi lagi silakan pergi dan jangan pikirkan kami. Tentu saja kami akan meninggalkan Liang-san. Hanya sebelum pergi ada sebuah berita yang barang kali hanya menambah kepedihan jiwi belaka. Bolehkah kami bicara karena ini pesan untuk jiwi...?"

   "Ada apa, pesan apa."

   "Puteri locianpwe Kiok Eng-cici datang..."

   "Ah, dia? Sendirian?"

   "Tidak, Fang-taihiap, berdua bersama suami nya, Tan-twako."

   "Kapan dan apa pesannya." "Cit Kong diculik orang, beberapa hari yang lalu..."

   "Aiihhhhh!"

   Jerit si nyonya menghentikan Kang Hu dan tampaklah betapa suami isteri itu berubah.

   Fang Fang berkilat sekejap akan tetapi tenang kembali sementara sang isteri melengking dan mencelat mundur.

   Begitu kaget nyonya itu hingga wajahnya merah padam, mata menyinarkan kemarahan akan tetapi pendekar Liang-san ini segera menyambar dan menenangkan isterinya.

   Kang Hu kagum betapa hanya sedetik saja wajah pendekar itu berubah, selanjutnya tenang dan pulih kembali.

   Dan ketika Kang Hu ditanya ke mana Kiok Eng dan suaminya sekarang, juga siapa kiranya penculik itu maka Kang Hu tergetar karena sepuluh jari pendekar ini berkerotok dan merah kehitaman tanda marah.

   Kiranya meskipun di luar tenang-tenang saja akan tetapi pendekar ini gemuruh di dalam.

   Pandai menyimpan perasaan! "Katakan dan di mana sekarang Kiok Eng dan suaminya itu.

   Siapa menculik Cit Kong."

   "Tan-twako ragu mengatakan, akan tetapi enci Kiok Eng menyebutnya nenek May-may."

   Terdengar lagi pekik nyaring dan Fang-hujin (nyonya Fang) mencelat mundur.

   Fang Fang sendiri tak dapat menyembunyikan kagetnya dan tiba-tiba jari tangan itu bergerak.

   Pinggir meja hancur dan roboh.

   Dan ketika Kang Hu menjadi pucat sementara pendekar itu berkilat mencorong, Kui Yang sampai menjerit maka Kang Hu benar-benar melihat bahwa tak mungkin lagi mengikuti keluarga Liang-san ini.

   Suasana benar-benar panas membakar.

   "May-may? Nenek May-may...?"

   Pendekar itu bergumam dan mengerotokkan jari-jarinya akan tetapi tiba-tiba berkelebat dan lenyap di luar.

   Sang isteri disambar dan tiba-tiba tampaklah mereka meluncur turun gunung, cepat sekali.

   Dan ketika Kui Yang maupun Kang Hu mengejar keluar, tertegun melihat suami isteri itu maka Fang Fang mengerahkan ilmunya berkata kepada anak-anak muda ini.

   "Kami tak dapat menemani kalian lagi. Maaf dan tinggalkan saja tempat ini, Kang Hu, lain kali kami datang ke tempatmu jika keadaan sudah tenang!"

   Termangulah pemuda ini dengan wajah pucat.

   Dua orang itu meluncur cepat akan tetapi Kui Yang tiba-tiba menjerit.

   Berteriaklah gadis itu memperingat kan Sia-tiauw-eng-jin.

   Dan ketika Kang Hu berubah dan teringat ini, meloncat dan mengejar maka buruburu pemuda ini memanggil, terbang ke bawah.

   "Fang-taihiap, tunggu.

   Ada seorang lain lagi yang datang ke sini.

   Kami ingin bertanya!"

   Kui Yang juga mengejar dan jatuh bangun di belakang temannya ini.

   Begitu gugup dan panik dua orang muda itu hingga Kang Hu terpeleset dan terguling-guling di bawah.

   Untunglah Fang Fang tak meninggalkan mereka.

   Dan ketika bayangan pendekar itu berkelebat dan tahu-tahu ke atas, menyambar dan mencengkeram pemuda ini maka Fang Fang mencorong memandang pemuda ini.

   Kang Hu pucat mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor.

   "Maaf, ampunkan kami. Sesuatu membuat kami lupa, Fang-taihiap. Seseorang telah menunggumu tiga hari di sini akan tetapi pergi lagi. Kenalkah taihiap akan seorang kakek muka merah berjuluk Sia-tiauw-engjin!"

   "Sia-tiauw-eng-jin?"

   "Ya, dan suhengnya, kakek berpakaian serba putih. Usia mereka kira-kira enam puluh tahun dan semua ahli panah!"

   Terdengar suara suling ketika tiba-tiba pendekar ini berkerut dan menggeleng.

   Memang Fang Fang tak mengenal ini akan tetapi wajahnya berubah mendengar seruling itu.

   Seorang kakek muncul pula di tikungan bawah gunung.

   Dan ketika suami isteri itu melompat menegur nyaring maka kakek ini melepas kan sulingnya berkata tertawa.

   "Sia-tiauw-eng-jin adalah laki-laki gagah perkasa seangkatan gurumu. Kalau ia muncul dan menunggumu apalagi maksudnya kalau bukan untuk bertanding, Fang-taihiap. Akan tetapi suhengnya Hianko-sin-kun adalah kakek sareh tak suka keributan. Anak-anak ini beruntung, akan tetapi biarlah kuberitahukan agar berhati-hati bertemu si Pemanah Rajawali itu. Ia bisa ganas dan edan-edanan sekali waktu, ha-ha!"

   "Sin-kun-bu-tek locianpwe!"

   Fang Fang menyambut dan sudah menjura di depan kakek ini.

   "Ada apa kau datang dan mana cucu atau muridmu. Apakah locianpwe ada keperluan khusus di Liang-san."

   "Ha-ha, heh-heh, tidak juga. Hanya kebetulan kucium bau sahabat lamaku itu, taihiap, dan ternyata benar hidungku masih tajam. Ah, mereka ini beruntung akan tetapi hati-hati saja. Kalau Sia-tiauw eng-jin muncul kembali biasanya akan ada keributan!"

   Kang Hu terkejut dan Kui Yang juga berubah.

   Mereka tak tahu siapa kakek ini namun segera tersentak mendengar Fang Fang menyebut kakek itu Sin-kun-bu-tek (Malaikat Tanpa Tanding).

   Inilah satu di antara tokoh tua yang amat sakti generasi atau seangkatan mendiang Dewa Mata Keranjang.

   Maka ketika mereka memberi hormat dan Kang Hu maupun Kui Yang membungkuk dalam-dalam maka Fang Fang tertegun mendengar kata-kata kakek itu, mengerut kan kening.

   "Locianpwe mengenal dua orang ini? Mereka seangkatan locianpwe dan mendiang suhu?"

   "Benar, akan tetapi empat puluh tahun yang lalu mereka tak berada di Tiong-goan lagi. Barangkali gurumu tak pernah menceritakannya karena dianggap nya tewas, taihiap, namun akulah satu-satunya orang yang tahu perihal mereka ini. Hm, mereka itu tak boleh dibuat main-main dan gurumu sendiri belum tentu dapat mengalahkannya kalau masih hidup, begitu juga aku!"

   Yang paling girang tentu saja Kang Hu berdua.

   Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa dugaan mereka benar, Kang Hu berseri-seri.

   Akan tetapi karena mereka berhadapan dengan orang-orang tua dan Kang Hu maupun Kui Yang menyimpan saja perasaan itu maka Fang Fang akhirnya teringat urusannya sendiri.

   Sin-kun-bu-tek ternyata muncul kebetulan.

   "Kalau begitu maafkan kami. Kalau locianpwe tak ada keperluan khusus kami ingin melanjutkan perjalanan lagi. Cucu kami Cit Kong diculik orang."

   "Ah, diculik orang?"

   "Benar, locianpwe, karena itu maafkan kami. Kami tergesa mencari cucu kami dan silakan locianpwe ke atas kalau ingin beristirahat. Kang Hu dapat mewakili kami."

   "Thian Yang Maha Agung, kiranya kehadiranku malah mengganggu saja. Ah, maafkan aku, Fangtaihiap, akan tetapi akan kubantu kau mencari penculik itu. Kapan dan di mana terjadinya, siapa pen culik itu!"

   "Katanya nenek May-may..."

   "Astaga, orang dalam sendiri? Kalau begitu..."

   "Benar, urusan keluarga. Maafkan kami, locianpwe, kami tak dapat menemanimu lagi!"

   Kakek itu mengangguk dan Fang Fang suami isteri berkelebat.

   Kakek ini termangu-mangu dan bibirnya yang tertanam di balik jenggot lebat itu bergumam.

   Ada persamaan antara kakek ini dengan kakek berpakaian serba putih, yang ternyata Hian-kosin-kun adanya, Malaikat Penyuguh Buah.

   Dan ketika Kang Hu bersinar-sinar dan sekarang tahu siapa kakek mengagumkan itu, suheng Sia-tiauw-eng-jin yang bergendewa emas maka kakek itu akhirnya membalik dan memandang mereka.

   Kui Yang juga bersinar-sinar dan diam-diam berbagai perasaan mengaduk hatinya.

   Kakek inipun sakti! "Siapakah kalian dan ada hubungan apakah dengan pendekar Liang-san ini.

   Agaknya kalian dekat sekali."

   "Siauwte (aku) Kang Hu, itu temanku Kui Yang. Kakekku Bu-goanswe yang kini pensiun sedang ayah Kui Yang adalah Kok-taijin. Barangkali locianpwe mengenal sementara kami tentu saja sudah mendengar tentang locianpwe yang kiranya Sin-kunbu-tek!"

   "Ah, nama tinggallah nama, yang penting orangnya. Kalau ayah kalian Kok-tai jin dan Bugoanswe pantas saja Fang Fang begitu dekat dengan kalian. Heran, kalian di sini mengerjakan apa, anakanak, di mana pula ayah kalian!" "Ayah sudah kembali ke rumah, kami sengaja dititipkan untuk sekedar membantu Fang-taihiap. Keluarga Liang-san dirundung malapetaka dan kami turut sedih."

   "Bagus, akupun tak tinggal diam. Baru kutahu ada kejadian begini, anak muda, akan tetapi repotnya urusan keluarga. Hm, apa maunya nenek itu menculik anak kecil. Dan kalian sendiri, hendak ke manakah kalian berdua?"

   "Kami... kami hendak pulang."

   Kang Hu berbohong.

   "Tidak, Kang Hu hendak mencari kakek itu, Hian-ko-sin-kun!"

   Kang Hu dan kakek itu terkejut.

   Pemuda ini menyesalkan temannya akan tetapi Kui Yang terlanjur bicara.

   Gadis itu terlalu polos bicara, padahal Kang Hu sengaja menyimpan maksudnya agar tak nyak ditanya.

   Namun ketika kakek itu tiba-tiba terkekeh dan Kang Hu lega, Kui Yang merasa heran mendadak kakek ini menanya gadis itu.

   "Baik, dan kau sendiri, ke mana kau Pergi, nona. Apakah juga mencari sahabatku Hian-ko-sin-kun ini? Ada maksud apa?" Kui Yang bingung, tak menjawab. Ia sendiri tibatiba gugup dipandang kakek itu. Sekarang baru ia tahu bahwa sebaiknya tak usah mengatakan terus terang kalau mereka hendak mencari Hian-ko-sin-kun. Bukankah jelas ingin mencari guru! Dan karena kakek ini juga seorang luar biasa dan siapa tak mengenal Sinkun-bu-tek maka Kui Yang bingung ke manakah dia sekarang. Hian-ko-sin-kun atau Sin-kun-bu-tek! Akan tetapi karena temannya sudah memilih kakek itu dan Hian-ko-sin-kun pun seorang ahli panah, cocok dengan kepandaiannya tiba-tiba gadis ini mengangkat kepala bahwa iapun hendak mencari kakek itu. Apa boleh buat, ia dan Kang Hu sudah terbiasa bersama-sama! "Aku juga akan mencari kakek itu. Aku, eh... Kang Hu mengajakku ikut, locianpwe, dan aku terlanjur berjanji!"

   "Untuk apa? Ingin menjadi muridnya?"

   "Ini... eh, mungkin begitu!"

   "Ha-ha, sungguh jodoh. Kalian sama-sama membawa busur, nona, tentu cocok dengan kakek itu. Akan tetapi baru kutahu bahwa Hian-ko-sin-kun suka pula bermain panah. Baiklah, tak usah malu-malu. Selamat berpisah dan mudah-mudahan kalian segera menemukannya. Akupun hendak pergi dan sampaikan salamku pada kakek itu!"

   Sin-kun-bu-tek berkelebat dan tiba-tiba iapun lenyap.

   Kang Hu terkejut dan kagum bukan main sementara Kui Yang terlepas himpitan batinnya.

   Gadis ini lega.

   Dan ketika Kang Hu menegur temannya kenapa membuka rahasia maka gadis itu cemberut membela diri, meskipun mereka berdua sama-sama lepas dari ketidakenakan tadi.

   "Aku tak suka bohong, dan sejak kapan kau bohong pula. Untuk apa takut berterus terang, Kang Hu, toh kita tidak mengganggu kakek itu!"

   "Benar, akan tetapi sebaiknya kita menjaga perasaan orang. Kalau kakek itu tersinggung tentu aku yang tidak enak, Kui Yang, untunglah ia bijaksana dan tidak marah. Kakek itu menebak tepat maksud kita."

   "Dan sekarang mari pergi, mudah-mudahan cepat ketemu!"

   "Tunggu, aku hendak menguji kakek ini. Buah buah ini dapat digunakan sebagai petunjuk."

   "Buah?"

   "Ya, ini, Kui Yang, tidakkah kau ingat!"

   Lalu ketika Kui Yang teringat dan sadar akan itu maka ia berseri melihat Kang Hu mengeluarkan buah Sin-ko itu, menepuk.

   "Coba kau beri tahu di mana majikanmu berada. He, kami ingin menemuinya, buah aneh. Tunjukkan kepada kami di mana kakek itu!"

   Ajaib, buah ini meloncat dari tangan Kang Hu.

   Begitu Kui Yang berseru kaget maka buah itupun menggelinding, bergulir dan terus turun gunung diikuti pandang mata Kang Hu yang kaget.

   Pemuda inipun terkejut seperti temannya dan buah itu seakan tersedot atau terbawa kekuatan gaib bagai sihir, meloncat dan akhirnya terbang tak dapat ditangkap anak muda itu.

   Lalu ketika Kang Hu berteriak keras menyusul dan menangkap maka Kui Yang pun berkelebat namun gagal menangkap buah itu, tak tahu bahwa benda ini telah "diisi"

   Oleh Hian-ko-sin-kun! "la mengejek kita, kurang ajar. Bagaimana ada kejadian begini aneh, Kang Hu. Buah ini tak dapat kusambar!"

   "Dan akupun tak dapat menangkapnya. He, mari berlomba siapa cepat, Kui Yang, kalau kau berhasil biarlah kau pemiliknya!"

   "Sungguh?"

   "Tentu saja!"

   Lalu ketika dua anak muda ini melesat dan menyambar namun gagal, tak terasa telah meninggalkan Liang-san keluar masuk hutan akhirnya di sebuah perbukitan sunyi buah itu lenyap dan sebagai gantinya terdengarlah kekeh tawa dan kakek itu tahu-tahu telah berada di depan mereka.

   Buah ini telah di tangannya.

   "Heh-heh, sudah kuduga, jodoh memang di tangan kita. Berhenti dan jangan tangkap lagi, anakanak. Sin-ko ini milik kalian berdua. Ada apa kalian mencari aku dan tahukah kalian bahwa Sin-kun-bu-tek kecewa!"

   "Locianpwe, eh... locianpwe di sini? Locianpwe tahu kakek itu?"

   "Ha-ha, kenapa tidak. Katakan apa maksud kalian, anak-anak, ada apa mencariku. Cepat sebelum dia ke sini."

   "Dia siapa? Sin-kun-bu-tek itu?"

   "Benar, dia akan menyusul. Ketahuilah dia mengawasi gerak-gerikku dan suteku Sia-tiauw-engjin!"

   "Ah, kalau begitu..."

   "Cepat katakan maksud kalian, kita harus segera pergi!" "Kami ingin menjadi muridmu!"

   Kang Hu tak ragu dan cepat menjatuhkan diri berlutut.

   "Telah bulat keputusan kami bahwa kami ingin menjadi murid, locianpwe. Semoga kau tak ragu dan menerima kami!"

   "Pendekar Liang-san itu?"

   "Ia sibuk, tak mungkin memperhatikan kami. Lagi pula cucunya diculik dan pergi lagi."

   
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Dan kau?"

   Kakek ini menunjuk Kui Yang.

   "Akupun mengikuti temanku karena kami selalu bersama-sama."

   "Eh, belajar ilmu bukan sekedar ikut-ikutan. Belajar kepandaian harus didorong sesuatu, bocah, mana mungkin asal-asalan!"

   "Aku tertarik karena tak mau kalah dengan Kang Hu, dan lebih dari itu karena aku tak mau dikalahkan anak laki-laki itu!"

   Kui Yang kemerah-merahan.

   "Dan tak jadi menjadi murid Liang-san? Tak ingin menjadi pewaris pendekar itu?"

   "Kang Hu telah membuka kesadaranku locianpwe, bahwa Fang-taihiap tak mungkin mengambil kami secara sungguh-sungguh."

   "Maksudmu?" "Fang-taihiap memiliki anak isteri, bahkan keluarganya besar. Masa kami diterimanya sungguhsungguh, locianpwe. Kalau ia sendirian mungkin saja, akan tetapi anak isterinya itu merupakan orang-orang paling dekat!"

   Kang Hu menjelaskan dan pemuda inilah yang berseru membantu temannya.

   Kui Yang tampak gugup dan malu menerangkan dan kakek itupun akhirnya terkekeh.

   Jenggot dan alis matanya bergerak-gerak.

   Dan ketika tiba-tiba ia menangkap dua anak muda ini digandeng di kiri kanan, meloncat dan terbang tak menginjakkan kaki di bumi maka kakek ini tertawa berseru.

   "Baik, aku sudah tahu. Aku telah mendengarkan percakapan kalian, anak-anak, dan sekarang mari pergi ke tempatku yang paling aman. Sin-kun-bu-tek hampir melihat kita dan sekarang juga kalian menjadi murid-muridku. Ha-ha, kalian memang berjodoh!"

   Ngerilah Kui Yang dibawa terbang secepat ini.

   Mereka berdua tak mampu lagi menyentuh tanah karena begitu cepat kakek ini berlari cepat.

   Ilmunya benar-benar luar biasa.

   Dan ketika gadis itu terpaksa memejamkan matanya saking pedih dan pedas, Kang Hu juga menutup kedua matanya maka di mulut hutan berkelebat bayangan Sin-kun-bu-tek yang celingukan tak melihat lawannya, terkekeh dan mengangguk43 angguk dan akhirnya kakek inipun meloncat pergi.

   Dan begitu dua tokoh sakti itu menuju arah masing-masing maka Kui Yang dan Kang Hu menemukan guru barunya yang agaknya memang cocok.

   Sejak itu lenyap dan tentu saja bakal membuat kalang kabut orang tua masing-masing! *** Kembali kepada Tan Hong dan Kiok Eng yang marah-marah di puncak Liang-san.

   Apakah yang terjadi dengan suami isteri muda ini dan benarkah Cit Kong diculik nenek May-may.

   Seperti diketahui telah terjadi perpecahan keluarga di Bukit Angsa ini.

   Ming Ming yang membawa puterinya meninggalkan tempat itu akhirnya meneruskan perjalanan menuju bangsa kulit putih, meninggalkan Tiong-goan.

   Sedangkan nenek Maymay yang ragu dan bimbang di tepi pantai akhirnya tak jadi ikut.

   "Aku tak dapat membiarkan semua ini lewat. Kalian pergilah dan biarkan aku di sini, Ming Ming. Tak boleh mereka itu hidup tenang. Pergilah dan biar aku kembali dan jaga Beng Li baik-baik. Akan kuculik dan kubunuh Cit Kong biar sama-sama tak punya cucubuyut!"

   May-may nenek berangasan ini mengepal tinju ketika perahu siap berangkat.

   Ming Ming dan puterinya menangis bercucuran dan tiada hentinya ibu dan anak sesenggukan, terutama Beng Li.

   Wanita muda ini memang sakit hati sekali atas kematian puteranya dan betapa tendangan Kiok Eng serasa teringat seumur hidup.

   Tendangan itulah yang membuat ia keguguran.

   Itulah yang membuat ia sakit hati.

   Dan ketika sang ayah dirasa membela Kiok Eng sementara ia dan ibunya begitu tak dihiraukan, demikianlah perasaannya maka keputusan meninggal kan Tiong-goan adalah yang terbaik, paling tidak untuk saat itu.

   "Ayah sudah tak mencintai kita lagi, ia berat sebelah. Untuk apa tinggal di sini lagi, ibu, lebih baik pergi dan biar nenek guru membalas dendam!"

   Ming Ming tak menjawab ketika ia tersedu-sedu berangkulan dengan puterinya ini.

   Hatinya masih panas terbakar teringat Ceng Ceng, madunya.

   Masih terasa sakit bekas tangkisan suaminya ketika melerai.

   Ia terpelanting, bergulingan.

   Dan ketika dilihatnya suaminya menolong dan mengusap madunya, betapa Ceng Ceng mengguguk melapor manja, begitulah perasaannya maka wanita ini panas sekali membuat darah serasa mendidih.

   Akan tetapi perahu sudah bergerak.

   Mereka tidak mempergunakan kapal besar di mana ketika pertama kali rombongan Franky mendarat.

   Kapal itu masih di kota raja dan mereka mempergunakan perahu biasa, perahu yang hanya cukup untuk mereka sekeluarga di mana Yuliah juga ikut.

   Dan ketika perahu menjauh meninggalkan pantai, ombak besar mulai menerjang maka May-may melambaikan tangannya untuk kemudian lenyap sambil tersedu-sedu.

   Tak ada yang menyangka bahwa itulah pertemuan terakhir mereka dengan nenek yang ganas ini.

   May-may juga terpukul.

   Kiok Eng adalah muridnya juga namun dibanding Ming Ming maupun Beng Li tentu saja hubungannya lebih dekat dengan dua terakhir ini.

   Ming Ming itulah muridnya pertama sebelum bertemu Kiok Eng.

   Dan karena Kiok Eng digembleng pula oleh sepuluh nenek lain yang semua merupakan kekasih Dewa Mata Keranjang maka kepandaian gadis itu menjadi bermacam-macam dan tentu saja nenek ini kalah tinggi.

   Hanya Ming Ming itulah betul-betul murid utama pewaris ilmu tunggalnya.

   Kini menghadapi Kiok Eng yang dibantu ibu dan nenek gurunya, Lui-pian Sian-li Yan Bwee Kiok kemarahan nenek ini benar-benar terbakar, apalagi dibantu Fang Fang.

   Mana mungkin ia mengalahkan pendekar itu kalau mendiang Dewa Mata Keranjang sendiri tak mampu menghadapi bekas murid yang amat hebat ini.

   Maka ketika nenek itu menjadi demikian marah dan segala pikiran jernih buyar berentakan, dendam dan sakit hati mulai tertanam maka apapun menjadi tidak sehat dan mudah keluar jalur.

   Maksud nenek ini misalnya, menculik dan membunuh Cit Kong.

   Dosa apakah anak sekecil itu hingga harus dibunuh? Salah apakah anak ini kepada yang tua-tua? Hanya karena dendam dan sakit hati merasuki jiwa maka orang pun menjadi tidak waras.

   Dan nenek itu tetap di Tiong-goan untuk menculik dan melaksanakan niatnya! Akan tetapi Bukit Angsa bukan tempat enteng.

   Meskipun tak ada Ceng Ceng maupun Lui-pian Sian-li (Dewi Cambuk Sakti) Yan Bwee Kiok keberadaan Kiok Eng cukup berbahaya, apalagi suaminya Tan Hong.

   Seorang diri saja tak mungkin nenek ini berhasil.

   Maka ketika ia mencari-cari akal bagaimana menculik dan membunuh Cit Kong, iapun ingin agar Ceng Ceng dan gurunya merasakan tak punya cucu tiba-tiba di tengah perjalanan seseorang menghadang nenek ini, membuat nenek itu terkejut dan berubah.

   "Heh-heh, ini kiranya si tua bangka May-may.

   Bagus, berhenti dan serahkan dirimu, May-may, hutang lama bayar dulu!"

   Seorang kakek gundul terkekeh-kekeh dan matanya yang cekung ke dalam terasa menyeramkan dengan pandang mata dingin.

   Nenek itu terkejut dan berhenti dan tertegunlah dia melihat siapa yang datang.

   Dan ketika ia mundur menenangkan guncangan hatinya, berdetak dan mau menangis maka ia membentak mengusir semua rasa gentar.

   "Siang Lun Mogal tua bangka Mongol! Mau apa dan siapa takut padamu. Minggir, aku sedang berduka kehilangan cucu. Atau aku mengadu jiwa denganmu dan jangan kira aku takut!"

   Siang Lun Mogal, kakek ini terkekeh-kekeh.

   Ia seorang kakek gundul berkepala pelontos, tak berbaju dan memperlihatkan tulang iganya yang kering serta kurus.

   Sepintas seakan orang kelaparan.

   Akan tetapi kalau orang melihat betapa nenek sehebat ini gemetar suaranya dan jelas gentar, inilah tokoh yang hebat dengan Hoat-lek-kim-ciong-ko nya yang amat mengeri kan maka orang tak heran lagi kenapa nenek itu menggigil, biarpun May-may memberani-beranikan hatinya.

   "Heh-heh, ha-ha-ha! Kau seperti kucing betina kesiangan, May-may, wajahmu pucat akan tetapi masih juga cantik.

   Ah, kau tiba-tiba menggiurkan dan menarik hatiku.

   Cobalah mendekat!"

   Jari-jari kakek itu terjulur dan tahu-tahu menangkap nenek ini.

   Maymay terkejut dan mengelak akan tetapi kalah cepat.

   Tahu-tahu pinggang dan perutnya diusap.

   Dan ketika kakek itu terkekeh nenek ini masih bertubuh kencang, tak dapat disangkal May-may pandai merawat diri maka kakek itu tergelak-gelak sementara nenek ini membentak seram.

   Kuduk dan seluruh bulunya berdiri.

   "Jangan kurang ajar, diam kau. Apa maksudmu mengganggu aku dan jangan kira aku takut!"

   Berkata begini nenek itu meledakkan rambutnya dan Sinmauw-kang (Ilmu Rambut Sakti) siap dipergunakan.

   Akan tetapi kakek itu malah tergelak-gelak, begitu geli dan sepasang matanya membuat nenek ini gemetar.

   Mata itu melahap tubuhnya penuh nafsu, seperti mata seorang pemuda yang melihat seorang wanita telanjang bulat.

   "Heh-heh, ha-ha-ha! Benar dugaanku bahwa kau masih bagus dan dapat dipakai, May-may. Usia tak membuat tubuhmu kendor. Ah, perut dan pinggang mu masih halus. Tak salah Dewa Mata Keranjang memilihmu!"

   "Jahanam!"

   Nenek ini menerjang dan rambut pun menyambar, bercuit bagai kawat-kawat baja.

   "Tutup mulutmu dan jangan bicara kotor, Siang Lun Mogal. Aku bukan perempuan hina yang dapat kau permainkan!"

   Akan tetapi si kakek mengebut.

   Kebutan ini membuat anak rambut berhamburan, bahkan meledak dan menyambar kembali nenek itu.

   Dan ketika May-may menjerit dan melempar tubuh bergulingan, kakek ini tergelak menyeramkan maka nenek itu bergulingan meloncat bangun dengan wajah seram.

   Kakek ini begitu bernafsu! "Kau berkhianat, kau menggagalkan segala usahaku.

   Hm, kali ini tak mungkin kau selamat, Maymay.

   Kau harus membayar segala hutangmu dan kematian muridku!"

   "Tahan, aku mau bicara. Tunggu dan dengarkan dulu kata-kataku!"

   Nenek ini mengangkat tangannya dan jelas betapa ia gentar dan pucat bukan main.

   Setua itu baru kali ini nenek May-may merinding.

   Ia benar-benar takut akan ancaman pandang mata ini, bukan kematian melainkan hinaan.

   Ia takut kalau dihina dan dipermainkan.

   Ia ngeri kalau kakek itu seperti gila.

   Maka ketika ia mengangkat tangan tinggitinggi dan buru-buru menyetop, kakek itu menyeringai lalu terkekeh, berkatalah Siang Lun Mogal dengan mata masih penuh nafsu.

   Yang diincar adalah perut halus nenek ini, aneh! "Kau mau bicara apa, apakah ingin aku mengampunimu.

   Hm, tak bisa, May-may, tak mungkin.

   Aku kehilangan murid dan amat menyakit kan.

   Kau memberontak dan mengkhianati aku!"

   "Yang dulu tak usah dibicarakan, yang penting adalah sekarang. Musuhmu dan musuhku sama, Mogal. Aku hendak ke Bukit Angsa membalas dendam. Kalau kau mau dengarkan aku dan bicara baik-baik akan kuterangkan kepadamu dan kebetulan aku butuh kawan!"

   "Heh-heh, aku memang kawan yang baik. Aku laki-laki dan kau perempuan, May-may. Kita dapat tidur bersama."

   "Tutup mulutmu, jahanam!"

   Akan tetapi ketika nenek ini menahan kemarahannya dan membiarkan kakek itu tertawa maka ia membentak apakah lawan dapat diajak kerja sama.

   "Aku tak butuh itu, kau dan aku sama-sama tua bangka. Aku dibuat sakit hatiku oleh muridku Kiok Eng, Siang Lun Mogal. Kalau kau mau membantuku dan kita culik lalu bunuh Cit Kong maka apapun kupenuhi!"

   "Cit Kong? Siapa ini?"

   "Anak Kiok Eng, laki-laki. Aku ingin membunuh nya sebagai balas dendam!"

   "Heh-heh, ha-ha-ha! Tak masuk akal, lelucon paling lucu. Eh, begini caramu menipu, May-may, jangan harap kau mampu dan mudah mengelabuhi aku. Bohong, kau dusta!"

   Dan ketika tiba-tiba kakek ini berkelebat menjulurkan lengannya, sepuluh jarinya mencuatkan kuku-kuku tajam maka nenek May-may menjerit dan melempar tubuh bergulingan.

   "Cret!"

   Pohon di belakangnya terkena.

   Pohon ini roboh dan seketika hangus dan pucatlah nenek itu meloncat bangun.

   Ia melengking dan memaki-maki dan melihat kakek itu memutar tubuhnya.

   Siang Lun Mogal merasa gembira.

   Akan tetapi ketika dia menyeringai dan hendak menyerang lagi maka nenek ini berkata, keras bercampur tangis.

   "Aku tak takut mati, tak takut kalah. Akan tetapi kalau kau menghina dan mempermainkan aku maka sekarang juga kau mendapatkan mayatku, Mogal. Kau tak dapat memiliki aku kecuali aku suka!" Kakek ini tertegun, melihat nenek itu meng genggam sebilah pisau kecil. Dengan sungguhsungguh dan air muka tak takut kematian nenek ini bicara lantang. Air matanya bercucuran. Dan ketika Mogal terkejut mengerutkan kening maka kakek itu ragu-ragu dan melihat bahwa lawan tidaklah berbohong.

   "Hm, apa maksudmu dengan kata-kata kecuali aku suka itu. Terangkan dan coba jelaskan kepadaku, May-may, kau aneh akan tetapi rupanya tidak bohong!"

   "Aku tak ingin kau menjamah tubuhku, kecuali ijinku. Kalau kau mau membantu dan menculik anak itu maka apapun kuberikan termasuk tubuhku!"

   Kakek ini terkekeh, berseri-seri.

   "Kau tidak bohong? Bagaimana kalau bohong?"

   "Kepandaianmu jauh lebih tinggi, Mogal, kau dapat melakukan apa saja kalau kau mau. Akan tetapi aku tak akan memberikannya suka rela kalau kau tak membantuku!"

   "Hm, heh-heh, kau wanita hebat. Baru kali ini aku dipaksa tunduk nenek-nenek sepertimu. Kalau saja, hmmm... kalau saja tubuhmu tak langsing menarik tak sudi aku mendengarkannya, May-may, tapi sekarang katakan kenapa sikapmu begini aneh. Kenapa kau membenci dan hendak menculik anak itu. Bagaimana asal mulanya."

   Nenek ini terisak, mulai lega.

   Usianya sudah limapuluh lebih akan tetapi perawatan dan kesehatannya memang dijaga baik.

   Rambutnyapun belum ada yang putih.

   Maka ketika Mogal meraba perutnya tadi dan betapa halus serta kencang bagi an itu, juga pinggang yang masih ramping padat maka kakek Mongol yang rupa nya tergila-gila ini tertarik.

   Siang Lun Mogal adalah guru mendiang Wi Tok putera kaisar dari selir, yang memberontak dan gagal itu.

   Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku... aku disakiti Fang Fang dan isterinya Ceng Ceng, juga keparat Kiok Eng itu. Mereka membunuh cucuku yang masih dalam kandungan!"

   "Eh, muridmu Ming Ming hamil lagi?"

   "Tidak, bukan dia, melainkan cucu muridku Beng Li. Kau tentu ingat gadis baju merah ini yang akhirnya menikah dengan pemuda kulit putih itu. Ia mengandung, akan tetapi akhirnya digugurkan Kiok Eng lewat tendangan berbahaya!"

   May-may lalu menceritakan peristiwa itu dan kakek ini menganggukangguk.

   Kadang Siang Lun Mogal tertawa atau terkekeh geli, dibiarkan dan tetap nenek itu bercerita.

   Dan ketika akhirnya ia gagal merampas Cit Kong, ada ibu dan ayahnya di situ maka nenek ini mengakhiri dengan tinju terkepal.

   "Semua ini ditambah pembelaan Fang Fang. Keparat itu membuat kami tak dapat membalas sakit hati. Akan tetapi karena ia pasti pulang dan kembali ke Liang-san maka Kiok Eng berdua itulah yang menyulitkan aku. Kalau kau membantuku dan menculik anak itu kubayar semuanya dengan jiwa dan raga!"

   "Heh-heh, ini kiranya. Sekali tepuk dua lalat terjangkau. Ih, kalau begitu maumu tentu saja aku tak keberatan, May-may, hanya tentu saja bantuan ini harus ada ikatan. Mana mungkin gratis begitu saja!"

   "Maksudmu?"

   "Heh-heh!"

   Kakek ini bangkit berdiri, melahap tubuh wanita itu, lalu rambutnya yang hitam gemuk, tak beruban.

   "Ikatan ini harus dilaksanakan beserta bukti, May-may, masa lolos tak ada apa-apanya. Aku percaya kesungguhanmu, akan tetapi lebih percaya lagi setelah kau memberiku sesuatu."

   "Jangan kurang ajar, tubuhku tak boleh kau jamah sebelum anak itu di tangan kita!" "Heh-heh, meskipun cium barang sedikit? Tidak adil, kau mau menangnya sendiri. Aku tak minta yang lebih kecuali mencium dan dicium, May-may. Kalau kau setuju akupun membantumu. Hitung-hitung uang panjar!"

   Nenek ini merah padam, melompat bangun.

   Dia menggigil dan marah sekali akan tetapi bantuan lawan amatlah berharga.

   Kalau saja Siang Lun Mogal memaksa tentu dia menolak.

   Kalau perlu melawan mati-matian.

   Akan tetapi karena lawan bicara wajar dan apalah artinya cium akhirnya ia mengangguk dan berkata, suaranya gemetar menahan marah, juga malu bercampur-aduk.

   "Baiklah, kau tidak salah. Setua ini masih juga mata keranjang, Siang Lun Mogal. Aku memenuhi permintaanmu dan anggap sebagai panjar!"

   Kakek itu terkekeh, menyambar.

   Tanpa ba-bi-bu lagi ia memeluk dan mencium wanita ini, May-may hampir muntah-muntah.

   Akan tetapi ketika ia mengeraskan hati dan menerima semua itu, inilah beratnya sakit hati maka kakek itupun minta dibalas dan May-may hampir menampar.

   "Sekarang kau, cium yang mesra.

   Tua-tua semakin menggila, May-may, kau tak kalah dengan yang tujuh belas tahunan.

   Ha-ha, lagi...

   cup-cup!"

   May-may menahan muaknya hati dan tiba-tiba nenek itu menampar. Ia telah mencium dan membalas akan tetapi semua itu tentu saja dilakukan ala kadarnya. Mana mungkin kelebat sementara kakek ini tergelak-ge-lak, May-may telah "menjual"

   Dirinya sedemikian rupa maka kakek inipun bergerak dan menyambar menuju Bukit Angsa, menggandeng nenek itu. (Bersambung

   Jilid VII.) COVER =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0= Karya . Batara

   Jilid VII *** "HA-HA, harum... harum dan manis. Ah, ciuman mu menyegarkan, May-may, menerbangkan sukmaku. Andai kudapatkan semuanya!"

   Nenek ini tak menjawab dan mengipatkan lengannya ketika kakek itu menyambar dan meng gandeng dirinya.

   Ia merah padam dan malu serta marah akan tetapi mau bagaimana lagi.

   Inilah bantuan yang amat berharga.

   Maka ketika ia terbang sementara kakek itu mengiringi di sebelahnya, kadang, mengusap atau membelai bagian-bagian tubuhnya secara kurang ajar maka nenek ini pun tak berani banyak menolak agar si kakek tak marah.

   Ia hanya menolak jika kakek itu berbuat lebih, melanggar yang satu itu.

   Dan ketika Siang Lun Mogal gembira dan semakin bersemangat, nafsunya benar-benar terbakar maka kakek ini pun sungguh-sungguh membantu nenek ini dan merekapun tiba di Bukit Angsa.

   Waktu itu Cit Kong dibawa ibunya ke kota.

   Sebagaimana kebiasaan Kiok Eng setiap minggu maka kebetulan bersama suami dan anaknya ia pergi berbelanja.

   Ceng Ceng sang ibu berburu di dekat hutan mencari kelinci gemuk.

   Hanya Lui-pian Sian-li Yan Bwee Kiok yang ada di rumah, membersihkan ruangan dan mencuci piring sambil menunggu kedatangan cucu dan muridnya.

   Maka ketika tiba-tiba dua orang ini berkelebat dan langsung memasuki rumah, terkejutlah Dewi Cambuk Kilat itu maka Maymay bertanya di mana Cit Kong dan lain-lain.

   "Kenapa sepi, mana Kiok Eng dan puteranya. Aku datang ingin mengambil Cit Kong, Bwee Kiok, tunjukkan padaku dan jangan melindungi!"

   Nenek ini tertegun dan berubah.

   Kalau saja May-may datang sendiri tentu tak akan sekaget ini nenek itu.

   Akan tetapi kakek gundul di samping nenek ini! Maka ketika Bwee Kiok menenangkan guncangan batinnya namun tetap juga gemetar, sikap dan pandang mata May-may jelas tidak bersahabat maka ia menegur untuk apa rekannya itu mencari Cit Kong.

   "Anak ini dibawa ibunya, berbelanja. Ada apa kau datang dan mencarinya sementara temanmu adalah kakek ini, May may. Tidakkah kau tahu siapa dia dan bagaimana membawa masuk seorang iblis tua bangka!"

   "Heh-heh-ha-ha, serang dan robohkan saja. Siapa tahu ia bohong dan menyembunyikan anak itu, May-may. Untuk apa banyak tanya dan sikat saja. Aku mencarinya ke dalam!"

   Siang Lun Mogal terkekeh dan kakek gundul ini langsung melompat menuju ruang samping.

   Ia sengaja menghadapkan nenek itu dengan May-may dan diri sendiri berkelebat mencari Cit Kong.

   Jawaban itu tak mungkin dipercayanya begitu saja.

   Dan ketika nenek itu membentak namun harus melewati May-may, nenek ini menggerakkan rambut nya maka Bwee Kiok ditangkis dan keduanya terpental serta berseru keras.

   "Plak!"

   Dewi Cambuk Kilat menjadi marah dan melengking mencabut senjatanya.

   Dalam saat-saat tertentu boleh saja ia main-main dengan bekas rekan ini, akan tetapi kalau May-may sudah mengeluarkan silat rambutnya dan mainkan Sin-mauw-kang itu, senjata ini jelas berbahaya maka nenek ini pun tak mau lengah dan mencabut serta menyerang lawan.

   Cambuk panjang meledak-ledak dan telah berada di tangannya.

   "Tak tahu malu, licik dan busuk.

   Kau masih juga memusuhi anak kecil yang tak berdosa, May-may, sakit hatimu tak beralasan.

   Dan kau datang bersama kakek jahanam itu.

   Ah, mati hidup kuhalangi kau...

   tartarr!"

   Lalu ketika cambuk menjeletar dan mengeluar kan suaranya yang nyaring, semakin lama semakin nyaring agar didengar Ceng Ceng di luar hutan maka May-may mendengus dan ber kelebatan melayani madunya ini.

   Sin-mauw-kang adalah andalannya sementara lawan cambuk panjangnya.

   Akan tetapi keduanya tak mungkin merobohkan dalam waktu cepat.

   Ginkang dan ilmu silat keduanya tak berselisih jauh dan masing-masing mengenal pula permainan lawan.

   Baik Bwee Kiok maupun May-may telah demikian hapal.

   Maka ketika masing-masing mengelak dan menyerang lagi, balas-membalas dan berkelebatan memaki-maki maka Siang Lun Mogal keluar lagi dengan tangan hampa.

   Cit Kong memang tak ada di rumah.

   "Kosong, jahanam. Nenek ini benar, May-may, bocah itu tak ada. Jangan-jangan ia benar dibawa ibunya."

   "Bantu aku, robohkan dan serang dia. Kalau Kiok Eng datang tentu lawan kita semakin berat, Siang Lun. Tan Hong tentu bersama isterinya itu dan mereka ber dua cukup berbahaya. Jangan menonton!"

   "Heh-heh, mudah. Kalau hanya itu apa sukarnya? Lihat, ia kurobohkan, May may, akan tetapi kita pun harus segera bersembunyi karena kudengar langkah kaki orang!"

   Kakek ini membungkuk dan tibatiba melepas Ang-mo-kang yang mengeluarkan suara aneh dari perutnya itu.

   Pukulan ini, Ilmu Katak Merah memang khas dilepaskan dengan setengah jongkok.

   Pengerahan sinkang dari dalam perut mengeluarkan suara nkokkok, yang aneh.

   Akan tetapi begitu menyambar dan dilepas dengan cara mendorong, apalagi ke punggung lawan maka Bwee Kiok menjerit dan cambuk di tanganpun terlepas.

   "Dess!"

   Nenek ini terjengkang muntah darah.

   Memang kepandaian si kakek gundul belumlah tandingannya dan dulu dikeroyok sebelas saja kakek ini mampu mengalahkan mereka.

   Maka dihantam dan dibokong secara curang, nenek itu roboh maka Siang Lun Mogal terkekeh akan tetapi secepat kilat ia menyambar dan membawa lawan yang terluka, menendang rekannya pula karena saat itu dari luar terdengar teriakan dan seruan seseorang.

   "Subo...!"

   Ceng Ceng masuk dan berubah pucat.

   Wanita ini masih kalah cepat dengan gerakan Siang Lun Mogal dan ia kehilangan subonya.

   Hanya meja kursi yang berantakan membuat ia maklum bahwa di tempat itu baru saja terjadi perkelahian.

   Dan ketika wanita ini tertegun mencari-cari, May-may menekan rekannya agar tidak memperlihatkan diri maka Ceng Ceng gelisah bukan main dan berkelebat ke dalam.

   "Subo!"

   Akan tetapi May-may dan kakek ini menyelinap di tempat lain.

   Nenek itu tak ingin mengganggu Ceng Ceng sementar


Pisau Kekasih Karya Gu Long Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen

Cari Blog Ini