Mencari Busur Kumala 7
Mencari Busur Kumala Karya Batara Bagian 7
an karena siapa percaya anak ini menjadi tuan penolong, di sana ada Lu-kauwsu (guru silat Lu) yang lihai dan cukup dikenal maka Buci terkejut dan sejenak hilang akal.
Ia kaget bahwa Pui-wangwe dikenal begitu baik, termasuk guru silat she Lu yang lihai akan tetapi tak mampu mengimbangi ilmu lari cepatnya itu.
Dan ketika ia terbelalak dan bingung serta habis sabar ditekan perwira ini, Khu-ciangkun menjepitnya maka Lamtaijin lagi-lagi mengangkat tangan dan berseru.
"Begini saja, kami percaya dan membebaskan mu bila kauserahkan ikan Tampah itu kepada kami. Karena Pui-wangwe menyebutmu siauw-inkong (penolong cilik) dan kau tampaknya kenal baik biarlah urusan ini disudahi saja. Serahkanlah ikan itu dan semuanya kami anggap selesai. Bagaimana?"
Buci terbelalak.
Kalau saja ia tak tahu perihal ikan ini dari teman barunya itu barangkali akan dilepasnya ikan itu begitu mudah.
Akan tetapi ia sekarang tahu.
Ikan ini adalah milik istana dan konon bisa laku selaksa tail.
Bagi pejabat atau bawahan kaisar ikan ini dapat menaikkan pangkat.
Siapa sudi! Maka menggeleng dan tertawa mengerti tibatiba ia berseru.
"Ketahuan belangnya, ini kiranya kenapa kalian menangkap aku. Ha, tak akan kuberikan ikan ini kepada siapapun, Lam-taijin. Aku telah tahu bahwa dengan ini kau dapat menaikkan pangkatmu. Ikan ini akan kujual ke istana, bisa laku selaksa tail. Kalau kau mampu menggantinya sejumlah itu biarlah ku berikan!"
Wajah pembesar itu berubah.
Khu-ciangkun yang terkejut dan terbelalak pula tiba-tiba berseru keras.
Lam-taijin telah memberi tanda kepadanya.
Maka ketika ia membentak dan menubruk anak itu, berteriak lancang maka Buci diserang akan tetapi anak itu berkelit dan menendang.
"Buk!"
Perwira itu terpelanting dan berteriak kesakitan.
Ia tak menyangka begitu mudahnya dikelit dan menerima tendangan pula.
Ia bergulingan mengaduh-aduh.
Dan ketika ia meloncat bangun dan menjadi marah, Lam-taijin menghilang di balik kursinya maka perwira itu memanggil anak buahnya yang segera mendobrak pintu dan berhamburan masuk.
Khu-ciang kun masih mulas perutnya dan gemetaran memegang golok.
"Tangkap...
tangkap anak itu.
Ia tak dapat menyebut namanya dan mencurigakan.
Serang dan robohkan dia!"
Di sini Buci menjadi marah.
Ruangan itu cukup lebar dan tak kurang tiga puluh orang berlompatan masuk.
Para pengawal mencabut senjata mereka dan langsung menyerang, aba-aba Khu-ciangkun tak perlu diulang lagi.
Dan ketika anak itu mengelak dan berkelit ke sana-sini, membentak dan mengeluarkan gendewanya maka Buci menangkis dan memaki-maki.
"Curang, kutu busuk. Katakan bahwa kau hendak merampas ikanku, Khu-ciangkun. Kau memaksa dan mendesak aku dengan segala macam akal licik!"
Akan tetapi perwira itu berteriak-teriak dan menyuruh pengawalnya menyerang lebih hebat.
Crang-cring-crang-cring tangkisan gendewa membuat golok di tangan pengawal terpental.
Buci telah mendapat pengalaman bertanding dengan para perampok itu.
Maka ketika ia berkelebatan dan kini membalas, berjungkir balik melesat menuju perwira itu maka Khu-ciangkun terkejut bukan main melihat anak itu tahu-tahu menyambarnya.
"Tak!"
Perwira ini menggerakkan golok akan tetapi besi hitam di ujung gendewa mendahuluinya.
Gerakan Buci jauh lebih sebat dan berteriaklah perwira itu.
Ia terbanting dan bergulingan lagi.
Dan ketika anak buahnya menjadi marah dan mengejar serta menyerang, Buci dikepung maka terdengar suara Lam-taijin agar ikan di punggung anak itu jangan sampai terbeset.
"Bocah itu boleh kalian bunuh akan tetapi hatihati ikan Tampahnya, jangan terluka. Siapa dapat memberikannya kepadaku hadiahnya seribu tail!"
Berteriaklah pengawal itu membabi-buta.
Pintu ditutup rapat dan Buci dikejar di tengah ruangan, golok dan senjata tajam berhamburan.
Dan ketika anak ini terpaksa menangkis sambil berkelit ke sanasini, membentak dan memaki-maki maka gendewanya berdenting lagi bertemu golok atau senjata lain yang menyambar.
Akan tetapi Buci kalah tenaga.
Iapun sebenar nya tak pandai silat karena Jouw-sang-hui-teng itulah andalannya.
Kalaupun ia menangkis dan membagi pukulan adalah sebisanya saja.
Besi hitam di ujung gendewanya cukup ampuh.
Akan tetapi karena semuanya bersifat ngawur sebagaimana ia melabrak perampok-perampok itu, sebenarnya anak panah itulah kemahirannya akhirnya anak ini terdesak dan ia teringat setelah terlambat.
Gendewanya terpental bertemu lima golok sekaligus.
"Crangg!"
Buci terhuyung dan saat itu Khu-ciangkun menyambar.
Perwira ini sakit hati dihajar Buci, dua kali ia dihantam besi itu.
Maka ketika menubruk dan membentak girang, dialah yang akan merobohkan dan mendapatkan ikan itu maka Buci benar-benar terkejut dan mengelak namun terbabat bahunya.
"Crat!"
Anak ini marah.
Ia memekik akan tetapi delapan pengawal menyergapnya dari belakang.
Para pengawal ini jelas berbeda dengan para perampok yang menawan Pui-wangwe itu, mereka adalah orangorang terlatih dan rata-rata berkepandaian cukup tinggi.
Maka terkejut dan mengeluh diserang dari delapan penjuru, anak ini melompat akan tetapi kakinya tertangkap maka Jouw-sang-hui-teng gagal di tengah jalan dan saat itu Khu-ciangkun menyambar pula dengan goloknya yang tajam.
"Mampus kau!" Akan tetapi seberkas cahaya putih tiba-tiba menyambar. Orang tak tahu apa yang terjadi namun Khu-ciangkun dan pengawalnya berteriak. Mereka terpelanting dan terlempar ke kiri kanan. Dan ketika semua terkejut bukan main dan mengeluh, anak itu tiba-tiba lenyap maka Khu-ciangkun terbelalak dan bingung. Anak buahnya juga membelalakkan mata dan bingung, bahkan bercampur ngeri.
"Mana anak itu, ia lenyap!"
"Benar, ia hilang, ciangkun. Kita disambar setan!"
"Tak mungkin, tak ada setan. Kita di serang seseorang atau anak itu mempunyai ilmu hitam. Cari, kejar!"
Tiba-tiba terdengar kekeh di atas.
Buci, anak lelaki itu tahu-tahu nongkrong di belandar, ia duduk bersama pedagang, pria berbaju putih itu.
Dan ketika semua terkejut sementara laki-laki ini tersenyum simpul, Buci mementungkan gendewanya tiba-tiba ia berseru pada perwira she Khu, anak panah di tali busur.
"Kau! Licik dan curang sekali caramu menyerang. Kau tak tahu malu dan berwatak kejam, orang she Khu, sekarang aku membalas dan terimalah ini!"
Anak panah dilepas dan Khu-ciangkun tentu saja kaget bukan main.
Ia berteriak dan melempar tubuh akan tetapi anak panah menancap di pundaknya.
Ia menjerit dan mengaduh-aduh.
Dan ketika Buci memasang anak panahnya lagi ke anak buah perwira itu, paniklah orang-orang itu maka pintu yang tertutup membuat mereka tunggang-langgang.
"Ha-ha, ini bagianmu, dan ini untukmu... cepcep!"
Satu demi satu anak-anak panah berhamburan dan cepat sekali puluhan orang itu berteriak-teriak.
Entah bagaimana pintu tiba-tiba terkunci dan mereka tak dapat keluar.
Siapa yang berebut pundakpun digigit anak panah, kepandaian Buci memang mengagumkan.
Dan ketika semua roboh dan merintihrintih, Khu-ciangkun malah mendapat dua anak panah maka Buci meloncat turun mengebut-ngebutkan pakaiannya.
Sesungguhnya dia tadi ditolong pedagang itu dan kini leluasa melakukan balasan.
"Nah,"
Anak itu berdiri tegak.
"Sekarang tunjukkan padaku di mana Lam-taijin itu karena iapun harus mendapat hukumannya."
"Ampun...!"
Khu-ciangkun menggigil.
"Ia... ia tak ada di sini lagi, Bu-beng-siauwinkong. Lam-taijin telah pergi!" "Bu-beng-siauw-inkong? Heh-heh, siapa menolongmu, ciangkun, justeru aku melukaimu. Aku tak percaya padamu dan bawa Lam-taijin ke sini, atau anak panahku terlepas lagi dan kali ini menancap di tenggorokanmu!"
"Benar,"
Fang Lun tertawa dan tiba-tiba berkelebat turun, ternyata ia seorang berkepandaian tinggi! "Kutu busuk macammu tak dapat dipercaya, orang she Khu. Pergi atau tidak ia harus di sini, atau kau gantinya!"
Khu-ciangkun terbelalak.
Maklumlah bahwa sesungguhnya yang berbahaya dalah laki-laki ini.
Pedagang she Fang itu jelas ahli silat kelas tinggi.
Ia bertemu batunya.
Akan tetapi berlutut dan menjawab bahwa ia tak bohong, Lam-taijin benar-benar tak ada di rumah itu maka orang ini menyambarnya dan kini membentak.
"Kalau begitu di mana. Kau harus mengantarkan kami kepadanya atau kau kubunuh!"
"Ia... ia di tempat selirnya di barat kota. Kami akan mengantarmu ke sana, taihiap, tapi jangan bunuh aku. Kami hanya menjalankan perintah dan Lam-taijin lah yang bersalah!" "Pintar menyelamatkan diri. Hayo antarkan kami kepadanya dan bawa kereta!"
Pria ini membentak dan Khu-ciangkun kuncup nyalinya.
Ia bangkit dan terhuyung memegangi kedua pundaknya sementara anak buahnya digiring pula.
Bersama pengawal itu laki-laki ini dan Buci mencari Lam-taijin.
Secara licik dan licin pembesar itu melarikan diri.
Maka ketika kereta berderap dan tiga puluh pengawal mengiringi, jadi tontonan sepanjang maka Khuciangkun merah padam, penduduk terheran-heran betapa perwira ini dicengkeram dan dikendalikan anak laki-laki itu.
Buci siap memasang panahnya untuk mereka yang coba-coba melarikan diri, temannya di dalam kereta dan tersenyum-senyum.
Tak sampai lima belas menit sampailah kereta itu di sebuah rumah mungil.
Semua berhenti dan berlompatan turun dan dari jendela kaca melongoklah seseorang dengan wajah berubah.
Lam-taijin! Dan ketika pembesar ini menghilang dan seorang wanita cantik muncul menggantikan maka Khu-ciangkun buru-buru memberi hormat sementara Buci di belakang perwira itu dengan sikap mengancam.
Anak ini memang luar biasa dan pemberani.
"Ampun, siauw...
siauw-enghiong (orang gagah cilik) ini hendak bertemu taijin.
Kami mengantarnya dan mohon bertemu."
"Taijin tak ada di sini. Kau salah dan mengherankan aku, ciangkun, dan siapa siauwenghiong ini. Suamiku belum muncul."
"Jangan bohong!"
Fang Lun tiba-tiba berkelebat dan membentak wanita itu.
"Bayangannya kulihat di jendela kaca, hu jin (nyonya). Kau melindunginya dan menyembunyikannya!"
"Tit... tidak!"
Wanita ini menjadi gentar.
"la... ia benar-benar tak ada di sini dan belum datang. Lamtaijin di kantornya!"
"Hm, biar kuperiksa dan kau jaga tikus busuk ini. Kalau ia kutangkap maka dirimu harus menerima hukuman!"
Tanpa memberi kesempatan wanita itu pedagang ini berkelebat ke dalam.
Gerik-geriknya demikian cepat dan tiba-tiba terdengar teriakan di dalam.
Lam-taijin ngumpet di WC! Lalu ketika ia ditendang dan mencelat terguling-guling, pria itu menemukannya maka pembesar ini meratap dan kedodoran.
Ia berjongkok dan pura-pura buang air besar.
"Babi najis!"
Pedagang itu membentak.
"Berani kau melarikan diri setelah anak buahmu dihajar. Nah, kini kau tak dapat menyembunyikan diri lagi dan sekarang terimalah hukumanmu. Juga kau!"
Wanita itu dituding dan pucatlah selir Lam-taijin ini.
la jatuh mendeprok dan menangis, terbukalah kebohongan nya.
Dan ketika Lam-taijin mengguguk dan tersedusedu pula, Buci demikian muak dengan pembesar ini maka ia melompat dan ujung gendewanya menekan tenggorokan.
Temannya telah memberikan tawanan kepadanya.
"Kau!"
Anak ini membentak.
"Hukuman apa yang kau minta, taijin. Ingin ku tusuk atau ku pecahkan kepalamu. Kau demikian jahat dan kejam dengan memerintahkan membunuh aku. Apa dosaku, apa salahku!"
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ampun, kami... kami khilaf. Kami tertarik ikan Tampahmu itu, siauw-enghiong. Sebenarnya bermaksud mengembalikannya ke istana dan berbuat baik kepada kaisar. Kami melakukan ini sebagai abdi yang baik!"
"Dan kaisar menyuruhmu melakukan apa saja untuk mendapatkan kembali ikan ini? Iapun menyetujuimu kalau membunuh dan melenyapkan aku?"
Pembesar itu menggigil, diam.
"Jawab, benarkah begitu!"
Buci membentak lagi dan barulah pembesar ini menggeleng.
Ia terbata-bata dan sinar matanya tiba-tiba melirik Khu-ciangkun.
Ia marah sekali kepada pembantunya itu kenapa lawan didatangkannya di tempat itu.
Akan tetapi ketika pembantunya berlutut dan tak berani mengangkat muka, yang lain juga menunduk dan habislah harapannya maka laki-laki itu tertawa mengejek dan kali ini berseru padanya.
"Sekarang pilihlah satu di antara dua hukuman ini. Kembalikan uang sobat cilikku ini dan buat surat pernyataan ampun terhadap sri baginda atau kau dibunuh mati sebagai pembesar yang semena-mena terhadap rakyat!"
"Ap... apa? Surat kepada sri baginda? Atasanku adalah Gubernur Wong, taihiap (tuan pendekar), tidak langsung ke sri baginda. Ini tak ada sangkut-pautnya dengan sri baginda dan hanya untuk hal-hal luar biasa saja bawahan seperti aku berani menyurati sri baginda!" "Kalau begitu anggap saja peristiwa ini sebagai hal yang luar biasa. Mari ku bantu kau."
Dan ketika semua heran dan terkejut tak mengerti, pedagang itu tersenyum dan mengeluarkan sebatang pit dan mencorat-coret maka ia telah menyerahkan sebuah surat dan melepas cincin yang tadi tersembunyi di balik ujung lengan bajunya, menyerahkannya kepada pembesar itu.
"Nah, ini dapat membantumu dan kau berikan lah ke istana. Pasti sampai ke tangan sri baginda."
Pucat dan terbeliaklah laki-laki gendut ini begitu melihat surat dan cincin.
Ia begitu melotot dan tibatiba mengeluh.
Cincin itu membuatnya roboh.
Lalu ketika ia bersuara seperti babi menguik, Buci heran bukan main maka cincin itu dikembalikan lagi dengan suara terbata-bata.
"Ampun... mohon ampun. Kami tak tahu dengan siapa kami berhadapan, tai-hiap, akan tetapi perintah dan suratmu akan kami sampaikan. Cincin ini tak berani hamba terima dan mohon beribu ampun bahwa kami bermata buta!"
Khu-ciangkun tiba-tiba pucat pula.
Begitu melihat dan mengenal cincin itu mendadak perwira inipun menyungkurkan diri.
la tergagap-gagap dan membentur-benturkan dahinya di atas tanah, bahkan sampai lecet berdarah.
Dan ketika anak buahnya juga terkejut dan heran, akan te tapi segera maklum bahwa sesuatu yang luar biasa terjadi di depan mereka maka merekapun menunggingkan pantat dan membenturbenturkan jidat mengikuti pimpinannya.
"Ha-ha!"
Buci tiba-tiba tergelak tak dapat menahan tawanya.
"Apa-apaan mereka ini, paman Fang? Kenapa begitu ketakutan seperti melihat hantu. Eh, apakah kau hantu!"
Laki-laki itu tersenyum, tertawa pula.
"Barangkali begitu, anak baik, aku hantu yang menakutkan. He, bagaimana menurutmu!"
"Kau orang baik dan bukan hantu. Kalau mereka menganggapmu begitu patut dihajar. Lam-taijin ini gara-garanya... buk!"
Lalu ketika pantat pembesar itu ditendang dan keluarlah kentutnya yang nyaring, Buci tertegun maka ia menendang lagi namun... brott, saking takutnya pembesar itu kentut lagi.
"Jahanam!"
Buci memaki.
"Kentutmu bau, taijin. Cium dan nikmati sendiri!"
Pembesar itu mengguguk-guguk dan sama sekali tidak tertawa.
Ia bahkan demikian pucat sampai keringat membanjiri tubuhnya.
Ia mengiba-iba minta ampun kepada laki-laki di depannya itu, orang kepercayaan kaisar! Dan ketika laki-laki ini tersenyum dan mengejek mundur, Lam-taijin mengeluh maka pembesar itu terguling dan roboh pingsan.
Ia begitu ke takutan oleh kentutnya sendiri! "Hm,"
Laki-laki itu membalik dan kini menghadapi Khu-ciangkun.
"Bagaimana dengan uang milik anak ini, orang she Khu, haruskah kutunggu atasanmu sadar dan memintanya merengek-rengek. Kau tentu tahu di mana uang itu yang telah kauterima."
"Uang... uang itu ada padaku. Masih kusimpan di kantung ini, taihiap, utuh tiga puluh, eh... dua puluh keping emas. Ini ku kembalikan!"
Perwira itu terbungkuk dan terbata-bata dan ia pun menghampiri Buci dengan takut-takut.
Diserahkannya uang itu dengan amat hormat namun sebaliknya Buci menerimanya dengan kasar.
Anak ini memang tak senang kepada perwira itu.
Dan ketika laki-laki ini tersenyum dan mengangguk senang, ia pun memutar tubuhnya maka pergilah dia dengan lenggang santai.
Buci melompat dan menyusul di belakangnya.
Sekarang Khu-ciangkun sibuk menolong atasan nya.
Lam-taijin yang gendut kena stres, selirnya menghilang dan entah lari ke mana.
Dan sementara orang-orang itu sibuk oleh urusannya sendiri, Buci mengikuti temannya sampai di batas kota maka lakilaki itu berhenti dan tertawa padanya.
Anak ini mengikuti dan sama-sama tak bicara sampai laki-laki itu berhenti.
"Ha-ha, kau seperti anak ayam di belakang induknya. Hei, sekarang waktunya kita berjalan sendiri-sendiri, anak baik. Bukankah kau mempunyai tujuan sendiri sedangkan aku akan meneruskan berdagang!"
Buci tersenyum, menjura dalam-dalam.
"Sekaranglah saatnya kuucapkan terima kasih banyak-banyak. Aku beruntung bersahabat dengan mu, paman, akan tetapi ada sebuah hutang yang belum kau bayar. Aku ragu memintanya akan tetapi sekarang tidak lagi. Kau sudah bicara."
"Ha-ha, hutang apa? Kapan aku berhutang?"
"Paman ingat baik-baik, apa pembicaraan kita di dalam kereta. Masa kau lupa?"
"Eh, jangan main-main. Aku tak merasa hutang dan baru kali ini ditagih hutang!"
"Paman masih ada waktu?" "Untuk apa?"
"Aku ingin bercakap-cakap lagi, melanjutkan pertanyaan itu. Nah, itulah hutangmu dan sebelum kita berpisah tentunya paman harus membayar dulu."
"Kurang ajar, terlalu sekali. Bocah cilik menahanku di sini untuk sebuah hutang. Ha-ha, tak apalah. Nah, kuluangkan waktuku dan apa yang hendak kautagih. Aku betul-betul tak ingat!"
"Kita berdiri begini saja seperti caramu berdagang?"
"Ha-ha, betul-betul kurang ajar. Baik, mari duduk dan kau mau bicara apa. Apa hutangku!"
Lakilaki itu tergelak dan ia benar-benar geli oleh sikap dan kata-kata anak ini.
Setelah bergaul dan sama-sama mengenal watak maka iapun tertarik dan tak dapat disangkal lagi ada sesuatu yang luar biasa pada diri anak ini.
Buci memang menarik.
Dan ketika ia duduk dan menepuk rumput di sebelahnya, anak itu tertawa dan duduk maka Buci mengambil ikan Tampahnya menyerahkannya kepada laki-laki itu.
"Aku tak ingin berhutang pula, nih kaubawa. Sebagai pedagang tentu untungmu besar. Akan tetapi jawablah pertanyaanku tadi siapa dan di mana pendekar paling hebat di dunia ini. Aku betul-betul ingin tahu!"
Wajah tua itu terkejut, matanya terbelalak. Akan tetapi ketika ia terkekeh dan begitu geli maka ia menepuk pundak anak ini seraya berseru.
"Kau! Inikah hutangku itu? Ha-ha, kuingat sekarang, memang pembicaraan kita terputus. Hei, apa maksudmu menanyakan ini, siauw-enghiong. Memangnya ada apa dengan pendekar paling hebat dan lihai di dunia ini!"
Buci tersipu, wajahnya memerah. Orang menyebutnya "siauw-enghiong"
Seperti Khu-ciangkun dan Lam-taijin itu.
Kata-katanya menggoda akan tetapi mengena benar.
Ia sudah tahu siapa sahabatnya ini akan tetapi tetap juga dirahasiakannya namanya itu.
Maka ketika ia berdiri dan membungkuk hormat, laki-laki itu terkejut maka untuk pertama kali anak ini memberitahukan namanya.
Bukan main! "Aku Sabuci, bukan siauw-enghiong.
Karena paman telah menolongku dan amat baik biarlah kuperkenalkan namaku yang buruk.
Paman jangan menggoda atau mengolok-olok aku.
Siapa yang pantas disebut siauw-enghiong!"
Laki-laki itu berubah, kaget dan heran. "Kau... kau anak Mongol?"
"Benar, paman, apakah buruk."
"Tidak, eh... tapi kulitmu Han asli. Kau tak pantas sebagai anak Mongol!"
"Aku memang anak Mongol paling tidak tempat tinggalku dan rumahku memang di sana."
"Tapi kulitmu!"
"Kulitku memang bukan, paman, akan tetapi tak enak rasanya membicarakan ini. Aku hanya ingin memperkenalkan namaku agar tidak kausebut siauwenghiong ..."
"Ha-ha-ha!"
Laki-laki itu memotong.
"Kau luar biasa dan menarik sekali, Buci. Eh, memang tak enak membicarakan warna kulit karena bukankah sebenar nya kita sama. Tuhan tak membeda-bedakan warna kulit karena sesungguhnya makanan dan minuman kita sama. Kita sama-sama melahap nasi dan minum air, bukan rayap atau kecoa busuk. Ha-ha, benar, kau benar dan maafkan aku. Hmm, luar biasa sekali bahwa kau seorang anak Mongol. Siapa menyangka dan menduga jika melihat kulitmu ini!"
Lalu menganggukangguk dan tampak tertegun, wajah itu bersinar-sinar maka pertanyaan kembali kepada tadi.
"Baik, jawablah pertanyaanku apa maksudmu dengan mengetahui orang lihai atau hebat di dunia ini!"
"Aku menanyakan yang paling lihai..."
"Ya-ya, kuralat. Sekarang apa maksudmu dengan mengetahui orang paling lihai atau hebat di dunia ini, Buci. Ada apa ingin mengetahui ini!"
"Aku, hmm..."
Anak itu ragu-ragu.
"Aku tidak bermaksud apa-apa, paman, kecuali bahwa tahu. Itu saja."
"Tak mungkin, kau bohong. Kalau sekedar tahu tak mungkin serius. Kau malah menganggapku hutang!"
Buci semburat, tersipu-sipu. Memang ia tak dapat menyembunyikan ini dan sikap atau pertanyaan nya serius. Maka menarik napas dalam dan bicara jujur iapun berkata.
"Aku ingin mencari guru yang pandai untuk menghadapi guruku yang bengis. Aku sedang dikejar-kejar den dipaksa mempelajari sesuatu yang tak kusuka."
"Begitukah?"
Laki-laki itu terbelalak.
"Kalau begitu pergi saja ke Liang-san, carilah seorang bernama Tan Hong!"
"Tan Hong? Siapa ini?" "Dia keturunan Dewa Mata Keranjang, lihai dan tinggi ilmu silatnya. Dia..."
"Stop-stop! Aku tak suka dilanjutkan karena siapa mau menjadi murid seorang mata keranjang. Aku mencari yang baik dan berhati lurus, paman, bukan seperti itu!"
Buci memotong dan menggelenggeleng dan pedagang ini terbelalak. Ia belum habis bicara ketika anak itu menggoyang-goyang tangannya. Akan tetapi ketika ia sadar dan terbahak, anak itu lucu sekali maka ia berseru.
"Buci, kau jangan sombong. Tan Hong bukanlah Dewa Mata Keranjang, ia hanya putera pendekar itu!"
"Sama saja, tentu sama-sama berwatak tak baik. Ada pepatah mengatakan buah tak jauh dari pohonnya, paman. Kalau ayahnya begitu pasti anaknya begitu pula. Tidak, tidak, aku tak suka!"
"Kalau begitu cari saja pendekar wanita Kiok Eng. Ia lihai dan tak kalah tinggi dengan si Tan Hong ini!"
"Kiok Eng? Di mana dia?"
"Di Liang-san pula, dapat kautemui. Akan tetapi wanita ini aneh dan maukah mempunyai murid lakilaki? Ia membenci laki-laki!" "Hm!"
Mata anak itu bersinar-sinar dan ia tak memperdulikan kata-kata terakhir itu, tubuhnya bergetar.
"Lihai benarkah dia, paman? Mana lebih hebat denganmu?"
"Ha-ha, suka membanding-bandingkan. Aku jauh dibanding wanita itu, Buci, bukan apa-apa. Lagi pula aku pedagang, waktuku cari duit. Kalau kau ikut aku maka ilmu dagang yang kuajarkan, ha-ha!"
Anak itu menggeleng, tatapannya ke depan.
Ia tentu saja tak suka ilmu dagang karena gurunya Siang Lun Mogal adalah seorang kejam yang tak bisa dihadapi dengan ilmu dagang.
Ilmu itu hanya untuk cari duit, bukan untuk menyelamatkan diri.
Dan ketika ia begitu gembira dan bersinar-sinar, laki-laki itu memandangnya tak berkedip maka pertanyaannya membuat Buci terkejut.
"Maaf, bolehkah kutahu siapa gurumu yang bengis itu. Melihat ilmumu meringankan tubuh dan ilmu panahmu yang baik rasanya sukar kupercaya bahwa gurumu jahat."
"Maaf, aku tak dapat memberi tahu ini. Menceritakan kejelekan atau kejahatan orang lain rasanya kurang enak, paman, bukankah kita sendiri sering jahat dan tidak baik."
Buci menolak. "Hm, apakah Siang Lun Mogal?"
Pertanyaan itu membuat Buci berobah. Ia begitu kaget sampai berjengit. Orang ini seakan tahu segalanya! Dan ketika ia terkejut dan berubah maka laki-laki itu tertawa padanya.
"Buci, aku adalah pedagang, perjalanku luas. Kalau kau dari Mongol dan mengatakan gurumu bengis maka siapa lagi orang itu kalau bukan Siang Lun Mogal. Dia memang kejam dan amat bengis, dan akupun tahu dia. Hm, mengherankan bagaimana bocah sebaik engkau mempunyai guru seperti itu. Akan tetapi seingatku Siang Lun Mogal tak mahir panah!"
Buci benar-benar terhenyak dan ia terbelalak begitu lebar memandang laki-laki di depannya ini. Paman Fang ini sungguh mengagumkan, apapun rasanya tahu! Maka ketika tertegun dan membelalakkan matanya, tiba-tiba ia merasa gentar dan "ngeri"
Berhadapan dengan pria di depannya ini maka Buci tak perlu menyembunyikan diri lagi di depan orang seperti ini. Ia bahkan kagum dan terkejut.
"Paman rasanya mengetahui semuanya. Rupa nya tak ada gunanya lagi kalau aku bersembunyisembunyi. Baiklah, guruku memang kakek itu akan tetapi guru panahku orang lain. Aku dilatih empat guruku yang merupakan panglima Mongol dalam ilmu memanah dan berkuda. Dari Siang Lun Mogal hanya kupelajari ginkangnya (ilmu meringankan tubuh). Akan tetapi ketika ia mulai memaksa dan mendesak aku untuk belajar ilmu silat, aku menolak maka aku meninggalkan guru-guruku yang lain dan kini berada di sini!"
"Hm!"
Suara itu sukar ditangkap artinya.
"Kalau begitu kaulah anak yang kudengar itu, Buci. Kau putera raja Sabulai. Kau kiranya yang melarikan diri dan membuat ayahmu marah-marah."
Buci semakin kaget lagi.
Ia betul-betul terhenyak dan sampai tak dapat bicara, begitu banyaknya orang ini tahu! Dan ketika ia berdesir namun untunglah orang ini tidak jahat, ia telah ditolong dan diselamatkan dari kepungan Khuciangkun dan pengawalnya maka anak itu terdiam namun sepasang matanya bersinar-sinar, menguji.
"Apakah paman dari sana? Apakah paman hendak menangkap aku?"
"Ha-ha, aku adalah pedagang. Tugasku bukan mengurusi anak lari atau ayah yang marah-marah, Buci. Tugasku mencari barang dan menjualnya dengan untung lumayan. Aku tidak melakukan itu, tak perlu khawatir. Kalaupun menangkap kenapa harus bicara, bukankah sekali terkam akupun dapat melemparmu. Ah, tidak, aku tak bertemu ayahmu. Aku hanya mendengar di perjalanan dan kebetulan saja bertemu kau. Sungguh tak kuduga!"
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Buci lega, menarik napas dalam.
Ia bakal bingung kalau laki-laki ini sampai disuruh menangkap nya.
Entah apa yang di lakukan mengingat ia telah berhutang budi.
Maka berterima kasih dan mendesis lirih, ia benar-benar lega maka ia teringat pembicaraan tadi, pendekar wanita Kiok Eng itu.
"Syukurlah, aku harap paman tak menceritakan keberadaanku kepada orang lain. Sekarang tentang pendekar wanita itu, di mana dan bagaimana aku menjumpainya, paman? Pastikah ia di Liang-san? Di mana pula pegunungan itu?"
"Hm, kau tertarik menemuinya? Kau ingin menjadi muridnya?"
"Kalau ia betul-betul lihai, paling tidak mampu mengatasi guruku yang jahat Siang Lun Mogal itu!"
"Baiklah, akan tetapi terserah keberuntungan mu. Ia sesungguhnya tak menyukai laki-laki dan membenci laki-laki. Akan tetapi karena kau anak-anak dan mungkin berbeda boleh saja kaupertaruhkan keberuntunganmu. Akan tetapi ia galak, wataknya keras dan saat ini ia sedang uring-uringan. Kalau nasibmu baik barangkali jodoh, akan tetapi kalau jelek, hmm... kau bisa dibunuhnya!"
Kening anak ini terangkat, wajahnya gelap.
"Takutkah kau?"
"Siapa takut? Yang takut ialah mereka yang bersalah, paman. Aku tak melakukan kesalahan dan tak perlu takut!"
Buci berkata tegas dan sikap serta kata-katanya gagah.
"Bagus, kau mengagumkan. Akan tetapi sekali lagi nasib baik andalan utamanya. Kalau kau beruntung dan diterima sebagai muridnya maka itulah kebahagiaanmu. Akan tetapi kalau nasib buruk, hm... kusampaikan kepada keluargamu dan aku sebagai saksi."
Buci mengangguk, merasa girang.
Ia mengucap terima kasih dan bertanya di mana letak pegunungan itu.
Dan ketika diberi tahu bahwa ia harus ke barat, tiga empat hari perjalanan akhirnya iapun bangkit dan begitu berseri-seri.
Ikan itu diberikannya kepada paman Fang ini.
"Aku tak tahu lagi apa yang harus kuberikan.
Budi dan kebaikanmu semakin besar, paman, terimalah ini dan biarlah kau ambil saja.
Aku tak jadi ke kota raja setelah mengetahui Liang-san.
Harap paman terima ini dan biarlah Kolam Emas diisi penghuninya kembali."
"Kau memberikannya kepadaku?"
"Sebagai rasa terima kasihku, paman. Berikan lah ke istana dan biar kutanamkan sebuah jasa tanpa kuminta balasannya."
"Akan tetapi ikan ini berharga selaksa tail!"
"Aku tak membutuhkannya. Kalau tidak karena penasaran dan melihat orang-orang itu sesungguhnya aku tak ingin melibatkan diri. Sudahlah paman terima sekalian tolong aku. Biar pemiliknya menemukan ini dan mendapatkan kebahagiaan!"
Pedagang itu tertegun, berkejap-kejap. Akan tetapi ketika ia tersenyum dan menyatakan keharuan, kepala anak ini diusapnya maka Buci mendengar katakatanya yang aneh.
"Semoga kau menemukan kebahagiaanmu. Pergilah dan cari pendekar wanita itu dan berlindung lah kepadanya. Hanya dialah satu-satunya orang yang tepat bagimu!"
Lalu membalik dan menggendong ikan itu di punggung, persis seperti cara Buci maka pria ini melenggangkan kakinya namun tiba-tiba ia telah begitu jauh dan lenyap! "Paman Fang!"
Buci terkejut dan memanggil.
Ia tak tahu bagaimana laki-laki itu tahu-tahu begitu jauh dan lenyap di depan.
Ia mengejar dan berkelebat dengan Jouw-sang-hui-tengnya akan tetapi pria itu benarbenar lenyap.
Dan ketika ia mengejar dan memanggil sekali lagi, berhenti di tikungan maka dilihatnya sahabatnya itu berada di punggung bukit, jauh di sana dan melenggang pula, santai.
"Paman Fang!"
Buci menjadi penasaran dan berkelebat.
Kini ia memanggil bukan untuk apa-apa melainkan menguji Jouw-sang-hui-tengnya itu.
Ia berkelebat seperti anak kijang ditanduk bapaknya atau panah terlepas dari busur.
Akan tetapi ketika pria itu lenyap dan berada di bukit yang lain, begitu berulang-ulang maka anak ini berubah dan sadar bahwa sahabatnya itu adalah seorang berkepandaian tinggi.
Gurunya sendiri tak mampu secepat itu bila beradu ginkang! Anak ini tertegun, berhenti.
Ia terengah dan kaget serta heran sekali.
Orang itu jauh lebih hebat daripada Jouw-sang-Ihui-teng.
Dan ketika ia terbelalak di tempat itu, tak mengharap lagi mengejar lawannya mendadak laki-laki itu menoleh dan melambaikan tangannya, suaranya seakan begitu dekat padahal jauh di seberang bukit itu.
"Buci, kau anak baik. Pergi dan jangan kejar aku dan ingatlah cita-citamu itu."
Anak ini benar-benar tertegun, la balas melambaikan tangan akan tetapi pria itu menggerak kan kakinya.
Tiba-tiba ia lenyap dan hilang bagai siluman.
Lalu ketika anak ini sadar dan menarik napas dalam-dalam, penuh kagum iapun memutar tubuhnya menuju ke barat.
Liang-san.
*** Buci tak tahu bahwa ia ditipu.
Jalan ke barat bukan menuju Liang-san melainkan kota raja.
Dan karena ia pun tak tahu betapa perjalanannya yang tersendat-sendat memberi kesempatan gurunya mengejar maka anak ini kaget dan seakan berhenti detak jantungnya ketika tiba-tiba terdengar seruan kakek itu.
Siang Lun Mogal tahu-tahu di belakangnya.
"Buci, berhenti dulu.
Kau harus kembali dan mempelajari ilmu-ilmuku!"
Anak ini kaget dan pucat.
Ia baru saja keluar dari sebuah hutan dan mendekati kota raja.
Tiga hari dalam perjalanan membuat ia bingung.
Orang yang ditanyai selalu mengatakan bahwa jalan yang dilalui menuju kota raja, Liang-san justeru di selatan.
Dan ketika ia berhenti dan kembali bertanya-tanya, inilah yang membuat ia terkejar maka kakek itu tiba-tiba berada di belakangnya setelah mencari jejak dan menemukan bekas anak ini.
Tidak sukar bagi Siang Lun Mogal mencari Buci.
Setelah perajurit perbatasan dibuat terkejut dan membicarakan anak ini tiada habisnya maka kakek gundul itu menangkap.
Begitu pula ketika di Cin-yang.
Pui-wangwe menyuruh orang-orangnya mencari anak ini.
Dan ketika di Kui-cin -Buci membuat heboh, orang sepasar membicarakannya maka kakek itu mengerah kan ilmu lari cepatnya dan setelah tiga hari memburu maka tampaklah anak itu di mulut hutan.
Buci sedang bingung bagaimana petunjuk paman Fang berbeda dengan orang-orang yang ditanyainya sepanjang jalan.
"Bukan, bukan ke Liang-san. Liang-Isan berada di selatan, sobat cilik, arah Ibarat menuju kota raja. Langkahmu ke kota raja!"
Begitulah jawaban berulang-ulang yang diterima anak ini setiap ia berhenti dan bertanya.
Buci sampai menjublak dan benar-benar bingung, masa sahabat baiknya itu menipu.
Akan tetapi karena ia tetap percaya laki-laki ini dan melangkahkan kakinya ke barat maka ia sesungguhnya benar-benar sedang ke kota raja dan kini di mulut hutan itu ia dikejar gurunya.
Kakek itu berseru nyaring dan suaranya seakan beberapa meter di belakang, padahal kakek itu masih puluhan tombak dan tadi mengerahkan tenaganya dalam kemarahan sekaligus rasa girang.
Buci terkesiap dan menoleh.
Kakek gundul itu terbang menyambar dan ia benar-benar pucat.
Jantungnya seakan berhenti berdetik.
Akan tetapi ketika kakek itu melayang dan ia sadar, kedua lengan itu terkembang seakan hendak mencengkeramnya mendadak anak ini membalik dan...
lari masuk hutan.
"Hei, berhenti. Tunggu kataku!"
Akan tetapi Buci mengerahkan Jouw-sang-huitengnya.
Perlu diketahui bahwa ilmu meringankan tubuhnya ini dikuasai begitu baik hingga nyaris setingkat gurunya.
Siang Lun Mogal sendiri tak gampang menangkap jika berkejar-kejaran.
Maka ketika kakek itu terkejut dan membentak, menyesal kenapa buru-buru meneriakkan suaranya maka anak itu menghilang di dalam hutan dan cerdik sekali bersembunyi.
"Haram jadah, anak siluman!"
Kakek itu mengutuk dan memaki-maki.
"Keluar dan mari pulang, Buci. Aku diperintahkan ayahmu untuk membawamu dan pulang baik-baik. Ayo, keluar atau aku memukul mu!"
Namun mana mungkin anak ini menampakkan diri.
Hutan kecil itu menjadi tempat persembunyian nya yang paling baik dan ia ngumpet di belakang pohon-pohon besar, lari dan menyelinap sana-sini begitu bayangan gurunya mencari.
Dan ketika ia aman di sebuah pohon besar, meloncat dan naik ke atas maka ia telah tertutup rimbunnya pohon yang berdaun lebat.
"Jahanam, keparat terkutuk!"
Suara ka kek itu menggetarkan hutan.
"Keluar dan jangan sembunyi, anak setan. Pulang dan ayo ikut aku baik-baik!"
Akan tetapi Buci gemetaran di pohon ini.
Ia semakin merapatkan diri di balik rerimbunnya daun akan tetapi tiba-tiba terkejut.
Kakek itu mulai menampar dan meroboh-robohkan pohon.
Dan ketika isi hutan bergetar gemuruh sementara monyet dan penghuninya lari berteriak-teriak, pucatlah pemuda ini maka pohon di mana ia berada telah didekati dan siap dirobohkan pula.
"Keluar, keluar kataku! Atau kau kubunuh!"
Anak ini benar-benar ngeri.
Ia menggigil hebat melihat kemarahan kakek itu, alangkah dahsyat dan mengerikannya.
Dan ketika pohon di dekatnya berdebum mengeluarkan suara hiruk-pikuk, roboh sampai akar-akarnya maka saat itulah ia meloncat dan menghilang seperti kera.
"He!"
Akan tetapi kakek itu melihatnya.
"Jangan lari, bocah, kembali!"
Buci merunduk ketika sebutir batu mendesing di belakang kepalanya.
Ia hampir saja celaka ketika saking marahnya kakek itu menimpuk, batu itu menghantam dan hancur mengenai pohon di depan nya.
Dan ketika ia terbirit-birit dan lari lagi, menyeruak dan merunduk di semak-semak belukar maka kakek ini kehilangan jejak dan api kemarahannya benar-benar seakan diledakkan.
"Jahanam, kubunuh kau. Keluar dan jangan sembunyi, anak jadah. Sekali lagi keluar atau aku tak akan mengampunimu! Buci menjauhkan diri dan bajunya robek-robek terkait onak-duri. Ia begitu pucat dan gemetaran jatuh bangun. Suara kakek itu seakan harimau buas yang kelaparan. Akan tetapi ketika ia telah bersembunyi lagi dan masuk ke tempat lebat, menggigil maka ia hanya mendengar suara kakek itu dari kejauhan. Akan tetapi Siang Lun Mogal adalah kakek dahsyat bangsa Mongol. Tidak dalam keadaan marah saja kakek ini cukup menakutkan, apalagi marah dan murka seperti itu. Maka ketika ia terus maju dan membabat isi hutan, tunggang-langgang-lah babi hutan dan ratusan kera kecil maka persembunyian anak ini ketemu juga dan kakek itu menyumpahnyumpah. Kepalanya yang gundul tampak berkeringat sementara bola matanya mendelik kemerah an dengan hidung mendengus-dengus, persis banteng melihat darah.
"Keluar, keluar kataku. Bersembunyi di mana pun pasti ketemu, anak setan. Kau seperti bapakmu yang keras kepala dan sombong, dasar anak kuning!"
Buci tertegun. Makian "anak kuning"
Adalah makian bagi anak Han.
Anak-anak Mongol sering memakinya begitu bila terjadi pertengkaran.
Maka ketika kakek itu memakinya begitu dan inilah yang membuat ia tak beranjak, kakek itu mengutuk caci lagi maka terdengarlah makian terhadap seorang nenek yang serasa pernah didengarnya.
"May-may, cucumu haram jadah. Ia membuat ku berkobar. Awas kubunuh dia dan temuilah di neraka!"
Buci semakin tertegun lagi.
Kata-kata itu membuat ia membelalakkan mata dan kakek ini terlihat.
Ia mengangkat sebuah pohon dan melempar nya begitu hebat, berdebum dan nyaris menimpa anak ini.
Dan ketika Buci mendengar lagi kutuk caci, kakek itu luar biasa marahnya maka ia mendengar disebutsebutnya nama Tan Hong, juga Kiok Eng.
"Keparat, tak ada gunanya menyimpan dan memelihara anak setan. He, darah dan watakmu diwarisi anakmu, Tan Hong. Ambil dia lagi setelah menjadi mayat!"
Lalu ketika sebatang pohon ditendang dan mencelat, isi hutan mulai terbuka lebar maka kakek ini berkata lagi, suaranya penuh geram.
"Terkutuk, anak sial membawa petaka. Awas kuhantarkan mayat anakmu, Kiok Eng, terima jenasahnya setelah ia kubunuh!" Makian dan kutuk caci ini membuat Buci berubah. Wajah yang semula pucat itu perlahan-lahan memerah, anak yang semula takut dan gentar ini mendadak berobah. Dan ketika sekali lagi kakek itu menyumpah dan marah-marah, Buci meloncat tibatiba anak ini berseru dan mengejutkan kakek itu. Siang Lun Mogal tercengang dan terhenyak.
"Locianpwe, apa hubunganku dengan orangorang yang kau sebut itu. Siapa mereka dan kenapa dihubung-hubungkan aku!"
"Ha-ha!"
Kakek itu berkelebat.
"Keluar juga kau sekarang, Buci. Ayo ikut aku dan kita pulang!"
Akan tetapi anak ini meloncat dan menjauh. Ia mempergunakan Jouw-sang-hui-teng hingga tubrukan gurunya luput, kakek itu membalik dan membeliak. Lalu ketika ia menggeram dan siap menubruk I lagi, Buci menggoyang tangannya maka ia berseru.
"Tunggu, aku tak mau pulang. Jawab siapa mereka yang kausebut-sebut itu dan apa hubungan nya dengan aku!"
"Heh-heh, aku bicara apa,"
Kakek itu berputar.
"Aku memaki-makimu karena gemas kaupermainkan, Buci, ayo pulang dan jangan membuat aku marah. Sekarang kemarahanku hilang!" "Tidak, jawab dulu dengan jujur. Aku mau pulang kalau kau berkata terus terang!"
"Kau banyak tingkah?"
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kaulah yang macam-macam. Kau menyebut nama Tan Hong dan Kiok Eng, juga May-may. Benarkah aku cucu May-may dan siapa kalau begitu ayah ibuku!"
Buci tak perduli dan malah membentak dan ia membuat kakek ini mendelik.
Siang Lun Mogal adalah kakek yang biasa sewenang-wenang dan kini ditusuk anak itu membuatnya marah.
Ia melotot.
Akan tetapi mencoba bersabar dan menerkam anak itu tibatiba ia melompat dan berseru, Buci melejit pula.
"Kau tak usah tanya macam-macam karena ayah ibumu adalah Raja Sabulai. Ayo ikut dan kita pulang!"
Akan tetapi anak ini menghindar.
Kakek itu menubruk cepat namun iapun tak kalah cepat.
Jouwsang-hui-teng dibalas Jouw-sang-hui-teng.
Dan ketika kakek itu memekik dan menyumpah-serapah, Buci mengelak dan berkelit sana-sini akhirnya kakek ini meledak karena ia bagai Ikan menangkap seekor tikus yang cerdik dan licin.
"Buci, jangan buat kemarahanku dak. Serahkan dirimu dan kita pulang!" "Tidak, kau belum menjawab pertanyaanku. Siapa ayah ibuku dan betulkah nenek itu nenekku, locianpwe. Kalau kau mau bicara jujur dan berterus terang barulah aku pulang!"
"Keparat, ayah ibumu adalah Raja Sabulai!"
"Tak usah bohong, kulitku bukan kulit mereka. Kau pun memakiku sebagai anak kuning, locianpwe, berarti aku benar-benar anak Han. Katakan siapa ayah ibuku atau aku tak mau pulang!"
Kakek ini gusar.
Ia melengking dan menggerak kan tangannya dan serangkum angin pukulan menyambar, Buci mengelak akan tetapi dipapak yang lain.
Dan karena ia tak belajar ilmu silat kecuali ginkang, roboh terjengkang maka anak itu bergulingan dan kakek itu membentaknya.
"Serahkan dirimu!"
Namun Buci bagaikan belut yang licin.
Ia mengelak dan berkelit sambil bergulingan menjauh.
Kakek itu menubruk angin dan marah sekali.
Dan ketika ia meloncat bangun dan marah namun juga gelisah, teringatlah wajah paman Fang Lun maka ia berharap moga-moga pamannya itu datang.
Dan karena tak mau ditangkap kakek ini, Buci berkelebat dan lari menjauh maka anak ini menuju selatan ke arah Liang-san.
"Locianpwe, aku akan mempertemukanmu dengan orang-orang yang kausebutkan itu. Kebetulan aku akan ke sana. Mari kita kejar-kejaran dan kubukti kan omongan mu!"
"Kau mau ke mana?"
"Liang-san!"
"Apa?"
"Benar, locianpwe, aku akan ke Liang-san mencari pendekar wanita itu atau Tan Hong. Kau menyebut-nyebut namanya, kebetulan. Mari kita ke sana dan kubuktikan omonganmu!"
"Haram jadah!"
Kakek itu kaget sekali. Kembali dan serahkan dirimu baik-baik, Buci, kau anak Mongol putera Raja Sabulai!"
"Tak usah menipuku. Kulit dan wajahku bukan wajah Mongol, locianpwe, aku anak Han. Kau bohong dan menyembunyikan sesuatu!"
Kakek ini marah sekali.
Buci telah meloncat dan terbang mengerahkan Jouw-sang-hui-tengnya.
Ilmu meringankan tubuh itu adalah miliknya dan kini dipergunakan melawan ia harus mengerahkan tenaga nya pula.
Buci adalah anak yang gesit dan sepuluh tahun ini ginkangnya memang hebat.
Bagaimana tidak hebat kalau anak itu mengkhususkan diri dalam lari cepat.
Ia tak mau belajar silat kecuali ini, Jouw-sanghui-teng! Maka ketika kakek itu menyumpah-serapah dan anak kecil itu melesat bak seekor kijang muda, ia membentak dan memaki-maki maka kemarahan kakek ini benar-benar sudah di ubun-ubun dan tak ada lagi rasa murah atau ingin mengampuni.
Tiga batu hitam menyambar cepat dan nyaris sekali menghajar tengkuk anak itu.
Buci merunduk dan batu melayang meledak keras.
Sebatang pohon kembali dihajar.
Akan tetapi karena ia tak belajar silat sementara kakek itu adalah tokoh sakti yang berkepandaian tinggi, kakek ini mulai berkemak-kemik maka ia mengerahkan sihirnya membuat anak itu tertegun.
"Buci, kau lari di tempat. Langkahmu tak berpindah-pindah!"
Anak ini terkejut.
Benar saja tiba-tiba ia lari di tempat.
Kaki masih bergerak-gerak akan tetapi tak pernah maju.
Dan ketika kakek itu terkekeh dan menyambar dengan tawa berseri, Buci terkejut maka meluncurlah sehelai daun menghantam wajah kakek ini.
"Plak!"
Siang Lun Mogal berseru kaget dan sihir itupun lenyap.
Begitu kagetnya kakek ini hingga iapun terhuyung.
Daun itu menyambar seperti tangan setan, menutup dan menghalang pandangannya.
Dan ketika ia terkejut sementara itu Buci meneruskan larinya lagi, kakek ini tertegun maka ia celingukan namun tak ada siapapun di situ.
Kakek ini menyumpah dan mengejar lagi.
Akan tetapi Buci sudah jauh.
la memasuki hutan kedua dan anak ini lega, di situ ia dapat bersembunyi.
Akan tetapi karena kakek ini menendang dan memukul roboh setiap pohon, isi hutan diobrak abrik akhirnya anak ini harus keluar lagi dan terlihat.
"Ha-ha, ayo menyerah, atau kau mampus!"
Kakek ini menimpukkan lagi batu-batu gunung dan kini tidak hanya batu sekepalan.
Batu sebesar kepala kerbaupun diungkit dan dilontarkannya ke kepala anak itu, sekali kena tentu pecah! Akan tetapi karena Buci berkelit dan mampu menghindar, deru batu itu tertangkap telinganya yang tajam maka batu berdebum dan anak ini sampai terpental.
"Keparat!"
Kakek itu berkemak-kemik lagi.
"Berhenti, Buci, larimu tak berpindah-pindah. Kau tetap di tempat!"
Anak ini lagi-lagi terkejut.
Ia terkena serangan sihir dan benar saja lari di tempat, kedua kakinya hanya bergerak di situ-situ saja, tak pernah maju.
Akan tetapi ketika kakek itu menyambar dan tertawa bergelak, Buci pucat maka tanpa diketahuinya menyambarlah seraup pasir menghantam wajah kakek gundul ini.
"Aduh!"
Siang Lun Mogal mengumpat caci dan kedua matanya buta sejenak.
Pasir memasuki matanya dan kakek ini tentu saja mencak-mencak.
Ia menggosok dan harus berhenti sementara anak itu lari lagi, Buci heran dan kaget akan tetapi girang.
Dan ketika anak itu kembali jauh dan kakek ini membuka matanya, pasir telah bersih maka Siang Lun Mogal menjadi pucat karena seseorang membantu anak itu, tak mungkin kebetulan! Kakek ini memaki-maki.
Ia mengutuk dan menyebut penyerang itu sebagai pengecut gelap.
Ia mencari dan mengelilingkan matanya akan tetapi tak ada seorang pun di situ.
Dan ketika ia begitu marah sementara Buci hampir lenyap, anak itu di seberang bukit maka kakek ini mengejar lagi namun kedua tangannya siap menghantam ke kiri kanan.
Siapa tahu musuh gelap itu terlihat dan ia tak akan memberi ampun! Akan tetapi kakek ini sia-sia.
Tak ada siapapun di sekelilingnya dan Buci nyaris lenyap.
Ia harus mengerahkan seluruh Jouw-sang-hui-teng nya mengejar anak itu.
Dan ketika Buci kembali tersusul dan menjadi gelisah, kakek itu berkemak-kemik lagi maka sekarang ia memerintahkan anak ini berlari mundur.
Ia tak lagi mendekati atau menyerang anak itu.
"Kau tak lari ke depan, melainkan mundur dan lari ke belakang. Ayo... mundur, Buci, mundur!"
Aneh, Buci tiba-tiba berlari mundur.
Anak ini berseru kaget ketika tiba-tiba kedua kakinya bengkok ke belakang.
Tanpa dapat dicegah lagi iapun berlari mundur.
Dan ketika kakek itu tergelak-gelak dan bersiap menyerang lawan gelap, kesepuluh jarinya sudah berkerotok penuh tenaga Ang-mo-kang maka Buci mendekati kakek itu dan siap ditangkap! Akan tetapi terjadi lagi sesuatu yang luar biasa.
Sebuah siulan tiba-tiba terdengar, bentakan atau seruan kakek gundul menjadi kacau.
Dan ketika kakek itu terkejut sementara Buci juga tertegun maka siulan itu menariknya ke depan dan...
majulah anak ini bagai dibetot suara gaib itu.
"Keparat!"
Kakek ini mencak-mencak.
"Mundur kataku, Buci, mundur!"
Anak ini mundur lagi.
Siulan tertutup bentakan dan anak ini terpengaruh sihir lagi, Siang Lun Mogal mengerahkan segenap kekuatannya.
Akan tetapi ketika siulan menjadi lengking nyaring, menghantam atau menghancurkan sihir maka Buci terlepas lagi dan lari ke depan dengan muka ngeri.
Ia ditarik dari muka belakang! "Jahanam!"
Kakek itu tak tahan dan menyambar ke depan.
"Kubunuh kau, Buci, kau bedebah keparat!"
Akan tetapi serangkum angin menyedot anak ini.
Lengking tiba-tiba lenyap dan Buci melayang cepat, begitu cepatnya hingga kakek gundul tak mampu mengejar.
Terkamannya menubruk angin.
Dan ketika kakek itu terguncang dan berubah mukanya, ini tidak main-main maka ia melepas Ang-mo-kangnya menghantam punggung anak itu.
Pukulan jelas lebih cepat daripada gerakan tubuh.
"Blarr!"
Apa yang terjadi tak diketahui akan tetapi tiba-tiba kakek itu terpelanting ke belakang.
Siang Lun Mogal melihat sesosok bayangan berkelebat dan menyambut pukulannya.
Dua pukulan jarak jauh bertemu dan ia kaget bukan main.
Ia terbanting.
Dan ketika kakek itu bergulingan dan benar-benar pucat, ia tak tahu siapa di balik pohon besar itu maka Buci sudah tersedot ke sini dan...
lenyap kembali memasuki hutan.
Ini adalah hutan ketiga di mana ia keluar masuk dikejar-kejar.
Anak itu bercucuran keringat.
Ia tak tahu ditolong seseorang dan justeru heran kenapa kakek itu terpelanting.
Ia tak melihat bayangan ini apalagi pukulannya.
Yang tahu dan merasa hanyalah Siang Lun Mogal! Akan tetapi karena kakek itu penasaran dan amat marah, kini tahulah dia seseorang melindungi anak itu maka kemarahannya ditumpahkan kepada pelindung gelap ini.
"Keluarlah, keluarlah kau. Jangan bersembunyi dan bersikap pengecut! Buci menjadi bingung. Ia merasa kakek itu seakan tidak waras, barangkali gila tak dapat menangkapnya. Maka meneruskan lari dan kini mendaki bukit atau gunung, bahkan menyeberang sungai dan bersicepat dengan kakek itu maka tak terasa dua hari dua malam mereka berdua kejarkejaran. Siang Lun Mogal adalah seorang kakek yang dimakan usia. Dia tidak seperti lawannya yang kecil dan gesit, lagi muda. Maka ketika Buci hanya bercucuran keringat bermandi peluh, lari jatuh bangun dengan semangat dan daya tahan mengagumkan adalah kakek ini mulai loyo dan terhuyung-huyung. Belasan kali kakek itu melepas pukulan akan tetapi setiap kali itu pula ia terbanting. Ia mulai gentar dan jerih. Dan karena semua sihirnya juga dihancurkan atau dilumpuhkan lawan, siulan atau suara-suara aneh memecah sihirnya maka lama-lama anak ini tahu juga bahwa seseorang melindungi nya! Buci girang bukan main. Ia bertambah semangat dan tak henti-hentinya mengerahkan ilmu lari cepat. Sebenarnya iapun letih dan sempoyongan. Akan tetapi ketika sebuah suara menyusup di telinganya, memberi petunjuk atau langkah ke mana ia harus lari akhirnya puncak Liang-san terlihat. Ia sudah bertanya-tanya dan masuk keluar dusun menanyakan itu.
"Liang-san? Gunung itu, beberapa puluh li lagi!" Buci girang dan melanjutkan larinya lagi. Ia bertanya kepada seorang petani dan berkelebat lagi. Akan tetapi baru saja ia meloncat dan terbang penuh semangat maka petani itu terjengkang dan kakek gundul menyambar lewat.
"Minggir, jangan beri tahu!"
Buci terkejut namun mengerahkan Jou-sanghui-tengnya.
Ia kecut dan berdebar namun memiliki kepercayaan terhadap penolong gelapnya itu.
Setiap kakek itu dekat dan hendak menangkapnya maka kakek ini menjerit.
Ia terpelanting dan selalu tergulingguling.
Maka ketika saat itupun ia hendak ditangkap dan dibentak bengis, kakek itu mengeluarkan semua ilmunya maka iapun mengandalkan penolongnya ini dan benar saja serangkum pukulan jarak jauh menerpa kakek itu.
Siang Lun Mogal berteriak dan menjerit, terlempar ke samping.
"Bresss!"
Buci lari lagi dan lega berseri-seri.
la tak tahu siapa penolongnya itu akan tetapi girang.
Ia menduga paman Fang tapi bukan, suara itu berat dan serak.
Dan ketika berkat petunjuk suara inilah ia berlari dan terus dikejar, hari ketiga lewat dengan cepat maka pagi itu setelah jatuh bangun melewati pematang anak ini berada di kaki Liang-san yang menjulang tinggi.
Siang Lun Mogal menggeram-geram dan marah bukan main, napasnya bagaikan api yang siap menghanguskan Buci, keluar masuk dengan begitu cepat.
"Berhenti, kulumat kau. Tunggu dan berhenti kataku, anak setan. Kau benar-benar haram jadah cucu May-may si keparat!"
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Buci tertegun, hampir berhenti. Akan tetapi ketika di mulut hutan terlihat bayangan seseorang, mungkin Kiok Eng maka ia berlari lagi dan kakek ini menyambar sebongkah batu karang sebesar anak gajah, melontarkannya sambil berseru keras.
"Bumm!"
Buci terangkat dan mencelat ke depan.
Anak itu hampir saja celaka akan tetapi sedotan dari depan menyelamatkannya.
Ia tak tahu siapa yang melakukan ini akan tetapi berkali-kali hal itu terjadi.
Tentu saja kakek itu melotot sebesar jengkol, marahnya membuat ia hampir mati kaku.
Dan ketika Buci berlari dan menuju pada bayangan ini, sesosok tubuh di balik tikungan dinding gunung maka ia berteriak dan berseru nyaring.
"ln-kong (Penolong), kakek ini seperti iblis. Ia hendak membunuhku!" Bayangan itu tiba-tiba lenyap. Buci terkejut ketika sudah mendaki dan naik ke pinggang gunung, mengira akan disambut dan itulah penolongnya. Akan tetapi ketika orang itu lenyap sementara kakek itu tertawa bergelak, menubruk dan begitu beringas maka iapun mengeluh dan berusaha mengelak.
"Brett!"
Bajunya sobek.
Buci harus melempar tubuh bergulingan kalau tak ingin tertangkap.
Kini tak ada lagi dewa penolongnya itu.
Akan tetapi ketika ia mengeluh dan meloncat bangun, seseorang terasa memegang bahunya maka ia terkejut bukan main ketika sahabat barunya itu ada di situ, berdiri tersenyum-senyum.
(Bersambung
Jilid XI.) COVER =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0= Karya . Batara
Jilid XI *** "PAMAN Fang!"
Laki-laki itu mengangguk.
Ia memang pedagang itu dan bukan main girangnya anak ini.
Buci sampai melompat dan menari-nari.
Akan tetapi ketika ia mendengar lengking kakek gundul dan sadar, menoleh dan tertegun maka ia heran bukan main melihat betapa kakek itu terhuyung dan menggigil.
"Kau?!"
"Ya, aku. Pergi dan biarkanlah anak ini di sini, Mogal, jangan ganggu ia lagi atau kau mendapat kesulitan besar. Pulang dan kembalilah dan kalian berpisah baik-baik."
Pedagang itu bicara dan aneh sekali kakek ini mengangguk-angguk.
Siang Lun Mogal yang bengis dan menakutkan itu mendadak memutar tubuh, entah bagaimana tiba-tiba begitu patuh dan jinak kepada pedagang ini.
Dan ketika ia berkelebat dan lari turun gunung, terdengar erangan atau semacam keluhan dari mulutnya maka Buci benarbenar heran dan takjub, hampir tak percaya.
"Paman Fang, kakek itu pergi!"
"Ya, pergi, dan ia tak akan mengganggumu lagi, Buci, ia takut di sini."
"Tidak, ia takut padamu!"
Mendadak Buci berseru.
"Kakek itu takut padamu, paman, benar ia takut padamu!"
Lalu membalik dan menghadapi lakilaki ini dengan pandangan penuh tanda tanya maka Buci bertanya penuh kesungguhan, kini ia sadar bahwa laki-laki inilah yang menolongnya.
"Sekarang siapakah sebenarnya paman ini. Kau jelas bukan seorang pedagang. Kau seorang berkepandaian tinggi yang ditakuti dan membuat gentar kakek itu. Kau menolongku tapi juga menipuku. Nah, sekarang paman berkata terus terang siapa sebenarnya dirimu!"
Laki-laki itu tersenyum, lalu akhirnya tertawa.
"Aku? Siapa aku? Ha-ha, aku pedagang she Fang, Buci, kau menyebutku paman Fang. Aku adalah aku dan bukan siapa-siapa." "Bohong! Kau seorang berkepandaian tinggi dan bukan sembarang orang. Akan tetapi kau juga menipuku!"
"Menipumu?"
"Ya, tidakkah menipu bila Liang-san di selatan kau bilang di barat? Kau menipuku, paman, akan tetapi kau juga menolongku. Kau membuatku penasaran dan sebutkan siapa dirimu. Atau aku tak akan bergaul denganmu sebab kau pembohong!"
"Ha-ha, bocah kurang ajar akan tetapi menarik. Sebelum menjawab coba kau jawab apakah dirimu juga berterus terang, Buci. Apakah kaupun tak menyimpan rahasia dirimu dan memberikannya semua kepadaku. Jawab, haruskah seseorang mengetahui diri orang lain sejelas-jelasnya padahal dia baru saja ketemu di jalan!"
Anak ini tertegun, membelalakkan matanya.
"Begitukah? Bagaimana jawabanmu? Ayo bilang, anak bengal, siapa salah siapa benar. Tentang menipumu, hmm... sudah kubayar dengan mengantar mu sekarang. Aku hanya ingin membuktikan bahwa kau benar-benar murid kakek gundul itu." Buci terkejut, tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut. Dan ketika pedagang itu heran kenapa ia berlutut maka laki-laki ini terkejut mendengar katakata anak itu.
"Sekarang aku mengerti semuanya, dan mendapat semuanya pula. Aku tak jadi naik menemui orang-orang yang kausebutkan itu, paman. Aku sekarang ingin menjadi muridmu. Kauterimalah aku dan biar kusebut suhu (guru)!"
Lalu ketika anak ini berpaikwi dan memberi hormat berulang-ulang, membenturkan jidatnya dengan seruan "suhu"
Berulang-ulang pula maka pedagang ini terkejut dan benar-benar kaget, tiba-tiba ditendangnya anak itu.
"He, nanti dulu. Aku tak patut menjadi guru, aku pedagang. Kau hanya mendapatkan ilmu dagang bukan ilmu silat!"
"Ilmu apapun kuterima!"
Buci terlempar dan berjungkir balik, jatuh dan kembali berlutut.
"Aku tetap ingin menjadi muridmu, suhu. Kaulah yang kucari-cari karena kaulah yang dapat menundukkan kakek itu!"
"Wah-wah, nanti dulu. Aku tak punya tempat tinggal tetap dan seumur hidup keluyuran!" "Tak apa, akupun senang keluyuran. Ke mana suhu pergi ke situlah murid mengikut."
"Kau bandel?"
"Kau idolaku, suhu, kau yang dapat membuat kakek itu ketakutan."
"Akan tetapi belum kautemui Kiok Eng dan Tan Hong, merekapun lihai!"
"Aku tak perduli yang lain. Aku memilihmu dan tetap menjadi muridmu!"
"Kalau aku tak mau?"
"Aku akan ikut ke mana kau pergi, suhu, aku siap mati di belakangmu!"
"Ha-ha, sebuah pemaksaan. Kau memaksaku dan membuatku sulit. Begini saja, aku mau menjadi gurumu setelah kau melaksanakan perintahku. Nah, sanggup atau tidak menjalankan perintahku ini!"
"Aku tak akan menolak apapun yang kau berikan. Asal aku menjadi muridmu apapun kulakukan, suhu, perintahlah dan teecu (murid) siap melaksanakannya!"
"Ha-ha, bocah edan. Pertama tak boleh kau menyebutku suhu. Kedua cari dan temukanlah pendekar wanita Kiok Eng itu. Ketiga dan keempat kau harus menemukan Tan Hong dan membawa secarik kertas bahwa kau sudah menemuinya. Kalau semua ini dapat kaulaksanakan maka barulah aku menjadi guru mu! Mengerti?"
Buci tertegun, berkejap-kejap. Akan tetapi ketika ia bertanya bagaimana kalau sebagian saja yang baru terlaksana maka pedagang ini tertawa lebar.
"Kau belum dapat menjadi muridku sepenuh nya. Kalau begitu belajar dulu pada siapa yang lebih dulu kautemukan."
"Maksud suhu Kiok Eng atau Tan Hong itu?"
"Eh, kau tak boleh menyebutku suhu, Buci, kau belum kuterima murid! Kalau kau hanya bertemu dengan satu di antara dua orang itu maka benar di sanalah kau belajar dulu. Bawa surat dariku ini dan mereka tak akan menolak!"
"Akan tetapi aku tak ingin menjadi murid siapapun!"
"Kau membantah? Begini caramu ingin menjadi muridku? He, calon murid tak boleh banyak cakap, Buci, tinggal sanggup atau tidak!" Anak itu mati kutu, menunduk. Kata demi kata yang keluar dari pedagang ini benar-benar menyerang nya. Ia tak dapat membantah. Dan karena inilah calon gurunya yang diharap-harapkan, inilah orang paling tepat yang dipilihnya maka anak itupun mengangguk dan tak membantah lagi. Kalau saja pria ini tak mampu mengusir Siang Lun Mogal! "Baiklah, aku turut semua kata-katamu. Keinginanku lebih besar daripada ketidaksenanganku, su... eh, paman Fang. Kalau saja kau tak mampu mengusir kakek itu belum tentu aku suka melaksana kan perintahmu. Akan kucari dan kutemukan dua orang itu akan tetapi di mana selanjutnya aku mencarimu, bukankah tugasku harus dilaporkan!"
"Ha-ha, kau dapat mencariku di mana saja, kapan saja. Akan tetapi jangan terlampau percaya diri bahwa begitu cepat tugasmu berhasil. Nah, bawa surat ini dan temui mereka. Kalau belum keduaduanya kaudapatkan maka tak boleh kau mencari aku!"
Laki-laki ini memberikan sepucuk surat dan Buci menerimanya mengangguk-angguk.
Dia heran kapan surat itu dibuat, juga heran apa isi surat yang demikian ampuh hingga katanya tak akan ditolak.
Akan tetapi karena iapun tak ingin mengetahui apa dan bagaimana isi surat itu, bahkan sebenarnya enggan menemui orang-orang yang di maksud setelah tahu kepandaian laki-laki ini maka anak itu menerimanya hambar dan laki-laki itupun berkelebat lenyap.
"Aku pergi!"
Buci bengong terlongong-longong.
Mendadak saja ia begitu kagum akan kehebatan paman Fang ini.
Ia sendiri memiliki Jouw-sang-hui-teng akan tetapi masih kalah dibanding laki-laki ini.
Hal itu telah dibuktikannya beberapa hari yang lalu ke tika ia mengejar namun tak mampu menyusul laki-laki ini.
Jouw-sang-hui-teng-nya tak berarti apa-apa! Maka ketika ia menarik napas dalam-dalam akan tetapi sadar akan tugasnya, bahwa ia harus mencari pendekar wanita itu dan juga Tan Hong maka anak ini ogah-ogahan naik ke atas karena seluruh pikirannya hanya tertuju kepada paman Fang itu.
Ia melangkah kan kaki dengan berat karena sesungguh nya ia ingin cepat-cepat menjadi murid pedagang itu.
Ia tak ingin menjadi murid orang lain.
Akan tetapi karena menjadi murid pria itu harus mencari dulu dua pendekar ini, Kiok Eng dan Tan Hong maka Buci pun naik ke atas dan berjalan setengah hati dengan perasaan enggan.
*** Rumah mungil di puncak itu kosong.
Pagarnya yang rendah dan pintu depannya yang tertutup rapat tak menunjukkan tanda-tanda dihuni.
Buci tertegun.
Akan tetapi karena ia telah di sini dan inilah tempat tinggal pendekar wanita itu, begitu kata paman Fang maka ia masuk juga dan coba mengetuk pintunya.
Akan tetapi benar-benar kosong.
Tak ada jawaban setelah tiga kali ia mengetuk.
Rumah itu benar-benar sunyi.
Dan karena bingung harus mencari atau pergi ke mana, siapa tahu penghuni meninggalkan rumah sebentar maka Buci duduk di emperan rumah dan...
melamun.
Angin sepoi-sepoi meniupnya lembut.
Hawa pegunungan yang dingin membuat anak ini merasa sejuk dan nikmat.
Tak terasa iapun mulai lenggutlenggut, tidur ayam.
Lalu ketika semua terasa begitu tenang dan nyaman, angin semakin sejuk meniupnya maka Buci pun tertunduk dan...
benar-benar tidur.
Anak ini baru terkejut ketika terdengar lengkingan dan bentakan.
Dari bawah gunung terlihat bayangan menyambar-nyambar dan dua orang berpakaian serba merah mengejar seseorang berpakaian hitam.
Tiga orang itu menuju puncak dengan amat cepatnya dan bayangan merah membentak bayangan hitam.
Lalu ketika bayangan hitam berjungkir balik dan turun di halaman rumah itu, Buci kaget dan menyembunyikan diri maka bayangan merah menyambar dan berkelebat datang.
Ketiganya begitu cepat dan mengejutkan anak ini.
"Serahkan jiwamu dan bayar Kematian nenek May-may. Berhenti dan jangan sembunyikan dirimu, Kiok Eng. Hutang jiwa balas jiwa!"
Dua bayangan merah berjungkir balik pula dan tampaklah seka rang siapa mereka itu.
Buci tertegun betapa mereka adalah wanita yang cantik-cantik, yang pertama berusia empat puluh lebih sedang yang kedua lebih muda dan cantik serta gagah, tak akan lebih dari dua puluh delapan tahun dan keduanya mengibaskan rambut.
Hebat sekali, dari ujung rambut itu menyambar tusuk konde kecil-kecil dan benda berkilauan ini menyambar cepat, meluncur dan menuju wanita berpakaian hitam-hitam itu.
Buci membelalakkan mata dan tergetar oleh sorot wanita berbaju hitam ini, mencorong dan berkilat bagai seekor naga betina.
Lalu ketika wanita itu membentak dan mengibaskan rambutnya pula,"
Aneh maka belasan tusuk konde kecil-kecil itu rontok ke tanah diiring lengkingan.
"Aku tak membunuh dan benar-benar aku tak tahu di mana nenek May-may. Berulang-ulang kukatakan kepada kalian akan tetapi kalian tetap mendesakku, Beng Lu. Kalau tak ingat kau masih adikku tentu kau benar-benar kubunuh... cringcringg!"
Belasan tusuk konde itu runtuh dan kini berhadapanlah tiga orang wanita itu dengan wajah berbeda-beda.
Yang berpakaian serba merah begitu beringas dan berapi-api sementara yang berbaju hitam berkilat akan tetapi tampak mengendalikan kemarahannya.
Buci tak tahu siapa mereka namun perhatiannya lebih tertarik pada wanita baju hitam itu.
Inilah kiranya Kiok Eng, pendekar wanita itu! Maka ketika ia berdebar dan lebih banyak memandang wanita ini, wanita itu tampak gagah dan tak kalah cantik maka Buci mendengar bentakan dan tudingan marah.
Satu di antara dua wanita baju merah meledak-ledak.
"Kau! Tak mungkin dan tak masuk akal jika tak membunuh nenek May May, Kiok Eng. Kau menaruh dendam dan sakit hati atas hilangnya puteramu. Tak usah banyak cakap, kau atau aku yang mati!"
Lalu ketika wanita ini mencabut pedangnya dan menusuk ke depan, disusul wanita kedua yang usianya empat puluhan itu maka wanita baju hitam mengelak dan menjadi marah.
Dia membentak dan menyangkal akan tetapi dua orang lawannya tak mau percaya.
Dan ketika apa boleh buat harus membalas dan berkelebatan pula, bayangan merah telah mengelilingi dan menyambar-nyambar maka Buci menjadi silau oleh gerakan pedang yang begitu cepatnya.
"Cring-plak!"
Pendekar wanita itu menangkis terpental dan Buci membelalakkan mata.
Hanya dengan tangan telanjang wanita itu menghalau lawannya.
Dan ketika lawan memekik dan semakin buas, memaki dan meledakkan rambut berulangulang maka Buci ternganga dan kagum bukan main.
Tiga wanita itu kiranya orang-orang hebat yang tidak sesuai dengan gemulai dan lemahnya tubuh mereka! Mulailah pertandingan berjalan sengit.
Bentakan dan makian menjadi satu.
Dan ketika tiga bayangan berkelebat demikian cepat, Buci mengeluh dan merasa pening akhirnya ia menonton dengan mulut ternganga betapa bayangan hitam akhirnya menyambar-nyambar lebih lebar dibanding bayangan merah.
Akhirnya anak ini tahu pula betapa dua bayangan merah itu adalah sepasang ibu dan anak, yang muda bernama Beng Li sementara yang tua disebut bibi Ming, begitu anak ini mendengarnya.
Dan ketika pertandingan berjalan begitu cepatnya sementara rambut dan pedang terpental bertemu sepasang lengan wanita baju hitam maka Buci melelet kan lidah dan kagum bukan main bahwa orang yang dicarinya ini memang benar-benar lihai.
Akan tetapi anak ini harus berhati-hati pula.
Setelah dua wanita itu mengeluarkan jarum-jarum rahasia dan menyerang semakin sengit, begitu sengit hingga berkesan adu jiwa maka beberapa jarum yang terpental melesat ke arahnya.
Buci harus mengelak atau membuang kepala dengan cepat kalau tak ingin disambar.
Sebenarnya dia harus semakin menarik kepala menyembunyikan diri.
Akan tetapi dasar seorang bocah dan merasa asyik sekali, tontonan itu benar-benar menarik dan mendebarkan akhirnya hujan senjata rahasia yang berhamburan ke tubuh wanita itu terpental dan celakanya menyambar lagi, menancap di pundak.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aduh!"
Jeritan Buci mengejutkan yang bertanding dan serentak semuanya menoleh.
Wanita baju merah berkelebat dan berjungkir balik menuju tempat persembunyian anak ini, kaget dan heran melihat seorang anak laki-laki berada di situ.
Akan tetapi menyangka seorang bocah pelayan, lagi pula mengira anak itu hendak disuruh majikannya berbuat curang maka ia yang se dang marah tak dapat merobohkan lawan malah menggerakkan kakinya dan menendang hingga Buci mencelat terguling-guling.
"Keluar, jangan bersembunyi seperti kecoa busuk. Kau hendak disuruh majikanmu berbuat curang, ya, mengacau atau membagi perhatian kami... des-dess!"
Dan anak itu yang terlempar dan tergulingguling akhirnya mengeluh dan semakin kesakitan dan tiga wanita itu tahu-tahu telah berkelebatan mengurungnya dan berseru tertahan betapa wajah nya mirip Tan Hong.
Buci terhuyung bangun dan terkejut betapa serentak tiga wanita itu menudingnya.
"Kau, Tan Hong cilik!"
"Benar, ia bagai pinang dibelah dua!"
Buci tertegun dan terheran-heran dan ia memang tak tahu betapa wajahnya mirip benar dengan ayah kandungnya.
Beng Li, wanita yang menendangnya itu sampai mundur membelalakkan mata.
Sang ibu juga terkejut dan gemetar menuding.
Akan tetapi ketika wanita baju hitam menyambar dan mencengkeram anak ini, Kiok Eng berubah pucat maka wanita itu lah yang bertanya dan menggigil.
"Kau, siapa kau dan ada apa di tempat ini. Bagaimana tahu-tahu bersembunyi dan disangka pelayanku!" Buci tergetar, melihat wajah dan bola mata yang membelalak lebar itu. Entah kenapa mendadak wanita ini menangis, jari-jari yang mencengkeram itu menggigil hebat. Dan ketika ia diam saja merasa bengong, Buci masih tertegun maka wanita baju merah berkelebat pula menarik punggungnya.
"Kau, Tan Hong cilik yang pura-pura bersembunyi. Hayo katakan bahwa majikanmu menyuruhmu di sini dan jangan berpura-pura!"
"Tutup mulutmu!"
Kiok Eng membentak.
"Ia bukan pelayan dan penghuni Liang san, Beng Li. Kami tak usah berpura-pura kalau benar pelayanku. Lepaskan dan biar ia menjawab dulu pertanyaanku!"
Wanita itu menyambar dan Buci tertarik kembali.
Saking kuat dan marahnya maka baju punggungnya robek, anak itu berteriak tertahan.
Dan ketika wanita baju merah menjadi gusar dan merampas pula, gagal dan sang ibu melompat maka bibi Ming hampir saja menarik anak itu merampas Buci.
Anak ini tiba-tiba menjadi rebutan.
"Lepaskan!"
Buci berseru dan meronta.
"Aku bukan boneka, sam-wi-lihiap (tiga wanita gagah), aku manusia dan bukan barang mainan!" Akan tetapi wanita baju hitam menngkeramnya kuat. Di antara semuanya tentu saja Kiok Eng wanita ini yang paling terguncang, anak itu mirip suaminya Tan Hong. Maka ketika ia menggigil dan bertanya siapa anak itu, dari mana dan bagaimana tahu-tahu berada di situ maka Buci terharu bukan main melihat betapa wanita ini sudah bercucuran air mata.
"Kau, katakan kepadaku siapa dan dari mana. Bagaimana pula berada di rumah ini seperti iblis!"
"Aku Buci, datang mencarimu tapi waktu itu tak ada di rumah."
"Buci?"
"Ya, Buci, lihiap, Sabuci. Aku datang atas suruhan paman Fang yang menitipkan sepucuk surat."
Buci merogoh sakunya dan ia tak melihat betapa tibatiba wanita itu kecewa.
Wajah yang semula penuh harap dan begitu tegang mendadak lemas kembali.
Ternyata anak ini anak Mongol! Maka ketika anak itu memberikan suratnya dan wanita itu menerima acuh, Buci heran mendadak wajah yang dingin itu berubah lagi.
Tulisan tangan di sampul surat membuatnya kaget.
"Ayah!" Buci tercekat. Baru saja ia mengulurkan tangan nya tahu-tahu surat itu sudah berpindah tempat. Tanpa ba-bi-bu lagi surat itu disobek dan dibaca. Dan ketika alis yang terangkat itu menjelirit panjang, wajah yang semula gelap mendadak terang berseri-seri maka Buci tergetar betapa wanita ini tiba-tiba terkekeh. Buci menyangka tiba-tiba wanita ini menjadi gila, apalagi menuding dan berseru padanya.
"Kau, hi-hik... kau Cit Kong! Kau anakku! Ah, berapa lama kita berpisah, Kong-ji (anak Kong), tahutahu kau muncul mengejutkan ibumu. Aku ibumu!"
Lalu ketika Buci disambar dan dipeluk, diciumi maka bukan anak ini saja yang terkejut melainkan Beng Li dan ibunya ikut membelalakkan mata.
Buci bengong dan terkesima akan tetapi tiba-tiba dia menjadi ngeri.
Wanita ini gila, benar gila! Maka ketika ia meronta dan melepaskan diri, ciuman itu disusul hujan air mata maka ia melompat mundur dan menggigil, kini jarinya ganti menuding.
"Lihiap... Kiok Eng lihiap, ap... apa katamu ini? Kau... kau ibuku? Aku anakmu? Bagaimana kau yakin? Jangan bicara yang bukan-bukan, tunjukkan bukti dan jangan sembarangan!" "Ah, kau Cit Kong, memang anakku. Surat ini buktinya dan tak mungkin keliru. Marilah, aku ibumu, nak, wajahmu mirip benar dengan ayahmu Tan Hong. Aku, ibu... ah, telah merindukanmu bertahun-tahun. Kau anakku!"
Lalu ketika Buci disambar dan dipeluk kembali, kini wanita itu mengguguk maka sejenak Buci terguncang dan membiarkan saja dirinya diremas dan diciumi.
Ia masih setengah percaya setengah tidak karena semuanya begitu tiba-tiba.
Akan tetapi ketika ia bingung diaku secepat itu, apakah isi surat itu mendadak dua wanita itu berkelebat dan menyambar nya dari kiri kanan, ia di rebut.
"Heii!"
Buci terlepas dan tahu-tahu di tangan Beng Li. Wanita inilah yang merampasnya sementara sang ibu menyerang Kiok Eng. Dan ketika wanita itu berkelit dan terkejut menghindar, saat itulah Buci berpindah tangan maka Beng Li terkekeh dan berseru ganas.
"Kiok Eng, kau dulu membunuh puteraku, dan sekarang anakmu ini muncul. Hi-hik, enak benar menerima ini sementara kau telah membunuh pula nenek May-may. Siapapun anak ini tak boleh kau mengaku ibunya. Aku akan membunuh!"
Lalu ketika secepat kilat wanita itu menurunkan tangannya menghantam kepala Buci, anak ini kaget bukan main maka secepat itu anak ini menggigit dan menyembunyikan kepala di leher orang.
Dan ketika Beng Li berteriak tak menyangka, saat itulah Kiok Eng berkelebat maka wanita itu menghajar pundaknya, Kiam-ciang atau Tangan Pedang melesat lurus.
"Lepaskan dan jangan bunuh anakku!"
Hebat yang terjadi.
Karena tak menyangka anak itu tiba-tiba menggigit dan membenamkan kepala di bawah lehernya, pukulan luput dan saat itulah Kiamciang menyambar maka Beng Li menjerit.
Wanita ini terbanting dan Buci terlempar sementara bibi Ming berseru keras.
Wanita itu membentak dan menyerang Kiok Eng, pedang di tangan kanannya menusuk tu.
lang belikat.
Dan karena gebrakan ini berlangsung hampir sama cepat, Beng Li menjerit sementara Kiok Eng mengaduh maka wanita baju hitam itu terhuyung dan belakang pundaknya robek, berdarah.
Akan tetapi Ming Ming atau wanita itu tak mau menunda serangannya lagi.
Ia melengking dan memaki betapa puterinya roboh, Beng Li patah tulangnya bagai dibacok pedang ampuh.
Dan ketika ia menerjang dan menyerang kalap,.
Kiok Eng menahan sakit di belikat kanannya maka ia mengelak maju mundur sementara lawan mengejar dan berkelebatan cepat.
"Kau melukai adikmu Beng Li, kau menghancur kan perasaan kami lagi. Ah, kubunuh atau kaubunuh aku, Kiok Eng, aku akan mengadu jiwa sampai satu di antara kita roboh!"
Pedang menyambar-nyambar naik turun sementara rambut juga meledak dan menyabet bagai kawat-kawat baja.
Ming Ming atau wanita ini marah bukan main melihat puteranya luka, ia menyerang bagai orang kesetanan.
Akan tetapi karena Kiok Eng lebih lihai dan ilmunya lebih beragam, mengelak dan berkelit sanasini sambil menggerakkan tangan kirinya maka Kiamciang atau Tangan Pedang Itu menangkis terpental pedang di tangan lawannya.
Buci terbelalak pucat melihat wanita yang mengaku ibunya itu menahan sakit sambil membalas lawan.
"Pergilah, pergi kalian. Berulang-ulang kukata kan aku tak tahu-menahu dan membunuh nenek Maymay, bibi Ming. Kalau aku membunuh kenapa mesti kusangkal. Aku bukan pengecut, pergi dan Jangan ganggu pertemuanku dengan anak kandungku itu!"
Akan tetapi wanita itu melengking-lengking.
Semakin diusir semakin ia marah.
Ia benar-benar nekat meskipun pedangnya berkali-kali terpental.
Dan ketika la membentak dan menggigit bibir me nahan penasaran, sesungguhnya ia kalah tinggi dibanding lawannya maka Beng Li wanita itu berteriak, ternyata puterinya ini masih dapat berseru meskipun kesakit an.
"Bunuh dan serang anak siluman itu. Kejar dan serang dia, ibu, biar Kiok Eng tahu bagaimana rasanya hati seorang anak dibunuh!"
Buci terkejut.
Tiba-tiba wanita baju merah itumemekik dan memutar tubuhnya, pedang yang semula menyambar-nyambar dan naik turun menyerang wanita baju hitam mendadak meluncur ke arahnya.
Dan ketika ia terkejut dan otomatis mengelak, Jouw-sang-hui-tengnya bekerja maka Kiok Eng terkejut dan membentak wanita itu.
"Bibi Ming, anak tak tahu urusan orang tua. Jangan serang atau kupukul kau!"
"Pukullah!"
Wanita itu memekik, kaget mengejar Buci.
"Anak ini harus kubunuh, Kiok Eng. Kau harus sama-sama merasakan bagaimana tak punya anak!"
"Keparat!"
Wanita itu melengking.
"Kau tak dapat diberi hati, bibi, kalau kau menyerangnya maka akulah lawanmu... trang!"
Tangan Pedang bertemu pedang dan kali ini wanita itu menjerit.
Ia terpelanting oleh kerasnya Kiam-ciang yang begitu hebat, bergulingan meloncat bangun dan kaget serta marah.
Akan tetapi ketika puterinya kembali berteriak dan ia memekik maka wanita itu meloncat lagi menerjang Buci, anak inilah sasarannya.
"Kau bocah siluman membawa bencana. Mampus dan pergilah ke neraka!"
Buci lagi-lagi terkejut.
Tentu saja ia tak tahumenahu urusan orang-orang tua sepuluh tahun yang lalu, betapa Kiok Eng membunuh anak Beng Li tanpa sengaja, membuat wanita itu keguguran.
Maka ketika ia berkelit akan tetapi sang ibu berkelebat maju, kembali menangkis dan mementalkan pedang maka anak ini berseru bahwa tak perlu ia dilindungi.
"Aku dapat menyelamatkan diri kalau hanya diserang dan menerima bacokan pedangnya. Mundur dan biarkan ia mengamuk sampai habis tenaganya!"
Kiok Eng tertegun, membelalakkan mata.
Tentu saja ia tak tahu bahwa Buci adalah murid Siang Lun Mogal.
Biarpun tidak memiliki kepandaiannya akan tetapi Jouw-sang-hui-teng yang dimiliki anak ini hebat.
Berkelit maju mundur dan membuat pedang menusuk angin kosong menjadikan wanita itu gusar, Beng Li juga terkejut.
Dan ketika beberapa jurus anak ini mampu menyelamatkan dirinya, akan tetapi lamalama tentu saja kewalahan dan tak mungkin menghindar terus maka Kiok Eng berkelebat dan tak tahan melihat puteranya diancam bahaya.
"Mundur dan menyingkirlah dan biarkan ibumu menghadapi wanita siluman ini,... plak-cringg!"
Dan pedang yang tertolak dan akhirnya patah membuat Ming Ming terhuyung pucat dan Kiok Eng meng hentikan gerakan berdiri gagah. Ia menahan sakit di belikat kanannya dan menuding, telunjuk kiri itulah yang dipakai.
"Nah, pergi dan tahu dirilah atau aku benarbenar membunuh kalian. Cukup semuanya ini, bibi Ming. Sekali lagi aku bersumpah tak membunuh nenek May-may dan justeru aku melacak pembunuhnya kalau benar-benar ia terbunuh!"
Ming Ming, wanita itu menangis tersedu.
Saat itu di belakang Kiok Eng dan Buci berkelebat bayangan putih, Beng Li tahu-tahu lenyap.
Dan ketika wanita itu melihat dan berseru tertahan, sedu-sedannya menjadi-jadi maka ia membalik dan lari turun gunung.
Bayangan itu berkelebat dan lenyap di bawah.
"Heii!"
Buci terkejut.
"Puterimu, bibi. Ia masih di sini!"
Akan tetapi anak itu terkejut.
Beng Li wanita itu tak ada di situ lagi, dan ketika Kiok Eng juga terkejut namun maklum apa yang terjadi, menarik napas panjang dan mengeluh maka wanita ini terhuyung dan ...
tiba-tiba roboh.
Buci kaget, ia melihat wanita ini menyeringai sakit dan menopang tulang belikatnya dengan tangan kiri.
Susah payah ia menahan dan merintih-rintih.
Akan tetapi ketika ia cepat bergerak dan membantu wanita itu, Kiok Eng terisak maka wanita itu meminta agar dibawa ke dalam.
"Tolong... tolong bawa ibumu ke dalam... Ah, sakit hati ini, Kong-ji,... sepuluh tahun bermusuhan tiada habisnya. Dan kau tiba-tiba datang! Ayahmu... ugh, bawa ke dalam dan telungkupkan aku di sana!"
Buci berdebar, semburat merah.
Ia merasa panas mendengar wanita itu mengaku ibunya.
Ada perasaan girang akan tetapi juga ragu.
Siapa tak senang menjadi putera wanita lihai ini.
Iapun pasti bangga! Akan tetapi menolong dan tak banyak bicara, tiba-tiba mengangkat dan memanggul wanita itu di atas pundaknya maka Kiok Eng kagum dan berseri26 seri.
Sakit dan segala yang berkecamuk menda dak hilang sekejap.
"Kau, ah... kuat sekali. Bagus, bawa dan turunkan aku di situ, Kong-ji. Kau kuat sekali. Aduh, bangga ibu padamu!"
Anak ini semakin merah.
Untunglah ia sudah tiba di dalam dan mendorong pintu depan, melihat bangku panjang dan meletakkan wanita itu di situ.
Lalu ketika ia diperintahkan menyobek sebagian baju wanita itu, dipakai bebat atau penahan luka maka ia pun melaksanakan tugasnya akan tetapi...
menyobek bajunya sendiri.
"Brett!"
Kiok Eng terbelalak dan mengeluh bangga.
Ia merasa sayang kenapa anak itu merobek bajunya bukan baju orang lain, terisak dan terharu bukan main.
Akan tetapi ketika secepatnya ia sudah dibebat dan sebentar kemudian obat luka ditelan pula, Buci mengambilkan air minum dan memberinya seteguk maka ia bangkit dan bersandar dinding.
Air mata itu pun tiba-tiba membanjir.
"Kong-ji...!" Buci tergetar dan tertusuk dalam. Ia diraih dan tahu-tahu didekap wanita ini. Dan sebelum ia meletakkan gelas itu di atas meja maka pendekar wanita ini mengguguk dan mengguncang-guncangnya.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau, dari mana dan ke mana saja selama ini? Di mana kau menghilang? Ah, bertahun-tahun aku dan ayahmu mencari, Kong-ji, akan tetapi selama itu pula gagal. Kami menyangka kau dibunuh nenek Maymay!"
Anak ini menggigil dan cengkeraman serta ciuman itu menggetarkan hatinya.
Ia hampir larut dan menangis pula, tak terasa matapun basah.
Akan tetapi ketika ia melepaskan diri dan bertanya benarkah wanita itu ibunya, bagaimana bisa begitu dan apa buktinya maka Kiok Eng menghentikan tangisnya terkejut sejenak.
"Buktinya? Hmm, kau mirip ayahmu Tan Hong, apalagi!"
"Tidak, aku tak mengenal siapa itu ayahku kecuali Raja Sabulai!"
Sang ibu tertegun, meremas surat yang ada di saku baju.
Akan tetapi karena isi surat tak boleh diketahui anak ini, ia pun bingung mendadak ia berseru teringat sesuatu.
"Baik, ada bukti yang lain.
Di dadamu ada Toh berbentuk bintang, Kong-ji, benar atau tidak!"
Buci terkejut, gemetar.
"Benar atau tidak?"
Pertanyaan itu di ulang, anak ini pucat. Lalu ketika Buci mengangguk namun bertanya lagi di mana tanda itu maka Kiok Eng tibatiba menggerakkan tangan kirinya dan merobek baju bagian kanan puteranya.
"Benda itu di sebelah kanan dadamu. Nah, biar kulihat betul atau tidak!"
Dan ketika anak ini menjerit dan menubruk ibunya, sang ibu telah merobek dan melihat itu maka Buci tak sangsi lagi dan ia pun meledak dan memeluk ibunya ini. Keduanya bertangisan penuh bahagia.
"Ibu!"
"Kong-ji!"
Tak pelak lagi anak inipun roboh dan lunglai di pelukan ibunya.
Kini Buci benar-benar yakin bahwa dia berhadapan dengan ibu kandungnya sendiri.
Inilah ibu yang dicari-carinya itu.
Ia memang bukan anak Mongol.
Dan ketika mereka bertangis-tangisan dan saling dekap, berulang-ulang Kiok Eng mencium dan meremas puteranya ini akhirnya wanita itu mendorong mundur puteranya yang mengagumkan ini, teringat betapa puteranya mampu menyelamat kan diri dari hujan serangan bibi Ming.
"Kau, siapa dan bagaimana gurumu, puteraku? Kau sekecil ini sudah dapat melindungi dirimu sendiri? Ah, pasti guru mu seorang lihai. Mana dia dan apakah kau datang seorang diri!"
Buci mengusap air mata, bahagia, benar-benar bangga dan bahagia sekali bahwa ibunya ini seorang yang begitu lihai.
Ibunya benar-benar seorang pendekar wanita mengagumkan.
Akan tetapi ditanya gurunya dan kening itupun berkerut, mendadak sepasang matanya berapi maka anak ini berkata bahwa gurunya adalah musuhnya juga.
Kata-katanya mengejutkan sang ibu yang tentu saja terbelalak dan berubah.
"Guruku adalah musuhku. Bertanya tentang dia membuatku sakit, ibu. Dia jahat dan tak pantas disebut guru!"
"Kau, siapa gurumu itu?"
"Siang Lun Mogal!"
"Apa?" "Benar, ibu, kakek gundul keparat itu. Dialah guruku akan tetapi hanya ilmu meringankan tubuhnya saja yang mau kupelajari. Itulah sebabnya mana pantas ia menjadi guruku. Ia kakek siluman!"
Sang ibu mencelat dan menahan sakit di belakang punggung.
Hampir tak percaya bahwa puteranya adalah murid kakek iblis itu maka wanita ini berseru keras.
Ia betul-betul kaget sekali.
Dan ketika Buci memandang ibunya dan ikut terkejut, rupanya ibunya ini mengenal kakek itu maka ia menggeleng bahwa tak perlu ibunya khawatir.
"Di bawah gunung hampir saja ia membunuhku. Akan tetapi semuanya sudah lewat, ibu, aku sudah menemukan guruku yang paling baru, guru yang hebat!"
"Tidak, nanti dulu. Bagaimana kau bisa berada di tangan kakek jahanam itu? Kapan kau ikut dia?"
"Aku tak tahu, ibu,"
Buci mengerutkan kening.
"Aku sudah bersama ayahku Reja Sabulai sejak kecil. Kapan aku ikut tentu saja sejak kecil. Kau tampaknya ke nal baik dengan kakek itu."
"Kenal baik? Tentu saja! Dulu ia menangkap dan menawan ibumu ini ketika muda. Ia jahat dan berbahaya dan bagaimana tiba-tiba kau bersamanya!" "Aku tak tahu, tapi ayahku Sabulai tentu tahu."
"Tidak, jangan sebut-sebut lagi nama itu. Ayahmu adalah Tan Hong, puteraku, bukan orang lain. Kau adalah Cit Kong dan namamu Tan Cit Kong. Sekarang bagaimana kakek gundul itu hendak membunuhmu di buwah gunung!"
Kiok Eng berapi-api dan wanita ini marah sekali mende ngar cerita puteranya.
Tentu saja ia menjadi curiga dan heran bagaimana kakek Mongol itu tahu-tahu membawa puteranya.
Ada apa di balik ini! Dan ketika ia bertanya bagaimana kakek itu hendak membunuh, diam-diam terkejut dan gusar bahwa kejadiannya di bawah gunung maka Buci menceritakan kepada ibunya tentang bahaya maut itu, sejak ia dikejar-kejar dan hampir tertangkap beberapa hari yang lalu.
"Mula-mula ia melihatku di dekat kota raja, berseru dan memanggil dan saat itulah aku terkejut. Akan tetapi karena aku tak mau pulang dan membelokkan langkah maka ia mengejar dan kami berkejar-kejaran."
Sang ibu berdebar, terbelalak.
"Lalu?"
"Lalu aku lari terus, ibu, kakek itu marah-marah dan membuat nyaliku seakan terbang. Ia membabat dan meroboh-robohkan seisi hutan. Baru setelah ia menyebut nenek May-may tiba-tiba aku berhenti."
"Berhenti? Kakek itu tidak menerkammu?"
"Tentu saja, ibu, akan tetapi Jouw-sang-huitengku bekerja. Aku melejit dan mengelak terkamanterkamannya hingga luput."
"Hm!"
Sang ibu menyambar dan men cengkeram puteranya ini, seolah-olah melindungi.
"Keadaanmu berbahaya, Kong-ji, kau tak memiliki ilmu silat!"
"Benar, dan karena itu lari lagi. Kakek itu tak mau bicara terus terang tentang nenek May-may. Aku lalu dikejar dan ia menyumpah-nyumpah sepanjang jalan!"
"Hm-hm, lalu bagaimana kau tiba-tiba selamat di sini...!"
"Aku berlomba dengannya, ibu, kalau ia tak mengeluarkan sihir dan membuat aku lari di tempat tentu tiga hari tiga malam ia belum berhasil menangkapku!"
"Lari di tempat?" "Ya, ia membentak dan mengerahkan sihirnya. Ia berseru bahwa aku lari di tempat. Dan ketika aku terkejut dan lari di tempat maka ia terbahak dan menyambarku..."
"Tak boleh itu terjadi!"
Sang ibu membentak dan seolah-olah menghadapi peristiwa itu.
"Kalau ia mengganggumu ibu yang akan menghadapinya, Kongji, biar mampus kakek itu!"
"Terima kasih,"
Anak ini tersenyum.
"Akan tetapi sesuatu yang aneh tiba-tiba terjadi, ibu. Tibatiba terdengar suara suling dan bentakan sihirnya pecah..."
"Hm!"
Sang ibu mengangguk, teringat sesuatu.
"Lanjutkan, puteraku, keadaanmu benar-benar berbahaya dan mencekam!"
"Ya, akan tetapi suara suling menyelamatkan aku. Maka ketika aku dapat bergerak dan lari lagi maka kutinggalkan kakek itu dan keparat itu mengutukcaci."
"Dan kau langsung ke sini?"
"Benar, ibu. Waktu itu sudah ada maksud di hatiku untuk ke Liang-san. Aku, eh... aku bertemu seorang sahabat yang amat mengagumkan. Aku bertemu paman Fang. Dia itu..."
"Hi-hik, aku tahu. Orang ini yang menolongmu, Kong-ji, akan tetapi jangan sebut paman!"
Sang ibu terkekeh, geli memotong kata-kata puteranya dan Buci tentu saja tertegun. Akan tetapi ketika dia mengangguk dan justeru berseri maka ia berkata bahwa itulah gurunya yang menjadi idola.
"Benar, aku tak menyebutnya paman, sekarang suhu (guru). Itulah guru baruku, ibu, ia hebat dan benar-benar mentakjub-kan. Kakek gundul begitu jerih ketika melihatnya. Ia tiba-tiba ngacir dan mengeluh begitu disuruh pergi. Kakek itu jinak!"
Sang ibu terpingkal, kali ini terkekeh-kekeh.
Begitu gelinya wanita itu hingga Buci menghentikan ceritanya.
Sang ibu sampai menangis begitu geli! Dan ketika ia terkejut dan penasaran, bertanya kenapa ibunya terpingkal maka wanita ini menghentikan tawanya mencium kening puteranya itu, berseri dan begitu gembira.
"Ketahuilah, tentu saja kakek itu tak berani macam-macam bertemu orang ini. Sahabat yang kautemui itu adalah jago nomor satu di kolong langit ini, kakek keparat itu bukan apa-apa dengannya. Dan karena ia pernah dirobohkan dan pecundang di tangan pendekar ini maka Siang Lun Mogal gentar dan tak mungkin banyak tingkah!"
"Tapi ia pedagang, bukan pendekar!"
Buci terkejut.
"Hi-hik, inilah bodohmu. Ia itu tak mau dipuji dan disanjung, puteraku, ia orang rendah hati yang selama ini kukenal. Ia bukan sekedar pendekar atau pedagang melainkan juga pangeran!"
"Pangeran?"
Buci kaget bukan main.
"Dia itu pangeran, ibu? Kau tidak main-main?"
"Hm, untuk apa ibumu main-main? Ia benarbenar seorang pangeran, puteraku, meskipun tidak berarti asalnya darah biru. Ia tadinya orang biasa akan tetapi di angkat Pangeran oleh mendiang sri baginda lama. Orang ini jasanya amat besar terhadap negara, dan satu di antara musuh negara yang hampir menyengsarakan rakyat jelata adalah kakek gundul Siang Lun Mogal itu. Akan tetapi ia bertemu laki-laki ini, roboh dan terusir dan selanjutnya sri baginda menganugerahkan gelar kebangsawanan itu kepada pria itu. Ia bukan sekedar pendekar melainkan juga Pangeran!" Buci bengong terlongong-longong dan tiba-tiba saja berdebar keras. Pangeran? Calon gurunya itu seorang pangeran? Luar biasa sekali, dan ia akan terangkat derajatnya menjadi murid pangeran ini. Bukan main! Maka ketika ia terkejut dan terkagumkagum, sang ibu tertawa maka ia mendesis bahwa tak disangkanya sama sekali bahwa paman Fang itu seorang pangeran.
"Mengagumkan, dan ia begitu rendah hati. Ah, teringat aku ketik
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Bara Naga Karya Yin Yong