Pedang Semerah Darah 2
Pendekar Cambuk Naga Pedang Semerah Darah Bagian 2
"Tetapi..."
Lanjut kakek tua.
"...dalam kurun waktu berikutnya, ternyata Shalindra dipakai untuk nama seorang bayi perempuan. Bayi Shalindra dapat tum-buh menjadi dewasa dan kawin dengan seorang lelaki yang masih satu buyut dengannya. Hal ini mereka la-kukan guna menjaga perkawinan darah campuran. Pada masa itu, keluarga Shalindra mempunyai suatu keistimewaan, bahwa barang siapa kawin dengan satu darah, tapi bukan satu ibu, maka ilmu dan kesaktian mereka semakin bertambah dengan sendirinya. Hal ini berlaku sampai tujuh turunan. Dan perempuan yang bernama Shalindra itu adalah turunan mereka yang terakhir. Jadi mereka kawin, maksudku perempuan Shalindra itu kawin dengan saudara satu buyut, yang bernama Sabdawana."
"Apakah Sabdawana itu juga berilmu tinggi?"
Tanya Lanang memancing keterangan sebenarnya.
"O, sakti. Ilmunya cukup hebat. Terutama dalam ilmu pengobatan dan ilmu yang dinamakan ajaran su-ci. Tapi... sudah tentu lebih hebat aku daripada dia...."
Mulut Lanangseta mencibir sewaktu Tongkat Besi terkekeh.
Walaupun dalam hatinya Lanangseta men-gakui bahwa sejak ia disuruh minum darah kobra dengan campuran khusus itu badannya berangsur-angsur menjadi segar.
Malahan sekarang rasa pusing-nya hilang, dan pandangan matanya terang kembali.
Tapi, mendengar kesombongan Tongkat Besi, muak ra-sanya perut Lanangseta.
Tongkat Besi masih tetap menghisap tembakau ca-cahnya.
Ia kelihatan sangat tenang dan santai dalam duduk bersila.
Ia melanjutkan kisahnya.
"Perkawinan Sabdawana dan perempuan Shalindra menghasilkan seorang putri yang bernama...."
Tiba-tiba ia berhenti, seperti teringat sesuatu. Lalu, katanya.
"Ooh... nama anaknya itu tak boleh disebutkan."
"Kenapa?"
Lanangseta berlagak tak tahu.
"Nama itu adalah nama sebuah ilmu yang bila disebutkan oleh siapa saja akan mendatangkan badai kencang, dan bumi bagai dilanda gempa. Alam men-gamuk, langit merah dan petir menyambar-nyambar. Sebab itu, namanya tak berani kusebutkan. Pokoknya putri Sabdawana itu cantik dan kabarnya berilmu tinggi. Tapi... sudah tentu belum ada sekuku hitamnya dengan ilmuku..."
Sekali lagi Lanangseta mendesah. Sebal dengan ke-sombongan Tongkat Besi. Sampai-sampai Lanang ber-tanya.
"Kau kelihatannya sombong sekali, Kek! Kenapa mau menjadi orang sombong?"
Kakek tua itu hanya terkekeh sejenak.
"Dari dulu, aku tidak pernah hidup sombong. Jadi sekarang ini, aku ingin bagaimana rasanya hidup sombong. Sebe-lum ajalku tiba di tanganmu, aku ingin merasakan menjadi orang sombong. Ternyata banyak orang yang muak dan membenci ku, he... he..."
Tongkat Besi kelihatan bangga dengan hasil percobaannya, yaitu men-jadi orang sombong.
Aneh.
Ya, memang begitulah kea-nehan pada diri kakek tua itu.
Namun dari sekian pembicaraan Tongkat Besi, ada sesuatu yang terselip dan menjadi ganjalan di hati Lanangseta.
Lalu, ia pun menanyakannya langsung.
"Apa dulu kakek juga pernah mengenai perempuan Shalindra?"
"Kenal...!"
Jawabnya tegas sambil manggut-manggut.
"Tetapi waktu itu ia masih bayi. Jangankan kepada perempuan yang bernama Shalindra, kepada canggahnya atau buyutnya Shalindra aku juga kenal."
"O, ya? Jadi, kakek mengenai leluhur Shalindra?"
Tongkat Besi tertawa sinis bernada sombong.
"Dulu kan sudah kukatakan, bahwa usiaku ini sudah ratusan tahun!"' Dahi Lanangseta berkerut-kerut, ia mengangguk-angguk.
"Ya, memang dulu pernah kau katakan... antara empat ratus tahun, atau enam ratus tahun..."
"Atau lebih..."
Tambahnya.
"Ya. Tapi kukira waktu itu kau hanya membual, Kek."
"Nah, di situlah kepicikan zaman. Sekarang zaman telah mempengaruhi kehidupan manusianya. Zaman yang menghendaki sesuatu yang benar bisa disalahkan dan sesuatu yang salah bisa dibenarkan. Zaman juga yang menganggap orang jujur itu pembohong, semen-tara seorang penipu akan dianggap orang jujur. Dan manusia yang hidup di zaman itulah yang menjadi korban kebodohan tersebut."
"Eh, soalnya begini.... Bagaimana mungkin seorang manusia dapat hidup sampai ratusan tahun seperti yang kakek alami itu. Aku jadi sangsi dan... dan me-mang tidak masuk akal, Kek."
"Kamu belum tahu siapa aku sebenarnya,"
Tongkat Besi melengos dengan gerutu bernada angkuh. Lalu sambungnya lagi dengan tanpa memandang Lanangse-ta, kecuali melirik sinis.
"Kau menganggapku manusia biasa, kan?"
"Ya. Apakah itu salah?"
Tongkat Besi menggeleng.
"Salah...!"
Katanya angkuh sekali. Lanang menahan tawa melihat keangku-han yang lucu.
"Jadi, siapa dirimu sebenarnya, Kek?"
Tongkat Besi menatap Lanangseta beberapa saat, seperti ada keraguan yang sedang dipertimbangkan. Namun beberapa saat kemudian ia pun menjawab.
"Sebenarnya aku... seorang dewa...."
Lanangseta terperanjat, bahkan ia sempat berdiri di atas tempat tidur bambu itu.
Matanya membelalak lebar dan mulutnya terngan-ga bengong.
Tongkat Besi bicara dengan pelan, tapi se-rius.
Tak ada kesombongan, tak ada canda dan sifat main-main.
Serius namun berwibawa.
Terpancar satu kharisma tersendiri dari cermin wajahnya pada saat ia menyebutkan siapa dirinya sebenarnya.
Jantung La-nangseta menjadi berdebar-debar dan tak sedikit pun ia berani menyanggah dan membantah.
Sebegitu hebat kekuatan yang terpancar dari ekspresi wajahnya, se-hingga Lanang sangat terkesima.
"Duduk...!"
Ucap Tongkat Besi. Suaranya pelan, bahkan bisa dikatakan suara yang lembut. Namun, tanpa disadari Lanangseta menuruti kata-kata itu. Ia duduk dengan gerakan perlahan-lahan.
"Berdiri...!"
Sekali lagi suara itu sangat lembut, bukan membentak dan menakutkan. Tapi, toh hal itu membuat Lanangseta kembali berdiri lagi perlahan-lahan bagai di luar kesadarannya. Tongkat Besi tersenyum dan Lanangseta mulai sa-dar. Ia bertanya dalam hati.
"Kenapa mau-maunya aku disuruh duduk dan berdiri lagi, ya? Ooh... gila betul orang ini! Dia mampu memerintah jiwaku dengan satu kata dan aku menjadi menurutinya. Benar-benar he-bat. Benar-benar aku berhadapan dengan seorang de-wa."
Perlahan-lahan Lanangseta duduk sendiri. Terden-gar suara Tongkat Besi berkata lirih.
"Jangan menjadi takut karena pengakuan ku tadi, Lanang. Sebuah pengakuan tidak selalu murni. Adaka-lanya hanya berupa tipuan yang terselubung. Tetapi, untuk pengakuan ku tadi, kau bisa menarik kesimpu-lan sendiri setelah aku mengajarkan ilmuku kepada-mu. Setelah selesai kuajarkan semua ilmuku, lalu ta-riklah kesimpulan, apakah benar pengakuan ku tadi. Biasanya manusia membutuhkan bukti dari suatu pengakuan. Tapi bagiku, orang yang mempercayai sua-tu kebenaran tanpa melihat bukti, dia adalah orang bijak yang akan memperoleh hidupnya. Yaitu keselama-tan diri akibat suatu kepercayaan. Mengerti?"
Karena Lanang menggeleng, maka Tongkat Besi menerangkan.
"Kepercayaan itu adalah senjata paling ampuh, Seorang anak kecil, misalnya, ia sedang dike-jar anjing. Lalu ia lari dan di depannya ada pagar tinggi menghalanginya. Karena rasa takut kepada anjing, maka timbul satu kepercayaan bahwa ia akan mampu melompati pagar itu. Ia harus percaya akan berhasil, sebab kalau gagal ia pasti digigit anjing. Dan ternyata ia berhasil. Memang berhasil melompati pagar itu ... Lalu ia akan terbengong dan bertanya dalam hati.
"kok bisa ya?". Nah, itulah bukti bahwa kepercayaan yang kuat mampu mengalahkan kesulitan apapun juga...."
Lanangseta manggut-manggut, masih terkesima pada kenyataan. Namun ada satu hal lagi yang perlu ia tanyakan. * * * * LANANGSETA sedikit ragu, tapi akhirnya terlontar juga pertanyaan itu.
"Mengapa seorang dewa hidup sebagai manusia di permukaan bumi ini, Kek? Bukankah di alam para de-wa, mereka hidup dengan enak, tentram, damai dan sejahtera?"
"Ini pertanyaan yang paling bagus,"
Kata si Tongkat Besi sambil menggerakkan jari telunjuknya.
Ia meru-bah posisi duduknya, dari duduk dengan kaki ditekuk satu ke atas, di mana lututnya bisa dipakai tumpuan lengan, kini menjadi duduk bersila.
Serius, bagai seorang guru sedang mengajarkan satu falsafah hidup pada muridnya.
"Aku mempunyai kesalahan yang kurasa tak perlu dijelaskan kesalahan apa, tapi yang jelas karena kesa-lahanku itu aku dihukum. Aku diusir dari Suralaya, setelah sidang para dewa memutuskan bahwa aku tak pantas lagi menjadi dewa. Lalu aku terlempar dari Suralaya sebagai manusia di bumi ini. Tetapi, karena aku pernah berjasa dalam suatu pertempuran membela Suralaya, maka sebagai tanda jasa, para dewa tidak mencabut kekuatanku, yaitu kesaktian dan ilmu ka-weruh yang ada pada diri setiap dewa. Hanya saja, wewenangku dan hak guna pakai sebagai dewa, dica-but dan dibatalkan. Jelasnya, aku telah dicoret dari daftar para dewa di Suralaya. Jadi aku beredar di bumi bukan sebagai de-wa tetapi sebagai manusia. Karena itu, rasa-rasanya aku tidak pantas menggunakan nama asliku, maka kubiarkan orang menjuluki aku sebagai si Tongkat Be-si"
"Kakek tidak menentang hukuman itu?"
Tongkat Besi menggeleng.
"Aku memang salah. Aku pantas di hukum. Dan, kuterima diriku menjadi sosok manusia di bumi. Tapi, lama-lama aku bosan. Di bumi ini ba-nyak kericuhan. Kepalaku sering sakit dan pernafa-sanku sering tersendat karena ulah kehidupan di bu-mi. Jadi, aku ingin segera mati. Tapi betapa susahnya mati itu sebenarnya. Bahkan sampai ku curi pedangmu untuk bunuh diri, tapi ternyata pedang itu tidak bermanfaat sama sekali di tanganku. Bahkan untuk memotong daun pun sulit robeknya. Kupikir, di tangan orang lain pedangmu itu tak lebih dari sebatang besi bekas. Tapi di tanganmu, barulah pedang itu mampu menunjukkan kehebatannya. Sebab itu aku memba-wamu ke mari."
Kali ini Tongkat Besi tampak murung dan sorot matanya memandang dengan sayu.
Kasihan.
Sebenar-nya Lanang memang kasihan kepada Tongkat Besi.
Tapi haruskah ia menolong kakek tua itu? Membunuh seseorang apakah bisa digolongkan sebagai perbuatan yang bijak? Apakah bisa dikatakan sebagai 'menolong' seseorang yang dalam kesulitan? "Tidurlah, besok kita mulai latihan,"
Ujar kakek tua.
"Latihan? Latihan apa?"
"Akan kuturunkan semua ilmuku kepadamu."
"Tidak,"
Tiba-tiba di hati Lanang ada rasa khawatir yang susah diungkapkan.
"Aku tidak mau mempelajari ilmumu, Kek."
"Goblok kamu!"
Tongkat Besi menggeram.
"Ilmuku ini jarang ada di dunia. Tak seorang pun yang pernah memiliki ilmuku. Hebat lho...!"
"Tidak. Aku tidak mau!"
"Harus mau!"
Bentak Tongkat Besi dengan ber-sungguh-sungguh.
"Aku hanya akan menurunkan il-muku pada orang yang pasti mampu membunuhku."
Lanangseta sempat menggeragap. Pandangan Tongkat Besi begitu tajam dan menusuk hati, bagai melemahkan persendian tulang. Ia tidak bisa bicara, ia hanya menggeleng dalam cekaman rasa takut yang jarang dimilikinya.
"Kenapa kau menolak,"
Kali ini pertanyaan Tongkat Besi cukup lunak.
"Karena... karena aku tak ingin seperti kamu, Kek."
"Maksudmu?"
"Hemm... tidak bisa... tidak bisa mati sampai bera-tus-ratus tahun... aku tidak mau hidup terlalu berle-bihan umur."
Senyum tipis mekar di bibir yang keriput.
"Setiap manusia akan mati dengan caranya sendiri. Cara yang telah digariskan di dalam hidupnya."
"Kalau begitu, kakek tidak perlu memaksa aku harus menerima ilmumu dan setelah itu membunuhmu."
"Aku punya kelainan dengan manusia seperti kau, tolol! Kalau aku, aku bisa membunuhmu dengan tanpa menyentuh dan tanpa memerlukan waktu lebih dari satu helaan nafas. Tapi kalau kau, untuk membunuh-ku kau harus mempunyai satu kekuatan tersendiri yang membutuhkan waktu untuk belajar."
"Tapi..."
"Tidur, dan besok mulai belajar!"
Kata Tongkat Besi dengan tegas.
Matanya memancarkan cahaya lain, janggal.
Namun barangkali kekuatan dari pancaran mata itulah yang membuat Lanangseta menguap, lalu tertidur pulas.
Ketika matahari baru muncul sebagian, Lanangseta sudah dibangunkan oleh si Tongkat Besi.
Ia diajak ke samping rumah, yang ternyata rumah atau pondok itu ter-letak di lereng sebuah bukit.
Lanangseta baru menyadari kalau ia berada dalam pondok di lereng bukit, di mana dalam jarak beberapa langkah terdapat jurang yang lebar dan dalam.
Tempat itu sangat sepi.
Dingin.
Kabut pagi masih tebal dan suara kicau burung saling bersahutan dengan jelas.
Agaknya hanya pondok itu-lah yang ada di lereng bukit itu.
Dan hutan di sekitarnya itu, sepertinya hutan yang jarang dijamah manu-sia kecuali Si Tongkat Besi.
Samar-samar terdengar suara deru air berjatuhan, Lanangseta dapat memasti-kan tak jauh dari daerah itu pasti terdapat aliran air terjun yang cukup curam.
Lanangseta yang merasa badannya sudah benar-benar sehat itu tiba-tiba tersentak.
Ujung tongkat me-nyodok punggungnya dengan keras.
"Jaga naluri mu...!"
Tukas kakek tua.
Sebenarnya Lanangseta benar-benar malas mem-pelajari ilmu yang dimiliki Tongkat Besi.
Yang ia pikirkan adalah 'imbalannya', bahwa ia harus mau berta-rung dengan Tongkat.
Besi dengan menggunakan pe-dangnya.
Tetapi kemalasan yang ada pada Lanangseta ternyata tidak mampu melawan perintah Tongkat Besi walau sedikit pun.
Tanpa disadari ia telah berada dalam pengaruh kekuatan magis yang ada pada diri be-kas dewa itu.
Tanpa ia sadari pula, ia telah melupakan segala pi-kiran sebelumnya.
Tak ada Kirana di dalam otak, tak ada Sekar Pamikat, tak ada Prabima, tak ada Ludiro dan tak ada semuanya.
Lanangseta sendiri merasa he-ran, mengapa ia jadi sangat menurut kepada Tongkat Besi.
Pikirannya hanya tertuju kepada soal ilmu yang diajarkan oleh kakek tua itu.
Suatu kali ia pernah memanggil Kirana di dalam hatinya, yaitu pada saat Tongkat Besi memberikan waktu istirahat selama 100 hitungan.
Tetapi, panggilan hati itu sudah tak berfung-si lagi.
Nyatanya Kirana tak pernah muncul selama Lanangseta berada di pondok tersebut selama satu bu-lan lebih.
Pada saat itu ia hanya ditertawakan oleh Tongkat Besi.
Laki-laki tua berjanggut lebat, panjang berwarna putih kemerah-merahan itu berkata.
"Jangan coba-coba memanggil seseorang di dalam hatimu. Aku telah menutup raga mu dengan satu lapi-san yang tak mampu ditembus oleh suara hati siapa pun. Bahkan suara hatimu sendiri hanya bisa kuden-garkan setiap saat...! Ayo, latihan lagi."
"Aku... aku capek dan mengantuk, Kek!"
"Minum ini...!"
Lagi-lagi Lanangseta disuruh meminum suatu ra-muan yang ada di dalam mangkok dari tanah liat.
Ra-muan itu terasa pahit sekali dan getir.
Namun, sangat diakui, bahwa setelah minum ramuan itu, Lanangseta menjadi bergairah dan badannya segar kembali, seperti ia tak pernah bekerja keras.
Rasa kantuk hilang seketika.
Dan ia pun mulai berlatih lagi.
Sementara itu, di Goa Malaikat seorang pengawal dari Griya Teratai Wingit berdiri di depan mulut goa.
Sudah dua hari lebih ia berdiri di mana menunggu kemunculan Ludiro.
Namun pada hari ketiga setelah Bonang menung-gu, barulah Ludiro keluar dari dalam goa, dan terkejut melihat Bonang berada di mulut goa.
"Bonang? Ada apa kau berdiri di situ?"
Tanya Ludiro dengan perasaan heran.
"Paman Ludiro, aku sudah tiga hari berada di sini menunggu kemunculanmu, Paman."
"O, ya?!"
Ludiro berkerut dahi.
"Ada apa?"
"Rama Sabdawana memanggilmu."
Ludiro mendesis sambil duduk pada sebuah batu.
"Aku belum menemukan Lanangseta."
"Dia ingin bertemu denganmu, Paman. Ada yang ingin dibicarakan sekalipun kau datang tanpa Lanang-seta."
Ludiro yang semula termenung, kini menatap Bo-nang.
"Apa ada sesuatu yang penting? Apa Lanangseta sudah kembali?"
"Tidak. Lanangseta belum kembali. Tetapi Putri Bukit Badai telah kembali dua minggu yang lalu. Sekarang ada di rumah. Dan... ah, pokoknya datanglah sa-ja. Ini panggilan dari Rama Sabdawana, Paman,"
Bujuk Bonang.
Mulanya Ludiro tidak ingin kembali ke Griya Tera-tai Wingit sebelum menemukan Lanang, entah hidup atau mati.
Tetapi karena rupanya ada sesuatu yang penting, maka Ludiro pun harus menghadap ayah Ki-rana.
Belakangan ini memang ayah Kira itulah yang dianggapnya sebagai pucuk pimpinan, menggantikan almarhum ayah Sekar Pamikat, yaitu.
Patih Sambang-bumi.
Sambil melangkah menuju Griya Teratai Wingit, Ludiro menanyakan sesuatu yang tadi dirasakan cu-kup ganjil.
"Bonang, tadi kau bilang bahwa Putri Bukit Badai itu telah kembali dua minggu yang lalu?"
"Benar, Paman."
"Aneh."
"Apanya yang aneh?"
"Dua minggu yang lalu...?"
Ludiro menggumam sendiri sambil melangkah.
"Berarti aku sudah dua minggu berada di dalam goa itu, ya?"
"Satu bulan lebih satu minggu, Paman."
"Hah...?!"
Ludiro berhenti dan mendelik.
"Betul, Paman!"
Laki-laki tinggi, jangkung itu mene-gaskan jawabannya.
"Paman berada di dalam goa itu sudah selama satu bulan lebih satu minggu."
"Gila! Rasa-rasanya aku baru berada sehari semalam di dalam sana! Sungguh!"
Ludiro terheran-heran. Tapi Bonang kelihatan tenang-tenang saja dan tidak terkejut dengan hal itu. Ia bahkan tersenyum dan berkata menjelaskan.
"Memang begitulah keanehan goa tersebut, Paman Ludiro. Menurut cerita Rama Sabdawana, goa itu mempunyai keanehan tidak hanya satu-dua saja. Tapi banyak. Dan kalau kurang beruntung, orang dapat mati terkena udara beracun di sana. Satu di antara dari sekian keanehan adalah yang Paman alami sendiri itu. Sepertinya hanya sebentar berada di dalam goa, namun sebetulnya waktu di luar goa sudah berjalan lebih cepat lagi. Bahkan menurut perkiraan... ini hanya perkiraan saja, bahwa goa itu bisa menembus ke Tebing Neraka jika tidak salah lorong."
"Oooo... ya, ya, ya..."
Ludiro mengangguk-angguk.
"Dan, kalau kita berada di dalam goa itu, perut kita terasa selalu kenyang, juga tahan haus."
"Benar, Bonang. Aku juga begitu. Aku rasakan sendiri bahwa selama ini, kalau memang benar aku sudah berada selama satu bulan lebih satu minggu, aku tidak pernah lapar tidak pernah haus, dan tidak mengantuk."
"Ya, begitulah, Paman. Katanya lagi, semua penyakit dapat beku bila berada di dalam goa itu. Artinya, tidak bertambah parah, tapi juga tidak bertambah baik. Tetap. Tenaga kita pun akan tetap. Nyala api...."
"Juga tetap, kan?"
Sahut Ludiro.
"Aku pernah men-galaminya. Pernah sekali. Sebatang ranting ku bakar dan apinya tak pernah padam, padahal kata Lanang aku sudah beberapa hari berada di dalam goa itu. Wah, sungguh aneh goa itu. Sepertinya tak punya waktu. Tak ada hari di sana. Mungkin kita bisa awet muda jika mau tinggal di dalam Goa Malaikat walau-pun selama seratus tahun, ya?"
"Mungkin begitu, Paman. Tapi, tentunya tinggal di kedalaman goa, bukan di bagian dekat mulut goa itu."
Ludiro manggut-manggut merenungi keanehan Goa Malaikat. Tanpa disadari, mereka sudah sampai di pin-tu gerbang Griya Teratai Wingit. Seorang lelaki berambut uban telah berdiri di pintu gerbang dengan didam-pingi dua pengawal lainnya.
"Saya mendengar kabar dari Bonang, katanya Ra-ma memerlukan saya untuk datang ke mari? Betulkah itu, Rama?"
Kata Ludiro dengan sopan dan penuh hormat.
"Ya. Mari ke dalam, Ludiro,"
Kata Sabdawana yang lebih tua ketimbang Ludiro.
Sabdawana membawa masuk Ludiro ke sebuah kamar, namun mereka hanya berada di pintu, tidak masuk sampai di ranjang.
Sementara di ranjang mata Ludiro terbelalak melihat Kirana yang pucat pasi bagai kan mayat.
Tubuhnya sangat kurus dan matanya ce-kung.
Bibirnya yang dulu ranum dan sensual, kini membiru dan beku.
Sorot matanya nyaris bukan milik Kirana Sari lagi "Paman..."
Ia menyebut sepotong nama itu dengan suara yang sangat lemah.
Hampir tak terdengar oleh Ludiro.
Meratap hati Ludiro melihat kenyataan itu.
perih dan terharu rasanya memandang keadaan Kirana yang sedemikian parah.
Ludiro sendiri bertanya-tanya da-lam hati; apa gerangan yang membuat Kirana menderi-ta sedemikian parah? Racun lagi? "Mendekatlah, Ludiro..."
Bisik Sabdawana. Maka, Ludiro pun mendekati Kirana yang terbaring bagai tidak mempunyai tenaga lagi itu. Dalam jarak sa-tu jangkauan lebih Ludiro berhenti dan membungkuk-kan badan, memberi hormat sebagai seorang hamba.
"Lanang bagaimana, Paman?"
Semakin pedih rasa hati Ludiro mendengar perta-nyaan itu. Dengan hati-hati Ludiro menjawab.
"Sementara ini, Lanangseta memang belum kami. temukan, Putri. Tetapi, dalam waktu dekat ia pasti akan pulang. Dia memang senang mempermainkan saya, Putri."
"Tapi dia pasti pulang.... kan?"
Pertanyaan ini terlontar dengan suara parau. Dengan tegas, seakan yakin betul, Ludiro men-gangguk.
"Pasti! Saya berani bertaruh nyawa..."
Kirana yang sayu, Kirana yang pucat, kini meng-hempaskan nafas bagai dalam kelegaan yang semu. Ia berkata tanpa berpaling memandang Ludiro.
"Kabari aku jika ia telah terlihat jalan di seberang jembatan, Paman."
"Tentu. Tentu saya akan segera datang mengabar-kan hal itu dan kita akan menjemputnya segera, Pu-tri."
Sebenarnya Ludiro tak habis pikir, apa sebab Kira-na sebegitu parah? Hanya karena rindukah ia bisa menjadi separah itu? Ah, terlalu mengada-ada, pikir Ludiro.
Tetapi ia segera menanyakan kecurigaan ha-tinya itu kepada ayah Kirana.
Waktu itu, mereka bera-da di halaman belakang, pada sebuah taman kecil yang dihiasi dengan bebatuan indah.
Banyak tanaman bunga di sana, walau sebenarnya tanah yang ada ada-lah tanah cadas putih, tapi ada tanaman bunga khu-sus yang bisa tumbuh di tanah cadas seperti itu.
"Apakah ada racun yang mengganas di dalam tu-buh Putri, Rama?"
Tanya Ludiro dengan menyebut kata 'Putri' sebagai ganti kata 'Kirana'.
Sabdawana, laki-laki yang kelihatan berwibawa, punya kharisma dan berhati bijak itu menghela nafas dengan berat.
Sepertinya saat itu hatinya sedang mengeluh dalam memprihatinkan keadaan putrinya.
"Mungkin racun yang tak dapat ditawarkan lagi, Rama?"
Desak Ludiro, dan Sabdawana menjawab lirih.
"Semacam itu..."
"Semacam racun?"
"Ya. Dan penyakit itu di luar kebisaan ku, Ludiro."
Ludiro mengerutkan dahi dan berpikir beberapa saat. Lalu, setelah mereka bungkam beberapa saat, Sabdawana berkata lagi dengan suara berat.
"Leluhur ku mempunyai sebuah ilmu yang na-manya dipakai oleh nama anak itu. Jika ada yang me-nyebutkan nama itu, maka akan datang, badai besar, alam mengamuk seperti hendak kiamat. Ilmu itu hanya milik keluarga kami, dan sekarang seolah-olah mutlak menjadi milik anak itu. Kalau dia mati, maka ilmu itu pun akan mati..."
"Ck, ck, ck... begitu hebatnya ilmu itu, Rama,"
Ucap Ludiro dengan kagum.
"Ya. Tapi ada pan tangannya."
Alis Ludiro semakin beradu, berkerut ingin tahu. Sabdawana berkata lagi.
"Dia tak boleh jatuh cinta pada seorang lelaki, dalam arti yang sebenarnya. Dia boleh mengasihi seorang lelaki, boleh mencintai, tapi tidak boleh terlalu dalam. Jika ia benar-benar mencintai seorang lelaki, maka hatinya akan diperbudak oleh cinta. Jika hatinya dikuasai oleh cinta, maka ia akan mengenal rindu. Nah, sebenarnya yang menjadi pantangan keras baginya ada-lah rindu. Rindu terhadap seorang lelaki, itu yang dapat menghancurkan dirinya."
"Rindu...?!"
Ludiro bersungut-sungut kebingungan.
"Ya, rindu! Memang sulit untuk menjelaskannya, Ludiro... Tetapi pada pokoknya, jika ia rindu dan sampai meratap di dalam hati, maka dirinya akan hancur dimakan ilmunya sendiri. Dia akan segera mati jika tidak bertemu dengan Lanangseta. Sebab itu, dari dulu ia tak pernah mau jatuh cinta pada siapa pun."
"Aneh..."
Gumam Ludiro yang didengar Sabdawana.
"Memang aneh, tapi itulah kenyataan hidupnya. Kerinduan jelas akan menyiksa hati. Jika hati rindu setengah mati, maka ia akan meratap. Unsur rindu itu sendiri sebenarnya ungkapan lain dari nafsu birahi yang terpendam. Nah, di dalam darahnya, nafsu birahi yang terpendam itu akan mengendap dan lama-lama akan meracuni dirinya. Meracuni darah itu, lalu darah beredar ke seluruh tubuh dan menghancurkan tubuhnya. Racun semacam itu, Ludiro... belum pernah ku-temukan obatnya. Kecuali mempertemukan dia dengan lelaki yang dirindukan. Sekalipun tanpa melalui hu-bungan badaniah, dengan bertemu lelaki yang dirin-dukan, lalu dipeluk dan dicium, secara dengan sendi-rinya nafsu birahi itu mulai luntur, lalu tawar. Tidak menjadi racun lagi. Jadi racun semacam itu, adalah racun yang paling berbahaya bagi dia. Kalau sampai Lanangseta ternyata mati, lantas ke mana ia harus memperoleh obatnya?"
"Apakah... apakah dia sendiri tidak tahu ke mana Lanang berada?"
Sabdawana menggeleng.
"Dalam keadaan seperti itu, sudah jelas ia telah kehilangan kontak batin dengan kekasihnya."
Sekali lagi Ludiro manggut-manggut dengan mulut ternganga mendengar keterangan dari ayah Kirana.
"Kalau dia tidak kehilangan kontak batin, dia akan dapat berbicara dari jarak jauh dengan Lanangseta, akan dapat bermesraan dalam jarak jauh. Tetapi seka-rang ia bukan tidak mau melakukan, tapi ia telah kehilangan kontak batin itu. Dan biasanya..."
Sabdawana terbungkam sesaat, sepertinya berat untuk mengemu-kakan sesuatu. Namun, akhirnya ia katakan juga ka-rena Ludiro tampak menunggu dan segera ingin tahu.
"Biasanya jika sudah begitu itu suatu pertanda, bahwa... kekasihnya telah tiada. Mati."
"Tidak!"
Tiba-tiba Ludiro tersengat telinganya dan ia menjadi garang.
"Tak ada yang sanggup membunuhnya sebelum orang itu mampu melangkahi mayat saya, Rama."
"Sabar, tak perlu sekeras itu kemarahan mu. Ada yang perlu kita lakukan untuk itu, Ludiro."
Ludiro menghempaskan nafas, mencari ketenangan dalam hatinya. Kemudian ia berkata dengan tegas.
"Berikan perintah pada saya, saya akan kerjakan sekarang juga!"
"Ludiro... aku akan mencarinya melalui rohku. Aku akan masuk ke kamar dan bersemadi. Mudah-mudahan dengan cara begitu aku bisa melacak di ma-na Lanangseta. Tetapi aku minta bantuanmu, berjaga-jagalah di sini. Jangan ke mana-mana. Jangan jauh-jauh dari Griya Teratai Wingit ini. Kau yang kutu-gaskan menjagaku, sekaligus menjaga keamanan di sini. Usir siapa saja yang ingin menemuiku, dan atasi jika ada yang hendak membuat keonaran di sini. Men-gerti?"
"Mengerti. Saya mengerti, Rama. Dan saya akan ja-lankan tugas itu dengan senang hati...!"
Memang aneh penyakit Kirana itu.
Ada-ada saja penyakit semacam itu, pikir Ludiro.
Kerinduan, cinta, birahi, ternyata mampu menghancurkan diri seseorang jika tak mampu mengendalikannya.
Tapi syukurlah, sekarang ayah Kirana sudah masuk ke dalam kamar.
Ludiro berharap mudah-mudahan ayah Kirana dapat menemukan di mana Lanangseta berada.
Mudah-mudahan roh Sabdawana dapat lebih teliti mencari le-tak kedudukan Lanangseta saat ini.
Sementara itu, Ludiro merasa bertanggungjawab terhadap keamanan di tempat itu.
* * * * JAUH di lereng bukit, yang konon bernama Bukit Dewa, seorang pemuda tampan berbadan tegap, kekar, sedang asyik memandang tepian jurang yang dalam.
Tetapi sesungguhnya saat itu ia hanya menggunakan kesempatan yang ada.
Kesempatan untuk melamun, setelah sekian lama ia melupakan seorang perempuan yang sangat menggetarkan hatinya.
Kirana Sari! Itulah yang sedang terlintas dalam ingatan Lanangseta di Bukit Dewa.
Sebenarnya ia ingin meratap karena kerinduan yang baru disadari saat ini.
Namun, ingatannya pun kembali melayang pada wajah Prabima, pemuda ber-tampang imut-imut, ganteng dan berbibir ranum yang amat mengganggu kerinduannya.
Ia masih ingat saat terakhir bertemu dengan Prabima, pada malam sebe-lum ia pingsan dan dibawa oleh si Tongkat Besi.
Yang terngiang adalah kata-kata Prabima.
"Mungkin dia memang mencintaimu, tapi tidak sampai meresap di dalam hatinya... malam ini ia telah menyerahkan keperawanannya kepadaku, lalu menyuruhku untuk melukaimu kembali... perkawinanmu akan tertunda, dan itu kesempatan bagi dia untuk memuaskan diri bersamaku..."
Gemertak gigi Lanangseta, dan menggenggam kuat-kuat kedua tangannya.
Kalimat itu sekarang terngiang lebih dari tiga kali.
Padahal selama ia tinggal di situ, ia tak pernah sempat terngiang kalimat tersebut.
Dendam dan kemarahan tersembur dari nafas Lanangseta.
Sudah cukup lama ia tinggal bersama si Tongkat Besi, sudah tiba saatnya untuk melampiaskan dendam dan kemarahannya kepada Prabima.
Namun, kemudian dia ingat, bukankah Prabima hanya menuruti perintah Ki-rana? Bukankah itu berarti Kirana yang mengkhianati cintanya? Uuh...! Keji! Sungguh keji hati Kirana.
Licik! Jadi, untuk apa ia harus marah dan mendendam ke-pada Prabima, kalau toh Kirana sendiri dengan suka rela menyerahkan keperawanannya kepada Prabima? Bangsat! geram Lanangseta.
Sebuah pukulan tongkat begitu keras disabetkan ke arah kepalanya.
Lanangseta dengan tenang, tetap memandang dasar jurang berair jernih, tetap bicara mengumpat dalam hati, namun tangan kanannya den-gan gesit melintang ke atas kepala.
"Plak..."
Tongkat dari besi itu tertangkap oleh tangan Lanangseta sekalipun ia tidak melihat dan bahkan sedang melamunkan sesuatu.
Lalu sebuah tendangan menyusul menyerangnya dari belakang.
Lanangseta masih melamunkan keke-jian Kirana, namun tubuhnya meliuk ke samping kiri, dan tendangan kaki itu melesat di samping kanannya, mengenai tempat kosong.
Itulah perkembangan kecil ilmu yang diperolehnya.
Tanpa berpikir anggota tu-buhnya sudah bergerak sendiri menghindari bahaya.
Wajah penyerang tua tampak cerah.
Terkekeh-kekeh sesaat.
Lanang pun berpaling.
"Apa yang sedang kau lamunkan, ha?"
Tegur si Tongkat Besi. Lanang masih memperlihatkan wajah yang mu-rung. Ia berjalan ke pondok seraya berkata.
"Perempuan yang mengkhianatiku, Kek...!"
"Itu yang bisa merusak jiwamu kalau terlalu kau pikirkan terus, Lanang."
Setelah berkata demikian, Tongkat Besi melemparkan sebatang kayu sebesar sa-tu pelukan.
ia melemparkan dari arah belakang La-nangseta.
Dengan cepat Lanangseta tahu-tahu melom-pat dan kakinya terentang.
Ia menggunakan jurus ten-dangan kipas yang tepat mengenai batang kayu besar itu.
Dalam waktu kurang dari sekejap, batang kayu itu berubah menjadi serbuk halus, lebih halus dari gula pasir.
Dan Tongkat Besi manggut-manggut.
"Sudahlah jangan pikirkan dulu... mari kita berlatih jurus Pedang Suralaya..."
Ujar Kakek tua.
"Bukankah aku sudah menguasai jurus pedang yang kemarin kau ajarkan itu?"
"Itu jurus pedang Gegana Sakti. Kali ini lain. Kalau jurus pedang Gegana Sakti dapat menebas dari jarak sepuluh langkah dari benda yang akan kau potong, ja-di seperti kau bermain pedang sendiri namun sebenar-nya kau sedang membabat musuhmu dan ia akan ma-ti. Tetapi pedang Suralaya berbeda, Lanang."
"Apa itu perlu? Dan apa ada keistimewaannya?"
"O, iya. Perlu dan ada keistimewaannya. Kau tak perlu menancapkan pedang itu ke tubuh lawan. Cukup menyentuhkan ujungnya pada bagian tubuh la-wanmu. Maka ia akan mati seketika."
"Ah, itu biasa, Tidak istimewa. Di mana letak istimewa nya? Malahan lebih hebat jurus pedang Gegana Sakti,"
Kilah Lanangseta menyepelekan. Tongkat Besi hanya tersenyum.
"Kelihatannya memang tak ada keistimewaannya, tapi lihatlah contoh yang akan kumainkan..."
Kemudian Tongkat Besi mengambil pedang tiruan, yang dibuat semirip mungkin dengan pedang Wisa Ko-bra.
Baik bentuk, bahan, dan beratnya, sama persis, Hanya bedanya, kalau pedang Wisa Kobra dapat untuk memotong besi, apalagi kayu.
Tapi kalau pedang tiruan itu tak dapat untuk memotong rumput sekalipun.
Lanangseta sempat terkejut ketika Tongkat Besi menye-rahkan pedang tiruan itu.
Bahkan ia heran, begitu pin-tarnya Kakek tua itu dalam meniru sebuah benda.
Waktu itu, Tongkat Besi berkata.
"Kau harus berlatih untuk menggunakan pedang yang sama persis den-gan pedang Wisa Kobra; baik beratnya, panjangnya, bentuknya, bahannya, harus sama persis supaya kau tidak ada kejanggalan jika kau bermain dengan pedang Wisa Kobra yang sebenarnya...."
Itulah tujuan Tongkat Besi yang diakui Lanangseta sebagai orang cerdik terselubung kesederhanaannya.
Seperti saat itu, Wisa Kobra yang ash ada di tan-gannya, sedangkan yang palsu diberikan kepada La-nangseta.
Lalu, Tongkat Besi memainkan jurus Pedang Suralaya dengan gerakan yang masih asing bagi La-nangseta.
Tubuhnya meliuk ke kiri, lalu melangkah maju, meliuk ke kanan, lalu membalik lagi dan menu-sukkan pedang itu ke batang pohon.
"Deep...!"
Ujung pedang bagai menyentuh pohon, tanpa harus terbenam sedikitpun.
Kemudian pohon ja-ti kecil itupun roboh dengan menimbulkan bunyi ge-muruh.
Tongkat Besi tersenyum memandang Lanang-seta yang masih tenang berdiri memperhatikannya.
Ia menunjuk pada pohon yang roboh.
Tapi Lanangseta hanya mencibir, menyepelekan kehebatan jurus itu.
"Kuno..."
Ejeknya.
Tapi beberapa saat kemudian mata Lanangseta membelalak lebar.
Ternyata pohon yang ada di bela-kang pohon pertama itu ikut roboh juga.
Menyusul po-hon ketiga, dan pohon keempat yang berjarak sekitar enam langkah dari pohon ketiga.
Terbengong mulut Lanangseta menyaksikan satu tusukan ujung pedang namun mampu merobohkan tiga pohon yang ada di belakang pohon pertama.
"Kuno, bukan?"
Sindir Tongkat Besi dengan sinis.
"Kalau kau tak berminat, ya sudah... tak perlu kuajarkan!"
"Aku berminat!"
Jawab Lanangseta cepat. Dan Tongkat Besi terkekeh menertawakan semangat Lanangseta.
"Lakukan dengan pedang palsu itu... gerakannya harus mantap dan konsentrasikan pikiranmu pada ujung pedang. Tak perlu keras mendorongnya, cukup ujungnya kau sentuhkan pada benda yang kau tuju, maka benda yang ada di belakangnya akan ikut tertu-suk, asal masih dalam jarak 15 langkah dari benda yang kau tusuk pertama itu."
Dengan tekun Lanangseta berlatih jurus Pedang Suralaya, Memang, Tongkat Besi mempunyai banyak ilmu, termasuk ilmu pedang beraneka ragam.
Belum lagi sebegitu banyak ilmu tenaga dalam yang dahsyat-dahsyat, yang ternyata dapat diselesaikan oleh La-nangseta dalam waktu singkat.
Itu bukan lantaran La-nangseta punya otak cerdas, melainkan karena ban-tuan unsur hidup yang ada pada Tongkat Besi telah mengalir dalam jiwa Lanangseta, sehingga semua itu bagai sebuah ulangan dari pelajaran yang pernah dilupakan saja.
Tanpa menggunakan daya pengalihan unsur hidup yang ada pada diri Tongkat Besi, maka ilmu sebegitu banyak hanya akan rampung dalam tempo 200 tahun.
Tetapi kali ini Tongkat Besi pun gembira, karena dapat menurunkan semua, hampir semua, ilmunya kepada Lanangseta dalam waktu kurang dari 2 bulan.
Ini pun di luar dugaan Tongkat Besi sendiri.
Semua terjadi di luar dugaan.
Lanang sendiri tidak menyangka kalau ia akan tertarik dan sangat antusias dalam mempelajari semua ilmu pemberian Tongkat Besi.
Ilmunya aneh-aneh, dan menghadirkan banyak kejutan.
Sebab itulah Lanang menjadi betah dan ha-nyut dalam keasyikannya mempelajari ilmu yang ditu-runkan kakek berjubah kuning itu.
Dan suatu kehebatan lain yang mengherankan La-nang adalah, bahwa selama ini dia tidak pernah tidur, tidak pernah merasa letih dan ngantuk.
Istirahat boleh dibilang tidak pernah.
Makan sambil mempelajari gerakan jurus-jurus yang akan dipraktekkan sehabis makan nanti.
Mandi sambil mendengarkan petunjuk-petunjuk yang akan dilatihnya nanti, dan begitu sete-rusnya, pagi, siang, sore dan malam hari.
Sehingga sesekali Lanangseta lupa bahwa semua itu telah dica-painya dengan kemustahilan yang menjadi nyata.
Seperti pagi ini, setelah Lanangseta berlatih ilmu yang mampu menghentikan gerakan air terjun secara mendadak, ia kembali ke pondok.
Di pondok, ia telah disambut oleh 'gurunya' yang eksentrik itu.
"Bagaimana? Sudah bisa menghentikan jalannya air berapa helaan nafas?"
Tanya Tongkat Besi.
"Sudah mencapai sembilan puluh kali helaan na-fas, Kek."
"Yah... lumayan lah. Nah, sekarang kita berlatih jurus Pedang Pamungkas Dewa. Ingat, kau hanya boleh menginjak tanah dua kali selama pertarungan.... Je-las?!"
"Jelas, Kek."
"Kemarin kau empat kali menginjak tanah. Seka-rang jangan lebih dari dua kali. Nan, ambil pedangnya dan kita pergi ke lereng atas...."
Lanangseta bergegas mengambil dua pedang. Lalu mereka berdua pergi ke lereng atas, di mana ada tanah sedikit lega dan pepohonannya berjarak cukup jauh dari pohon yang satu ke pohon yang lain.
"Pilih, kau mau pakai pedang yang mana?!"
Kata Tongkat Besi.
Lanangseta cukup hati-hati sekali memilih kedua pedang itu.
Sebab salah-salah ia memakai pedang yang asli dan dapat mengenai gurunya betulan, wah...
repot.
Lanang tak ingin membunuh Kakek tua itu, apapun alasannya ia tak mau sampai terjadi begitu.
Lebih baik dia yang dibunuh daripada harus membu-nuh gurunya.
"Yang, ini, Kek..."
Kata Lanang setelah ia memilih pedang yang palsu.
"Baik. Mari kita mulai..."
Lalu Tongkat Besi melompat dan kakinya menginjak dedaunan semak, begitu juga Lanangseta, ia sudah terbiasa men-ginjak dedaunan semak tanpa harus membuat daun itu melengkung sedikit pun.
"Lanangseta...!"
Kata si Tongkat Besi.
"Jika kau berhasil kali ini, kau patut menyandang gelar Malaikat Pedang Sakti...."
Lanangseta tersenyum bangga, ia yakin bahwa ia akan berhasil sesuai dengan ketentuan yang dikatakan gurunya tadi, tidak boleh menginjak tanah lebih dari dua kali.
Itu patokan yang diingat Lanangseta.
Tongkat Besi berdiri di atas dedaunan semak tanpa membuat daun itu melengkung sedikit pun.
Lalu den-gan tangan kiri bertolak pinggang, ia berkata.
"Sebaiknya kau memakai pedang yang ini saja, Lanang."
"Tidak. Aku pakai pedang yang sudah kupegang pegang ini!"
Jawab Lanangseta dengan tegas.
Tongkat Besi tersenyum mencurigakan.
Tapi Lanangseta memperhatikan pedangnya lagi.
Ia telah memberi tanda secara diam-diam pada pedang palsunya dengan seutas benang tipis pada lingkaran di bawah kepala kobra, di gagang pedang itu.
Dan pedang yang dipegangnya saat itu mempunyai benang tipis, warna hitam, tepat di bawah kepala kobra pada bagian gagangnya.
Berarti pe-dang itu adalah pedang palsu.
Tetapi ia jadi ciut nya-linya setelah Tongkat Besi berkata.
"Ini latihan terakhir, Lanang. Kau tak boleh main-main. Ingat, hanya pedang Wisa Kobra yang asli yang akan dapat menembus tubuhku. Jika pedangmu itu asli, maka kau hari ini juga akan berhasil membunuh-ku, dan aku sangat berterima kasih kepadamu. Tetapi kalau ternyata pedangku ini adalah Wisa Kobra yang asli, aku mohon maaf... karena itu berarti aku yang akan membunuhmu. Tak boleh ada rasa menyesal di antara kita. Aku tidak akan menyesal membunuhmu, kalau memang kau yang terbunuh, dan kau tak boleh menyesal jika kau yang ternyata membunuhku."
"Tunggu...! Jangan begitu, Kek. Aku...."
Si Tongkat Besi tidak menghiraukan lagi ketegan-gan di wajah Lanangseta.
Tubuhnya yang kerempeng itu melesat cepat bagaikan anak panah.
Pedang di tangannya menjurus ke tubuh Lanangseta, dan Lanangse-ta takut terkena.
pedang itu, karenanya ia melompat tinggi, hingga mencapai dahan pohon besar.
Ia mau bicara sesuatu, namun dari belakang datang serangan tak diduga cepatnya.
"Trang...!!"
Ia menangkis pedang yang dibabatkan oleh Tong-kat Besi dengan hanya menggerakkan pedangnya ke belakang.
Kaki Lanangseta maju ke depan, gerakannya seperti hendak melompat ke bawah.
Namun sebenar-nya kaki yang masih menginjak dahan pohon itulah yang tahu-tahu menendang ke belakang sambil ia ber-salto di udara.
Tendangan kaki Lanangseta mengenai perut Tongkat Besi.
Ia terhempas seperti pohon kering ditiup angin.
Tetapi posisi jatuhnya begitu indah.
Kelebat jubah kuningnya bagai sayap garuda menghampiri sarangnya.
Kaki Tongkat Besi menginjak pada selem-bar daun, sedangkan Lanangseta bagaikan cicak, ka-kinya menempel pada batang pohon yang berdiri tegak.
Agaknya Tongkat Besi ingin mengadakan serangan balasan setelah ia berhasil ditendang Lanangseta.
Dengan sekali loncatan bagai harimau terbang, ia mengarahkan pedangnya ke dada Lanangseta.
"Heeeaaaahh...!!"
Teriakan itu begitu keras dan membuat Lanangseta gugup sedikit, lalu ia bersalto di udara menghindari tusukan pedang Tongkat Besi.
"Traang...!"
Pedang mereka beradu.
Anehnya tak ada yang pa-tah salah satu.
Pada saat mereka mengadu pedang, tangan kiri Tongkat Besi sempat memukul wajah La-nangseta dengan kerasnya, sehingga Lanang menjadi limbung, namun cepat menjejakkan kaki ke pohon lain.
Maksudnya supaya ia jangan sampai jatuh ke ta-nah dan menginjak tanah.
Tubuh yang melesat dalam kesakitan wajah itu disambut dengan meluncurnya tendangan miring oleh si Tongkat Besi.
Lanangseta menghindari tendangan yang membahayakan itu.
Te-tapi pada saat ia menghindar, pedang si Tongkat Besi menyambar kepalanya.
"wesss..."
Kepala Lanang buru-buru merunduk, dilangsungkan dengan gerakan sal-tonya.
Lalu sebelum kaki Lanang sempat menyentuh tanah, ia telah menyentuh ranting kering dan dengan bantuan ranting kering itu tubuhnya dapat melesat naik lagi.
Sementara itu, pedang Tongkat Besi berhasil menyentuh tanah, dan dengan tenaga tangan ia meletik ke udara.
Pada saat tubuh Tongkat Besi meletik ke udara, bertepatan dengan itu, tubuh Lanangseta sedang me-layang melalui depannya dan ia mengibaskan pedang palsu itu sekuat tenaga agar dapat menjatuhkan tu-buh Tongkat Besi.
Pedang berhasil mengenai tubuh Tongkat Besi dan Kakek tua itu berseru.
"Aaauuhh...!!" ' Lalu tubuhnya benar-benar jatuh ke tanah dalam keadaan telentang. Lanangseta terbelalak kaget.
"Ka-kekkk...?!"
Perut Tongkat Besi robek total, isi perutnya meng-hambur ke luar. Lanangseta menjerit sekali lagi setelah memperhatikan pedangnya berlumuran darah dari ujung sampai sebatas gagang. Merah segar warnanya.
"Kakek...?! Kakek, kau terluka betulan...?!"
Tongkat Besi tersenyum, lalu tertawa terkekeh-kekeh sambil menyeringai kesakitan.
"Aku berhasil!! Aku berhasil...! He, he, heee...!"
Kakek tua itu bahkan tertawa dan senang melihat perut-nya amburadul mengerikan begitu. Lanang segera mengangkat kepala Tongkat Besi dengan wajah ngeri dan menegang.
"Kek... maafkan aku...?! Kenapa yang kupakai itu jadi pedang Wisa Kobra yang asli...? Oh, aku tidak ta-hu, Kek...!"
"Lanang... aku telah menukar benang yang kau pakai tanda pada gagang pedang palsu ke pedang yang asli. Jadi yang kau pilih itu sebenarnya pedang Wisa Kobra yang asli. Dan dengan cara begini kau akan bisa membunuhku...! Tapi ingat, aku mati secara kesatria lho.... Ingat itu. Dan, dan..."
Tongkat Besi tak menghiraukan ratapan Lanangseta. Ia meraba tangan La-nangseta dan berjabat tangan dengan muridnya, seka-ligus pembunuhnya.
"Terima kasih. Terima kasih, Lanang.... Kini cita-citaku ratusan tahun ini telah berhasil. Aku dapat ma-ti... ya, dapat mati walau harus melalui pedang dan tanganmu...!"
"Kek, kau keterlaluan! Kau gila!"
Bentak Lanangseta jengkel sendiri.
"Ingat, jangan menyesal! Aku tadi sudah... sudah katakan sebelumnya...! Karena penyesalan itu seperti halnya sebuah borok! Mau diapakan lagi kalau memang sudah borok! Dipulihkan kembali? Toh tetap meninggalkan bekas...! Hey, lihat pedangmu itu, ba-nyak darahnya...!"
"Persetan dengan kata-katamu!"
Bentak Lanangseta dalam kesedihan dan penyesalannya. Ia berusaha mengangkat tubuh Tongkat Besi, namun kewalahan karena tubuh itu nyaris terpotong menjadi dua bagian.
"Mau dibawa ke mana aku? Tak usah repot-repot, Lanang."
"Kau harus disembuhkan, Kek. Harus...!"
"Mana bisa.... Kamu masih kalah sakti denganku. Kamu belum menguasai semua cara pengobatan. Ada lima cara yang belum kuajarkan kepadamu dan meru-pakan simpanan ku, salah satu di antaranya adalah pengobatan sakit seperti yang ku derita saat ini. Oohh... usus ku keluar. Brodol! He, he..."
Geram dan kebingungan membuat Lanangseta be-nar-benar stres. Ia mencari-cari akal untuk membawa Tongkat Besi ke pondok, namun tidak ketemu. Otak-nya bagai beku.
"Sudahlah..."
Ucap Tongkat Besi dengan suara semakin pelan dan tubuh melemas dalam kepucatan yang pasi.
"Tak usah repot-repot membawa... ku. Ki-ta... kita ngobrol sebentar di sini, sebelum ajalku selesai... Ini pesan gurumu yang terakhir, Lanang..."
Akhirnya Lanangseta tak dapat berbuat apa-apa kecuali menuruti pesan guru yang terakhir kali. Ba-rangkali dengan mendengarkan pesan guru itulah yang bisa menggantikan ungkapan rasa sesalnya.
"Lanang...! Pedangmu itu berdarah. Bersihkan dengan lidahmu. Lekas, sebelum menjadi kering...."
Lanangseta buru-buru melaksanakan perintah gu-runya.
Tanpa ada rasa jijik kecuali sedih, ia menjilati darah yang berlumuran di sekujur pedang.
Tetapi anehnya, pedang itu masih saja berlumur darah walau telah dijilat berulangkali.
Terdengar suara Tongkat Be-si terkekeh-kekeh pelan.
"Cukup, jangan habiskan. Pedang itu tetap akan merah dan mempunyai kekuatan tersendiri. Sekarang, lemparkan pedang itu ke tempat semak-semak itu."
Lanang melemparkan tanpa banyak berpikir.
"Panggil namanya...!"
Lanang berseru tertahan kepedihan.
"Wisa Ko-bra...!"
Lanang tak dapat berseru keras.
Namun tiba-tiba dari semak itu muncul pedang Wisa Kobra yang segera meluncur sendiri ke arah Lanangseta, dan tan-gan Lanang segera menangkapnya dengan sigap.
Ma-tanya yang memerah menahan kesedihan itu sempat terbelalak sedikit karena heran dan kagum.
Tetapi Tongkat Besi yang mulai sekarat itu masih berusaha menertawakan Lanang, walau pelan dan serak.
"Kau telah menjadi seorang kesatria tangguh. Pendekar hebat yang boleh menyandang gelar pemberian-ku... Malaikat Pedang Sakti... Pedang Wisa Kobra, tetap akan berwarna merah, karena di situlah pangkal dari kehidupanku yang panjang. Di pedangmu itulah akhir dari perjalananku yang jauh.... Kuburkan aku di belakang pondok itu... Oh, aku capek. Dingin. Dan... oh... oh ya... kuminta... kuminta jangan... jangan susul aku, ya...? Selesaikan dulu tugasmu di dunia ini, la-lu... lalu... ah, aku lemas...."
Lalu suaranya menghilang, mulutnya ternganga, bibirnya bergerak-gerak pelan.
Mata Tongkat Besi semakin redup.
Lanang me-mandangnya dengan hati ditabah-tabahkan.
Mata itu kian redup, sayu...
lalu terpejam pelan-pelan.
Bibirnya menyunggingkan senyum tipis.
Dan...
nafasnya terhempas habis lewat lobang hidung.
"Guru...?! Guru...!"
Suara Lanangseta mulai geme-tar menahan derai tangis dan keharuan atas kepergian seorang guru.
Ia mendekap kepala Tongkat Besi.
Mendekap kuat-kuat seperti bagian dari hidupnya sendiri.
Namun ia juga menahan kuat-kuat air mata yang mendesak di pelupuk mata.
Angin pun bertiup deras.
Matahari tertutup mega hitam.
Mendung.
Lalu, tak lama kemudian hujan pun turun membasahi mayat Tongkat Besi dan muridnya yang masih tenggelam dalam kesedihan.
Petir me-nyambar sesekali.
Dedaunan serempak melambai, ba-gai mengucapkan selamat jalan kepada kakek berju-bah kuning itu.
Selamat jalan, selamat menempuh ke-langgengan hidup yang ia cita-citakan selama ini.
Menjelang sore, Lanangseta memakamkan jenazah gurunya yang nyentrik itu di belakang pondok.
Kemu-dian ia berkabung selama tiga hari di pondok itu sendirian.
Sesekali ia memandangi pedang Wisa Kobra yang asli, dan pedang itu masih berwarna merah.
Da-rah mengering, namun justru membuat mengkilat.
Terbayang di pelupuk mata Lanang saat pedang itu be-radu dengan pedang di tangan gurunya.
Siapa sangka kalau justru pedang di tangan guru itu yang palsu.
Kalau saja saat itu Tongkat Besi tidak menyalurkan ke-kuatan tenaga dalamnya, pasti pedangnya telah patah ditebas Wisa Kobra yang asli.
Semua itu sengaja dilakukan kakek tua untuk menjebak pikiran Lanangseta yang bertekad tak mau membunuh gurunya.
Bagaimanapun lihainya seorang murid, tetap ma-sih kalah pintar dengan gurunya.
Dan kenyataan itu dihadapi sendiri oleh Lanangseta, Pendekar Pusar Bu-mi yang kini menyandang gelar baru.
Malaikat Pedang Sakti.
Apa yang terjadi, seperti sebuah kepastian yang tak dapat diingkari.
Dewa yang terusir dari Suralaya, telah mengetahui di mana letak akhir hidupnya.
Dan kepada Lanang setelah ia menurunkan ilmunya walau sebenarnya Lanangseta sendiri takut menanggung re-siko yang telah terjadi itu.
yakni membunuh gurunya.
Tetapi penyesalan memang seperti borok, yang apabila kering tetap meninggalkan bekas.
Jadi, La-nangseta berkeras hati untuk tidak menelan penyesa-lan.
Ketika ia melangkah meninggalkan pondok di le-reng Bukit Dewa, ia telah menyimpan penyesalan itu di lubuk jiwanya, dipendam bersama kemelut yang akan dihadapinya nanti.
Ia teringat kepada Kirana, tapi ia juga teringat ka-ta-kata Prabima.
Kirana sudah tidak perawan lagi.
Ki-rana telah mengkhianati cintanya.
Kirana kejam dan tak tahu bagaimana cara kasihan kepada orang lain.
Bagi Lanangseta, Kirana perlu belajar mengenai kasih.
Tapi benarkah sejauh itu kekejaman Kirana? Be-narkah ia telah menyerahkan keperawanannya kepada Prabima? Lanang dalam kebimbangan.
Ia sendiri tak tahu apakah Kirana saat ini sudah menikah resmi dengan Prabima, atau pergi memuaskan diri bersama pemuda imut-imut itu? Tak tahu apakah Kirana Sari masih mempunyai cinta kepada Lanangseta? Memang tak tahu bagaimana nasib Kirana yang te-lah terserang racun rindu itu, Lanang pun tak tahu? Apakah kepergian Kirana yang tergiur oleh cerita tentang lumut bercahaya itu juga bisa dipakai alasan bagi Lanang, untuk menuduh Kirana telah serong dan mengadakan pertemuan sembunyi-sembunyi dengan Prabima? Haruskah pemuda tampan berikut kepala kain emas itu dimusnahkan? Apakah Ludiro tak bisa menangani Prabima? Malaikat Pedang Sakti dapat menjawab semua per-tanyaan itu.
Kisahnya sungguh membuat seseorang akan mengerti sulitnya melangkah dalam kebenaran dan kesucian.
T A M A T Scan/E-Bo k.
Abu Keisel Juru Edit.
Kucing Listrik
Pendekar Cambuk Naga Racun Puri Iblis Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long