Welas Asih Tak Terkalahkan 2
Welas Asih Tak Terkalahkan Karya M mep TWL Bagian 2
Kemudian gadis ini cepat-cepat bangkit berdiri masuk kegubuknya, lalu merebahkan diri ketempat-tidurnya.
Malam telah larut, namun Oen Hong Kiauw belum juga bisa tertidur..
Kendall matanya dipejam-pejamkannya, tetapi sebegitu jauh hatinya tetap tak mau tidur.
Pikirannya terbang melayang- layang keangkasa kealam khajal, yang akhirnya sampailah kepada pemuda pujaan hatinya, Lay Ting Hok.
Ketika itu, seolah-olah pemuda ini datang, lalu mengajak duduk didepan pondoknya.
Dengan disinari sang bulan-purnama yang memancarkan sinarnya yang lembut, kedua muda-mudi ini duduk berdampingan dengan mesranya.
Mereka berdendang me lagukan lagu cinta-asmara yang suaranya mengalun 'tinggi ke-cakrawala, menembus gumpalan awan ke Kajangan para Dewa-dewa, yang diterima oleh sang Dewa Asmara.
Kemudian kembalilah suara ini turun ke Majapada, lalu diterimalah oleh kedua asjik-masjuk ini lagi.
Dan tiba-tiba tangan pemuda itu lantas memeluk tubuh sang dan dengan mesranya.
Tetapi Oen Hong Kiauw lepaskannya, dan ......
"bruk", badan Oen Hong Kiauw jatuh dari tempat-tidurnya. Mendengar suara barang yang terjatuh ini, ayahnya bangun dari tidurnya dibarengi dengan rasa kaget bukan kepalang. Dan dengan tergopoh-gopoh ia datang ketempat asalnya suara, sedang saat itu anaknya nampak sudah duduk ditepi ranjangnya. Dengan terengah-engah, ayah nya bertanya .
"Ada apa; nak ?"
"Oh, ti tidak apa-apa, a ajah", jawab gadis ini dengan gugup dan tersekat-sekat. Lalu sambungnya lagi .
"Mung mungkin aku mimpi, lantas ja jatuh, ayah !"
"Oooo, kalau begitu tak apalah Sekarang tidur lagi saja", sahut ayah nya dengan perasaan lega Subuh mulai mendatang, ajam2 pun berkokok bersaut-sahutan, seakan-akan membangunkan manusia-manusia supaya tidak lupa akan tugas kewajibannya. Oen Hong Kiauw bangun dari tidurnya merasa kaget, karena memang agak kesiangan ketimibang biasanya, sebab hampir sema'am suntuk ia tak bisa tidur lelap. Ia melihat ayah nya telah duduk dikursi dan telah mengenakan pakaian kerjanya yang koyak- koyak itu. Dengan gugupnya, Oen Hong Kiauw lantas pergi kedapur untuk memasak air, tanpa terlebih dulu membersihkaa badannya. Tetapi segera dicegah oleh ayahnya, seraya katanya .
"Biarlah nak, tak usah kau repotrepot memasak air, karena ayah telah minum air teh sisa kemarin", kata ayah nya dengan nada suara yang iba-kasihan terhadap anaknya. Lantaran iapun tahu, bahwa semalam anaknya memang kurang tidur. Lalu katanya lagi.
"Sekarang aku akan pergi kesawah, baik-baiklah menjaga rumah! Dan apabila sianak tuan-tanah itu datang lagi, katakanlah bahwa aku pergi untuk mencari pinjaman uang, guna membayar sewa tanahnya itu", pesan ayah gadis ini sambil melangkahkan kaki keluar rumah. Kini tinggallah Oen Hong Kiauw dirumahnya seorang diri. Ia merasa kesepian dan sangat kuatir, jangan-jangan anak si tuan-tanah itu datang lagi, dan ia tak tahu apa yang akan terjadi. Hatinya menjadi ciut dan takutnya bukan kepalang, karena siapakah yang akan membelanya jikalau ia digoda dan dibuat permainan oleh sibajul-buntung itu? Tetapi, ya apa boleh buat, lantaran kalau ia pergi lantas siapa yang menjaga rumahnya, dan siapa pula yang menanakkan nasi untuk ayah nya? Untuk menghilangkan kerisauan hatinya, ia segera mengambil pakaian yang koyak-koyak untuk dijahit dan ditambalnya. duduklah ia didekat jendela rumahnya. Tiba-tiba, terdengarlah ketukan pintu dari luar. Dengan hati yang berdebar-debar dan gemetaran, lantaran mengira bahwa yang datang ini ntentulah sianak tuan.tanah itu, maka bangkitlah ia dari duduknya. Dengan harap-harap cemas, ia mendekati pintu lalu membuka- nya. Dan ia tertegun sebentar tak bergerak, bagaikan patung saja layaknya. Lantas diusap-usapnya matanya, yang seolah-olah tak percaya pada apa yang dilihatnya. Sebabnya, yang berdiri didepan pintu ini, tak lain dan tak bukan, adalah si pemuda Lay Ting Hok, yang semalam dilamunkannya. Dengan agak heran karena sikap sigadis yang aneh itu, pemuda inipun segera mengucapkan .
"Selamat pagi, nona "
"Oh, seselamat pa pagi, Engko", jawab Oen Hong Kiauw dengan gagap-gagap. Kemudian "Marilah, silahkan masuk!"
"Terima kasih", sahut Lay Ting Hok seraya melangkah masuk. Sesudahnya si pemuda masuk, sikap serta gerak-gerik sidara nampak berubah jadi canggung dan gugup, saking girang bercampur malu. Makanya lantas kasak-kusuk serba salah, pergi kesana-pergi kesini, tak keruan juntrungnya. Ketika mempersilahkan duduk tamunya, yang disodorkan bukannya kursi, tetapi temyata keliru keranjang ! Menyaksikan segalanya ini, keruan saja siperjaka jadi sampai- sampai tak bisa menahan tertawanya. Demi merasa ditertawai, maka sigadis semakin malu-lah ia dibuatnya, sehingga pipinya kemerah- merahan yang semakin menambah cantik 'bukan kepalang. Kemudian ia imengambil kembali keranjang itu untuk diganti dengan kursi rotan yang sudah reyot karena saking tuanya, sembari mempersilahkan tamunya duduk. Menghadapi tamunya ini, Oen Hong Kiauw membungkam seribu bahasa, pikirannya pepat tak tahu apa yang harus dikatakan, sedangkan kepalanya menunduk tak berani memandang ta-munya yang ketika itu selalu memperhatikannya. Mestinya banyaklah hal- hal yang akan dituturkannya, tetapi mulutnya bagaikan tersumbat saja, sehingga bibirnya yang mungil dan merah bat delima merekah itu hanya komat-kamit saja tak bersuara. Dasar pemuda ini seorang yang bijak, maka seolah-olah ia telah dapat membaca segala apa yang terkandung dalam kalbu si gadis- ayu ini, maka lantas Lay Ting Hok-lah yang memulai berbicara .
"Oh, kiranya Lo Pek telah pergi kesawah, karena temyata cuma adik sendiri yang ada dirumah".
"Betul Engko, ia telah pergi semenjak pagi-pagi buta", jaiwab Oen Hong Kiauw seperlunya saja dengan muka yang masih menunduk, seraya tangannya mempermainkan 'benang sulaman yang akan digulungnya. ?Agaknya adik pandai juga menyulam, apakah betul demi- latian ?"
Seperti diingatkan, dengan tanpa menjawab gadis ini segera lari untuk mengambil hasil sulamannya yang tadi malam baru saja diselesaikannya.
Tetapi, dasar pikiran baru linglung, ia malah tertegun-tegun dimuka meja-makan didapur.
Setelah menanusin kekeliruannya, ia segera berbalik, dan kini barulah ia ingat bahwa hasil sulamannya itu, tadi malam ditaruh dibiliknya.
Dan dengan sebat ia lantas lari ke biliknya, kemudian dengan terenyum sedikit, sulaman ini lantas diserahkan kenada tamunya tengan tanpa kata- kata.
Demi melihat hasil sulaman yang memang sangat indahnya dan yang berlukiskaa bunga mawar itu, tanpa disadarinya tercetuslah pujiannya sipemuda.
"Ah, aku tak menduga, bahwa basil sulaman ini begini indahnya, sesuai pula dengan yang membuatnya ..!? Sungguh tepat pujian ini, sehingga merasuk kelubuk-hati si gadis yang membuatnya. Ia tersipu-sipu kemalu-maluan, pipinya yang montok-padat itu, dengan mendadak berubah menjadi merah- jambu, yang semakin menambah manis luar-biasa. Karuan saja, hati sipemuda semakin jadi kelabakan dibuatnya. Sebenarnya maksud kedatangan Lay Ting Hok kemari adalah untuk merundingkan sesuatu dengan Oen Hong Kiauw, yang sebelumnya kata-katanya telah diatur lebih dulu sedemikian rupa, yang hingga ia telah hafal. Tetapi entah mengapa, setelah berhadap- hadapan dengan orangnya, malahan kata-kata yang telah diatur rapih itu macet didalam dan tak mau keluar juga dari kerongkongannya. Iapun merasa heran, mengapa sekarang hatinya menjadi sekecil semut menghadapi seorang dara yang selalu di. Impi-impikannya ini sehingga segala isi hatinya yang akan dicurah- kan dihadapan kekasihnya ini masih tetap tersimpan didalam kalbunya. Setelah agak lama mengingat-ingat dan menenangkan pikiran, tiba-tiba teringatlah akan sesuatu yang dibawanya, yakni yang berupa lembaran uang emas disakunya, kemudian 'katanya. ?Adik Cu, sebetulnya aku merasa kasihan kepada ayahmu, karena seseorang yang telah berusia lanjut seperti ayah mu itu, mestinya sudah tidak boleh bekerja keras-keras memeras-tenaga yang hanya untuk mencari sesuap. nasi belaka".
"Kukira memang betul kata-katamu itu, Engko! Seharusnya ia sudah beristirahat tak perlu bekerja keras membanting tulang. Tetapi apa boleh buat, Engko, sebab ia bekerja keras sebenarnya terpaksa juga, karena tidak ada orang lain yang membantunya. Padahal, kendati ayah bekerja keras pada tiap-tiap harinya, namun hasilnya untuk makan saja tidak cukup. Apalagi kalau ia sama- sekali tidak bekerja, lalu bagaimanakah jadinya?", jawab Oen Hong Kiauw sambil air-matanya mengemberig dipelupuk matanya.
"Ya, memang itulah yang perlu kita pikirkan, dik! Sebab aku. pun tahu, bahwa biar bagaimanapun ayahmu membanting-tulang memeras-tenaga, tetapi kareha ia mengerjakan sawah orang lain yang sewa-tanahnya sangat berat, tentu saja hasilnya jauh daripada cukup! Sebaliknya biarpun hanya sepetak kecil saja sawah itu, tetapi miliknya sendiri, hasilnyapun akan lumajan juga", sahut Lay Ting Hok, dan berhenti sejenak sambil memikir-mikir. sambungnya lagi .
"Oleh kaiena itu dik, engkau jangan bersedih hati! Kini aku membawa beberapa lembar uang emas, usahakanlah supaja uang ini selain untuk melunasi hutang, juga buat membeli tanah untuk bersawah. Maka terimalah dengan hati terbuka, demi kebahagiaan hidup keluargamu selanjutnya!"
Sehabis kata, Lay Ting Hok lantas mengeluarkan pundit yang berisi uang emas dari sakunya, dan kemudian diletakkan diatas meja.
Walaupun dalam hatinya bukan main girangnya serta sangat bersjukur, namun Oen Hong Kiauw sebagai gadis yang tahu harga- diri, maka seolah-olah ia menolak.
pemberian itu, tetapi dengan sangat sopannya .
"Oh, Engko, sebelumnya kuucapkan terima kasih yang tak tethingga atas. pemberian itu! Tetapi maaafkanlah aku, bahwa dengan sangat menyesal aku tidak dapat menerimanya. Sebabnya, biar bagaimanapun juga aku masih mempunyai orang tua, jadi seyogjanya Engko berikan saja kepada ayahku, kalaupun Engko betul-betul ingin menolong keluargaku".
"Memang dik, tadinya akupun mempunyai pikiran demikian, yaitu menyerahkan uang ini kepada ayah mu. Tetapi lantaran aku kuatir kalaupun ayah mu akan menolaknya, maka lantas kuberikan kepadamu", jawab pemuda ini menegas, sambil ia membatin, bahwa gadis ini memang berhati sebab kendati miskin, ia tidak mata- duitan. Kemudian katanya lagi .
"Tetapi meski demikian, baiklah uang ini akan kuserahkan juga kepada ayahmu, dan nanti sore aku akan datang lagi kemari". Sementara itu, suara bergolaknya air mendidih didapur terdengar dengan jelas, sehingga mengganggu pula pembicaraan ini. Sebab, Oen Hong Kiauw pun segera bangkit dari duduknya, untuk menyiapkan teh panas bagi tamunya. Angin pagi meniup lembut, melewati jendela gubuk ini. Lalu masuklah kedalam dan xnemperrnain2kan rambut Oen Hong Kiauw yang panjang terurai itu, yang ketika itu sudah duduk-duduk lagi maenghadapi tamunya. Sedangkan diatas meja telah tersedia 2 cangkir teh panas, secangkir untuk siperjaka sedang secangkir lagi buat ia sendiri untuk mengiringi tamunya. Kedua asyik-masyuk ini hanya berdiam diri saja, tetapi hati mereka saling berpadu dengan mesranya, seolah- olah mereka dapat membaca isi hatinya masing-masing. Hanya kadang-kadang diseling dengan kerlingan mata yang celi dari sigadis ini sambil bersenyum-simpul manis sekali, sehingga membuat siperjaka jadi semakin keder hatinya. Mereka masing- masing membiarkan angan-angannya membumbung tinggi kecakrawala, yang seolah-olah keduanya telah menjadi sepasang suami-isteri yang penuh kebahagiaan, sehingga dianggapnyalah bahwa seantero jagat ini hanya mereka berdualah yang punya. Mereka tersedar dari lamunannya, tetapi tak terasa bahwa tahu- tahu matahari telah berada diatas gubuk itu, yang memancar-kan sinarnya yang amat terik. Kemudian Lay Ting Hok lantas meminta diri meski sebenarnya agak berat meninggalkan sang gadis yang telah mencuri hatinya ini. Begitu Dula keadaan Oen Hong Kiauw, ia sangat berat juga melepas sioerjaka yang menjadi tambatan hatinya itu. Setelah mengucapkan janji, bahwa nanti sore ia akan datang kemari lagi, Lay Ting Hok lalu bergegas-gegas meninggalkan gubuk tersebut. Sore hari itu, seperti biasanya Oen Kok Siang baru saja datang dari sawahnya setelah bekerdia sehari-harian. Pada waktu mana, orang tua ini sedang duduk-duduk dikursi reyotnya didalam gubuknya, sambil melamun memikirkan nasibnya yang Bakal datang yang mempunyai hari depan yang gelap-gulita. Lain halnya dengan anak-gadisnya yang ketika itu sedang duduk pula tidak jauh dari tempat duduk ayah nya. Ta dengan muka berseri-seri menandakan hatinya sedang bersuka, sambil sebentar- sebentar menengok keluar lewat jendela memandangi jalanan yang terbentang didepan gubuknya, yang seolah-olah menantikan sesuatu. Keadaan didalam rumah ini hening tak ada yang berbicara, masing-masing sibuk mengumbar lamunannya. Sekonyong- konyong pintu diketuk dari luar, dan gadis ini segera lari-lari kecil menuju kepintu penuh harap, karena mengira bahwa yang datang tentulah kekasihnya yang dinanti-nantikannya itu, yakni Lay Ting Hok. Tetapi, berbareng dengan membukanya pinta, tiba-tiba melon- catiah kedalam ketiga orang berseragam hitani yang bertopeng, yang masing-masing memegang golok dan pedang panjang. Seketika itu juga, Oen Hong Kiauw akan menjerit minta tolong, tetapi dengan sebat luar-biasa salah satu diantara orang yang bertopeng ini lantas meringkus sigadis sambil mulutnya disumbat dengan saputangan yang rupa-rupanya telah disediakan sebelumnya. Keruan saja sigadis ini lantas tak dapat bersuara, selain hanya meronta-ronta akan melepaskan diri dari cengkeraman orang itu, tetapi sia-sia belaka. Maklumlah hanya tenaga.seorang wanita yang lemah in1, tentu saja tak mampu melawannya. Sementara itu, kedua orang yang lainnya lagi dengan secepat- kilat lantas menyambar badan siorang tua yang sedang melamun itu. Dan tanpa mengenal ampun, punggung orang tua ini lantas ditotok kuat-kuat dengan gagang-pedang, keruan saja ia lalu mengaduh kesakitan terus tak sadarkan diri. Selanjutnya, kedua tangannya lalu diikat erat-erat kebelakang badannya, kemudian tubuhnya diseret dan diikat lagi pada tiang rumahnya. Kini Oen Hong Kiauw sudah tak berdaya lagi, karena kaki dan tangannya telah diikat erat-erat pula, yang selanjutnya di masukkan kekarung goni yang sebelumnya telah disediakan. Dan dengan hanya memakan waktu yang sangat singkat, gadis ini lantas digendong.keluar rumah. Sedangkan pintu gubuk itu lalu ditutup dari luar serta diberi palang dan diikat kuat-kuat, sehingga walaupun andaikata orang tua itu siuman kembali dan dapat terlepas pula dari ikatannya, toch ia tak akan dapat keluar rumah. Dengan sekejap-mata saja, gerombolan penjahat bertopeng ini telah lenyap dari pandangan mata samhil menggendong tubuh Oen Hong Kiauw yang dimasukkan kedalam karung itu, entah akan dibawa pergi kemana ? oOo ? Kini, marilah kita tengok keadaan sipemuda Lay Ting Hok dirumahnya. Sore itu, ia telah slap untuk pergi kerumah Ocri Kok Siang seperti apa yang telah pemah ia janjikan kepada keka-sihnya tadi pagi. Saat itu ia berpakaian mentereng sambil di pinggangnya menyengkelit sebuah golok, yang nampak emakin tampan dan gagah. Sedangkan disakunya telah tersedia beberapa lembar uang emas yang akan diberikan kepada ayah si gadis.. .Sambil bersiul- siul riang, ia lantas meninggalkan rumahnya menuja kearth jalan besar. Baru saja ia berjalan kirakira lima lie jauhnya, padahal saat itu ia sedang enak-enaknya memikirkan bagaimana nantinya ia harus berbicara dihadapan ayah Oen Hong Kiauw, sekonyong-konyong hujanpun turan dengan lebatnya. Keruan saja pemuda ini lantas bingung mencari tempat berteduh. Dan sedan kebetulan sekali, nampaklah olehnya sebuah Kelenteng tua yang sudah tak dipakai lagi, jang. terletak tidak jauh dari . situ. Kemudian, segeralah ia lari- lari kecil maenuju ke Kelenteng tersebut, dan selanjutnya berteduh diemperan Kelenteng yang sebagian besar gentengnya telah banyak yang pecah-pecah dan rontok. Sambil berteduh itu, Lay Ting Hok lalu melanjutkan memikirkan tentang bagaimana caranya ia harus berbicara diha. dapan ayah kekasihnya ini. Selagi enak-enaknya melamun, mendadak saja lapat-lapat ia dengar suara rintihan orang yang seakan-akan dicekik lehemya ataupun mungkin juga disumbat mulutnya. Memang daya-pendengaran sipemuda ini sangat tajant luar-biasa, karena ia memang memiliki ilmunya, sehingga dengan cepat dan tepat ia telah dapat menentukan dari mana datangnya suara itu, yang bagi pendengaran lumrah tak mungkin bisa mendengarnya. Dasar ia seorang pemuda yang usilan, yang sok ingin tahu tentang segala peristiwa yang ia dengar ataupun dilihatnya meski hal itu sebetulnya bukan urusannya. Maka berbareng dengan meredanya hujan. tanpa pikir panjang, Lay Ting flok lantas memetak ilmu entengkan-badan yang sangat tinggi tingkatannya. Dengan sekali menjejak tanah, melesatlah keatas badan si pemuda ini bagaikan terbang saja layaknya, yang tahu-tahu telah berada diatas genteng. Setelah meloncat-loncat dari atap keatap lainnya dengan tanpa bersuara sedikitpun, sampailah kini Lay Ting Hok berada diatas atap serambi-tengah Kelenteng tersebut, yang secara kebetulan ada beberapa genteng yang sudah retak-retak sehingga ia dapat melihat kebawah menyakslkan keadaan didalam. ruangan ini. Segera nampaklah olehnya ketiga sosok tubuh yang sedang mengelilingi sebuah karung yang terikat. Mereka ketiga-tiganya berseragam hitam dan memakai topeng, sedang dipinggang mereka masing- masing menyengkelit golok dan pedang panjang yang seorang bertubuh sedang, satunya lagi berbadan besar bagaikan sapi saja, sedangkan yang seorang lagi bertubuh kecil jangkung. Salah seorang diantaranya lalu membuka ikatan karung itu, dan berbareng dengan terlepasnya tali ikatan, muncullah sesosok tubuh yang terikat kaki-tangannya, sedang mulutnya disumbat dengan kain. Kiranya tubuh seorang wanita! Dan dengan sangat tergesa- gesa, tubuh ini lantas digotong oleh dua orang, yang selanjutnya dibawa masuk kesalah sebuah kamar Kelenteng, yang rupa-rupanya telah direncanakan dan dipersiapkan terlebih dulu sebelumnya. Kemudian kedua orang keluar dari bilik, sedang yang seorang lagi tertinggal didalam sembari mengunci pintu kamar ini dari dalam. Dan kedua orang yang keluar ini, lantas duduk-duduk didekat pintu itu, seakan-akan sedang berjaga. Lay Ting Hok tak sabar lagi, ia ingin tahu apa jg. diperbuat oleh orang yang ,berada didalam kamar. Cepat-cepat ia melesat, dan jatuh tepat diatas atap bilik itu. Dan dengan hati yang berdebar- debar, ia melihat kebawah lewat celah-celah genteng yang retak- retak sembari memetak ilmu pentajaman-penglihatan. Kemudian nampaklah kini dengan jelas apa yang terjadi didalam kamar ini. Pada saat itu, wanita yang terikat kaki-tangannya dan disumbat mulutnya ini, sedang dibaringkan telentang dalam keadaan masih pingsan. Ia dibaringkan dilantai beralaskan bekas pembungkusnya, sedangkan bajunya nampak koyak-koyak compang-camping, yang hingga bagian atas tubuh-nya yang terlarang ini kelihatan semua. Orang laki-laki yang berbadan sedang dan bertopeng Int, nampak tak sabar menyaksikan keadaan yang demikian itu. Dan dengan dibarengi oleh nafsu-binatangnya yang berkobar-kobar, lantas ia menghampiri tubuh ini, kemudian cepat-cepat ia melepaskan ikatankaki siwanita yang sudah tak .berkutik itu rupa- rupanya ia akan berbuat mesum, memperkosa tubuh siwanita yang sudah tak berdaya ini. Betapa terkejutnya anti sipemuda yang mengintip diatas genteng, sampai-sampai tak terlukiskan, demi melihatnya bahwa wanita yang akan diperkosa oleh si binatang ini, adalah Oen Hong Kiauw kekasihnya! Dan berbareng dengan terlepasnya tali ikatan- kaki sigadis yang dilepaskan oleh orang yang berto-peng itu, dengan kekuatan yang luar-biasa, Lay Ting Hok lantas menjejak atap yang diinjaknya. Sangatlah hebat akibatnya, sehingga atap ini runtuh dan hancur berantakan berjatuhan ke bawah. Dan tak kalah pula terkejutnya si orang bertopeng ini, lan-taran tak diduga sebethinnya bahwa akan terjadi suatu kejadian yang mengagetkan itu. Belum lagi ia tahu apa yang menyebab-kannya dan baru sibuk menduga-duga, sekonyong-konyong berkelebatlah suatu bayangan menyambar kepalanya. Dan secepat-kilat pula ia menghindar sambil menggulingkan badannya kelantai. Sesudahnya ia bangkit' lagi, segera nampaklah didepannya seorang pemuda tampan sedang bersiap akan menyerangnya lagi. Ketimbang didahului, ia ambil putusan untut menyerang lebih lulu, dan dengan sebat ia menghunus pedang-panjangnya lantas menikam kearah dada lawannya. Tetapi, temyata lawannya ini adalah lawan yang tangguh, sebab begitu ia diserang dan ditusuk dengan pedang ia lantas miringkan tubuhnya, sehingga serangan ini menumbuk udara kosong. Sesaat si orang bertopeng ini akan menarik pedangnya, mendadak-sontak pergelangan tangannya yang memegang pedang kena sabetan tangannya si petnuda tampan itu, sehingga pedangnya terlepas dan terpental jauh. Belum lagi ia dapat berdiri tegak, lawannya telah mengirimkan tendlangan kearah tulang-rusuk dengan dahsyatnya hingga menimbulkan kesiuran-angin keras. Tetapi siorang bertopeng ini dapat menghindar kesamping sambil menghantam punggung lawannya. Lay Ting Hok melihat tendangannya gagal dan kini malah berganti diserang, maka pukulan tangan lawannya yang tiba-tiba itu bukannya dihindarinya, melainkan dengan tenangnya malah menangkis dengan keduabelah. tangannya yang disilangkan keatas, dan "Prok", kedua-belah tangannya beradu. Hebat akibatnya, Lay Ting Hok dengan mempergunakan tipuan ini, selain ia telah dapat menangkis pukulan lawannha, bahkan dapat pula meminjam tenaga musuhnya untuk mementalkan kembali musuhnya itu, jadi lawannya ini seperti menubruk per saja layaknya, sehingga kalau lawannya memukul dengan keras, ia akan terpental pula dengan keras. Begitu juga keadaan orang yang bertopeng itu, begitu ia menghantam punggung lawannya dengan sekuat-tenaga, dan begitu pulalah ia lantas terpental jauh kebelakang sampai beberapa langkah, yang akhirnya jatuh telentang. Belum lagi ia bisa berdiri lurus, tiba-tiba "Plok, plok", punggungnya kena terhajar sampai dua-kali, sehingga ia terpelanting dan jatuh tengkurap tak berkutik lagi. Tatkala Lay Ting Hok akan membalikkan badan untuk menolong kekasihnya, sekonyong-konyong "Bruk", pintu kamar ini jatuh berantakan roboh kedalam Dan berbareag dengan robohnya pintu, muncullah kedua orang bertopeng yang tadi berjaga diluar, sambil masing-masing memegang pedang yang berkilat-kilat cahajanya. Dengan secara berbareng, kedua orang ini lantas menyerang bersama-sama kearah Lay Ting Hok. Menghadapi kedua lawan yang masing-masing bersenjata ini, padahal saat mana sebetuinya ia sudah sangat lelah setelah bertempur melawan musuhnya yang telah keok itu, maka Lay Ting Hok agak keripuhan juga. Maka cepat-cepat ia menghunus goloknya untuk menangkis serangan itu. Setelah beberapa gebrakan telah berlalu, kini tahulah Lay Ting Hok, bahwa lawan satunya yang berbadan besar ini, sebetulnya ilmu silatnya beluin begitu lihay. Terlintas dipikirannya, bahwa sebaiknya ia ditundukkan lebih dulu, dengan demikian nantinya hanya tinggal satu lawan satu. Memperoleh pikiran demikian, segeralah ia mulai menyerang dengan dahsyatnya kearah orang bertopeng yang berbadan besar itu. Dengan memperguna'kan tipu dan ilmunya yang sa-ngat lihay, maka baru satu gebrakan saja lawannya ini telah dapat dipukul rubuh. Kini lawannya tinggal seorang, tetapi kali ini ia menghadapi lawan yang tidak enteng, yang sangat tinggi ilmu silatnya. Maka didalam menghadapinya, Lay Ting Hok sangat hati-hati dan nampak serius. Pertarungan telah berjalan beberapa jurus lamanya, sedang kini nampak sekali Lay Ting Hok dibawah angin, sehingga sekarang sifatnya hanya mempertahankan diri belaka. Pada suatu ketika, pemuda ini mengadakan serangan balasan sambil goloknya berkelebat menikam kearah lambung lawannya. Tetapi siorang bertopeng yang bertubuh kurus-jangkung ini, mendapat serangan tersebut bukannya mengelak, sebaliknya pedangnya malah ditempelkan diatas golok Lay Ting Hok, yang hingga kedua senjata ini melekat jadi satu seperti ada besi beraninya. Dengan tidak enggerakkan badannya, orang bertopeng, ini lantas gerakkan tangan-kiri dan kaki-kanannya. Sambil tangan- kirinya digetar-getarkan dan kaki-kanannya diangkat, bersamaan itu Pula Lay Ting Hok merasakan, bahwa golok yang dipegangnya semakin bertambah berat, sedang ujung pedang lawannya kini menempel tepat pada gagang-goloknya. Kemudian nampak badan si orang bertopeng ini mendesak maju sambil berjongkok sedikit. Kini Lay Ting Hok merasakan seolah-olah golok yang dipegangnya seperti lebih satu kwintal beratnya, sehingga ia tak kuasa memegangi goloknya lebih lama lagi. Sementara itu matanya merasa berkunang-kunang, dan goloknya pun segera terlepas dari genggamannya. Dan berbareng dengan itu, kaki-kanan siorang bertopeng telah menyapu betis Lay Ting Hok yang hingga jatuh terpelanting kelantai. Selanjutnya orang bertopeng ini lantas mengayunkan tinggi-tinggi pedang- panjangnya untuk membabat leher lawannya. Saat itu Lay Ting Hok telah membatin .
"Kini tibalah saat-nya aku mesti mati! Oh, selamat tinggal kekasihku, aku mati demi kau ..
"
Ia telah memejamkan matanya rapat-rapat, dan sebentar lagi tentulah pedang lawannya itu telah memenggal lehemya.
Tetapi selama ini ia menjadi heran luar-biasa, karena meingapa pedang itu belum juga menyentuh lehemya? Cepat-;cepat ia membuka mata, dan terlihatlah olehnya siorang bertopeng itu telah jatuh terpental keluar kamar.
la semakin heran dibuatnya, lantaran melihat pula bahwa kedua orang yang bertopeng yang telah dirobohkan itu, kini telah siuman dan buru-buru merat bersama- sama orang bertopeng yang hampir saja memenggal lehemya itu.
Merekapun lantas angkat kaki-panjang meninggalkan Kelenteng tersebut sambil lari pontang-panting! Setelah Lay Ting Hok dapat berdiri lurus, kemudian "Ha- haahahaaa ..", terdengarlah suara tertawa riuh di belakangnya.
Sesudah ia menoleh, temyata yang tertawa ini adalah kedua sahabat-karibnya yang setia .
So Hok Sing dan Lo Cie Sian! Segera berlarilah ia menghampiri kedua kawannya itu sambil kedua-duanya dirangkul kuat-kuat.
Kemudian katanya.
"Oh, kawan-kawanku yang baik hati! Sungguh, suatu pertolongan yang sangat tepat waktunya, lantaran, andaikata terlambat sedetik saja, tentulah kalian tak mungkin dapat menjumpai aku lagi dalam keadaan masih hidup! Oleh karena itu, dengan hati yang tutus-ikhlas, aku mengucap terima kasih sebesar- besarnya atas pertolonganmu itu, yang hingga aku percaya, bahwa tak mungkinlah kiranya aku dapat membalas segala budi baik kalian itu !" ?Ah terima kasih kembali, Engko Lay! Ja-nganlah memikir jank bukan-bukan, karena memang sudah seharus-nyalah kita hidup didunya ini saling tolong-menolong-! Tentang mengapa pertolongan itu sampai tepat pada waktunya, adalah karena Kehendak Tuhan belaka, yang berarti Engko memang belum saatnya untuk meninggalkan dunia yang penuh pengkhianatan jawab So Hok Sing dengan penuh perasaan.
"Lalu, bagaimanakah mula-mulanya sehingga kalian bisa mengetahui kalau aku berada didalam Kelenteng ini ?", tanya Lay Ting Hok.
"Oooo, tentang itu! Tapi sejogjanya nanti saja setelah kita berada ditempat yang agak aman, yang hingga kita bisa saling mengisahkan pengalamannya masing-masing dengan leluasa! yang lebih penting, sekarang Engko Lay supaya segera menolong nona Oen!", jawab Lo Cie Sian mengingatkan. Bersambung ke
Jilid II (Tamat). WELAS ? ASIH tak terkalahkan
Jilid - II Oleh. M. mep -T. W. L. Sumber Pustaka Juru potret / Sean Distribusi & Arsip . . . Aditya Indra Jaya Awie Dermawan Yon Setiyono WELAS ASIH tak terkalahkan
Jilid 2 RINGKASAN CERITA
Jilid KE-I Thio King, sianak tuan-tanah, dengan didampingi oleh algojonya .
Kwan Ling, telah datang kegubuk Oen Kok Siang (Si..
petani miskin).
Maksud kedatangannya ialah, selain untuk menagih hutang sewa-tanah kepada orang tua ini, juga akan memancing ikan diair keruh.
Yaitu dengan jalan akan membebaskan segala hutang Oen Kok Siang, asalkan anak gadisnya yang bernama Oen Hong Kiauw diserahkan kepadanya.
Oleh karena dari pihak anak gadisnya tak mau menjalani untuk dipakai sebagai pembayar hutang, sedangkan Oen Kok Siang sen did juga tak menyetujuinya, maka orang tua ini lantas dipu kuli sampai pingsan oleh Kwan Ling..
Mendadak saja, datanglah seorang penolong, yakni seorang pemuda tampan Lay Ting Hok namanya.
Maka lantas terjadilah suatu pertarungan sengit antara sipenolong, itu de-ngan anak situan- tanah beserta algojonya.
Akhirnya kedua pemuda bengal fili dapat dirobohkan oleh Lay Ting Hok, dan larilah mereka berdua terbirit- birit pulang kerumahnya, dengan disertai rasa dendam-kesumat yang tak ada taranya.
Sementara itu, kedua muda-mudi, yakni Lay Ting Hok dan Oen Hong Kiauw, hati masing-masing saling mendekat, yang akhirnya tumbuhlah menjadi rasa cinta yang mendalam diantara mereka berdua.
Mengenai kedua pemuda bengal Thio King dan algojonya, setelah mereka berdua keok bertanding melawan Lay Ting Hok, maka segeralah hal ini diberitahukan kepada ayahnya Thio King, yaitu si raja tuan-tanah Thio.
Betapa marahnya situan tanah ini, demi mendengar kisah anaknya, maka dengan dibantu oleh pengawal pribadinya .
Ting Ljang, salah seorang yang banyak akal- jahatnya, meteka berempat pun segera mengatur siasat untuk membalas-dendam.
Sementara itu, antara sigadis Oen Hong Kiauw dan pemuda tampan Lay Ting Hok, hati masing-masing saling mengandung rindu yang tak putus-putusnya.
Dan untuk memupuk tumbuhnya rasa cinta ini, sipemuda lantas menawarkan bantuannya yang berupa beberapa lembar uang emas, yang selain dimaksud untuk melunasi hutang ayah sigadis, pun juga supaya dibelikan tanah untuk bersawah bagi si petani tua yang miskin itu.
Tetapi dengan hormat, bantuan ini ditolak oleh sigadis, dengan maksud supaya uang tersebut diserahkan saja kepada ayahnya.
Dan setelah berjanji bahwa sore harinya pemuda ini akan datang lagi untuk menyerahkan uang itu kepada ayah sigadis, maka Lay Ting Hok lantas pulang meninggalkan kekasihnya.
Janji telah tiba, dan sore itu sigadis maenunggu dengan penuh harap kedatangan kekasihnya.
Tetapi ternyata yang datang bukanlah sipemuda pujaan hatinya, melainkan ketiga orang gerombolan bertopeng, yang akhirnya malah menculik sigadis ini, sedangkan ayah nya diikat erat-erat pada tiang rumahnya, dan pintu rumahnya ditutup serta diikat dari luar.
Kembali diceritakan tentang pemuda tampan Lay Ting Hok.
Sore itu ia bermaksud akan memenuhi janjinya, yakni akan menyerahkan uang emas tersebut kepada ayah sigadis.
Tetapi ditengah jalan ia kehujanan, dan kemudian berteduh disebuah Kelenteng tua yang sudah tak terpakai lagi.
Tak tahunya, di Kelenteng ini ia mergoki kekasihnya akan diperkosa oleh seorang yang bertopeng.
Dan disini Lay Ting Hok lantas bertempur mati-matian melawan ketiga orang bertopeng yang telah menculik kekasihnya itu.
Dua orang lawannya telah dapat dirobohkan, tetapi untuk melawan yang satunya lagi, yakni yang berbadan kurus-jangkung, sipemuda ini hampir saja tewas dipenggal lehemya oleh lawannya ini.
Kemudian datanglah suatu pertolongan yang sangat tepat waktunya, yaitu dari kedua sahabat-karib Lay Ting Hok, yang masing-masing bernama So Hok Sing da.n Lo Cie Sian.
HALAMAN 54 HILANG Diingatkan demikian, Lay Ting Hok lantas berbalik badan, dan menghampiri badan kekasihnya.
Tetapi pada saat itu, Oen Hong Kiauw telah siuman kembali dalam keadaan tengkurap, yang mungkin merasa malu karena ketika itu boleh dibilang su-dah hampir tak berbaju lagi, sedangkan keduabelah tangannya masih terikat kebelakang.
Kemudian setelah sumbatnya dibuang, lalu ikatan tangannya segera dilepaskan oleh Lay Ting Hok.
Walaupun kini tangannya telah terlepas dan sudah tak terikat lagi, namun sigadis ini tetap masih menelungkup juga.
Oleh karena Lay Ting Hok tahu soalnya, maka seketika itu juga ia lantas melepas bajunya untuk ditrapkan dibadan kekasihnya, sehingga ia sekarang hanya tinggal berbaju dalam saja.
Setelah memakai baju yang kebesaran ini, Oen Hong Kiauw lantas duduk dan berkata .
"Engko, Lay-! Baiknya Engko lekas-lekas pergi ke rumahku, tolonglah jiwa ayah! Tentang diriku, janganlah dipikirkan lagi, karena si iblis-iblis itu telah maerat dari sin?'. Ketiga pentuda ini lantas berunding sebentar, dan kemudian diputuskanlah, bahwa Lo Cie Sian ditugaskan untuk mengawal Oen Hong Kiauw, sedangkan Lay Ting Hok beserta So Hok Sing akan mendahuluinya kerumah sigadis untuk menolong ayah nya. Hari mulai gelap, pelita-pelita rumah diperdesaan telah mulai dinyalakan. Tatkala itu kedua orang muda Lay Ting Hok dan So Hok Sing telah sampai didepan pintu rumah ayah Oet Hong Kiauw, lantaran kedua penauda ini masing-masing memang telah. memiliki ilmu entengkan badan yang amat lihaynya, Sehingga secepat itu pula ia sampai kegubuk tersebut. Sesudahnya Lay Ting Hok membuka palang-pintu yang diikat dari luar cepaujepat kedua nemuda ini lantas masuk kedalam gubuk. Ketika itu Oen Kok Siang telah tersedar dari pingsannya, tetapi lantaran mulutnya disumbat sedang badannya diikat erat-erat pada tiang rumahnya, maka iapun tak dapat berbuat apa-apa kecuali hanya matanya saja yang kelap-kelip sangat mengharukan bagi siapa yang melihatnya. Menyaksikan keadaan yang demikian, kedua pemuda lantas serentak maju untuk membuka sumbat serta melepaskan ikatannya. Sesudah ia terlepas dari ikatannya, pertama-tama yang ditanyakan ialah mengenai nasib anak-gadisnya. Dan setelah mendapat jawaban, bahwa anaknya didalam keadaan selamat, bare nampak lega-lah hatinya, kemudian katanya .
"Sjukur, sjukurlah kalau ia selamat! Oh anak muda, betapa terima kasihku kepada kalian yang telah berulang kali menyelamatkan jiwa anakku dan juga nyawaku! Kiranya aku, tak mungkin dapat membalasnya, kecuali hanya Tuhanlah jant akan membalas atas segala budisluhurmu yang welas-asih terhadap sesamamu !", kata orang tua ini sambil air-matanya mengalir membasahi pipinya yang sudah kisut-kisut itu, mungkin saking terharu dan girangnya karena anaknya terlepas dari mau bahaya, yang hingga meski ia seorang laki-laki sampaisam-sampai mengeluarkan air-matanya juga.
"Oooo, terima kasih kembali, Lo Pek! Memang sudah sewajibnyalah, bahwa manusia hidup didunya ini hares saling tolong-menolong", jawab Lay Ting Hok merendah. Sesaat kemudian, muncullah Oetn Hong Kiauw bersama Lo Cie Sian dengan bergegas-gegas masuk kedalam rumah. Ketika gadis ini nampak ayahnya selamat tak kurang suatu apa, iapun segera lari menubruk ayah nya. sambil menangis dengan-nyaringnya, sedang ayah nyapun tak dapat membendung keluar nya sang air-mata yang hingga ayah dan anaknya ini lalu bertangistangisan, yang membuat hail terharu bag. siapa yang melihatnya. Begau pula ketiga orang muda ini lantas menundukkan kepalanya, sebagai pertanda hati merekapun turut terharu pula. Setelah tangisnya mereda, barulah mereka menceritakan pengalamannya masingmasing.
"Yang paling mengherankan hatiku sampai sekarang ini, ialah bahwa mengapa dengan tiba-tiba saja adik Lo muncul di Kelenteng ma itu? Dan mengapa pula kalian sampai tahu, bahwa aku berada di Kelenteng tersebut, padahal sebelumnya kita tidak pemah berjanji ?", tanya Lay Ting Hok menyatakan keheranannya.
"Tentang hal itu, sebetulnya jawabnya gampang saja, Eng-ko Lay! Begini . Semenjak Engko Lay memukul rubuh kedua pengecut nu, aku berdua lantas selalu berjaga-jaga dan mengawasi Engko Lay, sebab siapa tahu kedua orang iblis ini lantas membalas- dendam kepadamu !", jawab So Hok Sing.
"Dan ketika Engko Lay keluar dari rumahmu dengan berpakaian mentereng sambil bersiul-siul riang itu, sebenarnya aku berdua telah membuntuti dari kejauhan!", sambung Lo Tile Sian sembari tersenyum menggoda.
"Wah, kalau begitu cilaka hidupku ini, karena selalu dimata- matai, sehingga tentunya semua rahasiaku telah kalian ketahui!", jawab Lay Ting Hok membanyol. Dan seketika itu juga meledaklah tertawa riuh, yang hingga ayah dan gadisnya ini juga turut tersenyum lebar. Malam itu juga, dengan disaksikan Pula oleh kedua sobatnya, maka Lay Ting Hok lantas mengeluarkan pundi-pundi yang berisi beberapa lembar liana emas dari sakunya, yang kemudian ditaroh diatas meja, seraya katanya .
"Lo Pek, sebetulnya maksud kedatanganku jauh-jauh dari rumahku sampai kemari ini adaiah untuk menyerahkan beberapa lembar uang emas ini, yang supaya dipergunakan untuk melunasi hutang sewa-tanah, sedang sisanya harap dibelikan tanah untuk bersawah", kata Lay Ting Hok sambil mengingat-ingat. Kemudian lanjutnya .
"Karena menurut pendapatku, kalau hutang sewa-tanah itu telah dibayar, sedang Lo Pek sudah tidak mengerjakan lagi tanah-sewaan tersebut, maka mereka, si tuan-tanah Thio beserta anaknya itu, tak punya alasan lagi untuk berbuat semau-maunya saja terhadap keluarga Lo Pek! Oleh karenanya, terimalah uang yang tak seberapa ini dengan senang dan hati terbuka, lantaran uang ini kuberikan dengan hati yang tulus ikhlas pula !"
Sejenak orang tua ini diam tak berkutik, tetapi air-mukanya nampak berseriseri sebagai pertanda hatinya sangat bersuka-cita.
Dan mungkin saking girangnya pulalah maka ia lantas tak kuasa menjawabnya, sedang dipelupuk matanya mengembeng airmata kegirangan.
Betapa tidak, karena bagi kaum tani, tanah adalah nyawanya! Setelah sesaat lamanya orang tua ini masih tetap membungkam saja, Oen Hong Kiauw sudah tak sabar lagi, lantas menyiku tangan ayah nya yang masih menunduk dan agaknya sedang melamun itu.
Keruan saja, setelab kena siku anaknya, orang ma ini jadi kaget dibuatnya.
Kemudian segera teringatlah, bahwa ia harus menjawabnya, lalu katanya.
"Oh, anak-muda yang berbudi luhur dan welasasih!Betapa girang dan terima kasihku kepadamu atas segala pertolongan yang telah kau ,berikan keoada keluargaku yang sengsara ini, sampai- sampai aku tak bisa melukiskannya dengan katakata maupun perbuatan ......", jawab orang tua ini dengan terus-terang, karena hatinya memang sederhana, sehingga ia tak pandai berpura-pura. Sesudahnya bungkusan uang itu diterimanya, lalu disimpanlah baik- baik. Selesai penyerahan uang, segera berundingiah ketiga orang muda itu untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya. Merekapun bersepakat untuk secara bergilir meronda dan menga- wasi keselamatan orang tua beserta anak-gadisnya ini ? oOo ? Sepekan telah berlalu, dan kini Oen Kok Siang telah meng garap sawah miliknya sendiri. Sudah barang tentu, sekarang bekerjanya lebih giat dan hatinya pun selalu riang-gembira, lantaran hutang telah tiada, sedang sawahpun kepunyaan sendiri. Lay Ting Hok seringkali datang menengoknya, sedang selama itu pula belum pemah terjadi hal-hal yang mencurigakan yang sekiranya akan mengancam keselamatan keluarga Oen. Dengan demikian, perondaan terhadap rumah keluarga Oen oleh ketiga pemuda itu, kini telah sedikit dkendorkan. Perhubungan antara Lay Ting Hok dengan Oen Hong Kiauw semakin hari semakin bertambah eratnya, sehingga kini tumbuk. lah menjadi cinta-kasih yang murni dan semakin subur. Hari mulai jadi gelap, dan kini malam pun tiba. Malam malam gelap, tiada berbulan, tetapi langit yang hitam letkam penuh ditaburi bintang-bintang yang bergemertanan. Angkasa. kelihatan jauh sekali, amat luasnya, sedang angin pegunungan meniup sejuk amat nyaman. Dan didepan gubuk Oen Kok Siang, nampaklah dua sosok tubuh yang sedang duduk rapat-ranat disebuah bangku panjang yang sudah tak keruan bentuknya. Mereka merasakaa, seolah-olah seantero jagat jang maha besar ini, hanya mereka berdualah Mereka merasakan pula semacam kegaiban alam dari malam kelam ini, kegaiban alam yang turun dari angkasa hitam berbintang, dan datang turun dibawa angin pegunungan yang sejuk itu kepada mereka, kepada kedua orang muda lain jenis yang duduk berdampingan ini. Mereka merasa seakan-akan menjadi anak pilihan alam yang berkuasa, dan didalam pelukan kegaiban malam itu, mereka merasa sentausa, dijaga dari segala mara. bahaya dan ancaman. Siapakah gerangan, kedua asyik-masyuk yang sedang duduk dengan tenteramnya itu? Mereka berdua, tak lain dan tak bukan, adalah Lay Ting Hok dan kekasihnya Oen Hong Kiauw. Setelah sesaat lamanya mereka hanya berdiam diri saja, kemudian terdengarlah suara berbisik-bisik .
"Oh dik Oen yang manis, aku cinta kepadamu!". Dan sebagai jawabannya, gadis yang berada disampingnya pemuda itu, hanyalah memeluk bahu sinemuda ini.
"Nanti setelah rumah ini kita perbaiki, kita kawin !", kata Lay Ting Hok lagi dengan berbisik pula. Dan gadis inipun tetap tak menjawabnye juga, hanya pelukannya saja yang semakin erat, sedang dadanya dirapatkan ketuhuh sipemuda itu. Sedang asjik-asjiknya mereka bercumbu-rayu dengan mesranya, tak tahulah mereka berdua, bahwa pada waktu itu keenam mata sedang mengintipnya dengan sinar kebencian yang meluap-luap. Dan sekonyong-konyong "Plok", kepala sipemuda dipukul dari belakang dengan potondan kayu besar. Kemudian .
"Aduh mati aku ", teriak pemuda ini lalu ambruk jatuh dari temnat duduknya seraya memegangi kepalanya yang memancurkan darah, dan dibarengi pula dengan jerit ngeri yang memilukan hati dari mulut sigadis. Gadis ini menjerit sambil maenubruk tubuh kekasihnya yang sudah tak bergerak lagi itu. Tetapi sebelum ia menyentuh tubuh kekasihnya, tahu-tahu badannya terangkat keatas, dan kemudien diringkus serta mulutnya disumbat, sedangkan kaki-tangannya diikat erat-erat. Sementara itu Oen Kok Siang, yang ketika itu sedang tiduran diranjang, demi mendengar jeritan anakgadisnya, cepat-cepat ia keluar rumah sambil mencabut palang-pintu. Setibanya di tempat ribut-ribut, orang tua ini lantas mengayunkan palang. pintunya kearah kepala salah seorang bertopeng yang memegang golok. Dan dengan sebat pula, orang ini mengelak seraya menya bet bahu Oen Kok Siang dengan goloknya. Lalu "Aduh ", sambat si orang tua lantas jatuh terguling, guling menggelepar ditanah badannya berlumuran darah, seperti seekor ayam yang disembelih Melihat ayah nya menggelepar dan herlumuran darah darah, gadis ini memastikan bahwa ayah nya telah melayang jiwanya. Oen Hong Kiauw lantas menjerit panjang, meski tak keluar suaranya karena mulutnya disumbat. Nampak kepala sigadis ter kulai kesamping pundaknya, dan pingsan tak sadarkan diri. Kemudian badan Oen Hong Kiauw yang sudah tak berkutik lantas dimasukkan kedalam karung yang telah disiapkan lebih dulu. Dan sesudah diikat ujungnya, maka segera dibawa pergi oleh ketiga orang penjahat itu, seperti membawa beras saja. Kini diceritakanlah, kedua pemuda sehidup semati yang tak pemah berpisah itu, yakni So Hok Sing dan Lo Cie Sian. Tat kala itu mereka baru saja pulang ciari rumah Suhunya Liang Hong, untuk menerima ajaran-ajaran ilmu silat baru yang di pelajari oleh gurunya itu. Mestinya mereka akan terus pulang kerumahnya masing-masing, tetapi entah mengapa, seketika itu juga mereka lantas teringat rumah Oen Kok Siang seraya hatinya terasa berdebar-debar, seolah-olah sedang menghadapi suatu bahaya besar. Bagaikan terkena tarikan besi berani saja layaknya keduanya lantas berbalik jalan menuju kearah rumah ayah sigadis itu. Malam semakin gelap, suasana pedusunan semakin hening- sepi, hanya suara gonggongan anjing saja yang kadang-kadang terdengar lapat-lapat dari jauh menyeramkan, membikin bulu kuduk meremang. Dan kedua orang muda ini sampailah kini dipekarangan rumah orang tua itu. Mereka tertegun sejenak didepan pintu, karena pintu gu-buk ini dalam keadaan terluka, namun didalamnya sunyisepi tak ada suara sedikitpun. Mereka mulai curiga, lalu masing-masing menghunus goloknya, sambil berjingkit-jingkit masuk kerumah. Kedua orang muda ini merasa heran, lantaran dise genap penjuru rumah ini telah habis dikitari dan dijelajahi, namun mereka tak menjumpai apa-apa. Mendadak saja mereka mendengar lapat-lapat orang merintih dan mengerang kesakitan disamping rumah. Dengan hati-hati, merekapun burusburu keluar rumah seraya mempersiap-kan senjatanya. Dan terhhatiah oleh mereka, sesosok tubuh yang merangkak-rangkak disamping sebuah bangku-papnjang samba mengerang kesakitan.
Dara Pendekar Bijaksana Karya OPA Pedang Bunga Bwee Karya Tjan ID Rase Emas Karya Chin Yung