Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP Bagian 2
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya dari Stevanus SP
Ia juga ingin melihat seperti apa tampang Tan Wan-wan yang didesas-desuskan sebagai wanita tercantik di seluruh negeri itu...
Begitulah, bergegas Ang Bik menghadap Jenderal Gu di ruangan aula tangsi militer itu, tempat Jenderal Gu biasa menceramahi perwira-perwiranya.
Ketika Ang Bik masuk, Gu Kim-sing sedang duduk santai di kursinya yang berlapis kulit macan.
Melihat Ang Bik melangkah masuk, ia langsung menyongsongnya dengan pertanyaan.
"Mana tawanan-tawanannya?"
Ang Bik memberi hormat dan menjawab.
"Jenderal, entah kenapa dan bagaimana caranya, keterangan tentang tawanan-tawanan itu ternyata juga sampai ke kuping Jenderal Li Giam, sehingga Jenderal Li lebih dulu mengerahkan pasukan untuk mengamankan tempat itu dan menghalang-halangi pasukan kita melaksanakan tugas...."
Begitulah Ang Bik tidak mau mengakui hal itu sebagai akibat kecerobohannya, yang kurang teliti memeriksa sasaran-operasinya sehingga sampai tidak tahu kalau Tan Wan-wan dan lainlainnya itu dilindungi Li Giam, melainkan dengan enak Ang Bik memberi alasan "entah bagaimana keterangan itu sampai ke kuping Jenderal Li Giam".
Dan seperti biasa, Gu Kim-sing yang malas berpikir itu langsung saja menelan laporan itu mentah-mentah, dan dengan gusar ia menepuk meja keras-keras sambil berkata.
"Bajingan benar Si Li Giam itu! Tajam benar kupingnya sehingga bertindak mendahului aku, merebut pahala yang sudah di depan mataku!"
Ang Bik diam-diam lega karena ke-kurangtelitiannya tidak diungkit-ungkit lagi. Rencana untuk menjatuhkan Ciong Ek-hi juga mulai disusun di otaknya. Katanya.
"Jenderal, aku datang untuk melaporkan bahwa saat ini terjadi bentrokan di tempat itu, antara orang-orang kita dengan orang-orangnya Li Giam yang ingip mempertahankan orang-orang yang akan kita tangkap...."
Gu Kim-sing membenci Li Giam (dan sebaliknya), namun Gu Kim-sing sejauh-jauhnya masih menghindarkan bentrokan terbuka dengan Li Giam.
Pertama, karena tahu bahwa pasukan Li Giam masih merupakan pasukan terbaik di bawah pemerintahan Kaisar Tiongong.
Kedua, karena tahu bahwa bagaimana pun yang paling disayangi Kaisar Tiong-ong di antara tiga panglimanya adalah Li Giam.
Kalau Kaisar "terpaksa"
Mengangkat Lau Cong-bin menjadi Panglima Tertinggi, itu hanya untuk menepati janjinya. Kini Gu Kim-sing dilapori kalau pasukannya bentrok dengan pasukan Li Giam, terkejutlah ia.
"Gila! Di mana otak Ciong Ek-hi sehingga dia membenturkan orang-orang kita dengan orangorangnya Li Giam?"
Ang Bik bersorak gembira dalam hati mendengar Gu Kim-sing menyalahkan Ciong Ekhi, maka Ang Bik pun "menyiram minyak"
Untuk lebih mengorbankan kemarahan Jenderalnya ini.
"Jenderal, aku sudah beri peringatan kepada Komandan Ciong, bahwa kita bisa mundur dulu sambil cari akal untuk merebut pahala dari tangan Li Giam tanpa kekerasan, eh, rupanya Komandan Ciong tidak menggubris aku, dan nekad menggerakkan pasukan. Entah bagaimana sekarang pasukan kita?"
Gu Kim-sing bangkit dari kursinya dan berjalan mondar-mandir di ruangan itu, nampaknya bingung mengambil keputusan.
"Kalau aku tidak menarik orang-orangku sekarang, permusuhanku dengan Li Giam akan terbuka, dan pastilah aku yang akan disalahkan oleh Kaisar.
Tetapi kalau aku tarik orangorangku, si bajingan Li Giam itu pastilah dia menjadi besar kepala karena menyangka aku takut kepadanya...."
"Jenderal, berhadapan dengan orang kesayangan Kaisar seperti Li Giam itu, lebih baik sedikit mengalah dan pada kesempatan lain akan menghantam sehingga dia jatuh. Lebih baik orang-orang kita diperintahkan mundur dulu, dikatakan takut oleh Li Giam tidak apaapa. Nanti kita cari akal untuk merobohkan dia."
Dalam kebingungannya, lagi-lagi Jenderal Gu langsung menuruti usulan Ang Bik itu.
Segera diberinya Ang Bik sehelai leng-ki (bendera perintah) untuk melaksanakan perintah itu.
Sementara itu, di tempat pertempuran, pasukan Gu Kim-sing memang sudah megapmegap di bawah tekanan pasukan Li Giam.
Dalam kemarahan yang tidak terkendali, pasukan Li Giam telah membunuh hampir separuh dari pasukan Gu Kim-sing.
Namun Ciong Ek-hi sendiri masih ngotot bertahan di tempat itu, dan masih bertempur sengit melawan Yo Kian-hi.
Pada saat orang-orangnya Gu Kim-sing hampir tertumpas habis itulah Ang Bik datang menunggang kuda sambil membawa leng-ki di tangannya, berseru kepada Ciong Ek-hi.
"Komandan Ciong, Jenderal Gu memerintahkan untuk mundur!"
Apa boleh buat, Ciong Ek-hi terpaksa meneruskan perintah itu kepada orangorangnya.
Orang-orangnya pun bergerak mundur, sementara Yo Kian-hi juga memerintahkan orang-orang agar tidak menahannya.
Prajurit-prajurit bawahan Gu Kim-sing itu pun meninggalkan tempat itu sambil membawa teman-teman mereka yang luka dan yang tewas.
Dengan penuh sesal Yo Kian-hi mendekati Ciong Ek-hi dan berkata.
"Kakak Ciong, seandainya kita dapat menahan diri, dan tidak larut dalam aliran kemarahan, semuanya ini tidak perlu terjadi. Sesama prajurit Sri Baginda saling bunuh."
Ciong Ek-hi cuma mendengus dan berkata dingin.
"Andaikata kau tidak menghalanghalangi tugasku, ini takkan terjadi. Dan sekarang meskipun aku mundur, bukan berarti urusannya selesai sampai di sini saja."
Yo Kian-hi cuma menarik napas.
Ciong Ek-hi membawa prajurit-prajuritnya ke tangsinya, dan ketika melewati warung Go Liong yang tutup-rapat, karena larut malam, Ciong Ek-hi memperhatikan lekat-lekat sebatang sapu yang disandarkan di sebelah pintu.
Ciong Ek-hi mengangguk sendirian, tanpa berkata apa-apa.
Yang harus disiapkan sekarang adalah memberi penjelasan kepada Jenderal Gu.
* * * Dini-hari, sebentar lagi fajar akan menyingsing dan kota Pak-khia diselimuti kabut yang rendah sampai hampir serendah tanah.
Kota itu sudah sunyi kembali setelah pertempuran di dekat rumah Tan Wan-wan usai, bahkan peronda-peronda di jalanan pun agaknya malas berkeliling.
Namun di saat-saat menjelang pagi seperti itu, justru di bagian dapur dari warungbakminya Go Liong alias Goh Lung itu muncul kesibukan.
Warung sebentar lagi bukan, dan pembantu-pembantu Goh Lung mulai menyalakan api dan menghangatkan beberapa bahan masakan.
Saat seperti itulah justru Goh Lung sedang asyik berbincang-bincang dengan Kat Hu-yong dan Hulan Biao di kamar belakang, kamar tidur Goh Lung.
Mereka berbincang dengan bebas meskipun di rumah itu juga ada tiga pegawai warung, sebab pegawai-pegawai warung itu pun gadungan, mata-mata Manchu seperti juga Kat Hu-yong bertiga.
Kat Hu-yong sedang bercerita tentang perkelahian di dekat rumah Tan Wan-wan, dan merencanakan bagaimana supaya perpecahan antara Li Giam dan Gu Kim-sing itu semakin parah dan agar Li Giam tersingkir oleh Gu Kimsing atau Lau Cong-bin.
Namun Goh Lung masih agak ragu-ragu, tanyanya.
"Bagaimana kalau perhitungan kita meleset? Pertentangan antara Li Giam dan Gu Kim-sing mengakibatkan tersingkirnya Gu Kimsing dan bukan Li Giam? Ini harus kita perhitungkan. Kalau Li Giam yang tetap di Pakkhia dan Gu Kim-sing yang tersingkir, akibatnya malah kebalikan dari yang kita harapkan. Kalau posisi Li Giam tambah kuat, ia akan menerapkan disiplin hebat kepada pasukanpasukannya yang lain, dan pasukan itu akan menjadi semakin kuat dan kelak menjadi rintangan hebat buat pasukan kita. Kemungkinan tersingkirkan Gu Kim-sing bisa saja terjadi, sebab Li Giamlah yang paling disayang oleh Li Cu-seng..."
"Itulah sebabnya kita matangkan rencana dengan menunggu datangnya Ha Cao untuk kita mintai pendapatnya. Dia mungkin bisa memberi usulan yang baik, sebab bukankah katamu tadi, dia menduduki tempat sebagai orangkepercayaan Gu Kim-sing?"
Hulan Biao yang tadi ikut "menonton"
Pertempuran bersama-sama Kat Hu-yong, menonton dari atap rumah penduduk, ikut menimbrung.
"Ya, dia tadi yang memimpin orang-orangnya Gu Kim-sing."
"Aku sudah memasang isyarat di depan pintu, dan kalau dia pulang ke tangsinya tentu akan melewati warung ini dan melihat isyaratku. Tetapi mungkin belum berkesempatan datang kemari, sebab sebagai Ciong Ek-hi tentunya dia harus memberi laporan pertanggungjawaban dulu terhadap si kerbau Gu Kim-sing. la harus datang kemari tanpa menimbulkan kecurigaan siapa pun."
Baru saja Goh Lung selesai berkata demikian, pintu samping halaman belakang sudah diketuk dengan ketukan ber-isyarat.
"Itu dia datang..."
Desis Goh Lung sambil bangkit meninggalkan tempat itu untuk membukakan pintu.
Tidak lama kemudian ia sudah kembali ke ruangan kecil itu bersama Ha Cao yang sehari-harinya dikenal dengan Ciong Ek-hi.....
Begitu melihat Kat Hu-yong, Ha Cao tercengang karena tidak menyangka pimpinan tertinggi jaringan mata-mata Manchu itu sendiri yang muncul di situ.
Ha Cao cepat-cepat berlutut secara prajurit Manchu di hadapan Kat Hu-yong.
"Maaf, Kun-su, aku tidak menyangka kalau di tempat ini akan menjumpai Kun-su. Aku sangka hanya akan ada pertemuan biasa saja."
Kata Kat Hu-yong tenang.
"Bangkitlah dan ambil tempat duduk, aku juga baru datang tengah malam tadi."
Ha Cao pun duduk, mereka jadi berempat.
"Kun-su, aku mohon maaf baru bisa datang kemari hampir pagi seperti ini, sebab meskipun aku tahu dan melihat isyarat di depan pintu itu tadi tengah malam lebih sedikit. Aku harus...."
Kat Hu-yong mengibaskan telapak tangannya, menyuruh Ha Cao diam, lalu berkata.
"Aku tahu. Aku melihat kau memimpin prajurit-prajurit bawahan si Jenderal Kerbau, dan aku senang melihat kau berhasil mempertajam permusuhan antara Li Giam dan Gu Kim-sing. Aku tahu kau tentu harus menjelaskan dulu kepada si Jenderal Kerbau di tangsinya sehingga baru sekarang bisa pulang kemari..."
"Kun-su melihat pertempuran tadi."
"Ya. Bersama Hulan Biao."
"Kun-su setuju tindakanku tadi?"
"Sangat setuju. Pertempuran itu akan semakin meretakkan hubungan Li Giam dan si Jenderal Kerbau. Apalagi ada korban jiwa di kedua pihak yang akan memanaskan suasana. Kita harus terus memanaskannya sampai sasaran kita tercapai, yaitu tersingkirnya Li Giam oleh Gu Kim-sing atau Lau Cong-bin."
Lalu secara singkat Kat Hu-yong menguraikan kepada Ha Cao tentang rencana menyingkirkan Li Giam dengan memijam tangan Jenderal-jenderal lainnya, sekaligus mengusahakan Bu Sam-kui membelot ke pihak Manchu.
"Nah, sekarang tinggal kita mengarahkan suasana ini untuk menuju tersingkirnya Li Giam.
Ha Cao, kau punya usul?"
"Maaf, Kun-su, saat ini kedudukanku justru sedang terancam. Baru saja aku dicaci-maki oleh si Jenderal Kerbau karena pertempuran itu. Kalau kedudukanku masih seperti kemarinkemarin, barang-kali aku bisa menghasut Jenderal Kerbau agar makin memusuhi Li Giam, tetapi sekarang..."
"Berbahayakah kedudukanmu?"
"Tidak terlalu, namun barangkali si Kerbau sedang lebih senang mendengarkan orang lain daripada aku. Tidak sedikit perwira-perwira dibawahku yang mengincar kedudukanku sebagai orang-kepercayaan si Kerbau. Dan peristiwa malam tadi dijadikan alasan oleh orang-orang yang mengincar kedudukanku untuk menjelek-jelekkan aku..."
"Sekarang ini kira-kira siapa yang paling didengar oleh si Kerbau?"
Demikianlah para mata-mata Manchu itu enak saja menyebut Gu Kim-sing dengan sebutan si "Jenderal Kerbau"
Dan bahkan istilah ejekan itu singkat lagi menjadi "si Kerbau"
Saja.
"Seorang perwira bawahanku, namanya Ang Bik. Dulu dia sering menjilat pantatku, tetapi sekarang tiba-tiba saja dia bersiap-siap mendongkel aku dan menjadi orang kesayangan si Kerbau..."
Mendengar Ha Cao menyebut Ang Bik, Goh Lung tiba-tiba tertawa.
"Kenapa Kakak Goh tertawa?"
Tanya Ha Cao. Sahut Goh Lung santai.
"Ang Bik si pembual itu adalah langganan warung bakmiku. Sebentar kalau warung ini buka, dia akan datang bersama teman-temannya untuk membual. Kalau Kun-su setuju, aku bisa mengurusnya."
Bersambung
Jilid III Sumber Image . Koh Awie Dermawan first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu 11/07/2018 14 . 55 PM ( Bagian II )
Jilid III Karya . STEVANUS S.P. pelukis . WIDODO Percetakan & Penerbit CV "G E M A"
Mertokusuman 761 RT 02 RW VII Tilpun 35801 - SOLO 57122 KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA 2 Karya . STEFANUS S.P.
Jilid III "G oh Lung, apa yang kau maksud dengan mengurusnya? Membunuhnya?"
"Bukankah dia membahayakan kedudukan Saudara Ha?"
"Jangan dibunuh. Gertak saja dia, agar dia menjadi penyalur suara kita ke kuping si Kerbau."
Ha Cao tertawa dan berkata kepada Goh Lung.
"Benar apa yang Kun-su katakan, Kakak Goh. Biar dia menggantikan aku menjadi orang keduanya si Kerbau. Memangnya Kakak Goh menganggap aku berat kehilangan kedudukan itu? Yang penting, rencana kita berjalan lancar." Goh Lung mengangguk-angguk.
"Kalau begitu, baiklah. Hari ini juga akan aku rubah Ang Bik si pembual itu menjadi saluran suara kita ke kuping si Kerbau..."
Ketika itu, sudah terdengar suara pintu-pintu warung dibuka oleh orang-orangnya Goh Lung. Juga suara di jalanan. Ha Cao lalu berkata.
"Kun-su, kalau Kun-su ijinkan, aku akan pergi dari sini sebelum jalanan menjadi terlalu ramai. Aku harus berubah kembali menjadi Ciong Ek-hi...."
Sebelum Kat Hu-yong menjawab, Goh Lung lebih dulu bertanya.
"Kau bertugas hari ini?"
"Tidak. Hari ini aku hanya ingin tidur sepanjang hari."
"Kalau begitu, tidur saja di sini, Saudara Ha. Ada banyak tempat di sini. Sebab kalau kau keluar dari warung ini sekarang, di jalanan juga sudah banyak orang. Orang-orang di jalanan akan heran melihat Tuan besar Perwira Ciong Ek-hi justru keluar dari warung ini justru pada saat warung ini dibuka dan belum ada orang lain yang datang?" Kat Hu-yong juga tertawa, katanya.
"Benar, istirahatlah seharian di sini. Kalau kau keluar dari sini pagi-pagi, orang akan menyangka tempat ini sebagai rumah bordil dan rusaklah nama Go Liong si pengusaha warung bakmi nomor satu di Pak-khia..."
Keempat orang di ruangan itu tertawa serempak.
Namun Ciong Ek-hi alias Ha Cao menurut dan dia mengambil sebuah kamar di belakang, dekat tempat menyimpan kayu bakar dan arang untuk istirahat.
Sementara Kat Hu-yong sendiri tidak beristirahat, malah merencanakan akan berjalan-jalan keliling kota Pak-khia.
Namun Goh Lung memberinya peringatan.
"Tetapi harap Kun-su berhati-hati. Musuh besar Kun-su juga berada di kota ini, kalau-kalau berpapasan di jalan."
"Musuh besar? Siapa?"
"Kang-thau-siang (Gajah Berkepala Baja) Ko Ban-seng."
"Oh, dia? Jangan khawatir. Dulu ketika aku berkelahi dengan dia, aku memakai kedok yang menutup rapat seluruh wajahku. Sekarang seandainya berpapasan muka dengan aku, belum tentu dia kenal aku..."
Sementara itu, Goh Lung si perwira pasukan rahasia Manchu itu pun berubah menjadi Go Liong si pemilik warung bakmi paling enak di Pak-khia, yang tiap hari menjamu gratis para perwira tetapi tidak juga bangkrut-bangkrut.
Dengan wajah ramah, Go Liong mulai duduk di belakang meja kasirnya dan melayani beberapa pembeli.
Para perwira belum muncul sepagi itu, mereka tentu masih tidur dan baru bangun setelah matahari naik tinggi nanti.
Kata Go Liong mengejek dalam hati.
"Hemm, macam ini disiplinnya pasukannya Gu Kim-sing, mereka akan terlindas hancur oleh pasukan kami biarpun jumlah mereka lebih banyak...."
Namun ketika hari sudah agak siang, dan perwira-perwira Gu Kim-sing bermunculan di warung itu, toh Go Liong menyambutnya dengan sikap seperti biasanya.
Ramah, terlalu ramah dan bahkan menjilat.
Dengan suara riuh-rendah perwira-perwira itu memesan makanan-makanan dan minumanminuman mereka, kadang-kadang pakai menggebrak meja segala.
Sehingga bukan cuma pegawai-pegawai Go Liong yang hilir-mudik dengan sibuk, bahkan Go Liong sendiri ikut sibuk.
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian perwiraperwira itu menikmati hidangan gratis mereka dengan "riuh-rendah"
Pula dalam paduan suara mulut yang berkecap-kecap mengunyah makanan, denting sumpit dan mangkuk, dan suara percakapan mereka. Tetapi Go Liong belum juga melihat Ang Bik.
"Apakah si pembual itu akan datang hari ini?"
Go Liong bertanya-tanya dalam hati.
"Biasanya dia sudah muncul, apakah dia sedang mengalami apa-apa?"
Begitulah, kalau biasanya Go Liong diamdiam merasa muak akan bualan Ang Bik, kali ini dia malah "merindukan"nya.
Namun meskipun agak siang sedikit, akhirnya Ang Bik muncul juga.
Kemunculannya kali ini juga lain daripada biasanya, Ang Bik kelihatan lebih pongah, wajahnya menampilkan rasa bangga luar biasa.
Biasanya dia juga pongah dan bangga, tetapi khusus hari ini memang terasa lebih dari hari-hari biasanya.
Perwira-perwira yang ada di warung itu biasanya memang bawahan-bawahannya Gu Kim-sing semua, sebab tempat itu dekat dengan tangsi-tangsi pasukannya Gu Kim-sing yang letaknya menggerombol di salah satu bagian kota Pak-khia.
Dan perwira-perwira itu sudah mendengar tentang kejadian semalam meskipun hanya sepotong-potong.
Maka demi melihat Ang Bik muncul, perwira-perwira itu berebutan menyambut salah-seorang perwira kepercayaan Jenderal Gu itu, menyambut dengan puja-puji yang dahsyat.
"Ini dia, pahlawan yang mempermalukan Li Giam!"
"Kakak Ang, sungguh tindakanmu semalam menurunkan derajat kecongkakan Li Giam!"
"Ya, dia tentu tidak menyangka bahwa kita bisa bergerak menuju sasaran dengan begitu cepat, sehingga karena dia merasa tersaingi lalu tidak segan-segan lagi menggunakan kekerasan!"
"Meskipun kita harus menarik diri, bukan berarti kita kalah."
"Betul! Pihak kita hanyalah ingin menjaga persatuan agar tidak sampai terjadi perpecahan. Tetapi orang-orangnya Li Giam-lah yang tidak tahu diri. Mereka telah mengejar dan menewaskan banyak orang-orang kita!"
"Seandainya Kakak Ang tidak bersikap bijaksana, pastilah Yo Kian-hi dan pasukannya sudah digilingnya lembut-lembut! Masih untung bocah she Yo itu, Kakak Ang tidak menumpahkan kemarahannya. Mari kita minum buat Kakak Ang!"
Demikianlah perwira-perwira Gu Kim-sing itu tidak malu-malu memuji-muji pihak sendiri sehingga Go Liong yang mengetahui kejadian sebenarnya diam-diam menjadi mual dalam hati.
"Beginilah kwalitas orang-orangnya Gu Kim-sing. Lupa bahwa semalam merekalah yang terbirit-birit mencawat ekor dari hadapan orang-orang Li Giam yang garang..." Meski dalam hati berpikir demikian, Go Liong mampu bersandiwara dengan baik dan ikut-ikutan menjilat Ang Bik. Bahkan memerintahkan orang-orangnya untuk menambah araknya. Kemudian beberapa perwira penjilat yang "tahu lebih dalam"
Antara anggota staf Jenderal Gu terjadi persaingan untuk menjadi "orang paling dekat"nya Jenderal Gu, mulai memancing-mancing.
"Kakak Ang, lalu bagaimana dengan Kakak Ciong Ek-hi?"
Ang Bik yang semula terlihat bersuka-ria menikmati sanjung puji rekan-rekannya, kini bersikap lebih hati-hati.
Maklumlah, pokok pembicaraan mulai mengenai Ciong Ek-hi yang bagaimanapun sampai detik itu masih menduduki jabatannya sebagai Kepala-staf di bawah Jenderal Gu, meskipun semalam Ciong Ek-hi dimarahi Gu Kim-sing karena menarik pasukannya setelah menjadi parah dihajar orang-orangnya Li Giam dan setelah ada surat perintah dari Jenderal Gu sendiri.
Ang Bik berambisi menggantikan kedudukan Ciong Ek hi, namun mengingat masih kuatnya kedudukan Ciong Ek-hi, juga mengingat barangkali di antara perwira-perwira di warung bakmi itu kalau-kalau ada "ular berkepala dua", maka Ang Bik tidak berani langsung menjelek-jelekkan Ciong hk-hi dan memuji diri sendiri, melainkan cuma berkata.
"Yah, agaknya Jenderal Gu menyesali karena Kakak Ciong mengambil sikap yang kurang tepat, sehingga banyak prajurit kita terbunuh..... tetapi itu bukan urusanku."
Percakapan kemudian kembali melanturJantur tak keruan arah tujuannya.
Dan seperti biasanya, percakapan didominasi oleh Ang Bik yang membual tentang pengalamanpengalaman hebatnya yang cuma karangannya sendiri itu.
Tidak ada perwira yang berani beranjak selama Ang Bik berbicara, biarpun kebelet kencing, takut menyinggung perasaan si "calon Kepala-staf' yang lagi mendapat angin dari Jenderal Gu sendiri itu.
Tetapi ketika si pencerita sendiri yang kebelet, cerita pun dihentikan dulu, dan Ang Bik melangkah ke kamar kecil di belakang warung.
Ketika itulah Go Liong merasa tiba saatnya untuk "menggarap"
Ang Bik agar berguna bagi rencana pihaknya.
Maka dengan gerakan yang amat wajar dan sama sekali tidak mencurigakan, Go Liong juga bangkit meninggalkan belakang meja kasirnya dan menyusul Ang Bik ke belakang.
Ang Bik yang berdiri di depan tong peturasan di kamar kecil itu baru saja hendak melepas celananya, ketika pintu didorong dari luar dan mengejutkannya, sehingga Ang Bik berkata.
"He, ada orang...."
Go Liong tertawa dingin dan menjawab.
"Aku tahu ada orang. Justru aku ingin bicara denganmu, Ting Hoan-wi..."
Ang Bik terkesiap karena nama aslinya dipanggil, nama asli yang bisa membawa bencana buat kedudukannya bahkan nyawanya.
Sambil meredakan debar jantungnya, ia perlahan-lahan memutar tubuh, tentu saja batal memelorotkan celananya melainkan mengikat kembali tali celananya.
Dan alangkah tercengangnya melihat orang yang bersandar di ambang pintu kamar-kecil itu adalah Go Liong yang beberapa menit yang lalu masih menjilatnya dengan kata-kata sanjungan di ruang depan.
Namun kini sikap Go Liong sama sekali berubah, ia begitu garang dan tatapan matanya membuat Ang Bik bergidik.
Ang Bik masih berusaha menutupi identitas aslinya, sambil digagah-gagahkan ia berkata.
"Go Liong, kepada siapa kamu bicara?"
"Bukankah cuma kita berdua di ruang sempit ini? Kepada siapa lagi kalau bukan kepadamu, Ting Hoan-wi?"
"Namaku adalah Ang..."
"Namamu Ting Hoan-wi. Kau adalah saudara seperguruan Helian Kong, panglima Beng yang masih bergerilya melawan pemerintah baru sekarang ini. Kau juga saudara sepupu Tan Wan-wan, perempuan bekas selir Kaisar Congceng. Kau juga pernah menjadi begundalnya si menteri dorna Co Hua-sun di masa jayanya dulu. Nah, cukup dengan ketiga kenyataan ini kalau sampai ke kuping Gu Kim-sing maka kepalamu akan protol dalam sekejap mata. Dan aku punya seribu satu jalan untuk menyampaikannya ke kuping Gu Kim-sing...."
Ang Bik alias Ting Hoan-wi kontan mandi keringat dingin.
Beberapa hari yang lalu, seorang perwira bawahan Gu Kim-sing yang kariernya sedang menanjak, tiba-tiba saja dihukum mati karena ketahuan kalau pamannya pernah menjadi perwira dinasti Beng.
Apalagi Ang Bik yang sudah saudaraseperguruan Helian Kong, ya saudara sepupu Tan Wan-wan, ya pernah bekerja bagi Co Huasun, itu menteri dorna di jaman dinasti Beng, maka tidak salah kata-kata Go Liong bahwa Gu Kim-sing akan memenggal kepalanya tanpa pikir panjang.
"Siapa kau?"
Tanya Ang Bik sambil mengintai lewat atas pundak Go Liong, mengintai ke lorong di depan kamar-kecil itu, mencari kesempatan yang baik yang dapat menyelamatkannya. Go Liong tertawa.
"Untuk sementara, anggap saja aku tetap Go Liong si tukang-bakmi kegemaranmu. Tetapi kau masih bisa menikmati bakmiku, kalau untuk selanjutnya kau menuruti kami. Kalau tidak, orang tak berkepala mana bisa menikmati bakmi."
Hal itu sedikit banyak sudah diduga oleh Ang Bik. Cara memeras dan menekan semacam itu juga sering ia lihat ketika "masih bernama"
Ting Hoan-wi dan menjadi begundal Co Hua-sun dulu.
Namun Ang Bik belum mau menyerah.
Ia memang pembual dan suka membesarbesarkan cerita tentang kehebatan dirinya, namun dia memang agak hebat juga.
Dan ia tidak gampang dibekuk dan dituntun begitu saja seperti kerbau dicucuk hidungnya oleh komplotan "antah-berantah"
Ini.
Maka ketika Go Liong kelihatannya mengendor kewaspadaannya, secepat kilat Ang Bik tibatiba menumbukkan pundaknya ke dada Go Liong sambil tangannya mencabut belati yang disembunyikan di dalam lengan bajunya.
Tujuannya untuk membungkam Go Liong yang sudah lancang menyebut-nyebut identitas dan hubungan lama yang ingin disembunyikan, atau setidak-tidaknya menarik perhatian rekanrekan di dalam warung akan terjadinya keributan.
Tak terduga, meski ruang itu sempit, Go Liong dapat berkelit selicin belut, namun juga tidak membiarkan Ang Bik nyeplos keluar kamar kecil itu.
Tahu-tahu tangannya sudah berhasil memelintir tangan Ang Bik yang memegang belati, entah dengan cara bagaimana, dan segera Ang Bik merasakan betapa kuatnya lengan-lengah si tukang bakmi gadungan itu, lebih kuat dari Ang Bik yang tiap sore latihan.
Menyusul lutut Go Liong naik menghantam perut Ang Bik, sehingga Ang Bik terdorong masuk kembali ke dalam kamar kecil dan bahkan terduduk di atas tong kayu tempat pe-turasan.
Ang Bik pucat wajahnya.
Ancamnya.
"Kau tahu apa akibatnya perlakuan kasarmu terhadap seorang perwira seperti aku?"
Go Liong mengusap-usap dagunya sambil terkekeh-kekeh.
"Buat orang lain sajalah ancamanmu itu. Buat kelompok kami, Gu Kim Tak terduga, meski ruang itu sempit, Go Liong dapat berkelit selicin belut, namun juga tidak membiarkan Ang Bik nyeplos keluar kamar kecil itu. sing atau bahkan si Kaisar-kaisaran Tiong-ong itu sendiri pun takkan dapat merontokkan biarpun sehelai bulu tubuh kami. He-he-he, kami ada dimana-mana, bergerak di manamana, dan bahkan kalau mau bisa saja mendapatkan batok kepala Gu Kim-sing malam ini juga. Apa susahnya?"
Ang Bik terbungkam, terpengaruh gertakan Go Liong dan gentar.
Sementara Go Liong tahu waktunya tidak banyak, perwira-perwira di ruang depan bisa bertanya-tanya kalau Ang Bik terlalu lama ke belakang dan mungkin akan ada yang menyusul ke belakang.
Karena itu, Go Liong langsung saja ke tujuannya.
"Ting Hoan-wi, dengar baik-baik, mulai sekarang kau adalah perkakas kami, dan kau tidak bisa menghindari ini kecuali ingin rahasia masa lalumu diketahui Gu Kim-sing. Malam ini juga cita-citamu untuk menggantikan kursi Ha... eh, maksudku Ciong Ek-hi, akan terlaksana. Orang-orang kami akan mengusahakan itu. Tetapi kau harus mengadu atau memanasi hati Gu Kim-sing agar dia mendepak Li Giam dari kedudukannya, sampai Li Giam tergusur, mengerti?"
Terpaksa Ang Bik mengangguk-angguk.
Sebetulnya dia merasa lebih tenang kalau Gu Kim-sing tidak lagi mengutik-utik Li Giam, sebab Ang Bik khawatir Gu Kim sing sendirilah yang bakal terjungkir dari kursinya mengingat Li Giam adalah kesayangan Kaisar Tiong-ong.
Kalau Gu Kim-sing terjungkir, tentu Ang Bik akan kehilangan seorang atasan "ideal", tentunya ideal menurut ukuran Ang Bik, yaitu gampang dibohongi dan tidak segan-segan mengobral hadiah.
Tapi di bawah tekanan Go Liong, Ang Bik hanya bisa mengangguk-angguk, sambil diam-diam berkata dalam hati.
"Hem, apa pun yang akan kukatakan kepada Jenderal Gu, toh kau takkan mendengarnya...."
Tak terduga Go Liong seperti dapat membaca pikirannya dan berkata.
"Jangan coba-coba menyimpang dari yang sudah kami tetapkan. Sudah tentu aku takkan diperbolehkan masuk ke markas si Jenderal Kerbau, tetapi kami akan tahu kalau kau menyimpang dari rencana kami. Sekali kau menyimpang, kau akan terkejut melihat luas dan rapinya jaringan kami."
Ang Bik mengangguk-angguk pula. Go Liong tertawa, keluar dari kamar kecil itu untuk menutup pintunya, sambil berkata.
"Silakan buang air kecil, Tuan Ang...."
Go Liong pun kembali ke ruang depan, ke belakang meja kasir sebagai pemilik warung yang ramah tamah, dan seringkali ikut bersuara menyanjung Gu Kim-sing.
Tak lama kemudian Ang Bik pun menyusul ke ruang depan.
Dia masih melangkah dengan gagah dibuat-buat, namun yang matanya tajam akan melihat betapa Ang Bik agak lesu seperti kehilangan semangatnya.
Bahkan setelah menikmati hidangannya, dia berpamitan dari perwira-perwira lainnya untuk pulang ke tangsi dengan alasan tubuhnya penat.
Ia tidak melanjutkan cerita dahsyatnya yang belum selesai.
Go Liong, seperti biasa, membungkukbungkuk dengan amat sopan dan mengantarnya sampai ke pintu.
Tetapi Ang Bik diam-diam merasa ngeri t.erhadap tukang-bakmi gadungan ini.
Perwira-perwira lain heran melihat Ang Bik begitu cepat pulang.
Berbagai dugaan pun dikemukakan.
"Barangkali ia sakit perut."
"Barangkali juga memang penat seperti yang dikatakannya. Bukankah semalam ia ikut bertempur melawan orang-orangnya Li Giam? Dan kemudian berbincang dengan Jenderal sampai hampir pagi?"
"Sudahlah, lebih baik kita nikmati bakminya saja?" * * * Mentari pagi itu belum menyorot terlampau panas. Daratan rumpun yang tidak jauh dari kota Pak-khia itu masih tersaput embun yang berkerlipan di ujung rerumputan dan dedaunan sebelum lenyap bersama dengan menghangatnya mentari. Saat itulah serombongan penunggang kuda melintas dan dengan kejam menginjak dan menghancurkan rerumputan yang baru saja bangun dari tidurnya. Penunggang-penunggang kuda itu adalah Jenderal Gu Kim-sing dan pengawalpengawalnya. Yang berkuda paling dekat, dengan Jenderal Gu sekarang bukan lagi Ciong Ek-hi seperti biasanya, melainkan Ang Bik, tepat seperti "ramalan"
Go Liong.
Tetapi Ciong Ek-hi sendiri juga ikut dalam rombongan, meskipun berkudanya di belakang Ang Bik yang kini jadi atasannya.
Selain itu, masih ada belasan pengawal lainnya.
Hanya kali ini, mereka semua tidak ada yang berpakaian dinas.
Semuanya berpakaian preman.
Mereka menuju ke sebuah perkemahan di pinggir hutan, sebuah tempat yang sangat indah dengan bunga-bunga liarnya yang begitu rapat sehingga kalau dilihat dari atas bukit akan kelihatan seperti permadani maha-luas seribu warna.
Di tempat seindah itulah ada sebuah perkemahan, tempat Jenderal Lau Cong-bin, Panglima Tertinggi di bawah Kaisar Tiong-ong sedang berlibur.
Sebenarnya, semenjak kaum Pelangi Kuning berhasil merebut kendali pemerintahan dari dinasti Beng, Jenderal Lau yang terkenal senang berfoya-foya itu lebih banyak hari liburnya daripada hari kerjanya, urusan sehari-hari lebih banyak diserahkan kepada stafnya yang ada di Pak-khia, sedangkan Jenderal Lau sendiri menghabiskan waktu di tempat-tempat indah di luar kota seperti di daratan rumput itu.
Tentu saja demi keamanannya, karena masih banyak sisa-sisa pasukan dinasti Beng yang berkeliaran di luar kota, Jenderal Lau Cong-bin selalu diikuti pengawalan yang kuat.
Kalau orang mendengar kata "pengawalan yang kuat"
Maka akan langsung membayangkan sekelompok prajurit laki-laki berwajah angker yang mengelilingi Jenderal Lau rapat-rapat.
Namun perkiraan itu tidak benar untuk Lau Cong-bin.
Lau Cong-bin memang membawa lebih dari seribu pengawal laki-laki, namun mereka disuruh berkemah jauh-jauh dari dirinya, dan hanya bertindak atau menampakkan diri hanya bila mendapat isyarat, misalnya kalau Jenderal Lau terancam bahaya.
Sedangkan dua ratus pengawal yang dekat dengan Jenderal Lau ternyata adalah perempuan-perempuan muda yang cantikcantik.
Wajah-wajah ayu ini yang membuat Jenderal Lau betah "berlibur".
Dua ratus perempuan cantik itu tidak hanya berlatih ketrampilan sebagai pengawal seperti bertempur, memanah, menunggang kuda, memainkan senjata dan sebagainya, melainkan mereka juga "diprogram"
Untuk menyenangkan hati Jenderal Lau semaksimal mungkin.
Mereka pintar membuat masakan lezat, memijat, memainkan alat-alat musik, menari, dan bahkan kalau perlu sampai pelayanan pribadi di tempat tidur.
Kaisar Tiong-ong alias Li Cu-seng sebenarnya cemas melihat gaya hidup si Panglima Tertinggi yang semacam ini khawatir pemerintahannya yang belum sampai sebulan itu akan ambruk, namun ia tidak dapat menjilat ludahnya sendiri karena sudah terlanjur berjanji untuk memberikan kedudukan sebagai Panglima Tertinggi kepada siapa yang berhasil memasuki kota Pak-khia paling dulu di jaman perjuangan dulu.
Li Cu-seng ketika mengucapkan janjinya sudah membayangkan Li Giam-lah yang akan memenangkan sayembara itu, sebab pasukan Li Giam-lah yang paling cepat majunya ke arah kota Pak-khia dengan menghancurkan pasukanpasukan dinasti Beng di sepanjang jalan.
Tak terduga, pada akhirnya malah Lau Cong-binlah yang berhasil mendobrak masuk ke Pak-khia lebih dulu.
Maka Lau Cong-bin "terpaksa"
Diangkat jadi Panglima Tertinggi.
Ketika rombongan berkuda Jenderal Gu mendekat, sepasukan pengawal wanita Lau Cong-bin langsung bersiaga karena belum melihat jelas siapa yang datang mendekat itu.
Sederetan pengawal wanita berjongkok berderet rapat dengan perisai-perisai lebar mereka, sehingga jadi mirip sebuah benteng kecil, sementara pada baris kedua, di belakang "benteng"
Itu adalah pemanah-pemanah yang sudah memasang anak panah di tali busurnya dan tinggal menjepretkannya. Seorang wanita cantik lainnya, agaknya seorang komandan regu, berdiri dengan gagah sambil memanggul goloknya dan berteriak.
"Berhenti!"
Rombongan Gi Kim-sing berhenti. Ketika wanita yang menjadi komandan regu itu melangkah dekat dan mengenali Gu Kim-sing, ia memberi hormat dan berkata.
"Kiranya Jenderal Gu. Maafkan aku, Jenderal, tadi tidak kelihatan yang datang adalah Jenderal karena berpakaian preman dan tidak membawa tanda-tanda kebesaran."
Gu Kim-sing tertawa dan berkata.
"Tidak apa-apa. Kunjunganku ini memang kunjungan pribadi, kalau Jenderal Lau tidak keberatan menerima aku, aku hanya ingin menumpangkan mulut mencicipi masakan lezat padang perburuan..."
"Tentu Jenderal Lau tidak akan keberatan, malahan senang mendapat kunjungan Jenderal Gu.." Si Komandan regu yang jelita itu segera membubarkan "benteng kecil"
Nya.
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu mempersilakan Jenderal Gu dan orangorangnya memasuki kemah paling besar dan paling indah, kemah Jenderal Lau Cong-bin sendiri.
Kuda-kuda tunggangan Gu Kim-sing dan pengiring-pengiringnya diurus oleh pengawalpengawal cantik Jenderal Lau.
Ketika itu Jenderal Lau sendiri juga sudah muncul dari dalam kemahnya dan langsung mengedangkan kedua lengannya sambil tertawa lebar.
"Angin apa yang membawamu sampai ke sini, Adik Gu?"
Gu Kim-sing melangkah maju dan hendak menjalankan penghormatan resmi kepada si Panglima Tertinggi itu, namun Lau Cong-bin mencegahnya dengan memegangi lenganlengan Gu Kim-sing lalu merangkulnya.
"Mari duduk di dalam kemah, Adik Gu."
Gu Kim-sing menyuruh pengawalpengawalnya menunggu di luar, tak terkecuali pembantu-pembantu dekatnya seperti Ang Bik dan Ciong Ek-hi.
Buat pengawal-pengawal biasa, lebih senang berada di luar kemah sambil bercakap-cakap, dengan pengawal-pengawal pribadi Jenderal Lau yang cantik-cantik, daripada ikut dalam kemah dan mendengarkan percakapan Lau Cong-bin dan Gu Kim-sing yang belum tentu mereka mengerti.
Tetapi tiba-tiba Ciong Ek-hi berkata.
"Maafkan kelantanganku, Jenderal Gu. Tetapi tidak lebih baikkah kalau Saudara Ang Bik ikut ke dalam, karena dia mengetahui banyak tentang persoalannya?"
Ang Bik sendiri tercengang, tidak menyangka kalau Ciong Ek-hi yang semalam "tukar tempat"
Dengan dirinya sebagai orang paling dekat Jenderal Gu itu, ternyata tidak sakit hati kehilangan kedudukannya, malahan sekarang memberinya muka terang-terangan di hadapan kedua Jenderal itu. Sementara Lau Cong-bin heran dan bertanya.
"Eh, ada apa? Ada persoalan apa?"
Gu Kim-sing melotot sekejap ke arah Ciong Ek-hi, barulah menjawab Lau Cong-bin dengan agak sungkan.
"Kakak Lau, sungguh aku jadi sungkan terhadap Kakak, mengganggu suasana gembira yang sedang Kakak nikmati..."
Sebenarnya Lau Cong-bin malas juga mengurusi perkara-perkara yang memusingkan kepala, tetapi kalau sudah terlanjur mendengar dan tidak menanggapinya, ia khawatir kedudukannya sebagai Panglima Tertinggi akan goyah karena Gu Kim-sing mengadukannya kepada kaisar.
Setolol-tololnya Lau Cong-bin, ia bukannya tidak tahu kalau Gu Kim-sing ini ramah di luar tetapi tentu takkan menampik rejeki kalau bisa merebut kursi Panglima Tertinggi.
Begitu pula Li Giam yang Lau Congbin ketahui masih memendam rasa penasaran karena Li Giam merasa dirinyalah "penakluk Pak-khia sejati"
Yang seharusnya memegang jabatan Panglima Tertinggi. Karena itulah, biarpun dalam hatinya amat enggan, Lau Cong-bin berpura-pura jadi seorang pemangku tugas yang baik.
"Adik Gu jangan berkata demikian. Sudah tugasku menyelesaikan segala persoalan yang ada dalam ruang lingkup tugasku. Nah, katakanlah, ada persoalan apa datang kemari?"
Gu Kim-sing menyeringai.
"Ah, bukan urusan berat, melainkan suatu urusan yang ada sangkut-pautnya dengan kegemaran Kakak....."
"Ada sangkut-paut dengan kegemaranku? Apa?"
Gu Kim-sing membisiki Lau Cong-bin dan Lau Cong-bin tertawa terbahak-bahak.
"Wah, boleh juga. Aku sudah punya dua ratus lebih, dan capek juga mengurusinya, tetapi kalau ada tambahan yang benar-benar hebat, aku mau menambah juga. He-he-he....."
"Yang ini pasti hebat, Kak. Dia pernah digelari wanita tercantik di Tiong-goan. Namanya Tan Wan-wan. Pernah dengar?"
"Tan Wan-wan? Bekas selir Kaisar Cong-ceng yang dihadiahkan menjadi isteri Bu Sam-kui?"
"Belum menjadi isteri Bu Sam-kui, baru calon. Menjelang jatuhnya Pak-khia ke tangan kita, Bu Sam-kui menyembunyikan permatahatinya itu di sebuah rumah tersembunyi di tengah-tengah Pak-khia, sebelum Bu Sam-kui sendiri menuju San-hai-koan sebagai tempat tugasnya."
Mendengar soal wanita cantik, memang inilah kelemahan Jenderal Lau, dan ia buru-buru menarik Gu Kim-sing ke dalam kemahnya.
Gu Kim-sing member isyarat kedipan mata kepada Ang Bik dan Ang Bik pun ikut melangkah masuk.
Mereka duduk dalam kemah yang tanahnya berlapis kulit-kulit binatang dengan meja pendek di tengahnya.
Dengan tidak sabar lagi Jenderal Lau mendesak Gu Kim-sing.
"Jadi kau ketemukan Tan Wan-wan? Di mana?"
Gu Kim-sing sengaja mengulur waktu untuk mengobarkan rasa penasaran Lau Cong-bin.
"Dia calon Bu Sam-kui, lho, Kakak Lau?"
"Ah, si jenderal dinasti Beng yang masih ngotot bertahan di San-hai-koan dengan kekuatannya yang kecil itu? Sekali pites aku bisa membunuhnya. Eh, kau belum menjawab di mana Tan Wan-wan?" Gu Kim-sing tertawa.
"Sabar, Kakak Lau. Bu Sam-kui memang bisa saja diabaikan, karena dia jauh di San-hai-koan dan kekuataannya juga kecil. Tetapi Tan Wan-wan ini punya penjaga lain yang tidak mudah dilangkahi lho.."
Kecerdasan otak Lau Cong-bin ini juga tidak berbeda banyak dengan Gu Kim-sing, begitu pula hatinya gampang dibakar. Maka mendengar kata-kata itu, Lau Cong-bin hanya tertawa dingin dan berkata.
"Di seluruh wilayah kekuasaan Baginda Tiong-ong di Cina Utara ini, hanya kepunyaan Sri Baginda sendirilah yang tidak bisa aku ambil. Di luar itu, aku bisa mengambilnya segampang merogoh barang di kantong bajuku. Adik Gu, aku adalah Panglima Tertinggi, kau masih ingat itu bukan?"
"Aku selalu mengingatnya, Kakak Lau. Tetapi ada orang lain yang menganggap kedudukan Kakak itu tidak semestinya. Orang yang merasa bahwa kedudukan itu mestinya buat dia..."
"Li Giam?"
Lau Cong-bin langsung teringat akan tokoh ini.
Tokoh yang tetap dianggapnya duri dalam daging terhadap kedudukannya sebagai Panglima Tertinggi.
Gu Kim-sing mengangguk, mengiakan.
Lau Cong-bin tiba-tiba merasa agak curiga kepada Gu Kim-sing.
Jangan-jangan Gu Kim-sing sedang berusaha menjerumuskannya agar bertentangan secara terbuka dengan Li Giam, lalu nanti Gu Kim-sing yang akan mengambil keuntungan? Mungkin untuk dua alasan.
Pertama, karena kebencian pribadi Gu Kim-sing terhadap Li Giam yang tidak kalah besarnya dengan kebencian Lau Cong-bin kepada Li Giam pula.
Kedua, mungkin Gu Kim-sing mengharapkan Lau Cong-bin dan Li Giam berbaku hantam dan sama-sama kena marah Kaisar Tiong-ong, lalu Gu Kim-sing akan memanfaatkan kesempatan untuk mencari muka dan mengincar kursi Panglima Tertinggi yang kini diduduki Lau Cong-bin.
Karena itu, Lau Cong-bin tiba-tiba saja tidak lagi berkata dengan pongah melainkan agak hati-hati.
"Kemarin aku dengar laporan tentang pasukanmu dan pasukan Li Giam berkelahi, apakah juga gara-gara soal ini?"
"Maaf, Kakak Lau, aku datang kemari bukan untuk mengadu domba Kakak dengan Jenderal Li, memangnya aku sudah gila sehingga mengadu sesama teman? Tetapi masalahnya memang bukan soal Tan Wan-wan saja. Melainkan juga beberapa pejabat dinasti Beng yang tetap aktif bergerak di bawah tanah untuk menumbangkan pemerintahan Sri Baginda kita. Mereka adalah Siangkoan Hi dan puteraputerinya, Siangkoan Heng dan Siangkoan Yan yang adalah isteri Helian Kong. Celakanya mereka dilindungi Li Giam...."
Sudah tentu kata-kata Gu Kim-sing tentang "tetap aktif bergerak di bawah tanah untuk menumbangkan kita", hanyalah bualan Gu Kimsing belaka untuk mengobarkan amarah Lau Cong-bin. Lau Cong-bin memang agak terpengaruh.
"Eh, jadi Li Giam menyembunyikan bekas pejabat-pejabat dinasti Beng?"
"Ya." Lalu Gu Kim-sing menyuruh Ang Bik untuk bercerita, dan berceritalah ia tentang peristiwa malam itu, tentu saja dengan bumbu. Baik bumbunya itu "pesanan"
Jenderal Gu, maupun bumbu "pesanan"
Kelompok mata-mata Manchu yang memperalat Ang Bik, dan kebetulan keduanya memang bertujuan sama, menjatuhkan Li Giam.
Begitulah, melalui ketajaman lidah Ang Bik yang memang pintar bercerita, maka peristiwa malam itu ketika terjadinya pertempuran orang-orang Gu Kim-sing dan orang-orang Li Giam itu, menjadi peristiwa seolah-olah Li Giam sudah tidak tertib lagi dan sudah menantang kedudukan Panglima Tertinggi.
Hati Jenderal Lau panas juga, memang sejak lama ia juga membenci Li Giam, tetapi ia juga tidak mau masuk perangkap Gu Kim-sing dan menjadi jangkrik-aduannya Gu Kim-sing, maka ia hanya berkata.
"Baiklah, sebagai Panglima Tertinggi, aku akan memerintahkan Li Giam menyerahkan Tan Wan-wan dan keluarga Siangkoan kepadaku, dan memberinya teguran agar ia menyadari siapa Panglima Tertinggi di negeri ini."
Namun sebenarnya dalam hati Lau Cong-bin, selain marah kepada Li Giam, juga girang.
Girang karena menemukan alasan baik untuk menyingkirkan Li Giam dengan tuduhan "menyembunyikan bekas orang-orang dinasti Beng yang masih aktif mengatur perlawanan bawah tanah".
Inilah tuduhan yang akan menjerat Li Giam, tidak peduli dia adalah orang kesayangan Kaisar Tiong-ong.
Akhirnya berkatalah Lau Cong-bin.
"Baiklah, aku akan menegur Li Giam, dan akan mengambil orang-orang yang dilindunginya itu dari tangannya. Akulah Panglima Tertingginya yang harus dia taati perintahnya..."
Gu Kim-sing sebenarnya tidak puas terhadap keputusan Lau Cong-bin yang "terlalu lunak"
Itu.
Tetapi ia tidak berani mendesak-desak, namun bertekad lama dalam hati akan memanaskan hubungan Li Giam dan Lau Congbin sampai Li Giam tersingkir.
Syukur-syukur kalau Lau Cong-bin juga ikut tersingkir, jadi kedudukan Panglima Tertinggi bisa di....
Seorang wanita cantik datang menghidangan daging rusa panggang, hasil buruan, sehingga Lau Cong-bin berkata.
"Perkara Tan Wan-wan dan orang-orang keluarga Siangkoan itu biar aku tangani dan tidak usah kita bicarakan lagi. Merusak selera makan saja...."
Lalu bersantaplah mereka.
* * * Dengan selembar surat perintah sebagai Panglima Tertinggi, Jenderal Lau berhasil memindahkan secara paksa Tan Wan-wan dan keluarga Siangkoan ke gedung kediamannya.
Tidak peduli bagaimanapun Li Giam menjelaskan pertimbangnya.
Keluarga Siangkoan yang terdiri dari tiga orang, segera dijebloskan ke dalam penjara di bagian belakang rumah Lau Cong-bin, dan nasib mereka hampir dapat dipastikan, yaitu bakal dipenggal kepalanya seperti nasib orang-orang lain yang pernah ada sangkut-paut dengan pemerintahan lama.
Tidak peduli Siangkoan Yan sedang hamil.
Tetapi terhadap Tan Wan-wan, Lau Cong-bin yang hidung belang itu memperlakukannya dengan istimewa.
Tan Wan-wan ditempatkan di sebuah ruangan indah di bangunan sayap kiri, dilayani sekaligus dikawal ketat agar tidak kabur oleh pengawal-pengawal pribadi yang cantik-cantik itu.
Namun dibandingkan kecantikan Tan Wan-wan, pengawal-pengawal Lau Cong-bin itu jadi kehilangan pamornya.
Sementara itu, Li Giam memang tidak dapat melawan perintah Lau Cong-bin karena kalah kedudukan.
Tetapi ia sudah tentu tidak akan membiarkan Tan Wan-wan, mata-matanya yang sangat berjasa dalam perjuangannya dulu, hanya akan menjadi wanita permainan dalam "harem"nya Lau Cong-bin.
Malam itu juga, Li Giam menuju ke istana untuk menghadap Kaisar Tiong-Kong untuk mengadukan, ia tahu dirinya disayang kaisar dan akan menggunakan itu.
Pada saat yang sama, di gedungnya, Lau Cong-bin bukan saja sudah terpesona kepada Tan Wan-wan, melainkan tergila-gila.
Kecantikan Tan Wan-wan melebihi apa yang dia bayangkan setelah mendengar kabar-anginnya.
Memang di sinilah kelemahan Lau Cong-bin, dalam urusan perempuan cantik.
Maka dia pun bertekad memiliki Tan Wan-wan, tidak peduli perempuan ini "bekas"nya Kaisar Cong-ceng yang kemudian berstatus calon-isterinya Bu Sam-kui, itu jenderal dinasti Beng yang masih bertahan di San-hai-koan.
Hanya satu yang Lau Cong-bin belum ketahui, yaitu bahwa Tan Wanwan adalah juga pembantu yang sangat berjasa dalam perjuangan Li Giam.
Hal ini memang amat rahasia, bahkan Lau Cong-bin dan Gu Kimsing juga tidak tahu.
Yang tahu hanyalah beberapa orang dekat Li Giam yang jumlahnya tidak melebihi jari-jari tangan.
Lau Cong-bin menyelenggarakan pesta besar di gedungnya, pesta yang mewah untuk merayakan "keberhasilan"nya menangkap pentolan-pentolan sisa-sisa dinasti Beng "yang masih aktif"
Di Pak-khia.
Sekaligus juga merayakan keberhasilan menambah "koleksi"nya dengan perempuan seperti Tan Wan-wan.
Gu Kim-sing diundang hadir, Li Giam juga namun Li Giam tidak hadir sebab malam itu Li Giam justru sedang menghadap kaisar di istana, mengadukan masalahnya.
Malam itu Lau Cong-bin bermaksud memamerkan Tan Wan-wan kepada setiap tamu-tamunya.
Dan ia sudah menyusun acara sendiri, di puncak acara nanti Tan Wan-wan akan tampil untuk menari.
Sebab menurut riwayat Tan Wan-wan yang pernah didengarnya, Tan Wan-wan ini juga bekas penari terbaik di kota Soh-ciu.
Begitulah, setelah serentetan hidangan mewah dihidangkan dan dinikmati bersama alunan musik merdu yang membelai telinga, Lau Cong-bin pun memerintahkan orangnya untuk "mengeluarkan"
Tan Wan-wan. Tetapi orang yang disuruhnya itu bergegas kembali menghadap Jenderal Lau dengan wajah takut dimarahi. Dan wajah yang sudah ketakutan itu tersentak kaget ketika Jenderal Lau menggebrak meja dan bertanya.
"Aku suruh kau memanggil keluar Tan Wan-wan untuk menari, mana orangnya?"
Dengan wajah pucat dan bibir ter-gagapgagap, orang itu menjawab.
"Nona Tan... belum mengenakan pakaian penarinya.. dia masih dibujuk-bujuk untuk mengenakan pakaian penarinya...."
Wajah Cong-bin menjadi merah padam, merasa kewibawaannya ditantang hanya oleh seorang "bekas penari"
Istana yang dianggapnya mati-hidupnya sudah di dalam .genggamannya. Apalagi perkataan orang bawahannya itu didengar tamu-tamu lainnya, keruan saja Lau Cong-bin merasa dibeset kulit mukanya.
"Jadi perempuan itu berani merendahkan perintahku? Bukankah sudah sejak sore tadi aku katakan kepadanya kalau dia harus menari di pesta untuk menghormati aku?" "Dia... dia menolak, Jenderal. Dia mengancam, kalau dipaksa terus dia akan bunuh diri. Dia menggertak bahwa dia adalah tunangan Jenderal Bu Sam-kui yang lebih muda dan lebih tampan..."
Lao Cong-bin sudah tua dan gembrot, namun paling benci kalau hal itu diutik-utik.
Dengan segala jalan ia telah, berusaha untuk awet muda dan langsing, namun nafsu makannya yang dahsyat telah menggagalkan semua dietnya.
Kini hal itu dikatakan di depan begitu banyak orang, dirinya dibandingkan dengan seorang jenderal dinasti Beng, keruan Lau Cong-bin tak dapat menahan diri lagi.
Meski orang yang menyampaikan itu hanyalah menirukan katakata Tan Wan-wan, namun karena orang itulah yang berada di hadapannya maka orang itulah yang jadi sasaran kemarahannya.
Jenderal Lau memerintahkan pengawalpengawal pribadinya yang terdiri dari wanitawanita cantik itu.
"Seret keluar orang ini dan penggal kepalanya untuk kelancangan mulutnya!" "Seret keluar orang ini dan penggal kepalanya untuk kelancangan mulutnya!" Di bawah perintah dan didikan Lau Cong-bin, wanita-wanita cantik itu sungguh sudah kehilangan daya-tariknya, melainkan menakutkan seperti serigala-serigala kelaparan. Mereka berlompatan menerkam si pelayan yang melaporkan tentang Tan Wan-wan itu. Pelayan itu seorang lelaki, namun tidak berdaya ketika diseret keluar oleh pengawal-pengawal Lau Cong-bin, meskipun meronta-ronta sambil berteriak-teriak.
"Jenderal, aku hanya meneruskan kata-kata Tan Wan-wan..... aku pribadi tidak pernah menghina Jenderal.... aku selalu menghormati Jenderal.."
Dan kata-kata pembelaan diri lainnya, tetapi semuanya itu tidak mengubah Lau Cong-bin dengan perintahnya yang keras dan bernada pamer kekuasaan itu.
Merasa dirinya tidak tertolong lagi, pelayan yang diseret sudah hampir sampai ke pintu keluar ruangan itu pun mengubah ratapan mohon ampunnya menjadi caci-maki tak kenal takut ke alamat Lau Cong-bin.
"Orang kampung she Lau! Bangsat kau dan biar mampus disambar geledek! Buta huruf tetapi berlagak pandai dengan menyimpan buku-buku tebal! Sudah tua tetapi berlagak muda dengan menyemir rambut dan makan obat kuat, tetapi tetap loyo juga! Tidak tahu malu! Tua-bangka loyo tetapi berlagak lelaki perkasa!"
Maka terbongkarlah banyak "rahasia"
Jenderal Lau yang selama ini hendak disembunyikannya rapat-rapat.
Kini terbongkar semua dan didengar sekian puluh pasang kuping orang-orang yang hadir di pesta itu.
Seperti "buta huruf tapi berlagak pandai", memang pernah ada bawahannya yang menghadap Jenderal Lau di ruang bukunya, dan Jenderal itu pura-pura sedang membaca sebuah buku yang dipegangnya terbalik.
Tentu saja bawahannya saat itu tidak berani mentertawakan atasannya karena sayang akan batok kepalanya yang cuma satu.
Begitu pula perkara "sudah tua tetapi berlagak muda"
Sebenarnya juga sudah ada sedikit orang yang tahu. Tetapi dibeberkan terang-terangan di hadapan sekian banyak orang, sungguh ini peristiwa yang tak pernah diperhitungkan. Kemarahan Lau Cong-bin meluap dan hukuman tambahan pun keluar.
"Bunuh juga seluruh keluarganya, saudara-saudaranya dan keluarga saudara-saudaranya!"
Si terhukum memucat wajahnya.
Mulutnya yang semula berkaok-kaok, sekarang seolaholah dijahit.
Bahkan ruangan pesta itu juga sunyi senyap karena semua yang hadir di pesta itu tercengkam kemarahan Sang Panglima Tertinggi yang kekuasaannya cuma di bawahnya Kaisar Tiong-ong itu.
Semua takut membuat kesalahan yang sekedar sekecil apa pun yang akan memberi alasan kepada sang tiran untuk kembali mengumbar hukuman sebagai pelampiasan ketersinggungannya.
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi kesunyian ruangan itu agaknya Juga menyinggung perasaan Lau Cong-bin, sehingga dia menggebrak meja sambil berteriak.
"Teruskan pesta! Makan minumlah dengan bebas dan gembira, siapa yang tidak merasa bebas dan gembira, dia tidak akan keluar hiduphidup dari ruangan ini!"
Begitulah, dasar seorang diktator, menyangka perasaan bebas dan gembira pun bisa diperintahkan. Namun tamu-tamu dalam pesta itu pun menuruti perintah itu, sehingga mereka pun berlagak "bebas dan gembira". Suasana pesta kembali "meriah"
Meskipun dibuat-buat dan canggung. Sementara itu, masih dalam kegusarannya, Lau Cong-bin mengeluarkan perintah.
"Perempuan hina Tan Wan-wan itu sudah berani membangkang perintahku, dan ia akan merasakan akibatnya! Bawa dia kemari, kalau tidak mau, seret! Kalau tidak mau memakai pakaian penarinya, seret ke sini kalau periu tanpa pakaian sama sekali!"
Orang yang diperintah pun menjalankan perintah itu terbirit-birit. Sementara para hadirin yang "bebas dan gembira"
Itu riuh bertepuk-tangan menyambut keputusan itu, sebagian benar-benar merasa gembira karena akan melihat wanita yang disebut-sebut tercantik di kolong langit itu, syukur-syukur kalau tanpa busana, tetapi tidak sedikit di antara hadirin itu adalah kaum yang menghormati wanita sehingga mereka diamdiam menjadi muak kepada Lau Cong-bin.
Tetapi apa boleh buat, nyawa mereka dalam cengkeraman Lau Cong-bin, bahkan salah-salah bisa merembet ke nyawa keluarga mereka, maka mereka pun ikut bertepuk-tangan dan memuji-muji "tindakan tegas"
Itu.
Begitulah, sekelompok pengawal Lau Congbin siap menjalankan perintah itu.
Pengawalpengawal wanita itu menjalankan tugas tanpa perasaan, kelihatannya, meski yang bakal jadi korban untuk dipermalukan dan dihinakan itu adalah dari kaum mereka juga.
Tetapi sebelum Tan Wan-wan muncul di ruangan pesta itu, mendadak, seorang pengawal wanita bergegas menghadap Lau Cong-bin dan melaporkan sesuatu dengan lirih.
Para tamu, bahkan yang duduknya paling dekat dengan Lau Cong-bin sekali pun, hanya bisa melihat kemurkaan hebat kembali menyelimuti wajah Jenderal Lau itu.
Dan perubahan wajah Lau Cong-bin juga secara otomatis menyapu suasana "bebas dan gembira"
Pergi dari ruangan itu. Terdengar lagi suara Lau Cong-bin mengguntur, kali ini kepada perwira ta-ngankanannya yang duduk di sebelahnya, namanya Deng Hu-koan.
"Tumpas orang-orang itu, termasuk keluarga Siangkoan yang dibawanya lari!"
"Baik!"
Deng Hu-koan si perwira bertampang pucat kelimis itu menjawab singkat dan langsung beranjak keluar. Ia adalah "algojo"
Lau Cong-bin. Dan kepada tamu-tamunya, Lau Cong-bin tertawa dipaksakan dan berkata.
"Tidak ada apa-apa, sobat-sobat. Teruskan saja kegembiraan kalian. Cuma ada beberapa maling kecil yang coba-coba membongkar ruangan tempat keluarga Siangkoan ditahan. Tetapi Deng Hu-koan perwiraku tadi akan bisa menyelesaikan dengan gampang." Dan untuk membuktikan bahwa pesta benarbenar layak diteruskan dan tidak terpengaruh oleh kejadian di tempat lain, serangkaian pelayan berderet keluar menyangga nampannampan besar dengan masakan-masakan baru yang baunya merangsang selera di atas nampan-nampan itu. Ang Bik yang duduk di belakang atasannya, Jenderal Gu Kim-sing, diam-diam merasa gelisah. Biarpun dia hanya duduk di deretan "kelas dua"
Namun tempatnya agak menyolok, sebab di dekat Jenderal Gu yang termasuk undangan kehormatan.
Yang ia khawatirkan, kalau nanti Tan Wan-wan keluar dan melihatnya, dan akan lebih celaka lagi kalau Tan Wan-wan sampai menyebut nama aslinya -Ting Hoan-wi - yang bakal menimbulkan urusan.
Karena itu, ia ingin kalau Tan Wan-wan jadi keluar nanti, ia sudah tidak berada di ruangan itu.
Dalam kegelisahannya, ia lalu mencari akal agar bisa meninggalkan ruangan itu.
la memutar otak, dan akhirnya menemukan suatu jalan yang akan dicobanya, entah berhasil entah tidak, la lalu bergeser maju untuk membisiki Jenderal Gu, dan atasannya itu mengangguk-angguk setuju.
Orang yang sangat malas berpikir itu adalah seorang yang begitu gampang menerima pendapat orang lain.
Buat apa susah-susah menggunakan otak sendiri, kalau ada otak orang lain yang mau berpikir baginya? Kemudian Gu Kim-sing pun meneruskan apa yang dibisikkan Ang Bik ke kuping Lau Congbin.
"Kakak Lau, aku mempercayai kemampuan orang-orang Kakak menangani orang-orang yapg mencoba membebaskan keluarga Siangkoan itu, tetapi aku sungguh ikut cemas bahwa mereka berani menghina kita, pejuangpejuang yang sudah membebaskan rakyat, karena itu, biarlah orang-orangku ikut bahumembahu dengan orang-orang Kakak meskipun sekali lagi, tidak meremehkan kemampuan orang-orang Kakak."
Lau Cong-bin yang otaknya sejenis dengan Gu Kim-sing juga tidak mau bersusah-payah meneliti apa yang ada di balik kata-kata Gu Kim sing, maka langsung mengiakan saja dengan anggukan.
Lalu Gu Kim-sing meneruskan ijin itu kepada Ang Bik dan orang-orangnya yang lain.
Ang Bik pun beranjak bersama belasan pengawal Jenderal Gu, termasuk juga Ciong Ek-hi yang sekarang adalah bawahan Ang Bik.
Mereka meninggalkan ruangan pesta menuju ke tempat huru-hara di bagian belakang kompleks kediaman Lau Cong-bin itu.
Bangunan yang didiami Lau Cong-bin luas sekali, sebab itulah bekas istananya Pangeran Seng-ong, adik dari Kaisar Cong-ceng, yang ditumpas habis seisi-rumahnya karena memberontak kepada Kaisar Cong-ceng dulu.
Di langit malam yang gelap, di kejauhan nampak nyala api yang membubung ke langit di beberapa tempat.
Rupanya para pembobol sengaja menimbulkan kekacauan di arah yang berbeda-beda untuk memecah-mecah kekuatan pengawal-pengawal Lau Cong-bin yang berjumlah banyak.
Taktik yang biasa dipergunakan oleh kelompok yang lebih kecil kalau menghadapi kelompok yang lebih besar.
Di kejauhan juga terdengar sayupsayup suara senjata gemerincing beradu, teriakan orang-orang berkelahi dan derap orang berlari-lari ke sana kemari.
Ketika menuju ke tempat keributan, Ang Bik dan orang-orangnya banyak berpapasan dengan orang-orangnya Lau Cong-bin.
Namun orangorangnya Lau Cong-bin tidak menghalangi mereka, rupanya karena mereka pun mengenali orang-orangnya Gu Kim-sing, biarpun berpakaian preman.
Sementara berlari-lari kecil menuju tempat keributan, Ang Bik berpikir-pikir, siapa gerangan yang berani mati "menerobos kandang macan"
Dengan mengambil tawanan dari rumah Jenderal Lau Cong-bin yang begitu berkuasa? Orang-orangnya Li Giam-kah? Atau kelompok lain? Tiba-tiba Ang Bik teringat sesuatu dan keringat dinginnya pun bercucuran.
Ia ingat, tawanan-tawanan itu adalah keluarga Siangkoan yang terdiri dari si ayah Siangkoan Hi, si anak lelaki Siangkoan Heng, dan si anak perempuan Siangkoan Yan yang sedang hamil, isteri si panglima dinasti Beng yang belum menyerah, Helian Kong.
Orang-orang yang malam ini mempertaruhkan nyawa menerjang kediaman Lau Cong-bin demi menyelamatkan keluarga Siangkoan itu, bisa jadi adalah orang yang punya hubungan dekat dengan keluarga itu.
Dan Ang Bik jadi gentar kalau mengingat kemungkinan bertemu dengan Helian Kong.
Kalau tadi ia berusaha meninggalkan ruang pesta karena takut bertemu dengan Tan Wanwan, sekarang dia memutar otak mencari akal agar tidak usah sampai ke tempat keributan untuk bertemu dengan Helian Kong yang amat ditakutinya.
Tubuhnya tiba-tiba saja terhuyung sambil memegangi kepalanya, seperti hendak roboh, sehingga Ciong Ek-hi yang berjalan di sampingnya cepat-cepat menangkap tubuh Ang Bik agar tidak jatuh ke tanah.
Sambil bertanya.
"Eh,, kenapa, Kakak Ang?"
Dulu Ang Bik yang memanggil Ciong Ek-hi dengan sebutan "Kakak Ciong"
Karena kalah senior, sekarang Ciong Ek-hilah yang memanggil "Kakak"
Kepada Ang Bik karena sudah "tukar tempat", meskipun usia Ciong Ekhi lebih tua. Ang Bik tidak serta-merta menggunakan akalnya. Ia pura-pura memaksakan diri untuk berdiri tegak sambil memijit-mijit kepalanya dan berkata.
"Ah, tidak apa-apa, mungkin hanya karena terlalu banyak minum arak dalam pesta tadi....."
Lalu ia kembali berjalan bersama pengiringpengiringnya ke arah keributan.
Namun baru beberapa langkah, ia kembali mengulangi aksinya yang pura-pura terhuyung sambil memegang kepala dan kemudian menjatuhan diri sambil mengeluh.
Ciong Ek-hi tertawa dingin dalam hatinya, mata dan perasaannya yang tajam dapat mengetahui bahwa Ang Bik cuma pura-pura.
Dan otaknya sebagai seorang perwira sandi Manchu yang mahir menganalisa bermacammacam kejadian, bisa menebak apa yang menyebabkan Ang Bik berlaku seperti itu.
Cepat Ciong Ek-hi berkata kepada pengiringpengiring lainnya.
"Kalian jalan dulu, tempatkan diri kalian di bawah perintah Perwira Deng Hukoan! Biar aku urus dulu Kakak Ang ini.."
Orang-orangnya pun melangkah pergi. Setelah orang-orang itu pergi jauh, Ciong Ekhi tertawa.
"Akhirilah sandiwaramu. Aku tahu kau takut bertemu dengan Tan Wan-wan di ruang pesta itu, dan takut kemungkinan bertemu Helian Kong di tempat keributan itu.."
Jantung Ang Bik rasanya berhenti berdenyut mendengar kata-kata itu.
Selama ini ia tahunya Ciong Ek-hi adalah Ciong Ek-hi, seorang perwira tangan-kanan Gu Kim-sing yang banyak jasanya, namun sudah dua harf ini kedudukannya tergusur oleh Ang Bik dengan kelihaiannya menjilat atasan dan menyikut sesama teman.
Kini Ciong Ek-hi mengeluarkan kata-kata semacam itu, benar-benar mengejutkannya.
"Tidak... kenapa aku harus takut bertemu dengan mereka?"
Tergagap-gagap Ang Bik menjawab. Sambil tersenyum dingin, Ciong Ek-hi menjawab.
"Karena kau adalah Ting Hoan-wi, saudara-sepupu Tan Wan-wan yang sudah menghabiskan harta warisan ayah Tan Wanwan dan bahkan menjual Tan Wan-wan kepada seorang pemuda kaya hidung belang sampai Tan Wan-wan menjadi wanita penghibur di Soh-ciu. Kau juga adalah saudara-seperguruan Helian Kong yang pernah mengkhianatinya dengan mencuri kitabnya, bukunya, bahkan membocorkan rencana Helian Kong kepada Co Hua-sun. Betul tidak?"
Jantung Ang Bik berdentang-dentang.
Inilah orang kedua setelah Go Liong di warung-bakmi itu, yang mengetahui iddn-titas dan riwayat lamanya.
Ang Bik jadi was-was, jangan-jangan Ciong Ek-hi akan menggunakan keterangan itu untuk balik menggusur Ang Bik? Ang Bik diamdiam sudah meraba pisau belati yang disembunyikan di dalam lengan bajunya yang longgar, namun ragu-ragu untuk bertindak, teringat pengalaman pahitnya dengan Go Liong si tukang-bakmi.
Tetapi Ciong Ek-hi menepuk pundaknya dengan ramah, sambil berkata ramah.
"Simpan belatimu, Ting Hoan-wi. Selama kau masih menuruti perintah kami seperti yang dikatakan oleh kawanku di warung bakmi itu, kau aman. Bahkan kelak kalau bangsa Manchu berhasil menguasai Tiong-goan, jasamu akan diingat..."
Ang Bik menarik napas, tahu bahwa Ciong Ek-hi sekomplotan dengan Go Liong, dan mereka adalah mata-mata Manchu.
Agaknya Ciong Ek-hi lebih berani blak-blakan dengan Ang Bik daripada Go Liong.
Pantas Go Liong pernah memperingatkan Ang Bik supaya tetap patuh menjalankan apa yang sudah ditetapkan komplotan mata-mata Manchu itu karena "di mana-mana ada telinga dan mata kami", dan agaknya Ciong Ek-hi adalah salah satu di antaranya, entah masih ada siapa lagi yang belum diketahui Ang Bik.
Namun orang berwatak seperti Ang Bik takkan mempertaruhkan nyawa untuk menyelidiki komplotan yang berbahaya itu, apalagi setelah mendapat janji kelak kalau orang Manchu menang Ang Bik juga akan memperoleh kedudukan sebagai balas-jasa.
Kedudukan dan hidup enak, itu yang penting, tidak peduli bendera warna apa pun yang berkibar di atas kepalanya.
Tapi Ang Bik agak heran juga menemui kenyataan bahwa Ciong Ek-hi adalah mata-mata Manchu.
Padahal bukanlah Ciong Ekhi ini perwira pengikut Lau Cong-bin yang sudah bertahun-tahun? bahkan sebelum dinasti Beng jatuh? Apakah Ciong Ek-hi ini mata-mata Manchu yang diselundupkan jauh sebelum dinasti Beng jatuh, atau sekedar perwira Lau Cong-bin yang "lemah iman"
Dan mudah tergoda menjadi mata-mata Manchu setelah diancam dan dibujuk?"
Seolah dapat membaca pikiran Ang . Bik, Ciong Ek-hi berkata.
"Asal kau menjalankan semua pesan kami dengan baik, tidak ada alasan untuk takut kepada kami. Kami punya garis tegas untuk memisahkan siapa yang berjasa dan siapa yang bersalah, bukan seperti Lau Cong-bin dan atasanmu si Gu Kim-sing, yang memberi hadiah dan menjatuhkan orang seenaknya saja menurut selera. Aku juga tidak ngiler merebut kembali kedudukanku di samping Gu Kim-sing yang sekarang kau tempati, sebab dalam angkatan perang negeriku, aku punya pangkat yang lebih berkuasa dari setiap begundal Gu Kim-sing yang mana saja."
Ang Bik agak tersinggung, namun sadar akan kedudukannya yang di bawah tekanan, ia pun bertanya.
"Sekarang apa yang harus kulakukan? Aku akan menurut."
"Kalau kau takut ketemu Helian Kong, kau boleh bersembunyi saja dan tidak usah ikut ke tempat keributan. Biar aku, tetapi di hadapan Gu Kim-sing semua bintang jasa boleh kau tumpuk di pundakmu sendiri dan aku akan membantumu dengan kata-kata. Tetapi ingat satu hal, bantu aku mengadu-domba terus antara Lau Cong-bin dan Gu Kim-sing di satu pihak, dengan Li Giam di lain pihak, sampai Li Giam tersingkir. Mengerti?"
Ang Bik mengangguk-angguk patuh. Kemudian Ciong Ek-hi menuju ke tempat keributan. Di bagian belakang istana kediaman Lau Cong-bin terdiri dari rumah-rumah untuk pengawal-pengawal pribadinya, gudang-gudang dan deretan "penjara pribadi"
Yang senantiasa dijaga ketat.
Di tempat itulah terjadi keributan, di bawah terang-benderangnya cahaya gudang-gudang yang terbakar.
Sekelompok pengawal Lau Congbin, lelaki atau perempuan, nampak sedang mengerubuti lima orang yang bersikap membelakangi dan melindungi seorang tua dan seorang perempuan muda yang perutnya agak besar sebab sedang hamil muda.
Tetapi perempuan hamil muda itu pun memegangi pedang, kelihatannya siap menghadapi siapa saja yang lolos dari kelima orang yang memagarinya.
Lima orang yang memagari orang tua dan perempuan hamil itu, empat di antaranya memakai kedok, yang tidak hanyalah Siangkoan Heng yang bekas tawanan dan kini ikut bertempur untuk melarikan diri.
Dari empat orang yang berkedok itu, ada seorang yang sangat menonjol ketangkasan dan keperkasaannya.
Dengan sebatang pedang yang gerakannya sulit diikuti mata, ia berkelahi dengan hebat, dan bukti dari keperkasaannya adalah tubuh-tubuh pengawai-pengawal Lau Cong-bin yang banyak bergelimpangan di sekitarnya.
Namun tiga orang berkedok lainnya pun nampak tangguh, bahkan salah seorang dari mereka cuma bersenjata toya rotan berpilin yang begitu ringan, cocoknya untuk menyabet pantat anak-anak nakal oleh ibunya, bukan untuk pertempuran seganas itu, di mana toya rotan berpilinnya harus sering berbenturan dengan senjata-senjata logam.
Tetapi orang itu memainkan toyanya dengan mahir, senjatanya sering berhasil memelintir senjata-senjata musuh sehingga lepas dari tangannya, sesudah itu tinggal menggebuknya atau menyerampangnya.
Demikianlah, lima orang itu sanggup membendung pengawal-pengawal Lau Cong-bin yang lebih banyak, tetapi untuk bisa lolos dari situ agaknya masih tanda tanya besar.
Selain harus membawa seorang tua seperti Siangkoan Hi dan seorang perempuan hamil seperti Siangkoan Yan melewati tembok yang cukup tinggi, juga pengawal-pengawal Lau Cong-bin terus membanjiri tempat itu tak habis-habisnya.
Dengan demikian, meski kelima orang itu selalu dapat merobohkan lawan-lawan mereka, namun lawannya tidak semakin habis malahan makin banyak.
Kelima orang itu nampaknya kewalahan juga.
Tiba-tiba terdengar orang berkedok yang berpedang dan paling lihai itu, mengucapkan semacam kata-kata isyarat.
Teman-temannya memahami, lalu sambil bertempur mereka bergeser ke suatu arah.
Siangkoan Hi dan Siangkoan Yan yang di tengah-tengah lingkaran pun mau tidak mau harus ikut bergeser.
Pimpinan pengawal-pengawal Lau Cong-bin agaknya menebak niat mereka, lalu memperingatkan teman-temannya.
"Bangsatbangsat ini mencoba kabur, jangan beri kesempatan, atau kepala kita akan dicopot oleh Jenderal Lau...."
Ketakutan akan hukuman, orang-orangnya Jenderal Lau itu pun semakin gigih dalam usahanya membendung pelarian orang-orang itu.
Senjata-senjata jarak jauh seperti panah dan lembing mulai dilontarkan, dan bukan diarahkan hanya kepada lima orang yang berjuang itu, melainkan juga kepada Siangkoan Hi dan Siangkoan Yan yang di tengah-tengah lingkaran.
Siangkoan Yan terpaksa harus mengaktifkan pedangnya untuk menangkis setiap panah atau lembing yang tertuju kepadanya dan kepada ayahnya.
Ciong Ek-hi melihat semua yang terjadi itu dari sebuah sudut gelap yang tidak terkena cahaya api.
Berbeda dengan yang dikatakannya di depan Gu Kim-sing dan Lau Cong-bin di ruang pesta tadi, ia bukannya ikut membantu pengawal-pengawalnya Lau Cong-bin, malahan berdiri menonton sambil memutar otak, mencari akal bagaimana memanfaatkan peristiwa itu untuk memperparah hubungan antara Li Giam dengan Lau Cong-bin atau Gu Kim-sirig.
Ciong Ek-hi memperhitungkan, orang-orang berkedok itu agaknya adalah He-lian Kong dan kawan-kawannya.
Kalau mereka sampai tertangkap dan terlucuti kedoknya, tentunya agak susah untuk menuduh Li Giam.
Maka menurut perhitungan Ciong Ek-hi, akan lebih menguntungkan rencana kelompoknya kalau orang-orang berkedok itu bisa lolos.
Tetapi bagaimana membantu mereka Jolos dari kepungan orang-orang Lau Cong-bin yang begitu banyak? Bersambung
Jilid V Sumber Image . Koh Awie Dermawan first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu 12/07/2018 21 . 40 PM (Bagian II)
Jilid IV Karya . STEVANUS S.P. pelukis . WIDODO Percetakan & Penerbit CV "G E M A"
Mertokusuman 761 RT 02 RW VII Tilpun 35801 - SOLO 57122 KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA Karya . STEFANUS S.P.
Jilid IV S elagi ia berpikir-pikir, tiba-tiba beberapa sosok bayangan berkedok melompati tembok halaman, dan langsung menerjang orang-orangnya Lau Cong-bin.
Orang-orangnya Lau Cong-bin pun terkejut karena ketambahan lawan-lawan tangguh.
Mereka berteriak-teriak ribut.
"Awas, musuh kedatangan bala bantuan!"
"Awasi tempat-tempat lain, jangan-jangan mereka menerobos juga dari tempat-tempat lain. Lindungi ruangan tempat Jenderal Lau dan tamu-tamunya!"
"Jangan gentar! Panggil bala bantuan lebih banyak dari tangsi!" Begitulah, kemunculan orang-orang baru yang tangkas-tangkas itu mengacaukan orangorangnya Gu Kim-sing. Bahkan menimbulkan kesan seolah-olah gedung kediaman Lau Congbin itu sedang mendapat serangan besarbesaran, biarpun yang sebenarnya belum tentu begitu. Dua dari penyerbu-penyerbu berkedok yang baru datang itu, menunjukkan ketangkasan yang melebihi lain-lainnya. Yang seorang bertubuh pendek dan kurus, memegang cambuk sepanjang hampir tiga meter. Orang bersenjata cambuk, biasanya cukup satu saja, kalau lebih dari satu akan saling membelit dan merepotkan diri sendiri, namun orang pendek kecil itu memegang sepasang cambuk panjang yang dimainkan dengan tangkas seperti sepasang ular yang menggeliat-geliat dan menyambarnyambar di udara. Seorang lagi bertubuh tegap, memegang sepasang pedang tebal. Langkahnya bagaikan gajah mengamuk, dengan sepasang pedang itu sebagai gading-gadingnya. Seorang lagi bertubuh tegap, memegang sepasang pedang tebal. Langkahnya bagaikan gajah mengamuk, dengan sepasang pedang itu sebagai gading-gadingnya. Ciong Ek-hi yang memperhatikan dari tempat tersembunyi, hampir-hampir menyangka bahwa kedua orang yang tangkas itu adalah dua jago bawahannya Jenderal Li Giam, kakak beradik seperguruan yang terkenal. Yang bersenjata cambuk adalah Thai-lik Ku-hou (Macan Kurus Bertenaga Raksasa) Oh Kui-hou, yang bersenjata sepasang pedang adalah Yo Kian-hi, si adik seperguruan. Mula-mula Ciong Ek-hi menyangka mereka berdua adalah Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi. Tetapi setelah diperhatikan baik-baik dengan matanya yang tajam, Ciong Ek-hi tiba-tiba tahu kalau kedua orang itu sama sekali bukan Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi, melainkan orang-orang lain yang rupanya sengaja tampil seperti kedua kakak-beradik seperguruan itu, dan mungkin juga supaya disangka sebagai Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi. Dari sini saja sudah bisa disimpulkan kalau mereka bukan orangorangnya Li Giam, melainkan orang-orang dari pihak lain yang sengaja tampil dengan menimbulkan kesan sebagai orang-orangnya Li Giam. Karena ingin tahu, Ciong Ek-hi mendekati gelanggang pertempuran. Orang-orangnya Lau Cong-bin minggir ketika melihat Ciong Ek-hi yang mereka kenali sebagai perwiraandalannya Gu Kim-sing. Kali ini Ciong Ek-hi sedang tidak membawa golok Koan-to (golok bertangkai panjang-nya), maka ia hanya mengandalkan pedangnya untuk memasuki pertempuran. Sementara itu, salah seorang berkedok yang datang dalam kelompok yang belakangan, mendekati Helian Kong, yaitu orang berkedok yang paling lihai dar kelompok pertama, dan membisiki Helian Kong.
"Jenderal Helian, ajak rombongan-mu ke pintu sebelah barat, di sana sudah dikuasai teman-temanku.."
"Kalian dari kelompok yang mana?"
Tanya Helian Kong, sebab ia mendengar kalau di Pakkhia ada beberapa kelompok bawah-tanah yang memperjuangkan kembalinya dinasti Beng, semuanya sudah dikenal oleh Helian Kong namun kelompok yang kini belum dikenalnya sama sekali.
Bahkan orang-orang yang bersenjata sepasang cambuk dan sepasang pedang itu mengingatkan Helian Kong akan musuh-musuh lamanya dari golongan Pelangi Kuning dulu.
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang itu menjawab.
"Tidak perlu Jenderal ketahui sekarang. Tidak, ada waktu untuk menjelaskan sekarang, sebab si Lau Cong-bin pasti sedang mendatangkan bala bantuan lebih banyak. Lebih baik kabur dulu, ingat keselamatan isteri Jenderal dan anak dalam kandungan.."
Kalau sudah diingatkan keselamatan isterinya dan anak dalam kandungannya, Helian Kong tidak mau tawar-menawar lagi.
Biarpun kelompok yang menolongnya ini asing, yang penting keluar dulu dari tempat itu dengan selamat.
Sementara itu, Ciong Ek-hi sudah bergabung dengan orang-orangnya Ciong Ek-hi untuk coba-coba menempur orang-orang berkedok itu.
Ciong Ek-hi langsung memilih lawan.
Pedangnya bergerak ke arah seorang berkedok yang bersenjata sepasang tameng Gun-goan-pai (tameng berpinggir tajam).
Orang bersenjata sepasang Gun-goan-pai itu memutar tubuh.
Agak terkejut ketika melihat Ciong Ek-hi, dan ternyata Ciong Ek-hi juga terkejut melihat orang ini.
Biar wajahnya berkedok tetapi tetap kelihatan sebuah tahi lalat besar di antara kedua matanya.
Maka tahulah Ciong Ek-hi yang bernama asli Ha Cao ini, bahwa rombongan orang berkedok yang muncul belakangan ini adalah kawankawannya, sesama mata-mata Manchu, termasuk Oh Kui-hou gadungan dan Yo Kian-hi yang juga gadungan itu.
Sudah tentu Ciong Ek-hi dan orang bersenjata sepasang Gun-goan-pai itu tidak bisa langsung saling menyapa sebagai teman.
Mereka pura-pura bertempur, namun sambil tukar-menukar isyarat rahasia, sehingga Ciong Ek-hi tahu kalau rombongan orang-orang berkedok yang kedua itu adalah temantemannya semua, dan tujuannya datang ke tempat itu adalah untuk merusak hubungan Li Giam dengan jenderal-jenderal Pelangi Kuning lainnya, itulah sebabnya mereka menampilkan Oh Kui-hou gadungan dan Yo Kian-hi gadungan, supaya pihak Lau Cong-bin menyangka penyerbuan itu benar-benar oleh orangorangnya Li Giam.
Sekarang Ciong Ek-hi harus menyesuaikan diri dengan taktik kawan-kawannya itu.
Maka sambil bertempur, ia pura-pura membentak "lawan"nya dengan keras, sengaja diperdengarkan untuk orang-orangnya Lau Cong-bin.
"Bangsat, biarpun kau berkedok, aku tetap mengenalimu sebagai gerombolannya Li Giam! Jangan ingkar!"
"Lawan"nya juga pura-pura membantah, tetapi sengaja dengan bantahan yang mengambang dan tidak meyakinkan.
"Ngawur saja! Kami sama sekali tidak ada hubungan dengan Jenderal Li! Jenderal Li tidak saling mengenal dengan kami!" Bantahan yang setengah-setengah itu memang malahan mengorbankan kecurigaan orang-orangnya Lau Cong-bin. Kecuali itu, Ciong Ek-hi juga harus membantu tetapi tidak kentara agar semua orang berkedok itu bisa lolos. Ini penting untuk membuat murka Lau Cong-bin. Maka biarpun Ciong Ek-hi kelihatannya bekerja-sama dengan Deng Hu-koan, perwira andalannya Lau Cong-bin, sebenarnya Ciong Ekhi mengacaukan perintah-perintah Deng Hukoan. Kalau Deng Hu-koan memerintahkan.
"Cegat di sebelah barat!"
Maka Ciong Ek-hi akan berteriak hampir bersamaan.
"Lebih baik diperkuat di sebelah selatan saja!"
Dan macam-macam lagi, sehingga akhirnya orang-orang berkedok itu akhirnya berhasil membawa orang-orang keluarga Siangkoan.
Ciong Ek-hi pura-pura penasaran dan mengejar, membawa belasan orang pengawal Lau Congbin, ke lorong-lorong gelap di sekitar kediaman Lau Cong-bin.
Sudah tentu Ciong Ek-hi membawa mereka ke arah yang salah.
Di suatu tempat, diam-diam Ciong Ek-hi sengaja menjatuhkan suatu benda, yang dia harapkan akan diketemukan oleh orang-orangnya Lau Cong-bin.
Karena kota Pak-khia terdiri dari ribuan lorong jalan yang bercabang-cabang di antara rumah-rumah penduduk, apalagi di malam gelap, maka orang-orang berkedok itu tak terkejar.
Den Hu-koan dan orang-orangnya Lau Congbin yang lainnya pun menjadi ketakutan sendiri, membayangkan kemarahan atasan mereka atas kegagalan mereka.
Deng Hu-koan memerintahkan orangorangnya memeriksa tempat di sekitar itu, atas usul Ciong Ek-hi, dengan alasan kalau-kalau menemukan suatu jejak atau tanda atau apa saja yang bisa untuk mengalisa siapa orangorang berkedok itu.
Ciong Ek-hi juga ikut "membantu".
Dan bukan suatu kebetulan kalau Ciong Ek-hi pulalah yang "pertama kali menemukan"
Benda yang tadi dijatuhkannya secara diam-diam itu. Begitu "menemukan", Ciong Ek-hi terus berteriak kepada Deng Hu-koan.
"Kakak Deng, kemari! Aku menemukan sesuatu!"
Deng Hu-koan mendekat, di bawah cahaya obor yang dibawa seorang pengawal, ia meJihat di tangan Ciong Ek-hi ada sebuah lencana logam.
Melihat lambang dan tulisan di lencana itu, jelas kalau lencana itu milik perwiraperwira bawahannya Jenderal Li Giam.
Ciong Ekhi pura-pura masih belum mau percaya.
"Sulit dipercaya. Mungkinkah orangorang berkedok tadi adalah perwira-perwira Jenderal Li yang diperintah untuk merebut kembali tawanan-tawanan itu? Ah, sulit dipercaya..."
Ciong Ek-hi pakai geleng-geleng kepala dan menarik napas segala.
Sedangkan buat Deng Hu-koan yang hatinya sedang panas bercampur takut, panas kepada orang-orang berkedok yang berhasil kabur di depan hidungnya dan takut akan hukuman Jenderal Lau, bukti dan dugaan Ciong Ek-hi itu bisa sedikit meringankan kesalahan di hadapan atasannya nanti.
Maka ia mengambil lencana itu dari telapak tangan Ciong Ek-hi, sambil berkata dengan geram.
"Buat manusia yang hatinya sebusuk Li Giam, apa pun bisa dilakukannya demi mendongkel kedudukan Jenderal Lau. Sampai saat ini Li Giam masih penasaran, kenapa yang menjadi Panglima Tertinggi adalah Jenderal Lau dan bukan dirinya."
Seorang perwira bawahan Lau Cong-bin yang lainnya ikut menimbrung bicara.
"Benar. Orang pendek kecil yang bersenjata sepasang cambuk tadi pastilah Oh Kui-hou, dan yang bersenjata sepasang pedang tadi pastilah Yo Kian-hi. Mereka jago-jago andalannya Li Giam."
Karena dalih itu dianggap bisa meringankan kesalahan, maka semua orang-orangnya Lau Cong-bin seolah-olah bersepakat untuk menggunakan dalih itu demi keringanan hukuman mereka.
Sementara itu, kelompok Helian Kong yang menyelamatkan keluarga Siangkoan serta kelompok yang satunya, setelah berlari-lari sekian lama, lalu berhenti dekat sebuah kuburan yang gelap dan merasa aman dari kejaran orang-orang-nya Lau Cong-bin.
Helian Kong menurunkan Siangkoan Yan, isterinya, yang tadi digendong di punggungnya, sedangkan Siangkoan Heng menurunkan ayahnya, Siangkoan Hi, yang tentu tidak sanggup kalau diajak berlari-lari cepat seperti tadi.
Helian Kong lalu mendekati lima orang berkedok dari kelompok yang datang belakangan tadi.
Lebih dulu Helian Kong menarik turun kedok di wajahnya, begitu juga tiga orang teman Helian Kong, sebagai isyarat bahwa mereka bersedia menganggap orangorang berkedok kelompok lain itu sebagai teman sehingga kedok-kedok tidak diperlukan lagi.
Namun ternyata kelima orang berkedok yang muncul belakangan tadi tidak membuka kedok mereka, meskipun sikap mereka juga tidak bermusuhan.
Itu artinya mereka tidak mau membuka diri tentang siapa diri mereka sebenarnya.
Helian Kong memberi hormat dan berkata.
"Aku mengucapkan terima kasih atas kedatangan sobat-sobat, sehingga aku, keluargaku dan kawan-kawanku terselamatkan dari kematian. Seandainya sobat-sobat tidak datang, mungkin kami bertujuh sudah dicincang habis oleh orang-orangnya Lau Cong-bin....."
Seorang dari orang-orang berkedok itu membalas hormat dan berkata mewakili temantemannya.
"Tidak jadi soal, Jenderal Helian. Kita kan sesama pejuang...?"
Panggilan "jenderal"
Itu agak mencurigakan Helian Kong.
Meskipun Helian Kong sudah mencapai pangkat yang tinggi di jaman dinasti Beng, tetapi belum sampai berpangkat "jenderal".
Orang-orang pergerakan bawah tanah yang memperjuangkan bangunnya kembali dinasti Beng di Pak-khia tahu semua itu, dan tidak ada yang memanggil Helian Kong dengan "jenderal".
Tetapi orang itu tadi sudah mengatakan "kita kan sesama pejuang"
Sehingga Helian Kong jadi ingin tahu mereka pejuang dari kelompok yang mana, sebab di Pak-khia ada beberapa kelompok yang semuanya dikenal oleh Helian Kong. Tanya Helian Kong kemudian.
"Aku sangat bergembira bisa bertemu dengan sesama kawan seperjuangan. Kalau aku boleh tahu nama kalian, sobat-sobat, dan kelompok kalian? Supaya lain kali kita bisa berhubungan dan bekerja sama....."
Pimpinan orang berkedok itu geragapan, tidak menyangka kalau kata-katanya tentang "sesama pejuang"
Itu bisa menyudutkannya. Tentu saja tidak mungkin mengaku terus terang kalau mereka adalah kelompok mata-mata Manchu, sebuah negeri asing. Akhirnya orang itu cuma menjawab.
"Kami tidak membentuk kelompok, Jenderal Helian. Kami cuma orangorang biasa, bukan bekas prajurit-prajurit dinasti Beng, cuma kebetulan orang-orang yang punya sedikit kelebihan dan sedikit nyali, dan kebetulan pula sudah muak melihat tingkah laku orang-orang semacam Lau Cong-bin atau Gu Kim-sing yang menepuk dada sebagai pembela-pembela rakyat kecil, tetapi kelakuannya seperti rampok. Sudah, cuma itu. Kami tidak berkelompok."
Jawaban itu sulit dipercaya oleh Helian Kong, maka sebagai basa-basi saja Helian Kong berkata.
"Aku hanya menganjurkan kepada sobat-sobat, agar perjuangan kalian lebih terarah, ada baiknya kalian bergabung dengan kelompok-kelompok yang sudah ada."
Helian Kong memang sekedar basa-basi.
Ia menganjurkan agar bergabung dengan kelompok-kelompok bawah tanah yang sudah pasti punya kode-kode rahasia untuk berbagai keperluan, namun tidak memberitahukan kodekode rahasia itu kepada orang-orang berkedok itu, sebab Helian Kong sendiri belum yakin siapa mereka.
Dan orang itu pun menjawab secara basabasi juga.
"Saran Jenderal Helian akan kami pertimbangkan sungguh-sungguh. Sekarang karena malam sudah larut, perkenankanlah kami mohon diri."
Orang-orang itu bukan hanya memberi hormat dengan santun kepada Helian Kong, tetapi juga kepada Siangkoan Yan dan lainlainnya, setelah itu barulah berlari-lari kecil menghilang ke dalam kegelapan.
Sebegitu jauh, mereka tetap tidak membuka kedok mereka.
Setelah mereka menghilang, Siangkoan Heng bertanya kepada Helian Kong.
"Percayakah kau kata-kata mereka?"
Helian Kong cuma tersenyum masam. Sementara salah seorang teman Helian Kong berkomentar.
"Pengakuan mereka hanya sebagai orang-orang yang muak akan kediktatoran Lau Cong-bin, adalah pengakuan bohong. Tindakan mereka malam ini bermuatan maksud politis. Lihat saja, dua dari antara mereka disuruh memerankan sebagai Oh Kuihou dan Yo Kian-hi...."
"Mereka mungkin bermaksud mengadudomba antara Lau Cong-bin dan Li Giam. Mereka seolah-olah menolong kita, padahal sekedar membonceng tindakan kita namun dengan maksud tersendiri."
"Kalau mereka hendak mengadu-domba tokoh-tokoh Pelangi Kuning itu, barangkali mereka memang pejuang-pejuang yang sehaluan dengan kita. Hanya saja barangkali belum mempercayai kita......"
Tetapi Helian Kong menggeleng dan berkata.
"Bukan cuma kita yang menghendaki lemahnya dan runtuhnya pemerintahan Li Cu-seng. Ada pihak lain...."
"Siapa?"
"Pemerintahan Manchu. Bedanya, kalau kita menghendaki keruntuhan Li Cu-seng untuk digantikan kembali oleh dinasti Beng, orang Manchu tentunya menginginkan berkuasa setelah runtuhnya L i Cu-seng. Mereka adalah pihak yang perlu diwaspadai. Ambisi mereka tidak pernah padam, untuk meluaskan wilayah ke selatan..."
Orang-orang itu menjadi tegang, dan bertukar pandangan satu sama lain. Helian Kong memecahkan ketegangan itu dengan tawanya yang lunak, katanya sambil menepuk salah seorang temannya yang berewokan dan gemuk.
"Tidak perlu gentar. Kancah yang kita masuki ini memang kancah permusuhan segi-tiga yang sejak dulu sudah kita sadari. Yang penting kita harus lebih berhati-hati. Selidiki kelompok itu."
"Baik, Cong-peng."
Orang itu ditugasi demikian, karena dia adalah anggota kelompok bawah tanah yang beroperasi di dalam kota Pak-khia.
Kemudian mereka bubar.
Helian Kong bersama isterinya, mertuanya dan saudara iparnya mengambil suatu arah tersendiri.
Dalam pada itu, orang-orangnya Lau Congbin dan orang-orangnya Gu Kim-sing yang membantunya telah melaporkan kepada Lau Cong-bin tentang apa yang terjadi.
Laporan tidak diberikan di ruangan pesta, melainkan di sebuah ruangan lain.
Keruan Lau Cong-bin mencak-mencak saking gusarnya mendengar laporan itu, apalagi ketika ia ditunjuki lencana perwira bawahan Li Giam sebagai "bukti"
Bahwa Li Giamlah yang berada di belakang layar dalam soal pembongkaran penjara itu.
Karena para bawahannya berhasil mengalihkan seluruh kesalahan ke pundak Li Giam, maka para bawahan itu selamat.
Sebaliknya Li Giamlah yang ditumpahi kegeraman tiada taranya, meskipun orangnya sendiri tidak hadir di situ.
"Li Giam, hatimu yang busuk itu memang sudah aku ketahui sejak lama! Kau iri kepadaku karena menganggap bahwa kedudukanku yang sekarang ini adalah kedudukanmu. Hem, kau boleh saja menjadi kesayangan Sri Baginda, tetapi kalau sampai aku tidak bisa menyingkirkanmu, percuma aku bernama Lau Cong-bin!"
Bawahan-bawahannya merasa lega.
Duga Ciong Ek-hi yang bukan bawahan langsung pun ikut lega.
Ang Bik juga ikut lega.
Kemudian, dalam kegusarannya kepada Li Giam, Jenderal Lau memerintahkan agar Tan Wan-wan dibawa keluar untuk diserahkan kepada para tamu untuk diperlakukan semaumaunya.
"Tan Wan-wan itu bekas selir Kaisar Congceng dan calon isteri Bu Sam-kui, tetapi Li Giam menyimpannya, melindunginya dan tidak menghukumnya. Pasti Li Giam telah tergila-gila kepada kecantikan Tan Wan-wan dan dijadikannya Tan Wan-wan simpanannya. Hem, orang she Li itu kelihatannya saja alim, tetapi munafik. Sekarang akan aku permalukan; si cantik kesayangannya itu di depan banyak orang. Seret keluar Tan Wan-wan dan dilucuti seluruh pakaiannya!"
Tetapi sebelum perintah itu dijalankan, seorang pengawal pribadi masuk ke ruangan itu dan melapor.
"Jenderal, Jenderal Li Giam datang berkunjung!"
Waktu itu sudah larut malam, maka Lau Cong-bin keheranan bahwa Li Giam tiba-tiba saja datang ke pestanya. Namun kemudian kemarahannyalah yang berbicara.
"Bagus! Orang she Li itu seperti ular mencari gebuk. Tidak peduli dia orang kesayangan Sri Baginda, jangan harap bisa keluar dari rumah ini dengan selamat. Di mana dia sekarang?"
"Di ruang pesta."
Dengan hati yang panas, Lau Cong-bin melangkah kembali ke ruang pesta.
Sudah disiapkannya kata-kata yang pedas Untuk menghukum Li Giam sambil menunjukkan bahwa dialah yang paling berkuasa di bawah Kaisar Tiong-ong sendiri.
Tidak peduli bakal berhadapan dengan orang kesayangan kaisar yang menjadi duri dalam dagingnya, la bahkan tidak memikirkan resiko kena marah kaisar.
Begitu ia melangkah masuk ke ruangan pesta, hatinya semakin panas melihat Li Giam tidak memakai pakaian pesta, melainkan pakai jubah sehari-harinya yang amat sederhana.
Li Giam tidak duduk, melainkan berjalan hilirmudik dengan tenang di ruangan pesta, ditatap oleh puluhan pasang mata orang-orang yang hadir di pesta dengan kebingungan campur tegang.
Lau Cong-bin langsung meledak.
"Bagus sekali perbuatanmu, Li Giam! Kau tidak menganggapku sebagai Panglima Tertinggimu, padahal kedudukan itu diberikan sendiri oleh kaisar. Kau sama saja dengan menghina kaisar, dan sekarang kau tidak berlutut kepadaku?"
Dengan sikap tenang, Li Giam mengangkat gulungan sutera kuning, sambil berkata penuh wibawa.
"Perintah Kaisar!"
Mulut Lau Cong-bin bagaikan dijahit mendadak, Gu Kim-sing yang selama ini ikut mengusik-usik Li Giam juga ikut deg-degan, jangan-jangan Perintah Kaisar itu berisi sesuatu yang tidak menguntungkan dirinya? Ada peraturan, berhadapan dengan pembawa Perintah Kaisar sama saja berhadapan dengan kaisar secara pribadi.
Karena itulah biarpun dengan terpaksa, Lau Cong-bin berlutut di hadapan Li Giam.
Semua orang yang hadir di ruangan itu juga ikut berlutut.
Suasana ruangan jadi sunyi mencengkam, rasanya terdengar jelas suara gemerisik lembut ketika Li Giam membeberkan Lau Cong-bin langsung meledak.
"Bagus sekali perbuatanmu, Li Giam! Kau tidak menganggapku sebagai Panglima Tertinggi. surat Perintah Kaisar yang terbuat dari sutera kuning bersulam itu. Lalu sepatah kata demi sepatah kati Li Giam membacakan surat Perintah Kaisar itu, yang secara singkat isinya memerintahkan agar Lau Cong-bin menyerahkan Tan Wan-wan dan keluarga Siangkoan dalam keadaan hidup dan secara baik-baik kepada Li Giam, untuk segera dibawa ke istana kaisar sendiri untuk dilindungi di sana. Lau Cong-bin mengertak gigi dengan geram, namun tidak bisa tidak ia hanya menyambut perintah itu dengan seruan "Ban-swe"
Yang artinya adalah "selaksa tahun"
Yang bermakna memujikan kelestarian pemerintahan kaisar. Namun dalam hatinya Lau Cong-bin mengutuk Li Giahn dan juga mengutuk Kaisar Tiong-ong.
"Mulut busuk Li Giam kali ini telah berhasil membujuk si raja goblok untuk mempermalukan aku di depan umum. Tetapi tunggulah, ada saatnya Li Giam akan tersingkir dan si kaisar goblok terjungkir dari singgasananya, dan akulah yang pantas untuk menjadi Kaisar... hem."
Tetapi Lau Cong-bin lega juga, bahwa dalam Perintah Kaisar itu kedudukannya sebagai Panglima Tertinggi tidak diutik-utik.
Ia cuma harus menyerahkan Tan Wan-wan dan keluarga Siangkoan ke istana kaisar.
Sementara Li Giam telah menggulung kembali Perintah Kaisar itu, lalu menyerahkannya kepada Lau Cong-bin dengan kedua tangannya dalam sikap hormat.
Orangorang pun sudah bangkit dari berlututnya, karena Perintah Kaisar sudah selesai dibacakan.
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lau Cong-bin menerimanya dengan wajah masam, sambil menyindir.
"Jenderal Li, bagus sekali perbuatanmu kali ini."
Li Giam heran.
"Maksud Kakak Lau?"
"Jangan pura-pura tidak tahu. Pertama, kau pasti sudah mengadukan aku ke hadapan Sri Baginda hanya untuk membela Tan Wan-wan keluarga Siang-koan, padahal mereka hanyalah begundal-begundal dinasti Beng yang patutnya dihukum mati, Kedua, kau sudah menyuruh orang-orangmu untuk mengambil keluarga Siangkoan dengan cara yang sangat kurang ajar, sekarang kau berpura-pura sopan akan mengambil keluarga Siangkoan yang sudah tidak ada di rumahku?"
Li Giam terkejut.
"Apa iya?"
Lau Cong-bin tertawa dingin.
"Ke-, kagetanmu itu kalau pura-pura, menandakan kemunafikanmu. Kalau sungguh-sungguh, menunjukkan kau tidak dapat mendisiplin anak buahmu sehingga mereka bertindak semaunya, bahkan terhadap aku, Panglima Tertinggi!"
"Kakak Lau jangan menuduh sembarangan. Aku sama sekali tidak memerintahkan orangorangku untuk mengambil keluarga Siangkoan. Biarpun aku tidak setuju mereka itu Kakak tahan, tetapi aku mengusahakan pembebasannya dengan cara baik-baik, dengan menghadap Sri Baginda, tidak dengan cara kekerasan. Lau Cong-bin menyapukan pandangannya ke arah orang-orang yang hadir, lalu berkata keras kepada mereka sambil menunjuk Li Giam yang masih berdiri di tengah ruangan dan belum dipersilakan duduk.
"Sobat-sobat, lihat orang ini, alangkah pintarnya dia berpura-pura. Padahal kesalahannya sudah jelas, dia telah menyembunyikan buronan-buronan penting dinasti Beng. Dia sudah mengirim orang-orang biadabnya untuk mengaduk-aduk rumahku, sekarang dia menuduhku berbohong lagi..."
Semua orang terbungkam diam, tidak ada yang berani ikut-campur dalam pertentangan kedua tokoh puncak Pelangi Kuning itu.
Lau Cong-bin adalah Panglima Tertinggi, sedang Li Giam adalah orang kesayangan Kaisar Tiongong.
Orang-orang khawatir kalau memihak salah satu, padahal yang dibela itu nantinya kalah bersaing, kedudukan mereka bisa ikut goyah.
Maka paling aman ya tidak usah ikutcampur.
Suara Lau Cong-bin semakin meninggi, sejalan dengan hatinya yang semakin panas.
"Li Giam, manusia busuk! Jangan mentang-mentang Kaisar memberi hati kepadamu terus kau berani menginjak kepalaku! Apakah kau pikir aku ini buta, sehingga tidak mengetahui siapa yang malam ini mengaduk-aduk rumahku? Cukup banyak anak buahku dan juga anak buah Jenderal Gu yang melihat bahwa di antara orang-orang yang menyerbu tadi, terdapat Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi, dua tukang kepruk kesayanganmu, biarpun kedua-duanya memakai kedok!"
Tergetar juga hati Li Giam, benarkah Oh Kuihou dan Yo Kian-hi yang begitu setia, telah melakukan sesuatu di luar perintahnya? Ditenangkannya hatinya, dan berkata.
"Apakah ada bukti?"
Lau Cong-bin membanting lencana perwira ke lantai, ke dekat kaki Li Giam.
"Ini! Benda ini ditemukan di tempat keributan. Pasti terjatuh dari tubuh orang-orangmu!"
Li Giam membungkuk untuk memungut benda itu, lalu mengamat-amatinya, dan wajahnya berubah.
"Lencana ini memang biasa dibawa oleh perwira-perwira bawahanku. Bahkan tidak semua yang memiliki ini, hanya beberapa orang dekatku..." Kata-kata Li Giam itu sungguh diiuar dugaan para hadirin yang tadinya mengira Li Giam akan menyangkal mati-matian dan berkelit habishabisan, ternyata malah mendengar Li Giam mengakui lencana itu kepunyaan orang-rorang dekatnya. Banyak yang mengganggap Li Giam tolol dan cari penyakit, namun tidak sedikit yang kagum akan kelurusan hati Li Giam. Lau Cong-bin mendengus dingin.
"Tidak cukup hanya mengakuinya, setelah mengakuinya lalu apa yang akan kau perbuat?"
"Aku akan menanyai orang-orangku, dan menghukum siapa yang sudah bertindak di luar perintahku."
"He-he-he, menanyai maling, mana ada yang mengaku?"
"Pokoknya ini adalah urusanku, Kakak Lau. Dan sekarang aku harus melaksanakan perintah Sri Baginda untuk membawa Nona Tan Wanwan ke istana. Kalau keluarga Siangkoan sudah benar-benar tidak ada di tempat ini, Nona Tan Wan-wanlah yang harus aku bawa." Karena Li Giam bertindak berdasar perintah Kaisar, biarpun hatinya penasaran, Lau Congbin mau tidak mau harus menurutinya. Ia memerintahkan orang-orangnya untuk mengambil Tan Wan-wan, dan kali ini Tan Wanwan mau disuruh keluar setelah diberi tahu bahwa Li Giamlah yang menjemputnya. Tan Wan-wan juga girang mendengar orang-orang Keluarga Siangkoan sudah lolos dari maut. Di hadapan Li Giam, Tan Wan-wan menghormat dengan sebelah kaki berlutut.
"Salam dan hormatku untuk Jenderal."
Waktu itu seluruh ruangan sunyi senyap, ibaratnya sebatang jarum yang jatuh akan didengar oleh semua orang. Sebab para hadirin banyak yang terpesona melihat kejelitaan Tan Wan-wan, bahkan Gu Kim-sing yang pertama kali "memberi info"
Kepada Lau Cong-bin. juga baru sekali ini melihatnya, dan ikut melongo. Pikirnya.
"Pantas si tua-bangka she Lau itu keranjingan. Dan pantas juga si bangsat Li Giam juga mempertahankan mati-matian, sampai tidak segan-segan mengadu kaisar, dan jangan jangan sekarang Kaisar pun ikut keranjingan? Hem, aku mau kehilangan separuh dari kekayaanku asal bisa tidur semalam saja dengan dia..."
Sementara itu, Tan Wan-wan merasa amat kikuk karena sekian banyak mata lelaki menatapnya seperti serigala-serigala kelaparan. Ada yang trdak malu-malu menelan ludahnya sehingga mengeluarkan suara "cegluk"
Yang keras dan terdengar jelas di kesunyian ruangan itu.
Bukannya merasa bangga akan kecantikannya, Tan Wan-wan justru merasa amat terhina, karena merasa setiap lelaki memandangnya hanya sebagai penghibur atau teman tidur saja.
Tak terasa air matanya menitik setetes.
Li Giam mengerti perasaan Tan Wan-wan, tiba-tiba timbul niatnya untuk mengangkat martabat Tan Wan-wan di depan banyak orang yang hadir di tempat itu.
Ingin memberitahu orang-orang itu tentang siapa Tan Wan-wan sebenarnya dan seberapa besar jasa-jasanya kepada perjuangan kaum Pelangi Kuning.
Kata Li Giam, tidak lantang namun cukup didengar oleh orang-orang di situ.
"Tuan-tuan, setiap lelaki di antara kita pernah berada di medan pertempuran yang ganas, ketika kita memperjuangkan cita-cita. Kita barangkali pernah membanggakan berapa musuh yang pernah kita bunuh, berapa kota-benteng yang pernah kita panjat, berapa milik musuh yang pernah kita rampas. Tetapi kekuatan belaka tak berarti tanpa tahu dengan jelas perbandingan kekuatan kita dan kekuatan musuh, lebih-lebih lagi kalau kita mengetahui taktik musuh. Sebab Sun Cu pernah berkata, mengetahui musuh seperti mengetahui diri sendiri, seratus kali berperang akan menghasilkan seratus kemenangan....."
Li Giam berhenti sejenak, banyak pendengarnya mengangguk-angguk. Termasuk yang buta huruf, supaya dikira juga pernah membaca kitab-militernya Sun Cu. Lau Cong-bin juga mengangguk-angguk meskipun ia pernah kepergok oleh bawahannya sedang "membaca"
Buku yang dipegang terbalik. Sementara Li Giam, meneruskan.
"Pasukan yang besar, persenjataan yang lengkap, keberanian yang berkobar-kobar, semuanya itu tidak ada gunanya kalau kita buta terhadap kekuatan musuh. Nah, sobat-sobat, aku buka suatu rahasia sekarang, kalau kalian pernah tahu prestasiku di medan perang, semua itu tidak lepas dari jasa Nona Tan ini. Nona Tan inilah yang secara rajin mengirimi aku keterangan-keterangan rahasia dari istana Kaisar Cong-ceng, sehingga aku bisa mengetahui semua gerakan militer musuh dan mengalahkan mereka. Li Giam bukan apa-apa tanpa Tan Wan-wan, itulah yang harus kalian ketahui!"
Semua orang di ruangan itu, tanpa kecuali, memang baru kali ini mendengar itu, dan mereka terkejut mendengar pengakuan Li Giam.
Selama ini banyak orang diam-diam menganggap Li Giamlah yang pantas menjadi Panglima Tertinggi, karena Li Giam adalah hulubalang golongan Pelangi Kuning yang paling hebat merangsek pasukan dinasti Beng dan mencatat kemenangan besar demi kemenangan besar.
Kalau posisi Panglima Tertinggi akhirnya jatuh ke tangan Lau Congbin, banyak orang menganggap Lau Cong-bin hanya "beruntung", toh setelah Lau Cong-bin berhasil memasuki kota Pak-khia lebih dulu dengan membobol pintu-gerbang Soan-bu-mui, Lau Cong-bin tidak mampu merebut Ci-kim-shia (Kota Terlarang), yaitu "kota di tengah kota"
Yang merupakan kompleks istana dan dipertahankan dengan gigih oleh pasukanpasukan terbaik dinasti Beng.
Li Giamlah yang memasukinya lebih dulu.
Nama Li Giam harum di kalangan militer, dan tiba-tiba sekarang Li Giam menyatakan dengan jelas bahwa dirinya bukan apa-apa tanpa Tan Wan-wan.
Banyak pandangan orang terhadap Tan Wanwan berubah, bahkan banyak yang diam-diam mulai menaruh hormat.
Kalau benar yang dikatakan Li Giam itu, maka Tan Wan-wan adalah seorang pahlawan kaum Pelangi Kuning yang tidak kalah besarnya dengan Li Giam sendiri, bahkan bisa jadi lebih besar dari Lau Cong-bin yang sekedar beruntung atau Gu Kimsing yang cuma pintarnya menyikut rekanrekannya sendiri.
Hancurnya Sebuah Kerajaan Karya Siao Shen Sien Pendekar Cacad Karya Gu Long Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung