Kembang Jelita Peruntuh Tahta 5
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP Bagian 5
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya dari Stevanus SP
Seorang perwira lain yang berada di dekatnya, bertanya.
"Komandan, apakah nanti malam kita akan menyerang lagi?"
"Tergantung laporan mata-mata kita sore ini. Tetapi dugaanku, malam ini tentu pihak musuh lebih berjaga-jaga setelah serangan kita semalam. Mereka tentu tidak mau kecolongan untuk kedua kalinya."
"Kalau begitu, apakah peluang kita untuk mengulangi serangan itu sudah tertutup?"
"Tentu saja tidak. Asal kita mau pakai otak sedikit. Kita masih bisa meracuni sungai yang menjadi sumber keperluan minum mereka, menghancurkan jembatan-jembatan yang menghubungkan dengan Pak-khia, dan seribu satu akal lainnya. Dengan jumlah kita yang sedikit, kita bisa membuat kesan bisa muncul di mana-mana, sehingga merekalah yang merasa terkepung, bukan teman-teman kita di San-haikoan. Ini akan membuat Lau Cong-bin bercermin akan kegoblokannya...."
III Perwira bawahannya mengangguk-angguk.
"Tetapi Lau Cong-bin inilah yang dulu menggempur Pak-khia dan berhasil memasuki Kotaraja Pak-khia pertama kali. Bukan Li Giam atau Gu Kim-sing."
"Tentu saja aku tidak bermaksud meremehkannya, tetapi juga jangan silau dengan keberuntungannya itu. Aku menamakannya keberuntungan, bukan keberhasilan, ketika ia memasuki Pak-khia mendahului Li Giam dan Gu Kim-sing. Untung buat dia sebab saat itu seluruh pasukan Kerajaan Beng kita sedang terpusat menghadapi Li Giam yang menggempur hebat dari selatan dan Gu Kim-sing dari arah lainnya lagi. Nah, saat itulah Lau Cong-bin menyelonong dan merebut pintu gerbang Soan-bu-mui yang kurang terjaga. Itu hanya suatu keberuntungan, dan suatu keberuntungan tidak bisa diulangi terusmenerus."
"Kalau dia menyerbu ke pegunungan ini?"
"Itu lebih bagus. Mereka akan melewati tempat-tempat yang sudah kita pasangi III perangkap, dan jumlah mereka akan berkurang banyak. Kalau toh setelah melewati perangkapperangkap itu mereka belum juga kapok dan tetap melanjutkan langkah, kalau tidak tersesat di pegunungan yang tidak mereka kenali, mereka akan kita ajak main kucing-kucingan sampai mereka habis sendiri..."
Kata-kata Kongsun Koan itu kedengarannya membesarkan hati, dan perwira yang diajaknya bicara itu pun mengangguk-anggukkan kepala, dalam hatinya berharap mudah-mudahan perhitungan komandannya itu berjalan dengan mulus.
Ketika itulah seorang prajurit berlari-lari mendekat.
Orang-orang yang ada di sekitar Kongsun Koan sudah tegang hatinya, menduga prajurit itu tentu akan melaporkan tentang serangan musuh.
Ternyata setelah tiba di depan Kongsun Koan, yang dilaporkan prajurit itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan musuh.
"Komandan, di sebelah utara dari tempat ini, kami menemukan sebuah gua..."
III Kongsun Koan masih bersikap meremehkan laporan itu.
"Kau ini bikin kaget orang saja. Di pegunungan ya lumrah kalau ada gua, kenapa harus diributkan?"
"Komandan, gua itu sempit di luarnya, tetapi dalamnya ternyata luas. Dan ada tandatanda bekas didiami manusia dalam jumlah besar..."
Keterangan susulan itu sedikit menggerakkan hati Kongsun Koan. Ia berpikir daripada duduk terkantuk-kantuk di bawah pohon tanpa pekerjaan, apa salahnya melihatJihat gua yang dilaporkan anak buahnya itu? Ia bangkit, katanya kepada prajurit itu.
"Tunjukkan tempatnya kepadaku. Jauh?"
"Tidak terlalu jauh."
"Bagaimana kau menemukannya?"
"Ketika sedang mengejar binatang liar."
Pasukan itu memang baru tiba di tempat itu dini-hari tadi, setelah malamnya menyerang perkemahan Jenderal Lau, dan mereka belum memeriksa teliti tempat itu.
Kini laporan III tentang adanya gua besar itu menarik perhatian Kongsun Koan.
Tidak lama kemudian, tibalah mereka di mulut gua itu.
Memang mulut gua itu kecil dan rendah, sehingga Kongsun Koan harus menundukkan kepalanya ketika melewatinya.
Namun bagian dalam gua itu ternyata luas dan langit-langitnya tinggi.
"Seribu orang bisa masuk ke sini......."
Komentar Kongsun Koan. Prajurit-prajurit yang mengantarnya kemudian berklata.
"Dan ada bekas-bekas kalau tempat ini belum lama didiami orang berjumlah besar, kemudian ditinggalkan pergi begitu saja."
"Mana tanda-tandanya?"
"Ke sini jalannya, Komandan."
Prajurit itu mengajak Kongsun Koan ke sebuah lorong lain yang berujung juga di sebuah gua cabang yang lebih kecil.
Ada cahaya matahari yang masuk ke dalam gua itu melalui lubang kecil di langitlangit gua, dan ada lubang di dinding gua yang tertutup belukar, dari situ udara pegunungan yang sejuk terasa berhembus mengusap kulit.
III Di lantai gua, nampak lubang besar yang tadinya rupa-rupanya ditutupi helai-helai papan, namun papan-papan itu sudah minggir, agaknya sudah dicongkel oleh prajurit-prajurit Kongsun Koan sebelum melapor.
Di dalam lubang besar itu bertumpuk-tumpuk alat-alat memasak yang lazim terdapat di tangsi-tangsi tentara.
Agaknya gua cabang itu berfungsi sebagai "dapur umum".
Otak Kongsun Koan yang tajam langsung dihinggapi kecurigaan melihat peralatan itu.
Tadi ia menduga, gerombolan yang pernah menghuni gua itu tentunya kawanan bandit pegunungan, meskipun masih agak diragukan karena selama ini belum pernah terdengar tentang adanya gerombolan bandit di dekat San-hai-koan itu.
Tetapi perlengkapan makan itu terlalu rapi untuk gerombolan bandit, juga keadaan gua yang tetap bersih.
"Kalau bandit-bandit yang dulunya mendiami gua ini, kemudian mereka terbiritbirit lari karena kita datang, rasanya mereka III takkan meninggalkan tempat serajin ini. Pasti acak-acakan,"
Gumam Kongsun Koan. Prajuritnya menoleh mendengar gumam itu, matanya memancarkan pertanyaan. Sementara Kongsun Koan terus mendugaduga.
"Barang-barang seperti ini lebih cocok kalau ditinggalkan bukan oleh sekelompok bandit, tetapi oleh sebuah...."
Dan kata-kata Kongsun Koan tiba-tiba terhenti, tidak melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba saja dibuat berkeringat dingin oleh dugaannya sendiri.
"Kenapa, Komandan?"
Bawahannya bertanya heran. Kongsun Koan menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat untuk melegakan hatinya, barulah melanjutkan katakatanya yang terputus tadi.
"Aku menduga, yang pernah mendiami gua ini adalah sebuah pasukan yang terlatih dan tinggi dalam disiplin."
Seorang bawahannya yang lain menyambung.
"Dan mereka belum lama pergi dari sini. Mungkin belum lima hari ini. Pancipanci masak ini sudah kotor oleh tanah tetapi III belum berkarat, menandakan kalau belum lama ditinggal pergi.."
Sambil berkata demikian, orang itu menggunakan ujung tombaknya untuk mengait sebuah panci masak. Bawahan Kongsun Koan yang lain bertanya.
"Kalau benar dugaan Komandan bahwa gua ini pernah ditinggali sebuah pasukan, kira-kira pasukan dari pihak mana?"
"Yang terang bukan kawan kita, sebab mereka lari melihat kita. Itu bukan sikap seorang kawan."
"Mungkinkah pasukan gunungnya Lau Cong-bin?"
Kongsun Koan sendiri tidak bisa memastikan, melainkan hanya menduga-duga. Tetapi sebuah gagasan muncul di kepalanya.
"Kita pakai gua ini sebagai tempat untuk merawat teman-teman kita yang terluka."
"Jadi kita pindahkan kemari?"
"Ya. Meskipun tidak bisa memuat seluruh pasukan sekaligus. Diutamakan hanya yang sedang menderita luka-luka."
III Begitulah, pasukan Kongsun Koan pun berpindah ke gua bekas tempat "pasukan misterius"
Itu. Kongsun Koan sendiri belum bisa memastikan pasukan itu di pihak mana, tetapi ia mulai memperhitungkan adanya pihak ketiga yang "ikut bermain kucing-kucingan"
Di pegunungan yang luas di dekat Tembok Besar tersebut.
Mungkinkah pihak ketiga itu orangorang dari luar Tembok Besar? Orang-orang Manchu atau Mongol yang hendak mengail di air keruh? Pikiran itu melingkar-lingkar tanpa jawaban.
Sementara hari semakin sore dan bagian-bagian pegunungan yang masih kena sinar matahari hanyalah puncak-puncaknya, sedang bagian lembah-lembahnya sudah menjadi gelap dan mulai terasa dingin.
Saat itulah seorang prajurit kembali datang melapor kepada Kongsun Koan, dan laporannya kali ini benar-benar bersangkut-paut dengan urusan perang.
"Komandan, ada sebuah pasukan keluar dari perkemahan Lau Cong-bin III menuju ke mari. Jumlahnya kira-kira lima ribu orang...."
Wajah Kongsun Koan menegang mendengar jumlah itu.
Prajuritnya sendiri hanya tiga ribu orang, dikurangi yang tewas dan luka-luka semalam.
Tetapi untuk menenteramkan dan membesarkan hati perwira-perwira bawahannya yang ikut mendengar laporan itu, Kongsun Koan pura-pura tertawa dan berkata.
"Jumlah hampir tak ada pengaruhnya dalam pertempuran di pegunungan ini, tidak seperti pertempuran di dataran terbuka. Yang memegang peranan adalah siapa yang lebih siap di pegunungan ini, siapa yang lebih mengenal lekuk-liku pegunungannya, dan di segi itu kita unggul. Jangan gentar.."
Lalu tanyanya kepada prajurit pelapor itu.
"Sekarang sudah sampai di mana mereka?"
"Mereka sudah memanjat di lereng selatan yang dekat kelokan sungai kecil itu."
Kongsun Koan tersenyum.
"Betul tidak? Mereka buta sama sekali terhadap pegunungan III ini. Mereka akan berputar-putar lama di lereng selatan, dan mungkin akan mendekati perangkap-perangkap kita di situ."
Seorang perwira bawahan Kongsun Koan berkomentar heran.
"Heran, kenapa mereka tidak mengikuti jejak kaki kita di kaki pegunungan?"
Kongsun Koan, berkata.
"Mungkin mereka menyangka jejak-jejak itu sengaja dibuat untuk menjebak mereka, lalu mereka menghindarinya dan mencari jalan sendiri. Hemm, mereka sok pintar. Tetapi sama saja, mereka sedang mendekati perangkap-perangkap kita, dan di perangkap-perangkap itu, jumlah mereka akan berkurang...."
"Apa tindakan kita sekarang, Komandan?"
"Malam ini kita akan memintas jalan lewat kaki Puncak Cemara, dan besok pagi-pagi kita akan menghadang mereka di tanjakan dekat jembatan bambu. Aku yakin, seandainya pasukan musuh berjalan terus di malam hari pun, mereka takkan mendahului tiba di tempat III sasaran. Kita akan tiba lebih dulu malam ini dan langsung memasang barisan pendam."
"Bagaimana kalau musuh ternyata berbelok ke timur, sehingga kita hanya menghadang angin?"
"Tidak. Dengan melihat arah jejak kaki kita di kaki pegunungan, mereka pasti dapat memperkirakan arah menuju tempat kita berada. Mereka boleh jadi memang agak tolol karena mereka adalah anak buah si Tolol Besar Lau Cong-bin, tetapi mereka pastilah tidak tolol sekali."
Begitulah.
Habis makan malam, prajuritprajurit itu, mengendap di bawah bayangbayang malam menuju sasarannya.
Kongsun Koan melarang pasukannya membawa obor terlalu banyak, selain untuk menghemat minyak yang terbatas jumlahnya, juga jangan sampai diketahui musuh dari kejauhan.
Kongsun Koan sendiri berjalan paling depan, lengkap dengan pakaian perangnya, dengan pedang besarnya tergantung di pinggangnya.
III "Seandainya musuh melihat, semoga mereka menyangkanya sebagai kunangkunang..."
Desis Kongsun Koan.
".... dan kalau pun mereka tahu bahwa kita adalah musuh mereka, mudah-mudahan mereka salah menghitung jumlah kekuatan atau posisi kita."
"Mereka takkan melihat,"
Sahut seorang perwira yang kakinya baru saja kejeblos lobangkarena gelapnya.
"Paling-paling mereka belum jauh dari lereng selatan. Aku merasa tidak ada salahnya kita menyalakan banyak obor supaya jangan ada yang kejeblos lagi."
"Kita harus menghemat minyak,"
Sahut rekannya.
"Kita bisa membuat obor-obor dan rantingranting kering yang dinyalakan ujungnya..."
"Komandan khawatir kalau terlalu banyak obor, akan terlihat oleh.. aduh!"
Si pembicara itu tiba-tiba mengaduh karena kakinya tersandung akar pepohonan yang menonjol di tanah dan membuatnya jatuh tertelungkup. III Ketika ia bangkit kembali dibantu rekannya, ia berkata.
"Barangkali kau yang betul. Kita perlu banyak obor.."
Menjelang tengah malam, Kongsun Koan dan pasukannya sudah tiba di tempat yang diperkirakan akan dilewati pasukannya Jenderal Lau besok pagi atau siang.
Rencana penghadangan pun ditetapkan, siapa yang harus menggelindingkan batu dari lereng, siapa yang harus merobohkan jembatan kali, siapa yang harus menghadang di ujung jembatan.
Tempat itu adalah sebuah jalan sempit dan agak menanjak, dengan tebing tinggi di sebelah utaranya dan sungai sempit yang dalam serta berarus deras di sebelah kirinya, dan ada jembatan kayu yang diperkirakan akan dilewati musuh.
Di tempat macam itu, memang pasukan yang berjumlah lebih besar tidak terjamin kemenangannya, tetapi pasukan yang lebih siaplah yang akan mengambil keuntungan.
Dan Kongsun Koan begitu yakin bahwa pasukannyalah yang lebih siap.
Lebih mengenal III tempatnya, dan lebih dulu bersembunyi di tempat itu.
"Sekarang semuanya beristirahat,"
Perintah Kongsun Koan.
"Begitu fajar menyingsing nanti, tidak perlu lagi aku memerintah-merintah kalian, tetapi kalian langsung menempati posisi masing-masing. Mengerti?"
Para komandan bawahan itu pun mengangguk-angguk.
Di pihak lawan, yang dipimpin oleh seorang perwira bawahan Jenderal Lau yaitu Ong Lingpo, yang semangatnya maupun usianya kirakira sama dengan Kongsun Koan, malam itu juga sedang beristirahat di pegunungan yang sama, tetapi tentu saja tidak dapat saling melihat karena luasnya pegunungan itu.
Bahkan seandainya siang hari pun mereka tidak akan dapat saling melihat kecuali kalau sudah dekat.
Dan kedua belah pihak sama-sama cerdik untuk tidak memberi isyarat kepada musuh misalnya dengan menimbulkan asap di siang hari.
Prajurit-prajurit di kedua pihak sudah samasama terbiasa makan barang-barang mentah III yang tidak dimasak dulu.
Dulu di jamannya kaum Pelangi Kuning masih sebagai pemberontak melawan dinasti Beng, Ong Lingpo ini diandalkan oleh Jenderal Lau Cong-bin sebagai pasukan penyusup yang sering muncul di tempat-tempat tak terduga setelah berjalan semalam-malaman di pegunungan atau bahkan kadang-kadang menyusuri sungai-sungai yang dangkal sehingga jejaknya susah dilacak.
Itulah sebabnya dugaan atau anggapan Kongsun Koan bahwa pasukan Jenderal Lau ini "tidak tahu seluk-beluk pegunungan"
Adalah keliru. Malam itu Ong Ling-po dan pasukannya sudah cukup jauh memasuki pegunungan tetapi belum berpapasan dengan musuh, bahkan jejaknya pun tidak ada. Tetapi hal itu tidak membuatnya berkecil hati, ia tahu "permainan kucing-kucingan"
Itu akan makan waktu lama, dan itulah sebabnya di hadapan Jenderal Lau pun ia tidak menjanjikan kapan waktu selesainya.
Malam itu Ong Ling-po dan pasukannya beristirahat di sebuah lembah sempit III memanjang di tengah pegunungan.
Seperti Kongsun Koan, Ong Ling-po juga melarang anak buahnya menyalakan banyak api.
Jadi prajuritprajurit itu beristirahat dalam gelap-gelapan saja.
Ketika fajar menyingsing, Ong Ling-po dan anak buahnya segera membenahi diri dan bersiap melakukan pengejaran.
Lalu pasukan itu pun kembali merambat di jalan-jalan pegunungan yang berliku-liku.
"Kita ke arah mana?"
Tanya seorang perwira bawahan Ong Ling-po. Jawaban Ong Ling-po ringan saja.
"Kita ikuti saja sungai kecil itu. Kita belum tahu di mana mereka berada sekarang di antara lekuk-lekuk pegunungan, tetapi orang-orang itu pasti tidak jauh dari sungai,"
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Begitulah Ong Ling-po memperhitungkan.
"Gerombolan itu membutuhkan air untuk berbagai keperluan, dan mereka tidak bisa jauh dari sungai seperti juga kita...."
Begitulah mereka menyusuri sungai, menikmati udara pegunungan yang masih III dingin berkabut itu, berjalan sepanjang sungai kecil melingkar-lingkar di pegunungan itu.
Burung-burung berkicau merdu di pepohonan, tetapi pasukan itu tidak sempat menikmati keindahan alam, pikiran mereka sedang keruh oleh kecurigaan.
Mereka berjalan dengan waspada, berjaga-jaga jangan-jangan dari balik dedaunan lebat itu keluar lembing atau panah yang mengincar nyawa mereka.
Bahkan kicau burung pun sering-sering mereka curigai sebagai isyarat dari pihak lawan.
Masalahnya, mereka sendiri dulu juga begitu, ketika masih sebagai laskar pemberontak Pelangi Kuning yang hendak menyergap prajurit-prajurit dinasti Beng di pegunungan, mereka juga menggunakan isyarat yang mirip kicauan burung untuk berkomunikasi dengan kawankawan sendiri.
Ong Ling-po melangkah di depan, membawa sepasang kaitannya yang dipanggul disatukan di salah satu pundaknya.
Ia melangkah dengan waspada, tetapi lawan belum kelihatan batang hidungnya.
III "Entah di mana pengecut-pengcecut itu bersembunyi......"keluh seorang perwira bawahannya.
"...dan entah sampaikapan kita ada di pegunungan ini...."
"Kalau segera ketemu musuh ya cepat selesainya, kalau lama ketemunya, ya kita bisa berbulan-bulan ada di sini...."
Jawab Ong Lingpo. Baru habis kata-katanya, mata Ong Ling-po tiba-tiba menatap air sungai, menatap sesuatu, lalu tertawa sendiri dan berkata kepada perwiranya tadi.
"Mungkin kita akan cepat menemukan mereka...."
Perwira bawahannya heran kenapa komandannya tiba-tiba berkata demikian, lalu ikut memandang ke arah yang dipandang komandannya dan ikut tertawa. Sebab yang dilihat oleh sang komandan adalah kotoran manusia yang terapung-apung "berbaris"
Mengikuti arus sungai kecil itu.
Perwira itu mengerti maksudnya, artinya arah tempat pasukan musuh sudah diketemukan.
Pasti ada III prajurit musuh yang pagi itu buang hajat di sungai, bukan hanya satu dua orang tetapi pastilah banyak, dan kotoran yang terbawa air sungai itu membongkar jejak mereka.
Begitulah, perhitungan militer canggihnya Kongsun Koan kebobolan juga oleh perkara alamiah yang sepele itu.
"Putar balik arah pasukan!"
Perintah Ong Ling-po. Perintah dilanjutkan, dan pasukan itu pun berbalik arah. Kepala barisan jadi ekor dan ekor jadi kepala. Tadinya pasukan itu berjalan searah aliran sungai, tetapi karena "petunjuk"
Tadi datangnya dari arah hulu, maka untuk menemukan sumbernya tentu saja arah perjalanan pasukan harus di balik.
"Hati-hatilah.."
OngLing-po memperingatkan pasukannya.
"Bukan mustahil musuh sudah mengetahui gerakan kita melalui pengintai-pengintai mereka. Mungkin mereka akan menyerang lewat tebing-tebing dengan panah, lembing dan batu..."
III Pembawa-pembawa perisai pun bersiapsiap, bukan cuma untuk melindungi diri sendiri tetapi juga untuk melindungi pemanahpemanah yang akan membalas menyerang.
Para pemanah sudah mencabut masing-masing sebatang panah mereka dan sudah dipasang di tali busur.
Tiap seorang pemanah berjalan di belakang seorang pemegang perisai.
Ketika mereka melewati bagian sungai yang tebingnya agak landai, sebuah ide tiba-tiba muncul di benak Ong Ling-po.
la tiba-tiba menepuk seorang perwira bawahannya yang bernama Pun Liok yang berjalan di sebelahnya.
"Pun Liok, masih suka main-main air seperti dulu?"
Pun Liok, perwira pendek gempal yang bersenjata Kim-kong-kun (gada malaikat Kimkong) itu tercengang, kenapa di tengah-tengah situasi berbahaya itu komandannya malah menanyakan sesuatu yang kedengarannya seperti main-main? "Maksud komandan?"
III "Masih ingat ketika kita semalam-malaman menyusuri sungai, agar jejak kita tidak terlihat oleh pasukan Beng yang mengejar kita waktu itu?"
Pun Liok tiba-tiba ingat pula peristiwa itu, lalu tertawa. Katanya.
"Mana bisa lupa kejadian itu? Semalam-malaman kita berjalan di tengah sungai yang airnya setinggi pinggang, bukan di pinggirnya, sebab kalau di pinggirnya kata Komandan akan meninggalkan jejak kaki yang gampang diikuti musuh. Ya, ya, aku ingat..."
Bicara sampai di sini, Pun Liok tertawa semakin geli, dan melanjutkan kata-katanya.
"Waktu itu Komandan bahkan melarang seorang pun untuk berhenti kencing. Siapa yang tidak tahan untuk tidak kencing, Komandan suruh untuk kencing saja sambil berjalan, toh waktu itu air sungainya setinggi pinggang jadi tidak kentara kalau kencing sambil berjalan. Dan karena saat itu air sungainya amat dingin, hampir semuanya kencing beramai-ramai sehingga air sungai jadi sedikit hangat.."
III Ong Ling-po ikut tertawa geli.
"Ya, waktu itu aku pura-pura marah, padahal aku sendiri juga kencing.."
Keduanya tertawa terbahak-bahak, yang lain-lainnya juga ikut tertawa, terutama yang dulu ikut terlibat dalam peristiwa yang sedang dibicarakan itu. Yang tidak ikut pun tertawa.
"Apa maksud Komandan menanyakan itu?"
Tanya Pun Liok setelah ketawanya agak reda.
"Bawa orang-orangmu mencebur ke sungai dan buat kejutan-kejutan buat musuh. Hati-hati, mungkin mereka menempatkan orangorangnya di tebing-tebing sungai untuk menyerangmu."
"Baik, Komandan."
Pun Liok segera mengerti. Ia memang agak berpengalaman soal "bermain-main di air"
Sehingga Ong Ling-po pun tidak bertele-tele memerincikan tugas Pun Liok, cukup dengan kata-kata "buat kejutan-kejutan buat musuh".
Bersama seribu orang-orangnya, Pun Liok segera mencebur ke sungai di bagian tebing yang agak landai itu.
Toh tidak terlalu landai, III sehingga para prajurit harus saling membantu dengan berpegangan tangan ketika menuruninya.
Sungai itu tidak dalam, airnya hanya setinggi perut, tetapi arusnya deras karena badan sungai menyempit, sehingga Pun Liok dan pasukannya hanya melangkah dengan agak berat karena menentang arus.
Selain itu, dasar sungai juga tidak rata, berbatu-batu, sehingga untuk melangkah harus hati-hati agar pergelangan kaki tidak terkilir.
Begitulah, Ong Ling-po memecah pasukannya sehingga maju dalam dua jalur.
Sebagian besar maju di darat, sebagian kecil dipimpin Pun Liok berupaya menyergap dari air.
Ternyata Ong Ling-po tidak berhenti begitu saja.
Seorang lagi dari komandan bawahannya disuruhnya memisahkan diri bersama seribu prajurit, untuk mendaki tebing-tebing di sebelah utara dan maju sejajar dengan pasukanpasukan yang di sungai maupun yang dibawah tebing.
Dengan demikian seluruh pasukan itu III maju dalam tiga jalur, seperti sebatang trisula dengan tiga ujungnya.
Hanya saja trisula ini agak pleyat-pleyot bentuknya karena masingmasing jalur harus maju menurut alurnya sendiri di jalan pegunungan yang berliku.
Bahkan sekali waktu "pasukan sungai"nya Pun Liok tidak terlihat sama sekali karena curamnya tebing, mereka harus melewati tempat-tempat semacam geronggang-gerong-gang gelap di bawah tebing-tebing batu, gelap, meskipun matahari sedang memancar di langit.
Tidak lama kemudian, jalanan yang dilewati pasukan tengah Ong Ling-po mulai menanjak, dan naluri Ong Ling-po yang tajam memperingatkan bahwa musuh sudah dekat.
Ia memperingatkan prajurit-prajuritnya untuk berwaspada.
Ong Ling-po sendiri tidak lagi memanggul sepasang kaitannya di pundak, tetapi sudah dipegangi dengan kedua tangannya sambil melangkah dengan hati-hati.
Tidak lama kemudian, terdengar sorak gemuruh dan gemerincing senjata beradu, tetapi suara itu datangnya dari bawah tebing III sungai.
Kiranya yang bentrok paling dulu dengan musuh malahan Pun Liok dan rombongannya.
Lawan Pun Liok adalah perwira bawahan Kongsun Koan yang bernama Jin-Se-liang.
Jin Se-liang dan pasukannya bersembunyi di geronggang-geronggang di bawah tebing sungai, ia ditugaskan untuk menarik roboh jembatan itu apabila nanti pasukan Pelangi Kuning lewat.
Tak terduga malah musuh muncul dari sungai juga.
Padahal saat itu puluhan utas tali yang kuat sudah terikat di tiang-tiang jembatan dan siap ditarik dari tempat-tempat tersembunyi.
Jin Se-liang dikejutkan munculnya Pun Liok dan pasukannya, la meneriaki pasukannya.
"Awas, musuh muncul dari belakang!"
Sementara Pun Liok langsung menyerbu bersama orang-orangnya. Melihat tali-tali panjang yang diikatkan di tiang-tiang jembatan kayu itu, ia bisa menebak apa yang direncanakan oieh pasukan lawan itu, dan ia menjadi gusar. Pikirnya.
"Untunglah Komandan III Ong tajam nalurinya sehingga memerintahkan aku maju lewat sungai, sesuatu yang tidak diduga oleh lawan. Seandainya naluri Komandan Ong tidak memperingatkan dulu dan pasukan kami lewat begitu saja di atas jembatan lalu jembatannya dirobohkan, pasti akan banyak prajurit kami yang menjadi korban terjerumus ke sungai yang dalam ini.."
Begitulah, di dalam air yang setinggi pinggang, kedua pasukan itu bertempur hebat.
Tetapi karena batang sungainya sempit, kedua pasukan tidak dapat menebar ke samping, sebab di kedua samping adalah tebing-tebing yang hampir tegak lurus.
Jadi pasukan kedua belah pihak antri ke belakang, antri untuk membunuh atau dibunuh.
Pun Liok melihat bahwa tiang-tiang jembatan masih berada di "wilayah"
Musuh, artinya kalau pasukan Ong Ling-po lewat, musuh masih bisa merobohkan jembatan itu. Maka Pun Liok jadi begitu bernafsu untuk mendesak maju dan berupaya merebut "penguasaan"
Atas tiang-tiang itu.
III Namun sempitnya sungai membuat ia tidak leluasa memanfaatkan kelebihan jumlah pasukannya untuk menekan musuh, ia tidak bisa menyuruh pasukannya menebar, sehingga garis depan pertempuran mau tidak mau ya lebarnya sungai yang cuma tiga meter tetapi airnya deras dan dingin itu.
Prajurit-prajurit yang terbunuh langsung saja "diusung pergi"
Oleh air sungai yang menjadi merah warnanya.
Pun Liok lalu memberi isyarat agar para pemanah dan pelempar lembing di barisan belakang bertindak.
Begitulah, panah-panah dan lembing-lembing pun berhamburan di atas kepala dan menuju sasaran di garis belakang musuh juga.
Pihak pasukan Jin Se-liang agak kewalahan, mereka tidak bisa membalas dengan panah dan lembing, sebab mereka tidak membawanya, karena tidak menduga akan bertempur di air sungai.
Mereka hanya berbekal tali-tali dan senjata-senjata biasa.
Tetapi mereka masih punya perisai-perisai untuk coba menangkal hujan panah dan lembing musuh.
III Pun Liok sendiri tidak sekedar gembargembor tetapi maju ke depan dan mulai mengayun-ayunkan gada Kim-kong-kunnya.
Senjata itu berat, dan pemegangnya juga bertenaga raksasa, sehingga percuma seandainya prajurit-prajurit Jin Se-liang dapat menangkisnya dengan tameng.
Tangan yang memegang tameng bisa patah kalau tamengnya "ditabrak"
Senjata yang begitu berat dan kuat ayun-annya. Segera barisan depan orangorangnya Jin Se-liang mundur menghindari mati konyol oleh Pun Liok.
"Ayo, prajurit-prajuritku, maju terus!"
Teriak Pun Liok bersemangat, tujuannya tetap mengamankan tiang-tiang jembatan agar pihak musuh jangan sempat merobohkannya.
Jin Se-liang tidak membiarkan pasukannya dirusakkan oleh Pun Liok.
Ia segera tampil ke depan untuk menghadang Pun Liok.
Potongan tubuhnya kebetulan juga berlawanan dengan Pun Liok.
Kalau Pun Liok pendek dan gempal, Jin Se-liang tinggi dan kurus seperti tiang III jemuran, senjatanya adalah tombak berkaitan (Kau-jio).
Sedari tadi Jin Se-liang hanya berdiri di tepian, di sebuah tanah sempit di bawah tebing, agaknya ia seorang yang enggan kena air.
Tetapi setelah melihat amukan Pun Liok memukul mundur orang-orangnya, dia terpaksa harus maju ke medan tempur yang tak lain di tengahtengah sungai.
Cuma ia tidak mencebur, melainkan mendekati Pun Liok dengan cara berlompatan di atas batu-batu yang bertonjolan di permukaan sungai.
Batu-batu itu licin, tetapi Jin Se-liang melompat-lompatinya dengan tangkas, tak tergelincir, bahkan dalam keseimbangan yang tinggi.
Gerakannya seringan seekor capung saja.
Pun Liok yang melihat datangnya lawan istimewa ini tidak berani memandang remeh, ia segera memusatkan perhatian.
Setelah Jin Se-liang dekat, Pun Liol langsung menyapu kaki lawan dengan tipu Heng-saujian-kun (Menyapu Seribu Prajurit).
Jin Se-liang melompat lincah, meninggalkan batu yang baru III saja dipijaknya terbelah kena gada Kim-kongkun Pun Liok, tetapi Jin Se-liang tidak sekedar menghindar tetapi ujung tombaknya sekaligus mematuk cepat ke leher Pun Liok, sambil kakinya mencari pijakan lain di sebuah batu.
Karena batunya kecil, perwira ini berdiri dengan gaya Kin-ke-tok-lip (Ayam Emas Berdiri Dengan Satu Kaki).
Pun Liok menyelamatkan lehernya dengan menghindar ke samping dengan mengikuti arah tarikan dari ayunan gadanya yang berat, sebab terlalu membuang tenaga kalau membuat gerakan yang berlawanan dengan arah tarikan itu.
Jin Se-liang dengan lincah memainkan tombaknya.
Ujung tombak luput menusuk, kaitan di leher tombaknya ganti beraksi untuk menggantol leher Pun Liok dari samping.
Pun Liok membungkuk sambil berputar dan menyapu kembali dengan gadanya.
Biarpun separuh tubuhnya terendam air berarus deras, gerakannya Nampak begitu leluasa karena besarnya kekuatannya.
III Begitulah, dua orang perwira dari pihakpihak yang bermusuhan itu bertempur hebat.
Yang satu mengandalkan tenaganya, yang lain mengandalkan kecepatan dan kelincahannya, untuk sementara waktu akan sulit ditebak siapa yang bakal keluar sebagai pemenangnya.
Sementara prajurit kedua pihak juga terus bertempur sengit di antara hilir mudiknya panah-panah dan lembing-lembing yang kadang-kadang masih juga menagih korban.
Sementara itu, Ong Ling-po menjenguk dari atas tebing sungai dan melihat apa yang terjadi di bawah, la lega menaksir bahwa pasukannya yang dikomandani Pun Liok mampu mendesak mundur biarpun alot.
Sekaligus juga dapat menebak apa yang akan terjadi seandainya pasukan musuh di bawah tebing itu tidak dipergoki Pun Liok dan pasukannya.
Ong Ling-po lalu memerintahkan pasukannya menyeberang jembatan dengan cepat, bahkan bagian dari pasukannya yang tadinya disuruh menyusuri tebing, kini juga III disuruh menyeberang.
Kini Ong Ling-po yakin bahwa musuh ada di tebing seberang.
Begitulah, sementara Ong Ling-po dan prajurit-prajuritnya menyeberang jembatan itu, dua-dua, karena jembatan itu tidak terlalu lebar, seorang prajurit San-hai-koan yang di bawah sempat berteriak.
"Robohkan!"
Beberapa prajurit menggapai tali dan menariknya kuat-kuat, namun hasilnya tidak seperti rencana semula.
Seandainya rencana semula dapat terlaksana, tiang-tiang jembatan itu masing-masing ditarik belasan orang, tentu akan roboh.
Tetapi kail ini sebagian besar anak buah Jin Seliang sedang meladeni anak buah Pun Liok, yang mendapat kesempatan untuk menarik tali pengikat hanyalah sebagian kecil, dan tiang-tiang jembatan tak bergeming biarpun penarik-penariknya sampai bermuka merah.
Ong Ling-po yang menyeberang paling dulu, dengan matanya yang tajam sempat melihat kilatan senjata di balik belukar dan pepohonan di tebing seberang.
Karena itu, ia segera tahu III apa yang harus dilakukannya agar orangorangnya tidak menjadi mangsa empuk orangorang di tebing seberang.
"Langsung menyebar dan kuasai bagian atas tebing! Hati-hati terhadap serangan batu-batu dan balok-balok kayu!"
Di tempat persembunyian barisanpendamnya di atas tebing, Kongsun Koan sedang masygul melihat sebagian rencananya sudah gagal, yaitu rencana merobohkan jembatan dan menceburkan sebagian pasukan Pelangi Kuning itu ke sungai.
Kini melihat bagaimana Ong Ling-po mendaki tebing seolah terbang, dan pasukannya yang mengikutinya pun dengan tangkas dan sigap menyebar sehingga tidak lagi menjadi sasaran empuk gelundungan batu dan balok yang sudah disiapkannya, Kongsun Koan mengertak gigi, tetapi kagum juga.
"Perwira muda bawahan Lau Cong-bin ini ternyata tangkas berpikir dan bertindak dalam menghadapi macam-macam situasi. Tadinya aku kira kalau Jenderal Lau segoblok kerbau, anak buahnya juga tidak lebih III cerdas dari keledai, tak kusangka ada juga anak buahnya yang seperti ini."
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meski demikian, Kongsun Koan masih ingin menggunakan rencana yang tersisa. Sebelum seluruh pasukan Ong Ling-po keluar dari jembatan dan menyebar di tebing, Kongsun Koan sudah berteriak menggelegar.
"Lepaskan batu!"
Tebing itu pun bergetar dan tersaput debu tebal ketika ratusan batu-batu besar serta potongan-potongan batang pohon menggelundung serempak.
Anak buah Ong Ling-po yang sudah menebar di tebing, bahkan ada sebagian yang sudah sampai agak di atas, segera berlindung di balik pohon-pohon besar, membiarkan "banjir"
Batu dan balok kayu berlalu.
Tetapi pasukan Ong Ling-po yang belum sempat berpencar di bawah tebing, tidak sedikit yang tersapu oleh hujan batu itu dan terjerumus masuk ke tebing sungai.
Ada juga yang tergilas gelundungan batu atau balok besar sehingga mereka berteriak memilukan.
III Orang-orang yang bertempur di sungai di bawah pun ada beberapa orang yang menjadi korban, tertimpa batu, tidak peduli kawan atau lawan.
Komandan dari kedua pihak sama-sama berteriak untuk memerintahkan pasukannya mundur menghindari hujan batu dari atas tebing.
Jin Se-liang yang sejak semula merasakan pasukannya dalam kesulitan karena kalah banyak, memanfaatkan kesempatan untuk menarik mundur pasukannya.
Di bawah perlindungan pemegang-pemegang perisai, pasukan Jin Se-liang mundur.
Mereka mundur sampai mendapati tebing sungai yang cukup landai untuk dipanjat naik sampai ke darat.
Sementara itu, Kongsun Koan tidak akan membiarkan pasukan Pelangi Kuning tadi sempat menyusun diri dengan mantap, apalagi kalau sampai menyebar dan memanjat tebing, tentu pihaknya akan terjepit karena kalah banyak.
Maka selagi sebagian pasukan Pelangi kuning itu belum sempat melewati jembatan, Kongsun Koan berdiri, keluar dari III persembunyiannya dan mengibaskan pedangnya yang besar dan berkilat-kilat itu.
Ia sendiri dan prajurit-prajuritnya segera menghambur ke bawah tebing, menerpa prajurit-prajurit Pelangi Kuning yang belum merata menyebarnya di lereng, juga belum siap menyusun diri sehabis menghadapi serangan batu dan balok tadi.
Kongsun Koan yang menghambur paling depan, ketika pedangnya yang berkelebat merobohkan beberapa prajurit Pelangi Kuning, ia juga berteriak.
"Ceburkan mereka ke sungai!"
Pasukan Pelangi Kuning di bawah pimpinan Ong Ling-po itu memang sudah terdorong mundur ke tepi sungai, mendekat beberapa langkah sebelum mereka sempat menyusun rangkaian pertahanan yang memadai.
Tetapi mereka bertahan gigih sebab mereka tidak mau "disuruh mandi"
Dengan mencebur dari tebing setinggi belasan meter itu. Sementara Ong Ling-po bisa memahami jalan pikiran Kongsun Koan musuhnya, dan dia pun mengeluarkan perintah tandingan, III "Lindungi mulut jembatan! Percepat penyeberangan!"
Orang-orangnya yang sudah terlanjur menebar berusaha merapat kembali ke arah mulut jembatan, tidak terlalu dekat, dan sebisabisanya menyusun pertahanan.
Gelombang serbuan Kongsun Koan dan pasukannya memang agak tertahan.
Kongsun Koan memerintahkan pasukan panah dan pelempar-pelempar lembingnya untuk mengincar ke mulut jembatan, tetapi pasukan Ong Ling-po tetap saja semakin banyak yang berhasil menyeberang.
Ong Ling-po sendiri mengamuk hebat di tengah-tengah pertempuran dengan sepasang kaitan tajamnya yang sudah berwarna merah darah.
Namun sebagai panglima yang bersatu dengan pasukannya, sambil mengamuk ia juga mencoba tetap menguasai keadaan.
Ketika merasakan medan pertempuran semakin dipadati oleh orang-orangnya, Ong Ling-po merasa sudah tiba saatnya untuk menyerang.
Begitu aba-aba diberikan, ia dan III Ong Ling-po sendiri mengamuk hebat di tengah-tengah pertempuran dengan sepasang kaitan tajamnya yang sudah berwarna merah darah.
III orang-orangnya pun men coba mendesak keluar, memperluas medan pertempuran.
Dan orang-orangnya tidak mau sekedar bertahan di bagian bawah tebing, melainkan mencoba merebut posisi bagus di bagian atas tebing.
Ong Ling-po sendiri menerjang dan mengamuk prajurit-prajurit di pihak lawan, sampai Kongsun Koan sendiri menghadangnya dengan pedang besarnya yang dipegangi dengan dua tangan, mirip cara jago-jago Jepang bertempur, bedanya pedang besar Kongsun Koan tajam di kedua sisinya.
Keduanya bertempur hebat.
Begitu pula pasukan-pasukan mereka.
Tetapi sampai matahari hampir terbenam, kedua pasukan belum bisa menentukan kalahmenang, desak-mendesak bergantian, sementara korban-korban terus berjatuhan.
Sementara celah pegunungan yang biasanya sepi itu sekarang riuh-rendah dengan pertempuran, di kejauhan sayup-sayup terdengar dentuman pertempuran meriam yang belum berhenti, seperti kemarin dan seperti III kemarin dulu.
Menandakan kalau San-hai-koan masih alot dan belum dapat direbut.
Saat itu malahan Kongsun Koan dan Ong Ling-po, dua seteru itu, seolah bersepakat untuk menghentikan dulu pertempuran tak berketentuan itu.
Sambil memperlambat gerak senjatanya, Kongsun Koan bertanya kepada lawannya.
"Terus terang saja, pertempuran ini tak berketentuan. Bagaimana pendapatmu?"
Dalam pertempuran, kalau berbicara dengan lawan, biasanya siapa pun akan main gertak untuk menciutkan nyali lawan. Tetapi kali ini Ong Ling-po merasakan hal yang sama dengan lawannya, dan secara jujur menjawab.
"Ya. Pasukanku unggul jumlah, pasukanmu unggul kedudukan dan pengenalan medan."
Kongsun Koan melompat keluar dari gelanggang pertempuran dan Ong Ling-po membiarkannya saja. Kata Kongsun Koan kemudian.
"Kau cukup punya otak untuk memperhitungkan segala sesuatunya sebenar-benarnya. Aku akan III menarik mundur tentaraku, kalau kau pun melakukannya....."
"Baik. Mari kita lakukan bersama-sama. Tetapi aku ingin memperingatkan, kita akan tetap saling mengintai dan saling menghancurkan. Karena itu tugasku."
"Aku tidak gentar. Kita memang berada di pihak-pihak yang bermusuhan."
Kedua orang itu sama-sama memberi abaaba kepada pasukan masing-masing, maka kedua pasukan itu sama-sama menarik diri sambil membawa teman-teman yang terluka atau gugur. Korban cukup banyak hari itu, hanya dengan hasil "draw"
Bagi kedua pihak.
* ** Sehari suntuk itu, pasukan besar Jenderal Lau masih belum berhasil merebut San-haikoan.
Pasukan San-hai-koan dipimpin sendiri oleh Bu Sam-kui masih bertahan gigih di tembok kota.
Dan pihak Lau Cong-bin hanya III membuang begitu banyak nyawa untuk usaha sia-sia merebut tembok.
Lau Cong-bin memerintahkan penembakpenembak meriamnya untuk menembaki pintupintu kota.
Pintu-pintu kota mestinya ambrol ditembaki segencar itu, tetapi pasukan San-haikoan telah memasang palang-palang yang kuat di belakang pintu, dan di belakang pintu juga ditumpuki dengan batu-batu besar dan urukan tanah, sehingga hari itu dapat bertahan.
Ketika hari makin gelap dan panah-panah prajurit-prajurit San-hai-koan di atas tembok semakin berbahaya karena semakin tidak terlihat jelas, maka Jenderal Lau dengan kesal memerintahkan pasukannya untuk mundur, setelah mendengarkan usul dari Deng Hu-koan, ajudan kepalanya.
"Bertambah lagi umur Bu Sam-kui satu hari..."
Geram Jenderal Lau sambil memandang sengit ke arah tembok San-hai-koan sebelum membalikkan kudanya dan meninggalkan tembok itu bersama pasukannya.
"Sementara perbekalan pasukan kita juga menipis karena III dibakar oleh pengacau-pengacau dari pegunungan itu, kudengar prajurit-prajurit sudah mengeluh hari ini bahwa nasi ransum sudah terlalu encer karena terlalu banyak dicampuri air..."
Sudah tentu yang dikeluhkan Lau Cong-bin itu tidak termasuk makanannya sendiri. Pagi tadi Lau Cong-bin sudah sarapan satu setengah ekor ayam dan berbagai lauk istimewa. Sementara Deng Hu-koan menghibur atasannya.
"Jangan khawatir, Jenderal. Dulu kota Pak-khia yang dipertahankan berpuluh kali lebih kuat dari San-hai-koan saja bisa kita rebut. Apalagi, menurut kata-kata Ong Ling-po, malam tadi di San-hai-koan juga terjadi kebakaran gudang perbekalan makanan, entah oleh siapa. Jadi keadaan tikus-tikus di San-hai-koan itu tidak lebih baik dari kita. Mereka kelaparan juga, bedanya, kita bisa minta kiriman makanan dari Pak-khia, sedang mereka tidak bisa minta dari mana-mana...."
Jenderal Lau mengangguk-angguk. Sekali lagi menoleh ke arah tembok San-hai-koan di III keremangan sore hari, dan berkata meneguhkan hatinya sendiri.
"Ya, cepat atau lambat San-hai-koan akan aku rebut, batok kepalanya Bu Sam-kui akan aku pertontonkan kepada Tan Wan-wan agar dia menyesali katakatanya terhadapku dulu...."
"Ya, ya, itu pasti..."
Deng Hu-koan menjilat.
"Tetap tempatkan pasukan-pasukan untuk mengawasi San-hai-koan siang dan malam. Jangan lengah."
"Baik, Jenderal."
"Besok kita hantam lebih hebat lagi."
"Ya, Jenderal."
"Mudah-mudahan kiriman bahan pangan dari Pak-khia akan tiba secepatnya."
"Ya, Jenderal."
Begitulah, bersamaan dengan turunnya malam, usaha menggempur San-hai-koan dihentikan. Tetapi San-hai-koan tetap terkepung di bagian barat sampai selatannya oleh pasukan Pelangi Kuning, bagian utaranya oleh "
Wilayah III Kerajaan Manchu dan bagian timurnya oleh Laut Kuning.
Di atas tembok kota, dalam cuaca yang mulai remang-remang dan udara yang mulai dingin, Bu Sam-kui menatap mundurnya pasukan Lau Cong-bin itu dengan perasaan bergolak.
Tetapi bukan rasa lega, ia "tahu diri"
Bahwa belum saatnya ia merasa lega.
Di kejauhan nampak perapian dari perkemahan musuh yang melingkari San-hai-koan, memanjang sampai ke kaki bukit.
Dan musuh masih bisa mendatangkan bala bantuan besarbesaran dari Pak-khia dan sekitarnya.
Sedang pihaknya tetap bertahan dengan kekuatan sendiri.
Prajurit-prajurit yang ada padanya sekarang, yang makin kelaparan dan kelelahan, itu adalah modalnya yang sudah maksimal.
Sementara prajurit-prajurit di sekitarnya sibuk mengatur diri di bawah penerangan oborobor, Bu Sam-kui terus menatap ke kejauhan, merenung dalam.
Kulit wajahnya keruh karena berlapis keringat dan debu, setelah bertempur sehari suntuk.
III Seorang perwiranya mendekatinya.
"Panglima, kami anjurkan agar Panglima pulang ke markas untuk beristirahat. Besok kami masih membutuhkan pimpinan Panglima, dan Panglima harus tetap dalam keadaan segar dan berpikiran jernih."
"Bagaimana keadaan pasukan kita?"
"Prajurit-prajurit kita tetap bersemangat tinggi."
Bu Sam-kui tahu kalau laporan itu agak berlebih-lebihan untuk saling menjaga semangat. Tetapi ia tidak membantah.
"Ada yang gugur atau terluka?"
Tanyanya pula.
"Tentu saja ada, Panglima, karena musuh mengarahkan sebagian meriam-meriam mereka ke atas tembok, ke arah prajurit-prajurit kita yang bertahan. Tetapi seperti kemarin, korban di pihak kita jauh lebih sedikit dari pihak musuh yang mencoba menyerbu dan memanjat tembok."
Bu Sam-kui melangkah menuruni tembok, apa yang dikatakan perwiranya itu memang III sudah dilihatnya sendiri sehari suntuk.
Bahkan Bu Sam-kui sendiri seharian itu entah sudah berapa kali menjatuhkan prajurit musuh yang sudah hampir sampai ke atas tembok.
Dalam teori militer memang begitu, bahwa pihak yang menyerang tembok harus "membayar"
Jauh lebih mahal dari pihak yang bertahan, dan "mata uangnya"
Adalah nyawa-nyawa para prajurit.
Namun Bu Sam-kui sudah melihat sendiri dan harus mengakui bahwa pasukan musuh seolah tidak ada habis-habisnya, seperti semut yang keluar dari liangnya.
Sebelum menuruni tangga batu tembok kota, Bu Sam-kui sempat sekali lagi menoleh ke arah bendera Jit-goat-ki yang terpasang di atas tembok San-hai-koan.
Tak ada angin bertiup sehingga sekali lagi Bu Sam-kui seolah melihat sebuah lengan yang terkulai patah, apalagi kini pada bendera itu tertancap sebatang panah yang menggelayut lemah.
Di bawah tembok, Bu Sam-kui dan perwiranya itu menaiki kudanya dan kembali ke markas.
Ketika lewat di depan pintu rumah III kediaman Jai Yong-wan, saudagar Korea sahabat Bu Sam-kui itu, nampak Si Saudagar sedang berdiri di depan rumahnya dengan wajah pucat, agak ketakutan.
Bu Sam-kui lalu menghentikan kudanya dan bertanya.
"Selamat sore, Tuan Jai."
"Selamat sore, Panglima. Bagaimana keadaan hari ini? Aku hampir pingsan mendengar dentuman meriam musuh tak hentihentinya sepanjang hari ini.."
"Jangan gentar. Hari ini musuh kembali dapat kita pukul mundur. Prajurit-prajurit kita telah bekerja sebaik-baiknya..."
Hibur Bu Samkui.
"Musuh takkan pernah bisa masuk kemari."
"Syukurlah..."
Jai Yong-wan menganggukangguk.
"Tentu itu karena Panglima sendiri yang memimpin dan mengobarkan semangat mereka....."
"Yah..."
Desah Bu Sam-kui.
"Tuan Jai, kalau Tuan tidak keberatan, malam ini datanglah Tuan ke markas. Aku hanya sekedar ingin mengobrol, sekedar mengendorkan ketegangan...."
III "Aku tidak tahu-menahu soal militer, Panglima. Mana mungkin berbincang-bincang dengan Panglima?"
"Bukan soal militer, tetapi soal-soal ringan biasa. Mengendorkan urat syaraf yang hampir putus ini."
"Baik, baik. Aku akan menyusul ke markas, dan aku akan bawakan kuah ginseng untuk menyegarkan badan. Aku senang kalau bisa berbuat sesuatu buat para prajurit San-haikoan, sesuatu yang sekecil apa pun."
"Semangatmu tinggi, Tuan Jai. Nah, selamat tinggal. Aku menunggumu di markas bersama kuah ginsengmu...."
Jai Yang-wan memberi hormat lalu masuk ke rumahnya. Berpikir sejenak, lalu memerintahkan pembantu rumahnya.
"Buat kuah ginseng panas. Nanti aku bawa ke rumah Bu Sam-kui."
Sementara Bu Sam-kui juga sudah tiba di tempat tinggalnya, pengawal-pengawal di depan pintu rumahnya memberi hormat, lalu Bu Sam-kui melangkah masuk ke dalam rumah, III sendirian, sebab perwira yang menyertainya juga akan pulang ke rumahnya sendiri.
Ketika masuk ke dalam rumahnya, Bu Samkui merasa agak heran melihat lilin-lilin di rumah itu sudah menyala semua.
Tetapi ia sedang terlalu penat untuk memikirkan hal-hal yang memakan tenaga pikiran.
Ia melangkah masuk saja, menggantungkan pedangnya di dinding dan topi besinya di meja.
Ketika ia melangkah ke ruang tengah yang juga terang benderang, ia melihat seorang sudah duduk santai di ruangan itu dengan melonjorkan kaki.
Seorang yang semuda dirinya, berpakaian agak lusuh, namun matanya bersinar penuh semangat dan menatap Bu Samkui sambil tersenyum.
Bu Sam-kui kaget sejenak, tapi kemudian menjerit kegirangan.
"Helian Kong!"
Dua lelaki yang sama-sama masih setia kepada dinasti Beng itu pun sama-sama tertawa terbahak-bahak, berpelukan, menepuk pundak, mengguncang lengan kuat-kuat. III "Saudara Helian, bagaimana kau bisa masuk kemari?"
"Melompat tembok belakang. Kenapa Saudara Bu tidak menaruh pengawal di bagian belakang?"
"Ah, aku tidak pernah terpikir akan peristiwa seperti ini. Untung, yang datang adalah Saudara Helian, bukan musuh."
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan mengandalkan keuntungan terusmenerus. Di masa-masa pergeseran kekuasaan seperti ini, nyawa para peserta permainan, dari pihak mana pun, bisa menjadi incaran, juga oleh pihak mana pun. Aku pernah memergoki jagojago bayaran Manchu mengincar nyawa Li Giam."
"Baik, kuterima nasehatmu. Bagaimana keadaanmu selama ini? Isterimu, mertuamu, Saudara Siangkoan?"
"Semuanya baik-baik."
"Pasukanmu.... masih ada?"
Anggukan Helian Kong sebagai jawaban dari pertanyaan Bu Sam-kui itu sungguh membuat Bu Sam-kui amat lega. Apalagi ketika III mendengar kata-kata Helian Kong selanjutnya.
"Ketika mendengar Lau Cong-bin menggerakkan pasukan kemari, aku pun menggerakkannya ke sini. Meskipun tidak terang-terangan berbaris di jalan raya sambil mengibarkan bendera, melainkan menyusupnyusup jalan di pegunungan. Sekarang pasukanku bersembunyi di pegunungan tidak jauh dari San-hai-koan..."
"Bagus. Berapa jumlahnya?"
"Lima belas ribu, lebih kurang."
"Itu melebihi pasukanku sendiri yang ada di San-hai-koan ini, yang hanya sepuluh ribu. Sepertiganya aku perintahkan bersembunyi di pegunungan di luar kota di bawah pimpinan Kongsun Koan. Dan sekarang, kau dan pasukanmu itu mau kau apakan?"
"Saudara Bu, pertama-tama aku memberitahukan kedatanganku dan pasukanku, supaya semangatmu berkobar kembali, begitu pula seluruh prajuritmu. Aku juga sudah menyebarkan orang-orangku untuk mencoba mencari kontak dengan pasukan-pasukan III lainnya, seperti pasukan Kongsun Hui dan lainlainnya yang entah di mana. Kedua, aku ingin diberitahu posisi Kongsun Koan di pegunungan saat ini, supaya aku bisa berhubungan dengannya, dan bekerja-sama mengobrak-abrik barisan belakang Lau Cong-bin."
Bu Sam-kui memberi keterangan tentang arah yang ditempuh oleh Kongsun Koan, kemudian berkata.
"Saudara Helian, aku juga akan menitipkan surat buat Kongsun Koan, agar ia menggabungkan diri dan menaruh diri di bawah komandomu, supaya hanya ada satu perintah saja."
"Itu bagus. Aku jamin Lau Cong-bin akan mendapat bisul-bisul besar di pantat."
Keduanya tertawa terbahak-bahak. Ketika itulah seorang prajurit masuk, sejenak merasa heran melihat di ruangan itu ada orang lain bersama panglima mereka, yang tidak mereka lihat kapan dan dari mana datangnya. Bu Sam-kui bertanya.
"Ada yang mau kau laporkan?"
III Prajurit itu mengangguk, dan memandang ragu-ragu kepada Helian Kong, sehingga Bu Sam-kui tertawa dan berkata kepada prajuritnya sambil menepuk pundak Helian Kong.
"Kenali baik-baik orang ini. Ini adalah Helian Kong, panglima dinasti kita yang terkenal, yang pernah berkali-kali difitnah Co Hua-sun dan begundal-begundalmu. Dia dan pasukannya sudah ada di belakang pasukan musuh. Jadi sekarang ini yang terjepit bukan kita, melainkan musuh. Kabarkan ini kepada teman-temanmu agar semangat mereka tidak kendor...."
Begitulah, prajuritnya belum sempat melapor, malahan Bu Sam-kui sudah menyerocos duluan meluapkan kegembiraannya.
Namun kegembiraan itu memang segera menular kepada prajuritnya itu, dan Bu Sam-kui yakin kalau sebentar lagi kegembiraan itu juga akan menjalar ke seluruh pasukannya.
Prajurit itu memberi hormat kepada Heliarr Kong secara militer.
"Terimalah salamku, Panglima Helian. Kedatangan Panglima dan III pasukanmu sungguh membuat harapan kami tumbuh kembali....."
Helian Kong cuma tersenyum sambil mengangguk. Sementara Bu Sam-kui mengulangi katakatanya yang tadi.
"Ada yang mau kau laporkan?"
"Bukan sesuatu yang penting, Panglima. Hanya ingin melaporkan kalau Tuan Jai ada di luar, ingin menemui Panglima, dan membawa kuah ginseng katanya."
"O, suruh dia masuk."
Prajurit itu keluar, sementara Helian Kong bertanya kepada Bu Sam-kui.
"Siapa yang disebut Tuan Jai itu?"
"Sahabat baikku, seorang saudagar. Namanya Jai Yong-wan, orang Korea yang bosan karena negerinya terus-terusan dikuasai bangsa asing, setelah Jepang lalu Manchu, maka dia lari ke San-hai-koan ini."
Helian Kong agak mengerutkan alisnya, ketajaman nalurinya ada yang sedikit terusik III oleh keterangan Bu Sam-kui tentang saudagar Korea yang diaku sahabatnya itu.
"Kalau dia mengungsi ke kota ini, lalu bagaimana dengan usahanya?"
"Dia pedagang keliling. Sering bepergian baik ke negeri leluhurnya maupun ke wilayah Tiang-pek-san di wilayah Manchu membeli jinsom, lalu dititipkan ke kapal-kapal Portugis untuk dibawa ke selatan."
"Jadi ia sering bepergian ke wilayah Manchu?"
"Ya, tetapi tidak perlu dicurigai. Ia pergi dalam rangka usahanya. Bahkan setiap habis bepergian itu, ia menguntungkan aku."
"Menguntungkan bagaimana?"
"Ia banyak memberi keterangan tentang posisi dan gerak-gerik pasukan Manchu. Jadi aku bisa mewaspadainya terus."
Helian Kong mengangguk-angguk. Cuma dalam hatinya ia berkata.
"Biar nanti kalau berhadapan muka dan bercakap-cakap dengan orang itu, aku akan menguji orang itu."
III Sementara itu, dari luar ruangan sudah terdengar gemerisik langkah kaki. Jai Yong-wan dalam jubah saudagarnya muncul di pintu sambil kedua tangannya menyangga nampan, di atasnya ada mangkuk besar bertutup.
"Selamat datang, Tuan Jai."
Langkah Jai Yong-wan tertegun sejenak di ambang pintu, melihat Helian Kong, lalu berkata.
"Ah, aku tidak menyangka Tuan Bu sedang kedatangan tamu penting. Kalau aku tahu sebelum-nya, tentu aku akan membawakan dua mangkuk...."
"Tidak usah repot-repot,"
Potong Bu Samkui.
"Isi mangkuk besar itu cukup untuk kami berdua. Tuan Jai, tidak usah sungkan di antara teman sendiri. Kenalkan, ini adalah Helian Kong, panglima Kerajaan Beng yang terkenal..." (Bersambung
Jilid IX.) Sumber Image . Koh Awie Dermawan first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu 17/07/2018 16 . 37 PM III ( Bagian II )
Jilid IX Karya . STEVANUS S.P. pelukis . WIDODO Percetakan & Penerbit CV "G E M A"
Mertokusuman 761 RT 02 RW VII Tilpun 35801 - SOLO 57122 KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA 2 Karya . STEFANUS S.P.
Jilid IX H ati Jai Yong-wan agak tergetar mendengar nama itu, dan getarannya merambat ke kedua lengannya sehingga mangkuk besar di atas nampan yang dibawanya itu agak bergetar sedikit dan itu tidak lolos dari pandangan tajam Helian Kong.
Cepat-cepat Jai Yong-wan menenangkan dirinya lalu berkata dengan ramah.
"Sungguh malam ini aku beruntung bisa berhadapan muka dengan panglima yang gagah perkasa itu. Tuan Helian, terimalah salam hormatku..."
Ketika itu Bu Sam-kui sudah menyambut nampan dari tangan Jai Yong-wan sehingga Si Saudagar Korea itu tidak memegang apa-apa. Kesempatan itu digunakan oleh Helian Kong untuk maju mendekatinya sambil mengulur tangan mengajak berjabat, sambil berkata.
"Aku juga gembira bahwa sahabatku Bu Sam-kui di San-hai-koan ini punya teman bertukar pikiran yang berbobot seperti Tuan Jai ini..."
Begitu Jai Yong-wan menyambut jabat tangan itu, terjadilah "acara"
Saling mengukur kekuatan antara Helian Kong dan Jai Yong-wan lewat jabat-tangan itu.
Jai Yong-wan menyadari kalau dirinya pasti sulit untuk sama sekali menyembunyikan kekuatannya dari orang seperti Helian Kong, nalurinya sudah memperingatkan itu, maka ia pun sengaja mengadakah perlawanan agar tidak menimbulkan kesan ingin menyembunyikan sesuatu yang malah akan menimbulkan kecurigaan.
Begitulah, beberapa saat kedua tangan itu saling genggam bagaikan dua buah jepitan besi yang sama-sama berkarat, sampai terlihat muka Jai Yong-wan penuh butiran keringat vang besar-besar dan agak menyeringai menahan sakit.
"Kau hebat, Tuan Helian, berbaik hatilah kepadaku...."
Desis Jai Yong-wan. Helian Kong melepaskan pegangannya sambil tersenyum.
"Maaf, Tuan Jai ini juga hebat."
Jai Yong-wan pun berdalih untuk membenarkan pemilikan kemampuan silatnya itu.
"Sekedar untuk menjaga diri, Tuan Helian. Di jaman susah ini ada banyak orang nekad yang tidak segan-segan menghadang siapa pun yang kelihatan punya uang, terutama kaum saudagar seperti aku ini."
"Kan bisa menyewa pengawal-pengawal sewaan?"
"Kadang-kadang, meskipun jarang, justru pengawal-pengawal sewaan itu memakan sendiri orang yang menyewanya. Seperti pagar makan tanaman, begitulah.."
Alasan itu masuk akal, tetapi Helian Kong tetap merasa ada sesuatu yang tersembunyi dalam pribadi Jai Yong-wan.
Helian Kong kurang setuju kalau Bu Sam-kui bersahabat dengan orang ini, tapi ia tidak bisa melarang Bu Sam-kui karena tidak punya alasan yang kuat, tentu saja ia tidak dapat melarang Bu Sam-kui hanya berdasar perasaannya saja dan orang lain hanya disuruh mengikuti apa yang dia rasakan sendiri.
"Bu Sam-kui dari dulu memang begini, tidak pernah berpikir panjang dan selalu ambil gampangnya saja...."
Keluh Helian Kong dalam hati.
"Mudah-mudahan tidak sampai melangkah ke tindakan yang gegabah, dan aku harus sering-sering mengunjunginya..."
Setelah mencicipi semangkuk kecil kuah jinsorn kiriman Jai Yong-wan, untuk melegakan hati Bu Sam-kui. Helian Kong pun meninggalkan tempat itu dengan alasan akan kembali ke pasukannya.
"Aku akan mengambil seorang anak buahku untuk mengantarmu sampai keluar kota Sanhai-koan, Saudara Helian....."
Usul Bu Sam-kui.
"Tidak usah,"
Sergah Helian Kong, namun tiba-tiba terlintas juga sesuatu di benaknya, sehingga ia buru-buru meralat kata-katanya sendiri.
"Eh, tetapi kalau Saudara Bu ingin mengantarku juga, aku dengan senang hati tidak bisa menolak."
Maksud Helian Kong adalah ingin mencari kesempatan berbicara empat mata untuk memperingatkan agar Bu Sam-kui berhati-hati terhadap Jai Yong-wan.
Namun Bu Sam-kui saat itu sedang dalam keadaan amat penat setelah seharian memeras tenaga bersarna prajurit-prajuritnya mempertahankan tembok San-hai-koan.
Apalagi setelah perutnya kemasukan kuah jinsom yang hangat, ia jadi malas bangkit dari kursinya.
Tetapi mengingat Helian Kong sudah jauh-jauh datang bersama pasukannya hanya untuk membantunya, tidak enak juga untuk menolak.
Maka dengan sangat enggan ia bangkit dari kursinya, sambil berkata kepada Jai Yong-wan.
"Tuan Jai, jangan pergi dulu, aku masih ingin mengobrol banyak dengan Tuan. Aku pergi hanya sebentar, mengantar Saudara Helian ini." Jai Yong-wan cuma mengangguk sambil tersenyum ramah sekali, tetapi dalam hatinya sudah merasa kalau Helian Kong mencurigainya, dan juga sudah menebak kalau ajakan Helian Kong kepada Bu Sam-kui itu tentu hanya untuk memberi peringatan. Tidak lama kemudian, Bu Sam-kui dan Helian Kong sudah berdiri di atas tembok kota San-hai-koan di bagian yang menyambung dengan Tembok Besar yang berliku-liku ribuan kilometer seperti ular raksasa itu. Di bawah langit yang berhiaskan bintang-bintang. Di tempat itulah Helian Kong memperingatkan Bu Sam-kui.
"Saudara Bu, berhati-hatilah terhadap orang yang bernama Jai Yong-wan itu. Jangan terlalu percaya kepadanya."
"Kenapa?"
"Sulit dijelaskan, sebab ini hanya berdasar naluriku. Pokoknya berhati-hatilah. Aku tidak menganjurkan Saudara Bu memusuhinya, cuma berhati-hati saja tiada jeleknya." Bu Sam-kui hanya menghembuskan napas, memandang ke rangkaian Tembok Besar yang menjulur ke arah kegelapan malam. Dalam hati ia menganggap Helian Kong kelewat was-was. Toh mulutnya menjawab.
"Baik, Saudara Helian."
Helian Kong tidak mendengar nada bersungguh-sungguh dalam jawaban Bu Samkui itu, namun ia tidak bisa memaksakan suatu sikap kepada orang lain. Cuma mulutnya berkata juga.
"Selamat malam, Saudara Bu, aku akan sering-sering mengunjungimu untuk menyatukan langkah-Jangkah militer kita."
"Selamat malam, Saudara Helian."
Kemudian Helian Kong pun melangkah menyusuri Tembok Besar itu dan lenyap di kegelapan.
Sedangkan Bu Sam-kui buru-buru kembali ke rumah kediamannya untuk menjumpai Jai Yong-wan yang masih menunggu.
Mereka mengobrol sampai jauh malam, dan ternyata Jai Yong-wan.
dalam percakapan itu tidak menunjukkan tanda-tanda yang mencurigakan.
Ia tidak bertanya tentang keterangan-keterangan militer, sehingga Bu Sam-kui bertambah yakin kalau Helian Kong sekedar berprasangka terhadap Hai Yong-wan.
Bu Sam-kui yang tidak berpikiran jauh itu tidak saJai bahwa Jai Yong-wan memang sengaja menahan diri, sebab ia sudah menduga adanya peringatan Helian Kong kepada Bu Samkni ketika Bu Sam-kui "mengantar"
Tadi.
Demikianlah, selagi Helian Kong me-rasa tidak tenteram karena Bu Sam-kui berdekatan dengan orang macam Jai Yong-wan, orang yang dikhawatirkan sendiri malahan menganggap Jai Yong-wan tidak berbahaya sama sekali dan sebagai rekan berbincang yang menyenangkan.
Menjelang tengah malam, Jai Yong-wan berpamitan pulang, tapi tanpa diketahui Bu Sam-kui atau siapa pun juga, Jai Yong-wan pulang ke rumahnya hanya sebentar, hanya untuk mengganti jubah saudagarnya dengan pakaian pejalan malam (Ya-heng-ih) yang berwarna gelap dan berpotongan ringkas, lengkap dengan kedok yang menutupi sebagian besar wajahnya.
Lalu dia pun bergerak seperti burung yang terbang entah ke mana......
* * * Sebelum fajar menyingsing, seluruh pasukan San-hai-koan sudah bersiap-siap di atas tembok kota, kalau dilihat sepintas dari kejauhan akan kelihatan seperti burung-burung gereja yang hinggap di bubungan.
Sebagian pasukan yang semalam bertugas jaga, mendapat giliran beristirahat.
Di atas tembok sudah bertimbun-timbun sejumlah besar panah, lembing, batu, balokbalok kayu, bahkan karena persediaan batu di San-hai-koan agak menipis, maka pot-pot kembang yang besar-besar milik penduduk Sanhai-koan pun sudah diminta dan diangkut ke atas tembok.
Pot kembang besar berisi tanah itu cukup berat dan kalau menimpa kepala pastilah rasanya akan cukup lumayan.
Ada sedikit perbedaan suasana hari itu.
Para prajurit kelihatan agak lebih bersemangat, meskipun tanda-tanda kelelahan juga nampak di wajah mereka.
Yang membuat prajuritprajurit itu lebih bergairah ialah karena sudah beredarnya berita bahwa pasukan Helian Kong berada dekat San-hai-koan dan akan mengganggu gerak maju pasukan Lau Cong-bin dari belakang.
Prajurit-prajurit San-hai-koan merasa besar hati, sebab mereka pernah mendengar kemasyhuran Helian Kong, dan pasukannya juga terkenal sebagai prajuritprajurit terlatih.
Bu Sam-kui lah yang memerintahkan penyebar-luasan berita itu untuk membakar semangat prajurit-prajuritnya.
Bahkan oleh Bu Sam-kui ditambah-tambahi sendiri.
"Pasukanpasukan lain selain pasukan Helian Kong juga sedang bergabung kemari....."
Begitulah, prajurit-prajurit San-hai-koan jadi lebih bergairah hari itu.
Rasanya mereka tidak sabar lagi menunggu musuh muncul berbondong-bondong dari ujung dataran seperti kemarin.
Tetapi hari itu agak lain, selagi pengawal San-hai-koan bersemangat, malahan musuh tidak muncul.
Entah kenapa.
Sampai matahari mencapai sepertiga dari busur perjalanannya, tidak satu pun prajurit Pelangi Kuning yang muncul di dataran di luar tembok kota.
Ketika Bu Sam-kui meneropong dengan teropong Portugisnya, ia melihat perkemahan musuh masih berada di tempatnya, dan masih kelihatan ada orang-orang bersenjata yang hilir mudik meskipun mereka kelihatan seukuran semut.
"Bagaimana, Panglima?"
Tanya seorang perwira yang berdiri di sebelahnya.
"Mereka masih di tempatnya, dan tidak ada tanda-tanda akan mulai bergerak."
"Mungkinkah mereka lelah setelah tiga hari berturut-turut menggempur tanpa hasil, bahkan dengan kehilangan banyak prajurit?"
"Ya. Mungkin juga. Tetapi mungkin juga Helian Kong dan pasukannya mulai beraksi, sehingga perhatian musuh beralih kepada pasukan Helian Kong, untuk memberi kesempatan istirahat kita....."
Sengaja Bu Samkui mengeluarkan perkataan yang hanya dugaan itu, untuk mengobarkan semangat prajuritnya.
Bu Sam-kui beberapa saat lamanya berjalan-jalan di sepanjang tembok untuk memeriksa kesiapan pasukannya.
Kemudian memberi pesan kepada komandan-komandan bawahannya.
"Pasukan boleh sedikit santai, tetapi jangan abaikan gerak-gerik musuh. Kita harus tetap waspada, tetapi jangan tegang sehingga cepat lelah."
"Baik, Panglima."
Ketika itulah seekor kuda berderap di kaki tembok kota bagian dalam, dan penunggangnya yang adalah seorang perwira melompat turun dari kudanya dan berlari-lari menaiki undakan tembok dengan mengabaikan penghormatan beberapa prajurit yang berpapasan.
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia adalah Li Lim-hong, kepala bagian perbekalan pasukan San-hai-koan.
Tubuhnya gemuk dan nampak agak bersusah-payah menaiki undakan, meskipun demikian Bu Sam kui hampir bisa memastikan bahwa yang akan dilaporkannya adalah sesuatu yang berlawanan dengan keadaan tubuhnya yang gemuk itu, yaitu persoalan kekurangan bahan makanan bagi seluruh pasukan.
Setibanya di atas tembok, Li Lim-hong sudah berpeluh kuyup, dan sambil mengusapusap peluh di dahinya, ia hendak memulai laporannya.
"Panglima, bahan makanan...."
Cepat-cepat Bu Sam-kui menukas.
"Jangan bicara di sini. Mari ke markas.."
Lalu Bu Sam-kui mulai menuruni tembok, dan L i Lim-hong yang baru saja terengah-engah naik itu sekarang harus menuruni kembali membawa tubuh gendutnya, sehingga ia mengeluh dalam hati tetapi tidak berani mengutarakannya terang-terangan.
Maklurr kalau Bu Sam-kui khawatir laporan Li Lim-hong bakal menurunkan semangat para prajurit yang sedang berkobar naik.
Mereka berkuda berdua menuju ke markas, namun di tengah jalan Bu Sam-kui sudah tidak tahan lagi dan bertanya.
"Apa yang hendak kau laporkan?"
Seperti dugaan Bu Sam-kui ternyata, jawaban Li Lim-hong.
"Bahan makanan yang kita kumpulkan tempo hari mestinya cukup untuk setengah bulan lebih, tetapi gara-gara kebakaran gudang perbekalan itu, hari ini persediaan sudah menipis. Besok masih bisa makan, tapi besoknya lagi entahlah.."
Bu Sam-kui bungkam, tak tahu harus menjawab bagaimana. Yang terdengar hanyalah derap langkah kaki kuda mereka berdua. Li Lim-hong memberanikan diri mengajukan usul.
"Panglima, bagaimana kalau ,.... kalau. kita ambil lagi persediaan penduduk kota? Tentu sedikit-sedikit masih bisa kita kumpulkan perbekalan untuk satu-dua hari.."
Bu Sam-kui masih belum menjawab.
Ketika itu mereka sedang melewati perumahan penduduk San-hai-koan.
Dari dalam sebuah rumah di pinggir jalan, terdengar suara pertengkaran hebat suami isteri, ada suara perempuan menjerit-jerit, anak-anak menangis, panci-panci dibanting.
Lalu pintu depan tibatiba terbuka, seorang lelaki setengah umur yang memegang golok pencacah daging di tangannya tiba-tiba menghadang di hadapan Bu Sani-kui dan berteriak-teriak sambil mengacungacungkan goloknya.
"Ini biang keladinya! Kalian telah merampok persediaan makanan keluargaku beberapa hari yang lalu, sampai anak isteriku hampir mati kelaparan.."
Lalu dengan keberanian yang tidak masuk akal, ia berlari menerjang ke arah Bu Sam-kui sambil mengangkat goloknya tinggi-tinggi.
Rupanya ia sudah benar-benar nekad karena tekanan kesulitan hidup yang serasa tidak tertahankan lagi.
Li Lim-hong jadi gusar, ia sudah mencabut goloknya dan hendak menerjangkan kudanya menyongsong orang nekad itu, tetapi tangan Bu Sam-kui menyambar tali kendali kudanya sehingga kuda itu tidak dapat maju.
Kata Bu Sam-kui.
"Kita cari jalan lain."
Li Lim-hong tidak berani membantah.
Ketika Bu Sam-kui memutar kudanya dan mema Seorang lelaki setengah umur yang memegang golok pencacah daging di tangannya tiba-tiba menghadang di hadapan Bu Sam-kui dan berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan goloknya.
cunya lewat jalan lain, Li Lim-hong mengikutinya meskipun sesekali masih menoleh kepada orang itu.
Merasa tidak mampu mengejar larinya kuda-kuda itu, orang tadi mencak-mencak sendiri di tengah jalan sambil memaki-maki prajurit-prajurit San-hai-koan, dari panglimanya sampai prajurit yang paling rendah.
Li Lim-hong masih sempat mendengarnya, dan berkata dalam hatinya.
"Nanti malam teruslah kubereskan orang itu secara diamdiam. Jangan sampai perkataannya menyebar dan mempengaruhi penduduk San-hai-koan sehingga tidak mau menyetor bahan makanan lagi. Untung sekali aku sendiri masih menyimpan persediaan di rumahku.."
Sedangkan, dalam perjalanan berkuda ke markasnya, Bu Sam-kui rasanya tidak sanggup bertatap-muka dengan penduduk San-hai-koan yang berpapasan dengannya.
Meskipun orangorang yang berpapasan itu menunduk atau mengangguk hormat, tetapi rasa-rasanya mata mereka menyodorkan tuduhan kepada Bu Samkui, seolah Bu Sam-kuilah yang menyebarkan kelaparan di seluruh kota itu.
Bu Sam-kui merasa beban yang terlalu berat menindih hatinya.
Ketika itulah Li Lim-hong menjajarkan kudanya dan mengulangi usulnya yang tadi.
"Panglima, bagaimana dengan usulku tadi? Saat ini penduduk San-hai-koan masih punya persediaan bahan makanan serba sedikit, mudah-mudahan.."
"Tidak!"
Sahut Bu Sam-kui tegas.
"Panglima punya cara lain?"
"Sedang aku pikirkan cara yang tidak memberatkan penduduk. Aku tidak mau penduduk sampai membenci kita, sebab penduduk itulah tempat kita berakar..."
Diam-diam Li Lim-hong menggeleng-geleng kurang setuju, untung Bu Sam-kui tidak melihatnya. Kata Li Lim-hong.
"Panglima terpengaruh oleh kata-kata orang gila tadi? Seharusnya Panglima tidak perlu terlalu menghiraukannya, kata-kata orang tadi tidak mewakili kata hati seluruh penduduk San-haikoan. Orang tadi hanya seorang yang mementingkan diri sendiri, sedangkan aku yakin kalau sebagian besar penduduk San-haikoan masih bersedia berkorban demi...."
"Cukup! Usulmu aku tolak!"
"Tetapi, Panglima, masalahnya mendesak..."
"Sudah aku bilang, aku sedang memikirkannya!"
"Perut lapar tidak bisa menunggu, Panglima."
"Perut prajurit bisa."
Li Lim-hong menghembuskan napas dengan kesal, Tetapi tidak berani berkata apa-apa lagi.
Saat itu seekor kuda berderap dari depan, ditunggangi seorang prajurit.
Tiba di depan Bu Sam-kui, prajurit itu menghentikan kudanya dan melompat turun serta memberi hormat kepada Bu Sam-kui dan Li Lim-hong.
"Lapor, Panglima....."
"Ada apa? Apakah musuh bergerak lagi?" "Bukan begitu, Panglima. Saya adalah prajurit yang berjaga-jaga di tembok arah timur-laut."
Tembok timur laut adalah yang menghadap ke wilayah negeri Manchu.
Meskipun Bu Samkui sedang menghadapi tekanan berat dari arah barat dan selatan oleh kaum Pelangi Kuning, namun ia tetap mewaspadai sisi timur-laut, sisi yang menghadapi wilayah Manchu.
Meskipun ada laporan yang mendengar bahwa balatentara Manchu sudah ditarik menjauhi perbatasan, begitu juga laporan Jai Yong-wan yang suka keluyuran sebagai saudagar jin-som, Bu Samkui tidak mengurangi kewaspadaan di sisi timur-laut.
Kini mendengar seorang penjaga sisi timurlaut hendak melapor, Bu Sam-kui sudah berdebar-debar lebih dulu.
Belum-belum pikirannya sudah membayangkan yang buruk dulu.
Disangkanya pihak Man-chu juga sudah bergerak untuk menggencet San-hai-koan sebagai "pintu gerbang"
Strategis antara wilayah luar Tembok Besar dengan dalam Tembok Besar. Kalau apa yang ditakutkan itu benar, ia dan pasukannya yang kecil itu harus menghadapi dua balatentara kuat dari dua jurusan.
"Orang Manchu?"
Tanya Bu Sam-kui tegang.
"Benar, Panglima."
Jantung Bu Sam-kui sudah mengamuk seperti tambur yang ditabuh seorang pemabuk berat.
"Berapa kekuatan mereka kira-kira?"
"Sepuluh orang."
Bu Sam-kui membelalakkan matanya.
"He, prajurit sinting, bicaralah yang benar."
"Benar, Panglima. Mereka hanya sepuluh orang prajurit berkuda, membawa bendera putih dan mereka sekarang sedang menunggu dibukai pintu. Itulah sebabnya aku mencari Panglima untuk minta ijin sebab tidak berani bertindak lancang."
Bu Sam-kui batal ke markasnya, melainkan membelokkan kudanya ke arah tembok timur, diikuti Li Lim-hong dan prajurit yang melapor itu.
Setelah Bu Sam-kui ada di atas tembok, ia melihat di daratan di luar tembok memang nampak sepuluh orang prajurit berkuda Manc.hu yang termangu-mangu menunggu dibukai pintu.
Salah seorang dari mereka membawa bendera putih sebagai isyarat agar tidak diserang.
Karena prajurit-prajurit Manchu itu bercaping, maka wajah mereka jadi tidak kelihatan dari atas tembok.
Yang kelihatan dari atas tembok hanyalah bundaran-bundaran caping mereka yang berhias benang-benang merah di pucuknya dan hiasan bulu burung merak yang rebah ke belakang.
Bu Sam-kui berpikir sejenak, lalu berkata.
"Aku akan menunggu mereka di markas. Bukakan pintu buat mereka, dan jangan lupa, lucuti senjata mereka sebagai tanda kedaulatan kita atas kota San-hai-koan."
"Baik, Panglima."
Bu Sam-kui lalu bergegas menuju markasnya untuk menyiapkan segala sesuatunya untuk "menyambut"
Utusan-utusan Manchu itu.
Biarpun San-hai-koan sedang dijepit kesulitan rasaksa, tetapi Bu Sam-kui tidak mau kelihatan lemah, ia ingin menunjukkan kepada tamu-tamu Manchu itu bahwa San-hai-koan "tetap kuat".
Sementara Bu Sam-kui kembali ke markas, prajurit-prajurit San-hai-koar yang berjaga-jaga di pintu pun membukakan pintu gerbang dan membiarkan prajurit-prajurit berkuda Manchu itu masuk Ketika para pengawal San-hai-koan melaksanakan perintah Bu Sam-kui untul melucuti orang-orang Manchu itu, di luar dugaan bahwa orang-orang Manchu iti begitu "jinak"
Sehingga tanpa bantahan sedikit pun lalu menitipkan senjata-senjat.
mereka kepada pengawal-pengawal pintu gerbang.
Kemudian barulah mereka di kawal ke markas Bu Sam-kui oleh satu regu prajurit San-hai-koan yang sudah dipersiapkan.
Markas Bu Sam-kui sendiri dijaga jauh lebih ketat dari hari-hari biasanya.
Ada satu regu di depan pintu, satu regu di seberang markas, satu regu di halaman dalam, dan belasan pengawal pilihan yang akan berdiri di belakang kursinya Bu Sam-kui.
Bagaimanapun, selain untuk menunjukkan kewibawaan, hal itu juga perlu untuk berjaga-jaga sebab bagaimanapun juga mereka belum tahu apa maksud kedatangan orang-orang Manchu itu.
Bu Sam-kui sudah duduk gagah di kursinya yang berlapis kulit macan tutul, ketika rombongan orang Manchu tiba.
Pengawalpengawal berdiri di belakangnya, dan komandan-komandan bawahan berdiri berderet sepanjang dinding kiri dan kanan, semuanya berseragam lengkap dan mentereng.
Sepuluh orang Manchu itu pun melangkah ke dalam ruangan, tanpa senjata.
Yang berjalan paling depan nampak tenang dan penuh senyuman.
Ia seorang berusia setengah umur dengan kumis dan jenggot kelabu.
Tetapi begitu mengenali wajah orang ini, Bu Sam-kui amat kaget sehingga hampir melompat dari kursinya.
"Kau.......kau..."
Katanya tergagap sambil menudingkan telunjuknya. Orang itu tersenyum, dan berbicara bahasa Han dengan fasih.
"Betul, Saudara Bu. Baikbaikkah keadaanmu selama ini, selama berpisah dengan aku?"
Sesaat Bu Sam-kui jadi bertingkah canggung.
Perwira-perwira bawahannya yang belum lama berada di bawah perintahnya, menjadi heran melihat tingkah Panglima mereka itu.
Tetapi buat panglima-panglima yang sudah lama bertugas di San-hai-koan, bahkan ada yang lebih dahulu di San-hai-koan, bisa memaklumi sikap Bu Sam-kui, sebab mereka sendiri mengenal pimpinan rombongan Manchu itu.
Orang itu bernama Ang Seng-tiu, bekas seorang perwira dinasti Beng yang bertugas di San-hai-koan sejak jamannya Henderal Wan Cong-hoan yang legendaries itu.
Jenderal Wan Cong-hoan adalah pahlawan dinasti Beng yang berhasil menewaskan raja Manchu, Kaisar Thaicong, ayahanda Kaisar Sun-ti yang bertahta saat itu meskipun masih bocah.
Ang Seng-tiu adalah bawahan Jenderal Wan waktu itu, begitu pula Bu Sam-kui yang masih perwira menengah.
Ternyata kemenangan besar Jenderal Wan Cong-hoan itu bukannya disambut baik di Pakkhia, ibukota dinasti Beng, malah ada segolongan orang dengki yang khawatir kalau kejayaan Jenderal Wan akan membuatnya semakin kuat dan membahayakan kedudukan orang-orang dengki itu.
Orang-orang yang dengki ini lalu mempengaruhi Kaisar Cong-ceng yang berpendirian lemah.
Akhirnya Jenderal Wan Cong-hoan dipanggil pulang ke Ibukota Pak-khia bukan untuk menerima hadiah atas jasa-besarnya, melainkan malah menerima hukuman mati.
Pasukan di San-hai-koan yang setia kepada Jenderal Wan pun tergoncang, penasaran, melorot semangatnya, kecewa dan berduka ketika mendengar tentang matinya Jenderal Wan itu.
Kemudian Ang Seng-tiu menjadi Panglima San-hai-koan menggantikan Wan Cong-hoan.
Karena kemerosotan semangat pasukan gara-gara dihukum matinya Jenderal Wan, pasukan dinasti Beng jatuh dalam posisi bertahan yang terus-menerus "digebuki"
Oleh pasukan Manchu, kebalikan dari keadaan di jaman pimpinannya Jenderal Wan.
Suatu kali, ketika keadaan San-hai-koan begitu mengkhawatirkan, Jenderal Ang mengirim utusan ke Pak-khia untuk mohon bantuan.
Yang dikirim adalah Bu Sam-kui dan seorang perwira lain bernama Liong Tiau-hui.
Tiba di Ibukota Pak-khia, Bu Sam-kui dan Liong Tiau-hui bersusah-payah mencari jalan untuk dapat menghadap Kaisar Cong-ceng dan mengabarkan keadaan San-hai-koan yang gawat.
Tetapi mereka tertahan lama oleh birokrasi ruwet di sekitar istana, sampai mereka kehilangan kesabaran karena kehabisan bekal untuk menyuap ke sana ke mari, mereka belum juga berhasil menghadap kaisar.
Sampai mereka dengar bahwa Jenderal Ang Seng-tiu di San-haikoan menjadi begitu putus asa dan menyerah kepada Manchu setelah tertangkap dalam suatu pertempuran.
Liong Tiau-hui, teman Bu Samkui, menjadi begitu kalap sehingga berusaha menerobos penjagaan untuk menemui Kaisar Cong-ceng ketika Kaisar menghadiri pesta di rumah Bangsawan Ciu Kok-thio, mertua Kaisar.
Liong Tiau-hui dikira pembunuh yang bermaksud jahat atas diri Kaisar, dan dia hampir saja mati dibunuh oleh pengawalpengawal kaisar, seandainya tidak diselamatkan oleh seorang tokoh pemberontak Pelangi Kuning.
Liong Tiau-hui akhirnya bergabung dengan golongan Pelangi Kuning yang sedang berusaha menumbangkan dinasti Beng lewat pemberontakan.
Sedang Bu Sam-kui cepat-cepat dikirimkan ke San-hai-koan untuk menggantikan kedudukan Ang Seng-tiu.
Sampai dinasti Beng runtuh dan kaum Pelangi Kuning berkuasa, Bu Sam-kui tetap bertahan di San-haikoan.
Kini, berhadapan dengan bekas panglima atasannya itu, bekas atasan yang sekarang berpakaian pembesar negeri Manchu, Bu Samkui benar-benar tidak siap mental.
la menarik napas beberapa kaJi untuk meredakan debar jantungnya, kemudian berusaha bersikap dingin.
"Jenderal Ang, hampir-hampir tidak kupercayai mataku bahwa yang berdiri di hadapanku dengan seragam pembesar negeri asing, negeri musuh bebuyutan bangsa Han ini, adalah kau! Ternyata kau masih punya muka juga menjumpaiku."
Sikap Bu Sam-kui dingin dan sama sekali tidak ramah, bahkan meskipun di ruangan itu sebenarnya sudah disediakan kursi-kursi untuk para tamu, namun setelah Bu Sam-kui mengetahui bahwa pemimpin rombongan Manchu itu adalah Ang Seng-tiu, maka Bu Samkui tidak mempersilakannya duduk.
Dibiarkannya tamu-tamunya tetap berdiri saja.
Sementara Ang Seng-tiu ketika melangkah masuk ke ruangan itu, agaknya angan-angannya juga melayang ke masa silam.
Di ruang itu pula ia dulu duduk sebagai Panglima San-hai-koan, sebelum ia tertangkap oleh orang Manchu dalam suatu pertempuran, kemudian ia menakluk kepada orang Manchu dan mendapat kedudukan.
Kini ia melihat ruangan itu masih seperti dulu, bedanya sekarang ia adalah orang asing yang diterima dengan tidak ramah.
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ang Seng-tiu menarik napas beberapa kali, mengendalikan emosinya, lalu berkata.
"Saudara Bu..."
Bu Sam-kui cepat-cepat menukas.
"Sebut aku dalam kedudukan resmiku, Jenderal Ang."
"Baik, Jenderal Bu. Aku memahami sikapmu sekarang ini, tetapi tidakkah kau punya tatakrama menyambut utusan dari suatu negara yang berdaulat, meskipun negara yang kau anggap musuh sekali pun?"
"Silakan duduk,"
Akhirnya Bu Sam-kui memenuhi juga tata-krama itu.
"Terima kasih,"
Sahut Ang Seng-tiu yang mengambil tempat duduk lebih dulu, diikuti anggota rombongannya.
Ketika duduk di kursi itu, lagi-lagi hati Ang Seng-tiu tersentuh.
Pegangan kursi sebelah kiri itu gumpil sedikit ujungnya, dan Ang Seng-tiu teringat ia pernah memarahi seorang prajurit bawahannya yang menggotong kursi itu kurang hati-hati sehingga terbentur ambang pintu sedikit.
Tak terasa Ang Seng-tiu mengelus bagian kursi yang gumpiJ itu dengan ujung jarinya.
"Nah, Jenderal Ang, Anda membawa pesan apa dari majikan Anda yang baru?"
Ang Seng-tiu berusaha untuk tidak terpengaruh oleh sindiran-sindiran tajam yang dilontarkan Bu Sam-kui itu, melainkan langsung ke pokok persoalannya.
"Jenderal Bu, kami sudah mendengar kesulitan pasukanmu....."
"Tunggu! Kesulitan pasukan siapa?"
Ang Seng-tiu melengak sejenak, lalu! mengalah dengan mengubah istilahnya.
"O, maaf kalau kau tidak suka istilah itu, Jenderal Bu. Baik. Kami sudah mendengar tentang pertempuran gigih yang sudah berlangsung beberapa hari antara kalian dan kaum Pelangi Kuning. Aku pribadi kagum akan kegigihan dan keteguhan tekad prajurit-prajurit San-hai-koan yang berhasil bertahan melawan musuh yang jauh lebih besar. Meski aku bukan prajurit Sanhai-koan lagi, tetapi aku ikut berbangga karenanya....." Sesaat suasana sunyi, kedengarannya suara Ang Seng-tiu bersungguh-sungguh. Kemudian Ang Seng-tiu meneruskan.
"Aku membawa pesan dari Sri Baginda Sun-ti...."
Ketika mau tidak mau menyebut Raja Manchu itu dengan sebutan yang hormat, mau tidak mau wajah Ang Seng-tiu agak merah dan sikapnya agak kikuk, tetapi dilanjutkannya juga.
"...... bahwa sejak dulu negeri Manchu sebenarnya tidak punya niat menyerbu ke sebelah selatan Tembok Besar. Kami orangorang Manchu...."
Lagi-lagi kuping Ang Seng-tiu merah sendiri karena ia orang Han, apalagi karena Bu Sam-kui berdehem keras, namun Ang Seng-tiu terus berkata.
"... maksudku, orang-orang Manchu (kali ini Ang Seng-tiu melirik dengan sungkan kepada pengiring-pengiringnya sendiri) bisa memperhitungkan berapa jumlah penduduk Manchu dan berapa jumlah penduduk Tionggoan, mungkinkah penduduk Manchu yang sedikit itu menelan negeri yang begini luas?" "Hem, tetapi orang Manchu terus-menerus mengadakan perlawanan kepada pemerintah dinasti Beng, sejak jaman mendiang Kaisar Thian-ke,"
Bantah Bu Sam-kui.
"Apakah itu bukan maksud menjajah negeri bangsa Han untuk mengulangi kejadian jaman Kim dulu?"
Memang berabad-abad yang lalu, wilayah Liau-tong (wilayahnya bangsa Manchu) adalah sebuah negeri tersendiri yang disebut negeri Kim.
Ketika daratan Cina terbelah dua oleh Kerajaan Liao di utara dan Song di selatan, maka negeri Kim ini adalah taklukan Liao.
Kemudian negeri Kim berhasil menjadi kuat dan mengalahkan Liao, ganti Liao yang menjadi taklukan Kim dengan secuil sisa wilayahnya di bagian barat yang disebut Se-liao (Liao Barat), Kim juga mendesak Song lebih ke selatan sehingga disebut jaman Lam-song, atau Song Selatan.
Sementara Kim tumbuh menjadi kekuatan besar, di gurun utara bangkit kekuatan yang lebih besar, yaitu bersatunya suku-suku Mongol yang semula terpecah-belah, bersatu di bawah Jengish Khan yang menyapu ke selatan, sekaligus menghapuskan Kim, Seliao maupun Lam-song dari peta.
Bahkan pengembaraan Jengish Khan ke wilayah barat menjadi legenda.
Ratusan tahun kemudian, ketika rakyat Tiong-goan bangkit menumbangkan penjajah Mongol, rakyat Tionggoan mendirikan Kerajaan Beng, dan saat itu bekas wilayah Se-liao maupun Kim masuk menjadi wilayah Beng yang diperintah orangorang suku bangsa Han.
Orang-orang bekas penduduk Se-liao dengan cepat melebur dan melupakan kalau mereka keturunan Liao, mereka menganggap diri juga sebagai bangsa Han, meskipun tampangnya agak berbeda.
Tetapi orang-orang bekas wilayah Kim di timurlaut agaknya lebih sulit membaur dengan suku penguasa, suku Han.
Mereka masih teringat kejayaan masa lalu, kejayaan negeri Kim.
Tahun 1616, ketika dinasti Beng di jamannya Kaisar Sin-cong (1573 - 1620) keropos, orang-orang di bekas wilayah negeri Kim ini melepaskan diri dari dinasti Beng, mendirikan dinasti Ceng yang disebut juga Hau-kim (Kim Baru) dan mengangkat Kaisar Thai-cou.
Peristiwa inilah yang disebut oleh Bu Sam-kui tadi.
Ang Seng-tiu dengan tangkas menangkisnya.
"Jenderal Bu, peristiwa penobatan Sri Baginda Thai-cong di kota Jiat-ho itu adalah sebuah pernyataan kemerdekaan dari suatu kaum yang berhak merdeka. Tak berbeda dengan ketika bangsa Han menobatkan Cu Goan-ciang untuk menggantikan penguasa-penguasa Mongol."
Pengiring-pengiring Ang Seng-tiu mengangguk-angguk mendukung kata-kata Ang Seng-tiu itu. Sementara Ang Seng-tiu melanjutkan.
"Setelah bangsa Man-chu merdeka, mereka tidak bermaksud menyerbu ke selatan sebagai penjajah. Tidak. Mereka hanya ingin berdiri sebagai bangsa yang merdeka tetapi tidak menjadi ancaman buat bangsa lain. Terjadinya perang yang berlarutlarut di Liau-tong dulu, adalah karena dinasti Beng ingin memulihkan cengkeraman kekuasaannya di Liao-tong dengan mengirimkan penyerbu-penyerbu semacam Wan Cong-hoan dan sebagainya. Bangsa Man chu hanya bersikap mempertahankan diri, karena tidak mau menjadi bangsa taklukkan kembali!"
Begitu berapi-api Ang Seng-tiu membela pihak Manchu. Bu Sam-kui tersudut, pengetahuan sejarahnya tidak sehebat Ang Seng-tiu, bekas atasannya itu, tahu kalau berdebat akan kalah. Maka ia lalu berkata.
"Jenderal Ang, hentikan dulu pidatomu itu, sekarang katakan maksud kedatanganmu sebenarnya."
"Baik. Terus terang saja, Jenderal Bu, pemerintahku sudah tidak menganggap dinasti Beng sebagai ancaman lagi, karena... maaf, sudah runtuh. Pihak kami saat ini menganggap kaum Pelangi Kuning yang kampungan itulah yang bakal menjadi ancaman bagi kami, sebab mereka sedang mabuk kemenangan. Pemerintah kami khawatir kalau San-hai-koan ini jatuh ke tangan kaum Pelangi Kuning, mereka akan melanjutkan gerakannya sampai ke Liao-tong, ke wilayah Man-chu. Akan terjadi lagi peperangan di Liao-tong yang berlarut-larut dan minta banyak korban di kedua pihak. Tegasnya, pemerintah kami keberatan San-haikoan jatuh ke tangan pihak Pelangi Kuning."
"Lalu?"
"Kami menawarkan bantuan apa saja, supaya San-hai-koan dapat dipertahankan. Sekali lagi, kami tidak berambisi menduduki wilayah selatan, kami hanya ingin mengamankan wilayah kami sendiri di timurlaut."
"Kami sanggup bertahan tanpa bantuan kalian."
Jawaban lugas Bu Sam-kui itu membuat bukan saja Ang Seng-tiu saling pandang dengan perwira-perwira pengiring-nya, juga perwiraperwiranya Bu Sam-kui sendiri saling bertatapan.
Mereka tahu benar kalau persediaan bahan makanan buat pasukan di San-hai-koan sedang paceklik.
Sesaat suasana di ruangan itu tegang mencekam.
Jawaban tegas Bu Sam-kui itu seperti menutup alur pembicaraan.
Namun Ang Seng-tiu masih berusaha membuka peluang kembali.
"Jenderal Bu, apa yang membuatmu menolak uluran tangan kami?"
"Karena tanpa uluran tangan kalian, kami masih sanggup bertahan tanpa bantuan kalian. Prajurit-prajurit amatiran Pelangi Kuning itu sama sekali tidak berbahaya bagi kami."
"Syukurlah..."
Ang Seng-tiu masih mencoba bersikap mengalah.
"Sebenarnya kalau kita bekerja-sama akan lebih baik. Bukan maksud pihak kami ingin membuat pihakmu menjadi berhutang budi kepada kami dan tergantung kepada kami. Sama sekali tidak. Justru pihak kami merasa terlindung dari serangan kaum Pelangi Kuning dengan gigihnya pertahanan di San-hai-koan. Seandpinya bisa saling membantu di antara kita tentulah lebih baik. Kami akan mengirim pasukan....."
"Tidak!"
Kembali Bu Sam-kui menukas tegas.
"Itu hanyalah siasat kalian untuk bisa mendapatkan San-hai-koan dengan gratis!" "Jenderal Bu, buang jauh-jauh prasangkamu. Aku mengatakan yang benar bahwa kami tidak berambisi menyerbu ke selatan. Kau tentu punya pengintai-pengintai yang bisa memberi laporan kepadamu, bahwa balatentara kami sudah ditarik menjauhi perbatasan. Itu tanda bahwa kami tidak bermaksud menyerang. Dan kalau tawaran pasukan tadi kau curigai, baik, bagaimana kalau kami tawarkan bahan makanan dan persenjataan? Kami bisa mengirimimu ratusan pucuk senjata api buatan Portugis, lengkap dengan peluru-pelurunya dan bubuk mesiunya. Bagaimana?"
Kali ini Bu Sam-kui tidak buru-buru menjawab tidak, ia kelihatan berpikir. Tawaran itu menarik. Kalau benar dia bakal memiliki ratusan pucuk senjata api, alangkah akan mengejutkan buat musuh besok, kalau mereka menyerang lagi.
"Bagaimana?"
Bu Sam-kui kali ini bersikap sedikit luwes.
"Jenderal Ang, aku mempersilakan kau dan pengiring-pengiringmu untuk beristirahat di ruang tamu di belakang, dan berilah aku kesempatan berunding dengan perwiraperwiraku."
Sikap Bu Sam-kui yang melunak itu menggirangkan hati Ang Seng-tiu. Ia bangkit dari tempat duduknya dan berkata kepada pengiring-pengiringnya.
"Kita akan tinggalkan ruangan ini sebentar, untuk memberi kesempatan kawan-kawan kita ini merundingkan tawaran kita."
Para perwira Manchu itu berbicara sebentar satu sama lain dengan bahasa Manchu dalam suara lirih. Dan banyak di antara mereka yang mengangguk-angguk.
"Silakan, Jenderal Ang,"
Bu Sam-kui berdiri dari duduknya, sikap mengantar pergi. Sikapnya tidak sekaku dan sedingin ketika Ang Seng-tiu datang tadi. Setelah Ang Seng-tiu dan rombongannya menghilang, Bu Sam-kui berkata kepada perwira-perwiranya.
"Nah, kalian sudah dengar sendiri. Bagaimana tanggapan kalian?" Li Lim-hong si perwira bagian perbekalan yang bertubuh gemuk yang sejak tadi sudah gregetan karena Bu Sam-kui bersikap "jual mahal"
Terhadap tawaran Ang Seng-tiu, kirii maju paling dulu dan bicara dengan lantangnya.
"Panglima, alasan pihak Manchu untuk membantu kita itu cukup masuk akal. Mereka adalah suku bangsa berjumlah sedikit, mana mungkin mereka berani berangan-angan menduduki negeri bangsa Han yang luas dan penduduknya berjumlah puluhan kali lipat dari penduduk mereka? Hendaknya kita jangan terlalu membayangkan hal-hal yang menakutkan tentang mereka. Kita harus percaya niat baik mereka. Kita terima saja tawaran mereka, baik bantuan tentara maupun bantuan bahan makan. Asal kita tidak takluk kepada mereka, apa salahnya?"
Sebelum Bu Sam-kui menanggapi, seorang perwira lain yang bertubuh tegap dan bermuka persegi, sudah membantah.
"Aku tidak setuju. Sekali orang-orang Manchu itu berada di sebelah dalam tembok San-hai-koan sulit sekali untuk menyuruh mereka pergi. Apalagi kalau mereka datang dengan kekuatan besar. Bantuan yang mereka tawarkan hanyalah pura-pura, sebagai tipu-daya untuk dapat memasuki kota ini tanpa susah-payah."
Segera ruangan itu menjadi riuh-rendah oleh perdebatan.
Ada yang menyetujui Li Limhong dan ada yang menyetujui si perwira bertubuh kekar itu.
Ada juga yang mengusulkan jalan tengah, yaitu hanya menerima bantuan bahan pangan dan bedil-bedil Portugis, tetapi tidak mau menerima kehadiran prajurit-prajurit Manchu di dalam kota.
Suasana begitu ributnya, sebab para perwira itu tidak bicara satu persatu melainkan seringkah beberapa orang sekaligus berbicara dengan suara beradu keras.
Sampai Bu Sam-kui berdiri dari duduknya dan menyuruh diam semuanya.
"Saudara-saudara, setelah aku pertimbangkan, aku memutuskan untuk menerima bantuan mereka hanya dalam bentuk bahan makanan dan senjata api, tetapi aku takkan mengijinkan satu pun prajurit Manchu berada di San-hai-koan. Bahkan bantuan itu pun tidak akan membuat kita merasa berhutang budi. Kelak kalau kaum Pelangi Kuning berhasil kita halau, kita akan kembalikan semua pemberian orang Manchu itu, sehingga kita tidak terikat hutang apa-apa dengan mereka."
Setelah Bu Sam-kui memutuskan demikian, tidak ada lagi yang mendebat.
Seorang perwira kemudian disuruh untuk memanggil kembali Ang Seng-tiu dan rombongannya.
Keputusan Bu Sam-kui segera diberitahukan kepada rombongan utusan Manchu itu.
Beberapa orang anggota rombongan itu sebenarnya kecewa dalam hati, sebab mereka sebenarnya ingin membawa pasukan Manchu memasuki San-hai-koan.
Tetapi mereka sembunyikan rapat-rapat kekecewaan mereka dalam hati, jangan sampai dicurigai oleh Bu Sam-kui dan perwira-perwiranya.
Toh pihak San-hai-koan hanya mau menerima bantuan bahan makanan dan senjata api itu juga sudah diperhitungkan.
Sementara Ang Seng-tiu dengan wajah berseri menyambut keputusan Bu Sam-kui itu.
"Aku menyampaikan terima kasih atas kesediaan Henderal Bu menyambut uluran tangan kami. Kami tidak kecewa tawaran kami tentang bantuan prajurit tidak diterima, sebab kami memang tidak punya ambisi merebut Sanhai-koan. Mudah-mudahan keikut-sertaan kami dalam mempertahankan San-hai-koan, akan dapat mengawali langkah kebangkitan kembali dinasti Beng. Terus-terang saja, negeri kami lebih senang punya tetangga yang beradab seperti dinasti Beng dulu, daripada yang kampungan macam golongan Pelangi Kuning..."
Setiap patah kata Ang Seng-tiu memang enak dikuping.
Sudah menolong, bukannya merasa bangga dan menempatkan diri di atas yang ditolongnya, malahan mengucap terima kasih, seakan-akan pihak Manchu benar-benar merasa aman kalau San-hai-koan tetap dikuasai orang-orang dinasti Beng.
Namun Bu Sam-kui masih mencoba bertahan dengan gengsinya.
"Jenderal Ang, kelak bantuan itu akan kami kembalikan. Kami akan menganggapnya sebagai hutang, kami tidak mau terima gratis dari siapa pun."
Ang Seng-tiu diam-diam tertawa dalam hatinya, sebab ia sudah kenal bagaimana watak Bu Sam-kui yang gampang berubah pendirian itu.
Ang Seng-tiu mengenalnya, sebab ia pernah menjadi atasan Bu Sam-kui selama bertahuntahun.
Toh ia menjawab dengan bijaksana.
"Terserah apa yang kau sukai, Jenderal Bu. Mau dikembalikan ya baik, mau tidak dikembalikan ya kami ikhlas, sebab berarti kami sudah ikutserta membendung penguasa kampungan Pelangi Kuning itu meluaskan wilayahnya dan mengancam wilayah kami. Nah, sekarang kami pamit. Dalam dua hari lagi, yang kami janjikan itu akan tiba. Lima ratus karung beras dan lima ratus pucuk bedil beserta peluru dan bubuk mesiunya......"
"Silakan..."
Kali ini Bu Sam-kui sedikit bersopan-santun dengan berdiri sambil memberi hormat, sebagai sikap mengantarkan pergi rombongan orang Manchu itu.
Rombongan itu pun memberi hormat dengan simpatik, lalu pergi meninggalkan Sanhai-koan.
* ** Ong Ling-po beserta pasukan gunung Pelangi Kuning yang berada di pegunungan itu, berhenti ketika seharian mereka gagal melacak jejak pasukan gunung lawannya.
"Mungkin mereka berjalan di dalam air dangkal seperti yang pernah kita lakukan dulu,"
Pun Liok menduga-duga.
"Sehingga jejak mereka tidak kelihatan, bahkan tidak kelihatan ada rumput yang terinjak atau ranting yang patah..."
Ong Ling-po mengangguk-angguk dan berkata.
"Kalau demikian, mereka adalah pasukan-gunung yang sama berpengalamannya dengan kita. Kita tidak boleh memandang remeh mereka." "Lalu, bagaimana kita?"
"Besok kita akan memecah pasukan menjadi dua, menyelusuri sungai ke kedua arah. Kita akan saling memberi isyarat kalau salah satu dari kita memergoki mereka. Malam ini kita istirahat di sini, tetapi penjagaan jangan dilupakan."
Demikianlah, malam itu mereka beristirahat.Berbeda dengan malam se belumnya,kali ini Ong Ling-po memperbolehkan prajurit-prajuritnya menyalakan api.
Seolaholah memberitahu kepada musuh di mana posisi mereka.
Menantang.
Tetapi sampai hampir tengah malam, tidak terdengar ada isyarat apa pun dari pengintaipengintai yang disebar oleh Ong Ling-po di sekitar tempat istirahat pasukannya, menandakan kalau musuh agaknya memperhitungkan juga jumlah yang tak sebanding antara kedua pihak.
Ong Ling-po duduk terkantuk-kantuk di bawah sebatang pohon besar dengan kepala bersandar batu, tanpa mencopot seragam tempurnya kecuali topi besinya yang ditaruh di rerumputan di sebelahnya.
la sengaja duduk menyendiri agak menjauh dari perapian yang dibuat oleh prajurit-prajuritnya supaya bisa menenangkan pikiran sambil terkantuk-kantuk nyaman.
Tetapi ia terkejut ketika sesosok tubuh berdiri di hadapannya, sesosok tubuh yang berdirinya tepat di bayangan pepohonan, sehingga sangat kabur, orang itu seolah-olah berada di batas antara ada dan tidak ada.
Nampaknya orang itu memakai seragam prajurit juga, namun tidak jelas.
Ong Ling-po dengan sigap menyambar sepasang kaitan yang tidak pernah jauh daripadanya, dan hendak melompat bangun, tetapi tangan orang itu menekan dadanya dan Ong Ling-po merasa sebagian besar kekuatannya amblas entah kemana.
Ong Lingpo sampai berkeringat dingin, kalau orang ini musuh, alangkah gampangnya mencabut nyawanya.
Bahkan untuk memberi tanda kepada prajurit-prajuritnya yang tidak jauh dari situ pun mungkin takkan sempat.
Tetapi terdengbr orang itu berkata.
"Aku bukan musuh. Aku tidak ingin membunuhmu.....Lalu ia mengangkat telapak tangannya dari dada Ong Ling-po sambil berdiri kembali dari jongkoknya. Ong Ling-po merasakan tubuhnya normal kembali. Kalau mau, ia dapat memanggil prajurit-prajuritnya, tetapi rupanya ia ingin "membalas kebaikan"
Orang itu yang tadi sudah tidak membunuhnya. Ia tarik napas beberapa kali, lalu bertanya tenang.
"Siapa kau? Kalau kawan, dari pasukan yang mana?"
Orang itu berpikir sejenak sebelum menjawab.
"Baiklah, kelihatannya kau terlalu cerdik untuk dibohongi mentah-mentah, jadi aku akan menyingkapkan sedikit tentang diriku. Kalau kau tanya apakah aku kawan satu golongan, memang aku bukan kawan semacam itu. Tetapi kalau dalam hal sama-sama menging "Aku bukan musuh. Aku tidak ingin membunuhmu..."
Lalu ia mengangkat telapak tangannya dari dada Ong Ling-po. ini hancurnya pasukan di San-hai-koan, ya... kau boleh mengandalkan aku...."
Sementara Ong Ling-po mulai mengenali suara orang itu sebagai suara si "perwira misterius"
Yang pernah menuntun pasukannya memasuki bagian dalam benteng San-hai-koan melalui sebuah parit kecil, dan ternyata memang orang itu tidak mengkhianatinya.
Terbukti segalanya berjalan lancar, kalau pun ada kegagalan, justru karena kedatangan pasukan bantuan yang dinanti-nanti ternyata tidak muncul.
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka dalam hati Ong Ling-po merasa tidak ada salahnya menganggap orang itu sebagai kawan, meskipun hanya dalam sekedar persekutuan taktis, persekutuan karena sama-sama mempunyai tujuan jangka pendek yang sesuai.
"Sekarang, apa maumu menemui aku?"
"Aku mau menawarkan jasa lagi. Kalau kau ingin menghancurkan Kongsun Koan...."
"Siapa itu Kongsun Koan?"
"Panglima San-hai-koan yang pasukannya bentrok dengan pasukanmu kemarin." "Oo, yang bersenjata pedang amat besar itu?"
"Ya. Kalau kau ingin menghancurkan Kongsun Koan esok fajar, malam ini aku akan menuntunmu ke suatu tempat penghadangan yang amat menguntungkan, yang pasti akan dilewati oleh pasukan itu besok. Dengan jumlah pasukan di pihakmu yang lebih besar, serangan mendadak di tempat penyergapan, aku yakin kau bisa menghancurkan mereka."
"Apa keuntunganmu dengan kehancuran mereka?"
"Soal ini sulit kukatakan kepadamu, kalau kau ngotot ingin jawaban juga, kau akan mendapat jawaban yang tidak benar. Mau kubohongi?"
Orang-orang itu begitu lugas kata-katanya, membuat Ong Ling-po agak salah-tingkah juga menghadapinya.
Ada juga sedikit rasa percaya Ong Ling-po terhadap keterangan yang diberikan orang ini tadi, tetapi untuk mempertaruhkan ribuan prajuritnya dengan menuruti kata-kata orang yang tidak dikenai itu, ia ragu-ragu.
Dulu waktu orang itu menuntun menyusup San-hai-oan, memang benar hasilnya baik seanJainya pasukan bantuan tidak terlambat, tetapi sekarang siapa tahu? "Kenapa? Kau takut?"
Orang itu mencoba memanas-manasi hati Ong Ling-po. Dan Ong Ling-po menjawabnya.
"Ya, aku takut aku dan pasukanku masuk perangkap, karena aku tidak kenal siapa kau."
"Bukankah dulu pernah kubantu kau dan pasukanmu masuk San-hai-koan? Masih kurang percaya?"
"Terus terang, ya. Dalam situasi seperti ini terlalu banyak pihak-pihak tersembunyi yang akan mencari keuntungan. Kami tidak mau menjadi jangkrik aduanmu."
"Keteranganku tadi benar. Aku benar-benar mengetahui route yang akan dilewati Kongsun Koan, dan aku mengetahui suatu jalan yang lebih pendek bagi pasukanmu untuk mendahului mereka sampai ke titik penghadangan itu." "Aku akan senang kalau mendengar itu dari pengintai-pengintaiku sendiri. Tetapi sikapku akan lain kalau datang dari orang yang tidak kukenal seperti kau."
Orang itu menggeram menahan amarahnya. Di luar dugaan bahwa Ong Ling-po tidak mudah "dimainkan sebagai wayang"
Sesuai rencananya.
Jenderal Lau Cong-bin memang terkenal malas berpikir dan gegabah, tetapi tidak berarti semua komandan bawahannya harus demikian.
Ong Ling-po ini contohnya.
Pendekar Bloon Karya SD Liong Pendekar Bloon Karya SD Liong Cindewangi Melanda Istana Karya Kirjomuljo