Kembang Jelita Peruntuh Tahta 7
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP Bagian 7
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya dari Stevanus SP
Helian Kong tersenyum dan menjawab.
"Aku mengerti, tetapi aku membawa pesan pribadi dari Sri Baginda untuk... Nona Tan..."
I Helian Kong agak khawatir juga.
Ia dengardengar kalau Tan Wan-wan sudah memperoleh gelar kebangsawanan dari Kaisar Tiong-ong, tetapi Helian Kong tidak tahu siapa gelar kebangsawanan Tan Wan-wan.
Ia cemas sebutannya terhadap Tan Wan-wan akan menimbulkan kecurigaan dayang itu kepadanya.
"Pesan pribadi dari siapa?"
Untung-untungan Helian Kong menjawab.
"Dari Sri Baginda."
"Baik, silakan."
Helian Kong pun masuk ke dalam bangsal.
Sebetulnya seandainya Helian Kong tidak terlalu memandang remeh mutu prajuritprajurit Pelangi Kuning, ia mestinya curiga bahwa begitu gampang ia bisa menemukan Tan Wan-wan.
Tetapi saat itu pikirannya memang sedang dipenuhi pikiran-pikiran yang lain.
Ia memikirkan San-hai-koan yang seperti telur di ujung tanduk.
Memikirkan pula apa yang akan dikatakannya kalau sudah berhadapan dengan I Tan Wan-wan, sang bekas kekasih yang kini berdiri di pihak musuh.
Begitu tiba di ruang dalam, dilihatnya punggung seorang perempuan membelakanginya.
Perempuan itu bertubuh ramping, berpakaian indah, sedang duduk menghadap keluar jendela.
Jantung Helian Kong berdegup kencang, langkahnya tertegun.
Berhadapan dengan ribuan musuh yang ujung-ujung senjatanya serapat daun ilalang, ia tidak gentar.
Tetapi Tan Wan-wan memang pernah memiliki suatu ruangan khusus dalam jiwanya, dan bekasnya tetap sulit dihilangkan, biarpun Helian Kong sekarang sudah beristeri dan hampir tidak lama lagi jadi ayah.
Helian Kong juga ingat kebaikan Tan Wan-wan kepada isterinya, ayahmertuanya dan iparnya, yang dilindunginya dari keganasan laskar Pelangi Kuning ketika baru saja menduduki Pak-khia.
Setelah meredakan degup jantungnya, Helian Kong berkata perlahan.
"Wan-wan..."
I Perempuan itu kelihatan bergetar pundaknya tetapi tidak menoleh, sehingga Helian Kong melangkah mendekatinya.
"Wanwan, kau tentu mengenali suaraku. Keluargaku berhutang budi kepadamu, aku datang untuk..."
Orang itu tiba-tiba membalikkan tubuh menghadap Helian Kong sambil mengibaskan saputangannya yang langsung menebarkan bubuk lembut ke wajah Helian Kong.
Sekejap Helian Kong kaget melihat wajah itu bukan wajah Tan Wan-wan melainkan seorang lelaki yang ada kumisnya sedikit.
Cuma perawakannya kurus seperti perempuan muda lalu dia didandani seperti perempuan, dan Helian Cong menyangkanya Tan Wan-wan.
Helian Kong memang tidak siap menghadapinya, tetapi ketangkasannya yang sudah mendarah-daging sebagai pendekar ulung cukup menolongnya.
Ia sadar pengaruh bubuk lembut itu, dan ia mengibaskan dengan tangannya..
Orang berpakaian perempuan itu agaknya cukup tangkas, tidak percuma ia terpilih sebagai I Orang Itu tiba-tiba membalikkan tubi menghadap Helian Kong sambil mengibaskan saputangannya.
I "umpan"
Untuk menjebak Helian Kong.
Memang, karena laporan Ang Bik, pihak istana sudah menyiapkan perangkap itu.
Begitu bubuk lembutnya tidak berhasil merobohkan Helian Kong, menyusul jotosannya dan tendangannya bergerak serempak.
Helian Kong mendengus, ia cuma menggeser kaki sambil memiringkan badan, tangannya menyambar tumit kaki lawannya yang menendang dan menyentak-kannya.
Lawannya menggelosor jatuh ke lantai.
Helian Kong hendak menerkam untuk membereskan lawannya, tapi dari balik tiraitirai tiba-tiba berhamburanlah senjata rahasia yang beraneka ragam ke arah Helian Kong.
Helian Kong tangkas mencabut pedang Tiat-eng Pokiam menyapu semua senjata rahasia itu.
Dalam sekejap, tempat itu sudah penuh pengawal-pengawal pilihan dari berbagai kesatuan istana.
Tetapi yang mengejutkan Helian Kong adalah seorang kakek bertubuh besar, gendut, rambutnya terurai panjang dan jidatnya lebar mengkilat.
Helian Kong I mengenalnya sebagai Ko Ban-seng yang bergelar Kang-tau-siang (Gajah Berkepala Baja), guru dari Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi yang merupakan musuh-musuh bebuyutan Helian Kong.
Helian Kong menyesali ketololannya sendiri.
Dulu ia pernah juga terjebak dalam istana, terjebak komplotan Co Hua-sun.
Sekarang ia mengulangi pengalamannya itu.
Dulu Helian Kong terjebak karena saudara seperguruannya sendiri, Ting Hoan-wi, berkhianat dengan melaporkan rencana penyusupannya kepada komplotan Co Hua-sun.
Sekarang, yang memberi laporan ke istana juga Ting Hoan-wi, meskipun sudah ganti nama menjadi Ang Bik.
Meskipun merasa sudah seperti ikan dalam penggorengan, Helian Kong tidak gentar, la tertawa dingin sambil memandang berkeliling ke arah lawan-lawannya.
"Sungguh kehormatan bagiku, kalian menyiapkan penyambutan sebaik ini. Hem."
Ko Ban-seng menggeram.
"Kami pun kagum kepada nyalimu, Helian Kong. Kau berani I sendirian menyelundup masuk kemari. Sekarang lebih baik letakkan pedangmu dan serahkan tanganmu untuk diborgol."
Darah Helian Kong menghangat.
Tetapi sesuatu melintas di pikirannya.
Ada dua pilihan terbentang di hadapannya dengan taruhan yang mahal.
Taruhan pertama, ia akan menjawab tawaran Ko Ban-seng dengan gaya "lelaki sejati yang siap meneteskan darah terakhir", tetapi taruhannya Bu Sam-kui di San-hai-koan akan sangat kecewa karena tidak jadi bertemu dengan Tan Wan-wan, dan dalam kekecewaannya pastilah Bu Sam-kui akan menjadi makanan empuk dari bujuk rayu orang-orang Manchu untuk bersekutu.
Dengan demikian pihak Manchu akan mendapat alasan untuk ikut-campur dalam urusan negeri Tionggoan.
Pilihan kedua Helian Kong bisa mencari kesempatan untuk bicara baik-baik dengan Li Cu-seng alias Kaisar Tiong-ong dan menjelaskan situasinya.
Biarpun pihaknya bermusuhan dengan pihak Li Cu-seng, ia berharap Li Cu-seng sebagai sesama bangsa Han bisa diajak I mengerti betapa berbahayanya keadaan Sanhai-koan saat itu.
Suatu kesalahan langkah akan membuat San-hai-koan jatuh ke tangan orang Manchu, dan itu akan menjadi ancaman buat semua bangsa Han di Tiong-goan, di pihak sisasisa dinasti Beng maupun di pihak Pelangi Kuning.
Beberapa saat Helian Kong terombangambing antara dua pilihan itu, dan akhirnya ia akan mengambil pilihan yang kedua, demi keselamatan seluruh negeri.
Karena itu sikap Helian Kong bukanlah sikap tempur, pedangnya memang tergenggam di tangan tetapi terkulai dengan ujung pedangnya menyentuh lantai.
"Apakah kalian tahu apa tujuanku berada di sini?"
"Mengambil Tuan Puteri Kong-hui, betul tidak?"
"Tuan Puteri Kong-hui?"
"Ya. Yang dulu kau kenal sebagai Nona Tan Wan-wan."
Helian Kong menarik napas, baru sekarang tahu kalau Tan Wan-wan sudah bergelar Tuan I Puteri Kong-hui. Ia mengangguk.
"Ya, karena hanya dialah yang saat ini bisa menyelamatkan negara."
"Apa yang kau maksud dengan negara?"
"Daratan luas yang kita namai Tiong-goan ini. Tidak peduli pemerintahan yang berkuasa di atasnya."
Ko Ban-seng termangu.
"Kau berkata Tuan Puteri Kong-hui dapat menyelamatkan negeri, apa maksudmu?"
Helian Kong merasa usahanya untuk menarik perhatian orang-orang ini, maka ia pun memasuki langkah berikutnya.
"Aku akan menemui raja kalian, kalau kalian setuju. Dan berbicara dengannya."
Orang-orang yang mengepungnya saling toleh, seolah bertukar pendapat tanpa kata. Sahut seorang perwira istana berwajah lancip tirus.
"Orang ini bersiasat untuk bisa mendekati raja kita dan mencelakainya..."
Seorang yang lain mendukungnya.
"Ya. Orang ini adalah pembandel yang masih I memimpikan bangkit-kembalinya dinasti korup itu, lebih baik dibereskan sekarang saja."
Tetapi Ko Ban-seng berkata.
"Kita patut mempertimbangkan kata-katanya, pertaruhannya adalah keselamatan seluruh negeri..."
"Kemungkinan dia membual untuk menyelamatkan diri. Siapa pun tahu kalau Helian Kong dulunya adalah pacar Tuan Puteri Kong-hui."
"Kalau dia tidak membual, dan keselamatan negeri benar-benar dipertaruhkan?"
Semua bungkem.
Tidak ada yang membantah kakek gendut berambut panjang itu.
Ko Ban-seng tidak punya pangkat apa-apa di istana, namun Kaisar Tiong-ong sangat menghormatinya sebab ia dan kedua muridnya, berjasa bagi perjuangan kaum Pelangi Kuning bersama-sama Jenderal Li Giam.
Tan Wanwanlah yang menceritakan jasa-jasa mereka di hadapan Kaisar Tiong-ong.
Helian Kong berpikir, kalau dirinya tidak berani menempuh resiko berat, sulit I menghadap Kaisar Tiong-ong dan membeberkan masalahnya.
Karena itulah ia melempar pedangnya ke lantai, dan berkata.
"Aku rela menghadap raja kalian tanpa senjata dan dengan tangan diikat, kalau kalian curiga aku akan mencelakakan dia."
Ko Ban-seng kembali menanggapi, katakatanya ditujukan kepada perwira-perwira istana.
"Orang ini musuh kita, tetapi aku sudah dengar bagaimana pribadinya, dan aku mempercayainya. Kadang-kadang ada musuh yang lebih dapat '"dipercayai dari teman yang menikam punggung dari belakang..."
Sebagai orang yang tidak punya kedudukan apa-apa, Ko Ban-seng memang sudah biasa bicara ceplas-ceplos, bahkan seandainya di depan Kaisar Tiong-ong sendiri.
Sudah lama ia tidak senang kepada Jenderal Lau Cong-bin serta Jenderal Gu Kim-sing yang sering menyikut teman seperjuangan sendiri semacam Jenderal Li Giam, demi keuntungan sendiri.
Dan sering perkataannya itu diwarnai ketidaksenangannya itu.
I Para perwira banyak yang terpengaruh oleh kata-kata itu.
Seorang perwira berjenggot pendek kelabu, menyahut.
"Coba kita hadapkan kepada Baginda. Kalau dia mau main gila di hadapan Baginda, aku kira pastilah Guru Ko tidak akan tinggal diam."
Dengan kata-kata yang seolah-olah memuji ini, si perwira menaruh tanggung-jawab keamanan kaisar ke pundak Ko Ban-seng.
Begitulah, akhirnya Helian Kong dibawa menghadap Kaisar Tiong-ong dengan dilucuti senjatanya.
Saat itu sudah larut malam, sehingga Kaisar Tiong-ong tidak dapat dibangunkan.
Terpaksa Helian Kong harus merelakan dirinya "menginap"
Semalam di tempat itu.
Dia dikurung dan dijaga ketat, tapi diperlakukan cukup baik.
Helian Kong pun tidak membuat ulah yang akan mempersulit niatnya bertemu dengan Kaisar Tiong-ong.
Ia mencoba bersikap tenang, beristirahat, dan menikmati makanan dan minuman yang disuguhkan tanpa curiga dan I ternyata memang tidak beracun.
Ia tekan kegelisahan hatinya.
Keesokan harinya, seorang thai-kam masuk ke ruangannya dengan membawa seperangkat jubah dan pakaian yang layak untuk menghadap raja.
Sikap thai-kam itu pun ramah sekali.
"Tuan Helian, Tuan dipersilakan mandi air hangat di ruang sebelah, sudah disediakan, setelah itu memakai pakaian ini, sarapan pagi dan menghadap Baginda. Guru Ko akan mendampingi Tuan."
Helian Kong tertawa dalam hati.
"Tak pernah sekalipun aku bermimpi akan menjadi tamu-agungnya kepala gerombolan Pelangi Kuning seperti ini..."
Toh Helian Kong memberi kesempatan tubuhnya dimanjakan seperti bangsawanbangsawan.
Mandinya dengan berendam di tong besar air hangat, badannya digosok dan disabuni oleh dua orang dayang istana yang cantik dan Helian Kong tinggal merem-melek menikmati tangan-tangan lembut mereka.
Selesai mandi, ia dihanduki, dibantu I mengenakan pakaian yang dibawa oleh thaikam tadi, lengkap dengan topi yang bagus.
Dalam pakaian pinjaman itu, Helian Kong berdiri sejenak di depan cermin besar untuk melihat bagaimana tampangnya, lalu tertawa sendiri dan berkomentar sendiri.
"Boleh juga tampangku. Mirip seorang pembesar sipil..."
Thai-kam yang mengantar pakaian tadi, tiba-tiba berkomentar.
"Tuan Helian nampak berwibawa dengan pakaian itu. Tetapi Tuan lebih gagah kalau memakai pakaian pembesar militer seperti dulu..."
Helian Kong menoleh kepada hamba istana itu dengan heran.
"Kau pernah melihatku memakai pakaian pembesar militer?"
"Pernah, Tuan, aku bekerja di istana ini sejak jaman Baginda Cong-ceng dulu..."
Helian Kong mengangguk-angguk, kemudian dengan gaya pembesar sungguhan ia berkata.
"Sediakan sarapanku..."
"Baik, Tuan."
Thai-kam itu menepukkan tangan dua kali, maka masuklah beberapa thai-kam lainnya dari I tingkat yang lebih rendah, masing-masing membawa nampan-nampan dengan mangkukmangkuk makanan di atasnya.
Dalam sekejap, ruangan itu penuh bau masakan sedap yang merangsang selera.
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"He, sebanyak ini? Berapa orang yang akan makan?"
Tanya Helian Kong kaget. Inilah satusatunya gaya yang tidak mirip gaya para pembesar, melainkan mirip orang yang tidak pernah ketemu makanan enak. Thai-kam yang jadi pimpinan menyahut.
"Tentu saja Tuan Helian sendiri yang akan makan."
"Mana bisa aku menghabiskannya?"
Ketika berkata ini, Helian Kong ingat pesan ibunya agar kalau makan dihabiskan, sikap yang terbawa sampai sekarang.
"Tuan tidak perlu menghabiskannya. Tuan makan saja mana yang Tuan sukai, tidak perlu dihabiskan..."
"Sisanya?"
"Dibuang. Masa dimakan lagi?"
I Helian Kong membayangkan bahwa perutnya hanya bisa memuat sepersepuluh dari yang disediakan itu, dan sembilan sepersepuluhnya akan dibuang.
Sementara di luar istana banyak orang kelaparan yang menganggap kerak-nasi bulukan pun sebagai makanan lezat dari surga.
Tak tertahan Helian Kong tertawa sinis.
"Hehe... ternyata kehidupan penguasa-penguasa baru yang dulu gembar-gembor mengaku memperjuangkan nasib rakyat itu sama saja dengan penguasa lama yang mereka tuduh korup dan bersenang-senang di atas penderitaan rakyat."
Si pelayan sida-sida menundukkan kepala dan berkata perlahan.
"Hampir semua seperti itu, Tuan Helian. Kemenangan dan kedudukan membuatnya terlena."
Helian Kong tidak berkata apa-apa lagi. Ia lalu menyantap hidangan yang disediakan. Tepat ketika ia menyelesaikan makannya, Ko Ban-seng tiba di tempat itu dan berkata I dengan suaranya yang keras dan kasar,"Aku akan menemanimu menghadap Baginda!"
Ternyata, meskipun hendak menghadap kaisar, pakaian yang dikenakan Ko Ban-seng tetap pakaian yang kemarin, jubah kain kapas kasar dan murahan, berwarna kelabu dekil, bahkan kusut, agaknya semalam dipakai untuk tidur dan paginya langsung dipakai menghadap kaisar "Aku siap sekarang."
Mereka berdua berjalan berdampingan, menuju ke ruangan Gi-si-pong (Ruang Baca Tulis).
Di luar ruangan tempatnya menginap semalam, Helian Kong melihat penjaga-penjaga bertebaran, bahkan ada yang di atas atap.
Dilihat dari gerak-geriknya, mereka pastilah pengawal-pengawal pilihan yang terdiri dari jagoan-jagoan yang punya kelas.Danmereka pastilah menjaga dirinya semalam.
Helian Kong tertawa dan berkata kepada Ko Ban-seng, berkelakar.
"O, pantas. Semalam tidurku nyenyak sekali, bahkan seekor nyamuk I pun tidak mengganggu aku, ternyata penjagapenjagaku sebanyak ini..."
Ko Ban-seng tidak menjawab.
Sambil berjalan, Helian Kong melihat keadaan istana itu tetap sama seperti dulu di jaman dinasti Beng.
Belum ada bangunanbangunan baru.
Malah ada beberapa bangunan yang rusak atau terbakar dan kelihatan sedang diperbaiki oleh tukang-tukang.
Kaisar Tiongong belum sempat berbuat banyak untuk memperindah istana itu, sebab naik tahtanya saja baru satu bulan.
Dan masih ada masalahmasalah besar yang menghadang, seperti bangsawan-bangsawan dan jenderal-jenderal dinasti Beng yang masih kokoh bercokol di belahan selatan dengan pasukannya masingmasing yang kuat, ancaman orang Manchu di timur-laut, masalah San-hai-koan, kota perbatasan yang kecil tetapi kalau salah penanganannya akan mengakibatkan dampak yang besar, dan sebagainya.
Seperti lazimnya suatu dinasti yang baru "diwarisi"
Setumpuk masalah dari dinasti pendahulunya., I Hati Helian Kong bergetar ketika melewati sebuah bangsal yang dikenalnya sebagai kediaman Puteri Tiang-ping, puteri almarhum Kaisar Cong-ceng.
Puteri Tiang-ping adalah sahabat baik Heiian Kong, baik dalam menghadapi komplotan dorna Co Hua-sun, membongkar jaringan mata-mata Pelangi Kuning yang ternyata "dikomandani"
Tan Wanwan, dan dalam banyak persoalan lainnya. Tak tertahan Heiian Kong bertanya.
"Tuan Ko, aku dengar kabar di luaran, Tuan Puteri Tiang-ping dan Pangeran Cu Sam masih ada di istana ini?"
"Ya."
"Masih di bangsal itu?"
"Ya."
"Bagaimana keadaan mereka?"
"Baik. Kami kaum Pelangi Kuning bukan gerombolan penjahat yang haus darah, yang mabuk kemenangan dan memperlakukan lawan-lawan yang kalah semau-maunya. Kami tidak seperti itu. Kami perlakukan Puteri Tiangping dan adiknya, Pangeran Cu Sam, dengan I baik. Kami tetap hormati martabat kebangsawanan mereka. Bahkan kami merawat Puteri Tiang-ping sebaik-baiknya sehingga saat ini luka-lukanya hampir sembuh..."
Helian Kong terkesiap.
"Luka-luka? Lukaluka karena apa? Apakah ketika kalian menyerbu dan menguasai istana ini?"
"Ya, saat itulah dia mendapat luka parahnya, tetapi bukan oleh tangan orang-orang kami."
"Lalu oleh siapa?"
"Oleh Ayahandanya sendiri, almarhum Kaisar Cong-ceng. Ketika terjadi pertempuran memperebutkan istana ini, Kaisar Cong-ceng amat panik. Rupanya dia mengira kami ini sejenis gerombolan tak tahu aturan yang akan merayakan kemenangan dengan perampasan dan pemerkosaan besar-besaran, begitu yang dibayangkannya. Kaisar Cong-ceng mengkhawatirkan martabat isterinya, selirselirnya dan puterinya kalau sampai mengalami hal itu. Maka sebelum dia sendiri membunuh diri di Bukit Bwe-san, dia kumpulkan anak isteri dan selir-selirnya di suatu ruangan, dan dengan I pedang di tangannya sendiri ia babat mati isteri-isterinya Sendiri..."
"Ah!"
Helian Kong terkesiap kaget. Ko Ban-seng melanjutan.
"... ketika giliran ia hendak membunuh Puteri Tiang-ping, ia terpeleset darah yang berceceran di lantai, sehingga bacokannya luput, hanya berhasil memotong buntung sebelah lengan sang puteri sebatas pundak. Kaisar Cong-ceng menyangkanya sudah mati dan meninggalkannya untuk menggantung diri di Bwe-san. Kami yang menemukan, dan merawatnya sampai sekarang ini, dia hampir sembuh..."
Kerongkongan Helian Kong tersumbat rasa haru, matanya panas dan berkaca-kaca. Suaranya jadi sedikit parau.
"Jadi... jadi... Puteri Tiang-ping sekarang ini... buntung satu tangannya?"
"Ya."
Helian Kong tidak mampu berbicara lagi.
Mulutnya seperti dijahit, pikirannya galau.
I Mereka pun tiba di Ruangan Gi-si-pong, yang di sekitarnya dikawal ketat olah Gi-Cian Siwi (Pasukan Pengawal Kaisar) yang seragamnya juga mirip pasukan pengawal kaisar di jaman dinasti Bang.
Ko Ban-seng minta kepada salah seorang pengawal agar melaporkan kedatangannya.
Pengawal itu masuk, dan sesaat kemudian keluar kembali sambil berkata.
"Baginda mempersilakan Guru dan Tuan Helian berdua untuk masuk ke dalam."
Ko Ban-seng berdua pun memasuki ruangan penuh buku itu.
Kaisar Tiong ong tidak memakai jubah kebesarannya, melainkan jubah sehari-harinya, sedang duduk di belakang meja.
di dalam ruangan itu ada delapan orang pengawal, dua diantaranya berada di kiri kanan kursi Kaisar.
Begitu melangkah masuk, Ko Ban-seng langsung berlutut sambil berkata.
"Salam, Tuanku."
Sedangkan Helian Kong tidak mau berlutut, ia berdiri tegap menatap tajam ke arah si raja I pemberontak itu.
Itulah seorang lelaki berkulit kasar dan agak kehitam-hitaman, rahangnya persegi, tatapan matanya juga tajam, setajam tatatan Helian Kong.
Dengan potongannya yang kasar itu, Helian Kong bisa membayangkan alangkah janggalnya kalau orang ini memakai jubah kaisar dan duduk di singgasana.
Tetapi dengan menatap matanya, Helian Kong harus mengakui dalam hati bahwa orang ini lebih punya semangat daripada Kaisar Cong-ceng yang berwatak lemah dan gampang dipengaruhi kawanan dorna.
Melihat Helian Kong tidak berlutut, pengawal-pengawal di ruangan itu membentak gusar.
"Helian Kong, jangan kurang adat di hadapan Baginda! Berlutut !"
Ternyata Helian Kong cuma memberi hormat dengan menjura biasa.
"Selamat pagi, Tuan Li. Terimakasih atas pelayananmu kepadaku semalam dan pagi ini..."
Keruan para pengawal menjadi gusar dan merasa gertakannya diremehkan.
Dua orang pengawal menerjang dari kanan dan kiri, I hendak menekan pundak Helian Kong ke bawah dan menjejak belakang lutut Helian Kong, untuk memaksanya berlutut..
Tetapi Helian Kong berkelit selicin belut, kedua tangannya juga bergerak serempak.
Penubruk yang dari sebelah kanannya ia dorong sekalian sehingga menubruk orang yang dari sebelah kiri.
Kedua-duanya jatuh ke lantai.
Pengawal-pengawal lain berubah air mukanya dan siap bertindak, namun Kaisar Tiong-ong berseru sambil mengangkat tangannya.
"Mundur!"
Pengawal-pengawalnya pun patuh, bahkan Kaisar Tiong-ong melanjutkan perintahnya.
"Ambilkan kursi buat Tuatl Helian. Dia mau mengaku aku sebagai raja atau tidak, kita tidak bisa memaksanya."
Seorang pengawal mengambilkan kursi, dan Helian Kong duduk tanpa sungkan dl hadapan Kaisar Tiong-goan, berselisih meja di depan tempat duduk Kaisar.
"Nah, Tuan Helian, apa tujuanmu menyelundup ke tempat ini ? I "Aku tidak sudi ditanyai seperti pesakitan!"
Kaisar Tiong-ong tertawa.
"Tuan Helian, bersikap yang biasa sajalah, kenapa Tuan jadi bersikap demikian rendah diri?"
"Apa? Rendah diri? Aku rendah diri di hadapan gembong pemberontak sepertimu."
"Ya. Sikapmu yang digarang-garangkan dan dibuat-buat itu seperti seekor kucing yang terpojok oleh musuhnya di pojokan lalu menegakkan semua bulu-bulunya dan meluruskan ekornya ke atas agar kelihatan lebih besar dari ukuran yang sebenarnya."
Wajah Helian Kong menjadi merah, namun dia mengakui dalam hatinya bahwa kata-kata Kaisar Tiong-ong itu benar.
Helian Kong memang merasa tekanan wibawa Li Cu-seng amat besar, jauh lebih besar dari wibawa yang terpancar dari Kaisar Cong-ceng, junjungan Helian Kong dulu.
Sebelumnya Helian Kong amat meremehkan Li Cu-seng dan orangorangnya, tetapi sikap memandang remehnya itu tidak cocok dengan kenyataan ketika melihat betapa tertibnya istana, bagaimana perlakukan I Li Cu-seng kepada keluarga Kaisar Cong-ceng, apalagi setelah berhadapan sendiri dengan Li Cu-seng alias Kaisar Tiong-ong yang begitu berwibawa.
Memang Helian Kong harus mengakui dalam hati, bahwa sikap garangnya itu agak dibuat-buat untuk "mendongkrak"
Dirinya agar tidak "terinjak"
Oleh wibawa Kaisar Tiong-ong. (Bersambung
Jilid XII) Sumber Image . Koh Awie Dermawan first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu 20/07/2018 14 . 26 PM I II ( Bagian II )
Jilid XII Karya . STEVANUS S.P. pelukis . WIDODO Percetakan & Penerbit CV "G E M A"
Mertokusuman 761 RT 02 RW VII Tilpun 35801 - SOLO 57122 II II KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA 2 Karya . STEFANUS S.P.
Jilid XII S ikap Kaisar Tiong-ong tetap santai, dan mengulangi pertanyaannya tadi.
"Nah, Tuan Helian, aku menanyai mu kembali sebagai seorang...seorang teman, kalau kau sudi berteman denganku si orang kampung ini. Pertanyaanku, apa tujuanmu menyelundup ke tempat ini?"
Sikap merendah Kaisar Tiong-ong itu malah membuat Helian Kong makin merasa kerdil. Akhirnya ia bersikap mengimbangi saja.
"Tuan Li, aku memang bermaksud mengajak Tan Wanwan keluar dari sini."
Kaisar Tiong-ong menahan senyum.
"Nona Tan memang pernah bercerita kepadaku II tentang hubungan lama kalian. Tetapi bukankah kabarnya kau sudah beristeri dan bahkan isterimu hampir melahirkan anakmu?"
"Tidak, bukan itu masalahnya. Tan Wanwan akan aku bawa ke San-hai-koan, untuk Jenderal Bu Sam-kui..."
Senyuman Kaisar Tiong-ong memudar dari wajahnya, suaranya jadi kedengaran lebih bersungguh-sungguh.
"Pihak kami sangat menghormati Tan Wan-wan sebagai pahlawan yang sangat berjasa bagi perjuangan kami mencapai kemenangan, tetapi kau, Tuan Helian, yang mengaku sahabat sejak masa kanak-kanak, ternyata memperlakukan Nona Tan hanya seperti sepotong barang yang bisa di-pindahtangankan ke sana ke mari saja. Memang aku pernah dengar cerita Nona Tan, ketika dia diberikan kepada Bu Sam-kui begitu saja tanpa ditanyai pendapatnya sendiri. Sekarang dengar, Nona Tan pernah bilang kepadaku bahwa ia tidak mencintai Bu Sam-kui sedikit pun! Dan aku tidak akan membiarkan dia menderita batin mendampingi orang tolol macam Bu Samkui!"
II Suara Kaisar Tiong-ong yang makin meninggi dan bernada panas hati itu mengejutkan semua orang di ruangan itu.
Bukan hanya Helian Kong, tetapi juga Ko Banseng dan pengawal-pengawal Li Cu-seng sendiri.
Sebab kentara sekali kalau Kaisar Tiong-ong tidak hanya marah melainkan juga cemburu.
Mendengar kata-kata Helian Kong itu, langsung menyerocoskan begitu banyak katakata.
Helian Kong mengeluh dalam hati.
"Wah, gawat ini. Jangan-jangan si pemberontak ini pun jatuh cinta kepada Tan Wan-wan dan ingin memilikinya sendiri? Tidak kusangka, kecantikan Tan Wan-wan yang terangkat dari desa ke pusat pemerintahan, ternyata menimbulkan masalah yang tidak kecil. Ikut berperanan dalam jatuh-bangunnya beberapa pemerintahan..."
Dalam suasana seperti itu, adalah suatu pertaruhan nyawa bahwa Helian Kong masih berani berkata, meskipun dengan sangat hatihati.
"Tuan Li, harap Tuan ingat bahwa dulu II ketika Nona Tan dianugerahkan kepada Bu Sam-kui, sama sekali tidak ada paksaan. Nona Tan sudah ditanyai pendapatnya oleh Tuan Puteri Tiang-ping. Dan sekarang Tuan Puteri Tiang-ping masih hidup, bisa ditanyai apakah perkataanku ini benar atau tidak. Memang mungkin dasarnya Tan Wan-wan bersedia dijodohkan dengan Bu Sam-kui itu bukan cinta, hanya belas kasihan, tetapi di sini tidak ada paksaan..."
"Tidak! Bukan belas kasihan, tetapi Nona Tan saat itu bersedia mengorbankan diri mendampingi manusia tak berguna Bu Sam-kui demi keselamatan negeri. Ia menyanggupi itu, supaya si tolol Bu Sam-kui segera mau kembali ke posnya yang penting, di kota perbatasan Sanhai-koan, yang sering ditinggalkan Bu Sam-kui untuk keluyuran di Pak-khia! Itulah motif Nona Tan mau dijodohkan dengan Bu Sam-kui. Alangkah luhurnya! Di antara kaum lelaki pun tidak banyak yang sanggup berkorban sebesar dia, berpandangan sejauh dia!"
II Kecemasan Helian Kong makin tajam mendengar bagaimana Kaisar Tiong-ong mengucapkan pembelaannya tentang Tan Wanwan itu dengan luapan perasaan yang amat dalam, tidak sekedar dari otak.
Makin nyata kalau pemboyongan Tan Wan-wan ke istana serta pemberian gelar menjadi Puteri Kong-hui itu lebih dari sekedar penghargaan biasa.
Besar kemungkinannya Kaisar Tiong-ong sudah tertambat hatinya kepada Tan Wan-wan.
Persoalan jadi ruwet.
"Tuan Li, kali ini pun demikian. Pemindahan Tan Wan-wan ke San-hai-koan bukan demi Bu Sam-kui pribadi, tetapi demi San-hai-koan itu sendiri. San-hai-koan sebagai pos perbatasan strategis antara negeri bangsa Han kita dengan negeri bangsa Manchu yang ingin mencaplok negeri kita..."
Sengaja Helian Kong tekankan kata-kata "negeri bangsa Han kita"
Dengan harapan hatinurani Li Cu-seng sebagai patriot bangsa Han akan terusik, dan mengutamakan kepentingan II seluruh negeri di atas kepentingannya sendiri yang atas nama cinta sekalipun.
Wajah Kaisar Tiong-ong berubah beberapa kali, sebentar merah dan sebentar pucat, gelombang napasnya tersendat-sendat, kentara kalau sangat berat melepaskan Tan Wan-wan.
Bahkan ia kemudian bangkit dari kursinya dan berjalan hilir-mudik di ruangan itu.
Para pengawalnya jadi cemas, khawatir kalau selagi sang junjungan lewat dekat Helian Kong tiba-tiba disergap oleh Helian Kong dan dijadikan sandera untuk Helian Kong keluar dari situ.
Tetapi para pengawal lega melihat Ko Ban-seng tetap berdiri bersiaga di dekat kursi yang diduduki Helian Kong, dan para pengawal tahu sampai di mana ketangguhan kakek gendut berambut panjang dan berjidat lebar yang sekeras baja itu.
Beberapa saat yang terdengar cuma desir langkah Kaisar Tiong-ong yang hilir-mudik, sampai terdengar suaranya yang mendadak parau.
"Kenapa dengan si tolol Bu Sam-kui itu? Mabuk kepayang? Patah, hati? Hem, begitu tidak II bergunanya jenderal-jenderal dinasti Beng, sehingga di saat-saat gawat pun masih sempat memikirkan seorang perempuan..."
Helian Kong agak panas mendengar sindiran yang ditujukan kepada "jenderaljenderal dinasti Beng"
Yang tentunya termasuk dirinya sendiri juga. Maka jawabnya.
"Cinta memang bisa membuat seorang lelaki kehilangan nalar, pikirannya jadi sempit dan melupakan persoalan-persoalan lain yang lebih luas. Tidak peduli lelaki itu jembel, seorang jenderal, atau bahkan seorang... raja!"
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kaisar Tiong-ong berubah sedikit wajahnya, merasa disindir. Tanyanya.
"Kalau Tan Wanwan tidak dikirim ke San-hai-koan, apa yang akan dilakukan Bu Sam-kui."
Helian Kong menjawab pelan-pelan, menekankan tiap patah kata.
"Aku khawatir, dan aku percaya Tuan Li juga mengkhawatirkan ini, Bu Sam-kui akan menakluk kepada orang Manchu dan menyerahkan San-hai-koan kepada mereka..."
II "Keparat!"
Kaisar Tiong-ong menggebrak pegangan kursi.
"Begitu tidak bergunanya dia, sehingga demi seorang wanita akan mempertaruhkan seluruh negeri?"
"Sekali lagi, Tuan Li, kita tidak bisa menyelami pikiran orang yang sedang mabuk cinta. Kalau sampai Bu Sam-kui menyerahkan San-hai-koan karena Tan Wan-wan, aku akan mencaci-maki dia. Tetapi aku juga akan mencaci-makimu, Tuan Li. Kau juga mempertaruhkan seluruh negeri demi Tan Wan-wan..."
"Diam, Helian Kong! Detik ini juga kau bisa kehilangan batok kepalamu!"
"Tentu saja"
Sahut Helian Kong kalem.
"Tetapi sekalipun kau tumbuk kepalaku kau tumbuk halus dan kau sebarkan ke mana-mana, negeri ini tidak akan bisa diselamatkan kalau kau dan Bu Sam-kui sama tololnya!"
"Aku akan memerintahkan Jenderal Lau memperhebat serangan agar San-hai-koan bisa segera direbut dan tidak memberi kesempatan kepada orang Man-chu."
II "Keparat!"
Kaisar Tiong-ong menggebrak pegangan kursi. II Helian Kong tertawa.
"Jujur saja ya? Kalau aku disuruh memilih antara dua pilihan, apakah San-hai-koan direbut oleh pihakmu atau pihak Manchu, aku lebih senang kalau jatuh ke tanganmu. Meskipun yang paling aku sukai adalah kalau tetap dipertahankan oleh pihak kami, dinasti Beng. Sayangnya, jenderalmu Si Lau Cong-bin itu adalah jenderal kantong nasi. Gempuran-gempuran tololnya atas San-haikoan cuma mampu membuat Bu Sam-kui panik dan main mata dengan pihak Manchu, tetapi tidak pernah dan tidak akan pernah bisa merebut San-hai-koan. la terlalu tolol. San-haikoan tidak bisa direbut hanya dengan mengandalkan jumlah besar dan ditembaki meriam!"
"Lalu dengan apa San-hai-koan harus direbut?"
Pancing Li Cu-seng.
"Jangan kau kira bisa memancing dari mulutku. Bu Sam-kui itu temanku, mana bisa aku memberitahu musuh untuk merugikan temanku sendiri?"
"Jadi apa maumu?"
II "Membawa Tan Wan-wan ke San-hai-koan. Demi seluruh negeri bangsa Han!"
"Jangan-jangan kepentingan pribadimu sendiri tersangkut?"
"Terserah kau percaya kepadaku atau tidak."
"Hem, Tan Wan-wan sudah cukup menderita selama ini, dan aku tidak akan menambah penderitaannya. Dia tidak boleh berkorban lebih banyak lagi!"
Helian Kong menarik napas, wajahnya sangat muram. Jalan buntu. Sementara Kaisar Tiong-ong menjatuhkan perintah.
"Guru Ko, tahan begundal dinasti lama yang korup ini!"
Ko Ban-seng segera turun tangan atas Helian Kong, dan Helian Kong yang tahu dirinya bukan tandingan kakek gendut ini, tidak melawan. Dalam urusan rumit itu, ia akan lebih mengandalkan otaknya.
"Mudah-mudahan Bu Sam-kui juga mau menggunakan sedikit otaknya..."
Doa Helian II Kong di kamar tahanannya, dalam keadaan terborgol kaki dan tangannya.
Setelah Helian Kong berlalu daripadanya, ternyata pikiran Kaisar Tiong-ong tetap dipenuhi percakapannya dengan Helian Kong tadi.
Helian Kongnya sudah pergi, tetapi katakatanya seperti masih memenuhi ruangan Gi-sipong itu, bahkan ruang Kaisar Tiong-ong.
Ia dihadapkan kepada dua pilihan, kehilangan San-hai-koan atau kehilangan Tan Wan-wan? Kalau bisa, ia tidak ingin kehilangan kedua-duanya.
Karena pusing memikirkan itu sendiri, Kaisar memanggil beberapa panglimanya untuk diajak bertukar pikiran.
Tetapi kepada Tan Wan-wan sendiri, Kaisar justru menyembunyikan persoalannya, la benar-benar khawatir kalau sampai Tan Wanwan mendengarnya, maka Tan Wan-wan akan mengorbankan dirinya lagi dengan pergi ke San-hai-koan, entah bagaimana caranya.
Berarti Tan Wan-wan terbang lepas dari tangannya, itulah yang tidak dikehendaki Kaisar.
II Dan setelah panglima-panglimanya berkumpul, Kaisar Tiong-ong membeberkan masalahnya, tetapi soal Tan Wan-wan sama sekali tidak dia sebut, la hanya minta pertimbangan panglima panglimanya bagaimana seandainya pihak Manchu lebih dulu merebut San-hai-koan karena diberi kesempatan oleh Bu Sam-kui.
Kaisar Tiong-ong mengaku mulai memikirkan kemungkinan itu setelah "mendengar seseorang dari garis depan."
"Nah, coba pikirkan oleh kalian."
"Apakah Jenderal Lau belum juga berhasil merebut San-hai-koan?"
Celetuk seorang panglima bernama Te Seng-hian.
"Dengan pasukan yang begitu besar dan peralatan perang yang begitu lengkap, menghadapi Sanhai-koan yang kecil dan sedikit prajuritnya?"
"Apakah Jenderal Li Giam perlu dipanggil kembali dari wilayah barat untuk membereskan masalah San-hai-koan ini?"
Jenderal Gu Kim-sing yang juga hadir di pertemuan itu bersama beberapa pembantu II dekatnya, menjadi tidak senang mendengar nama Li Giam disebut-sebut lagi sebagai orang yang bisa membereskan masalah itu.
Li Giam yang telah disingkirkan dari Pak-khia, pusat pemerintahan, ditempatkan jauh di wilayah barat.
Gu Kim-sing pun mendengus.
"Hem, memangnya hanya Li Giam yang bisa membereskan persoalan ini? Memangnya panglima-panglima di sini tidak ada yang mampu?"
Kaisar Tiong-ong cepat-cepat melerai.
"Jangan bertengkar. Kalian aku undang untuk membicarakan masalah ini dan menemukan jalan keluarnya."
"Maaf, Tuanku..."
Sahut Gu Kim-sing.
"Hamba hanya risih telinga mendengar nama Li Giam terlalu disanjung, seolah-olah dia sendirilah penyebab kemenangan kita. Padahal...!"
"Sudah! Kau punya pemecahan masalahnya atau tidak! Kalau punya, katakan, kalau belum punya, diam dan pikirkan!"
II Gu Kim-sing tersipu-ipu.
"Baik, Tuanku..."
Sesaat ruangan itu jadi sunyi, para panglima yang tidak didampingi penasehat harus berpikir sendiri, sedangkan yang membawa pembantupembantunya pun berunding dengan pembantu-pembantunya. Gu Kim-sing lalu berbisik kepada Ang Bik.
"Ang Bik, coba pikirkan, bagaimana pemecahan soal ini? Jangan sampai kalah cepat dari orang lain."
Gu Kim-sing belum mengerti kalau Ang Bik sebenarnya sudah menjadi kaki tangan Manchu. Ang Bik menjawab dengan mendekatkan mulutnya ke kuping Gu Kim-sing.
"Jenderal, masalah ini sebenarnya masalah ringan. Coba pikir, di jaman dinasti Beng yang lemah dulu sanggupkah orang Manchu menerobos ke Tiong-goan biarpun sejengkal?"
"Tidak."
"Sekarang, kita yang sudah mengalahkan dinasti Beng dan jauh lebih kuat dari dinasti Beng, masa harus takut kepada anjing-anjing Manchu itu? Tidak ada kemungkinannya sedikit II pun orang-orang Manchu itu memasuki Tionggoan. Mereka tidak berani. Paling banter mereka membantu Bu Sam-kui mempertahankan San-hai-koan, demi keamanan wilayah mereka sendiri di timur laut..."
Sebagai seorang yang malas memakai otaknya sendiri, Gu Kim-sing langsung menyetujui omongan Ang Bik itu. Ia segera bangkit dari duduknya untuk berlutut di depan Kaisar Tiong-ong.
"Tuanku, hamba ada sesuatu yang harus hamba katakan..."
Sementara itu, Ang Bik dan seorang perwira bawahan Gu Kim-sing lainnya yang bernama Ciong Ek-hi, bertukar pandangan dan senyuman tersembunyi.
Ciong Ek-hi yang nama aslinya adalah Ha Cao, seorang perwira pasukan rahasia Manchu.
Orang-orang yang berbisik-bisik di ruangan itu segera berhenti bicara.
Kaisar Tiong-ong pun berkata.
"Katakan!"
Gu Kim-sing dengan bangga mulai menjelaskan panjang lebar, penuh semangat, II seolah-olah yang dikatakan itu adalah hasil pemikiran otaknya sendiri yang "cemerlang".
Selesai bicara, ia pun menatap penuh harapan ke wajah Kaisar junjungannya, menantikan reaksinya yang mudah-mudahan berupa pujian.
"Jadi menurutmu, Jenderal Gu, kecil kemungkinannya orang Manchu menyerbu ke Tiong-goan, karena kita lebih kuat dari dinasti Beng, sedang di jaman dinasti Beng saja mereka tidak mampu melangkahi perbatasan, begitu?"
"Bukan cuma kecil kemungkinannya, Tuanku, tetapi bahkan hamba jamin tidak ada kemungkinannya sama sekali. Tetapi kalau mereka tolol dan salah menghitung kekuatan kita sehingga berani melangkahi perbatasan untuk menjajal kekuatan kita, ya rasakan saja. Kita akan hajar mereka sehingga pulang kembali ke Liau-tong dengan mencawat ekor!"
Omongan Gu Kim-sing memang dahsyat, kontan mendapat dukungan dari beberapa panglima yang juga malas berpikir seperti Gu Kim-sing.
II Tetapi Kaisar Tiong-ong masih mendengarkan pendapat orang lain, la menoleh kepada Ko Ban-seng, yang biarpun bukan panglima militer tetapi hadir juga di tempat itu.
"Bagaimana pendapatmu, Guru Ko?"
Ko Ban-seng yang kalau bicara tidak pernah sungkan kepada siapa pun, mengeluarkan jawaban yang memerahkan muka Jenderal Gu dan pendukung-pendukung-nya.
"Menurut hamba, Tuanku, pendapat Jenderal Gu itu terlalu menggampangkan persoalannya karena malas berpikir. Hamba yakin ada usaha pihak Manchu untuk menguasai negeri ini, dan cara apa saja akan mereka manfaatkan. Tidak mustahil mereka juga membujuk Bu Sam-kui agar takluk kepada mereka, sehingga San-haikoan bisa diterobos oleh pasukan mereka yang besar!"
Gu Kim-sing kontan menjadi gusar.
"Tuan Ko! Jangan buka mulut seenaknya!"
Tetapi Ko Ban-seng tidak melirik sekejap pun kepada Gu Kim-sing, hanya punggungnya yang tetap dihadapkan kepada Si Jenderal II Pelangi Kuning yang sedang mencak-mencak itu.
Ia tetap menghadap ke arah Kaisar dan melanjutkan kata-katanya yang ceplas-ceplos.
"Kalau hamba berbicara, hamba punya bukti kenyataannya, tidak hanya sekedar mendengar bisikan orang lain. Hamba menerima berita dari murid-murid hamba yang mendampingi Jenderal Li. Murid hamba melaporkan adanya usaha pembunuhan terhadap Jenderal Li Giam, menggunakan pembunuh-pembunuh bayaran yang disebut Tujuh Pembunuh Gurun Utara dan Tiga Serigala Perbatasan. Tetapi ketika mereka gagal, muncul jugalah dalang yang sebenarnya dari usaha pembunuhan itu, yang tidak lain adalah Kat Hu-yong, si bangsat Manchu, penasehat militer Pangeran Toh Sek-kun, musuh bebuyutanku! Ini membuktikan bahwa pihak Manchu bersungguh-sungguh dalam ambisinya menguasai Tiong-goan. Penasehat Militer mereka sendiri keluyuran di Tiong-goan memimpin orang-orangnya. Semua pendapat yang tidak cocok dengan ini, adalah pendapat II yang meninabobokan dan membuat kita lengah!"
Jenderal Gu semakin merah wajahnya, makin diremehkan.
Tetapi ia benar-benar jerih kalau harus berhadapan dengan Si Gajah Berkepala Besi yang berangasan dan suka mengamuk itu.
Tak ada di antara pengawalpengawalnya yang bisa menahan amukannya.
Akhirnya Jenderal Gu bersikap diam.
Tetapi kesempitan jiwanya mengambil keputusan untuk menjegal usaha apa saja yang akan dilakukan Ko Ban-seng.
Tentu saja menjegal secara diam-diam.
Demi sakit hati pribadi dan tidak peduli apa pun pertaruhannya.
Bagi Kaisar Tiong-ong sendiri, penjelasan Jenderal Gu rasanya lebih membelai telinga.
Namun dia pun punya otak, belum tentu yang membelai telinga itu yang lebih benar.
Masalahnya buat Kaisar, kalau Ko Ban-seng yang benar, apakah dia harus melepaskan Tan Wan-wan sesuai dengan cara yang dikatakan Helian Kong? Melepas Tan Wan-wan ke tangan Bu Sam-kui? Berat sekali rasa hati Kaisar TiongII ong, mengakui atau tidak, ia sudah mengalami apa yang dialami kaisar yang digulingkannya, Kaisar Cong-ceng, yaitu terjerat oleh kecantikan Tan Wan-wan.
Sementara Jenderal Gu kembali berani bersuara, meskipun sambil melirik takut-takut kepada Ko Ban-seng.
"Tuanku, siapa yang membawa kabar tentang situasi gawat di Sanhai-koan itu?"
Kaisar Tiong-ong menjawab.
"Helian Kong. Ia datang ke istana ini semalam."
Ang Bik yang berdiri di belakang kursi Jenderal Gu, rasanya jantungnya hampir berhenti berdetak mendengar nama saudaraseperguruannya itu.
Orang yang paling sering dikhianati, orang yang paling ditakuti.
Kalau semula ia memberi usul-usul kepada Jenderal Gu hanya demi menjalankan "tugasnya"
Sebagai kaki-tangan Manchu untuk menina-bobokan Kaisar Tiong-ong terhadap gerakan diam-diam pihak Manchu, kini Ang Bik alias Ting Hoan-wi ini harus memutar otak untuk keselamatannya sendiri.
II Karena itu, tiba-tiba saja ia maju berlutut di depan Kaisar Tiong-ong dan berkata.
"Ampuni hamba, Tuanku, hamba hanya seorang perwira rendahan, berani lancang ikut berbicara di antara para Jenderal. Tetapi hamba tiba-tiba ingin mengatakan sesuatu..."
Berharap dapat menemukan jalan keluar yang tidak usah melepaskan Tan Wan-wan, Kaisar Tiong-ong mengijinkan.
"Katakan. Setiap pendapat tentu berharga, tidak peduli dari siapapun juga."
Ang Bik berkata.
"Tuanku, Helian Kong itu kita ketahui sebagai sahabat baik Bu Sam-kui, sama-sama panglima dinasti Beng. Bukan mustahil Helian Kong pura-pura menyampaikan situasi di San-hai-koan kepada kita, tujuan sebenarnya agar kita kendorkan tekanan ke San-hai-koan. Jadi dia lakukan ini hanya untuk menolong Bu Sam-kui, temannya itu. Menurut hamba, penggal saja kepala Helian Kong, lalu perhebat tekanan ke San-hai-koan. Habis perkara. Buat apa pusing-pusing memikir dan II menganalisa suatu kebohongan, bahkan sempat berdebat segala?"
Ko Ban-seng menukas.
"Taruh kata Helian Kong bohong demi menolong temannya sendiri di San-hai-koan, memangnya murid-muridku Yo Kian-hi dan Oh Kui-hou yang melaporkan tentang usaha orang Manchu itu juga bohong?"
Ang Bik agak gentar dipelototi Ko Ban-seng.
"Tentu saja aku tidak berani menuduh muridmuridmu berbohong, Guru Ko. Bukankah siapa pun yang ada di sim berhak mengajukan usul untuk dipertimbangkan bersama? Helian Kong itu..."
Ko Ban-seng menukas tajam.
"... Helian Kong itu musuh kita, tetapi ia lebih bisa dipercaya dari banyak orang di tempat ini yang mengaku sebagai kawan-kawan kita!"
Ang Bik menyeringai canggung.
"Tuan Ko, begitu saja kok marah?"
"Ya, aku marah akan usaha-usaha yang hendak menina-bobokan Baginda dengan laporan-laporan yang tidak benar' II Laporan-laporan tidak benar yang menganggap orang Manchu tidak berani kepada kita dan tidak mungkin menyerbu Tiong-goan. Sedangkan aku punya bukti lain lagi..."
Kaisar Tiong-ong cepat mengangkat tangannya sehingga Ko Ban-seng berhenti berbicara. Kaisar Tiong-ong yang menganggap dirinya "pembebas rakyat"
Itu tidak suka disebut "dinina-bobokan", seperti Kaisar Congceng yang digulingkannya. Katanya kepada Ko Ban-seng.
"Guru Ko, jangan menganggap aku segampang itu menelan semua laporan dan mempercayainya. Memangnya aku sama dengan Si Cong-ceng raja tidak becus itu?"
"Maaf, Tuanku, hamba tidak bermaksud demikian. Hamba cuma berusaha mengingatkan...para Jenderal ini, bukan Tuanku, bahwa ada yang patut kita waspadai, agar jangan kita lengah setelah kemenangan kita atas dinasti Beng. Tuanku, maaf kalau hamba harus mengatakannya sekarang. Sesungguhnya sejak usaha yang gagal untuk membunuh Jenderal Li Giam, murid hamba Yo Kian-hi yang II sebelumnya bersama-sama Jenderal Li, telah kembali diam-diam ke Pak-khia dan menghubungi hamba..."
Jenderal Gu menyeletuk.
"Wah, ini suatu pelanggaran disiplin militer, apa pun alasannya. Mana boleh seorang perwira seperti Yo Kian-hi meninggalkan pasukannya begitu saja. Ini kan..."
Kali ini Kaisar Tiong-ong yang menghentikan kata-kata Jenderal Gu dengan isyarat tangannya. Lalu perintahnya kepada Ko Ban-seng.
"Teruskan, Guru Ko."
"Murid hamba ingin memberitahu semua yang di Pak-khia ini tentang kegiatan bawah tanah orang Manchu. Dan laporan terakhir yang hamba peroleh dari murid hamba adalah, pusat kegiatan orang-orang Manchu di Ibukota Pakkhia ini adalah di sebuah warung bakmi di depan markas pasukannya Jenderal Gu. Warung yang sering dikunjungi perwira-perwira bawahannya Jenderal Gu ini. Murid hamba sudah lama mengamat-amati; dan curiga bahwa warung bakmi itu begitu lama dijadikan ajang makan-minun gratis oleh orang-orangnya II Jenderal Gu tetapi tidak bangkrut-bangkrut juga. Ini mencurigakan..."
Ang Bik dan Ciong Ek-hi yang nama aslinya adalah Ha Cao, seorang perwira pasukan rahasia Manchu itu, terkejut.
Ciong Ek-hi tibatiba menatap Ang Bik dengan curiga, mencurigai Ang Bik yang membocorkan rahasia tempat itu.
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun Ang Bik menggeleng dengan wajah yang agak pucat.
Untung tidak ada yang memperhatikan sikap mereka, semua perhatian sedang dipusatkan ke omongan Ko Ban-seng.
Tatapan tajam Kaisar Tiong-ong dialihkan kepada Jenderal Gu, membuat Jenderal Gu jadi gugup seperti tikus di hadapan seekor kucing, dan buru-buru berlutut sambil berkata.
"Ampun Tuanku, hamba...hamba selalu memberi peringatan kepada bawahan-bawahan hamba agar bersikap sopan terhadap siapa pun. Tidak mungkin mereka makan-minum di warung tanpa membayar seperti tuduhan Guru Ko ini, kelakuan orang-orang hamba pasti tidak sama dengan perwira-perwira dinasti Beng dulu..."
II Ko Beng-seng mendengus.
"Aku tidak sedang menuduh orang-orangmu, Jenderal Gu. Aku sedang menggambarkan keganjilan warung bakmi itu..."
Gu Kim-sing tetap berlutut.
"Tuanku, hari ini juga akan kami tangkap seluruh penghuni warung itu, dan kami periksa mereka dengan keras..."
Ciong Ek-hi benar-benar mengkhawatirkan teman-temannya di warung itu.
Namun kalau saat itu meninggalkan ruangan itu, tentu mencurigakan.
Yang tidak kalah gelisahnya adalah Ang Bik.
Ia benar-benar terancam dari dua pihak.
Dari pihak Gu Kim-sing sendiri kalau sampai diketahui bahwa dia sudah menjadi kaki-tangan Manchu.
Dari pihak Manchu kalau mereka menyangka Ang Bik menjadi biang keladi kebocoran gerakan rahasia mereka.
Orang-orang yang berkecimpung di kegiatan mata-mata biasanya rasa curiganya amat tebal, bahkan terhadap kawan sendiri juga, sulit mempercayai orang.
II Kaisar menatap Ko Ban-seng.
"Guru Ko, betulkah yang kau katakan itu?"
"Hamba jamin kebenarannya dengan leher hamba sendiri. Kegiatan orang-orang Manchu itu benar-benar ada, bukan sekedar anganangan orang-orang kita yang terlalu cemas."
"Kalau begitu, yang dikatakan oleh Helian Kong itu..."
"Helian Kong itu musuh, tetapi hamba rasa kata-katanya bisa dipercaya, Tuanku. Hamba percaya dia mencemaskan kejatuhan San-haikoan ke tangan orang Manchu."
"Kalau begitu, Puteri Kong-hui... harus kita... relakan diberikan kepada..."
Suara Kaisar Tiongong jadi tersendat-sendat gemetar dan tidak lancar. Ko Ban-seng cepat-cepat melegakan hati Kaisar.
"Tuanku, kita bisa mempercayai Helian Kong, tetapi jalan keluar dari masalah ini tidak harus menuruti usul Helian Kong. Puteri Konghui sudah cukup besar pengorbanannya di jaman perjuangan kita dulu, jangan ditambahi II Ko Ban - seng cepat - cepat melegakan hati Kaisar.
"Tuanku, kita bisa mempercayai Helian Kong, tetapi jalan keluar dari masalah ini tidak harus menuruti usul Helian Kong."
II lagi pengorbanannya. Kita tidak akan menyerahkan dia ke tangan Bu Sam-kui..."
"Kau punya pendapat, Guru Ko?"
"Tuanku, ijinkan hamba ke San-hai-koan untuk membereskan Bu Sam-kui dan membuka pintu gerbang San-hai-koan dari sebelah dalam, agar pasukan Jenderal Lau bisa lebih dulu menduduki kota itu."
Itulah usul yang nekad, suatu pertaruhan nyawa, tetapi tidak ada orang di ruangan itu yang tidak kenal siapa pendekar tua bergelar Kang-tau-siang (Gajah Berkepala Baja) yang sanggup menyeruduk jebol suatu tembok tebal dengan jidatnya yang mengkilat.
Wajah Kaisar Tiong-ong pun mendapatkan cahayanya kembali.
"Kau bisa, Guru Ko?"
"Doakan saja, Tuanku. Mudah-mudahan pemerintahan Tuanku tetap mendapat mandat Langit yang masih panjang. Dan ijinkanlah hamba berangkat sekarang juga."
"Bagaimana dengan Helian Kong?"
"Bagaimanapun juga ia adalah musuh. Kurung dia terus. Kita takkan membiarkan II seekor macan buas yang sudah dalam kurungan untuk berkeliaran kembali dan membahayakan kita."
"Baiklah, Guru Ko. Selamat bertugas."
Seperti biasanya, sebagai orang yang tidak terikat kepada peraturan-peraturan di istana, Ko Ban-seng langsung berangkat.
Kemudian Kaisar Tiong-ong pun membubarkan pertemuan.
Keluar dari istana, Jenderal Gu bertekad untuk langsung menggerebek warung bakmi yang dikatakan Ko Ban-seng tadi.
Sementara Ciong Ek-hi memutar otak untuk menyelamatkan kawan-kawannya sesama prajurit-prajurit rahasia Man-chu di warung itu.
Di tengah perjalanan, Gu Kim-sing berkata kepada Ang Bik.
"Ang Bik, berjalanlah duluan untuk menyiapkan tentara."
Ang Bik hendak beranjak, tetapi Ciong Ek-hi cepat-cepat mencegahnya.
"Kakak Ang tidak perlu repot-repot. Biar aku saja..."
Dulunya Ang Biklah yang memanggil Ciong Ek-hi dengan sebutan "Kakak Ciong"
Sebab II waktu itu Ciong Ek-hi adalah kepala-stafnya Jenderal Gu.
Tapi sekarang Ang Biklah yang menduduki posisi itu, sehingga Ciong Ek-hi yang memanggilnya "Kakak Ang".
Permintaan Ciong Ek-hi untuk pergi menggantikan Ang Bik itu tidak menimbulkan kecurigaan Gu Kim-sing maupun pengiringnya yang lain, sebab saling menjilat untuk mencari muka kepada perwira yang lebih senior itu sudah menjadi kebiasaan di kalangan mereka.
Tetapi Ang Bik tahu bahwa Ciong Ek-hi ingin menyelamatkan teman-temannya di warung bakmi itu, maka Ang Bik tidak berani melarangnya, khawatir kalau sampai diragukan "kesetiaannya"
Oleh pihak Manchu. Jawabnya kepada Ciong Ek-hi.
"Silakan jalan dulu, Saudara Ciong. Siapkan orang-orang kita..."
Perkataan "orang-orang kita"
Itu pun bermakna ganda. Di kuping Jenderal Gu dan pengiring-pengiring yang lain, yang dimaksud "orang-orang kita"
Tentunya adalah prajuritprajurit di tangsi yang akan disiapkan untuk menggerebek warung bakmi itu, sedang di II kuping Ciong Ek-hi "orang-orang kita"
Tentunya adalah orang-orang Manchu teman-temannya. Begitulah licinnya Ang Bik dalam "bermain"
Di antara dua kekuatan itu.
Ciong Ek-hi memacu kudanya mendahului rombongan Jenderal Gu.
Namun ia tidak langsung ke tangsi, melainkan memutar jalan lewat di belakang warung itu, mengetuk pintu belakangnya dengan isyarat.
Pintu dibuka, Ciong Ek-hi tanpa turun dari kudanya, berbicara kepada pegawai warung gadungan yang membuka pintu itu.
"Menyingkir secepatnya. Orang-orang Pelangi Kuning sudah mengetahui tempat ini dan akan segera menggerebeknya."
Lalu ia putar menuju ke tangsi.
Di tangsi itu ia menyiapkan pasukan sesuai perintah Jenderal Gu.
Tetapi ia sengaja berlama-lama, mengulur-ulur waktu.
Satu kali ia berkata barisannya kurang tertib, lain kali ia katakan kurang ini atau kurang itu sehingga pasukan itu tidak segera keluar dari tangsinya.
Dan setelah semuanya beres, pasukan itu tidak juga keluar dari tangsi, karena Ciong Ek-hi II berdalih.
"Kita menunggu kedatangan Jenderal Gu. Beliau akan memimpin sendiri penggerebekan ini sehingga mendapat muka terang di hadapan Sri Baginda!"
Komandan pasukan itu pangkatnya di bawah Ciong Ek-hi, sudah tentu tidak berani membantah.
Kemudian Jenderal Gu tiba, langsung menggerebek warung.
Warung yang sudah kosong! Ang Bik dan Ciong Ek-hi saling tukar pandangan dengan lega.
Tetapi mereka purapura ikut banting-banting kaki karena kecewa.
* * * Seorang kakek tua mengamat-amati penggerebekan warung itu dari kejauhan.
Tadinya dia sedang berada di warung itu, seperti biasa mendengarkan para perwira membual.
Tetapi tiba-tiba satu demi satu pegawai-pegawai di warung itu menghilang II tanpa kentara, bahkan juga si pemilik warung yang biasanya ramah.
Hal itu baru disadari ketika beberapa perwira berteriak-teriak dan menggebrakgebrak meja minta tambahan bakmi dan arak tetapi tidak ada yang meladeninya.
Si Kakek yang biasanya duduk di pojokan dan selalu memesan mi kuah yang paling murah, kini merasakan gelagat jelek, lalu dia pun keluar dari warung itu.
Benar juga, tidak lama warung itu digerebek oleh Jenderal Gu Kim-sing sendiri.
Gu Kim-sing hanya menemukan perwiraperwiranya sendiri di warung itu, ada yang dalam keadaan setengah teler karena arak.
Dan ketika mereka ditanyai kemana perginya si pemilik warung serta pegawai-pegawainya, mereka menjawab tidak tahu, sehingga perwira-perwira itu digampari mukanya oleh Gu Kim-sing, sampai tangan Gu Kim-sing sendiri kesakitan.
"Bakar tempat ini!"
Itulah puncak kemarahan Gu Kim-sing.
Tidak peduli warung II itu letaknya rapat dengan rumah penduduk lainnya, para bawahan pun menjalankan perintahnya.
Si Kakek melihat dari kejauhan api yang menjilat langit.
Si Kakek geleng-geleng kepala, mengeluh dalam hati.
"Kalau begini terus, mana bisa rakyat disuruh percaya bahwa pemerintahan Pelangi Kuning lebih baik dari pemerintahan dinasti Beng? Tingkah laku prajurit-prajurit dan pejabat-pejabatnya sama saja dengan tingkah laku prajurit-prajurit dan pembesar-pembesar dinasti Beng..."
Kakek itu mencopot capingnya, mengibasngibas tepung yang mengotori rambutnya sehingga rambut itu seolah-olah ubanan, sehingga rambut itu terlihat jadi hitam kembali, la copot alis putihnya yang tempelan dan juga kumis dan jenggotnya, copot pula jubah dekilnya sehingga kelihatan pakaian ringkasnya yang membungkus tubuhnya yang tegap.
Ternyata ia memang bukan kakek-kakek, melainkan seorang pemuda yang tegap, yang bukan lain adalah Yo Kian-hi, perwira bawahan II Li Giam yang menyelundup kembali ke Pak-khia untuk membongkar komplotan mata-mata Manchu.
Ternyata sebelum komplotan matamata itu tuntas tercabut, ia baru pada tahap mengamat-amati warung bakmi yang dicurigai itu, Jenderal Gu sudah main sapu bersih sehingga sulitlah sekarang mencari kembali jejak kawanan mata-mata itu.
Apa boleh buat.
Yo Kian-hi kembali ke rumah yang disewanya murah, yang selama ini digunakannya selama ia berada di Pak-khia.
Tetapi begitu masuk ke ruangan itu, dilihatnya gurunya, Ko Ban-seng, sudah duduk dalam ruangan itu.
Cepat Yo Kian-hi memberi hormat.
"Guru..."
"Aku dari istana, darimana saja kamu?"
"Mengamat-amati warung itu, dan berusaha tahu lebih banyak. Sayang, si tolol Gu Kim-sing mengacaukan segalanya. Jadi belum banyak yang aku ketahui."
Ko Ban-seng menarik napas.
"Barangkali itu karena salahku..."
"Kenapa, Guru?"
II "Aku dari istana, dan kami membicarakan..."
Lalu Ko Ban-seng memberitakan pembicaraan di istana.
Maka Yo Kian-hi pun tahulah bahwa operasi Gu Kim-sing tadi bukan hasil ketajaman petugas-petugas rahasia Gu Kim-sing sendiri, melainan karena Gu Kim-sing mendengarnya di istana dari mulut gurunya.
Tentu saja Yo Kian-hi tidak berani menyalahkan gurunya, cuma menggerutu dalam hati.
"Waktu itu hatiku panas, karena si goblok Gu Kim-sing itu berusaha meninabobokan Baginda tentang kegiatan orang Manchu. Aku beberkan semua yang aku dengar darimu. Tentang usaha pembunuhan terhadap Jenderal Li Giam dan tentang warung ini..."
Yo Kian-hi tidak menjawab. Kemudian Ko Ban-seng juga bercerita bahwa ia akan ke San-hai-koan untuk menyelamatkan kota perbatasan yang strategis itu, jangan sampai "digadaikan"
Bu Sam-kui ke tangan orang Manchu hanya gara-gara Bu Samkui gusar karena calon isterinya diboyong ke istana Kaisar Tiong-ong. Bicara soal San-haiII koan, mau tidak mau Ko Ban-seng menyinggung juga nama Helian Kong.
"Itu sebabnya Helian Kong ingin memanggil Tan Wan-wan ke San-hai-koan, untuk dijadikan tumbal menenteramkan Bu Sam-kui..."
"Helian Kong?"
"Ya."
"Guru, bukankah pernah kukatakan bahwa Jenderal Li Giam berhutang budi kepada Helian Kong? Ketika hampir terbunuh oleh Kat Huyong si Penasehat Militer Manchu, Helian Kong datang menolong."
"Ya. Kau pernah bilang itu kepadaku. Aku pun perlakukan Helian Kong dengan baik. Tetapi aku bukan penguasa istana, aku tidak bisa menentukan nasib Helian Kong semauku. Lagi, jangan lupa, Helian Kong itu bagaimanapun baiknya, adalah musuh."
"Lalu, apa yang akan Guru lakukan?"
"Segera berangkat ke San-hai-koan. Kamu?"
"Kalau Guru perkenankan, aku ingin tetap di Pak-khia ini untuk mencoba membongkar jaringan kegiatan orang-orang Manchu..."
II "Baiklah, tetapi hati-hatilah.
Orang-orang Manchu itu ternyata bergerak dengan sigap.
Contohnya, penyergapan terhadap warung bakmi gadungan itu dilakukan langsung begitu Gu Kim-sing pulang dari istana, tidak ada tenggang waktu, toh penghuni-penghuni warung bakmi itu sempat kabur semua.
Mungkin mata dan kuping mereka tersebar di mana-mana, itulah sebabnya kau harus berhatihati..."
"Baik, Guru."
Ko Ban-seng pun melangkah pergi.
Bagi orang seperti dia, perjalanan jauh ke San-haikoan pun dianggapnya sama dengan pergipulang ke warung di depan rumah, maka begitu ia ingin pergi, pergilah ia.
Yo Kian-hi kembali keluyuran di Tak khia.
Kembali ia menyamar sebagai kakek-kakek tua.
Sementara Ko Ban-seng melangkah cepat ke arah timur-laut.
Biarpun tubuhnya gemuk dan usianya sudah lanjut, ternyata langkahnya lebih cepat dan lebih tegap dari kebanyakan lelaki muda.
Ko Ban-seng juga tidak mau naik kuda II atau kendaraan lain, sebab ia anggap berjalan jauh seperti itu akan menjaga kesegaran jasmaninya dan juga jiwanya.
Rambutnya yang panjang berkibaran terurai di belakang kepalanya, ubanan.
Ia melangkah terus melewati tanjakantanjakan dan lembah-lembah dan desa-desa, tidak mempedulikan matahari sudah mulai tenggelam.
Kebetulan ketika hari mulai gelap, ia sudah meninggalkan jauh di belakang sebuah desa, tetapi Ko Ben-seng tidak menyesal ia tidak berhenti di desa itu untuk mencari penginapan melainkan terus berjalan.
Di desa itu ia hanya membeli beberapa buah bakpao dan sebuli-buli arak.
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan kini sambil berjalan di bawah bayangan pepohonan yang memanjang di senja hari, ia makan bakpaonya sambil berjalan.
Ia benar-benar mengkhawatirkan San-hai-koan, sehingga berjalan siang malam.
Namun tiba-tiba langkahnya terhenti.
Di sebuah tempat yang sepi penuh pohon belukar, sesosok tubuh kurus berdiri menghadang di depannya.
II Ko Ban-seng membanting sepotong bakpao di tangannya, meneguk araknya dengan santai, mempertajam pandangannya dan mengenali orang yang menghadangnya itu.
Seorang kakek yang sebaya dengan dirinya sendiri, bedanya kakek itu bertubuh kurus seperti tiang jemuran.
Tetapi Ko Ban-seng tidak berani meremehkannya, sebab ia mengenali si penghadang itu adalah Kat Hu-yong, Penasehat Militer Pangeran Toh Sek-kun.
"Kau!"
Geram Ko Ban-seng.
"Buat apa kau hadang aku?"
"He-he-he, kita sudah sama-sama tua dan biarlah aku tidak akan membohongi-mu. Kau buru-buru ingin ke San-hai-koan untuk membunuh Bu Sam-kui dan mempermudah Lau Cong-bin menguasai kota bukan?"
Ko Ban-seng kaget dalam hatinya, ia cuma menggeram. Sementara Kat Hu-yong melanjutkan.
"Dan karena aku mengetahuinya, tentu saja aku mencegahmu. Aku tidak suka sebenarnya II berkelahi denganmu. Kau hebat, membuat aku kesakitan. Tapi apa boleh buat. Demi tugas."
"Darimana kau tahu?"
"Dari orangku yang ikut berada di istana ketika pembicaraan kalian pagi tadi dengan Kaisar goblok itu."
Hati Ko Ban-seng bergetar. Tepat dugaannya bahwa "mata dan kuping"
Orangorang Manchu sudah tersebar di mana-mana, bahkan di istana, bukan mustahil juga orangorang di sekitar Kaisar Tiong-ong sendiri.
Namun Ko Ban-seng menenangkan hatinya dan ingin balas menggertak, ia mengangguk-angguk dan suaranya dibuat setenang mungkin.
"Sudah kami perhitungkan itu. Tetapi jangan kau pikir kami buta. Kami tahu."
Tak terduga gertakan itu ternyata tidak mempan. Kat Hu-yong menjawab sambil tertawa-tawa.
"Ya, aku tahu kalian tidak buta, tetapi kalau tiga perempat buta, ya. Yang agak melek sebenarnya hanyalah orang-orangnya Li Giam, sedangkan orang-orangnya Gu Kim-sing dan Lau Cong-bin meleknya hanya kalau II melihat uang dan makanan gratis. Aku tahu, aku tahu. Muridmu Si Yo Kian-hi itu sudah lama mengamat-amati warung bakmi kami dengan menyamar sebagai Kakek-kakek, dan kami tahu dia juga punya rumah sewaan kecil di belakang toko barang-barang kulit. Jangan cemas, orangorangku sudah mengurus muridmu itu baikbaik..."
Kali ini Ko Ban-seng tidak dapat menyembunyikan rasa kagetnya.
Dia jadi amat mencemaskan nasib muridnya.
Dan sebagai seorang guru yang mencintai murid-muridnya seperti ayah mencintai anak-anaknya, kecemasannya cepat berubah menjadi kegusaran yang meluap-luap.
"Bedebah!"
Ko Ban-seng meraung, tubuhnya yang gemuk itu meluncur pesat ke depan dengan sepasang jotosannya bergerak serempak, mengincar muka dan perut Kat Huyong sekaligus.
Terjangan-nya mirip seekor gajah mengamuk dengan sepasang gadingnya yang mengancam.
Kekuatannya hebat sehingga II Tubuhnya yang gemuk Itu meluncur pesat ke depan dengan sepasang jotosannya bergerak serempak.
II banyak daun pohon di sekitar arena terguncang rontok.
Kat Hu-yong sengaja memancing kemarahan lawannya, sebab dalam kemarahan tentu lawannya akan kehilangan sebagian kecermatannya.
Kat Hu-yong tahu bahwa ia seimbang dengan lawannya itu, tetapi sekarang dengan berkurangnya kecermatan di pihak lawan, jadi tidak seimbang lagi.
Kat Hu-yong melejit ke samping, merapat sebatang pohon besar.
Namun Ko Ban-seng ikut menyeruduk ke samping sambil memiringkan kepalanya.
Dan keluarlah gaya serangan yang membuat ia mendapatkan julukan Kang-tausiang (Gajah Berjidat Baja), yaitu serudukannya.
Tubuh Kat Hu-yong yang merapat di pohon itu hendak diseruduknya, kalau bisa sampai kulit Kat Hu-yong menjadi satu dengan kulit pohon.
Sudah tentu Kat Hu-yong emoh di begitukan.
Tubuhnya melejit ringan bagai capung, melewati atas kepala Ko Ban seng.
Terdengar suara gemuruh dahsyat ketika batang pohon sebesar tubuh manusia itu II terseruduk ambruk oleh kepala Ko Ban-seng, tercabut ambruk ke akarnya.
"Hebat!"
Kat Hu-yong memuji dari jarak beberapa langkah.
"Tetapi sekarang rasakan balasanku!"
Dua kali Kat Hu-yong menebaskan sepasang telapak tangannya bergantian seperti membacok ke arah Ko Ban-seng, namun dari jarak beberapa langkah.
Di udara terdengar suara mencicit-cicit seperti suara tikus.
Ko Ban-seng juga sudah mengenali jenis ilmu lawannya, seperti lawannya juga sudah mengenalinya.
Ilmu Kat Hu-yong disebut Buheng To-hoat (Ilmu Golok Tanpa Wujud).
Ko Ban-seng tidak mau tubuhnya terpotong oleh "golok udara"
Yang tidak kelihatan itu, namun dengan ketajaman kupingnya dia bisa memperkirakan arah serangan lawan.
Ia berlompatan menghindar, lalu menyeruduk kembali dengan cepat.
Begitulah kedua jago tua itu pun bertarung hebat.
Matahari tenggelam dan langit pun sudah dipenuhi bintang, tetapi kegelapan tidak II menghalang-halangi kedua jago tua itu mengadu keperkasaan, sebab mata mereka lebih tajam berpuluh kali lipat dari mata kucing.
Maka meskipun di gelanggang itu tidak kelihatan apa-apa karena gelap, suara yang terdengar sungguh menegakkan bulu roma.
Deru angin seolah-olah ada badai yang lewat, mengguncang pepohonan, suara mencicit-cicit aneh di udara seolah ada ribuan tikus di situ.
Sebentar-sebentar terdengar gemerasak dari pohon yang tumbang, baik oleh hantaman dan serudukan Ko Ban-seng maupun oleh "golokangin"
Kat Hu-yong.
Kedua pihak memeras keringat entah sampai berapa ratus gebrakan, bentakanbentakan dan dengus napas terdengar makin berat.
Sampai dari arah barat, dari arah kota Pakkhia, terlihat beberapa buah obor yang bergerak mendekat dengan cepat.
Dan derap kuda.
Tiga orang penunggang kuda mendekat, mereka masing-masing membawa obor untuk menerangi jalan.
II Mereka adalah Goh Lung dan dua orang "pegawai warung bakminya"
Yang baru siang tadi lolos setelah warung mereka digerebek Gu Kim-sing.
"Ke mana kira-kira perginya Kun-su (Penasehat Militer)?"
Goh Lung menghentikan kudanya dan celingukan. Obornya diangkat. Ketika itulah dari depan terdengar suara bentakan dua jago tua yang bertempur dalam kegelapan itu, serta suara gemuruhnya pepohonan yang tumbang.
"Di sana!"
Goh Lung menunjuk ke arah pertempuran.
"Kita dekati, tapi hati-hatilah, kedua orang, tua itu pasti bertarung dengan luar biasa sekali. Turun dari kuda dan matikan obor."
Ketiga orang itu turun dari kudanya masingmasing, menambatkan kuda mereka di pepohonan dan mematikan obor mereka. Lalu melangkah hati-hati mendekati medan pertarungan dalam kegelapan itu.
"Tidak kelihatan apa-apa..."
Desis salah seorang pengiring Goh Lung, dan tiba-tiba dari II arah arena ada sepotong dahan pohon yang melayang dan menyambar jidatnya sehingga ia mengaduh.
Kedatangan tiga orang itu ke dekat arena diketahui dua orang jago tua yang bertempur.
Sambil bertempur, Kat Hu-yong berteriak.
"Goh Lungkah itu?"
Goh Lung menjawab dengan bahasa Marichu.
"Betul, Kun-su."
"Tunggulah sebentar, gajah tua ini liar sekali, agak sulit menjinakkannya."
Tiba-tiba timbul akal Goh Lung untuk membantu Kat Hu-yong agar cepat mengalahkan lawannya.
Membantu dengan ikut-ikutan berkelahi tentu mustahil, Goh Lung tahu diri kalau dua jago tua itu tingkatannya jauh di atas dirinya, salah-salah malah bisa merepotkan Kat Hu-yong dan bukannya meringankan bebannya.
Tetapi membantu dengan kata-kata yang menggoyahkan semangat Ko Ban-seng, tentu saja bisa dilakukannya dari luar arena.
II Maka Goh Lung menukar bahasanya ke dalam bahasa Han agar Ko Ban-seng bisa ikut mengetahui.
Katanya.
"Semua tugas yang Kunsu berikan kepada karni, sudah beres. Si gajah kecil Yo Kian-hi itu sekarang sudah ada dalam kurungan kita."
"Bagus, bagus. Apakah kalian juga sudah siapkan kurungan besar untuk gajah yang besar ini?"
Sahut Kat Hu-yong dalam bahasa Han juga.
Keruan perasaan Ko Ban-seng jadi campuraduk tak keruan mendengar dialog itu.
Gerak tempurnya jadi semakin kurang perhitungan, didorong hanya oleh emosinya yang meluap.
Sebelum Goh Lung bertiga datang, Ko Banseng sudah mendapat dua luka, di pundak dan di pinggang, kedua-duanya oleh "golok tak berwujud"
Kat Hu-yong yang mendapat peluang karena ketidakcermatan Ko Ban-seng sendiri.
Kini mendengar percakapan Kat Hu-yong dan Goh Lung, amarahnya meluap-luap dan gerak tempurnya pun makin kedodoran.
Ia mendapat dua luka lagi.
Darah yang terus menitik dari luka-lukanya membuat ia makin lemah.
II Suatu kali, serangannya yang mem-babibuta luput.
Kat Hu-yong melejit di atas tubuhnya sambil mengayunkan sepasang telapak tangannya berbareng, sejajar, membuat dua buah garis yang dalam di punggung Ko Banseng.
Bukan sekedar luka-luka di kulit, melainkan sampai di daging dan bahkan memutuskan beberapa buah tulang.
Ko Ban-seng meraung dahsyat, raungan terakhir dalam hidupnya sebelum ia rebah tertelungkup dan nyawanya terbang.
Kat Hu-yong termangu-mangu berdiri di samping tubuh itu.
Terengah-engah.
Ia telah keluar sebagai pemenang dalam pertempuran dahsyat itu, namun tenaganya pun hampir terkuras habis.
Bahkan pinggulnya agak nyeri juga, tadi ada tendangan Ko Ban-seng yang menyerempetnya.
Di sela engah napasnya, Kat Hu-yong berkata kepada Goh Lung.
"Kemarilah. Bantu aku berjalan!"
Goh Lung terkejut.
"Kun-su terluka?"
II "Hanya kehabisan tenaga. Mendekatlah. Tidak apa-apa, gajah tua ini sudah terbunuh."
Goh Lung dan kedua kawannya kembali menyalakan obor-obor mereka lebih dulu, barulah mendekati ke arena pertempuran itu.
Melihat bekas-bekas pertempuran itu, Goh Lung bertiga pun bergidik ngeri, membayangkan alangkah dahsyatnya duel tadi.
Tempat itu, seluas belasan tombak, seperti tempat yang baru saja dilanda prahara, lalu diinjak-injak seratus gajah yang mengamuk, sebab hancurlebur tak keruan.
Pohon-pohon besar bertumbangan, batangnya patah remuk atau pun seperti terpotong senjata yang amat tajam dan Goh Lung yakin bahwa "senjata tajam"
Itu tak lain adalah Golok Tanpa Wujudnya Kat Huyong.
Di tengah-tengah gelanggang hancur lebur itu, nampak Kat Hu-yong duduk terengah-engah di atas sebatang pohon yang roboh.
Mukanya pucat, ada beberapa titik darah di sudut bibirnya.
Telapak tangannya menekan dadanya.
Tetapi lawannya terkapar telungkup beberapa II langkah daripadanya, dengan sepasang luka dalam sejajar sepanjang punggungnya.
Goh Lung cepat-cepat melangkah mendekat dengan melompat-lompati pepohonan yang rebah, serunya.
"Kun-su!"
Kat Hu-yong menyeringai, mencoba tersenyum tetapi kemudian berubah menjadi seringai kesakitan. Katanya terengah-engah.
"Ko Ban-seng ini hebat juga. Seandainya pikirannya tidak terganggu memikirkan nasib muridnya, bisa-bisa yang kalian temui di sini bukan satu mayat, tetapi dua mayat. Kami seimbang benar."
"Luka Kun-su bagaimana?"
"Aku butuh istirahat paling tidak sepuluh hari. Sekarang, gendong aku pergi dari sini..."
Goh Lung menyerahkan obor yang dipegangnya kepada seorang anak buahnya, kemudian ia menyediakan punggungnya sendiri untuk menggendong Kat Hu-yong.
Untung Kat Hu-yong itu bertubuh kurus, jadi ringan, tidak jadi soal buat Goh Lung yang bertubuh kuat.
Dibawanya ke kuda, lalu dengan berboncengan II dengan Goh Lung meninggalkan tempat itu.
Tetapi Kat Hu-yong tiba-tiba berkata.
"Tunggu!"
"Ada apa, Kun-su?"
"Biar bagaimanapun, aku menghormati orang tua gendut itu sebagai sesama pendekar. Aku. tidak rela mayatnya dicabik-cabik binatang liar..."
Goh Lung langsung bisa menerka kelanjutan kata-kata Kun-sunya itu.
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tahu, Kun-su. Biar kedua anak buahku mengurus jenazah Guru Ko."
"Urus secara layak. Jangan seperti mengurus bangkai anjing atau kucing."
"Ya, Kun-su."
Goh Lung pun memberi perintah kepada kedua pengiringnya, lalu ia sendiri berkuda berdua bersama Kat Hu-yong yang terluka.
Biar dalam keadaan luka dalam yang lumayan berat, pikiran Kat Hu-yong tidak mau disuruh istirahat.
Ia begitu memikirkan rencana yang dirancangnya bersama-sama Pangeran Toh Sek-kun untuk menaklukkan Tiong-goan.
Karena itu, di atas kudanya pun ia berkata II kepada Goh Lung biarpun terengah-engah.
"Saat ini kaum Pelangi Kuning pasti sudah yakin adanya maksud dari pihak kita untuk merebut daratan tengah, kosongnya warung bakmimu ketika mereka gropyok, bagaimanapun pasti menimbulkan pemikiran mereka. Karena itu, kita harus melakukan tindakan-tindakan cepat untuk mendahului setiap persiapan pihak Pelangi Kuning..."
Kat Hu-yong terbatuk-batuk dan meludahkan segumpal kecil darah. Goh Lung menganjurkannya untuk jangan terlalu banyak berbicara dulu, tetapi Kat Hu-yong menyerocos terus.
"Goh Lung, kirim berita dengan cara yang paling cepat yang paling memungkinkan, untuk memberi kabar kepada Pangeran Toh Sek-kun, agar pasukannya bersiap-siap memasuki Sanhai-koan. Berita kedua untuk teman kita Jai Yong-wan di San-hai-koan, agar pengambilalihan San-hai-koan dilakukan secepatnya."
Hati Goh Lung menyala mendengar perintah itu.
"Baik, Kun-su. Inilah yang aku nantinantikan sejak dulu..."
II * * * Helian Kong dikurung di sebuah ruangan bawah tanah yang kokoh-kuat bangunannya dan juga orang-orang yang menjaganya.
Penjaga-penjaganya adalah jago-jago pilihan dari berbagai kelompok pasukan istana, tidak ada yang prajurit biasa.
Rupanya pihak istana sadar benar siapa yang dikurung di situ.
Helian Kong mendapat perlakuan baik, makanannya juga cukup baik, tidak dianiaya, tetapi ia gelisah bukan main.
Ia sudah berjanji kepada Bu Sam-kui dalam waktu 10 hari akan kembali ke San-hai-koan membawa Tan Wanwan.
Ternyata sekarang justru mengalami nasib seperti ini, dan tak terasa lima hari sudah lewat sejak janjinya kepada Bu Sam-kui itu.
Di dalam kurungannya, Helian Kong terus memutar otak mencari akal, juga berharap mudah-mudahan Bu Sam-kui takkan mengambil keputusan yang gegabah dengan memasukkan balatentara Manchu.
II Hari keenam, ketika Helian Kong baru saja menyelesaikan sarapannya, ia mendapat kunjungan tidak terduga, la melihat pengawalpengawal tempat itu bersikap hormat, mengiringi masuknya seorang puteri cantik yang melangkah dengan lembut.
Di selnya, seorang pengawal mem-beritahu Helian Kong dari sebelah luar terali besi.
"Kau mendapat kunjungan Puteri Tiang-ping!"
Helian Kong bangkit, dan melihat Puteri Tiang-ping sedang melangkah di lorong itu dengan langkahnya yang lembut.
Diiringi seorang dayang yang membawa sebuah keranjang rotan yang agaknya berisi makananmakanan.
Hati Helian Kong terkoyak hancur melihat puteri dari kaisar terakhir dinasti Beng itu.
Dulu, Puteri Tiang-ping pernah diramalkan seorang tabib yang mengatakan bahwa penyakitnya tak tersembuhkan, dan puteri itu takkan bisa melewat umur 20 tahun dan takkan boleh menikah.
Pernikahan akan mempercepat kematian nya, kata si Tabib.
Umur yang sudah II "dipatok"
Itulah yang membuat Puteri Tiangping mencurahkan sepenuh pikiran nya untuk kerajaan, dan salah satu "prestasinya"
Adalah membongkar komplotan mata-mata Pelangi Kuning di istana, bersama-sama dengan Helian Kong.
Helian Kong selalu merasa iba terhadap nasib puteri Kaisar Cong-ceng itu, dan sekarang ia lebih iba lagi melihatnya.
Puteri Tiang-ping melangkah perlahan di lorong sel itu, wajahnya masih secantik dulu, tetapi sekarang nampak pucat, bahkan kulit wajahnya seperti kehijauan, cahaya matanya murung dan tidak lagi bersemangat seperti dulu.
Yang paling menghancurkan hati Helian Kong ialah ketika melihat salah satu lengan baju dari pakaian yang dikenakan puteri itu melambai kosong, tidak ada isinya, karena lengannya pun buntung sebelah sebatas pundak.
Menurut cerita Ko Banseng, buntungnya Puteri Tiang-ping adalah oleh pedang Kaisar Cong-ceng sendiri, sebelum Sang Ayahanda menghabisi nyawanya sendiri dengan menggantung diri di Bukit Bwe-san.
II Tatapan mata Helian Kong seolah kabur melihat Puteri Tiang-ping terus mendekat.
Pandangan Helian Kong kabur karena matanya berlapis air.
Sementara, seorang penjaga dengan sikap hormat menghentikan Puteri Tiang-ping dan berkata.
"Maaf, Tuan Puteri, kami harus memeriksa keranjang rotan yang dibawa oleh dayang Tuan Puteri..."
Puteri Tiang-ping hanya mengangguk, dayangnya lalu menyerahkan keranjang rotan itu kepada penjaga untuk diperiksa isinya. Isinya memang hanya beberapa jenis makanan. Penjaga itu mengembalikannya kepada Si Dayang, dan berkata.
"Silakan, Tuan Puteri..."
Sementara seorang penjaga dengan sikap waspada terhadap Helian Kong, mulai membuka gembok terali besi itu. Helian Kong sendiri bersikap tidak memperuncing situasi. Pintu sel dibuka dengan suara yang keras, para penjaga pun mempersilakan.
"Silakan masuk, Tuan Puteri..."
II Puteri Tiang-ping melangkah masuk diiringi dayangnya yang juga sudah saling kenal dengan Helian Kong. Penjaga menutup dan merantai kembali pintu sel itu sambil berkata.
"Maaf, Tuan Puteri, karena tahanan yang seorang ini cukup berbahaya bagi kami, kami harus menutup pintunya selama Tuan Puteri berbicara dengannya..."
Sementara Helian Kong sudah berlutut memberi hormatnya.
"Salam hormat hamba, Tuan Puteri..."
Puteri Tiang-ping mengambil tempat duduk di pinggir pembaringan kayu kasar, satusatunya perabot di sel Helian Kong itu. Dayangnye berdiri di sebelahnya.
"Bangkitlah, Saudara Helian, aku bukan lagi seorang Tuan Puteri dinasti Beng. Keluargaku sudah musnah, bahkan Ayahandaku sendiri pernah menghendaki kematianku..."
Suara Puteri Tiang-ping begitu lembut dan terkendali, namun menimbulkan rasa haru Helian Kong. Helian Kong berdiri, suaranya agak tersendat.
"Jangan patah semangat, Tuan Puteri. II Separuh dari seluruh wilayah Tiong-goan, bagian selatan, masih sepenuhnya dikuasai oleh keluarga Tuan Puteri dan abdi-abdi dinasti yang setia. Yang termasuk keluarga Tuan Puteri, antara lain masih ada Pangeran Lou-ong yang berkedudukan di Siao-hin dan pasukannya menguasai seluruh Propinsi Ciat-kang, masih ada Pangeran Hok-ong di Lam-khia, Pangeran Tong-ong di Hok-kian dan Pangeran Kui-ong di Kui-sai. Empat pangeran dinasti Beng dengan pasukannya masing-masing yang kuat..."
Puteri Tiang-ping menarik napas saja mendengar kata-kata Helian Kong itu.
Ia bukannya tidak kenal watak dari pangeranpangeran yang diceritakan Helian Kong itu.
Kalau mereka punya kekuatan yang sama atau setidak-tidaknya hampir sama, Puteri Tiangping khawatir kalau mereka bukannya bersatu, tetapi malah cakar-cakaran..
Sementara Helian Kong menyerocos terus, berusaha membangkitkan semangat Puteri Tiang-ping.
"... masih ada Keluarga Bhok di Hunlam, Jenderal Su Ko-hoat di Yang-ciu, Jenderal II Thio Hian-tiong di Se-cuan yang terkenal dengan pasukan Thai-se-kunnya yang gagah perkasa, Jenderal Thio Hong-gan di Ciat-kang, Jenderal Li Teng-kok di Hun-lam, Jenderal The Seng-kong di Hok-kian yang juga mempunyai tentara laut yang berpangkalan di Pulau Taiwan. Dan hamba beri tahu, di wilayah utara ini pun masih banyak orang-orang kita yang terus berjuang, tidak menyerah..."
Namun wajah Puteri Tiang-ping tetap acuh tak acuh mendengar Helian Kong menyebutkan sederetan nama panglima militer dinasti Beng itu.
Pasalnya, Puteri Tiang-ping tahu kalau ayahandanya almarhum, Kaisar Cong-ceng, banyak melakukan tindakan yang menyakitkan hati kaum militer gara-gara hasutan para dorna semacam Co Hua-sun dan kawan-kawannya.
(Bersambung
Jilid XIII.) Sumber Image . Koh Awie Dermawan first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu 23/07/2018 16 . 38 PM II III ( Bagian II )
Jilid XIII Karya . STEVANUS S.P. pelukis . WIDODO Percetakan & Penerbit CV "G E M A"
Mertokusuman 761 RT 02 RW VII Tilpun 35801 - SOLO 57122 III III KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA 2 Karya . STEFANUS S.P.
Jilid XIII T indakan Kaisar Cong-ceng yang paling menyakitkan golongan militer, antara lain ialah ketika menghukum mati Jenderal Wan Cong-hoan, padahal jenderal itu baru saja membuat kemenangan gemilang dalam perang melawan bangsa Manchu di Liau-tong, bahkan Jenderal Wan Cong-hoan ketika itu berhasil menewaskan raja Manchu, Kaisar Thai-cong, dalam suatu serangan hebatnya.
Kemudian lagi, jenderal yang bernama Su Ko-hoat juga pernah hampir mati disuguhi arak beracun oleh Kaisar Cong-ceng, juga karena hasutan komplotan orang kebiri.
Jenderal Su Ko-hoat tidak jadi terbunuh, namun semenjak itu ia tidak pernah III mau menghadap ke Ibukota Pak-khia, dan bahkan tidak datang membantu ketika Pak-khia dalam keadaan gawat dan hampir jatuh ke tangan golongan Pelangi Kuning.
Teringat serangkaian kesalahan yang dibuat oleh mendiang ayahandanya terhadap golongan militer itulah yang membuat Puteri Tiang-ping tidak yakin kalau para jenderal Beng di selatan itu masih mau bersusah-payah memikirkan dinasti Beng.
Memang ada orang yang sesetia Helian Kong, tetapi berapa banyak yang seperti ini? Karena itulah Puteri Tiang-ping kemudian menarik napas dan berkata lirih.
"Saudara Helian, aku sedang tidak berselera membicarakan itu. Aku datang hanya untuk menengok kesehatanmu, sebab aku mendengar kau menyelundup ke istana ini dan tertangkap..."
"Terima kasih atas perhatian Tuan Puteri kepada hamba..."sahut Helian Kong masygul. Agaknya, puteri dinasti Beng ini selain membutuhkan kesembuhan tubuh, juga butuh III kesembuhan jiwa. Bagaimanapun, yang dialami oleh keluarganya selama ini terlalu dahsyat buat seorang gadis yang umurnya belum dua puluh tahun.
"Bagaimana dengan keadaan Tuanku Putera Mahkota Cu Sam? "Apakah sehat-sehat juga?"
"Dia sehat."
"Maksud hamba, bukan cuma tubuhnya, tetapi... apakah jiwanya tidak terguncang oleh kemelut yang baru-baru ini terjadi?"
Helian Kong tanyakan ini, sebab Putera Mahkota saat itu baru berusia sepuluh tahun, masih kanakkanak, jiwanya masih terlalu rapuh menahan keadaan sekitar sehebat saat itu.
"Secara keseluruhan dia baik. Masih agak nakal. Cuma kalau malam hari dia tidak berani tidur sendiri, minta ditemani aku. Dia juga sering menjerit kalau bermimpi buruk. Peristiwa mengerikan itu belum bisa terhapus sepenuhnya dari angan-angannya..."
Helian Kong agak prihatin.
Pangeran Cu Sam bisa menjadi pemersatu bangsawanbangsawan Beng di selatan yang dikhawatirkan III bersaingan itu, biarpun masih kanak-kanak namun tetap keturunan sah dinasti Beng.
Biarpun setidak-tidaknya hanya sebagai raja simbolis, seperti si Kaisar bocah Sun-ti di negeri Manchu.
Puteri Tiang-ping mengambil keranjang rotan berisi penganan-penganan itu dari tangan dayangnya, lalu disodorkannya kepada Helian Kong.
"Saudara Helian, aku sebagai wakil Keluarga Cu (keluarga yang memerintah dinasti Beng selama berabad-abad) menghargai kesetiaanmu kepada keluarga kami, Saudara Helian. Sayang, aku sudah bukan anggota keluarga penguasa istana ini, sehingga tidak bisa menolongmu dari kesulitan. Terimalah ini, tidak berarti tetapi sebagai tanda perhatian kami..."
Helian Kong menerima keranjang makanan dengan kedua tangannya, dalam sikap hormat.
"Terima kasih, Tuan Puteri. Bagaimana orangorangnya Li Cu-seng memperlakukan Tuan Puteri?"
III "Baik. Aku dan Adinda Cu Sam diperlakukan dengan baik, tanpa merendahkan martabat kebangsawanan kami. Dan ini karena pengaruh Puteri Kong-hui kepada Baginda Tiong-ong..."
Kini Helian Kong sudah tahu kalau yang disebut Puteri Kong-hui itu adalah Tan Wanwan. Hatinya bergetar mendengar Puteri Tiangping menyebut nama itu.
"Tuan Puteri, apakah Tuan Puteri masih mencintai negeri ini?"
Tiba-tiba saja Helian Kong bertanya. Puteri Tiang-ping menerawang jauh sambil menarik napas.
"Dinasti keluargaku yang sudah musnah?"
"Maksud hamba, pengertian yang lebih luas dari sekedar dinasti ini atau dinasti itu, tetapi tanah yang dipijak oleh jutaan orang bangsa Han, tak peduli apa pun benderanya. Tanah yang disebut Tiong-goan ini. Apakah Tuan Puteri rela melihatnya diinjak-injak orang Manchu?"
Kali ini ada sedikit cahaya di mata Puteri Tiang-ping yang semula muram terus itu, dan III ini memberikan sepercik harapan di hati Helian Kong.
"Tuan Puteri, tidakkah kita sadari bahwa sekarang ini negeri kita terancam serangan bangsa Manchu?"
"Ah, itu kan sejak dulu? Di jaman Ayahanda berkuasa dulu, orang-orang Manchu sudah memerangi kita, bahkan diam-diam menjalin kerjasama dengan Co Hua-sun."
"Benar, Tuan Puteri. Itu dulu. Sekarang ini, selagi negeri kita dalam keadaan belum seimbang benar karena pergantian pemerintahan di Pak-khia, orang Manchu mencapai puncak kegiatannya. Negeri bangsa Han ini betul-betul terancam. Apakah Tuan Puteri tahu, apa yang mendorong hamba sampai nekad menyelundup ke istana ini?"
"Pihak istana tidak mengatakan apa-apa kepadaku, kecuali tentang tertangkapnya Saudara Helian oleh mereka."
Helian Kong mulai menceritakan masalahnya, kesulitan pasukan di San-hai-koan, kepanikan Bu Sam-kui baik menghadapi situasi maupun setelah mendengar kabar tentang III diboyong-masuknya Tan Wan-wan ke istana, bujukan pihak Manchu, dan akhirnya janji Helian Kong kepada Bu Sam-kui.
Sikap acuh tak acuh Puteri Tiang-ping mencair.
Bagaimanapun juga, ia masih menyimpan kepedulian terhadap negerinya.
"Jadi Saudara Helian menjanjikan Tan Wan-wan kepada Bu Sam-kui agar Bu Sam-kui tidak terbujuk orang-orang Manchu?"
"Ya..."
Sahut Helian Kong penuh harapan menatap wajah Puteri Tiang-ping. Helian Kong rela membusuk di ruang sekapan asal San-haikoan bisa diselamatkan. Tak terduga wajah Puteri Tiang-ping menjadi cemberut.
"Saudara Helian, begitukah caranya kau memperlakukan seorang wanita? Hanya dianggap sebagai barang mati yang dipindah-tangankan seenaknya sendiri demi tercapainya tujuanmu sendiri?"
Helian Kong kaget.
Tak menyangka Puteri Tiang-ping menanggapi rencananya itu dari sudut pandangan yang sama sekali tidak terpikir oleh Helian Kong.
Sudut pandang setia III kawan sekaum, tidak peduli yang satu adalah bekas puteri dinasti Beng dan yang lainnya dari pihak yang meruntuhkan dinasti itu.
Beberapa saat Helian Kong jadi kelabakan menghadapi sikap Puteri Tiang-ping itu, sambil menggerutu dalam hatinya.
"Kedua perempuan ini sungguh aneh. Keduanya berdiri di pihak-pihak yang bermusuhan, dan bersungguh-sungguh hati dalam memperjuangkan pihaknya masingmasing, tetapi secara pribadi mereka saling membela dan saling melindungi. Betul-betul pusing aku..."
Akhirnya Helian Kong menemukan juga kata-katanya.
"Ampun Tuan Puteri, hamba ingatkan, bukankah Tan Wan-wan itu memang tunangan Bu Sam-kui? Bahkan dulu Sri Baginda almarhum dan Tuan Puteri sendiri ikut merestui. Apakah kalau hamba bawa seorang perempuan kepada tunangannya, itu dianggap merendahkan martabat kaum wanita dengan memindah-tangankan seenaknya?"
Puteri Tiang-ping menarik napas.
"Waktu itu keadaannya begitu khusus. Tindakan itu III harus diambil, agar Bu Sam-kui segera kembali ke San-hai-koan, menjaga bentengnya, sebab kalau tidak demikian dia akan terus keluyuran di Pak-khia mencari Tan Wan-wan. Dan aku bersyukur, saat itu Tan Wan-wan sendiri dengan sukarela mau dipertunangkan dengan Bu Sam-kui, meski aku tahu pasti tidak mencintainya. Dia mau, hanya demi kepentingan seluruh negeri, agar San-hai-koan segera dijaga kembali. Seorang wanita berpikiran seluas Tan Wan-wan, sungguh di antara kaum pria pun belum tentu terdapat satu dari sejuta..."
Kini Helian Kong dapat melihat samarsamar apa yang membuat Puteri Tiang-ping dan Tan Wan-wan yang sekarang bergelar Puteri Kong-hui, bisa bersahabat begitu erat.
Rupanya, keduanya diam-diam saling mengagumi dan saling membanggakan kehebatan kaum wanita yang bisa menjungkir-balikkan sejarah negeri Cina.
"Tuan Puteri, keadaan di San-hai-koan sekarang jauh lebih darurat dari keadaan di III Pak-khia dulu. Bu Sam-kui yang pendek akalnya itu bisa-bisa mengambil suatu keputusan yang membahayakan negeri. Mengundang balatentara Manchu masuk Tiong-goan..."
"Hanya Tan Wan-wan hadir di San-hai-koan yang bisa meredakan niat Bu Sam-kui?"
"Ya."
"Apakah Bu Sam-kui sudah demikian lembek, sehingga dalam keputusan yang amat penting pun tergantung seorang wanita?"
"Dengan berat hati hamba katakan, memang demikianlah keadaannya, Tuan Puteri. Hamba sendiri rasanya ingin memelintir kupingnya kuat-kuat, tapi... ya memang begitulah orangnya. Kita semuanya tahu."
"Maumu?"
"Bicarakanlah dengan Tuan Puteri Kong-hui, barangkali hatinya tergerak dan dia mau lagi pergi ke San-hai-koan untuk menenangkan kegelisahan Bu Sam-kui. Kalau bukan orangnya sendiri, mungkin sepucuk suratnya bisa mempengaruhi Bu Sam-kui..."
III "Kalau surat itu ternyata berisi anjuran Tan Wan-wan agar Bu Sam-kui menyerah kepada pihak Pelangi Kuning? Bagaimana? Ingat, Tan Wan-wan itu orang Pelangi Kuning lho."
Helian Kong terniangu-mangu sejenak, tidak bisa menjawab. Namun akhirnya menjawab juga.
"Sebagai orang yang setia kepada dinasti Beng, hamba tidak rela San-hai-koan direbut kaum Pelangi Kuning. Tetapi sebagai orang bangsa Han yang harus berpikiran luas di atas kepentingan golongan sendiri, rasanya hamba lebih rela San-hai-koan dikuasai kaum Pelangi Kuning daripada oleh orang asing, orang Manchu..."
"Aku akan berbicara dengan Tan Wan-wan."
"Tuan Puteri, hamba mohon jangan terlambat. Dalam mengikuti perkembangan di San-hai-koan, jangan memakai hitungan hari demi hari, tetapi detik demi detik. Setiap detik bisa saja Bu Sam-kui mengambil keputusan gila itu, karena otaknya sedang dikacau oleh arak dan bayangan Tan Wan-wan."
"Usulmu aku perhatikan."
III Puteri Tiang-ping masih bercakap-cakap beberapa saat dengan Helian Kong, dan Helian Kong kagum menyaksikan betapa dalam setiap kata-kata maupun sikapnya, tidak ada sedikit pun kesan kasihan kepada diri sendiri pada diri Puteri Tiang-ping.
Padahal, puteri itu memiliki alasan untuk beriba diri.
Keluarganya yang runtuh, tangannya yang buntung, keadaannya sebagai tawanan, biarpun "tawanan elite".
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketegaran wanita muda di depannya itu mengingatkan Helian Kong pada seorang wanita lainnya.
Tan Wan-wan.
"Kesamaan inilah yang barangkali mengakrabkan mereka. Benar kalau ia katakan, di antara kaum lelaki pun jarang ditemukan pribadi-pribadi setegar itu. Padahal mereka bukan jago-jago silat. Kenyataannya malah banyak lelaki jago silat yang lebih cengeng dari kedua perempuan ini."
Setelah bercakap-cakap agak lama dengan Helian Kong, Puteri Tiang-ping meninggalkan sel itu.
Sebelum pergi, sekali lagi Helian Kong III mengingatkannya untuk berbicara dengan Tan Wan-wan.
Setelah Puteri Tiang-ping pergi, entah dorongan apa yang membuat Helian Kong berkata kepada pengawal-pengawal Pelangi Kuning di luar terali besi selnya.
"Aku gembira melihat kalian memperlakukan Puteri Tiangping dengan hormat. Terima kasih."
Pengawal-pengawal di luar sel itu tercengang sejenak, namun seorang pengawal berjenggot pendek menjawabnya ramah pula.
"Kami mengagumi ketegarannya. Ia seperti Puteri Kong-hui kami..."
Ternyata pengawal itu pun melihat kesamaan antara Puteri Tiang-ping dan Tan Wan-wan, sama seperti Helian Kong. Sementara seorang pengawal yang lebih muda dan bermata tajam menyambung.
"Kami, prajurit-prajurit didikan Jenderal Li Giam, menghargai orang-orang berpribadi seperti itu, entah lelaki entah perempuan."
"Kalian didikan Jenderal Li Giam?"
"Ya."
III "Kenapa kalian tidak ikut Jenderal Li Giam ke wilayah barat?"
"Karena kami terpilih menjadi prajuritprajurit istana, jadi harus berada di istana. Mau kacang goreng?"
Sepiring kacang goreng disodorkan dari luar terali, dan Helian Kong yang di dalam pun menerimanya.
Begitulah, lewat beberapa patah kata, kacang goreng, mereka pun jadi akrab.
Semangat persahabatan Puteri Tiang-ping dan Puteri Kong-hui menular kepada mereka.
Tetapi entah seandainya mereka bertemu di medan laga.
Sementara itu, Puteri Tiang-ping mengikuti anjuran Helian Kong, tidak "berhitung hari demi hari"
Melainkan "detik demi detik".
Meninggalkan sel Helian Kong, ia langsung menemui Tan Wan-wan alias Puteri Kong-hui di bangsalnya, dengan kolam-kolamnya dan pemandangan alam buatannya yang bermodel wilayah Soh-ciu.
Itulah bangsal hadiah dari almarhum Kaisar Cong-ceng, Ayahanda Puteri III Tiang-ping, ketika tergila-gila kepada Tan Wanwan dulu.
Ketika Puteri Tiang-ping melangkah menemui Tan Wan-wan, Tan Wan-wan sedang dipinggir kolam, menebar-nebarkan makanan ikan.
Wajahnya nampak kurang gembira.
Dayangnya mengiringinya dari jarak agak jauh.
Tetapi begitu melihat Puteri Tiang-ping melangkah mendekat, anggun, biarpun sebelah lengannya buntung sebatas pundak, Tan Wanwan menyongsongnya dengan senyuman.
"Adik Ping..."
Puteri Tiang-ping mencoba membawakan sikap tahu diri, kalau dulu Tan Wan-wan adalah tamu di istana ini, sekarang Puteri Tiang-ping lah yang jadi tamu di situ. Maka Puteri Tiangping lalu menekuk sebelah lututnya, hendak berlutut, sambil berkata.
"Tuan Puteri Konghui..."
Tetapi ia gagal berlutut sebab Tan Wan-wan cepat memeluk pundaknya dengan lembut.
"Jangan begitu, Adik Ping. Dunia di luar istana ini boleh jungkir-balik seribu kali, kita juga III tidak terhindari dari kewajiban kita masingmasing, tetapi itu semua jangan sampai mempengaruhi hubungan kita yang sudah seperti saudara kandung."
Puteri Tiang-ping sudah bertekad akan membicarakan situasi gawat di San-hai-koan, tetapi tidak akan menyebut nama Helian Kong sama sekali.
Puteri Tiang-ping tahu antara Helian Kong dan Tan Wan-wan ada hubungan istimewa di masa lalu, dan ia tidak akan mengungkit-ungkit itu.
Tetapi entah Tan Wanwan sudah tahu apa belum kalau Helian Kong berada di istana sebagai tawanan? "Tuan Puteri Kong-hui..."
"Adik Ping, aku mohon, panggil aku Cici Wan-wan seperti dulu. Aku akan sangat sedih kalau permintaanku yang ini tidak kau turuti..."
"Tetapi semua orang di istana ini memanggilmu Puteri Kong-hui, juga Kaisar..."
"Kita boleh tidak pedulikan mereka. Aku rindu, mendengar orang memanggil namaku sebenarnya, dengan akrab dan hangat."
"Baiklah, Kakak Wan..."
III "Nah, begitu."
"Dari kejauhan tadi kulihat Kakak Wan murung, ada apa?"
"Tidak apa-apa, aku hanya bosan di istana ini. Ingin melihat keadaan di luar dinding istana, tetapi ternyata tidak semudah dulu. Ada peraturannya, harus memakai tandu, harus membawa pengawal, harus ini, harus itu..."
Puteri Tiang-ping tersenyum. Perasaan seperti itu juga sering melandanya juga dulu. Sehingga sebagai puteri istana, ia sering diamdiam menyelundup keluar istana.
"Apakah istana ini kurang bagus?"
"Terlalu bagus malah. Saking bagusnya hingga memisahkan aku dari kenyataan yang ingin aku lihat."
"Kenyataan apa? Bukankah... golongan yang Kakak Wan perjuangkan sudah memenangkan perang?"
"Adik Ping, dulu aku mempertaruhkan nyawa sampai menyelundup ke istana ini, tujuanku bukan sekedar kemenangan golonganku, sehingga golonganku III menggantikan memerintah negeri in? Bukan itu. Tetapi aku ingin melihat perbaikan kehidupan rakyat kecil. Dan kehidupan rakyat kecil tidak kelihatan dari istana ini, dindingnya terlalu tinggi..."
"Dulu Kakak Wan di luar istana..."
"Ya. Sebelum kaki-tangan Jenderal Gu memergoki tempat sembunyiku bersama keluarga Siangkoan. Ketika itu aku merasa seperti ikan dalam air, sehari-hari bisa melihat kehidupan orang-orang kecil dan melaporkannya ke istana melalui Saudara Yo Kian-hi dan Jenderal Li Giam..."
Puteri Tiang-ping merasa mendapat kesempatan sedikit untuk menyodorkan masalah yang dibawanya.
"Kakak Wan tahu situasi di luaran sekarang?"
"Hanya samar-samar."
"Situasi San-hai-koan?"
Hati Tan Wan-wan berdebar.
Ingat San-haikoan, ia ingat pula panglimanya yang bernama Bu Sam-kui dan tergila-gila kepada Tan Wanwan, dan akhirnya dipertunangkan dengan Tan III Wan-wan tetapi Tan Wan-wan sama sekali tidak mencintainya, hanya kasihan.
Sekarang kenapa tiba-tiba Puteri Tiang-ping menyebutnya? Puteri Tiang-ping menatap Tan Wan-wan, tanpa diminta dia menceritakan keadaan Sanhai-koan seperti yang didengarnya dari Helian Kong.
Wajah Tan Wan-wan berubah-ubah mendengarnya, dan ia balas menatap Puteri Tiang-ping tajam-tajam.
"Adik Ping, aku kira kau terus berkurung di bangsalmu, ternyata kau mengetahui perkembangan di luaran seteliti itu. Darimana kau mendengarnya?"
"Pokoknya dari seseorang yang bisa aku percaya."
Tan Wan-wan tiba-tiba tertawa sambil mengkitik rusuk Puteri Tiang-ping sehingga Puteri Tiang-ping menggeliat geli. Kata Tan Wan-wan.
"Ayolah, Adik Ping. Atau aku harus mengerahkan orang-orangku untuk membongkar jaringan mata-matamu di istana ini, sebagai pembalasan karena dulu kau bongkar jaringanku? Ayo, katakan tidak?"
III Puteri Tiang-ping tertawa geli, dan untuk sejenak kemurungannya pun mencair. Sahutnya di antara tertawanya.
"Aku tidak punya jaringan mata-mata, aku hanya tahu ini dari seorang yang paling kupercayai..."
Puteri Tiang-ping ingin bertahan tidak menyebut nama Helian Kong, tetapi Tan Wanwan malah yang menyebutnya lebih dulu.
"Helian Kong, ya?"
Puteri Tiang-ping tercengang. Tan Wan-wan terus berkata dengan suara datar tanpa kelihatan lonjakan emosinya.
"Aku sudah mendengar dari para pengawal bahwa beberapa malam yang lalu Helian Kong menyusup ke istana ini, dan tertangkap. Aku juga sudah dengar dari Guru Ko. Dan aku tahu siang ini Adik Ping mengunjunginya di ruang tahanan..."
"Wah, ternyata Kakak Wan yang mematamatai aku."
"Benar Helian Kong, bukan?"
"Benar."
III "Aku juga sudah mendengar dari Guru Ko tentang jalan keluar yang diusulkan Helian Kong, yaitu agar aku ke San-hai-koan untuk mempengaruhi dan menenangkan Bu Samkui..."
Puteri Tiang-ping datang menemui Tan Wan-wan untuk membicarakan soal itu, tak terduga agaknya Tan Wan-wan sudah mengetahui semuanya lebih dulu.
"Jadi, Kakak Wan sudah tahu?"
"Jangan lupa. Aku dulu mata-mata Pelangi Kuning paling hebat."
"Paling hebat kok terbongkar olehku, dan oleh Helian Kong? Jadi siapa yang lebih hebat?"
Tan Wan-wan tertawa, senang melihat kemurungan Puteri Tiang-ping "mencair". Ingat masa lalu, ketika istana itu menjadi arena "kucing-kucingan"
Antara Tan Wan-wan dan orang-orangnya melawan Puteri Tiang-ping dan orang-orangnya juga. Puteri Tiang-ping memang merasa gembira, tetapi ia ingin kembali ke persoalannya.
"Kakak III Wan, menghadapi situasi gawat di San-hai-koan, apa yang dilakukan... Kaisar...?"
"Coba mengorek keterangan ya?"
Tan Wanwan masih berkelakar.
"Ya, karena aku tidak akan tenteram tidur sebelum tahu keadaannya."
Sesaat Tan Wan-wan jadi merasa serba salah.
Kalau ia tidak memberi tahu Puteri Tiangping, ia khawatir Puteri Tiang-ping akan tersinggung dan kembali jadi murung, padahal Tan Wan-wan baru saja mulai lega melihat Puteri Tiang-ping sudah bisa tertawa dan berkelakar.
Tetapi kalau diberitahu, Tan Wanwan terhalang kenyataan bahwa bagaimanapun Puteri Tiang-ping adalah keturunan dinasti Beng, sedang Bu Sam-kui juga seorang panglima yang masih setia mengibarkan bendera dinasti Beng di bentengnya, bagaimana kalau Puteri Tiang-ping menyelundupkan keterangan itu sampai ke luar istana, dan menggagalkan tugas yang dibebankan Kaisar Tiong-ong ke pundak Ko Ban-seng? III Puteri Tiang-ping agaknya dapat menebak apa yang merisaukan hati Tan Wan-wan.
"Kakak Wan, khawatir aku menyelamatkan Bu Sam-kui dan menggagalkan suatu rencana dari pihakmu atas diri Bu Sam-kui? Dengan membocorkan apa yang aku dengar darimu?"
"Adik Ping, setujukah kau jika San-hai-koan diserahkan oleh Bu Sam-kui kepada orang Manchu?"
"Kakak Wan, biarpun Jenderal Bu itu adalah orang dari pihakku, sudah tentu aku akan menolak mentah-mentah tindakannya yang semacam itu kalau dia lakukan."
Meski sudah mendengar kata-kata Puteri Tiang-ping seperti itu, Tan Wan-wan masih ragu-ragu untuk berterus terang.
Tatapannya menatap jauh ke bunga-bunga teratai yang terapung-apung di tengah-tengah kolam, dan angsa-angsa biru yang berenang hilir-mudik di antara bunga-bunga teratai.
Akhirnya Puteri Tiang-ping yang mengalah.
"Baiklah, Kakak Wan. Kalau yang aku tanyakan ini menyangkut rahasia yang penting dari III pihakmu, aku bisa mengerti kalau kau tidak mau memberitahukannya kepadaku. Aku cabut pertanyaanku."
"Terima kasih atas pengertianmu, Adik Ping. Aku benar-benar merasa punya sahabat sejati yang mau mengerti kesulitanku."
Puteri Tiang-ping mengangguk sambil tersenyum. Sementara Tan Wan-wan berkata pula.
"Pihak kami akan memperlakukan Jenderal Bu Sam-kui sebijaksana mungkin..."
Puteri Tiang-ping mendapat kesempatan untuk menggoda Tan Wan-wan.
"Kenapa Kakak Wan katakan itu padaku, seolah-olah aku mencemaskan keselamatan Jenderal Bu? Kakaklah yang lebih pantas mencemaskannya, sebab Kakak adalah tunangannya...aduh!"
Puteri Tiang-pirig mengaduh karena dicubit keras oleh Tan Wan-wan. Mereka sebenarnya masih ingin bercakapcakap lebih lama, tetapi seorang dayang Tan Wan-wan datang berlutut dan berkata.
"Tuan III Puteri Kong-hui, ada panggilan dari Baginda agar menghadap di Bangsal Tiong-cun..."
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin Setan Harpa -- Khu Lung/Tjan Id