Kembang Jelita Peruntuh Tahta 9
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP Bagian 9
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya dari Stevanus SP
Sikap dan sorot mata mereka meyakinkan, dan senjata-senjata aneh mereka "menjanjikan"
Bahwa Yim Mo akan menjumpai perlawanan berat, tak akan bisa menyelesaikan urusannya segampang omong besarnya.
Kongsun Koan yang belum tahu kelebihan perwira-perwira bawahan Helian Kong itu, merasa perlu untuk memberi peringatan V kepada teman-temannya.
"Kawan-kawan, Tuan Yim ini tadi bersembunyi dalam sebuah guci arak..."
Itulah peringatan akan kelihaian Yim Mo. Lalu Kongsun Koan sendiri menghunus pedang besarnya, yang dipegangi dengan dua tangan. Toh ia masih mencobakan suatu tawaran kepada Yim Mo.
"Tuan Yim, sebenarnya kita tidak perlu sampai baku hantam seandainya Tuan tidak bersikeras dengan kemauan Tuan sendiri. Bagaimanapun, pihak kami dan pihak Tuan saat ini masih dalam ikatan persekutuan..."
Meski tekadnya mulai guncang, Yim Mo terlalu angkuh untuk mundur begitu saja. Jawabnya.
"Perwira Kongsun, kalau kau sebut kami sekutumu, apa keberatanmu mengajak aku melihat-lihat pasukanmu di pegunungan?"
"Kita bersekutu, tetapi kita punya rahasia masing-masing. Persekutuan kita tidak tulus, itu kenyataan yang harus kita akui blak-blakan..."
Sahut Kongsun Koan lugas.
"Kita hanya saling V memanfaatkan, dan setelah itu, entah apa yang terjadi..."
"Perwira Kongsun, kami datang membantu dengan tulus..."
"Butuh waktu untuk mempercayai omongan itu, Tuan Yim."
"Itukah yang kau dapatkan dari hasil pembicaraanmu dengan Jenderal Bu?"
Kongsun Koan terkesiap, menjawab terangterangan bisa menyulitkan kedudukan temantemannya di San-hai-koan, maka jawabannya samar-samar saja.
"Itu perkara yang wajar, Tuan Yim. Menyembuhkan luka-luka batin setelah permusuhan yang lama itu butuh waktu, Tuan Yim..."
"Jadi, keinginanku untuk melihat-lihat pasukanmu di pegunungan..."
"Dengan menyesal kami belum bisa menyambutmu saat ini, Tuan Yim. Lain kali barangkali kami akan mengundangmu dan menyiapkan penyambutan yang penuh kehormatan..."
"Kalian belum tahu kekuatanku rupanya."
V "Kami ingin mengetahuinya..."
Yang menjawab adalah Kwe Peng-hui.
Percakapan antara Kongsun Koan dan Yim Mo tadi tidak sepenuhnya dimengertinya, tetapi perkataan terakhir Yim Mo tadi amat dimengertinya, membuat Kwe Peng-hui jemu melihat kesombongan orang Manchu ini dan menjawabnya dengan keras.
Tidak peduli Kongsun Koan tadi memperingatkan bahwa orang Manchu ini "bisa masuk ke dalam guci"
Tetapi Kwe Perig-hui dan kawan-kawannya gatal tangan ingin menjajalnya.
Yim Mo terbakar hatinya, tiba-tiba ia menggeram dan melompat menerkam Kwe Peng-hui.
Kedua telapak tangannya dalam bentuk cakar siap menerkam lengan-lengan Kwe Peng-hui untuk dirobeknya.
la amat remehkan Kwe Peng-hui sebab orang-orang militer begini biasanya hanya pandai ketrampilan kemiliteran biasa.
Kwe Peng-hui memang kaget, namun untung sudah waspada sejak semula.
Biarpun agak terlambat, ia hantamkan kedua martil baja V Yim Mo terbakar hatinya, tiba-tiba ia menggeram dan melompat menerkam Kwe Peng-bui.
Kedua telapak tangarrrya dalam bentuk cakar siap menerkam lengan-lengan Kwe Peng-bui untuk dirobeknya.
V nya berbarengan ke wajah Yim Mo.
Gerakannya memang tidak tepat benar sesuai dengan keperluan, dari segi pandangan ahli silat kelas wahid jelas banyak kekurangannya, tapi kenekadan dan nyalinya yang besar memang sesuatu yang patut diperhitungkan tersendiri oleh Yim Mo.
Yim Mo menyelinap licin ke samping bagaikan belut, sebelah cakarnya tetap bisa menggores lengan bagian atas Kwe Peng-hui.
Kwe Peng-hui mendesis pedih, namun mengertak gigi dan memutar tubuh ke samping sambil menghantamkan sepasang martil bajanya sekaligus.
Tetapi cuma menghantam angin sebab ternyata Yim Mo sudah "pindah alamat"
Lagi dengan cepat, tetapi tumit Yim Mo membentur paha Kwe Peng-hui amat keras sehingga perwira itu jatuh terguling.
Yim Mo susulkan satu injakan ke arah leher Kwe Peng-hui yang belum sempat bangkit, tetapi seorang perwira bersenjata pentung besi menerjangnya dengan berani.
Pentungnya terayun mendatar ke tengkuk Yim Mo.
Terpaksa V Yim Mo menunduk menghindar dan membatalkan serangannya kepada Kwe Penghui, malahan Kwe Peng-hui melihat suatu kesempatan dan coba menghantam jempol kaki Yim Mo dengan martilnya.
Yim Mo melompat pendek untuk menghindarinya.
Kongsun Koan tidak membiarkan rekanrekannya memeras keringat sendirian.
Biarpun rasa lelah.
dan hausnya saat itu belum terobati, ia masuk ke gelanggang dan pedang besarnya pun menyapu Yim Mo.
Begitulah, Yim Mo harus menghadapi tujuh orang lawan.
Tujuh orang milliter yang tadinya dipandangnya remeh, dan ternyata sekarang meskipun cara bertempur mereka kasar, ternyata cukup merepotkan Yim Mo.
Ternyata pula mereka tidak bertempur serabutan, melainkan mampu saling bekerja sama meski dengan perhitungan-perhitungan sederhana.
Mereka tidak mau bergerak serampangan, melainkan benarrbenar mengintai kalau ada kesempatan ataupun kalau kawan mereka terancam bahaya.
Gerakan mereka kadang V kasar dan serabutan, tapi tidak bisa diremehkan.
Yang bersenjata jala berduri itu sikapnya juga menggemaskan Yim Mo.
Ia tidak ikut sibuk di tengah gelanggang, melainkan hanya mengawasi di pinggir gelanggang, gayanya yang setengah membungkuk dan caranya memegangi jala itu tak ubahnya penangkap ikan di tepian yang mengawasi ke air.
"Jadi aku ini dianggapnya ikan..."
Kutuk Yim Mo dalam hatinya.
Tetapi jala itu harus diwaspadai juga, sering Yim Mo harus menunduk atau berguling untuk menyelamatkan kepalanya dari jaring.
Tujuh perwira dengan tujuh gaya bertempur, yang meskipun saling mengisinya tidak serasi betul tetapi lumayan juga.
Mereka tidak tergesa-gesa dan memboros-boroskan tenaga.
Paling banyak hanya tiga orang yang berhadapan langsung dengan Yim Mo dan sisanya mengawasi di sekitarnya dan cepatcepat "menambal"
Kalau kepungannya bocor.
Mereka masuk dan keluar gelanggang V bergantian, tidak mau saling berdesakan dengan teman-teman mereka di gelanggang yang sempit itu.
Dengan cara itu, ternyata Yim Mo harus memeras tenaga.
Tetapi tujuh orang perwira itu pun mau tidak mau mengagumi Yim Mo.
Dikeroyok tujuh, tetap saja senjata-senjata ketujuh perwira itu tak dapat menyentuh Yim Mo.
Yim Mo begitu lincah, licin, kelenturan tubuhnya luar biasa sehingga ujung senjata yang hampir mengenainya sering bisa dielakkan dengan liukan tubuhnya yang seperti ular.
Dan dengan tangan kosong pun Yim Mo tetap berbahaya, cakar-cakar tangannya tidak cuma bisa merobek kulit dan daging tetapi juga meremukkan tulang.
Terbukti ketika tangan itu mengenai sebatang pohon, maka serpihan kayu beterbangan muncrat dari pepohonan itu.
Suatu kali Yim Mo habis kesabarannya, ia meraih ke pinggangnya, melolos sehelai cambuk kulit beranyam tiga lembar yang sekujur cambuknya dipenuhi paku-paku logam yang V direndam racun.
Cambuk itu panjangnya dua meter lebih.
Begitulah ia sekarang bersenjata.
"Hati-hati..."Kongsun Koan memperingatkan kawan-kawannya. Dengan senjata di tangannya, Yim Mo memang meningkat kegarangannya. Setidaktidaknya, jangkauan serangannya jadi bertambah dua meter, diperpanjang oleh cambuk itu. Dengan keahliannya bermain cambuk, Yim Mo seolah-olah menjadikan cambuk itu menjadi puluhan helai yang menggeletar simpang-siur memenuhi udara gelanggang, kadang-kadang terdengar ledakannya yang memenuhi gelanggang. Puluhan jurus kemudian, mulai terasa kesulitan di pihak para perwira. Biarpun mereka, terutama perwira-perwira bawahan Helian Kong, pernah mendapat petunjuk dan polesan teknik silat dari Helian Kong, namun tentu saja yang mereka peroleh tidak seperti kalau menjadi murid sebuah perguruan. Pada dasarnya memang mereka adalah orang-orang militer yang tidak mendalam perihal V pertarungan perorangan, apalagi ilmu silat tingkat tinggi. Menghadapi cambuk lemas Yim Mo yang berkelebatan melejit ke sana ke mari bersama dengan gerak tubuh Yim Mo sendiri yang selicin belut, mereka kebingungan, kehilangan arah. Mereka saling berteriak memperingatkan teman-teman mereka. Selain itu, senjata-senjata mereka juga tidak tahu harus dibagaimanakan dalam menghadapi cambuk yang lemas itu. Mereka tahunya kalau menghadapi golok, pedang atau tombak. Beberapa kali nyaris terjadi serangan para perwira itu mengenai teman sendiri. Sekarang Yim Mo bisa tertawa terbahakbahak, membayangkan kemenangannya sudah di depan mata. Sambil tertawa, gerakannya tidak bertambah lamban melainkan bertambah cepat. Dan ketujuh orang lawannya makin kedodoran. Tidak peduli mereka saling berteriak ini-itu. Bagaimanapun, mereka memang bukan anggota-anggota dari suatu formasi silat gabungan semacam Jit-seng-tin V (formasi Tujuh Bintang) atau Lo-han-tin (formasi Arhat) di kalangan persilatan. Anggota-anggota formasi macam itu berlatih bersama setiap saat, dan masing-masing melatih bagiannya sendiri, juga, bergerak berdasar prinsip-prinsip tertentu yang diterjemahkan ke dalam gerak-gerak menyerang dan bertahan. Sedang ketujuh perwira itu hanya sekedar bertempur bersama dan main keroyok saja meskipun ada juga perhitungannya, tetapi masing-masing punya perhitungan sendiri-sendiri yang kadangkadang kurang kelop dengan perhitungan kawan-kawannya sendiri. Tak lama kemudian, cambuk Yim Mo berhasil melibat dan merampas pedang seorang teman Kwe Peng-hui, sekaligus kakinya menyapu kaki perwira itu sehingga si perwira terpental rubuh. Meskipun si perwira kemudian menggulingkan diri menjauhi Yim Mo, tetapi posisinya tetap berbahaya sebab Yim Mo mengejarnya dan kelihatannya tidak ingin melepaskannya. Sedang kawan-kawan yang lain V tidak sedang dalam posisi yang baik untuk menolong.
"Mampus kau!"
Yim Mo menubruk bagaikan kilat sambil hendak menginjakkan kakinya ke ubun-ubun calon korbannya.
Ketika itulah Yim Mo tiba-tiba merasa urat di belakang lututnya sakit seperti digigit semut.
Gerak lompatannya jadi kagok setengah jalan, sehingga terhuyung-huyung.
Hanya sepersekian detik, tetapi cukup memberi kesempatan bagi perwira sasarannya itu untuk melompat bangun dan selamat dari injakan maut Yim Mo.
Yim Mo menggeram gusar dan memperhebat serangan kepada lawan-lawanya.
Tentang rasa sakit di urat belakang lutut yang sering disebut Urat Hoan-tiau, yang baru saja dialaminya, Yim Mo belum begitu ambil pusing.
Belum sampai timbul pikiran kalau dirinya dijaili orang dari luar gelanggang, sesuatu yang patut diperhitungkan di kalangan para jagoan.
Beberapa saat kemudian, seorang perwira yang bersenjata siang-khek sepasang tombak pendek, mengeluh dan terhuyung-huyung sebab V punggungnya kena ujung cambuk Yim Mo dan kulitnya robek, lebih gawat lagi karena darah yang mengalir dari luka itu tidak banyak, melainkan kulit di sekitar mulut luka langsung berbintik-bintik kecil.
"Saudara Gun, tinggalkan arena dan obati lukamu! Cambuknya beracun!"
Teriak Kwe Peng-hui.
la sendiri dengan sepasang martil bajanya, bersama seorang perwira lain yang bersenjata pentung besi, menghadang Yim Mo agar tidak memburu si perwira yang terluka.
Sementara si perwira Gun sudah melangkah terhuyung keluar arena dan di-songsongnya prajurit-prajuritnya yang langsung mengobatinya.
Yim Mo semakin congkak sehingga dia pun berteriak.
"Perwira-perwira tolol, tidak ada pilihan lain buat kalian kecuali seperti yang kuinginkan, mengajak aku melihat-lihat pasukan kalian di pegunungan!"
Para perwira tidak menjawab, melainkan terus bertempur dengan gigih.
Dalam diri para perwira itu terbayang, seandainya Helian Kong V sudah kembali ke pasukannya, rasanya tidak keberatan mengajak Yim Mo ke pasukan di pegunungan, biar seperti "ular ketemu gebuk".
Tetapi susahnya, sampai saat itu Helian Kong belum kembali ke pasukannya dan entah di mana.
Kini tanpa Helian Kong, mereka harus menggabungkan kekuatan menghadapi Yim Mo yang amat tangguh itu, itu pun seorang teman mereka sudah menjadi korban Yim Mo.
Tetapi Yim Mo sendiri, baru saja omong besar, tiba-tiba kembali merasa belakang lututnya "digigit semut"
Bahkan kali ini keduaduanya, kiri dan kanan sekaligus. Tiba-tiba saja ia jatuh berlutut pada kedua lututnya, meskipun terkejut dan segera melompat kembali, tetapi Yim Mo mulai curiga ada yang "ikut bermain"
Dari luar gelanggang.
Untung selagi ia jatuh tadi, lawan-lawannya sedang tidak siap memanfaatkan kesempatan yang hanya sedetik itu.
la celingukan, sementara Kongsun Koan telah menyapu dengan pedang besarnya.
Yim V Mo melompat berjungkir-balik, bersalto menghindarinya.
Tiba di luar gelanggang, ia menoleh celingukan ke kegelapan di sekitarnya, dan berteriak.
"Jahanam pengecut dari mana yang mencoba main gila denganku?!"
Sikap Yim Mo itu mengherankan para lawan-lawannya, mereka tidak tahu apa yang terjadi. Mereka memang heran melihat Yim Mo tadi tiba-tiba berlutut sedetik, dan mereka kira itu adalah salah satu "jurus"
Yim Mo.
Sekarang setelah melihat Yim Mo mencak-mencak, barulah mereka tahu bahwa ternyata Yim Mo ada yang menjailinya.
Para perwira pun menghentikan serangan dan ikut celingukan, mencoba menembus kegelapan mata dengan pandangan mereka.
Suatu harapan yang sama mengembang di hati mereka, tanpa berjanji satu sama lain, mereka teringat satu orang, Helian Kong.
Kwe Peng-huilah yang pertama bersuara.
"Komandan Heliankah itu?"
Kegelapan di sekitar arena itu tetap membisu tidak ada jawaban daripadanya.
V Hanya suara serangga-serangga malam yang menjawabnya.
Hati Yim Mo tergetar.
Betapapun congkaknya dia, nama besar Helian Kong menggetarkannya juga.
Tetapi di hadapan para perwira, ia tidak menunjukkan ketakutannya karena malu, bahkan sikapnya bertambah garang.
"Helian Kong! Kalau benar ini perbuatanmu, sungguh tidak sesuai dengan nama besarmu, beranimu hanya menyerang secara gelap!"
Tetap tidak ada jawaban. Yim Mo heran kalau benar Helian Kong yang melakukan "gangguan"
Tadi, apakah ia rela diejek tanpa membalas di hadapan anak buahnya sendiri dengan tetap bersembunyi tanpa menjawab? Kalau bukan Helian Kong, lalu siapa yang mampu berbuat demikian? Para perwira juga tidak kalah herannya.
Kalau benar Helian Kong sudah datang, kenapa tidak langsung muncul, terjun ke gelanggang dan ikut meringkus si Manchu yang congkak ini? Atau V bahkan Helian Kong akan melakukannya seorang diri tanpa dibantu siapa-siapa.
Tetapi suasana tetap sunyi saja.
Yim Mo mengawasi setiap gerumbul semak belukar, setiap batu besar, setiap bagian pohon-pohon rimbun.
Yim Mo menggeram kesal, namun ia benarbenar tidak berani melanjutkan rencananya, la lalu mengejek.
"Baik, aku akan pulang ke Sanhai-koan dan membatalkan rencanaku. Bukan karena takut, melainkan karena Helian Kong yang termasyhur itu ternyata cuma pengecut tukang menyergap orang dari kegelapan. Aku tidak mau mati konyol. Tetapi kalau Helian Kong berani keluar dari sarangnya, aku akan meladeninya sepuluh ribu jurus!"
Besar bicaranya, toh diucapkannya sambil melangkah pergi.
Tidak benar-benar menunggu "munculnya Helian Kong".
Setelah Yim Mo pergi jauh, Kwe Peng-hui dan kawan-kawannya pun masih celingukan sambil memanggil-manggil Helian Kong.
V Tiba-tiba dari arah sebuah pohon yang tidak jauh dari arena pertempuran tadi, terdengar suara gemerasak yang membuat Kwe Peng-hui dan kawan-kawannya serempak menoleh dengan kaget.
Mereka melihat sesosok bayangan melompat pergi, tadinya agaknya orang itu bersembunyi di atas pohon di balik dedaunan, dan sekarang ia tinggalkan tempat persembunyiannya dengan gerak cepat bagaikan burung terbang.
Dalam waktu sekejap ia sudah lenyap dalam kegelapan malam.
Sekilas Kongsun Koan dan lain-lainnya hanya sempat melihat kalau orang itu rambutnya dikuncir panjang.
Dandanan rambut orang Manchu.
"Dia bukan Panglima Helian!"
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kongsun Koan jadi teringat seorang perwira Manchu yang bernama Sek Hong-hua, yang sikapnya agak lain sendiri.
Kongsun Koan ingat kehebatan perwira itu yang mampu menjepit pedang besarnya hanya dengan sepasang telapak tangannya, dan dalam pembicaraan juga V disegani oleh siapa pun termasuk Yim Mo yang angkuh itu.
Orang itukah yang baru saja melompat pergi itu? Kongsun Koan hanya menyimpan dugaannya dalam hati.
* ** Jenderal Lau Cong-bin menarik sisa pasukannya yang tinggal separuh dari ketika berangkatnya itu, sampai cukup jauh dari Sanhai-koan.
Untuk pulang begitu saja ke Ibukota Pak-khia dan melaporkan kekalahan, Jenderal Lau malu kepada Kaisar Tiong-ong, lebih-lebih kepada Tan Wan-wan.
Tetapi untuk melanjutkan perlawanan, rasanya gentar juga.
"Keparat benar Bu Sam-kui itu, tidak kusangka ia tega mengundang tentara asing untuk menginjak tanah leluhurnya!"
Gerutu seperti itu entah sudah berapa kali keluar dari mulut Jenderal Lau dalam gerakan mundurnya.
Akhirnya, kira-kira seratus li dari San-haikoan, pasukan itu menemukan suatu tempat V yang dirasa baik untuk membangun pertahanan.
Sebuah selat pegunungan yang sempit.
Atas usul Deng Hu-koan, perwira andalan Jenderal Lau, Jenderal Lau membangun pertahanan di situ, pertahanan menghadap ke timur, arah San-hai-koan.
Perkemahan pasukan dibangun di sebelah barat selat gunung, dan pasukan ditempatkan bergantian di atas bukit.
Atas usul Deng Hu-koan, Jenderal Lau juga menempatkan sepuluh ribu prajurit di bawah pimpinan seorang perwiranya untuk mengawasi lalu-lintas sungai di sebelah utara tempat itu.
Sungai itu kecil, tetapi dikhawatirkan bisa menjadi jalur penyusupan pasukan musuh untuk menyergap dari belakang atau dari lambung.
Antara pos-pos pertahanan yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan regu-regu prajurit berkuda yang saling bertukar berita setiap enam jam.
Selain itu, ternyata ada juga "rejeki tambahan"
Dari pos-pos pertahanan itu.
Ternyata, baik jalan raya yang melalui selat gunung maupun melalui sungai kecil itu adalah V lalu-lintas umum yang cukup ramai.
Apalagi saat itu rombongan-rombongan pengungsi membanjir dari timur ke barat.
Penduduk jelata banyak yang sudah mendengar tentang masuknya tentara Manchu, dan mereka tahu itu artinya badai peperangan yang dahsyat sudah di ambang pintu.
Belum kering air mata kesedihan di mata rakyat jelata yang berduka karena anggota keluarga mereka yang mati dalam pemberontakan kaum Pelangi Kuning yang lalu, yang baru selesai sebulan yang lalu, dan sekarang perang baru sudah di ambang pintu.
Buat orang-orang tak berdaya itu, upaya penyelamatan harta dan nyawa hanyalah dengan mengungsi, menjauhi arena keserakahan antara manusia.
Tetapi ketika melewati pos penjagaan pasukan Jenderal Lau, ternyata sisa harta yang dibawa mengungsi pun susah dipertahankan.
Para prajurit dengan dalih menjaga jangan sampai ada mata-mata Manchu yang menyusup ke garis belakang, melakukan pemeriksaan amat ketat dari para pengungsi.
Dan kalau para prajurit itu menginginkan V sesuatu, mereka akan cari gara-gara dengan melancarkan tuduhan yang mengada-ada, yang membuat para pengungsi ketakutan dan terpaksa menyerahkan barang-barang agak berharganya.
Begitulah, dalam keadaan terjepit pun prajurit-prajurit Lau Cong-bin masih sempat cari keuntungan.
Tetapi tidak bisa terlalu menyalahkan para prajurit itu, sebab mereka juga hanya meniru pemimpinpemimpin mereka.
Jenderal Lau sendiri tidak berada di perkemahan bersama prajurit-prajuritnya, melainkan di sebuah desa yang makmur di belakang garis pertahanan, jaraknya kira-kira dua kilometer dari selat gunung.
Tempat itu dijadikan markas besarnya, dengan pasukan pengawal wanitanya yang cantik-cantik tetapi di desa itu sendiri juga ada pasukan pengawal lain yang menjaga keselamatannya.
Lau Cong-bin tidak mau mempertaruhkan keselamatannya.
Desa itu sendiri diubah menjadi sebuah kubu pertahanan, dengan tembok-temboknya yang dibangun tergesa-gesa V menggunakan batu dan tanah liat, tempat berpijak untuk para pemanah dan pelempar lembing di belakang tembok, pintu-pintu gerbang yang berpalang.
Untuk Jenderal Lau, kepala desa harus mengalah meminjamkan rumahnya, sebab rumah kepala desa itulah yang terbaik yang ada di desa itu.
Untuk perbekalan, Jenderal Lau juga merasa lega ketika mendengar laporan si Kepala Desa bahwa di desa itu tinggal seorang pedagang beras yang menyimpan puluhan karung beras di gudangnya.
Dengan ringan Jenderal Lau memerintahkan bahwa beras dari si juragan beras "bisa dipinjam"
Sementara. Begitulah, setelah mendapat "tempat berteduh"
Yang cukup aman, meski Jenderal Lau tahu ini hanya sementara, sang jenderal segera mengambil tindakan tertentu.
Ia kirim seorang penunggang kuda yang cepat untuk ke Pak-khia membawa suratnya.
Tentu saja yang menulis surat bukan Jenderal Lau sendiri sebab ia nyaris buta huruf, melainkan Deng Hu-koan yang menuliskannya.
Isi surat menyebutkan betapa V "San-hai-koan hampir bisa direbut"
Tetapi kemudian orang-orang Manchu datang "banyaknya bagaikan air laut"
Membuat Jenderal Lau harus mundur dan membangun pertahanan baru.
Khusus laporan tentang jumlah pasukan Manchu ini, Lau Cong-bin sengaja membesar-besarkannya agar Kaisar Tiong-ong bisa "memaklumi kekalahannya".
Tentu saja ia malu kalau membeber kenyataan bahwa pasukan Manchu yang memukulnya mundur itu jumlahnya hanya sekitar tiga puluh ribu orang.
Separuh pasukan Lau Cong-bin.
Tetapi kegarangan-nyalah yang sulit dilupakan.
Demikianlah, hari itu juga, pembawa surat itu berpacu menuju Ibukota Pak-khia dengan membawa surat Jenderal Lau.
Jalanan menuju ke Pak-khia ramai dengan pengungsi.
Sepanjang jalan dilihatnya orangorang lelaki, perempuan, anak-anak, bayi-bayi yang digendong atau dinaikkan gerobag bersama barang-barang, kambing, ayam bebek dalam kurungan.
Tidak jarang juga di pinggir jalan nampak orang-orang menguburkan V jenazah manusia secara darurat, yang mati ada-; lah orang-orang kelaparan.
Si pembawa surat Lau Cong-bin tidak tersentuh sedikit pun hatinya melihat semuanya itu.
Yang penting, surat itu harus segera sampai ke Pak-khia.
Sepanjang jalan ia terus membalapkan kudanya, tidak peduli membahayakan anak-anak kecil.
Sedikit-sedikit, ia "memainkan"
Cambuknya untuk menyuruh orang-orang minggir.
Tetapi setelah dua hari perjalanan, pembawa surat ini mendadak melihat suatu rombongan lain di jalanan.
Berbeda dengan rombongan pengungsi yang menuju ke arah barat, menjauhi daerah kemelut di sebelah timur, rombongan ini justru berlawanan arah, menuju ke timur.
Perbedaan lain, rombongan ini dikawal ratusan prajurit berkuda, dan ada sebuah kereta yang indah di tengah-tengah barisan.
Agaknya rombongan pembesar.
Kalau si pembawa surat ini tadinya bersikap garang terhadap orang-orang kecil, kali ini kegarangannya leleh di hadapan rombongan V yang megah ini.
Ia pinggirkan kudanya, lalu melompat turun dari kuda dan menunggu di pinggir jalan.
Yang berjalan paling depan dari rombongan yang megah itu adalah seorang panglima muda dalam seragamnya yang megah dan kuda cokelatnya yang tegas.
Gagang-gagang sepasang pedang nampak mencuat dari sepasang pundaknya yang tegap.
Si pembawa surat .agak tercengang mengenali pimpinan rombongan itu adalah Yo Kian-hi, seorang perwira bawahan Jenderal Li Giam yang terkenal.
Jenderal Li Giam "dibuang"
Alias dijauhkan dari percaturan di pusat pemerintahan di Pak-khia, dengan cara diberi tugas di wilayah barat-laut yang jauh.
Kenapa sekarang seorang panglima bawahannya malah muncul di sebelah timur Ibukota Pak-khia, dalam pasukan yang megah meskipun jumlahnya tidak mencukupi sebagai suatu pasukan tempur? Lebih mencengangkan iagi, ketika si pembawa surat melihat bahwa prajurit-prajurit pengiring kereta itu bukanlah V prajurit-prajurit biasa melainkan prajuritprajurit istana.
"Apakah Yo Kian-hi sekarang sudah menjadi komandan salah satu pasukan istana?"
Si pembawa surat bertanya-tanya dalam hati.
"Tetapi kenapa seragam Yo Kian-hi sendiri masih seragam prajurit tempur di lapangan, bukan prajurit istana?"
Si pembawa surat itu sebenarnya agak waswas juga menempuh perjalanan seorang diri, takut di tengah jalan ada yang menghadangnya dan merampas surat pentingnya, meskipun ia sudah menyamar sebagai pengembara biasa.
Tetapi di jaman penuh kemelut itu, segala sesuatu bisa terjadi.
Kini berpapasan dengan rombongan Yo Kian-hi ini, timbul pikirannya untuk "membagi beban"
Dengan orang-orang ini. Karena itu, begitu Yo Koan-hi dan kudanya lewat di depannya, dia berlutut dan berkata dengan keras.
"Salam hormatku untuk Panglima Yo!"
V Yo Kian-hi tercengang dan menghentikan kudanya.
Mengamat-amati orang itu.
Rombongan pun mau tidak mau jadi ikut berhenti.
Yo Kian-hi tidak mengendorkan kewaspadaan, ia belum tahu siapa orang itu, dan ia harus memperhitungkan adanya kemungkinan perangkap oleh musuh.
"Siapa kamu?"
"Saya prajurit sandi dari balatentara Jenderal Lau yang ikut di garis depan..."
Ada nada pamer dalam suaranya, ketika ia sebutkan itu.
"Saya sedang menjalankan tugas penting dari Jenderal Lau, kebetulan bertemu Panglima di sini."
"Tugas penting apa?"
"Membawa surat Jenderal Lau ke Ibukota Pak-khia."
Si pembawa surat itu bukannya tidak tahu kalau di antara tiga orang jenderal utamanya Kaisar Tiong-ong, yaitu Li Giam, Lau Cong-bin dan Gu Kim-sing, ada persaingan diam-diam berebut pengaruh.
Ia adalah suruhannya V Jenderal La u dan Yo Kian-hi adalah bawahannya Sanderai Li Giam.
Ia tidak akan heran kalau Yo Kian-hi bakal meminta surat Jenderal Lau itu dan lancang membukanya untuk mengetahui isinya.
Di antara pihak-pihak yang bersaing, rasanya sah saja melakukan tindakan seperti'itu.
Dan si pembawa surat yang kurang bertanggung-jawab itu sudah siap menyerahkan suratnya kalau diminta Yo Kian-hi.
Syukur kalau Yo Kian-hi menyuruh dia kembali dengan berkata.
"Suratnya sudah di tanganku."
Ia jadi bakal tidak usah meneruskan perjalanan ke Pak-khia yang melelahkan dan penuh bahaya itu. Benar. Yo Kian-hi tiba-tiba menjulurkan tangannya dari atas kuda dan bertanya.
"Mana suratnya?"
Si pembawa surat menyerahkan suratnya, dengan harapan Yo Kian-hi akan mengambilalih tugasnya.
Ternyata dilihatnya Yo Kian-hi hanya membolak-balik sampul surat itu untuk memeriksa keaslian capnya, kemudian tanpa V membuka sampulnya ia malah mengembalikan kepada pembawanya.
Si pembawa surat terpaksa menerimannya kembali, suaranya bernada minta dikasihani.
"Panglima Yo, perjalanan ke Pak-khia sungguh berbahaya dergar membawa surat sepenting ini. Banyak musuh yang mengincar nyawaku kalau sampai mereka tahu apa yang kubawa..."
"Jenderal Lau memang keterlaluan,"
Sahut Yo Kian-hi dingin.
"Surat sepenting itu, kenapa hanya menyuruh satu orang untuk membawanya? Orang-orangnya yang disuruh tidak bertanggung-jawab dan penakut pula..."
Si pembawa surat merah wajahnya oleh sentilan tajam itu.
"Kata Jenderal Lau, kalau yang pergi terlalu banyak malahan akan menimbulkan kecurigaan orang..."
"Ceritakan, apa yang terjadi di San-haikoan..."
"Si keparat Bu Sam-kui mengundang masuk balatentara Manchu sehingga kami terpukul mundur..."
V Kali ini Yo Kian-hi terperanjat sekali, wajahnya memucat.
"Apa katamu?"
"Bu Sam-kui membuka pintu San-hai-koan lebar-lebar buat balatentara Manchu! Sekarang orang-orang Manchu sudah berada di atas tanah Tiong-goan."
Yo Kian-hi dengan perasaan meluap.
"Pasti Jenderal Lau menyuruhmu berbohong, bahkan juga kepada Kaisar, supaya dikirimi bala bantuan yang lebih besar! Betul tidak?"
Si pembawa surat menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak, Panglima. Memang begitu kejadiannya."
Yo Kian-hi merasa tenggelam dalam kekecewaan dan kemasygulan hebat. Perjalanannya ke San-hai-koan saat itu adalah untuk mengantar Tan Wan-wan untuk "meredakan"
Bu Sam-kui agar jangan sampai Bu Sam-kui menyerah kepada Manchu, bahkan ada "bonus"
Lain yaitu akan melepaskan Helian Kong sebagai isyarat perdamaian buat sisa-sisa dinasti Beng lainnya.
Ternyata sekarang malah V didengarnya kabar kalau Bu Sam-kui sudah menyerahkan San-hai-koan ke pihak Manchu.
Artinya, segala upaya untuk menyelamatkan San-hai-koan itu sudah terlambat.
Teriakan Yo Kian-hi tadi terdengar oleh Tan Wan-wan yang berada dalam kereta.
Tan Wanwan yang saat itu berkedudukan sebagai utusan resmi Kaisar Tiong-ong dengan wewenang penuh atas nama Kaisar untuk menyelesaikan benang ruwet, la tidak datang merendahkan martabat untuk memuaskan keinginan Bu Samkui.
"Ada apa, Saudara Yo?"
Tanya Tan Wan-wan.
Yo Kian-hi menggerakkan kudanya ke sisi kereta.
Di sisi kereta itu ternyata juga ada Helian Kong yang menunggang kuda.
Saat itu statusnya adalah tawanan yang baru akan dilepaskan di San-hai-koan nanti, di depan mata banyak pihak, untuk menunjukkan "kemurahan hati"
Kaisar Tiong-ong. Karena luapan perasaannya, Yo Kian-hi tidak sempat memilih kata-kata lagi.
"Tuan Puteri, percuma saja seandainya kita tiba di V San-hai-koan. Bu Sam-kui sudah menyerahkan San-hai-koan ke tangan orang Manchu!"
Tan Wan-wan dan Helian Kong sama kagetnya.
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tan Wan-wan kaget karena hubungannya yang unik dengan Bu Sam-kui.
Kedudukannya adalah musuh sekaligus calon isteri Bu Sam-kui.
Musuh, karena Tan Wan-wan adalah orang golongan Pelangi Kuning sedangkan Bu Sam-kui setia kepada dinasti Beng.
Tetapi juga calon isteri, sebab dulu ketika Tan Wan-wan dikeluarkan dari istana oleh Kaisar Cong-ceng, langsung dianugerahkan untuk menjadi calon isteri Bu Sam-kui.
Meskipun penjodohan itu sama sekali tidak didasari cinta dari pihak Tan Wan-wan sebaliknya dari pihak Bu Sam-kui bukan hanya cinta, bahkan tergila-gila tetapi Tan Wan-wan waktu itu toh mau saja, tujuannya sama dengan saat ini, supaya Bu Sam-kui segera kembali ke San-hai-koan dan ber-tangung-jawab dengan baik atas keamanan kota perbatasan itu.
Sekarang mendengar Bu Sam-kui melakukan kebodohan sebesar itu, Tan V Wan-wan gentar juga, entah bagaimana kelak namanya akan ditulis dalam sejarah? Sedangkan Helian Kong sebagai sahabat Bu Sam-kui juga tidak kalah kagetnya.
Helian Kong sudah berusaha mati-matian menyelamatkan San-hai-koan maupun nama baik Bu Sam-kui dari caci-maki seluruh bangsa Han, sampai Helian Kong berani menjanjikan kepada Bu Sam-kui untuk dalam sepuluh hari membawa Tan Wan-wan ke San-hai-koan.
Helian Kong tahu bahwa yang sepuluh hari itu sudah terlewati, tetapi sungguh tak terduga kalau Bu Sam-kui mengambil tindakan seperti itu.
"Darimana kau mendengarnya?"
Tanya Helian Kong.
Dengan isyarat tangannya, Yo Kian-hi menyuruh si orang suruhan Jenderal Lau itu mendekat dan mengulangi ceritanya.
Orang itu melakukan sesuai dengan perintah Yo Kian-hi, sementara Tan Wan-wan serta Helian Kong mendengarkannya dengan wajah tegang.
Tidak peduli yang satu dari golongan Pelangi Kuning dan yang lain dari sisa dinasti Beng, keduanya V sama-sama cemas dan geregetan mendengar orang Manchu sudah memasuki Tiong-goan.
"Bu Sam-kui... di mana kau taruh otakmu?"
Desis Helian Kong sambil mengepalkan tangannya erat-erat. Sementara Yo Kian-hi melampiaskan kegusarannya terhadap Bu Sam-kui dengan mengalihkannya kepada Helian Kong, sorot matanya berapi-api menatap Helian Kong.
"Jelas sekarang! Sisa-sisa dinasti Beng tidak segansegan bersekutu dengan orang Manchu untuk menegakkan kembali kekuasaan Keluarga Cu!"
Helian Kong tentu saja tidak terima didakwa mentah-mentah.
"Yang melakukan itu adalah Bu Sam-kui pribadi! Kau sendiri tahu bagaimana sikapku kepada orang Manchu, dan sudah kubuktikan dengan tindakanku ketika menyelamatkan jenderalmu Li Giam dari usaha pembunuhan yang didalangi oleh Penasehat Militer Manchu itu! Jangan menuduh sembarangan!"
V Dalam kegusarannya, Yo Kian-hi jadi kurang bisa berpikir secara dingin. Tangannya sudah siap meraih gagang pedang di pundaknya, sambil berkata.
"Sekarang aku tahu itu hanya permainan! Kalian budak-budak Keluarga Cu pastilah sudah mengikat kesepakatan diamdiam dengan anjing-anjing Manchu itu, kalian pura-pura bermusuhan, padahal bekerja sama untuk mengkhianati kami!"
Helian Kong sendiri cuma gemetar bibirnya tetapi tidak bisa omong apa-apa.
Meskipun kemungkinan Bu Sam-kui menakluk kepada Manchu itu sudah sering dikhawatirkannya, tak urung ketika terjadi benar-benar, dia juga kebingungan cara menghadapinya.
Ditambah tuduhan dan sikap sengit Yo Kianhi yang memojokkannya.
Untung di situ ada Tan Wan-wan, yang bagaimanapun berkedudukan lebih tinggi dari Yo Kian-hi.
Sebagai utusan resmi Kaisar Tiongong dan sebagai Puteri Kong-hui, Yo Kian-hi hanya berkedudukan sebagai kepala pengawalnya.
V Ternyata Tan Wan-wan malahan lebih tenang dan lebih dingin dari kedua lelaki yang hampir saling gebrak itu.
"Saudara Yo, sarungkan pedangmu!"
Kata Tan Wan-wan kepada Yo Kian-hi. Saat itu memang Yo Kian-hi sudah menghunus sepasang pedang tebalnya. Yo Kian-hi masih penasaran dan tidak segera menuruti perintah itu.
"Nona Tan... eh, maaf, Tuan Puteri, masih kurang jelaskah persekongkolan antara..."
"Komandan Yo, perintahku, sarungkan pedang-pedangmu!"
Suara Tan Wan-wan kali ini lebih tegas. Sebutan "Saudara Yo"
Yang mengingatkan sebagai teman seperjuangan sejak dulu digantinya dengan "Komandan Yo"
Untuk mengingatkan kedudukan Yo Kian-hi yang saat itu di bawah perintahnya. Sebagai prajurit yang baik, Yo Kian-hi menyarungkan kedua pedangnya, meskipun matanya masih melotot gusar kepada Helian Kong. V Tan Wan-wan lalu berkata.
"Kalian, kesatria-kesatria bangsa Han, tidak peduli di mana pun kalian berpijak, apakah kalian sekarang akan saling gorok demi menuruti gejolak jiwa yang sempit? Sedang musuh sejati, yaitu orang Manchu, tidak lagi di ambang pintu tetapi sudah memasuki pintu rumah kita? Kalau kalian mau saling gorok, silakan, biar orangorang Manchu menonton kalian sambil berpeluk tangan dan tertawa gembira. Tanpa banyak susah mereka akan mencaplok seluruh negeri, karena anak negeri seperti kalian tidak bisa bekerja sama, tidak bisa melupakan permusuhan dan tetap saja cakar-cakaran berebut benar sendiri!"
Ajaib juga bahwa lelaki-lelaki gagah macam Helian Kong dan Yo Kian-hi sekarang dimarahi Tan Wan-wan tanpa membantah apa-apa, seperti dua anak kecil yang dimarahi ibunya karena bermain hujan-hujanan.
Setelah menegur kedua pihak,sekarang Tan Wan-wan mulai mengarahkan kata-katanya lebih kepada Yo Kian-hi.
"Saudara Yo, jangan V terlalu gampang menuduh orang. Kita tahu apa saja yang sudah dilakukan Helian Kong demi menyelamatkan San-hai-koan. Suka atau tidak suka, kau harus mengakuinya sebab kau sendiri pun melihatnya. Dia bersama kita sejauh ini tanpa diborgol dan tidak melarikan diri, tidakkah ini memperlihatkan bagaimana isi hatinya dan kepeduliannya tentang nasib negeri ini? Kalau Helian Kong hanya seorang yang mengagul-agulkan harga dirinya secara sempit, maukah dia digiring sebagai tawanan sejauh ini? Apakah selama ini dia kelihatan berusaha mencari kesempatan melarikan diri, meskipun terbuka banyak peluang?"
Helian Kong merasa terharu mendengar pembelaan Tan Wan-wan atas dirinya.
Merasa lega, ada orang yang bisa memahami dirinya.
Sementara Yo Kian-hi menarik napas berulang kali.
Sesaat Tan Wan-wan berpikit, tiba-tiba ia mengambil sesuatu dari dalam kereta.
Itulah pedang milik Helian Kong, pedang Elang Besi bersama sarungnya, yang selama ini "ditahan"
V sebagai simbol bahwa Helian Kong adalah tahanan. Kini pedang itu diberikannya kepada Helian Kong melalui jendela. Yo Kian-hi terkejut.
"Tuan Puteri..."
"Aku yang akan bertanggung-jawab kepada Baginda,"
Tan Wan-wan menukas. Lalu katanya kepada Helian Kong.
"Saudara Helian, rencana kita berantakan. Rencana kita hanya bisa berjalan kalau San-hai-koari masih dikuasai Bu Sam-kui, tetapi ternyata sekarang sudah dikuasai musuh. Karena itu, aku atas nama Sri Baginda Tiong-ong mengambil keputusan untuk membebaskanmu sekarang, tidak perlu lagi sampai ke San-hai-koan. Ini pedangmu, ambillah."
Helian Kong menoleh sekejap kepada Yo Kian-hi sebelum menerima pedang itu.
"Terima kasih, Tuan Puteri..."
Sikap antara Helian Kong dan Tan Wan-wan memang selalu canggung.
Mereka adalah teman sejak kecil, tumbuh bersama, bahkan pernah sampai kepada suatu janji bersama untuk mengarungi kehidupan bersama.
Kemudian V keadaan memisahkan mereka, dan tahu-tahu mereka telah berhadapan sebagai musuh karena Helian Kong adalah panglima dinasti Beng dan Tan Wan-wan adalah mata-mata Pelangi Kuning yang menyelundup ke istana.
Bahkan setelah kaum Pelangi Kuning menang perang pun kecanggungan itu tidak lenyap.
Kini, mereka yang dulu saling memanggil nama dengan akrab, sekarang harus saling memanggil dengan sebutan resmi yang membuat tembok di antara mereka seolah makin tinggi dan tebal.
"Saudara Helian, kau boleh pergi ke mana saja karena kau orang bebas sekarang. Tetapi aku hanya ingin menganjurkan satu hal..."
"Aku dengarkan, Tuan Puteri."
"Katakan kepada kawan-kawanmu yang masih setia kepada dinasti Beng. Situasi sekarang tidak menguntungkan kalau sesama bangsa Han terpecah-belah. Ajak temantemanmu melupakan permusuhan, setidaktidaknya untuk sementara, sampai orang Manchu kita bereskan..."
"Aku juga berpikiran demikian."
V "Aku tahu kau berpikiran demikian. Kau sudah membuktikan kata-katamu dengan sikapmu. Selamat jalan."
Ternyata meskipun sudah diberi ucapan selamat jalan, Helian Kong belum juga beranjak pergi. Ia malah bertanya.
"Tuan Puteri hendak ke mana setelah ini?"
"Tetap menuju ke sebelah timur untuk bertemu dengan Bu Sam-kui."
Yo Kian-hi terkejut lalu menukas.
"Tuan Puteri, dengan terjunnya orang Manchu ke arena, situasi tambah berbahaya. Wilayah timur bukan lagi wilayah yang aman untuk dijalani..."
"Bukankah ada jenderal Lau dan pasukannya?"
"Jenderal Lau terpukul mundur oleh pasukan Manchu yang jauh lebih kuat. Pasukan Jenderal Lau bukan jaminan keamanan Tuan Puteri."
"Tetapi aku harus menemui Bu Sam-kui."
Helian Kong ikut membujuk Tan Wan-wan.
"Tuan Puteri sebaiknya menuruti saran Panglima Yo. Tidak ada gunanya menemui Bu V Sam-kui saat ini, Bu Sam-kui saat ini bukan lagi pengambil keputusan penting, ia pasti sudah dikuasai orang-orang Manchu. Adalah lebih baik kalau Tuan Puteri tetap di Pak-khia untuk mendampingi... Sri Baginda dan memberikan pertimbangan-pertimbangan berharga..."
Alot sekali ketika Helian Kong harus menyebut Kaisar Tiong-ong dengan sebutan menghormat "Sri Baginda", sebab itu berarti mengakui kekuasaan Li Cu-seng yang telah menumbangkan dinasti Beng.
Namun saat itu, demi tercapainya tujuan kerja sama, biarpun sementara, antara sisa-sisa dinasti Beng dan kaum Pelangi Kuning yang harus menghadapi musuh bersama, balatentara Manchu, terpaksa Helian Kong menyebut Li Cu-seng dengan "Sri Baginda".
Ternyata sikap Tan Wan-wan tidak bergeming.
Sorot matanya yang tajam menerawang jauh ke arah timur, ke arah Sanhai-koan seakan-akan ingin melihatnya dari jendela keretanya.
Katanya tegas.
"Tidak, aku tetap harus ke sana. Kalau pun tidak bisa V berbicara dengan Bu Sam-kui, aku ingin bicara dengan Jenderal Lau..."
Yo Kian-hi dan Helian Kong jadi sama-sama cemas.
"Tuan Puteri..."
Namun perkataan mereka dipotong oleh Tan Wan-wan dengan tegas.
"Aku tidak peduli kalian setuju atau tidak, aku tetap harus pergi ke garis depan untuk melihat apa yang masih bisa aku lakukan untuk menyelamatkan keadaan. Aku sudah jemu mendengar orangorang di luaran menganggapku hanya sebagai perempuan pembawa bencana bagi negeri..."
Secara bersamaan pula Yo Kian-hi dan Helian Kong teriris hatinya.
Mereka ikut merasakan pedihnya hati Tan Wan-wan, bahwa dirinya dijadikan kambing hitam dari pusat kemelut itu.
Tak ada yang mengkritik kenapa lelaki-lelaki yang menepuk dada sebagai pemimpin-pemimpin bangsa itu begitu lemah diombang-ambingkan kecantikan seorang wanita? Kenapa Tan Wan-wan terus yang disalahkan? Rasa kesal dan penasaran itulah V agaknya yang mendorong Tan Wan-wan dalam niatnya itu.
"Tuan Puteri tidak perlu menggubris omongan orang di luaran..."
Hibur Yo Kian-hi.
"Biarpun hanya segelintir orang, tetap ada orang-orang yang memahami perjuangan dan pribadi Tuan Puteri. Bahkan bukan hanya orang-orang golongan kita sendiri, tetapi juga musuh-musuh kita..."
Berkata sampai di sini, Yo Kian-hi melirik ke arah Helian Kong yang belum pergi-pergi juga, meskipun sudah dinyatakan bebas. Helian Kong menyokong.
"Betul. Biarpun perjuanganmu tidak dipahami banyak orang, tetapi ada juga yang memahaminya. Tidak perlu mengambil tindakan nekad yang membuat keadaan tambah keruh..."
"Helian Kong, jadi kau pikir kalau aku ikut turun tangan menyelesaikan masalah ini, keadaan tambah ruwet, karena aku perempuan tidak becus, yang becusnya hanya merayu dan menggoyahkan iman para lelaki?"
V Helian Kong terkesiap, ledakan kemarahan Tan Wan-wan yang ditunjukkan itu menandakan kalau Tan Wan-wan selama ini memang sudah kesal dan pepat dengan anggapan kebanyakan orang atas dirinya.
Dan ia ingin melakukan sesuatu yang hebat untuk menjungkir-balikkan anggapan orang itu.
Helian Kong yang gagah perkasa itu pun tergagap-gagap di bawah sorot tajam mata Tan Wan-wan.
"Maksudku... maksudku... Lau Congbin itu bukan seorang yang bisa berpikir panjang, tak ubahnya Bu Sam-kui. Kehadiran Tuan Puteri di garis depan mungkin sekali akan mengakibatkan Jenderal Lau mengambil tindakan tak terduga yang memperkacau suasana. Bukan Tuan Puteri yang akan mengacaukan, tetapi Jenderal Lau..."
Begitulah, untuk meredakan hati Tan Wanwan, Helian Kong mencaci baik Bu Sam-kui maupun Lau Cong-bin yang sama-sama tergilagila kepada Tan Wan-wan.
Jadi Helian Kong secara tersirat tidak menyalahkan Tan Wanwan, melainkan menyalahkan lelaki itu.
V Namun Tan Wan-wan tak tergoyahkan.
"Panglima Yo, kau mau mengantarku ke garis depan atau tidak? Kalau kau tidak mau, aku berangkat sendiri..."
Yo Kian-hi benar-benar tidak punya pilihan lain, ia tidak tega membiarkan Tan Wan-wan menuju ke tempat berbahaya tanpa ditemani orang yang bisa dipercaya.
Meski para pengawal itu pun adalah prajurit-prajurit pilihan yang terpercaya, tentu saja mereka tak bisa diajak bicara dari hati ke hati.
Terpaksalah Yo Kian-hi berkata.
"Aku akan bersama-sama Tuan Puteri."
Sementara Helian Kong pun merasa tidak sanggup merintangi kehendak Tan Wan-wan itu. Ia putar kudanya, dan berkata.
"Pesanku untuk Jenderal Lau, aku dan pasukanku menyediakan diri untuk bekerja sama membendung pasukan Manchu. Sebagai tanda, di pasukanku ada tawanan, seorang perwira bawahan Jenderal Lau yang bernama Ong Lingpo, aku akan melepaskan orang itu."
Habis berkata demikian, berderaplah kuda Helian Kong meninggalkan rombongan itu. V Bagaimanapun Yo Kian-hi belum mempercayai Helian Kong sepercaya Tan Wanwan. Setelah Helian Kong jauh, bertanyalah Yo Kian-hi kepada Tan Wan-wan.
"Tuan Puteri, bagaimana kalau.. Helian Kong malah menggabungkan pasukannya dengan pihak Bu Sam-kui, dan menganggap ini kesempatan untuk memulihkan kekuasaan Keluarga Cu?"
"Aku kenal dia,"
Sahut Tan Wan-wan mantap.
"Dia tidak mungkin berbuat begitu."
"Tapi dia panglima dinasti Beng yang sangat gigih dan amat membenci kita,"
Sanggah Yo Kian-hi.
"Dia tahu mana yang paling penting."
Rombongan itu pun melanjutkan perjalanan.
Sedang pembawa surat suruhan Jenderal Lau itu tetap disuruh ke Pak-khia, ditemani dua orang dari pasukan yang mengiringi Tan Wan-wan itu.
Pasukan Jenderal Lau yang tinggal separuh dan menyusun pertahanan di belakang sebuah bukit itu, terus menerus waspada siang dan malam mengawasi arah timur.
Menurut V perhitungan mereka, hanya ada dua jalan dari arah San-hai-kcan yang bisa dilewati oleh pasukan besar.
Jalan lewat darat hanyalah melewati selat gunung yang sempit, dan di tempat itu sudah dijaga kuat oleh pasukan Jenderal Lau.
Jalan kedua ialah jalan air, melalui sebuah sungai kecil di sebelah utara.
Tempat itu pun sudah dijaga.
Di sebelah utaranya lagi adalah pegunungan yang terjal dan menurut perhitungan tak mungkin dilalui pasukan besar, sebab dalam pasukan besar tentu banyak gerobak-gerobak perbekalan dan lain-lain yang tidak mungkin dilewatkan jalan pegunungan yang sempit dan terjal.
Sedang di sebelah selatannya adalah rawa-rawa.
Jenderal Lau sendiri beberapa li di belakang garis pertahanan, bersama pengawal-pengawal cantiknya dan seribu pengawal lainnya, ada di sebuah desa yang dijadikan markas komando.
Setiap saat Jenderal Lau menerima laporan dari pasukan-pasukannya di garis depan.
Dan semuanya melaporkan kalau dari arah timur belum kelihatan gerakan tentara Manchu.
V "Agaknya mereka hanya sekedar ingin menyelamatkan Bu Sam-kui di San-hai-koan, tetapi tidak punya nyali untuk maju lebih lanjut..."
Kata seorang perwira bawahan Jenderal Lau yang bernama Tek Un-hap. Diteruskan dengan jilatannya kepada Jenderal Lau.
"Mereka berhasil sedikit merugikan kita, karena kita tidak menduga mereka tiba-tiba saja muncul, di medan pertempuran. Kita tidak menduga kalau Bu Sam-kui segila itu. Tetapi sekarang, aku yakin mereka tidak berani melangkah lebih jauh dari San-hai-koan, mereka pasti gentar kalau mengetahui di sini ada Jenderal Penakluk Pak-khia..."
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Memang dulu, ketika kaum Pelangi Kuning merebut Pak-khia dari pemerintahan dinasti Beng, Jenderal Lau Cong-binlah yang pertama kali berhasil memasuki Pak-khia, sehingga dia pun diberi pangkat Panglima Tertinggi oleh pemerintah yang baru.
Jenderal Lau yang setengah buta huruf itu paling bangga kalau hal itu diungkit-ungkit, demikian pula saat itu.
V "Kalau bala bantuan dari Pak-khia sudah tiba, kita maju kembali ke San-hai-koan dengan kekuatan penuh, dan kita rebut kota itu!"
Sahut Jenderal Lau.
"Aku masih belum kehilangan impianku untuk menunjukkan batok kepala Bu Sam-kui kepada Tan Wan-wan..."
Perwira yang menjadi tangan kanan Lau Cong-bin, Deng Hu-koan, memperingatkan Lau Cong-bin sebagai imbangan perkataan Tek Unhap yang bersifat meninabobokan itu.
"Bagaimanapun, kita tidak boleh mengendorkan kewaspadaan sedetik pun. Kita sudah belajar satu hal, bahwa orang Manchu ternyata bergerak tak terduga, diluar perhitungan..."
Jenderal Lau menguap lebar sambil bangkit dari kursinya, dan berkata.
"Tentu saja kita harus tetap waspada, tetapi jangan sampai mengeluarkan kata-kata yang melemahkan semangat prajurit kita dan terlalu memuji musuh. Sekarang aku mengantuk dan ingin beristirahat dulu. Deng Hu-koan, kau terima V dulu semua laporan dari garis depan dan laporkan kepadaku besok pagi."
"Baik, Jenderal."
Kemudian Jenderal Lau meninggalkan ruangan itu, kedua tangannya merangkul dua orang pengawal cantik di kiri-kanannya.
Deng Hu-koan maupun Tek Un-hap tidak percaya kalau Si Jenderal hidung-belang mereka itu begitu dalam kamar akan langsung beristirahat.
Penjagaan di seluruh sudut desa yang dijadikan markas komando itu cukup ketat, mengingat keselamatan Jenderal Lau sendiri.
Tidak ada sudut-sudut desa yang dibiarkan gelap di malam hari, semua sudut dipasangi obor sehingga kalau ada gerakan-gerakan apaapa akan segera diketahui.
Ketenteraman hidup penduduk desa itu jadi amat terganggu dengan kehadiran serdadu-serdadu itu, siang maupun malam.
Tetapi penduduk tak berdaya itu bisa berbuat apa? (Bersambung
Jilid XVI) V Sumber Image . Koh Awie Dermawan first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu 29/07/2018 14 . 23 PM V VI ( Bagian II )
Jilid XVI Karya . STEVANUS S.P. pelukis . WIDODO Percetakan & Penerbit CV "G E M A"
Mertokusuman 761 RT 02 RW VII Tilpun 35801 - SOLO 57122 VI VI KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA 2 Karya . STEFANUS S.P.
Jilid XVI B egitu pula malam itu, penduduk desa tidurnya tidak senyenyak malam-malam sebelumnya.
Sebentar-sebentar terdengar derap kaki kuda yang hilir mudik, atau derap langkah prajurit-prajurit yang merondai jalanan-jalanan desa.
Masih lumayan kalau cuma begitu, kadang-kadang di larut malam para prajurit tidak segan-segan menggedor rumah penduduk untuk minta minuman atau makanan, atau bahkan menggoda perempuanperempuan muda yang cantik sampai menodainya.
Jenderal Lau tidak mengendalikan orang-orangnya, sebab ia beranggapan bahwa VI prajurit-prajuritnya dalam menjalankan tugas itu membutuhkan "hiburan"
Sedikit.
Malam itu, penduduk desa bakal mendapat gangguan tambahan yang tidak kecil.
Ketika tanda waktu tengah malam berbunyi, maka di semak-semak belukar di luar desa, juga di ladang-ladang penduduk di luar desa yang tidak terjangkau obor-obor yang ditancapkan di pintu gerbang desa, tiba-tiba saja bermunculan sosok-sosok bayangan yang semula bertiarap di tanah.
Kemudian tanpa suara tetapi tertib, menurut sasaran yang sudah ditetapkan masing-masing, mereka bergerak mengendap mendekati desa dengan senjata-senjata terhunus.
Langkah mereka tidak menimbulkan suara berisik, menyelinap.
Beberapa prajurit Pelangi Kuning yang berjaga-jaga di pintu gerbang desa pun tiba-tiba mengaduh ketika luncuran panah-panah dari balik tirai kegelapan menancap di dada mereka.
Prajurit-prajurit yang lainnya terkejut.
Mereka terlanjur menganggap musuh bakalan menyerbu dari timur dan harus melewati garis VI pertahanan mereka, dan desa yang dijadikan markas itu aman sebab letaknya di garis belakang, tiba-tiba malam ini musuh muncul tanpa suara dari sebelah barat.
Keruan prajuritprajurit Lau Cong-bin jadi panik menanggulangi keadaan.
"Awas musuh!"
"Bunyikan tanda bahaya!"
"Panggil teman-teman!"
"Tutup pintu gerbang!"
Ada yang berteriak "tutup pintu gerbang"
Sebab para prajurit di desa itu terbiasa membiarkan pintu-pintu gerbang desa terbuka di malam hari, karena terlalu merasa aman, di pintu-pintu gerbang itu mereka terbiasa dudukduduk sambil makan kacang atau kuaci dan menenggak arak.
Dan malam itu mereka mendapat suguhan "yang lain kecuali kuaci dan arak".
Sementara para prajurit itu berteriak teriak, hujan panah dari kegelapan tidak berhenti dan terus minta korban.
Para pemanah dari kegelapan itu tidak memanah secara VI sembarangan, tetapi agaknya adalah pemanahpemanah mahir, bahkan amat mahir.
Anak panah yang mereka hamburkan tidak terlalu banyak, tetapi hampir tidak ada anak panah yang jatuh ke tanah dengan sia-sia.
Hampir semua anak panah menancap ke tubuh sasarannya, bahkan sasaran yang sedang berlari.
Bahkan kemudian dari kegelapan itu muncul orang-orang yang langsung menyerbu ke pintu gerbang desa.
Waktu itu, para prajurit Pelangi Kuning yang masih lolos dari panah sudah masuk ke sebelah dalam pintu gerbang dan berusaha menutup pintu gerbang, sepasang daun pintu itu sudah hampir terkatup sepenuhnya, namun penyerbu-penyerbu dari luar itu berusaha menahannya, sehingga beberapa saat terjadi dorong mendorong.
Dari atas tembok desa yang dibangun dari tanah liat dan batu-batu serta kayu itu, prajuritprajurit Pelangi Kuning mencoba menghalau penyerbu-penyerbu dengan memanah dan menjatuhkan benda-benda berat.
Tetapi mereka VI lupa pemanah-pemanah mahir yang masih bersembunyi di kegelapan, di antara pohonpohon kebun penduduk di luar desa.
Kalau prajurit Pelangi Kuning yang muncul di atas tembok hanya muncul setengah badan, ya bagian badannya yang muncul itulah yang kena.
Kalau yang muncul jidatnya, ya jidatnyalah yang kena.
Menghadapi musuh sehebat ini, prajuritprajurit Lau Cong-bin ini berkerut nyalinya.
Tetapi demi tugas, mereka bertahan matimatian, apalagi karena di desa itu ada Jenderal Lau, pimpinan tertinggi seluruh pasukan, bahkan adalah Panglima Tertinggi dari pemerintah yang baru.
Sementara itu, acara "dorong-mendorong pintu"
Sudah berakhir.
Sebelah daun pintu gerbang itu sudah berhasil didorong terbuka dari luar oleh para penyerbu.
Prajurit-prajurit Pelangi Kuning yang bertahan di belakang daun pintu yang terbuka itu jatuh telentang bertumpuk-tumpuk, segera diinjak dan ditikam dengan ganas oleh penyerbu-penyerbu itu.
VI Kalau sebelah pintu sudah terbuka, yang setengah lagi juga percuma dipertahankan matimatian.
Prajurit-prajurit Jenderal Lau yang semula mempertahankan dengan menahan daun pintu yang sebelah itu pun berlari-larian mundur, dan kini mereka mempertahankan desa dengan cara lain.
Dengan senjata.
Para penyerbu menyerbu masuk ke dalam desa melalui pintu yang sudah terbuka itu.
Mereka beringas menerjang prajurit-prajurit Pelangi Kuning yang bertahan di ujung lorong, mencoba menahan jangan sampai penyerbupenyerbu memasuki desa.
Bala bantuan dari dalam desa terus berdatangan, tetapi di pihak penyerbu juga terus kedatangan bala bantuan.
Para prajurit Pelangi Kuning itu dulunya adalah pejuang-pejuang yang gigih, semasa mereka masih hidup prihatin sebagai laskar yang memberontak terhadap dinasti Beng.
Kemudian ketika mereka menang, mereka memang agak terlena dan mabuk kemenangan, agak kendor semangatnya.
Kini, menghadapi penyerbu-penyerbu yang ganas ini, semangat VI juang prajurit Pelangi Kuning yang sudah terkubur pun mulai bangkit sedikit demi sedikit.
Dengan teriakan-teriakan saling membangkitkan semangat, semangat mereka jadi berkobar dan melakukan perlawanan dengan gigih.
Begitulah, terjadi pertempuran sengit di ujung lorong desa.
Tetapi karena kedua belah pihak kedatangan bala-bantuan, arena yang sempit itu jadi memadat.
Di pihak penyerbu, barisan belakangnya yang ingin segera "mencicipi"
Suasana pertempuran itu tidak sabar lagi berdesak-desakan antri di belakang.
Mereka mendobrak masuk ke halaman-halaman rumah di sebelah-menyebelah jalan, lalu mencari sendiri jalan ke "garis depan".
Dengan demikian pertempuran pun tidak bisa dibatasi hanya di lorong ujung desa, melainkan menyebar ke sudut-sudut desa, ke setiap lorong, setiap halaman rumah.
Musuh dan teman bisa muncul dari arah mana saja di desa itu.
Seorang perwira Pelangi Kuning menjadi gusar melihat ulah penyerbu-penyerbu itu, VI tetapi dalam gusarnya dia seperti diingatkan akan model pertempuran seperti itu.
Dulu, laskar Pelangi Kuning (yang ketika itu masih disebut pemberontak)juga sering menggunakan siasat itu kalau menyerang dan merebut desadesa yang menjadi markas pasukan Kerajaan Beng.
Karena itu, ia meneriaki pasukannya.
"Jangan bingung! Kita tidak asing dengan siasat ini. Perkuat penjagaan di sekitar sasaran utama mereka!"
Biasanya serangan seperti itu akan ditujukan ke sasaran utama dalam desa, dan si perwira menyadari bahwa sasaran utama malam itu pastilah rumah si Kepala Desa yang sedang menjadi tempat kediaman Jenderal Lau.
Dengan aba-aba perwira itu, pasukan Pelangi Kuning di desa itu tidak mau meladeni munculnya musuh di mana saja, mereka sadar bahwa musuh hanya ingin memecah-mecah perhatian kemudian menyerbu langsung ke sasaran utama.
Dalam serbuan model begitu, biasanya di belakang atau di tengah-tengah pasukan yang menyerang itu sudah disiapkan VI semacam "regu inti"
Yang kecil tapi tangguh, yang dikhususkan menggempur sasaran utama.
Kaum Pelangi Kuning sendiri dulu sering melakukan yang demikian.
Pertempuran menghebat di segala sudut.
Pasukan Pelangi Kuning memberi perJawanan sengit, dan mereka Tidak lagi bertempur tanpa arah, melainkan memusatkan diri hanya melindungi tempat-tempat yang sekiranya menjadi sasaran musuh, seperti kediaman Jenderal Lau atau rumah si saudagar beras di mana "calon isi perut"
Prajurit-prajurit di desa itu tersimpan.
Pihak penyerbu mencoba memecah-mecah perhatian dengan melakukan pembakaran di beberapa tempat, namun para perwira Pelangi Kuning tetap mengendalikan anakbuah masing-masing agar tidak mudah terpancing.
Bagaimanapun, pertempuran di loronglorong dan di halaman-halaman, di kebunkebun, tetap saja berlangsung.
Dalam suasana hati yang panas dan tidak banyak pertimbangan di kedua pihak, keselamatan penduduk tidak VI lagi terlalu digubris oleh kedua pihak.
Bahkan pertempuran tidak lagi sekedar di halamanhalaman, tetapi masuk ke rumah-rumah, di kamar-kamar, di ruangan-ruangan dalam rumah.
Sehingga sekarang arena itu "dimeriahkan"
Tidak hanya oleh dentangdenting senjata beradu, teriakan kemarahan, kesakitan dan kematian, teriak aba-aba para perwira di kedua pihak, melainkan juga jerit tangis wanita dan anak-anak yang meratap dalam ketakutan tanpa harapan, melihat prajurit-prajurit garang saling sembelih di depan mata mereka.
Tambah ramai lagi ketika suara ayam, kambing, lembu dan ternak-ternak lainnya pun terdengar di sana-sini.
Entah karena lepas dari kandang, entah karena kandangnya terbakar.
Maka tidak aneh kalau di tengah-tengah pertempuran kelihatan ayam beterbangan panik atau lembu melenguhlenguh berlari-lari kian kemari.
Pihak Pelangi Kuning belum melihat "regu inti"
Di pihak musuh yang akan menuju ke sasaran utama, agaknya pihak musuh masih VI ingin mengacau di mana-mana.
Namun pihak Pelangi Kuning tetap waspada.
Keributan itu membangunkan Jenderal Lau dari tidurnya.
Bergegas dia mengenakan pakaiannya, dan dengan matanya yang masih setengah tertutup dia keluar dari kamarnya dengan langkah sempoyongan, tanyanya kepada seorang penjaganya di luar.
"Ada apa? Suara apa yang ribut-ribut itu?"
Pengawal yang cantik itu menjawab dengan tegang.
"Serbuan musuh, Jenderal..."
"Bangsat! Bagaimana musuh bisa sampai kemari? Benar-benar kantong nasi semua prajurit-prajurit kita yang dipasang di selat gunung dan di tepi sungai itu, sampai bisa ditembus musuh..."
"Kata prajurit yang melaporkan, musuh ini munculnya dari sebelah barat, bukan dari timur..."
"Dari sebelah barat? Mereka ini pasukan dari pihak mana?"
"Belum diketahui, Jenderal."
"Mana Deng Hu-koan?"
VI "Sedang melihat keadaan di luar, Jenderal, dan akan segera kembali untuk melapor..."
Baru selesai kata-kata itu, di halaman luar sudah terdengar suara derap kuda yang mendekat dan berhenti di halaman. Kemudian muncullah Deng Hu-koan dengan wajah yang tegang dan berkeringat, meskipun malam itu cukup dingin sebenarnya.
"Bagaimana?"
Sambut Jenderal Lau.
"Jangan khawatir, Jenderal. Prajurit-prajurit kita kelihatannya bisa mengendalikan situasi, meskipun sergapan musuh cukup mendadak. Penjagaan di sekitar tempat ini juga sudah diperkuat..."
"Apakah mereka mengincar tempat ini?"
Tanya Lau Cong-bin tergagap, tidak sanggup menunjukkan "kegagahannya"
Seperti biasanya. Bahkan dengkulnya agak gemetar. Jawaban Deng Hu-koan bernada menghiburkan,"Meskipun seandainya demikian, Jenderal, mereka akan membentur tembok besi. Seputar tempat ini sudah dijaga kuat. Jenderal aman di sini."
VI Lau Cong-bin mengangguk-angguk dan merasa agak tenang.
"Pasukan mana mereka?"
"Sulit dipastikan. Mereka berpakaian biasa, tidak berseragam. Tetapi ketangkasan dan keberanian mereka dari kelas prajurit-prajurit pilihan."
"Apakah kau sudah melepas isyarat untuk minta bantuan dari pasukan di sebelah timur?"
"Sudah, Jenderal."
Nyali Jenderal Lau pulih kembali, suaranya kembali bernada garang dan tidak gemetar lagi.
"Bagus. Siapa pun mereka, mereka sudah berani menepuk lalat di atas kepada harimau, dan mereka akan membayar harga ketololan mereka dengan nyawa mereka. Perintahku harus kau sampaikan ke setiap prajurit, bunuh penyerbu-penyerbu itu sampai orang terakhir!"
"Baik, Jenderal, tetapi... agak susah membedakan orang-orang itu dengan penduduk desa ini. Pakaian mereka..."
"Tidak peduli! Lebih baik keliru membunuh orang, daripada membiarkan satu orang musuh ketinggalan hidup!"
VI Deng Hu-koan menarik napas dan tidak bisa membantah lagi.
Berat hatinya mengingat penduduk desa ini sudah menyumbangkan bahan makanan untuk para prajurit.
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi perintah Sang Jenderal tidak dapat diganggugugat.
Ketika Deng Hu-koan hendak berlalu untuk menyebarkan perintah itu, tiba-tiba Jenderal Lau berkata.
"He, apakah kau tidak lupa menjaga gudang perbekalan kita?"
Yang dimaksud adalah rumah Si Juragan Beras yang menyimpan puluhan karung beras dagangan itu. Sejak Jenderal Lau di desa itu bersama pengawal-pengawalnya, sebutan untuk rumah itu adalah "gudang perbekalan kita". Sahut Deng Hu-koan.
"Tentu saja sudah, Jenderal. Kami menyadari, tempat itu mungkin sekali menjadi sasaran musuh."
"Bagus."
Deng Hu-koan pun meninggalkan ruangan itu, untuk mengendalikan pasukannya di manamana.
VI Di bagian lain dari desa, yaitu di rumah Si Juragan Beras, memang nampak penjagaan yang ketat, tidak kalah ketatnya dengan penjagaan di rumah Kepala Desa yang ditempati Jenderal Lau.
Ratusan prajurit dipusatkan di sekitar tempat itu.
Di halaman maupun di luar halaman.
Sekian lama pertempuran di tempat lain berjalan, dan suaranya terdengar dari tempat itu, tetapi ternyata pertempuran belum juga sampai ke tempat itu.
Belum satu musuh pun menongolkan batang hidungnya di tempat itu.
"Kita tetap harus bersiaga,"
Pesan komandan regu yang bertanggung jawab untuk pengamanan tempat itu.
Di dalam rumah yang penghuninya lima orang, lelaki semua, adalah Si Juragan Beras yang mengaku sebagai seorang duda yang katanya isterinya sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu.
Dua anaknya laki-laki semua, pemuda-pemuda yang tegap dan tangkas, satu pembantu rumah tangga yang juga laki-laki dan satu lagi pegawai yang sering diajak-ajak bepergian, katanya untuk "Berdagang beras".
VI Kini, selagi seluruh penduduk kampung menggigil ketakutan mendengar suara keributan, kelima penghuni rumah Si Juragan Beras itu justru tenang-tenang saja.
Mereka berkumpul di sebuah ruangan tertutup, di bawah penerangan cahaya hanya sebatang lilin.
Mereka tidak mem-pedulikan derap kaki prajurit-prajurit di luar rumah.
Si Juragan Beras yang sehari-harinya dikenal sebagai orang ramah dan suka tertawa di kampung itu, tetapi sekarang ia nampak begitu berwibawa.
Ia berjalan hilir-mudik di ruangan itu dengan wajah sungguh-sungguh, sikapnya lebih mirip seorang perwira tinggi di hadapan perwira-perwira bawahannya daripada seorang saudagar.
Kalau saudagar berwajah seangker itu, pasti dagangannya tidak laku.
"Semuanya berlangsung sesuai dengan! rencana, teman-teman kita bergerak pada waktu yang tepat. Sekarang kita lakukan bagian kita. Kalian siap?"
VI Kedua orang "anak"
Si saudagar serta si "pembantu rumah tangga"
Dan si "pegawai"
Yang satunya lagi, sama-sama mengangguk mantap.
"Karung-karung beras itu sudah kalian pindahkan ke ruangan bawah tanah?" ! tanya Si Juragan. Si "pembantu rumah tangga"
Menjawab mewakili lain-lainnya.
"Sudah. Dan kami gantikan dengan karung-karung berisi serbuk gergaji dan apa saja yang tidak berharga. Tetapi untuk menghapus kecurigaan garong-garong kelaparan itu, siang tadi aku masih setorkan satu karung beras untuk dimasak. Dan sore ini ketika seorang perwira mereka memeriksa gudang kita, mereka puas melihat karungkarung masih di tempatnya, tidak tahu isinya sudah bukan beras..."
Si Juragan Beras tersenyum.
"Kalau begitu, kita mulai sekarang."
Lalu mereka berlima mencopot jubah luar mereka, dan ternyata ai bagian dalam pakaian mereka sudah memakai pakaian ringkas.
VI Mereka berlima pun menyelundup keluar menuju ke gudang beras di halaman belakang.
Di halaman belakang itu tidak ada prajurit seorang pun, semuanya berjaga hanya di halaman depan atau di lorong-lorong di sekitar rumah, di luar tembok yang menjadi batas hak milik Si Juragan Beras.
Mereka tanpa ragu-ragu membuka pintu gudang beras, lalu melemparkan sebatang obor ke tumpukan karung-karung itu, lalu menutupnya kembali.
Sebelum api berkobar menjadi besar dan diketahui semua orang, mereka berlima menghilang, lewat sebuah lorong rahasia yang mulut lorongnya ada di dapur, di bawah sebuah tong kayu yang besar.
Dan apa yang mereka tinggalkan di gudang itu pun dengan cepat membesar, sebab karungkarung itu memang berisi bahan-bahan yang mudah terbakar, seperti sekam, jerami, daundaun kering dan sebagainya.
Ketika api berkobar hebat, barulah prajurit yang berjaga menyadarinya, dan mereka dengan panik berusaha memadamkan api, karena menyangka VI kalau gudang itu masih berisi beras calon ransum mereka.
Untuk mempercepat pemadaman api, penduduk desa dibangunkan dan disuruh membantu memadamkan api.
Dalam kepanikan dan kekacauan, belum ada yang sempat bertanya-tanya kenapa si "saudagar beras"
Dan seisi rumahnya tidak kelihatan batang hidungnya.
Karena Si Pedagang Beras sendiri bersama keempat orang lainnya sudah muncul di bagian desa yang lainnya, setelah keluar dari lorong rahasia mereka.
Bahkan dengan senjata-senjata terhunus, mereka memasuki arena pertempuran di jalan utama desa itu.
Ternyata mereka berlima tangkas-tangkas.
Si pedagang beras yang sehari-harinya kelihatan loyo dan kalau berjalan selalu melangkah perlahanlahan, sekarang benar-benar berbeda penampilannya, la membuat lompatanlompatan panjang ke sana ke mari bagaikan seekor belalang, senjatanya yang berujud Liancu-tui (Rantai dengan bola besil), berdesing VI kian kemari dan sudah meretakkan beberapa tulang tengkorak prajurit-prajurit Pelangi Kuning.
Para prajurit Pelangi Kuning banyak yang mengenalinya sebagai si "saudagar beras"
Dan mereka terkejut melihat orang tua ini tiba-tiba seganas serigala kelaparan di arena pertempuran.
Ternyata keempat pengikutnya yang seharihari menyamar sebagai anak-anak dan pegawaipegawainya, juga menunjukkan ketangkasan luar biasa.
Dua pemuda yang berwajah mirip satu sama lain,, yang dikenal penduduk kampung itu sebagai "anak-anak si saudagar beras", masing-masing bersenjata pedang, mengamuk dengan hebat di antara prajuritprajurit Pelangi Kuning.
Begitu juga dua orang "pegawai"
Mereka. Mereka berlima mendesak sampai mendekati pimpinan dari kelompok penyerbu itu. Pimpinan kelompok penyerbu melihat kedatangan mereka, lalu berkata.
"Kalian sudah kami tunggu-tunggu! VI la membuat lompatan-lompatan panjang ke sana ke mari bagaikan seekor belalang, senjatanya yang berujud Lian-cu-tui (Rantai dengan bola besil), berdesing kian kemari dan sudah meretakkan beberapa tulang tengkorak prajurit-prajurit Pelangi Kuning. VI Si Saudagar Beras bergulingan dengan tangkas karena ada sambaran senjata dari belakang, dan sambil berguling ia juga membandringkan Lian-cu-tuinya yang tepat mengenai wajah penyerangnya sehingga remuk. Sambil melompat berdiri kembali, ia menjawab si pemimpin kelompok penyerbu.
"Yang lainlainnya apakah sudah siap?"
Si Pemimpin penyerbu melompat mundur meninggalkan lawannya, yaitu seorang perwira Pelangi Kuning, dua orang bawahannya menggantikan menghadapi perwira ini. Langsung Si "pedagang beras"
Bermeneriakkan kata-kata rahasia.
Sebagai jawaban dari kode itu, dari barisan belakang kawanan penyerbu muncul suatu barisan yang jumlahnya tidak terlalu banyak dibandingkan dengan keseluruhan yang terlibat pertempuran di situ.
Inilah regu-inti yang akan ditargetkan menghancurkan sasaran utama.
Keseluruhan pasukan penyerbu itu sudah menampakkan diri sebagai prajurit-prajurit berkwalifikasi istimewa, sedangkan kedua ratus VI orang ini dipilih dari yang istimewa-istimewa itu, tentu saja mereka ini orang-orang yang lebih istimewa lagi.
Si "pedagang beras"
Dan keempat orangnya segera bergabung dengan regu yang istimewa dari antara yang istimewa ini. Langsung Si "pedagang beras"
Bertindak sebagai penunjuk jalan untuk regu ini, ke arah rumah yang ditempati Jenderal Lau.
Begitu regu istimewa ini bergerak, s.gera terasa kalau regu ini memang memiliki daya dobrak yang hebat.
Gerak majunya menimbulkan gelombang tekanan ke pihak Pelangi Kuning.
Selain itu, pe-nyerbu-penyerbu lain yang tidak termasuk dalam regu istimewa ini sudah diperintahkan untuk membantu supaya gerak maju regu istimewa ini selancar mungkin.
Begitulah, di tengah hiruk-pikuknya pertempuran, regu ini mendobrak maju dengan langkah pesat ke arah rumah yang ditempati Jenderal Lau.
Sudah gamblang kalau pihak musuh hendak melakukan siasat "memukul ular VI memukul kepalanya dulu"
Dan Jenderal Lau Cong-binlah yang dianggap dan diincar sebagai "kepala ular"
Itu.
Prajurit-prajurit Pelangi Kuning dalam kelompok-kelompok yang kurang rapi, dibentuk seadanya, mencoba membendung gerak maju pasukan istimewa musuh ini di lorong-lorong desa.
Tetapi selalu saja rintangan-rintangan itu tidak..dapat bertahan lama dan bobol terceraiberai dalam waktu singkat.
Si "saudagar beras"
Dengan bandringan-nya adalah salah satu ujung tombak terdepan regu istimewa itu.
Deng Hu-koan yang sedang meninjau ke seluruh, sampai ke tempat itu, dan matanya yang berpengalaman itu langsung melihat sumber masalahnya.
Regu istimewa yang sedang bergerak maju hampir tanpa hambatan berarti itulah masalahnya.
Deng Hu-koan juga tercengang melihat si "saudagar beras"
Yang biasanya klelar-kleler itu sekarang beringas seperti serigala kelaparan.
Deng Hu-koan adalah seorang perwira tinggi, bahkan tangan VI kanan Jenderal Lau, namun dalam hal pertarungan pribadi atau perorangan, ia bukan jagoan.
Ia mencapai kedudukannya karena sumbangan pikirannya dalam taktik militer dan berhasil menyenangkan hati Lau Cong-bin, unsur terpenting kenaikan pangkat di antara orang-orang bawahannya Lau Cong-bin.
Maka melihat keberingasan si "saudagar beras", Deng Hu-koan tidak berani menghadapinya sendiri.
Ia malahan mundur amblas ke tengahtengah prajurit-prajuritnya, dan memberi perintah.
"Coba tahan mereka dengan senjatasenjata jarak jauh!"
Apa yang diperintahkan itu sudah dicoba sebelumnya dengan hasil tidak banyak, toh sekarang dicoba lagi karena perintah Deng Hukoan.
Begitulah para pemanah dan pelempar lembing kembali mencari posisi mereka.
Sementara Deng Hu-koan sendiri malah mundur menyusup jauh ke garis belakang, sambil meninggalkan pesan untuk orang-orang garis depan.
"Bertahanlah sekuat tenaga. Aku akan menyusun pertahanan yang memadai di VI belakang. Nanti begitu ada isyarat, baru kalian boleh mundur, sebelum ada isyarat, jangan bergeser dari tempat ini..."
Habis memberi perintah, ia menghilang ke garis belakang.
Ternyata bagi orang-orangnya di garis depan, sunggun sulit menjalankan perintah itu.
Tekanan regu istimewa itu terlalu hebat, sehingga sedikit demi sedikit mereka bergeser mundur juga.
Si pemimpin dari regu istimewa itu, memberi aba-aba.
"Perlebar arena."
Orang-orangnya yang di bagian belakang lalu masuk ke halaman rumah-rumah penduduk, dan terlihat betapa gampangnya mereka melompati tembok halaman rumah penduduk yang tingginya dua meter itu.
Bahkan ada yang maju ke depan dengan berlari-lari menyusuri tembok yang lebarnya hanya sejengkal itu.
Prajurit-prajurit Pelangi Kuning agak terguncang semangatnya melihat kemampuan perorangan regu istimewa musuh mereka itu.
VI Tetapi mereka pun cukup gigih.
Dalam keadaan terjepit, semangat Pelangi Kuning yang dulu pernah membara ketika mereka masih menjadi pe-juang-pejuang yang penuh keprihatinan, sebelum mereka menang perang dan menjadi prajurit-prajurit "manja", sekarang semangat itu seakan kembali muncul dari persembunyian mereka.
Apalagi di antara prajurit-prajurit itu ada yang meneriakkan slogan-slogan perjuangan yang dulu, yang membakar semangat.
Dengan demikian, bagaimanapun tangguhnya regu istimewa dari pihak penyerbu itu, mereka ternyata tidak menghadapi lawanlawan empuk.
Terhadap penyerbu-penyerbu yang menyusur di atas tembok itu, prajurit-prajurit Pelangi Kuning mencoba menyerampang kaki mereka dari bawah tembok dengan menggunakan tombak-tombak mereka.
Atau memanah dan melempari mereka dengan Jembing.
Dua tiga orang penyerbu memang berhasil dijatuhkan.
VI Tetapi penyerbu yang tidak berhasil dijatuhkan, segera terjun ke bawah, ke tengahtengah prajurit-prajurit Pelangi Kuning di garis belakang.
Dan makin banyak penyerbu .yang melakukan hal itu.
Ada yang menyelinap ke halaman rumah penduduk, kemudian muncul dari lorong yang lain, dan menyerang lambung pasukan Pelangi Kuning.
Ada juga yang menyusur tembok, tetapi karena tidak bisa melompat tembok seperti teman-teman mereka, pnaka untuk naik ke atas tembok mereka harus menginjak pundak teman-teman mereka.
Demikianlah, makin panas pertempuran itu, makin panas pula hati orang di kedua pihak, dan keberanian yang ditunjukkan oleh kedua belah pihak pun makin tidak masuk akal.
Garis pertempuran menjadi tercerai berai, tetapi regu istimewa kaum penyerbu itu agaknya tetap diingatkan akan tugas khusus mereka.
Mereka tidak mau berpencaran.
Kalau pun mereka berpencaran, itu hanya sementara untuk mengatasi hambatan.
Begitu hambatan VI berhasil mereka atasi, mereka berkumpul kembali menjadi satu barisan yang seperti sebuah perahu yang melaju di tengah-tengah air, memecah gelombang-gelombang kecil.
Yang menghebat bukan hanya pertempuran yang dialami regu istimewa itu, melainkan oleh kedua belah pihak di seluruh sudut desa di mana pun pertempuran terjadi.
Desa yang di hari-hari sebelumnya tenteram dan damai, sekarang benar-benar seperti neraka.
Api menyala di mana-mana, menerangi malam, menerangi sosok-sosok tubuh berlumuran darah yang bertebaran di manamana.
Atau sosok tubuh yang masih bisa merintih, bahkan masih ada yang bisa merangkak atau merayap perlahan menghindari arena sebelum dihabisi sama sekali.
Regu istimewa yang disiapkan musuh untuk membunuh Jenderal Lau itu maju terus sampai ke pinggir alun-alun desa yang tidak seberapa besarnya.
Di seberang lapangan itulah rumah Kepala Desa yang didiami Jenderal Lau dan VI pengawal-pengawalnya.
Di lapangan di depan rumah, prajurit-prajurit Pelangi Kuning berbaris berlapis-lapis.
Sebagian berjongkok dan sebagian berdiri, dengan panah-panah sudah terpasang di tali busur.
Di atas tembok rumah Kepala Desa juga kelihatan pengawalpengawal wanita Jenderal Lau nongol setengah badan dengan panah siap ditembakkan pula.
Kali ini agaknya regu istimewa kaum penyerbu itu akan menghadapi perlawanan yang agak istimewa.
Yang memimpin pasukan yang berlapislapis di depan rumah itu adalah Deng Hu-koan sendiri.
Begitu melihat ujung dari regu penyerbu itu muncul di pinggir lapangan, Deng Hu-koan mengibaskan pedangnya, dan serempak ratusan prajurit melepaskan panah mereka sehingga seperti air hujan lebatnya.
Namun agaknya regu penyerbu itu sudah memperhitungkan hal itu, dan mereka sudah punya persiapan untuk itu.
Sebelum mereka sampai ke muara lorong yang menyambung ke VI lapangan, dengan aba-aba singkat, puluhan orang dari antara regu istimewa itu sudah mengeluarkan perisai-perisai rotan ringan yang tadinya digendong di punggung.
Perisai-perisai itu berbentuk persegi dan lebar, sehingga ketika digendong jadi seperti batok kura-kura.
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kini, pembawa perisai-perisai itu pun membuat "dinding"
Di mulut lorong yang menghadap lapangan. Satu baris berjongkok dan satu baris lainnya berdiri, menyusun perisai-perisai itu rapat bagaikan dinding. Semua panah yang dilontarkan pasukan Deng Hu-koan terdampar di "tembok"
Anyaman rotan ini. Dari belakang "tembok"
Ini, pihak penyerbu tidak tinggal diam, melainkan membalas.
Mereka yang bertugas memanah mengambil busur-busur dari punggung mereka.
Sebagaimana perisai-perisai anyaman rotan mereka berukuran raksasa, ternyata begitu pula busur-busur dan anak-anak panah mereka.
Busur-busur macam ini di Jepang dikenal dalam seni memanah.
Kyujitsu, panjangnya busur lebih panjang dari panjang tubuh pemanahnya VI sendiri, begitu pula anak-anak panahnya seperti lembing kecil karena ukurannya yang luar biasa.
Dalam pertempuran di medan yang sempit, panah-panah gaya Kyujitsu macam itu akan menyulitkan diri sendiri.
Tetapi di medanmedan terbuka, panah itu sangguh menjangkau hampir dua kali lipat dari panah biasa.
Di belakang "tembok rotan", pemanahpemanah gaya Kyujitsu itu berdiri tenangtenang, penuh konsentrasi menarik tali busurnya dan kemudian melepaskan panahpanah mereka.
Luncuran panah-panah mereka tidak sederas luncuran panah-panah kecil perajurit-prajurit Pelangi Kuning, tetapi jangkauannya yang jauh dan tenaga luncurnya yang kuat itu mengejutkan lawan-lawan mereka.
Begitulah, di kedua sisi lapangan desa itu dua kelompok berhadapan dan saling memanah.
Ternyata "tembok rotan"
Yang dibangun kaum penyerbu itu tidak sekedar untuk berlindung dari panah dan untuk melindungi VI pemanah-pemanah mereka membalas serangan, melainkan punya maksud lain, yaitu untuk menyelubungi gerakan lain mereka.
Di bawah perlindungan "tembok rotan"
Itu, sebagian besar anggota regu istimewa itu menyelinap ke samping, mengendap-endap di lorong-lorong gelap di sela-sela rumah-rumah penduduk, tanpa terlihat oleh Deng Hu-koan dan orang-orangnya.
Yang memimpin rombongan pecahan ini adalah Si "saudagar beras"
Sendiri. Ia akan memimpin rombongannya untuk menerobos memasuki rumah tempat kediaman Jenderal Lau dari arah yang tidak diduga. Sebagai orang yang sudah lama tinggal di desa itu, Si "saudagar beras"
Sudah hapal setiap lika-liku lorong-lorong di desa itu sampai yang sekecilkecilnya. Sementara itu, Deng Hu-koan tidak sabar melihat "acara"
Saling memanah yang agaknya tidak akan habis-habis karena kedua pihak bertahan di posisinya masing-masing. Sambil mengibaskan pedangnya, menggelegarlah VI perintahnya.
"Musuh hanya sedikit dan kita berjumlah lebih banyak, kita ambil keuntungan dari kelebihan jumlah kita. Jangan biarkan mereka aman di balik perisai-perisai lebar mereka! Serbu! Regu satu, dua, tiga, empat dan lima menyerbu ke depan!"
Ada sepuluh regu prajurit yang disiagakan di sekitar rumah yang didiami Jenderal Lau itu.
Sekarang, dengan menggerakkan lima regu untuk maju menyeberangi lapangan, berarti separuh kekuatan diarahkan ke depan.
Deng Hu-koan menganggap, ancaman terberat adalah regu istimewa musuh yang dilihatnya tadi, maka kalau regu itu bisa dihabisi secepatnya, yang lain-lainnya akan lebih mudah ditangani.
Itulah yang membuat Deng Hu-koan berani mengambil tindakan penuh resiko itu.
Begitulah, sambil bersorak-sorai, lima regu prajurit menghambur menyeberangi lapangan, sambil berlindung merunduk di-balik perisaiperisai mereka.
Mereka akan memaksakan suatu pertempuran jarak dekat, yang menurut VI perhitungan Deng Hu-koan akan dimenangkan pihaknya berdasar keunggulan jumlah.
Pemimpin regu istimewa musuh itu mengambil perhitungan sendiri.
Ia tidak membiarkan orang-orangnya yang jauh lebih sedikit itu terjebak dalam pertempuran di tempat yang luas seperti lapangan itu.
Selain akan kurang menguntungkan, juga akan ketahuan oleh pihak musuh kalau sebagian besar orang-orangnya sudah menyelinap ke tempat lain.
Tentu pihak musuh akan curiga kalau melihat orang-orangnya tinggal sedikit, dan tentu akan bertanya-tanya ke mana yang lainnya.
Karena itu, ia menarik mundur orangorangnya belasan langkah memasuki lorong, tanpa membongkar "tembok rotannya".
Kemudianpemanah-pemanahnya diperintahkan untuk mengganti panah-panah mereka dengan panah-panah kecil agar bisa lebih lincah dan lebih gencar.
Arahnya juga agak dikebawahkan, mengincar dari celah-celah "tembok perisai rotan"
Kawan-kawan mereka.
Maka meskipun VI prajurit-prajurit Pelangi Kuning itu mengangkat tinggi perisai-perisai mereka dan berhasil melindungi kepala dan tubuh mereka, kaki mereka banyak yang menjadi sasaran sehingga beberapa orang terdepan jatuh terguling dan mengaduh-aduh, yang kurang beruntung akan diinjak-injak teman sendiri, yang beruntung hanya dilompati saja.
Ternyata panah-panah tidak menghambat sepenuhnya serbuan prajurit Pelangi Kuning karena jumlah mereka jauh lebih banyak.
Akhirnya pertempuran jarak dekat yang sengit.
Untung bagi para penyerbu itu, sebab serombongan penyerbu lainnya muncul dari ujung lorong dan segera bergabung.
Dalam sengitnya pertempuran, pihak Pelangi Kuning jadi kurang memperhatikan jumlah yang kurang dari lawan-lawan mereka.
Mereka bertempur saja dengan bersemangat.
Pihak penyerbu berusaha memanfaatkan lorong yang terbatas lebarnya itu demi keuntungan mereka, yang lebih sedikit dari musuh.
VI Sementara Si "saudagar beras"
Dan rombongannya sudah menyelinap sampai di sebelah samping rumah Si Kepala Desa.
Mereka bersembunyi di sebuah kebun sayur yang gelap, dekat kandang ayam sehingga aroma kotoran ayam juga tercium tajam.
Mereka melihat di bagian samping rumah Kepala Desa itu pun ada satu regu yang berjaga-jaga.
Agaknya sebagian besar kekuatan sudah dikerahkan ke arah lain.
Si "saudagar beras"
Sejenak menghitung kekuatan penjaga di samping rumah itu dibandingkan dengan kekuatan pihaknya, dan ia yakin pihaknya akan berhasil menembus penjagaan itu asal dilakukan mendadak dengan unsur kejutan yang tinggi.
Maka secara bisikbisik ia lebih dulu menyiapkan orang-orangnya agar bersiap menunggu aba-abanya.
Setelah petunjuknya merata ke semua orangnya, pekik Si "saudagar beras"
Pun mengoyak kesunyian malam di bagian desa yang itu.
"Sergap!"
Orang-orangnya pun berlompatan dari kegelapan sambil mengelebatkan senjata masing-masing. Sergapan mendadak itu VI langsung makan korban belasan orang prajurit Pelangi Kuning. Si "saudagar beras"
Sendiri sudah tentu "porsinya"
Berbeda dengan anak buahnya, sekali ban-dringnya terayun melebar, tiga orang sekaligus jadi korbannya, tiga jidat dibuatnya retak.
Belum hilang kejut prajurit-prajurit itu, dari kegelapan berlompatan keluar orang-orang yang lebih banyak lagi.
Sementara penyergappenyergap awal tadi langsung melompat ke atas tembok halaman samping rumah Kepada Desa itu.
Orang seperti Si "saudagar beras"
Dan beberapa orang lainnya dapat melompat dan hinggap dengan mudah di atas tembok, yang lainnya harus mencapainya dengan saling menginjak pundak teman, tetapi mereka tangkas sekali, agaknya memang sudah dipersiapkan untuk "acara"
Malam itu.
Begitulah, sebagian bertempur dengan penjaga-penjaga yang masih geragapan, sebagian lagi langsung masuk ke dalam rumah dengan melompati dinding halaman.
VI Di bagian dalam dinding itu yang ada hanyalah pengawal-pengawal wanita cantikcantik Jenderal Lau, tak satu pun lelaki kecuali Jenderal Lau sendiri, atau perwira-perwiranya yang datang melapor.
Jumlah pengawalpengawal jelita itu ada seratus orang lebih dan semuanya digembleng untuk berkelahi, selain untuk "melayani"
Seperti memijat dan bahkan menemani tidur. Melihat. wanita-wanita cantik berseragam pengawal dan bersenjata di halaman itu, anak buah Si "saudagar beras"
Ragu-ragu, haruskah mereka berkelahi dengan perempuan? Tapi Si "saudagar beras"
Menghapus keraguan anak buahnya.
"Perempuanperempuan cantik ini pengawal-pengawal yang tangguh, ia bisa membuat kalian menjadi orang kebiri kalau kalian ragu-ragu!"
Lalu Si "saudagar beras"
Sendiri terjun dari atas tembok ke bagian dalam tembok itu, langsung mengoperasikan bandringnya.
Para pengawal wanita melawannya dengan gigih, dan ternyata benar, mereka tangkas-tangkas VI dalam bertempur.
Bahkan ada seorang yang senjatanya persis Si "saudagar beras"
Yaitu rantai berujung bola besi, cuma bola besinya lebih kecil, sebesar jeruk yang belum masak, namun cukup berbahaya karena kemahirannya dalam mengincar sasaran. Pengawal wanita bersenjata bandring itu mengenai Si "saudagar beras"
Sehingga ia tercengang.
"Hei, Pak tua bukankah kau Si Pedagang Beras itu?"
Si "saudagar beras"
Tertawa menunjukkan gigi-giginya yang coklat karena seringnya ia mengisap tembakau, sahutnya.
"Dagang beras sepi sekarang, jaman perang, banyak perampok berseragam mentereng. Aku lalu alih usaha saja, mengandalkan ketrampilan main senjata, meniru Bi-lo-sat (Raksasa Cantik) Ai Hui..."
Si pengawal wanita bersenjata bandring itu terkejut.
"kau mengenali aku?"
Pengawal wanita itu dulunya memang seorang jago wanita golongan hitam yang berjuluk Raksasa Cantik dan bernama Ai Hui, entah kenapa dia menjadi salah satu anggota VI pengawalnya Jenderal Lau yang tentu saja lebih menjamin hidupnya.
Kini tiba-tiba ia dikenali oleh seorang "saudagar beras", sudah terang kalau Si "saudagar beras"
Ini bukan orang sembarangan. Si "saudagar beras"
Terkekeh-kekeh.
"Ya, siapa tidak kenal Bi-lo-sat?"
"Apa maksudmu datang kemari?"
"Sudah kukatakan tadi, aku alih usaha menjadi 'pengusaha tanpa modal' saja..."
Istilah "pengusaha tanpa modal"
Sering digunakan sebagai olok-olok buat orang yang kerjanya mencuri, merampok atau membegal. Ai Hui tertawa.
"Mungkin alih usaha yang lebih menguntungkan. Tetapi malam ini, apakah kau dan orang-orangmu tidak salah sasaran?"
"Tidak. Sebab orang-orangku lebih banyak, lebih kuat, lebih terlatih, dan sebentar lagi kami akan menguasai seluruh desa ini dan menggantung Jenderal hidung-belangmu itu."
"Untuk pihak mana kau bekerja?"
"Untuk itu, tidak usah kau pusingkan. VI Sekarang minggir atau mati, hanya itu pilihanmu."
Hati Ai Hui agak tergetar.
Orang yang berani bicara selugas itu setelah tahu berhadapan Bilo-sat Ai Hui, pastilah orang itu punya pegangan yang diandalkan.
Namun keangkuhan Ai Hui terusik pula, ia tidak sudi kebesaran namanya direndahkan, maka dengan garangnya ia segera menyerang dengan bandringnya.
Si "saudagar beras"
Meladeninya, sambil meneriakkan suatu isyarat kepada orangorangnya.
Sebagian orang-orangnya berusaha membuka sebuah pintu kecil yang menembus ke lorong di samping rumah.
Mereka tak terhalangi.
Tak lama kemudian membanjirlah penyerbu-penyerbu dari kelompok regu pilihan itu ke halaman samping rumah Kepala Desa itu.
Prajurit-prajurit Pelangi Kuning yang diluar juga ikut menyusul masuk.
Namun sekali lagi mereka dapat dikecoh oleh lawan-lawan mereka.
Dalam jumlah yang lebih banyak, mereka tidak bisa memanfaatkan kelebihan VI jumlah itu sebab arenanya sempit, dibatasi dinding-dinding halaman.
Jumlah yang banyak itu sebagian besar hanya berdesak-desak di garis belakang dan tidak berperanan apa-apa dalam pertempuran.
Jenderal Lau menggigil di dalam rumahnya, mendengar suara pertempuran tidak jauh lagi, tetapi di halaman rumah yang ditempatinya.
Meskipun puluhan pengawalnya yang cantikcantik itu berjaga-jaga di sekitarnya, namun jantungnya sudah hampir copot mendengar suara perkelahian itu.
Berulang kali ia mengutuk, mengutuk apa saja.
"Mana bala bantuan itu? Apakah mereka berjalan kemari dengan merangkak?"
"Tenanglah, Jenderal, sebentar lagi mereka tiba di sini?"
"Kenapa pengawal-pengawalku tidak mampu menahan pengacau-pengacau itu jauh dari rumah ini?"
"Mereka sudah berusaha sekuatnya, Jenderal, pengacau-pengacau itu memang tertahan jauh dari sini..."
VI "Lalu suara keributan di luar itu suara apa?"
"Sebagian kecil dari para pengacau berhasil menyelinap mendekat dari arah tak terduga. Tetapi mereka tidak berbahaya, sebentar lagi mereka..."
Belum selesai kata-kata hiburan itu, pintu telah ditabrak keras dari luar, oleh semua pengawal wanita yang terhuyung-huyung dan menggelosor di lantai.
Semuanya terkejut melihat si penabrak pintu adalah Bi-lo-sat Ai Hui, orang yang paling tangguh di antara para pengawal wanita, bahkan merangkap sebagai komandan dan pelatih.
Kini semuanya melihat Bi-lo-sat Ai Hui merangkak bangun dengan muka pucat, sudut bibitnya meneteskan darah.
Dua pengawal wanita harus membantunya untuk bangkit.
Menyusul dari pintu yang terdobrak itu Si "saudagar beras"
Muncul. Kalau biasanya di hadapan Jenderal Lau dia bersikap merundukrunduk hormat, kata-katanya menjilat, kali ini sungguh berbeda. Sikapnya garang, bahkan VI langsung membentak Lau Cong-bin.
"Lau Congbin, aku inginkan nyawamu!"
Langsung saja bandringannya meluncur ke wajah Jenderal Lau. Seorang pengawai wanita melompat ke hadapan Jenderal Lau, menghadangkan tamengnya untuk melindungi atasannya. Ternyata luncuran bandring Si "saudagar beras"
Terlalu kuat, lengan yang ada di belakang tameng itu seketika keseleo ketika tamengnya dibentur bola besi di ujung rantai, si pemegang tameng sendiri jatuh terjengkang.
Dengan demikian bola besi itu meluncur terus ke wajah Jenderal Lau.
Agaknya kesetiaan pengawal-pengawal wanita yang merangkap sebagai kekasihkekasih Jenderal Lau itu cukup teruji.
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seorang pengawal menubruk Jenderal Lau sehingga jatuh bergulingan dari kursinya, dengan demikian Jenderal Lau itu diselamatkan.
Sedangkan kursi yang terbuat dari kayu yang kuat itu pun rinsek berantakan terkena bandringan Si "saudagar beras".
VI Si "saudagar beras"
Agaknya tidak sabar melihat kegigihan pengawal-pengawal wanita itu. Ia sentakkan rantainya ke samping, dan bola besinya terkendali menyapu dua pengawal wanita di samping tempat duduk Jenderal Lau tadi, sambil berteriak.
"Kalian pelacur-pelacur tak berharga, agaknya aku harus membasmi kalian lebih dulu!"
Pengawal-pengawal wanita itu melawan dengan gigih, bahkan nekad.
Dan sementara perempuan-perempuan itu bertarung gagah berani, Jenderal Launya sendiri tetap saja tengkurap di lantai dengan ketakutan, mukanya pucat dan seluruh tubuhnya terasa dingin, perlahan-lahan ia merayap masuk ke kolong meja....
Pengikut Si "saudagar beras"
Juga berhamburan masuk. Sekarang pertarungan bukan saja "terdengar dekat"
Oleh Lau Cong-bin, bahkan berlangsung di depan hidung Lau Congbin sendiri.
Jenderal itu napasnya sudah tersendat-sendat, merasa nyawanya seolah-olah sudah ada di ubun-ubun.
VI Ternyata kegigihan pengawal-pengawal itu tidak berarti banyak di hadapan suatu regu yang memang sudah disiapkan untuk membunuh Jenderal Lau itu.
Satu demi satu pengawal-pengawal jelita itu roboh bertumbangan, tewas atau terluka parah.
Si "saudagar beras"
Benar-benar bertindak keras tanpa ragu-ragu, meskipun yang dihadapinya adalah wanita.
Sekarang nyawa Jenderal Lau seperti telur di ujung tanduk.
Sang jenderal sendiri sudah lumpuh oleh ketakutan, tidak mampu menggerakkan tubuhnya seujung rambut pun untuk berusaha lari dari situ.
Saat itulah tiba-tiba terdengar suara kayu penyangga genteng berderak-derak, dan reruntuk genteng berjatuhan ke bawah.
Genteng berlobang besar karena diinjak kaki bertenaga raksasa, kemudian si pemilik kaki yang hebat ini pun meluncur turun ke dalam ruangan.
Orang itu pun seorang pemuda tegap, berseragam perwira Pelangi Kuning namun bukan dari pasukannya Jenderal Lau melainkan VI dari pasukannya Li Giam, memegang sepasang pedang tebal.
Perwira ini bukan lain adalah Yo Kian-hi.
Ketika sepasang pedangnya berkelebat serempak, beberapa penyerbu tumbang ke lantai.
Menyusul beberapa orang berluncuran ke bawah, dan seragam mereka berbeda pula, mereka mengenakan seragam pengawalpengawal istana kaisar.
Orang tahu, pengawalpengawal istana Kaisar bukan cuma mentereng seragamnya, melainkan juga adalah prajuritprajurit pilihan atau jagoan-jagoan tangguh.
Yo Kian-hi serta seribu pengawal istana sebenarnya sedang mengawal Puteri Kong-hui alias Tan Wan-wan dalam perjalanan menuju ke San-hai-koan.
Tapi di tengah jalan mereka mendengar berita kalau San-hai-koan sudah jatuh ke tangan orang-orang Manchu dan balatentara Manchu sudah masuk Tiong-goan serta pasukan Jenderal Lau terpukul kalah dan mundur puluhan li.
Mendengar itu, ternyata Tan Wan-wan bersikeras untuk tetap melihat keadaan garis depan.
Ketika mereka mendekati VI desa tempat Jenderal Lau bermarkas, mereka melihat nyala api dan suara keributan.
Demi keselamatan Puteri Kong-hui, Yo Kian-hi menyuruh seluruh pasukan berhenti, kemudian Yo Kian-hi sendiri bersama belasan perwira pilihan yang cukup tangguh, mendahului menuju ke desa itu dan melihat apa yang terjadi.
Itulah asalnya kedatangan Yo Kian-hi dan kawan-kawannya ke tempat itu.
Dan kedatangan mereka kebetulan menjadi suatu pertolongan berarti buat nyawa Jenderal Lau yang sudah "sampai ke ubun-ubun".
Tidak peduli Jenderal Lau ini sudah sering berusaha mencelakakan Jenderal Li Giam, atasan Yo Kianhi, kali ini Yo Kian-hi melupakan ganjalan itu dan menolong Lau Cong-bin.
Begitulah, kedatangan Yo Kian-hi dan kawan-kawannya para jago-jago pengawal istana itu jadi merubah perimbangan.
Giliran kaum penyerbu yang sekarang "menabrak tembok besi"
Di hadapan Yo Kian-hi dan kawankawannya. VI Dengan matanya yang tajam, Yo Kian-hi langsung melihat yang perlu digebuk dulu adalah Si "saudagar beras"
Yang kelihatan paling tangguh. Seperti seekor elang menyambar dengan sayap-sayap terpentang, dan kedua pedang di tangannya, ia melompati kepala orang-orang, baik kawan maupun lawan, langsung ke arah Si "saudagar beras". Si "saudagar beras"
Dengan tangkas berguling, sambil mengayunkan rantainya untuk berbelit betis Yo Kian-hi yang sedang melayang di udara.
Rupanya dia melihat juga kehebatan Yo Kian-hi sehingga ia tidak berani menghadapinya sendiri.
Sambil berguling dan memban-dring, ia juga mengucapkan isyarat kepada seorang kawannya untuk membantunya menghadapi Yo Kian-hi.
Yang diberi isyarat adalah orang yang sehari-harinya menyamar sebagai "pembantu"
Rumah tangga yang bersenjata Ce-bi-kun (Toya Setinggi Alis). Di antara orang-orang seisi rumahnya, selain dirinya sendiri adalah Si "pembantu rumah tangganya"
Inilah yang paling tangguh. Di ruang VI Sambil berguling dan membaradring, ia juga mengucapkan isyarat kepada seorang kawannya untuk membantunya menghadapi Yo Kian-hi. VI rahasia bawah tanah, Si "pembantu rumah tangga"
Inilah pasangan untuk mengasah ketrampilan ilmu silat dalam bertemour. Yo Kian-hi berteriak di udara, bersalto menghindarkan kakinya dari libatan rantai dan kemudian meluncur dengan iepasang pedang bersilangan hendak "menggunting"
Ke leher Si "saudagar beras". Tetapi yang tergunting adalah sebuah kursi yang dilemparkan oleh Si "pembantu rumah tangga"
Untuk menyelamatkan rekannya itu. Menyusul Si "pembantu rumah tangga"
Sendiri meluncur maju dan mengemplang Yo Kian-hi ke arah pelipisnya. Semua ini memberi kesempatan kepada "saudagar beras"
Untuk memperbaiki posisinya yang pontang-panting tadi menghadapi kecepatan gerak Yo Kian-hi. Tanpa pertolongan itu, Si "saudagar beras"
Mungkin sudah berubah menjadi arwah gentayangan di bawah sepasang pedang Yo Kian-hi.
Begitulah Yo Kian-hi menghadapi dua lawan tangguh sekaligus.
Namun perwira bawahan VI Jenderal Li Giam yang sangat diandalkan itu bertarung seperti seekor gajah yang mengamuk.
Bukan itu saja, kawan-kawan yang datang bersama-sama Yo Kian-hi, para jagoan pengawal Kaisar, juga mempersulit kedudukan para penyerbu yang ingin membunuh Jenderal Lau itu.
Namun sekarang keinginan tinggal keinginan, niat membunuh itu jelas takkan tercapai.
Jenderal Lau yang menggelosor di kolong meja itu sudah dibantu oleh pengawalpengawal cantiknya, lalu dipapah ke ruang dalam yang lebih aman.
Ganjil juga melihat adegan seorang lelaki gagah berpakaian perang komplit, dengan tubuh gemetar dan muka pucat, dipapah-papah dua orang wanita muda.
Tetapi ganjil atau tidak ganjil, itulah yang terjadi.
Di seluruh desa, pertempuran antara para penyerbu dan prajurit-prajurit Pelangi Kuning masih berlangsung sengit, dengan korban yang bertambah-tambah di kedua belah pihak.
Arena pertempuran utama ada di lorong utama desa VI itu, namun pecahan-pecahan pasukan kedua belah pihak bertempur di sudut kampung di mana saja mereka bertemu.
Di lorong-lorong kecil, kebun-kebun sayur, kandang-kandang ternak, halaman-halaman rumah, bahkan di dalam rumah.
Komandan kedua belah pihak tidak bisa mengontrol dan mengamati keseluruhan anak buah mereka.
Deng Hu-koan sebagai komandan di pihak Pelangi Kuning, menerima laporan yang simpang-siur dari semua bagian medan pertempuran.
Sementara lawannya, pemimpin dari para penyerbu itu, merasa gelisah karena dari arah rumah Kepala Desa yang didiami Jenderal Lau itu belum juga kelihatan isyarat bahwa "regu istimewa"
Yang ditugaskan membunuh Jenderal Lau itu berhasil.
Tandanya, kembang api biru adalah isyarat keberhasilan, dan kembang api merah adalah isyarat kegagalan.
Kedua jenis kembang api itu belum nampak semuanya.
Dan tiba-tiba saja malahan terjadi laporan yang kurang menggembirakan.
Dari luar desa VI terdengar sorak-sorai sebuah pasukan, kemudian seorang kurir melapor kepada Si Komandan penyerbu bahwa pihak Pelangi Kuning kedatangan bala-bantuan.
Hal seperti itu sudah diperhitungkan oleh pihak penyerbu, mereka sudah disiapkan untuk kemungkinan paling pahit sekalipun toh mempengaruhi juga.
"Edan!"
Kutuk Si Komandan penyerbu.
"Kenapa lama benar membunuh si jenderal hidung belang itu? Apakah pengawalpengawalnya demikian tangguh?"
Si pelapor sudah tentu tidak mampu memberikan pendapat apa-apa. Si komandan penyerbu masih mencoba bertahan, siapa tahu regu pembunuhnya tinggal selangkah dari tercapainya sasaran, perintahnya.
"Sampaikan perintah, bertahan sekuatnya!"
Prajurit-prajurit penghubung pun menyebarkan perintah itu ke segenap bagian. Si pemimpin penyerbu kemudian mengeluarkan perintah lain.
"Cari beritanya regu kita yang dikhususkan untuk sasaran utama kita!"
VI Yang dimaksudkan adalah "regu istimewa"
Untuk membunuh Jenderal Lau.
Pemimpin para penyerbu itu agaknya tidak mau lebih lama lagi terkatung-katung dalam ketidak-tahuan.
Seorang berlari cepat keluar dari pasukan, menyelinap di antara lorong-lorong desa yang gelap, hendak mencari kabar tentang regu pembunuh itu.
Sementara itu, pintu-pintu gerbang desa sudah dibuka dari beberapa arah, dan prajuritprajurit bala bantuan Pelangi Kuning pun membanjir masuk ke dalam desa.
Pemimpin para penyerbu kembali mengeluarkan perintah agar pecahan-pecahan pasukannya yang berpencaran itu bergabung kembali dengan induk pasukan, dan mencoba bertahan ketat terhadap pasukan Pelangi Kuning yang sekarang jadi jauh lebih banyak karena datangnya balabantuan.
Sampai kemudian dari arah rumah Kepala Desa di seberang lapangan itu meluncur kembang api berwarna merah di langit malam VI yang kelam.
Kembang api merah.
Isyarat kegagalan.
Si pemimpin penyerbu melihat isyarat itu dan menarik napas panjang, ternyata pihaknya gagal dan harus segera mundur sebelum seluruh desa "ditenggelamkan"
Pasukan musuh.
Isyarat mundur pun diberikan dengan kembang api pula, agar bisa dilihat oleh setiap bagian pasukan yang berpencaran di seluruh desa.
Maka seluruh pasukan penyerbu itu pun seperti air yang surut, mundur ke arah darimana mereka datang tadi, yaitu arah barat.
Baik yang dalam pasukan induk maupun yang belum bergabung di pelosok-pelosok desa.
Tidak terhindari adanya beberapa kelompok yang terjebak, terkurung oleh prajurit-prajurit Pelangi Kuning, dan mereka ini bertempur matimatian karena tidak mau menerima tawaran menyerah oleh prajurit-prajurit Pelangi Kuning.
Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja