Ceritasilat Novel Online

Dendam Kesumat 3


Dendam Kesumat Karya Tabib Gila Bagian 3



Dendam Kesumat Karya dari Tabib Gila

   

   Di sebelah utara terlihat Sasser Massif, yang termasuk kedalam Pegunungan Karakoram.

   Tabib sakti yang sudah terbiasa melintasi daerah-daerah pergunungan, menjadi pemandu Li Kun Liong selama perjalanan.

   Pengetahuannya tentang lembah ini cukup luas sehingga ia bisa mengenal daerah lebih dekat.

   Lembah Nubra (berarti taman) yang terletak antara Khardungla dan Glatsier Siachin, memperoleh namanya dari Sungai Nubra - anak Sungai Shyok, yang berhulu dari hamparan es mencair sepanjang tujuh puluh delapan kilometer - Glatsier Siachin Kedua sungai tersebut berhulu dari Sasser Massif masing-masing di timur dan di barat, lalu menyatu menjadi Sungai Shyok dan dalam perjalanannya sungai ini berkembang menjadi sungai Indus yang sangat besar di Baltistan.

   Sungai-sungai tersebut dalam perjalanan mereka selanjutnya memecah menjadi kali-kali yang mengalir ke lembah- lembah.

   Ketika salju mulai mencair sungai-sungai tersebut berubah menjadi jeram- jeram dengan ombak yang bergelombang-gelombang.

   Untuk mencapai kediaman tabib sakti, mereka juga harus mcnyelusuri endapan- endapan es, Li Kun Liong menyaksikan pemandangan yang menakjubkan sepertia adanya tonjolan-tonjolan es yang tidak mencair, tumbuh atau bergantung seperti stalaktik dan stalagmit disepanjang jalan yang mereka lewati.

   Mereka terpaksa mengerahkan ginkang untuk menghindari gumpalan-gumpalan es itu.

   Alam memperlihatkan keindahannya yang lain lagi setelah mereka tiba di suatu lembah yang bernama Lembah Nubra.

   Tanpa ditumbuhi pepohonan, daerah-daerah yang terletak di puncak-puncak pegunungan ini terasa kering dan gersang.

   Alam disini menampakkan warna-warna seperti abu-abu, coklat atau jingga, dan disamping itu tampak juga warna-warna magenta, kuning dan biru.

   Di beberapa tempat Lembah Nubra di tutupi oleh semak-semak berduri dan pepohonan.

   Disana sini mereka menyaksikan pula bunga-bunga mawar yang tumbuh liar dengan warna magenta, crimson, kuning dan merah, yang memberikan gambaran seperti sebuah karya sulam bermotif bunga yang tergantung di alam raya.

   Banyak pula terdapat tanaman-tanaman liar yang sesekali di petik tabib sakti untuk bahan ramuan obat.

   Selama beberapa bulan melakukan perjalanan bersama kakek gurunya, Li Kun Liong semakin tertarik dengan ilmu pertabiban yang diajarkan tabib sakti.

   Pada awalnya ia hanya mempelajari sekedarnya terutama ilmu racun dan ilmu totok urat nadi, tapi semakin lama mempelajarinya ia semakin menghargai kelihaian ilmu pertabiban ini yang tak pernah ada titik henti.

   Ia dihadapkan dengan masalah-masalah pelik yang tak kalah dengan jurus-jurus ilmu silat yang ia pelajari dari tabib sakti seperti bagaimana meramu berbagai macam tanaman, menakar jumlah yang diperlukan, menumbuk dan meraciknya untuk menghasilkan pil-pil yang mujarab.

   Setelah melewati daerah padang yang luas, mereka melewati jalan menuju Glatsier Siachin yang berliku-liku.

   Perjalanan sepanjang Sungai Nubra sangat menyenangkan, dengan melalui dusun-dusun yang ramai.

   Tabib sakti memberi tahu Li Kun Liong bahwa dusun-dusun ini rnerupakan rute perdagangan ke daerah tengah (Iran, Persia pada masa kini), sehingga ramai dan sibuk dengan kegiatan-kegiatan para kafilah yang membawa rempah-rempah dan garam.

   Mereka senang singgah disini untuk mengumpulkan tenaga sebelum meneruskan perjalanan selama dua pekan melewati padang pasir Karakoram dan pegunugan Kunlun.

   Suatu perjalanan dimana orang tidak akan menemukan sesuatu yang bisa disantap atau diminum di tengah perjalanan.

   Bahkan untuk makanan ternak yang menarik kereta-kereta kafilah itu juga tidak ada.

   Dengan demikian, dusun-dusun yang tersear di daerah itu, menjadi sangat penting artinya bagi perdagangan.

   Dalam perjalanan sepanjang jalan itu mereka menemukan beberapa mata air panas berbelerang, yang bersumber dari pegunungan, yang membuat tanah sekitarnya berwarna kuning oker.

   Tabib sakti memberitahu Li Kun Liong bahwa mata air panas tersebut mengandung khasiat penyembuhan, penduduk sekitarnya membangun saluran-saluran dan kolam-kolam kecil untuk mandi.

   Suatu hari mereka tiba gurun pasir.

   Gurun pasir ini tak jemu-jemunya menyuguhkan kejutan-kejutan kepada mereka.

   Tatkala mereka menuju pegunungan Hundar, mereka melihat bukit-bukit pasir besar dengan pola-pola arah angin jelas tergores diatas pasirnya yang dingin, berwarna kelabu.

   Bukit-bukit pasir setinggi 60-80 kaki tersebut sama berbahayanya dengan bukit-bukit pasir di daerah Jaisalmer (sekarang Rajasthan) yang lebih mudah ditempuh.

   Tetapi disini tersedia unta berpunuk ganda, unta Bactria - asli Mongolia - yang dengan mudahnya bisa melaju di padang pasir tersebut.

   Unta-unta ini adalah alat transportasi utama yang digunakan oleh para pedagang.

   Mereka meneruskan perjalanan dengan mengikuti matahari yang sedang menuju peraduannya, sehingga dia tampak seperti sebuah bola besar berwana kemerahan.

   Langit biru dan awan-awan pun ikut berubah warna menjadi crimson.

   Dan tanpa disadari bayang-hayang pun semakin memanjang begitu sore beranjak malam untuk memberi kesempatan kepada manusia dan makhluk bernyawa lainnya yang mendiami daerah ini untuk beristirahat dan melepaskan penat dari keganasan siang harinya.

   Sambil memandang langit terbuka malam itu dengan bintang-bintang berserak jelita di atas sana, Li Kun Liong terkenang pada gadis-gadis yang dikenalnya, mulai dari Cin-Cin yang rupawan dan ceria, Liok Han Ki yang sampai saat ini belum pernah ia lihat wajah aslinya sebagai seorang gadis namun tubuh mulus dan buah dadanya yang ranum menantang sudah pernah ia lihat serta di sentuhnya.

   Juga percintaannya dengan Erl kecil merupakan pengalamannya yang pertama dan tak terlupakan.

   Masih jelas terbayang di benaknya aroma tubuh harum Erl kecil dengan buah dada yang putih dan puting yang merona merah - mampu membuat kejantanannya berkedut kencang bila mengingatnya.

   Kadang kali ia rindu akan semua itu, perjalananan ini tidak ia sesali bahkan merupakan ujiaan buatnya untuk melatih diri kuat terhadap segala macam godaan.

   Di samping itu, ia sangat menikmati pengembaraan ini dan melihat hal-hal baru.

   Sejak ia mampu menyelami arti sesungguhnya ilmu silat dan mempelajari bermacam-macam jurus dari sucouwnya, terasa olehnya ilmu silatnya maju pesat, tapi entah seberapa jauh kemajuaannya ia tidak tahu karena hingga sekarang ia tidak pernah bertempur dengan siapapun.

   Bahkan dalam memberikan petunjuk pun tabib sakti hanya memberi penjelasan lisan dengan contoh-contoh sekedarnya buatnya untuk berlatih.

   Lagipula sebagian besar waktunya sekarang dihabiskan untuk mempelajari ilmu pertabiban yang tidak mudah dan rumit.

   Keesokan harinya, tabib sakti memberitahu kediamannya sudah dekat tidak terlalu jauh lagi.

   Dua hari kemudian, mereka tiba di suatu pegunungan yang nampak indah dan permai.

   Untuk menjangkau puncak gunung tersebut mereka harus melalui tebing- tebing yang curam dan jurang-jurang yang mengangga menanti ketidakhati-hatian mereka yang tidak memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna.

   Setiba di atas puncak gunung tersebut, wajah mereka di terpa hembusan angin gunung yang kencang dengan udara yang sangat dingin.

   Di sini mereka bisa menikmati suatu panorama yang indah dengan hutan-hutan yang lebat menghijau.

   Ini tempat yang menantang dan karena beratnya medan terbayar dengan pemandangan alamnya yang indah.

   Di atas puncak gunung tersebut, terlihat sebuah bangunan gubuk sederhana berdinding bambu berlantai kayu dengan beberapa ruangan yang di isi oleh perabotan yang sederhana.

   Di salah satu ruangan tampak berpuluh-puluh botol obat dengan tulisan kecil-kecil yang menunjukkan nama dan khasiat obat-obatan tersebut.

   Di bagian belakang gubuk terdapat kebun tanaman obat yang sangat luas, beratus- ratus jenis tanaman tumbuh secara alami di sekelilingnya.

   Li Kun Liong sudah bisa mengenali beberapa jenis tanaman yang tumbuh tersebut.

   Kebun tanaman ini merupakan perpustakaan hidup bagi tabib sakti, di sinilah ia menghabiskan waktunya melakukan percobaan-percobaan.

   Demikianlah mulai saat itu Li Kun Liong tinggal bersama tabib sakti memperdalam ilmu pertabiban dan ilmu silat sekaligus.

   13.

   Kegemparan di kota Wu-han Waktu seakan tidak pernah berubah mengitari ruang lingkup manusia didunia, tetapi terkadang waktu berjalan berbeda dengan kehidupan seorang manusia seperti halnya aliran air, kadang terbelokkan oleh secuil puing, atau oleh tiupan angin sepoi-sepoi.

   Tapi jika kita perhatikan sebuah sungai didesa atau kota tempat tinggal kita misalnya.

   Dimana air sungai tersebut mengalir dari hilir ke hulu atau dari atas turun kebawah, maka begitu juga dengan waktu.

   Setiap desahan detik, menit dan jam pasti berawal dan akan berakhir.

   Orang-orang pertapaan memandang waktu sebagai bukti adanya Tuhan.

   Tak ada yang tercipta sempurna tanpa adanya Sang Pencipta.

   Tak ada yang universal yang tidak bersifat ketuhanan.

   Semua yang mutlak adalah bagian dari Maha Mutlak.

   Lalu bagaimanakah dengan perputaran waktu yang tidak pernah berubah bak sebuah lingkaran.

   Artinya apa yang terjadi sekarang pernah terjadi jutaan tahun sebelumnya.

   Semua pertanyaan ini tidak dapat dijawab oleh manusia.

   Sebab manusia hanya bisa melekat pada waktu yang menggelinding di jalurnya sendiri-sendiri.

   Ada yang melekat pada waktu kesedihan, ada pula yang melekat pada waktu gembira.

   Cepat atau lambatnya tergantung mana yang lebih dipercaya oleh manusia itu sendiri apakah waktu mekanis atau waktu tubuh; Waktu yang pertama kaku, tak dapat ditolak dan telah ditetapkan sebelumnya.

   Waktu yang kedua meliuk-meliuk, dan mengambil keputusan sekehendak hati.

   Atau mungkin jika ada yang ingin waktu berjalan lambat terus menerus sehingga wajah cantiknya tidak akan punah dan pudar, dia dapat tinggal di daerah pegunungan karena menurut para ilmuwan waktu akan berjalan semakin lambat jika letak berpijak manusianya menjauh dari pusat bumi, sedangkan pegunungan adalah tempat yang tinggi dan tentunya jauh dari pusat bumi.

   Lain cara lagi manusia dapat tinggal saling berjauhan dengan jarak yang sangat jauh.

   Sebab pada kenyataannya waktu di setiap tempat berbeda dan berubah-ubah, maka setiap detik mendekati penuaan dan kematian di satu kota, akan terlambat seper sekian detik dari waktu di kota lainnya.

   Andaikata manusia dapat memilih ruang waktu dan tidak terjebak dengan kepasrahan dan tawakkal maka dimensi waktu dapat terlihat oleh mereka, seperti kelahiran-kelahiran, pernikahan-pernikahan, kematian-kematian adalah pertanda sebagai adanya dimensi waktu.

   Beberapa orang merasa takut meninggalkan saat- saat yang membahagiakan.

   Mereka memilih berlambat-lambat, berjingkat melintasi waktu, mencoba mengakrabi kejadian demi kejadian.

   Sedangkan yang lain tergesa- gesa berpacu menuju masa depan.

   Manusia dapat memilih waktu seperti empat buah probabilitas seorang lelaki muda yang hendak bertemu seorang perempuan yang suka menyeleweng dan mengkritik, dan mungkin akan membuat hidupnya sengsara.

   Probabilitas pertama ia tidak jadi menemui perempuan itu.

   Kedua, ia menemui perempuan itu dan bercinta dengannya lalu pergi saja meninggalkan rumahnya.

   Ketiga pria itu menemui si wanita tersebut akan tetapi tidak bisa mengutarakan cintanya.

   Dan yang terakhir mereka saling mencintai dan hidup bersama.

   Disamping itu masih terdapat rentetan kemungkinan lain yang dapat terjadi.

   Jika benar waktu seperti itu maka tidak ada lagi benar atau salah.

   Salah atau benar mensyaratkan adanya kebebasan dalam memilih.

   Dan kalau tiap tindakan telah dipilihkan, maka kemerdekaan untuk memilih tak mungkin lagi ada.

   Di dunia dimana masa depan telah pasti, tak seorang pun terbebani tanggung jawab.

   Ruang-ruang telah diatur sebelumnya.

   Maka Ucapan selamat bagi orang yang merasakan kebebasan ganjil, bisa melakukan apa pun yang ia sukai, bebas didalam dunia tanpa kebebasan.

   Misteri waktu yang tidak pernah terbantahkan oleh setiap mahluk hidup membuat kita seringkali terkukung sesuatu yang absurd oleh nasib dan sesuatu yang banyak orang menyebutnya ketetapan Tuhan, namun seberapa seringkah otak manusia bertanya maksud Tuhan dari penciptaan waktu tersebut.

   Cobalah dekati Tuhan untuk bertanya soal waktu.

   Seorang Einsten pun sebelum menyelesaikan teori relativitasnya sempat berkata pada Besso sahabat karibnya.

   "Aku ingin mengerti waktu karena aku ingin mendekati Tuhan.". Betapa hebatnya waktu sampai-sampai Tuhan pun bersumpah demi diri sang waktu tersebut, apakah waktu bukan ciptaan tuhan atau seiring waktu yang berjalan sehingga terciptalah Tuhan? Apakah waktu sebuah keabadian?. Waktu, seperti kemarin terus berlalu begitu cepat, seperti angin, tak terasa meninggalkan hari demi hari, berganti minggu menuju kedua belas bulan, tuk menggenapi tahun. Terkadang bila dihitung waktu berjalan lambat sekali. ... Namun terkadang tak terasa begitu cepat. Lima tahun tlah berlalu. Suatu hari di kota Wu-han di keresidenan Hu-bei sedang berlangsung Festival Pertengahan Musim Gugur atau Festival Bulan yang berlangsung pada hari ke lima belas di bulan ke delapan penanggalan Tiongkok. Konon menurut legenda pada malam festival ini bulan memiliki cahaya yang lebih terang dan bentuknya lebih bulat. Perayaan penting ini akan menjadi kesempatan bagi penduduk kota untuk berkumpul bersama sambil mencicipi kue bulan dan menonton serangkaian pertunjukan yang di gelar di jalan-jalan utama kota ini. Di bawah cahaya terang bulan musim gugur ini, persahabatan dijalin dan diperbarui lagi. Beberapa penyair terkenal telah menulis syair tentang kisah kasih asmara dua insan yang telah lama tidak berjumpa dan akhirnya menemukan jalan pertemuan kembali antara satu dengan lainnya pada malam khusus ini, diantaranya karangan penyair terkenal Li Pai yang berjudul "Rindu d'Hening Malam"... Cahaya rembulan depan pagar perigi Sudahkah embun beku, menutupi bumi Dongakkan kepala, ternyata terang bulan Begitu menunduk, rindu kampung halaman Sedangkan bagi yang sendirian di malam festival ini, tidak ketinggalan merayakannya sambil berpelesir dengan perahu di danau di bawah cahaya bulan sambil membawakan syair bertemakan minum arak di tengah rembulan... Sepoci arak, di antara kembang, Tak ada sanak, teguk sendirian. Tawari rembulan, sambil 'kat cawan, Jadi b'tiga, bila hitung bayangan. Nikmatnya arak, bulan tak fahami, Bayangan pun cuma, bisa buntuti. T'pi bulan bayangan, sedang temani, Perlu pesta pora, mumpung 'simsemi. Bulan berayun, kala ku bernyanyi, Bayangan oleng, kala ku menari. Baku hibur, tatkala masih waras, Terus bubaran, kala aku mabuk. Kekal rekat, lewat guyonan ini, Rindu bersua, nun di bimasakti. Di tengah danau nampak seorang pemuda perlente bersama beberapa teman dan kekasih mereka sedang berperahu di sungai sambil berpesta minum. Bulan purnama bercahaya kemilau. Dia mengangkat gelas mengajak rembulan, dan melihat bayangan rembulannya terpantul di permukaan sungai. Setengah mabuk dia hendak menceburkan dirinya ke sungai, merangkul rembulan, untung teman-temannya dapat mencegahnya. Seorang gadis muda berwajah cantik, berbaju merah muda sibuk menolong menyadarkan si pemuda tersebut, rupanya dia adalah kekasih pemuda itu. Tak jauh dari situ, sebuah perahu kecil berpenumpang satu orang pria berusia sekitar dua puluh lima tahunan menyaksikan kejadian tadi dengan tersenyum kecil dan mata yang berbinar-binar terutama ke arah gadis muda cantik. Wajah pemuda tersebut cukup tampan dan halus, senyumannya mampu menarik hati gadis-gadis muda, hanya sorot matanya yang sedikit ganjil, seolah-olah hendak menelan bulat- bulat setiap gadis muda yang di tatapnya. Pakaian berwarba putih yang dikenakannya sangat rapi dan bersih menandakan pemiliknya sangat memperhatikan penampilan. Tanpa sepengetahuan pemuda perlente dan kawan-kawannya, pemuda berbaju putih tersebut mengikuti dengan perlahan perahu mereka yang menuju pinggiran danau untuk menepi. Ternyata rombongan pemuda-pemudi tadi hendak kembali rumah, pertama-tama si gadis berbaju merah muda tersebut di antar pulang oleh mereka kembali ke kediaman orang tuanya. Suasana kediaman gadis tersebut masih ramai dan hiruk pikuk celotehan kerabat-kerabatnya yang berkumpul di ruang tengah merayakan festival ini sambil menunggu fajar. Dia berhenti sebentar memberi salam kepada saudara-saudaranya sebelum dengan alasaan sudah mengantuk ia berpamitan dan menuju kamarnya yang terletak di ujung bangunan tersebut. Dengan ditemani seorang pelayan wanita, dia membersihkan diri dan bersiap-siap untuk tidur. Tanpa sepengetahuan siapa pun di atas atas kamar tersebut, pemuda berbaju putih yang ada di danau tadi dengan tenang nangkring di wuwungan mengamati si gadis tersebut membersihkan diri. Tampak si gadis tadi di bantu sang pelayan sedang menanggalkan bajunya pelan- pelan sehingga tampak pakaian dalam warna merah. Pundaknya yang putih mulus terlihat jelas dengan buah dada membusung ketat di balik pakaian dalamnya. Sosok tubuhnya yang berkulit putih bersih dan bobot badannya ideal membuat penampilan gadis ini sangatlah menggoda lebih-lebih kalau dilihat oleh kaum lelaki. Pemuda di atas atap tersebut menelan ludahnya susah payah, birahinya mulai bangkit perlahan-lahan melihat pemandangan di kamar tersebut. Sambil berjalan menuju lemari pakaian, gadis tersebut melepaskan pakaian dalamnya jatuh ke lantai, mempertontonkan tubuh bugilnya yang mulus dan memperlihatkan keindahan buah dadanya yang ranum dan dihiasi puting kecil kecoklatan serta belahan di antara kedua buah dada terlihat simetris. Bagian bawah si gadis itu juga tak kalah menggairahkan, paha yang putih mulus dengan kaki yang ramping, pinggang yang ramping serta bentuk pantat yang aduhai indahnya. Di antara kedua pahanya ditutupi bulu-bulu halus bagaikan beludru sutera yang halus. Si pelayan wanita mengambil handuk, membasahinya dengan air panas yang ada di baskom, lalu mengusap-usapkannya ke seluruh tubuh nonanya. Tidak tahan menyaksikan pemandangan yang terpampang di depan matanya, si pemuda dengan lweekang yang tinggi meniup padam lampu lilin satu-satunya yang terletak di atas meja. Dengan sebat dalam suasana gelap ia menutuk si pelayan dan pada saat yang bersamaan menerkam ke arah si gadis yang belum menyadari sepenuhnya apa yang akan menimpa dirinya. Dia hanya merasa tubuhnya yang telanjang di peluk dan di pondong ke pembaringan lalu di tindih seseorang. Belum sempat ia mengeluarkan suara dari mulutnya, bibirnya yang merah merekah telah di bungkam dengan ciuman yang penuh nafsu. Sambil menangis, dia berusaha meronta-ronta melepaskan diri dari dekapan orang tersebut, namun semakin kuat ia meronta semakin bernafsu pemuda ini, ia sangat suka memperkosa gadis yang masih hijau dan mendengarkan rintihan mereka. Bagian selanjutnya di sensor yach (18+), untuk menghindari 17 terpengaruh Sambil mengenakan pakaiannya, pemuda berbaju putih tersebut lalu mengebaskan tangannya menghantam pelipis gadis itu, dan membuatnya terkulai mati tanpa suara. Sedangkan si pelayan wanita dengan tubuh kaku menyaksikan semua ini terbelalak ketakutan namun ia pun mengalami nasib yang sama dengan nonanya. Dengan melepaskan sepotong bunga bwe ke jalan darah Thay-yang-hiat (daerah pelipis) yang mematikan mengarah kepada si pelayan, pemuda tersebut menghilang di kegelapan malam. Keesokan harinya, kota Wu-han gempar akan berita matinya si gadis tersebut yang merupakan puteri dari hartwan Cin dan merupakan kembang kota yang diperebutkan oleh pemuda-pemuda kaya kota tersebut. Tidak ada yang tahu siapa yang memperkosa dan membunuh gadis tersebut dengan keji. Tapi berdasarkan bukti sepotong bunga bwe yang menancap di pelipis si pelayan wanita tersebut, yang menjadi tersangka sementara dan di duga dilakukan oleh Bwe-hoa-cat (penjahat bertanda bunga bwe) seorang jai-ho-cat (penjahat pemetik bunga) yang sangat terkenal beberapa tahun belakangan ini namun tak seorang pun pernah melihat wajah dan nama aseli si penjahat ini. Ia hanya meninggalkan sebuah bunga bwe pada setiap korban-korbannya. Pada awalnya jai-hoa-cat ini mengincar dan memperkosa gadis-gadis biasa namun lama kelamaan ia semakin berani menganggu puteri hartawan, puteri kaum kangouw, puteri pejabat pemerintahan bahkan puteri selir raja pun tak luput dari gangguannya sehingga pihak kerajaan sampai mengirim wie-su pilihan dan Tong-leng (pemimpin Gie-lim-kun) - Sun Kai Shek yang berjuluk Kip-hong-kiam (si pedang angin lesus) untuk memburu penjahat tersebut. Cukup banyak kaum gagah persilatan mencoba mencari dan membasminya tapi sampai sekarang keberadaannya masih misterius. Bahkan mereka yang berhasil berhadapan dengannya pulang tinggal nama. Kelihaian jai-ho-cat mengetarkan seluruh dunia persilatan karena lawan-lawannya merupakan jago-jago silat kelas satu dan selama ini belum pernah kalah diantaranya jago-jago muda dari Bu-Tong- Pai yang terkenal dengan julukan Bu-Tong-Sam-Kiam-Hiap (Tiga Pendekar Pedang dari Bu-Tong) semuanya mati terbunuh setelah sebelumnya memperkosa satu- satunya anggota wanita dari Bu-Tong-Sam-Kiam-Hiap - Si Lim Ci. Jago silat lain yang turut menjadi korban adalah pendeta muda dari Shao-Lin - murid utama wakil ketua Shao-Lin, jago muda nomer satu dari Hoa-San-Pai yang berjuluk Kun-Cu-Kiam (si pedang jantan) Cia Sun, merupakan murid kesayangan ketua Hoa-San-Pai Master Yu-Kang serta yang paling menghebohkan ia berhasil membunuh sute dari ketua Go-Bi-Pai yang berjuluk Kim-To-Bu-Tek (si golok emas tanpa tanding) yang telah malang melintang puluhan tahun tanpa tanding. Namun kecerdikan Bwe-hoa-cat selama tak ada yang menandingi, terbukti tak seorang pun yang dapat melihat wajah aselinya dan selama beberapa tahun ini selalu berhasil menghindarkan diri dari kejaran para jago dunia persilatan. Mendengar Bwe-hoa-cat beraksi kembali di kota Wu-han, jago-jago persilatan yang selama ini selalu menguntit dan memburu jai-hoa-cat ini berbondong-bondong datang ke kota Wu-han. Di antaranya terdapat jago muda terlihai dari Kun-Lun-Pai - Sie Han Li, murid utama ketua Go-Bi-Pai - Lu Gan, pendekar muda dari Kay-Pang - Tiauw Ki yang merupakan murid utama wakil Kay-Pang Kam-lokai, kedua tojin dari Bu-Tong-Pai yaitu Tiong-Cin-Tojin dan Tiong-Jin-Tojin dan para wie-su pilihan dari pihak kerajaan serta Tong-leng (pemimpin Gie-lim-kun) - Sun Kai Shek. Mereka datang secara terpisah namun berkumpul dan berdiam sementara di rumah penginapan terbesar di kota Wu-han ini, menantikan kabar mengenai Bwe-hoa-cat. --- 000 --- Di suatu pagi hari yang cerah, matahari pelan-pelan naik ke tangga langit. Awan sedikit kelabu menampakkan sisa hujan musim kemarau tadi malam. Embun diatas rumput masih tampak segar dan membentuk hamparan butiran air jernih yang menyejukkan mata. Udara juga terasa sangat dingin. Tepat sekitar jam tujuh -setelah bebenah dan menyapu - ketika pelayan warung makan membuka pintu warung, angin pagi mendesiu dan mendesak masuk ke dalam ruangan. Membuat badan terasa menggigil, tapi tampak segar dan..ngantuk, segera ia mulai menyeduh teh buat pelanggan-pelanggan hari ini. Pelanggan pertama datang tak berapa lama kemudian, seorang pemuda dua puluh tahunan berbaju putih dengan wajah yang tampan dan halus, serta sinar mata yang tajam dan potongan tubuh seperti seorang siucai (pelajar) memasuki warung makan serta memesan semangkok bakmi dan sepoci teh harum.

   "Kongcu baru tiba di kota ini ?"

   Tanya si pelayan.

   "Benar lopek, apakah lopek bisa memberitahu rumah penginapan yang bersih di kota ini"

   Kata si pemuda tersebut.

   "Sebaiknya kongcu menginap di rumah penginapan di tengah kota ini, terkenal sangat bersih dan pelayanannya sangat baik. Tapi cayhe kurang tahu apakah masih tersedia kamar kosong karena sejak beberapa hari belakangan ini banyak tamu yang menginap di sana"

   "Memangnya ada peristiwa apa lopek hingga banyak tamu yang berdatangan ke kota ini ?' tanya si pemuda ingin tahu.

   "Kota ini mengalami musibah, seorang jai-hoa-cat memperkosa dan membunuh mati kembang kota ini, putri hartawan Cin. Kabarnya penjahat ini sudah lama di buru kaum kangouw karena sering memperkosa dan membunuh korban-korbannya".

   "Oh rupanya begitu"

   Kata si pemuda tertarik hatinya.

   Selesai bersantap pagi pemuda tersebut berjalan menuju tengah kota untuk mencari rumah penginapan sesuai saran si pelayan.

   Untung baginya masih tersedia sebuah kamar kosong di rumah penginapan ini.

   Sambil menaruh buntalan pakaiannya di pembaringan, ia duduk bersila untuk memulihkan tenaga.

   Siang harinya ia turun dari loteng penginapan ke rumah makan yang terletak di bawah rumah penginapan ini.

   Suasana rumah makan sangat ramai dengan tetamu yang makan siang.

   Di mana-mana tercium bau harum masakan yang lezat yang teruar dari dapur warung makan tersebut.

   Pemuda tersebut memilih duduk di pojokan yang menghadap pintu masuk.

   Sambil menunggu pesanan datang, ia memandang sekelilingnya.

   Ia melihat banyak tamu yang menyandang pedang menandakan mereka adalah kaum kangouw.

   Ia menduga mereka adalah orang- orang yang diceritakan oleh si pelayang warung makan tadi, yang hendak memburu jai-hoa-cat.

   Di sebelah kirinya, duduk dua orang pemuda menyandang pedang di punggung mereka.

   Yang satu berbaju biru, berwajah cukup tampan tapi angkuh, memiliki sinar mata mencorong ketika tanpa sengaja pemuda itu dengan pemuda berbaju biru ini saling bertatapan.

   Sedangkan pemuda yang satu lagi berbaju kuning, berusia dua- tiga tahun lebih muda dari teman seperjalanannya dan memanggil si pemuda berbaju biru suheng.

   "Suheng, siauwte dengar kabarnya penjahat jai-hoa-cat ini masih berkeliaran di kota ini"

   Kata si pemuda berbaju kuning dengan lirih, namun dengan lweekangnya yang tinggi, pemuda berbaju putih tersebut masih mampu mendengarnya dengan jelas.

   "Banyak kabar yang berseliweran, belum tentu pasti kebenarannya. Cuma menurut kabar yang dapat di percaya memang benar si penjahat masih berada di kota ini bahkan kabarnya akan beraksi kembali dalam waktu dekat"

   Jawab si pemuda berbaju biru sambil melirik curiga ke arah pemuda berbaju putih.

   Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan berjalan menuju ke meja pemuda berbaju putih tersebut.

   Sambil menyoja ia berkata "Rupanya looheng (saudara) baru tiba di kota ini, bolehkah cayhe tahu nama besar looheng"

   Pemuda berbaju putih tersebut berdiri dan balas menyoja "Cayhe kebetulan mamang baru tiba di kota ini pagi tadi, nama cayhe Li Kun Liong"

   Ternyata pemuda berbaju putih ini adalah jagoan kita Li Kun Liong.

   
Dendam Kesumat Karya Tabib Gila di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Setelah lima tahun memperdalam ilmu silat dan pertabiban bersama tabib sakti, ia diperbolehkan sucouwnya untuk kembali ke Tiongkok.

   Sedangkan tabib sakti yang sudah merasa terlalu tua, tetap berdiam di kediamannya menghabiskan masa tuanya.

   "Rupanya Li-heng, cayhe Lu Gan dari Go-Bi-Pai, kalau boleh tahu dari aliran mana dan siapa gerangan guru Li-heng"

   "Cayhe bukan dari aliran mana pun, sedangkan guru cayhe bukan dari kalangan yang terkenal"

   Jawab Li Kun Liong diplomatis.

   "Kalau Li-heng tidak keberatan, mari duduk bersama"

   Kata Lu Gan sambil menyoja kembali namun kali ini di sertai dengan pengerahan tenaga dalam yang mengarah ke Li Kun Liong.

   Rupanya ia penasaran ingin menguji ketangguhan ilmu silat Li Kun Liong.

   Sambil tersenyum tawar, seolah-olah tidak tahu apa pun, Li Kun Liong balas menyoja dan berkata "Terima kasih Lu-heng, tapi cayhe tidak berani menganggu kalian."

   Lalu ia duduk kembali ke meja untuk meneruskan makan siangnya.

   Lu Gan merasakan tenaga dalam yang ia lancarkan melalui kedua tangannya tadi seolah-olah batu yang menyemplung di lautan yang maha luas.

   Ia merasa kaget dan tidak menyangka Li Kun Liong memiliki tenaga dalam yang sangat sempurna.

   Dengan muka berubah ia kembali ke mejanya dan bersantap sambil berdiam diri Kejadian saling mengukur kepandaian dengan saling menyoja merupakan kebiasaan yang lumrah di kalangan dunia persilatan sehingga sewaktu peristiwa yang barusan terjadi tidak luput dari pengamatan para tetamu persilatan.

   Mereka umumnya mengenal Lu Gan sebagai jago muda paling lihai dari Go-Bi-Pai, wajah mereka pun turut berubah ketika menyaksikan Li Kun Liong tidak merasakan apa pun.

   Pendapat mereka terhadap Li kun Liong sebelumnya menganggap enteng ketika Li Kun Liong memasuki ruang makan tersebut berubah menjadi kekaguman.

   Namun diantara mereka tidak ada satu pun yang mengenal Li Kun Liong sehingga seperti Lu Gan mereka menaruh perhatian khusus terhadapnya.

   Sehabis bersantap, Li Kun Liong kembali ke kamar untuk memulihkan tenaga kembali.

   Sore harinya ia keluar berkeliling menikmati suasana kota Wu-han.

   Kota Wu-han adalah kota dengan kehidupan yang ramai, di sekeliling jalan utama terhampar bangunan-bangunan yang terdiri atas warung-warung makan, rumah penginapan, warung arak, rumah pelesiran, dan rumah perjudian serta pedagang- pedagang kaki lima yang menjajakan makanan, minuman, mainan, dan lain-lain.

   Ia mampir di sebuah warung arak dan menikmati arak buatan kota ini, cukup harum walaupun tidak seharum arak buatan kota asalnya, Siang-yang.

   Ia terkenang akan masa kecilnya bersama ayahnya berkeliling kota Siang-yang di sore hari sambil menikmati jajanan manisan yang dibelikan ayahnya.

   Biasanya setelah lelah berkeliling, ayah mengajaknya makan bakmi langganan mereka di pinggir jalan.

   Ia termenung mengingat keluarganya, sekarang ia hidup sebatang kara, berkelana di dunia kangouw yang kejam demi menuntut balas kematian orang tuanya.

   Kesedihan yang mendalam tampak di wajah Li Kun Liong.

   Adakah yang pernah merasakan getaran-getaran rasa yang mendalam justru ketika kesedihan meluncur demikian dalamnya ? Mungkin hanya mereka yang bernasib sama dengannya mampu memahami kesedihan yang dialaminya.

   Kehidupan macam apa yang dapat menghidupkan jiwa yang yang berhati kesedihan mendalam.

   Sambil menghela nafas, Li Kun Liong mereguk secawan arak dalam genggamannya.

   Tahu-tahu malam telah menjelang tiba, dia pun pergi meninggalkan warung arak, berjalan tak tentu arah, menerobos lalu lalang orang, menuju rumah penginapannya dengan langkah yang gontai, dia mencari sesuatu yang tak akan pernah ia temui lagi, kenangan pada orang tua telah membuat Li Kun Liong sedih.

   Dadanya dipenuhi akan kesedihan dan jiwanya yang terluka berbicara, mengisahkannya pada alam dan cakrawala, pada malam-malam yang hening, pada bulan yang berjaga, dan pada bintang-gemintang, pada semuanya ia kabarkan betapa kesedihan telah membelenggunya.

   Li Kun Liong gelisah, tak sekejappun ia sanggup memejamkan mata.

   Malam semakin kelam, ia berjalan keluar rumah penginapan berjalan tak tentu arah.

   Tiba-tiba ia melihat sekelabatan bayangan orang melintas di atas wuwungan, tergerak hatinya untuk mengikuti bayangan tersebut.

   Bayangan tersebut bergerak luar biasa cepat hingga Li Kun Liong kehilangan jejaknya.

   Ia merasa kaget melihat kelihaian ginkang bayangan itu, sambil memasang mata ia berputar-putar di mana bayangan tadi menghilang.

   Sekonyong-konyong ia mendengar sebuah jeritan yang diteriakkan oleh seorang wanita di kejauhan, dengan sebat ia menuju arah jeritan tersebut.

   Ia tiba di depan sebuah gedung yang berdiri megah tempat jeritan tadi berasal, melompati tembok gedung tersebut, di bagian tengah gedung tersebut, tiba-tiba ia bersampokan dengan seorang pemuda berbaju putih yang sedang keluar dari salah satu kamar.

   Tanpa suara pemuda tersebut menerjang ke arahnya, gerakannya sangat cepat, tahu-tahu pukulan yang dilancarkannya telah tiba di depan mata.

   Li Kun Liong menghindar dengan gerakan Lee-hie-tha-teng (ikan gabus melentik) sambil membalas dengan serangan Hwe-hong-sau-liu (angin puyuh menyambar pohon).

   Masing-masing merasa kaget melihat kelihaian lawan, tanpa membuang banyak waktu pemuda berbaju putih tersebut melancarkan gerakan Pek-ho-ciong- cian (burung ho putih menembus awan).

   Selagi Li Kun Liong menghindari jurus tersebut, pemuda berbaju putih mundur menghilang dengan gerakan Teng-peng- touw-sui (menginjak rumput menyebrang sungai).

   Li Kun Liong hendak mengejar pemuda tersebut namun berhenti ketika mendengar rintihan kesakitan seorang wanita di dalam ruangan di mana pemuda berbaju putih tadi keluar.

   Memasuki kamar tersebut, ia melihat seorang gadis muda tanpa pakaian sama sekali berbaring lemah di lantai.

   Wajahnya sangat cantik, tapi pucat pasi dengan nafas yang tinggal satu-satunya.

   Tubuhnya yang telanjang putih mulus dengan sepasang buah dada bulat naik turun membuat siapa pun yang melihatnya akan terpesona.

   Dengan mengeraskan hati Li Kun Liong menutupi tubuh gadis tersebut dengan selimut, ia mencoba menyadarkan gadis tersebut.

   Gadis tersebut membuka matanya yang sayu, terlihat kesedihan dan perasaan terhina di wajahnya, ia berusaha bicara tapi tak sepatah kata pun berhasil ia keluarkan, luka di pelipis wajahnya sangat parah, beruntung ia masih bisa bertahan selama ini.

   Gadis tersebut mengangkat tangan kirinya dengan lemah, memperlihatkan sebuah bunga bwe sebelum akhirnya ia mati dengan mata terbuka.

   Li Kun Liong mengambil bunga bwe tersebut dari tangan si gadis, namun sebelum ia tahu apa yang harus diperbuatnya, tiba-tiba belakang punggungnya di ancam serangan sebilah pedang yang tajam.

   Secepat kilat ia menghindari bokongan tersebut dan membalikkan tubuhnya menghadap ke arah si penyerang.

   Ternyata yang menyerang dirinya adalah pemuda yang tadi pagi ia temui di rumah makan, Lu Gan.

   Lu Gan pun tampak terkejut begitu mengenali orang yang ia serang barusan adalah pemuda yang bernama Li Kun Liong.

   "Bagus, akhirnya ketahuan siapa sesungguhnya Bwe-hoa-cat, ternyata rupanya engkau"

   Teriak Lu Gan sambil kembali melancarkan serangan.

   Ia tidak sungkan- sungkan mengeluarkan jurus-jurus terlihai dari ilmu pedangnya menghadapi Li Kun Liong.

   Ia sadar Bwe-hoa-cat ini memiliki ilmu silat yang sangat lihai bahkan susioknya pun mati di tangan penjahat ini.

   Sambil menghindari serangan lawan, Li Kun Liong berteriak "Lu-heng engkau salah sasaran, aku pun baru tiba di sini"

   Tapi Lu Gan tidak memperdulikan perkataan Li Kun Liong, ia merasa yakin seratus persen Li Kun Liong adalah Bwe-hoa-cat yang selama ini mereka buru, terbukti ilmu silatnya sangat lihai, berusia dua puluhan tahun, dan berbaju putih seperti yang biasa dikenakan jai-hoa-cat tersebut.

   Selagi mereka bertempur dengan seru, berdatangan kaum persilatan yang selama ini memburu Bwe-hoa-cat diantaranya terdapat Sie Han Li, Tiauw Ki , kedua tojin dari Bu-Tong-Pai yaitu Tiong-Cin-Tojin dan Tiong-Jin-Tojin.

   Ke dua tojin tersebut sebenarnya mengenali Li Kun Liong namun mereka berpura-pura tidak mengenalnya karena mereka curiga orang yang mencuri dengar rahasia mereka di peternakan kuda dan mereka keroyok tiga tahun yang lalu adalah pemuda ini.

   Melihat kedatangan beberapa orang ini, hati Li Kun Liong semakin cemas akan kesalahpahaman ini terutama ketika ia melihat dua musuh besarnya ikut hadir dan berpura-pura tidak mengenalnya.

   Ia melompat keluar dari jendela kamar dengan gerakan Tu-it-chung-bonggoat (mendorong jendela melihat bulan).

   "Jangan biarkan ia lolos, dia adalah Bwe-hoa-cat yang kita cari selama ini"

   Teriak Lu Gan yang mengira Li Kun Liong hendak melarikan diri.

   Tiong-Cin-Tojin dan Tiong-Jin-Tojin bergerak paling dahulu menghadang jalan pergi Li Kun Liong.

   Dengan hati panas membara dan tidak memperdulikan segala akibatnya Li Kun Liong menyerang ke dua tojin tersebut dengan jurus-jurus yang selama ini ia pelajari dari sucouwnya.

   Kalau tiga tahun yang lalu ia keteteran menghadapi keroyokan mereka, sekarang ia dapat membuat kedua tojin ini kelabakan menghadapi setiap serangan yang ia lancarkan.

   Sie Han Li, Tiauw Ki dan Lu Gan yang melihat dikerubuti dua jago lihai dari Bu-Tong-Pai, penjahat ini masih dapat melayani gabungan serangan pedang dari kedua tojin tersebut, diam- diam sangat kagum.

   Sejak ia kembali berkelana, baru kali ini Li Kun Liong mempraktekkan semua pelajaran ilmu silat yang selama tiga tahun belakangan ini ia pelajari.

   Kalau dahulu ia merasa bingung dan kepayahan menghadapi serangan mereka, sekarang ia dapat melihat titik lemah dari ilmu pedang mereka.

   Cukup dengan jurus-jurus sederhana ia mampu membuat kedua tojin ini berkeringat dingin belum pernah mereka melihat jurus yang nampak sederhana tapi dapat menahan serangan terlihai dari ilmu pedang Bu-Tong-Pai bahkan sewaktu-waktu dengan gerakan yang tiba-tiba berbalik menyerang mereka.

   Pundak kiri Tiong-Jin-Tojin sudah terluka oleh tusukan pedang Li Kun Liong, darah segar nampak bercucuran keluar dari pundak Tiong-Jin-Tojin dan membuat gerakan tubuhnya melemah.

   Kesempatan ini tidak disia-siakan Li Kun Liong, ia terus mencecar Tiong-Jin-Tojin dengan serangan-serangan yang paling lihai.

   Tiong-Cin-Tojin berusaha melindungi sutenya sekuatnya namun kurang berhasil bahkan kini pun lengan kirinya sudah terluka tergores pedang Li Kun Liong, walaupun tidak separah luka Tiong-Jin-Tojin namun sudah membuat nyalinya kuncup.

   "Menghadapi penjahat seperti ini, tidak perlu kita memperhatikan aturan kangouw, mari kita maju membantu kedua totiang dari Bu-Tong"

   Kata Lu Gan.

   Sebenarnya Sie Han Li dan Tiauw Ki merasa kurang layak mengeroyok satu orang berlima, namun apa yang dikatakan Lu Gan memang beralasan, bila penjahat ini bisa lolos, entah berapa banyak gadis yang akan menjadi korban-korban berikutnya.

   Apalagi ketika melihat ke dua tojin tersebut telah terluka dan sewaktu-waktu dapat di kalahkan Li Kun Liong.

   Akhirnya mereka maju mengeroyok Li Kun Liong.

   Sie Han Li adalah jago muda terlihai dari Kun-Lun-Pai, begitu pula dengan Tiauw Ki dari Kay-Pang dan Lu-Gan dari Go-Bi-Pai, dengan masuknya mereka bertiga dalam pertempuran mengubah jalannya pertandingan.

   Sekarang Li Kun Liong di kurung selapis sinar-sinar pedang yang berkelabat di sekitar tubuhnya, diselingi tongkat pemukul anjing dari Tiauw Ki yang tak kalah lihai.

   Namun beruntung bagi Li Kun Liong, ia telah memahami intisari dari ilmu silat sehingga sejauh ini ia masih dapat melayani kerubutan mereka.

   Puluhan jurus berlalu dengan cepat, suasana pertempuran semakin mencekam, masing-masing pihak mengerahkan semua kepandaian yang mereka miliki.

   Li Kun Liong mulai merasa tanaga dalamnya mulai terkuras banyak, bila diteruskan bukan tidak mungkin ia akan terjungkal.

   Sayang memang, tenaga dalamnya masih belum mampu menandingi tenaga dalam ke dua tojin dari Bu-Tong-Pai ini.

   Walupun setiap serangan yang ia lancarkan mampu membuat lawan-lawannya kaget dan bersusah payah menghindarinya, tanpa di dukung tenaga dalam yang seimbang, tentu saja serangannya tidak berhasil sepenuhnya.

   Apabila satu lawan satu, ia yakin mampu mengalahkan mereka semua.

   Tiba-tiba ia melancarkan serangan Hong-jiu-siu-liu (angin menghembus pohon liu) ke arah Tiong-Jin-Tojin yang sedari tadi sudah tampak pucat kehabisan darah, Tiong-Jin-Tojin berusaha menangkis serangan Li Kun Liong dengan pedangnya tapi mendadak serangan Li Kun Liong berubah arah mengincar perutnya yang tak terjaga.

   Alangkah terkejutnya Tiong-Jin-Tojin menghadapi perubahan yang sangat mendadak ini, ia berusaha mengelit namun terlambat sedetik, ujung pedang Li Kun Liong berhasil menembus perut Tiong-Jin- Tojin.

   Tapi keberhasilannya membinasakan Tiong-Jin-Tojin harus dibayarnya cukup mahal, serangan tongkat pemukul anjing Tiauw Ki berhasil ia hindarkan, dengan sedikit mengegos ia pun berhasil menghindari tusukan pedang Lu Gan yang mengincar dadanya, tapi sabetan pedang dari Tiong-Cin-Tojin yang mengarah ke punggung belakang tidak dapat ia hindarkan sepenuhnya.

   Luka sepanjang dua dim di punggungnya mengeluarkan darah, membuat bagian belakang baju putih yang dikenakannya berubah menjadi merah.

   Melihat sutenya binasa, Tiong-Cin-Tojin semakin kalap menyerang tanpa memperdulikan pertahanan tubuhnya.

   Menghadapi serangan kalap Tiong-Cin-Tojin, Li Kun Liong agak kepayahan, apalagi gerakannya sedikit terganggu akibat luka di punggung, sedangkan serangan dari yang lainnya tidak dapat di anggap enteng.

   Suatu ketika ujung pedang Sie Han Li berhasil menghujam setengah dim dada Li Kun Liong dan tongkat pemukul anjing Tiauw Ki menghantam betis dan membuat kakinya berdenyut kesakitan.

   Li Kun Liong mulai mencari ketika untuk meloloskan diri dari kepungan mereka berempat, kesalahpahaman yang terjadi bisa ia jelaskan di kemudian hari, yang terpenting adalah menyudahi pertempuran sebelum terlambat.

   Sambil melompat menghindari serangan pedang Sie Han Li, ia melontarkan pedangnya ke arah Tiong-Cin-Tojin sepenuh tenaga, dengan gerakan yang manis bersalto keluar dari kurungan mereka dan menghilang di kegelapan malam.

   Li Kun Liong tidak tahu serangan pedang terbang yang barusan ia lancarkan berhasil menembus dan memutuskan tulang pundak Tiong-Cin-Tojin, untuk selanjutnya ilmu silat Tiong-Cin-Tojin mengalami penurunan yang berarti.

   Melihat kedashyatan serangan terakhir Li Kun Liong, Lu Gan bertiga terkesima, membuat nyali mereka pecah untuk melakukan pengejaran.

   Keesokan harinya kembali kota Wu-han gempar dengan berita matinya puteri satu- satunya kepala kota Wu-han akibat diperkosa Bwe-hoa-cat.

   Namun kali ini aksi si jai-hoa-cat tidak berlangsung mulus, ia kesampok oleh jago-jago silat dunia persilatan dan mengalami luka yang cukup serius.

   Dunia persilatan pun gempar dengan terbukanya rahasia siapa sesungguhnya Bwe-hoa-cat yang misterius tersebut.

   Nama Li Kun Liong mendadak terkenal seantero dunia kangouw sebagai Bwe-hoa-cat, buruan nomer satu kaum persilatan.

   14.

   Satu-persatu binasa Matahari menghiasi pagi dengan sinar keemasannya, menggantikan malam-malam yang penuh dengan bintang bintang keperakan.

   Pagi yang segar menyapa kota Hui- Chang termasuk gedung megah di ujung jalan yang paling ramai.

   Li Kun Liong memasuki gerbang gedung tersebut di sambut tatapan curiga penjaga pintu gerbang.

   "Siapa engkau, mau bertemu dengan siapa ?"

   Tanya si penjaga.

   "Suruh Bok-Wangwe keluar, malaikat elmaut sudah menjemputnya"

   Sahut Li Kun Liong.

   "Kurang ajar, pemuda gila dari mana pagi-pagi begini sudah berkeliaran membuat onar"

   Kata si penjaga sambil mendorong Li Kun Liong pergi.

   Tapi yang terdorong jatuh bukan Li Kun Liong melainkan dia sendiri, dengan mengereng murka ia mencabut golok di pinggangnya dan menyabetkan ke badan Li Kun Liong.

   Dengan tenang Li Kun Liong menyentil jatuh golok dari tangan si penjaga.

   Mendengar bunyi gaduh di depan, para penjaga yang lain berdatangan dan ikut mengeroyok Li Kun Liong.

   Tanpa membuang tempo, dalam waktu singkat Li Kun Liong menjatuhkan semua pengeroyoknya, ada yang patah tulang, gigi rontok, pingsan, tangan keseleo.

   Sambil menginjak dada salah satu penjaga, ia bertanya di mana Bok-Wangwe.

   Penjaga tersebut memberitahu Bok-Wangwe pagi-pagi sekali sudah pergi ke peternakan kudanya di pinggir kota menginspeksi kuda-kudanya.

   Li Kun Liong tahu letak peternakan kuda tersebut, dengan santai berjalan keluar dari gedung kediaman Bok-Wangwe menuju pinggiran kota.

   Selama beberapa bulan ini sudah beberapa kali ia bentrok dengan jago-jago persilatan yang menganggapnya sebagai Bwe-hoa-cat, namun ia berhasil menghindari pertempuran yang bisa memperdalam kesalahpahaman tersebut.

   Sebisa mungkin ia tidak ingin melukai lawan-lawannya.

   Ia bertekad menangkap penjahat jai-hoa-cat yang aseli karena itu adalah satu-satunya cara untuk membersihkan nama baiknya.

   Yang mengherankan, Bwe-hoa-cat yang aseli selama beberapa bulan ini juga tidak melakukan aksi apa pun sehingga menyulitkan Li Kun Liong dalam mencari jejaknya.

   Peternakan kuda Bok-Wangwe di pinggiran kota Hui-Chang masih tampak seperti tiga tahun yang lalu, tak berubah dengan gedung besar di tengah peternakan kuda tersebut.

   Dari kejauhan nampak mendatangi dengan cepat seekor kuda putih ditunggangi Bok-Wangwe, debu-debu berterbangan di sekitarnya.

   Melihat kehadiran Li Kun Liong menghadang jalan, kaget tak kepalang Bok-Wangwe, serta merta ia menarik tali kekang mencoba berbalik arah.

   Bagaikan tersambar petir, kuda tersebut tiba-tiba terlonjak!.

   Dendam Kesumat Karya Tabib Gila di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Seraya mencoba mengendalikan kuda dengan semua kemahiran yang dimilikinya, Bok Wangwe melemparkan senjata rahasia berbentuk bintang segi lima ke arah Li Kun Liong.

   Dengan tenang Li Kun Liong menghindarkan diri, bunyi desing senjata rahasia tersebut sangat nyaring tanda si pelempar memiliki tenaga dalam yang sempurna, melayang ke samping tanpa mampu menyentuh tubuh Li Kun Liong.

   Ia menjulurkan tangan meraih salah satu senjata rahasia dan dengan sebat menimpuk balik mengincar kaki depan kuda.

   Sambil meringkik kesakitan, tiba-tiba kuda tersebut mengangkat kedua kaki depannya ke atas, bergerak liar melemparkan Bok-Wangwe dari punggungnya, lalu berlari menjauh.

   Bok-wangwe hinggap dengan sempurna di tanah tanpa kekurangan sesuatu pun.

   Dengan wajah pucat ia bersiap sedia menghadapi Li Kun Liong.

   "Sekarang engkau tidak akan bisa lagi mengandalkan teman-temanmu, sudah saatnya engkau melunasi hutang darahmu"

   Kata Li Kun Liong dengan geram.

   Tanpa berkata sepatah kata pun dengan nekad ia melancarkan serangan hidup mati terhadap Li Kun Liong.

   Matanya bergerak liar mencoba mencari jalan lolos tapi Li Kun Liong tidak memberikan kesempatan sedikit pun baginya untuk melarikan diri.

   Dengan hati-hati ia melayani setiap serangan Bok-Wangwe, serangan dari seseorang yang putus asa tanpa memperdulikan apa pun tidak boleh di anggap ringan apalagi ilmu silat Bok-Wangwe boleh dibilang termasuk jago kosen.

   Li Kun Liong merasa ilmu silat yang dilatihnya selama ini tidak sia-sia, sekarang dengan mudah ia mampu melihat kelemahan dari ilmu silat Bok-Wangwe.

   Cukup dengan gerakan yang sederhana, ia menghalau setiap serangan Bok- Wangwe.

   Diam-diam Bok-Wangwe merasa kaget sekali melihat kemajuan ilmu silat Li Kun Liong, hanya berselang tiga tahun saja Li Kun Liong sudah memiliki ilmu silat yang susah di ukur tingginya.

   Hatinya semakin mendelu, harapan untuk menang semakin kecil.

   Dengan susah payah ia berusaha menghindarkan diri dari setiap serangan Li Kun Liong.

   "Plakk! Tranggg... aduhhh...!"

   Hanya dalam sekejap mata saja terjadinya.

   Entah bagaimana Bok-Wangwe itu sendiri tidak tahu, pergelangan tangannya sudah terpukul patah, dan tiba-tiba ia merasa amat sakit pada telinga dan mata kanannya.

   Ia roboh menggulingkan diri sampai beberapa meter lalu meloncat lagi berdiri.

   Telinga kanan dan mata kanannya mencucurkan darah! Ternyata daun telinga kanannya pecah bagian atasnya, sedangkan pelupuk mata kanannya pun robek! Begitu cepat gerakan kedua lengan Li Kun Liong hingga tak dapat di hindarinya.

   Belum sempat ia memperbaiki kedudukan, serangan Li Kun Liong datang menerpa kembali.

   Sambil berputar menggerakkan tubuhnya, Bok-Wangwe memperhebat pertahanan dirinya.

   Hatinya terguncang keras mendapat serangan bertubi-tubi.

   Li Kun Liong segera berseru keras dan menggerakan tangannya, yang kiri mengirim pukulan ke arah lambung, pukulan pancingan karena yang benar-benar menyerang adalah tangan kanannya yang cepat mencengkram ke arah pundak kiri Bok- Wangwe.

   Kelihatannya gerakan ini sederhana namun tak dapat dihindarkan Bok- Wangwe.

   "Krak..Aduh!"

   Dalam sekejap pundak kiri Bok-Wangwe patah terkena cengkraman jari besi Li Kun Liong. Tanpa membuang kesempatan, Li Kun Liong melancarkan serangan susulan yang mengarah ke dada Bok-Wangwe.

   "Duk..!"

   Dengan telak tangan kanan Li Kun Liong yang berisi tenaga sakti delapan bagian menghantam dada Bok-Wangwe.

   Sambil mengeluarkan darah segar dari mulutnya, Bok-Wangwe yang sudah terluka parah berusaha melancarkan serangan terakhir, mengajak mati bersama.

   Li Kun Liong tidak sudi menghadapi serangan nekad tersebut, dengan manis ia mengelak dan mundur menjauh.

   Diiringi dengan rintihan kesakitan, Bok-Wangwe tewas mengenaskan dengan mata melotot.

   Sambil menghela nafas lega, Li Kun Liong meninggalkan peternakan kuda.

   Sejauh ini ia telah berhasil membinasakan tiga dari lima orang yang bertanggung jawab atas kematian kedua orang tuanya yaitu Lu Seng Hok, Tiong-Jin-Tojin dan Bok- Wangwe.

   Sedangkan untuk Sim-Gan, ia memutuskan untuk tidak membalas dendam, penyesalan yang menghinggapinya selama bertahun-tahun sudah cukup sebagai balasannya.

   Ia merasa ayahnya tidak akan menyesali keputusan ini.

   Satu-satunya musuh keluarganya tinggal Tiong-Cin-Tojin, biang keladi dari semua ini.

   --- 000 --- Bu-Tong-Pai gempar dan berduka, dua orang tokoh mereka mengalami kekalahan mengenaskan dari Bwe-Hoa-Cat.

   Bahkan Tiong-Jin-Tojin binasa di ujung pedang jai- hoa-cat, sedangkan Tiong-Cin-Tojin terluka cukup parah dan harus beristirahat cukup lama serta ilmu silatnya dipastikan tidak akan selihai dahulu.

   Sebelumnya jago muda mereka, Bu-Tong-Kiam-Sam-Hiap (Tiga pendekar pedang Bu-Tong) telah binasa oleh Bwe-Hoa-Cat.

   Berdasarkan penuturan Tiong-Cin-Tojin, Bwe-Hoa-Cat yang selama ini di cari-cari ternyata adalah Li Kun Liong yang pernah datang dan tinggal selama beberapa hari di Bu-Tong bersama rombongan dari Thai-San-Pai tiga tahun yang lalu.

   Dengan rasa tak percaya Tan Sin Liong mendengar berita tersebut, ia tidak yakin Li Kun Liong adalah Bwe-Hoa-Cat namun bukti-bukti sudah terpampang di depan mati hingga ia hanaya dapat berdiam diri.

   Ketua Bu-Tong-Pai, Tiong Pek Tojin segera memerintahkan murid-murid Bu-Tong memburu dan menangkap Bwe-Hoa-Cat Li Kun Liong hidup atau mati.

   Ia segera mengabarkan berita duka ini kepada supeknya Kiang-Siang-Tojin yang saat ini sudah berusia lebih dari delapan puluh tahunan, sedangkan gurunya bekas ketua Bu-Tong-Pai terdahulu - Kiang-Ti-Tojin sudah lama tidak mencampuri urusan partai dan lebih sering bersamadhi, jarang keluar dari tempat pertapaannya.

   "Siancai..siancai, dunia kangouw sekarang memang semakin kacau oleh para penjahat, mereka sudah semakin berani dan kelewatan. Tiong-Pek, engkau harus bertindak tegas dalam masalah ini, segera utus beberapa tianglo dan Tan Sin Liong turun gunung dan menangkap penjahat ini"

   Kata Kiang-Siang-Tojin muram.

   "Baik supek"

   Jawab Tiong-Pek-Tojin dengan hormat.

   "Bagaimana keadaan Tiong-Cin apakah lukanya parah?"

   Kiang-Siang-Tojin menanyakan kesehatan murid kesayangannya.

   "Cukup parah supek, perlu istirahat beberapa bulan dan ilmu silatnya mengalami kemunduran."

   "Baiklah, nanti lohu akan menjenguknya sendiri. Ilmu silat penjahat ini sangat mencengangkan, ia sanggup menghadapi gabungan ilmu silat Tiong-Jin dan Tiong- Cin, entah berasal dari mana kepandaian yang dimilikinya"

   Renung Kiang-Siang- Tojin.

   Beberapa bulan berlalu tanpa kejadian apa-apa di Bu-Tong-San.

   Luka yang di derita Tiong-Cin-Tojin sudah pulih namun ilmu silatnya tidak bisa pulih seratus persen.

   Ia sangat mendendam terhadap Li Kun Liong karenanya.

   Suatu pagi yang bening di kaki gunung Bu-Tong nampak seorang pemuda berwajah tampan berjalan santai mendaki gunung Bu-Tong.

   Pemuda ini adalah Li Kun Liong, alangkah beraninya ia mengunjungi Bu-Tong-Pai.

   Ia telah memikirkan hal ini berulang kali.

   Ia akan menghadap ketua partai Bu-Tong Tiong-Pek-Tojin dan berusaha menjelaskan semua alasan yang sampai membuatnya bertindak kejam membunuh Tiong-Jin-Tojin dan melukai Tiong-Cin-Tojin.

   Ia berharap Tiong-Pek- Tojin cukup bijaksana dan mengerti akan tindakannya ini bukan untuk memusuhi Bu- Tong-Pai namun semata-mata masalah pribadi dengan Tiong-Cin-Tojin dan Tiong-Jin- Tojin.

   Ia tahu perjalanannya kali ini sangat beresiko ibaratnya mendatangi sarang harimau tapi ia telah membulatkan tekad untuk menghadapinya, apa pun yang terjadi.

   Sesampainya di pintu gerbang partai Bu-Tong, ia di hadang murid-murid Bu-Tong yang sedang berjaga.

   Ia memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangannya untuk menghadap Tiong-Pek-Tojin.

   Begitu tahu yang datang ternyata adalah Bwe-Hoa-Cat Li Kun Liong, serempak mereka menghunus pedang dan mengurung Li Kun Liong, sedangkan murid yang lain membunyikan genta tanda bahaya.

   Li Kun Liong mengelak ke sana kemari dari serangan murid-murid Bu-Tong, ia hanya berkelit saja tanpa membalas.

   Ia berharap segera bertemu Tiong-Pek-Tojin sebelum masalah ini berlarut-larut.

   Bunyi genta tanda bahaya berkumandang ke seluruh Bu- Tong-Pai menggagetkan segenap murid-murid Bu-Tong yang sedang berlatih barisan pedang.

   Sudah puluhan tahun genta tanda bahaya tidak pernah berbunyi, tidak heran berbunyinya genta tanda bahaya tersebut membuat murid-murid Bu- Tong termasuk para tokok-tokohnya kaget dan ingin tahu siapa yang berani mati menyerbu Bu-Tong-Pai.

   Berduyun-duyun murid-murid Bu-Tong-Pai keluar untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.

   Tampak oleh mereka, saudara-saudara seperguruan mereka berusaha mengurung seorang pemuda dalam Kiam-Tin (barisan pedang) Bu-Tong- Pai yang terkenal keampuhannya.

   "Semua murid berhenti dahulu!"

   Terdengar suara mengalun memasuki telinga para murid Bu-Tong yang sedang bertempur.

   Para murid Bu-Tong serentak menarik mundur pedang mereka dan secara teratur mundur menjauhi gelanggang pertempuran meninggalkan Li Kun Liong sendirian di tengah lingkaran murid-murid Bu-Tong-Pai.

   Li Kun Liong tahu yang barusan berteriak menyuruh mundur lawan-lawanya adalah tokoh puncak Bu-Tong-Pai.

   Tampak beberapa depa di depan mendatangi lima orang tojin berusia sekitar lima puluh tahunan dengan wajah angker menghadapi dirinya.

   Ia tahu mereka adalah angkatan Tiong yang merupakan angkatan ketua Bu-Tong-pai saat ini.

   Sambil menjura Li Kun Liong berkata "Maafkan cayhe kalau sudah menganggu ketenangan Bu-Tong-Pai tapi sebenarnya cayhe datang ke sini untuk bertemu Tiong- Pek-Tojin dan menjelaskan semua kesalahpahaman yang terjadi."

   Salah seorang tojin yang menjadi pimpinan adalah Tiong-Jit-Tojin yang menjabat sebagai pelaksana harian Bu-Tong, ia mempunyai sifat yang keras dan teguh sama pendirian, tidak heran Tiong-Pek-Tojin menunjuknya menjadi pelaksan harian Bu- Tong.

   Ia sudah lama merasa marah terhadap Bwe-Hoa-Cat karena salah seorang murid utamanya yang tergabung dalam Bu-Tong-Kiam-Sam-Hiap binasa di tangan penjahat ini sehingga kejadian hari ini merupakan kesempatan yang sangat baik baginya untuk menuntut balas kematian murid kesayangannya.

   "Hmm...engkau masih semuda ini sudah melakukan kejahatan yang sangat kejam, bahkan berani membunuh murid-murid Bu-Tong-Pai dan menyerbu kesini, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, hutang darah harus di bayar dengan darah"

   Kata Tiong-Jit-Tojin sambil melambaikan tangan sebaagi tanda bagi ke empat saudara seperguruannya untuk maju bersama mengepung Li Kun Liong.

   Walaupun sangat marah namun Tiong-Jit-Tojin tidak mau gegabah, ia tahu penjahat ini memiliki ilmu silat yang sangat tinggi, terbukti suheng dan sutenya Tiong-Cin-Tojin dan Tiong-Jin-Tojin sampai terluka dan terbunuh.

   Mereka berlima adalah tulang punggung Bu-Tong-Pai saat ini, ilmu silat mereka sudah mencapai tahap tertinggi.

   Selama ini jarang sekali para murid-murid Bu- Tong melihat mereka berlima maju bersama menghadapi lawannya, dengan penuh perhatian dan hati-berdebar-debar mereka memperhatikan jalan pertempuran yang sangat jarang terjadi dengan seksama.

   Pedang yang digunakan para murid Bu-Tong-Pai di kenal dengan nama Jian, pedang lurus panjang yang masing-masing mempunyai dua sisi tajam dan pegangan berbentuk sayap yang menghadap ujung pedang.

   Terbuat dari campuran perak, besi dan logam pilihan dengan tahap-tahap pembuatan yang sangat rumit, pedang tersebut sangat efektif menjalankan jurus-jurus pedang Bu-Tong.

   Diperlukan latihan yang panjang untuk menguasai penggunaan pedang Jian tersebut, hanya mereka yang berbakat dapat menjalankan pedang Jian ini dengan baik.

   Li Kun Liong tidak di beri kesempatan untuk mengeluarkan sepatah kata pun lagi, ia sibuk menghindari serangan dari kelima tokoh Bu-Tong ini.

   Bergulung-gulung sinar putih berkilauan dari pedang-pedang lawannya mengurung tubuh Li Kun Liong, terasa olehnya perbawa barisan pedang ini jauh berkali-lipat lihainya dari barisan pedang yang dimainkan para murid Bu-Tong tadi.

   Menghadapi barisan pedang ini, Li Kun Liong menjaga kedudukannya tetap di tengah-tengah, diam tak bergerak, yang berputaran hanya sinar pedangnya.

   Barisan pedang dari Bu-Tong-Pai memiliki kemampuan utama untuk menahan serbuan lawan yang lebih banyak tapi juga mampu mengurung tokoh persilatan yang bagaimana pun lihainya.

   Dengan di pimpin Tiong-Jit-Tojin sebagai kepala barisan, barisan pedang ini mengurung rapat Li Kun Liong, tidak menyisakan setitik lubang pun untuk meloloskan diri, ibarat nyamuk pun tidak dapat lolos dari barisan pedang ini.

   Tahap kepandaian ilmu silat Li Kun Liong sekarang bila satu lawan satu, sudah melebihi para pengeroyoknya namun dengan bergabung ke lima tokoh Bu-Tong ini dalam satu kesatuan menyulitkan Lu Kun Liong.

   Puluhan jurus pertama ia mencoba bertahan dengan sesekali melancarkan serangan.

   Seperti yang kita ketahui Li Kun Liong memiliki ingatan yang sangat langka, sekali melihat tidak akan terlupakan.

   Setelah mengamati dengan seksama ia bisa melihat barisan pedang ini mengikuti semua petunjuk dari kepalanya yaitu Tiong-Jit-Tojin, hingga ia memutuskan untuk mencoba menghancurkan barisan ini dengan menyerang kepalanya terlebih dahulu.

   Tapi tidak semudah yang ia pikirkan, begitu ia mulai mencecar Tiong-Jit-Tojin, para tojin yang lain secara otomatis melindungi Tiong-Jit-Tojin dari serangan Li Kun Liong.

   Ini semakin menyakinkan Li kun Liong, satu-satunya cara untuk membongkar barisan pedang ini adalah dengan terlebih dahulu menyerang kepalanya, ibarat ular, ketok dulu kepala ular baru yang lainnya.

   Tiong-Jit-Tojin mengeluarkan seruan keras, pedang mereka berkelebat dan tahu- tahu telah menjadi satu gulungan sinar tebal dan panjang, mengeluarkan suara bercuitan dan bayangan tubuh mereka lenyap tergulung sinar pedang yang menjadi satu.

   Tiba-tiba terdengar suara mencicit keras ketika sinar pedang itu menyambar ke arah Li Kun Liong, Li Kun Liong menggerakkan pedangnya menusuk ke arah sinar pedang yang menyambarnya seperti kilat itu.

   "Cing..cing..trang......!"

   Gulungan sinar pedang yang berkelebat itu menjadi buyar, berkali-kali mengitari tubuh Li Kun Liong, berusaha membabat tubuh kakek itu namun selalu dapat di halangi Li Kun Liong.

   Ratusan jurus telah berlalu, peluh nampak di masing-masing dahi mereka terutama di dahi Li Kun Liong, ia mulai kehabisan tenaga.

   Dalam hal tenaga dalam jelas Li Kun Liong kalah latihan, ia baru memiliki belasan tahun latihan sedangkan lawan-lawannya memiliki latihan tenaga dalam puluhan tahun.

   Namun dari segi keuletan dan keanehan jurusnya, ia jauh lebih unggul dari para tokoh Bu-Tong ini yang rata-rata sudah tua hingga sejauh ini masing-masing pihak masih dapat bertahan seimbang.

   Murid-murid Bu-Tong-Pai lainnya terngangga kagum melihat barisan pedang yang biasa mereka latih bisa memiliki kedashyatan sedemikian rupa dimainkan guru-guru mereka.

   Tapi mereka juga sangat kagum melihat kesaktian Li Kun Liong yang sebaya umurnya dengan mereka mampu melayani barisan pedang Bu-Tong selama ratusan jurus.

   Tiong-Jit-Tojin dan sute-sutenya pun tidak kalah kagum melihat kegigihan Li Kun Liong, dalam hati masing-masing mengakui bila menghadapi Li Kun Liong sendirian, mereka pasti kalah.

   Bahkan ketua mereka pun belum tentu sanggup menghadapi barisan pedang mereka, mungkin hanya Kiang-Ti-Tojin atau Kiang-Siang- Tojin yang mampu melakukannya.

   Tidak sedikit pelajaran yang berhasil di petik Li Kun Liong dari pertempuran ini, sebagian besar jurus-jurus terlihai dari barisan ini sudah masuk dalam ingatannya.

   Bukan tidak mungkin apabila terjadi pertempuran yang kedua kalinya, Li Kun Liong telah memiliki kunci-kunci untuk memecahkan barisan ini - namun itu urusan di belakang hari.

   Sekarang yang terpenting adalah bagaimana agar tidak mati konyol dalam barisan ini, sekuatnya ia memeras semua kepandaian yang selama ini ia pelajari.

   Semakin lama semakin memahami ia hakekat ilmu silat.

   Ibarat teori saja masih kurang lengkap tanpa adanya latihan, maka kesempatan yang langka ini tidak disia-siakan Li Kun Liong untuk memperdalam ilmu silatnya.

   Puluhan jurus kembali lewat dengan cepat, nafas Li Kun Liong sudah memburu tanda tenaganya mulai habis, begitu pula lawan-lawannya.

   Gerakan barisan pedang mulai sedikit melambat, tahap yang paling menentukan dari pertempuran telah menjelang tiba.

   Namun sebelum masing-masing pihak-pihak terluka, tampak mendatangi ketua Bu- Tong-Pai di kuti beberapa orang diantaranya Kiang-Siang-Tojin, Tiong-Cin-Tojin dan...Sim Gan.

   Rupanya beberapa saat sebelum kedatangan Li Kun Liong, Sim Gan telah datang terlebih dahulu untuk menemui Tiong-Pek-Tojin.

   Ia di terima dengan tangan terbuka karena sebelumnya ia telah beberapa kali berkunjung ke Bu-Tong menemui sahabatnya Tiong-Cin-Tojin.

   Sim Gan yang diliputi rasa bersalah, mendengar kabar yang tersiar di dunia kangouw bahwa sutitnya (keponakan murid) Li Kun Liong di tuduh sebagai Bwe-Hoa- Cat dan di buru murid-murid Bu-Tong-Pai karena melukai dan membunuh Tiong-Cin-Tojin dan Tiong-Jin-Tojin serta Bu-Tong-Kiam-Sam-Hiap.

   Ia tidak mempercayai berita bahwa Li Kun Liong adalah Bwe-Hoa-Cat, tidak mungkin keturunan suhengnya menjadi penjahat.

   Maka dengan penuh tekad untuk menebus dosa-dosanya, ia mendatangi Bu-Tong- Pai, menemui Tiong-Pek-Tojin dan menceritakan semua perbuatan mereka yang mengeroyok mati Li Hong Kiat suami istri, orang tua Li Kun Liong.

   Dengan kaget Tiong-Pek-Tojin mendengarkan penuturan Sim-Gan, segera ia memerintahkan salah seorang murid Bu-Tong untuk mengundang supeknya Kiang- Siang-Tojin dan sutenya Tiong-Cin-Tojin.

   
Dendam Kesumat Karya Tabib Gila di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Selagi mereka menunggu kedatangan kedua tojin ini, terdengar genta tanda bahaya berbunyi.

   Tiong-Pek-Tojin kaget, segera ia memerintahkan Tiong-Jit-Tojin sekalian menghadapi kejadian di luar sedangkan ia mengurus masalah Sim-Gan terlebih dahulu.

   Itulah sebabnya mengapa ia terlambat keluar.

   Dengan muka pucat pasi, Tiong-Cin-Tojin mengakui semua kesalahannya.

   Kiang- Siang-Tojin merasa sangat kecewa mendengar pengakuan murid kesayangannya, ia merasa telah gagal mendidik murid.

   Umurnya seolah-olah bertambah menua, memang berat kekecewaan yang ia pikul setelah sebelumnya ia kecewa Tiong-Cin- Tojin tidak terpilih sebagai ketua Bu-Tong-Pai menggantikan Kiang-Ti-Tojin.

   Dari muridnya, Tiong-Pek-Tojin tahu yang datang adalah Li Kun Liong, maka dengan buru-buru ia keluar bersama-sama Kiang-Siang-Tojin, Sim Gan dan Tiong-Cin-Tojin yang mengikuti mereka dengan hati lesu.

   Mereka menyaksikan pertempuran sudah mencapai tahap mengkhawatirkan, Tiong- Pek-Tojin segera mengerahkan lweekang dan berseru "Berhenti semua, lohu ada yang mau dibicarakan.' Mendengar ketua mereka sudah datang, dengan lega Tiong-Jit-Tojin sekalian mundur teratur, mereka bersyukur Tiong-Pek-Tojin keluar pada saat yang tepat hingga pertempuran berdarah dapat mereka hindari.

   Li Kun Liong melihat yang datang adalah Tiong-Pek-Tojin dan musuh besarnya Tiong-Cin-Tojin serta yang tidak ia duga sama sekali, susioknya Sim-Gan.

   Sambil menjura ke arah Li Kun Liong, Tiong-Pek-Tojin berkata "Apa kabar Kun Liong, sekarang ilmu silatmu mengalami kemajuan yang sangat pesat, bagaimana kabar Master The-Kok-Liang?"

   Dengan tersipu-sipu Li kun Liong membalas salam Tiong-Pek-Tojin.

   "Cayhe baik-baik saja selama ini cianpwe, sedangkan kabar Master The-Kok-Liang, cayhe belum berkesempatan bertemu kemabli dengan beliau tiga tahun belakangan ini"

   "Apakah benar kabar yang tersiar di dunia persilatan bahwa engkau adalah Bwe- Hoa-Cat ?"

   Tanya Tiong-Pek-Tojin.

   "Bukan cianpwe, cayhe berani bersumpah, ini adalah kesalahpahaman. Li Kun Liong lalu menceritakan semua pengalamannya hingga ia di tuduh sebagai jai-hoa-cat termasuk pertempurannya dengan Tiong-Jin-Tojin dan Tiong-Cin-Tojin"

   "Lalu bagaimana dengan Bu-Tong-Kiam-Sam-Hiap, apakah engkau yang membunuh mereka"

   "Tentu saja tidak, cayhe belum pernah berjumpa dengan mereka apalagi sampai bertempur. Ini pasti perbuatan Bwe-Hoa-Cat yang aseli, cayhe berjanji pasti akan membereskan persoalan ini"

   Jawab Li Kun Liong penasaran.

   Sambil memangut-mangutkan kepalanya, Tiong-Pek-Tojin menatap supeknya Kiang- Siang-Tojin meminta pendapat.

   Semua penuturan Li Kun Liong sama persis dengan yang diceritakan Sim Gan.

   Sambil menghela nafas panjang, Kiang-Siang-Tojin berkata "Tiong-Pek, lohu serahkan semua masalah ini kepadamu sebagai ciangbujin untuk memutuskan"

   "Kun Liong, untuk sementara lohu mempercayai semua ceritamu terutama mengenai persoalan pribadimu dengan murid murtad Tiong-Cin-Tojin dan Tong-Jin-Tojin, untuk masalah tersebut Bu-Tong-Pai lepas tangan dan tidak ikut campur. Tapi mengenai kematian Bu-Tong-Kiam-Sam-Hiap, engkau harus dapat membuktikan bukan dirimu yang melakukannya. Lohu beri waktu setahun untuk membersihkan nama baikmu, apakah cukup ?"

   Tanya Tiong-Pek-Tojin.

   "Terima kasih cianpwe, cayhe pasti berusaha sekuat tenaga menangkap Bwe-Hoa- Cat yang aseli."

   "Sekarang Tiong-Cin sute, apa yang hendak engkau katakan, semua perbuatan jahatmu sudah terbongkar"

   Dengan muka pucat dan putus asa, ia merasa malu kejahatannya telah diketahui, tiba-tiba Tiong-Cin-Tojin menghunus pedang dan mengorok lehernya sendiri, darah muncrat kemana-mana.

   Tiong-Cin-Tojin roboh binasa membunuh diri.

   Murid-murid Bu-Tong-Pai yang hadir terkesima, bingung dengan semua kejadian barusan, mereka tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi.

   Namun setelah di beri penjelasan oleh Tiong-Pek-Tojin, mereka baru mengerti.

   Mereka kembali ke tempat masing-masing, meninggalkan Sim Gan dan Li Kun Liong berdua saja.

   Dengan wajah sedih dan menyesal, Sim Gan berkata pasrak.

   "Sutit, lohu tahu kesalahan lohu tidak dapat diampuni, silakan engkau membalas kematian kedua orang tuamu."

   "Tidak perlu susiok, memang semua ini kesalahan susiok, tapi susiok telah menyesali dan menebusnya. Biarlah semua kejadian ini berlalu, ayah di alam baka pasti merestui semua ini"

   Jawab li Kun Liong.

   Dengan wajah bersyukur dan berterima kasih Sim Gan mengajak Li Kun Liong mampir ke kediamannya namun dengan halus Li Kun Liong menolak, ia masih harus menangkap Bwe-Hoa-Cat untuk memulihkan nama baiknya.

   Tapi ia berjanji apabila ada waktu akan mengunjungi susioknya.

   Mereka pun berpisah dengan hati gembira melanjutkan perjalanan masing-masing.

   15.

   Bwe-Hoa-Cat Yang Asli Dedaunan layu berguguran Ditiup sang angin melayang resah Tiada kemudi tiada arah nan pasti Hilangnya seri membawa diri Mengapa ini terjadi dikala nan indah Saat percintaan bertakhta di puncak Mengapakah pengorbanan ini tidak terbalas Hanya kerna perpisahan yang silam Seorang wanita muda berusia dua puluh tahunan berjalan dengan lesu di jalanan kota Gui-Yang, wajahnya sangat cantik membuat siapa pun yang melihatnya pasti terpesona.

   Namun sayang raut muka sedih yang nampak di wajahnya yang jelita sedikit mengurangi kecantikannya.

   Selama tiga tahun ini ia telah berkelana demi mencari pujaan hatinya, namun hampir putus asa belum juga ia berhasil mendapat berita apa pun.

   Di depan sebuah warung makan yang besar, ia berhenti untuk menangsal perutnya yang kosong.

   Saat itu waktunya makan siang hingga hampir semua meja terisi penuh oleh pelanggan rumah makan tersebut.

   Bau harum masakan menerpa penciumannya, membuat perutnya berkeruyukan.

   Di bantu salah satu pelayan rumah makan tersebut, ia mengisi meja terakhir yang tersedia, segera ia memesan dua tiga macam sayur.

   Sejak pertama kali ia memasuki rumah makan ini, setiap mata pria menatapnya dengan kagum.

   Sambil tersenyum tipis, ia tidak memperdulikan tatapan-tatapan tersebut, sudah sering kali dimana pun ia mampir mengalami kejadian seperti ini.

   Di salah satu pojok ruang makan, duduk seorang pria berusia dua puluh lima tahunan sedanng menikmati makanannya.

   Kemunculan wanita muda tadi telah menarik perhatiannya, dengan mata bersinar-sinar, ia terus menatap wanita tersebut.

   Matanya yang tajam seolah-olah hendak menelanjangi tubuh si gadis, sudah beberapa bulan ini ia tidak menemukan gadis yang sesuai dengan seleranya namun gadis ini sangat mencocoki dirinya.

   Di sebelah meja gadis tersebut, duduk sepasang pria berusia empat uluh tahunan, mengenakan pakaian ringkas dengan pedang tersoreng di punggung masing-masing, dandanan mereka seperti piauw-su.

   Mereka sedang memperbincangkan berita kangouw terkini dengan suara pelan tapi masih bisa di dengar oleh telinga si gadis yang tajam.

   Menurut salah seorang piauw-su yang berbaju abu-abu, beberapa hari yang lalu tersiar kabar bahwa Bwe-Hoa-Cat Li Kun Liong telah mengunjungi Bu-Tong-Pai dan menghadapi kerubutan tokoh-tokoh terkenal dari Bu-Tong-Pai dengan hasil seri.

   Namun beritanya masih simpang siur, ada yang mengatakan Bwe-Hoa-Cat terluka dan melarikan diri, sedangkan berita lain mengatakan Bwe-Hoa-Cat berhasil membunuh salah satu tokoh Bu-Tong-pai sebelum meloloskan diri.

   Tidak heran bila peristiwa yang terjadi di Bu-Tong-Pai simpang siur, murid-murid Bu-Tong-Pai enggan menceritakan aib yang menimpa tokoh mereka Tiong-Cin-Tojin.

   Mendengar nama Li Kun Liong di sebut-sebut, wajah gadis ini bersinar cerah, akhirnya ia mendapatkan berita tentang Li Kun Liong.

   Cuma yang membuat dirinya sangat kaget adalah tuduhan bahwa Li Kun Liong adalah Bwe-Hoa-Cat, namun setidaknya ia mendapat jejak untuk ditelusuri.

   Semua gerak-gerik gadis ini tidak luput dari perhatian si pemuda, ia menduga si gadis mempunyai dendam dengan Bwe-Hoa-Cat.

   Ia bangkit dan berjalan menuju ke arah si gadis tersebut, sambil menjura ia menyapa "Maafkan cayhe kalau sudah menganggu ketenangan nona, dari tadi cayhe memperhatikan nona sangat tertarik mendengar berita tentang Bwe-Hoa-Cat, mungkin cayhe bisa membantu karena kebetulan cayhe sedikit mengetahui keberadaan Bwe-Hoa-Cat."

   Gadis tersebut menatap pemuda yang mengajaknya bicara, wajahnya cukup tampan dengan senyumannya yang mengoda.

   Ia bukan gadis kemarin sore yang masih awam dengan hubungan pria dan wanita, sekilas ia sudah tahu pemuda ini sudah berpengalaman namun mendengar si pemuda tahu keberadaan Li Kun Liong, ia tertarik hatinya.

   "Siangkong ini...?"

   "Nama cayhe Yap Fei, dengan memberanikan diri menyapa nona sekaligus mungkin dapat membantu nona menghadapi Bwe-Hoa-Cat"

   Kata si pemuda sambil duduk di hadapan gadis tersebut.

   "Terima kasih, memang saya ingin mencari Bwe-Hoa-Cat"

   Katanya singkat.

   "Kalau boleh tahu, siapa nama nona yang mulia?"

   "Panggil saja siau-Erl, tadi saudara bilang mengetahui keberadaan Bwe-Hoa-Cat, apakah benar?"

   "Cayhe menduga Bwe-Hoa-Cat sudah berada di kota ini, jadi sebaiknya nona mencari penginapan terlebih dahulu, nanti kita bisa bersama-sama mencari Bwe- Hoa-Cat."

   Siau-Erl mengangguk setuju.

   Dengan gembira pemuda yang bernama Yap Fei ini lalu memanggil pelayan dan memesan sebuah kamar untuk siau-Erl yang bersebelahan dengan kamarnya.

   Sore harinya ia mengajak siau-Erl berpesiar ke telaga di pingiran kota sambil menyerapi kabar Bwe-Hoa-Cat.

   Mereka menyewa sebuah perahu , Yap Fei mengarahkan perahu ke tengah telaga.

   Langit nampak sangat cerah tak berawan, tampak dikejauhan perahu berseliweran membawa pelancong-pelancong menikmati suasana sore hari di telaga.

   Tengah telaga tersebut sangat ramai, sesekali telinga mereka mendengar suara kecapi dan tiupan seruling yang sangat merdu di iringi lantunan merdu tembang cinta berasal dari sebuah perahu yang megah, penuh kegembiraan dan keriangan.

   Nampak oleh mereka seorang gadis penghibur sedang memetik kecapi sambil menyanyikan sebuah tembang cinta...

   Mengalun indah suara kecapi Mengalun indah dengan irama simfoni Dawai-dawainya merunduk malu saat disentuh Dipetik jari sang pujangga hati Pujangga yang merindukan seorang kekasih tambatan hati Yang selalu terbawa mimpi namun tak dapat diraih Ketika kecapi cinta mulai terdengar Sudut hati mulai bermain perasaan Perasaan cinta yang terbentuk secara alami Inti sari cinta menemukan rasa yang sebenarnya Rasa manis yang menghidangkan kenikmatan Kemanisannya takkan pudar 'tuk selamanya Engkaulah sang kecapi cinta berdawai asmara Membawa angan-angan merajut indahnya kasih Jemarinya mendenyut dan merona tersipu-sipu Melodi kecapi memang melodi hati Takkan lenyap alunan nadanya Nada-nada kalbu yang menggetarkan jiwa Para pemuda-pemuda berpakaian perlente di perahu megah tersebut bertepuk tangan memuji keindahan suara si penyanyi.

   Mereka sepertinya berasal dari keluarga-keluarga hartawan atau pejabat-pejabat kota yang terpandang.

   Perahu mereka melaju perlahan-lahan membelah telaga, mengelilingi telaga, sesekali mereka berpapasan dengan perahu lain.

   Tanpa mereka sadari, dari kejauhan nampak sebuah perahu mengikuti dari belakang.

   Yap Fei mendayung perahu menjauhi keramaian ke arah seberang telaga yang sepi.

   Tak terasa sore hari sudah menjelang malam, perlahan-lahan matahari mulai tenggelam kembali keperaduannya, permukaaan air telaga terlihat gelap, namun suasana telaga semakin indah, di kejauhan terlihat kerlap-kerlip lampu dari perahu-perahu di tengah telaga seperti bintang menambah gemerlapnya malam.

   Perahu yang mengikuti Yap Fei berdua masih terlihat dikejauhan, di dalam perahu tersebut tampak empat orang pria yang terdiri dari dua orang pemuda berusia dua puluh tahunan dan dua orang pria pertengahan empat puluh tahunan.

   Salah satu pemuda tersebut adalah Bai Mu An si pedang kilat, seorang yang lain adalah Lu Gan.

   Sedangkan pria pertengahan umur yang berbaju hijau adalah Tong-leng (pemimpin Gie-lim-kun) - Sun Kai Shek yang berjuluk Kip-hong-kiam (si pedang angin lesus), wajahnya berwibawa dengan kumis dan jengot yang dipelihara rapi menambah keangkerannya.

   Sorot matanya sangat tajam berkilau di kegelapan malam menandakan lweekang yang tinggi.

   Pria pertengahan yang satu lagi yang menyertainya adalah salah seorang wie-su Gie-Lim-Kun yang sedang menyamar dalam usaha menangkap Bwe-Hoa-Cat.

   Yang mengherankan mereka ini bisa berjalan bersama-sama.

   Ternyata secara kebetulan Lu Gan dan Bai Mu An bertemu Sun Kai Shek di tepi telaga tadi.

   Lu Gan mengenal pemimpin Gie-Lim-Kun ini karena susioknya merupakan kenalan baik Sun Kai Shek.

   Selagi bercakap-cakap, tanpa sengaja Lu Gan melihat ke arah perahu yang sedang lewat dari kejauhan, nampak olehnya seorang pemuda berbaju putih dengan seorang gadis sedang mengarahkan perahu mereka ke tengah telaga.

   Ia tidak dapat memastikan karena pemuda berbaju putih tersebut membelakanginya tapi lapat-lapat mengenali postur tubuh pemuda tersebut sebagai Bwe-Hoa-Cat Li Kun Liong yang pernah mereka keroyok.

   Buru-buru ia memberitahu kawan-kawannya apa yang barusan ia lihat hingga akhirnya mereka mengikuti perahu tersebut.

   Sambil mengikuti perahu tersebut semakin Lu Gan yakin bahwa ia tidak salah apalagi kemudian perahu tersebut menjauhi keramaian.

   Mereka tidak mau mengikuti terlalu dekat, takut ketahuan.

   Bai Mu An yang pernah bertemu dan berjalan bersam Li Kun Liong ragu-ragu dengan postur tubuh si pemuda berbaju putih, namun ia diam saja.

   Ia mengikuti saja ajakan teman lamanya Lu Gan menguntit perahu pemuda tersebut.

   Mereka kehilangan jejak perahu buruan mereka yang menghilang di balik pepohonan di tepi telaga.

   Sambil berputar-putar di sekelilingnya sambil mengerahkan ketajamanan mata mereka mencari perahu tersebut.

   Sementara itu, di perahunya Yap Fei sedang berusaha merayu siau-Erl namun ditanggapi dengan dingin oleh siau-Erl.

   Suasana telaga yang sepi semakin membuatnya semakin berani untuk bertindak.

   Ia berusaha memegang tangan siau- Erl tapi dengan manis siau-Erl menarik tangannya pada saat yang tepat.

   "Mau apa kau"

   Tanyanya sambil berkerut kening.

   "He..he..he, bukannya engkau sedang mencari Bwe-Hoa-Cat"

   Kata Yap Fei sambil tertawa licik.

   "Ja..di engkau adalah Bwe-Hoa-Cat yang sebenarnya bukan Li Kun Liong"

   Sahut siau-Erl kaget.

   "Hm.. engkau tahu yang sebenarnya sekarang juga percuma, tidak ada yang akan tahu. Sebaiknya engkau secara sukarela bersedia melayaniku atau kalau tidak..."

   Belum sempat Yap Fei menyelesaikan perkataannya, siau-Erl kecil sudah melancarkan serangan ke arah pundaknya.

   Tangannya yang ramping menyambar dengan kecepatan kilat menghantam pundak Yap Fei namun dapat dihindarkan dengan manis oleh Yap Fei.

   Ia merasa kaget melihat kecepatan yang dimiliki siau- Erl, ternyata korbannya kali ini memiliki ilmu silat yang tinggi.

   Dalam perahu yang sempit mereka bergebrak belasan jurus, perahu bergoyang-goyang dengan keras namun masing-masing memiliki ilmu meringankan tubuh yang sama-sama nomer wahid sehingga masih bisa bertempur tanpa tercebur ke telaga bahkan perlahan- lahan perahu mereka mengarah ke pinggiran telaga.

   Gerakannya yang demikian ringan dan cepatnya cukup merepotkan Yap Fei atau mungkin lebih tepat kita sebut Bwe-Hoa-Cat.

   "Dukkkkk!"

   Kedua tangan mereka beradu, siau-Erl kecil terhuyung dua langkah ke belakang sedangkan Bwe-Hoa-Cat tak bergeming.

   Ternyata dalam adu tenaga dalam siau-Erl masih kalah setingkat dari pemuda ini.

   Bwe-Hoa-Cat dengan cerdik melancarka pukulan-pukulan yang disertai tenaga yang kuat mengarah ke bagian- bagian tubuh yang berbahaya.

   Cukup kewalahan siau-Erl melayani strategi Bwe- Hoa-Cat, ia menyadari kalah tenaga dan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut kalau tidak mau tertawan.

   Kebetulan perahu mereka sudah mendekati tepian, tiba- tiba ia melompat menghindar dengan gerakan lee-hie-tha-teng (ikan gabus melentik) ke arah tepian dan mendarat dengan mulus di tanah.

   Begitu tiba di tanah ia segera mengembangkan ginkangnya melarikan diri ke dalam hutan, di ikuti dengan ketat oleh Bwe-Hoa-Cat yang tidak mau kehilangan korbannya yang sudah di depan mata.

   Ilmu meringankan tubuh mereka sama-sama lihai namun karena hatinya gugup dan keadaan yang gelap serta keadaan hutan yang penuh akar di bawah membuat gerakannya sedikit lambat dan dapat di susul Bwe-Hoa-Cat.

   Mereka terus bertempur dengan seru, sekarang jelas kelihatan keunggulan Bwe- Hoa-Cat atas siau-Erl.

   Makin gelap cuaca tanda malam tiba, makin indah di situ.

   Bulan muncul dengan cahayanya yang gilang gemilang, langit bersih tak tampak sedikitpun awan, permukaan air telaga bermandikan cahaya bulan, seakan-akan terbakar menjadi emas, berkilauan.

   Angin bersilir membuat air emas itu berombak sedikit dan bungabunga teratai yang berkelompok disana-sini mulailah menari-nari menggoyang- goyangkan pinggang ke kanan kiri.

   Dendam Kesumat Karya Tabib Gila di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bagaikan kucing yang mempermainkan tikus buruannya, Bwe-Hoa-Cat sesekali berhasil mencolek buah dada siau-Erl yang membusung di balik pakaiannya bahkan dengan gerakan yang indah ia mampu mengusap bokong siau-Erl.

   Sambil menggigit bibirnya dengan gemas siau-Erl memperhebat serangannya namun tetap tak berhasil menyentuh tubuh Bwe-Hoa-Cat.

   Suatu ketika dengan gerakan yang tak terduga-duga, Bwe-Hoa-Cat berhasil menutuk jalan darah siau-Erl hingga roboh ke tanah.

   Sambil cengar-cengir ia menghampiri tubuh siau-Erl yang roboh terbaring di tanah.

   Perlahan-lahan ia mengusap-usap pipi merah siau-Erl lalu menciumnya dengan mesra.

   Siau-Erl memejamkan matanya berusaha mematikan rasa, ia sadar apa yang akan menimpanya namun dengan tabah menghadapinya sambil mengerahkan tenaga dalam berusaha membuyarkan tutukan Bwe-Hoa-Cat.

   Direngutnya seluruh baju yang dipakai siau-Erl memperlihatkan tubuh mulus seorang gadis yang sedang mekar-mekarnya.

   Bwe-Hoa-Cat mencium tanpa henti di dahi, bibir, pipi dan leher siau-Erl yang jenjang, tangannya mengusap-ngusap buah dada siau-Erl yang bulat itu perlahan- lahan.

   Bagian selanjutnya di sensor yach (18+), untuk menghindari di 17 terpengaruh namun....

   Tiba-tiba terdengar kesiur angin pukulan mengarah punggungnya, walau pun saat itu ia sedang asyik-asyiknya namun reaksinya masih berjalan.

   Dengan cepat ia berguling-guling menghindari serangan tersebut lalu melompat berdiri menghadapi penyerangnya.

   Tampak olehnya si penyerang adalah seorang pemuda dengan wajah jijik sedang menatapnya dengan mata melotot.

   Di belakang pemuda itu tampak tiga orang menyertainya.

   Mereka adalah Bai Mu An, Sun Kai Shek dan bawahannya.

   Setelah berputar-putar sekian lama akhirnya mereka melihat sebuah perahu kosong terombang-ambing di tepi danau.

   Dengan cepat mereka mengarahkan perahu ke tepian dan memeriksa perahu tersebut.

   Bawahan Sun Kai Shek adalah seorang ahli pemburu penjahat yang memiliki penciuman yang sangat tajam, sering kali berkat penciumannya ia berhasil memecahkan kasus-kasus kejahatan yag membingungkan pihak pemerintah.

   Sambil mengendus-endus perahu tersebut ia memberitahu atasannya bau harum bunga bwe yang berhasil ia cium dari tempat duduk di perahu tersebut.

   "Tidak salah lagi, berarti pemuda tersebut pastilah Bwe-Hoa-Cat Li Kun Liong, mungkin tidak jauh dari ini ia sedang memperkosa korbannya"

   Kata Lu Gan dengan geram sambil mendahului masuk ke dalam hutan untuk mencari jejak Bwe-Hoa-Cat.

   Demikianlah mereka datang pada waktu yang tepat sebelum siau-Erl ternoda lebih jauh.

   Sambil melenggos menghindari pemandangan yang mengiurkan, Bai Mu An membebaskan tutukan siau-Erl kecil.

   Dengan cepat siau-Erl kecil meraih pakaiannya yang berserakan dan menutupi tubuhnya yang telanjang.

   "Di..a adalah Bwe-Hoa-Cat yang asli"

   Katanya dengan gagap, lega terbebas dari hinaan si Bwe-Hoa-Cat.

   "Ap..a, berarti Li Kun Liong bukanlah Bwe-Hoa-Cat"

   Kata Lu gan sambil mengerutkan keningnya.

   "Benar, ia sendiri yang mengaku tadi bahkan aku berhasil mengambil senjata rahasia bunga bwenya"

   Kata siau-Erl sambil memperlihatkan beberapa senjata rahasia berbentuk bunga bwe.

   Rupanya saat mereka bertanding, siau-Erl memperlihatkan kelihaiannya dalam mencopet dengan mengambil senjata rahasia bunga bwe yang berada di saku baju Bwe-Hoa-Cat.

   Dengan wajah kaget mereka memeriksa senjata rahasia tersebut.

   "Memang benar ini adalah senjata rahasia yang biasa digunakan Bwe-Hoa-Cat"

   Kata bawahan Sun Kai Shek.

   Mereka berempat lalu mengurung Bwe-Hoa-Cat sedangkan siau-Erl berlindung di balik pohon mengenakan pakaiannya kembali.

   Ketika ia kembali, pertempuran telah di mulai.

   Dikerubuti empat jago kosen dunia persilatan, Bwe-Hoa-Cat memperlihatkan kelihaiannya, ia mengelak ke sana kemari sambil sesekali melancarkan serangan balasan.

   Namun yang mengeroyoknya kali ini adalah jago-jago persilatan kelas satu, masing-masing tidak kalah hebatnya bila bertanding satu persatu.

   Setelah beberapa puluh jurus berlalu, Bwe-Hoa-Cat mulai keteteran.

   Beberapa kali ia harus berjibaku menghindarkan serangan-serangan ke empat pengeroyoknya, bahkan pundak kirinya sudah terserempet pedang Bai Mu An, juga paha kirinya tertusuk pedang Sun Kai Shek.

   Ia makin memperhebat pertahanannya sambil seolah-olah hendak melancarkan serangan mati-matian namun dengan gerakan yang tak terduga-dua, tangan kirinya melemparkan sesuatu ke tanah dan mengeluarkan suara keras disertai asap tebal mengepul ke udara, menghalangi penglihatan.

   Mereka berempat serempak mundur menghindari kabut asap tersebut, takut asap itu megandung racun.

   Begitu asap tebal mulai menghilang tersapu angin malam, Bwe-Hoa-Cat telah menghilang di kegelapan hutan.

   "Sayang ia berhasil lolos!"

   Kata siau-Erl gemas.

   "Jangan khawatir nona, kali ini kami sudah mengetahui wajahnya yang sebenarnya. Begitu kembali ke kotaa, akan saya suruh pelukis untuk membuat sketsa wajah Bwe- Hoa-Cat dan menyebarkannya ke seluruh kota-kota kerajaan, tanggung ia tidak akan berani melakukan aksinya lagi. Lohu rasa tidak berapa lama lagi ia pasti tertangkap"

   Kata Tong-leng (pemimpin Gie-lim-kun) - Sun Kai Shek yakin.

   Mereka lalu kembali ke perahu dan kembali ke kota Gui-Yang.

   Dengan cepat berita bahwa Bwe-Hoa-Cat yang asli adalah bernama Yap Fei, bukan Li Kun Liong, menguncangkan sungai telaga sekali lagi.

   Namun Bwe-Hoa-Cat asli ini tidak kalah lihai dengan Li Kun Liong, ia mampu lolos dari kerubutan jago- jago kelas wahid seperti kepala Gie-Lim-Kun, Si pedang kilat Bai Mu An dan Lu Gan.

   Siau-Erl melanjutkan perjalanannya mencari pujaan hatinya Li Kun Liong.

   Kicauan burung memecah hening..

   mencari rezeki di pagi hari..

   berterbangan ke sana ke mari..

   berkicau riang suka hati..

   mengapa aku merintih begini..

   bagai tak upaya mencari diri..

   berkurung dalam lingkungan..

   mengharap yang pipih datang melayang..

   yang bulat datang menggolek..

   kudrat yang ada di sia sia kan..

   Dengan wajah tertunduk lesu ia melangkahkan kakinya perlahan-lahan meninggalkan kota Gui-Yang...

   16.

   Epilog Saat itu musim gugur tengah berlangsung, membawa nuansa tersendiri.

   Udara mulai terasa sejuk, tetapi belum terlalu dingin untuk mengenakan pakaian tebal di alam bebas.

   Daun-daun yang mulai berubah warnanya menawarkan keindahan yang tidak bisa dinikmati di musim-musim lain.

   Nun jauh di sana, di kaki gunung Thai-San nampak berjalan seorang diri seorang dara muda berusia delapan belas tahun, wajahnya nan cantik jelita, kulitnya cerah, yang bila berjalan bagai mentari berkelana di jalanan pelosok bumi.

   Alisnya hanya seluas sisa gerhana bulan.

   Sinar matanya selalu menjinakkan keresahan atau kemarahan setiap orang yang bertatapan langsung dengannya.

   Bibir indahnya tersapu merah muda tanpa polesan gincu buatan manusia.

   Hidungnya yang ramping dan ramah, segera menyapa terlebih dulu pada siapa saja.

   Pipinya halus melebihi sutera termahal, membuat siapapun tidak tega menyentuhnya.

   Dagunya cembung mulus, menggantungkan pesona melelapkan.

   Rambutnya bak sutera hitam alami yang indah menjalari punggungnya.

   Jemarinya lentik namun gerakannya tak pernah genit.

   Gerakan langkahnya begitu tenang, setenang samudera luas yang menyenangkan para nelayan.

   Suara ketukan langkahnya seakan mengatakan bahwa jangan tergesa-gesa atau juga jangan berlambat-lambat menjemput setiap harapan yang telah direnda di atas peraduan.

   Bagaimana Tuhan merancang, menyusun bagian- bagiannya, mengukir, menjelmakan dan memoles kecantikannya menjadi sedemikian jelita merupakan misteri Tuhan.

   Sebuah adikarya yang tiada banding- tiada tanding! Gadis itu memang cantik jelita bahkan setara dengan puteri-puteri kerajaan.

   Dia adalah Cin-Cin, beberapa hari yang lalu diam-diam ia meninggalkan Thai-San-Pai sendirian.

   Alasan apa yang membuatnya pergi dari Thai-San-Pai ? Meninggalkan kedua orang tua yang menyayanginya, bahkan tanpa memberitahu siapa pun termasuk toa suhengnya Tang Bun An.

   Dia adalah seorang gadis cantik.

   Ia pikir cinta adalah jalannya menuju kebebasan.

   Bebas memilih atau tidak memilih pria mana saja yang ia mau.

   Bebas menuntut apa pun yang ia inginkan.

   Bebas melakukan apa saja yang ia impikan.

   Dia nun jauh disana Di batas waktu dan jarak Di batas nyata dan angan Benarkah kau ada untuk ku? Dia nun jauh disana Di batas dunia lain tuk bersatu Di batas masa yg tak tentu Benarkah kau ada untuk ku? T A M A T

   

   

   

   

Kedele Maut Karya Khu Lung Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto

Cari Blog Ini