Ceritasilat Novel Online

Kemelut Tahta Naga 7


Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP Bagian 7



Kemelut Tahta Naga (2) Karya dari Stevanus SP

   

   "Lo-ciang-pwe (panggilan hormat kepada angkatan yang lebih tua dalam dunia persilatan), tenanglah, Pangeran In Te sudah aman di luar kota!"

   "Siapakah tuan?"

   Tanya Pak Kiong Liong, sementara dalam hatinya timbul setitik rasa percaya terhadap orang berkedok yang belum dikenalnya itu.

   "Nanti setelah tiba di luar kota, akan kuperkenalkan diriku kepada Lo-cian-pwe!"

   Sahut si kedok. Pak Kiong Liong dan orang berkedok itu kemudian lebih terlibat dalam "lomba lari"

   Yang membuat takjub para perajurit yang melihatnya dari bawah. Para perajurit seolah melihat dua ekor burung merpati jempolan yang sedang diadu cepat terbangnya. Sudah lama Pak Kiong Liong merasa "kesepian"

   Dalam soal silat, kesepian sendiri di atas tanpa "teman bermain"

   Yang memadai. Tetapi hari itu tiba-tiba gairahnya timbul, seperti anak-anak mendapatkan mainan baru. Karena itu, sambil tertawa ia berkata.

   "Sobat, hebat sekali ilmu meringankan tubuhmu. Bagaimana kalau kita tidak usah terburu keluar kota, tapi melihat-lihat kota Hang-ciu dulu?"

   Selagi mengucapkan kalimat yang tidak panjang itu, sudah belasan atap rumah yang tinggi rendahnya tidak sama telah mereka lintasi bagaikan kilat. Orang berkedok itu menangkap ada nya tantangan dalam ajakan itu.

   "Melihat-lihat kota Hang-ciu"

   Yang berarti memperbandingkan ilmu meringankan tubuh.

   "Penyakit"

   Kaum persilatan yang tak bisa disembuhkan ialah keinginan membandingkan ilmunya sendiri dengan ilmu orang lain. Orang berkedok itu ter tawa sambil menjawab.

   "Sungguh suatu kehormatan bagiku, bersama-sama menikmati kota Hang-ciu dengan Lo-cian-pwe. Dengan senang hati, Lo-cian-pwe!"

   Mulailah "tamasya dalam kota"

   Yang luar biasa itu.

   Keduanya seolah mampu merubah diri menjadi angin yang berhembus lewat begitu saja di atas atap-atap rumah.

   Berbelok selicin belut, melambung, melejit, tidak jarang memanjat pagoda-pagoda yang tinggi untuk terus meluncur dengan gerak-gerak akrobatik menakjubkan.

   Para perajurit yang mestinya mengejar, kini malah jadi penonton yang asyik.

   Mereka sekarang "tahu diri"

   Tak mungkin berhasil menangkap orang-orang selihai itu, maka buat apa lagi susah-susah? Lebih enak menonton, mengomentari, menjagoi dan bertaruh.

   Kota Hang-ciu mendapat hiburan gratis hari itu.

   Perajurit-perajurit yang disuruh memadamkan api pun jadi lengah dari tugasnya.

   Ember-ember diletakkan dulu, dan mereka tidak mau kehilangan kesempatan untuk menonton pertandingan luar biasa itu.

   Pak Kiong Liong dan orang berkedok itu dalam waktu singkat berhasil mengelilingi kota Hang-ciu satu putaran, dalam keadaan tetap sejajar.

   Tetapi diam-diam Pak Kiong Liong harus mengakui kalah dalam hati.

   Dalam lari itu, dia berada di lingkaran yang lebih dalam dari lawannya, kalau dihitung-hitung sebenarnya menempuh jarak yang lebih pendek dan seharusnya dapat meninggalkan lawannya.

   Tapi toh cuma bisa sejajar, itu berarti lawannya lebih unggul.

   Alangkah herannya Pak Kiong Liong menjumpai kenyataan itu, juga merasa malu sendiri.

   Bertahun-tahun ia merasa "kesepian"

   Di puncak persilatan karena merasa tak ada tandingannya.

   Dan kini, seorang yang satu generasi dibawahnya telah muncul dengan ilmu yang bukan saja menyamai, bahkan melampauinya.

   Namun sebagai seorang berdada lapang, tak setitikpun muncul rasa dengki di hatinya, malah ada perasaan gembira.

   "Memang beginilah seharusnya. Kalau tiap generasi dunia persilatan bisa lebih baik dari generasi sebelumnya, barulah bisa ilmu silat berkembang kearah kejayaannya. Tapi kebanyakan tokoh-tokoh tua tidak rela digantikan yang muda-muda, takut bergeser, lalu malah menghambat perkembangan orangorang muda dengan cara yang kadang-kadang kekanak-kanakan." Tak terasa, sampailah kedua pelomba itu ke tembok kota.

   "Bagaimana kalau kita keluar kota sekarang, Lo-cian-pwe?"

   "Baik."

   Begitu Pak Kiong Liong menjawab setuju, tubuh orang berkedok itu tiba-tiba melambung tinggi keatas tembok kota.

   Karena tembok itu terlalu tinggi untuk dilompati sekaligus, di tengah luncurannya, orang berkedok itu membuat gerak berputar sehingga mendapat tambahan tenaga lontaran ke atas.

   Maka seperti tanpa bobot saja, orang itupun mendarat ringan di atas dinding kota.

   Sedangkan Pak Kiong Liong terus meluncur .

   ke depan, seolah hendak menabarak tembok kota, namun setelah dekat dia melompat dan melangkahlah ia di permukaan tembok kota yang tegak lurus itu seolah berjalan di lantai datar saja.

   Gerakan macam ini sebenarnya terhitung biasa dan gampang dipahami teorinya.

   Asalkan ada ancang-ancang yang cukup, hampir semua pesilat bisa berjalan beberapa langkah di permukaan tembok yang tegak lurus dengan gerakan cepat.

   Tapi kalau melihat yang dilakukan Pak Kiong Liong, penganut teori itu mungkin akan garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

   Bukan saja Pak Kiong Liong sanggup melangkah sampai ke puncak yang jaraknya ada puluhan langkah, tapi Pak Kiong Liong juga melakukannya dengan langkah agak perlahan! Itu artinya ancang-ancang tadi cuma "basa-basi"

   Belaka, kini dia melangkah naik tanpa sepenuhnya mengandalkan lari acang-ancang lagi.

   Para perajurit yang menontonnya tiba-tiba bersorak menggemuruh atau bertepuk tangan.

   Sebagian lagi cuma melongo sampai mulutnya kemasukan lalat.

   Sementara kedua pelomba itu sudah menghilang di bagian luar dinding kota Hangciu.

   Ketika sudah belasan li meninggalkan dinding kota, Pak Kiong Liong dan orang berkedok itu melihat In Pe berdiri di sebuah tempat belukar yang sepi.

   Maka Pak Kiong Liong dan orang berkedok itupun melambatkan lari mereka dan akhirnya berhenti.

   Sambil mengusap keringatnya, Pak Kiong Liong berkata dengan agak terengah.

   "Tunastunas baru telah muncul untuk menggantikan pohon-pohon tua yang mulai keropos dimakan umur. Bagus, sobat, aku mengaku kalah."

   In Te pun kemudian memberi hormat kepada orang berkedok itu.

   "Tadi belum sempat kuucapkan terima kasih kepadamu, Tuan. Sebab setelah Tuan menolongku, lalu buru-buru masuk kembali ke dalam kota. Sekarang, terimalah rasa terima kasihku."

   "Jadi kau pula yang melepaskan api dalam kota, sobat?"

   Tanya Pak Kiong Liong.

   "Kawan-kawanku,"

   Sahut orang berkedok itu singkat. Pak Kiong Liong kemudian menagih janji.

   "Sobat, agaknya sekarang tiba saat yang kau janjikan sendiri untuk memperkenalkan dirimu." Orang itu membuka kedoknya, dan muncullah seraut wajah yang kira-kira lebih tua sedikit dari In Te. Kira-kira empatpuluh lima tahun. Namun wajah di balik kedok itu sungguh tidak pantas menjadi wajah pendekar, lebih cocok menjadi tampang seorang penderita penyakit panas kelas berat. Kurus, kulitnya kuning pucat, kumis dan jenggotnya jarangjarang serta serabutan. Hanya sepasang matanyalah yang berkilau cemerlang dan bersorot tajam. Hampir-hampir Pak Kiong Liong dan In Te tidak percaya bahwa orang ini memiliki ilmu silat yang demikian tinggi, bahkan sampai Pak Kiong Liong pun mengaku kalah.

   "Namaku adalah Kam Hong To,"

   Kata orang itu.

   Pak Kiong Liong dan In Te terkejut berbareng.

   Nama itu bukan nama kecil berarti, namun itulah nama seorang pendekar yang amat dihormati di wilayah Kang-lam (sebelah selatan Sungai Besar).

   Orang itu membuka kedoknya, dan munculah seraut wajah yang kira-kira lebih tua sedikit dari In Te "Kang-lam Thai-hiap?"

   Tegas Pak Kiong Liong yang langsung menyebut gelar pendekar kenamaan itu.

   "Ah, sebutan yang diberikan oleh para sahabat itu malah terlalu membebaniku. Aku tidak berani membanggakannya di hadapan Locian-pwe dan Pangeran."

   Pak Kiong Liong menarik napas, ada sesuatu yang terusik dalam hatinya.

   Kam Hong Ti adalah sahabat Kaisar Yong Ceng ketika keduanya masih sama-sama muda.

   Ketika itu Kiasar Yong Ceng masih menyamar sebagai seorang pendekar pengembara di dunia persilatan, dan berhasil bersahabat dengan banyak pendekar Karig-lam yang di kemudian hari dimanfaatkan sebagai pendukung merebut tahta.

   Soal inilah yang menjadi pertimbangan Pak Kiong Liong, lebih dari soal tinggi rendahnya ilmu silat Kam Hong Ti.

   Di masa putera-putera Kaisar Khong Hi berebut tahta dulu, Kam Hong Ti termasuk kubunya Pangeran In Ceng, yang berarti menjadi lawan Pak Kiong Liong yang mendukung Pangeran In Te.

   Banyak tahun sudah lewat, sekarang entah bagaimana sikap Kam Hong terhadap pemegang tahta? Rasa was-was Pak Kiong Liong timbul, ketika mendengar Kam Hong tiba-tiba berkata.

   "Lo-cian-pwe dan Pangeran, pertemuan kita kali ini juga ingin kugunakan sebagai..."

   Saat itulah In Te menukas dengan cepat.

   "Harap Kam-heng ketahui, aku sudah bukan bangsawan atau pangeran ataupun apapun lagi, namun sebagai warga biasa seperti orang-orang lain. Maka jangan lagi memanggil aku dengan sebutan Pangeran."

   Kam Hong Ti tercengang mendengar katakata itu.

   Sesaat ia ragu-ragu, benarkah In Te benar-benar telah meninggalkan kedudukannya, yang berarti juga meninggalkan arena perebutan tahta? Atau cuma pura-pura minggir, dan kelak kalau melihat kesempatan terbuka lalu terjun kembali? Namun kemudian Kam Hong Ti bertekat, bagaimanapun kedudukan In Te sekarang, Pangeran atau bukan, dia tetap harus melepaskan ganjalan hatinya yang telah dipendamnya bertahuntahun.

   "Baiklah. Kau masih pangeran atau sudah bukan pangeran lagi, aku tetap wajib harus minta maaf kepadamu,"

   Kata Kam Hong Ti, dan tiba-tiba ia membungkuk hormat dalam-dalam kepada In Te. In Te terkejut.

   "Apa-apaan ini, Kam-heng?"

   "In-heng, dulu karena mataku buta tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang jahat, aku telah bersahabat dengan kakak ke empatmu, In Ceng, yang sekarang menduduki tahta. Karena kepandaiannya bersandiwara dan menyusun kata-katanya yang bagus, aku pun terjerat ikut dalam komplotannya dan mendukung usahanya merebut tahta. Ah, benar-benar buta aku waktu itu. Dan sekaranglah kusadari betapa keliru langkahku yang dulu itu."

   Sambil tersenyum, In Te berkata.

   "Sudahlah, Kam-heng. Dalam kehidupan yang menyediakan banyak pilihan ini, siapa orangnya yang tidak pernah melakukan kesalahan? Seandainya dulu aku yang berhasil naik tahta, barangkali karena kelemahan dan kebodohanku, sekarang aku juga sudah mengecewakan banyak orang."

   Kam Hong Ti menarik napas, beban berat rasa bersalah di dalam hatinya belum terlepas sama sekali.

   "Ijinkan aku menyelesaikan katakataku, In-heng. Aku dulu bukan sekedar pendukung biasa bagi si licik In Ceng, namun pendukung yang membabi-buta sehingga berhasil dibujuk ikut serta dalam suatu tindakan curang, yang amat merugikan In-heng serta seluruh kekasiran, seluruh pencinta keadilan." (Bersambung

   Jilid XII) (Bersambung

   Jilid XII) KEMELUT TAHTA NAGA Bagian . II Karya . STEFANUS S.P.

   Jilid XII Wajah In Te mau tak mau agak menegang mendengarnya. Sedangkan Kam Hong Ti melanjutkan.

   "In-heng, terus terang saja, aku terlibat langsung dalam pencurian Surat Wasiat Kaisar Khong Hi, ayahanda In-heng, mengubah huruf dalam Surat Wasiat itu, sehingga ketika Surat Wasiat dibacakan, In-heng tersingkir dan In Ceng yang naik tahta. Memang Ni Keng Giaulah yang menggerakkan pena mengubah surat itu, namun akupun ikut berdosa karena aku adalah anggota regu kecil yang disuruh In Ceng untuk masuk ke ruang Han-lim-pong, mengambil dan kemudian mengembalikan lagi surat itu ke tempatnya setelah diubah Ni Keng Giau. Padahal dalam Surat Wasiat itu namamulah yang tercantum, In-heng. Aku telah membuat kerugian besar buatmu, karena ketololanku dulu, In-heng."

   Habis mengucapkan itu, Kam Hong Ti merasa lega sudah.

   Dan dia sekarang siap untuk dicaci-maki atau dihukum oleh Pak Kiong Liong atau In Te.

   Tapi Kam Hong Ti jadi heran ketika melihat kedua orang di hadapannya itu nampak tenang-tenang saja.

   Memang mereka menarik napas beberapa kali, tapi tidak nampak kehilangan kendali diri.

   "Kalau Kam-heng ingin berbaik hati, aku hanya ingin tanya satu soal lagi yang selama ini masih menjadi pertanyaan di hatiku,"

   Pak Kiong Lionglah yang berkata.

   "Silahkan, Lo-cian-pwe. Aku akan sejujurjujurnya kepada Lo-cian-pwe berdua untuk mengurangi beban rasa bersalahku."

   "Terima kasih. Bisakah Kam-heng menjelaskan, bagaimana caranya Sian-hong (Kaisar terdahulu) meninggal dunia?"

   "Saat terjadinya itu, aku tidak ada di samping In Ceng. Hanya saja tiba-tiba Kudengar kabar dari Pak-khia kalau Sribaginda Khong Hi diumumkan wafat karena penyakitnya. Antara pengubahan Surat Wasiat dan wafatnya Sianhong itu ada selisih waktu yang cukup lama. Jadi aku tidak tahu menahu bagaimana cara meninggalnya Sian-hong."

   Pak Kiong Liong dan In Te hampir bersamaan menarik napas panjang.

   Aneh juga perasaan mereka.

   Mereka bertanya, namun malahan merasa lega kalau Kam Hong Ti menyatakan tidak tahu.

   Rupanya, dalam hati mereka ada rasa segan dan hormat kepada Kang-lam Thai-hiap yang jujur ini, dan mereka lega karena kehilangan alasan untuk bertempur dengan Kam Hong Ti.

   Coba Kam Hong Ti menjawab bahwa ia terlibat langsung dalam mengakhiri riwayat Kaisar Khong Hi, tentu Pak Kiong Liong dan In Te bagaimanapun juga akan turun tangan.

   Kata In Te kemudian.

   "Itu yang namanya takdir, Kam-heng. Ayahanda sudah mengatur agar aku yang menggantikannya, namun dia tetap manusia biasa yang tak kuasa menentukan yang bakal terjadi di masa depannya. Pengaturannya sudah rapi, namun yang terjadi ternyata lain. Kakanda In Ceng-lah yang akhirnya bertahta. Itu takdir, Kam-heng, tak per lu merasa bersalah secara berlebihan."

   "Terima kasih kalau Lo-cian-pwe dan Inheng memaafkan aku. Tapi kekeliruan tindakanku telah menimbulkan bencana yang tidak kecil. Pembantaian di Hong-hua-lau, pemusnahan Siauw-lim-si di Siong-san, penumpasan Hwe-liong-pang, dan entah berapa ribu lagi korban-korban lain. Kekejaman itu karena In Ceng bertahta, dan In Ceng bertahta antara lain karena dukunganku, tak mungkin hati kecilku mengingkari hal ini. Segala bencana itu adalah buntut dari ketololanku beberapa tahun yang lalu. Karena itu, kesalahanku barulah impas jika aku sudah bisa memperbaikinya dengan tindakan nyata, langsung ke akar masalahnya!"

   Alis Pak Kiong Liong berkerut.

   "Maksudmu, Kam-heng?" Sahut Kam Hong Ti sambil mengepalkan tinjunya.

   "Siapa yang menyalakan api yang menimbulkan kerusakan, dia juga yang harus memadamkannya!"

   Pak Kiong Liong dan In Te rambah kaget.

   Namun sebelum mereka sempat minta penjelasan lebih lanjut, tiba-tiba di langit sebelah utara terdengar suara ledakan, dan nampak kembang api yang membentuk garis asap berwarna putih dengan latar belakang langit biru.

   Melihat itu, Kam Hong membungkuk hormat sekali lagi, dan berkata.

   "Cukup melegakan hari ini aku bisa bertemu dengan Locian-pwe dan In-heng. Kawan-kawanku sudah melepaskan isyarat untuk memanggilku. Aku mohon diri."

   Tanpa menunggu jawaban lagi, tubuh Kam liong Ti dengan cepatnya berkelebat bagaikan kilat. Setelah tubuh Kam Hong li tidak kelihatan lagi, bertanyalah In Te kepada Pak Kiong Liong, "Paman, apa maksudnya dengari kata-kata tadi?"

   "Aku khawatir, dia akan cepat-cepat merobohkan tiang rumah yang lama, sebelum tiang rumah yang baru terpasang cukup kuat. Kalau begitu, rumahnya sendiri bisa ambruk."

   In Te mengangguk-angguk.

   "Tidakkah kita bisa mencegahnya, setidak-tidaknya untuk sementara?"

   "Sulit sekali. Pertama, mereka berpendirian kuat. Kedua, kita sulit untuk bisa mengikuti terus sepak-terjang mereka yang serba terselubung. Ketiga, mereka didera oleh perasaan bersalah karena dulu ikut mendukung Yong Ceng, lalu mereka ingin memperbaiki kesalahan itu secepat-cepatnya. Mereka anggap, apa yang akan mereka lakukan sekarang adalah semacam tindakan penyelamatan bagi umum."

   "Jadi?"

   "Biarkan saja mereka merobohkan tiang lama. Kita harus cepat-cepat menyiapkan dan menegakkan kuat-kuat tiang yang baru!" In Te paham kiasan itu. Artinya, biarkan Kam Hong Ti dan kawan-kawan nya "menebang"

   Kaisar Yong Ceng si tiang lama itu, dan Pak Kiong Liong akan menyokong dan menyiapkan Pangeran Hong Lik untuk mengambil alih tongkat kepemimpinan sebelum "rumah ambruk".

   Jadi semacam pembagian kerja dengan kelompok Kam Hong Ti.

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sedih juga In Te kalau mengingat bahwa betapapun juga Kaisar Yong Ceng adalah kakaknya, namun memang tak boleh berkuasa lebih lama lagi sehingga korbannya akan semakin banyak berjatuhan.

   "Sekarang, mari kita ke Pak-khia secepatnya. Gerakan merobohkan tiang lama dan menegakkan tiang baru harus serempak, jangan memberi kesempatan kepada pengacaupengacau ambisius mengail di air keruh selagi ada kekosongan kekuasaan biarpun cuma sebentar."

   "Bagaimana dengan ketiga anak yang minggat itu?" "Apa boleh buat, kita lupakan mereka dulu demi sesuatu yang jauh le bih penting. Lagipula, toh mereka akan tetap saling kontak dengan saudara-saudara dari Hwe-liong-pang. Tidak terlalu berbahaya." * * * Seorang lelaki berusia kira-kira empatpuluh tujuh tahun, bertubuh tegap, bentuk wajahnya agak persegi, dengan hidung yang besar dan jenggot pendek, berjalan memasuki sebuah desa di hamparan kaki pegunungan Kiu-liong-san. Ketika berjalan memasuki desa, dibukanya caping bambunya yang melindungi dari panas tengah hari, digunakan untuk mengipas-ngipas tubuhnya. Sekali ia menoleh ke belakangnya, ke jalan panjang yang baru saja dilalui nya. Lalu tertawa dingin sambil mengejek dalam hati.

   "Hem, anakanak ingusan dan keledai-keledai tolol Hweliong-pang itu mau berlagak menjadi pahlawanpahlawan. Mana bisa kalian menangkapku? Mengikuti aku saja kalian tidak becus. Tentu sekarang kalian sedang kebingungan kehilangan jejakku lagi, hem...."

   Orang itulah yang di kota Tan-liu pernah memperkenalkan diri kepada Wan lui dengan nama In Kiu liong.

   dan mengaku "seperjuangan dengan Pak Liong liong".

   Namun kemudian di tengah perjalanan dari Tan-liu ke Hang-ciu ketika membuntuti rombongan Ni Keng Giau, In Kiu Liong mendadak memisahkan diri dari Wan Lui dengan pergi diam-diam.

   Dalam perjalanan selanjutnya yang dilakukannya sendirian, tiba-tiba kini In kiu Liong di desa di kaki pegunungan kiu-liong-san itu.

   Sebuah desa penghasil semangka bermutu tinggi.

   In kiu Liong segera tertarik melihat semangka-semangka yang dijual di pinggir jalan, apalagi di antaranya ada yang sudah dibelah sehingga kelihatan dagingnya yang merah segar.

   Saat itu adalah tengah hari, dimana matahari tengah panas-panasnya bersinar.

   Apalagi sehabis berjalan jauh, maka selera In kiu Liong segera dibangunkan oleh semangkasemangka itu.

   Ia membelokkan langkah kepada seorang penjual semangka di bawah sebuah pohon, dan minta dibelahkan satu semangka.

   Sesaat kemudian, ia sudah begitu lahap menikmati segarnya daging semangka, sampai airnya menetes-netes membasahi bajunya di bagian dada.Sambil makan dicobanya bercakapcakap dengan si penjual.

   "Pak, apa nama pegunungan yang kelihatan di sana itu?"

   Si penjual semangka beberapa kejap menatap pegunungan itu dengan pandangan benci, dan menjawab singkat.

   "Kiu-liong-san."

   Sebaliknya In Kiu Liong tiba-tiba tersenyum.

   Nama pegunungan itu menimbulkan minatnya, sebab sama dengan nama yang sedang dipakainya saat itu.

   Kiu Liong.

   Timbul pula semacam pikiran, daripada berkelana kesana kemari sambil diuber-uber banyak musuh, rasanya lebih baik bersembunyi dipegunungan itu sambil mempertinggi ilmunya dan merencanakan langkah-langkah untuk masa depannya.

   Kenapa tidak? Ambisinya takkan kunjung terwujud, kalau ia terus-terusan hidup seperti binatang liar yang setiap detiknya sekedar memperpanjang umurnya dari ancaman pemburu-pemburu.

   "Aku harus mulai mencari tempat berjejak yang pasti,"

   Tekadnya dalam hati.

   Selagi hendak bertanya lebih banyak lagi, tiba-tiba dilihatnya penjual itu menampilkan wajah benci dan menatap ke ujung jalan desa.

   Ib Kiu Liong jadi tertarik dan ikut-ikutan menoleh ke arah yang sama.

   Dari arah itu muncul sepuluh orang lelaki yang semuanya membawa senjata, berpakaian ringkas dan bertampang kasar.

   Tapi pemimpin rombongan itu selalu berusaha menampilkan senyum ramah di wajahnya, sayangnya sambil memanggul tombak panjang yang menakutkan orang.

   Mereka mendekati warung buah-buahan yang paling ujung.

   Pemimpin kelompok mendekati penjualnya sambil berkata dengan suara seramah-ramahnya.

   "Selamat siang, Paman Phui. Sehat-sehat saja?"

   "Ya,"

   Si penjual menjawab singkat dan terpaksa.

   "Ya syukurlah. Kudengar kebun buah Paman bagus panenannya ya? Jadi kalau lima tahil perak kurasa tidak berat buat Paman."

   Dengan mnka cemberut hebat, si penjual langsung membayar tanpa banyak cingcong.

   "Terima kasih, Paman. Warungmu dijamin aman dan tertib dibawah perlindungan kami,"

   Semakin ramah sikap pemimpin orang-orang bersenjata itu sambil mengantongi uangnya.

   "Kudoakan juga agar dagangan Paman laris."

   Warung demi warung didatangi rom bongan itu, dan semuanya membayar "sumbangan keamanan"

   Yang dalam waktu singkat telah memadatkan kantong uang orang-orang itu.

   Penuh perhatian In Kiu Liong memperhatikan gerak-gerik orang-orang ber senjata itu, namun tidak berbuat apa-apa.

   Setelah orang-orang itu pergi dengan kantong uang yang sarat, barulah In Kiu Liong bertanya kepada penjual semangka.

   "Siapa orang-orang itu?"

   "Berandal-berandal gunung Kiu-liong san."

   "Berapa mereka minta tiap bulannya?"

   "Dari desa ini saja sedikitnya tigaratus atau empatratus tahil yang mereka dapatkan, belum dari desa-desa lain. Ada empatpuluh delapan kampung di sekitar pegunungan Kiu-liong-san yang harus membayar kepada mereka secara tetap, dibawah ancaman mereka."

   In Kiu Liong mengangguk-angguk sambil membayangkan betapa "sungai uang"

   Mengalir ke sarang bandit-bandit itu.

   "Tentunya mereka punya kekuatan yang cukup, sehingga berani melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah yang syah. Benar begitu?"

   "Hampir seribu bandit bersarang di lereng selatan pegunungan itu. Semuanya mahir bertempur dan tega bertindak kejam terhadap siapapun yang menentang mereka."

   "Akhirnya kutemukan juga sejengkal tanah untuk berpijak untuk meraih cita-citaku!"

   Pikir In Kiu Liong yang tiba-tiba saja merasa gembira.

   "Seribu orang calon perajurit-perajurit setiaku."

   Tapi kebembiraannya cuma dalam hati, sedang wajahnya nampak biasa-biasa saja.

   "Apakah yang memanggul tombak tadi adalah pemimpin mereka?"

   "Bukan. Pemimpin mereka adalah tiga orang yang menamakan diri Sam-liong (tiga naga). Mereka hampir tak pernah keluar dari sarang mereka, sebab segala urusan di luar sarang sudah cukup lancar dijalankan oleh anak buah mereka."

   "Hem, Sam-liong..."

   Kembali In Kiu liong membatin.

   "Tiga orang calon jenderalku.' "Besar juga nyali mereka. Apakah di dekatdekat sini tidak ada pos terntara kerajaan. sehingga para bandit berani mengganggu desadesa itu di siang bolong?"

   "kota yang paling dekat dengan tempat inii ialah Kim-teng. Di sana adu pasukan yang dipimpin Cung-peng Siau Gin-heng. Tapi payah. Tentara Kerajaan yang gagah-gagah ini tak pernah bertindak terhadap bandit - bandit itu, entah kenapa, keluhan kami tidak pernah di gubris oleh Siau Cong-peng."

   In Kiu Liong tertawa dalam hati ketika mendengar itu la dapat mencium adanya persekongkolan antara pimpinan tentara di Kim-teng dengan gerombolan bandit di Kiuliong-san. Mungkin semacam perjanjian "bagi hasil"

   Atau semacamnya.

   In Kiong Liong membayar harga semangka yang dimakannya, lalu ia berjalan meninggalkan desa itu.

   Arahnya pasti kini, yaitu ke arah gunung yang nampak tidak terlalu jauh itu.

   Tidak lama kemudian, ia tiba dikaki gunung.

   Dijumpainya di situ sebuah papan batu besar yang ditancapkan di tanah.

   Di permukaan papan batu terukir huruf "Kiu-liong-ce".

   Memperhatikan halusnya dan indahnya ukiran huruf dipapan batu itu, In Kiu Liong diam diam membatin.

   "Pembuat tulisan ini tentu Bandit yang juga seninam. entah dia termasuk gerombolan Kiu-liong san atau tidak. Kalau ya, aku harus berhati hati. Otot-otot yang kasar tapi berotak bebal tak perlu aku khawatirkan. Tapi otak cemerlang yang barangkali ada di antara gerombolan itu, jelas lebih berbahaya. Aku mesti berhati-hati."

   Ketika ia mengangkat mukanya untuk menatap ke pegunungan itu.

   Dilihatnya ada sebuh jalan kecil seperti sehelai pita amat panjang yang ditebarkan di tubuh pegunungan.

   Berbeilit-belit dan kadang-cadang nampak terputus karena tertutup oleh lautan pepohonan yang lebat.

   Kemudian In Kiu Liong naik ke gunung itu dengan langkah yang mantap diantara deretan pepohonan dikiri dan kanan yang membentuk lorong yang beralas lunaknya daun-daun kering yang tebal di tanah.

   Tiba di pinggang bukit, dua orang bandit menghadang jalannya.

   Berbeda dengan banditbandit yang sedang "dinas luar", maka bandit yang di gunung ini justru berpakaian cukup rapi dan sikap lakunya-pun terjaga "dengan baik menurut ukuran para bandit.

   "Maaf, tuan,"

   Kata salah seorang penghadang dengan sopannya.

   "Bolehkah kami tanya siapa diri tuan, dan apa keperluan tuan mengunjungi tempat kami ini?"

   "Bandit sekolahan"

   Piker In Kiu Liong. Karena merasa dirinya cukup kuat untuk menaklukkan kawanan bandit itu, iapun menjawab terang-terangan.

   "Aku akan memimpin kalian, untuk memimpin dalam suatu perjuangan yang jauh lebih berharga daripada sekedar mengemis didesa-desa."

   Wajah kedua penghadang itu berubah hebat mendengarnya .

   Serempak mereka mundur untuk bersiaga dengan sejata masing-masing.

   Yang satu memegangi pedang besar, yang satu lagi membawa tombak berujung bolak-balik depan belakang.

   Senjata-senjata yang tidak umum itu menunjukkan kalau kedua penghadang itu bukan pesilat kelas kambing, dan tentunya "pangkat"

   Mereka dilingkungan bandit agak tinggi juga. In Kiu Liong tersenyum melihat sikap kedua penghadangnya itu.

   "Kalau aku berani kemari untuk mengambil alih pimpinan atas kalian, itu artinya aku yakin akan kekuatanku. Apa tidak lebih bijaksana kalau kalian datang saja ke atas, bilang kepada Sam-liong bahwa pimpinan baru sudah datang, lalu mereka siapkan sambutan kehormatan yang sepantasnya?"

   Kedua bandit itu meluap darahnya.

   Gerombolan mereka cukup ditakuti, sampai Panglima di Kim-teng pun bisa mereka ajak "bagi hasil".

   Kini tiba-tiba muncul seorang yang tidak keruan dari mana datangnya, yang datangdatang terus hendak menjadi pemimpin.

   Tapi kedua bandit itupun ragu-ragu, sampai dimana kehebatan ilmu orang ini sehingga berani bersikap begini sombong? Kedua bandit itu bertukar pandangan sekejap, dan diam-diam sepakat untuk bicara mengulur waktu sambil menunggu datangnya tenaga tambahan.

   Tak lama lagi tentu ada rekan yang akan lewat tempat itu.

   Salah seorang lalu menjawab.

   "Di tempat ini, segala sesuatu ditentukan oleh Toa-ce-cu (pemimpin pesanggrahan tertua), kami tidak berani mengambil keputusan sendiri. Kami akan menyampaikan niat tuan kepada Toa-ce12 cu, tapi menurut kelaziman, perkenalkanlah kami membawa kartu nama tuan ke atas. In Kiu Liong menyeringai.

   "Wah, sudah lama aku tidak peduli segala macam tetek-bengek macam itu. Karena itu, aku tidak membawa satu lembar pun kartu nama."

   "Kalau begitu, silahkan tuan turun gunung untuk menulis dulu satu lembar kartu nama. Asalkan syarat ini dipenuhi, kami tidak keberatan memberi sambutan yang selayaknya."

   Sebetulnya In Kiu Liong sudah hampir habis kesabarannya dan ingin menerjang saja ke atas gunung.

   Tapi mendadak dalam pikirannya terlintas niat untuk sedikit pamer ilmu, untuk menggoncang-kan jiwa para bandit agar mau tunduk kepadanya.

   Karena itu, diapun menjawab sambil tertawa.

   "Baiklah. Aku ambil kartu namaku sebentar ya?"

   Lalu In Kiu Liong melangkah balik ke kaki gunung.

   Kedua bandit Kiu-liong-san itu tercengang, tak menyangka akan begini gampang memukul mundur si tamu tak diundang itu hanya dengan suatu alasan kecil yang mereka karang sendiri.

   Sete lah ln Kiu Liong tak kelihatan, kedua bandit itu saling pandang sekejap, lah, bersama-sama tertawa terbahak-bahak.

   "Dasar pembual! Pertamanya saja kukira kepandaiannya setinggi langit, sehingga berani membual dengan mulut selebar itu! Kiranya begitu melihat kita tidak gentar, diapun mundur teratur, Sayang dia jembel yang tidak punya apa-apa. Kalau tidak, jangan harap kita biarkan pergi begitu saja sebelum kita kuras bersih isi kantongnya."

   "Jembel saja jembel sinting. Mungkin dia kehabisan uang di perjalanan, tapi malu untuk mengemis atau mengumpulkan sisa makanan. Lalu dia datang kemari dengan membawa lagak seorang berilmu tinggi. Ha-ha-ha____ dia belum tahu macam apa tempat yang dia datangi itu."

   "Hah?"

   "Lho, ada apa?"

   "Dia naik lagi kesini. Nampaknya..membawa sesuatu...." Memang ln Kiu Liong yang tadi sudah pergi, kini naik kembali. Kali ini tidak berjalan perlahan-lahan, tetapi dengan langkah kaki hampir seperti terbang cepatnya. Tangan kirinya mendekap sebuah papan batu putih sepanjang satu meter, lebar setengah meter, tebalnya sejengkal. Cukup berat untuk orang lain, tapi nampaknya ringan saja buat In Kiu Liong. Beberapa detik kemudian, ketika ia tiba kembali di hadapan kedua bandit itu, kelihatan napasnya masih wajar dan tidak terengahengah hanya ada beberapa titik keringat di jidatnya.

   "Ini, sudah kubawakan kartu namaku. Silahkan kalian membawanya untuk ditunjukkan kepada Sam-liong,"

   In Kiu Liong tertawa sambil menjatuhkan papari batu yang berdebum karena beratnya.

   "Maaf kalau kartu namaku kurang praktis."

   Memang semakin kurang ajar si "jembel sinting"

   Ini, sebab Sam-liong (tiga naga) digantinya jadi Sam-jong (Tiga cacing). Tetapi kedua bandit penghadangnya bukan marah, malah terlongong kaget dengan wajah pucat. Betapa tidak? Karena "kartu nama"

   Itu ternyata adalah potongan tugu nama di kaki gunung yang terbuat dari batu granit. Tapi telah dipatahkan sedemikian rupa sehingga yang terbawa hanyalah dua huruf paling atas.

   "Kiuliong", yang dijadikan kartu nama itulah. Begitulah si "jembel yang kehabisan uang"

   Itu sekaligus telah menunjukkan kekuatan pukulan dengan memotong tugu itu, kekuatan tenaganya ketika membawa potongan tugu itu ke atas dengan begitu ringan, dan ilmu meringankan tubuh karena telah berhasil bolakbalik ke kaki gunung dalam tempo begitu singkat.

   Seganas-ganasnya kedua bandit Kiuliong-san itu, mereka sadar akan mampus kalau masih nekat merintangi si "jembel"

   Itu.

   "Kenapa melongo saja?"

   Kata ln-kiu Liong sambil tertawa.

   "Tadi kalian minta kartu nama, nah, aku bawakan. Aku she In dan namaku memang kiu liong, sama dengan nama gunung ini. Nah, bawalah kartu namaku menghadap pemimpin-pemimpin kalian yang bakal tergusur!"

   Kedua bandit itu sudah rontok nyalinya.

   "Baik... baik____"

   Mereka menjawab dengan gugup. Setelah saling pandang sejenak, lalu mereka terpaksa harus menggotong "kartu nama"

   Yang istimewa itu.

   Karena jalanan di lereng itu terus menanjak, maka menggotong batu seberat itu tentu saja makan tenaga, biarpun berdua.

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Setiap berjalan belasan langkah, kedua bandit itu meletakkan sebentar bawaan mereka untuk mengusap usap keringat sambil terengah-engah.

   Lalu mengangkat lagi hanya untuk maju belasan langkah dan berhenti lagi, begitulah seterusnya.

   In Kiu Liong terus mengikutinya sambil bersiul-siul riang.

   Kedua bandit itu amat mendongkol, tapi tidak berani berbuat apa-apa.

   Setelah mereka merasakan sendiri betapa beratnya "kartu nama"

   Itu, mereka harus mengakui betapa hebat tamu tak diundang yang tadi sanggup membawanya dengan sebelah tangan sambil berlari secepat terbang12 Akhirnya malah In Kiu Liong sendiri yang jadi tidak sabar oleh lambatnya perjalanan itu. Katanya.

   "Kalian bawa terus sampai ke atas, aku akan jalan dulu!"

   Kepala kedua bandit itu dilompatinya, lalu melesatlah In Kiu Liong ke atas gunung. Kedua bandit yang sudah kepayahan menggotong "kartu nama"

   Itupun merasa dibebaskan, lalu menjatuhkan potongan tugu itu ke tanah. Sesaat mereka mengusap-usap keringat sambil memperbaiki napas mereka yang ngos-ngosan.

   "Kita dalam bahaya,"

   Kata yang seorang.

   "Lebih baik bunyikan isyarat ke atas gunung, agar semuanya bisa bersiap siap menghadapi si jembel sinting itu!"

   "Jembel dan sinting, tapi mungkin juga amat berbahaya."

   "Bukan mungkin, tapi pasti!"

   "Cepat bunyikan isyarat!"

   Seorang dari mereka menuju ke balik sebuah pohon besar yang sudah diberi tanda.

   Di balik pohon itu ada seutas tali yang kalau tidak diperhatikan benar-benar akan sulit dibedakan dengan akar yang berjulnran dari atas pohon.

   Ketika tali itu ditarik, sebuah lonceng kecil di pos penjagaan berikutnya akan berbunyi.

   Dan pos itu meneruskan isyarat ke pos-pos berikutnya sampai ke sarang secara berantai.

   Sarang bandit segera sibuk menyiapkan diri.

   Maklum, sudah bertahun-tahun mereka hidup aman dan tak pernah mendengar isyarat bahaya.

   Kini isyarat bahaya berbunyi, tentunya ada hal yang cukup gawat.

   Untuk sampai ke "benteng"

   Kaum berandal, In Kiu liong masih harus melewati tiga pos lagi.

   Namun semuanya bisa dilewati dengan gampang dengan membabak-belurkan bandit bandit di situ.

   Dalam tindakan ini, In Kiu liong menahan diri untuk tidak mengumbar nafsu membunuhnya yang sudah mendarah daging, la tidak membunuh seorang pun, agar kawanan bandit itu kelak tidak membencinya sebagai pimpinan.

   Sampai di atas gunung, In Kiu-Liong tercengang melihat sarang gerombolan itu.

   Tadinya ia mengira akan menemui sekumpulan bangunan yang acak-acakan, asal jadi, kotor dan biasanya juga bau air kencing di mana-mana.

   Ternyata gambaran yang didapatinya keliru.

   Sebab yang dilihatnya sekarang adalah bangunan besar yang keindahannya menyaingi puri para bangsawan.

   Bisa disimpulkan kalau kawanan berandal itu cukup punya kekayaan, sehingga bisa membangun kediaman seperti itu.

   Tetapi di depan bangunan indah itu ada ancaman yang tidak bisa diremehkan Di depan bangunan ada lapangan luas nama lapangan luas itu jadi kelihatan sempit karena ribuan berandal bersenjata sudah memenuhi lapangau itu.

   Di tengah-tengah mereka ada kursi yang bisa digotong, diduduki tiga orang pimpinan berandal yang disebut Sam-liong.

   Melihat persiapan sehebat itu.

   agaknya bunyi isyarat bahaya tadi telah tafsirkan begitu hebat oleh kawanan berandal itu.

   Namun para berandal terkejut ketika melihat yang muncul dari kaki gunung itu cuma seorang lelaki setengah umur, sendirian dan tak bersenjata.

   Inikah "bahaya"

   Itu? Tapi terlihat wajahnya yang persegi dan matanya yang tajam berkilat-kilat itu rasanya memang memancarkan kelebihan orang ini.

   Tenang sekali In Kiu Liong melangkah ke tengah lapangan sambil tersenyum senyum, sehingga berewoknya yang kelabu itu bergerakgerak sedikit.

   Katanya langsung, tanpa tedeng aling-aling.

   "Aku tahu kalian tentu tidak suka pembicaraan yang bertele-tele, tapi lebih suka langsung membuktikan kekuatan sebagai penentu keputusan terakhir. Itu bagus. Akupun sama seperti kalian."

   "Siapa kau?"

   Gelegar suara pimpinan tertua yang duduk di kursi tengah, la bernama Goh Kun dan berjulukan Ang-mo-liong (Naga Rambut Merah) Tubuhnya nampak tinggi besar biarpun sedang duduk, rambutnya yang terurai maupun jenggotnya memang berwarna merah berbaju pendek dari kulit macan tutul.

   Sambil duduk dengan sebelah kaki dinaikkan kursi, tangan lainnya memegangi toya Long-ge-pang (toya gigi serigala) dari besi.

   Salah satu ujung toya dihiasa deretan-deretan gigi besi yang rapat.

   Senjata dan perawakannya saja sudah mengerikan.

   "Namaku ln Kiu Liong."

   Sahut In kiu Liong.

   "Cocok untuk menjadi penguasa pegunungan Kiu-liong-san!"

   Para berandalpun mendadak tertawa riuhrendah, seakan-akan disuguhi pertunjukan lawan yang amat lucu. Namun si "pelawak"

   Itu nampak tenang-tenang saja, tak menggubris sikap mengejek para berandai. Ketika suara tertawa mereda, barulah In Kiu Liong melanjutkan.

   "Kalian boleh tertawa sepuas kalian. aku tahu kalian menganut hukum rimba, hukum yang kuanggap paling adil dan paling masuk akal. Siapa yang terkuat, dialah yang menjadi pemimpin. Nah. aku datang untuk menunjukkan bahwa akulah yang terkuat." * Bagian akhir kalimat itu tenggelam suara tertawa para berandal yang menggelegar kembali, bahkan ada yang sampai terbungkukbungkuk memegangi perut atau mengalirkan air mata. "Lumayan juga nyali badut ini. bahan lawakannyapun tidak basi."

   Kata si pemimpin kedua. Tiat-kak-liong (Naga Berkaki Besi) Hong Tong Peng yang gemuk pendek namun nampak sepadat batu karang.

   "Ada gunanya dia datang, untuk mengendorkan syaraf-syaraf kita."

   Lalu diapun ikut terkekeh-kekeh sambil mengetuk-ngetukkan senjatanya ke lantai.

   Senjatanya adalah sebuah gada Kim-kong-co yang berpenampang segi delapan, nampak berat sekali.

   In Kiu Liong malah ikut-ikutan tersenyum.

   Namun begitu mendapat kesempatan, katakatanyapun menyakitkan hati.

   "Memang, untuk menghindari kekalahan, sungguh bijaksana kalau kalian menghindari tantanganku dan cuma mentertawakan saja. Tertawa memang aman."

   Kali ini para berandal menjadi marah, terutama para pimpinannya harus menjaga pamor mereka di anak-buah mereka. .

   "Toako, lama-lama badut ini menjemukan dan tidak lucu lagi, biar anak-anak mengusirnya,"

   Usul To-cai-liong (Naga Banyak Hutang) He Seng Boan, si pemimpin ketiga, la berpakaian perlente dan berwajah tampan, namun wajahnya selalu nampak murung sehingg cocoklah dengan julukannya.

   Goh Kun mengangguk menyetujui usulnya.

   Dengan gerakan tangannya, ia memberi isyarat kepada dua orang yang berdiri di belakang kursinya.

   Dua orang bertubuh raksasa itu adalah pengawal-pengawal pribadinya Mereka maju ke tengah lapangan, menghampiri In Kiu Liong.

   Tubuh mereka yang besar itu sengaja agak dibungkukkan cara berjalan mereka juga agak dibuat buat, untuk memberi dampak menyeram kan terhadap lawan mereka.

   "Badut sinting, kau pilih untuk pergi sendiri, atau harus kami yang melemparmu dari puncak gunung ini?"

   Geram salah satu raksasa itu. Sedang yang satu lagi telah menggerak gerakkan pundak untuk melemaskan ototototnya. In Kiu liong menjawab seenaknya.

   "Aku pilih jadi pemimpin kalian, tidak mau pergi."

   Bicara bolak-balik cuma "jadi pemimpin"

   Saja pokok pembicaraannya, keruan ketiga orang pimpinan berandal itu jadi mendongkol karena ada yang akan meng"kudeta"

   Mereka.

   Sedangkan sepasang raksasa itupun merasa diremehkan, gertakan mereka seperti tidak digubris.

   Dengan gerak serempak mereka menerkam dari kanan, ke arah kedua lengan In kiu liong.

   Kena.

   Lalu keduanya berteriak keras keras sambil mengerahkan tenaga, berusaha melemparkan ln Kiu Liong.

   Namun kedua raksasa itu terkejut, karena mereka seolah-olah menghadapi sebuah tugu besi yang tertanam jauh ke dasar bumi.

   Jangan lagi mau melemparkan, untuk menggoyahkan sedikit saja tidak bisa.

   Mereka berteriak serempak untuk kedua kalinya dan mengeluarkan tenaga lebih hebat.

   Begitu hebatnya, sampai salah salah seorang dari mereka mengeluarkan suara yang keras dari pantatnya, berbau pula, dan segera nampak celananya di bagian bawah-belakang menjadi lengket.

   Tapi mereka tetap tak berhasil menggoyahkan In Kiu Liong.

   Justru bau busuk dari pantat itulah yang "menggoyahkan"

   In Kiu Liong, la menggoyangkan pundaknya keras-keras sambil mengangkat sepasang tangan untuk balas mencengkeram lengan kedua raksasa itu. Maka bukan In Kiu Liong yang terlempar, malahan sepasang raksasa itu yang "terbang"

   Dua detik sebelum mendarat konyol di bumi.

   Para berandal terkejut melihat hal ini.

   Kini mereka semua sadar bahwa tanda bahaya yang dibunyikan tadi ternyata bukan hal yang berlebihan.

   Goh Kun mulai menurunkan sebelah kakinya yang tadi dinaikkan kursi.

   Ketawa ce ngengesan di muka Hok Tong Peng menghilang.

   Sedangkan wajah He Seng Boan semakin murung, seolah-olah para penagih hutang sudah berbaris di depannya dengan membawa rekening masing-masing.

   Maka bukan In Kiu Liong yang terlempar, malahan sepasang raksasa itu yang "terbang"

   Dua detik sebelum mendarat konyol di bum "Cincang dia!"

   Goh Kun memerintah kan anak-buahnya.

   Bagaikan banjir yang menyerbu tanah rendah, kawanan berandal bersenjata itu serempak menyerbu ke arah In Kiu Liong.

   Pimpinan tertinggi mereka bukan cuma memerintahkan "tangkap", tapi "cincang".

   In Kiu Liong sadar, menghadapi musuh sebanyak itu, tempat terbuka bukanlah gelanggang yang bisa memberinya keuntungan.

   Tiba-tiba ia melompat tinggi, melompati kepala para berandal dan ia justru melesat ke bagian dalam "puri"

   Para bandit itu.

   Bukannya berlari menjauhi, malah masuk ke dalam.

   Ini diluar perhitungan para berandal.

   Para berandal mengejar dengan penasaran.

   Mereka berpencaran, memeriksa setiap sudutsudut dan lorong-lorong di sarang berandal yang mirip sebuah kota kecil di atas gunung itu.

   "Bangsat itu pasti sudah miring otaknya. Bukan keluar, malah ke dalam. Dia sama saja dengan ikan masuk jaring!" "Giring ke suatu sudut sampai tidak bisa lari lagi!"

   Mula-mula memang In Kiu Liong tidak melawan, ia cuma berlari-lari berbelok-belok di antara lorong-lorong dan halaman-halaman di dalam markas berandal yang bersimpangsimpang itu.

   Se kali muncul, lalu menghilang.

   Siasatnya itu membuat kawanan berandal harus memecah-mecah diri dalam kelompok-ke lompok yang makin lama makin kecil.

   Ada yang mengejar di sini, yang lain menghadang di sana.

   Setelah para berandal berpencaran, mulailah In Kiu L.iong balas menyerang secara bergerilya.

   Ia masih muncul dan menghilang seperti semula, namun kini setiap munculnya sambil merobohkan ke lompok demi kelompok.

   Tapi ia masih menunjukkan "kebaikan hati"

   Dengan tidak membunuh seorangpun.

   la tidak mau calon anak-buahnya itu berkurang jumlahnya karena tangannya sendiri.

   Kacaulah kawanan berandal itu menghadapi siasat In Kiu Liong.

   Kalau satu kelompok disergap dan kelompok lain datang membantu, maka si penyergap menghilang, dan sesaat kemudian sudah muncul di tempat lain untuk mengobrak-abrik kelompok lain.

   Ketiga orang pimpinan berandal tidak ikut main "petak-umpet", melainkan cuma menunggu di aula karena mereka percaya bahwa anak buah mereka sudah lebih dari cukup untuk membereskan pengacau itu.

   Mereka tinggal menunggu anak buah mereka akan datang menghadap sambil menjinjing batok kepala pengacau itu.

   Ketika mereka mendengar langkah-langkah mendekati aula, ketiga pimpinan bandit itu bertukar senyuman.

   Yakin akan segera mtendengar laporan keberhasilan anak buah mereka.

   Namun alangkah kagetnya mereka ketika melihat yang muncul adalah si badut sinting"

   Itu. Sambil tertawa-tawa dan berkata.

   "Asyik juga bermain-main dengan calon perajuritperajuritku. Sayangnya mereka masih terlalu bodoh untuk bertindak taktis dalam menyudutkan lawan, kelak aku harus sabar mengajari mereka. Eh, kalian bertiga tidak ikut main?"

   Si Naga Rambut Merah Goh Kun bangkit dari kursinya dengan muka yang menyeramkan, sambil menjinjing senjatanya. Tanyanya.

   "Bangsat, sudah kau apakan saja orangorangku?"

   "Jangan khawatir, tidak ada yang kubunuh satupun,"

   Sahut In Kiu Liong.

   "Aku ingin punya anak buah orang-orang hidup, bukan mayatmayat."

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Apa tujuanmu dengan melakukan tindakan gila ini?"

   "Lho, apakah tadi aku masih bicara kurang jelas? Tapi baiklah kuulangi lagi, aku akan memimpin kalian. Supaya kalian tidak menghabiskan umur sekedar dengan menjadi bandit-bandit kelas teri yang merampoki penjual-penjual semangka, melainkan bisa menjadi pemimpin-pemimpin dalam susunan pemerintahan yang bakal kudirikan! Kalian akan menjadi pembesar-pembesar terhormat!" "Lawakan yang berbahaya!"

   Dengus He Seng Boan "Bualan macam apa lagi ini, yang kau obrolkan di hadapan kami? Kau pikir setelah berhasil lolos dari anak buah kami, terus otomatis menjadi pemimpin kami? Kalahkan dulu kami bertiga!"

   Si Naga Kaki Besi Hok Tong Peng juga sudah siap tempur dengan gada Kimkong-conya. In Kiu Liong tertawa.

   "Itu jelas. Mana bisa menjadi pemimpin kalau tidak bisa mengalahkan kalian? Majulah bertiga sekaligus, aku takkan mentertawakan calon panglimapanglimaku sendiri!"

   Goh Kun tak kuasa lagi menahan kemarahannya.

   Tubuhnya yang berukuran raksasa itupun bergerak bagaikan sebuah bukit yang longsor, mengguncang udara di ruangan itu.

   Toya Long-ge-pangnya terayun datar ke pinggang In Kiu Liong dengan gerakan Oh-liongboan-jiu (Naga Hitam Membelit Pohon).

   In Kiu Liong berkelit mundur dengan gesit, membiarkan toya itu lewat dulu di depan tubuhnya.

   Dan sebelum toya yang berat itu sempat menyerang kembali dalam gerakan balik, In Kiu Liong tiba-tiba menciutkan jarak dan mendesak rapat ke arah lawannya secepat angin puyuh.

   Berbareng dengan kedua tangannya terulur untuk mencengkeram ke pundak Goh Kun.

   Gerakan In Kiu Liong memang mengejutkan, tapi Goh Kun juga bukan keroco yang bisa ditundukkan dalam sekali gebrakan.

   Ia mundur, toyanya ditegakkan di depan dada, sambil melakukan tendangan ke perut In Kiu Liong yang tengah mendesak maju Dengan perhitungan kakinya lebih panjang dari tangan lawannya, Goh Kun berharap kakinya akan kena ke sasaran lebih dulu.

   Sementara toyanya masih menunggu terciptanya kembali ruang gerak yang menguntungkan.

   In Kiu Liong tertawa panjang Cengkeraman ke pundak dibatalkan, tapi cuma dibatalkan separoh.

   Satu tangan menebas langsung ke tulang kering kaki Goh Kun yang menendang, dan satu tangan lainnya tetap meluncur ke depan dengan melewati pertahanan toya Goh kun.

   Geraknya serba cepat dan Goh Kun tak mampu membuat perubahan untuk mengimbanginya.

   Terdengar ia berteriak kesakitan ketika tulang keringnya kena pukulan, bersamaan dengan robeknya baju kulit macan dibagian pundaknya karena kena cengkraman In Kiu Liong.

   Ia mundur sempoyongan, sakit campur kaget.

   Hok Tong Peng dan He Seng Hoan kaget melihat apa yang dialami pemimpin tertua mereka.

   Kalau dalam suatu pi-bu (pertandingan silat), tentu Goh Kun sudah dinyatakan kalah.

   Namun kali ini bukan pi-bu, melainkan perebutan kepemimpinan atas kawanan berandal Kiu-liong-san.

   Si pemimpin kedua dan ketiga itupun serempak maju dengan senjata masing-masing.

   Goh Kun sendiri mulai sadar, sendirian saja takkan mungkin menang melawan si "badut sinting"

   Ini.

   Maka dengan mengorbankan harga dirinya, ia membiarkan saja kedua adik seperguruannya ikut membantu.

   Begitulah, gada Hok Tong Peng dan tombak He Seng Boan segera ikut mengisi arena, memperketat jaring-jaring maut yang hendak mencoba membinasakan si "badut sinting".

   Yang satu adalah senjata berbobot berat yang berdaya-penghancur luar biasa, yang lain adalah tombak yang mematuk-matuk lincah secepat lidah ulat.

   Ditambah toya Long-ge-pang Goh Kini yang segera menderu bagaikan prahara.

   Cuma kali ini, ketiga pemimpin berandal itu ketemu batunya.

   Biasanya, salah satu saja dari mereka sudah cukup ditakuti.

   Kini mereka maju bertiga dengan senjata, menghadapi sesosok hantu yang leluasa bergerak semannya di selasela sambaran senjata-senjata mereka.

   ln Kiu Liong memang begitu lincah, licin, senantiasa lolos dari kejaran senjata lawanlawannya.

   Namun ia tidak menghindar terus, sekali-sekali ia pamer kekuatannya yang berlandas Liong-siang-kang (Tenaga Naga dan Terdengar ia berteriak kesakitan ketika tulang keringnya kena pukulan, bersamaan dengan robeknya baju kulit macan di bagian pundaknya karena kena cengkeraman In Kiu Liong.

   Gajah), dan sering mengejutkan Goh Kun maupun Hok Tong Peng yangbiasa membanggakan kekuatan itu "Lumayan kalian pantas juga menjadi pembantu-pembantu dekatku"

   Kata In Kiu Liong sambil tertawa "Nah, menyerah tidak?"

   Napas ketiga lawannya sudah ngos-ugosan, lagi pula sudah basah kuyup dengan keringat, tapi terus menyerang tanpa menggubris kata kata In Kiu Liong.

   "Oh, kalian benar-benar bandel. Rupanya aku harus menghajar kalian lebih keras!"

   Dengus In Kiu liong yang mulai jengkel.

   Lalu gerakannyapun meningkat lebih agresif, ketika toya Liong-ge-pang dan gada Kim-kong-co hendak menggencetnya remuk dari dua arah, ln Kiu Liong berguling lalu melejit secepat kilat.

   Tahu-tahu ia sudah berada di bela kang He Seng Boan kedua tangannya berhasil menyusup ketiak kiri dan kanan He Seng Boan dari belakang.

   Pemimpin ketiga dari kiu-liong-san itu merasa tenaganya mendadak lenyap, sehingga tombaknya jatuh ke lantai.

   Berikutnya ia merasa tubuhnya terangkat dan melayang deras, menubruk meja kursi di pinggir arena meja-kursinya berantakan, kepalanya sendiri benjol dan berkunaug-kunang.

   Beberapa saat lamanya dia cuma bisa terbaring lemas dan kesakitan di antara kepingan-kepingan kayu reruntuhan meja kursi.

   Hok Tong Peng meraung, gadanya menghantam ke punggung In Kiu Liong.

   Tapi In Kiu Liong berkelit secepat hantu, dan tahu-tahu malah berhasil merebut gada itu.

   Hok Tong Peng menendang dengan tendangan mautnya yang membuahkan julukan Tiat-kak-liong baginya, namun ia buru-buru menarik tendanganya ketika In Kiu Liong menyongsongkan gada rampasannya tepat ke arah tulang kering Hok Tong Peng.

   Penarikan tendangan karena panik itu menjadikan Hok Tong Peng kehilangan keseimbangan sehingga jatuh terguling.

   In Kiu Liong tertawa dingin sambil melemparkan gada rampasan itu kearah tembok.

   Senjata berujung tumpul itu menancap di tembok seringan pisau menancap di batang pisang.

   Bahkan disekitarnya tidak menimbulkan retakan tembok, menandakan betapa terpusatnya tenaga In Kiu Liong ketika melemparkan nya.

   Hok Tong Peng terbelalak pucat.

   Latihan sepuluh tahun lagipun belum tentu ia bisa melakukan seperti yang di lakukan ln Kiu Liong.

   Kalau dilempar gada sehingga menjebol tembok, mungkin bisa, tapi tidak menancapkannya semulus itu.

   Di arena tinggal Goh Kun yang belum menyerah, masih mengayun-ayunkan senjatanya dengan sengit.

   Tapi gerak toyanva tiba-tiba terhenti, sebab tepat di sebelah ujung toyanya yang bergerigi.

   In Kiu Liong telah berhasil mencengkeramnya erat-erat.

   Entah bagaimana gerakannya, Goh Kun tak sanggup menangkapnya dengan mata.

   Kini yang dilakukannya hanyalah berusaha menarik kembali toyanya, dengan pengerahan tenaga sepenuhnya sampai mukanya merah padam dan otot otot jidatnya menggeliat-geliat seperti cacing.

   Tapi ia tak bisa menarik senjata nya yang seolah-olah tertindih gunung.

   "Mengajak adu tenaga, Jite? Ayolah kita bandingkan kekuatan kita,"

   Kata In Kiu Liong.

   Agaknya dia sudah merasa pasti akan menjadi pemimpin nomor satu di Kiu-liong-san, maka Goh Kun sudah dipanggilnya Jite (adik kedua).

   Tenaga Goh Kun memang hebat.

   Tapi kehebatan tenaganya itu cuma bisa membuat toya Long-ge-pang itu sedikit menggeliat dan agak melengkung bengkok, tapi tak bisa lepas dari tangan In Kiu Liong yang cuma menggunakan satu tangan.

   Sedangkan sepasang telapak tangan Goh Kun sampai berdarah.

   "Nah, Jite, sekarang cicipilah ilmu yang lain dari Toakomu ini,"

   Kata In Kiu Liong pula.

   Goh Kun terkejut ketika merasa tongkatnya tiba-tiba jadi sedingin es.

   Beberapa saat Goh Kun masih nekat memegangi, tapi hawa dingin itu merembes masuk telapak tangan terus naik ke lengan sampai lengannya terasa kaku.

   Kalau sampai ke jantung, bakal mampuslah Goh Kun.

   Akhirnya Goh Kun tidak tahan lagi.

   la lepaskan pegangannya, kemudian melompat mundur dengan tubuh agak menggigil.

   "Aku menyerah......."

   Desisnya, lalu dilanjutkan dengan suara amat terpaksa,".. Toako....."

   Kalau Goh Kun saja sudah menyerah, mau tidak mau Hok Tong Peng dan He Seng Boan ikut-ikutan menyerah pula, dan mengakui "kakak"

   Yang baru itu, yang usianya sebetulnya malah lebih muda dari Hok Tong Peng. Dengan demikian Hok Tong Peng dan He Seng Boan pun ikut "

   Turun pangkat"

   Menjadi si ketiga dan si keempat. Memang begitulah "hukum"nya kalangan rimba hijau, kaum penganut "kekuatan adalah kekuasaan"

   Itu.

   Setidak-tidaknya hal ini jadi lebih menyederhanakan persoalan yang biasanya menghinggapi perguruan-perguruan aliran lurus yang berpegang kepada gengsi perguruan.

   Kalau orang-orang aliran lurus ka lah dalam suatu pertempuran, mereka langsung mengaitkannya dengan "nama baik"

   Entah pribadi entah perguruan, lalu timbul dendam berlarut-larut, tidak jarang diwariskan sampai beberapa generasi.

   Tapi di kalangan rimba hijau, kalah ya sudah, berarti akan diperintahkan orang yang mengalahkannya dan persoalannya pun beres.

   In Kiu Liong tertawa puas mendengar pernyataan takluk ketiga pimpinan berandal itu.

   Langkah pertamanya berhasil baik.

   Mudah-mudahan begitu pula langkah langkah berikutnya, sampai ke singgasana.

   * * * Sejak In kiu Liong memimpin gerombolan Kiu liong-san, mulai diaturnya gerombolan itu.

   Bukan untuk ditertibkan agar tidak mengganggu penduduk, melainkan penertiban ke dalam agar lebih tangguh.

   Dan semakin tangguh justru akan semakin ditakuti, dan semakin meningkatkan "sumber penghasilan"

   Mereka, kawanan berandal di kelompok12 kolompokkan sepuluh-sepuluh orang, lalu tiap kelompok sepuluhan dijadikan satu kelompok seratusan.

   Dengan demikian, susunan mereka lalu terasa seperti susunan sebuah pasukan, bukan lagi gerombolan liar.

   Apalagi setelah tiap kelompok sepuluh maupun kelompok seratus ditunjuk komandannya masing-masing.

   Kecuali itu, latihan-latihan yang teratur mulai dijalankan.

   In Kiu Liong amat berambisi agar "modal awal"nya itu meningkat mutunya, agar kelak dapat digunakan untuk mendukung ambisinya.

   Selain itu, In Kiu Liong dan ketiga bekas pemimpin lama mulai menundukkan gerombolan-gerombolan berandal lain di sepanjang pegunungan Kiu-liong-san yang selama ini masih "berdaulat".

   Dalam waktu yang tidak lama, semua gerombolan itu sudah disatukan dibawah pimpinan In Kiu Liong, karena tidak ada yang mampu melawannya.

   Demikianlah, sebelum menjadi Kaisar di Pak khia sesuai dengan ambisinya, setidak-tidaknya sekarang In Kiu Liong lebih dulu menjadi "kaisar berandal"

   Di Kui liong san Pada suatu pagi , di jalanan pegunungan yang menanjak, nampaklah seorang menunggangi kudanya pelan-pelan kemarkas berandalanya In Kiu Liong ia seorang lelaki berusia kira-kira limapuluh tahun, gemuk, sehingga kudanya agaknya kepayahan.

   Ia berpakaian sipil, namun sebenarnya dialah Siau Gin Heng, Panglima di kota Kim-teng, yang selama ini menjadi "rekan usaha"

   Gerombolan Kiu-liong-san dalam perjanjian "bagi hasil"

   Dalam memeras rakyat disekitar pegunungan Kiu-liong-san.

   Kota Kim-teng sendiri tidak jauh letaknya dari Kiu-liong-san.

   Hari itu Siau Gin Heng mendaki Kiu-liongsan dengan wajah muruh.

   Kawanan berandal di pos-pos penjagaan agaknya sudah mengenal panglima ini, sehingga mereka membiarkannya lewat.

   Ahirnya tibalah Siau Gin Heng di markas gerombolan Kiu-lion-san yang megah itu.

   Tidak lama kemudian, ia sudah berhadapan muka dengan empat pemimpin Kui liong mui.

   ketika ia diberitahu bahwa Kiu-liong-san sudah punya "kakak tertua"

   Yang baru, Siau Gin Heng member selamat namun acuh tak acuh.

   Ia tak peduli perubahan atau pergeseran dalam pimpinan Kiu-lion-san, yang pentik bagian keuntungannnya dibayarkan semestinya.

   Cuma kedatangannya hari itu bukan untuk mengurus bagian keuntungan, melainkan urusan lain.

   Tangannya nampak bergetar ketika mengangkat cawan tehnya, sehingga beberapa percik teh mengenai bajunya.

   Ini menandakan ia sedang dalam perasaan gugup yang hebat.

   Seteluh minum, Siau Gin Heng langsung dengan pembukaan yang bernada geram.

   "Entah mulut usil siapa yang telah melaporkan tentang diriku ke ibukota Pak-khia. Kemarin di Kim-teng datang orang-orang dari Pak-khia yang agaknya hendak menyelidiki dan membongkar kerja-sama kita selama ini. Kita akan celaka."

   Goh Kun tertawa.

   "Siau Cong-peng, hanya soal begitu saja kok gugup? Paling-paling orang Pak-khia itu hanya main gertak agar kebagian rejeki. Sodorkan ke bawah hidungnya seratus atau duaratus tahil, uangnya kita pikul bersama, nah, pasti orang-orang itu akan menjadi jinak lalu pulang ke Pak-khia untuk melaporkan bahwa kerjamu beres. Apa susahnya?"

   Siau Gin Heng menarik napas.

   "Kalau segampang itu penyelesaiannya, buat apa aku terbirit-birit sampai kemari? Aku sudah coba menyuap mereka, ternyata mereka tidak tergiur sedikit pun."

   "Cong-peng, barangkali kau memberi terlalu sedikit?"

   "Tidak. Aku tawarkan sampai seribu tahil dan mereka tidak goyah. Aku jadi mundur teratur dan tidak berani lagi bersikap terlalu menyolok. Sedangkan orang-orang Pak-khia itu bertekat akan menyelidiki sampai tuntas, kenapa rakyat sekitar Kiu-liong-san ini mengeluh, sampai suaranya terdengar di Pakkhia. Kata pelapor itu, keluhan mereka tak pernah aku gubris..... nah, celaka tidak?"

   Sunyi senyaplah ruangan itu untuk beberapa saat.

   Keempat pimpinan Kiu-liong-san itu mulai merasa bahwa urusan nya memang cukup gawat.

   Kalau sampai kecurangan Siau Gin Heng terbongkar, lalu dia dipecat, barangkali akan digantikan orang lain yang belum tentu bisa diajak "kerja sama".

   Dan gerombolan Kiuliong-san akan mendapat susah juga, bahkan mungkin akan digempur dengan kekerasan sehingga angkat kaki dari situ, meninggalkan harta karun yang sudah mereka tumpuk bertahun-tahun.

   "Kalau orang Pak-khia itu tidak mau diajak damai, kita gorok saja lehernya!"

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Hok Tong Peng tiba-tiba berkata keras sambil menggebrak pegangan kursinya. Sifatnya yang berangasan membuat ia gampang-gampangan saja dalam mengusulkan pemecahan persoalan.

   "Jangan bertindak segegabah itu, Sam-te,"

   Kata In Kiu Liong.

   "Kalau utusan-utusan itu tidak kembali ke Pak-khia, tentu pemerintah pusat akan curiga lalu menyuruh menyelidiki. Akhimya akan lebih banyak lagi orang Pak-khia yang sampai ke sini, itu berarti kesulitan kita bertumpuk-tumpuk. Memangnya kita sudah siap menghadapi pemerintah pusat secara terbuka?"

   "Tapi kalau kita biarkan saja, mereka juga menyulitkan kita!"

   Hok Tong Peng masih penasaran.

   "Aku memang menganggap, kalau tidak bisa diajak damai ya kita bunuh saja."

   Kata In Kiu Liong ringan, seolah-olah tidak sedang membicarakan nyawa manusia.

   "Tapi caranya itu. Sam-te. jangan kasar. Jangan sampai menimbulkan kesan dibunuh, jangan sampai kematian-nya malah mengundang lebih banyak lagi orang Pak-khia berdatangan kemari."

   "Caranya bagaimana. Toako"

   "Cara yang terperinci belum bisa kutentukan sekarang, aku harus tahu lebih dulu apa saja yang dikerjakan orang-orang Pak-khia itu selama ini. Setelah itu. baru bisa kurancangkan siasatnya. Siau Gin Heng menjawab.

   "kerja mereka ya mengelilingi desa-desa wilayah operasi kalian, menanyai penduduk dan penduduk dengan bersemangat langsung menceritakan keluhan12 keluhan mereka,"

   Wajah Siau Gin Heng kelihatan sedih sebentar.

   "dan kalau laporan tentang diriku sampai ke Pak-khia. maka kalian akan kehilangan seorang rekan yang penuh pengertian dan bisa diajak kerja-sama."

   Dengan nada suara dan mimik mukanya. Siau Gin Heng berjuang Keras menimbulkan rasa haru pemimpin-pemimpin kiu-liong-san itu.

   "Siau Cong-peng, tahukah kau kemana mereka pergi selanjutnya, dan kapan waktunya itu yang lebih penting, bukan yang sudahsudah."

   "Oh. menurut rencana, besok pagi mereka akan ke Pek-hi-tin."

   "Mereka bawa pengawal?"

   "Sepuluh orang yang tampaknya cukup tangguh."

   In kiu Liong mengangguk-angguk lalu menoleh kepada ketiga bekas pimpinan lama.

   "Ada di antara kalian yang bisa menunjukkan jalan dari Kim-teng Pek-hi-tin? Dengan melihat tempat yang bakal dilalui itu, barangkali akan muncul gagasanku untuk memecahkan soal ini."

   Kali ini He Seng Boan yang menjawab, karena dialah yang paling sering keluyuran mencari perempuan-perempuan desa yang cantik-cantik.

   "Aku hapal luar kepala, Toako. Sepuluh li setelah ke luar dari Kim-teng melalui jalan besar, jalan lalu bercabang dengan jalan kecil melewati lereng pegunungan. Kemudian lewat sebuah jembatan kayu di atas sungai kecil Pek-hi-kang."

   Tiba-tiba In Kiu Liong menukas kata-kata He Seng Boan.

   "Si-te, cobalah ceritakan terperinci tentang jembatan dan sungai itu."

   "Itulah sebuah jembttan kayu kira-kira selebar satu depa, antara ujung satu dengan ujung lain ada limapuluh depa, tingginya dari permukaan sungai ada lima belas tombak."

   "Airnya deras tidak? Bagaimana dengan tebingnya?"

   "Deras, sebab ditempai dibuatnya jembatan itulah sungai menyempit. Tebingnya curam dan" In Kiu Liong tiba-tiba tertawa dan perkata.

   "Kalau orang-orang Pak-khia itu lewat jembatan dan tiba-tiba jembatnya roboh lalu mampus di sungia, akan nampak seperti pembunuhan atau kecelakaan?"

   Wajah murung Siau Gin Heng mendadak merjadi cerah, la menepuk-nepuk pahanya sendiri.

   "Bagus, bagus. Cemerlang sekali gagasanmu, Toa-san-cu. Aku mengucapkan selamat bahwa sahabat-abat baikku di Kiuliong-san mendapat pimpinan baru yang berotak cemerlang."

   Lalu tertawalah ia dengan riangnya. Sambil tersenyum bangga, In Kiu L.icng menghirup tehnya, lalu bertanya.

   "Eh, omongomong sejak tadi Cong-peng belum menyebut nama orang-orang Pak-khia itu. Karena aku pernah lama tinggal di Pak-khia, barangkali saja pernah kukenal mereka."

   "Yang satu sudah berusia setengah abad, namun nampaknya malah amat menghormati kepada yang lebih muda. Yang tua iru bernama Koh Hian Hong." In Kiu Liong menganguk-angguk sambil bergumam.

   "Pantas. Dia memang seorang pegawai Hou-po Ceng-tong (Kantor Keuangan), di Pak-khia. Karena sikapnya yang kolot dan sok suci, maka biarpun teman-teman seangkatannya sudah naik pangkat dan kayaraya, dia sendiri masih melarat terus. Pantas Cong-peng tidak bisa menyuapnya. Tetapi ilmu silatnya lumayan juga."

   "Saking sucinya, dagingnya akan menjadi berkah bagi ikan-ikan di sungai Pek-hi-kang,"

   Komentar He Seng Boan disambut suara tertawa semua orang. Semenara Siau Gin Heng melanjutkan.

   ".... yang muda bernama Kiu Thian Cu Wajahnya sungguh istimewa, memancarkan semacam kewibawaan yang menindih orang, terutama sorot matanya yang sulit ditentang. Ditambah sepuluh pengawal yang kuceritakan tadi."

   Mendengar nama Kiu Thian Cu itu, berkerutlah alis In Kiu liong, ia kelihatan memutar otak. Nama itu belum pernah didengarnya, namun ada perasaan bahwa nama itu tidak sembarangan. ada sesuatu yang hebat dibalik nama itu, entah apa.

   "Siau Cong-peng, supaya kau bebas dari kecurigaan dalam peristiwa itu. sebaiknya besok kau ikut bersama rombongan itu. Pada saat kedua orang Pak-khia itu terjerumus ke sungai. Cong-peng harus kelihatan panik dan pura-pura mau menolong. Para pengawal mereka yang melihat tindakan Cong-peng, dan Cong-peng takkan dicurigai."

   "Baik sekali. Toa-san-cu. Mari kita minum arak untuk keberhasilan rencana ini!" * * * Matahari masih dalam perjalanan awal dalam menyusuri busur langit yang menjadi garis edarnya sehari-hari. Sinarnya dari timur masih miring rendah, belum sepenuhnya mampu mengusir kabut di atas kota Kin-teng maupun pegunungan Kiu-liong-san yang menjadi latar belakang kota ini. Namun sebuah rombongan berkuda telah keluar dari pintu gerbang kota Kim-teng. Yang berkuda paling depan adalah Kui Thian Cu dari Pak-khia yang ingin mendengar sendiri keluhan rakyat di sekitar pegunungan Kiu-liong-san. la berumur sekitar duapuluh tahun, berwajah lebar dengan sepasang alis yang melengkung panjang seperti sepasang naga, matanya seperti sepasang mutiara hitam yang berkilat tajam berwibawa. Jubahnya dari kain satin biru, dengan sebatang pedang berjuntai di pinggang kirinya. Di kiri kanannya tapi agak kebelakang, adalah Koh Hian Hong dan Siau Gin Heng. Setelah itu di belakang mereka barulah para pengawal berkuda. Baik pengawal yang dibawa sendiri oleh Kui Thian Cu, maupun pengawalpengawal Siau Gin Heng sendiri dari Kim-teng. Sambil berkuda, Siau Gin Heng sering melirik ke arah beberapa pucuk bedil sundut yang dibawa oleh para pengawal Kui Thian Cu. Senjata api di jaman Kaisar Yon Ceng (17221735) itu masih termasuk barang langka, pasukan di Kim-teng belum mempunyainya sepucuk pun. Hanya di ibukota ibukota propinsi sajalah yang sudah dibentuk regu-regu bersenjata api, itupun tidak banyak jumlahnya. Maka dengan melihat perlengkapan para pengawal Kui Thian Cu ini, Siau Gin Heng bisa menduga kalau Kui Thian Cu agaknya benar benar tokoh penting di Pak-khia. Tapi kok belum pernah terdengar namanya? "Masih jauhkah desa Pek-hi-tin dari sini?"

   Tiba-tiba Kui Thian Cu bertanya sambil menoleh kepada Siau Gin Heng.

   "Kira-kira lima belas li, tai-jin,"

   Sahut Siau Gin Heng hormat.

   "Sudah tujuh desa kudatangi, dan semuanya mengeluh tentang ulah berandal-berandal Kiuliong-san yang seenaknya saja memeras rakyat,"

   Kata Kui Thian Cu.

   "Kenapa kau belum bertindak menolong penduduk, Cong-peng?"

   "Karena aku harus bertindak dengan rapi, tidak gegabah, dan harus menghitung dulu kekuatan lawan,"

   Lancar Siau Gin Heng mengeluarkan dalih yan sudah disiapkan sejak lama.

   "Dengan mempertaruhkan nyawa, pernah aku sendirian menyelundup ke Kiu-liong-san untuk menaksir kekuatan para bandit. Dan aku sadar, tidak mungkin menghadapi mereka secara kekerasan dengan mengandalkan perajurit bawahanku." (Bersambung

   Jilid XIII) KEMELUT TAHTA NAGA Bagian . II Karya . STEFANUS S.P.

   Jilid XIII Begitulah bohongnya. Memang benar ia pernah, bahkan sering, ke Kiu-lioug san sendirian. Tapi bukan seperti yang dikatakannya itu, melainkan untuk mengambil bagian keuntungannya.

   "Jadi, lalu sekian lama kau biarkan penduduk desa tetap dicengkam ketakutan dan dirugikan oleh para berandal?"

   "Bukan begitu, Tai-jin. Memang kelihatan aku belum bertindak, tapi hanya menunggu peluang yang tepat untuk menumpas mereka sama sekali. Dengan adanya aku di Kim-teng, setidaktidaknya juga membuat para berandal segan untuk bertindak keterlaluan, mereka cuma mengambil sekedarnya saja." "Jadi sekarang ini, Cong-peng anggap mereka belum keterlaluan?"

   Suara Kui Thian Lu tibatiba meninggi.

   "Sampai ada penduduk yang pergi ke Pak-khia untuk mengadu."

   Siau Gin Heng menyeringai kecut.

   "Penduduk di sini belum bisa kuajak berpikir untuk memahami keterbatasanku, bisanya mereka cuma mengeluuuh..........saja. Maunya mereka langsung kubawa pasukan untuk menggempur kawanan berandal, tanpa mau tahu apa yang kuperhitungkan. Penduduk masih belum bisa berterima kasih juga, dalam keadaanku yang terbatas ini masih berhasil menekan para bandit agar tidak mengambil banyak-banyak. Benar-benar orang-orang yang tak bisa berterima kasih!"

   "Kalau Cong-peng merasa kalah kuat, kenapa tidak minta bantuan pasukan dari Ibukota Propinsi?"

   "Aku cuma merasa belum saatnya merepotkan pihak gubemuran. Aku malah khawatir, kalau kawanan berandal itu dihadapi terlalu keras, mereka akan tambah galak dan tambah menyusahkan penduduk."

   "Namun cara Cong-peng berkompromi dengan kawanan penjahat itu juga kurang betul, akan membuat mereka besar kepala dan semakin berani. Biarpun mereka cuma mengambil satu tahil mereka tidak berhak. Hanya pemerintah yang syah yang berhak menarik pajak.'"

   Siau Gin Heng bungkam, tapi dalam hatinya mengutuk.

   Beberapa saat lamanya yang kedengaran hanya suara ketoplak-ketoplak dua puluh tiga ekor kuda yang berderap di pagi sunyi itu.

   Kemudian jalanan itu bercabang dua.

   Jalan besar tetap lurus ke depan, sementara sebuah jalan sempit masuk menyusup ke lipatanlipatan pegunungan Kiu-liong-san yang masih gelap, cahaya matahari baru menyentuh puncak-puncak pegunungan saja.

   Kata Siau Gin Heng.

   "Tai-jin, jalan kecil ini lah yang menuju ke desa Pek-hin-in." Maka rombonganpun berbelok mengikuti jalan kecil itu. Karena sempitnya jalan. maka barisanpun dipersempit. Dua-dua berurutan ke belakang. Dengan berlagkk menghormati kedudukan Kui Thian Cu, sengaja Siau Gin Heng mempersilahkan Kui Thian Cu dan Koh Hian Hong jalan paling depan. Dia sendiri mengambil jarak cukup di belakang mereka, dengan perhitungan kalau nanti terjadi "kecelakaan"

   Di jembatan, ia tidak usah ikut terjun ke sungai.

   Semakin dekat ke jembatan, semakin kencang pula debar jantung Siau Gin Heng.

   Bagaimanapun juga, orang-orang yang hendak dicelakakannya itu adalah orang-orang penting dari pemerintah pusat di Pak-khia.

   Kalau sampai dirinya "kecipratan"

   Kecurigaan sedikit saja, tak terbayangkan kesulitan yang bakal didapatnya.

   Masih untung kalau bisa minggat dari Kim-teng lalu hidup sebagai buronan.

   Akhirnya jembatan kayu itupun nampak di depan.

   Tanpa prasangka, Kui Thian Cu dan Koh Hian Hong memajukan kudanya memasuki jembatan, sementara gemuruh sungai di bawahnya terdengar gemerasak.

   Siau Gin Heng pun mulai bersiap-siap menjalankan peranannya sebagai "penolong yang tulus, tetapi gagal".

   Namun, belum lagi kaki depan kuda Kui Thian Cu dan Koh Hian Hong memasuki jembatan, dari bawah jembatan tiba-tiba terdengar teriakan keras, yang mengatasi suara gemerasak air su ngai.

   "Tuan-tuan, tahan! Jangan- memasuki jembatan! Jembatan ini bisa roboh karena beberapa tali pengikat tiang jembatan nampaknya telah putus!"

   Mendengar teriakan itu, dengan tangkas Kui Thian Cu dan Koh Hian Hong menarik kuda mereka kuat-kuat, sehingga kuda-kuda itu meringkik.

   Tapi kedua orang itu menunjukkan ketangkasan membalikkan kuda menjauhi jembatan.

   Dengan sikap waspada, Koh Hian Hong terus berada di dekat Kui Thian Cu, matanya dengan tajam menatap ke segala arah.

   Kecuali itu, sepuluh orang pengawal Kui Thian Cu berlompatan turun dari kuda dengan sigap, lalu dengan senjata-senjata siap di tangan, mereka mengambil posisi melindungi Kui Thian Cu.

   Bukan saja kesigapan mereka yang mengagumkan, tetapi juga sikap seolah-olah siap mati demi melindungi Kui Thian Cu.

   Sikap yang kurang lazim kalau hanya melindungi seorang pejabat biasa, biar dari ibukota sekalipun.

   Namun begitulah kenyataannya.

   Siau Gin Heng bingung dan kaget menghadapi kejadian diluar perhitungan itu.

   Perangkap maut yang telah disiapkan para berandal Kiu-liong-san itu haruskah kini mubazir? Namun Siau Gin Heng tiba-tiba menghunus pedang, lalu kepada perajuritperajurit dia pura-pura memerinahkan.

   "Lindungi Kui Tai-jin!"

   Dia sendiri mendekati Kui Thian Cu dan bertanya.

   "Apakah Tai-jin tidak kurang suatu apa?"

   Dengan wajah tenang, Kui Thian Cu menjawab.

   "Kita berhenti dulu. Siau Cong-peng, coba kau panggil orang yang berteriak dari bawah jembatan tadi."

   "Baik, Tai-jin,"

   Sahut Siau Gin Heng. Lalu kepada perajurit-perajuritnya dia meneruskan perintah.

   "Temukan orang itu!"

   Perajurit-perajurit lalu berlarian, dan kemudian dengan amat hati-hati menuruni tebing sungai yang curam itu. Tak lama kemudian, dari bawah tebing terdengar suara para perajurit.

   "Cong-peng, sudah diketemukan!"

   "Seret kemari!"

   Teriak Siau Gin Heng.

   Tak terasa, dalam perintahnya itu terkandung rasa marah dan benci kepada orang yang berteriak itu.

   karena orang itulah yang telah menggagalkan rencana.

   Selain itu, juga rasa cemas, berbahaya atau tidakkah orang itu? Dari bawah tebing itu muncul para perajurit yang menggiring seorang pemuda bertubuh tegap, bajunya dirangkapi rompi bulu binatang, kepalanya memakai topi bulu pula.

   Itulah dandanan khas orang-orang dari daerah Liauhong di timur laut, daerah yang hampir sepanjang tahun tertutup salju.

   Menilik rambutnya yang basah, agaknya dia baru saja membasahi kepala dan wajahnya di sungai itu.

   "Apa kau tidak bisa jalan lebih cepat?!"

   Bentak Siau Gin Heng sengit, dari atas tebing. Namun Kui Thian Cu berkata.

   "Bersikaplah baik, Cong-peng. Seandainya yang dikatakan orang itu benar, maka peringatannya tadi berarti telah menyelamatkan kita semua."

   "Oh, ya.....ya... baiklah, Tai-jin....."sahut Siau Gin Heng agak gugup.

   "Sikapku yang tak terkendali tadi karena aku belum benar-benar bebas dari rasa kaget, mengingat betapa berat tanggung-jawabku atas keselamatan Tai-jin."

   Sementara itu, pemuda itu telah tiba di hadapan Kui Thian Cu sekalian, maka terlihat semakin jelas usianya yang mungkin lebih tua setahun dua tahun dari Kui Thian Cu.

   Barang yang di bawanya cuma sebuah bungkusan yang digendongnya, dan tak terlihat ia membawa senjata.

   "Sobat, kau sedang berhadapan dengan Kui Tai-jin, pejabat tinggi dari ibukota,"

   Siau Ging Heng ganti haluan untuk menjilat Kui Thian Cu.

   "Bersikaplah yang lebih hormat."

   "Oh, maafkan aku, tuan-tuan,"

   Lalu pemuda itu membungkuk hormat dalam-dalam, dalam ucapannya terdengar logat Liau-tongnya, namun tidak terlalu tajam.

   "Teriakanku tadi hanya bermaksud mencegah agar tuan-tuan tidak mendapat celaka, tanpa bermaksud kurang sopan atau mengganggu tuan-tuan."

   Kui Thian Cu tersenyum ramah.

   "Tidak apaapa, sobat. Kami justru berterima kasih kepadamu. Menilik logat bicaramu, kau berasal dari propinsi timur laut bukan?"

   "Benar. Aku lahir dan dibesarkan di pegunungan Tiang-pek-san, sebagai pemburu binatang dan penggali jin-som, namaku Wan Lui."

   "Darimana kau tahu jembatan itu kurang aman untuk dilewati, padahal masih nampak kokoh dan sudah bertahun tahun tak ada masalah?"

   Tanya Siau Gin Heng. Biasanya orang awam kalau berhadapan dengan pejabat-pejabat tinggi akan gugup, namun ketenangan Wan Lui mengherankan Kui Thian Cu dan lain-lainnya. Jawabannya tenang, lancar, tanpa gugup.

   "Tuan-tuan, kalau dilihat dari sini memaig jembatan itu nampaknya tidak apa-apa. Tapi ketika tadi aku turun untuk mencuci-muka, tak sengaja kulihat ada beberapa tali pembebat tiang jembatan yang putus. Lalu aku bermaksud memancangkan tulisan di kedua mulut jembatan agar orang yang melewari berhati-hati. Ketika kudengar derap kuda rombongan tuan-tuan; semakin dekat, aku menjadi panik. Terpaksa aku berteriak saja dari bawah. Maaf, kalau dianggap kurang sopan."

   Dingin suara Siau Gin Heng.

   "Kami sedang melakukan suatu urusan penting. Jadi ya maaf saja kalau tidak bisa mempercayaimu bulatbulat. Kami akan lewat terus. Silahkan, Kui Taijin."

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dingin suaranya ketika bicara dengan Wan Lui, tapi hangat dan menjilat ketika bicara kepada Kui Thian Cu. Tetapi Koh Hian Hong justru mencegah.

   "Perjalanan bisa dilanjutkan atau tidak, tergantung hasil pemeriksaanku ke bawah jembatan."

   Habis berkata demikian, dengan gerak yang lincah Koh Hian Hong telah meluncur ke bawah tebing.

   Siau Gin Her.g menjadi cemas, bagaimana kalau sampai Koh Hian Hong menemukan bekas-bekas kesengajaan tindakan para berandal Kiu-liong-san? Tentu dirinya akan tersudut, kalau sampai orang-orang Pak-khia itu marah dan memaksa dirinya agar melawan kawanan Kiu-liong-san yang selama ini sudah menjadi temannya.

   Maka diapun ikut turun ke bawah, biarpun tubuhnya yang gemuk itu menimbulkan kerepotan yang lumayan besar.

   Di kolong jembatan, memang terlihat tali-tali pengikat tiang jembatan banyak yang diputuskan, dengan meninggalkan bekas-bekas bacokan yang kasar dan masih baru.

   "Benar-benar kerja yang ceroboh!"

   Kutuk Siau Gin Heng dalam harinya.

   "Kenapa tali ini tidak dirapuhkan dengan air belerang atau dengan sudutan api kecil? Ini pasti dihantam dengan kampak atau golok. Pantas talinya keli hatan kedodoran dan terlihat menyolok mata. Rencana In Kiu liong memang bagus, tapi pelaksanaanyalah yang goblok!"

   "Paman Koh.! Sian Cong peng! Sudah selesai memeriksa atau belum?"

   Teriak Kui Thiau Cu dari atas tebing. Koh Hian Hong menjawab ke atas.

   "Sudah! Kelihatannya memang ada kesengajaan hendak mencelakakan kita!"

   "Memang ada kesengajaan, tapi belum tentu kita yang ditujunya!"

   Siau Gii. Heng ikut menjawab, tapi mencoba mengaburkan masalah.

   "Sebab di pegunungan ini ada banyak kelompok bandit, dan satu sama lain memang sering bermusuhan!"

   "Berbahaya untuk dilewati atau tidak?"

   Tanya Kui Thian Cu pula. Koh Hian Hong yang menjawab.

   "Sebaiknya kembali ke Kim-teng dulu. Siau-ya (tuan muda). Tak bisa dilewati." Kui Thian Cu nampak kesal karena perjalanannya batal. Geram ia menatap ke puncak-puncak pegunungan Kiu-liong san, namun akhirnya berkata juga.

   "Kembali!"

   Siau Gin Heng dan Koh Hian Hong pun kembali merayap ke atas tebing.

   Siau Gin Hong susah puyuh mengangkut tubuhnya yang kegemukan karena jarang latihan silat itu, naik sejengkal demi sejengkal dengan mencucurkan banyak keringat.

   Sedangkan Koh Hian Hong yang sudah ubanan itu justru melesat seringan seekor burung, dalam waktu dua detik sudah tiba di atau tebing.

   Sementara itu, tanya Kui Thian Cu kepada Wan Lui.

   "Wan-heng, sukakah kau mampir ke Kim-teng bersamaku, agar kita bisa lebih saling mengenal dan mempererat persahabatan?"

   Beberapa saat Wan L.ui ragu-ragu menyambut ajakan itu.

   Kui Thian Cu nampaknya adalah seorang yang berpangkat tinggi di Pak-khia, biarpun amat ramah, namun kesan Wan Lui tentang seorang pembesar masih dibayangi oleh kesannya melihat tingkah laku Ni keng Giau di kota Tian-liu dulu.

   Sewenang-wenang Karena itulah ia khawatir, jangan-jangan Kui Thian Cu juga sebenarnya macam itu, biaipun kelihatan ramah? Namun sebuah pikiran lain memasuk benaknya.

   Jauh-jauh ia meninggalkan Liau-tong masuk ke Tiong-goan uiituk mencari gurunya, Pak Kiong Liong.

   Tiong-goan begitu luas, bagaimana bisa menemukan gurunya itu kalau tidak ada petunjuk sama sekali? Lalu Wan Lui ingat bahwa Pak Kiong Liong pernah menjadi seorang panglima kerajaan, maka kemungkinan bisa mencari petunjuk dari Kui Thian Cu, biarpun bicaranya harus hati-hati, karena gurunya itu kabarnya sudah menjadi buronan.

   Karena itulah setelah berpikir-pikir beberapa saat, Wan Lui kemudian mengangguk.

   "Baiklah, Tai-jin, kalau Tai-jin merasa hina berjalan dengan anak gunung ini. Silahkan Tai-jin menunggang kuda, biar aku berjalan saja."

   "Tidak, aku mau kita menjadi sahabat yang sederajat, Wan-heng,"

   Kata Kui Thian Cu.

   Seperti Wan Lui berkesan baik terhadapnya yang berkedudukan tinggi namun ramah, sebaliknya Kui Thian Cu terhadap Wan Lui juga berkesan baik, samar-samar Kui Thian Cu merasakan bahwa dibalik penampilan Wan Lui yang begitu sepele, tersembunyi kepribadian besar yang menarik.

   "He, pengawal! Tolong bawakan seekor kuda kemari buat sahabatku ini! Nanti yang meminjamkan kudanya, bisa membonceng temannya!"

   Menghadapi sikap bersahabat demikian hangat, Wan Lui tak merasa perlu berbasa-basi lagi.

   Begitu kuda pinjamannya tersedia, ia langsung melompat menaikinya.

   Demikianlah, rombongan itu kemudian berbalik ke kota Kim-teng, karena dianggap terlalu berbahaya melewati jembatan yang sudah cacat itu.

   Sebelum pergi, Kui Thian Cu memerintahkan orang-orangnya untuk sama sekali merobohkan jembatan itu, alasannya agar jangan ada orang yang melewatinya dan akhirnya malah celaka.

   Semuanya itu tak lepas dari pandang an Hok Tong-peng dan Goh Kun yang mengintai dari seberang sungai dengan perasaan geram dan kecewa.

   "Gagal,"

   Kata Goh Kun sambil mengepalngepalkan tinju.

   "Harusnya Kui Thian Cu dan Koh Hian Hong saat ini sudah terseret arus dan dihempas-hempaskan ke tebing-tebing berbatu tajam itu."

   Seperti biasa, Hong Tong-peng mengeluarkan usulnya yang ketolol-tololan.

   "Mumpung rombongan itu belum keluar dari jalan pegunungan, bagaimana kalau kita hadang dan bunuh utusan dari Pak-khia itu?"

   "Sam-te, kapan kau mau belajar menggunakan otakmu? Kalau utusan itu dibunuh, tak lama lagi pasti pegunungan ini akan dibanjiri tentara kerajaan yang takkan mampu kita hadapi. Siau Gin Heng sendiri biarpun selama ini bekerja sama dengan kita, tapi kalau kedudukannya terancam oleh pemecatan dari pusat, orang macam dia pasti takkan segan-segan berbalik menghantam kita. Demi mencari muka terhadap pemerintah pusat."

   "Jadi bagaimana sekarang?"

   "Jangan tanya aku. Lebih baik kita pulang dulu untuk berunding dengan Toako In Kiu Liong. Dia banyak akalnya."

   "Toako In Kiu Liong punya ilmu begitu tinggi, sampai kita bertiga pernah dikalahkannya sendiri. Kenapa dia tidak keluar sendiri untuk menyambar nyawa orang-orang Pak-khia itu? Kan gampang? Harusnya."

   "Harusnya harusnya gundulmu itu. Ayo pulang!"

   Sementara itu, Siau Gin Hen yang berjalan bersama Kui Thian Cu itu tidak kalah kecewanya. Ia takkan bisa tidur nyenyak dan makan enak sebelum utusan-utusan Pak-khia yang "tidak bisa diajak damai"

   Itu lenyap nyawanya. Namun ia masih agak lega karena diri nya agaknya belum dicurigai.

   "Nanti malam aku harus menemui para pimpinan Kiu-liong-san itu untuk merundingkan tindakan-tindakan baru."

   Rencanya dalam hati.

   * * * Makin banyak saling bicara, baik Kui Thian Cu maupun Wan Lui sama-sama menemukan kesan yang menyenangkan.

   Kui Thian Cu memang banyak punya pengawal yang menemani perjalanannya .

   Tapi mereka bukan teman, hanya bawahan yang bersikap terus menerus resmi dan Cuma mengiakan semua perintahnya, sehingga Kui Thian Cu malahan merasa terpencil.

   Ingin bercanda dan tertawa bebas, tak ada yang berani menanggapi nya bersungguh-sungguh.

   Kini setelah berteman deangan Wan Lui barulah Kui Thian Cu merasa mendapat sahabat yang benar-benar sahabat, bukan bawahan atau orang yang sekedar mau menjilat.

   Namun timbul juga kekhawatirannya kalau kelak Wan Lui tahu siapa sebenarnya dirinya, masihkan Wan Lui berani bersikap sebagai teman yang bebas dan sederajat? Jangan13 jangan ia akan kehilangan teman, dan ketambahan orang yang dengan resmi terusterusan membungkuk hormat kepadanya ?.

   "Mudah-mudahan kepribadiannya cukup kuat dan tidak silau kepadaku, biarpun kelak setelah dia mengetahui siapa diriku,"

   Kui Thian Cu dalam hatinya.

   Malam itu, di salah satu ruangan dari gedung Cong-peng-hu, kediaman resmi dari Siau Gim Heng di Kim-teng, Nampak Kui Thian Cu dan Wan Liu tengah duduk santai.

   Bercakap-cakap sampai jauh malam sambil minum-minum arak biarpun tidak sampai mabuk.

   Sengaja Kui Thian Cu menyuruh pengawal-pengawalnya menjauh di luar, agar suasana persahabatan yang akrab itu tidak terganggu oleh pengawal-pengawal yang berwajah angker, kaku dan bersikap rewsmi itu.

   Di luar, langit yang berwarna biru gelap hanya dihiasi sepotong bulan sabit yang tipis bercahaya pucat lemat, Angin malam terasa dingin mengiris kulit, tapi hangatnya arak masih sanggup menandingi cuaca malam tak bersahabat itu.

   "Di kota-kota lain yang seukuran dengan Kim-ten ini, dimalam haripun biasanya masih terdengar suara manusia dijalanan,"

   Kata Wan Liu mengomentari suasana itu.

   "Tapi Kim-teng ini lain, apakah karena berandal-berandai Kiuliong-san cukup terasa di kota ini?"

   "Bukan,"

   Jawab Kui Thian Cu sambil memainmainkan cawan araknya yang baru saja ditenggak isinya.

   "Sudah beberapa hari aku tinggal di sini. Malam malam sebelumnya juga tidak sesepi ini, terutama di tempat-tempat seperti warung arak atau tempat-tempat judi dan pelesiran, tapi malam ini memang agak khusus."

   "Apa khususnya, Kui-heng?"

   "Karena sekarang ini tanggal lima belas bulan tujuh."

   "Lho, apa bedanya tanggal limabeias bulan tujuh dengan hari-hari lainnya?"tanya Wan Lui heran. "Wan-heng, tidak aneh kalau kau belum tahu kepercayaan di wilayah Tiong goan ini, karena kau berasal dari Liau-tong yang kepercayaannya berbeda. Menurut kepercayaan orang-orang Han. tanggal ini adalah saatnya para dewa melepaskan arwah-arwah penasaran yang terbelenggu, banyak di antara arwah itu tak punya lagi sanak keluarga sehingga mereka kelaparan karena tak mendapat sesajian. Nah, arwah-arwah inilah, yang menurut kepercayaan, bergentayangan dan sering mengganggu. Karena itulah orang-orang tidak berani berada di luar rumah, takut mendapat gangguan arwah-arwah kelaparan itu."

   "Ah, menyeramkan sekali,"

   Desah Wan Lui.

   Dan seolah untuk memperkuat pernyataan itu, dari kejauhan terdengar suara anjing melolong panjang, menggidikkan bulu tengkuk.

   Kata orang tua, anjing-anjing itu sedang melihat lewatnya mahluk- mahluk halus.

   Kui Thian Cu menuangkan lagi secawan arak, dan sambil menatap kalung kayu berbentuk salib yang tergantung di leher Wan Lui.

   Biasanya kalung itu tidak kelihatan, namun ketika Wan Lui membuka kancing bajunya, kalung itu jadi kelihatan oleh Kui Thian Cu.

   "Saudara Wan, agaknya kau penganut agama baru itu?"

   "Ah, agama itu dibilang baru sebenarnya juga tidak, masuknya ke negeri ini sudah berabadabad, hanya tersebarnya tidak meluas. Bukankah Kaisar Tong-siu-cong dari dinasti Tong, seribu tahun yang lalu juga sudah memeluk agama salib ini? Biarpun yang dianutnya dari sekte Thai-cin yang berbeda dengan sekteku, namun dasarnya sama saja. Begitu juga banyak panglima bawahan Jengish Khan yang beragama sama, dan sampai sekarang masih ada peninggalan, biara Yan-sin di luar kota Teng-kong."

   Kui Thian Cu mengangguk-angguk Pengetahuan apa saja memang menarik minatnya, ia percaya makin banyak pengetahuannya akan makin bijaksanalah kelak kalau tanggung-jawab mahaberat itu sudah dipikulnya.

   Kini didengarkannya Wan Lui bercerita tentang agama salib itu, yang biarpun hanya sedikit pengikutnya namun termasuk agama kuno, di benua barat bahkan kabarnya menjadi agama hampir seluruh rakyatnya.

   "Memang dalam catatan sejarah disebutkan Tong-siu-cong memeluk agama ini. Apakah sama dengan yang kau anut, Wan-heng?"

   "Dalam tiap agama tentu ada aliran-aliran, biasanya karena perbedaan penafsiran ajaran pokok. Dalam agama kamipun demikian. Sekte Thai-cin datang dari Siria, masuk ke negeri ini kira-kira seribu limaratus tahun yang lalu. Sedang yang kuanut ini sama dengan orangorang Portugis di Makao itu."

   "Yang suka begini?"

   Kui Thian Cu bertanya sambil menyentuhkan jari-jari nya ke tengah jidat, dada, pundak kiri lalu pundak kanan.

   "Yah,"

   Wan L.ui tersenyum.

   "Itupun bukan baru. Dibawa oleh orang-orang bule itu. Di jaman Kaisar Beng Siu Ceng dari dinasti Beng. agama itu sudah tersebar di pantai timur."

   "Lalu bagaimana pandanganmu tentang kepercayaan arwah-arwah kelaparan itu?" "Ako tidak berhak melihat keyakinan orang lain dengan ukuran-ukuran keyakinanku sendiri. Selain tidak adil juga bisa menimbulkan sakit hati orang lain."

   Sahut Wan Lui.

   "Tidak adi dan menyakiti hati itulah yang terlarang dalam agamaku."

   "Bagaimana Wan-heng bisa sampai menganut agama itu, padahal Liau-tong jauh tempatnya dari Makao, sarang orang-orang Portugis itu?"

   "Agama itu diseberangkan dari Nagasaki di Jepang oleh pendeta-pendeta Portugis, lebih dulu ke Tiau-sian, lalu sampai ke Liau-tong."

   Kui Thian Cu nampaknya puas mendengar jawatan bijaksana Wan Lui tentang menilai keyakinan orang lain itu, sekaligus heran juga bahwa sahabat barunya yang mengaku di Tiangpek-san cuma sebagai "pemburu dan penggali ginseng"

   Itu bisa mengeluarkan kata-kara demikian. Sementara itu, dari jauh kembali terdengar anjing melolong panjang. "Nampaknya benar-benar ada setan lewat,"

   Kata Kui Thian Cu sambil tertawa.

   "Mungkiri saja,"

   Sahut Wan Lui.

   "Dalam kitab suci agamaku, mahluk-mahluk tak terlihat macam itu memang dicatat juga, disebut dengari Thian-kun (tentara langit). Merekalah malaikat-malaikat yang ingin disembah seperti Thian sendiri."

   "Suatu keyakinan, pelaksananya di dua tempat bisa berbeda. Biarpun sama sama bangsa Han, menyambut tanggal limabelas bulan tujuh ini di Kang-pak (Utara sungai besar) sini dan di Kang-lam (selatan sungai besar) sana, sungguh berbeda sekali. Di sini mencengkam menakutkan Di Kang-lam sana justru menimbulkan suasana pesta meriah."

   "Lho, kok bisa begitu?"

   "Ya memang begitu, sudah berabad-abad berjalan begitu tanpa ada yang mempertanyakannya. Di Kang-lam, malam ini justru orang-orang berramai-ramai keluar rumah untuk menuju tempat-tempat berair seperti sungai atau danau, untuk mengadakan Pesta Lentera. Setelah setiap keluarga bersembahyang di rumah masing-masing untuk arwah keluarga mereka sendiri, lalu mereka melepaskan lentera-lentera terapung dalam berbagai bentuk, berkerangka bambu berkulit kertas, di beri lilin dan sesajian. Katanya untuk menghibur arwah-arwah yang sudah tak bersanak-keluarga tapi agar tidak mengganggu yang masih hidup."

   "Sungguh menarik."

   "Ya. Jauh dari suasana menyeramkan seperti di sini. Bahkan kemudian keindah lampu lentera-lentera terapung itu diperlombakan, dinilai siapakah yang paling bagus membuatnya. Sayang, aku hanya mendengar cerita orang dan belum melihat sendiri."

   Wan Lui mengangguk-angguk.

   "Untuk tujuan yang sama memang bisa ditempuh cara yang berbeda. Memandang satu masalah, sudut pandangan pun bisa berbeda sehingga mendapat kesan yang berbeda pula. Di sini menakutkan, di sana malah suasana pesta."

   Kedua sahabat baru itu bercakap-cakap terus dengan santai. Karena memang tak ada pokok pembicaraan tertentu, maka yang diomongkan juga "ngalor-ngidul"

   Dengan bebas, apa saja yang menarik hati.

   Tengah mereka bicara asyik, tiba-tiba kuping Wang Lui yang tajam mdengar di halaman luar seperti ada suara tubuh yang roboh, namun begitu perlahan sehingga hampir tak terdengar.

   Sikap santai Wan Lui tiba-tiba lenyap, diganti dengari sikap waspada.

   Seandainya ia seekor serigala, tentu kuping nya sudah berdiri saat itu.

   Desisnya.

   "Kui-heng, di luar nampaknya ada yang tidak beres."

   Kui Thian Cu agaknya amat mengandalkan pengawal-pengawalnya, terutama si jenggot kambing Koh Hian Hong yang lihai silatnya. Maka sikapnya tenang-tenang saja, tidak setegang Wan Lui.

   "Di luar ada Pamar Koh dan pengawal-pengawalku yang lain. Jangan khawatir Wan-heng."

   Baru saja selesai kata-kata Kui Thian Cu, di luar ruangan terdengar suara langkah bergegas.

   Lalu pintu ruangan didorong dari luar tanpa diketuk lebih-dulu.

   Dan masukiah Koh Hian Kedua sahabat baru itu bercakap-cakap terus dengan santai.

   Karena memang tak ada pokok pembicaraan tertentu, maka yang diomongkan juga "ngalor-ngidul"

   Dengan bebas, apa saja yang menarik hati. Hong dengan sikap mergherankan, biasanya ia "bersikap hormat"

   Dan kalau mau masuk mengetuk pintu lebih dulu.

   Kali ini langsung menyerobot, wajahnya tegang, malah tangannya sudah menggenggam pedang telanjang.

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Namun demi melihat Kui Thian Cu masih tak kurang suatu apa di ruangan itu, ketegangannyapun mengendor.

   Pedangnya diturunkan sehingga ujungnya menyentuh lantai.

   "Ada apa, Pamar Koh?"

   Tanya Kui Thian Cu heran.

   "Syukurlah Siau-ya tidak kurang suatu apapun,"

   Jawaban yang melenceng dari pertanyaannya itu cukup mengheran kan, sekaligus juga memperlihatkan kecemasannya.

   "Lho, memangnya ada apa?"

   Koh Hian Hong berterus terang agar tuan mudanya itu waspada.

   "Siau-ya, dua pengawal kita di halaman Belakang telah dibunuh, entah oleh siapa."

   Kui Thian Cu maupun Wan Lui sama-sama terkejut.

   Maklumlah, pengawal-pengawal Kui Thian Cu itu bukan orang sembarangan Seandainya terbunuhpun, paling tidak akan didahului suara perkelahian tanda perlawanannya.

   Namun sekali ini tanpa terdengar suara yang berarti, tahu-tahu dua orang sudah terbunuh.

   "Bagaimana dengan pengawal-pengawal lain?"

   "Demi keselamatan Siau-ya dan juga keselamatan mereka sendiri, aku sudah menyuruh mereka berada di luar ruangan ini, tidak jauh dari pintu. Maafkan kalau aku melancangi perintah Siau-ya. Dari depan pintu ruangan ini, kedua halaman samping bisa diawasi dengan baik."

   Kui Thian Cu lalu bangkit mengambil pedangnya di dinding untuk digantungkan di pinggangnya sendiri. Sedangkan Wan Lui berkata.

   "Kui-heng, karena aku kalau bepergian tidak pernah membawa senjata, bisakah aku dipinjami sebatang pedang?" Permintaan itu agaknya mengheran kan Kui Thian Cu.

   "Wan-heng, jadi kau juga pernah mempelajari silat? Baru sekarang aku tahu."

   Sebelum Wtn Lui menjawab, Koh Hian Hong sudah mendahului menjawab tanpa menyembunyikan sikap curiganya.

   "Jadi Wanheng baru tahu sekarang kalau Wan-heng ini seorang pesilat tangguh? Kalau aku, sejak di jembetan sungai Pek-hi-kang itu sudah menduga kalau Wan-heng seorang pesilat yang menyembunyikan maksud tertentu."

   Semenjak Wan lui menjadi sahabat Kui Thian Cu, Koh Hian Hong senantiasa menunjukkan sikap ramah dan hormat kepada Wan Lui, biarpun tetap menjaga jarak.

   Namun kini setelah matinya dua pengawal secara tak terduga, dia mulai curiga kepada Wan Lui.

   Katakatanya tajam, tanpa tedeng aling-aling dia menuduh Wan Lui.

   Kui Thian Cu paham benar, sikap Koh Hian Hong itu tidak bertandasan atau iri, melainkan semata-mata karena mengkhawatirkan keselamatan dirinya.

   Sedang Wan Lui pun merasa tidak enak.

   Untuk membersihkan diri dari kecurigaan, ia segera melangkah keluar sambil berkata.

   "Koh Sian-seng, jaga baik-baik Kui-heng di ruangan ini. Biar aku mencoba menemukan siapa orangnya yang berniat jahat ini."

   Koh Hian Hong mengangguk canggung.

   Namut baginya malah kebetulan kalau bisa mendampingi tuan mudanya ini, dan melindunginya secara langsung.

   Ketika itu Wan Lui sudah sampai ke halaman.

   Malam gelap dan angin bertiup kencang, lolong anjing liar semakin sering terdengar di kejauhan.

   Sang rembulan yang tadinya nampak, kini tiba-tiba dikerudungi awan hitam dan tebal.

   Biarpun suasana seperti ini cukup menakutkan, tapi mestinya ya biasa saja dan sudah sering dialami Wan lui.

   Hanya, kali ini naluri tajam Wan Lui merasakan ada sesuatu yang ganjil, bahkan cenderung gaib.

   Matanya seolah diusap rasa kantuk yang makin lama makin berat.

   Sesaat Wan Lui berdiri mematung, menghimpun semangatnya untuk memper tahankan diri terhadap serangan yang lebih bersifat kejiwaan daripada fisik itu.

   ketika tubuhnya terasa hangat dialiri tenaga saktinya, dia bebas dari rasa kantuk itu, lalu berseru.

   "Sobat-sobat pengawal......"

   Dari sudut-sudut gelap halaman itu, atau dari balik pepohonan, terdengar jawaban-jawaban pelan bernada rendah, lalu bermunculanlah sisa delapan pengawal Kui Thian Cu.

   Anehnya, kalau siang tadi mereka masih kelihatan sigap penuh semangat, kini mereka nampak loyo dan amat mengantuk, seolah telah minum obat tidur berlebihan.

   Terkesiaplah Wan lui melihat itu.

   "Di mana para perajurit pengawal Congpeng-hu? Bukankah mereka seharusnya berjaga di bagian luar juga"

   Tanya Wan lui.

   "Kenapa tak kelihatan batang hidungnya seorangpun, atau terdengar suara mereka?"

   "Mereka tidur semua,"

   Salah seorang pengawal Kui Thian Cu menjawat sambil menguap lebar-lebar, tubuhnya mendoyong perlahan ke samping hendak roboh, tapi dengan geragapan ia segera menegakkan tubuhnya kembali.

   Biarpun nampak konyol, tapi setidaknya mereka menunjukkan kelebihan dari perajurit-perajuritnya Siau Gin Heng di bagian luarnya.

   Pengawal-pengawal Kui Thian cu itu agaknya masih nampak tetap bertahan biarpun dengan susah payah.

   Tapi Wan Lui sudah cukup menyadari betapa gawatnya keadaan.

   "Saudara-saudara, bertahanlah dan berjaga di sini bersama Koh Sian Seng. Tolong aku dipinjami satu pedang kalian."

   Salah seorang pengawal mengulurkan pedangnya.

   Begitu menerima senjata itu, tubuh Wan Lui langsung melesat keatas atap bagaikan seekor burung.

   Sejenak ia berdiri di atas genteng, pandangan tajam dari seorang pemburu binatang malam disapukannya ke segala arah.

   Kegelapan yang pekat dan merata menyungkup kota kim-teng.

   Pucuk-pucuk atap rumah-rumah kelihatan kabur, hampir berbaur dengan warna cakrawala hitam kelam.

   Tiba-tiba angin yang dingin mengiris kulit seolah berhembus mengelusnya, Wan Lui menggigil sebentar, namun bukan karena takut, meskipun sempat pula ia berpikir.

   "Barangkali barusan ada arwah kelaparan lewat di sebelahku."

   Ketika pandangannya tertuju ke suatu arah, tiba-tiba dilihatnya kejauhan ada nyala api yang hanya sekejap lalu padam.

   Wan Lui heran, sebab cahaya api itu nampaknya ada di atas rumah Ada orang mau memasang lenterakah Tapi kenapa di atas rumah? Atau.........atau bukankah malam ini tanggal limabelas bulan tujuh? "Ah, persetan.

   Coba kulihat bagaimana tampangnya arwah kelaparan itu,"

   Pikir Wan Lui.

   Terdorong kuat oleh rasa ingin tahu yang mengalahkan rasa takut, ia bermaksud mendekat untuk menyelidiki.

   Tapi ia tidak mau gegabah, ia tidak mendekat langsung dengan ilmu meringankan tubuhnya, melainkan merunduk ringan bagaikan seekor kucing, di balik bayang-bayangan atap.

   Setelah dekat dan memperhatikan lebih cermat, tercenganglah ia.

   Nampak seorang yang berpakaian imam, duduk di atas atap.

   Rambutnya yang mestinya digelung, kini diurai lepas.

   Di tangannya ada bendera segitiga kecil warna hitam, yang dikalangan penganut ilmu gaib bisa dipanggil Hong-hun-ki, katanya bendera "pemanggil"

   Angin dan mega.

   Tiap kali bendera itu Akibat-kibarkannya ke segala arah, seperti seorang jenderal memimpin pasukannya pertempuran.

   Sambil bibirnya komat-kamit menggumamkan mantera.

   Wan Lui segera merasakan akibat dan tingkah imam itu.

   Tiba kibasan benderanya delapan kali, terasa hawa yang membuat mengantuk itu meningkat selapis demi selapis.

   Lalu dilihatnya imam itu mengeluarkan sehelai kertas kuning yang biasa disebut "hu" (kertas jimat), dijepit dengan dua jarinya, dikibaskan dan hu itu menyala sendiri tanpa disulut dan jadi abu.

   Berbarengan dengat bertiupnya angin keras entah dari mana dan juga mega hitam di langit yang juga entah darimana.

   Maka teringatlah Wan Lui akan cerita orang, bahwa di pedalaman Tiong-goan ada kaum yang disebut Pek-lian-kau (agama teratai putih) yang gemar main-main dengan ilmu gaib.

   Secara politis golongan ini dilarang berkembang oleh Pemerintah Manchu, sebab kabarnya golongan ini berniat membangkitkan kembali Kerajaan Beng dengan menumbangkan pemerintah Manchu.

   Beng-thai-cu (leluhur dinasti Beng) Cu Goan-ciang yang kemudian bergelar Kaisar Hong-bu, sebelum menjadi raja adalah anggota Pek-lian-kau, bahkan naiknya ke tahta juga dengan dukungan Pek-lian-kau.

   Meskipun pernah juga ia berusaha menumpas Pek-liankau.

   namun ketika Kerajaaan Beng runtuh dan Kerajaan Manchu berdiri, Pek-lian-kau tetap memperjuangkan kebangkitan kembali Kerajaan Beng.

   Melihat tingkah laku imam itu.

   Wan Lui langsung menduga orang Pek-lian-kau, yang agaknya mengincar Kui Thian Cu sebagai pejabat tinggi Kerajaan Manchu.

   Yang bergolak dalam hati Wan Lui kemudian bukanlah sekedar ingin membela seorang teman baik, tapi juga perasaan jemu melihat perlawanan tak habishabisnya terhadap pemerintah Manchu.

   Di sini agaknya Wan Lui tak berdaya membebaskan diri dari perasaan kesukuannya, karena dia adalah seorang Manchu tulen.

   Ia pun memutuskan untuk bertindak kepada si imam yang agaknya sedang mempraktekkan ilmu gaib (Hoat-sut) itu.

   Kebetulan Wan Lui pun tahu sebuah cara sederhana untuk menghidupkan penangkal ilmu gaib macam itu.

   Digigitnya bibirnya sendiri sehingga berdarah, lalu dikumurnya darah campur ludah dalam mulutnya.

   


Pahala Anak Berbakti Karya Siao Shen Shien Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long

Cari Blog Ini