Ceritasilat Novel Online

Kemelut Tahta Naga 8


Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP Bagian 8



Kemelut Tahta Naga (2) Karya dari Stevanus SP

   

   Selagi imam itu masih sibuk dengan jimatjimatnya, Wan Lui melompat keluar dari persembunyiannya seperti seekor burung rajawali, langsung ke arah si imam sambil membentak.

   "Imam siluman, hentikan sihir jahatmu!"

   Setelah dekat, air ludah berdarah yang sudah disiapkan dalam mulut itu disemburkan kuatkuat ke arah bendera Hong-hun-ki di tangan si imam.

   Aneh juga bahwa bendera kecil itu tibatiba menyala dengan api berwarna kehijauhijauan, lalu musnah jadi abu dan tinggal gagangnya saja.

   Si imam terkejut oleh datangnya serangan tak terduga itu.

   Kerugiannya yang terbesar bukanlah gagalnya serangan ke alamat Kui Thian Cu dan pengawai-pegawalnya, sebab hal itu bisa diulang lain waktu, melainkan musnahnya bende ra Hong-kun-kinya itu.

   "Bangsat cilik, kau pasti begundal Manchu!"

   Dengan gusar ia menyambitkan tangkai bendera ke muka Wan Lui.

   "Kau harus kumampuskan lebih dulu!"

   Agaknya si imam lincah juga dalam bersilat, la melompat ringan ke atap bumbungan rumah sebelah, menghindari terjangan Wan Lui yang seperti angin puyuh.

   Ketika tangannya bergerak ke pinggang, tahu-tahu ia sudah melepas cambuk yang langsung disabetkan ke wajah Wan Lui dengan tipu silat Ok-liong lo-hai (Naga Jahat Mengaduk Lautan), la memainkan cambuk dengan mahir.

   Bagian tengah cambuknya hendak menjerat batang pedang Wan Lui, sedang ujung cambuknya melejit ke atas dan siap membuat wajah Wan Lui jadi babak belur.

   Wau Lui menghentikan laju tubuhnya sambil menunduk menghindar, pedangnya turun membabat sepasang kaki si imam dengan jurus Ji kong-cam-co (Ji Kong memotong ular).

   lawan mundur, Wan Lui mendesak, la maju sambil memutar tubuh, membacok pinggang dengan gerakan Hwe-liong-kui-hai (Naga Pulang ke Laut).

   Tindakan yang penuh resiko, sebab Wan Lui melakukan putaran tubuh tanpa lebih dulu menghitung kecepatan lawan, apakah mampu memanfaatkan kesempatan sepersekian detik di saat punggungnya menghadap lawan atau tidak.

   Namun beruntunglah Wan Lui.

   gerak nekadnya mengejutkan lawan.

   Ternyata si imam memang tak mampu peluang bagus selagi punggung Wan Lui menghadap ke arahnya selagi berputar.

   Si imam dipaksa melompat mundur jauh-jauh.

   Wan Lui mengejar, dan terjadilah pertempuran sengit.

   Pedang melawan cambuk.

   Ketika tangannya bergerak ke pinggang tahutahu ia sudah melepas cambuk yang langsung disabetkan ke wajah Wan lui dengan tipu silat Ok-liong-lo-hai (Naga Jahat Mengaduk lautan).

   Mereka berlompatan lincah di diatas genteng, mengadu tipu silat dan kecerdikan.

   Bagaimanapun juga, akhirnya imam itu jatuh ke bawah tekanan Wan Lui yang sudah mewarisi semua ajaran silat Pak Kiong Liong.

   Imam itu mulai terdesak.

   Mula-mula sebagian rambutnya yang terurai itu kena terbabat sedikit oleh pedang Wan Lui.

   Beberapa jurus kemudian, ketika ia melompat untuk menghindari sabetan ke kaki, geraknya kurang cepat sehingga telapak sepatunya kena tertabas sedikit.

   Hal itu cukup membuat semangat tempurnya merosot, dan permaianan silatnya jadi kian tak keruan, keadaannya makin berbahaya.

   Suatu saat, ia mengayun cambuk sekuatnya dengan tipu Leng-coa siam-keng (Ular Sakti Melilit Leher), cambuknya menderu menjadi segugusan cahaya memanjang yang mengancam leher Wan Lui.

   Cepat-cepat Wan Lui menjatuhkan diri sambil melakukan tendangan Bu-siang toat-beng (Setan Jahat Mencabut Nyawa) yang tepat kena lutut si imam.

   Imam itu menjerit keras.

   Kali ini si imam benar-benar kehabisan semangat.

   Dengan terpincang-pincang tapi cukup cepat karena diburu ketakutan, ia balik tubuh dan kabur.

   Ketika dari atas atap melompat turun ke sebuah lorong gelap, hampir saja dia terjerembab karena lututnya yang sakit.

   "Jangan lari! Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu!"

   Bentak Wan Lui sambil mengejar, ia penasaran kalau ingat bahwa dua nyawa pengawal Kui Thian Cu sudah melayang.

   Dalam keadaan waras pun belum tentu si imam sanggup, lepas dari kejaran ilmu meringankan tubuh yang hebat dari Wan Lui, apalagi dalam keadaan cidera kaki.

   Si imam sadar, akhirnya kalau diteruskan ia akan tertangkap.

   Karena itu, sambil berlari dia mulai membaca mantera pula, sambil mengeluarkan bendera kecil lainnya yang disebut Sip-hun-ki (Bendera pemanggil arwah).

   Sementara itu Wan Lui mengejar dengan bersemangat.

   Namun tiba-tiba mega hitam di langit muncul kembali begitu tebal, bahkan mega itu seolah-olah turun merendah sehingga cuaca jadi gelap sekali, dibarengi angin bertiup kembali dengan keras.

   Wan lui jadi tak bisa melihat buruannya yang seolah-olah lenyap begitu saja.

   Selagi ia celiugukan mencari, tiba-tiba di hadapannya muncul tiga sosok tubuh entah dari mana datangnya.

   Mereka semua berbaju ringkas warna kuning dengan tangan memegang pedang.

   Tiga orang itu berwajah agak aneh, seperti bukan-wajah manusia hidup melainkan wajah dalam lukisan di atas kertas saja.

   Mimik wajah mereka beku, cahaya mata mereka nyaris hampa seperti mata mayat.

   "Minggir kalian!"

   Bentak Wan Lui keraskeras.

   Ia bersuara keras untuk mencoba mengusir rasa seram yang mulai menyusup ke hatinya.

   Sambil mengharapkan mudahmudahan di kesunyian itu ia akan mendengar suara manusia lain, biarpun musuh sekalipun asal manusia.

   Tetapi suasana mencengkam gaib yang melingkupinya itu tidak gampang dibuyarkan.

   Ketiga penghadang itu tetap bungkam, melainkan tiba-tiba bergerak menjerit, menyerang dengan pedang mereka.

   Gerak pedang mereka sederhana, bahkan tiduk nampak seperti ilmu silat, namun cukup berbahaya.

   Terpaksa Wan lui melawan.

   Pikirnya, biar tidak bisa menangkap si imam, asal bisa menangkap salah satu dari ketiga lawan ini untuk ditanyai.

   Belasan jurus Wan Lui melawan ketiga musuh itu, dan tiba-tiba bulu tengkuknya bergidik ketika menjumpai suatu kenyataan yang tidak masuk akal.

   Ketiga lawannya sudah bergerak sekian lama, mestinya ya kedengaran suara napas mereka, bagaimanapun perlahannya.

   Tapi ketiga lawan Wan Lui ini tidak.

   Mereka terus menyerang dengan hebat, tapi tak ada suara napas, tak terlihat titik keringatpun di jidat mereka.

   Hampir saja Wan Lui melempar pedangnya dan lari terbirit-birit dari situ.

   Keringat dingin mengalir, bulu kuduknya meremang.

   Manusia atau apa yang dihadapi ini? Untunglah masih ada akal sehatnya.

   Ingat akan keberhasilannya memusnahkan bendera Hong-hun-ki milik si imam tadi, Wan Lui merasa harus mencoba cara yang sama kepada ke tiga lawan ini.

   Sisa darah berasal dari bibirnya yang digigitnya sendiri tadi masih terkumur di mulutnya.

   Pada suatu kesempatan, Wan lui menyemburkan kembali ludah berdarah kepada ketiga lawannya ini.

   Ternyata ketiga lawannya ini langsung roboh, dan ketika angin berhembus, tubuh ketika "lawan"nya itu terangkat dan melayanglayang sebentar sebelum menggeletak ringan di tanah.

   Ketiga "lawan"

   Itu telah menyusut kecil menjadi kertas-kertas kuning yang digunting berbentuk orang membawa pedang, panjang kertas itu kira-kira dua jengkal. Pada "punggung"

   Orang-orangan itu masing-masing tertempel selembar hu. Hampir saja Wan Lui tidak percaya, bahwa baru saja dia bertempur begitu gigih hanya menghadapi tiga lembar guntingan orangorangan kertas kuning. Ia berdesah sambil mengusap keringatnya di jidat.

   "Permainan gila yang membuat aku hampir ikut gila pula."

   Dan si imam yang tadi dikejarnya, sudah menghilang tentu saja.

   Wan Lui sendiri tidak bersemangat untuk terus mengejarnya.

   Kalau soal adu silat, ia tidak takut kepada siapapun, tapi ia harus jujur mengakui bahwa jiwanya belum siap untuk menghadapi Hoat-sut.

   Kali ini cuma harus menghadapi "manusia kertas", tapi bagaimana kalau menghadapi peristiwaperistiwa gaib yang lebih seram lagi? Sekali lagi ia harus mengakui, mentalnya belum siap.

   Sambil menjinjing pedangnya, ia tinggalkan lorong itu untuk berjalan kembali ke gedung Cong-peng-hu, tempat kediaman Siau Gin Heng.

   Sekilas masih sempat ditolehnya ketiga bekas "lawan"nya tadi yang kini tergeletak di tanah dan agak bergerak-gerak tertiup angin, la mempercepat langkah, khawatir kalau guntingan-guntingan kertas itu tiba-tiba melompat bangkit dan "hidup lagi".

   "Kalau kuceritakan pengalamanku tadi kepada orang lain, jangan-jangan aku dianggap orang sinting yang suka mengkhayal?"

   Ia melangkah sambil berpikir bimbang.

   Ketika ia masuk ke halaman gedung Congpeng-hu, diapun heran dan menghentikan langkahnya.

   Dilihatnya Koh Hian Hong dan tiga empat pengawal berdiri di halaman dengan senjata terhunus dan wajah menahan kemarahan, juga Siau Gin Heng dan beberapa perajuritnya.

   Ada empat mayat tergeletak di situ, semuanya adalah pengawal-pengawal Kui Thian Cu.

   Yang menarik perhatian ialah gunting anguntingan kertas kuning berbentuk manusia berpedang, yang bertebaran di halaman itu.

   Cuma jumlahnya jauh lebih banyak dari yang ditinggalkannya di lorong tadi.

   Di sini ada sepuluh "orang"

   Lebih. "Jadi.... kalian juga___"

   Wan Lui ingin bertanya namun ragu-ragu diteruskan, khawatir dianggap otaknya sudah miring. Dan dialihkan ke pertanyaan lain.

   "Dimana Kui-heng?"

   "Diculik orang-orang Pek-lian-kau,"

   Sahut Koh Hian Hong dengan gigi gemeretak menahan marah.

   "Kau sendiri, apa yang kau temui, Wanheng?"

   Memang sesaat Wan Lui ragu-ragu, tapi akhirnya ia memutuskan untuk bicara terusterang, dianggap sinting atau tidak.

   Begitulah ia menceritakan semua yang dialaminya, dan siap untuk ditertawakan.

   Tak terduga Koh Hian Hong dan sisa pengawal-pengawal Kui Thian Cu itu tidak mentertawakan, malahan mengangguk-angguk percaya.

   "Kami percaya, Wan-heng. Sebab kami di sini juga baru saja mengalami hal yang serupa,"

   Kata Koh Han Hong sambil menunjuk guntinganguritingan kertas kuning yang berceceran itu.

   "Kami diserbu duabelas orang musuh tangguh, namun di antara mereka ternyata yang benar13 benar manusia hanya dua orang.

   "Imu silat mereka cukup tinggi, dan mereka berdualah yang berhasil menerobos kedalam ruangan lalu menculik Siau-ya. Selebihnya hanyalah manusia jadi-jadian dari kertas yang kembali wujud setelah kami sembur ludah berdarah. Sungguh memalukan."

   Wan Lui menarik napas dan berkata.

   "Koh Sian Seng, aku pun hampir tidak mau menceritakan pengalamanku tadi, takut kalau otakku kalian kira sudah miring. Ternyata kalian mengalami hal yang sama. Tapi bagaimana Sian Seng semudah itu mempercayai aku?"

   "Sebab masih terlihat sisa-sisa darah di bibirmu, Wan-heng,"

   Sahut Koh Hian Hong.

   "Maafkan kalau tadi aku mencurigaimu, Wanheng. Kini aku yakin bahwa penculik-penculik itu benar-benar dari Pek-lian-kau. Ciri-ciri ilmu mereka sudah jelas, alasan mereka juga jelas."

   "jadi Sian Seng tidak mencurigai aku lagi?"

   Koh Hian Hong tertawa kikuk.

   "Sekali lagi aku minta maaf. Kau berasal dari Liau-tong tempat asal bangsa Manchu. Tidak mungkin seorang Manchu menjadi anggota Pek-lian-kau, sebab Pek-lian-kau amat membenci semua orang Manchu."

   "Terima kasih kalau aku tidak dicurigai lagi. Tapi rasanya Pek-lian-kau bukannya satusatunya tertuduh dalam urusan ini."

   "Maksud Wan-heng?"

   "Bukankah di pegunungan Kiu-liong-san yang tidak jauh dari kota ini ada sebuah gerombolan jahat, yang juga patut kita curigai, karena merekapun punya alasan untuk tidak senang terhadap apa yang sedang dilakukan Kui-heng?"

   Koh Hian Hong mengerutkan alis. Sedangkan Siau Gin Heng yang diam sejak tadi, menjadi khawatir kalau urusan itu sampai dikait-kaitkan dengan para berandal Kiu-liongsan. Maka buru-buru diapun merebut kesempatan bicara.

   "Tidak mungkin pihak Kiuliong-san melakukan penculikan ini. Kalau mereka memang berniat jahat terhadap Kui Taijin, kenapa harus menunggu sampai Tai-jin ada dalam kota, tidak ketika masih di pegunungan? Bukankah itu lebih gampang? Lagipula, berandal-berandal itu cuma pakai main tombak atau golok, tapi jelas takkan mampu bermainmain dengan Hoat-su. Jelas ini ulah Pek-liankau. Saudara Wan, kau jangan mengada-ada!"

   Kelewat bersemangat Siau Gin Heng membela berandal-berandal Kiu-liong-san, sampai tiba-tiba ia merasa sendiri kalau sikapnya itu malah bisa menimbulkan kecurigaan, lalu buru-buru ia tutup mulut.

   Untung baginya bahwa Koh Hian Hong dan Wan Lui sedang tidak memperhatikan kejanggalan sikapnya, sebab mereka sedang memikirkan nasib Kui Thian Cu yang diculik.

   Kata Koh Hian Hong kemudian kepada Siau Gin Heng.

   "Cong-peng, aku mohon agar malam ini juga kau perintahkan menjaga semua pintu kota, lalu mengerahkan pasukan untuk melakukan pencarian dalam kota. Barangkali saja kita masih sempat menyelamatkan Siau ya."

   Buat Siau Gii Heng yang tidak menyukai kedatangan Kui Thian Cu yang membahayakan kedudukannya itu, sudah tentu malah kebetulan kalau Kui Thian Cu diculik, syukur kalau dibunuh sekalian oleh penculik, dan Siau Gin Heng sendiri bebas dari tuduhan membunuh.

   Maka ia jadi tidak senang dan acuh tak acuh saja menanggapi permintaan Koh Hian Hong itu.

   "Memangnya setinggi apa kedudukan Kui Thian Cu itu, sehingga pesuruhnya pun berani memerintah aku?"

   Pikir Siau Gin Heng dengan mendongkol.

   "Malah kebetulan kalau Kui Thian Cu dibunuh penculik, untung buatku. Dan kerjasama ku dengan pihakKiu-liong-san dapat berjalan terus dengan aman."

   Melihat sikap Siau Gin Heng yang ogahogahan, Koh Hian Hong tiba-tiba mendekati lalu membisiki kupingnya.

   Wajah Panglima di Kimterig itu mula-mula kaget, lalu pucat ketakutan.

   Begitu selesai dibisiki, langsung saja Siau Gin Heng memerintah perajurit-perajuritnya.

   "He, cepat, hubungi semua tangsi dan sampaikan perintah lisanku! Jaga kuat semua pintu kota, seluruh pasukan harus siap sekarang juga untuk menunggu perintahku!" Begitulah perubahan sikapnya begitu tajam. Tadinya ayal-ayalan, setelah dibisiki tiba tiba menjadi begitu terburu-buru, seolah-olah dikabari kalau neneknya terpeleset ke dalam sumur. Wan lui jadi heran, Entah "mantera ajaib"

   Macam apa yang dibisikkan Koh Hian Hong ke kupingg Siau Gin Heng? Kenapa menghasil kau perubahan sikap sehebat itu? Bahkan prajurit-perajurit yang diperintahkan masih berdiri ketotol-tololan.

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Cong-peng, untuk memerintah (Kira komandan tangsi, kami butuh perintah tertulis dan leng-pai (papan perintah), kalau tidak, nanti jangan-jangan kami dikira memalsu perintah?"

   Tanya seorang perajurit dengan ragu-ragu.

   "Tidak sempat, nanti penculiknya keburu kabur keluar kota! katakan saja ini perintah darurat, siapa yang membantah maka besok pagi akan kukuliti punggungnya. Cepat! Cepat!"

   "Tetapi sekarang kan sudah........"

   "Cepaaaat!!!"

   Siau Gin Heng tiba-tiba membentak sambil menendang pantat perajurit.

   cerewet itu.

   Maka perajurit, termasuk si cerewet, berhamburan menjalankan perintah.

   Si cerewet itupun harus berlari, biarpun menahan rasa nyeri hebat pada tulang ekornya.

   Begitulah di larut malam itu kota Kim-teng mendadak disibukkan oleh perujurit perajurit yang berbondong bondong keluar dari tangsinya masiug masing.

   Semuanya membawa senjata lengkap, namun dengan mata setengah terpejam karena mata mereka masih amat mengantuk.

   * * * Kui Thian Cu matanya ditutup dengan kain tebal, dan tubuhnya lemas karenia urat di pinggangnya telah ditotok.

   la dipanggul oleh salah seorang penculiknya, dan bisa didengarnya derap para penculik yang mantap tapi ringan, menandakan ilmu silat yang matang dari orang-orang itu.

   Terdengar penculik-penculik itu berjalan sambil bicara satu sama lain.

   'Thio Toako, apakah lawanan ini akan kiia serahkan ke pihak Pak-cong (kaum utara)?"

   "Lho, kenapa harus begitu?"

   "Bukankah orang-orang Pak-cong bilang bahwa merekalah yang merintis jalan sampai terjadinya penculikan ini? Bahkan mereka pula yang memberitahu kita tentang rute dan jadwal perjalanan bangsat cilik Manchu ini, sampai kita berhasil meringkusnya?"

   "Ya, mereka menyumbangkan keterangan kepada kita. Tapi siapa yang kerja? Siapa yang benar-benar menempuh bahaya dengan bertempur menerobos gedung Cong-peng-hu yang dijaga ketat? Kita kan? jadi karena kita yang mendapatkan tawanan ini, maka yang menjaga nya juga kita, bukan orang-orang Pakcong. Sebab orang Pak-cong tidak berbuat apaapa. Cu-sian Cin-jin itupun cuma duduk di atas atap di kejauhan sambil membakar hu dan mengibar-ngibarkan Hong-hun-ki, padahal tanpa bantuannyapun kita akan berhasil sama baiknya dengan sekarang."

   "Bagai mata kalau kawan-kawan dari Pakcong itu tersinggung?"

   "Ya kita jelaskan, kalau masih tersinggung juga, ya bagaimana lagi? Kalau tawanan sepenting ini dipasrahkan mereka, belum tentu mereka bisa menjaganya. Kalau sampai kabur lagi, bukankah yang rugi adalah seluruh Peklian-kau kita? Nah, kawan-kawan dari Pak-cong harus menyadari hal ini, bukan bisanya cuma tersinggung dan marah-marah saja."

   Setelah itu, yang terdengar cuma langkah kedua penculik itu, mereka berjalan tidak jauh lalu berhenti.

   Mereka mengetuk sebuah pintu di sebuah lorong.

   Caranya mengetuk tidak wajar, melainkan mirip semacam isyarat.

   Salah satu pintu dari ribuan pintu di Kim-teng, di salah satu pelosok kota yang tersembunyi.

   Pintu terbuka, muncul seorang perempuan tua yang bertanya.

   "Kalian sudah kembali? Berhasil tidak?" Penculik tinggi besar dan berewokan yang menggendong Kui Thian Cu dengan disampirkan pundak itupun menjawab. ''Berhasil. Biarkan masuk. Su-koh (bibi guru). Sebentar lagi anjing-anjing Manchu pasti akan menggeledah seluruh kota secara besarbesaran."

   Perempuan tua yang membukakan pintu itu tubuhnya masih tegak, belum bungkuk, dengan tangan kiri memegangi tongkat sepanjang satu depa. Sambil tertawa terkekeh, ia menjawab.

   "Jangan segelisah itu. Tempat kita ini dikawal oleh perajurit-perajurit gaib kita yang tak kelihatan mata, dilingkari perisai gaib yang menyesatkan pancaindera. Para begundal Manchu itu takkan menemukan kita!"

   Meskipun berkata demikian, toh si nenek membiarkan kedua penculik itu masuk, lalu menutup pintu dan memasang palang pintunya yang berat.

   Agaknya diapun tidak yakin katakatanya sendiri tadi.

   Si nenek menyeberangi halaman, lewat ruang depan dan sampai ke sebuah ruangan luas dimana banyak orang.

   Ada lima belas orang kira-kira, bermacam-macam tampang, usia, terdiri dari lelaki dan Perempuan Persamaannya, mereka semua memakai jubah luar hitam dengan gambar teratai putih di dada sebelah kiri.

   Mereka serempak berdiri menghormat.

   menyambut kedatangan kedua penculik itu.

   Yang tinggi besar, bereawokan dan memanggul Kui Thian Cu itu mereka Panggil "Thio Hiang-cu (hulubalang Thio).

   sedang satunya lagi yang lengannya panjang melebihi ukuran normal, di panggil "Hoa Hiang-cu (hulubalang Hoa).

   Sedangkan terhadap sj nenek bertongkat, orang-orang dalam ruangan itu malahan bersikap acuh tak acuh dan kurang menghormat.

   Thio Yap.

   si "Thio Hiang-cu"

   Itu.

   menjatuhkan tubuh kui Thian Cu ke lantai dengan keras, penuh kebencian, sehingga Kui Thian Cu agak kesakitan dan mencaci dalam hati, namun karena matanya masih tertutup kain tebal hitam, ia belum bisa melihat bagaimana tampang penculik-penculiknya.

   Orang-orang dalam ruangan itu menunjukkan kegembiraan melihat Kui Thian Cu tertangkap.

   Mereka tertawa dan saling memberi selamat dan berceloteh macammacam.

   "Memang kepandaian kedua Miang-cu kita tak disangsikan lagi, patutlah sebutan Lam-cong Ji-pi (dua pilar kaum selatan) bagi Thio Hiangcu dan Hoan Hiang-cu penjagaan musuh yang bagaimana kuatnya, mana bisa menahan Lamcong Ji-pi?!"

   "Benar! Pasti kelak kita akan bangkit kembali dalain kejayaan dinasti Beng!"

   "Dengan adanya bangsat cilik ini ditangan kita, pastilah si iblis Yong Ceng itu akan kita tekan agar menuruti segala tuntutan kita!"

   Dan macam macam lagi.

   Sementara si nenek bertongkat itu nampak mendongkol sekali mendengar orang-oraug Latr-cong itu memuji-muji jasa mereka sendiri tanpa sdikit pun menyebut jasa pihak Pak-cong Thio Yap, si "Thio Hiang-cu itu, menjatuhkan tubuh Kui Thian Cu ke lantai dengan keras, penuh kebencian, sehingga Kui Thian Cu agak kesakitan dan mencaci dalam hati.

   la menghantamkan tongkatnya ke lantai, dan berkata dengan suaranya yang serak, tajam mirip dua potong logam digesek-gesekkan.

   "Tapi jangan kalian lupakan Cu peng Cin-jin yang memberi kabar dari Hang-ciu, menyuruh kalian menghadang pada tempat dan waktu yang tepat. Tanpa mendapat keterangan dari Cu-peng Cin-jin, biarpun Lam-cong Ji-pi berkepandaian setinggi langitpun pasti cuma akan menubruk angin kosong!" (bersambung

   Jilid XIV) (bersambung

   Jilid XIV) KEMELUT TAHTA NAGA Bagian . II Karya . STEFANUS S.P.

   Jilid XIV Celoteh yang lain-lain serentak bungkam, banyak yang menatap si nenek dengan perasaan kurang senang.

   Tapi tak seorang-pun berani menegur si nenek.

   Sesaat suasana jadi sunyi, penuh kecanggungan.

   Sementara itu, si nenek kemudian berkata lagi dengan nada tak ingin dibantah.

   "Ketua kami, Cu-peng Cin-jin, sudah membuat perhitungan nujum yang tepat, bahwa kebangkitan Kerajaan Beng sudah dekat. Asal dipenuhi syaratnya. Yaitu menyembelih bangsat Manchu Hong Lik ini di depan altar leluhur Kerajaan Beng kita di Hong-kak-si di Hong-yang. Paru-paru, jantung dan hatinya kita korek keluar dan kita persembahkan di altar. Hidup Kerajaan Beng! Hidup Kerajaan Beng!"

   Begitu bersemangat si nenek memekikkan pekik perjuangannya sambil mengayunayunkan tongkatnya di udara, sampai tubuh nya sempoyongan.

   Adegan mengharukan itu mestinya mendapat sambutan meriah dari orang-orang Pek-lian-kau lainnya.

   Mestinya.

   Tapi nyatanya semua orang bungkam.

   Bahkan kemudian ada yang menjawab, tapi sama sekali bukan pekik perjuangan.

   "Hati-hati, nenek, nanti kau keseleo lagi."

   "Disayang"

   Macam itu, Si nenek bukannya berterima kasih, malahan gusar. Pentungnya dihantamkan ke tanah, lalu berkatalah ia dengan sengit.

   "Keparat, siapa yang bicara itu? Mau mencoba keampuhan ilmuku? Mau kutenung biar jadi gila?!"

   Thio Yaplah yang kemudian membujuk si nenek.

   "Sudahlah, nek. Dengan hormat kami persilahkan nenek beristirahat diruang belakang yang lebih tenang." "Tapi Hong Lik harus disembelih dan dikorbankan dialtar! Demi kebangkitan kembali dinasti Beng kita!"

   "Soal Hong Lik akan dibagaimanakan, itu nantinya tergantung hasil perundingan kaum kita di Hong-yang. Terlalu pagi kalau dibicarakan sekarang!"

   Si nenek nampak sekali kurang puas akan sikap mengambang itu, tapi ia tidak bisa memaksakan kehendak melawan sekian banyak orang yang semuanya adalah bawahan kaum Lam-cong (sekte selatan) dari Pek-lian-kau.

   Sedang si nenek sendiri adalah orang Pak-cong (sekte utara).

   Maka sambil menggerutu, diapun tertaih-tatih berjalan dibantu tongkatnya meninggalkan ruangan itu.

   Sementara itu, Kui Thian Cu yang mendengar percakapan orang-orang Pek-lian-kau itupun segera insyaf, bahwa dirinya bukan jatuh ke tangan penculik-penculik biasa, melainkan ke tangan sekelompok orang orang fanatik yang punya tujuan politik.

   Bukan sekedar berandal- berandal yang cuma "cari rejeki"

   Seperti yang di Kiu-liong-san.

   Ketika Kui Thian Cu alias Pangeran Hong Lik berpikir demikian, ia tidak tahu ka lau berandalberandal Kiu-liong-sanpun sudah mendapat pemimpin baru yang hendak menggunakan kawanan itu untuk tujuan politik.

   Meskipun sadar bahwa dirinya telah jatuh ke pihak yang amat membencinya, namun Pangeran Hong Lik tidak sudi menunjukkan ketakutannya.

   Tekadnya dalam hati.

   "Bagaimanapun aku hendak diperlakukan, tapi aku tidak sudi merengek-rengek minta ampun sehingga menjadi tontonan menyenangkan bagi bangsat-bangsat pemberontak ini. Tidak. Biarpun dianiaya sampai mati, setidak-tidaknya aku harus membuat jengkel mereka dengan kebandelanku!"

   Suara ribut dalam ruangan itu mereda ketika Thio Yap mengangkat tangannya, dan memperdengarkan suaranya yang berpe ngaruh.

   "Saudara-saudara, aku maklum kegembiraan kalian, karena yang jatuh ke tangan kita kali ini benar-benar kakap besar. Tetapi kegembiraan itu jangan melemahkan kita. Harus tetap waspada, sebab kita masih di dalam kota Kim-teng. Karena itu, demi keamanan kita, sebaiknya kita berpakaian seperti orang-orang biasa, dan lepaskan jubahjubah hitam seragam Pek-lian-kau kita!"

   Orang-orang Pek-lian-kau itupun melepas jubah-jubah hitam bergambar teratai mereka, untuk dilipat. Di balik jubah itu, pakaian mereka tak berbeda dengan orang-orang biasa.

   "Hiang-cu, lalu kapan kita bisa mengangkut keluar bangsat Manchu ini ke Hong-kak-si untuk menunjukkan kepada seluruh kaum akan keberhasilan kita?"

   Sahut Thio Yap.

   "Kita menunggu kesempatan yang baik. Aku yakin dalam waktu dekat ini pastilah anjing-anjing Manchu ma pun begundal-begundalnya akan menggeledah seluruh kota ini. Karena itu, tetaplah jangan menampakkan diri. Setelah penjagaan mengendor, baru kita keluar dari sini!"

   Tapi seorang anggota berkata, kedengarannya membantah padahal menjilat.

   "Sebenarnya, apa yang perlu kita takuti dari kawanan serdadu yang punyanya cuma otot kekar itu? Ilmu sakti kedua Hiang-cu pasti sanggup mengelabuhi mereka, membuat mereka kebingungan. Kita biarkan saja mereka menangkap orang-orangan kertas kuning itu sebanyak-banyaknya!"

   Lalu semua orang ikut-ikutan memuji-muji kedua hulubalang itu, Thio Yap dan Hoa Cek Gui. Namun tiba-tiba terdengarlah suara seseorang yang dingin.

   "Jangan terlalu yakin dengan ilmu gaib kalian! Kawanan perajurit tolol itu memang tak perlu ditakuti, tapi di kota ini ada seorang pendekar muda yang berhasil memecahkan ilmu sakti Gong-Hun Sin-hoat (ilmu malaikat angin dan mega) dan Sip-hun Hoat-sut (sihir pemanggil arwah) milik kita!"

   Ketika semua orang menoleh kearah pembicara itu, nampaklah bahwa si pembicara adalah seorang imam berjubah hitam yang sejak tadi tetap diam dan berdiri di sudut dengan sikap sedih.

   Rambut imam yang seharusnya digelung, kini nampak awut-awutan seperti baru saja menjadi korban seorang tukang cukur berotak miring, sedang ketika ia melangkah, nampak langkahnya terpincang-pincang sambil mukanya menyeringai kesakitan."

   "Cu-sian Cin-jin sungguh benar,"

   Sahut Thio Yap, sambil melontarkan sedikit senyum mengejek ke arah si imam.

   "Kalau kita hanya mengandalkan yang gaib-gaib saja tanpa memakai akal sehat, maka akhirnya yang konyol ya kita sendiri. Benar tidak, Cin-jin?"

   Cu-sian Cin-jin, si imam, melotot marah namun tetap membungkam. Kemudian Thio Yap memerintahkan orangorangnya.

   "Bawa tawanan ini ke kurungan dan jangan sampai lolos. Perintah untuk melepaskan hanya dari aku!"

   Sengaja Thio Yap menambahkan ini, sebab ia khawatir kalau sampai orang-orang Pak-cong Pek-lian-kau diam-diam mencuri tawanan itu, karena merekapun merasa berhak.

   Pangeran Hong Lik pun diseret ke sebuah ruangan tertutup.

   Setelah itu, baru saja orang-orang Pek liankau itu hendak beristirahat dengan perasaan lega, tiba-tiba terdengar pintu depan diketuk.

   Caranya mengetuk pintu adalah isyarat khas Pek-lian-kau, maka tanpa ragu ragu lagi Thio Yap memerintahkan seorang anak-buahnya untuk membukakan pintu.

   Begitu pintu dibuka, bergegas masuklah seorang lelaki yang tidak mengenakan seragam Pek-lian-kau namun dikenali sebagai anggota pilihan.

   Ia langsung memberi hormat kepada Thio Yap dan melapor.

   "Thio Hiang-cu, anjinganjing Manchu dan begundal-begundalnya sudah keluar semua dari sarang mereka untuk mencari kita! dan sekarang ini satu regu perajurit berjumlah tiga puluh orang sudah siap dimulut lorong di depan rumah ini. Tak lama lagi mereka akan sampai kemari."

   "Jangan khawatir,"

   Kata Thio Yap.

   "Apakah regu perajurit itu kelihatan membawa bendabenda penangkal ilmu sakti kita, seperti darah binatang hitam, bagian dalam tubuh hewan dan sebagainya?" "Tidak, mereka hanya membawa sentata."

   Thio Yap lalu terkekeh dengan sombongnya, dan berkata.

   "Bagus. Mereka akan menjadi korban permainan ilmuku. Kalian tetap tinggal di dalam saja, biar aku sendiri menangani keledai-keledai itu."

   Anak buah Thio Yap segera menyiapkan sebuah meja altar penuh sesaji di halaman.

   Thio Yap lalu membersihkan tubuh dan mengganti pakaiannya dengan jubah hitam penuh lambang-lambang sihir, la berdiri di depan meja, lebih dulu menguraikan rambut, lalu dengan pedang kayu di tangan kanan, ia mulai komat-kamit membaca mantera.

   Pedang kayunya ditudingkan ke arah rembulan yang sedang bulat-bulatnya ka rena saat itu tanggal limabelas.

   Segumpal mega hitam tiba-tiba muncul entah darimana, menutupi cahaya rembulan sehingga tempat itu menjadi gelap gulita.

   Kemudian pedang kayu diletakkan, diganti sehelai bendera hitam kecil segitiga, bendera Hong-hun-ki seperti yang dipunyai Cu-sian Cin14 pi tetapi sudah dimusnahkan Wan Lui.

   Kini bendera yang sama di tangan Thio Yap dikibarkibarkannya di atas kepala sambil membaca mantera.

   Datang pula angin begitu dingin, bertiup kencang, namun anehnya hanya di luar dinding rumah persembunyian kaum Pck-liankau itu saja.

   Di dalam dinding, angin dingin itu tidak terasa.

   Sekarang Thio Yap melangkah keluar pintu dengan membawa pedang kayu dan bendera Hong-hun-ki.

   la melangkah perlahan memutari rumah itu sambil tak henti-hentinya menggumamkan mantera, begitu asyiknya dengan mantera sehingga tubuhnya bergoyanggoyang seirama dengan langkahnya.

   Baik pedang maupun bendera kecil itu selalu digerakkannya, berputar, menuding atau menggores tanah.

   Di setiap sudut rumah, dia berhenti untuk membakar selembar hu.

   Setelah satu putaran berjalan, diapun masuk kembali ke dalam rumah dan sikapnya nampak wajar kembali.

   Hoa Cek-gui yang menyongsongnya lalu bertanya,"Sudah?"

   "Sudah. Memangnya hanya orang-orang Pakcong saja yang mewarisi ilmu-ilmu sakti leluhur Pek-lian-kau? Hari ini biarlah mereka melihat bagaimana hebatnya Ngo-siu-tin (barisan lima binatang buas) di pratekkan dengan sempurna oleh kita, golongan Lam-cong."

   Hoa Cek-gui mengangguk-angguk. Sementara itu, dari mulut lorong yang bermuara ke jalan besar itu, memang muncul sekelompok perajurit. Mulai dari ujung lorong, mereka menggedor dan memasuki rumahrumah penduduk dengan sikap garang untuk menggeledah.

   "Tidak ketemu?"

   Tanya si komandan regu dengan pertanyaan yang itu-itu juga, setiap ada anak buahnya yang baru keluar dari rumah yang digeledah. Dan jawaban anak buahnya pun itu-itu juga.

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tidak ketemu."

   "Masih panjangkah lorong ini?" "Tidak, masih ada empat rumah yang belum kita periksa. Yang di ujung nomor dua adalah rumah pamanku, lalu ada sebuah tempat terbuka yang dulunya bekas tempat penyembelihan hewan-hewan, setelah itu baru rumah terakhir, sebuah rumah kosong tempat bekas rumah si pedagang hewan dulu."

   "Baik. Kita tuntaskan penggeledahan di lorong ini, barulah kita periksa ke tempat lain."

   Regu perajurit itupun terus maju dalam tugasnya.

   Namun begitu mereka sampai ke ujung lorong, mereka kaget karena di tempat yang katanya ada rumah kosong itu ternyata tidak nampak apa-apa.

   Hanya kegelapan yang amat pekat di situ, jauh lebil gelap dari ternpattempat lain, luga ada angin keras, begitu kerasnya sehingga pasir terangkat naik, serta dingin menggigilkan tulang.

   Cahaya sang rembulan yang tadinya membantu, tiba-tiba sekarang lenyap disabot si mega hitam.

   "Lho, bukankah tadi kau bilang setelah rumah pamanmu, ada tempat terbuka lalu ada satu rumah lagi? Mana?"

   Tanya si komandan regu. Perajurit yang menerangkan tadi kini garukgaruk kepala dengan sikap kebingungan, dan jawabannya agak kacau.

   "Aneh. Siang tadi aku mengunjungi pamanku di sini, dan rumah kosong itu masih ada di seberang tempat terbuka itu, kenapa sekarang tiba-tiba tidak ada?"

   Dengan mendongkol si komandan mendamprat.

   "Barangkali pamanmu sudah begitu lihai sehingga dalam waktu setengah hari saja bisa melenyapkan sebuah rumah. Pamanmu itu manusia atau siluman?"

   "Man.... manusia...."

   "Hem. Atau barangkali lorong ini bukan lorong rumah pamanmu?"

   "Aku yakin. Aku hapal penghuni rumah rumah di lorong ini dari ujung ke ujung. Mulai dari rumah Lau Hok si tukang kulit, Han Pek si tukang roti, Kim Hiong si peternak ulat sutera, terus sampai ke sini." "Lha sekarang kenapa tempatnya bisa berubah,"

   Si perajurit yang ditanya tidak bisa menjelaskan kecuali garuk-garuk kepala, lalu perut, lalu pantat. Akhirnya si komandan regu memutuskan.

   "Ayo kita maju untuk memeriksanya!"

   Maka pasukan kecil itupun maju mengikuti komandan mereka, tanpa mereka sadari kalau sudah masuk pintu Ngo-siu-tin yang tidak kelihatan mata.

   Mereka baru sadar ketika merasakan kegelapan yang ada di sekeliling mereka seolah-olah memadat dan mencekik seluruh pori-pori kulit dan menyesakkan napas.

   Tentu saja tidak benar-benar memadat, itu hanya perasaan mereka, karena kegelapan itu begitu menyesakkan.

   Percuma mereka punya sepasang mata, sehingga satu sama lain tak bisa melihat lagi.

   Para perajurit jadi panik, mereka saling memanggil nama teman mereka, menggapaigapaikan tangan untuk menyentuh te manteman mereka agar yakin teman mereka masih didekatnya.

   Keyakinan yang dapat memberi ketabahan biarpun sedikit.

   Lebih panik lagi para perajurit itu, ketika angin dingin tiba-tiba berhembus melibat mereka.

   Mereka seperti tercebur sumur di musim salju dimana airnya membeku.

   Hanya seperti, tapi mungkiri rasanya tak berbeda.

   "Saling berpegangan tangan!"

   Teriak si komandan mengatasi suara anak buahnya.

   "Kita tinggalkan tempat keparat ini!"

   Para perajurit mencoba saling bergerombol mendekat dan berpegangan tangan.

   Kemudian seperti sekawanan orang buta, mereka bertuntun-tuntunan dan mencoba meninggalkan tempat itu.

   Tetapi sekian lama mereka cuma berputar-putar di situ, tanpa menemui cahaya seujung jarum pun.

   "Harusnya ke sana!"

   Kata seorang pera jurit dengan yakin, tapi petunjuknya dengan jari telunjuk itu tentu tak terlihat oleh lain-lainnya, kecuali oleh seorang temannya yang kecolok matanya. Biarpun ia yakin jalan keluarnya "kesana"

   Tapi ia sendiri tidak berani memisahkan diri dari barisan untuk menuju arah yang diyakininya. Begitu pula yang lain-lain hanya saling berbantahan saja. Bahkan tiba-tiba terdengar seorang perajurit berteriak ketakutan.

   "Di kegelapan itu rasanya aku.... aku... melihat........ harimau! bahkan mendengar aumannya!"

   "Bukan harimau. Itu lolong serigala!"

   "Hah! Ular itu begitu besar!"

   Suasana tambah ribut.

   Ada yang berteriak katanya melihat harimau, ada yang melihat singa, ular besar dan sebagainya.

   Celakanya, mereka bukan cuma berteriak-teriak tetapi juga saling berdesakan karena ketakutan.

   Yang kalah kuat segera.

   terdorong ke pinggir.

   Dan barisan jadi semakin kacau, beberapa orang berteriak ketakutan karena lepas dari barisannya, dan ketika menggapai-gapaikan tangan kesekitarnya ternyata tidak menemukan siapasiapa di dekatnya.

   Seorang perajurit bahkan mulai menangis melolong dengan kerasnya.

   "Diam!!"

   Bentak si komandan dengan gusar.

   "Siapa yang menangis itu? Menambah kebingungan saja! Bisa diam tidak?!"

   "Yang menangis di sebelahku, Thong leng (komandan)."

   "Siapa?"

   "Tidak kelihatan, Thong-leng!"

   "Gampar saja mukanya!"

   Setengah detik kemudian terdengar suara gaplokan keras, disusul teriakan seseorang.

   "Bangsat! Bukan aku yang menangis, kenapa aku yang dipukul?"

   "Ma ... maaf, bangsat cengeng itu dengan licik agaknya sudah pindah tempat!"

   Gabungan yang menyesakkan antara kegelapan, kepanikan, kejengkelan, ketakutan dan entah apa lagi, akhirnya menghasilkan kelelahan.

   Dalam keadaan biasa, para perajurit itu sudah biasa latihan dengan berlari-lari di atas tembok kota, memutari kota Kim-teng dua tiga kali.

   Namun kali ini tenaga mereka dengan cepat terkuras habis.

   Akhirnya mereka satu persatu roboh kelelahan.

   * * * Penggeledahan semalam suntuk di kota Kimteng tak ada hasilnya.

   Satu persatu komandankomandan regu melapor kepada Siau Gin Heng, satu persatu pula digampar mukanya sambil dicaci-maki.

   Siau Gin Heng nampak panik sekali, nyata sekali kalau semalaman ia tidak tidur sama sekali.

   Yang tidak kalah paniknya adalah Koh Hian Hong, sebab tuan-mudanya yang diculik itu tak lain tak bukan adalah Pangeran Hong Lik, Putera Mahkota.

   Tanggung-jawabnya begitu berat kalau ia sampai gagal menemukan kembali Pangeran Hong Lik dengan selamat.

   Wan Lui belum tahu siapa sebenarnya Kui Thian Cu, namun diapun tidak kalah gelisahnya.

   Bukan soal kedudukan yang terancam atau tanggung jawab kepada atasan, melainkan perasaan seorang sahabat yang kehilangan sahabat lainnya.

   Koh Hian Hong dan Wan Lui ikut mendengarkan perwira-perwira Siau Gin Heng itu melapor satu demi satu.

   Tapi biarpun ke cewa, mereka jelas tidak mungkin ikut-ikutan menggampar atau mencaci-maki.

   Ketika laporan-laporan para perwira berisi kegagalan melulu, Wan Lui habis sabarnya.

   "Biar aku akan mencari sekali lagi!"

   Katanya sambil bangkit dan ia sudah melangkah ke pintu depan.

   Tapi sebelum ia melewati pintu itu, da tanglah satu regu perajurit yang cukup menarik perhatian.

   Bukan saja datang menghadapnya paling terlambat, namun mereka juga nampak tak keruan.

   Berjalan gontai, wajah ketololtololan bingung, termasuk komandannya, beberapa perajurit malahan nampak tandatandanya kalau bekas menangis.

   Dengan tidak sabar lagi Siau Gin Heng melompat dari kursinya untuk menyongsong regu bawahannya yang istimewa ini ke tangga batu di depan aula dilewatinya dengan cepat, tiga anak tangga setiap langkahnya.

   Sambil berteriak kepada rombongan yang baru datang itu.

   "Kemari! Cepat!" Bagaikan diguyur air dingin, si komandan regu tiba-tiba menegakkan punggungnya, lalu langkah tegap bergaya perajurit sejati, ia melangkah ke hadapan Siau Gin Heng lalu berlutut.

   "Lapor, Cong-peng, regu kami."

   "Kenapa terlambat menghadap?!"

   "Kami menemukan pengalaman aneh, Congpeng!"

   Begitu mendengar kata "pengalaman aneh"

   Itu, Wan Lui dan Koh Hian Hong serempak mendekat uhtuk ikut mendengarkan lebih jelas.

   Merekapun mendapat pengalaman aneh menghadapi orang Pak-lian-kau, tidak heran kalau mereka segera tertarik oleh laporan regu terakhir itu, dan mengharap dari laporan itu bisa didengar tenatang jejak para penculik.

   Mereka segera mendekat untuk ikut mendengarkan.

   Si komandan regue segera bertutur bagaimana regunya memasuki sebuah lorong yang tadinya dikenal, namun kemudian ter jebak dalam kegelapan pekat.

   Bahkan banyak perajuritnya mengaku melihat macan, singa, ular raksasa, kura-kura raksasa dan sebagainya.

   Tapi setelah fajar terbit, mereka ternyata cuma berada di sebuah tempat terbuka yang dulunya sering digunakan untuk penyembelihan hewan ternak.

   Sambil bercerita, si komandan regu tak berani terlalu mengharap bahwa laporannya akan dipercaya, sebab terlalu aneh dan tidak masuk akal.

   Benar juga, laporannya belum selesai sudah dilihatnya sang panglima mengangkat tangannya dan siap menggampar mukanya, sambil mendamprat.

   "Bangsat. Sudah kembalinya terlambat, laporannya tak keruan pula! Mana ada tempat yang siangnya seperti lapangan biasa, malamnya dihuni binatangbinatang raksasa, lalu pagi harinya kembali menjadi tempat biasa lagi? Mana ada? Laporanmu itu berarti ocehan orang gila, hanya untuk menutupi ketidak-becusanmu!"

   Tapi sebelum wajah si komandan regu menjadi bengkak kena gamparan, justru Koh Hian Hong dan Wan Lui berbarengan berteriak tanpa berjanji.

   "Tahan, Cong-peng!"

   Siau Gin Heng heran. Apakah kedua orang yang mencegahnya ini malah tertarik kepada laporan sinting ini? "Ada apa?"

   "Laporan orang ini patut diperhatikan!"

   "Apa? Laporan yang tidak masuk akal ini?"

   "Memang tidak masuk akal kalau yang kita hadapi sekarang bukan Pek-lian-kau,"

   Sahut Wan Lui.

   "Tapi justru paling masuk akal kalau yang kita hadapi itu Pek-lian-kau. Mereka memang ahli dalam Hoat-sut (ilmu gaib). Mungkin regu yang ini telah menjadi korban ilmu gaib mereka, bukannya mengkhayal."

   "Wan-heng betul,"

   Dukung Koh Hian Hong.

   "Sekarang justru perlu kita temukan dimana tempat yang aneh itu."

   Lalu Koh Hian Hong dan Wan Lui menanyai komandan regu itu, sedangkan Siau Gin Heng minggir ke samping.

   Memang bagi Siau Gin Heng, mula-mula dia inginkan kematian Kui Thain Cu yang dianggapnya membahayakan persekongkolannya dengan bandit-bandit Kiuliong-san.

   Tetapi setelah ia dibisiki Koh Hian Hong bahwa Kui Thian Cu adalah samaran dari Putera Mahkota Hong Lik, pikiran Siau Gin Heng juga berubah.

   Kalau sampai Pangeran Hong Lik mendapat musibah di wilayah tanggungjawabnya, akibat yang diterimanya akan jauh lebih berat daripada kalau persekongkolannya dengan pihak Kiu-liong-san terbongkar.

   Ia memang masih mengharapkan kematian Pangeran Hong Lik, tapi jangan sampai kematiannya ada sangkut paut sedikitpun dengan dirinya.

   Itulah sebabnya selama Pangeran Hong Lik di Kim-teng, ia mati-matian mengerahkan seluruh perajuritnya untuk mencari.

   Sementara itu, setelah mendengar keterangan lengkap dari komandan regu itu, Wan Lui mengambil kesimpulan.

   "Tidak salah lagi, pasti disekitar tempat itulah persembunyian para penculik. Dengan mencegah para perajurit mendekat dengan Hoat-sut mereka, mereka sebenarnya bermaksud melindungi tempat sembunyi mereka. Tapi justru seperti meninggalkan jejak."

   "Tunjukkan tempat itu kepadaku!"

   Kata Koh Hian Hong kepada komandan regu itu.

   "Baik, Tai-jin,"

   Sahut si komandan dengan amat terpaksa. Sebenarnya ia masih merasa ngeri akan pengalamannya semalam, tapi ia tidak berani membantah permintaan orang dari pemerintah pusat ini.

   "Aku ikut!"

   Kata Wan Lui. Sedangkan kepada Siau Gin Heng, Koh Hian Hong bertanya.

   "Apakah Cong-peng sudi mengerahkan pasukan untuk menutup jalanjalan di sekitar tempat itu?"

   Kedengarannya memohon, tapi itulah perintah.

   Tentu saja Siau Gin Heng tidak berani menolaknya.

   Demikianlah Koh Hian Hong, Wan Lui dan perwira yang menjadi penunjuk jalan itu berangkat lebih dulu, kemudian Siau Gin Heng akan menyusul dengan pasukannya.

   Ketika Koh Hian Hong bertiga memasuki lorong "angker"

   Semalam, si perwira si perwira melihat lorong itu disiang hari tak ubahnya seperti hari-hari biasanya.

   Anak-anak kecil berlari-larian gembira.

   Dan ketika sampai ke ujung lorong, dilihatnya tempat terbuka bekas tempat penyembelihan hewan itu terangbenderang dibawah cahaya matahari, tepat seperti yang di katakan seorang anak buahnya yang pamannya tinggal di dekat situ.

   Agak terpencil dari rumah-rumah lain, di pinggir tem pat terbuka itu, nampak sebuah rumah yang berdiri terpencil.

   Sebuah rumah yang kabar nya sudah lama tak ada penghuninya lagi, du lunya dihuni seorang pedagang daging ternak.

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Di sinilah semalam pasukan kami hampir gila semua dibuatnya,"

   Kata si perwira, suaranya masih agak gemetar. Kesan seram yang begitu dahsyat didapatinya semalam, belum sepenuhnya berlalu dari jiwanya, bahkan mungkin akan terus menjadi kenangan seram seumur hidup.

   "Bangunan apa itu?" "Rumah seorang pedagang ternak, dulu."

   "Sekarang?"

   "Kosong."

   Wan Lui berkata dengan bersemangat kepada Koh Hian Hong.

   "Koh Sian-seng, bagaimana kalau kita periksa tempat itu?"

   "Terus terang aku agak bimbang, Wan-heng. Orang-orang Pek-lian-kau gemar bermain ilmu gaib, dan pantangan mereka ialah berdekatan dengan darah binatang-binatang berbulu hitam, kabarnya. Padahal di tempat pedagang daging ternak itu tentunya banyak bekas-bekas darah binatang atau bagian dalam tubuh binatang."

   Tiba-tiba tertawalah Wan Lui sambil berkata.

   "Dulu di desaku ada seorang penduduk yang terkenal paling takut kepada air, sehingga jarang mandi. Suatu saat dia mencuri jemuran lalu dikejar-kejar orang sedesa, tapi tidak bisa ditangkap atau diketemukan. Tahukah Sianseng dimana dia bersembunyi dengan aman?"

   Beberapa saat Koh Hian Hong tercengang, tak tahu kenapa Wan Lui malah cerita maling di desanya segala. "Di sinilah semalam pasukan kami hampir gila semua dibuatnya,"

   Kata si perwira, suaranya masih agak gemetar. Sementara Wan Lui sendiri telah menjawabnya.

   "Dia sembunyi di kolam ikan. Di suatu tempat dimana pengejar-pengejarnva tak menduga kalau dia berani menggunakannya, karena ia dikenal takut air."

   Koh Hian Hong mulai mengerti arah ka takata Wan Lui, lalu tersenyum dan meng anggukangguk.

   "Aku mengerti. Jadi menurut Wan-heng, orang-orang Pek-lian-kau itupun bersembunyi di suatu tempat, di mana orang lain paling tak menyangka kalau dijadikan tempat sembunyi mereka, begitu?"

   "Benar. Darah hewan-hewan berbulu hitam agaknya paling disegani ilmu orang Pek liankau, tapi tempat saudagar itu toh sudah lama kosong Seandainya ada bekas darah hewan sembelihanpun pasti sudah lama kering dan terhapus."

   "Benar. Wan kita periksa, mumpung siang hari."

   "Ya. Di siang hari, ilmu hitam mereka, amat terbatas keampuhannya." Kemudian Koh Hian Hong dan Wan lui mulai melangkah menyeberangi tempat terbuka itu, menuju ke rumah kosong. Tapi si perwira yang mengantarkan mereka itu ragu-ragu, langkahnya kelihatan alot, bahkan ia bertanya.

   "Tai-jin, apakah aku ..ju...juga harus ikut?"

   Dan hatinyapun lega ketika Koh Hian Hong menjawab.

   "Kau cukup mengantar sampai ke sini saja. Nanti kalau Siau Cong Peng dan pasukankannya tiba, laporkan saja tentang yang sedang kami lakukan."

   "Baik ..... baik...."

   Sahut si perwira kegirangan. Kemudian sambil menatap punggung Koh Hian Hong dan Wan Lui yang sedang me langkah ke rumah kosong itu, si perwira berkata dalam hatinya.

   "Bukan aku yang menyuruh, jadi kalau sampai kalian kesurupan atau menjadi gila, jangan salahkan aku."

   Sementara itu, setelah tiba di dekat dinding rumah kosong itu.

   Wan Lui dan Koh Hian Hong tidak tergesa-gesa masuk, melainkan berkeliling satu putaran dulu untuk memeriksa, sambil mendengar-dengarkan kalau ada suara dalam rumah kosong itu.

   Ternyata kedengaran sepisepi saja.

   lalu Wati Lui berdua pun melompati tembok untuk masuk.

   Ternyata memang rumah itu betul-betul kosong, tidak nampak satupun batang hidung orang-orang Pek-lian-kau.

   Namun tak berarti penyelidikan Wan Lui berdua jadi sia-sia.

   Sebab di seluruh tempat itu diketemukan berceceran bungkus-bungkus makanan ataupun remahremah makanan yang jelas belum lama ditinggalkan.

   Dengan pedang terhunus di tangan masingmasing dan tidak mengendorkan kewaspadaan sedikitpun, mereka meneliti rumah kosung itu dari sudut ke sudut, dengan mengambil arah berbeda.

   Tiba-tiba Koh Hian Hong membungkuk, memungut suatu benda, lalu berseru memanggil.

   "Wan-heng!"

   Wan Lui yang sedang memeriksa bagian lain, ketika mendengar seruan itu lalu melompat secepat seekor burung ke tempat Koh Hian Hong, la mengira Koh Hian Hong kepergok musuh.

   Tapi setelah dilihatnya, ternyata Koh Hian Hong cuma berdiri termangu-mangu sambil memegangi sebuah sepatu, hanya sebelah kanan, tak ada pasangannya.

   "Ada apa, Sian-seng?"

   Sambil menunjukkan sepatu itu, Koh Hian Hong beekata.

   "Ini sepatu Kui Siau-ya. Kini kita yakin bahwa semalam pasti Siau-ya dibawa kemari, namun sekarang entah dibawa kemana lagi."

   "Kita periksa tempat ini lebih cermat, mudah-mudahan bisa dlketemukan petunjukpetunjuk jejak yang lain!"

   Mereka kembali meneliti dengan berpencaran. Dan Kali ini Wan Lui yang lebih dulu menemukan sesuatu. Dipanggilnya Koh Hian Hong untuk ditunjuki sematu.

   "Siah-song, mengherankan sekali bahwa jejak-jejak tapak kaki ini menuju ke arah yang tidak ada pintunya, tapi ke sebuah ruangan tertutup, banyak jejak yayg masuk ke ruangan ini, tapi sedikit jejak yang keluar. Dan jejak yang keluar itupun tanahnya lebih kering dari jeiak yang masuk, menandakan kalau jejak masuk itulah jejak yang terakhir."

   Koh llian Hong mengangguk-angguk setuju, dan diam-diam kagum akan kecermatan pengamatan Wan Lui.

   Lebih cermat mereka memeriksa ruangan itu, sampai akhirnya mereka menemukan salah satu lempengan ubin itu goyah, seperti tidak disemen.

   Sedangkan lempengan lempengan lain direkat semen satu sama lain dengan kuatnya.

   "Jelas, mereka kabur tidak lewat jalan yang wajar, tapi dari sini...."

   Desis Koh Hian Hong yakin.

   "Pantas anak-buah Siau Cong peng tak berhasil menemukan mereka biarpun sudah mengaduk di seluruh kota. Mereka kabur lewat bawah tanah."

   Sedangkan Wan Lui tidak cuma berdiam diri, la mengangkat lempengan ubin yang longgar itu, dan memang di bawahnya nampak sebuah lubang galian yang nampak benar kalau dikenakan dengan tergesa-gesa.

   Tanahnya masih merah dan belum berlumut.

   Dengan pedang terhunus, tanpa pikir panjang lagi Wan Lui melompat masuk ke bawah.

   "Wan-heng, hati-hati!"

   Koh Hian Hong kaget melihat tindakan Wan Lui yang dinilainya amat gegabah.

   Tapi Wan Lui seperti jangkrik raksasa saja, sudah menghilang ke dalam terowongan bawah tanah itu.

   Koh Hian Hong ragu-ragu.

   Mengikuti Wan Lui atau menunggu Siau Gin Heng yang sebentar lagi tiba? Akhirnya ia memutuskan.

   "Para penculik itu pasti sudah sampai keluar kota, ladi lebih baik aku ajak Siau Cong-pong membawa pasukan untuk mengejar keluar kota."

   Itu artinya Wan Lui mengejar sendirian lewat terowongan darurat itu.

   Dengan penuh kewaspadaan Wan Lui maju di terowongan itu, dibantu cahaya dari mulut terowongan.

   Ternyata tidak seluruhnya terowangan itu dibuat oleh orang Pek-lian-kau.

   Hanya beberapa puluh langkah permulaan, lalu terowongan itu disambungkan ke parit bawah tanah yang sudah ada sejak kota itu dibangun.

   Terowongan itu terus menuju keluar kota, bahkan menembus lewat di bawah tembok kota.

   Wan Lui terus menyusurinya biarpun sambil menutup hidungnya untuk menahan bau busuk saluran itu.

   Akhirnya diapun muncul di luar tembok kota, tapi di bagian semak belukar yang jauh dari jalan besar.

   Di situ, jejak kaki berjumlah cukup banyak menuju ke satu arah.

   "Mereka berbuat demikian karena mengira Siau Gin Heng masih mengaduk kota Kim-teng,"

   Pikir Wan Lui.

   "Aku sendirian barangkali tak bisa melawan mereka, kalau di antara mereka ada orang-orang berilmu tinggi. Tapi setidaktidaknya bisa kubuntuti terus mereka, sampat menemukan peluang untuk menyelamatkan Kui Thian Cu."

   Dengan tekad setia-kawan macam itulah maka Wan Lui mengikuti jejak itu terus.

   Sementara itu, tidak lama ketnudian pintu gerbang kota Kim-teng dipentang lebar, lalu muncullah seratus perajurit berkuda besenjata lengkap yang dipimpin oleh Siau Gin Heng, didampingi oleh Koh Hian Hong.

   Separuh dari pasukan berkuda itu dipersenjatai bedil sudut, di samping itu para perajurit membawa jenis "senjata"

   Lain yang mengherankan mereka sendiri, atas permintaan Koh Hian Hong yang tidak mungkin di bantah Siau Gin heng.

   "Senjata"

   Itu adalah darah hewan-hewan hitam seperti anjing hitam, kambing hitam, kucing hitam, ayam hitam dan sebagainya.

   Darah mereka ditampung dalam guci-guci kecil atau bumbung-bumbung bambu yang dibawa perajurit -perajurit itu.

   Selain itu masih ada "senjata"

   Lain berupa bagian dalam tubuh hewan hewan seperti usus, hati, limpa, paruparu dan sebagainya yang masih berlumuran darah dan dibungkus dengan daun atau kertas.

   Apalagi para perajurit bawahan, sedangkan Siau Gin heng sendiripun tidak tahu gunanya buat apa benda-benda itu dibawa, la cuma menuruti permintaan Koh Hian Hong saja, sambil menggerutu dalam hati.

   Berderaplah seratus perajuru berkuda itu ke arah timur-laut, salah satu dari jalan jalan di sekitar kota Kim-teng.

   Dijalan-jalan ke arah lain pun sudah dikirimkan regu regu pasukan pemburu, membawa perintah yang sama, membawa "senjata"

   Yang sama pula. Sambil berkuda di samping Siau Gin Heng, tidak jemu-jemunya Koh Hian Hong memperingatkan Siau Gin Heng penuh kesungguhan.

   "Cong-peng, kalau benar-benar kita berhasil mengejar penculik-penculik itu, kuharap jangan bertindak gegabah. Ingat keselamatan Pangeran Hong Lik!"

   Sudah tentu Siau Gin Heng berjanji akan "sebisa-bisanya mengutamakan keselamatan Pangeran Hong Lik,"

   Namun ditambahi dengan catatan "Tapi kalau gagal ya bagaimana lagi?"

   "Ya bagaimana lagi"

   Nya itulah yang membuat perasaan Koh Hian Hong tidak tenteram.

   Menjelang tengah hari, pasukan itu sudah meninggalkan kota Kim-teng tigapuluh Ii lebih.

   Mereka tiba di sebuah jalanan yang di kiri kanan diapit dengan tebing-tebing Bukit.

   Saat itulah tiba-tiba timbul keanehan.

   Baru saja sinar matahari terang benderang, sekonyong-konyong muncul awal hitam-tebal dan lebar, entah darimana datangnya, seperti payung raksasa yang menudungi pasukan Siau Gin Heng dan turun begitu rendah.

   "Hati-hati, ilmu kaum Pek-lian-kau,"

   Koh Hian Hong memperingatkan seluruh pasukan.

   Namun Siau Gin heng yang belum pernah mengalami sendiri berhadapan dengan ilmu orang-orang Pek-lian-kau, tidak terlalu menggubris peringatan Koh Hian Hong i-tu.

   Sarnbil mengacungkan pedangnya dan tidak scdikitpun memperlambat kudanya, sambil berseru.

   "Jangan pedulikan! Pasukan terus maju!"

   Baru saja selesai Siau Gin Heng berucap, tibatiba dari depan terdengar suara gemuruh angin yang keras dan dingin, makin lama makin keras sehingga pasir dan batu batu kecil sampai terangkat dan seolah di semburkan ke arah para peraiurit.

   Para perajurit jadi kacau, panik, banyak yang mata nya kelilipan pasir sehingga tak mampu mengendalikan kudanya.

   Akibatnya banyak kuda saling tabrak, meringkik-ringkik dan melonjak-lonjak tak terkendali, banyak yang jungkir balik.

   Dan angin dingin itu bukannya mereda, malah menghebat, disertai hawa dingin yang menghebat pula.

   Mega hitam di atas pasukan itu juga makin tebal dan makin rendah.

   Dalam hiruk-pikuk dimana semua orang kehilangan pegangan itu, hanya Koh Hian Hong yang masih sempat meneriakkan.

   "Siramkan darah hewan! Siramkan darah hewan!"

   "Siramkan ke mana?"

   "Ke arah sembarangan saja!"

   Waktu itu, boleh dibilang sudah tidak ada perajurit yang mampu duduk tetap di atas kuda masing-masing karena kencangnya angin pasir itu.

   Banyak yang sudah berpelantingan dari kuda, mendekam di tanah sambil memeluk kepala, atau membungkuk dan memeluk leher kuda erat-erat.

   Tidak sedikit yang terinjak-injak kuda-kuda yang melonjak-lonjak seperti gila.

   Seruan Koh Hian Hong itu memang kedengaran tidak masuk akal, tapi setidaktidaknya bisa dicoba, biarpun dengan tidak yakin, beberapa perajurit dengan tertatih tatih sambil menutupi mata dari pasir, berhasil mencapai guci-guci atau bumbung bumbung bambu berisi darah hewan hewan berbulu hitam itu, lalu dibuka tutup nya dan disiramkan.

   Darah binatang muncrat di mana-mana, banyak perajurit ikut kecipratan.

   Namun aneh juga bahwa angin kencang itu tiba-tiba mereda dan akhirnya lenyap.

   Awan tebal hitam yang tergantung rendah dan menutupi matahari itupun perlahan-lahan pecah, lalu raib entah kemana.

   Sinar matahari kembali bersinar cemarlang.

   Para perajurit tercengang keheranan, inilah pertempuran paling aneh yang pernah mereka alami.

   Kemudian para perajurit mula membenahi diri, banyak yang topinya sudah hilang diterbangkan angin tadi, namun yang penting senjata-senjata mereka.

   Tidak sedikit yang pula mati terinjak-injak kuda-kuda yang mengganas tadi.

   Tak terkira geramnya Siau Gin Heng melihat kerusakan pasukannya.

   Dia sendiri pun masih harus membersihkan matanya yang kemasukan pasir, sama dengan sebagian besar perajuritnya yang saling meniup mata di antara sesmua temanya, untuk mengeluarkan pasir.

   "Bagaimana, Tai-jin?"

   Sia Gin Heng kemudian minta pendapat Koh Hian Hong. Sahut Koh Hian Hong.

   "Dengan adanya serangan gaib tadi, itu menandakan bahwa kita sudah hampir bertemu dengan orang-orang Pek-lian-kau. Sebaiknya kita maju terus."

   "Namun lawan yang kita hadapi kali ini agaknya semacam pasukan iblis sendiri. Bisa menggunakan angin dan mega hitam segala."

   "Tapi bukankah kitapun terbukti berhasil menangkis serangan gaib mereka? Jadi tak ada alasan bagi kita untuk belum-belum sudah mengaku kalah,"

   Bantah Koh Hian Hon.

   "Baiklah,"

   Dengan amat terpaksa Sau Gin Heng menuruti kemauan Koh Hian Hong.

   "Pasukan siap!" Waktu itu, semua perajurit sudah siap kembali di atas kuda masing-masing, biarpun seragam mereka sudah agak berantakan. Sambil bederap memimpin pasukannya, Siau Gin heng mengharap, mudah-mudahan para penculik melihat gerakan pasukannya dari kejauhan. Lalu para penculik itu merasa terjepit dan membunuh hasil culikannya, dengan demikian Pangeran Hong Lik mati tapi Siau Gin Heng tidak bisa disalahkan. Namun yang terjadi kemudian tidaklah seperti yang diinginkan Siau Gin heng. Dari balik tebing-tebing di depan, tiba-tiba kembali muncul angin kencang dan mega hitam yang menerpa ke arah pasukan kerajaan. Bukan itu saja, tapi muncul pula pasukan berkuda. Orang-orang berkuda itu semuanya berpakaian serba kuning, mirip seragam perajurit Keraiaan Beng jaman dulu. Wajah orang-orang itu kelihatan kaku, seolah raut wajah mereka dilukis di atas sehelai kertas oleh seorang yang baru mulai belajar menggambar. Siau Gin heng cepat mengatur pasukannya.

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Menyebar! pembawa senapan siap di depan!"

   Dengan gerakan yang cukup terlatih, para perajurit cepat memencarkan diri dalam bentuk lengkungan lebar sehingga harus menerjang lahan perkebunan penduduk di ke dua tepi jalan.

   Sedang perajurit-perajurit bersenjata senapan sudah siap membidik, dengan sumbu sudah terpasang di pangkal laras bedil-bedil mereka yang panjang.

   Cukup mengherankan juga melihat betapa orang-orang berbaju kuning itu tidak nampak takut sedikitpun menghadapi moncongmoncong senapan, ragu-ragu sedikitpun tidak, mereka terus menyerbu dalam garis lurus sambil mengangkat pedang mereka tinggitinggi.

   Maju bersama asap hitam dan angin yang berhembus dingin mengiris kulit.

   Saat itu adalah tengah hari, seharus? nya suasananya terang-benderang dan udaranya hangat.

   Namun perajurit-perajurit Siau Gin Heng merasa seolah-olah saat itu adalah sen|a hari yang udaranya dingin.

   Ketika para penunggang kuda berseragam kuning itu mendekat, Siau Gin Heng berseru.

   "Serang!"

   Bedil-bedil meletus dan bau asap mesiu mengusik hidung, panah-panah pun beterbangan bagaikan hujan.

   Tapi para perajurit terkesiap ketika melihat lawan-lawan mereka tidak ada satu pun yang roboh, orangnya maupun kudanya.

   Kalau yang ditembus peluru atau ditancapi panah memang banyak, tapi mereka terus berderap maju tanpa berhenti sekejappun.

   Siau Gin Heng dan perajurit-perajuritnya mulai kebingungan menghadapi kenyataan tak masuk akal itu.

   Sedangkan Koh Hian Hong agaknya menyadari mahluk-mahluk macam apa yang sedang dihadapi pasukan itu.

   Serunya.

   "Lemparkan barang-barang najis itu lagi!"

   Tapi peringatan itu agak terlambat ditangnya, sebab musuh sudah tiba di depan hidung mereka sambil mengayunkan senjata senjata mereka. Para perajurit jadi tidak sempat melemparkan "jimat"

   Mereka, dan terpaksa harus melawan dengan senjata pula.

   Yang tidak sempat menghunus pedang, bedil mereka terpaksa dijadikan senjata semacam tongkat.

   Bedil jaman itu, panjangnya hampir sama dengan tubuh manusia, jadi cukup memadai dijadikan pentung kecuali pegangannya yang kurang enak.

   Pertempuranpun berlangsung sengit.

   Para perajurit dengan geram ingin menghabiskan orang-orang berbaju kuning itu, untuk membalas dendam atau serangan angm.

   dan pasir tadi.

   Namun segera terlihat bahwa pertempuran itu lebih membawa kerugian dari pihak perajurit.

   Suatu perang yang ganjil dan sia-sia.

   Ganjilnja, kalau para perajurit kena senjata lawan-lawan mereka, perajurit benar-benar terluka atau mati.

   Sebaliknya, kalau senjata para perajurit lawan mereka, jangan lagi lawan mati, sedang keluar darah setetespun tidak.

   Bahkan orang-orang berpakaian kuning berwajah janggal itu masih bisa bertempur terus seolah tidak terjadi apa-apa atas tubuh mereka.

   Kerugian lain, angin dan pasir itu tidak mempengaruhi orang-orang berbaju kuning itu, biarpun mata mereka kena pasir juga tetap melotot, berkedip pun tidak.

   Sebaliknya sangat menganggu perujurit-perajurit Siau Gin Heng, pasir yang berhamburan itu sering masuk ke mata dan jelas mengganggu gerak tempur mereka.

   Tidak heran kalau dalam waktu singkat sudah banyak perajurit yang roboh, sedang pihak musuh masih utuh, tidak kurang satupun.

   Para perajurit jadi bertambah ngeri ketika melihat seorang musuh sudah terpenggal kepalanya, namun tubuh tanpa kepala yang tak mengeluarkan darah setetes-pun itu masih tetap menunggang kuda dan bertempur tak kalah hebatnya.

   "Gila! Gila!"

   Seorang perajurit yang bersyarat lemah agaknya tak tahan lagi menghadapi peristiwa itu. Senjatanya malah dilempar ke tanah, dan kedua tangannya memegangi kepala sambil berteriak-teriak ngeri. "Kita bertempur dengan hantu! Kita takkan menang!"

   Dalam suatu pertempuran, biasanya para perajurit saling menyerukan kata-kata yang mengobarkan semangat pasukainya.

   Tapi kini sebaliknya, yang terdengar cuma teriakanteriakan yang mengecilkan hati, mempertebal ketakutan dengan teriakan teriakan panik mereka.

   Hanya yang bersyaraf baja saja yang masih sanggup bertahan.

   Menyaksikan kekacauan itu, Koh Hian Hong terdorong untuk melakukan sesuatu yang bisa memulihkan keberanian perajurit-perajurit itu.

   Dilihatnya di pelana perajurit yang berteriak "gila"

   Tadi masih tergantung sebuah guci kecil tertutup.

   Karena dikuasai kepanikan, perajurit itu agaknya lupa akan jimatnya, maka Koh Hian Hong merenggut guci itu.

   Dengan tak menggubris bau amis, Koh Hian Hong memecahkan guci itu dan mengambil bagian dalam perut kambing yang masih berlumuran darah mentah, benda kotor itu disundukkan ke pedangnya, dan usus kambing dibelitkan ke gagang pedangnya agar tidak gampang lepas.

   Lalu majulah dia menyongsong lawan-lawannya yang aneh itu.

   Hasilnya memuaskan.

   Pedang itu tidak perlu dibacokkan atau ditikamkan, cukup disentuhkan ke tubuh lawan-lawan ganjil itu dan tiap kali yang terkena pun roboh.

   Bukan roboh menjadi mayat, melainkan menyusut menjadi orang-orangan kertas kuning, sedang kuda tunggangan mereka pun menjadi kudakudaan dari rumput kering yang tingginya tidak lebih dari dua jengkal.

   Para perajurit yang belum ikut kebingungan, segera meniru apa yang dilakukan Koh Hian Hong, atau mencipratkan darah hewan ke tubuh musuh-musuh mereka.

   Tak lama kemudian, angin keras berpasir serta awan hitam itupun sirna, sinar matahari kembali menghangatkan tubuh.

   Pertempuran usai.

   "Musuh-musuh"

   Sudah hampir empat puluh orang jumlahnya. Mati benar-benar. Kerugiannya belum dihitung dengan yang luka- luka, maupun kemerosotan semangat pasukannya. Siau Gin Heng pun mengutuk dengan sengit.

   "Pertempuran macam apa ini?! Pihakku sudah kehilangan banyak perajurit, sedang pihak musuh baru kehilangan beberapa lembar kertas kuning dan seikat jerami!"

   "Lalu bagaimana? Haruskah keselamatan Pangeran Hong Lik dibiarkan saja?"

   Kali ini Siau Gin Heng terang-terangan menyebut nama Pangeran Hong Lik dihadapan perajuritperajurit Siau Gin Heng, sedang sebelumnya ia masih menyembunyikan penyebutan yang terang-terangan itu untuk menekan, sekaligus menimbulkan rasa tanggung-jawab semua perajurit.

   Tapi Siau Gin Heng sudah makin berani membantah.

   "Sian-seng, rasanya diperlukan persiapan yang cukup lama untuk melawan ilmu gaib musuh. Mungkin kita perlu mengundang beberapa Hwe-shio atau To-jin yang mahir mengusir setan. Kalau tidak, kami semua bisa celaka. Baru menghadapi dua macam ilmu saja, korban kami sudah begitu banyak, sedang yang masih hidup pun sudah hampir gila rasanya. Padahal, entah berapa macam lagi ilmu gaib yang masih dimiliki musuh? Aku kan bukan Dewa Sun Pun yang sanggup meladeni perang gaib melawan Haisoh Seng-jin?"

   Demikianlah Siau Gin Heng mengemukakan cuplikan cerita Liat-kok untuk mencari alasan mengundurkan diri.

   "Tapi nyatanya kita tidak usah menjadi Sun Pun untuk menangkis ilmu-ilmu gaib tadi."

   Desak Koh Hian Hong.

   "Bukankankah kita berhasil menangkis ilmu mereka? Kenapa harus jadi kecut hati.!"

   Siau Gin Heng garuk-garuk kepala dengan sikap yang serba salah.

   Mau maju terus takut kepada musuh, tidak mau maju juga takut dilaporkan ke Pak Khia bahwa dirinya tidak menggubrik nasib putra mahkota.

   Akhirnya dengan amal terpaksn Siau Gin Heng berkata.

   "baiklah, Kita maju terus." Baru saja selesai ucapanya, dari sebelah depan kembali terdengar suara gemuruh kuda yang berderap dan ringkik kuda. Kembali dari balik tebing itu muncul sebuah pasukan berkuda yang menerjang ke pasukan Siau Gin Heng, Kali ini tanpa deru angin, pasir yang beterbangan maupun awan hitam yang rendah. Belum hilang kesan seram dalam diri para perajurit, namun mereka pun bersiap. Bukan senjata yang mereka siapkan, tapi guci-guci kecil berisi darah hewan hitam dan bagian dalam tubuh hewan-hewan.

   "Mahluk-mahluk jejadian itu dating lagi."

   Geram Siau Gin Heng.

   Dengan rasa jijinya, tangannya sudah memeang suntai usus kambing yang siap disabet-sabetkan sebagai cambuk.

   Ketika pasukan penyerbu itu sudah dekat, serempa para prajurit menyiramkan darah binatang, melemparkan jerohan binatang dan sebagainya.

   Siau Gin Heng sendiri menyabetkan usus kambing kearah seorang "Mahluk jejadian yang menerjang kearahnya dengan tombak yang teracung dikempit di ketiak.

   Diluar dugaan, segala benda penangkal ilmu siluman itu tidak berguna, sebab kali ini yang dihadapi para perajuri adalah manusia-manusia sungguh-sungguh, anggota-anggota Pek-liankau, biarpun darah dan benda-benda najis mengenai mereka, tapi mereka tetap menerjang ke depan dengan senjata terayun.

   Lagi-lagi para perajurit terlambat menyadari kekeliruan mereka.

   Saat mereka yakin bahwa lawan lawan mereka bukan "kertas dan jerami", sudah banyak perajurit menjadi korban, entah tertembus perutnya, terbelah dadanya atau terpenggal lehernya, sebelum perajuritperajurit itu sempat menyiapkan senjatasenjata mereka.

   Anggaota-anggota Pek-lian-kau dengan beringas terus menyerbu ke tengah-tengah pasukan yang tengah kalang-kabut itu.

   Senjatasenjata mereka berkelebat-kelebat kejam menambah korban-korban berikutnya.

   Sabetan usus kambing Siau Gin Heng tepat kena muka Thio Yap, hulubalang Pek lian-kau golongan Lam-cong.

   Namun Thio Yap tidak segera jatuh dan "berubah menjadi kertas"

   Seperti harapan Siau Gin Heng, malah ujung tombaknya dengan mantap menyusup ke antara tulang-tulang rusuk Siau Gin Heng yang kegemukan itu.

   Si Panglima kota Kim-teng itupun roboh terlempar dari kuda.

   Thio Yap tertawa terbahak-bahak sambil memutar-mutar kudanya dan tombaknya.

   Teriaknya.

   "Saudara-saudara, ayo kita habiskan anjing-anjing tolol ini!"

   Kemudian Thio Yap sendiri menerjangkan kudanya dan mengamuk ganas.

   Tombaknya berpusing bagai angin pusaran menerang helaihelai daun kering.

   Terlihat nyata bahwa ia memang ahli tempur yang hebat.

   Disamping Thio Yap masih ada lagi hulubalang Pek-lian-kau golongan Lam-cong, Hoa Cek Gui yang memiliki sepasang tangan melebihi ukuran lumrah dalam panjangnya maupun besarnya.

   Seolah tiap zat makanan Thio Yap tertawa terbahak-bahak sambil memutar-mutar kudanya dan tombaknya.

   Teriakanya.

   "Saudara-saudara, ayo kita habiskan anjing-anjing tolol ini!" yang masuk ke tubuhnya tidak pergi ke tempat lain kecuali ke kedua tangannya. Sudah punya tangan sepanjang itu, Hoa Cek Gui masih belum puas agaknya, maka pedang yang digunakannya pun satu setengah kali lipat dari pedang biasa, lebih pajang. Ditambah dengan kekuatan serta kecepatannya, maka Hoa Cek Gui jadi mirip baling-baling kincir angin yang nyasar ke tengah-tengah pasukan Siau Gin Heng dan menimbulkan banyak korban. Koh Hian Hong segera mengenal kedua jago Pek-lian-kau itulah duiu yang menerobos gedung Cong-peng-hu di Kim-teng dan menculik Pangeran Hong Lik waktu itu, pembantu yang dibawa oleh kedua orang itu hanyalah beberapa lembar gulungan kertas kuning berbentuk orang-orangan. Sementara itu sisa pasukan sudah bertempur dengan kacau dan dengan semangat yang patah. Berulang kali mereka mendapat kejutan yang tidak menyenangkan, dan itu sudah cukup membuat mereka ingin mundur saja. Apalagi setelah mereka melihat panglima mereka tergeletak di tanah kena tombak lawannya tadi, entah mati entah hidup. Sia-sia Koh Hian Hong berteriak-teriak sampai tenggorokannya sakit, berusaha mengatur sisa pasukan itu agar bertempur lebih teratur dan bersemangat Para perajurit sudah lesu, sambil bertempur mereka mundur terus kearah kota kim-teng. Para peraujrit juga tidak mempan ditakuttakuti akan dilaporkan ke Pak-Khia dan tidak mempan terpancing "akan diberi hadiah dan kenaikan pangkat."

   Mereka hanya ingin pulang.

   Habis perkaralah.

   Pulang.

   Para perajurit bergerak mundur, namun orang-orang Pek-lian-kau mengejar dengan penuh kebencian.

   Maka ditempat itu tinggalah Koh Hiang Hong sendirian, melawan keroyokan Thio Yap dan si tangan panjang Hou Cek Gui.

   Ketiga orang itu belum turun dari kuda.

   Dan betempur dengan kemahiran silat masingmasing, tanpa pakai gaib-gaiban lagi.

   K.oh Hian Hong berkelahi makin lama makin kalap, merasa malu karena gagal mempertanggung-jawabkan keselamatan Pangeran Hong Lik.

   la sudah bertekad, kalau tidak bisa kembaii ke Pak-hia dengan membawa Pangeran Hong Lik tanpa kurang suatu apapun, maka ia lebih baik mati dalam pertempuran melawan orang-orang Pek-lan-kau ini.

   Sedangkan Thio Yap dan Hoa Cek Gui bertempur tak kalah sengitnya.

   Sebagai orangorang yang merindukan bangkitnya kembali Kerajaan Beng, mereka amat mem benci orang Manchu yang mereka anggap menindas orang Han.

   Tetapi kebencian mereka menjadi dua kali lipat terhadap orang Han yang bekerja kepada pemerintah Manchu, seperti Koh Hian Hong ini.

   Bukan saja ketangguhan silat kedua hulubalang Pek-lian-kau ini yang memberatkan Koh Hian Hong, tapi juga ukuran senjata yang mereka pakai melawan Koh Hian Hong telah memaksa lebih banyak bertahan dari pada menyerang.

   Dengan pedangnya yang berukuran normal, Koh Hian Hong harus melawan pedang Hoa Cek Gui yang "abnormal"

   Ditambah lengan pemegangnya yang abnormal pula.

   Disamping itu, tombak Thio Yap dimainkan bagaikan angin prahara.

   Koh Hian Hong coba mengambil keuntungan berdasar teori "senjata lebih pendek, lebih rapat pula dalam pertahanan".

   Karena itulah ia Cuma bertahan segigihnya sambil menanti munculnya peluang untuk serangan balasan yang berarti.

   Di bagian luar pertahanan Koh Hian Hong, Thio Yap disatu sudut memainkan tombak begitu cepat sehingga ujung tombaknya seperti ular terbang yang berbelit-belit, sedangkan pangkal tangkai tombak pun berulang kali menyambar deras ke Kaki, pinggul, pelipis lawannya.

   Disudut lain, Hoa Cek Cui menutup sudut-sudut yang tersisa dengan gaya "kincir angin roboh"nya.

   Berulang kali Koh Hian Hong harus mengalami gencetan hebat dari dua arah se kaligus, bukan serangan yang polos, melainkan mengandung gerak tipu yang unggul.

   Kalau menghadapi keadaan macam itu, Koh Hian Hong hanya bisa menangkis salah satu serangan, sedang serangan lainnya terpaksa dihindari dengan melompat menghindar ke arah yang tepat.

   "Ayo, anjing Manchu, menggigitlah! Jangan cuma berlompat-lompatan saja!"

   Damprat Thio Yap.

   "Bukankah kau ingin menyelamatkan si bangsat cilik Hong Lik?"

   "Atau pulang saja ke Pak-khia dan laporkan kepada si raja iblis Yong Ceng, bahwa dia harus tunduk kepada kemauan kami, kalau dia ingin anaknya selamat!"

   Teriak Hoa Cek Gui penuh kebencian, sambil menggulungkan pedang panjangnya dengan gerak Liong-ong-lian-hai (raja Naga membendung arus).

   Ketika menangkis dengan pedangnya, Koh Hian Hong tiba-tiba merasa pedangnya seolah dicelupkan ke dalam pusaran air berkekuatan dahsyat, harnpir saja pedangnya terlepas.

   Supaya tidak harus mengadu kekuatan yang mengakibatkan kerugian dirinya, Koh Hian Hong lalu melompat tinggi dan jauh dan membuat sebuah perputaran diudara, mengikuti pusaran pedang lawan, lalu menyingkir jauh.

   Namun Thio Yap memburu secepat kilat ke titik dimana Koh Hian Hong hendak menyelamatkan diri.

   Bahkan Thio Yap melompat pula, menerjang tubuh Koh Hian Hong di udara namun dengan lebih dulu menghitung sudut yang menguntungkan.

   Agak menyudut sebelah kiri, tombaknya menikam ke wajah Koh Hian Hong dengan gerak lincah Kimsiam-hi-long (katak emas bermain di gelombang).

   Sementara si "kincir angin"

   Hoa Cek Ciui pun memburu dengan serangan barunya.

   Koh Hian Hong berusaha untuk tidak panik dalam situasi gawat itu.

   la miringkan kepala untuk menghindari ujung tombak Thio Yap, dan secara untung-untungan menggunakan tangan kiri untuk menangkap gagang tombak Thio Yap.

   Sementara pedang di tangan kanannya ditusukkan untuk menikam wajah Hoa Cek Gui yang tengah menyerbu datang.

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Hoa Cek Gui tidak menghentikan lang kahnya.

   Tikaman Koh Hian Hong tidak dihiraukan, namun diapun meluruskan pedang seajar dengan pedang Koh Hian Hong.

   Lengan nya lebih panjang, pedangnyapun lebih panjang, maka dengan cara itu balik Koh Hian Hong yang terancam.

   Keduanya saling menikam, tapi yang satu lebih panjang pedangnya.

   Segalanya berlangsung serba cepat.

   Thio Yap dan Koh Hian Hong bersamaan melayang turun ke tanah, dengan tangan kiri Koh Hian Hong masih memegangi gagang tombak Thio Yap.

   Namun bedanya, perut Koh Hian Hong sudah ditembus pedang Hoa Cek Gui.

   "Mampus kau, anjing Manchu!"

   Geram Thio Yap sambil menarik tombaknya kuat-kuat untuk didorong kembali ke depan.

   Dada Koh Hian Hong kena, dan gugurlah pengawal setia Pangeran Hong Lik itu.

   Thio Yap dan Hoa Cek Gui berdiri termangu, kemudian membersihkan senjata mereka dari darah dengan menggunakan rerumputan.

   "Ulet juga anjing Manchu ini!"

   Geram Hoa Cek Gui.

   "Tentu saja. Kalau bukan pesilat tangguh, mana bisa dipercaya untuk mengawal si bangsat cilik Hong Lik itu!"

   Sementara itu, laskar berkuda Pek-lian-kau yang tadi mengejar pasukan kerajaan yang terpukul mundur, kini telah berderap kembali dengan gaya pasukan yang menang perang.

   "Bagaimana?"

   Tanya Thio Yap kepada orangorangnya. Salah seorang laskar menjawab dengan bangga.

   "Karena keberuntungan Kerajaan Beng yang jaya, dalam pengejaran kami berhasil membinasakan sebagian besar anjing-anjing Manchu itu. Hanya sedikit sisa nya yang berhasil masuk kembali ke kota Kim-teng. Kami tidak mengejarnya lagi, sebab belum siap kalau harus menghadapi ribuan anjing Manchu lainnya di dalam kota." "Yang inipun sudah cukup,"

   Kata Thio Yap.

   "Akupun puas bisa membunuh Siau Gin Heng, sedang Hoa Hiang-cu kalian berhasil membereskan pengawal utama dari bangsat cilik Hong Lik itu. Kemenangan ini patut di jadikan modal semangat untuk kebangkitan dinasti Beng kita!"

   "Mari kita bergabung dengan teman-teman kita."

   Orang-orang Pek-lian-kau itupun berbaris pergi, meninggalkan tempat yang penuh mayatmayat bergeletakan itu.

   Maka tempat itupun menjadi sepi.

   Orang yang akan melewati tempat itupun akan memilih untuk mengambil jalan lain, biarpun lebih jauh.

   Menghindari tempat penyembelihan manusia itu.

   Ketika hari mejelang sore, di tempat itu toh muncul |uga seorang lelaki vang memakai mantel-hujan dan jerami serta topi jerami pula, guna menahan hujan yang mulai turun.

   Melihat mayat-mayat para perajurit yang bergelimpangan itu, bukannya dia menjauh dengan ketakutan seperti orang lain, malahan ia bergegas mendekat.

   Diamatinya mayat-mayat itu satu demi satu seperti berusaha mengenalinya, tiap kali ia menggeleng kecewa, sampai akhirnya ditemukannya tubuh Siau Gin Heng.

   Orang itu, In Kiu Liong, semakin kecewa melihat tubuh Panglima di Kim-teng itu.

   Berarti pihak gerombolan Kiu-liong-san kehilangan seorang "rekan usaha"

   Yang menyenangkan.

   Sedangkan calon pengganti Siau Gin Heng kelak belum tentu bias diajak "kerja sama".

   Atau kalau mau juga jangan-jangan minta bagian yang lebih besar"' Namun hati In Kiu Long melonjak ketika melihat tubuh gemuk itu bergerak sedikit agaknya titik-titik air dingin dari langit yang menyiramnya telah mengembalikan kesadarannya setelah tak sadar cukup lama karena lukanya sangat parah.

   Seolah menemukan sebutir permata berharga tergeletak di tanah, In Kiu Liong melompat ke sisi tubuh Siau Gin Heng dan berjongkok.

   Dirabanya dadanya, denyut nadi di pergelangan tangannya.

   Hembusan udara di lubang hidungnya, dan semuanya itu menunjukkan tanda-tanda masih ada harapan hidup biarpun lemah.

   Luka tikaman tombak Thio Yap di rusuknya.

   Memang parah, tapi ternyata tidak membunuhnya sekaligus.

   Cepat-cepat In Km Liong menggunakan jempol tangannya untuk menekan urat Jintiong-hiat di bawah hidung membantu mempercepat kesadaran Siau Gin Heng.

   Mata panglima itu terbuka sedikit, bahkan bibir pucatnya mulai bergerak-gerak, membuka dan berusaha mendapatkan sebanyak-banyaknya titik-titik air yang jatuh dari langit.

   ln Kiu Liong membiarkannya saja, bahkan perlahan mengangkat kepala Siau Gin Heng untuk diganjal dengan pahanya sendiri dan dipegangi, agar bisa mendapat air lebih banyak.

   "Siau Cong-peng..."

   Panggilnya. Siau Gin heng mengenali wajah penolongnya, lalu berdesis lirih.

   "Utusan dari Pak-khia itu...adalah...adalah...." Desisnya makin lirih. In Kiu Liong tidak mau kehilangan keterangan yang barang kali penting itu, cepat-cepat mendekatkan kupingnya ke bibir Siau Gin Heng. Masih sempat ditangkapnya kata-kata lanjutan dari bibir itu.

   "adalah Pangeran Hong Lik..."

   Begitu terkejutnya In Kiu Liong mendengar nama itu, sehingga kepala Siau Gin Heng yang tengah dipeganginya itu dilepaskan dan tersentak keras ke tanah.

   Siau Gin Heng mengeluh pendek sebagai ucapan selamat tinggalnya kepada dunia.

   Seandainya ia dirawat perlahan-lahan, dengan penuh kecermatan, barangkali umur Siau Gin Heng rnasih bisa ditambah beberapa tahun lagi.

   Tapi gara-gara "Pangeran Hong Lik"

   Itulah Siau Gin Heng malahan jadi mati lebih cepat dari semestinya.

   Ya sebut saja "pembunuhan tidak sengaja".

   Sedangkan In Kiu Liong tidak peduli lagi kepada Siau Gin Heng.

   Ia melompat tegak, matanya bersinar-sinar, tinjunya dikepalkepalkan.

   Sebuah seringai kejam tiba-tiba muncul di wajahnya, sambil berdesis sendirian.

   "Pangeran Hong Lik.Pangeran Hong Lik... Putera Mahkota. Benarkah pendengaranku tadi? Kalau benar, ha-ha.....ini baru kakap! Bisa mempercepat perjuanganku menuju singgasana!"

   Lalu bergegaslah ia pergi di bawah siraman hujan yang lebat.

   Langit seolah dengan sukarela memandikan mayat-mayat terlantar itu.

   * * * Sementara itu, Wan Lui terus mengikuti jejak para penculik yang anehnya tidak pernah mendekati jalan besar, tapi terus menerus melewati jalan setapak yang sepi.

   Hanya di suatu tempat, jejak itu pecah dua.

   Yang pertama berjumlah besar, terus ke arah semula.

   Lainnya agaknya hanya dua orang, menyimpang ke arah berbeda.

   Wan Lui memutuskan untuk terus mengikuti jejak kaki yang banyak itu, sebab dianggapnya yang dua itu kurang berarti.

   Seandainya, hanya seandainya, Wan Lui tahu bahwa jejak yang hanya dua orang itu adalah jejaknya Thio Yap dan Hoa Cek Gui, dua pentolan penculik, maka mungkin Wan Lui akan dapat menyelamatkan Siau Gin Heng, Koh Hian Hong dan puluhan perajuritnya.

   Saat itu Wan Lui tidak tahu kalau Koh Hian Hong pun sudah tewas.

   Dengan demikian nasib Kui Thian Cu alias Pangeran Hong Lik itu ibarat layang-layang yang sudah putus benangnya, dan tinggal menurut kernana dibawa perginya oleh angin.

   Dan bakal banyak yang memperebutkan "layang-layang"

   Yang cukup berharga itu.

   Tapi bagi Wan Lui, ia tidak tahu siapa sahabatnya itu kecuali bernama Kui Thian Cu dari Pak-khia.

   Dan keinginannya hanyalah menyelamatkan seorang sahabat.

   Wan Lui akan menganggap dirinya percuma sebagai laki-laki jantan, kalau seorang sahabatnya diculik di depan hidungnya tanpa dia mampu menolongnya.

   Ternyata orang-orang Pek-lian-kau itu membagi gerakan mereka menjadi dua.

   Sekelompok kecil anggota-anggota pilihan yang tangguh, menyusup kota Kim-teng untuk menculik Pangeran Hong Lik.

   Dan sejumlah besar lainnya disiapkan di luar kota, untuk menyambut kalau teman-teman mereka berhasil, dan menolong kalau teman-teman mereka terancam bahaya.

   Kelompok kecil berjasil menculik Pangeran Hong Lik sedang kelompok besar berhasil menghadang dan menghancurkan pasukan Siau Gin Heng.

   Jadi bisa dibilang kalau Pek-lian-kau dalam gebrakan kali ini mendapatkan kemenangan yang lengkap.

   Kemenangan yang membesarkan hati, setelah beberapa tahun yang silam nama mereka tercoreng karena kekalahan pahit di Pak-khia, ketika orang-orang Pek-lian-kau dan Jit-goat-peng (serikat Rembulan Matahari) ditumpas, biarpun saat itu telah mengerahkan puluhan ribu anggota.

   Memang benar saat itu orang-orang Pek-liankau yang ditumpas di Pak-khia itu dari golongan Pak-cong (golongan utara), sedang penculikan Pangeran Hong Lik dan penghadangan pasukan kerajaan kali ini ditangani orang-orang Lam cong (golongan selatan).

   Tapi bagi orang luar, Pak-cong atau Lam-cong tidak dikenal, tahunya ya Pek-lian-kau.

   Yang diam-diam dibuntuti oleh Wan Lui itu termasuk kelompok kecil yang bertugas membawa Pangeran Hong Lik ke suatu tempat yang aman, di mana mereka akan bergabung dengan teman-teman mereka dari kelompok besar.

   Karena itu, ketika Wan Lui membuntuti terus, mereka akhirnya tiba di sebuah lembah kecil yang subur, rumputnya tebal, dikelilingi pepohonan lebat, dan ada dua jalur jalan setapak buatan manusia yang kelihatan masih baru.

   Di satu sisi ada sebuah danau kecil berair jernih.

   Jadi tempat itu selain aman karena tersembunyi, juga indah pemandangannya.

   Orang-orang Pek-lian-kau itu jadi mirip dengan sekelompok orang kota yang tengah berlibur dan berkemah.

   Tetapi Wan Lui tahu pasti bahwa itu bukan orang-orang bertamasya, melainkan sekelompok orang yang siap membunuh, menculik, mengacau atau melakukan apa saja demi cita-cita mereka yang konon tidak tanggung-tanggung.

   Merobohkan Kerajaan Manchu dan membangun kembali Kerajaan Beng.

   Dari tempat persembunyiannya, Wan Lui menghitung jumlah kemah di tepi danau itu, ternyata ada kira-kira seratusan kemah.

   Dan orang yang berkumpul di tempat itu kalau tidak empat ratus ya tiga ratus orang.

   Di mana-mana nampak asap mengepul dari orang-orang memasak makanan.

   Hilir-mudik pula orangorang berbaju hitam dengan dada kiri bajunya disulam gambar teratai putih, dan semuanya bersenjata.

   Di satu sisi ada banyak kuda yang ditambatkan untuk memakan rumput.

   Luas perkemahan itu kira-kira memakan separuh luas lembah kecil itu.

   Melihat betapa banyaknya orang Pek-liankau berkumpul di perkemahan itu, Wan Lui jadi agak menyesal kenapa ia terlalu berhati-hati, tidak menyergap saja kelompok kecil itu selagi dalam perjalanan ke perkemahan? Kini setelah tiba di perkemahan yang dihuni ratusan orang itu, tentu lebih sulit membebaskan Kui Thian Cu.

   Lagipula, tak diketahuinya Kui Thian Cu entah ditempatkan di kemah yang mana.

   (Bersambung

   Jilid XV) (Bersambung

   Jilid XV) KEMELUT TAHTA NAGA Bagian . II Karya . STEFANUS S.P.

   Jilid XV Ia ingin menyelidiki, tapi siang hari bolong begitu sungguh membahayakan dirinya, bagaimanapun lihainya dirinya tentu tak mampu melawan tiga ratusan orang di perkemahan itu, apalagi di antara mereka tentu bukan keroco semuanya.

   Kalau tindakannya gegabah, jangan-jangan bukannya berhasil menyelamatkan Kui Thian Cu, malahan akan mencelakakan sahabatnya itu.

   Apa boleh buat, terpaksa ia haruslah menahan diri sampai nanti gelap malam turun.

   Ketika matahari sudah miring di sebelah barat dan cahayanya banyak tertahan oleh pepohonan yang rapat, tiba-tiba dari suatu arah di seberang hutan terdengar suara gemuruhnya yang seperti suara pasukan berkuda.

   Makin lama makin dekat ke perkemahan itu.

   Orangorang di perkemahan serempak bersiaga dengan senjata-senjata mereka, mengira perkemahan mereka diserbu.

   Namun yang muncul dari lorong hutan itu ternyata adalah orang-orang Pek-lian-kau juga yang dipimpin oleh Thio Yap dan Hoa Cek Gui.

   Semuanya membawa kuda namun dituntun, tidak dinaiki, sebab lorong hutan itu tidak memungkinkan untuk menunggang kuda.

   Begitu melihat pimpinan dan tean-teman mereka, orang-orang Pek-Iian-kau di perkemahan itu bersorak kegirangan dan berlarian menyambut.

   Berebutan pula mengajukan pertanyaan.

   Dengan sikap dan suara yang bangga, Thio Yap berkata.

   "Menang! Kita menang! Dulu orang-orang Pak-cong mengerahkan laksaan orang dan dibantu orang-orang Jit-goat-pang, tapi mereka gagal! Dan kita hanya dengan empatratus orang berhasil mencapai kemenangan jauh lebih gemilang dari kaum Pak-cong! Kita berhasil menghadang dan membunuh sebagian besar anjing-anjing Manchu yang mengejar kita, sisanya yang sebagian kecil kita kejar-kejar sampai mereka masuk kembali ke kota Kim-teng dengan mengempit ekor!"

   Orang-orang Pek-lian-kau itupun serempak bersorak, namun kemudian tenang kembali untuk mendengarkan lagi kata-kata Thio Yap.

   "Si pengawal tua yang bernama Koh Hian Hong itupun terbunuh oleh pedang Hoa Hiangcu kalian,"

   Kata-kata Thio Yap ini langsung tenggelam dalam sorak-sorai orang-orang Peklian-kau yang lebih hebat.

   "Sedangkan Panglima Kim-teng, Siau Gin Heng, mampus oleh tombakku!"

   Gemuruh sorak kegembiraan orang-orang Pek-lian-kau itupun terdengar seolah mengguncangkan lembah kecil itu.

   Sebaliknya di tempat persembunyiannya, Wan Lui sedih mendengar kematian Koh Hian Hong, la tahu Koh Hian Hong adalah seorang yang jujur dan setia, maka langsung saja Wan Lui merigunggap bahwa orang yang tega membunuh Koh Hian Hong tentu seorang berdarah dingin.

   Dalam hati Wan Lui timbul tujuan lain, bukan hanya membebaskan Kui Thian Cu, tapi juga menghancurkan gerombolan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai maksudnya ini.

   Tapi ia narus menunggu saat yang tepat untuk bertindak.

   Sementara itu, orang-orang Pek-lian-kau selain pulang membawa cerita kemenangan, juga membawa belasan orang anggaota Peklian-kau yang terluka atau bahkan tewas.

   Maka sebelum matahari terbenam sama sekali, mayat-mayat itupun dikuburkan.

   Dengan upacara singkat, mayat-mayat didoakan.

   Setelah itu lalu mayat-mayat itu ditelanjangi, lalu dimasukkan ke liang lahat dalam keadaan tertelungkup, bukannya terlentang seperti orang lain.

   Itulah penguburan "gaya"

   Pek-liankau.

   Pek-lian-kau adalah sempalan dari Tiau yang-kau (agama penyembah api) yang berasal dari negeri Persia.

   Konon, agama ini pada asalnya diajarkan oleh tiga bangsawan Persia, ajarannya penuh kebajikan seperti agamaagama lain.

   Cuma semakin jauh dari sumber aslinya, agama itu makin "rusak"

   Sampai memberhalakan api.

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ketika ajaran itu merembes ke daratan Cina dengan sebutan Tiau-yang-kau, muncul pula sempalannya, Peklian-kau, yang lebih menyimpang lagi.

   Kalau dalam tiau-yang-kau masih bisa ditemui sedikitsedikit ajaran moral biarpun bercampur aduk dengan tahyul, maka dalam Pek-lian-kau ajaranajaran moral sudah tidak terdengar lagi.

   Alihalih beribadah, orang-orang Pek-lian-kau malahan lebih menekuni sihir hitam untuk membikin celaka orang lain.

   Malam tiba, di beberapa bagian perkemahan tersembunyi orang-orang Pek-lian-kau itu nampak dinyalakan api-api unggun sebagai penghangat dari penerang.

   Sementara Wan Lui mulai memikirkan caranya untuk bisa masuk ke perkemahan itu.

   Ketika pepohonan mulai membentuk bayang-bayang rasaksa hitam, perlahan-lahan Wan Lui bergeser mendekati danau kecil itu.

   Lalu diapun melingkari sepanjang tepi danau, sampai akhirnya mencapai tepi danau yang berseberangan dengan sisi perkemahan.

   Wan Lui memperhitungkan, sisi perkemahan yang menghadap danau itulah tentunya yang penjagaannya paling lemah, sebab orang-orang Pek-lian-kau.

   tentu menganggap kecil kemungkinannya musuh menyerang dari arah danau itu.

   Tiba ditepi danau Wan Lui membuka semua pakaiannya dan menggulungnya untuk disembunyikan di atas sebuah pohon.

   Sesaat ia celingukan kesana kemari, kuatir kalau ada yang melihatnya tak berpakaian sama sekali.

   Tapi yang disekitarnya cuma kegelapan malam belaka.

   Wan Lui melompat ke dalam air.

   Suara ceburan tubuhnya tidak lebih keras dari suara seekor belut ketika menyusup ke air.

   Air danau cukup dingin, namun tidak cukup untuk membekukan Wan Lui yang sejak kecil dibesarkan dipegunungan Tiang-pek-san yang jauh lebih dingin, hampir sepanjang tahun berselimut salju.

   "Sekalian mandi ..."

   Pikir Wan Lui sambil berenang perlahan ke arah perkemahan.

   Ia berusaha memperhalus gerakan renangnya, sehingga tidak menimbulkan riak air atau suara kecipak air yang bias menimbulkan kecurigaan orang-orang diperkemahan.

   Maka meluncurlah ia agak perlahan di permukaan air, seperti seekor buaya.

   Tenang, hampir tanpa suara .

   Tepian danau banyak ditumbuhi buluh air yang tinggi-tinggi, membuat Wan Lui gampang menentukan tempat persembunyian yang enak di situ.

   Tapi untuk naik ke darat haruslah menunggu kesempatan yang baik.

   Terpaksa untuk beberapa saat dia harus menahan dingin, berendam di air dan hanya mata serta hidungnya saja yang nongol di atas permukaan air, tersembunyi di antara batang-batang rumput air.

   Telapak kakinya sudah menyentuh dasar tepian danau yang agak berlumpur.

   Kesempatan pun muncul, meskipun dengan sedikit perjuangan.

   Dari celah-celah rumput air, dilihatnya seorang anggota Pek-lian-kau tiba-tiba meninggalkan gerombolan kawan-kawannya yang tengah merubung perapian, lalu sendirian menuju ke tepi danau.

   Melihat bahwa orang ini berjalan sambil mengendorkan tali celananya, Wan Lui menyimpulkan tentunya orang ini hendak "punya hajat".

   Maka kembali Wan Lui meluncur amat lembut di antara rumput-rumput air, tak ubahnya seekor buaya mengintai seekor kijang yang lengah di tepi air.

   Ketika si "kijang"

   Mendengar gemirisik lembut buluh-buluh air dan melihat sesosok mahluk meluncur mendekatinya, dia terkejut, namun tak sempat berbuat apapun.

   Wan Lui menyergap secepat kilat dan langsung menyeretnya ke dalam air dan langsung membereskannya.

   Demi keberhasilannya menyusup ke dalam tubuh Pek-lian-kau, terpaksa harus bertindak kejam.

   Hanya terdengar suara riak air perlahan ketika tangan-tangan Wan Lui yang kuat membereskan orang itu, namun kemudian si "kijang"

   Itu terkulai dengan leher patah.

   "Karena kita berdiri di tempat berlawanan, sobat,"

   Desis Wan Lui seolah-olah minta maaf kepada korbannya itu.

   Kemudian Wan Lui melucuti seragam Peklian-kau yang dipakai orang itu dan disembunyikan di tepi danau.

   Lalu sekali lagi Wan Lui harus berenang agak ke tengah danau sambil menyeret mayat korbannya.

   Mayat itu ditelungkupkan di dasar danau lalu ditindihi batu-batu besar agar tidak mengapung ke atas.

   Setelah itu barulah Wan Lui naik ke darat dan memakai baju seragam Pek-lian-kau bekas kepunyaan korbannya itu.

   Tidak pas, benar, tapi lumayanlah.

   Dengan tubuh basah dan pakain basah pula, Wan Lui lalu berjalan dengan tenangnya mendekati segerombolan orang Pek-lian-kau yang tengah duduk mengelilingi api, sambil menikmati daging kijang bakar.

   Dengan gaya amat wajar, seolah-olah benarbenar di tengah - tengah kawan - kawan lama, Hanya terdengar suara ricik air perlahan ketika tangan-tangan Wan Lui yang kuat membereskan orang itu, namun kemudian si "kijang"

   Itu terkulai dengan leher patah. Wan Lui duduk di antara orang orang itu sambil memperdengarkan gerutuannya.

   "Wah, sial aku.."

   Orang-orang Pek-lian-kau itu memang sekejap menatap Wan Lui dengan heran, karena merasa belum pernah melihatnya di perkemahan itu.

   Tapi yang berkumpul di perkemahan itu memang anggota-anggota Peklian-kau bukan dari satu tempat, tapi dari berbagai tempat, tidak semuanya sudah saling mengenal.

   Karena itu akhirnya Wan Lui dibiarkan saja tanpa kecurigaan.

   "Kenapa kau basah kuyup?"

   Tanya seseorang tiba-tiba.

   "Sial. Baru hendak cuci muka, malah aku tergelincir ke dalam danau..."

   Jawab Wan Lui yang memang sudah siap dengan jawaban itu.

   "Ah, sama dengan aku tadi sore..."

   Kata seorang yang lain, mencoba mengakrabi Wan Lui dengan menyodorkan persamaan nasibnya.

   "Sini, duduklah agak dekat ke api, agar pakaianmu cepat kering dan tubuhmu hangat Jangan sampai kita sakit dalam tugas yang amat mulia ini!"

   Wan Lui pun menggeser duduknya lebih dekat ke api, dan kata-katanyapun terdengar persis omongan orang Pek-lian-kau.

   "Terima kasih. Akupun mau tetap sehat agar tidak ketinggalan dalam menjunjung kejayaan kita. Membunuh anjing-anjing Manchu dan menegakkan kembali dinasti leluhur kita!"

   Orang-orang itu mengangguk-angguk dan benar-benar mulai menganggap Wan Lui sebagai teman mereka.

   Salah seorang menawarkan sesunduk daging rusa bakar, dan Wan Lui menerimanya.

   Kemudian orang-orang itupun meneruskan percakapan yang sejak sebelum kedatangan Wan Lui tadi, Ternyata, dua orang dari mereka siang tadi ikut bertempur menghadang pasukan kerajaan di bawah pimpinan Siau Gin-heng.

   Kedua orang itulah yang bercerita saling melengkapi, dengan penuh semangat, menceritakan kehebatan pihak sendiri, sedangkan pihak musuh kebagian sebutan "anjing Manchu".

   "pengecut".

   "lemah".

   "tolol"

   Dan sebagainya.

   Wan Lui ikut mendengarkan pula, dan kalau yang lain-lain memperdengarkan ucapanucapan amat membenci orang Manchu atau slogan kebangkitan kembali dinasti Beng, Wan Lui ikut pula agar tidak kelihatan lain sendiri.

   Sambil mengacungkan tinju segala.

   Namun Wan Lui panas dalam hatinya mendengar omongan orang-orang itu.

   Tengah obrolan berlangsung dengan hangat, tiba-tiba salah satu dari mereka menjulurkan lehernya, lalu berdesis pelan.

   "Ssst, Cu-sian Cinjin sedang berjalan ke arah ini..."

   Orang-orang di seputar api unggun itu serempak berdiri dengan sikap hormat.

   Nampak seorang berjubah imam berjalan mendekati.

   Diam-diam Wan Lui berdegup jantungnya, ketika mengenali imam itu tak lain adalah imam yang pernah bertempur dengannya malam itu, malam ketika Kui ThianCu diculik.

   Karena tidak mau dirinva dikenali si imam, Wan Lui berdiri di belakang "teman15 teman baru"nya itu, agar wajahnya terlindung bayangan tubuh yang lain-lainnya.

   Tapi si imam berwajah angker yang gelung rambutnya agak tak keruan karena rambutnya pernah dibabat sedikit oleh Wan Lui, hanya lewat saja di tempat itu.

   Terhadap sapaan hormat dari orang-orang di seputar perapian itu, ia cuma membungkuk sedikit dengan angkuh tanpa memperlambat langkahnya.

   Setelah imam itu lewat, orang-orang itu duduk kembali dengan santai, untuk melanjutkan obrolan sambil menikmati daging rusa bakar itu.

   "Eh, kenapa wajah Cu-sian Cinjin tampak murung ya ?"

   "Entahlah, biasanya wajahnyakan memang juga asam begitu ?"

   "Mungkinkah dia berselisih paham lagi dengan kedua Hiang-cu."

   "Kenapa kau sampai menduga ada perselisihan paham antara Cinjin dan kedua Hiang-cu? Memangnya perselisihan soal apa?" "Soal urusan orang-orang atas, mana bisa aku menjawabnya? Biasanyakan Cang Lotoa yang punya berita-berita macam itu? He, Cang Lotoa, ada berita menarik tidak"

   Kini semuanya menoleh kepada Cang Lotoa, seorang lelaki kurus yang wajahnya dihiasi jerawat besar-besar, mukanya monyong dan mulutnya lancip sehingga agak mirip monyet. Namun, dikalangan anggota rendahan Pek-liankau.

   "jabatan"

   Cong Lo-toa ini cukup penting. Dari mulutnyalah sering keluar berita-berita penting tentang apa yang terjadi di pucuk pimpinan. Membayangkan bahwa kelak kalau "Kerajaan Beng sudah berdiri"

   Dirinya akan menjadi salah seorang pejabat kerajaan yang penting, maka sejak dini Cang Lotoa sudah membiasakan diri dengan tingkah laku para pejabat kerajaan umumnya. Yaitu, menggunakan kedudukannya untuk hal hal yang menguntungkan.

   "Yaaah..."

   Desah Cang Lotoa sambil melemparkan sepotong tulang paha rusa yang habis digerogoti dagingnya, lalu mengusap-usap mulutnya yang berminyak dan membiarkan teman-temannya menunggu.

   Dan kata-kata ysng keluar dari mulutnya kemudian pun sama sekali bukanlah jawaban, malah permintaan.

   "Mana bisa aku bercerita kalau tenggorokanku kering Ayo, salah satu ambilkan arak buatku"

   Inilah salah satu "latihan menjadi pejabat"

   Itu. Teman-temannya menggerutu kesal menghadapi sikap sok penting itu. Tapi salah seorang terpaksa beranjak mengambilkan arak, karena memang ingin mendengar "berita hangat"

   Dari Cang Lotoa. Termasuk Wan Lui yang ingin mendengar sebanyak-banyaknya tentang apa saja "isi perut"

   Pek-lian-kau. Arak datang. Cang Lotoa menghabiskan sebotol kecil dengan sekali tenggak lalu mengusap-usap mulut laqi.

   "Ayolah cerita, Lotoa..."

   Seorang mendesak tak sabar, sambd mendorong pundak Cang Lotoa yang kurus, sehingga tubuh Cang Lotoa meliuk seperti balon terhembus angin. "Pokok perselisihan antara Cn-jin dan kedua Hiangcu sebenarnya hanyalah soal tawanan dari Kim-teng itu..."

   Sahut Cang Lotoa seenaknya."Nah, puas? Hanya soal tawanan itu ? "Uh, capek-capek mengambilkan arak hanya untuk mandapat jawaban sependek itu ? Tentunya kau juga tahu, kenapa soal tawanan itu sampai menimbulkan perselisihan ?"

   "Masih haus nih..."

   Cang Lotoa benar-benar memanfaatkan posisinya yang sedang menguntungkan untuk memperbudak sekaligus menjengkelkan teman-temannya.

   Dan biarpun aambil menggerutu, terpaksa harus ada seorang lagi pergi mengambilkan arak.

   Agar tidak bolak balik, ketika kembali ke dekat api unggun itu, orang itu sekalian membawa dua botol kecil.

   "Nah, ini baru teman..."

   Sambut Cang Lotoa yang langsung menenggak habis arak yang baru datang itu.

   "Sekarang kami mau mendengar, kenapa tawarkan itu menimbulkan perselisihan paham" Puas dengan arak, Cang Lotoapun bertutur.

   "Begini, teman-teman. Kedua Hiangcu kita berpendapat, sebaiknya tawanan itu digunakan sebagai sandera, untuk memeras Yong-ceng sampai keuangan istananya kering."

   Mendengar itu, Wan Lui diam-diam berdesir hatinya.

   Memeras Kaisar Yong Ceng? Siapakah Kui Thian-cu sahabatnya itu, sehingga pihak Pek-lian-kau menganggapnya cukup bernilai untuk memeras Kaisar Yong-ceng? Tidak mungkin hanya seorang pejabat biasa, bagaimanapun tinggi pangkatnya, seperti pengakuan Kui Thian-cu kepada Wan Lui dulu.

   Pasti ,seorang anggota keluarga istana yang cukup dekat dengan Kaisar, dekat secara pribadi, sehingga pihak Pek-lian-kau yang mengetahuinya lalu timbul gagasan itu.

   Ingin Wan Lui bertanya, siapa Kui Thian Cu sebenarnya, namun tak berani karena khawatir kedoknya sebagai anggota Pek-lian-kau gadungan malah akan terbongkar.

   Mungkin semua anggota diperkemahan itu sudah tahu siapa Kui Thian Cu sebenarnya.

   Maka Wan Lui menekan kuat-kuat rasa ingin tahunya, sambil menunggu jawaban itu muncul sendiri.

   


Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja Komplotan Kelelawar Hitam Karya No Name Hancurnya Sebuah Kerajaan Karya Siao Shen Sien

Cari Blog Ini