Ceritasilat Novel Online

Kemelut Tahta Naga 9


Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP Bagian 9



Kemelut Tahta Naga (2) Karya dari Stevanus SP

   

   "Itu gagasan yang bagus!"

   Terdengar kata seorang anggota Pek-lian-kau.

   "Bisa kita peras uangnya Yong Ceng sampai kering, sementara Pangeran Hong Lik akan terus kita tahan, tidak usah kita kembalikan! Peras dan peras terus setelah itu bunuh sanderanya!"

   Itulah jawaban yang dinantikan Wan Lui.

   Kui Thian Cu adalah Pangeran Hong Lik.

   Putera Mahkota Kerajaan Manchu! Denyut jantung Wan Lui tambah kencang.

   Jadi dirinya pernah bercakap-cakap santai, main catur dan makan bersama seorang Putera Mahkota? Penguasa masa depan? Tapi kabarnya Kaisar Yong Ceng adalah seorang yang lalim dan licik, kenapa Pangeran Hong Lik menimbulkan kesan yang sebaliknya? Berwibawa, amat memperhatikan kehidupan rakyat kecil? Wan Lui tahu, jawabannya tidak harus ditemukan saat itu juga, melainkan kelak bisa dicarinya di Pakkhia, ibukota kekaisaran.

   Kini yang penting ialah menangkap sebanyak-banyaknya keterangan penting dari obrolan orang-orang Pek-lian-kau di seputar api unggun itu.

   "Benar sekali! Uang hasil pemerasan itu bisa untuk membiayai perjuangan mengembalikan dinasti Beng kita!"

   "Kita akan jaya!"

   "Seperti di jaman Han Kau-cu (kepala agama Han) dulu!"

   Yang disebut Han Kau-cu itu ialah Han Lim Ji yang bergelar Siau-beng-ong.

   "kepala agama"

   Pek-lian-kau menjelang runtuhnya dinasti Goan dulu, berabad-abad yang silam.

   Waktu itu kekuatan Pek-lian-kau begitu hebat sehingga mampu merobohkan dinasti Goan, lalu menaikkan Cu Goan Ciang, salah satu hulubalang Pek-lian-kau waktu itu, naik ketahta.

   Cu Goan Ciang kemudian bergelar Kaisar Hong Bu dan mengawali dinasti Beng.

   Karena kaitan sejarah selama ratusan tahun itulah yang membuat Pek-lian-kau tetap merasa "menanam saham"

   Dalam dinasti Beng. Kemudian Cang Lotoa meneruskan keterangannya.

   "Tetapi Cu-sian Cin-jin agaknya tidak sepaham dengan rencana kedua Hiang cu kita itu."

   "Lho, rencana yanq begitu bagus, kenapa tidak disetujui?"

   "Apakah Cu-Bian Cin-jin punya rencana lain yang lebih sempurna?"

   "Setidaknya begitulah anggapannya sendiri."

   "Bagaimana rencananya?"

   "Dia ingin agar Pangeran Hong Lik dikorbankan, disembelih dalam sembahyang besar kaum kita di kuil Hong-kak-si di Hong yang mendatang. Artinya, angsa emas yang bertelur emas itu hendak disembelih, potonganpotongan tubuhnya lalu diletakkan di altar."

   Bicara soal memotong-motong tubuh manusia, orang-orang Pek-lian-kau itu kalem saja, menandakan kalau sudah biasa melakukannya.

   Sama biasanya dengan tukang sate menyembelih ayam.

   Padahal Wan Lui ketika mendengarnya merasa bergidik ngeri,tak mengira kalau dalam Pek-lian kau ada acara yang begitu mengerikan.

   "Ya, tolol sekali rencana itu. Kenapa harus Hong Lik yang disembelih? Dia terlalu berharga untuk dibunuh begitu saja, padahal bisa menghasilkan uang banyak. Kenapa korbannya tidak seperti biasanya saja, yaitu pembesarpembesar Manchu yang berhasil kita culik?"

   Lagi-lagi Wan Lui bergidik mendengarnya. Ternyata upacara "menyembelih Manchu"

   Itu diadakan secara tetap sebagai pelengkap upacara mereka. Pikir Wan Lui.

   "Kalau sampai mereka tahu aku orang Manchu, entah bagaimana sikap mereka terhadapku sekarang ini."

   Namun gambaran mengerikan itu tidak membuat Wan Lui beranjak mundur dari niatnya untuk menolong Kui Thian Cu alias Pa ngeran Hong Lik.

   Kalau perlu dengan menghancurkan kelompok kepercayaan sesat ini.

   Sementara itu Cang Lotoa melanjutkan penjelasannya.

   "Dasar pemikiran rencana tolol itu, apalagi kalau bukan kepercayaan tahayul yang menguasai teman-teman kita dari Pakcong (sekte utara) itu? Menurut Cu-sian Cin-jin, Pangeran Hong lik sebagai calon Kaisar masa depan tentu mempunyai "darah langit"

   Yang kental, yang akan memuaskan sebagai persembahan bagi arwah Sribaginda dan para panglima Thian-kun (tentara langit).

   Dengan demikian, saat itu bisa digunakan sebagai awal perjuangan besar menumbangkan Manchu dan mendirikan kembali Beng.

   Dengan kepastian akan menang."

   "Kepastian?"

   "Ya, kepastian. Bukan kemungkinan lagi. Begitulah perhitungan para pimpinan Pak-cong termasuk Cu-sian Cin-jin, berdasarkan apalagi kalau bukan nujum mereka? Itulah yang tidak disepakati kedua Hiang-cu kita yang lebih berakal sehat, yang ingin tetap menjadikan Hong Lik sebagai alat pemerasan seumur hidup."

   Beberapa saat lamanya di lingkungan kecil itu tak ada yang bicara, hanya terdengar suara serangga malam dan gemeretak lembut kayu yang dimakan api. Kadang terdengar desis keras kalau kayu yang dibakar itu belum kering benar.

   "Eh, Cang Lotoa ..."

   Seseorang memecah kesunyian.

   "Ada apa?"

   "Bagaimana pendapatmu sendiri? Pendapat kedua Hiang-cu ataukah pendapat Cu sian Cinjin yang benar?"

   "Barangkali keduanya sama benarnya, ada alasannya sendiri-sendiri. Tapi tentu salah satu lebih benar."

   "Mana yang lebih benar?"

   "Kita sebagai anggota lam-cong (sekte selatan) tentu tidak bisa tidak harus mengikuti kedua Hiang-cu kita. Lagipula pendapat orangorang Pak-cong itu rasanya terlalu...."

   Bicara sampai di sini, Cang Lotoa tiba-tiba menghentikan bicaranya sambil menatap ke satu arah.

   Kawan-kawannya jadi heran, lalu merekapun menoleh ke arah yang sama.

   Ternyata Cu-sian Cin-jin yang tadi lewat, kini datang kembali dengan muka merah padam karena marah, langkahnya lebar.

   Bahkan tangannya sudah membawa cambuk, senjata andalannya.

   Keruan orang-orang Pek-lian-kau di sekitar api unggun itu jadi ketakutan, mengira Cu-sian Cin-jin marah karena tahu kalau sedang dibicarakan.

   Yang mereka takuti bukan kalau dicambuk, tapi kalau ditenung sehingga menjadi lumpuh atau gila seumur hidup tanpa bisa disembuhkan.

   Mereka tahu Cu-sian Cin-jin sanggup melakukan hal itu.

   Tapi mereka tidak lari.

   Mereka berdiri dan menunggu dengan sikap hormat yang di paksakan, dengan harapan akan sedikit meredakan kemarahan si imam.

   Sedangkan Wan Lui kembali berdiri menempatkan dirinya di belakang punggung orang lain agar tidak terlihat oleh si imam.

   "Bangsat, kalian semua! Kalian tidak lagi menggubris pesanku!"

   Begitu dekat Cu-sian Cinjin langsung menudingkan telunjuk tangan kirinya.

   Lalu tangan kanannya mengayun cambuk dengan hebat.

   Ternyata imam itu tidak mencambuk o-rang, melainkan ke arah api unggun, sehingga puntung-puntung kayu menyala beterbangan seperti kembang api.

   Patut disayangkan pula beberapa suduk daging rusa yang masih dipanggang di atas api itu ikut terbang jauh entah kemana.

   Setelah puas mengamuk, Cu-sian Cin-jin bertanya dengan keras.

   "Bukankah kalian sudah aku pesan, boleh menangkap hewan dan kalian makan, bahkan mau menyembelih manusia pun aku tidak ambil pusing! Tetapi kalian lupa satu hal."

   Kembali cambuknya mengobrak-abrik kayukayu dalam perapian. Sementara orang-orang Pek-lian-kau menundukkan kepala, dan di antaranya adalah Wan Lui yang menunduk paling rendah. Sementara Cu-sian Cin-jin melanjutkan katakata marahnya.

   "Bukankah sudah kupesan, kalau menyembelih binatang harus lebih dulu menggali tanah, lalu darah dan bagian-bagian tubuh yang tidak kalian makan itu harus dimasukkan ke lubang dan ditutup rapat-rapat lagi dengan tanah? Tapi kalian benar-benar ceroboh. Baru saja aku berjalan di sebelah sana, dan aku menemukan bekas binatang sembelihan kalian berceceran, kalian buang begitu saja! Kalian ini benar-benar goblok, atau sengaja pura-pura goblok untuk membuatku jengkel, agar aku cepat-cepat pergi dari sini? Begitu, he?!"

   Kali ini tangan kirinya menggampar, dan siallah seorang anggota Pek-lian-kau yang paling dekat, mukanya kontan bengab kena gamparan.

   Tapi ia tidak berani berkutik atau bicara selirih apapun.

   Khawatir menambah kemarahan Cusian Cin-jin lalu kena tenung.

   "Tidak kalian pikir akibat kecerobohan kalian? Kalian lupa di tempat ini ada tawanan penting, yang akan dicari terus oleh anjinganjing Manchu? Perkomahan ini membutuhkan perlindungan gaib Thian-kun (Tentara langit) dan Thian-ciang (panglima-panglima langit), tapi mahluk-mahluk gaib itu akan jijik berada di tempat ini kalau kalian seenaknya saja membuang potongan-patongan tubuh dan isi perut hewan-hewan itu! Apa kalian pikir, kalian yang cuma empat ratus orang ini sanggup menahan serbuan anjing-anjing Manchu tanpa bantuan Thian ciang dan Thian-kun?"

   Saat itulah baru Wan Lui tahu bahwa di perkemahan itu membuang jerohan binatang saja bisa menimbulkan akibat segawat itu. Dan soal "Thian-kun"

   Itu, dalam ajaran agama yang dipeluk Wan Lui juga disebut kan. Namun agama Wan Lui menyebut "Tentara langit"

   Itu adalah malaikat-malaikat yang sesat karena ingin disembuh oleh manusia.

   sedang dalam ajaran Pek-lian kau, mahluk-mahluk gaib itu bukannya dijauh, agaknya malah disembahsembah dan diandalkan pertolangannya.

   Sementara itu, setelah puas memaki-maki, Cu-sian cin-jin lalu, pergi, namun masih sambil mengomel.

   "Orang-orang Lam cong memang sengaja semuanya menjengkelkan aku, Keparat! Agaknya disengaja demikian, agar aku marah lalu pergi dari sini, dan mereka bisa berbuat sesuka hati dengan tawanan itu! benar-benar bangsat semua!"

   Selelah Cu-sian Cin-jin pergi, orang-orang Pek-lian-kau itu saling berpandangan dengan muka sungguh-sungguh, tidak ada lagi yang cengengesan, lalu Cang lotoa berkata.

   "Memang kita yang keterlaluan. Karena lapar dan tergesagesa ingin makan, sampai lupa pantanganpantangan yang bisa menggusarkan para Thian -ciang pelindung kita. Ayu, sekarang kita bersihkan tempat itu!"

   "Malam-malam begini?"

   "Ya. Bukannya kila takut kepada imam dari Pak-cong itu, melainkan sebagai tanda hormat kita kepada para Thian-ciang dan Thian-kun yang selama ini sudah banyak membantu perjuangan kita. Bukankankah ketika kita mengalahkan begundal-begundal Manchu dari Kim-teng itu, kita juga banyak mendapat bantuan para Thian-kun dan Thian-ciang?"

   "Ya. Ayo ambil cangkul dan sekop."

   Karena ingin tahu lebih banyak tentang situasi perkemahan itu, Wan Lui ikut bangkit mengambil cangkul dan sekop bersama orangorang itu.

   Kemudian dengan membawa oborobor, mereka berjalan menuju ke ujung perkemahan dimana tadi mereka menyembelih rusa buruan.

   Di tempat itu, orang-orang itu mulai dengan bersungguh-sungguh, nyaris khidmat, menggali lubang dan mengubur bekas-bekas binatang sembelihan itu.

   Wan Lui ikut-ikut saja, namun dalam hatinya ia heran melihat sikap bersungguh-sungguh dari orang-orang yang baru saja bersenda-gurau itu.

   Pikirnya.

   "Menilik kesungguhan mereka, agaknya memang mereka percaya akan kekuatan-kekuatan gaib pelindung mereka. Dan mengingat pengalamanku sendiri di Kim-teng pada malam yang menyeramkan itu, aku tidak boleh menganggap remeh apu yang mereka yakini."

   Pembersihan selesai, dan orang-orang itupun berjalan kembali ke perkemahan. "Mudah-mudahan para Thian-ciang mengampuni kecerobohan kita,"

   Kata Ceng Lotoa dengan khidmat.

   Malam semakin larut, dan perkemahan itupun semakin sepi dari suara manusia.

   Banyak perapian padam sendiri karena ditinggal tidur begitu saja oleh orang-orang yang tadinya menungguinya.

   Sebagian dari orang orang itu masuk ke kemah untuk tidur, namun Wan Lui tidak tahu harus tidur di kemah mana, ia takut keliru memilih kemah dan menimbulkan kecurigaan.

   Maka ketika dilihatnya banyak pula orang Pek-lian-kau yang tidur bergeletakan di tanah berumput tebal, tidak di dalam kemah, Wan Lui pun merebahkan diri di rerumputan saja.

   Lagipula Wan Lui memang tidak benar-benar ingin tidur, ia hanya menunggu sampai seisi perkemahan tidur, setelah itu akan diselidikinya perkemahan itu untuk mencari jalan menyelamatkan Pangeran Hong Lik.

   Seandainya belum ada kemungkinan untuk membebaskannya malam itu juga, setidak15 tidaknya ingin tahu dimana pangeran itu disekap.

   Ketika malam makin larut, semua orang Pekliari-kaii pun benar-benar tidur.

   Tidak ada yang berkawal malam.

   Agaknya mereka, percaya sepenuhnya perlindungan gaib dan "panglimapanglima langit"

   Mereka.

   "Keyakinan yang patut dipuji, biarpun keyakinannya sendiri salah menurut aku."

   Komentar Wan Lui dalam hati ketika melihat itu.

   Perlahan-lahaan Wan Lui bangkit tanpa suara.

   Sekali lagi ia menyakinkan kalau se-isi perkemahan itu sudah tidur.

   Tapi kalau ada juga yang bangun dari menanyainya Wan Lui sudah siap dengan jawaban yang paling alamiah.

   "Mau kencing."

   Namun mereka tak ada yang bangun.

   Wan Lui pun mulai melangkah seringanringannya.

   Ia mulai berjalan keliling perkemahan.

   sambil menduga-duga dimana Pangeran Hong Lik disekap.? Bagaimana kalau menjenguk ke dalam setiap kemah? Ah, tidak, penuh resiko.

   Belum tentu yang dicarinya ditemukan, malah kalau ada penghuni kemah yang belum tidur maka usahanya bisa gagal.

   Setelah memutari lokasi perkermahan itu satu kali, tiba-tiba dilihatnya sebuah kemah didirikan terpencil sendirian, letaknya jauh dari kemah-kemah lainnya.

   Di sekitar kemah itu tak nampak satu orangpun.

   Sejenak Wan Lui dengan ragu-ragu memperhatikan kemah terpencil itu.

   "Mungkinkah Kui-heng (saudara Kui di dalam kemah itu? Tetapi kenapa tidak dijaga? Atau penjagaannya sepenuhnya diserahkan kepada pelindung-pelindung gaib yanq mereka percayai?"

   Dengan nyali yang besar Wan L ui melangkah mendekati kemah itu.

   Ketika melangkah, tanpa sadar ia melangkahi enam bintang hio (dupa lidi) yang menyala dan ditancapkan berjajar di tanah.

   Hanya selanqkah ia maju, namun apa yang dijumpainya selangkah di depannya sungguh tak terhayangkan sebelumnya.

   Wan Lui tiba15 tiba merasa dirinya terjun ke kubangan tinta yang hitam pekat, apapun tak bisa lagi dilihattnya.

   Kegelapan mutlak.

   Masih untung kalau Wan-Lui kemudian mundur, namun dia justru dengan bandel melangkah maju, maka berputar-putarlah ia dalam kegelapan.

   Kelima jari tangannya sendiripun tak bisa dilihatnya biarpun didekatkan ke hidung.

   Kemudian yang dihadapinya bukan cuma kegelapan, tapi juga suara-suara campur aduk dari segala arah yang menimbulkan tekanan hebat diperasaannya sampai dadanya tersa sesak.

   Ada suara ringkik kuda, aum harimau, pekik kera, bayi menangis, perempuan meratap seram, orang tertawa terkekeh-kekeh, namun semuanya tanpa wujud dan membanjiri kedua lubang telinganya.

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Muncul pula angin yang menderu makin lama makin keras, dingin sekali, sehingga pasir dan rumput terangkat dan menerpa wajah Wan Lui.

   Angin, suara-suara dan kegelapan rr.embuat Wan Lui mulai panik.

   Sebentar ditutupnya matanya untuk menangkis pasir, di lain saat ditutupnya telinganya erat-erat namun suarasuara campur aduk yang menggoncangkan jiwa itu tetap saja terdengar.

   Kadang-kadang Wan Lui merasa ada seseorang yang berdiri di dekatnya, namun ketika ia mengibaskan tangan' ke samping, ia tidak menyentuh apa-apa...

   Menghadapi keadaan yang tak bisa dilawan sekedar dengan ilmu silat itu, mau tak mau Wan Lui mulai panik juga, la membayangkan dirinya benar-benar sedang bertempur dengan "panglima-panglima langit"

   Seperti yang dipercayai orang-orang Pek-lian-kau.

   Secara untung-untungan Wan Lui mencoba mengulangi keberhasilan menangkal ilmu gaib yang pernah dialaminya di Kim-teng.

   la menggigit bibirnya sehingga berdarah, lalu disemburkannya ludah berdarah itu ke sembarangan arah saja.

   Namun kali ini tidak mempan.

   Ilmu gaib yang dihadapinya kali ini lebih lihai dari ilmu yang sekedar mengirimkan rasa kantuk kepada musuh dulu, atau menghadang musuh dengan kertas kuning yang digunting menjadi orangorangan.

   Yang ini tidak bisa dipunahkan hanya dengan semburan ludah berdarah.

   Wan Lui jadi nekad.

   Dengan segenap kekuatannya, ia melontarkan tubuh tanpa melihat arah lagi, la tidak tahu apakah kepalanya akan pecah menumbuk pohon atau jatuh kelingkaran ilmu gaib yang lebih mengerikan lagi, ia tidak peduli.

   Tak disangkanya bahwa lontaran tubuhnya itu justru melewati enam batang dupa biting yang ditancap berjajar di tanah, tubuhnya terhempas dan terguling-guling di rerumputan.

   Ketika ia melompat bangun, pandangannya tidak segelap tadi, suasana mengerikan yang melingkupinya tadi juga sudah lenyap.

   Ia mengangkat wajahnya dan bintang-bintang di langit yang biru bersih-pun nampak kembali, berkedip-kedip ramah.

   Wan Lui menarik napas.

   Sungguh tak disangka, dua tempat yang hanya dibatasi enam batang dupa itu ternyata suasananya bisa begitu berbeda.

   Kini dia memandang ke seberang "perbatasan dupa"

   Itu dengan melihat suasana di tempat itupun biasa-biasa saja, tidak ada yang aneh, dan kemah itu juga masih terlihat seperti tadi. Sunyi, sendiri, seperti tak berpenghuni.

   "Sekarang aku yakin, Kui Thian-cu tentu disekap di kemah itu, buktinya kemah itu diberi penjagaan gaib. Untuk bisa mengambil Kui Thian-cu, agaknya aku harus mencari hewan untuk diambil jerohannya..."

   Pikir Wan Lui.

   Baru saja ia memutar tubuh untuk melangkah pergi, tiba-tiba didengarnya suara langkah kaki mendekat.

   Cepat-cepat Wan Lui melompat bersembunyi ke balik serumpun semak, diringkaskannya badannya dan diaturnya napasnya agar tidak kedengaran.

   Tiga orang nampak berjalan dari arah perkemahan, mendekati kemah terpencil itu.

   Salah satu dari mereka dikenal Wan Lui sebagai Cu-sian Cinjin, si imam yang canggung kalau disuruh mengabdi kesejahteraan sesama, tapi justru mahir menenung orang sampai gila atau membuat celaka lainnya.

   Kemudian di samping Cu-sian Cinjin adalah lelaki bertubuh tinggi besar seperti beruang, berewokan pula.

   Di sampingnya lagi ada seorang bertubuh biasa, namun justru sepasang tangannya kelewat panjang sampai di bawah lututnya.

   Sambil melangkah, antara si imam dan si berewokan itu sedang mempertengkarkan sesuatu, maka Wan Lui lalu pasang kuping baikbaik.

   "Kalau memang begitu ketetapan kalian, itu artinya Hiang-cu berdua sudah tidak menganggap kami dari Pak-cong sebagai teman seperjuangan lagi, sebab kalian sudah mau berjalan sendiri dengan meninggalkan kami!"

   Kata Cu-sian Cin-jin dengan nada tinggi dan emosional.

   "Kalau begitu, buat apa aku tinggal lebih lama di tempat ini, dimana aku tidak kalian hargai ? Bahkan anak buah kalian pun berani meremehkan pesanku ! mereka seenaknya saja menyembelih rusa dan membuang isi perut binatang itu berceceran, menyalahi pesanku. Itu tandanya kalian dari Lam-cong sudah tidak mnghargai lagi kami dari Sambil melangkah, antara si imam dan si berewokan itu sedang mempertengkarkan sesuatu, maka Wan Lui lalu pasang kuping baik-baik. Pak-cong !"

   Si imam menyerocos begitu panjang, sehingga beberapa saat kemudian barulah Thio Yap berkesempatan bicara dengan nada membujuk.

   "Jangan cepat salah paham, Cin-jin. Tentu saja Pek-cong tetap teman seperjuangan Lam-cong, bukankah kita sama-sama bernaung di bawah bendera Pek-lian-kau, disatukan pula oleh cita-cita menegakkan kembali kerajaan Beng. Kami juga menghargai keterangan yang diberikan pihak Pak-cong, sehingga kami bisa menangkap Pangeran Hong-lik yang akan jadi sangat berharga buat kita. Karena berharganya tawanan itu, apakah penjagaan atas dirinya hanya akan..."

   "Hanya ? Kau bilang hanya ?"

   Kata-kata Thio Yap terputus oleh suara Cu-sian Cin-jin yang melengking marah.

   "Hanya ilmu gaib Cu-sian Cin-jin yang tak berarti, begitu maksud kalian? Dan karena itu kalian memandang remeh dan tak yakin kalau ilmu gaibku bisa memagari tawanan itu cukup kuat ?" "Sabar, Cin-jin. Sabar..."

   Thio Yap membujuk pula.

   "Siapa bilang aku memandang rendah ilmu sakti Cu-sian Cin-jin ? Bukankah kami kaum lam-cong juga mempelajari ilmu yang sama? Mana berani kami merendahkan ilmu sakti peninggalari leluhur kita sejak jaman Siau-bengong ?"

   "Kalau begitu, kenapa kau masih ingin menambahkan anak buahmu untuk ikut menjaga tawanan itu? Kau anggap ilmuku kurang sempurna,-sehingga harus ditambahi anak buahmu? Bukankah itu namanya memandang remeh ? "Dalam soal ini Cin-jin jangar terlalu banyak berprasangka. Usulku itu hanya demi kepentingan bersama, Jauh dari Pikiran meragukan kesaktian Cin-Jin. Makin kuat penjagaan akan makin baik, kita harus hati-hati mengingat tawanan kita kali ini adalah..."

   "Tawanan itu tidak akan lepas Kuulangi, takkan lepas Tak seorangpun bisa menembus penjagaan gaib yang kupasang sekitar kemah tawanan itu. Tidak perlu lagi anak buahmu untuk menjaganya, biarpun dari kejauhan. Kalau kau berani menyuruh anak buahmu untuk menjaga, berarti kau memang ingin mempermalukan pihak Pak-cong kami !"

   Mereka sudah dekat ke kemah tawanan itu.

   Thio Yap tiba-tiba menghentikan langkahnya, sehingga Cu-sian Cin-jin dan Hoa Cek-gui yang berjalan di sebelahnya ikut berhenti pula.

   Biarpun Hoa Cek-gui selama ini bungkam saja, tidak ikut bicara, namun tempatnya berdiri saja sudah menunjukkan kalau ia memihak Thio Yap.

   Sementara, suara Thio Yap yang tadinya bernada sabar dan membujuk, kini menggeram memperdengarkan kejengkelannya.

   "Sikap ngotot Cin-jin ini apa tidak keterlaluan? Aku jadi semakin curiga, jangan-jangan memang benar bahwa pihak Pak-cong ingin menguasai tawanan itu sendiri, memperlakukannya menurut rencana kalian sendiri, padahal kami dari Lam-cong inilah yang telah bersusah-payah menangkapnya ?" Nampaknya Cu-sian Cin-jin marah sekali. Napasnya yang terengah-engah karena marahnya itu sampai terdengar dari tempat persembunyian Wan Lui. Diam-diam Wan Lui geli dan berpikir.

   "Kiranya Kui Thian-cu telah menjadi semacam benda pusaka yang diperebutkan oleh kedua sekte Pek-lian-kau ini. Masing-masing pihak ingin menjaganya sendiri tanpa mengikut sertakan pihak lainnya, dan bukan mustahil suatu saat mereka akan berbaku hantam."

   Suasana sesaat menjadi tegang. Cu-sian Cinjin berhadapan dengan Thio Yap yang agaknya akan dibantu Hoa Cek-gui kalau sampai terjadi pertengkaran. Terdengar suara Thio Yap yang semakin jelas nada menuduhnya.

   "Benar bukan ? Kalian dari pihak Pak-cong ingin menguasai tawanan itu sendririan ?"

   Cu-sian Cin-jin menjawab dengan sengit.

   "Jangan menuduh sembarangan, Thio Hiangcu. Tuduhan itu sebenarnya membuka kedok kalian sendiri. Kalianlah yang ingin menguasai tawanan itu sendiri bukan ? Bukan kami ! Bukan Pak-cong, tetapi Lam-cong !"

   Sambil tertawa dingin, Thio Yap menjawab tanpa tedeng aling-aling.

   "Ya. Kami tidak sependapat dengan kalian yang ingin menyembelih Hong-Lik, sebab dia lebih berguna kalau hidup, dapat digunakan untuk menekan Kaisar Yong-ceng! Tapi apa yang akan kami lakukan itu bukan hanya untuk kepentingan kaum Lam-cong saja, tapi kepentingan seluruh Pek-lian-kau! Bahkan mungkin juga seluruh golongan yang bercita-cita membangun kembali kerajaan Beng, seperti Jit-goat-pang dan Thiante-hui !"

   Cu-sian Cin-jin merasa kalah debat, mau ngotot pun percuma, sebab kalau sampai terjadi pertikaian fisik tentu dirinya yang akan kalah melawan kedua Hiang-cu dari lam-cong itu.

   Akhirnya setelah membanting kaki, Ciu-sian Cin-jin kembali ke perkemahan dengan menggerutu.

   Persellaihan paham antara golongan utara dan golongan selatan dalam Pek-lian-kau Itu sebenarnya disebabkan cara berpikir masingmasing pihak, golongan Pak-cong teguh berpegang kepada ajaran-ajaran dari kitab kuno yang serba mistis, serba gaib.

   Sedangkan golongan Lam-cong kendati juga mempelajari ilmu-ilmu gaib, namun percaya bahwa ilmuilmu itu mempunyai kegunaan yang hanya terbatas saja, misalnya dalam suatu pertempuran untuk membingungkan musuh.

   Sedang untuk urusan besar seperti membangun kembali Kerajaan Beng, mereka yakin akal sehatlah yang berperanan.

   Perhitunganperhitungan politik dan militer yang tidak perlu harus gaib, dan bukan berdasar nujum-nujum lewat batok kulit kura-kura dan tulang-tulang ikan belaka...

   Biarpun kedua sekte itu berselisih, namun setahun sekali wakil-wakil mereka bertemu di kuil Hong-kak-si di Hong-yang.

   Kuil itu mereka anggap bersejarah, sebab pendiri dinasti Beng, Cu Goan-ciang, sebelum mulai perjuangannya melawan kekuasaan Kerajaan Goan waktu itu, pernah menjadi pendeta di kuil itu.

   Dalam pertemuan tahunan Pek-lian-kau itu selalu diadakan sembahyang besar, dan pembaharuan tekad.

   Tiap kali pula mereka menangkap seorang pejabat Manchu entah dari mana saja, untuk disembelih dan "dipersembahkan"

   Kepada arwah leluhur-leluhur dinasti Beng.

   Namun biarpun setahun sekali berupacara bersama, tak terhindar semakin lebarnya keretakan antara Pak-cong dan Lam-Cong.

   Pakcong menuduh Lam-cong "semakin jauh dari a|aran murni", sebaliknya Lam-cong menuduh Pak-cong kulot, ketinggalan jaman, tidak pakai otak dan sebagainya.

   Begitu putu soal penculikan Pangeran Honglik.

   Mula-mula kaum Pak-cong yang mendapat "info"

   Dari pengkhianat-pengkhinat dalam istana, kemudian kaum Lam-kong mendapat "bocoran"

   Lalu ikut bertindak.

   Berhasil.

   Dan keberhasilan itu malah menimbulkan masalah baru dalam hubungan Pak-cong dan Lam-cong, sementara masalah-masalah lama masih bertumpuk-tumpuk tidak terselesaikan.

   Thio Yap geleng-geleng kepala, dengan pandangan matanya ia mengantar perginya Cusian Cin-jin.

   Gumamnya.

   "Benar-benar keras kepala. Berpegang ajaran leluhur ya bolehboleh saja, tapi jangan ketinggalan jaman. Tak pernah dalam sejarah ada ilmu gaib mengubah jalannya sejarah, tak pernah ada pendiri dinasti yang membuat perhitungannya dengan batok kulit kura-kura dan tulang-tulang ikan..."

   Hoa Cek-gui yang bungkam sejak tadi, kini ikut mengomentari.

   "Teman-teman kita dari Pak-cong itu masih berpikir seperti jaman Cunciu dulu. Jaman dimana para dewa, malaikat dan iblis ikut berperang untuk mempengaruhi tegak atau runtuhnya kerajaan-kerajaan manusia. Tapi bagiku, cerita itu hanyalah dongeng yang tidak bisa dipercayai kebenarannya..."

   "Benar. Kalau benar ilmu gaib bisa menyelesaikan semua masalah, kenapa tidak kita kirim saja pedang Ti-sian-kiam untuk membunuh Yong-ceng tanpa susah payah? Bukankah semua urusan jadi beres ?" Kedua Hiangcu dari Lam-cong tu tertawa berbareng. Pedang Ti-sian-kiam menurut cerita adalah pedang milik Ong Cian, jenderal Kerajaan Cin di jaman Liat-kok. Dalam cerita dikisahkan, apabila pedang Ti-sian-kiam diberi sesaji dan disembahyangi, pedang itu bisa terbang sendiri untuk membunuh musuh yang dikehendaki.

   "Sekarang bagaimana rencana Toako selanjutnya?"

   Tanva Hoa Cek-cui.

   "Tidak peduli Cu-sian Cin-jin tersinggung atau tidak, pokoknya mulai besok pagi kita akan ikut menjaga tawanan itu dengan orang-orang kita. Kita bukan saja harus berjaga-jaga dari anjing-anjing Manchu yang pasti akan berusaha menyelamatkan Hong Lik, tapi juga dari temanteman kita sendiri kaum Pak-cong yang juga mengingini Hong Lik, hanya untuk disembelih di altar tanpa mengingat kegunaan lainnya."

   "Toa-ko benar. Jangan sampai angsa ajaib yang bertelur emas itu disembelih secara bodoh oleh teman-teman dari Pak-cong itu."

   "Oh ya ...."

   Thio Yap l.iba-tiba seperti teringat sesuatu.

   "Apakah belum ada laporan dari orang-orang kita yanq disuruh menghubungi pengkhianat-pengkhinnat dalam istana Manchu itu? Sudah ada jawaban kontak kontak kita atau belum?"

   Sahut Hoa Cek Gui.

   "Orang-orang kita mengamati, agaknya Panglima di kota Seng-tin adalah anggota komplotan pengkhianat istana itu. Komplotan itu nampaknya sudah menangkap isyarat-isyarat kita, namun pihak mereka ragu-ragu untuk membalas isyarat itu. Mereka ragu-ragu karena kita bukan orang yang sama dengan yang dulu pernah menghubungi mereka. Dulu mereka dihubungi orang-orang Pak-cong, dan sekarang mereka tidak mengenal kita."

   "Kalau begitu, besok kau pergilah sendiri menemui orang-orang dari istana itu, untuk mengajukan syarat-syarat kita. Kita bikin hubungan langsung saja dengan mereka, tidak usah lagi melewati teman-teman dari Pakcong!"

   "Baik, Toa-ko." Kedua orang itu kemudian berjalan pergi Sementara itu, di tempat persembunyiannya Wan Lui berpikir keras. Mendengar percakapan tokoh-tokoh Pek-lian-kau itu jelaslah sudah bahwa penculikan Kui Thian Cu alias Pangeran Hong Lik itu ternyata di dalangi sekelompok orang-orang istana sendiri, yang tidak menyenangi Pangeran Hong Lik lalu "menyewa"

   Tenaga Pek-lian-kau untuk menyingkirkan Pangeran Hong Lik.

   "Dalam usahaku menolong seorang sahabat. baik, haruskah aku akhirnya mencebur kedalam pusaran intrik istana yang penuh kelicikan itu?"

   Pikir Wan Lui ragu-ragu. Kebimbangannya timbul setelah mendengar percakapan orangorang Pek-lian-kau tadi. Namun sebuah pikiran lain mendesak pikiran terdahulu.

   "Ah, aku hanya menolong seorang sahabat, menolongnya sebagai Kui Thian Cu yang baik, dan bukan sebagai Pangeran Hong Lik kendati dia Putera Mahkota. Setelah dia diselamatkan dari tangan orang-orang Pek-lian-kau, persetan dengan intrik-intrik istana yang melibatkan dirinya. Bukan urusanku."

   Setelah keadaan aman, Wan Lui keluar dari persembunyiannya.

   Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, dia mengelilingi tepian danau untuk lebih dulu mengambil pakaiannya yang disembunyikan tadi sore, dibawa ke perkemahan.

   Hanya topi bulu binatang serta rompi kulit binatang berbulu yang tidak dibawanya.

   Benda-benda itu hanya akan membuka kedoknya, sebab Cu-sian Cin-jin pernah mengenali benda-benda itu.

   Kemudian Wan Lui kembali ke tengahtengah orang-orang Pek-lian-kau dan tidur.

   Cukup puas ia dengan apa yang didapatinya malam itu.

   Pertama, menemukan tempat di mana Kui Thian Cu disekap, meskipun agak nya akan sulit sekali untuk membawanya kabur begitu saja.

   Kedua, omongan orang Pek lian-kau tentang "panglima langit"

   Dan tentara langit"

   Itu patut diperhitungkan, sebab Wan Lui telah mengalaminya sendiri.

   Ketiga, dalam tubuh Pek- lian-kau ternyata ada dua golongan, Pak-cong dan Lam-cong yang tidak rukun.

   Hal-hal yang didapatinya malam itu agaknya bisa digunakan di kemudian hari untuk lebih memperhitungkan langkah-langkahnya.

   Tapi Wan Lui sadar, pekerjaannya tidak ringan.

   * ** Sinar matahari pagi yang menyorot lewat sela-sela dedaunan, jatuh tepat di wajah Wan Lui, membuat matanya silau dan akhirnya membangunkannya.

   Begitu bangun, dilihatnya orang-orang Peklian-kau di sekitarnya juga sudah banyak yang bangun, namun masih banyak pula yang tidur menggeletak begitu saja di rerumputan beralas tikar.

   Seolah bersaing dengan kicau burung di pagi hari, dari sebuah kemah sudah terdengar suara orang bertengkar keras.

   Itulah yanq Wan Lui kenal sebagai sebagai suara Cu-sian Cin-jin dan Thio Yap.

   Orang-orang yang sudah bangun itu nampak berwajah tegang gara-gara pertengkaran itu.

   Yang melakukan berbagai pekerjaan pun melakukannya dengan wajah murung.

   Bukan lahyul, tapi semacam perasaan yang sering benar, bahwa perjuangan "membangun Kerajaan beng"

   Itu akan semakin sulit kalau di antara teman sendiri saja belum-belum sudah terpecah-belah.

   Tapi itulah celakanya, setiap orang merasa dirinya yang lebih benar dan memaksa orang lain agar menyesuaikan diri.

   Wan Lui menggamit pundak seorang anggota Pek-lian-kau yang ada di dekatnya, dan berkata perlahan.

   "Ada apa?"

   Yang ditanyai menjawab dengan mendongkol, namun suaranya ditahan agar tetap lirih.

   "Cu-sian Cin-jin kembali bersikap mau menangnya sendiri, memang begitulah watak orang-orang Pak-cong umumnya. Dia marah karena pagi ini Thio Hiang-cu menempatkan penjaga di sekitar kemah tawanan. Kata Cu-sian Cin-jin, belum tentu para tentara langit suka bekerja sama dengan temanteman kami itu."

   Wan Lui mengangguk-angguk, namun dalam hati ia berkata.

   "Kalau para tentara langit yang gaib itu minggat semua karena tidak suka, kebetulan bagiku. Jadi aku menghadapi temantemanmu yang tidak gaib saja."

   Sementara itu, telah terlihat Cu-sian Cin-Jin keluar dari kemah Thio Yap dengan wajah merah padam dan dengan langkah lebar.

   Sambil berjalan, ia sering menendangi kerikil atau potongan-potongan ranting untuk melampiaskan kemarahannya.

   Orang-orang Pek-lian-kau tidak ada yang berani dekat jalan yang akan dilewati imam itu, kuatir kalau diri mereka disangka kerikil atau ranting pohon.

   Kemudian dari dalam kemah muncul pula Thio Yap dan Hoa Cek-gui.

   Wajah merekapun nampak asam.

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Wajah khas orang yang baru saja bangun tidur langsung harus "sarapan"

   Pertengkaran.

   Nampak kedua Hiangcu itu berbisik-bisik sebentar di depan pintu kemah, lalu Hoa Cekgui mengangguk-angguk.

   Setelah mengangguk, si tangan panjang ini dengan langkah lebar mendekati gerombolan orang Pek-lian-kau.

   Anggota-anggota itu cepat berdiri dengan sikap hormat.

   Termasuk Wan Lui si anggota gadungan.

   Setelah dekat, dengan telunjuknya, Hoa-Cekgui menunjuk empat orang berturutan sambil berkata.

   "Kau, kau, kau dan kau, empat orang, bersiaplah. Lepaskan seragam Pek-lian-kau kalian dan ganti dengan pakaian biasa, tapi jangan lupa bawa senjata. Kalian mengawal aku ke kota Seng-tin."

   "Untung semalam sudah kuambil pakaianku sendiri..."

   Pikir Wan Lui lega, sebab dia adalah salah satu dari empat anggota yang dipilih itu.

   Keempat orang yang dipilih itu dalam waktu singkat telah siap.

   Tidak lama kemudian, berlima dengan Hoa Cek-gui yang berjalan di depan, mereka meninggalkan perkemahan itu.

   Mula-mula menyusup hutan, mendaki sebuah bukit, menuruninya dan tiba di sebuah jalan yang cukup ramai.

   Mengikuti jalan itu ke arah utara, mereka masuk sebuah kota kecil bernama Sengtin.

   Sambil mengikuti, Wan Lui menduga-duga apa yang akan dilakukan orang-orang Pek-liankau itu, namun tidak berani bertanya.

   Wan Lui membawakan peran seorang anak buah yang patuh.

   Seng-tin lebih tepat disebut kampong besar dari kota, sebab biarpun ramai namun tatatetaknya acak-acakan, di sembarang tempat ada tumpukan sampah yang membukit dan hari demi hari terus bertambah tinggi.

   Tidak ada tembok kota yang melingkari kota itu, tiap orang bisa masuk dari mana saja.

   Hoa Cek-gui berjalan dengan mantap, nampaknya sudah pasti arah yang ditujunya Sedang keempat orang dibelakangnya berjalan dengan gaya jagoan-jagoan Kelas kambing.

   Tidak sulit bagi Wan Lui menirukan gaya tengik itu.

   Tangan dilipat di dada.

   wajah dibuat angker, otot dada dan pundak digelembungkan.

   Mereka melewati sebuah pasar.

   Di sudut pasar terlihat ada panggung wayang yang dikerumuni orang banyak.

   Suara gembreng dan tambur memeriahkan suasana, biar bunyi tamburnya sudah sumbang karena kulitnya sudah kendor.

   Seandainya tidak sedang mengikuti Hoa Cek-gui, ingin rasanya Wan Lui ikut menonton rombongan wayang keliling yang sedang pentas itu.

   Namun mata Wan Lui yang tajam itu tibatiba menangkap sesosok tubuh yang seperti sudah dikenalnya, di sela-sela orang-orang dalam pasar itu.

   Seorang lelaki yang sebetulnya berperawakan gagah, namun kegagahannya jadi berkurang karena ia selalu memakai sebuah topi rumput yang ditekan rendah untuk menyamarkan wajahnya, lagipula kalau berjalan ditempat ramai selalu celingukan seperti maling takut ketahuan.

   In Kiu Liong.

   Hampir saja Wan Lui berteriak memanggilnya, kalau ia tidak segera ingat dirinya pun sedang dalam penyamaran sebagai anggota Pek-lian-kau.

   Dilihatnya In Kiu Liong menyusup ke sana kemari di antara orangorang di pasar, la lu menghilang tak kelihatan lagi.

   Sementara itu Hoa Cek Gui tanpa ragu-ragu terus melangkah ke sebuah gedung yang bagus dan besar, tidak jauh dari pasar.

   Melihat betapa pintu gerbang gedung itu dijaga empat perajurit, bisa diduga kalau tempat itu adalah kediaman pembesar Kerajaan.

   Namun Hoa Cek Gui mendekatinya tanpa takut-takut.

   Kepada penjaga-penjaga itu dia berbicara langsung dan dingin.

   "Aku ingin bertemu Cong-peng dan tamunya yang dari Pak-khia"

   Para penjaga mengerutkan alis dan menatap Hoa Cek Gui tajam-tajam.

   Kewaspadaan mereka meningkat ketika melihat Hoa Cek Gui juga diiringi empat orang pengiring bersenjata.

   Sementara Wan Lui bertanya-tanya dalam hati, kenapa seorang tokoh Pek-lian-kau yang kabarnya membenci orang-orang Manchu, kini datang ke rumah seorang pembesar negeri? "Untung aku ikut terpilih mengawal orang bertangan panjang ini,"

   Pikir Wan Lui.

   "Dengan begini, akan banyak yang bisa ku ketahui tentang sekte bawah tanah yang selama mi misterius."

   Para penjaga itu sudah tentu takkan membiarkan sembarangan orang tidak dikenal menemui panglima mereka.

   Mereka segera memberondongkan bermacam-macam pertanyaan, sambil menanti peluang untuk memeras uang dari calon penghadap ini.

   Hou Cek Gui tidak mau menerangkan bertele-tele, la cuma mengeluarkan sekuntum bunga teratai yang terbuat dari kertas, ukuran kecil, agak lusuh, diberikan kepada penjagapenjaga itu sambil berkata.

   "Berikan saja ini. Panglima-mu akan tahu artinya."

   Setelah menerima kembang kertas itu, para perajurit tidak segera melaporkannya ke dalam, melainkan masih juga bicara bertele-tele.

   Sambil cengar-cengir dan mengedip-ngedipkan mata segala, minta uang pelicin tapi masih malu-malu.

   Hoa Cek Gui meludah dan menjawab dengan dingin.

   "Mau kalian laporkan kedatanganku atau tidak, tereserah kalian. Kalau urusan gagal, bukan pihak kami yang rugi, tapi panglima kalian, dan kalian yang harus bertanggungjawab."

   Habis berkata begitu, Hoa Cek Gui terus pergi mengajak pengiring-pengiringnya, tanpa menggubris perajuril-perajurit mata duitan itu lagi.

   Keempat penjaga itu terkesiap, mereka terpengaruh oleh kata-kata Hoa Cek Gui itu, lalu ketakutan sendiri.

   Kalau benar mereka menggagalkan suatu urusan penting, bukankah mereka akan dihukum oleh atasan mereka sendiri? Setelah mereka saling pandang sebentar, sebuah kesepakatan ditemukan biarpun tidak keluar dari mulut.

   Cepat-cepat mereka menyusul dan memanggil) "Eh, tunggu! Tunggu!"

   Hoa Cek Gui berhenti dan kembali ke de pan pintu.

   "Kalau mau melapor, cepatlah. Aku tidak banyak waktu!"

   Tanpa berani macam-macam lagi, seorang penjaga laporan ke dalam. Tidak lama kemudian, perajurit yang melapor itu keluar kembali. Sikapnya tidak lagi cengar-cengir, melainkan sungguh-sungguh berusaha nampak sebagai "perajurit teladan"

   Yang melangkah tegap, dan sopan sekali ketika berkata kepada Hoa Cek Gui.

   "Tuan dipersilakan ke ruang tengah. Cong-peng dan Toh Tai-jin menunggu di sana."

   Hoa Cek Gui dan keempat pengawalnya pun masuk, diiringi perajurit yang bertindak sebagai penunjuk jalan. Sebelum masuk, Hoa Cek Gui berdesis kepada pengiring-pengiringnya.

   "Ikut masuk dan selalu bersiaga. Dalam perundingan sepenting ini mudah terjadi pertengkaran."

   Keempat pengawal itu, termasuk Wan Lui, mengangguk.

   Ketika masuk ke ruang tengah yang ditunjukkan si perajurit, Hoa Cek Gui langsung mengambil tempat duduk yang berhadapan dengan dua tempat duduk di pihak tuan rumah, tanpa menunggu dipersilahkan.

   Sedangkan Wan Lui berempat berpencaran dan berdiri dengan punggung merapat dinding, dekat pintu, dalam sikap bersiaga.

   Diam-diam Wan Lui merasa amat beruntung, bahwa dia mendapat kesempatan yang begitu kebetulan untuk ikut mendengarkan apa yang oleh Hoa Cek Gui sendiri disebut "perundingan sepenting ini."

   Tanpa harus merunduk-runduk di luar jendela atau bertiarap di atas genteng, yang mudah diketahui di siang hari bolong seperti itu.

   Di pihak tuan rumah ada dua orang.

   Yang satu berseragam perwira tinggi, mungkin dialah penanggung-jawab keamanan di kota kecil itu.

   Yang lainnya berpakaian jubah sutera yang bagus, biarpun pakaiannya tidak menunjukkan seperti pembesar militer atau sipil, tapi agaknya cukup berpengaruh, sehingga si perwira kelihatan bersikap hormat.

   Kedua orang itu duduk diantara sebuah meja yang merapat dinding, dan di atas meja itu tergeletak kembang dari kertas yang merupakan "kartu nama"

   Hoa Cek Gui tadi. Ternyata yang membuka pembicaraan bukanlah si perwira, melainakan si jubah su tera itu. Tanyanya bimbang.

   "Benarkah kau mewakili pihak Pek-lian-kau? Kenapa aku belum pernah melihatmu?"

   Acuh tak acuh Hoa Cek Gui melepaskan pedangnya yang amat panjang itu, seperti juga tangannya yang panjangnya abnormal, dilepas dari gendongannya di punggung untuk disandarkan di meja sebelahnya.

   Pertanyaan si jubah sutera itu tidak bu ru-buru dijawabnya, melainkan harus menunggu dia menepuknepuk jubahnya untuk membersihkan dari debu yang menempel.

   Si jubah sutera itu keruan mendongkol.

   Dialah Toh Hun, komandan dari pengawal pribadinya Liong Ke Toh, Pamanda Kaisar, di lingkungan istana cukup terpandang baik kedudukannya maupun ilmu silatnya.

   Maka sikap seenaknya yang ditunjukkan Hoa Cek Gui itu membuatnya agak naik darah.

   Ia menggebrak meja sambil bangkit.

   "Bagaimana aku bisa percaya bahwa kau benar15 benar suruhan Pek-lian-kau? Lebih baik kau pergi, dan tidak usah menunggu."

   Ucapan Toh Hun tiba-tiba macet dari kelanjutannya, ketika melihat Hoa Cek Gui mengeluarkan suatu benda dan diletakkan di meja di sampingnya.

   Sebuah cincin batu giok hijau putih berukiran naga.

   Toh Hun melotot melihat cincin yang dikenalinya sebagai milik Pangeran Hong Lik itu.

   "Percaya tidak?"

   Tanya Hoa Cek Gui dingin, sambil mengantongi kembali cincin itu.

   "Jadi .... kalian benar-benar berhasil menangkap Pangeran Hong Lik?"

   Wajah Toh Hun menampakkan kegirangan luar biasa.

   "Jadi kabar dari kota Kim-teng itu bukan sekedar desas-desus kosong, tapi bisa dipercaya?"

   "Benar,"

   Sahut Hoa Cek Gui.

   "Kami minta sisa hadiahnya."

   Dengan wajah berseri-seri, Toh Hun menjawab.

   "Asal kamu berhasil meyakinkan kami, dengan menunjukkan batok kepala Hong Lik, soal uang jangan kalian khawatirkan lagi. Kami cuma butuh bukti bahwa Hong Lik benarbenar mampus, itu saja!"

   Hoa Cek Gui tertawa dingin.

   "Soal Hong Lik akan kami biarkan hidup atau kami bunuh, tidak perlu kau coba-coba mendikte kami. Hong Lik sepenuhnya kami yang menentukan, sebab dia ada di tangan kami. Bahkan kami pikir, Hong Lik bisa menjadi sumber dana perjuangan kami."

   Wajah Toh Hun yang mulanya nampak gembira, tiba-tiba berubah hebat mendengar itu.

   "Sumber pembiayaan? Apa maksudmu?"

   Hoa Cek Gui menjawab santai.

   "Hong Lik akan jadi terlalu murah kalau cuma dihargai seribu tahil emas, padahal dialah mustikanya bangsa Manchu kalian."

   "Tapi dulu dalam perjanjian dengan pihakmu di kelenteng Tin-kang-bio di Hang-ciu, pihakmu sudah menyetujui jumlah itu."

   "Itu kan harga lama. Sekarang ini apa-apa naik harganya."

   "Apa maksudmu? Bicara jelas!" "Baik. Dengan Hong Lik di tangan kami, kami akan memeras dua pihak. Pertama, Kaisar Yong Ceng. Kedua, Liong Ke Toh junjunganmu. Nah, paham?"

   Wajah Toh Hun kelihatan jadi tak keruan. Tadinya dia menyangka, hari ini pihaknya menyerahkan sisa upah, pihak Pek-lian-kau menyerahkan batok kepala Hong Lik sebagai bukti, lalu "transaksi"

   Itupun beres, tidak ada hubungan lagi.

   Tak terduga pihak Pek-lian-kau berubah pikiran.

   Ia menoleh kepada si perwira di sampingnya untuk minta pendapat, namun dari wajah perwira itu bisa dilihat kalau perwira itupun sama bingungnya dengan dirinya.

   (Bersambung

   Jilid XVI) KEMELUT TAHTA NAGA Bagian . II Karya . STEFANUS S.P.

   Jilid XVI Dalam bingungnya, Toh Hun untunguntungan coba berkelit.

   "Kau salah alamat kalau mau memeras kami dengan mengancam Hong Lik. Bukankah kau tahu sendiri kalau kami tidak menggubris keselamatan Hong Lik, malahan mengingini kematian-nya? Kalau mau memeras, yang harus kealamat Keluarga Kaisar Yong Ceng yang berkepentingan dengan keselamatan Hong Lik. Bukan kami."

   Hoa Cek Gui tertawa ringan sambil mengangkat sebelah kakinya untuk ditumpangkan ke kaki lainnya, katanya mengejut kan.

   "Memang untuk memeras Kaisar, kami gunakan cara mengancam keselamatan Hong Lik. Tapi untuk si tua Liong Ke Toh junjunganmu itu, ada cara lainnya." "Cara bagaimana?"

   Tanya Toh Hun tegang dan panik.

   "Kalau junjunganmu tidak menuruti tuntutan kami, segera akan kami kirim orang untuk membisiki Kaisar Yong Ceng, bahwa Liong Ke Toh lah yang membantu kami dari dalam sehingga berhasil menangkap Pangeran Honglik. He-he-he... saat itu masih bisakah Liong Ketoh dan semua kaki tangannya, termasuk kau, menyelamatkan leher dari golok algoio ?"

   "Bangsat, pemeras busuk ! Kubunuh kau !"

   Toh Hun melompat dari kursinya bagaikan singa menerkam.

   Tinjujya menderas ke muka Hoa Cek Cui, dibarengi tendangan maut ke arah selangkangan.

   Sengit sekali ia.

   Cepat sekali Hoa Cek Gui menghindari dengan meninggalkan tempat duduknya, maka remuklah kursi itu kena pukulan dan tendangan Toh Hun sekaligus.

   Dengan kegusaran meluap, Toh Hun telah memutar tubuhnya untuk menerkam kembali.

   Tapi si perwira buru-buru memegangi kedua lengannya dari belakang.

   sambil membujuk untuk menyabarkan.

   "Tahanlah emosi, Taijin. Urusan tidak bisa diselesaikan dengan mengumbar kemarahan saja, malah bisa tambah ruwet nanti ..."

   Susah-payah panglima Seng-tin itu meredakan teman sekomplotannya itu. singa menerkam. Sampai akhirnya bisa juga menuntun Toh Hun yang terengah-engah dan bermuka merah padam itu kembali ke tempat duduknya.

   "Benar-benar licik Pek-lian-kau ! Pemeraspemeras tak tahu malu !"

   Kutuk Toh Hun. Tapi sikap Hoa Cek-gui tetap dingin saja menghadapi semua itu. Tenang saja ia duduk kembali, ketika Wan Lui dengan gaya pengikut setia mengambilkan sebuah kursi lain untuk duduk. Sahutnya sambil tersenyum.

   "Habis, memang beginilah mata pencaharian kami. Ya harap dimaklumi saja."

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Beberapa saat lamanya Toh Hun mengusapusap keringat, berusaha mengendalikan kemarahannya kuat-kuat.

   Setelah merasa cukup tenang, barulah ia berani mencoba mengajukan Toh Hun Melompat dari kursinya bagaikan Singa menerkam.

   Tinjunya ke muka Hoa Cek Gui, dibarengi tendangan maut kearah selangkangan.

   Sengit sekali ia.

   usul baru.

   "Serahkan mayat Hong-lik kepada kami. Dan kalian akan mendapat selaksa tahil emas. Selaksa tahil emas, aku ulangi. Asal aku diberi waktu untuk mengambilnya dulu di Pakkhia !"

   "Selaksa tahil emas?"

   Hoa Cek-gui mengusapusap janggutnya dan bersikap tidak tertarik.

   "Lumayan sebagai pembukaan. Siapkan dalam waktu satu bulan dan pada batas waktunya kami akan menghubungimu."

   Selain nada suaranya yang tak bisa ditawar, bahkan sedikitpun dalam kata-katanya tidak menyebut apakah Pangeran Hong-Lik akan diserahkan atau tidak.

   "Bagaimana dengan Pangeran Hong Lik?"

   Hampir saja Toh Hun berteriak. Hoa Cek Gui tidak menggubris, dia bangkit dan meninggalkan ruangan itu, diikuti keempat orang yang mengiringinya.

   "Keparat!"

   Toh Hun mengutuk, tapi tidak berani berbuat apa-apa.

   Seandainya saat itu juga dia berhasil membunuh Hoa Cek Gui dan keempat pengiringnya, belum tentu rahasia pihaknya dijamin tetap aman.

   Sebab Hoa Cek Gui itu cuma utusan.

   Dan kalau pihak Pek-liankau gusar oleh kematian utusannya, urusan malah bisa tambah kacau.

   Diam-diam ia menyesal juga kenapa dulu memakai tenaga Pek-lian-kau untuk penyingkiran Pangeran Hong-Lik? Kenapa tidak memakai tenaga-tenaga bayaran yang lain saja, yang tidak selicik Peklian-kau? Kini sudah terlambat menyesalinya, pihaknya sudah terjerat oleh pemerasan.

   Si perwira yang termasuk komplotannya itupun tak bisa menghibur.

   Urusan macam itu memang tak terselesaikan dengan mengandalkan kekuatan perajurit saja.

   Mereka menghadapi suatu pihak yang seperti hantu, sulit disentuh, suatu gerakan bawah tanah yang lihai dalam muncul mendadak dan menghilang mendadak pula, sulit dilacak jejaknya.

   Tiba-tiba Toh Hun bangkit dan melangkah ke pintu keluar, sehingga si perwira bertanya.

   "Taijin, mau kemana?"

   Tanpa menghentikan langkahnya, Toh-Hun menjawab.

   "Kita jangan mau dijadikan sasaran pemerasan mentah-mentah. Setidak-tidaknya harus kubuntuti kemana perginya bangsatbangsat itu, dan kalau bisa kita ketahui persembunyian mereka, barangkali bisa kita siapkan serbuan untuk menumpas mereka. Dan merebut Pangeran Hong Lik."

   Si perwira tak bisa mencegahnya.

   Sementara itu, Hoa Cek-gui dan keempat pengiringnya telah tiba di luar kota Seng-tin.

   Mereka sudah berbelok meninggalkan jalan besar, dan menempuh jalan setapak di antara rumpun-rumpun ilalang yang tinggi berselangseling dengan semak-semak bunga liar.

   Sambil berjalan, wajah Hoa Cek-Gui menampilkan rasa puasnya.

   Puas karena dengan "memegang"

   Hong Lik di tangan, pihaknya bisa memeras dua pihak sekaligus.

   Memeras Kaisar Yong-Ceng yang tentu kuatir akan keselamatan anaknya, dan memeras Liong Ke-Toh yang takut terbongkar rahasia pengkhianatannya terhadap Pangeran Hong-Lik.

   Dua sumber uang sekaligus Pihaknya bakal kebanjiran uang emas.

   Sementara Wan Lui yang berjalan di belakang Hoa Cek Gui itupun punya pikiran sendiri.

   Hatinya masih goncang mengingat betapa ia baru saja menyaksikan bagaimana seorang Putera Mahkota "diperdagangkan".

   Pangeran Hong Lik ternyata adalah korban dari dua komplotan.

   Komplotan Pek-lian-kau yang bercita-cita mendirikan kembali Kerajaan Beng, dan komplotan dalam istana yang agaknya takut kalau kelak Pangeran Hong-lik berkuasa.

   Kelompok istana itu lalu "menyewa"

   Pek-liankau untuk membunuh Pangeran Hong-lik, tak terduga malahan berbalik kena peras oleh Peklian-kau yang mau mengambil keuntungan dari semua pihak.

   Belum lama Wan Lui mengenal Pangeran Hong-lik alias Kui Thian C.u, namun sudah tumbuh kesan baiknya.

   Pikirnya.

   "Memang tak kusangka sebelumnya kalau dia itu ternyata adalah Putera Mahkota. Pantas nasib dirinya menjadi titik persilangan antara beberapa kepentingan dari beberapa pihak, dalam istana maupun diluar istana. Namun bagiku, dia cuma seorang ternan yang baik, dan kelak kalu menjadi penguasa tentunya juga penguasa yang baik. Kalau tidak demikian, tidak-nanti dia jauhjauh meninggalkan ibukota hanya untuk membuktikan keluhan rakyat kecil di sekitar Kiu-liong-san. Menyelamatkan Pangeran Honglik sama saja dengan menyelamatkan masa depan jutaan rakyat kekaisaran. Menumpas Pek-lian-kau juga bermakna sama.,."

   Tak terasa kesan baik dalam diri Wan Lui itu mengembang.

   Ingat salah satu ajaran gurunya, Pak kiong Liong, yang mengatakan bahwa seorang lelaki harus berbuat sesuatu yang baik buat negerinya.

   Kini kesempatan itu seperti ditawarkan kepadanya.

   Tapi semangat menggelora itu juga tidak menggusur akal sehat serta perhitungan cermat begitu saja.

   Wan Lui sadar, untuk itu diperlukan kesabaran dan rencana yang rapi, la memutuskan, Pek-lian-kau lah yang harus dimusnahkan dulu, karena kelompok berkedok kebatinan itulah yang secara langsung lebih membahayakan kehidupan orang banyak.

   Kelompok yang siap melakukan apa saja, menghalalkan segala cara, asal tujuan mereka tercapai.

   Kelompok dalam istana itu juga jahat, tapi tidak secara langsung membahayakan orang banyak, sebab mereka bergerak di "lapisan atas"..

   Tengah Wan Lui berjalan, tiba-tiba kupingnya yang tajam mendengar suara langkah lembut di belakangnya, dalam jarak belasan langkah.

   Hoa Cek Gui sendiripun tidak mendengarnya, karena ia berjalan terus ke depan tanpa menoleh-noleh.

   Wan Lui agak melambatkan langkah sehingga berjalan paling belakang, lalu menoleh secepat kilat.

   Masih sempat dilihatnya sesosok tubuh berkelebat cepat untuk bersembunyi.

   Namun Wan Lui mengenali bahwa si penguntit itu adalah si Taijin di kota Seng-tin tadi.

   Toh Hun.

   Sesaat Wan Lui berpikir, lalu ia menemukan suatu akal yang bisa dicoba untung-untungan, la telah berhasil menyusup ke dalam Pek-lian-kau, namun ingin juga dia menyusup ke dalam komplotan rahasia di istana yang mendalangi penculikan Pangeran Hong-Lik itu, agar kelak tidak sulit untuk menghacurkan komplotan itu.

   Maka diapun tiba-tiba berkata kepada Hoa Cek-Gui dengan lagak seorang anggot Pek-liankau tulen.

   "Hiangcu, aku lihat ada seekor anjing Mancu membuntuti kita. Ijinkan aku menghajarnya, biar anjing anjing Mancu itu tahu, kita sebagai prajurit prajurit Kerajaan Beng tidak bisa dibuat main-main..."

   Hoa Cek-Gui sedikit melambatkui langkahnya dan menoleh ke arah "anak buahnya"

   Yang nampaknya begitu bersemangat ingin mendapat jasa "demi kerajaan Beng"

   Ini...

   "Kau sanggup?"tanyanya.

   "Dengan bantuan para Thian-peng (prajurit langit) gaib, pasti akan berhasil kubikin dia lari terbirit-birit..."

   Bual Wan Lui persis orang Peklian-kau. Belajar membual memang tidak sulit.

   "Baik, bawa seorang temanmu..."

   Sahut Hoa Cek-Gui, lalu ditunjuknya seorang anak buahnya yang lain.

   "Kau. Bantu dia menggebah anjing Manchu yang membuntuti kita itu." Beberapa saat lamanya mereka berlima masih berjalan bersama tanpa menoleh-noleh ke belakang. Tapi ketika melewati sebuah lorong pepohonan besar, Wan Lui dan anggota Pek-lian-kau yang ditunjuk itu cepat memisahkan diri dan bersembunyi. Sedangkan Hoa Cek-Gui dan dua orang lainnya berjalan terus. Wan Lui dan "teman"nya itu bersembunyi dengan sabar, sampai mereka melihat "si anjing Manchu"

   Toh Hun itu berjalan mengendapendap di kejahuan. Celingukan sambil menjulurjulurkan lehernya, agaknya agak kebingungan mencari kernana arah orang-orang yang dibuntutinya. Orang Pek-lian-kau itu membisiki Wan Lui.

   "Kita harus hati-hati. Anjing Manchu itu cukup hebat, bukankah tadi kita lihat bagaimana ia sanggup menghancurkan sebuah kursi dengan pukulannya ?"

   Wan Lui diam tak menjawab, ia sedang berjuang mengatasi kebimbangannya.

   Orang lain ada yang membunuh banyak orang tanpa ragu-ragu, namun Wan Lui ini mau membunuh satu orangpun harus melewati keragu-raguan sekian lama.

   Tak lama kemudian, tengah Toh Hun maju dengan hati-hati, tiba-tiba ia dikejutkan oleh dua orang anggota Pek-lian-kau yang menghadangnya dengan senjata terhunus.

   Toh Hun pun bersiaga mengha dapinya.

   "Anjing Manchu, mau mencoba membuntuti kami, untuk mengetahui tempat kami ?"

   Gertak si anggota Pek-lian-kau.

   Sebagai pesilat tangguh, Toh Hun tidak gentar dan menganggap kedua anggota Peklian-kau itu tidak berarti.

   Namun ia merasa risih juga bahwa tindakannya membuntuti dari kejauhan itu diketahui pihak sana.

   Selagi ia memutar otak untuk mencari jawaban yang tepat, tiba-tiba dihadapannya terjadilah sesuatu yang sama sekali diluar dugaan.

   Sebab dilihatnya salah satu penghadangnya, yang bersenjata pedang, tiba-tiba mengayunkan senjata secepat kilat.

   Menyerang sesama anggota Pek-lian-kau yang baru saja membentak Toh Hun.

   Si anggota tulen Pek-lian-kau itu tak menyangka akan tindakan Wan Lui itu.

   la roboh menemui ajalnya, bahkan tanpa suara sedikitpun juga.

   Wan Liu membersihkan pedang dengan rumput, lalu menyarungkannya.

   Kepada Toh Hun yang memandangnya dengan keheranan Wan Lui bertanya,"tidak mnduga tindakanku ?"

   "Ya, memang. Kenapa kau bunuh temanmu sendiri ?"

   Wan Lui kini berusaha berperan sebagai seorang pengkhianat yang rakus uang. Jawabnya.

   "Karena aku sudah bosan menjadi orang melarat terus setelah bertahun-tahun mengikuti Pek-lian-kau. Yang mereka omongkan cuma perjuangan, perjuangan dan pecjuangaaaaaan terus, sampai tebal kupingku mendengarnya. Padahal aku ingin segera menikmati hasil perjuangan itu, menjadi orang kaya dan hidup nyaman..." Toh Kun menyeringai paham, katanya dalam hati.

   "Wah, asalkan kuberi uang. ketidakpuasan orang ini bisa kumanfaatkan..."

   Sementara malutnya mengatakan lain "Oh, begitu ? tetapi bukankah tidak lama lagi pihakmu akan mendapat uang banyak dengan memeras pihak kami ? Bukankah kau sebagai anak buahnya akan kebagia rejeki juga ?"

   Sambil membanting kaki dan menunjukkan sikap jemu, Wan Lui berkata.

   "Kebagian angin. Kebagian pidato kosong tentang perjuangan menegakkan kembali Kerajaan Beng, sedang rejekinya disimpan sendiri untuk para pemimpin. Aku sudah jemu. Aku mau uang, untuk beli rumah, kawin, berdagang, hidup makmur. Aku mau belajar cari uang sendiri!"

   Toh Kun mengangguk-angguk dan senyumannya tambah lebar.

   "Jadi apa sekarang maksudmu, dengan membunuh temanmu sendiri ?"

   "Supaya bisa bicara empat mata denganmu!"

   Karena sudah menduga hal itu, Toh Kun tidak kaget, bahkan sudah siap menyambutnya, "Apa yang mau kau bicarakan denganku?"

   "Aku tawarkan harga bersaing. Pemimpinku tidak mau membunuh Pangeran Hong Lik, tetapi aku mau dari pihakmu sediakan duaribu tahil saja. Harga semurah ini menandakan bahwa aku bukan tukang gorok yang serakah, bagaimana ?"

   Toh Hun menjawab.

   "Sejam yang lalu, urusannya masih sederhana. Asal kalian serahkan batok kepala Pangeran Hong-Lik lalu terimu uag sesuai perjanjian, nah, beres sudah. Tapi itu sejam yang lalu. Sekarang lain, keserakahan pemimpinmu membuat urusan jadi tidak ssederhana perkiraanmu. Pemimpinpemimpinmu sudah mengancam untuk memeras kami, tadi sudah kau dengar sendiri, dan pihak kami jadi sulit. Jadi, batok kepala Pangeran Hong Lik saja sekarang tak cukup members kan urusan ini..."

   "Hitung-hitung belajar dagang..."

   Pikir Wan Lui.

   "Dagang nyawa di arena politik..."

   Dalam hati berkata demikian, namun mulutnya berkata lain.

   "Apa maksudmu?" Kata Toh Hun.

   "Pihakku tidak sudi diperas. Karena itu, uang untukmu kunaikkan jadi lima ribu tahil emas, tapi jangn hanya bunuh Pangeran Hong Lik. Tapi bunuh semua pemimpinmu."

   "Wah, sulit...sulit..."

   Wan Lui geleng-geleng kepala dengan gaya seorang penjual yang barangnya ditawar kelewat rendah.

   "Kalau sulit, aku punya beberapa orang terpercaya, beberapa pembunuh mahir. Bantulah mereka menyusup ke dalam tubuh Pek-lian-kau, biar mereka yang mengerjakan, sedang hadiahnya tetap untukmu tanpa kurang sepeserpun. Bagaimana?"

   Ucapan Wan Lui untuk membunuh Pangeran Hong Lik itu hanya pura-pura, sekedar menarik minat Toh Hun agar bisa diajak bicara.

   Sudah tentu ia tak sudi menyelundup kan pembunuhpembunuh seperti usul Toh Hun itu, apalagi di antara sasaran itu termasuk Pangeran Hong Lik pula.

   Di samping itu dia geli juga dalam hati.

   Dirinya sendiri juga seorang penyelundup dalam Pek-lian-kau, sekarang malah diminta tolong untuk menyelundupkan lagi orang-orang lain.

   Karena itu tawaran Toh Hun ditolaknya.

   "Aku bilang sulit, tapi kan tidak berarti tidak bisa? .langan khawatir, kalau tidak bisa dengan, kekerasan, ya dengan racun, Beres kan?"

   "Benar-benar sanggup? Ingat, sasaran-mu bukan cuma Hong Lik, tapi juga pimpinanpimpinan Pek-lian-kau. Ini betul-betul berat, benarkah kau sanggup?"

   "Demi masa depanku yang makmur, aku harus berjuang dengan segenap tenaga dan akalku!"

   "Kau tahu, siapa saja pimpinan-pimpinan Pek-lian-kau yang cukup penting? Artinya, yang terlibat dalam pengambilan keputusankeputusan yang penting? Agar kau dapat membunuh orang yang tepat, bukan keliru membunuh orang-orang yang tak berarti."

   Sejenak Wan Lui berlagak menghitunghitung, lalu menjawab.

   "Dari golongan Lam cong mungkin ada dua orang, dari golongan Pak-cong juga dua orang. Ya cuma empat itulah. Ya, empat. Cuma empat. Bisa, bisa."

   "Tidak ada lainnya?"

   "Dalam urusan penculikan Pangeran Hong Lik, memang hanya empat orang itulah yang selalu berunding, kadang-kadang lama sekali dan dibumbui pertengkaran segala. Meskipun Wan Lui bicara dengan gaya wajar, tapi Toh Hun masih bimbang. Dulu waktu pihaknya "menyewa"

   Tenaga Pek-lian-kau untuk menyingkirkan Pangeran Hong Lik, sudah dirasakan bahwa tindakan itu sebetulnya mengandung resiko, tapi dilaksanakan juga.

   Liong Ke Toh benar-benar nekad menempuh resiko itu demi tersingkirnya Pangeran Hong Lik yang diben cinya.

   Kini resiko yang dibayangkan itu men jadi kenyataan, pihak Peklian-kau malah berusaha untuk memeras.

   Kalau urusan sudah jadi begitu, ya terpaksa harus berusaha menyelesaikan urusan itu dengan mengambil tindakan lain yang tidak kalah resikonya, Memanfaatkan seorang "pengkhianat Pek-lian-kau"

   Untuk melenyapkan Pangeran Hong Lik, sekaligus pimpinan-pimpinan Peklian-kau yang menjadi saksi-saksi pengkhianatan komplotan Liong Ke Toh. Apa boleh buat. Lagipula "harga bersaing"

   Yang ditawarkan "pengkhianat Pek-lian-kau"

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ini cukup menarik.

   "Baiklah,"

   Akhirnya Toh Hun nekad melangkah.

   "Lima ribu tahil emas untuk lima butir kepala, kepala Hong Lik dan empat pe mimpinmu."

   "Ah, aku hampir jadi orang kaya nih,"

   Lagak Wan Lui pura-pura amat bersemangat "Kalau aku sudah berhasil membunuh mereka, dimana aku harus memberikan barang bukti kernatian mereka, sambil sekaligus mengambil hadiahnya?"

   "Berapa lama bisa kau rampungkan tugasmu?"

   "Bisa gampang bisa sulit, karena itu juga bisa sebentar bisa lama."

   "Baik, dengarkan. Kalau bisa kau selesaikan dalam waktu empat hari, kau masih bisa menghubungi aku di Seng-tin, di tempat yang tadi. Kalau lebih dari empat hari, hubungi kami di Pak-khia. Datanglah di sebuah warung teh yang pintunya bercat hijau, di jalan kecil Pektoh-kang sebelah utara Istana. Duduk di tempat yang gampang dilihat dan susunlah dua mangkuk di meja mu, mangkuk bawah telungkup dan mangkul atas telentang, maka kau akan mendapat hubungan dari kami. Paham?"

   "Paham, paham,"

   Sahut Wan Lui kegirangan.

   la telah berhasil mencapai apa tujuannya, yaitu mencari hubungan dengan kelompok dalam istana yang merencanakan kejahatan terhadap Pangeran Hong Lik.

   Diam-diam ia mengingat baik-baik petunjuk Tol Hun itu.

   Kemudian, untuk memperkuat kesan bahwa dirinya benar-benar seorang pengkhianat mata duitan, Wan Lui lalu nyengir-nyengir sambil menggosok-gosokkan sepasang telapak tangannya.

   Katanya.

   "Yah, tapi.... tapi.... apakah tidak ada semacam. yah .... uang muka, begitu? Biar aku kerja lebih bersemangat?" Toh Hun merogoh sepuluh tahil dari kantongnya, diletakkan di telapak tangan Wan Lui yang sudah "menodong", sambil berkata.

   "Aku belum bisa memberimu banyak karena belum melihat hasil kerjamu, baru sekedar percaya saja. Oh ya, namamu siapa?"

   "Gan Hong Lui. Jadi besok aku tinggal terima empatribu sembilanratus sembilan puluh tahil, ya? Catat."

   "Kalau berhasil."

   Toh Hun menambah kan dengan dingin.

   "Nah, Gan Hong Lui, bekerjalah dengan cermat. Kalau berhasil, pihak kami benar-benar akan menjadikanmu sebagai jutawan."

   Habis berkata demikian, Toh Hun membalik tubuh dari berjalan kembali ke Seng-tin.

   Wan Lui berjalan ke arah yang berlawanan, untuk memberi kesan bahwa dirinya benarbenar akan pulang ke sarang Pek-lian-kau.

   Namun ketika ia yakin bahwa Toh Hun tidak memperhatikannya lagi, ia memutar langkah untuk balik ke Seng-tin.

   Masuk dari suatu arah yang dperhitungkannya tidak bakal berpapasan dengan Toh Hun.

   Sambil berjalan, dalam hati Wan Lui mengomentari tindakannya sendiri saat itu.

   "Tipu harus dihadapi dengan tipu. Tidak mungkin dihadapi dengan permainan terbuka yang serba terang-terangan."

   Dan mengingat sepuluh tahil emas pemberian Toh Hun yang sudah ada dalam kantungnya, dia tersenyum sendiri.

   "Inilah biaya untuk menghancurkan Pek-lian-kau, tapi untuk menyelamatkan Pangeran Hong Lik. Haha, Toh Hun bisa gila kalau tahu sebenarnya hendak kugunakan untuk apa uang ini."

   Karena kota Seng-tin tidak bertembok, maka orang bisa masuk kota dari arah mana saja, tidak usah melewati jalan besar, itulah yang dilakukan Wan Lui.

   Ia melompati sebuah parit berair busuk di pinggiran kota, dan sambil menutup hidung melewati tempat rerumputan di mana biasanya para gelandangan buang hajat.

   Di dalam kota Seng-tin, ia langsung menuju ke pasar.

   Tadi dilihatnya ada panggung rombongan wayang keliling main di sudut pasar, dan itu menimbulkan suatu gagasan dalam benak Wan Lui.

   la melangkah dengai hati-hati agar tidak berpapasan dengan Toh Hun..

   Tapi kalau bertemu juga, Wan Lui sudah siap berperanan sebagai pengkhianat rakus yang pemboros.

   Yang begitu mengantongi uang lalu siap menghabiskannya di pasar.

   Rombongan wayang kelilingan itu baru saja selesai melakonkan "Pangeran Yan Hong merebut Lam-khia."

   Diiringi tepuk-tangan penonton, kain layar kusam yang dicantelkan di atas tiang-tiang barnbu itupun ditutup, dengan bantuan seutas tali.

   Lalu seorang lelaki bertopeng badut muncul dari kolong panggung, membawa sebuah nampan.

   Dengan pakaian warna-warni yang juga agak kumal, dan gerak-gerik yang dibuat jenaka, ia berkeliling di antara penonton sambil menyodorkan nampan.

   Uang recehan berhamburan dan berjatuhan di nampan itu, ada juga orang jahil di deretan belakang yang tidak melemparkan uang melainkan sebuah batu.

   Si topeng badut berkeliling sampai hujan uang campur batu itu berhenti dan penontonnya bubar semua, lalu membawa nampan itu ke kolong panggung.

   Kolong panggung itu rupanya berfungsi sebagai tempat persiapan para anak wayang sebelum naik panggung, untuk merias diri dan sebagainya.

   Ketika si topeng badut masuk, sebagian anak wayang sedang menghapus rias wajahnya, atau dengan hati-hati melipat kostum-kostum wayang sebelum disimpan kembali.

   Si topeng badut melepaskan topeng nya, dan nampaklah wajahnya yang kurus karena hidup susah bertahun-tahun.

   Itulah sebabnya ketika minta uang dari penonton, ia harus memakai topeng, agar para penonton tidak sebal melihat wajah melaratnya.

   "Dapat banyak?"

   Sambut si pemimpin rombongan, seorang tua kurus yang tak hentihentinya menyedot pipa tembakau. Si topeng badut yang tak bertopeng lagi itupun menjawab lemas.

   "Seperti biasa. Malah tambah banyak yang melempar batu ke nampan. Tega juga meledek orang orang susah seperti kita ini."

   Helaan napas berat terdengar hampii berbareng dari semua anggota rombongan yang berada di kolong panggung itu. Dan suara si pimpinan rombongan seolah mewakili keluhan anak-buahnya.

   "Yah, seperti biasa. Itu berarti hari-hari berat kita belum lewat. ikat pinggang masih dibutuhkan mengikat erat perut kita, sebelum tiba saatnya mengikat leher kita."

   "Mangan putus asa, paman Phoa. begini saja terus kau mau gantung diri?"

   "Orang sekarang kurang sekali penghargaannya terhadap kesenian, terlalu sibuk mengejar duit semua."

   "Sudah.... sudah.... hitung uangnya!"

   Perintah si pemimpin rombongan. Si topeng badut menuangkan uang campur batu itu ke meja. Lalu dengan dibantu oleh "Pangeran Yan Ong"

   Serta "Gui-kok-kong Ji Tat" yang belum melepaskan kostum wayang mereka, bertiga mereka menghitung recehan uang perolehan hari itu. Sambil menghitung, tak henti-hentinya diselingi keluhan beratnya hidup sehari-hari.

   "Salahmu sendiri,"

   Si topeng badut berkata kepada "Pangeran Yan Ong"

   Yang terus-terusan menggerutu.

   "Bukankah ayahmu adalah pedagang hasil bumi yang berhasil? Mestinya kau belajar dagang seperti dia, kenapa malah minggat dari rumah untuk jadi anak wayang?"

   "Pernah belajar dagang aku. Kena sikut dari kiri kanan, mau balas menyikut tidak tega, ya rugi,"

   Kata si "pangeran Yan Ong."

   "Ah, sudahlah."Enambelas.....tujuhbelas...delapanbela s...."

   Tiba-tiba tirai kusam yang membatasi kolong panggung itu dengan dunia luar itu pun tersibak, dan seseorang pemuda berdiri di ambang "pintu"

   Sambil tersenyum ramah.

   "Selamat siang. Maaf mengganggu kesibukan saudara-saudara." Si pemimpin rombongan mendekati dan bertanya dengan hormat, kalau ada orang yang menghubungi rombongan wayangnya, biasanya akan ditanggap dengan bayaran yang lumayan untuk menyambung hidup. Entah ada orang kaya darimana yang akan mengadakan pesta.

   "Silahkan duduk, tuan. Silahkan. Maaf, tempat kami yang berantakan."

   Wan Lui melangkah masuk dan menduduki sebuah kursi reyot. Katanya.

   "Permainan saudara-saudara di atas panggung tadi benarbenar hebat, inilah baru kesenian tingkat tinggi. Aku datang untuk menyampaikan pujian."

   Begitulah, selagi para anggota rombongan wayang hampir putus-asa soal penghargaan masyarakat, tiba-tiba datang muncul ucapan Wan Lui yang ibarat tetesan embun di gurun pasir.

   Wajah-wajah yang cemberut kini jadi agak cerah.

   Lebih cerah lagi ketika melihat Wan Lui meletakkan setahil emas di atas meja.

   Para anak wayang melotot tak percaya.

   Satu tahil emas.

   Setelah dipelototi agak lama, ternyata juga tetap sekian, itu artinya mereka tidak sedang mimpi.

   Si pemimpin rombongan dengan takut-takut menjulurkan ujung jarinya untuk menyentuh, lalu mundur kembali, dengan ragu-ragu menatap Wan Lui.

   "Maksud tuan ... bagaimana ini?"

   Wan Lui tersenyum sambil berlagak sebagai jutawan besar, didorongnya potongan emas itu perlahan ke depan.

   "Ambillah, Pak. Ambil saja. Aku amat menghargai kesenian."

   Si pemimpin rombongan wayang yang biasanya bergerak lamban digerogoti usia serta nasib buruknya yang tak kunjung selesai, kini mendadak bisa bergerak begitu keras dan tangkas ketika menyambar uang itu untuk dimasukkan ke kantongnya.

   "Tuan seorang dermawan yang berjiwa luhur,"

   Pujinya.

   "Seorang manusia yang berwatak halus dan tahu apa artinya seni,"

   Sambung "Pangeran Yan Ong"

   Yang untuk sementara berhenti menghitung, uang recehan. "Tuan patut menjadi pelindung kehormatan kami!"

   Tak ketinggalan "Gui-kok-kong Ji Tat"

   Memuji pula. Wan Lui merasa boleh juga sekali-sekali disanjung orang. Setelah sanjung puji mereda, diapun berkata.

   "Selain terdorong kekagumanku, aku datang juga karena adanya keperluan."

   "Akan menanggap kami?"

   Si pemimpin rombongan melonjak kegirangan. Wan Lui menggeleng dan agak mengecewakan si pemimpin rombongan, namun kata-katanya kemudian kembali menimbulkan harapan.

   "Biarpun tidak mau menanggap, tapi aku sungguh terpesona oleh permainan kalian, terutama peranan Kaisar Kian Bun yang dibawakan dengan baik sekali. Karena itu, jika kalian perbolehkan, aku ingin membeli pakaian wayang Kian-bun tadi, selengkapnya. Aku sanggup membeli dengan harga yang pantas. Bagaimana ?"

   Pimpinan rombongan dan para anak wayang saling berpandangan dengan heran.

   Dan saling pandang itu segera menemukan semacam kesepakatan tak terucapkan.

   Rombongan wayang sedang sekarat dalam hal keuangan, dan mereka semua tadi sudah melihat betapa royal Wan Lui mengeluarkan uang.

   Karena itu, apa salahnya menjual satu set kostum "Kaisar Kian-bun"

   Asal harganya cocok ? Toh pakaian itu sudah cukup tua, dan untuk membuatnya lagi juga tidak sukar asal ada uangnya.

   Dan untuk sementara, pilih saja lakon-lakon yang tidak ada kaisarnya.

   Ketika semakin banyak anggota rombongannya memberi isyarat anggukan setuju kepadanya, si pemimpin rombongan semakin mantap.

   Bahkan dari sebuah sudut di belakang Wan Lui, ada yang memberi isyarat dengan menggoreskan telunjuk melintang leher, artinya .

   gorok.

   Pemimpin rombongan lalu menyuruh seorang anak buahnya mengambil satu setel pakaian wayang yang sudah dilipat dalam kotak, untuk diletakkan di meja di depan Wan Lui.

   Selain itu ada pelengkap b.erupa "mahkota" Kaisar Kian-bun yang dipegang dengan hatihati, sebab dibuat dari kertas disumpal kapas.

   Dipegang keras sedikit saja bias penyok.

   "Berapa"

   Tanya Wan Lui agak berdebar juga.

   Jangan-jangan para anak wayang ini akan memasang harga tinggi ? Padahal ia sudah terlanjur berlagak jadi orang kaya, sedang pemberian Toh Hun yang sepuluh tahil itusudah berkurang satu tahil.

   Si pemimpin wayang mengelus-ngelus pakaian berlipat itu dengan rasa saying, lalu menyebutkan harganya.

   "Dua tahil"

   Wan Lui lega dan kontan membayarnya.

   "Terimakasih. Pakaian ini akan menjadi koleksiku, maklum akau kebetulan banyak uang dan senang mengoleksi benda-benda seni. Tapi masi kucari beberapa barang yang kuinginkan juga"

   "Apalagi, tuan"

   "Kakalu kalian sedang pentas, sering pakai asap buatan tidak.? Misalnya dalam adegan dewa turun dari langit, atau munculnya siluman?" "Tuan butuh itu. ?"

   "Kalau ada". Para anggota rombonga wayang itu heran, mana asap tiruan itu juga termasuk benda seni yang mau dikoleksi ? Tapi si pimpinan rombongan telah menyahut juga, Tentu saja ada, karena membuatnya agak sulit, kami beri saja harga untuk sepuluh biji, satu tahil."

   Keserakahan yang bisa "dimaklumi"

   Setelah bertahun-tahun hidup melaran, Untung ketemu Wan Lui yang juga sedang berlagak jadi dermawan besar, yang tanpa pikir panjang lagi berkata.

   "Beri aku sepulu"

   "Akan tuan koleksi juga.?"

   Ah, tidak. Buat mainan keponakankeponakanku."

   "Bungkuskan sepuluh !"

   Si pemimpin rombongan memerintah anakbuahnya. Sambil meraup tiga tahil emas yang baru saja diletakkan Wan Lui di meja. Setelah Wan Lui pergi membawa barangbarang yang dibelinya sipemimpin rombongan dengan gagah langsung sesumbar.

   "layar panggung akan segera kita ganti dengan yang baru, begitu pula beberapa pakaian panggung yang sudah tidak pantas."

   Sementara Wan Lui melangkah pergi sambil membawa bungkusan itu.

   Namun belum sampai keluar pasar, ia teringat akan sesuatu yang belum dibeli.

   Lalu baliklah ia ke dalam pasar untuk membeli segulung tali ijuk berwarna hitam.

   Setelah benda ini disatukan dalam bungkusannya, pulanglah ia ke perkemahan Pek-lian-kau di lembah di tepi danau kecil itu.

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Begitu gembiranya dia, sampai tidak merasa kalau ada seseorang yang membuntutinya.

   Seorang yang berilmu jauh lebih tinggi dari Toh Hun, sehingga geraknya ringan bagaikan hantu, kendati di siang hari bolong.

   In Kiu Liong.

   * * * Wan Lui tidak langsung keperkemahan dengan membawa bungkusan-bungkusannya melainkan lebih dulu menyembunyikan bungkusan itu tidak jauh dari perkemahan Setelah itu, sejenak ia termangu-mangu memikirkan sesuatu.

   Tiba-tiba ia menghunus pedangnya, membalik pegangannya atas gagang pedang, lalu sambil mengertak gigi dia tikamkan pedang ke pundaknya sendiri sehingga tubuh dan bajunya berlumuran darah, biarpun luka itu tidak berbahaya.

   Setelah itu, ia berjalan ke perkemahan dengan berlagak sempoyongan sambil mengaduh-aduh kesakitan.

   Beberapa orang Pek-lian-kau melihatnya, beberapa orang bahkan mengenalinya sebagai "sesama anggota", lalu mereka merubung menyongsong Wan Lui.

   "He, bukankah kau salah satu dari yang tadi pagi ditunjuk untuk mengawal Hoa Hiangcu pergi ke Seng-tin ?"

   "Kenapa kau terluka?Siapa yang melukaimu?"

   Wan Lui memperdengarkan keluhan keras, dan tubuhnya miring hendak roboh. Dua orang anggota Pek-Tian-kau cepat cepat melompat maju dan memapah tubuh Wan Lui dari kiri kanan.

   "Parah lukamu ?"

   "Siapa melukaimu ?"

   "Anjing Manchu..."

   Desis Wan Lui sambil berlagak benar-benar kesakitan, tapi agak menyesal juga dalam hati, bahwa jawaban itu berarti ia memaki dirinya sendiri.

   "Cepat, antar aku meng..hadap Hoa Hiang-cu..."

   "Tapi lukamu..."

   "Jangan pedulikan lukaku. Ini urusan penting yang menyangkut perjuangan luhur kita dalam menegakkan Kerajaan Beng kembali. Aduh... aduh "

   Terpengaruh oleh "semangat perjuangan"

   Wan Lui, orang-orang Pek-lian-kau itu lalu membawa Wan Lui ke kemah Hoa Cek-Gui.

   Ketika dekat dengan kemah itu, dan dalam kemah terdengar suara pertengkaran sengit.

   Suara Hoa Cek Gui sendiri malah tidak terdengar, sebab tokoh itu memang, dikenal pendiam.

   Yang terdengar keras ialah suara Thio Yap dan Cu-sian Cin-jin, seperti biasanya, melambangkan selisih pendapat antara cabang utara dan cabang selatan Pek-lian-kau yang semakin sulit didamaikan.

   "Kebetulan..."

   Pikir Wan Lui.

   "Mudah mudahan laporanku akan semakin menipu hebat perpecahan mereka."

   Salah seorang anggota Pek-lian-kau kemudian mendahului berlari masuk kemah itu, untuk melaporkan kedatangan Wan Lui.

   Hoa Cek-Gui cepat keluar dari kemah, dan ia kenali Wan Lui sebagai salah satu dari dua orang yang dia suruh menghadang Toh Hun yang membuntuti mereka.

   Sekarang ia lihat Wan Lui pulang sendirian dengan berlumuran darah.

   "Kenapa ? Mana kawanmu ?"

   Wan Lui kembali menyeringai seolah amat kesakitan, tapi memaksa diri untuk bersikap hormat, tapi "tidak kuat"

   Dan terhuyung hampir jatuh, sehingga dua orang anggota Pek-lian-kau dikiri-kanannya buru-buru menyangga tubuhnya. "Sudahlah, yang perlu ada laporanmu,"

   Kata Hoa Cek-Gui yang diam-diam terkesan juga oleh lagak-lagu Wan Lui itu.

   "Mana kawanmu ?"

   "Anjing Manchu keparat,"

   Sahut Wan Lui terengah-engah.

   "Dia memang membuntuti kita, dan ketika kami hadang, dia melawan. Temanku terbunuh dan aku terluka, tetapi diapun tak berhasil mengejarku."

   "Hem, rupanya dia mau mencari tahu, tempat kita, mau berbuat curang dan berusaha mengelakkan tekanan kita,"

   Gerau Hoa Cek Gui. Ketika itulah Thio Yap dan Cu-sian Cin-jin keluar pula dari dalam kemah, begitu diluar, Cusian Cin-jin langsung membentuk Wan Lui keras-keras.

   "He, bilang terus terang, apakah kau tadi mengawal Hoa Hiang cu ke kota Sengtin menjumpai penghubung dari Pak-khia itu?!"

   Menghadapi Cu-sian Cin-jin, Wan Lu menunduk dalam-dalam karena khawatir d rinya dikenali oleh si imam yang pernah bertempur dengannya di kota Kim-teng.

   Untung, saat bertempur di Kim-teng itu cuacanya gelap, sehingga Cu-sian Cin-jin agaknya tak bisa mengenali wajah lawannya waktu itu.

   Dalam anggapan Cu-sian Cin-jin, tunduknya Wan Lui itu dianggap karena ketakutan sebab bersalah, dan seolah-olah menbenarkan tuduhannya.

   Keruan imam itu makin gusar.

   Sementara itu Hoa Cek Gui dan Thio Yap yang berdiri agak di belakang Cu-sian Cin-jin itu nampaknya berusaha memberi isyarat kepada Wan Lui dengan mengedip-ngedipkan mata.

   Agaknya mereka ingin supaya Wan Lui menyangkal pertanyaan Cu-sian Cin-jin itu.

   Wan Lui paham, tapi pura-pura berlagak ketololtololan melirik ke arah kedua Hiang-cu itu.

   Sikapnya itu membuat Cu-sian Cin-jin menoleh ke sampingnya, dan masih sempat melihat ThioYap mengedip-ngedipkan mata.

   "Kenapa? Kau kelilipan?"

   Seru Cu-sian Cin-jin murka.

   "Atau memberi isyarat perintah kepada anak-buahmu agar tidak menjawab dengan jujur, begitu? Hem, terbukalah sekarang kedok kecurangan kalian dari cabang Lam-cong!" Thio Yap cuma tertawa dingin, dan belum mampu menjawab. Keruan kemarahan Cu-sian Cin-jin makin meluap.

   "Kalian makin keterlaluan, makin mau menangnya sendiri saja! Kalian lupa, siapa yang susah-payah berhasil menyambut isyarat orangorang dalam istana? Bukankah kami, cabang Pak-cong, yang dengan bertaruh nyawa berhasil membuat kontak dengan mereka, sehingga dapat kami ketahui arah perjalanan Pangeran Hong Lik yang menyamar? Kami, cabang Pak cong, yang telah merintis jalan sehingga Pangeran Hong Lik berhasil kita tangkap. Se karang setelah iblis cilik Manchu itu sudah. di tangan kita, kalian mau mengangkanginya sendiri untuk kepentingan cabang Lam cong saja, yang sudah menjadi mata duitan dan melupakan cita-cita utama kita untuk. membangun kembali Kerajaan Beng kita! Kalian tentu telah pergi ke Seng-tin untuk berunding dengan penghubung dari istana itu. Kalian tidak mengajak aku, sebab perundingan kalian dengan penghubung istana itu pasti untuk kepentingan Lam-cong sendiri, tanpa mengingat lagi kami dari Pak-cong."

   Dan masih banyak caci-maki serta tuduhan yang begitu emosional sampai ludahnya muncrat-muncrat.

   Wan Lui sebenarnya ingin mendengar terus, tapi dua orang anggota Peklian-kau yang memapahnya tadi mengajaknya pergi untuk mengobati luka lukanya.

   Terpaksa Wan Lui harus menurut.

   Seharian itu Wan Lui merasa dimanjadiobati, diambilkan makanan, lalu disuruh tidur dan ia benar-benar tidur sampai sore.

   Sore harinya dengan pundak terbalut sebagai tanda "kepahlawanannya", dia kelur dari kemah untuk ikut bercakap-cakap dengan "teman-teman"

   Pek-lian-kaunya. Segera saja didapatinya percakapan yang menarik.

   "Biar saja Cu-sian Cin-jin pergi!"

   Kata seorang anggota Pek-lian-kau yang berkerumun dekat api unggun yang mulai dinyalakan, karena hari mulai gelap.

   "Kalau dia tetap disini, susah kita, maunya dia mengatur terus. Begini tidak boleh, begitu tidak boleh, sedikit-sedikit marah. Bahkan dengan kedua Hiang-cu kita-pun tak pernah rukuh."

   Wan Lui menyisipkan diri dalam kerumunan itu.

   "Hem, kalau Cu-sian Cin-jin tidak disini lagi, berarti kita bebas menyembelih rusa atau binatang buruan apa saja."

   "Ya, asal jangan membuang darah dan jerohannya sembarangan, tapi harus diuruk tanah."

   Dari arah danau kecil itu sayup-sayup terdengar suara kecipak-kecipak air dari orangorang Pek-lian-kau yang agaknya belum selesai mandi sore, sementara dengung serangga malam mulai terdengar di hutan.

   Wan Lui tetap duduk di dekat salah satu perapian itu, untuk mendengarkan percakapan orang-orang Pek-lian-kau.

   Ada juga seorang yang menanyakan bagaimana luka Wan Lui, dan oleh Wan Lui dtjawaib "sudah baik"

   Disertai kutukan sengit kealamat anjing Manchu.

   "Tapi kalau Cu-sian Cin-jin marah dan menggerakkan orang-orang Pak-cong, tidak-kah keadaan kita berbahaya?"

   Kata seorang anggota dengan cemas.

   "Bukankah saat ini kita masih berada di wilayah pengaruh Pak cong?"

   "Ah, buat apa kita takut? Ilmu mereka. sama dengan kita, biarpun mereka mengaku kalau mereka lebih gaib, tapi kita tetap dapat menangkal mereka. Takut apa? Bahkan kita lebih unggul dalam penggunaan akal sehat di bandingkan hamba-hamba tahyul itu."

   "Kupikir mereka takkan berani bertindak kepada kita, bagaimanapun jengkelnya Dalam perjuangan mereka, mereka tidak boleh mengabaikan dukungan kita di selatan Bukankah pihak kita banyak membantu mereka dalam hal keuangan, sebab mereka tidak becus mencari uang sendiri?"

   Begitulah percakapan mereka, dan Wan Lui semakin paham kenapa dua cabang Pek-liankau itu, Pak-cong dan Lam-cong, tidak rukun.

   "Eh, kapan kita akan berangkat ke kelenteng Hong-kak-si untuk sembayang tahunan?"

   "Tadi siang kudengar Thio Hiang-cu berkata, besok kita berangkat semua ke sana." Ketika itulah Wan Lui ingat bungkusan yang disembunyikannya. Ia pikir, kalau tidak diambil malam ini, mungkin besok pagi akan terlambat repot sebelum mengikuti keberangkatan rombongan Pek-lian-kau ini. Maka dengan alasan ingin beristirahat agar lukanya cepat sembuh, Wan Lui bangkit meninggalkan api unggun dan kerumunan orang-orang yang bercakap-cakap itu. Selama orang-orang Pek-lian-kau masih melihatnya, Wan Lui berjalan dengan langkah lemah dan sebentar-sebentar berhenti sambil menyeringai kesakitan. Namun begitu sampai ke tempat gelap dimana tak seorangpun melihatny Wan Lui tibatiba bergerak seperti seekor burung. Ia mengambil bungkusan yang disembuyikannya tadi, membawanya ke perkemahan, lalu tidurlah ia berada dekat bungkusan itu sambil menunggu pagi. Pagi harinya, ternyata Thio Yap benar benar memerintahkan agar perkemahan di bongkar dan semuanya bersiap berangkat. Menurut apa yang Wan Lui dengar, seluruh rombongan itu akan pergi ke kuil Hong kak-si di distrik Hongyang. Di tempat itu. akan diadakan pertemuan dan sembahyang besar kaum Pek-lian-kau, baik golongan Pak-cong maupun golongan Lamcong. Dalam upacara itu, biasanya kaum Peklian-kau memperbarui ikrar untuk setia dalam perjuangan menegakkan kembali Kerajaan Beng. Lalu upacara biasanya dimeriahkan dengan menyembelih seorang pembesar Manchu yang berhasil mereka culik. Kuil Hong-kak-si di distrik Hong yang dipilih sebagai tempat upacara itu, sebab memang ada sejarahnya. Cu Goai ciang, pendiri dinasti Beng yang hidup di abad 14, pernah menjadi pendeta di kuil itu. Di kuil itu pula pernah hidup tokohtokoh pendiri dinasti Beng lainnya, seperti Pheng Eng-giok dan Thio Su-seng. Ketika para anggota Pek-lian-kau mulai bekerja membongkar kemah, Wan Lui sengaja bekerja di tempat yang dekat dengan kemah tempat mengurung Pangeran Hong Lik. Kalau ada kesempatan, ingin ia melihat bagaimana keadaan Pangeran Hong Lik.

   "Kau jangan ikut membongkar kemah dulu, ingat luka dipundakmu belum sembuh,"

   Kata seorang anggota berkumis putih ketika melihat Wan Lui bergabung dengan sekelompok anggota yang berjalan ke kemah Pangeran Hong Lik.

   "Tidak apa-apa, lukaku sudah sembuh."

   Sahut Wan Lui.

   Akhirnya Wan Lui dan belasan orang Peklian-kau mengikuti Thio Yap menuju ke kemah yang sengaja ditaruh terpencil dari kemahkemah lainnya.

   Namun begitu dekat kemah itu, Thio Yap dan anggota-anggota yang mengiringinya terkejut.

   Ternyata di sekitar kemah tawanan itu nampak ada seorang lelaki asing yang tengah berjalan hilir-mudik dengan sikap amat kebingungan.

   Lelaki yang nampak nya bukan anggota Peklian-kau.

   Yang pahng terkejut adalah Wan Lui, sebab ia kenal lelaki itu adalah In Kiu Liong, yang pernah dikenalnya di Tan-liu dan kemudian bersamasama membuntuti perjalanan Ni Keng Giau ke Hang-ciu.

   Tetapi baru setengah jalan, dia tibatiba memisahkan diri dari Wan Lui dan tak tahu kemana perginya.

   Kalau orang cuma melihatnya dari luar "batas gaib"

   Berupa enam batang dupa yang ditancapkan di tanah, kelihatannya In Kiu Liong hanya kebingungan, sambil sekali-sekali nampak melakukan gerakan silat, entah bertempur dengan siapa.

   Lawannya tidak kelihatan.

   Tapi bagi Wan Lui yang dua malam yang lalu sudah merasakan sendiri betapa angker tempat di seberang "batas gaib"

   Itu, ia maklum apa yang sedang dialami In Kiu Liong.

   Entah dengan alasan apa In Kiu Liong sampai nyasar ke tempat itu.

   Agaknya dia hendak menuju ke kemah tawanan itu, tapi tanpa sadar masuk perangkap ilmu hitam yang dipasang di sekitar kemah tawanan ittu.

   Wan Lui cemas melihat betapa In Kiu Liong semakin kelelahan.

   Kadang-kadang ia membentak sambil memukul dan menendang.

   kadang-kadang berteriak kaget sambil menggulingkan diri.

   Pakaian dan rambut nya sudah morat-marit, wajahnya yang penuh keringat itu nampak ketakutan dan panik luar biasa.

   Rupanya ia sedang bertempur dengan musuh yang tak terlihat orang lain, tapi terlihat olehnya sendiri.

   Thio Yap tertawa dingin melihat adegan itu.

   Geramnya.

   "Semalam rupanya muncul cecunguk ini, yang entah dari mana, mencoba mengambil tawanan kita. Kalau bukan kaki-tangan para anjing Manchu, tentunya ya orang suruhan teman-teman kita dari Pak-cong."

   Seorang anggota mengomentari.

   "Kemungkinan yang lebih besar ya anjing Manchu. Kalau suruhan orang-orang Pak-cong, setidak-tidaknya dia tahu bagaimana menyingkirkan perangkap gaib kita."

   "Sekarang dia tentu sedang bertempur dengan para Thian-peng (prajurit langit).Hem, dia melawan terus tanpa sadar bahwa mahluk yang dihadapinya bukanlah sama dengan kita, melainkan mahluk-mahluk gaib yang tak bisa kelelahan, heh-heh.... anjing Manchu itu akan mampus kelelahan sendiri,"

   "Tapi orang itu berilmu tinggi juga. Lihat, geraknya cepat, mantap dan kadang-kadang mengeluarkan deru angin hebat. Tapi dia kira siapa yang sedang dilawattma?"

   Begitulah anggota-anggota Pek-lian-kau itu mentertawakan ulah In Kiu Liong.

   Wan Lui ikut tertawa-tawa, namun dalam hati amat mengkhawatirkan In Kiu Liong vang betapapun juga pernah tadi temannya.

   Tapi, bagaimana cara menolongnya tanpa membuka kedoknya sendiri sebagai anggota Pek-lian-kau gadungan ' Kalau kedoknya terbongkar, lenyaplah kesempatan baiknya untuk menolong Pangeran Hong Lik yang juga temannya.

   "Bagaimana, Hiang-cu?"

   Tanya seorang anakbuah kepada Thio Yap.

   "Kita biarkan dia mati kehabisan tenaga ?"

   "Akan terlalu banyak makan waktu, padahal kita harus segera berangkat ke kuil Hong-kak-si kata Thio Yap.

   "Aku akan menggunakan kesaktian Ngo-lui-ki (bendera lima Guntur) untuk menghajarnya mampus. Detak jantung Wan Lui menghebat mendengar ucapan Thio Yap itu, tapi masi belum tahu bagaimana cara menolong temannya itu. Sementara itu Thio Yap telah mengeluarkan sebuah bendera kecil segitiga dari balik jubahnya, bendera yang terdiri dari lima warna. Selain itu juga selembar hu, kertas jimat.

   "Kalian semua mundur duapuluh langkah,"

   Perintah Thio Yap kepada anggota-anggota Peklian-kau. Semua anak buahnya pun melakukan perintahnya, termasuk Wan Lui Sementara itu Thio Yap mulai dengan ilmu gaibnya.

   "hu"

   Dijepit dengan dua jari tangan kiri dan digoyoang perlahan sambil membaca mantera, dan entah dari mana datangnya api, tahu-tahu kerta kuning itu menyala terbakar, lalu kini Thio Yap Mengibaskannya berhamburan ke udara.

   Bersamaan dengan itu mulai terasa udara hangat pagi hari tiba-tiba menurun suhunya menjadi lebih dingin.

   Angin keras yang entah dari mana pula datangnya, berjangkit dan berputar di tempat itu.

   Anehnya, hanya ditempat itu.

   Gumaman mantera Thio Yap makin keras, lalu bendera kecil lima warna itu mulai digoyang-goyangkan perlahan seperti orang menari.

   Melihat matanya yang setengah terpejam, agaknya Thio Yap memasuki tahap kemasukan roh halus.

   Tiba-tiba ia membentak sambil mengayunkan bendera itu keras-keras.

   Di tengah pusaran angin itu lalu terdengar suara gemuruh tanpa wujud, berbarengan terlihat In Kiu Liong jatuh terjungkal sambil berteriak ketakutan.

   Ketika ia melompat bangun kembali, nampak wajahnya pucat pasi ketakutan, bajunya dibagian pundak nampak robek terbakar, Nampak pula kulitnya melepuh.

   Selagi tertatih-tatih In Kiu Liong mencoba bangkit, Thio Yap kembali membentak sambil mengibaskan benderanya.

   Kembali In Kiu Liong kena serangan tak berwujud, agaknya di bagian punggung, sampai dia terjungkal telungkup.

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Baju di punggungnyapun robek hangus.

   Saat itulah Wan Lui merasa tidak sampai hati untuk terus berpeluk tangan, la siap berbagi nasib dengan In Kiu Liong, tidak peduli kedoknya bakal terbongkar.

   Urusan menolong Pangeran Hong Lik bisa diusahakan lain waktu, namun In Kiu Liong bisa mati kalau tidak ditolong saat itu juga.

   Apalagi ketika dilihatnya Thio Yap siap-siap mengayunkan bendera Ngo-lui-kinya lagi.

   Tapi sebelum Wan Lui bertindak, mendadak dari dalam hutan di sebelah perkemahan itu terdengar derap langkah banyak orang berlari mendekat.

   Muncul belasan lelaki bertumpang sangar-sangar yang tidak berpakaian seragam Pek-lian-kau.

   Biarpun membawa senjata, mereka juga masih membawa ember-ember kayu yang entah apa isi nya.

   Pemimpin dari orang-orang yang baru tjatang ini adalah seorang lelaki raksasa berambut merah, berbaju kulit macan tutul, senjatanya adalah sebatang toya Long ge-pang (toya gigi serigala) yang nampak berbobot berat.

   Sambil memimpin orang-orangnya menyerbu, ia berteriak.

   "Kawanan pemuja siluman! Bebaskan Toa-ko kami!"

   Dialah Ang-mo-Liong (naga rambut merah) Goh Kun, bekas pimpinan pertama gerombolan bandit Kiu-liong-san, yang setelah diambil alih In Kiu Liong maka kedudukan Goh Kun merosot jadi nomor dua.

   Namun ia tidak dendam kepada In Kiu Liong, bahkan merasa beruntung, sebab sejak itu gerombolan Kiu-liong-san jadi tambah kuat dan berhasil menaklukkan gerombolangerombolan lain.

   Lebih dari itu, Goh Kun benarbenar mengharap terwujudnya omongan In Kiu Liong tentang "perjuangan sampai menduduki tempat-tempat terhormat dalam pe pemerintahan masa depan."

   Itulah sebabnya Goh Kun tidak membiarkan In Kiu Liong dalam bahaya. Kepada orang-orangnya, Goh Kun berkata.

   "Pecahkan ilmu siluman itu!" Beramai-ramai para berandal Kiu-liong-san menyiramkan isi ember-ember kayu mereka. Isinya ternyata adalah benda-benda najis yang dianggap bisa menangkal ilmu gaib, seperti jerohan binatang, darah kucing hitam, burung hitam, anjing hitam, ayam hitam, kambing hitam dan binatang serba hitam lain. Ada pula beberapa ember tinja yang baunya tentu saja bukan main, kaena diciduk dari jamban-jamban umum di pasar. Tapi memang manjur. Thian-peng Ngo-lui-tin (formasi perajurit langit dan lima guntur) yang dipasang Thio Yap di tempat itu, kini pecah. In Kiu Liong yang baru saja dikungkung kegelapan dan pusaran angin dingin, serta diserang mahluk-mahluk menakutkan, bahkan dua kali disambar petir yang tidak ketahuan asal-usulnya, kini melihat cuaca cerah kembali. Kegelapan, angin dingin, petir dan mahlukmahluk gaib yang mengeroyoknya tiba-tiba sirna semua setelah dilempari benda-benda najis oleh berandal-berandal Kiu-liong-san. In Kiu Liong terengah-engah kelelahan, setelah setengah malaman ia dilelahkan oleh ilmu gaib itu. Kini dilihatnya dirinya berada di sisi kemah berisi Pangeran Hong Lik yang semalam ingin dicurinya. Di sisi hutan nampak para berandal Kiu-liong-san bersama pemimpin-pemimpin mereka, masing-masing Ang-mo-liong Goh Kun, Toat-kak-liong (Naga Kaki Besi) Hok Tong Peng dan To Cai Liong (Naga Banyak Hutang) He Seng Boan yang tampangnya selalu murung, tepat seperti orang kebanyakan hutang. Di hadapan mereka nampak Thio Yap dan segerombol orang Pek-lian-kau, menyusul datang Hoa Cek Gui dan ratusan orang Pek-liankau dalam sikap siap tempur. Dengan mata mencorong gusar, In Kiu Liong menatap orang-orang Pek-lian-kau itu sambil menggeram.

   "Bangsat-bangsat pengecut kalian, hanya berani mengandalkan hoat-sut (ilmu gaib) untuk menghadapiku. Sekarang kutantang kalian, berani beradu ilmu silat denganku atau tidak?" Habis berkata demikian, ln Kiu Liong melompat ke sebuah pohon yang batangnya sebesar pinggang orang dewasa. Sekali hantam dengan telapak tangannya, pohon itu tergetar dahsyat sehingga sebagaian besar daunnya rontok beterbangan, lalu patah batangnya tepat yang dikenai telapak tangan. Orang-orang Pek-lian-kau terkesiap, tak terkecuali Thio Yap dan Hoa Cek Gui yang ilmu silatnya dianggap paling tinggi di perkemahan itu. Melihat pukulan sedahsyat ttu, baik Thio Yap maupun Hoa Cek Gui sama-sama tidak punya keyakinan bisa menang kalau harus melawan In Kiu Liong, bahkan juga jika maju berdua sekaligus. Kalau mengerahkan seluruh anak buah mereka, ya memang bisa menang, tapi entah berapa banyak anak buahnya yang bakal jadi korban. Itulah kemenangan yang terlalu dipaksakan. Sementara itu, Goh Kun dan Hok Tong Peng yang juga punya tenaga raksasa biarpun tidak sehebat In Kiu Liong, juga tidak ketinggalan main gertak. Masing-masing mengayunkan senjata untuk menggebuk patah satu pohon besar, Goh Kun dengan Long ge-pang, Hok Tong Peng dengan Kim-kong-cu (gada malaikat)nya. Melihat itu, Thio Yap membuat pertim bangan baru. Orang-orang yang dihadapinya itu toh nampaknya bukan "anjing-anjing Manchu"

   Yang dimusuhi Pek-lian-kau.

   Menilik pakaian mereka, agaknya cuma sekelompok berandal biasa.

   Thio Yap menganggap tidak ada perlunya bermusuhan dengan kelompok berandal yang nampaknya tangguh ini.

   Karena itulah Thio Yap bersikap ramah.

   Lebih dulu ia membungkuk hormat, lalu berkata.

   "Aku minta maaf kepada tuan, agaknya karena kita belum saling kenal, maka terjadilah kesalah pahaman ini. Maka perkenankanlah kami memperkenalkan diri. Namaku Thio Yap, salah satu Hiang-cu (hulu-balang) Pek-lian-kau cabang Lam-cong, dan yang di sebelahku ini adalah Hoa Cek- Gui, juga seorang hulubalang Lam-cong Pek-lian-kau. Kami mohon maaf kalau perangkap gaib Thian-peng Ngo-lui-tin yang kupasang di tempat ini membuat tuan tidak berkenan. Kami sebetulnya hanya berjaga-jaga terhadap musuh, dan tadi kugunakan kesaktian Ngo-lui-ki karena mengira Tuan adalah musuh..."

   Kedongkolan In Kiu-liong sebetulnya belum terhapus sama sekali.

   Sebenarnya dia datang kesitu bukannya tidak sengaja, melainkan sengaja mau menculik Pangeran Hong Lik, karena ia sudah mengikuti rombongan penculik itu diam-diam sejak dari kota Kim-teng, sejak Siau Gin-heng membisikinya bahwa Kui ThianCu adalah penyamaran Pangeran Hong Lik.

   Tujuan ln Kiu-Uong tidak jauh berbeda dari tujuan Thio Yap dan kawanannya itu, yaitu menggunakan Pangeran Hong Lik memeras pihak istana habis-habisan.

   Pangeran Hong-lik jadi semacam "tambang harta karun"

   Yang diperebutkan beberapa pihak.

   Namun melihat betapa ratusan orang Peklian-kau yang sudah siap tempur di belakang Thio Yap itu, sudah tentu ln Kiu liong takkan menunjukkan niat yang sebenarnya, la juga sadar, kalau ngotot main kekerasan, bakal berat untuk pihaknya sendiri.

   Dengan menimbang gelagat, terpaksa ln Kiu Liong berkata dengan sopan.

   "Kalau cuma kesalah-pahaman, tidak apa-apalah. Biarpun nyawaku hampir melayang karenanya..."

   "Sekali lagi aku minta maaf..."

   Kata Thio Yap sambil membungkuk hormat sekali lagi.

   "Thianpeng Ngo-lui-tin yang kupasang tidak bermaksud mencelakakan orang, hanya sebagai penjagaan..."

   "Ah, sudahlah. Akupun tidak berrnaksud apa-apa terhadap kalian, hanya sekedar lewat tempat ini tanpa sengaja, dan tanpa sengaja pula memasuki pintu Thian-peng Ngo-luitinmu..."

   "Kalau Tuan berkenan, sudikah Tuan-tuan menjadi tamu di perkemahan kami untuk memperdalam persahabatan kita ?"

   In Kiu Liong membalas menghormat sambil menjawab.

   "Terima kasih. Tapi kami ada urusan penting lain yang harus kami selesaikan, jadi kami minta diri saja." Undangan Thio Yap itu memangnya juga cuma basa-basi dan tidak bersungguh-sungguh, maka ketika In Kiu Liong menolak, Thio Yap juga tidak mau repot-repot menahannya kecuali minta maaf sambil mengucapkan selamat jalan. In Kiu Liong dan rombongannya pun segera berlalu. Setelah mereka pergi, Thio Yap tertawa dingin dan berkata.

   "Hem, kalian anggap kami ini anak kecil yang gampang dikelabuhi? Kalian sudah menyiapkan ember-ember berisi barangbarang najis untuk memecahkan barisan gaibku, bagaimana kalian masih berani mengaku bahwa kalian cuma kebetulan lewat?"

   Tanya Hoa Cek Gui.

   "Apakah mereka anjinganjing Manchu?"

   Sahut Thio Yap.

   "Bukan anjing Manchu tapi sama-sama anjingnya. Anjing yang mencari tulang besar. Agaknya soal kita menawan Pangeran Hong Lik bukanlah rahasia lagi kawanan anjing tadi pasti datang untuk merebut Hong Lik dari tangan kita, untuk keuntungan diri mereka sendiri." "Darimana kira-kira mereka mendengarnya? "Mungkin di Kim-teng. Peristiwa penculikan Hong Lik cukup menggemparkan mustahil bisa ditutup rapat."

   "Kenapa Toa-ko tadi tidak memerintah kan saja untuk menumpas mereka? Kita berjumlah ratusan orang, dan mereka cuma puluhan."

   Thio Yap menunjuk tiga batang pohon yang dipatahkan oleh ln Kiu Liong, Goh Kun dan Hok Tong Peng tadi, sambil berkata.

   "Mereka bukan lawan enteng. Kalau kita suruh anak-buah kita maju semua, memang bisa menang, tapi separuh dari orang-orang kita akan ikut mati bersama mereka. Lagipula kita seperti menambah musuh, menambah kerepotan di kemudian hari. Maka lebih baik kalau kita segera bersiap menuju ke Hong-kak-si saja."

   Hoa Cek Gui mengangguk-angguk.

   "Nah, sekarang aturlah orang-orang kita menjaga sekitar tempat ini,"

   Kata Thio Yap kemudian.

   "Jangan sampai ada gangguan sementara aku bersembahyang membubarkan Thian-peng Ngo-lui-tin." Hoa Cek Gui segera mengatur sebagian besar anak-buah di sekitar tempat itu. Sedangkan Thio Yap dibantu beberapa anak-buah mulai mengatur meja sembahayang, lengkap dengan lilin, sesaji buah-buahan, dupa dan sebagainya. Thio Yap lalu mengurai rambutnya, setelah itu tenggelamlah ia dalam sembahyangnya yang asyik. Melihat itu, Wan Lui tak mampu membendung rasa ingin tahunya, dan berbisik kepada seorang anggota Pek-lian-kau di sebelahnya.

   "Bukankah para Thian-peng seharusnya sudah pergi, karena orang-orang tak dikenal tadi telah melemparkan bendabenda najis? Kenapa sekarang masih diadakan sembahyang pembubaran Thian-peng Ngo-luitin lagi?"

   


Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long Pertarungan Dikota Chang An Karya Wen Rui Ai Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung

Cari Blog Ini