Mencari Bende Mataram 11
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 11
Mencari Bende Mataram Karya dari Herman Pratikto
Mendengar jawaban pemuda itu, hati Kilatsih mendongkol.
"Benarrupanya di kolong langit ini hanya engkaulah pendekar yang gagah."
Sesudah berkata demikian, ia memutar tubuh dan berjalan memasuki rimba. Mendadak suatu bayangan berkelebat menghadang di depannya.
"Adik! Sabar dahulu,"
Kata pemuda itu.
"Menurut pendapatku, engkaulah seorang gagah yang pantas menjadi tauladan anak-cucu kita."
"Apa? Anak cucu kita?"
Semprot Kilatsih dengan muka merah.
"Ehmaksudkuuntuk anak cucu bangsa kita,"
Pemuda itu memperbaiki kata-katanya.
Kilatsih tertegun sejenak.
Akan tetapi segera ia melangkahkan kakinya.
Sebaliknya si pemuda tak mau sudah.
Kilatsih berjalan ke kiri, pemuda itu menghadang ke kiri pula.
Apabila Kilatsih membelok ke kanan, pemuda itu pun segera menghadang di depannya.
Kilatsih mendongkol.
Sekarang ia bergerak dengan gesit.
Akan tetapi pemuda itu tetap saja bisa membayangi seolah- olah bayangannya sendiri.
"Kenapa sih kau selalu mencegat aku?"
Bentak Kilatsih dengan hati dengki.
Berbareng dengan pertanyaannya, ia melesat tinggi.
Pemuda itu mengulurkan tangannya ke arah dada.
Maksudnya hendak mencegah.
Tentu saja Kilatsih tak sudi membiarkan tangan pemuda itu menyentuh dadanya.
Cepat sekali ia menyilangkan tangannya.
"Bedebah! Kau berani meraba dadaku!"
Bentaknya.
Gntunglah, bentakan itu hanya berhenti di dalam dadanya.
Sebagai gantinya ia menghunus pedangnya dan menikam.
Pemuda itu kaget bukan main.
Cepat ia menjejak tanah cfan melesat mundur.
Kilatsih telah mengumbar rasa bencinya, la menikam dengan seluruh tenaganya.
Maklumlahia mengira pemuda itu sangat kurangajar sehingga sampai berani bermaksud meraba dadanya.
Tetapi begitu tikaman-nya tidak mengenai sasaran, ia menerima akibatnya.
Lengannya sampai terasa copot.
Tak dikehendaki sendiri, ia merintih kesakitan.
Pemuda itu bermata tajam.
Dengan sekali pandang tahulah dia, apa sebab Kilatsih sampai merintih.
Segera ia menghampiri hendak menolong menyambungkan urat nadi yang tergeser dari tempatnya itu.
Akan tetapi dengan mata merah, Kilatsih membentak.
"Jangan pedulikan aku. Pergi!"
Dengan mengeratkan gigi, ia memegang tangan kanannya dengan tangan kiri.
Kemudian didorongkan ke atas dengan suatu hentakan.
Dengan gerakan itu, pulihlah urat nadinya yang tergeser.
Kemudian ia menyingsingkan lengannya untuk mem-borehi dengan obat luar.
Setelah itu, ia menggerakkan kakinya hendak pergi meninggalkan pemuda itu secepat-cepatnya.
Sekonyong-konyong ia merasakan sekujur badannya lemas lunglai.
Sekarang sadarlah dia, bahwa ia telah mengeluarkan tenaga berlebih-lebihan semenjak semalam.
Sekarang terasalah akibatnya.
Hati-hati pemuda itu mendekat.
Katanya pelahan.
"Adik, perkenankan aku memohon maaf. Sama sekali tak pernah kuduga, bahwa hatimu sangat polos dan mulia. Kau bertempur dan berkelahi untuk menolong sesamamu. Karena itu, ingin aku bersahabat denganmu. Sekian lamanya aku hidup dan baru untuk pertama kali ini aku bertemu dengan seorang yang berpribadi seperti dirimu. Memang aku seorang yang beradat sangat tinggi dan andaikata sepak terjang dan kata-kataku menyinggung perasaanmu sudilah engkau memaafkan."
Dengan pandang mata jernih bening, pemuda itu menatap wajah Kilatsih.
Dan kena pandang itu entah apa sebabnya tiba-tiba wajah Kilatsih terasa panas.
Di luar kehendaknya sendiri, mukanya lantas menjadi merah muda.
Ia kini berkesan lain terhadap pemuda itu.
Ternyata dia seorang yang berbudi pekerti luhur dan agung.
Sepak terjangnya sangat mengagumkan.
Maka ia menegas dengan kepala menunduk.
"Apa sebab engkau mencela Manik Angkeran?"
Mendengar pertanyaan itu, si pemuda tertawa pelahan.
"Adik! Belum tentu seseorang yang kau kagumi, mesti kukagumi juga. Apa sebab engkau memaksa aku untuk mengagumi pahlawanmu? Lagipula, aku tadi sama sekali tidak memakinya atau mengutuki. Aku hanya mengemukakan pendapatku. Mungkin bagimu ada hal- hal yang patut kau kagumi. Akan tetapi, aku pun mungkin sekali ada hal-hal yang membuat aku mempunyai pendapat sendiri. Ah, sudahlah apa perlu membicarakan perkara dia? Apa sih keuntungannya? "
Tergerak hati Kilatsih. Kata-kata pemuda itu beralasan. Kalau dipikir memang salahnya sendiri. Dia terlalu membawa perasaannya sendiri, sehingga lupa mempertimbangkan keadaan hati orang lain.
"Apakah engkau kenal dia?"
Tiba-tiba saja, pemuda itu berubah wajahnya. Lalu bersenandung.
"Pohon rindang di tebing arus sungai. Suatu kali mahkota daunnya rontok berguguran dan terhanyut lenyap. Ah, apa guna mencari rerontokan yang terbawa arus sungai. Bukankah di tebing masih ada sebatang pohonnya yang tengah berkembang?"
Aneh suara senandungnya bernada pedih. Kilatsih adalah seorang yang keras hati, tetapi sesungguhnya halus perasaannya. Begitu mendengar suara senandung itu; tergeraklah hatinya. Katanya di dalam hati.
"Pemuda ini mungkin sekali mempunyai riwayat hidup yang sedih. Sesedih riwayat hidupku. Aku tak sudi seseorang mengenal diriku, kecuali orang-orang tertentu. Apa sebab aku memaksa dia untuk memberi jawaban semua pertanyaanku?"
Oleh pertimbangan itu, hatinya lantas tertarik terhadapnya. Katanya memperbaiki diri.
"Baiklah aku tidak akan mengganggumu lagi. Kita berpisah sampai disini saja..."
Pemuda itu mengawasinya dengan pandang tercengang. Kemudian tertawa penuh pengertian.
"Adik! Hari ini engkau telah menjadi pe-ngawalku. Sudah selayaknya aku harus mengundangmu makan minum sebagai pernyataan rasa terima kasihku. Kecuali ituatas jasamuaku pun wajib memberi upah jasa. Aku berjanji pula, tidak* akan memperkatakan dirimu sebagai seorang pemuda penganglap."
Kali ini Kilatsih seperti mengenal tabiat pemuda itu. Ia tidak merasa tersinggung. Malahan ia bisa menganggap kata-katanya seperti seseorang lagi bersendau gurau, la lantas menebarkan pandangnya.
"Di tengah rimba raya begini, dimanakah engkau memperoleh makanan dan minuman?"
Mendengar pertanyaan Kilatsihpemuda itu lantas bersiul melengking. Dan tak lama kemudian datanglah dua ekor kuda berderap. Kuda putih dan kuda hitam. Dan melihat dua ekor kuda itu, si pemuda tertawa gelak.
"Lihatlah! Mereka telah mendahului bersahabat."
Kuda hitam menghampiri majikannya. Pemuda itu lantas menggerayangi pelananya. Dan ia membawa keluar bungkusan makanan dan sebotol minuman keras.
"Kau sangat lelah, adik. Kaulah yang meneguk dahulu,"
Ujarnya ramah. Kilatsih menerima botol itu. Sekali pandang, ia melihat tanda pengenal minuman keras itu yang melekat pada botolnya.
"Benarlah dugaanku. Dia pasti berasal dari Banten. Inilah minuman keras buatan bangsa seberang lautan."
Kilatsih mengenal merk minuman keras itu.
Titisari sering membawa beberapa botol minuman keras untuk ayahnya.
Sangaji sendiri, sering pula membawa beberapa botol untuk gurunya, la tidak begitu gemar.
Akan tetapi teringat betapa gurunyaGagak Setagemar minum minuman keras maka setiap kali pulang ke Karimun Jawa mengikuti isterinya selalu membawa beberapa botol untuk oleh-oleh.
"Apakah kau mengenal merk minuman itu?"
Si pemuda bertanya.
"Kau begini lemah lembut. Pastilah engkau tidak gemar minuman keras. Akan tetapi kau nampaknya tidak asing. Apakah keluargamu berasal dari pantai utara?"
Kilatsih tersenyum. Senang ia mendengar pujian pemuda itu. Sewaktu hendak membuka mulut, tiba-tiba pemuda itu seperti tersadar.
"Aku sendiri tak sudi memperkenalkan diri. Apa sebab aku menanyakan asal-usulmu. Maafmaaf, maaf....."
Makin tertarik hati Kilatsih, menyaksikan lagak lagu pemuda itu. Tak terasa ia bertanya.
"Pada malam itu, engkau menolong membebaskan Andi Basanta dari tikamanku. Agaknya dia...."
Pemuda itu enggan menjawab. Ia mengeluarkan sebotol arak dan diteguknya. Dan Kilatsih tak berani mendesak dan bergumam.
"Kompeni Belanda dan Kerajaan Banten kini nampak menjadi retak, akibat perbuatan Gubernur Raffles serta Daendels. Rupanya keluargamu kena desak. Kau lantas melarikan diri sesudah menjual semua harta bendamu. Bukankah begitu?"
Lagi-lagi pemuda itu meneguk botol araknya. Ia tak sudi menjawab. Ia seperti membiarkan Kilatsih menebak- nebak tentang dirinya.
"Sewaktu menginap di rumah terpencil dahulu, empat orang datang hendak merampas uang bekalmu yang dua aku kau bantu membunuhnya. Tetapi engkau menolong yang dua. Apa sebab begitu?"
Kata Kilatsih lagi. Pemuda itu tertawa sambil meneguk botol araknya.
"Adik! Rupanya engkau mempunyai kegemaran menghujani seseorang dengan pertanyaan. Tahukah engkau, siapakah yang kutolong?"
"Mereka anak buah Otong Surawijaya. Sedang yang kau biarkan mati di tanganku adalah orang dari banten,"
Jawab Kilatsih dengan bernafsu. Mendengar jawaban Kilatsih, pemuda itu tercengang sejenak. Kedua matanya bersinar tajam. Lalu meneguk araknya beberapa kali. Terang sekali, ia mencoba menghindari pertanyaan Kilatsih.
"Hai! Arakku tinggal separuh!"
Serunya dengan kecewa.
Heran Kilatsih mendengar bunyi seruannya.
Ia merasakan hadirnya pemuda itu sangat aneh.
Akan tetapi tak mau ia mendesak.
Bukankah dia sendiri enggan menjawab beberapa pertanyaannya.
Maka ia mengalihkan pembicaraan dengan tertawa perlahan.
"Apa sih enaknya minum arak?"
"Inilah arak dari pelabuhan Banten!"
Jawab pemuda itu.
"Dimana-mana engkau bisa membeli arak. Apakah ada bedanya?"
"Tentutentu saja!"
Sahut pemuda itu dengan cepat.
"Lagipula arak ini membuat aku terkenang kepada kampung halaman dan keluarga. Memang beberapa orang menganggap enteng perpisahan ituakan tetapi bagiku sangat mahal harganya....". Sesudah berkata demikian, ia nampak berduka. Ia mencium-cium mulut botolnya dengan memejamkan kedua matanya. Melihat perbuatan pemuda itu, Kilatsih mendadak teringat kepada ayah angkatnya, Sorohpati. Ayah angkatnya itu seorang pendekar yang tangguh. Pada suatu kali seorang pedagang ikan dari Pekalongan memasuki perkampungan. Segera ia datang menghampiri. Bukan untuk membeli ikannyaakan tetapi untuk mencium airnya. Itulah air laut yang dikenangkan, katanya. Yang dikenalnya dan yang meresap di dalam perbendaharaan hatinya. Setelah ayah angkatnya tewas, barulah dia tahubahwa Sorohpati pada masa mudanyapernah mengabdi kepada Adipati Surengpati yang bermukim di tengah pulau Karimun Jawa. Teringat hal itu, Kilatsih bertanya dengan tiba-tiba.
"Apakah engkau berasal dari Banten?"
Pemuda itu kaget, la menyenakkan mata dan menatap wajah Kilatsih, katanya "Apakah tampangku mirip orang Banten?"
Oleh perkataan Itudengan tak sadar Kilatsaih menatap wajah pemuda di depan-nya.
Cakap, agung dan berwibawa.
Beberapa bulan Kilatsih pernah merantau memasuki dusun dan kota.
Tetapi pemuda secakap dia belum pernah dijumpainya.
Oleh karena itu, wajahnya sendiri lantas saja terasa menjadi panas.
"Meskipun engkau mengenakan topeng meskipun badanmu hancur bagaikan abu engkau adalah seorang ksatria yang dilahirkan dan dibesarkan di bumi Jawa,"
Kata Kilatsih mengatasi perasaannya. Pemuda itu tercengang sejenak. Kemudian menyahut dengan gembira.
"Ah, benar! Meskipun mengenakan topeng meskipun badan hancur bagaikan abu memang aku dilahirkan di bumi Jawa. Bagus! Mari, mari kita minum!"
Sesudah berkata demikian, ia meneguk botolnya beberapa kali. Kilatsih tertawa geli.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau minum tak ubah kerbau edan. Tentu saja arakmu cepat habis. Kau begitu sayang kepada arakmu. Mengapa tak berhemat?"
Senang hati pemuda itu mendengar teguran Kilatsih. Ia seperti merasakan suatu kemanisan. Setelah tertawa gelak, ia menjawab.
"Pada hari ini, hatiku sangat gembira. Maka aku ingin minum sepuas-puasnya."
"Apakah yang membuat hatimu senang?"
"Pertama-tama, aku berkenalan dengan seorang sahabat seperti dirimu. Kedua, hari ini aku memperoleh suatu mustika dunia,"
Sahut pemuda itu dengan mata memancar.
"Karena ituadikmari, kau temani aku minum sepuas-puasnya. Lebih sedap lagi, kalau kita minum sambil menikmati indahnya sebuah lukisan."
Berkata demikian, ia mengeluarkan segu-lung kulit halus. Segera ia membeber di antara tiupan angin. Lalu digantungkan pada sebatang dahan. Katanya penuh semangat.
"Lihatlah! Bukankah gambar itu suatu mustika dunia yang jarang sekali kita jumpai?"
Semenjak berumur empatbelas tahun, Kilatsih berada di bawah asuhan Adipati Surengpati yang berpengetahuan luas.
Kecuali ilmu sakti, Kilatsih belajar pula membaca, menulis dan menggambar.
Ia sendiri belum boleh disebut pandai melukis.
Akan tetapi, ia paham dan mengenal arti lukisan.
Tatkala berada di kamar Raja Muda Dwijendra, ia melihat lukisan itu hanya selin-tasan saja.
Kini, ia bisa melihatnya dengan sepuas hati.
Memang bagus gambar itu.
Akan tetapi kalau dikatakan sebagai barang mustika, belumlah kena.
Lukisan itu menggambarkan suatu pertempuran dahsyat di tepi Sungai Cisadane.
Air sungai nampak merah kena percikan darah.
Arusnya bergolak, karena ledakan meriam Kompeni Belanda.
Lukisan pertempuran demikian, apakah eloknya? Kecuali hanya mempunyai harga sejarah belaka.
Maka ia tertawa di dalam hati.
"Pemuda ini ternyata masih kurang, dalam hal seni lukis,"
Pikirnya. Pemuda itu seperti dapat membaca pikiran Kilatsih. Setelah meneguk araknya, ia berkata.
"Bagaimana? Apakah engkau belum menemukan letak keindahannya?"
Kilatsih hendak menyatakan pendapatnya tapi pemuda itu sekonyong-konyong berdiri dan menghampiri lukisan.
Dengan penuh sayang, ia mengusap corat-coretnya agar nampak lebih jelas.
Lalu bersenandung.
sesungguhnya diri hambatuan berasal dari gunung rumah hamba pertapaan Argapura Rengganis nama hamba, puteri seorang pendeta Samar-samar Kilatsih pernah mendengar nama Rengganis.
Itulah nama seorang puteri yang digambarkan sejarah sebagai seorang dewi dan pada suatu kali, puteri itu datang menemui Arya Wira Tanu Datar yang sedang bertapa di atas gunung.
Konon dikhabarkan, ia memberi suatu mustika kepada Arya Wira Tanu Datar.
Sekarang pemuda itu bersenandung mengenai hal itu.
Apakah hubungannya dengan gambar di depannya? Dan suaranya makin lama makin terdengar terharu.
Sekonyong-konyong menangis sedih sekali.
Kilatsih menjadi bingung.
Tak tahu ia apa sebab pemuda itu mendadak menangis.
Memang pernah ia mendengar suatu tutur kata yang berbunyi begini.
"Kalau kau lagi sedih, menyanyilah! Dan kesedihanmu akan larut terbawa keindahan suaramu sendiri. Akan tetapi manakala engkau bernyanyi terlalu berlarat, engkau akan kembali bersedih. Sebab suara nyanyianmu akan berubah menjadi pekik tangis...". Ternyata tutur kata itu tepat sekali. Tangis pemuda itu makin lama makin keras. Kilatsih bertambah tak mengerti dan kian menjadi bingung. Apa yang harus dilakukan? Dengan pemuda itu, ia baru berkenalan sepintas saja. Apabila dia mendekat untuk menghibur, rasanya kurang pantas. Bukankah dia sebenarnya seorang gadis? Sebaliknyaapabila ditinggal pergi dengan begitu saja akan tercela juga. Oleh pertimbangan yang menentu itu, ia jadi tertegun-tegun. Dalam pada itu tangis si pemuda terdengar merintih menyayatkan hati. Tak dikehendaki sendiri, Kilatsih ikut mengucurkan air mata dan melihat Kilatsih menangis, mendadak ia menyeka air matanya. Kemudian berhenti menangis dengan mendadak. Sebentar lagi, ia mendongak merenungi mahkota pepohonan dan sekonyong-konyong tertawa terbahak-bahak.
"Eh, apakah kau mabuk?"
Kilatsih mem-berengut.
"Kau menangis dan tertawa tak keruan juntrungnya. Apa sebab begitu?"
Perlahan-lahan pemuda itu meruntuhkan pandang kepada Kilatsih.
"Kalau aku mabuk, engkau pun mabuk juga. Bukankah engkau menangis tak keruan juntrungnya pula?"
Kilatsih memeriksa dadanya.
Bagian itu basah bekas tetesan air mata.
Jadinyaia tadi ikut menangis pula.
Kalau dipikir memang ia menangis tanpa alasan.
Ini namanya kena penyakit menular yang berjangkit dengan tiba-tiba.
Teringat hal itu, ia malu sendiri.
Tetapi ia segera tertawa dan pemuda itu ikut tertawa pula.
"Kita menangis dan tertawa. Apa perlu malu? Manusia di dunia ini, siapakah yang tidak pernah menangis dan tertawa? Yang sukar adalah ini, kalau ingin menangis menangislah sepuas hati. Kalau ingin tertawa, tertawalah sepuas-puasnya. Adik, ternyata engkau segolongan dengan diriku."
Setelah berkata demikian, ia menggulung gambarnya dengan cermat dan hati-hati. Kembali ia bersenandung.
"Sungai Cisa-dane, Pajajaran dan Pakuan telah lama runtuh. Namun airmu tetap mengalir seperti dahulu kala. Bila aku melihat gambarmu... teringatlah aku masa tujuhpuluh tahun yang lalu. Kau megah, gagah, perkasa dan indah. Tetapi ingatan itu membuat hatiku berduka..."
Tergerak hati Kilatsih mendengar kata-kata tujuhpuluh tahun. Pikirnya di dalam hati.
"Tujuhpuluh tahun! Semalam tatkala dia berada di kamar atas, Paman Dwijendra menyebut-nyebut pulatujuhpuluh tahun. Dia sudah menunggu selama dua keturunan. Apakah artinya? Pemuda itu paling tinggi baru berumur duapuluh empat tahun. Sedang Paman Dwijendra mungkin berusia enampuluh tahun. Pastilah kata-kata tujuhpuluh tahun itu mempunyai arti sandi atau teka-teki tertentu....."
La mencoba menebak dan menduga-duga. Tapi tetap saja ia gagal, tatkala itu, ia mendengar si pemuda berkata pelahan seperti kepada dirinya sendiri.
"Hari ini puaslah hatiku. Aku kenyang menangis dan tertawa. Sayang, arak sudah habis."
Pemuda itu agaknya sangat kecewa dan menyesal. Tiab-tiba ia membanting botol minuman dan pecah berantakan. Dan Kilatsih merasakan sesuatu yang menarik dan aneh. Waktu itu, matahari sudah melewati titik tengah. Kilatsih segera mengalihkan perhatian.
"Saudara! Kukira sudah tiba waktunya kita berpisah."
Wajar ucapan Kilatsihakan tetapi hatinya sesungguhnya merasa berat untuk berpisahan. Entah apa sebabnya.
"Sebenarnya kau hendak kemana?"
Pemuda itu minta keterangan. Mendengar pertanyaan itu, Kilatsih seperti tersadar dari tidur nyenyak.
"Benar,"
Katanya di dalam hati.
"Sebenarnya kemana tujuanku? Tadinya aku bermaksud mendaki Gunung Cibugis untuk bertemu dengan Kangmas Sangaji. Tetapi aku balik di tengah jalan..."
Karena belum memperoleh kepu-tusan, ia menjawab mengelakkan.
"Aku pergi kemana saja mengikuti kata hatiku. Kau tak perlu mengetahui."
Pemuda itu tertawa.
"Apakah engkau hendak balik kembali ke rumah Paman Dwijendra? Apa yang kau lakukan semalam dalam kamar temanten, kuketahui dengan jelas."
Mendengar kata-kata pemuda itu, muka Kilatsih terasa panas. Teringatlah dia kepada pengalamannya semalam dengan Sekar Kuspaneti. Hendak ia membuka mulutnya, tiba-tiba pemuda itu mendahului.
"Puteri Paman Dwijendra cantik luar biasa. Benar- benar di luar dugaanku. Nampaknya ia bisa berkelahi pula. Adikmengapa kau menolak kawin dengan dia?"
"Aku sudi mengawini atau tidak, apa sih kepentinganmu?"
Potong Kilatsih garang. Lagi-lagi pemuda itu tertawa melalui -hidungnya.
"Seumpama semalam aku tidak mengacau di dalam rumah itu, pastilah engkau takkan bisa bebas lagi seperti sekarang. Kenapa kau tak berterima kasih kepadaku?' Mau tak mau, Kilatsih tersenyum. Dalam hatinya ia tertawa geli dan gemas mendengar ujar pemuda itu.
"Tapi sikapmu itu memang bagus sekali. Kita termasuk golongan manusia gagah dan manusia gagah tidak boleh terjeblos dalam jebakan radang cinta asmara. Benar- benar aku kagum kepada imanmu yang teguh. Benar- benar kau adikku yang manis."
Merah dan terasa panas wajah Kilatsih, mendengar pemuda itu menyebut dirinya sebagai adiknya yang manis.
Sebenarnya wajar kata-katanya seumpama dia seorang laki-laki.
Akan tetapi justru dia merasa diri seorang gadis, ia merasa pemuda itu seperti mengetahui siapa dirinya sebenarnya, la jadi takut untuk berbicara berkepanjangan lagi dengan dia.
Jangan-jangan dia keseleo lidahsehingga rahasianya terbuka.
Oleh pertimbangan itu, lantas saja ia melompat ke atas kudanya dan dikaburkan sejadi-jadinya.
Tetapi baru saja keluar dari petak hutan, pemuda itu sudah menyusul di belakangnya.
Teringatlah dia, bahwa kuda hitam pemuda itu kencang larinya.
Seumpama ia mendadak mengaburkan Megananda, rasanya tiada guna.
Maka ia berpaling sambil menahan kendalinya..
"Adik! Aku ingin berbicara denganmu!"
Seru pemuda itu setelah melihat ia menoleh. Kilatsih benar-benar menahan kudanya.
"Kau ingin berbicara perkara apa lagi?"
Pemuda itu mengeprak kudanya dan menjajari Megananda. Sambil mengedut kendali kudanya.
"Di Jawa Barat bagian timur dan selatan, Paman Dwijendra sangat besar pengaruhnya. Disamping dia masih ada lagi seorang raja muda. Dialah Otong Surawijaya. Kau telah menanam bibit permusuhan dengan anak buah Otong Surawijaya. Kecuali itu, engkau pun menolak maksud baik Paman Dwijendra. Maka dirimu kini terjepit antara Raja Muda Otong Surawijaya dan Raja Muda Dwijendra yang mempunyai dendam penasarannya masing-masing. Karena itulebih baik kita berjalan bersama. Sekarang aku bersedia menjadi pengawal pribadimu sebagai pembalas jasamu. Bagaimana? Kau bisa menerima pengabdianku atau tidak? Biarlah kau tak usah membayar gaji...."
Lucu cara pemuda itu mengucapkan kata-katanya, sehingga Kilatsih merasa tak berkeberatan. Sebelum ia menjawab, pemuda itu mengulangi pertanyaannya.
"Sebenarnya kau hendak kemana?"
"Ke Jawa Tengah,"
Jawab Kilatsih seke-nanya saja.
"Sungguh kebetulan!"
Seru pemuda itu bergembira dengan bertepuk tangan.
"Aku pun hendak ke sana pula. Ah, kalau kita sudah melewati Cirebon kedua raja muda itu habis pengaruhnya. Kau benar-benar cerdik dan pandai mengambil suatu keputusan cepat....."
Ia berhenti menimbang-nimbang.
"Kita berdua merupakan kakak-adik saja. Aku tetap memanggilmu adik dan kau memanggilku kakak. Bagaimana pendapat-mu?"
Kilatsih tertawa geli. Ia menganggap lucu kata-kata pemuda itu.
"Aku belum mengenal namamu, engkau pun belum mengenal namaku pula. Masakan kita selalu memanggil kakak dan adik terus-terusan?"
Pemuda itu menepuk pahanya sambil berseru girang.
"Ah benar! Aku bernama Sasi Kirana. Anak Gatotkaca11). Entah apa maksud orang tuaku -memberi nama begitu kepadaku. Padahal baik ayah maupun ibu tak pandai terbang."
Kilatsih tertawa geli.
"Sasi Kirana! Alangkah bagus nama itu."
"Lengkapnya Widiana Sasi Kirana,"
Pemuda itu mendahului.
"Itu lebih bagus lagi. Widiana Sasi Kirana,"
Kata Kilatsih.
"Widi! Artinya satu atau luhur atau asal mula. Sasi Kirana kalau tak salah artinya bulan bercahaya^ cemerlang. Alangkah elok namamu."
"Dan kau siapa namamu, adik?"
Potong Sasi Kirana.
"Aku ...aku .... Eh, nanti dulu. Bagaimana aku harus memanggilmu?"
"Kau boleh memanggilku Sasi atau Kirana,"
Sahut pemuda itu.
"Tetapi aku sendiri senang dipanggil Kiki. Seperti nama anjing, bukan? Kebetulan sekali, mulai hari ini aku menjadi pengawalmu. Bukankah aku lantas menjadi anjingmu?" 1 Gatotkaca . tokoh sakti dalam Mahabharata. Anak Bhima. Dia bisa Lucu kata-kata pemuda itu. Makin lama hati Kilatsih makin tergerak. Sekarang ia menghadapi suatu kesukaran. Mau ia mengarang nama, tetapi rasanya kurang enak. Sebaliknya kalau memperkenalkan namanya yang benar, ia khawatir rahasianya akan terbuka. Tetapi dasar cerdas, ia lantas mengarang kata pembukaan.
"Namamu Kirana bukan?"
Pemuda itu mengangguk.
"Pernahkah engkau mendengar seorang puteri Daha bernama Candrakirana? Dia seorang puteri cantik jelita isteri Panji Asmarabangun atau yang terkenal dalam sejarah Panji jnu Kertapati..."
"Ah! Apakah namaku mirip seorang puteri?"
Sasi Kirana menegas dengan tertawa.
"Bukan begitu. Namaku sendiri kedengarannya mirip seorang puteri pula,"
Kata Kilatsih.
"Ah, masa begitu?"
"Benar. Konon khabarnya Ayah sangat mengagumi seorang pahlawan puteri pada zaman Sultan Agung memerintah Negeri Mataram. Nama pahlawan puteri itu Kilatsih."
"Apakah namamu Kilatsih?"
"Benar,"
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kilatsih mengangguk. Pemuda itu menggaruk-garuk kepalanya.
"Benar kedengarannya mirip nama seorang perempuan. Seperti namaku, Kirana dan aku harus memanggilmu bagaimana?"
Anaknya bernama Sasi Kirana.
"Kau pun boleh memanggilku Kiki. Ha, bukankah sama pula?"
"Eh, ya. Bagaimana bisa kebetulan begini?"
Sasi Kirana tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Lantas bagaimana baiknya? Masakan kita memanggil nama kita masing-masing. Kiki?"
"Kilatsih tertawa geli.
"Panggillah aku Kilat saja."
"Kilat, Kilat! Ah hebat nama itu. Selain indah kesannya menakutkan pula,"
Kata Sasi Kirana dengan perlahan.
"Tetapi panggilan Kilat, rasanya kurang sedap. Bagaimana kalau aku memanggilmu adik saja dan kau memanggil aku Kiki?"
Kilatsih memiringkan kepalanya, la menimbang- nimbang. Sewaktu hendak menyatakan pendapatnya, Sasi Kirana berkata lagi.
"Tetapi kalau seseorang tiba- tiba memanggil Kiki kepadaku, kita berdua maju berbareng. Sekiranya dia musuh, ha boleh dia berhadap- hadapan dengan Kiki Besar dan Kiki Kecil sekaligus."
"Menarik cara pemuda itu mengemukakan pendapat dan jalan pikirannya, sehingga Kilatsih tersenyum geli. Gadis itu lantas saja menyatakan persetujuannya. Selanjutnya pembicaraan mereka jadi lancar. Kilatsih lantas mengetahui, bahwa Sasi Kirana seorang pemuda yang luas pengetahuannya, la sendiri murid Adipati Surengpati yang berpengetahuan luas, maka dapatlah ia menerima pembicaraan mengenai ilmu alam, ukur pasti, ilmu bumi, ilmu ketabiban, ilmu tata-negara dan kesusasteraan. Karena asyiknya tiba-tiba sore hari datang dengan tak terasa.
"Sebentar lagi kita memasuki Cirebon. Nanti malam kita menginap di losmen saja,"
Ujar Sasi Kirana.
Setelah berkata demikian, ia mencambuk kudanya dan Kilatsih segera melarikan kudanya pula.
Setelah saling berkejar- kejaran sampailah mereka di Cirebon menjelang malam hari.
Dengan menahan kendali kudanya, mereka memasuki Kota Cirebon dengan perlahan-lahan.
Dua kali Kilatsih melintasi Cirebon, akan Jetapi kali ini kesannya menyenangkan dan manis sekali.
Setelah berputar-putar memasuki jalan-jalan kota mereka memperoleh sebuah penginapan yang cukup besar.
"Berikan kami sebuah kamar besar menghadap ke selatan,"
Sasi Kirana minta kepada penguasa rumah penginapan.
"Dua kamar,"
Kilatsih menyambung. Kuasa rumah penginapan itu jadi berbimbang- bimbang.
"Yang betul bagaimana? Satu atau dua kamar?"
"Dua kamar!"
Sahut Kilatsih cepat dengan suara tegas.
"Dua kamar!"
Ia mengulangi. Kuasa rumah penginapan itu melemparkan pandang kepada Sasi Kirana,"minta keputusan. Sesudah melihat Sasi Kirana bersikap mengalah, ia tertawa.
"Jadi.... dua kamar? Apakah tuan-tuan hanya berdua saja?"
Katanya.
"Benar,"
Sasi Kirana menyahut.
"Mestinya lebih baik satu kamar. Bukankah lebih.....".
"Dua kamar!"
Potong Kilatsih dengan suara keras.
Kuasa penginapan itu tercengang.
Akan tetapi ia tak membuka mulut lagi.
Bukankah dua kamar lebih baik baginya daripada satu kamar? Segera ia berdiri dari kursinya dan mempersilakan kedua tetamunya menentukan kamar pilihannya masing-masing.
Lalu ia memerintahkan pelayan-pelayannya menyediakan makan malam.
Dua kamar penginapan itu berdekatan.
Sasi Kirana lalu berseru keras dari dalam kamarnya.
"Adik! Sebenarnya aku mempunyai bekal cukup untuk menyewa dua atau sepuluh kamar. Akan tetapi sebenarnya, kita lebih senang tidur bersama dalam satu kamar. Kita bisa beromong-omong dengan cukup berbisik-bisik. Tidak seperti sekarang ini. Aku harus berteriak seperti orang lagi bertengkar. Kau pindah saja kemari, adik!"
"Kau jangan cerewet tak keruan!"
Bentak Kilatsih di dalam hati.
"Kikikau tahu sebabnya aku tak mau tidur di kamarmu? Selamanya, aku paling takut tidur bersama- sama orang lain."
Mendengar jawaban Kilatsih, Widiana Sasi Kirana tertawa.
"Pantas! Kau tak mau tidur satu ambin dengan Sekar Kuspaneti."
Merah wajah Kilatsih digoda demikian. Segera ia mengalihkan pembicaraan.
"Kiki! Kau lapar, tidak?'; Widiana Sasi Kirana tahu perasaannya. Tak mau ia minta keterangan lagi apa sebab temannya itu tak mau tidur bersama di dalam satu kamar. Ia lantas menyahut.
"Benar! Perutku lapar pula."
Malam itu mereka makan malam dalam kamarnya masing-masing.
Karena lelah setelah makanmereka tidur pula.
Tetapi sebelum tidur, Kilatsih perlu berjaga- jaga.
Ia memalang pintu kamar dan jendelanya.
Lalu merebahkan diri di atas tempat tidur tanpa membuka pakaian.
Meskipun terasa sangat lelah, tak dapat ia segera tertidur.
Sepak terjang dan lagak-lagu Widiana Sasi Kirana selalu saja merumun dalam otaknya sehingga kedua matanya tak dapat dipejamkan rapat- rapat.
Tak lama kemudian ia mendengar kentung tiga kali.
Kamarnya tetap aman sen-tausa.
Hatinya lantas menjadi tenteram.
Katanya di dalam hati.
"Bocah itu walaupun berandalan, nampaknya bukan seorang pemuda kasar. Ah, aku terlalu curiga kepadanya."
Ia lantas tertawa geli sendiri.
Lantaran hatinya tenteram, ia tertidur pulas dengan tak disadarinya sendiri.
Entah berapa jam ia tertidur pulas, tiba-tiba rasa sadarnya membangunkannya.
Widiana Sasi Kirana serasa menghampiri dengan bersenyum dan membungkukkan badan.
Ia kaget dan gusar.
Serentak ia menghunus pedangnya dan menikam.
Pemuda itu menjerit tinggi.
Dadanya lantas berlumuran darah.
Kilatsih kaget bukan mainsehingga mulutnya berteriak.
Tepat pada saat itu, ia mendengar suatu ketukan di jendela.
"Adik! Lekas keluar!"
Terdengar seruan Widiana Sasi Kirana.
Kilatsih berbangkit sambil mengucak-ucak matanya.
Insyaflah dia, bahwa tadi ia bermimpi.
Hanya sajaapa sebabjustru pemuda itu berada di luar jendela.
Jangan- jangan, ia tadi benar-benar menikam dan pemuda itu berhasil melompat keluar jendela.
Dalam kesangsiannya, ia berpaling mencari pedangnya.
Ternyata pedangnya masih di dalam sarung.
"Adik! Cepat!"
Terdengar suara Widiana Sasi Kirana agak gugup.
Kali ini, Kilatsih mendengar ringikan kuda.
Mendengar suara ringikan kuda itu, Kilatsih terbangun.
Itulah suara kudanya yang meringik sedih.
Mengapa? Bergegas ia melompat dari pembaringannya.
Untung dia tadi tak menanggalkan pakaiannya.
Maka dengan cepat, ia dapat membuka pintu kamar dan terus lari ke pendapa.
Dari atas rumah, terdengarlah Widiana Sasi Kirana berseru nyaring kepadanya.
"Adik! Kuda kita kena tercuri. Mari kita kejar!"
Kuda hitam dan Megananda adalah kuda-kuda pilihan.
Selain jempolan, galak terhadap seorang asing.
Tidak sembarang orang dapat mendekati, kecuali majikannya masing-masing.
Seumpama seseorang memiliki kekuatan untuk menaklukkan akan tetapi setelah ditunggangi tidak mungkin sudi takluk lagi.
Mereka akan membangkang.
Berputar-putar, berjingkrakan dan berusaha melemparkan penunggangnya.
Itulah sebab baik Widiana Sasi Kirana maupun Kilatsih percaya benar kepada kudanya masing-masing.
Walaupun diumbar12) di tengah lapangan, tidak bakal ada seseorang yang bisa mengusiknya.
Di luar dugaankedua kuda ituternyata bisa dicuri orang.
Pastilah pencurinya bukan sembarang orang.
Selain cerdik, mungkin pula seorang ahli.
Memperoleh kesimpulan demikianWidiana sasi Kirana yang biasanya dapat berlaku berandalankali ini hatinya gentar juga.
Dalam pada itu Kilatsih telah berada di atas genting pula.
Minta pertimbangan.
"Dapatkah kita menyusul pencurinya?"
"Kuda kita tidak gampang-gampang takluk kepada orang lain."
Widiana Sasi Kiraha yakin.
"Karena ituada harapan untuk menyusul."
Sesudah berkata demikian, ia melemparkan sebuah mata uang emas. Berkata kepada penguasa penginapan yang ikut terbangun oleh kesibukan mereka berdua.
"Sisanya boleh kau ambil."
Ia mendahului melompat turun dan lari kencang bagaikan bayangan.
Kilatsih segera mengikuti.
Dalam hal kegesitan dan kecepatan bergerak, Kilatsih tak usah takut merasa kalah.
Sebentar saja ia dapat menjajari.
Tak jauh di depan mereka, terdengar ringikan Megananda dan kuda hitam.
Mendengar ringikan kudanya, Widiana Sasi Kirana lantas berseru.
"Panut! Panut! "Jangan takut."
Kuda Widiana Sasi Kirana bernama Panut.
Mendengar seruan majikannya, ia berbenger keras.
Akan tetapi binatang itu tak dapat membangkang kemauan penunggangnya.
Di bawah penerangan cahaya bulan Panut nampak berada di depan.
Sedang Megananda di belakang.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Baik Panut maupun Megananda lari berjingkrakan dengan kepala mendongak.
Jelaslah, bahwa kedua binatang itu tak sudi tunduk kepada penunggangnya.
Mereka berusaha berontak, akan tetapi sekian lamanya berdaya- upaya tetap saja penunggangnya dapat menguasainya.
Kedua pencuri yang berada di atas punggung Panut dan Megananda nampak jelas pula.
Yang satu mengenakan pakaian hitam.
Yang lain putih.
Kedua- duanya mengenakan topeng.
Pada tangannya masing-masing, nampak obor menyala.
Setiap kali Panut atau Megananda berjingkrak hendak berontak, obor itu lantas diselomotkan sehingga meringik kesakitan.
Kecuali disakiti demikian, perut kedua binatang itu dijepit kencang-kencang.
Mau tak mau Panut dan Megananda terpaksa lari juga.
Akan tetapi karena sering berjingkrak atau berputar-putar, lari mereka tidak sepesat biasanya.
Widiana Sasi Kirana dan Kilatsh dapat menyusul.
Sakit hati Widiana Sasi Kirana mendengar ringik kudanya.
Kilatsih tak terkecuali.
Baik Widiana Sasi Kirana maupun Kilatsih, tak pernah menyakiti kudanya.
Membentak dengan kata-kata keras, jarang sekali terjadi.
Itulah sebabnya, mereka lantas saja mempercepat larinya sambil memanggil-manggil.
Panut mendengar panggilan majikannya.
Terus saja ia meringkik sambil berjingkrak berputaran.
Lagi-lagi ia kena selomot.
Tak dapat lagi Widiana Sasi Kirana menguasai diri.
Dengan seruan nyaring, ia melepaskan senjata bidiknya yang berbentuk jarum.
Kemarin sewaktu Kilatsih bertempur melawan keroyokan delapan orang, dengan tertawa saja Widiana Sasi Kirana dapat menjatuhkan mereka dengan sambitan jarumnya.
Apalagi, kini dia sedang marah dan sakit hati.
Sambitan jarumnya keras dan mematikan.
Akan tetapi diluar dugaan, kedua pencuri itu seakan-akan ' mempunyai mata pada punggungnya.
Begitu mendengar sambaran angin, mereka lantas saja membungkuk dan bersembunyi dengan menjatuhkan diri kke samping.
Dengan demikian, mereka menggunakan perut kuda sebagai tameng13).
Tak dapat Widiana Sasi Kirana mengumbar rasa sakit hatinya dengan menyerang perut kudanya.
Itulah sebabnya, semua jarumnya gagal mengenai sasaran.
Celakanyasambil berlindungkedua pencuri itu terus menyelomoti.
Panut-dan Megananda kaget hingga meringkik keras.
Lalu kabur memasuki petak hutan yang berada di pinggang sebuah bukit.
Widiana Sasi Kirana dan Kilatsih mengejar terus sampai tiba-tiba mereka mendengar tertawa pencuri kudanya.
Aneh nada suara tertawanya.
Terdengarnya seperti bunyi tawa wanita.
Mereka berdua terperanjat dan heran.
Di atas tanjakan segera nampak cahaya api berkeredepan bagaikan kunang-kunang hinggap di atas rerumputan.
Suasananya sunyi sepi menyeramkan perasaan.
Tak dikehendaki sendiri bulu roma Kilatsih ber- geridik Sekonyong-konyong Widiana Sasi Kirana tertawa nyaring.
Katanya dengan suara garang.
"Benarkah seorang wanita cantik jelita menjadi pencuri kuda? Apakah kalian sudah pada tempatnya bergaul dengan iblis? Kembalikan kudaku! Tak sudi aku bertempur melawan wanita."
Setelah berkata demikian, ia melompat menghampiri tanjakan. Kilatsih yang berada di belakangnya melompat pula bersiaga. Lalu terdengarlah seorang wanita berkata cukup terang.
"Berani juga hati si pencuri mustika Dwijendra ini....."
Ucapan itu mengenai dua sasaran.
Widiana Sasi Kirana memperoleh lukisan Sungai Cisadane dan Kilatsih merampas Sekar Kuspaneti.
Hanya yang menyakitkan hatimereka disebut sebagai pencuri.
Kilatsih lantas menebarkan penglihatannya.
Megananda dan Panut berada di bawah tanjakan.
Kedua binatang itu seperti lagi berdiri tegak.
Anehnya tidak bergerak sama sekali.
Di bawah penerangan bulan cerah, kesannya menyeramkan.
Tak terasa Kilatsih memekik tertahan.
Sebaliknya Widiana Sasi Kirana memperdengarkan suara tertawa.
"Ooo... jadi kamulah yang main gila?"
Kilatsih tak mengerti apa maksud pemuda itu.
Segera ia.
menajamkan matanya dan pada saat itu, ia melihat empat orang laki-laki berdiri berjajar.
Kaki mereka terangkat sebelah seperti seseorang yang hendak menuruni tangga.
Juga mereka tidak bergerak sama sekali bagaikan patung.
Mereka berempat itulah para saudagar pengunjung rumah Raja Muda Dwijendra.
Mengapa mereka diam tak berkutik? Apakah mereka kena ilmu gendam lagi? Siapakah yang memiliki ilmu gendam hebat pula? Diam-diam Kilatsih menarik napas, la kagum terhadap seorang yang membuat mereka berempat tak dapat berkutik sama sekali.
Kilatsih tidak takut menghadapi segala kemungkinan, la mengira, mereka berempat itulah biang keladi pencuri kudanya.
Tapi mendadak kena totok seorang yang bersembunyi di dalam hutan itu.
Maka ia menghampiri mereka terus menegur.
"Kamu berempat pernah kutolong.
Kenapa sekarang kalian mencuri kudaku? Pernahkah aku salah terhadap kalian?"
Mereka tak menjawab. Juga sama sekali tak berkutik. Pada saat itu mendadak terdengarlah suara seserang dari balik hutan.
"Kalau para tetamu sudah tiba, bawalah mereka masuk!"
Kilatsih terkejut.
Suara itu terang sekali datang dari balik hutan.
Akan tetapi terdengar memantul dari dinding bukit, sehingga seolah-olah keluar dari dalam bumi.
Suaranya kuat perkasa dan lunak.
Itulah suatu bukti, bahwa pemilik suara itu memiliki ilmu sakti yang tinggi.
Maka insyaflah Kilatsih, bahwa ia tengah menghadapi lawan yang berat.
Sesudah suara itu lenyap, muncullah dua bayangan yang gesit sekali gerakannya.
Mereka mengenakan topeng sehingga mukanya tak nampak jelas.
Akan tetapi pandang mata mereka bersinar tak ubah bara api.
Dan orang-orang yang berada di tanjakan lantas saja membungkuk hormat.
"Bawalah mereka masuk!"
Perintah salah seorang dari mereka kepada yang sedang membungkuk hormat.
Dengan sekali menjejakkan kaki, bayangan mereka berkelebat memasuki hutan.
Sama sekali tak mirip seorang wanita.
Seorang lantas datang menghadap Widiana Sasi Kirana dengan membungkuk hormat.
"Silakan masuk, Tuan."
"Kau lepaskan dahulu kuda kami. Baru kami bersedia berbicara,"
Ujar Widiana Sasi Kirana.
"Hal itu tak usahlah Tuan berkecil hati. Majikan kami tidak bermaksud jahat. Kalau tidak diambil tindakan demikian, mustahil Tuan sudi mengunjungi gubuk majikan kami."
"Siapakah majikanmu?"
Kilatsih menimbrung. Orang itu tertawa perlahan sambil berpaling kepada temannya.
"Ah! Sampai lupa. Tapi pastilah- Tuan muda sudah mengenal. Coba berikan tanda panji-panji kita!"
Dari belakang belukar muncullah dua orang membawa dua helai panji kebesaran. i Lalu berkatalah orang pertama.
"Beliau berdua adalah majikan-majikan dari laskar panji-panji ini."
Melihat gambar panji-panji itu, Widiana Sasi Kirana berubah wajahnya. Kilatsih terperanjat pula, akan tetapi dia dapat menguasai diri. Itulah panji-panji Obor Menyala dan Kuda Semberani.
"Kalau begitu Raja Muda Otong Surawijaya dan Raja Muda Dadang Wiranata,"
Kata Kilatsih di dalam hati.
"Menurut khabar almarhum ayahku adalah salah seorang laskar Beliau. Pantaslah Megananda dan Panut dapat dikuasainya."
"Biarlah aku memberi hormat dahulu,"
Ujar Widiana Sasi Kirana. Dan ia benar-benar membungkuk. Setelah mengangkat kepalanya, dahinya nampak berkerinyut. Jelaslah, dia baru sibuk memecahkan teka-teki apa sebab kedua raja muda Himpunan Sangkuriang sampai mencuri kudanya.
"Mari!' kata penerima tamu. Orang ini lantas mendahului berjalan memasuki hutan lebat yang berada di balik bukit. Widiana Sasi Kirana mendekati Kilatsih. Lalu berbisik dengan suara cemas.
"Adik! Kaburlah kau cepat-cepat. Kukira yang diincar mereka adalah engkau. Karena engkau melukai atau mengalahkan kemenakan mereka dalam arena pertandingan. Kau tahu siapa mereka berdua?"
"Raja Muda Otong Surawijaya dan Raja Muda Dadang Wiranata,"
Jawab Kilatsih.
Widiana Sasi Kirana tercengang.
Bagaimana dia bisa kenal nama kedua raja muda itu? pikirnya di dalam hati.
Otong Surawijaya adalah seorang Raja Muda bawahan Sangaji yang kejam dan tak pernah memberi ampun kepada lawan, la sakti dan besar pengaruhnya.
Gerak geriknya liar dan sukar diduga-duga.
Sedang Raja Muda Dadang Wiranata memiliki suatu ilmu sakti yang disegani rekan dan lawan.
Dahulu saja tatkala mengadu kesaktian melawan para penyerbu, diam-diam Sangaji pernah mengagumi14).
Maka tidak mengherankan, apa sebab Widiana Sasi Kirana berkecil hati begitu mengetahui siapakah yang mencuri kudanya.
Tetapi Kilatsih mempunyai pikirannya sendiri.
Sama sekali ia tidak mundur.
Malahan ia nampak tersenyum.
"Bukankah semenjak kita berkenalan, aku menjadi pengawalmu? Nah, kini pun aku bersedia menjadi pengawalmu."
Dalam hati Widiana Sasi Kirana mengeluh.
Tahulah dia, bahwa Kilatsih belum mengenal kesaktian Otong Surawijaya dan Dadang Wiranata.
Segera ia hendak memberi penjelasan, siapakah mereka berdua.
Akan tetapi waktu tidak memungkinkan lagi.
Sebab untuk memberi keterangan yang jelas tentang dua raja muda itu harus membutuhkan waktu lama.
Sedangkan para penyambut tetamu kedua raja muda itu, kerap kali berpaling ke arahnya dengan pandang menyelidiki.
Menghadapi kesulitan demikian, Widiana Sasi Kirana benar-benar mengeluh.
Katanya di dalam hati.
"Maksudnya memang baik. Tetapi pastilah dia belum pernah mendengar betapa tinggi kesaktian dua raja muda itu, bagaimana baiknya?"
Widiana Sasi Kirana sebenarnya salah duga, bahwa Kilatsih tidak sadar akan bahaya yang mengancam.
Kalau dia tak mau kabur, semata-mata karena ingin mendampingi justru dalam keadaan demikian.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Inilah pengucapan seorang wanita, manakala sudah terbintik rasa cinta dalam dirinya.
Penyambut tetamu kedua raja muda itu terdiri dari empat orang.
Dua pria dan dua wanita.
Secara bergantian, mereka selalu berpaling sambil berjalan mendahului.
Hutan yang dimasuki sangat padat.
Penuh semak belukar, penjalin dan duri.
Tanahnya terdiri dari batu-batu pula.
Pastilah sengaja ditaburi batu-batu demikian rupa, sehingga menyulitkan orang-orang yang berani menginjakkan kaki, untuk yang pertama kalinya.
Tidak lama kemudian nampaklah sebuah gedung batu yang berdiri di antara lebatnya pepohonan.
Gedung itu serba gelap.
Sama sekali tiada penerangan.
Begitu mereka mendekat, terdengarlah suara bergelora.
"Apakah yang datang dua bocah ingusan itu?"
Para penyambut tetamu tertawa menyambut. Salah seorang menyahut.
"Benar. Tetapi kedua bocah ini mempunyai keberanian melebihi bocah lumrah."
"Baik. Nah, bawalah mereka masuk!"
Orang yang berada paling depan, maju mendekati pintu batu.
la mendorong dan dengan suara berisik, terbukalah pintu batu itu.
Samar-samar nampaklah suatu penerangan jauh di dalam.
Justru pada saat itu, Widiana Sasi Kirana melesat maju dan menghantam daun pintu itu.
Brak! Daun pintu itu roboh dengan suara gemeretakan.
Berbareng dengan robohnya daun pintu, Widiana Sasi Kirana tertawa berkakakan.
"Di hadapanku, tak usah kalian berlagak mengundang tetamu. Aku bisa datang sendiri."
Tuan rumah ternyata tidak menyahut.
Sebagai gantinya, muncullah dua puluh empat lilin besar dari pintu-pintu samping.
Kena sinar nyala lilin, ruang itu menjadi terang benderang.
Gedung batu itu ternyata mempunyai pendapa yang luas mirip sebuah istana.
Perabotnya sangat indah.
Hampir semua hiasannya terbuat dari emas dan permata.
Hawanya segar dan lapang.
Baunya harum pula.
Kilatsih menebarkan penglihatannya.
Di tengah ruang itu nampak sebuah meja besar dan panjang.
Di belakang meja duduklah dua bayangan.
Bayangan itu sama sekali tak bergerak.
Mirip dua buah patung yang menakutkan.
Setelah diamat-amati ternyata dua orang hidup yang mengenakan topeng.
Hebat perbawa dua orang itu.
Rambutnya tebal dan terurai panjang.
Perawakan mereka gagah perkasa.
Yang duduk di sebelah kiri, berkulit kekuning-kuningan.
Dialah Raja Muda Otong Surawijaya dan kulit Raja Muda Dadang Wiranata hitam.
Hidungnya agak bengkung, matanya tajam luar biasa.
Sehingga perbedaan antara kedua orang raja muda itu nampak jelas dan tegas.
Di sisi mereka, berdiri empat orang yang mengenakan pakaian jubah putih dengan memegang dua panji-panji bergambar Obor Menyala dan Kuda Semberani.
Dan yang berada di dekat dinding, empat orang saudagar tengkulak yang datang mengunjungi Raja Muda Dwijendra.
Melihat mereka berempat timbullah gagasan Kilatsih.
"Ah, rupanya empat orang saudagar itu dijadikan saksi mereka untuk menuntut aku dan Sasi Kirana."
Dugaan Kilatsih ternyata tepat sekali. Pada saat itu, terdengar suara Otong Surawijaya kepada empar Saudagar.
"Apakah mereka berdua inilah yang mencuri permata dunia?"
Salah seorang dari mereka menyahut dengan suara bergemetaran.
"Yang usianya lebih tua itu, tuanku. Yang berusia muda adalah calon menantu tuanku Raja Muda Dwijendra. Sama sekali ia tidak ikut mencuri. Malahan dialah yang menolong kami bebas dari ilmu gendam pemuda itu."
Otong Surawijaya memanggut. Lalu menuding kepada Kilatsih dengan dibarengi suara perintahnya yang menggelegar.
"Kau minggir! Berdiri di sana!"
Tetapi Kilatsih membangkang.
"Kami datang bersama-sama. Kenapa aku harus berdiri berpisah?"
Dadang Wiranata yang sejak tadi berdiam diri, mengerutkan alisnya. Membentak.
"Kau bocah cilik dengarkan perintah kami. Kami tidak bisa menghukum orang yang tidak bersalah."
Lalu menuding Widiana Sasi Kirana.
"Hai, bocah gede! Benar-benar besar keberanianmu. Kenapa kau berani memasuki istana Raja Muda Dwijendra untuk mencuri sebuah mustika dunia? Kenapa kau pun berani menghajar pintuku sampai roboh? Apakah kau anggap kami ini barang permainanmu?"
Widiana Sasi Kirana tidak menjawab, la malahan membalas dengan pertanyaan.
"Sudah berapa tahun kamu berada di sini?"
"Eh, binatang! Apa maksudmu?"
Bentak Otong Surawijaya.
Otong Surawijaya adalah seorang raja muda yang berangasan dan jahil mulutnya.
Mendengar sikap Widiana Sasi Kirana yang angkuh, hatinya lantas saja terbakar.
Akan tetapi Widiana Sasi Kirana tidak menggubris.
"Kalau kamu ingin memperoleh keterangan yang benar, apa sebab tidak minta penjelasan kepada Dwijendra? Taruh kata aku memang mencuri barang mustikanya apa hubungannya dengan kamu berdua? Kukira, Paman Dwijendra pun tidak akan membiarkan kalian ikut usilan dalam perkara ini."
Mendengar perkataan Widiana Sasi Kirana, Otong Surawijaya dan Dadang Wiranata menggerung dahsyat. Kehormatan mereka tersinggung. Akan tetapi Widiana Sasi Kirana benar-benar tidak gentar.
"Siapakah yang tidak tahu, bahwa Otong adalah seorang pemimpin laskar perjuangan yang ringan tangan dan bermulut jahil? Dalam hal ini, kamulah yang memutar balikkan suatu kenyataan. Kamulah yang mencuri kuda kami. Sekarang kami menghajar daun pintu kamu sampai roboh. Siapakah yang memulai terlebih dahulu? Bukankah kamu? Lagipula, istana ini bukan milik kamu berdua! Mengapa kalian berlagak seperti majikan!"
"Bagus! Kau pun pandai menggoyangkan lidah,"
Bentak Otong Surawijaya.
"Kau bilang, istana ini bukan istana kami. Lantas istananya siapa?"
"Inilah istana perjuangan Ratu Bagus Boang pada zaman tujuh puluh tahun yang lalu. Benar tidak?"*5) Mendengar jawaban Widiana Sasi Kirana, mereka berdua nampak tercengang sehingga tergugu sejenak. Namun dalam hal mengadu ketajaman lidah, tak sudi Otong Surawijaya mengalah.
"Apakah kamu bermaksud hendak menguasai kami?"
"Apakah kalian kiradi dunia inihanya kalian yang boleh menguasai jiwa orang lain?"
Balas Widiana Sasi Kirana dengan cepat. Pemuda itu lalu tertawa.
"Lebih baik kamu berdua bermukim saja di atas pegunungan!"
"Binatang! Kau bilang apa?"
"Ini adalah istana Ratu Bagus Boang pu-tera Pangeran Purbaya, putera mahkota Kerajaan Banten." 15) Bacalah Bunga Ceplok Ungu dari Banten.
"Kami pun dua Raja Muda Himpunan Sangkuriang. Kau mau apa?"
Bentak Otong Surawijaya.
"Kalian mengangkat diri menjadi pemimpin laskar perjuangan. Kalau kerja kalian hanya duduk seperti seorang raja di istana ini, apakah harganya? Lihatlah laskar bertebaran di seluruh penjuru bumi Priangan tanpa pimpinan dan tanpa pengendalian. Sehingga mereka merampok, merusak, memperkosa dan membuat gelisah penduduk. Apakah artinya kalian menjadi dua raja muda laskar yang sudah bejad akal budinya?"
Gusar bukan main Otong Surawijaya dan Dadang Wiranata, dikatakan sebagai dua raja muda laskar yang sudah bejad akal-budinya.
Tanpa terlihat gerakannya tahu-tahu mereka telah mencelat dari kursinya.
Lalu dengan berbareng mereka berdua menggempur kepala Widiana Sasi Kirana.
"Binatang tak tahu diri!"
Bentak mereka berbareng pula.
Bersambung ismcryo12 GURU SANGAJI DAN SANJAYA MELIHAT KUDA ITU Kilatsih berdiri tertegun, la mengucak-ucak kedua matanya hendak meyakinkan dirinya sendiri.
Benarkah kuda itu milik pemuda sinting berbaju biru muda? Bukankah pemuda itu sama sekali tak mempunyai kepandaian? Kenapa dia datang kemari sebagai pencuri? .
Kilatsih jadi berbimbang-bimbang.
Maklumlah, dia sudah menguji pemuda itu dan sama sekali tidak mengerti ilmu berkelahi.
Maka ia tidak yakin bahwa orang yang bertopeng itu, si pemuda berbaju biru muda.
Tetapi ftalau bukan dia, bagaimana jawabannya tentang kuda hitam yang meringik di belakang belukar? Dia datang kemari pasti bukan untuk mencuri.
Kalau benar- benar bermaksud mencuri, apa sebab tidak mengangkat harta benda empat tengkulak tadi yang harganya puluhan ribu ringgit? Sebaliknya dia hanya minta lukisan kuno dari tangan tuan rumah sendiri.
Memang lukisan itu mempunyai harganya sendiri.
Tetapi kalau dibandingkan dengan harta empat tengkulak tadi, rasanya masih sangat jauh selisihnya.
"Dia baru bermur duapuluh tahun lebih,"
Kata Kilatsih di dalam hati.
"Dan paman Dwijendra telah menunggunya selama tujuh-puluh tahun. Ah, kalau begitu terang sekali bukan dia. Lantas siapa?"
Masih saja Kilatsih terlongong-longong seorang diri, kalau saja tidak diganggu suara berisik yang mendatangi. Tatkala menoleh, ia mendengar suara Dwijendra berseru nyaring.
"Anakku! Kau baliklah kemari!"
Mendengar seruannya, Kilatsih kian tercengang.
Aneh dan mengherankan bunyi seruan itu.
Artinya, mertuanya berusaha melindungi orang bertopeng tadi.
Memikir demikian, ia malah tak menggubris seruannya.
Lantas saja ia melesat keluar tembok.
Dengan sekali meloncat ia tiba di belukar.
Begitu menjenguk belukar, ia heran setengah mati karena terjadi suatu peristiwa ajaib lagi.
la mendengar suara terantuknya kaki kuda.
Setelah diamat- amati ternyata, kudanya sendiri, si Megananda! Sewaktu datang ke rumah Dwijendra, Kilatsih menitipkan kudanya di kampung.
Dia sendiri yang menambatkan pada tiang kandang.
Apa sebab tiba-tiba kini tertambat pada sebatang pohon belukar? Tatkala itu orang bertopeng yang dikejarnya sudah berada di atas kudanya.
Ia lari selintasan, kemudian berhenti dengan mendadak.
Ia menoleh dan melambaikan tangannya.
Sekarang Kilatsih hilang keragu-raguan-nya.
Dia benar-benar anak muda sinting yang pernah dikenalnya.
Tiba-tiba saja ia mempunyai perasaan tak senang padanya.
"Hai, anak edan! Apa sebab kau mempermainkan aku berulang kali?"
Serunya gemas.
Terus ^ija ia melompat ke atas kudanya dan lari mengejarnya.
Megananda segera mementangkan kakinya.
la baru melintasi petak hutan yang berada di sebelah barat bukit, tatkala mendengar suara derap beberapa kuda di belakangnya.
Tahulah dia, bahwa Dwijendra sedang mengejarnya beramai-ramai.
Akan tetapi kuda mereka tak dapat dibandingkan dengan Megananda.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebentar saja mereka ketinggalan makin jauh.
Megananda kabur makin cepat mengejar kuda hitam si pemuda.
Jarak pengejaran tetap tak berubah, walaupun Megananda sudah berusaha lari secepat-cepatnya.
Sebentar saja mereka telah meninggalkan kota Sumedang.
Tak lama kemudian pemuda bertopeng itu mengendorkan lari kudanya, la nampak menoleh sambil melambaikan tangannya.
Kilatsih jadi mendongkol.
Dengan penasaran ia mengeprak Megananda dan melihat Kilatsih menghentakkan kudanya, pemuda itu pun segera melarikan kudanya cepat-cepat pula.
Malam itumereka terus berkejar-kejarandi bawah sinar bulan sipit.
Tak terasa fajar hari telah menyongsongnya.
D^ depan sana tergelar sepetak rimba lebat dan begitu memasuki rimba, pemuda itu menoleh dan berseru nyaring.
"Saudara! Tak dapat lagi aku menemanimu. Sampai bertemu!"
"Ehkau hendak lari kemana?"
Damprat Kilatsih dengan hati panas.
"Walaupun kau lari ke ujung dunia, masakan aku tak dapat mengejarmu?"
Pemuda itu tertawa meriah tatkala ia mendengar dampratan Kilatsih.
Tetapi ia benar-benar dapat membuktikan ucapannya.
Sekali mengedut kendali, kudanya melesat bagaikan terbang melintasi pagar pepohonan.
Dan ia lenyap dari penglihatan seperti dilindungi iblis.
Kilatsih berbimbang-bimbang.
Teringatlah dia peringatan gurunya, bahwa mengejar orang yang memasuki hutansangatlah besar bahayanya.
Sebab dia bisa menikam dari belakang.
Memperoleh ingatan demikian, segera ia berwaspada seraya melambatkan kudanya.
Benar sajasekonyong-konyong kuda hitam milik pemuda itulari keluar hutan tanpa penunggangnya.
Kilatsih segera menahan kudanya.
Ia lantas meraba pedangnya, la tahu orang bertopeng itutinggi kepandaiannya.
Apakah dia hendak menikam dari belakang? Selagi berpikir demikian, terdengarlah teriakan-teriakan saling susul dari dalam hutan.
Sedetik Kilatsih menimbang-nimbang.
Kemudian turun melompat dan melesat ke atas dahan.
Tepat pada saat itubeberapa orang berlari-larian saling berlomba sambil berseru kecewa.
"Larinya ke timur. Kuda hitam itu mahal harganya. Hayo, kau ke sana! Hai, di sini ada kuda putih. Sayang, binatang itu pun lari ke timur pula. Hayo kejar!"
Kilatsih tak khawatir kudanya kena tangkap.
Seumpama terpaksa lari jauh lantaran diubar-ubar, dia pun bisa memanggilnya dengan bersiul.
Karena itu, ia segera mengayunkan tubuhnya dan melompat dari dahan ke dahan.
Dalam waktu sebentar saja, sampailah dia ke dalm rimba raya.
Segera ia mendengar suara berbisik.
Dengan hati-hati Kilatsih turun ke tanah.
Kemudian maju dengan berindap-indap.
Di depannya terjadi suatu peristiwa yang mengherankanyang memberi penjelasan kepadanya.
Di atas sebuah batu besar, duduklah si pemuda berbaju biru muda.
Topengnya sudah dibuangnya.
Karena waktu itu pagi hari telah tiba, maka Kilatsih dapat melihat mukanya dengan jelas.
la dikepung delapan orang masing-masing bersenjata tajam.
Kilatsih segera mengenal beberapa orang di antara mereka.
Sastradirja, Andi Basanta, Podang Winangsi, Sukra Sakurungan dan empat orang lainnya.
Dua orang di antara mereka sangat menyo-lok.
Mereka berperawakan kasar, berambut panjang dan menyandang seperti haji.
Kilatsih tak khawatir kudanya kena tangkap.
Seumpama terpaksa lari jauh lantaran diubar-ubar, dia pun bisa memanggilnya dengan bersiul.
Karena itu, ia segera mengayunkan tubuhnya dan melompat dari dahan ke dahan.
Mereka berdua bersenjata sepasang kapak pada tangannya masing-masing.
Terdengarlah suara Sastradirja setengah menggeram.
"Walaupun kau sangat licin jangan harap bisa lolos dari mata kami. Bagaimana? Kau masih senang pada jiwamu atau tidak?"
Pemuda itu lantas menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Jangan bilang begitu! Jangan bilang begitu! Kau pun tahu sendiri, sedang semut pun masih sayang jiwanya. Apalagi manusia. Kenapa sih kata-katamu begitu sembrono?"
"Kalau begitu nah serahkan semift bekalmu dan panggil kudamu tadi! Hayo cepat!"
Hardik Sastradirja galak.
Pemuda itu tetap saja bergeleng kepala.
"Ini kan uang-uangku sendiri.
Ini kan harta bendaku sendiri.
Mengapa harus kuserahkan kepadamu? Kuda itu, kudaku sendiri pula.
Dia mempunyai empat kaki.
Larinya cepat pula.
Bagaimana aku bisa memanggilnya.
Seumpama suaraku senyaring guntur pun, dia juga tak mengerti...."
Mendongkol hati Sastradirja mendengar jawaban pemuda itu. Saking mendongkolnya, ia lantas tertawa. Katanya memberi peringatan.
"Ingatlah! Kau di sini seorang diri saja. Pengawalmu telah menjadi tamu Agung Istana Bintang Nusantara. Malahan dia telah menjadi anak kesayangan Raja Muda Dwijendra. Siapakah yang akan menolongmu lagi?"
Pemuda itu tiba-tiba berputar tubuh sambil menunjuk ke arah gerombolan belukar tempat Kilatsih bersembunyi.
"Siapa bilangpengawalku menjadi anak kesayangan Raja Muda Dwijendra. Dia berada di sini. Lihat di situ!"
Kemudian dia berseru nyaring.
"Hai, pengawal pribadiku! Kau tolonglah aku!"
Kilatsih mendongkol bukan main di sebut sebagai pengawal pribadinya.
Sama sekali tak diduganya, bahwa pemuda sinting itu ternyata tahu dimana dia sedang bersembunyi.
Mau tak mau terpaksalah dia muncul dari belukar.
Salah seorang pengepung pemuda itu, kaget.
Sekali berputar lantas melepaskan tiga butir senjata bidik.
Kilatsih terperanjat.
Sama sekali tak diduganya, bahwa dia bakal diserang demikian selagi tak berjaga-jaga.
Ia belum menghunus pedangnya, sehingga tiada alat untuk bisa dipergunakan menangkis.
Satu-satunya jalan, ia melesat tinggi.
Tetapi berbareng dengan gerakannya, kembali lagi ia diserang tiga butir peluru tajam.
Inilah bahaya! Ia berada di udara.
Untuk mengelak tidak mungkin lagi.
Justru pada saat itu terdengar suara nyaring dan ketiga peluru itu runtuh di atas tanah melanggar batu.
Orang yang memiliki senjata peluru itu, terkejut.
Cepat ia mengambil senjata bidiknya lagi.
Tetapi Sastradirja tiba- tiba berseru mencegah.
"Tunggu dulu! Meskipun bocah bagus itu mempunyai sayap, dia takkan bisa kabur. Daripada membuang- buang peluru, mari kita kepung berbareng pengawal bayarannya!"
Mendengar perintah itukedelapan temannyalantas saja mengepung Kilatsih. Andi Basanta merah matanya begitu melihat munculnya Kilatsih. Ia cemburu karena Sekar Kuspaneti berada di tangannya. Maka dengan tertawa aneh ia membentak.
"Binatang! Bukankah engkau menjadi tamu agung tuanku Dwijendra? Apa perlu kau keluyuran sampai di sini? Aku tahu tangan tuanku Dwijendra memang panjang jangkauannyaakan tetapi jangan harap dia bisa memberi pertolongan kepadamu."
Setelah membentak demikian, ia mengangkat goloknya dan menerjang dengan tangan kiri. Akan tetapi Sastradirja buru-buru mencegah. Katanya menegas kepada Kilatsih.
"Apakah tuanku Dwijendra yang memberi perintah kepadamu datang kemari?"
La berlaku sabar, karena sesungguhnya dia takut terhadap Raja Muda Dwijendra.
Siapa tahuraja muda ituberada di belakangnya.
Karena itu perlu ia mencari keterangan terlebih dahulu.
Sebelum Kilatsih sempat membuka mulutnya, pemuda sinting berteriak nyaring.
"Hai, pengawal! Kenapa kau tak mengindahkan perintahku? Hai, orang-orang biadab! Bukankah kamu tadi telah mendengar, bahwa kedatangannya justru karena kupanggil? Dialah pengawal pribadiku. Melihat aku hendak kalian rampok, sudah sewajarnya dia datang. Karena minum dan makannya, aku yang membayar dan aku yang mengatur. Hai pengawal, kenapa kau tidak cepat-cepat datang kemari? Kenapa kau tak mengindahkan perintahku? Lekas kau bereskan mereka semua!"
"Apakah benar-benar kamu berdua tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan tuanku Dwijendra!"
Sekali lagi Sastradirja menegas dengan hati-hati.
Kilatsih mendongkol bukan main.
Bukan terhadap perkataan Sastradirja, akan tetapi terhadap ucapan pemuda sinting itu yang mengatakan dirinya sebagai pengawal bayaran.
Walaupun demikianmelihat pemuda sinting itu di dalam bahayatak dapat ia bersikap masa bodoh.
Ia dahulu sudah terlanjur melindungi sehingga menanamkan bibit permusuhan terhadap Sastradirja dan kawan-kawannya.
Maka ia menghunus pedangnya sambil membentak.
"Apa perlu kau menyebut-nyebut nama tuanku Dwijendra? Yang kuandalkan hanya pedangku ini. Dengan pedang ini aku bisa datang dan pergi sesuka hati. Dengan pedang ini aku akan mengatasi semua kesukaranku sendiri dan tidak main perintah kepada orang lain agar melindungi kepentingan diri sendiri."
Dengan ucapan itu, Kilatsih hendak menyindir pemuda sinting itu dan pemuda itu agaknya mengerti kena sindir, la tidak merasa tersinggung. Malahan tertavja terbahak- bahak seperti orang gendeng.
"Ha, benar-benar! Hai, kalian tahu? Dialah pengawalku yang membuat hatiku tak kecewa. Benar-benar dia seorang pengawal laki-laki jempolan!"
Kedua orang yang berpakaian pendeta segera ikut mengepung dan menyerang dengan sepasang kampaknya.
Kilatsih tak gentar.
Dengan sekali menyabet, pedangnya menikam tiga orang sekaligus.
Kemudian dengan sekonyong-konyong pula menikam pundak Sastradirja.
Sastradirja menangkis sambil melompat mundur satu langkah.
Kemudian ia membenturkan goloknya.
Trang! Dan begitu berbenturan, ia terperanjat.
Hebat benturan itu.
Tangannya terasa panas.
Kilatsih pun demikian pula.
Tangannya tergetar sehingga ujung pedangnya melesat dari bidikan.
Justru pada saat itu, kampak si pendeta menghantam.
Buru-buru ia memutar tubuh.
Tak urung lengan bajunya kena terobek.
Brebet! Hatinya jadi panas.
Pedangnya berkelebat membalas menyerang dan kapak pendeta itu rompal sebagian.
Dia jadi kaget.
Buru-buru dia melompat mundur sambil berseru.
"Awas! Pedangnya senjata mustika!"
Sesudah berseru demikian, pendeta itu maju lagi. Sama sekali ia tak takut menghadapi pedang mustika Kilatsih. la malahan tertawa besar, pendeta satunya berteriak keras.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagusjika ia bersenjata pedang mustika. Kudanya binatang jempolan pula. Ini namanyarezeki tak dicari datang sendiri."
Terus saja ia merangsak dengan penuh semangat.
Kilatsih menangkis.
Tapi pendeta itu licin.
Tahu pedangnya lawan pedang mustika, tak sudi ia mengadu senjatanya, la membiarkan pedang Kilatsih ditangkis golok Sastradirja.
Kapaknya sendiri lantas menyambar sambil berteriak nyaring.
"Mampus kau!"
Kilatsih sama sekali tak terkejut atau gentar. Melihat pendeta itu gesit, ia pun seera memperlihatkan kegesitannya pula. Sesudah pedangnya kena tangkis, ia melesat dan menikam.
"Hati-hati!"
Kaget pendeta itu.
la sedang menyerang, tetapi sasarannya melesat.
Sehingga tubuhnya agak mendoyong ke depan.
Justru pada saat itu, pedang Kilatsih berkelebat sangat cepatnya.
Buru-buru ia melintangkan kapaknya yang lain.
Prak! Dan tangkainya tertabas putung.
Kilatsih kecewa, karena serangan balasannya gagal.
Apalagi dia harus menangkis golok Sastradirja dan sepasang kapak pendeta lainnya.
Sedetik itu, ia memiringkan tubuhnya dan membabatkan pedangnya.
Terhadap sepasang kapak si Pendeta, ia berani membenturkan pedangnya.
Syukur meskipun bengis pendeta itu tahu ketajaman pedang lawan.
Cepat-cepat ia menarik sepasang kapak dan disodorkan berbareng mengarah dada.
Pada saat itu terdengar Andi Basanta berteriak.
"Paman! Jika tak dapat ditangkap hidup hidup, mati pun boleh! Hayo, semuanya maju berbareng!"
Inilah suatu aba-aba serbuan berbareng dan Kilatsih benar-benar kena kepung rapat.
Sastradirja dan Andi Basanta merupakan lawan yang tangguh.
Sedangkan kedua kapak pendeta itu, bukan main dahsyatnya.
Podang Winangsi dan Sukra Sakurungan bukan pula musuh enteng.
Apalagi mereka ikut penasaran, karena Sekar Kuspaneti gagal dalam tangannya.
Maka Kilatsih harus mengandalkan kegesitannya.
Pedangnya menyambar-nyambar tiada hentinya.
Tatkala ituAndi Basanta yang menaruh cemburu kepada calon menantu Raja Muda Dwijendramaju memagaskan goloknya.
Inilah keadaan yang sangat berbahaya bagi Kilatsih.
Sebab ia sedang membela diri terhadap serbuan tujuh orang pengeroyoknya.
Tapi tatkala Andi Basanta sedang mengayunkan tangan, mendadak sikutnya terasa sakit luar biasa.
Goloknya pun runtuh bergelontangan di atas tanah dan ia menjerit kaget.
Kilatsih terperanjat melihat berkelebatnya golok menyambar padanya.
Dengan sebat ia berkelit.
Dan pada saat itu seorang lawan yang bersenjata tombak menjerit pula seperti Andi Basanta.
Malah dia roboh dan tak berkutik lagi.
Itulah disebabkan, ia kena hantam senjata kawannya sendiri yang tak dapat dielakkan.
"Bagus! Bagus!"
Pemuda sinting memuji-muji di atas batu. Masih saja ia bercokol di atas batu dengan tertawa gelak, la gembira bukan main, menyaksikan betapa tangguh pengawal pribadinya dan bisa pula meloloskan diri dari bahaya. Serunya.
"Hai, pengawalku yang setia! Senjata bidikmu bagus sekali!"
Mendengar seruan itu, Kilatsih mendadak tersadar. Pikirnya di dalam hati.
"Benar! Aku kena keroyok begini banyak. Untuk melawan mereka tiada jalan lain lagi kecuali senjata biji sawoku."
Memperoleh pikiran demikian, tangan kirinya lantas merogoh saku.
Lalu menyerang dengan mendadak.
Hebat kesudahannya.
Kilatsih memperoleh pelajaran menembakkan biji sawo dari Titisari dan dengan mengandalkan kepandaiannya menembakkan senjata jauh itu, ia disegani lawan dalam waktu singkat saja.
Mundingsari pernah terkejut pula.
Maka tak mengherankan, sekali menyerang empat pengeroyoknya lantas saja roboh terguling.
Yang selamat hanya tiga orangSastradirja dan kedua pendeta.
Mereka bertiga memang gesit gerak-geriknya.
Dengan senjatanya masing-masing mereka berhasil menangkis sambaran biji sawo Kilatsih.
Dua orang yang menyandang pendeta itu bernama Dengkek dan Dempil.
Mereka dua saudara kembar dan memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Untuk bisa menangkap pemuda sinting itu, Sastradirja meminta bantuan mereka.
Sebagai upahnya, Sastradirja menjanjikan kuda dan pedang milik perguruannya.
DemikianlahDengkek dan Dempil heran menyaksikan bentuk senjata Kilatsih.
Bentuknya jauh berbeda dengan senjata bidik yang mengenai Andi Basanta dan seorang temannya yang bersenjata tombak.
Apakah senjata bidik Kilatsih memang dua macam.
Hal itu tidak mustahil.
Hanya yang tidak nalar, bagaimana Kilatsih bisa melepaskan senjata bidiknya kepada Andi Basanta selagi dia sibuk membela diri? Sebaliknya apabila bukan dia, lantas siapa yang melepaskan senjata bidik? Apakah di belakang belukar bersembunyi seseorang yang berkepandaian tinggi? Jangan-jangan Raja Muda Dwijendra.
Karena tak bisa menjawab teka-teki, Dempil berteriak.
"Dengkek! Kau tahan dia dan libatlah! Tuanku Sastradirjakau rampaslah pedangnyamewakili aku. Aku hendak memeriksa belukar dan gerombolan daun itu...."
Selagi berteriak demikian, tiba-tiba terdengarlah suara menyambarnya benda halus dan lengan Dempil kena tusuk sehingga berkaing-kaing berjingkrakan.
Dengkek^sebaliknyabermata tajam.
Memang dialah yang berkepandaian paling tinggi di antara ketiga lawan Kilatsih.
Semenjak menyaksikan dua pembantunya roboh, diam-diam ia memasang mata.
Itulah sebabnya, begitu Kilatsih menebarkan biji sawonyaia dapat menangkis dengan baik dan tepat.
Kemudian ia melirik kepada si Pemuda sinting yang bercokol di atas batu.
la melihat tubuh pemuda sinting bergerak.
Lantas saja ia berseru.
"Dempil! Ternyata dialah yang bermain gila!"
Segera ia melompati Kilatsih dan menerjang si Pemuda sinting. Melihat bahaya mengancam dirinya, pemuda itu bergemetaran dan terus berteriak bercatukan.
"Toto... tolong!"
Dengkek sebenarnya seorang ahli pedang.
Dia membawa-bawa sepasang kapak sebenarnya untuk merigelabuhi orang.
Begitu melompat menerjang, kapak yang berada di sebelah tangan kanannya dilemparkan.
Tahu-tahu ia telah membawa pedang.
Dapat dibayangkan betapa dahsyat sambitannya dan berbareng dengan sambit-annya, ia menikam pula.
Akan tetapi sungguh heran, baik kapak maupun pedangnya tak memperoleh sasaran.
Kedua senjatanya menikam udara kosong.
Ia kaget dan cepat-cepat mengulangi serangannya sampai empat kali beruntun.
Tetapi tetap saja ti-kamannya luput.
Sebaliknyapemuda sinting itunampak sibuk bukan main.
Ia berteriak-teriak ketakutan dan bingung.
Dia berlompatan dan bergerak asal bergerak saja untuk mengelakkan setiap tikaman Dengkek.
Anehnya, semua tikaman pendeta gadungan itu tak pernah menyentuh dirinya.
Kilatsih kaget mendengar jerit pemuda sinting itu.
Ia agak ringan, setelah Dengkek meninggalkannya.
Walaupun demikian menghadapi golok Sastradirja dan kapak Dempilia harus berkelahi dengan sungguh- sungguh.
Sekarang dengan sekali-sekali mengerling, ia melihat pemuda sinting itu berlari-larian seakan-akan sedang bermain kejar-kejaran.
Tangan dan kakinya berserabutan dan semua tikaman Dengkek dapat dielakkan dengan mudah.
"Ahapakah mataku sudah lamur sehingga keliru melihat seseorang?"
Kilatsih diam-diam terkejut.
"Benarkah dia tak mengerti ilmu silat? Benarkah dia tak pandai berkelahi? Jangan-jangan..."
Karena pikirannya sibuk, hampir saja ia kena bacok8) golok Sastradirja. Ia lantas jadi uring-uringan pada pemuda sinting itu yang membuat dirinya hampir celaka. Makinya di dalam hati.
"Anak menjemukan! Sekian lamanya aku menolongnya, sebaliknya dia mempermain- mainkan aku. Sekarangbiar dicacah bagaikan daging kerbauapa peduliku?"
Kilatsih mendongkol terhadap pemuda sinting itu. Sebaliknya Dengkek pun demikian pula. Sekian lamanya ia meni-kamkan pedangnya, namun tak pernah berhasil. Ia jadi kalap. Yang memanaskan hati, pemuda itu selalu saja berteriak-teriak ketakutan.
"Tolong! Tolong!"
Tetapi sekonyong-konyong dia tertawa terbahak- bahak seakan-akan berubah ingatannya. Setiap kali ditikam, ia menghitung sambil mengelak.
"Eh, bagus ya! Kau main gila. Satu! Dua! Tiga!"
Begitulah sampai ia menghitung dua-puluh kali.
Pada saat itu, Andi Basanta yang kena bidikan jarumnya sudah dapat merangkak bangun.
Diam-diam ia memungut goloknya.
Kemudian dengan mengin-dap-indap ia menghampiri pemuda itu.
Pemuda itu sendiri sibuk menghitung jumlah tikaman Dengkek.
Itulah sebabnya Andi Basanta dapat menghampiri dengan leluasa.
Begitu pemuda itu berkelit mengelakkan tikaman pedang Dengkek, ia terus me- nyambarkan goloknya.
Tetapi tangan pemuda itu ternyata dapat mendahului gerakan golok Andi Basanta.
Tangannya berserabut ke belakang dan tepat menyodok hidung Andi Basanta, Duk!maki pemuda itu.
"Telah kutolongi jiwamu dari pagasan pedang pengawalku". Mengapa engkau membalas kebaikan dengan begini? Apakah pamanmu Sastradirja yang mengajari?"
Andi Basanta kelabakan karena hidungnya sakit bukan main.
Dia gagal menyam-barkan goloknya.
Akan tetapi kata-kata pemuda tadi, menyadarkan Sastradirja, dirinya dan Kilatsih.
Teringatlah Andi Basanta tatkala ia bersama pamannya hendak mencuri permata pemuda itu.
Mestinya, dadanya bakal kena tikam pedang Kilatsih.
Akan tetapi suatu pertolongan datang di luar dugaan.
Tangan Kilatsih terhajar sehingga gagal menikam dadanya.
Kejadian itu dibicarakan kepada pamannya.
Lolosnya dari bahaya adalah lantaran memperoleh pertolongan entah dari siapa.
Sama sekali tak terduga, bahwa justru pemuda itulah yang menolongnya.
Itulah sebabnya, ia jadi tercengang.
Sastradirja yang mendengar Ucapan pemuda itu, tercengang pula sehingga tertegun.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi justru pada saat itu, pedang Kilatsih menyambar dan rambut depannya terpapas rata.
la kaget setengah mati.
Namun masih ia sibuk menimbang-nimbang.
"Aku hendak merampas harta dan kudanya.
Tak tahunya, dialah yang malah menolong aku.
Tidakkah ini suatu kejadian yang aneh?"
Sebaliknya Dempil tidak mengetahui persoalannya.
Melihat dia hampir kena pedang Kilatsih, dengan panas hati ia menghantam muka Kilatsih.
Belasan tahun lamanya, ia dan kakaknya merupakan sepasang pendekar kembar yang disegani orang.
Ilmu sakti gabungan mereka tak pernah terkalahkan.
Kini, ia hampir roboh di tangan Kilatsih.
Keruan ia memutuskan hendak merobohkan Kilatsih dahulu.
Sesudah itu membantu kakaknya meruntuhkan pemuda itu.
Repotlah Kilatsih kena desakan sepasang kapak Dempil yang hebat luar biasa.
Tak sempat lagi ia memperhatikan gerak-gerik pemuda yang mendengkikan dan aneh itu.
Justru pada saat itu, mendadak Dempil menjerit tinggi.
Kedua kapaknya terlontar ke udara dengan meletikkan api.
Kemudian terdengarlah teriakan pemuda itu.
"Hai, pendeta gadungan! Aku paling jemu melihat monyongmu. Karena itu engkau harus diberi hajaran dahulu."
Habislah keberanian Dempil.
Setelah bergulingan di atas tanah, ia terus kabur dengan diikuti Sastradirja.
Inilah akibat kesehatan pemuda itu.
Dengan mendadak saja, pemuda itu dapat merampas pedang Dengkek.
Lalu melompat ke arah Dempil.
Sepasang kapaknya kena ditabas kutung.
Hebat tenaga tabasannya.
Selama hidupnya baru kali ini Dempil mengalami peristiwa demikian.
Sepasang kapaknya kena terlem- # par ke udara.
Hatinya lantas saja meringkas.
Berbareng dengan kaburnya semangat tempurnya, ia lari terbirit-birit dengan diikuti Sastradirja.
Pemuda itu lantas tertawa berkakakkan.
Kemudian sambil melemparkan pedang rampasannya kepada pemiliknya ia berkata menasehati.
"Menipu dan merampas itulah perbuatan melanggar undang-undang kemanusiaan. Apalagi kalau sampai merampas jiwa. Kau ternyata tak dapat mengukur tenaga kemampuanmu sendiri. Alangkah tolol! Manusia tak berperikemanusiaan dan tolol goblok, benar-benar akan menjadi manusia yang selalu membuat huru-hara di kemudian hari. Ini! Kukembalikan pedangmu, agar kau bisa belajar sepuluh tahun lagi..."
Meskipun gaya bahasa pemuda itu mirip kata-kata seorang murid yang menghafal sejarah di depan kelas namun Dengkek menjadi lesu kuyu. Habislah sudah kegarangannya. Lalu berkata pelahan sambil memungut pedangnya.
"Baiklah, tolong saja sebutkan namamu!"
Pemuda itu tertawa. Menegas.
"Apakah kau berniat hendak menuntut balas kepadaku di kemudian hari?"
"Tidak."
"Jikalau tidak, apa perlu menanyakan namaku?"
Tegur pemuda itu.
"Tak berani aku bermusuhan dengan engkau. Aku pun tak ingin pula bersahabat denganmu. Nah, apa perlu kita saling mengenal? Bukankah kita tidak bermusuhan atau pun tidak bersahabat?"
Dengkek membungkam.
Hatinya mendongkol, sehingga menarik napas panjang.
Pedang di tangannya kemudian dipatahkan.
Lalu berjalan dengan kepala kosong.
Ia bersumpah seorang diri bahwa semenjak itu tak sudi lagi ia menggunakan pedang.
Sesudah mengikuti kepergian Dengkek dengan pandang matanya, kembali lagi pemuda itu tertawa terbahak-bahak.
Ia menghampiri Andi Basanta, Sukra Saku-rungan dan pamannya.
Dengan mendepaki mereka, ia berkata memerintah.
"Kamu pun pergilah dengan damai!"
Mereka yang kena serangan biji sawo tadi, roboh terkulai.
Akan tetapi begitu kena depak pemuda itu mereka bangun seperti seseorang tersentak dari tidurnya.
Tanpa berkata sepatah pun, mereka segera memanjangkan kakinya.
Heran Kilatsih menyaksikan cara pemuda itu menolong mereka memperoleh kesadarannya sendiri.
Padahal ilmu bidiknya diperolehnya dari Titisari.
Memang ilmu bidik Titisari bukan mempunyai sasaran mengambil jiwa seseorang.
Walaupun demikian tidak gampang-gampang seseorang bisa menolong menyadarkan.
Sebab ilmu bidik itu adalah warisan pendekar sakti Gagak Seta.
Pemuda itu agaknya bisa menebak rasa heran Kilatsih.
Segera berkata di antara tertawanya.
"Mengapa engkau mesti heran? Semalam engkau pun bisa menyadarkan empat saudagar yang kena ilmu gendamku. Nah bukankah kepandaian kita setali tiga uang."
Kedengarannya seperti sama kuat.
Akan tetapi Kilatsih tetap heran.
Sebab ilmu pamudaran9) Kilatsih belum berhasil mengatasi ilmu gendam pemuda itu dengan sekali jadi.
Keempat saudagar memang sudah bisa menggerakkan lengan, akan tetapi mulutnya masih tetap terkunci.
Andi Basanta yang terluka hebat oleh senjata sesama rekannya, belum berjalan terlalu jauh.
la dapat menyaksikan sepak-terjang pemuda itu.
Mendadak saja ia berbalik.
Dan seperti tidak menghiraukan lukanya, ia menghampiri pemuda itu dan membungkuk hormat.
"Tuan telah menolong jiwaku. Akan tetapi karena Tuan pula, aku sampai menderita luka begini. Karena itudi kemudian hari aku akan mengampuni jiwamu satu kali berbareng menghajar Tuan satu kali juga. Bukankah adil?"
Pemuda itu tercengang mendengar ucapan Andi Basanta. Kemudian tertawa geli.
"Aku menolong jiwamu karena mengingat nama pamanmu yang besar. Itulah Raja Muda Otong Surawijaya. Karena itutak usahlah engkau membicarakan perkara hutang budi atau utang-piutang. Kau hendak memberi ampun jiwaku satu jailhal itu tak usahlah kita bicarakan. Tapi bahwasanya kau hendak membayar sebelah tanganmu yang dahulu hampir terkutunghaitulah yang kutunggu. Kau kalah jauh daripada dua pendeta palsu tadi. Karena itu, engkau harus belajar duapuluh atau tigapuluh tahun lagi sebelum bertemu dengan aku. Nah enyahlah! Cepat!"
Andi Basanta seorang pemuda yang cupat pikir.
Itulah sebabnya, ia mendongkol terhadap sikap pemuda itu yang memandang rendah dirinya.
Dengan gundu mata hampir copot dari kelopaknya, ia melototi Kilatsih dan pemuda itu.
Kemudian berputar tubuh dan ngeloyor10) tanpa berbicara lagi.
Pemuda itu menarik napas dengan menggelengkan kepalanya.
Katanya seperti kepada dirinya sendiri.
"Otong Surawijaya adalah seorang Raja Muda yang tangguh dan berani. Akan tetapi kemenakannya ini sama sekali tiada artinya. Benar-benar tak pernah kusangka demikian..."
Setelah berkata demikian, ia nampak kecewa dan prihatin dan diam-diam Kilatsih heran di dalam hati mendengar dan melihat kesan wajah pemuda itu. Sebenarnya hendak ia meninggalkan tempat itu akan tetapi hatinya jadi tertarik. Katanya di dalam hati.
"anak ini besar kepalanyasampai berani menghina kemenakan Raja Muda Otong Surawijaya. Apakah dia tak memikirkan akibatnya?"
Memikir demikian, Kilatsih mencoba.
"Bagaimana menurut pendapatmu tentang Manik Angkeran? Apakah dia seorang pendekar yang pantas menjadi tauladan anak-keturunan bangsa di kemudian hari?"
Mendengar pertanyaan Kilatsih, wajah pemuda itu berubah. Akan tetapi hanya sebentar saja. Setelah itu, ia menggoyangkan kepalanya sambil menjawab.
"Manik Angkeran memang seorang pendekar yang mempunyai kepandaian sendiri. Akan tetapi kalau dia dikatakan seorang pendekar gagah yang pantas menjadi tauladan rasanya belum dapat. Dia justru manusia yang hanya memikirkan diri sendiri."
Mendengar jawaban pemuda itu, hati Kilatsih mendongkol.
"Benarrupanya di kolong langit ini hanya engkaulah pendekar yang gagah."
Sesudah berkata demikian, ia memutar tubuh dan berjalan memasuki rimba. Mendadak suatu bayangan berkelebat menghadang di depannya.
"Adik! Sabar dahulu,"
Kata pemuda itu.
"Menurut pendapatku, engkaulah seorang gagah yang pantas menjadi tauladan anak-cucu kita."
"Apa? Anak cucu kita?"
Semprot Kilatsih dengan muka merah.
"Ehmaksudkuuntuk anak cucu bangsa kita,"
Pemuda itu memperbaiki kata-katanya.
Kilatsih tertegun sejenak.
Akan tetapi segera ia melangkahkan kakinya.
Sebaliknya si pemuda tak mau sudah.
Kilatsih berjalan ke kiri, pemuda itu menghadang ke kiri pula.
Apabila Kilatsih membelok ke kanan, pemuda itu pun segera menghadang di depannya.
Kilatsih mendongkol.
Sekarang ia bergerak dengan gesit.
Akan tetapi pemuda itu tetap saja bisa membayangi seolah- olah bayangannya sendiri.
"Kenapa sih kau selalu mencegat aku?"
Bentak Kilatsih dengan hati dengki.
Berbareng dengan pertanyaannya, ia melesat tinggi.
Pemuda itu mengulurkan tangannya ke arah dada.
Maksudnya hendak mencegah.
Tentu saja Kilatsih tak sudi membiarkan tangan pemuda itu menyentuh dadanya.
Cepat sekali ia menyilangkan tangannya.
"Bedebah! Kau berani meraba dadaku!"
Bentaknya.
Gntunglah, bentakan itu hanya berhenti di dalam dadanya.
Sebagai gantinya ia menghunus pedangnya dan menikam.
Pemuda itu kaget bukan main.
Cepat ia menjejak tanah cfan melesat mundur.
Kilatsih telah mengumbar rasa bencinya, la menikam dengan seluruh tenaganya.
Maklumlahia mengira pemuda itu sangat kurangajar sehingga sampai berani bermaksud meraba dadanya.
Tetapi begitu tikaman-nya tidak mengenai sasaran, ia menerima akibatnya.
Lengannya sampai terasa copot.
Tak dikehendaki sendiri, ia merintih kesakitan.
Pemuda itu bermata tajam.
Dengan sekali pandang tahulah dia, apa sebab Kilatsih sampai merintih.
Segera ia menghampiri hendak menolong menyambungkan urat nadi yang tergeser dari tempatnya itu.
Akan tetapi dengan mata merah, Kilatsih membentak.
"Jangan pedulikan aku. Pergi!"
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan mengeratkan gigi, ia memegang tangan kanannya dengan tangan kiri.
Kemudian didorongkan ke atas dengan suatu hentakan.
Dengan gerakan itu, pulihlah urat nadinya yang tergeser.
Kemudian ia menyingsingkan lengannya untuk mem-borehi dengan obat luar.
Setelah itu, ia menggerakkan kakinya hendak pergi meninggalkan pemuda itu secepat-cepatnya.
Sekonyong-konyong ia merasakan sekujur badannya lemas lunglai.
Sekarang sadarlah dia, bahwa ia telah mengeluarkan tenaga berlebih-lebihan semenjak semalam.
Sekarang terasalah akibatnya.
Hati-hati pemuda itu mendekat.
Katanya pelahan.
"Adik, perkenankan aku memohon maaf. Sama sekali tak pernah kuduga, bahwa hatimu sangat polos dan mulia. Kau bertempur dan berkelahi untuk menolong sesamamu. Karena itu, ingin aku bersahabat denganmu. Sekian lamanya aku hidup dan baru untuk pertama kali ini aku bertemu dengan seorang yang berpribadi seperti dirimu. Memang aku seorang yang beradat sangat tinggi dan andaikata sepak terjang dan kata-kataku menyinggung perasaanmu sudilah engkau memaafkan."
Dengan pandang mata jernih bening, pemuda itu menatap wajah Kilatsih.
Dan kena pandang itu entah apa sebabnya tiba-tiba wajah Kilatsih terasa panas.
Di luar kehendaknya sendiri, mukanya lantas menjadi merah muda.
Ia kini berkesan lain terhadap pemuda itu.
Ternyata dia seorang yang berbudi pekerti luhur dan agung.
Sepak terjangnya sangat mengagumkan.
Maka ia menegas dengan kepala menunduk.
"Apa sebab engkau mencela Manik Angkeran?"
Mendengar pertanyaan itu, si pemuda tertawa pelahan.
"Adik! Belum tentu seseorang yang kau kagumi, mesti kukagumi juga. Apa sebab engkau memaksa aku untuk mengagumi pahlawanmu? Lagipula, aku tadi sama sekali tidak memakinya atau mengutuki. Aku hanya mengemukakan pendapatku. Mungkin bagimu ada hal- hal yang patut kau kagumi. Akan tetapi, aku pun mungkin sekali ada hal-hal yang membuat aku mempunyai pendapat sendiri. Ah, sudahlah apa perlu membicarakan perkara dia? Apa sih keuntungannya? "
Tergerak hati Kilatsih. Kata-kata pemuda itu beralasan. Kalau dipikir memang salahnya sendiri. Dia terlalu membawa perasaannya sendiri, sehingga lupa mempertimbangkan keadaan hati orang lain.
"Apakah engkau kenal dia?"
Tiba-tiba saja, pemuda itu berubah wajahnya. Lalu bersenandung.
"Pohon rindang di tebing arus sungai. Suatu kali mahkota daunnya rontok berguguran dan terhanyut lenyap. Ah, apa guna mencari rerontokan yang terbawa arus sungai. Bukankah di tebing masih ada sebatang pohonnya yang tengah berkembang?"
Aneh suara senandungnya bernada pedih. Kilatsih adalah seorang yang keras hati, tetapi sesungguhnya halus perasaannya. Begitu mendengar suara senandung itu; tergeraklah hatinya. Katanya di dalam hati.
"Pemuda ini mungkin sekali mempunyai riwayat hidup yang sedih. Sesedih riwayat hidupku. Aku tak sudi seseorang mengenal diriku, kecuali orang-orang tertentu. Apa sebab aku memaksa dia untuk memberi jawaban semua pertanyaanku?"
Oleh pertimbangan itu, hatinya lantas tertarik terhadapnya. Katanya memperbaiki diri.
"Baiklah aku tidak akan mengganggumu lagi. Kita berpisah sampai disini saja..."
Pemuda itu mengawasinya dengan pandang tercengang. Kemudian tertawa penuh pengertian.
"Adik! Hari ini engkau telah menjadi pe-ngawalku. Sudah selayaknya aku harus mengundangmu makan minum sebagai pernyataan rasa terima kasihku. Kecuali ituatas jasamuaku pun wajib memberi upah jasa. Aku berjanji pula, tidak* akan memperkatakan dirimu sebagai seorang pemuda penganglap."
Kali ini Kilatsih seperti mengenal tabiat pemuda itu. Ia tidak merasa tersinggung. Malahan ia bisa menganggap kata-katanya seperti seseorang lagi bersendau gurau, la lantas menebarkan pandangnya.
"Di tengah rimba raya begini, dimanakah engkau memperoleh makanan dan minuman?"
Mendengar pertanyaan Kilatsihpemuda itu lantas bersiul melengking. Dan tak lama kemudian datanglah dua ekor kuda berderap. Kuda putih dan kuda hitam. Dan melihat dua ekor kuda itu, si pemuda tertawa gelak.
"Lihatlah! Mereka telah mendahului bersahabat."
Kuda hitam menghampiri majikannya. Pemuda itu lantas menggerayangi pelananya. Dan ia membawa keluar bungkusan makanan dan sebotol minuman keras.
"Kau sangat lelah, adik. Kaulah yang meneguk dahulu,"
Ujarnya ramah. Kilatsih menerima botol itu. Sekali pandang, ia melihat tanda pengenal minuman keras itu yang melekat pada botolnya.
"Benarlah dugaanku. Dia pasti berasal dari Banten. Inilah minuman keras buatan bangsa seberang lautan."
Kilatsih mengenal merk minuman keras itu.
Titisari sering membawa beberapa botol minuman keras untuk ayahnya.
Sangaji sendiri, sering pula membawa beberapa botol untuk gurunya, la tidak begitu gemar.
Akan tetapi teringat betapa gurunyaGagak Setagemar minum minuman keras maka setiap kali pulang ke Karimun Jawa mengikuti isterinya selalu membawa beberapa botol untuk oleh-oleh.
"Apakah kau mengenal merk minuman itu?"
Si pemuda bertanya.
"Kau begini lemah lembut. Pastilah engkau tidak gemar minuman keras. Akan tetapi kau nampaknya tidak asing. Apakah keluargamu berasal dari pantai utara?"
Kilatsih tersenyum. Senang ia mendengar pujian pemuda itu. Sewaktu hendak membuka mulut, tiba-tiba pemuda itu seperti tersadar.
"Aku sendiri tak sudi memperkenalkan diri. Apa sebab aku menanyakan asal-usulmu. Maafmaaf, maaf....."
Makin tertarik hati Kilatsih, menyaksikan lagak lagu pemuda itu. Tak terasa ia bertanya.
"Pada malam itu, engkau menolong membebaskan Andi Basanta dari tikamanku. Agaknya dia...."
Pemuda itu enggan menjawab. Ia mengeluarkan sebotol arak dan diteguknya. Dan Kilatsih tak berani mendesak dan bergumam.
"Kompeni Belanda dan Kerajaan Banten kini nampak menjadi retak, akibat perbuatan Gubernur Raffles serta Daendels. Rupanya keluargamu kena desak. Kau lantas melarikan diri sesudah menjual semua harta bendamu. Bukankah begitu?"
Lagi-lagi pemuda itu meneguk botol araknya. Ia tak sudi menjawab. Ia seperti membiarkan Kilatsih menebak- nebak tentang dirinya.
"Sewaktu menginap di rumah terpencil dahulu, empat orang datang hendak merampas uang bekalmu yang dua aku kau bantu membunuhnya. Tetapi engkau menolong yang dua. Apa sebab begitu?"
Kata Kilatsih lagi. Pemuda itu tertawa sambil meneguk botol araknya.
"Adik! Rupanya engkau mempunyai kegemaran menghujani seseorang dengan pertanyaan. Tahukah engkau, siapakah yang kutolong?"
"Mereka anak buah Otong Surawijaya. Sedang yang kau biarkan mati di tanganku adalah orang dari banten,"
Jawab Kilatsih dengan bernafsu. Mendengar jawaban Kilatsih, pemuda itu tercengang sejenak. Kedua matanya bersinar tajam. Lalu meneguk araknya beberapa kali. Terang sekali, ia mencoba menghindari pertanyaan Kilatsih.
"Hai! Arakku tinggal separuh!"
Serunya dengan kecewa.
Heran Kilatsih mendengar bunyi seruannya.
Ia merasakan hadirnya pemuda itu sangat aneh.
Akan tetapi tak mau ia mendesak.
Bukankah dia sendiri enggan menjawab beberapa pertanyaannya.
Maka ia mengalihkan pembicaraan dengan tertawa perlahan.
"Apa sih enaknya minum arak?"
"Inilah arak dari pelabuhan Banten!"
Jawab pemuda itu.
"Dimana-mana engkau bisa membeli arak. Apakah ada bedanya?"
"Tentutentu saja!"
Sahut pemuda itu dengan cepat.
"Lagipula arak ini membuat aku terkenang kepada kampung halaman dan keluarga. Memang beberapa orang menganggap enteng perpisahan ituakan tetapi bagiku sangat mahal harganya....". Sesudah berkata demikian, ia nampak berduka. Ia mencium-cium mulut botolnya dengan memejamkan kedua matanya. Melihat perbuatan pemuda itu, Kilatsih mendadak teringat kepada ayah angkatnya, Sorohpati. Ayah angkatnya itu seorang pendekar yang tangguh. Pada suatu kali seorang pedagang ikan dari Pekalongan memasuki perkampungan. Segera ia datang menghampiri. Bukan untuk membeli ikannyaakan tetapi untuk mencium airnya. Itulah air laut yang dikenangkan, katanya. Yang dikenalnya dan yang meresap di dalam perbendaharaan hatinya. Setelah ayah angkatnya tewas, barulah dia tahubahwa Sorohpati pada masa mudanyapernah mengabdi kepada Adipati Surengpati yang bermukim di tengah pulau Karimun Jawa. Teringat hal itu, Kilatsih bertanya dengan tiba-tiba.
"Apakah engkau berasal dari Banten?"
Pemuda itu kaget, la menyenakkan mata dan menatap wajah Kilatsih, katanya "Apakah tampangku mirip orang Banten?"
Oleh perkataan Itudengan tak sadar Kilatsaih menatap wajah pemuda di depan-nya.
Cakap, agung dan berwibawa.
Beberapa bulan Kilatsih pernah merantau memasuki dusun dan kota.
Tetapi pemuda secakap dia belum pernah dijumpainya.
Oleh karena itu, wajahnya sendiri lantas saja terasa menjadi panas.
"Meskipun engkau mengenakan topeng meskipun badanmu hancur bagaikan abu engkau adalah seorang ksatria yang dilahirkan dan dibesarkan di bumi Jawa,"
Kata Kilatsih mengatasi perasaannya. Pemuda itu tercengang sejenak. Kemudian menyahut dengan gembira.
"Ah, benar! Meskipun mengenakan topeng meskipun badan hancur bagaikan abu memang aku dilahirkan di bumi Jawa. Bagus! Mari, mari kita minum!"
Sesudah berkata demikian, ia meneguk botolnya beberapa kali. Kilatsih tertawa geli.
"Kau minum tak ubah kerbau edan. Tentu saja arakmu cepat habis. Kau begitu sayang kepada arakmu. Mengapa tak berhemat?"
Senang hati pemuda itu mendengar teguran Kilatsih. Ia seperti merasakan suatu kemanisan. Setelah tertawa gelak, ia menjawab.
"Pada hari ini, hatiku sangat gembira. Maka aku ingin minum sepuas-puasnya."
"Apakah yang membuat hatimu senang?"
"Pertama-tama, aku berkenalan dengan seorang sahabat seperti dirimu. Kedua, hari ini aku memperoleh suatu mustika dunia,"
Sahut pemuda itu dengan mata memancar.
"Karena ituadikmari, kau temani aku minum sepuas-puasnya. Lebih sedap lagi, kalau kita minum sambil menikmati indahnya sebuah lukisan."
Berkata demikian, ia mengeluarkan segu-lung kulit halus. Segera ia membeber di antara tiupan angin. Lalu digantungkan pada sebatang dahan. Katanya penuh semangat.
"Lihatlah! Bukankah gambar itu suatu mustika dunia yang jarang sekali kita jumpai?"
Semenjak berumur empatbelas tahun, Kilatsih berada di bawah asuhan Adipati Surengpati yang berpengetahuan luas.
Kecuali ilmu sakti, Kilatsih belajar pula membaca, menulis dan menggambar.
Ia sendiri belum boleh disebut pandai melukis.
Akan tetapi, ia paham dan mengenal arti lukisan.
Tatkala berada di kamar Raja Muda Dwijendra, ia melihat lukisan itu hanya selin-tasan saja.
Kini, ia bisa melihatnya dengan sepuas hati.
Memang bagus gambar itu.
Akan tetapi kalau dikatakan sebagai barang mustika, belumlah kena.
Lukisan itu menggambarkan suatu pertempuran dahsyat di tepi Sungai Cisadane.
Air sungai nampak merah kena percikan darah.
Arusnya bergolak, karena ledakan meriam Kompeni Belanda.
Lukisan pertempuran demikian, apakah eloknya? Kecuali hanya mempunyai harga sejarah belaka.
Maka ia tertawa di dalam hati.
"Pemuda ini ternyata masih kurang, dalam hal seni lukis,"
Pikirnya. Pemuda itu seperti dapat membaca pikiran Kilatsih. Setelah meneguk araknya, ia berkata.
"Bagaimana? Apakah engkau belum menemukan letak keindahannya?"
Kilatsih hendak menyatakan pendapatnya tapi pemuda itu sekonyong-konyong berdiri dan menghampiri lukisan.
Dengan penuh sayang, ia mengusap corat-coretnya agar nampak lebih jelas.
Lalu bersenandung.
sesungguhnya diri hambatuan berasal dari gunung rumah hamba pertapaan Argapura Rengganis nama hamba, puteri seorang pendeta Samar-samar Kilatsih pernah mendengar nama Rengganis.
Itulah nama seorang puteri yang digambarkan sejarah sebagai seorang dewi dan pada suatu kali, puteri itu datang menemui Arya Wira Tanu Datar yang sedang bertapa di atas gunung.
Konon dikhabarkan, ia memberi suatu mustika kepada Arya Wira Tanu Datar.
Sekarang pemuda itu bersenandung mengenai hal itu.
Apakah hubungannya dengan gambar di depannya? Dan suaranya makin lama makin terdengar terharu.
Sekonyong-konyong menangis sedih sekali.
Kilatsih menjadi bingung.
Tak tahu ia apa sebab pemuda itu mendadak menangis.
Memang pernah ia mendengar suatu tutur kata yang berbunyi begini.
"Kalau kau lagi sedih, menyanyilah! Dan kesedihanmu akan larut terbawa keindahan suaramu sendiri. Akan tetapi manakala engkau bernyanyi terlalu berlarat, engkau akan kembali bersedih. Sebab suara nyanyianmu akan berubah menjadi pekik tangis...". Ternyata tutur kata itu tepat sekali. Tangis pemuda itu makin lama makin keras. Kilatsih bertambah tak mengerti dan kian menjadi bingung. Apa yang harus dilakukan? Dengan pemuda itu, ia baru berkenalan sepintas saja. Apabila dia mendekat untuk menghibur, rasanya kurang pantas. Bukankah dia sebenarnya seorang gadis? Sebaliknyaapabila ditinggal pergi dengan begitu saja akan tercela juga. Oleh pertimbangan yang menentu itu, ia jadi tertegun-tegun. Dalam pada itu tangis si pemuda terdengar merintih menyayatkan hati. Tak dikehendaki sendiri, Kilatsih ikut mengucurkan air mata dan melihat Kilatsih menangis, mendadak ia menyeka air matanya. Kemudian berhenti menangis dengan mendadak. Sebentar lagi, ia mendongak merenungi mahkota pepohonan dan sekonyong-konyong tertawa terbahak-bahak.
"Eh, apakah kau mabuk?"
Kilatsih mem-berengut.
"Kau menangis dan tertawa tak keruan juntrungnya. Apa sebab begitu?"
Perlahan-lahan pemuda itu meruntuhkan pandang kepada Kilatsih.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau aku mabuk, engkau pun mabuk juga. Bukankah engkau menangis tak keruan juntrungnya pula?"
Kilatsih memeriksa dadanya.
Bagian itu basah bekas tetesan air mata.
Jadinyaia tadi ikut menangis pula.
Kalau dipikir memang ia menangis tanpa alasan.
Ini namanya kena penyakit menular yang berjangkit dengan tiba-tiba.
Teringat hal itu, ia malu sendiri.
Tetapi ia segera tertawa dan pemuda itu ikut tertawa pula.
"Kita menangis dan tertawa. Apa perlu malu? Manusia di dunia ini, siapakah yang tidak pernah menangis dan tertawa? Yang sukar adalah ini, kalau ingin menangis menangislah sepuas hati. Kalau ingin tertawa, tertawalah sepuas-puasnya. Adik, ternyata engkau segolongan dengan diriku."
Setelah berkata demikian, ia menggulung gambarnya dengan cermat dan hati-hati. Kembali ia bersenandung.
"Sungai Cisa-dane, Pajajaran dan Pakuan telah lama runtuh. Namun airmu tetap mengalir seperti dahulu kala. Bila aku melihat gambarmu... teringatlah aku masa tujuhpuluh tahun yang lalu. Kau megah, gagah, perkasa dan indah. Tetapi ingatan itu membuat hatiku berduka..."
Tergerak hati Kilatsih mendengar kata-kata tujuhpuluh tahun. Pikirnya di dalam hati.
"Tujuhpuluh tahun! Semalam tatkala dia berada di kamar atas, Paman Dwijendra menyebut-nyebut pulatujuhpuluh tahun. Dia sudah menunggu selama dua keturunan. Apakah artinya? Pemuda itu paling tinggi baru berumur duapuluh empat tahun. Sedang Paman Dwijendra mungkin berusia enampuluh tahun. Pastilah kata-kata tujuhpuluh tahun itu mempunyai arti sandi atau teka-teki tertentu....."
La mencoba menebak dan menduga-duga. Tapi tetap saja ia gagal, tatkala itu, ia mendengar si pemuda berkata pelahan seperti kepada dirinya sendiri.
"Hari ini puaslah hatiku. Aku kenyang menangis dan tertawa. Sayang, arak sudah habis."
Pemuda itu agaknya sangat kecewa dan menyesal. Tiab-tiba ia membanting botol minuman dan pecah berantakan. Dan Kilatsih merasakan sesuatu yang menarik dan aneh. Waktu itu, matahari sudah melewati titik tengah. Kilatsih segera mengalihkan perhatian.
"Saudara! Kukira sudah tiba waktunya kita berpisah."
Wajar ucapan Kilatsihakan tetapi hatinya sesungguhnya merasa berat untuk berpisahan. Entah apa sebabnya.
"Sebenarnya kau hendak kemana?"
Pemuda itu minta keterangan. Mendengar pertanyaan itu, Kilatsih seperti tersadar dari tidur nyenyak.
"Benar,"
Katanya di dalam hati.
"Sebenarnya kemana tujuanku? Tadinya aku bermaksud mendaki Gunung Cibugis untuk bertemu dengan Kangmas Sangaji. Tetapi aku balik di tengah jalan..."
Karena belum memperoleh kepu-tusan, ia menjawab mengelakkan.
"Aku pergi kemana saja mengikuti kata hatiku. Kau tak perlu mengetahui."
Pemuda itu tertawa.
"Apakah engkau hendak balik kembali ke rumah Paman Dwijendra? Apa yang kau lakukan semalam dalam kamar temanten, kuketahui dengan jelas."
Mendengar kata-kata pemuda itu, muka Kilatsih terasa panas. Teringatlah dia kepada pengalamannya semalam dengan Sekar Kuspaneti. Hendak ia membuka mulutnya, tiba-tiba pemuda itu mendahului.
"Puteri Paman Dwijendra cantik luar biasa. Benar- benar di luar dugaanku. Nampaknya ia bisa berkelahi pula. Adikmengapa kau menolak kawin dengan dia?"
"Aku sudi mengawini atau tidak, apa sih kepentinganmu?"
Potong Kilatsih garang. Lagi-lagi pemuda itu tertawa melalui -hidungnya.
"Seumpama semalam aku tidak mengacau di dalam rumah itu, pastilah engkau takkan bisa bebas lagi seperti sekarang. Kenapa kau tak berterima kasih kepadaku?' Mau tak mau, Kilatsih tersenyum. Dalam hatinya ia tertawa geli dan gemas mendengar ujar pemuda itu.
"Tapi sikapmu itu memang bagus sekali. Kita termasuk golongan manusia gagah dan manusia gagah tidak boleh terjeblos dalam jebakan radang cinta asmara. Benar- benar aku kagum kepada imanmu yang teguh. Benar- benar kau adikku yang manis."
Merah dan terasa panas wajah Kilatsih, mendengar pemuda itu menyebut dirinya sebagai adiknya yang manis.
Sebenarnya wajar kata-katanya seumpama dia seorang laki-laki.
Akan tetapi justru dia merasa diri seorang gadis, ia merasa pemuda itu seperti mengetahui siapa dirinya sebenarnya, la jadi takut untuk berbicara berkepanjangan lagi dengan dia.
Jangan-jangan dia keseleo lidahsehingga rahasianya terbuka.
Oleh pertimbangan itu, lantas saja ia melompat ke atas kudanya dan dikaburkan sejadi-jadinya.
Tetapi baru saja keluar dari petak hutan, pemuda itu sudah menyusul di belakangnya.
Teringatlah dia, bahwa kuda hitam pemuda itu kencang larinya.
Seumpama ia mendadak mengaburkan Megananda, rasanya tiada guna.
Maka ia berpaling sambil menahan kendalinya..
"Adik! Aku ingin berbicara denganmu!"
Seru pemuda itu setelah melihat ia menoleh. Kilatsih benar-benar menahan kudanya.
"Kau ingin berbicara perkara apa lagi?"
Pemuda itu mengeprak kudanya dan menjajari Megananda. Sambil mengedut kendali kudanya.
"Di Jawa Barat bagian timur dan selatan, Paman Dwijendra sangat besar pengaruhnya. Disamping dia masih ada lagi seorang raja muda. Dialah Otong Surawijaya. Kau telah menanam bibit permusuhan dengan anak buah Otong Surawijaya. Kecuali itu, engkau pun menolak maksud baik Paman Dwijendra. Maka dirimu kini terjepit antara Raja Muda Otong Surawijaya dan Raja Muda Dwijendra yang mempunyai dendam penasarannya masing-masing. Karena itulebih baik kita berjalan bersama. Sekarang aku bersedia menjadi pengawal pribadimu sebagai pembalas jasamu. Bagaimana? Kau bisa menerima pengabdianku atau tidak? Biarlah kau tak usah membayar gaji...."
Lucu cara pemuda itu mengucapkan kata-katanya, sehingga Kilatsih merasa tak berkeberatan. Sebelum ia menjawab, pemuda itu mengulangi pertanyaannya.
"Sebenarnya kau hendak kemana?"
"Ke Jawa Tengah,"
Jawab Kilatsih seke-nanya saja.
"Sungguh kebetulan!"
Seru pemuda itu bergembira dengan bertepuk tangan.
"Aku pun hendak ke sana pula. Ah, kalau kita sudah melewati Cirebon kedua raja muda itu habis pengaruhnya. Kau benar-benar cerdik dan pandai mengambil suatu keputusan cepat....."
Ia berhenti menimbang-nimbang.
"Kita berdua merupakan kakak-adik saja. Aku tetap memanggilmu adik dan kau memanggilku kakak. Bagaimana pendapat-mu?"
Kilatsih tertawa geli. Ia menganggap lucu kata-kata pemuda itu.
"Aku belum mengenal namamu, engkau pun belum mengenal namaku pula. Masakan kita selalu memanggil kakak dan adik terus-terusan?"
Pemuda itu menepuk pahanya sambil berseru girang.
"Ah benar! Aku bernama Sasi Kirana. Anak Gatotkaca11). Entah apa maksud orang tuaku -memberi nama begitu kepadaku. Padahal baik ayah maupun ibu tak pandai terbang."
Kilatsih tertawa geli.
"Sasi Kirana! Alangkah bagus nama itu."
"Lengkapnya Widiana Sasi Kirana,"
Pemuda itu mendahului.
"Itu lebih bagus lagi. Widiana Sasi Kirana,"
Kata Kilatsih.
"Widi! Artinya satu atau luhur atau asal mula. Sasi Kirana kalau tak salah artinya bulan bercahaya^ cemerlang. Alangkah elok namamu."
"Dan kau siapa namamu, adik?"
Potong Sasi Kirana.
"Aku ...aku .... Eh, nanti dulu. Bagaimana aku harus memanggilmu?"
"Kau boleh memanggilku Sasi atau Kirana,"
Sahut pemuda itu.
"Tetapi aku sendiri senang dipanggil Kiki. Seperti nama anjing, bukan? Kebetulan sekali, mulai hari ini aku menjadi pengawalmu. Bukankah aku lantas menjadi anjingmu?" 1 Gatotkaca . tokoh sakti dalam Mahabharata. Anak Bhima. Dia bisa Lucu kata-kata pemuda itu. Makin lama hati Kilatsih makin tergerak. Sekarang ia menghadapi suatu kesukaran. Mau ia mengarang nama, tetapi rasanya kurang enak. Sebaliknya kalau memperkenalkan namanya yang benar, ia khawatir rahasianya akan terbuka. Tetapi dasar cerdas, ia lantas mengarang kata pembukaan.
"Namamu Kirana bukan?"
Pemuda itu mengangguk.
"Pernahkah engkau mendengar seorang puteri Daha bernama Candrakirana? Dia seorang puteri cantik jelita isteri Panji Asmarabangun atau yang terkenal dalam sejarah Panji jnu Kertapati..."
"Ah! Apakah namaku mirip seorang puteri?"
Sasi Kirana menegas dengan tertawa.
"Bukan begitu. Namaku sendiri kedengarannya mirip seorang puteri pula,"
Kata Kilatsih.
"Ah, masa begitu?"
"Benar. Konon khabarnya Ayah sangat mengagumi seorang pahlawan puteri pada zaman Sultan Agung memerintah Negeri Mataram. Nama pahlawan puteri itu Kilatsih."
"Apakah namamu Kilatsih?"
"Benar,"
Kilatsih mengangguk. Pemuda itu menggaruk-garuk kepalanya.
"Benar kedengarannya mirip nama seorang perempuan. Seperti namaku, Kirana dan aku harus memanggilmu bagaimana?"
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung Pendekar Bayangan Setan -- Khu Lung Kiang Chu Gie Karya Siao Shen Sien