Ceritasilat Novel Online

Mencari Bende Mataram 13


Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 13



Mencari Bende Mataram Karya dari Herman Pratikto

   

   "Kau apakan pemilik senjata ini?"

   Sekar Kuspaneti tertawa tawar.

   "Kau tahu siapakah pemilik senjata bidik itu?"

   "Mengapa tidak?"

   Bentak Mundingsari. Lalu dengan bengis ia meneruskan.

   "Perempuan iblis! Kau bicaralah terus terang! Bagaimana tiga senjata bidik ini sampai runtuh di atas lantai? Kau jawablah terus terang!"

   Aneh tabiat Sekar Kuspaneti.

   Seumpama dia memberi keterangan sejujurnya, pastilah Mundingsari dapat dibuatnya mengerti.

   Tetapi pada saat itu, hatinya sedang pepat serta penuh curiga.

   Dalam keadaan demikian, mudah sekali ia tersinggung.

   Mendadak saja, ia jadi kalap.

   Tanpa membuka mulut, ia terus menyerang.

   Mundingsari mendongkol juga.

   Tanpa segan-segan lagi ia menangkis dengan mengerahkan tenaga sehingga pedang Sekar Kuspaneti hampir saja terpental.

   Tak mengherankan Sekar Kuspaneti menjadi panas hati.

   Dengan sengit, ia menyerang kembali.

   Kali ini ia mengadu kegesitannya.Tahu-tahu tubuhnya sudah berada di belakang punggung Mundingsari.

   Tetapi Mundingsari tak gentar.

   Meskiupun dalam hal kegesitan ia kalah, namun pengalaman.

   Ia mendahului menyabetkan goloknya ke belakang sambil berputar.

   Sekar Kuspaneti terpaksa menangkis.

   Kali ini masing- masing bergebrak dengan sungguh-sungguh.

   Mereka saling membalas dan saling menangkis.

   Kilatsih menyaksikan pertempuran seru dari balik kaca.

   Ia menjadi gelisah sendiri sehingga tak dapat bersemadi.

   Cepat-cepat Widiana Sasi Kirana menekan telapak tangannya sambil berbisik.

   "Tak usah kau sibuk! Mereka berdua tidak akan bisa saling melukai. Kedua-duanya berkepandaian setali tiga uang. Apakah kau kenal orang berberewok itu?"

   Kilatsih mengangguk.

   Ia melepaskan pandangnya kembali kepada mereka yang sedang bertempur.

   Hebat pertempuran mereka.

   Sebentar saja tigapuluh jurus telah terlampaui.

   Ternyata dugaan Widiana Sasi Kirana benar.

   Masing-masing tidak dapat melukai.

   Artinya sama kuat dan sama tololnya.

   Mau tak mauKilatsih tertawa geli dalam hatinya.

   Ia melihat tenaga Mundingsari berlebih.

   Sebaliknya Sekar Kuspaneti mempunyai kelebihan yang lain.

   Itulah kecepatannya dan kelincahannya.

   Selagi menahaskan pedangnyatiba-tiba Sekar Kuspaneti membuka mulutnya.

   "Kau seperti mengenal pemilik senjata bidik itu. Benarkah?"

   Mundingsari menjawab mendongkol.

   "Tentu saja. Kalau tidakapa perlu aku mengotot begini."

   Sekar Kuspaneti mengkerutkan dahinya sambil terus bertempur. Tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya. Katanya di dalam hati.

   "Akang selalu menyebut kakaknya. Apakah orang ini?"

   Sekar Kuspaneti salah tebak. Yang dimaksudkan ' Kilatsih sebenarnya Sangaji dan Manik Angkeran. Tetapi salah tebak itu membuat keadaan berubah. Tiba-tiba saja gadis itu melompat keluar gelanggang sambil menegas.

   "Apakah kau kakaknya?"

   Mundingsari heran mendengar pertanyaan itu. Tapi dasar sudah pengalaman, ia lantas dapat menjawab dengan wajar.

   "Benar. Mengapa pertanyaan itu tidak semenjak tadi ketika engkau melihat aku dapat menuntun kudanya?"

   Mundingsari seorang berberewok.

   Walaupun umurnya hampir mencapai empatpuluh tahunakan tetapi seumpama tak berberewokia masih nampak ganteng dan tegar perawakan tubuhnya tegap pula.

   Tatkala ituSekar Kuspaneti teringat kembalikepada kata-kata Kilatsih pada malam temanten.

   Dia selalu menyebut-nyebut kakaknya.

   Teringat hal itutanpa disadari sendiriia lantas mengerling men-taksir-taksir.

   Kebetulan sekali pandang mata Mundingsari mengarah padanya.

   Kedua mata mereka saling bentrok.

   Wajah Sekar Kuspaneti terasa panas.

   Dengan memalingkan muka, dia meludah.

   Hatinya kian menjadi mendongkol.

   Bagaimana Mundingsari bisa dibandingkan kecakapan suaminya.

   Tentu saja, Mundingsari tak tahu apa yang sedang berkutik di dalam hati Sekar Kuspaneti.

   "Aku adalah kakaknya.

   Nahkatakan kepadaku dimana dia kini berada!"

   "Kau bilang apa?"

   Teriak Sekar Kuspaneti. Sepasang alisnya terbangun. Sebab pertanyaan itu justru yang merumun dalam hati dan benaknya semenjak tadi.

   "Ahbenar-benar kau iblis!"

   Bentak Mundingsari mendongkol.

   "Aku iblis? Kalau begitu kau siluman!"

   Sekar Kuspaneti membalas mendamprat.

   "Kau tahujustru kau mengenal pemilik senjata bidik itumembuat aku beragu. Coba tidaksudah semenjak tadiaku mengutungi kepalamu."

   Mendengar ucapan Sekar Kuspaneti Mundingsari tercengang.

   "Nanti dulu! Sebenarnya... kau apanya dia?"

   "Aku adalah isterinya. Dia suamikukau tahu?"

   Bentak Sekar Kuspaneti setengah menangis.

   Sebab ia lantas teringat kepada Kilatsih yang hilang tak keruan.

   Ia mengaku dengan terus terang, sebenarnya karena menuruti rasa mendongkolnya.

   Dengan sekonyong-konyong Mundingsari tertawa terbahak-bahak.

   Pendekar itu segera teringat penyamaran Kilatsih.

   Dia sendiri dahulu hampir kena dikelabui.

   Seumpama penyamaran Kilatsih tidak kena disingkap Sirtupelaheli, selamanya ia menganggap Kilatsih sebagai seorang pemuda yang cakap dan ganteng.

   Sebagai seorang yang sudah berpengalaman, tahulah dia apa sebab Kilatsih menyamar lagi atau selalu menyamar.

   Gadis itu hendak menemui Sangaji.

   Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, ia harus mengelabui orang.

   Sampai pun terhadap isterinya demikian pula.

   Dalam hal ini pastilah ada maksudnya tertentu.

   "Gadis ini sebenarnya anak siapa, sampai Kilatsih perlu mengelabui? Ahkalau begitutak boleh aku membuka rahasianya. Aku harus menjaga maksudnya. Mungkin alasannya berdasar sehingga ia perlu menyamar terus?"

   Pikirnya di dalam hati. Karena itusetelah puas tertawaia berkata.

   "iSona! Sebenarnya siapa namamu dan siapa pula orang tuamu? Kapan engkau kawin dengan adikku?"

   Sekar Kuspaneti tidak segan untuk berbicara dengan blak-blakan10). Barangkali karena ia mendongkol teringat ucapan suaminya yang selalu menyebut-nyebut kakaknya.

   "Ih!"

   Ia bergeridik di dalam hatinya.

   "Dia seperti monyetmengapa selalu menjadi pangkal pembicaraan? Apa sih maksud Akang selalu menyebut- nyebut dia? Biarlah aku berkata terus terang bahwa aku adalah isteri adiknya yang setia dan sudah melampaui malam penganten."

   Dengan demikian Sekar Kuspaneti mengirabahwa dengan jalan begituakan memukul Mundingsari yang mendengkikan hatinya. Maka katanya dengan tegas.

   "Aku puteri Raja Muda Dwijendra. Kami kawin tiga hari yang lalu. Dua hari dua malam, kami selalu berkumpul di dalam kamar. Mengapa? Apakah tidak pantas dia menjadi menantu ayahku? Apakah aku kurang serasi sebagai isterinya?"

   Di luar dugaan Sekar Kuspaneti, tiba-tiba Mundingsari menyimpan goloknya.

   Pendekar itu lantas membungkuk sangat hormat.

   "Aah, adik iparku.

   Benar-benar aku bangga mempunyai adik ipar puteri tuanku Raja Muda Dwijendra.

   Eh, adikku pandai memilih jodohnya.

   Apakah ayahmu baik-baik saja?"

   Heran Sekar Kuspaneti mendengar ucapan Mundingsari yang bebas dari rasa mendongkol atau jelus11). Ia mengira, Mundingsari kurang jelas. Lantas ia mengulangi dengan suara masih mendongkol.

   "Kami menikah tiga hari yang lalu. Aku merasa berbahagia. Dua hari dua malam, Akang selalu menemani...."

   "Apakah selama dua hari dua malam, dia berada di rumah?"

   Potong Mundingsari menegas.

   "Benar. Tapi pada hari ketiga, ia mengejar seorang penjahat,"

   Jawab Sekar Kuspaneti.

   "Penjahat?"

   Mundingsari terkejut.

   "Siapa?"

   "Entah siapa dia. Dia berkuda hitam! Dandanannya seperti seorang terpelajar."

   Mundingsari berbimbang-bimbang. Dahinya berkerut- kerut. Sesudah diam sejenak, ia berkata dengan suara agak cemas.

   "Jangan-jangan suamimu kena jebak penjahat itu. Eh, tahukah engkau siapa sebenarnya suamimu itu?"

   Baik Widiana Sasi Kirana dan Kilatsih yang berada di balik kamar kaca berdegup mendengar kata-kata Mundingsari.

   Wajah Kilatsih sampai berubah.

   Kalau Mundingsari membuka rahasia dirinya pasti akan memukul hati Sekar Kuspaneti.

   Setidak-tidaknya, gadis itu akan salah paham.

   Kemudian akan menjadi kalap.

   Sebab mengira Mundingsari bermaksud mempermain- mainkan.

   "Aku tak peduli siapa dia atau anak keturunan siapa. Dia sudah menjadi suamiku, tempat aku berbakti seumur hidupku."

   Sekar Kuspaneti menyatakan dengan suara tegas.

   Jelas sekali, ia sudah berjaga-jaga rapat.

   Maksudnya ia tidak bakal memberi kesempatan kepada kakak suaminya yang senantiasa menjadi pokok pembicaraan Kilatsih dalam kamar temanten.

   Mundingsari tersenyum.

   "Syukurlah! Maksudku... dia benar-benar serasi denganmu. Kau puteri Raja Muda Dwijendra. Sedangkan dia adik seorang pemimpin besar..."

   "Kau bilang apa?"

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Dia adik pemimpin besar Himpunan Sangkuriang. Dia... dia..."

   Keterangan itu bagaikan halilintar menyambar udara terang benderang.

   Baik Sekar Kuspaneti maupun Widiana Sasi Kirana terperanjat.

   Hanya kedua orang itu lain kesannya.

   Apa yang terasa menonjol dalam diri Sekar Kuspaneti adalah rasa takjub, bangga bercampur syukur.

   Sebab siapa lagi yang disebut sebagai pemimpin Himpunan Sangkuriang kalau bukan Sa-ngaji atau yang disebut Gusti Aji oleh sekalian laskar perjuangan Jawa Barat.

   Sedangkan kesan yang bersemayam dalam diri Widiana Sasi Kirana bercampur aduk tak keruan sehingga tak dapat terlukiskan lagi.

   Tak terasa pemuda itu sampai menekan telapakan tangan Kilatsih.

   "Mengapa! Apakah kau menyesal?"

   Kata Kilatsih di dalam hati. Tatkala itu terdengar Sekar Kuspaneti menegas.

   "Apakah... apakah yang kau maksudkan adik Gusti Aji?"

   Sebelum Mundingsari dapat menjawab, nampaklah sesosok bayangan berkelebat memasuki pendapa.

   Kilatsih terkejut.

   Yang datang adalah Sastradirja.

   Dialah salah seorang bawahan Raja Muda Otong Surawijaya.

   Dengan dia dan Sekar Kuspaneti, pendekar itu berkesan kurang baik.

   Maka Kilatsih sudah memperoleh firasat buruk.

   , Benar saja.

   Begitu melihat Sekar Kuspaneti, Sastradirja lantas tertawa terkekeh-kekeh.

   "Ehbeginilah cara seorang penganten baru menyatakan cinta kasih dan kesetiaannya terhadap suaminya. Belum lagi layu kembang-kembang kursi temantensudah berkong kalikong dengan seorang laki- laki berberewok lebat. Hihaha.... Bagus! Bagus!"

   Sastradirja memasuki istana Batu hendak menghadap Raja Muda Otong Surawijaya.

   Di tengah jalan ia mendengar warta pemimpinnya dari mulut empat saudagar tengkulak.

   Hatinya menjadi panas.

   Ingin ia membuktikan dengan mata kepalanya sendiri.

   Maka dengan membawa beberapa temannya, ia memasuki istana.

   Nampaknya hanya seorang diriakan tetapi sebenarnya teman-temannya bersembunyi di dalam hutan yang berada di depan istana.

   Itulah sebabnya, hatinya tak gentar.

   Sekar Kuspaneti gusar bukan main mendengar ucapan Sastradirja.

   Saking gusarnya, ia sampai tak pandai berbicara.

   Seluruh tubuhnya bergemetaran dengan mata terbelalak.

   Terus saja ia menghunus pedangnya dan menyerang.

   "Tutup mulutmu! Mulutmu kotor!"

   "Eh, beginilah cara seorang penganten baru menyatakan cinta kasih dan kesetiaannya terhadap suaminya. Belum lagi layu kembang-kembang kursi temantensudah berkong kalikong dengan seorang laki- laki berberewok lebat.. .Hihaha.. .Bagus! Bagus!"

   Sastradirja tertawa terkekeh-kekeh. Terhadap Sekar Kuspaneti sama sekali ia tak memandang mata. Ia menangkis dengan gampang. Kemudian membalas dengan mengumbar mulutnya.

   "Kau memang pandai memilih maling. Orangnya gagah dan berberewok. Wah, hati-hati pipimu! Kalau kekerasan bergeser, bisa melecet."

   Tak dapat lagi digambarkan betapa murka hati Sekar Kuspaneti.

   Kedua matanya lantas saja penuh air mata.

   Ia menjadi kalap.

   Pedangnya menabas dan menyabet dengan sejadi-jadinya.

   Mundingsari adalah seorang pendekar yang bersih hatinya.

   Walaupun kasar, namun ia menghormati sopan santun pergaulan.

   Mendengar ejekan Sastradirja, ia ikut tak enak hati.

   Dengan tak langsung, ia dituduh mencemarkan nama Sekar Kuspaneti.

   Mengingat Sekar Kuspaneti puteri seorang raja muda dan ia percaya pula akan kebersihannya, maka ia mual terhadap mulut Sastradirja yang kotor.

   Tak peduli siapa dia, wajib ia membantu Sekar Kuspaneti.

   Memperoleh keputusan demikian segera ia mencabut goloknya dan menyerang dengan sungguh-sungguh.

   "Bagus! Bagus! Jantannya ikut-ikutan marah,"

   Seru Sastradirja dengan tertawa terkekeh-kekeh.

   "Inilah jodohmu yang benar. Kalau tahu begini, buat apa ikut- ikutan memasuki sayembara pilih. Tak tahunya kau adalah gadis pasaran...."

   Tentu saja Sekar Kuspaneti kian menjadi kalap.

   Mundingsari tak terkecuali.

   Sekarang ia tak segan-segan.

   Dengan mengerahkan seluruh tenaganya ia mendesak.

   Dikeroyok dua, Sastradirja jatuh di bawah angin, perlahan-lahan bawahan Otong Surawijaya itu kena didesak mundur.

   Tetapi Sastradirja seorang yang berpengalaman.

   Dengan mati-matian ia mencoba membendung serangan mereka.

   Kemudian berputar tubuh dan lari keluar.

   Mundingsari melompat mengejarnya.

   Sekar Kuspaneti menyusul pula.

   Maka terdengarlah benturan-benturan senjata lagi makin lama makin jauh.

   Akhirnya lenyap dari pendengaran.

   Goncang hati Kilatsih menyaksikan pertarungan itu.

   la mengangkat tangannya memandang Widiana Sasi Kirana.

   Tepat pada saat itu, Widiana Sasi Kirana memandang pula kepadanya.

   Pemuda itu bersenyum.

   Kilatsih bersenyum pula.

   Mereka berdua tiba-tiba dihinggapi rasa damai.

   "Rupanya istana ini tidak bebas dari orang. Biarlah kututupnya saja pintu depan,"

   Kata Widiana Sasi Kirana.

   Pemuda itu keluar dari kamar dan menutup pintu depan yang digempurnya rusak kemarin dulu.

   la mengganjelnya dengan batu-batu yang rontok.

   Walaupun tidak serapat sediakalaakan tetapi lumayanlah.

   Seseorang yang hendak memasuki istana harus memiliki tenaga paling tidak seribu kati untuk bisa mendorongnya.

   Kilatsih dalam pada itu meneruskan semedinya.

   Darahnya sudah terasa mengalir tanpa rintangan lagi.

   Seluruhnya parasaan-nya menjadi segar bugar.

   Tak terasa alam hari kedua, tibalah.

   Seperti janjinya, Widiana Sasi Kirana segera mulai dongengnya yang kedua.

   "Adikku, kemarin malam aku minta pen-dapatmu tentang tabiat seseorang. Kali ini aku akan mendongeng tentang anak keturunannya."

   "Maksudmu anak keturunan Sultan Haji."

   Kilatsih menegas.

   "Kau dengarkan saja. Otakmu cerdas, adik. Kau pasti bisa menebak saja,"

   Sahut Widiana Sasi Kirana. Lalu mulailah dia.

   "Ada seorang gadis keturunan entah Arab entah Persia jatuh cinta kepada seorang pemuda putera Pangeran Purbaya yang hilang tiada khabarnya. Gadis itu sangat cinta seumpama melebihi dirinya sendiri. Ia bersedia berbuat apa saja untuk pemuda yang dicintainya itu. Ia pun bersedia berkorban pula. Sebaliknya, pemuda itu jatuh cinta kepada seorang gadis yang diketemukan di atas gunung. Dengan diam-diam, ia kawin. Tentu saja hal itu membuat hati si gadis penasaran... Tatkala pemuda itu memimpin perjuangan untuk merebut hak-haknya kembali, gadis yang berpenasaran tersebut membalas dendam. Dia bersumpah kepada bumi dan langit hendak menggagalkan semua usaha pemuda itu. Demikianlah, maka dia kawin dengan seorang perwira Kompeni Belanda. Perwira itu kebetulan bertugas di Banten sebagai penghubung antara pihak Kompeni Belanda dan Kerajaan Banten. Mungkin sekali gadis itu sudi dikawin perwira tersebutjustru karena dia melihat si Perwira berhubungan rapat dengan pihak Kasultanan. Tegasnya, gadis itu mempunyai maksudnya sendiriseperti terbukti di kemudian hari.... Gadis itu memang cantik luar biasa. Wataknya panas pula bagaikan bara api. Pada suatu hari, ia ikut serta suaminya menghadap sultan. Pada kesempatan itu dia berhasil menambat hati Sultan Banten. Pastilah kau tahu, siapakah nama Sultan Banten yang kumaksud. Dia anak keturunan Sultan Haji. Namanya Zainul Arifin. Sultan ini lemah sifatnya. Dengan serta merta ia merebut isteri perwira itu dan kawinlah. Semenjak itu, Sultan Zainul Arifin berada di bawah pengaruh ratunya. Tatkala anaknya yang pertama lahir, pengaruhnya makin bertambah-tambah. Anak itu seorang perempuan. Setelah dewasa segera dicarikan menantu yang berkenan di dalam hatinya. Demikianlah ia dapat mencapai maksudnya. Sekarang tujuannya makin mendekat. Siang-siang ia sudah mempengaruhi menantunya. Kalau patuh padanya, dia sanggup menaikkan menantunya ke atas singgasana. Kesanggupannya ini dibuktikan juga. Pangeran Gusti, putera mahkota yang sah disingkirkan dengan bantuan Kompeni Belanda. Putera mahkota itu dibuang ke Pulau Sailan. Setelah itu, dia berkata kepada Kompeni Belanda bahwa suaminya akhirakhir ini terganggu kewarasan otaknya. Tentu saja Sultan Zainul Arifin membantah keras pernyataan itu. Akan tetapi ratu yang mempunyai angan-angannya sendiri itu, segera minta bantuan untuk menangkap suaminya. Dan suami yang malang itu, dibuang ke Ambon dan meninggal di sana pula. Kemudian ratu itu kawin dengan menantunya sendiri. Perkawinan itu tentu saja mempunyai tujuannya sendiri. Ia hendak menguasai seluruh kerajaan. Tapi sadarbahwa dia bukan keturunan hak waris kerajaan maka mula-mula ia berlindung kepada yang berhak menduduki tahta. Itulah Sultan Zainul Arifin. Setelah itu, ia berusaha mengurangi pengaruh tata-tertib kerajaan dengan mengangkat menantunya menjadi Sultan. Tegasnya, ia hendak mendirikan dinasti baru dengan dirinya sebagai pusat pusarannya. Untuk mencapai tujuan itu, ia tak memedulikan pembicaraan umum. Demikianlah setelah dia berhasil menjadi penguasa tunggalmulailah perjuangannya mengikis habis semua bentuk perjuangan pemuda yang dicintainya dahulu. Ia menang dalam segala bidang perjuangan. Sebab pemuda itubersikap mengalah. Ia tak sanggup bertentangan dengan gadis yang dahulu pernah dibuat kecewa. Karena alasan inipemuda itu hilang dari percaturan. Ratu itu benar-benar berhasil. Ia merupakan seorang wanita pertama yang berhasil mengendalikan pemerintahan dan merebut tahta kerajaan atas kekuatannya sendiri. Tak peduli ia melalui jalan yang kotor berlumpur. Mula-mula kawin dengan perwira VOC. Lalu kawin dengan Sultan Zainul Arifin sebagai selir12). Lalu kawin dengan menantunya sendiri. Dengan begitu kedudukannya menjadi kuat. Sebab menantu itu menduduki tahta kerajaan. Tegasnya dengan tangan kiri ia bisa menguasai menantu berbareng suaminya itu. Dengan tangan kanannya berhasil menghancurkan perjuangan pemuda bekas kekasihnya. Dengan demikian, ia berhasil melampiaskan rasa penasarannya."

   "Adikku, bagaimana pendapatmu tentang wanita ini?"

   Widiana Sasi Kirana mengakhiri dongengnya. Mendengar dongeng itu, Kilatsih bertambah heran. Mendadak berkelebatlah suatu bayangan dalam benaknya. Tapi bayangan itu terlalu cepat, sehingga tak dapat ia melihatnya dengan tegas.

   "Adik! Apakah wanita itu pantas menjadi tauladan?"

   Terdengar Widiana Sasi Kirana mempertegas pertanyaannya. Kilatsih menghela napas. Jawabnya dengan suatu pertanyaan pula.

   "Bukankah wanita yang kau ceritakan tadi adalah Ratu Fatimah dari Banten?"

   Widiana Sasi Kirana tertawa.

   "Nah, apa kataku? Kau pasti bisa menebaknya tepat. Memang benar, adikku dialah Ratu Fatimah."

   "Dan pemuda itu, bukankah Ratu Bagus Boang?"

   "Benar!"

   Widiana Sasi Kirana takjub.

   "Aihengkau pun mengenal kisah hidupnya?"

   Kilatsih jadi terdiam.

   Pikirnya sibuk.

   Ayahnya adalah salah seorang laskar perjuangan Ratu Bagus Boang.

   Kakaknya Sangaji mengganti kedudukan Ratu Bagus Boang.

   Putera Pangeran Purbaya itu, sangat dipuja oleh seluruh laskar perjuangan yang tergabung dalam himpunan Sangkuriang.

   Kalau ia sampai membuat penilaian yang kurang pantas, rasanya akan terkutuk oleh ayah ibunya sendiri berikut kakaknya pula.

   Menilai Ratu Bagus Boang memang sulit, baginya.

   Sebagai seorang manusia penuh, ia seorang yang luhur budi.

   Sebaliknya dipandang dari sudut cita-cita bangsa ia nampak sebagai seorang pemuda yang lemah hati.

   Sekarang bagaimanakah dia hendak menilai Ratu Fatimah? Katanya di dalam hati.

   "Ratu Fatimah adalah seorang wanita buruk perangainya, tetapi pun ada segi- segi lainnya yang patut dikagumi. Ratu Bagus Boang menghormati dan mengalah dengan suka relapasti dengan alasan-alasan yang berdasar. Kalau aku sekarang menyatakan bahwa dia seorang perempuan busuk, bukankah aku merendahkan sikap Ratu Bagus Boang?"

   Ia jadi berbimbang-bimbang sekian lamanya. Kemudian memutuskan.

   "Sebagai seorang wanita umum, perjalanan hidupnya patut dicela. Tapi sebagai seorang wanita yang bercita- cita, patut ia dikagumi. Sebab akhirnya dia berhasil mencapai cita-citanya. Karena itu dia pun digolongkan sebagai seorang wanita gagah."

   Mendengar kata-kata Kilatsih, wajah Widiana Sasi Kirana berubah.

   "Apakah jalan yang ditempuhnya tidak terasa sangat kotor? Lihatlah mula-mula dia kawin dengan seorang perwira dan perwira itu dicelakai. Khabarnya, ia diracuni. Demi perkawinannya dengan Sultan Zainul Arifin. Kemudian ia menyingkirkan suaminya itu dengan memberi keterangan bahwa otaknya kurang waras. Sesudah menyingkirkan anak* keturunan sultan tersebut, ia kawin dengan menantunya sendiri. Dapatkah wanita demikian digolongkan manusia gagah?"

   "Di dunia ini manakah ada seseorang yang mencapai tahta kerajaan mempunyai jalan hidup selurus nabi? Di dunia ini semua raja memang tidak baik. Lagipula dengan jalan demikian bukankah dia dapat memukul perbuatan Sultan Haji yang berkhianat kepada ayah dan adiknya?"

   Sahut_ Kilatsih dengan lancar. Widiana Sasi Kirana benar-benar berubah wajahnya sampai menunduk. Kemudian berputar tubuh sambil menghela napas.

   "Baiklah, adik. Semua orang bebas menyatakan pendapatnya sendiri. Kali ini engkau berbicara. Bersemedilah! Aku akan meng^ urut-urut kakimu. Esok pagi, engkau akan pulih kembali."

   Diam-diam Kilatsih heran.

   Kemarin malam ia mempunyai kesan Widiana Sasi Kirana membenci Sultan Haji.

   Sekarang ia menyatakan, bahwa dengan jalan demikian Fatimah dapat menghukum perbuatannya.

   Itulah karma yang menimpa anak keturunannya.

   Apa sebab dia pun tak senang pula? Sebenarnya apa maksudnya dia bercerita tentang sejarah Kerajaan Banten? Pada saat itu, Widiana Sasi Kirana telah mengurut-urut kedua kakinya untuk melancarkan peredaran darahnya.

   Dia merasa nyaman sekali.

   Karena tadi agak banyak menggunakan pikirannya, ia merasa letih.

   Dan tertidurlah dia dengan tak setahunya sendiri.

   Pagi hari telah datang, sewaktu Kilatsih menyenakkan mata.

   Ia melihat Widiana Sasi Kirana duduk merenungi lukisannya lagi.

   Tatkala menoleh kedua matanya merah dan pendul.

   Terang sekali, dia habis menangis.

   Mengapa pemuda itu selalu menangis setelah mendongeng, pikir Kilatsih.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Melihat Kilatsih membuka mata, Widiana Sasi Kirana segera menggulung lukisannya.

   Kemudian menghampiri seraya berkata girang.

   "Adik! Kudengar pernapasanmu sudah pulih seperti sediakala. Mungkin sekali hari ini engkau telah sembuh. Coba kuperiksa nadimu!"

   Pemuda itu tidak menunggu jawaban Kilatsih. Segera ia memegang urat nadi pergelangan tangan sahabatnya. Gerak geriknya seperti seorang tabib yang sudah berpengalaman penuh.

   "Ah, benar!"

   Katanya.

   "Inilah disebabkan engkau mempunyai dasar tenaga sakti yang bagus sekali. Setelah kau terbebas dari kesesatan, tenaga dasarmu membantu menyembuhkan. Biarlah aku mengurut lengan dan kakimu sekali lagi. Kemudian bersemadilah. Hari ini benar-benar engkau telah sembuh kembali."

   Kilatsih membiarkan kaki dan lengannya kena pijat pemuda itu. Ia memejamkan mata dan mencoba menghidupkah pikirannya untuk bisa diajak menebak pemuda itu.

   "Adik,"

   Kata Widiana Sasi Kirana.

   "Biarlah aku mendongeng dongengku yang ketiga. Kukira tak usah aku menunggu sampai malam hari tiba. Sebentar sore kalau adik menghendaki, sudah bisa meninggalkan istana batu ini. Nah, kau dengarkan saja!"

   Dengan mengurut dan memijat-mijat, Widiana Sasi Kirana bercerita.

   "Mertua Ratu Bagus Boang..... Eh, maksudku mertua Pangeran Purbaya salah seorang Mangkubumi Sultan Ageng Tirtayasa. Dia ikut terbunuh Sultan Haji. Untung pu-terinya dapat menyelamatkan putera Pangeran Purbaya. Itulah Ratu Bagus Boang. Setelah Ratu Bagus Boang hilang tiada khabarnya, lenyaplah pula anak keturunannya. Kebanyakan orang menduga bahwa Ratu Bagus Boang tidak mempunyai anak keturunan lagi. Sebenarnya tidak demikian. Ratu Bagus Boang meninggalkan seorang puteri dan puteri itu kena diangkut laskar Banten. Melihat puteri itu, timbullah rasa iba dalam hati Ratu Fatimah. Mungkin sekali teringat akan perhubungannya dengan Ratu Bagus Boang. Maka puteri itu diasuhnya dan diambil sebagai muridnya. Puteri itulah kelak yang membawa-bawa pedang Sangga Buana. Pada dewasanya, puteri itu kawin dengan salah seorang pangeran dan melahirkan seorang anak laki-laki. Tatkala terjadi suatu kericuhan di dalam istana, anak itu mendadak hilang lenyap.

   "Nanti dulu!"

   Tiba-tiba Kilatsih memotong.

   "Apakah yang kau maksudkan dengan kericuhan itu?"

   Widiana Sasi Kirana tertawa.

   "Hai! Kenapa berbicara? Bukankah engkau hanya perlu mendengarkan saja?"

   "Aku harus cermat. Sebab pastilah engkau nanti minta pendapatku,"

   Kata Kilatsih. Widiana Sasi Kirana tertawa terbahak-bahak.

   "Kali ini aku tidak akan minta pendapat-mu lagi. Aku hanya minta engkau mendengarkan saja. Tapi baiklah, biarlah aku memberi penjelasan kepadamu tentang kericuhan itu. Seperti kau ketahui, Ratu Fatimah berhasil memegang tampuk pimpinan. Sandaran kekuatannya ada pada pihak Kompeni Belanda, la tak gentar menghadapi lawan-lawannya yang diam-diam berhubungan dengan Inggris yang berbeteng di Bengkulon. Tapi, di luar dugaan mendadak terjadilah suatu perubahan dalam pemerintahan Belanda13) Gubernur yang menggantikan kedudukan gubernur lama, mengakui anak keturunan Sultan Haji. Maka Pangeran Gusti, putera mahkota yang sah dari Sultan Zainul Arifin, yang dibuang ke Sailan atas kelicikan Ratu Fatimah, dipanggil pulang. Sedangkan Ratu Fatimah ditangkap dan hendak dibuang ke Ambon. Akan tetapi di tengah jalan, Ratu Fatimah wafat. Inilah yang kumaksudkan dengan kericuhan yang terjadi dalam istana Kasul-tanan Banten."

   Kilatsih mengerling kepada pemuda itu. Pikirnya di dalam hati.

   "Dia paham benar dengan lika-liku sejarah istana Banten. Sebenarnya, siapakah dia? Dia benci kepada Sultan Haji berbareng tidak senang kepada Ratu Fatimah."

   "Lantas anak tadi lenyap kemana?"

   Tanya Kilatsih setelah memperoleh pikiran hendak mencoba menyingkap rahasia asal-usul pemuda itu. Widiana Sasi Kirana tertawa perlahan.

   "Kau pun kadang-kadang tidak bersabar seperti aku juga. Biarlah aku bercerita perlahan-lahan."

   Selagi menyahut demikian, tiba-tiba terdengarlah suara gedobrakan.

   Pintu depan yang terganjel kena bongkar.

   Kedua muda-mudi terkejut.

   Terutama Widiana Sasi Kirana.

   Pikirnya, Ganjel pintu membutuhkan tenaga dorong seribu kati untuk bisa menggeserkan.

   Siapa yang bertenaga begini besar.

   Ia menghela napas sambil menyimpan gambarnya.

   "Kenapa sih tempat begini seram didatangi orang juga? Adik! Tak peduli apa yang terjadi di luar untuk sementara engkau jangan bergerak. Kesehatanmu memang sudah pulih kembali. Akan tetapi engkau belum boleh bergerak. Engkau bisa kena salah urat."

   Kilatsih mengangguk dengan bersenyum.

   Dan pada saat itu, pintu depan benar-benar sudah kena bongkar.

   Suaranya bergaprukan dahsyat.

   Suatu tanda bahwa pendatang kali ini bertenaga sangat besar.

   Ternyata yang datang berjumlah lima orang.

   Mereka datang dengan membawa obormeskipun di luar istana hari terang benderang.

   Dengan berleret mereka memasuki ruang pendapa yang selalu gelap pekat.

   Kilatsih memasang matanya.

   Segera ia mengenal mereka semua.

   Yang empat ialah para saudagar tengkulak.

   Sedangkan yang berada di depan calon mertuanya sendiri.

   Raja Muda Dwijendra.

   Melihat Raja Muda Dwijendra, hatinya tergetar dan gelisah.

   "Empat tengkulak itu pasti sudah sering datang kemari. Mereka pun pasti pula mengenal kamar ini. Bagaimana kalau Paman Dwijendra memerintahkan aku pulang? Apa yang harus kulakukan terhadap Sekar Kuspaneti?"

   Pikirnya resah. Ia merasa bingung. Pada saat itupada Saudagar meyakinkan Dwijendra.

   "Mereka berdua pasti masih berada disini. Menurut tuanku Dadang dan Otong, menantu tuanku terlalu menggunakan tenaga berlebih-lebihan. Pastilah ada akibatnya. Kalau menantu tuanku datang menghadap, kami berempat ingin mohon suatu peradilan."

   Sesudah kalah bertempurDadang dan Otong menghilang dengan uring-uringan.

   Keempat saudagar itu, tidak dipedulikan.

   Mereka jadi gelisah dan tidak puas.

   Betapa tidak? Semua harta bendanya masih tertinggal di dalam istana.

   Kebetulan sekali, mereka bertemu dengan Raja Muda Dwijendra yang sedang menyusul puterinya.

   Mereka lantas mempunyai harapan kembali.

   Dengan serta-merta mereka menceritakan pengalaman Dadang dan Otong yang kena dikalahkan dua anak muda termasuk menantu raja muda tersebut.

   Mereka memohon agar Raja Muda itu membantu memperoleh harta bendanya kembali.

   Sebab harta benda itu, tidak termasuk di dalam taruhan.

   Tentu saja Raja Muda Dwijendra bergembira mendengar dimana beradanya calon menantunya.

   "Dan siapakah pemuda yang lain?"

   "Dialah yang mencuri lukisan tuanku,"

   Jawab mereka.

   Keempat saudagar itu tahu bahwa dalam hal ilmu sakti, Raja Muda Dwijendra kalah seurat dibandingkan dengan Dadang dan Otong.

   Akan tetapi raja muda itu besar pengaruhnya, dengan mengandal pada pengaruhnya bisa meminta kembali harta bendanya yang kena rampas.

   Mendengar keterangan empat saudagar, Dwijendra berpura-pura mau menerima permohonan mereka.

   Bertemu dengan muda mudi itu baginya sangat penting.

   Mereka berdua nanti mau mengembalikan harta benda keempat saudagar itu atau tidak, bukanlah soal.

   Malahan kalau keempat saudagar itu menuntut berlebih-lebihan, dia bisa menurunkan tangan untuk membereskan.

   Memang, rata-rata pengikut Ratu Bagus Boang merupakan pendekar-pendekar utama yang liar sifatnya.

   Sekian tahun lamanya Sangaji mencoba merubah perangainya dengan diberinya tauladan.

   Sedikit banyak, mereka lebih baik daripada masa dahulu.

   Akan tetapi sifat liarnya tidak mudah hilang dengan begitu saja.

   Demikianlah, dengan ringan kakikeempat saudagar itu menjadi penunjuk jalannya.

   Mereka malahan mengabarkan, bahwa pu-terinya telah menyusul pula.

   Mendengar khabar itu, Raja Muda Dwijendra kian bersemangat.

   Keempat saudagar itu lantas dijadikan pengantarnya.

   Demikianlahsetelah memutari ruang pendapa keempat saudagar itu lantas berteriak-teriak.

   "Hai, bocah! Kau keluarlah! Jangan bersembunyi seperti kelinci!"

   Ternyata keempat saudagar itu tidak mengetahui letak kamar berkaca, walaupun sudah sering datang menghadap Raja Muda Dadang dan Otong.

   Mereka lantas mengumbar mulutnya yang dialamatkan kepada Widiana Sasi Kirana.

   Di luar dugaan Raja Muda Dwijendra mencegahnya.

   "Jangan begitu!"

   "Yang kami kutuk bocah yang mencuri lukisan tuanku. Bukan menantu tuanku,"

   Mereka memberi penjelasan.

   "Terlebih-lebih demikian. Kalian tak kuperkenankan bersikap kasar terhadapnya,"

   Kata Dwijendra. Keempat saudagar keheran-heranan. Mereka bertambah heran, tatkala melihat Dwijendra membungkuk hormat dengan mendadak. Kata orang tua itu lagi.

   "Tuankusilakan keluar. Aku ingin bertemu denganmu. Dengan beradaku disini, dapat aku mendamaikan persilihan dengan menantuku."

   Benar-benar tercengang keempat saudagar itubegitu melihat dan mendengar kata-kata Raja Muda Dwijendra.

   Apakah orang itu lagi melakukan siasat halus? Mengira bahwa Dwijendra agak segan terhadap kepandaian Widiana Sasi Kiranasalah seorang berkata berbisik kepadanya.

   "Tuankudia memang berkepandaian tinggi. Akan tetapi kita berjumlah lima. Menantumupasti menderita luka dalam lantaran menggunakan tenaga berlebih-lebihan demikianlah keyakinan tuanku Dadang dan Otong. Dengan demikian, kita berlima hanya menghadapi seorang pemuda. Masakan kita tak sanggup melawannya? Kami berjanji akan menyembuhkan luka menantu tuanku. Terhadap pemuda itukami tidak menuntut berlebih-lebihan. Cukup, asalkan dia mengembalikan semua harta benda kami yang ikut dipertaruhkan Tuanku Raja Muda Otong Surawijaya dan Raja Muda Dadang Wiranata."

   Keempat saudagar itu berusaha membesarkan hati Raja Muda Dwijendra dengan menyatakan sanggup berjuang sehidupsemati.

   Ia mengesankan pula, bahwa menantunya menderita luka parah yang perlu mendapat pengobatan dengan segera.

   Mak- - sudnyaagar mertua inimenjadi gusar.

   Di luar dugaan, sikap Raja Muda Dwijendra acuh tak acuh.

   Dia malahan tidak menggubris sama sekali.

   Dengan tetap berdiri "tegak, ia berkata nyaring lagi.

   "Tuanku, silakan tuanku keluar! Menantuku itu, benar- benar tidak mengetahui siapa diri Tuan. Aku memintakan maaf atas kesemberonoannya sampai berani mengejarmu."

   Sekarang tahulah keempat saudagar itu jalan pikiran Raja Muda Dwijendra.

   Rupanya raja muda itu mengira, menantunya kena dilukai atau ditawan pemuda berkuda hitam karena berani mengejar.

   Dia sekarang bersedia memohonkan maaf.

   Dalam pada itu Widiana Sasi Kirana tetap bersikap dingin terhadap semua yang terjadi di luar kamar.

   Dengan duduk disisi Kilatsih, ia memijat-mijat dan mengurut-urut kembali untuk mengatur letak urat temannya itu.

   "Adik,"

   Bisiknya.

   "Kalau kesehatanmu sembuh kembali tenagamu tidak hanya pulih tapi pun bertambah berlipat. Rupanya tenaga sakti yang kau gunakan benar-benar ajaib sifatnya."

   Keempat saudagar yang berada di luar kamar, hilang kesabarannya. Dengan serta merta, mereka berteriak- teriak mengancam.

   "Baiklah kalau kalian tidak sudi mendengarkan kami kamar kalian akan ku-bongkar!"

   Mereka benar-benar membuktikan ucapannya, lantaran nafsunya untuk merebut harta bendanya kembali sangat besar.

   Dengan penuh semangat, mereka memben-turi pintu kamar dengan batu-batu ganjalan pintu depan.

   Melihat perbuatannya, Widiana Sasi Kirana sudah dapat mengambil keputusan.

   Setelah berbisik pada telinga Kilatsih, segera ia membuka pintu dan ditutupnya kembali dengan cepat.

   Keempat saudagar itu tengah berkutat mendorong- dorong daun pintu.

   Begitu pintu terbuka dari dalam dengan mendadak, mereka kehilangan keseimbangan.

   Tak ampun lagi mereka jatuh mengusruk14) menungkrapi lantai.

   Tatkala bangkit kembali mereka melihat Widiana Sasi Kirana sudah berdiri tegak di depan Raja Muda Dwijendra.

   Pakaian yang dikenakan masih seperti kemarin lusa.

   Berwarna putih dengan sulaman pedang Sangga Buana dengan sarungnya.

   Segera mereka melompat menjajari Raja Muda Dwijendra dengan sikap mengurung.

   Obor mereka masih tetap menyala.

   Kena sinar obor itu, wajah Widiana Sasi Kirana nampak agung dan tenang luar biasa.

   Dengan pandang berwibawa ia menatap Raja Muda Dwijendra.

   Berkata lembut sopan.

   "Paman! Jasamu terhadap leluhur kami sangat besar. Tatkala aku memasuki rumahmu tak sempat aku berbicara banyak karena diketahui orang. Sekarang perkenankan aku atas nama almarhum orang tuaku memberi hormat kepadamu."

   Dwijendra menatap wajah Widiana Sasi Kirana, begitu kena pandang, tiba-tiba air matanya bercucuran, la mendahului memberi sembah kepadanya sambil berkata.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tuanku.... Benar-benar wajah tuanku mirip dengan kakek tuanku.... Junjungan kami."

   Widiana Sasi Kirana segera mencegah pemberian sembah itu.

   Ia sendiri lantas membungkuk hormat dengan setulus hati.

   Sebaliknya Raja Muda Dwijendra tak mau kalah sebat.

   Dengan serta merta ia menjatuhkan diri dengan berlutut bersembahlah dia.

   Melihat sikap Raja Muda Dwijendra, hancurlah harapan keempat saudagar yang masih berdiri tegak di belakangnya.

   Mereka saling pandang dengan tak mengerti.

   Kilatsih yang berada di dalam kamar terperanjat pula.

   Hanya saja ia mempunyai kesan lain.

   Katanya di dalam hati.

   "Kiki ternyata seorang pemuda yang tahu sopan santun. Melihat Paman Dwijendra hendak memberi hormat padanya, ia mendahului membungkuk. Hanya saja ia kalah pengalaman. Paman Dwijendra menjatuhkan diri dengan berlutut. Inilah pasti merupakan suatu kejadian di luar dugaan Kiki...."

   Dalam pada itu, wajah keempat saudagar itu masih saja nampak terlongong-longong.

   Sama sekali di luar dugaan mereka, bahwa Dwijendra dan pemuda penjahat itu sebenarnya bersahabat dan saling menghormati.

   Widiana seorang diri, mereka merasa tak sanggup melawan.

   Apalagi kalau sampai dibantu Raja Muda Dwijendra.

   Maka harapannya untuk bisa memperoleh harta bendanya kembali, lenyap seakan-akan awan tersapu angin.

   Widiana Sasi Kirana menoleh kepada mereka.

   Dengan sikapnya yang tenang ia berkata.

   "Disini hadir salah seorang pimpinan tertinggi laskar Himpunan Sangku- riang. Coba tanyalah kepada Beliau, apakah aku ini seorang pemuda jahat yang serakah melihat harta benda orang!"

   Keempat saudagar itu biasa berdagang.

   Ia menganggap semua langganannya sebagai majikan atau rajanya.

   Maka mereka pandai membawa diri.

   Melihat Raja Muda berubah sikap terhadap Widiana Sasi Kirana di luar dugaanmereka cepat-cepat merubah sikap pula.

   Buru-buru mereka membungkuk hormat dengan tertawa lebar.

   "Mana berani kami menuduh tuanku yang bukan- bukan!"

   Kata mereka berebutan.

   "Tunggu!"

   Perintah Widiana Sasi Kirana.

   "Di dalam kamar terdapat harta peninggalan Raja Muda Dadang dan Otong. Kalian ambil semuanya!"

   "Ah, bagaimana kami berani berbuat begitu?"

   Mereka gugup.

   Widiana Sasi Kirana tidak menghiraukan keadaan hati mereka.

   Serenak ia membuka pintu selebar tubuhnya untuk menutupi keberadaan Kilatsih di dalam kamar.

   Kemudian masuk ke dalam kamar.

   Kamar berkaca itu cukup besar.

   Kilatsih berada di pojok tenggara.

   Pintu berada di sebelah timur.

   Dengan demikian, mereka tak bisa melihat Kilatsih dari luar kamar walaupun seumpama pintunya terbuka penuh- penuh.

   Apalagi mereka berlima tidak berani melongok.

   Dari celah pintu yang terbuka separo, mereka melihat Widiana Sasi Kirana mengambil sapu.

   Lalu mendorong tumpukan harta benda yang berada di pojok kamar dengan sapunya keluar pintu.

   Terhadap tumpukan harta benda yang harganya melebihi satu juta ringgit, ia memandangnya tak ubah tumpukan sampah belaka.

   Hal itu membuat keempat saudagar makin meringkas.

   "Pada umumnya, manusia ini bersedia mati demi harta benda. Seperti burung bersedia mati karena makanan,"

   Kata Widiana Sasi Kirana dengan tertawa.

   "Tapi aku lebih senang kepada pengetahuan dan karunia kepandaian. Nah, kalian ambil semuanya biar kalian cepat kaya raya!"

   Seumpama mereka manusia biasa, pastilah akan tergugah rasa kehormatan dirinya begitu mendengar ucapan Widiana Sasi Kirana yang tajam dan merendahkan.

   Akan tetapi mereka sudah terlanjur butek, apabila melihat harta.

   Maka yang terasa di dalam hati mereka adalah rasa girang dan bersyukur.

   Mereka menganggap rezeki itu hadiah dari tangan Tuhan.

   Tak "mengherankan, mereka maju dengan serentak sampai kaki-kaki mereka hampir saling mengkait.

   Lalu dengan berebutan, mereka memasukkan harta benda yang tak ternilai harganya itu ke dalam kantung-kantung penyimpan barang dagangan.

   "Nah, sekarang pergilah kalian!"

   Perintah Widiana Sasi Kirana.

   Suaranya agak keras dan berwibawa.

   Kalau bertemu dengan Raja Muda Dadang dan Otong katakan padanya bahwa zaman sudah berubah.

   Dengan cara demikian kuumpamakan ikan meninggalkan air.

   Sikap mereka menakutkan, sehingga kemungkinan besar rakyat menjauhi.

   Jika rakyat sudah menjauhi lantaran rasa takut, perjuangan dalam bentuk apa pun akan kandas.

   Kecuali kalau tujuan mereka hanya merampok."

   Keempat saudagar itu memanggut-mang-gut seperti burung bangau mematuk-matuk Lumpur sawah. Salah seorang mengambil hati.

   "Kata-kata tuanku benar semua. Bagaimana dengan luka sahabat tuanku? Kami mempunyai obat dan sanggup mengobati....."

   Widiana Sasi Kirana tertawa.

   "Jauh sebelum engkau berkata demikian, sudah kuobati. Sebentar lagi dia akan pulih kembali. Yang perlu bagimu adalah mengobati dirimu sendiri. Nah, kalian pergilah sebelum pikiranku berubah."

   Tentu saja ancaman Widiana Sasi Kirana itu menggigilkan hati mereka.

   Kalau pemuda itu sampai berubah pikirannya harta karun yang diberikan mungkin akan dirampasnya kembali.

   Itu masih untung.

   Kalau dia menghendaki jiwa, mereka bisa berbuat apa? Maka cepat-cepat mereka meninggalkan istana tak ubah empat sekawan anjing kena gebuk.

   Widiana Sasi Kirana tertawa berduka.

   "Telah kusapu bersih sampah ini.

   Sekarang mau apa? Jalan sudah terentang di depanku.

   Kemana? Ah, Paman Dwijendra bukankah matahari sudah mulai bersinar?"

   "Benar, tuanku,"

   Sahut Raja Muda Dwijendra dengan membungkuk hormat. Sekarang orang tua itu tidak segan-segan lagi menyatakan hormatnya, sesudah keempat saudagar tadi tiada lagi.

   "Baiklah paman. Kita sudah bertemu. Paman boleh melanjutkan perjalanan. Aku pasti akan menyalakan api di seluruh penjuru dunia ini agar rasa keadilan semi di dalam tiap dada manusia."

   "Ah, ucapan tuanku ini pasti akan menggembirakan Gusti Aji, apabila Beliau mendengar. Semenjak tuanku berada di tengah alam, Beliau sudah bersiap-siap pulang ke kampung,"

   Kata Dwijendra.

   Kilatsih terkesiap mendengar kata-kata Dwijendra.

   Apakah alasan inilah yang membuat kakaknya Sangaji meninggalkan celah Gunung Gede? Apakah alasan ini pulalah, Manik Angkeran menjual Gedung Paguyuban Sunda? Kalau benar demikian alasannya siapakah pemuda ini? Kilatsih jadi sibuk tak keruan.

   Dwijendra berkata demikian pasti bukan mengada-ada.

   Dia seorang Raja Muda yang besar pengaruhnya.

   Kata-katanya seumpama undang-undang.

   "Tuanku, apakah tuanku bersedia menghadap Gusti Aji?"

   Dwijendra menegas setelah melihat pemuda itu membungkam mulut. Widiana Sasi Kirana tersenyum.

   "Pada saat ini, belum ada niatku demikian."

   Raja Muda Dwijendra menghela napas pendek. Mengalihkan pembicaraan.

   "Bolehkah aku mengajukan suatu permohonan?"

   "Apakah itu?"

   "Kembalikan menantuku."

   Widiana Sasi Kirana mengekerutkan dahi.

   "Tentang jodoh puterimu, serahkan kepadaku. Paman tak usah memikirkan hal itu. Seumpama gagal, aku akan mencarikan jodohnya yang jempolan. Nah Paman, kau pergilah! Lebih cepat lebih baik."

   Kata-kata pergilah diucapkan dengan tekanan keras sehingga berkesan suatu perintah. Dan Raja Muda Dwijendra biasanya seorang yang angkuh hati. Namun terhadap pemuda itu, ia membungkuk hormat.

   "Kalau begitu, perkenankan aku pergi. Apakah tuanku masih menghendaki sesuatu lagi?"

   "Kukira untuk sementara, cukuplah!"

   Raja Muda Dwijendra membungkuk, kemudian meninggalkan istana batu. Kilatsih yang berada di dalam kamar heran bukan kepalang. Pikirnya sibuk di dalam hati.

   "Paman Dwijendra bukan manusia lumrah. Pengaruhnya besar seumpama melingkupi bumi Priangan. Kepandaiannya pun tak perlu kalah dibandingkan dengan pemuda itu. Apa sebab dia bersikap begitu hormat dengan merendahkan diri?"

   Makin direnungkan, makin tergoncanglah hati Kilatsih.

   Ia merasa diri tertusuk melihat sikap pemuda itu terhadap Sangaji.

   Sikapnya seolah-olah seorang majikan yang berada di atas Sangaji.

   Buat Kilatsih, Sangaji merupakan seorang pendekar yang sempurna.

   Baik tentang ilmu kepandaiannya maupun kejujuran hatinya.

   Dia seolah-olah malaikat Tuhan yang dikirimkan ke bumi untuk membuat perdamaian di antara sesama manusia.

   Siap melindungi dan membimbing.

   Himpunan Sangkuriang tanpa diaseumpama sebuah rumah tanpa jiwa.

   Mengapa pemuda ini seolah-olah tidak menghargainya? Malah kesannya seolah-olah Sangaji merebut kedudukannya.

   Tatkala Widiana Sasi Kirana memasuki kamar, wajah Kilatsih nampak pucat.

   Walaupun kesehatannya sudah pulih kembali akan tetapi ia berpikir terlalu keras.

   Tubuhnya tergoyang seakan-akan hendak roboh.

   Widiana Sasi Kirana kaget bukan kepalang.

   Cepat-cepat ia mengulurkan tangan.

   Kilatsih semenjak kanak-kanak adalah seorang gadis yang panas dan tak pandai menguasai diri.

   Dahulu tatkala Sorohpati kena keroyok dalam tendadengan tak tahu diri, ia maju menerjang.

   Itulah disebabkan kena dirabu rasa panas hati.

   Sekarang pun demikian pula.

   Walaupun semenjak kenal Sangaji, ia bisa meniru sifat- sifat Sangaji yang tenang dan sabarnamun ia diasuh Adipati Surengpati yang berjiwa bebas setengah liar.

   Maka tak mengherankania lantas menolak uluran tangan Widiana Sasi Kirana kepadanyadan berkata dengan mata membelalak.

   "Semua raja muda yang usianya jauh lebih tua daripadamu, bersikap hormat kepada Ketua Himpunan Sangkuriang. Tetapi sikapmu seolah-olah tidak memandang mata kepadanya. Mengapa?"

   Widiana Sasi Kirana terkejut tangannya kena tolak. Sesudah mencoba mengerti bunyi semprotan Kilatsih, ia tertawa geli.

   "Adik! Kapan aku memandang rendah Paman Sangaji? Aku berkata kepada Paman Dwijendra, bahwa pada saat ini belum ada niatku. Memang benar. Bukankah aku lagi merawat dirimu? Kalau aku tidak berkata demikian pastilah Paman Dwijendraakan mengajak aku bersama- sama menghadap padanya. Ah, adikkukau terlalu menggunakan perasaanmu yang berlebih-lebihan..."

   Tiba-tiba saja dalam hati Kilatsih ada rasa syukur. Ternyata pemuda itu besar perhatiannya kepadanya. Walaupun demikian pada saat ituia belum dapat menghilangkan kesannya.

   "Baiklah, adikku..."

   Kata Widiana Sasi Kirana lagi.

   "Paman Sangaji memang terpuja oleh semua insan yang bercita-cita. Termasuk engkau. Hanya saja... entah apa sebabnya engkau nampak terlalu bersemangat. Mudah- mudahan... tebakanku tidak salah. Hari ini, kau harus beristirahat dahulu. Kalau kau terlalu banyak menggunakan tenaga, kau akan gagal. Mari, kubantu engkau meluruskan peredaran darahmu."

   Kilatsih tak membantah, tatkala Widiana Sasi Kirana memijat telapakan tangannya. Pemuda itu nampak terperanjat. Telapakan tangan Kilatsih terasa panas dan kedua matanya nampak guram.

   "Adik, kau sedang pepat. Kau bersemadilah cepat- cepat. Kau harus bisa menguasai ke-tenanganmu kembali."

   Ia melepaskan pegangannya.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kemudian berjalan mondar-mandir di dalam kamar itu.

   Ia nampak gelisah.

   Berkali-kali ia menatap atap kamar.

   Kemudian menghampiri lukisan dan merenunginya.

   Kilatsih berusaha menguasai ketenangannya.

   Ia sadar akan hal itu.

   Kalau tidak, ia akan gagal memperoleh kesehatannya kembali.

   Ia tahu pula, kegelisahan Widiana Sasi Kirana karena memikirkan dirinya.

   Ia berduka dan resah.

   Itulah sebabnya, ia berusaha untuk menyenangkan hati pemuda itu yang begitu besar perhatiannya terhadap dirinya.

   Namun beberapa kali ia gagal.

   Akhirnya, ia menyibakkan rambutnya dan bersenyum.

   Katanya perlahan.

   "Kiki! Kau berjanji hendak mendongeng lagi. Aku bersedia mendengarkan dongenganmu yang ketiga kalinya."

   Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja hati gadis itu tenang luar biasa. Dengan lapang dada ia melihat Widiana Sasi Kirana bersenyum syukur. Pandang matanya berseri-seri.

   "Kau beristirahatlah dahulu! Dongengku nanti akan menentukan. Eh, sampai dimana dongengku tadi pagi?"

   Katanya dengan gairah. Kilatsih memejamkan matanya. Ia duduk bersemadi mengatur pernapasannya. Tatkala itu ia mendengar Widiana Sasi Kirana berkata perlahan seperti kepada dirinya sendiri.

   "O ya, ada anak keturunan Ratu Bagus Boang hilang tatkala terjadi kericuhan di dalam istana..... Ah, ya sampai disini. Biarlah nanti saja, adikku. Kau beristirahatlah dahulu!"

   Dalam kamar itu lantas terjadi suatu kesunyian.

   Dengan diam-diam, matahari merangkak-rangkak.

   Senja hari telah terasa tiba.

   Di luar istana keredupan cahaya matahari meresap di dalam hati dan perasaan.

   Berjalan- jalan di dalam suasana alam yang mulai sejuk demikian, alangkah menggairahkan.

   "Adik! Sebentar malam, kau pasti sudah pulih kembali,"

   Seru Widiana Sasi Kirana dengan girang.

   "Kita lantas bisa meneruskan perjalanan lagi."

   Girang dan rasa syukur berkecamuk di dalam hati Kilatsih. Ia percaya pernyataan Widiana Sasi Kirana. Terus saja ia membuka matanya dan memandang dengan perasaan penuh terima, kasih kepada pemuda itu.

   "Ha, masih ada waktu sedikit sebelum mandi sore,"

   Kata Widiana Sasi Kirana.

   "Bukankah dongengku sampai kepada anak yang hilang? Dialah cucu Ratu Bagus Boang. Ia kena culik salah seorang penasihat Ratu Bagus Boang dan dibawanya masuk ke dalam gua. Dia dididik dengan tekun di bawah restu Ketua Himpunan Sangkuriang sekarang."

   "Sangaji maksudmu?"

   Kilatsih menyela dengan girang.

   "Benar. Paman Sangaji!"

   Jawab Widiana Sasi Kirana.

   "Di dalam gua itu cucu Ratu Bagus Boang mempelajari ilmu ketabiban dari seorang tabib sakti bernama Maulana Ibrahim. Lalu ilmu pedang warisan kakeknya yang bernama Jala Karawelang."

   Baru sampai disitu mendadak terdengarlah suara langkah yang tajam sekali. Widiana Sasi Kirana mengerutkan alisnya. Ia berdiri dengan serentak. Berkata setengah mengeluh.

   "Lagi-lagi ada orang datang. Kenapa sih istana ini banyak dikunjungi orang?"

   Dengan sekonyong-konyong terdengarlah ringik Panut si kuda hitam.

   Kemudian dinding istana tergempur hancur.

   Berbareng dengan mengepulnya debu, masuklah tiga orang yang menyandang awut-awutan.

   Tiang serambi istana memang sudah hilang kekuatannya.

   Walaupun demikian, tidak sembarang orang dapat menggempurnya roboh.

   Juga tembok istana.

   Tetapi tiga orang yang datang itu seperti sedang berebutan menggempur semua yang nampaknya serba kokoh.

   Setelah itu, mereka tertawa berkakakan.

   Kilatsih terkejut.

   Ia segera mengenali dua orang di antaranya.

   Yang satu adalah seorang pendeta yang memelihara rambut panjang.

   Orang itu berkesan liar dan edan-edanan.

   Itulah orang yang pernah dilihatnya tujuh atau delapan tahun yang lalu di tenda perkemahan tatkala Sorohpati ayah angkatnya dikeroyok.

   Di kemudian hari ia mendapat penjelasan, bahwa orang itu bernama Ki Hajar Karangpandan.

   Dialah guru pendekar Sanjaya putera angkat Pangeran Bumi Gede.

   Dan yang kedua adalah seorang berusia tua mirip penyamaran Sirtupelaheli.

   Dialah Ki Jaga Saradenta.

   "Ah! Memang semenjak Nenek Sirtupelaheli menyamar sebagai Ki Jaga Saradenta, banyaklah timbul pertanyaan dalam hatiku. Guru Kangmas Sangaji itu, sudah mati atau belum? Kalau masih hidup, apa sebab Nenek Sirtupelaheli perlu menyamar sebagai dirinya? Sebaliknya kalau sudah mati seperti yang pernah dilihat Kakang Mundingsari mengapa muncul dengan tiba-tiba disini? Dan mayat siapa yang pernah dilihat Kakang Mundingsari? Kakang Mundingsari beberapa kali pernah bertemu muka dengan Ki Jaga Saradenta sebelumnya. Pastilah penglihatannya tak salah. Kalau begitu, apakah orang ini palsu pula? Sekiranya palsu, mengapa bisa berjalan bersama dengan Ki Hajar Karangpandan?"

   Pikir Kilatsih sibuk di dalam hati.

   Ki Hajar Karangpandan adalah seorang pendekar yang jujur, berani dan tinggi ilmu kepandaiannya.

   Meskipun edan-edanan, akan tetapi cerdas.

   Pastilah dia tak sudi berjalan bersama dengan seorang Ki Jaga Saradenta palsu.

   Demikianlahkeyakinan Kilatsih.

   Tatkala itu, Ki Hajar Karangpandan berkata nyaring kepada orang ketiga.

   "Otong! Kau membawa aku kemari. Aku seorang sinting yang paling muak terhadap semua yang serba gelap. Batu-batu ini akan kubongkar. Ingin kutahu, apakah engkau masih berani menantang aku berkelahi lima hari lima malam!"

   Orang ketiga itu, memang Otong Darma-wijaya tapi bukan Otong Surawijaya yang dikalahkan Widiana Sasi Kirana.

   Dialah yang disebut orang dengan nama Ki Tunjungbiru.

   Orang mengira, dia seorang pendekar pecinta bangsa yang hidup berkelana untuk menghindari incaran Kompeni Belanda.

   Sesungguhnya kedudukannya melebihi dari dugaan orang.

   Ternyata dia salah seorang penasihat Ratu Bagus Boang.

   Kedudukannya seorang raja muda pula.

   Pada zaman Perang Giyanti, Ki Hajar Karangpandan dan Ki Tunjungbiru pernah mengadu kekuatan selama lima hari lima malam.

   Perkaranya remeh saja.

   Itulah perkara pantat gadis Jawa Barat dan pantat gadis Jawa Tengah.

   Kedua-duanya tak sudi mengalah, sebab latar belakang sesungguhnya adalah perkara kehormatan diri dan kehormatan sukunya.

   Akhirnya setelah bertempur lima hari lima malam, keduanya tiada yang kalah dan menang.

   Kini, mereka sudah berumur sembilanpu-luh tahun lebih.

   Hati mereka berdua tidak segarang dahulu.

   Namun perangai mereka masih saja tak berubah.

   "Hajar!"

   Sahut Ki Tunjungbiru dengan tertawa gelak.

   "Kau hancurkan istana ini bagaikan abu, apa peduliku."

   "Eh! Mengapa kau tak mempunyai semangat? Bukankah istana ini terletak di bumi Priangan? Kau mestinya harus marah! Kenapa tidak? Apakah kau sudah jadi perempuan? Hai! Hai! Jangan-jangan kau sudah kawin!"

   "Memang! Memang aku bersedia kawin kalau kau sudah kawin pula. Kau sudah kawin atau belum?"

   Hajar Karangpandan tertawa bercerocosan sampai liurnya menyemproti kumis dan jenggotnya yang awut- awutan.

   "Mana aku bisa kawin? Aku belum bertemu dengan seorang gadis Sunda yang berpantat besar?"

   "Habetul! Aku pun belum bertemu dengan gadis Jawa Tengah yang berpantat gede,"

   Potong Ki Tunjungbiru tak mau kalah.

   "Bagus! Bagus! Perempuan-perempuan sekarang ini berpantat kerempeng dan tepos semua!"

   Ki Hajar Karangpandan tertawa berkakakkan.

   Baik Hajar Karangpandan dan Ki Tunjungbiru, memang manusia aneh.

   Sesudah bertempur lima hari lima malam perkara pantat perempuan, mereka lalu bertaruh betah-betahan tidak kawin.

   Karena kehormatan baginya merupakan suatu elan yang tertinggi dalam hidup, maka benar-benar mereka tak mau kawin.

   Sekian tahun lamanyamereka baru bertemu untuk yang kedua kalinyasecara berhadap-hadapan.

   Dan setiapkali bertemu, persoalan yang dibawanya hanya itu- itu saja.

   Perkara pantat besar dan perkara kawin.

   MENCARI JEJAK SANGAJI MASIH SAJA KI HAJAR KARANGPANDAN tertawa selintasan.

   Kemudian mencoba keadaan hati Ki Tunjungbiru.

   "Eh, semenjak kapan kau jadi begini sabar?"

   "Semenjak engkau jadi pendeta,"

   Sahut Ki Tunjungbiru dengan cepat.

   Kedua-duanya sebenarnya merupakan dua tokoh yang mempunyai keistimewaannya masing-masing.

   Walaupun kedua-duanya tiba-tiba berbuat kegila-gilaan, tetapi sebenarnya menggenggam tujuan jauh.

   Dengan tabiat kegila- gilaannya, Ki Hajar Karangpandan dapat mengkait Ki Jaga Saradenta dan Wirapati dalam usaha- ' nya mencari Sangaji.

   Sebaliknya dengan menyamar sebagai seorang perantau yang tidak berkedudukan, Ki Tunjungbiru bisa membawa Sangaji mendaki ke Gunung Cibugis sehingga pemuda itu dipaksa untuk memegang tampuk pimpinan Himpunan Sangkuriang yang sudah lama kehilangan tiang agungnya.

   Kini pun, diam-diam kedua pendekar itu sedang mengadu kelicinannya pula.

   Dalam hal ini, Ki Jaga Saradenta yang menjadi tokoh ketiga.

   Meskipun guru Sangaji ini bertabiat berangasan dan pendek pikiran, akan tetapi dia seorang Demang.

   Tak dapat ia berbuat se-edan Ki Hajar Karangpandan atau selicin Ki Tunjungbiru.

   "Jadi engkau kini tak dapat marah lagi?"

   Seru Ki Hajar Karangpandan.

   "Baiklah coba istana ini akan kukencingi. Engkau marah atau tidak?"

   Setelah berkata demikian, pendeta awut-awutan itu benar- benar kencing bagaikan hujan.

   Ki Tunjungbiru tak sudi mengalah.

   Ia pun lantas ikut-ikutan kencing pula.

   Sedang Ki Jaga Saradenta sibuk melayangkan pandangnya ke ruang istana batu dengan pandang penuh selidik.

   Sama sekali ia tak ikut campur dan tak menghiraukan aksi mereka berdua.

   Sebaliknya yang merasa risih adalah Kilatsih.

   Mendengar ucapan Ki Hajar Karangpandan, terus saja ia memutar pandang.

   Kemudian dengan mengung-kurkan jendela kaca, ia berpura-pura bersemadi.

   Widiana Sasi Kirana yang berada di dekatnya, tertawa pelahan melalui dadanya.

   Katanya seolah-olah kepada dirinya sendiri.

   "Untung mereka tidak menghadap kemari."

   Tahulah Kilatsih maksud pemuda itu.

   Itulah kata-kata yang sebenarnya dialamatkan kepadanya.

   Tetapi ia sudah terlanjur berpura-pura bersemadi.

   Maka ia agak segan untuk menarik kembali.

   Walaupun demikian, tak dapat ia melepaskan perhatiannya kepada guru Sangaji dan guru Sanjaya yang kedatangannya benar-benar mengasyikkan.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tatkala itu ia mendengar Ki Hajar Karangpandan tertawa berkakakkan dan Ki Tunjungbiru pun ikut tertawa besar pula.

   "Tak kusangka, engkau lebih edan dari-padaku!"

   Teriak Ki Hajar Karangpandan sambil memperbaiki letak celananya.

   "Mustahil! Sesungguhnya aku belajar darimu,"

   Sahut Ki Tunjungbiru.

   "O, begitu? Bagus!"

   Teriak Ki Hajar Karangpandan.

   "Hei, Otong! Benar-benar-kah engkau belajar dariku?"

   "Benar!"

   "Dalam segala hal?"

   "Dalam segala hal!"

   "Bagus! Tapi biar edan, tak pernah aku berdusta terhadap siapa pun. Apalagi terhadap diri sendiri,"

   Kata Ki Hajar Karangpandan.

   "Apakah aku pernah berdusta terhadapmu?"

   Ki Hajar Karangpandan tidak segera menyahut. Ia tertawa terbahak-bahak dahulu. Lalu berkata.

   "Kau bilang rumah ini adalah rumahmu. Tapi aku bilang ini bukan rumahmu."

   "Mengapa begitu?"

   "Walaupun kau lebih edan daripadaku, mustahil engkau mengencingi rumahmu sendiri," . ujar Ki Hajar Karangpandan. Disinilah terbukti kecerdasan dan kelicinan pendeta itu. Nampaknya ia ugal-ugalan bermain mengencingi rumah, akan tetapi sebenarnya ia lagi mencari keyakinan apakah istana itu milik Ki Tunjungbiru. Sebenarnya pertemuan mereka terjadi secara kebetulan saja. Karena terpaksa, Ki Tunjungbiru mempersilakan mereka berdua agar singgah di istana batu itu, untuk menyembunyikan maksudnya yang benar.

   "Siapa bilang rumah ini rumahku?"

   Sahut Ki Tunjungbiru tak mau kalah.

   "Bukankah aku bilang mari kita beromong-omong sebentar! Kebetulan aku mempunyai tempat peristirahatan."

   "Benar dia bilang begitu!"

   Tiba-tiba Ki Jaga Saradenta menguatkan.

   "Baik. Rupanya kau kenal benar tempat ini sesungguhnya rumah siapa?"

   Kata Ki Hajar Karangpandan mengalah.

   "Inilah istana junjungan kami pada seabad yang lampau. Istana batu Ratu Bagus Boang tatkala- Beliau terpaksa mundur dari Banten,"

   Ki Tunjungbiru memberi keterangan.

   "Secara kebetulan aku melihat engkau melintasi bumi Priangan. Bukankah engkau lagi berusaha bertemu dengan junjungan kami yang baru, Gusti Sangaji? Oleh pertimbangan itu, aku mempersilakan engkau memasuki istana ini. Sebab Ki Jaga Saradenta adalah guru junjungan kami."

   "Kau menyebut anakku Sangaji dengan Gusti. Kau pun mengangkat-angkat rekan Jaga Saredenta sebagai guru anakku Sangaji. Kata-katamu benar semua. Dalam hal ini, memang akulah manusia yang sial,"

   Kata Ki Hajar Karangpandan.

   "Walaupun pada akhir hidupnya anakku Sanjaya menjadi manusia lurus, akan tetapi dia mengalami nasib sial pula. Dia mati dengan penasaran. Karena dia adalah saudara angkat anakku Sangaji, ingin aku memberi warta kepadanya...."

   "Ah!"

   Ki Tunjungbiru terkejut.

   "Siapakah yang tak takut mati sampai berani menganiaya anakmu Sanjaya?"

   "Hai! Hai! Kau tak perlu merengek-rengek seperti perempuan!"

   Tungkas Ki Hajar Karangpandan.

   "Dia sudah mati habis perkara! Soalnya sekarang, bagaimana aku bisa bertemu dengan anakku Sangaji?"

   Ki Tunjungbiru tak segera menjawab. Ia berpaling kepada Ki Jaga Saradenta. Dan guru Sangaji itu mengangguk.

   "Benar anakku Sanjaya mati dengan penasaran. Kalau rekan Tunjungbiru sudi membantu, tunjukkanlah dimana kami berdua bisa bertemu Sangaji?"

   Terhadap Ki Jaga Saradenta, Ki Tunjungbiru bersikap lain.

   Sebab kecuali Ki Jaga Saradenta seorang yang mengenal tata santun, dia pun guru Sangaji yang kini menjadi pemimpin Himpunan Sangkuriang.

   Maka setelah diam sejenak, ia lantas berkata tak jelas kepadanya.

   Kilatsih yang berada di belakang jendela kaca, kala itu sudah memutar tubuhnya.

   Melihat Ki Tunjungbiru maju dengan membuka mulutnya, ingin ia menangkap bunyi kata- katanya.

   Akan tetapi, Ki Tunjungbiru berbicara dengan mulut komat-kamit saja.

   Sepatah kata pun tiada yang dapat tertangkap pendengarannya.

   "Ha, bagus! Benar-benar engkau kawanku sejati!"

   Puji Ki Hajar Karangpandan dengan tertawa besar lagi.

   "Hanya saja tahukah engkau apa yang akan kukatakan kepada anakku Sangaji setelah aku nanti bisa berhadapan muka dengan dia?"

   "Itulah urusanmu,"

   Sahut Ki Tunjungbiru dengan cepat.

   "Baik! Kalau begitu engkau bakal kehilangan,"

   Ujar Ki Hajar Karangpandan agak mendongkol.

   "Tetapi selamanya aku adalah laki-laki tulen. Datang dan pergiku harus terang."

   "Bagus! Siapa bilang engkau seorang perempuan? Sekiranya engkau seorang perempuan, pasti berengsek dan bawel,"

   Sahut Ki Tunjungbiru dengan tersenyum.

   "Kau tahudi Jawa Tengahbakal berkobar peperangan,"

   Kata Ki Hajar Karangpandan tak menghiraukan.

   "Karena itu, dia hendak kami bawa pulang ke kampung."

   "Bukankah Beliau sudah pulang ke kampung?"

   "Benar tapi semenjak itu, maksudku, dia tidak bakal bisa keluar lagi, selama peperangan belum padam."

   "O, begitu?"

   Ki Tunjungbiru nampak terperanjat.

   "Nah, selamat tinggal!"

   Kata Ki Hajar Karangpandan menang.

   Kemudian ia mendahului melesat keluar pintu.

   Ki Jaga Saradenta segera mengikuti.

   Kilatsih yang berada di dalam kamar menajamkan matanya.

   Selagi ia sibuk menebak- nebak tentang pembicaraan itu, Ki Tunjungbiru memutar tubuhnya menghadap kamar.

   Ia tercekat sewaktu melihat raja muda itu mengulum senyum? Hai! pikir Kilatsih, ucapannya tadi bernada kaget.

   Apa sebab mendadak ia kini mengulum senyum? Ia jadi curiga.

   Seperti seorang yang terlepas dari suatu masalah yang menyesakkan dada, Ki Tunjungbiru memandang kamar tempat Kilatsih berada.

   "Sasi Kirana!"

   Hebat kesan wajah Ki Tunjungbiru pada saat itu.

   Ia nampak begitu berwibawa dan agung.

   Kilatsih yang berada di balik jendela kaca, kaget sampai hampir berteriak.

   Entah apa sebabnya tiba-tiba tubuhnya bergerak hendak melompat turun.

   Akan tetapi belum sampai ia berhasil bergerak, pinggangnya berasa lemah dan kaku sehingga tak dapat ia berkutik.

   Sebat luar biasa Widiana Sasi Kirana menangkap kedua pundak gadis itu.

   Lalu membisiki kupingnya.

   "Adikku, janganlah engkau bergerak! Kau lanjutkan semedimu! Aku akan keluar sebentar dan segera kembali. Kau tunggulah aku dengan sabar. Nanti kulanjutkan dongengku yang ketiga."

   "Sasi Kirana, dengan siapa engkau berada dalam kamar?"

   Kilatsih berusaha bersemedi.

   Akan tetapi pandangnya tidak dapat terlepas dari wajah Ki Tunjungbiru yang begitu menakutkan dirinya.

   Ia merasa seolah-olah lagi menghadapi seorang yang maha licin.

   Dalam pada itu Widiana Sasi Kirana telah membuka pintu kamar.

   Kemudian melompat sambil berkata berbisik.

   "St?"

   Melihat munculnya pemuda itu, Ki Tunjungbiru segera membungkuk hormat.

   "Gusti Widiana Sasi Kirana!"

   Lalu berhenti dengan mendadak begitu melihat isyarat jari telunjuk pemuda itu yang merapat pada kedua bibirnya.

   "St!"

   Demikian suara Widiana Sasi Kirana sambil meraba kedua bibirnya dengan telunjuknya.

   "Sasi Kirana!"

   Kata Ki Tunjungbiru meru-bah sebutannya. Ia bersikap seolah-olah seorang ayah terhadap anaknya.

   "Ibumu memanggil engkau kembali pulang."

   "Paman Tunjungbiru,"

   Sahut Widiana Sasi Kirana "Tolong kau sampaikan kepada ibuku, bahwa semenjak kini aku tidak akan kembali sebelum tercapai apa yang kukehendaki. Aku wajib menerima kembali warisan ayahku."

   Ki Tunjungbiru tidak bergerak dari tempatnya. Berkata.

   "Ingatlah! Sekalipun engkau tidak memikirkan lagi kesehatan ibumu, akan tetapi engkau harus memikirkan dirimu sendiri! Seorang diri engkau menyeberangi bumi Priangan dan hendak mema'-suki Jawa Tengah. Siapakah yang tahu hatimu?"

   Widiana Sasi Kirana menjawab dengan suara dalam.

   "Walaupun tubuhku hancur lebur menjadi berkeping- keping, akhirnya pun aku kembali dalam pelukan ibu pertiwi. Hal ini lebih baik daripada aku mati dalam keadaan mulia di dalam sangkar emas. Karena itu tolong sampaikan kepada keluargaku, agar melepaskan aku dengan rela."

   Mendengar sampai disitu, benak Kilatsih seperti terbuka. Katanya di dalam hati.

   "Ah, benar-benar dia keturunan Gusti Ratu Bagus Boang. Rupanya dia hendak merebut kembali warisan orang tuanya yang kini diduduki Kangmas Sangaji. Kangmas Sangaji bukan seorang serakah. Kalau engkau minta dengan baik-baik, masakan Kangmas Sangaji tidak mengembalikan kekuasaan kepadamu. Dia sendiri sebenarnya enggan menjadi ketua Himpunan Sangkuriang."

   Mendadak saja gadis ini berkesan buruk terhadap Widiana Sasi Kirana. Tetapi tak dapat ia meneruskan bunyi pikirannya, sebab tiba-tiba ia mendengar seruan Ki Tunjungbiru. Raja Muda itu mengayunkan tangannya sambil menegas.

   "Benar-benarkah engkau membangkang kata-kataku? Benar-benarkah engkau berani hendak melawan Gusti Sangaji?"

   "Paman Tunjungbiru!"

   Sahut Widiana Sasi Kirana dengan suara masgul.

   "Kenapa engkau berkata begitu?"

   Tanpa berbicara lagi tiba-tiba Ki Tunjungbiru menghantam dada pemuda itu.

   Widiana Sasi Kirana tidak mengelak.

   Dia menangkis.

   Tetapi dia diserang lagi terus menerus.

   Setiap serangan Ki Tunjungbiru mendatangkan angin berderu.

   Satu kali ia menyambar batang leher pemuda itu dengan cara yang hebat sekali.

   Kalut pikiran Kilatsih.

   Ia heran, kaget tapi pun girang pula.

   Ia kaget karena melihat serangan Ki Tunjungbiru yang dahsyat luar biasa.

   Kedahsyatan serangannya melebihi pukulan-pukulan Raja Muda adang Wiranata dan Otong Surawijaya.

   Ia girang karena Widiana sasi Kirana mampu membuat suatu perlawanan.

   Keheranannya, karena apa sebab Ki Tunjungbiru tiba-tiba menyerang Widiana Sasi Kirana.

   Sedang tadinya ia menyebut dengan istilah Gusti.

   Tak mengherankan ia jadi bingung tak keruan.

   Dia kini menjadi curiga dan berbimbang-bimbang.

   Sebenarnya apakah maksud Widiana Sasi Kirana memasuki Jawa Tengah? Benar-benar ia bermaksud hendak melawan Sangaji? Karena Widiana Sasi Kirana melawan, pertempuran itu makin lama makin menjadi hebat.

   Pukulan mereka berdua melesat datang pergi dengan suatu kecepatan luar biasa.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sambaran angin menjadi bergulung-gulung tiada hentinya.

   Mereka bergerak-gerak bagaikan bayangan.

   Ki Tunjungbiru gesit bagaikan seekor kera, meskipun usianya telah lanjut.

   Pukulannya berat bagaikan hantaman- han-taman raksasa.

   Benar-benar ia seorang perkasa dan lincah.

   Dengan serangannya yang bertubi-tubi itu ia membuat Widiana Sasi Kirana mundur dan mundur.

   Kilatsih menjadi tegang sendiri, la sangat cemas.

   Mau ia melompat tetapi tak dapat ia menggerakkan badannya.

   Akhirnya ia hanya dapat melihat saja dengan hati berdenyutan.

   Tiba- tiba Ki Tunjungbiru mengulur sebelah tangannya.

   Dengan suatu kecepatan yang luar biasa ia menyambar tubuh Widiana Sasi Kirana sambil berseru nyaring.

   "Pergi!"

   Widiana Sasi Kirana kena tersambar tubuhnya.

   Tatkala hendak berusaha melepaskan diri, ia sudah terlepas ke udara.

   Kilatsih kaget sehingga ia memejamkan matanya, dan berseru tertahan.

   Tetapi begitu membuka matanya kembali, hatinya lega luar biasa.

   Ternyata Widiana Sasi Kirana tidak kurang suatu apa.

   Benar ia terbanting di atas tanah dengan bersuara akan tetapi di dalam keadaan berdiri.

   Itulah berkat ilmu Widiana Sasi Kirana yang sudah mencapai tataran sangat tinggi.

   Tatkala terlempar ke udara, dengan berjumpalitan ia turun ke tanah dengan kakinya terlebih dahulu.

   Sampai disitu Ki Tunjungbiru maju dua langkah dengan tersenyum manis.

   "Sasi Kirana, tidak kecewa engkau mewarisi ilmu sakti leluhurmu. Kau benar-benar hebat. Aku kagum, karena engkau dapat melayani lebih dari lima puluh jurus. Mulai saat ini kau bisa menjagoi orang-orang yang setingkat ilmunya di bawahku. Engkau boleh membawa dirimu mengarungi daratan dan laut. Tetapi berhati-hatilah! Aku akan menyampaikan pesanmu kepada ibumu."

   Baru sekarang Widiana Sasi Kirana tahu, bahwa orang tua itu sebenarnya bermaksud mengujinya. Itulah sebabnya ia lantas membungkuk hormat. Katanya dengan suara merendahkan diri.

   "Paman, dalam segala hal aku percaya kepadamu. Bahkan aku mempertaruhkan' hari depanku kepadamu juga."

   Ki Tunjungbiru memanggut. Tiba-tiba katanya minta keterangan.

   "Siapakah yang berada dalam kamar?"

   "Dia sahabatku,"

   Sahut Widiana Sasi Kirana.

   "Tak ingin dia bertemu dengan Paman. Itulah sebabnya aku mohon janganlah engkau membuatnya kaget!"

   "Jikalau dia tak sudi bertemu denganku, tak usah aku memaksanya,"

   Kata Ki Tunjungbiru.

   "Tahukah engkau, kedatangan kedua orang pendekar tadi ke Jawa Barat?"

   "St!"

   Widiana Sasi Kirana mencegah. Ki Tunjungbiru membatalkan ucapannya. Lalu tertawa terbahak-bahak. Berkata di antara tertawanya.

   "Baiklah. Kita sekarang sudah bertemu. Aku harus berbicara denganmu. Mari kita keluar!"

   Tanpa menunggu jawaban, Ki Tunjungbiru menyambar tubuh Widiana Sasi Kirana dan dibawanya melompat keluar istana.

   Langkahnya yang ringan makin lama makin jauh terdengar.

   Kilatsih bernapas lega melihat kepergian mereka.

   Entah apa sebabnya tiba-tiba ia merasa bersyukur.

   Cepat ia mencoba menghimpun tenaga saktinya dan berusaha melancarkan peredaran darahnya.

   Dan Tiba-tiba Ki Tunjungbiru mengulur sebelah tangannya.

   Dengan suatu kecepatan yang luar biasa ia menyambar tubuh Widiana Sasi Kirana sambil berseru nyaring.

   "Pergi!"

   Kali ini ia berhasil. Serentak ia melompat dari pembaringan. Sambil memperbaiki letak pakaiannya, ia berpikir.

   "Aku tunggu apa lagi. Kangmas Sangaji ternyata sudah kembali ke kampung halaman. Aku harus cepat-cepat memberi khabar kepadanya. Bahwasanya para raja muda, setidak-tidaknya Ki Tunjungbiru hendak berkhianat kepadanya. Betapapun juga Ki Tunjungbiru lebih senang apabila ketua Himpunan diduduki oleh anak keturunan Ratu Bagus Boang."

   Sesudah berpikir demikian, ia memungut pedangnya.

   Kemudian membuka pintu kamar.

   Dengan berjingkit-jingkit ia keluar dari istana batu mencari kudanya.

   Megananda ternyata berada tidak jauh dari istana batu itu.

   Ia masih menyenggut rerumputan dengan senangnya di samping Panut.

   Dengan siulan panjang, Kilatsih memanggil.

   Megananda seperti seorang prajurit yang patuh dan taat.

   Begitu mendengar siulan majikannya, mendadak saja ia menegakkan kepala.

   Kemudian lari menghampiri.

   Kilatsih dengan serta merta melompat ke atas punggungnya, kemudian kabur meninggalkan istana batu, memasuki daerah Jawa Tengah.

   Khawatir ia kena kejar Widiana Sasi Kirana ia mengaburkan Megananda terus menerus.

   Pada malam hari, ia meneruskan perjalanan tanpa beristirahat.

   Sebenarnya, hal ini mengganggu kesehatannya.

   Apalagi ia baru saja sembuh dari luka dalam.

   Tetapi Kilatsih adalah seorang gadis yang keras hati.

   Dalam menghadapi kesan-kesan yang menegangkan, kerapkali ia lupa kepada keselamatan jiwanya sendiri.

   Untunglah luka dalam yang dideritanya benar-benar sudah teratasi.

   Peredaran darahnya sudah lancar kembali, sehingga himpunan sakti yang berada di dalam tubuh melindungi kesehatannya.

   Demikianlah ia melakukan perjalanan sampai larut malam.

   Menjelang fajar hari, ia menemukan sebuah gubug.

   Dan ia beristirahat melepaskan lelah.

   Tetapi keesokan harinya kembali lagi ia meneruskan perjalanan.

   Sekarang ini ia benar-benar telah memasuki wilayah Jawa Tengah.

   Hatinya makin besar dan semangatnya timbul dengan dahsyatnya.

   Dari Majenang ia menyeberangi Kali Kawung menuju Ajibarang.

   Lalu melintasi Kali Tajum dan sampai di Dusun Karangsari menjelang petang hari.

   Setelah mengisi perut dan memberi makan kudanya, ia melanjutkan perjalanannya lagi.

   Menjelang larut malam, tibalah ia di Sukareja dan kemudian Bukateja.

   Di kota ini, ia tidur melepaskan lelah.

   Keesokan harinya ia meneruskan perjalanannya kembali.

   Sampailah ia di Wono-dadi pada siang hari.

   Tatkala melintasi Kota Waringin, ia jadi teringat pada masa kanak-kanaknya.

   Ia duduk berjuntai di tepi kali mengenangkan semua peristiwa yang menimpa ayah angkatnya.

   Sorohpati.

   Tiba-tiba saja ia memutuskan hendak melanjutkan perjalanan lewat sungai saja.

   Sesudah memperoleh keputusan demikian.

   Kilatsih segera mencari perahu.

   Ia paham sekali, tempat dimana banyak perahu penambang.

   Tetapi pada hari itu hanya kelihatan sebuah perahu sedang saja besarnya yang ditambat di bawah pohon elo.

   Hal itu mengherankan Kilatsih.

   Waktu itu musim dimana sangat menguntungkan bagi para penambang perahu.

   Biasartya para Saudagar datang dengan menumpang perahu untuk mengangkut barang-barangnya.

   Kenapa sekarang begitu sunyi? Selagi Kilatsih tertegun-tegun di tepi sungaipemilik perahu yang beralis tebal, bermata besar dan berperawakan tinggi kasarlantas membuka tali tambatan dan segera berseru kepada Kilatsih.

   "Apakah Tuan hendak ikut kami?"

   "Benar!"

   Jawab Kilatsih.

   "Kemana jurusan Bapak?"

   "Ke Leksono,"

   Jawab orang itu.

   "Kudamu sangat bagus. Biarlah aku yang menuntun naik perahu."

   Pemandangan sepanjang perjalanan sangat indahnya.

   Dengan dikipasi angin sejuk, Kilatsih memandang arus sungai yang berwarna biru.

   Beberapa kali ia melihat rombongan ikan- ikan sungai berenang dengan riangnya, seolah-olah menyambut kedatangannya.

   Tetapi Kilatsih tak mempunyai kegembiraan untuk menikmati pemandangan alam itu.

   Selalu saja hatinya berdebar-debar teringat kesan-kesan pertemuannya dengan Widiana Sasi Kirana serta kakaknya Sangaji dan Titisari.

   Baginya Sangaji dan Titisari adalah seumpama dewa dan dewi yang tugasnya melindungi dan menyelamatkan umat manusia.

   Sebaliknya, Widiana Sasi Kirana mempunyai pribadi yang menarik.

   Hanya saja pemuda itu terlalu besar angannya, la hendak mencoba merebut kedudukannya kembali dari Sangaji dan Titisari.

   Namun melihat lagak lagunya ia tidak percaya bahwa pemuda itu akan berbuat demikian kepada Sangaji dan Titisari.

   Sebaliknya, apabila tidak bermaksud demikian, apa sebab Ki Tunjungbiru berpesan kepadanya agar membatalkan niatan itu? la jadi berdiri tertegun-tegun dengan pandang mata kabur.

   Tiba-tiba ia tersentak dari lamunannya, la seperti tersadar.

   Dan pada saat itu jauh di depannya terlihat dua buah perahu besar sedang mendatangi.

   Dua perahu itu bukan perahu dagang atau perahu pesiar.

   Yang berdiri di depan adalah dua orang laki-laki bertubuh tinggi besar.

   Mereka berdua melemparkan pandang kepada Kilatsih tanpa berkedip.

   Hal itu membuat Kilatsih terkejut dan heran.

   Apa sebab mereka melihat dirinya demikian rupa? Tiba-tiba pemilik perahu berkata dengan suara menyeramkan.

   "Hai, tuan muda! Selama hidup aku berada di atas perahuku ini dan selama hidup aku senang bergaul dan senang punya banyak uang. Hahaha.... Hari ini aku sungguh amat beruntung. Karena aku mendapat seekor kambing gemuk!"

   Mendengar ucapan pemilik perahu, Kilatsih terperanjat.

   "Kau berkata apa?"

   "Tuan!"

   Sahutnya dengan suara tetap garang.

   "Bolehkah aku bertanya kepadamu. Kau senang makanan besi tua apa makanan serba panas?"

   "Apa itu makanan besi tua dan makanan serba panas?"

   Kilatsih minta keterangan dengan tak mengerti. Dengan tertawa melalui dada, pemilik perahu yang bertubuh kasar itu tiba-tiba membuka papan perahu. Kemudian ia mengambil sebatang golok.

   "Tuan ingin tahu apa artinya makanan besi tua? Nah, inilah! Dengan golok inilah sekali menyambar, kau akan menjadi dua potong. Dan makanan serba panas engkau akan diikat kencang-kencang. Setelah engkau dibakar sampai hangus, kemudian dilempar ke dalam air. Terang tuan?"

   "Kau berkata apa?"

   Bentak Kilatsih dengan suara gusar.

   "Pada siang hari begini kau berani hendak merampok dan membunuh penumpangmu?"

   "Ala.... keluarkan saja semua milikmu!"

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sahut pemilik perahu dengan membentak.

   "Aku akan mengampuni jiwamu, jika engkau patuh pada perintahku."

   Dalam pada itu, kedua buah perahu besar tadi semakin dekat. Salah seorang yang berdiri di depan, tiba-tiba berteriak nyaring.

   "Hai! Mengapa berbicara berkepanjangan? Lempar saja ke air, biar ia jadi setengah mampus dahulu. Hahaha... Kemudian bawalah ia kemari. Kami akan menyerahkan kepada Letnan Suwangsa."

   "Kalau begitu, dia harus diterimakan secara panas dahulu,"

   Jawab pemilik perahu.

   Dengan tangan kiri memegang golok dan tangan kanan memegang tali, ia menghampiri Kilatsih.

   Tiba-tiba saja beberapa biji sawo melesat dari tangan Kilatsih.

   Suatu sinar berkeredep menyambar.

   Tanpa berkesempatan mengeluarkan suara, pemilik perahu itu tercebur ke dalam sungai.

   Leher tertembus empat biji sawo dengan sekaligus.

   Ternyata dia sendirilah yang menjadi makanan serba panas.

   Kilatsih sebenarnya bukan seorang gadis yang kejam.

   Tetapi begitu mendengar bunyi teriakan laki-laki tinggi besar itu, tersadarlah ia bahwa kawanan perampok ini bukanlah merupakan kawanan perampok biasa.

   Maka ia tak sudi lagi memberi ampun.

   Dalam pada itu, tubuh pemilik perahu timbul tenggelam beberapa kali dan akhirnya lenyap dari permukaan sungai.

   Sedang perahunya berputar-putar beberapa kali.

   "Bagus! Bocah itu hebat juga!"

   Seru orang tinggi besar itu.

   Kemudian dengan suara ribut ia memberi perintah kepada anak buahnya agar mengayuh kedua perahu secepat mungkin, dengan maksud hendak menjepit perahu Kilatsih.

   Kilatsih beberapa tahun lamanya hidup di atas pulau Karimun Jawa.

   Dengan sendirinya ia kenal akan gerak gerik dan sifat perahu.

   Menyaksikan gerakan kedua perahu itu segera ia mengetahui maksudnya.

   Ia seorang gadis yang panas hati dan cepat sekali menjadi gusar.

   Dalam gusarnya, ia melepaskan puluhan biji sawo dengan kedua belah tangannya.

   Seperti hujan gerimis, senjata bidiknya menyambar orang- orang yang berada di kedua buah perahu itu.

   Orang tinggi besar yang berteriak-teriak tadi sebenarnya seorang Sersan laskar Mangkunegara.

   Ia bernama Komar.

   Waktu itu mengenakan pakaian preman.

   Rupanya ia mencontoh Letnan Suwangsa.

   Yang berada di sampingnya seorang Kopral bernama Jayeng Dipa.

   Sersan Komar bertenaga besar.

   Melihat meyambarnya biji-biji sawo, dengan serentak ia mengambil perisai.

   Dan dengan perisai tersebut ia melindungi diri.

   Sebaliknya, Kopral Jayeng Dipa.

   Ia lambat gerakannya tak segesit kawannya.

   Buru-buru ia menangkis sambaran puluhan biji sawo Kilatsih sambil menggerak-gerakkan badannya untuk mengelak.

   Dia berhasil meruntuhkan beberapa biji sawo, yang kemudian menancap pada papan perahu.

   Tetapi beberapa biji sawo lainnya, menyambar kawan-kawan lain yang berada di belakangnya.

   Kilatsih melepaskan senjata bidiknya dari jarak sepuluh meter jauhnya.

   Walaupun demikian bidikannya tepat sekali, dan bertenaga kuat.

   Menghadapi kepandaian Kilatsih, kedua orang itu kaget dan tak berani bermain sembrono.

   Buru-buru ia memberi perintah kepada anak buahnya agar menahan kelajuan perahunya.

   Tetapi Komar dan Jayeng Dipa adalah dua tokoh laskar yang mempunyai pengalaman banyak bertempur di atas air.

   Dan segera mereka mengetahui bahwa Kilatsih Tidak begitu pandai berkelahi di atas perahu.

   Nampak demikian jelas bahwa gerak geriknya serba terbatas dan serba canggung.

   Memperoleh kesan demikian Sersan Komar dan Kopral Jayeng Dipa segera memberi perintah kepada anak buahnya untuk membentur perahu Kilatsih dengan lemparan batu atau benda-benda berat lainnya.

   Benar saja.

   Setelah perahu Kilatsih kena bentur benda-benda keras seketika itu juga berputar- putar seperti gangsingan.

   Dan mata Kilatsih menjadi berkunang-kunang.

   Hampir saja ia muntah.

   Sersan Komar tertawa berkakakan.

   la mendapat hati.

   Lalu berteriak tinggi kepada anak buahnya.

   "Hei, cepat tenggelamkan perahu bocah itu!"

   Sebagai seorang yang sudah berpengalaman belasan tahun, berkelahi di atas air, tahulah Sersan Komar, bahwa perahu yang mempunyai muatan ringan akan ter-goncang- goncang apabila menghadapi angin dan ombak besar.

   Pengertian itu dialihkan kepada sifat Sungai Serayu.

   Sungai Serayu tidak mempunyai ombak seperti lautan.

   Sebagai gantinya ia memuati perahu dengan timbunan batu-batu besar.

   Dengan demikian perahunya mempunyai daya berat jauh lebih besar daripada perahu-perahu tambang.

   Selagi berpapasan saja perahu tambang akan tergoncang oleh daya beratnya, apalagi apabila sungai kena dibenturi batu-batu muatannya.

   Maka goncangan yang bakal membentur perahu Kilatsih akan bertambah menjadi-jadi.

   Anak buah Sersan Komar berjumlah tujuhbelas orang.

   Mereka semua mempunyai pengalaman pula.

   Di antara mereka lima orang roboh di atas perahu kena sambaran biji- biji sawo Kilatsih.

   Tetapi lainnya dapat melakukan perintah pemimpinnya.

   Sebentar saja Kilatsih menghadapi suatu kesukaran.

   Perahunya berputar-putar, makin lama makin cepat.

   Kepalanya menjadi pusing.

   Dan ia membungkuk- bungkuk hendak muntah.

   Menyaksikan hal itu, Sersan Komar dan Kopral Jayeng Dipa tertawa gemuruh, sambil berteriak-teriak.

   "Hayo bocah, sambutlah ini, sambutlah sekali lagi! Inilah batu yang lebih besar daripada kepalamu sendiri!"

   Kedua orang itu lalu mengambil sebuah batu besar di tangan masing-masing.

   Dengan meneriakkan aba-aba mereka berdua melontarkan batu-batu pilihannya dengan satu kali gerak ke permukaan air.

   Begitu kedua batu jatuh ke permukaan air, perahu Kilatsih tergoncang hebat, sehingga sekarang tidak hanya berputar-putar, tetapi miring pula.

   Buru-buru Kilatsih mengerahkan tenaga ilmu saktinya untuk menguasai peredaran darahnya yang bergolak.

   Kedua kakinya menancap di atas lantai perahu dengan kuat-kuat.

   Ia berusaha menguasai perahunya dengan ilmu sakti ajaran Adipati Surengpati.

   Namun tetap saja gagal.

   Benar, tubuhnya tidak terpengaruh lagi oleh goncangan perahu, akan tetapi karena perahu itu terus berputar-putar, lambat laun matanya berkunangan juga.

   Hal itu disebabkan karena dia belum mencapai latihan yang sempurna.

   Seperti diketahui, ia adalah murid Adipati Surengpati, ilmu sakti yang diberikan kepadanya, bernama Witaradya.

   Apabila dia sudah menguasai penuh-penuh intisari rahasia ilmu sakti Witaradya, pastilah dengan gampang ia dapat menguasai goncangan ombak yang membuat perahunya terus berputar-putar.

   Lagi-lagi Sersan Komar dan Kopral Jayeng Dipa tertawa kegirangan.

   Sambil melontarkan lagi beberapa buah batu besar yang jatuh di sebelah kiri atau di sebelah kanan perahu Kilatsih.

   Permukaan sungai memuncrat ke udara, sehingga pakaian Kilatsih menjadi basah kuyup.

   Kecuali itu arus sungai menjadi berombak semakin lama semakin besar.

   Sambil terus membentak keras, Sersan Komar melemparkan batunya yang lain dan jatuh ke sebelah kanan perahu Kilatsih.

   Dapat dibayangkan, betapa hebat ombak yang menghantam perahu Kilatsih.

   Seketika itu juga perahu Kilatsih berputar makin kencang, miring, timbul tenggelam dan beberapa kali hampir-hampir saja tertelan ombak.

   Mata Kilatsih semakin kabur, kepalanya semakin pening.

   Sejenak kemudian ia me-lontakkan semua makanan yang telah dimakannya tadi pagi.

   Ia kaget dan gusar.

   Tetapi seluruh badannya menjadi lemas.

   Itulah disebabkan ia baru saja sembuh dari luka dalam.

   Namun justru demikian membuat Sersan Komar dan kawan- kawannya bersorak-sorak penuh kemenangan.

   Sekali lagi ia melemparkan batu besar, sebesar kepala kerbau.

   Apabila batu itu sampai jatuh ke dekat perahu Kilatsih, pastilah dapat menenggelamkannya.

   Pada saat segenting itu, tiba-tiba terdengarlah suara siulan yang panjang dan nyaring.

   Dari arah timur, muncullah sebuah perahu kecil, yang mendatangi dengan kecepatan kilat, seakan-akan sebatang anak panah terlepas dari busurnya.

   Tujuan perahu itu jelas sekali.

   Penumpangnya sengaja meluncurkan tepat di antara kedua perahu besar dan perahu Kilatsih.

   "Hei! Apakah kau cari mati?"

   Teriak Sersan Komar. Dari dalam perahu, muncul seorang yang tertawa nyaring sekali.

   "Di siang hari bolong begini, kalian berani mencoba merampok dan membunuh. Apakah kalian kira dunia ini milikmu sediri?"

   Suara itu nyaring sekali, seperti suara kanak- kanak.

   Mendengar suara itu, Kilatsih tergoncang hatinya.

   Ia seakan-akan kenal nada suaranya.

   Ia menyenakkan matanya dengan segera.

   Dan di antara penglihatannya yang masih kabur, ia melihat seorang pemuda tanggung berkulit hitam.

   Pemuda tanggung itu mengenakan caping hitam pula, dan wajahnya dibedaki dengan lumpur ketat.

   Sehingga ia lebih mirip setan-setanan.

   Akan tetapi kedua matanya bersinar terang.

   Sayang, pada saat itu Kilatsih lagi mabuk, sehingga tak dapat ia mengenal pemuda tanggung itu dengan segera.

   "Hai, binatang kecil. Benar-benar kau mau mencari mati?"

   Bentak Sersan Komar.

   "Nahkau mendapat hadiah sebuah batu pula dariku!"

   Berkata demikian, Sersan Komar melemparkan sebuah batu besar.

   Batu itu membentur permukaan air.

   Dan kena deburan ombak, perahu bocah tanggung itu serta merta terbalik.

   Sudah barang tentu Kilatsih terperanjat.

   Mendadak saja ia merasakan seakan-akan perahunya didorong orang dari bawah permukaan air.

   Hebat dorongannya.

   Dengan sekejap mata saja, perahunya terbawa laju keluar dari lingkaran gencetan dua perahu Sersan Komar dan Kopral Jayeng Dipa.

   Itulah suatu kejadian yang benar-benar tak terduga.

   Dan begitu berada di atas permukaan sungai yang tenang, mabuk Kilatsih menjadi reda.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Setelah mengatur kembali jalan pernapasannya, tenaganya segera pulih kembali.

   Buru-buru ia menyambar sebatang pengayuh, dan mengayuh secepat mungkin ke tepi.

   Walaupun tidak mengerti ilmu mengayuh, akan tetapi kerapkali ia melihat nelayan-nelayan menjalankan perahunya di atas lautan, sekitar Pulau Karimun Jawa.

   Kecuali itu, permukaan sungai yang diambahnya tenang tiada berombak lagi.

   Maka perahu itu dapat juga melaju dan mengikuti arus air.

   Teringat pemuda tanggung tadi, Kilatsih menengok ke belakang.

   Ia melihat perahu pemuda tanggung tadi mengambang di atas permukaan sungai dan pemiliknya tak kelihatan bayangannya.

   Pastilah ia sudah tenggelam di dasar sungai.

   Kilatsih menjadi berduka dan berkata di dalam hati.

   "Hai! Dengan kenakalannya, secara kebetulan ia menolong jiwaku. Akan tetapi untuk itu ia harus mengorbankan jiwanya sendiri."

   Tiba-tiba ia mendengar Sersan Komar berteriak-teriak dengan nada kegusaran yang hebat. Ternyata perahunya sedang berputar-putar dan miring ke sana ke sini.

   "Bangsat! Ada orang main gila di bawah air!"

   Seru salah seorang anak buahnya. Temannya yang berada di sebelah kiri terus saja melompat ke dalam air.

   "Jayeng Dipa!"

   Teriak Sersan Komar.

   "Tolong kejar bocah yang sedang kabur itu!" - Pada saat itu jarak perahu Kopral Jayeng Dipa dan Kilatsih kira-kira sudah mencapai tiga puluh meter. Tenaga Kopral Jayeng Dipa itu tidaklah sebesar tenaga Sersan Komar, sehingga tak mampu menimpuk Kilatsih dengan batu besar. Tetapi ia pandai menjalankan perahunya. Dengan bantuan dua orang pengemudi, dalam tempo tidak terlalu lama ia sudah berhasil mengubar Kilatsih. Tentu saja Kilatsih tidak sudi menyerah begitu saja. Dengan sekaligus ia menebarkan lima biji sawonya. Sebuah biji sawonya langsung mengarah dada Kopral Jayeng Dipa. Tetapi dengan gesit, Kopral ini dapat memukul runtuh dengan sebatang golok. Sebaliknya, dua orang pembantunya kena sambaran biji sawo Kilatsih dengan tepat sekali. Dua pengemudi itu berdiri sebelah menyebelah. Begitu kena sambaran biji sawo Kilatsih, mereka terjungkal ke dalam air tanpa bersuara lagi. Kopral Jayeng Dipa terkesiap. Dalam pada itu,- perahu Kilatsih sudah dapat diubar sangat dekat. Jaraknya kurang lebih hanya sejauh tujuh meter saja. Dengan berteriak gusar Kopral Jayeng Dipa menyambar pengayuhnya untuk mengubar Kilatsih terlebih dekat lagi. Mendadak saja pada saat itu ia mendengar teriakan Sersan Komar.

   "Kopral Jayeng Dipa! Balik!"

   Ia menengok dan melihat permukaan sungai berwarna merah tua.

   Pada saat itu timbullah mayat anak buah Sersan Komar yang tadi melompat ke dalam air.

   Mayat tersebut terapung-apung hanyut di atas permukaan sungai dengan mengucurkan darah segar.

   Lebih celaka lagi air sungai mendadak mengalir masuk ke dalam perahu.

   Dengan cepat perahu itu menjadi oleng dan perlahan-lahan hendak tenggelam.

   Ternyata anak buah Sersan Komar tadi mati terbunuh oleh pemuda tanggung yang perahunya kena dibalikkan.

   Sesudah tercebur ke dalam sungai, dia tidak hanya mendorong perahu Kilatsih saja, tapi pun berbareng membocorkan perahu Sersan Komar.

   Di luar dugaan, Sersan Komar yang memimpin perampokan ini, ternyata tidak pandai berenang.

   Buktinya, ia nampak ketakutan.

   Dengan gugup pula ia menyeru Kopral Jayeng Dipa agar kembali."

   Dengan terpaksa Kopral Jayeng Dipa melepaskan Kilatsih dan membelokkan perahunya cepat-cepat untuk menolong Sersan Komar.

   Dengan sekuat tenaga Kopral Jayeng Dipa mengayuh perahunya yang terpisah kira-kira empatpuluh meter dari perahu Sersan Komar.

   Ketika sudah berdekatan, perahu Sersan Komar nyaris tenggelam seluruhnya.

   Kaki Sersan Komar yang berdiri di pinggiran perahu telah mulai terendam air.

   Pengemudi perahu yang satunya lagi buru-buru terjun ke dalam sungai.

   Tetapi beberapa saat kemudian, warna merah kembali tersembul ke atas permukaan.

   Ia mengalami nasib seperti kawannya tadi.

   Menyaksikan keadaan yang sudah sangat mendesak, Kopral Jayeng Dipa segera melemparkan sebuah papan sambil berteriak.

   "Sersan Komar! Lihatlah ini!"

   Sersan Komar segera meloncat dan kedua kakinya hinggap di atas papan. Tetapi sekonyong-konyong pemuda tanggung tadi muncul lagi ke permukaan air, dan kemudian menarik papan yang sedang diinjak Sersan Komar. Katanya sambil tertawa hahaha...

   "Hai, orang gede! Hayolah kita main-main sebentar di dalam air!"

   Dengan mata merah, Sersan Komar menghantam sekuat tenaga. Pukulannya hebat luar biasa. Air sungai muncrat tinggi.

   "Horeee, tidak kena!"

   Teriak pemuda tanggung tadi sambil menyelam menghindari.

   Tetapi Sersan Komar benar-benar seorang bintara yang dapat menjaga nama kesatuannya.

   Pada detik yang sangat berbahaya itu, ujung kakinya menjejak papan, dan badannya segera melesat tinggi ke udara.

   Selagi berada di tengah udara, ia memutarkan tubuh dan kedua kakinya hinggap di atas perahu Kopral Jayeng Dipa dengan selamat.

   "Bangsat kecil itu benar-benar setan!"

   Katanya dengan nada mendongkol. Kemudian meneruskan dengan napas tersengal-sengal.

   "Kopral Jayeng Dipa, cobalah kau turun!"

   Sambil memegang sumpitan anak panah, Kopral Jayeng Dipa terjun ke dalam sungai.

   Ia menyelam dengan berdiam diri di dalam air.

   Ia berusaha tidak bergerak.

   Maksudnya akan membokong pemuda tanggung tadi dengan panahnya, secara diam-diam.

   Tidak lama kemudian, ia melihat bayangan hitam melesat di dalam air kira-kira berjarak sepuluh meter di depannya.

   Gerakan bayangan hitam tersebut gesit bukan main, seperti seekor ikan terbang.

   Segera ia memburu sambil mempersiapkan sumpitan anak panahnya.

   Di luar dugaan ia ternyata kalah jauh kepandaiannya.

   Dalam sekejapan saja pemuda tanggung itu sudah sampai ke perahu Kilatsih.

   Dalam pada itu, setelah terlepas dari bahaya, dengan perlahan-lahan Kilatsih mengayuh perahunya.

   Ia mengawaskan perahu Sersan Komar.

   Dengan terkejut berbareng heran, ia melihat perahu itu mendadak oleng dan kemudian tenggelam.

   Tahulah ia sekarang, bahwa semuanya itu adalah hasil pekerjaan pemuda tanggung tadi.

   Ia menjadi kagum dan tidak mengerti.

   Bagaimana mungkin pemuda tanggung itu memiliki kepandaian yang demikian tinggi.

   Lapat-lapat ia seperti pernah bertemu dengan pemuda tanggung tersebut.

   Akan tetapi dimana dan kapan, ia lupa.

   Selagi mengingat-ingat, mendadak perahunya bergoncang.

   Pada saat itu kembali perahunya melesat ke depan karena dorongan yang hebat dari bawah air.

   "Hai-hai! Anak nakal! Lekas naik!"

   Teriak Kilatsih.

   Tetapi teriakan itu tidak dilayani.

   Bahkan perahunya makin laju bagaikan terbang.

   Dalam waktu sekejap saja, perahu Kilatsih sudah tiba di wilayah Leksono.

   Baru saja perahu itu menempel di tebing, Kilatsih segera melompat ke darat.

   Ia merasa seolah-olah sudah berada di kampung halamannya sendiri.

   "Hai, sudah hampir-hampir tiba di rumah,"

   Ujar Kilatsih dengan tertawa girang.

   Ia menengok Megananda yang masih berada di atas perahu.

   Karena jarak antara tebing dan perahu hanya lima langkah, dengan gampang Kilatsih melompat ke atas perahu kembali.

   Kemudian dengan rasa penuh syukur, ia membawa Megananda, yang sedari tadi ikut terombang-ambing, ke darat.

   Gntunglah ia tidak memberontak dan tetap tenang, tatkala perahu majikannya dibuat oleng kesana-kemari, karena ulah Sersan Komar dan Kopral Jayeng Dipa.

   Selagi ia ribut membawa Megananda ke darat, sekonyong- konyong pemuda tanggung tadi meloncat dari dalam air.

   Bagaikan kilat ia membedaki wajah dan kepala Kilatsih dengan lumpur.

   Dengan cepat Kilatsih menangkis gerakan tangan pemuda tanggung itu.

   Tetapi ia sudah menyeburkan diri ke dalam air kembali.

   Dengan cepat ia berenang ke jauh sana.

   Kemudian mendarat.

   Lalu berteriak-teriak.

   "Hayoojika kau mampu, kejarlah aku!"

   "

   "Hmm, baru sekarang aku tahu, kau bukan bocah lagi,"

   Gerendeng Kilatsih.

   "Hm,"

   Pemuda tanggung tadi membalas menggerendeng.

   "Aku pun baru tahu, bahwa kau bukan seorang pemuda, melainkan seorang nona besar!"

   Kilatsih menatap wajah pemuda tanggung itu dengan tajam. Lapat-lapat ia segera mengenal kembali. Bukankah pemuda tanggung itu Senot Muradi, putera Sanjaya? Kilatsih girang bukan alang kepalang. Pikirnya dalam hati.

   "Menurut Paman Mun-dingsari, sebelum Paman Sanjaya wafat, dia minta kepadanya agar membawa Senot Muradi kepada Kangmas Sangaji. Di kemudian hari Paman Sanjaya mengharap Kangmas Sangaji menerimanya sebagai murid. Aku mencoba mencarinya dimana-mana, akan tetapi ia hilang seperti ditelan bumi. Tak kuduga, dia berada di sini. Dekat dengan Desa Karang Tinalang, tempat Kangmas Sangaji dilahirkan dan dibesarkan."

   Rasa gusar Kilatsih segera lenyap seperti tersapu angin. Ia berteriak dengan nada girang.

   "Adikku! Senot! Kau masih nakal saja. Baiklah! Aku mau lihat, kau hendak lari kemana?"

   Kilatsih melepaskan tali kendali kudanya dan berusaha hendak mengejar. Tiba-tiba Senot Muradi berseru sambil tertawa terbahak-bahak.

   "Aku tak mau bermain-main dengan anak perempuan!"

   Setelah berkata demikian, ia kabur dengan cepat bagaikan seekor kera.

   Dalam sekejap mata saja, tubuhnya hilang ditelan lebatnya pohon-pohon.

   Kilatsih tertegun.

   Barulah sekarang ia mengetahui, bahwa ikat kepalanya tadi kena ditarik Senot Muradi, sehingga rambutnya menjadi terurai lepas.

   Ia tidak hanya berbedak lumpur sungai, tetapi pun bajunya menjadi kotor pula.

   Sedangkan rambutnya terurai awut-awutan.

   Pada saat itu ia melihat dua orang dusun berjalan mendatangi.

   Cepat-cepat Kilatsih kembali ke air dan segera mencuci mukanya.

   Sesudah membereskan rambut, ia kembali meloncat ke dalam perahu.

   Di dalam perahu itu ia bertukar pakaian yang bersih.

   Tatkala ia mendarat, tidak hanya Senot Muradi saja, tetapi kedua orang tadi pun tak kelihatan batang hidungnya lagi.

   Dengan kepala penuh teka-teki, ia segera naik ke atas punggung Megananda.

   Katanya di dalam hati.

   "Senot Muradi, meskipun engkau pintar luar biasa, tetapi jika tiada seorang pandai memimpinmu, tidak bakal engkau berkepandaian secepat ini. Baru satu dua bulan aku berpisah denganmu, akan tetapi ilmu kepandaianmu mendadak maju dengan cepat sekali. Ah, tak salah lagi. Pastilah ada seorang yang memberi petunjuk- petunjuk luar biasa kepadanya. Siapa lagi kalau bukan kedua kakakku, Kangmas Sangaji dan Ayunda Titisari. Hakalau begitu, baik Kangmas Sangaji maupun Ayunda Titisari sudah mengetahui belaka tentang meninggalnya Paman Sanjaya. Sehingga mereka berdua membawa Senot Muradi pulang ke Dusun Karang Tinalang."

   Sambil berpikir demikian, Kilatsih melanjutkan perjalanannya.

   Ia melintasi Dusun Krasak terus menuju ke arah timur.

   Setelah melampaui beberapa dusun lagi sampailah ia di Dusun Karang Tinalang.

   Sudah beberapa kali ia mengunjungi dusun ini.

   Karena itu ia mengenal letak sawah tegalan pekarangan dan petak-petak dusun yang mengepung dan melintasi Desa Karang Tinalang ini.

   Waktu itu musim tanam.

   Biasanya penduduk keluar rumah masing-masing menggarap sawah, tegalan atau pekarangan.

   Akan tetapi, di sepanjang jalan Kilatsih tidak melihat seorang petani pun.

   Ia juga tidak mendengar nyanyian gadis-gadis dusun atau jerit permainan kanak-kanak.

   Kecuali dua orang tadi, baik di sawah maupun di tegalan, sama sekali tiada nampak seorang manusia.

   Inilah suatu kejadian yang luar biasa, yang membuat hati Kilatsih berdebar-debar.

   Segera ia mengaburkan kudanya, memasuki Dusun Karang Tinalang.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
dengan hati bertanya-tanya.

   Dusun Karang Tinalang tidak berubah.

   Ia tetap seperti sediakala, sepuluh atau duapu-luh tahun yang lalu.

   Tenang, tenteram dan damai.

   Penduduknya tidak begitu banyak jumlahnya.

   Akan tetapi cukuplah mengisi kekosongan daerah Karang Tinalang yang pada dewasa itu masih sangat luas.

   Tatkala tiba di depan rumah, hati Kilatsih lapang dan lega luar biasa.

   Walaupun keadaannya sunyi lengang tetapi rumah Sangaji tidak terjadi suatu perubahan.

   Dengan hati-hati ia melompat turun dari punggung kudanya.

   Kemudian menghampiri pintu yang selalu tertutup.

   Sambil mengetuk daun pintu ia berseru dengan nyaring.

   "Aku pulang! Guru, aku pulang! Kangmas, aku pulang! Ayunda Titisari, aku pulang!"

   Setelah menjadi keluarga Adipati Sureng-pati, yang dengan sendirinya menjadi keluarga Sangaji dan Titisari pula, seringkali ia datang dan pergi ke Dusun Karang Tinalang.

   Penduduk yang berjumlah kecil mengenal padanya belaka.

   Bahkan suaranya pun dikenal baik oleh mereka.

   Tetapi kali ini sesudah memanggil-manggil tiga empat kali beruntun, ia tak memperoleh suatu jawaban, mau tak mau hati Kilatsih heran bukan kepalang.

   Segera ia menolak daun pintu dan di dalam rumah ternyata tiada nampak seorang jua pun.

   "Kangmas! Aku pulang,"

   Teriaknya lagi.

   Suaranya yang nyaring berkumandang dalam taman rumah Sangaji.

   Akan tetapi keadaannya tetap sunyi senyap.

   Menghadapi kesenyapan itu bulu roma Kilatsih bergeridik.

   Ia mengembarakan penglihatan ke sekitarnya.

   Bunga-bunga, pohon-pohon dan tanam-tanaman lainnya masih seperti sediakala.

   Sama sekali tidak terjadi suatu perubahan.

   Akan tetapi mengapa begini sunyi? Sangaji mempunyai banyak pembantu-pembantu rumah tangga.

   Apabila dia berada di Jawa Barat, pembantu-pembantu itulah yang merawat dan memelihara rumah tangganya yang berada di Dusun Karang Tinalang itu.

   Tak mengherankan, hati Kilatsih menjadi berdebar-debar.

   Ia mundur ke halaman, kemudian berjalan mengitari rumah sambil berteriak-teriak.

   "Kangmas Sangaji, aku pulang! Ayunda Titisari, aku pulang!"

   Setelah berteriak demikian, ia memasuki rumah yang berbentuk panjang.

   Sekarang, rumah yang panjang itu mempunyai sembilan kamar.

   Dan tiap-tiap kamar tertutup oleh dua pintu yang kuat.

   Titisari adalah seorang wanita yang gemar akan keindahan.

   Setelah melihat rumah Sangaji dan kemudian menjadi miliknya, segera ia merubah bentuk dalamnya.

   Ia membuat sembilan kamar yang masing-masing diberi jendela.

   Dinding'dalam dicat dengan warna hijau muda dan kuning gading.

   Kilatsih memanggil-manggil namanya sambil mengetuk tiap daun pintu, tetapi dari dalam kamar tiada seorang pun yang menyahut panggilannya.

   Sekarang Kilatsih benar-benar cemas.

   Dengan cermat ia mengamat-amati, barangkali terjadi suatu perubahan.

   Benar saja, gambar dan tulisan-tulisan tangan kedua kakaknya hilang.

   Dengan demikian isi rumah itu kosong melompong.

   "Kangmas Sangaji telah meninggalkan markasnya di Gunung Gede. Khabarnya ia pulang ke dusun. Akan tetapi disini pun dia tiada. Malahan hiasan dinding rumah lenyap dari tempatnya. Mengapa? Apakah dia pindah lagi?"

   Kata Kilatsih di dalam hati. Kilatsih benar-benar menjadi tak enak hati. Dengan hati terus berdebar-debar, ia memeriksa setiap tempat dengan cermat. Gerendengnya.

   "Apakah Guru mendapat malapetaka?"

   Tetapi segera ia membantah kata-katanya itu sendiri.

   "Tidak mungkin! Hal itu tidak mungkin terjadi. Aku tidak percaya, bahwa ada orang yang melebihi kepandaian Kangmas Sangaji berdua. Andaikata Kangmas Sangaji berdua menghadapi seorang yang berkepandaian lebih tinggi pun, tidak akan mengalami suatu bencana."

   Tetapi, biar bagaimanapun juga semakin lama Kilatsih semakin menjadi gelisah.

   Ia keluar masuk kamar, dan pergi ke berbagai pojok.

   Tetapi tetap saja ia tak bertemu dengan siapa pun.

   la berteriak-teriak, memanggil-manggil, namun yang menyahut hanya gaung suaranya sendiri.

   Akhirnya ia pergi ke kamar tidur Sangaji.

   Begitu tiba di depan kamar, dari sela-sela pintu ia mencium harum kayu garu yang sangat digemari Titisari, dan seringkali dibakar di dalam kamar tidurnya.

   "Kenapa Kangmas Sangaji berdua membakar kayu garu pada sore hari begini?"

   Tanya Kilatsih di dalam hatinya.

   Tetapi pertanyaan itu sesungguhnya hanyalah untuk menghibur dirinya sendiri.

   Pada detik itu ia melihat suatu perubahan aneh.

   Dalam hati kecilnya ia merasa bahwa di dalam rumah ini telah terjadi suatu hal yang luar biasa.

   Beberapa saat lamanya, ia berdiri terpaku di depan kamar.

   Kemudian dengan memberanikan diri ia mengetuk pintu kamar perlahan-lahan.

   Memanggil dengan suara lembut.

   "Kangmas, aku pulang!"

   Sekian lamanya ia menunggu tetapi tetap saja tiada yang menjawab.

   Segera ia mengulang panggilannya dua sampai empat kali.

   Tetapi tetap saja tidak terjawab.

   Oleh karena itu ia segera memberanikan diri untuk menempelkan telinganya pada daun pintu.

   Ia heran bukan main karena lapat-lapat ia mendengar napas seseorang.

   "Apakah Kangmas berdua sedang tidur pada sore hari begini?"

   Ia bertanya pada dirinya sendiri.

   Setelah bersangsi- sangsi sebentar, perlahan-lahan ia menolak daun pintu.

   Begitu masuk, Kilatsih yang biasanya tabah dan gagah berani, hampir-hampir mencelat karena kagetnya.

   Di atas dua pembaringan, masing-masing terdapat seorang yang sedang duduk bersila.

   Orang yang duduk bersila di atas pembaringan sebelah kiri, bermuka hitam.

   Sedangkan orang yang duduk bersila di atas pembaringan di sebelah kanan, berkulit putih.

   Rambut mereka terikal, hidungnya bengkok.

   Mulut mereka seperti mulut singa.

   Sedangkan pandang mata mereka tajam luar biasa.

   Masuknya Kilatsih ke dalam kamar, seolah-olah tidak mereka ketahui.

   Walaupun kedua matanya memancar dengan sinar tajam, namun gundu matanya seolah-olah tidak melihat masuknya Kilatsih.

   Mereka berdua mengenakan sepatu.

   Sepatunya meninggalkan bekas tapak-tapak kaki yang kotor di atas alas pembaringan.

   Menyaksikan hal itu, Kilatsih menjadi gusar bukan kepalang.

   Sambil menuding ia membentak.

   "Hei! Siapa kalian? Kenapa begitu tak tahu adat?"

   Mendadak Kilatsih mundur ke belakang.

   Sekarang ia mengenal, siapa mereka berdua.

   Ternyata mereka adalah Raja Muda Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya.

   Mendengar bentakan Kilatsih, mata Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya memancar dengan sangat tajam.

   Akan tetapi setelah melihat Kilatsih mereka memejamkan matanya seolah-olah mengacuhkan.

   Titisari adalah seorang yang sangat tertib.

   Ia mengutamakan kebersihan pula.

   


Dua Musuh Turunan Karya Liang Ie Shen Pendekar Bayangan Setan -- Khu Lung Lembah Patah Hati Lembah Beracun -- Khu Lung

Cari Blog Ini