Mencari Bende Mataram 16
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 16
Mencari Bende Mataram Karya dari Herman Pratikto
Sampai di situ Ki Jaga Saradenta tertawa terbahak-bahak.
"Pastilah ini akal Sirtupilaheli belaka. Apakah engkau pernah bertemu dengan dia? Pada saat ini ia dan Daniswara sedang menghimpun tentara rakyat untuk membuat perlawanan berarti terhadap tindakan sewenang-wenang Kompeni Belanda. Setelah berkata demikian, Ki Jaga Sara-denta minta keterangan kepada Kilatsih dimanakah kini Sangaji berada. Kilatsih segera memberi keterangan, bahwa Sangaji dan Titisari kini berada di Karimun Jawa.
"Hai! Mengapa mereka berdua berada di tengah pulau itu?"
Seru Ki Jaga Saradenta dengan uring-uringan.
"Kangmas Sangaji berdua pastilah mempunyai alasan yang tepat,"
Sahut Manik Hantaya.
"Yang kudengar, mereka berdua sedang menghindari serbuan Kompeni Belanda. Mereka bukanlah takut terhadap serbuan itu, akan tetapi mereka berdua berusaha menghindarkan korban besar yang akan terjadi dalam kalangan rakyat. Selain itu, menurut cerita yang pernah kami dengar. Kangmas Sangaji sebenarnya tidak menghendaki bercokol terus menerus di Jawa Barat memimpin Laskar Himpunan Sangkuriang. Dia mengerti hati nurani rakyat Jawa Barat. Betapa perkasa dan gagah Kangmas Sangaji, akan tetapi rakyat Jawa Barat lebih bergembira apabila Himpunan Sangkuriang di pimpin oleh putra Jawa Barat pula. Kebetulan sekali cucu Ratu Bagus Boang muncul pada saat ini. Demikianlah sambil menunggu perkembangan apa yang akan terjadi, Kangmas Sangaji dan ayunda Titisari kembali pulang ke kampung halaman. Kembalinya Kangmas Sangaji berdua ke kampung halaman menggembirakan Kangmas Pangeran Diponengoro. Mendadak kami mendengar kabar pula bahwa patih Danurejo menaruh perhatian besar terhadap kepulangannya Kangmas Sangaji berdua. Dia dan pemerintah Belanda bermaksud tidak baik terhadap mereka berdua. Karena itu segera kami mengadakan penyelidikan di Kota Mangelang. Sedangkan kami mengumpulkan pendekar di sekitar Magelang dengan maksud untuk membantu Kangmas Sangaji, tiba-tiba kami kena serbu pihak Kompeni. Menghadapi pihak Kompeni, adinda Kilatsih masih sempat memberi kabar kepada kami bahwa kakaknya berdua kini berada di Karimun Jawa. Pastilah mereka berdua berada di tengah Pulau Karimun Jawa untuk menunggu perkembangan keadaan....."
"Tidak hanya itu."
Tungkas Kalatsih dengan penuh semangat.
"Kangmas Sangaji berdua hendak menghadiri ulang tahun guru....."
"Eh, siapa sebenarnya gurumu?"
Seru Ki Jaga Saradenta.
"Adipati Surengpati."
"Ah! Apakah engkau si bocah yang dulu digondol Watugunung?"
Seru Ki Jaga Saradenta berjingkrak. Kalatsih memangut dengan tersenyum. Melihat Kilatsih mengangguk, Ki Jaga Saradenta girang bukan kepalang.
"Sungguh bagus nasibmu. Selamanya si Jangkrik Bongol itu tidak pernah mau menerima murid. Maklumlah karena mendongkol dan kuwalahan menghadapi kakakmu Titisari. Eh, tidak terduga duga pada hari tuanya ia bisa bersabar hati mengasuh dan mendidikmu. Kapankah gurumu berulang tahun?"
"Bulan depan,"
Jawab Kilatsih pendek.
Ki Jaga Saradenta tertawa girang.
Katanya mengalihkan pembicaraan.
"Memang nampaknya Sangaji hendak menyingkirkan diri dari dunia ramai.
Akan tetapi sebenarnya hatinya sedang panas bergolak.
Dalam menghadapi yang serba tidak adil, dia melebihi aku.
Dalam kesibukannya mengurus kancah perjuangan, masih sempat ia teringat kepada mertuanya.
Tetapi apakah dia tidak mendengar kabar bahwa gurunya kini berada dalam sekapan Belanda?"
"Apakah Eyang bermaksud mengabarkan keadaan Paman Wirapati?"
Tanya Kilatsih.
"Benar!"
"Dalam hal menerima berita, aku kira Kangmas Sangaji lebih cepat pula daripada Eyang. Pada saat ini Paman Wirapati sudah berada diluar penjara dalam keadaan sehat walafiat."
"Bagaimana kau tahu?"
Seru Ki Jaga Saradenta bernapsu. Kilatsih segera menceritakan. Mendengar keterangan Kilatsih yang meyakinkan itu, Ki J^aga Saradenta girang bukan kepalang sampai air matanya bercucuran.
"Ah, begitu. Kalau begitu, pada hari ini boleh mati dengan puas......"
Kilatsih ikut tertawa. Ia lantas menanyakan luka yang di derita Manik Hantaya.
"Setelah kau obati, aku merasa agak sehat kembali,"
Sahut Manik Hantaya dengan tertawa lebar.
"Dan setelah mendengar kisah pengalaman Paman Jaga Saradenta tadi hatiku menjadi semakin gembira. Aku percaya, lakuku ini tidak bakal menjadi rintangan yang berarti."
Mendengar pembicaraan itu, Ki Jaga Saradenta tertegun. Tiba-tiba ia mengetuk kepalanya sendiri dengan cempulingnya.
"Ah! Lihatlah bagaimana aku ini makin tua semakin menjadi tolol! Seharusnya kamu semua beristirahat."
"Dimana ada tempat peristirahatan?"
Sahut Sukesi dengan tertawa manis.
"Dibalik bukit ini terdapat sepetak hutan. Di tepi hutan itu rumah seorang pemburu. Ia hidup seorang diri saja,"
Kata Ki Jaga Saradenta.
"Mari kita pergi ke sana!"
Manik Hantaya bertiga menyatakan setuju.
Ki Jaga Saradenta segera mendahului berjalan.
Kilatsih lalu memanggil Mega-nanda.
Kemudian ia membantu Sukesih menaikkan Manik Hantaya ke atas kuda.
Baru saja kuda tersebut melangkah, tiba-tiba Manik Hantaya berpesan kepada Kilatsih.
"Adik Kilatsih! Tolong setiap kali berbelok, tinggalkan tanda-tanda ini ditepi jalan. Syukur apabila adik menemukan sebatang pohon!"
"Tanda apa itu?"
Kilatsih menegas.
"Inilah panji-panji perjuangan,"
Sahut Manik Hantaya.
Ia memperlihatkan gambar obor besar dengan sebilah keris.
Tanda gambar ini mirip sekali dengan panji-panji salah satu laskar Himpunan Sangkuriang.
maka teringatlah Kilatsih kepada tanda gambar yang terpanjang pada tembok rumah makan di Magelang.
"Gambar ini mirip panji-panji laskar perjuangan Himpunan Sangkuriang,"
Kata Kilatsih.
"Benar. Inilah gambar panji-panji yang dipilih saudara Daniswara,"
Sahut Manik Hantaya.
"Maksud perjalananku ini kecuali untuk mencari gurumu, juga hendak mencari saudara Daniswara. Niatku hendak menggabungkan diri dengannya. Dialah seorang gagah berani dan jujur hati."
Tidak enak hati Kilatsih mendengar Manik Hantaya menyebut Daniswara.
Entah apa sebabnya, ia merasa sebal terhadap orang itu.
Di depan matanya lantas saja nampak seorang pemuda berewok yang berwajah kasar dan bermata cemerlang.
Sebaliknya Ki Jaga Saradenta gembira begitu mendengar Manik Hantaya menyebut-nyebut nama Daniswara.
Orang itu segera minta keterangan tentang dia dan Manik Hantaya segera menceritakan tentang pribadi Daniswara yang gagah dan tulus hati.
"Sebenarnya dia ini anak siapa?"
Tanya Ki Jaga Saradenta.
"Menurut kabar, dialah putra bungsu pendekar Kebo Bangah..."
Jawab Manik Hantaya.
"Haha... kiranya dia putera si bangkotan Kebo Bangah,"
Seru Ki Jaga Saradenta dengan tertawa tinggi.
"Ayahnya seorang bangsat besar. Tapi memang seorang berkepandaian tinggi. Terus terang saja aku memang bermusuhan dengan ayahnya. Tetapi menghadapi Kompeni Belanda aku bersedia melupakan ganjalan-ganjalan hati yang telah lampau..."
Sebenarnya tidaklah boleh dikatakan bahwa Ki Jaga Saradenta bermusuhan dengan Kebo Bangah.
la menyatakan bermusuhan karena berpihak kepada Sangaji.
Tatkala pendekar Kebo Bangah merupakan perintang besar bagi kemajuan muridnya.
Juga tatkala Kebo Bangah merintang Sangaji melamar Titisari, ia ikut mendongkol.
Itulah sebabnya dengan mudah saja Ki Jaga Saradenta bersedia melupakan ganjalan-ganjalan hati yang sebenarnya tidak pernah terjadi.
Sebab apabila dia benar-benar bermusuhan dengan Kebo Bangah, menilik adatnya yang berangasan dan berpikiran cupat pastilah tidak gampang ia bersikap demikian.
Sekarang ia mendengar kabar bahwa putra Kebo Bangah telah menjadi Ketua Himpunan Gabungan Laskar Perjuangan, la nampak sangat bergembira dan bersyukur.
Apa lagi ia mendengar pula dari Kilatsih bahwa Sirtupelaheli membantu Daniswara.
Sambil berbicara mereka berjalan terus.
Tak lama kemudian petang hari tiba.
Rumah pemburu yang berada di tepi petak hutan nampak tidak jauh lagi didepannya.
"nDoromas!"
Kata Ki Jaga Saradenta kepada Manik Hantaya.
Luka nDoromas ini tidak berat tapipun juga tidak enteng.
Akan tetapi, nDoromas harus beristirahat beberapa bulan karenanya.
Kebetulan sekali pemburu maksudku pemilik rumah itu, mengerti pula tentang ilmu ketabiban..."
Baru saja Ki Jaga Saradenta berkata begitu, tiba-tiba nampaklah sinar obor disebelah barat bukit dan muncullah seorang penunggang kuda yang melarikan kudanya sangat cepat.
"Hebat cara orang itu melarikan kudanya!"
Kata Ki Jaga Saradenta kagum.
"Kudanya-pun jempolan pula! nDoromas Manik Hantaya, apakah dia Daniswara?"
Pada saat itu Kilatsih berpaling dengan cepat. Kemudian berseru mendahului Manik Hantaya.
"Letnan Suwangsa!"
Kedua mata Kilatsih memang sangat tajam. Sekali melihat, ia segera mengenali siapa pemuda penunggang kuda itu.
"Letnan Suwangsa yang mana?"
Seru Ki Jaga Saradenta.
"Apakah dia yang memimpin penyerbuan?"
"Benar! Dialah Letnan Suwangsa yang memimpin Kompeni Belanda menyerbu kami,"
Sahut Sukesi.
"Dialah bangsat besar yang melukai Kangmas Manik Hantaya."
Kuda yang ditunggangi letnan Suwangsa adalah kuda pilihan. Dengan kuda pilihan itu ia berusaha mengikuti jejak Kilatsih. Ternyata ia dapat mencapai maksudnya. Dengan mengangkat obornya tinggi-tinggi ia tertawa lebar.
"Hai, kiranya engkau masih berada di sini!"
La berseru nyaring.
"Tuan yang mulia, perkenankan aku menawan engkau!"
Kilatsih lantas saja menghunus pedangnya. Sedang Manik Hantaya tergugu mulutnya.
"Kau serahkan saja bangsat itu kepadaku!"
Seru Ki Jaga Saradenta dengan suaranya yang dalam.
"Kilatsih, kau lindungi saja nDoromas Manik Hantaya!"
Setelah berkata demikian lantas saja Ki Jaga Saradenta melesat ke depan.
Begitu kakinya menginjak tanah, cempulingnya menyambar kaki kuda Letnan Suwangsa.
Ternyata kuda Letnan Suwangsa benar-benar kuda pilihan yang terlatih menjadi kuda tempur.
Begitu melihat berkelebatnya cempuling, kakinya melompat tinggi ke depan.
Letnan Suwangsa yang berada dipunggungnya menjadi gusar.
Obornya lantas ditimpukan.
Ki Jaga Saradenta melihat berkelebatnya sinar obor mengarah dirinya.
Dengan sebat ia menyapu dan obor itu lantas terpental seperti seekor ular api berombak-ombak.
Kemudian padam seketika.
Luar biasa gesit Ki Jaga Saradenta setelah menyapu obor itu, ia melompat maju untuk mengulangi serangannya yang kedua.
Letnan Suwangsa tidak berani memandang enteng.
Kemudian membalas menyerang.
"Bangsat darirhana lagi ini berani menyerangku!"
"Hebat! Sungguh lincah engkau!"
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Jaga Saradenta memuji kegesitan Letnan Suwangsa. Segera ia menangkis dengan keras. Begitu cempuling dan pedang berbenturan, kedua- duanya mundur dua langkah.
"Siapa kau?"
Bentak Letnan Suwangsa.
"Akulah malaikat yang baru saja turun dari langit untuk membinasakan bangsat!"
Sahut Ki Jaga Saradenta. Kau bocah kemarin sore berani berlaga dihadapanku memamerkan ilmu pedangmu. Baik...baik! Marilah kita mencoba-coba tiga ratus jurus!"
Jawaban itu dibarengi dengan serangannya yang bertubi- tubi.
Diserang demikian, Letnan Suwangsa benar-benar menjadi repot sekali.
Dalam beberapa gebrakan saja, tahulah Letnan Suwangsa bahwa lawannya kali ini bertenaga besar.
Maka tak berani lagi ia mengadu keras melawan keras.
Berkali-kali ia menggunakan kelincahannya untuk mengelak atau berlompatan.
Setelah memperoleh kesempatan, ia mencoba membalas menyerang.
Gerakan tangan Ki Jaga Saradenta sebenarnya terganggu oleh luka parahnya.
Andaikata bukan dia.
Pastilah tidak sanggup bergerak apalagi menyerang.
Setelah bertempur sekian lamanya, Letnan Suwangsa belum dapat dirobohkan.
Ia menjadi sibuk sendiri.
Mengingat lukanya yang parah, ia segera berkelahi dengan sengit sekali.
Cempuling-nya segera bergerak bagaikan robohnya sebatang pohon tersapu angin puyuh.
Letnan Suwangsa terpaksa main mundur.
Sambil mundur ia menutup dirinya rapat-rapat.
Setiap kali ia berhasil memunahkan serangan Ki Jaga Saradenta yang dahsyat.
Namun dalam hatinya ia heran dan kagum menghadapi daya tempur Ki Jaga Saradenta yang berkelahi dengan semangat.
Menyaksikan hal itu Kilatsih jadi prihatin.
Katanya di dalam hati.
"Eyang berkelahi begini semangat. Akan tetapi rupanya belum sadar, bahwa Letnan Suwangsa menunggu saatnya yang baik. Kenapa Eyang membiarkan dirinya kena jebak sehingga menghambur-hamburkan tenaganya yang sebenarnya tidak perlu?"
Guru Sangaji yang kedua ini memang bertenaga dahsyat.
Akan tetapi ia mempunyai kelemahan.
Kelemahannya itu terletak pada tabiatnya yang berangasan dan cepat uring- uringan.
Andaikata pandai menguasai diri, masih dapat ia mengimbangi Letnan Suwangsa yang berkelahi dengan kepala dingin.
Sekarang ia main hantam-kromo saja semata-mata menuruti luapan amarahnya.
Padahal lengan kirinya tak dapat digerakkan dengan leluasa karena menderita luka parah.
Tentu saja berkelahi dengan cara demikian lebih banyak ruginya daripada untungnya.
Demikianlah setelah melampaui empat puluh jurus, gerakan-gerakannya mulai kendor sendiri.
Letnan Suwangsa yang berpengalaman lantas saja tertawa menang.
Sebagai seorang perwira ia mengetahui tabiat lawannya.
Lantas ia berseru mengejek.
"Aku kira siapa engkau ini. Bukankah engkau ini si Dogol Jaga Saradenta guru Sangaji? Muridmu Sangaji kabarnya seorang pendekar yang berkepandaian sangat tinggi. Sebaliknya mengapa engkau ini begini goblok? Apakah benar engkau ini guru Sangaji? Apabila engkau benar-benar gurunya, mengapa sama sekali tidak mengerti tentang rahasia ilmu tata berkelahi yang tinggi? Hai, dengarkanlah kata- kataku! Maukah engkau kuberi petunjuk? Sebenarnya tak boleh engkau mengemplang dari samping lebih baik engkau menghantam dari depan! Nah, bagus! Tapi sayang... gerakan tanganmu kurang tepat!"
Jelas sekali maksud Letnan Suwangsa.
Sengaja ia membuat Ki Jaga Saradenta menjadi kalap.
Jika orang tua itu benar- benar menjadi kalap.
Gerakannya yang dahsyat akan kacau dengan sendirinya.
Celakanya Ki Jaga Saradenta meskipun umurnya hampir mencapai sembilan puluh tahun adatnya memang berangasan dan gampang sekali tersinggung kehormatannya.
Demikianlah tatkala mendengar ejekan Letnan Suwangsa timbullah nafsunya hendak merobohkan lawan dengan sekali jadi.
Maka dengan semangat yang berkobar-kobar ia mengemplang ke kiri dan ke kanan serta menghantam berdepan-depan sambil melompat menerjang.
Inilah pantangan besar bagi seorang pendekar yang sedang bertempur melawan musuh yang seimbang.
Benar tenaganya- sangat dahsyat akan tetapi baik sasaran maupun bidikannya mulai kacau.
Letnan Suwangsa tertawa terbahak-bahak begitu melihat perubahan lawannya.
Sekarang mulailah ia memperlihatkan ilmu pedangnya yang tinggi.
Dengan didahului siulan nyaring, ia mulai membalas menyerang.
Pedangnya berkelebatan bagaikan pelangi.
Diserang begitu cepat dan hebat, Ki Jaga Saradenta lantas saja menjadi repot.
Kalau tadi dia menyerang, kini menjadi seorang yang dipaksa untuk membela diri.
Menyaksikan hal itu hati Kilatsih goncang.
Ingin ia maju membantu eyangnya, akan tetapi tak berani ia berbuat demikian.
Teringatlah dia bahwa Ki Jaga Saradenta adalah seorang angkuh hati dan mudah sekali tersinggung, la khawatir majunya ke gelanggang bahkan akan membuat Ki J^aga Saradenta kian menjadi kalap.
Maka terpaksalah dia berdiri saja dengan tertegun.
Tiba-tiba teringatlah dia, bukankah dia dapat membantu dengan biji-biji sawonya? Oleh ingatan itu ia segera menyiapkan senjata bidiknya.
Meskipun demikian, ia masih sangsi untuk segera turun tangan.
Justru pada saat itu ia mendengar Megananda meringkik.
"Adik Kilatsih! Ada orang main gila!"
Seru Manik Hantaya.
Kilatsih menoleh dengan cepat.
Tepat pada saat itu matanya melihat Paneker muncul dengan tiba-tiba dari balik batu.
Dialah si lincah yang memiliki senjata bidik berbentuk peluru.
Entah kapan datangnya tahu-tahu dia muncul dengan mendadak.
Kali ini ia tidak menggunakan senjata pelurunya, tetapi ia lagi menenteng gendewa.
Bidikan panahnya diarahkan kepada Manik Handaya.
Akan tetapi Mangananda yang memiliki panca indra melebihi manusia, mencium gerak- geriknya.
Kuda itu terus saja berjingkrak sambil meringkik keras.
Paneker jadi mendongkol karena itu ia berbalik jadi membidik kuda putih itu.
Keruan saja Kilatsih menjadi gusar bukan main.
Ia lantas menimpukkan biji-biji sawonya.
Bukan kepada Letnan Suwangsa, tetapi mengancam Peneker.
Karena marahnya -ia menyerang tiga kali saling susul menyusul.
Biji sawonya yang pertama berhasil mematahkan busur Peneker.
Karena busur patah dengan tiba-tiba tangan Peneker terluka dan mengeluarkan darah.
Sedang begitu, biji sawo yang kedua menyambar kepalanya.
Peneker kaget dan gugup bukan main.
Akan tetapi karena ia memiliki kelincahan melebihi manusia lumrah, masih sempat ia mengelak.
Meskipun demikian, ujung rambutnya masih dapat tersambar dan kulit kepalanya melecet.
Saking takut, ia menjatuhkan diri dan bergulung di atas tanah.
Dengan caranya ini dapatlah ia menolong jiwanya.
Tetapi hampir saja kepalanya tersambar hujan biji sawo.
Kilatsih menjadi panas hati.
Ia segera hendak mengulangi serangannya kembali.
Tiba-tiba pada saat itu ia mendengar derap kuda mengarah kepada paneker yang bergulingan turun dari pinggang bukit.
Petak hutan itu berada dibalik bukit.
Akan tetapi letaknya masih berada diketinggian.
Kiri kanan hutan itu terdapat jurang-jurang curam yang berbatu tajam.
Itulah sebabnya munculnya Paneker luput dari pengamatan Kilatsih.
Demikian pulalah tatkala Paneker menghindari biji-biji sawo yang menyambar dengan cara bergulingan di atas tanah.
Tubuhnya yang lincah lantas teraling-aling oleh batu-batu pegunungan.
Akan tetapi orang yang memburu dengan kudanya itu tidak menghiraukan segala rintangan yang ada.
Setelah dekat dengan Paneker ia melompat turun dari kudanya.
Dengan sekali mengayunkan kaki, ia mendupak Paneker, sehingga pembantu Letnan Suwangsa terjungkir balik menumbuk batu.
Ia terkapar jatuh dan pada detik itu pula telah kena bekuk orang yang memburunya.
"Apakah saudara Daniswara?"
Seru Manik Hantaya dengan suara girang.
"Benar! Di sini Daniswara! Apakah saudara Manik Hantaya di situ?"
Orang itu membalas.
Ia menyahut seruan Manik Hantaya, akan tetapi tangannya bekerja terus dengan sekali menyambar ia men-cekuk leher Paneker kemudian dicekiknya.
Paneker menjerit tertahan.
Lalu tidak bersuara lagi.
Pada saat itu tubuhnya dilemparkan ke dalam jurang.
Pada waktu itu Letnan Suwangsa sedang menang di atas angin.
Mendadak ia melihat gerakan Daniswara yang cekatan dan perkasa.
Dalam satu gebrakan saja ia dapat merobohkan Paneker yang lincah.
Letnan Suwangsa menjadi terkejut.
Pikirnya di dalam hati.
Celaka! Aku seorang diri dan harus menghadapi Daniswara, si Dogol Jaga Saradenta serta Kilatsih.
Kalau tiba-tiba mereka bertiga mengepungku inilah berbahaya! Lain halnya apabila aku dapat berkelahi seorang melawan seorang.....!"
Sebagai seorang yang berpengalaman dan pandai berpikir mendadak ia mendesak Ki Jaga Saradenta.
Begitu Ki Jaga Saradenta mundur dengan terpaksa, ia segera melompat mundur pula.
Lalu dengan cekatan memutar tubuh dan kemudian melesat menjauhi.
Keruan saja Ki Jaga Saradenta mendongkol bukan kepalang.
Ia sesumbar dengan menjerit-jerit.
Beberapa saat kemudian Letnan Suwangsa telah melompat ke atas kudanya dan tak lama kemudian telah menghilang di balik bukit.
Daniswara lantas saja menghampiri mereka semua.
Belum pernah ia bertemu muka dengan Ki Jaga Saradenta.
Meskipun demikian masing-masing telah mengenal namanya.
Itulah sebabnya mereka berdua saling mengagumi.
"Saudara Daniswara, bagaimana caramu bisa datang kemari?"
Tanya Manik Hantaya.
"Aku mendengar kabar, saudara datang menghimpun para pendekar pecinta bangsa. Aku girang sekali,"
Sahut Daniswara, dengan suara merendah.
"Hanya saja aku sangat menyesal tak dapat segera datang memenuhi panggilanmu. Itulah sebabnya aku mengirimkan seorang rekan bernama Karimun untuk mendahului perjalananku menghadap saudara. Apa saudara telah bertemu dengan dia?"
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya,"
Sahut Manik Hantaya dengan suara berduka.
"Kali ini kita menderita rugi tak sedikit." .
"Janganlah saudara berduka!"
Daniswara menghibur.
"Kecuali beberapa orang, lain-lainnya telah berhasil kutolong."
Mendengar kabar itu, Manik Hantaya bersyukur bukan main. Katanya minta keterangan.
"Bagaimana cara saudara menolong mereka?"
"Kebetulan sekali aku datang dengan tiga belas pembantu,"
Jawab Daniswara.
"Secara kebetulan kami bertemu dengan rombongan Kompeni Belanda. Kita lantas bertempur. Di antara mereka terdapat Kapten Wiranegara yang berkepandaian tinggi. Yang lain-lainnya tentu saja tak dapat melawan kami. Untunglah Kapten Wiranegara pandai melihat gelagat, la lalu mengundurkan diri. Itu pulalah sebabnya saudara-saudara kita yang kena tawan dapat kami bebaskan pada saat itu juga. Aku mendengar kabar dari mereka bahwa saudara menyingkir kejurusan ini, lantas saja aku menyusul kemari."
"Bagaimana dengan pemilik rumah makan yang sudah lanjut usia itu?"
"Dia pun dapat kami tolong."
Mendengar cerita itu, Manik Hantaya bersyukur bukan main. Tiba-tiba teringatlah dia kepada si Dengkek.
"Bagaimana dengan saudara Dengkek?"
"Dengkek?"
Daniswara menegas.
"Sebenarnya ia bernama Sastramijaya. Tetapi ia lebih terkenal dengan nama Dengkek. Itulah sebabnya aku jadi ikut- ikutan pula memanggilnya dengan Dengkek."
"Dia terluka parah, dan dimasukkan ke dalam kerangkeng. Kapten Wiranegara sendiri yang menjaganya. Itulah sebabnya ia tak dapat kami tolong,"
Sahut Daniswara.
Kali ini Manik Hantaya menjadi sedih.
Tetapi di antara rasa sedihnya membersit pula rasa girang, karena sebagian besar para pendekar yang tertawan dapat dibebaskan kembali.
Terombang-ambing antara rasa sedih dan girang, ia menjadi berdiam diri.
Daniswara tertawa lebar.
"Asal kita bisa bersatu padu, siapa pun juga yang kini masih berada dalam cengkeraman Belanda pastilah dapat kita bebaskan. Bahkan Negeri Mataram sebentar lagi akan bersih dari kaki-kaki Kompeni Belanda."
Mendengar kata-kata Daniswara masih saja Manik Hantaya membungkam mulut.
Kilatsih yang berkesan buruk terhadap Daniswara menjadi tak senang hatinya mendengar kata-kata itu yang dianggapnya terlalu sombong.
Menuruti luapan hatinya ingin ia membuka mulut untuk mendampratnya.
Syukur ia dapat menguasai diri.
Justru pada saat itu Daniswara melihat dirinya.
"Ah! Nona Kilatsih berada pula di sini. Selamat bertemu kembali,"
Kata Daniswara.
"Kita ini sungguh-sungguh berjodoh. Kali ini akhirnya engkau pun masuk ke dalam perserikatan kita bukan?"
Ki Jaga Saradenta berpaling kepada Kilatsih dan ia tertawa.
"Kilatsih! Kulihat tadi engkau pandai membidikkan biji-biji sawo. Apakah engkau telah mewarisi kepandaian anakku Titisari?"
Tak puas hati Daniswara karena Ki Jaga Saradenta memotong kata-katanya. Akan tetapi ia dapat bersabar menunggu Kilatsih menjawab pertanyaan Ki Jaga Saradenta. Malahan ia ikut menimbrung.
"O, ya! Apakah adik sudah bertemu dengan gurumu?"
"Aku sudah bertemu guruku atau belum, apa pedulimu?"
Sahut Kilatsih dengan suara tinggi. Daniswara tertawa lebar.
"Apa adik juga sempat mohon keterangan kepadanya tentang surat rahasia yang dititipkan kepada ayah angkatmu Sorohpati? Bila surat rahasia itu kini berada ditangan-mu, alangkah besar faedahnya. Dengan surat rahasia itu cita-cita kita pasti akan dapat tercapai dengan mudah...."
"Hmm,"
Dengus Kilatsih.
"Coba jawablah terlebih dahulu. yang penting merebut Kerajaan Mataram dari tangan Belanda ataukah menolong penderitaan rakyat?"
Mendengar pertanyaan itu Daniswara tercengang.
"Apa artinya pertanyaanmu ini Nona?"
"Benar!"
Ki Jaga Saradenta menyela lagi.
Kata-kata Kilatsih sesuai dengan suara gurunya.
Anakku Sangaji menghendaki kamu sekalian menolong atau membantu Pangeran Diponegoro terlebih dahulu Sebab pada saat ini Kompeni Belanda belum memperlihatkan taringnya benar-benar.
Akan tetapi asap peperangan telah tercium dengan tajam.
Itulah sebabnya kita semua wajib melindungi rakyat jelata terhadap tindakan-tindakan Kompeni Belanda yang kini mulai bergerak dengan dalih mengamankan Negara.
"Kami kira gerakan-gerakan tentara Belanda hanya bersifat pemberontakan belaka,"
Sahut Daniswara.
"Tidak... tidak begitu!"
Sahut Ki Jaga Saradenta dengan bernapsu.
"Saudara Daniswara, kepada nDoromas Manik Hantaya dan cucuku Kilatsih. Mereka sangat kejam. Mereka tidak hanya membakar, menggarong, merampas atau membakar perkampungan, akan tetapi membunuh pula. Keadaan rakyat jelata pada saat ini sangat menyedihkan. Mereka tidak hanya terancam pula dengan pajak-pajak yang tak tertanggungkan lagi."
Tiba-tiba ia berhenti berkata-kata, seperti teringat sesuatu. Kemudian berkata mengalihkan pembicaraan.
"Ah. Lagi-lagi aku tolol! nDoromas Manik Hantaya perlu beristirahat. Mari kita ke rumah pemburu itu dahulu."
Mereka lantas saja menghampiri rumah pemburu itu.
Setelah memasuki rumah.
Kilatsih menyatakan bahwa dirinya sangat letih dan mengantuk karena ia perlu beristirahat terlebih dahulu.
Sebaliknya Manik Hantaya dapat menguatkan hati.
Ia duduk menemani Ki Jaga Saradenta dan Daniswara yang sibuk membicarakan tindakan-tindakan dan gerakan-gerakan tentara Belanda yang kelewat batas.
Mereka bertiga berbicara sangat sibuk dan sungguh-sungguh sehingga membuat Kilatsih sukar menidurkan diri.
Gadis itu jadi teringat kepada persoalannya sendiri.
Sebenarnya ia meninggalkan pulau Karimun Jawa dengan maksud mencari kakaknya Sangaji dan Titisari.
Akan tetapi di luar kehendaknya sendiri ia bertemu dengan soal-soal yang membuat hatinya usil.
Mula-mula ia memasuki Dusun Sigaluh dengan maksud hendak menjumpai Ki Jaga Saradenta dan Sanjaya ayah Senot Muradi, maksudnya hendak menyampaikan undangan dari gurunya berbareng minta keterangan tentang beradanya kakaknya Sangaji dan Titisari.
Sekarang telah bertemu dengan Ki Jaga Saradenta.
Orang tua itu malah minta keterangan kepadanya tentang dimana beradanya kakaknya berdua itu kini.
Terbayanglah di depan matanya tatkala ia memasuki wilayah Jawa Barat.
Dengan tak terduga-duga ia berjumpa pula dengan Widiana Sasi Kirana.
Terhadap pemuda itu ia berkesan sangat manis.
Ia berpisah dengannya karena pemuda itu hendak merebut kedudukan kakaknya yang sangat ia kagumi dan ia cintai.
Diluar dugaannya, kakaknya Sangaji dan ayundanya Titisari bahkan menganjurkan kepadanya agar membantu Widiana Sasi Kirana mencapai cita-citanya.
Tadi selintasan ia mendengar keterangan Manik Hantaya bahwa kakaknya Sangaji meninggalkan wilayah Jawa Barat dengan maksud memberi kesempatan kepada laskar Jawa Barat untuk menemukan pemimpinnya yang tepat.
Itulah Widiana Sasi Kirana.
Karena sebetulnya pemuda itu cucu Ratu Bagus Boang.
Dialah pewaris ketua Himpunan Sangkuriang yang sebenarnya.
Kalau kakaknya Sangaji kini menduduki ketua Himpunan Sangkuriang sesungguhnya hanyalah merupakan keadaan darurat belaka.
Hal ini seringkali dikatakan oleh kakaknya Sangaji sendiri.
Teringat akan hal itu ia jadi bingung sendiri.
Bagaiamana caranya ia hendak melakukan kehendak kakaknya Sangaji dan ayundanya Titisari untuk membantu pemuda itu.
Tiba-tiba teringat pula ia akan tugasnya yang kedua yakni mencari bibinya Fatimah.
Kemudian surat sandi Titisari yang dahulu dititipkan kepada ayah angkatnya Sorohpati.
Alangkah hebat dan berat tugas ini, ketiga-tiganya merupakan soal yang maha berat diluar kemampuannya sendiri.
Namun ia seorang gadis yang tabah dan keras hati.
Makin teringat akan tugasnya yang sulit itu, tergugahlah semangatnya.
"Aku kini berada di antara orang-orang yang mempunyai persoalannya sendiri. Bukankah lebih baik aku segera meninggalkan mereka untuk melaksanakan tugas Kangmas Sangaji dan Ayunda Titisari?"
Memperoleh pikiran demikian, ia segera bangkit dari tempat tidurnya. Selagi demikian ia mendengar suara Daniswara.
"Benar-benarkah tindakan tentara Belanda sudah demikian biadab?"
"Saudara Daniswara!"
Kata Ki Jaga Saradenta dengan suara riang.
"Cobalah kau memasuki wilayah Semarang, Surakarta dan Yogyakarta! Aku yakin pasti dadamu akan meledak dan kedua matamu akan pecah apabila engkau menyaksikan dengan kedua mata kepalamu sendiri. Rambutmu akan bangun berdiri manakala engkau menyaksikan tindakkan tentara Belanda yang melebihi perbuatan binatang ganas. Mereka tidak hanya main bunuh akan tetapi menawan pula. Dan yang paling mengerikan adalah perlakuan mereka terhadap anak-anak yang sama sekali tidak berdosa. Mereka menganiaya anak dan memperkosa gadis-gadis dengan tidak pandang bulu. Sayang sekali pada malam itu aku tidak menyaksikan kekejaman mereka karena kedatanganku terlambat. Benar aku dapat melabrak mereka akan tetapi tak dapat menolong anak-anak yang kena ditawannya. Entah apa maksud mereka menawan anak-anak dan memperkosa gadis- gadis tawanannya. Mungkin sekali mereka bermaksud untuk memadamkan api keberanian rakyat yang berpihak kepada Pangeran Diponegoro. Mereka main bakar kampung- kampung pula dan merampok harta bendanya.- Nah, dapatkah engkau tinggal berpeluk tangan saja menyaksikan keadaan demikian?"
Daniswara tidak menyahut. Ia berpikir keras.
"Mengerahkan laskar untuk melindungi mereka, itulah pasti. Hanya saja kalau sampai terjadi demikian, akan memberi alasan kepada Kompeni Belanda untuk menyatakan perang terhadap kita. Itulah yang tidak aku kehendaki. Aku lebih senang menyaksikan rakyat terpaksa melawan karena tindakan pemerintahan Danurejo dan tentara Belanda yang sewenang-wenang....
"
"Mengapa engkau berkata begitu?"
Seru Ki Jaga Saradenta dengan semangat berkobar-kobar.
"Bukankah sama saja artinya?"
"Tidak! Rakyat menyerang dan mengadakan perlawanan atas kehendaknya sendiri. Sebaliknya kalau kita datang dengan membawa laskar, maka berkesanlah seolah-olah pada saat ini kita sudah mendirikan sebuah negara baru. Maka dikemudian hari kita bisa dituduh hendak merebut pemerintahan yang syah. Sebaliknya kalau kita hanya mengatur perlawanan rakyat, kedudukan kita jadi bersih dari bermacam fitnah apa pun juga."
Tiba-tiba Manik Hantaya menimbrung.
"Kalau begitu, kita membutuhkan tenaga Kangmas Sangaji dan Ayunda Titisari yang sudah berpengalaman belasan tahun memimpin laskar perjuangan di Jawa Barat."
"Ah, benar!"
Seru Ki Jaga Saradenta.
"nDoromas Manik Hantaya dan saudara Daniswara adalah pemimpin-pemimpin laskar perjuangan rakyat. Dengan suratmu berdua pastilah akan dapat menarik anakku Sangaji untuk segera turun ke gelanggang."
"Ya, itulah pikiran yang bagus sekali!"
Kata Daniswara.
"Memang setelah kita membiarkan rakyat mengadakan perlawanan sendiri-sendiri, mereka perlu kita persatukan. Kupikir kita perlu mengangkat seorang pemimpin yang tepat. Dalam hal ini orang yang paling tepat ialah saudara Manik Hantaya sendiri. Hanya saja aku tak tahu apabila pilihanku ini dapat disetujui oleh orang-orang seperti Sangaji atau Pangeran Diponegoro."
"Bagiku sendiri siapa yang menjadi pemimpin tidak penting,"
Kata Ki Jaga Saradenta.
"Untuk melawan tentara Belanda, akulah orang pertama yang sanggup berjalan di depan sekali."
"Bukannya begitu,"
Potong Daniswara dengan tertawa.
"Berperang tanpa pemimpin itulah sama halnya dengan ular tanpa kepala. Sebab tujuan kita bukan hanya untuk melawan tentara Belanda yang sedang beronda saja. Tapi kalau dapat akan mengusir tentara Belanda dari bumi Mataram. Tidakkah demikian saudara Manik Hantaya?"
"Memang benar! Ular tanpa kepala tak dapat berjalan,"
Sahut Manik Hantaya.
"Hanya saja keputusan saudara Daniswara menunjuk diriku sebagai ketua himpunan untuk mengatur perlawanan rakyat benar-benar di luar..."
"Mengapa demikian? Saudara Manik Hantaya merupakan orang kepercayaan Pangeran Diponegoro,"
Ujar Daniswara.
"Lepas dari kakakku Pangeran Diponegoro, sebenarnya kepandaianmu dan ilmumu berada diatasku. Karena itu engkaulah yang paling tepat untuk memimpinnya."
"Mengapa mesti aku? Kalau pada saat ini aku berhasil menduduki ketua laskar Himpunan Banyumas adalah karena kehendak orang banyak saja,"
Kata Daniswara dengan merendahkan diri.
"Perhubunganmu dengan saudara Sangaji dekat pula. Disam-ping itu saudaralah orang . kepercayaan Pangeran Diponegoro. Dengan demikian, pengaruh saudara lebih besar daripada aku."
Menyaksikan dua orang saling menolak, Ki Jaga Saradenta tertawa terbahak-bahak.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalian berdua bukannya akan menjadi raja. Kenapa saling mendorong dan saling menolak? Menurut pendapatku kalian berdua sangat tepat menjadi seorang pemimpin. Hal itu disebabkan aku tidak dapat memilih siapa di antara kalian berdua yang paling tepat. nDoromas Manik Hantaya adalah keturunan seorang raja. Sebaliknya, saudara Daniswara adalah anak seorang pendekar berbisa. Meskipun demikian andaikata dikemudian hari saudara Daniswara bernasib baik sampai bisa menjadi seorang raja, aku Ki Jaga Saradenta bersedia mengabdikan diri. Ki Jaga Saradenta berbicara dengan tertawa lebar. Mendengar kata-katanya, baik Daniswara maupun Manik Hantaya tertawa pula. Mereka berdua kagum akan ketulusan dan kepolosan hati Ki Jaga Saradenta. Akhirnya setelah terdiam beberapa saat lamanya, terdengar suara Daniswara lagi. Pemuda berewok itu menerima baik anjuran Manik Hantaya untuk menjadi pemimpin gabungan laskar dikemudian hari. Mendengar hal itu, hati Kilatsih mendongkol. Katanya dalam hati, wajahnya sangat kasar. Akan tetapi siapa mengira bahwasannya ia bisa berpikir panjang. Terang sekali ia ingin menjadi pemimpin besar dari laskar gabungan itu nanti. Tetapi dia pandai berpura-pura. Tetapi betapapun juga kesanggupannya kelak menjadi ketua gabungan laskar perjuangan rakyat patut mendapat penghargaan. Kemudian terdengarlah suara Ki Jaga Saradenta, bahwa dia segera hendak berangkat, apabila fajar hari tiba. Orang tua itu menganjurkan pula kepada Daniswara agar segera berangkat mendahului.
"Aku dan Kilatsih hendak segera menyeberang ke Karimun Jawa untuk menemui , anakku Sangaji. Dalam hal ini tak perlulah aku tergesa-gesa. Sebaliknya saudara Daniswara sangat berat tugasnya dikemudian hari. Memimpin gabungan laskar perjuangan tidaklah mudah. Apalagi saudara bertugas pula menyusul perjuangan rakyat yang masih terpencar- pencar. Melaksanakan tugas demikian itu membutuhkan waktu yang cukup."
Pembicaraan mereka bertiga yang gencar itu lantas saja mendapat penyelesaian.
Mereka semua lantas bersiap-siap.
Manik Hantaya dan istrinya hendak segera kembali ke Tegalrejo untuk menghadap Pangeran Diponegoro.
Sedang Daniswara pada saat itu lantas berpamit mengundurkan diri.
Ia nampak penuh semangat dan berwibawa.
Segera ia menunggang kudanya dan lantas saja lenyap dari penglihatan.
Kilatsih segera muncul pula di antara kesibukan itu.
Inilah kesempatan yang bagus sekali baginya untuk segera meneruskan perjalanan melakukan tugas kakaknya Sangaji dan Titisari.
Katanya kepada Ki Jaga Saradenta.
"Eyang! Dengan sangat menyesal tak dapat aku menyertai Eyang berangkat ke Karimun Jaya."
"Mengapa?"
Ki Jaga Saradenta heran.
"Kangmas Sangaji menghendaki aku menyelesaikan sesuatu..."
Jawab Kilatsih.
Dan ia lantas memperlihatkan lipatan surat.
Ki Jaga Saradenta seorang pendekar beradat berangasan dan pendek pikiran.
Akan tetapi bukanlah seorang bodoh.
Melihat pandang mata Kilatsih tahulah orang tua itu bahwa gadis itu lagi memikul tugas gawat.
Lantas saja ia mengerti.
Katanya dengan tertawa.
"O, begitu? Baiklah... apabila engkau sudah selesai melakukan pekerjaan itu, bukankah engkau segera menyeberang ke Karimun Jawa?"
Demikianlah dengan seorang diri ia meneruskan perjalanannya mengarah ke Barat.
Pada hari kedua tibalah dia di Kota Waringin.
Ia berhenti di tepi sungai menebarkan menglihatannya.
Seperti dahulu, hatinya jadi terharu.
Teringatlah dia semasa dia masih diasuh ayah angkatnya Sorohpati.
Tiba-tiba berkelebatlah bayangan di depan matanya.
Itulah bayangan Widiana Sasi Kirana, Sangaji dan Daniswara.
Ia mencoba membandingkan kakaknya Sangaji dengan pribadi Widiana Sasi Kirana dan Daniswara.
Pribadi kakaknya Sangaji bagaikan gelombang laut.
Sedang pribadi Daniswara bagaikan air terjun.
Air terjun itu mungkin sekali mengalir ke laut.
Akan tetapi mungkin juga ke telaga.
Di antara jutaan orang-orang yang hidup di dunia ini, terdapat banyak sekali yang gemar air terjun.
Akan tetapi dia tidak! bahkan ia merasa jemu terhadap Daniswara.
Sebaliknya pribadi Widiana Sasi Kirana, baginya seakan-akan sebuah telaga yang berair jernih bening.
Kesannya terhadap pemuda itu sangat manis.
Apalagi setelah pemuda itu mengetahui, bahwa dirinya seorang gadis yang sedang menyamar.
Ah mengapa aku berpikir yang tidak-tidak, kata Kilatsih di dalam hati.
Pada saat ini aku lagi melakukan tugas Ayunda Titisari mencari surat rahasia pusaka sakti Bende Mataram.
Mengapa aku enak-enak saja berjuntai ditebing sungai....
Perlahan-lahan ia bangkit dan menghampiri kudanya.
Kemudian meneruskan perjalanan mengarah ke selatan.
Segera ia melihat bukit yang dikenalnya semenjak menanjak menjadi gadis remaja.
Itulah bukit tempat Sorohpati bermukim.
Menurut keterangan kakaknya Sangaji dan Titisari, ayah angkatnya dikebumikan dekat rumah.
Selagi mengarahkan pandangannya ke arah bukit, tiba-tiba ia dihinggapi suatu perasaan seolah-olah dirinya sedang diintip dan diikuti seseorang.
Oleh perasaan itu ia nenebarkan penglihatannya.
Tetapi sejauh mata memandang ia tiada melihat sesuatu yang mencurigakan.
Alam sunyi sepi seolah- olah bermalas-malasan.
Justru demikian timbullah pikirannya.
Ki Jaga Saradenta melihat berkelebatnya sinar obor mengarah dirinya.
Dengan sebat ia menyapu dan obor itu lantas terpental seperti seekor ular api yang yang berombak- ombak kemudian padam seketika.
"Duabelas tahun lamanya aku hidup serumah dengan ayah. Selama itu ayah tidak pernah membicarakan soal surat rahasia Ayunda Titisari. Sekarang Ayunda Titisari mengharapkan aku mendapatkan kembali surat rahasia tersebut. Dimanakah aku harus mencarinya?"
Ia turun dari kudanya dan menambatkan Megananda pada sebatang pohon.
Kemudian seperti tadi ia duduk di tepi pe- ngempangan sawah di bawah perlindungan rimbun pohon.
Kemudian ia mencoba mengumpulkan seluruh ingatannya.
Di depan matanya lantas saja berkelebatan kejadian-kejadian yang telah lama lampau.
Ayah angkatnya memasuki sebuah tenda.
Di dalam tenda itu ayahnya dikeroyok beramai-ramai.
Dengan penuh semangat ayahnya bertempur.
Hanya anehnya setiap kali ia menunda pertempuran ada yang ditunggu- tunggu.
Setiap kali memperoleh kesempatan, selalu ia mendekati dirinya dan kakaknya seperguruannya Gandarpati untuk meninggalkan pesan-pesan tertentu.
Mengapa ayahnya bermain ngulur waktu? Apa maksud sesungguhnya? Tiba-tiba teringatlah dia akan pesan ayah angkatnya.
"Sekarang dengarkan sebuah pesanku lagi, anakku. Malam ini aku harus menghadapi gerombolan manusia-manusia yang berangan-angan besar. Mereka ingin memiliki pusaka Bende Mataram. Aku sendiri belum pernah melihat bentuknya pusaka Bende Mataram tersebut. Menurut kabar, Bende itu memuat guratan-guratan rahasia ilmu sakti dan entah apa lagi. Di dunia ini, hanya seorang saja yang hafal guratannya. Dialah junjunganku Titisari yang mempunyai daya ingatan luar biasa. Apabila malam ini aku terpaksa mati, hendaklah aku ingat- ingat nama yang kusebutkan ini. Yang pertama. Manik Angkeran, yang kedua. Kyai Kasan Kesambi dan murid- muridnya. Yang ketiga. Ki Jaga Saradenta, Demang Sigaluh. Dan yang keempat...."
Waktu itu ayah angkatnya membisikkan sesuatu ditelinganya.
Teringat akan hal itu, hatinya tercekat.
Pikirnya di dalam hati, benar Ayah membisikkan sesuatu ditelinga-ku.
Membisikkan apa? Oleh ingatan itu ia jadi berpikir keras.
Karena berpikir keras ia jadi tampak ter-longong-longong.
Tak terasa senja hari tiba dengan diam-diam.
Waktu itu permulaan musim panen.
Sawah-sawah yang berada diluar kota memperlihatkan wajahnya yang kuning keemas-emasan.
Itulah deretan sawah yang menjadikan masa panen yang bagus.
Pemandangan alam demikian sangat menarik hati.
Kilatsih sebenarnya seorang gadis pengagum keindahan alam.
Hanya sayang, waktu itu hatinya lagi pepat sehingga tidak sempat menikmati penglihatannya.
Akhirnya ia menghela napas.
Justru ia menghela napas, tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya.
Ingatan yang masuk benaknya itu sangat tajam sehingga ia jadi berjingkrak.
Setengah berseru ia berkata di dalam hati.
"Ah, benar-benar tolol aku! Ayah waktu itu menantang Dadang Kartapati dan Braja-bhirawa dalam seratus jurus.
Ayah selalu main mundur untuk mengulur waktu.
Apakah Ayah bermaksud agar aku mengingat-ingat hitungan seratus itu..."
Kala itu Kilatsih baru berumur dua belas atau tiga belas tahun.
Selain berbau anak-anak masa itu telah lama lampau pula.
Perhatiannya terpusat hanya pada masalah pertempuran yang dihadapi.
Maklumlah ayahnya terancam bahaya maut.
Maka tak mengherankan, kisikan ayahnya itu jadi lupa-lupa ingat.
Hal itu disadari pula oleh ayah angkatnya.
Itulah sebabnya ayah angkatnya main mengulur waktu dengan maksud agar Kilatsih mempunyai kesempatan meresapkan kisikannya ke dalam perbendaharaan hatinya.
Sekarang Kilatsih sudah berumur dua puluh tahun.
Dan gadis itu mencoba mengumpulkan ingatannya kembali.
Tak mengherankan ia menemukan kesukaran-kesukarannya sendiri.
Lapat-lapat serasa ia mendengar kisikan Ayah angkatnya yang penghabisan ditelinganya.
"Tolong sampaikan pesanku ini. Seratus meter di sebelah tenggara rumah kita terdapat sebuah pedukuhan. Dan seratus meter lagi di sebelah barat dukuh itu terdapat sebuah rumah yang bersandar pada samping bukit. Depan rumah itu terdapat seratus pohon cengkeh dan di depan pintu pagarnya terdapat sepasang arca raksasa Dewa Cing-karabalaupata. Sangatlah mudah engkau mengenal rumah itu. Kalau engkau telah bertemu dengan tuan rumah, tolong ceritakan semua yang telah kau lihat malam ini..."
Selagi Kilatsih hendak membuka mulutnya, Sorohpati berkata lagi.
"Asal saja engkau menyebut. seratus jurus! Pastilah tuan rumah akan mengenal siapa engkau dan siapa pula aku..."
Mengucapkan kata-katanya yang penghabisan itu, ayah angkatnya nampak tersenyum aneh sekali.
Teringat akan hal itu, Kilatsih jadi ter-longong-longong kembali.
Pikirnya jadi sibuk.
Ia jadi beragu-ragu.
Akhirnya ia merapikan pakaiannya.
Kemudian melanjutkan perjalanannya dengan perlahan-lahan.
Sepanjang jalan ingatannya me- ngiang-ngiang.
"Seratus jurus! Seratus meter! Seratus pohon cengkeh! Sesungguhnya apa maksud Ayah dengan kata-kata seratus itu?"
Kilatsih paham benar akan liku-liku desa yang akan didatangi itu.
Itulah sebuah pedukuhan kecil berpenduduk belasan rumah saja yang terpencar-pencar letaknya.
Setelah sampai dipedukuhan itu, ia mengarah ke barat.
Bukankah ayahnya berpesan bahwa rumah yang dicarinya berada pada kaki bukit? TEKA-TEKI SERATUS JURUS DENGAN PERLAHAN-LAHAN ia menyusur jalan bukit yang berliku-liku.
Di antara tebing tinggi ia melihat sebuah rumah yang berdiri di pinggang bukit.
Rumah itu tidak bertetangga.
Seratus meter di sekitar rumah itu terdapat tanjakan-tanjakan yang penuh dengan pohon-pohon cengkeh.
Harum bunganya terbawa ke siur angin pegunungan.
Mencium bau bunga cengkeh itu, lega hati Kilatsih.
Yakinlah dia, bahwa di bawah itulah rumah yang dimaksudkan ayah-angkatnya.
Segera ia turun dari kudanya dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki.
Sambil menyusur kebun cengkeh, ia mulai menghitung.
Belum sampai hitungannya mencapai empat puluh batang pohon, didepannya tergelar sebuah halaman luas yang ditanami bunga aneka warna.
Dengan melihat taman bunga itu, Kilatsih dapat memastikan bahwa pemilik rumah tersebut pastilah seorang yang halus budi pekertinya.
Megananda segera ditambatkan pada sebatang pohon cengkeh.
Setelah melunasi kebun bunga, Kilatsih melihat sepasang arca raksasa Dewa Cingkarabalaupata di depan pintu pagar.
Sekarang ia berputar dan mencoba menghitung deret pohon-pohon cengkeh.
Benar! Kukira begitu alasannya."
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan perlahan-lahan ia menghampiri rumah itu. Kemudian ia mengetuk pintunya. Tiba-tiba suatu sambaran angin berkesiur dibelakangnya. Lalu terdengar teguran bernada halus.
"Siapa yang datang bercelingukan kemari?"
Kilatsih memutar badannya, dan didepan-nya berdiri seorang gadis berwajah manis.
Gadis itu mengenakan pakaian daerah.
Bajunya bertangan pendek seperti pekerja pemetik daun teh.
Warna bajunya kuning, dan rambutnya dikonde dua.
Usia gadis itu kira-kira tidak berselisih jauh dengan dirinya sendiri.
Akan tetapi ia nampak masih kekanak-kanakkan, tiba- tiba saja ia menyerang.
Rupanya gadis itu mengira Kilatsih seorang pencoleng.
Sebenarnya apabila Kilatsih menyebut nama ayahnya, kesalahpahaman itu akan cepat selesai.
Akan tetapi tabiat Kilatsih cepat panas dan mudah tersinggung.
Adatnya mewarisi watak gurunya yang rada-rada liar.
Maka ia ingin mencoba kepandaian gadis itu.
Dengan gesit ia memunahkan serangan.
Setelah itu ia membalas menyerang.
Tangan kanannya melindungi dadanya dan tangan kirinya menyelonong hendak mencengkeram rambut.
Gadis itu kaget sampai berseru tertahan.
Sebab tepat pada saat itu sikutnya kena bentur.
Ia menjadi kalap.
Terus saja ia menyerang mengarah dada Kilatsih.
Diam-diam ia kagum menyaksikan kegesitan gadis itu.
Cepat ia membalik tangannya kembali untuk melindungi dada.
Lantas ia mengubah dengan serangan lain.
Kilatsih belum dapat menguasai ilmu tata berkelahi tangan kosong.
Akan tetapi ia telah mewarisi ilmu pedang dan intisari ilmu sakti Witaradya ajaran Adipati Surengpati.
Itulah sebabnya ia dapat bergerak dengan lincah sekali.
Demikianlah selagi tangan kirinya menangkis serangan gadis itu, tangan kanannya menyambar dada.
Kembali lagi gadis itu terkejut.
Wajahnya menjadi merah.
Dalam keadaan terpaksa, ia membuka untuk menggigit tangan Kilatsih, karena tidak keburu menggerakkan tangan untuk menangkis.
Sekarang Kilatsih yang berganti terperanjat, la heran, mengapa untuk mematahkan serangan, gadis itu perlu memperlihatkan taringnya.
Tiba-tiba teringatlah dia, bahwa dirinya sedang menyamar sebagai seorang pemuda tadi ia menyerang dada gadis itu terus menerus.
Bukankah tata berkelahinya itu menggambarkan pemuda jahil tangan.
Kecuali itu, diluar dugaan, gadis itu pandai sekali menggunakan giginya.
Syukurlah gerakan Kilatsih cepat dan gesit.
Sebat ia menarik tangannya kembali.
Dengan demikian ia bebas dari ancaman gigi-gigi gadis itu.
Pada saat-saat itu rasa geli terbersit dalam hati Kilatsih.
Segera ia hendak membuka mulutnya, akan tetapi gadis itu tidak memberi kesempatan lagi.
Dengan bertubi-tubi, kedua tangannya kiri dan kanan menyambar-nyambar saling susul.
Kedua kakinya turut bekerja pula dengan cepat dan tepat untuk mengimbangi hujan serangannya.
Menghadapi serangan demikian gencar, terpaksalah Kilatsih memperlihatkan kelincahannya pula.
Ia melompat dan menyingkir.
Kadang-kadang berkelit atau mengegoskan tubuhnya.
Namun terus menerus ia dirangsak1) sehingga empat puluh sembilan jurus lewat dengan tak terasa.
"Heran!"
Pikir Kilatsih.
"Terang sekali ia kalah tenaga dari padaku, akan tetapi ilmunya seperti melebihi daku. Mengapa jadi demikian? Siapa gurunya..."
Gurunya sendiri, Adipati Surengpati, adalah seorang pendekar yang luas pengalaman dan pengetahuannya.
Setiap waktu gurunya mengabarkan tentang berbagai macam ilmu sakti yang terdapat di seluruh persada bumi ini.
Akan tetapi belum pernah ia menjumpai tata berkelahi seperti yang diperlihatkan gadis itu.
Demikianlah, sambil berpikir ia melayani kegesitan gadis tersebut.
Kemudian timbullah niatnya hendak menguji diri mengadu kepandaian.
Ia segera menyerang kedua tangan gadis itu dengan gerakan berputar.
Kemudian memuji.
"Bagus! Sudahlah... sampai disini saja! Tak usah kita bertarung pula. Aku datang untuk membawa kabar penting..."
Gadis itu berontak.
Ia mencoba membebaskan tangannya yang kena sambaran bersilang.
Dengan serta merta ia mengerahkan tenaganya, akan tetapi sia-sia belaka.
Kilatsih menguncinya dengan kuat, itulah salah satu kepandaian warisan gurunya, Adipati Surengpati, yang istimewa.
Untuk memahirkan tata tipu silat bersilang itu, gurunya mewajibkan berlatih empat tahun terus-menerus.
"Eh, apakah engkau membawa sepucuk surat?"
Tanya gadis itu dengan heran.
"Surat apa itu?"
"Surat lisan. Bukan surat tertulis!"
Jawab Kilatsih pendek.
"Surat lisan dari ayah angkatku Sorohpati"
"Ah, Paman Sorohpati? Engkau bilang ayah... apakah dia ayahmu?"
Gadis itu menegas.
"Benar!"
Sahut Kilatsih cepat.
"Dia bilang tentang apa?"
"Tentang seratus jurus..."
Mendengar kata-kata seratus jurus itu, si gadis terkejut. Lalu ia nampak berduka. Alisnya berkerut-kerut. Entah apa sebabnya, begitu Kilatsih melihat wajahnya mendadak saja ia menjadi jelus. Apa dasar alasan jelus itu ia sendiri tidak mengerti.
"Benarkah engkau ini putera Paman Sorohpati?"
Gadis itu menegas lagi.
"Siapa namamu?"
Sambil menguraikan tangannya, Kilatsih menjawab.
"Namaku Kilatsih..."
"Kilatsih?"
Gadis itu menegas dengan mata menyelidik.
"Itulah nama seorang perempuan...."
"Memangnya aku perempuan,"
Sahut Kilatsih sambil tersenyum. Terhadap gadis itu, Kilatsih tidak perlu menyembunyikan penyamarannya tetapi justru demikian, membuat gadis itu bercuriga. Tiba-tiba ia tertawa.
"Sudah kukira... kau memang orang kurang ajar! Sekali-kali engkau harus merasakan ujung pedangku!"
Kilatsih menjawab pertanyaan gadis itu tanpa curiga, la membebaskan kedua tangannya pula yang tadi kena tangkap.
Di luar dugaan, begitu selesai berbicara gadis itu lantas saja menghunus pedangnya dan dengan sebat ia membuktikan ancamannya.
Pedangnya berkelebat menyambar.
Mau tidak mau Kilatsih terpaksa melompat mengelakkan diri.
Akan tetapi ia diserang terus menerus tiga kali berturut- turut.
Akhirnya ia jadi mendongkol juga.
Di dalam hati ia berkata, ilmu pedangmu boleh hebat! Tetapi apa kau kira aku takut? Kilatsih memang gadis yang mau menang sendiri dan beradat panas pula.
Pada saat itu ia sedang mendongkol.
Segera ia hendak mencabut pedangnya.
Mendadak telinganya yang tajam mendengar langkah orang berlari-lari dari arah belakang.
Suara itu datang dari balik bukit.
Belum sempat ia menoleh, gadis itu menghentikan serangannya dengan tiba- tiba.
Terus berseru nyaring.
"Kangmas Prajaka!"
Kesempatan itu dipergunakan Kilatsih untuk memutar tubuhnya.
Ia melihat dua orang berkejar-kejaran.
Yang satu di depan dan yang lain menghindar dibelakangnya.
Kedua- duanya laki-laki dan menyandang senjata.
Yang berada di belakang, seorang perwira dengan pedang ditangan kanannya.
Dengan mati-matian ia mengejar orang didepannya.
Laki-laki yang sedang diuber itu seorang pemuda beralis tebal.
Matanya besar.
Bajunya tak terkancing, hingga nampak dadanya yang berbulu.
Kulitnya hitam.
Kesan pemuda itu sebagai pekerja kasar.
Senjata yang dibawanya adalah sebatang tombak panjang.
Saban-saban pemuda itu berpaling untuk menyerang pengejarnya.
Perwira yang bersenjata pedang itu bagus cara berkelahinya.
Selalu saja ia bisa memunahkan serangan- serangan pemuda kasar itu.
Dalam hal ini ia hanya kalah gesit.
Mungkin pula disebabkan karena dia belum paham benar dengan lika-liku jalan bukit yang diambahnya.
Karena itu pula ia kalah cepat larinya.
Setiap kali berhadapan dengan jalan yang sulit, terpaksa ia lari menyimpang atau berputar untuk memotong arah lari pemuda yang sedang diubernya.
Si gadis lantas saja lari menyambut.
Karena itu Kilatsih dapat ikut lari pula.
Dengan demikian, kedua belah pihak seperti saling menyongsong dengan cepat sekali.
Apabila perwira itu melihat Kilatsih, ia menjadi heran.
"Binatang!"
Bentaknya "Kaupun berada di sini? Apa engkau termasuk pula keluarga si jahanam Dipajaya?"
Kilatsih segera mengenal perwira itu.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dialah wakil Kapten Wiranegara, Letnan Mangunsentika.
Tatkala ia berusaha mencuri kepala Wirapati ditangsi Magelang, la pernah bertemu dan bertempur.
Itu sebenarnya kedua-duanya saling mengenal, bahwa masing-masing mempunyai kepandaian tinggi.
Hanya saja Kilatsih tidak tahu, apa sebab Letnan Mangunsentika menyebut-nyebut sijahanam Dipajaya sebagai keluarganya.
Siapakah Dipajaya itu? Apa dialah pemilik rumah ini? "Kau begundal Belanda! Kedatanganmu kemari pastilah mengandung maksud tidak baik...."
Sebaliknya gadis yang berada disamping Kilatsih sudah melompat menerjang. Dengan pedangnya ia menikam Letnan Mangunsentika. Dalam serangannya yang kedua ia meneriaki kakaknya.
"Kangmas Prajaka! Kau layanilah pencoleng itu! Dia tadi menghina aku. Pasti dia bukan manusia baik-baik!"
Mendengar teriakan gadis itu, Kilatsih tercengang. Pemuda yang bernama Prajaka itu lantas saja menyerang. Ia melompat menghantam pedang Kilatsih. Tentu saja Kilatsih makin mendongkol.
"Kenapa engkau begini sembrono? Aku datang kemari untuk membantumu."
Setelah berkata demikian Kilatsih menggerakkan pedangnya untuk membebaskan diri. Pemuda itu jadi heran. Dengan tajam ia membentak.
"Siapa kau?"
"Kangmas Prajaka! Jangan dengarkan bujukan manis!"
Seru si gadis sambil terus melayani Letnan Mangunsentika.
"Tadi ia meledek2) aku. Hajar dia!"
Mendengar perkataan adiknya, Prajaka menjadi gusar.
Terus saja ia menyerang dengan dahsyat.
Kilatsih menjadi sakit hati kini.
Menghadapi serangan pemuda itu dengan gesit ia mengelak.
Kemudian melesat menyelusup di antara tombaknya.
Gerakannya gesit dan tangkas bagaikan seekor ikan meletik dari permukaan air.
Kemudian berputar dengan mendadak dan membalas menyerang dengan sabetan pedang.
Gerakan pedang Kilatsih adalah intisari ilmu sakti Witaradya.
Dengan sekali menyabetkan pedang, ia berhasil.
Kilatsih hanya membuat putus dua buah kancing bajunya.
Prajaka terkejut.
Justru pada saat itu Kilatsih menarik pedangnya.
Sambil tertawa ia berkata.
"Barangkali kejadian inilah yang dikatakan orang-orang tua dahulu sebagai majikan yang baik kena gigit anjing piaraannya sendiri. Coba andaikata aku tidak mengemban perintah Ayah, pasti aku tidak sudi datang kemari..."
Prajaka tercengang.
"Siapa ayahmu?"
"Sorohpati,"
Jawab Kilatsih dengan hati mendongkol.
"Sorohpati yang mana?"
"Dimana Sorohpati yang lain kecuali ayahku?"
Sahut Kilatsih dengan suara tawar.
"Jangan gubris ocehnya!"
Seru si gadis, la lagi berkelahi. Meskipun demikian telinganya masih sempat mendengar percakapan Kilatsih dan Prajaka.
"Menurut kabar Kangmas Tarupala pernah menerima beberapa jurus ilmu pedang Paman Sorohpati. Kalau dia benar-benar anak Paman Sorohpati, mengapa Kangmas Tarupala tidak pernah menyinggung-nyinggung namanya? Karena itu jangan dengarkan omongannya! Bereskan!"
"Trang!"
Itulah suara pedang si gadis yang kena hantaman pedang Letnan Mangunsentika.
Tatkala ia sedang bicara berkepanjangan Letnan Mangunsentika berhasil menghantam pedangnya sehingga tergetar dan terlepas dari tangannya.
Keruan saja Prajaka terperanjat.
Tanpa berpikir panjang lagi ia meninggalkan Kilatsih untuk membantu adiknya.
"Jangan pedulikan aku!"
Teriak gadis itu mencegah.
"Aku akan bertahan. Kau hajar saja pemuda pencoleng itu!"
Gadis itu ternyata seorang berkepala besar dan tak sudi menyerah kalah terhadap siapapun.
Meskipun pedangnya sudah terpental dari tangan, namun mulutnya masih sombong pula.
Prajaka jadi bersangsi-sangsi sejenak.
Akhirnya setelah menimbang-nimbang ia menghadapi Kilatsih kembali dan terus saja menggerakkan tombaknya me-rabu kaki.
Kali ini Kilatsih benar-benar habis sabar.
Ia melompat sambil membabat dengan pedangnya.
Meskipun demikian, masih ia dapat menguasai diri.
Tak mau ia melukai Prajaka.
Sebaliknya ia bermaksud memapas kancing bajunya kembali.
Tetapi kali ini Prajaka sudah berwaspada.
Gesit ia mengegoskan tubuhnya.
Dalam hal kegesitan, ia kalah jauh daripada Kilatsih.
Akan tetapi ia menang tenaga.
Dengan mengandalkan tenaganya, ia mengurung diri dengan gerakan- gerakan tombaknya.
Dalam mendongkolnya, Kilatsih menyerang dengan sengit.
Namun untuk dapat memapas ujung tombak pemuda itu ia membutuhkan belasan jurus.
Kemudian berkata meyakinkan.
"Baiklah! Jika engkau tidak percaya kepadaku masakan engkau tidak percaya kepada nama ayahku Sorohpati?"
Meskipun kasar Prajaka seorang pemuda yang dapat menimbang-nimbang alasan seseorang, la tidak seangkuh adiknya itu.
Ia pun berhati polos.
Pada saat itu ia berpikir, ilmu pedang pemuda ini tinggi.
Nampaknya tidak berada di bawah ilmu pedang Kangmas Tarupala.
Kalaulah bermaksud jahat, tikamannya yang dapat memapas kancing bajuku tadi, sebenarnya bisa menikam diriku.
Memperoleh pertimbangan demikian, segera ia bertanya menegas.
"Sebenarnya engkau datang untuk kepentingan apa?"
Berkata demikian ia menghentikan serangannya. Dan dengan tajam ia menatap wajah Kilatsih dengan penuh selidik.
"Aku datang untuk menyampaikan pesan lisan ayahku kepada penghuni rumah ini,"
Sahut Kilatsih.
"Apa pesan ayahmu?"
Tanya Prajaka.
"Tujuh atau delapan tahun yang lalu, ayahku pernah menantang gerombolan penyerangnya dengan seratus jurus..."
"Hmm,"
Dengus Prajaka.
"Hanya itu saja pesan lisan yang harus disampaikan kepada penghuni rumah kami?"
"Apa aku harus cerita panjang lebar?"
Kilatsih balik bertanya. Prajaka mengkerutkan dahinya menimbang-nimbang.
"Adik! Omongan pemuda ini patut kita dengarkan! Benar- benar dia datang membawa pesan lisan Paman Sorohpati."
Gadis itu tidak menjawab.
Kilatsih heran.
Segera ia berpaling.
Ternyata gadis itu tengah menghadapi saat-saat yang hebat sekali.
Letnan Mangunsentika maupun gadis itu bergerak sangat sebat dan lincah.
Tubuh mereka berkelebatan dan sinar pedangnya berkilauan.
Sama sekali tiada terdengar suara beradunya senjata, yang terdengar hanya deru angin yang bergulungan ber-derum-derum.
Hal itu ada sebabnya.
Gadis itu yang sudah kehilangan pedang, melayani pedang Letnan Mangunsentika dengan kedua tangannya.
Meskipun tidak bersenjata lagi, kedua tangan si gadis berkelebatan bagaikan sepasang pedang yang menyerang lawan dengan bertubi-tubi tiada hentinya.
Dengan penuh perhatian, Kilatsih mengamat-amati jarak pertempuran dan cara berkelahi si gadis itu.
Tetap saja ia tidak dapat mengenal dan rupanya Letnan Mangunsentika kuwalahan menghadapi kelincahan gadis itu.
Bukan ia terdesak kalah akan tetapi merasa susah sekali untuk memecahkan serangan berantainya.
"Sayang tenaganya kurang kuat sedikit. Andaikata tenaganya sebesar tenaga kakaknya ini, sudah terang Letnan Mangunsentika bukan tandingannya lagi, pikir Kilatsih. Dengan tidak berkedip ia mengamat-amati gerakan gadis itu. Tiba-tiba suatu bayangan berkelebat dalam benaknya. Pikirnya, ah bukankah ini titik tolak gerakan Eyang Sirtupelaheli? Setelah terlepas dari cengkeraman Utusan Suci dahulu, Sirtupelaheli berada di Pulau Karimun Jawa menemani Gagak Seta, la tinggal beberapa bulan di pulau itu. Mula-mula ia bersikap kaku. Akan tetapi lambat-laun ia menjadi jinak oleh sikap Sangaji dan Titisari yang pandai mengambil hati. Sedikit demi sedikit ia mau membicarakan keadaan dirinya. Dan mengetahui bahwa Adipati Surengpati selain berkepandaian tinggi luas pula pengetahuannya, ia jadi tertarik. Sekarang ia mau membicarakan pula tentang ragam ilmu sakti yang terdapat di dunia. Demikianlah maka Kilatsih yang terawat di pulau itu berkesempatan menyaksikan ragam ilmu sakti aliran Sirtupelaheli. Bahkan ia mendapat warisan ilmu menyamar pula di samping beberapa jurus ilmu sakti dari pendekar wanita itu. Dikemudian hari ia mendengar riwayat Sirtupelaheli dengan pendekar Dipajaya. Maka begitu melihat ilmu kepandaian gadis itu, hampir Kilatsih menyerukan nama Dipajaya. Apalagi ia teringat pula bentakan Letnan Mangunsentika tadi yang menyebut-nyebut nama Dipajaya. Akan tetapi suatu pertimbangan lain menusuk benaknya.
"Pendekar Dipajaya berkesan liar dan berbahaya. Masakan Ayah bersahabat dengan dia... Hal itu tidak mungkin terjadi. Tapi apabila bukan keluarga pendekar Dipajaya dari manakah dia memperoleh ilmu sakti aliran Eyang Sirtupelaheli? Apakah ilmu sakti Eyang Sirtupelaheli justru bersumber pada ilmu sakti keluarga Dipajaya..."
Memperoleh pertimbangan demikian, ia berkata mencoba.
"Apakah kalian anak keluarga Eyang Dipajaya?"
Mendengar ucapan Kilatsih, Prajaka terperanjat. Hai, bagaimana engkau mengenal guruku?"
"Guruku?"
Kilatsih heran.
"Benar! Beliau guruku."
Mendengar pengakuan itu.
Kilatsih tergugu.
Berbagai teka- teki merumun dalam benaknya.
Mendadak teringatlah dia kepada sikap hidup ayah angkatnya yang serba rahasia.
Apakah ayahnya benar-benar mempunyai hubungan tertentu dengan pendekar Dipajaya? Teringat pula dia akan tutur kata ayundanya Titisari bahwa Sirtupelaheli mengincar pula surat rahasia Bende Mataram.
Jika demikian halnya bagaimana sesungguhnya kedudukan ayah angkatnya dalam persoalan ini? Tak sempat lagi kilatsih berpikir berkepanjangan.
Pada saat itu ia melihat suatu serangan dahsyat bagaikan gelombang tersentak.
Itulah salah satu jurus aliran Situpelaheli yang dikenalnya.
Menghadapi serangan demikian, Letnan Mangunsentika mundur dua langkah.
Kesempatan itu dipergunakan adik Prajaka untuk memungut pedangnya kembali.
Hanya belum sempat ia menggerakkan pedangnya Letnan Mangunsentika telah melompat maju sambil menyambar dengan pedangnya.
Terpaksa gadis itu menangkis dengan pedangnya pula.
Senjata mereka berdua lantas berbentrokan nyaring sekali.
Masih sempat Kilatsih menyaksikan letikan api atau gadis itu kena terdesak mundur.
Di sini nampak dengan jelas, bahwa gadis itu kalah dengan tenaga.
Lagi pula ia belum bersiaga penuh dan Letnan Mangunsentika telah menghantamkan pedang dengan sekuat tenaganya.
Meskipun demikian gadis itu tidak nampak gugup.
Permainan pedangnya tidak menjadi kacau.
Sekalipun kurang latihan namun masih bisa ia mengimbangi gerakan pedang Letnan Mangunsentika.
Tetapi sedikit demi sedikit makin jelaslah bahwa gadis itu kalah ulet dibandingkan dengan Letnan Mangunsentika.
Perwira itu nampaknya mengetahui kelemahan lawan.
Dengan sabar ia menunggu gadis itu menyelesaikan empat puluh sembilan jurusnya.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian dengan mendadak ia melakukan serangan balasan.
Mengandal kepada tenaganya yang berlebih, Letnan Mangunsentika menghajar pedang gadis itu.
Dan kena hajarannya pedang si gadis terpental balik menikam majikannya.
"Celaka!"
Seru Prajaka.
Ia melihat adik seperguruannya terancam bahaya.
Maka ia segera hendak menolong.
Akan tetapi baru saja ia hendak melompat maju, Letnan Mangunsentika telah berhasil menusukkan pedangnya.
Syukurlah! Gadis itu ternyata sangat gesit gerakannya.
Walaupun demikian tak urung ujung bajunya kena tertikam sampai berlobang.
Pedang Letnan Mangunsentika model pedang kompeni.
Bentuknya agak melengkung sedikit.
Itulah sebabnya pedang itu dapat dipergunakan untuk menggaet lawan pula.
Demikianlah setelah pedangnya dapat menembus ujung baju gadis itu, segera ia mengkaitnya.
Dan gadis itu tidak berdaya untuk membebaskan diri dari ujung pedang Letnan Mangunsentika yang mengkait ujung bajunya erat-erat.
Menyaksikan hal itu Kilatsih terperanjat.
Namun masih bisa ia tertawa, serunya.
"Adik, kau mundurlah! Biar aku menggantikan engkau!"
Selagi dengung tertawanya belum lenyap di udara, Kilatsih mengayunkan tangan. Beberapa biji sawo terbang menyambar Letnan Mangunsentika.
"Traaang!"
Pedang Letnan Mangunsentika terhajar miring dan biji sawo yang lain menyambar ujung baju si gadis, sehingga ia terlepas dari kaitan pedang.
Kesempatan sebagus itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh si gadis.
Cepat ia menarik tangan dan menikam.
Keruan saja Letnan Mangunsentika kaget setengah mati.
Ia melompat ke samping.
Tetapi gerakannya kena dirintangi Kilatsih.
Setelah menghamburkan biji-biji sawonya, Kilatsih melompat maju sambil menikam dengan pedangnya.
Hal itu membuat si gadis tercengang-cengang...
Hebat cara bertempur Kilatsih.
Dalam sekejapan saja tujuh atau delapan jurus lewat tak terasa.
Menyaksikan kesebatan itu, Prajaka menyeka peluhnya sambil menarik tangan adik seperguruannya.
"Lihatlah adik! Anak muda itu benar-benar hendak membantu kita,"
Kata Prajaka.
"Hm!"
Dengus gadis itu. Akan tetapi berbareng dengan dengusnya, wajahnya menjadi merah. Kemudian membungkam.
"Dia menyebut-nyebut guru kita... Pastilah dia tidak berdusta!"
Kata Prajaka pula.
"Bagaimana engkau yakin bahwa dia tidak bermaksud jahat?"
Gadis itu menegas.
Suaranya terdengar mengandung rasa mendongkol.
Prajaka menarik gadis itu lebih dekat lagi.
Kemudian berbicara dengan berbisik-bisik.
Kilatsih berkelahi dengan membagi perhatian.
Tiap kali ia mengerling kepada Prajaka dan adik seperguruannya itu.
Melihat lagak-lagu mereka berdua, diam-diam ia tertawa di dalam hati.
Tahulah dia bahwa hubungan antara kakak dan adik seperguruan itu nampaknya istimewa.
Kalau tadi ia mendongkol kepada gadis itu yang memperlakukan dengan kasar, kini ia berkesan baik.
Hal itu disebabkan karena lagak- lagu gadis itu masih kekanak-kanakkan dan terhadap sikapnya itu Kilatsih dapat bersikap mengampuni.
Hanya saja, ia belum menyadari, bahwa dirinya sendiri sebetulnya masih bersifat kekanak-kanakkan pula.
Akan tetapi berkelahi dengan membagi perhatian sebenarnya sangat berbahaya.
Apalagi lawannya seimbang dengan dirinya sendiri.
Demikianlah, tatkala Letnan Mangunsentika mengadakan serangan balasan dengan mendadak, hampir saja tenggorokannya kena tikam.
Prajaka terkejut melihat ancaman itu.
Oleh rasa kagetnya ia melompat sambil berseru.
Maksudnya hendak memberi pertolongan.
Di luar dugaan sebelum kakinya mendarat di atas tanah ia mendengar benturan nyaring.
Dan berbareng dengan suara nyaring itu meletuplah letikan api.
Ternyata Kilatsih dapat membebaskan diri dari ancaman malapetaka yang mengancam.
Bahkan pedangnya dapat merompal-kan sebagian pedang Letnan Mangunsentika.
Kilatsih masih seorang dara remaja.
Himpunan tenaga saktinya belum sempurna pula.
Akan tetapi dialah murid pendekar yang berkepandaian tinggi.
Di samping itu beberapa kali ia mempunyai pengalaman dalam pertempuran.
Tanpa disadari sendiri, kepandaiannya jadi makin bertambah.
Di samping itu ia memperoleh kesempatan pula untuk menerima ajaran-ajaran ilmu sakti Hasta Sila Otong Surawijaya dan Dadang Wiranata.
Karena itu kepandaiannya kini tak dapat dipersamakan pada waktu untuk pertama kali bertempur melawan Letnan Mangunsentika di Magelang.
Tatkala itu mereka berdua bertempur seimbang dalam sepuluh jurus.
Itulah sebabnya Letnan Mangunsentika memandang ringan terhadap Kilatsih.
Meskipun mula-mulanya terdesak, akan tetapi lambat laun dapat membela diri dengan baik.
Sebagai seorang yang berpengalaman, seringkali ia dapat mengambil waktu yang baik dan tepat.
Demikianlah tiba-tiba ia menyerang dengan dahsyat tatkala Kilatsih mengerling kepada Prajaka dan adik seperguruannya, la percaya bahwa tikamannya itu akan berhasil.
Di luar dugaan Kilatsih ternyata bermata tajam dan gerakannya gesit luar biasa dan ujung pedangnya kena terpapas rompal.
Seumpama tidak bergerak sebat pula, mungkin ujung pedangnya kena terbabat kutung.
"Bagus!"
Seru Prajaka.
Pemuda itu nampak bersyukur dan girang luar biasa menyaksikan cara Kilatsih membela diri.
Rasa kagetnya lantas saja sirna.
Sebaliknya, adik seperguruannya tidak turut memuji, akan tetapi didalam hatinya diam-diam ia kagum.
Kilatsih tertawa.
Katanya bergurau kepada mereka.
"Kalian berdua beristirahatlah! Kulihat tadi kalian sangat letih..."
Meskipun berkesan kasar, sebenarnya Prajaka berperasaan halus.
Ia merasa kena sindir Kilatsih.
Sehingga mukanya menjadi merah.
Dan tak dikehendaki sendiri ia mengerling kepada adik seperguruannya.
Tetapi adik seperguruannya hanya berdiam saja.
Dalam pada itu pertempuran berjalan terus.
Tanpa terasa Letnan Mangunsentika dan Kilatsih sudah bertempur kira-kira seratus jurus lebih.
Kedua-duanya menggunakan tenaga sebaik-baiknya.
Akan tetapi nampaknya tetap berimbang.
Kilatsih lincah seperti mula-mula.
Pedangnya berkelebatan tiada hentinya dan sinarnya menyilaukan mata.
Menyaksikan kelincahan dan kegesitan Kilatsih, mau tak mau, gadis itu menjadi kagum juga.
Pikirnya dalam hati, ah kukira ilmu pedang warisan Eyang Dipajaya tiada keduanya di dunia ini.
Ternyata anggapanku itu meleset jauh sekali.
Hari ini aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bahwa ilmu pedang pemuda itu, dapat menandingi ilmu pedang warisan Eyang Dipajaya.
la kagum dan kagum.
Justru demikian, hatinya bertambah dingin.
Hal itu disebabkan, karena kesombongan hatinya, seakan-akan terguyur air dingin.
Letnan Mangunsentika penasaran karena tak dapat menjatuhkan lawannya yang semula dipandang ringan saja.
Diam-diam ia heran karena Kilatsih sekarang menjadi begini hebat.
Dalam hal latihan dan pengalaman ia menang jauh daripada Kilatsih.
Yang membuatnya sulit karena Kilatsih memiliki pedang panjang.
Sehingga ia segan mengadu senjata.
Sebaliknya kalau hanya main mengelak terus saja dari pedang lawan, ia membutuhkan ketajaman mata dan kegesitannya.
Berkelahi dengan cara demikian meminta banyak tenaga.
Pertempuran kini telah mendekati seratus lima puluh jurus.
Meskipun semikian kelincahan Kliatsih tidak berkurang.
Bahkan ia kini menang di atas angin.
Serangannya makin dahsyat dan bertubi-tubi datangnya.
Semuanya itu tidak luput dari perhatian si gadis.
Adik seperguruan Prajaka ini demikian kagum terhadap ilmu pedang Kilatsih, sehingga rasa mendongkolnya lenyap seketika.
Mau tak mau ia harus mengakui kegagahan Kilatsih meskipun dia seorang pemuda yang jahil tangan.
Pada saat itu si gadis belum sadar bahwa Kilatsih sesungguhnya seorang gadis juga seperti dirinya.
Sebaliknya tidaklah demikian halnya yang terjadi dalam diri Prajaka.
Pemuda ini selain kagum hatinya menjadi lega pula.
Bukankan Kilatsih kini sudah terbebas dari bahaya? Bahkan nampaknya berada di atas angin.
Maka sempat ia bertanya kepada adik seperguruannya.
"Adik! Benarkah Guru pulang?"
"Ya! Ya!"
Sahut si gadis dengan beruntun.
Tatkala menyahut sama sekali tidak berpaling atau menoleh.
Karena perhatiannya tertarik akan gerakan-gerakan pedang Kilatsih.
Nampaknya Kilatsih menggerakkan pedangnya, yakni dari kanan ke kiri.
Dengan demikian gerakan tadi bertentangan.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mengapa bisa jadi demikian.
Setelah berpikir sejenak, tahulah ia bahwa hal itu terjadi karena kelincahan Kilatsih yang luar biasa.
Letnan Mangunsentika tengah menghadapi serangan- serangan Kilatsih yang dahsyat.
Akan tetapi telinganya masih sempat mendengar pembicaraan Prajaka dan adik seperguruannya.
Begitu Prajaka menyinggung tentang gurunya, hatinya tercekat.
Berkata di dalam hati, beberapa binatang ini terang sekali murid Dipajaya.
Mereka saja sudah begini hebat.
Apalagi si tua bangka sendiri! Kalau dia sudah pulang bukankah berarti aku menghadapi ancaman bahaya? Oleh pikiran itu hatinya menjadi ciut.
Letnan Mangunsentika datang kepe-dukuhan itu dengan tugas menangkap pendekar Dipajaya.
Inilah perintah komandan atas dasar laporan-laporan yang masuk.
Kompeni mengetahui bahwa orang yang menyamar sebagai Ki Jaga Saradenta dan membantu perjuangan Daniswara sebenarnya adalah Sirtupelaheli.
Dan Sirtupelaheli mempunyai hubungan erat dengan pendekar Dipajaya.
Kedua-duanya mempunyai cita-cita sendiri.
Maka untuk mengurangi bahaya dikemudian hari, Kompeni mengerahkan para pendekarnya untuk menangkap kedua-duanya secepat mungkin.
Letnan Mangunsentika terlalu percaya akan kekuatannya sendiri.
Meskipun ia mendengar kabar bahwa Dipajaya adalah seorang pendekar ahli pedang kenamaan namun hatinya sama sekali tidak takut.
Pikirnya Dipajaya sudah berusia lanjut masakan jago tua itu masih dapat menandingi dirinya? Tetapi setelah tiba dipedukuhan itu, ia memperoleh pendapat- pendapat dan pertimbangan-pertimbangan baru.
Pertama- tama ia merasa tak sanggup membekuk murid-murid Dipajaya, walaupun dia menang di atas angin.
Kedua, ia merasa kalah mengadu kepandaian dengan Kilatsih.
Lawannya yang baru ini ternyata bukan lawan sembarangan.
Sedang demikian kedua murid Dipajaya masih dalam keadaan segar bugar.
Sewaktu mereka bisa turun ke gelanggang membantu Kilatsih.
Menimbang demikian, hatinya menjadi goncang.
Jangan lagi berangan-angan akan memperoleh kemenangan bahkan untuk membela diri saja rasanya sulit.
Sekarang ia mendengar kabar pula bahwa Dipajaya telah pulang.
Keruan saja hatinya kaget luar biasa.
Justru dalam keadaan demikian Kilatsih menikam dengan jurus yang hebat.
Sia-sia saja Letnan Mangunsentika membela dirinya.
Tiba-tiba pundaknya kena tusuk sehingga menembus tulang.
Melupakan rasa sakitnya ia melompat dan membuang dirinya ke tanah.
Kemudian lari bergulingan menuruni tanjakan.
Rasa takut Letnan Mangunsentika sebenarnya berlebih- lebihan, karena Kilatsih tidak mengubernya.
Gadis itu hanya tertawa geli, kemudian berjalan menghampiri Prajaka dan adik seperguruannya.
"Nah! Sekarang kalian berdua tentu percaya kepadaku bukan?"
Kata Kilatsih. Gadis itu melototkan matanya dan tidak menyahut. Sebaliknya Prajaka lantas maju dan membungkuk hormat.
"Terima kasih atas bantuannya."
"Kita sibuk bertempur sampai tak sempat saling berkenalan,"
Kata Kilatsih sambil membalas hormat. Tatkala berkata demikian ia tersenyum simpul. Dan melihat senyum simpul itu, si gadis jadi dengki. Mulutnya makin terkatup rapat. Prajaka segera mengambil alih.
"Inilah adik sepeguruanku, namanya Antariwati. Aku sendiri Sindungjaya. Adik seperguruan ini keponakan guruku Dipajaya."
Mendengar Prajaka memperkenalkan namanya, gadis itu menoleh dengan cepat. Katanya galak kepada kakak seperguruannya. - "Kangmas kan tidak bermaksud mengikat keluarga dengan dia. Mengapa bicara berkepanjangan? Sampai memperkenalkan keluargaku pula?"
Kilatsih tidak tersinggung bahkan tertawa geli. Mendengar suara tertawa Kilatsih yang bening, tertariklah rasa hati Antariwati. Entah apa sebabnya tiba-tiba wajahnya menjadi merah jambu. Prajaka tidak menggubris sikap kaku adik seperguruannya itu.
"Bukankah dia sudah tahu nama Guru? Dia pun membawa tanda perkenalan sandi. Itulah suatu bukti bahwa ia bukan orang lain. Apa halangannya aku memberikan penjelasan?"
Kilatsih tidak menghiraukan pertengkaran paham antara Prajaka dan adik seperguruannya, la menganggap kedua- duanya Jenaka.
Maka katanya dengan acuh tak acuh.
"Namaku Kilatsih.
Aku murid Adipati Surengpati.
Kakakku bernama Sangaji.
Kakakku Sangaji murid Eyang Gagak Seta.
Dan Eyang Gagak Seta kakak seperguruan Eyang Sirtupelaheli.
Dengan demikian kita benar-benar bukan orang luar."
Mendengar kata-kata Kilatsih, Prajaka terkejut sampai berjingkrak. Dengan suara tertahan ia berseru.
"Pantaslah engkau begini hebat! Kiranya engkau murid Sang Adipati Surengpati!"
Gadis yang berada didekatnya pun heran bukan kepalang. Dengan pandang penuh selidik ia mengawasi Kilatsih dari kaki sampai kepalanya.
"Dia bernama Kilatsih, kedengarannya seperti nama perempuan! Apa ia sedang main gila?"
Katanya di dalam hati. Kilatsih tidak mengindahkan sikap si gadis katanya meneruskan.
"Guruku mengagumi gurumu semenjak lama. Hanya sayang, sampai sebegitu jauh, guruku tidak memperoleh kesempatan untuk dapat bertemu. Maka sekarang perkenankanlah aku mewakili Guru untuk menghadap Eyang Dipajaya. Mohon dengan hormat hendaklah adik Antariwati sudi mengantarkan aku menghadap padanya."
"Terima kasih. Sebenarnya tak berani kami berdua menerima kunjunganmu,"
Sahut Prajaka mendahului Antariwati.
Adipati Surengpati adalah seorang pendekar yang termashyur semenjak puluhan tahun.
Dia termasuk dalam deretan nama tujuh pendekar yang tiada tandingannya di seluruh penjuru tanah air.
Meskipun demikian Kilatsih bersikap rendah hati.
Itulah sebabnya Prajaka menjadi-malu sendiri.
Ia memang seorang pemuda jujur dan polos hati.
la pun heran atas sikap adik seperguruannya yang nampak kaku.
"Murid Adipati Surengpati ternyata seorang sopan santun.
Kenapa adikku menuduh dia bersikap kurang ajar..."
Selagi berpikir demikian tiba-tiba ia mendengar adik seperguruannya berkata.
"Taruh kata pamanku berada di rumah, dia pasti tidak akan sudi menerima engkau."
Hati gadis itu agaknya masih panas pula. Apalagi dia tadi menduga Kilatsih sebagai pemuda yang sedang main gila.
"Adik...! Kau kenapakah...?"
Seru Prajaka dengan suara heran. Hendak ia membuka mulutnya lagi, tetapi Antariwati sudah memotongnya. Dengan mata melotot Antariwati membentak.
"Kau... kau... kenapa?"
Sebenarnya Prajaka hendak menegur sikap adik seperguruannya yang kaku itu. Akan tetapi kata-katanya terpotong, lalu mengalihkan pembicaraan.
"Bukankah Guru sudah pulang? Kenapa adik berkata bahwa Guru kini tiada di rumah?"
"Siapa bilang Paman sudah pulang?"
Sahut Antariwati sengit. Prajaka tercengang.
"Bukankah engkau sendiri yang berkata demikian..."
"Kau lagi melihat setan barangkali! Kapan aku berkata begitu?"
Bantah Antariwati. Mendengar bentakan itu Prajaka makin heran. Nampaknya terhadap adik seperguruannya ia sudi mengalah. Kali ini pun ia mengalah pula.
"Mungkin sekali aku salah dengar. Anjing Belanda tadi berkata bahwa Guru sudah pulang. Itulah sebabnya aku pulang kemari hendak membuktikan."
"Memang beberapa hari yang lalu, Paman membicarakan tentang selembar surat. Katanya untuk selembar surat itu ia bakal pulang kembali. Heran sungguh. Belum lagi Paman menginjak halaman rumah, anjing-anjing Belanda sudah mencium jejaknya. Benar-benar tajam moncongnya. Syukur dia tadi kena tikam pundaknya...!"
Kata Antariwati. Tiba-tiba ia berhenti berbicara. Teringatlah dia, bahwa yang menikam pundak Letnan Mangunsentika tadi, Kilatsih.
"Jika begitu, nampaknya aku tidak berjodoh untuk dapat menghadap pamanmu,"
Kata Kilatsih.
Ia agaknya menyesal.
Antariwati tetap bersikap tawar.
Sama sekali ia tidak menyahut.
Hati Kilatsih menjadi tak enak sendiri.
Ia tahu apa sebab gadis itu bersikap kaku terhadapnya.
Tadi ia memperlakukan gadis itu dengan sikap kurang manis.
Sebenarnya apabila ia mau merubah sikap dan mau memohon maaf, pastilah Antariwati akan berubah.
Akan tetapi Kilatsih sendiri seorang gadis yang angkuh hati.
Karena terpaksa ia membungkuk hormat seraya.
"Aku datang kemari semata-mata membawa pesan ayah angkatku Sorohpati untuk menyampaikan kata-kata Seratus Jurus. Baiklah, sekarang aku mohon diri."
"Terima kasih atas bantuanmu tadi, saudara!"
Sahut Prajaka seraya membalas hormat.
"Apakah saudara tidak menghendaki arti kata-kata Seratus Jurus itu? Itulah kata-kata sandi tentang rumpun seratus keluarga. Rupanya ayah angkatmu termasuk rumpun seratus keluarga. Dengan sendirinya termasuk rumpun kami pula."
Sengaja Prajaka menjelaskan arti kata-kata sandi seratus jurus.
Maksudnya hendak mengesankan kepada adik seperguruannya, bahwa Kilatsih, bukan orang luar.
Kata- katanya itu lebih ditujukan kepada adik seperguruannya daripada kepada Kilatsih.
Sebaliknya mendengar keterangan Prajaka, Kilatsih heran.
Rumpun seratus keluarga? Apa artinya rumpun seratus keluarga itu? Menurut tutur kata Ayundanya, pada masa mudanya Dipajaya dan Sirtupelaheli hidup sebagai suami istri, memusuhi rumah perguruan Gagak Seta.
Kemudian masing- masing mengambil jalannya sendiri.
Ayundanya Titisari mengesankan berulang kali bahwa Sirtupelaheli mengincar surat rahasia Bende Mataram yang dititipkan kepada ayah angkatnya.
Rupanya ayundanya Titisari tidak mengetahui bahwa ayah angkatnya justru termasuk rumpun keluarga seratus, yang berarti mempunyai hubungan erat sekali dengan Dipajaya.
Dengan pikiran penuh, Kilatsih kembali ke kota.
la membiarkan Megananda berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan pegunungan yang berliku-liku.
Kala itu matahari telah tenggelam dan cuaca menjadi gelap.
Bintang-bintang bersinar lembut di angkasa.
Seluruh alam menceritakan kelelahannya masing-masing.
Sebaliknya hati Kilatsih terombang-ambing oleh rasa pergumulan yang terjadi dalam dirinya.
Itulah pergumulan seru antara rasa kebajikan dan kasih sayang.
la kasih sayang terhadap ayah angkatnya, Sorohpati yang merawatnya dengan penuh perhatian semenjak kanak-kanak.
Sampai pada siang hari tadi ia masih menganggap ayah angkatnya seorang pendekar yang patut menjadi tokoh teladan.
Tetapi setelah dihadapkan pengalaman baru, kedudukan ayah angkatnya barulah menjadi tokoh yang berteka-teki.
Tetapi Kilatsih adalah seorang yang keras hati.
Selamanya hatinya tak pernah merasa puas terhadap segala persoalan yang masih gelap baginya.
Maka ia memutuskan hendak membuat penyelidikan.
Katanya di dalam hati, aku tak boleh percaya hanya pada omongan mereka saja.
Di sengaja atau tidak, mereka menyinggung-nyinggung kata-kata rumpun keluarga seratus dan surat sandi.
Apa maksudnya? Lagi pula belum tentu arti kata rumpun keluarga seratus berarti buruk.
Mengapa belum-belum aku sudah menaruh prasangka jelek? Baiklah.
Malam ini aku akan membuat penyelidikan siapa tahu aku mendapat kemajuan.
Kota Waringin sebenarnya belum boleh di sebut kota besar.
Katakan saja menilik luasnya, Kota Waringin adalah sebuah dusun besar.
Akan tetapi pada waktu itu Kota Waringin merupakan pusat urat nadi lalu lintas.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka penduduknya lumayan juga jumlahnya.
Di dekat sebuah pasar bebas terdapat sebuah penginapan.
Kilatsih lalu menginap di rumah penginapan tersebut.
Setelah mengurusi kudanya, segera ia memasuki kota untuk mencari rumah makan.
Selagi menyusuri jalan perkampungan tiba-tiba ia mendengar derap sepatu.
Hatinya jadi tertarik.
Derap sepatu itu datang dari arah jalan besar.
Segera ia berlindung di bawah atap yang agak gelap.
Di dekat sebatang pohon lebat, ia mendengar suara seseorang yang berkata-kata dengan perlahan, la merasa kenal suara itu.
Terdorong oleh rasa ingin tahunya, Kilatsih melompat ke atas atap rumah.
Dari atap rumah ia melompat ke atas pohon.
Dalam hal ilmu melenyapkan suara, ia mahir sekali.
Ia heran dan terkejut tatkala melihat siapa yang sedang berbicara itu.
Ternyata dia Kapten Wiranegara.
la sedang berbicara dengan seorang pemuda yang berperawakan ramping semampai.
"Kapten! Engkau tiba-tiba datang ke Kota Waringin. Mengapa dan untuk apa? Di wilayah Kota Waringin sama sekali tiada tanda-tanda suatu pemberontakan?"
Kata pemuda itu.
"Saudara Tarupala!"
Sahut Kapten Wiranegara dengan tertawa.
"Hidup sebagai serdadu harus bisa hidup seperti binatang. Empat, lima hari yang lalu aku berada di Kota Magelang dan hari ini berada di Kota Waringin. Apakah bedanya? Mengapa engkau heran?"
Mendengar Kapten Wiranegara menyebut nama Tarupala, hati Kilatsih terkejut. Jadi dialah orangnya yang di sebut-sebut Prajaka. Pastilah dia kakak seperguruannya.
"Kapten! Engkau adalah komandan laskar istana Kasultanan. Tempatmu yang benar di Yogyakarta. Semua tugas militer, bukankah tak perlu engkau sendiri yang menyelesaikan?"
"Aku datang kemari justru atas perintah Sultan sendiri, untuk bertemu denganmu,"
Sahut Kapten Wiranegara cepat.
"Tadi siang kita berada di antara orang banyak sehingga tiada leluasa untuk membicarakan hal ini."
Mendengar keterangan Kapten Wiranegara, Tarupala terbelalak.
"Titah Sri Sultan untuk menemui aku?"
"Sebenarnya inilah atas kehendak ayahmu, Aria Sumadilaga dan Sultan sendiri menyetujui. Bukankah dengan demikian sama saja artinya."
Kapten Wiranegara memberi penjelasan.
Tarupala tidak berkata lagi.
Dengan sepintas saja dapatlah ia menduga latar belakangnya.
Rupanya ayahnya, Aria Sumadilaga Bupati Menoreh, menghadap Sri Sultan untuk memohon bantuan, agar Kapten Wiranegara diperintahkan mencari dirinya atas nama raja.
Memperoleh dugaan demikian, lantas saja ia bertanya.
"Kabar apa yang kau bawa? Sehingga Sri Sultan sendiri memberi perintah untuk mencari diriku?"
"Ayahmu berpesan agar engkau jangan bercampur gaul dengan gerombolan-gerombolan liar yang menyatakan dirinya sebagai laskar pejuang keadilan,"
Sahut Kapten Wiranegara dengan suara tegas.
"Ayahmu berkata bahwa di antara orang- orang liar di dalam gerombolan liar yang menyatakan diri sebagai laskar pejuang itu sesungguhnya terdapat bermacam- macam golongan sampai kepada segala penjahat dan bangsat. Mereka berkumpul hanya untuk tujuan memuaskan diri sendiri."
"Kudengar pemerintahan Patih Danureja sangat menyakitkan hati rakyat. Beberapa pemimpin rakyat yang mereka cintai, disingkirkan dari tata pemerintahan. Bukankah demikian? Itulah sebabnya mereka lantas bersatu padu untuk menyatakan gugat,"
Ujar Tarupala.
"Aha. Gusti Patih Danureja adalah seorang hamba Kesultanan yang pandai memerintah. Pastilah beliau mempunyai alasan-alasan tertentu apa sebab menyingkirkan orang-orang tersebut dari pemerintahan. Biarlah kita lupakan saja persoalan yang menyangkut pemerintahan,"
Kata Kapten Wiranegara.
Engkau adalah putera seorang Bupati yang besar pengaruhnya.
Karena itu tidaklah pantas bergaul dengan segala penjahat dan bangsat yang hanya menerbitkan huru- hara saja.
Kalau pemerintah sampai mengambil tindakan engkau bisa kena rembet.
Itulah sebabnya aku diutus Sri Sultan untuk menyampaikan pesan ayahmu agar engkau mengerti persoalan ini dengan jelas."
Tarupala membungkam mulut.
Rupanya ia mempunyai pendapatnya sendiri tentang pergerakan rakyat yang terjadi dimana-mana.
Tetapi pendapat ayahnya yang disetujui oleh Sri Sultan, tak boleh diabaikan begitu saja.
Untuk sesaat lamanya ia berbimbang-bimbang.
Ia ibarat seseorang yang maju mundur menghadapi arus sungai yang menghadang didepannya.
Selagi dalam keadaan demikian, Kapten Wiranegara berkata lagi.
"Ayahmu menghendaki engkau pulang dengan segera. Sekarang ini pergerakan rakyat dimana-mana sudah dapat dipadamkan. Beberapa hari yang lalu kami berhasil menyapu bersih pentolan-pentolan penyamun yang berkumpul di Kota Magelang. Meskipun demikian, untuk menjaga kemungkinannya, kita harus selalu siap dan ber-waspada. Maka bantuan saudara Tarupala sangat dibutuhkan pemerintah."
Tarupala masih tetap berbimbang-bimbang.
Pandang matanya kabur seperti ada sesuatu yang mengkait benaknya.
Ia menatap wajah Kapten Wiranegara dengan pikiran kosong.
"Saudara Tarupala.
Engkau seorang pemuda yang penuh harapan di masa datang.
Karena itu engkau harus pandai dan membiasakan mengambil keputusan dengan cepat,"
Ujar Kapten Wiranegara. Ucapan Kapten Wiranegara membuat Tarupala tersadar.
"Nanti dulu, hal ini biarlah kupikirkan dahulu masak-masak. Apakah Kapten pernah bertemu dengan ayahku? Bagaimana kabar beliau?"
"Ayahmu diperbantukan di Kota Raja,"
Kata Kapten Wiranegara.
"Akan tetapi jabatan sebagai Bupati Menoreh masih berada ditangannya. Bahkan dengan kedudukannya yang baru ini, berarti beliau merangkap dua jabatan sekaligus."
Gundu mata Tarupala bergerak selintasan.
"Baiklah, aku akan segera pulang."
"Bagus!"
Seru Kapten Wiranegara kegirangan.
"Apakah kita berangkat sekarang juga?"
"Tunggu dua atau tiga hari lagi,"
Jawab Tarupala dengan suara pasti. Empat detik Kapten Wiranegara menimbang-nimbang.
"Dua atau tiga hari lagi, rasanya tiada halangan. O, ya. Masih ada sebuah pesan lagi untukmu."
"Pesan? Apa itu?"
Tarupala heran.
"Kecuali kedatanganku ini untuk menyampaikan kehendak ayahmu, sesungguhnya akupun ditugaskan untuk membantumu,"
Jawab Kapten Wiranegara.
"Menangkap seorang penjahat? Aku bukannya hamba Sultan. Mengapa justru aku yang diperintah menawan penjahat itu? Mungkin sekali Kapten salah dengar atau salah tafsir,"
Sahut Tarupala.
"Tidak! Aku tidak salah dengar atau salah tafsir. Sebab penjahat itu sesungguhnya adalah gurumu sendiri."
"Kau bilang apa? Guruku? Apa guruku seorang penjahat..."
Seru Tarupala dengan suara tinggi.
"Sst! Meskipun kota ini sunyi senyap, akan tetapi besar kemungkinannya dinding rumah bertelinga!"
Kapten Wiranegara memperingatkan. Kemudian dengan suara setengah berbisik ia melanjutkan.
"Gurumu bukankah Dipajaya? Pada zaman tiga empat puluh tahun yang lalu, gurumu itu pernah merusak calon permaisuri raja. Kemudian ia mempunyai cita-citanya sendiri hendak merebut tahta kerajaan. Tahukah engkau bagaimana cara gurumu hendak merebut tahta? Selama itu dengan mempertaruhkan seluruh hidupnya dia berusaha mencari rahasia pusaka tanah Jawa."
Mendengar keterangan Kapten Wiranegara, Tarupala berdiri tertegun-tegun dengan mulut ternganga.
Ia tak ubah orang kaget mendengar guntur yang tiba-tiba mengguruh didepannya.
Dalam detik itu beberapa kejadian berkelebatan di depan matanya.
Sepuluh tahun yang lalu, tatkala ia sedang bermain-main di halaman rumah, tiba-tiba datang mendekat seorang laki-laki yang berusia kurang lebih enam puluh tahun.
Dialah Dipajaya gurunya kini.
Tatkala itu ia lagi berumur empat belas tahun.
Ayahnya memangku jabatan patih di Purworejo.
Orang tua tersebut mengajak menjauhi rumahnya beberapa ratus meter.
Ia diberi sebungkus gula-gula.
Setelah memakan gula-gula pemberian itu, ia lantas saja patuh kepada si orang tua.
Sejak hari itu pula, ia menjadi muridnya.
Akan tetapi Dipajaya berpesan dengan sungguh-sungguh agar ia merahasiakan pertemuan tersebut.
Selagi berbicara tiba-tiba datanglah dua orang opas.
Kedua orang itu adalah pengawal pribadi ayahnya.
Mereka bekas penjahat ulung yang kena sekap alat negara.
Kemudian takluk kepada ayahnya.
Hebat tenaga mereka.
Tangannya keras bagaikan besi dan sanggup menghancurkan batu-batu besar.
Merekapun pandai mengunakan senjata panjang dan pendek.
Sekali-kali pernah ia mengajari beberapa jurus Tarupala.
Dengan demikian kedudukan mereka selain menjadi pengawal pribadi ayahnya, juga menjadi guru Tarupala setengah resmi.
Demikianlah tatkala mereka muncul.
Tarupala segera memperkenalkan kepada Dipajaya.
Mendengar bahwa mereka berdua pernah memberi satu-dua jurus kepada Tarupala, Dipajaya segera berkata dengan menghela napas.
"Sayang, sayang...! Bakat begini bagus kalian rusak tak keruan..."
Sadil dan Bandel demikianlah nama mereka berdua jadi bersakit hati mendengar teguran Dipajaya. Akan tetapi mereka bekas penjahat berpengalaman. Dapat mereka membawa diri. Dengan berpura-pura menyesal.
"Kami ini memang tidak selayaknya menjadi guru Denmas Tarupala. Apa yang kami berikan kepada Denmas Tarupala sesungguhnya hanya satu iseng belaka. - Mendadak saja, di luar dugaan siapapun juga, mereka berdua menyerang berbareng dari kiri dan kanan. Sadil bersenjata cem-puling. Sedang Bandel membawa sebuah penggada besi. Diserang mendadak itu Dipajaya tidak menjadi gugup. Dengan kedua tangannya, ia menangkis dan kedua senjata Sadil dan Bandel terlepas beran-takan. Dengan sekali berkelebat, mereka berdua roboh berbareng. Tarupala masih berumur empat belas tahun, akan tetapi sudah dapat membedakan perbuatan benar dan tidak. Menyaksikan sepak terjang Sadil dan Bandel yang menyerang Dipajaya dengan mendadak itu, ia marah.
"Hai! Kenapa kalian tidak mengerti sopan-santun?"
"Tak usahlah engkau mendampratnya..."
Cegah Dipajaya dengan suara sabar.
"Masing-masing telah mendapatkan bagiannya."
Sekarang nampaklah dengan nyata, bahwa Sadil menderita salah urat.
Lengannya lunglai tak bertenaga dan bengkak.
Kelima jari-jarinya jadi kaku tak dapat digerakkan sama sekali.
Tetapi sebenarnya dia tidak hanya menderita demikian saja.
Seluruh ilmu saktinya musnah pada saat itu juga.
Bandel pun menderita demikian juga.
Pundaknya agak turun seperti orang sakit bengek3).
Itulah suatu tanda, bahwa himpunan tenaga saktinya musnah pula dan tanpa membuka mulut lagi, mereka berdua pergi meninggalkan tempat itu.
Setelah mereka berdua pergi, dengan resmi Tarupala minta kepada Dipajaya untuk menjadi gurunya.
Dipajaya tidak menolak, hanya saja ia menambahi satu syarat lagi.
Selain harus merahasiakan pertemuan itu, Tarupala diwajibkan patuh kepada setiap patah katanya.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tarupala menyanggupi dan menyatakan tidak keberatan untuk mengikuti gurunya kemana dia pergi.
Tetapi Dipajaya berkata dengan tertawa.
"Bagaimana aku dapat membawamu pergi dari sini? Engkau anak seorang pembesar tinggi. Bukankah aku nanti di dakwa menculikmu?"
Tarupala lantas mohon penjelasan, bagaimana caranya bisa mewarisi ajarannya. Jawab Dipajaya pendek.
"Aku akan mengajarimu dasar-dasar pokoknya terlebih dahulu. Selama satu tahun, aku akan mendidikmu empat kali berturut-turut. Karena itu engkau harus bertekun dengan sungguh-sungguh! Setiap tiga bulan sekali, datanglah engkau ke tempat ini, bertemu dengan aku. Apabila aku pandang sudah cukup memahami dasar-dasar pokoknya barulah kita berdua, merencanakan pelajaran-pelajaran selanjutnya. Kalau perlu, engkau akan kubawa pergi ke padepokanku. Bagaimana?"
Tanpa berpikir lagi Tarupala segera menerima syarat-syarat dan rencana gurunya.
Dengan sungguh-sungguh ia belajar menekuni ajaran-ajaran dasar pokok ilmu sakti Dipajaya.
Setelah faham, ia mendapat tambahan pendidikan selama empat tahun.
Dan setiap tiga bulan sekali, Tarupala menunggu kedatangan gurunya ditempat pertemuan mereka yang pertama kali.
Ditempat pertemuan itu ia ditilik dan diuji.
Selama itu Tarupala tak pernah kecewa terhadap gurunya.
Benar-benar ia seorang pemuda yang berbakat.
Ia pun pandai membagi waktu pula.
Pada siang hari ia belajar tata berkelahi, dan pada malam hari ia menekuni ilmu-ilmu pengetahuan dibawah asuhan guru-guru undangan ayahnya.
Dengan demikian ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang memikili otak cemerlang dan kepandaian tinggi.
Setelah berumur sembilan belas tahun, ia mulai mengikuti gurunya, ia dibawa ke padepokan.
Tentu saja kepergiannya itu atas sepengetahuan ayah bundanya.
Di padepokan itu ia diperkenalkan kepada Antariwati, keponakan gurunya.
Dengan dia Tarupala selalu berlatih bersama.
Beberapa tahun kemudian tiba-tiba Dipajaya menerima murid baru.
Dialah Prajaka seorang pemuda yang nampaknya kasar.
Dengan ditemani kedua adik seperguruannya itu.
Tarupala memperoleh tambahan ragam ilmu sakti selama tujuh tahun.
Setiap setahun sekali Tarupala diperkenankan menengok orang tuanya yang kini sudah menjadi seorang bupati memerintah wilayah Kabupaten Menoreh.
Pada saat- saat itu sepak terjang gurunya nampak berubah.
Dia sering bepergian dan jarang pulang ke rumah.
Setiap kali Tarupala melihatnya bermenung-menung.
Lalu, pada suatu malam gurunya mengamat-amati sebatang pedang yang berada di tangannya.
Saban-saban ia pun mengawaskan selembar kertas yang berada di atas meja dengan ter-longong-longong.
Tatkala Tarupala melintas dengan hati-hati, ia segera memanggil.
"Tarupala! Bagaimana pendapatmu tentang pedang ini?"
Tarupala terkejut tatkala dirinya di panggil dengan mendadak, ia takut kena salah. Akan tetapi mendengar kata- kata gurunya itu, hatinya agak berlega.
"Apakah ini bukan pedang gurunya?"
Dipajaya tertawa melalui dadanya. Berkata sambil membolang-balingkan pedang ditangannya.
"Menurut kabar, inilah pedang berasal dari Banten. Dahulu milik Ratu Bagus Boang. Dengan pedang ini, Ratu Bagus Boang berjuang merebut negara. Entah apa alasannya, pedang ini berada di tangan seorang sahabatku. Kemudian jatuh ditanganku secara kebetulan saja."
Jelas sekali, banyak hal-hal yang disembunyikan gurunya, akan tetapi Tarupala sudah barang tentu tidak berani mendesak.
Ia hanya bersikap mendengarkan saja.
Dan tatkala ia melihat mengarah selembar kertas yang berada diatas meja Dipajaya, segera memasukkan kedalam sakunya dengan membungkam mulut.
Dan kini, Kapten Wiranegara menyinggung-nyinggung pekerti gurunya tentang pusaka tanah Jawa.
Apakah pedang itu yang dimaksudkan? Atau selembar kertas yang selalu direnunginya? Kapten Wiranegara menuduh guru merusak calon permaisuri Sultan, pikirnya di dalam hati.
Sultan yang mana? Dan siapakah calon permaisuri itu? Demikianlah, Tarupala jadi termangu-mangu, mendengar kata-kata Kapten Wiranegara.
Tarupala seorang pemuda yang cerdik dan pandai, akan tetapi pada saat itu ia mati kutu.
Bagaimana mungkin dia bisa bisa berlawan-lawanan dengan gurunya sendiri? Itulah suatu pekerti yang tak terampunkan lagi.
Akan tetapi yang memberi perintah adalah ayahnya sendiri.
Sultan pun merestui, bahkan menyetujui.
Perintah ini pun tidak boleh diabaikan.
Kilatsih yang berada di atas pohon tetap menajamkan pendengaran dan penglihatannya.
Seolah-olah lagi menghadapi suatu hal yang menentukan, ia tak berani lengah sedikitpun jua, ia melihat Tarupala terlongong-longong.
Itulah suatu tanda bahwa Tarupala berada dalam simpang persoalan yang ruwet sekali.
Dalam kesenyapan itu, tiba-tiba terdengar dehamnya Kapten Wiranegara yang menjadi tak sabar lagi.
"Saudara Tarupala! Engkau seorang pemuda yang berbakat bagus. Kecuali ilmu kepandaianmu tinggi, otakmu cerdas pula. Pastilah engkau bisa membedakan antara baik dan buruk. Pasti pula engkau bisa melihat gurumu seorang yang berpekerti jahat atau tidak. Mengapa engkau termangu- mangu? Apakah engkau tidak percaya kepada keteranganku ini? Kau boleh minta keterangan kepada ayahmu. Bahkan engkau diperkenankan menghadap baginda sendiri agar engkau yakin."
Tarupala menghela napas.
"Justru percaya kepada keteranganmu, aku menjadi termangu-mangu. Apa sebab engkau menyinggung-nyinggung tenteng nilai budi seseorang? Anak berumur empat tahunpun dapat membedakan pekerti baik dan buruk menurut naluriahnya. Sesungguhnya apa maksudmu?"
Kapten Wiranegara tertawa. Dia seorang licin.
"Syukurlah, kalau kau sadar akan hal itu. Akan tetapi dapatkah engkau menilai angkatan kedudukan antara raja, ayah dan guru?"
Diperlakukan sebagai seorang murid lagi menghadapi ujian melit, Tarupala tersinggung kehormatannya.
"Mengapa engkau tidak membandingkan sama sekali dengan langit dan bumi?"
Kapten Wiranegara tertawa lebar sampai tubuhnya tergoncang-goncang.
"Memang, kecuali langit dan bumi, Raja mempunyai kedudukan yang paling tinggi. Kemudian ayah bunda. Selain itu, barulah guru. Dengan demikian pertalian antara murid dan guru, sesungguhnya yang paling rendah "
"Jadi Kapten hendak mengajari aku melawan guruku?"
Bentak Tarupala.
Kapten Wiranegara tidak menjawab.
Lagi-lagi ia tertawa lebar.
Hati Tarupala menggigil mendengar bunyi tertawanya.
TARUPALA BERGSAHA MENENANGKAN HATINYA.
Kemudian menatap Kapten Wiranegara dengan heran.
Tetapi dia memang seorang pemuda cerdas.
Sebentar saja tahulah dia bahwa Kapten itu telah diajari ayahnya.
Mau ia membuka mulutnya, tetapi tiba-tiba Kapten Wiranegara sudah menyahut.
"Bagaimana aku berani mengajarimu menjadi manusia yang tak mengenal budi? Yang kumaksudkan agar anak keturunan Adipati Sumadilaga tidak menjadi pengkhianat terhadap raja."
"Jadi maksudmu apabila aku tidak melaksanakan perintah raja akan mengancam kedudukan ayahku?"
Tarupala menegas. Ia pun tak sudi menjadi pemuda yang dikemu-dian hari terkenal sebagai pengkhianat raja. Kapten Wiranegara menghela napas.
"Memang kemungkinan besar akan terjadi kemudian."
Mendengar jawaban Kapten Wiranegara Tarupala menjadi pucat lesi. la jadi semakin bingung. Sebaliknya Kapten Wiranegara adalah seorang perwira yang berpengalaman dan licin. Melihat pemuda itu pucat-lesi, terus saja ia memainkan peranannya.
"Sekarangpun sebenarnya ayahmu sedang menjalani tahanan halus!"
"Tahanan halus bagaimana?"
Tarupala terperanjat.
"Bukankah engkau tadi bilang bahwa Ayah mendapat tugas penting di ibu kota?"
"Benar! Tetapi masakan engkau tak mengenal permainan orang-orang penting?"
Sahut Kapten Wiranegara.
"Makin tinggi pangkat seseorang, makin lupa ia akan arti persahabatan. Yang diingatnya hanyalah bagaimana caranya hendak mempertahankan kedudukannya yang memberi surga bahagia baginya... Demikian pulalah raja pada saat ini. Sri Baginda merasa dirinya terancam oleh sepak terjang Pangeran Diponegoro. Itulah sebabnya Gusti Patih Danureja mengambil tindakan cepat. Pangeran Diponegoro segera dikirim pulang ke Tegal Rejo. Akan tetapi pengikut-pengikutnya mulai bergerak dan membuat huru-hara dimana-mana untuk menyatakan rasa tidak puasnya kepada pemerintah yang dianggap bertindak sewenang-wenang dan tidak adil. Gurumu adalah salah seorang yang menentang kebijaksanaan Sri Baginda. Ia tak dapat digolongkan dengan Pangeran Diponegoro. Akan tetapi seperti kataku tadi ia mempunyai cita-citanya sendiri, yaitu ingin ia memiliki pusaka tanah Jawa untuk merebut tahta Kerajaan Yogyakarta. Itulah sebabnya engkau salah seorang putera Bupati Menoreh yang termashyur semenjak belasan tahun yang lalu diharapkan Sri Baginda untuk menangkap gurumu itu. Aku sendiri mengharapkan agar engkau menjadi seorang pemuda yang dapat membedakan kedudukan seorang raja dan guru dalam persoalan hidup."
Kata-kata Kapten Wiranegara itu bukan main dahsyatnya bagi pendengaran Taru-pala. Hatinya memukul keras dan tubuhnya sampai bergemetaran. Tak tahu ia apa yang harus dilakukan. Akhirnya ia mencoba.
"Kalau aku mengkhianati guru, pastilah aku bakal dikutuk orang diseluruh kolong langit ini..."
"Benar, saudara Tarupala!"
Sahut Kapten Wiranegara.
"Akan tetapi bila ayahmu sampai menderita karena engkau, maka engkau adalah seorang putera yang berkhianat terhadap orang tua. Dosamu ini tidak akan terhapus dan tidak mungkin kau cuci bersih dengan air dimanapun juga...."
"Saudara Kapten! Aku sudah mengerti kehendakmu."
Potong Tarupala membentak.
"Hal ini biarlah aku pikirkan dahulu masak-masak...."
Kilatsih kagum mendengar keputusan Tarupala berbareng khawatir pula.
Pikirnya didalam hati, malam ini akan ada keputusan yang menentukan.
Tarupala seorang gagah sejati atau manusia hina-dina......
Kilatsih menghormati gurunya diatas orang tua sendiri.
Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Pengelana Tangan Sakti Karya Lovely Dear Pahala Anak Berbakti Karya Siao Shen Shien