Ceritasilat Novel Online

Mencari Bende Mataram 22


Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 22



Mencari Bende Mataram Karya dari Herman Pratikto

   

   Pantas penyakit orang-orang ini selamanya tidak pernah sembuh.

   Perlahan-lahan Manik Angkeran merayap.

   Kepalanya menyentuh dinding rumah.

   Orang itu jadi curiga.

   Cepat melesat keluar jendela dan bayangannya hilang ditelan malam.

   Manik Angkeran tidak memedulikan hal itu.

   Buru-buru ia bangkit dan memasuki rumah Fatimah.

   Ia memeriksa mangkok obat dan menciumnya.

   Obat itu seharusnya diminum Fatimah apabila bangun pada pagi hari.

   Tetapi sekarang ia mencium bau tajam yang menusuk hidung.

   Tentu saja membangunkan Fatimah.

   Katanya dengan suara perlahan.

   "Fatimah! Fatimah!"

   Meskipun belum mempunyai ilmu kepandaian tinggi, tetapi Fatimah adalah murid Suryaningrat.

   Dalam keadaan tidur, panca indranya masih bekerja sangat tajam.

   Mendengar suara sedikit saja, pasti akan terbangun.

   Sekarang meskipun Manik Angkeran sudah memanggilnya berulangkah masih saja gadis itu tertidur dengan lelap.

   Terpaksa Manik Angkeran menggoncang-goncang tubuhnya beberapa kali.

   Dan Fatimah terjaga benar-benar.

   Melihat Manik Angkeran ia terkejut dan heran.

   "Ada apa?"

   "Ssst! Mari keluar sebentar!"

   Bisik Manik Angkeran dengan suara tertahan.

   Selamanya belum pernah Manik Angkeran membangunkan Fatimah di tengah malam.

   Selain itu suaranyapun terdengar gugup.

   Tahulah Fatimah bahwa Manik Angkeran menemukan sesuatu yang penting.

   Segera itu ia mengikuti pemuda itu keluar rumah.

   "Fatimah!"

   Kata Manik Angkeran kemudian.

   "Jangan kau minum obat itu. Seorang telah memasukkan racun kedalamnya. Kau buang saja ke tanah. Besok pagi aku akan berbicara lagi lebih jelas padamu."

   Fatimah mengangguk dan lantaran khawatir kepergok, Manik Angkeran segera mengundurkan diri.

   Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, tak henti-hentinya ia memikirkan tentang bayangan yang dilihatnya itu.

   Melihat perawakannya terang sekali bayangan perempuan.

   Sayang mukanya tidak jelas karena mengungkurkan dirinya.

   Keesokan harinya ia membawa Fatimah menyendiri.

   "Engkau pernah menyinggung-nyinggung seorang perempuan yang mengenakan topeng. Sebenarnya siapa dia? Apa sebab dia menaruh racun di dalam mangkok obatmu? Ada permusuhan apa denganmu?"

   Fatimah menjadi bingung oleh pertanyaan itu.

   "Aku dan dia selamanya belum pernah kenal. Bahkan sampai hari ini belum jaga aku melihat mukanya. Bagaimana engkau bisa berkata aku bermusuhan dengan dia?"

   Fatimah diam sejenak.

   "Memang beberapa hari yang lalu, Ayah pernah kedatangan seorang perempuan yang cantik luar biasa. Namanya Sirtupelaheli. Dia minta kepada kedua orang tuaku, agar menyerahkan aku kepadanya untuk menjadi muridnya. Tentu saja kedua orang tuaku tidak mengizinkannya, karena aku sudah menjadi murid guru Suryaningrat. Kakakku sendiri, Wirapati, murid Kyai Kasan Kesambi. Teganya saudara seperguruan guruku. Eyang guru Kasan Kesambi, menganggap kita sebagai keluarganya sendiri dan perempuan itu tidak berkata sesuatu apapun juga. Ia pergi dengan diam diri. Apakah engkau mengira dialah sebenarnya yang meracuni? Aku kira bukan! Sebab dia seorang yang halus budi dan sopan santun. Andaikata, tenar apakah alasannya ia hendak mencelakai diriku?"

   Manik Angkeran menundukkan kepala. Katanya seperti kepada dirinya sendiri.

   "Aku telah mencium obat yang berada dalam mangkokmu. Jelas sekali obat itu mengandung racun tajam. Sebenarnya, racun itu mempunyai kasiat untuk menyembuhkan luka dalam. Tetapi apabila kadarnya terlalu berat, sangat berbahaya bagi yang meminumnya. Walaupun tidak sampai membahayakan, akan tetapi akan membuat penyakitmu semakin susah kusembuhkan."

   "Tetapi engkau berkata yang lain-lainpun mengalami kambuh juga,"

   Bantah Fatimah.

   "Seumpama orang itu bermusuhan dengan aku apa sebab membuat susah yang lain- lainnya pula?"

   Alasan Fatimah masuk akal, Manik Angkeran menjadi bingung juga. Sambil termenung-menung, ia berkata.

   "Sebenarnya hal itu tiada sangkut-pautnya dengan diriku. Tegasnya aku tidak boleh percaya kepadamu, tentang perempuan itu. Hanya saja munculnya bayangan yang aku lihat semalam sangat mencurigakan. Perawakan tubuhnya jelas sekali seorang perempuan. Sayang aku tidak melihat mukanya."

   Setelah pembicaraan itu, Manik Angkeran mondar-mandir didalam kamarnya, sampai sore hari tiba.

   Mendadak berbareng dengan datangnya petang hari, sebilah belati menancap pada tiang rumah.

   Buru-buru ia melompat keluar pintu.

   Sama sekali ia tak melihat sesuatu.

   Maka dengan rasa penuh kecurigaan ia balik memeriksa belati yang menancap pada tiang rumah itu.

   Ternyata pada pangkalnya bergantung seuntai benang dengan sepucuk surat.

   Takut apabila surat itu mengandung racun, ia mengambilnya dengan menyelubungi tangannya.

   Setelah itu ia membukanya dan membacanya.

   Pendek saja bunyinya.

   Besok pagi semua orang termasuk orang tua Fatimah kuambil jiwanya.

   Apabila engkau menghendaki jiwa Fatimah, jangan engkau mencoba mendekati! Surat itu tiada tanda tangannya.

   Tetapi jelas sekali tulisan seorang perempuan.

   Manik Angkeran menjadi terlongong- longong.

   Untuk membuktikan bunyi surat itu, bergegas ia memasuki kampung dan mengadakan pemeriksaan terhadap orang-orang dusun yang menderita sakit aneh itu.

   Mereka dalam keadaan baik-baik saja.

   Untuk menjaga mereka ia memutuskan hendak berjaga semalam suntuk.

   Pada malam hari itu ia membawa beberapa teman beronda.

   Tetapi tepat pada tengah malam hari, seorang memukul kepalanya.

   Ia jatuh pingsan tak sadarkan diri.

   Tak lama siuman kembali, fajar hari telah tiba.

   Kepalanya terasa pening dan telinganya pengang.

   Dengan memegang kepalanya, ia berjalan tertatih-tatih memeriksa mereka yang menderita sakit.

   Ya Allah! Ternyata mereka sudah tak bernyawa lagi.

   Dengan badan bergemetaran ia berlari-larian menuju rumah Fatimah.

   Apa yang dilihatnya benar-benar mendebarkan hatinya.

   Ia melihat Fatimah tergolek disamping tempat tidur orang tuanya.

   Bergegas ia menghampiri.

   Ternyata kedua orang tua Fatimah telah tewas.

   Betapa hancur dan gugup hatinya tak ter-perikan pada saat itu.

   Dengan tangan bergemetaran ia memeriksa urat-urat nadi Fatimah.

   Syukur, Fatimah tiada kurang suatu apa.

   Maka benarlah bunyi surat itu.

   Fatimah tidak disentuhnya.

   Pikirnya di dalam hati, dia bilang apabila aku menghendaki jiwa Fatimah, aku harus menjauhinya.

   Rupanya dia membuktikan kata-katanya.

   Kalau begitu, demi jiwa Fatimah, biarlah aku untuk sementara menjauhinya.

   Memperoleh pertimbangan demikian, ia kembali ke rumah dengan hati hancur.

   Pada keesokan harinya, di seluruh dusun kedengaran bertaluhnya kentong tanda kematian sebagian penduduknya dengan cara mendadak.

   Tentu saja hal itu membuat gempar desa-desa di kiri kanannya.

   Orang datang berbondong-bondong menyaksikan.

   Manik Angkeran tak terkecuali.

   Setelah upacara penguburan selesai, Manik Angkeran mencoba menghibur hati Fatimah yang nampak membisu.

   Diluar dugaan, begitu melihat dirinya, tiba-tiba gadis itu berubah akalnya.

   Ia mengutukinya dan memakinya sebagai iblis dan setan.

   Kemudian mengusirnya pergi.

   "Engkaulah yang membuat mati kedua orang tuaku! Engkau membunuh! Engkaulah berlaga pandai seperti seorang juru selamat. Kau jahanam...!"

   Hati Manik Angkeran terpukul.

   Ia sedih, pilu, terharu, malu, bingung dan penuh sesal.

   Apakah perubahan akal Fatimah itu akibat pekerti orang yang memberi surat lewat belati terbang semalam? Bukan main masgul hatinya.

   Maka ia berjanji, hendak merantau mencari pengetahuan tentang ilmu ketabiban yang lebih tinggi lagi.

   Ia pun berjanji kepada dirinya sendiri hendak mencari si biang keladi, sampai bisa mentaklukkannya.

   Pada keesokan harinya, ia meninggalkan desanya pergi merantau sampai ke Jawa Barat.

   Dan bertemu dengan tabib sakti bernama Maulana Ibrahim.

   Demikianlah, teringat akan pengalamannya itu, Manik Angkeran mengamat-amati Fatimah.

   Menghadapi tunangannya kali ini, hatinya tidaklah sekecil dahulu lagi.

   Sebab kini ia telah menggenggam obat pemunah-nya seperti yang diberikan kepada Dipajaya dan Sirtupelaheli.

   "Limabelas tahun yang lalu engkau menyinggung- nyinggung nama Sirtupelaheli.

   Ternyata dialah biang keladinya.

   Syukur, semuanya telah beres.

   Tinggal engkau seorang! Tapi engkau tak usah takut, Fatimah! Tuhan mengabulkan kata hatiku, untuk bisa memunahkan racun yang mengeram di dalam dirimu.

   Sayang, kedua orang tuamu sudah keburu meninggal."

   Dengan kata hati itu ia berkata menguji kepada Fatimah.

   "Fatimah! Engkau menyebut nama Kilatsih! Tahukah engkau, siapa Kilatsih."

   "Kenapa tidak? Bukankah Kilatsih murid si tolol Sangaji?"

   Sahut Fatimah galak. Manik Angkeran tidak mengetahui, apa sebab Fatimah selalu memanggil Sangaji dengan sebutan si tolol! Ia mengira Fatimah masih berubah akalnya seperti limabelas tahun yang lalu.

   "Dia murid Adipati Surengpati."

   "Hmm!"

   Dengus Fatimah."

   Jangan engkau mencoba mengelabuiku!"

   "Siapa yang mengelabui dirimu? Engkau bisa minta keterangannya sendiri."

   "Siapa saja di dunia ini bisa mengaku sebagai murid Adipati Surengpati,"

   Bentak Fatimah.

   "Baiklah, biar kuujinya. Kalau dia bisa menangkis tiga kali tikaman pedangku, ha, barulah benar- benar murid Adipati Surengpati."

   Setelah berkata demikian, tiba-tiba ia lari kencang.

   Manik Angkeran jadi pilu dan bersedih hati.

   Kekasihnya itu benar- benar belum tertolong.

   Segera ia mengejarnya dari belakang.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dalam hal ilmu berlari, tentu saja ia jauh berada diatas Fatimah.

   Akan tetapi ia sengaja membiarkan dirinya berada di belakang untuk mengamat-amati.

   Tetapi, benarkah Fatimah belum memperoleh pribadinya semula? Setelah Sirtupelaheli memperoleh pedangnya kembali, pendekar wanita itu ingin membuat jasa terhadap Manik Angkeran demi pernyataan rasa terimakasihnya.

   Sebagai seorang pendekar wanita yang berpengalaman, tak sudi ia membuat pengakuan tentang beradanya Fatimah di depan orang banyak.

   Apalagi, dihadapan barisan serdadu- serdadu.

   Tetapi begitu berada diluar halaman rumah pesanggrahan Dipajaya, segera ia mengajak Gagak Seta dan Dipajaya menjenguk Fatimah.

   Ia menyatakan kebebasan Fatimah.

   Tidak lagi gadis itu wajib tunduk dan taat kepadanya lagi.

   Karena diperkuat oleh Gagak Seta, Fatimah mau percaya.

   Bahkan dia tak membantah, tatkala Sirtupelaheli, mengurut-urut urat nadinya dan mengembalikan kesehatannya.

   "Sekarang, pergilah engkau mencari Manik Angkeran!"

   Kata Sirtupelaheli dengan suara ramah.

   Fatimah tercengang.

   Inilah untuk pertama kalinya ia mendengar keramahan gurunya yang memaksanya berguru kepadanya.

   Selain tercengang, ia curiga pula.

   Bukankah gurunya dahulu pernah hendak membunuhnya? Untunglah, disamping gurunya, berdiri Gagak Seta.

   Orang tua itu, dengan singkat, menjelaskan latar belakang terjadinya kedamaian itu.

   Mendengar keterangan Gagak Seta, air mata Fatimah mengucur oleh rasa syukurnya.

   Dengan serta merta ia memeluk kedua lutut gurunya.

   "Sudahlah! Sudahlah!"

   Kata Sirtupelaheli.

   "Disana engkau akan bertemu dengan Sangaji dan Kilatsih pula. Nah, pergilah dengan damai! Selanjutnya, kepada merekalah engkau mencari perlindungan!"

   Setelah gurunya berlalu, segera Fatimah mencari Sangaji.

   Manik Angkeran dan Kilatsih dipesanggrahan Dipajaya.

   Tetapi ia tak menemukan mereka bertiga.

   Merekapun tidak meninggalkan tanda-tanda arah ke-mana perginya.

   Ia tadi nyaris berputus asa.

   Maklumlah, lima belas tahun lamanya, ia berada dalam keadaan setengah di bawah sadar.

   Sekarang setelah semuanya menjadi jelas, rasa rindunya terhadap kedamaian, serasa tak tertahankan lagi.

   Dengan harapan penuh ia akan bisa bertemu dengan Manik Angkeran dengan segera, akan tetapi ia dikecewakan oleh keadaan.

   Syukurlah.Tuhan Maha Pengasih.

   Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya yang sedianya hendak berangkat ke Jawa Barat, tiba-tiba balik kembali ke pesanggrahan dengan maksud menemui Sangaji untuk membuat laporan.

   Sebagaimana diketahui, kedua raja muda itu bermata tajam dan usilan.

   Mereka melihat gerakan gerombolan Tungul Wulung yang mencurigakan.

   Mereka berdua pernah melihat Fatimah tatkala gadis itu dirawat di Pulau Karimun Jawa.

   Maka pertemuan itu membuat perjalanan Fatimah menjadi lancar.

   Ia disuruh menunggu dipesanggrahan dengan ditemani Senot Muradi.

   Sedang Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya segera mencari Sangaji.

   Sewaktu mereka bertemu dengan Sangaji di penginapan, Manik Angkeran dalam keadaan tidur pulas.

   Setelah mereka mengadakan laporan, Sangaji segera memberi perintah kepada Kilatsih agar mendahului mengadakan penyelidikan terhadap gerombolan Tunggul Wulung bersama Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya.

   Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya membawa Kilatsih menemui Fatimah terlebih dahulu.

   Mendengar kabar bahwa Sangaji memberi perintah kepada Manik Angkeran dan Kilatsih untuk menyelidiki gerombolan Tunggul Wulung, Fatimah tak bersabar lagi.

   Ia lantas menawarkan diri dan minta agar Kilatsih menunggu di pesanggrahan dengan Senot Muradi.

   Kilatsih tahu diri.

   Ia mengerti keadaan hati Fatimah.

   Maka ia menyetujui, malahan mulai menggodanya pula.

   Fatimah tidak sakit hati.

   Ia malahan seperti tergelitik hatinya.

   Maka dengan penuh napsu ia berangkat mengadakan penyelidikan dengan Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya.

   Demikianlah, ia bertemu dengan Manik Angkeran, setelah mengadakan pengacauan rapat gerombolan Tunggul Wulung beserta Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya.

   Dasar sudah pernah diperanankan sebagai gadis liar selama limabelas tahun, maka meskipun sudah memperoleh kesadarannya kembali.

   Fatimah belum pulih pribadinya seperti sedia kala.

   Ia mudah tersinggung, sebab jawabnya dalam tekanan terus-menerus selama lima belas tahun.

   Mendengar keterangan Manik Angkeran bahwa Kilatsih murid Adipati Surengpati, hatinya tak senang.

   Hal ini disebabkan oleh lagu suara Manik Angkeran yang terdengar mengagumi.

   Katanya di dalam hati, masakan aku tetap kau pandang sebagai manusia lemah, seperti dahulu? Dan terdorong oleh rasa hati yang bergolak itu, ia lari semakin cepat.

   Demikianlah, tatkala tiba dipesanggrahan Dipajaya, Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya sudah berada pula ditempat itu.

   Mereka semua menyambut kedatangan Manik Angkeran dan Fatimah dengan gembira.

   Diluar dugaan, Fatimah datang- datang terus membentak kepada Kilatsih.

   "Kau benar-benar sudah mewarisi ilmu Adipati Surengpati? Coba, hunus pedangmu!"

   Keruan saja Kilatsih terheran-heran.

   Akan tetapi ia seorang gadis yang cerdas.

   Teringat kepada hubungan antara Sirtupelaheli, Gagak Seta, dan Dipajaya yang menyinggung- nyinggung pula tentang Fatimah, ia yakin tentu ada sesuatu yang tidak beres.

   Cepat ia berpaling kepada Manik Angkeran memberi isyarat mata dan gerakan-gerakan sandi.

   Maka ia menyahut dengan tenaga.

   "Bibi! Bahwasanya aku murid Adipati Surengpati, bukankah Bibi sudah mengetahuinya?"

   "Bagus!"

   Seru Fatimah bertambah galak.

   "Mengapa tak kau hunus pedangmu? Aku ingin membuktikan."

   Kembali Kilatsih kebingungan. Ia mengerling kepada Manik Angkeran dan melihat pemuda itu mengangguk kecil. Maka dengan tertawa ia menyahut.

   "Apakah kita akan mencoba-coba ilmu kepandaian kita?"

   "Apakah mulutku tidak berharga kau dengar?"

   Bentak Fatimah.

   "Kalau begitu maafkan!"

   Kata Kilatsih sambil menghunus pedangnya.

   "Hai! Hai! Apakah artinya ini?"

   Seru Senot Muradi.

   "Artinya kita akan bertempur,"

   Sahut Kilatsih dengan tertawa lebar.

   Senot Muradi beranjak.

   Ia hampir saja tidak mempercayai pendengarannya sendiri, tatkala hendak membuka mulutnya lagi ia melihat pedang mata kuda gurunya.

   Terus saja ia membungkam.

   Fatimahpun bersikap.

   Maka keduanya lantas berdiri berhadap-hadapan.

   Pada waktu itu rembang petang tiba.

   Senot Muradi segera memasang obor dikiri-kanan halaman sehingga menjadi terang.

   Untung angin tiada sehingga obor menyala dengan tenangnya.

   Dengan demikian kecerahan halaman tidak terganggu.

   "Bibi baru datang dari jauh. Meskipun aku datang dari Karimun Jawa akan tetapi pada saat ini aku berhak menjadi penerima tetamu,"

   Kata Kilatsih.

   "Karena tuan rumah tidak boleh lancang terhadap tetamu silakan Bibi yang memulai terlebih dahulu."

   Fatimah tidak mau memakai peraturan lagi.

   "Baiklah akan kuperlihatkan ilmu pedangku yang buruk."

   La lantas menyerang.

   Meskipun berandalan sebenarnya pribadi Fatimah lembut dan pendiam.

   Karena itu ia menikam dengan hati-hati.

   Sebaliknya Kilatsih tidak begitu bersungguh- sungguh.

   Ia menangkis asal jadi saja.

   Fatimah tersinggung oleh perlakuan Kilatsih.

   "Kau anggap apa aku ini? Pedang tidak mempunyai mata! Kalau sampai ujung pedangku menikam dadamu jangan salahkan siapa saja."

   Fatimah memang berkelahi dengan sungguh-sungguh kini.

   Ia mengelakkan dengan tangkisan.

   Berbareng dengan itu ia melesat ke samping.

   Pada detik lain ia sudah berada di belakang Kilatsih.

   Gesit luar biasa gerakannya.

   Tanpa beragu- ragu lagi ia menikam punggung.

   Menghadapi tikaman Fatimah yang sungguh-sungguh, barulah Kilatsih terkejut.

   Pikirnya didalam hatiAh rupanya dia mengajak bertanding benar-benar!la memutar tubuhnya dan pedangnya ditangkis-kan.

   la menggunakan jurus ilmu sakti Witaradya.

   Dengan jurus itu ia dapat menggagalkan serangan Fatimah.

   Kini Kilatsih bersungguh-sungguh.

   Segera ia membalas menyerang, dengan jurus-jurus yang sebat luar biasayang menjadi sasaran adalah jalan darah tertentu pada titik-titik urat nadi Fatimah.

   "Bagus!"

   Seru Fatimah dengan pujiannya, la mengelak sambil memutar tubuhnya.

   Setelah itu dengan memutar tubuhnya pula pedangnya menikam, la mengadakan serangan balasan.

   Kilatsih melihat lowongan.

   Cepat ia mengangkat pedangnya menabas.

   Tiba-tiba teringatlah dia bahwa pedangnya adalah pedang mustika.

   Sungguh buruk apabila dia menabas pedang Fatimah sampai putus.

   Tengah ia berpikir, angin pedang Fatimah telah menyambar.

   Segera ia mengelak.

   Lantas ia merasakan pedang Fatimah lewat diatas rambutnya disamping kuping.

   Bagaikan kilat ia menjejakkan kakinya dan melesat mundur sampai empat langkah.

   Fatimah benar-benar gesit.

   Dalam sekejapan saja ia melompat menyusul.

   "Kilatsih! Jangan engkau bersegan-segan!"

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Selagi mulutnya berkata demikian, ia membarengi menyerang.

   Benar-benar ia tidak segan-segan.

   Dengan beruntun ia mendesak tiga kali sekali.

   Mau tak mau Kilatsih menjadi terbangun semangatnya untuk melayani Fatimah.

   Kalau tidak, ia bakal terdesak.

   Selang dua puluh jurus barulah ia dapat meloloskan diri dari rangsakan Fatimah.

   la merasa ilmu pedang Fatimah luar biasa sifatnya.

   Sebentar saja tigapuluh jurus lewatlah sudah.

   Sampai pada waktu itu kekuatan mereka berdua berimbang.

   Keduanya dapat bergerak dengan lincah dan gesit.

   Kilatsih melayani gerakan pedang Fatimah dengan berhati- hati dan benar-benar ia merasa heran.

   Menurut kabar Fatimah dahulu murid Suryaningrat.

   Tetapi dalam adu kepandaian ini sampai seratus jurus masih belum dapat ia menerka ilmu pedang apa yang digunakan Fatimah.

   Apakah hal itu berkat ajaran Sirtupelaheli yang ada di zaman tiga puluh tahunan yang lalu merupakan seorang pendekar wanita tiada tandingnya? Ia merasa bersyukur.

   Coba apabila selama dua tahun ini ia tidak memperoleh kemajuan pesat mungkin sukar sekali ia melayani kegagahan Fatimah.

   Pertandingan berlangsung terus.

   Karena perhatiannya yang sungguh-sungguh mulailah Kilatsih dapat meraba-raba ragam ilmu pedang Fatimah.

   Ia melihat tiga dasar keragaman.

   ilmu pedang Mayangga Seta ajaran Kyai Kasan Kesambi, Retno Dumilah ilmu sakti Gagak Seta, serta corak gerakan ilmu pedang Sirtupelaheli yang pernah dilihatnya tatkala melawan anak-anak murid Dipajaya.

   Senot Muradi mengikuti pertarungan itu dengan hati cemas.

   Tentu saja ia mengharapkan Kilatsih yang menang dalam perkelahian itu.

   Akan tetapi pertarungan itu nampaknya bertele-tele sehingga tak tahu ia kapan berakhirnya.

   Selagi ia termangu-mangu menunggu akhir pertempuran itu, mendadak terdengarlah suara.

   "Trang!"

   La kaget dan secara wajar ia berpaling serta menajamkan matanya.

   Itulah suara dua pedang Kilatsih dan Fatimah yang saling berbenturan akibat perubahan serangan Fatimah.

   Mendadak gadis ini merangsak sehingga Kilatsih harus mempertahankan diri dengan sungguh-sungguh.

   Suara itu berbunyi setelah menangkis serangan Fatimah yang dahsyat.

   Akibatnya pedang Fatimah terkutung.

   Tetapi dengan cekatan Fatimah masih dapat memukul.

   Pedang Kilatsih kini terpental ke atas terlepas dari pegangan.

   Mulanya, Senot Muradi, Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya hendak berseru girang atas kemenangan Kilatsih.

   Hanya belum sempat mereka berseru, tiba-tiba pedang Kilatsih terbang pula ke udara.

   Mulut mereka yang hendak bergerak, batal seketika.

   Sampai disitulah pertandingan selesai.

   "Kilatsih! Benar-benar engkau hebat. Benar-benar engkau murid Adipati Surengpati. Tetapi aku mendengar kabar, engkau memperoleh warisan pula dari Titisari, dalam hal menggunakan senjata bidik. Aku-pun ingin sekali berkenalan dengan kepandaianmu itu."

   Kilatsih senang dengan tantangan itu. Dalam pertandingannya yang seru tadi, ia merasa tidak puas. Sebab, ia menang karena menggunakan pedang mustika, sedang Fatimah hanya berpedang biasa.

   "Bibi!"

   Sahutnya.

   "Memang benar aku menerima warisan Ayunda Titisari. Akan tetapi belum mahir benar. Mudah- mudahan aku bisa meladeni Bibi."

   "Engkau jangan terlalu merendahkan diri! Nah, marilah kita meniru pertandingan para ksatria pada zaman kuno."

   "Apa itu?"

   Kilatsih heran.

   "Kita atur begini."

   Fatimah menjelaskan.

   "Bidik aku dengan senjata bidikmu tiga kali berturut-turut. Andai kata aku berhasil meloloskan diri, barulah aku membalas dirimu dengan serangan tiga kali beruntun pula. Jika kedua-duanya kita gagal, nah, barulah kita saling menyerang. Kita saling menyerang dengan cara sebebas-bebasnya. Serangan, itu baru berhenti apabila sudah ada keputusan siapa yang lebih kuat dan yang lemah."

   Mendengar keterangan itu, Kilatsih tertawa.

   "Kalau aku yang menyerang lebih dahulu, bukankah aku yang berada diatas angin?"

   "Tak apalah. Bukankah seorang bibi harus berani mengalah kepada keponakannya?"

   Sahut Fatimah dengan sungguh- sungguh.

   "Kilatsih! Jangan engkau rewel. Mulailah!"

   Kilatsih berpaling kepada Manik Angkeran. Begitu melihat pemuda itu menganggukkan kepalanya, segera ia mengeluarkan tiga biji sawonya yang termashyur..Setelah memberi hormat kepada Fatimah, ia berkata.

   "Baiklah, Bibi. Maafkan saja keponakanmu yang kurang ajar ini."

   Dengan menggerakkan kedua jari tangannya, Kilatsih melepaskan biji sawonya.

   Dengan suara meraung, biji sawo menyambar.

   Melihat berkelebatnya biji sawo Fatimah memutar badannya dan biji sawo itu lewat disamping telinganya.

   Berbareng dengan gerakannya itu, ia melolos ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit tipis.

   Pada saat itu Kilatsih melepaskan biji sawonya yang kedua.

   Fatimah tidak bergerak mengelak seperti tadi.

   Kali ini hanya melepaskan ikat pinggangnya.

   Biji sawo itu dapat digulungnya seperti garam tercebur di dalam laut.

   Hilang begitu saja tanpa bekas.

   Terperanjat hati Kilatsih menyaksikan hal itu.

   Segera ia sadar akan keteledorannya.

   Kali ini ia membidik dengan menambah tenaganya.

   Gerakannya sebat pula dan bidikannya terlepas dengan tiba-tiba.

   Yang diarah adalah urat nadi pergelangan tangan.

   "Bagus!"

   Seru Fatimah dengan gembira.

   "Kau benar-benar murid Adipati Surengpati yang termasyhur."

   Mulutnya berseru demikian akan tetapi tubuhnya berputar dengan lincah sekali.

   Ikat pinggangnya berkelebat bagaikan tabasan pedang.

   Kemudian terdengarlah suara bentrokan nyaring.

   Itulah perbuatannya.

   Dengan meminjam biji sawo yang ditangkapinya tadi, ia menangkis biji sawo Kilatsih yang ketiga.

   Tepat tangkisannya, sehingga kedua biji sawo itu berbenturan.

   Dan kedua-duanya mental runtuh diatas tanah.

   Biji sawo Kilatsih mengalami perubahan bentuknya setelah berada ditangan Adipati Surengpati.

   Meskipun tidak mengandung racun, akan tetapi Adipati Surengpati menajamkan ujungnya sehingga mirip mata pisau.

   Sasaran yang kena bidik biji sawo Kilatsih pasti tertembus.

   Maka sangatlah mengherankan, Fatimah ternyata dapat menangkapnya dengan pelanginya.

   Lebih mengherankan lagi, ia bisa menggunakan biji sawo yang ditangkapnya tadi, untuk menangkis biji sawo Kilatsih yang ketiga kalinya.

   Semua yang menyaksikan kagum bukan main.

   Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya yang sudah kenyang makan garam, menyatakan rasa kagumnya dengan terang-terangan.

   Tak usah dikatakan lagi, Kilatsih demikian pula.

   Sekarang giliran Fatimah.

   Setelah mengenakan ikat pinggangnya kembali.

   "Terimakasih Kilatsih! Engkau mengalah untukku."

   Tiba-tiba saja tangannya bergerak.

   Dan senjata bidiknya menyambar tanpa suara.

   Untung Kilatsih bermata tajam, la menunggu sampai senjata bidik Fatimah menghampiri dirinya.

   Kemudian dengan tiba-tiba pula ia mengelak dengan gerakan yang lincah sekali.

   Kelincahan dan kegesitannya tak usah kalah apabila dibandingkan dengan kesebatan Fatimah.

   Menyaksikan hal itu, Senot Muradi bersorak memuji setinggi langit.

   Belum lagi suara sorak-sorai Senot Muradi sirap, Fatimah sudah menyerang untuk kedua kalinya.

   Kali ini senjatanya mengaung nyaring.

   Sebelum tiba pada sasarannya, berputar terlebih dahulu di udara.

   Kemudian berbalik dengan mendadak dan menyambar Kilatsih.

   Dengan mata yang tajam, Kilatsih sekarang dapat melihat senjata bidik Fatimah dengan jelas.

   Itulah senjata bidik mirip sebatang jarum, akan tetapi mempunyai bentuk seperti anak panah kecil.

   Tak terasa ia memuji.

   "Bagus!"

   Cepat ia bergerak. Ternyata senjata bidik Fatimah berputar mengitari dirinya tiga kali berturut-turut. Lalu mengubar seperti mempunyai mata. Tetapi Kilatsih dapat mengelakkan dan senjata bidik Fatimah runtuh di atas tanah.

   "Benar-benar hebat!"

   Lagi-lagi ia menyerang selagi mulutnya memuji.

   Kilatsih melesat menghindari sambil berjaga-jaga.

   Sekarang ia mengenal sifat gerakan senjata bidik Fatimah yang bisa berputar dan berbalik menyerang secara tiba-tiba.

   Maka ia mempersiapkan senjata biji sawonya.

   Kemudian dilepaskan untuk menangkis.

   Tepat pukulannya.

   Kedua senjata bidik masing-masing berbenturan dan terpental.

   Kebetulan se-kali mentalnya biji sawo Kilatsih menang-kis menyambarnya senjata bidik Fatimah yang ketiga.

   Lalu runtuh berbareng diatas tanah.

   Kali ini Kilatsih menggunakan ilmu sentilan ajaran gurunya.

   Sebenarnya, ia baru memahami tiga bagian, namun kepandaiannya ternyata sudah dapat dipergunakan untuk melayani senjata bidik Fatimah.

   "Babak pertama sudah selesai dengan seru pula,"

   Kata Fatimah.

   "Sekarang, marilah kita mulai menyerang dengan merdeka!"

   "Baik!"

   Sahut Kilatsih.

   "Sekarang, silakan Bibi lebih dahulu."

   Fatimah tidak bersegan-segan lagi.

   Dengan satu gerakan tangan ia melepaskan sepuluh sampai lima belas senjata bidiknya.

   Cara membidiknya saling menyusul, dan sasarannya melintang memenuhi udara.

   Mula-mula Kilatsih hanya mengelakkan diri terhadap senjata bidik yang datang untuk pertama kalinya.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Setelah itu ia terpaksa melawan dengan biji sawonya pula.

   Semua kepandaiannya menurut ajaran Gagak Seta, Titisari dan Adipati Surengpati dipergunakannya.

   Dengan menabur biji-biji sawonya di udara, terdengarlah suara "Tang! Tung!"

   Tiada henti-hentinya, la pun menggunakan jumlah biji sawo yang sebanding dengan jumlah senjata bidik Fatimah.

   Hebat cara menyerang dan bertahannya.

   Senjata-senjata bidik yang saling berbenturan melesat kalang kabutan.

   Fatimah kaget bukan kepalang, tatkala melihat menyambarnya empat biji sawo mengarah dirinya.

   Cepat ia menarik ikat pinggangnya dan dibuatnya menangkis.

   Diluar perhitungannya, ternyata empat biji sawo itu, mempunyai tenaga memagas luar biasa tajamnya.

   Tahu-tahu ikat pinggangnya terkutung sebagian.

   Selagi Senot Muradi kabur menyaksikan pertarungan senjata bidik itu, tiba-tiba ia mendengar Fatimah tertawa lebar sambil melompat keluar gelanggang.

   "Benar-benar engkau murid Adipati Surengpati.

   Malahan engkau telah mewarisi senjata biji sawo Paman Gagak Seta dan jurus-jurus Titisari.

   Kilatsih! Benar-benar engkau seorang pendekar wanita jempolan pada zaman ini.

   Baiklah, aku takluk kepadamu...."

   "Bibi terlalu memuji diriku!"

   Kilatsih menyahut dengan merendah.

   Namun hatinya girang sekali mendengar pernyataan Fatimah yang polos.

   Dadang Wiranata, Otong Surawijaya dan Senot Muradi ikut bergirang hati menyaksikan kemenangan Kilatsih.

   Begitu girang mereka sehingga hampir-hampir melompat berjingkrakkan.

   Tiba-tiba selagi dalam kegirangan itu mereka menyaksikan suatu peristiwa mendadak yang berada di luar dugaan.

   Sekonyong-konyong Fatimah melesat dan membenturkan kepalanya kearah sebatang dahan yang berada diatasnya.

   Mengapa hendak bunuh diri? Manik Angkeran terkejut sampai berteriak.

   Akan tetapi ia tak berdaya untuk memberi pertolongan.

   Apalagi Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya yang berada agak jauh, Senot Muradi dalam hal ini tidak masuk hitungan.

   Pemuda tanggung itu hanya dapat menyumbangkan mulutnya yang ternganga-nganga dan dengan pandang bingung.

   Pada saat kepala Fatimah hampir mengenai dahan, terdengarlah suara gemertak keras sekali.

   Tahu-tahu dahan itu patah menjadi dua dan kepala Fatimah meluncur di antara patahannya.

   Dengan demikian ia gagal membenturkan kepalanya dan seorang nampak memeluknya dengan erat- erat.

   Ternyata yang datang menolong Fatimah adalah Sangaji.

   Entah kapan dia berada ditempat itu.

   Dengan tiba-tiba saja ia muncul seperti iblis dan berhasil menyelamatkan jiwa Fatimah pada saat yang tepat sekali.

   Memang di antara mereka hanya Sangajilah yang kenal watak serta tabiat Fatimah dalam arti kata sebenarnya meskipun Manik Angkeran pernah bergaul semenjak masih gadis remaja.

   Sambil tersenyum Sangaji menurunkan Fatimah di atas tanah.

   "Bibi yang baik hati, mengapa engkau berbuat nekat begini?"

   Fatimah mendongkol. Maksudnya kena digagalkan. Dengan mata melotot ia membentak.

   "Tolol! Lagi-lagi engkau menggagalkan usahaku. Apakah engkau senang apabila aku selalu dihina laki-laki?"

   "Laki-laki yang mana?"

   Sangaji heran.

   "Itulah si raja iblis!"

   Sahut Fatimah sambil menunjuk kepada Manik Angkeran yang berdiri terpaku. Sangaji tertawa.

   "Dia seorang pendekar yang terbaik di dunia ini."

   "Idih!"

   "Dia adikku yang dapat kubanggakan."

   "Kalau dia adikmu maka engkaulah kakek moyang iblis benar..."

   "Benar."

   "Benar apa?"

   Desak Fatimah. Selamanya Sangaji tak pandai berdebat. Kena didesak Fatimah yang bertabiat liar, ia merasa sulit. Untung di situ Senot Muradi.

   "Kalau Paman Sangaji kakek moyang iblis besar, maka akulah setan kecilnya!"

   "Siapa kau, berani membuka mulut dihadapanku?"

   Bentak Fatimah sengit.

   "Aku setan kecil!"

   Jawab Senot Muradi sambil tertawa lebar.

   "Kau bilang apa?"

   Bentak Fatimah sambil melangkah maju. Melihat Fatimah maju selangkah, buru-buru Senot Muradi mundur.

   "Aku, aku, setan kecil! Sebab apabila dibandingkan dengan kepandaian Bibi sama sekali tak berarti."

   Kena benar kata-kata Senot Muradi sehingga Fatimah merandek.

   Wajahnya terlongong-longong seperti seorang gadis yang tertambat batinnya.

   Melihat kecakapan wajah seorang pemuda.

   Tatkala mulutnya bergerak hendak berbicara Senot Muradi yang cerdik cepat mendahului.

   "Kalau kakakku Kilatsih tadi bisa mengutungkan ikat pinggang Bibi, sesungguhnya hanya karena kebetulan saja. Coba, Bibi membawa sebatang pedang. Aku ingin melihat apakah kakakku Kilatsih masih bisa menandingi ilmu kepandaian Bibi..."

   Kilatsih kenal kecerdikan Senot Muradi. la seperti tersadarkan. Lantas saja ia maju sambil berkata menguatkan.

   "Ucapan Senot Muradi memang benar. Secara kebetulan saja aku dapat mengutungkan ikat pinggang Bibi Fatimah lantaran ikat pinggang itu hanya terbuat dari kulit. Andaikata Bibi menggunakan pedang, betapa mungkin biji bidik sawoku dapat berlawanan dengan sebatang pedang yang terbuat dari logam baja putih yang tercampur besi? Dalam suatu pertempuran yang sungguh-sungguh, tatkala biji-biji sawoku gagal menangkis sabetan pedang aku harus memilih antara gerakan melarikan diri atau dadaku tertikam pedang."

   Bukan main lega hati Fatimah mendengar pernyataan Kilatsih tak terasa ia mengerling kepada Manik Angkeran. Pemuda itu tersenyum sambil memanggut kecil. Kata Fatimah menegas kepada Manik Angkeran.

   "Apakah engkaupun akan berkata begitu?"

   "Tentu. Apa yang dinyatakan Kilatsih, benar belaka,"

   Sahut Manik Angkeran dengan suara tak ragu-ragu lagi.

   "Di sini hadir Kangmas Sangaji. Engkau boleh minta keterangan kepadanya. Bukankah engkaupun tahu, bahwa Kangmas Sangaji adalah pendekar yang satu-satunya berhati jujur?"

   Manik Angkeran berkata demikian hanya untuk membesarkan hati Fatimah.

   Kalau dia mencari andalan kepada Sangaji ia tahu bahwa Sangaji tidak menyaksikan babak terakhir dari pertempuran antara Fatimah dan Kilatsih.

   Kalau Fatimah tetap mendesak Sangaji memberi keterangan Sangaji tentu akan bertanya kepadanya.

   Dan dengan kerja sama antara Kilatsih dan Senot Muradi si bocah cerdik itu, ia yakin akan dapat membesarkan hati Fatimah.

   Syukur, Fatimah tidak minta keterangan.

   Kepada Sangaji, ia puas mendengar keterangan tiga orang.

   Senot Muradi, Kilatsih dan Manik Angkeran.

   Kesempatan itu segera dipergunakan Manik Angkeran untuk mendekati.

   "Fatimah? Orang-orang yang berada di-biara itu bukannya manusia-manusia lemah. Kepandaian mereka rata-rata sejajar dengan Paman Dadang Wiranata dan Paman Otong Surawijaya. Engkau dikerubut empat orang sekaligus. Meskipun demikian, engkau dapat melawan dengan baik sekali. Bahkan engkau dapat membuat mereka bingung. Bukankah itu suatu bukti, bahwa kepandaianmu maju sangat pesat?"

   "Eh, apakah engkau pada waktu itu sudah berada disana?"

   Potong Fatimah masih dengan suara sengit.

   "Benar."

   "Mengapa engkau diam saja?"

   "Aku begitu kagum akan kepandaianmu sehingga jadi tertegun."

   Manik Angkeran memberi keterangan. Kemudian cepat-cepat mengalihkan pembicaraan. Katanya kepada Kilatsih.

   "Kilatsih, engkau pernah menyaksikan dengan mata kepalamu sendiri tentang nasib Gandarpati. Benarkah itu?"

   "Benar! Mengapa?"

   Kilatsih menyahut.

   "Coba ulangi kesaksianmu!"

   Mereka lantas duduk dilantai pesanggrahan Ki Dipajaya dengan penerangan obor.

   Kilatsih mengisahkan kembali kesaksiannya tatkala membuka peti mati.

   Di dalam peti mati itu, ia melihat tubuh Gandarpati terpenggal kepalanya.

   Ia begitu terkejut, sampai nyaris jatuh pingsan.

   "Bagus!"

   Kata Manik Angkeran.

   "Sekarang bagaimana perasaanmu kalau aku memberi kabar kepadamu bahwa Gandapati masih hidup dalam keadaan segar bugar?"

   "Ah, yang benar saja!"

   "Demi Tuhan! Gandapati pada saat ini dalam keadaan sehat walafiat. la berada ditengah-tengah gerombolan Tunggul Wulung,"

   Kata Manik Angkeran.

   "Setidak-tidaknya tiga orang menyaksikan hal itu. Fatimah, Paman Dadang Wiranata dan Paman Otong Surawijaya."

   Kilatsih kaget sampai berjingkrak bangun.

   Dengan pandang menebak-nebak ia membagi pandang kepada Fatimah Otong Surawijaya dan Dadang Wiranata untuk mencari keyakinan.

   Dilihatnya Otong Surawijaya dan Dadang Wiranata mengangguk membenarkan keterangan Manik Angkeran.

   Keruan saja ia menjadi bingung berbareng tercengang.

   "Apa yang diherankan?"

   Tiba-tiba Fatimah berkata.

   "Itulah permainan yang sederhana saja. Guruku seorang ahli merubah paras muka. Dia sendiri merasakan tokoh Ki Jaga Saradenta. Bukankah begitu?"

   "Benar!"

   Sahut Kilatsih cepat.

   "Gandarpati diperankan oleh salah seorang pengikut Kangmas Wirapati yang bekerja sebagai pegawai penjara."

   "Ah, dia? Apakah yang kau maksudkan Anom Suparman?"

   Kilatsih berseru.

   "Tak mungkin! Pada waktu itu Anom Suparman hadir di depan Daniswara."

   Fatimah tersenyum lebar.

   "Apakah anak-anak murid Gunung Damar pengikut Kangmas Wirapati hanya dia seorang?"

   Kilatsih kini jadi bingung.

   "Kalau begitu, apa artinya gumpalan kertas yang berbunyi adikku kau tengoklah pekuburan ayah angkatmu! Beliau tidur dengan tenang disebelah gubuk kita... Apakah tujuannya?"

   "Tujuannya?"

   Fatimah tersenyum sambil melemparkan pandang kepada Sangaji. Lalu menjawab.

   "Tujuannya untuk menjebak si tolol itu! Sebab, dialah yang mengantongi pusaka tersakti di dunia ini. Semenjak dulu aku telah mengetahuinya. Meskipun aku mendapat tugas untuk merebut pusaka sakti tersebut, namun tak kulakukan. Itulah sebabnya, guruku sangat membenciku dan ingin membunuhku didepan mata si tolol dan Titisari."

   Mendengar keterangan Fatimah, Sangaji jadi terharu.

   Mendadak sadarlah dia, apa sebab Fatimah memanggil dirinya si tolol.

   Kalau dipikir-pikir, ia memang tolol.

   Sedang bahaya mengancam di depan matanya, belum juga ia sadar.

   Dalam hal ini, hanya Titisari, yang menaruh curiga.

   Seperti diketahui, setelah kena cekikkan Bagus Wilatikta, Sangaji dalam keadaan luka parah.

   Dengan sekali pandang, Fatimah tahu bahwa bende yang digantungkan dileher-nya, justru bende pusaka yang harus direbutnya.

   Namun kelembutan hatinya, mengalahkan semua bunyi tugasnya.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia bahkan melindungi Sangaji walaupun untuk itu, ia hampir tewas oleh aniaya kaki tangan Dipajaya dan Sirtupelaheli.

   Kilatsih seringkali mendengar tutur kata pengalaman Sangaji tatkala berada dalam benteng batu, menyelami inti, rahasia pusaka sakti warisan Pangeran Semono.

   Dengan serta-merta ia maju dan merangkul Fatimah.

   "Bibi o Bibi! Engkau benar-benar menang sepuluh kali lipat dari padaku. Budi Bibi sangat luhur melebihi siapa saja. Dengan berbekal ilmu kepandaian dan keluhuran budi yang demikian tinggi, pada zaman ini, hanya Bibi Fatimah seorang."

   Pada saat itu, Manik Angkeran menyerahkan sebuah bungkusan.

   "Fatimah! Semenjak aku meninggalkan dusun, aku telah bersumpah tak akan balik pulang sebelum berhasil menemukan obat pemunah yang membuat kita terpisah. Inilah yang dapat kupersembahkan kepadamu...."

   Fatimah tak perlu memperoleh penjelasan lagi.

   Gagak Seta telah memberi keterangan.

   Gurunya, Sirtupelaheli, dan Dipajaya telah meminumnya pula.

   Maka dengan tak ragu-ragu lagi ia pun segera membuka bungkusan itu yang ternyata berisikan obat pemunah.

   Senot Muradi mengambil segelas air didapur.

   Dengan air itu Fatimah menelan obat pemunah hasil perjuangan Manik Angkeran yang mengambil waktu selama hampir dua puluh tahun.

   Dan mereka semua bersyukur di dalam hati, menyaksikan Fatimah menelan obat pemunah itu.

   Acara pembicaraan kini beralih kepada gerombolan Tunggul Wulung, Tarupala, Gandarpati.

   Manik Angkeran segera mengemukakan pendapatnya.

   "Kangmas Sangaji! Aku dilahirkan disekitar wilayah Cirebon. Semenjak kanak-kanak aku kenal siapakah Adipati Kuntul Aneba. Dia seorang pejuang yang bercita-cita luhur. Akan tetapi pada hari ini aku melihat suatu kelainan tentang pribadi Adipati Kuntul Aneba. Dengan terus terang saja aku menaruh curiga. Apalagi tanya jawab antara Tarupala dan pemimpin- pemimpin Tunggul Wulung menguatkan rasa curigaku. Jelas sekali dibelakang pembicaraan itu terselimut suatu latar belakang yang penuh rahasia."

   Setelah mengemukakan pendapatnya Manik Angkeran menurunkan penglihatannya. Fatimah yang berada dibiara itu pula tiba-tiba berkata.

   "Kalau Daniswara bisa menguasai gerombolan Tunggul Wulung, sudah semestinya. Kalau Gandarpati yang mati tiba-tiba hidup kembali itupun merupakan bukti pula akan kepandaian dan kelicinan Daniswara. Meskipun tadinya mendapat bantuan guruku Sirtupelaheli, tetapi sesungguhnya yang memegang rancangannya adalah dia sendiri. Dengan guruku dia bisa bekerja sama berkat tujuan yang bersangkut-paut. Guru bertujuan memperoleh pusaka sakti Bende Mataram. Sedang Daniswara ingin merebut pemerintahan. Katakan saja dia berangan-angan menjadi raja."

   "Ach!"

   Mereka semua terkejut.

   "Mengapa tidak? Raja juga seorang manusia. Daniswara manusia pula. Asalkan berotak mengapa tidak akan berhasil?"

   Kata Fatimah sambil mencibirkan bibir.

   "Dan nyatanya memang dia punya otak. Dengan diam-diam ia menyadarkan nasibnya kepada tuah pusaka sakti Bende Mataram. Katakan bahwa dia pun menghendaki pusaka itu pula. Ia percaya dengan bekal pusaka sakti itu cita-citanya akan terkabul. Bukankah pusaka Bende Mataram meramalkan bahwa barang siapa yang memiliki pusaka tersebut suaranya akan bergaung ke seluruh Nusantara, dan semua pendekar-pendekar akan patuh dan tunduk kepada perintah-perintahnya?"

   Sangaji mengangguk.

   "Begitulah konon kabarnya."

   "Sekarang Guru tidak lagi berkepentingan dalam perebutan pusaka sakti Bende Mataram."

   Fatimah melanjutkan.

   "Artinya tiada lagi dia menyaingi. Sebagai seorang dalang kini bisa mengatur permainan boneka-bone-kanya. Kalau dia bisa membuat hidup Gandarpati yang telah mati dan bisa menguasai gerombolan Tunggul Wulung mengapa tak dapat ia menguasai Kangmas Wirapati?"

   "Apa?"

   Sangaji terkejut sampai berjingkrak.

   "Semuanya itu terjadi lantaran untuk menguasaimu, tolol!"

   Kata Fatimah acuh tak acuh seperti biasanya.

   "Kurasa Tarupala terjebak pula dalam hal ini. Hanya persoalannya, aku kurang terang."

   Tiba-tiba Kilatsih teringat sesuatu.

   "Bibi! Eyang Dipajaya menyebut-nyebut tentang Seratus Jurus apa artinya?"

   "Apa artinya?"

   Fatimah mengulang.

   "Itulah kata-kata sandi. Artinya Paman Dipajaya pinjam tenaga daya guna Kangmas Wirapati. Maksudnyapun untuk menguasai..."

   "Kangmas Sangaji?"

   "Benar,"

   Sahut Fatimah.

   "Karena itu aku tak usah mencemaskan keselamatan Kangmas Wirapati. Hanya yang kukhawatirkan kalau-kalau Kangmas Wirapati sampai terjadi demikian, persoalannya jadi sulit."

   Mendengar keterangan Fatimah, Sangaji jadi gelisah. Mereka semua tahu bahwa keterangan Fatimah dapat dipercaya lantaran belasan tahun lamanya dia berada dalam kekuasaan Sirtupelaheli.

   "Jadi... bohongkah kabar berita yang mewartakan Guru sudah berada kembali di pertapaan Gunung Damar?"

   Fatimah diam menimbang-nimbang. Lalu mengangguk.

   "Sekiranya Titisari berada di sampingmu pastilah engkau tak bakal tanya begini padaku. Dimana dia sekarang?"

   Sangaji menundukkan kepalanya, la begitu mencemaskan keadaan gurunya, sehingga tidak mendengar pertanyaan Fatimah tentang diri Titisari.

   Beberapa saat kemudian ia terdengar berkata seperti kepada dirinya sendiri.

   "Budi Guru setinggi gunung.

   Meskipun aku mengorbankan jiwaku, rasanya belum tertebus..."

   Mendengar ucapan Sangaji, mereka semua terdiam.

   Mereka semua kenal watak dan tabiat Sangaji yang sederhana dan pendiam.

   Pendekar besar itu tak pernah berbicara berkepanjangan.

   Pendek saja kata-katanya.

   Kesannya sederhana akan tetapi mengandung makna yang besar.

   "Sebenarnya apa sih rahasianya pusaka sakti Bende Mataram sampai jadi perebutan?"

   Kilatsih mencoba mengalihkan perhatian.

   "Kangmas Manik Angkeran telah menurun gambarnya. Kangmas Sangaji pun mencoba pula menyelami. Namun Beliau tak' menemukan rahasianya. Barangkali Ayunda Titisari seorang yang sudah memperoleh pegangan."

   Semua orang berenung-renung.

   Sedang Sangaji masih saja terdiam.

   Nampaknya ia sangat berprihatin.

   Senot Muradi yang sebenarnya masih hijau dalam hal ini, ikut pula berprihatin.

   Hanya Raja Muda Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya yang bersikap garang.

   Mereka berdua mengarahkan seluruh perhatiannya kepada pemimpin besarnya itu, mereka berdua bersedia mengarungi lautan api apabila mendapat perintah.

   Tiba-tiba Sangaji mengangkat kepalanya.

   "Pukul berapa sekarang?"

   Cepat-cepat Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya menyahut.

   "Kami rasa hampir larut malam."

   "Kalau begitu, aku berangkat sekarang juga mengejar gerombolan Tunggul Wulung. Siapa namanya? Daniswara?"

   "Iya!"

   Sahut Manik Angkeran dan Kilatsih.

   "Bukankah ia putra Paman Kebo Bangah?"

   "Benar,"

   Jawab Fatimah. Sangaji menghela napas.

   "Paman Dadang dan Paman Otong! Cepat-cepatlah kembali ke Jawa Barat membantu Widiana Sasi Kirana. Bawalah Senot Muradi ikut serta. Dan engkau Kilatsih... bagaimana?"

   "Aku ingin bertemu dengan Kangmas Gandarpati."

   Sangaji mengernyitkan dahi. Beberapa saat kemudian ia berkata menyetujui.

   "Begitupun baik."

   Setelah berkata demikian, ia mengalihkan pandang kepada Fatimah dan Manik Angkeran.

   "Bibi! Biarlah engkau beristirahat dahulu, agar obat pemunah racun bekerja dengan baik. Dengan didampingi Manik Angkeran, aku tak usah khawatir. Kilatsih, kau ikut aku!"

   Kilatsih mengangguk dengan cepat. Hatinya penuh syukur, karena diperkenankan ikut bekerja. Apalagi di samping seorang pendekar besar, yang dikaguminya semenjak tumbuh menjadi seorang gadis dewasa.

   "Kalau Kangmas menghendaki, mari kita berangkat, agar tak kehilangan waktu!"

   Katanya dengan penuh semangat.

   "Mari!"

   Sampai disini tamatlah bagian kisah mencari Bende Mataram. Bagaimana sebenarnya rahasia Bende Mataram, akan kita sambung beberapa waktu kemudian. TAMAT

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/

   

   Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/

   

   

   

   

Delapan Kitab Pusaka Iblis Karya Rajakelana Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long

Cari Blog Ini