Ceritasilat Novel Online

Senopati Pamungkas 12


Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 12



Senopati Pamungkas (1) Karya dari Arswendo Atmowiloto

   

   Semangat dan jiwa besar itu masih hidup dalam darah dan mimpi semua senopati yang pernah mengenal atau mendengar kisah-kisah Baginda Raja Sri Kertanegara.

   Dengan menyebutkan nama Mahisa, Halayudha mengembalikan semua gagasan Senopati Anabrang kepada masa Keraton Singasari.

   Di mana nama-nama Mahisa masih banyak dipergunakan.

   Sebagai senopati yang berpandangan luas, Senopati Anabrang tidak gampang termakan pujian.

   Walaupun kata-kata Halayudha bisa masuk dan meresap.

   Pertimbangan utama Senopati Anabrang adalah bahwa sifat licik Halayudha pada akhirnya tertuju pada penyelamatan Keraton.

   Berarti suatu bentuk pengabdian.

   Berbeda dari para senopati yang lain, Senopati Anabrang boleh dikatakan hidupnya murni dihabiskan sebagai prajurit.

   Didikan sifat- sifat keprajuritan dihirup bersama tarikan napas yang pertama.

   Dan dalam perjalanan hidupnya, Senopati Anabrang hanya mengenal satu kata.

   pengabdian total kepada Keraton.

   Senopati Anabrang tak begitu banyak bergerak dalam kehidupan para ksatria atau para pendekar silat.

   Dunia persilatan cukup diketahui, akan tetapi tak digeluti seperti senopati lain.

   Di saat dirinya tumbuh sebagai prajurit yang dipercaya menjadi senopati, sudah langsung dikirim ke negeri seberang.

   Praktis agak buta mengenai situasi dunia persilatan.

   Karena ketika ia kembali lagi, pertarungan para ksatria sudah selesai.

   Bahkan pasukan Tartar sudah berhasil diusir ke tengah laut.

   Dan kemudian ia sendiri lebih banyak berdiam di sekitar Keraton.

   Hanya muncul sebentar ke Perguruan Awan.

   Perbedaan latar belakang inilah yang membuat Senopati Anabrang sedikit canggung bergaul dalam dunia para ksatria.

   Baginya ada satu tugas yang terus dijalani.

   mengabdi sepenuhnya kepada Keraton.

   Tanpa dibebani intrik-intrik, atau keinginan menjajal ilmu silatnya.

   Itu pula yang menyebabkan begitu kembali, Senopati Anabrang mempersembahkan kepada Baginda Raja dua putri yang dibawanya sebagai tanda pengakuan kekuasaan Keraton.

   Baginya tak menjadi masalah kalau dulunya masih Singasari dan sekarang Majapahit.

   Toh ini sama artinya.

   Keraton! Maka hati Senopati Anabrang menjadi berang dan terbakar kalau mendengar sindiran bahwa dirinya hanyalah prajurit yang membawa pulang perempuan! Seperti yang diteriakkan Adipati Lawe.

   Sungguh tak masuk akal, telinganya mendengar cacian yang mungkin agak terbiasa di kalangan persilatan.

   Bagi Senopati Anabrang, hal itu diterima dengan perasaan terluka yang dalam.

   Tak bakal dilupakan seumur hidup.

   "Maafkan tindakan saya yang lebih rendah daripada anjing tanah busuk, Senopati Mahisa Anabrang."

   Senopati Anabrang menunduk, mengangkat Halayudha.

   "Kita masing-masing mempunyai cara untuk mengabdi kepada Keraton, jangan terlalu dipikirkan hal itu."

   "Terima kasih atas penjelasan Senopati Mahisa Anabrang. Namun rasanya berat bagi saya menghadapi Senopati. Setiap kali saya teringat kembali, saya merasa bersalah dan sangat hina.

   "Duh, Senopati, rasanya kalau saya mendapat hukuman dari Senopati, hati saya akan terasa lebih ringan. Walaupun hukuman itu berupa kematian atau cacat anggota badan."

   "Kita masing-masing bisa berbuat salah.

   "Kalau kita menyadari kesalahan itu dan tak akan mengulang lagi, rasa tobat itu lebih bermakna dari sekadar hukuman."

   Halayudha menunduk.

   "Saya sadar bahwa saya sama hinanya dengan Adipati Lawe, akan tetapi sungguh berat beban yang saya tanggung."

   Senopati Anabrang termakan kalimat yang menyebut-nyebut Adipati Lawe! Darah samudra yang mengalir dalam dirinya adalah darah panas yang tak bisa bersandiwara.

   "Senopati Halayudha keliru kalau mempersamakan diri dengan Lawe! "Lawe terlalu kurang ajar. Itu yang bisa dikatakan. perbuatan terkutuk dan hina! Bukan yang Senopati lakukan."

   "Bukankah jatuhnya sama saja? Membuat malu semua Senopati? "Duh, Senopati Mahisa Anabrang yang telah menaklukkan samudra, janganlah hati saya diperingan oleh hiburan kosong."

   "Tidak,"

   Senopati Anabrang menggertak.

   "Tetap ada bedanya. Apa yang dilakukan Lawe bisa merusak pengabdian murni kepada Keraton. Lawe bisa dikatakan mbalela, membangkang perintah Raja. Itu sama saja dengan pembangkangan atau pemberontakan!"

   Halayudha membelalak. Sama sekali tak menduga bahwa Senopati Anabrang menjadi galak. Beringas pandangannya. Buas wajahnya.

   "Seorang prajurit sejati adalah pengabdi tanpa ragu.

   "Makin jauh saya mengembara, makin yakin akan bukti-bukti besar itu. Tak ada keraton yang mencapai kebesaran tanpa pengabdian.

   "Apa yang dilakukan Lawe bisa merontokkan citra prajurit sejati jika dibiarkan.

   "Baginda harus tegas. Kalau tidak, saya sendiri yang akan bertindak."

   Halayudha terperangah. Tubuhnya gemetar.

   "Untuk pertama kalinya saya masih diberi anugerah Dewa yang Maha bijak untuk mendengarkan suara lelaki sejati.

   "Selama ini saya hanya mendengarkan tenggang rasa, timbang rasa untuk tidak melukai hati yang lain."

   Senopati Anabrang tidak sadar bahwa ia masuk perangkap. Perangkap gelap yang menyeret kemarahannya.

   "Saya tidak dibesarkan dalam tradisi tenggang rasa yang akan meruntuhkan ketegaran batin kita. Saya dibesarkan dalam tradisi kehidupan laut yang mengatakan apa adanya.

   "Saya tidak buta, bahwa Lawe adalah putra kandung Senopati Agung Aria Wiraraja yang banyak jasanya dan besar wibawanya. Saya tidak buta, bahwa Lawe adalah keponakan Senopati Sora yang perkasa dan bijaksana.

   "Saya tahu itu.

   "Tapi saya juga tahu, bahwa kewajiban prajurit sejati adalah mengatakan yang benar dan berani pula mengatakan yang salah.

   "Hanya Baginda Raja yang bebas dari penilaian. Tetapi, bahkan Mahapatih pun harus diberitahu secara terus terang apabila keliru. Inilah jalan samudra! Inilah hukum lautan yang perkasa, yang ksatria!"

   Halayudha merunduk dalam.

   "Perasaan semacam ini tentulah dirasakan senopati-senopati yang lain. Hanya Senopati Mahisa yang berani mengemukakan secara terbuka. Sungguh luar biasa tradisi Keraton Singasari.

   "Sayang saya tak mengalami secara langsung.

   "Ah, kalaupun saya mengalami, apakah saya yang pada dasarnya telah hina bisa lebih baik? "Maafkan saya.

   "Beribu maaf saya minta dari Senopati Mahisa.

   "Saya tahu di mana Lawe berada, akan tetapi satu kata pun saya tak berani menghaturkan kepada Baginda. Duh, betapa nista."

   Pedang Panjang bagi Mahisa Taruna HALAYUDHA tak menduga bahwa tangisnya, kekecutan wajahnya, bisa membuat Senopati Anabrang meluap. Dan kalap.

   "Sejahat-jahatnya Senopati Halayudha, masih bisa meminta maaf. Akan tetapi perbuatan Lawe sudah sangat keterlaluan. Hal ini tak bisa dibiarkan."

   "Duh, Senopati Anabrang, janganlah berbuat sembrono.

   "Maksud baik belum tentu mendatangkan angin segar."

   "Saya tak peduli."

   "Akan lebih baik jika maksud Senopati Mahisa direstui Baginda Raja. Sehingga kalau ada suara-suara sumbang, akan terbungkam karenanya."

   "Itu lebih baik."

   "Kalau Senopati Mahisa berkenan, saya akan sowan kepada Baginda dan mengutarakan bahwa Senopati Anabrang ingin menghadap."

   Senopati Anabrang ragu. Apakah orang laut seperti dirinya pantas meminta waktu khusus kepada Raja? Halayudha bisa menebak jalan pikiran Senopati Anabrang.

   "Saya hanya sekadar menghaturkan. Kalau Baginda menerima, itu bukan karena saya. Karena Baginda melihat jasa besar Senopati Mahisa yang perkasa."

   "Jasa? "Apa yang bisa dikatakan jasa? Semua prajurit mengabdi. Bukan memperhitungkan jasa!"

   "Saya tahu jiwa luhur Senopati Anabrang.

   "Akan tetapi sesungguhnya jasa terbesar dari semua senopati yang mengabdi diri, Senopati Anabrang-lah yang paling terpandang.

   "Maaf ini bukan pendapat saya yang picik.

   "Inilah yang hamba dengar dari para senopati lainnya. Inilah yang hamba dengar dari Baginda."

   "Saya tak merasa melakukan jasa yang istimewa."

   "Inilah tanda jiwa besar.

   "Tangan kanan berjasa, tangan kiri tak diberitahu. Bahkan kalau tangan kiri bertanya, tangan kanan tetap tak menjawab.

   "Tapi semua mencatat bahwa Senopati Mahisa-lah yang menjadi penerus Keraton. Wibawa dan kebesaran Keraton akan berlanjut atas jasa besar Senopati Mahisa."

   "Itu berlebihan."

   "Senopati Mahisa-lah yang membawa Permaisuri Indreswari. Dan Permaisuri Indreswari-lah yang dipilih Baginda menjadi permaisuri utama, sehingga putranya sekarang menjadi putra mahkota."

   Senopati Anabrang terbatuk. Ia tidak biasa dengan pujian seperti ini.

   "Saya hanya mengatakan apa adanya.

   "Sehingga kalaupun Baginda berkenan, itu karena pribadi Senopati Mahisa."

   Senopati Anabrang tak menduga bahwa Baginda, melalui Halayudha, akhirnya betul-betul memanggilnya. Saat menyampaikan panggilan dari Baginda, Halayudha menyerahkan tiga pedang panjang kepada Mahisa Taruna, putra Mahisa Anabrang.

   "Saya tidak pantas menyerahkan ini pada Anakmas Taruna. Sebab pedang panjang ini bukan milik saya. Akan tetapi karena saya melihat Anakmas Taruna sangat giat berlatih, barangkali pedang dari Jepun ini bisa dipakai untuk latihan."

   Mahisa Taruna menyembah sebagai tanda hormat dan terima kasih.

   Siapa yang tidak berharap mendapat pedang panjang pusaka Kama Kangkam, Kama Kalacakra, dan Kama Kalandara? Pemberian Halayudha juga sangat tepat.

   Karena Mahisa Taruna memang berlatih mempergunakan pedang, seperti juga ayahnya.

   "Terima kasih, Paman Halayudha."

   "Anggap ini hadiah Senopati Mahisa Anabrang dari tanah seberang, yang tak sempat memikirkan untuk kepentingan sendiri."

   Setiap kata-kata Halayudha mengandung sayap-sayap pengertian yang menyeret ke arah pemikiran tertentu.

   Dengan mengucapkan itu, seakan Halayudha ingin menekankan bahwa selama ini Senopati Anabrang memang tak pernah memikirkan dirinya sendiri.

   Bahkan juga kepentingan putranya.

   Dan Halayudha bisa menggantikan peranan itu.

   Memang bagi Senopati Anabrang pengabdian sebagai prajurit sejati tanpa cacat sedikit pun.

   Bahkan sedemikian banyak waktu dicurahkan untuk mengabdi, pengawasan kepada putranya sendiri terlewatkan.

   Dibandingkan dengan dirinya, Mahisa Taruna masih terlalu rendah ilmu silatnya.

   Ini semua hanya karena ia menelantarkan.

   Senopati Anabrang merasa bersalah.

   Maka dalam hati sangat berterima kasih kepada Halayudha yang membesarkan hati putranya.

   Yang dengan tekun dan sabar melatih Mahisa Taruna.

   Kalau tidak mendampingi Baginda, Halayudha menyempatkan diri untuk melatih Mahisa Taruna yang menjadi sangat giat.

   Belum pernah selama ini ada guru yang secara khusus menangani.

   "Saya tidak menganggap diri lebih pintar, Putra Senopati yang gagah. Akan tetapi sedikit-banyak saya mendengar tentang kitab yang banyak diperebutkan.

   "Mungkin kita akan berlatih bersama."

   "Sungguh, budi baik Paman tak akan saya lupakan."

   "Tak ada utang budi di sini.

   "Kalau ayahmu begitu sibuk mengabdi, sudah semestinya saya menggantikan. Meskipun saya tak bisa dibandingkan dengan kehebatan Senopati Mahisa Anabrang yang perkasa."

   Mahisa Taruna terlalu polos menduga maksud-maksud Halayudha.

   Jangan kata ia yang masih hijau, Senopati Anabrang pun termakan oleh Halayudha.

   Sehingga di depan Baginda, Senopati Anabrang mengatakan bahwa apakah Baginda tidak perlu menegakkan tata tertib para prajurit yang terang-terangan membangkang.

   Dan Senopati Anabrang tidak mengetahui, bahwa sebelum ia dipanggil menghadap, Halayudha telah menyampaikan hal ini kepada Baginda Raja.

   "Begitu berani Anabrang meminta menghadapku?"

   "Beribu maaf hamba meminta ke Baginda.

   "Biar bagaimanapun, Anabrang dibesarkan di atas gelombang samudra, sehingga adatnya berbeda dari yang mengenal kehalusan budi Keraton.

   "Bisa dimengerti kalau Anabrang berani mengajukan diri menghadap Baginda."

   "Apa maksudnya mengetengahkan soal Lawe?"

   "Dengan diangkatnya Mahapatih Nambi, para senopati yang lain berlomba merebut hati Paduka Baginda. Tak terkecuali senopati laut yang dibesarkan sisa Keraton Singasari.

   
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Barangkali saja, Anabrang ingin menjajal kelebihan senopati Majapahit. Kebetulan saat-saat pertempuran yang menentukan, Senopati Anabrang tidak ada di tempat ini."

   "Apa pendapatmu?"

   Halayudha menghaturkan sembah sambil mencium lantai.

   "Hamba yang picik tak mampu berpikir serumit itu, Baginda.

   "Namun sesungguhnya Anabrang ada benarnya. Ia hanya ingin agar Adipati Lawe meminta maaf keharibaan Baginda."

   "Ini bisa menjadi salah paham."

   "Kalau Baginda berkenan, biarlah hamba yang mendampingi Anabrang."

   Anggukan Baginda berarti lebih dari segalanya. Halayudha mengatur siasat. Dengan diam-diam ia melarikan kudanya ke tempat peristirahatan Adipati Lawe sambil membawa tiga pedang pendek milik ketiga Kama.

   "Maaf, Adipati Lawe, senopati sejati yang gagah berani.

   "Saya hanya bisa mengantarkan pedang yang pendek, karena Mahisa Taruna telah mengambil pedang panjang."

   Adipati Lawe menggelengkan kepalanya.

   "Ambil saja. Aku tak peduli pisau mainan seperti ini."

   "Saya sadar bahwa pedang kecil atau pedang panjang tak ada artinya bagi Adipati. Akan tetapi sesungguhnya Adipati-lah yang lebih berhak menyimpan. Karena pedang matahari ini pedang keberanian, pedang lelaki sejati, pedang para ksatria utama, hanya pantas dimiliki yang memiliki sifat itu.

   "Bukan yang sengaja mencari kesalahan."

   Dengan caranya yang tepat, Halayudha mengatakan bahwa Senopati Anabrang dan para prajurit pilihan yang dulu ke tlatah Melayu sedang bersiap untuk menemui Adipati Lawe.

   Untuk memaksakan kehendaknya agar Adipati Lawe meminta ampun kepada Senopati Anabrang! "Saya bisa membenarkan tindakan Adipati Lawe.

   "Karena siapa pun bisa menyetujui pandangan Adipati Lawe yang terus terang. Sesungguhnya pandangan Adipati Lawe mewakili pandangan semua senopati yang ada di Keraton.

   "Tetapi entah kenapa, Senopati Anabrang merasa tindakan Adipati menentangnya. Senopati Anabrang bahkan menyebut-nyebut bahwa Adipati hanya menguasai pantai Tuban. Bukan samudra luas yang pernah ditaklukkan Senopati Anabrang.

   "Sungguh tak pantas saya yang tua melaporkan hal-hal yang remeh seperti ini, tetapi hati kecil saya tak bisa menerima cara-cara bicara di belakang punggung seperti ini."

   Adipati Lawe tersentak.

   "Anabrang tak perlu datang. Aku yang akan menemui. Sekarang."

   Persimpangan Jalan Budha-Syiwa HALAYUDHA segera menyemplak kudanya.

   Kembali ke Keraton tanpa berhenti sedikit pun.

   Di benaknya sudah tersusun kerangka siasat yang bakal lebih ramai dari yang direncanakan.

   Saat itu juga langsung menghadap Mahapatih Nambi, dan memberikan laporan bahwa telah terjadi pertentangan terbuka antara Adipati Lawe dan Senopati Anabrang.

   "Yang membuat saya merasa sedih, duh Mahapatih perkasa, ialah bahwa kedua senopati unggulan Keraton ini mulai mencampuradukkan masalah keagamaan.

   "Kalau ini benar terjadi, bisa dibayangkan bahwa tanah yang terbelah makin luas dan tak bisa diperkirakan kapan berhentinya."

   Mahapatih Nambi tersentak perhatiannya.

   Sebagai penanggung jawab masalah keamanan dan ketenteraman Keraton, Mahapatih mengetahui kabar yang paling kecil mengenai kemungkinan-kemungkinan pertentangan yang bisa menyebabkan kekacauan.

   Semua hal yang bisa menjadi ancaman Keraton boleh dikatakan dihafal, seakan berada dalam genggamannya.

   Justru dengan cara itu Halayudha masuk.

   Kalau ia hanya mempersoalkan pertentangan Adipati Lawe dengan Senopati Anabrang dari sisi keduanya sama keras, Mahapatih masih bisa berpangku tangan dalam artian menganggap ini persoalan pribadi yang bersinggungan.

   Akan tetapi kalau yang dikatakan Halayudha benar, ini ancaman ketenteraman yang harus segera diatasi.

   "Belum kering keringat saya dari tempat peristirahatan Adipati Lawe setelah mencoba mendekati Senopati Anabrang. Akan tetapi semuanya sia-sia.

   "Dari hal yang kecil dijadikan persoalan besar.

   "Pertama, soal pedang ketiga Kama dari Jepun. Kedua Senopati menghendaki. Terpaksa saya membagi dua. Tiga pedang panjang untuk Senopati Anabrang dan tiga pedang pendek untuk Adipati Lawe."

   "Lawe tidak menghendaki yang pendek?"

   "Sungguh tepat perhitungan Mahapatih."

   "Lawe menghendaki yang panjang?"

   "Begitulah adanya. Walaupun sesungguhnya yang lebih berhak atas semua pedang itu adalah Mahapatih."

   "Hmmm..."

   "Yang membuat saya prihatin, duh Mahapatih... entah bagaimana saya harus menceritakan ini semua. Saya tak melihat senopati lain untuk menceritakan hal ini. Sebab kalau sampai Baginda Raja mendengar dan menitahkan suatu keputusan, kedua senopati akan mendapatkan murka."

   "Apa yang membuat kuatir Paman?"

   "Dalam memperebutkan pedang, Senopati Anabrang merasa lebih berhak. Karena pedang panjang dari Jepun itu sesungguhnya adalah pedang dari ajaran Budha. Ksatria Jepun ini dari aliran Budha. Maaf, Mahapatih, memang warisan yang agak membingungkan dari Keraton Singasari di bawah Baginda Raja Sri Kertanegara adalah rangkulan Baginda Raja Singasari kepada aliran agama Syiwa dan agama Budha.

   "Dua-duanya dirangkul dan mendapat tempat dalam tata pemerintahan Keraton Singasari.

   "Sementara sejak awal, Baginda Raja Kertarajasa Jayawardhana menetapkan ajaran Syiwa yang lebih bisa diterima. Semenjak Baginda naik takhta, sudah dititahkan bahwa agama Budha tak boleh menyebar di arah barat Keraton, hanya boleh di arah timur. Sementara agama Syiwa boleh menyebar ke mana saja.

   "Menurut pandangan saya yang picik, jelas bahwa pilihan kepada Dewa Syiwa sudah ditetapkan Baginda Raja, mengingat sejarah para leluhur Keraton sejak sebelum Singasari adalah pemujaan kepada Dewa Syiwa.

   "Yang membuat saya lebih prihatin lagi, duh Mahapatih, ialah kalau pertentangan antara Dewa Syiwa dan Jalan Budha ini terbuka, akan membangkitkan pertentangan yang lebih luas. Karena para pengikut yang menempuh Jalan Budha tak sedikit jumlahnya.

   "Menurut perkiraan saya, meskipun ajaran Dewa Syiwa yang terbesar, akan tetapi pemeluk Budha yang nomor dua.

   "Ini berarti peperangan habis-habisan yang bisa menjatuhkan pamor Keraton. Hanya oleh sebab yang tak berarti.

   "Kalau pertentangan ini pecah, berarti para pendeta agama Wisnu dan Brahma juga merasa tidak aman.

   "Jikalau keempat agama yang direstui Baginda Raja sampai terlibat dalam pertikaian, sungguh tak ada lagi tanah damai yang tersisa di Majapahit."

   "Benar semua yang Paman katakan.

   "Masalah agama adalah masalah yang bahkan Baginda Raja berpesan wanti-wanti agar tidak ditangani secara gegabah.

   "Kadang ini menyenangkan di satu pihak. Karena Baginda memberi kesempatan berkembang para pengikut Syiwa, Budha, Brahma, dan Wisnu. Akan tetapi dari segi keamanan, saya ini yang paling kikuk."

   "Warisan Keraton Singasari akhir..."

   "Itu salah satu sebab.

   "Sesungguhnya, di antara para raja gung binatara, raja yang besar dan berwibawa, Baginda Raja Sri Kertanegara satu-satunya raja yang mencoba menggabungkan kekuatan Dewa Syiwa dengan Jalan Budha. Baginda Raja meraih keduanya.

   "Sampai ke dalam tata pemerintahan Keraton.

   "Ada pendeta Syiwa, selalu ada pendeta Budha.

   "Kini ketika peranan Dewa Syiwa lebih diberi angin, penganut Jalan Budha sudah mulai memperlihatkan taringnya. Bahkan menurut dugaan saya, para ksatria Jepun muncul untuk memperlihatkan bahwa sesungguhnya Jalan Budha adalah jalan yang terbaik untuk dilalui."

   "Sungguh tepat penilaian Mahapatih.

   "Saya tak mampu sekuku hitam pun memperkirakan hal itu."

   Mahapatih Nambi menggelengkan kepalanya. Seakan menolak pujian Halayudha.

   "Pertentangan pengikut Dewa Syiwa dengan penganut Jalan Budha akan berakibat panjang. Karena ini seperti juga mempertentangkan Keraton yang sekarang ini dengan sisa-sisa Keraton Singasari."

   "Sangat tepat, Mahapatih."

   "Ditambah munculnya ksatria dan pendeta pengikut Dewa Brahma dan Dewa Wisnu, sempurnalah sudah kekacauan yang bakal terjadi.

   "Jalan keluar terbaik barangkali..."

   "Sungguh tepat, Mahapatih!"

   Halayudha merasa terlalu cepat bicara. Mahapatih belum mengeluarkan pendapatnya, ia sudah mengeluarkan pujian.

   "Maaf, saya mengira Mahapatih akan menyempitkan persoalan ini menjadi persoalan pribadi antara Senopati Lawe dan Senopati Anabrang.

   "Bukan antara prajurit Tuban dan Keraton. Bukan antara pengikut Dewa Syiwa dan pengikut Budha."

   "Kalau itu jalan yang kuambil, berarti juga membiarkan Lawe dan Anabrang berhadapan muka."

   "Sungguh besar jiwa Mahapatih.

   "Tetap memperhatikan para senopati bawahannya.

   "Akan tetapi ini lebih baik bagi Keraton dibandingkan dengan tumpahnya darah yang lebih banyak lagi."

   "Bagaimana dengan Kakang Sora? "Apakah ia tak tergerak jika melihat pertentangan ini?"

   Halayudha menghela napas. Wajahnya menunjukkan rasa bingung.

   "Dengan jujur saya haturkan, saya tak mengerti di mana Senopati Sora berdiri. Karena agaknya Senopati Sora masih mencoba bertahan di Keraton. Masih ingin dekat dengan pusat kekuasaan daripada menempati Dahanapura seperti yang telah diisyaratkan oleh Baginda Raja."

   "Dengan kata lain ia tidak segera menjalankan perintah. Apakah ia akan memata-matai diriku?"

   "Saya tak mempunyai dugaan seburuk itu, Mahapatih.

   "Walau mungkin itulah kenyataannya."

   Halayudha makin merasa bahwa caranya mengutarakan "tidak mempunyai dugaan seburuk itu, walaupun itulah kenyataannya"

   Termakan oleh Mahapatih. Dengan berkata seperti itu Halayudha ingin menegaskan bahwa jalan pikiran Mpu Sora memang buruk, bahkan tak terbayangkan pikiran biasa.

   "Kakang Sora. Aku tak menduga bisa sepicik itu pikirannya. Padahal aku termasuk yang hormat padanya."

   "Banyak yang terkelabui sikap Senopati Sora.

   "Kita semua tak mengetahui sifat aslinya."

   "Agaknya teka-teki juga.

   "Sewaktu mengawal Permaisuri Rajapatni, Kakang Sora juga justru menyembunyikan serangan ganas Jurus Lebah. Aku masih bertanya-tanya apakah ini disengaja sehingga Permaisuri Rajapatni dibiarkan terculik? Bahkan sampai sekarang aku tak mendengar lagi jejak Klikamuka."

   "Segalanya akan menjadi terang, kalau pertarungan antara Lawe dan Anabrang terbuka. Pada saat itu, sifat yang disembunyikan akan luntur.

   "Maaf, Mahapatih.

   "Barangkali malah lebih baik kalau pertarungan Lawe-Anabrang dibiarkan. Kita bisa melihat kekuatan-kekuatan yang tak tampak selama ini."

   Enam Dharma Pendeta MAHAPATIH NAMBI tak bisa menahan diri untuk memuji cara berpikir Halayudha.

   Dengan mengorbankan kemungkinan ada yang kalah dan menang antara Adipati Lawe dan Senopati Anabrang, peristiwa ini bisa memancing kekuatan yang tersembunyi.

   Kekuatan gelap yang selama ini kurang terbaca di mana berkiblat, akan dengan mudah diketahui! Berarti Mahapatih bisa menemukan peta kekuatan golongan yang sekarang ini tersembunyi di bawah permukaan.

   Memang patut disayangkan, karena ada kemungkinan terjadi pertumpahan darah.

   Salah satu, atau dua-duanya senopati Keraton! Memang benar, ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan campur tangan para pengikutnya.

   Kalau segera bisa diatasi sebelum menjalar, Mahapatih Nambi merasa menemukan banyak hal yang perlu diketahui.

   Luar biasa, pikir Mahapatih.

   Senopati Halayudha selalu menunjukkan cara berpikir yang luar biasa hebat dan tepat.

   Ataukah barangkali karena ia tidak mempunyai beban pikiran seperti diriku? Ataukah justru baginya pengabdian kepada Keraton dan Raja adalah yang terutama dan satu-satunya? Apa pun alasannya, Mahapatih seperti melihat suatu petunjuk.

   Berdasarkan itu pula kemudian Mahapatih menyiapkan langkah-langkah penjagaan yang tidak dianggap mengagetkan masyarakat.

   Maka sewaktu diadakan upacara penyucian tirta di sumber air di desa Kudadu, Mahapatih datang.

   Sesuatu yang tak pernah terjadi.

   Seorang mahapatih bersedia menghadiri penyucian sumber air yang bukan merupakan upacara besar.

   Sangat berbeda dari upacara penyucian candi atau makam.

   "Saya datang sebagai utusan resmi Baginda Raja,"

   Demikian Mahapatih mulai memberikan kata pembuka.

   "Ini untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya Baginda Raja selalu menaruh perhatian utama pada setiap upacara keagamaan di wilayah kekuasaan Keraton Majapahit.

   "Hanya karena kesibukan Baginda Raja, tak bisa hadir di desa Kudadu yang mempunyai riwayat panjang dalam mendirikan Keraton. Akan tetapi restu dan doa Baginda datang selalu."

   "Semoga Baginda Raja bersama para Dewa, selamanya,"

   Terdengar jawaban serentak disertai sembah.

   "Baginda mendengar doa yang tulus.

   "Saya tak ingin menerangkan ulang mengenai kewajiban kita sebagai manusia yang memilih jalan hidup seperti yang kita jalani sekarang.

   "Saya merasa sangat kagum kepada para pendeta. Dari kelompok Syiwa, Budha, Brahma, dan Wisnu. Sebab mereka inilah yang menjadi kekuatan batin, menjadi tiang utama kehidupan Keraton.

   "Para pendeta sangat dimuliakan oleh Baginda Raja, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang mulia hidupnya. Orang yang dalam setiap tarikan napasnya, dalam tidur dan terjaga, mendoakan kesempurnaan hidup dalam dunia yang sementara maupun dalam keabadian di kelak kemudian hari.

   "Para pendeta lebih dari para ksatria, para waisya, terlebih lagi dari kasta sudra, adalah pilihan Dewa yang Mahabrahman.

   "Para pendeta yang menjaga roh Keraton dengan melakukan enam dharma utama.

   "Mengajar, dan belajar.

   "Melakukan persajian untuk dirinya dan untuk masyarakat.

   "Membagi dan menerima derma.

   "Enam dharma. Ketiga yang pertama mengajar, melakukan persajian bagi masyarakat, membagi derma dari masyarakat yang halus budinya, merupakan sarana hidup di dunia ini.

   "Pendeta, dengan segala hormatku pada penjaga batin kita, sangat mulia. Saya adalah Mahapatih Keraton Majapahit, tangan kanan Baginda Raja, akan tetapi untuk menyucikan sumber air ini, saya tak mempunyai wewenang. Untuk membina tanah-tanah perdikan, tanah-tanah untuk pendidikan, tempat-tempat suci, saya terlalu kotor untuk menangani.

   "Saya dan para prajurit hanyalah kelompok ksatria. Kalau pendeta menjaga roh, para ksatria menjadi badan wadag. Tugas utama para ksatria ialah mengabdi kepada Raja, yang berarti juga mengabdi dunia, mengabdi tanah yang memberikan kehidupan. Pengabdian kepada Raja adalah mutlak, tak peduli apakah ia prajurit penjaga gerbang ataupun tingkat senopati. Karena tanpa pengabdian, yang ada adalah kekacauan.

   "Baginda Raja telah menggariskan tingkat di mana kita berada. Baik bagi para pendeta, para ksatria, maupun para waisya.

   "Golongan waisya adalah para pedagang dan petani. Mengerti tentang cara berdagang mutu manikam, buah-buahan, serta bisa menanamnya dengan baik.

   Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Golongan yang tidak mempunyai kemungkinan untuk dwija adalah golongan sudra. Mereka tak akan dilahirkan untuk kedua kalinya. Tugas golongan sudra yang terutama ialah mengabdi kepada para brahmana, para pendeta, agar menemukan kesempurnaan dunia dan nirwana. Para sudra yang mengabdi kepada ksatria dan waisya hanya akan menemukan ketenteraman dunia saja."

   Suara Mahapatih makin meninggi.

   "Semua telah mempunyai tempat sendiri-sendiri. Sehingga tak terjadi kekisruhan. Sebab kalau kita semua bisa memahami kitab-kitab yang memuat aturan dan tata krama itu, tak ada golongan waisya atau ksatria yang mencampuradukkan dengan persoalan para pendeta.

   "Saya sebagai pelaksana takhta mengingatkan bahwa di saat-saat tertentu kita bisa lupa di mana kaki kita berdiri, dan terseret arus yang menyesatkan.

   "Saya tidak mengada-ada.

   "Ketika kami semua membuka sawah di desa Tarik, di desa Kudadu ini, dan di tempat lain, kami sudah lahir sebagai ksatria, sebagai prajurit! "Sekarang ini terasakan bahwa banyak tumbuh keinginan mengubah tata krama peraturan yang sudah jelas dan gamblang. Ada sebagian kecil yang ingin membuka perselisihan dengan menyeret golongan yang lebih sakti di atasnya.

   "Saya akan mengambil tindakan tegas."

   Pandangan Mahapatih menyapu semua yang hadir.

   "Dalam Kitab Kutara Manawa sudah jelas diuraikan. Itulah kitab yang mengatur tata krama kita semua, tanpa kecuali. Termasuk saya, termasuk para pendeta, para waisya yang sekarang ada di sini.

   "Saya tahu, dari Perguruan Awan ditiupkan angin yang ingin mengubah tatanan ini semua. Perguruan Awan pun, saya tegaskan, tak akan memperoleh keistimewaan.

   "Para pendeta lebih tahu, bahwa di Perguruan Awan tata krama itu sengaja ditiadakan. Tak ada perbedaan guru dan murid, tak ada perbedaan ksatria atau waisya atau sudra. Di sana ada ajaran bahwa sang guru juga belajar silat, berdoa, tetapi juga menanam pohon dan memetik buahnya.

   "Saya tak peduli jika itu terjadi di dalam hutan.

   "Akan tetapi saya tak akan membiarkan jika mau ditularkan kepada kehidupan di luar hutan.

   "Saya dan seluruh senopati Keraton akan menghadapi."

   Kalimat Mahapatih meninggi dan menurun, akan tetapi dengan pandangan yang galak, berwibawa. Tanpa peduli apakah pendengarnya menyadari apa yang dikatakan, Mahapatih melanjutkan.

   "Di antara golongan-golongan ini, golongan ksatria yang paling ruwet dan ribut selalu. Yang prajurit merasa dirinya senopati, yang senopati merasa bisa berbuat semaunya. Dengan mengagungkan sikap ksatria, merasa menjadi pendekar, menjadi jawara, menjadi yang tak perlu diatur.

   "Kalau memang tak bisa diatur, jangan menganggap diri ksatria. Tempat yang paling tepat ialah menjadi kawula, menjadi hamba.

   "Mereka bisa memilih menjadi kawula di bagian mana.

   "Mau disebut grehaja, yang berarti memang lahir sudah dalam masa penghambaan. Mau disebut dwajaherta, kalau mereka menjadi tawanan perang. Seperti ksatria Jepun, atau seperti ksatria mana pun yang kalah! "Apa mau disebut bhaktadasa yang menghamba karena untuk mengisi perutnya. Atau mau disebut dandadasa, menjadi hamba karena tak mampu membayar pajak Keraton.

   "Apa pun sebutannya, mereka adalah kawula, hamba yang mempunyai tuan, dan tuannya inilah yang berkuasa.

   "Ini peringatan pertama dan terakhir."

   Pidato Mahapatih pada upacara peresmian penyucian sumber air di Kudadu bergema luas. Halayudha memakai kalimat-kalimat Mahapatih untuk membakar Senopati Anabrang.

   "Jelas sekali, Mahapatih ingin menunjukkan kekuasaannya. Tak seharusnya Mahapatih mengatakan itu. Kesempatan itu tidak sesuai. Lagi pula kesannya justru menghalangi Senopati Mahisa Anabrang yang jelas-jelas mendapat restu dari Baginda untuk memberi peringatan Adipati Lawe."

   "Saya tak akan mundur karena ada peringatan atau tidak."

   Jawaban Senopati Anabrang sama dengan Adipati Lawe.

   "Aku tak pernah mencabut kata-kataku. Kalau Anabrang tak datang, aku yang datang menjelang.

   "Selama ini aku hanya merasa sungkan kepada Paman Sora yang kuhormati. Bukan karena takut. Pun kalau Nambi berada di belakangnya.

   "Paman Halayudha, sampaikan tantanganku. Aku menunggu di Brantas. Di sana akan dibuktikan darah siapa yang lebih merah."

   Gema di Perguruan Awan KETIKA Halayudha sibuk mengatur angin yang membesarkan bara di mana bisa panas, saat itulah Nyai Demang dan Galih Kaliki kembali ke Perguruan Awan. Jaghana yang menyambut mereka pertama.

   "Angin gunung, betapapun jauhnya mengembara, pasti akan kembali juga. Selamat tiba, Nyai Demang dan Galih Kaliki."

   "Bagus, aku sudah lama tidak mendengar suara seperti ini."

   Galih Kaliki segera mengambil tempat duduk di salah satu sudut, di atas rumput.

   Matanya mengawasi keliling.

   Wilanda sedang duduk bersemadi.

   Upasara Wulung nampak duduk termenung, hanya memperlihatkan senyum tipis.

   Sementara Gendhuk Tri seperti tak mau peduli.

   "Banyak hal telah terjadi di luar, Paman Jaghana."

   "Angin Keraton tak bertiup ke tempat sepi ini, sehingga saya tak mengetahui apa yang terjadi."

   "Paman Jaghana kenal dengan Kama Kangkam, dengan dua muridnya yang bernama Kama Kalandara dan Kama Kalacakra?"

   Jaghana menarik napas dalam. Dadanya yang telanjang nampak penuh berisi angin.

   "Pernah saya dengar, mereka datang bersama pasukan Tartar. Apakah sekarang sudah kelihatan, Nyai?"

   "Sudah muncul untuk meminta Kitab Bumi di Keraton."

   Gendhuk Tri mengeluarkan suara dingin. Lalu mempermainkan batang hidungnya. Seakan tak sengaja.

   "Kitab itu lebih banyak diperebutkan daripada didalami isinya. Itulah takdir yang buruk."

   "Ah, segala apa dipikirkan.

   "Biar saja mereka rebutan Kitab Bumi atau Kitab Langit. Selama mereka tidak mengganggu kita, biar saja jungkir-balik sendirian."

   Ucapan Gendhuk Tri membuat Nyai Demang tertawa.

   "Anak kecil, kamu tahu apa tentang dunia ini? "Kamu tak mendengar Mahapatih Nambi sudah menyinggung bahwa Perguruan Awan adalah sarang para sudra yang membangkang?"

   "Biar saja, ia punya mulut dan punya kuasa."

   "Kita tak bisa membiarkan begitu saja.

   "Aku kembali hanya untuk menyampaikan dan melihat apakah gema itu terdengar sampai di sini.

   "Gendhuk, aku tak bisa seperti kamu yang bisanya hanya mengekor apa yang dilakukan Adimas Upasara! "Aku berkepentingan dengan nama Perguruan Awan, dengan Permaisuri Rajapatni, dengan Kakang Dewa Maut!"

   Upasara menahan gelora di dadanya. Gendhuk Tri langsung berdiri. Wilanda menyelesaikan semadinya. Hanya Jaghana yang tenang seperti semula.

   "Aku tak peduli dengan Gayatri! Aku tak peduli apa yang mereka katakan tentang Perguruan Awan! "Aku cuma mau tahu di mana Dewa Maut!"

   Di balik kata-katanya yang keras dan patah-patah, nyata bahwa Gendhuk Tri terusik hatinya.

   Terampas perhatiannya.

   Karena biar bagaimanapun juga Dewa Maut paling dekat dengannya.

   Walaupun Gendhuk Tri selalu menunjukkan sikap jengkel setiap kali bertemu, akan tetapi ini semua tak mengurangi perhatiannya.

   "Sejak kapan kamu bisa memaksaku? "Kalau aku mau cerita tentang Permaisuri Rajapatni lebih dulu, kamu bisa apa?"

   Gendhuk Tri menggerakkan selendangnya dengan kesal.

   "Memangnya kalau kamu bercerita tentang Gayatri, apa kepentingannya?"

   "Permaisuri Rajapatni adalah wanita, seperti aku.

   "Kalau kamu mempunyai hati wanita pasti bisa merasakan yang sebenarnya."

   "Perasaan apa?"

   Nyai Demang tertawa senang. Bukan merasa menang. Melainkan merasa bisa mempermainkan Gendhuk Tri. Setelah mengalami berbagai pengalaman yang menegangkan, bercanda dengan Gendhuk Tri merupakan selingan yang menghibur.

   "Sewaktu Permaisuri Rajapatni masih dipanggil Gayatri, ia pernah berkenalan dengan Upasara Wulung. Hubungan ini terputus karena Baginda Raja mengatakan bahwa Gayatri dan Sanggrama Wijaya diibaratkan Uma dengan Syiwa. Bahwa di kelak kemudian hari, sesuai ramalan para pendeta, turunan Dewi Uma dan Dewa Syiwa akan melahirkan raja yang meneruskan kebesaran Keraton.

   "Akan tetapi nyatanya ini hanya siasat belaka.

   "Nyatanya putri dari Permaisuri tak digubris. Malah putra dari seberang yang diresmikan sebagai putra mahkota."

   "Lalu apa hubungannya?"

   "Hati wanita mana yang tak tersentuh mendengar pengkhianatan ini?"

   Upasara menggeleng lemah.

   "Rasanya masih saja begitu banyak yang memperhatikan saya. Mbakyu Demang, terima kasih atas pemberitahuan ini.

   "Saya bisa mengerti kalau Tuanku Permaisuri bersedih. Akan tetapi sebenarnya tak ada gunanya. Perjalanan hidup ini panjang. Kalau bukan putrinya, bukankah masih ada cucunya? Kalau bukan cucunya, bukankah masih ada cicitnya? Kalau memang keinginannya adalah meneruskan takhta? "Kehidupan sungguh panjang.

   "Kesedihan tak perlu ada."

   "Nah, kamu dengar sendiri apa yang dikatakan Adimas Upasara? Jadi untuk apa sedih kalau aku tidak bercerita mengenai Dewa Maut?"

   "Baik, kalau tidak mau bicara.

   "Paman Galih, di mana Dewa Maut?"

   Galih Kaliki membelalak.

   "Mana aku tahu?"

   Gendhuk Tri mencibirkan bibirnya.

   "Lelaki macam apa yang tak berani berada di luar bayangan wanita ini?"

   Gendhuk Tri menduga bahwa Galih Kaliki tak berani membocorkan rahasia. Padahal sesungguhnya Galih Kaliki tak mengetahui Dewa Maut masih berada di kurungan bawah Keraton! "Aku tak tahu."

   "Di mana dia, Nyai?"

   Suara Wilanda sangat rendah nadanya, akan tetapi kuat rasa ingin tahunya.

   Nyai Demang tak bisa memperlama menahan rahasia.

   Nyai Demang menceritakan apa adanya.

   Bahwa ia berhasil menyusup ke kamar peraduan Baginda, akan tetapi terkena Aji Sirep Laron Halayudha, dan akhirnya disekap dalam kurungan bawah Keraton.

   Dan di situ bertemu dengan Dewa Maut yang tak mau diajak pergi.

   "Aneh sekali. Bagaimana ia bisa sampai di tempat itu?"

   "Mana kamu tahu, Gendhuk. Untuk masuk ke situ jalannya hampir tak mungkin kecuali masuk ke dalam Keraton. Berarti ia ada hubungan dengan selir-selir Baginda."

   Wajah Gendhuk Tri menjadi merah.

   "Heran, bibir selalu nista begitu masih awet melekat di situ."

   "Begini-begini banyak yang memperebutkan, Gendhuk. Rajamu sampai terpesona."

   "Siapa bilang rajaku?"

   "Nyatanya ia menguasai kehidupan kita. Dan kita tak bisa apa-apa."

   "Omong kosong! Aku akan datang ke Keraton untuk menjemput Dewa Maut!"

   Wilanda memberi tanda agar tidak tergesa.

   "Kita masih bisa memikirkan cara yang baik, anak manis."

   Gendhuk Tri cemberut.

   "Aku sudah tahu jalan pikiran Paman semua atau Kakang Upasara. Jalan terbaik adalah berada di sini, bersemadi, melihat matahari terbit dan tenggelam."

   "Baru saja kamu bilang sendiri Keraton mau jungkir-balik tak peduli, sekarang jadi sewot."

   Mendadak Nyai Demang berubah suaranya.

   "Yang saya herankan, Dewa Maut bisa membaca lorong-lorong dalam tahanan bawah Keraton. Bahkan saya tertolong dan bisa lolos karena kidungan dalam Kitab Bumi.

   "Itulah sebabnya saya kembali.

   "Barangkali selama ini kita salah membaca kidungan. Tak ada yang menunjukkan bahwa kita harus berdiam di dalam Perguruan Awan sampai jadi tanah.

   "Barangkali menikmati matahari terbit bisa juga berarti memerangi ksatria yang nakal, membungkam mulut Mahapatih yang ngawur, atau menggempur Halayudha.

   "Saya makin sadar ketika ketemu Kama Kangkam, guru dari Jepun, yang luar biasa tinggi ilmunya. Yang mengaku pemilik sah ilmu Jalan Budha.

   "Jepun bukan Negeri Cina.

   "Jepun bukan Tartar.

   "Jepun bukan Hindia.

   "Jepun akan menghancurkan pohon untuk membuat sawah. Jepun akan mencabut pedang panjang untuk menciptakan kebahagiaan. Kalau benar itu persamaannya dengan Kitab Bumi, saya percaya sepenuhnya Eyang Sepuh selama ini tidak pernah menyembunyikan diri! Tidak mengasingkan diri dan bunuh diri seperti Adimas Upasara yang pengecut! "Saya datang untuk pamit dari kalian."

   Tiga Langkah, Tiga Jagat JAGHANA yang selama ini paling tenang, paling bisa menahan diri dari omongan yang tak keruan juntrungannya, jadi mendongak. Nada ucapan Nyai Demang berbeda dari biasanya. Melengking dan sarat oleh kekesalan.

   "Saya, Nyai Demang, mulai hari ini juga tak akan menginjak tanah Perguruan Awan untuk menyembunyikan diri. Hari ini saya telah puas bisa mengatakan isi hati saya.

   "Paman Jaghana, Paman Wilanda, Kakang Galih, Adimas Upasara, dan juga Gendhuk, kita tak mempunyai ikatan batin dengan Perguruan Awan. Kalau suatu hari kelak kita bertemu, tak usah mengikat dan mengingat bahwa kita pernah bersama-sama di tempat ini."

   Galih Kaliki meloncat bangun.

   "Nyai, aku boleh ikut kamu atau tidak?"

   "Kakang Galih, di sinilah tempatmu.

   "Sarang persembunyian yang empuk. Yang menganggap membunuh nyamuk adalah melakukan dosa, yang membiarkan dunia jungkir-balik, yang menganggap menikmati sinar matahari adalah jalan ke surga."

   "Tunggu."

   Jaghana meloncat menghadang.

   "Kalau Paman merintangi jalanku, jangan salahkan kalau aku main kasar."

   "Nyai, aku hanya ingin mendengar kenapa Nyai tiba-tiba berkata seperti itu."

   Nyai Demang menggeleng.

   "Tak ada gunanya berteriak di depan orang tuli. Tak ada bedanya menembang kidungan atau merintih."

   Tangan Nyai Demang terulur cepat.

   
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dada Jaghana terdorong.

   Tenaga Nyai Demang seperti mengenai karung kosong.

   Tanpa peduli, Nyai Demang menyusuli dengan pukulan kedua.

   Jaghana menghindar dengan menjatuhkan diri secara berguling.

   Di luar dugaan, Nyai Demang maju menerkam.

   Tubuhnya diayun, menjatuhi tubuh Jaghana dengan cengkeraman langsung ke arah jakun.

   Gendhuk Tri berteriak keras.

   "Awas!"

   Wilanda pun tak menduga bahwa Nyai Demang menyerang secara ganas.

   Bahkan ketika tiba-tiba merentangkan tangan dan menghantam dada, Wilanda menduga ini hanya sekadar pelampiasan kejengkelan saja.

   Sungguh tak terduga bahwa Nyai Demang menyerang dengan jurus-jurus mematikan.

   Jaghana bergulung bagai gasing.

   Kepalanya yang gundul pelontos seperti membenam ke dalam dada.

   Namun tak urung, pipinya terkena serempetan cengkeraman.

   Mengakibatkan luka panjang dan darah merah.

   Sewaktu menubruk tadi, Nyai Demang menjatuhkan diri ke rumput.

   Namun dalam seketika tubuhnya terayun kembali dengan kekuatan tangan, dan kedua kakinya menggunting Jaghana yang mau tidak mau terpaksa menangkis.

   Nyai Demang mendahului dengan tamparan telapak tangan terbuka, sehingga Jaghana memiliki jalan mundur.

   Begitu kakinya menginjak tanah, membuat gerakan cepat.

   Maju selangkah, mundur selangkah, dan maju lagi.

   Gerakan kaki yang demikian ini tidak pada satu titik sumbu, sehingga meskipun kelihatannya seperti maju-mundur di tempat, akan tetapi mengurung gerak Jaghana.

   Dengan ilmu memutar tubuh bagai gasing, sebenarnya Jaghana tidak sekadar bertahan, akan tetapi juga memberikan perlawanan.

   Karena dalam memutar tubuh pada kecepatan tinggi, kemungkinan untuk mengatur tenaga serangan tak bisa dikendalikan mana keras mana lunak.

   Jaghana menyadari bahwa serangan Nyai Demang bukan serangan main-main.

   Kaki kiri Nyai Demang mengurung maju satu langkah, Jaghana terpaksa mundur, tetapi justru pada saat itu Nyai Demang mundur selangkah menjauh.

   Ketika Jaghana ragu, gerakan kaki Nyai Demang sudah maju selangkah! Secepat kakinya mematok, secepat itu pula tangannya menggaplok.

   Jaghana yang berputar, menangkis serangan tangan dan kaki, jadi mengeluarkan seruan tertahan.

   Kekuatan kaki Nyai Demang jadi luar biasa mengagetkan.

   Seperti sepuluh tenaga yang biasa dikenalnya.

   Jaghana tak bisa menahan tubuhnya untuk tidak melorot turun.

   Saat itulah telapak tangan Nyai Demang mematok gundul Jaghana.

   Galih Kaliki berteriak nyaring sambil mengangsurkan tongkatnya yang disentakkan ke atas menahan getokan Nyai Demang.

   Tapi Nyai Demang hanya mengeluarkan suara dingin.

   Tangannya berubah menjadi cengkeraman.

   Menggenggam tongkat, saling tarik dengan Galih Kaliki.

   Sekali membetot, merenggangkan, dan kemudian menyentak keras.

   "Lepas!"

   Gendhuk Tri masih menduga bahwa tongkat akan dilepaskan Galih Kaliki.

   Karena tak mungkin Galih Kaliki bertahan dengan tetap memegangi, sebab ini berarti adu tenaga dan akan membahayakan Nyai Demang.

   Dugaan Gendhuk Tri berdasarkan perhitungan bahwa Galih Kaliki terlalu menyayangi Nyai Demang.

   Justru dugaannya meleset! Galih Kaliki tidak ingin melukai Nyai Demang, memang.

   Akan tetapi ia tak melepaskan tongkatnya begitu saja, justru karena menyadari tenaga Nyai Demang sangat besar.

   Bisa-bisa tongkat itu mengemplang kepala Jaghana yang gundul pelontos.

   Galih Kaliki lebih suka tetap menahan.

   Dan hatinya mencelos, ketika terisap tenaga keras hingga tubuhnya terlontar ke angkasa.

   Dan masih ngotot memegangi tongkat.

   Nyai Demang menggenjot tubuhnya melayang.

   Satu pukulan tangan kanan dilemparkan, sebelum menyentuh lawan ditarik kembali dan diganti dengan pukulan tangan kiri.

   Buk! Tubuh Galih Kaliki berdebuk di tanah.

   Jaghana yang kini bisa berdiri tegak, berusaha melindungi.

   Akan tetapi untuk kedua kalinya, dengan serangan yang sama, Jaghana kena tendang.

   Kali ini Gendhuk Tri yang menerjang.

   "Hati-hati, Gendhuk. Ini jurus Tiga Langkah Kresna."

   Suara peringatan Wilanda terlambat. Siku Nyai Demang mengenai ulu hati Gendhuk Tri yang langsung membuatnya melorot! Nyai Demang berdiri garang! "Dengan sepenuh hati kalian belum tentu menang. Apalagi kalau separuh-separuh seperti ini."

   Dengan kaki terpincang-pincang, Jaghana menggulung kembali tubuhnya dan maju menerjang.

   Aba-aba peringatan dari Wilanda membuatnya berhati-hati menghadapi Nyai Demang yang menjadi galak.

   Tiga Langkah Kresna atau lebih lengkap disebut Tiga Langkah Kresna Menguasai Tiga Jagat, juga disebut tiwikrama.

   Kata ini lebih dikenal dari sebutan aslinya yaitu triwikrama atau tiga langkah.

   Dalam pengertian dari kata-katanya memang bisa berarti tiga langkah.

   Langkah maju, mundur, dan maju lagi menggempur.

   Akan tetapi sesungguhnya artinya lebih besar dari itu.

   Tiwikrama bukan hanya berarti tiga langkah, akan tetapi tiga langkah Kresna.

   Tokoh pewayangan titisan Dewa Wisnu yang ketika tiwikrama tubuhnya berubah menjadi raksasa, yang kalau berbaring sanggup membendung Kali Brantas.

   Digambarkan mempunyai kepala sepuluh yang siap menerkam.

   Tiwikrama sebenarnya tak bisa disebut jurus, karena ini hanya bertumpu kepada pengaturan tenaga dalam.

   Tiwikrama baru bisa memberikan tenaga bila digabungkan dengan jurus lain.

   Konon, jurus yang sering digabungkan adalah jurus garuda, sehingga menjadi Garuda Tiwikrama, yang pernah dipakai oleh Raja Airlangga dalam menaklukkan tokoh misteri Mbok Randa Dirah.

   Akan tetapi selama ini Jaghana tak pernah mendengar lagi latihan pernapasan Tiwikrama.

   Hanya Eyang Sepuh pernah menyebut-nyebut sebagai cara berlatih napas yang unggul.

   Akan tetapi juga berbahaya, karena pengaturan napasnya bertentangan dengan irama yang wajar.

   Tidak dimulai dengan menarik napas, akan tetapi dengan mengembuskan napas lebih dulu.

   Menurut penuturan Eyang Sepuh, latihan pernapasan Tiwikrama sudah lama ditinggalkan para ksatria karena banyak mengandung pertentangan di dalam otot dan urat tubuh.

   Agak mencengangkan juga bahwa Nyai Demang secara tiba-tiba memakai pengerahan tenaga dalam Tiwikrama.

   Dan memainkan secara murni dengan tiga langkah serangan.

   Tanpa digabungkan dengan jurus yang lain.

   Hanya karena dasar-dasar tenaga dalam Nyai Demang tak terlalu istimewa, pelipatan tenaga dalam tidak menjadi serangan maut.

   Karena kalau benar begitu, Galih Kaliki maupun Gendhuk Tri pasti tak sempat merintih.

   Peringatan Wilanda membuat Jaghana sangat berhati-hati.

   Karena sejauh ini ia masih ingat penuturan Eyang Sepuh.

   Barang siapa melatih cara bernapas Tiwikrama, jalan pikirannya pun bisa terbalik.

   Berbeda dari jalan pikiran manusia biasa.

   Menurut cerita, ini pula dulu yang menyebabkan Baginda Raja Airlangga meninggalkan takhta dan hidup menyepi di hutan sebagai pertapa! Bisa dibayangkan akibatnya jika ini dipakai Nyai Demang yang tadinya hidup bersahabat! Berarti kebalikannya.

   Berarti maut! Tiga Mantra Syiwa JAGHANA menggerung.

   Badannya tergulung bagai kitiran, berputar cepat, dan meluncur bagai anak panah lepas dari busur.

   Mengepung Nyai Demang dalam gerak pusarannya, sehingga mau tak mau harus meladeni pertarungan jarak pendek.

   Sebenarnya justru ini yang diandalkan oleh Nyai Demang.

   Jaghana bukannya tidak mengetahui.

   Akan tetapi ia bertekad mengimbangi.

   Jurus-jurus Jaghana yang berasal dari Perguruan Awan memang tak dikenal nama-namanya.

   Karena pemberian nama bertentangan dengan apa yang selama ini dianut dalam perguruan tersebut.

   Bagi mereka, pemberian nama termasuk kecerewetan yang berlebihan.

   Meskipun demikian ada beberapa ciri tertentu.

   Serangan berputar Jaghana termasuk serangan yang berbahaya.

   Karena dengan memutar tubuhnya bagai gasing, apalagi melayang di tengah udara, berarti Jaghana mengeluarkan asap beliung, yang bukan hanya mengurung tapi juga menggulung.

   Setiap saat akan menyeret Nyai Demang untuk ditindih.

   Dalam serangan bergulung, semua anggota badan Jaghana bisa dipergunakan.

   Tendangan, sikutan, pukulan, totokan, sodokan lutut, semua dipergunakan.

   Jaghana menyadari walau serangan Nyai Demang berbahaya, akan tetapi karena kekuatan tenaga dalamnya terbatas, akan bisa ditindih dengan menekan ketat.

   Wilanda yang menyaksikan sejak tadi merasa cemas.

   "Nyai... kamu masih kena Aji Sirep Laron?"

   Teriakan Wilanda tak terjawab.

   Jalan pikiran Wilanda adalah perhitungan bahwa Nyai Demang masih terpengaruh Aji Sirep Laron, atau sejenis dengan aji sirep semacam itu.

   Yaitu aji sirep yang membuat orang kehilangan kesadarannya.

   Bukan tidak mungkin sekarang ini kesadaran Nyai Demang sepenuhnya dikuasai oleh ajian Halayudha.

   Aji sirep semacam ini memang sangat berbahaya.

   Karena bisa menguasai seseorang tanpa disadari.

   Dan bisa datang serta bisa pula pergi.

   Sehingga tindakan Nyai Demang yang kasar bisa dimengerti dari segi ini.

   Agak masuk akal, mengingat Nyai Demang selama ini tak mengeluarkan pukulan-pukulan telengas dan ganas.

   Teriakan Wilanda terdengar oleh Jaghana yang segera mengerahkan tenaga sepenuhnya.

   Kepalanya yang botak licin mengeluarkan asap semakin padat.

   Kedua tangannya meraup Nyai Demang dengan desisan lirih.

   "A-u-ma."

   Kedua tangan Jaghana meraup kepala Nyai Demang.

   Akan tetapi karena tubuhnya berputar, bukan tidak mungkin kepala Nyai Demang seperti dipelintir.

   Apa yang diteriakkan Jaghana adalah triaksara, atau mantra tiga kata Dewa Syiwa.

   Mantra ini merupakan seruan khusus bagi penganut Jalan Budha atau penganut ajaran Dewa Syiwa.

   Dalam banyak hal dikenal beberapa mantra.

   Seperti pancaksara atau mantra lima kata.

   Yang paling dikenal ialah ekasara, atau mantra satu kata dengan meneriakkan om.

   Jaghana mempergunakan mantra tiga kata, karena yang dihadapi adalah Nyai Demang yang mempergunakan jurus Tiga Langkah Kresna.

   Kalau perhitungan itu cepat, pengaruh mantra ini akan mampu menghilangkan aji sirep yang menguasai Nyai Demang.

   Galih Kaliki mencelos.

   Ia kena dibanting hingga ambruk.

   Akan tetapi tenaga dalamnya masih tangguh.

   Sehingga bisa bangkit dan mengikuti jalannya pertempuran.

   Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mengetahui bahwa serangan Jaghana sangat berbahaya, Galih Kaliki hanya bisa meneriakkan namanya.

   "Nyaiiiii!"

   Sementara Gendhuk Tri yang kena tendang bagian pinggang juga tak terlalu menderita.

   Ia bisa dijatuhkan, akan tetapi masih mampu bangkit kembali.

   Mampu membaca dengan jelas jalannya pertempuran.

   Dan walaupun jengkel kepada Nyai Demang, Gendhuk Tri tak tega melihat Jaghana mengusap wajah Nyai Demang dalam putaran.

   Akan tetapi ternyata Nyai Demang tidak berada dalam bahaya.

   Justru tertawa bergelak.

   Satu sentuhan lagi kedua tangan Jaghana mengenai wajahnya, Nyai Demang malah maju menyongsong.

   Lalu mundur dengan cepat, sehingga Jaghana mengenai angin.

   Tangkapannya meleset, dan ketika itulah kedua tangan Nyai Demang menangkis! Sangat sederhana gerakannya.

   Bisa terbaca.

   Akan tetapi Jaghana yang berputar, terlontar ke arah luar.

   Bagai diayunkan dengan keras.

   Tubuhnya terlempar ke ujung pohon.

   Nyai Demang mengeluarkan suara dingin.

   "Ayo keluarkan lagi mantra kalian! "Aku masih menunggu di sini."

   Menyaksikan Jaghana terlempar sampai di pucuk pohon, Gendhuk Tri setengah tak percaya.

   Dalam pergumulan dan latihan sehari-hari, Jaghana adalah tokoh nomor dua setelah Upasara.

   Maka tak bisa begitu saja terlempar oleh Nyai Demang yang selama ini paling buncit kepandaiannya.

   Paling sejajar dengan Gendhuk Tri.

   Atau malah kurang.

   Memang secara perhitungan, tubuh Jaghana bisa terlempar karena tenaga putarannya sendiri.

   Akan tetapi bahwa Nyai Demang mampu membalikkan tenaga putaran, itu yang luar biasa.

   Upasara maju.

   "Mbakyu, sadarlah."

   "Jangan halangi aku, Adimas."

   Jelas dari ucapannya bahwa Nyai Demang masih sadar.

   Masih bisa menyebut dengan sebutan Adimas, masih memberi peringatan.

   Tapi Upasara tetap maju.

   Tangan Nyai Demang bergerak, memukul udara di depan Upasara.

   Wilanda meloncat cepat, mencoba memotong tenaga dorongan Nyai Demang.

   Demikian juga Gendhuk Tri.

   Akan tetapi terlambat! Tubuh Upasara terkena tolakan tenaga.

   Bagai didorong angin kencang, Upasara mental ke belakang.

   Sementara Wilanda terdorong ke samping.

   Hanya Gendhuk Tri yang bertahan, meskipun getaran angin panas menyesakkan badannya.

   Galih Kaliki meluncurkan tongkatnya dengan tenaga lembek untuk menahan Upasara dari bantingan yang bisa merontokkan semua tulangnya.

   Sejak Upasara kehilangan semua ilmunya, ia menjadi pusat penjagaan siapa pun.

   Maka sungguh tak dinyana bahwa Nyai Demang akan menyerangnya.

   "Nyaiiiii!"

   "Makin kalian lindungi, makin lemah tubuhnya.

   "Adimas Upasara, kalau kamu tidak mau dwija, kenapa tidak membunuh diri sekalian?"

   Dwija mempunyai arti hidup kembali, terutama yang menganut kepercayaan ajaran aliran yang memberikan pengertian tentang kehidupan baru setelah kematian. Baik dalam pengertian secara wadag, maupun dalam pengertian rohani.

   "Kalau kamu tidak berani, mari aku tolong mengantarkanmu."

   Nyai Demang maju menerjang.

   Gendhuk Tri menggunakan empat helai selendang yang berkibar secara bersamaan, sementara Galih Kaliki juga menghadang.

   Sebagai ganti tongkatnya, kedua tangannya membentuk benteng bertahan dengan diputarkan.

   Wilanda mengeluarkan ilmu meringankan tubuh seperti capung yang selama ini belum tertandingi.

   Dalam sekejap, Nyai Demang dikerubuti dari berbagai jurusan.

   Tetap dengan gerak maju-mundur-maju, Nyai Demang bertahan.

   Dan tetap dengan tawanya yang bergelak, Nyai Demang meladeni.

   "Tiwikridita."

   Jelas, Nyai Demang dalam keadaan sadar.

   Tak mungkin dalam keadaan kena pengaruh aji sirep bisa melontarkan kata-kata ejekan dan yang mempermainkan lawan.

   Tiwikridita, jelas bukan istilah tertentu yang mengandung arti seperti tiwikrama.

   Tiwikridita mengandung pengertian tiga permainan.

   Jadi sengaja bermain-main, atau mempermainkan lawan-lawannya.

   "Sekarang kalian rasakan tiwilangon."

   Dengan menggoyangkan tubuhnya, bagian dadanya yang montok disorong ke depan, sementara perut dan pantatnya melenggok, Nyai Demang seperti membiarkan disentuh oleh Wilanda ataupun Galih Kaliki.

   Tiwilangon bisa diartikan tiga berahi! Seakan Nyai Demang sedang memancing berahi ketiga lawannya, atau mengajak permainan berahi.

   Keruan saja Wilanda jadi serbasalah.

   Di samping hanya tenaga mengentengkan tubuh yang bisa diandalkan, kini harus menghindarkan serangan yang bisa mengenai bagian tubuh yang tak diinginkan.

   Sebagai ksatria adalah pantangan besar menyerang bagian tubuh seseorang yang terlarang.

   Apalagi menghadapi wanita! Padahal jelas-jelas justru Nyai Demang menyodorkan dadanya dan bagian tubuhnya yang lain! Galih Kaliki pun jadi kelimpungan.

   Bingung tak tahu harus bersikap bagaimana.

   Ia sangat mengharapkan rasa cinta yang sesungguhnya.

   Bukan sekadar permainan berahi seperti sekarang ini.

   Gendhuk Tri sendiri terperangah.

   Nyai Demang justru mempergunakan untuk mencuri kesempatan.

   Sasarannya ternyata tetap Upasara Wulung! Dua Belas Kedudukan Bintang Nyai Demang berhasil mendesak ketiga lawannya.

   Gendhuk Tri berusaha melindungi Upasara dengan tidak memperhatikan apakah ayunan selendang atau pukulan yang mengenai dada Nyai Demang yang diangsurkan padanya.

   "Gasak saja, Paman Galih. Jangan pedulikan."

   "Mana mungkin?"

   Kata Galih Kaliki bingung.

   "Tidak apa. Senggol saja sedikit. Apa masih keras atau sudah lembek."

   Dengan cara yang kurang ajar, Gendhuk Tri mencoba memancing agar Galih Kaliki bisa menggempur tidak setengah hati.

   Ajakannya yang sembrono membuat Galih Kaliki yang tidak banyak akalnya jadi mengangguk.

   Kali ini menerjang seperti perintah Gendhuk Tri.

   "Bagus,"

   Kata Gendhuk Tri sengaja menirukan gaya Nyai Demang.

   "Ini baru mengasyikkan.

   "Paman Wilanda, mari kita bermain. Jangan ragu."

   Wilanda melayani kembali, mencoba memecah perhatian Nyai Demang. Dikerubuti bertiga yang menyerang sepenuh tenaga, Nyai Demang nampak tidak leluasa menekan. Gerak maju-mundur-majunya jadi terbatas.

   "Bagus, aku mau lihat."

   Nyai Demang menggeser pantatnya ke arah selatan, ke arah utara, seirama dengan gerakan tangannya. Dengan kecepatan tinggi, sehingga susah dipastikan apakah yang memberi tenaga panas dari pantat atau dari tangan yang mengancam.

   "Awas, Lintang Sapi Gumarang,"

   Teriak Wilanda keras, sambil berusaha menyebar ke arah kedudukan yang berbeda dengan Gendhuk Tri.

   Galih Kaliki pun segera mengambil sudut serangan yang berbeda.

   Seperti diketahui jurus Lintang Sapi Gumarang adalah jurus untuk membuyarkan pemusatan tenaga lawan.

   Membuyarkan dengan siasat seolah Nyai Demang menjadi banyak sekali, atau samar.

   Dengan memecah diri, pengaruh amun-amun, atau kekaburan itu bisa terpecahkan sedikit.

   Tidak begitu kuat pengaruhnya.

   Sehingga kalaupun Gendhuk Tri terpengaruh, Wilanda atau Galih Kaliki masih bisa awas dan berjaga.

   Meskipun serangan terpecah, Nyai Demang tidak berusaha segera mengubah gaya serangannya.

   Masih terus melanjutkan, walau Galih Kaliki mulai mendesak dari arah kanan.

   Menyelusup masuk.

   Bahkan pukulannya mulai masuk, menyerempet pinggang Nyai Demang.

   "Bagus!"

   Teriak Gendhuk Tri.

   "Bagus!"

   Teriak Nyai Demang sambil menahan diri untuk melangkah maju.

   Gerak satu langkah maju, menjadi berada di tempat, dan gerak mundur tetap mundur.

   Berarti kalau maju selangkah kembali, tetap berada di tempatnya.

   Berarti bertahan.

   Baru kemudian berganti dengan memainkan jurus Lintang Tagih yang lebih dingin dan bertahan sifatnya.

   Pukulan tangan tetap ganas, akan tetapi tidak mendesak.

   Sebelum lawan-lawan sadar, Nyai Demang telah mengganti atau meneruskan dengan jurus Lintang Lumbung, dengan kuda-kuda yang makin kokoh maju ke tiga penjuru.

   Galih Kaliki yang mundur pertama, sementara Wilanda memang tak bisa bertahan adu kuat.

   Gendhuk Tri mencoba menangkis dengan selendangnya yang bertenaga besar.

   Nyai Demang menggertak dengan jurus Lintang Jaran.

   Sesuai dengan sifatnya bagai gelombang, tenaga dalam Nyai Demang mulai menggulung, menguasai, dan mencoba mempermainkan tenaga lawan.

   Dengan segera disusul jurus Banyak Angrem, serta jurus keenam yang disebut Lintang Gotong Mayit.

   Dengan gebrakan keras, Nyai Demang merenggut ketiga lawannya, siap merontokkan anggota tubuh lawan yang bisa tersenggol.

   Berbeda dari jurus kedua, ketiga, keempat, dan kelima, jurus keenam ini dimainkan agak lama, bahkan lebih lama dari jurus pertama! Seakan Nyai Demang yakin bisa mengalahkan dengan enam jurus! Sebenarnya tidak persis begitu.

   Gendhuk Tri mengetahui kehebatan Dua Belas Jurus Nujum Bintang yang dimainkan Nyai Demang.

   Galih Kaliki pun meski barangkali tidak mengetahui nama-nama secara persis, akan tetapi cukup maklum.

   Apalagi Wilanda yang sejak kanak-kanak mengenai ajaran jurus-jurus tersebut.

   Bahwa dasar-dasar serangan Dua Belas Jurus Nujum Bintang sudah diketahui, memang bukan rahasia lagi.

   Akan tetapi berbeda dari tokoh yang lain, Nyai Demang bisa memainkan dengan tepat! Bahkan tenaganya seperti berlipat! Rasanya agak mustahil bahwa Nyai Demang bisa menindih ketiga lawan yang masing-masing sepadan dengannya, dengan ilmu yang sama-sama dikuasai.

   Upasara yang berada di luar lingkaran jadi gemetar.

   Ada keinginan yang dorong-mendorong dalam tubuhnya.

   Antara turut terlibat dan surut.

   Ini lebih merupakan pergumulan batin.

   Karena walaupun secara tenaga Upasara tidak memiliki kekuatan yang berarti, akan tetapi jalan pikirannya masih awas dan cerdik.

   
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Upasara dapat membaca kenapa Nyai Demang bisa menindih lawan-lawan tarungnya.

   Jurus-jurus yang dimainkan Nyai Demang adalah jurus-jurus yang diciptakan oleh seorang maha empu yang luas pengetahuannya.

   Nama-nama jurus yang diberikan adalah gambaran adanya bintang di langit.

   Disebut Lintang Lumbung, karena gugusan bintang ini biasa terlihat agak di tengah, makanya pusat kekuatan berada di akar, atau kaki.

   Gugusan bintang itu membentuk lumbung atau tempat menyimpan padi.

   Kekuatan utama adalah kekuatan akar yang sedang tumbuh.

   Penuh tenaga tapi tak terlihat! Demikian juga jurus keempat yang disebut jurus Lintang Jaran atau Bintang Kuda.

   Karena gugusan bintang di langit itu memberi gambaran bentuk kuda.

   Biasanya gugusan ini terlihat di sebelah utara! Tapi yang lebih luar biasa adalah cara pengaturan tenaga yang dipamerkan Nyai Demang.

   Inilah yang tak dimengerti oleh Galih Kaliki, Gendhuk Tri, barangkali juga Wilanda.

   Nyai Demang bisa menangkap intisari Dua Belas Jurus Nujum Bintang dengan tepat.

   Seperti diketahui bintang-bintang yang membentuk gambaran tertentu itu tidak setiap saat bisa dilihat.

   Hanya pada bulan-bulan tertentu.

   Lintang Sapi Gumarang bisa terlihat di arah utara dan selatan, akan tetapi hanya pada musim pertama atau bulan pertama atau juga disebut Kasa.

   Memahami ini saja tidak cukup.

   Diperlukan pengertian yang lain, yaitu umur masing-masing musim.

   Bahwa semua dua belas bulan yang berarti satu tahun, akan tetapi tidak dengan sendirinya usia masing-masing musim adalah 30 atau 31 hari.

   Di sini kelebihan Nyai Demang.

   Nyai Demang tahu pada musim pertama yang disebut Kasa berusia 41 hari.

   Ini berarti serangannya lebih lama dibiarkan mengalir dibandingkan memainkan jurus kedua, ketiga, dan keempat yang disebut musim Karo, Katiga, Kapat, yang umurnya masing-masing 23, 24, dan 25 hari.

   Panjang atau pendek usia hari setiap musim mempengaruhi lama atau sebentar memainkan jurus-jurus tersebut.

   Sehingga sampai jurus kelima, seakan pada jurus berikutnya Nyai Demang sudah kelihatan memetik hasil kemenangan.

   Padahal sebenarnya dalam jurus keenam yang disebut jurus Lintang Gotong Mayit, atau Bintang Menggotong Mayat, terjadi pada musim keenam.

   Bintang ini terlihat disebelah barat.

   Itu adalah saat petani memetik buah-buahan, memperoleh manfaat.

   Musim Kanem atau keenam ini dalam perhitungan berusia 43 hari.

   Seperti juga musim ketujuh dalam jurus Lintang Bima Sekti, atau jurus Bintang Bima Sakti yang biasa terlihat di barat! Jika dihitung bulan ketujuh ini usianya 43 hari juga.

   Berarti serangan yang dilancarkan mempunyai waktu yang sama.

   Namun demikian tetap ada bedanya.

   Walaupun sama-sama tenaga barat, karena memang secara perhitungan bintang itu terlihat di sebelah barat, akan tetapi Lintang Gotong Mayit terletak di sebelah barat arah selatan.

   Sedang pada jurus berikutnya yaitu jurus Lintang Bima Sekti, meskipun sama-sama di barat, akan tetapi kedudukannya tidak persis di arah selatan.

   Sudah sedikit menggeser ke utara.

   Pergeseran ini hanya mungkin diketahui oleh mereka yang mempelajari ilmu letak dan atau kedudukan bintang.

   Pergeseran yang sedikit inilah yang menentukan.

   Seperti juga nanti pada jurus kedua belas yang disebut dengan jurus Lintang Tagih, yang sama dengan jurus kedua.

   Hanya pengerahan tenaga dan arah sasarannya serta lamanya memainkan berbeda.

   Karena Lintang Tagih yang dimainkan di jurus kedua hanya berusia 23 hari, sementara Lintang Tagih pada jurus kedua belas, sesuai dengan musim kedua belas atau Saddha, berusia 41 hari, arahnya pojok selatan! Kedudukan paling selatan, pantog selatan! Dengan mengerti posisi bintang, umur bulan ketika bulan terlihat, pengaturan tenaga bisa sempurna.

   Memberikan hasil yang terbaik.

   Dari sini ini, bisa dimengerti bahwa meskipun sama-sama mempelajari, Nyai Demang kelihatan unggul mencolok.

   Gerakannya bisa mengolok-olok.

   Dengan jurus yang sama! Mengingat ini semua Upasara merasa cemas.

   Belum seluruh jurus Bintang dimainkan, sudah jatuh korban.

   Bisa ketiga-tiganya.

   Padahal jelas, Jaghana yang bisa menelanjangi cara-cara Nyai Demang masih tertengger di dahan.

   Tak bisa diharapkan terjun ke medan pertarungan.

   Tinarbuka BAGIAN terpenting dalam mempelajari ilmu silat ialah ketika mencoba memahami tenaga sesungguhnya di balik setiap gerakan.

   Bahwa sesungguhnya, gerakan dalam bersilat hanyalah pantulan dari suatu tenaga yang diatur.

   Baik dengan cara mengatur napas, maupun cara yang lain.

   Seorang jago silat bisa saja melatih cara memukul, dan makin lama makin keras pukulannya karena latihan-latihannya makin berat dan ia sendiri giat.

   Akan tetapi tetap saja arti pukulan itu hanya keras.

   Hanya wadag atau bersifat lahiriah.

   Akan tetapi bila betul-betul memahami asal mula tenaga, pukulannya tetap bertenaga, walau hanya digerakkan secara sederhana.

   Gerakan jari tangan bisa lebih membahayakan dibandingkan dengan jotosan keras.

   Seorang yang kelihatan tua dan loyo, bisa menjadi lebih jago dari seseorang yang kelihatan berotot sempurna.

   Hal semacam ini mudah dipahami.

   Hampir semua pendekar mendengar ini sebagai ajaran pertama kali.

   Yang berbeda ialah cara pendekatan untuk mempelajari ilmu silat tersebut.

   Gerakan tangan, kaki, meloncat, bergulung memang bisa dipelajari dan kemudian dilatih.

   Akan tetapi, tetap saja seratus murid yang mempelajari, seratus tingkatan yang ada.

   Bagi Upasara pendekatan itu bisa diresapi.

   Selama dua puluh tahun sejak lahir pertama kali, Upasara sudah dimasukkan ke dalam Ksatria Pingitan, suatu tempat yang memingit, untuk menyendirikan, agar besoknya bisa menjadi ksatria yang tangguh.

   Baginda Raja Sri Kertanegara mendirikan Ksatria Pingitan, karena berharap suatu ketika akan muncul ksatria-ksatria yang tangguh dan berbudi, yang membawa kebesaran nama Singasari, yang bisa menjaga ketenteraman, yang bisa mengalahkan kejahatan.

   Gagasan luhur Sri Kertanegara ini dimulai dari bayi-bayi yang baru lahir.

   Sejak masih menetek, sudah langsung digembleng.

   Dikenalkan dengan cara bernapas.

   Sebelum bisa berjalan, sudah bisa menghindar.

   Dalam tangisnya pun, bisa menolak sesuatu yang tak disukai.

   Pendirian Ksatria Pingitan ini dulu diasuh langsung oleh Ngabehi Pandu, yang sekaligus guru tunggal Upasara Wulung.

   Bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika sejak masih bayi sudah dilatih oleh seorang tokoh yang memang sudah kelas utama pada masanya.

   Akan tetapi, juga terlihat bukti yang nyata.

   Sama-sama dilatih sejak bayi oleh guru yang sama, di antara Ksatria Pingitan tetap ada yang lebih unggul, dan ada yang kalah.

   Ada yang menonjol, dan ada yang biasa-biasa saja.

   Upasara menyadari, bahwa ucapan-ucapan almarhum gurunya baru bisa disadari belum lama.

   "Upasara, kamu lihat sendiri.

   "Begitu banyak yang kulatih sejak sebelum bisa apa-apa, dengan cara dan perhatian yang sama, akan tetapi hasilnya berbeda.

   "Kamu tak bisa bangga, karena bukan kamu yang terbaik.

   "Kamu ini baru pada tingkat yang tidak membuat saya malu melihat diri saya sendiri karena tak becus mengangkatmu.

   "Ketahuilah, Upasara, bahwa sesungguhnya ilmu kanuragan, atau silat, yang kita pelajari bersama ini hanyalah kuku hitam. Kuku hitam ini perpanjangan dari kuku putih. Kuku putih ini hanya perpanjangan dari tangan dan kaki. Kaki bagian dari tubuh, dan tubuh tak bisa berdiri tanpa kepala, tanpa leher.

   "Kanuragan hanyalah yang bisa terlihat dari sesuatu yang lebih besar.

   "Itu sebabnya aku mendidikmu menjadi ksatria, bukan menjadi jago silat.

   "Dalam mempelajari ilmu kanuragan, kamu bisa menjajal, melatih dengan tekun. Bisa mengikuti petunjuk-petunjuk yang kuberikan. Tinggal menirukan.

   "Akan tetapi itu hanya mempelajari kulit luarnya saja.

   "Seumpama padi, itu hanya sekam saja.

   "Seumpama manusia, itu hanya kuku hitam saja.

   "Yang paling wigati adalah kamu menemukan sendiri. Kenapa kaki harus bergerak ke kiri atau ke kanan, ke samping, ke depan, ke belakang, tertekuk, lurus atau tetap berada di tempat.

   "Tentu saja aku bisa mengatakan kenapa begini atau begitu yang berhubungan dengan gerakan itu. Dan kamu bisa menghafalkan serta melatih.

   "Tetapi itu semua nantinya hanya akan menempel."

   "Jadi, bagaimana sebenarnya?"

   "Temukan sendiri, anak bandel!"

   "Bagaimana saya bisa menemukan, kalau Guru tidak bersedia mengajari?"

   "Upasara, kamu dibesarkan dengan padi yang ditanam para petani. Kamu dihidupi Keraton Singasari. Jadi kamu harus berbakti pada Keraton. Harus membela tanah di mana kakimu menginjak."

   "Guru, yang begitu sudah ribuan kali saya dengar."

   "Anak bandel.

   "Siapa menyuruhmu mendengarkan? "Pergi jauh sana. Lihat sendiri! "Itu jawabannya."

   Upasara tak memahami sepenuhnya.

   Ia hanya lebih mengetahui bahwa untuk memakan nasi satu suap ke dalam mulutnya, diperlukan keringat yang menetes deras.

   Sejak memilih tanah, mengolah, menunggui, menanam, menjaga dari serangan tikus, menuai, memisahkan gabah, menyimpan, mencuci, merendam dalam air, dan memasaknya.

   Baru kemudian bisa lebih mengerti sedikit-sedikit.

   Bahwa dengan ikut menanam padi, Upasara tak akan pernah melupakan itu semua.

   Bahwa dengan menyelami, ia berada di tengahnya, dan bisa menemukan apa yang dikatakan Ngabehi Pandu, maupun yang tidak dikatakan.

   Ini salah satu cara Ngabehi Pandu mengajar murid-muridnya.

   Kemudian secara perlahan, Upasara bisa memahami gerakan-gerakan ilmu yang secara khusus diciptakan untuknya, yaitu jurus-jurus Banteng Ketaton, atau jurus-jurus Banteng Terluka.

   Bisa lebih menghayati.

   Karena telah lebur di dalam proses pencarian.

   Tak jauh berbeda dari yang terjadi pada Nyai Demang sekarang ini! Letak dan posisi bintang pada waktu-waktu tertentu bisa dipelajari.

   Jumlah hari dalam setiap musim bisa dihafalkan, bisa dimengerti.

   Akan tetapi untuk memahami secara penuh, tak bisa hanya sekadar hafalan dan latihan belaka.

   Tanpa keterbukaan hati, tak mungkin hubungan antara umur hari dalam setiap musim bisa dipahami dengan sempurna.

   Kesimpulan yang diperoleh hanya bisa jika batin telah tinarbuka, telah terbuka.

   "Hanya yang terbuka yang bisa dimasuki. Hanya yang kosong yang bisa diisi, Upasara.

   "Kalau kamu tidak menganggap dirimu kosong, masih perlu belajar, perlu mendengar, telingamu seperti tersumbat. Pada saat itu kamu tak mendengar suara apa-apa.

   "Jadikan dirimu seperti batok kelapa yang membuka dan kosong, agar selalu bisa diisi.

   "Batok kelapa tak bisa menyimpan air yang memenuhi tanpa membuangnya, tapi hati manusia bisa. Sebab ilmu itu disimpan tidak mengambil tempat, dibuang tidak menimbulkan suara.

   "Ilmu Banteng Ketaton dengan mudah bisa kukatakan seperti banteng terluka. Ilmu itu memang kuperoleh dari melihat gerakan banteng yang terluka. Tapi mengatakan itu saja tak bisa membuat batinmu terbuka. Tapi membayangkan saja tak bisa membuat tinarbuka.

   "Kamu akan mengerti sendiri suatu hari nanti, Upasara, ketika kamu berubah menjadi banteng yang terluka. Ketika batinmu menerima bahwa dirimu adalah banteng terluka.

   "Aku percaya, kalau kamu mempunyai batin bersih, kamu akan bisa menerima pencerahan. Hanya yang tinarbuka yang bisa menerima pencerahan, cahaya cerah tapi tidak menyilaukan.

   "Itulah sesungguhnya wahyu."

   Yang membuat Upasara terheran-heran ialah ternyata Nyai Demang seperti mendapat pencerahan itu, justru dalam keadaan "terus bergerak".

   Berbeda dari Jaghana maupun Wilanda, Nyai Demang sangat jarang nampak bermenung diri.

   Justru sebaliknya.

   Menggebrak ke sana kemari.

   Tetap berbeda dari Gendhuk Tri yang walaupun banyak geraknya, akan tetapi pada saat-saat tertentu semadi secara khusyuk.

   Upasara Wulung memang tidak mengetahui perjalanan hidup Nyai Demang.

   Tidak mengetahui persis apa yang terjadi beberapa waktu belakangan ini.

   Nyai Demang telah terkuras habis seluruh kemampuannya sejak dijebloskan ke dalam kurungan bawah Keraton.

   Bahkan boleh dikatakan telah hancur terkena aji sirep Halayudha.

   Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Berkat pertolongan tak langsung Dewa Maut, Nyai Demang bisa bangkit kembali.

   Dan menemukan dirinya merasa bisa melihat terang, bisa menerima lebih lapang apa yang terjadi.

   Semua ingatannya bisa muncul seketika.

   Seperti ketika menghadapi Kama Kangkam.

   Bedanya sekarang yang dihadapi adalah saudara seperguruan.

   Penolakan Sebagai Penerimaan NAPAS Upasara memberat.

   Keganasan Nyai Demang berlangsung di depan matanya.

   Yang menjadi korban adalah orang-orang yang dikasihi, dan juga mengasihinya.

   Orang-orang yang bersedia berkorban baginya.

   Napas Upasara makin memberat.

   Tarikan antara keinginan untuk campur tangan berperang dan tekadnya untuk mengundurkan diri dari gelanggang persilatan.

   Pertarungan itu sebenarnya telah terselesaikan ketika ia memutuskan untuk memusnahkan semua ilmu silatnya! Pada saat itu telah bulat tekadnya.

   Bahwa satu-satunya jalan keluar dari kesesakan pikirnya ialah dengan membuang segala yang dimiliki.

   Karena segalanya telah menjadi memberati.

   Orang tua angkat yang tak ikut sangkut-paut dengannya, Pak Toikromo, terseret ke dalam penderitaan.

   Hanya karena menjadi orang tua angkat.

   Gayatri, permaisuri terkasih yang paling dicintai Baginda Raja, sampai tersuruk-suruk ke dalam hutan dan diculik.

   Hanya karena hubungannya dulu dengan dirinya.

   Sementara ketenteraman Perguruan Awan menjadi genangan darah atas korban-korban tanpa dosa.

   Saat itu Upasara merasa bahwa jalan yang ditempuhnya keliru.

   Lebih mengundang kepada kesengsaraan.

   Dan itu dialami oleh orang-orang yang dikasihi maupun mengasihi, juga orang-orang yang iri dan membencinya.

   Kalau beban itu memberatkan dirinya sendiri, Upasara bisa menanggung.

   Seperti juga ketika berusaha memahami Bantala Parwa secara utuh.

   Kidungan demi kidungan diselami.

   Dua Belas Jurus Nujum Bintang, serta Delapan Jurus Penolak Bumi.

   Sejak mengasingkan diri di Perguruan Awan, siang-malam Upasara berlatih tanpa henti.

   Menjajal apa yang baru dilatih bersama dengan Jaghana, Wilanda, Galih Kaliki, serta Gendhuk Tri.

   Kadang Nyai Demang memang nimbrung untuk membacakan kidungan dan berlatih sekadarnya.

   Semakin Upasara mempelajari, semakin hebat tenaga pukulannya, dan semakin Jaghana tak bisa bertahan.

   Wilanda yang paling unggul ilmu meringankan tubuhnya, bahkan bisa ditandingi loncatannya.

   Namun kesemuanya itu membuatnya tersiksa.

   Bukan karena apa, akan tetapi semakin lama semakin terdorong untuk mempelajari.

   Membaca dari awal sampai akhir, diloncati, diteliti lagi, dipelajari lagi, dijajal, dan seperti terus dikejar-kejar.

   Makin tenggelam Upasara mempelajari Kitab Bumi, makin terbakar seluruh keinginannya.

   Makin ingin terus menyelam, dan makin menemukan hasilnya.

   Sehingga ia tak bisa berlatih bersama-sama dengan yang lainnya.

   Bahkan racun dalam tubuh Gendhuk Tri membuatnya merasa berubah.

   Upasara menjajal dengan cakaran Gendhuk Tri yang saat itu masih dipenuhi racun paling kuat.

   Hanya kulitnya yang tergores, menjadi hitam karena racun, akan tetapi tak lama kemudian darah hitam itu tumpah ke rumput.

   Upasara makin terseret dalam latihannya.

   Sendirian mengulak-alik mempelajari.

   Tanpa kenal istirahat, baik siang maupun malam.

   Baik dalam keadaan tertidur maupun sambil makan.

   Semua tegur dan sapa dijawab sekenanya.

   Ketika itulah Jaghana merasa bahwa ada sesuatu yang menguasai Upasara.

   Kehausan akan ilmu yang ingin ditelan seluruhnya.

   Yang sekaligus membuatnya kesepian karena tidak ada lawan latih.

   Saat itu Dewa Maut berkelana keluar dari Perguruan Awan.

   Karena pada dasarnya tidak bisa dan tidak tahu rahasia.

   Dewa Maut bercerita bahwa sekarang Upasara Wulung sedang dalam keadaan yang menentukan.

   Berhasil mempelajari Kitab Bumi atau menjadi gila.

   Memang aneh.

   Dewa Maut yang selama ini dianggap kurang waras justru bisa menilai Upasara yang kurang waras.

   Berita dari Dewa Maut ini menyebar, dan kemudian membuat Baginda Raja memutuskan saat yang tepat untuk memaksa Upasara! Dengan berbagai cara.

   Seperti mengumpankan permaisurinya sendiri.

   Seperti Senopati Nambi, juga memakai cara-cara sendiri! Upasara seperti tersadar ketika ia terbangun suatu pagi setelah sekian lama mempelajari Kitab Bumi.

   Masih diingat jelas.

   Saat itu ia terbangun dan melihat suatu pemandangan yang sangat indah.

   Luar biasa indah.

   Cahaya matahari pagi yang masih tidak menyilaukan, embun-embun yang masih menggantung, sementara udara bau tanah, dan angin begitu ramah.

   Tiba-tiba Upasara melihat bahwa keindahan yang sempurna ini telah dilalaikan ketika tenggelam dalam berbagai kidungan yang ternyata masih banyak bagian yang tak bisa terpahami sempurna.

   Dengan menguras seluruh kemampuannya pun ternyata tak membuatnya tenteram.

   Upasara menebus kealpaan dengan membuang semua ilmu silatnya.

   Bukan hanya tak sempat menikmati anugerah alam, akan tetapi Kitab Bumi telah membawa kepada suatu titik buntu, di mana ia justru menjadi penyebab penderitaan.

   Siapa sangka sekarang ini pun tetap menjadi beban.

   Kata-kata Nyai Demang membuat telinganya panas.

   Namun masih bisa ditahan.

   Upasara tak ingin terseret untuk mempelajari ilmu silat yang melemparkan ke jalan lebar, luas, tapi akhirnya buntu.

   Namun sesungguhnya sekarang ini lebih membuatnya getun, sedih, dan menyesal.

   Betapa tidak, kalau ia tak bisa berbuat apa-apa, ketika ia seharusnya bisa melakukan sesuatu.

   Nyai Demang sendiri makin gencar mendesak.

   Perhitungan Upasara benar! Ketika sampai jurus kedua belas dan memainkan Lintang Tagih, Gendhuk Tri terjebak.

   Lintang Tagih yang dimainkan Nyai Demang adalah jurus kedua belas yang namanya sama dengan jurus kedua.

   Lama penyerangannya juga sama.

   Hanya sifatnya yang berbeda.

   Jurus terakhir dari Dua Belas Jurus Nujum Bintang ini mengunci semua jurus yang telah dimainkan.

   Kekuatan musim Saddha adalah kekuatan yang mencampur antara panas dan dingin.

   Antara menyerang dan bertahan.

   Kekuatan ketika daun-daun rontok dari pohon.

   Pohon masih berdiri, akan tetapi sesungguhnya telah mati.

   Pada musim yang sesungguhnya, ini hanya berarti pergantian daun.

   Akan tetapi dimainkan dengan tenaga dalam, ini benar-benar berarti kematian.

   Upasara menggenggam tangannya keras-keras.

   Gendhuk Tri masuk dalam pusaran tenaga Nyai Demang.

   Sia-sia sewaktu mencoba melepaskan diri.

   Ujung selendangnya bisa tertangkap Nyai Demang.

   Dengan satu kedutan keras, dengan tenaga sendal pancing, seperti menyendal pancing yang termakan ikan, tenaga maju-mundur-maju Nyai Demang tersalur.

   Gendhuk Tri mengeluarkan jerit kesakitan.

   Selendangnya terlepas dari tubuhnya.

   Badannya terputar di angkasa, dan jatuh terlempar di mana Jaghana berada di atas pohon! "Nyaiiiii!"

   Alih-alih dari meneriakkan nama Gendhuk Tri, Galih Kaliki malah memanggil nama Nyai Demang.

   Wilanda yang berada di kejauhan, menghela napas.

   Begitu melihat Gendhuk Tri terlempar tepat ke arah Jaghana dan tak kelihatan jatuh ke tanah, Wilanda menghela napas.

   Wajahnya mendongak ke angkasa.

   "Nyai Demang, dalam kidungan Kitab Bumi dimulai dengan penolakan sebagai penerimaan. Semua dimulai dengan tiada. Jadi untuk apa takut menjadi sirna? "Jangan salahkan dirimu, kalau aku berlaku kasar."

   Wilanda menotolkan kakinya, melesat ke angkasa.

   Langsung menendang Nyai Demang dengan kedua kaki.

   Nyai Demang hanya tertawa dingin.

   Kedua kakinya tertekuk, sehingga tubuhnya merendah.

   Punggungnya rata dengan tanah, tapi sekaligus berputar! Injakan kaki Wilanda diterima dengan tangan terbuka, dan tubuh Wilanda terseret dalam putaran.

   Dengan tenaga maju-mundur-maju, tubuh Wilanda terputar lebih tinggi.

   Ke arah di mana Jaghana dan Gendhuk Tri terbuang! "Nyai, kamu kejam."

   Bagai kesetanan Galih Kaliki menubruk Nyai Demang.

   Serangan tunggal ke arah pinggang lawan untuk ditekuk dan dilipat habis.

   Terlihat sekali bahwa Galih Kaliki tak mempunyai rasa sungkan sama sekali.

   Jaghana, Gendhuk Tri, serta Wilanda, bagi pikirannya yang polos cukup memberikan bukti bahwa Nyai Demang yang dipuja menjadi telengas.

   Nyai Demang kaget.

   Tak mengira bakal ditubruk dengan cara seperti itu.

   Dalam kagetnya Nyai Demang memainkan jurus kedelapan yang disebut Lintang Wulanjar, atau gugusan bintang yang terlihat seperti janda muda belum mempunyai anak.

   Seperti tenaga petir tanpa hujan, tenaga terbagi rata.

   Kekuatan daun dan akar sama.

   Galih Kaliki seperti berhasil memeluk tapi tak bisa mengerahkan tenaga.

   Tahu-tahu merasa ulu hatinya membeku.

   Masih Ada Purnama GALIH KALIKI bahkan tidak menduga telah kena sodok.

   Sewaktu memeluk tubuh yang kosong, Galih Kaliki menduga bahwa Nyai Demang meloncat tinggi, atau menggelesot.

   Kalau masih berada di tempatnya, berarti memainkan tenaga dalam.

   Diperlukan satu jurus untuk dipakai menyerang.

   Perhitungan Galih Kaliki tepat.

   Tapi juga meleset.

   Karena tidak memperhitungkan bahwa dalam sekejap jurus Lintang Wulanjar bisa bersambung ke jurus Lintang Wuluh, yang merupakan jurus kesembilan.

   Lintang Wuluh juga disebut Lintang Puyuh, atau salah kaprahnya disebut Bintang Kartika.

   Pengerahan tenaga musim Kasangan atau Kesembilan ialah mempergunakan tenaga seperti ketika jengkerik berderik.

   Tenaga dingin.

   Serangan ini kena sekali untuk membarengi serangan lawan yang makin berbunga atau makin bernafsu.

   
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Semakin besar tenaga lawan terisap dalam perangkap Lintang Wulanjar semakin besar kemungkinan dada atau perut terkena sebagai sasaran.

   Karena serangan jurus Lintang Wuluh terutama sekali hanya mengarah ke dada atau perut.

   Siku Nyai Demang berfungsi sebagai sayap jengkerik.

   Kena serangan secara telak ulu hatinya, biar bagaimana jagonya, seperti dihentikan pusat pengerahan tenaganya.

   Galih Kaliki menjadi limbung.

   Dan terjerembap kaku.

   Matanya mendelik.

   Pandangannya nanar.

   Untuk pertama kalinya, Nyai Demang melihat bahwa Galih Kaliki bisa memandang ke arahnya penuh dendam! Pandangan yang membuat Nyai Demang tergetar.

   Itulah pandangan lelaki jantan, yang bisa membuatnya tertarik.

   Bukan pandangan lelaki merunduk seperti pak turut.

   Dipandang mesra oleh Nyai Demang, Galih Kaliki jadi serbasalah.

   Serbasalah karena tak bisa menjawab dengan senyuman.

   Rasanya untuk bernapas pun susah.

   Akan tetapi jika saat itu dirinya mati, Galih Kaliki akan mati dengan bahagia! Namun hati kecilnya ciut juga.

   Semua lawan berhasil dirontokkan oleh Nyai Demang.

   Tinggal Upasara Wulung yang mendadak meraih tongkat galih asam.

   Hanya saja karena tenaga yang tertinggal adalah tenaga orang biasa, tongkat terlalu berat.

   Bahkan untuk mengangkat saja tak bisa sempurna.

   Apalagi untuk memainkan.

   Nyai Demang menggerakkan kedua tangannya.

   Membuka ke arah samping, tubuhnya bergeser dengan langkah berat.

   Tanpa memakai jurus tertentu pun, Upasara bisa dihajar habis-habisan.

   Dalam keadaan tak berdaya, Galih Kaliki berharap bahwa tiba-tiba muncul seorang tokohsiapa sajayang bisa menunda penyerangan.

   Akan tetapi itu harapan yang diada-adakan.

   Karena letak Perguruan Awan jauh di tengah hutan, sehingga kalau ada seseorang yang datang, sejak tadi juga sudah bisa diketahui.

   Atau setidaknya Jaghana atau Gendhuk Tri masih bisa melorot turun entah bagaimana caranya.

   Galih Kaliki mendesis.

   Tak ada yang menghalangi Nyai Demang.

   Berdiri berhadapan langsung.

   Upasara Wulung berdiri gagah.

   Memegangi tongkat yang tak bisa diangkat dari tanah.

   "Mbakyu Demang, terima kasih dan puji syukur saya ucapkan. Sungguh tak ternilai cara Mbakyu Demang menggugah hati yang sudah mati ini."

   "Hmmmmm."

   Upasara mendongak, ke arah pepohonan.

   "Paman Jaghana, Paman Wilanda... silakan turun.

   "Usaha Paman sekalian, apakah mempunyai arti kalau bahkan untuk menggerakkan tongkat ini saja saya tak mampu?"

   Galih Kaliki melongo.

   Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Upasara berkata seperti itu? Kenapa Nyai Demang jadi termangu? Galih Kaliki terlalu polos.

   Ia tak tahu bahwa sejak kepulangannya kembali ke Perguruan Awan, Nyai Demang merasa menemukan jalan keluar untuk menggugah Upasara Wulung.

   Memang Nyai Demang sudah menyebut-nyebut rencana itu di depan Galih Kaliki.

   Tapi mana mungkin Galih Kaliki bisa mengerti dan menangkap cara-caranya? Dibandingkan dengan Nyai Demang, Galih Kaliki lebih mirip anak kecil yang berdiri telanjang.

   Galih Kaliki lebih heran melihat ketiga bayangan turun ke tanah.

   Jaghana masih gagah, Wilanda sedikit terpincang, dan Gendhuk Tri langsung menubruk Upasara sambil menangis.

   Galih Kaliki ingin berteriak, akan tetapi ulu hatinya masih sakit setiap ia membuat gerakan sedikit saja.

   "Apa yang Paman-paman, Adik, dan Mbakyu harapkan dari seorang seperti saya? "Rembulan masih akan bersinar, masih bisa purnama. Kita tak akan terlambat menikmati. Tetapi apakah yang bisa diharapkan dari seorang buta untuk bisa menikmatinya?"

   Suara Upasara mengandung keputusasaan yang dalam.

   Menenggelamkan suasana.

   Nyai Demang menghela napas.

   Menunduk dan meraba dada Galih Kaliki.

   Meskipun kini bisa bergerak agak leluasa, Galih Kaliki tetap belum mengerti.

   Dan juga tak akan cepat mengerti.

   Bahkan Jaghana yang paling arif pun tadinya tidak menduga bahwa semua tadi akal Nyai Demang! Akal Nyai Demang untuk membangkitkan Upasara Wulung kembali ke dunia persilatan.

   Sewaktu menyerang dengan menggulung diri tadi, Jaghana mencelos karena terjebak dan kalah.

   Akan tetapi waktu merasakan denyutan tenaga dalam maju-mundur-maju Nyai Demang, Jaghana merasa bahwa Nyai Demang tidak sepenuhnya menyerang habis-habisan.

   Apalagi ketika tubuhnya terlontar, Jaghana merasa bahwa tenaga lontaran Nyai Demang sama sekali tidak mengandung membinasakan.

   Makanya ketika "dijatuhkan"

   Di atas pohon, Jaghana tak segera turun.

   Mulai bisa membaca maksud tertentu Nyai Demang.

   Hal yang sama juga dirasakan Wilanda.

   Wilanda segera bisa mengetahui, karena Jaghana terlempar ke pohon dan tidak segera turun.

   Dalam keadaan yang paling menderita pun, Jaghana tak akan begitu saja tersampir di rerimbunan dahan! Maka Wilanda mengambil sikap yang sama.

   Sebelum menyerang ia justru meneriakkan, memberi peringatan agar Nyai Demang jangan ragu menghajarnya.

   Dengan harapan agar Upasara tidak mengetahui sandiwara ini.

   Dan memang Nyai Demang benar-benar melontarkan.

   Begitu sampai di pohon, Jaghana segera menangkap dan mengamankan.

   Gendhuk Tri memang tak mengetahui.

   Ia benar-benar terlempar, dan Jaghana telah bersiap untuk mendekap.

   Agar Gendhuk Tri tidak segera turun.

   Karena ini berarti mengacaukan rencana.

   Yang paling parah memang Galih Kaliki.

   Ia menyerang dengan sungguh-sungguh, dan tubuhnya tidak dilemparkan ke atas, karena sifat serangan Galih Kaliki tidak dari udara.

   Begitu sempurna rencana Nyai Demang.

   Justru karena Gendhuk Tri dan Galih Kaliki tidak bermain sandiwara.

   Akan tetapi, toh Upasara mengetahuinya! Berarti pandangannya masih tajam.

   Dan yang lebih membuat yang mendengarkan bahagia serta bersyukur ialah kenyataan bahwa Upasara sendiri berniat terjun kembali ke gelanggang.

   Hanya saja, keadaannya memang benar-benar memelas.

   Upasara mengumpamakan dirinya sebagai seorang buta yang diberi kesempatan kedua untuk melihat bulan purnama.

   Inilah yang membuat tangis Gendhuk Tri meledak.

   Galih Kaliki berdiri dan memandang bingung.

   "Lho, jadi kita ini bagaimana, Nyai?"

   Nyai Demang memandang dengan senyum kehampaan.

   "Kakang, apakah kita harus tertawa atau menangis sekarang ini? Kakang yang paling jujur, mestinya bisa menjawab tepat."

   Galih Kaliki malah balik bertanya.

   "Aku? Mana aku tahu? "Paman Jaghana gundul itu harusnya tahu."

   Jaghana mengembangkan senyumnya.

   "Kita berusaha, bermain-main seperti anak-anak.

   "Anakmas sudah mengetahui. Betapa malunya.

   "Tetapi juga menyetujui. Betapa melegakan.

   "Jadi seharusnya bagaimana?"

   "Susah. Susah. Yang ditanya malah bertanya. Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaan Nyai Demang? "Begini saja. Adimas Upasara, jadi bagaimana baiknya? Kita ini tertawa atau menangis?"

   Upasara menyerahkan tongkat.

   "Kakang lebih tahu."

   "Tidak.

   "Aku tak tahu bagaimana menjawab pertanyaan Nyai Demang. Padahal aku ingin sekali bisa menjawab pertanyaannya."

   "Itulah jawabannya, Kakang."

   Suara Upasara tawar.

   Kidungan Pambuka SAMPAI menjelang senja, Upasara beberapa kali menjajal kembali.

   Memang dengan mudah hafal gerakan-gerakan yang bisa dimainkan.

   Baik dari Dua Belas Jurus Nujum Bintang maupun Delapan Jurus Penolak Bumi.

   Ataupun jurus-jurusnya yang lama dalam Banteng Terluka.

   Akan tetapi apa yang dipertunjukkan Upasara lebih menyayat hati.

   Gerakannya sangat lamban dan tidak mempunyai tenaga sama sekali.

   Sebagai ksatria yang begitu menguasai, keadaan Upasara sangat mengenaskan.

   Gendhuk Tri memalingkan wajah ke arah lain.

   Rasanya tak tega melihat Upasara berusaha memaksa diri untuk berlatih.

   Nyai Demang sendiri agaknya tak mengira bahwa kondisi Upasara begitu lemah.

   Kalau persoalannya mengembalikan tenaga dalam, itu berani memerlukan latihan puluhan tahun.

   Bisa dimengerti kalau Upasara menjadi putus asa.

   Sekarang terbukti walau itu ada, akan tetapi ternyata usaha pencapaiannya hampir mustahil.

   Dan untuk Upasara jelas tak bisa dihibur dengan kata-kata kosong yang memberikan harapan.

   Upasara sadar akan keadaan tubuhnya.

   Ketika malam datang, seluruh hutan Perguruan Awan menjadi sangat gelap.

   Seakan rembulan pun turut berkabung.

   Dan dalam gelap, yang terdengar hanyalah helaan napas Gendhuk Tri, Galih Kaliki, Wilanda, dan Upasara.

   Jaghana bersemadi sendirian, mengatur napasnya.

   Walaupun terguncang, akan tetapi Jaghana bisa segera mengatasi.

   Nyai Demang tak tahu harus larut dalam kesedihan atau membebaskan diri.

   Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah mengidungkan, membaca kidungan.

   Suaranya lirih, mengalunkan kidungan Tumbal Bantala Parwa dari bagian awal.

   Suaranya mendayu menyentuh angin malam.

   Om, segala sembah dan puji menggapai ujung kaki Dewa yang Maha dewa, tempat segala sembah dan bakti inilah kidungan pambuka, kidung penyesalan karma sesungguhnya kidungan ini tangisan tanpa air mata, jeritan tanpa suara, keluhan tanpa guna inilah kidung Tumbal Bantala Parwa sebagian akhir dari segala mula bagian penolak Bantala Parwa karena kidungan utama itu telah mengalirkan banyak darah mengalahkan derasnya air sungai menundukkan gelisah pantai Beginilah bunyi pambuka bahwa kalau ada bumi, ada langit ada tanah, ada air ada siang ada malam ada Bantala Parwa ada Tumbal Bantala Parwa om, segala sembah dan puji ada tanah kalah oleh air itulah tanah tumbal ada air kalah oleh tanah itulah air tumbal ada siang berganti malam itulah siang tumbal demikianlah kidung pambuka berakhir ketika dimulai sebab ia akan diawali dengan penolakan sebab ia akan diakhiri dengan tiada kidungkan kala tanah Jawa berduka kidungkan kala rembulan sirna agar sempurna...

   Suara Nyai Demang terus mengalun tenang, bersambung dengan bagian di mana ditembangkan garuda kalah oleh prenjak, dan seterusnya.

   Lalu mulai dengan Delapan Jurus Penolak Bumi, dimulai dengan Manik Maya Sirna Lala, disambung kidungan kedua Sri Saddhana, dan berturut-turut Sekar Sinom, Glagah Kabungan, Kawula Katuban Bala, Sigar Penjalin, Asu Angelak, serta kidungan terakhir Singa Meta.

   Lalu ditutup dengan.

   Kidungan telah selesai, tanpa penutup sebab penulisnya tidak mampu menebus kesalahan dunia sampai nirwana kekeliruan penulisan lalu dan kini hanya memperpanjang dosa sesungguhnya, inilah kebodohan itu kehinaan yang tiada tepi o, kidungan Tumbal Bantala Parwa rembulan tak juga purnama sedangkan duka dan luka menjadi sempurna yang sirna segalanya kecuali menyembah tanah dan air langit dan bumi siang dan malam bersatu dalam kidungan bersatu dalam penolakan kidung penolakan penolakan kidungan...

   Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Nyai Demang mencoba mengulang dari depan, akan tetapi tenaganya seperti lenyap.

   Antara sadar dan tidak, Nyai Demang masih mendengar desir angin.

   Sampai akhirnya ia terhanyut dalam lelap, larut dalam keletihan.

   Ketika terbangun kembali, sinar surya hangat menyapa Nyai Demang.

   Galih Kaliki masih berada di tempatnya, seperti juga yang lain.

   Kecuali Upasara Wulung yang melihat semburan sinar matahari, berdampingan dengan Jaghana dan Wilanda.

   "Sudahlah, Anakmas, semalaman Anakmas hanya menunggu sinar matahari. Sekarang telah datang."

   Upasara menghela napas panjang.

   "Kidungan Mbakyu Demang membuat saya bertanya-tanya kembali. Apa sesungguhnya yang dimaksudkan dalam pambuka itu? Apa yang diharapkan oleh empu yang sakti dengan menuliskan kitab pusaka itu? Kalau ingin menolak sesuatu, kenapa justru dituliskan?"

   "Kenapa Raden jadikan pikiran?"

   Suara Wilanda terdengar tetap menghormat dan merendah.

   "Kenapa Raden Mas pikirkan terlalu dalam untuk mempelajari ilmu kanuragan lagi?"

   "Paman, sesungguhnya sejak semula saya masih bingung. Masih belum bisa mengerti. Ada saat di mana saya merasa mengerti, dan mendapat pencerahan. Dengan melepaskan semua tenaga dalam yang ada. Itulah jalan keluar terbaik bagi saya.

   "Akan tetapi ternyata ini tidak menyelesaikan perkara. Bahkan menjadi lebih membingungkan.

   "Setiap kali saya mendengar kidungan, setiap kali pula saya berubah pendapat."

   "Barangkali seharusnya begitu,"

   Jawaban Jaghana terdengar sangat sederhana.

   "Pesan Eyang Sepuh dahulu adalah Tepukan Satu Tangan terdengar lebih nyaring dari dua tangan. Berarti kamu akan selalu mendengar gemanya.

   "Itulah yang bisa saya mengerti.

   "Eyang Sepuh sendiri tak pernah menjelaskan tuntas. Apakah penolakan itu berarti kidungan, apakah kidungan itu berarti penolakan. Hanya yang bisa saya mengerti, kidungan Kitab Penolak Bumi adalah suatu penyesalan yang dalam, suatu kemurkaan yang tiada tara kepada ilmu kanuragan yang ada. Suatu pengemohan segala jenis ilmu silat, ilmu melatih pernapasan, sejak awal dan akhir, karena hanya akan memperpanjang dosa dan kesalahan."

   "Paman, kalau pencipta kitab pusaka itu menolak segala jenis ilmu silat, ilmu melatih napas, dan menganggap sebagai kehinaan, mengapa justru Kitab Penolak Bumi itu dituliskan?"

   "Kalau saja jawaban itu tersedia, kitab itu tak akan dituliskan."

   "Paman, ajarkan padaku sejak awal.

   "Katakan apa yang harus kulakukan. Mempelajari lagi jurus-jurus dan melatih pernapasan lalu terjun ke gelanggang? Atau hidup dengan cara seperti ini?"

   "Apa yang diusahakan Nyai Demang nampaknya bisa saya mengerti."

   Upasara menghela napas.

   "Tetapi sampai kapan saya mampu berdiri sendiri?"

   "Dewa yang Maha dewa mengetahui jawabannya."

   "Saya tak bisa lagi mendengar. Terbitnya matahari tak lagi indah, dan tak lagi membuat gelisah atau bahagia."

   "Sekurangnya Anakmas telah mau mengatakan hal ini, dan tidak memendam dalam hati."

   "Paman, sembah bekti saya buat Paman berdua dan kepada saudara Perguruan Awan. Saya minta kerelaan Paman untuk pamit. Saya tak ingin pergi dengan diam-diam. Saya minta pamit."

   Kembali ke Kewajaran UPASARA membalik. Memandang Nyai Demang. Memandang Gendhuk Tri, Galih Kaliki, disertai helaan napas berat. Lalu menunduk.

   "Saya telah mengambil ketetapan hati untuk tetap mengayunkan langkah, mengikuti suara hati. Langit sangat luas. Ke mana pun, kita masih akan tetap menemukan sinar sang surya."

   Gendhuk Tri memandang dengan sorot mata bergetar.

   "Kakang..."

   "Adik manis, ada saat-saat kita bersama, ada saat kita berpisah. Kita pernah bersama-sama, pernah dipisahkan, akan tetapi akhirnya kita bisa berkumpul kembali.

   "Siapa menyangka setelah terkurung di Gua Lawang Sewu, adik manis bisa bersama-sama lagi? "Kakangmu ini tak ingin membebani dirimu, meskipun kamu tak merasa dibebani.

   "Biar saja kakangmu ini berjalan sendirian. Mencari yang tak diketahui, menemukan yang tak dicari."

   Suara Upasara terdengar gemetar.

   Jaghana bisa merasakan sepenuhnya.

   Upasara Wulung masih berada dalam usia pergolakan.

   Barangkali belum ada 23 tahun.

   Selama usianya yang pendek, telah mengalami banyak hal yang berbeda dari manusia umumnya.

   Selama dua puluh tahun terkurung dalam Ksatria Pingitan.

   Begitu keluar, langsung terjun ke dalam pergolakan.

   Pertarungan jago-jago kelas utama.

   Sampai mencapai puncaknya dengan kedatangan pasukan Tartar.

   Saat itu Upasara mulai berkenalan dengan Gayatri.

   Mulai terguncang kehidupannya sebagai lelaki.

   Akan tetapi perkenalan yang pendek itu harus segera diputus.

   Karena Gayatri adalah calon permaisuri Baginda Raja, yang menurut perhitungan serta ramalan di kelak kemudian hari keturunannya bakal menjadi raja yang ternama, raja yang menguasai lautan dan membawa kedamaian serta kebahagiaan.

   Sebagai ksatria, Upasara Wulung menemukan intisari ilmu yang paling dicari-cari.

   Yaitu Kitab Bumi.

   Dalam perjalanan untuk menguasai, Upasara telah melepaskan kesemuanya.

   Guncangan demi guncangan menggoyahkan batinnya.

   Sungguh perjalanan hidup yang luar biasa.

   Suatu cobaan yang menggertak.

   "Adik manis, biarkan kakangmu ini melepas beban batin dari ketergantungan rasa kasihan.

   "Kakangmu tahu keikhlasan hatimu yang suci, akan tetapi secara pribadi saya tak mau hidup dalam dunia seperti ini."

   Wilanda menunduk. Kadang merasa bahwa Upasara berbicara seperti Ngabehi Pandu, akan tetapi juga bisa seperti pemuda yang polos.

   "Mbakyu Demang... saya akan lebih bahagia jika Mbakyu tak merasa perlu melindungi saya secara diam-diam. Sebab selama saya masih belum merasa lepas dari beban, selama itu pula saya tak sanggup menatap sinar surya."

   "Adimas, kalau itu membahagiakanmu, saya tak akan menentangnya.

   "Hanya saja, maukah Adimas mengabulkan permintaan saya? Satu permintaan saja?"

   Upasara tersenyum. Wajahnya bersih. Seakan memancarkan sinar berseri.

   "Tanpa Mbakyu Demang katakan, saya akan menghindari sungai yang dalam. Akan menyingkir dari harimau buas, dan kalau kepepet akan melawan sepenuh tenaga.

   "Saya pergi tidak mencari mati. Sebab di mana pun, kematian bisa diundang."

   Apa yang dikuatirkan Nyai Demang ialah jika Upasara membiarkan jalan hidupnya berjalan begitu saja.

   Tanpa memedulikan bahaya.

   Itu sama saja dengan bunuh diri! Jaminan Upasara membuatnya lega.

   Meskipun dalam keadaan seperti sekarang bagi Upasara sangat berat.

   Terlalu banyak bahaya yang tak bisa diatasi.

   "Kakang Galih..."

   "Cukup, cukup. Aku tak mau menangis."

   "Kenapa Kakang malu meneteskan air mata, kalau memang bisa dan perlu? Tangisan tidak membuat Kakang berkurang kejantanan. Tidak mengubah Kakang sebagai ksatria."

   "Bagus. Itu juga benar.

   "Tapi mestinya aku yang memberi nasihat. Cuma aku tak tahu bagaimana bunyinya."

   "Saya berpikir bahwa tadinya saya akan menyingkir diam-diam. Menjauh dan secara diam-diam mempelajari ilmu kanuragan. Dan muncul kembali sebagai ksatria tanpa tanding, yang akan bisa menghancurkan segala kehinaan dan penindasan.

   "Ah, saya masih mempunyai mimpi buruk semacam itu! "Tetapi saya sadar. Kalau saya pergi diam-diam, Kakang akan mencari-cari."

   "Memang iya."

   "Dan kalau tidak bertemu, berharap saya menemukan gua penuh ilmu ajaib yang akan mengubah Upasara menjadi ksatria hebat lagi."

   "Lho, kamu kok tahu?"

   "Saya tak ingin menemukan gambaran yang salah tentang diri saya. Saya mungkin pergi dan akan bertemu Kakang dalam keadaan seperti ini. Tanpa malu, tanpa risi. Saya ingin bisa bersikap wajar, apa adanya.

   "Seperti juga sinar surya. Ada keindahan waktu pagi, ada panasnya siang hari. Kembali ke kewajaran."

   Galih Kaliki mengangguk.

   "Saya mengerti sedikit."

   Upasara memandang hormat kepada Jaghana dan Wilanda.

   "Paman..."

   "Kalau kewajaran adalah keikhlasan, mengapa harus dikatakan lagi?"

   Upasara mengangguk. Menundukkan kepalanya kepada semua yang mengelilingi.

   "Saya minta pamit, Paman.

   "Selamat tinggal, Mbakyu Demang, Kakang Galih, dan adikku yang manis."

   Tak ada yang memberi jawaban.

   "Lho, perpisahannya ya sekarang ini?"

   Galih Kaliki menelan ludah berkali-kali.

   "Lalu kapan kita bertemu lagi?"

   "Kapan-kapan kalau Dewa mempertemukan kita."

   "Di mana?"

   "Di bawah langit atau di atas langit."

   "Maksudmu kalau kita sudah mati? "Wah, ini repot. Ya kalau sukmaku mengenalimu. Kenapa tidak? Begini saja, kita mengadakan pertemuan di tempat ini pada saat seperti ini, entah kapan. Bagaimana?"

   Meskipun kata-katanya serba ke sana kemari, akan tetapi desakan Galih Kaliki seperti mewakili yang lainnya.

   "Itu juga baik, Kakang."

   "Lho, kamu mau pergi sekarang?"

   Upasara menghormat.

   "Ke mana?"

   Upasara tersenyum, memberi hormat dengan menundukkan wajah kepada Jaghana, Wilanda, Nyai Demang, Gendhuk Tri, Galih Kaliki, dan kemudian melangkah menjauh.

   Gendhuk Tri memakai selendangnya untuk menutupi wajahnya.

   Pundaknya terguncang-guncang seirama dengan isakan.

   Agak lama sepi menguasai.

   Sampai bayangan Upasara lenyap di antara dedaunan.

   "Marilah kita berjanji untuk tidak berusaha mencari Upasara dan melindunginya secara diam-diam. Pilihan ini yang terbaik baginya dan bagi kita semua.

   "Maafkan kalau saya meminta kerelaan semua yang ada di sini, betapapun kita menginginkan hal itu."

   Wilanda yang lebih dulu mengangguk dalam-dalam.

   "Berjalan mengikuti kehendak hati, melangkah mengikuti ke arah mata memandang, adalah perjalanan seorang ksatria yang sejati.

   "Akan tetapi karena saya bukan ksatria sejati, dan langkah serta pandangan saya sempit, saya hanya mengenal dedaunan di sini."

   Dengan halus Jaghana mengisyaratkan bahwa sekarang tak perlu ada ganjalan lagi untuk menahan diri di Perguruan Awan. Hanya karena Jaghana "tidak mengenal tempat lain", ia memilih tetap di Perguruan Awan.

   "Apa ini berarti kita diusir, Nyai?"

   "Kakang Galih, kapan Kakang bisa menahan diri untuk tidak berkata sembrono?"

   Galih Kaliki menggaruk-garuk kepalanya.

   "Wah, makin lama aku ini makin bodoh, Nyai.

   "Baiklah, kalau begini caranya, lebih baik aku berdiam diri saja. Pokoknya aku akan mengikuti kamu, boleh atau tidak boleh. Ketemu atau tidak ketemu.

   "Sudah, begitu saja.

   "Itu kan lebih baik, Nyai. Iya? "Soalnya aku ini tidak punya sanak, tidak punya saudara, dan tidak tahu harus bagaimana. Paman Jaghana bisa aman di sini. Gendhuk Tri bisa mencari Dewa Maut. Kamu bisa berkiprah ke mana saja. Paman Wilanda bisa berlatih diri di mana saja.

   "Lha aku? "Wah, aku salah lagi, Nyai? Kok kamu cemberut?"

   Banjir Darah di Pinggir Sungai APA yang dikatakan Galih Kaliki memang benar-benar terjadi.

   Keesokan harinya, Jaghana mulai bersemadi kembali.

   
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sementara Wilanda mencari tempat yang berbeda untuk menghilangkan kegelisahannya dengan mencoba berlatih pernapasan untuk mengembalikan tenaga dalam.

   Meskipun beberapa kali pemusatan pikiran gagal karena batinnya masih gelisah, Wilanda bersikeras untuk melupakan atau setidaknya menindih.

   Seakan bisa menerima kewajaran Upasara yang meninggalkan Perguruan Awan.

   Dan Gendhuk Tri menyatakan tekadnya untuk pergi ke Keraton.

   "Paman Galih tahu sendiri. Dewa Maut itu miring ke kanan isi kepalanya. Jadi hanya orang yang isi kepalanya miring ke kiri yang bisa mengajaknya."

   "Kamu bisa mengejek Dewa Maut dan sekaligus mengejek dirimu sendiri. Tapi kenapa kamu sendiri?"

   "Wah, apa urusannya dengan yang lainnya? Toh tak ada gunanya juga. Tak bisa mengajak Dewa Maut."

   Gendhuk Tri membalik, bersila, dan menunduk.

   "Paman Jaghana gundul, Paman Wilanda ceking, saya ikutan minta pamit. Jika suatu hari kelak saya diangkat menjadi permaisuri, pasti Paman berdua saya undang ke Keraton."

   "Kalau tak mau?"

   "Kalau tak mau saya akan memindahkan Keraton ke sini."

   "Bagus. Eee, tunggu dulu..."

   Gendhuk Tri telah meloncat pergi.

   Hanya kibaran selendangnya yang masih terlihat sebentar, sebelum akhirnya tubuhnya lenyap dari pandangan mata.

   Gendhuk Tri sengaja memilih jalan lain dari yang ditempuh Upasara, karena tak ingin berjumpa atau mengenali di jalanan.

   Bagi Gendhuk Tri, Upasara Wulung adalah segalanya! Dalam usianya yang masih belasan tahun, Gendhuk Tri menaruh kekaguman yang luar biasa kepada Upasara Wulung.

   Ia merasa menjadi adiknya, tetapi juga bisa cemburu asmara bila melihat ada wanita yang mendekati Upasara.

   Itu sebabnya Gendhuk Tri tak bisa sepenuhnya berdamai dalam hati dengan Nyai Demang.

   Apalagi dengan Gayatri! Upasara bukan hanya seorang lelaki, seorang kakak bagi Gendhuk Tri.

   Melainkan juga seorang yang telah menghidupkan kembali.

   Betapa tidak, kalau sebelumnya di seluruh tubuhnya mengalir racun yang membinasakan, dan kini menjadi biasa kembali, karena pengorbanan tenaga murni dari Upasara.

   Maka kepedihan hati Gendhuk Tri sedikit berbeda dari yang lainnya.

   Ditambah usianya yang masih bocah, perasaan galau bercampur aduk dalam kepalanya.

   


Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Golok Halilintar Karya Khu Lung Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long

Cari Blog Ini