Ceritasilat Novel Online

Senopati Pamungkas 19


Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 19



Senopati Pamungkas (1) Karya dari Arswendo Atmowiloto

   

   Bahwa putri Baginda Raja Sri Kertanegara, Dyah Ayu Tapasi, adalah utusan Baginda Raja ke negeri Campa.

   Ke Keraton Caban, yang diperintah oleh Raja Che Nang yang kesohor.

   "Agaknya saya berhadapan dengan Senopati Agung yang telah menjelajah negeri Campa. Maafkan, kalau selama ini saya tak bisa mengetahui kebesaran Senopati Maha Singanada."

   Singanada tertawa.

   "Akhirnya semua akan mengetahui kebesaran Singasari yang perkasa. Tak menyesal aku dilahirkan di perjalanan dan menjadi besar di negeri orang. Sungguh luar biasa. Hari ini kusaksikan sendiri kebesaran itu."

   Singanada seperti tengah tenggelam dalam arus pikiran kebesaran Baginda Raja Sri Kertanegara.

   Sesuatu yang bisa dimengerti oleh Nyai Demang.

   Karena, seperti pengakuannya, Maha Singanada berangkat sewaktu masih kecil, atau malah dalam kandungan ibunya yang menyertai utusan ke negeri Campa.

   "Bagaimana kabarnya Putri Dyah Ayu Tapasi?"

   "Sesuai dengan rencana. Permaisuri Tapasi berdiam di Keraton Wijaya atau Caban, dan secara resmi menjadi Permaisuri Utama Raja Jaya Singawarman Turunan Ketiga. Cucu utama Raja yang memerintah Wijaya.

   "Tahukah, Nyai, bahkan Raja Caban pun memakai gelar singa sebagai tanda mengakui kebesaran Baginda Raja?"

   "Kenapa Senopati Singanada kembali ke tanah Jawa?"

   "Panjang ceritanya, Nyai.

   "Aku tak ingin bercerita pada malam yang bahagia ini, yang bisa untuk memabukkan diri hingga pekan depan."

   Nyai Demang sendiri memang tidak begitu berminat mendengarkan cerita yang panjang saat ini.

   Karena diam-diam muncul kerisauan yang tak bisa ditutupi.

   Sejak sorak-sorai dan gong bertalu tadi, Raja Kertarajasa telah meninggalkan pasamuan.

   Sesuatu yang sangat luar biasa, karena meninggalkan begitu saja.

   Tanpa merestui atau mengucapkan sepatah kata pun mengenai Upasara atau Ratu Ayu.

   Dari segi tata krama Keraton yang sangat penuh perhitungan rumit, ini pertanda kemurkaan yang besar.

   Yang juga bisa berakibat sangat besar.

   Kemenangan Upasara tidak diakui oleh Raja.

   Tidak diakui sebagai kehormatan besar Keraton Majapahit, yang salah seorang senopatinya dipersunting Ratu Ayu dari negeri Turkana! Sangat boleh jadi ini akan mengubah perjalanan hidup Upasara atau hubungan dengan negeri Turkana.

   Baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek.

   Jelas bahwa berpihaknya Upasara kepada Ratu Ayu Azeri Baijani dianggap petaka besar.

   Karena, ini semua di luar rencana Keraton.

   Nyai Demang tak terlalu sulit menangkap rencana yang tersembunyi dengan munculnya Putra Mahkota Kala Gemet dalam pertarungan.

   Bisa dipastikan Putra Mahkota juga menghendaki Ratu Ayu.

   Dengan alasan karena tertarik, ataupun alasan kenegaraan.

   Seperti yang dilakukan Senopati Anabrang ke tanah Melayu, maupun Maha Singanada sampai ke negeri Campa.

   Serta senopati-senopati yang lainnya.

   Kalau perhitungan ini benar, Nyai Demang menjadi lebih kuatir karenanya.

   Jauh lebih kuatir dari membayangkan apa yang terjadi terhadap Upasara saat ini.

   Celakanya, Nyai Demang merasa tak mempunyai teman yang bisa diajak membicarakan isi pikirannya yang penuh.

   Maha Singanada sudah mabuk kemenangan dan keunggulan Keraton Singasari.

   Sementara Gendhuk Tri tak bisa mengeluarkan suara.

   Hanya dua wanita yang masih kecil.

   "Bibi... Paman Demit dibawa ke mana?"

   Nyai Demang menyembah. Walau merasa kurang enak dipanggil Bibi-panggilan untuk inang pengasuh, namun perasaan itu hanya mengusik sementara.

   "Paman Demit akan menjadi pengantin, Gusti Ajeng."

   "Kawin dengan Ratu Ayu?"

   "Begitulah yang kita lihat, Gusti Ajeng."

   "Pastilah Paman Demit akan mengundang kita berdua. Kanjeng Ibu akan mengizinkan kita berdua datang."

   Sampai di sini, Nyai Demang merasa dirinya sangat tolol.

   Bagaimana mungkin ia bercerita begitu saja kepada Tunggadewi, yang nantinya akan bercerita kepada Permaisuri Rajapatni? Bahwa nantinya toh Permaisuri Rajapatni akan mendengar juga, itu soal nanti.

   Tapi tidak sekarang ini.

   Dari putrinya.

   Nyai Demang jadi merasa kurang enak.

   Entah kenapa hatinya merasakan beban hubungan antara Upasara dan Gayatri.

   Daya asmara yang tetap terasakan pengaruhnya, kalau tidak malah makin kuat, meskipun keduanya sudah berpisah lama.

   Meskipun Gayatri telah menjadi permaisuri, dan berputri.

   "Mari Bibi antarkan pulang ke kaputren, Gusti Ajeng."

   Tanpa menyembah sebagaimana lazimnya seorang emban pengasuh, Nyai Demang langsung menggandeng Tunggadewi dan Rajadewi.

   Membawa masuk ke kaputren.

   Pendeta Tlatah Syangka MELEWATI pintu utama Keraton, Nyai Demang mulai merasa ada sesuatu yang menguntitnya.

   Ada udara dingin yang kadang terasa kadang tidak.

   Nyai Demang dengan cepat bisa membedakan antara dinginnya tiupan angin malam dan pengaruh tenaga yang lain.

   Walaupun sangat samar Nyai Demang bisa menebak bahwa di sekelilingnya ada tokoh yang cukup tinggi ilmunya.

   Karena gerakan angin yang ditimbulkan sangat lembut.

   Akan tetapi terasa pengaruhnya.

   Yang membuat Nyai Demang menjadi lebih hati-hati ialah arah tiupan angin dingin itu kadang dari sebelah belakang, kadang dari sebelah depan, kadang berubah dari samping.

   Seakan sedang mengamatinya dari semua sudut pandang.

   Beberapa langkah Nyai Demang sengaja memperlambat jalannya atau menoleh dengan cepat, akan tetapi tak ada bayangan manusia atau desiran angin yang lebih keras.

   Melewati pelataran Keraton, Nyai Demang lebih berhati-hati.

   Ia merasa bahwa bila terjadi sesuatu pada diri Rajadewi serta Tunggadewi, tak tahu lagi harus bagaimana mempertanggungjawabkan.

   Ternyata apa yang menjadi kekuatirannya terjadi.

   Hanya saja ia sedikit terlambat.

   Begitu ada tiupan angin dingin dari arah belakang, Nyai Demang segera melindungi dua putri Keraton, sambil membalikkan tubuh dengan kedua tangan terentang.

   Akan tetapi bayangan itu muncul di arah belakang.

   Begitu Nyai Demang berbalik, Rajadewi dan Tunggadewi sudah berada dalam dekapan orang yang wajahnya nampak samar-samar dalam kegelapan malam.

   Hati Nyai Demang bercekat.

   Sungguh digdaya pendekar yang satu ini.

   Kesiuran angin yang dikeluarkan bisa menjebak lawan.

   Gerakannya amat sangat cepat sekali.

   Namun Nyai Demang tak mau berpikir panjang.

   Begitu melihat bayangan yang menarik Tunggadewi dan Rajadewi, kedua tangan yang sudah terentang menepuk ke depan.

   Dibarengi dengan goyangan tubuhnya yang menjadi sangat lemas.

   Tanpa menghindar atau membalas, bayangan samar itu menggelengkan kepalanya perlahan.

   Ketika dua tangan Nyai Demang menyentuh dada orang itu, tanpa sengaja dengan cepat ditarik kembali.

   Tangannya seperti menyentuh bongkahan marmer yang sangat dingin.

   "Lepaskan!"

   "Sssttt!"

   Kaki kanan Nyai Demang menendang. Tepat mengenai sasaran, yaitu paha lawan. Akan tetapi lagi-lagi justru angin dingin yang mendesir masuk ke ulu hatinya. Tanpa terasa tubuh Nyai Demang bergoyang karena kedinginan.

   "Kau..."

   "Sssttt!"

   Kini Nyai Demang baru bisa melihat sedikit lebih jelas.

   Manusia bertubuh dingin itu memang nampak samar karena tubuhnya berada dalam gelap.

   Kedua pipinya turun.

   Matanya berkilau dan menusuk.

   Bibirnya, barangkali saja membentuk senyuman.

   Akan tetapi tertutup oleh pipinya yang tembam.

   "Aku yang mengantar ke dalam."

   "Tunggu..."

   "Sssttt!"

   Cepat jalan pikiran Nyai Demang bekerja.

   Bahwa yang dihadapi ini bukan sembarang tokoh.

   Jelas-jelas ilmunya di atas dirinya.

   Akan tetapi caranya ber-Sssttt, menunjukkan bahwa kehadirannya juga tak ingin diketahui orang lain.

   Nyai Demang bisa menebak lebih jauh.

   Tubuh yang dingin bagai air es di puncak pegunungan, menandai bahwa pemiliknya mempunyai tenaga dalam yang bersumber dari tenaga dingin.

   Latihan dan penguasaannya cukup hebat.

   Selama ini, hanya beberapa tokoh saja yang mempelajari secara khusus tenaga dalam semacam itu.

   Yang diketahui oleh Nyai Demang adalah Kiai Sambartaka.

   Dengan Pukulan Beku atau Mandeg Mangu.

   Sama menggunakan tenaga dalam yang berhawa dingin.

   Hanya saja Kiai Sambartaka menggunakan untuk membekukan darah lawan yang berhasil dipegang.

   Sementara tokoh yang dihadapi ini justru sebaliknya.

   Membekukan darah dan tubuhnya sendiri.

   Di seluruh jagat ini tak begitu banyak yang secara khusus mempelajari ilmu pengerahan tenaga dingin.

   Biasanya mempelajari dua-duanya.

   Yaitu tenaga panas dan sekaligus juga tenaga dingin.

   Karena untuk mempelajari salah satu saja, bisa terganggu keseimbangannya.

   Apalagi kalau yang diambil sebagai latihan utama adalah pengerahan dan pengaturan tenaga dingin.

   Salah-salah dari awal tubuhnya sendiri yang beku jadi mayat.

   Dan kalau Kiai Sambartaka yang berasal dari tlatah Hindia pun tidak mengkhususkan diri, tak bisa lain tokoh yang dihadapi ini adalah...

   "Rupanya saya berhadapan dengan Pendeta dari tlatah Syangka. Sungguh suatu kehormatan besar bisa berkenalan."

   Kedua pipi tembam bergerak-gerak. Suaranya perlahan sekali.

   "Marilah kita bicara sambil berjalan, agar tak menarik perhatian.

   "Nyai Demang sungguh tajam dan luar biasa sekali. Barangkali di seluruh tanah Jawa ini hanya Nyai yang bisa mengenali asal-usul saya tanpa diberitahu.

   "Sungguh karunia Budi Luhur Tanpa Batas.

   "Nyai, atas nama hamba Budi Luhur, saya meminta maaf kalau mengganggu Nyai. Percayalah, dua putri ini akan selamat sampai di kaputren. Nyai tak perlu bersusah payah..."

   Satu kesiuran angin dingin menyelinap, dan bersamaan dengan itu bayangan Pendeta Syangka sudah lenyap dari pandangan mata.

   Bersama dengan Rajadewi dan Tunggadewi.

   Nyai Demang bukannya tak mengetahui arah gerakan Pendeta Syangka, akan tetapi kalau ia mengejar sambil mengeluarkan tenaga sepenuhnya, seluruh prajurit Keraton akan mengetahui keberadaannya.

   
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bisa-bisa lebih runyam.

   Karena arahnya menuju kaputren, Nyai Demang merasa sedikit lebih tenang.

   Untuk lebih meyakinkan, ia berusaha meneruskan langkahnya.

   "Kita pasti bertemu lagi, Nyai."

   Angin dingin itu seolah bertiup di pinggir daun telinga Nyai Demang.

   Hingga langkahnya menjadi urung.

   Ini benar-benar luar biasa.

   Dalam sekejap saja, seluruh jago utama dari semua pelosok jagat bermunculan.

   Nyai Demang hanya bisa menduga-duga saja kehadiran Pendeta Syangka.

   Bukan tidak mungkin dengan tujuan memperebutkan siapa yang paling menguasai Kitab Bumi.

   Atau apa pun namanya.

   Sejauh yang Nyai Demang ketahui, tlatah Syangka lebih jauh dari tlatah Hindia.

   Masih harus menyeberangi lautan lagi.

   Tlatah Syangka, dalam kitab-kitab yang dibacanya, dulu juga disebut tlatah Sri Langka.

   Suatu wilayah luas dengan pendeta-pendeta Budha yang sakti.

   Hanya saja selama ini kebesarannya tertutup oleh pendeta-pendeta Hindu dari tlatah Hindia.

   Bukan mustahil kalau nama Kiai Sambartaka lebih dikenal daripada Pendeta Syangka, yang ia sendiri tak mengenali nama dan gelarannya.

   Walau jelas, ilmu yang dimiliki belum tentu kalah dengan tokoh-tokoh utama.

   Nyai Demang makin mengakui kehebatan Eyang Sepuh, yang nyatanya bisa mengundang perhatian sampai ujung jagat.

   Di bawah kebesaran Baginda Raja Sri Kertanegara, semua hubungan ke tepi laut seberang mana pun bisa terjajaki.

   Kalau benar Pendeta Syangka berniat menjajal keunggulan dan merebut gelar lelananging jagat, kenapa tidak berada di Trowulan? Sungguh tidak masuk akal kalau tidak tahu.

   Akan tetapi kalau bukan mencari kemenangan, apa hubungannya muncul di Keraton? Kenapa bisa begitu leluasa masuk ke dalam kaputren? Ataukah utusan khusus Baginda? Agak masuk akal, meskipun Nyai Demang akhirnya meragukan sendiri.

   Agak masuk akal, karena sebagai raja, Baginda selalu dikelilingi oleh beberapa pendeta, tokoh sakti, dari berbagai tlatah.

   Boleh dikatakan semua raja dikelilingi tokoh sakti.

   '' Yang membuat Nyai Demang ragu adalah Baginda tak begitu mengenal hubungan dengan tlatah Syangka.

   Apalagi, selama ini memang tak pernah ada hubungan baik.

   Berbeda dari tlatah yang lain, tlatah Syangka mempunyai ciri dan warna tersendiri dalam hubungan dengan raja-raja di tanah Jawa atau tanah Sriwijaya.

   Keraton Agung Sriwijaya pernah menaklukkan tanah Syangka.

   Prajurit dan para senopati bahari dari Keraton Sriwijaya berhasil menguasai tanah Syangka.

   Sejak itu boleh dikatakan ksatria dan pendekar dari Syangka, termasuk para pendeta, ingin melepaskan diri dari pengakuan atas Keraton Sriwijaya.

   Itu sebabnya hubungan kedua keraton yang berbatasan lautan luas tak pernah bisa tenteram.

   Meskipun di permukaan, setiap saat tertentu utusan dari Syangka datang dan menyerahkan tanda pengakuan kekuasan Keraton Sriwijaya.

   Tradisi Syangka pada Putra Mahkota MESKIPUN kejadiannya sudah lama sekali, sekitar seratus tahun lebih, akan tetapi Nyai Demang masih bisa membenarkan apa yang dituliskan dalam kitab-kitab yang pernah dibacanya.

   Sekarang yang membuatnya bimbang dan ingin tahu.

   apa arti kehadiran Pendeta Syangka? Mengabdi pada Baginda, jelas sangat tipis kemungkinannya.

   Mengabdi kepada Mahapatih, rasanya kurang tepat juga.

   Sebagai pendeta, mereka hanya mengabdi kepada yang tertinggi.

   Yaitu Raja.

   Kalau bukan Baginda, hanya ada satu kemungkinan.

   Yaitu Putra Mahkota Bagus Kala Gemet.

   Siapa lagi, mengingat keleluasaan yang berlaku padanya.

   Dan kalau benar begitu, ceritanya bisa panjang sekali.

   Karena Nyai Demang tetap dipenuhi tanda tanya.

   kenapa Putra Mahkota begitu bersemangat mengumpulkan tokoh-tokoh sakti? Ataukah diam-diam sedang menyusun kekuatan untuk mempersiapkan diri kalau nanti dinobatkan sebagai raja? Dipenuhi pikiran semacam itu, Nyai Demang jadi maju.

   Ia mengambil langkah memutar.

   Menuju ke bagian yang didiami Putra Mahkota.

   Untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

   Setidaknya dari Senopati Sora bisa diketahui terjadinya sesuatu yang luar biasa.

   Menyebut nama Senopati Sora, dalam hati Nyai Demang makin bercabang pertanyaan.

   Selama ini Baginda sudah memutuskan Senopati Sora untuk mendampingi Putra Mahkota.

   Bahkan sudah menyediakan Dahanapura sebagai tempat mesu budi, atau latihan pengendalian nafsu.

   Sebagai tempat latihan memerintah.

   Agaknya Putra Mahkota tak merasa cukup puas dengan Senopati Sora.

   Merasa perlu mengumpulkan yang lainnya.

   Kalau tidak salah duga, termasuk Maha Singanada! Yang kelihatannya juga menerima perintah langsung dari Putra Mahkota.

   Ini yang diketahui.

   Bukan tidak mungkin masih ada yang tersembunyi.

   Yang akan muncul ke atas permukaan pada saat diperlukan nanti.

   Suatu intrik yang membuat bulu kuduk Nyai Demang berdiri.

   Secara langsung ia mengalami sendiri saat-saat Raja Muda Gelang-Gelang, Jayakatwang, menyusun taktik yang sama hinanya dalam menghancurkan Keraton Singasari.

   Kemudian dibalas oleh Raden Sanggrama Wijaya serta pasukan dari Tartar.

   Yang pada gilirannya diusir ke tengah laut.

   Dan kemudian juga munculnya Halayudha, senopati Keraton yang dekat dengan Baginda dan mampu mengeruhkan yang jernih, mengaburkan yang samar.

   Terbersit juga pertanyaan dalam hati Nyai Demang.

   Apakah semua ini tak diketahui oleh Baginda? Ataukah sudah diketahui dan sengaja dibiarkan? Agar ada yang muncul ke permukaan, mengadakan perlawanan, untuk kemudian ditumpas habis? Nyai Demang tak begitu paham dengan tata budaya mencari kekuasaan.

   Ia jauh dari semua keinginan itu.

   Semua yang diketahui mengenai liku-liku dan tata pemerintahan hanya dari kegemarannya membaca buku semata.

   Tanpa pernah terlibat langsung.

   Kalaupun terjadi pada dirinya, itu hanya tingkat demang, yang sungguh jauh dari menggapai Keraton.

   Jauh sekali jenjangnya.

   Toh begitu, Nyai Demang merasakan kepahitan hidup yang tak akan pernah terlupakan! Kematian suami dan anak-anaknya yang mengenaskan! Pengorbanan kehormatannya! Nyai Demang mengenyahkan pikiran yang menyangkut dirinya.

   Dengan cepat tubuhnya bergerak.

   Masuk menuju bagian perumahan yang didiami Senopati Sora.

   Dengan harapan bisa mendengar sesuatu.

   Yang berhubungan dengan Pendeta Syangka.

   Ketika Nyai Demang menemukan tempat kediaman yang sepi, ia merasa salah langkah.

   Adalah di luar dugaannya ketika ia sedang merunduk di bawah jendela, mendadak jendela itu dibuka perlahan.

   "Marilah kita bicara di dalam, Nyai."

   Suara Senopati Sora! "Kamar sederhana ini terbuka bagi jiwa ksatria sejati. Masuklah, Nyai, sebelum pintu tertutup bagi persahabatan."

   Nyai Demang segera bergegas, masuk melalui pintu depan yang ternyata tak terkunci.

   Dengan menunduk, Nyai Demang menghaturkan sembah, lalu jalan-duduk ke arah dalam.

   Senopati Sora duduk di ruangan tengah, bersila, tanpa membuat gerakan.

   Nyai Demang kaget juga karena seluruh ruangan kosong.

   "Maafkan kelancangan saya, Senopati."

   Ucapan Nyai Demang bukanlah sekadar basa-basi. Perbuatan mengintai kediaman seseorang adalah kesalahan yang tercela. Dan Nyai Demang benar-benar merasa bersalah. Akan tetapi Senopati Sora hanya menghela napas.

   "Selama masih bisa memberi dan menerima maaf, selama itu pula kita seharusnya merasa bersyukur. Pupung ada waktu sebentar, pupung masih ada perjumpaan, kenapa tidak kita manfaatkan sisa waktu yang sekejap ini?"

   Nyai Demang merasa kalimat Senopati Sora tidak keruan ujung-pangkalnya. Hanya karena suaranya menyayat serta diucapkan dengan nada berat, Nyai Demang tak berani mempertanyakan. Dan memang tak perlu. Karena Senopati Sora melanjutkan.

   "Nyai, saya juga minta maaf karena tak bisa menyambut tetamu yang berjiwa ksatria dengan baik.

   "Saya akan segera kembali ke tanah asal. Malam ini juga saya harus segera berangkat. Titip, jaga kebesaran Keraton."

   Di telinga Nyai Demang, kata-kata itu terdengar sangat aneh.

   "Nyai akan segera mengetahui.

   "Oleh Baginda Putra Mahkota, saya dititahkan kembali ke Dahana, menjaga di sana. Sebagai prajurit yang gagal berkali-kali, saya merasa semuanya telah cukup.

   "Saya orang tua yang tak berguna.

   "Hanya karena saya dididik dalam keprajuritan, saya tak ingin membunuh diri saya untuk menebus dosa.

   "Ah, sedikit lega dada ini bisa mengatakan sesuatu. Apakah Nyai ingin menyaksikan pemakaian gelar Pandya? Beruntunglah Nyai diundang dalam perjamuan kebesaran tradisi Syangka ini."

   Bagi Nyai Demang, semuanya menjadi jelas! Senopati Sora dianggap gagal.

   Untuk itu ia dipulangkan ke Dahanapura, tempat kediaman resmi Putra Mahkota Bagus Kala Gemet.

   Sedangkan Putra Mahkota tetap tinggal di Keraton.

   Lebih dari itu, Putra Mahkota sedang mengadakan perjamuan besar.

   Peristiwa yang mengandung makna sangat dalam, karena Senopati Sora menyebutkan sebagai pemakaian gelar Pandya! Gelar itu adalah gelar yang biasa dipakai oleh mereka yang naik takhta secara resmi.

   Nama Pandya, menunjukkan tradisi tanah Syangka.

   Ini berarti, Putra Mahkota Bagus Kala Gemet diam-diam sudah mengangkat dirinya sebagai raja! Untuk tidak terlalu menarik perhatian dan pertentangan, diberi gelar Pandya di belakang nama yang dipilih.

   Dengan itu pula sekaligus menunjukkan, bahwa Bagus Kala Gemet telah memilih cara tata kenegaraan yang terjadi di tanah Syangka! Kalau dulu Raden Sanggrama Wijaya memakai gelar yang menunjukkan dirinya berasal dari keturunan Keraton Singasari, kini justru Putra Mahkota Keraton Majapahit memakai gelar dari nama raja-raja di Syangka.

   Sungguh tak masuk di akalnya.

   Lebih tak masuk akal lagi kalau ia menduga bahwa Senopati Sora sedang menceritakan lelucon.

   Nyai Demang merasa batinnya perih.

   "Duh, Senopati Sora, apakah telinga saya tidak salah dengar?"

   "Saya akan segera kembali ke tanah asal, Nyai.

   "Rasanya masih ada waktu untuk mengatakan segalanya dengan jujur."

   Nyai Demang menyembah dengan hormat.

   "Senopati perkasa, jangan salah tampa. Saya tidak bermaksud..."

   "Saya tahu, Nyai."

   "Apakah ini semua karena ulah Pendeta Syangka?"

   Tak ada jawaban. Helaan napas dalam.

   "Karena saya tak tahu pasti jawabannya, saya tidak berani menjawab apa-apa.

   "Nyai-lah yang akan menemukan jawaban itu."

   "Senopati..."

   Senopati Sora berdiri.

   "Sebelum tengah malam, saya sudah harus tidak ada di dalam Keraton ini. Maka maafkan kalau saya tak bisa menemani lebih lama. Titip segala yang bisa Nyai lakukan untuk tanah tumpah darah ini.

   "Untuk ini, saya yang tua tak berguna mengucapkan terima kasih yang dalam."

   Nyai Demang terpana ketika Senopati Sora menyembah ke arahnya.

   Maha Singa Marutma SAMPAI Senopati Sora selesai memberi hormat, Nyai Demang masih tetap terbengong.

   Siapa mengira dirinya akan menerima penghormatan seperti ini? Sampai Senopati Sora membalikkan tubuh, baru sadar bahwa tak seharusnya dirinya bersikap kaku.

   Karena bingungnya, Nyai Demang berkata tergesa.

   "Tidak... maaf... bukan... tapi, tapi saya... tunggu..."

   Senopati kembali membalikkan tubuhnya.

   Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Maaf, Senopati Sora. Kalau benar malam ini ada upacara pemberian gelar sebagai Pandya oleh pendeta dari Syangka, apakah berarti pendeta dari tanah Jawa kalah dan tak terpakai?"

   "Kemauan dan kekuasaan seorang putra mahkota lebih penting daripada kesaktian."

   "Apakah ini tidak memancing pertengkaran di belakang hari?"

   "Atau sudah dimulai, Nyai?"

   Senopati Sora menunduk. Nampak sekali penyesalan di wajahnya.

   "Tidak seharusnya saya mengatakan seperti ini."

   "Biar saya yang menanggung dosa.

   "Saya tetap tak mengerti. Kenapa Bagus Kala Gemet begitu tergesa untuk menyiapkan diri, sementara Baginda masih memegang kekuasaan? Apakah karena ada Pendeta Syangka, dan mempunyai Senopati Maha Singanada yang diunggulkan?"

   "Dan satu lagi yang sangat diunggulkan. Senopati Maha Singa Marutma yang perkasa. Yang seperti Pendeta Syangka, masih disimpan."

   "Marutma?"

   "Ya, Nyai."

   "Marutma... Martaban...?"

   "Nyai tahu hal itu."

   "Apa tidak salah dengar?"

   "Itulah yang saya dengar. Dan saya lihat."

   "Kalau benar begitu..."

   Tanpa terasa Nyai Demang menggaruk-garuk rambutnya yang disanggul sempurna.

   Pandangannya nyalang.

   Marutma atau biasa disebut dengan Martaban adalah suatu wilayah subur di tepi Sungai Saluen.

   Di sanalah berdiri Keraton Mon.

   Keraton yang aman dan damai, yang menjadi salah satu wilayah di mana Baginda Raja Sri Kertanegara mengibarkan panji-panji kekuasaan pemerintahannya.

   Nyai Demang tahu persis bahwa banyak senopati unggul yang dikirimkan dari Keraton Singasari ke Keraton Mon.

   Seperti juga utusan yang dikirim ke tlatah Melayu.

   Bahkan boleh dikatakan rombongan senopati yang berangkat ke Keraton Mon lebih besar.

   Karena Keraton Mon sedang dikepung dua musuh yang berusaha menaklukkannya.

   Yaitu Keraton Sukothai atau Keraton Thai, serta Keraton Burma yang dikenal dengan barisan gajah putih.

   Selama ini yang diketahui Nyai Demang hanya utusan ke tlatah Melayu yang pulang kembali membawa dua putri.

   Yang lainnya tidak diketahui sama sekali.

   Baru dengan kemunculan Maha Singanada, Nyai Demang kemudian mengetahui adanya rombongan yang lain.

   Yaitu yang kembali dari Keraton Campa.

   Rombongan Maha Singanada-lah yang membawa putri Singasari bernama Putri Tapasi yang dipermaisurikan oleh Raja Jaya Singawarman Katelu, atau Ketiga.

   Dan di luar itu ternyata masih ada lagi Maha Singa Marutma, utusan yang kembali dari Keraton Mon! Bedanya dari utusan yang lain, kedua senopati ini langsung ditarik ke dalam rangkulan kekuasaan Putra Mahkota Kala Gemet.

   Ini yang agak aneh.

   Karena rombongan Senopati Anabrang menyerahkan putri bawaannya kepada Baginda.

   Kalaupun kedatangan Senopati Maha Singanada dan Senopati Maha Singa Marutma berselisih waktu yang cukup lama, jelas bukan sowan, atau menghadap kepada Putra Mahkota.

   Mereka tetap harus melapor, menyerahkan semua hasil yang dibawa kepada Baginda.

   Yang merupakan lanjutan pemerintahan Keraton Singasari semasa Baginda Raja Sri Kertanegara.

   Tapi nyatanya lain.

   Ini berarti ada satu usaha yang diam-diam dilakukan, tapi cukup kuat pengaruhnya dan berhasil.

   Siapa lagi kalau bukan dari Pendeta Syangka, yang bahkan mempengaruhi Putra Mahkota untuk memakai gelaran Pandya? Jelas dalam benak Nyai Demang, akan tetapi menggelisahkan di dalam hati.

   Keruwetan Keraton Majapahit selama ini, karena adanya seorang bernama Halayudha.

   Senopati Keraton yang sangat dipercaya oleh Baginda.

   Kalau kini Putra Mahkota juga didalangi oleh seorang pendeta, bisa dua kali bahaya.

   Dalam belitan keruwetan yang luar biasa ini, secara kebetulan pula para jawara penjuru dunia datang untuk mengadu kesaktian.

   Bahkan juga ikut muncul Ratu Ayu dari negeri Turkana! Nyai Demang menggelengkan kepalanya.

   Mengibaskan jalan pikiran yang simpang-siur.

   "Apakah Baginda tidak mengetahui hal ini?"

   "Saya tidak tahu, Nyai."

   "Paman Senopati wajib memberitahukan."

   "Permaisuri Indreswari telah menerima laporan."

   "Oh!"

   Ini berarti Putra Mahkota mempunyai kekuatan rangkap.

   Di satu pihak ia berhasil mengumpulkan para jago silat yang diangkat menjadi senopati, di lain pihak ia mendapatkan perlindungan dari Permaisuri Indreswari.

   Yang bisa mempengaruhi Baginda.

   Nyai Demang tak pernah lupa, bahwa Baginda sangat tunduk dan selalu mengiyakan apa yang menjadi permintaan Permaisuri yang datang dari Melayu.

   Kalau tidak begitu, pasti bukan Kala Gemet yang sejak kecil sudah ditunjuk sebagai ahli waris satu-satunya! Dan ahli waris satu-satunya, sang putra mahkota ini, ingin mempercepat proses! Sungguh menyedihkan kedudukan Baginda.

   Di satu pihak sangat disibukkan oleh senopati yang berebut dan menginginkan kedudukan mahapatih, sehingga terjadi saling pertikaian, di pihak lain, putra kandungnya sendiri mempersiapkan sesuatu yang bisa menjungkirbalikkan kedudukannya.

   Nyai Demang juga-bisa memperhitungkan, atau sedikitnya memperkirakan, bahwa jalan yang akan ditempuh Putra Mahkota pastilah bukan jalan yang berdarah.

   Seperti Baginda dulu merebut kekuasaan dari tangan Raja Jayakatwang.

   Seperti Raja Jayakatwang dulu merebut kekuasaan dari tangan Baginda Raja Sri Kertanegara.

   Akan tetapi akibat yang ditimbulkan bisa lebih menghamburkan darah.

   Karena persiapan yang ditempuh Putra Mahkota bisa menjurus ke arah itu.

   Senopati, punggawa, prajurit yang tak disukai bisa disingkirkan begitu saja.

   Seperti halnya Senopati Sora, yang tak mempunyai ambisi apa-apa.

   Seperti Rajadewi dan Tunggadewi yang masih kanak-kanak.

   Semua jalan akan dilicin ratakan.

   Yang menghalangi akan disikat habis.

   "Senopati Sora... Paman..."

   Suara Nyai Demang tertahan.

   Tak ada lagi bayangan orang lain.

   Ia sendirian.

   Entah sejak kapan Senopati Sora meninggalkannya.

   Terbayang wajah duka seorang senopati utama, seorang prajurit sejati yang kecewa lahir dan batin.

   Adalah Senopati Sora yang berjuang sejak awal.

   Sejak penyerbuan pertama ke Keraton Singasari (Daha) yang masih diduduki Raja Jayakatwang.

   Yang ikut menyabung nyawa mengusir pasukan Tartar.

   Adalah Senopati Sora yang dianggap sesepuh dan pantas menduduki jabatan mahapatih.

   Justru dalam puncak pengabdiannya, Senopati Sora tetap merendah dan merasa tidak pantas dengan keunggulan jabatan itu.

   Ia menolak secara halus.

   Sehingga keponakannya, Adipati Lawe, menjadi geram, dan sesuai dengan darah panasnya, mengatakan secara terbuka.

   Yang berlarut menjadi perang tanding dengan Senopati Anabrang.

   Dan tewas di tangan senopati itu.

   Yang kemudian tewas di tangannya.

   Sebagai ksatria, Senopati Sora bersedia menanggung semua akibat yang diperbuatnya-walaupun itu bukan pembunuhan yang disengaja.

   Hatinya lebih hancur lagi ketika Baginda tidak memberi hukuman dengan mencopot jabatannya atau menghukum mati.

   Senopati Sora hanya "dibuang"

   Ke Keraton Dahanapura.

   Mendampingi Putra Mahkota.

   Tetap berusaha mengabdi sebagai senopati utama yang menyerahkan dan mengerahkan seluruh pengabdiannya.

   Yang justru ditendang dengan semena-mena oleh Putra Mahkota.

   Betapa hancur harga dirinya.

   Betapa remuk batinnya tertimpa duka.

   Inikah akhir seorang prajurit yang jujur, setia, yang memberikan seluruh pengabdiannya dengan jiwa dan raganya? Nyai Demang merasa bahwa kehancuran jiwa Senopati Sora jauh lebih mengerikan daripada penderitaan yang disandangnya selama ini.

   Jari Lentik Permaisuri Indreswari NYAI DEMANG memberontak dalam hati.

   Walau luas pandangannya yang jauh dalam mempertimbangkan, akan tetapi hati kecilnya terusik.

   Perlakuan terhadap Senopati Sora sangat menyedihkan.

   Karena tak mungkin mengejar Senopati Sora, Nyai Demang berniat menerobos ke dalam kediaman Putra Mahkota.

   Untuk menjelaskan bahwa ada beberapa perkiraan yang keliru.

   Ada sesuatu yang tak pantas dilakukan terhadap Senopati Sora.

   Memang terbersit juga pikiran untuk menghadap langsung Baginda Kertarajasa, akan tetapi itu pasti akan lebih sulit.

   Dan ternyata tak begitu sulit untuk masuk ke dalam kediaman Putra Mahkota.

   Karena boleh dikatakan itu adalah pertemuan terbuka.

   Bahkan boleh dikatakan semua pembesar Keraton hadir.

   Mulai Mahapatih Nambi hingga para prajurit pengawal utama.

   Untuk pertama kalinya Nyai Demang melihat Permaisuri Indreswari hadir dalam pertemuan.

   Malah bertindak sebagai penyelenggara.

   "Kedatangan para senopati membesarkan hati kami. Ini membuktikan kesetiaan kepada Keraton, sampai turunan yang kemudian. Untuk ini semua, saya secara pribadi tak akan pernah melupakan."

   Suara Permaisuri Indreswari terdengar sedikit lebih lantang.

   "Malam ini, secara resmi, Putra Mahkota Bagus Kala Gemet penerus utama dan satu-satunya, akan resmi memakai sebutan Sri Sundarapandya Adiswara.

   "Mulai malam ini hanya itulah sebutan yang berlaku."

   Semua yang hadir menghaturkan sembah. Hormat dan khidmat. Putra Mahkota yang duduk di kursi berukiran warna emas nampak mengangguk. Gerakan tangannya sama lembutnya dengan gerakan tangan ibundanya, ketika memberi aba-aba agar penghormatan dihentikan.

   "Malam ini akan lebih sempurna kalau Putri Ayu Turkana menjadi salah seorang pendampingnya. Akan tetapi ternyata derajat dan pangkat putri mancanegara itu tak cukup bagus. Sehingga harus mendampingi seseorang yang tak jelas asal-usulnya.

   "Tapi itu semua soal kecil, selama kalian semua, para senopati yang dipercaya oleh Keraton, hadir di sini."

   Suasana lengang.

   Nyai Demang mencari-cari di mana Pendeta Syangka berada.

   Karena kini sampai kepada tata upacara memberi penghormatan kepada Sri Sundarapandya Adiswara.

   Satu demi satu para senopati maju ke depan.

   Diawali oleh Mahapatih Nambi, yang berjalan jongkok.

   Dari jarak beberapa meter, Mahapatih menunduk hormat ke arah telapak kaki Putra Mahkota.

   Upacara berjalan cukup lama dan melelahkan bagi Nyai Demang yang berada di kejauhan.

   Sementara itu, Permaisuri Indreswari memperhatikan satu demi satu.

   Seolah menghitung siapa yang datang dan siapa yang tidak.

   Siapa yang menunjukkan kesetiaan dan siapa yang menjadi pembangkang.

   "Sora memang tidak mau datang."

   "Hamba sudah berusaha membujuknya, akan tetapi maaf, Gusti Permaisuri yang paling dicintai Baginda, senopati tua itu berkeras tak mau datang menghadap."

   
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Itulah suara Halayudha! Satu-satunya manusia di jagat yang membuat Upasara bisa menaruh dendam.

   Bahkan terhadap Ugrawe yang jahat kelewat-lewat, Upasara sampai mengutarakan secara terbuka.

   Bagaimana mungkin Halayudha bisa mengatakan bahwa Senopati Sora tidak mau menghadap kalau memang ia tidak diundang? Dusta macam apa lagi ini? Tangan Permaisuri Indreswari yang lentik menggapai ke arah Mahapatih Nambi.

   Yang segera mendekat dan menghaturkan sembah.

   "Benar, Sora tidak mau datang?"

   "Hamba tidak melihatnya, Gusti Permaisuri."

   "Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan?"

   "Apa pun yang diperintahkan Baginda, hamba akan melaksanakan dengan seluruh jiwa dan raga hamba."

   "Apakah perlu menunggu perintah langsung?"

   Mahapatih menunduk, menyembah. Seluruh ruangan menjadi sunyi dan tegang. Suara Permaisuri Indreswari maupun Mahapatih Nambi terdengar jelas.

   "Kalau memang perlu titah langsung dari Baginda, kamu akan mendengar sebelum matahari terbit esok hari.

   "Bisa dimengerti keraguanmu, Mahapatih, karena Baginda tak menghendaki adanya pertentangan di dalam. Akan tetapi pembangkangan secara terang-terangan ini tak bisa diampuni. Tak bisa dibiarkan tanpa penjelasan."

   Lalu Permaisuri Indreswari menoleh ke arah Halayudha.

   "Senopati mana lagi yang tidak hadir?"

   "Semua hadir, Gusti Permaisuri.

   "Kecuali Senopati Sora dan Senopati Muda Gajah Biru."

   "Ini akan menjadi pelajaran berharga bagi mereka."

   Nyai Demang tak habis pikir.

   Bagaimana mungkin seorang permaisuri utama bisa begitu cepat mengambil keputusan.

   Dan merasa bahwa ia bisa menentukan kesetiaan seseorang.

   Kalaupun tidak baru saja bertemu, Nyai Demang tetap percaya bahwa Senopati Sora bukan pembangkang.

   Darah Nyai Demang mendidih.

   Giginya gemeretuk.

   Perutnya terasa mual setiap kali Permaisuri Indreswari bernapas.

   Mendadak ada tangan mencekal tangan Nyai Demang.

   Ketika Nyai Demang menoleh, hampir saja berseru kaget.

   Karena dikiranya yang memegang tangannya adalah Upasara! Memang wajahnya mirip.

   "Maha Singanada."

   "Kita bertemu lagi, Nyai.

   "Nyai tak usah terpengaruh. Saya juga baru bertemu dengan Senopati Sora."

   "Lalu?"

   "Ini bukan urusan kita."

   Nyai Demang menahan kedongkolan dalam hati. Baru kini bisa jelas perbedaan antara Maha Singanada dan Upasara Wulung. Kalau Upasara ada, tak akan mengatakan hal semacam itu. Upasara lebih mulia. Lebih ksatria.

   "Omonganku kasar, Nyai?"

   Nyai Demang berdiam.

   "Aku bukan Upasara yang sedang menikmati malam pengantinnya."

   Kasar, sembrono, tetapi ada benarnya! Upasara masih menikmati wewangian pengantin.

   Tak ada lagi yang bisa diharapkan.

   Gendhuk Tri...

   Astaga, apakah ia masih beku di Kamandungan? Suara Maha Singanada cukup keras, sehingga Permaisuri Indreswari menengok ke arahnya.

   Nyai Demang bergidik.

   Ngeri.

   Sebaliknya, Maha Singanada nampak tenang sekali.

   Tak terpengaruh sama sekali.

   "Siapa yang berani begitu kurang ajar berbicara sendiri?"

   "Saya."

   Sukma Nyai Demang benar-benar terbang. Sama sekali tak disangka bahwa Maha Singanada akan berbuat selancang dan sengawur itu.

   "Kalau begitu, enyahlah kamu dari hadapanku."

   Suasana menjadi berubah seketika. Semua pandangan tertuju ke arah Maha Singanada.

   "Mulai sekarang dan untuk selama-lamanya, aku tak sudi melihat bayanganmu."

   Maha Singanada berdiri. Tanpa menghaturkan sembah. Berjalan begitu saja, ketika tiba-tiba satu bayangan memaksanya berkelit menghindar.

   "Siapa menyuruhmu berbuat begitu kurang ajar dan tak tahu aturan?"

   "Tak ada."

   "Kita selesaikan di luar."

   Maha Singanada mengangguk.

   Keduanya berkelebat pergi.

   Nyai Demang merasa kepalanya pening mendadak.

   Berturut-turut terjadi peristiwa yang berada di luar jangkauan pikirannya.

   Mana mungkin pertarungan bisa terjadi hanya karena sikap yang begitu ugal-ugalan? "Sidateka, selesaikan urusan di luar tanpa ribut-ribut."

   Yang disebut namanya segera menunduk, memberi hormat, dan melompat pergi.

   Sebat sekali gerakannya, meninggalkan kesiuran angin dingin.

   Nyai Demang sadar bahwa yang disebut Sidateka adalah Pendeta Syangka! Jadi pendeta dari Syangka itu sudah mempunyai nama sebuah desa di Keraton.

   Desa Sidateka! Berarti sudah cukup lama berada di dalam wilayah Keraton.

   Jalan pikiran Nyai Demang terputus ketika mendengar suara halus.

   "Lebih baik kamu menyerah. Hukumanmu bisa diperingan atas ampunan Gusti Permaisuri."

   Pangeran Jenang dari Campa NYAI DEMANG menatap ke arah pembicara yang memberi peringatan padanya.

   Sosok tubuh yang sedikit kurus, dengan dagu mendongak.

   Tak bisa dibedakan dari senopati lain.

   Hanya saja gelang lengan yang dikenakan menunjukkan tingkat kebangsawanan yang tinggi.

   Demikian juga kalung bersusun yang gemerlap.

   Dengan bentuk sayap burung, besar dan bersusun makin lama makin kecil.

   Sesaat Nyai Demang merasa heran.

   Tokoh dari mana lagi ini? "Gusti Permaisuri, saya mohon ampunan atas kelakuan kasar wanita ini.

   Rasa-rasanya..."

   Nyai Demang mendengus keras. Langsung berdiri dengan gagah. Tatapan matanya menyorot tajam.

   "Untuk apa minta ampunan kalau tidak melakukan kesalahan. Gusti Permaisuri, ampunan tak bisa saya terima."

   Suara lantang Nyai Demang lebih dikarenakan kegeraman atas sikap Permaisuri Indreswari dan Putra Mahkota.

   Ia bukannya tidak mengetahui bahwa bangsawan yang memamerkan kekayaannya ini berusaha melindunginya.

   Namun Nyai Demang menangkap gelagat sinar yang tak senonoh dari pancaran mata lelaki bangsawan yang berusaha melindungi.

   Bagi wanita seperti Nyai Demang sangat mudah untuk menebak arti sorot mata lelaki.

   Itu yang membuatnya lebih gondok.

   "Siapa kamu, berani kurang ajar kepada Pangeran Jenang?"

   Suara Putra Mahkota terdengar mengguntur. Pangeran Jenang mendongakkan wajahnya. Seakan mendapat kehormatan yang lebih tinggi.

   "Kurang ajar atau tidak, apa urusannya? "Di jagat ini begitu banyak pangeran, begitu banyak ratu berkeliaran, tak menentu apa maunya. Kalau semua pelarian masih menganggap harus tetap dihormati sebagai sesembahan, sampai bungkuk tubuh saya tak akan selesai penghormatan ini."

   Permaisuri Indreswari menuding murka.

   Empat senopati utama langsung mengurung Nyai Demang.

   Menunggu aba-aba.

   Satu gerakan lembut dari Permaisuri Indreswari, cukup untuk membuat Nyai Demang jadi cincangan.

   Nyai Demang berdiri tegak.

   Tak membiarkan dirinya diringkus begitu saja.

   Hatinya cukup sadar bahwa kata-kata yang dilontarkan mampu membuat Permaisuri Indreswari mencincang sampai lumat! Memang begitulah sesungguhnya! Apa yang dikatakan Nyai Demang seolah melempar kotoran busuk ke wajah yang terhormat.

   Nyai Demang tahu bahwa tetamu kehormatan yang juga muncul malam ini adalah Pangeran Jenang, atau Pangeran Che Nam.

   Penguasa dari Keraton Tran-Minh-tong di tlatah Vietnam.

   Sudah sejak lama Nyai Demang mendengar bahwa penguasa utama dari Vietnam menyembunyikan diri di tanah Jawa.

   Pangeran Jenang adalah penguasa yang terusir setelah gagal merebut kembali keratonnya dari penguasaan bangsa Vietnam.

   Ke mana lagi larinya kalau tidak minta bantuan Keraton Singasari yang memang mempunyai kekuasaan di wilayah itu? Kedatangan Pangeran Jenang diterima dengan baik oleh Permaisuri Indreswari dan dimanfaatkan sebagai bagian upacara kebesarannya.

   Pangeran Jenang diterima sebagai tamu kehormatan.

   Dan diperlakukan sebagai penguasa tertinggi.

   Sebutan pangeran, menunjukkan sedikit di bawah raja.

   Bisa dimengerti bahwa ucapan Nyai Demang bagai melempar noda yang busuk.

   Dengan enteng Nyai Demang mengatakan sebagai raja yang berkeliaran.

   Tak berbeda dari Ratu Ayu! Yang dianggap ratu keluyuran dan hanya mencari jodoh.

   Telinga Putra Mahkota pun terasa seperti terbakar.

   Karena kehadiran Pangeran Jenang secara politis sangat berarti sekali.

   Seakan peresmian dihadiri oleh beberapa utusan berbagai negara dari tanah seberang.

   Namun dengan beberapa patah kata, Nyai Demang telah memorakporandakan tata upacara kenegaraan.

   Kalau istilah itu ditujukan kepada Ratu Ayu Bawah Langit, mungkin tak akan membakar gusar seperti sekarang ini.

   Bukan karena Ratu Ayu gagal dipersunting Putra Mahkota, akan tetapi karena selama ini tak ada hubungan langsung dengan negeri Turkana yang jauh di ujung jagat.

   Sementara hubungan dengan Pangeran Jenang sudah terjalin dengan baik sejak Baginda Raja Sri Kertanegara.

   Sama-sama tamu negara, kedudukan Pangeran Jenang jauh berbeda dari Ratu Ayu.

   Putra Mahkota berdehem, mengeluarkan suara di tenggorokan karena geramnya.

   "Tujuh turunan di atasmu pastilah manusia yang tak mengenal tata krama. Tujuh turunan di bawahmu akan tetap seliar binatang. Dihukum cincang pun rasanya masih kurang.

   "Wanita biadab."

   "Enak saja bisa memaki orang lain.

   "Percuma saja menjadi calon sesembahan seluruh masyarakat jika bisanya hanya memamerkan kekuasaan. Putra Mahkota Keraton yang begini besar dan jaya, tak tahunya hanyalah..."

   Empat senopati sudah langsung mengepung.

   Dengan sangat bernafsu menubruk dan berusaha membungkam Nyai Demang.

   Nyai Demang hanya mengeluarkan suara pendek, menggeliatkan tubuhnya, dan serta-merta meloncat ke atas.

   Satu tangan bergerak menangkis, didahului dengan gerakan kaki.

   Sangat cepat.

   Dan mengena.

   Namun yang terkena tak peduli, apalagi yang lainnya.

   Tetap saja menubruk.

   Ingin meringkus secepatnya.

   "Biar aku yang menjajal dan memberi pelajaran. Mohon perkenan Gusti Permaisuri."

   Pangeran Jenang menyembah hormat kepada Permaisuri Indreswari dan Putra Mahkota, lalu dengan sebat meloncat ke arah Nyai Demang.

   Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Wanita ayu, tubuhmu indah, gerakanmu memesona. Lidahmu tajam. Aku tak bisa menahan diri untuk menangkapmu secara istimewa. Aku masih memerlukan beberapa dayang."

   "Coba saja kalau mampu.

   "Kalau berdiri di negeri sendiri tidak mampu, jangan mencoba bertolak pinggang di negeri orang."

   "Sangat luar biasa. Kamu mengenaliku. Siapa namamu, wanita ayu?"

   Nyai Demang mengeluarkan senyuman mengejek.

   "Kalau pemimpin keraton hanya memperhatikan wanita ayu dan gerakan tubuh, bagaimana memimpin negeri? Soal nama, apa pedulimu?"

   Dengan menyebut mu, Nyai Demang betul-betul menunjukkan kekurangajaran nya. Walau sebenarnya karena kemuakan melihat gaya dan tingkah laku Pangeran Jenang.

   "Aku suka kuda liar seperti ini.

   "Lebih menarik untuk ditaklukkan dan dikendarai."

   Kali ini justru Nyai Demang yang menggebrak langsung.

   Bagian dari Dua Belas Jurus Nujum Bintang dimainkan dengan sepenuh hati yang terbakar dendam.

   Langsung menyodok ke arah ulu hati, dibarengi sapuan kaku yang ganas, Mengarah ke selangkangan Pangeran Jenang, yang dengan cepat mencoba menangkis dengan kedua tangan sekaligus! Gerakan patah, tapi kentara menyimpan tenaga dalam yang terlatih.

   Pangeran Jenang memang bukan sembarang pangeran! Walau mata keranjang dan suka main-main, ilmunya cukup tinggi.

   Tak terlena dengan segala kemewahan dan kelebihan yang dimiliki.

   Menangkis gerakan dengan dua tangan ke bawah, tubuh Pangeran Jenang berputar maju.

   Memapak ke arah Nyai Demang, dan dua sikunya menusuk ke arah dada.

   Gerakan dua tangan yang seolah satu sodokan.

   Kaku, akan tetapi jitu.

   Menusuk langsung.

   Akan tetapi Nyai Demang justru menyambut keras lawan keras.

   Dadanya yang terbuka serangan hanya ditarik mundur, sementara kakinya menebas dengan keras.

   Menebas sedikit di bawah lutut, yang segera ditarik ke atas.

   Lagi-lagi selangkangan lawan yang diincar.

   Sebat, seolah kain yang dipakai Nyai Demang bukan merupakan penghalang.

   Bahkan sebaliknya, seakan menyatukan dengan tendangan berturut turut.

   Agaknya Pangeran Jenang tak menduga sedikit pun bahwa Nyai Demang begitu nekat.

   Adalah di luar perhitungannya, bahwa kata-katanya telah membakar harga diri Nyai Demang.

   Menyentuh bagian rasa kewanitaannya yang paling peka.

   Bagi Nyai Demang adalah pantangan untuk hanya dianggap sebagai wanita pemuas dahaga asmara.

   Sikap dan kata-kata Pangeran Jenang justru menjurus ke arah itu.

   Tak bisa ditafsirkan lain.

   Rasanya Nyai Demang rela mati untuk membela harga dirinya.

   Itulah sebabnya tak mengubah serangannya.

   Lulur Pengantin PANGERAN JENANG menurunkan tangannya, ganti dipakai untuk menebas kaki Nyai Demang.

   Karena Nyai Demang tak menarik mundur, bentrokan tenaga tak bisa dicegah.

   Keras lawan keras.

   Tenaga lawan tenaga.

   Benturan itu membuat kaki kiri Nyai Demang terasa sedikit ngilu.

   Akan tetapi kaki kanannya terus menghajar ke atas.

   Ke arah wajah Pangeran Jenang, saat Nyai Demang membalikkan tubuh.

   Mengetahui datangnya serangan nekat, Pangeran Jenang tak bertindak ayal.

   Dengan serta-merta, kepalanya ditarik ke arah belakang bersamaan dengan tubuhnya.

   Mau tak mau harus meloncat mundur! Nyai Demang justru menyusuli dengan tendangan kedua.

   Ketiga.

   Sambil terus berputar bagai gasing.

   Pangeran Jenang tak bisa tidak juga mundur.

   Dua langkah.

   Tiga langkah.

   Bukan pemandangan yang menyenangkan bagi Pangeran Jenang.

   Karena seolah ia dipaksa mundur, didesak dalam gebrakan pertama.

   Dipaksa bertahan kembali ke bagian awal.

   Tidak persis seperti ini, akan tetapi inilah yang terlihat.

   Tidak persis, karena justru dalam soal adu tenaga, terlihat betapa sesungguhnya tenaga dalam Pangeran Jenang lebih unggul.

   Dalam sekejap, Pangeran Jenang mengetahui bahwa tenaga dalamnya jauh lebih besar daripada yang dimiliki Nyai Demang.

   Akan tetapi kini justru nampak terdesak.

   Inilah yang tidak enak.

   Namun untuk membalikkan arah serangan, juga tak bisa begitu saja.

   Kedua kaki Nyai Demang berturut-turut menyambar, dan arah yang dituju selalu wajah.

   Dua kali diseling sambaran ke arah ulu hati.

   Nyai Demang memang memainkan Dua Belas Jurus Nujum Bintang.

   Rangkaian gerakan dalam Kitab Bumi yang sudah dihafal hampir semua pendekar silat.

   Akan tetapi tidak berarti bisa terbaca jelas gerakan-gerakannya.

   Karena Kitab Bumi justru hanya mengajarkan tentang pengaturan tenaga, cara memperoleh, dan menyalurkannya.

   Gerakannya sendiri bisa mempunyai banyak kembangan, atau perubahan.

   Apalagi Nyai Demang sedang didorong oleh dendam yang membakar.

   Ini salah satu sebab kenapa Nyai Demang sedikit unggul pada gebrakan awal.

   Kelebihan Nyai Demang justru dalam hal mengerti nama-nama jurus dan bisa di luar kepala semua kidungan dan atau lirik-lirik dalam Kitab Bumi.

   Lebih dari itu, Nyai Demang juga mengetahui berbagai kembangan seperti yang terjadi pada Kiai Sambartaka ataupun pada Naga Nareswara.

   Semua ini mempunyai pengaruh akan keluasan pandangan Nyai Demang.

   Dalam keadaan menyerang Nyai Demang bisa mengeluarkan semua kemampuannya.

   Tidak sebaliknya.

   Nyai Demang tak akan cukup mampu bertahan.

   Karena memang kekuatan tenaganya sangat terbatas dibandingkan para pendekar yang sudah mencapai tingkatan tertentu.

   Hal ini sangat disadari oleh Nyai Demang.

   Tak ada yang mampu menilai diri sendiri seperti Nyai Demang.

   Dalam keadaan terdesak, semua ilmu yang beragam yang dimiliki akan hilang dan terpusat pada pembelaan diri.

   Kelemahan utama ini bisa dimanfaatkan oleh lawan secepatnya.

   Itu pula sebabnya Nyai Demang terkadang begitu mudah ditumbangkan.

   Dan dianggap kelasnya masih jauh di bawah.

   Namun ini semua tidak berlaku di saat ia bisa menguasai lawan dan menyerang.

   Sadar di mana kelebihan dan kekurangannya, Nyai Demang terus menghajar Pangeran Jenang.

   Dua belas jurus berturut-turut, ia memaksa Pangeran Jenang mundur ke segala penjuru.

   Dan bertahan dengan ketat dan geram.

   Sebenarnya Nyai Demang bisa memancing lawan ganti menyerang, dan saat itu ia memainkan jurus-jurus dalam Kitab Penolak Bumi.

   Ibarat kata tinggal menjebak lawan.

   Hanya saja Nyai Demang tidak yakin bahwa pada saat lawan ganti menyerang, ia mampu menjebak dengan baik.

   Justru karena mengetahui kekuatannya tak mampu mengimbangi.

   Maka selesai dua belas jurus, Nyai Demang menyambung dengan jurus ketujuh, kedelapan, dan kemudian menyentak lagi dari awal.

   Dua kali tendangannya hampir mengenai wajah lawan, sehingga Pangeran Jenang terpaksa menyambar tombak trisula.

   Ujung tombak yang terkena sentakan kaki Nyai Demang sampai tergetar.

   Pada saat itu tangan kiri Nyai Demang terulur maju, seakan dengan satu tangan siap menggotong mayit, atau menggotong mayat.

   Pangeran Jenang mengeluarkan suara tertahan.

   Tombaknya bisa direbut Nyai Demang.

   Tiga ujung tombaknya berbalik ke arah lambungnya sendiri.

   Bahaya! Pangeran Jenang tak menyangka bahwa dalam dua puluh jurus ia terdesak terus dan kini betul-betul repot menyelamatkan diri.

   Risiko paling buruk bagi pesilat.

   Karena dengan membiarkan dirinya terdesak satu langkah, rangkaian langkah berikutnya makin kuat dan tak terduga.

   Bahaya! Tiga ujung tombak sudah mendekat.

   Tangan Pangeran Jenang turun dengan cepat.

   Mau atau tidak ia akan beradu tenaga.

   Merampas ujung tombak dan mengerahkan tenaga dalam untuk membetotnya.

   Berarti adu tenaga.

   Yang dalam perhitungan Pangeran Jenang akan bisa dimenangkan.

   Walau memang mengandung sedikit risiko.

   Karena satu torehan sedikit saja akan menyebabkan kantong nasinya terobek.

   Pada saat yang kritis tak terlalu banyak pilihan.

   Pangeran Jenang memusatkan konsentrasi pikiran, mengerahkan tenaga ke arah dua tangannya.

   Satu jari di bawah ujung yang runcing digenggam dengan cepat, dan disentakkan.

   Berhasil.

   Tapi kecele.

   Karena Nyai Demang tidak mengerahkan tenaga di situ.

   Malah sebaliknya.

   Kaki kiri Nyai Demang-lah yang melayang bersamaan dengan tubuhnya bergerak ke atas.

   Bahaya! Terlambat Pangeran Jenang menyadari bahaya yang sesungguhnya.

   Tak masuk dalam perhitungannya bahwa Nyai Demang tetap mampu melancarkan serangan kaki berupa tendangan, justru pada saat menusuk.

   Tak masuk dalam perhitungan Pangeran Jenang, justru karena tak mengetahui bahwa Nyai Demang tidak begitu mampu menguasai permainan tombak.

   Kalau saja Pangeran Jenang sedikit cerdik, bisa mengetahui bahwa serangan Nyai Demang yang terutama adalah permainan kaki, seperti pada awal yang telah dipertunjukkan.

   Gerakan yang lain sekadar perubahan untuk membingungkan lawan, dan bukan merupakan serangan utama.

   Plak! Bahaya! Kepala Pangeran Jenang terdongak ke atas, tombak trisula terlepas dari genggamannya, dan tubuhnya terbanting di lantai.

   Kemenangan Nyai Demang yang gilang-gemilang.

   Keunggulan mutlak.

   Akan tetapi, bersamaan dengan ambruknya tubuh Pangeran Jenang serentak itu pula kepungan dan serangan mendadak muncul.

   Nyai Demang yang tengah melayang di angkasa, mengerahkan sepenuh tenaganya untuk mencari pijakan.

   Tidak mudah.

   Karena begitu tubuhnya melayang turun, hampir semua senjata digerakkan untuk memotongnya.

   
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sehingga Nyai Demang meminjam tenaga dari salah satu senjata yang ada, untuk mumbul, naik ke atas lagi.

   Akan tetapi tiga kali melambung, tenaga perlawanan Nyai Demang sudah merosot jauh.

   Bahaya! Pertarungan di tengah udara bukan keunggulan Nyai Demang.

   Pun andai di atas tanah, tetap tak akan mengimbangi serbuan para senopati yang tak terhitung banyaknya.

   Kini ia benar-benar dalam bahaya.

   Satu sabetan pedang saja bisa membuat kakinya kutung atau tubuhnya putus.

   Satu tusukan saja bisa membuat Nyai Demang bagai terpanggang.

   Nyai Demang tak mungkin memenangkan pertarungan secara keroyokan begini.

   Pada saat loncatan kelima, Nyai Demang merasa bahwa akhir hidupnya tak tertolong lagi.

   Karena kekuatannya sudah makin merosot, dan ia tak bisa sepenuhnya menguasai gerakan tubuhnya.

   Pada saat itulah, mendadak di bawah terjadi perubahan.

   Serbuan para senopati seperti terobek.

   Menguak.

   Sehingga Nyai Demang bisa turun dan berdiri tegap.

   Pinggangnya didekap seseorang.

   Upasara Wulung! "Adimas."

   "Mbakyu Demang... Mari kita menyingkir."

   "Astaga, tubuhmu masih bau lulur pengantin. Bedak pengantin Turkana ini..."

   Upasara Wulung membalikkan telapak tangannya. Tiga ujung senjata yang menusuk ke arahnya diraup dengan satu tangan. Dibanting ke tanah. Lalu dengan menggandeng Nyai Demang, meloncat pergi.

   "Bagaimana nasib dua putri Permaisuri Rajapatni?"

   Raja Turkana BAIK Nyai Demang maupun Upasara menanyakan isi hati masing-masing.

   Dalam benak Nyai Demang kemunculan Upasara adalah sesuatu yang sama sekali di luar dugaannya.

   Karena seharusnya saat itu Upasara sedang menikmati malam pengantin bersama Ratu Ayu Bawah Langit.

   Kesempatan yang begitu diimpikan oleh banyak lelaki.

   Sebaliknya Upasara justru lebih memikirkan keselamatan Rajadewi dan Tunggadewi.

   Aneh atau tidak aneh, itulah kenyataannya.

   Sesaat setelah pertarungan yang berhasil dimenangkan, Upasara diboyong oleh Ratu Ayu dan para senopatinya.

   Saat itu Upasara tak sadar sepenuhnya apa yang terjadi.

   Ia tak bisa menolak dan tak bisa menerangkan apa-apa ketika digiring masuk ke dalam kediaman Ratu Ayu.

   Juga ketika masuk ke dalam ruangan, Upasara makin kikuk, karena Ratu Ayu bersujud di ujung kakinya.

   Disusul oleh para Senopati Turkana.

   "Paman Senopati, maaf... Juga Ratu Ayu... Saya kira ada yang perlu dijelaskan,"

   Suaranya menjadi gugup tak menentu. Bau wangi dupa di dalam ruangan membuat Upasara makin gelapan.

   "Raja Turkana yang gagah perwira, Baginda sekarang memegang kekuasaan tertinggi."

   "Saya tak bisa. Tak bisa.

   "Pokoknya tak bisa saja."

   Ratu Ayu memandang dengan sorot mata memohon.

   "Sampai hamba membunuh diri di depan kaki Raja Turkana sesembahan kami, kenyataan ini tak bisa berubah."

   Upasara menggelengkan kepalanya.

   "Bukan saya menolak kehormatan yang demikian besarnya, Ratu. Bukan untuk membunuh diri siapa pun. Hanya saja, rasanya masih ada sesuatu yang belum selesai. Saya masih harus mengembalikan dua putri yang saya jaga, masih ada berbagai urusan yang harus saya selesaikan."

   Ratu Ayu menyembah. Diikuti para senopati. Upasara makin merasa tak betah duduk di kursi.

   "Sebagai Raja Turkana, Baginda bebas melakukan apa saja. Menyelesaikan urusan, memilih istri kedua atau kesepuluh. Tetap tinggal di tanah Jawa, atau memilih kembali ke singgasana di Turkana.

   "Sebagai Raja Turkana, Baginda bisa melakukan apa saja. Kami tak akan pernah mungkin menghalangi atau menawar perintah.

   "Sebab Baginda yang paling menentukan."

   Upasara melengak tak habis pikir.

   Asap wewangian membuatnya setengah sadar setengah tidak.

   Pikirannya yang jernih seperti teraduk.

   Ia tak membayangkan dirinya akan menjadi raja.

   Benar-benar dipanggil dengan sebutan Baginda dan disembah.

   Raja sebuah negeri! Lebih dari itu semua, ialah kenyataan bahwa itu semua tak mengurangi apa yang bisa dilakukan.

   Sebagai raja, ia bisa melakukan dan memutuskan apa saja.

   Ratu Ayu yang kesohor itu akan mengikuti jejaknya.

   Ini yang justru sangat merepotkan.

   Kalau ia bisa melepaskan takhta, atau keluar begitu saja, masalahnya akan selesai.

   Batinnya tidak mempunyai beban apa-apa.

   Akan tetapi sekarang justru lain.

   Ia tetap bisa berbuat apa saja, hanya saja anggapan sebagai Baginda Raja Turkana tak pernah bisa ditanggalkan.

   "Saya akan mengembalikan kedua putri dan..."

   "Hamba bisa melakukan, Baginda,"

   Sembah Senopati Uighur.

   "Tidak, tidak. Nanti akan merepotkan."

   "Tidak bagi hamba, Baginda."

   "Saya akan melakukan sendiri."

   "Kalau itu kehendak Baginda, hamba akan mengikuti titah."

   Upasara merasa punggungnya menjadi gatal tak menentu. Digaruk susah, tidak digaruk membuat gelisah.

   "Ratu Ayu."

   "Siap menerima perintah Baginda."

   "Saya tak tahu harus bersikap bagaimana. Kejadian ini di luar pengertian saya. Karena masih ada beberapa urusan, saya akan menyelesaikan sendiri.

   "Barangkali ini akan lebih baik. Sementara saya pergi, Ratu Ayu tetap menjadi pemimpin seperti sebelumnya."

   Akhirnya Upasara mampu juga mengutarakan gagasannya.

   "Hamba akan menjalankan semua perintah Baginda. Apa pun sabda Baginda itu yang berlaku bagi kami semua. Hanya saja hamba tak mungkin mewakili Baginda.

   "Tidak dalam pengertian apa pun.

   "Hamba sama dengan semua senopati di sini."

   Upasara menggeleng sedih.

   "Begini... begini...

   "Masalah negeri Turkana atau pengembaraan kalian di sini, kalian bebas melakukan apa saja, selama saya menyelesaikan urusan. Setelah itu kita akan membicarakannya lagi."

   "Ke mana Baginda melangkah, ke tempat itulah kami semua mengikuti.

   "Kalau tidak begitu kami, hamba sahaya ini, tak akan mengikuti Ratu Ayu sampai ke tanah Jawa."

   Suara Senopati Uighur menyadarkan Upasara bahwa ia tak bisa berkelit lagi. Secara resmi ia adalah Raja Turkana. Tak ada gunanya mendebat atau mempertanyakan kembali.

   "Kalau begitu, kalian semua menjaga diri baik-baik.

   "Akan saya tinggalkan Galih Kangkam sebagai pengganti saya di tempat ini. Malam ini saya akan kembali ke Keraton untuk menyelesaikan tugas yang ada. Kalian semua, termasuk Ratu Ayu, tak perlu campur tangan agar tidak terjadi permusuhan."

   "Kami jalankan titah Baginda."

   Semua melakukan sembah. Lalu delapan senopati menyembah dan dengan berjongkok setengah merangkak ke luar. Tinggal Upasara dan Ratu Ayu.

   "Berdirilah, Ratu."

   Ratu Ayu Bawah Langit berdiri, mengambil tempat duduk di sebelah Upasara.

   "Baginda akan berangkat malam ini juga?"

   "Ya, Ratu."

   "Doa dan pujian kami semua menyertai perjalanan Baginda."

   "Ratu Ayu, kalau terjadi apa-apa dengan saya di Keraton, itu sepenuhnya tanggung jawab saya. Ratu tak usah menuntut balas atau memperhitungkan di kelak kemudian hari."

   "Sebagai hamba, saya tak bisa menolak perintah.

   "Akan tetapi sebagai istri, sebagai permaisuri, saya berhak membalas dendam kalau ada kulit Baginda yang lecet karenanya. Sebagai permaisuri, saya berhak memuji dan menyerang kawan atau lawan Baginda.

   "Baginda adalah kehormatan dan pujaan seluruh tanah Turkana."

   Upasara memang tak terlalu pandai menyusun kalimat, sehingga hanya bisa menggerakkan kepala tanpa jelas maksudnya.

   "Baginda..."

   "Ini membingungkan."

   "Maaf, Baginda.

   "Kami semua hanya pengikut dan pengabdi Baginda. Tak ada bedanya dengan semua senopati Keraton kepada Baginda di Majapahit ini. Atau di belahan mana pun.

   "Kalau Baginda tidak puas dengan pelayanan kami, Baginda bisa memecat, mengganti, atau menambah permaisuri dan senopati.

   "Akan tetapi sampai mati pun, kami hanya mengabdi kepada satu orang sesembahan."

   "Baik, baik, Ratu.

   "Saya akan mencoba memahami perlahan-lahan. Karena pedang hitam tipis ini merupakan pusaka utama Keraton Turkana, untuk sementara saya titipkan kepada Ratu.

   "Dengan menggenggam Galih Kangkam, Ratu bisa berbuat apa saja pada saat yang diperlukan. Saya akan kembali ke dalam Keraton menyelesaikan dua urusan.

   "Setelah itu kita bicarakan lagi."

   Ratu Ayu menunduk.

   "Apa pun sabda Baginda.

   "Saya terlalu rendah untuk mengingatkan bahwa ini adalah malam pengantin Baginda."

   Wajah Upasara menjadi merah karena jengah. Meskipun hanya berdua, Upasara tak bisa menyembunyikan rasa kikuk yang mencapai puncaknya. Ia tak pernah berdua-dua seperti ini, apalagi sekarang ini dalam pengertian sebagai baginda dan permaisuri.

   "Kalau Baginda tak menghendaki saya, Baginda bisa mengambil permaisuri yang mana saja."

   "Bukan begitu masalahnya, Ratu.

   "Saya tak tahu apakah saya cukup berharga atau tidak mendampingi Ratu Ayu. Saya tak mempunyai pikiran apa-apa. Jangan terlalu membayangkan dan menilai diri terlalu rendah.

   "Ah, apakah omongan saya ini urut? "Hmmmmm...."

   Upasara segera berdiri.

   "Baginda, kami semua menunggu Baginda."

   Ratu Ayu menyembah dengan dalam.

   Turun ke bawah, kedua tangannya menyentuh kaki Upasara.

   Membersihkan Ilalang BAHWA Ratu Ayu melakukan itu semua dengan hati yang tulus, dengan kecintaan dan pemujaan yang muncul dari lubuk hati, membuat Upasara makin canggung.

   Kalau ia segera keluar dan menuju Keraton, karena ingin melepaskan diri dari suasana yang membuatnya serbasalah.

   Bagi Upasara, suasana yang dihadapi sama sekali tidak siap diterima.

   Sebagai raja.

   Sebagai suami.

   Maka begitu melesat ke luar, Upasara segera merasakan udara segar.

   Ia bergegas masuk ke dalam Keraton.

   Untuk mencari tahu apakah Rajadewi dan Tunggadewi sudah selamat sampai ke kaputren.

   Sesudah itu, ia tak tahu lagi harus bagaimana.

   Apakah kembali ke dalam rangkulan kehormatan atau kembali ke Perguruan Awan.

   Atau meneruskan berkelana.

   Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mengambil jalan berputar, Upasara menuju ke kaputren.

   Kali ini hatinya berkebat-kebit lebih keras.

   Darahnya berdesir lebih cepat.

   Kaputren dalam keadaan kosong.

   Ruangan yang biasa ditempati Permaisuri Rajapatni hanya ditunggui dua dayang yang mematung.

   Tak ada suara napas Permaisuri Rajapatni maupun suara Rajadewi dan Tunggadewi.

   Sewaktu Upasara nekat menyusup ke dalam pun, kamar yang ditemui kosong.

   Tak ada yang bisa dilakukan selain mencari di ruangan lain.

   Ketiga permaisuri yang lain tetap berada dalam kamarnya masing-masing.

   Pikir Upasara, pasti sedang terjadi sesuatu.

   Dan kalau terjadi sesuatu terhadap Rajadewi dan Tunggadewi, itu berhubungan dengan Putra Mahkota.

   Maka Upasara menuju ke dalem pangeranan, kediaman Putra Mahkota Bagus Kala Gemet, yang sedang memaklumkan dirinya dengan gelar yang baru.

   Upasara terlambat sampai di tempat itu.

   Yang dilihatnya saat itu hanyalah terancamnya jiwa Nyai Demang yang tadinya dipasrahi menjaga dua putri.

   Tanpa berpikir dua kali, Upasara segera bergerak.

   Dan lawan-lawan bisa tersingkir.

   Itu pula sebabnya pertanyaan pertama adalah mengenai keselamatan dua putri yang menjadi tanggungannya.

   Digandeng oleh Upasara, Nyai Demang merasakan getaran yang lain.

   Semacam getaran asmara yang menyengat ketika untuk pertama kalinya Upasara memegang pinggang Nyai Demang.

   Apalagi sekarang ini digandeng untuk meloloskan diri.

   "Bagaimana keadaannya, Nyai?"

   "Aman."

   Nyai Demang memilih jawaban yang menenteramkan, meskipun sadar bahwa keadaan yang sebenarnya bisa berarti lain.

   Tapi Nyai Demang merasa itulah jawaban yang paling baik.

   Ia tidak merasa mendustai Upasara.

   Karena memang, boleh dipastikan, keadaan Rajadewi dan Tunggadewi aman tak kurang suatu apa.

   Hanya saja kini sepenuhnya dalam kekuasaan Putra Mahkota.

   Yang dikuasai oleh Permaisuri Indreswari di satu pihak dan Sidateka, Pendeta Syangka, di lain pihak.

   Dua unsur antara kekuasaan dan kekuatan.

   Pilihan jawaban ini menenangkan hati Nyai Demang.

   Karena ia merasa mengetahui isi hati Upasara Wulung.

   Lelaki perkasa yang dikenalnya dengan baik.

   Sejak masih menyorotkan pandangan tertarik dulu, sampai dengan ketika seluruh daya asmara Upasara tersedot ke dalam diri Gayatri.

   Nyai Demang bisa memahami sepenuhnya.

   Walau kadang juga timbul pikiran yang aneh.

   Aneh bagi dirinya sendiri.

   Ada semacam desiran darah dan guncangan hati yang tak mampu dikuasai setiap kali bersama Upasara Wulung.

   Adalah benar pandangan Gendhuk Tri yang sering mencemburuinya.

   Karena diam-diam Nyai Demang juga menaruh hati kepada Upasara! Sesuatu yang diakui oleh Upasara dan pernah diutarakan pada permulaan perjumpaan.

   Namun jauh di dalam lubuk hati Nyai Demang, ada kesadaran lain yang mengerem tindakannya.

   Secara sadar Nyai Demang bersikap sebagai mbakyu, kakak perempuan, pada Upasara.

   Ia mencintai Upasara, kalau mau dikatakan dengan jujur.

   Ia mengharapkan Upasara menemukan yang terbaik.

   Dan Nyai Demang merasa dirinya bukan yang terbaik untuk Upasara.

   Jalan hidup Upasara terlalu bersih, lurus.

   Upasara mempunyai masa depan yang lebih elok.

   Ditambah berbagai alasan lain, Nyai Demang merasa bahagia bisa mendampingi Upasara.

   Tidak sebagai kekasih, tidak karena daya asmara semata.

   Karena persahabatan, kekaguman, dan kebersamaan.

   Ia merasa memiliki Upasara tanpa merusaknya.

   Itulah daya asmara yang paling murni.

   Yang akhirnya terasakan oleh Nyai Demang dan kemudian membuatnya bahagia.

   Akan tetapi pada saat tertentu, seperti sekarang ini, Nyai Demang tak bisa menyembunyikan isi hatinya.

   Tangannya menjadi dingin.

   Sementara tangan Upasara terasa panas.

   Kalau jalan pikiran Nyai Demang berliku, jalan pikiran Upasara lebih sederhana.

   Ia menangkap tubuh Nyai Demang, dan kemudian menggandengnya melewati pasukan yang mengejarnya, karena memang itulah jalan yang terbaik.

   Menyelamatkan Nyai Demang.

   Sejak terbetot perhatiannya kepada Gayatri, Upasara boleh dikatakan tak pernah dilintasi pikiran adanya wanita lain.

   Apalagi Nyai Demang yang telah dianggap sebagai kakak kandung, yang banyak melalui pengalaman hidup getir bersama-sama.

   Termasuk usaha keras Nyai Demang untuk mengembalikan kesadaran Upasara, di saat jiwanya blong, kosong, setelah semua ilmunya dimusnahkan.

   Dengan mencekal keras, Upasara menarik tubuh Nyai Demang melayang ke atas, melompati dinding Keraton.

   Lenyap ke dalam kegelapan.

   Sementara itu Permaisuri Indreswari menggigit bibirnya dengan keras.

   Sejak kemunculan Nyai Demang dan kemudian datangnya Upasara, hatinya menjadi sangat gusar.

   Sebagian jalannya upacara jadi berantakan.

   "Inilah saatnya membersihkan ilalang, agar padi bisa tumbuh sempurna."

   Suara Senopati Halayudha terdengar berbisik.

   "Apa maksudnya, Halayudha?"

   "Sebagai permaisuri utama dan satu-satunya, tidak seharusnya melarutkan diri dalam soal-soal yang remeh tak berharga. Kehadiran Nyai Demang atau juga penyusupan Upasara Wulung, malah bisa melapangkan jalan.

   "Ibarat kata mereka ini adalah ilalang yang sedang tumbuh. Sebelum besar, tangan Permaisuri Indreswari bisa menudingnya, dan dengan senang hati Mahapatih akan mencabutnya."

   Permaisuri Indreswari tersenyum.

   Apa yang dikatakan oleh Halayudha bisa tertangkap maksudnya.

   Halayudha memakai perumpamaan "membersihkan ilalang".

   Kemunculan Nyai Demang, Upasara, serta ketidakhadiran Senopati Sora dan Gajah Biru boleh dikatakan ilalang.

   Ilalang yang bisa mengganggu pertumbuhan padi.

   Kalau padi ingin tumbuh subur, ilalang harus dibersihkan.

   Dicabut sampai ke akar-akarnya.

   Bagian yang tersulit ialah menentukan mana yang ilalang, mana tumbuhan lain yang membantu pertumbuhan padi.

   Sekarang justru menjadi jelas.

   Perlawanan Nyai Demang dengan mudah bisa dikatakan sebagai ilalang.

   Semua orang bisa mengerti.

   Lebih penting lagi, Baginda pun akan menyetujui.

   Sekarang saatnya membasmi.

   Bagi Halayudha, ini juga kesempatan terakhir.

   Dengan memihak sepenuhnya kepada Permaisuri Indreswari, Halayudha memainkan kartunya dengan cerdik.

   Menjadi orang kepercayaan Baginda saja tidak cukup.

   Harus bisa mendapatkan dukungan juga dari Permaisuri Indreswari.

   Sebab sering terjadi, justru kebijaksanaan dan keputusan yang besar datang dari usulan Permaisuri Indreswari.

   Dalam perhitungan Halayudha, lawan terbesar dalam urutan keperwiraan dan kepangkatan di Keraton kini adalah Senopati Sora.

   Kalau sekarang ini ia menjatuhkan Mahapatih Nambi, pilihan sebagai pemegang jabatan utama kedua, akan jatuh ke tangan Senopati Sora.

   Karena dibandingkan dengan senopati yang lain, Senopati Sora tetap yang lebih unggul.

   Kalau Senopati Sora yang tampil menggantikan Nambi sebagai mahapatih, ia tak bisa berkutik.

   Senopati Sora jauh lebih keras sikapnya, tak mudah termakan oleh hasutan.

   Maka jalan satu-satunya adalah melenyapkan Senopati Sora.

   Dengan demikian tak ada yang menduga apa yang dilakukan.

   Tidak juga Mahapatih Nambi, yang dalam pikiran Halayudha tak terlalu berbahaya.

   Dengan tudingan jari Permaisuri Indreswari, Mahapatih Nambi bisa pindah tempat dan jabatan.

   Dan tak akan menimbulkan banyak pergolakan.

   Karena Mahapatih Nambi tidak mempunyai pendukung kuat seperti Senopati Sora! Duka Ibu Tak Bisa Dibagi PERMAISURI INDRESWARI memerintahkan agar pesta dan kemeriahan terus berlangsung.

   Ia sendiri kemudian mengajak Senopati Halayudha langsung menghadap Baginda.

   "Maaf, Gusti Permaisuri, di tengah malam seperti ini?"

   "Baginda juga membangunkan saya di tengah malam seperti ini."

   "Apakah hamba patut menyertai?"

   "Halayudha, kamu menjadi saksi, bila Baginda menanyakan sesuatu. Kalau kamu kubawa serta, besok pagi semua perintah telah dikeluarkan.

   "Jangan menunggu sampai matahari meninggi."

   "Gusti Permaisuri sungguh bijak bestari."

   "Satu lagi, Halayudha, apakah betul yang muncul tadi Upasara Wulung yang perkasa?"

   "Begitulah, Gusti."

   "Apakah di belakang hari tidak akan menimbulkan masalah mengingat ilmunya begitu tinggi?"

   "Seorang yang mengaku ksatria tak akan membuat gangguan selama tidak diganggu bersilat. Upasara tak ada maksud untuk turut berebut pangkat dan derajat.

   "Lagi pula sebagai suami Ratu Ayu, kita bisa mempergunakan titik lemah ini untuk mengusirnya."

   "Kalau ia tak mau pergi?"

   "Banyak jalan untuk membuat Upasara bertarung dengan para ksatria karena Ratu Ayu dizinahi lelaki lain."

   "Hmmm, jalan pikiranmu panjang, Halayudha.

   "Aku rada bimbang, apakah di belakang hari kamu tidak akan berpaling dariku."

   Halayudha menyembah.

   "Kalau ada setitik kebusukan dalam diri hamba mengenai Putra Mahkota atau Permaisuri, biarlah sekarang juga hamba..."

   "Tak perlu kuragukan kesetiaanmu sampai saat ini."

   Dalam hati, Halayudha tertawa puas.

   Permaisuri boleh merasa unggul dan berkuasa.

   Boleh merasa mampu mengawasi semua orang dan mengatur, akan tetapi tidak diriku ini.

   Satu kaki membalik, Permaisuri Indreswari tak akan menyadari.

   Sampai akhirnya ia sendiri terjerembap keluar.

   Bagi Halayudha, Permaisuri Indreswari adalah tokoh yang menggelikan.

   
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Yang puas atas kemenangannya di antara semua permaisuri dan wanita Keraton.

   Yang merasa mampu memaksakan kehendaknya pada Baginda.

   Yang menjadi satu-satunya pendamping Baginda.

   Itulah kekuatan utama dan sekaligus juga kelemahannya.

   Karena Permaisuri Indreswari dalam soal taktik dan strategi masih terlalu hijau.

   Halayudha mengiringi Permaisuri menuju ke kediaman Baginda.

   Menyusuri lantai yang megah dan sepi.

   Di depan kamar Baginda, nampak Permaisuri Rajapatni bersujud.

   Semua rambutnya diurai, wajahnya menunduk, tak bergerak sedikit pun.

   Permaisuri Indreswari memalingkan mukanya, seakan tak melihat sama sekali.

   Dan melangkah masuk ke dalam.

   Berjongkok, melakukan sembah.

   Halayudha mengiringkan.

   Bersujud di tempat yang agak jauh di belakang.

   Baginda hanya melirik, lalu menghela napas.

   Sebelum akhirnya kembali ke tempat peraduannya.

   "Pintu itu selalu terbuka. Ada yang berani langsung masuk, ada yang lebih suka menangis di luar.

   "Apa lagi?"

   "Mohon ampun, Baginda.

   "Keberanian abdi Baginda menerobos masuk karena merasa tak tahan lagi dengan tingkah laku Senopati Sora yang justru mengadakan kraman saat-saat upacara berlangsung."

   "Sora?"

   "Demikian, Baginda junjungan hamba."

   "Sora memang pemberani. Sedikit keras kepala. Itu aku suka. Tapi karena tidak pada tempatnya... perlu diperingatkan pula. Besok diminta menghadap kemari."

   Sunyi. Permaisuri Indreswari menyembah.

   "Rasanya tak cukup diperingatkan, Baginda. Kali ini sangat keterlaluan sekali. Hukum buang pun rasanya..."

   Tangan kiri Baginda bergerak perlahan.

   "Aku yang menentukan, Yayi! "Aku tak pernah berkata dua kali. Halayudha, perintahkan Sora menghadap kepadaku.

   "Aku akan berbicara langsung."

   "Sembah dalem, hamba akan menjalankan titah Baginda, malam ini juga."

   "Kamu pergi sendiri, Halayudha."

   Halayudha menyembah, lalu mundur.

   "Tunggu, sebentar.

   "Aku ingin mendengar pendapatmu..."

   Halayudha menyembah lagi.

   "Permaisuriku yang lain lagi, Rajapatni, bersila sejak sore tadi di depan pintu. Kutanya ada apa, ia malah menangis. Kuajak masuk, ia menunduk.

   "Hanya beberapa patah kata yang terucap, 'Duka permaisuri bisa dibagi seperti panas matahari, akan tetapi duka seorang ibu yang kehilangan anaknya adalah duka yang tak bisa dibagi.' Kamu bisa mengerti apa maksudnya?"

   Halayudha menyembah.

   "Seratus kali bertambah pandai, hamba tetap tak menangkap isinya, Baginda.

   "Hanya barangkali Permaisuri Rajapatni yang mengerti susastra tinggi ingin menyampaikan bahwa kegelisahan hati Permaisuri Rajapatni karena kehilangan kedua putrinya, yaitu Putri Ayu Rajadewi dan Putri Ayu Tunggadewi.

   "Kerisauan ini hanya bisa dirasakan oleh ibu."

   Baginda tersenyum.

   "Itu aku tahu.

   "Yang ingin kuketahui, apakah kamu tahu di mana kedua putriku itu?"

   Halayudha terdiam. Baginda melirik ke Permaisuri Indreswari.

   "Bicaralah, Yayi."

   "Kami terpaksa mengasuhnya, karena putri sekar kedaton, bunga Keraton, dibiarkan keluyuran di luar.

   "Sungguh aib dan ternoda kalau sampai diketahui orang luar."

   Baginda mengangguk.

   "Sampai kapan?"

   "Sampai ibu yang melahirkan dan merasa berduka bisa mengasuhnya."

   "Baik, kalau begitu."

   Baginda menggerakkan kedua tangannya. Permaisuri Indreswari dan Halayudha menyembah bersamaan dan berjongkok mundur, agar tidak memunggungi Baginda. Baru kemudian Baginda melangkah ke pintu. Memandang Permaisuri Rajapatni.

   "Yayi, kamu dengar sendiri semuanya?"

   Permaisuri Rajapatni tak bergerak.

   "Cukup.

   "Sekarang kembalilah ke kaputren."

   Permaisuri Rajapatni menyembah.

   "Hamba tak akan beranjak dari tempat ini kalau kedua putri hamba belum kembali ke dalam pelukan hamba."

   Baginda tertawa kecil.

   "Inilah susahnya.

   "Siapa menduga bahwa menjadi raja justru susah mengatur permaisuri yang mempunyai jalan pikiran sendiri-sendiri? Dengan satu patah kata aku bisa menentukan perang besar atau perdamaian. Semua akan mengikutiku.

   "Tapi soal begini, ah, sungguh runyam.

   "Kubenarkan tindakan Indreswari yang merasa menjaga tata krama Keraton. Kusalahkan kamu karena membiarkan putriku keluyuran. Kurasakan beratnya dukamu, Yayi.

   "Bersabarlah, besok atau lusa, kedua putrimu akan kembali tanpa putus sehelai rambut pun. Kalau ada yang mengganggu, aku sendiri yang akan bertindak.

   "Sekarang kembalilah."

   Permaisuri Rajapatni tetap tak bergerak.

   "Aku tak hanya mengurusi putriku. Aku dititahkan oleh Dewa Penguasa Tanah Jawa untuk mengurus semuanya.

   "Aku tahu siapa kamu, siapa Indreswari, siapa Sora, siapa Halayudha.

   "Sebagai raja, aku harus bertindak adil untuk semuanya.

   "Masih mau bertahan di situ?"

   Permaisuri Rajapatni menyembah. Baginda menggelengkan kepalanya.

   "Yayi Gayatri, kalau bukan kamu, malam ini juga kamu sudah kuusir dan tak kuizinkan bayangan tubuhmu masuk ke dalam Keraton untuk selamanya. Tapi kamu lain. Kamu memberikan kasih padaku, kamu ditakdirkan Dewa menjadi pendampingku.

   "Tapi kamu sendiri yang menakdirkan berada di situ sampai tua!"

   Baginda segera melangkah ke dalam.

   Sedia Senjata Sebelum Mendung SEWAKTU Baginda masuk kembali ke kamar peraduan, Permaisuri Gayatri masih tetap bersila.

   Tak bergerak seujung rambut pun.

   Ketika itu Halayudha sudah langsung mempersiapkan diri untuk menyusul ke Dahanapura, setelah lebih dulu menemui Mahapatih Nambi.

   Yang merasa agak heran, karena Permaisuri juga menyertai.

   "Saya sendiri merasa berat, Mahapatih. Akan tetapi inilah titah Baginda. Agar menyelesaikan Senopati Sora yang berniat kraman. Kalau Senopati Sora tetap menolak untuk hukum buang besok, berarti Mahapatih yang harus menyelesaikan."

   Mahapatih mengangguk ragu. Permaisuri Indreswari mengangguk dalam.

   "Keputusan Baginda hanya dua. Membuang Sora atau menghukum mati. Yang pertama akan lebih berharga bagi Sora, kecuali kalau ia menghendaki lain."

   Halayudha menyembah ke arah Permaisuri Indreswari.

   "Dalam satu-dua hari ini, saya akan menghadap Mahapatih, dengan atau tidak bisa membawa Senopati Sora."

   "Kamu tak perlu kuatir hal itu, Nambi. Siapkan seluruh prajurit utama, semua senopati, untuk menghadapi bahaya sewaktu-waktu."

   Bagi Mahapatih Nambi ini menimbulkan kebimbangan yang cukup berat.

   Baginya, apa yang dilakukan Senopati Sora jelas keliru.

   Menentang secara terbuka.

   Akan tetapi untuk menghukum mati juga tak bisa begitu saja.

   Akan tetapi kecil sekali kemungkinannya menafsirkan bahwa Halayudha maupun Permaisuri mengartikan lain perintah Baginda.

   Rasanya sangat tidak mungkin! Itu seperti menyangsikan Baginda! Tak akan terjadi pada seorang prajurit sejati, prajurit pengabdi.

   Maka tak ada pilihan lain kecuali menyiapkan pasukan istana yang siap gegaman, siap senjata tempur, untuk menghadapi kemungkinan yang tak diinginkan.

   Kesulitan yang juga muncul malam itu ialah kenyataan bahwa pertarungan di halaman depan Keraton ternyata tak seperti yang diharapkan.

   Pendeta Syangka yang sangat diandalkan, ternyata tak mampu menangkap Maha Singanada.

   Maha Singanada berhasil melarikan diri.

   Atau meloloskan diri karena merasa dikerubut begitu banyak lawan.

   Kalau mau dipersoalkan, ini termasuk tanggung jawabnya juga.

   Bahkan sampai Pangeran Jenang kena tendang wajahnya oleh Nyai Demang, termasuk bagian yang bisa disalahkan ke arahnya.

   Permaisuri bisa menumpahkan semua kesalahan ini padanya.

   Yang berarti sandungan bagi pengabdiannya yang tulus.

   Yang berarti kegagalan dari sekian banyak tugas dan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

   Nambi menyadari sepenuhnya.

   Sebagai senopati, Nambi merasakan puncak tertinggi pangkat yang bisa disandang adalah mahapatih, Karena senopati seperti dirinya bukannya titisan Dewa yang bakal bisa menduduki takhta.

   Ia tak mempunyai wahyu untuk itu.

   Hal itu sangat disadari betul.

   Dalam perhitungan ketika mengucapkan doa di dalam hati, Mahapatih Nambi makin menyadari posisinya.

   Di seluruh Keraton ini, siapa yang bakal menjadi raja sudah ditentukan oleh Dewa yang menguasai Jagat.

   Akan tetapi siapa yang menjadi mahapatih, tergantung siapa yang bisa meraih.

   Dari seluruh penduduk Keraton, hanya ada satu mahapatih.

   Atas kemurahan Dewa Agung, maka dirinya terpilih untuk tugas sangat suci.

   Satu-satunya yang dipercaya menjadi mahapatih, dari sekian ratus senopati yang unggul, dan sepuluh senopati yang pantas menduduki jabatan tertinggi kedua ini.

   Tidak, bagi Mahapatih Nambi bukan keinginan untuk mempertahankan jabatan dan pangkat ini selamanya.

   Baginya pangkat dan derajat adalah kepercayaan yang diberikan padanya.

   Pangkat yang dititipkan oleh Dewa melalui tangan Baginda.

   Sebagai ksatria, Mahapatih Nambi tidak tamak dan serakah mengenai kemewahan dan kekuasaan.

   Ia menerima segalanya berdasarkan rasa pengabdiannya.

   Sebagai perwujudan tanggung jawabnya.

   Juga sekarang ini.

   Kalau ia terpaksa bertindak keras kepada kawan yang dikenal semasa berjuang mengenyahkan prajurit Raja Jayakatwang dan mengusir pasukan Tartar dulu, semata-mata karena tugas.

   Karena pengabdian.

   Hanya itulah yang dimiliki dan wajib dilakukan sebagai prajurit.

   Jangan kata sahabat, anak sendiri bila perlu disingkirkan kalau ternyata mengganggu ketenteraman Keraton.

   Percakapan dalam hati Mahapatih Nambi membuatnya sedikit tenteram.

   Hanya saja tak bisa dipungkiri adanya sedikit ganjalan yang menggelisahkan.

   Kalau Baginda bertindak adil dan benar, kenapa masih ada tokoh-tokoh seperti Upasara Wulung? Kenapa Upasara Wulung muncul secara terang-terangan dan membuat gegeran? Mahapatih Nambi bisa membuat perhitungan sendiri atas Upasara Wulung dengan beberapa pertimbangan.

   Setidaknya bagi mereka yang tergabung dalam Perguruan Awan.

   Mereka ini adalah ksatria sejati.

   Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Hal ini tak perlu diragukan lagi.

   Sifat-sifat luhur ksatria mengalir dalam darah dan terembus dalam semua tindakannya, sampai napasnya pun murni.

   Tanpa keinginan jahat untuk merusak atau mengacau.

   Kurang apa untuk seorang Upasara, kalau ia lebih dulu dipilih Baginda untuk menduduki derajat dan pangkat sebagai mahapatih? Kurang apa kalau sekarang Upasara menjadi lelananging jagat, dan mampu mempersunting Ratu Ayu Bawah Langit? Semua yang diharapkan telah berada dalam genggamannya.

   Semua yang diidamkan lelaki berhasil digenggam.

   Tanpa perlu membuat keonaran pun, Upasara bisa hidup dengan tenang dan bahagia.

   Akan tetapi justru bukan itu semua yang menjadi dasar pergerakan batinnya.

   Di mana ada ketidakberesan, Upasara akan muncul dan berani menantangnya.

   Termasuk pengeroyokan terhadap Nyai Demang.

   Alasan bergerak Upasara hanyalah karena merasa ada sesuatu yang tidak benar.

   Ada perlakuan yang tidak adil.

   Bukan karena iri, bukan karena mau merebut derajat dan pangkat, bukan pula karena harta.

   Usikan ini membuat Mahapatih Nambi sedikit gelisah.

   Kalau Upasara memperjuangkan kebenaran dan keadilan, kenapa harus bentrok dengan Keraton? Apakah ini berarti Keraton tidak benar dan kurang adil? Bahwa masih banyak masalah yang perlu dibenahi dan didandani, Mahapatih Nambi mengetahui lebih dari siapa pun.

   Akan tetapi itu semua bisa dilakukan tanpa menimbulkan gegeran yang sifatnya terbuka menantang Keraton.

   Yang justru kini dilakukan oleh Upasara.

   Yang justru dulunya begitu rapi menyembunyikan diri.

   Akan tetapi apa pun kebimbangan yang ada, suara kegelisahan yang mengusik, tak berarti banyak.

   Bagi Mahapatih hanya ada satu kebenaran yang abadi sebagai abdi.

   Menjalankan perintah Baginda.

   Kalau untuk itu ia harus memindahkan gunung atau membendung sungai, tetap akan dijalankan.

   Juga kalau harus menghadapi Upasara Wulung! Musuh Keraton adalah musuhnya.

   Penghalang kebijaksanaan Raja adalah lawan yang harus dibasmi.

   Kemantapan dalam hati ini datang bersama fajar pagi yang menyemburatkan sinar.

   Mengusir hawa dingin dan mendung.

   Mahapatih sudah menyiapkan seluruh prajurit utama untuk berjaga-jaga.

   Untuk menangkap Senopati Sora.

   Atau kalau perlu memburu ke Dahanapura.

   Prajurit telik sandi yang dikirimkan secara diam-diam sudah memberi laporan bahwa Senopati Halayudha sudah mengadakan pembicaraan dengan Senopati Sora.

   Prajurit kedua memberi laporan bahwa Senopati Sora menolak untuk dihukum buang.

   Prajurit ketiga melaporkan bahwa kini justru Senopati Sora sedang mempersiapkan prajuritnya yang setia untuk datang ke Keraton.

   Utusan dari Halayudha menjelaskan kemudian bahwa dalam rombongan yang akan menghadap Baginda, selain Senopati Sora dan Gajah Biru, juga ada Senopati Juru Demung.

   Serta beberapa tokoh persilatan lain yang agaknya akan mendampingi Senopati Sora.

   Termasuk dalam rombongan itu, Upasara Wulung dan Nyai Demang dari Perguruan Awan.

   Dan sudah barang tentu akan disertai senopati Turkana yang pasti akan berpihak kepada Upasara.

   Mahapatih diminta dengan hormat mengawasi gerak-gerik delapan senopati Turkana.

   Jalan pikiran yang paling sederhana mengartikan bahwa Senopati Sora tidak sekadar ingin sowan kepada Baginda, melainkan sekaligus menyiapkan langkah terakhir, jika usahanya gagal.

   Berarti juga perang besar.

   Jalan pikiran Mahapatih Nambi bukan terlalu mencurigai dan dicari-cari.

   Sejarah mengajarkan bahwa sejak Raja Jayakatwang, Raden Sanggrama Wijaya juga melakukan cara yang sama.

   Menyusup ke dalam Keraton dengan persiapan penuh.

   Mahapatih Nambi cepat mengambil keputusan.

   Kebo Berune UPASARA yang masih menggandeng Nyai Demang meninggalkan Kamandungan dengan langkah enteng.

   "Adimas mau ke mana?"

   Upasara tidak bisa menjawab seketika.

   "Ke mana sebaiknya, Mbakyu?"

   Nyai Demang tertawa. Dengan sedikit sungkan ia melepaskan tangan kiri Upasara yang mencekalnya. Upasara jadi tersipu.

   "Mana saya tahu? "Adimas kan pengantin baru? Pasti mempunyai acara dan kesibukan sendiri. Saya tak mau disalahkan di belakang hari jika pada malam pengantin ini Adimas keluyuran tak menentu."

   Kali ini Upasara menggeleng mantap.

   "Tak sepenuhnya begitu, Mbakyu.

   "Tapi sudahlah, akan panjang kalau diceritakan. Nanti Mbakyu Demang akan mengetahui sendiri."

   "Maaf, saya tak ingin mencampuri urusan pribadi."

   Mereka berdua berjalan menjauhi Keraton. Bintang di langit sebagian bisa dilihat dengan jelas. Juga angin perlahan bisa dirasakan. Upasara menghela napas berat.

   "Saya juga tak ingin mencampuri urusan Keraton. Kalau sekarang atau nanti terjadi pergolakan, itu semata urusan Keraton. Sejauh tidak menyakiti Tunggadewi dan Rajadewi yang menjadi tanggungan saya.

   "Rasanya kita masih perlu mencari Gendhuk Tri dan Dewa Maut."

   "Kalau sudah bertemu kenapa?"

   Upasara melengak lagi. Ia benar-benar tak tahu apa yang harus dilakukan. Dan Nyai Demang bisa menebak dengan jitu.

   "Kenapa Adimas ingin menjauhi Ratu Ayu?"

   Sesaat tak ada jawaban.

   "Tidak juga, Mbakyu.

   "Saya tidak berusaha menjauhi atau mendekati. Mbakyu Demang lebih tahu, ada beberapa salah pengertian dalam hubungan ini. Saya kira Ratu Ayu Azeri Baijani telah menemukan yang dicari. Yaitu Pedang Kelana, Galih Kangkam yang selama ini musnah dari Keraton Turkana.

   "Setelah menemukan yang dicari, masalahnya sudah selesai."

   "Tidak sesederhana itu, Adimas Upasara.

   "Salah pengertian atau bukan, semua telah mengetahui Adimas resmi menjadi suami Ratu Ayu. Beban atau kesenangan itu tak bisa dielakkan lagi.

   "Saya bisa memahami perasaan Adimas, akan tetapi tidak demikian halnya dengan seluruh penduduk yang menyaksikan pertarungan di Kamandungan."

   "Lalu harus bagaimana?"

   Nyai Demang mengangkat bahu.

   "Sudah saja jalani hidup dengan baik. Belum tentu tidak menyenangkan. Bagi saya pribadi, itu lebih baik daripada Adimas selalu mengenang Gayatri."

   Wajah Upasara menjadi merah.

   Sebenarnyalah itu yang menjadi ganjalan di hatinya.

   Upasara mengakui dan sadar sepenuh-penuhnya.

   Ratu Ayu, sesuai dengan julukannya, memang sangat elok.

   Mempunyai kekuasaan tertinggi.

   Akan tetapi Upasara tak bisa menerima dengan tenang.

   Selama ini yang masih memenuhi bayangan dan mimpinya adalah sosok Gayatri, yang telah menjadi Permaisuri Rajapatni.

   Bahkan ketika Ratu Ayu menyilakan Upasara memilih juga yang lainnya dan tak menghalangi, Upasara merasa makin terjepit perasaannya.

   Rasanya tak bisa melupakan Gayatri begitu saja.

   Nyatanya memang begitu.

   Upasara malu mengakui hal itu.

   "Bukan itu, Mbakyu. Soalnya..."

   "Adimas masih ingin merahasiakan kepada mbakyumu ini? Ah, Upasara... Upasara! "Mbakyumu ini sudah tua, sudah cukup kenyang dengan garam asmara. Kenapa masih menganggap saya ini orang lain?"

   Upasara memalingkan wajahnya ke arah lain. Dalam gelap perubahan wajahnya tidak bisa terlihat jelas. Tapi dari suaranya bisa dikenali getaran perasaan hatinya.

   "Saya tak mengerti kenapa ada sisa-sisa perasaan seperti itu. Ah, Mbakyu Demang, mari kita bicarakan hal yang lain saja."

   Keduanya terdiam.

   Hanya angin yang menggoyang ujung pohon dan dedaunan.

   Samar-samar terdengar seperti kidungan.

   Kalau bulan diselimuti awan kenapa bicara tentang surya Kalau hati sedang tertawan kenapa bicara tentang surya? Gerhana bulan pasti datang seperti gelombang kerinduan...

   Bukan hanya Upasara yang terkejut.

   Bahkan Nyai Demang seperti tersengat.

   Jelas sekali kidungan itu ditujukan kepada mereka berdua.

   Yang membuat Nyai Demang tersengat, karena seakan mengenali lirik-lirik kidungan itu.

   Yang sengaja dibelokkan ucapannya.

   "Kalau bisa bicara terbuka, kenapa bersembunyi seperti kura-kura?"

   Nyai Demang berseru perlahan sambil mengerahkan tenaga dalamnya. Karena sadar bahwa yang dihadapi adalah tokoh yang cukup sakti. Dari tenaga dalam ketika melantunkan kidungan maupun dari keberanian mencampuri urusan.

   "Menguping pembicaraan orang lain bukan pekerjaan ksatria. Masih ada tempat untuk muncul bersama."

   Tantangan Nyai Demang mendapat jawaban yang mengejutkan.

   "Kalau yang tua mendatangi yang muda, apakah tidak akan dibilang kurang ajar?"

   Upasara mencekal tangan Nyai Demang.

   Dengan satu tekukan kaki, tubuhnya melayang ke arah datangnya suara.

   Ternyata di balik pohon-pohon, tersembunyi gubuk yang sangat sederhana.

   Sedemikian sederhananya, sehingga lebih mirip kandang kuda yang belum selesai.

   Upasara menunduk.

   "Izinkanlah kami mengganggu ketenangan Kakek yang mulia."

   Nyai Demang merasa heran, karena Upasara menyebut sebagai Kakek. Lebih kaget lagi karena terdengar jawaban yang disertai batuk-batuk kecil.

   "Saya sudah tua, tetapi siapa mengajarimu menyebut Kakek? Apa susahnya menyebut sebagai Eyang?"

   "Maafkan, Eyang."

   Terdengar tawa lirih.

   "Tak kusangka. Ksatria lelananging jagat ternyata tahu sopan santun, mengerti tata krama. Sungguh, budaya Keraton yang mulia telah mendidik dengan sangat baik.

   "Itu yang terbaik."

   Aneh kata-katanya, seperti tak keruan arah dan tujuannya. Upasara menyembah sekali lagi. Sementara Nyai Demang masih berdiri kaku.

   "Bocah slemok, kamu juga perlu menyembah sebelum masuk keratonku."

   Nyai Demang mengangkat hidungnya tinggi-tinggi.

   Dipanggil dengan sebutan bocah slemok, yang artinya anak yang gemuk menggemaskan, hati wanitanya tersinggung.

   Mana mungkin dirinya dipanggil sebagai bocah? "Saya yang rendah, Upasara Wulung, dengan ini mewakili menyampaikan hormat kepada Eyang."

   Nyai Demang mengerutkan kening.

   Ia tahu bahwa Upasara sangat menghormati seseorang, apalagi lebih tua.

   Akan tetapi tidak seperti sekarang ini.

   Kerutan di kening Nyai Demang bisa berarti pertanyaan.

   Apakah ada orang yang begitu harus dihormati seperti penghormatan yang dilakukan oleh Upasara? Yang bersedia memanggil dengan sebutan Eyang secara seketika? ..

   "Itu sejak tadi telah kurasakan.

   "Sayang, kenapa bocah cerdik seperti kamu kurang bisa mengenali tata krama. Bukankah ini terakhir kali kamu bisa memberi hormat kepada aku yang sudah bakal pergi ke alam baka?"

   Kini Nyai Demang seperti disadarkan bahwa ia bertemu tokoh sakti yang ganjil sekali. Setelah munculnya Kiai Sambartaka, Naga Nareswara, Kama Kangkam, dan Ratu Ayu, bukan tidak mungkin tokoh yang setara masih bisa muncul seketika.

   "Menghormat hanyalah sekadar membungkukkan badan dan merangkapkan tangan. Apa susahnya? "Sebelum tahu kepada siapa saya harus menghormat, buat apa susah-susah menyembah."

   "Jawaban yang bagus. Kalian pasangan yang tak ada tandingannya. Dari Berune aku datang, tak percuma bisa bertemu dengan pewaris darah ksatria Singasari.

   "Mati pun aku tak begitu menyesal sekarang ini."

   
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tri Parwa, Tiga Buku Utama NYAI DEMANG merasakan suara kesakitan yang amat memedihkan.

   Sedikit keluhan yang tak tertahankan.

   Bersama Upasara, segera masuk ke dalam gubuk.

   Apa yang disaksikan membuatnya menatap tak berkedip.

   Gubuk yang didiami Kakek dari Berune tidak mirip rumah atau kamar yang biasa dihuni.

   Banyak debu menempel di tiang, di balai-balai.

   Seakan memang tak pernah ada yang menyentuh.

   Di ruang tengah seorang kakek yang sangat tua wajahnya, kurus kering, bernapas satu-satu.

   Matanya seperti mendelik, rambutnya panjang tetapi jarang.

   Engahan napas itu yang membuat hati Nyai Demang seperti tercakar.

   Pilu.

   Spontan Nyai Demang bergerak untuk menolong, akan tetapi tangan Upasara bergerak menahan.

   Nyai Demang tertahan geraknya.

   Tak ada yang bergerak.

   Tidak juga Kakek Berune yang bernapas terengah-engah, dadanya naik-turun, tersengal-sengal.

   Aneh, Nyai Demang tidak membayangkan bakal bertemu dengan tubuh tua yang susah bernapas.

   Baru saja ia mendengar kidungan yang dilantunkan tenaga dalam sangat kuat.

   Baru saja terdengar pembicaraan yang tangkas dan seolah mengerti banyak hal.

   Akan tetapi ketika masuk menemukan seseorang yang sangat tua dan kelihatan sangat menderita, sedang sekarat.

   Dalam pandangan Nyai Demang, yang luar biasa justru Upasara Wulung.

   Dengan segera, Upasara bisa membaca dengan siapa ia berbicara.

   Begitu menghormat, begitu cepat mengetahui dengan siapa ia berhadapan.

   Nyai Demang yakin, bahwa Upasara belum tentu tahu pasti di mana letak tlatah Berune.

   Tapi itu tak menghalangi dan mengurangi ketajaman pandangan.

   Barangkali inilah bedanya.

   Nyai Demang merasa mempunyai pengetahuan yang luas.

   Dengan satu kata saja ia bisa mengenali dan menjelaskan di mana tanah Berune.

   Sebuah keraton kecil di ujung utara.

   Dalam kitab-kitab yang dibaca, Keraton Berune adalah wilayah luas yang subur, akan tetapi ksatrianya cukup tinggi ilmunya.

   Bersama dengan Keraton Balineo, dua tata pemerintahan itu termasuk wilayah besar Keraton Singasari.

   Kalau tidak keliru, dua wilayah itu di bawah tata pengaturan Keraton Sukadana di tlatah Karimata.

   Namun ternyata pengertian-pengertian seperti itu tak membuatnya arif.

   Justru Upasara yang menangkap arti sebenarnya dari kehadiran seorang yang sangat tua, menderita.

   Pendekatan kemanusiaan Upasara jauh lebih mengena.

   Toh pada akhirnya, dari mana asal-usulnya, tak berarti banyak kalau ingin berkenalan dan menolong.

   Kalau sekarang ini Upasara berdiam diri, bukannya tak mau bergerak menolong.

   Sekadar memindahkan ke tempat yang lebih bersih ataupun membantu pernapasan, sangat mudah dilakukan.

   Akan tetapi agaknya Upasara tak perlu turun tangan.

   Karena ketajaman pandang bahwa penderitaan yang sedang ditanggung Kakek Berune ini penderitaan karena pengaturan napas.

   Yang tidak bisa sembarangan dimasuki oleh orang lain.

   Apalagi tadi disebut-sebut dari Berune.

   Yang bisa saja terjadi kekeliruan sewaktu ingin membantu.

   Dan ini semua diketahui oleh Upasara dalam sekejap.

   Dalam perjalanan.

   Sungguh kemajuan tenaga dalam yang luar biasa.

   Rasanya Nyai Demang masih mengenali Upasara yang menjadi murid utama Ngabehi Pandu.

   Gagah perkasa, akan tetapi tidak setinggi dan sedalam ini.

   Tidak sampai tingkatan yang begitu dalam.

   Engahan napas berakhir.

   Nyai Demang melihat bahwa keringat membasahi seluruh wajah dan dada yang kurus kering.

   "Tidak jadi lagi.

   "Setiap kali mau mati, urung lagi. Padahal aku, Kebo tua ini, sudah ikhlas. Semua temanku sudah enak-enak di alam sana, sementara aku masih menderita begini.

   "Benarkah kamu lelananging jagat? Bagaimana kabar Eyang Sepuh sekarang ini? Bagaimana kabar Mpu Raganata? Apa betul ia telah berkumpul dengan bidadari? Bagaimana dengan Paman Sepuh Bintulu? Apa betul wajahnya sekarang lebih jelek dari aku? "Ceritakan dengan cepat. Sebentar lagi aku akan mati."

   Upasara menyembah hormat.

   "Saya Upasara Wulung, sekarang berdiam di Perguruan Awan tempat Eyang Sepuh menunggui hutan dan awan. Memang benar ada pertemuan besar di Trowulan. Akan tetapi sesungguhnya tidak ada pemberian gelar lelananging jagat."

   "Istrimu menarik sekali.

   "Sayang aku sudah tua dan mau mati."

   Wajah Nyai Demang berubah keruh.

   Kalimat-kalimat Kebo Berune masih tetap membuat daun telinga sangat panas.

   Betapa tidak.

   Sejak pertama bertemu, sudah memanggil dengan bocah slemok.

   Kini memuji kecantikan tubuh, dengan tambahan dirinya sudah tua dan mau mati.

   Memangnya kalau masih muda mau...

   "Kakek Berune... Jauh-jauh Kakek datang hanya untuk menunjukkan diri masih punya pikiran kotor?"

   Kebo Berune menyeringai. Tubuhnya tetap tak bergerak. Tergeletak.

   "Kami bersahabat, sebagai sesama penghuni Perguruan Awan."

   Suara Upasara membuat Kebo Berune berdecak.

   "Kawini saja.

   "Lima puluh tahun lagi, pada pertemuan besar, kalian sudah punya keturunan yang bakal menyelamatkan pertarungan besar di Trowulan.

   "Berarti Singasari tetap yang paling murni dan besar. Sungguh menyenangkan. Sayang, Baginda Raja Sri Kertanegara tak menyaksikan kebesaran ini."

   Nyai Demang menggenggam tangannya yang basah oleh keringat.

   "Apakah Kakek termasuk senopati Singasari yang dikirim ke tanah Berune, seperti halnya Senopati Kebo Anabrang?"

   "Siapa itu Anabrang?"

   "Senopati yang dikirim ke tlatah Melayu."

   "Aku cuma mengenal senopati yang ternama. Kalau yang kecil-kecil, mana mungkin aku mengenalnya? Bisa jadi mereka mengenal aku dengan baik.

   "Cepat kalian ceritakan yang pokok. Singkat saja, sebelum aku mati."

   Upasara menyembah dan menceritakan jalannya pertarungan di Trowulan. Kebo Berune mendengarkan sambil memejamkan matanya.

   "Kalau benar begitu, Paman Sepuh Bintulu sudah mati. Sayang aku belum sempat mengejek wajahnya yang jelek. Ia dulu paling sombong..."

   Sampai di sini Nyai Demang tak bisa menahan rasa gelinya. Jelas Kebo Berune ini yang angkuh dan tinggi hati dengan mengatakan tak mengenal Kebo Anabrang, masih juga bisa menilai orang lain yang sombong.

   "...Bintulu merasa paling gagah. Paling tampan. Hmmm, tak tahunya jadi paling jelek dan menyembunyikan wajahnya. Tapi ia bisa menciptakan Bantala Parwa dengan baik.

   "Berarti tugas selesai.

   "Bintulu, kamu pasti tertawa-tawa di sana dan balik menertawakan aku. Iya, kan? Aku bisa merasakan. Tapi tunggulah sebentar lagi. Aku akan bertemu denganmu di sana."

   "Jadi benar bahwa Bantala Parwa ditulis oleh Paman Sepuh Bintulu?"

   "Siapa lagi yang rajin menulis seperti Bintulu? "Sejak dulu ia begitu. Ia selalu berpikir bahwa yang menguasai jagat ini adalah ilmu silat. Bukan pengetahuan mengenai ketatanegaraan yang ditekuni Raganata. Juga bukan omongan dan pikiran yang melayang seperti yang dikatakan Bejujag."

   "Bejujag?"

   Nada tanya Nyai Demang mendapat anggukan dari Upasara yang kemudian berbisik, bahwa Bejujag adalah nama panggilan buat Eyang Sepuh. Kalau sekarang Kebo Berune menyebutkan juga nama itu, berarti Kebo Berune hidup pada zaman yang sama.

   "Kakek mengenal Eyang Sepuh secara langsung?"

   "Apa untungnya? Apa istimewanya? ..

   "Bejujag, Bintulu, Raganata tak berbeda jauh dengan aku. Hanya saja mereka yang sejak dahulu diakui. Terutama Bejujag itu. Ia yang berhasil mengundang para ksatria seluruh jagat untuk berkumpul setiap lima puluh tahun.

   "Di seluruh tanah Jawa ini hanya diakui ada Tri Parwa Utama. Hanya ada Tiga Kitab Utama. Aku tak pernah diperhitungkan.

   "Ini kesalahan terbesar sejarah. Tapi aku tak bisa membuktikan kesalahan itu, karena kau tak bisa datang di Trowulan. Dan aku akan mati sebentar lagi.

   "Jadi ada benarnya, hanya ada Tiga Kitab Utama!' "Tiga? Sejauh ini kamu hanya mendengar Bantala Parwa."

   Kebo Berune menggelengkan kepalanya.

   "Raganata juga membuat kitab mengenai tata pemerintahan, Nagara Parwa. Tapi mana kamu tahu. Itu hanya diperuntukkan Baginda Raja Sri Kertanegara yang tanpa tanding. Sedangkan Bejujag juga menulis kitab yang setiap kali ditulis kembali. Aku tak pernah mengerti, karena setiap kali klika yang dikirimkan selalu berubah."

   Kidung Paminggir BAGI Upasara, keterangan Eyang Kebo Berune melengkapi apa yang selama ini sedikit-banyak telah diketahui, secara sepotong-sepotong.

   Seperti diketahui, selama ini Upasara merasa gelap mengenai asal-usul Perguruan Awan.

   Apalagi mengenai tokoh sepuh, pujaan seluruh ksatria, yaitu Eyang Sepuh.

   Barulah ketika bertemu dengan Paman Sepuh Dodot Bintulu, gambaran masa lalu itu sedikit terbentuk.

   Kini menjadi lebih sempurna dengan penjelasan Eyang Kebo Berune.

   Pada masa lima puluh tahun yang lalu, di tanah Jawa ada tiga ksatria muda yang telah mengukir nama dalam dunia persilatan.

   Ketiga ksatria muda itu di belakang hari dikenal sebagai Eyang Sepuh, Paman Sepuh, dan Mpu Raganata.

   Ketiga ksatria inilah yang mendapat kepercayaan utama dari Baginda Sri Kertanegara untuk mengembangkan ilmu silat yang ada.

   Payung kebesaran Baginda Raja bukan hanya menyatukan mereka bertiga, akan tetapi juga memberi kelonggaran kepada masing-masing untuk mengembangkan kemampuannya sendiri-sendiri.

   Paman Sepuh yang kemudian memilih untuk menekuni ilmu silat dan akhirnya berhasil menuliskan Kitab Bumi.

   Dengan kelebihan ilmu dan kawicaksanan yang luar biasa, Paman Sepuh mampu mengumpulkan berbagai sari ilmu kanuragan yang ada.

   Sebaliknya Mpu Raganata lebih memusatkan diri untuk menuliskan berbagai tata cara penyelenggaraan Keraton.

   Baik mengenai hubungan di dalam yaitu peraturan dan tata krama, maupun mengenai hubungan ke luar dengan keraton-keraton yang lain.

   Sementara Eyang Sepuh mengerahkan seluruh kemampuannya dalam ilmu silat yang lebih murni.

   Ketiga ksatria perkasa ini sambil bertukar pikiran, lewat tulisan dari klika, memberitahukan apa yang dialami satu sama lain.

   Jurus-jurus, cara melatih pernapasan, maupun tata krama yang kemudian dijadikan perundangan, boleh dikatakan melalui ketiga ksatria yang berangsur-angsur juga bertambah usianya.

   Dari sisi ini, Upasara bisa memahami kebesaran dan jiwa luhur Baginda Raja.

   Yang mampu menanamkan benih-benih kebesaran negara di atas segalanya.

   Dalam suasana pertentangan yang mungkin saja terjadi, ketiga ksatria masih selalu berhubungan dan memberikan hasil yang terbaik dari pencariannya selama ini.

   Dan kalau dihubungkan dengan senopati yang lain lagi, bukan hanya mereka bertiga yang saling bertukar pikiran dan mendapatkan hasilnya.

   Melainkan juga para senopati utama.

   Tak peduli di mana pun berada.

   Dengan demikian segala kemajuan dan pengetahuan yang diperoleh bisa diteruskan kepada yang lain.

   Tanpa perasaan iri atau mau menang sendiri.

   Sungguh dalam hal seperti ini Baginda Raja Sri Kertanegara mengungguli pemikiran lain yang ada.

   Mampu menanamkan kebesaran dalam kebersamaan.

   Bukan hanya Kebo Berune yang tetap memakai nama itu, melainkan juga Maha Singanada, ataupun Maha Singa Marutma, atau Kebo Anabrang, atau yang lain lagi.

   Keunggulan Paman Sepuh Dodot Bintulu dalam merampungkan Kitab Bumi tidak hanya untuk dirinya sendiri.

   Melainkan untuk kebesaran Keraton Singasari.

   Untuk tanah tumpah darah di mana ksatria Singasari lahir dan dibesarkan.

   Upasara sadar bahwa di samping ketiga ksatria muda itu, banyak yang lainnya.

   Salah seorang di antaranya adalah Eyang Kebo Berune.

   Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Yang bukan hanya hidup sezaman, melainkan juga merupakan suatu bagian yang saling bertukar pikiran.

   Nama Kebo Berune lebih menunjukkan bahwa kebo adalah simbol nama yang dipakai di zaman Baginda Raja, sementara Berune menunjukkan tanah di mana panji-panji Singasari dikibarkan.

   Salah satu keelokan yang ditunjukkan oleh Eyang Sepuh ialah bahwa kehadirannya mampu memancing kedatangan para pendekar seluruh jagat.

   Untuk bertemu setiap lima puluh tahun.

   Sesuatu yang tak mungkin terjadi tanpa perlindungan sepenuhnya dari Baginda Raja.

   Bahkan ini termasuk salah satu kebijaksanaan Baginda Raja, menjadi penyelenggara pertemuan sejati para pendekar utama.

   Ini pula yang membuat Eyang Kebo Berune datang kembali ke tanah Jawa dari pengembaraannya di negeri asing.

   Nyai Demang tak terlalu paham.

   Akan tetapi bisa merasakan, bahwa pada masanya Kakek Kebo Berune ini boleh dikatakan sejajar dengan tiga tokoh utama.

   Hanya, barangkali saja, perjalanan hidupnya yang berbeda.

   Setidaknya kalau dilihat dari penyesalan yang masih tersisa dari kata-kata Kakek Kebo Berune.

   Nyai Demang jadi lebih menghormat dalam hati.

   Kalau kakek tua yang hanya bisa berbaring ini sangat ketus, bisa dimengerti.

   Dalam dunia persilatan, tokoh yang sakti memang biasa mempunyai tabiat yang berbeda dari kebanyakan orang.

   Makin aneh kadang makin menandakan kesaktiannya.

   Kalau masih ada yang mengganjal dalam hati Nyai Demang, itu adalah sejumlah kecil pertanyaan.

   Apa yang menyebabkan Kakek Kebo Berune ini menderita penyakit yang begitu parah, sehingga setiap kali menyebut ajalnya sudah dekat? Siapa yang mampu merontokkan tenaga dalam yang masih begitu sempurna? Siapa lagi tokoh yang lebih sakti itu? Rasa penasaran yang lebih membuat tak bisa menahan rasa ingin tahunya ialah mengenai adanya Tiga Kitab Utama.

   Selama ini Nyai Demang merasa sudah membaca hampir semua kitab pusaka yang ada.

   Bahkan lebih dari itu, juga dalam berbagai bahasa lain.

   Akan tetapi selama ini tak pernah mengetahui bahwa Eyang Sepuh ternyata juga menulis! Seperti apa pula itu? "Apa betul Eyang Sepuh juga menulis kitab pusaka?"

   "Pusaka atau tidak, mana aku tahu? "Bejujag itu selalu mengganti setiap kali. Akhirnya ia tak mau menuliskan lagi ilmu silat atau latihan pernapasan. Ia lebih suka melamun. Aku pernah membaca sebagian kidung lamunan untuk menyenangkan nyamuk dan menggelisahkan Raja.

   "Bejujag itu memang licik, licin, pandai, cerdik untuk selalu mencari perhatian."

   "Apakah Eyang Berune mengetahui nama kitab yang ditulis Eyang Sepuh?"

   Tubuh yang tergeletak itu tetap tak bergerak. Perubahannya hanya terlihat di bibirnya. Sedikit mengejek.

   "Kamu akan kecewa. Bejujag itu cuma cari nama.

   "Kitab yang ditulisnya tak lebih dari coretan anak-anak di pinggir sungai. Jauh di bawah kemampuan Bintulu yang dengan tegar dan gagah mampu menulis Kitab Bumi. Jauh di bawah kemampuan Raganata yang menulis Kitab Negara. Baik Bantala Parwa maupun Negara Parwa tak bisa disamai. Hanya disamai saja tak mungkin.

   "Tapi Bejujag pintar, cerdik, nasibnya baik, dihormati, dipuja, disembah. Sejak dulu Baginda Raja selalu terkesima dengan kepandaian Bejujag bertutur kata.

   "Dan Bejujag itu selalu bisa menarik perhatian dunia. Ksatria seluruh jagat merasa terhormat memenuhi undangannya. Akan lain kalau yang mengundang Bintulu, atau bahkan Raganata sekalipun! "Padahal Bejujag itu hanya menulis beberapa bait kidungan yang paling kampungan."

   Nyai Demang tak bisa menahan diri.

   "Apakah itu termasuk 'bait yang tak terbaca di hati'? Rasanya..."

   Napas Eyang Kebo Berune berangsur tenang. Membaik. Wajahnya, sedikit lebih bersemangat.

   "Itulah kelebihannya. Bait atau huruf yang dipakai selalu menjadi lebih terkenal. Bahkan Kitab Bumi pun dianggap sebagian atau seluruh ksatria sebagai hasil karya Bejujag. Bahkan ketika Bejujag mengatakan bahwa bukan ia yang menciptakan, tak ada yang percaya.

   "Kalau bukan nasib baik, apa lagi namanya?"

   


Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long

Cari Blog Ini