Ceritasilat Novel Online

Senopati Pamungkas 22


Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 22



Senopati Pamungkas (1) Karya dari Arswendo Atmowiloto

   

   Membekuk lawan tanpa menggeser kaki.

   Baginya untuk memenangi pertarungan ini sangat mudah.

   Karena kedua lawan jauh di bawah ilmunya.

   Akan tetapi sungguh menyakitkan kesombongannya kalau untuk itu ia harus bertarung mati-matian.

   Tapi tak ada jalan lain.

   Kemurkaan Kiai Sambartaka terlihat dari tubuhnya, yang tadinya kaku kejang, jadi menggeliat.

   Seperti tarian ular beracun yang siap mematuk.

   Begitu selendang Gendhuk Tri menutupi lagi, Kiai Sambartaka mengeluarkan teriakan dingin sambil meloncat ke udara.

   Tubuhnya terbang dan hinggap lagi di tanah, dengan dua pukulan terlontar ke arah Gendhuk Tri dan Singanada.

   Yang membuat Gendhuk Tri mencelos ialah bahwa selendangnya menjadi beku.

   Menjadi keras, kering seolah papan kayu yang tak bisa digerakkan! Selendangnya bisa terkena Pukulan Beku.

   Sehelai kain saja bisa dikuasai ilmu Pukulan Mandeg-Mangu, apalagi tubuh manusia yang terdiri atas darah dan daging! Hal sama juga dirasakan oleh Singanada.

   Justru dalam keadaan mengangkasa, Singanada melihat bahwa lawan sudah tercecar untuk sementara.

   Bukan hanya mampu dipaksa mundur dan menyamping, akan tetapi juga berjumpalitan dan berlenggok.

   Tapi sekejap kemudian, kantar-nya.

   terasa mematuk urat nadinya.

   Bagai patukan ular berbisa.

   Yang membuat tangannya ngilu.

   Dengarkan Suara Air SATU-SATUNYA jalan menyelamatkan diri hanyalah dengan membuang kantar.

   Dan membuang tubuhnya ke belakang sambil menarik Gendhuk Tri mundur.

   Kiai Sambartaka berdiri dengan tenang.

   "Sebelum kalian bisa mati bahagia karena berdua-dua akan membeku, saya ingin memberi sedikit rasa sakit."

   Kedua tangan Kiai Sambartaka bergerak. Sikunya naik ke atas, lengannya rata dengan pundak. Kelima jari di kanan dan kiri menekuk ke bawah. Dari kelima jari terulur lidah ular. Benar-benar ular hidup yang buas mencari patukan.

   "Tak percuma saya membawa dari tanah kelahiran. Rasakan sedikit keenakan yang belum pernah kalian rasakan.

   "Giginya kecil.

   "Taringnya mungil.

   "Masing-masing dari kalian akan menerima lima gigitan. Cukup untuk dirasakan sebelum meninggalkan dunia ini."

   Gendhuk Tri tidak gentar. Justru pada saat mati-hidup itu nyalinya seperti ditantang. Ia tak mau di belakang tubuh Singanada yang melindungi. Ia menggeser maju.

   "Kalau kepada Eyang Sepuh saja kamu berani berbuat kurang ajar dan menipu, apalagi kepada kami! "Keluarkan semua ilmu busukmu akan aku hadapi!"

   "Ada dua alasan untuk menyakitimu, anak kecil.

   "Kalau begitu kamu tiga kali gigitan saja. Biar menderita lebih lama..."

   Kiai Sambartaka menarik napas.

   Dari jari-jari tangan kirinya, dua ekor ular kecil menyusup masuk.

   Ini hebat! Bahkan ular berbisa pun menjadi bagian dari tubuhnya.

   Seperti binatang buas yang bisa menarik kukunya.

   Ini memang kelebihan Kiai Sambartaka.

   Dengan menarik dua ekor ularnya, berarti hanya tiga ekor yang tersisa.

   Tiga pagutan, akan membuat Gendhuk Tri menderita lebih lama.

   Sebelum akhirnya mati.

   "Alasan pertama karena kamu mengungkit kembali Bejujag gila. Yang kedua karena kamu menggagalkan niatanku menjebak Upasara. Barangkali dengan kematianmu, Upasara akan lebih cepat muncul.

   "Bagus!"

   Singanada menggeser maju.

   "Kanyasukla, ini bagianku. Biar aku saja yang melayani."

   "Lebih baik kau ke negeri Campa sana. Ini urusanku. Aku tak rela pendeta busuk menyebut-nyebut Eyang Sepuh seenak mulutnya yang, bercabang lidahnya."

   "Harusnya wanita seperti kamu ini dihina lebih menjijikkan lagi. Biarlah ular-ular ini menggerayangi kewanitaanmu sebelum kamu kena pagut."

   Sret! Kiai Sambartaka menggeliat, dan kedua tangannya maju meraup ke depan.

   Kini bukan hanya hawa dingin yang membekukan dan membuat susah bernapas, akan tetapi juga tercium bau amis yang luar biasa.

   Perut Gendhuk Tri menjadi mual, pandangannya berkunang-kunang.

   Bahkan Singanada yang tenaga dalamnya lebih kuat terpengaruh dengan hebat.

   Pemusatan pikirannya menjadi kacau.

   Terutama juga karena memikirkan keselamatan Gendhuk Tri.

   Inilah kesalahan utama.

   Memusatkan pada diri sendiri saja tak akan mampu mengimbangi, apalagi terpecah! Maka gerakan Singanada maupun Gendhuk Tri seperti gerakan ngawur untuk mempertahankan diri.

   Satu kali tangan Kiai Sambartaka bergerak, kaki Singanada kena sentuhan, dan membeku tak bisa digerakkan.

   Tubuh Gendhuk Tri juga seperti terkurung.

   Satu-satunya jalan, tetap saja.

   Melorot turun, meluncur dengan tenaga punggung.

   Terpaksa Kiai Sambartaka meloncat menghindar.

   Dan tangan kirinya tetap terulur ke depan menyambar tubuh Gendhuk Tri yang masih meluncur ke tanah.

   Saat itu tubuh Gendhuk Tri tak bisa berbuat apa-apa lagi.

   Tak bisa melawan.

   Karena udara sekeliling tubuhnya beku dan membuatnya tak bisa menghindar.

   Akan tetapi tanpa disadari, ada tenaga lembut mengalir lewat bahunya.

   Dengan sangat cepat menyebar ke seluruh tubuh.

   Begitu tangan Kiai Sambartaka mendekat, Gendhuk Tri bisa mengegos dan dengan tekukan tenaga dalam perut, tubuh Gendhuk Tri melayang ke atas.

   Ringan, enteng, melayang.

   Bahkan selendangnya yang tersisa bisa berkibar.

   Singanada mengeluarkan seruan tertahan.

   Ia tak menyangka sama sekali bahwa Gendhuk Tri masih bisa meloloskan diri dengan cara yang luar biasa.

   Dalam keadaan yang begitu sulit, masih mampu mengerahkan tenaga perut untuk melayang.

   Bahkan kalau dilihat dari gerakannya, sangat lemas, lembut, dan terkuasai.

   Singanada tak menduga sama sekali.

   Sehingga matanya melihat tanpa berkedip.

   Kakinya saja kena pengaruh lawan dan sulit digerakkan.

   Tetapi nyatanya Gendhuk Tri justru bisa membebaskan diri! Sebenarnya Kiai Sambartaka juga tak bisa menyembunyikan rasa herannya.

   Hanya saja parasnya tak menunjukkan perubahan seperti Singanada.

   Rasa heran Kiai Sambartaka terutama karena tak menduga bahwa di saat meluncur, tubuh Gendhuk Tri masih mampu bergerak ke arah lain.

   Masih bisa mengandalkan tenaga perut yang menggelembung dan mengempis, untuk mengempos semangat! Pengerahan tenaga dalam yang, nyaris, sempurna.

   Kiai Sambartaka menduga bahwa penguasaan seperti itu hanya dimiliki mereka yang puluhan tahun menghabiskan waktu berlatih secara keras.

   Kalaupun sejak lahir Gendhuk Tri sudah diajari melatih pernapasan, dan itu hampir mustahil, umurnya sekarang masih belum mendukung lamanya latihan.

   Keheranan Kiai Sambartaka, karena diam-diam muncul kesangsian akan kemampuannya melancarkan Pukulan Beku.

   Padahal itu satu-satunya ilmu andalan yang dianggap paling sakti di seluruh jagat.

   Inti ilmunya ialah membuat udara sekitarnya beku bagi lawan.

   Menjadi dingin, kaku, dan tak bisa diisap.

   Dengan menciptakan udara beku di sekitar, lawan tak bisa menguasai wilayah itu.

   Tinggal memojokkan, dan menghabisi.

   Itu yang terjadi pada permulaan.

   Hingga ia bisa memaksa Gendhuk Tri meluncur ke bawah.

   Saat itu udara di sekitar sudah sepenuhnya dikuasai.

   Luar biasa jika kemudian Gendhuk Tri mampu menerobos.

   Itu yang tak dimengerti.

   Sesungguhnya, Gendhuk Tri sendiri tak mengerti sepenuhnya.

   Kekuatan yang mengalir dalam tubuhnya begitu tiba-tiba, juga ketika terkumpul di pusar dan dikerahkan.

   Sampai saat tubuhnya melayang di udara.

   Ketika itulah telinganya mendengar suara lembut.

   Dengarkan suara air bukan gemericiknya ikuti gerakan air bukan ombaknya...

   Kekuatan Gendhuk Tri seperti terpanggil kembali.

   Ia mengetahui bahwa ada seorang tokoh yang membantunya secara diam-diam.

   Gendhuk Tri tak tahu pasti apakah itu suara Eyang Sepuhkarena ia tak pernah mendengar sebelumnya, atau tokoh sakti yang lain.

   Untuk sementara Gendhuk Tri tak mau peduli.

   Hanya ia merasa tokoh sakti yang membantunya masih berada di sekitarnya.

   Tubuh Gendhuk Tri melayang ke bawah dengan anggun.

   "Kiai busuk, tak perlu bengong.

   "Untuk apa jauh-jauh mencari Kakang Upasara atau secara pengecut melarikan diri dari Trowulan, kalau bertemu dengan aku saja matamu tak berkedip? "Apa kamu kira ilmu Pukulan Ragu bisa menandingi pukulan-pukulan kami yang diciptakan dari keluhuran budi?"

   Gendhuk Tri memang pintar memainkan lidahnya.

   Ia mengatakan pukulan andalan Kiai Sambartaka dengan Pukulan "Ragu", yang artinya kurang-lebih sama dengan Pukulan Mandeg-Mangu.

   Namun kalau istilah pertama menunjukkan ketidakpastian, arti kata yang kedua menunjukkan kekuatan yang sesungguhnya.

   "Dengan modal hanya begini, kamu jauh-jauh mau mengadu.

   "Apa bisa disejajarkan dengan Tepukan Satu Tangan yang tanpa tandingan? Atau gerakan selendangku? Meskipun kamu gabung dengan Pukulan Pu-Ni yang kamu curi dari Kakek Berune, masih jauh di bawah ilmu Mpu Raganata yang paling biasa."

   "Tahu apa kamu tentang Pukulan Pu-Ni?"

   Air Tak Membedakan KINI giliran Gendhuk Tri yang tertawa keras.

   "Kasihan. Sungguh kasihan nasibmu.

   "Jauh sekali kamu datang. Jauh sekali kamu mempersiapkan diri sejak kakek gurumu mempunyai keinginan menghadiri pertemuan di tanah Jawa.

   "Semua yang kamu harapkan sia-sia.

   "Bahkan usahamu menyelami tanah Jawa, mencoba mengubah namamu dengan gelaran terhormat Kiai Sambartaka, kiai yang mampu mendatangkan kiamat, ternyata cuma ilmu kulit kacang. Lepas tak berguna karena kena panas.

   "Kiai ular kecil, dengarkan baik-baik! "Kamu masih ingat aku juga ada di Trowulan? Atau lidah kamu sudah mulai mengenal Trowulan? Brantas? Masih segar dalam ingatanmu? "Aku datang karena aku berhak datang.

   "Seperti Kakang Upasara Wulung, yang akhirnya menjadi pemenang. Tak peduli siapa yang ikut ke gelanggang, aku atau Kakang Upasara, hasilnya sama.

   "Kamu tahu, kamu mengalami, bahwa Eyang Sepuh telah menghancurkan, telah mengalahkan. Kalau Eyang Sepuh berkenan. Akan tetapi Eyang Sepuh memberi ampunan. Sehingga kamu seperti cacing menyelam ke dalam sungai, menyembunyikan kepalamu di dasar sungai.

   "Kami bisa mengangkatmu ke atas. Dan mengencingimu tepat di lubang hidungmu.

   "Tapi Eyang Sepuh mengampunimu.

   "Kenapa kamu masih belum puas? Masih merasa pantas untuk adu tanding memperebutkan gelar ksatria yang paling terhormat?"

   "Kamu tidak menjawab pertanyaan."

   "Kamu tidak mau dan tak bisa mendengarkan jawaban."

   "Aku menanyakan apa yang kauketahui tentang Pukulan Pu-Ni."

   
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sama saja. Kamu menanyakan Pukulan Pu-Ni, atau Tepukan Satu Tangan, atau Weruh Sadurunging Winarah, atau Pukulan Air, atau sepuluh nama lain bisa kusebutkan.

   "Tingkat sama dan sudah merata.

   "Salah satu saja dari yang kusebutkan, Pukulan Beku kamu tak banyak berarti. Tak mungkin bisa menandingi.

   "Kamu sungguh keliru kalau hanya menganggap Tepukan Satu Tangan sebagai satu-satunya pukulan dahsyat. Tanah Jawa terlalu subur untuk pukulan lain. Untuk tumbuhnya akal budi.

   "Tabiatmu yang busuk tak akan pernah sampai."

   Meskipun mengarang, Gendhuk Tri sedikit-banyak mengetahui nama-nama yang disebutkan. Sehingga Kiai Sambartaka sedikit-banyak terpengaruh juga.

   "Apa pernah kamu dengar Kidung Paminggir?"

   Gendhuk Tri tertawa.

   "Kenapa kamu masih saja penasaran dengan nama-nama? Apakah setelah mengetahui Kidung Paminggir kamu berusaha bisa menguasai ilmunya? "Seperti Halayudha yang merasa menjadi sakti hanya dengan mendengar Gita Tirta? "Kamu masih tak akan mengungguli karena dasar jiwamu masih kotor dan rendah."

   Gendhuk Tri menarik napas lega.

   "Caramu melatih pernapasan saja tidak jujur, tidak ikhlas. Kamu terlalu memaksa diri. Tlatah Hindia adalah tlatah leluhur bagi kami. Pada mulanya.

   "Tapi itu sudah lama berakhir.

   "Ilmu pernapasan yang kami terima sudah jauh berbeda. Rasakan sendiri bedanya. Pukulan Mandeg-Mangu kamu kuasai dengan sangat baik, tapi tetap kurang sempurna. Karena kamu hanya mengandalkan tenaga keras. Tenaga bumi, tenaga tanah, tenaga yang bisa mementahkan Kitab Bumi.

   "Bukankah ketika kamu menjatuhkanku dan siap mencengkeramku, kamu tak menduga bahwa aku bisa lolos dengan enak? Menerobos kurungan kebekuan yang kamu ciptakan?"

   Kiai Sambartaka sampai menggaruk-garuk belakang telinganya.

   Singanada juga merasakan dadanya panas.

   Keduanya tidak mengetahui bahwa Gendhuk Tri sengaja meneruskan suara yang berdenging di telinganya.

   Tentu saja dengan ditambahi bumbu, sesuai dengan keinginannya sendiri.

   "Karena kebekuan tenagamu hanya bisa mengurung tenaga keras, tenaga yang, tenaga lelaki. Begitu lawan melatih tenaga lain, tenaga wanita, kamu kelabakan.

   "Semua ilmu kamu tak ada gunanya.

   "Ini nasihat yang baik. Pelajari lagi baik-baik, dan lima puluh tahun lagi, kalau umurmu panjang atau muridmu ada yang berbakat, kirim lagi kemari.

   "Nasihat kedua ialah, jangan terlalu lama menahan tenaga di dada sebelah atas. Satu dan lain waktu, kekuatanmu sendiri tak mampu menguasai. Sekarang pun bisa kudengar tarikan napasmu yang mendesing seperti nyamuk kelelahan.

   "Itu artinya ada yang tidak betul.

   "Ada yang kamu paksakan.

   "Rangkaian kekuatan, rangkaian tenaga napas, begitu kena gangguan sedikit saja, menjadi tidak beres. Semua tenaga dalam yang kamu latih puluhan tahun akan hilang atau berbenturan sendiri.

   "Sudahlah, Sambartaka, pulang saja.

   "Seekor ularmu telah mati teracuni sendiri. Itulah nasibmu suatu ketika kalau kamu tidak hati-hati."

   Kiai Sambartaka mengeluarkan sepuluh ekor ularnya dari jari-jarinya. Benar yang dikatakan Gendhuk Tri. Seekor ularnya tak bergerak, meluncur jatuh ke tanah. Singanada membelalak. Kiai Sambartaka menunduk.

   "Sebentar lagi aku akan kembali."

   Tubuhnya menggeliat dan mendadak hilang dari pandangan. Gendhuk Tri menunduk. Lalu duduk, dengan sikap bersemadi.

   "Terima kasih sekali, Guru Sakti yang baik hati.

   "Dengan ini saya, Gendhuk Tri yang rendah, menghaturkan sembah bekti."

   Terdengar angin bergerak. Cebol Jinalaya yang muncul mendekat. Maha Singanada menunduk dan memberi sembah kepada Cebol Jinalaya. Tentu saja Cebol Jinalaya yang tidak tahu-menahu apa-apa balik merasa heran.

   "Rupanya kamu mengenal Raganata, Bejujag...."

   Suara itu datang dari arah lain. Singanada juga menangkap.

   "Kenapa bersembunyi segala macam?"

   "Saya tidak bersembunyi. Sejak tadi saya ada di sini, berbicara denganmu. Sejak tadi saya tahu bahwa kamu mempelajari ilmu selendang yang rasanya pernah saya ciptakan.

   "Dari mana kamu pelajari itu, Gendhuk Tri?"

   "Dari Ibu Guru Jagaddhita."

   "Saya tak tahu."

   "Ibu Guru Jagaddhita mendapat ilmu dari Eyang Raganata."

   "Ooooh.

   "Raganata, lelaki yang baik. Yang memikirkan negara, memikirkan Keraton. Saya membaca sebentar Kitab Negara. Saya, terus terang saja, tak mengerti isinya.

   "Apa betul ia sudah mendahului?"

   "Begitulah yang hamba ketahui.

   "Kalau betul Kakek Guru yang menciptakan..."

   "Bagaimana mungkin kamu memanggil Kakek? Apa suara saya seperti suara lelaki?"

   Mimpi pun Gendhuk Tri tak menyangka kalau salah menebak. Ternyata selama ini yang berbisik, yang berbicara padanya adalah wanita.

   "Bagaimana hamba bisa tahu kalau tak melihat?"

   Mendadak desiran angin lembut membuat Gendhuk Tri mendongak.

   Kini di depannya nampak bayangan yang samar, yang kadang kelihatan, kadang lenyap kembali.

   Bayangan seorang wanita yang alisnya tebal, berwarna putih.

   Gendhuk Tri menyembah hingga menyentuh tanah.

   Tubuhnya gemetar.

   "Kiranya hamba bertemu dengan Putri Pulangsih yang mulia, yang mempunyai ilmu Manjing Ajur Ajer seperti halnya Eyang Sepuh. Ah, apakah hamba telah mati?"

   "Kamu jenaka dan segar.

   "Gendhuk Tri, budimu cukup baik. Tak sia-sia Raganata memilihmu untuk meneruskan ilmu saya. Hanya kenapa jadinya begitu dangkal? "Bukankah air tak pernah membeda-bedakan? "Bukankah air menyapa secara sama siapa saja? "Raganata, apakah kamu sengaja meremehkan ilmu saya, agar dunia menjadi maklum saya tetap wanita yang hanya bersatu dalam asmara, hanya gumpalan nafsu belaka?"

   Pulangsih memang berarti bersatunya daya asmara, alias bertemu badani.

   Sewaktu diucapkan, Gendhuk Tri masih merasakan getaran hati yang tersayat.

   Semacam penyesalan yang tak bisa terobati.

   Air Tak Bersisa Duka SUARA Putri Pulangsih masih menyayat hati Gendhuk Tri.

   Yang berpikir-pikir, bahwa sekian puluh tahun ternyata ada kenangan yang tak bisa dihapus.

   "Eyang Mpu Raganata kelewat sakti dan luhur budinya. Dihormati seluruh Keraton Singasari dan para ksatria. Rasa-rasanya tak mungkin beliau berbuat yang tidak-tidak.

   "Saya yang tak pernah mengerti ajaran itu."

   "Lupakan saja, Gendhuk Tri.

   "Kalau saya mengatakan seseorang buruk perilakunya, tak akan mengubah apa-apa. Tidak bermaksud menggugat atau merendahkan.

   "Raganata sangat baik.

   "Baik sekali.

   "Raganata secara jujur mengakui, bahwa ia tertarik menjadi prajurit. Menjadi abdi dalem, menjadi punggawa Keraton. Dulu ia mengatakan itu pada saya. Karena kesadaran, bahwa satu-satunya cara untuk mengubah dan memperbaiki tanah Jawa ialah melalui Keraton. Sebab Keraton lah yang secara langsung memimpin dan menentukan.

   "Ia meninggalkan saya dan teman-teman, mengabdi kepada Sri Baginda Raja.

   "Lucu juga, membayangkan ia menjadi prajurit.

   "Menjadi empu. Berdiam di Keraton, mengurusi tata negara, mengawasi tata pemerintahan.

   "Tak bisa dibayangkan.

   "Tapi itulah kejujuran yang polos. Raganata membuat Kitab Negara, Nagara Parwa, yang tidak saya mengerti. Tapi ia juga masih membuat tulisan lain, kitab kanuragan yang kemudian dikenal dengan nama ilmu silat Weruh Sadurunging Winarah, Tahu Sebelum Terjadi.

   "Itu menunjukkan bahwa sebenarnya jiwa yang sesungguhnya adalah jiwa ksatria. Jiwa pendekar, jiwa pengelana. Hanya karena melihat bahwa Keraton bisa menyalurkan hasrat perbaikan, ia bergabung ke dalam Keraton.

   "Diam-diam ia mengajarkan juga ilmu Tirta, ilmu Air, yang saya latih.

   "Ya, Raganata orang yang jujur dan baik."

   "Putri Pulangsih mengenal Mpu Raganata?"

   Secara samar-samar Gendhuk Tri melihat senyum terkembang.

   "Seperti kamu mengenal lelaki di dekatmu itu. Atau malah lebih.

   "Dulu mereka dekat dengan saya. Saling berlomba memilih saya. Raganata, Dodot Bintulu..."

   "Paman Sepuh..."

   "Juga Bejujag...."

   "Eyang Sepuh?"

   "Nama yang kemudian memang serba terhormat, serba sepuh. Saya sendiri yang masih memakai nama hina.

   "Tapi apa artinya nama? Ada yang cuma Gendhuk Tri...."

   "Maaf, tapi siapa sebenarnya Kakek Berune?"

   "Ah, ia juga lelaki yang baik.

   "Ksatria yang setia mengabdi pada Keraton. Dikirim ke tanah seberang. Gendhuk Tri, agaknya kamu cukup mengenal mereka semua."

   Secara singkat Gendhuk Tri menceritakan perkenalan dengan Mpu Raganata, juga Perguruan Awan yang didirikan Eyang Sepuh, pertarungan di Trowulan, serta yang baru saja didengar mengenai Kakek Berune.

   "Ia masih tergila-gila pada saya? "Aha. Semua masih tergila-gila. Hanya semua lelaki memang lahir bersama keangkuhan."

   Dalam hati, Gendhuk Tri merasa geli juga. Dalam pandangannya, Putri Pulangsih sudah nenek-nenek dan reyot. Akan tetapi penampilan dan gayanya masih seperti gadis muda..Seakan ada perkembangan rasa yang terhenti di saat remaja.

   "Saya bintang, saya bunga pujaan.

   "Dan karena saya tak ingin menyakiti hati salah satu, saya menghindari semuanya. Dan semua menyalahkan saya. Menuduh yang bukan-bukan, bahkan sepakat memberi nama yang hina.

   "Sedih? "Saya tak pernah punya duka yang tersisa.

   "Saya tahu apa yang harus saya jalani. Menjaga putra-putri Singasari yang hebat. Kalau satu saya pilih, yang lainnya akan bermusuhan. Saya harus menjaga keutuhan ini.

   "Saya juga membuktikan bahwa ilmu silat saya tak bisa diremehkan. Bertahun-tahun saya menuliskan Tirta Parwa atau Kitab Air, seperti Dodot Bintulu menuliskan Bantala Parwa, dan Raganata menuliskan Nagara Parwa.

   "Kami saling membaca tulisan, dan saling mempelajari dan memecahkan.

   "Bejujag melengkapi Bantala Parwa dengan Tumbal Bantala Parwa yang memang luar biasa. Saya melengkapi dengan Gita Parwa, yang saya rasa merupakan ilmu penutup dari semua ilmu silat yang ada.

   "Kalau Bejujag meneruskan inti segala inti bumi, saya memakai inti tenaga air.

   "Seperti sudah kamu ketahui, kami akan menjajal semua kemampuan yang ada saat bertemu di Trowulan, persisnya di tepi Kali Brantas.

   "Saat itu, atas jasa Raganata, Sri Baginda Raja telah menitahkan bahwa Bantala Parwa merupakan kitab resmi mengenai ilmu kanuragan.

   "Namun Bejujag itu memang paling sembrono dalam hidupnya.

   "Mungkin sekali, itu sebabnya saya merasa paling dekat dengannya.

   "Justru pada saat ia dianggap sebagai pencipta ilmu silat yang tiada taranya, yang diakui Sri Baginda Raja, yang bisa malang-melintang dengan gagah perkasa, ia menyelesaikan kidungan yang aneh, Kidung Paminggir, yang membuat Sri Baginda Raja murka.

   "Itulah Bejujag.

   "Saya mengakui sikapnya yang selalu angin-anginan. Selalu sembrono, nakal, dan tak memedulikan. Tumbal Bantala Parwa dikatakan tercipta karena berani menolak daya asmara dari saya. Padahal saya tak pernah memilih dia.

   "Siapa bisa tahan hidup bersama angin? "Siapa yang mau mengerti bahwa Kidung Paminggir menuliskan di suatu saat kelak akan muncul seorang paminggir, seorang yang tidak dikenal asal-usulnya, yang akan menjadi panutan, lebih dari raja sendiri.

   "Gendhuk Tri, apakah ada orang yang lebih gila dari dia ini?"

   Gendhuk Tri tak bisa menjawab pasti. Bisanya cuma menggeleng.

   "Sri Baginda Raja, penguasa tertinggi yang dipuja seluruh rakyat. Semua yang menjadi keinginan rakyat dipenuhi. Tontonan setiap saat bisa diadakan. Bagi mereka yang gemar susastra, semua kitab yang ada di seluruh jagat ini ditulis ulang. Diberikan kesempatan kepada siapa saja untuk mempelajari. Semua tanah di jagat ini didatangi, diberi anugerah, dipayungi dengan kebesarannya.

   "Apa pun yang menjadi keperluan para ksatria, dipenuhi.

   "Termasuk Bejujag yang mendirikan Perguruan Awan. Akan tetapi justru di saat itu ia meramalkan akan ada ksatria sejati yang melebihi rajanya! "Gila, benar-benar gila! "Kenapa ia tulis kidung seperti itu?"

   Lama tak ada sahutan. Singanada yang sejak tadi berdiam diri, menghaturkan sembah.

   "Kalau benar Baginda Raja adalah penguasa yang bijak dan adil, yang tiada tandingan, kenapa Baginda harus murka kepada Eyang Sepuh?"

   "Siapa kamu, anak muda?"

   "Hamba prajurit yang juga dikirim ke tanah seberang."

   "Kamu tak tahu, bahwa Baginda murka karena tahu apa yang dikatakan Bejujag bisa benar-benar terjadi! "Itulah hebatnya Bejujag."

   Kali ini sunyi berlalu lama sekali.

   "Paling tidak, Baginda percaya itu akan terjadi. Dan sebelum menggegerkan Keraton, Baginda melarang Bejujag meneruskan ajarannya. Itu yang membuat kacau, sehingga kami tak bisa saling bertemu atau bertukar pikiran.

   "Karena masing-masing lebih sibuk dengan ilmunya sendiri. Karena untuk memperdalam dan menunggu saat pertarungan yang sesungguhnya diperlukan latihan sepanjang hidup.

   "Saya berani keluar, akan tetapi rasanya terlambat.

   "Pertemuan telah berakhir.

   "Lima puluh tahun lagi, saya akan datang kembali. Untuk menguji, siapa yang lebih murni. Apakah yang berintikan bumi atau air."

   "Kenapa tidak menemui Kiai Sambartaka atau Kakang Upasara saja?"

   "Untuk apa? "Kami, para ksatria, harus memegang teguh janji. Kami hanya akan mengadu ilmu sejati pada saat dan tempat yang telah ditentukan bersama.

   Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Betapa sia-sia dan membuang waktu untuk mengurusi yang kecil dan sepele.

   "Masih lebih baik mempelajari ilmu, yang tak ada habisnya untuk dipelajari.

   "Hari ini saya bicara terlalu banyak.

   "Gendhuk Tri, bebaskan temanmu itu. Lima puluh tahun lagi kita akan saling bertemu kembali."

   Pewaris Kitab Air GENDHUK TRI berteriak kuat, akan tetapi bayangan samar di depannya menghilang.

   Singanada menghela napas.

   Kakinya masih tak bisa digerakkan.

   Kalaupun bisa, juga tak bisa mengejar.

   Cebol Jinalaya bingung memandangi Gendhuk Tri yang berteriak.

   Sejak tadi ia melihat Gendhuk Tri berbicara sendirian, karena ia tak bisa melihat bayangan Putri Pulangsih.

   Makanya ia menjadi heran ketika Gendhuk Tri berteriak kuat.

   Apalagi setelah itu, Gendhuk Tri dan Singanada duduk, menyembah dengan hormat.

   "Banyak yang ganjil di dunia ini. Tetapi yang namanya tokoh-tokoh terhormat lebih ganjil lagi.

   "Aku tak mengerti kenapa Eyang Putri masih menunggu lima puluh tahun lagi, dan sekarang ini ingin memperdalam ilmunya. Rasa-rasanya aku pun belum tentu masih hidup lima puluh tahun lagi.

   "Sungguh tak bisa dimengerti."

   Maha Singanada berdiam diri.

   Perlahan anyaman di benak kepalanya membentuk gambaran kebesaran Keraton Singasari.

   Baginda Raja Sri Kertanegara tetap raja yang paling dahsyat di seluruh jagat.

   Pada saat memerintah, semua kitab yang ada di seluruh jagat ini diubah dan dibuat salinannya.

   Dan itu bukan hanya kitab kanuragan, tetapi juga kitab-kitab susastra yang adiluhung.

   Itu yang menyebabkan kedua orangtuanya berangkat ke tanah Campa.

   Tempat ia dilahirkan, dibesarkan dengan dongengan dan kenyataan.

   Itu yang menalikan sebagai kekuatan raksasa.

   Mpu Raganata dengan gemilang menjadi penghubung, termasuk mengirimkan salinan Kitab Bumi yang dipelajari hingga sekarang.

   Sungguh mengagumkan.

   Baru saja disaksikan sendiri salah satu kesaktian yang tiada taranya.

   Ilmu Manjing Ajur Ajer yang dipelajari, ternyata bisa mencapai puncaknya dengan menghilangkan diri.

   Menjadi moksa.

   Menjadi cat katon cat ilang, antara kelihatan dan hilang.

   Ini pula yang berbunyi di hati Gendhuk Tri.

   Seumur hidupnya, ia menyaksikan sendiri dua tokoh sakti memperlihatkan ilmu itu.

   Yang pertama ialah Eyang Sepuh.

   Dan kini Putri Pulangsih.

   Yang sudah mencapai tingkat kasampurnan, sempurna.

   Sehingga tidak penting lagi, perlu ada secara nyata atau tidak.

   Ada rasa berbunga-bunga pada Gendhuk Tri.

   Ternyata, dirinya masih cucu murid kesekian pencipta Tirta Parwa, yang selama ini namanya saja tak diketahui.

   "Bagus, bagus sekali ilmu kamu."

   "Ilmunya yang hebat, aku sendiri masih luar biasa gobloknya."

   "Baru bisa mencapai tingkat itu,"

   Kata Maha Singanada.

   "Apa susahnya mempelajari?"

   "Mana mungkin? "Aku tak pernah mengetahui."

   "Bukankah Nyai Demang bisa tahu dari Kakek Berune? Bukankah Halayudha menyimpan salinannya?"

   "Gila! "Benar apa yang kamu katakan. Aku akan merebut kembali."

   "Berangkatlah segera."

   "Kamu sendiri bagaimana?"

   Maha Singanada menggelengkan kepalanya.

   "Jangan urusi diriku.

   "Perhatianmu sudah cukup melegakanku."

   Wajah Gendhuk Tri merah padam. Ia berpaling ke arah lain.

   "Aku cuma kasihan melihatmu tak bisa bergerak. Jangan berpikir yang macam-macam."

   "Kakiku kaku.

   "Tapi biar saja."

   "Tadi dikatakan aku bisa menolongmu. Tapi mana bisa?"

   Gendhuk Tri bersemadi.

   Duduk bersanding.

   Menarik udara keras-keras, menahan di dada.

   Memusatkan perhatian kalau-kalau mendengar bisikan petunjuk.

   Lama sekali Gendhuk Tri menunggu.

   Sampai perasaannya sendiri hanyut terbawa alunan irama angin.

   Tanpa terasa tangannya bergerak, memegang kaki Singanada.

   Dirasakannya satu getaran dingin yang menggumpal.

   Dengan mengikuti tenaga gumpalan, Gendhuk Tri berusaha menyalurkan tenaganya.

   Perlahan.

   Yang terbayang hanyalah air.

   Bukan selendang warna-warni.

   Bukan wajah Jagaddhita.

   Bukan Mpu Raganata.

   Melainkan air.

   Gemercik air, tapi bukan bunyinya.

   Air.

   Air mengalir.

   Tapi bukan geraknya.

   Air yang menggenang.

   Air yang mengubang.

   Air.

   Air.

   Air.

   Singanada juga memusatkan perhatian.

   Kalau tadi tenaga dalamnya berusaha membebaskan kakinya yang kaku dan selalu terhalang, kini diikutinya saja pelukan tenaga dari telapak tangan Gendhuk Tri yang terasa hangat.

   Mengurung bagian yang ngilu tak bisa digerakkan.

   Cebol Jinalaya menyaksikan semua kejadian dengan diam.

   Tenang dan menunggu.

   Ia tak mengerti bahwa pada saat itu Gendhuk Tri dan Maha Singanada sedang memusatkan seluruh kemampuan tenaga dalam mereka.

   Sedang mencairkan kebekuan! Bagi Gendhuk Tri maupun Singanada, menerima dan menyalurkan tenaga dalam merupakan latihan sehari-hari.

   Sehingga meskipun baru sekarang ini bersentuhan, bisa langsung mengatur diri.

   Hal semacam ini lumrah dalam dunia persilatan.

   Gendhuk Tri bahkan mengalami yang lebih dari ini.

   Tenaga dalam Upasara Wulung dimasukkan secara paksa ke dalam tubuhnya untuk membongkar racun ganas dalam tubuhnya.

   Maka baginya tak terlalu sulit menyalurkan tenaga dalamnya.

   Begitu juga Singanada.

   Tak terlalu sulit menerima saluran tenaga dalam dan digabungkan dengan tenaga dalamnya sendiri.

   Yang sedikit mengganjal ialah bahwa tenaga dalam dari tangan Gendhuk Tri seperti merembes.

   Perlahan, lunak, mengalir.

   Tak bisa dipaksa dan dibantu dengan tenaga dalamnya sendiri.

   Kadang terasa sangat penuh di kakinya, terkadang justru lenyap kembali.

   Sampai sepenanak nasi Gendhuk Tri menjajal, hingga seluruh tubuhnya bermandikan keringat dingin.

   "Aku tak tahan lagi,"

   Kata Gendhuk Tri sambil menarik kembali tangannya. Maha Singanada memandang dengan sorot mata penuh rasa terima kasih.

   "Kiai Sambartaka memang hebat. Tapi kamu lebih hebat lagi."

   "Tidak, aku sendiri tak mengerti sepenuhnya. Aku hanya menjajalnya.

   "Bagaimana, masih tak bisa digerakkan?"

   Singanada menarik kakinya. Masih kaku sedikit, akan tetapi mulai bisa bergerak. Juga jari-jari kakinya bisa digerakkan.

   "Kamu pewaris tunggal Ilmu Air.

   "Pasti bisa."

   "Harusnya begitu. Tapi selama ini aku tak pernah mempelajari secara langsung. Aku hanya mengikuti petunjuk guruku."

   "Jangan tersinggung kalau kukatakan kamu pada dasarnya bodoh. Kalau guru yang sebenarnya bisa mencapai tingkat seperti yang kita lihat, seharusnya kamu bisa mengungguli.

   "Sudah jelas dikatakan intinya adalah air. Tenaga air. Maka kamu tinggal melatih lagi, menjajal lagi."

   Gendhuk Tri berdiri seketika.

   "Enak saja. Kamu mau memperbudak aku untuk mengobatimu?"

   "Tidak apa.

   "Kamu bisa menjajal pada tubuhmu."

   Suara Singanada polos. Pandangan matanya juga polos. Tanpa prasangka apa-apa. Memang itulah Maha Singanada yang diketahui Gendhuk Tri. Berbicara secara terus terang. Apa yang ada di benaknya keluar tanpa disaring dengan basa-basi.

   "Ayo kita jajal lagi."

   "Jajal saja sendiri."

   "Tak bisa, tak bisa.

   "Dengan mengatur napas Nawawidha, justru kebekuan dan rasa sakit jadi berlipat sembilan. Barangkali ini yang membuat lebih sakti. Tapi usahamu malah menjadikan lebih baik.

   "Itu, barangkali saja, sifat air.

   "Dan wanita cocok dengan sifat itu.

   "Aku ingin kamu menguasai lebih banyak dan lebih sadar, sehingga bisa merebut kitab salinan dari tangan Halayudha."

   Gendhuk Tri tak menjawab. Cebol Jinalaya mengangguk.

   "Kalau saya bisa melakukan, akan saya lakukan. Apa yang harus saya lakukan sekarang ini?"

   Pasangan Bumi dengan Air APA yang dikatakan si cebol hitam sangat tepat.

   Dengan menanyakan "Apa yang harus saya lakukan sekarang ini?", Cebol Jinalaya masuk ke tengah persoalan.

   
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bahwa ia bisa berbuat sesuatu yang sangat dibutuhkan saat ini.

   Gendhuk Tri bukannya tidak mengetahui bagaimana mengatur pernapasan atau menyalurkan tenaga dalam untuk membantu Maha Singanada.

   Walau secara teori tidak sempurna, akan tetapi sejak masih kecil Gendhuk Tri sudah berlatih secara langsung.

   Ditambah pengalamannya yang luar biasa dalam berbagai medan pertempuran, dengan sendirinya penguasaan akan ilmunya boleh dikatakan sangat mudah digerakkan semau hatinya.

   Yang tak mungkin dilakukan saat itu ialah membantu Singanada dengan memegangi kakinya! Karena Gendhuk Tri yang sekarang bukanlah Gendhuk Tri yang dulu.

   Sekarang ia adalah gadis remaja yang sedang tumbuh.

   Yang secara alamiah merasakan getaran aneh yang membuat wajahnya merah padam, daun telinganya terasa panas.

   Apalagi menghadapi Singanada.

   Singanada adalah satu-satunya lelaki yang pernah menyadarkan Gendhuk Tri akan usianya yang berkembang.

   Selama ini Gendhuk Tri selalu mendapat perlakuan seperti anak kecil.

   Karena dikelilingi oleh orang-orang yang lebih tua, yang mengenalnya sejak masih ingusan.

   Terutama tokoh-tokoh dari Perguruan Awan.

   Termasuk di dalamnya Upasara Wulung maupun Nyai Demang.

   Dalam anggapan mereka, Gendhuk Tri merasa perlu diperlakukan sebagai anak kecil.

   Sebagai gendhuk.

   Padahal bibit-bibit kedewasaan mulai tumbuh.

   Perasaan kewanitaan berkembang sesuai dengan usianya.

   Gendhuk Tri yang sekarang adalah seorang gadis remaja! Geletar yang paling bisa disadari sendiri ialah ketika rasa cemburunya yang membesar saat melihat Upasara bergandengan tangan dengan Nyai Demang.

   Untuk pertama kalinya, Gendhuk Tri merasa sangat gusar.

   Kecemburuan yang mirip persaingan.

   Perubahan yang secara agak terlambat disadari oleh Gendhuk Tri.

   Akan tetapi tumbuhnya kepekaan ini tak bisa ditolak.

   Maka sekarang ini, kalau ia menolak membantu Singanada, terutama sekali karena tebalnya rasa rikuh, sungkan, malu.

   Singanada adalah perjaka, dan dirinya adalah perawan.

   Mana mungkin pegang-pegang kaki segala macam? Hanya saja, jelas Gendhuk Tri tak mungkin bisa menerangkan perasaan hatinya.

   Celakanya, Maha Singanada juga tak bisa menangkap gelagat.

   Bahwa ia menganggap Gendhuk Tri bukan sebagai anak-anak, itu sudah dilakukan sejak pertama kali bertemu.

   Akan tetapi jiwa Singanada kosong dalam menghadapi soal hubungan lelaki-perempuan.

   Ia dibesarkan di rantau, digembleng dalam suasana persilatan.

   Sehingga mengenai hubungan semacam ini kurang diketahui dengan baik.

   Kalau ia mengusulkan dan mengajak berlatih bersama, semata-mata berdasarkan pertimbangan ilmu silat.

   Tidak lebih.

   Baru ketika Cebol Jinalaya mengajukan diri, dan Gendhuk Tri melengos ke arah lain, Singanada menyadari.

   Dalam hatinya timbul rasa senang dan sekaligus penyesalan.

   Senang karena merasakan getaran yang sama aneh tapi menggugah perasaan yang tak pernah dialami.

   Penyesalan karena menduga bahwa Gendhuk Tri belum tentu bersedia membantunya.

   "Baik, cebol yang baik.

   "Letakkan tanganmu pada kaki Singanada. Aku akan mencoba menjajal seperti tadi."

   Cebol Jinalaya mengangguk. Kedua tangannya bergerak. Akan tetapi Singanada menggeser, meskipun kelihatan masih kaku.

   "Apa maumu?"

   Teriak Gendhuk Tri kaget. Singanada menarik udara dari hidungnya.

   "Kalau kamu merasa segan, tak usah dipaksakan. Aku tak bisa menerima perlakuan semacam itu."

   "Kamu ingin aku melakukan sendiri?"

   Singanada memandang tajam.

   "Ya."

   "Huh!"

   "Bagiku tak ada gunanya kalau kamu sendiri tak rela. Kalau kamu tak suka menolongku, buat apa melalui perantara?"

   Cebol Jinalaya berdiri bengong.

   "Sejak dilahirkan, saya memang tak ada gunanya."

   "Tunggu!"

   Teriak Gendhuk Tri.

   "Bukan salahmu, cebol yang baik. Ksatria Campa ini mau memaksakan kehendaknya agar aku mau mengurut kakinya.

   "Dan itu tak akan terjadi."

   "Kalau tidak suka, tak perlu dipaksa. Aku sudah bilang tadi."

   "Jangan cerewet. Sudah kukatakan aku mau menolongmu."

   "Kenapa tidak kamu lakukan sendiri?"

   "Aku... aku... aku..."

   Singanada menggeleng.

   "Kalau kamu sudah mempunyai Upasara Wulung, ya sudah. Jangan berpikir yang macam-macam. Aku juga tidak memaksa kamu mau denganku.

   "Aku tak memaksa berhubungan denganku...."

   Gendhuk Tri menggigil. Ia tak tahu harus berbuat apa. Kalimat Singanada sangat terus terang, terbuka, dan langsung mengenai hatinya.

   "Singanada, apakah kamu menyukai aku?"

   "Ya."

   "Lalu apa maumu?"

   "Kalau kamu juga mau denganku, kita jalan bersama. Kita rebut kembali Kitab Air. Karena kamu pewarisnya yang sah."

   Wajah Gendhuk Tri merah terbakar.

   "Kalau kamu sudah janji sama Upasara Wulung, ya sudah."

   "Ngawur.

   "Siapa janji sama dia?"

   "Atau lelaki lain?"

   "Ngawur."

   "Atau tak suka padaku?"

   "Ngawur..."

   Gendhuk Tri gelagapan sendiri. Dengan menjawab ngawur pada pertanyaan terakhir, berarti ia suka kepada Singanada. Itu yang menyebabkan Singanada bergelak keras sekali. Suaranya mengguntur.

   "Hebat, hebat sekali tanah Jawa ini.

   "Orangnya serba berbelok, serba berputar. Suka, tapi emoh bilang suka. Tapi aku suka cara begini ini. Ada malu-malu, sungkan, antara iya dan tidak...

   "Ha... ha... ha...

   "Sungguh menarik hidup begini ini.

   "Kanyasukla, di sini hanya ada kamu dan aku. Dan disaksikan cebol yang baik ini, kenapa kamu masih malu-malu? "Ayolah kita pelajari bersama."

   Sesungguhnya, Gendhuk Tri masih bimbang.

   Dalam hatinya yang paling dalam ia tak mengetahui bagaimana harus menghadapi Singanada.

   Ia tak tahu persis jawabannya.

   apakah ia menyukai Singanada atau tidak.

   Yang jelas, ia tak membenci.

   Tidak menimbulkan rasa muak, seperti misalnya melihat Kala Gemet, walaupun ia putra mahkota! Yang selama ini yang menjadi idamannya adalah Upasara Wulung.

   Segalanya yang sempurna dalam angannya tercipta dalam diri Upasara Wulung.

   Hanya kemudian perasaan itu bergeser karena Upasara Wulung cuma mempunyai satu daya asmarakepada Gayatri.

   Perasaan itu lebih bergeser lagi dan mengubah pendiriannya, sewaktu Upasara akhirnya menikah dengan Ratu Ayu Bawah Langit, dan kemudian sekali dilihatnya bergandengan tangan dengan Nyai Demang.

   Sejak itu berturut-turut kekaguman yang utuh mulai rontok.

   Pada saat yang tepat, muncul lah Singanada.

   Ksatria gagah yang mirip Upasara Wulung.

   "Kalau kamu menguasai Kitab Air, dan aku menguasai Kitab Bumi, rasanya yang namanya Halayudha atau siapa saja bukan sesuatu yang menyulitkan kita di belakang hari.

   "Cebol yang baik, hari ini kamu menjadi saksi bersatunya bumi dengan air."

   Singanada duduk memusatkan pikiran.

   Gendhuk Tri memegang tangan Cebol Jinalaya yang segera menggenggam kaki Singanada.

   Perlahan gelombang tenaga dalam Gendhuk Tri merembes masuk ke kaki.

   Mengurung rasa dingin yang membeku, mencairkan dan menggiring, mendorong ke segala nadi.

   Hasilnya memang luar biasa.

   Dalam waktu sekejap, rasa sakit dan kaku itu lenyap.

   Bahkan Gendhuk Tri sendiri tak menyangka akan sehebat itu hasilnya.

   Kalau sebelumnya ia mencoba sampai kehabisan tenaga, kali ini bisa langsung masuk terserap.

   Apakah ini perpaduan antara tanah dan air? Kembali ke Kemelut Keraton KALAU Gendhuk Tri merasa keheranan, Singanada justru sebaliknya.

   Ia merasakan bahwa tenaga dalam yang dimilikinya dan yang dimiliki Gendhuk Tri merupakan pasangan yang saling membantu dan berlipat ganda.

   Jalan pikiran Singanada sangat tepat.

   Walau tak bisa menerjemahkan secara tepat.

   Singanada hanya merasakan bahwa dasar ilmu pernapasan dan ilmu silat yang dimiliki berasal dari Kitab Bumi.

   Dengan segala perubahan dan kembangan yang ada.

   Pada puncak perkembangan itu adalah kemampuan untuk melipatkan tenaga dalam sampai sembilan kali.

   Inti tenaga keras yang dimiliki, ternyata bisa ditandingi dengan tenaga keras yang lain.

   Yang bisa lebih memusnahkan.

   Bahwa dalam hal begini lebih ditentukan siapa yang menguasai tenaga dalam lebih kuat, Singanada bisa mengerti sepenuhnya.

   Akan tetapi yang membuatnya takjub ialah ketika Putri Pulangsih mengatakan mengenai Kitab Air.

   Dengan cepat pengertian itu membersit dan masuk ke dalam kepala serta hati Singanada.

   Jauh lebih cepat membuka mata batin Singanada dibandingkan dengan Gendhuk Tri.

   Sesungguhnya ini hanya perbedaan sikap dasar ketika sama-sama mempelajari ilmu silat.

   Bagi Gendhuk Tri, ia mempelajari ilmu silat secara langsung.

   Lewat guru yang langsung melatih.

   Tanpa banyak penjelasan.

   Hasilnya memang lebih cepat, lebih tangkas, karena tak direpotkan dengan berbagai teori.

   Sebaliknya, bagi Maha Singanada, ia dibesarkan dalam ajaran yang disampaikan lewat kidungan.

   Kedua orangtuanya, paman-paman, serta para senopati yang berada di tanah seberang, harus mempelajari lebih dulu kitab-kitab yang dikirimkan.

   Sebagai perkembangan yang kemudian lebih didasarkan atas pengalaman batinnya sendiri ketika berlatih.

   Cara pendekatan semacam ini lebih melelahkan dan lebih menyita waktu banyak.

   Akan tetapi keuntungan yang utama ialah mata batinnya siap terbuka.

   Bahkan segala sesuatu yang baru, bisa dengan cepat ditangkap.

   Maka sewaktu bayangan Putri Pulangsih menceritakan sekilas mengenai kidungan Tirta Parwa, Singanada bisa menangkap intinya.

   Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bahkan Singanada yang lebih dulu menyadari Kitab Air adalah kitab utama ilmu silat Gendhuk Tri.

   Bahwa perpaduan tenaga bumi dengan tenaga air bisa hebat luar biasa.

   Kalau Singanada mengetahui asal-usul penciptaan kidungan, penciptaan Kitab Bumi maupun Kitab Air, ataupun Pukulan Pu-Ni dan atau yang dikembangkan Mpu Raganata, ia bisa menangkap dan mengungkap lebih banyak lagi.

   Dan itu juga akan dikatakan secara terus terang kepada Gendhuk Tri.

   Yang bisa saja malah mengurungkan diri! Karena, sebenarnya masih ada titik keraguan untuk menerima Maha Singanada secara total.

   Yang tidak diketahui baik oleh Gendhuk Tri maupun Maha Singanada adalah bahwa Kitab Air diciptakan oleh Putri Pulangsih pada saat-saat setelah Kitab Bumi disempurnakan oleh Eyang Sepuh.

   Dan niatan untuk menciptakan Kitab Air, terutama juga didorong karena keinginan menciptakan maha karya yang bisa dipakai sebagai babon ilmu kanuragan.

   Akan tetapi di balik kisah ilmu silat yang sakti, terjalin juga hubungan asmara yang sulit diterangkan bagi mereka yang tidak mengalami secara langsung.

   Karena saat itu Putri Pulangsih merupakan pilihan utama para ksatria.

   Dan Putri Pulangsih merasa bisa lebih dekat dengan Eyang Sepuh.

   Bisa dimengerti kalau ada suasana yang padu.

   Setidaknya kalau dibandingkan perpaduan Kitab Air dengan sumber penciptaan yang lain.

   Itu sebabnya dalam sekejap rasa sakit di kaki Singanada lenyap seketika.

   Keampuhan perpaduan tenaga dalam Gendhuk Tri dengan Maha Singanada yang terpantul dari perpaduan perasaan, menyebabkan timbulnya tenaga yang hebat.

   Singanada bisa langsung merasakan, karena inti penguasaan ilmunya adalah kelipatan sembilan kali.

   Kini yang dirasakan bukan hanya sembilan kali, akan tetapi secara menyeluruh.

   "Kita berhasil."

   Singanada melompat tinggi. Kakinya bisa digerakkan dengan leluasa. Cebol Jinalaya pun berseri-seri. Gendhuk Tri membenahi selendangnya.

   "Ayo kita kembali ke Keraton. Kita cari Halayudha...."

   Gendhuk Tri mengangguk.

   "Bagaimana kalau saya ikut ke Keraton?"

   Suara Cebol Jinalaya terdengar asing di telinga Gendhuk Tri.

   "Kenapa, kamu mau cari mati di sana?"

   "Entahlah, saya tak tahu.

   "Tadinya saya hanya ingin segera mati. Agar bisa bersatu dengan Baginda Raja. Lagi pula hidup saya tak ada gunanya. Akan tetapi setelah ikutan memegang kaki dan kamu pegangi, ada perasaan segar."

   Gendhuk Tri membelalak.

   "Apa betul begitu?"

   "Ya, segar."

   "Kamu tak mau mencari mati lagi?"

   "Entahlah, saya tak mengerti."

   "Itu baik, baik sekali,"

   Kata Singanada.

   "Kamu terkena sawan tenaga dalam kami berdua."

   Sawan, atau berkah atau tuah atau faedah tak langsung, yang dikatakan Singanada bisa dirasakan pula oleh Gendhuk Tri.

   Kalau bukan Cebol yang mengatakan, Gendhuk Tri akan curiga.

   Akan tetapi, ia sendiri mengalami bersama-sama Cebol yang setiap saat ingin mati.

   Yang sebelum menyentuh kaki Singanada masih merasa dirinya tak pernah ada gunanya.

   Yang membuat Gendhuk Tri sedikit bertanya-tanya dalam hati ialah kenapa pengaruhnya bisa begitu cepat.

   Akan tetapi pertanyaan itu disimpannya dalam hati.

   Ia merasa bersyukur bahwa Cebol mau ikut.

   Sekurangnya akan membuat dirinya tidak menjadi sangat kikuk kalau harus berduaan saja dengan Singanada.

   Dalam perjalanan kembali ke Keraton, mereka berdua sempat berlatih dua kali.

   Cebol ikut mendengarkan dan mencatat kidungan yang ditembangkan baik oleh Gendhuk Tri maupun oleh Maha Singanada.

   Singanada sendiri tak segan-segan menggendong ke pundaknya saat mereka melakukan perjalanan.

   "Tunggu, rasanya ada apa-apa di dalam Keraton,"

   Kata Gendhuk Tri berbisik.

   "Kenapa?"

   "Sejak di perbatasan tadi para prajurit disiagakan secara penuh."

   "Lalu kenapa?"

   "Jangan-jangan ada huru-hara...."

   "Kalaupun ada, apa bedanya? "Kita datang untuk merebut Kitab Air, bukan urusan Keraton."

   "Mana mungkin kita bisa bergerak leluasa, kalau urusan seperti ini?"

   "Kanyasukla, aku tahu kamu dibesarkan di Keraton. Aku di bawah panji-panji kebesaran Keraton.

   "Tetapi aku sekarang tak peduli lagi. Aku tak menemukan kebesaran Keraton di mana aku harus mengabdi diri. Putra Mahkota yang masih kecil sudah segenit itu, dan aku tak mau jadi korban pemuasan nafsunya.

   "Ayolah kita selesaikan urusan kamu, dan kita bisa keliling jagat."

   Gendhuk Tri merasakan kekecewaan dalam nada suara Singanada.

   "Mengabdi kepada Keraton adalah tugas mulia. Tanpa harus memedulikan siapa yang duduk di takhta.

   "Itu sudah keputusan para Dewa.

   "Tidak sebaiknya kita mengungkit soal itu."

   "Baik, baik, kalau begitu maumu.

   "Tapi aku tetap mau merebut Kitab Air milikmu. Sebab kita sama-sama. Kalau itu kitab warisan buatmu, berarti juga buatku."

   Hati Gendhuk Tri berdenging.

   Sama sekali tak disangkanya bahwa perhatian Singanada begitu mendalam padanya.

   Singanada sudah menganggap Gendhuk Tri adalah bagian dari hidupnya.

   Diam-diam ada rasa takut dalam hati Gendhuk Tri.

   Hanya saja ia tak tahu takut soal apa dan bagaimana.

   Karena Gendhuk Tri kadang masih membayangkan di mana sekarang ini Upasara berada.

   Apa yang terjadi dengannya? Perasaan itu masih muncul.

   Walau ditenggelamkan kembali.

   Ia tak ingin Maha Singanada mengetahui bersitan pikiran semacam itu.

   Tak tahu kenapa, tapi Gendhuk Tri merasa lebih baik menyembunyikannya.

   Senopati Sidateka BUKAN hanya Gendhuk Tri yang keheranan melihat suasana keraton yang nampak tintrim, tenang tapi menakutkan.

   Perasaan yang sama dialami ketika Halayudha kembali ke Keraton.

   Sambil membawa Nyai Demang yang masih menggendong Eyang Berune.

   Hanya saja penciuman Halayudha lebih peka.

   Begitu melihat bahwa di perjalanan tak banyak masyarakat lalu-lalang, pun di siang hari, Halayudha merasa ada sesuatu yang sedang terjadi.

   Apalagi melihat kenyataan bahwa para prajurit disiagakan penuh.

   Segera ia menghindar.

   Tidak langsung menuju ke dalam Keraton.

   Melainkan menyelundup masuk ke bagian belakang.

   Menyembunyikan Nyai Demang dalam salah satu ruangan.

   Lalu dengan sigap ia menyusup masuk ke dalam.

   Yang pertama dituju ialah Mahapatih Nambi.

   Karena sebagai mahapatih, Nambi pastilah paling mengetahui keadaan dan keamanan Keraton.

   Namun, hatinya bercekat, karena sama sekali tak bisa menemukan Mahapatih di tempat kediamannya.

   Juga lebih kaget lagi ketika menuju ke tempat kediamannya yang sudah dijaga ketat.

   Tak ada satu pun prajurit yang setia kepadanya berada di tempat.

   Dengan kemampuannya, Halayudha bisa menyusup masuk, dan melihat bahwa seluruh isi rumahnya telah diobrak-abrik.

   Tak ada yang tersisa.

   Tak ada barang yang tak dipindahkan tempatnya.

   Luar biasa.

   Boleh dikatakan ia tak meninggalkan Keraton untuk jangka waktu lama.

   Tapi begitu melangkah ke luar, kamarnya telah disatroni lawan yang berbuat seenaknya.

   Seketika darah Halayudha mendidih.

   Akan tetapi jalan pikirannya yang mampu menembus kemarahan, membuatnya tidak murka seketika itu juga.

   Ia ganti masuk ke kaputren.

   Hasilnya sama saja.

   Tak ada siapa-siapa, selain prajurit yang menjaga di setiap sudut.

   Ini sangat aneh.

   Prajurit Keraton atau pengawal pribadi mana yang mendapat tugas begitu istimewa? Usaha Halayudha untuk menembus sampai ke dalam Keraton juga tak mungkin.

   Tempat kediaman Baginda dijaga kelewat ketat.

   Tak ada ruang tersisa di mana tidak ada prajurit dalam keadaan siaga.

   Sebenarnya Halayudha bisa muncul dan masuk dengan leluasa.

   Ia tak perlu terlalu kuatir mengenai dirinya.

   Siapa pun yang kini menguasai Keraton, pasti dikenalnya.

   Akan tetapi karena belum tahu pihak mana, membuatnya bersabar untuk tidak segera muncul.

   Baginya hanya ada perhitungan sederhana.

   Kalau sekarang Keraton dikuasai seseorang, pastilah bukan orang yang terlalu asing.

   Pastilah masih kerabat sendiri.

   Rasanya tak mungkin ada prajurit atau pendekar lain yang bisa membuat Keraton sunyi dan sepi.

   Kalau musuh dari luar, pertempuran berdarah yang terjadi.

   Nyatanya kali ini tidak.

   Bahkan tanda-tanda pertarungan ramai pun tak ada jejaknya.

   Kemungkinan yang paling dekat hanyalah dari Putra Mahkota Kala Gemet, yang direstui sepenuhnya oleh Permaisuri Indreswari.

   Tak bisa lain.

   Akan tetapi kalau ini gebrakan yang dilakukan oleh Putra Mahkota, termasuk modal sumbi, di luar kebiasaan.

   Putra Mahkota tak perlu melakukan hal seperti ini.

   Kecuali ada yang mengisiki.

   Ada yang membakarnya.

   Kalau perhitungan ini benar, orang di belakang' Putra Mahkota pastilah Pendeta Sidateka.

   Tak ada yang lain.

   Hanya Pendeta Syangka itu yang sangat didengar dan dihormati oleh Putra Mahkota, yang rela memakai gelaran dari negara manca.

   Pendeta yang cukup sakti itu memperlihatkan taringnya dengan menyapu semua lawannya.

   Ini yang paling mungkin terjadi.

   Dengan memunculkan Putra Mahkota yang kini menghimpun para pendekar, tak akan membuat para senopati lain curiga.

   
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dengan restu Permaisuri Indreswari, gebrakan pembersihan lawan bisa dilakukan dengan mudah.

   Halayudha benar-benar merasa kecolongan.

   Hanya sepekan ia meninggalkan Keraton, Pendeta Syangka mampu menjungkir balikkan keadaan.

   Mengubah peta pemerintahan.

   Halayudha sedikit pun tak gentar menghadapi Pendeta Sidateka ataupun para pengikutnya.

   Ibarat kata, seorang diri pun ia sanggup menghabisi lawan-lawannya.

   Akan tetapi karena di belakangnya ada Putra Mahkota, juga Permaisuri Indreswari dan sekaligus Baginda, kalau ia bangkit melawan, dirinya yang menjadi pemberontak.

   Tak jauh berbeda dari Senopati Lawe atau Senopati Sora.

   Dan setiap pemberontakan atas Keraton harus ditumpas habis! Tanpa ampunan! Dugaan Halayudha mendekati apa yang sesungguhnya terjadi, sewaktu berhasil menemui Senopati Kuti yang sedang tepekur di taman, duduk bersujud di antara tanaman cabe.

   "Senopati dalem, kenapa harus mengendap-endap seperti kadal?"

   Halayudha menghaturkan sembah.

   "Senopati Kuti yang budiman, terkasih di antara para senopati... sengaja saya merayap bagai kadal, karena saya memang hina seperti binatang itu.

   "Saya sowan ke hadapan Senopati Kuti, karena tak bisa lagi melihat siapa yang pantas saya datangi."

   "Apa yang bisa saya lakukan untuk Senopati Halayudha?"

   "Berikan petunjuk, kepada siapa saya harus menghaturkan sembah...."

   Senopati memotes daun cabe.

   "Saya tak tahu harus bagaimana. Keadaan Keraton tak menentu."

   "Bagaimana keadaan junjungan kita Baginda?"

   "Menurut Senopati Sidateka, segalanya berjalan sebagaimana biasa. Hanya Baginda tak menghendaki ada hati yang bercabang. Dan menugaskan Senopati Sidateka untuk membersihkan."

   Halayudha bisa dengan cepat menangkap apa yang terjadi.

   Naiknya Senopati Sidateka sebagai pelaku utama, sudah sangat jelas membuktikan perpindahan kekuasaan dari tangan Mahapatih Nambi.

   Yang segera terasakan pula oleh Halayudha ialah bahwa Senopati Kuti juga tak sepenuhnya menyetujui apa yang terjadi.

   "Tugas yang mulia.

   "Saya pun rela menyerahkan kepala saya ke tangan Senopati Sidateka jika bersalah.

   "Yang merisaukan saya, apakah benar Baginda mengetahui hal ini?"

   "Kenapa Senopati Halayudha mempertanyakan hal ini? "Tidak ada rasa hormatkah Senopati kepada junjungan kita semua?"

   Senopati Kuti meraba hulu kerisnya.

   "Demi segala Dewa di langit, biarlah saya tak menitis sebagai manusia, biarlah saya tak tumimbal lahir, kalau berani mempertanyakan keadilan Baginda.

   "Hanya rasanya masih ada yang mengganjal.

   "Kenapa Pendeta Sidateka yang diserahi tugas begini penting?"

   "Bagi Baginda, siapa saja bisa ditunjuk."

   "Dalam hal begini, kita tak berbeda pendapat,"

   Sahut Halayudha cepat.

   "Akan tetapi, biar bagaimanapun Pendeta Sidateka yang mengangkat diri menjadi senopati adalah manusia manca. Pendeta tanah sabrang.

   "Apakah kebanggaan kita sebagai prajurit Sri Baginda Raja warisan Singasari tak ada artinya lagi? "Apakah telah demikian busuknya kita semua, sehingga merayap seperti kadal pun tak punya keberanian lagi?"

   Halayudha mampu mengobarkan perasaan yang paling dalam yang menghuni hati Senopati Kuti.

   Atau senopati yang lainnya.

   Yang masih mewarisi semangat dan kebanggaan sebagai prajurit Singasari.

   Sebagai pengabdi setia Baginda Raja Sri Kertanegara.

   Siapa pun yang pernah mengenyam zaman itu akan selalu membanggakan! Dengan menyinggung masalah ini, Halayudha bisa merebut simpati.

   "Senopati Kuti yang gagah berani.

   "Saya hanyalah senopati yang bertugas di dalam Keraton. Akan tetapi saya tak rela Keraton diinjak-injak semaunya oleh orang sabrang tanpa kejelasan.

   "Saya akan merayap seperti kadal, seperti cacing busuk menggaruk tanah, untuk mendapat kejelasan dari Baginda.

   "Hari ini saya minta izin Senopati Kuti, sebagai sesepuh yang bisa saya temui."

   Senopati Kuti tergerak hatinya.

   "Apa yang akan Senopati lakukan?"

   Senopati Brahma HALAYUDHA menyembah hormat.

   Senopati Kuti menjadi kikuk karenanya.

   Dalam keadaan biasa sehari-hari, Senopati Halayudha tak perlu melakukan sembah padanya.

   Bahkan sebaliknya.

   Meskipun dirinya termasuk senopati yang mempunyai hak-hak istimewa, Kuti mengakui bahwa hubungan Halayudha sangat dekat dengan Baginda.

   Jadi dalam jajaran kepangkatan sama.

   Tak perlu melakukan sembah.

   Cukup dengan membungkukkan tubuh menghormat.

   Bagi Halayudha perbuatan semacam ini tidak membuatnya merasa hina.

   Justru sebaliknya.

   Dengan cara begini ia bisa menjadi lebih dekat.

   "Saya ingin mendengar langsung atau tidak langsung dari Baginda, mengenai pengikut yang mempunyai hati bercabang."

   "Berarti kita harus menemui Senopati Sidateka."

   "Itu yang tak mungkin.

   "Karena belum tentu Senopati Sidateka bisa menangkap penuh kemauan Baginda."

   "Rasanya tak mungkin menemui Baginda.

   "Bahkan Mahapatih sudah mengajukan diri untuk sowan, akan tetapi ditolak oleh Putra Mahkota Bagus Kala Gemet. Cukup menghadap beliau."

   Ini berarti semua jalan tertutup! "Kalau bisa, apakah Senopati kira saya akan berdiam di sini menunggui cabe rawit?"

   Halayudha menggigit bibirnya.

   "Kalau begitu tinggal satu jalan saja..."

   Senopati Kuti menunggu. Halayudha menghela napas.

   "Saya melihat kemungkinannya hanya satu,"

   Sahut Senopati Kuti.

   "Hanya seorang seperti Upasara Wulung yang bisa menerobos ini.

   "Upasara adalah senopati kesayangan Baginda. Upasara juga bergelar lelananging jagat, sehingga Pendeta Sidateka akan memperhitungkan kalau ingin menolaknya."

   Halayudha manggut-manggut.

   "Sayangnya, kita tak tahu di mana Upasara Wulung.

   "Sayang, Putra Mahkota tak menyukai Upasara Wulung, sejak Upasara merebut Ratu Ayu Bawah Langit...."

   "Bagaimanapun juga, itu pilihan terbaik.

   "Kami, para senopati, sudah memperhitungkan kemungkinan itu, akan tetapi rasanya tak ada pilihan lain. Tidak saya, atau Senopati Halayudha sendiri...."

   "Maaf, bolehkah saya mengajukan usulan?"

   "Selama demi kebaikan dan ketenteraman Keraton, setiap prajurit wajib mengutarakan pendapatnya."

   "Kalau misalnya semua senopati menyetujui, kenapa kita tidak menemui Senopati Brahma...."

   Kalimat pendek Halayudha bagai sambaran petir.

   Bagai seratus kilat berpijar bersamaan.

   Namun yang tak pernah terlintas! Senopati Brahma.

   Senopati Agung Brahma! "Perhitungan saya hanyalah, bahwa Senopati Agung Brahma masih didengar dan dihormati oleh Putra Mahkota, sehingga Pendeta Sidateka pun akan menuruti kemauan Putra Mahkota."

   Sangat masuk akal.

   Sungguh tidak percuma Halayudha berada di dalam Keraton.

   Senopati Brahma bisa menjadi kunci untuk sowan ke Keraton.

   Tokoh yang selama ini terlupakan, karena dianggap tak memerintah secara langsung.

   Pada situasi sekarang ini, kedudukan Senopati Brahma tak mungkin tergantikan oleh yang lain.

   "Sungguh cemerlang pikiran Senopati Halayudha...."

   "Saya secara kebetulan saja teringat...."

   Bagi Halayudha, segala kekuatan dalam kekuasaan di Keraton boleh dikata ia hafal seperti menghafal telapak tangannya sendiri.

   Seperti menyusun jari-jari untuk mencubit atau menggenggam atau menjitak atau memelintir.

   Begitu dekat dengan puncak kekuasaan, Halayudha mempelajari situasi secara cermat.

   Bukan kebetulan jika Halayudha mengingat nama Senopati Brahma.

   Senopati Brahma atau Senopati Agung Brahma, tokoh yang cukup disegani oleh Putra Mahkota.

   Karena masih paman besar, atau paman agung.

   Baginda sendiri memanggil dengan sebutan hormat karena merasa kalah umur.

   Adwaya Brahma yang mempersunting Dyah Dara Jingga, kakak perempuan Dyah Dara Petak atau Permaisuri Indreswari.

   Sehingga Putra Mahkota memberi hormat sebagaimana keponakan.

   Lebih dari itu, kehadiran Senopati Agung Brahma juga bisa meredam kekuasaan Permaisuri Indreswari.

   Sekurangnya dari sisi istrinya! Maka betapa jitu perhitungan dan penunjukan Halayudha.

   Halayudha akan melakukan sendiri, kalau hal itu memungkinkan.

   Akan tetapi sejak bertugas di Keraton, Halayudha tak pernah memperhitungkan Senopati Agung Brahma.

   Yang meskipun mempunyai pangkat sangat tinggi, tak memegang kekuasaan secara langsung.

   Bahkan kehadirannya tertutup sepenuhnya oleh Permaisuri Indreswari.

   Kini saatnya dibuka.

   Diberi peranan.

   Halayudha bisa menyusup sendiri kalau mau.

   Akan tetapi selain dengan Senopati Brahma yang diberi tambahan gelar Agung, ia pernah bentrok dengan putranya, Janaka Marmadewa atau Mantlorot, yang seusia dengan Bagus Kala Gemet.

   Ini berarti kalau ia yang maju, malah bisa disikat habis sebagai pembalasan dendam.

   Itu pula sebabnya Halayudha menghubungi orang lain.

   Senopati Kuti! Untuk Senopati Kuti, pujian bagi Halayudha tak ada habisnya.

   Ia sama sekali tak mengetahui ada peristiwa yang meretakkan hubungan antara Senopati Agung Brahma dan Halayudha.

   Dari jalan pikiran yang tanpa prasangka, jelas yang diutarakan Halayudha sangat berarti sekali.

   Pada saat menghadapi jalan buntu, Halayudha tampil dengan gagasan yang cemerlang.

   Cemerlang dan suci.

   menyelamatkan Baginda! Senopati Kuti menyembah hormat.

   "Hari ini juga saya akan menemui semua senopati, dan menghadap kepada Senopati Agung Brahma. Kalau Senopati Halayudha mengizinkan..."

   "Duh, Senopati Kuti yang perwira.

   "Manusia kadal seperti saya tak pantas dibawa ke tempat terhormat dalam urusan sepenting ini. Biarlah saya tinggal di rumah, menjaga rumah ini...."

   "Kalau itu kemauan dan budi baik Senopati Halayudha, silakan saja... saya akan segera pamit."

   "Semoga Dewa memberkati tugas mulia ini...."

   Saat itu juga Senopati Kuti memerintahkan prajuritnya untuk memberi tempat pada Senopati Halayudha dan menyediakan segala keperluannya. Ia sendiri langsung berangkat dan menemui Mahapatih Nambi untuk melaporkan. Mahapatih Nambi tersentak.

   "Selama ini saya selalu menduga jahat kepada Halayudha, nyatanya hatinya begitu baik. Bahkan maksud mulia ini diserahkan kepada orang lain, tanpa ingin pamer kemampuan.

   "Kuti, Halayudha adalah senopati Singasari yang tulen, dari darah dan keringatnya.

   "Kita tak boleh melupakan hal ini."

   Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sore itu juga Mahapatih Nambi meminta waktu untuk sowan kepada Senopati Agung Brahma.

   Sambil mengatakan akan menyerahkan arca yang baru ditemukan.

   Dengan senang hati, Senopati Agung Brahma menerimanya.

   Bahkan ia sendiri berkenan untuk melihat wujud arca yang menjadi barang kesayangannya.

   Pada saat itulah Mahapatih Nambi secara tidak langsung mengutarakan, bahwa sudah saatnya Senopati Agung Brahma menghadap Baginda.

   "Sudah dijelaskan, bahwa di Keraton masih ada sisa-sisa prajurit yang hatinya bercabang. Itu perlu dibersihkan.

   "Untuk apa saya mempertanyakan itu?"

   "Senopati Agung, meskipun hamba ini mahapatih, tetapi hamba hanyalah prajurit biasa. Tidak mempunyai derajat apa-apa. Hanya Senopati Agung yang mungkin melaksanakan tugas mulia ini.

   "Sekarang ini hanya Paduka yang bisa menemui Baginda."

   "Sungguh menyenangkan.

   "Akhirnya, di samping bersenang-senang di Keraton, ada yang bisa kubuktikan untuk negeri ini.

   "Baiklah, Mahapatih, kusanggupi keinginanmu.

   "Malam ini juga aku akan menghadap ke Keraton."

   Mahapatih menghaturkan sembah tulus dan hormat.

   Terasa ada pencerahan yang dalam.

   Kalau saja mengetahui bahwa Halayudha sudah menyusup ke dalam Keraton, perasaan itu berbalik seperti siang dengan malam.

   Darahku Darah Singasari SENOPATI AGUNG BRAHMA menepuk pundak Mahapatih Nambi.

   Walaupun Mahapatih Nambi adalah pimpinan seluruh senopati Keraton, dalam hal ini Mahapatih yang melakukan sembah.

   Karena walaupun Brahma hanya senopati, pun ditambah gelar Agung, akan tetapi hubungan darah kekeluargaan yang lebih dituakan dari Baginda menyebabkan siapa pun menyembah padanya.

   "Aku tahu kegelisahanmu, Mahapatih.

   "Kita bukan orang yang baru saja mengenal. Dalam darahku masih mengalir deras darah Keraton Singasari. Aku tahu apa yang harus kulakukan.

   "Bukan karena arca kesayangan itu yang menyebabkan aku menghadap Baginda. Akan tetapi ini adalah kewajiban seorang prajurit, seorang senopati yang pernah dibimbing Sri Baginda Raja.

   "Kukira Mahapatih bisa memahami."

   Mahapatih merunduk hormat.

   Sekilas bisa menebak kerisauan Senopati Agung Brahma.

   Dalam jajaran kepangkatan di Keraton, Senopati Agung Brahma tidak mendapatkan derajat tinggi hanya karena kebetulan beristrikan saudari Permaisuri Utama.

   Bukan hanya itu.

   Senopati Adwaya Brahma adalah senopati utama di zaman Baginda Sri Kertanegara memegang tampuk kekuasaan.

   Bahkan terpilih sebagai salah satu dari sekian banyak senopati yang mewakili untuk dikirim ke tanah seberang, ke tlatah Pagar Ruyung, guna membawa arca Amoghapasa.

   Suatu cara menaklukkan negeri seberang, cara untuk menundukkan dengan damai.

   Kalau tidak cukup sakti dan dianggap mempunyai kebijaksanaan luhur, tak mungkin Senopati Adwaya Brahma menjadi pilihan Sri Baginda Raja.

   Dan nyatanya tugas suci yang dijalankan berhasil dengan baik.

   Tlatah Pagar Ruyung di Melayu mengakui kebesaran Keraton Singasari.

   Bahkan secara suka rela menyerahkan seluruh wilayahnya untuk diambil oleh Sri Baginda Raja, saat kapan pun diperlukan.

   Bahwa kemudian Baginda Kertarajasa Jayawardhana memilihnya sebagai suami Dyah Dara Jingga, juga menunjukkan penghormatan yang tinggi.

   Pengakuan itu tercermin dari perlakuan kepada Senopati Agung Brahma.

   Berhak memakai kebesaran yang biasanya diperlakukan untuk raja.

   Pada upacara-upacara yang penting, Senopati Agung selalu diminta hadir.

   Demikian juga perlakuan kepada putranya, Bagus Janaka Marmadewa, tak dipisahkan sedikit pun dari Bagus Kala Gemet.

   Dalam segala hal diperlakukan sama.

   Hanya memang selama ini Senopati Agung tak pernah mau menonjolkan diri.

   Malah boleh dikatakan sangat menjauhi kesempatan-kesempatan untuk tampil.

   Baik pada kesempatan yang penting maupun tidak.

   Sewaktu Baginda memilih siapa yang pantas menjabat mahapatih, Senopati Agung justru menyurutkan diri.

   Ia sama sekali tidak memberikan suara, tidak memperlihatkan dirinya.

   Jauh dalam hati, Senopati Agung merasa bahwa ia tidak pantas untuk pangkat dan derajat yang begitu tinggi, kalau hanya diperhitungkan sebagai saudara ipar raja.

   Baginya itu penghinaan.

   Senopati Agung merasa dirinya senopati, prajurit, dan sekaligus seorang yang memiliki jiwa prajurit sejati.

   Pangkat tinggi, kehormatan yang agung, bukan semata-mata tujuannya.

   Inilah kebanggaan para prajurit yang pernah dibesarkan dalam kekuasaan Baginda Raja Sri Kertanegara.

   Maka kalau Senopati Agung sampai mengatakan bahwa ia bersedia melakukan permintaan Mahapatih Nambi, itu juga karena dasar jiwa prajuritnya.

   Bukan karena upeti.

   Betapapun dirinya tergila-gila kepada segala jenis arca yang mempunyai nilai tinggi.

   "Maaf, Senopati Agung Brahma.

   "Setitik pun hamba tak mempunyai perasaan dan penilaian...."

   "Aku mengerti, Mahapatih.

   "Aku mengerti justru karena kita sama-sama prajurit.

   "Dan sebagai prajurit, aku hanya bisa menunggu titah, menunggu dawuh, menunggu perintah.

   "Kalau suatu saat Bagus Kala Gemet memerintahkan untuk menaklukkan Ratu Ayu Bawah Langit, akan kulakukan juga. Aku bisa menyarankan bahwa Bagus Kala Gemet belum pantas untuk memilih jodoh. Akan tetapi jika itu diperintahkan, akan kulakukan juga. Sampai darah Singasari yang menderas dalam tubuhku ini kering."

   "Hamba mengerti, Senopati Agung...."

   "Kamu mengerti. Ya, kamu mengerti.

   "Betapa lama aku merapatkan bibirku erat-erat. Karena aku tak mau membuat kisruh. Karena aku tidak ditanya.

   "Sekarang saatnya aku melakukan dharma baktiku sebagai prajurit. Menyampaikan kepada Baginda.

   "Bahkan tanpa permintaan Mahapatih pun, aku akan sowan. Hanya sekarang ini menjadi lebih mantap, karena kerisauan ini juga tergema dalam dada Mahapatih."

   Senopati Agung menghela napas.

   "Jangan kecewa kalau aku tak membawa kabar apa-apa.

   "Aku hanya ngunjuk atur, meminta kesediaan Baginda mengatakan sesuatu.

   "Mahapatih, barangkali sebelum ayam jantan berkokok besok pagi, aku ingin menemuimu.

   "Antarkan arca ini ke sana, dan kita bisa melanjutkan pembicaraan."

   "Sembah bekti bagi Senopati Agung...."

   "Mudah-mudahan malam nanti purnama tidak tertutup awan. Pada musim hujan seperti sekarang ini, kadang ada awan yang muncul begitu saja...."

   Dengan kalimat isyarat, Senopati Agung memperingatkan bahwa bukan tidak mungkin ada sesuatu yang masih gelap, yang bisa mengacaukan keinginannya menghadap kepada Baginda.

   Hal yang bisa dimengerti oleh Mahapatih Nambi.

   Karena secara tiba-tiba, pekan lalu Putra Mahkota Kala Gemet memerintahkan agar semua senopati berkumpul.

   Pada saat yang sama, Putra Mahkota mengatakan bahwa ia membawa sabda Baginda untuk membersihkan hati yang bercabang, yang masih ditemui pada beberapa senopati Keraton Majapahit.

   Saat itu Mahapatih sudah bertanya-tanya dalam hati.

   Mengapa Putra Mahkota yang mengatakan hal itu? Lebih menjadi tanda tanya lagi karena Putra Mahkota menunjuk Pendeta Sidateka menjadi senopati yang bertanggung jawab secara penuh atas pembersihan ini.

   Ini sama artinya dengan mengambangkan atau meniadakan pangkat dan tanggung jawab yang selama ini dipegang oleh Mahapatih Nambi! Dipecat secara resmi pun tak akan seterkejut sekarang ini.

   Akan tetapi Putra Mahkota tidak menyinggung sedikit pun masalah pergeseran atau pencabutan pangkat.

   Putra Mahkota hanya mengatakan bahwa semua prajurit harap disiagakan secara penuh, dengan komando kekuasaan di bawah tangan Senopati Sidateka.

   Segala sesuatu, baik perintah ataupun ucapan, dijalankan dari Senopati Sidateka.

   Selebihnya semua berjaga diri.

   Kenyataan yang sangat membingungkan dan menimbulkan rasa was was.

   Mahapatih Nambi tak bisa mengatakan sesuatu atau menanyakan.

   Bersama para senopati yang lain, hanya bisa menunggu.

   Menunggu.

   Dan lebih aneh lagi, selama Senopati Sidateka memegang kekuasaan dan tanggung jawab, tak ada perubahan yang berarti.

   Hanya beberapa prajurit yang ditangkap dan diperiksa.

   Akan tetapi tidak ada pergeseran atau perubahan di tingkat atas.

   Ini yang membingungkan.

   Dan membuat saling curiga.

   Pada saat itu, Baginda tidak mungkin bisa ditemui.

   Sehingga Mahapatih merasa seperti anak ayam yang kehilangan pelindungnya.

   Tak tahu-menahu harus mempertahankan apa atau siapa.

   Semua ini dipendam dalam-dalam, sampai Senopati Kuti muncul dan memberitahukan pendapat Halayudha.

   Yang serta-merta dilaksanakan.

   Tidak terlalu meleset karena Senopati Agung juga merasakan keprihatinan yang sama.

   Bahwa Putra Mahkota melakukan sesuatu yang di luar dugaan, bukan baru sekarang ini.

   Bahwa tindakan Putra Mahkota untuk mengurung dua putri Permaisuri Rajapatni menimbulkan tanda tanya, itu sudah jelas.

   Akan tetapi karena ini menyangkut urusan keluarga, Mahapatih Nambi tak berhak bertanya satu patah pun.

   Persoalannya menjadi lain, ketika menyangkut masalah ketenteraman dan keamanan serta kelangsungan pemerintahan.

   Mahapatih ingin bisa menemui Baginda.

   Atau sekurangnya Senopati Sidateka.

   Untuk memperoleh keterangan yang berarti, karena masalah keamanan dan ketenteraman selama ini berada dalam tangannya.

   Menumpas Bibit Kraman BAHWA munculnya Pendeta Sidateka yang langsung menjabat senopati utama atau satu-satunya, bisa dikaitkan hubungan dan pengaruhnya selama ini.

   Sidateka sendiri merasa bahwa ia tak bisa berada di balik layar terus-menerus.

   Ia harus segera tampil.

   Satu-satunya yang bisa dikendalikan ialah Putra Mahkota.

   Maka ketika itu Sidateka langsung menghadap Permaisuri Indreswari dan mengatakan gagasannya.

   "Sebelum kejadian menjadi berlarut-larut, barangkali saja Permaisuri Indreswari perlu memberi pelajaran kepada para prajurit yang masih bercabang kesetiaannya kepada Putra Mahkota."

   "Atas dasar alasan apa kamu mengatakan itu?"

   "Pada saat sekarang ini, kita belum mengetahui jelas siapa yang betul-betul setia kepada Putra Mahkota. Ini bisa menjadi beban dan bencana di kelak kemudian hari yang tak lama, jika Putra Mahkota naik takhta.

   "Maka sebelum bibit kraman, bibit pemberontakan, bersemi, Permaisuri Indreswari perlu memerintahkan pembersihan. Agar bibit kraman itu tak bisa tumbuh."

   "Siapa yang hatinya masih bercabang?"

   "Saat ini hamba tak bisa menghaturkan nama-nama, karena akan membuat hamba berdosa.

   "Akan tetapi kalau dilihat sewaktu Putra Mahkota dinobatkan, sewaktu Putra Mahkota menghendaki Ratu Ayu Bawah Langit, terlihat jelas bahwa masih ada yang ragu-ragu untuk mendukung Putra Mahkota secara penuh.

   "Senopati Sora yang sejak kecil mengabdi Putra Mahkota, yang tak pernah kita perhitungkan akan membangkang, ternyata bisa menggagalkan kebesaran Putra Mahkota.

   "Menurut pertimbangan hamba, yang seperti Senopati Sora masih ada."

   "Perasaanku mengatakan hal yang sama.

   "Apa yang akan kaulakukan, Sidateka?"

   "Barangkali saja, Putra Mahkota memegang kendali pemerintahan, mengatur Keraton untuk sementara waktu. Pada saat itu akan segera terlihat siapa yang menerima Putra Mahkota dan siapa yang bercabang hatinya.

   "Saat itulah kita bergerak.

   "Kalau dipercaya, rasanya hamba mampu menjalankan tugas ini."

   Permaisuri Indreswari mengelus rambutnya.

   "Usulmu bagus, akan tetapi berbahaya.

   
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Apa sabda Baginda jika mengetahui Putra Mahkota yang menjalankan pemerintahan?"

   "Kalau Permaisuri Indreswari bisa membujuk Baginda, rasanya tak ada yang mustahil. Hanya untuk beberapa lama...." .

   "Aku bisa menangkap maksudmu.

   "Baginda kita minta memberi kesempatan kepada putraku."

   "Demikianlah maksud hamba."

   "Kata-katamu agak lancang, Sidateka.

   "Akan tetapi karena putraku sangat menghormatimu, kelancanganmu bisa kumaafkan sekarang ini."

   Bagi Sidateka, hal yang dianggap menjadi ganjalan utama ialah sewaktu Baginda memerintahkan mengambil Tirta Parwa yang dimilikinya.

   Sangat gamblang bahwa Baginda tidak berminat lagi pada kidungan di kain sutra tersebut.

   Pastilah dikendalikan oleh orang lain.

   Yang tak lain adalah Halayudha.

   Kalau Halayudha mampu mempengaruhi Baginda dalam satu hal, bukan tidak mungkin dalam hal lain juga bisa menanamkan pengaruhnya.

   Bisa meminjam tangan dan sabda Baginda.

   Yang begini sungguh berbahaya.

   Justru di saat ia telah bisa begitu dekat dan menguasai Putra Mahkota.

   Bukankah Putra Mahkota telah berani memakai gelaran raja-raja di negeri Syangka? Dan tidak mengagungkan tetesan darah Sri Baginda Raja Kertanegara? Alasan lain yang dipandang Sidateka membuat ia mengajukan usulan ialah bahwa masih banyak ksatria yang ilmunya sangat tinggi.

   Setidaknya masih ada Upasara Wulung dan Kiai Sambartaka.

   Kalau ia tak bisa melumpuhkan mereka sekarang ini, mungkin kesempatan semacam itu tak akan pernah ada lagi.

   Adalah menjadi tujuan utamanya untuk menaklukkan Keraton Majapahit, sehingga nantinya mengakui kekuasaan utama Keraton Syangka.

   Tanah Syangka akan menjadi kiblat baru.

   Menjadi panutan utama.

   Dan bukan tlatah Hindia.

   Maka meskipun dalam keadaan belum sepenuhnya sehat, Senopati Sidateka mengadakan perburuan.

   Yang menjadi sasaran utama ialah kediaman Halayudha.

   Diobrak-abrik untuk menemukan bukti-bukti bahwa Senopati Halayudha menyimpan Tirta Parwa.

   Langkah yang kedua ialah mengumumkan bahwa Upasara Wulung maupun Kiai Sambartaka adalah musuh utama Keraton.

   Bisa diusahakan pencarian besar-besaran.

   Siapa yang menghalangi maksud ini dianggap membangkang dan tidak setia kepada Keraton.

   Rencana itu dianggap sempurna, dan akan melicinkan jalan yang dicita-citakan.

   Menguasai Keraton, dan menjadi lelananging jagat.

   Sidateka boleh merasa dirinya jago dalam mengatur siasat.

   Akan tetapi Halayudha bukan lawan yang enteng.

   Kalau Halayudha berada dalam posisi seperti Pendeta Sidateka, apa yang dilakukan jauh lebih menguntungkan.

   Tapi membuat para senopati bertanya-tanya dalam hati.

   Tanpa menimbulkan kecemasan yang tak perlu.

   Dalam hal ini Sidateka menganggap kegelisahan itu tak ada artinya.

   Karena memang tujuannya tidak akan terpengaruh oleh kegelisahan atau kecemasan para senopati dan prajurit.

   Peluang inilah yang dimanfaatkan oleh Halayudha.

   Menghadapi lawan yang memegang kekuasaan, Halayudha tidak muncul sebagai penantang.

   Ia meminjam tangan untuk mengedepankan Senopati Agung Brahma.

   Itu langkah yang pertama.

   Langkah yang kedua ialah kebalikan dari langkah yang pertama.

   Yaitu mengadu domba.

   Mengatakan bahwa para senopati berkomplot menunggangi Senopati Agung Brahma untuk menandingi Permaisuri Indreswari.

   Dengan cara ini, Halayudha mengadu dua kekuatan utama.

   Tanpa perlu turun tangan.

   Tanpa perlu menanggung risiko.

   Karena siapa pun yang tersingkir, tak akan mencela Halayudha.

   Karena siapa pun yang unggul, akan merasa adanya jasa baik Halayudha.

   Dengan persiapan seperti itu, Halayudha muncul dan masuk ke Keraton.

   Dengan sekali gebrak, tiga prajurit utama yang menjaga kaputren bisa dibekuk tanpa menimbulkan suara.

   Kemudian beranjak masuk ke tempat peraduan Permaisuri Indreswari.

   "Apakah kamu mau mencari mati berani menyusup kemari?"

   "Hukumlah hamba, Permaisuri Utama dan satu-satunya.

   "Ini adalah kebodohan hamba. Namun hamba rela mendapat hukuman potong lidah setelah menghaturkan sesuatu ke hadapan duli Permaisuri Indreswari...."

   "Katakan secepatnya."

   "Mudah-mudahan yang hamba dengar salah, akan tetapi telinga ini tak bisa ditutupi...."

   Halayudha menyampaikan bahwa ia diajak para senopati untuk membujuk Senopati Agung Brahma agar menghadap Baginda, malam ini juga.

   "Urusan apa?"

   "Para senopati merasa bahwa Putra Mahkota sangat membatasi gerak-gerik dan keleluasaan para senopati yang memang busuk. Para senopati merasa lebih pantas berlindung di balik kejayaan payung kebesaran Bagus Marmadewa...."

   "Yang menjadi putra mahkota itu anakku.

   "Bukan anak kakakku."

   "Duh, Permaisuri Indreswari...

   "Dewa di langit segala langit pun mengetahui hal ini. Juga tetumbuhan di hutan. Akan tetapi para senopati bisa memaksakan kehendaknya. Atau barangkali Senopati Agung Brahma merasa lebih tua dan lebih..."

   "Kamu selalu muncul dan mengguncang perasaan.

   "Dosamu tanpa takaran...."

   "Bunuhlah hamba sekarang juga, Permaisuri yang mulia.

   "Hamba hanya ingin menyampaikan hal ini sebagai abdi yang pernah merasakan sikap Permaisuri yang maha welas asih...."

   "Lepas dari benar-tidaknya kata-katamu, ada baiknya kita bersiaga.

   "Kalau malam nanti Kakang Senopati Agung Brahma menghadap, apa yang kamu katakan adalah benar. Jika tidak, aku sendiri yang akan mencincang tubuhmu...."

   "Hamba rela dicincang sekarang ini...."

   Permaisuri Indreswari memerintahkan Halayudha untuk menyingkir. Saat itu juga Permaisuri Indreswari memanggil Senopati Sidateka dan mengatakan kemungkinan Senopati Agung Brahma akan menghadap.

   "Tanyakan apakah benar ia mau menghadap Baginda.

   "Bila jawabnya 'ya'. Kamu tak usah menunggu perintah. Ringkus seketika itu juga."

   Air Palsu Air yang Keruh SIDATEKA menghaturkan sembah.

   "Nambi akan mengatasi dengan baik...."

   "Aku ingin kamu sendiri yang bergerak.

   "Sebab Nambi ada di belakang Kakang Brahma...."

   Mendadak terdengar suara nyaring dari luar.

   "Aku adalah Senopati Brahma. Kalau menyebut namaku, kenapa di belakangku?"

   Permaisuri Indreswari menudingkan telunjuknya. Sidateka serta-merta melangkah ke luar. Di halaman prameswaren, perumahan untuk para permaisuri yang menjadi satu dengan kaputren berdiri gagah seorang lelaki dengan berkacak pinggang.

   "Karena kudengar namaku disebut-sebut, aku ingin mendengar apa yang dibicarakan."

   "Kamukah Senopati Brahma?"

   Mata Senopati Agung Brahma mendelik saking gusarnya. Jakunnya naik-turun. Belum pernah ia dihina sedemikian rupa. Di dalam Keraton lagi! "Aku Senopati Agung Brahma."

   Kedua tangannya terangkap, bersidekap di depan dada.

   "Apa pedulimu bertanya tanpa tata krama seperti itu?"

   "Aku Senopati Sidateka yang mendapat tugas menjaga ketenteraman Keraton sekarang ini."

   "Bagus kalau begitu.

   "Minggir dari depanku. Karena kakiku tak punya mata, sehingga bisa menendang kepala yang menghalangi."

   Gagah melangkah tanpa peduli. Pendeta Sidateka menggerung. Kedua tangannya bergerak, dan seketika itu pula puluhan prajurit pribadi bersiaga.

   "Kalau harus memandikan keris dengan darah Keraton, aku tak akan menyesali."

   Sret, tangan kanan Senopati Agung Brahma mencabut kerisnya.

   Langsung diacungkan ke atas.

   Dalam kejap berikutnya, keris itu menuding lurus ke depan.

   Sabetan yang digerakkan dengan cara yang luar biasa cepat.

   Mengiris udara.

   Pendeta Sidateka mengeluarkan seruan tertahan.

   Menggeser tubuhnya ke arah kiri, tangannya terulur, mencengkeram pergelangan tangan.

   Senopati Agung Brahma membalik telapak tangannya, kali ini ujung kerisnya menoreh ke arah nadi.

   Pendeta Sidateka agak gelagapan karena sama sekali tak mengira serangan lawan yang ganas bisa berubah dalam satu pukulan.

   Terpaksa uluran tangan kanannya mengeras bagai kepalan dan langsung ke arah lambung.

   Tanpa menarik mundur kaki dan tubuhnya, Brahma membalikkan ujung kerisnya.

   Memapak ke arah jotosan lawan.

   Gerakan keris Singasari! Yang pernah dimatangkan oleh Upasara Wulung.

   Tidak mengherankan, karena Brahma memang prajurit Singasari yang mendapatkan ilmu dengan dasar yang sama.

   Yang sedikit membuat Sidateka terkesiap ialah bahwa gerakan-gerakan pergelangan tangan Brahma sangat luwes, sangat prigel, sehingga arah ujung keris bisa berubah dalam sekejap.

   Dari menusuk lurus, ke samping, atas, ataupun mengiris.

   Sehingga mau tak mau Sidateka mengeluarkan semua ilmu simpanannya.

   Bahwa Brahma masih menguasai jurus-jurus silatnya dengan baik, rasanya tak perlu diragukan lagi.

   Akan tetapi bahwa tenaga dalamnya tak mendukung kemampuannya, juga bisa dimengerti.

   Karena praktis sejak menjadi keluarga Keraton yang terhormat tak bisa latihan dengan leluasa.

   Padahal jago silat di mana pun, kematangan dan kemampuan tenaga dalamnya sangat tergantung dari latihan setiap kali secara berkesinambungan.

   Maka dalam sepuluh jurus berikutnya, Brahma tak bisa mendesak lebih jauh.

   Meskipun pada awalnya mampu menyudutkan Sidateka.

   "Tangkap pemberontak!"

   Mendengar teriakan Sidateka yang adalah senopati utama, para prajurit segera bergerak mengurung. Bahkan Senopati Kuti yang berada di kejauhan segera mendekat. Demikian juga Mahapatih Nambi.

   "Kurung pemberontak satu ini!"

   "Maaf, Senopati...."

   "Apakah kamu membantah perintahku, Nambi?"

   Mahapatih Nambi mendongak. Dadanya membusung.

   "Senopati Sidateka, jangan kelewat kurang ajar. Tata krama juga berlaku di antara tikus sawah.

   "Aku tak bisa diperlakukan seperti ini."

   Begitu Mahapatih Nambi mengambil sikap sempurna, semua prajurit yang tadinya mengurung Senopati Agung Brahma jadi berubah sikap. Sidateka mundur selangkah.

   "Mau menghindar ke mana, pencuri ilmu?"

   Sidateka berpaling.

   Pandangan nanar.

   Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Hampir tak percaya apa yang dilihatnya.

   Halayudha berdiri di belakangnya.

   Senyumnya dingin.

   Yang membuat pandangannya nanar, terutama karena kalimat Halayudha yang menyebutnya sebagai pencuri ilmu silat.

   Sudah jelas bahwa Halayudha yang mencuri ilmu silatnya! Bagaimana mungkin begitu tega menuduh kepada pemiliknya? "Duh, para senopati linuwih, rasanya tak perlu mengotori tangan untuk menghukum seorang pendeta yang mencuri ilmu.

   Yang seperti ini tak ada harganya untuk dilayani."

   Sidateka meludah.

   "Sudah jelas kamu yang mencuri ilmuku."

   "Sejak kapan orang seberang menciptakan Kitab Air? "Seekor ikan kecil pun bisa tertawa. Mari kita buktikan di luar, siapa yang menimba air palsu pasti lebih keruh...."

   Di akhir kalimatnya, tangan kiri Halayudha bergerak.

   Seolah menenteng anak kecil yang nakal.

   Sidateka seperti tertarik pusaran air yang keras, sehingga tubuhnya condong ke depan.

   Tak ada jalan lain kecuali melompat tinggi untuk membebaskan diri dari terkaman tenaga mengisap.

   Pada saat yang sama Halayudha melayang ke udara.

   Sekali lagi kedua tangannya bergerak, bagai gelembung air ditiup angin.

   "Itu ilmuku!"

   "Inilah yang membuktikan kamu pencurinya."

   Tanpa menunggu tubuh Sidateka menginjak tanah, kedua tangan Halayudha terayun ke depan.

   Kali ini yang dirasakan Sidateka adalah gelombang yang keras menghantam.

   Sekejap tubuhnya yang belum sehat sempurna menjadi sempoyongan.

   Pada waktu akan membuang tenaga ke belakang, saat itu justru Halayudha sudah bersiap.

   Karena mengetahui reaksi dan gebrakan Sidateka.

   Punggungnya kena diterkam.

   Sekali sentak tubuh Sidateka terbanting ke tanah! Satu kaki Halayudha terayun dan menginjak tepat di leher.

   "Kalau tidak segera minta maaf kepada Senopati Agung Brahma, hari ini nyawamu pindah ke telapak kakiku."

   Siapa pun yang menyaksikan kehebatan Halayudha menjadi bercekat.

   Bahwa Halayudha mempunyai ilmu silat yang tangguh, sudah banyak didengar.

   Akan tetapi bahwa hanya dengan satu gebrakan saja bisa membuat Sidateka tak berdaya sama sekali, masih di luar perhitungan mereka.

   Tak terkecuali Senopati Agung Brahma.

   Masih terasakan kehebatan ilmu Sidateka.

   Bahwa dirinya tak bisa mendesak lebih jauh dan malah mulai keteter.

   Toh dengan gampang sekali Halayudha bisa menundukkan.

   Mahapatih Nambi menggerakkan tangannya.

   Terlambat.

   Kaki Halayudha telah turun.

   Amblas ke tengah leher.

   Hanya kelojotan sebentar.

   Sesudah itu tubuh Sidateka tak bergerak lagi.

   Halayudha memang ingin memusnahkan Sidateka yang di belakang hari bisa membongkar siasatnya yang menerobos masuk ke ruangan Permaisuri Indreswari.

   Atau mengungkit masalah kidungan dalam kain sutra.

   Dalam keadaan sekarang ini jelas lebih baik menghentikan napas Sidateka.

   Yang membuat Mahapatih Nambi tak berkedip ialah kenyataan bahwa Senopati Utama yang diangkat secara resmi oleh Putra Mahkota dibunuh di halaman Keraton.

   Di belakang hari bisa menimbulkan masalah.

   Halayudha mendongak ke langit.

   Napasnya ditarik keras sekali.

   "Dewa yang Mahaasih di langit.

   "Hari ini aku mengulang kesalahan kepada Putra Mahkota. Kalau sekarang ini aku harus menerima hukuman, biarlah aku jalani dengan hati yang lapang.

   "Sebab aku tak ingin mendengar mulutnya yang busuk."

   Suara Halayudha sangat lantang.

   Ini disengaja karena dengan demikian akan terdengar oleh Permaisuri Indreswari.

   Seolah ia ingin mengatakan bahwa dibunuhnya Sidateka agar tidak mengumbar cerita apa yang sebenarnya tengah terjadi! Itulah Halayudha.

   Setiap gerakan mempunyai arti ganda! Senopati Seleh Gegaman TINDAKAN Halayudha kelewat cepat.

   Dan menyelesaikan.

   Kini semua yang hadir hanya bisa memandangi.

   Berdiri dan duduk di tempat semula tanpa bisa melakukan sesuatu.

   Tidak segera memuji atau bisa mencegah.

   Karena masih terpukau dengan cara Halayudha menyelesaikan masalah.

   Sudah jelas Senopati Sidateka diangkat resmi oleh Putra Mahkota.

   Kini diinjak batang lehernya hingga putus.

   Sudah jelas Halayudha mengaku bersalah, akan tetapi tak segera diketahui siapa yang harus menindak.

   Kecuali desisan kecil.

   "Siapa menyuruh kamu berbuat kurang ajar di depanku?"

   Senopati Agung Brahma maju setindak.

   Dialah yang paling merasa tersinggung dengan tindakan Halayudha.

   Pada saat ia bertarung, dengan seenak perutnya sendiri Halayudha mencomot lawannya, membanting dan menginjak.

   Walaupun semua dalam rangkaian menyelesaikan pertempuran, akan tetapi sebagai seorang ksatria Senopati Agung Brahma merasa tersinggung.

   "Saya bersedia menerima murka Senopati Agung.

   "Akan tetapi yang saya lakukan semata-mata demi keselamatan Senopati Agung."

   Lebih jelas kata-kata Halayudha.

   Ia memenangkan pertarungan dan mengatakan bahwa sebenarnya Senopati Agung Brahma tak bisa menyelesaikan urusan.

   Bahkan jiwanya terancam bahaya.

   Sehingga Halayudha perlu turun tangan.

   Kata-kata kasar yang membuat Senopati Agung Brahma naik darahnya.

   Tangannya mencabut keris yang baru saja disarungkan.

   "Mari kita buktikan siapa yang lebih lelaki...."

   Kaki Senopati Agung melangkah maju.

   Halayudha mengerahkan tenaga di kedua tangannya sambil menunggu.

   Begitu Senopati Agung bergerak, Halayudha memperlihatkan keunggulannya.

   Sikunya yang tertekuk menyodok ulu hati lawan, dan dengan tangan kiri, membetot keris lawan.

   Gerakan yang bisa diduga.

   Senopati Agung bisa mengubah ujung keris ke dalam.

   Menusuk siku yang berusaha membentur dadanya.

   Dan kejapan berikutnya bisa diubah lagi untuk menyerang.

   Perhitungannya meleset.

   Kaget pun tak sempat.

   Karena tenaga sodokan dengan siku berjalan sangat cepat.

   Yang lebih menakjubkan lagi angin tusukan terasakan sangat tajam, sehingga ulu hati Senopati Agung sangat sakit.

   Menyentuh pun belum.

   Kesiuran angin pun belum terasakan.

   Tapi tenaganya menjadi buyar.

   Pada saat yang bersamaan, hanya dengan tangan kiri, Halayudha mampu merampas keris.

   Satu sentakan saja! Apa yang dipamerkan Halayudha memang permainan tenaga dalam yang lihai.

   Yang bisa diatur secara sempurna.

   Kini saatnya Halayudha memperlihatkan siapa dirinya.

   Kalau selama ini dirinya hanya dipandang sebagai senopati yang dekat hubungannya dengan Baginda, sekarang mempertunjukkan kebolehannya.

   Sudah sekian lama Halayudha merasa terganjal hatinya.

   Kemampuan ilmu silatnya sebagian sengaja disembunyikan, dan ia lebih dikenal sebagai pelayan Baginda.

   Untuk ini semua ia menahan sakit hati karena pandangan yang merendahkan dirinya.

   Di mana ukuran keunggulan ditentukan oleh tebal atau tipisnya kulit.

   Halayudha tak bisa menahan diri lebih lama.

   Pada kesempatan yang terbaik seperti sekarang ini, ia memunculkan siapa dirinya.

   Yang pada dasarnya lebih unggul.

   Yang seperti terlupakan bahwa Halayudha adalah murid langsung Paman Sepuh Dodot Bintulu, salah satu dari ksatria utama yang setara dengan Eyang Sepuh! Ini saja sudah menunjukkan dasar-dasar yang jauh lebih kuat dari senopati yang lain.

   Bagi Halayudha ini masih harus segera ditambahkan, bahwa selama ini ia telah mengisap habis semua ilmu kelas satu di jagat.

   Ia berhasil menimba tuntas dari Kama Kangkam, ksatria utama dari Jepun.

   Ia juga berhasil mengakali Raja Segala Naga Tartar.

   Bahkan terakhir mampu menyerap apa yang termaktub dalam Kitab Air.

   Itu pula sebabnya dalam gebrakan yang pendek, Pendeta Sidateka yang masih menderita sakit bisa dilipat habis seketika.

   Demikian juga halnya dengan Senopati Agung Brahma.

   Dengan sangat cepat Halayudha bisa membaca arah gerakan lawan, dan dengan sama cepatnya memberikan tangkisan dan mendahului menyerang.

   Titik terlemah lawan yang menjadi sasaran penyerangan.

   Gerakan siku tak begitu berarti banyak kalau tidak disertai tenaga dalam yang kuat menerobos.

   Yang langsung menghentikan sumber tenaga dalam Senopati Agung.

   Maka keris pusakanya bisa dirampas dalam sekejap.

   Halayudha tidak berhenti di situ saja.

   Dengan gerakan memutar, tubuhnya membentuk lingkaran.

   Keris yang terampas di tangannya, dilontarkan dari tangan kiri, sementara kakinya menendang mayat Sidateka.

   Begitu tubuh Sidateka melayang ke arah dinding, tangan kanannya melempar.

   Mahapatih Nambi mengeluarkan seruan tertahan.

   Karena tubuh Pendeta Sidateka melayang ke arah dinding.

   Disusul tusukan keris.

   Yang amblas hingga ke dinding, menembus tubuh Sidateka.

   Tubuh Sidateka terpantek ke dinding! Bisa disaksikan siapa saja yang berada dalam halaman kameswaren dengan jelas.

   Apalagi kaki Sidateka masih bergoyang-goyang karena gerakan lemparan, dan darahnya basah menetes.

   Menjijikkan.

   
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Membuat Senopati Agung berpikir tiga kali.

   Kalau saja Halayudha mau mengarahkan keris itu ke tubuhnya yang mana saja, atau bahkan keningnya, Senopati Agung tak bisa mengelak.

   Karena inti tenaganya tak bisa dikerahkan, juga untuk menghindar.

   Yang menimbulkan kesan lebih dahsyat ialah kenyataan tubuh Sidateka yang terpampang di dinding.

   "Biarlah ini menjadi pelajaran bagi setiap pemberontak. Kekuasaan Keraton tak boleh dikotori oleh siapa saja.

   "Kalau di antara kalian ada yang ingin membela Sidateka, silakan maju!"

   Ganas dan keras.

   Ucapan Halayudha bisa ditafsirkan bahwa ia menantang siapa saja yang bisa mendengar, walau seperti ditujukan kepada para prajurit.

   Bisa ditafsirkan sebagai tantangan terbuka untuk menguji ilmu silatnya.

   Sejenak tak ada suara atau gerakan.

   Halayudha mendongak, menanti.

   "Kalau memang tak becus, lebih baik seleh gegaman."

   Suara yang berat menekan, penuh dengan wibawa.

   Serentak semua yang berada di halaman bersujud, menghaturkan sembah.

   Tak berani mendongak atau melepaskan sikap menyembah.

   Termasuk Halayudha dan Senopati Agung Brahma.

   Suara berat itu dimiliki oleh Baginda Kertarajasa.

   Pengertian seleh gegaman, dalam arti harfiahnya, ialah meletakkan senjata, bisa juga menyerah kalah.

   Mengakui keunggulan lawan dan rela menyerah tanpa syarat.

   "Kalau para senopati seleh gegaman, apa lagi yang tersisa? Kenapa untuk menyingkirkan seorang perusuh harus banyak kalimat berbusa-busa?"

   "Sembah bekti bagi Baginda...."

   Jawaban serentak yang terdengar.

   "Taman ini tidak untuk pertikaian. Kalian semua saya izinkan untuk bubar...."

   Tanpa menunggu reaksi, Baginda meninggalkan tempat.

   Agak lama baru satu per satu mendongak, menyembah lagi, dengan laku ndodok meninggalkan ruangan.

   Yang tersisa adalah pertanyaan dalam hati.

   Kenapa Baginda mendadak muncul? Siapa yang menggugah Baginda untuk berjalan keluar dari kamar peraduannya? Ataukah selama ini Baginda tidak berdiam di Keraton? Sehingga Putra Mahkota bisa memerintah dengan leluasa? Bahwa kematian Sidateka menimbulkan masalah yang pelik, bisa ditebak.

   Akan tetapi kehadiran Baginda yang mendadak, menimbulkan pertanyaan lebih pelik lagi.

   Karena tak mungkin ada jawaban, untuk sementara atau selamanya.

   Baginda bisa muncul sesaat, dan dengan sabdanya segalanya diselesaikan.

   Sekurangnya pertemuan saat itu.

   Hanya diiringkan oleh lima prajurit pribadi, Baginda memasuki Keraton.

   Ketika tangannya bergerak perlahan, lima prajurit pengiring utama berhenti di gerbang.

   Baginda melangkah sendiri menuju peraduannya.

   Tanpa suara.

   Tanpa gema.

   Tapi terasa betul keberadaannya memenuhi ruangan seluruhnya.

   Melewati dinding, halaman, batas sebelah luar.

   Kehadiran yang tak bisa diganti atau disamai dengan wibawa yang lain.

   Juga ketika berada dalam kamar peraduan.

   Menghadapi Permaisuri Rajapatni.

   Isyaratkan Kemauanmu, Yayi....

   DALAM kamar peraduan yang sunyi, hanya terasakan bau dupa wangi yang pekat.

   Permaisuri Rajapatni duduk bersimpuh di bawah dengan menundukkan wajah.

   "Yayi, masih perlukah kamu membisu seperti batu? "Apa sebenarnya yang menjadi kemauanmu?"

   Tubuh Permaisuri Rajapatni tetap bergeming.

   "Susah menangkap isyarat apa yang terpaku dari kepiluanmu.

   "Hmmm, kalau bukan karena Dewa menjodohkan kita sebagai pasangan yang bakal melahirkan keturunan raja yang berkuasa di seluruh jagat raya, sifatmu yang kekanak-kanakan tak bisa kumaafkan.

   "Kalau yang kamu prihatinkan kedua putrimu, yang adalah putriku juga, pulanglah kembali ke kamarmu. Mereka ada di sana."

   Mendadak kesunyian pecah oleh isak tangis.

   Tubuh Permaisuri Rajapatni bergerak-gerak, perlahan.

   Tangannya gemetar ketika menyembah.

   Dalam cahaya yang tak begitu terang, dengan aroma bau dupa harum dan asap samar-samar, nampak jelas wajah pucat dan mata yang cekung karena kurang tidur dan makan.

   Namun semburat keayuan yang hanya dimiliki putri Keraton tetap terpancar.

   "Cukup puas?"

   Tubuh Permaisuri kembali tergetar.

   "Segala puji syukur bagi kebesaran Baginda, raja Keraton Majapahit yang perkasa."

   Baginda menggerakkan kepalanya.

   "Kadang aku bertanya-tanya dalam hati.

   "Apakah kamu ini sebagian dari dayang-dayangku, atau kamu ini yang kutitipi anakku.

   "Yayi Gayatri... wanita seluruh Keraton ini bisa kumiliki dan kubuang seketika tanpa membuatku berpikir dua kali. Hanya kepadamu, kadang kurasakan ada sesuatu yang menahanku. Yang membuatku ragu.

   "Ketika semua wanita seluruh Keraton berusaha bisa menyembah bayanganku dengan segala cara, kamu yang kuajak bicara malah berdiam diri.

   "Aneh.

   "Sungguh aneh.

   "Ataukah semua wanita aneh, atau kamu sendiri yang aneh? "Hmmm, Gayatri... Gayatri...

   "Setiap hari kutemukan berbagai persoalan. Baik yang besar maupun yang sangat besar. Tapi tak ada yang seganjil bila bertemu denganmu.

   "Sungguh tidak lucu. Kamu menguatirkan kedua putrimu, yang dijaga Gemet. Kenapa kamu harus begitu prihatin sehingga membisu, bertapa seperti tak punya sukma? "Apa kamu kira aku tega kalau ada selembar rambut yang rontok dari putrimu?"

   Permaisuri Rajapatni menghaturkan sembah kembali. Khusyuk, hormat, bekti. Tulus, menghormat dari lubuk hati.

   "Perjalanan hidup ini banyak ragamnya. Dewa di Atas Dewa yang mengatur langit dan bumi bisa menentukan apa saja. Termasuk sifatmu.

   "Apa kurangnya menjadi permaisuri seorang raja yang berkuasa seperti aku? Apakah masih ada lelaki yang bisa menyamai, bahkan hanya bayanganku? "Rasanya di seluruh jengkal tanah wilayah Keraton tak akan pernah ada.

   "Tetapi anehnya, kamu seperti masih menyimpan, masih memberi tempat kepada seorang ksatria yang bernama Upasara Wulung. Kuakui ia senopatiku yang menentukan saat melawan prajurit Tartar. Ia masih muda. Tapi ia tak ada apa-apanya.

   "Upasara tidak membuatku cemburu.

   "Tidak membuatku harus berhitung dengannya.

   "Setiap saat aku bisa menyuruhnya membunuh diri. Setiap saat ia akan menyembah bayanganku. Ia tak akan mungkin bisa menyamai bayangan tubuhku yang telah lenyap.

   "Yayi Gayatri... sudahilah perasaan yang tak perlu itu.

   "Itu hanya akan menyiksamu.

   "Dan menyiksa Upasara...."

   Suara Baginda berubah menjadi lebih keras. Nadanya menjadi lebih cepat.

   "Kamu harus tahu, Yayi, Upasara bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Ia seorang prajurit tanpa diketahui siapa orangtuanya, dari mana asal-usulnya. Ia tak punya pangkat, tak punya derajat. Sewaktu bertugas menyelidik ke Keraton Singasari, kamu menemaninya. Saat itu tumbuh daya asmara yang luar biasa.

   "Karena dalam bayangannya, dan sesungguhnya begitu, kamulah bidadari yang paling bidadari, dewi yang paling dewi, sehingga kehadiranmu bagaikan sinar bulan purnama.

   "Lebih menyedihkan lagi karena kekonyolan merasa kamu menanggapi perasaannya.

   "Katakan terus terang, apakah itu tidak menyiksanya? "Melukai sampai ke tulang sumsumnya? "Upasara boleh saja menjadi perkasa. Menjadi ksatria utama, menguasai segala ilmu yang memang diperlukan prajurit, menjadi lelananging jagat, akan tetapi tetap saja merasa jiwanya tak imbang.

   "Merasa sisa-sisa daya asmaramu masih melekat di sana.

   "Itulah beban yang akan ditanggung seumur hidupnya."

   Baginda terbatuk sesaat. Wajahnya memperlihatkan sinar puas. Akan tetapi senyuman yang terpancar terlalu dingin.

   "Padahal kalau direnungkan, apalah arti hubungan kalian. Daya asmara apa yang kalian rasakan? Tak ada. Tak akan pernah ada. Tak akan pernah ada selamanya.

   "Hanya impian.

   "Impian keinginan yang melelahkan.

   "Yang membuat Upasara gila.

   "Yayi-lah penyebabnya!"

   Kembali terdengar suara. Antara batuk dan terbatuk. Baginda melirik istrinya sekejap. Tak ada perubahan yang bisa ditangkap dari wajah yang tetap menunduk sejak pertama tadi.

   "Apa lagi namanya kalau bukan kegilaan yang menjadi beban? "

   Sekian tahun telah berlalu.

   Kamu tak pernah tahu, tak pernah bertemu bayangannya.

   Entah hidup atau matinya kamu tak tahu.

   Dan Upasara masih merasa memiliki daya asmara denganmu.

   Sehingga Ratu Ayu Bawah Langit yang menjadi istri pendampingnya ditinggal pergi.

   "Tidak pernah jelas.

   "Yang jelas dan nyata adalah merawat daya asmara denganmu. Yayi, katakanlah terus terang, bukankah Yayi sangat jahat padanya? Membuat Upasara edan dalam keadaan waras? Membuat ia cacat dalam keadaan sehat? "Ah, betapa dungunya.

   "Betapa tololnya.

   "Di jagat ini ada begitu banyak wanita. Tapi ia masih bernyanyi, masih mengidungkan sesuatu yang tak ada.

   "Dan kamu yang menjadi penyebabnya, diam-diam merasa bahagia. Dan aku, raja yang berkuasa, yang bisa melakukan apa saja, jadi terdorong untuk membicarakannya.

   "Terus terang aku kasihan pada Upasara.

   "Ksatria yang bisa berbakti sebagai abdiku, tenggelam seperti kotoran...."

   Permaisuri Rajapatni tetap tertunduk. Tak bergerak. Tak berubah tarikan napasnya yang pelan dan berirama.

   "Isyaratkan apa maumu, apa keinginanmu. Aku selalu bisa mewujudkannya. Tetap tak ada jawaban. Tak ada perubahan. Seperti tak ada. Seperti dupa. Hati Baginda tergetar tanpa terasa. Selalu begitu setiap kali berhadapan dengan Permaisuri Rajapatni. Selalu ada rasa yang mengintip, mengilik-ngilik setiap kali melihat permaisurinya yang ini, karena selalu terpeleset hubungannya dengan Upasara. Dalam hatinya Baginda merasa bahwa dirinya di atas segala apa. Tetapi juga dalam hatinya, secara tak dipaksa, tersisa tanda tanya, apa yang sebenarnya membuat Gayatri selalu membisu pada saat-saat tertentu? Apa yang dulu membuat Upasara menolak diberi jabatan mahapatih? Pertanyaan yang bisa dijawab siapa saja. Juga hatinya sendiri. Untuk memuaskan. Tapi kadang tergema lagi. Meminta jawaban baru.

   "Sekarang ini, Keraton lagi diguncang kerisauan.

   "Dan aku membicarakan sesuatu yang tak ada gunanya. Pergilah, Yayi...."

   Permaisuri Rajapatni menyembah tulus.

   Lalu menggeser tubuhnya perlahan sekali.

   Meninggalkan Baginda yang untuk beberapa saat menghela napas dua-tiga kali, sebelum berusaha menenggelamkan semuanya ke alam impian.

   Asmara Bumi dengan Air SEJAK Baginda meninggalkan halaman prameswaren, suasana masih hening beberapa saat.

   Baru kemudian terdengar suara Halayudha.

   "Baginda baru saja bersabda, kita semuanya seleh gegaman. Tak ada lain yang bisa kita lakukan kecuali menjunjung tinggi sabda Baginda.

   "Maafkan, kalau saya mendahului...."

   Halayudha menyembah ke arah di mana Baginda tadi berada, lalu berjongkok, sebelum akhirnya berdiri.

   Dengan memakai kalimat Baginda, Halayudha menekankan bahwa tak ada gunanya melanjutkan sengketa.

   Semua yang hadir dianggap tidak becus, sehingga perlu meletakkan senjata.

   Perlu untuk tidak melakukan suatu apa.

   Dalam artian yang lebih luas, semua senopati, tanpa kecuali, tidak memegang jabatan apa-apa.

   Menunggu perintah selanjutnya.

   Dari semua yang mendengar, hanya Senopati Agung Brahma yang mendehem kecil.

   "Kita semua harus mematuhi.

   "Akan tetapi aku tak akan pernah melupakan hal ini. Halayudha, masih ada hari lain untuk bertemu muka."

   Di luar dugaan, Halayudha balas menatap sorot mata Senopati Agung.

   "Dengan senang hati, Senopati Agung.

   Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Sebagai prajurit, saya menjalankan sabda Baginda. Sebagai sesama ksatria, saya siap melayani kapan saja. Di luar batas wewenang Keraton, kita bisa berhadapan sebagai sesama lelaki."

   Gamblang sekali Halayudha menyambut tantangan Senopati Agung! Ditambah lagi.

   "Semua yang hadir di sini menjadi saksi.

   "Saya tak akan mundur menunggu sampai keris pusaka Senopati Agung dibersihkan dengan bunga melati."

   Sindiran Halayudha terdengar kasar.

   Menyinggung masalah keris, seolah Halayudha ingin menekankan bagaimana ia bisa merebut dengan mudah, dan menggunakan untuk menggantung Sidateka di dinding Keraton.

   Senopati Agung harus mengambil, membersihkan dulu sebelum bisa menghadapi Halayudha.

   "Kalau masih ada yang tersinggung dengan kata-kata saya dan yang saya lakukan, silakan menyelesaikan di luar halaman."

   Lebar langkah Halayudha ke arah luar.

   Menuju kori butulan atau pintu kecil.

   Akan tetapi pintu itu terbuka lebih dulu.

   Gendhuk Tri berdiri di samping Singanada.

   Menunggu.

   Sejak mereka berdua datang, mereka masih menunggu untuk membaca situasi.

   Karena begitu banyak prajurit bersiaga.

   Sewaktu mendengar suara gaduh di bagian dalam, mereka berdua menyerbu masuk.

   Tak terlalu menimbulkan kesulitan.

   Di pintu kecil, keduanya menunggu masuk.

   Saat itu justru Halayudha sedang melangkah ke luar.

   "Persoalan kita belum selesai, Halayudha...."

   "Apa yang kamu perlukan dariku, anak muda?"

   Singanada bertolak pinggang.

   "Kembalikan kitab pusaka Gendhuk Tri."

   Halayudha mengangkat alisnya.

   "Kitab pusaka macam apa? "Ditulis di daun apa, bagaimana bunyinya?"

   Singanada terenyak.

   Sama sekali tak diduganya bahwa ia akan menghadapi pertanyaan balik seperti yang diucapkan Halayudha.

   Ia mengetahui bahwa Halayudha menyimpan kitab yang menjadi inti ajaran Gendhuk Tri.

   Akan tetapi ia sendiri tak tahu kitab apa, dan ditulis di tempat apa, atau bagaimana bentuknya.

   Demikian juga Gendhuk Tri.

   Seumur hidup ia belum pernah melihat atau menyentuhnya.

   "Kalian bilang aku mencuri atau mengambil kitab kalian. Katakan yang mana. Kalau memang kalian ingin mencari gara-gara, tak perlu menuduh tanpa alasan.

   "Aku sudah siap menghadapi."

   Para senopati yang masih berada di sekitar halaman depan Keraton saling pandang tak mengerti persoalannya.

   "Kalau itu yang dikehendaki, bersiaplah."

   Singanada mencabut kantar-nya.

   "Sebagai prajurit, kamu tidak mematuhi perintah Baginda untuk seleh gegaman. Malah bikin ribut.

   "Singanada, lebih baik aku simpan barang mainanmu itu."

   Sebat sekali Halayudha bergerak maju.

   Tubuhnya bergerak bagai bayangan yang melesat ke depan.

   Akan tetapi sesungguhnya kakinya yang lebih dulu menggunting kuda-kuda Singanada.

   Singanada mengetahui bahwa Halayudha cerdik sekali membaca kekuatannya.

   Tenaga lipat sembilan yang menjadi andalannya, dengan meloncat ke arah sembilan penjuru, bermula dari loncatan pertama.

   Bagian itulah yang dimatikan Halayudha.

   Singanada tidak mengubah kedudukan kakinya.

   Rambutnya yang tergulung tiba-tiba saja lepas terurai dan menyampok ke wajah Halayudha.

   Bagai tusukan seratus jarum seketika.

   Dengan mengeluarkan suara ejekan dingin, Halayudha merebahkan tubuhnya, dengan kaki tetap menggunting kaki lawan.

   Singanada merasa tempurung lututnya berdenyut.

   Getaran tenaga Halayudha terasakan.

   Secepat ancaman datang, secepat itu pula Singanada mengubah serangan.

   Tubuhnya kembali tegak, rambut tertarik ke belakang, dan kantar di tangan kanan dan kiri menghantam ke arah dada.

   Ke arah satu tempat.

   Halayudha justru membalik tubuhnya.

   Menyongsong maju.

   Menyerahkan dadanya kena totokan kantar.

   Senopati Agung Brahma menahan napas.

   Apa yang dipertontonkan Halayudha jarang dilakukan tokoh silat kelas utama.

   Tenaga yang tadinya ditarik ke belakang dengan menekuk punggung, justru diubah ke depan saat serangan datang.

   Gendhuk Tri juga heran.

   Karena gerakan yang pertama tadi, biasanya disusul dengan gerakan menjatuhkan tubuh.

   Seperti yang selama ini selalu berhasil dilakukan untuk mengecoh lawan.

   Akan tetapi sekarang justru dibalik.

   Singanada memindahkan dua kantar pendek ke satu tangan.

   Dalam sepersekian tarikan napas, ia merasa bahwa dada lawan yang diarah seperti pusaran air yang menenggelamkan tenaga yang datang.

   Pada saat yang bersamaan kakinya terancam.

   Tak ada cara lain kecuali melompat ke atas.

   Dengan kekuatan satu kaki.

   Karena kaki yang sebelah, lebih untuk menghindar dengan jalan memutar tubuhnya.

   Saat melayang ke atas Singanada sudah bersiap menyambut datangnya serangan beruntun.

   Yang pasti akan segera datang.

   Pertarungan di tengah udara.

   Perhitungan yang tepat.

   


Iblis Sungai Telaga -- Khu Lung Lembah Patah Hati Lembah Beracun -- Khu Lung Seruling Perak Sepasang Walet -- Khu Lung

Cari Blog Ini