Teror Elang Hitam 1
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP Bagian 1
Teror Elang Hitam Karya dari Stevanus S.P
Teror Elang Hitam Stevanus, S.P. Pustaka. Koh Awie Dermawan
Kolektor E-Book
Rewriter & Pdf Maker . OZ Teror Elang Hitam Stevanus, S.P. Pustaka. Koh Awie Dermawan
Kolektor E-Book
Rewriter & Pdf Maker . OZ TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.
Jilid 01 HONG-HOA-LAU atau Loteng Bunga Merah adalah sebuah tempat mewah untuk rakyat kota Lok-yang dan sekitarnya. Itu adalah "surga dunia"
Untuk orang-orang yang berkantong tebal, tapi untuk si kantong tipis, boleh menelan air liur di luar pintu saja.
Jenis- jenis makanan yang dihidangkan tidak ada yang tidak istimewa, dengan pelayanan istimewa pula oleh sepasukan bidadari berbedak tebal dan bergincu tebal pula.
Semuanya membuat kaum lelaki betah berkongkow di situ, sementara isteri isteri mereka di rumah gelisah sambil menyiapkan palang pintu atau gagang sapu, dan untuk serangan jarak jauh sudah tersedia bakiak atau jambangan kembang.
Hong-hoa-lau menyediakan makanan lezat, musik yang merdu, gadis-gadis cantik lengkap dengan kamar-kamar di bagian belakang untuk melampiaskan hasrat kelelakiannya.
Yang setiap hari keluar masuk Hong-hoa-lau tentunya orang-orang berperut gendut dan berpakaian bagus, atau orang- orang bertopi bulu burung merak (hoa-leng) alias orang-orang berpangkat, dengan menaiki tandu-tandu atau kereta-kereta gemerlapan.
Orang berpakaian sederhana jangan harap bisa masuk, baru sampai ke pintu saja sudah akan disuguhi bogem mentah dan mendapat benjolan besar di jidatnya.
Para penjaga pintu hong-hoa-lau galak lebih dari macan terhadap orang-orang berpakaian sederhana, tetapi jinak melebihi kelinci kebiri menghadapi tuan- tuan besar.
Mereka memang dilatih begitu.
Hari itu, cuaca di atas kota Lok-yang begitu cerah dan hangat.
Matahari bersinar tidak terlalu panas tapi juga tidak mendung.
Maka tandu-tandu indah dan kereta-kereta nampak datang pergi di Hong-hoa-lau, itulah saat yang tepat untuk menghibur diri.
Dari ujung jalan besar yang membujur di depan Hong-hua-lau, muncullah sebuah tandu yang amat indah bertirai tipis warna biru, sewarna dengan warna langit yang cerah.
Pemikul-pemikul tandu adalah dua lelaki kekar berbaju pendek, beberapa orang yang berpakaian seperti bujang dari keluarga hartawan juga ikut mengiringi tandu.
Ada yang membawakan kipas, ada yang menenteng sekotak alat-alat tulis.
Rupanya si penumpang tandu ingin menunjukkan kepada umum bahwa dirinya bukan saja kaya raya, tetapi juga terpelajar.
Jangan sampai ada yang tidak tahu.
Penduduk Lok-yang yang berpapasan dengan tandu itu tidak asing lagi akan siapa yang datang.
Tentu anggota keluarga Liu dari Liu-keh-chung (perkampungan keluarga Liu) yang terletak di perbukitan indah di luar kota Lok-yang itu.
Sebuah keluarga yang kekayaannya konon nomor satu di Lok-yang, malah ada yang bilang nomor satu di seluruh propinsi Ho-Lam.
Pemilik tanah pertanian yang luas sekali, beberapa buah usaha dagang yang mengalirkan uang ke kantong mereka.
Bukan itu saja, keluarga Liu juga keluarga persilatan yang disegani dengan Liu keh-to-hoat (ilmu golok keluarga Liu) yang terdiri dari tiga ratus dua puluh empat jurus, juga punya hubungan kekerabatan dengan beberapa tokoh persilatan bernama besar.
Kedermawanan keluarga Liu juga terkenal, sehingga penduduk Lok-yang menghormati mereka.
Kepala keluarga Liu adalah Liu Hok-tong yang lebih dikenal dengan julukan Liu Lo-hou (Liu si Macan Tua) Ia punya dua anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang kawin dengan ketua perguruan Ki-lian-pay, ditambah beberapa cucu-cucu yang sudah remaja, tampan-tampan dan cantik-cantik.
Semua orang di Lok-yang juga tahu bahwa tandu bertirai biru langit itu biasanya dinaiki salah seorang cucu Liu Hok-tong yang bernama Liu Jing-yang.
Setelah tandu tiba di depan Hong-hua- lau, tirainya segera disingkapkan dari luar oleh salah seorang pengiring dengan sikap hormat, lalu Liu Jing-yang melangkah keluar dari tandu.
Ia seorang anak muda yang tampan, usianya dua puluh tahun, mengenakan pakaian yang indah gemerlapan yang membuat diri perawan- perawan ingusan sampai janda-janda setengah tua yang merasa "masih ada harapan"
Melotot semua karena kagum.
Setiap malam, entah berapa banyak perempuan di Lok-yang yang mengimpikan Liu Jing-yang dalam tidur mereka, dan senyuman si tampan itu sudah menimbulkan berjuta-juta jerawat di Lok-yang.
Liu Jing-yang melangkah masuk Hong- hua-lou dengan dagu agak terangkat, angkuh, sambil menggoyang-goyang perlahan kipas bulunya yang mahal dan didatangkan khusus dari Hang-ciu itu.
Majikan Hong-hua-lau sendiri telah menyambut keluar dengan sikap sangat hormat kepada cucu tertua pemimpin Liu-keh- chung ini.
Namun kemudian Liu Jing-yang menghentikan langkahnya di pintu, sudut matanya sekilas melihat dua orang yang sedang berjalan lewat di depan Hong-hua-lau, lalu sepasang alis Liu Jing-yang berkerut menandakan hatinya tidak senang.
Sikap angkuhnya yang mirip para pangeran itupun pudar untuk sesaat, digantikan sikap jengkel yang agak tak terkendali.
Semua orang ikut menoleh ke arah pandangan Liu Jing-yang, untuk melihat siapakah yang menimbulkan rasa tidak senang si pangeran tampan? Ternyata hanyalah sepasang orang muda yang lewat di depan Hong hua-lau, berjalan berdampingan yang mengesankan mereka sepasang kekasih.
Sepasang orang muda yang sama sekali tidak istimewa.
Pakaian yang menempel di tubuh sepasang orang muda itu kalau di rumah Liu Jing-yang barangkali sudah dijadikan lap.
Liu Jing-yang berdiri termangu dan menggeram dalam hatinya.
"Setan alas! Jadi inikah yang menyebabkan Kim-hoa tidak tergerak sedikitpun ketika aku menunjukkan perhatianku kepadanya? Kranya ia sudah punya kekasih yang bertampang seperti gelandangan kelaparan ini....!"
Ketika sepasang "gelandangan kelaparan"
Itu lewat di depan Hong-hua-lau dan melihat Liu Jing-yang masih berdiri di depan pintu, kedua orang itupun membungkuk dengan hormatnya ke arah si tuan muda yang terkenal itu.
Keduanya cukup tahu diri bahwa sebagai rakyat kecil harus bersikap hormat kepada anggota keluarga terpandang, supaya tidak mendapat kesulitan di kemudian hari.
Maklumlah orang-orang terpandang sering punya penyakit aneh, gemar mencari perkara sekedar untuk menunjukkan kekuasaan mereka, menunjukkan bahwa mereka bisa merubah hitam menjadi putih dan putih menjadi hitam.
Apalagi sepasang orang muda itu melihat alis Liu Jing-yang yang berkerut dan sikap yang dingin.
"Selamat siang, Kongcu"
Kata pemuda dan gadis'itu berbarengan sambi menghormat.
Dibalas dengan anggukan kecil yang hampir tak terlihat, tapi itu lebih dari cukup.
Penghormatan sepasang orang muda itu polos tanpa maksud menjilat.
Gadis itu juga tidak menjadi genit dan salah tingkah seperti gadis-gadis lainnya apabila sedang berada dihadapan Li Jing-yang.
Tapi inilah yang membuat Liu Jing-yang geram, sebab sebenarnya ia senang melihat orang menjilat- jilat kepadanya, atau perempuan-perempuan memuja-muja kepadanya sampai tergila-gila dan kalau perlu sampai bunuh diri.
Tapi gadis sederhana itu tidak bersikap seperti yang diharapkannya.
Liu Jing-yang tahu siapa gadis itu.
Hanya anak seorang pekerja Liu-keh-chung yang bertugas memelihara kuda, namun sikap gadis yang wajar itu telah menampar kebanggaan Liu Jing-yang yang mabuk sanjung puji.
Ia tampan, kaya, keluarganya berpengaruh dan bersahabat dengan orang- orang berpangkat, terpelajar, berilmu tinggi, masih kurang apa lagi? Kenapa gadis ini "hanya"
Memberi hormat, menyapa dengan singkat, dan kemudian berlalu begitu saja? Padahal gadis-gadis lain akan berusaha mengulur-ulr waktu untuk berbicara dengannya, apapun yang dibicarakannya.
Salah seorang pengiring Liu Jng-yang yang bertubuh kekar dan bermuka kasar, kini merasa mendapat kesempatan untuk mencari muka terhadap majikan mudanya itu.
Sambil mengepal-ngepalkan tinju, ia bertanya.
"Bagaimana ini, Siauya? Apakah gelandangan cilik itu perlu diberi hajaran keras agar tahu diri? Ia telah berani menggandeng gadis yang dikehendaki Siauya di hadapan mata Siauya, sehingga membuat Siauya....."
Omongannya yang menyerocos it terputus oleh bentakan Liu Jing-yang.
"Tutup mulutmu, A-piao, siapa bilang aku mengincar gadis kampungan itu? Aku sebagai anggota keluarga Liu, kenapa harus menggunakan kekerasan untuk merebut perempuan tak berharga itu? Apalagi bersaing dengan si gelandangan kelaparan...."
A-piao kini cuma cengar-cengir sambil menggaruk-garuk perutnya.
Ia tidak kecewa dengan dampratan tuan kecilnya itu, sebagai bawahan yang sudah berpengalaman menjilat dan mencari muka selama bertahun-tahun, ia tahu persis akan isi hati tuan mudanya itu.
Tuan mudanya itu pasti masih merasa penasaran dalam urusan gadis itu, tapi perasaan itu dipendamnya dalam-dalam supaya tidak kehilangan muka.
Sahut A-piao sambil tetap cengar- cengir.
"Ya. ..ya...aku memang salah bicara dan mulutku pantas dihajar"
Sebenarnya Liu Jing-yang memang bukan cuma penasaran, tapi juga terluka kebanggaannya, dan berubah menjadi benih dendam.
Sebelum peristiwa ini, ia hanya pernah mengalami sanjungan, pujian, kekaguman, penghormatan...
Biarpun masakan-masakan Hong-hua- lau yang dihidangkan di hadapannya adalah masakan-masakan istimewa yang mengepul harum, namun Liu Jing-yang hanya menikmati sedikit-sedlklt, seleranya menurun tajam.
Kejengkelan dan kemarahan memang bukan lauk-pauk yang baik untuk dibawa ke meja makan.
Yang untung kemudian adalah pengemis-pengemis yang bergerombol di luar pintu, sebab sisa-sisa makanan yang masih cukup banyak itu kemudian diberikan kepada mereka.
Liu Jing-yang kemudian naik kembali ke tandunya, dan berlalu dari Hong-hua-lau.
Ketika rombongan itu sudah berada di luar kota dan menuju ke arah perkampungan keluarga Liu yang terhampar di perbukitan, A- piao masih berusaha untuk mencari muka .
"Siauya, apakah kita akan langsung kembali ke Liu-keh-chung?"
Liu Jing-yang dari balik tandu bertanya.
"Bagaimana maksudmu, A-piao?"
A-piao tertawa.
"Biarpun kepalaku ditimpa delapan belas geledek, aku tidak percaya kalau Yo Kim-hoa tidak tertarik kepada Siauya yang begini tampan. Mungkin tadi ia hanya takut menunjukkan rasa tertariknya sebab ada teman laki-lakinya si gelandangan cilik itu...."
Sejenak dari dalam tandu tidak ada jawaban, sampai akhirnya terdengar suara Liu Jing-yang.
"Baiklah , kita mampir ke rumah Yo Kim-hoa. Mudah-mudahan ia sudah ada di rumahnya"
Keruan kedua pemikul tandu menggerutu dalam hati, sebab berarti mereka harus jalan memutar dan jaraknya menjadi dua kali lebih jauh.
Mereka bersumpah dalam hati akan menuntut ganti rugi kepada A-piao yang mengusulkan hal itu.
Sedangkan A-piao berseri gembira.
Ia berharap di rumah si gadis Yo Kim-hoa nanti akan ditemuinya si "gelandangan cilik"
Tadi, supaya ia dapat menunjukkan "kesetiaan"nya kepada majikan mudanya.
Kalau ia berhasil memuaskan hati majikan mudanya, maka kantongnya akan bertambah isinya dua atau tiga tahil, bahkan pernah lima tahil.
Tapi seorang pengiring Liu Jing-yang lainnya yang bernama A-beng berkata.
"Siauya, apakah kita akan menyusahkan orang miskin yang sehati-harinya saja sudah hidup dalam kesusahan?"
Liu Jing-yang belum menyahut, A-piao sudah menyahut lebih dulu.
"Apa-apaan ucapanmu itu, A-beng? Tidakkah kau punya keinginan sedikit saja untuk membalas budi kebaikan keluarga Liu yang sudah bertahun- tahun menghidupi kita? Sikap gelandangan cilik dan Yo Kim-hoa di depan Hong-hua-lau tadi telah menyinggung kehormatan Siauya, dan mereka harus mendapat sedikit peringatan, tidak peduli orang susah atau bukan"
Sahut A-beng.
"Aku pikir mereka tidak melakukan sesuatupun yang menyinggung Siauya. Bukankah tadi mereka juga memberi hormat dan menyapa dengan tulus? Mana yang kau anggap kurang hormat atau menyinggung Siauya?"
"A-beng, kau benar-benar tolol sehingga tidak memahami apa yang terkandung di hati Siauya, kau..."
"Sudah! Jangan bertengkar di pinggir telingaku!"
Dari dalam tandu Liu Jing-yang membentak.
Kedua pengiring itu sama-sama bungkam, tapi mata mereka masih sempat saling melotot menyatakan kemarahan masing-masing.
A-piao merasa bahwa bagaimanapun juga majikan mudanya akan tetap berpihak kepadanya, sebab selama ini dialah yang selalu berhasil menyenangkan hati sang majikan muda, tidak peduli dengan cara yang merugikan orang lain.
A-Piao bersumpah dalam hati bahwa suatu saat A-beng harus dilenyapkannya.
Mungkin untuk itu dia akan mendapat hadiah pula dari majikan mudanya, sebab A-piao tahu bahwa Liu Jing-yang juga tidak suka kepada A-beng yang terlalu sering "berkhotbah"
Tentang keadilan dan kebenaran.
Sedangkan, meskipun A-beng sejak kecil tak pernah menerima pendidikan yang memadai, namun masih dimilikinya hati nurani yang utuh, dan suara hatinya itulah yang setiap kali dengan berani diwujudkan dalam tindakannya.
Sikap yang tidak disukai orang- orang macam A-piao.
A-beng tahu bahwa pendapatnya selalu dianggap angin lalu saja oleh majikan mudanya, tapi ia bangga kepada dirinya sendiri yang berani menyatakan sikapnya sendiri.
Ia merasa lebih berharga dari A-piao, biarpun lebih sering menerima caci- maki atau pemotongan gaji, sementara A-piao sangat sering menerima pujian atau hadiah dari majikan mudanya.
Penghuni rumah berdinding tanah liat yang terletak di luar kota Lok-yang itu merasa di luar dugaan ketika tandu indah Liu Jing-yang berhenti di halaman rumah mereka.
Kedua orang tua Yo Kim-hoa dan Yo Kim-hoa sendiri yang sudah sampai di rumah, tergopoh-gopoh menyambut kedatangan tuan muda dari keluarga Liu itu.
Ayah Yo Kim-hoa yang bekerja sebagai perawat kuda di Liu-keh- chung, dengan terbungkuk-bungkuk mempersilahkan Liu Jing-yang masuk dan duduk dalam rumahnya.
Tapi Liu Jing-yang lebih suka berada dalam tandunya yang empuk dan lembut, daripada masuk ke gubuk yang sumpek itu.
"Aku hanya akan berbicara sebentar dengan Yo Kim-hoa"
Sahut Liu Jing-yang dari balik tirai tandunya.
"Suruhlah Yo Kim-hoa maju mendekat, kau dan isterimu jangan coba- coba menguping pembicaraan kami."
Ayah Yo Kim-hoa mengangguk-angguk dengan hati berbunga.
Pikirnya, kalau seorang anak muda dan seorang gadis ingin berbicara tanpa ingin didengarkan orang lain, biasanya tentu mereka akan membicarakan tentang hubungan cinta.
Diam-diam lelaki setengah tua itu membatin, apakah ia dan isterinya akan kejatuhan keberuntungan sebesar itu, menjadi besan keluarga Liu yang kaya raya dan berpengaruh? Ketika itu Yo Kim-hoa telah berjalan mendekati tandu dengan sikap yang hormat tetapi tenang, kepribadiannya tidak larut menghadapi Liu Jing-yang yang tampan, mata hatinya tidak silau oleh harta benda yang membukit yang dimiliki Liu Jing-yang.
Tanya Yo Kim-hoa dengan sopan.
"Ada urusan apakah Siauya mendatangi gubukku? Apakah Siauya memerlukan tenaga kasarku?"
Kembali Liu Jing-yang merasa kecewa melihat sikap Yo Kim-hoa yang nampak tak terguncang sedikitpun oleh kunjungannya yang di luar dugaan itu.
Padahal gadis-gadis lain mungkin bisa menjadi pingsan seketika karena senangnya kalau mengalami hal yang sama.
Namun Liu Jing-yang menyembunyikan kecewaannya, dan ia mulai memasang senyum pemikatnya yang biasanya tidak pernah gagal itu.
Katanya merayu.
"Tidak, Kim-hoa, mana bisa aku menyuruh bekerja kasar kepada gadis secantik kau?"
Hanya pipi Yo Kim-hoa memerah sedikit, tapi suaranya tetap terdengar tenang ketika menjawab.
"Terima kasih atas penghargaan Siauya, namun aku sama sekali tak sesuai dengan pujian itu. Aku orang bodoh dan otakku tumpul, aku hanya punya tenaga kasar untuk mencari sesuap nasi."
Liu Jing-yang mulai menggerutu dalam hatinya.
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gadis ini benar-benar berhati batu. Ribuan gadis jungkir balik kegirangan kalau mendapat sepatah kata teguran saja daripadaku, tetapi gadis ini tenang-tenang saja nampaknya. Harus berbuat bagaimanakah aku supaya ia mengakui kelebihanku?"
Perlahan-lahan Liu Jing-yang mengeluarkan seuntai kalung mutiara dari kantong baju dalamnya, lalu diulurkan ke luar tandu sambil berkata.
"Kim-hoa, aku datang bukan untuk menyuruhmu mengerjakan apa- apa, hanya ingin memberikan hadiah kecil ini kepadamu."
Sekilas Yo Kim-hoa melirikkan matanya ke arah kalung itu jantungnya berdenyut.
Itulah untaian mutiara yang sangat mahal.
Cukup asal ia mengulurkan tangannya untuk meraih benda itu, maka akan berubahlah hidupnya, keluarganya akan terangkat dari lembah kemiskinan.
Ayahnya tidak usah lagi membungkuk-bungkuk menyabit rumput untuk kuda-kuda keluarga Liu.
Ia dan ibunya tidak usah lagi bekerja sampai larut malam untuk membuat kuwe-kuwe yang keesokan harinya dijajakan keliling kota Lok-yang dengan keuntungan yang tidak seberapa.
Bahkan, siapa tahu nasib baik akan menyergapnya sehingga ia menjadi Liu Hujin (nyonya Liu) yang hidup berkelimpahan? Ya, ia tinggal mengulurkan tangannya dan sebuah pintu gerbang emas permata akan terbuka untuknya.
Tapi tangan itu tetap belum terulur juga, sebab harga sebuah kehidupan toh tidak tergantung hanya oleh pakaian yang bagus, makanan yang enak, rumah yang megah, penghormatan orang-orang dan hal-hal yang tertangkap panca-indera lainnya.
Kehidupan bisa diangkat menjadi lebih berharga daripada sekedar memburu benda- benda duniawi.
Kini dalam pandangan Yo kim-hoa, kalung mutiara itu tidak lagi sebuah perhiasan yang indah, tetapi belenggu besi yang akan merampas kebebasannya.
Kebebasan untuk menikmati segala sesuatu hasil keringatnya sendiri, kebebasan untuk menikmati setiap detik hidupnya di atas jalannya sendiri.
Dengan suara agak bergetar dan kepala tertunduk, Yo Kim-hoa menyahut.
"Aku merasa sangat beruntung dengan perhatian Siauya kepadaku, tetapi aku tidak pantas menerima benda sebagus itu."
Hampir tak percaya Liu Jing-yang mendengar jawaban itu.
Apakah jawaban itu keluar dari mulut seorang gadis yang otaknya waras? "Siapa bilang kau tidak pantas memakai kalung ini? Kau akan semakin cantik.
Dan kelak kalau aku berkenan bermurah hati kepadamu, aku akan menghadiahkan pula pakaian-pakaian sutera tenunan Soh-ciu untukmu, gelang-gelang permata, cincin-cincin berlian, dan kecantikanmu akan membuat iri gadis-gadis di seluruh Lok-yang..."
"Terima kasih, Siauya, tapi ak tidak ingin menjadi gadis tercantik segala, cukup asal hidup tenteram..."
"Terimalah.
"
Desak Liu Jing-yang yang belum juga menarik tangannya.
Suaranya belum sampai membentak seperti kalau ia membentak-bentak pelayan-pelayannya di rumahnya, tapi dalam ucapannya sudah terdengar nada memaksa.
Nada perintah dari si tuan besar kepada si orang kecil.
Namun sikap memaksa itu terbentur batu karang yang tidak goyah seujung rambut pun.
"Maaf, Siauya, aku tidak dapat menerima..."
Hati Liu Jing-yang semakin panas.
"Kenapa tidak bisa menerima ini? Jangan bodoh. Teman laki-lakimu yang berjalan bersamamu di kota Lok-yang tadi, biarpun bekerja membanting tulang sepuluh tahun lamanya, belum tentu bisa membelikan kalung seperti ini. Aku tahu ia Cuma seorang buruh kasar di Lok-yang. Selama ini Yo Kim-hoa cuma menundukkan kepala, menjawab dengan lemah lembut dan mempertahankan sopan- santunnya. Tetapi begitu mendengar ucapan yang terakhir itu, tiba-tiba ia mengangkat wajahnya dengan mata menyala. Liu Jing-yang terkejut melihat perubahan sikap itu, dan ia harus dengan susah-payah menekan kegugupannya. Suara Yo Kim-hoa terdengar tajam.
"Jangan mengejek buruh kasar itu, Siauya. Ada sesuatu yang dimilikinya tetapi tidak dimiliki oleh Siauya."
A-piao segera berteriak membela tuan mudanya.
"Kurang ajar! Kau berani membandingkan Siauya dengan gembel cilik itu!"
Kedua tangan A-piao hampir saja nencengkeram rambut gadis itu untuk dibanting, namun ia menghentikan tindakannya setelah melihat isyarat mencegah dari tuan mudanya. Liu Jing-yang kemudian berkata dengan congkaknya.
"Kim-hoa, kau seharusnya sadar bahwa batu permata tidak bisa dibandingkan dengan batu kali. Apa yang tidak kumiliki di dunia ini? Tanah yang luas, emas yang bertumpuk, kehormatan, kekuasaan, kepandaian silat dan surat...apakah jembel cilik itu punya semuanya itu?"
"Mana bisa Ui Toako mempunyai? Mencari sesuap nasi saja Ui Toako harus membanting tulang..."
"Lalu apa yang kau andalkan dari lelaki gembel yang tidak punya apa-apa itu?"
Wajah Yo Kim-hoa telah merah membara karena kekasihnya dihina terus oleh Liu Jing-yang. Kemarahannya bangkit dan keberaniannya timbul.
"Siauya bilang ia tidak punya apa-apa? Setidaknya ia punya nyali untuk menantang kerasnya kehidupan dengan berdiri di atas kakinya sendiri, memeras keringatnya sendiri. Ia jauh lebih terhormat dari orang-orang yang hanya menghamburkan kekayaan orang tuanya untuk jual lagak, menghina dan merendahkan orang lain!"
Wajah Liu Jing-yang berganti-ganti warna antara pucat dan merah padam.
Meskipun ucapan Yo Kim-hoa itu sedikitpun tidak menyinggung namanya, tapi ia tahu bahwa dirinyalah yang sedang dimaki.
Seumur hidupnya, belum pernah Liu Jing-yang mengalami hal itu, bahkan ayah ibunya, kakeknya, pamannya, hanya pernah memanjakannya dan belum pernah menegurnya.
Dengan marah ia merenggut kalung itu dengan kedua tangannya, sehingga butir-butir mutiaranya berantakan di tanah.
Tirai tandunya ditutupkan kembali dan ia memerintahkan penggotong-penggotong tandunya.
"Pulang!"
Rombongan itu segera berangkat pergi. A-piao sempat melotot kepada Yo Kim-hoa sambil menggeram.
"Perempuan tak tahu diuntung! Hati-hatilah! Kau akan segera menerima akibat dari kecongkakanmu itu! bukan hanya dirimu, tapi keluargamu dan juga keluarga si jembel cilik itu!"
Yo Kim-hoa terkejut mendengar ancaman itu. Ia sadar bahwa keluarga Liu dengan kekayaannya yang berlimpah sanggup berbuat apapun, bahkan bisa "membeli keadilan"
Untuk membenarkan tindakan mereka yang bagaimana pun.
Timbul setitik penyesalan di hati gadis itu, bahwa ia telah membuat Liu Jing-yang tersinggung, namun semuanya sudah terlanjur terjadi dan tak bisa ditarik kembali.
Dengan perasaan kacau ia menatap tandu bertirai biru itu bergerak semakin menjauh.
Bibit sakit hati sudah ditebarkan dan jatuh di tanah yang subur.
"Aku harus segera memberi tahu Ui Toako akan peristiwa ini, kalau perlu Ui Toako dan keluarganya dapat menyingkir sementara waktu dari wilayah ini, menghindari tindakan balas dendam dari orang-orang Liu-keh- chung,"
Demikian gadis itu memutuskan di dalam hati.
Sementara itu, kedua orang tua Yo Kim- hoa hanya melihat percakapan itu dari jauh dan tidak mendengar apa yang dipercakapkan.
Namun mereka dengan bangga telah menunjukkan kepada tetangga-tetangga mereka bahwa sang tuan muda telah mengunjungi anak perempuan mereka.
Yo Kim-hoa sendiri tidak sampai hati menceritakan ancaman dari pihak Liu-keh- chung itu kepada kedua orang tuanya, sebab ia kuatir akan membuat kedua orang tuanya ketakutan.
Dalam tekanan perasaannya, Gadis itu akhirnya hanya bisa lari kepada kekasihnya yang bernama Ui Kiong.
keluarga kekasihnya itu hidup sama susahnya dengan keluarga Yo Kim-hoa, dan pekerjaan Ui Kiong hanyalah buruh kasar di kota Lok-yang.
"Jadi...jadi Liu Jing-yang telah mengucapkan itu?"
Tanya Ui Kiong sambil mengepal-ngepalkan tinjunya setelah mendengar penuturan kekasihnya itu.
Menuruti dorongan darah mudanya yang panas, ia ingin menerjang ke Liu-keh-chung untuk menunjukkan pembelaan kepada kekasihnya.
Namun untunglah masih ada sedikit pikiran warasnya bahwa tindakan gegabah semacam itu hanya akan memancing tindakan keras dari pihak Liu-keh-chung, dan berarti mempersulit pihaknya sendiri.
Kalau keluarga Liu marah, biasanya yang kena getahnya bukan cuma orang-orang yang bersangkutan, tapi juga orang yang tidak tahu apa-apa dan tidak bersalah sama sekali.
Maklumlah, kalau menggebrak sedikit orang tentu kurang nampak kekuasaannya, sedang kalau bisa menimbulkan banyak korban tentu semakin hebat dan ditakuti.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Toako?"
Tanya Yo Kim-hoa.
Ui Kiong tidak menjawab karena merasa otaknya benar-benar buntu.
Benar-benar tak diduga bahwa hubungannya dengn Yo Kim- hoa membuahkan permusuhan dengan Liu- keh-chung.
Apakah dua keluarga akan minggat bersama saja? Tapi kedua orang tuanya maupun kedua orang tua Yo Kim-hoa sudah tua, dan tidak akan kuat melakukan perjalanan yang jauh dan berat.
Minggat berdua saja bersama Yo Kim-hoa? Lebih tidak mungkin lagi, sebab itu berarti meninggalkan orang tua mereka akan menjadi sasaran pelampiasan kemarahan orang-orang Liu-keh-chung.
"Aku belum menemukan jalan keluar yang baik,"
Akhirnya Ui Kiong menjawab sambil memegangi erat-erat kepalanya dengan kedua tangannya, seolah takut copot dari lehernya.
"Aku benar-benar menghadapi jalan buntu..."
"Sebenarnya jalan keluar itu sudah ada..."
Potong Yo Kim-hoa tiba-tiba dan pipinya menjadi merah, mukanya pun tertunduk tersipu-sipu. Melihat sikap gadis itu, Ui Kiong dapat segera menebak apa yang dimaksudkan dengan "jalan keluar"
Oleh kekasihnya itu. Sambil menarik napas dia berkata.
"Kita segera menikah, begitukah. Tapi tabungan uangku dan tabungan uangmu kalau digabungkan belum cukup untuk membiayai sebuah upacara pernikahan, apalagi untuk kelangsungan hidup seterusnya. Apalagi kalau kau melahirkan anak, apakah bayi kita itu akan terus-terusan sakit karena tiada makanan yang baik, dan menggigil kedinginan karena kekurangan pakaian? Kau paham kesulitan ini bukan?"
Yo Kim-hoa menunduk, jalan inipun ternyata terbentur kenyataan pahit.
Ia bergidik kalau teringat ucapan A-piao kemarin.
Ia dan kekasihnya sudah siap berkorban nyawa demi cinta mereka, seperti legenda-legenda kuno tentang sepasang kekasih yang mati bersama.
Tapi kalau orang-orang tua mereka juga tertimpa kemarahan Liu Jing-yang? Sepasang kekasih itu sama-sama membisu dalam kebingungan, sampai terdengar Ui Kiong berkata.
"Pulanglah dulu, A- hoa, aku yakin akhirnya akan kita temukan juga jalan keluarnya. Dalam beberapa hari ini, sikap kita hanyalah harus sedikit hati-hati terhadap Liu Jing-yang dan tukang-tukang pukulnya."
Hanya sampai situlah pembicaraan mereka.
Tetapi beberapa hari kemudian, A-piao yang suka mencari muka terhadap Liu Jing- yang itu telah mulai turun tangan untuk melaksanakan gertakannya.
Pada suatu sore, ketika Ui Kiong pulang dari kota Lok-yang dengan bersimbah peluh dan debu karena habis bekerja berat, ia jumpai di rumahnya banyak tetangga-tetangga berkerumun.
Dari dalam terdengar suara tangisan ibunya.
Ui Kiong terkejut melihat itu.
ia segera melompat ke dalam rumah sehingga beberapa orang yang berdiri di pintu hampir roboh karena terlanggar badannya yang kekar.
Begitu ada di dalam rumah, dilihatnya ayahnya duduk di kursi dengan wajah pucat, kepalanya dibalut menutupi salah satu kupingnya, dan kain pembalut itu berbercak merah oleh darah.
"Kenapa dengan ayah?"
Tanya Ui Kiong. Ibunya tak bisa menjawab karena masih menangis, sementara ayahnya hanya bisa merintih-rintih dengan sinar mata yang masih memancarkan ketakutan dan kengerian. Salah seorang tetangganya lah yang bercerita.
"Ketika kami berjalan pulang dari hutan setelah mencari kayu bakar tadi, seorang lelaki tegap yang mukanya tertutup kedok telah mencegat kami di luar hutan. Dengan kejam ia merobohkan ayahmu lalu mengiris sebelah kupingnya dengan sebuah pisau belati. Kami berempat berusaha melawan untuk membela ayahmu, tapi orang itu pandai bersilat, kami berempat dikalahkannya dengan babak belur."
Ui Kiong memang melihat sebuah benjolan di jidat tetangganya yang bercerita, sedang tetangganya yang lain nampak ada yang bengkak bibirnya.
"Keparat! Mereka benar-benar sewenang-wenang!"
Seru Ui Kiong dengan tubuh menggigil karena marah.
"Apakah orang itu tidak mengatakan namanya atau mengatakan siapa yang menyuruhnya?"
"Tidak,"
Jawab orang yang jidatnya benjol.
"Ia hanya bilang, kalau peringatan pertama tidak dihiraukan, maka akan ada peringatan berikutnya yang lebih keras..."
"Bangsat! Itu pasti orang suruhannya Liu Jing-yang. Aku harus ke Liu-keh-chung untuk menuntut keadilan bagi ayahku!"
Ia lalu menyambar sebatang kayu runcing yang tersandar di sudut dinding, kayu yang biasa dipakai melubangi tanah di ladang untuk ditaburi benih.
Kini kayu itu akan dijadikannya senjata dan dibawanya ke Liu- keh-chung.
Namun beberapa tetangga menghadang di pintu, beberapa orang lagi memegangi tangannya sambil membujuk- bujuk agar sabar.
Seorang lelaki yang sudaha berusia setengah abad namun tubuhnya masih kekar karena ia bekas seorang pemburu di masa mudanya, berkata kepada Ui Kiong.
"Jangan terburu nafsu dan kehilangan akal, A-Kiong. Mengamuk di Liu-keh-chung adalah perbuatan yang sangat tolol. Seperti membenturkan kepala kita sendiri ke tembok batu. Kepala sendiri luka, temboknya tidak apa-apa."
Tapi Ui Kiong meronta-ronta dan berteriak-teriak.
"Aku tidak takut! Aku tidak takut! Apakah karena kekayaan keluarganya lalu Liu Jing-yang boleh berbuat seenaknya seperti ini? Di mana hukum?! Di mana keadilan?!"
"Hukum tentu saja ada, tapi berdiri di pihak Liu-keh-chung,"
Sahut seorang tetangga dengan suara pahit.
Orang itu juga pernah mengalami hal tidak enak dari Liu-keh-chung tanpa dapat berbuat apa-apa.
Sementara para tetangga berusaha meredakan amarah amarah Ui Kiong.
Mereka dapat memahami bagaimana perasaan Ui Kiong, seperti seekor semut yang terinjak kaki raksasa.
Memang betul kata pepatah bahwa semut pun menggigit kalau diinjak, tapi apa artinya gigitan seekor semut kecil pada kaki sang raksasa? Si semut akan tetap terinjak lumat, sang raksasa akan tetap melampiaskan angkara murkanya tanpa terpengaruh oleh gigitan sang semut.
"Kenapa kita semua bersikap takut kepada mereka, mengalah meskipun kepala kita diinjak?"
Tanya Ui Kiong tajam kepada orang-orang di ruangan itu.
"Jumlah kita lebih banyak dari jumlah tukang pukul keluarga Liu yang sombong-sombong itu. paman Song, di mana kegagahanmu sebagai pemburu dulu? Bukankah paman pernah bercerita kepadaku bahwa paman dalam waktu semalam berhasil membunuh dua ekor harimau hanya dengan bersenjata lembingmu?"
Bekas pemburu yang dipanggil paman Song itu menarik napas dan menyahut.
"Harimau-harimau keluarga Liu adalah jenis yang tak bisa dihadapi sekedar dengan lembing atau otot saja, A-Kiong. Harimau di hutan punya kekuatan tapi tidak punya otak. Sedangkan Liu-keh-chung punya segala- galanya, bahkan kaum kuku garuda (tentara Kekaisaran) juga bersahabat baik dengan mereka, dan kalau perlu bisa digerakkan menggempur kita..."
Mendengar itu, tak terasa Ui Kiong menarik napas dengan sedih. Ia benar-benar menghadapi "Tembok Besar"
Yang kokoh luar biasa. Lalu upaya apa yang masih bisa diperbuatnya? Akhirnya ia berkata.
"Aku akan melaporkan kejadian ini kepada Hakim di Lok- yang. Perbuatan mereka tidak boleh dibiarkan demikian saja!"
Tetangga-tetangga tahu menghadap hakim itupun akan sia-sia saja, tetapi Ui Kiong rupanya sudah tak tercegah lagi.
anak muda itu melangkah setengah berlari menuju ke kota Lok-yang, biarpun matahari sudah hampir terbenam dan pintu kota sebentar lagi akan ditutup.
Begitu tiba di Lok-yang, Ui Kiong langsung menuju ke gedung pengadilan dan memukul sekeras-kerasnya tambur yang tersedia di halaman gedung itu.
Tambur pengaduan itu memang disediakan untuk orang-orang yang hendak mengadukan perkaranya.
Suara tambur yang bising telah memaksa sidang dibuka sore itu juga, meskipun wajah sang hakim nampak bersungut kesal karena sore itu sebenarnya ia sedang bersantai di kebun bunga.
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan setengah mengantuk ia mendengarkan Ui Kiong mengucapkan pengaduannya.
Ia kurang bersemangat menghadapi perkara itu, sebab dengan menilik pakaian Ui Kiong saja dia sudah tahu bahwa inilah perkara gurem yang tidak bakalan mendatangkan uang ke kantongnya.
Si pengadu bukanlah jenis kakap, jadi buat apa susah-payah mendengarkan perkaranya? Imbalannya paling-paling hanya ucapan terima kasih...
Setelah Ui Kiong selesai mengadu, hakim itu bertanya.
"Apakah kau punya bukti yang jelas bahwa yang memotong telinga ayahmu itu adalah suruhannya keluarga Liu?"
"Menurut beberapa tetangga yang bersama dengan ayah hamba ketika peristiwa itu terjadi, bahkan juga telah berusaha menolong ayah hamba, orang yang kejam itu mengucapkan ancaman yang membuat hamba menduga keras dia orang suruhan Liu Jing- yang..."
"Bagaimana ancaman itu?"
"Katanya, kalau peringatan pertama tidak dihiraukan, maka akan ada peringatan berikutnya yang lebih keras lagi. Ancaman itu hanya bisa diucapkan oleh Liu Jing-yang atau tukang-tukang kepruknya yang hendak merebut calon isteri hamba..."
"Itu dugaanmu saja bukan?"
Memang hanya dugaan hamba sendiri, paduka, tetapi cukup beralasan, sebab..."
Hakim itu tiba-tiba menggebrak meja sambil berseru.
"Kurang ajar! Jadi kau begitu bising menabuh tambur itu hanya untuk memaksa kami mendengarkan dugaan- dugaanmu sendiri yang tanpa bukti-bukti kuat itu?! kau patut dirangket untuk kekurangajaranmu mengganggu ketenangan gedung pengadilan ini!"
Maka Ui Kiong mendapat lima puluh kali gebukan dengan papan tekpai di punggungnya, sehingga punggungnya berhias jalur-jalur merah biru.
Ia dianggap sembarangan menuduh kepada keluarga Liu yang merupakan warga terhormat kota Lok-yang, yang sudah banyak menyumbang untuk kepentingan masyarakat.
Untuk itu, pantas digebuk.
Maka Ui Kiong meninggalkan gedung yang konon menjadi benteng keadilan itu dengan punggung nyeri dan langkah terhuyung-huyung.
Kini ia mendapat bukti bahwa memusuhi keluarga Liu tidak ada bedanya mencari penyakit belaka.
Bahkan hakim kota Lok-yang yang diangkat oleh pemerintah kekaisaran itu juga tidak berani menyalahkan keluarga Liu.
Bagi hakim itu secara pribadi, keluarga Liu sudah terlalu banyak memberinya hadiah, dan hakim itu tidak mau bertindak bodoh untuk menyumpal sendiri mata-air rejekinya itu.
"Keadilan"
Toh bisa disesuaikan dengan keadaan, pikirnya.
Ui Kiong tiba kembali di rumahnya ketika hari sudah gelap.
Sebagian lagi malah menyalahkan Ui Kiong kenapa begitu bodoh menemui hakim yang sudah jelas memihak Liu-keh-chung? Keesokan harinya, Yo Kim-hoa datang mengunjungi kekasihnya.
Ia sudah mendengar dari orang sekampung tentang ayah Ui Kiong yang dipotong kupingnya, sementara Ui Kiong sendiri mendapat 50 gebukan karena berani "menuduh keluarga terhormat".
Kecemasan Yo Kim-hoa membesar ketika melihat apa yang menimpa ayah Ui Kiong.
Pihak Liu-keh-chung sudah mulai melaksanakan ancamannya, siapa korban berikutnya? Duduk di atas tumpukan kayu bakar dan ikatan-ikatan jerami di samping rumah Ui Kiong, Yo Kim-hoa mengusap-usapkan obat luka ke punggung kekasihnya dengan mulut membungkam, namun dalam hati terasa pahit sekali.
Bahtera cinta yang mereka layarkan telah terbentur badai yang dahsyat.
Akankah bahtera cinta itu karam? Benarkah dongeng- dongeng kuno tentang kekuatan cinta yang konon sanggup meruntuhkan penghalang apapun? Di saat sepasang kekasih itu duduk membisu dengan pikiran ruwt, tiba-tiba pagar halaman yang terbuat dari anyaman kayu-kayu itu dibuka dari luar.
Kedua kekaksih itu menoleh serempak untuk melihat siapa yang datang, dan alangkah terkejutnya mereka melihat kedatangan seorang pegawai Liu-keh- chung yang bertubuh tegap dan bermata tajam.
Namun sikap A-beng, pendatang ini, kelihatan ragu-ragu dan tidak garang seperti umumnya tukang-tukang pukul Liu-keh-chung lainnya.
Melihat siapa yang datang, darah Ui Kiong langsung mendidih.
Lupa akan punggungnya yang babak-belur, ia menyambar sepotong kayu bakar sebesar dan sepanjang lengan, sambil berteriak marah.
"Bagus, anjing keluarga Liu, kau datang untuk mengantar nyawamu! Dengan mengandalkan majikanmu yang busuk itu, kau masih belum puas menginjak-injak kepala kami?!"
Lalu dengan beringas ia menghantamkan kayu itu ke arah kepala A- beng.
Ui Kiong sama sekali tidak kenal jurus- jurus silat, tapi sebagai pekerja kasar ia punya tubuh yang kuat dan tenaga yang besar, apalagi didorong oleh kemarahan dan kebencian.
Maka serangan kayunya itu sungguh berbahaya, bisa meretakkan tengkorak kepala A-beng seketika.
A-beng sedikit banyak mendapat latihan silat juga di Liu-keh-chung sebagai bekal untuk tugasnya sebagai tukang kepruk.
Menghadapi serangan Ui Kiong itu dia bergerak dengan tangkas, tubuhnya berkelit miring, kedua tangannya berbareng merampas kayu di tangan Ui Kiong, lalu kakinya menyapu ke depan sehingga tubuh Ui Kiong terkapar roboh.
Melihat kekasihnya roboh, Yo Kim-hoa lupa akan kelemahannya sendiri sebagai perempuan, segera melompat dan bersikap melindungi di depan tubuh Ui Kiong.
Kalau perlu menggunakan tubuhnya sendiri menjadi perisai menghadapi serangan selanjutnya.
Tapi A-beng tidak menghantamkan pentung yang sudah dirampasnya itu, malah membuangnya ke tanah.
Katanya.
"Kedatanganku tidak bermaksud jahat, Ui Toako."
Ui Kiong bangkit sempoyongan dengan dibantu Yo Kim-hoa, matanya masih tetap memancarkan kemarahan dan kebencian kepada A-beng. Geramnya.
"Tidak bermaksud jahat?! Memotong kuping ayahku itu kau anggap amal ibadah yang mulia?!"
Wajah A-beng murung mendengar itu.
"Akupun sudah mendengar peristiwa itu, dan sangat aku sesalkan..."
"Tidak usah berpura-pura! Kau tentu datang untuk membawa peringatan berikutnya bukan?! Tapi sebelum kau sentuh tubuh ayahku, kau harus melangkahi mayatku lebih dulu! Lalu Ui Kiong telah meraih kayu lainnya yang lebih panjang dan lebih besar.
"Jangan salah sangka. Aku justru datang memberi peringatan dengan maksud baik, tidak dengan cara kasar seperti teman- temanku. Pemotongan kuping itu bukan tindakan yang terakhir, masih ada tindakan- tindakan lain yang akan...hee tunggu dulu!"
A-beng harus melompat mundur untuk menghindari kayu Ui Kiong yang hampir mengenai pelipisnya dengan keras. Setelah menghindar, A-beng sempat melanjutkan kata-katanya.
"...aku cuma ingin kalian menutup peluang sebelum pihak Liu- keh-chung bertindak lebih biadab lagi. menutup peluang agar Siauya Liu Jing-yang tidak bisa lagi merebut A-hoa dari sisimu!"
Mendengar kalimat terakhir itu hati Ui Kiong agak tertarik dan serangan kalapnya pun berhenti.
"Apa-apaan ucapanmu itu, bangsat!"
"Kalian harus segera menikah,"
Sahut A-beng tanpa memperdulikan makian Ui Kiong.
"Kalau A-hoa sudah menjadi isterimu, Siauya Liu Jing-yang tidak akan berusaha merebutnya lagi. bagaimanapun penasarannya dia, dia akan tahu menjaga nama baik keluarganya untuk tidak merampas perempuan yang sudah bersuami..."
Ui Kiong termangu-mangu mendengar usul itu, sekilas ia menoleh ke arah Yo Kim-hoa yang menundukkan kepalanya.
Usul itu sama persis dengan usul yang pernah diajukan Yo Kim-hoa kepada kekasihnya, Ui Kiong tidak malu-malu berterus terang bahwa biayanya kurang, tetapi kepada A-beng yang berada di pihak Liu-keh-chung, apakah ia akan menjawab demikian juga? Bagaimanapun Ui Kiong tetap malu mengutarakan tentang kantongnya yang kosong...
"Kalau kalian sudah saling mencintai, dan orang tua kedua belah pihak juga sudah tidak menentang, masih menunggu apa lagi?"
Tanya A-beng. Ui Kiong ragu-ragu sejenak, lalu menjawab dingin.
"Kau adalah budak keluarga kaya raya, mana pernah merasakan penderitaan orang-orang miskin seperti kami? Untuk mencari sesuap nasi saja harus membanting tulang sehari penuh. Jangan- jangan berpura-pura baik hati."
A-beng menarik napas.
"Ui Toako, apakah budak-budak keluarga Liu itu bukan manusia? Apakah mereka semua terdiri dari serigala-serigala buas yang tidak punya hati nurani? Apakah kau anggap semuanya seperti A-piao si penjilat pantat majikan itu?!"
Mendengar kata-kata itu, juga melihat sikap A-beng yang cukup bersungguh- sungguh, perlahan-lahan reda juga kemarahan Ui Kiong, meskipun masih ada juga sisa kecurigaannya.
Ia memang sering mendengar bahwa banyak tukang-tukang pukul Liu-keh- chung yang suka main kekerasan kepada kaum lemah, namun memang belum pernah satu kali pun nama A-beng disebut-sebut tersangkut dalam tindak-tindak kekerasan itu.
yang sering terdengar adalah nama A-pao dan beberapa nama garang lainnya, yang gemar mengasah tinjunya untuk dibenturkan ke wajah orang- orang yang tak mampu melawan.
Bahkan A-beng kemudian mengeluarkan sekantong uang dan meletakkannya di atas tumpukan kayu bakar.
Katanya.
"Uang tabungan dari gajiku ini tidak banyak jumlahnya, tetapi aku menyerahkannya dengan tulus kepada Toako untuk membantu biaya perkawinan kalian. Aku akan merasa lega sekali kalau kalian segera menikah dan bebas dari incaran Siauya Liu Jing-yang."
Ui Kiong tergagap.
"Kau...kau..."
"Jangan curiga terhadap maksud baikku, Toako. Mudah-mudahan kalian selamat dan bahagia dalam lindungan langit."
Sehabis menhucapkan itu, A-beng segera melangkah pergi. Tapi sebelum sampai ke pintu pagar, Ui Kiong telah memburunya dan memegang pundaknya sambil berkata.
"Aku tadi salah menilaimu, A-beng. Maafkan kekasaranku tadi..."
"Tidak apa-apa, Ui Toako. Meskipun aku sering merasa sedih, tapi aku sudah biasa kalau orang memandangku dengan perasaan takut, jijik dan benci. Aku sering merasa terasing dari sesamaku, padahal akupun manusia biasa yang ingin punya kawan. Tapi kini aku merasa lega bahwa Toako tidak memperlakukan aku sebagai musuh."
"A-beng, kalau merasa tertekan di Liu- keh-chung, kenapa tidak kau tinggalkan saja perkampungan itu dan mencari pekerjaan yang lain? Lebih enak makan nasi kasar berlauk garam tetapi merupakan hasil kerja sendiri, daripada makan makanan yang mirip masakan istana tetapi dengan hati yang tertekan..."
Sahut A-beng.
"Hutangku kepada Chungcu (kepala perkampungan) bukan sekedar hutang semangkuk nasi dan selembar pakaian, tetapi hutang nyawa. Aku diselamatkan oleh Chungcu dari kematian yang disebabkan kelaparan dan kedinginan, pantaskah kalau aku bersikap tidak kenal budi dengan meninggalan Liu-keh-chung?"
"Tetapi kau adalah seorang yang terlalu lemah lembut untuk terus berada di tengah serigala-serigala itu, A-beng. Tidakkah masa depanmu yang masih panjang akan kau korbankan percuma dengan terus menjadi budak keluarga Liu? Bahkan kadang-kadang kau akan menjalankan perintah yang berlawanan dengan suara hatimu?"
A-beng menggelengkan kepala sambil menarik napas.
"Aku tidak bisa berbuat lain kecuali seperti sekarang ini, Ui Toako. Aku berharap suatu saat akan berbuat sesuatu yang cukup berarti terhadap Liu-keh-chung untuk membalas hutang budi ini. Setelah itu, kalau aku masih hidup, aku akan bebas meninggalkan Liu-keh-chung untuk menentukan langkah-langkahku sendiri."
Keduanya pun kemudian berpisahan. Ui Kiong menatap tubuh A-beng yang melangkah semakin jauh, sambil bergumam sendirian.
"Ia seperti sebutir mutiara yang bercampur di antara kotoran babi...! Dalam beberapa hari, berita akan berlangsungnya perkawinan Ui Kiong dengan Yo Kim-hoa sudah tersebar luas. Persiapan- persiapan dilakukan dengan agak tergesa-gesa dan juga sederhana. Dan berita itu sampai juga ke kuping Liu Jing-yang. Betapa panasnya hati Liu Jing-yang karena merasa seolah-olah "kekuasaan"nya ditantang. Sekarang soalnya sudah berganti, bukan lagi ia menginginkan gadis itu atau tidak, melainkan soal apakah ia akan kehilangan muka atau tidak? Kalau perkawinan itu berlangsung, Liu Jing-yang akan kehilangan muka karena merasa "dikalahkan". Ia adalah seorang anak muda yang dengan daya tariknya sanggup memikat seribu gadis sekaligus, tapi seorang gadis melarat telah berani menolaknya dan bahkan menjatuhkan pilihan kepada seorang pemuda lain yang bekerja sebagai kuli. Juga sudah berani tidak menghiraukan ancamannya, dan bagi Liu Jing-yang, inilah "dosa tak berampun". Berkobarlah rasa benci bercampur sakit hati dalam dirinya, dan untuk melampiaskannya dia merasa tidak perlu takut melakukan tindakan apa saja. Kekayaannya adalah perisainya yang ampuh. Tapi rencana balas dendam itu haruslah disusun rapi agar tidak mempengaruhi pandangan hormat masyarakat terhadap "nama harum"
Keluarga Liu. Ketika ia menguraikan rencananya tersebut kepada orang kepercayaannya, A- piao, maka berseri-serilah wajah A-piao.
"A-piao, kita harus dapat meyakinkan dia bahwa sia-sialah menentang kehendak kita. Sebisa-bisanya jangan menggunakan kekerasan, cukup dengan ancaman-ancaman saja. Paham?"
"Sangat paham, Siauya."
"Aku tidak keberatan Yo Kim-hoa kawin dengan si jembel Ui Kiong itu, tapi ia harus lebih dulu menyerahkan kehormatannya kepadaku, supaya ia sadar bahwa aku sanggup mendapatkan apa saja yang aku inginkan. Ui Kiong kelak juga tidak akan dapat membanggakan diri kepadaku, sebab ia hanya akan menerima sisa bekas yang aku pakai. Ha- ha-ha..."
A-piao ikut menyeringai.
"Hebat sekali, Siauya. Biarlah pasangan tidak tahu diri itu menyadari kekerdilan mereka, dan mereka harus menyesal karena sudah berani mengabaikan kita. Tapi Siauya, setelah Siauya berhasil dengan gadis itu, apakah boleh...boleh..."
"Kau inginkan uang lagi sebagai upah tambahan?"
Seringai A-piao semakin lebar.
"Maksudku bukan uang, sebab Siauya sudah memberiku cukup banyak. Tapi aku juga ingin hadis itu, maksudku setelah Siauya..."
Liu Jing-yang tertawa dengan kerasnya. Selamanya ia memang tidak tega menolak permintaan anak buahnya yang paling setia itu. begitu pula kali ini.
"Boleh saja. Itu malah lebih bagus, supaya kelak Ui Kiong dan Yo Kim-hoa merasa semakin rendah diri di hadapan kita. Akan terbukti bahwa kita bisa merendahkan mereka serendah-rendahnya, memaksa mereka menelan kepahitan sepahit- pahitnya, tapi mereka tidak akan berdaya sebab mereka terlalu kecil buat kita."
"Siauya benar-benar hebat! Siksaan semacam itu lebih hebat daripada kalau menggunakan cambuk. Kita tidak menyiksa tubuh mereka, melainkan perasaan mereka. Seumur hidup!"
Liu Jing-yang cuma tersenyum dan mendengarkan A-piao berceloteh terus.
"Kita juga harus berkata kepada mereka bahwa mereka tidak boleh bunuh diri, harus tetap hidup. Kalau bunuh diri maka kita ancam untuk menyiksa orang tua mereka."
"Kenapa tidak boleh bunuh diri?"
"Sebab kalau mereka mati, enak betul, mereka tidak akan merasakan siksaan perasaan itu bukan?"
Liu Jing-yang tertawa semakin keras mendengar usul anak buahnya yang "amat cerdas"
Itu.
"Bagus sekali! Laksanakanlah!"
Maka A-piao dengan mengajak dua orang temannya yang berwatak sama dengannya, segera pergi melaksanakan kehendak tuan mudanya itu.
Mereka sudah tahu arah mana yang setiap sore dilalui Yo Kim-hoa apabila gadis itu pulang dari Lok-yang menjual makanannya.
A-piao serta kedua temannya menanti di sebuah tempat yang sepi untuk mencegat korbannya.
Tak lama kemudian, sesuai dengan perhitungan mereka, maka Yo Kim-hoa lewat di tempat itu.
Gadis itu terkejut sekali ketika A- piao dan kedua temannya tahu-tahu sudah menghadang di depannya.
"Kalian mau apa?"
Tanya gadis itu dengan cemas.
"Kalau kalian hendak berbuat jahat, aku akan berteriak dan orang orang dari sekitar sini akan keluar untuk menangkap kalian!"
Tapi A-piao tidak mempan gertakan itu.
"Silahkan berteriak, mungkin benar bahwa kami bertiga tidak bisa menghadapi orang sekampung dan kami harus lari menyelamatkan diri. Tapi pada lain kesempatan, ayah atau ibumu akan kehilangan telinga, atau kehilangan mata, dan bahkan kehilangan kepala..."
"Kalian benar-benar binatang berkedok manusia!"
Teriak Yo Kim-hoa dengan muka pucat dan bibir gemetar.
"Banyak orang menghormati Liu-keh-chung sebagai keluarga pendekar terhormat yang gemar berbuat kebajikan, tapi begini busukkah sebenarnya kelakuan kalian? Nama Liu-keh-chung akan diludahi orang kalau seluruh rakyat Lok-yang tahu kebiadaban-kebiadaban yang selama ini berhasil kalian sembunyikan dengan baik!"
A-piao dengan acuh tak acuh mendengarkan caci-maki itu sambil membolak- balikkan pisau belatinya yang memantulkan cahaya matahari sore, sehingga bayangan pisau itu bergoyang-goyang di wajahnya. Lalu menyahut dingin.
"Kau boleh berteriak-teriak di tempat-tempat ramai di Lok-yang untuk membeberkan perbuatan kami. Tapi tidak akan ada yang mempercayaimu, malah kau akan dianggap orang gila karena menentang arus pendapat umum. Sementara tindakanmu itu sama saja dengan mencelakakan keluargamu sendiri..."
"Binatang! Binatang!"
Jerit Yo Kim-hoa sambil melemparkan keranjang kuwehnya ke muka A-piao dan kedua temannya.
Tapi dengan gampang dihindari oleh ketiga lelaki bertubuh kekar itu bahkan mereka mentertawakannya sambil mengeluarkan kata- kata yang kotor.
Yo Kim-hoa kemudian berdiri dengan tubuh gemetar.
Campuran antara kemarahan, kebencian, dan ketakutan bercampur aduk dalam hatinya.
Di balik kedok keharuman nama dan keramah-tamahan keluarga Liu, ternyata mereka juga sanggup melakukan hal yang begitu menakutkan.
Agaknya hal itu merupakan salah satu penopang Liu-keh-chung sehingga tetap perkasa hingga detik itu, bukan sekedar mengandalkan kekayaan dan keramah-tamahan, tetapi juga kerasnya tinju dan tajamnya senjata untuk memaksakan kehendak.
Hanya saja, kekejaman itu berhasil diselubungi dengan baik, sehingga hanya keramah-tamahannya saja yang tampak.
Yo Kim-hoa merasa tubuhnya bagaikan dilolosi tulangnya, dan menjatuhkan diri duduk di tanah sambil menangis dengan putus asa.
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kehormatannya sebagai perempuan terancam, keselamatan kedua orang tuanya juga terancam, namun ia hanya bisa memilih menghindari salah satu, bukan kedua-duanya.
Kini terasa betapa keji cengkeraman Liu Jing- yang atas nasibnya.
"Jangan ganggu orang tuaku..."
Akhirnya Yo Kim-hoa berkata di sela-sela tangisnya. A-piao tertawa puas tanpa tenggang rasa sedikitpun akan kesusahan gadis itu.
"Tentu saja kedua orang tuamu tidak akan terganggu seujung rambutpun, asal kau menuruti kehendak kami. Tapi kalau kau tidak menurut, hem, ayah Ui Kiong yang kehilangan satu kuping itu hanyalah sebuah contoh permulaan yang tidak seberapa...he-he-he..."
Tangis Yo Kim-hoa semakin menyentak.
Namun gadis yang sejak kecil dibesarkan dalam kesusahan dan keprihatinan itu tidak sampai kehilangan kendali diri.
Dengan tabah ia akhirnya menetapkan sebuah pilihan dalam hati.
Biarlah dirinya ditelan gelombang hitam yang dahsyat itu, namun keselamatn yah dan ibunya harus diutamakan, supaya ia disebut anak yang berbakti.
Perlahan-lahan tangisnya mereda, ia menjadi semakin tenang karena kepasrahannya dan tekadnya.
"Apa yang kalian kehendaki?"
A-piao menelan air liurnya dan tidak bertele-tele dalam menjawab.
"Siauya menghendaki dirimu..."
Biarpun Yo Kim-hoa sudah bertekad menempuh cobaan berat itu, namun perasaannya sebagai gadis masih tergoncang juga mendengar perkataan yang keluar dari mulut A-piao. Ia masih mencoba membela diri.
"Tapi beberapa hari lagi aku akan menikah, bagaimana aku harus menerangkan kepada suamiku kalau aku sudah...sudah..."
"Itu urusanmu. Tapi pikirkan keselamatan ayah ibumu."
Hampir tangis gadis itu meledak lagi, namun ia tahu percuma saja mengeringkan air mata di hadapan manusia-manusia berwatak serigala itu. dengan susah payah, akhirnya diucapkannya kata-kata yang sangat menyakitkan perasaannya sendiri.
"Antarkan aku kepada Liu Jing-yang si serigala rakus itu...!"
"Kau gadis yang pintar,"
A-piao tertawa.
Mereka lalu berjalan beriringan menuju ke tempat di mana Liu Jing-yang sudah menunggu.
Yo Kim-hoa tidak lagi meronta menghindari nasib buruknya, ia tahu pasti itu sia-sia, ancaman serigala-serigala berwajah manusia itu tentu bukan omong kosong belaka.
Maka berjalanlah ia dengan gontai ke kandang serigala-serigala itu, tidak perlu lagi diseret- seret, meskipun setiap langkahnya membuat hatinya pecah.
Di sebuah pondok kayu yang letaknya tidak jauh dari Liu-keh-chung, Liu Jing-yang sudah menunggu korbannya.
Suara tertawanya meringkik seperti iblis yang mencium bau mayat, ketika ia menyambut A-piao yang membawa Yo Kim-hoa ke hadapannya.
"Tampaknya kau tidak mengeluarkan banyak tenaga untuk membawanya kemari, A- piao,"
Katanya kepada tukang pukulnya. Sahut A-piao.
"Benar, Siauya, tidak lebih dari sepuluh kalimat yang kugunakan untuk membujuknya. Mula-mula ia pura-pura menolak, tetapi akhirnya menurut juga. Siapakah perempuan di Lok-yang dan sekitarnya ini yang tidak mendambakan untuk bermain cinta barang semalam dengan Siauya yang begini tampan?" **OZ** Bersambung ke
Jilid 02 Pojok Dukuh, 12-09-2018; 23.50 WIB TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S. P.
Jilid 02 YO KIM-HOA menundukkan kepala dan menahan rasa muaknya yang hampir membuatnya pingsan.
"Kalian tunggu di luar dan jangan mengintip!"
Perintah Liu Jing-yang kemudian kepada A-piao dan dua temannya. Liu Jing-yang menutup pintu dan memalangnya dari dalam. Katanya kepada Yo Kim-hoa.
"Aku tahu kau sangat membenci hal ini, namun kebencianmu tak akan bisa mencegah aku untuk menguasaimu sepenuhnya malam ini. Di dalam lingkaran beberapa puluh li di sekitar Liu-keh-chung, yang berlaku sebagai hukum adalah kemauan keluarga Liu kami, tidak akan ada yang bisa lolos dari tangan kami. Ha-ha-ha..."
Yo Kim-hoa tetap berdiri seperti patung.
Alangkah pedihnya, namun ia tetap sadar bahwa ia tidak bisa melawan.
Ia ingat keselamatan orang tuanya.
Liu Jing-yang berjalan hilir-mudik di kamar itu sambil tersenyum-senyum sendiri menikmati kemenangannya.
Lalu ia memerintah dengan penuh kuasa.
"Buka semua pakaianmu dan terlentanglah di pembaringan itu."
Yo Kim-hoa tidak membantah, seperti seorang pesakitan yang mengulurkan leher ke bawah golok algojo, ia patuh melakukan semua perintah Liu Jing-yang.
Darah Liu Jing-yang mengalir sepuluh kali lebih cepat ketika melihat keindahan nyaris sempurna yang terbentang di depan matanya, di bawah cahaya lilin merah yang remang-remang.
Dengan tergesa-gesa ia pun mencopoti pakaiannya dan mulai dengan kegilaannya.
Gadis korbannya terbaring pasrah, sakit di hatinya melebihi sakit di tubuhnya.
Ia memejamkan mata dan menahan tangisnya selama Liu Jin-yang menggelepar seperti binatang buas di atas badannya, merobek- robek dan menghancurkan mahkotanya.
Liu Jing-yang memuaskan dirinya berkali-kali, setelah itu dengan tubuh yang lemas bermandikan keringat, ia tinggalkan korbannya begitu saja di gubuk itu.
Lalu bergantian A-piao dan kedua temannya mendapat giliran berpesta-pora dengan tubuh Yo Kim-hoa tanpa belas kasihan sedikitpun.
Hanya untuk kenikmatan beberapa saat, orang-orang itu tidak segan-segan menghancurkan masa depan yang panjang dari seorang gadis yang tidak bersalah apa-apa kepada mereka.
Pikir mereka, toh Yo Kim-hoa cuma anak seorang perawat kuda di Liu-keh- chung, seorang yang tidak punya kekuasaan apa-apa dan tak perlu ditakuti.
Menjelang fajar, Yo Kim-hoa meninggalkan neraka itu dengan tubuh dan hati yang remuk, dirinya sekarang hanyalah segumpal sampah yang tak berharga lagi.
ketika ia lewat sebuah pohon, hatinya sempat tergoda juga, barangkali pohon itu dan ikat pinggangnya akan bisa membantunya bebas dari kehinaan itu.
tetapi ia tak berani melakukannya karena teringat ancaman A-piao sebelum melepaskan tadi.
Ia harus hidup terus untuk menanggung aib itu, kalau ingin kedua orang tuanya tetap selamat.
Itulah pembalasan dendam Liu Jing-yang yang tidak tanggung- tanggung.
Hukumannya yang jauh lebih berat dari maut bagi seorang gadis yang sangat menjujung mahkota kewanitaannya.
Mahkota yang akan dipersembahkan kepada satu- satunya lelaki yang dikasihinya, kini sudah dirampas daripadanya.
Dan ia tidak boleh mati, harus tetap hidup untuk menanggung kenistaan itu.
Tapi Yo Kim-hoa menyembunyikan musibah yang menimpa dirinya itu dari siapapun.
Hari-hari berikutnya terus dijalaninya dengan tabah, kecuali sikapnya yang tidak segembira hari-hari sebelumnya.
Sementara orang-orang yang dikasihinya semakin gembira menyambut hari perkawinannya yang semakin dekat.
Yo Kim- hoa tidak sampai hati merusakkan suasana bahagia itu dengan cerita sedihnya.
Hari perkawinan tiba.
Upacara perkawinan berlangsung dengan sederhana namun kelihatannya akan cukup lancar.
Mempelai lelaki engan jubah merahnya diarak ke rumah mempelai perempuan, dengan menaiki tandu bikinan tetangga-tetangganya sendiri yang agak kasar, dipikul berganti-ganti oleh teman-teman Ui Kiong sendiri.
Didahului rombongan pembawa tetabuhan dan petasan renteng yang meriah.
Di rumah mempelai perempuanlah akan berlangsung upacara sembahyang menghormat langit dan bumi, menyuguhkan teh kepada orang tua dari kedua pihak, dan keharusan- keharusan adat lainnya.
Tengah upacara berlangsung dalam suasana meriah dan gembira, tiba-tiba salah seorang tetangga bergegas masuk ke tempat upacara.
Katanya kepada kedua mempelai.
"Kalian sungguh beruntung! Kalian mendapat kehormatan besar! Siauya Liu Jing-yang dari Liu-keh-chung berkenan hadir dalam pernikahan kalian ini, cepat sambut tamu terhormat itu!"
Beberapa orang yang masih ingat akan peristiwa pemotongan kuping ayah Ui Kiong mengerutkan alis mendengar kedatangan Liu Jing-yang.
Tapi tamu yang sudah di depan pintu tentu tidak sopan kalau disuruh pergi lagi.
Sedang bagi orang yang memandang keluarga Liu dari sudut kehormatan dan kekayaannya saja, kedatangan sang tuan muda itu membuat mereka iri kepada keluarga sepasang mempelai.
Siapa menduga bahwa Liu Jing-yang yang tampan, kaya, terpelajar tinggi dan "terhormat itu sudi mengunjungi pesta seorang pekerja kasar rendahan seperti Ui Kiong? Gadis-gadis yang ada di ruangan upacara itu pun menjadi salah tingkah ketika mendengar kabar kedatangan Liu Jing-yang.
Ada yang merapikan rambutnya, merapikan bajunya, atau merubah gaya duduknya yang disangkanya akan dapat menarik perhatian Liu Jing-yang.
Beberapa tamu berbisik.
"Keluarga Liu benar-benar tidak sombong, terhadap sebuah keluarga miskin pun mereka tidak memandang rendah dan menyempatkan menghadiri perkawinannya."
"Ya. Orang-orang baik seperti keluarga Liu harus didoakan supaya diberkati oleh langit, diberikan umur panjang dan kemakmuran yang lebih melimpah lagi, agar menjadi berkah bagi umat manusia."
"Benar, memang harus begitu. Eh, lihat, kenapa mempelai laki-laki kelihatan tidak suka mendengar kedatangan Siauya Liu Jing-yang? Mukanya malah cemberut, padahal itulah kebanggaan besar baginya..."
"Barangkali mempelai laki-laki itu takut istrinya kabur dari sisinya setelah melihat bagaimana tampannya Siauya..."
Keduanya tertawa tertahan.
Di tengah-tengah berbagai sikap dalam ruangan itu, Liu Jing-yang telah melangkah masuk dengan gaya yang mempesona, seperti biasanya.
Pengiring-pengiringnya, termasuk A- piao, semuanya juga berpakaian rapi dengan jubah panjang, tidak lagi dengan pakaian ringkas dan lengan baju yang digulung seperti biasanya.
Penampilan mereka pantas untuk menghadiri sebuah pesta perkawinan.
Ketika tatapan mata Liu Jing-yang menyambar wajah Yo Kim-hoa sambil melemparkan senyumnya, cepat-cepat Yo Kim- hoa menundukkan kepalanya dengan hati bergolak.
Senyum sang tuan muda itu bagi gadis lain boleh jadi sangat mempesona, tetapi bagi Yo Kim-hoa yang sudah mengalami kebuasan luar biasa di balik senyum itu, senyum itu sama mengerikannya dengan seringai iblis dari kerak neraka yang memamerkan taring-taringnya.
Saat itu Liu Jing-yang sudah siap melaksanakan langkah terakhir dari rencana balas dendamnya yang kejam luar biasa, langkah terakhir yang akan membuatnya puas dengan "kemenangan mutlak"
Yang bakal diraihnya. Ia melangkah maju mendekati kedua mempelai, memberi hormat dan berkata.
"Aku mengucapkan selamat berbahagia kepada kalian berdua. Mudah-mudahan saudara Ui bisa menyayangi isterinya, bagaimanapun keadaannya, tanpa merasa kecewa setelah melewati malam pengantin nanti..."
Jantung Yo Kim-hoa rasanya berhenti berdenyut mendengar ucapan itu, bagaimana kalau Liu Jing-yang menyebut-nyebut aib yang sudah melekat di tubuhnya sejak malam neraka itu? bukan hanya ia dan Ui Kiong yang akan kehilangan muka, tetapi ayah dan ibunya yang berjantung lemah itu apakah akan kuat kalau mendengar berita buruk itu? Apalagi di hadapan sekian banyak tamu-tamu? Ui Kiong sendiri sebenarnya sudah mendidih darahnya ketika melihat muka Liu Jing-yang.
Ia ingat kepada ayahnya yang kupingnya tinggal satu, dan punggungnya yang masih nyeri akibat 50 kali gebukan papan tek- pay di gedung pengadilan kota Lok-yang.
Tapi tidak selayaknya terjadi adu jotos dalam pesta pernikahan.
Maka dengan memaksa diri untuk berwajah ramah, ia membalas homat dan menjawab dengan dingin.
"Terima kasih, Kongcu, di dunia ini sungguh sulit menemukan orang yang hatinya mulia Kongcu..."
Liu Jing-yang tertawa, lalu katanya sambil mendekatkan kepala dan dengan suara perlahan, hanya terdengar oleh kedua mempelai.
"Syukurlah kalau kau tahu kebaikan hatiku, Ui Kiong. Aku bahkan sudah membantu lebih jauh, agar kau di malam pengantinmu tidak mengalami kegagalan, mari kubisikkan sesuatu kepadamu..."
Liu Jing-yang berbisik-bisik di telinga Ui Kiong, sementara tubuh Yo Kim-hoa sudah membeku seperti patung.
Alangkah kejam dan dahsyatnya balas dendam yang dilakukan Liu Jing-yang kepadanya, peristiwa di pondok kayu itu ternyata bukan pukulan terakhir.
Dilihatnya wajah suaminya menjadi merah padam dan pucat berganti-ganti selama mendengar bisikan Liu Jing-yang itu.
Semua yang ada di ruangan upacara pernikahan itu tiba-tiba dikejutkan teriakan kalap Ui Kiong.
"Bangsat she Liu, kau sangat keji!"
Teriaknya bersamaan dengan tinjunya yang dilayangkan dengan deras ke wajah Liu Jing-yang.
Tapi Liu Jing-yang dengan gampang melompat mundur dan memiringkan tubuhnya sehingga jotosan Ui Kiong hanya membelah angin.
Kemudian A-piao melompat maju untuk menghadang di depan tuan mudanya.
Ui Kiong memang mata gelap dan lupa bahwa ia tengah berada dalam pesta perkawinan.
Disambarnya sebuah bangku panjang dan diterjangnya Liu Jing-yang sambil berteriak-teriak kalap.
Beberapa orang lelaki berusaha memegangi Ui Kiong dan mengeluarkan kata-kata bujukan supaya tenang.
Meskipun Ui Kiong kemudian meronta- ronta dan berteriak-teriak, tetapi ia tidak bisa melepaskan diri dari pegangan banyak orang.
Liu Jing-yang dan rombongannya pun kemudian melangkah pergi.
Liu Jing-yang sempat melemparkan senyum ejekannya kepada Yo Kim-hoa, sambil berdesis perlahan.
"Rasakan pembalasanku, perempuan tak tahu diri."
Wajah Yo Kim-hoa pucat seperti mayat, tetapi matanya merah menakutkan sehingga Liu Jing- yang tidak berani menentang pandangan matanya. Desis mempelai perempuan itu dengan penuh kebencian.
"Aku bersumpah, kalau sebagai manusia aku tidak bisa membalasmu, maka sebagai arwah aku akan terus memburumu!"
Liu Jing-yang yang biasa angkuh itupun tergetar hatinya mendengar ancaman mengerikan itu.
tapi ia berusaha untuk melangkah dengan sikap yang tetap anggun.
Dalam hati kecilnya ia sebenarnya merasa tindakannya itu keterlaluan tapi sudah terlanjur, terpaksa biarkan saja orang lain menjadi korban asal dirinya sendiri tidak kehilangan muka.
Sepeninggal rombongan Liu Jing-yang, Yo Kim-hoa kehilangan semua kekuatan tubuh dan jiwanya.
Tiba-tiba ia roboh pingsan, membuat repot perempuan-perempuan yang segera menggotongnya ke dalam kamar.
Pesta menjadi berantakan, tamu-tamu yang tidak tahu apa-apa menjadi ikut kebingungan pula.
Mereka segera menerangkan peristiwa itu menurut selera masing-masing.
Tapi dari puluhan "karangan"
Yang beredar dari mulut ke mulut, tak satupun yang berani menjelek-jelekkan Liu Jing-yang atau Liu-keh-chung.
Semua kesalahan ditimpakan ke pihak kedua mempelai dan keluarganya, mana mungkin keluarga Liu yang terhormat itu melakukan kesalahan? Bukankah mereka dermawan? Malam pengantin yang bahagia dimana sepasang kekasih seharusnya saling menyerahkan diri sepenuhnya untuk menjadi milik pasangannya, awal dari suatu kehidupan yang diharapkan bahagia selamanya, telah berubah menjadi malam neraka.
Di kamar pengantin tidak terdengar suara cumbu-rayu sepasang kekasih, melainkan suara caci-maki Ui Kiong diselingi suara barang-barang yang pecah dibanting.
Sementara Yo Kim-hoa cuma bisa menangis dan menangis terus, dan beberapa kali hampir kehilangan kesadaran karena tekanan batin yang luar biasa.
Terdengar suara Ui Kiong.
"Sungguh dulu mataku buta karena memujamu seperti memuja dewi yang suci bersih dari kahyangan. Ternyata kau cuma perempuan murahan, begitu gampang menyerahkan diri dijadikan pelampiasan nafsu Liu Jing-yang dan anjing- anjing peliharaannya. Kau juga menyembunyikan kejadian itu, itu tanda ketidak-jujuranmu! Aku tidak akan marah seandainya kau diperkosa karena tak mampu melawan, tapi menurut Liu Jing-yang, kau berjalan dengan sukarela dan tak perlu diseret- seret menuju ke tempat permainan gila itu! kau tentunya ikut menikmati permainan kotor itu juga, begitukah, pelacur?!"
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ui Kiong!"
Yo Kim-hoa menjerit dengan napas yang terasa sesak.
"Jangan sekeji itu menuduhku. Mereka benar-benar telah mengancam ayah dan ibuku. Kau pikir aku yang lemah ini punya jalan lain kecuali menuruti kehendak mereka?!"
Kalau Ui Kiong sedang dalam keadaan tenang, tentu penjelasan Yo Kim-hoa itu bisa diterimanya meskipun dengan sedih.
Tapi saat itu hati Ui Kiong tengah membara oleh rasa marah dan malu.
Masih terbayang wajah Liu Jing-yang yang membayangkan ejekannya, membuat harga dirinya sebagai laki-laki terluka.
Dirinya sekarang hanyalah seorang lelaki dungu dalam pandangan Liu Jing-yang.
Laki-laki tak berdaya yang hanya menerima barang bekas dari musuhnya.
Memang begitulah "aturan main"nya.
Lelaki berbuat semaunya sebelum menikah dan tidak ada yang menuntutnya, tetapi menuntut keperawanan dari pihak isterinya.
Kalau itu tidak didapatinya, maka mereka pun mengamuk.
Apa boleh buat, peraturan dibuat oleh kaum lelaki dan tentu saja menguntungkan kaum lelaki.
Sia-sia saja ratap tangis dan penjelasan Yo Kim-hoa kepada suaminya, kemarahan Ui Kiong tidak mereda malah semakin hebat.
Setelah membanting mangkuk, menendang meja dan kursi, bahkan menolak tubuh isterinya dengan sikap jijik, Ui Kiong keluar dari kamar pengantin.
Malam itu ia lebih suka tidur di atas tumpukan jerami di belakang rumah, berdekatan dengan beberapa ekor binatang ternak di kandang.
Tapi pagi harinya, Ui Kiong dikejutkan oleh suara tangisan ayah dan ibu Yo Kim-hoa yang nyaring.
Buru-buru Ui Kiong melompat bangun dan berlari ke arah suara tangisan di kamar pengantin itu.
lalu Ui Kiong sendiri pun ikut menangis penuh penyesalan ketika melihat apa yang terjadi di situ.
Tubuh Yo Kim-hoa tergantung kaku di belandar kamar pengantin, lehernya terjerat oleh ikat pinggangnya sendiri, matanya terbuka lebar dan lidahnya terjulur, di bawah kakinya ada sebuah kursi yang sudah roboh.
Lenyaplah kecantikan gadis itu, digantikan keseraman.
Ketika tubuhnya diturunkan, tubuh itu sudah kaku dan dingin.
Lilin merah lamang kebahagiaan belum lagi habis nyalanya pagi itu, dan tangis perkabungan sudah menggantikannya.
Kain merah di ambang pintu segera diturunkan dan digantikan kain belacu putih.
Sejak itu, Ui Kiong hidup seperti orang linglung.
Kadang-kadang ia duduk melamun lama sekali, lalu tertawa-tawa sendirian, atau menangis meraung-raung tanpa sebab.
Hampir tiap malam ia berteriak-teriak ketakutan, katanya ia didatangi dan diajak pergi oleh kekasihnya, meskipun orang-orang lain tak melihat apapun.
Akhirnya penderitaannya berakhir ketika orang-orang kampung menemukan tubuhnya tergantung di sebuah pohon di ladang.
Ia menggunakan seutas tali untuk menyusul kekasihnya.
Tubuhnya dikuburkan berdampingan dengan kuburan Yo Kim-hoa yang mulai ditumbuhi rumput-rumput pendek.
Habis sudah kisah cinta mereka.
Yang pria adalah seorang pekerja yang ulet, tidak banyak rewel dan disenangi teman-temannya, biarpun cuma seorang pekerja kasar yang berpenghasilan rendah.
Gadisnya adalah seorang penjual makanan yang dikenal keramah-tamahannya di seluruh kota Lok- yang.
Tapi pasangan itu harus lenyap, mereka punya "dosa besar"
Menyinggung harga diri seorang tuan muda yang "terhormat"
Dari Liu- keh-chung. Ketika Liu Jing-yang mendengar berita kematian mereka, tak urung hatinya tergetar juga. Namun ia masih juga membenarkan dirinya sendiri.
"Itu bukan salahku. Toh aku tidak menyuruh mereka menjerat leher mereka, aku hanya ingin memberi hajaran setimpal kepada mereka. Ini betul-betul bukan salahku..."
A-piao si tukang kepruk yang garang, kini wajahnya agak pucat dan tergagap-gagap ketika bicara.
"Siauya, kabarnya...kabarnya ketika mayat gadis itu hendak dimasukkan ke dalam peti mati, matanya terus terbuka. Tidak ada yang bisa menutupkan mata itu, kendati pelupuk matanya sudah dioles dengan arak hangat..."
"Apa hubungannya antara mata mayat yang tidak tertutup dengan kita?"
"Siauya, orang mati yang matanya terus terbuka, itu tandanya ia mati penasaran. Arwahnya tidak akan segera buyar dan akan terus berkeliaran, aku kuatir...aku kuatir...hah!!"
A-piao berteriak dengan pucat, ia terkejut sekali ketika mendengar jendela ruangan itu berkelotak terhembus angin malam. Liu Jing-yang dan beberapa hamba setia lainnya ikut tersentak kaget.
"Bangsat!"
Bentak Liu Jing-yang dengan marah setelah rasa kagetnya sendiri hilang.
"Kau mengagetkan saja! Badanmu begitu besar tetapi nyalimu begitu kecil. Kau kira aku percaya segala omongan tahyul tentang arwah yang bergentayangan membalas dendam?"
"Maaf, Siauya,"
Kata A-Piao dengan tersipu-sipu.
Tapi matanya masih berkali-kali melirik ke jendela.
Ia membayangkan dari jendela itu akan terjulur sepotong tangan perempuan yang pucat dan membusuk, melayang ke arah lehernya, dan tak terasa A- piao mengerutkan lehernya.
Liu Jing-yang sendiri sebenarnya agak kecut hatinya.
Tapi ia pura-pura tetap tertawa- tawa, meskipun tertawanya agak sumbang karena dipaksakan.
Andaikata ia benar tidak percaya tahyul, paling tidak suara hati nuraninya sendiri akan terus menghantui dan menuduhnya.
Hati nurani adalah hakim terbaik dalam diri semua orang, tapi banyak orang lebih suka "memecat"
Hakim ini dari kedudukannya, atau membungkamnya sama sekali. Setelah menelan ludahnya sendiri, A- piao berkata lagi.
"Mudah-mudahan Siauya benar. Tapi sebaiknya kita sedia payung sebelum hujan..."
"Bagaimana?"
"Hwesio di klenteng Po-te-si itu kabarnya bisa membuat jimat pengusir hantu gentayangan..."
"Ah, nyalimu betul-betul nyali tikus,"
Sahut Liu Jing-yang sambil pura-pura tertawa tidak takut.
"Tapi aku kasihan kepadamu, daripada hatimu tidak tenteram, baiklah besok kita temui hwesio di kuil Po-te-si itu..."
Peristiwa matinya Ui Kiong dan Yo Kim- hoa itu tidak banyak mempengaruhi pendapat umum yang sudah terlanjurmenghormati keluarga Liu itu.
Kendati bagaimanapun penasarannya sanak keluarga para korban, namun mereka tidak berdaya berbuat apa-apa.
Mereka cuma orang-orang kecil, tak ada yang sudi mendengarkan suara mereka.
Apalagi, tidak lama setelah peristiwa itu, pihak Liu-keh-chung kembali memamerkan kedermawanannya.
Membagi-bagikan beras dan pakaian kepada ribuan orang miskin di Lok-yang, menyumbang pembangunan sebuah kelenteng besar di tengah kota Lok-yang, membantu biaya pembangunan sebuah jembatan batu yang ambruk kena banjir.
Itu membuat nama keluarga Liu semakin harum dan semakin dipuja-puja.
Entah karena kedermawanan keluarganya, entah pula karena keampuhan jimat penangkal hantu yang tak pernah lepas dari tubuhnya, maka Liu Jing-yang belum pernah sekalipun mendapat gangguan hantu dari manapun juga.
Ia tetap saja menjadi pujaan kaum wanita di Lok-yang, dan kaum lelakinya membungkuk hormat apabila tandu bertirai biru itu lewat di jalan raya.
Beberapa orang tua menyayangkan bahwa pemuda setampan, sepintar dan sekaya itu belum juga ketemu jodohnya.
Entah keluarga mana yang kelak kejatuhan rejeki menjadi besan Liu-keh- chung? **OZ** BAGIAN DUA PERKAMPUNGAN keluarga Liu yang terletak di lereng bukit yang sejuk menghijau dengan pepohonan itu, sedang berada dalam suasana sibuk.
Beberapa hari lagi, perkampungan itu akan merayakan hari ulang tahun ke 65 dari si kepala marga, Liu Hok-tong alias Liu Lo-hu, Liu si macan tua.
Hari ulang tahun itu akan dirayakan secara besar-besaran, hari itu bukan saja akan menjadi hari besar buat anak-cucu keluarga Liu sendiri, tetapi juga untuk rakyat Lok-yang.
Pada kesempatan itu, Liu Hok-tong akan melakukan suatu upacara yang di kalangan persilatan lazim disebut "mencuci tangan di mangkok emas,"
Artinya mengundurkan diri dari kegiatan dunia persilatan, sekaligus juga menyerahkan pimpinan perkampungan keluarga itu kepada anak tertuanya, Liu Goan.
Bagi rakyat Lok-yang, akan ada sedekah besar-besaran untuk kaum miskin, pesta kembang api, pertunjukan wayang potehi dengan dalang yang datang khusus dari Pak- khia, dan macam-macam acara hiburan yang serba raksasa.
Orang-orang yang sudah mendapat undangan untuk menghadiri perayaan itu juga bukan orang-orang sembarangan, melainkan juga "raksasa-raksasa"
Pula.
Ada raksasa keuangan yang kekayaannya menggunung, raksasa dunia persilatan yang namanya menggetarkan, atau raksasa-raksasa pemegang kekuasaan alias orang-orang pemerintahan yang berpangkat tinggi dan punya hubungan baik dengan Liu-keh-chung.
Singkatnya, perayaan itu benar-benar akan mengangkat nama Liu-keh-chung setinggi- tingginya, membuat pamor secemerlang- cemerlangnya untuk diwariskan kepada anak cucu.
Liu Hok-tong hampir 65 tahun usianya, tapi ia bukan seorang kakek yang loyo meskipun rambutnya sudah putih semua.
Pundaknya tetap keras seperti besi, lengannya masih kuat menggerakkan goloknya yang berat untuk memainkan tigaratus duapuluh empat jurus Liu-keh-to-hoat (ilmu golok keluarga Liu) sampai habis.
Perutnya agak gendut karena hidup makmur dalam beberapa tahun terakhir itu.
tetapi perut besar itu tidak kedodoran dengan lemak, melainkan keras seperti batu.
Gelarnya sebagai si Macan Tua bukan sekedar untuk menakut-nakuti tukang copet di pasar, melainkan benar-benar sesuai dengan kenyataannya.
Dalam waktu beberapa hari menjelang perayaan, orang-orang yang keluar masuk Liu- keh-chung telah meningkat jumlahnya.
Ada gerobak-gerobak atau pikulan-pikulan yang mengangkut bahan makanan yang tak terhitung jumlahnya, tukang-tukang masak yang terkenal sudah diundang datang dan siap memamerkan suguhan istimewa kebanggaan masing-masing.
Segerobak penuh gulungan kain didorong masuk ke perkampungan, bersama puluhan tukang jahit dari kota Lok- yang.
Pada hari perayaan nanti, ratusan pegawai Liu-keh-cung, lelaki atau perempuan akan memakai pakaian seragam baru yang indah.
Dapat dibayangkan bahwa suasana pesta nanti tidak akan kalah hebanya dengan pesta-pesta di rumah para bangsawan di Pak- khia, ibukota kekaisaran.
Berapapun biaya yang harus dikeluarkan, Liu Hok-tong tidak peduli, tetapi perayaan ulang tahunnya harus dapat mengangkat pamornya tinggi-tinggi.
Namun mendadak suatu peristiwa telah mengganggu suasana gembira di perkampungan keluarga itu.
Pada suatu siang, dua orang lelaki yang berpakaian seperti kuli memikul sebuah peti mati dan berjalan mendekati pintu gerbang Liu-keh-chung.
Wajah kedua pemikul peti mati itu kelihatan ragu-ragu, begitu pula langkah kaki mereka, namun toh mereka terus melangkah sehingga tiba di depan pintu gerbang perkampungan keluarga itu.
Di situ ada beberapa pegawai Liu-keh- chung yang sedang bekerja.
Ada yang sedang mengecat daun pintu gerbang serta papan nama Liu-keh-chung agar mengkilat kembali, mengapur tembok, memotong rumput, atau membersihkan sepasang ciok-say (singa batu) yang mengapit pintu gerbang dengan gagahnya.
Ketika pegawai-pegawai itu melihat orang memikul peti mati ke depan pintu gerbang, maka mereka pun mengerutkan alis.
Untuk orang yang percaya segala macam isyarat dan firasat, kedatangan sebuah peti mati di depan pintu rumah itu sungguh bukan suatu alamat baik.
Apalagi dalam suasana ulang tahun Liu Loya, semua orang mendoakan panjang umur, masa sekarang malah ada kiriman peti mati? "He, apakah kalian tidak salah alamat?"
Beberapa pegawai Liu-keh-chung telah meninggalkan pekerjaannya masing-masing, dan mengerumuni kedua pemikul peti mati yang gemetar ketakutan itu.
"Maaf tuan-tuan, kami hanya menjalankan perintah untuk mengirimkan kemari..."
"Omong kosong!"
Bentak seorang pegawai Liu-keh-chung yang bertubuh kekar. Ia punya kegemaran yang sama dengan A- piao, yaitu menjotos orang-orang tak berdaya. Begitu pula kali ini tinjunya sudah dikepalkan dan tinggal mengirim ke sasaran saja. Bentaknya.
"Seluruh perkampungan kami dalam keadaan sehat, bakal panjang umur semuanya. Peti mati ini dipakai oleh nenekmu saja, sana, bawa pulang!"
Kedua pemikul itu sampai berjongkok karena takutnya. Salah seorang dari mereka bicara dengan suara gemetar.
"Ampun...ampun...tuan-tuan, kami hanya menjalankan perintah..."
"Biarpun hanya menjalankan perintah, juga harus membuka mata lebar-lebar supaya tidak nyasar ke alamat yang salah! Kau tidak tahu bahwa tempat ini adalah Liu-keh-chung?!"
"Ampun, tuan, perintah itu memang menuruh kami mengantarkan barang ini ke Liu-keh-chung. Kami tak kuasa menolak..."
"Kurang ajar! Siapa yang menyuruh kalian?!"
"Kami...benar-benar tidak tahu. Tapi mereka mengancam akan menumpas keluarga kami kalau tidak mentaati perintah..."
Ribut-ribut di depan pintu gerbang itu telah memancing lebih banyak orang untuk mengerumuni kedua pemikul peti dan bawaannya itu.
Beberapa pegawai semakin gencar mencaci-maki, malah ada yang sudah siap-siap memukul pula, sehingga kedua pemikul peti mati itu nampak semakin ketakutan.
Entah siapa yang melaporkan ke dalam, dari dalam muncul pula anak tertua Liu Hok- tong, Liu Goan yang beberapa hari lagi menjadi Chungcu menggantikan ayahnya.
Agaknya Liu Goan ingin ikut menyelesaikan ribut-ribut itu pula.
Ia diikuti oleh dua anak laki-lakinya yang tampan-tampan, Liu Jing-yang dan Liu Jing- kiam.
Liu Goan adalah seorang lelaki berusia 42 tahun, bertubuh pendek gemuk dan berkulit putih seperti bayi sehat, mukanya juga berseri- seri sehingga ia dijuluki Siau-bin-hou (Harimau Muka Tertawa).
Di balik tampangnya yang tidak menakutkan itu, Liu Goan terkenal dengan ilmu pukulannya yang hebat.
Pernah utusan dari sebuah desa datang ke Liu-keh- chung untuk minta bantuan, karena desanya diganggu sepasang harimau besar yang keluar dari hutan.
Satu regu prajurit yang didatangkan dari Lok-yang tidak sanggup menangkap sepasang harimau yang buas itu, malah beberapa prajurit luka-luka.
Namun Liu Goan seorang diri masuk ke hutan tanpa senjata.
Keesokan harinya, Liu Goan keluar dari hutan sambil menyeret bangkai sepasang harimau itu.
liu Goan sendiri hanya luka-luka kecil di punggung dan betisnya, sejak itu bertambah gentarlah orang terhadap keluarga Liu.
Ketika Liu Goan dan kedua anaknya tiba di pintu gerbang, pegawai-pegawai yang berkerumun itu segera menyibak.
Pegawai bertubuh kekar tadi tanpa disuruh telah menceritakan kedatangan peti mati itu, tak lupa menceritakan keberanian dirinya sendiri ketika memarahi kedua pembawa peti mati itu, demi membela majikannya.
Sementara itu, biarpun kelihatan takut sekali, kedua pembawa peti mati itu tak juga beranjak pergi.
"Betulkah kalian tidak tahu siapa yang menyuruh kalian?"
Tanya Liu Goan kepada kedua tukang pikul itu setelah mendengar keterangan pegawainya. Dijawab dengan anggukan kepala berbareng oleh kedua pemikul itu.
"Bohong! Mereka pasti hanya berpura- pura tidak tahu untuk menghindari tanggung jawab. Liu Toaya, lebih baik mereka ditangkap dan diserahkan kepada petugas keamanan di Lok-yang supaya diperiksa!"
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan! Jangan!"
Kedua tukang pukul itu meratap ketakutan. Kata Liu Goan kepada pegawai- pegawainya.
"Agaknya mereka memang benar- benar tidak bertanggung jawab untuk ini. Jangan ganggu mereka."
Beberapa pegawai Liu-keh-chung segera berebutan berseru untuk menjilat.
"Liu Toaya memang sangat bijaksana dan pemurah. He, kalian berdua, cepatlah pergi!"
Mendapat pujian dari pegawai- pegawainya, Liu Goan semakin menunjukkan kebijaksanaannya lagi.
"Dan berikan masing- masing satu tahil kepada mereka..."
Kedua pemikul peti mati itu terbungkuk- bungkuk mengucapkan terima kasih, setelah menerima masing-masing satu tahil maka mereka pun meninggalkan tempat itu.
"Bagaimana dengan benda keparat ini, Liu Toaya?"
Tanya seorang pegawai sambil menunjuk peti mati itu.
"Gotong ke belakang dan jadikan kayu bakar!"
Perintah Liu Goan. Dua orang pegawai bertubuh kuat segera maju untuk mengangkat peti mati itu, namun salah seorang dari mereka tiba-tiba berseru kaget.
"Liu Toaya, coba lihat! Di atas tutup peti mati ini agaknya ada guratan- guratan yang merupakan tulisan!"
Liu Goan, Liu Jing-yang dan Liu Jing- kiam serempak maju merubung peti mati itu dan membaca guratan-guratan halus itu.
"Kepada Toako Liu Hok-tong yang terhormat, semoga Toako tidak lama lagi dengan nyaman akan tidur dalam peti ini. Untuk Toako, sengaja kami pilihkan yang paling baik buatannya, terbuat dari bahan yang terbaik pula."
Dari saudara-saudara yang malang.
Di bawah surat itu tidak ada nama pengirimnya, hanya ada gambar kasar yang agaknya merupakan lambang tertentu.
Ada gambar seekor elang yang tengah membuka sayapnya, dan di bawah gambar elang itu ada lukisan sebatang golok ku-gi-to (golok bergigi seperti gergaji) berdampingan dengan gambar sebatang kampak bertangkai pendek yang bersilangan dengan sebatang pisau belati.
Wajah Liu Goan merah padam ketika membaca tulisan yang amat menghina ayahnya itu.
tiba-tiba ia berteriak keras dan menghantamkan tinjunya ke tutup peti mati itu.
luar biasa akibat pukulannya.
Tutup peti mati yang terbuat dari kayu merah Lam-yang yang keras dan ulet itu, dan tebalnya hampir sejengkal, ketika tertimpa tinju Liu Goan segera pecah berantakan menjadi beberapa keping.
"Cepat kejar kedua orang tadi dan seret kembali ke sini!"
Perintah Liu Goan geram.
Tukang-tukang pukul Liu-keh-chung yang bertubuh tegap-tegap itu segera lari berhamburan ke arah menghilangnya kedua tukang pikul tadi.
Karena latihan yang teratur, mereka dapat berlari dengan keras.
Kedua pemikul tadi berjalan dengan langkah terbungkuk-bungkuk dan perginya pun belum lama, tapi aneh bin ajaib, bayangan tubuh kedua pemikul peti tadi tak diketemukan! Bahkan kemudian kuda-kuda yang segar dikeluarkan dari istalnya untuk membantu mengejar orang-orang tadi.
Yang mereka dapatkan hanya debu dan kemendongkolan campur kemarahan.
Pengiriman peti mati itu membayangkan bahwa Liu-keh-chung yang dipuja-puja seperti sarang malaikat itu telah mendapat tantangan.
Tapi kebanyakan orang masih percaya bahwa menantang Liu-keh- chung sama saja dengan mencari penyakit.
Legenda tentang ketangguhan dan kehebatan orang-rang keluarga Liu sudah terlanjur mengakar dalam hati rakyat Lok-yang.
Tapi rakyat Lok-yang, bahkan angota- anggota keluarga Liu sendiri tidak tahu bahwa hati Liu Hok-tong sangat terguncang ketika diberitahu Liu Goan tentang lambang-lambang di atas tutup peti mati itu.
Berpuluh tahun kegentaran tak pernah singgah di hati si Macan tua, tapi sekarang hatinya tergoncang, hanya saja ia tetap berusaha menyembunyikan goncangan hatinya itu dari pandangan orang lain.
Ia masih tetap ingin menjaga kegagahannya sebagai si Macan Tua.
Sementara itu, kedua pemikul peti mati yang dikejar-kejar itu sudah berada cukup jauh dari perkampungan.
Mereka tidak lagi berjalan terbungkuk-bungkuk, melainkan melangkah secepat terbang dan dengan tubuh yang tegap.
Mereka melangkah di perbukitan sekitar perkampungan, dan agaknya langkah kuda pun tidak bisa menandingi ketangkasan kaki mereka.
Salah seorang dari mereka bertubuh ramping dan berwajah tampan meskipun usianya sudah setengah abad lebih.
Ia berkata kepada temannya.
"Ji-ko (kakak ke dua), tadi sudah kau lihat sendiri betapa hebatnya keadaan perkampungan tadi? Luas, besar, terhormat, dan entah berapa banyak kekayaan yang tersimpan di dalamnya?"
Yang dipanggil "kakak ke dua"
Itu berusia 6 atau 7 tahun lebih tua dari temannya, badannya agak pendek namun kekar penuh otot, gerak geriknya gesit luar biasa meskipun tiga perempat dari rambutnya sudah berwarna kelabu.
Matanya memancarkan cahaya yang menggidikkan hati, membayangkan betapa besar sakit hati yang tersimpan dalam batinnya.
Mata si pendek kekar itu semakin menyala ketika mendengar ucapan teman seperjalanannya itu.
Sahutnya.
"Ya, biarpun baru kita lihat luarnya tetapi aku sudah bisa membayangkan bagaimana mewahnya bagian dalamnya. Berpuluh tahun bajingan itu tinggal dalam rumah yang besar dan hangat, makan kenyang dan berpakaian bagus, dihormati sebagai dermawan, sedangkan kita? Hidup seperti gelandangan, bahkan seperti binatang. Siang hari terpanggang cahaya matahari padang pasir bedebah itu, malam hari kita menggigil kedinginan dan mengais-ngais makanan untuk melanjutkan hidup. Padahal masing-masing kita punya hak sepertiga dari harta karun itu...!"
"Ya. Tapi kini saat pembalasan sudah hampir tiba untuk si pengkhianat itu. kita bukan saja akan mengambil bagian kita, tapi juga menumpas keturunannya tanpa sisa,"
Geram si wajah tampan.
"Liu Hok-tong sendiri jangan dibunuh, cukup dirampas saja segala miliknya, biar dia mengalami bagaimana sengsaranya sebagai gelandangan yang kelaparan dan kedinginan, hidup sebatang kara tanpa keluarga!"
Percakapan kedua "pemikul peti"
Itu saling menyalakan kemarahan di hati masing- masing. Mereka membicarakan Liu Hok-tong dengan nada yang sengit sekali.
"Kau benar, sam-te (adik ke tiga), penderitaan apapun yang pernah kita alami gara-gara penghianatannya, haruslah dialami olehnya pula. Aku bahkan ingin ia lebih menderita dari kita. Kita jatuhkan dia dari tahtanya bukan sekedar menjadi pengemis saja, tetapi juga pengemis yang cacad, kita patahkan kedua kakinya dan kita lepaskan di tengah-tengah kota Lok-yang. Tentu menderita sekali perasaannya kalau dari Tuan Besar Liu ia berubah menjadi seorang yang paling hina. Ha- ha-ha...!"
"Tapi semua tindakan kita harus dengan persetujuan Po-cu (majikan benteng), jangan sampai keluar dari garis rencana yang sudah ditetapkan oleh Po-cu.
"
Kata si muka tampan.
"Kalau aku tdak ingat pesan Po-cu, tadi aku sudah melompat masuk ke perkampungan untuk mencari dan merobek-robek tubuh Liu Hok-tong. Tapi aku selalu teringat pesan Po- cu."
Si pendek kekar mengangguk-angguk.
"Benar, kita tidak boleh menyimpang dari rencana Po-cu. Beliau yang menghutangkan nyawa kepada kita, bahkan mengajari kita beberapa jurus lihai sehingga kita menjadi seperti sekarang ini."
"Tapi aku hampir tidak tega (sabaran?) melihat lagak tengik anak cucu bajngan tadi...!"
Setelah berkata demikian, si muka tampan itu membentuk ibu jari, telunjuk dan jari tengahnya menjadi seperti kuku elang, sementara jari manis dan jari kelingkingnya tertekuk rapi.
Diayunkannya tangan itu menyambar sebatang pohon di pinggir jalan.
Akibatnya di kulit pohon itu muncullah tiga jalur guratan disertai serbuk kayu yang berhamburan.
Dalamnya masing-masing guratan hampir setengah jari.
Itulah Tay-lek- eng-jiau-kang (tenaga kuku elang bertenaga raksasa) yang mengerikan, kalau mengenai tubuh manusia akan sanggup meremukkan tulang.
Kalangan persilatan di wilayah utara sudah paham kehebatan jenis ilmu itu, tetapi tidak banyak hitungannya yang bisa mencapai tingkatan sehebat itu.
"Ilmumu meningkat pesat dalam beberapa bulan terakhir ini, sam-te, aku yakin si bangsat she Liu itu tidak akan bisa menandingimu sekarang."
"Tapi kita tidak boleh memandangnya enteng. Kabarnya dia dijuluki Liu lo-hou, tetntunya selama ini juga melatih ilmu silatnya dengan sungguh-sungguh."
Si pendekar kekar tertawa menghina.
"Tentu saja dia latihan dan ilmunya meningkat, tetapi sampai seberapa tajam meningkatnya? Ia latihan di tengah kelimpahan dan kemakmuran, sebaliknya kita latihan di tengah alam gurun pasir yang keras dan penuh keprihatinan, kita akan lebih sanggup bertarung keras dibandingkan dia!"
Tengah mereka bercakap-cakap sambil berjalan semakin lambat, tiba-tiba tanah yang mereka pijak serasa bergetar, dari depan terdengar derap rombongan berkuda disertai debu yang mengepul tinggi.
Dari kejauhan belum bisa diperkirakan berapa banyak jumlah penunggang-penunggang kuda itu, tapi jelas tidak sedikit jumlahnya.
"Bagaimana, Ji-ko?"
Wajah sang kakak ke dua nampak menegang, kemudian ia cepat mengambil keputusan.
"Kita tidak tahu siapa yang datang itu, yapi lebih baik jangan menampakkan diri lebih dulu. Kalau mereka itu kawanan kuku garuda (tentara kekaisaran) maka kita akan mendapat kesulitan karena kita ini orang-orang buronan."
Hampir bersamaan, kedua orang itu pun mengayunkan tubuh dan melayang ke atas pohon-pohon rimbun di tepi jalan.
Sekejap kemudian tubuh mereka telah tak kelihatan karena tertutup dedaunan yang rimbun.
Keduanya memang lolos dari penjara dengan cara membobol, karena itu tidak mengherankan kalau mereka enggan bertemu dengan tentara kekaisaran.
Prajurit-prajurit biasa tidak mereka takuti, tapi mereka pun maklum bahwa di kalangan tentara kekaisaran ada banyak jago-jago berilmu tinggi.
Namun setelah dekat, terlihatlah bahwa rombongan berkuda itu bukannya rombongan tentara kekaisaran.
Mereka adalah 20 orang lelaki yang semuanya berpakaian ringkas dan menyandang pedang di punggung masing- masing.
Mereka juga membawa bendera kecil berwarna biru yang disulam gambar pedang berwarna putih.
"Mereka orang-orang Pek-kiam-pay (Perguruan Pedang Putih), pecahan dari Heng- san-pay,"
Bisik si kakak ke dua ke telinga si adik ke tiga yang menongkrong di dahan sebelahnya, di belakang rimbunnya pepohonan. Si adik ke tiga mengangguk.
"Aku tahu. Orang tua yang berkuda paling depan dan berjubah biru itu tentu Ko Jun-lim, ketuanya, yang berjuluk Pek-hong-kiam (Pedang Pelangi Putih)."
"Benar. Ia adalah besan si bangsat Liu Hok-tong. Anak perempuan Ko Jun-lim yang bernama Ko In-eng menjadi isteri anak laki- laki ke dua Liu Hok-tong, Liu Seng."
"Bagaimana kalau kita hajar rombongan ini?"
Si kakak kedua menggelengkan kepala.
"Jangan gegabah, itu tidak termasuk dalam rencana Pocu. Liu Hok-tong adalah sasaran utama rencana kita."
Tokoh yang disebut Po-cu oleh mereka itu agaknya punya pengaruh kuat yang mencengkeram mereka, sehingga mereka tidak berani seujung rambut pun bertindak di luar rencana sang Po-cu. Alasan "tidak disukai Po- cu"
Atau "harus menunggu iijin Po-cu"
Sudah lebih dari cukup untuk mengekang segala tindakan mereka, melebihi seribu satu kekangan lainnya. Setelah rombongan Pek-kiam-pay itu lewat jauh, barulah kedua orang itu melompat turun dari pohon.
"Kalau semua sanak keluarga si bangsat itu berkumpul di rumahnya, bukankah kedudukan si bangsat itu akan menjadi kuat sekali?"
Tanya si adik ke tiga kepada kakak keduanya.
"Apakah rencana kita akan bisa berjalan dengan baik?"
"Jangan kuatir. Kekuatan kita akan lebih dari cukup untuk menggilas remuk kumpulan kelinci-kelinci itu. Bukankah kita tidak hanya berdua saja? Tetapi kita masih harus menunggu perintah Po-cu untuk turun tangan."
"Rasanya tanganku sudah gatal..."
"Tahan sebentar lagi, perintah itu pasti tiba."
Dalam pada itu, rombongan orang- orang Pek-kiam-pay sudah tiba di depan pintu gerbang Liu-keh-chung.
Kedatangan mereka disambut hangat oleh seisi Liu-keh-chung.
Ko Jun-lim dan Liu Hok, dua kakek yang sama- sama masih bertubuh tegap itu segera saling peluk dan saling menyapa dengan akrabnya.
Anak ke dua Liu Hok-tong yang bernama Liu Seng dan berjulukan Hui-hou-to (si Golok Macan Terbang) didampingi isterinya, Ko In- eng, segera maju menghormat Ko Jun-lim dan masing-masing memanggil "gak-hu" (ayah mertua) dan "thia" (ayah) kepada ketua Pek- kiam-pay itu.
Puteri-puteri mereka yang sudah menginjak usia remaja itupun maju mengucapkan selamat datang kepada gwa- kong (kakek luar) mereka.
Mereka adalah Liu Tek-san, seorang pemuda 18 tahun yang gagah, dan Liu Giok-eng, setahun lebih muda dan cantik jelita.
Cucu-cucu Liu Hok-tong lainnya pun memberi hormat.
Rombongan besar Pek-kiam-pay itu pun segera ditempatkan di salah satu bagian perkampungan keluarga yang luas itu, dilayani oleh para pelayan yang jumlahnya lebih dari cukup.
Keramaian di Liu-keh-chung bertambah lagi ketika keesokan harinya muncul pula serombongan orang yang dipimpin seorang lelaki tinggi besar berpakaian merah, memakai mantel merah pula yang berkibar di belakang punggungnya seperti sayap.
Kali ini Liu Goan, anak tertua Liu Hok-tong yang menjadi sibuk menyambut rombongan itu, sebab lelaki berpakaian merah itu adalah iparnya, kakak dari isterinya.
Namanya Thia Kim-sim, kakak dari Thia Hui-leng, pemimpin dari Hai-long- pang (Sindikat Serigala Laut).
Kelompok bawah tanah yang bekerja sebagai penyelundup, pemeras, pembajak dan sebagainya yang merupakan urusan-urusan melanggar hukum, tapi diberi kedok sebagai usaha dagang yang halal.
Thia Kim-sim dijuluki dengan Ang-mo- hui-long (Serigala Terbang Berbulu Merah).
Dengan demikian, menjelang perayaan ulang tahun Liu Hok-tong itu, Liu-keh-chung benar-benar berubah menjadi "sarang naga dan harimau"
Karena kerabat-kerabat dan sahabat-sahabat keluarga Liu yang berdatangan itu sebagian besar adalah pentolan-pentolan dunia persilatan. Dari "jalan hitam"
Maupun "jalan putih", dari tokoh-tokoh terhormat maupun gembong-gembong sindikat pelanggar hukum kekaisaran.
Tapi anak Liu Hok-tong yang perempuan yang menjadi isteri ketua Ki-lian- pay, belum juga hadir meskipun sudah ditunggu-tunggu.
Akhirnya yang muncul di Liu- keh-chung hanyalah seorang murid Ki-lian-pay yang membawa surat dari ketuanya, Lam-ih- kiam-khek (Pendekar Pedang Baju Biru) Auyang Peng-hong.
Isi surat menyampaikan selamat panjang umur kepada sang mertua, sekaligus minta maaf bahwa ia dan anak- isterinya tidak bisa datang ke Liu-keh-chung karena "ada urusan penting."
Kehadiran surat itu mengecewakan Liu Hok-tong.
Selama ini ia paling bangga kepada menantunya yang mengetuai Ki-lian-pay itu, sebab Ki-lian-pay adalah sebuah perguruan silat bernama harum yang ketenarannya sejajar dengan aliran-aliran terkenal lainnya seperti Hoa-san-pay, Cong-lam-pay, Heng-san- pay, dan sebagainya.
Pamornya di dunia persilatan juga jelas lebih cemerlang dari sebangsanya kelompok-kelompok kecil seperti Pek-kiam-pay atau Hai-long-pang.
Kehadiran seorang ketua Ki-lian-pay dalam perayaan ulang tahunnya tentu akan sangat membuat muka terang baginya.
Tapi apa mau dikata, keinginan Liu Hok-tong kali ini tak akan tercapai.
Lalu kalau ia teringat cerita anaknya tentang lambang-lambang di atas peti mati itu, kegelisahannya tak mau pergi juga dari hatinya.
Terbayang masa lalunya yang hitam, dan masa kininya yang gemerlapan dengan kejayaan.
Tapi ia tidak yakin apakah yang sudah tergenggam di tangannya itu akan lepas kembali atau tidak.
Kegelisahannya dicobanya untuk disembunyikannya jauh-jauh di dasar hatinya, agar tidak mengganggu suasana gembira keluarganya dan tamu-tamunya.
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi pandangan mata Ko jun-lim yang sama tuanya dengan ia, cukup tajam untuk menangkap kegelisahan itu.
Pada suatu pagi, ketika cahaya matahari yang lembut tengah menyinari kebun bunga di perkampungan itu, kedua orang tua yang berbesanan itu sama-sama sedang berada di kebun bunga.
Ko Jun-lim mencoba mencari kepastian akan isi hati besannya itu.
"Jin-keh (besan), dalam suasana yang gembira ini, kalau aku tidak salah lihat, kau seperti menyembunyikan semacam kerisauan? Mudah-mudahan aku salah lihat. Tapi kalau benar kau sedang memikirkan satu urusan, aku ingin ikut memikul bebanmu untuk dipecahkan bersama."
Diam-diam Liu Hok-tong mengutuk ketajaman penglihatan besannya itu. Tapi ia tidak bisa sepenuhnya berbohong sebab sadar bahwa besannya itupun seekor ular tua yang licin dan tidak gampang dibohongi.
"Benar, memang ada satu masalah kecil. Tapi jin-keh sebagai tamu di rumahku tidak usah ikut membebani pikiran jin-keh dengan persoalan Liu-keh-chung."
Ko Jun-lim tertawa dalam hati, namun wajahnya menampakkan sikap bersungguh- sungguh.
"Kau terlalu sungkan, jin-keh. Liu- keh-chung dan Pek-kiam-pay sudah terikat kekeluargaan, masalah Liu-keh-chung haruslah menjadi masalah Pek-kiam-pay juga. Kalau jin- keh tidak mau berkata sejujurnya kepadaku bukanah itu berarti menganggapku orang luar?"
"Berkata sejujurnya dengkulmu!"
Maki Liu Hok-tong dalam hati. Tapi luarnya ia tersenyum dan berkata.
"Baik, kuberitahukan kepadamu. Tapi jin-keh tidak usah merepotkan diri, sebab Liu-keh- chung masih sanggup menangani persoalan ini."
"Nah, ini baru namanya menghargai kekeluargaan. Coba katakan."
"Dua hari yang lalu, entah pihak mana yang coba-coba bercanda denganku, namun dengan kelakar yang sama sekali tidak lucu dan tidak pada tempatnya. Ada kiriman peti mati untukku, katanya untuk kupakai, bukankah itu namanya mendoakan aku cepat mati?"
"Kurang ajar! Siapa berani berbuat seperti itu?!"
"Hanya ada gambar seekor elang. Jink- keh, kelompok persilatan mana yang memakai lambang seperti itu? Apakah kau tahu?"
Sengaja Liu Hok-tong merahasiakan tentang lambang golok bergerigi serta kampak bersilang dengan belati itu, sebab tanda-tanda itu sudah dikenalnya, bahkan punya hubungan dengan dirinya di masa lampau.
Itu akan dirahasiakannya sampai mati, bahkan kepada anak cucunya sendiri, apalagi kepada Ko Jun- lim yang hanya besan.
Wajah Ko Jun-lim berubah hebat ketika mendengar tentang gambar elang itu, dan perubahan wajah itu membuat Liu Hok-tong ikut berdebar-debar pula.
Ko Jun-lim yang agak sombong dan mengandalkan kelihaian pedangnya itupun agaknya tergetar hatinya, tentunya gambar elang itu punya makna yang cukup berarti.
"Kau tahu tentang gambar elang itu, jin-keh?"
Tanya Liu Hok-tong. Dengan wajah masih mengesankan perasaannya yang tegang, Ko Jun-lim menjawab.
"Dari beberapa saudagar yang baru saja berkafilah melintasi padang pasir utara, terdengar kabar bahwa di daerah itu muncul sekelompok manusia yang berlambangkan burung elang berbulu hitam. Mereka berpusat di Hek-eng-po (Benteng Elang Hitam) yang entah di mana letaknya, dan orang-orang Hek- eng-po ini rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh..."
Liu Hok-tong berusaha nampak tetap tenang, bahkan acuh tak acuh, tapi gagal. Suaranya tak bisa menyembunyikan ketegangannya.
"Benteng Elang Hitam?"
"Pernah dengar?"
"Rasanya baru kali ini..."
"Mereka memang belum lama munculnya sehinga belum dikenal luas. Jin- keh, apakah pihakmu menanam permusuhan dengan orang-orang di pihak mereka? Kenapa mereka bersikap tidak bersahabat dengan mengirimkan peti mati segala?"
Tentu saja Liu Hok-tong tahu jawabannya, tetapi jawaban itu hanya untuk dirinya sendiri. Sedang di hadapan Ko Jun-lim dia tetap bersandiwara.
"Seumur hidupku, meskipun aku sering dicap sebagai orang yang serakah harta benda, namun kekayaanku itu selalu kugunakan untuk menolong orang lain, tak pernah sekalipun mencelakakan orang lain. Kenapa jin-keh menduga aku bermusuhan dengan Hek-eng-po yang mendengar namanya pun baru kali ini?"
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu