Teror Elang Hitam 11
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP Bagian 11
Teror Elang Hitam Karya dari Stevanus S.P
Mula-mula seperti Auyang Siau-hong, puteri Ketua Ki-lian-pai, lalu seperti.
Liu Giok-enq, kadang-kadang mirip A-cui atau A-loan juga, atau bahkan ibunya dilihatnya menunggangi kuda putih di atas mega, dengan gagah perkasa melepaskan panah-panah yang berekor putih pula.
Ah, kenapa mirip Pakkiong Eng juga? Pergantian keadaan yang begitu tajam dan mendadak malah membuat Liu Beng tidak pulas tidurnya.
Dalam keadaan setengah sadar, ia memang merasakan ada sebuah telapak tangan mengusap-usap rambutnya.
Getaran kasih sayang terasa benar menyusup dari belaian itu, mengisi jiwa Liu Beng yang selama ini nyaris hampa dari perasaan itu.
Liu Beng heran, apakah ibunya benar-benar bangkit dari kubur dan kini sedang membelainya, ia tidak berani membuka matanya karena kuatir kebahagiaan itu hanya mimpi yang akan lenyap begitu dia sadar.
Namun dia merasa perlahan-lahan mulai sadar, meskipun masih terpejam matanya, dan belaian itu masih terasa.
Belaian itu benar- benar ada, bukan cuma dalam mimpi! Liu Beng membuka matanya, dan ia nyaris tak percaya melihat Sebun Him duduk di pinggir pembaringannya, membelai-belai kepalanya.
Sikap dan pandang matanya melebihi sikap majikan terhadap pegawainya, seperti...ayah terhadap anaknya.
"Kau terkejut?"
Tanya Sebun Him lembut, ketika melihat Liu Beng membuka matanya.
"Toaya...."cepat Liu Beng menendang selimutnya dan merosot dari pembaringannya.
"Toaya, kau...kenapa...
"
Liu Beng sampai tidak tahu apa yang harus diperbuatnya atau dikatakannya ketika menghadapi peristiwa tidak masuk akal itu.
Masih mending kalau hanya dalam mimpi, namun ini kenyataan.
Di larut malam majikannya ada di kamarnya dan menunjukkan kasih-sayang yang luar biasa....
Liu Beng tiba-tiba bergidik seram.
Ia pernah mendengar tentang orang-orang yang punya semacam kelainan jiwa, tidak merasa tertarik terhadap lawan jenis kelaminnya, melainkan lebih suka bermain cinta dengan sesama jenisnya.
Apakah Sebun Him suka bermain cinta dengan sesama jenisnya? Apakah Sebun Him si pendekar terkenal itu juga mempunyai kelainan macam itu? Ditatapnya Sebun Him penuh perhatian, tapi rasanya tidak terdapat kesan macam itu.
"A-beng, kau terkejut?"
Sebun Him mengulangi kalimat lembutnya tadi. Ketenangan Liu Beng berangsur pulih.
"Maaf, Toaya, aku hanya merasa agak di luar dugaan bahwa pada saat seperti ini Toaya ada di sini..."
"Akulah yang minta maaf,"
Sahut Sebun Him sambil menarik napas.
"Aku bersalah kepadamu dan kepada....ah, sudahlah. Kalau kau tidak ingin tidur kembali, aku ingin bercakap-cakap denganmu. Maukah kau?"
"Tentu saja, Toaya. Aku juga mengucapkan terima kasih bahwa Toaya telah berbuat baik begitu banyak terhadapku, sampai rasanya aku tak percaya...,"
"Bukan terlalu banyak, tetapi malahan terlalu sedikit dari yang seharusnya kau terima...."
"Apa maksud Toaya?"
"Eh....tidak apa-apa. A-beng, kau mau menceritakan tentang....tentang....keluargamu?"
"Ah, Toaya, itu hanya kisah yang seharusnya sudah dikuburkan dan tak perlu diungkit-ungkit lagi. Aku sudah menerima roda perjalanan hidupku dengan ikhlas. Malahan bersyukur, dalam penderitaanku aku menemukan banyak orang-orang yang sayang kepadaku, sahabat-sahabat yang bersikap tulus dan tidak memandang rendah seorang anak tanpa bapak semacam aku ini. Aku merasa sangat beruntung, Toaya."
"Tapi aku mohon, ceritakan keluargamu..."
Kata "mohon"
Itu mendapat tekanan suara yang membuat Liu Beng tak mampu menolak.
Dalam hati ia merasa heran juga, buat apa sang pendekar yang sakti, terhormat dan kaya-raya ini menyelidiki asal-usul seorang kacung tak ternama seperti dirinya? "Toaya, keluarga satu-satunya bagiku di dunia ini hanyalah seorang ibu yang melahirkanku.
Seorang perempuan melarat penjual kayu bakar di desa Hek-bok-tin di Ou- lam, yang meninggalkan aku untuk selama- lamanya ketika aku berusia delapan tahun...
"
"Dan ayahmu?"
Liu Beng mengerutkan alisnya ketika mendengar pertanyaan yang tidak ingin didengarnya dan tidak ingin dijawabnya itu. Namun terhadap majikan barunya yang begitu berbudi, dia harus menjawabnya juga.
"Aku tidak tahu siapa namanya, ibupun tidak pernah menyebut namanya, ia hanya menangis setiap kali kutanyakan itu. Tapi dari tetangga- tetangga ibuku, aku sering mendengar ucapan yang memanaskan telinga, katanya aku ini adalah anak haram dari seorang lelaki tak bertanggung-jawab yang menghamili ibuku lalu pergi begitu saja. Ibuku juga dicaci sebagai perempuan murahan yang begitu gampang menyerahkan kehormatan kepada seorang lelaki pengembara. Kemudian...eh, Toaya, apakah kau kurang enak badan?"
Liu Beng berhenti menutur dan bertanya demikian, sebab dilihatnya Sebun Him pucat sekali wajahnya, beberapa butir keringat membasahi keningnya, dan tangannya berpegang kuat-kuat pada tepi pembaringan, seolah-olah ada gempa bumi yang akan melemparnya jungkir-balik.
"Tidak....tidak apa-apa...", Sebun Him bersuara tenang.
"Apakah kau benci kepada lelaki yang mempermainkan ibumu itu, A- beng?"
Liu Beng menggelengkan kepala.
"Tidak. Kesalahan ada pada kedua plhak, aku tidak adil kalau hanya menyalahkan lelaki itu tanpa menyalahkan ibuku yang bersikap lemah. Aku hanya ingin mendapat kesempatan satu kali saja melihat tampang lelaki yang tidak menghormati kehormatan wanita itu..."
"...dan memanggilnya 'ayah'?"
"Tidak, buat apa? Melihat satu kali saja sudah berlebihan. Lelaki yang hanya bisa menghadirkan seorang jabang bayi ke dunia, apa hebatnya? Asal kelaminnya normal, semua juga bisa, tetapi kejantanan juga diukur dari rasa tanggung-jawabnya. Dia tidak bertanggung-jawab sama sekali, dia pengecut besar! Aku tidak berhutang apa-apa kepadanya, sebab yang memelihara dan mendidik aku malah orang lain". Dalam geramnya, Liu Beng telah mengucapkan kata-kata kasar itu. Sedangkan Sebun Him merasa hatinya tertusuk, di dalam hatinya dia menjerit membela diri.
"Tapi perempuan itu juga harus paham bahwa aku punya cita-cita tinggi. Perempuan yang tidak memahami ini, hanya mengharapkan kebahagiaan diri sendiri dan keluarganya sendiri, akan menjadi belenggu bagi lelaki yang bercita-cita setinggi langit. Karena kau tidak memahami ini, A-heng, maka kau kutinggalkan dengan jabang bayi di perutmu...."
"Toaya, kau pucat sekali", suara Liu Beng menyeret Sebun Him kembali ke dunia nyata.
"Apakah Toaya benar-benar sehat?"
"Aku...aku hanya kurang tidur, A- beng..."
Sesaat ruangan itu sunyi, hanya dengus napas Sebun Him yang terdengar berat, diperhatikan oleh Liu Beng dengan perasaan heran campur cemas.
Sebun Him menghitung-hitung apa yang sudah dicapainya dengan perjuangan gigihnya selama bertahun-tahun.
Kehormatan besar di dunia persilatan, usaha dagangnya yang beranak cabang di seluruh pelosok negeri dan setiap tahun mengalirkan jutaan keping emas ke kantongnya, dan itu masih belum memuaskannya.
Dia ingin bermain pula di panggung kekuasaan, dengan merintis hubungan dengan Tit-hun-ong In si yang menjanjikan akan mengangkatnya sebagai Gubernur Siam-sai kalau pangeran itu berhasil naik tahta.
Untuk itu, seorang perempuan desa dengan bayi dalam kandungannya telah ditinggal begitu saja.
Ia kawin dengan seorang gadis anak tunggal seorang hartawan besar, gadis yang kemudian memberinya Sebun Hiong dan Sebun Giok, mewarisi dan mengembangkan kekayaan mertuanya sampai menjadi usaha dagang raksasa yang bagaikan mercusuar.
Bayi dalan kandungan perempuan desa itu dilupakannya.
padahal bayi itu adalah darah dagingnya sendiri, seperti juga Sebun Hiong dan Sebun Giok.
Tiba-tiba Sebun Him mengulur sepasang tangannya dan memeluk Liu Beng erat-erat.
"Kasihan kau, nak. Aku mohon, tinggallah terus di rumah ini, agar bisa ikut menikmati masa depan yang gemilang sebagai tebusan atas kesalah....eh, penderitaanmu di masa lalu..."
Sikap Sebun Him yang luar biasa itu membuat Liu Beng berpikir dengan curiga.
"Aneh benar sikap Toaya ini. Jangan-jangan ...dia adalah ...ah, tidak mungkin. Lelaki itu adalah seorang pengecut, sedang Sebun Him adalah seorang satria sejati dunia persilatan yang bahkan berani menentang Hek-eng-po terang-terangan..."
Sebun Hm sendiri sudah tergoda untuk membeberkan semua rahasia kepada Liu Beng, ya, hampir tak kuat menahan luapan kasih sayang bercampur rasa bersalahnya.
Tapi ....tiba-tiba ia ingat isterinya yang masih menguasai sebagian besar hartanya atas nama mertuanya, bagaimana kalau isterinya yang pemarah itu tahu bahwa dirinya punya anak dari perempuan lain? Dia juga punya nama baik.
Bagaimana kalau dunia persilatan yang mengenalnya sebagai pendekar agung itu tahu-tahu mendengar bahwa sang pendekar agung ternyata punya seorang anak di luar nikah? Tidakkah namanya akan dicemoohkan orang? Tidakkah usaha dagangnya akan- terganggu? Beberapa saat Sebun Him merasakan pertentangan batin dalan dirinya.
Perempuan desa yang dltinggalkannya dianggap belenggu penghalang cita-citanya.
Dikejarnya kehormatan, kejayaan, kemasyhuran, kemenangan, tapi tidakkah itu juga belenggunya? Untuk menceritakan kebenaran kepada darah-dagingnya sendiri harus dipertimbangkan dari segala segi, dan akhirnya memutuskan untuk tutup mulut...
"Baiklah, Toaya", terdengar Liu Beng menyahut.
"Kalau aku berada terus di rumah ini, aku tidak ingin menjadi seperti gelandangan di penampungan. Akupun akan bekerja, dan berdiri di atas kakiku sendiri, tidak ingin mendapatkan yang serba gratis". Ada keangkuhan terselip dalam kalimat itu. Liu Beng memang pernah berpakaian seperti gelandangan, tapi tidak pernah berjiwa gelandangan. Sebun Him mengangguk memaklumi.
"Kerja keras, makan hasil keringat sendiri, memang kebanggaan bagi laki-laki,"
Katanya sambil menepuk pundak Liu Beng dengan hangat.
"Baiklah, gajimu akan aku tambah..."
"Jangan Toaya, yang wajar saja. Tidak usah ditambah lagi, sebab mendapat bayaran yang melebihi kemampuan sama saja dengan menumpang hidup kepada orang lain, meskipun dengan cara yang tidak kentara".
"Bukan main, anak ini", Sebun Him mendesah dalam hati. Rasa bangga dirinya malah melebihi Liu Jing-yang meskipun Liu Jing-yang mengenyam pendidikan yang lebih baik, bahkan...agaknya...juga melebihi aku di masa mudaku"
Dia ingat dirinya ketika masih muda, bagaimana dia meninggalkan pergurunnya di Hoa-san-pai dengan kebanggaan yang meluap- luap, sampai ingin mengalahkan Tong Lam - hou dan Pakkiong Liong yang jaman itu juga merupakan bintang-bintang muda dunia persilatan.
Namun akhirnya dia bertekuk lutut kepada seorang gadis yang harta-kekayaannya menggunung, sampai sekarang....
Sebun Him melangkah keluar dari kamar itu dengan langkah terasa berat.
diantar pandangan mata Liu Beng yang masih belum hilang rasa herannya.
Semua yang terjadi rasanya sulit dikunyah dengan akal sehat.
**OZ** BAGIAN DUAPULUH SATU Sisa malam itu dilewati oleh Liu Beng dengan tidur yang gelisah.
Dan ketika ia mulai merasa mengantuk, justru pagi hari sudah tiba dan suasana ruma Keluarga Sebun mulai hidup.
Suara ketukan halus terdengar di pintu kamarnya, dan suara si A-cui yang lembut pula.
"Huciangkui, apakah perlu kami siapkan sarapan pagi dan air hangat untuk mandi Huciangkui sekarang?"
Liu Beng menjawab.
"Nanti saja, A cui, setelah matahari agak tinggi, aku akan berlatih silat dulu...."
"Baiklah, Huciangkui". Langkah-langkah di luar pintu terdengar menjauh. Masih berbaring santai di tempat tidurnya, Liu Beng menyeringai sendiri dan berkata sendirian pula.
"Aku.; ucapkan selamat kepadamu, Liu Huciangkui, tidak pernah kau impikan nasibmu akan berubah menjadi sebaik ini bukan?"
Lalu ia mendorong jendela terbuka, supaya udara segar pagi hari masuk ke kamarnya yang luas itu.
Dengan bertelanjang dada dia mulai melatih gerak-gerak silatnya, sesuai dengan pesan ayah-angkatnya, Hong Thai-pa, yang mengumpamakan ilmu silat yang tak pernah dilatih seperti pisau yang tak pernah dibersihkan dan diasah sehingga berkarat dan tumpul.
Liu Beng mulai dengan jurus-jurus tangan kosong Ki-lian-pai yang mengingatkannya kepada pelatihnya yang cantik di Ki-lian-san, Auyang Siau-hong.
Pukulan-pukulan Ki-lian-pai itu terasa makin cepat dan mantap setelah mendapat petunjuk ilmu pernapasan dan cara menyalurkan tenaga dari ayah-angkatnya.
Lalu dilatihnya sepasang tongkat besinya, dalam sepuluh jurus ajaran si Gajah Gemuk Pemabuk Hong Thai-pa.
Sepuluh jurus dari sepasang tongkat gergajian sumbu roda kereta rongsokan, namun ternyata pernah mengirim tiga nyawa dari Jai-mo-sam-long (tiga serigala berbulu coklat) ke pangkuan leluhur mereka.
Maka dalam kamar yang luas itu seolah timbul prahara kecil ketika Liu Beng melatih jurus-jurusnya yang bertenaga.
Kain kelambu dan lukisan-lukisan kertas yang tergantung di tembok sampai bergoyang-goyang terkena angin gerakannya.
Ketika salam hangat sang surya menjumpainya lewat jendela, ketukan di pintu terdengar lagi bersama suara A-cui "Huciangkui...."
Liu Beng menghentikan latihannya dan mengelap tubuhnya yang mandi keringat dengan sehelai handuk kecil.
"A-cui?"
"Huciangkui, matahari sudah naik. Apakah air hangat dan sarapannya boleh aku siapkan sekarang?"
"Baiklah. Pintu tidak dipalang", Terdengar suara A-cui bicara kepada orang lain, lalu pintu didorong terbuka, dua pegawai lelaki menggotong sebuah tong yang kemudian diisi air hangat dari belasan tong yang lebih kecil seperti kemarin. Muncul pula A-cui dan A-loan dengan macam-macam perlengkapan mandi, dan segalanya berlangsung seperti kemarin pula. Yang tidak ada sekarang hanyalah daki tebal yang menempel di kulit Liu Beng serta kutu-kutu rambut yang bergembira ria di kulit kepala Liu Beng. Sekarang Liu Beng benar-benar Huciangkui dari Keluarga Sebun yang terhormat. Hanya saja Liu Beng belum sampai hati mencopot celana kolornya di hadapan gadis- gadis itu, dia mencebur ke air hangat bersama celananya, lalu dibiarkannya dua pasang tangan lembut milik A-cui dan A-loan merayap- rayap di seluruh tubuhnya seperti empat ekor ular yang nakal.
"Aku merasa diriku seperti seorang bayi raksasa...."
Liu Beng berkedip- kedip dengan nikmatnya.
Setelah berpakaian rapi , lalu perutnya yang kosong kedatangan tamu berupa irisan- irisan daging bebek panggang dibungkus daun bawang yang harum.
Setelah itu siaplah ia menyongsong hari pertama dalam tugasnya sebagai Huciangkui Keluarga Sebun.
Tugasnya tidak berat, hanya berkeliling sambil mengawasi kerja para pegawai, menunjukkan hal-hal yang kurang beres dikerjakan, dan kadang-kadang menggulung lengan baju untuk ikut membereskan dengan kedua tangannya sendiri.
Liu Beng tidak ingin membiarkan sepasang tangannya menjadi tangan-tangan yang malas dan manja untuk pekerjaan-pekerjaan kasar.
Langkah Liu Beng setiap kali berhenti untuk membalas pegawai-pegawai yang membungkuk hormat kepadanya.
Lama-ama Liu Beng merasa menjadi Huciangkui kurang enak juga, pinggangnya mulai pegal karena terlalu sering membungkuk.
Akhirnya bungkukannya sekedarnya saja, lalu hanya mengangguk, dan akhirnya hanya menyeringai saja.
Tapi ketika lewat taman belakang, langkahnya benar-benar terhenti melihat Sebun Hiong dan Liu Jing-yang tengah berlatih silat di bawah siraman cahaya matahari pagi, sedangkan Sebun Giok duduk bercucuran keringat di pinggir arena sambil memangku pedangnya.
Agaknya habis berlatih pula.
Liu Beng melihat bagaimana Sebun Hiong yang bertubuh tegap dan tinggi itu bertarung garang dan kuat mirip seekor beruang yang sedang marah.
Semua gerakannya, terutama telapak tangannya, bergerak cepat dan mantap serta terarah, mengalir seperti bungkah-bungkah batu raksasa menggelinding dari puncak gunung yang longsor.
Setiap langkah kakinya juga mengandung perangkap.
Liu Beng melihat Liu Jing-yang melawannya dengan jurus-jurus ajaran keluarga Liu, dicampur jurus-jurus keluarga Sebun yang tidak terlalu matang, dicampur lagi dengan jurus-jurus aneh entah dari mana yang tidak dikaletahui Liu Beng.
Di Liu-keh-chung dulu Liu Beng pernah mengagumi majikan mudanya ini.
tapi sekarang ia melihat gerakan- qerakan Liu Jing-yang itu kurang mantap.
Memang cepat, dan penuh gerak kembangan yang indah, tapi kurang berguna.
Ia seperti seorang penari yang dihadapkan kepada seekor beruang yang mengamuk.
Terdesak terus, dan perlawanannya berakhir ketika kaki Sebun Hiong menyapu kuda-kudanya sehingga Liu Jing-yang roboh terkapar.
"Suheng terlalu hebat, aku belum sanggup menandingi", Liu Jing-yang bangkit sambil mengebas-ngebas pakaiannya yang menjadi kotor dilekati debu. Ketika melihat Liu Beng menontonnya di pinggir lapangan, Liu Jing-yang menjadi kurang senang dan membentaknya seperti membentak anjing.
"He, apa yang kau tonton? Ini bukan urusanmu, cepat pergi! Kacung tolol!"
Liu Beng memberi hormat tanpa menyebut sepatah katapun, lalu membalik badannya dan pergi. Namun dalam hati ia menggerutu.
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siauya Liu Jing-yang masih saja belum meninggalkan sifat-sifatnya sebagai tuan muda besar kepala seperti ketika di Liu-keh-chung dulu. Padahal saat ini, tidak sampai duapuluh lima pukulan saja aku pasti bisa merobohkannya."
Namun belum jauh melangkah, kuping Liu Beng sempat menangkap kata-kata Sebun Hiong yang mengejutkannya.
"Sute, kau memang belum matang dalam pukulan-pukulan ajaran ayah, tetapi jangan kecil hati sebab kau memang berguru belum sampai satu bulan. Hanya, sebaiknya tidak usah lagi menggunakan jurus-jurus liar dari gulungan kulit keluarga Liu itu..."
Dua patah kata "gulungan kulit"
Itulah yang membuat Liu Beng terkejut bukan main.
Benda itulah yang membuat Liu-keh-chung tercerai-berai, membuat seorang pendekar terhormat seperti Ko Jun-lim menjadi seorang kakek yang tega mengorbankan cucu perempuannya sendiri untuk sekedar mendapat keterangan dari Liu Beng tentang gulungan kulit itu.
Terakhir kali Liu Beng melihat benda itu ialah ketika ia dipanggil masuk ke ruang rahasia oleh Liu Hok-tong, waktu itu bersama Liu Tek-san.
Gulungan asli diserahkan kepada Liu Tek-san, yang palsu kepada Liu Beng untuk mengalihkan perhatian orang-orang yang mengincar benda itu.
Tapi kemudian Liu Tek- san diketemukan sudah terbunuh dan gulungan kulitnya lenyap.
Waktu itu semua orang Liu-keh-chung, termasuk Liu Beng, menduga orang hek-eng-po lah yang membunuhnya.
Tapi ketika pihak Hek-eng-po mencegat rombongan Liu-keh-chung di dekat Ki-lian-san dan masih juga menanyakan tentang gulungan kulit itu, Liu Beng heran.
Lalu siapa yang mengambilnya dari tubuh Liu Tek-san? Tidak mungkin Hek-eng-po hanya membunuhnya dan tidak menggeledah tubuhnya.
Jantung Liu Beng berdegup keras, siapa yang membunuh Siauya Liu Tek-san? benarkah orang Hek-eng-po? atau...
atau...Liu Jing-yang sendiri?"
Jarak Liu Beng dengan tiga orang muda yang bercakap-cakap itu sudah hampir duapuluh langkah.
Bagi kuping biasa, tak mungkin menangkap percakapan lirih dalam jarak sejauh itu dan menentang angin pula.
Tapi Liu Beng sudah mendapat ajaran lwe-kang dari ayah-angkatnya, sehingga panca- inderanya pun tajam sekali.
Semua kata-kata Liu Jing-yang bisa didengarnya jelas, sepatah kata demi sepatah kata.
Lalu ia pura-pura berjongkok memeriksa sebuah rumpun bunga, dan kupingnya ditajamkan.
Sebaliknya Liu jing-yang bicara seenaknya karena mengira Liu Beng tetap aja si kacung tolol berilmu rendah yang ditemukan kakeknya sebagai gelandangan cilik di pinggir jalan dulu.
"Suheng, meskipun kakekku menyerahkan gulungan kulit itu kepadaku untuk membalas dendam kepada Hek-eng-po, karena aku adalah cucu tertua yang dipercayainya, tapi jurus-jurus dalam gulungan kulit itu bukan jurus-jurus keluarga Liu. Ilmu keluarga Liu adalah aliran bersih, sedang jurus dalam gulungan kulit itu adalah ilmu liar. Kakekku mendapatkannya secara tidak sengaja, ketika di masa mudanya membunuh seorang tokoh golongan hitam". Darah Liu Beng mendidih mendengar kalimat "kakekku menyerahkan gulungan kulit kepadaku"
Itu. Terbayang kematian menyedihkan dari Liu Tek-san yang mayatnya sampai dikerumuni semut, terbayang pula keluarga Sebun yang bersikap baik itu bakal dimasuki. seekor "musang berbulu ayam"
Semacam Liu Jing-yang, meluaplah darah Liu Beng. Liu Jing-yang memang bekas majikannya, tetapi bukankah Liu Tek-san juga majikannya yang mati penasaran? Karena itulah Liu Beng tak sanggup mengendalikan diri lagi, tiba-tiba ia bangkit dan membentak.
"Siauya Liu Jing-yang, kau pendusta besar!"
Ketiga orang putera-puteri dan murid Sebun Him itu terkejut, terutama Liu Jing-yang yang tidak menduga kalau Liu Beng berhasil menangkap kata-katanya dari jarak sejauh itu.
Sesaat mukanya pucat karena kaget dan kuatir rahasia kejahatannya akan terbongkar, namun kemudian berubah menjadi merah padam karena marahnya.
"A-beng, kau ini cuma sorang jongos, lancang benar berani nguping pembicaraan kami dan malah menuduhku berdusta!"
"Kebohongan tetap kebohongan, tidak boleh diselubungi menjadi seolah-olah kebenaran!"
Bantah Liu Beng yang juga marah.
"Kurang ajar! Ketika kau nyaris mampus kelaparan, keluarga siapa yang memungutmu dari emperan toko, memberimu pakaian, makanan dan tempat berteduh? sekarang kau berani melawan aku?!"
"Justru karena Loya Liu Hok-tong menanam budi begitu besar terhadapku, aku harus mempertaruhkan nyawaku untuk melaksanakan pesan-pesannya. Gulungan kulit itu dengan mata kepalaku sendiri aku lihat diserahkannya kepada Siauya Liu Tek-san, bukan kepadamu! Kenapa Siauya Liu Tek-san mati, gulungan kulitnya hilang, dan tahu-tahu ada padamu? Kalau kau tidak bisa menjelaskan ini dengan meyakinkan, susah menqhapus kecurigaan terhadapmu, Siauya!"
Lalu kepada Sebun Hiong, Liu Beng berkata.
"Sebun Siauya, aku bersikap begini untuk menjaga jangan sampai Keluarga Sebun yang terkenal bersih dan terhormat ini disusupi seorang pembunuh gelap yang menyembunyikan rencana keserakahannya!"
Keruan saja Liu Jing-yang semakin berkeringat dingin ketika mendengar Liu Beng bicara semakin berani. Cepat-cepat ia berkata kepada Sebun Hiong pula.
"Jangan dengarkan kacung yang pintar bohong itu, Suheng. Sejak di Liu-keh- chung memang dia sudah tidak suka kepadaku karena aku sering merintangi maksud jahatnya. Ia sekarang sengaja menyusul aku untuk memfltnah dan mengadu domba kita, meskipun berpura-pura menunjukkan sikap seolah setia kepada pesan kakekku...."
"Betul, koko!"
Sebun Giok yang tengah dimabuk cinta kepada Liu Jing-yang itupun mendukung Liu Jing-yang.
"Liu Sute adalah adik seperguruanmu sendiri, dan kacung gembel itu baru kita ketemukan kemarin di pinggir jalan, tidak bisa dipercaya! Biar aku mengusirnya sekarang juga...."
Dan sekali Sebun Giok bilang hendak mengusirnya, diapun langsung bertindak tanpa menunggu siapapun juga.
Sepetak kecil pohon bunga langsung dilompatinya dengan lincah, pedangnya berkeredep dan ujungnya langsung menikam tenggorokan Liu Beng dengan gerakan Giok-li-coan-ciam (bidadari melempar jarum).
Demi kekasihnya, Sebun Giok bukan hanya ingin mengusir Liu Beng ke luar rumah keluarga Sebun, tapi bahkan langsung ke akherat pula.
Liu Jing-yang bersorak dalam hati.
Sedangkan Sebun Hiong berteriak dengan gugup.
"A-giok, jangan!"
Tapi ujung pedang adik perempuannya itu sudah tinggal berjarak seujung jari dari leher Liu Beng...
Hanya saja, jarak yang tinggal seujung jari itu tak bisa diselesaikan oleh Sebun Giok, meskipun ia telah mendorong pedangnya sekuat tenaga.
Liu Beng dengan kuda-kuda yang kokoh telah berhasil menggunakan sepasang telapak tangannya demikian tepat dan cepat untuk menjepit batang pedang Sebun Giok.
Begitu kuatnya sehingga pedang itu seolah tertindih bukit batu yang kokoh kuat, padahal Sebun Giok sendiri meskipun seorang gadis namun puteri Sebun Him yang mendapat didikan silat sejak kecil.
Kini toh tak berdaya...
Sebun Hiong dan Liu Jing-yang terkejut melihat cara pembelaan diri Liu Beng itu.
Itulah cara yang luar biasa.
Liu Jing-yang melongo melihat bekas kacungnya yang sering diremehkannya itu ternyata mampu berbuat demikian, sedang dirinya saja merasa belum sanggup berbuat serupa, meskipun pernah mempelajari gulungan kulit itu sebagian isinya.
Saat itu Sebun Giok bukan lagi mendorongkan pedang untuk menusuk leher Liu Beng, tapi menariknya sekuat tenaga, dan justru saat itulah Liu Beng melepaskan jepitannya sehingga Sebun Giok terhuyung- huyung mundur, dan merusakkan beberapa pohon bunga yang diinjaknya.
"Maaf, siocia..."
Liu Beng membungkuk hormat kepada Sebun Giok.
"Sikapku barangkali kau anggap tidak tahu adat, namun aku hanya ingin membeberkan agar keluarga Sebun jangan sampai tertipu. Dengan wajah pucat dan merah padam bergantian, Sebun Giok berjalan ke samping kakaknya dan Liu Jing-yang.
"Koko, Liu Sute, kalian harus membalaskan penghinaan yang telah dilakukan jembel kotor itu terhadapku..."
Lalu senjata kaum wanita sedunia pun diperagakan, air mata.
Sesungguhnya Liu Jing-yang sendiri ingin mencekik remuk leher Liu Beng, namun setelah tadi melihat kehebatan Liu Beng, iapun menjadi keder sendiri.
Ia belum tentu mampu menindak Liu Beng dengan tangannya sendiri, maka ia harus "pinjam tangan"
Sebun Hiong.
"Suheng, kacung ini berdusta. Coba pikirkan, mungkinkah kakekku yang sangat merahasiakan gulungan kulit itu menyerahkannya kepada adik-misanku LiuTek- san dengan dihadiri orang ke tiga? Apalagi orang ke tiga itu hanya jongos macam dia? Mustahil bukan? Dan lihatlah sekarang sikap kurang-ajarnya kepadaku dan kepada A-Giok. Kalau dibiarkan saja, dia akan semakin kurang ajar di kemudian hari, karena sudah wataknya yang tidak tahu membalas budi!"
Sebun Hiong juga punya pendirian, bukan seorang yang mudah digiring atau diperalat semaunya.
Ia tidak dapat mengingkari perasaannya,bahwa terhadap Liu Beng yang baru sehari di rumahnya, ia merasa lebih suka daripada kepada Liu Jing-yang yang sudah sebulan di rumah dan menjadi adik seperguruannya.
Semakin lihai Liu Jing-yang menunjukkan kemahiran silat lidahnya, semakin waspada Sebun Hiong kepadanya.
Sedang Liu Beng lugu itu malah menimbulkan simpatinya.
Karena itu, kemudian Sebun Hiong menghentikan penyerocosan Liu Jing-yang dengan suara tegas.
"Sudahlah, Sute. Kalau ucapan A-Beng tidak benar, anggap saja angin lalu, kenapa kau jadi kelabakan seperti kakek- kakek kebakaran jenggot?"
Dalam kalimat pendek itu malahan terkandung pembelaan untuk Liu Beng, seolah Sebun Hiong secara halus mengatakan bahwa ucapan Liu Beng cukup beralasan sehingga Liu Jing-yang menangkis ucapannya dengan kelabakan.
Liu-Jing-yang bungkam seketika, namun dalam hati kuatir bukan main kalau Liu Beng mengoceh lagi panjang lebar, menceritakan segala tingkah lakunya di Liu- keh-chung dulu, bagaimana Liu Jing-yang memperkosa dan menghancurkan pasangan Ui Kiong dan Yo Kim-hua hanya karena mereka dianggap "kurang hormat"
Kepadanya? Dan masih segudang kebusukan Liu Jing-yang yang diketahui jelas oleh Liu Beng yang saat itu tak berdaya mencegahnya.
Liu Jing-yang merasakan benar bahwa rencana-besar yang tengah disusunnya dalam Keluarga Sebun, terancam oleh kehadiran Liu Beng di tempat itu.
"Suheng, A-beng sudah begitu kurang ajar dan dia adalah orang Keluarga Liu, ijinkanlah aku menghukumnya dengan wewenang dari keluarga Liu, tanpa campur tangan orang luar!"
Akhirnya Liu Jing-yang nekad.
Ia sadar, bahwa Liu Beng sekarang bukanlah seekor kelinci hina yang bisa disembelih begitu saja, namu Liu Jing-yang berharap jurus-jurus ganasnya yang dipelajari dari gulungan kulit itu akan berhasil membungkam mulut bekas kacungnya itu.
Namun lagi-lagi Sebun Hiong menjadi batu penghalang yang tak tertembus.
"Sekarang Liu Beng adalah Huciangkui dari keluarga Sebun, bukan orang keluarga Liu lagi. Ingatlah itu Sute". Liu Jing-yang menyumpahi dalam hati agar delapanbelas geledek menimpa kepala kakak seperguruannya itu. Ia bungkam, namun ganti Sebun Giok yang bicara.
"Kalau begitu, biarlah aku sebagai puteri keluarga Sebun yang akan membunuhnya, membalas penghinaannya kepadaku tadi!"
"A-Giok, kalau seorang yang tenggorokannya hendak ditusuk pedang lalu membela diri itu namanya penghinaan? Aku rasa tadi A-beng sudah bersikap hormat kepadamu sebagai puteri ayah, ataukah rasa hormat itu harus diwujudkan dengan menjulurkan lehernya sendiri ke ujung pedang?"
Sebun Giok membanting-banting kaki dengan jengkelnya.
"Koko, sikap yang kau tunjukkan ini membuat gembel hina itu akan menjadi besar kepala! Kalau pegawai-pegawai lain kelak mengikuti sikapnya, tata-tertib keluarga ini akan hancur berantakan! Ia harus dibunuh!"
"Aku tidak membelanya membabi-buta, hanya menganjurkan Liu Sute tidak usah terpengaruh obrolannya. Kelak aku sendiri yang akan mengajari tata-tertib kepadanya."
Lalu Sebun Hiong menoleh kepada Liu Beng dan berkata dengan tegas.
"Pergilah. Lain kali jangan lancang menguping pembicaraan kami, apalagi ikut bicara dan menuduh sembarangan!"
Hampir saja Liu Beng berteriak membantah bahwa ia tidak menuduh sembarangan, namun ia tidak ingin membuat Sebun Hiong kehilangan muka. Karena itulah ia mengangguk hormat kepada Sebun Hiong dan berkata.
"Baiklah, aku minta maaf bahwa aku telah mengganggu latihan Siauya dan Siocia". Kepada Sebun Giok dia mengangguk sedikit, dan tidak sama sekali kepada Liu Jing- yang. Hatinya sedih bahwa cucu Liu Hok-tong "dewa penolong"nya yang amat dihormati itu ternyata bermartabat semacam itu. Lalu ia berlalu. Ketika Liu Beng sudah menghilang, berkatalah Liu Jing-yang.
"Aku memang tidak bisa lagi bertindak atas A-beng yang sudah menjadi Huciangkui Keluarga Sebun, tapi apakah ia akan dibiarkan menyebar fitnah semaunya atas diriku?"
"Sudahlah, Sute", kata Sebun Hiong.
"Nanti aku yang menegurnya. Yang penting kita lanjutkan latihan, pertemuan segitiga di Siong-san sudah dekat. Aku akan mewakili ayah menguji ilmu silat dengan murid-murid andalan Siau-lim-pai dan Hwe-liong-pang."
Liu Jing-yang meladeninya dengan ogah-ogahan, membuat Sebun Hiong merasa tidak enak pula.
Akhirnya ia biarkan saja Liu Jing-yang dan Sebun Giok mengundurkan diri, dan ia berlatih sendirian sampai hampir tengah hari.
Sekilas timbul pikiran Sebun Hiong untuk memanggil Liu Beng dan dijadikan kawan latihan yang tentu memadai, bahkan lebih memadai dari Liu Jing-yang yang tidak terlalu becus itu, namun lalu dibatalkannya sendiri.
Ia tidak mau hubungannya dengan Liu Jing-yang jadi terganggu kalau hal itu diketahui Liu jing- yang.
Ia dengar Siau-lim-pai punya seorang jago muda andalan yang bernama Si Liong-cu, mahir ilmu tangan kosong maupun senjata Siau-lim-pai yang termasyhur, yaitu toya.
Sedang Hwe-liong-pang punya juga seorang jago muda yang bukan lain adalah putera Ketua Hwe-liong-pang sendiri, Tong Gin-yan.
Meskipun pertemuan segitiga itu hanya pertemuan persahabatan, namun Sebun Hiong berlatih serius untuk menyongsongnya, sebab ia tidak ingin membuat nama keluarganya merosot pamornya di pertemuan nanti.
Malam harinya, ketika Liu Beng sudah hampir tidur dengan perut yang kenyang, mendadak pintunya diketuk.
Ketukannya agak kasar, jelas bukan A-cui atau A-loan yang mengetuknya.
Ia membukakan pintu kamarnya, dan melihat yang berdiri di depan pintu adalah Liu Jing-yang.
Sesaat suasana canggung muncul di tara dua orang muda yang dulu merupakan si tuan muda dan si kacung, gara-gara perselisihan siang tadi.
Namun kemudian Liu jing-yang memaksa diri unuk bersikap ramah.
"A-beng, bolehkah aku masuk untuk berbicara denganmu?"
Kalau biasanya ia berkata kepada Liu Beng dengan nada memerintah, melarang atau mencemooh, maka inilah untuk pertama kali dia berbicara dengan nada memohon.
Bagaimanapun juga Liu Beng tak bisa bebas dari pengaruh masa lalu.
Terpaksa iapun menyingkir dari pintu dan berkata.
"Silahkan, Siauya..."
"Malam sudah selarut ini, kau belum tidur juga, A-beng?"
Liu Jing-yang berusaha mempengaruhi Liu Beng dengan sikap ramahnya. Ia sudah duduk di kursi.
"Apa yang hendak siauya bicarakan?"
Sahut Liu Beng kaku, gambaran mayat Liu Tek- san belum lenyap dari benaknya dan ia mencurigai orang yang duduk di hadapannya itu.
"A-beng, tentang perselisihan kita di taman belakang tadi siang itu..."
Liu Jing-yang berpikir sejenak, lalu melanjutkan.
"Rasanya tidak seorangpun dari kita berdua yang patut disalahkan dan harus minta maaf. Itu hanya kesalah-pahaman dan bukan kesalahan siapapun. Aku bisa memahami kau begitu marah, sebab kau sangat setia kepada Liu Tek- san. Tapi kaupun harus berusaha memahami aku, sebab akupun marah tiba-tiba dituduh melakukan apa yang tidak pernah aku lakukan..."
Liu Beng bungkam dengan wajah dingin. Sedang Liu Jing-yang berhasil menampilkan wajah yang seolah amat sedih, bahkan matanya menjadi berkaca-kaca ketika ia berkata.
"Kematian Liu Tek-san membuatku sedih juga, dan bukan aku yang membunuhnya. Sejahat-jahatnya aku, mana tega aku membunuh saudara sepupuku sendiri hanya untuk gulungan kulit yang berisi pelajaran silat liar itu?"
"Hem. lalu kenapa gulungan kulit yang seharusnya ada di tangan Siauya Liu Tek-san itu berpindah ke tanganmu?!"
Dengus Liu Beng.
"Aku bersumpah, bukan aku yang membunuhnya. Aku kira, piau-te (adik misan) terbunuh oleh orang Hek-eng-po, namun pada saat terbunuh itu dia tidak sedang membawa gulungan kulit itu sehingga mereka gagal mendapatkannya. Sedangkan aku..."
Sesaat Liu jing-yang memutar otak utuk mengarang cerita yang meyakinkan, kemudian.
"...aku mendapat gulungan kulit itu dari tangan Ko Jun-lim, ketua Pek-kiam-pai, pengkhianat itu!"
Sambil berkata demikian, Liu Jing-yng memperhatikan wajah Liu Beng untuk melihat bagaimana sikap kacung itu ketika mendengar cerita bohongnya. Ia lega ketika melihat Liu Beng nampak sedikit mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Jadi Siauya merebutnya dari tangan Ko Jun-lim? Orang tua itu memang kaki tangan Hek-eng-po yang menyusup ke Liu-keh-chung. Di mana orang tua itu sekarang?"
Liu jing-yang pura-pura mengertak gigi dan mengepalkan tinjunya, ia berbakat sebagai pemain sandiwara ulung, dan Liu Beng berbakat sebagai penonton yang baik.
"Orangtua itu? Hem, aku su ldah membunuhnya dengan kedua tanganku sendiri. Boleh tanyakan kepada orang-orang Keluarga Sebun kalau kau masih kurang percaya..."
Kalimat "boleh tanyakan keluarga Sebun"
Itulah yang seperti angin yang menyapu bersih sisa keraguan dan kecurigaan Liu Beng terhadap Liu Jing-yang.
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Begitu meyakinkan.
Tiba-tiba Liu Beng berlutut di depan Liu jing-yang sambil berkata, 'Kalau begitu, Siauya, aku bersalah telah menuduhmu.
Aku minta maaf, Siauya..."
"Syukurlah kalau kau mempercayainya" , kata Liu Jing-yang. Pada saat Liu Beng berlutut di depannya dengan kepala menunduk itu, sebenarnya Liu Jing-yang tergoda untuk melepaskan sebuah hantaman sekuat tenaga ke jalan darah Pek hwe-hiat di ubun-ubun Liu Beng, supaya "duri dalam daging"
Itu sekalian musnah dan tidak mengganggu rencana- rencananya.
Namun ingat bagaimana tadi siang Liu Beng menjepit pedang Sebun Giok dengan mudah, Liu Jing-yang jadi ragu-ragu sendiri.
Bagaimana kalau serangannya gagal? Akhirnya Liu Jing-yang menindas kuat-kuat godaannya itu, toh untuk sementara waktu Liu Beng bisa "dijinakkan"
Dengan cerita bohongnya tadi.
Meskipun lain kesempatan ia berketatapan untuk membinasakan Liu-Beng, namun haruslah menunggu kesempatan yang benar- benar tidak ada kemungkinannya untuk meleset seujung rambutpun.
Ia tidak ingin main untung-untungan dengan rencana besarnya, semua tindakan harus cermat diperhitungkan.
"Bangunlah, A-beng. Kau tidak bersalah. Justru aku kagum dan berterima kasih melihat kesetiaanmu yang begitu besar kepada Kakek Liu Hok-tong dan keturunan- keturunannya...."
"Terima kasih, Siauya". Liu Beng sudah bangkit kembali dan duduk di kursinya.
"Tetapi...kalau keluarga Sebun mengetahui bahwa Siauya yang membunuh Ko Jun-lim, kenapa tadi Siauya bohongi Sebun Kongcu dengan mengatakan bahwa gulungan kulit itu Siauya terima dari kakek Liu Hok-tong..."
Diam-diam Liu Jing-yang memperigatkan diri sendiri terhadap Liu Beng yang bertampang tolol namun sebenarnya berotak tajam ini.
Menganggap bodoh Liu Beng sama saja dengan melengahkan diri sendiri, begitu Liu Jing-yang berseru dalam hati.
Diapun menjawab.
"Memang keluarga Sebun hanya tahu akulah yang membunuh Ko Jun-lim, namun tidak ku beritahu tentang aku mengambil gulungan kulit itu dari Ko Jun-lim. Ada alasan tertentu untuk merahasiakan hal itu..."
Sesaat Liu Jing-yang mengerutkan kening untuk mencari alasan yang tepat, lalu.
"Aku pikir pertentangan dan pengkhianatan antar keluarga bukanlah sesuatu yang membanggakan untuk diceritakan kepada orang luar, betul bukan?"
"Tetapi terhadap Keluarga Sebun yang telah menerima kita dengan tangan terbuka, apakah kita masih harus menganggapnya sebagai orang luar?"
"Tidak", buru-buru Liu Jing-yang berkata.
"Itulah sebabnya gulungan kulit pembawa malapetaka itu aku serahkan untuk disimpan oleh Suhu Sebun Him, membuktikan kebersihan hatiku bahwa aku sama sekali tidak ingin memilikinya, apalagi kalau harus dengan saling membunuh antar saudara sepupu. Tapi kalau menyembunyikan sesuatu yang memalukan dalan keluarga sendiri, itu sikap wajar bukan?"
Begitulah, dengan jurus silat lidahnya, sebentar saja Liu Jing-yang berhasil menundukkan hati Liu Beng. Kini dalam pandangan Liu Beng, sang bekas tuan muda itu adalah malaikat yang suci bersih tak bernoda.
"Siauya, dari jauh aku menyusulmu bukan sekedar untuk mendapat tempat berteduh yang enak dan ongkang-ongkang kaki seperti saat ini".
"kata Liu Beng tina-tiba.
"Namun ada satu hal yang harus kukatakan kepadamu".
"Soal apa?"
Tanya Liu Jing-yang berdebar-debar.
Jangan-jangan pertanyaan- pertanyaan yang menyulitkan lagi? "Siauya, maafkan kalau aku bicara terlalu terus terang.
Siauya sekarang ini alah cucu lelaki satu-satunya dari keluarga Liu yang masih ada, apakah pantas kalau Siauya hidup enak di sini dan melupakan sakit hati keluarga? Sedangkan aku yang hanya seorang kacung..."
"Aku mengerti, aku mengerti,"
Liu Jing- yang cepat menukas.
"Dendam sakit hatiku terhadap Hek-eng-po tidak akan pernah kulupakan. Di sebuah kuburan ama, aku pernah bertarung dengan orang-orang Hek- eng-po sehingga hampir mampus, untung saja muncul beberapa pendekar yang menyelamatkan nyawaku. Dan selama aku berada di keluarga Sebun ini, kau pikir aku enak-enak saja? Aku berlatih keras setiap hari agar kelak dapat membalas dendam". Liu Beng mengerutkan kening mendengar itu. Berlatih keras? Berlatih keras dengan cara bagaimana? Setiap haru Liu Jing- yang hanya latihan tidak lebih dari satu jam, keluar keringat sedikit saja terus berhenti. Waktunya lebih banyak digunakan untuk keluyuran bertamasya atau berbelanja di kota Se-shia bersama Sebun Giok, berbeda sekali dengan cara Liu Benq latihan yang prihatin dan bersungguh-sungguh sejak dari Ki-lian-san dulu. Kalau cara berlatihnya macam Liu Jing- yang, entah berapa puluh tahun lagi baru bisa mengalahkan orang-orang Hek-eng-po? Namun Liu Beng saat itu merasa kurang enak untuk mendesak dan menegur bekas tuan mudanya itu, toh lain kali masih ada kesempatan untuk mendorongnya agar latihan lebih sungguh-sungguh. Sedang dalam dirinya sendiri Liu Beng bertekad untuk melatih ilmunya sehingga memadau untuk kelak menggebrak Hek-eng-po...
"Siauya, untuk menyelidiki jejak majikan Hek-eng-po agaknya tidak usah menunggu sampai ilmu kita menjadi tinggi,"
Kata Liu Beng tiba-tiba.
"Sebelum kita sanggup adu otot, toh kita pua otak..."
"Maksudmu?"
Karena bersemangatnya, Liu Beng lupa bahwa yang dikatakannya itu adalah sebuah rahasia penting yang tak bisa diumbar sembarangan di mulut.
"Siauya, kau tahu tidak bahwa Toko Kain Hin-seng Jalan Pak-toa-kai di kota Se-shia itu barangkali saja merupakan salah satu pos Hek-eng-po? Bagaimana kalau besok kita selidiki ke sana?"
Liu Jing-yang tertarik mendengar hal yang baru itu.
Ingat Hek-eng-po, dendamnya berkobar seketika, namun juga bercampur rasa gentar.
Memang ia pernah berhasil membunuh Gip-hiat-koai (siluman pengisap darah) Pek Hong-teng, keika masih menguasai jurus-jurus ganas dari gulungan kulit itu.
Namun Pek Hong-teng cuma jago kelas dua dalam Hek- eng-po.
Kalau benar toko kain itu sarang Hek- eng-po, tentu dijaga oleh beberapa jagoan lihai mereka.
Tidak usah jagoan mereka yang kelas satu, cukup tiga atau empat jagoan kelas dua saja sudah akan membahayakan dirinya dan Liu Beng.
"Bagaimana, Siauya?"
Liu Beng mendesak.
"Kita harus ingat sakit hati keluarga Liu dan pegawai-pegawainya yang ditumpas semana-mena oleh Hek-eng-po...
"Tapi...tenaga kita berdua apakah cukup?"
Sahut Liu Jing-yang yang nyalinya tidak sebesar nyali Liu Beng.
"Apakah tidak perlu mengajak Suhu, Suheng...?"
"Siauya, kalau datang dengan begitu banyak orang, itu namanya bukan menyelidiki tetulapi menyerbu terang-terangan, padahal yang bakal kita temukan itu belum tentu Majikan Hek-eng-po sendiri tapi mungkin cuma keroco-keroconya saja,"
Sahut Liu Beng.
"Kalau gagal menemukan jejak Ketua hek-eng-po, bukankah tindakan kita ini seperti memukul rumput mengejutkan ular, yang mungkin malah tidak dibenarkan oleh Toaya Sebun Him!"
"Jadi...jadi bagaimana?"
Liu Jing-yang benar-benar ngeri kalau diajak nyerempet- nyerempet bahaya seperti itu.
"Ya kita berangkat berdua saja..."
"Apa kau sudah gila? Bagaimana kalau bertiga dengan Ho Ciangkui? Ilmu silatnya lumayan juga, eh, berempat sekalian dengan A-Giok, sebab dia pasti minta untuk ikut kalau tahu aku hendak pergi ke Se-shia!"
"Cukup bertiga saja dengan Sebun siocia. Bukankah kita tidak berangkat untuk bertempur tetapi hanya menyelidi? Apa salahnya kita pura-pura melihat-lihat sambil memperhatikan keadaan atau orang-orang yang mungkin mencurigakan? Sebun Toaya akan gembira mendengar hasil penyelidikan kita..."
Liu Jing-yang kuatir kalau dirinya menghindar terus-terusan maka ia akan dikira bernyali kecil oleh Liu Beng. Apa boleh buat, sambil membusungkan dada dia menjawab.
"Baik, besok kita berangkat bertiga ke Se-shia. Masa aku takut?"
Namun di dalam hatinya ia diam-diam mengutuk Liu Beng yang dianggapnya senang cari kesulitan.
Diam-diam pula dia merencanakan.
besok sebelum berangkat, dia akan lebih dulu minta ijin kepada Suhunya, dia mengharapkan Suhunya mau melindungmya apabila benar-benar kepergok jago-jago Hek- eng-po.
Kalau tidak mellndungi terang- terangan, ya setidaknya melindungi secara diam-diam.
Begitulah, malam itu si bekas tuan muda dan si bekas kacung dari Liu-keh-chung sudah "berdamai"
Dan bahkan bersepakat besok paginya akan menyelidik ke kota Se- shia, meskipun Liu Jing-yang agak gelisah membayangkan betapa saktinya iblis-iblis Hek- eng-po yang membantai keluarganya itu.
Merekapun berpisahan untuk tidur di kamarnya masing-masing.
**OZ** BAGIAN DUA PULUH DUA Keesokan harinya, Liu Jing-yang mengharap agar Liu Beng lupa janjinya di malam untuk pergi ke Se-shia, namun ternyata Liu Beng tidak lupa.
Bahkan, baru saja Liu Jing-yang bangun tidur dan belum sempat apa- apa, Liu beng sudah mengetuk pintunya.
"Siauya, kita berangkat sekarang?"
Liu Jing-yang menjawab dengan jengkel.
"Tentu saja aku harus mandi dan makan dulu, begitu pula Sebun Giok. Kau lebih dulu siapkan kuda dan perlengkapan lain!"
"Baik, Siauya". Sengaja Liu Jing-yang bertlndak malas- malasan, sebab ia sebenarnya sangat enggan menyerempet bahaya dl Se-shia. Tapi ia malu kalau sampai kelihatan kalah berani dari Liu Beng. Selesai berdandan dan makan, memberitahu Sebun Giok dan juga Suhunya, mereka bertiga berangkat ke kota Se-shia yang tidak lebih sepuluh li dari rumah Keluarga Sebun. Liu Beng menempatkan diri sebagai kacung yang tahu diri. Ia berkuda agak di belakang, dan membiarkan Liu Jing-yang serta Sebun Giok berkuda di depan berdampingan. Puteri keluarga Sebun itu memang genit sekali, terlihat dari sikapnya terhadap Liu Jing-yang, namun ia sebentar-sebentar menatap dengan muka marah ke arah Liu Beng. Agaknya belum melupakan peristiwa kemarin di taman belakang.
"Sudahlah, A-giok, jangan hiraukan kacung itu", Liu Jing-yang berbisik dan berusaha supaya Liu Beng tidak dapat menangkap suaranya.
"Kemarin malam kacung itu menemui aku dan menangis-nangis minta maaf kepadaku atas kelakuannya siang harinya. Aku tidak tega untuk tidak memaafkannya karena ia adalah kacung yang sudah cukup lama bekerja d Liu-keh-chung dulu."
"Tapi ia belum minta maaf kepadaku,"
Kata Sebun Giok jengkel.
"Ssst..". Liu Jing-yang begitu kuatir kalau Liu beng menangkap percakapannya dengan Sebun Giok.
"Nanti aku akan gertak dia agar minta ampun pula kepadamu Tapi, sekarang isilah pikiranmu denqan hal-hal yang menyenangkan saja agar perjalanan ini menyenangkan pula. Setuju?"
Akhirnya Sebun Giok tertawa juga.
Mereka masuk kekota Se-shia, orang- orang yang berpapasan memberi hormat kepada Sebun Giok yang mereka kenal sebagai puteri Keluarga Sebun.
Sikap orang-orang itu mengingatkan Liu Jing-yang akan sikap orang- orang Lok-yang kepada anggota keluarga Liu dulu.
Namun keluarga Liu ternyata tak sanggup mempertahankan kebesarannya dan tergilas oleh keganasan Hek-eng-po.
Kini, berada di tengah-tengah Keluarga Sebun, Liu Jing-yang merasa dirinya berada di sebuah perahu berlapis besi yang tahan gempuran ombak.
Dan ia ingin kelak dirinyalah nakhoda kapal itu, nakhoda tunggal.
Namun baru saja mereka bertiga ada di jalan raya di tengah kota itu, mendadak dari satu arah terlihat api menjulang tinggi, asap mengepul dan orang-orang berteriak-teriak sambil berlarian membawa ember, tong air, kain basah, kaitan bertangkai panjang dan lain-lainnya.
"Ada kebakaran di Jalan Pak-toa-kai!"
"Rumah siapa yang kena?"
"Toko Kain Hin-seng dan toko manisan di sebelahnya!"
Percakapan orang yang lari serabutan di jalan itu membuat Liu Beng terkejut.
Justru toko kain itu yang dicurigai sebagai salah satu pos Hek-eng-po yang hendak diselidikinya, kalau sampai kebakaran bukankah jejaknya akan terhapus? "Siauya! Kita harus cepat sampai ke toko itu!"
Seru Liu Beng, dan tanpa menunggu jawaban lagi ia telah menjepit perut kudanya kuat-kuat sehingga melompat mendahului Liu Jing-yang dan Sebun Giok.
Liu Beng belum tahu di mana Jalan Pak-toa-kai, tapi api yang menjulang tinggi itu seperti mercusuar bagi kapal di tengah laut.
Ke sanalah ia memacu kudanya.
Di tempat kebakaran, orang ramai sedang sibuk menyiram-nyiramkan air ke arah api, namun kacau dan tak teratur sehingga nyaris tak berpengaruh apa-apa terhadap kobaran si jago merah yang mengganas itu.
Di pinggir jalan, ada sekelompok lelaki, perempuan dan anak-anak yang mukanya pucat, dan menangis ketakutan serta tengah dihibur oleh beberapa orang.
Cepat Liu Beng melompat turun dari kuda dan mendekati orang-orang itu.
"Apakah ini keluarga pemilik toko kain yang terbakar itu?"
Tanyanya.
"Bukan", orang lainlah yang menyahut, sebab yang ditanya sendiri tidak sanggup menjawab.
"Mereka keluarga Chang, pemilik toko manisan buah Chang Goan yang terbakar itu, apinya merembet dari arah toko kain Hin- seng..."
"Di mana orang-orang penghuni toko kain itu?"
"Inilah anehnya. Begitu api berkobar, orang-orang toko Chang Goan, bahkan dari toko-toko lain yang berdekatan telah berhamburan keluar menyelamatkan diri, namun dari toko Hin-seng tidak ada yang keluar. Bahkan jeritan ketakutan ataupun minta tolong tidak kedengaran sama sekali..."
Liu Beng merasa, peristiwa kebakaran itu ada sesuatu yang kurang wajar.
Tiba-tiba ia merebut dua buah ember berisi air penuh yang sdang dibawa berlari seseorang di dekatnya, disiramkannya semua ke kepala dan tubuhnya sendiri sehingga basah kuyup.
Lalu tanpa pikir panjang lagi dia menerobos masuk ke bangunan toko Hin-seng, lewat bagian yang belum dimakan api.
**OZ** Bersambung ke
Jilid 21 Pojok Dukuh, 11-10-2018; 22.17 WIB TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.
Jilid 21
"He, apakah bocah itu kepingin mampus?"
Teriak orang-orang di jalan ketika melihat tindakan Liu Beng.
"bangunan itu sebentar lagi akan terkurung api dan tidak ada lagi jalan keluar!"
Liu Jing-yang serta Sebun Giok yang menyusul tiba di tempat itu, sempat pula melihat Liu Beng menerobos ke dalam api.
Sebun Giok mengerutkan alisnya, tak mengerti apa yang hendak dilakukan oleh pegawai baru di keluarganya itu.
Sedang Liu Jing-yang berharap mudah-mudahan Liu Beng mampus terbakar supaya tidak lagi mengganggu pikirannya.
Sedangkan Liu beng sendiri dengan menahan udara panas yang menyengat kulitnya dan asap yang memedihkan matanya, melihat bagian dalam rumah itu belum termakan api, tapi udaranya sudah menyesakkan napas.
Ia memang merasa aneh karena tidak mendengar suara seorangpun.
Tapi dengan nekad dia menerobos masuk ke dalam rumah sambil berseru.
"He, keluarlah! Aku akan membantu kalian keluar dari sini!"
Hanya gemeretak kayu termakan api yang menjawab seruannya itu.
Tanpa peduli kulitnya yang menjadi pedih karena air yang membasahi pakaiannya menguap menjadi uap panas, Liu Beng terus menerobos, dan hatinya berdesir melihat di ruang dalam ada mayat- mayat bergelimpangan.
Seisi rumah itu habis tertumpas, termasuk pegawai-pegawai rendahan sekalipun.
Dan jelas bukan mati karena sesak napas atau keracunan asap, melainkan karena terbunuh oleh sejenis pukulan yang maha dahsyat.
Dada mayat- mayat itu, yang seharusnya keras karena di balik kulit ada kerangka tulang, ternyata empuk seperti bantal kapuk sehingga mudah disimpulkan bahwa mereka sudah remuk tulang dadanya.
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Liu Beng jadi ingat mayat seorang anggota Hwe-liong-pang ketika dulu ia bertemu dengan Pakkiong Eng dan Tong Gin- yan.
Mayat itupun remuk tulang dadanya seperti itu, korban Majikan Hek-eng-po, dan Liu Beng yakin bahwa mayat-mayat dalam rumah terbakar itupun korban dari tangan yang sama.
Gigi Liu Beng gemeretak menahan marah.
Setiap kali melihat korban Hek-eng-po, ia bukan cuma ingat teman-temannya di Liu- keh-chung yang terbantai, tapi juga korban- korban berikutnya yang masih akan berjatuhan, entah sampai kapan.
Sebuah belandar menyala yang ambruk hampir saja menimpa kepala Liu Beng.
Cepat- cepat Liu Beng melompat, kemudian dengan tangkas sekali dia berlompatan keluar meninggalkan rumah itu, karena yakin tak ada lagi yang bisa diselamatkan.
Ketika sampai di luar,Liu Beng sudah seperti Dewa Api dalam legenda Hindu, sebab sebagian pakaiannya menyala pula.
Beberapa orang segera menylramkan air ke tubuhnya sehingga si dewa api berubah mirip Dewa Sungai yang baru keluar dari air.
Liu Jing-yang di luar sangat kecewa melihat bekas kacungnya itu belum mampus menjadi daging panggang.
Namun dia pura- pura menyongsong Liu Beng dan bertanya.
"A- beng, kau tidak terluka?"
Liu beng menepuk-nepuk pakaiannya yang sudah tak keruan macam itu, sambil menyahut.
"Hanya pakaianku yang kena, Siauya. Seisi toko itu sudah mati semua dengan tulang dada remuk, pukulan yang aku kenali sebagai pukulan Majikan Hek-eng-po iblis jahanam itu..."
"Ssst, jangan keras-keras", Liu Jing- yang berdesis dengan kaget sambil melihat kerumunan orang banyak di depan kebakaran itu.
"Siapa tahu di antara mereka ada orang Hek-eng-po yang akan menganggap ucapanmu itu sebagai tantangan..."
Tapi Liu Beng yang tengah marah itu malah mengeraskan suaranya.
"Takut apa?!"
Lalu kepada orang banyak dia berteriak keras- keras.
"Kalau di antara kalian ada kaki tangan Hek-eng-po, tunjukkan tampang kalian! Kalau kalian takut muncul terang-terangan, laporkan saja kepada Majikan kalian, Iblis kalian bahwa aku, Liu Beng, menentang Hek-eng-po secara terbuka! Jangan hanya berani membunuhi orang tak bersalah atau membakar rumah rakyat tak berdosa!"
Keruan saja Liu Jing-yang semakin kecut hatinya melihat sikap Liu Beng itu, namun tak berani mencegahnya supaya tidak memperlihatkan takutnya.
Ia hanya merasa, selama Liu Beng didekatnya, rasanya ia seperti mengantongi sekantong bahan peledak dan duduk di dekat api...
"Sudahlah, A-beng. Percuma kau berteriak-teriak, sebab orang Hek-eng-po tentu sudah kabur jauh. Yang perlu, segera kita pulang saja untuk melapor kepada Suhu. Meskipun tanganku sendiri juga gatal ingin menonjok hidung orang-orang Hek-eng-po". Kalimat terakhir diucapkannya dengan lirih, sambil dengan waswas melihat ke sekelillngnya. Kuatlr kalau dari antara kerumunan orang-orang itu tahu-tahu muncul orang tua bermata seperti burung hantu yang pernah dilihatnya di pekuburan lama dulu, Jiat- Jiu Lokoai, Siluman Tua Bertangan Maut. Namun ia lega mellhat tak seorangpun yang pantas dicurigai. Sedang Sebun Giok malah merasa jengkelnya kepada Liu Beng agak berkurang, terdesak rasa kagum kepada keberanian pegawai baru itu. Slkapnya itu dianggapnya pantas sebagal seorang Huciangkui Keluarga Sebun, tidak memalukan. Sayang, jauh dalam hatinya ada bisikan, Liu Beng hanya orang dari lapisan bawah, kalau tidak maka Liu Jing-yang akan mengalami nasib seperti The Kim-hwe dan belasan pemuda sebelumnya...
"Kita laporkan kepada ayah!"
Kata Sebun Giok.
"Kalau Hek-eng-po sudah berani membunuh dan membakar di Se-shia, di hadapan hidung Keluarga Sebun, itu sama dengan menantang ayah."
"Baik, mari pergi."
Ajak Liu jing-yang terburu-buru sambil melompat ke punggung kudanya, kuatir kalau Liu Beng ataupun Sebun Giok menyerocos lebih jauh sehingga berupa 'Mantera pemanggil iblis-iblis Hek-eng-po'.....
Ketiga orang muda itupun berderap di atas pelana kuda masing-masing meninggalkan tempat itu, diiringi sorot mata kagum dari sebagian besar oranf-orang di tempat itu.
"Orang-orang Keluarga Sebun memang bernyali macan semuanya,"
Desis seseorang.
"Bahkan seorang gadis pun sanggup bersikap begitu berani terhadap...."
"Tapi gadis itu juga seorang pemikat lelaki. Lihat tadi dia malah sudah membawa dua lelaki sekaligus, sedangkan di kota Se-shia ini sudah belasan pemuda yang dikecewakan olehnya. Korban terakhir adalah The Kongcu, putera The Toaya dari Hek-hou Piautiam..."
Sementara itu, setelah berpacu tanpa berhenti, Liu Jing-yang, Sebun Giok dan Liu Beng telah tiba di rumah Keluarga Sebun yang seperti puri para bangsawan itu.
Kedatangan mereka mengejutkan, apalagi ketika melihat pakaian Liu Beng yang nampak bekas-bekas terbakar.
Para pelayan segera menyambut tiga ekor kuda itu untuk dibawa ke kandang.
Sementara yang lain-lainnya mengerumuni dan berebutan bertanya.
"Ada apa, Siocia?"
"Ada apa, Liu Siauya?"
"Ada apa, Huciangkui?"
"Diam kalian semua!"
Liu Jing-yang membentak garang sekali.
"Kalian hanya tahu makan dan tidur, tidak tahu bahwa Hek-eng-po sudah mulai berani mengganas di hidung kita! Kalau aku tidak ingin buru-buru melaporkan hal ini kepada Suhu, tentu sekarang sudah kukejar dan kuhajar bandit-bandit itu. Siapa yang dulu membunuh Gip-hiat-koai Pek Hong- teng, kalau bukan aku?"
Ucapan Liu Jing-yang itu segera menggemparkan para pegawai itu, namun bukan gempar karena takut melainkan karena marah.
Liu Beng melihat jauh benar bedanya antara pegawau-pegawai Keluarga Sebun ini dengan pegawai-pegawai Liu-keh-chung teman-temannya dulu.
Pegawai-pegawai Keluarga Sebun beringas mendengar disebutnya nama Hek-eng-po, sedangkan pegawai-pegawai Liu-keh-chung dulu menggigil pucat..
"Inilah sebabnya Liu-keh-chung dibinasakan Hek-eng-po segampang memitas semut-semut, sedangkan Keluarga Sebun disegani oleh Hek-eng-po."
Pikir Liu Beng.
Tapi diapun maklum, pegawai-pegawai keluarga Sebun memang dididik silat dengan ketat oleh Sebun Him sendiri, bahkan di antara mereka ada bekas jagoan-jagoan Liok-lim (rimba hijau) yang ditaklukkan Sebun Him.
Keluarga Sebun juga dibiasakan hidup disiplin seperti dalam tangsi tentara, sehingga kalau diperlukan maka para tukang rumput, tukang kuda, tukang masak dan sebagainya itu dalam sekejap bisa diubah menjadi sebuah pasukan kecil yang tangguh.
"Sedang teman-temanku di Liu-keh- chung dulu hanya beringas dan bersemangat kalau mendengar tambur tanda waktu makan dibunyikan dari arah dapur..."
"Di mana Suhu?"
Tanya Liu Jing-yang.
"Toaya sejak fajar tadi telah mengurung diri di ruang latihannya dan tak ada yang berani mengganggunya sedikitpun", sahut seorang pegawai tukang pangkas rumput.
"Bahkan juga tidak ada jawaban ketika A-lik, pelayan pribadi Toaya, mengetuk dan memberitahu makan pagi sudah siap".
"Sekarang sudah hampir tengah hari, mungkin ayah sudah selesai dengan latihannya, biar aku susul ke ruang latihan pribadinya,"
Kata Sebun Giok.
"Soalnya begitu penting dan harus segeran dilaporkan...."
Namun sebelum Sebun Giok melangkah, dari belakang kerumunan pegawai- peqawai itu terdengar suara yang berat.
"Apa yang hendak kalian laporkan kepadaku?"
Mendengar suara sang Majikan, pegawai-pegawai itu, termasuk Liu Beng, seperti sepasukan prajurit terlatih, segera mengatur diri dalam barisan dan memberi hormat berbareng kepada Sebun Him.
Pendekar nomor satu di wilayah barat laut itu masih memakai pakaian latihannya yang ringkas.
"Suhu, kami baru saja pulang dari Se- shia dan...."
Liu Jing-yang sebenarnya hendak mendahului bicara untuk merebut perhatian, tapi kalimatnya tak diteruskan ketika melihat Sebun Him melangkah cepat ke arah Liu Beng dengan sikap penuh perhatian, memegang pundak Liu Beng dengan kedua tangannya dan bertanya.
"A-beng, kau...kau tidak luka bukan?"
Sikapnya yang penuh perhatian terhadap cuma seorang hamba itu memang mencengangkan pegawai-pegawai lainnya, dan membuat Liu Jing-yang hampir meledak dadanya karena rasa iri hatinya. Pikirnya.
"Muridnya sendiri tidak ditanyai lebih dulu, malah lebih mendahulukan bekas gelandangan itu..."
Sementara Liu Beng dengan hormat menjawab.
"Aku tidak menderita luka yang berarti, Toaya, hanyalah pakaianku yang rusak. Terima kasih atas perhatian toaya..."
"Biarpun kau bilang tidak luka, aku harus memeriksamu sendirl, sebab luka bakar bukanlah luka yang bisa diabaikan,"
Kata Sebun Him. Lalu kepada pegawai-pegawai lainnya ia memerintahkan.
"Kembali ke pekerjaan kalian masing-masing!"
Liu Jing-yang mencoba merebut perhatian.
"Suhu, di kota Se-shia kami telah..."
Namun gurunya mengebaskan tangan dan berkata.
"Susul aku ke Yok-pong (kamar obat), aku harus memeriksa A-beng..."
Dengan perasaan yang bercampur-aduk antara dengki dan kecewa, Liu Jing-yang menyaksikan gurunya dan bekas kacungnya berjalan beriringan ke Yok-pong.
Namun Liu Jing-yang tidak berani membantah perintah gurunya, dan berjalan pula mengiringi ke Yok- pong dengan langkah...........
2 HALAMAN HILANG ........
jadi bubuk kayu, kekuatan pukulan yang mengejutkan.
"Jadi iblis itu sekarang berani malang melintang di depan hidungku?"
"Toaya, hal ini tidak bisa dibiarkan terus, penduduk Se-shia sekarang dicengkam ketakutan"
Liu Beng ikut bicara.
"Kalau kita sebar orang-orang kita saat ini juga, mungkin masih senpat mengejar iblis Hek-eng-po itu".
"
Hem, meskipun kita boleh marah mendengar kebiadaban itu, namun harus berkepala dingin dalam bertindak", kata Sebun Him.
"Kalau Majikan Hek-eng-po itu bertemu denganku sendiri, itu tidak jadi soal.Biarpun dia berkepala tiga dan bertangan enam, aku akan memperetelinya satu persatu. Tapi kalau bertemu dengan orang-orang kita, hanya akan menambah korban di antara anak buah kita sendiri."
"Tapi apakah akan dibiarkan saja?"
"Tentu saja tidak. Ah, seandainya saja pertemuanku dengan Ketua Hwe-liong-pang Tong Lam-hou serta Pun-bu Hweshio tidak semendesak ini, tentu aku sendiri akan keluar rumah untuk memburu mereka. Sayang, aku harus mempersiapkan diri untuk pertemuan itu...."
Meskipun Liu Beng bungkam, diam- diam ia tidak setuju dengan pendirian majikannya itu.
Pertemuan di Siong-san hanyalah demi nama Keluarga Sebun, sedangkan menumpas Hek-eng-po dianggapnya lebih penting karena menyangkut ketentraman banyak orang.
Lagi pula, dalam pertemuan di Siong-san, kenapa harus malu kalau kalah dari sahabat-sahabat sendiri? Namun Liu Beng tidak mau membantah, kuatir merusak wibawa Sebun Him di hadapan Liu Jing-yang.
Maka yang dikatakan Liu Beng hanyalah.
"Toaya, kalau Toaya setuju, utuslah aku untuk memburu iblis-iblis Hek-eng-po itu. Meskipun ilmuku rendah, aku punya beberapa teman seperti Tong Gin-yan dan Pakkiong Eng yang akan membantuku. Aku merasa tidak betah hidup enak-enak di tempat ini, sementara Hek-eng-po merajalela di luaran..."
Diam-diam Liu Jing-yang menganggap ucapan Liu Beng ini terlalu tidak tahu diri.
Apanya yang hendak diandalkan untuk menghadapi orang-orang Hek-eng-po? Namun Liu Jing-yang mengharap gurunya mengijinkan Liu Beng, supaya Liu Beng cepat mati di tangan orang-orang Hek-eng-po.
Sebun Him sendiri ragu-ragu untuk sesaat, namun kemudian muncul suatu pikiran dalam benaknya.
Iapun menganggukkan kepala dan berkata.
"Baiklah kalau itu menjadi tekadmu. Aku senang mendengar keberanianmu. Tapi aku anjurkan, carilah dulu Tong Gin-yan, putera Ketua Hwe-liong-pang sahabatku itu, ajaklah kerjasama. Tanyalah kepada Tong Gin-yan siapa-siapa saja orang- orang Hwe-liong-pang yang sudah disusupkan ke tubuh Hek-eng-po. Bukankah kau pernah bercerita bahwa Hwe-liong-pang sudah menyusupkan banyak mata-mata ke Hek-eng- po? Nah, kau harus bekerja dengan cerdik untuk bisa menghubungi dan bekerja sama dengan penyusup-penyusup itu agar bisa menghancurkan Hek-eng-po dari dalam...."
Hampir saja mulut Sebun Him mengatakan.
"....dan laporkan nama penyusup-penyusup itu kepadaku" , namun kata-kata itu dibatalkannya, merasa lebih baik tak usah diucapkan.
"Aku perhatikan pesan Toaya".
"Hal yang kedua. Dalam perjalananmu, bawalah A-cui dan A-loan ditambah A-hui dan A-liu". Kali ini Liu beng memberanikan diri untuk membantah.
"Toaya, perjalananku bukan perjalanan tamasya, tetapi perjalanan penuh bahaya. Buat apa membawa empat gadis pelayan itu?"
Sebun Him tersenyum dan berkata.
"Nanti kau akan tahu bahwa gadis-gadis itu di perjalanan tidak akan menjadi bebanmu, bahkan akan menjadi pembantu-pembantu yang berguna di saat-saat berbahaya. Coba panggil mereka...."
Masih dengan tanda tanya dalam kepalanya, Liu Beng berlalu dari ruangan itu.
Tak lama kemudian, sudah datang kembali bersama empat gadis pelayan yang disebutkan tadi.
Semuanya kelihatan lemah lembut dan tidak kelihatan kelebihan apa yang oleh Sebun Him disebut "berguna di saat berbahaya"
Itu.
"Toaya memanggil kami?"
Tanya gadis- gadis itu setelah memberi hormat kepada Sebun Him dan Liu Jing-yang.
"Betul. Kalian akan aku beri tugas mengawal Huciangkui dalam perjalanannya, melayani segala keperluannya, tetapi sekarang lebih dulu kalian harus menunjukkan bahwa kalian juga sanggup membantu Huciangkui kalian di saat-saat bahaya".
"Kepandaian kami tak berharga, Toaya..."
"Kalau kepandaian Su-sik-bi-tiap (empat kupu-kupu cantik empat warna) dianggap tak berharga, lalu bagaimana yang harus dianggap berharga?"
Kata Sebun Him sambil tersenyum.
"A-cui, kau lebih dulu!"
"Baik, Toaya", A-cui membungkuk hormat. Lalu ia memandang sekeliling ruangan obat itu, tiba-tiba dia berkata.
"Lalat-lalat dalam ruangan ini sangat mengganggu..."
Kata-katanya dibarengi dengan gerak tangannya seolah menaburkan sesuatu, dan lima ekor lalat di dinding yang berjarak belasan langkah dari padanya tahu-tahu telah terpaku di dinding oleh jarum-jarum lembut bersinar keperakan.
"Hebat", komentar Liu Beng, tak menduga bahwa pelayan cantik yang seringmemandikannya itu cukup hebat kepandaiannya dalam melemparkan jarum- jarum perak lembut tersebut.
"Mudah-mudahan pertunjukan jelek ini tidak mengecewakan Huciangkui", sahut A cui sambil tersenyum. Lalu.
"Nah, sekarang giliran A-loan...."
A-loan melangkah maju dan mengeluarkan segulung tali sebesar jari kelingking, katanya.
"Lalat-lalat yang terpaku di tembok itu mengganggu pemandangan. Biar aku bersihkan". Ia mengurai talinya yang sepanjang tiga depa lebih, diputar sebentar dan tiba-tiba meluncur seperti seekor ular hidup saja. Lalat-lalat dan jarum-jarun perak yang menancap di dinding itu semuanya kena dibelit dengan ujung tali, dicabut dari dinding dan kemudian dilempar keluar jendela. Kembali Liu Beng mengutarakan kekagumannya terang-terangan, sedang A- loan mundur kembali dengan agak tersipu- sipu.
"Ruangan ini perlu dihiasi dengan bunga agar udaranya agak segar..."
Kata A-hui yang mendapat giliran berikutnya.
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tepat pada ujung kalimatnya, tubuhnya sudah melompat keluar jendela seperti seekor burung saja, dan dalam waktu beberapa detik saja ia sudah kembali dengan tangan membawa bermacam-macam bunga.
Sekilas pertunjukkan "mengambil bunga"
Itu tidak istimewa, namun Liu jing-yang dan Liu Beng yang tahu bahwa setiap jenis bunga terletak di petak-petak kebun yang berpencaran agak jauh satu sama lain, menjadi kagum bahwa A-hui secepat itu kembali dari memetik bunga.
A-hui harus singgah di tujuh petak bunga lebih, namun dalam belasan detik saja dia sudah hadir kembali di ruangan itu menandakan ia cukup mahir dalam gerak cepat ilmu meringankan tubuhnya.
Anak-angkat Cui- poan-siang Hong Thai-pa sendiri merasa tidak yaki bisa menyamai kecepatan langkah A-hui itu.
Giliran terakhir adalah A-liu, seorang gadis pelayan yang biarpun cukup cantik namun berpotongan tubuh agak tegap mirip laki-laki.
Namun ia kebingungan cara bagaimana hendak memamerkan kekuatan pukulan telapak tangannya.
Apakah harus memukul pecah lemari--lemari obat itu? Tengah ia kebingungan, terdengar Sebun Him berkata sambil tertawa.
"Kalau A- liu harus memperagakan kepandaiannya, aku yakin perabotan di ruangan ini akan habis berantakan semuanya. Jadi, tidak usah saja, tetapi A-beng harus percaya bahwa A-liu pun merupakan seorang pengawal perjalanan yang tangguh."
Liu Beng menjawab sambil tertawa pula.
"Toaya, saat ini biarpun aku diperintahkan untuk tidak percaya pun tidak akan bisa, setelah melihat kepandaian A-cui, A-loan dan A-hui, tentunya A-liu setidaknya juga setingkat dengan mereka". A-liu tersenyum dan membungkuk kepada Liu Beng.
"Terima kasih atas kepercayaan Huciangkui ".
"Nah, A-beng, besok pagi kau boleh langsung berangkat dengan regu istimewamu ini untuk memburu jejak Hek-eng-po, bukan saja mewakili dirimu sendiri tetapi juga mewakili Keluarga Sebun", kata sang majikan.
"Tapi ingat, jangan bekerja sendiri, bekerja- samalah dengan Tong Gin-yan dan Hwe-liong- pangnya seperti pesanku tadi ".
"Baik, Toaya ".
"Kalian boleh bersiap-siap". Liu Beng dan keempat gadis cantik itu memberi hormat dan mengundurkan diri. Liu Beng berkobar semangatnya karena akan memburu musuh-musuh yang dibencinya, sedang gadis-gadis itu merasa gembira akan melihat pemandangan di luar rumah, namun merekapun sadar bahwa mereka akan menghadapu bahaya orang-orang Hek-eng-po pula. Tapi mereka sudah siap untuk itu. Mereka belum tahu sampai di mana ketinggian ilmu si Huciangkui yang harus mereka kawal tersebut. Ketika itu Liu Jing-yang juga meninggalkan ruangan itu, tinggal Sebun Him sendirian. Tapi ia tidak segera meninggalkan ruangan itu untuk bermenung-menung beberapa lama, setelah itu menepuk-nepuk pahanya sendiri karena merasa menemukan akal bagus. Hari itu dihabiskan oleh Liu Beng dan keempat gadis calon pengawalnya dengan mempersiapkan diri. Liu Beng bukan lagi gelandangan yang hanya punya selembar pakaian butut, namun ia adalah Huciangkui Keluarga Sebun. A-cui dan pelayan-pelayan lainnya sudah mempersiapkan hampir duapuluh potong pakaian bekal Liu Beng, semuanya cukup bagus. Selain itu, A-loan akan bertindak sebagai pengatur keuangan selama perjalanan, A-hui dan A-liu perintis perjalanan atas permintaan A-liu yang bersungguh- sungguh. Dan tidak ketinggalan senjata- senjata andalan mereka. Malam harinya, seperti blasanya rumah Keluarga Sebun yang seperti benteng itu sudah sunyi senyap karena sebagian penghuninya sudah terlelap. Yang terdengar hanya langkah- langkah kaki pegawai-pegawai yang bertugas jaga malam, dan percakapan di antara mereka yang perlahan-lahan agar tidak mengganggu orang tidur. Menjelang tengah malam, di kejauhan, ratusan langkah dari dinding rumah, terdengar suara pekikan seperti elang. Berkali-kali. Tak seorangpun dalam rumah keluarga Sebun yang memperhatikan suara itu, mereka anggap itu suara burung malam biasa saja. Hanya A-liu, si pelayan wanita yang bertubuh tegap seperti lelaki itu yang memperhatikan suara itu, dan merasakan suara burung di kejauhan itu ditujukan kepadanya. Perlahan-lahan A-liu bangkit dari pembaringannya, memasang kuping untuk mendengarkan lebih seksama, kemudian dia membuka pakaiannya. Seandainya, hanya seandainya, ada seorang lelaki yang mengintip ke kamarnya. tentu si pengintip akan terangsang namun kemudian berubah menjadi kaget. Bagaimana tidak? Ketika baju luar dibuka, nampaklah pundak dan lengan yang halus putih meskipun agak berotot. Lalu kutang dibuka dan dari balik kutang itu yang muncul bukan sepasang buah dada yang menggiurkan, melainkan cuma dua gumpal kapas yang dibentuk seperti buah dada. Kapas dilepaskan, dan muncullah sebidang dada yang rata seperti papan dan bahkan agak berbulu. Kun (pakuan bagian bawah) dicopot, dan tidak ada paha mulus melainkan sepasang kaki yang berbulu. Di antara pahanya ada tonjolan yang jelas menunjukkan kelelakiannya. A-liu ternyata adalah seorang lelaki yang menyamar sebagai perempuan. Dengan cekatan A-liu mengganti pakauannya dengan ya-hing-ih (pakaian malam) yang ringkas serba hitam sampai ke sepatunya, juga kerudung kepala yang hitam dan cuma menampakkan sepasang matanya. Lalu ia mengatur bantal dan selimutnya, sehingga dalam kegelapan dia yakin orang akan menqira dirinya sedang tidur. Ia berjalan mengendap-endap meninggalkan kamarnya dengan langkah seringan kucing, menghindari penglihatan para penjaga, melompat keluar dinding, kemudian berlari seperti kuda ke arah suara pekikan burung elang di malam hari itu. Langkahnya pesat sekali. Tidak sampai lima li dari rumah Sebun Him, di sebuah tanah kosong, menunggulah sebuah tandu bertirai hitam. Dua pemikul tandu yang bertubuh tegap-tegap itu juga berpakauan jubah hitam pula, sehingga dalan malam gelap mereka hampir tak kelihatan sama sekali. Seolah wujud-wujud antara ada dan tidak ada.
"A-liu "
Meluncur datang dan langsung berlutut di hadapan tandu bertirai hitam itu berkata.
"Aku memenuhi panggilan Pocu dan siap menerima perintah". Dari balik tirai terdengar suara tanpa kelihatan orangnya.
"Ada tugas untukmu, Hoa Sek-liu..."
"Tugas apa, Pocu?"
"Bukankah besok pagi kau akan berangkat bersama tiga gadis pelayan Keluarga Sebun untuk mengawal Liu Beng memburu kita?"
A-liu yang nama aslinya Hoa Sek-liu dan berjulukan Poan-lam-mo-li (hantu betina setengah lelaki) meskipun dia seratus persen seorang lelaki, terkesiap mendengar pertanyaan Majikan Hek-eng-po dalam tandu Itu.
Baru tadi siang Sebun Him mengatur keberangkatan Liu Beng, dan malamnya Majikan Hek-eng-po sudah mendengar kabar itu entah dari mana.
Diam-diam Hoa Sek-liu berkeringat dingin, Majikan Hek-eng-po itu benar-benar menyeramkan, seolah punya mata dan telinga yang tersebar di mana-mana.
Orang-orangnya yang menyusup dalam Keluarga Sebun pasti bukan hanya aku seorang diri, pikirnya, masih ada orang lain dan aku tidak tahu siapa.
Berarti, aku tidak boleh menunjukkan tanda-tanda pengkhianatan sedikitpun kepada Pocu, sebab pasti akan segera diketahui.
"Telinga Pocu sungguh tajam, memang benar Sebun Him merencanakan hal itu, karena Sebun Him dan anaknya sibuk mempersiapkan diri untuk menjuarai pertemuan di Siong-san."
Sahut Hoa Sek-liu.
"Dan kau sudah menawarkan diri untuk menjadi perintis perjalanan bersama A-hui?"
Tanya Majikan Hek-eng-po pula. Semakin yakinlah Hoa Sek-liu bahwa segala gerak-gerik dirinya tak ada yang lepas dari pengamatan Majikan Hek-eng-po, semakin ngeri pula hatinya. 'Benar Pocu. Tindakanku itu tak lain demi kepentingan kelompok kita."
"Hem, bagus. Kau sudah mengambil langkah yang tepat. Kalau kau mendahului perjalanan Liu Beng, kau atas namaku haruslah mebersihkan jalan yang akan dilalui Liu Beng dari orang-orang kita. Artinya. jangan sampai Liu Beng berpapasan dengan orang- orang kita di manapun juga."
"Perintah janggal", pikir Hoa Sek-liu. Dan ja mencoba menanyakannya.
"Pocu, tidakkah ini suatu kesempatan untuk membereskan Liu Beng dan gadis-gadis itu selama perjalanan? itu akan mengurangi kekuatan Sebun Him yang dengan congkak telah sesumbar dengan terbuka menantang kita..."
"Tidak, aku punya perhitungan sendiri."
Kata suara dari dalam tandu.
"Jangan bergeser seujung rambutpun dari penntahku, kalau melanggar, kau tahu sendiri akibatnya."
"Aku paham, Pocu". Hoa Sek-liu menggigil meskipun udara malam cukup panas. Rasa dingin itu muncul dalam perasaannya sendiri.
"Tentang diri pegawai baru Keluarga Sebun yang bernama Liu Beng, jaga dia jangan sampai terluka seujung rambutpun. Namun juga jaga agar dia tidak berhasil menyelidiki apapun tentang kita, biarkan dia tetap sama tidak tahunya seperti sekarang ini. Paham?"
"Perintah yang lebih aneh lagi dan sulitnya bukan main,"
Hoa Sek-liu menggerutu dalam hati. Namun di mulutnya ia menjawab.
"Perintah Pocu sangat jelas."
"Bagus. Dan sepanjang jalan akan ada orang-orangku yang akan menghubungimu secara diam-diam, kau harus melaporkan setiap hari dari perjalanan Liu Beng. Ada perkembangan atau tidak."
"Baik Pocu".
"Kembalilah". Setelah memberi hormat lagi, Hoa Sek- liu kemudian melesat pulang kembali ke rumah Keluarga Sebun. Setelah tiba di kamarnya kembali, memasang buah dada palsunya dan memakai pakaian perempuannya, sambil berbaring dia berpikir-pikir betapa ngerinya menjadi anak buah Majikan Hek-eng-po. Ia menyesal bahwa dulu dirinya telah terjebak dalam komplotan itu sehingga menjadi anggotanya. Sekilas timbul ingatannya untuk menyerah dan minta perlindungan kepada Keluarga Sebun, sambil mengaku terang- terangan. Bukankah Keluarga Sebun adalah musuh besar Hek-eng-po? Namun ia tidak berani bertindak ceroboh. Ia harus tahu lebih dulu, siapa mata-mata Hek-eng-po dalam Keluarga Sebun, setelah itu barulah menyerah kepada Sebun Him. Sebelum itu, ia harus tetap pura-pura setia bekerja untuk Hek-eng-po meskipun hatinya mulai jemu. Ia jemu menjadi perempuan dan harus menahan hasrat kejantanannya setiap kali berdekatan dengan perempuan yang sesungguhnya. Ia jemu kepada dua gumpal kapas tengik yang menyumpal dadanya. Ia jemu pula setiap kali harus menghindari dengan susah payah dari bujukan bermain cinta dari pegawai-pegawai lelaki yang mengira ia perempuan tulen. Wajah Hoa Sek-liu memang tergolong "cantik". Keesokan harinya, Liu Beng dan keempat teman seperjalanannya yang cantik- cantik telah siap berangkat. Sebun Him menunjukkan perhatiannya atas rombongan kecil ini, sehingga dia ikut pula mengantarkan sendiri sampai sejauh beberapa li dengan menaiki kudanya. Pada batas perpisahan, Sebun Him Iembut sekali menepuk pundak Liu Beng dan suaranya pun bergetar penuh perasaan.
"Hati- hatilah melangkah, nak. Jangan sampai terjadi sesuatu pun atas dirimu."
Suara penuh getaran itu menyusup perasaan Liu Beng dan menimbulkan perasaan bahwa dirinya dan Sebun Him sebenarnya punya hubungan yang jauh lebih dekat dari sekedar Huciangkui dan Majikan.
Namun Liu Beng menjawab tetap pada kedudukannya sebagai Huciangkui.
"Baiklah, Toaya. Selamat tinggal."
Sebun Him mengeluarkan segebung kertas yang penuh tulisan dan cap merah, disodorkan pada Liu Beng sambil berkata.
"Ini untuk bekalmu, A-beng. Kalau kehabisan uang jangan ragu-ragu datang ke usaha-usaha dagangku yang tersebar di berbagai kota. Aku tidak ingin kau kurus dan kelaparan, dan mengulangi riwayat lamamu sebagai gelandangan."
"Terima kasih, Toaya, tapi bekal yang kami bahwa sudah cukup. Toaya begitu baik kepadaku, aku akan membalas budi Toaya dengan memenggal kepala orang Hek-eng-po sebanyak-banyaknya", sahut Liu Beng. Tangannya tidak terulur menerima tumpukan kertas itu. Yang melotot dan hampir meneteskan air liur ketika melihat gebung kertas bercap merah itu adalah A-liu. Pikirnya.
"Gila, kertas- kertas bercap merah itu kalau diuangkan akan menghasilkan uang perak satu kereta lebih. Seandainya aku tidak sedang memikul tugas dari si keparat majikan Hek-eng-po, bocah tolol Liu Beng ini bisa saja kucekik di tengah perjalanan dan uangnya kubawa kabur. Cukup untuk berfoya-foya setahun penuh". Namun yang diperhatikan bukan cuma uang, tetapi juga sikap Sebun Him terhadap Liu Beng.
"Sikap Sebun Him terhadap pegawainya yang satu ini memang berlebihan, jangan- jangan Liu Beng adalah anaknya di luar pernikahan? Dan untuk memberikan uangnya, kenapa Sebun Him harus menunggu setelah sampai di sini, tidak tadi di depan isterinya yang gembrot seperti tong itu? Oh, ya aku tahu jawabannya, tentunya Sebun Him ini takut kepada isterinya, sebab semua harta kekayaan asalnya adalah warisan mertuanya. Ha-ha, dua macam berita gembira ini kalau kulaporkan kepada si keparat (maksudnya Majikan Hek- eng-po) tentu akan menggembirakan hatinya. Punya anak gelap di luar pernikahan dan takut isteri, cukup untuk menjatuhkan nama Sebun Him sebagai pendekar besar."
Sementara itu, Sebun Him dengan agak memaksa telah menyelipkan gebungan kertas berharga itu ke baju Liu Beng.
"Kau harus membawanya, supaya hatiku tenteram dan yakin kau tidak kekurangan sepanjang perjalanan."
"Terima kasih banyak, Toaya", kata Liu beng terharu. Inilah orang baik ke tiga yang ada dalam hidupnya setelah Liu Hok-tong, ayah-angkatnya Hong Thai-pa, tentunya selain ibunya sendiri.
"Nah, berangkatlah kalian. Jangan lupa, bekerja-samalah dengan Tong Gin-yan"
"Pesan Toaya aku perhatikan benar- benar" . Namun sebelum rombongan itu berangkat, terlihat seorang penunggang kuda memacu kudanya dari arah rumah keluarga Sebun, setelah dekat ternyata adalah Sebun Hiong.
"Ada apa, A-hiong?"
Sahut Sebun Hiong.
"Maaf, ayah, tetapi aku ingin menitipkan pesan kepada Liu Beng untuk seseorang..."
"Seseorang siapa?"
Tanya ayahnya sambil menatap tajam. Tapi ketika dilihatnya wajah anaknya merah padam karena malu, maka pahamlah Sebun Him. Katanya sambil tertawa.
"Tentunya seorang gadis bukan?"
Sebun Hiong menganggukkan kepala dengan gerakan alot.
"Bolehkah, ayah?"
"Tentu saja boleh. Ayah mana yang tidak gembira kalau tahu anak laki-lakinya yang sudah dewasa sudah punya idaman hati? Nah, bicaralah kepada Liu Beng".
"Terima kasih, ayah", Sebun Hiong mendekatkan kudanya ke kuda Liu Beng dan mulai berbisik.
"
A-beng, kalau kau menjumpai nona Pakkiong Eng, katakan bahwa aku....aku..."
Liu Beng menahan tertawanya.
"Tentu saja aku tahu. Akan aku katakan bahwa Siauya rindu setengah mati, begitu?"
"Uh, jangan main-main. Tapi katakan saja ...ya...begini, aku bersungguh sungguh menunggu jawabannya."
"Paham sekali".
"Nah pergilah. Dan pulanglah dengan utuh, aku tidak mau melihat kepalamu saja atau badanmu saja, atau kepala dan badan lengkap tetapi tidak menempel satu sama lain. Ya?"
"Jangan kuatir. Kalau tubuhku gagal pulang, arwahku pasti akan mampir ke rumah keluarga Siauya untuk memberitahukan jawaban Liu Beng. Siauya sediakan saja jailangkung untuk menampung arwahku nanti!"
"Bukan soal pesan itu saja, tapi aku benar-benar tidak mau melihat kau cidera".
"Baik". Namun dalam hatinya Liu Beng merasa kasihan kepada Sebun Hiong, sebab pernah dilihatnya sendiri, hubungan akrab antara Pakkiong Eng dengan Tong Gin-yan. Waktu, Liu Beng dengan mereka melakukan perjalanan bersama, dan seingatnya hanya ada seekor kuda tunggangan saja. Kuda berbulu putih yang bernama Hui-soat, tentunya mereka berboncengan.
"Mudah-mudahan masih ada harapan buat Sebun Siauya", Liu Beng berdoa dalam hatinya.
"Berboncengan satu pelana bukanlah pertanda yang pasti bahwa hubungan mereka tak terputuskan lagi. Bukankah Pakkiong Eng pun pernah memboncengkan aku dengan kuda putihnya untuk menyelamatkan aku dari tangan orang-orang Hek-eng-po dalam peristiwa di dekat Ki-lian-san?"
"Doa"
Liu Beng sebenarnya tak lebih dari usaha menghibur diri sendiri, karena tidak sampai hati membayangkan Sebun Hiong menderita kegagalan cinta.
Orang-orang itupun berpisahan.
Liu Beng dan keempat gadis cantik pengawalnya, meskipun salah seorang dari mereka cuma gadis gadungan, berderap menuju arah tenggara.
Sedang Sebun Him berkuda dengan santai bersama anak lelakinya, kembali kerumahnya.
"A-hiong, dalam beberapa hari saja nampaknya kau sudah akrab dengan Liu Beng?"
Tanya ayahnya tiba-tiba "Kalau tidak akrab, bagaimana sampai Liu Beng kau beri peranan dalam hubunganmu dengan Pakkiong Eng?"
Sebun Hiong merasa agak gugup menghadapi pertanyaan yang mendadak itu.
Ia kuatir ayahnya akan marah, sebab ayahnya pernah berpesan agar tidak sembarangan memilih teman demi menjaga martabat, sedangkan Liu Beng adalah bekas kacung Liu- keh-chung yang oleh ayahnya tentu digolongkan bermartabat rendah.
Sesaat ia bingunf harus menjawab bagaimana? Tapi di luar dugaan, ayahnya tidak marah.
"Aku senang kau bersahabat dengannya, dia orang baik. Lugu dan polos namun tidak tolol, mudah menerima kepandaian-kepandaian apapun. Aku berharap, kalau kelak aku sudah tidak ada di dunia ini dan kau menggantikan kedudukanku sebagai Kepala Marga Sebun, Liu Beng bisa menjadi pembantu kepercayaamu, mengendalikan warisan-warisanku."
Hati Sebun Hiong melonjak gembira mendengar sikap ayahnya itu.
"Tentu saja, ayah,"
Sahutnya.
"Bahkan rasanya aku lebih mempercayai bekas kacung itu daripada ...daripada..."
"Daripada Liu Jing-yang, begitu?"
"Benar, ayah. Maafkan aku kalau aku mengecewakan ayah karena tidak bisa memperrcayai saudara seperguruanku sendiri."
Sebun Him sebenarnya juga punya perasaan sama dengan puteranya terhadap Liu Jing-yang, namun sulit untuk mengusir Liu Jing-yang begitu saja, sebab anak gadisnya sudah demikian "lengket' dengan Liu Jing- yang.
Terpaksa harus membiarkan Liu Jing- yang tetap di tempatnya sambil mewaspadai gerak-geriknya.
"A-hiong, kalau kelak Liu Beng kembali dengan selamat, aku punya sebuah rencana untuknya. Mudah-mudahan kau sependapat."
"Rencana apa, ayah?"
"Biarpun bekas seorang kacung rendahan, namun Liu Beng sekarang adalah anak angkat Hong Thai-pa, pendekar dari timur-laut namanya terkenal. Liu Beng juga berwatak baik, jujur, setia dan berkepandaian tinggi. Bagaimana kalau ia menjadi saudara- angkat denganmu? Upacaranya akan diselenggarakan kelak."
"Rencana bagus, ayah, tentu saja aku sependapat".
"Selain itu, Liu Beng juga seorang yatim-piatu, She Liu yang dipakainya saat inipun adalah she pemberian majikan lamanya, keluarga Liu. Kalau seisi keluarga kita setuju, dan Hong Thai-pa sebagai ayah-angkatnya juga setuju, aku mau Liu Beng menjadi marga kita sehingga namanya menjadi Sebun Beng..."
Sebun Hiong heran juga.
Ayahnya yang biasanya berwajah angker, dingin dan keras, tak kenal ampun dalam melaksanakan peraturan, kenapa kini menjadi begitu murah hati kepada seorang bekas kacung saja? Namun Sebun Hiong menjawab, tulus dari dasar hatinya.
"Di antara keluarga kita, aku yang nomor satu menyatakan setuju. Tidak memalukan punya saudara seperti Liu Beng, bahkan membanggakan."
Sebun Him tiba-tiba tertawa lepas dengan gembiranya.
"Ha-ha-ha... kalau kau sudah sanggup menganggap Liu Beng sebagai saudaramu sendiri, anakku, maka aku matipun akan merasa tenteram!"
"Jangan bicara soal kematian, ayah. Usia ayah baru lima puluh tiga dan tubuh ayah sehat sekali..."
"Ya, memang tak pantas aku bicara begitu. Tapi maklumlah, orang-orang tua macam aku ini memang sering timbul pikiran- pikiran aneh di luar kehendakku sendlri. Tidak apa-apa, A-Hiong, akupun ingin hidup sehat dalam umur panjang."
Namun jauh di dasar hati Sebun Him sering timbul semacam perasaan halus, seolah memberi isyarat bahwa sembilan puluh sembilan persen "jatah umur"nya sudah terpakai dan sisanya tinggal satu persen saja.
Hanya saja Sebun Him seorang yang sangat berambisi, dan setiap kali ia mengusir firasat- firasat yang mengusik hatinya.
"Aku masih punya tigapuluh atau empatpuluh tahun lagi, masih sempat mendukung Pangeran In Si naik tahta dan aku menjadi Gubernur Siam-sai. Masih akan sempat mengangkat namaku menjadi jago nomor satu dunia persilatan, melebihi Tong Lam-hou, Pakkiong Liong dan Pun-bu Hweshio. Masih sempat meluaskan usaha dagangku ke seluruh negeri, sehingga sulitlah bagi setiap orang di kekaisaran untuk tidak mendengar nama Sebun Him dari Se- shia. Aku akan meraih semuanya itu. Gubernur Siam-sai yang paling kaya di seluruh kekaisaran dan ilmu silatnya nomor satu pula."
"Ayah, apa yang sedang kau pikirkan?"
"Ah, tidak apa-apa. Mari kita pulang dan melanjutkan latuhan kita. Pertemuan di Siong- san tinggal kurang dari tiga bulan". Sementara itu, Liu Jing-yang mengantar kepergian Liu Beng dengan doa dalam hati mudah-mudahan Liu Beng mampus oleh orang-orang Hek-eng-po. Dan dia sendiripun sudah siap dengan tahapan-tahapan berikut dari rencananya. Memperkuat kedudukannya dalam keluarga Sebun agar tak gampang dldepak keluar, dan untuk itu baginya sudah tersedia sebuah "Jalan pintas"
Yang cepat. Sebun Giok cocok sekali untuk dijadikan "jalan pintas"
Itu.
Gadis anak Sebun Him itu cantik, potongan tubuhnya menggiurkan, dan otaknya sedikit lebih cerdas dari seekor keledai.
Maka semakin giatlah ia mempersiapkan jalan pintasnya.
Hubungannya dengan Sebun Giok semakin rapat, sampai pada suatu saat, Sebun Giok jatuh ke dalam rayuannya dan menyerahkan tubuhnya sepenuhnya.
Liu Jing- yang lah lelaki pertama bagi Sebun Giok.
Meskipun selama ini Sebun Glok sudah berganti kekasih belasan kali, namun baru Liu Jing-yang yang berbuat sejauh itu.
Maka, semuanya berjalan begitu licin.
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebun Giok menangis di hadapan orang tuanya dan menceritakan perbuatannya dengan Liu Jing-yang, dimarahi sebentar, mengancam akan bunuh diri, tapi toh akhirnya Keluarga Sebun harus menyelenggarakan perhelatan perkawinan Sebun Giok dengan Liu Jing-yang, demi menutup aib, tidak usah menungu sampai perut Sebun Giok menggelembung besar.
Maka Liu Jing-yang sekarang bukan lagi sekedar murid, tetapi menantu Keluarga Sebun.
Bahkan dengan kepintarannya membawa diri, dia berhasil menjadi menantu kesayangan ibu mertuanya yang dalam urusan kekayaan lebih berkuasa dari suaminya, sehingga kedudukan Liu Jing-yang makin kokoh.
Tinggal satu batu karang penghalang Liu Jing-yang untuk berkuasa di keluarga ternama itu.
Ahli waris Sebun Him, sebun Hiong.
"Sabarlah, kau akan meraih kemenangan di suatu hari kelak,"
Kata Liu Jing-yang kepada dirinya sendiri.
Tentu saja secara diam-diam.
**OZ** BAGIAN DUAPULUH TIGA Di rumah makan Lam-yap-lau di kota Tay-tong, Si Liong-cu alias In Ceng tengah makan sesumpitan demi sesumpitan dengan gembiranya.
Mereka sedang merayakan keberhasilan mereka tadi malam memenggal leher orang Tikoan (hakim desa) di luar Tay- tong yang suka memeras rakyat dan melalap perempuan-peremuan muda dengan mengandalkan kekuasaannya.
Teman makan In Ceng bukan lain adalah Kam Hong-ti.
Namun tengah mereka bicara sambil tertawa-tawa, di tangga loteng rumah makan itu mendadak terdengar suara langkah kaki yang keras terburu-buru, sehingga semua tamu menoleh ke ujung tangga.
Seorang pelayan yang tengah membawa baki dengan semangkuk kuah panas, ditabrak begitu saja oleh pendatang ini sehingga jungkir balik dan kuah panas menyiram mukanya.
Pendatang itu adalah seorang lelaki berpakaian ringkas warna kelabu, jenggot dan kumisnya pendek-pendek seperti sikat kakus, alisnya tebal, dan tangannya membawa senjata yang disebut sam-ciat-kun (ruyung tiga tekukan) yang dilipatnya.
Begitu muncul di loteng, langsung saja suaranya yang besar memenuhi ruangan.
"Saudara Kam dan saudara Si, cepat menyingkir! Sebentar lagi tempat ini akan terkepung pasukan Hong San-tong beserta jago-jagonya Pangeran In Gi yang lain! Cepat! Mereka tak terlawan, ada tiga regu yang membawa bedil pula!"
Keruan Kam Hong-ti dan Si Liong-cu kaget.
Saat itu barulah Si Liong-cu ingat bahwa Panglima di kota Tay-tong yang bernama Hong San-tong itu adalah saudara seperguruan Pangeran In Gi.
Pangeran ke delapan, yang juga saingan Si Liong-cu dalan mengincar tahta.
In Gi dan Hong San-tong sama-sana murid Ngo-sek Hweshio, pendeta Manchu dari Tiang-pek-san.
Tidak heran kalau Hong San- tong adalah pendukung paling ngotot dari In Gi, sebab ia mengharap kalau In Gi naik tahta, maka derajat dirinya pun akan terangkat sebagal saudara seperguruan Kaisar baru.
Seruan pendatang itu bukan cuma mengejutkan Kam Hong-ti dan Si Liong-cu, tetapi juga membuat panik tamu-tamu lainnya.
Buru-buru mereka membayar makanan mereka dan kabur secepatnya, malah ada yang kabur tanpa membayar lebih dulu, entah lupa entah pura-pura lupa.
Sedangkan Kam Hong-ti dan Si Liong-cu biarpun mulanya kaget, namun kemudian bersikap tenang.
"Ada apa, saudara Ma?"
Tanya Kam Hong-ti dengan cangkir arak tetap di tangannya dan tidak bergetar sedikitpun. Jagoan bernama Ma Sun-hian itu agak terpengaruh pula melihat ketenangan dua pendekar bersahabat itu.
"Sepasukan tentara sedang menuju kemari dari beberapa arah untuk menangkap saudara Si Liong-cu. Kalau kalian tidak segera meninggalkan tempat ini, sulit untuk kabur nantinya!"
"Saudara Si, kau selamatan dirimu lewat pintu belakang dan terus menuju kuil Hud-kong-si dekat Pak-mui (pintu gerbang utara), aku dan saudara Ma akan memancing perhatian musuh ke arah lain."
Kata Kam Hong-ti yang tetap memanggil saudara Si, dan bukan saudari In, meskipun sudah tahu bahwa Si Liong-cu adalah Pangeran In Ceng.
"Tidak, kita adalah sahabat, kita hadapi mereka bersama-sama!"
Sahut Si Liong-cu sambil menyambar tongkat hitamnya yang disandarkan dekat tempat duduknya.
"Cepat ambil tindakan!"
Ma Sun-hian mendesak.
Tengah ketiga orang itu saling berbantahan, di jalanan sudah terdengar ribut- ribut.
Sepasukan tentara telah muncul dan mengatur diri dalan sikap mengepung, menutup semua mulut jalan di sekitar rumah makan.
Bahkan beberapa prajurit dengan membawa tangga telah memanjat rumah- rumah di seberang jalan, dan siap dengan panah-panah mereka.
Belasan orang membawa bedil sundut.
"Pangeran In Ceng! Menyerahlah! terdengar suara teriakan dari luar, suaranya menggema dahsyat, menandakan bahwa orang yang berteriak itu memiliki tenaga dalam yang dahsyat.
"
Menyerahlah supaya kami tidak bertindak kasar, dan tetap memperlakukanmu sesuai dengan martabat Pangeran!"
"Tidak ada waktu untuk berbimbang hati lagi, saudara Si, selamatkan dirimu sekarang juga atau semuanya akan terlambat sama sekali!"
Desak Kam Hong-ti. Tangannya sudah menggenggam erat-erat gagang pedangnya meskipun belum dicabut.
"Tidak. Kita harus sehidup semati!"
Bantah In Ceng. Kam Hong-ti habis kesabarannya sehingga membentak.
"In Ceng! Kau ingat janjimu di Hong-hong-nia atau tidak?! Saat itu kau bukan hanya berjanji kepada seorang Kam Hong-ti, tetapi kepada jutaan rakyat Han. Kalau kau naik tahta dan menjalankan janjimu, itu berarti bangsa Han berpeluang mendapatkan kembali martabatnya dengan cara damai! Tapi kalau kau mati di sini, peluang itu lenyap, dan bangsa Han harus merebut martabatnya dengar perang! Dengan pertumpahan darah! Kau sadari itu atau tidak?!"
"Maafkan aku, saudara Kam,"
Sahut In Ceng sambil menundukkan wajahnya.
"Aku hanya tidak rela sahabat-sahabatku terluka demi membelaku. Baiklah, aku turuti petunjukmu tadi!"
"Bagus!", Kam Hong-ti menepuk pundak In Ceng.
"Tunggulah aku di Hud-kong-si dan jaga dirimu baik-baik...."
Baru habis kata-katanya, bentakan di luar sudah terdengar lagi, bahkan di lantai bawah dan di tangga sudah kedengaran suara ribut dan gemerincingnya senjata.
Tanpa membuang waktu lagi, Kam Hong-ti menghunus pedangnya dan menerjang ke arah jendela.
In Ceng alias Si Liong-cu menerjang jendela belakang yang tembus ke sebuah gang becek dan bau busuk di belakang rumah makan itu, sedangkan Ma Sun-hian yang ilmu meringankan tubuhnya kurang lihai, namun ahli dalam permainan ruyung-tiga-ruas segera menerjang ka lantai bawah.
Begitu tubuhnya melayang keluar jendela, masih belasan kaki dari atas tanah, Kam Hong-ti sudah disambut hujan panah.
Tapi sekali pedangnya bergerak bagaikan naga menari, tubuhnya terbungkus cahaya perak melebar dan semua panah disapu runtuh.
Seperti seekor harimau terjun ke tengah kerumunan kambing-kambing gemuk, begitu hebatnya kegagahan Kanglam Taihiap ini.
Begitu pedangnya berputar, tiga orang musuh langsung roboh terjungkal.
Sepasang kakinya menyepak berturut-turut dan kembali dua musuh tertendang mencelat.
Pedangnya berputar lagi dan tangan kirinya menjotos, beberapa musuh roboh lagi.
Namun tentara yang mengepung rumah makan itu berjumlah ratusan.
Robohnya beberapa orang dari mereka tidak mempengaruhi kepungan yang berlapis-lapis itu, ujung tombak, pedang dan golok gemerlapan tak terhitung banyaknya.
Dari tengah-tengah para tentara itu terdengar teriakan.
"Orang ini adalah anggota bangsawan pemberontak itu, tangkap sekalian!"
Jelaslah bahwa In Ceng telah difitnah sebagai "bangsawan pemberontak", sehingga kalaupun dia menyerah secara baik-baik, mungkin akan langsung diadili secara berat sebelah di kota itu juga dan dihukum mati di kota itu pula.
Hong San-tong pasti akan ikut melicinkan jalan bagi In Gi, saudara seperguruannya, untuk menuju singgasana.
Kam Hong-ti geram sekali mendengar sahabatnya dicerca sebagai penberontak, padahal ia tahu sahabatnya sudah berbuat banyak kebaikan di tengah masyarakat.
Ia menerang ke tengah kerumunan prajurit sambil memutar-mutar pedangnya.
Saat itulah dari tengah-tenqah para prajurit terdengar bentakan menggelegar.
"Inikah orangnya yang dengan sombong menepuk dada sebagai pendekar nomer satu di Kang-lam? Biar aku mencobanya!"
Lalu muncullah seorang Hweshio setengah tua, tubuhnya sekepala lebih pendek dari orang-orang biasa, namun lingkaran pinggang dan dadanya justru hampir tiga kali lipat lebih besar dari orang biasa.
Senjata yang dibawanya adalah sebuah garuk besi yang kelihatannya cukup berat, bertangkai panjang.
Melihat orang itu, biarpun belum pernah bertemu, Kam Hong-ti langsung dapat mengenali ciri-cirinya.
Ia balas membentak.
"Dan inikah tampang pendeta gadungan Ngo- sek Hweshio dari Tiang pek-san yanq tidak malu-nalu membantu bangsawan jahat untuk memburu-buru nyawa seorang bangsawan budiman penolong rakyat?!"
"Jangan banyak mulut, Kam Hong-ti! Benar atau salahnya pihakmu dan pihakku, kita tentukan saja dengan senjata!"
Bentak Ngo- sek Hweshio, guru dari Pangeran In Gi dan Panglima kota Tay-tong, Hong San-tong.
"Jadi, benar atau salah ditentukan dengan kekuatan senjata? Ini barulah omongan seorang pendeta yang penuh ibadah!"
Sindir Kam Hong-ti.
Si pendeta pendek bulat tak banyak bicara lagi, seceoat kilat ia melangkah maju dengan sepasang kakinya yang pendek- pendek.
garuk besinya diangkat dan ditimpakan ke kepala Kam Hong-ti.
Angin menderu keras, menandakan kehebatan tenaga si pendeta.
Biarpun Kam Hong-ti bertubuh kurus dan berkulit kuning pucat, namun dengan berani ia palangkan pedangnya ke atas, itu artinya berani melayani adu tenaga dengan si pendeta.
Terdengar dua senjata gemerincing memekakkan telinga ketika beradu.
Pedang Kam Hong-ti segera masuk ke sela-sela gigi- gigi garuk besi lawan.
Karena memandang enteng Kam Hong- ti yang bertubuh kurus, bermuka pucat dan berusia kurang dari tigapuluh tahun, Ngo-sek Hweshio membentak.
"Kau cari mampus!"
Garuk besinya segera diputar sekuat tenaga untuk merampas pedang Kam Hong-ti.
Namun ia kaget ketika gagal merampas pedang itu, malah pedang musuh lolos selicin belut.
Kam Hong-ti sendiri menyusup maju sambil menikamkan pedangnya ke mata lawan.
Tertawa sombong si Pendeta berubah menjadi desis kaget sambil cepat-cepat memiringkan kepalanya.
Namun kembali dia dipaksa melompat mundur karena pedang Kam Hong-ti sudah berputar membabat kakinya.
Ketika Kam Hong-ti hendak menyerbu terus musuhnya, sepasukan tentara menghalanginya untuk melindungi Ngo-sek Hweshio.
Tapi Ngo-sek Hweshio membentak prajurit-prajurit itu.
"Minggir semua! Membereskan bocah ingusan ini mana perlu main keroyok segala?!"
Sebagai jago terkenal dari Liau-tong, disegani di kalangan orang-orang Manchu, Ngo-sek Hweshio agaknya punya harga diri juga.
Ia ingin bertempur satu lawan satu dan mengalahkan Kang-lam Taihiap agar namanya terangkat naik.
Setelah para prajurit menyingkir, dia menyerbu Kam Hong-ti bagaikan seekor kerbau gila.
Garuk besinya berputar berdesing-desing dan gigi-gigi garuknya siap merajang tubuh Kam Hong-ti dari segala arah.
Namun si pendekar Kang-lam meladeni dengan permainan pedangnya yang lincah.
Ia lebih mengandalkan kelincahan, kecepatan, dan tipu-tipu serangan yang licin berbelit-belit sehingga pedangnya mirip ular bersisik perak yang beterbangan mengurumuni musuhnya.
Namun.
biarpun tubuhnya kurus, tidak jarang Kam Hong-ti juga memperlihatkan kehebatan tenaganya dengan membentur senjata lawan secara kekerasan, memaksa lawannya mengakui bahwa kekuatan Kam Hong-ti tidak di bawah kekuatannya sendiri.
Begitulah, di tengah jalan, di tegah lingkaran prajurit-prajurit, terjadi pertarungan satu lawan satu yang seru sekali.
Melihat para prajurit malah menonton pertempuran seperti menonton adu jago, Ngo- sek Hweshio jadi mendongkol.
Bentaknya.
"He, temukan dan tangkap si pemberohtak In Ceng! Monyet kurus ini biar aku yang mengurusnya!"
Para prajurit dan perwira pun segera lari berpencaran untuk menjalankan perintah guru dari Panglima Tay-tong-hu.
Sementara itu, di ruangan rumah makan Lam-yap-lau juga terdengar suara gedebrukan dari pertempuran antara prajurit- prajurit Tay-tong yang mengepung Ma Sun- hian yang mengamuk dengan ruyung tiga ruasnya.
Meskipun sadar dirinya tak mungkin lolos, Ma Sun-hian terus bertempur dengan bersemangat.
Sudah belasan prajurit yang terkapar di lantai dengan kaki patah, tangan patah atau tulang rusuk ringsek, beberapa lagi malahan retak jidatnya karena sambaran ruyung tiga ruasnya.
Hanya saja jumlah para prajurit terlalu banyak, sehingga lama-lama Ma Sun-hian kelelahan juga.
Tapi karena mengamuknya kedua pendekar itu, In Ceng alias Si Liong-cu jadi sempat kabur cukup jauh lewat lorong berliku- liku di belakang rumah makan.
Menembus perkampungan kumuh yang bangunan- bangunannya didirikan sembarangan saja.
Sekelompok tukang copet yang tengah membagi hasil di sebuah sudut, minggir dengan ketakutan ketika Si Liong-cu lewat sambil menjinjing toya hitamnya.
Tapi selama berada di dalam kota Tay- tong, agaknya ia tidak bisa berlenggang- kangkung dengan aman.
Baru saja ia muncul dari sebuah gang, satu regu prajurit telah memergokinya dan berteriak.
"Itu dia orangnya!""Tangkap! Dan panggil regu lainnya untuk menyumbat jalan mundurnya!"
Teriak pemimpin regu itu.
Para prajurit segera mengerubut In Ceng yang mau tidak mau harus memutar toyanya untuk membela diri.
Tapi dia sadar, kalau terpancang terus di tempat itu maka lama-lama akan terkepung, tertangkap, dan musnahlah cita-citanya untuk duduk di Singgasana Naga.
Gembong Kartasura Karya Sri Hadijojo Misteri Bayangan Setan -- Khu Lung Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen