Teror Elang Hitam 4
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP Bagian 4
Teror Elang Hitam Karya dari Stevanus S.P
"Betul! Jangan menghina Pocu dengan pemberian sesedikit ini!"
Sahut Hau It-yau bersemangat. Akhirnya, dengan alasan yang dibuat- buat, toh mereka memutuskan untuk menguasai sendiri harta yang "sedikit"
Itu.
Setiap orang akan mendapat sepertujuh.
Ho Yu-yang dan Ong Sek-lai pasrah saja, lebih baik mendapat sepertujuh daripada tidak mendapat apa-apa.
Mereka meninggalkan ajang penyembelihan itu, dan tempat itupun tinggal mayat-mayat berceceran.
Kini burung-burung pemakan bangkailah yang mulai berdatangan karena mencium bau darah segar.
Kali ini mereka tidak usah berebutan, bahkan akan berpesta pora, sebab hidangan yang tersedia lebih dari cukup.
Sayang, sebelum pesta kawanan burung itu dimulai, seekor kuda putih muncul dengan dua penunggangnya berboncengan di satu pelana.
Kedua penunggang kuda itu kemudian benar-benar mengecewakan burung- burung itu, sebab dengan membawa cangkul pinjaman dari penduduk setempat, mereka menggali tanah dan menguburkan mayat- mayat itu.
Dua orang menguburkan sekian banyak mayat, benar-benar pekerjaan yang melelahkan.
Tapi tindakan kemanusiaan memang sering kelihatan janggal di dunia yang semakin jahat.
Setengah hari bekerja, barulah Pakkiong Eng dan Liu Beng berhasil menguburkan mayat-mayat itu semuanya.
"Nah, kau sudah puas?"
Tanya Pak kiong Eng sambil memijit-mijit pinggangnya sendiri yang agak pegal juga meskipun ia telah mengalami gemblengan berat dari ayahnya sendiri.
Tapi pakaian putihnya yanq menjadi kebanggaan itu berlepotan tanah dan bahkan darah.
Liu Beng tidak mendengar pertanyaan itu, ia tengah merenungi gundukan tanah tepat di depan kakinya.
Di bawah gundukan tanah itu terbaringlah Liu Giok-eng.
Tanpa peti mati, tanpa upacara, namun Liu Beng berharap gadis itu mati dalam keadaan bahagia karena cintanya.
Pakkiong Eng, yang lebih dikenal dengan Kiong Eng, menggeleng-gelengkan kepalanya melihat ulah Liu Beng.
Ia sendiri belum pernah mengalami jatuh cinta, apalagi patah hati, maka ia sering heran melihat orang-orang yang dimabuk cinta dan kelakuannya menjadi seperti orang sinting.
"Kau sudah selesai merenungi kuburan kekasihmu atau belum?"
Tegur Kiong Eng mengejutkan Liu Beng.
"Kau seorang lelaki, tidak boleh bersikap begitu lemah. Kewajibanmu terhadap keluarga Liu masih banyak". Liu Beng cuma mengangguk-angguk tanpa menjawab sepatah kata pun, tapi ia sadar ucapan Kiong Eng itu benar. Tak ada yang harus disedihkan secara berlebihan, meskipun sebagai manusia biasa tentunya tidak luput dari perasaan itu. Namun lebih penting menatap ke depan dengan bersemangat daripada termangu-mangu menatap ke belakang. Merekapun berjalan meninggalkan tempat itu, tidak lagi berboncengan di atas kuda tapi berjalan kaki bersama-sama sambil menuntun kuda putih itu. Bagaimanapun mereka merasa canggung untuk berboncengan seperti tadi ketika dalam keadaan darurat, lagipula Ki-lian-san sudah tidak jauh lagi. Sambil berjalan, Kiong Eng tiba-tiba mengeluarkan segulung kertas dari balik bajunya. Ketika dibuka, ternyata itu adalah lukisan seorang pemuda, ditunjukkannya kepada Liu Beng sambil bertanya.
"saudara Liu, selama dalam perjalanan, pernahkah kau bertemu dengan orang berwajah macam ini?"
Liu Beng melirik lukisan itu dan ia mengagumi pelukisnya.
Seolah yang dihadapinya bukan cuma selembar kertas dengan beberapa coretan tinta, melainkan sesosok pribadi yang utuh.
Itulah lukisan seorang pemuda berwajah lebar, tidak tampan, namun bibir dan rahangnya membayangkan hati yang keras, hidungnya agak besar membayangkan cita-cita yang tinggi, matanya tajam dan alisnya memancarkan semacam wibawa yang berpengaruh.
Diam-diam Liu Beng membatin alangkah beruntungnya pemuda itu sehingga dicari-cari oleh seorang gadis secantik Kiong Eng.
Liu Beng menggeleng.
"Selama ini rombongan kami berjalan di malam hari dan bersembunyi di siang hari, mana bisa bertemu dengan orang lain di perjalanan? Tapi.... siapakah orang ini, nona?"
Sesaat Kiong Eng berpikir, lalu menjawab ringan, namanya In Ceng, seorang sepupu jauhku. Ayahnya adalah saudara sepupu ayahku. Ia pergi meninggalkan rumahnya di Pak-khia dan kami sekeluarga kelabakan mencari jejaknya...."
Liu Beng memperhatikan gambar itu sekali lagi untuk diingat-ingat dalam hati, lalu menjawab.
"Tapi aku kelak akan membantu nona untuk menemukannya, kalau aku ada kesempatan melakukan perjalanan. Namanya In Ceng?"
"Ya, tetapi dalam perantauannya tentu dia akan memakai nama palsu, entah siapa. Seperti aku juga memakai nama palsu Kiong Eng..."
Kata Kiong Eng sambil tertawa.
"Ah, sudah punya nama pemberian orang tua, kenapa harus mengganti dengan nama palsu segala? Sedangkan aku yang tidak punya nama keluarga saja rindu untuk mempunyai sebuah nama keluarga yang berasal dari orang tuaku sendiri, bukan she pinjaman seperti sekarang ini..."
Kiong Eng tidak menjawab tetapi menggulung kembali gambar itu dan menyimpannya di bagian dalam jubahnya. Ketika Ki-lian-san sudah nampak di depan mata, Kiong Eng tiba-tiba melompat naik ke atas kudanya.
"Aku tidak bisa mengantarmu naik ke Ki-lian-san, saudara Liu..."
"Lho, kenapa? Anak dan menantu Chungcu Loya ada disana, dan mereka tentu akan mengucapkan terima kasih kepada nona..."
"Aku seorang berdarah Manchu. Di daratan besar ini banyak yang mengganggap orang Manchu adalah iblis yang paling jahat, lebih jahat dari penjahat paling busuk sekalipun. Jadi aku sebaiknya tidak usah menemui orang-orang Ki-lian-pai."
"Ketua Ki-lian-pai pasti bukan manusia berpikiran sempit seperti itu. Mereka adalah pendekar-pendekar terhormat..."
"Yang memusuhi orang Manchu justru orang yang menamakan diri pendekar- pendekar terhormat itulah. Seorang pendekar bangsa Han belum lengkap kependekarannya kalau belum membenci orang Manchu habis- habisan. Pendekar bangsa Han yang tidak membenci orang Manchu akan mendapat cap macam-macam seperti penjilat, mata-mata dan sebagainya..."
Liu Beng dapat memahami ucapan Kiong Eng itu.
Namun dia masih belum mengerti kenapa orang harus saling membenci dan menjelekkan hanya karena keturunan yang berbeda, dan bahkan pedang-pedang sering ikut bicara pula.
Kurang beberapa li sebelum tiba di kaki gunung Ki-lian-san, kedua orang itu saling mengugapkan selamat berpisah.
Liu Beng terus ke Ki-lian-san, dan Kiong Eng meneruskan ke arah lain dengan kuda putihnya.
**OZ** BAGIAN LIMA Ki-lian-san adalah sebuah gunung, di atasnya berdiri sebuah perguruan silat yang diberi nama menurut nama gunungnya, Ki- lian-pai.
Perguruan itu tidak setenar atau sebesar Hoa-san-pai, Jing-sia-pai atau Khong- tong-pai, apalagi perguruan-perguruan raksasa seperti Siau-lim-pai atau Bu-tong-pai, tetapi Ki-lian-pai juga tidak bisa dipandang remeh.
Pelajaran pedangnya cukup bagus, dan orang- orangnya mempunyai nama harum di kalangan persilatan.
Ketuanya bernama Auyang Peng-hong, berjuluk Lam-ih-kiam-khek (Pendekar Pedang Berbaju Biru) karena kegemarannya memakai jubah biru ke mana-mana.
Ia adalah menantu Liu Hok-tong, sebab isterinya yang bernama Liu Giok-kiau adalah anak Liu Hok-tong.
Seandainya rombongan Liu-keh-chung sempat mencapai Ki-lian-san, tentu tidak gampang pihak Hek-eng-po untuk mengusik mereka.
Sayang, sebelum mencapai Ki-lian-san mereka sudah tertumpas dan tinggal Liu Beng sendirian.
Kini dengan pakaian compang-camping, kotor oleh tanah dan darah, Liu Beng tengah melangkah naik ke Ki-lian-san.
Pemandangan lereng gunung yang indah itu sedikit banyak melegakan hati Liu Beng yang sedang sedih.
Di lereng-lereng itu dilihatnya beberapa orang dari berbagai usia, lelaki dan perempuan, sedang berlari-lari atau berlompat-lompatan sampai mandi keringat.
Merekalah murid-murid Ki-lian-pai yang sedang melatih kelincahan dan ketahanan tubuh, dua hal penting bagi seorang pesilat.
Latihan berulang-ulang yang kelihatan menjemukan itu juga sebuah jalan melatih mendisiplinkan pikiran.
Liu Beng mendaki terus sampai tiba di bawah sebuah tangga batu yang entah terdiri dari berapa ratus tingkat.
Puncak dari tangga batu adalah sebuah pintu gerbang megah yang dalam keadaan setengah terbuka Di kiri kanan pintu gerbang ada sepasang ciok-sai yang tingginya melebihi orang dewasa.
Di atas pintu gerbang terukir tiga huruf besar berwarna merah di atas dasar warna hitam .
Ki-lian-pai.
Sesaat Liu Beng terpaku kagum akan kemegahan bangunan itu, lalu dipandanginya dirinya sendiri yang compang-camping dan babak belur, Wibawa Ki -lian-pai jauh berbeda dengan wibawa Liu-keh-chung, meskipun bangunannya sama-sama besar dan megah.
Bagaimanapun, Liu-keh-chung cuma sebuah perkampungan keluarga, sedang Ki-lian-pai sebuah perguruan silat.
Liu-keh-chung dengan mengandalkan uangnya bisa menyogok pejabat-pejabat di Lok-yang dan menanam pengaruh terhadap rakyat di sekitar kota Lok- yang, namun suaranya jelas tidak akan digubris dalam sebuah rapat umum dunia persilatan misalnya.
Sedang Ki-lian-pai jelas berbeda.
Maka Liu Beng ragu-ragu untuk melangkah masuk pintu gerbang itu, ia celingukan mencari barangkali ada pintu samping yang kecil, yang biasa untuk keluar masuknya kaum pelayan semacam dirinya.
Tidak ada.
Selain pintu gerbang, yang ada hanya tembok yang tinggi.
Terpaksa Liu Beng melangkah juga menapaki tingkat-tingkat tangga batu itu.
Tapi di pintu gerbang itu tiba-tiba muncul serombongan anak-anak muda dan gadis, semuanya berpakaian latihan silat yang gagah ringkas dengan pedang di punggung masing-masing.
Tentunya merekalah murid- murid Ki-lian-pai.
Ketika melihat Liu Beng berdiri di tangga batu, seorang gadis pura-pura terkejut dan menjerit dengan manjanya.
"Ih... ada pengemis! Kam Suheng (kakak seperguruan Kam), tolong usir pengemis itu!"
Liu Beng menarik napas menahan rasa dongkolnya, belum ditanya apa-apa sudah dianggap pengemis.
Tapi ia maklum, karena keadaan dirinya saat itu memang benar-benar seperti pengemis.
Murid lelaki yang dipanggil Kam Suheng tadi segera mendekati Liu Beng sambil membentak.
"He, jembel, hari ini Ki-lian-pai tidak sedang mengadakan sedekah tahunan. Pergi saja ke tempat lain!"
Ia bernama Kam Hun-siong, bertubuh agak pendek, tetapi lebar dan kekar, termasuk dalam "10 murid terbaik Ki-lian-pai"
Sehingga agak besar kepala. Suka mencari pujian dari gadis-gadis, kalau seorang gadis memintanya terjun ke sumur dengan kepala di bawah, ia akan menjalaninya sambil bertepuk dada. Liu Beng cepat memberi hormat.
"Maaf, siauya, aku bukan pengemis. Aku seorang pelayan dari Liu-keh-chung yang ingin menemui Auyang Sianseng untuk menyampaikan berita penting..."
Kam Hun-siong seketika membelalakkan matanya.
"Apa? Kau kira Ketua Ki-lian-pai itu seorang pemogoran di warung arak yang bisa ditemui setiap saat dan oleh sembarangan orang dengan sesuka hatinya saja?"
Liu Beng menyabarkan diri menghadapi sikap Kam Hun-siong itu, ia juga mencoba memaklumi bahwa seorang Ketua Perguruan ternama memang tidak gampang dijumpai.
"Siauya, lihatlah pakaianku yang kacau ini, aku membawa berita penting sekali untuk diketahui Auyang Sianseng. Berita tentang sanak saudaranya di Liu-keh-chung..."
"Berita penting apa? Sampaikan saja lewat aku, aku ini murid terpercaya Suhu Auyang Peng-hong. Setelah itu kau boleh pergi..."
"Berita ini menyangkut persoalan keluarga, bukan soal perguruan,"
Sahut Liu Beng.
"Apa bedanya? Aku sudah dianggap anggota keluarga sendiri oleh Suhu..."
Murid-murid lainnya tertawa mendengar ucapan Kam Hun-siong itu, mereka cukup paham artinya.
Auyang Peng-hong memang punya anak gadis cantik bernama Auyang Siau-hong yang sudah bertahun-tahun diincar Kam Hun-siong.
Di hadapan orang luar ia berani mengatakan bahwa hubungannya dengan gurunya "sudah seperti keluarga sendiri".
Baru saja Liu Beng hendak mengatakan keperluannya, tiba-tiba matanya berkunang- kunang, lalu terasa nyeri dalam dadanya.
Luka yang diperolehnya dalam perkelahian melawan Pek Hong-teng, yang selama ini tidak dihiraukan karena buru-buru ingin sampai di Ki-lian-san, kini menggigit kembali.
Tiba-tiba tubuhnya ambruk di hadapan murid-murid Ki- lian-pai.
"Ia kelihatannya sungguh-sungguh baru saja mengalami sesuatu yang berat,"
Kata adik seperguruan Kam Hun-siong yang bernama Kwe Hun-lan, gadis yang menjerit genit tadi.
"Kita laporkan Suhu atau tidak?"
"Nampaknya dia benar-benar dari Liu- keh-chung membawa berita penting, lukanya mungkin juga gawat..."
"Biar aku yang menghadap Suhu,"
Kata Kam Hun-siong.
"Kalian tetap di sini sambil menjaga jembel ini." **OZ** Bersambung ke
Jilid 07 Pojok Dukuh, 17-09-2018; 19.55 WIB TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.
Jilid 07 TEMAN-TEMAN Kam Hun-siong tersenyum maklum.
Mereka tahu dalam setiap kesempatan Kam Hun-siong selalu ingin mencari muka terhadap guru mereka, sekaligus mencari kesempatan untuk semakin mendekati puteri sang guru.
Tapi baru saja Kam Hun-siong membalikkan badan, dari pintu gerbang terdengar suara.
"Ada apa?"
Lalu Auyang Siau- hong, gadis impian Kam Hun-siong itu muncul. Kam Hun-siong cepat menyongsong.
"Sumoai, orang ini membawa berita penting dari keluarga di Liu-keh-chung. Tapi belum sampai ku tanyai apa-apa, ia sudah jatuh pingsan, agaknya luka dalam karena habis mengalami pertempuran sengit."
Auyang Siau-hong cepat berlari turun dan berjongkok di dekat tubuh Liu Beng.
"Aku kenal orang ini, ia pelayan kesayangan Kakek di Liu-keh-chung, namanya kalau tidak salah A-beng. Kalau ia sampai kemari dengan menahan luka, tentu berita yang dibawanya pun cukup penting. Kenapa tidak sejak tadi kalian membawanya ke dalam?"
Yang menjawab adalah Kam Hun-siong.
"Memang maksud kami hendak membawanya ke dalam, tapi Sumoai sudah keluar lebih dulu. Sekarang bagaimana baiknya?"
"Aku harus mengobatinya sampai sembuh dan bisa ditanyai berita apa yang dibawanya."
Alis Kam Hun-siong berkerut tidak senang mendengar ucapan Auyang Siau-hong itu.
"Apakah perlu Sumoai sendiri yang merendahkan diri menyentuh tubuh kacung ini? Bukankah bisa kita serahkan saja kepada Yo Jitsusiok (paman guru ketujuh she Yo) yang cukup ahli di bidang pengobatan?"
"Jangan sedikit-sedikit merepotkan Yo Jitsusiok. Bagaimanapun juga beliau adalah sesepuh perguruan kita, kita tidak boleh menganggap beliau seperti tabib bayaran yang bisa disuruh datang pergi semau kita."
Apa boleh buat, biarpun hatinya kurang senang, Kam Hun-siong tidak ingin membantah adik seperguruannya itu.
Diliriknya Liu Beng yang masih pingsan.
Wajah itu pucat, kotor dan berlepotan darah, namun cukup tampan juga.
Diam-diam Kam Hun-siong cemas jangan-jangan kacung ini akan menjadi batu sandungan dalam usahanya meraih Auyang Siau-hong? Tapi kemudian Kam Hun-siong tertawa dalam hati dan menghibur dirinya sendiri.
"Ah, kenapa aku begitu kurang percaya diri sendiri sehingga takut disaingi kacung dekil ini? Bukankah aku adakah salah satu dari sepuluh murid terbaik Ki-lian-pai dari angkatan ketiga?"
Liu Beng pun digotong masuk.
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selama pingsan, Liu Beng mendapat mimpi-mimpi yang begitu menakutkan, dan ketika ia mulai siuman dari pingsannya, ia merasa tubuhnya panas, dadanya nyeri, masih ditambah dengan kepala pusing dan perut mual.
Tapi ketika membuka matanya, ia agak heran juga menemukan dirinya berada di sebuah ruangan yang sederhana tetapi rapi.
Di dekat tempat pembaringannya ada sebuah meja kecil dan di atasnya ada semangkuk bubur serta lauk-pauknya yang sudah dingin.
"Di manakah aku sekarang?"
Pikirnya.
Tengah ia bertanya-tanya dalam hati, pintu ruangan berderit terbuka.
Liu Beng menoleh ke pintu dan matanya terbelalak seperti melihat hantu.
Ia masih ingat jelas bagaimana ia menimbunkan tanah ke tubuh Liu Giok-eng yang terbaring di liang lahat.
Tapi sekarang dilihatnya Liu Giok-eng berdiri di depannya, atau hanya arwahnya yang bangkit dari kubur karena mati penasaran? "Nona Eng...kau...kau..."
Dalam keadaan masih deman, Liu Beng menatap tubuh di depannya itu seperti orang linglung.
Gadis itu tiba-tiba tertawa geli dan muncullah perbedaannya dengan Liu Giok-eng.
Tertawanya Liu Giok-eng lembut dan anggun, agak "terkendali", sedang tertawanya gadis ini bebas lincah.
Selain tertawanya ini hampir segala-galanya sama dengan Liu Giok-eng.
Suara gadis itu seperti kicau burung kenari.
"He, tolol, aku bukan piauci (kakak misan perempuan). Aku Auyang Siau-hong!"
Liu Beng gelagapan dan tersipu-sipu oleh ulahnya sendiri.
Kini ia teringat, beberapa tahun yang lalu ketika Auyang Peng-hong sekeluarga berkunjung ke Liu-keh-chung, memang ada seorang gadis cilik yang mirip dengan Liu Giok-eng.
Setelah sama-sama tumbuh menjadi remaja, kemiripan wajah dua gadis yang bersaudara sepupu itu semakin nyata, semakin sulit dibedakan.
Hanya saja Auyang Siau-hong lebih cerewet dari Piaucinya.
Suaranya memenuhi ruangan tempat Liu Beng berbaring.
"Memang antara aku dan Piauci sangat mirip, sehingga banyak orang yang keliru mengenali. Bagaimana keadaan di Liu-keh-chung? Semuanya baik-baik saja bukan? Apakah Piauci masih suka mengejar kupu-kupu? Ketika menanyakan keadaan Liu-keh- chung, jelas Auyang Siau-hong berusaha menyembunyikan ketegangannya. Ia tadi sudah melihat kedatangan Liu Beng dalam keadaan berantakan, mungkinkah kedatangan macam itu membawa berita baik? Tapi Auyang Siau-hong ingin menjadi orang pertama yang mendengar berita dari Liu-keh-chung. Liu Beng bukan seorang yang pandai menutupi perasaannya. Pertanyaan Auyang Siau-hong itu langsung menikam hatinya dan membuat wajahnya memucat.
"Berita tentang keluarga Liu sebaiknya kusampaikan langsung kepada Auyang Sianseng..."
"Berita buruk atau berita baik? Eh, kau hendak apa?"
Kata Auyang Siau-hong kaget, lalu melompat maju untuk membangunkan Liu Beng yang terguling jatuh dari pembaringan karena berusaha untuk turun.
Sahut Liu Beng terengah-engah "Rasanya kurang sopan kalau aku bicara kepada nona sambil berbaring.
Nona adalah puteri Ketua Ki-lian-pai, sedang aku cuma seorang pelayan rendahan di Liu-keh-chung..."
Tanpa canggung Auyang Siau-hong membantu Liu Beng sampai mapan di pembaringan kembali. Katanya setengah mengomel.
"Jangan berpikiran seperti itu. Ki- lian-pai adalah gedung persilatan, bukan rumah hartawan dengan sejuta peraturannya. Kami menilai orang bukan dari kedudukannya, tapi dari watak ksatrianya. Apapun kedudukanmu di Liu-keh-chung, di sini tidak berlaku lagi, eh, bagaimana keadaan Liu-keh- chung? Kau belum bicara tentang itu..."
Menganggap bahwa Auyang Siau-hong adalah cucu luar majikannya, akhirnya Liu Beng memutuskan tidak ada salahnya kalau gadis itu mendengar berita dari Liu-keh-chung itu.
Maka dengan suara tersendat-sendat, Liu Beng menceritakan kehancuran perkampungan keluarga itu.
Wajah ceria Auyang Siau-hong berganti wajah pucat, membayangkan kemarahan dan kedukaan yang tidak siap diterimanya "Jadi...jadi...kakeku, paman-pamanku, bibi- bibiku dan saudara-saudara sepupuku itu sekarang telah...telah..."
"Semuanya sudah gugur, nona. Bukan saja anggota keluarga Liu yang ditumpas, bahkan sampai pegawai-pegawai perempuan yang tidak mengerti ilmu silatpun dibabat tanpa kecuali..."
"Hek-eng-po keparat!"
Desis Auyang Siau-hong menahan tangisnya. Ia mengayunkan telapak tangannya dan ujung meja yang terbuat dari kayu tebal dan keras itupun terpotong oleh tebasan tangannya.
"...dan hanya kau sendiri yang selamat untuk mengabarkan kemari?"
"Benar, itupun karena keberuntunganku belaka. Aku ditolong seorang pendekar wanita yang menyamar sebagai lelaki, dia sanggup memporak-porandakan gembong-gembong Hek-eng-po dan melukai tiga orang dari antara mereka."
"Siapa yang menolongmu?"
"Nama aslinya Pakkiong Eng, tapi menyamar sebagai lelaki bernama Kiong Eng. Agaknya ia cukup terkenal, sebab gembong- gembong Hek-eng-po itu menyebut julukannya sebagai Pek-ma Tok-hing."
"He, nama keluarganya Pakkiong?"
"Ya, kenapa?"
"A-beng, seterusnya kau jangan bergaul terlalu rapat dengan orang itu..."
Liu Beng diam-diam menyesalkan sikap Auyang Siau-hong itu.
Bukankah Kiong Eng adalah seorang pendekar yang menegakkan keadilan dan menentang kejahatan pula? Lalu teringatlah ia akan kata-kata Kion Eng sebelum berpisah, bahwa hanya pendekar bangsa Han yang memusuh bangsa Manchu secara sengit.
Kini Liu Beng sadar bahwa Ki-lian-pai adalah salah satu golongan persilatan yang memusuhi orang Manchu pula, Auyang Siau-hong agaknya juga dijejali kebencian terjadap bangsa Manchu pula, Liu Beng sangat menyayangkan hal itu.
Dalam penuturannya kemudian, Liu Beng tidak lagi menyebut-nyebut Kiong Eng, meskipun secara pribadi ia tetap sangat menghargai penolongnya itu.
Ia bercerita tentang jalannya pertarungan di mana Liu-keh- chung dengan gigih melawan jago-jago Hek- eng-po, meskipun harus berguguran satu demi satu.
Au yang Siau-hong mendengarkan cerita itu dengan wajah yang berubah-ubah.
Sebentar mengertakkan gigi penuh kemarahan, di lain saat begitu susah payah menahan tangisnya dengan menggigit bibirnya.
Namun Liu Beng harus kagum melihat pengendalian diri gadis itu.
Tiba-tiba dari luar ruangan terdengar suara seseorang yang bernada sinis.
"Suatu cerita kepahlawanan yang benar-benar menakjubkan."
Lalu Kam Hun-siong melangkah masuk. Ia berusaha untuk bersikap wajar, tapi kerutan alisnya dan sinar matanya menunjukkan ketidak-senangan hatinya. Kata Kam Hun- siong kepada Auyang Siau-hong.
"Agaknya Ki- lian-pai perlu mengadakan pesta besar untuk menyambut kedatangan pahlawan kita ini, Sumoai..."
Auyang Siau-hong tahu bahwa Suhengnya ini sudah lama menaruh hati kepadanya, dan selama ini Auyang Siau-hong berusaha tidak menyakiti hati Suhengnya, meskipun juga tidak memberikan harapan muluk.
Tapi ia merasa tidak senang Suhengnya menguping pembicaraannya dengan Liu Beng, bahkan kemudian mengeluarkan kata-kata sinis kepada Liu Beng.
Sedang Liu Beng yang disindir hanyalah menyahut dengan kata-kata rendah.
"Tidak ada yang perlu dipestakan, Siauya, sebab peristiwa ini adalah musibah. Siauya jangan bergurau."
"Aku bersungguh-sungguh,"
Potong Kam Hun-siong.
"Bukankah mulutmu sendiri baru bercerita bagaimana kau dengan gagah berani bertempur mendampingi keluarga Liu? Bukankah itu patut disebut sebagai pahlawan agung? Tapi nada bicara Kam Hun-siong sama sekali bukan memuji.
"Aku tidak berani menyebut diriku pahlawan, Siauya, aku justru tidak bisa membalas budiku kepada keluarga Liu,"
Potong Liu Beng dengan nada pedih.
"Aku juga gagal melindungi nona Liu..."
Sementara itu, mata Auyang Siau-hong yang tajam menangkap sikap Liu Beng setiap kali mengucapkan nama Liu Giok-eng.
Sikap yang jelas melebihi hubungan sekedar kacung dan nona majikannya.
Diam-diam Auyang Siau-hong heran juga, namun tidak bertanya tentang hal itu.
Sedang Kam Hun-siong merasa semakin tersisih dari perhatian Auyang Siau-hong sejak kedatangan Liu Beng.
Kini hatinya semakin panas ketika memergoki puteri gurunya itu berada berdua saja bersama Liu Beng dan malah mendengarkan "cerita kepahlawannan"
Si kacung.
"Sumoai, ayahmu memanggilmu, agaknya ada sesuatu yang akan dibicarakan,"
Kata Kam Hun-siong kemudian.
"Jangan sampai segala urusan penting terbengkalai gara-gara kedatangan seorang yang mengaku- aku sebagai pahlawan."
Auyang Siau-hong tidak ingin bertengkar dengan kakak seperguruannya di hadapan Liu Beng.
Meskipun ia kagum kepada kacung yang jujur dan berani itu, namun ia tidak akan membiarkan kacung itu tidak menghormati kakak seperguruannya.
Dengan sikap wajar ia melangkah keluar,"Baik, aku akan menjumpai ayah.
Kam Suheng sendiri bagaimana?"
"Aku segera menyusulmu, sumoai. Tapi aku ingin berbincang sebentar dengan...eh, siapa namanya? Oh, ya, dengan Liu Beng ini..."
Setelah Auyang Siau-hong meninggalkan ruangan, Kam Hun-siong berkata kepada Liu Beng dengan nada seorang majikan kepada kacungnya.
"A-beng, setelah besok kau menyampaikan semua laporanmu tentang Liu-keh-chung, kau harus segera meninggalkan tempat ini. Mengerti?"
Liu Beng heran juga melihat sikap bermusuhan dari murid Ki-lian-pai yang satu ini, padahal bertemu pun baru kali itu.
Namun biarpun cuma seorang kacung, Liu Beng juga seorang laki-laki yang punya harga diri, karena sudah terang-terangan diusir, maka diapun menjawab tegas.
"Baik. Asal tugasku sudah selesai, siapa sudi menumpang cuma-cuma di rumah orang?"
Si pengusir sendiri tercengang karena pengusirannya ternyata berjalan begitu lancar.
Tapi agak kecewa juga karena si kacung, tidak menggigil ketakutan dan menyembah- nyembah kepadanya, padahal itulah yang diharapkannya.
Namun ia akan lega kalau Liu Beng cepat-cepat minggat, sebab Kam Hun- siong adalah pencemburu kelas berat yang tidak tahan melihat Auyang Siau-hong begitu akrab dengan Liu Beng.
Ketika Liu Beng kembali sendirian di ruangan itu, iapun termangu-mangu.
Setelah diusir dari Ki-lian-san lalu hendak kemana? Rumah tidak punya lagi, sanak saudara juga tidak ada.
Tapi akhirnya ia menggertak gigi dan membulatkan tekadnya.
"Persetan, pergi ya pergi. Biarpun harus kembali menjadi gelandangan, memangnya aku tidak bisa hidup di atas kakiku sendiri?"
Dengan tekad macam itu, mantaplah hatinya.
Ketika tubuhnya terasa lemas dan kepalanya pusing, tanpa sungkan-sungkan lagi ia naik ke pembaringan dan tidur pulas sampai sore hari.
Ia baru terbangun ketika mendengar beberapa orang memasuki ruangan itu.
Ia melompat bangun, dan dilihatnya sepasang suami isteri pertengahan umur yang masih kelihatan gagah dan ramping.
Yang laki-laki berjubah biru lembut, wajahnya bersih dan matanya bercahaya.
Usianya agaknya hampir setengah abad, tapi tubuhnya tidak menjadi gemuk kedodoran dengan lemak yang bertimbunan di sana-sini, pinggang dan pundaknya kekar.
Liu Beng berani memastikan bahwa lelaki gagah ini tentu Ketua Ki-lian-pai Auyang Peng-hong.
Dan perempuan di sampingnya itu tentu Liu Giok-kiau, isterinya, sebab wajahnya agak mirip dengan Auyang Siau-hong.
Mata perempuan itu kelihatan merah dan bengkak habis menangis, tentu sudah mendengar dari mulut Auyang Siau- hong tentang musibah yang menimpa Liu-keh- chung.
Selain suami isteri itu, masih ada Auyang Siau-hong dan Kam Hun-siong dengan muka-muka yang sedih, dan seorang lelaki setengah umur yang berjenggot seperti kambing dan matanya kecil.
Namun sikapnya menunjukkan bahwa dia agaknya seorang yang cukup berpengaruh di Ki-lian-pai.
Cepat-cepat Liu Beng merosot turun dari pembaringannya dan berlutut kepada suami isteri itu.
"Liu Beng dari Liu-keh-chung menyampaikan salam hormat kepada Auyang Sianseng dan Hujin!"
Auyang Peng-hong, si Pendekar Pedang Baju Biru (Lam-ih-kiam-Khek), berkata.
"Bangunlah, saudara Liu. Ki-lian-pai tidak menganggapmu sebagai pelayan, tetapi sebagai sahabat sederajat. Kam Hun-siong, ambilkan kursi untuk saudara Liu ini!"
Diam-diam Kam Hun-siong mengutuk gurunya agar disambar geledek, namun perintah gurunya itu dijalankan juga meskipun dengan setengah hati. Setelah Liu Beng duduk, dan semuanya juga duduk, yang lebih dulu bertanya adalah Liu Giok-kiau.
"A-beng, aku tahu kau pelayan terpercaya ayahku. Aku sudah mendengar dari Hong-ji tentang apa yang menimpa keluargaku. Benarkah itu?"
"Benar, Hujin."
"Coba kau ceritakan kembali agar kami mendengar dari orang yang mengalaminya sendiri."
Terpaksa Liu Beng bercerita sekali lagi, dan itu membuat Liu Giok-kiau menangis terguguk-guguk karena menyesal bahwa ia tidak sempat ikut meringankan beban ketika terjadi musibah itu.
Sedangkan Thia Kim-sim, Ketua Hai-long-pang yang hanya ipar dari Liu Goan saja sudah ikut membela keluarga Liu sampai tewas, dia sebagai anak perempuan kandung Liu Hok-tong malah enak-enak di Ki- lian-san tanpa tahu apa yang terjadi.
Untuk sesaat Auyang Peng-hong jadi sibuk menghibur dan menenangkan isterinya itu.
Setelah agak reda tangisnya, Liu Giok- kiau bertanya.
"Di mana jenazah-jenazah mereka, A-beng?"
"Kami makamkan secara sederhana, hanya beberapa li dari tempat ini. Mereka terbantai justru pada saat hampir tiba di Ki- lian-san. Aku sendiri lolos bukan karena kegagahnku, tapi karena seorang pendekar pengembara menolongku..."
"Pek-ma Tok-hing (Kelana Tunggal Berkuda Putih) Kiong Eng?"
Tanya Liu Giok- kiau.
Liu Beng mengangguk mengiakan, agaknya Auyang Siau-hong sudah bercerita lengkap tentang peristiwa itu.
Namun ketika Liu Beng melirik wajah Kam Hun-siong yang berdiri di belakang gurunya, dilihatnya Kam Hun-siong tengah menatapnya dengan garang.
Teringatlah Liu Beng akan pengusiran terang- terangan tadi maka iapun berkata.
"Tugasku sudah selesai, Auyang Sianseng. Aku akan segera mohon diri untuk meninggalkan Ki-lian- san."
Ternyata Auyang Siau-hong yang paling dulu mencegahnya.
"Eh, lukamu belum sembuh benar-benar, kau mau pergi ke mana?"
"Aku harus membalaskan dendam Chungcu Loya yang telah merawat aku sejak kecil. Biarpun ilmu silatku rendah, setidaknya aku bisa melawan Hek-eng-po dengan akalku, bukan dengan ototku."
Auyang Siau-hong cepat berkata mendahului ayah-ibunya.
"A-beng, meskipun Ki-lian-pai tidak dapat dibandingkan dengan rasaksa-rasaksa dunia persilatan seperti Siau- lim-pai, Bu-tong-pai atau Hwe-liong-pang, tapi kami punya keunggulan ilmu silat tertentu juga. Kenapa kau tidak mengajukan permohonan kepada ayah agar diterima menjadi murid di sini?"
Sekejap gadis itu melirik ayahnya, ketika melihat ayahnya tidak marah, maka ia mendorong pundak Liu Beng sambil mendesak.
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"A-beng, cepat ajukan permohonan..."
Bagi Liu Beng, mempelajari ilmu silat di Ki-lian-san sudah tentu lebih baik daripada bergelandangan di dunia persilatan tanpa tujuan, apalagi hanya membekali ilmu silat yang masih sangat rendah.
Tapi ia agak ragu- ragu merasakan sikap Kam Hun-siong yang sangat tidak menyukainya.
Eh, benar juga.
Belum sampai Liu Beng menyatakan menolak atau menerima, Kam Hun-siong sudah bersuara.
"Sumoai, kenapa kau menghalangi cita-cita saudara Liu ini? Buat seorang pahlawan sejati, apa yang lebih berharga dari pengalamannya sendiri di dunia bebas? saudara Liu hendak mengembara mencari pengalaman sambil membalaskan sakit hati Liu-keh-chung, kenapa kita mesti merintanginya?"
Auyang Siau-hong tidak membenci Kam Hun-siong, namun ia tidak suka Suhengnya itu mengatur atau menjegal semua kemauannya. Tak peduli sikap Kam Hun-siong itu, dia berkata kepada ayahnya.
"Ayah, A-beng sudah mempertaruhkan nyawa demi kesetiaannya kepada Liu keh chung, haruskah kita biarkan dia meninggalkan Ki-lian-san dan nyawanya terancam oleh Hek-eng-po? Kalau ayah tidak mau menerimanya sebagai murid, aku bersumpah tidak akan berlatih silat lagi!"
Biarpun suasana sedang murung karena duka cita, tak urung Auyang Peng-hong tertawa juga mendapat "ancaman"
Puterinya itu.
"Siapa bilang aku tidak akan menerimanya sebagai murid? Hanya karena Liu Beng belum mengajukan permohonannya saja."
Kam Hun-siong seperti disambar petir mendengar ucapan gurunya itu.
"Suhu, peraturan penerimaan murid dalam perguruan kita mengharuskan setiap calon murid jelas asal-usulnya. Ini untuk menjaga agar jangan sampai perguruan kita rusak karena kesusupan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, misalnya orang-orang golongan hitam yang hendak mencuri ilmu kita, atau mata-mata pemerintah Manchu yang hendak mengawasi gerak-gerik kita. Dulu di jaman kakek guru The Toan-yong, bukankah perguruan kita hampir runtuh karena kesusupan orang orang Kui- kiong (Istana Iblis)? Apakah kita akan mengulangi kesalahan ini?"
Saking cemasnya kalau Liu Beng diterima di perguruan, Kam Hun-siong sampai menyerocos seperti petasan renteng. Yang menyahut adalah Auyang Siau- hong.
"Aku percaya bahwa A-beng bukan orang golongan hitam, bukan pula mata-mata pemerintah Manchu!"
Namun Kam Hun-siong mendebat dengan gigih.
"Sumoai, jangan lupa bahwa Liu Beng sendiri bercerita bahwa ia ditolong oleh Pek-ma Tok-hing Kiong Eng, bahkan bersahabat dengannya. Ada dugaan keras bahwa Kiong Eng adalah samaran dari Pakkiong Eng, puteri tunggal Pakkiong Liong, Panglima Hui-liong-kun (Pasukan Naga Terbang) di Pak-khia. Entah berapa banyak nyawa pahlawan bangsa Han yang mati di tangan Pakkiong Liong? Masihkah Sumoai bersikeras bahwa Liu Beng bukan mata-mata Manchu?"
"Suheng, jangan terlalu cepat menuduhkan hal yang buruk. A-beng bertemu dan berkenalan dengan Kiong Eng secara kebetulan saja, ia justru tidak menutup-nutupi perkenalannya itu di hadapan kita, itu menandakan kejujurannya!"
Kam Hun-siong sudah bergerak mulutnya hendak membantah lagi, tapi terbungkam ketika gurunya berkata dengan keras.
"Kalian berdua jangan berlagak pintar di depanku! Aku yang akan mengambil keputusan!"
Tapi Kam Hun-siong murid kesayangan , masih juga berani berkata.
"Suhu, meskipun kita tidak berprasangka kepada saudara Liu, tapi setidaknya semua calon harus jelas asal- usulnya..."
Bicara soal asal-usul, inilah titik yang paling melumpuhkan Liu Beng.
Ia cuma punya seorang ibu ketika masih kecil, tidak punya ayah.
Ketika ibunya meninggal, ia menjadi gelandangan cilik sampai ditolong keluarga Liu.
Bahkan nama keluarga pun ia tidak punya, sehingga memakai she Liu.
Satu-satunya benda peninggalan ibunya yang masih ada hanyalah sebuah kalung lempengan besi yang harganya sangat murah.
Lempengan besi itu berukirkan gambar seekor beruang, di sebaliknya ada ukiran huruf "Bneg"
Yang menjadi namanya. Kini melihat Kam Hun-siong dan Auyang Siau-hong bertengkar gara-gara dirinya, Liu Beng menjadi tidak enak sendiri. Cepat ia berkata.
"Aku berterima kasih akan maksud baik Auyang Sianseng dan nona Auyang yang menganjurkan aku belajar silat di sini. Tapi persoalanku jangan sampai meretakkan hubungan antara guru dan murid, antara sesama saudara seperguruan. Karena itu aku harus segera pergi. Aku cukup berterima kasih kalian semua sudah merawat lukaku."
Cegah Auyang Siau-hong.
"Jangan pergi. Liu Beng, kenapa kau begitu cepat menyerah hanya oleh rintangan yang tidak seberapa? Laki-laki macam apa kau ini? Cepat, ceritakan asal-usulmu agar bisa diterima menjadi murid Ki-lian-pai!"
Liu Beng menyeringai dengan perasaan getir di hati.
Asal-usul apa? Ia bahkan tidak tahu siapa lelaki yang menghadirkan dirinya di rahim ibunya.
Tapi semangatnya bangkit mendengar ucapan Auyang Siau-hong, mungkin karena wajah gadis itu mirip dengan Liu Giok-Eng sehingga mempunyai pengaruh pada diri Liu Beng.
Ia merasa diri laki-laki yang berhak memperjuangkan masa depan dan keberuntungannya sendiri, asal tidak merugikan orang lain, kenapa harus mundur karena seorang lain yang tengah diamuk kecemburuan belaka? Harapan yang hanya setitikpun harus diubah menjadi sebesar bukit.
Bara semangat Liu Beng yang nyaris padam seolah tertiup angin dan menyala kembali menjadi api unggun.
Kam Hun-siong tidak usah dihiraukan lagi.
Ia melepaskan kalung di lehernya dan berkata.
"Aku sendiri tidak tahu asal-usulku. Hanya benda inilah peninggalan ibuku sebelum meninggal. Katanya kalau kau bertemu lelaki yang menjadi ayahku, ia akan mengenali kalung ini. Tapi entah kapan aku akan bertemu orang itu."
Auyang Peng-hong menerima dan memeriksa kalung itu.
Hatinya tergetar melihat gambar beruang besar yang berdiri dengan kedua kaki belakangnya dan mengembangkan kedua cakar depannya itu.
Lambang itu mengingatkannya kepada seorang pendekar besar yang terkenal, mungkinkah kalung itu ada hubungannya dengan tokoh itu? Mendadak dalam diri Auyang Peng-hong timbul pandangn bahwa Liu Beng bukan orang sembarangan.
Maka ia ingin menahan Liu Beng tetap di Ki-lian-san, barangkali akan ada manfaatnya buat cita-citanya yang selama ini masih terpendam di hati dan belum dikatakan kepada siapapun.
Ia kembalikan kalung itu kepada Liu Beng, lalu pura-pura menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata.
"Aku tidak paham arti gambar itu, tapi tentunya mempunyai makna. Simpanlah baik-baik, suatu ketika asal-usulmu akan tersingkap Juga."
Liu Beng menerima kembali, dalam natinya ia merasa tidak ada peluang untuk menjadi murid Ki-lian-pai, sebab asal-usul diri sendiri pun tidak jelas dan berarti tidak memenuhi persyaratan menjadi murid Ki-lian- pai.
Namun ia hampir melonjak kegirangan ketika mendengar Ketua Ki-lian-pai itu berkata.
"Kepribadian seseorang adalah syarat yang lebih penting daripada sekedar menuruti peraturan di atas secarik kertas yang tak bernyawa. Liu Beng, melihat kesetiaanmu yang begitu kokoh kepada keluarga Liu, kau tentunya seorang yang cukup berwatak baik. Aku terima kau menjadi murid Ki-lian-pai..."
"Ayah!"
Auyang Siau-hong berteriak gembira.
"Suhu !"
Kam Hun-siong berseru kaget. Sedang Liu Beng sendiri cepat berlutut di hadapan Auyang Peng-hong.
"Murid Liu Beng memberi hormat kepada Suhu!"
Dengan lembut Auyang Peng-hong mengangkat bangun Liu Beng dari berlututnya.
"Kau sudah menjadi muridku, namun hal pelajaran silat baru akan aku berikan kalau sudah dijalankan upacara resmi penerimaan murid di depan meja abu leluhur Ki-lian-pai. Dan karena kita masih berkabung karena musibah Liu-keh-chung, aku tetapkan upacara resmi itu akan dijalankan tiga bulan lagi."
Sebenarnya Liu Beng lebih suka secepatnya, namun karena gurunya sudah menetapkan demikian, diapun tidak membantahnya.
Ketika masih di Liu-keh- chung, Liu Beng pernah menganggap keluarga Liu seolah-olah dewa yang turun dari langit dan tak ada yang bisa menandingi kesaktian mereka, namun ternyata gembong-gembong Hek-eng-po sudah menunjukkan bahwa Liu- keh-chung dengan gampang ditumpas habis.
Lalu Liu Beng ingat pula gadis yang menyamar sebagai lelaki, Kiong Eng, yang dalam usia semuda itu telah berani melawan gembeng- gembong Hek-eng-po.
Maka Liu Beng bertekad untuk berlatih keras agar kepandaiannya segera meningkat dan dapat dibanggakan.
Tak lama kemudian, di ruangan itu kembali Liu Beng seorang diri, berjalan hilir mudik di kamarnya dengan semangat berkobar-kobar dan lupa akan kelemahan tubuhnya.
Berlatih keras...
berlatih keras...berlatih keras, hanya itu yang memenuhi benaknya.
Setelah itu ia akan turun gunung untuk menggempur Hek-eng-po, sambil mencari siapa lelaki yang menjadi ayahnya.
Karena merasa sesak dalam kamar itu terus-terusan, dia pun melangkah keluar.
Ketika itu hari sudah sore, hampir di segala sudut bangunan besar itu sudah dipasangi penerangan.
Liu Beng melangkah seenaknya, setiap orang yang ditemuinya diberinya anggukan hormat.
Ada yang membalas anggukannya, ada yang mengajaknya bercakap beberapa patah kata, ada yang mengacuhkannya sama sekali.
Namun Liu Beng tak peduli.
Ia merasa sudah menjadi murid Ki-lian-pai dan berjanji kepada diri sendiri untuk berlatih keras agar dapat menjadi pesilat yang baik.
Ketika ia lewat sebuah ruangan yang dindingnya berlubang-lubang berbentuk bunga, ia mendengar dalam ruangan itu ada suara derap kaki hilir mudik, bercampur suara napas terengah-engah dan suara barang yang dipukul-pukul.
Liu Beng merasa tertarik dan kepalanya menjenguk ke bagian dalam ruangan.
Itulah sebuah ruangan luas berlantai batu halus, tidak ada perabotan meja atau kursi.
Di pinggiran ada rak senjata seperti di Liu-keh-chung, di langit-langit ruangan digantungkarn karung-karung pasir (se-pau) yang biasa digunakan untuk latihan memukul atau menendang.
Dan Auyang Siau-hong sedang berlatih di situ sendirian saja.
Pakaiannya sudah basah keringat sehingga menempel di kulit, namun gadis itu dengan bersemangat terus memukuli atau menendangi karung-karung pasir itu.
Melihat guncangan karung pasir itu ketika dipukuli atau ditendang, Liu Beng menaksir bahwa kekuatan gadis itu cukup untuk mematahkan tulang atau membuat luka dalam seorang lelaki kekar.
Itu bukan hasil latihan sehari dua hari, melainkan bertahun- tahun dengan cara yang keras.
Di Liu-keh- chung, yang kekuatan pukulannya seperti itu mungkin hanyalah Liu Hok-tong, Liu Goan dan Liu Seng.
Sedang generasi ke tiga semacam Liu Jing-yang, Liu Jing-kiam atau Liu-Tek-san jelas kalah jauh dibandingkan adik misan mereka yang paling kecil ini.
Tak terasa Liu Beng berdesis kagum, dan suaranya itu membuat Auyang Siau-hong berhenti dari latihannya untuk menoleh ke arahnya.
Terpaksa Liu Beng keluar dari persembunyiannya dan membungkuk hormat kepada gadis itu.
"Maaf.. .maaf, aku telah mengganggu latihan nona Auyang. Aku sebenarnya tidak bermaksud demikian. Aku hanya lewat dan tanpa sengaja melihat..."
Melihat yang muncul Liu Beng, Auyang Siau-hong tidak marah. Tapi ia berkata sambil bertolak pinggang.
"Aku tidak marah, tapi perlu kuberitahu kepadamu tentang satu hal. Jangan suka mengintip orang latihan, kaum pereilatan paling tidak suka kalau latihannya dilihat orang, takut jurus-jurus rahasia mereka dijiplak. Untung kau bukan orang luar."
"Baiklah, nona, terima kasih atas pemberitahuan nona. Lain kali aku tidak akan mengintip orang latihan lagi."
"...dan jangan lagi panggil aku nona, sebab kau sudah menjadi murid ayahku sehingga kita bersaudara dalam perguruan. Panggil aku Suci (kakak seperguruan perempuan)."
Liu Beng merasa janggal juga bahwa dirinya yang lebih tua beberapa tahun dari Auyang Siau-hong itu harus menjadi Sute dari gadis yang masih agak kekanak-kanakan itu. Tapi ia menurut saja.
"Baiklah, Suci, aku memperhatikan pesan-pesan Suci."
Di Ki-lian-pai biasanya Auyang Siau- hong cuma dipanggil Sumoai atau Hong-ji, kini ada yang memanggilnya Suci, keruan gadis it gembira sekali. Dengan lagak lebih tua, ia bertanya.
"Sute, kau lihat bagaimana pukulan dan tendanganku tadi?"
Tanpa maksud menjilat, Liu Beng menjawab terus-terang.
"Hebat. Gerakan sekeras itu di Liu-keh-chung hanya bisa dilakukan oleh Chungcu Loya, Toaya dan Jiya. Tapi itu tidak mengherankan sebab mereka sudah berlatih puluhan tahun. Sedang non...eh, Suci masih begini muda..."
"Ya, mudah-mudahan latihan kerasku akan dapat segera menghasilkan ilmu yang memadai untuk melawan Hek-eng-po. Aku kelak harus membalaskan sakit hati kakekku, paman-pamanku dan saudara-saudara sepupuku."
Bicara sampai disitu, gadis itu berusaha menyembunyikan kesedihannya.
Tiba-tiba ia berseru keras sambil menebaskan telapak tangannya untuk mematahkan gagang sebatang tombak yang terletak di rak senjata.
Gagang tombak yang terbuat dari kayu hitam yang keras itu seketika patah menjadi dua.
"Rasanya aku ingin segera meninggalkan Ki- lian-san untuk mencari pembunuh-pembunuh keparat itu!"
"Bukan Suci saja yang terdorong keinginan itu, akupun demikian. Darhku mendidih kalau ingat kekejaman orang-orang Hek-eng-po membantai bahkan perempuan- perempuan tukang masak dan tukang cuci yang tak berdaya menghadapi lawan. Sayang ilmu silatku masih rendah sekali, untuk mulai belajar pun harus menunggu tiga bulan lagi."
Sama sama dendam kepada Hek-eng- po, itulah agaknya yang mengikat perasaan Liu Beng dan Auyang Siau-hong. Karena simpatinya kepada Liu Beng, gadis itu akhirnya memutuskan.
"Sute, memang kau baru akan menjadi murid resmi setelah upacara. Tapi selama tiga bulan ini toh kau keliru kalau cuma menganggur saja. Kau dapat berlatih menguatkan tubuhmu, sementara ilmu pukulan dari Liu-keh-chung yang kau miliki dapat kau matangkan, sebab tidak ada ilmu yang tidak berguna sama sekali."
Liu Beng mengangguk-angguk dan Auyang Siau-hong dengan gaya seorang mahaguru berkata lagi.
"Kemarilah, aku akan mengajarkan dasar-dasar latihan Ki-lian-pai. Hanya dasar-dasarnya dan belum jurus- jurusnya, paham?"
"Paham, Suci. Aku senang sekali mendapat petunjuk Suci."
Maka mulailah Auyang Siau-hong mengajarkan dasar-dasar ilmu Ki-lian-pai.
Di Liu-keh-chung, Liu Beng giat juga berlatih kekuatan dengan ciok-so (kunci batu), namun latihannya agak ngawur.
Memang berhasil membesarkan tenaganya, tapi justru mengganggu kecepatan dan kelenturannya.
kini Auyang Siau-hong mengajarkan menggunakan ciok-so pula, tapi dengan cara yang berbeda.
Gadis itu memasang kuda-kuda Co- cian-ma, satu kaki ditekuk di depan dan kaki lainnya lurus ke belakang.
Ciok-so yang berat itu dipegangnya dengan satu tangan lalu dinaikkan ke pinggangnya sambil mengatur napas, lalu tangan vang memegang ciok-so itu perlahan diluruskan ke depan dengan bentuk pukulan yang lazim disebut Hek-hou-tou-sim (macan hitam mencuri hati), suatu bentuk pukulan yang menjadi pelajaran dasar dari ilmu silat aliran manapun juga.
Dalam sikap itu, Auyang Siau-hong diam tak bergerak sampai beratus-ratus tarikan napas, lalu tiba- tiba menghembuskan napasnya kuat-kuat.
Kakinya bergeser ke samping menjadi kuda- kuda Co-ma-she yang kakinya melebar sejajar seperti orang duduk di pelana kuda, tangannya pun melebar kesamping.
Dalam sikap ini pun gadis itu bertahan sampai ratusan tarikan napas.
Diam-diam Liu Beng membayangkan betapa hebat tenaga dalam lengan yang berkulit lembut itu, betapa kokoh pinggangnya dan kakinya yang seolah berakar di tanah.
Itulah latihan yang benar, sebab kekuatannya tidak nampak berujud otot-otot kasar seperti orang hutan.
Setelah Ciok-so diletakkan kembali, Auyang Siau-hong berkata.
"Nah, Sute, coba kau lakukan seperti aku tadi."
Kuda-kuda Co-cian-ma dan Co-ma-she tidak asing lagi bagi Liu Beng yang pernah diajari Liu Hok-tong di Liu-keh-chung.
Ia segera pasang kuda-kuda Co-cian-ma, lalu menyambar kunci batu itu dan disentakkan dengan kekuatan besar.
Tapi ia tiba-tiba merasa kakinya goyah dan tubuhnya terhuyung-huyung, biarpun ciok-so berhasil diangkat namun selalu bergoyang-goyang tak menentu.
Jangan harap lagi bisa diluruskan dengan tenang seperti Auyang Siau-hong tadi.
Terdengar Auyang Siau-hong memberi petunjuk.
"Letakkan dulu dan ulangi menurut petunjukku. Kokohkan kuda-kuda, pusatkan pikiran, kendalikan napas dan kerahkan tenaga secara teratur, jangan dikejutkan. Pinggang harus kuat, nah, luruskan lenganmu perlahan- lahan..."
Enak saja Auyang Siau-hong mengoceh, sedang Liu Beng yang melakukan perintahnya benar-benar setengah mati.
Seluruh lengannya, terutama pundak dan sikunya, bagaikan kejang karena harus menahan Ciok- so agar tidak bergoyang.
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kini sadarlah Liu Beng bahwa tenaga besar yang dilatihnya di Liu-keh-chung sedikit gunanya kalau diterapkan dalam latihan yang benar.
Itu hanya berguna untuk tukang-tukang pukul kasaran yang suka mengandalkan tenaganya untuk menyeruduk seperti kerbau gila.
Tidak sampai sepuluh tarikan napas, Liu Beng sudah menjatuhkan ciok-so ke lantai, ia sendiri terhuyung-huyung hampir tertelungkup, keringat membasahai tubuhnya dan napasnya terengah-engah seperti habis lari jarak jauh.
"Tidak gampang bukan?"
Tanya Auyang Siau-hong bernada agak bangga.
"Itu karena kuda-kuda dan pinggangmu kurang kokoh, meskipun kedua lengannu kuat mengangkat sekarung beras. Namun kalau kau giat latihan, maka pukulanmu akan sanggup merobohkan musuh dengan sekali pukul saja."
Lalu gadis itu mengambil sehelai papan yang memang banyak tersedia untuk latihan.
Papan itu dilempar ke atas sampai hampir mengenai langit-langit ruangan, menyusul tubuh gadis itupun melompat ke atas sambil menyodokkan kepalanya yang kecil.
Papan itu tiba kembali di lantai dalam keadaan terbelah dua.
Mendadak timbul niat Liu Beng untuk melihat sampai di mana kehebatan puteri gurunya itu.
Kedua tangannya cepat meraih dua helai papan lagi, dilemparkan berturut- turut ke arah Auyang Siau-hong sambil berteriak "Lihat, Suci!"
Auyang Siau-hong baru saja menapak tanah ketika dua keping papan itu meluncur ke arahnya.
Tapi dengan gerakan mantap ia memutar tubuh sambil menvabetkan telapak tangannya, papan pertama terbelah.
Papan ke dua disongsong dengan tendangan yang lebih tinggi dari kepala, dan terbelah juga.
Liu Beng melongo melihat mantap dan tajamnya gerakan gdis itu.
Kalau seseorang sekedar bertenaga kasar tapi tidak memiliki ketajaman pukulan, maka papan yang melayang itu tentu tidak bisa dibelah tetapi hanya terlempar saja.
Tiba-tiba Liu Beng teringat pula kepada Kiong Eng yang juga berilmu tinggi, dan ia membatin dalam hatinya.
"Baik Kiong Eng maupun Suci adalah gadis- gadis yang lebih muda daripadaku, namun mereka telah memiliki ilmu begitu hebat. Dan aku ini lelaki macam apa? Dibandingkan mereka, aku tentu cuma mirip keledai dungu..."
Namun kesadaran akan kekurangan dirinya itu tidak membuatnya patah semangat, justru mengobarkan semangatnya untuk berlatih keras menyusul tingkat gadis-gadis itu.
Ia sadar,dunia persilatan tak kenal belas kasihan, yang ilmunya rendah akan tergilas oleh yang ilmunya tinggi.
"Kau hebat, Suci..."
Akhirnya ucapan itu terlontar dari mulutnya. Pujian yang bernada jujur dan bersungguh-sungguh itu membuat Auyang Siau-hong senang. Itu bukan pujian berbasa- basa sekedar mencari muka. Karena senangnya, gadis itu melangkah lebih jauh lagi.
"Sute, sekarang akan kuajarkan beberapa pukulan dasar dari ilmu tangan kosong gaya Ki-lian-pai."
Liu Beng terkejut.
"He, mana bisa aku melanggar peraturan yang ditetapkan Suhu? Aku baru boleh belajar ilmu silat Ki-lian-pai setelah upacara penerimaan murid...'"
"Kenapa kau begitu ketakutan kepada peraturan yang dibuat oleh manusia? Jangan kuatir, kalau ayah marah, aku akan bicara kepadanya sehingga kemarahannya reda,"
Desak Auyang Siau-hong.
"Kemari, berdiri di tengah sini..."
"Aku tidak berani. Kalau Suhu marah, aku malah diusir dan musnahlah harapanku untuk belajar ilmu silat yang hebat seperti Suci tadi...."
Auyang Siau-hong membanting kaki saking gemasnya menghadapi "murid tolol"
Ini.
Biasanya pihak murid yang merengek-rengek minta diajari, kini malah pihak murid pula yang mati-matian menolak untuk diajari.
Tujuan gadis itu sebenarnya hanya hendak memamerkan ilmunya lebih banyak lagi supaya mendapat pujian lebih banyak pula.
Tapi akhirnya ia menyerah kepada sikap kukuh Liu Beng.
"Baiklah, aku tidak akan mengajari ilmu silat, tetapi beberapa cara menguatkan tubuh sebagai persiapan untuk pelajaran silat kelak. Kalau yang ini masih kau tolak juga, berarti kau memang seorang pemalas yang hanya senang duduk bertopang dagu selama tiga bulan ini. Seorang pemalas tidak akan mendapat kemaiuan apapun!"
Karena malu disebut pemalas, Liu Beng tidak bisa menolak lagi.
Toh yang akan diterimanya bukan pelajaran silat, melainkan hanya latihan persiapannya.
Maka sore itu ia dilatih bagaimana cara memukul karung pasir yang betul untuk mengeraskan tangan, kuda-kuda, pernapasan dan beberapa macam latihan persiapan lainnya.
Ternyata terbukti Liu Beng bukan seorang yang tolol atau lambat menerima pelajaran.
Menjelang tengah malam, barulah Liu Beng meninggalkan ruang latihan dengan tubuh rasanya seperti habis digebuki orang sekampung.
Namun matanya justru gembira dan ceria.
Hari itu bolehlah dianggap ia telah membuka sebuah babak baru dalam hidupnya.
Latihan sepuluh kali lebih beratpun ia suka, maklum, bukan saja karena ia bersemangat, tapi juga karena pelatihnya cantik menawan hati, meskipun agak galak.
Ia tidur nyenyak setelah mengganti bajunya yang basah kuyup dengan keringat.
Namun keesokan harinya, tidurnya yang masih nyenyak itu terganggu oleh suara lonceng besar yang bergema di seluruh gedung perguruan, lalu kedengaran derap orang berlari-lari atau berjalan cepat menuju ke satu arah.
Meskipun Liu Beng masih sakit tubuhnya, iapun memakai bajunya dan melompat bangun.
Ketika membuka pintu biliknya, ia melihat murid-murid Ki-lian-pai berbondong- bondong menuju ke satu arah dengan membawa pedang.
"Ada apa?"
Tanya Liu Beng sambil membetulkan tali celananya dan kancing yang masih kedodoran.
Tak ada yang menjawab, semuanya bergegas menuju bunyi lonceng yang masih bergema.
Akhirnya Liu Beng pun ikut berlari-lari ke arah yang sama tapi tidak membawa pedang.
Ternyata mereka semua menuju ke sebuah halaman luas dan langsung berbaris berjajar-jajar dengan rapi.
Di deretan paling depang ada sepuluh murid terbaik termasuk Kam Hun-siong.
Sedang di sebuah panggung kecil di hadapan barisan itu ada seorang tokoh tua Ki-lian-pai yang berpakaian ringkas dan membawa pedang pula.
Kini tahulah Liu Beng, bunyi genta itu adalah isyarat latihan bersama untuk semua murid.
Liu Beng yang datang terlambat itu langsung menarik perhatian, apalagi menoleh kesana-kemari dengan sikap ketolol-tololan dan pakaian masih agak kusut.
Sepatunya baru sempat dipakai yang sebelah kanan.
Kam Hun-siong sebagai salah seorang pemimpin regu yang merasa punya wewenang untuk menertibkan jalannya latihan, segera berteriak memanggil Liu Beng.
"He, kau mau apa?"
Liu Beng menyahut gelagapan.
"Aku..aku... kurang mengerti. Aku cuma mendengar bunyi genta dan semua orang menuju kemari, lalu akupun kemar. Aku kira...aku kira..."
"Kau kira di sini ada pembagian bakpau gratis?!"
Bentak Kam Hun-siong. Disambut suara tertawa serentak puluhan murid-murid angkatan ke tiga yang sudah berbaris rapi itu, sedang wajah Liu Beng menjadi merah padam. Sementara itu Kam Hun-siong telah berkata lagi.
"Kalau ingin ikut latihan, berdirilah di tengah..."
Mengira dirinya benar-benar akan diajak latihan, Liu Beng melangkah ke tengah lapangan, ke tempat yang ditunjuk Kam Hun- siong. Namun kemudian Kam Hun-siong malah berpidato kepada teman-temannya yang sudah berbaris rapi.
"Saudara-saudaraku sekalian, aku perkenalkan calon saudara seperguruan kita, Liu Beng dari Liu-keh-chung, seorang pahlawan besar yang sanggup melolos kan diri dari kepungan gembong-gembong Hek-eng-po yang lihai..."
Puluhan murid Ki-lian-pai bergeremang setengah percaya setengah tidak.
Sedang tokoh tua Ki-lian-pai yang akan menjadi pelatih itu tenang-tenang saja membiarkan apa yang terjadi di lapangan latihan.
Tugasnya memang hanya melatih, mematangkan jurus-jurus lama, sedang urusan tata tertib latihan biasa diurus oleh sepuluh murid terbaik dari angkatan ke tiga, termasuk Kam Hun-siong.
Sedang suara Kam Hun-siong terdengar lagi.
"....tapi cerita kepahlawanannya itu menurut pengakuannya sendiri dan sulit dibuktikan!"
Kembali lapangan latihan itu dipenuhi suara tertawa. Kata Kam Hun-siong pula.
"Kemarin oleh Suhu Auyang Peng-hong ia sudah diterima menjadi murid, tetapi tata tertib latihan yang paling mudah pun dia abaikan. Murid macam apa ini? Kalau pelanggaran tata tertib ni dibiarkan terus, lama-lama perguruan kita akan ambruk gara- gara seorang pemalas!"
"Tapi aku benar-benar belum tahu, Kam Suheng,"
Liu Beng membela diri.
"Siapa suruh kau bicara, murid goblok?"
Bentak seorang teman Kam Hun-siong. Ia namanya Kiang Hun-hou, berkumis rapi dan tampan, termasuk dalam Sepuluh Terbaik di Ki-lian-pai.
"Alasan belum tahu peraturan itu tidak berlaku. Kau harus dihukum!"
Sedang Kam Hun-siong yang sebenarnya cemburu kepada Liu Beng itu kini merasa mendapat kesempatan untuk mempermainkan Liu Beng sehebat-hebatnya dengan kedok menjaga tata-tertib latihan. Kata Kam Hun-siong.
"Jangan dihukum, tapi biarlah ia bercerita kembali tentang kepahlawanannya di Liu-keh chung, biar semua saudara mendengar sendiri dari mulutnya. Saudara-saudara, setujukah kalau latihan ditunda sebentar dan kita dengarkan cerita hebat dari sang pahlawan ini?"
Kam Hun-siong memang berpengaruh, maka sebagian besar dari murid-murid itupun berseru setuju. Namun ada sebagian murid-murid yang merasa tidak senang meskipun bungkam. Gerutunya dalam hati.
"Keterlaluan sekali. Kam Hun-siong dan teman-temannya bertindak lebih jauh dari para sesepuh perguruan sendiri. Mereka menjadikan setiap murid baru sebagai bulan-bulanan mereka, tidak peduli bisa mengakibatkan rasa rendah diri dalam diri murid-murid itu. Akupun hampir gila ketika dulu mereka mempermainkan seenak hati mereka!"
Tapi tidak ada yang berani menentang Kan Hun-siong.
Ia adalah murid kesayangan Ketua Ki-lian-pai, bahkan ada desas-desus keras akan menjadi menantu Ketua ki-lian-pai pula.
Maka Kam Hun-siong dan teman- temannya terus saja merajalela dengan kesewenang-wenangan mereka.
Liu Beng berdiri dengan tubuh gemetar, bukan karena ketakutan, tapi karena menahan kemarahannya.
Tapi ia sadar, melawan Kam Hun-siong bisa diarggap melawan peraturan perguruan, biarpun peraturan yang sudah diselewengkan untuk pribadi.
Sedang Kam Hun-siong dan sembilan murid terbaik lainnya merasa mendapat permainan mengasyikkan.
Bentak Kam Hun-siong.
"Liu Beng, dengarkan semua pertanyaanku!"
"Baik, Suheng,"
Sahut Liu Beng dengan sikap tertib.
"Benarkah yang pernah kau ceritakan bahwa dalam pertempuran dahsyat melawan Hek-eng-po, hanya kau yang lolos sementara jago-jago keluarga Liu terbunuh semuanya?"
"Benar, Suheng."
"Kalau begitu ilmu silatmu yang paling hebat?"
"Tidak, Suheng, hanya karena nasib baik saja."
"Nasib baik bagaimana? Coba ceritakan."
Liu Beng mengeluh tentang Kiong Eng, dan hal itu akan digunakan untuk memojokkannya. Namun perasaan kagum dan hormatnya kepada Kiong Eng membuat Liu Beng tidak sudi mengingkari pertolongan Kiong Eng, apapun akibatnya.
"Aku ditolong seorang pendekar budiman."
"Siapa?"
"Kiong Eng yang berjulukan Pek-ma Tok-hing."
Kam Hun-siong tersenyum mengejek.
"Saudara-saudara, bagaimana sikap perguruan kita terhadap orang Manchu?!"
"Biat-ceng Hok-beng!"
Teriak seorang murid dengan bersemangat.
Murid itu adalah keturunan seorang menteri dinasti Beng yang roboh puluhan tahun yang lalu.
Kebenciannya kepada pemerintah Manchu terungkap dari teriakannya tadi yang berarti "robohkan Ceng (Manchu), membangun Beng."
Yang lainnya pun berteriak sambil mengacungkan tinju.
"Ki-lian-pai tidak sudi hidup bersama bangsat-bangsat Manchu!"
"Usir kembali bangsa Manchu ke Liau- tong!"
Demikianlah Kam Hun-siong berhasil mengungkit-ungkit rasa kesukuan yang sebenarnya sudah hampir padam itu.
Lupa bahwa orang Han dan orang Manchu sudah berbaur puluhan tahun, banyak orang Han yang darahnya bercampur darah Manchu, dan orang Manchu yang punya sanak saudara orang Han karena perkawinan nenek moyang mereka.
Terdengar Kam Hun-siong bertanya kepada Liu Beng.
"Saudara Liu, kau tahu Kiong Eng itu orang macam apa?"
Liu Beng memilih untuk membungkam mulutnya, meskipun hatinya berteriak meronta.
"Kenapa kalau orang Man-chu? Apakah orang Manchu jahat semuanya? Apakah orang Han baik semuanya? Sedang Kam Hun-siong berkata lagi.
"Menurut penyelidikan beberapa pejuang yang menyusup di Pak-khia, Kiong Eng adalah samaran dari Pakkiong Eng. Ayahnya bernama Pakkiong Liong dan tangannya berlumuran darah pejuang-pejuang kita yang hendak menegakkan Kerajaan Beng yang jaya!"
Kembali lapangan latihan itu dipenuhi teriakan-teriakan mengutuk bangsa Manchu. Liu Beng terpaksa harus berteriak keras sekali agar suaranya mampu mengatasi suara orang banyak.
"Aku tidak peduli siapa Kiong Eng, Aku hanya tahu dia seorang pendekar budiman yang telah menolongku!"
"Jadi kau merasa berhutang budi kepadanya?"
Pancing Kam Hun-siong. Tanpa kenal takut Liu Beng menjawab.
"Anjing dan kuda saja tahu membalas budi. Aku ini manusia bukan?"
Kata Kam Hun-siong kepada orang banyak.
"Liu Beng bahkan merasa berhutang budi kepada puteri dari pembantai bangsa kita, orang macam ini hendak menjadi murid Ki- lian-pai...?"
"Ya, suruh dia menjilati pantat orang Manchu!"
Karena teriakan-teriakan makin gaduh, sesepuh Ki-Lian-pai yang hendak melatih itupun tak bisa lagi berpeluk tangan.
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tadinya ia mengira keributan akan dengan cepat diselesaikan, karena hanya urusan tata-tertib latihan saja, tak terduga urusan dikobar- kobarkan menjadi besar macam itu oleh Kam Hun-siong.
Maka dari atas panggung ia berseru,"He, tenanglah kalian!"
Tokoh ini terhitung kakak seperguruan dari Ketua Ki-lian-pai sendiri, namanya Seng Bun-ki dan merupakan pengajar ilmu pedang yang disegani di perguruan. Begitu ia bersuara, lapangan latihan itu menjadi tenang kembali. Kata Seng Bun-ki.
"Kalian seperti anak- anak kecil saja. Hanya per- soalan seorang murid baru terlambat memasuki lapangan, kenapa berubah menjadi seribut ini?!"
"Supek, tadi tentu Supek sudah mendengar bahwa Liu Beng ini bersahabat dengan anak seorang Panglima Manchu, ini bukan soal kecil,"
Kata Kam Hun-un-siong.
"Aku sudah dengar, tapi jangan dibesar- besarkan. Kalau seseorang ditolong seseorang lainnya, siapa bisa menolak? Asal di kemudian hari Liu Beng bisa membuktikan kebersihan dirinya, kenapa sekarang sudah menghukum dia dengan tuduhan-tuduhan sembarangan? Kalau Ketua sudah memutuskan penerimaannya sebagai murid, tentu Ketua sudah mempertimbangkannya masak-masak, tidak perlu kita ribut-ribut."
"Tapi Liu Beng harus dihukum karena keterlambatannya masuk lapangan latihan! tuntut Kam Hun-siong.
"Kalau soal tata-tertib latihan, itu memang tugasmu. Lakukanlah yang perlu!"
Jantung Liu Beng berdesir mendengar ucapan Seng Bun-ki itu, bukankah itu sama artinya dirinya diserahkan mentah-mentah ke bawah kekuasaan Kam Hun-siong yang membencinya setengah mati itu? Tapi ia sudah terhitung murid Ki-lian-pai dan tidak bisa menghindari hukuman yang bakal diterapkan.
Sedangkan Kam Hun-siong menveringai gembira mendapat kesempatan emas untuk menyiksa Liu Beng.
**OZ** Bersambung ke
Jilid 08 Pojok Dukuh, 18-09-2018; 01.12 WIB TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.
Jilid 08
"LIU BENG! Kau memberi contoh tidak baik dalam latihan pagi ini!"
Bentak Kam Hun- siong dengan gaya seorang hakim kepada seorang pesakitan.
"Kau dihukum berlari mengelilingi lapangan ini seratus kali tanpa istirahat!"
Liu Beng menelan ludahnya, lapangan latihan itu cukup luas, mengelilinginya seratus kali bisa membuatnya mampus kehabisan napas.
Sesaat ia menatap Seng Bun-ki, mengharap sesepuh Ki-lian-pai itu membatalkan atau meringankan hukuman itu, tapi sang sesepuh tidak mempedulikannya.
Terpaksa Liu Beng bergerak untuk mulai berlari, namun Kiang Hun-hou sudah membentaknya.
"Tunggu! enak benar hendak berlari begitu saja?"
"Ada apa lagi, Suheng?"
Tanya Liu Beng. Kiang Hun-hou tersenyum mengejek sambil berjalan ke tepi lapangan, mengambil semacam barang yang diserahkannya kepada Liu Beng.
"Pakai ini di kedua kakimu!"
Itulah sepasang kantong pasir bertali yang biasa dipakai sebagai beban berlari untuk orang-orang yang belajar silat.
Untuk pemula, ukuran kantong kecil, setelah terbiasa lalu memakai yang semakin besar dan dengan sendirinya akan semakin berat.
Tapi Kiang Hun-hou langsung mengambilkan ukuran paling besar untuk Liu Beng.
Diam-diam Liu Beng mengutuk "pembunuhan terselubung"
Kepada dirinya itu. Namun dengan keras hati ia memakai sepasang kantong pasir itu di betisnya dan mulai berlari mengelilingi lapangan. Kam Hun-siong menunjuk kepada seorang murid.
"Sute Lim Siu-seng, kau bertugas menghitung apakah Liu Beng benar- benar berlari seratus putaran. Jangan sampai kurang hitungan!"
"Tapi aku akan rugi tidak bisa mengikuti jurus baru yang akan diajarkan Seng Supek..."
"Diam! Ini perintahku!"
Bentak Kam Hun-siong.
Murid itupun tak berani membantah lagi meskipun hatinya merasa penasaran bukan main.
Kemudian, di bawah aba-aba dari contoh-contoh yang diperagakan Sen Bun-ki, mulailah murid-murid Ki-lian-pai itu bergerak serempak.
Mengulangi gerakan-gerakan dasar berpuluh kali, menyambung gerakan-gerakan dasar menjadi jurus-jurus sambil membetul- betulkan yang masih keliru, dan kemudian mulai mempelajari jurus-jurus baru.
Sementara murid-murid Ki l-lian-pai sibuk dengan latihan-latihan mereka, Liu Beng pun bersimbah keringat dengan hukumannya.
Mula-mula beban kaki itu tidak memberatkan karena Liu Beng memang bertubuh kuat, namun setelah berlari beberapa putaran, terasalah semakin berat.
Bukan saja napasnya megap-megap, pinggangnya juga sakit sebab seolah tertarik-tarik ke bawah oleh beban di kedua kakinya itu.
Tapi Liu Beng terus bergerak sambil menghitung setiap putaran.
"Satu... dua... tiga... sepulh... duapuluh... tigapuluh..."
Di pinggir lapangan, Lim Siu-seng menghitung pula. Namun melihat Liu Beng melangkah semakin payah, ia menjadi kasihan dan diam-diam memberi "potongan harga."
Ketika Liu Beng sudah mulai tujuh puluh putaran, diam-diam Lim Siu-seng menambahkan sendiri menjadi delapanpuluh lima.
Hitungan ke tujuhpuluh lima, Liu Beng merasa tenggorokannya seperti terbakar dan matanya berkunang-kunang.
Tetapi ketika melihat senyuman mengejek di bibir Kam Hun- siong di tengah lapangan, semangat Liu Beng bagaikan api yang hampir padam tapi tersiram minyak kembali.
Ia terus berlari tertatih-tatih sambil melanjutkan hitungannya, ia bertekad, biarpun mampus harus membuktikan dirinya punya kesanggupan merampungkan hal yang bagaimanapun beratnya.
Lim Siu-seng di pinggir lapangan tiba- tiba berkata.
"Sudah cukup, saudara Liu, kau sudah berlari seratus putaran."
Liu Beng tercengang mendengarnya, ia menghitung baru delapanpuluh delapan dan yakin hitungannya tidak keliru.
Ia curiga jangan-jangan Lim Siu-seng hanyalah kaki tangan Kam Hun-siong yang hendak menjebaknya supaya timbul alasan untuk memberi hukuman baru yang lebih berat? Bahkan ketika Lim Siu-seng memberi isyarat dengan kedipan mata, Liu Beng tetap ragu- ragu.
"Ma...maaf...sss...suh...suheng..."
Kata Liu Beng terputus-putus di sela-sela deru napasnya.
"Ra...rasanya...baru...dela...pan puluh...delapan..."
Lim Siu-seng menarik napas, iapun bisa memaklumi isi hati Liu Beng yang belum mempercayainya. Maka ia mengangguk dan berkata.
"Sebenarr aku bermaksud baik kepadamu, saudara Liu. Tapi kalau kau menyelesaikan sampai selesai, itu bagus."
Liu Beng mengangguk hormat kepada Lim Siu-seng dan terus berlari sempoyongan.
Sisa hukumannya dijalaninya sampai tuntas, meskipun pada putaran ke seratus dia terjungkal roboh tepat di depan kaki Lim Siu- seng.
Ia tidak pingsan, tetapi ketika membuka matanya ia melihat segala-galanya berwarna kehijau-hijauan.
Ketika itu latihan murid-murid Ki-lian- pai di lapangan juga sudah selesai.
Hari itu mereka mendapat jurus-jurus baru yang harus dimatangkan di bawah bimbingan guru masing-masing.
Sebagian besar murid meninggalkan lapangan setelah memberi hormat kepada Seng Bun-ki, sebagian lainnya tetap di lapangan untuk berlatih dengan teman-teman sendiri.
Buat Kam Hun-siong, begitu selesai latihan ia segera ingat akan sang pesakitan Liu Beng.
Bahkan tadi ia juga menjalani latihan hanya dengan setengah hati, pikirannya lebih banyak digunakan untuk memikirkan bagaimana menyiksa Liu Beng lebih berat lagi.
Ketika melihat Liu Beng terkapar di pinggir lapangan, ia mendekatinya dan menendang rusuk Liu Beng sambil membentak.
"Ha, pemalas! Siapa menyuruhmu tiduran seperti ini setelah latihan selesai? Belajarlah tata tertib sedikit!"
Tendangan itu cukup menyakitkan dan membuat Liu Beng terlonjak bangun. Sedang Lim Siu-seng mencoba membela saudara seperguruan yang baru itu.
"Liu Beng belum tahu banyak tentang tata tertib perguruan kita. Harap Suheng membimbingnya dengan bijaksana dan tidak bertindak kasar..."
Kam Hun-siong menatap Lim Siu-seng dengan tajam.
"Kau berani menggurui aku, Sute? Tindakanku ini bukan tindakan kasar tetapi penertiban, agar Ki-lian-pai menghasilkan murid-murid yang tangguh, bukan cengeng. Paham?!"
Lalu membentak Liu Beng lagi.
"Kau sudah melanggar pesanku, padahal di lapangan latihan ini aku adalah wakil Suhu. Melanggar pesanku sama dengan melanggar pesan Suhu!"
"Dalam hal apa aku melanggar pesan Suheng?"
Tanya Liu Beng heran.
"Karena setealah menyelesaikan hukumanmu, kau tidak segera lapor kepadaku, tapi malah tiduran seenaknya pinggir lapangan. Apakah itu sikap yang sopan?"
Liu Beng tidak menduga kalau persoalan sekecil itupun dijadikan perkara oleh Kam Hun-siong, ia tidak mampu menjawabnya. Sedangkan Kam Hun siong semakin garang.
"Tata tertib latihan harus ditegakkan. Liu Beng, untuk ketidak-sopananmu itu kau mendapat hukuman tambahan lari delapanpuluh putaran lagi."
Semuanya terkejut mendengar keputusan itu, terutama Liu Beng sendiri. Napasnya hampir putus, dan sekarang harus lari delapanpuluh putaran lagi? "Suheng, aku...aku..."
"Kau tidak bisa mengelakkan hukuman ini! Yang menentang tata-tertib akan dicacadkan tulang pundaknya sehingga tidak bisa belajar silat lagi! Nah, kau mau mulai berlari atau tidak?!"
Tapi dari tengah-tengah kerumunan murid-murid, mendadak terdengar suara berat berwibawa.
"Hukuman itu bisa membunuh Liu Beng, Kam Sute. Aku memohonkan keringanan untuk Liu Beng!"
Yang bersuara itu adalah seoran lelaki berusia kurang lebih 35 tahun, biarpun wajahnya tidak tampan namun memancarkan kewibawaan yang membuat orang lain mau tidak mau menghargainya.
Namanya Ceng Sin- tong, orang paling tua dari "sepuluh murid terbaik", paling matang dalam ilmu silat maupun kepribadiannya, sehingga ia sering bertindak sebagai "setengah guru"
Buat saudara-saudara seperguruannya.
Kam Hun-siong mengutuk dalam hati atas campur tangan Ceng Sin-tong itu.
Ceng Sin-tong adalah satu di antara sedikit murid Ki- lian-pai angkatan ke tiga yang tidak silau oleh kedudukan Kam Hun-siong sebagai murid kesayangan Ketua Ki-lian-pai, ia dengan berani mengekang tindakan-tindakan Kam Hun-siong yang dianggapnya sudah di luar batas.
"Maksud Ceng Suheng, murid baru ini akan dibiarkan seenaknya mengobrak-abrik tata-tertib kita?"
Tanya Kam Hun-siong tajam.
"Sute, kau sudah menghukum Liu Beng cukup berat, itu sudah cukup, Kalau Liu Beng kau suruh berlari delapanpuluh putaran lagi, dia bisa ma-ti, dan Ki-lian-pai bukan lagi perguruan yang mendidik calon-calon pendekar, melainkan arena pembantaian sewenang-wenang bagi murid-murid baru!"
"Seorang murid Ki-lian-pai haruslah bersemangat dan bertubuh baja!"
Bantah Kam Hun-siong.
"Hukuman seringan itu saja masa tidak bisa dijalani?"
"Betul. Itu masih terhitung ringan dibandingkan kalau kita latihan di lereng- lereng gunung!"
Kiang Hun-hou mendukung Kam Hun-siong.
"Tapi Liu Beng adalah murid baru,"
Potong Ceng Sin-tong.
"Biarpun murid baru juga harus tunduk kepada tata-tertib, memangnya kalau murid baru lalu dibebaskan dari peraturan?"
Ceng Sin-tong mulai habis kesabarannya dan kata-katanya pun menjadi tajam.
"Kam Sute, kau masih ingat ketika kau masuk perguruan ini pertama kali delapan tahun yang lalu?"
"Itu tidak ada hubungannya dengan persoalan ini, kenapa Suheng menanyakan hal ini?"
"Tidak ada hubungannya katamu? hubungannya justru erat sekali. Ketika kau masuk perguruan ini pertama kali, sanggupkah kau lari seratus putaran lapangan ini? Apalagi dengan kantong pasir pemberat kaki?"
Kontan Kam Hun-siong terbungkam.
kiranya dia adalah anak seorang Piau-su kaya- raya di Tiang-an yang oleh ayahnya dikirim ke Ki-lian-pai untuk belajar silat.
Ketika pertama kali masuk perguruan, Kam Hun-siong bertubuh gemuk dan bersikap manja, karena sudah biasa dimanjakan di rumahnya.
Ketika disuruh lari keliling lapangan, baru beberapa putaran saja ia sudah jatuh terguling dan.
menangis dengan cengengnya.
Meskipun sekarang sudah menjadi salah satu dari sepuluh terbaik, namun kenangan masa lalu itu sungguh memalukan.
Kini justru Ceng Sin-tong mengingatkannya di hadapan banyak orang, keruan saja wajahnya merah padam karena malu dan marah.
Setelah bungkam beberapa saat akhirnya Kam Hun-siong berkata dengan jengkel.
"Suheng, kalau di kemudian hari kau masih memanjakan kacung hina dari Liu-keh- chung ini, maka rusaklah tata tertib perguruan kita!"
Lalu ia membalikkan badan dan berlalu dengan langkah cepat, sekilas masih sempat melirik ke arah Liu Beng dengan pandangan mata penuh kebencian.
Liu Beng hanya berdiri termangu- mangu, tak tahu apa yang harus dilakukannya.
la sedikit kaget ketika Ceng Sin-tong menepuk pundaknya dan berkata.
"Kau hebat, Sute. Sepanjang sejarah Ki-lian-pai belum pernah ada murid baru yang langsung sanggup mengitari lapangan ini seratus kali dengan beban di kaki, tapi kau sudah melakukannya."
Liu Beng menyeringai kecut.
"Tapi napasku hampir putus dan kakiku hampir patah rasanya..."
"Memang Kam Sute terlalu berat nenyuruhmu tadi, mentang-mentang murid kesayangan Ciangbun Susiok (paman Ketua)."
Buru-buru Liu Beng nenyahut, Tidak...tidak...aku tidak menyalahan Kam Suheng yang menjalankan tata-tertib. Aku hanya menyalahkan ketololan dan kelemahanku sendiri."
"Kau tidak lemah, Sute. Kau bertubuh kuat dan bersemangat baja, itu sudah kau buktikan. Asalkan rajin berlatih, kau akan menguasai ilmu-ilmu Ki-lian-pai dengan baik."
"Perkataan Suheng akan kuingat baik- baik."
"Sekarang kau pergilah menemui Yo Susiok (paman guru Yo) dan mintalah obat- obatan kepadanya. Nanti sore masih ada latihan dan kau tidak akan bisa latihan dengan tubuh sakit semua."
"Tempat ini begitu luas, aku belum tahu di mana tempat tinggal Yo Susiok..."
"Aku yang akan mengantarmu ke tempat Yo Susiok,"
Kata Lim Siu-seng mengajukan dirinya.
Maka Liu Beng dan Lim Siu-seng berjalan bersama ke tempat paman guru she Yo, ahli obat-obatan di Ki-lian-pai.
Keduanya berusia sebaya, sama-sama berwatak terbuka, maka dalam perjalanan pendek itu keduanya merasa semakin akrab seakan-akan sudah berkenalan bertahun-tahun lamanya.
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menurut pengakuan Lim Siu-seng ia baru dua tahun berguru di Ki-lian-pai, jadi masih termasuk murid kelas bawah.
Begitulah, mulai hari itu Liu Beng mengikuti latihan-latihan dengan semangat berkobar-kobar.
Meskipun belum diterima secara resmi dalam upacara resmi pula, namun oleh Auyang Peng-hong ia sudah diijinkan ikut latihan-latihan dasar.
Ada beberapa murid lain yang tidak senang kepadanya, namun tidak sedikit pula yang senang berkawan dengan murid baru yang lugu dan bersemangat itu.
Liu Beng menyadari bahwa usianya sudah lambat untuk belajar silat dari permulaan, karena itu di luar jam-jam latihan yang ditetapkan, dia menambah sendiri waktu- waktu latihannya.
Untuk itu, ia juga harus menambah jatah makannya sehingga kekuatan makannya tiga kali lipat dari kekuatan makan murid-murid lainnya.
**OZ** BAGIAN ENAM Meskipun baru bulan keempat di Ki-lian- pai, Liu Beng telah memiliki kekuatan, kecepatan gerak dan kelenturan otot yang menyamai murid-murid yang berlatih dua tahun.
Telapak tangannya berkekuatan seperti sebuah kampak yang dengan sekali tebas bisa mematahkan kayu sebesar betis lelaki dewasa.
Kekuatan kakinya juga luar biasa, dengan kantong pasir pemberat kakinya, ia dapat berlari-lari di lereng-lereng gunung Ki-lian-san yang terjal tanpa terengh-engah lagi.
Kemajuan pesat yang dialami Liu Beng tidak lepas dari campur tangan Auyang Siau- hong, puteri Ketua Ki-lian-pai.
Hampir setiap ada waktu senggang, Liu Beng dan Auyang Siau-hong berlatih berdua saja.
Entah di lian- bu-thia (aula latihan silat), entah di kebun bunga, entah di belakang gunung.
Auyang Siau-hong juga memberi petunjuk dalam banyak hal.
Mengendalikan pernapasan dan hawa dalam tubuh, ilmu meringankan tubuh, bahkan pelajaran yang agak rumit seperti menotok jalan darah.
Liu Beng memang seorang lugu, namun tidak berarti tolol, otaknya cukup baik menerima pelajaran- pelajaran baru.
Selain kemajuan dalam ilmu silat, ada juga kemajuan lain di luar ilmu silat.
Karena akrabnya hubungannya dengan Auyang Siau- hong, tanpa sadar dalam diri Liu Beng timbul perasaan seolah Auyang Siau-hong adalah pengganti Liu Giok-eng yang tak pernah dilupakannya, gadis yang sempat menjadi "isterinya"
Selama semalam gara-gara obat perangsang yang diminumkan oleh Kiau Bun.
Wajah dan perawakan Auyang Siau-hong begitu mirip dengan Liu Giok-eng, karena kedua gadis itu sama-sama cucu Liu Hok-tong.
Kadang-kadang Liu Beng memaki dirinya sendiri sebagai kacung tak tahu diri, berani mencintai puteri Ketua Ki-lian-pai, namun perasaan di hatinya tak pernah bisa dipadamkan, malah tumbuh semakin subur.
Ternyata di pihak Auyang Siau-hong juga tumbuh perasaan serupa.
Selama ini tak kurang murid-murid lelaki Ki-lian-pai yang menaksir Auyang Siau-hong, dan rata-rata berasal dari latar belakang yang terhormat.
Ada dari keluarga hartawan, pendekar, keluarga orang berpangkat, tapi perasaan Auyang Siau-hong terhadap mereka tidak lebih dari terhadap kakak-kakak sendiri.
Kadang- kadang gaya bicara mereka yang berbunga- bunga malah membuat gadis itu jemu.
Sedang terhadap Liu Beng, gadis itu merasa seolah bisa menjenguk langsung ke dasar hatinya yang paling dalam.
Hal itu membuat Auyang Siau-hong semakin senang berdekatan dengan kacung yang sekali-sekali nampak ketolol- tololan itu.
Yang kelabakan adalah Kam Hun-siong.
Segala usahanya untuk lebih menarik hati Auyang Siau-hong telah dilakukan, dan semuanya kandas di tengah jalan.
Betapa geramnya Kam Hun-siong, sampai tibalah ia kepada satu keputusan untuk menyingkirkan Liu Beng saja.
Ia mulai menyusun rencana.
Ia punya banyak uang dan uangnya itu bisa mengikut-sertakan banyak saudara-saudara seperguruannya untuk ambil bagian dalam rencananya.
Suatu pagi buta, matahari belum muncul dari peraduannya, hanya cahaya lembayung yang nampak di cakrawala timur.
Namun saat itu Liu Beng justru sudah mandi keringat di lereng gunung.
Seorang diri ia berlari-lari, berloncatan, memanjat tebing dan meluncur turun dengan tangkasnya.
Kantong- kantong pasir di kedua betisnya sudah tidak terasa lagi, maka iapun memasang beban- beban lainnya di pinggang dan kedua pundaknya.
Tengah ia asyik berlatih, tiba-tiba dalam keremangan pagi nampak sesosok bayangan bergerak-gerak tidak jauh dari dirinya.
Liu Beng lalu berteriak menyapa.
"Siapakah Suheng yang ada di situ?"
Orang itu tidak menjawab, sebaliknya malah lari menjauhi Liu Beng.
Kecurigaan Liu Beng bangkit melihat tingkah-laku orang itu.
Sekilas Liu Beng berdebar kalau membayangkan jangan-jangan orang itu adalah orang Hek-eng-po (Benteng Elang Hitam) yang terus-menerus mengejar gulungan kulit? Tapi Liu Beng tidak menjadi jeri, sebaliknya kemarahannya berkobar.
la sebagai murid Ki-lian-pai merasa pantas pula membela Ki-lian-pai jika ada musuh berani berkeliaran di tempat itu.
Dengan gerakan cepat ia melepas semua kantong pasir yang membebani tubuhnya, lalu dengan gerak setangkas kelinci liar ia mulai memburu orang itu.
"Berhenti!"
Teriaknya lantang.
Dengan tubuh ringan berkat latihan kerasnya selama ini, Liu Beng mengejar.
Orang itupun agak terkejut melihat ketangkasan Liu Beng yang di luar perhitungannya Tapi ia tidak mau tertangkap, karena itu iapun mengerahkan kekuatan sepasang kakinya untuk lolos dari kejaran Liu Beng.
Maka di lereng gunung itu terjadilah permaianan kucing-kucingan yang seru.
Biarpun gerakan Liu Beng cukup pesat, namun tidak gampang untuk menyusul orang itu.
Sebaliknya buruan itupun harus selalu mengerahkan kekuatan kakinya supaya tidak tersusul.
Lengah sedikit saja, Liu Beng akan dapat menyusulnya.
Orang itu diam-diam menggerutu dalam hati.
"Benar-benar gila, kacung busuk dari Liu- keh-chung ini dalam waktu empat bulan saja ternyata ketangkasannya sudah menyamai murid-murid terbaik Ki-lian-pai. Pantas saja setiap kali makan dia menghabiskan nasi enam mangkuk dan sepuluh butir telur sekali gebrak. Kalau tidak disingkirkan sekarang, dia memang bisa menjadi semakin kuat dan besar kepala..."
Sementara kejar-mengejar itu sampai ke lereng utara gunung Ki-lian-san yang jalannya sempit dan menanjak.
Sebelah kanan ada tebing curam, sebelah kiri ada tebing terjal berlumut.
Di tempat itulah Liu Beng kehilangan jejak buruannya.
Pagi yang masih terlalu gelap agaknya juga membantu sang buruan melenyapkan diri.
Tanpa kenal takut Liu Beng masuk jalan kecil menanjak itu, tapi alangkah kagetnya ia ketika dari atas tanjakan terdengar suara gemuruh, lalu sebuah batu sebesar kerbau bunting menggelundung deras ke arah dirinya.
Karena miringnya tanah, batu itu berjalan lebih cepat dari larinya kuda.
Apa boleh buat, Liu Beng membalik tubuh dan lari secepatnya, namun karena jalan itu hanya sejalur maka batu itu terus mengejarnya.
Menghindar tidaklah mungkin, kecuali ingin mampus dalam jurang.
Di atas lereng, dua orang yang baru saja menggulingkan batu itu tersenyum puas melihat batu itu menggelundung semakin cepat ke arah Liu Beng.
Kam Hun-siong menyeringai dan menggeram.
"Mampus kau, manusia berderajat rendah yang mimpi untuk berdampingan dengan Sumoai Siau-hong. Sebentar lagi kau akan gepeng seperti katak diinjak gajah..."
Kiang Hun-hou di sebelahnya menyeka keringat sambil berkata.
"Namun bangsat itu hebat juga kemajuannya. Tadi hanya dengan berlari habis-habisan barulah aku bisa tolos..."
Sementara Kam Hun-siong telah memberi isyarat gerakan tangan ke suatu tempat lainnya, beberapa puluh langkah dari tempatnya.
Di bagian itu ada seorang teman Kam Hun-siong yang menjaga seutas tali yang direntangkan melintang di jalan sempit itu dan ditutupi rumput-rumputan.
Ia sendiri menongkrong di atas sebatang pohon yang tumbuh miring di tebing, sehingga aman dari terjangan batu.
Begitu melihat isyarat Kam Hun-siong, ia tarik talinya sekuat tenaganya.
Liu Beng yang sedang berlari kencang itu sungguh tidak menduga munculnya tali di depan kakinya, tanpa ampun lagi ia terpelanting roboh, jidatnya langsung luka membentur batu tajam.
Namun yang lebih berbahaya lagi adalah batu besar yang terus menggelundung deras ke arahnya, seperti tangan maut yang siap meremas hancur korbannya.
Liu Beng tidak bisa menghindar lagi, hanya dengan mata terbelalak lebar ia menunggu kematian.
Saat itulah dari atas lereng gunung berkelebat sesosok bayangan berjubah biru.
Tubuh Liu Beng disambarnya dan dibawa melompat naik ke atas tebing, namun karena membawa tubuh seseorang maka luncurannya kurang pesat dan tidak mencapai bibir atas tebing.
Saat itulah sebelah tangannya menghunus pedangnya dan ditancapkan di tebing batu itu.
Maka jadilah dia bergelantungan di tebing sambil tetap membawa tubuh Liu Beng.
Pedangnya ternyatas cukup kuat menahan beban dua tubuh.
Batu besar yang mengerikan itu menggelundung terus ke bawah dengan suara gemuruh, tapi tidak ada korban.
Datangnya pertolongan untuk Liu Beng itu mengejutkan Kam Hun-siong dan Kiang Hun-hou di kejauhan, apalagi setelah melihat siapa orangnya yang menolong Liu Beng.
"Suhu..."
Kata Kam Hun-siong dengan suara tertahan. Kiang Hun-hou juga berkata gemetar.
"Cukup lama Ketua tidak muncul di Ki-lian-san, dan kini justru muncul menolong si bangsat yang hampir berhasil kita bereskan itu..."
"Cepat tinggalkan tempat ini, jangan sampai Suhu melihat kita,"
Kata Kam Hun- siong gugup dan diapun sudah mendahului beringsut dari situ.
"Bagaimana dengan Liok Sute?"
"Tinggalkan saja, Liok Hin akan mampu mengurus dirinya sendiri."
Yang menolong Liu Beng itu memang bukan lain Ketua Ki-lian-pai sendiri, Auyang Peng-hong yang berjuluk Lam-ih Kiam-kek (Jago Pedang Berbaju Biru).
Ia baru saja meninggalkan Ki-lian-san untuk beberapa lama, dan kini pulangnya di pagi buta itu tepat pada waktunya berhasil menyelamatkan Liu Beng dari ancaman kematian.
Tanyanya kepada Liu Beng.
"Kau berani melompat turun atau tidak?"
Liu Beng menengok ke bawah, ia dapati dirinya berapung tiga tombak di atas tanah.
Kalau melompat ke bawah, pijakannya hanyalah setapak jalan sempit di tepi jurang yang belumut licin.
Kakinya meleset sedikit saja, selamat tinggal dunia yang indah...
Tapi Liu Beng benar-benar bernyali besar, ia lepaskan pegangan gurunya dan meluncur ke bawah.
Ia berhasil mendarat sejari di tepi jurang dan sedikit sempoyongan.
Lalu Auyang Peng-hong menyusul turun pula, namun tidak sempoyongan, bahkan sentuhan kakinya tidak lebih berat dari sentuhan daun kering yang jatuh ke tanah.
Diam-diam Liu Beng kagum melihatnya, makin mantaplah ia berguru kepada orang selihai itu.
Tapi tidak lupa ia memberi hormat, berterima kasih dan mengucapkan selamat datang kepada gurunya yang habis bepergian.
Kata Auyang Peng-hong.
"Sudahlah, cepat kembali ke atas. Mungkin sebentar lagi genta akan ditabuh dan latihan dimulai. Siapa yang akan memimpin latihan pagi ini?"
"Susiok Han To-kian, rencananya akan mengajarkan jurus Pek-wan-tau-tho (kera putih mencuri buah),"
Sahut Liu Beng.
"Nah, cepatlah, jangan sampai terlambat."
Liu Beng pun berlari-lari ke markas.
la bukan saja kuatir terlambat latihan, tapi marah karena ada seseorang hampir membunuhnya.
Urutan peristiwanya terlalu gampang untuk ditafsirkan.
Pertama dirinya dipancing ke tanjakan sempit, lalu sebongkah batu besar digelundungkan ke arahnya, lalu seutas tali menjerat kakinya.
Itu berarti ada kesengajaan membunuhnya, dan ia tahu siapa biang keladinya.
Pasti bukan orang Hek-eng-po, sebab kalau orang Hek-eng-po ingin membunuhnya cukup dengan beberapa jurus saja, tidak usah dengan tipu macam-macam.
Bagaimanapun sabarnya Liu Beng, karena nyawanya sudah diancam, maka mendidih juga darahnya.
Dorongan kemarahan membuat Liu Beng berkekuatan berlipat ganda.
Ketika genta mulai berbunyi, Liu Beng sudah tiba di lapangan latihan tanpa terlambat sedikitpun.
Ia tidak langsung masuk ke barisan namun berjalan mendekati Kam Hun-siong, dilihatnya di baju Suhengnya itu ada kotoran berupa lumut, tanah dan beberapa rumput kering.
Itu semakin menguatkan dugaan Liu Beng akan dalang pembunuhan tadi.
Biasanya Kam Hun-siong bersik garang dan membentak-bentak Liu Beng semaunya saja.
Tapi kali ini ia gentar melihat Liu Beng berjalan mendekatinya dengan langkah lurus dan mata yang menyala menyorotkan kemarahan.
Dipaksakannya untuk tetap bersikap gagah, sebab bagaimanapun juga ia adalah satu dari Sepuluh Murid Terbaik di Ki- lian-pai, hanya saja kali ini sikap gagahnya agak kelihatan canggung.
"Kam Suheng!"
Tegur Liu Beng dengan suara keras.
"Ada apa, Liu Sute?!"
Kam Hun-siong coba menjawab dengan tidak kalah kerasnya.
Liu Beng menatap lurus-lurus ke tengah-tengah biji mata Kam Hun-siong, membuat Kam Hun-siong harus berpaling ke arah lain untuk menghindari tatapan yang menggentarkan itu.
Terdengar suara Liu Beng.
"Kam Suheng, perguruan kita ini mengajarkan sikap ksatria atau sikap pengecut?"
"Sudah tentu sikap ksatria..."
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kam Hun- siong mulai goyah.
"Kalau seseorang berusaha membunuh saudara seperguruannya sendiri dengan cara sembunyi-sembunyi, itu sikap ksatria atau pengecut?"
"Sudahlah, Sute. Masuklah ke dalam barisan, sebab latihan akan segera dimulai."
Tapi Liu Beng yang sedang marah itu tidak beranjak dari tempatnya, dan tetap mendesak.
"Jawab dulu pertanyaaku, Suheng. Orang yang melempar batu sembunyi tangan itu kesatria atau pengecut? Orang yang tidak berani mengakui tindakannya sendiri itu orang hina atau tidak?"
Kam Hun-siong merasa sangat kehilangan muka didesak-desak macam itu.
"Dengarkan perintahku, Sute. Masuk barisan!"
"Jawab dulu!"
Pertengkaran semakin sengit sehingga murid-murid lainnya pun mengerumuni mereka.
Semuanya heran melihat Liu Beng yang biasanva tunduk itu sekarang berani mendebat Kam Hun-siong dengan sengit.
Murid-murid yang biasanya ditindas Kam Hun- siong dan teman-temannya diam-diam senang juga ada orang yang mulai berani menentang kesewenang-wenangan itu, namun juga mencemaskan Liu Beng karena tahu betapa lihainya Kam Hun-siong.
Kalau sudah dikerumuni banyak orang seperti itu, mana sudi Kam Hun-siong kehilangan muka dengan menuruti gertakan Liu Beng? Dengan mengumpulkan seluruh keberaniannya, ia berkata.
"Jalankan perintahku, atau aku harus menghukummu dengan peraturan perguruan?"
Liu Beng tertawa dingin.
"Ha, Suheng tidak berani menjawab pertanyaanku dan lebih senang berlindung di balik peraturan perguruan. Kalau sudah demikian, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi."
Lalu Liu Beng masuk ke barisan untuk ikut latihan, namun kata-katanya itu cukup membuat Kam Hun-siong tertampar mukanya. Ia mengutuk dalam hatinya.
"Kacung hina itu punya mulut yang tajam juga, padahal tampangnya hanya seperti keledai dungu. Kalau aku mendiamkan saja, kewibawaanku bisa goyah di hadapan adik-adik seperguruanku. Aku harus mencari kesempatan untuk membuktikan bahwa aku sanggup menghajarnya, bukan hanya lempar batu sembunyi tangan..."
Pucuk dicinta ulam tiba.
Tiba-tiba seorang murid muncul dari ruangan dalam dan mengabarkan kepada Kam Hun-siong bahwa Paman-guru Han To-kian berhalangan melatih, karena semua sesepuh perguruan sedang diajak membicarakan urusan penting oleh sang Ketua.
Maka jalannya latihan diserahkan kepada Sepuluh Murid Terbaik.
Maka Kam Hun-siong dan teman-teman sekomplotannya segera menguasai keadaan.
Kata Kam Hun-siong di hadapan murid-murid yang sudah berbaris rapi.
"Saudara-saudara, sudah agak lama kita tidak melakukan latihan loan-jiu (pukulan bebas), bagaimana kalau kita lakukan sekarang saja?"
Usul itu segera disambut sorakan gembira oleh murid-murid lainnya. Tanpa disuruh lagi, mereka segera duduk membuat lingkaran besar di lapangan latihan itu. Kam Hun-siong berdiri di tengah lapangan sambil berkata.
"Siapa ingin melakukan loan-jiu dengan aku?"
Murid-murid ragu-ragu menanggapi Kam Hun-siong yang bertubuh gempal kekar itu, juga terkenal keganasannya dalam latihan Loan-jiu.
Pernah seorang murid lain harus berbaring selama sepuluh hari karena pukulan Kam Hun-siong benar-benar melukainya dengan parah, biarpun cuma berlatih.
Murid lainnya pernah kehilangan tiga buah gignya...
Tapi Liu Beng yang hatinya masih panas itu segera bangkit dari duduk bersilanya, sambil berkata, Kam "Suheng, mohon Suheng memberi petunjuk kepadaku."
Lalu diapun melangkah ke tenga gelanggang.
Murid-murid lain menjadi tegang wajahnya.
Liu Beng dan Kam Hun-siong saling tidak menyukai, maka yang akan terjadi di arena tentu buka sekedar latihan biasa, tentu akan lebih seru.
Namun kedua murid di tengah arena itu sempat juga saling memberi hormat menurut tata-cara perguruan.
Tangan kanan yang mengepal didorongkan ke telapak tangan kiri yang terbuka dengan jari-iari lurus.
Baru saja saling menghormat selesai, Liu Beng langsung memajukan kaki kanan untuk bersiap menyerang.
Tapi Kam Hun-siong lebih cepat.
Dari sikap hormat, ia langsung menyapukan kakinya ke depan disertai jotosan ke hidung Liu Beng.
Sergapannya begitu cepat, sehingga Liu Beng langsung roboh dan hidungnyapun "bocor"...
Murid-murid Ki-lian-pai yang menjadi konco-konco Kam Hun-siong segera berteriak riuh sambil bertepuk tangan.
Sedang teman- teman Liu Beng mengerutkan alis.
"Kau lambat sekali, Sute..."
Ejek Kam Hun-siong sambil bertolak pinggang.
"Dengan kepndaian seperti itu, bagaimana kau berani membual bahwa kau sanggup lolos dari tangan orang-orang Hek-eng-po?"
Darah Liu Beng mendidih marah, cepat ia melompat bangun dengan gerakan le-hi-tah- teng (ikan Le-hi meletik).
Tapi ia membuat kesalahan kedua, ia lupa jarak Kam Hun-siong terlalu dekat.
Baru saja ia berdiri, kaki Kam Hun-siong kembali menyapu, kedua tangannya ikut maju untuk mencengkeram dan membanting dengan gerak Pai-san-to-hai (melempar gunung ke laut).
Liu Beng terbanting lebih keras daripada tadi sehingga pinggulnya terasa sakit.
Dua kali menerima pil pahit membuat Liu Beng lebih berhati-hati.
Lebih dulu ia menggulingkan tubuh menjauhi Hun-siong, setelah itu baru melompat bangun.
Tapi Kam Hun-siong tidak membiarkannya.
Acara loan-jiu itu hendak digunakan untuk menghajar habis-habisan dan menumpahkan kebenciannya kepada Liu Beng.
Dengan bernafsu ia memburu dengan jurus Hek-hou-tiau-kan (macan hitam melompati parit), dua tangannya berbentuk cakar harimau menyerang muka dan dada Liu Beng.
Itulah dua serangan yang bisa membuat muka dan dada pa Liu Beng hancur.
Beberapa murid terkejut melihat serangan ganas itu, itulah serangan ganas yang tidak patut digunakan untuk berlatih di antara sesama saudara seperguruan.
Ceng Sin- tong hampir melompat ke tengah arena untuk mencegah, namun di tengah arena telah terjadi sesuatu yang tak terduga...
Liu Beng yang selalu dianggap tolol itu ternyata menunjukkan kecerdikannya.
Ia sudah memperhitungkan Kam Hun-siong akan menerjang lagi, maka ia merobohkan diri menyamping sejajar tanah, tangannya menapak di tanah dan kakinya menyepak tepat mengenai perut Kam Hun-siong.
Kekuatan kaki Liu Beng telah menghempaskan tubuh Kam Hun-siong cukup jauh.
Lalu Liu Beng melompat bangun mendahului Suhengnya.
Jurus sederhana Liu Beng tadi tidak termasuk ilmu pukulan Ki-lian-pai, itu karangan Liu Beng sendiri, namun toh berhasil membuat salah satu Sepuluh Murid Terbaik itu jungkir balik.
Kini ganti Liu Beng yang dengan geram memburu dan menendang Kam Hun-siong, tapi lawannya itu menggunakan gerak Koan-long- ta-kun (serigala malas bergulingan) untuk mengindar dan melompat berdiri.
Lalu dua murid Ki-lian-pai yang sama- sama marah itupun bertarung dengan sengitnya.
Tangan dan kaki mereka saling menyambar dengan kekuatan sepenuhnya.
Seolah lupa akan tipu-tipu silat yang sudah diajarkan, mereka bergedebak-gedebuk saling menghajar dengatn hebatnya.
Kedua pihak sama-sama kesurupan setan kemarahan.
Dalam hal kematangan tipu-tipu silat, Kam Hun-siong jauh mengungguli Liu Beng karena ia sudah belajar jauh lebih lama.
Ia lebih banyak berhasil mengenai Liu Beng, tidak jarang serangannya beruntun sehingga Liu Beng sempoyongan.
Tapi kekuatan tubuh Liu Beng yang seperti kerbau itu membuat Kam Hun-siong merasa sulit juga.
Dengan jurus-jurusnya yang agak ngawur, kadang-kadang kepalan Liu Beng berhasil mengenai Kam Hun-siong dari arah yang tidak diduga dan membuat Kam Hun- siong nyeri bukan kepalang.
Setelah pertarungan berlangsung puluhan jurus, kedua pihak sudah sama-sama babak belur.
Jidat Liu Beng sudah robek dan mengucurkan darah, sepasang matanya dilingkari warna biru gelap sehingga tampangnya mirip binatang panda yang hidup di wilayah Se-cuan, bibirnya bengkak tidak rata, namun sepasang matanya tetap menyorotkan semangat tempur yang tak kunjung reda.
Meskipun luka-luka Kam Hun-siong tidak separah Liu Beng, tapi semangatnya sudah merosot beberapa bagian.
Ia anak seorang kaya yang biasa dihormati dan dimanjakan di rumahnya, dan di perguruan juga banyak penjilat-penjilatnya karena ia berduit banyak.
Meskipun dengan ketekunannya dia berhasil menjadi salah seorang dari Sepuluh Murid Terbaik, tapi belum pernah ia mengalami perkelahian gila-gilaan macam ini.
Biasanya kalau ia Loan-jiu dengan murid lain, maka murid lain itu lebih suka sedikit mengalah karena segan.
Namun lawannya kali ini begitu ngotot dan tidak sungkan-sungkan, juga memiliki beberapa "jurus aneh"
Hasil ciptaan Liu Beng sendiri yang kadang-kadang membingungkan.
Akhirnya Kam Hun-siong memutuskan untuk menggunakan beberapa jurus yang ganas, tidak peduli Liu Beng bakalan mati atau cacad seumur hidup.
Ia anggap dirinya adalah murid kesayangan Ketua Ki-lian-pai, tentu tidak akan dihukum berat.
Paling-paling hanya ditegur.
Ketika Liu Beng menyerbu dengan gerak Kiong-po-pek-ta (memukul sambil menindak), jurus sederhana yang oleh Liu Beng entah sudah diulangi berapa kali, Kam Hun-siong berkelit ke samping.
Telapak tangan kiri menaahn tinju Liu Beng, telapak kanan menebas ke tulang pundak Liu Beng dari atas.
Liu Beng mengelak ke samping sambil sedikit merendahkan tubuh, tangan kanan ditarik, tangan kiri ganti maju menjotos lambung lawannya.
Tapi Kam Hun-siong menggunakan tangan kirinya untuk menekan ke bawah, berbarengan dengan dua jari tangan kanannya meluncur ke sepasang mata Liu Beng dengan gerakan Ji-liong-jio-cu (Sepasang Naga Berebut Mutiara).
Bukan cuma Liu Beng yang kaget, tetapi banyak murid-murid lainnya pun kaget melihat jurus maut itu.
nampaknya Kam Hun-siong tidak sedikitpun berusaha menahan serangannya, ia ingin menusuk buta kedua mata Liu Beng.
Di saat terjepit itu, ingatlah Liu Beng akan gerakan salah satu gembong Hek-eng-po yang pernah dilihatnya menghadapi serangan yang sama, dan tanpa pikir panjang lagi Liu Beng segera menirukannya.
Telapak tangannya menegak dan menebas ke tengan-tengah jari telunjuk dan jari tengah Kam Hun-siong.
Lalu sekuat tenaga ia menggenggam dan menekuk ke atas, maka patahlah jari telunjuk Kam Hun- siong, ia menjerit kesakitan.
Liu Beng yang kalap segera menambahkan lagi sebuah tendangan hek- hou-pa-bwe (macan hitam mengebaskan ekor) yang telak mengenai ulu hati Kam Hun-siong membuat sang Suheng terkapar setengah pingsan.
Tak tertahan lagi beberapa murid yang menjadi komplotannya melompat ke tengah lapangan sambil berteriak-teriak marah.
"Kacung hina! Kenapa kau bertindak sekejam ini hanya dalam latihan antara saudara seperguruan?"teriak seseorang.
"Kam Suheng sudah terlalu mengalah kepadamu, tapi kau malah hendak menunjukkan Keliaranmu di perguruan terhormat in?!"
Sahut lainnya.
"Tangkap dan hajar dia!"
"Hadapkan kepada Ketua!"
"Cacadkan tangannya yang kejam!"
Liu Beng menjadi kebingungan menghadapi keadaan tak terduga itu.
Ia tidak takut berkelahi dengan siapapun, tapi segan mendapatkan musuh baru sebanyak itu.
Tapi bagaimana meredakan kemarahan teman- teman Kam Hun-siong itu? Waktu itulah serombongan murid Ki- lian-pai lainnya berdiri dan berbondong- bondong masuk arena pula.
Tapi kali ini adalah sahabat-sahabat Liu Beng yang memang sudah lama tidak senang kepada tingkah Kam Hun- siong dan teman-temannya.
Sahabat yang dihasilkan oleh keterbukaan dan saling pengertian, ternyata tidak kalah banyaknya dari "sahabat"
Yang didapat karena uang Kam Hun-siong.
Dipimpin Lim Siu-seng,rombongan yang memihak Liu Beng ini sudah menggulung lengan baju dan siap membela Liu Beng.
Dengan demikian Lona-jiu satu lawan satu akan berubah menjadi Loan-jiu secara masal.
Lim Biu-seng berteriak mengatasi suara teman-teman Kam Hun-siong.
"Liu Sute hanya membela diri, karena Kam Suheng lebih dulu menyerang dengan jurus berbahaya!"
"Benar! Memangnya hanya Kam Suheng yang boleh berbuat kejam, dan lain-lainnya harus tunduk untuk diperlakukan seenaknya? Kalau kita hendak dicelakai orang, kita berhak membela diri bagaimanapun caranya!"
Debat dengan mulut sudah semakin panas, dan kini tinju-tinju sudah siap untuk dijotoskan. Untung di antara kedua belah pihak tidak ada yang membawa pedang... Saat baku hantam hendak meledak, terdengarlah bentakan keras.
"Semua harap menahan diri!"
Yang berteriak itu adalah Ceng Sin- tong, murid paling tua dari Sepuluh Murid Terbaik yang punya cukup wibawa untuk mengendalikan suasana panas itu. Apalagi Ceng Sin tong juga tidak sendirian tetapi punya "pengikut"
Yang kalau perlu bisa bertindak keras. Setelah semua perhatian tertumpah kepadanya, Ceng Sin-tong berkata.
"Kalian senua seperti anak kecil yang rebutan layang- layang saja! Kam Hun-siong maupun Liu Beng sama-sama bersalah. Kam Hun-siong menyerang dengan ganas tanpa mengingat bahwa Liu Beng adalah saudaranya, sedangkan Liu Beng juga membela diri dengan cara yang kelewat keras. Aku akan menghadap Ketua untuk melaporkan peristiwa ini, tapi awas kalau ada di antara kalian yang mulai membuat keributan lagi!"
Semua pihak bungkam, tertindih oleh wibawa Ceng Sin-tong. Kelompok Kam Hun-siong kurang puas karena mereka ingin menghukum "kesalahan"
Liu Beng seberat-beratnya, namun mereka tidak berani menentang Ceng Sin-tong.
Terpaksa mereka membubarkan diri, demikian pula Lim Siu-seng dan teman-temannya yang membela Liu Beng.
Beberapa hari kemudian, peristiwa di lapangan latihan itu sudah dilupakan semua orang, namun belum oleh Kam Hun-siong.
Peristiwa itu sudah membuktikan bahwa ia tidak bisa mengalahkan Liu Beng yang baru berlatih empat bulan itu.
Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Pisau Kekasih Karya Gu Long Dendam Kesumat Karya Tabib Gila