Ceritasilat Novel Online

Teror Elang Hitam 8


Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP Bagian 8



Teror Elang Hitam Karya dari Stevanus S.P

   

   Semua anak muda terkenal di Se-shia ini sudah pernah menjadi pacarnya.

   Sudah belasan kali pula dia bersumpah akan bunuh diri karena putus cinta dengan pacarnya, dan belasan kali pula dia akhirnya mendapat pacar baru.

   Aku kira hubungannya dengan The Khongcu tidak akan lama umurnya".

   "Justru karena itu aku tidak mau anakku terpikat oleh gadis macam itu".

   "Baiklah, Toaya , mudah-mudahan aku nanti bertemu dengan The Khongcu". Setelah Thio Sinshe pergi, The Tek-kong masuk kembali ke kamarnya untuk mendengarkan cerita Teng Yu-liong.

   "

   Kau boleh mulai cerita, Sute". Dengan suara perlahan-lahan karena tubuhnya masih lemah, Teng Yu-liong menceritakan pertempurannya melawan "orang gelandangan gila"

   Yang tanpa alasan apapun tiba-tiba mencegat rombongannya lalu mengamuk dengan ganas, sampai Teng Yu- liong terluka dan delapan piau-su tewas.

   "Siapakah orang itu? Apakah ia tidak menyebutkan namanya, dari mana asalnya dan apa maksudnya?"

   Tanya Yo Sian. Teng Yu-liong menarik napas.

   "Itulah yang tidak aku pahami. Dia muncul dari atas lereng bukit, menghadang dan mengamuk, lalu pergi demikian saja. Sepatah kata pun tidak dia ucapkan , hanya meraung-raung seperti binatang buas. Bahkan ketika aku tanyai dia, dia tidak menjawab dengan mulut tetapi dengan serangan jari-jarinya yang nyaris melubangi leherku. Kekuatan jari-jarinya betul- betul hebat, Susiok, Toasuheng dan Samsute boleh melihat bekas luka-luka di tubuhku dan di mayat para piau-su yang gugur itu....."

   "Sutit, tidakkah kau kenali gaya permainan silatnya dari aliran mana? kau sudah banyak mengembara dan pernah melihat macam-macam gaya silat bukan?"

   Tanya Si Liong-cu.

   "Sungguh memalukan, bahkan gaya silatnya pun tidak berhasil aku kenali. Aku pernah melihat macam-macam silat, terutama yang mengutamakan jari tangan. Eng-jiau- kang(cakar elang), Hou-jiau-kang (cakar harimau), Liong-jiau-kang (cakar naga), Ho- kun (Pukulan Bangau), Coa-kun (pukulan ular) bahkan sampai aliran yang agak sesat seperti Ya-long-jiat-jiau (cekalan maut serigala liar), tetapi belum pernah kulihat jurus seganas dan seaneh itu. Bahkan sepasang pedangku pun tak berdaya melawannya..."

   Mendengar nada ucapan Teng Yu-liong yang masih berbekas kengerian itu, The Tek- kong dan Yo Sian saling bertukar pandangan.

   Mereka tahu bahwa saudara seperguruan mereka itupun tidak rendah ilmunya, tapi toh rombongannya berhasil diobrak-abrik oleh seorang "gelandangan gila"

   Yang masih muda dan tidak terkenal. Apakah itu alamat buruk untuk Hek-hou Piau-tiam yang selama ini berjaya? "Aneh sekali, jangan-jangan orang Hek- eng-po?"

   Suara Yo sian memecah kesunyian yang mencekam di ruangan itu.

   "Hek-eng-po muncul belum lama di dunia persilatan, tetapi mereka sudah berhasil mengumpulkan kekuatan besar di pihak mereka. Liu-keh- chung di Ho-lam sudah ditumpasnya habis, bahkan Ki-lian-pai juga mulai diutik-utik pula sehingga Lam-ih-kiam-khek (Pendekar Pedang Baju Biru) Auyang Peng-hong bersembunyi saja di gunung tanpa berani keluar selangkahpun. Mungkinkah mereka mulai megincar kita?"

   "Benar, dugaan Samsute itu beralasan"

   Sambung The Tek-kong.

   "Kemarin pagi, di bukit luar kota ini ada kejadian menggemparkan. Sesosok mayat diketemukan dalam keadaan tercerai-berai, dan setelah diselidiki. tahukah kalian siapa mayat itu?"

   Semua mata serempak ditujukan ke arah The Tek-kong.

   "...orang yang malang itu adalah Ko Jun-lim, Ketua Pek-kiam-pai yang berjuluk Pek-hong-kiam". kata The Tek-kong setelah menghembuskan napas.

   "Padahal bukit itu jaraknya kurang dari lima li dari kediaman Keluarga Sebun yang congkak dan menepuk dada sebagal pelindung dunia persilatan wilayah Siam-say ini. Toh pembunuhan tetap terjadi , seolah menantang Sebun Him. Agaknya Hek-eng-po semakin lama semakin berani menunjukkan taring kekuasaannya..."

   "Kalau benar-benar yang melukai Teng Suheng ini adalah orang Hek-eng-po, lalu bagaimana sikap kita?"

   Tanya Yo Sian.

   "Apakah...kita sebaiknya menghubungi Keluarga..."

   Hampir saja Yo Sian. menyebut "keluarga Sebun"

   Tetapi cepat-cepat menghentikan ucapannya ketika Toasuhengnya melotot ke arahnya.

   Keras sekali The Tek-kong menepuk pegangan kursi sehingga pegangan kursi itu remuk separuh.

   Tidak percuma kehebatan ilmu pukulan yang dijuluki Keng-hian-it-kun (Pukulan Tunggal Penggetar Langit).

   Dengan sengit ia berkata.

   "Buat apa kita terbirit-birit seolah-olah minta perlindungan keluarga yang sombong itu? Sombong tapi bernama kosong , sebab ia toh tidak sanggup mengamankan dunia persilatan di Siam-say seperti yang sering dibualkannya. Kita sendiri toh punya induk yang lebih perkasa, Siau-lium-pai, yang lebih besar dari Keluarga Sebun?"

   Yo Sian agak menyeringai salah tingkah menghadapi kemarahan Toasuhengnya.

   "Jangan cepat naik darah, Toasuheng. Aku minta maaf kalau ucapanku membuatmu tidak senang. Pendapatku tadi toh hanya usul saja. bisa ditolak bisa diterima. Kata pepatah, air yang jauh tidak sempat menolong kebakaran yang dekat. Perguruan kita Siau-lim-pai terletak di wilayah Holam yang jauh dari sini, sebaliknya Keluarga Sebun adalah tetangga dekat kita yang..."

   "Jangan sebut-sebut lagi!"

   Potong The Tek-kong.

   "Biarpun kita hancur lebur pun harus mempertahankan kebesaran nama Siau-lim- pai, tidak perlu minta perlindungan orang luar!"

   Terpaksa Yo Sian membungkam karen kuatir membuat Toasuhengnya semakin marah.

   Sesaat ruangan itu jadi sunyi, hanya terdengar napas Teng Yu-liong yang terengah- engah di pembaringan.

   Sampai kesunyian itu dipecahkan oleh suara Si Liong-cu yang tenang dan dingin.

   "Tidak perlu bertengkar. Memang sebaiknya kita mengandalkan kekuatan Siau-lim-pai sendiri untuk menghadapi masalah ini. Beberapa hari aku tinggal di tempat ini, aku hanya menganggur saja, biarlah aku coba menyelidiki jejak si gelandangan gila itu di Se- shia dan sekitarnya. siapa tahu bisa kutemui orang itu dan kuseret kemari untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya". Tiga Pimpinan Hek-hou Piau-tiam merasa ucapan Si Liong-cu agak takabur. Selama ini mereka hanya tahu bahwa Si Liong- cu adalah murid Pun-bu Hweshio, kakek guru mereka, namun belum pernah melihat sampai dlmana kelihaian silat sang paman-guru yang masih muda itu.

   "Susiok, harap hati-hati, siapa tahu gelandangan itu tidak sendirian tetapi. bersama-sama teman-temannya dari Hek-eng- po yang ganas-ganas itu..."

   Kata The Tek-kong cemas.

   Meskipun ia berbicara terhadap seseorang yang kedudukannya lebih tinggi di perguruan, tapi karena usianya lebih tua dari lawan bicaranya, maka nadanya pun seperti seorang ayah bicara kepada anaknya agar tidak bermain-main di air hujan...

   Si Liong-cu hanya tertawa ringan saja.

   Ia bangkit dari kursinya, mengambil toya hitamnya yang lalu dipanggulnya keluar kamar.

   "Rawatlah Teng Sutit baik-baik, aku akan memburu orang-orang Hek-eng-po..."

   Katanya. The Tek-kong melangkah di sampingnya untuk mengantar paman gurunya sampai ke pintu depan. Sambil berjalan, The Tek-kong masih saja menyatakan kecemasannya.

   "Susiok, bukannya aku memandang rendah kemampuan Susiok, tapi kalu benar-benar bertemu dengan orang-orang Hek-eng-po lebih baik jangan dilawan sendiri. Pulanglah dulu ke qedung ini untuk mengajak kekuatan secukupnya.

   "Baik", sahut Si Liong-cu singkat. Ketika mereka tiba di pintu depan, Si Liong-cu tiba-tiba menoleh ke arah sepasang singa batu yang mengapit pintu depan gedung itu. Setiap buahnya sing batu itu beratnya ada empatratus kati lebih. The Tek-kong masih ingat, belasan tahun yang lalu dibutuhkan puluhan lelaki kekar untuk menyeret dan memasang patung-patung singa itu di depan pintu rumahnya. Kini ia heran melihat paman gurunya tiba-tiba mendekati patung itu. Lebih heran lagi ketika melihat sang paman guru meletakkan toyanya dan merangkul patung singa itu. Dan terbelalaklah mata The Tek-kong ketika melihat paman- gurunya dengan sebuah bentakan keras telah berhasil mengangkat patung itu di atas kepalanya, bahkan dibawa berjalan bolak-balik belasan langkah. Karena patung itu terletak di pinggir jalan yang ramai, maka pertunjukan gratis itu segera menarik perhatian banyak orang yang berkerumun di depan gedung Hek-hou Piau- tiam. Orang-orang berdecak kagum melihat Si Liong-cu dengan enaknya mengangkat singa batu yang lebih besar dari tubuh manusia dewasa itu di atas kepalanya, membawanya berjalan belasan langkah , lalu meletakkannya di tempat semula. The Tek-kong sendiri melongo dan mulutnya belum terkatup rapat ketika patung itu sudah terletak kembali di tempatnya. Kini ia sadar bahwa Si Liong-cu memang pantas menjadi paman-gurunya. Soal kekuatan saja, jelas Si Liong-cu berada di atasnya.

   "Pertunjukan yang jelek bukan?"

   Si Liong-cu tersenyum. Napasnya tidak kelihatan terengah-engah, mukanya hanya menjadi merah sedikit, dan ia hanya mengeluarkan beberapa butir keringat di jidatnya yang lalu diusapnya dengan punggung telapak tangannya.

   "Kekuatan Susiok benar-benar hebat!"

   Kata The Tek-kong,menyadari kekeliruan anggapannya selama ini terhadap paman gurunya itu. Si Liong-cu mengambil toyanya, lalu dengan dipanggul seenaknya, ia melengkah menyibak orang-orang yang berkerumun setelah berkata kepada The Tek-kong.

   "Nah, aku pergi dulu..."

   Kerumunan manusia itupun bubar.

   Di antara orang-orang yang tadi menyaksikan peragaan kekuatan luar biasa itu, ada seorang muda yang berpakaian seperti orang desa, kain belacu abu-abu.

   kepalanya memakai topi rumput yang sudah agak rusak, dan tangan kirinya menuntun seekor keledai kurus yang jalannya agak sempoyongan.

   Sambil menatap Si Liong-cu yanq semakin menjauh, pemuda desa itu bergumam sendirian.

   "Kekuatan yang hebat. Haiya!"

   Lalu pemuda desa itupun berjalan larut dalam arus manusia di jalan besar itu.

   Tidak ada yang memperhatikannya, sebab tampangnya memang bukan tampang istimewa.

   **OZ** BAGIAN LIMABELAS Malam sudah turun dan kota Se-shia sudah terlelap dalam tidur.

   Sepi.

   Hanya di kejauhan, entah dari arah mana, masih terdengar nyanyian tidak keruan dari kaum pemabuk.

   Di luar kota Se-shia, ada sebuah rumah abu yang sudah lama kosong tak terawat.

   Rumah itu dulu milik sebuah keluarga terkenal di jaman dinasti Beng, ketika keluarga itu musnah tanpa meninggalkan keturunan, maka rumah abu itupun terbengkalai belasan tahun lamanya sehingga hanya dihuni tikus-tikus dan kecoa-kecoa.

   Namun malam itu terjadi suatu kegiatan di tempat tersebut.

   Ketika gembreng tengah malam sudah dibunyikan beberapa saat yang lalu di menara benteng kota, maka muncullah empat sosok bayangan menembus selimut kabut, mendekati rumah kuno ltu.

   Empat sosok bayangan yang bentuk tubuhnya beraneka ragam, ada yang tinggi besar, ada yang kecil pendek, bahkan salah satu dari mereka memakai capinf bambu di kepalanya meski pun saat itu adalah tengah malam dan bukan siang yang panas.

   Keempat orang itu langsung masuk ke rumah abu tersebut lalu seenaknya merusa perabot-perabot kayu untuk ditumpuk di tengah halaman dan dijadikan api unggun.

   Setelah keadaan terang, terlihat nyata bahwa keempat orang itu bukan lain adalah Lo-san Su-koai (empat siluman Lo-san ).

   Lengkap mulai Tiat-pi-koai Wan Po, Hek-hok-koai Kongsun Gi, Ho-thian-koai Hau It-yau dan Gip- hiat-koai-Pek Hong-teng.

   Siluman lengan besi, siluman kalong hitam, siluman terbang dan siluman penghisap darah.

   Mereka segera duduk bersila mengelilingi api unggun dan bercakap-cakap satu sama lain dengan suara perlahan-lahan.

   Nampaknya mereka menuggu orang lain.

   Tiba-tiba kesunyian malam dipecahkan oleh suara tepukan tangan tiga kali dari arah utara rumah abu itu.

   Wan Po segera bertepuk tangan tiga kali pula untuk membalas isyarat itu.

   Tak lama kemudian terdengar derap orang berlari-lari mendekati, lalu muncullah seorang lelaki jangkung luar bisa namun kurusnya juga luar biasa sehingga mirip sepotong bambu berjalan.

   Ia diiringi seorang perempuan yang sudah berusia empatpuluh tahun namun masih bersolek dengan hebat, bedaknya tebal dan tingkahnya genit.

   Kedua orang itu adalah Tiat-jiau-eng (elang bercakar besi) Biau Ek-hong serta Tok-gia-kang (si kelabang berbisa) Ciu Peng, jago-jago andalan Hek-eng-po pula.

   meskipun masih di bawah Lo-san Su-koai tingkatannya.

   "He, baru kalian berempat yang datang? Mana lain-lainnya?"

   Tanya Biau Ek-hong kepada Wan Po. Sahut Wan-po.

   "Waktunya belum sampai. Tidak lama lagi mereka akan muncul semua..."

   Baru saja selesai kata-katanya, dari arah selatan terdengar pula tepukan tiga kali yang dibalas oleh Wan Po seperti tadi.

   Lalu muncul pula sebua rombkngan terdiri dari tiga orang.

   Ketika dekat api unggun, segera terlihat ketiganya berwajah mirip satu sama lain, hanya usia masing-masing yang berselisih sedikit, menandakan ketiga-tiganya itu bersaudara.

   Mereka juga bersenjata sama, masing-masing sebatang Long-ge-pang (toya gigi serigala).

   Terhadap Wan Po berempat, ketiga saudara ini mengangguk hormat, tetapi terhadap Biau Ek-hong dan Ciu Peng acuh tak acuh saja.

   Terdengar Ciu Peng tertawa mengejek.

   "Eh, kalian bertiga berani juga muncul di sini? Sudah lupakah kalian lima tahun yang lalu kalian lari terbirit-birit dikejar Sebun Him?"

   "Tutup mulutmu, perempuan rendah!", bentak salah seorang dari ketiga bersaudara itu.

   "Jangan kau kira kami tidak mendengar kisah konyolmu di Kanglam. Lain kali kalau hendak mencari lelaki, jangan salah pilih. Masa Pek Thai-koan kau rayu, sehingga kau malah mendapat. hajaran hebat."

   Ciu Peng melotot mendengar itu. Ia hendak berbantah, tapi Wan Po cepat membentak kasar.

   "Diam kalian! Ingin kuhancurkan mulut kalian?!"

   Baik Ciu Peng maupun ketiga saudara bersenjata Long-ge-pang itu sama-sama bungkam.

   Terdengar suara tepukan lagi, dibalas lagi, dan muncul orang-orang lagi.

   Kali ini.

   hanya dua orang.

   Yang satu adalah seorang lelaki bertubuh pendek gempal, berpakaian dan bertopi bulu seperti dandanan orang Mongol, di ikat pinggangnya terselip kampak pendek dan belati.

   Satunya lagi adalah seorang lelaki ramping berbaju hitam, wajahnya dingin dan ada bekas luka memanjang di pipinya.

   memanggul sebatang tombak panjang.

   Tok-gia-kang Ciu Peng agaknya memang cerewet, siapapun yang datang tentu disambutnya dengan kata-kata.

   Begitu pula kali ini si topi bulu langsung ditanyainya.

   "Eh, Ho Loji, kenapa sekarang kau berjalan bersama temanmu yang jelek itu? Ke mana perginya adik angkatmu yang tampan, Ong Sek-lai?"

   Lelaki bertopi bulu itu bukan lain adalah Ho Yu-yang. Ia menjawab sambil menggertak gigi.

   "Ong Losam terbunuh oleh Ketua Ki-lian- pai Auyang Peng-hong. Aku bersumpah akan menuntut hutang darah ini..,"

   "Ah? Ong Losam sudah mati?"

   Ciu Peng terbelalak sehingga wajahnya yang tebal dengan bedak itu jadi menakutkan.

   "Sayang sekali, dia teman tidur yang menyenangkan...hi-hi-hi ..."

   "Pelacur busuk, tidak bisakah mulutmu diam?!"

   Bentak Wan Po lagi.

   Seketika Ciu Peng bungkam seperti cengkerik diinjak liangnya.

   agaknya ia sangat takut terhadap orang pertama dari Lo-san Su-koai ini.

   Begitulah, setiap kali terdengar isyarat tepukan tangan yang dibalas dengan tepukan tangan pula lalu muncul kelompok kecil demi kelompok kecil.

   Dua orang, tiga orang, empat orang, bahkan ada yang muncul tujuh orang sekaligus, sehingga tempat itupun menjadi berjubel-jubel karena terisi empatpuluh orang lebih.

   Merekalah jago-jago Hek-eng-po yang rata-rata adalah bekas "iblis-iblis"

   Golongan hitam yang menjadi buruan kaum pendekar aliran lurus, lalu bergabung ke pihak Puri Elang Hitam.

   Malam itu mereka berkumpul di.

   rumah abu itu untuk suatu keperluan.

   Orang-orang Hek-eng-po yang berkumpul itu kemudian dikejutkan oleh suara suitan panjang di kejauhan, makin lama makin dekat ke tempat itu dengan kecepatan yang menakjubkan.

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Semua orang di tempat itu segera berdiri dengan sikap hormat, tak terkecuali Su-koai yang biasanya bersikap congkak karena merasa orang-orang terkuat di antara orang-orang yang berkumpul di tempat itu.

   Lalu seolah-olah sesosok iblis yang muncul begitu saja dari perut bumi, di tengah- tengah mereka tahu-tahu telah berdiri seorang tua berambut putih sema.

   Tidak ada yang istimewa pada diri orang tua itu, kecuali ketika kawanan manusia ganas itu serentak membungkuk hormat kepadanya.

   Bahkan Su- koai.

   memanggilnya dengan sebutan "Susiok" (paman guru).

   Orang tua itu memang paman guru dari Empat Siluman itu, lebih lihai berkali lipat dari keempatnya.

   Tidak ada yang tahu namanya, namun lebih dikenal lulukannya sebagai Jiat-jiu Lokoai (Siluman Tua Bertangan Maut), tangan kanan dari Majikan Hek-eng-po yang jarang menampakkan diri.

   Suara dingin Jiat-jiu Lokoai terdengar.

   "Dengarkan baik-baik pesan dari Pocu!". Orang-orang di kuil kosong itu takut kepada Jiat-jiu Lokoai, tetapi lebih takut lagi terhadap Majikan Hek-eng-po. Maka demi mendengar ada perintah dari Pocu (majikan benteng), semuanya diam sehingga ruangan itu lebi sunyi dari kuburan. Hanya gemeretaknya kayu yang terbakar yang terdengar di situ.

   "Pocu sangat marah mendengar ada anak buahnya yang keluar dari garis perintahnya!"

   Geram Jiat-jiu Lokoai dingin.

   "Aku kira kalian masih ingat bagaimana Pocu berpesan sungguh-sunqgu lewat mulutku .jangan ada yang bertindak dulu, sebab Pocu sedang melakukan pendekatan terhadap Keluarga Sebun. Tapi ternyata ada di antara kalian yang lancang tangan membunuh Ko Jun- lim dengan mencerai-beraikan tubuhnya, melukai Teng Yu-liong, dan membunuh beberapa piau-su Hek-hou Piau-tiam. Kalian ini punya otak atau tidak?! Atau kepala kalian cuma berisi tahi kerbau? Tidak kalian sadari bahwa tindakan lancang yang demikian itu bisa merusakkan rencana Pocu? Berapa ratus kali harus aku sampaikan pesan Pocu bahwa Keluarga Sebun tidak boleh diutik-utik? Kalian menguk-utik Hwe-liong-pang atau Siau-lim-pai terserah! Tapi keluarga Sebun tidak boleh! Bahkan menumpahkan darah di wilayah Siam- sai inipun dilarang keras!"

   Biarpun orang-orang Hek-eng-po itu semuanya menundukkan kepala, tapi dalam diri mereka tumbuh rasa heran yang sama terhadap pesan Majikan Hek-eng-po.

   Kalau Siau-lim-pai dan Hwe-liong-pang bahkan boleh diganggu, kenapa Keluarga Sebun harus dikecualikan? Padahal kalau tiga kekuatan itu dibandingkan, Keluarga Sebunlah yang paling lemah, seharusnya yang lemah dibasmi dulu barulah menghadapi yang kuat.

   Namun tak seorangpun berani mempertanyakan pesan yang janggal itu.

   Kini.

   mereka hanya saling menebak.

   Siapakah mereka yang telah berani melanggar perintah sang Pocu? Tentu teman mereka itu akan bernasib malang sekali sebab Majikan Hek- eng-po tak kenal ampun terhadap anak buahnya yang menyalahi pesannya, dan Jiat- jiu Lokoai.

   adalah algojonya, Siapa? Suasana ruangan itu begitu mencekamya, ibaratnya sehelai daun kering yang rontok dari pohon pun bisa membuat mereka kaget dan jantungnya copot.

   Apalagl ketika mendengar Jiat-jiu Lokoai tertawa dingin.

   "Bagus, kalian mulai bandel ya? Tidak ada yang mau mengaku siapa yang berbuat? Atau kalian ingin saling melindungi teman kalian dan dihukum bersama-sama?"

   Suasana masih sunyi.

   "Siapa? He?!"

   Tiba-tiba suara Jiat-jiu Lokoai menggeledek sampai genting-genting ruangan itu bergetar.

   Beberapa helai genting yang kurang kuat pegangannya telah merosot jatuh dan menimpa beberapa kepala.

   Namun mereka mengaduhpun tidak berani, hanya mengusap-usap kepala mereka yang keluar kecapnya.

   Suasana tetap sunyi.

   "Suma Hoan, maju kemari!"

   Tiba-tiba Jiat-jiu Lokoai menoleh ke satu arah memanggil sebuah nama.

   Orang yang dipanggil namanya itu menjadi pucat wajahnya, dengan langkah gemetar ia segera keluar dari kerumunan dan maju ke dekat api unggun.

   Suma Hoan adalah seorang muda yang berpakaian seperti gelandangan, Julukannya Im-kan-hong-kai ( pengemis gila dari neraka) yang terkenal kekejamannya, suka merobek-robek tubuh korbannya.

   Namun kali ini di hadapan Jiat-jiu Lokoai, ia bersikap seperti tikus kecil di hadapan seekor kucing besar yang garang.

   Belum ditanyai, ia sudah berlutut dan berkata dengan suara ketakutan.

   "Bukan aku yang berbuat, Losianseng, bukan aku. Aku berani bersumpah disambar geledek. Aku selalu menjunjung tinggi pesan Pocu dan tidak melanggarnya seujung rambutpun". Jiat-jiu Lokoai membelai-belai kepala Suma Hoan seperti kakek yang sangat mengasihi cucunya, namun Suma Hian merasakan sukmanya seolah sudah terbang keluar meninggalkan raganya. Ia sadar,sekali tangan maut itu mencengkeram kepalanya, jadilah ia berangkat ke neraka benar-benar.

   "Mengaku saja terus terang, anak manis. Supaya kematianmu tidak terlalu menderita. Kata para piau-su Hek-hou Piau- tiam, orang yang menyerang mereka itu adalah seorang pengemis muda yang berkelakuan seperti orang gila, sedang tubuh Ko Jun-lim diketemukan tercerai-berai seperti bekas perbuatan tanganmu atas diri korban- korbanmu biasanya.nah, siapa lagi kalau bukan kau pelakunya?"

   Suma hoan benar-benar ketakutan, akhirnya sambil menangis ia bersujud membentur-benturkan kepalanya ke lantai sambil meratap habis-habisan.

   "Bukan aku ..bukan aku ...bukan aku...."

   Agaknya di kalangan manusia-manusia berjantung iblis itu ada juga Setia kawan antar sesama. Seorang lagi tiba-tiba maju ke depan dan berlutut di hadapan Jiat-jiu Lokoai sambil berkata.

   "Losianseng, aku berani mempertaruhkan nyawaku untuk memperkuat kesaksian saudara Suma Hoan. Memang bukan dia pelakunya."

   Orang itu bertubuh pendek kecil, sebelah matanya ditutup kain hitam, namanya To Hian dan berjuluk Tok-gan-miao (kucing bermata satu).

   Seorang anggota Hek-eng-po yang sudah cukup banyak jasanya juga, tentunya jasa dalam berbuat kejahatan.

   Jiat-jiu Lokoai menghentikan gerak tangannya yang sudah siap mencengkeram hancur kepala Suma Hoan.

   "To Hian, apakah kesaksianmu bisa dipercaya?!"

   "Aku pertaruhkan nyawaku untuk menerima hukuman mati, Losianseng", sahut To Hian tetap berlutut.

   "Ketika peristiwa yang menimpa Teng Yu-liong dari Hek-hoa Piau-tiam itu terjadi, aku dan saudara Suma sedang minum-minum arak di sebuah warung murahan di Se-shia. Baqaimana mungkin saudara Suma bisa memecah dirinya menjadi dua untuk berada di dua tempat sekaligus? Lagipula buat apa kami mempertaruhkan nyawa dengan membohongi Pocu?"

   Sikap To Hian yang mantap itu membuat Jiat-jiu Lokoai ragu-ragu untuk meneruskan hukumannya. Apalagi ketika Hau It-yau berbicara pula memperkuat kesaksian itu.

   "Betul, Susiok. Hari ltu aku ingat memang pernah melihat Suma Hoan dan To Hian minum-minum di warung arak kecil dekat tempat penjualan kuda. Aku yakin tidak salah lihat, meskipun aku hanya lewat di depan warung itu". Akhirnya Jiat-jiu Lokoai menurunkan tangannya perlahan-lahan sambll mengendorkan tenaganya.

   "Baiklah, untuk sementara ini aku anggap Suma Hoan boleh dibebaskan dari hukuman, kecuali kalau kelak terbukti bahwa dia telah berbohong, bahkan To Hian juga akan ikut dihukum..."

   Diam-diam para anggota Hek-eng-po menggerutu dalam hati.

   Kalau kelak Suma Hoan terbukti berdusta dan dihukum, To Hian juga terancam hukuman, kenapa Hau It-yau tidak terancam hukuman? Itu karena Hau It- yau adalah keponakan murid dari Jiat-jiu Lokoai sendiri...

   Tetapi bagi Suma Hoan dan To Hian, keputusan itu bagaikan anugerah besar dari langit.

   Nyawa mereka baru saja bertamasya ke alam kubur, dan kini kembali lagi ke dunia kehidupan.

   Cepat-cepat berlutut menyatakan terima kasih, lalu mundur bergabung dengan teman-teman mereka.

   Suasana yang tegang mencekam pun kendor.

   Wan Po mulai berani bertanya.

   "Susiok, aku rasa sikap Pocu terhadap keluarga Sebun agak kurang bisa diterima. Kalau terhadap Hwe-liong-pang dan Siau-lim-pai kita boleh mencari perkara, kenapa terhadap Keluarga Sebun malah tidak boleh? Padahal selama ini Sebun Him itulah yang paling terang-terangan menunjukkan kebenciannya terhadap kita. Ia pernah sesumbar, kalau ada orang Hek-eng-po yang berani menginjak wilayah Siam-sai, akan ditumpasnya tanpa ampun. Harusnya keluarga Sebun ini yang kita gempur habis, tidak perlu takut kepada Sebun Him, apalagi kalau Susiok sendiri turun tangan. Untuk menunjukkan kekuatan kita kepada keluarga yang congkak itu..."

   Soal itu memangnya terasa mengganjal dalam pikiran orang-orang Hek-eng-po lainnya. Maka begitu mendengar Wan Po menanyakan hal itu, yang lainnya pun beramai-ramai mengajukan pertanyaan pula sehingga suasana menjadi ribut.

   "Benar, kita.hantam keluarga Sebun! Takut apa?!"

   "Mereka tidak sekuat Siau-lim-pai atau Hwe-liong-pang, tapi kesombongannya melebihi Siau-lim-pai dan Hwe-liong-pang".

   "Tanganku sudah gatal ingin membabat Sebun Him sampai ke cindil-cindilnya!"

   "Diamlah kalian!"

   Bentakan Jiat-jiu Lokoai itu membuat suasana menjadi sunyi seperti tadi.

   "Pocu menyuruh kita menahan diri terhadap Keluarga Sebun, bukan karena takut, tetapi karena siasat yang sedang dijalankan oleh Pocu. Siasat apa, bahkan aku sendiripun tidak tahu. Itu urusan Pocu dan bukan usan kita, kita hanya wajib menuruti pesannya dengan ancaman hukuman berat untuk siapapun yang melanggarnya!"

   Kalau sudah bicara soal perintah Pocu, tidak ada lagi yang berani membantah, meskipun dalam hati tetap penasaran.

   Mereka banyak yang kehilangan sahabat atau saudara di ujung pedan keluarga Sebun Him, tapi kini mereka harus mentaati perintah "gencatan senjata"

   Dari pimpinan mereka. Gencatan senjata yang hanya sepihak, sebab pihak Keluara Sebun tidak terikat oleh "gencatan senjata"

   Itu.

   "Pekerjaan kita sekarang ialah menangkap gelandangan gila yang membunuh Ko Jun-lim dan melukai orang-orang Hek-huo Piau -tiam. Tangkap hidup-hidup!"

   Kata Jiat-jiu Lokoai. Keruan perintah itu semakin mendongkolkan hati orang-orang Hek-eng-po. Menangkap gelandangan gila yang mengacau di "wilayah kekuasaan"

   Keluarga Sebun itu bukankah artinya malah membantu memulihkan kewibawaan Keluarga Sebun? Kenapa tidak dibiarkan saja gelandangan gila itu, entah dari pihak manapun, mengacau terus di sekitar Se-shia untuk mempermalukan Keluarga Sebun.Tapi perintah tetap perintah dan mesti dijalankan.

   Di antara sekian banyak orang-orang Hek-eng-po, cuma Suma Hoan seorang diri yang menanggapi perintah itu dengan sepenuh hati.

   Kalau gelandangan gila itu masih saja mengacau, dirinyalah yang akan dituduh lagi melanggar pesan sang Pocu, maka ia bertekad menangkap orang itu.

   "Nah, bubarlah kalian dan jalankan perintah!"

   Kata Jiat-jiu Lokoai.

   Selesai berkata demikian, Jiat-jiu Lokoai melesat bagaikan terbang melompati kepala- kepala itu, melompati tembok dan sekejap saja sudah menghilang di gelapnya malam.

   Yang lainpun segera bubar.

   ada yang berkelompok- kelompok, dan ada yang sendiri-sendlri ke segala arah.

   Yang paling akhir meninggalkan rumah kosong di pinggir hutan itu adalah Im-kan- hong-kai Suma Hoan dan Tok-gan-miao To Hian.

   Kata Suma Hoan kepada sahabatnya itu.

   "Terima kasih, tadi kau sudah menyelamatkan nyawaku". Tok-gan-miao tertawa.

   "Tldak apa-apa. Kalau kau mampus, aku hanya kuatir tidak ada lagi yang mentraktirku minum arak. Nah, sekarang apa rencanamu?"

   "Tentu saja mencari saudara kembarku itu", sahut Suma Hoan bergurau. To Hian ikut tertawa. Ia tahu yang dimaksud "saudara kembar"

   Itu adalah si Pengemis muda yang menggemparkan itu. Katanya.

   "Akupun terpaksa harus membantumu mencarinya, sebab kalau kau dihukum lagi, bukankah nyawaku pun akan ikut amblas karena dianggap telah memberi kesaksian palsu?"

   "Terima kasihku yang kedua untukmu malam ini"

   Jawab Suma Hoan. Nah, kita berpencaran saja supaya lebih banyak tempat yang kita jelajahi. Tapi hati-hatilah kau, kucing picak, jangan sampai matamu yang tinggal satu itu diambil pula oleh pengemis gila saudara kembarku itu..."

   "Jangan kuatir". Keduanyapun berpisah. Tubuh To Hian yang kecil pendek itu memang benar-benar segesit kucing. Sekali ayun tubuhnya, tembok halaman rumah abu itu sudah dilompatinya dan menghilang di kegelapan malam. Sedang Im-kan-honq-kai Suma Hoan pergi ke arah lain. Tengah To Hian berlari-lari kembali ke arah kota Se-shia, ketika lewat di sebuah kebun buah-buahan yang belum jauh dari rumah abu tadi, mendadak kupingnya menangkap bunyi lengyh seekor keledai di malam sunyi itu. Ia hentikan langkahnya, tersenyum sendiri, lalu menoleh kesana kemari, untuk meyakinkan diri bahwa tidak ada yang melihatnya. Setelah itu. tubuhnya yang kecil menyusup lincah ke pohon buah-buahan dan menuju ke arah suara keledai tadi. Beberapa petak kebun sudah dilewatinya, akhirnya matanya yang tajam melihat seekor keledai tengah berbaring di rerumputan di pinggir hutan. Beberapa langkah dari keledai itu, samar-samar ada bayangan seseorang yang sedang berbaring dengan gaya seenaknya. Sengaja To Hian memperdengarkan suara langkahnya ketika berjalan mendekati orang yang tengah berbaring itu.

   "Selamat malam, Pendekar Kucing Bermata Satu..."

   Kata orang yang berbaring itu sambil tertawa geli.

   "Sudah selesaikah pestanya? Hidangan apa saja yang disuguhkan?"

   To Hian menjawab sambil tertawa.

   "Selamat malam, Tong Kongcu. Pestanya benar-benar meriah, hampir saja kami disuguhi jenang otak manusia dengan saus darah..."

   "Haiya! Mengerikan sekali..."

   Kata orang yang berbaring itu sambil bangkit dan duduk bersandar di sebatang pohon dengan santainya.

   "Tapi kau mau menceritakan jalannya pesta itu bukan?"

   To Hian kembali menoleh ke kiri kanan dengan sikap tegang, gemerisik daun tertiup angin pun membuat ia menoleh. Katanya dengan suara tertahan.

   "Kongcu, aku ingin berbicara banyak kepadamu, tetapi bagaimana kalau kita cari tempat lain dan waktu yang lain saja?"

   "Lho, kenapa kalau sekarang dan di tempat ini?" **OZ** Bersambung ke

   Jilid 15 Pojok Dukuh, 03-10-2018; 20.30 WIB TEROR ELANG HITAM Karya.STEVANUS, S.P.

   Jilid 15

   "Yang hadir dalam pertemuan tadi bukan cuma sekedar kucing mata satu atau keledai kaki tiga atau serigala berkuping lima, tetapi ada juga Lo-san Sukoai dan paman-guru mereka yang lemah lembut, Jiat-jiu Lokoai. Aku kuatir mereka belum jauh dari sini dan memergoki kita..."

   "Duduklah dengan santai dan berbicaralah dengan bebas. Di sini aman, ada malaikat pelindung kita dari para siluman itu."

   "Malaikat pelindung?"

   To Hian belum sempat mendapat jawaban dari mulut orang itu, ketika hidungnya tiba-tiba mencium bau asap tembakau yang terbawa angin.

   Bau yang sangat dikenalnya, bau yang membuatnya merasa betul-betul aman, dan iapun tertawa lega.

   Tapi sebelum duduk, lebih dulu ia membungkuk hormat ke empat penjuru sambil berkata.

   "Aku Pek-ki Hu- tong-cu (Wakil Pemimpin Regu Bendera Putih) Lu Hian-to menyampaikan salam hormat kepada Pangcu (Ketua)!"

   Dari kejauhan, entah dari mana arahnya, terdengar suara tertawa lunak dan ucapan.

   "Salammu kuterima, dan salamku pula untukmu, Kucing Kaki Ti... eh, Kucing Mata Satu. Berbicaralah dengan santai, aku mengawasi dari sini ."

   Lalu bau asap tembakau itu tercium lagi.

   Kini To Hian, yang nama sebenarnya adalah Lu Hian-to, duduk di rerumputan dengan perasaan lega, berhadapan dengan pemuda yang dipanggilnya Tong Kongcu tadi.

   Lo-san Sukoai dan Jiat-jiu Lokoai biarpun muncul kembali juga tidak ditakutinya lagi.

   "Malaikat pelindung"

   Betul-betul meyakinkan.

   "Benar-benar banyak hal di luar dugaan yang terjadi dalam pertemuan tadi,"

   Begitu Lu Hian-to mengawali kisahnya.

   "Orang yang membunuh Ko Jun-lim dan melukai Teng Yu- liong itu ternyata bukan orang Hek-eng-po, malah pihak Hek-eng-po sendiri menyebar perintah untuk meringkus orang itu."

   "Eh?"

   Lawan bicaranya, si Tong Kongcu itu tercengang heran.

   "Melihat luka-luka para korban, bisa dipastikan si pengacau itu tentu seorang yang ganas, sehingga aku menduga tentu perbuatan Hek-eng-po. Tapi kalau bukan Hek-eng-po, lalu pihak yang mana lagi?"

   "Kongcu, munculnya pengemis gila itu tidak penting. Sudah biasa kalau muncul pihak- pihak baru dalam pertikaian bersegi banyak semacam ini, tapi yang terasa aneh adalah sikap Majikan Hek-eng-po itu sendiri".

   "Bagaimana sikapnya?"

   "Coba Kongcu pikirkan, di antara Hwe- liong-pang kita, Siau-lim-pai dan Keluarga Sebun, siapakah yang paling bersemangat memusuhi Hek-eng-po?"

   "Hwe-liong-pang kita bertindak dengan cermat, tidak sembarangan main hantam saja sebelum menyelidiki. Bahkan ketika Lo-san Sukoai lewat dekat Tiau-im-hong juga tidak kita usik asalkan mereka tidak berbuat kerusuhan. Siau-lim- pai juga bersikap sangat hati-hati. Rasanya yang paling getol memusuhi Hek-eng-po hanyalah Keluarga Sebun, bahkan Sebun Him sampai sesumbar secara terbuka untuk menantang Hek-eng-po segala."

   "Di antara Hwe-liong-pang, Siau-lim-pai dan Keluarga Sebun, siapa yang paling lemah?"

   "Dalam jumlah anggota pendukung. maupun kemampuan anggota-anggotanya, tentu saja Keluarga Sebun yang paling lemah..."

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Nah, disinilah anehnya. Kenapa Majikan Hek-eng-po justru berpesan kepada anak buahnya untuk membiarkan dulu Keluarga Sebun, sebaliknya malah ingin menghantam Siau-lim-pai dan Hwe-liong-pang lebih dulu? Apa ini tidak terbalik?"

   "Ya, memang aneh. Ibarat main catur, memainkan bidak untuk masuk terlalu dalam ke daerah pertahanan lawan tanpa menghiraukan barisan depan lawan lebih dulu".

   "Itu dia. Malah Majikan Hek-eng-po baru saja menyalurkan perintah lewat Jiat-jiu Lokoai, menyuruh anak buahnya memburu pengemis gila yang ganas itu. Tidakkah itu sama saja dengan membantu Keluarga Sebun memulihkan kewibawaan di propinsi Shia-sai? Aku memikirkan "langkah catur"

   Majikan Hek- eng-po itu, Kongcu".

   "Aku bersetia-kawan dalam kepusinganmu itu, saudara Lu. Namun laporanmu kali ini cukup berharga untuk dijadikan pertimbangan berharga bagi pihak kita. Hanya, untuk memecahkan "langkah catur"

   Itu, kita perlu waktu untuk menebak maksud Majikan Hek-eng-po itu. Untuk itu, kita harus menunggu beberapa '"angkah catur"

   Dari pihak mereka. lebih dulu..."

   "Memang itu sikap terbaik agar kita tidak tejerumus dalam kekeliruan langkah. Tapi sambil menunggu, pihak kita pun tidak boleh lengah ".

   "Itu jelas. Semua orang-orang kita sudah dalam semangat tempur yang tinggi namun tidak akan gegabah. Semuanya akan bertindak dengan rapi, sehingga sekali pukul bereslah Hek-eng-po.."

   "Bagus , Kongcu. Tapi orang-orang kita harus diperingatkan bahwa jago-jago tingkat tinggi Hek-eng-po seperti Jiat-jiu Lokoai, Ang- pit Tojin (imam hidung merah) dan Hin-heng Lojin ( orang tua pembenci hukum ) sudah keluar dari sarang semuanya. Mereka jauh lebih sulit dihadapi daripada jagoan-jagoan kelas menengah semacam Lo-san Sukoai..."

   "Peringatanmu aku perhatikan".

   "Apalagi Hek-eng-po juga memerintahkan untuk secara terbuka menantang kita, aku kuatirkan banyak teman- teman kita yang akan dipereteli satu persatu oleh Jiat-jiu Lokoai, Ang-pit Tojin dan Hin-heng Lojin..."

   "Jangan kuatir, meskipun aku tetap akan memperingatkan saudara-saudara kita lainnya agar berhati-hati kalau bertemu iblis- iblis ganas itu. Tapi jago-jago tua pihak kita seperti. Paman Auyang Siau-pa, paman Oh Yun-kim dan lain-lainnya juga sudah disebar dan siap adu kekuatan melawan mereka. Apalagi Hwe-liong-pang tidak sendirian tetapi bersama dengan Siau-lim-pai..."

   "Tetapi pihak Siau-lim-pai agaknya kurang becus, seperti misalnya tiga pimpinan Hek-hou Piau-tiam. Mereka"

   "Saudara Lu , kau keliru besar kalau menghitung kekuatan Siau-lim-pai hanya dengan melihat bobot ketiga pemimpin Hek- hou Piau-tiam itu. Siau-lim-pai memang sering kelihatan tak berdaya, kelihatan lemah, tapi kalau pendeta-pendeta dari ruangan Lo-han- tong atau Tat-mo-tong sudah keluar semua ke dunia persilatan, dunia persilatan bisa mereka aduk dengan toya-toya mereka. Siang tadi, ketika aku lewat di depan gedung Hek-hou Piau-tiam, aku lihat seorang muda Murid Siau- lim-pai memamerkan kekuatannya yang luar biasa dengan mengangkat singa-singaan batu yang beratnya hampir limaratus kati. Itu baru satu contoh dari jago-jago muda Siau-lim-pai. Bagaimana kalau jago-jago lainnya turun tangan pula? Misalnya Pun-bu Hweshio serta adik seperguruannya, Pun-khong, Pun-seng dan Pun-hoat Hweshio? Belum lagi Delapanbelas Lohan yang terkenal itu?"

   Lu Hian-to terlongong mendengar keterangan putera Tong Lam-hou yang bernama Tong Gin-yan itu. Semangatnya tiba- tiba menyala hebat.

   "Bagus, dunia persilatan bakal menjadi ramai. Biarpun Siau-lim-pai bukan musuh kita, tapi kalau kelak saatnya tiba untuk menggempur Hek-eng-po, maka jago-jago di pihak kita pun harus muncul semuanya supaya tidak kalah pamor dengan Siau-lim-pai!"

   Tong Gin-yan tersenyum.

   "Tentu saja. Keluarga Sebun itu sebenarnya belum apa-apa kalau ingin sejajar dengan Siau-lim-pai dan Hwe-liong-pang. Sebun Him belum melihat kekuatan yeng sebenarnya dari Siau-lim-pai dan Hwe-liong-pang, sehingga ia merasa dirinya sebagai pahlawan yang berdiri di garis paling depan dalam menghadapi Hek-eng-po, menganggap orang lain penakut dan tak berguna..."

   "Sayang."

   Kata Lu Hian-to tiba-tiba.

   "Eh, kenapa?"

   "Sayang Pakkiong Liong di Pak-khia tidak ikut dalam pertarungan ini, kalau dia ikut, tentu akan semakin meriah..."

   Tong Gin-yan tertawa.

   "Setiap orang punya tugasnya sendiri-sendiri. Pakkiong Ciangkun sibuk dengan tugasnya membantu Kaisar menjalankan roda pemerintahan, mana ada waktu ikut mengurusi segala macam pertikaian orang-orang dunia persilatan?"

   "Tapi kenapa puterinya yang cantik itu keluyuran pula di dunia persilatan? Bahkan sekarang dia berada di rumah Keluarga Sebun?"

   "Mana aku tahu urusan apa yang dijalankannya? Mengurusi urusan kita sendiri saja sudah memusingkan kepala.

   "Kongcu , apakah kau pernah melihat wajah puteri Pakkiong Ciangkun itu?"

   "Sudah. Beberapa tahun yang lalu aku diajak ayahku mengunjungi Pakkiong Ciangkun di Pak-khia, dan Pakkiong Eng adalah teman bermain semasa kanak-kanakku".

   "Apakah ia cantik?"

   "Huh, cantik apa? siapa yang tertarik kepada gadis kecil yang ingusnya tak pernah berhenti keluar, bertingkah macam anak laki- laki, pintar memanjat pohon seperti. monyet sampai celananya robek dan nakalnya bukan main itu?"

   "Tapi Kongcu belum pernah melihat wajahnya sekarang bukan? Ia menunggangi kuda putih berpakaian serba putih, membawa panah yang berekor putih, dan ini yang paling penting... cantiknya seperti bidadari dari kayangan..."

   Mendengar itu, Tong Gin-yan tercengang kaget.

   Ia ingat dulu ketika ia menunggang keledai di jalan pegunungan yang sepi, ada dua penunggang kuda yang melompatkan kuda mereka di atas kepalanya.

   Yang seorang menunggangi kuda berbulu hitam, gagah perkasa dan memakai pakaian yang berwarna ungu.

   Itu dikenalnya sebagai Sebun Hiong.

   putera keluarga Sebun yang berjulukan Ci-him.

   Yang seorang lagi seorang "pemuda"

   Berbaju putih dan berkuda putih pula yang saat itu dikiranya seorang Iaki-laki.

   Namun begitu dia mendengar kata-kata Lu Hian-to, sadarlah ia bahwa 'pemuda' baju putih itulah teman bermain semasa kanak-kanaknya, Pakkiong Eng yang nakal.

   Ketika ia membayang-bayangkan wajahnya, penilaian Lu Hian-to tidak keliru.

   Itulah seorang gadis yang cantik sekali meskipun menyamar sebagai Laki-laki.

   "Ah...jadi dia itulah si monyet kecil yang dulu itu?"

   Ia mendesah sambil memukul kepalanya sendiri.

   "Berpisah sepuluh tahun membuat kami berdua tidak dapat lagi saling mengenal, meskipun pernah bertemu sekali..."

   Lu Hian-to tertawa.

   "Nah, Kongcu, jangan sampai monyet kecilmu itu kena diserobot oleh Sebun Hiong..."

   Kali ini Tong Gin-yan cuma menyeringai dengan muka merah. Tiba-tiba Tong Gin-yan berkata.

   "Eh, bukankah tadi kita sedang membicarakan Hek-eng-po, kenapa bisa menyeleweng membicarakan gadis itu?"

   Dari kejauhan terdengar suara tertawa perlahan. Agaknya Ketua Hwe-liong-pang mendengar pula pembicaraan yang menyeleweng itu dan mentertawakannya. Keruan muka Tong Gin-yan semakin merah, untuk menutupi kikuknya dia berteriak.

   "Ayah, besok aku belikan sekantong tembakau..."

   Dari jauh terdengar jawaban pelan tapi jelas.

   "Tidak usah, persediaan masih banyak ". Lu Hian-to merasa bahan pembicaraan sudah habis , maka ia bangkit dan berkata.

   "Aku pergi dulu, Kongcu. Aku harus bergabung kembali dengan keparat-keparat Hek-eng-po itu supaya tidak dicurigai".

   "Baiklah. Bagaimana rasanya kalau sebelah mata ditutup terus-menerus padahal matamu itu sehat semuanya?"

   "Menjengkelkan sekali, melihat apapun hanya kelihatan separuh. melihat semangkok mi pangsit di meja warung juga kelihatan separuh, melihat bakpau kelihatan separuh..."

   "Kalau begitu harganya bayar separuh saja ..."

   "Nanti aku dikeroyok orang seisi pasar supaya kepalaku pun tinggal separuh?"

   "Salahmu sendiri. Kenapa menyamar sebagai Kucing Bermata Satu. bukannya Kucing Bermata Lebar ataupun Kucing Peyambar Bakpau?"

   "Sudah terlanjur. Di kalangan Hek-eng- po aku sudah terlanjur dikenal dengan penyamaran ini..."

   "Penyamaran yang menyedihkan..."

   Goda Tong Gin-yan.

   "Baik-baik menjaga "monyet kecil"mu, Kongcu". Lu Hian-to balas menggoda. Lu Hian-to membungkuk hormat ke empat penjuru sambil berseru.

   "Pek-ki Hu- tong-cu mohon diri dari hadapan Pangcu!"

   "Silahkan, saudara Lu,"

   Suara yang tak kelihatan orangnya itu menyusup masuk ke telinga Lu Hian-to. Tong Gin-yan kembali membaringkan diri di rumput sambil memandang bintang- bintang di langit . Ayahnyapun tidak digubrisnya lagi, kini yang terbayang hanyalah "pemuda"

   Berkuda putih yang pernah melompatinya dulu...

   "Sialan. Buat apa aku pikirkan dia. Hidupku pasti sengsara kalau punya isteri macam itu. Waktu kecilpun ia sudah berani merengek memerintah aku macam-macam. Memanjat pohon, mengambil layang-layang, sebentar menangkap jangkrik, sebentar lagi mengajak main gundu, minta dibuatkan pedang-pedangan kayu. Huh. Celakalah lelaki yang menjadi suaminya kelak..."

   Tapi aneh juga bahwa hatinya gelisah memikirkan Pakkiong Eng saat itu tengah berada di rumah Keluarga Sebun. Di sana ada seorang anak muda yanq tampan dan pintar, Sebun Hiong.

   "Sialan! Monyet kecil keparat! Kucing Mata Satu keparat! Kenapa perlu-perlunya menceritakan hal tadi semua kepadaku?"

   Bau asap tembakau tak tercium lagi, ayahnya entah sudah pergi ke mana.

   **OZ** BAGIAN ENAMBELAS Penduduk desa gempar di pagi hari itu.

   Malamnya mereka hanya mendengar suara meraung mirip serigala waktu bulan purnama dan keesokan harinya sebuah keluarga tetangga mereka yang agak terpencil rumahnya di pinggir desa telah bergelimpangan menjadi mayat semua.

   Lengkap satu keluarga.

   Satu nenek, sepasang ayah dan ibu, tiga anak yang masih kecil, semuanya mati seperti habis dicabik-cabik binatang buas.

   Maka berkembanglah macam-macam cerita tahyul di penduduk desa itu.

   Cerita tentang siluman atau serigala jadi-jadian segera menjadi berita utama.

   Namun yang tidak mereka lupakan ialah menguburkan tetangga-tetangga mereka yang malang itu.

   Ketika iringan mayat itu sedang menuju ke makam, di pintu gerbang desa mereka berpapasan dengan seorang pemuda tegap berjubah biru tua, kuncirnya dilibatkan di lehernya, dan memanggul sebatang toya berwarna hitam, entah terbuat dari bahan apa.

   Melihat orang mengusung enam buah peti mati sekaligus ke pemakaman, pemuda itu menghentikan langkahnya dengan keheran- heranan.

   Ia segera menggabung'kan diri dengan rombongan itu dan bertanya kepada salah seorang pelayat.

   "Paman, apa yang terjadi di desa ini? Kenapa ada orang mati sebanyak ini?"

   Penduduk desa itu memperhatikan penanyanya. terutama toya hitam yang dipanggulnya itu. Jawabnya.

   "Sudah lama desa kami tidak mengadakan sembahyang besar untuk menyenangkan siluman di hutan itu, sehingga siluman itu agaknya marah dan menyerang orang-orang desa, satu keluarga habis dibantai, tubuh mereka dirobek-robek dan dicerai-beraikan penuh cakaran-cakaran yang mengerikan..."

   "Siluman? Di mana tempat siluman itu?"

   Tanya anak muda yang bukan lain adalah Si Liong-cu.

   "Di kuburan lama yang sudah lama tidak terpakai. Sekarang, tidak seorangpun berani lewat tempat itu meskipun di siang hari bolong macam ini. Beberapa malam yang lalu, memang di tempat itu ada bayangan orang bergerak-gerak di malam hari. Beberapa rumah di dekat situ kehilangan binatang ternakya, ayam, bebek, kambing, atau apa saja. Dan keesokan harinya selalu diketemukan tulang-tulang binatang itu berceceran di kuburan lama itu. Agaknya siluman itu suka daging mentah..."

   "Di mana letak kuburan lama itu?"

   "He, mau apa kau tanyakan itu, anak muda?"

   "Ah, tidak apa-apa". sahut Si Liong-cu.

   "Hanya ingin bertanya saja ".

   "Kuberitahu kau, tapi kuanjurkan sebaiknya menghindari saja tempat itu. Siluman itu bukan cuma puas dengan ayam dan bebek saja, tetapi mulai memangsa manusia".

   "Baik, akan kuhindari. Nah, dimana?"

   "Berjalanlah ke arah selatan desa ini sampai bertemu bukit gundul. Nah, di lereng bukit gundul itulah letaknya kuburan lama..."

   Tanpa menunggu selesainya kalimat itu, Si Liong-cu segera keluar dari iring-iringan dan dengan langkah lebar menuju ke arah selatan. Penduduk yang menunjukkan arah itu terkejut.

   "He, anak muda, mau ke mana kau? Kau cari mampus?"

   Namun Si Liong-cu terus melangkah, bahkan kemudian berlari-lari dengan pesatnya sehingga seperti terbang saja.

   Orang-orang dalam iring-iringan pelayat itu hanya melihatnya dengan mulut ternganga.

   Enam atau tujuh li dari desa itu memang ada sebuah bukit batu yang tak ditumbuhi tanaman apapun.

   Dan di lereng bukit itu memang ada sebuah kuburan yang lama sekali tidak terawat.

   Bong-pai (batu nisan) dalam keadaan rusak atau setengah rusak bergelimpangan di sana-sini, bahkan ada kuburan yang tanahnya sudah ambrol sehingga terlihatlah peti matinya.

   Ada yang terbuka tutupnya sama sekali sehingga terlihat tengkorak penghuninya.

   Biarpun di siang hari bolong, namun suasana tetap terasa seram.

   Tapi Si Liong-cu tidak peduli.

   Dengan loncatan-loncatan yang tangkas ia mendaki ke lereng bukit itu, melompati batu-batu besar dan kuburan-kuburan rusak, bahkan sambil bertenak-teriak.

   "He. siluman busuk! Keluarlah untuk mendapat kematianmu!". Liu Jing-yang tengah berlindung di bawah bayangan sebuah bong-pai besar dengan mulut dan tangan yang masih berlepotan darah karena habis melahap dua ekor ayam mentah-mentah. Tadi malam, baru saja ia menuruti dorongan tak terkendali dari dalam dirinya. Sehingga sekeluarga petani dibantainya tanpa ampun. Ia merasa sedih juga akan penyakit anehnya yang sering kambuh tiba-tiba, namun tidak merasa sedih bagi orang-orang yang menjadi korbannya. Selamanya ia hanya sedih dan gembira untuk dirinya sendiri, tidak bagi orang lain. Ia sadari betul bahwa keanehan nalurinya itu gara-gara ia keliru melatih ilmu silat dalam gulungan kulit itu, tetapi tak terlintas sedikit pun didalam pikirannya untuk menghentikan latihannya. Demi ambisinya yang meluap-luap, ia harus mendapatkan ilmu yang tinggi, tak peduli berapapun orang yang harus menjadi korban karena kesesatan ilmunya. Tengah ia duduk merenung, teriak- teriakan Si Liong-cu didengarnya menggema di dinding-dinding gunung. Ia melompat kaget, pikiran warasnya menyadari, bahwa orang yang berteriak itu memiki lwe-kang (tenaga dalam) yang lihai sehingga mampu mengeluarkan suara seperti seratus ekor singa mengaum sekaligus macam itu. Ia mengintai dari balik bong-pai dan melihat sesosok tubuh melompat-lompat ke atas bukit sambil memanggul toya.

   "Siluman keji, tunjukkan batang hidungmu!"

   Nafas membunuh Liu Jing-yang mendadak berkobar-kobar kembali ketika melihat ada manusia datang.

   Meskipun sadar yang datang itu berilmu tinggi, namun ia tidak takut karena terlalu percaya akan tingkat ilmunya sekarang.

   Karena itulah Liu Jing-yang tidak sekedar menunjukkan batang hidungnya seperti yang dikehendaki lawannya.

   tapi juga seluruh tubuhnya.

   Didahului auman seperti binatang liar, dia melompat keluar dan langsung menerkam ke arah Si Liong-cu dengan jari-jarinya yang mencakar dan siap merobek-robek.

   Si Liong-cu agak kaget melihat sesosok bayangan meluncur dari balik bong-pai ke arahnya secepat kilat.

   Tapi dia dengan tangkas masih bisa melompat menghindari.

   Tak terduga jurus serangan Liu Jingyang itu aneh sekali, ketika tubrukannya luput, tubuhnya mendadak melengkung dan menggeliat, seperti seekor serigala dan tetap mengejar ke arah lawannya dengan.

   cakaran dahsyat berikutnya.

   Hanya kali ini ia terbentur lawan yang tangguh.

   Si Liong-cu miringkan badannya sambil menyapu dengan gerakan seperti orang menyingkirkan sesuatu benda dari atas meja.

   Pundak Liu Jing-yang terlanda telapak tangan yang sekeras besi dan mencelat beberapa langkah ke samping namun tidak sampai roboh.

   Si Liong-cu sendiri agak heran karena tenaganya yang besar itu masih tidak sanggup membuat lawannya terjungkal.

   Setelah terpisah beberapa langkah barulah Si Liong-cu sempat mengamat-amati penyergapnya itu dengan seksama.

   Seorang pemuda yang usianya tidak lebih tua dari dirinya sendiri, namun berpakaian compang- camping seperti gelandangan, wajahnya liar dengan rambut awut-awutan dan kumis jenggot yang tak ercukur berbulan-bulan, pakaiannya penuh bercak-bercak darah kering di sekujur tubuhnya.

   Cocok dengan apa yang digambarkan oleh Teng Yu-liong, sehingga Si Liong-cu yakin tidak keliru memilih sasaran.

   "Bangsat Hek-eng-po, kau tldak akan lolos dari tanganku!", geram Si Liong-cu. Sambil bersiap-siap, Liu Jing-yang menggeram seperti hewan luka dan menjawab.

   "Aku bukan orang Hek-eng-po!"

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Si Lionq-cu tercengang.

   "Hah ? Kau bukan Orang Hek-eng-po? "Ya, bukan! Justru aku ingin merobek- robek tubuh semua orang Hek-eng-po sampai habis tumpas!"

   "Biarpun kau bukan orang Hek-eng-po, namun kejinya tindak-tandukmu sama saja dengan iblis-iblis itu..! Kaupun harus ditumpas demi ketentraman orang banyak!"

   Namun melihat orang tak bersenjata, Si Liong-cu tidak mau merendahkan diri dengan melawannya dengan toya hitamnya.

   Sekali ia menancapkan toyanya, ujung toya itu amblas sejengkal di batu kuburan yang tengah diinjaknya sehingga toya itu berdiri tegak dengan kokohnya seperti sebatang pohon yang tak berdahan dan tak berdaun.

   Sekali lagi Liu Jing-yang terkesiap melihat kehebatan lawannya itu.

   Si Liong-cu tidak menunggu lawannya menyerang lebih dulu, sepasang telapak tangannya segera ditekuk setengah jari dengan jari-jari saling merapat, itulah bentuk pukulan Liong-jiau-kang (Cakar Naga).

   Katanya dingin.

   "Mari kita lihat, cakarmu atau cakarku yang lebih tajam!"

   Lalu kakinya melangkah cepat dua tindakan ke depan, cakar kanannya segera meluncur untuk mencengkeram pergelangan tangan dengan jurus Kim-liong-tam-jiau (Naga Emas Mengulur Cakar) yang membawa desir angin tajam.

   Liu Jing-yang menarik tangannya ke pinggang, kejap berikutnya ia tundukkan badannya untuk menyelinap maju di bawah pukulan lawan dan membalas dengan cakar ganda.

   Tangan kanan mencakar wajah, tangan kiri mencakar kemaluan.

   "Betul-betul keji!"

   Dengus Si Liong-cu.

   Ia melangkah ke samping dan bertahan dengan gerak Liong-thing-hou-thiao (Naga meluncur, Harimau melompat ).

   Satu tangan menepuk ke lengan lawan, tangan lainnya mencengkeram untuk mematahkan jari-jari Liu Jing-yang.

   Liu Jing-yang bergeliat mundur, tapi Si Liong-cu dengan tindakan mantap menerjang terus dengan tipu berikutnya, Pai-san-un-cio (mengayun tangan menggeser gunung).

   Maka terlibatlah kedua orang muda itu dalam serang-menyerang yang sengit dan menggetarkan.

   Di pekuburan lama di lereng bukit batu itu mereka bergerak makin lama makin cepat, sehingga tubuh mereka tak terlihat jelas gerakannya.

   Liu Jing-yang bertarung dengan cara melompat, menubruk, bergulingan dan menghujani lawannya dengan cakaran-cakaran mautnya yang seolah menjadi berpuluh-puluh cakar mengerumuni dari berbagai penjuru.

   Gerakannya aneh dan ganas luar biasa.

   Namun Si Liong-cu bertarung dengan tangguh, kokoh dan rapat, menunjukkan ciri khas silat aliran Siau-lim-pai.

   Tubuhnya memang tidak berlompatan dan bergeliatan selincah lawannya, tapi dengan sepasang kaki yang seolah berakar di bumi, ia seperti bukit batu yang mustahil ditumbangkan.

   Kadang- kadang ia bergeser satu dua langkah untuk menghindar atau balas menggempur, atau melompat pendek.

   Kekuatan tangannya juga luar biasa, Liu Jing-yang tentu akan terlempar keluar arena dengan tulang remuk kalau sampai kena sapuan tangan atau kaki berkekuatan luar biasa itu.

   Sedangkan benda-benda keras seperti kayu ataupun batu di tempat itupun pecah berserakan ketika kena tangan atau kaki Si Liong-cu.

   Berpuluh-puluh jurus keduanya bertukar serangan.

   Yang satu lincah, ganas, dan aneh, sedang lawannya tangguh, tenang dan bertenaga kuat.

   Tapi setelah berlangsung limapuluh jurus lebih, pada saat kedua belah pihak sudah saling menghapal gaya bertempur lawan masingmasing, maka yang pegang peranan bukan lagi perbendaharaan gerak masing- masing pihak, tapi ketahanan yang berlandaskan latihan tenaga yang terpupuk dengan baik.

   Liu Jing-yang kalah dalam bidang ini.

   Ia mempelajari gulungan kulit itu secara acak-acakan, memang berhasil memperoleh gerakan-gerakan ganas yang bisa mengagetkan orang yang pertama menghadapinya, bahkan Si Liong-cu sendiri tadi sempat dikagetkannya.

   Tetapi Si Liong-cu lebih terbina dalam latihan gwa-kang (tenaga luar) dan lwe-kang (tenaga dalam) yang teratur.

   Siau-lim-pai adalah aliran silat yang murni, untuk mencapai tingkat kelihaian tertentu dibutuhkan latihan keras dalam waktu yang lama, bukan denga latihan aneh-aneh seperti kaum sesat yang dalam waktu singkat ilmunya langsung "siap pakai".

   Orang yang kurang sabar tidak akan bisa mempelajari silat Siau-lim-pai sampai tingkat tinggi.

   Tapi orang yang tekun, ketinggian silat Siau-llm-pai sukar diukur sampai di mana batasnya.

   Karena itulah Liu Jing-yang mulai terdesak.

   Tenaganya mulai menyusut, sepasang tangan lawannya terasa seperti lempengan-lempengan besi yang tak mungkin ditangkis dengan tangannya sendiri, atau terpaksa merelakan tangannya untuk patah.

   Kekuatan gajah Si Liong-cy juga merupakan persoalan tersendiri yang tidak kalah merepotkan pula.

   Kini, sambil bertahan mati-matian, Liu Jing-yang mulai mengeliarkan matanya untuk mencari kesempatan lolos.

   Ia seperti orang yang menyelam dalam-dalam di dalam air, seluruh tubuhnya mendapat tekanan yang menyesakkan napas.

   Di saat Si Liong-cu di ambang kemenangan itulah maka di tempat itu muncul ima orang.

   Mereka bukan lain adalah Lo-san Su-koai (empat siluman dari Lo-san) disertai paman guru mereka yang jauh lebih lihai, Jiat- jiu Lokoai (siluman tua bertangan maut).

   Mereka tercengang melihat pertarungan sengit Si Liong-cu melawan Liu Jing-yang, dan diam-diam kaget meihat kehebatan kedua anak muda itu , meskipun Si Liong-Cu lebih tangguh kelihatannya.

   Jiat-jiu Lokoau diam- diam menaksir, kekuatan Liu Jing-yang cukup untuk bisa disejajarkan dengan salah satu dari Hau It-yau atau Pek Hong-tehg, orang ke tiga dan ke empat dari keponakan-keponakan muridnya itu.

   Sedang lawan Liu Jing-yang itu lebih-lebih lagi malah selapis di atas Wan Po, yang ilmunya paling tinggi di antara Lo-san Su- koai.

   Jiat-jiu Lokoai diam-diam terkejut dan memperhatikan permainan silat Si Liong-cu, dan mendapat kenyataan bahwa pemuda berjubah biru itu memainkan Lo-han-kun dicampur Liong-jiau-kun dari Siau-lim-pai.

   "Susiok, bagaimana tindakan kita? Si pengemis gila ini sudah di hadapan kita!"

   Kata Wan Po.

   "Akankah kita biarkan mereka baku hantam sendiri supaya mampus kedua- duanya?"

   Jiat-jiu Lokoai menjawab.

   "Itu terlalu lama. Meskipun murid Siau-lim-pai itu nampak unggul, tapi untuk membereskan lawannya juga masih membutuhkan sedikitnya limapuluh jurus. Kita tidak sabar menanti selama itu. Hau It-yau, Pek Hong-teng, bereskan pengemis itu!"

   "Baik Susiok!"

   Sahut mereka dan segera menerkam ke arah Liu Jing-yang yang menghadapi Si Liong-cu saja sudah kewalahan.

   Kedua siluman itu memang tak pernah menghiraukan aturan-aturan pertempuran dunia persilatan.

   Kapan mereka mau bertempur, bertempurlah mereka.

   Kapan mereka ingin berhenti, berhentilah mereka.

   Tak terduga tindakan mereka itu membuat Si Liong-cu marah.

   "Iblis-iblis tak kenal aturan, siapa suruh kalian mencampuri. urusanku?!"

   Lalu ia berbalik menghadapi kedua iblis itu.

   Waktu itu Liu Jing-yang sudah dipaksa melompat menjauh dari hadapannya, dikerubut Hau It-yau dan Pek Hong-teng.

   Si Liong-cu lalu menghampiri sebuah batu bong-pai besar yang dicabutnya dari tanah dan benda seberat duaratus kati lebih itupun dilemparkan ke kepala Hau It-yau dengan suara menderu hebat.

   Hau It-yau yang tadinya menduga Si Liong-cu akan senang karena "dibantu ", tak menduga kalau Si Liong-cu malah marah dan menyerangnya.

   Ia tak sempat berbuat apa-apa melihat batu nisan besar itu meluncur ke kepalanya dan sebentar lagi tentu akan remuk tertimpa.

   Terlalu cepat...

   Namun Jiat-jiu Lokoai tidak membiarkan keponakan muridnya menjadi gepeng di depan hidungnya.

   Seperti angin dia meluncur maju dan uluran kedua tangannya untuk menyangga bong-pai itu, sepasang lengannya agak bergetar dan terkejutlah dia akan kekuatan si pelempar.

   Tapi jago tua itu memang hebat, ia lemparkan kembali benda itu ke arah Si Liong- cu dengan kekuatan berkali lipat dari kekuatan Si Liong-cu tadi, sambi membentak.

   "Murid Siau-lim-pai, kaupun harus mampus!"

   Si Liong-cu melompat menghindar, sehingga batu itu membentur dan menimpa sebuah lobang kuburan yang sudah amblong.

   Peti mati yang sudah rapuh itupun terbuka tutupnya sehingga terlihatlah penghuninya, sesosok tengkorak yang tersenyum dengan ramahnya kepada tamu-tamu tak diundang itu.

   Si Liong-cu melompat untuk mencabut toya hitamnya yang tadi ditancapkan tegak di atas batu.

   Sementara itu Tiat-pi-koai Wan Po juga sudah masuk ke arena.

   Ia jarang sekali menggunakan senjata, sepasang tangannya yang sekeras besi itupun sudah cukup menghadapi lawan-lawan biasa.

   Namun menghadapi Si Liong-cu yang kekuatan dan ketangkasannya sudah dilihat sendiri, ia tidak berani gegabah, tambahan lagi Si Liong-cu sudah memegang toya hitamnya .

   Maka Wan Po keluarkan pula senjatanya berujud sepasang martil besi berkepala kotak, masing- masing bertangkai sepanjang tiga jengkal.

   "Susiok, serahkan bocah sombong ini kepadaku, biar aku remukkan tempurung kepalanya!"

   Lalu sambil melangkah dua tindak, sepasang martilnya memukul dari kiri dan kanan ke arah sepasang pelipis Si Liong-cu dengan gerakan Siang-san-ap-teng (sepasang gunung menimpa kepala).

   Tapi Si Liong-cu mahir dalam Hok-mo Tung-hoat ( Ilmu Toya Penakluk Iblis) ajaran Siau-lim-pai.

   Ia tekuk kaki belakangnya dan luruskan kaki depannya sehingga tubuhnya condong ke belakang, berbarengan dengan ujung toyanya menyodok ke buah leher Wan Po secepat kilat.

   Jurus Boan-liong-seng-thian (Naga Membubung ke Udara).

   "Bagus!"

   Geram Wan Po.

   Cepat iapun merendahkan sepasang bahunya, kedua martilnya menjepit bersilang dengan jurus Sipji-siang-tui (sepasang gempuran berbentuk angka sepuluh).

   Ia ingin mematahkan toya lawannya.

   Biasanya dengan jurus itu, biarpun lawannya memegang toya besi juga akan berhasil dipatahkan setidak-tidaknya dibengkokkan.

   Apalagi senjata lawannya itu tampaknya hanyalah terbuat dari kayu hitam.

   "Bagus!"

   Si Liong-cu juga memuji lawannya yang bertubuh seperti kerbau namun tangkas.

   Ujung toyanya yang terancam patah dengan licin disentakkan turun setinggi perut lawan sehingga lolos, lalu disodokkan kembali ke depan, ketika Wan Po mundur menghindar, Si Liong-cu ayunkan ujung lain dari toyanya untuk menggebuk ke pinggang musuh dengan Oh-liong-boan-jiu (naga hitam membelit pohon).

   lawannya berhasil dipaksa mundur selangkah lagi.

   Demikianlah, pertempuran di pekuburan kuno di lereng bukit itu berubah sama sekali.

   Si Liong-cu dan Liu Jing-yang tidak lagi saling gempur, namun menghadapi orang Hek-eng- po sendiri-sendiri.

   Pek Hong-teng yang melawan Liu Jing- yang menjadi kaget setelah mengenali Liu Jing-yang sebagai salah seorang cucu Liu Hok- tong yang dulu kepandaiannya tidak seberapa, dibandingkan seorang rendahan Hek-eng-po saja barangkali masih kalah.

   Namun kini Liu Jing-yang bertarung dengan ganas dan aneh bukan main, membuat Pek Hong-teng kelabakan, dan untuk mengimbangi lawannya yang bertangan kosong itu dia terpaksa harus mengurai cambuk Liong-kut-pian, senjata kesayanganya itu.

   Jiat-jiu Lokoai dengan diapit oleh Kongsun Gi dan Hau It-yau masih berdiri di pinggir arena sambil memperhatikan jalannya pertarungan.

   Kongsun Gi dan Hau It-yau masih juga punya rasa malu untuk terjun mengeroyok anak-anak muda itu, apalagi Jiat- jiu Lokoai yang tergolong angkatan tua dalam golongan hitam.

   Apalagi nampaknya baik Wan Po maupun Pek Hong-teng masih berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan mereka, biarpun kadang-kadang nampak terdesak.

   Saat itulah di jalanan di kaki bukit tandus itu kembali muncul tiga orang penunggang kuda.

   Dengan ketajaman matanya, Jiat-jiu Lokoai dapat melihat bahwa dua di antara penunggang kuda itu adalah Keng-thian-it-kun The Tek-kong serta Kiu-ing- pia Yo sian, pemimpin pertama dan ketiga dari Hek-hou Piau-tiam.

   Seorang lagi adalah seorang lelaki bertubuh sedang, bahkan agak kurus, berusia kurang dari 30 tahun, berkulit kuning hangus seperti orang sakit-sakitan.

   Jiat-jiu Lokoai hanya mendengus melihat kedatangan mereka, ia tidak tergetar sedikitpun meskipun The Tek-kong dan Yo Sian berjulukan Pukulan Tunggal Penggetar Langit serta Ruyung Sembilan Bayangan.

   Ia yakin Hau It-yau atau Kongsun Gi seorang diripun sudah cukup untuk menahan mereka berdua kalau mereka masuk ke arena.

   Tapi lelaki muda kurus itulah yang ternyata mengejutkan Jiat-jiu Lokoai.

   Setelah menambatkan kudanya di kaki bukit, orang itu langsung mendaki ke bukit dengan kecepatan seperti terbang! Itulah ilmu meringankan tubuh yang luar biasa lihainya, Jiat-jiu Lokoai menaksir bahwa manusia dengan tampang tak berarti ini dua kali lebih berbahaya dibanding Si Liong-cu atau Liu Jing-yang.

   "Saudara Si, aku datang!"

   Orang itu berteriak. Suaranya mantap dan seperti lonceng raksasa yang dibunyikan, kembali ia menunjukkan kehebatan ilmu, kali ini lwe-kang (tenaga dalam) yang membuat Jiat-jiu Lokoai terkejut.

   "Sepuluh hari aku menunggumu, Saudara Kam!"

   Sahut Si Liong-cu kegirangan, dan dengan semangat menyala dia mempercepat pukulan-pukulan toyanya, memaksa Wan Po berada dalam sikap bertahan mutlak dengan sepasang martil bajanya.

   Meskipun Jiat-jiu Lokoai tahu bahwa pemuda kurus itu seorang pendekar tangguh pula, tetapi ia merasa dirinya masih "terlalu tinggi"

   Untuk melawannya.

   "It-yau, lawan dia!"

   Perintahnya.

   Dalam hatinya Hau It-yau menyumpahi paman gurunya agar mati disambar geledek.

   Kenapa dirinya dipilihkan lawan seberat ini? Tapi perintah tak bisa ditentang.

   Capingnya segera dicopot dari kepalanya, dan sedetik kemudian caping itu sudah berdesing menyambar ke leher lelaki kurus yang dipanggil "saudara Kam"

   Oleh Si Lionq-cu. Sambil tertawa terbahak-bahak, lelaki kurus itu berseru.

   "Ha-ha-ha...permainan barang rongsokan macam inipun hendak coba- coba dipamerkan di hadapanku?"

   Lalu lima jari tangannya yang kurus- kurus seperti kaki ayam itupun diulur seenaknya untuk menyambut caping yang berpusing hebat dan mampu membabat pohon sebesar paha itu, namun ternyata tidak mampu melukai seujung rambutpun atas jari- jari tangan yang kurus-kurus itu.

   Caping itu tertangkap, diremas hancur, lalu dibuang begitu saja dan benar-benar menjadi barang rongsokan, sedang langkah lelaki she Kam itu tidak tertahan sedikitpun...

   Hau It-yau menjadi pucat melihat itu.

   Bukan karena besok ia harus membeli lagi caping bambu yang tak seberapa harganya, namun karena gentar mengingat perintah paman gurunya bahwa ia harus melawan orang she Kam itu.

   "Susiok, orang...orang itu mungkin..Kam.,."

   Ia berkata tergagap kepada paman-gurunya.

   "Kam siapa? Kenapa kau begitu ketakutan seperti melihat malaikat berkepala tiga dan berlengan enam?"

   Bentak Jiat-jiu Lokoai.

   "Sikap pengecutmu itu bisa merusak nama besar aliran Thian-mo-pai (perguruan hantu langit) kita!"

   Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "...tapi dia.bisa jadi Kang-lam Taihiap Kam Hong-ti!"

   Sahut Hau It-yau nekad.

   "Aku tentu tidak sanggup melawannya seorang diri.."

   Nama itu memang nama yang cukup besar untuk membuat Hau It-yau menggigil ketakutan, sang paman-guru agaknya bisa memakluminya pula.

   Di samping heran karena begitu banyak tokoh-tokoh lihai yang masih muda-muda bermunculan di dunia persilatan, dia juga dengki dan ingin menumpas orang- orang muda itu.

   "Baik, majulah bersama Kongsun Gi", perintahnya.

   "Aku biar mengawasi seluruh arena dan turun tangan bila perlu saja". Disuruh bergabung dengan Kongsun Gi, Hau It-yau agak lega juga, apalagi ditunggui paman-gurunya yang lihainya sama dengan mendiang gurunya. Begitulah, Kongsun Gi dan Hau It-yau serempak menyongsong lelaki she Kam yang sudah tiba di pinggir arena. Kongsun Gi yang bertubuh kecil, bermuka seperti kalong dan bermantel hitam itu, sejak pertama sudah terpengaruh kehebatan calon lawannya she Kam itu, maka senjatanya yang berupa sepasang kang-pit (pensil baja) langsung saja digunakannya. Sedang Hau It-yau meggunakan sebatang pedang pendek sebagai senjata cadangannya karena capingnya sudah remuk. Lelaki kurus bertampang orang penyakitan itu memang Kam Hong-ti, Kang- lam Taihiap (Pendekar Agung Kang-lam) yang namanya menggetarkan dunia persilatan wilayah selatan. Meskipun ia membawa sebatang pedang yang digendong di punggungnya, tapi Hek-hok-koai Kongsun Gi dan Hui-thian-koai Hau It-yau diladeninya dengan tangan kosong saja. Dalam belasan jurus saja, orang ke dua dan ke tiga dari Lo-san Sukoai itu sudah "mencicipi"

   Kelihaian ilmu tangan kosong Kam Hong-ti.

   Sepasang tangan dan sepasang kaki kurus Kam Hong-ti itu bergerak bagaikan angin taufan menggulung kedua lawannya.

   Kadang- kadang Kam Hong-ti tangguh seperti gunung batu.

   Kadang-kadang mendesak dan menggempur seperti gelombang samudera, membuat senjata-senjata di tangan Kongsun Gi dan Hau It-yau tak banyak lagi artinya.

   Sementara itu The Tek-kong dan Yo Sian hanya berani melihat dari jarak beberapa puluh langkah akan berlangsungnya pertempuran-pertempuran sengit itu.

   Sambil bersiap-siap dengan senjata-senjata mereka karena di pihak lawanpun ada seorang kakek tua berjenggot putih dan bermata merah seperti darah yang belum ikut bertempur.

   Sementara Jiat-jiu Lokoai di pinggir arena bisa menghitung bahwa keempat keponakan-muridnya itu menghadapi kesulitan semuanya, kalau dibiarkan saja tidak mungkin memenangkan pertempuran.

   Malah bisa mampus atau seringan-ringannya babak belur.

   Pek Hong-teng melawan Liu Jing-yang, nampaknya saja seimbang, tapi kalau dihitung- hitung Pek Hong-teng sudah kalah.

   Gip-hiat- koai (iblis penghisap darah) itu sudah menggunakan senjata Lionq-kut-piannya sekuat tenaga, sedang Liu Jing-yang tetap bertangan kosong.

   Wan Po malah lebih payah lagi.

   Sepasang martil besinya terayun-ayun dahsyat dengan tenaga mengerikan, tetapi hanya memukul-mukul angin.

   Bagaimana ia berusaha untuk bertarung rapat tapi Si Liong-cu yang bertoya panjang itu selalu berhasil membendung langkah majunya di ujung toyanya yang panjang.

   Lincah sekali ujung- ujung toya itu dimainkannya sesuai dengan jarak yang menquntungkan.

   Ujung kanan dan ujung kiri bergantian menyambar dengan cepat dan kuat.

   menyodok.

   menyapu, menyungkit, mengemplang, berputar, menjulur dan memendek dengan lihai sekali.

   "Manusia tak berotak, bukan hanya tenaganya saja yang seperti kerbau, otaknya juga seperti kerbau", Jiat-jiu Lokoai menggeram dalam hatinya.

   "Lawannya lebih cerdik dalam memanfaatkan jarak, meskipun pukulan-pukulan tongkatnya tergolong sederhana saja...."

   Dan ketika iblis tua itu melihat pertarungan dua keponakan muridnya yang lain, yang bergabung menghadapi Kam Hong- ti, maka rasa gondoknya semakin menjadi- jadi.

   Hau It-yau dan Kongsun Gi ternyata bertempur sangat memalukan menghadapi Kam Hong-ti yang tetap bertangan kosong.

   Bahkan ada kesan bahwa Kam Hong-ti tidak berkelahi sepenuh tenaga, namun toh kedua lawannya senantiasa dipaksa untuk pontang- panting menyelamatkan diri.

   Akhirnya Jiat-jiu Lokoai memutuskan untuk turun ke gelanggang demi menyelamatkan pihaknya.

   Ia sudah menetapkan urutan orang-orang yang hendak dijadikan korban tangan mautnya.

   Lebih dulu Kam Hong-ti, lalu Si Liong-cu, dan Liu Jing- yang paling akhir.

   Kam Hong-ti dan Si Liong-cu sebagai pendekar-pendekar muda aliran putih dianggapnya di kemudian hari bisa menjadi kerikil-kerikil tajam untuk mewujudkan cita- cita majikan Hek-eng-po, sedangkan Liu Jing- yang si "pengemis gila"

   Itu dengan tindakan- tindakannya yang tak terkendali akan bisa mengacaukan "genjatan senjata"

   Majikan Hek- eng-po terhadap Keluarga Sebun, meskipun hanya genjatan senjata sepihak.

   Merasa mantap dengan keputusan itu, ia segera menggulung lengan jubahnya dan melangkah mendekati gelanggang antara Kam Hong-ti melawan Kongsun Gi serta Hau It- yau...

   Tak terduga , baru saja ia melangkah selangkah, di belakangnya terdengar suka batuk-batuk perlahan.

   Keruan Jiat-jiu Lokoai terkesiap, bagaimana mungkin seseorang bisa berdiri di belakangnya tanpa diketahui sebelum memperdengarkan batuknya? Tentu seorang yang berilmu sangat tinggi.

   Secepat kilat Jiat- jiu Lokoai membalik tubuh sambil bersiaga.

   Beberapa langkah dari tempatnya, tak diketahui dari mana dan kapan datangnya, telah berdiri seorang lelaki setengah baya yang berdandan sederhana.

   Jenggotnya yanq berselang-seling warna hitam dan putih itu tercukur pendek, rambutnya sudah kelabu, jubahnya juga berwarna kelabu dan terbuat dari kain katun murahan.

   Di pinggangnya tergantung sebuah kantong tembakau terbuat dari.

   anyaman akar yang juga murahan, dan di tangan lelaki itu terdapat sebuah pipa tembakau hitam yang sebentar-sebentar disedot dengan nikmatnya.

   Orang itu tetap santai saja melihat sikap siap tempur Jiat-jiu Lokai yang bagi orang lain tentu menakutkan.

   Malahan lelaki itu tersenyum ramah kepada Jiat-jiu Lokoai sambil berkata.

   "Saudara, tidakkah kita yang tua-tua ini lebih baik menjadi penonton saja? Biarkan mereka yang muda-muda belajar menyelesaikan persoalan mereka sendiri- sendiri....."

   Lalu lelaki itu tenang-tenang saja menghampiri sebuah batu padas sebesar kerbau.

   Telapak tangan kirinya yang tidak memegang pipa itu menebas seenaknya ke permukaan batu.

   Pasir dan kerikil kecil segera berhamburan, dan permukaan atas batu yang benjol-benjol itu telah terpapas rata seolah dipahat oleh seorang tukang pahat yang amat ahli.

   Jiat-jiu Lokoai terkesiap.

   Untuk memukul pecah batu itu, bagi jagoan-jagoan kelas satu dunia persilatan barangkali bukan hal sulit, banyak yang sanggup melakukannya.

   Tetapi menebas sehingga permukaan batu menjadi rata seperti sepotong tahu yang diiris dengan pisau, itulah kemahiran tenaga dalam yang hanya bisa dilakukan oleh segelintir tokoh puncak dunia persilatan.

   Sementara itu, lelaki itu dengan enaknya duduk di atas batu yang telah rata itu tanpa mempedulikan sikap garang Jiat-jiu Lokoai, kaki kirinya ditumpangkan di paha kanannya, dan asap tembakau berkebul-kebul dari mulutnya.

   "Silahkan duduk, saudara. Kita jadi penonton yang baik saja, setuju?"

   "Kau...kau...Pangcu dari Hwe-liong- pang?"

   Suara Jiat-jiu Lokoai agak gemetar dan gagal untuk ditutup-tutupi.

   "Ya, begitulah,"

   Sahut orang itu, yang bukan lain adalah Tong Lam-hou, Ketua Serikat Naga Api.

   Jiat-jiu Lokoai sadar, dirinya tidak boleh gegabah bertindak, kalau dirinya nekad masuk ke arena maka Ketua Hwe-liong-pang ini pasti akan merintanginya.

   Kedatangannya ke tempat itu pasti tidak sekedar untuk duduk enak-enak menonton sambil mengisap tembakau.

   Otaknya berputar, akhirnya diapun mengambil keputusan untuk mengulur waktu.

   ia tahu, dua orang temannya yang berilmu setingkat dengan dirinya, masing-masing Ang-pit Tojin (Imam hidung merah) dan Hin-heng Lojin (orang tua pembenci ketertiban) juga berkeliaran di sekitar tempat itu, mudah- mudahan akan segera muncul.

   Asal salah satu dari mereka, atau malah syukur kalau kedua duanya muncul disitu, maka Ketua Hwe liong- pang akan bisa ditanggulangi.

   Karena itu, terpaksa ia bersikap tidak terlalu garang lagi.

   Sambil membungkuk hormat dia berkata.

   "Sudah lama aku dengar kesaktian Ketua Hwe-liong-pang, ternyata memang benar-benar hebat. Tapi selama ini kami tidak pernah bersinggungan, dalam perkara apapun dengan pihak Tuan, kenapa Tuan begitu usil untuk ikut campur urusan kami?"

   "Aku balik bertanya, apa kesalahan anak-anak muda itu kepadamu, sehingga saudara sudah menggulung lengan baju dan hendak mencelakai mereka?"

   Tong Lam-hou balik bertanya. Jiat-jiu Lokoai bungkam. Akhirnya sambil menggerutu dia berkata.

   "Baik, aku hanya akan menonton saja..."

   Lalu iapun menghampiri sebuah batu besar, agaknya diapun tidak ingin kalah gertak dari Ketua Hwe-liong-pang dan ingin memamerkan keampuhan tangan mautnya.

   Sesaat ia berdiri di samping batu itu sambil mengerahkan tenaga dalam ke tangan kanannya.

   Lalu sambil membentak, telapak tangannya menebas ke permukaan batu.

   Hancuran batu beterbangan, diapun berhasil menabas rata permukaan batu itu...

   Sekilas pandang, ia berhasil menandingi kehebatan Ketua Hwe-liong-pang, namun sebenarnya ia terhitung kalah.

   Tadi Ketua Hwe-liong-pang menebas dengan gaya seenaknya, sedang Jiat-jiu Lokoai harus lebih dulu bersitegang mengumpulkan kekuatannya.

   Tambahan lagi.

   "pahatan"

   Tangan Ketua Hwe- liong-pang lebih rata dan halus, sedang "pahatan"

   Telapak tangan Jiat-jiu Lokoai masih kelihatan kasar, bahkan menimbulkan sedikit retak di permukaan, menandakan pemusatan kekuatannya masih kalah mahir beberapa tingkat dibandingkan Tong Lam-hou. Namun demikian, Tong Lam-hou memuji juga.

   "Pukulan yang hebat". Buat Jiat-jiu Lokoai, ucapan itu terasa seperti sindiran atas ketidakbecusannya, namun dia berani berbuat apa seandainya ia benar-benar sedang disindir? Sambil mendengus dingin, iapun duduk di batu itu sambil mengharap-harap datangnya teman- temannya. Sambil memperhatikan pertempuran yang semakin berat sebelah di mana keponakan-keponakan muridnya semakin payah, Jiat-jiu Lokoai juga sebentar- sebentar melirik ke arah Ketua Hwe-liong-pang yang duduk seenaknya sambil merokok. Alangkah gemasnya Jiat-jiu Lokoai, kalau bisa dia ingin mengunyah kepala Ketua Hwe-liong- pang itu. Namun yang tidak kalah menggemaskan adalah teman-temannya yang ditunggunya, kenapa belum juga muncul? "Setan alas disambar geledek mereka itu", kutuknya dalam hati.

   "Apakah mereka buang hajat di tepi sungai lalu celana mereka hanyut dan tidak berani datang kemari tanpa celana?"

   Munculnya Ketua Hwe-liong-pang, biarpun tidak berbuat apa-apa kecuali duduk mengisap pipa tembakau, ternyata mempunyai pengaruh hebat terhadap keberanian Lo-san Sukoai.

   Beberapa tahun yang lalu mereka pernah dihajar jungkir balik oleh Ketua Hwe- liong-pang, dan kini mereka melihat penghajar mereka itu duduk di pinggir arena, keruan hati mereka kebat-kebit.

   Yang lebih dulu menerima akibat kegoncangan hati itu adalah Pek Hong-teng.

   Karena perhatiannya terpecah, suatu ketika cakar Liu Jing-yang berhasil menerobos pertahanannya dan melukai pundaknya.

   Sambil berdesis menahan sakit, ia melompat mundur dan mengayunkan cambuknya berulang-kali untuk menghalau gerak-maju Liu Jing-yang.

   Tak terduga Liu Jing-yang menerjang terus dengan sebuah jurus aneh yang dipelajarinya dari gulungan kulit.

   Tubuhnya melompat menerjang, tapi dengan kaki di atas dan tangan di bawah.

   Ujung kaki mematuk ke sepasang mata Pek Hong-teng, sepasang tangan mencengkeram ke kedua persendian lutut lawan.

   Lecutan cambuk berkaitan Pek Hong- teng yang menyabet paha dan merobek kulit serta dagingnya itu tak dihiraukannya.

   Dalam gugupnya, Pek Hong-teng lepaskan cambuknya, kedua tangan disilangkan di muka wajahnya untuk melindungi dalam gerakan Sip-ji-ciu, berbareng kedua kakinya dipentang lebar dalam kuda-kuda Co-ma-she (sikap menunggang kuda) dengan harapan serangan ke atas maupun ke bawah bisa diatasinya semua.

   Mendadak Liu Jing-yang yang masih melayang terbalik itu memajukan kepalanya sambil membuka mulutnya lebar-lebar, bagian tubuh kebanggaan kaum lelaki yang terletak di bawah perut Pek Hong-teng itu tahu-tahu telah berhasil digigitnya putus.

   Setelah itu, dengan mulut berlumuran darah, Liu Jing-yang menggulingkan badannya ke bawah bukit dan langsung kabur secepat-cepatnya.

   Sedangkan Pek Hong-teng meraung sekeras-kerasnya sambil berguling-guling dan menggeliat-geliat kesakitan.

   Tapi itu tidak lama, setelah itu si Siluman Penghisap Darah itu tewas dengan sepasang mata membelalak menghadap langit, dan celananya di bagian selangkangan penuh berlumuran darah.

   Bukan hanya Jiat-jiu Lokoai yang kaget melihat kematian keponakan-muridnya, tetapi Tong Lam-hou juga terkesiap melihat ganas dan kejinya jurus Liu Jing-yang itu, ia tak bisa menebaknya entah dari aliran apa, yang jelas tentu bukan dari aliran lurus yang mengajarkan silat sejati.

   Kalau Ketua Hwe-liong-pang sedang tidak hadir di tempat itu, tentu Jiat-jiu Lokoai sudah memburu dan mencincang Liu Jing-yang untuk membalaskan dendam keponakan- muridnya.

   Tetapi Ketua Hwe-liong-pang ada di situ, ia kuatir ketiga keponakan-murid lainnya pun akan ditumpas habis oleh Ketua Hwe- liong-pang, sama mudahnya seperti seekor harimau membantai tiga ekor anak kambing yang jinak.

   Sebaliknya Tong Lam-hou juga berpikiran sama.

   Keganasan Liu Jing-yang membuatnya ingin mengejar dan menangkapnya, tapi ia kuatir kalau Kam Hong- ti, Si Liong-cu, bahkan The Tek-kong serta Yo Sian yang di pinggir arena itu ditinggalkannya, mereka berempat akan menjadi mangsa Siluman Tua Bertangan Maut itu.

   Dengan demikian, baik Jiat-jiu Lokoai maupun Tong Lam-hou sama-sama terikat untuk tetap berada di pinggir arena untuk mengawasi "momongan"

   Mereka masing-masing, dan membiarkan Liu Jing-yang melenyapkan diri di bawah bukit sana...

   Sedangkan bagi Wan Po, Kongsun Gi serta Hau It-yau, hari itu adalah hari yang naas.

   Hari di mana mereka membentur kenyataan bahwa Empat Siluman Lo-san bukanlah mahluk-mahluk sakti tak terkalahkan.

   Paman-guru mereka yang sering gembar-gembor katanya suatu saat ingin mengadu ilmu dengan Ketua Hwe-lionq-pang atau Pun-bu Hweshio dari Siau-lim-pai, ternyata kini malah duduk dengan jinaknya di pinggir arena tanpa berani berbuat apa-apa.

   Ketiga keponakan-murid itu masih belum tahu, apa lagi yang ditunggu oleh sang paman-guru? Apa menunggu mereka bertiga digulung habis oleh lawan-lawan mereka? Tengah orang-orang itu saling menunggu sambil bertempur, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara pekikan nyaring, seperti suara burung elang di gunung batu.

   Jiat-jiu Lokoai terkesiap, dia mengenal bahwa pekikan itu adalah suara rekannya, Ang-pit Tojin (imam hidung merah) yang dari tadi ditunggu-tunggunya untuk diajak bergabung mengeroyok Ketua Hwe-liong-pang.

   Namun suara rekannya itu adalah isyarat bahwa temannya bukan sedang datang untuk membantu, malahan sebaliknya, isyarat mohon bantuan karena sang teman agaknya terbentur kesulitan yang tidak bisa diatasinya sendiri.

   Seketika itu Jiat-jiu Lokoai merasa hatinya seolah tenggelam di air es yang dingin.

   Keadaan pihaknya benar-benar semakin memburuk.

   Tak terduga bahwa di dunia persilatan ternyata pihak Hek-eng-po menemui musuh-musuh tangguh sebanyak itu.

   Dulu, ketika masih di padang pasir, Jiat- jiu Lokoai pernah menghitung bahwa kekuatan Hek-eng-po sudah cukup besar untuk menggulung dunia persilatan, tapi nyatanya baru di wilayah Siam-sai saja pihaknya sudah tersandung-sandung macam-macam rintangan yang tak teratasi.

   Ia menjadi kebingungan sendiri.

   Untung pula bahwa yang ada di tempat itu bukanlah Sebun Him yang gemar main tumpas Hek-eng-po tanpa ampun, melainkan Tong Lam-hou yang berpendapat bahwa selama masih bisa mengampuni hendaknya mengampuni lawan-lawan yang sudah terdesak.

   Karena itu, terdengar Tong Lam-hou berkata.

   "Agaknya ada seorang kawanmu yang memanggilmu untuk minta bantuan. Kau boleh ajak pergi orang-orangmu dari sini, dan ajak pergi pula kawanmu yang berteriak-teriak itu. Aku masih belum ingin membunuh kalian. Tapi dengar peringatanku, kalau aku masih mendengar kabar kelakuan buruk kalian yang merugikan orang-orang tak bersalah, hem, kalian boleh buktikan, apakah Hwe-liong-pang cuma macan kertas atau benar-benar bergigi untuk mengunyah kepala kalian". Bagi Jiat-jiu Lokoai, yang penting adalah mendapat kesempatan untuk lolos dulu, soal peringatan itu cukup kalau pura-pura saja ditaati. Meskipun demikian, ia mendongkol juga karena Ketua Hwe-liong-pang memperlakukannya seperti terhadap seorang maling jemuran yang tertangkap dan dilepaskan lagi dengan dibekali peringatan agar tidak nyolong lagi... Sementara itu, Tong Lam-hou telah berseru kepada Kam Hong-ti dan Si Liong-cu.

   "Anak-anak muda, kali ini bagaimana kalau kita lepaskan mereka agar sempat memperbaiki diri mereka?"

   Dalam hati masing-masing, Kam Hong- ti dan Si Liong-cu yang sama-sama masih muda dan berdarah panas menganggap sikap Ketua Hwe-liong-pang itu terlalu lunak terhadap iblis-iblis golongan hitam yang sudah terlalu banyak menumpahkan darah.

   Seharusnya ditumpas saja tanpa ampun.

   Tapi mereka bagaimanapun juga harus menghargai permintaan Ketua Hwe-liong-pang sebagai angkatan tua dunia persilatan yang dihormati.

   Terutama Si Liong-cu, yang tahu bahwa Ketua Hwe-liong-pang adalah sahabat karib gurunya, Pun-bu Hweshio.

   Meskipun begitu , Si Liong-cu tak akan membiarkan Wan Po kabur tanpa diberi "kenang-kenangan"

   Sedikit. Ia menjawab seruan Tong Lam-hou dari. tengah arena.

   "Baiklah, Pangcu! Tapi keganasannya selama ini haruslah diberi sedikit hukuman!"

   Lalu sambil membentak, ia kerahkan kekuatannya untuk mengayun toya hitamnya menggempur batok kepala Wan Po dengan gerak Thai-san-ap-teng (gunung menimpa kepala) Wan Po yang sejak tadi memang sudah terdesak, dengan gugup memalangkan sepasang martilnya untuk bertahan dengan Hing-ke-kim-nio (belandar emas melintang).

   
Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ternyata gempuran Si Liong-cu benar-benar sehebat gunung ambruk, Wan Po yang sering membanggakan kekuatannya itupun tak tahan oleh tenaga itu.

   sepasang martilnya mencalat lepas dari tangannya.

   Si Siluman Lengan Besi mundur selangkah, namun hampir bersamaan Si Liong- cu juga maju selangkah sambil membalikkan toyanya.

   Ujung kiri toya hitamnya secepat kilat menyambar dan menghantam pangkal lengan kanan Wan Po sampai terdengar suara tulang berderak.

   Si Liong-cu tak mengejar lagi, ia bahkan melompat mundur sambil berkata.

   "Nah, hukuman ini cukup untukmu! Tong Pangcu memberi kemurahan hati untuk mengampunimu, cepat pergi!"

   Wan Po tidak sampai menjerit-jerit keras, hanya wajahnya pucat sekali dan basah oleh keringat dingin karena menahan rasa sakit luar biasa.

   Lengan kanannya yang terjulur ke bawah itu kini terlihat setengah jengkal lebih panjang dari lengan kirinya, karena tulang pangkal lengan kanannya sudah remuk terhantam toya Si Liong-cu.

   Jelaslah, biarpun kelak ia berhasil menyembuhkan lukanya, namun lengan kanannya tak akan bisa dipakai bertempur lagi karena menjadi cacad.

   Padahal ia bukannya seorang kidal, tapi mulai detik itu agaknya ia harus mulai latihan sebagai orang kidal.

   **OZ** Bersambung ke

   Jilid 16 Pojok Dukuh, 04-10-2018; 23.15 WIB TEROR ELANG HITAM Karya . STEVANUS, S.P.

   Jilid 16 TERNYATA dua orang adik seperguruannya, Siluman Kelelawar Hitam Kongsun Gi serta Siluman Terbang Hau It-yau, siap bersetia-kawan untuk menjadi orang- orang kidal juga.

   Kedua orang yang bertempur melawan Kam Hong-ti, masing-masing juga dihadiahi pukulan tangan kosong yang menghancurkan pundak kanan mereka.

   Setelah itu Kam Hong-ti pun tidak menyerang lebih lanjut.

   Dengan demikian, mulai saat itu Losan Su-koai (Empat Siluman Lo-san) terhapus namanya, berubah menjadi Losan Cojiu Sam- koai (Tiga Siluman Kidal Lo-san).

   Tentu saja martabat dan kegarangan mereka merosot jatuh.

   Meskipun Jiat-jiu Lokoai sangat bernafsu dan merasa mampu untuk mencincang Kam Hong-ti serta Si Liong-cu, namun ia tidak bisa mengabaikan Ketua Hwe- liong-pang.

   Cuma, demi sedikit memulihkan pamornya, ia pura-pura menggertak.

   "Hari ini kami memang sial karena telah bertemu dengan orang-orang usil yanq mencampuri urusan kami. Tapi ingatlah kalian, kejadian ini tidak mungkin kami lupakan begitu saja.Tunggulah sampai Pocu (majikan benteng) muncul di dunia persilatan setelah menyelesaikan latihan ilmunya yang dahsyat. Waktu itu, semua penghinaan yang telah kalian timpakan kepada diri kami akan kami balas berkali lipat...."

   Tong Lam-hou menanggapi gertakan itu dengan santai saja.

   "Silahkan...silahkan. Kalau majikanmu sudah menyelesaikan latihannya, langsung saja mencari aku".

   "Baik Pangcu sudah menantang majikanku terang-terangan dan kelak jangan menyesal!"

   Geram Jiat-jiu Lokoai sengit karena merasa gertakannya diabaikan. Lalu ia beralih mencoba menakut-nakuti Kam Hong-ti dan Si Liong-cu.

   "... dan kalian, tikus-tikus kecil yang besar kepala, ingat-ingatlah yang sudah kalian perbuat terhadap keponakan-keponakan muridku..."

   Kam Hong-ti dan Si Liong-cu hanya bungkam tak menjawab. Tong Lam-hou lah yang menjawabnya.

   "Hem, kau membela keponakan-keponakan muridmu, tapi apakah kau kira kedua anak muda itu tidak punya guru atau paman-guru atau angkatan tua di belakang mereka yang melindungi mereka? Kau ingin orang tua-orang tua mereka terpancing masuk ke gelanggang?"

   Jiat-jiu Lokoai bungkam tak sanggup menjawab.

   Akhirnya sambil bersungut-sungut dia mengajak ketiga keponakan-muridnya yang babak belur meninggalkan tempat itu.

   Mayat Pek Hong-teng dibiarkan saja, waktu masih hidup memang keponakan murid, tetapi setelah jadi mayat bukan lagi keponakan murid.

   Biarkan saja Pek Hong-teng "menemani"

   Tengkorak-tengkorak yang memang banyak bertebaran di pekuburan itu.

   Setelah mereka pergi, Kam Hong-ti dan Si Liong-cu sebagai anak-anak muda memberi salam hormat kepada Ketua Hwe-liong-pang, diikuti pula oleh The Tek-kong dan Yo Sian.

   Tong Lam-hou membalas penghormatan para angkatan muda itu dengan ramah, sambil memuji bakat-bakat mereka dan menyarankan supaya terus meningkatkan ilmu dan mendarma-baktikan ilmu mereka untuk kesejahteraan dan ketertiban negeri.

   Khusus kepada Si Liong-cu, Tong Lam- hou bertanya.

   "Anak muda, kulihat tadi kau memainkan jurus-jurus Hok-mo Tung-hoat (Ilmu Toya Penakluk Iblis) dari Siau-lim-pai dengan mahir. Siapakah gurumu?"

   Sambil membungkuk sopan, Si Liong-cu menjawab.

   "Guruku adalah Pun-bu Hweshio dari. Siau-lim-si..."

   Tong Lam-hou tercengang mendengar jawaban itu.

   Sudah lima belas tahun lebih ia bersahabat dengan bhiksu tua itu, bahkan setiap pertengahan tahun tentu berkumpul bertiga bersama Sebun Him dalam suasana bersahabat Untuk membicarakan ilmu silat, keadaan dunia persilatan, dan macam-macam hal lain, tetapi kenapa belum pernah diketahuinya Pun-bu Hweshio punya murid seperti ini? Dikenalnya beberapa murid Hweshio tua itu, tapi anak muda ini belum pernah dikenalnya...

   "Sudah berapa lama Hiantit berguru kepada Pun-bu Hweshio?"

   "Hampir enam tahun", sahut Si Liong-cu membuat Tong Lam-hou semakin heran. Jadi berarti hampir enam tahun pula sahabat karibnya itu menyembunyikan rahasia bahwa ia telah mempunyai murid berbakat sebagus ini? Apa maksud Pun-bu Hweshio dengan main rahasia-rahasiaan macam itu? Mungkin sekedar bergurau untuk membuat kejutan di kemudian hari? "Siapa namamu, Hiantit?"

   Sesaat Si liong-cu bimbang menjawab, namun setelah mempertimbangkan beberapa hal, akhirnya ia memutuskan untuk menjawab, Nama Si Liong-cu sudah terlanjur dikenal oleh beberapa sahabatnya di Kanglam, bahkan Kam Hong-ti juga percaya sepenuhnya bahwa namanya adalah Si liong-cu.

   "Namaku Si Liong-cu, Pangcu..."

   Nama itu membuat kesan tersendiri di hati Tong Lam-hou.

   Si Liong-cu? Nama yang bermakna agak luar biasa, mengingatkan Tong lam-hou ketika dia dijumpai Pakkiong Eng di Tiau-im-hong, di mana ia diberi tahu tentang menghilangnya Pangeran Ke empat In ceng dari istana selama hampir enam tahun, dan ia dimintai bantuannya untuk mencari jejak pangeran itu.

   Pakkionq Liong, sahabatnya di Pak-khia, lewat Pakkiong Eng telah mengutarakan kekuatirannya jangan-jangan pangeran yang menghilang itu akan mengumpulkan kekuatan di luar istana dan mengobarkan pemberontakan, karena sakit hati terhadap ayahandanya sendiri, Kaisar Khong-hi, yang dianggapnya lebih menganak-emaskan Pangeran Ke empatbelas In Te yang kini menduduki jabatan Panglima Tertinggi Kekaisaran, yang berarti menggenggam semua kekuasaan.

   militer di tanganya dan menjadi orang kuat nomor dua di kekaisaran setelah Khong-hi sendiri.

   Kini di hadapan Tong Lam-hou berdirilah seorang anak muda bernama Si Liong-cu, menurut pengakuannya sendiri, entah benar entah tidak.

   Mungkinkah anak muda ini samaran dari Pangeran Ke empat? Nampaknya begitu sopan dan tidak jahat, bahkan bersahabat baik dengan Kanglam Taihiap yang terkenal bukan saja ilmunya yang tinggi tetapi juga keluhuran budinya.

   Mungkinkah orang macam ini akan berontak melawan ayahandanya? Mungkinkah kekuatiran Pakkiong Liong hanyalah kekuatiran yang berlebih-lebihan? Meskipun pikirannya sedang dipenuhi gejolak teka-teki tentang diri Si Liong-cu , namun Tong Lam-hou berhasil menyembunyikan kesan itu dari tangkapan mata anak muda itu.

   Seolah sekedar basa- basi, ia bertanya.

   "Sungguh beruntung Pun-bu Hweshio mendapat murid seperti dirimu. Hiantit berasal dari mana dan hendak melanjutkan perjalanan ke mana?"

   Si Liong-cu menjawab dengan samar- samar.

   "Aku adalah seorang anak tak terurus yang disia-siakan orang tuaku sendiri, untung Suhu begitu baik mau merawatku dan mendidikku, namun asal-usulku sendiri aku sudah lupa. Tentang tujuan perjalananku, aku memenuhi perintah Suhu untuk menegakkan keadilan dan menumpas kaum angkara murka, sambil mencari pengalaman dan menambah banyak sahabat..."

   Diam-diam Tong Lam-hou mendengarkan dengan baik-baik, bukan saja mencatat ucapan tentang "anak yang disia- siakan orang tua", tapi juga berusaha menangkap dialek bicara Si Liong-cu.

   Tong Lam-hou terpaksa menarik napas dan merasa gagal.

   Kalau benar Si Liong-cu adalah In Ceng, ia telah berhasil menyembunyikan diri baik sekali.

   Bicaranya berdialek Kanglam, tidak tersisa sedikitpun logat Ho-pak, atau logat Ibukota Pak-khia, apalagi logat Liau-tong, propinsi asal orang-orang manchu, yang biasanya sedikit banyak mewarnai ucapan- ucapan kaum bangsawan Manchu.

   Tong lam-hou tidak mau terlalu mendesak, kuatir kalau menimbulkan kecurigaan Si Liong-cu yang hendak diawasinya secara diam-diam.

   Katanya.

   "Bagus kalau anak-anak muda bersemangat seperti kalian berdua. Nah, selamat tinggal, berhati- hatilah sebab iblis-iblis Hek-eng-po itu sudah menanam permusuhan dengan kalian". Lalu Ketua Hwe-liong-pang itu berjalan menuruni bukit tandus yang penuh kuburan berlubang-lubang itu. Kelihatannya berjalan seenaknya, namun sekejap saja dia sudah kelihatan jauh sekali hingga hanya berujud sebuah titik kelabu yang akhirnya lenyap. Setelah itu, barulah Si Liong-cu sempat bicara panjang lebar dengan sahabat karibnya.

   "Saudara Kam, aku mengira rambutku akan keburu ubanan semua ketika menunggu di rumah makan Hok-an-lau tanpa melihat jejakmu. Dan kenapa saudara Pek tidak datang bersamamu?"

   "Ya, nanti aku ceritakan, tapi bagaimana dengan mayat itu? Kasihan kalau ditinggalkan begitu saja menjadi makanan burung dan semut."

   Kam Hong-ti menunjuk mayat Pek Hong-teng.

   "Biar aku kuburkan,"

   Kata Si Liong-cu singkat.

   Bekas pekuburan itu memang banyak lubang-lubang bekas kuburan yang sudah gugur tanahnya, bahkan ada yang kosong, mungkin karena tulangbelulang si penghuni sudah dikais-kain anjing-anjing liar.

   Maka Si Liong-cu mehggotong dan meletakkan mayat Pek Hong-teng di salah satu lubang, bertetangga dengan sesosok kerangka yang sudah hilang beberapa tulang rusuknya, lalu diuruk dengan tanah.

   Secara sembarangan Si Liong-cu mengambil sebuah batu nisan yang tergeletak dan tadinya entah terletak di mana.

   Nisan itu diletakkannya di kuburan si Siluman Penghisap Darah yang pernah ditakuti itu.

   Maka di atas kuburan Pek Hong-teng berdirilah batu nisan bertulisan.

   Kuburan mucikari Hong-mama dari dusur Hong-ke- chung, mati menggantung diri karena penyakit kotornya tidak ada harapan sembuh.

   Dikuburkan oleh penduduk Hong-ke-chung yang membencinya.

   "Mudah-mudahan arwah Pek Hong-teng buta huruf dan tidak bisa membaca tulisan di bong-pai itu,"

   Kata Si Liong-cu.""supaya arwahnya tidak usah bergentayangan karena marahnya".

   "Sudah cukup bagus kuburan ini buat orang sejahat dia,"

   Kata Kam Hong-ti.

   "setidaknya barangkali setahun sekali akan ada segerombolan pelacur yang datang menyembahyangi kuburannya. Anak buah Hong-mama..."

   Mereka menuju kembali ke kota Se- shia, diiringi oleh The Tek-kong dan Yo Sian yang lebih tua namun merasa kagum kepada jagoan-jagoan muda itu.

   **OZ** BAGIAN TUJUHBELAS Sampai di gedung Hek-hou Piau-tiam di tengah kota Se-shia, lebih dulu mereka masuk untuk menilik keadaan Teng Yu-liong.

   Pemimpin ke dua Hek-hou Piau-tiam itu sudah mendapatkan kembali sebagian kesehatannya berkat rawatan Tabib Thio yang sangatcermat.

   Ketika Si Liong-cu, Kam Hong-ti, The Tek-kong dan Yo Sian masuk ke kamar, Teng Yu-liong sudah bisa duduk di atas pembaringan, meskipun mukanya masih pucat dan tubuhnya masih penuh balutan berdarah, tapi ia sedang bicara sambil tertawa-tawa dengan Tabib Thio.

   Keadaannya tidak mengkuatirkan lagi.

   Ia segera hendak turun dari pembaringan, sambil menyapa.

   "Si Susiok. Kam Taihiap...."

   Si Liong-cu langsung duduk di sebuah kursi dengan punggung tegak, sedang Kam Hong-ti cepat menuju ke pinggir pembaringan untuk menahan pundak Teng Yu-liong sambil berkata.

   "Jangan terlalu repot dengan tata- cara, Teng Jiya, perhatikan saja kesehatan tubuhmu..."

   "Terima kasih, Kam Taihiap, maaf tidak bisa menyambutmu denqan layak". Diam-diam Teng Yu-liong kagum juga. Siapa mengira lelaki muda yang kurus, berkulit kuning seperti orang penyakitan dan berdandan jubah panjang yang begitu sederhana itu adalah Kanglam Taihiap yang mengguncangkan wilayah Kanglam dengan nama besarnya? Ternyata sikapnya juga tidak berlagak sebagai pendekar besar yang terkenal.

   "Bagaimana dengan manusia ganas itu?"

   Tanya Teng Yu-liong kepada siapa saja yang baru datang di ruangan itu.

   Lalu Yo Sian yang menceritakan tentang pertempuran dahsyat itu, tidak lupa menambah bumbu-bumbu untuk memuji-muji Si Liong-cu, juga menceritakan munculnya dua tokoh angkatan tua dari golongan putih dan hitam, Ketua Hwe-liong-pang Tong-lam-hou, dan iblis tua Jiat-jiu Lokoai yang pernah menggemparkan kalangan persilatan dan kemudian muncul lagi setelah belasan tahun menghilang.

   Sebagai orang yang menggemari ilmu silat, Teng Yu-liong menyesal bahwa ia tidak bisa melihat peristiwa itu, apalagi diramaikan dengan munculnya Tong Lam-hou yang merupakan salah satu dari tiga tokoh berilmu tinggi di jaman itu.

   "Seperti apa rupanya Ketua Hwe-liong- pang itu?"

   "Jisuheng, tampangnya sungguh tidak berarti, kalau kau berpapasan dengannya di tengah jalan ramai, kau pasti tidak akan memperhatikannya sebab tampangnya memang biasa saja, tidak ada bedanya dengan orang lain". sahut Yo sian, lalu digambarkannya potongan dan tampang Ketua Hwe-liong-pang itu. Sementara antara saudara-saudara seperguruan itu saling berbicara dengan asyik, Kam Hong-ti berbisik kepada Si Liong-cu.

   "Saudara Si, ada hal penting yang harus kau ketahui. Tapi aku tidak bisa .bicara di tempat ini..."

   "Bagaimana kalau di rumah makan Hok- an-lau, aku pernah berjanji mentraktir masakan Siam-sai?"

   Tanya Si Liong-cu.

   Diam-diam Kam Hong-ti membatin, meskipun sahabatnya ini dianggapnya hidup sebagai pendekar pengembara di dunia persilatan, cukup keberanian untuk menentang para penjahat, namun gaya hidupnya tidak seperti para pendekar kelana yang rata-rata sederhana.

   Sang sahabat ini senang hidup agak boros, membeli pakaian-pakaian yang bagus , menikmati makanan-makanan lezat, dan mengherankan pula bahwa uangnya tidak habis-habis.

   Kam Hong-ti agak bertanya-tanya dalam hati, benarkah sahabatnya ini adalah seorang "anak yang disia-siakan"

   Seperti pengakuannya? Kenapa gaya hidupnya lebih menyerupai seorang anak hartawan yang tengah bertamasya keliling negeri sambil menghamburkan uangnya yang banyak? Namun Kam Hong-ti tidak ingin mengurus dari mana sumber kekayaan sahabatnya ini, Ia percaya sahabatnya bukan perampok, malah musuh utama kaum perampok dan pengacau.

   Ia menjawab ajakan Si Liong-cu itu sambil tersenyum.

   "Inilah keuntunganku kalau terus bersama-sama dengan saudara Si. Makan enak secara gratis, padahal biasanya aku untuk makan sederhana saja harus banyak menghitung-hitung dulu, kuatir uangku tidak cukup..."

   "Ah, aku senang makan bersama sahabat, apalagi sahabat dari jauh,"

   Sahut Si Liong-cu.

   "Ayolah, di Hok-an-lau juga ada masakan-masakan Kanglam seperti Leng-pek- he-jin (udang goreng sawi putih), Ho-yap- tang-sun-teng (rebung muda masak kuah daun teratai), Eng-to-hwe-tui (buah tho masak daging ham), juga Bwe..."

   "Sudah, sudah. Kau menghasut cacing- cacing dalam perutku untuk mengobarkan pembrontakan."

   Sahut Kam Hong-ti sambil tertawa.

   "Ayo berangkat". Mereka lalu berpamitan kepada The Tek-kong, dan si tuan rumah tidak menghalangi si paman-guru muda bersama sahabatnya itu, sebab ia sudah hapal Si Liong- cu gemar makan enak. Bahkan masakan- masakan yang disediakan oleh isteri The Tek- kong hanya disantapnya di pagi hari saja. Itupun sekedar agar tidak menyinggung The Tek-kong sebagai tuan rumah, selebihnya Si Liong-cu lebih suka berkeluyuran dari rumah makan satu ke rumah makan lainnya untuk mencicipi macam-macam masakan istimewa. Tidak lama kemudian, dua sahabat itu sudah duduk di meja dekat jendela di lantai dua Hok-an-lau, rumah makan kesayangan Si Liong-cu selama beberapa hari ada di Se-shia. Pelayan-pelayan yang sudah hapal akan tamunya yang royal itu segera berebutan meladeninya sampai ada seorang tamu lain yang hampir mengamuk karena merasa diabaikan. Tidak lama kemudian, empat macam sayuran, ditambah tiga macam daging, ditambah lagi dua poci arak kelas satu yang pocinya dibungkus sutera agar araknya tetap hangat, sudah tergelar di meja itu. Diam-diam Kam Hong-ti menaksir, dirinya setahun sekali saja belum tentu dapat membeli makanan- makanan itu, tetapi sahabatnya itu agaknya menikmatinya sehari dua kali atau mungkin tiga kali.

   "Silahkan saudara Kam, jadikan dirimu agak gemuk sedikit", Si Liong-cu mempersilakan, dia sendiri segera mengambil sumpitnya. Sambil memegang ujung lengan bajunya dengan tangan kiri, sumpitnya pun mulai bergerak kesana-kemari dan menyuapkan beberapa potong daging dan sayur ke mulutnya. Gayanya makan agak anggun seperti orang-orang dari masyarakat tingkat atas. Kam Hong-ti pun mulai menggerakkan sumpuitnya dan ikut makan pula, dengan gaya yang agak berbeda. Gaya para pendekar kelana yang lahap tanpa sungkan-sungkan. Comot sana comot sini dan sekali-kali ia menenggak araknya yang hangat dan harum. Sampai akhirnya meja itu bersih kecuali piring-piring lebar yang "penghuni- penghuni"nya sudah diungsikan ke dalam perut mereka. Berbeda gaya makan mereka, tapi ada satu kesamaan, ciri khas yang umumnya dimiliki orang-orang yang berlatih silat, yaitu . makan banyak. Hampir tiga kali lipat takaran makan orang biasa. Kam Hong-ti mengira acara makan minum itu telah selesai ketika melihat dua pelayan menyingkirkan mangkuk-mangkuk kosong dari hadapannya, tapi ternyata dua pelayan lainnya datang lagi meletakkan pinggan-pinggan baru dengan macam-macam buah yang sudah diiris, manisan, kueh beras dan belasan macam makanan kecil lainnya. Tapi tujuan Kam Hong-ti. memang bukan sekedar memuaskan perutnya, ia justru tidak ikut makan manisan-manisan itu, meskipun Si Liong-cu berkali-kali mempersilakannya.

   


Kuda Putih Karya Okt Tangan Berbisa Karya Khu Lung/Tjan Id Dendam Kesumat Karya Tabib Gila

Cari Blog Ini