Ceritasilat Novel Online

Panasnya Bunga Mekar 19


Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja Bagian 19



Panasnya Bunga Mekar Karya dari SH Mintardja

   

   Namun kekuatan yang turun dari barak itupun telah membentur kekuatan yang seakan-akan tidak tergoyahkan.

   Mereka membentur prajurit dan pengawal terpercaya yang bersenjata pedang dan perisai.

   Bagi para prajurit, maka adalah kebetulan sekali bahwa lawan merekalah yang justru menuruni tebing.

   Karena itu maka mereka tidak perlu lagi memanjat, menghadapi hujan batu, lembing dan anak panah.

   Sementara itu, disayap pasukan Mahisa Bungalan, pertempuranpun berlangsung dengan garangnya.

   Masing- masing pihak telah mengerahkan segenap kemampuan.

   Para prajurit dan pengawal yang sudah mendengar isyarat untuk bertempur dengan kemampuan tertinggi, tidak ragu- ragu-lagi untuk mengayunkan senjata mereka, meskipun akan berakibat kematianbagi lawannya.

   Untuk waktu yang cukup lama, pertempuran itu masih belum dapat dinilai dengan cermat.

   Karena itulah, maka Mahisa Bungalan tidak ingin menjadi korban.

   Dengan demikian, maka sejak ia mulai menggerakkan pedangnya, ia sudah bertekad untuk merangi lawan sejauh-jauh dapat dilakukan.

   Namun ia tetap berdiri di atas landasan bahwa kedatangannya bukan untuk membunuh.

   Kematian yang timbul adalah akibat yang memang tidak dapat.

   dihindari dalam satu peperangan betapapun kecilnya.

   Dua gerombolan yang terhitung kuat itu telah mengerahkan segenap orang yang ada diantara mereka.Terlebih-lebih lagi, gerombolan yang baraknya telah diserang oleh Mahisa Bungalan itu.

   Meskipun masih ada satu dua orang yang tersisa di dalam goa untuk melindungi barang-barang mereka, tetapi selebihnya telah dikerahkan semuanya di dalam arena pertempuran.

   Bahkan pada saat-saat terakhir, telah terdengar suara kentongan yang memanggil semua orang dimanapun mereka sedang berada untuk menghadapi para prajurit dan pengawal yang datang menyerang itu.

   Sampai saatnya matahari mendekati puncaknya pertempuran itu masih berlangsung terus.

   Para prajurit dan pengawal yang berada disayap benar-benar telah terkepung.

   Namun mereka masih tetap bertahan di tempat mereka.

   Arena yang sempit di pinggir jurang, sehingga setiap saat, mereka dapat melontarkan lawan mereka menggelinding ditebing yang meskipun tidak begitu tinggi, namun batu- batu padasnya sempal mengelupas kulit diheberapa bagian tubuh.

   Ternyata kedua belah pihak merasa, bahwa kekuatan lawan mereka melampaui perhitungan.

   Para prajurit dan pengawalpun merasa telah terperosok ke dalam kekuatan yang memaksa mereka mengerahkan segenap kekuatan di saat-saat pertama benturan itu terjadi.

   Sementara orang- orang di dalam kedua gerombolan yang melihat jumlah lawan mereka tidak terlalu banyak, namun ternyata memiliki kekuatan yang mengejutkan.

   Di saat matahari melampaui puncak langit, kekuatan di kedua belah pihak telah menurun.

   Gerombolan yang bertempur dengan keras dan kasar itu telah banyak kehilangan kekuatan mereka.

   Beberapa orang terbaring sambil mengerang.

   Sementara yang lain masih juga bertempur meskipun dari tubuhnya telah menitik darah.Bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang sudah tidak dapat ditolong lagi jiwanya.

   Pada para prajuritpun telah jatuh korban.

   Tetapi terlalu sedikit dibanding dengan lawan mereka.

   Para prajurit dan pengawal itu memiliki kemampuan pribadi dan kerja sama yang jauh lebih baik dari lawan mereka, meskipun jumlah mereka jauh lebih sedikit.

   Pada saat-saat yang demikian, maka Mahisa Bungalan dan Witantrapun mengambil kesimpulan bahwa di sarang itu tentu tidak ada orang yang disebut Rajawali Penakluk.

   Jika orang itu ada, ia tentu terjun ke arena.

   Seandainya tidak diinduk pasukan, tentu berada di sayap pasukan.

   Mahisa Bungalan telah memberikan pesan, jika orang itu muncul di manapun, maka agar para prajurit dan pengawal memberikan isyarat agar ia segera dapat mengambil tindakan sebelum orang itu menelan banyak korban.

   Tetapi isyarat itu belum terdengar.

   Karena itu, maka Witantra dan Mahisa Bungalan pun mengambil kesimpulan, bahwa orang itu tidak ada di barak itu.

   Dengan demikian, maka keduanya berusaha untuk segera mengakhiri pertempuran.

   Tetapi tidak mudah untuk melakukannya.

   Kedua belah pihak telah terlibat terlalu jauh dalam perang brubuh.

   Ketika Witantra kemudian mendekati Mahisa Bungalan, maka katanya "Aku akan mencoba untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak lagi"

   "Apa yang akan paman lakukan?"

   Bertanya Mahisa Bungalan.

   "Menemui pemimpin perampok ini"

   Jawab Witantra."Menurut pengamatanku, ada dua gerombolan yang kita hadapi. Kalengahanku ternyata telah menyeret pasukan ini ke dalam pertempuran yang berat, dan menyebabkan korban semakin banyak jatuh dari kedua belah pihak"

   Berkata Mahisa Bungalan.

   "Aku akan naik. Tentu pemimpin gerombolan ini masih ada di atas"

   Desis Witantra. Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Terserahlah kepada paman"

   Witantrapun kemudian mempersiapkan dirinya. Ketika ia siap meninggalkan arena diinduk pasukan, iapun telah berpesan "Hati-hatilah. Aku akan memanjat"

   Mahisa Bungalan mengangguk.

   Namun iapun segera tenggelam ke dalam pertempuran yang riuh.

   Witantrapun kemudian bergeser meninggalkan arena pertempuran itu.

   Sesaat dipandanginya tangga yang memanjat naik.

   Namun ternyata Witantra lebih senang memanjat tebing tidak melalui tangga itu.

   Tidak ada lagi orang yang sempat melontarkan batu atau lembing atau senjata apapun juga karena pertempuran di sayap pasukan Mahisa Bungalan telah semakin mendekati sarang.

   Sehingga dengan demikian, maka Witantra pun segera dapat naik sampai ke depan barak.

   Sejenak ia mengamati pertempuran.

   Namun kemudian iapun berteriak nyaring sambil meloncat berdiri di atas sebuah batu padas "He, pemimpin gerombolan yang sedang mempertahankan baraknya.

   Apakah kau dengar suaraku?"

   Beberapa orang yang bertempur tidak terlalu jauh daripadanya telah tertegun Melihatnya. Namun seolah-olah mereka merasa wajib untuk tidak berbuat sesuatu atas orang itu."Dengarlah, he, pemimpin gerombolan ini"

   Teriak Witantra pula. Seorang yang bertubuh tinggi, tegap dan berwajah kasar telah berjalan mendekatinya sambil menjawab "Untuk apa kau cari pemimpinku"

   "Aku ingin berbicara. Apakah kau pemimpin gerombolan ini?"

   Bertanya Witantra.

   "Bukan aku. Tetapi ia akan mendengar kata-kataku. Apakah maksudmu. Apakah kau dan orang-orangmu akan menyerah?"

   Orang itu ganti bertanya.

   "Itu tidak akan terjadi"

   Jawab Witantra "sebentar lagi kami akan menyapu semua orang-orangmu dan gerombolan yang justru datang dari arah belakang kami"

   "Omong kosong. Jadi kau mau apa?"

   Bertanya orang itu.

   "Aku ingin berbicara dengan pemimpinmu"

   Jawab Witantra.

   "Bicaralah cepat, sebelum aku membunuhmu"

   Geram orang itu. Witantra termangu-mangu sejenak. Tetapi ia melihat sayap pasukan Mahisa Bungalan telah semakin mendesak, meskipun lapis demi lapis masih harus dihadapi, kaiena banyaknya jumlah lawan dibanding dengan para prajurit dan pengawal.

   "Dengarlah"

   Berkata Witantra "apakah kalian tidak cemas melihat korban yang jatuh tanpa hitungan di pihak kalian?"

   Orang itu menggeram. Sekilas ia melayangkan pandangannya karena yang semakin dahsyat di sekitarnya. Ia melihat apa yang sedang terjadi. Namun ia mencobauntuk berkata dengan garang "Orang-orangmu akan segera tumpas"

   Orang-orangku atau orang-orangmu akibatnya adalah hilangnya berpuluh-puluh nyawa"

   Sahut Witantra "mana pemimpinmu. Aku kira ia akan dapat mempertimbangkan, sebaiknya kalian menyerah"

   "Persetan"

   Orang itu berteriak "aku akan membunuhmu"

   Jangan bodoh. Katakan kepada pemimpinmu"

   Sahut Witantra.

   Tetapi orang itu tidak mendengarkannya.

   Dengan garangnya ia meloncat menyerang.

   Senjatanya yang dahsyat, canggah dengan tajam eri pandan tiba-tiba saja telah mengarah keleher Witantra.

   Jika canggah itu berhasil menjepit lehernya, maka leher itu tentu akan terkerat dengan urat dan daging tersayat.

   Tetapi Witantra sama sekali tidak terkejut melihat serangan itu.

   la mengelak dengan gerak yang sederhana, sementara canggah itu meluncur dekal telinga kanannya.

   Namun dengan tangkasnya Witantra memukul canggah itu dengan pedang yang dibawanya.

   Demikian kerasnya sehingga canggah itu bagaikan direnggut oleh kekuatan raksasa, dan terlepas dari tangannya.

   Orang bertubuh tinggi kekar itu terkejut.

   Orang yang dihadapinya itu tubuhnya tidak terlalu besar.

   Tidak sebesar dirinya.

   Tetapi ternyata memiliki kekuatan yang luar biasa.

   "Kau akan mengambil senjatamu?"

   Geram Witantra "ambillah. Aku tidak akan menghalangimu"

   Orang itu berdiri termangu-mangu.

   "Cepat. Aku ingin membuktikan kepadamu, bahwa kau tidak berarti apa-apa bagiku. Juga orang-orang yang lain.Yang sebenarnya ingin aku cari adalah Rajawali Penakluk yang menurut keterangan yang aku dapat, ia berada diantara sarang-sarang gerombolan perampok, sehingga aku akan menyusuri tempat-tempat yang tersembunyi namun yang mungkin sekali menjadi tempat persembunyian Rajawali Penakluk"

   Orang itu menjadi semakin tegang. Dengan nada rendah ia berkata "Rajawali Penakluk tidak ada disini"

   "Aku sudah mengira. Karena itu, katakan kepada pemimpinmu sebelum kalian semuanya menjadi punah. Para prajurit dan pengawal sudah mendapat perinlah untuk bertempur dalam tataran tertinggi, sehingga sulit untuk mengendalikannya"

   Berkata Witantra. Orang itu berdiri kebingungan. Sekali-sekali dipandanginya senjata yang tergolek disamping Witantra. Namun kemudian Witantra itu berkata sekali lagi "Ambil senjatamu. Kita akan bertempur"

   Orang itu justru semakin kebingungan. Berapa orang yang melihat peristiwa itupun merasa aneh. Apalagi ketika mereka mendengar bahwa orang itu sedang mencari Rajawali Penakluk.

   "Cepat"

   Geram Witantra "atau kau panggil saja pemimpinmu.

   Aku akan berbicara dengan orang itu tentang kematian-kematian yang tidak berarti dari orang-orang gerombolan ini dan gerombolan yang telah berhasil kalian hubungi.

   Tetapi kehadirannya telah membuat prajurit dan - pengawal yang berada di dalam pasukan kami bertempur dalam tataran tertinggi"

   Sejenak orang itu masih berdiri mematung. Namun tiba- tiba seseorang meloncat disampingnya sambil berkata "Aku pemimpin gerombolan ini. Kau sudah datang menggangguketenangan kami disini. Karena itu, kalian semuanya harus dimusnakan"

   "Terima kasih, bahwa kau bersedia menemui aku"

   Sahut Witantra "tetapi jangan mencoba membutakan "diri terhadap kenyataan. Aku melihat kesulitan pada gerombolanmu dan gerombolan yang datang membantumu"

   "Omong kosong"

   Geram orang itu.

   "Dengarlah. Aku datang untuk memburu Rajawali Penakluk. Aku ingin menangkapnya hidup atau mati. Karena itu, tidak sewajarnyalah jika jatuh korban tidak terhitung, sementara orang yang aku cari tidak ada disini"

   "Kalau kalian menjadi ketakutan, menyerahlah"

   Berkata pemimpin gerombolan itu.

   "Jangan main-main"

   Berkata Witantra "aku minta kau menarik pasukanmu dengan isyarat apapun yang dapat kau berikan.

   Aku berjanji untuk tidak membunuh lebih banyak lagi.

   Kami akan meninggalkan gerombolan ini dan melanjutkan perjalanan kami, memburu orang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk"

   "Jangan sombong. Orang itu memiliki kemampuan seperti kuasa dewa-dewa dilangit"

   Berkata orang yang menyebut dirinya pemimpin gerombolan itu.

   "Aku akan menangkapnya"

   Berkata Witantra. Pemimpin gerombolan itu menggertakkan giginya. Katanya "Kau terlalu sombong. Aku akan membunuhmu, mencincangmu dan melemparkan sayatan kulit dagingmu kepada orang-orangmu"

   "Jangan mimpi. Menyerahlah"

   Geram Witantra. Orang itu menjadi semakin marah. Tetapi Witantra berkata lebihlanjut "Ambil senjatamu. He raksasa dungu. Bersama pemimpinmu, buktikan bahwa aku benar-benar mampu menangkap Rajawali Penakluk itu jika ia berada disini"

   Tetapi pemimpin gerombolan itu tidak menunggu kawannya mengambil senjatanya.

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dengan pedangnya ia meloncat menyerang.

   kitatan cahaya yang terpantul pada batang pedangya bagaikan nyala yang meloncat dari matahari itu sendiri.

   Witantra melihat serangan yang dahsyat itu.

   Namun sebenarnyalah tidak lebih dari lontaran kekuatan wadag yang kosong.

   Karena itu, maka Witantra dengan sengit telah menangkis serangan itu dengan membenturkan pedangnya pula.

   Benturan yang keras telah terjadi.

   Namun ternyata bahwa benturan itu telah mengejutkan pemimpin gerombolan yang menyangka bahwa ia mempunyai kekuatan yang luar biasa.

   Dalam pada itu, demikian kerasnya benturan itu terjadi, sementara Witantra dengan sengaja ingin menunjukkan, bahwa ia benar-benar ingin menangkap Rajawali Penakluk, maka pedang di tangan pemimpin gerombolan itu tidak dapat diselamatkan lagi.

   Bukan saja senjata itu terlepas dari tangannya, tetapi senjata itu telah terloncat beberapa langkah dari padanya.

   Sejenak pemimpin gerombolan itu termangu-mangu.

   Namun kemudian iapun menyadari keadaannya.

   Dengan gigi gemeretak ia meloncat beberapa langkah surut.

   Sambil mengumpat ia menyambar pedang seorang gerombolan yang berdiri kehingungan melihat pedang pemimpinnya yang terlempar beberapa langkah itu.

   Dengan pedang yang bergetar di tangannya orang itu melangkah mendekati Witantra lagi ia menggeram "AnakSetan.

   Kau kira apa yang kau lakukan itu dapat menakut- nakuti aku he?"

   "Cobalah"

   Jawab Witantra "sebaiknya kau mencoba meyakini apa yang aku katakan. Panggil Rajawali Penakluk, atau jika ia tidak ada disini, menyerah sajalah. Kami tidak akan berbuat apa-apa. Yang kami cari adalah Rajawali Penakluk itu"

   Pemimpin gerombolan itu tidak menghiraukannya.

   Langkah demi langkah ia maju.

   Pedangnyapun kemudian terjulur lurus kedepan.

   Tetapi Witantrapun seolah-olah tidak menghiraukannya.

   Bahkan iapun kemudian memungut canggah yang tergolek di tanah.

   Sambil melemparkan canggah itu ia berkata kepada orang bertubuh tinggi tegap "Pakailah senjatamu.

   Bantu pemimpinmu.

   Aku memang ingin meyakinkan, bahwa perlawanan kalian akan sia-sia"

   Sambil menangkap senjatanya orang- bertubuh tinggi tegap itu menggeram.

   "Marilah. Kalian harus yakin bahwa kalian memang harus menyerah sebelum orang-orangmu tuntas habis"

   Desis Witantra.

   Kedua orang itupun segera mempersiapkan diri.

   Seperti berjanji, maka keduanyapun kemudian mengambil arah yang berbeda.

   Bahkan dua orang yang lainpun telah mendekat pula.

   Mereka telah bersiap pula membantu pemimpinnya.

   Sementara itu.

   di sekitar tempat itu pertempuran menjadi semakin seru.

   Sayap pasukan Mahisa Bungalanpun menjadi semakin mendekati barak.

   Mereka berusaha mendesak lawan mereka dari barak itu, sementara merekapunberusaha menghalau serangan gerombolan yang datang membantu, sambil bergeser.

   Sebenarnyalah seperti ymg dikatakan oleh Witantra.

   Prajurit Singasari dan pengawal, dan Kediri telah bertempur tanpa pengekangan diri.

   justru karena lawan mereka terlalu banyak.

   Namun dengan demikian, maka korban diantara gerombolan itupun menjadi semakin banyak pula.

   Dalam pada itu, orang-orang yang berada di sekitar Witantrapun telah siap menyerangnya.

   Namun Witantrapun telah siap sepenuhnya.

   Bahkan iapun kemudian berkata "Marilah.

   Mulailah"

   Hampir berbareng orang-orang itupun menyerangnya.

   Namun betapa mereka terperanjat.

   Dengan satu ayunan, dua diantara senjata lawannya telah terlempar.

   Bahkan dengan ayunan berikutnya, maka sekali lagi pedang di tangab pemimpin gerombolan itupun terlepas pula.

   Dengan putaran berikutnya, maka canggah yang mulai bergetar di tangan orang bertubuh tinggi tegap itupun telah terlempar pula.

   Tetapi Witantra tidak berhenti, la benar-banar ingin memaksa pemimpin gerombolan itu menyerah.

   Karena itu, maka tiba-tiba saja ujung pedangnya telah menyentuh pundak lawannya.

   Segores luka telah memerah pada kulitnya.

   "Aku baru memberimu peringatan"

   Berkata Witantra "jika aku bersungguh-sungguh, maka pundakmu akan patah"

   Pemimpin gerombolan yang kehilangan senjatanya itu meloncat mundur. Dirabanya pundaknya. Dan terasa di tangannya, darah telah menitik dari luka itu."Menyerahlah"

   Geram Witantra. Pemimpin gerombolan itu termangu-mangu.

   "Aku memperingatkan sekali lagi. Jika kau tidak mendengarkan peringatanku ini, maka kami akan benar- benar mengambil sikap untuk mengakhiri pertempuran ini dengan memusnahkan kalian semuanya, karena disini kita tidak menemukan Rajawali Penakluk"

   Pemimpin gerombolan itu berdiri tegak seperti patung.

   Sementara Witantra berkata "Berilah isyarat agar pemimpin gerombolan yang menyerang kami dari luar kepungan inipun menyadari bahwa mereka tidak akan berarti apa-apa lagi, selain sekedar mengotori senjata kami"

   Nampaknya memang tidak ada jalan untuk menghindar.

   Ketika sekali lagi pemimpin gerombolan itu memandang berkeliling, maka dilihatnya orang-orangnya menjadi semakin terdesak meskipun jumlahnya masih memadai.

   Tetapi lambat laun jumlah itu akan cepat menjadi susut, tiga empat kali lipat dari jumlah susut para prajurit dan pengawal.

   "Nah. apakah kau akan mengorbankan semua orang- orangmu?"

   Bertanya Witantra. Pemimpin gerombolan itu termangu-mangu.

   "Kami tidak akan berbuat apa-apa terhadap kalian"

   Berkata Witantra "karena yang kami perlukan adalah Rajawali Penakluk itu"

   Pemimpin gerombolan itu masih diam dicengkam oleh kebingungan.

   Tetapi Witantra sengaja memberinya waktu.

   Ia tidak berbuat apa-apa ketika pemimpin gerombolan itu sekali lagi memperhatikan arena pertempuran yang semakin gawat mereka orang-orangnya."Kau yakin sekarang?"

   Bertanya Witantra. Sebenarnyalah bahwa pemimpin gerombolan itupun tidak dapat ingkar melihat medan yang gawat itu. Ia melihat orang-orangnya yang terluka mengerang kesakitan, merangkak-rangkak dan berusaha menghindar dari pertempuran.

   "Pasukan kami dapat membunuh setiap orang di dalam gerombolanmu dan gerombolan yang datang membantumu"

   Berkata Witantra "tetapi apakah itu perlu kami lakukan?"

   Pemimpin gerombolan itupun kemudian bertanya "Apakah yang akan kau lakukan jika kami menyerah"

   "Tidak apa-apa"

   Berkata Witantra "

   Selain menuntut agar kalian merubah cara hidup kalian yang sesat ini"

   "Omong kosong"

   Geram orang itu.

   "Apa gunanya aku menipumu, karena aku yakin bahwa kami akan dapat memusnahkan kalian dalam sehari ini"

   Jawab Witantra.

   Orang itu tercenung sejenak.

   Namun akhirnya iapun percaya bahwa pasukan yang datang itu akan dapat menusnakan orang-orangnya dalam sehari itu.

   Karena itu, maka ia memang tidak mempunyai pilihan lain.

   Pemimpin gerombolan itupun memperhitungkan bahwa pemimpin gerombolan yang lain, yang datang menolongnya, tidak melihat keadaan sejelas seperti yang dilihatnya, karena orang itu berada di dalam kelompok yang menghadapi induk pasukan para prajurit dan pengawal.

   Tetapi sebenarnyalah bahwa pemimpin gerombolan itupun mengetahui keadaan yang dihadapinya.

   Ternyatabahwa induk pasukan lawan yang nampaknya hanya terdiri dari sejumlah kecil parajurit dan pengawal, namun ternyata mereka mempunyai kekuatan yang tidak diduganya.

   Namun demikian, karena ia tidak dapat melihat pertempuran itu dalam lingkup yang lebih luas, maka ia tidak dapat mengambil sikap.

   Sementara itu, pemimpin gerombolan yang tinggal di dalam barak yang didatangi oleh Mahisa Bungalan dan pasukannya itu tidak dapat ingkar lagi, bahwa pasukannya sendiri dan gerombolan yang datang untuk membantunya itu tidak dapat bertahan lebih lama.

   Karena itulah, maka iapun kemudian berkata kepada pengawalnya yang paling dipercaya "Bunyikan isyarat"

   "Isyarat apa?"

   Pengawalnya bertanya.

   "Bodoh kau. Kita hentikan perlawanan"

   Berkata pemimpin gerombolan itu. Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia bertanya "Apakah kita dapat mempercayainya?"

   "Aku percaya kepadanya"

   Jawab pemimpin gerombolan itu. Lalu "Terkutuklah jika ia berbohong"

   "Aku berkata sebenarnya"

   Sahut Witantra "jika kau berniat memenuhi permintaanku untuk menyerah, aku akan turun dan berada dipasukan induk untuk memberikan perintah, agar para prajurit dan pengawalpun menghentikan pertempuran"

   "Kami akan menghentikan perlawanan"

   Berkata pemimpin gerombolan itu.Witantra kemudian meninggalkan tempat itu. Dengan tergesa-gesa iapun menuruni lereng yang tidak terlalu dalanwintuk menemui Mahisa Bungalan.

   "Mereka akan menyerah"

   Berkata Witantra.

   "Apakah mereka tidak akan menipu kita?"

   Bertanya Mahisa Bungalan.

   "Aku kira tidak"

   Jawab Witantra "jika mereka dengan licik menjebak kita, maka kita tidak akan mengampuni setiap orang yang ada di dalam barak itu"

   Sejenak kemudian, ternyata mereka telah mendengar isyarat.

   Dengan kentongan pemimpin gerombolan itu memerintahkan orang-orangnya untuk menghentikan perlawanan.

   Sementara Mahisa Bungalanpun telah menyiapkan isyarat pula dengan panah sendaren, agar para prajurit dan pengawal juga menghentikan pertempuran.

   Beberapa orang prajurit telah melepaskan anak panah keudara berturut-turut pada jarak yang agak jarang.

   Susul menyusul untuk waktu yang agak panjang.

   Dengan demikian, maka kedua belah pihak telah mendapat aba-aba dari induk pasukan masing-masing untuk menarik diri dari benturan senjata.

   Batikan gerombolan yang datang membantu itupun mengerti pula isyarat itu, sehingga merekapun kemudian telah bergeser menjauh.

   Sementara para prajurit dan pengawal juga tidak memburu mereka.

   Sementara itu, maka masih terdengar pula isyarat, bahwa gerombolan itu ternyata telah menyarah.

   Mahisa Bungalan dan Witantrapun kemudian naik tebing untuk menemui pemimpin gerombolan itu.

   Mereka masih minta agar pemimpin gerombolan itumemerintahkan anak buah mereka untuk meletakkan senjata.

   Meskipun agak ragu, tetapi perintah itupun telah diberikan lewat suara kentongan.

   Sehingga dengan demikian maka orang-orangnya telah mengumpulkan senjata mereka dan sama sekali mengakhiri perlawanan.

   Tetapi sebenarnyalah bahwa merekapun menyadari, bagaimanapun juga mereka tidak akan dapat melawan pasukan yang dipimpin oleh anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu.

   Sesaat kemudian, medan yang semula hiruk pikuk oleh suara dentang senjata, sorak kemenangan dan jerit kesakitan, telah menjadi hening.

   Orang-orang yang berdiri tegak bagaikan patung yang membeku.

   Mereka menunggu perintah apa lagi yang harus mereka lakukan.

   Mahisa Bungaianpun kemudian memerintahkan kepada para pemimpin kelompok untuk menarik pasukan mereka dalam himpunan gelar masing-masing.

   Sementara beberapa orang dari merekapun telah berusaha menolong kawan- kawan mereka yang terluka.

   Namun sekali-sekali masih juga terdengar gemeretak gigi, bahwa beberapa orang terpaksa menjadi korban.

   Bukan hanya terluka parah, tetapi ada diantara mereka yang harus melepaskan nyawanya.

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tetapi korban dipihak gerombolan ternyata bagaikan tidak terhitung lagi.

   Yang luka dan yang terbunuh berserakkan silang melintang.

   Mahisa Bungalanlah yang kemudian memanggil kedua orang pemimpin gerombolan yang menyerah itu.

   Katanya "Kita akan berbicara.

   Kumpulkan orang-orangmu dan lakukanlah apa yang dapat kalian lakukan terhadap orangorang kalian yang terluka.

   Kumpulkan mereka untuk menj dapat pengobatan"

   Kedua orang itupun kemudian mengikuti Mahisa, Bungalan dan Witantra sesudah mereka memerintahkan pengawal kepercayaannya untuk mengurus orang- orangnya.

   Mengumpulkan mereka yang tidak cidera, tetapi juga yang terluka dan terbunuh.

   Di tempat yang terpisah, Mahisa Bungalan dan Witantra berbicara langsung dengan kedua orang pemimpin gerombolan yang sudah menyerah itu.

   Apa yang harus mereka lakukan, dan apa yang mereka kehendaki.

   "Kami masih menyayangkan jiwa orang-orang yangt tidak tahu pasti, apa yang sedang mereka lakukan"

   Berkata Mahisa Bungalan.

   "Apakah kami semuanya akan ditangkap?"

   Bertanya pemimpin gerombolan yang tinggal dibarak itu.

   "Apakah ada yang lebih baik dari menangkap kalian"

   Bertanya Mahisa Bungalan.

   Kedua orang itu saling berpandangan.

   Namun keduanya tidak dapat mengatakan sesuatu.

   Agaknya mereka memang menganggap bahwa menyerah akan lebih baik dari membunuh diri bersama-sama dalam jumlah yang besar.

   Karena kedua orang itu tidak menjawab, maka Mahisa Bungalanpun berkata "Aku akan berada disini sampai besok, Kami akan mengambil keputusan, apa yang sebaiknya kami lakukan.

   Aku minta, kalian dan orang- orang kalian tidak melakukan sesuatu yang akan mencelakakan kalian semuanya"

   "Kami, akan mengatur mereka"

   Jawab pemimpin gerombolan yang datang untuk membantu, namun yangternyata, merekapun telah dijenak oleh kekalahan yang gawat.

   Setelah memberikan beberapa janji, maka Mahisa Bungalan dan Witantrapun meninggalkan kedua orang itu untuk mengatur pasukannya.

   Mereka kemudian ditarik beberapa puluh langkah dari barak.

   Namun pasukan itu masih tetap mengawasi barak itu dari segala arah.

   Sementara beberapa orang petugas khusus telah berusaha untuk menolong orang-orang yang terluka dan mengumpulkan beberapa orang yang gugur dipeperangan itu.

   Demikian pula yang dilakukan oleh orang-orang di dalam barak gerombolan itu, Merekapun mengumpulkan korban yang berserakan.

   Sementara beberapa orang diantara merekapun berusaha menolong kawan-kawan mereka yang terluka.

   Dalam pada itu, para prajurit dan pengawal telah mengumpulkan senjata orang-orang yang menyerah itu dan menimbunnya dibawah pengawasan.

   Dengan demikian, maka para prajurit dan pengawal akan yakin, bahwa orang- orang dari gerombolan itu tidak akan melakukan perbuatan yang dapat menjerat mereka ke dalam keadaan yang lebih gawat lagi.

   palam suasana yang muram, para prajurit dan pengawal terpaksa menguburkan kawan-kawan mereka yang terluka senjata di tempat itu.

   Tetapi mereka berusaha untuk mendapatkan tempat yang baik dan ditandai dengan ciri yang akan mudah mereka kenal, sehingga apabila pada suatu saat akan dilakukan upacara bagi mereka, maka mereka akan segera dapat mengenal kembali kubur itu.

   Malam itu, Mahisa Bungalan.

   Witantra dan beberapa orang perwira telah mengadakan pembicaraan.

   Merekakemudian sepakat untuk tidak menangkap semua orang.

   Hanya pemimpin mereka sajalah yang akan dibawa ke Kediri, sementara orang-orangnya yang lain harus menghentikan kegiatan mereka yang merugikan orang lain itu.

   "Tentu akan merupakan satu kesulitan untuk membawa mereka semuanya"

   Berkata salah seorang perwira "sementara beberapa orang masih ada di padepokan itu.

   Namun agaknya cara itulah yang paling baik.

   Kita akan dapat mengancam mereka, jika ternyata mereka masih melakukan kegiatan serupa, maka mereka akan kita tumpas habis disaat lain"

   "Aku sependapat"

   Berkata perwira yang lain "kini mereka nampaknya harus melihat kenyataan.

   Korban terlalu banyak jatuh diantara mereka, sehingga kekuatan, mereka telah susut jauh dari kekuatan mereka sebelumnya.

   Yang lain mengangguk-angguk.

   Mereka tidak mempunyai keberatan, meskipun ada juga semacam dendam yang membara di hati mereka, karena beberapa kawa mereka, yang berangkat bersama-sama, ternyata tidak dapat kembali bersama dengan pasukan itu.

   "Apaboleh buat"

   Desis mereka.

   Dan merekapun mengerti, bahwa akibat seperti itu akan dapat terjadi terhadap setiap prajurit dan pengawal yang mengemban tugas.

   Demikianlah, maka pasukan yang dibawah pimpinan Mahisa Bungalan itu telah mengambil satu sikap terhadap gerombolan yang nyaris mereka hancurkan.

   Dengan demikian, maka pada pagi hari berikutnya, Mahisa Bungalan telah menemui kedua orang pemimpin gerombolan itu.

   Kepada mereka disampaikan, hasilpembicaraan yang menyangkut kedua orang pemimpin gerombolan itu.

   "Kalian berdua dan orang-orang terpenting dari gerombolan kalian akan kami bawa ke Kediri"

   Berkata Mahisa Bungalan.

   "Kami tidak akan membantah"

   Jawab salah seorang dari kedua orang itu "tetapi kamipun mohon agar nasib kami mendapat perlindungan"

   "Aku akan berusaha"

   Jawab Mahisa Bungalan "sebentar lagi kami akan meninggalkan tempat ini. Kumpulkan orang-orangmu. Aku ingin berbicara kepada mereka"

   Demikianlah, maka di hadapan orang-orang yangj semula termasuk dalam gerombolan yang terhitung kuat itu, Mahisa Bungalan telah memberikan beberapa petunjuk agar mereka meninggalkan cara hidup mereka yang hitam itu.

   "Kalian akan dapat mencari jalan lain untuk memberi makan dan pakaian keluarga kalian"

   Berkata Mahisa Bungalan "apa yang kalian lakukan selama ini adalah perbuatan yang tercela. Kalian telah membuat orang lain menjadi korban untuk kepentingan kalian"

   Orang-orang itupun mendengarkan keterangan itu dengan sungguh-sungguh.

   Mereka tidak dapat berbuat lain.

   Seandainya mereka masih menggenggam senjata, mungkin mereka akan bersikap lain.

   Mungkin mereka akan berteriak untuk membungkam mulut Mahisa Bungalan.

   Katau Mahisa Bungalan masih juga berbicara, mereka akan dapat membungkam dengan cara lain, dengan ujung senjata kalian.

   Tetapi senjata mereka telah mereka serahkan Mereka sudah tidak berdaya lagi.

   Dengan demikian, maka merekatidak mempunyai pilihan lain daripada mendengarkan keterang an Mahisa Bungalan itu.

   Namun Mahisa Bungalanpun menyadari.

   Orang-orang yang untuk waktu yang lama hidup dalam lingkungan yang seolah-olah tidak terjamah oleh tata kehidupan dan pergaulan antara manusia yang berusaha meningkatkan peradaban mereka, tentu tidak akan dengan mudah menerima pengertian-pengertian yang dikatakannya.

   Karena itu, aka iapun kemudian juga mempergunakan bahasa orang-rang yang sedang dihadapinya.

   Katanya "Kali ini kalian kami ampuni.

   Tetapi kami berharap, bahwa pesan-pesan kami dapat kalian lakukan.

   Jika tidak dan ternyata kami masih melihat dan menjumpai kalian dalam tingkah laku alian sekarang ini, maka kami tidak akan dapat mengampuni kalian lagi.

   Kami akan menumpas setiap orang yang tertinat dalam kegiatan yang bertentangan dengan tata hidup yang tertib dan saling menghormati"

   Terasa juga jantung mereka tersentuh oleh kata-kata itu.

   Ancaman itu harus mereka pertimbangkan.

   Dan agaknya ancaman itu terpahat lebih dalam di hati mereka dari pada beberapa pengertian tentang tata kehidupan dan pergaulan antar manusia, karena sebenarnyalah mereka masih terlalu sulit untuk mengerti, bahwa merugikan orang lain itu adalah salah satu perbuatan yang harus dikutuk.

   Karena bagi mereka, kekuatan memiliki kemungkinan terbesar di dalam hubungan antar manusia.

   Yang menanglah yang menentukan atas yang lemah.

   Beberapa kali Mahisa Bungalan menekankan pesan- pesannya.

   Sehingga Mahisa Bungalan yakin, bahwa orang- orang itu benar-benar mengerti yang dimaksudkan, dan benar-benar ngeri mengalami hukuman yang bakal dijatuhkan kepada mereka, apabila mereka melanggar pesan pesan itu.Setelah selesai dengan pesan-pesannya, maka Mahisa Bungalanpun kemudian minta diri.

   Dua orang pemimpin mereka dari dua lingkungan akan dibawa oleh pasukan Mahisa Bungalan bersama dua orang terpenting dari lingkungan masing-masing.

   Sehingga dangan demikian, maka Mahisa Bungalan akan menjadi lebih yakin lagi, bahwa gerombolan itu tidak akan mampu lagi berbuat apa- apa.

   Selain segala macam pesan itu, Mahisa Bungalan masih mengambil satu sikap yang sebenarnya sangat berat bagi mereka.

   Semua harta kekayaan yang ada dan bernilai tinggi akan dibawa oleh pasukan itu untuk diserahkan kepada pimpinan di Kediri.

   Adalah sangat baik apabila barang- barang itu dapat diserahkan kembali kepada yang memilikinya.

   Tetapi jika hal itu tidak mungkin lagi dilakukan, karena pemiliknya sudah tidak dapat mengenali orang-orang mereka yang sudah terlalu lama hilang, atau karena sebab-sebab lain, sehingga barang-barang itu tidak dapat lagi sampai kepada para pemiliknya, maka barang- barang itu akan dapat dipergunakan untuk kepentingan yang lebih berarti bagi Kediri.

   Demikianlah, maka ketika matahari naik lebih tinggi lagi, pasukan itu meninggalkan barak gerombolan yang dianggap paling kuat di daerah yang luas, yang seolah-olah jarang sekali dapat dijangkau oleh tangan-tangan pasukan yang dapat memberikan perlindungan kepada rakyat yang lemah.

   "Kita akan menyusun rencana baru"

   Berkata Ma hisa Bungalan kepada Witantra "tetapi pada dasarnya, aku akan datang kesetiap sarang seperti yang sudah kita"

   "Apakah tidak ada cara lain"

   Bertanya Witantra kepada diri sendiri. Tetapi ia masih belum mengucapkan pertanyaan itu kepada siapapun juga. rencanakan, dan yangsudah disepakati bersama dengan Pangeran Kuda Padmadata"

   Witantra mengangguk-angguk.

   Tetapi iapun sadar, bahwa perburuan ini tentu akan memakan waktu, beaya dan korban yang tidak sedikit.

   Ketika iring-iringan pasukan itu sampai di padepokan kecil, yang seakan-akan merupakan pangkatan samentara di daerah yang jauh itu, maka Pangeran Kuda Padmadatapun telah berada di padepokan itu pula.

   Pengalaman pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Kuda Padmadata itupun hampir bersamaan dengan yang terjadi atas Mahisa Bungalan.

   Meskipun sebelumnya mereka tidak berjanji, tetapi keputusan yang mereka ambilpun jampir bersamaan pula.

   Seperti Mahisa Bungalan, maka Pangeran Kuda Pad madata tidak membawa semua orang yang tergabung dalam gerombolan yang didatanginya.

   "Aku mencoba untuk memberikan peringatan-peringatan keras terhadap mereka"

   Berkata Pangeran Kuda Padmadata "hanya tiga orang yang aku bawa bersama kami"

   Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata "Mudah-mudahan mereka menepati janji. Jika tidak, kami terpaksa melakukan seperti apa yang telah kami katakan kepada mereka"

   "Ya"

   Berkata Pangeran Kuda Padmadata "untuk menegakkan wibawa Singasari dan Kediri. Tetapi juga untuk kepentingan rakyat yang selaku diancam oleh ketakutan"

   Untuk beberapa hari, maka pasukan yang di padepokan itu beristirahat.

   Mereka menunggu kawan-kawan mereka yang terluka menjadi sembuh kembali, atau setidak- tidaknya luka-luka itu menjadi bertambah ringan.Namun demikian, Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata masih dalam pendirian mereka, bahwa perburuan harus dilanjutkan.

   Witantra yang sempat berbicara dengan Mahisa Agni, Mahendra dan Ki Wastu menjadi prihatin.

   Jika usaha itu dilanjutkan dengan cara yang sama, maka korban tenu akan menjadi semakin banyak.

   Setiap kali Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata mendatangi sarang-sarang gerombolan, maka tentu ada satu dua orang prajui dan pengawal yang gugur.

   Meskipun mereka juga akan berhasil membunuh jauh lebih banyak.

   Namun kematiian yang demikian seharusnya dapat dihindari, karena yang mereka cari sebenarnya adalah Ki Dukut Pakering.

   Tetapi ketika hal ini mereka sampaikan kepada Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata, maka sikap keduanyapun hampir sama.

   "Paman"

   Berkata Mahisa Bungalan kepada Witantra "bukankah dengan demikian kita akan mendapi hasil ganda.

   Selain mencari Ki Dukut Pakering kita sudah berbuat sesuatu bagi keamanan di daerah ini.

   Bukankah dengan demikian kita sudah menghancurkan sarang-sarang gerombolan yang bengis bagi rakyat di sekitarnya.

   Bukankah dengan demikian kita dapat merampas kembal apa yang pernah mereka rampas dari rakyat? Usaha kita bukan sekedar mencari dan membunuh Ki Dukut Pakering.

   Tetapi sekaligus dengan tugas yang tidak kalah pentingnya dari mencari Ki Dukut itu sendiri"

   Orang-orang tua yang menyertai mereka sampai ke padepokan itu tidak dapat membantahnya.

   Yang dikatakan anak-anak muda itu memang tidak terlalu salah.

   Tetapi apakah tidak ada cara yang lebih baik agar korban dapat dikurangi sejauh-jauhnya.Namun orang-orang tua itu hanya dapat menggeleng- gelengkan kepala, ketika anak-anak muda itu berbicara di hadapan para prajurit dan pengawal.

   Mereka telah berhasil menempa hati para prajurit dan pengawal, sehingga merekapun justru mengharap, kapan mereka akan berangkat lagi untuk menumpas tindakan-indakan terkutuk dari orang-orang yang sama sekali tidak bertumpu pada peradaban manusia itu.

   Akhirnya, datang pula saatnya Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata berangkat lagi dalam tugas mereka.

   Dari orang-orang yang tertawan mereka mendapat petunjuk-petunjuk tempat-tempat lain yang mungkin menjadi tempat persembunyian Ki Dukut Pakering.

   Karena itu, maka pada saatnya, Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata telah menyiapkan pasukan mesing-masing.

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Seperti sebelumnya, maka merekapun menuju kesasaran yang berbeda.

   Dan seperti yang pernah mereka lakukan, orang-orang tuapun tidak sampai hati melepaskan mereka pargi tanpa pangawasan.

   Witantra tetap pada pasukan Mahisa Bungalan, dan Mahisa Agni tetap pada pasukan Pangeran Kuda Padmadata.

   Sementara Mahendra, anak-anaknya yang lain dan Ki Wastu tetap berada di padepokan.

   Sebenarnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendesak ayahnya sekali lagi, agar mereka diperkenankan mengikuti perjalanan kedua yang dilakukan oleh Mahisa Bungalan.

   Namun seperti yang terdahulu, ayahnya tetap berkeberatan untuk melepaskan mereka pergi, karena menurut ceritera yang didengarnya, maka medan yang di hadapi oleh pasukan-pasukan itu adalah meden yang cukup berat.

   "jadi kapan kita akan pergi?"

   Bertanya Mahisa Murti."Kita tidak pergi bertamasya"

   Jawab ayahnya "aku akan memberitahukan kepada kalian, jika menurut perhitunganku hal itu memungkinkan.

   Tetapi jika tidak, maka kita akan tetap menunggu di sini.

   Itu bukan berarti bahwa kita tidak berbuat apa-apa.

   Disini kita mambantu menjaga para tawanan.

   Bahkan mungkin Ki Dukut Pakering yang kita cari kemana-mana itu justru datang kemari dengan maksud yang paling buruk yang pernah direncanakan.

   Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat memaksa.

   Karena itu, betapapun mereka sangat kecewa, mereka harus tetap tinggal di padepokan itu bersama ayahnya dan beberapa orang prajurit dan pengawal yang mengawasi beberapa orang tawanan bersama para cantrik padepokan itu.

   Tetapi yang terjadi kemudianpun tidak berbeda dengan yang baru saja dilakukan oleh Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata.

   Mereka hanya menemukan sarang gerombolan tanpa orang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk.

   Merekapun hanya menemukan kematian tanpa arti, karena mereka tidak berhasil menangkap buruan mereka.

   Namun demikian, Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata masih merasa bahwa mereka telah berbuat sesuatu.

   Mereka telah berhasil membuat orang-orang itu mengakui dan menyesali kesalahan mereka, sehingga mereka berjanji tidak akan melakukannya lagi.

   Dalam pada itu, daerah yang bagaikan diaduk oleh prahara karena kehadiran pasukan Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata di daerah yang luas, telah menjadi perhatian beberapa orang yang meskipun tidak langsung, namun ikut berkepentingan.

   Orang-orang yang memiliki ilmu yang cukup, namun yang telah memilih daerah hitam sebagai arena hidup mereka.Yang memperhatikan segala peristiwa itu dengan darah yang mendidih adalah Ki Dukut Pakering sendiri.

   Meskipun ia tidak berada di antara orang-orang yang dihancurkan oleh pasukan Singasari dan Kediri itu, namun ia mendengar apa yang telah terjadi.

   Pasukan yang telah dikumpulkannya untuk mendukung usahanya itu ternyata telah hancur berserakan.

   Tetapi itu adalah suatu hal yang sangat wajar.

   Mereka tidak mempunyai kekuatan untuk bertahan terhadap pasukan Kediri, apalagi pasukan Singasari.

   Namun dalam pada itu, sebenarnyalah ada orang-orang yang lebih baik yang dapat dihubungi oleh Ki Dukut Pakering.

   Namun dengan demikian, Ki Dukut harus berjuang mengatasi hambatan dari dalam dirinya sendiri.

   "Aku harus terjun ke dalam warna yang kelam itu pula"

   Berkata Ki Dukut di dalam hatinya.

   Tetapi ia sudah tidak mempunyai pilihan lain.

   Apa yang dilakukan selama ini, sebenarnyalah bahwa tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang hidup di dunia yang hitam.

   Karena itu, maka Ki Dukutpun segera memutuskan bahwa ia akan berada di tengah-tengah orang-orang yang disebut golongan hitam.

   "Aku akan hadir diantara mereka"

   Berkata Ki Dukut "meskipun mungkin memerlukan pengorbanan perasaan"

   Demikianlah, maka Ki Dukutpun telah membulatkan tekadnya.

   Berita kehancuran dari gerombolan-gerombolan yang pernah menjadi tempat penyangga niatnya itupun merupakan dorongan baginya untuk memilih tempat, karena tidak ada tempat lain yang akan dapat menerimanya lagi."Kepada penjahat-penjahat kecil aku dapat memberikan janji-janji kecil"

   Berkata Ki Dukut kepada dirinya sendiri "mereka sudah berangan-angan dan berpengharapan jika aku berbicara tentang istana Pangeran Kuda Padmadata yang menyimpan beberapa puluh keping emas, berlian dan pusaka-pusaka.

   Tetapi kepada orang-orang yang jauh lebih besar, akupun harus memberikan harapan-harapan yang besar"

   Karena itu, maka yang kemudian akan disebut-sebut oleh Ki Dukut dengan orang-orang yang dianggapnya cukup besar dilingkungan orang-orang berilmu hitam, adalah Kediri itu sendiri.

   "Kita sudah terlalu lama berada di bawah kekuasaan Singasari"

   Berkata Ki Dukut Pakering dengan seorang yang dikenal bernama Macan Wahan. Macan Wahan itu tertawa. Katanya "Apa yang dapat kita lakukan?"

   "Kau berhati kerdil"

   Berkata Ki Dukut yang datang ke padepokan Macan Wahan.

   "Jangan berkata begitu Ki Dukut"

   Jawab Macan Wahan "kau yang telah terusir dari istana muridmu itu, nampaknya menjadi sakit hati dan berusaha untuk mendapatkan dukungan yang kuat agar kau dapat membalas dendam"

   "Pandanganmu cukup tajam"

   Jawab Ki Dukut "tetapi ada yang kurang. Kau belum menyebut apakah kepentinganku dengan kedua orang muridku itu"

   "Katakan"

   "Niatku untuk merebut Kediri dari tangan Singasari itulah yang membekali aku untuk memasuki lingkungan para bangsawan di Kediri"

   Berkata Ki Dukut "tetapi akugagal, karena seorang dari muridku itu ternyata seorang pengecut"

   "Kuda Padmadata?"

   Bertanya Macan Wahan.

   "Ya. Adiknya memiliki keberanian yang dapat aku banggakan. Aku berusaha untuk memupuknya. Tetapi keberanian itu telah terbentur pada sikap kakaknya. Bahkan kakaknya telah sampai hati menjerumuskan adiknya ke lubang kematian"

   "Kau berkata sebenarnya?"

   Bertanya Macan Wahan.

   Ki Dukut menjadi berdebar-debar.

   Menurut djgaannya, tidak banyak orang yang mengetahui persoalan yang sebenarnya antara dirinya dengan Pangeran Kuda Padmadata.

   Tidak banyak orang yang tahu persoalan yang timbul antara dirinya dengan seorang perempuan yang ternyata anak Ki Wastu yang kemudian diperisterikan oleh Pangeran Kuda Padmadata.

   Karena itu, maka iapun mencoba menjajagi "Menurut pendapatmu.

   apakah aku telah berdusta?"

   "Aku tidak mengatakan demikian. Tetapi kau dapat saja membuat ceritera yang sangat menarik tentang dirimu sendiri dan murid-muridmu itu"

   Jawab Macan Wahan.

   Ki Dukut tidak segera menjawab.

   Ia masih tetap bimbang, apakah sebenarnya Macan Wahan sudah mengetahui keadaan dirinya yang sebenarnya.

   Namun Ki Dukut Pakering itu menarik nafas dalam- dalam ketika Macan Wahan itu berkata "Ki Dukut.

   Tentu aku tidak akan dapat mempercayai ceritera yang tersebar di Kediri, bahwa kematian Pangeran Kuda Rukmasanti itu karena satu kecelakaan.

   Karena ada perampok yang memasuki istana.

   Bahkan ada diantara mereka yang terbunuh.

   Tetapi sudah tentu bahwa akupus tidak dapatlangsung mempercayai segala macan ceriteramu tentang kedua murid-muridmu itu"

   Ki Dukutpun kemudian tertawa.

   Katanya "Memana aneh.

   Aku sudah barang tentu akan tertawa mendengar ceritera tentang perampok-perampok itu.

   Tetapi sebenarnyalah, bahwa Pangeran Kuda Padmadata memiliki kecakapan yang licik untuk membunuh adiknya.

   Ada beberapa alasan.

   Ia merasa iri, bahwa adiknya memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari Pangeran Kuda Padmadata.

   Tetapi yang lebih parah adalah perasaan cemburu yang membakar jantungnya.

   Namun ada pula perselisihan pendapat diantara mereka tentang masa depan Kediri"

   "Kau kira aku berkepentingan dengan masadepan Kediri dan Singasari"

   Bertanya Macan Wahan.

   "Ada atau tidak ada, tetapi apakah kira-kira sama sekali tidak ada rasa tanggung jawabmu barang setitik terhadap tanah kelahiranmu?"

   Bertanya Ki Dukut.

   "He, kau kira aku lahir dimana?"

   Tiba-tiba Macan Wahan tertawa "aku tidak lahir di tlatah Kediri atau Singasari"

   "Dimana kau lahir?"

   Bertanya Ki Dukut.

   "Aku lahir diatas tanah perdikan. Seperti sekarang aku merasa tidak berada dibawah pemerintahan Kediri maupun Singasari"

   Jawab Macan Wahan.

   Ki Dukut menarik nafas dalam-dalam.

   Lalu katanya "Tetapi bagaimanapun juga.

   sebenarnya kau dapat berbuat sesuatu.

   Aku masih akan selalu berusaha, agar Kediri dapat bangkit untuk melepaskan diri dari Singasari.

   Bahkan aku ingin mengembahkan kebesaran Kediri dengan Menghapuskan arti Singasari dan menjadikan kembalisebagai Tanah Pakuwon.

   dibawah pimpinan seorang Akuwu"

   "Kau sedang bermimpi"

   Desis Macan Wahan.

   "Tidak. Orang-orang Kediri sekarang sedang tidur nyenyak. Soalnya, bagaimana membangunkan mereka. Aku sama sekali tidak mempunyai satu keinginan intuk mendapatkan derajad atau pangkat apapun juga, selain didorong oleh satu perasaan tanggung jawab terhadap bumi kelahiranku"

   Berkata Ki Dukut.

   "orang yang akan bangkit untuk mengedalikan pemerintahan di Kediri. Semula aku telah mempersiapkan kakak beradik Kuda Padmadata dan Kuda Rukmasanti untuk mengimbangi dua orang saudara sepupu yang memerintah di Singasari. Aku yakin, kedua Pangeran dari Kediri itu akan mempunyai Pengaruh jauh lebih besar di Kediri itu sendiri, sehingga kekuatan di Kediri akan bangkit. Tetapi sayang, salah seorang dari kedua Pangeran itu ternyata tidak jujur"

   Desis Ki Dukut.

   "Apakah kau masih mungkin dapat berhubungan dengan para bangsawan di Kediri?"

   Bertanya Macan Wahan.

   "Aku yang tidak percaya lagi kepada para bangsawan. Mereka masih tetap hidup senang dalam keadaan yang seperti sekarang ini. Itulah kelicikan orang-orang Singasari, sehingga para bangsawan di Kediri seolah-olah telah tertidur karenanya di atas alas keresahan rakyatnya. Macan Wahan mengerutkan keningnya. Ia tidak segera mengetahui arah pembicaraan Ki Dukut Pakering, Meskipun ia tidak segera bertanya, tetapi terasa oleh Ki Dukut, bahwa pertanyaan itu telah menyangkut di hatinya.

   "Kita harus lebih teliti melihat kenyataan yang terjadi di daerah Kediri"

   Berkata Ki Dukut kemudian "karena itu aku menganggap bahwa kekuatan yang terbaik tidak terletak pada para bangsawan yang telah dibius dengan hidupbermewah-mewah oleh orang-orang Singasari.

   Tetapi kita harus menggerakkan rakyat yang hampir kehilangan nilai- nilai kemanusiaannya oleh penderitaan yang tidak tertanggungkan"

   Macan Wahan mengerutkan keningnya.

   Namun katanya kemudian "Aku menjadi semakin bingung.

   Apakah keresahan diantara rakyat Kediri itu terasa ditumbuhkan oleh sikap para bangsawan.

   He, apakah kau tidak mendengar, betapa para perampok-perampok kerdil telah menggelisahkan rakyat dipadesan.

   Bukankah Kediri justru merasa wajib untuk menindas para perampok ditlatah Kediri seperti yang terjadi akhir-akhir ini?"

   Jantung Ki Dukut berdesir. Ia mengerti, bahwa Singasari dan Kediri agaknya sudah mengambil sikap tegas terlalu, kenapa kau datang kemari"

   Bertanya Macan Wahan.

   "Kita dapat berbicara tentang masa depan Kediri"

   Jawab Ki Dukut. Macan Wahan tertawa pula. Katanya "Kau memang orang aneh. Sudah aku katakan, bahwa aku tidak mempunyai kepentingan apa-apa dengan Kediri"

   "Aku sudah tidak mempunyai pamrih apapun bagi diriku sendiri"

   Sahut Ki Dukut.

   "Terserah kepadamu"

   Gumam Macan Wahan "tetapi agaknya aku memang berbeda. Jika aku berbuat sesuatu, tentu aku mempunyai pamrih"

   "Untuk perbuatan yang lain dari ungkapan rasa tanggung jawab terhadap bumi kelahiran, terserah. Tetapi apakah kau juga mempunyai pamrih pribadi jika kau berbuat sesuatu atas Kediri"

   Bertanya Ki Dukut."Tentu. Apalagi aku memang merasa bukan orang yang lahir dalam lingkup kekuasaan Kediri"

   Jawab Macan Wahan.

   "Jika pamrih pribadi itu ada, apakah kau dapat menyebutkannya?"

   Bertanya Ki Dukut.

   "Tentu. Misalnya, bahwa aku akan dikukuhkan kedudukanku sebagai pemimpin atas tanah yang aku anggap tanah perdikan ini. Bahwa dengan daerah yang dua tiga kali lebih luas dari yang aku kuasai sekarang. Mungkin seluas Tanah Pakuwon atau mendekati kekuasaan seorang Akuwu di atas tanah yang tidak dibawah perintah"

   Berkata Macan Wahan.

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Itu berlebih-lebihan. Kekuasaanmu akan melampaui kekuasaan-seorang Akuwu"

   Desis Ki Dukut.

   "Apa pedulimu? Tetapi sudahlah, jangan bermimpi. Aku juga tidak ingin mimpi. Marilah kita berbicara tentang persoalan-persoalan yang sewajarnya kita hadapi"

   "Persoalan Kediri itupun persoalan wajar. Tetapi aku kira yang kau katakan itupun tidak mustahil, asal kita sendiri dapat ikut menentukan jalannya pemerintahan kelak"

   Berkata Ki Dukut.

   "Maksudmu?"

   Bertanya Macan Wahan.

   "Kita harus mempunyai pengaruh yang kuat terhadap ladap para perampok yang telah digerakkannya dengan nama Rajawali Penakluk"

   Namun ia berkata "Perampok-perampok yang malang, tetapi kau tahu, apakah sebenarnya yang telah memaksa mereka menjadi perampok? Memang agak berbeda dengan apa yang kau lakukan.

   Kau tidak dapat disebut perampok seperti mereka, karena kau memang tidak merampok dan menyamun dalam pengertian sewajarnya""Jangan menyinggung perasaanku"

   Potong Macan Wahan.

   "Bukan maksudku. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa perampok-perampok kerdil yang tumbuh dimana-mana di tlatah Kediri itu adalah gambaran keresahan rakyat. Mereka tidak lagi mengerti apa yang sebaiknya mereka lakukan. Karena itulah, maka merekapun dengan mudah dipengaruhi oleh beberapa orang penjahat kecil. Mereka telah dibakar dengan keterangan-keterangan yang memang dapat membangkitkan kedengkian dan iri hati. Perampok- perampok kecil itu dengan tajam telah memberikan gambaran yang tajam tentang perbedaan tataran kehidupan rakyat Kediri. Karena itu maka mereka yang Kehilangan nalar, akan dengan cepat mengambil keputusan, benar atau salah"

   "Lalu, apakah kau akan berbuat serupa?"

   Beritanya Macan Wahan.

   "Ya. Tetapi untuk kepentingan yang besar bagi kejayaan Kediri"

   Jawab Ki Dukut "kita harus menggerakkan mereka"

   "Mereka siapa?"

   Bertanya Macan Wahan.

   "Rakyat Kediri yang malang"

   Jawab Ki Dukut.

   Macan Wahan termangu-mangu sejenak.

   Sementara Ki Dukutpun melanjutkannya "Rakyat harus berbuat sesuatu tidak sebagai perampok-perampok kecil yang justru merugikan rakyat Kediri sendiri.

   Bukan harus saling memeras, saling menghisap dan saling merampas.

   Tetapi mereka harus bangkit untuk membangunkan para bangsawan yang telah tertidur.

   Barulah, jika para bangsawan itu telah terbangun dari mimpi mereka yang nikmat, maka Kediri akan bangkit kembali untuk menghancurkan Singasari yang semula tidak lebih dari sebuah Pakuwon, yang dipimpin oleh Tunggul Ametung,dan yang kemudian direbut oleh anak perampok bernama Ken Arok itu"

   "Lalu apa keuntungannya?"

   Bertanya Macan Wahan.

   "Kau ikut menjadi penentu. Karena itu, marilah kita berdiri di depan. Kita akan dapat menentukan ujud yang paling baik dari Kediri mendatang. Para bangsawan yang terbangun dari mimpi itu, akan terterima kasih kepada kita jika kelak mereka berhasil. Dengan demikian, meskipun kita tidak berdiri di paling depan, juga tidak mungkin untuk berada di atas tahta, namun kita telah ikut membuat pola dari satu pemerintahan yang besar di Kediri. Kita akan dapat ikut menantukan, siapakah yang sudah dianggap berjasa, dan mendapat imbalan yang sepadan. Mungkin tanah perdikan yang luas. Mungkin pangkat dan derajad, sebagai Akuwu misalnya. Atau imbalan-imbalan lain yang memadai"

   "Apakah modal kita? Padepokan kecilku ini?"

   Bertanya Macan Wahan.

   "Ya. Tetapi sudah barang tentu kita tidak akan berbuat bodoh. Kita akan mulai dengan perbuatan-perbuatan kecil yang akan dapat menarik perhatian. Mungkin kita akan dapat menghimpun orang-orang sesat yang menjadi perampok-perampok kerdil itu"

   "Untuk apa?"

   Bertanya Macan Wahan.

   "Ada dua keuntungan"

   Jawab Ki Dukut "Pertama kita akan mendapat kekuatan. Kedua, rakyat akan berterima kasih kepada kita, karena kita berhasil menghentikan kelakuan mereka"

   Macan Wahan tertawa.

   Katanya "Orang-orang Kediri telah melakukannya lebih dahulu.

   Mereka telah menyapu para penjahat kecil itu""Tidak apa.

   Biarlah mereka melakukannya sekarang.

   Tetapi kita akan dapat melakukannya dengan cara lain.

   Kekerasan akan menumbuhkan dendam.

   Dan orang-orang yang mendendam itu akan kita pergunakan.

   Selebihnya, bukankah kita mempunyai beberapa orang kawan yang tinggal di padepokan-padepokan yang terpencar?"

   Bertanya Ki Dukut.

   "Padepokan yang mana?"

   Bertanya Macan Wahan.

   "Hanya mereka yang mampu berpikir"

   Jawab Ki Dukut "aku sudah mencoba berhubungan dengan beberapa padepokan. Ternyata mereka lebih senang tidur mendekur seperti para bangsawan"

   Macan Wahan termangu-mangu sejenak.

   Namun kemudian iapun tertawa sambil berkata "Kau nampaknya tidak berhasil mempengaruhi beberapa orang pemimpin padepokan.

   He, bukankah pendengaranku tidak salah? Kau pernah berusaha melakukannya sebelum kau datang kemari?"

   "Ya. Aku telah menghubungi beberapa orang pemimpin padepokan untuk memulai dengan rencana besarku sebelum orang-orang Kediri membersihkan para perampok yang menurut pendengaranku dipimpin oleh orang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu"

   Berkata Ki Dukut kemudian "tetapi aku gagal, karena tidak ada keberanian sama sekali diantara pemimpin padepokan yang berjiwa kerdil itu"

   "Kaulah yang bodoh"

   Berkata Macan Wahan sambil tertawa "siapa yang telah kau datangi? Dan kenapa kau tidak lebih dahulu datang kepadaku?"

   "Aku masih memilih. Aku ingin bekerja bersama dengan pemimpin padepokan yang tidak berhaluan hitam sepertikau. Tetapi ternyata aku tidak mendapatkan apa-apa"

   Berkata Ki Dukut Pakering.

   Macan Wahan menegang sejenak.

   Namun iapun ke, mudian tertawa.

   Katanya "Sekarang kau datang juga kei padaku.

   He, apakah kau baru melihat, bahwa kekuasaan ilmuku memiliki banyak kelebihan dari orang yang mengatakan dirinya bersumber pada ilmu putih.

   Siapakah yang menyebut ilmu hitam dan ilmu putih itu? Mungkin cara kita meneguk ilmu berbeda.

   Tetapi jika yang putih itu yang baik dan yang hitam itu yang buruk, maka sekarang kau ternyata telah datang kepada yang buruk"

   "Semula aku memang menganggap begitu"

   Jawab Ki Dukut "menurut pendengaranku, cara yang kalian pergunakan untuk menyadap ilmu sangat mengerikan. Bahkan kadang-kadang tidak menghiraukan lagi nilai dan martabat manusia"

   "Itu hanya dugaan. Mungkin menurut pendar orang yang tidak menyukai perkembangan cabang ilmu dari perguruanku dan kawan-kawanku yang disebutnya berilmu hitam"

   Berkata Macan Wahan.

   Lalu "Tetapi kami memang mempunyai batasan dan ketentuan yang berat dan ketat.

   Ada beberapa keharusan yang tidak dapat disingkirkan dari perguruan kami.

   Tetapi maksudnya adalah, bahwa setiap orang yang menyelesaikan penyadapan ilmu di perguruan ini, benar-benar memiliki ilmu yang berbobot.

   Dan barangkali cara dan keharusan- keharusan itulah yang menyebabkan orang lain menilai cara-cara yang kami tempuh melanggar nilai dan peradaban manusia"

   Ki Dukut menarik nafas dalam-dalam.

   Katanya "Mungkin begitu.

   Tetapi aku tidak peduli cara yang kau tempuh.

   Aku hanya ingin kau bekerja bersama aku menegakkan kewibawaan Kediri kembali.

   Aku mempunyai cara dan jalan yang dapat ditempuh.

   Kau mempunyaikekuatan yang dapat disusun berdasarkan hubungan kita yang luas"

   "Aku akan melihat, apa yang akan kau lakukan. Untuk sementara aku akan memberikan tempat kepadamu di padepokan ini. Mungkin aku dapat membantumu dalam beberapa hal. Aku dapat berhubungan dengan kawan- kawanku. Tetapi aku belum menentukan dengan pasti, apa yang akan aku lakukan"

   Berkata Macan Wahan.

   "Terserah kepadamu. Tetapi kita tidak boleh terlambat. Apakah kau tidak dapat mencium kelicikan orang-orang Singasari pada saat-saat terakhir? Mereka telah mengikut sertakan beberapa orang prajurit untuk membantu para pengawal dari Kediri melakukan tugasnya, terutama atas orang-orang yang tidak dikehendaki. Bukankah dengan demikian akan berarti kekuatan Singasari di Kediri akan semakin bertambah-tambah"

   Berkata Ki Dukut "tetapi yang lebih parah bukannya jumlah pasukan Singasari yang semakin banyak di Kediri. Tetapi bahwa rakyat Kediri akan merasa berterima kasih kepada orang-orang Singasari. Dengan demikian maka Kediri akan semakin lelap tertidur"

   Macan Wahan tertawa.

   Katanya "Aku akan memikirkannya bersama beberapa orang kawan.

   He, Ki Dukut.

   Jika semula kau curiga terhadap kami, sehingga kau lebih senang memilih orang-orang yang kau anggap berilmu putih, apakah tidak sewajarnya jika akupun mencurigaimu.

   Mungkin kau sekarang dapat bekerja bersama dengan kami yang kau sebut berilmu hitam.

   Tetapi jika Kediri telah tegak, dan kau berhasil menghrmpn kekuatan dan membangunkan para bangsawan yang kau katakan tidur lelap itu, maka kaupun mulai bergerak.

   Tidak untuk memulihkan kebesaran Kediri dengan menggulung semua pengaruh Singasari, tetapi kau mulai dengan melenyapkan pengaruh kekuatan yang kau sebut ilmu hitam""Kau berprasangka"

   Desis Ki Dukut.

   "Tentu, seperti juga kau berprasangka"

   Jawab Macan Wahan.

   "Terserahlah atas penilaianmu. Aku bersedia menunggu di sini, meskipun akupun sadar, bahwa mungkin satu dua orang kawan-kawanmu akan berpendapat lain. Mungkin satu dua orang kawanmu justru ingin menangkap aku, memeras darahku untuk mencuci tangan mereka, agar kekuatan mereka bertambah-tambah karena mereka menganggap kemampuanku dan kesempurnaan ilmuku akan berpengaruh terhadap mereka"

   Desis Ki Dukut. Tetapi Macan Wahan tertawa. Katanya "Itu adalah pengertian yang salah. Agaknya pengertian yang demikianlah, maka orang-orang diluar lingkungan kami menganggap bahwa ilmu kami adalah ilmu hitam"

   "Apakah hal itu tidak pernah terjadi? Korban darah?"

   Bertanya Ki Dukut.

   "He, kau ingin berbicara tentang Kediri atau tentang korban darah yang kau salah artikan itu?"

   Bertanya Macan Wahan yang masih juga tertawa.

   Ki Dukut terdiam sejenak.

   Namun wajahnya nampak iegang.

   Sesaat ia memandang Macan Wahan yang tertawa.

   Sebenarnyalah, bahwa mungkin saja dapat terjadi seperti yang dikatakannya sendiri hampir diluar sadarnya itu.

   "Tetapi aku bukan golek kayu yang dapat diperlakukan menurut kehendak mereka"

   Berkata Ki Dukut yang merasa juga mempunyai kemampuan yang tidak kalah dari orang- orang yang berilmu hitam itu "jika mereka memaksa aku berkelai, maka aku akan mati bersama sedikitnya tiga atau empat orang diantara mereka"Demikianlah, atas persetujuan Ki Dukut sendiri, maka ia telah berada di padepokan Macan Wahan.

   Sementara itu Macan Wahan telah memanggil beberapa orang kawannya yang terpilih untuk membicarakan persoalan yang dihadapi oleh Ki Dukut Pakering.

   Ketika satu-satu mereka berdatangan, maka Ki Dukut itupun menjadi cemas.

   Jika ada satu saja diantara mereka yang mengetahui dengan pasti persoalan yang tumbuh antara dirinya dengan muridnya yang kini tentu sedang memburunya itu, atau ada seorang diantara mereka yang mengetahui bahwa Ki Dukut adalah juga orang yang bernama Rajawali Penakluk, maka pembicaraannya dengan Macan Wahan yang nampaknya sudah mulai mengena itu, tentu akan pecah lagi.

   Bahkan mungkin nasibnya akan menjndi lebih buruk lagi daripada apabila ia jatuh ke tangan muridnya.

   "Apapun yang akan terjadi"

   Berkata Ki Dukut. Sebenarnyalah, ketika empat orang telah berkumpul maka Macan Wahan telah mempersilahkan Ki Dukut hadir diantara mereka. Melihat wajah-wajah yang buram dan kelam, ada juga sedikit keragu-raguan di hati Ki Dukut.

   "Jika hati mereka benar-benar tercermin pade wajah- wajah itu, sebenarnya mereka orang-orang berhati hitam"

   Berkata Ki Dukut di dalam hatinya "ternyata Macan Wahan yang garang itu termasuk wajah yang paling jernih diantara mereka"

   Tetapi Ki Dukut agak merasa lega, ketika ia melihat pengaruh Macan Wahan yang besar atas keempat orang kawan-kawannya.

   la telah memberikan penjelasan menurut pendengarannya dari Ki Dukut.

   Dan selebihnya, ia telah mempersilahkan Ki Dukut untuk berbicara langsung kepada mereka.Namun tanggapan yang pertama sangat mengecewakan.

   Seorang berwajah cacat dibawah telinga kirinya berkata dengan nada kasar "jangan umpankan kami.

   Kami mempunyai cara tersendiri untuk mempertahankan hidup kami"

   Macan Wahan tertawa.

   Katanya "Kami sudah memilih dunia kami sendiri.

   Tetapi kadang-kadang kami terpaksa berpikir juga tentang anak cucu.

   Apakah kita akan tetap menimangi mereka di dalam dunia kita ini, atau memberikan nafas yang lebih baik bagi kehidupan mereka kelak"

   "Kau mulai menjadi cengeng Macan Wahan"

   Berkata seorang yang berkumis dan barjambang lebat hampir menutupi mulutnya yang besar. Matanya nampak liar dan kemerah-merahan. sementara keningnya digores oleh bekas luka yang menyilang sampai ke dahi.

   "Mungkin aku sudah menjadi cengeng"

   Sahut Macan Wahan "tetapi cobalah renungkan"

   "Aku tidak sempat merenungi masalah-masalah cengeng seperti itu"

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sahut orang yang cacat dibawah telinga kirinya.

   "Baiklah"

   Berkata Macan Wahan "terserah kepada kalian. Tetapi aku mempunyai anak dan cucu. He, siapakah diantara kalian tidak mempunyai anak dan cucu?"

   "Anakku laki-laki telah memiliki kemampuan tingkat keenam belas dari perguruan kami"

   Geram orang yang berbekas luka di kening.

   "Apakah ukuran tingkat di dalam perguruanmu"

   Bertanya Ki Dukut tiba-tiba. Macan Wahanlah yang menyahut "Kau akan dapat menafsirkan lain. Seperti yang kau sebut dengan korban darah itu""Aku ingin tahu, bagaimanapun juga aku menafsirkan"

   Jawab Ki Dukut.

   "Sulit untuk mengatakannya tanpa memberikan peragaan"

   Jawab orang yang wajahnya berbekas luka itu.

   "Tetapi sebagai gambaran kasar. Baiklah aku sebutkan saja, bahwa ia telah berhasil membunuh dengan cara tertentu sesuai dengan tingkatannya"

   "Bagaimana?"

   Desak Ki Dukut. Macan Wahan tertawa. Katanya "Kau mencari perkara Ki Dukut"

   "Aku akan mengatakannya"

   Sahut orang itu "anakku telah berhasil membunuh lawannya dengan jari-jarinya langsung menusuk sampai ke jantungnya dan mengambilnya dari dadanya"

   Terasa bulu tengkuk Ki Dukut meremang. Tetapi ia masih bertanya "Siapa yang dibunuh dalam pendadaran untuk menentukan tingkat seperti itu?"

   Orang yang terluka di kening itu tertawa berkepanjang an.

   Katanya "Dapat terjadi pada setiap orang yang kami tangkap sengaja atau tidak.

   Mungkin seorang yang nasibnya memang sangat buruk.

   Dalam kesempatan yang pendek karena didesak oleh waktu, kami bertemu dengan seseorang, siapapun mereka.

   Laki-laki atau perempuan"

   "Mungkin dapat terjadi atasmu"

   Tiba-tiba seorang yang bertubuh gemuk menyambung sambil tertawa pula. Ki Dukut mengerutkan keningnya. Dengan nada berat ia bertanya "Kau memakai cara yang sama?"

   Orang bertubuh gemuk itu menggeleng. Jawabnya "Tidak. Aku tidak mau mempergunakan cara yang setengah-tengah seperti itu. Aku memilih cara yang pasti,menyakinkan dan akan diterima dengan baik oleh sesembahan kami"

   Jantung Ki Dukut serasa berdenyut semakin cepat.

   Yang dihadapinya saat itu adalah benar-benar orang yang tidak dapat dikatakan lain, kecuali disebut orang-orang gila yang berhasil memiliki ilmu yang tinggi.

   Dengan demikian, maka mereka justru adalah orang-orang yang sangat berbahasa.

   Bagi Ki Dukut, diantara mereka.

   Macan Wahan adalah orang yang paling jernih nalarnya.

   Yang masih sempat berpikir bagi masa yang lebih panjang.

   Dalam pada itu, Macan Wahanpun berkata "Sebaiknya kita berbicara tentang Kediri.

   Tidak tentang cara kita menyadap ilmu kita masing-masing.

   Kita mempunyai cara yang berbeda-beda.

   Kita tidak usah mencampurinya.

   Apapun yang kita lakukan, sepenuhnya adalah hak kita"

   "Berbicaralah tentang Kediri"

   Berkata orang yang bertubuh gemuk "aku sudah puas dengan kebanggaanku sendiri"

   "Apakah tidak sebaiknya kita berbicara tentang satu masa yang lebih panjang dari umur kita sendiri"

   Berkata Macan Wahan.

   "Sudah aku katakan"

   Desis orang yang wajahnya terluka dan berkumis dan berjambang lebat "aku tidak mau berbicara tentang masalah-masalah cengeng seperti itu.

   jika aku tahu, bahwa disini kita hanya disuguhi dengan masalah-masalah yang tidak berarti, kami tidak akan datang"

   "Kalian orang-orang yang tidak mau berpikir"

   Berkata Macan Wahan "masalahnya bukan tidak berarti, tetapi justru sebaliknya.

   Mungkin bagi kalian terlalu berarti, sehingga kalian tidak mampu menjangkau jarak waktu yangdiperlukan untuk memperhitungkan persoalan ini.

   Karena hidup kalian adalah masa kini.

   Tanpa masa depan.

   "Sudah cukup"

   Potong orang yang bertubuh gemuk "

   Sebenarnya apa yang terjadi atasmu Macan Wahan. Kau seperti orang yang sedang kesurupan. He, apakah orang ini yang telah berhasil merubah caramu berpikir?"

   "Aku berpikir sejak semula. Terasa di hatiku sejak aku belum bertemu dengan Ki Dukut, bahwa hidup kita tidak terbatas pada batas umur kita sendiri"

   Berkata Macan Wahan.

   "Macan Wahan"

   Berkata orang yang cacat dibawah telinga kirinya "kau agaknya sudah terbius oleh bujukan orang ini.

   Apakah sebenarnya yang dikehendakinya? Buat apa kita berbincang dengan orang yang tidak tahu diri itu? Sebaiknya orang yang demikian itu hanyalah sekedar untuk menjajagi ilmu murid-muridku, sampai ditingkat mana ia berhasil menyadap ilmu diperguruanku.

   Ternyata disini.

   ia mendapat tempat yang agaknya sangat terhormat.

   He, apakah ia pamanmu, kakakmu atau siapa dan dalam hubungan yang bagaimana?"

   "Ia bukan sanak bukan kadangku. Ia termasuk orang yang berilmu meskipun cara penyadapannya agak berbeda dengan kita. Dalam hubungan itulah kita berbicara"

   Jawab Macan Wahan.

   Orang yang cacat dibawah telinga kirinya itu mengerutkan keningnya.

   Kemudian katanya "Aku tidak yakin bahwa ia memiliki ilmu yang memadai untuk berbicara dengan kita.

   Sebaiknya kita pergi saja daripada membuang waktu.

   Jika kami tidak menghormatimu Macan Wahan.

   maka orang ini tentu sudah aku tangkap dan aku hadapkan kepada murid-muridku untuk melihat tingkat kemampuan anak-anak itu""Kau salah menilai orang ini"

   Jawab Macan Wahan "tetapi jika kau perlu meyakinkannya, terserah kepada Ki Dukut. Apakah ia bersedia untuk memberikan keyakinan kepada kalian, bahwa ia mempunyai hak untuk berbicara dengan kita dalam tataran ilmu yang setingkat"

   "Jangan mencelakai tamumu yang nampaknya sangat kau hormati itu Macan Wahan. Biarlah kami pulang meskipun sambil mengumpat di dalam hati"

   Berkata orang yang cacat itu.

   Tetapi orang yang berkumis dan berjambang lebat serta segores bekas luka dikeningnya itu berkata "Aku sudah terlanjur bernafsu untuk menjajagi ilmunya.

   Mungkin ia memiliki sesuatu yang menarik.

   Aku kira aku memerlukannya.

   Tentu saja jika Macan Wahan mengijinkannya"

   "Jawablah Ki Dukut"

   Berkata Macan Wahan.

   Ki Dukutlah yang mengumpat di dalam hatinya.

   Tetapi iapun seorang yang yakin akan ilmunya.

   Meskipun ia merasa ngeri melihat wajah-wajah itu, serta ngeri mendengar apa saja yang pernah mereka lakukan, namun berhadapan dangan mereka.

   Ki Dukut sama sekali tidak menjadi gentar.

   Karena itu, Ki Dukutpun kemudian berkata "Baiklah Ki Sanak.

   Aku akan memenuhi keinginan kalian.

   Siapa yang ingin menjajagi kemampuanku agar kalian yakin bahwa aku dapat berbicara sesuai dengan ungkat kemampuanku diantara kalian.

   Siapa yang harus berdiri menjadi lawanku? Kalian dapat mengajukan diri, tetapi dengan keikhlasan untuk mati tanpa dendam"

   "Gila"

   Geram orang yang bertubuh gemuk "

   Ternyata orang ini sangat sombong""Sombong atau tidak sombong, tetapi kita harus berjanji.

   Janji jantan.

   Siapa yang memasuki arena, bersedia untuk mati.

   Kematian itu sudah disepakati bersama dibawah saksi kita semua yang masih sempat hidup, bahwa kematian itu tidak akan menyeret persoalan-persoalan lain.

   Sementara kita yang masih hidup akan berbicara tentang Kediri"

   Jawab Ki Dukut.

   "Aku akan memilin lehernya sampai putus"

   Geram orang bertubuh gemuk itu.

   "Serahkan kepadaku"

   Berkata orang yang cacat dibawah telinga kirinya "aku ingin memeras darahnya sampai kering. Mungkin darahnya akan bermanfaat bagiku"

   "Tidak akan berharga sama sekali"

   Geram yang berkumis dan berjambang lebat serta segores bekas luka dikening "tetapi biarlah aku mencincang dengan tanganku"

   Dalam pada itu, Ki Dukut dengan-hati yang berdebar- debar menunggu, siapakah diantara mereka yang di sepakati untuk berperang tanding.

   Sementara itu, ketiga orang kawan Macan Wahan itu masih berebut untuk menjadi lawan Ki Dukut.

   Mereka menganggap bahwa dengan membunuh orang yang juga memiliki ilmu, akan dapat menambah ilmu mereka sendiri.

   Bahkan kadang-kadang dengan cara yang aneh, yang mengerikan, sehingga mereka disebut orang berilmu hitam.

   Akhirnya ketiga orang itu menemukah satu cara untuk menentukan, siapakah yang akan bertempur melawan Ki Dukut.

   Orang yang bertubuh gemuk itu kemudian mengajak kedua orang kawannya berdiri saling berhadapan.

   "Kita akan mengangkat tangan kita dan mengucapkannya kedepan. Terlentang atau menelungkup"

   Berkata orang yang gemuk itu "siapa yang paling berbedadari yang lain, maka ialah yang menang dan berhak untuk membunuh dan menghisap darah orang dungu itu"

   "Baik"

   Desis orang yang cacat dibawah telinga kirinya "kita akan segera mulai. Waktuku sudah tersia-sia. He, bagaimana dengan kau Macan Wahan?"

   Macan Wahan menggelengkan kepalanya.

   Katanya "Aku tidak ragu-ragu lagi atas orang yang memang sudah aku kenal ini.

   Ia memiliki ilmu yang pantas, sehingga ia akan dapat berbicara diantara kita.

   Jika ada diantara kalian yang masih ingin menjajaginya, silahkan.

   Tetapi aku setuju, bahwa siapa yang turun kegelanggang akan mengikhlaskan kematiannya.

   Apakah Itu Ki Dukut Pakering, atau salah seorang dari kalian bertiga yang beruntung mendapat kesempatan berperang tanding"

   "Bagus. Agaknya kau benar-benar sudah menjadi cengeng. Tetapi baiklah jika kau tidak ingin ikut dalam kegembiraan ini"

   Berkata orang yang berjambang dan berkumis lebat serta segords bekas luka dikening.

   "Terserah. Tetapi aku 9ebagai tuan rumah memang tidak ingin merebut kegembiraan tamu-tamuku. Jika dengan membunuh orang itu kalian mendapat kegembiraan, maka silahkan. Lakukanlah. Aku akan ikut bergembira jika tamu- tamuku bergembira"

   Jawab Macan Wahan.

   "Gila, jangan hiraukan orang itu"

   Geram orang yang gemuk "marilah kita mulai"

   Ketiganyapun kemudian berdiri melingkar. Orang yang gemuk itupun mulai menghitung "Satu, dua, tiga"

   Orang bertubuh gemuk itu mengumpat.

   Ternyata telapak tangannya menelungkup seperti tangan orang yang cacat dibawah telinga kirinya."Kau bodoh.

   Kenapa kau samai aku, sehingga dengan demikian aku kehilangan kesempatan untuk melumatkan perut orang tua yang dungu itu"

   Geram orang yang gemuk itu.

   "Kau yang bodoh"

   Sahut orang yang cacat dibawah telinganya itu.

   "Jangan ribut"

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Berkata orang yang berjambang dan berkumis lebat serta segores bekas luka menyilang di kening "akulah yang mendapat kesempatan.

   Aku akan membunuhnya dengan caraku.

   Aku ingin mambuktikan, bahwa aku memiliki ilmu yang sempurna.

   Macan Wahan boleh percaya atau tidak.

   Tetapi segalanya akan tergantung kepada orang tua yang malang itu.

   Semakin tinggi kemampuannya mengimbangi ilmuku, maka ilmuku itupun akan nampak semakin sempurna.

   Tetapi jika ilmu orang itu hanya setataran alas dari ilmu pamungkasku, maka ilmuku tidak akan sempat nampak betapa agung dan angkernya"

   Ki Dukut menarik nafas dalam-dalam.

   Katanya "Kalian sudah menentukan.

   Marilah.

   Kita akan melihat, apa kah aku akan mati, atau aku akan mendapat kesempatan berbicara tentang Kediri.

   Akupun sadar, tanpa membuktikah, bahwa aku memiliki kemampuan yang cukup untuk me nempatkan diriku dijajaran orang-orang seperti kalian, aku memang harus membuktikan"

   "Kita akan turun ke halaman"

   Berkata orang berjambang dan berkumis lebat "biarlah murid-muridmu menjadi saksi Macan Wahan.

   Tetapi mereka yang belum sampai pada tataran yang memungkinkan, jangan kau beri kesempatan untuk melihat.

   Mareka tentu akan pingsan karena aku akan menunjukkan satu ungkapan ilmuku yang paling dahsyat"Macan Wahan tertawa.

   Katanya "Mulailah.

   Aku mengenalmu seperti kau juga mangenal aku.

   Yang belum kau kenal adalah bakal lawanmu itu"

   "Persetan"

   Geram orang berkumis dan berjambang lebat itu.

   "Apakah kita akan bersenjata atau tidak?"

   Bertanya Ki Dukut tiba-tiba. Orang berjambang lebat itu tertawa. Katanya "Itulah ukuranmu? Kau masih bertanya tentang senjata? Jika kau mau memakai senjata, pakailah segala jenis senjata. Tanganku lebih berbahaya dari senjata apapun juga"

   Ki Dukut mengarutkan keningnya. Orang itu terlalu yakin akan dirinya. Namun dengan demikian Ki Dukut memang harus berhati-hati menghadapinya. Mungkin orang itu memang memiliki ilmu iblis yang menggetarkan.

   "Balkiah"

   Berkata Ki Dukut kemudian "kita berjanji, bahwa kita masing-masing tidak akan mempergunakan senjata apapun juga kecuali tangan kita.

   Marilah.

   Aku sudah siap untuk mulai dengan permainan ini.

   Sekali lagi aku katakan, kita akan bertempur sampai kematian merenggut salah seorang diantara kita dari arena perang tanding.

   Tanpa dendam, tanpa persoalan samping yang akan dapat tumbuh.

   Yang berada diluar arena akan menjadi saksi"

   Orang berjambang dan berkumis lebat itu tertawa berkepanjangan.

   Diantara suara tertawanya terdengar Orang itu berkata "Kau tidak ubahnya seperti orang yang menggapai-menggapai menjelang tenggelam di dalam arus putaran.

   Tetapi baiklah katakan apa yang ingin kau katakan.

   Mungkin kau tidak akan mempunyai kesempatan lagi"Ki Dukut menarik nafas dalam-dalam.

   Namun ia tidak menjawab lagi.

   Sejenak kemudian, keduanya telah bersiap sepenuhnya.

   Meskipun lawan Ki Dukut itu masih saja tertawa, namun ia sudah mulai bersungguh-sungguh mengamati sikap Ki Dukut.

   Ki Dukutpun segera bersikap.

   Ia berdiri tegak menghadap lawannya.

   Kemudian satu kakinya melangkah setengah langkah ke depan.

   Baru kemudian ia merendah sambil memiringkan tubuhnya.

   Kedua tangannyapun terangkat dan bersilang di dadanya.

   Lawannyapun telah bersiap pula.

   Sambil berteriak nyaring ia meloncat menyerang Ki Dukut Pakering.

   Ki Dukut bergeser sedikit.

   Ia mengerti bahwa lawannya masih belum bersungguh-sungguh.

   Namun demikian ia tidak boleh lengah.

   Kekalahan dalam perang tanding itu berarti mati.

   Karenanya serangannya tidak mengenai sasarannya, mqka lawan Ki Dukut itupun segera meloncat berbalik.

   Tetapi ternyata Ki Dukut bersikap sangat berhati-hati.

   Ia tidak segera menyerang, tetapi bersiap-siap untuk menerima serangan berikutnya.

   Sebenarnyalah orang itupun telah sekali lagi menyerang.

   Kakinya terjulur lurus menyamping, Ketika Ki Dukut menghindar setengah langkah, tiba-tiba saja lawannya berputar.

   Sekali lagi kakinya yang lain terjulur lurus mengarah lambung.

   Hampir saja tumit orang itu menyentuhnya.

   Namun Ki Dukut masih sempat menarik tubuhnya selangkah surut.

   Bahkan kemudian dengan serta merta ia menghantam kaki lawannya yang terjulur.Tetapi lawannya cepat menarik kakinya.

   Setengah langkah ia meloncat.

   Terdengar ia berteriak nyaring sambil merendah pada lututnya.

   Kedua kakinya yang renggang seakan-akan menggeletar.

   Sementara jari-jari kedua tangannya tiba-tiba saja telah mengembang, seperti jari-jari seekor harimau yang siap menerkam dan merobek tubuh mangsanya.

   Ki Dukut mengerutkan keningnya, la melihat satu tingkat perkembangan ilmu lawannya.

   Iapun mulai melihat kegarangan ilmu orang berkumis dan berjambang lebat itu.

   "Jari-jari tangannya itu tentu berbahaya"

   Berkata Ki Dukut.

   Sebenarnyalah bahwa orang itu telah berteriak sekali lagi.

   Dengan garangnya ia meloncat menerkam dengan jari- jari tangannya yang mengembang.

   Ketika Ki Dukut mengelak, maka lawannya itupun segera memburunya.

   Menerkamnya pula dengan loncatan panjang.

   Beberapa kali Ki Dukut memang harus berloncatan menghindar.

   Ia masih ingin melihat, apakah yang dapat dilakukan oleh lawannya yang garang itu.

   Loncatan- loncatan dan teriakan-teriakan panjang dengan jari-jari tangan yang mengembang.

   Dalam pada itu, orang-orang yang menyaksikan perang tanding itu mulai menjadi berdebar-debar.

   Namun orang yang bertubuh gemuk dan orang yang cacat dibawah telinga kirinya itupun mengumpat.

   Yang gemuk berteriak "Tikus kecil.

   Nasibnya sangat malang.

   Ia hanya mampu berloncatan menghindar.

   He, jangan segera bunuh orang tua sombong itu.

   Biarlah ia mengetahui, bagaimana perasaan seseorang yang menjadi sangat ketakutan menghadapi maut"Sementara kawannya berkata lantang "Nasibkulah yang buruk.

   Kenapa aku tidak mendapat kesempatan dengan permainan yang mengasikkan ini.

   Tentu senang sekali dapat melubangi dadanya dengan tangan dan mengambil jantungnya yang masih basah"

   Macan Wahanlah yang berdiri diam sambil mengerutkan keningnya.

   Iapun menjadi kecewa.

   Ia ingin melihat Ki Dukut bertempur dengan garang.

   Meskipun seandainya ia akan kalah dan mati dibantai lawannya, namun perlawanannya yang kuat akan menyelamatkan tanggapan kawan-kawannya terhadap dirinya.

   Karena dengan demikian, ia tidak dapat dianggap mengotori diri berhubungan dengan orang yang tidak berarti sama sekali itu.

   Tetapi perhatian orang-orang yang mengitari arena itu tersentak ketika mereka melihat, tiba-tiba saja Ki Dukut lah yang menyerang.

   Tidak terlampau garang, tetapi kecepatannya bergerak benar-benar mengejutkan.

   Dengan jantung yang berdebaran, lawannya berj usaha mengelakkan serangan itu.

   Bahkan sambil berteriak nyaring, lawannya telah membalas menyerang dengan jari- jarinya yang mengembang itu.

   Ki Dukut yang gagal mengenai lawannya berputar.

   Ia tidak mengelakkan serangan lawannya.

   Tetapi dengan kakinya ia justru menghantam siku tangan lawannya yang sedang terjulur.

   Sekali lagi lawannya terkejut.

   Dan sekali lagi terdengar teriakan nyaring.

   Lawannya tidak sempat mengelak lagi.

   Tetapi ia berusaha untuk menarik serangannya dan menghentakkan sikunya melawan serangan lawannya.

   Ketika terjadi sebuah benturan, maka keduanya menyeringai menahan sakit.

   Namun ternyata Ki Dukutlebih cepat menguasai diri.

   Satu putaran kaki telah menyambar lawannya yang sedang berusaha menahan sakit pada sikunya.

   Orang yang berkumis dan berjambang lebat itu mengumpat sambil meloncat surut.

   Namun Ki Dukut cepat memburu dan mengayunkan tangannya.

   Serangan Ki Dukut tidak dapat mengenai sasarannya karena lawannya masih sempat bergeser.

   Bahkan orang be jambang dan berkumis lebat itulah yang kemudian menyerang Ki Dukut dengan garangnya.

   Seolah-olah jari- jarinya yang mengembang ingin mencengkam isi dada Ki Dukut Pakering dan meremasnya sampai lumat.

   Ki Dukut menyadari, jari-jari itu tentu akan sangat berbahaya baginya.

   Karena itu, maka iapun berusaha untuk selalu menghindari.

   Bahkan kemudian iapun telah memutuskan untuk mempergunakan jari-jarinya.

   Namun cara Ki Dukut agak berbeda.

   Keempat jari-jari Ki Diikut merapat dengan ibu jari yang agak ditekuk ke dalam.

   Dengan ujung jari-jarinya itulah maka Ki Dukutlah yang kemudian meloncat menyerang dengan kecepatan yang mengejutkan.

   Ujung jari-jarinya langsung menusuk, menghantam pundak lawannya.

   Ternyata kecepatan yang tidak terduga-duga itu tidak dapat diimbangi oleh lawannya.

   Karena lawannya tidak sempat mengelak, maka ia berusaha menangkis serangan itu.

   Tetapi ia tidak dapat membebaskan diri seluruhnya dari ujung jari Ki Dukut Pakering.

   Karena itulah, maka ujung keempat jari yang merapat itu meskipun tidak mengenai sasarannya, namun telah menyentuh lengan orang berjambang dan berkumis lebat itu.Akibatnya sangat mengejutkan.

   Lengan orang berjambang itu bagaikan terkelupas.

   Perasaan pedih telah menyengat ketika darah mulai meleleh dari luka itu.

   "Gila"

   Geram orang berjambang dan berkumis lebat itu "kau telah menitikkan darah dari tubuhku. Itu ukan berakibat gawat bagimu"

   Tetapi Ki Dukut justru tertawa.

   Katanya "Sejak perkelahian ini dimulai, aku sudah bersiap menghadapi keadaan yang paling gawat sekalipun.

   Marilah, kau sudah mulai terluka.

   Titik darah yang mengalir dari lukamu, berarti susutnya ilmu iblis yang kau miliki dengan cara yang sebaliknya.

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Setitik darah yang kau hisap dari korbanmu, telah menambah kekuatan ilmu iblismu.

   Dan sebaliknya, setitik darah yang keluar dari tubuhmu, akan berakibat berkurangnya kemampuan dan kekuatanmu"

   "Tutup mulutmu"

   Teriak lawannya.

   Tetapi Ki Dukut masih tertawa.

   Katanya "Agaknya memang demikian anggapan orang-orang dungu seperti kau.

   Tetapi ketahuilah, bahwa titik darah itu tentu akan melepaskan kekuatan dan ketahanan seseorang.

   Dengan atau tidak dengan ilmu iblis"

   Orang berjambang dan berkumis lebat itu berteriak keras- keras.

   Satu loncatan panjang yang tiba-tiba telah melontarkannya menyerang Ki Dukut.

   Tetapi Ki Dukut sempat mengelak.

   Namun lawannya yang bagaikan gila itu memburunya dengan jari-jari tangannya yang mengembang.

   Ki Dukut menjadi semakin berdebar-debar.

   Lawannya benar-benar telah menjadi wuru.

   Agaknya ia sudah menggapai ilmu puncaknya yang diwarnai dengan kekuatan hitam kelam.Sebenarnyalah bahwa orang berjambang dan berkumis lebat itu menjadi semakin liar.

   Matanya menjadi merah membara, sementara mulutnya nampak membusa, Namun yang mendebarkan jantung Ki Dukut adalah bahwa seolah- olah dari hidung orang itu telah membayang semacam asap yang kekuning-kuningan.

   "Itu adalah kekuatan iblisnya"

   Berkata Ki Dukut di dalam hatinya.

   Namun Ki Dukutpun mempunyai andalan ilmu puncaknya.

   Keempat jari-jarinya yang merapat itulah yang ke mudian bergetar.

   Seolah-olah tangannya itu mampu menentukan arah geraknya sendiri, sementara keempat jari- jarinya yang merapat menjadi sedikit lengkung pada ruas- ruasnya.

   -oo0dw0oo-

   Jilid 16 KARENA itulah, maka sambaran-sambaran Ki Dukutpun telah mendebarkan jantung lawannya.

   Betapapun juga ia berusaha menghindar, namun tangan Ki Dukut berhasil menggapainya pula.

   Selain kemampuan untuk menyobek kulit dan daging, maka serangan-serangan Ki Dukutpun berhasil mematuk langsung ke bagian tubuh lawannya yang berbahaya.

   Ketika lawannya menyerang Ki Dukut dengan sambaran jari- jarinya yang mengembang kearah kening, Ki Dukut telah menghindar dengan merendahkan dirinya.

   Namun sekaligus tangannya sempat terjulur lurus dengan ujung jari- jarinya menghentak dada.

   Terdengar lawannya berdesis sambil meloncat surut.

   Rasa-rasanya nafasnya telah terhenti sesaat.

   Namunlawannya itupun segera berhasil mengatur jalur pernafasannya kembali.

   Tetapi Ki Dukut tidak membiarkannya.

   Dengan serta merta ia meloncat memburu.

   Tangannya tidak lagi mematuk tubuh lawannya, tetapi terayun menyambar pundaknya.

   "Karena lawannya berusaha menghindar, maka sentuhan jari Ki Dukut hanya menyinggung kulitnya saja. Tetapi kulit itupun telah koyak seleret panjang.

   "Gila"

   Geram lawannya.

   Iapun telah bertekad untuk bertempur sampai kemungkinan terakhir.

   Karena itu maka ketika Ki Dukut kemudian menyerangnya, ia sama sekali tidak mengelak.

   Tetapi ia justru membentur serangan Ki Dukut dengan jari-jarinya yang mengembang.

   Benturan itu ternyata sangat mengejutkan kedua belah pihak.

   Jari-jari orang- berjambang dari berkumis lebat itu rasa-rasanya bagaikan berpatahan.

   tulangnya bagaikan terlepas dari sendi-sendinya.

   Namun, akibatnya bagi Ki Dukutpun terasa sangat menyakitkan.

   Bukan saja tangannya yang bagikan terperosok kedalam perapian yang sedang menyala.

   Namun dorongan kekuatan lawannya telah mendesaknya beberapa langkah surut.

   Sejenak kedua orang yang sedang bertempur itu justru berloncatan surut untuk mengambil jarak.

   Rasa-rasanya keduanya memerlukan waktu sekejap untuk memperbaiki keadaannya.

   Semantara itu, orang yang berjambang dan berkumis lebat itu mengumpat sejadi-jadinya.

   Jari-jarinya, andalan kekuatannya, rasanya menjadi terlalu lemah untuk dapatdipergunakannya lagi, sementara tangan Ki Dukutpun seakan-akan telah terluka bakar.

   Tetapi keduanya tidak ingin menghentikan perkelahian ilu.

   Bagaimanapun juga, mereka ingin menyelesaikan pertempuran itu.

   Yang dilakukan Ki Dukut kemudian adalah sangat mengejutkan.

   Tiba-tiba saja ia meloncat menyerang dengan kakinya.

   Ketika lawannya menghindar, maka demikian kaki Ki Dukut menyentuh tanah, maka tubuhnya telah melenting lagi dengan serangan kaki yang gawat.

   Lawannya terpaksa berloncatan menghindar.

   Serangan Ki Dukut yang cepat itu memaksanya untuk setiap kali menghindarinya.

   Ki Dukut bagaikan berterbangan mengitarinya dengan serangan-serangan kaki yang gawat.

   Apalagi betapapun tangannya terasa sakit, Ki Dukut masih juga mencoba mempergunakannya untuk menyerang.

   Ia tidak lagi mempergunakan ujung jari-jarinya yang serasa hangus.

   Tetapi ia kemudian mempergunakan sisi telapak tangannya dan sikunya.

   Serangan-serangan Ki Dukut masih juga membingungkan lawannya.

   Meskipun jari-jarinya terasa berpatahan.

   Namun ketika sekali tubuh Ki Dukut tersentuh telapak tangannya, maka rasa-rasanya kulitnya masih juga terbakar.

   "Benar-benar anak iblis"

   Geram Ki Dukut.

   Serangan- serangannyapun menjadi semakin cepat.

   Dan iapun semakin sering mengenai tubuh, lawannya dengan tumit dan sisi telapak tangannya.

   Meskipun sisi telapak tangannya tidak mampu merobek kulit, tetapi rasa-rasanya bagaikan meremukkan tulang belulang orang yang berjambang dan berkumis lebat itu.Macan Wahan yang menyaksikan pertempuran itu me narik nafas dalam-dalam.

   Kawan-kawannya tidak lagi dapat menyalahkannya, bahwa ia sudah bersedia berbicara dalam kedudukan setataran dengan orang yang di sebut Ki Dukut Pakering itu.

   Ternyata kemampuannya benar-benar dahsyat, sedahsyat kemampuan kawannya yang berjambang dan berkumis labat itu.

   Bahkan kadang-kadang Macan Wahan dikejutkan oleh kemampuan Ki Dukut yang tidak diduganya sama sekali.

   Sehingga dengan demikian, maka pertempuran itu benar-benar telah memukaunya bersama orang yang bertubuh gemuk dan orang yang cacat di bawah telinganya itu.

   Pertempuran itupun berlangsung dengan dahsyatnya.

   Ki Dukut yang sudah terluka bakar di beberapa bagian tubuhnya, seakan-akan telah kehilangan pertimbangan- pertimbangan yang jernih.

   Yang nampak dihadapannya adalah seseorang yang dianggapnya berilmu iblis yang yang hanya pantas dimusnakan.

   "Jika aku tidak berbuat seperti yang akan diperbuat nya, maka aku tidak akan mandapat tempat di dalam lingkungannya"

   Berkata Ki Dukut di dalam hatinya. Karena itu, ia sudah bertekad untuk membinasakan lawannya dengan cara yang mungkin dipergunakan pula oleh lawannya itu, meskipun dengan demikian akan sangat mengerikan.

   "Mereka tidak berperasaan sama sekali"

   Geram Ki Dukut di dalam hatinya "karena itu aku harus benar-benar dapat melakukan sesuatu yang dapat menggetarkan jantung mereka"

   Dengan tekad yang demikian itulah, muku Ki Dukut telah mengerahkan segenap sisa kemampuannya.

   Ia masih mampu bergerak dengan cepat, menghantam lawannyadengan sisi telapak tangannya, dengan sikunya dan dengar kakinya.

   Semakin lama kecepatan gerak Ki Dukut semakin membingungkan lawannya yang mulai susut kemampuannya.

   Tubuhnya telah dicengkam oleh perasaan sakit.

   Jari-jarinya serasa berpatahan dan tulang-tulangnya bagaikan menjadi retak.

   Tetapi ia tidak akan menyerah.

   Ia masih belum percaya bahwa Ki Dukut yang tua itu akan dapat mengalahkannya.

   Sehingga dengan demikian, maka orang berjambang dan berkumis lebat itu masih juga bertempur dengan gigihnya.

   Dengan segenap sisa tenaga yang ada padanya.

   Tetapi jari-jarinya tidak lagi mampu mengembang untuk menerkam lawan dengan panasnya api.

   Yang dapat dilakukan kemudian adalah menyerang lawan dengan telapan tangan dan kakinya.

   Namun setiap kali tubuhnya tersentuh kekuatan Ki Dukut, maka ia telah terhuyung-huyung.

   Demikian, ia berusaha untuk tetap tegak, maka serangan-serangan, berikutnya datang beruntun.

   "Setan alasan"

   Orang itu mengumpat.

   Tetapi ia telah terdorong dua langkah surut.

   Namun ketika Ki Dukut memburunya sambil menyerang, ia masih sempat mengelak Tetapi serangan berikutnya oleh putaran kaki Ki Dukut, orang berjambang itu tidak lagi dapat beringsut.

   Dengan sikunya ia berusaha menangkis serangan itu.

   Ketika terjadi benturan, maka ia masih sempat menghantam kaki Ki Dukut dengan telapak tangannya yang lain.

   Ki Dukut terlonjak.

   Kakinya bagaikan disengat bara.

   Namun iapun segera menyadari keadaannya, ia meloncat selangkah surut.

   Namun ia tidak mau terlambatl.

   Dengan serta merta ia meloncat dengan kaki terjulur, ia sudahmemperhitungkan, bahwa orang berjambang dan berkumis lebat itu lidak akan sempat menghindar lagi.

   Mungkin ia dapat menepuk kakinya dengan telapak tangannya yang panas seperti api, tetapi Ki Dukut benar-benar telah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang lain.

   Sebenarnyalah, orang berjambang itu terkejut melihat serangan yang datang demikian cepat, tiba-tiba dan demikian derasnya Karena itu, ia tidak sempat iagi mengelak.

   Namun ia berusaha untuk menangkis serangan iiu.

   Dengan telapak tangannya ia memukul kaki Ki Dukut yaag terjulur itu, sehingga rasa-rasanya kaki itu benar-benar telah terbakar.

   Tetapi seperti yang telah diperhitungkannya pula.

   maka kaki Ki Dukut yang terjulur itu tidak berubah arah, meskipun disentuh oleh tangan lawannya, karena serangannya itu datang dengan kecepatan yang tinggi, dan dengan sepenuh sisa tenaganya.

   Karena itu, maka kaki Ki Dukut itupun telah menghantam dada orang berjambang dan berkumis lebat itu demikian kerasnya sehingga orang itu terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah.

   Terasa dada orang berjambang itu bagaikan pecah.

   Nafasnya tiba-tiba saja seolah-olah telah terhenti.

   Namun demikian ia masih berusaha untuk meloncat bangkit.

   Ki Dukut yang sudah merasa tenaganya susut, tidak mau memberinya kesempatan.

   Jika bertempuran itu berkepanjangan, maka iapun akan menjadi lelah dan kehabisan tenaga.

   Karena itu, maka Ki Dukutpun telah memuluskan untuk menyelesaikan pertempuran itu.

   Ketika lawannya masih sedang berusaha untuk menemukan keseimbangannya, maka tiba-tiba Ki Dukut talah meloncat maju mendekat.

   Dengan sekuat tenaganyaia menghantam kedua puncak lawannya sebelah menyebelah dengan kedua sisi telapak tangannya.

   Lawannya menggeliat oleh perasaan sakit yang luar biasa.

   Tetapi tangannya masih sempat menggapai dada Ki Dukut.

   Telapak tangannya yang membara telah membakar dada Ki Dukut, sehingga Ki Dukut terpaksa bergaser setapak.

   Tetapi tiba-tiba saja ia telah menyerang lawannya dengan pangkal telapak tangannya tepat pada dagu lawannya.

   Demikian lawannya terangkat kepalanya maka Ki Dukut meloncat mendekat.

   Dengan sepenuh tenaganya Ki Dukut sekali lagi manghantam perut lawannya denga sikunya.

   Demikian lawannya tertunduk oleh perasaan sakit yang sangat, maka satu pukulan yang dahsyat dengan sikunya telah menghantam tengkuk orang berjambang dan ber kumis lebat itu.

   Yang terdengar adalah keluhan tertahan.

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tetapi orang itu tidak sempat mengeluh lagi, ketika sekali lagi sisi telapak tangan Ki Dukut telah mengenai tengkuk orang yang sedang terhuyung-huyung itu.

   Orang itupun kemudian jatuh terjerembab.

   Tetapi ia masih menggeliat.

   Ketika kemudian ia berguling menengadah, maka satu pukulan yang dahsyat telah menghantam lehernya.

   Leher itu bagaikan tercekik.

   Sesaat mata orang itu terbelalak, namun kemudian nafasnya yang terakhir menghentak pendek.

   Ki Dukut Pakeringpun tiba-tiba telah terduduk.

   la telah mengerahkan segenap kemampuannya, sehingga seakan- akan tenaganya telah terhisap habis di saat ia menghentakkan kekuatannya yang tersisa.

   Macan Wahan, kedua orang kawannya, dan para cantrik yang melihat perkelahian itu sampai saat-saat terakhir, telahdicengkam oleh ketegangan.

   Meskipun mereka termasuk orang-orang yang berilmu hitam, namun kematian seorang kawannya dengan cara yang dahsyat itu, telah menggetarkan jantung mereka.

   Namun sementara itu, Ki Dukut Pakering, seakan-akan sudah tidak berdaya lagi.

   Tenaganya telah dihentakkan sekuat-kuatnya, sementara perasaan sakit dan pedih mulai mencengkamnya.

   Luka-luka di tubuhnya, yang bagaikan luka-luka api itu benar-benar telah menggigit sampai ke tulang.

   Tetapi dengan demikian ketiga orang yang menyaksikan pertempuran dengan hati yang berdebar-debar itu benar- benar telah mengaguminya.

   Ia tidak terlalu kasar seperti orang-orang diantara mereka.

   Namun disaat-saat terakhir, ia benar-benar telah menunjukkan kemampuan dan kekuatannya.

   Tanpa ragu-ragu ia membunuh lawannya, seperti ia melakukan pekerjaannya yang lain-lain.

   Sejanak Ki Dukut mengatur pernafasannya dan menahan rasa sakit.

   Namun kemudian iapun mencoba untuk berdiri.

   Meskipun ia masih harus bertahan atas keseimbangan yang goyah, namun Ki Dukut yang menahan rasa sakit itu berkata "Aku telah membunuhnya.

   Bukan kebiasaanku mempergunakan cara yang kasar dan garang untuk membunuh lawan.

   Tetapi sengaja aku melakukannya kali ini.

   Aku mengerti, bahwa perasaan kalian yang mati itu tentu tidak akan tersentuh sama sekali, jika aku tidak mempergunakan cara seperti yang kalian pergunakan.

   Karena itulah, aku telah membunuhnya seperti jika kalian melakukannya"

   Ketiga orang berilmu hitam itu masih berdiri termangu- mangu.

   Namun kemudian Macan Wahan berkata "Luar biasa.

   Kau telah melakukan sesuatu yang luar biasa Ki Dukut.

   Dengan demikian kau telah membuktikankebesaran namamu.

   Lawan yang kau bunuh itu termasuk seseorang yang memiliki beberapa kalebihan dari kami, kawan-kawannya"

   "Aku sengaja ingin membuktikan kepada kalian, bahwa aku bukan orang yang hanya pandai berbicara"

   Jawab Ki Dukut "dan aku telah bersikap sebagaimana seharusnya menghadapi orang-orang berilmu hitam. Jika iku berkata akan membunuhnya, maka aku benar-benar akan membunuh"

   "Sudahlah"

   Berkata Macan Wahan "kita menjadi saksi.

   Kematiannya.

   Tidak ada akibat yang akan terjadi atas kematiannya.

   Kalian melakukan perang tanding.

   Dan perang tanding itu sudah selesai dengan tuntas.

   Biarlah orang-orangku menyelenggarakan mayatnya.

   Ki Dukut menarik nafas dalam-dalam, dipandanginya orang yang bertubuh gemuk dan orang yang cacat di bawah telinga kirinya.

   Agaknya merekapun dengan rela menerima kemalian seorang kawannya yang bernasib buruk.

   Bahkan, keduanya telah berkata di dalam hatinya "Jika akulah yang mendapat kesempatan bertempur, akupun akan mengalami akibat yang serupa"

   Ki Dukut Pakeringpun kemudian telah dibawa ke pendapa oleh Macan Wahan bersama kedua orang kawannya. Sejenak mereka duduk merenungi luka-luka di tubuh Ki Dukut Pakering.

   "Orang itu memang luar biasa"

   Berkata Ki Dukut sambil mengusap tubuhnya yang terluka, bagaikan tersentuh bara api.

   Juga jari-jarinya yang serasa terbakar karena benturan yang terjadi, namun dengan benturan itu, jari-jari lawannya seakan-akan telah berpatahan."Apakah pendapat kalian?"

   Bertanya Ki Dukut kepada Macan Wahan dan kedua kawannya.

   "Luar biasa"

   Jawab orang yang bertubuh gemuk "ternyata aku salah menilaimu. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa kau memiliki kemampuan melampaui kemampuan kami, bahkan telah mengherankan kami"

   Ki Dukut Pakering tersenyum.

   Namun kemudian katanya "Tetapi lihatlah, tubuhku yang hangus ini.

   Sebenarnyalah kawanmu itu benar-benar memiliki kemampuan yang jarang ada duanya.

   Namun ia terlalu sombong dan tidak dapat menilai, siapakah yang dilawannya.

   Jika ia tidak menjadi gila atas kemampuannya, maka ia tidak akan bertindak terlalu bodoh untuk menyelesaikan pertempuran itu sebagaimana dengan perang tanding yang sebenarnya.

   Jika ia bersedia menghentikan perkelahian sebelum aku kehilangan kesabaran, maka aku akan memanfaatkannya"

   Macan Wahan dan kedua kawannya mengangguk- angguk.

   Mereka percaya bahwa sebenarnyalah Ki Dukut tidak ingin membunuh jika bukan karena tingkah laku lawannya itu sendiri.

   Yang penting bagi Ki Dukut jika lawannya itu tidak terbunuh, akan dapat dipergunakannya untuk membantu rencananya.

   Tetapi Ki Dukut Pakering merasa perlu untuk menunjukkan kemampuannya di hadapan orang-orang yang akan dibawanya bekerja bersama, agar mereka mempercayainya bahwa iapun seorang yang memiliki ilmu yang mumpuni.

   Meskipun yang seorang itu telah terbunuh, tetapi masih ada tiga orang yang akan dapat diajaknya untuk melakukan rencananya.

   Bahkan ia masih yakin, bahwa kekuatan itu masih akan dapat perkembangan, karena yang tiga orangitu adalah orang-orang yang berpengaruh di antara golongannya.

   "Aku memerlukan beberapa hari untuk berobat"

   Berkata Ki Dukut kemudian kepada orang-orang itu "dengan demikian aku sudah kehilangan lagi waktu tanpa arti sama sekali. Tetapi setelah itu, aku harus mengejar ketinggalan ini"

   Ketiga orang berilmu hitam itu mengangguk-angguk.

   Mereka sudah terjerat untuk mempercayai Ki Dukut itu sepenuhnya.

   Kepada Macan Wahan Ki Dukut minta ijin untuk tinggal di padepokannya sambil menyembuhkan luka-luka tubuhnya, sementara orang-orang Macan Wahan telah sibuk dengan mayat seorang pemimpin yang disegani dari golongan orang-orang berilmu litam.

   Demikianlah, maka Ki Dukut telah menunda segala macam pembicaraan karena ia memusatkan segala perhatiannya kepada penyembuhan luka-lukanya.

   Atas bantuan Macan Wahan dan kedua orang kawannya, maka Ki Dukut berhasil mendapatkan dedaunan dan jenis akar- akaran yang dapat dipergunakannya untuk mengobati luka- lukanya.

   Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Ki Dukut Pakering sendiri telah hanyut di dalam angan-angannya yang semula hanyalah sekedar untuk memancing kesediaan Macan Wahan dan kawan-kawannya membantunya melepaskan dendam atas orang-orang yang pernah menyakiti hatinya.

   Tetapi setelah ia berhasil mengalahkan salah seorang dari pemimpin orang-orang berilmu hitam itu, maka timbullah desakan di dalam dirinya, bahwa yang diucapkannya sekedar untuk memancing kesediaan orang-orang berilmu hitam itu benar-benar dapat dilaksanakan."Apa salahnya, jika rencana itu benar-bennar aku jalankan"

   Katanya di dalam hati"

   Ternyata bahwa angan-angan itu benar-benar telah mencengkam jantungnya.

   Selama ia manunggu kesembuhan luka-lukanya, maka, ia telah mengancam kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan.

   Semakin lama, maka keinginan itu justru semakin jelas membayang di dalam rongga mata angan-angannya.

   Namun kadang-kadang ia dikejutkan oleh pertanyaan yang tumbuh dari dasar hatinya "Apakah sebenarnya yang aku kehendaki? jika aku berhasil membuat Kediri berguncang, dan kemudian membangunkan beberapa orang bangsawan yang masih mampu berpikir tentang harga diri, lalu apakah yang akan aku dapatkan buat diriku sendiri? Menjadi raja? Menjadi Akuwu atau menjadi apapun yang memiliki kemukten? Setelah aku mendapat kamukten, apa lagi?"

   Ki Dukut menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian telah terlempar ke dalam kenyataan, bahwa dirinya adalah sendiri. Kesendiriannya itulah yang kemudian mencengkamnya sebagai kesepian yang pedih.

   "Aku tidak akan dapat membagi hasil perjuanganku itu dengan siapapun juga"

   Katanya di dalam hati. Terasa betapa keringnya hidupnya. Ia tidak mempunyai sanak kadang. Tidak mempunyai seorang muridpun yang akan dapat menerima kemukten yang seandainya lelah berada di tangannya.

   "Pangeran itu memang gila"

   Geram Ki Dukul Pakering.

   Namun iapun tidak dapal mengelabui dirinya sendiri.

   Siapakah sumber dari malapetaka yang kemudian dialaminya itu.Untuk waktu-waktu yang kosong selama ia mengobati luka-lukanya, ternyata Ki Dukut lelah diombang- ambingkan oleh sikap batinnya yang goyah.

   Tetapi jika teringat olehnya, dendam yang menyala dihatinya, maka iapun menggeram "Aku harus melepaskan dendam yang membakar jantung.

   Apapun yang akan aku lakukan kemudian, terserah kepada perkembangan yang timbul di dalam hati ini.

   Tetapi orang-orang yang pernah menyakiti hatiku, harus aku musnahkan.

   Aku mendapat kawan- kawan yang tangguh, yang memiliki kemampuan malampaui orang-orang yang pernah bekerja bersama selama im.

   Pemimpin-pemimpin padepokan yang berjiwa kerdil, dan sama sekali tidak berilmu.

   Atau pemimpin- pemimpin perampok kecil yang hanya dapat berteriak-teriak dan menakut-nakuti perempuan yang pergi ke pasar.

   Semua itu tidak ada artinya.

   Baru sekarang aku menemukan kekuatan yang sebenarnya"

   Demikianlah, maka Ki Dukutpun kamudian telah tersekap kedalam satu lingkungan, yang selama itu disebutnya sebagai lingkungan hitam.

   Namun lingkungan yang baru itu agaknya akan dapat memberikan dukungan kepadanya, atas satu angan-angan yang semula hanya sekedar satu cara untuk memancing dukungan orang-orang berilmu hitam, namun yang kemudian telah tumbuh dan berkembang di dalam hatinya.

   Meskipun kadang-kadang timbul pertentangan di dalam dirinya, namun ia masih saja berangan-angan tentang Kediri.

   "Kenapa aku tidak berusaha untuk menjadi seorang pahlawan, meskipun tidak akan memberikan apa-apa lagi kepadaku selain bagi aku sendiri, dan sama sekali tidak berkelanjutan?"

   Pertanyaan itupun selalu timbul di dalam hatinya.Persoalan-persoalan itulah yang di hari-hari berikutnya telah bergumul di dalam hati Ki Dukut Pakering.

   Sementara itu, Macan Wahan dan kawan-kawannya, meskipun belum mematangkan pembicaraan mereka dengan Ki Dukut, namun mereka sudah menganggap bahwa segala akan berjalan dengan persiapan yang harus memadai.

   Tidak ada gambaran lain yang akan mereka lakukan, selain mempergunakan kekerasan.

   Karena itulah, maka Macan Wahan dan kawan- kawannya pun telah menemui Ki Dukut untuk menyatakan kesediaan mereka memulai segala rencana yang akan di susun oleh Ki Dukut.

   "Silahkan Ki Dukut beristirahat di sini"

   Berkata Macan Wahan "sementara kami akan mempersiapkan diri. Kedua kawanku akan kambali ke padepokannya dan, menyusun kekuatannya sampai ke puncak kemampuannya"

   


Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan KL Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung/Tjan Id Lencana Pembunuh Naga -- Khu Lung

Cari Blog Ini