Ceritasilat Novel Online

Panasnya Bunga Mekar 28


Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja Bagian 28



Panasnya Bunga Mekar Karya dari SH Mintardja

   

   Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalanpun melihat kemajuan yang luar biasa pada gadis itu, hanya dalam waktu satu bulan.

   Di bawah asuhan kedua orang pamannya, yang termasuk orang-orang aneh dalam dunia kanuragan, maka Ken Padmi merupakan seorang gadis yang luar biasa.

   Mahisa Bungalan tidak sempat merenung lebih panjang.

   Ken Padmi telah melontarkan serangan berikutnya.

   Serangan dengan kaki mengarah lambung.

   Tetapi ketika Mahisa Bungalan berkisar, maka Ken Padmipun meloncat dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

   Dengan tangan kanan Ken Padmi menyerang kening, sementara tangan kirinya melindungi dadanya.

   Mahisa Bungalan terkejut.

   Bukan karena ia tidak mampu bergerak secepat itu, tetapi ternyata Ken Padmi benar-benar seorang gadis yang lincah, cepat dan cerdas.

   Namun demikian serangan-serangan Ken Padmi berikutnya seolah-olah sama sekali tidak berhasil menyentuh sasarannya.

   Bagaimanapun ia berusaha, dengan kecepatan yang tidak dapat diikuti oleh setiap penonton diseputar arena, namun serangan-serangan itu sama sekali tidak berhasil mengenai lawannya.

   Jantung Ken Padmi mulai bergejolak.

   Ia belum merasakan lawannya menyerangnya.

   Ia sadar, bahwa Mahisa Bungalan baru berusaha mengelak terus betapapun dahsyatnya serangan yaiig datang kepadanya."Gila"

   Geram Ken Padmi "anak ini mampu mengimbangi kecepatan gerakku"

   Dengan demikian Ken Padmi berusaha untuk meningkatkan kemampuannya sampai batas tertinggi.

   Dikerahkan segenap tenaganya untuk menekan lawannya yang ingin dipaksanya untuk melihat, bahwa Ken Padmi memiliki kelebihan daripadanya, meskipun kemudian dengan sengaja Ken Padmi akan mengalah.

   Dan ia harus yakin bahwa Mahisa Bungalan mengerti, bahwa Keu Padmi sengaja mengalah.

   Namun ternyata, bahwa Ken Padmi tidak segera berhasil.

   Ternyata serangannya tidak mematahkan perlawanan Mahisa Bungalan yang justru lebih banyak mengelak dan mengelak.

   Tetapi justru karena itu, perlawanan Mahisa Bungalan itu telah menimbulkan kejengkelan pada Ken Padmi, seolah-olah Mahisa Bungalan sekedar melayaninya tanpa berbuat sesuatu.

   Demikianlah perkelahian itu berlangsung semakin cepat.

   Tetapi dengan demikian, jantung Ken Padmipun menjadi semakin bergejolak.

   Kemarahannya telah menyala membakar perasaannya.

   Namun ia tidak dapat ingkar dari sifat seorang gadis.

   Ketika kemarahannya memuncak dan ia merasa tidak mampu berbuat lebih banyak, maka matanya menjadi panas.

   Maka rasanya Ken Padmi ingin berteriak dan menjerit sekuat-kuatnya untuk melepaskan pepat di dadanya.

   Ki Selabajra menjadi gelisah melihat sikap Mahisa Bungalan Dengan demikian, maka Ken Padmi tentu akan terpanggang oleh api kemarahannya yang tertahan di dalam dadanya.Untunglah Mahisa Agni dan Witantrapun melihat pula gejolak perasaan gadis itu.

   Meskipun merekapun tahu, bahwa Mahisa Bungalan yang tersinggung oleh tantangan gadis itu ingin melepaskan kejengkelannya pula dengan sikapnya.

   Namun sikap itu tidak menguntungkannya.

   Karena itu, maka pada kesempatan khusus, Witantra sempat berbisik "Jangan kau sakiti lagi hatinya yang sudah terluka"

   Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya.

   Namun nampaknya ia mengerti.

   Beberapa saat ia masih tetap bimbang.

   Ia ingin meihat Ken Padmi itu tidak lagi mampu berbuat sesuatu karena kehabisan tenaga, tanpa membalas serangan-serangannya.

   Seolah-olah dengan sangaja ia ingin menunjukkan, bahwa tanpa membalas dengan satu serang- anpun, ia dapat memenangkan sayembara tanding itu.

   Namun akhirnya Mahisa Bungalanpun mempertimbangkan pendapat Witantra itu.

   Bahkan kemudian sambil menarik nafas panjang ia berdesis kepada diri sendiri "Aku memang harus memberikan terlalu banyak pengorbanan bagi gadis bengal ini"

   Dengan demikian, Mahisa Bungalanpun telah merubah caranya.

   Ketika Ken Padmi yang dibakar oleh kejengkelan yang memuncak, sehingga serangan-serangannya menjadi semakin tidak terarah, mulailah Mahisa Bungalan membalas serangan lawannya itu dengan serangan-serangan pula.

   Bahkan Mahisa Bungalan mulai menunjukkan, betapa ia mulai diganggu oleh keletihan sehingga kemampuannya mulai menjadi susut.

   Keadaan dan sikap Mahisa Bungalan itu ternyata telah menarik perhatian Ken Padmi yang hampir menjadi putus asa dan berteriak untuk melepaskan kejengkelannya, justru karena ia seorang gajlis.Tiba-tiba saja ia melihat bahwa Mahisa Bungalan mulai terengah-engah.

   "Aku harus bertahan"

   Berkata Ken Padmi di dalam hatinya.

   Dengan demikian, maka Ken Padmi mulai mengatur tata geraknya yang sudah mulai tidak terarah itu.

   Ia berusaha untuk berlahan, sementara lawannya mulai kelelahan.

   Namun dalam pada itu, serangan-serangan Mahisa Bungalan mulai mengejarnya.

   Meskipun gerak Mahisa Bungalan menjadi semakin lamban, tetapi ia tidak hanya sekedar menghindar saja, tetapi ia sudah mulai menyerang.

   Tetapi dengan demikian.

   Ken Padmi tidak lagi merasa seolah-olah Mahisa Bungalan telah manghinanya.

   Seolah- olah Mahisa Bungalan akan dapat mengalahkannya tanpa berbuat apa-apa.

   Tetapi sejenak kemudian.

   Ken Padmipun tidak lagi dapat mengingkari kenyataan.

   Meskipun Mahisa Bungalan menjadi semakin lelah, tetapi Ken Padmi tidak dapat bertahan sambil menunggu Mahisa Bungalan kehabisan tenaga karena kelelahan.

   Sementara itu.

   Ken Padmipun telah menjadi sangat letih, sehingga gerakannya menjadi sangat terbatas.

   Meskipun demikian, harga diri gadis itu sama sekali tidak susut.

   Itulah sebabnya, maka Ken Padmi masih tetap berusaha untuk tegak dan memberikan perlawanan.

   Namun akhirnya, Ki Selabajra yang melihat keadaan itu berkata "Apakah aku sudah dapat menjatuhkan keputusan?"

   "Tidak"

   Ken Padmilah yang berteriak "aku belum kalah"

   Ki Selabajra masih akan berkata lagi.

   Tetapi semua orang yang berdiri diseputar arena itu terkejut bukanbuatan.

   Adalah diluar dugaan, bahwa tiba-tiba saja dengan kecepatan yang tarsisa, Ken Padmi telah menarik pedang dilambung Ki Watu Kendeng yang sama sekali tidak menyangkanya.

   Ia terlambat mencegahnya, sehingga semua orang menegang melihat pedang di tangan Ken Padmi.

   "Aku akan bertempur dengan senjata"

   Geram gadis itu.

   "Ken Padmi"

   Ki Selabajra menjadi gemetar "kau sudah gila"

   "Aku akan berperang tanding sampai mati"

   Teriak gadis itu.

   "Itu di luar ketentuan"

   Jawab Ki Selabajra "kau tidak boleh melanggar ketentuan yang sudah saling disetujui. Itu namanya curang. Dan isi padepokan Kenanga sama sekali tidak boleh melakukan kecurangan"

   "Aku tidak peduli"

   Jawab Ken Padmi "aku tantang orang itu untuk bertempur dengan senjata sampai mati"

   Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Dipandanginya Witantra, Mahisa Agni dan orang-orang tua lainnya di pinggir arena itu dengan tatapan mata penuh kebimbangan.

   "Ken Padmi"

   Berkata Ki Selabajra kemudian "apakah kau memaksa untuk melakukan hal itu?"

   "Ya"

   Jawab Ken Padmi singkat.

   Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam.

   Tetapi nampak di sorot matanya kemarahan yang membara.

   Karena itu, maka ketika ia tidak dapat menahan hati lagi, katanya kepada Mahisa Bungalan "Terserah kepadamu ngger.

   Ken Padmi sudah melanggar ketentuan yang berlaku.

   Ia sudah berbuat salah.

   Jika terjadi sesuatu atasnya, maka ia tidak lagi dilindungi oleh ketentuan yang manapun juga""Ayah"

   Desis Ken Padmi Namun demikian, ternyata gadis itu tidak melangkah surut Sejenak ia memandang ayahnya, namun kemudian katanya kepada Mahisa Bungalan "Aku tantang kau berperang tanding sampai mati"

   Namun jawaban Mahisa Bungalan mengejutkan sekali.

   Katanya "Aku tidak akan melakukannya.

   Aku datang untuk memasuki sayembara.

   Itupun dengan hati yang berat, karena aku sebenarnya menolak sayembara tanding seperti ini.

   Perkawinan hanya dapat berlangsung dengan baik, apabila perkawinan itu dialasi dengan cinta yang mendalam.

   Bukan karena satu kebetulan kalah atau menang di arena.

   Karena itu, sebenarnya aku sudah tidak lagi bernafsu untuk memasuki sayembara tanding.

   Jika aku menang, maka aku mendapatkan seseorang karena kemenanganku, bukan karena kita saling mencintai.

   Apalagi dengan perang tanding sampai mati.

   Apalagi artinya bagiku.

   Sekedar membunuh atau dibunuh? Aku sudah terlalu banyak membunuh.

   Kematian seorang gadis arena tidak akan menambah semarak namaku sebagai seorang kesatria"

   "Sombong"

   Bentak Ken Padmi sambil meloncat mamu.

   Tiba-tiba saja ia sudah menjulurkan pedangnya den menyentuh pundak Mahisa Bungalan, sehingga pundak itu terluka.

   Tetapi Mahisa Bungalan sama sekali tidak beranjak dari tempat.

   Sentuhan pedang itu sama sekdli tidak dihiraukannya.

   Ken Padmi terkejut melihat luka itu.

   Tetapi sekali lagi ia didesak oleh harga dirinya sehingga ia membentak "Cepat, cari senjata.

   Melawan atau tidak melawan, aku akan membunuhmu""Aku tidak peduli"

   Jawab Mahisa Bungalan "penonton yang meluap di halaman ini akan menjadi saksi. Yang terjadi di arena ini kematian atau pembunuhan yang licik. Betapa bodohnya mereka namun mereka akan dapat membedakannya"

   "Cukup, cukup"

   Teriak Ken Padmi yang sekali lagi mengacukan senjata ke leher Mahisa Bungalan "ambil senjata apa saja. Lawan aku berperang tanding. Cepat. Jangan menjadi seorang pengecul yang takut melihat mayat terbujur di arena"

   "Aku sudah berpuluh kali melihat mayat terbujur mati. Bahkan sudah berpuluh kali aku membunuh"

   Jawab Mahisa Bungalan "tetapi kedatanganku kemari bukan untuk membunuh meskipun untuk sayembara tandingpun sebenarnya aku sudah segan melakukannya.

   Karena itu, jika kau bernafsu untuk berbuat sesuatu lakukan.

   Aku tidak memerlukan apa-apa lagi disini.

   Semuanya sudah selesai bagiku"

   Wajah Ken Padmi menjadi merah padam.

   Ternyata Mahisa Bungalan sama sekali tidak menanggapinya.

   Dibiarkannya kegilaannya membakar kepalanya sehingga akhirnya, Ken Padmi itu menjerit sekeras-kerasnya sambil membantingkan pedangnya.

   Kemudian iapun berlari memeluk ayahnya yang berdiri di tepi arena sambil menangis.

   Ia tidak menghiraukan penonton yang melimpah di halaman itu.

   Ia tidak menghiraukan siapapun juga.

   Tetapi nampaknya penontonpun memakluminya.

   Seolah-olah penonton itu mengerti, perasaan yang bergejolak di dalam jantung gadis itu.

   Gadis yang sebenarnya mencintai anak muda yang mengalahkannya.

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Namun harga diri yang meronta di dalam dadanya menuntutnya untuk berbuat diluar nalarnya.

   Tetapiakhirnya gadis itu terbanting ke dalam perasaannya yang sejati.

   Ia mencintai Mahisa Bungalan.

   Ki Selabajrapun kemudian memeluk anak gadisnya pula.

   Sambil mengusap rambutnya ia berkata "Sudahlah Ken Padmi.

   Jangan menangis.

   Kau berada di arena.

   Sebaiknya kau berani melihat ke dalam hatimu sendiri.

   Jangan mencoba mengingkari perasaan yang sebenarnya sudah membelenggumu.

   Aku tahu, kau mencintai anak muda itu.

   Dan anak muda itupun mencintaimu.

   Tetapi kalian berdua adalah anak-anak muda yang mempunyak harga diri yang berlebih-lebihan sehingga kalian tidak lagi dapat melihat perasaan sendiri dengan bening"

   Ken Padmi masih menangis.

   Tetapi ia berusaha untuk menahannya, sehingga justru ia menjadi terisak.

   Nafasnya bagaikan menyumbat kerongkongannya.

   Dalam pada itu, maka para penonton sayembara tanding itupun rasa-rasanya telah melihat satu penyelesaian.

   Justru sebagian besar dari mereka menarik nafas dalam-dalam.

   Mereka puas dengan penyelesaian yang baik, karena mereka yakin, bahwa keduanya akan dapat hidup berpasangan pada saat-saat mendatang.

   Sebesarnyalah hubungan perasaan antara Ken Padmi dan Mahisa Bungalan melampaui masa-masa yang aneh.

   Keduanya sedang saling mencintai.

   Tetapi hubungan.

   merka justru terbentuk seolah-olah mereka adalah musuh bebuyutan.

   Sementara itu Mahisa Agnipun kemudian mendekati Mahisa Bungalan dan berdesis "Kau teriuka"

   Mahisa Bungalan mengusap lukanya dengan tangannya.

   Terasa darah yang hangat masih mengalir.Sambil memungut pedangnya yang dibanting oleh Ken Padmi Ki Watu Kendengpun mendekati Mahisa Bungalan sambil berkata "Meskipun tidak dalam, lukamu perlu diobati"

   Mahisa Bungalan mengangguk. Sementara itu, Ki Selabajra sedang membujuk anaknya untuk masuk ke ruang dalam.

   "Ki Watu Kendeng"

   Berkata Ki Selabajra "tolong, umumkan bahwa sayembara ini telah selesai"

   Dengan demikian, secara resmi, Ki Watu Kendenglah yang kemudian menutup sayembara tanding itu.

   Katanya "Gadis itu sudah tidak mampu melawan lagi, apapun alasannya.

   Karena itu, maka perang tanding ini sudah dinyatakan selesai.

   Anak muda ini telah memenangkan sayembara ini, dan ialah yang berhak untuk memetik akibat dari kemenangannya seperti yang sudah ditentukan"

   Orang-orang yang merasa tegang selama menyaksikan pertempuran di arena itu rasa-rasanya sempat menarik nafas panjang.

   Dada mereka yang bagaikan menyesak itupun rasa-rasanya menjadi longgar dan merekapun bergumam diantara mereka "Sukurlah.

   bahwa sayembara ini akhirnya selesai dengan damai"

   Dalam pada itu Kl Selabajrapun telah mengajak Ken Padmi masuk ke ruang dalam.

   Ia sama sekali tidak menyinggung tentang kekalahannya.

   Tetapi dibimbingnya Ken Padmi masuk ke dalam biliknya.

   Katanya "Sudahlah.

   Bergantilah dengan pakaianmu sehari-hari.

   Semuanya sudah berlalu.

   Dan kau adalah seorang gadis yang menjadi dewasa"

   Masih ada isak yang tersisa.

   Tetapi hati Ken Padmi sudah menjadi agak tenang, la tidak lagi dihentak- hentakkan oleh perasaannya yang sulit dikendalikan lagi.Di bagian lain dari padepokan itu, Mahisa Agni, Witantra dan Ki Watu Kendeng duduk menunggui Mahisa Bungalan yang sedang membenahi pakaiannya, setelah luka-lukanya diobati.

   Ki Watu Kendeng yang kemudian memberikan semangkuk minuman kepadanya berkata "Jalanmu memang agak terjal agger.

   Tetapi akhirnya kau sampai juga ke tujuan.

   Namun justru karena hubunganmu yang aneh dengan Ken Padmi ini, agaknya pada masa mendatang kau akan menemui masa-masa yang cukup cerah"

   "Mudah-mudahan Ki Watu Kendeng"

   Gumam Mahisa Bungalan.

   Sebenarnyalah ia masih belum tenang sepenuhnya.

   Masih ada tersisa penyesalan atas sikap Ken Padmi.

   Namun akhirnya, iapun berusaha untuk menganggapnya hal itu tidak pernah terjadi.

   Namun dalam pada itu, selagi Mahisa Bungalan dan Ken Padmi menemukan ketenangannya kembali, beberapa orang yang keluar dari halaman padepokan setelah segalanya selesai, tengah berbicara dengan geram.

   Seorang yang berwajah keras, berkumis lebih berkata "Marwantaka tidak akan membiarkan segalanya ini terjadi.

   Ia tidak berdiri sendiri.

   Kawan-kawannya dari berbagai padepokan cukup banyak jika ia memang akan mengambil tindakan atas padepokan Kenanga yang nampaknya bekerja bersama padepokan Watu Kendeng"

   Ternyata bukan saja para pengikut Marwantaka yang tidak puas dengan akhir dari sayembara tanding itu.

   Tetapi juga para pengikut Wiranata.

   Dengan demikian berarti bahwa baik Marwantaka ataupun Wiranata tidak lagi mendapat keserupaan untuk dapat mengambil Ken Padmi untuk dijadikan isteri salah seorang dari mereka.Yang sama sekati tidak terduga-duga adalah justru ketika kedua kelompok itu bertemu.

   Mereka seolah-olah merasa bersama-sama terlempar ke dalam satu nasib yang buruk.

   Kedua, kelompok itu merasa, bahwa mereka sama-sama tidak mendapat tempat di padepokan Kenanga.

   Karena itu, maka kedua kelompok itu justu menemukan sentuhan perasaan yang sama.

   "Dendam Kami akan membuat Ki Selabajra menjadi menyesal"

   Berkata seseorang pengikut Marwantaka, yang kemudian disahut oleh seorang pengikut Wiranata "Kamipun akan berbuat demikian. Padepokan Kenanga akan menjadi karang abang"

   "He"

   Berkata pengikut Marwantaka "kenapa hal ini tidak kita sampaikan saja kepada mereka yang berkepentingan.

   Marwantaka dan Wiranata.

   Biarlah keduanya mempertimbangkan untuk menebus kekecewaan mereka.

   Daripada mereka berdua tidak memilikinya, maka lebih baik bunga yang sedang mekar itu digugurkan saja sama sekali"

   "Ya. Tentu keduanya akan sependapat"

   Jawab pengikut Wiranata.

   Ternyata pikiran itu telah dikembangkan.

   Kedua pihak telah menyampaikan persoalan itu kepada orang-orang yang berkepentingan.

   Kawan-kawan Marwantaka yang ingin menunjukkan kemampuan mereka setelah berguru beberapa lamanya, merasa mendapat jalur penyaluran.

   Sementara itu orang-orang di pihak Wiranatapun kecewa bahwa mereka tidak akan mendapat upah seperti yang dijanjikan jika mereka tidak berbuat apa-apa.

   Dengan usaha menghancurkan padepokan Kenanga, maka mereka akan tetap mendapat upah, meskipun tidak sebanyak janji Wiranata semula.Kepentingan yang bertemu itu telah memungkinkan kedua belah pihak merencanakan untuk membuat padepokan Kenanga menjadi debu.

   Mereka merencanakan menghancurkan padepokan itu dan menggugurkan sama sekali bunga yang sedang mekar di taman padepokan Kenanga itu.

   Namun dalam pada itu, secara naluriah, orang-orang di padepokan Kenangapun merasa bahwa kemungkinan yang buruk itu akan dapat terjadi.

   Karena itu, maka mereka tidak tenggelam ke dalam keselarasan yang telah mereka ketemukan, justru setelah mereka mengalami ketegangan yang memuncak.

   Namun mereka tetap berbenah dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.

   Sementara itu, ternyata peristiwa yang terjadi di padepokan Kenanga itu telah mendapat perhatian dari seseorang yang namanya semakin-lama menjadi semakin menggetarkan.

   Seseorang menjadi segan untuk mengucap- kannya, seolah-olah mereka telah menyebut nama hantu yang paling menakutkan.

   Orang itu adalah Ki Dukut Pakering.

   Peristiwa yang terjadi di padepokan Kenanga itu telah menarik perhatiannya pula.

   la yang hampir melupakan padepokan itu, ketika mendengar berita tentang sayembara tanding, tiba-tiba telah teringat akan pengkhianatan Ki Selabajra yang ingkar akan janjinya di padepokan Ki Kasang Jati.

   "Orang itu memang sombong"

   Berkata Ki Dukut "bagaimana mungkin seorang seperti Ki Selabajra berani menyelenggarakan sayembara tanding"

   Apapun yang menjadi taruhan, rasa-rasanya Ki Dukut ingin memasuki arena sayembara tanding itu.

   Namun iapun kemudian mendengar berita bahwa sayembara tanding itusudah dimenangkan oleh seorang anak muda yang tidak banyak dikenal di sekitar padepokan Kenanga itu sendiri.

   Bahkan akhirnya Ki Dukut yang seakan-akan diluar kemauannya sendiri telah mendekati padepokan Kenanga itu, telah mendengar pula buhwa dua orang anak muda menjadi sakit hati karenanya dan telah bersepakat untuk melepaskan sakit hatinya itu.

   "Menyenangkan sekali"

   Berkata Ki Dukut "aku akan bergabung dengan mereka untuk membuat padepokan kecil itu menjadi debu. Aku akatr mendapat sedikit hiburan atas kegagalan-kegagalan yang selama ini aku alami, sehingga untuk beberapa lama aku justru harus bersembunyi"

   Karena itu, maka Ki Dukutpun segera berusaha mencari hubungan dengan dua orang anak muda yang sedang kecewa itu.

   Tetapi seperti yang pernah dilakukan, Ki Dukut ternyata mempunyai caranya tersendiri.

   Ia berniat untuk membuat kejutan-kejutan, sehingga kedua anak muda itu mempercayainya, bahwa ia akan dapat membantu mereka, dan melumatkan semua kekuatan yang ada di padepokan itu.

   "Tidak ada orang yang dapat menghalangi aku di daerah ini"

   Berkata Ki Dukut di dalam hatinya.

   Karena itu, maka iapun telah berusaha untuk dapat bertemu dengan salah seorang dari kedua orang anak muda yang sedang kecewa dan berusaha untuk membalas dendam itu.

   Alangkah gembira hati Ki Dukui ketika ia mendengar kabar bahwa kedua orang anak muda itu telah merencana kan satu pertemuan di sebuah ara-ara sempit di sebelah hutan kecil yang sering menjadi daerah perburuaan anak- anak muda.

   Kedua anak muda itu akan membicarakan,apakah yang paling baik mereka lakukan untuk melepaskan dendam mereka.

   "Aku akan hadir di pertemuan itu"

   Berkata Ki Dukut di dalam hatinya "aku akan meyakinkan mereka, bahwa aku akan dapat berbuat apa saja yang aku ingini atas padepokan itu.

   Bahkan seandainya aku akan mengambil gadis yang sedang diperebutkan itu Tetapi nampaknya lebih senang melihat api yang menjilat langit memusnahkan seluruh isi padepokan itu.

   termasuk orang-orang yang sombong dan berkhianat itu.

   Demikianlah seperti yang didengar oleh Ki Dukut, sebenarnyalah Marwantaka dan Wiranata atas dorongan dari kawan-kawan mereka telah bersepakat untuk bertemu.

   Mereka akan membicarakan satu rencana untuk menghancurkan padepokan Kenanga yang telah membuat hati mereka menjadi sangat pahit atas kekalahan yang pernah mereka alami dari seorang gadis yang bernama Ken Padmi, seorang gadis yang sebenarnya ingin mereka jadikan isteri dari salah seorang diantaranya.

   Pada waktu yang sudah dijanjikan, maka Marwantaka dan Wiranata benar-benar telah hadir di ara-ara itu bersama dengan beberapa orang kawan-kawan mereka.

   Karena sebelumnya mereka telah bermusuhan, maka keduanya memerlukan waktu untuk saling menyesuaikan diri.

   Namun dalam pada itu, selagi mereka sedang mulai dengan pembicaraan-pembicaraan yang mengarah, tiba-tiba saja hutan telah bagaikan terguncang.

   Mereka telah dikejutkan oleh suara tertawa dari hutan di sebelah.

   Suara tertawa yang semakin lama terdengar semakin keras.

   Pepohonan bagaikan terguncang.

   Daun-daun yang kuning berguguran jatuh di tanah.Anak-anak muda dan para pengikutnya yang sedang berkumpul itupun menjadi terkejut.

   Suara tertawa itu rasa- rasanya telah menghentak-hentak dada mereka.

   Jantung merekapun bagaikan akan runtuh dari tangkainya di dalam dadanya.

   Baik Marwantaka maupun Wiranata menjadi cemas.

   Keduanya adalah pemimpin-pemimpin dari kelompok- kelompok yang ada di tempat itu, sehingga jika kehadiran mereka harus dipertanggung-jawabkan, maka keduanyalah yang harus bertanggung jawab.

   Suara tertawa itu semakin lama menjadi semakin keras.

   Dengan demikian maka goncangan-angan di dalam dada merekapun rasa-rasanya menjadi semakin keras pula, sehingga bukan saja para pengikut kedua anak muda itu yang menjadi sesak nafas, tetapi Marwantaka dan Wiranatapun harus berjuang untuk mengatasi hentakan- hentakan di dalam dadanya yang bahkan kemudian seolah- olah jalur pernafasan merekapun menjadi tersumbat karenanya.

   Orang-orang yang berada di ara-ara kecil itu berusaha untuk menyumbat telinga mereka.

   Namun ternyata gelaran suara tertawa itu tidak saja menyusup melalui telinga, tetapi rasa-rasanya langsung menghentak-hentak di dalam dada mereka.

   Namun dalam pada itu.

   sebelum jantung mereka benar- benar runtuh dan pernafasan mereka tersumbat karenanya, suara tertawa itu semakin lama menjadi semakin susut.

   Goncangan yang ditimbulkanpun menjadi semakin berkurang, sehingga akhirnya berhenti sama sekali.

   Pepohonan tidak lagi bagaikan diguncang dan dedaunan tidak lagi runtuh di atas tanah.Demikian suara tertawa itu berhenti, maka seseorang telah muncul dari dalam hutan.

   Seorang yang berwajah dalam, keras dan seolah-olah memancarkan bayangan kemampuan yang tidak dapat dijajagi.

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Demikian orang itu muncul, maka terdengar Marwantaka berdesis lemah "Ki Dukut Pakering"

   Orang itu mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia berkata "Kau sudah mengenal aku"

   "Ya Ki Dukut"

   Jawab Marwantaka "aku ikut serta dengan Ki Dukut ketika Ki Dukut pergi ke padepokan Ki Kasang Jati.

   "O"

   Ki Dukut mengangguk-angguk "jadi kau ikut juga berkhianat waktu itu?"

   "Tidak Ki Dukut"

   Jawab Marwantaka cepat-cepat "aku berusaha untuk tetap mempertahankan sikapku. Tetapi aku dipaksa oleh Ki Selabajra untuk berkhianat. Ialah yang sebenarnya berkhianat"

   "Selabajra yang mana?"

   Bertanya Ki Dukut.

   "Pemimpin dari padepokan Kenanga yang baru saja mengadakan sayembara tanding"

   Jawab Marwantaka.

   "O, jadi padepokan Kenanga waktu itu berkhianat"

   "Ya. Aku ingat apa yang dilakukan oleh orang itu"

   Jawab Ki Dukut yang kemudian bertanya "Sekarang, apakah persoalan kalian berkumpul di sini? Apakah kalian akan menangkap aku?"

   "Tidak. Tentu tidak. Bagaimana mungkin aku dapat menangkap Ki Dukut"

   Jawab Marwantaka dengan serta merta.Marwantakapun segera berceritera serba sedikit tentang keadaannya, hubungannya dengan padepokan Kenanga dan rencananya untuk menghancurkan padepokan itu.

   Ki Dukut mengangguk-angguk sambil tertawa.

   Tetapi suara tertawanya tidak lagi menghentak jantung.

   "Jadi kalian mendendam pula kepada Ki Selabajra itu?"

   Bertanya Ki Dukut kemudian "Baiklah. Aku akan membantu kalian. Apakah kalian percaya kepadaku, bahwa aku akan dapat menyapu padepokan itu"

   "Ya, ya Ki Dukut. Yang baru saja terjadi. benar-benar telah mengguncangkan jantungku. Apakah dengan demikian aku tidak akan percaya kepada Ki Dukut"

   Sahut Wiranata pula.

   ".Jika demikian, baiklah. Kita akan pergi ke padepokan itu. Aku akan menghancurkan semuanya. Terserah apakah kalian akan ikut bersama aku bermain-main dengan padepokan itu, atau serahkan saja seluruhnya kepadaku"

   "Jika Ki Dukut tidak berkeberatan, aku ingin ikut serta"

   Berkata Wiranata.

   "Aku juga"

   Sambung Marwantaka. Ki Dukut mengangguk-angguk. Katanya "Terserah kepada kalian. Jika kalian mau ikut, marilah. Aku akan pergi ke padepokan itu"

   "Sekarang?"

   Bertanya Marwantaka.

   "Bukankah kalian telah berkumpul?"

   Bertanya Ki Dukut.

   "Belum seluruhnya"

   Sahut Wiranata.

   "Panggil mereka sekarang. Aku menunggu di sini Kita akan pergi ke padepokan Kenanga sekarang"Marwantaka dan Wiranata menjadi ragu-ragu. Namun jika mereka menolak kesempatan itu, mungkin Ki Dukut tidak lagi akan bersedia membantu, atau ia akan melakukannya sendiri, sehingga mereka tidak akan ikui serta mendapatkan kepuasan dengan hancurnya padepokan Kenanga. Karena itu, maka selolah berpikir sejenak, keduanyapun menyatakan kesediaan mereka memanggil kawan- kawannya.

   "Silahkan Ki Dukut menunggu sebentar"

   Berkata Wiranata.

   "Sebenarnya aku tidak perlu kawan seorangpun"

   Berkata Ki Dukdut "tetapi agaknya kalian demikian bernafsu untuk berbuat sesuatu atas padepokan itu, karena dendam yang bergejolak di dalam hali kalian, jika aku bertindak sendiri, maka dendam kalian akan membakar jantung kalian sendiri.

   Karena itu, pergilah dan panggil kawan-kawanmu agar mereka ikut menikmati hancurnya padepokan kecil yang sombong itu"

   Marwantaka dan Wiranatapun kemudian meninggalkan beberapa orang pengikutnya untuk memanggil kawan- kawannya lebih banyak lagi.

   Mereka akan menjadi gembira jika mereka bersama-sama mendapat kesempatan, untuk berbuat sesuatu atas orang-orang yang mereka anggap sangat sombong itu.

   Ternyata Ki Dukut tidak menunggu terlalu lama.

   Meskipun ia hampir saja menjadi jemu, namun kemudian orang-orang yang ditunggunya itupun berdatangan.

   Marwantaka telah membawa kawan-kawannya, sementara Wiranata lelah membawa orang-orang upahannya.

   Sejenak kemudian, merekapun telah bersiap.

   Ki Dukut yang melihat dendam yang membara di hati mereka,tersenyum di dalam hati.

   Sebenarnya ia telah hampir melupakan padepokan Kenanga yang pernah berkhianat kepadanya.

   Tetapi kegagalan-kegagalan, berita tentang sayembara tanding yang menarik, serta keterangan- keterangan yang didengarnya telah menggelitiknya untuk melakukan sesuatu.

   "Aku akan menonton"

   Berkata Ki Dukut di dalam hatinya karena ia yakin, bahwa orang-orang itu akan dapal melakukan apa saja yang mereka kehendaki. Padepokan kecil itu tidak akan dapal menahan kekuatan Marwantaka dan Wiranata.

   "Jika pemimpin padepokan itu memang tidak dapat dikalahkan, karena ternyata anak perempuan saja telah mengejutkan lawan-lawannya di arena sayembara landing, maka aku akan memaksanya untuk berlutut di hadapan kedua anak-anak muda ilu"

   Berkata Ki Dukut di dalam hati.

   Lalu "Tentu lucu sekali bahwa gadis itupun tidak akan dapal lagi membantah keinginan kedua anak muda yang pernah dikalahkannya, Jika ia masih menghendaki ayahnya hidup.

   Namun akhirnya semuanya akan musnah.

   Api akan menyala, dan padepokan itu akan menjadi abu.

   Termasuk Selabajra dan barangkali gadis itu sendiri"

   Bayangan yang ganas telah bermain di angan-angan Ki Dukut.

   Pengalaman pahit, kegagalan- kegagalan serta kesadarannya bahwa ia merupakan seorang buruan, telah membuatnya menjadi seorang yang garang.

   Tekanan- tekanan yang dialaminya ini telah menghunjam langsung sampai ke pusat syaratnya, sehingga perlahan-lahan tetapi pasti, telah menumbuhkan sifat dan watak yang hampir melenyapkan segala unsur-unsur kemanusiaannya.

   Yang tersisa di dalam angan-angan hanyalah dendam dan kebencian.

   Karena itu, maka ia akan merasa gembira sekali jika ia dapat melihat bagaimana anak-anak mudayang mendendam itu menggerakkan para pengikutnya untuk membuat padepokan Kenanga menjadi abu.

   Api yang menyala, jerit, tangis dan keluhan kesakitan merupakan paduan penglihatan dan pendengaran yang sangat mengasikkan bagi Ki Dukut Pakering yang telah mengalami gangguan pada syarafnya karena peristiwa- peristiwa yang menyangkut dirinya.

   Demikianlah, maka sejenak kemudian, sepasukan yang kuat itupun telah mulai merayap mendekati padepokan Kenanga.

   Mereka tidak lagi mempunyai gambaran lain kecuali menghancurkan padepokan itu dengan segala isinya.

   Namun, sebenarnyalah hal itu telah mengejutkan orang- orang yang melihatnya.

   Bagaimanapun juga, orang-orang di sekitar padepokan itupun mengerti, bahwa ada dendam yang menyala di hati Marwantaka dan Wiranata.

   Karena itu, diantara orang-orang yang tidak berani ikut mencampuri persoalan itu, ada juga seseorang yang dengan mengendap-endap telah mendahului memasuki padepokan Kenanga.

   Dengan nafas terengah-engah ia menceriterakan apa yang dilihatnya.

   Namun demikian ia selesai berceritera, maka iapun segera minta diri.

   "Tunggu"

   Cegah Ki Selabajra "apakah kau dapat menceriterakan dengan terperinci?"

   "Aku tidak mau terlibat. Aku harus keluar dari padepokan ini sebelum mereka sampai di sini "

   Minta orang itu.

   Ki Selabajra tidak menahannya lagi.

   Orang itu telah berusaha berbuat baik.

   Karena itu, ia tidak sampai hatimenahannya dan apalagi jika benar-benar terjadi bencana atasnya.

   Namun dalam pada itu, pemberitahuan itu telah memberikan kesempatan kepada Ki Selabajra untuk mengatur orang-orangnya.

   Sementara itu Ki Watu Kendeng dan pengawal-pengawalnya masih juga berada di padepokan Kenanga.

   "Kedua cantrik tua itu akan dapat membantu"

   Berkata Ki Watu Kendeng sambil memandang kepada Mahisa Agni dan Witantra.

   "Kami tidak akan berkeberatan"

   Berkata Mahisa Agni.

   "Mereka membawa pasukan yang besar"

   Geram Ki Selabajra.

   "Kita akan menghadapinya"

   Desis Mahisa Bungalan.

   Demikianlah padepokan kecil itupun mulai bersiap-siap.

   Semua cantrik yang adapun telah bersiaga dengan senjata masing-masing.

   Regol depan telah ditutup dan diselarak.

   Sementara beberapa orang cantrik mengawasi keadaan di atas dinding padepokan.

   Untuk melawan kekuatan yang besar, maka Ki Selabajra telah membenarkan para cantriknya untuk mempergunakan anak panah dan busur.

   Meskipun para cantrik itu tidak dibenarkan untuk membunuh duugan semena-mena, tetapi mereka memang wajib menahan gerak maju orang-orang yang menyerang padepokan kecil itu.

   "Bukan maksud kami untuk berperang"

   Berkata Ki Selabajra "tetapi sudah barang tentu, bukan maksud kami pula untuk membiarkan padepokan ini menjadi debu"

   Dalam pada itu, Ki Selabajra telah menempatkan cantrik-cantriknya pada tempal-tempat yang penting diseputar padepokannya.

   Bukan saja di halaman depan, tetapi juga di halaman samping dan di kebun belakang.

   Sementara itu Ki Selabajra sendiri, Ki Watu Kendeng dan anak gadisnya, Ken Padmi, berada di pendapa.

   Mahisa Bungalan yang telah menyatakan diri menjadi keluarga dari padepokan itu, berdiri tegak di halaman bersama dua orang cantrik padepokan itu.

   Sementara Mahisa Agni dan Witantra, yang menyala dengan para cantrik, berada di sebelah menyebelah pendapa.

   Menurut perhitungan Ki Selabajra, para cantrik tidak akan dapat menahan pasukan yang menyerbu padepokannya itu diluar gerbang dan dinding halaman.

   Mereka tentu akan memecahkan pintu, sementara yang lain akan meloncati dinding.

   Karena itu, maka mereka telah siap bertempur di halaman depan, halaman samping dan di kebun belakang.

   Sebenarnyalah, seperti yang dikatakan oleh orang yang memberikan kabar tentang gerakan itu, maka sepasukan yang besar telah datang mendekati padepokan itu.

   "Mereka datang"

   Berkata seorang cantrik yang mengawasi keadaan di luar padepokan dari atas dinding.

   Ki Selabajrapun kemudian turun dari pendapa.

   Iapun kemudian naik ke atas sebuah panggungan kecil di sebelah regol bersama Ki Watu Kendeng.

   Dari tempatnya Ki Selabajra melihat pasukan yang datang itu semakin lama menjadi semakin dekat.

   Sambil menarik nafas dalam-dalam Ki Selabajra berkata "Ternyata masalahnya menjadi berkepanjangan"

   "Mereka kehilangan akal"

   Jawab Ki Watu Kendeng.

   "Tetapi cepat atau lambat, hal ini memang sudah aku duga. Jika sayembara tanding itu tidak diadakan, mungkinpersoalannya justru akan menjadi semakin rumit, karena ada tiga pihak yang akan berhadapan. Mungkin justru benturan-benturan yang tidak menentu akan terjadi"

   Berkata Ki Selabajra "tetapi dengan keadaan ini, kita menghadapi masalah yang jelas, sementara kedua paman Mahisa Bungalan itu kebetulan ada di sini"

   Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam.

   Iapun yakin, bahwa orang yang bernama Mahisa Agni dan Witantra itu memiliki kemampuan yang luar biasa.

   Demikianlah, iring-iringan itupun menjadi semakin dekat.

   Ketika mereka melihat pintu regol yang tertutup, serta beberapa orang di atas dinding dan di sebuah panggung kecil, maka orang-orang di dalam iring-iringan itupun telah menyadari, bahwa kedatangan mereka telah ditunggu.

   Dalam pada itu, beberapa orang terpenting dari iring- iringan "itupun berada di paling depan.

   Beberapa puluh langkah dari regol, iring-iringan itupun berhenti.

   Marwantaka dan Wiranata, yang merasa memimpin pasukan itupun melangkah maju mendekati regol.

   Sambil bertolak pinggang Marwantakapun berkata "Ki Selabajra, apakah ada gunanya kau menutup pintu regolmu?"

   "Angger Marwantaka"

   Sahut Ki Selabajra "seharusnya aku menyambut tamuku dengan cara lain.

   Dengan cara yang lebih baik dan hormat.

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tetapi terpaksa aku melakukannya seperti sekarang ini, karena aku tidak mempunyai pilihan.

   Apakah sebenarnya maksud kedatangan angger bersama pasukan segelar-sepapan.

   "Aku tidak perlu berbicara panjang lebar"

   Jawab Wiranata "dengan singkat aku katakan, bahwa-kami ingin membakar padepokan Kenanga bersama semua isinya,termasuk gadis yang diperebutkan itu. Kalian telah menghina kami, sehingga tidak ada lagi ampun bagi kalian"

   "Kami, para penghungi padepokan ini sama sekali tidak merasa bersalah. Apalagi untuk menerima hukuman seberat itu"

   Jawab Ki Selabajra.

   "Sudahlah"

   Potong Marwantaka "jangan merajuk.

   Segalanya sudah terlanjur.

   Aku datang untuk menghapus sama sekali padepokan yang lelah dengan sombong memberikan kenangan sangat pahit kepadaku.

   Dan sebagai imbalan dari pengkhianatan kalian, maka telah hadir pula di sini, seseorang yang memiliki nama yang tidak ada bandingnya"

   Wajah Ki Selabajra menegang.

   "Kalian telah berkhianat atas kesediaan kalian bekerja bersama dengan Ki Dukut Pakering. Pengkhianatan itu harus dihukum. Nah, kecuali kami berdua, telah hadir pula di sini, Ki Dukut Pakering. Karena itu, jangan membuat diri kalian sendiri menjadi bertambah sulit dengan perlawanan yang tidak berarti"

   Keterangan itu benar-benar mengejutkan. Ki Selabajra. Sehingga karena itu, maka diluar sadarnya ia mengulangi "Ki Dukut Pakering"

   "Ya. Ki Dukut Pakering akan menghukum kalian"

   Geram Wiranata.

   Ki Selabajra benar-benar menjadi tegang.

   Namun dalam pada itu ternyata Mahisa Agni, Witantra serta Mahisa Bungalanpun mendengar pula nama itu disebut.

   Karena itu, di luar sadar mereka telah bergeser mendekati Ki Selabajra untuk mendengarkan pembicaraan berikutnya.

   Karena Ki Selabajra tidak segera menyahut, maka Wiranatapun berkata seterusnya "Semuanya sudahterlambat.

   Juga seandainya kau berikan anak gadismu itu kepadaku, aku tidak akan dapat menerimanya dan menukarnya dengan keselamatanmu.

   Yang akan terjadi kemudian sudah jelas Kalian akan dibantai di halaman padepokan kalian sendiri, sementara padepokan ini akan hancur menjadi karang abang"

   Ki Selabajra yang termangu-mangu itu akhirnya tidak dapat menolak kenyataan yang dihadapinya.

   Biarpun Ki Dukut Pakering itu datang namun ia tidak akan ingkar akan kewajibannya sebagai pemimpin padepokan kecil itu.

   Karena itu, maka katanya "Bukan maksud kami untuk menumpahkan darah.

   Baik itu para cantrik di padepokan ini, maupun darah kalian semuanya, tetapi jika kami disudutkan pada keadaan yang tanpa pilihan, apa boleh buat.

   Juga seandainya Ki Dukut benar-benar ada dlsini"

   "Aku benar-benar ada di sini Ki Selabajra"

   Berkata seorang tua yang melangkah maju mendekati regol "aku tidak berpura-pura lagi.

   Sebenarnya aku ingin memasuki sayembara tandingmu untuk mendapatkan seorang isteri muda yang cantik.

   Tetapi menurut keterangan yang aku dengar, anakmu sudah ada yang berhasil mengalahkannya.

   Nah, karena itu, maka aku lebih baik melakukan rencanaku yang hampir aku lupakan.

   Menghukum orang-orang yang telah mengkhianati aku.

   sehingga usahaku membunuh Kasangjati, musuh bebuyutan itu gagal"

   Wajah Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng menjadi tegang, Ki Dukut benar-benar telah hadir dalam keadaan yang gawat itu, sehingga membuat kedua orang pemimpin padepokan itu menjadi berdebar-tiebar.

   Namun seperti semula.

   Ki Selabajra telah menempatkan dirinya sebagai seorang penanggung jawab daripadepokanriya.

   Apapun yang akan teriadi, ia tidak akan ingkar dari tanggung jawabnya.

   Karena itu, maka katanya "Ki Dukut Pakering.

   Aku tahu, bahwa tidak ada orang yang dapat mengalahkanmu Tetapi akupun menyadari kewajibanku sebagai pimpinan atas padepokan ini.

   Karena itu, apapun yang akan terjadi, maka aku akan menempatkan diriku dalam kedudukanku untuk melawan kau dan pasukanmu yang akan datang memasuki padepokanku"

   Ki Dukut tertawa.

   Katanya "Kedengarannya lucu.

   sekali, bahwa kau akan melawan aku dan kedua anak muda yang kau sakiti hatinya ini.

   Mereka membawa pasukan yang kuat, sementara kau tidak akan dapat berbuat apa-apa dihadapanku.

   Tetapi agaknya aku harus bersabar, sehingga memberikan kesempatan kepadamu untuk melihat padepokanmu musnah dimakan api.

   Baru kemudian kau harus dibunuh.

   Atau dilemparkan ke dalam api hidup- hidup"

   "Apapun yang dapat kau lakukan atas aku Ki Dukut"

   Jawab Ki Selabajra "tidak akan dapat mengendorkan tekadku untuk mempertahankan padepokan ini sampai kemungkinan terakhir"

   Ki Dukut tertawa. Katanya "Kau memang sombong sekali"

   Lalu katanya kepada Marwantaka dan Wiranata"

   "Anak muda, aku kira, tidak ada lagi yang pantas ditunggu. Kita akan memasuki padepokan itu lewat segala penjuru. Meskipun regol itu sudah ditutup, tetapi membuka regol itu bukan pekerjaan yang terlalu sulit bagi kalian. Dua tiga orang akan dapat memecahkan pintu regol itu. Tetapi jika kalian mengalami kesukaran, biarlah aku yang membukanya"Jantung Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng menjadi semakin berdebar-debar. Diluar sadarnya ia berpaling kepada Mahisa Bungalan. Bagi Ki Selabajra Mahisa Bungalan adalah orang yang luar biasa. Tetapi apakah ia dapat mengimbangi kemampuan Ki Dukut Pakering. Di padepokan Ki Kasang Jati, ternyata tersimpan kekuatan lain yang dapat mengimbangi kekuatan Ki Dukut Pakering. Namun tiba-tiba telah timbul niatnya untuk menyelamatkan kedua orang anak muda yang baru saja menemukan diri mereka di dalam hubungan yang aneh. Karena itu, maka-iapun berbisik di telinga Ki Watu Kendeng "Aku harus berusaha untuk menyelamatkan anak keturunanku Mahisa Bungalan dan Ken Padmi baru saja membuka hati masing-masing yang selama ini tertutup oleh harta diri yang berlebih-lebihan. Apakah tidak sebaiknya aku menganjurkan kepada keduanya untuk berusaha melepaskan diri dari keadaan yang tentu akan sangat gawat ini"

   "Aku sependapat"

   Desis Ki Watu Kendeng "aku akan membujuknya"

   "Silahkan Ki Watu Kendeng, aku akan tetap di sini mengawasi orang-orang yang ingin memasuki halaman padepokan ini"

   Berkata Ki Selabajra.

   Ki Watu Kendengpun kemudian turun dari panggung kecil di sebelah regol halaman padepokan Ki Selabajra itu.

   Dengan tergesa-gesa ia mendekati Mahisa Bungalan yang kemudaan berdiri di sebelah Ken Padmi yang berada di tangga pendapa.

   Sejenak Ki Walu Kendeng itu termangu-mangu.

   Namun kemudian dipaksanya untuk berkata "Aku minta maaf ngger.

   Bukan maksudku memperkecil arti kehadiranmu di padepokan ini justru pada saat yang gawat seperti ini.Tetapi Ki Selabajra mempunyai pertimbangan tersendiri.

   Karena yang datang itu adalah Ki Dukut Pakering, maka Ki Selabajra berpikir, bahwa kesempatan untuk dapat melawannya sedikit sekali.

   Karena itu, agar masa depannya masih tetap disebut namanya, ia berharap agar angger Mahisa Bungalan dan Ken Padmi dapat menghindarkan diri dari keadaan yang sangat gawat ini"

   Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya Ken Padmi yang termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya "Aku tetap berada di sini Ki Watu Kendeng"

   Ki Watu Kendeng mengerutkan keningnya.

   Ia memang sudah menduga, bahwa Mahisa Bungalan akan merasa wajib untuk tetap berada di padepokan itu.

   Namun demikian ia masih berusaha membujuknya "Angger Mahisa Bungalan.

   Aku mengerti perasaanmu.

   Mungkin Ken Padmi pun akan bersikap seperti sikapmu.

   Tetapi jika benar padepokan inj akan hancur menjadi abu, siapakah yang akan melanjutkan nama Ki Selabajra jika Ken Padmi tidak diselamatkan.

   Tidak ada orang lain yang akan dapat menyelamatkannya selain kau"

   Mahisa Bungalan menjadi tegang.

   Ia dapat mengerti yang dikatakan oleh Ki Watu Kendeng itu.

   Tetapi apa benar bahwa padepokan ini akan hancur.

   Karena itu dengan ragu-ragu-ia bertanya "Ki Watu Kendeng.

   Apakah Ki Watu Kendeng yakin, bahwa padepok an ini akan hancur menjadi abu?"

   "Aku sudah melihat ngger, berapa banyak orang yang siap mengepung padepokan ini. Dan terlebih lagi diantara mereka terdapat Ki Dukut Pakering"

   Jawab Ki Watu Kendeng.Mahisa Bungalan mengangguk-angguk, la mengerti, betapa menakutkan nama Ki Dukul Pakering.

   Namun di halaman padepokan itu ada kedua orang pamannya, Mahisa Agni dan Witantra.

   Tetapi selama ini ia memang belum mengatakan bahwa kedua pamannya itu akan dapat mengimbangi kemampuan Ki Dukut.

   Yang diketahui oleh Ki Watu Kendeng, kedua orang pamannya itu memang mempunyai kelebihan yang dapat membenIuk Ken Padmi menjadi seorang gadis yang luar biasa.

   Tetapi untuk menghadapi Ki Dukut tentu-masih agak meragukan bagi Ki Watu Kendeng.

   Namun demikian Mahisa Bungalan itupun berkata "Ki Watu Kendeng, aku menurut apa yang dikehendaki oleh Ken Padmi.

   Jika ia menganggap perlu untuk menghindar, aku akan pergi bersamanya.

   Tetapi jika ia bersikap lain, akupun akan mengikutinya"

   "Aku tetap di sini"

   Berkata Ken Padmi yang sudah siap dalam pakaian tempurnya "aku merasa mampu untuk melawan salah seorang dari kedua anak.

   muda itu.

   Kakang mahisa Bungalan akan dapat melawan seorang yang lain, sementara ayah, Ki Watu Kendeng, bersama kedua orang yang disebut cantrik tua dari Watu Kendeng itu harus menghadapi Ki Dukut Pakering.

   Apakah berempat Ki Watu Kendeng masih ragu-ragu untuk dapat mengimbanginya? Ki Watu Kendeng, kedua orang cantri tua dari Watu Kendeng itu menyimpan rahasia di dalam dirinya.

   Sejak semula aku sudah meragukannya.

   Tetapi aku belum sempat bertanya tentang diri keduanya.

   Aku kira keduanya memiliki kemampuan melampaui ayah dan entahlah dengan Ki Watu Kendeng"

   Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu diluar padepokan telah terdengar sorakbagaikan membelah langit. Wiranata dan Marwantaka telah menjatuhkan perintah untuk menyerang padepokan itu.

   "Cepat ambil kepulasan"

   Berkata Ki Watu Kendeng. Sekali lagi terdengar jawab Ken Padmi tegas "Aku tetap di sini"

   Dalam keadaan yang semakin gawat, Ki Watu Kendeng tidak dapat membuang waktu terlalu banyak, la yakin, bahwa Ken Padmi memang tidak akan dapat dipaksa untuk meninggalkan padepokan itu, sementara Ki Watu Kendengpun mulai meragukan, apakah jika keduanya keluar dari padepokan itu lewat jalan manapun juga akan menjamin, bahwa keduanya tidak akan mengalami bencana.

   Karena itu, maka Ki Watu Kendengpun dengan tergesa- gesa telah kembali ke panggung kecil di samping regof.

   Ia melihat pasukan yang berada di luar halaman padepokan mulai menebar.

   Nampaknya mereka tidak memusatkan serangannya pada regol padepokan, namun mereka berusaha untuk mengepung padepokan itu, agar tidak seorangpun yang dapat meloloskan diri.

   "Bagaimana?"

   Bertanya Ki Selabajra.

   "Mereka sudah menentukan sikap. Mereka tidak mau meninggalkan padepokan ini"

   Jawab Ki Watu Kendeng.

   Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam.

   Iapun sudah mengira bahwa keduanya tentu akan tetap tinggal.

   Sementara itu, Ki Watu Kendeng berkata "Ki Sela bajra.

   Menurut Ken Padmi, kedua orang paman Mahisa Bungalan itu memiliki ilmu yang tinggi"

   "Tetapi apakah ilmunya setingkat dengan Ki Dukut Pakering yang luar biasa itu"

   Desis Ki Selabajra."Ki Dukut juga manusia kebanyakan"

   Jawab Ki Watu Kendeng. Lalu "Ken Padmi memperhitungkan, kita berempat akan dapal mengimbangi kemampuan Ki Dukut Pakering"

   Ki Selabajra menarik naf as dalam-dalam. Katanya "Jumlah mereka jauh lebih banyak dari jumlah isi padepokan ini"

   "Kita masih mempunyai harapan"

   Berkata Ki Watu Kendeng.

   "Ya"

   Desis Ki Selabajra meskipun dengan nada rendah "baiklah. Kita akan bertempur"

   Ki Selabajra sebenarnya sudah tidak mempunyai harapan lagi.

   Tetapi ia sendiri sama sekali tidak menghiraukan dirinya, ia lebih banyak memikirkan anak gadisnya.

   Namun agaknya Ken Padmi sama sekali tidak berniat untuk melarikan diri dari medan.

   Sejenak kemudian, maka Ki Selabajrapun telah memberikan isyarat kepada cantrik-cantriknya agar bersiap dengan busur dan anak panah.

   Mereka terpaksa mempergunakan senjata itu, karena jumlah lawan yang terlalu banyak, sehingga seakan-akan tidak ada harapan lagi bagi isi padepokan itu untuk bertahan.

   Namun dengan anak panah, mereka berharap untuk mengurangi jumlah lawan, sebelum mereka berhasil memanjat dinding dan memasuki halaman.

   Namun dalam pada itu terdengar Ki Dukut berkata "Kau sangat licik Ki Selabajra.

   Kau mempergunakan busur dan anak panah, seolah-olah yang terjadi adalah perang besar"

   Ki Selabajra memandang lawan yang semakin menebar.

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mereka telah benar-benar mengepung padepokan kecil itu.

   Mereka akan memasuki padepokan dari segala arah.Dalam pada itu, maka Ki Selabajra itupun menjawab "Ki Dukut.

   Bagi kami, padepokan kecil ini, yang terjadi memang sebuah perang yang besar.

   Perang antara hidup dan mati.

   Aku sudah mendengar kalian mengancam untuk membakar padepokan ini dan membunuh isinya.

   Bukankah yang terjadi ini berarti perang habis-habisan.

   Dan kamipun akan berbuat tanpa ragu-ragu.

   Bukan kebiasaan kami membunuh tanpa pertimbangan.

   Kali inipun kami mempunyai pertimbangan yang mapan.

   Kami tidak ingin musnah dibantai di padepokan kami sendiri.

   Karena itu, maka kami akan membunuh sebanyak-banyaknya agar kami dapat tetap hidup"

   "Gila"

   Geram Ki Dukut "apakah kau tidak mempertimbangkan kemungkinan bahwa tingkah lakumu itu akan mempersulit jalan kematianmu. Jika aku berhasil menangkapmu Ki Selabajra. maka cara matimupun akan aku pertimbangkan sebaik-baiknya"

   "Apapun yang akan terjadi, kami ingin menyelamatkan diri. Jika cara satu-satunya adalah membunuh sebanyak- banyaknya, maka apaboleh buat"

   Jawab Ki Selabajra.

   Ki Dukut tidak berbicara lagi.

   Dipandanginya Marwantaka dan Wiranata yang berdiri di sebelah menyebelah.

   Mereka membawa pasukan masing-masing pada sisi yang berbeda, sementara Ki Dukut masih tetap berada di depan regol.

   Ketika pasukan lawan itu menjadi semakin dekat maka Ki Selabajrapun melambaikan tangannya.

   Para cantrik yang terdekat, yang sudah siap dengan busur dan anak panah, melihat isyarat itu.

   Karena itu maka anak panah yang pertamapun mulai meluncur dari busurnya, disusul dengan yang kedua, ketiga, dan akhirnya merambat sekeliling dinding halaman.

   Setiap orang yang membawa busur dah anak panahpun telah melepaskan anakpanah mereka, meskipun mereka harus memperhitungkan jarak capai dan lawan yang semakin mendesak maju Ternyata anak panah itu mempengaruhi orang-orang yang datang menyerang itu.

   Orang-orang yang berdiri di paling depanpun telah tertegun.

   Namun dalam pada itu, Marwantaka berteriak "Siapa yang membawa perisai, ambil tempat di paling depan.

   Anak panah yang tidak lebih dari permainan anak-anak itu tidak akan banyak berarti bagi kalian.

   Pedang kalian, tombak dan parang akan dapat menangkis lontaran anak panah mainan itu"

   Beberapa orang yang membawa perisaipun segera mengambil alih tempat di paling depan.

   Mereka bergerak mendekati dinding dengan berlindung di belakang perisai.

   Tetapi perisai mereka itu tidak cukup luas untuk melindungi semua orang dalam pasukan yang menebar itu.

   Karena itu, maka satu dua orang telah mulai tersentuh oleh anak panah yang terlontar dari busurnya.

   Ternyata tidak seperti yang dikatakan oleh Ki Dukut Pakering.

   Anak panah itu bukan sekedar anak panah mainan.

   Meskipun anak panah itu terbuat dari ruas-ruas bambu yang panjang, namun pada ujungnya terdapat bedor baja yang tajam.

   Karena itu, satu dua orang yang terkena anak panah itu mulai merasa betapa luka itu menjadi pedih, dan darah bercucuran semakin deras dari luka.

   "Gila"

   Geram Wiranata.

   Lalu katanya "Usahakan.

   melindungi diri dengan putaran senjata.

   Cepat lari ke dinding dan meloncat masuk.

   Atau bertempur langsung di atas dinding pada jarak pendek"Namun demikian orang-orangnya masih juga ragu-ragu.

   Dibagian lain para cantrik dari padepokan yang dipimpin oleh kawan-kawan Marwantaka, berusaha dengan hati-hati mendekati dinding.

   Jumlah perisai yang sedikit itu telah mereka pergunakan sebaik-baiknya.

   Tetapi anak panah yang meluncur dari atas dinding itu benar-benar mencemaskan.

   Karena itu, maka kemajuan pasukan itupun menjadi terhenti.

   Karena itu, maka Ki Dukut telah memanggil Marwantaka dan Wiranata.

   Sejenak mereka berbincang.

   Kemudian, kedua anak muda itu telah memberikan isyarat kepada para pengikutnya untuk surut.

   Para pengikut Wiranata yang terdiri dari orang-orang upahan dengan anak buah mereka, dan pengikut Marwantaka yang terdiri dari kawan-kawannya yang membawa para cantrik dari padepokan masing-masing, itupun telah, mendapat penjelasan dari kedua anak muda.

   itu.

   Karena itu, maka tiba-tiba saja mereka telah menghambur berlari-lari ke padukuhan terdekat.

   "Apa yang akan mereka lakukan?"

   Bertanya Ki Selabajra di dalam hati.

   "Kita menunggu dengan hati-hati"

   Sahut Ki Watu Kendeng "mungkin mereka berusaha untuk mengatasi anak panah itu"

   Karena itu, maka Ki Selabajrapun segera memberikan perintah kepada cantrik-cantriknya "Sediakan lembing- lembing bambu itu.

   Kalian akan melontarkan lembing- lembing itu jika anak panah kalian tidak banyak berpengaruh.

   Mereka tentu bukannya lari, karena masih ada beberapa orang yang mengawasi kita"Para cantrikpun segera mempersiapkan lembing-lembing bambu yang ujungnyapun diberi bedor-bedor yang lebih besar dari bedor anak panah.

   Meskipun tidak terlalu banyak, tetapi lembing-lembing bambu yang sederhana itu akan dapat menjadi senjata yang berarti bagi pertahankan mereka.

   Apa yang mereka duga, ternyata benar-benar terjadi.

   Orang-orang yang berlari-larian ke padukuhan terdekat itupun kemudian nampak telah datang kembali sambil membawa potongan-potongan alap ijuk dan ilalang, yang ternyata dapat mereka manfaatkan sebagai perisai untuk melawan anak panah.

   "Gila"

   Geram Ki Watu Kendeng "tentu akal Ki Dukut"

   Ki Selabajra menggeram pula.

   Mereka melihat orang- orang itu merangkap dua atau tiga potongan atap ijuk atau ilalang.

   Mereka ikat dengan bingkai bambu yang mereka ambil dari pagar pategalan dan sekat-sekat pagar.

   Mahisa Agni yang berada di sebelah pendapa itupun menjadi gelisah melihat sikap dan mendengar pembicaraan Ki Watu Kendeng dengan Ki Selabajra.

   Karena itu, maka iapun menjadi tidak sabar lagi.

   Sejenak kemudian, maka iapun telah berada di antara para cantrik yang berada di dinding halaman.

   Dilayangkannya tatapan matanya menebar diantara orang-orang yang mengepung padepokan itu.

   Mahisa Agni menariknafas dalam-dalam.

   Ia melihat orang-orang itu membawa perisai yang memang dapat melindungi mereka dari anak panah yang dilontarkan dari atas dinding.

   Bahkan ada diantara mereka yang membawa tangga bambu dan galah-galah panjang yang mereka runcingkan.Mendahului Ki Selabajra, Mahisa Agni berkata kepada para cantrik di sebelah menyebelahnya "Jangan menunggu kalian terpatuk galah itu.

   jika mereka semakin dekat, maka kalian dapat meloncal masuk.

   Kalian menunggu di halaman dengan lembing-lembing kalian sebelum kalian mencabut pedang"

   Para cantrik itu mengangguk-angguk.

   Sementara itu Mahisa Agnipun merasa perlu untuk memberikan beberapa pesan kepada Ki Selabajra, sehingga karena itu, maka iapun telah meloncat turun dan mendekali panggung kecil di sebelah regol.

   Tanpa memanjat naik ia berkata "Jangan memaksa diri bertahan di atas dinding.

   Mereka nampaknya cukup berbahaya.

   Pada saat yang tidak memungkinkan lagi, biarlah para cantrik bertahan di belakang dinding halaman dengan lembing-lembing mereka"

   "Ya"

   Sahui Ki Selabajra "aku akan memberikah, perintah pada saatnya"

   Ternyata Witanlrapun sependapat ketika Mahisa Agni mendekatinya. Bahkan iapun berdesis "Jika keadaan gawat, maka kita benar-benar harus bertempur untuk mengurangi jumlah lawan yang jauh lebih banyak"

   "Kita dapat melumpuhkan mereka"

   Berkata Witantra "pada satu kesempatan, Ki Dukut itu memerlukan perhatian"

   "Kita akan berbuat sesuatu"

   Berkata Mahisa Agni "agaknya Ki Selabajra masih mencemaskan kehadiran Ki Dukut"

   "Itulah sebabnya kita harus mengurangi lawan sebanyak- banyaknya meskipun tidak membunuhnya"

   Desis Mahisa Agni.Witantra mengangguk-angguk.

   Sementara itu, terdengar sorak meledak di luar dinding halaman.

   Agaknya orang- orang yang mengepung halaman itu merasa, bahwa mereka telah berhasil melindungi diri mereka dari anak panah para cantrik padepokan Kenanga.

   Namun seperti Mahisa Agni, maka Witantrapun merasa perlu untuk bertindak lebih tegas menghadapi orang-orang yang menyerang padepokan Kenanga itu, apalagi diantara mereka terdapat Ki Dukut Pakering.

   Dalam pada itu, maka para cantrikpun telah bersiap menghadapi orang-orang yang mendekati dinding padepokan itu dengan perisai mereka.

   Ijuk dan anyaman ilalang yang mereka rangkap, sementara dua tiga orang sekaligus berlindung di belakangnya.

   Namun para cantrik itupun tidak berputus asa.

   Mahisa Agni dan Witantra yang kemudian berada di antara para cantrik itu pula, telah membantu mereka.

   Tetapi tidak dengan anak panah dan busur.

   Tetapi dengan lembing- lernbing bambu.

   "Aku akan mencoba, apakah lembing ini dapat menembus anyaman ijuk dan ilalang yang mereka ambil dari atap rumah orang-orang padukuhan itu"

   Berkata Mahisa Agni.

   Dalam pada itu, maka Mahisa Agni yang berada di antara para cantrik itupun telah mencoba melontarkan lembing-lembing bambu.

   Namun ternyata bahwa lontarannya benar-benar mengejutkan.

   Lembing itu bagaikan menembus udara saja.

   Bahkan langsung mematuk mereka yang berada dibalik perisai-perisai yang mereka buat.

   Yang terdengar adalah keluhan kesakitan.

   Satu dua orang telah terjatuh oleh luka di tubuh mereka.Namun sementara itu, para cantrik yang lain tidak berhasil berbuat seperti yang dilakukan oleh Mahisa Agni.

   Ketika seseorang mencoba melontarkan lembingnya, maka lembingnya itupun tidak mampu menembus anyaman ijuk yang berlapis.

   Karena itu, maka Mahisa Agnipun berkata "Berikan lembing-lembing itu kepadaku"

   Dengan lembing-lembing itu Mahisa Agni telah berhasil mengurangi jumlah lawan.

   Tidak terlalu banyak.

   Namun yang dilakukan itu telah menggetarkan jantung beberapa orang yang mengepung padepokan itu.

   Di bagian lain, Witantrapun telah berbuat serupa.

   Meskipun ia tidak berjanji lebih dahulu dengan Mahisa Agni, namun mereka telah melakukan tindakan serupa untuk mengurangi jumlah lawan sebelum mereka berhasil mencapai dinding.

   Tetapi dibagian lain, beberapa orang telah sampai ke dinding padepokan.

   Bahkan ada diantara mereka, yang telah mencoba untuk menyerang cantrik dengan galah- galah yang ditajamkan ujungnya.

   Dalam pada itu, maka Ki Selabajrapun kemudian- memberikan isyarat agar para cantrik turun dari atas dinding dan menunggu lawan di dalam dinding halaman.

   Seperti yang sudah dipesankan oleh Mahisa Agni dan Witantra, maka para cantrik itu telah siap menunggu di, balik dinding dengan lembing-lembing yang tajam.

   Yang lain siap dengan busur dan anak panah.

   Mereka yang sedang meloncati dinding, tentu tidak sempat mengenakan perisai mereka yang besar itu.

   Dalam pada itu, ketika orang-orang yang mengepung padepokan itu melihat para cantrik berloncatan turun, makamerekapun segera bersiap untuk memanjat naik.

   Mereka yang membawa tanggapun segera menyandarkannya pada dinding padepokan itu Sementara yang lainpun telah berusaha dengan memanjat dan saling memanggul di atas pundak, berusaha untuk meloncati dinding.

   Namun dalam pada itu, para cantrik yang berada di dalam telah siap menyambut mereka.

   Demikian orang- orang itu bermunculan, maka merekapun lelah melepaskan anak panah dan melemparkan lembing-lembing bambu yang tajam.

   Beberapa orang tidak sempat mengelak dan berbuat sesuatu Demikian mereka sampai di atas dinding, maka merekapun segera terjatuh dengan luka di tubuh mereka.

   Namun dakam pada itu, ternyata jumlah mereka cukup banyak.

   Sementara satu dua orang terjatuh di tanah, beberapa orang lain sempat meloncat turun dengan senjata di tangan.

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dengan serta merta merekapun telah menyerang para cantrik sehingga dalam pada itu, maka sebagian para cantrik itu harus melepaskan busur dan anak panahnya, kemudian menarik pedangnya untuk melawan orang-orang yang menyerangnya.

   Meskipun demikian usaha orang-orang yang menyerang padepokan itu untuk memasuki halaman, ternyata harus ditebus dengan korban demi korban.

   Orang-orang yang terluka karena anak panah dan lembing-lembing bambu itu tidak dapat segera masuk ke medan pertempuran.

   Bahkan ada beberapa orang diantara mereka, tidak mungkin lagi untuk dapat melibatkan diri ke dalam pertempuran yang segera berlangsung.

   Sementara itu, ketika benturan pertama telah terjadi, maka para cantrik dari padepokan itu sudah tidak mungkin lagi membendung orang-orang yang berloncatan memasukihalaman.

   Bahkan beberapa orang diantara mereka segera berlari-larian menuju ke pintu gerbang.

   Mereka bertugas untuk membuka selarak dan dengan demikian orang-orang yang berada di depan pintu gerbang itupun dapat segera masuk tanpa memanjat dinding.

   "Tetapi ternyata bahwa usaha untuk membuka pintu itu terlalu sulit. Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng telah meloncat bersama beberapa orang cantrik untuk mencegah orang-orang yang berusaha untuk membuka pintu itu. Sementara itu, orang-orang yang berada di luar gerbang itupun menjadi tidak sabar lagi. Mereka telah memukul pintu itu sekeras-kerasnya. Namun pintu itu masih belum terbuka. Sementara itu, pertempuran sudah menebar ke seganap sudut halaman. Mahisa Bungalan dan Ken Padmi yang berada di depan pendapa telah bersiap pula. Mereka telah bertekad untuk bertahan sampai kemungkinan yang terakhir. Ki Dukut yang masih berada di luar dinding padepokan itu akhirnya tidak sabar lagi. Dengan kekuatannya yang luar biasa maka iapun telah menghantam pintu regol itu, sehingga akibatnya telah mengejutkan semua orang yang berada di halaman itu. Ternyata dengan suara berderak yang memekakkan telinga pintu regol yang besar dan tebal itu telah pecah. Selarak pintu yang menyilang itu patah di tengah. Papan-papan kayupun bertebaran, sehingga gerbang itupun telah terbuka lebar. Ketika semua orang memandang ke regol yang terbuka itu, mereka melihat seorang tua yang berdiri tegak dengan tatapan mata yang membara."Ha"

   Tiba-tiba saja Ki Dukut itu menggeram sambil memandang Mahisa Bungalan "aku pernah bertemu anak muda.

   Di mana dan kapan? Barangkali aku sudah pikun.

   Tetapi di sini tidak ada orang-orang yang dapat melindungimu.

   Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng, tidak, akan berarti apa-apa bagiku.

   Memang agak berbeda dengan Ki Wastu atau Ki Kasang Jati"

   Mahisa Bungalan menggeram. Agaknya orang tua itu telah teringat di mana ia melihat Mahisa Bungalan"

   Namun orang itu kemudian berdesis "Tetapi mungkin aku bertemu dengan anak muda itu di tempat yang lain.

   Aku sudah terlalu banyak mengembara dari satu tempat ke tempat lain.

   Aku sudah membunuh orang-orang yang tidak terhitung jumlahnya, sehingga sulit bagiku untuk mengingat, siapa yang sedang kuhadapi"

   Jantung Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar.

   Tetapi ia sama sekali lidak beringsut dari tempatnya.

   Dalam pada itu, Ki Dukutpun kemudian berkata "Kenapa kalian berhenti.

   Sebaiknya kalian lanjutkan kerja kalian.

   Selesaikan orang-orang padepokan ini.

   Aku akan memilih lawan.

   Mungkin dua atau tiga orang sekaligus.

   He, apakah anak muda itu akan melawan aku bersama Ki Watu Kendeng dan Ki Selabajra? Atau barangkali gadis itu pula akan bersama bertempur melawan aku?"

   Jantung Mahisa Bungalan menjadi semakin berdebar- debar.

   Sementara itu, orang-orang, yang menyerang padepokan itupun mulai lagi menggerakkan senjata mereka.

   Dengan berteriak-teriak nyaring mereka menyerang para cantrik yang jumlahnya lebih kecil dari jumlah mereka.

   Namun dalam pada itu, di luar dugaan mereka, di sebelah menyebelah pendapa, jumlah lawan cepat sekali susut.

   Beberapa orang sekaligus terlempar dengan luka ditubuh mereka.

   Bahkan ada satu dua orang yang tidak nampak terluka sama sekali, tetapi orang itu hanya dapat merangkak menepi.

   Kemudian sambil mengerang bersandar dinding.

   Tetapi Ki Dukut belum melihat keadaan itu.

   Ketika sekilas ia memandang arena pertempuran yang menebar, ia melihat beberapa orang cantrik padepokan itu bertempur dengan gigihnya.

   Sekilas ia juga melihat dua orang cantrik tua di sebelah pendapa.

   Tetapi Ki Dukut tidak begitu menghiraukannya.

   Iapun tidak memperhatikan bahwa jumlah para pengikut Marwantaka dan Wiranata cepat sekali berkurang di sekitar cantrik tua itu.

   -oo0dw0oo-

   Jilid 23 SEBENARNYALAH bahwa Mahisa Agni dan Witantra tidak mau mengalami kelambatan.

   Merekapun bertindak cepat untuk mengurangi jumlah pasukan lawan.

   Jika keduanya lambat, maka padepokan kecil itu tidak akan tertolong lagi.

   Untuk sementara yang dilakukan oleh Mahisa Agni dan Witantra itu tidak dapat diketahui oleh Ki Dukut yang terlalu yakin akan kekuatan pasukan kedua anak muda yang jumlahnya cukup banyak.

   Sementara itu, ia masih melihat Ki Watu Kendeng dan Ki Selabajra yang agaknya pemimpin tertinggi dari padepokan itu masih berdiri termangu-mangu dihadapannya.

   Demikian pula Mahisa Bungalan dan Ken Padmi.

   Dalam pada itu, maka Ki Dukut itupun berkata "Ki Selabajra, sebenarnya tidak ada gunanya lagi kalianmelawan.

   Pada akhirnya padepokan ini akan hancur menjadi debu"

   Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia memandang berkeliling. Pertempuran sudah berlangsung. Semakin lama menjadi semakin sengit.

   "Ki Dukut"

   Berkata Ki Selabajra "apapun yang akan terjadi, aku akan bersikap sebagai seorang laki-laki. Jika aku, dan seisi padepokan ini harus mati, kami akan mati sebagai laki-laki"

   "Kau memang keras kepala"

   Berkata Ki Dukut "tetapi baiklah.

   Aku ingin memberi kesempatan kau melihat apa yang terjadi.

   Dan akupun tidak akan segera berbuat sesuatu.

   Akupun untuk sementara ingin melihat, api membakar padepokan ini sambil menunggui pemimpin padepokan ini agar tidak melarikan diri"

   Ki Selabajra dan Ki Watu Rendeng termangu-mangu.

   Ketika ia berpaling, ia melihat beberapa orang mulai manjamah tangga pendapa padepokan.

   Ki Dukut tertawa sambil berkata "Kau lihat, anak gadis dan bakal menantumu itupun harus bertempur melawan jumlah yang tidak memadai.

   Betapapun tinggi ilmu mereka, namun mereka akan kehilangan keseimbangan pula"

   "Mungkin. Tetapi dengan demikian, maka kematian mereka adalah kematian yang pantas bagi penghuni padepokan ini"

   Jawab Ki Selabajra.

   "Kau memang keras kepala. Tetapi tidak apa. Kau akhirnya akan menyesal, atau menjadi gila sebelian aku mencabut nyawamu. Kau akan melihat anak gadismu itu dicincang sampai lumat, dan bakal menantumu itu akan diseret sepanjang halaman ini sampai terkelupas untukmenjadi pangewan-ewan. Namun yang akhirnya akan mengalami nasib seperti anak gadismu iln pula. Ki Selabajra menjadi tegang. Ketika ia berpaling, dilihatnya Mahisa Bungalan dan Ken Padmi memang sudah terlibat dalam pertempuran. Beberapa orang cantrik padepokan itu berusaha untuk membantunya melawan jumlah lawan yang cukup banyak. Namun ternyata Ki Dukut harus mengerutkan keningnya. Ternyata Mahisa Bungalan itu benar-benar mengejutkannya. Dengan garangnya ia berloncatan diantara beberapa orang lawan. Senjatanya berputaran di sela-sela senjata lawanya. Namun dalam pada itu, pada gerakan pertama, telah terdengar keluhan tertahan. Seorang lawan telah terlempar dari lingkaran pertempuran.

   "Luar biasa"

   Desis Ki Dukut "menyenangkan sekali melihat bakal menantumu itu bertempur"

   Ki Selabajra tidak menyahut.

   Iapun melihat dengan jantung yang berdebaran.

   Betapa dahsyatnya ilmu Mahisa Bungalan dalam pertempuran yang sebenarnya.

   Jika ia melihat kemampuannya di arena sayembara tanding, maka yang dilihatnya itu bukan apa-apa dibandingkan dengan apa yang dilakukannya menghadapi musuh yang sebenarnya.

   Ken Padmipun menarik nafas dalam-dalam.

   Bahkan ia sempat merasa malu, bahwa ia telah turun di arena menghadapi Mahisa Bungalan.

   Tetapi sementara itu, Ken Padmipun harus sudah memutar senjatanya pula.

   Ternyata iapun merupakan gadis yang pilih tanding.

   Dalam keadaan yang sulit, ia masih mampu mempertahankan dirinya.

   Betapapun beratnya tekanan lawan, namun disamping Mahisa Bungalan KenPadmi merasa seolah-olah ia mendapat perlindungan yang rapat.

   Sebenarnyalah, bahwa Mahisa Bungalan telah menggetarkan setiap orang yang bertempur melawannya.

   Meskipun jumlah mereka cukup banyak, tetapi mereka tidak mampu berbuat apa-apa dihadapan Mahisa Bungalan yang bertempur bersama Ken Padmi dan beberapa orang cantrik.

   Dengan sanjata berputaran, ia berloncatan menembus kepungan lawan.

   Sambaran senjatanya yang berdesingan membuat hati lawan-lawannya menjadi kecut.

   Dalam pada itu, Marwantaka dan Wiranata yang mendendamnya sampai ke ubun-ubun, telah mendekati Mahisa Bungalan.

   Namun keduanya menjadi ragu-ragu melihat, bagaimana Mahisa Bungalan bertempur melawan sejumlah lawan yang lebih banyak.

   Namun dalam pada itu terdengar Ki Dukut tertawa berkepanjangan.

   Dengan nada tinggi ia berkata "He, anak- anak muda.

   Bukankah kalian mendendam terhadap bakal menantu Ki Selabajra itu? kenapa kalian justru berdiam diri.

   Mumpung kawan-kawan kalian masih banyak, lakukanlah.

   Cincang orang itu seperti yang kalian rencanakan, termasuk Ken Padmi itu sendiri"

   Marwantaka dan Wiranata masih saja ragu-ragu.

   Namun akhirnya merekapun melangkah maju dengan pedang di tangan.

   Seperti dikatakan oleh Ki Dukut.

   Mumpung mereka mempunyai kawan yang cukup banyak.

   Demikianlah keduanya telah melibatkan diri dalam pertempuran melawan Mahisa Bungalan.

   Bagaimanapun juga, keduanya memiliki bekal jauh lebih baik dari para pengikutnya.

   Meskipun ada juga satu dua orang patut dari padepokan lain yang berada di dalam pasukannya, seriasala dua arang kawan-kawannya, tetapi ternyata menghadapi Mahisa Bungalan benar benar mendebarkan.

   Namun akhirnya Marwantaka dan Wiranata melibatkan diri mereka melawan Mahisa Bungalan.

   Dengan mengambil arah yang berbeda keduanya mendekat.

   Meskipun semula keduanya ragu-ragu, namun setelah mereka malai menggerakkan senjata mereka, maka keduanyapun nampak menjadi garang.

   Beberapa orang cantrik padepokan Kenanga berusaha untuk mengurangi lawan Mahisa Bungalan.

   Tetapi mereka tidak menyentuh kedua orang anak muda itu.

   Sehingga dengan demikian, maka baik Marwantaka maupun Wiranata mendapat kesempatan yang luas untuk bertempur melawan Mahisa Bungalan.

   Tetapi mereka tidak hanya berdua.

   Masih ada beberapa orang kawan mereka mendekat bersama-sama.

   Meskipun demikian, Mahisa Bungalan yang bertekad untuk mempertahankan padepokan itu.

   telah bertempur dengan garangnya.

   Sementara itu beberapa langkah dari padanya, Ken Padmipun bertempur dengan tangkas dan cepat.

   Senjatanya berputaran, sehingga lawannya sulit untuk menembusnya.

   Ki Dukut masih memperhatikan, bagaimana Marwantaka dan Wiranata bertempur melawan Mahisa Bungalan.

   Sambil mengerutkan keningnya ia bergumam "Bakal menantumu itu memang seorang yang pilih tanding Ki Selabajra"

   Ki Selabajra tidak menyahut.

   "Marwantaka dan Wiranata seharusnya dapat menguasainya"

   Desis Ki Dukut kemudian "tetapi ternyata mereka tidak dapat berbuat banyak"Ki Selabajra masih tetap berdiam diri.

   "Baiklah. Kita tunggu apakah hasil terakhir dari pertempuran itu. Tetapi menilik jumlah lawan, bakal menantumu itu tidak akan dapat mengelakkan diri dari kematian. Sementara kau dan kawanmu ini harus tetap tinggal bersamaku"

   Gumam Ki Dukut kemudian.

   Betapa gejolak jantung Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng.

   Tetapi mereka tetap berada di tempatnya.

   Agaknya lebih baik bagi mereka untuk tetap berdiam diri bersama Ki Dukut.

   Karena jika Ki Dukut mulai bergerak dan terjun ke arena, maka padepokan itu benar-benar akari segera musnah.

   Namun jika Ki Dukut masih tetap berdiam diri, Ki Selabajra masih berharap bahwa kedua orang, paman Mahisa Bungalan itu akan dapat membantu para, cantrik untuk bertahan.

   Yang luput dari perhatian Ki Dukut adalah Mahisa Agni dan Witantra.

   Ki Dukut kurang memperhatikan para, pengikut Marwantaka dan Wiranata yang bertempur di halaman samping.

   Demikian cepatnya jumlah mereka susut.

   Selain mereka harus bertempur melawan para cantrik yang menyambut mereka dangan anak panah, merekapun harus menghadapi seorang cantrik tua yang memiliki ilmu diluar jangkauan nalar mereka.

   Meskipun sentuhan tangan cantrik tua itu tidak mematikan, tetapi mereka yang menghadapinya menjadi seolah-olah telah lumpuh dan tidak mampu untuk melawan lagi.

   Senjata kedua orang itu hanya sekedar untuk menangkis dan sekali-sekali melemparkan sanjata lawan.

   Namun kemudian tangan merekalah yang terjalur menyentuh lambung, pundak atau bahkan punggung.

   Namun karena perhatian Ki Dukut tertuju kepada Mahisa Bungalan, dan ia sama sekali tidak menyangka bahwa ada juga orang-orang yang berada di dalamlingkungan para cantrik dan juga berpakaian seperti cantrik itu, yang mempunyai kemampuan yang sangat tinggi.

   Namun akhirnya Ki Dukut itu tidak telaten.

   Marwantaka dan Wiranata tidak segera dapat menguasai lawannya.

   Bahkan agaknya Mahisa Bungalan akan mampu mengalahkan mereka, meskipun mereka masih juga dibantu oleh beberapa orang pengikutnya.

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Karena itu, maka katanya kemudian "Ki Selabajra, menurut pendapatmu, mana yang lebih baik aku hancurkan.

   Kau atau bakal menantumu dan anakmu.

   Aku tidak sabar lagi melihat kelambanan mereka"

   Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam.

   Meskipun hal itu dikatakannya dengan seolah-olah.

   tidak menghiraukannya, namun karena yang mengucapkannya adalah Ki Dukut.

   maka hal itu akan dapal berakibat gawat.

   Diluar sadarnya Ki Selabajra memandang ke samping pendapa padepokan.

   Seolah-olah ia berusaha menari Mahisa Agni dan Witantra.

   Namun ia tidak berhasil menemukannya diantara hiruk pikuknya pertempuran.

   Tetapi Ki Selabajra melihat, bahwa jumlah lawan telah susut dengan cepatnya.

   Meskipun pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya, tetapi nampaknya cantrik di padepokan itu tidak lagi mengalami banyak kesulitan.

   Dalam pada itu, maka Ki Selabajra harus mengambil Keputusan.

   Ia harus menjawab pertanyaan Ki Dukut yang nampaknya mulai bersungguh-sungguh.

   "Cepat jawab"

   Bentak Ki Dukut "siapakah yang akan aku bunuh lebih dahulu. Kau berdua atau anak dan bakal menantumu itu"

   Ki Selabajra harus segera menjawab. Karena itu maka katanya "Ki Dukut, apapun yang terjadi, aku akan bertahansampai kemungkinan yang terakhir. Kau tidak akan dapat menyentuh anak dan bakal menantuku, jika aku masih sempat menyaksikannya"

   "Bagus"

   Desis Ki Dukut "kau memang seorang laki-laki. Itulah agaknya kau telah berani mengkhianati kesediaanmu bekerja bersamaku, pada saat kita akan menghancurkan padepokan Ki Kasang Jati, musuh bebuyutanku itu"

   "Apapun yang dapat kau katakan Ki Dukut"

   Jawab Selabajra "aku sudah bersedia menghadapinya"

   Ki Dukut itupun menggeram. Tetapi iapun kemudian- melangkah surut sambil berkata "Bersiaplah. Aku ingin menghitung, sampai bilangan ke berapa kalian dapat bertahan"

   Ki Selabajra tidak dapat berbuat lain.

   Ia tidak dapat memanggil Mahisa Bungalan dan Ken Padmi untuk membantunya.

   Dan iapun tidak dapat memanggil Mahisa Agni dan Witantra yang berada di antara para cantrik.

   Jika keduanya harus membantunya melawan Ki Dukut, maka para cantrik itupun akan mengalami nasib yang sangat buruk.

   Karena itu, maka berdua dengan Ki Watu Kendeng ia bersiap menghadapi segala kemungkinan.

   Dalam pada itu, Mahisa Agni yang mengetahui keadaan itupun sempat memikirkan, apa yang harus dilakukan.

   Ia mendengar Ki Dukut mengancam Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng.

   Sebenarnyalah bahwa Ki Selabajra dan Ki W a Lu Kendeng tidak akan mampu menghadapinya.

   Karena itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Agni telah memperberat serangan-serangannya terhadap lawan yang bertebaran.

   Dengan loncatan-loncatan panjang ia menyusupdiantara lawan.

   Sementara cantrik padepokan Kenangapun bertempur dengan gigihnya pula.

   Dengan demikian, maka jumlah lawan itu semakin cepat susut.

   Seolah-olah, mereka telah dilibat oleh angin pusaran dan terhisap ke pusatnya.

   Di saat mereka terlempar kembali keluar dari pusaran itu, mereka seolah-olah telah tidak bertenaga lagi.

   Nampaknya Witantra melihat sikap Mahisa Agni.

   Ternyata ia menanggapi pula keadaan yang gawat itu.

   Karena itu, maka iapun berbuat serupa.

   Meskipun seperti juga Mahisa Agni, ia tidak membunuh lawannya, tetapi bersama-sama para cantrik padepokan Kenanga yang jumlahnya tidak begitu banyak, Witantra telah mengurangi jumlah lawannya dengan cepat.

   Witantrapun tahu, bahwa dengan demikian Mahisa Agni bermaksud untuk menarik perhatian Ki Selabajra sebelum ia bertindak lebih jauh terhadap Ki Selabajra.

   Dalam pada itu, sebuah pekik kesakitan memang telah menarik perhatian Ki Dukut Pakering.

   Ketika ia sudah siap untuk menyerang kedua orang yang baginya akan dapat diselesaikannya dengan mudah itu, tiba-tiba saja ia melihat seorang pengikut Marwantaka telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah.

   Belum lagi pekik itu lenyap, seorang yang lain telah terlempar pula dan jatuh berguling.

   Demikian kerasnya mereka terjatuh, sehingga mereka tidak lagi dapat segera bangkit.

   Tulang-tulang mereka rasa-rasanya berpatahan.

   Yang terjadi itu tidak dapat terlepas begitu saja dari pengamatan Ki Dukut.

   Justru karena itu, maka iapun mulai memperhatikan pertempuran yang terjadi di sebelah menyebelah pendapa padepokan itu.Hampir diluar sadarnya, Ki Dukut bertanya "He, siapa yang berada di halaman sebelah?"

   "Cantrik-cantrik dari padepokan Kenanga yang masing- masing dipimpin oleh seorang cantrik tua yang barangkali kurang menarik bagimu Ki Dukut"

   Ki Dukut mengerutkan keningnya. Namun pengamatannya yang tajam atas peristiwa di halaman samping itu membuatnya berdebar-debar. Agaknya ada satu orang yang memiliki ilmu melampaui para cantrik yang lain.

   "Tetapi dalam keadaan yang paling gawat bagi Ki Selabajra, kenapa mereka tidak mengambil sikap apapun juga?"

   Bertanya Ki Dukut di dalam dirinya.

   Karena itu, maka niatnya untuk menghabisi Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng telah tertunda.

   Ia memerlukan memperhatikan keadaan yang baginya diluar dugaan.

   Justru karena Ki Dukut telah mulai terlarik perhatiannya itulah, maka Mahisa Agni dan Witantra telah berbuat lebih jauh lagi.

   Dengan sengaja ia menunjukkan betapa kemampuannya berhasil menyibakkan perlawanan para pengikut Marwantaka dan Wiranata yang jumlahnya jauh lebih besar dari para cantrik di padepokan Kenanga itu sendiri.

   "Gila"

   Geram Ki Dukut "ada yang tidak wajar terjadi. Tidak mungkin para cantrik padepokan ini mampu melawan kekuatan yang datang, meskipun pada benturan pertama mereka sempat mengurangi jumlah lawan dengan anak panah, busur dan lembing-lembing bambu"

   "Apa yang tidak wajar manurut pertimbanganmu Ki Dukut?"

   Bertanya Ki Selabajra."Anak iblis. Aku bunuh kau secepatnya, agar aku sempat berbuat sesuatu atas orang yang masih harus aku ketemukan itu"

   Geram Ki Dukut.

   "Sebentar lagi mereka akan binasa di padepokan ini"

   Desis Ki Selabajra "mungkin kau dapat membunuh aku dan Ki Watu Kendeng.

   Tetapi semua orang yang memasuki padepokan inipun akan binasa pula.

   Kemudian betapapun tinggi ilmumu, namun kau akan mati di rajam oleh para cantrik.

   Mereka akan melemparimu dengan lembing dan bahkan dengan batu-batu.

   Kau akan terkapar mati dibawah timbunan batu dan senjata, sementara orang-orang yang menyerang padepokan ini tanpa mengerti arti dari tingkah lakunya itu akan dihidupi meskipun mereka sudah dilumpuhkan"

   Ki Dukut itupun menggeram.

   Namun akhirnya ia yakin, bahwa ada kekuatan lain kecuali dua orang pemimpin padepokan itu yang harus diperhatikannya.

   Bahkan semakin lama semakin nyata pada Ki Dukut bahwa orang itu harus dihadapinya pula bersama Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng.

   "Baik"

   Geram Ki Dukut "aku mengerti sekarang. Tentu ada kekuatan yang dapat membantumu. Tetapi apakah mereka sempat menyelamatkan nyawamu"

   Ki Dukutpun segera bersiap menghadapi Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng.

   Keduanya harus segera dibinasakan, karena ia sadar, bahwa dengan membunuh kedua orang itu tugasnya masih belum selesai.

   Namun sebelum Ki Dukut mulai dengan serangannya, ia masih sempat meneriakkan satu pesan kepada semua orang yang datang bersamanya menyerbu padepokan Kenanga itu.

   Katanya "Sebentar lagi matahari akan semakin turun.

   Kita harus segera menyelesaikan tugas kita.

   Demikian gelapturun, kita akan membuat obor yang maha besar.

   Padepokan ini akan menjadi karang abang"

   Semua orang yang berada di padepokan itu mendengarnya.

   Bahkan ketika Ki Dukut mengulangi pesannya, rasa-rasanya setiap jantung di dalam dada, telah rontok karenanya.

   Agaknya Ki Dukut tidak sekedar berteriak begitu saja.

   Namun ia telah berusaha mempengaruhi seluruh medan itu dengan suaranya"

   Mahisa Bungalanpun merasakan getaran yang menghentak di dadanya lewat suara Ki Dukut Karena itu, iapun segera menyadari, bahwa Ki Dukut benar-benar seorang yang pilih tanding.

   Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalanpun menjadi heran, kenapa kedua pamannya masih belum nampak hadir menghadapi Ki Dukut yang menjadi semakin marah melihat kenyataan, bahwa para pengikut Marwantaka dan Wiranata tidak seperti yang diharapkannya.

   Ketika Mahisa Bungalan mengangkat wajahnya, ia melihat, matahari memang menjadi semakin rendah.

   Sebentar lagi, senja akan segera turun.

   "Berapa lama pertempuran ini sudah berlangsung?"

   Bertanya Mahisa Bungalan kepada diri sendiri.

   Dalam pada itu, Ki Dukut masih berkata lantang "Kita sudah terlalu banyak membuang waktu.

   Kita telah menyia- nyiakan waktu di luar padepokan.

   Kita sudah kehilangan banyak waktu untuk mencari pelindung dari serangan anak panah.

   Kemudian kita kehilangan waktu pula dengan tingkah laku yang menjemukan dari orang-orang yang tidak berarti sama sekali, yang merasa dirinya mampu menghancurkan padepokan ini.

   Bahkan Marwantaka dan Wiranatapun tidak mampu berbuat apa-apa menghadapi anak muda itu.

   Aku kira aku akan dapat menjadi penontonsampai saatnya api akan menyala, karena aku ingin membunuh orang-orang ini justru pada saat terakhir.

   Tetapi ternyata aku menunggu dengan sia-sia.

   Karena itu, aku akan berbaat sendiri, sesuai dengan keinginanku"

   Kata-kata itu memang mendebarkan.

   Agaknya Ki Dukut sudah benar-benar kehilangan kesabaran.

   Namun dalam pada itu, ketika Ki Dukut sudah siap menyerang kedua orang pemimpin padepokan itu, ia sekali lagi tertegun.

   Sekali lagi ia mendengar keluhan tertahan.

   Ternyata yang terlempar dari arena adalah justru Marwantaka sendiri.

   Dari pundaknya mengalir darah.

   "Gila"

   Langkah Ki Dukut terhenti lagi "apa artinya segala yang pernah kau katakan dengan mulutmu yang besar.

   Berdua dengan Wiranata kau tidak mampu membunuh anak itu.

   Tetapi belum lagi terdengar jawaban, jantung Ki Dukut bagaikan meledak ketika ia melihat Wiranatalah yang jatuh terguling sambil mengaduh.

   Lambungnya ternyata telah tersayat senjata Mahisa Bungalan.

   Sementara itu, para pengikutnya menjadi gelisah.

   Seorang kawan Marwantaka, yang merasa dirinya memiliki kemampuan setingkat dengan anak muda itu, telah membawa dua orang pengikutnya untuk menghadapi Mahisa Bungalan.

   Tetapi ternyata beberapa saat kemudian, mereka harus sudah berloncatan surut, karena tekanan Mahisa Bungalan yang tidak terlawan.

   Matahari sudah menjadi semakin rendah.

   Sementara itu Witantra tidak tahu, kenapa Mahisa Agni masih belum nampak mendekati Ki Dukut yang tentu akan sangat berbahaya bagi Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng.Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian Ki Dukut yang sudah tidak mau lagi menjadi penonton yang meliat pertunjukan yang semakin memuakkan, telah bergeser maju.

   Ia sama sekali tidak mempergunakan senjata apapun.

   Namun ketika tangannya telah terkembang, terasa jantung Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng berhenti berdetak.

   Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang telah berhasil menyingkirkan lawan-lawannya yang terpenting, telah berlari mendekati Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng yang telah bersiap dengan senjata masing-masing.

   "O"

   Berkata Ki Dukut "kaupun akan mati bersama dengan kedua tikus ini"

   Mahisa Bungalan tidak menjawab.

   Namun ia sadar, bahwa Ki Dukut justru memusatkan perhatiannya kepadanya, karena Ki Dukut mengetahui bahwa yang terkuat diantara mereka adalah Mahisa Bungalan.

   Ternyata Witantralah yang tidak sampai hati membiarkan segalanya terjadi.

   Ketika Ki Dukut benar- benar telah mulai bergeser, Witantra sudah berada tidak terlalu jauh dari padanya.

   Namun ternyata pada saat itu, Mahisa Agnipun telah berada di antara dua orang cantrik yang lain yang masih bertempur melawan orang-orang yang menyerang padepokan itu.

   Pada serangan pertama, Ki Dukut nampaknya masih belum bersungguh-sungguh.

   Ia sekedar menggerakkan tangannya mengarah ke kening Mahisa Bungalan.

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Namun Mahisa Bungalan bergeser surut sambil menebas kearah tangan Ki Dukut itu.Gerak Mahisa Bungalan cukup cepal.

   sehingga Ki Dukut yang menarik tangannya itu bergumam "Bagus.

   Gerakmu cukup cepat.

   Tetapi kematianmupun akan cepat.

   Belum lagi Ki Dukut melanjutkan rencananya untuk membunuh, Ken Padmi telah berada di sebelah ayahnya.

   Katanya "Kita hampir selesai ayah.

   Semua lawan telah hampir tumpas"

   Kata-kata itu memang terpengaruh terhadap Ki Dukut.

   Namun ia berkata "Kalianpun akan segera tumpas.

   Kau lihat, masih ada beberapa tikus clurut yang bertempur.

   Ken Padmi tidak menjawab.

   Namun ketika Ki Dukut tiba-tiba saja menyerangnya, iapun masih sempat meloncat surut.

   Sementara itu, Mahisa Bungalan tidak tinggal diam.

   Jika Ki Dukut melangkah dengan serangan berikutnya, mungkin sekali Ken Padmi akan mengalami kesulitan.

   Karena itu, maka Mahisa Bungalanlah yang kemudian menyerang Ki Dukut dengan senjatanya yang terjulur lurus ke arah dadanya.

   Ki Dukut terkejut melihat kecepatan gerak Mahisa Bungalan.

   Ia mengerti bahwa anak muda itu mempunyai kelebihan.

   Tetapi ia tidak mengira bahwa ia sempat bergerak secepat itu.

   Sebenarnyalah Mahisa Bungalan yang telah mendapat tuntunan ilmu dari Mahisa Agni, dari Witantra selain ayahnya sendiri, iapun mendapat beberapa petunjuk yang dapat mengungkit kemampuannya lebih tinggi lagi dari Ki Wastu.

   Ki Wastulah yang membuat tubuhnya menjatfi sangat ringan dalem gerak-gerak tertentu, sehingga seolah- olah tidak mempunyai bobot lagi.

   Dengan demikian maka ia mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi jika dikehendaki.Ki Dukut yang memang ingin memburu Ken Padmi itupun harus mengurungkan niatnya.

   Ia harus menghindari serangan Mahisa Bungalan yang demikian cepatnya.

   Sikap Mahisa Bungalan itu seolah-olah telah membangunkan Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng yang berdiri termangu-mangu.

   Merekapun segera bergeser, menempatkan diri dalam kesiagaan sepenuhnya menghadapi Ki Dukut Pakering.

   Ki Dukut yang marah itu, memusatkan perhatiannya kepada Mahisa Bungalan.

   Ia menganggap bahwa anak muda itu akan dapat menjadi penghambat untuk melakukan rencananya.

   Dengan atau tidak dengan Marwantaka dan Wiranata, Ki Dukut ingin membakar padepokan itu menjadi abu.

   "Dalam gelapnya malam, api akan nampak semakin garang"

   Berkata Ki Dukut di dalam hatinya.

   Sementara itu, Marwantaka dan Wiranata yang terluka, tidak lagi mampu berbuat apa-apa.

   Mereka hanya dapat melihat, apa yang akan dilakukan oleh Ki Dukut.

   Dengan demikian, maka pertempuran antara Ki Dukut melawan keempat lawannya itupun menjadi semakin seru.

   Bersama Mahisa Bungalan, maka Ki Selabajra, Ki Watu Kendeng dan Ken Padmi ternyata merupakan lawan yang tidak dapat dianggap sekedar angin yang lewat, menyentuh kulit dan hilang tidak berbekas.

   Tetapi keempatnya ternyata telah memaksa Ki Dukut untuk meningkatkan ilmunya.

   Bahkan semakin lama rasa-rasanya Mahisa Bungalan menjadi semakin garang.

   Anak muda itu bergerak semakin cepat, sedangkan kekuatannyapun menjadi semakin meningkat pula.

   Sebenarnyalah menghadapi Ki Dukut, Mahisa Bungalan telah mengerahkan segenap ilmunya, la lelah benar-benarbertempur dalam tataran kemampuannya yang tertinggi.

   Ia tidak lagi berada di arena melawan Ken Padmi.

   Tidak pula melawan para cantrik dan bahkan lawannya bukan Marwantaka dan Wiranata.

   Dalam tataran tertinggi dari ilmunya, maka Mahisa Bungalan lelah menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya.

   Meskipun ia berhadapan dengan Ki Dukut Pakering yang ditakuti itu, namun Mahisa Bungalan masih juga mampu menunjukkan bahwa ia memiliki ilmu yang tinggi pula.

   Pada saat ia bertempur melawan muridnya yang muda, adik Pangeran Kudu Padmadala.

   ia berhasil mengalahkannya.

   Namun pada saal itu, bukau berarti bahwa ia akan dapat menghadapi gurunya.

   Tetapi pada saat-saat berikutnya, ia mendapat bekal dari orang-orang yang dianggapnya sebagai gurunya untuk menyempurnakan ilmunya, bahwa Ki Wastu lelah pula mewariskan kemampuannya pula, sehingga ilmu Mahisa Bungalanpun telah meningkat pula.

   Karena itulan, maka ia telah berhasil menempatkan dirinya sebagai lawan Ki Dukut yang harus diperhitungkan.

   Dalam pada itu, pada saat-saat permulaan dari pertempuran itu, Ki Selabajra, Ki Watu Kendeng dan Ken Padmi masih dapat membantunya.

   Namun dalam langkah- langkah selanjutnya, mereka bertiga menjadi bingung, sehingga justru karena itu, merekapun telah bergeser dari arena.

   Witantra yang berdiri tidak terlalu jauh dari arena itu menarik nafas dalam-dalem.

   Baru ia tahu maksud sebenarnya dari Mahisa Agni.

   Ia nampaknya sengaja membiarkan Mahisa Bungalan bertempur melawan Ki Dukut Pakering.

   Agaknya Mahisa Agni yakin, bahwaMahisa Bungalan akan turun jika Mahisa Agni dan Witantra tidak segera menempatkan diri sebagai lawan Ki Dukut Pakering.

   Agaknya Mahisa Agni memang ingin menunjukkan kepada orang-orang padepokan Kenanga dan Watu Kendang, kemampuan anak muda itu yang sebenarnya.

   Mahisa Bungalan tidak sekedar mampu mengalahkan Ken Padmi di arena.

   Bahkan malahan ada yang menyangka, bahwa Ken Padmi yang memang sudah menaruh hati kepada Mahisa Bungalan, telah dengan sengaja membiarkan dirinya kalah.

   Meskipun ia berpura-pura tidak dapat menahan perasaannya dengan menarik pedang, tetapi sebenarnyalah bahwa ia telah dengan sengaja mengalah.

   Ternyata pertempuran antara Mahisa Bungalan dan Ki Dukut itu telah menghapus segala kesan yang kurang baik atas Mahisa Bungalan.

   Kecuali ia berhasil mengalahkan Marwantaka dan Wiranata sekaligus, iapun dapat menempatkan dirinya sebagai lawan yang harus diperhitungkan oleh Ki Dukut Pakering, yang dikenal sebagai hantu yang memiliki ilmu tidak ada batasnya.

   Pertempuran itu semakin lama manjadi semakin sengit.

   Dalam pada itu, langitpun menjadi semakin buram, karena matahari telah hampir tenggelam di balik cakrawala.

   Ken Padmi yang kemudian berdiri di luar arena menjadi berdebar-debar.

   Namun iapun dapat berbangga, bahwa orang yang telah mengalahkannya adalah benar-benar orang berilmu tinggi.

   Dalam pada itu, mataharipun menjadi semakin rendah, sehingga akhirnya hilang dibalik cakrawala.

   Langit yang buram itupun menjadi hitam.Perlahan-lahan padepokan Kenanga itupun menjadi- gelap.

   Namun pertempuran antara Ki Dukut dan Mahisa Bungalan itupun semakin lama menjadi semakin sengit.

   Namun ketika Ki Dukut sampai ke puncak ilmunya, ternyata bahwa Mahisa Bungalan masih belum dapat mengimbanginya.

   Semakin lama menjadi semakin nampak, terutama di mata Mahisa Agni dan Witantra, bahwa Mahisa Bungalan menjadi semakin terdesak.

   Apalagi karena Ki Dukut yang marah itu melihat satu kenyataan, bahwa para pengikut Marwantaka dan Wiranata sama sekali sudah tidak berdaya lagi.

   Mereka telah menyerah dan sama sekali tidak mampu berbuat sesuatu di hadapan para cantrik dari padepokan Kenanga yang menjaga mereka dengan seksama.

   "Kalian akan menyesal"

   Geram Ki Dukut sambil menekan Mahisa Bungalan semakin tajam. Bahkan akhirnya Ki Dukut itupun berkata "Kau memang tidak tahu diri. Kau sangka kau akan mampu menahan ilmu pamungkasku"

   Dengan demikian kedudukan Mahisa Bungalan benar- benar menjadi gawat.

   Meskipun Mahisa Bungalan mampu melawan Ki Dukut dengan kecepatan ilmu pedangnya.

   Namun jika Ki Dukut benar-benar melepaskan ilmu pamungkasnya, maka senjata di tangan Mahisa Bungalan itupun tidak akan berarti sama sekali.

   Namun dalam pada itu, ketika keadaan manjadi semakin gawat, tiba-tiba saja Mahisa Agni telah berada di pinggir arena perkelahian itu.

   Katanya "Ki Dukut.

   Semua orang- orangmu telah menyerah.

   Apakah kau tidak akan menyerah?"

   Gelapnya malam teiah menyelubungi seluruh padepokan.

   Yang nampak pada Ki Dukut adalah seorangcantrik tua yang telah berani menghinanya.

   Karena itu, maka tanpa menjawabnya, ia bermaksud membunuh cantrik itu dengan sekali sentuh.

   Sebenarnyalah bahwa jika yang dihadapi oleh Ki Dukut itu benar-benar seorang cantrik padepokan Kenanga, maka ia akan mati tersentuh tangan Ki Dukut Pakering.

   Karena tiba-tiba saja Ki Dukut yang marah itu bergeser dengan kecepatan yang tidak dapat diketahui oleh tatapan mata wadag sambil mengayunkan tangannya mengarah ke leher cantrik tua itu.

   Jari-jari Ki Dukut itu akan dapat menembus lehernya sehingga sentuhan itu akan berakibat kematian Tetapi sekali lagi Ki Dukut terkejut.

   Tangannya itu sama sekali tidak manyentuh sesuatu.

   Cantrik itu yang oleh mata wadag tidak nampak bergerak sama sekali itu, ternyata mampu menghindari serangannya yang tiba-tiba itu.

   Bahkan jantung Ki Dukut itupun akan meledak ketika ia mendengar seorang cantrik tua yang lain tertawa sambil berkata "Apa yang kau lakukan Ki Dukut.

   Apakah kau kira kau dapat manangkap angin?"

   Kemarahan Ki Dukut tidak terkendali lagi.

   Sekali lagi ia meloncat dengan kecepatan yang tidak dapat dilihat oleh mereka yang menyaksikan pertempuran itu.

   Tangannya menebas ke arah cantrik tua yang mentertawakannya itu, langsung kearah dada.

   Tetapi dada itu tidak menjadi remuk karenanya, dan tulang-tulang iga itu tidak berpatahan, karena tangan ki Dukut sama sekali tidak menyentuh apapun.

   Ki Dukutpun sadar, dengan siapa sebenarnya ia berhadapan.

   Ternyata ada beberapa orang yang memiliki ilmu yang luar biasa berada di padepokan Kenanga.

   Agaknya karena itu pula maka para pengikut Marwantaka dan Wiranata sama sekali tidak berdaya menghadapicantrik-cantrik padepokan Kenanga, karena diantara para cantrik itu terdapat orang-orang yang sebenarnya pasti bukan cantrik yang sewajarnya.

   Dalam pada itu, terdengar cantrik tua yang pertama itupun berkata "Sudahlah Ki Dukut.

   Menyerah sajalah.

   Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng tentu tidak akan menghukum kalian, karena mereka memang tidak berwenang.

   Yang dapat mereka lakukan adalah menyerahkan kau kepada orang yang paling berkepentingan dengan kau.

   Pangeran Kuda Padmadata"

   "Gila, siapa kau sebenarnya?"

   Bertanya Ki Dukut "Sudah kenal atau belum kenal, baiklah aku menyebut namaku, Mahisa Agni"

   Jawab Mahisa Agni.

   "Dan kau?"

   Bertanya Ki Dukut kepada cantrik yang lain.

   "Witantra"

   Jawab Witantra "Deberapa kali kita bersentuhan. Langsung atau tidak langsung"

   "Persetan"

   Geram Ki Dukut "apa hubungan kalian dengan Kuda Padmadata?"

   "Bukan apa-apa. Tetapi menangkapmu adalah kewajibanku. Kami berdua adalah prajurit Singasan"

   Jawab Mahisa Agni.

   Ia langsung menyebut tentang dirinya agar dapat mempengaruhi jalan pikiran Ki Dukut, sehingga mungkin Ki Dukdut akan mengambil satu kebijaksanaan.

   Setidak-tidaknya, Ki Dukut tidak akan terlalu merasa terhina jika ia harus melawan.

   Bukan sekedar seorang cantrik tua, tetapi seorang prajurit Singasari.

   Sebenarnyalah, Ki Dukut mulai memperhatikan kedua orang cantrik tua itu.

   Ada semacam perasaan lain setelah ia mengetahui bahwa kedua orang itu sebenarnya adalah prajurit Singasari.Yang menjadi berdebar-debar bukan hanya Ki Dukut sendiri, karena ternyata orang-orang yang berdiri di sekitar arena itupun menjadi berdebar-debar pula.

   Ternyata kedua orang itu adalah prajurit Singasari.

   Tentu bukan dari tataran yang rendah.

   Sejenak arena pertempuran itu dicengkam oleh ketegangan.

   Dengan demikian halaman padepokan Kenanga yang hiruk pikuk itu telah menjadi hening.

   Seolah- olah suasananya telah menjadi beku.

   Namun sejenak kemudian terdengar Ki Dukut Pakering itu tertawa menggelegar mengguncang udara diseputarnya.

   Terasa betapa suara tertawa Ki Dukut itu mencengkam jantung.

   Setiap orang merasa seolah-olah dada mereka telah dihantam oleh batu sebesar gunung Mahisa Agni dan Witantra merasakan pula getaran itu menyentuh dinding dadanya Tetapi bagi keduanya getaran itu tidak berarti apa-apa karena daya tahan mereka.

   Sementara itu Mahisa Bungalan masih juga harus menangkis serangan itu dengan kekuatan dar dalam dirinya, agar jantungnya tidak terguncang karenanya.

   Ki Selabajra, Ki Watu Kendeng, bahkan Ken Padmi dan apalagi para cantrik dari padepokan Kenanga, harus menekan dada mereka dengan telapak tangan mereka, agar dada mereka tidak pecah karenanya.

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dalam pada itu, Mahisa Agnipun bergeser setapak sambil berkata "Jangan menjadi putus asa Ki Dukut.

   Kau berusaha untuk membunuh seisi padepokan ini dengan cara yang sangat mengerikan ilu"

   Disela-sela suara tertawanya terdengar Ki Dukut itu berkata "Matilah kalian semuanya.

   Aku tidak peduli, apakah kalian orang-orang padepokan Kenanga atau orang-orang yang justru sedang menyerang padepokan ini.

   Mayat kalian akan memenuhi halaman padepokan ini.

   Namun, sebentar lagi, padepokan ini akan menjadi lautan api.

   Sisa mayat kalianpun akan berbaur dengan bara dan abu dari bangunan-bangunan yang ada di padepokan ini"

   "Kau dapat berbuat demikian jika orang-orang yang ada di sini telah menjadi putus asa seperti kau sendiri"

   Desis Witantra "tetapi aku masih ada di sini. Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan masih di sini pula. Adalah menjadi kewajiban kami untuk mengakhiri nermainanmu yang kasar itu"

   Ki Dukut masih tertawa. Suaranya masih menggetarkan udara di sekitarnya. Bahkan setiap jantung bagaikan berhenti ketika Ki Dukut itu berteriak "Aku akan membunuh semua orang dengan cara yang menarik ini. Bersedialah untuk mati"

   "Kau kira kami adalah anak-auak dungu yang tidak tahu diri"

   Sahut Mahisa Agni sambil bergeser mendekat. Lalu "

   Bukankah aku dapat langsung membungkam sumber dari suara yang kasar dan buas ini?"

   Ki Dukutpun menyadari.

   Tetapi ia ingin mendahuluiuya.

   Karena itu justru suaranya menghentak semakir dahsyat.

   Bahkan beberapa orang yang mendengar suart itu menjadi semakin lemah, dan satu dua diantara merekg menjadi pingsan.

   Tetapi Mahisa Agni tidak membiarkannya.

   Jika Ki Dukut itu masih mendapat kesempatan lebih lama lagi.

   orang-orang yang berada di halaman itu akan menjadi pingsan semuanya.

   Bahkan Ki Selabajra dan Ki Watu Kendengpun tidak akan dapat bertahan.

   Karena itu, maka Mahisa Agni itupun bergeser semakin mendekat.

   Ki Dukut adalah orang yang sudah lama diburubukan saja oleh muridnya Pangeran Kuda Padmadata, tetapi ia sendiri sependapat bahwa orang itu harus ditangkap, dalam keadaan yang bagaimanapun juga.

   Bahkan telah banyak terbuang waktu dan korban selama masa perburuan itu berlangsung.

   Karena itu, adalah satu kesempatan, bahwa Ki Dukut itu telah datang dengan sendirinya untuk menemuinya.

   "Ki Dukut"

   Berkata Mahisa Agni "aku mohon kau menyadari keadaanmu.

   Aku tahu bahwa selama ini kau mengalami goncangan-goncangan perasaan, sehingga kau seolah-olah telah berubah dari kenyataanmu sebelumnya.

   Kau menjadi orang lain dari Ki Dukut Pakering yang pernah menjadi guru Pangeran Kuda Padmadata.

   Karena itu, pada saat-saat terakhir seperti ini, aku berharap bahwa Ki Dukut masih sempat untuk mengerti tentang diri sendiri"

   Tetapi suara Ki Dukut itu justru semakin menghentak- hentak.

   Beberapa orang cantrik lagi telah jatuh pingsan.

   Karena itu, agaknya tidak ada jalan lain lagi yang dapat ditempuh oleh Mahisa Agni kecuali dengan menghentikan sumber bunyi yang mengandung kekuatan yang dahsyat itu.

   "Ki Dukut"

   Gumam Mahisa Agni kemudian "aku sudah siap untuk melawanmu.

   Jangan bangga karena kau dapat menidurkan beberapa orang cantrik kecil.

   Tetapi pandanglah aku yang mengemban tugas dari Singasari untuk menangkapmu atas laporan dari Pangeran Kuda Padmadata di Keiliri, bahwa kau teler membahayakan ketenangan hidup orang banyak.

   Dan sekarang aku telah melihat sendiri, bahwa kau adalah benar-benar orang yang berbahaya"Ki Dukut tidak menghiraukan.

   Ia benar-benar ingin meneriakkan lagu maut itu sampai tuntas.

   Namun Mahisa Agni tidak membiarkannya lebih lama lagi ia berteriak dan tertawa.

   Karena itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Agni telah meloncat maju.

   Tangannya terjulur lurus mengarah ke dada orang itu.

   Ia memang tidak ingin langsung menghancurkan tulang-tulang iga Ki Dukut yang bagaikan gila itu.

   Namun ia ingin mempengaruhinya untuk menghentikan suara tertawa dan teriakan-teriakannya yang mampu membuat orang lain menjadi pingsan.

   Dalam pada itu, Ki Dukut yang semula menganggap bahwa Mahisa Agni hanya sekedar menakut-nakutinya itu terpaksa bergeser pula.

   Telapi kemarahan yang sudah memuncak, telah mendorongnya untuk langsung berbuat sesuatu atas Mahisa Agni.

   Meskipun ia tidak dapat melakukan kedua serangan bersama-sama atas Mahisa Agni dan atas orang-orang yang berada di halaman itu dengan suara tertawa dan teriakan- teriakannya, namun ia memperhitungkan, bahwa apabila Mahisa Agni telah dilumpuhkan, maka orang-orang lain tidak akan berarti apa-apa lagi baginya.

   Karena itu, maka pematian selanjutnya diarahkannya kepada Mahisa Agni, dan iapun tidak boleh lengah atas orang yang menyebut dirinya Witantra di samping Mahisa Bungalan.

   Dengan garangnya maka Ki Dukutpun segera menyerang Mahisa Agni.

   Tetapi Mahisa Agni lelah bersiaga sepenuhnya.

   Karena itu, maka serangan pertama Ki Dukut itu sama sekali tidak menyentuh sasarannya.

   Namun Ki Dukutpun lelah menyerang pula untuk kedua kalinya.

   Lebih cepat dan lebih mapan.Meskipun demikian, serangannya itupun sama sekali tidak menyentuh sasarannya.

   Mahisa Agni meloncat ke samping selangkah.

   Namun Ki Dukutpun memburunya.

   Dengan ilmunya yang tinggi tangannya telah terayun meng arah ke pundak lawannya.

   Sekali lagi Mahisa Agni harus menghindar.

   Tetapi ia tidak mau.

   sekedar harus menghindar dan meloncat menjauh.

   Karena itu, maka sambil menghindari serangan lawan, maka iapun telah menyerangnya pula.

   Demikian tangan Ki Dukut menyambar pundaknya, maka Mahisa Agnipun memiringkan tubuhnya sambil menarik sebelah kakinya.

   Namun yang tiba-tiba saja ia telah meloncat dan menyerang perut lawannya dengan kakinya.

   Tetapi Ki Dukutpun mampu bergerak secepat Mahisa Agni.

   Karena itu, maka kaki Mahisa Agni itupun tidak mengenainya.

   Perkelahian itupun semakin lama menjadi semakin cepat dan keras.

   Ki Dukut semakin bernafsu untuk segera mengalahkan lawannya.

   Apalagi ketika ia sadar, bahwa agaknya kawan-kawan Mahisa Agni tidak ingin membantunya, sehingga yang terjadi itupun seolah-olah adalah perang tanding.

   Sebenarnyalah, mereka yang tidak sedang mengawasi orang-orang yang sudah dilumpuhkan dan menyerah, menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebar-debar.

   Bahkan Mahisa Bungalanpun menjadi tegang.

   Ia melihat keduanya semakin lama menjadi semakin cepat, sehingga semakin sulit untuk diikuti.

   Dalam pada itu, Mahisa Agni yang telah bertempur seorang melawan seorang dengan Ki Dukut itu, agaknya tidak hanya akan mempergunakan tenaga wadagnya saja.

   Demikian halnya dengan Ki Dukut yang memilikikemampuan yang luar biasa.

   


Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Hancurnya Sebuah Kerajaan Karya Siao Shen Sien Rahasia Kampung Setan -- Khu Lung/Tjan Id

Cari Blog Ini