Ceritasilat Novel Online

Panasnya Bunga Mekar 29


Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja Bagian 29



Panasnya Bunga Mekar Karya dari SH Mintardja

   

   Bukan saja pada kekuatan wadag, tetapi juga kekuatan yang terpancar dengan kekuatan getar di dalam dirinya yang mampu melontarkan tenaga dengan kekuatan wadag yang sangat besar, di samping sentuhan-sentuhan langsung pada pusat-pusat syaraf lawannya, dengan rabaan wadag atau bukan wadag.

   Dengan demikian, maka pertempuran itu menjadi semakin keruh dan membingungkan.

   Kadang-kadang gerak mereka menjadi sangat lamban.

   Namun terasa, lontaran- lontaran tenaga yang tidak kasat mata sedang bertarung dengan dahsyatnya.

   Witantra menyaksikan pertempuran itu dengan seksama.

   Iapun melihat, betapa tingginya ilmu Ki Dukut Pakering.

   Sementara itu Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng sudah tidak mampu lagi menilai pertempuran yaug sedang berlangsung itu.

   "Apa yang akan terjadi dengan kita berdua jika kita benar-benar harus melawannya"

   Desis Ki Selabajra ditelinga Ki Watu Kendeng.

   Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam.

   Ki Dukut benar-benar oraug yang memiliki kemampuan seperti yang pernah didengarnya.

   Ia seolah-olah mempunyai kekuatan diluar jangkauan nalar manusia, sehingga ada yang menyebutnya, bahwa ia mempunyai landasan kekuatan dari mahluk-mahluk yang tidak kasat mata.

   Tetapi dalam pada itu, ternyata Mahisa Agni itupun mampu mengimbanginya.

   Orang yang datang bersama Mahisa Bungalan dan disebutnya sebagai pamannya itu ternyata seorang yang memiliki kemampuan setingkat dengan Ki Dukut.Namun Ki Selabajra dan Ki Watu Kendengpun menjadi khawatir.

   Apakah orang yang bernama Mahisa Agni dan mengaku prajurit Singasari itu yakin bahwa dirinya akan menang, sehingga dengan demikian, kawannya, Witantra, tidak ikut membantunya sama sekali.

   ]ika Mahisa Agni itu dapat dikalahkan oleh Ki Dukut, apakah Witantra akan dapat mengimbanginya.

   Tetapi Ki Selabajra tidak bertanya.

   Jika keduanya sudah mengaku prajurit Singasari, maka yang mereka lakukan itu tentu akan dapat dipertanggung jawabkan terhadap Maharaja di Singasari.

   Demikianlah pertempuran itu berlangsung semakin seru.

   Namun dalam pada itu, arena pertempuran itupun telah menjadi berserakan.

   Pepohonan yang tersentuh kekuatan kedua orang itu berpatahan.

   Ken Padmi menyaksikan pertempuran itu dengan tanpa berkedip.

   Ketika Mahisa Agni itu memperlihatkan beberapa kelebihan, ia sudah menjadi keheranan sebelum ia bersedia dibimbing oleh Mahisa Agni itu dalam olah kanuragan, sehingga ia dapat mengalahkan Marwantaka dan Wiranata.

   Namim kini ia melihat Mahisa Agni itu seutuhnya.

   Melihat ilmunya yang maha dahsyat.

   Bukan saja seperti permainan anak-anak yang tidak berarti, di saat-saat terjadinya sayembara tanding.

   "Bagaimana perasaannya yang sebenarnya ketika ia melihat aku bertempur melawan Marwantaka dan kemudian Wiranata?"

   Bertanya Ken Padmi ke dalam dirinya sendiri.

   Tersirat perasaan malu dan menyesal atas ke sombongannya, sehingga iapun telah menantang Mahisa Bungalan untuk memasuki arena.

   Dalam pada itu, Ki Dukut benar-benar telah sampai kepuncak ilmunya.

   Tangannya telah berubah seakan-akanmenjadi bara yang menyala di dalam gelapnya malam.

   Setiap sentuhan akan berarti hangus ditubuh lawannya.

   Namun tangan Ki Dukut tidak pernah dapat menyentuh Mahisa Agni yang bertempur dangan kecepatan angin pusaran.

   Jika ia melihat lawannya, maka tangan Ki Dukut yang seolah-olah membara itu bagaikan kemamang yang terbang berputaran mengitari Mahisa Agni.

   Namun dalam kecepatan geraknya, tubuh Mahisa Agni bagaikan tinggal sebuah bayangan yang nampak tetapi tidak teraba karena.

   Sehingga dengan demikian maka Mahisa Agnilah yang kemudian lebih banyak mengenai tubuh Ki Dukut dengan sentuhan-sentuhan kekuatan raksasa.

   Betapa kuat daya tahan tubuh Ki Dukut, namun sentuhan-sentuhan itu akhirnya terasa juga sakit.

   Dalam pada itu, kemarahan Ki Dukut semakin memuncak pula.

   Dengan demikian, maka iapun telah mengerahkan segenap kemampuan dan ilmunya.

   Yang kemudian bagaikan membara bukan saja tangannya, tetapi hampir seluruh tubuhnya, sehingga dengan demikian, Ki Dukut mengharap bahwa lawannya tidak akan berani lagi menyentuh tubuhnya, agar tangannya tidak terbakar oleh panasnya ilmu yang terpancar dari tubuhnya itu.

   Tetapi ternyata bahwa tangan Mahisa Agni, seolah-olah telah menjadi kebal.

   Ilmu Ki Dukut itu sama sekali tidak mempengaruhinya.

   Serangan Mahisa Agni masih beruntun mengenai tubuhnya sehingga sekali-sekali Ki Dukut itu menyeringai menahan sakit.

   Karena itulah maka Ki Dukut tidak lagi memusatkan perlawanannya kepada ilmunya yang dahsyat itu, karena seolah-olah tidak banyak bermanfaat untuk menghadapi Mahisa Agni.

   Sehingga dengan demikian maka Ki Dukutpun kemudian memusatkan segenap tenaga dan ilmunya untuk mengatasi kecepatan geraknya.Nampaknya Ki Dukut berhasil dengan usahanya.

   Sejenak kemudian, seolah-olah ia mampu mengimbangi kecepatan gerak Mahisa Agni.

   lapun seolah-olah tidak lagi berjejak di atas tanah.

   Tubuhnya melayang-layang dengan cepatnya susul menyusul dengan tubuh Mahisa Agni, sehingga keduanya seolah-olah hanyalah dua bayangan yang saling berkejaran.

   Mereka yang menyaksikan pertempuran itu jtidak lagi dapat mengerti apa yang telah terjadi, kecuali Witantra dan Mahisa Bungalan.

   Dengan berdebar-debar Witantra menyaksikan dua kemampuan raksasa sedang bertempur dengan garangnya.

   Keduanya adalah orang-orang berilmu yang memiliki pengalaman yang sangat luas dan dalam.

   Setiap kesalahan, betapapun kecilnya, akan dapat berakibat gawat.

   Sementara itu, Ki Watu Kendeng dan Ki Selabajra, Ken Padmi dan orang-orang yang menyaksikannya, tidak lagi dapat menyebutkan apa yang sedang terjadi itu.

   Sebenarnyalah pertempuran itu sudah melampaui benturan tenaga wajar dalam lambaran ilmu yang tinggi.

   Masing- masing memiliki kemampuan menggerakkan tenaga cadangan dan bahkan menyerap kekuatan yang terselubung pada diri masing-masing.

   Karena itu, maka pertempuran itupun merupakan benturan dua ilmu yang sudah sampai pada tataran hampir sempurna.

   Ki Dukut yang marah itu akhirnya tidak telaten lagi dengan pertempuran yang seakan-akan tidak lagi akan tarakhir.

   Apalagi dalam tahap-tahap berikutnya, masih juga nampak bahwa Mahisa Agni memiliki kelebihan kecepatan selapis tipis dari Ki Dukut Pakering.

   Karena itu, maka dalam kejemuannya, bukan saja dalam pertempuran itu.

   tetapi juga ungkapan dari endapan perasaannya dalamkeadaan yang paling kalut itu, kejemuannya pada petualangan yang dilakukannya untuk waktu yang sudah terlalu lama tanpa menghasilkan sesuatu, bahkan yang dialaminya adalah kegagalan-kegagalan yang paling memuakkan, maka Ki Dukut mengambil satu keputusan untuk menentukan akhir dari pertempuran itu.

   Apapun yang akan terjadi, hancur atau menghancurkan, ia akan melepaskan ilmu pamungkasnya yang hampir tidak pernah dipergunakan dalam petualangannya.

   Namun menghadapi orang yang menyebut dirinya prajurit Singasari itu, ia bertekad untuk menentukan, apakah petualangannya itu akan berakhir atau berhasil.

   Karena itu, maka pada saat-saat terakhir, Ki Dukut telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk berusaha mengimbangi lawannya.

   Kemudian dengan tiba-tiba saja Ki Dukut telah meloncat menjauhi Mahisa Agni.

   Ketika Mahisa Agni akan memburunya, maka iapuh terkejut melihat sikap Ki Dukut.

   Ki Dukut telah berdiri miring sambil merendahkan tubuhnya, tangannya bagaikan bergetar bersilang di depan wajahnya.

   Mahisa Agnipun tidak sempat berpikir panjang.

   Iapun telah melompat menjauhi lawannya.

   Dengan sikap mapan ia menyilangkan tangannya di depan dadanya.

   Dengan segenap daya kemampuannya lahir dan batin, ia telah mengerahkan ilmu pamungkasnya, Gundala Sasra.

   Dalam pada itu, Ki Dukut yang sudah memusatkan segenap ilmu puncaknya, tiba-tiba telah berteriak nyaring.

   Suaranya manggeletar bagaikan mengguncang langit.

   Dengan loncatan yang panjang ia mengayunkan tangannya langsung menghantam ke arah kepala Mahisa Agni.Tetapi Mahisa Agnipun telah bersiap sebaik-baiknya.

   Ia telah mengetrapkah ilmunya pula untuk melawan ilmu puncak Ki Dukut Pakering.

   Ketegangan yang memuncak telah mencengkam jantung Witantra dan Mahisa Bungalan, sementara orang-orang lain sudah tidak mampu lagi menilai apa yang bakal terjadi.

   Ketika Ki Dukut mengayunkan tangannya, terasa seolah- olah jantung Witantra dan Mahisa Bungalan berhenti berdetak.

   Sesaat kemudian telah terjadi benturan yang sangat dahsyat dari dua kekuatan yang hampir tidak dapat dinilai.

   Benturan yang seakan-akan telah menggetarkan seluruh padepokan Kenanga.

   Daun-daun telah berguguran dari tangkainya.

   Bahkan rumah-rumah yang berdiri tegak di lingkungan padepokan itupun bagaikan telah diguncang oleh gempa.

   Demikianlah benturan itu ternyata telah melemparkan Mahisa Agni beberapa langkah surut.

   Bahkan iapun telah terbanting jatuh dan berguling beberapa kali.

   Terasa tulang- tulangnya bagaikan berpatahan, sementara dadanyapun menjadi sesak.

   Malam rasa-rasanya menjadi semakin gelap pekat dan bintang di langitpun rasa-rasanya telah berputaran.

   Namun Maiafsa Agni masih mampu bangkit dan duduk di tanah.

   Sesaat ia memusatkan segenap daya tahan tubuhnya untuk mengalasi goiicangan yang terjadi pada dirinya.

   Pada saat yang bersamaan, ternyata Ki Dukut Pakering yang pernah menjadi guru dari Pangeran Kuda Padma Data itu, telah terlempar pula.

   Kekuatan yang luar biasa, yang tersalur pada hentakan pukulan tangannya, telah membentur kekuatan yang tidak terduga pula.

   Karena itu,maka kekuatan yang membentur kekuatan yang justru melampaui kekuatannya itu seolah-olah lelah memental dan memukul dirinya sendiri.

   Bahkan kekuatan Mahisa Agni bukan saja kekuatan yang bertahan, namun Mahisa Agni lelah menghentakkan tangannya pula tepat pada saat benturan itu terjadi.

   Dengan demikian, maka kekuatan yang ganda itu telah menghantam bagian dalam tubuh Ki Dukut Pakering.

   Demikian dahsyatnya hentakan kekuatan itu sehingga betapapun tinggi daya tahan tubuh Ki Dukut Pakering, namun ternyata ia tidak mampu melawan kekuatan ganda yang memukul jantungnya.

   Rasa-rasanya jantung Ki Dukut itu telah terbakai di dalam dadanya, sehingga detaknyapun telah terganggu karenanya.

   Ki Dukut yang terjatuh beberapa langkah dari benturan itu, sempat menggeliat.

   Dadanya serasa telah pecah, dan tulang-tulangnya berpatahan.

   Ketika Mahisa Agni perlahan-lahan dapat menguasai perasaan sakitnya, maka Ki Dukut justru menjadi semakin parah.

   Bahkan kemudian, dari mulutnya lelah lerdengar desah tertahan-tahan.

   Witantra yang dengan serta merta berlari-lari mendekati Mahisa Agni pada saat benturan terjadi, menjadi tenang ketika ia melihat Mahisa Agni masih sempat bangkit dan mengatur pernafasannya dan memusatkan daya.

   tahannya.

   Justru karena itu, maka iapun berkata kepada Ki Watu Kendeng dan Ki Selabajra yang juga mendekati Mahisa Agni bersama Mahisa Bungalan dan Ken Padmi "Awasilah.

   Jangan diganggu"

   Ki Selabajra mengangguk kecil. Sementara Witantra pun lelah meninggalkan Mahisa Agni dan mendekati Ki Dukut yang terbaring."Ki Dukut"

   Desis Wilanlra. Terdengar nafas orang itu terengah-engah. Namun sejenak kemudian, betapapun lirihnya, terdengar Ki Dukut berkata "Bagaimana dengan prajurit itu?"

   Witantra menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian ia men- jawabjapa adanya "Ia berhasil bertahan"

   Ki Dukut mengerang menahan-sakit-di selaruh tubuhnya.

   Sementara beberapa orang telah mendekatinya.

   Marwantaka dan Wiranata yang terlukapun berusaha untuk mendekat.

   Sementara beberapa orang cantrik telah datang sambil membawa obor-obor minyak.

   Kesan Ki Dukut pada saat terakhir itu sangat mengejutkan.

   Ternyata Ki Dukut yang sudah menjadi sangat lemah itu berdesis "Jadi ia tidak mati?"

   Witantra menggeleng sambil menjawab "Tidak Ki Diikut"

   Witantra menjadi berdebar-debar.

   Tetapi iapun kemudian mendengar Ki Dukut itu berdesis "Orang itu memang luar biasa.

   Ilmunya melampaui segala ilmu yang pernah aku pelajari.

   Sokurlah bahwa aku tidak membunuhnya.

   Ia tidak boleh mati.

   Akulah yang seharusnya mati"

   Ki Dukut berdesis.

   Nampak betapa sakit tubuhnya.

   ketika Witantra berusaha membantunya, ia berkata "Tidak ada gunanya.

   Biar sajalah aku mati.

   Aku kira kematian adalah jalan yang paling baik.

   Aku sudah jemu bertualang.

   Aku sudah jemu dengan segala macam kegagalan yang aku alami.

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Lebih dari itu, aku menyesali justru pada saat yang sudah terlambat"

   "Tidak"

   Jawab Witantra "belum terlambat. Kau dapat menyatakan diri bahwa kau menyesali segala tingkahLakumu. Jika kau masih menyadari apa yang telah kau lakukan, maka kau dapat bertaubat sekarang"

   Nafas Ki Dukut semakin memburu. Tetapi ia masih berusaha untuk berbicara "

   Apa itu mungkin?"

   "Mungkin, mungkin sekali Ki Dukut"

   Jawab Witantra.

   Ki Dukut terdiam sejenak.

   Kemudian perlahan sekali ia berdesis "Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa mengampuni segala kesahihan yang pernah aku lakukan.

   Dosaku sudah tukik terhitung lagi dan apakah masih ada ruang pengampunan yang dapat menerima aku"

   "Tentu"

   Jawab Witantra "Tuhan Yang Maha Kuasa adalah Yang Maha Pengampun"

   "Aku mohon ampun kepada Tuhan Yang Maha Kuasa"

   Ia berhenti sejenak. lalu "aku minta maaf kepada muridku. Pangeran Kuda Padmadata. Apakah kau mau mengatakannya"

   "Ya. Ya. Aku akan mengatakan"

   Jawab Witantra.

   "Apakah kau mau juga menyampaikan kepada Ki Kasang Jati?"

   Bertanya Ki Dukut.

   "Akan aku sampaikan"

   Jawab Witantra.

   "Kami lelah bermusuhan sejak lama sekali. Sampaikan kepadanya, aku sudah menghentikan sikap bermusuhan itu"

   Berkata Ki Dukut.

   "Ya. ya. akan aku sampaikan"

   Jawab Witantra.

   "Kepada Ki Selabajra. kepada Watu Kendeng dari kepada siapa saja. Aku minta maaf"

   Tetapi suaranya menjadi semakin lambat.

   "Semuanya akan memaafkanmu Ki Dukut"Di bawah cahaya obor nampak Ki Dukut tersenyum. Kemudian terdengar ia berdesis "Terima kasih Ki Sanak. Apakah kau salah seorang dari prajurit Singasari itu?"

   "Ya, Ki Dikit"

   Jawab Witantra.

   "Kepergianku akan mengurangi gejolak. Terima kasih atas perhatianmu pada saat terakhir"

   Desis Ki Dikut.

   Perasaan Witantra ternyata telah tersentuh juga.

   Pada saat-saat Ki Dukut sampai ke Sang Penciptanya, maka ia telah mengenali kembali dirinya sendiri dan bahkan ia telah mengakui segala kesalahannya.

   Dalam pada itu.

   justru pada saat terakhir itu, nafas Ki Dukut bagaikan menjadi semakin teratur.

   Ia menggerakkan kaki dan dan kemudian menyilangkan tangannya di dadanya.

   Ia masih berusaha untuk berbicara.

   Sementara Witantra telah melekatkan telinganya di mulut Ki Dukut yang lemah "Ki Sanak.

   Aku juga minta maaf kepadamu.

   kepada kawanmu yang telah membebaskan aku dari tekanan penderitaan batin selama ini.

   Selamat tinggal"

   "Ki Dukut, Ki Dukut"

   Desis Witantra. Tetapi Ki Dukut tidak mendengarnya lagi. la telah pergi untuk selamanya. Witantra menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia kemudian berdiri, ia melihat Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng telah berdiri dibelakangnya.

   "Ia telah pergi"

   Berkata Witantra.

   Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam.

   Sementara Witantra berkata selanjutnya "Namun dengan demikian ia merasa ainnya terbebas dari segala tekanan batin atas kegagalan-kegagalan yang pernah dialaminya.

   Lebih dariitu, di saat terakhir ia telah bertaubat dengan sungguh- sungguh.

   Ki Selabajra mengangguk-angguk.

   Sementara Witantra meneruskan "Ia sempat minta maaf kepada Ki Selabajra kepada Ki Watu Kendeng, kepada semuanya saja"

   Ki Watu Kendeng melangkah mendekatinya.

   Ketika ia berjongkok dan mengamati wajah Ki Dukut, katanya "Ya.

   Nampaknya ia pergi dengan tenang, meskipun ia telah dihantam oleh ilmu yang dahsyal sekali.

   Tentu isi dadanya telah rontok karena hentakan ganda.

   Karena tenaganya sendiri dan karena dorongan kekuatan ilmu Mahisa Agni.

   Namun sama sekali terbayang rasa sakit di wajahnya"

   "Justru ia telah pasrah"

   Desis Ki Selabajra "mudah- mudahan pengakuan dan penyesalannya di saat terakhir dapat didengar oleh Sang Pencipta"

   Dalam pada itu, Mahisa Agni yang masih ditunggu oleh Mahisa Bungalan dan Ken Padmipun menjadi semakin baik.

   Bahkan kemudian Mahisa Agni telah menggeliat sambil menarik nafas dalam-dalam.

   Ketika Mahisa Agni kemudian bangkit perlahan-lahan, maka Mahisa Bungalan segera membantunya sambil bertanya "Bagaimana keadaan paman?"

   "Sudah semakin baik Mahisa Bungalan. Aku sudah dapat mengatasi kesulitan pernafasanku"

   Jawab Mahisa Agni "mudah-mudahan untuk selanjutnya aku tidak terganggu karenanya"

   Mahisa Bungalan memang melihat keadaan Mahisa Agni menjadi semakin baik.

   Bahkan ketika ia kemudian melepaskannya, Mahisa Agni sudah dapat berdiri tegak.

   Selangkah-Aelangkah Mahisa Agni mencoba berjalan.

   Ternyata sudah terbebas dari segala macam akibat karenabenturan ilmu dengan Ki Dukut, selain perasaan nyeri pada tulang-tulangnya.

   Karena itu, maka Mahisa Agnipun kemudian melangkah menuju Witantra yang duduk di samping tubuh Ki Dukut yang terbujur.

   "Ia sudah meninggal"

   Berkata Witantra ketika Mahisa Agni berdiri disampingnya. Dalam pada itu Witantrapun sempat menceriterakan kepada Mahisa Agni, apa yang telah terjadi pada saat-saat terakhir dari hidup Ki Dukut.

   "Sukurlah"

   Desis Mahisa Agni sambil memandang tubuh yang terbujur diam "adalah tugas kita untuk menyelenggarakan korban-korban yang jatuh dalam pertempuran ini, termasuk Ki Dukut itu sendiri"

   Demikianlah, maka padepokan itu telah mendapat satu kesibukan baru.

   Orang-orang yang terluka dan menyerah telah dikumpulkan di pendapa padepokan, sementara yang lain telah mengumpulkan pula korban yang jatuh dari kedua belah pihak.

   Marwantaka dan Wiranata sendiri, yang juga terluka, tidak dapat berbuat apa-apa selain minta maaf atas segala tingkah lakunya.

   Mereka merasa diri mereka terlalu kecil berhadapan dengan Mahisa Bungalan yang memiliki ilmu yang dahsyat.

   Apalagi dihadapan Mahisa Agni dan Witantra.

   "Kalian telah menjadi korban perasaan kalian yang tidak terkendali"

   Berkata Mahisa Agni kepada kedua anak muda itu "sementara tenaga kalian masih sangat dibutuhkan oleh lingkungan kalian.

   Mungkin bagi padepokan kalian atau bagi padukuhan.

   Jika kalian mampu menyalurkan gejolak perasaan muda kalian bagi yang bermanfaat, maka alangkah besar sumbangan kalian kepada sesama disekitar kalian"Marwantaka dan Wiranata hanya dapat menunduk, sementara luka mereka telah mendapatkan pengobatan sementara.

   "Kita akan mengakhiri segala permusuhan"

   Berkata Ki Selabajra kepada kedua anak muda itu "pertengkaran diantara kita, hanya akan menghasilkan bencana seperti yang telah terjadi hari ini.

   Kematian, luka parah dan korban harta benda.

   Apakah kita tidak dapat berbuat lain dari pertentangan-pertentangan yang berkepanjangan?"

   Kedua anak muda itu masih saja menduduk. Namun kemudian terdengar Marwantaka berdesis "Kami teian melakukan kesalahan yang besar sekali. Meskipun demikian, aku memberanikan diri untuk mohon kesempatan memperbaiki kesalahan itu"

   "Kami bukan pendendam"

   Desis Ki Watu Kendeng "kalian tentu akan mendapat kesempatan untuk mencobanya dengan satu kehidupan baru. Kalian harus mengubur sifat dan cara hidup kalian yang lama untuk memasmu satu masa kehidupan baru"

   Namun Jawaban Ki Watu Kendeng itu agaknya belum memberikan kepuasan kepada anak-anak muda itu.

   Hampir di luar sadar, mereka memandang Ki Selabajra dan Mahisa Bungalan berganti-ganti.

   Ki Selabajra yang berdiri disebelah Ki Watu Kendeng itupun mengangguk kecil sambil berkata "Aku sependapat anak-anak muda.

   Yang dikatakan oleh Ki Watu Kendeng itu, juga yang akan aku katakan kepada kalian"

   Marwantaka dan Wiranata tidak dapat menjawab lagi.

   Terasa perasaannya benar-benar telah tersentuh.

   Justru karena itu mereka semakin merasa bersalah atas segala tingkah laku mereka.Dalam pada itu, maka Marwantaka dan Wiranatapun kemudian minta diri.

   Namun mereka harus membawa kawan-kawan mereka yang telah menjadi korban gejolak kemurkaan mereka.

   Namun ternyata korban yang terbunuh tidak terlalu banyak.

   Mahisa Agni dan Witantra memang tidak membunuh lawan-lawan mereka.

   Meskipun sebagian besar dari mereka terluka, dan ada diantara mereka yang kehilangan kemampuan untuk bertempur tanpa luka di kulit, tetapi ternyata tulang-tulang mereka rasanya bagaikan berpatahan.

   Sementara itu, maka Marwantaka dan Wiranata lelah minta kepada Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng untuk membawa Ki Dukut bersama mereka, karena Ki Dukut itupun datang ke padepokan itu bersama mereka pula.

   Yang kemudian ditinggalkan di padepokan itu adalah korban-korban yang jatuh dari padepokan Kenanga sendiri.

   Namun korban itupun tidak banyak.

   Ternyata Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan telah berhasil melindungi para cantrik dengan sebaik-baiknya.

   Malam itu juga padepokan Kenanga berusaha membersihkan segala sesuatu bekas pertempuran yang mendebarkan jantung itu.

   Mereka, para penghuni padepokan itu telah mempersiapkan pula alat-alat penyelenggaraan korban yang terbunuh itu di keesokan harinya.

   Demikianlah, maka padepokan kecil itu telah diliputi oleh perasaan duka, karena ada diantara para cantrik yang menjadi korban.

   Sementara itu, Ken Padmi seolah-olah tidak berani menampakkan dirinya di luar biliknya.

   Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng telah berusaha untuk memenangkan hatinya.

   Namun setiap kali Ken Padmiberkata "Akulah yang bersalah.

   Aku telah menyebabkan kematian para cantrik yang tidak berdosa itu"

   "Bukan salahmu Ken Padmi"

   Berkata Ki Watu Kendeng "mereka gugur untuk mempertahankan padepokan mereka yang diserang oleh sekelompok orang-orang yang ingin merusak padepokan ini apapun sebabnya"

   "Tetapi sebab itu sudah jelas"

   Isak Ken Padmi.

   "jangan menyalahkan diri sendiri"

   Berkata ayahnya "kita semuanya berada di dalam kekuasaan Sang Pencipta. Kita tidak dapat mengelakkan diri dari apa yang sudah digariskanNya"

   "Tetapi kenapa akulah yang kali ini menjadi alat"

   Keluh Ken Padimi.

   "Jangan mengeluh seperti itu Ken Padmi, seolah-olah kau telah mencela keharusan yang berlaku. Kita semua harus menerima segalanya dengan ikhlas, karena kita memang hanya pantas untuk menerimanya. Jika diperlakukan sesuatu atas diri kita, tentu hal itu bukannya tanpa maksud. Hanya kepicikan pengetahuan dan kedunguan kita sajalah yang menyebabkan kita tidak mengetahui, apakah sebenarnya maksud yang tersembunyi dari peristiwa-peristiwa ini"

   Kata Ki Selabajra.

   Ken Padmi tidak menjawab lagi.

   Tetapi ia masih terisak- isak.

   Rasa-rasanya ia adalah penyebab dari setiap kematian.

   Dan ia tidak akan dapat membebaskan diri dari tanggung jawab itu.

   Namun dalam pada itu, ketika akhirnya Mahisa Agni dan Witantra memberikan beberapa nasehat pula, akhirnya hati Ken Padmi dapat sedikit menjadi tenang.

   Demikianlah untuk beberapa saat lamanya, Ken Padmi masih diliputi oleh perasaan gelisah.

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tetapi kehadiranMahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan di padepokan itu untuk hari-hari berikutnya, dapat menjadi landasan dan pegangan perasaannya menghadapi masa-masa mendatang yang masih panjang.

   Untuk beberapa lama Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan tetap berada di padepokan itu.

   Mereka masih menganggap perlu untuk tetap mengawasi keadaan.

   Mungkin masih ada persoalan-persoalan yang tumbuh akibat dari pertempuran yang telah menjatuhkan beberapa orang korban, termasuk Ki Dukut Pakering itu.

   Sementara itu, dalam kesempatan selama berada di padepokan Kenanga dan selagi Ki Watu Kendeng berada di padepokan itu pula, maka Mahisa Agni dan Witantra, atas nama Mahendra telah berbicara pula tentang Ken Padmi.

   Sementara Ki Watu Kendeng yang telah menganggap Mahisa Bungalan sebagai pengganti anaknya telah menyaksikan pula setiap pembicaraan tentang kedua orang anak muda itu.

   Namun dalam pada itu, Ken Padmi telah menjadi sangat malu jika ia teringat akan kesombongannya, bahwa ia telah menantang Mahisa Bungalan untuk memasuki arena, selagi ia mengetahui bahwa Mahisa Agni dan Witantra datang ke padepokan itu justru atas pengetahuan Mahisa Bungalan, dan kedua orang itu adalah orang-orang yang telah membimbing Mahisa Bungalan pula dalam olah kanuragan.

   Tetapi segalanya itu telah terjadi, dan gadis itu tidak akan bertahan lagi pada harga dirinya yang berlebihan agar tidak terjadi lagi bencana yang mengerikan bagi padepokannya.

   Dalam pada itu, di hati kecilnya, Ken Padmipun merasa kurang mapan atas segala pembicaraan yang dilakukan oleh ayahnya dengan Mahisa Agni dan Witantra.

   Tetapi ia tidakingin mengulangi kesulitan yang pernah terjadi.

   Ia tidak mau lagi menolak segala pembicaraan itu karena bukan ayah Mahisa Bungalan sendiri yang datang.

   Jika sebelumnya Mahisa Bungalan pernah menolak pembicaraan tentang dirinya oleh Ki Watu Kendeng dan memberikan alasan untuk menyampaikan persoalannya kepada ayahnya sendiri, maka kini ternyata yang membicarakannya bukan ayah Mahisa Bungalan sendiri.

   Dengan demikian, maka segala pembicaraanpun telah berjalan dengan lancar.

   Tidak ada lagi jarak yang membatasi kedua anak muda itu.

   Masing-masing telah membuka hatinya, sementara orang-orang tuapun telah merestuinya.

   Meskipun demikian, rasa-rasanya kegelapan pada padepokan itu masih saja membayang.

   Karena itu, maka orang-orang tuapun mempertimbangkan, sebaiknya Ken Padmi untuk sementara meninggalkan padepokan Kenanga.

   "Biarlah ia pergi ke Singasari bersama kami"

   Berkata Mahisa Agni.

   Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam.

   Adalah berat sekali untuk melepaskan seorang anak gadis meninggalkan rumahnya mengikuti seseorang yang kelak akan menjadi suaminya.

   Namun untuk membiarkan Ken Padmi tetap berada di padepokan rasa-rasanya Ki Selabajrapun mencemaskannya.

   Seolah-olah yang telah terjadi itu akan terulang kembali.

   "Kami. yang tua-tua ini akan menjaganya "

   Berkala Witantra kemudian. Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian "Aku titipkan Ken Padmi kepada KiMahisa Agni dan Ki Witantra. Biarlah anak itu ikut dengan kalian berdua"

   Witantra mengangguk kecil, la mengerti maksud Ki Selabajra. Maka katanya "Baiklah Ki Selabajra. Ken Padmi akan pergi bersama kami untuk sementara. Maksudku, aku dan Mahisa Agni. Bukan Mahisa Bungalan"

   Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian "Segalanya terserah kepada kalian berdua. Jika datang saatnya kedua anak itu akan mengikat hubungan mereka dalam perkawinan, aku mohon untuk mendapat berita"

   "O, tentu"

   Jawab Mahisa Agni "mana mungkin hal itu terjadi di luar pengetahuan Ki Selabajra sebagai ayah Ken Padmi"

   Ki Selabajra tersenyum. Jawabnya "Aku merasa cemas. Jika kalian sudah berada di Singasari, maka kalian adalah orang-orang penting. Kalian akan melupakan kami, orang- orang padukuhan kecil yang tidak berarti apa-apa"

   "Berarti atau tidak berarti, tetapi Ki Selabajra adalah ayah Ken Padmi"

   Ulang Mahisa Agni. Ki Selabajra mengangguk-angguk. Katanya seolah-olah bergumam kepada diri sendiri "Aku memang ayahnya"

   "Karena itu, maka segalanya akan bertumpu kepada Ki Selabajra"

   Desis Witantra. Ki Selabajra masih mengangguk-angguk. Kemudian katanya"Baiklah. Aku akan mencoba melepaskan kegelisahanku. Biarlah Ken Padmi ikut bersama kalian"

   Demikianlah, maka dihari berikutnya Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalanpun telah berkemas-kemas.

   Akan pergi bersama mereka Ken Padmi yang jarang sekalimeninggalkan padepokannya, sehingga karena itu, iapun menjadi sangat gelisah.

   Namun sudah menjadi keputusan, bahwa sebaiknya ia meninggalkan padepokannya untuk, sementara, karena di padepokan itu, ia tidak mendapat perlindungan yang cukup.

   Sementara itu, Ki Watu Kendeng masih berada di padepokan itu pula.

   Iapun akan meninggalkan padepokan itu bersama dengan Mahisa Agni.

   Bahkan ia telah minta Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan singgah barang satu dua hari di padepokannya.

   Mahisa Agni tidak dapat menolak.

   Karena itu, ketika segalanya sudah siap, maka merekapun meninggalkan padepokan Kenanga menuju ke padepokan Watu Kendeng.

   Ken Padmi yang berada di dalam iring-iringan itu, tidrk dapat menahan air matanya.

   Ia akan meninggalkan padepokan dan keluarganya untuk waktu yang tidak ditentukan.

   Satu hal yang belum pernah dilakukannya sebelumnya.

   Perjalanan ke Watu Kendeng bukannya satu perjalanan yang terlalu panjang.

   Mereka melalui jalan bulak di antara tanah persawahan yang digarap oleh para cantrik dan rakyat dipadukuhan di sekitar padepokan.

   Namun merekapun melalui jalan yang menjelujur di pinggir hutan yang tidak terlalu lebat.

   Sementara itu, Ken Padmi yang berkuda pula seperti orang-orang lain dalam iring-iringan itu, telah mengenakan pakaian khususnya, seperti yang selalu dipakainya dalam olah kanuragan.

   Dalam perjalanan itu, Mahisa Agni telah bersepakat dengan Witantra untuk sekaligus singgah di Kediri.

   Bagaimanapun juga, mereka merasa perlu untukmemberitahukan kepada Pangeran Kuda Padmadata bahwa Ki Dukut Pakering telah terbunuh dalam satu perang tanding dengan Mahisa Agni.

   "Tidak ada jalan keluat untuk menghindari benturan ilmu itu"

   Berkata Mahisa Agni "karena itu, nampaknya hai itu memang harus terjadi. Mau tidak mau"

   Witantra mengangguk-angguk. Katanya "Pangeran Kuda Padmadata tentu mengetahui watak dan sifat gurunya. Karena itu, ia akan menerimanya dengan hati terbuka. Tidak ada pilihan lain kecuali jalan satu-satunya itu"

   Demikianlah, mereka telah sepakat.

   Dari Watu Kendeng mereka akan singgah di Kediri.

   Mahisa Agni, Witantra, Mahisa Bungalan dan Ken Padmi berada di Watu Kendeng tidak terlalu lama.

   Mereka pun segera minta diri untuk meneruskan perjalanan.

   Seperti yang direncanakan, maka mereka akan singgah di Kediri, untuk memberi tahukan kepada Pangeran Kuda Padmadata bahwa gurunya telah tiada lagi.

   Perjalanan ke Kediri memang cukup panjang.

   Namun mereka tidak mengalami gangguan sesuatu di perjalanan.

   Ketika mereka memasuki regol istana Pangeran Kuda Padmadata maka Pangeran itupun telah terkejut karenanya.

   Ketika seorang pengawal memberitahukan kepadanya bahwa diluar ada beberapa orang tamu, maka dengan tergesa-gesa iapiin telah menyongsongnya.

   Apalagi ketika kemudian diketahuinya bahwa tamu-tamunya itu adalah orang-orang yang sudah dikenalnya baik-baik.

   "Marilah, silahkan"

   Pangeran itu mempersilahkan mereka naik ke pendapa.Ken Padmi memandangi istana itu dengan heran.

   Lantainya yang halus licin di bentangi tikar yang putih.

   Tiang-tiang kayu yang berukir dan bersungging halus berdiri tegak dengan agungnya.

   Ternyata Pangeran Kuda Padmadata telah menyambut kedatangan mereka dengan ramah sekali.

   Karena itulah, maka Ken Padmipun merasa dirinya semakin kecil.

   Apa yang pernah dilakukannya atas Mahisa Bungalan membuatnya semakin segan terhadap anak muda itu.

   "Seorang Pangeranpun bersikap sangat baik kepadanya. Sementara di padepokan kecil, aku memperlakukannya kurang wajar"

   Berkata Ken Padmi menyesali diri di dalam hatinya.

   Sejenak kemudian, maka merekapun telah diterima oleh Pangeran Kuda Padmadata di pendapa.

   Ken Padmi rasa- rasanya menjadi sangat canggung.

   Jika ia duduk di pendapa rumahnya, padepokan Kenanga, rasa-rasanya ia adalah orang yang paling terhormat.

   Namun di pendapa yang besar dan megah itu, ia telah susut menjadi terlalu kecil.

   Apalagi ketika Mahisa Agni memperkenalkannya sebagai seorang gadis padepokan.

   Mahisa Agni telah menyebutnya dengan terus terang, bahwa Ken Padmi berasal dari padepokan Kenanga.

   Sebuah padepokan kecil dan terpencil.

   Wajah Ken Padmi rasa-rasanya menjadi panas.

   Kepalanya telah tertunduk dalam-dalam.

   Terasa bahwa dalam perjalanan hidupnya, ia telah merambah jalan yang memang tidak sepantasnya dilaluinya.

   "Aku hanya seorang gadis padepokan. Seorang gadis yang tidak berharga. Dan itu sudah dikatakan oleh paman Mahisa Agni kepada Pangeran itu"

   Berkata Ken Padmi didalam dirinya.

   Hampir saja mulutnya meneriakkannya.Tetapi untunglah bahwa ia menyadarinya, bahwa ia berada di sebuah pendapa yang agung.

   Namun demikian, ia mulai merasa kecewa bahwa ia telah berada diantara orang-orang besar dari Singasari.

   Ternyata bahwa Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan adalah orang-orang terhormat, sebagaimana dinyatakan oleh Pangeran Kuda Padmadata terhadap mereka.

   "Mereka tentu dengan sengaja menyakiti hatiku"

   Berkata Ken Padmi di dalam hatinya "mereka tentu pernah mendengar laporan Mahisa Bungalan.

   bahwa ia telah diperlakukan tidak pada tempatnya di padepokan Kenanga.

   Karena itu, kini pamannya itu tentu ingin menunjukkan, betapa kecilnya aku dan padepokan Kenanga itu sebenarnya"

   Tetapi Ken Padmi itu menjadi heran ketika ia mendengar Pangeran Kuda Padmadata itu berkata "Jika demikian, gadis ini berasal dari tempat yang sama seperti isteriku. Ia juga berasal dari sebuah padepokan kecil"

   Ken Padmi mengerutkan keningnya. Apakah maksud Pangeran Kuda Padmadata sebenarnya. Namun demikian Pangeran itu berkata "Marilah Ken Padmi. Aku perkenalkan kau dengan isteriku. yang juga seseorang yang berasal dari sebuah padepokan seperti kau"

   Ken Padmi memandang Pangeran itu dengan bimbang.

   Namun nampaknya Pangeran itu bersungguh-sungguh.

   Bahkan Mahisa Bungalan pun berkata "Pergilah ke serambi.

   Yang dikatakan oleh Pangeran Kuda Padmadata memang sebenarnya.

   Puteri memang berasal dari padepokan seperti yang dikatakannya tanpa menyembunyikannya, karena aku mengenal sifat yangberterus terang dan terbuka dari Pangeran Kuda Padmadata"

   Ken Padmi masih termangu-mangu.

   Namun Pangeran Kuda Padmadata menjelaskan "Jangan ragu-ragu.

   Sebenarnyalah seperti yang aku katakan.

   Ia adalah anak padepokan.

   Mungkin padepokan yang lebih kecil dari padepokan Kenanga.

   Padepokan isteriku itu adalah padepokan yang terletak di pinggir hutan.

   Aku menemukannya pada saat aku berburu di hutan itu"

   Ken Padmi masih tetap termangu-mangu. Namun ketika Pangeran Kuda Padmadata beringsut dan turun ke serambi samping, iapun dengan ragu-ragu mengikutinya. Bahkan sekali-sekali ia berpaling ke arah mereka yang masih tetap duduk di pendapa.

   "Duduklah"

   Pangeran Kuda Padmadatapun mempersilahkannya "Aku akan memanggil isteriku"

   Sejenak kemudian, maka Pangeran Kuda Padmadata telah masuk ke ruang dalam dan sejenak kemudian ia telah kembali ke serambi bersama seorang puteri dalam pakaian yang indah dan agung.

   Sulit bagi Ken Padmi untuk percaya bahwa puteri itu adalah seorang gadis padepokan seperti yang dikatakan oleh Pangeran Kuda Padmadata.

   "Mereka telah memperolok-olokkan aku"

   Berkata Ken Padmi di dalam hatinya.

   Rasa-rasanya ia ingin berteriak dan menangis sejadi-jadinya oleh perasaan malu dan gelisah.

   Namun justru karena itu, maka dadanya rasa-rasanya menjadi sesak oleh himpitan perasaan yang tidak terlontarkan.

   Dalam pada itu, Pangeran Kuda Padmadata itupun membimbing.

   isterinya dan memperkenalkannya kepadaKen Padmi "Ken Padmi.

   Inilah isteriku yang aku katakan kepadamu.

   Ia juga berasal dari padepokan seperti kau.

   Tetapi kau masih mempunyai kelebihan seperti yang dikatakan oleh paman Mahisa Agni ketika ia memperkenalkanmu.

   Sementara isteriku sama sekali tidak memiliki kelebihan apapun.

   Namun aku mencintainya dan ia juga mencintai aku.

   Dengan bekal itulah aku membangun rumah tangga ini"

   Ken Padmi kebingungan untuk menanggapinya. Justru karena itu ia tetap berdiam diri. Namun wajairnya menjadi kemerah-merahan oleh kegelisahan.

   "Temuilah gadis ini"

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Berkata Pangeran Kuda Padmadata kepada isterinya "nampaknya ada hubungan khusus antara gadis ini dengan Mahisa Bungalan"

   Terasa jantung Ken Padmi semakin cepat berdetak.

   Tetapi ia masih tetap berdiam diri.

   Dalam pada itu, maka Pangeran Kuda Padmadatapun segera kembali ke pendapa, sementara isterinya duduk bersama Ken Padmi di serambi.

   Baru kemudian Ken Padmi percaya bahwa isteri Pangeran Kuda Padmadata itu seorang perempuan yang berasal dari padepokan setelah puteri itu sendiri menceriterakannya.

   "Karena itu, jangan merasa asing di rumah ini"

   Berkata isteri Pangeran Kuda Padmadata itu "rumah ini adalah rumahku.

   Seorang perempuan dari lingkungan rendah pula.

   Mula-mula akupun merasa aneh berada di rumah ini.

   Tetapi akhirnya aku terbiasa pula.

   Dan aku menganggap rumah ini tidak lebih dari rumahku seperti rumahku di padepokan kecil itu"

   Ken Padmi menarik nafas dalam-dalam.

   Kemudian katanya "Terima kasih puteri, bahwa aku diperkenankan tinggal barang sesaat di istana ini""Kau boleh tinggal di sini untuk waktu yang tidak terbatas, sebagaimana kau berada di padepokan yang akan dapat memberikan tempat kepada siapapun yang kemalaman dan dapat memberikan makan kepada siapapun yang kelaparan dalam perjalanan"

   Berkata isteri Pangeran Kuda Padmadata.

   Lalu "justru kehadiranmu memberikan kesegaran dalam kehidupanku yang terasa gersang dan tandus.

   Sehari-hari aku dibatasi oleh paugeran yang berlaku bagi seorang puteri.

   Apalagi jika dalam kewajiban tertentu aku harus berada di tengah-tengah isteri para Pangeran yang lain.

   Rasa-rasanya aku sedang menjalani hukuman yang sangat berat.

   Kadang-kadang aku memang merindukan untuk berada kembali di tangah-tengah alam padepokan.

   Di sawah dan pategalan.

   Diantara dendang gadis-gadis yang sedang memetik hasil sawah dan dalam alunan suara seruling gembala di lereng-lereng bukit dan padang rerumputan"

   Ken Padmi menundukkan kepalanya.

   Ternyata bahwa kehidupan yang dilihatnya, sangat indah itu terasa juga gersang dan tandus bagi puteri, isteri Pangeran Kuda Padmadata itu.

   Namun dalam pada itu, puteri itupun berkata "Tetapi untunglah bahwa Pangeran Kuda Padmadata dapat mengerti perasaanku.

   Sekali-sekali Pangeran telah mengajak aku bertamasya ke tanah persawahan dan hijaunya pategalan.

   Kadang-kadang aku telah dibawanya berburu, sebagaimana Pangeran pernah menemukan aku.

   Namun betapapun juga, masih juga terasa kegersangan itu, karena dalam perburuan, kami selalu dikelilingi oleh sepasukan pengawal yang seharusnya memang mengawal keselamatan kami.

   Apalagi pada saat-saat yang menegangkan, dimana keselamatan kami selalu dibayangioleh guru Pangeran Kuda Padmadata sendiri.

   Ki Dukut Pakering"

   "Ki Dukut"

   Desis Ken Padmi.

   "Ya"

   Ken Padmipun kemudian menceriterakan serba sedikit tentang peristiwa yang telah terjadi dipadepokannya, sehingga Ki Dukut itu telah terpancing untuk mencampurinya.

   Namun agaknya ia bernasib buruk, sehingga Mahisa Agni ternyata telah berperang tanding dan berhasil membunuhnya.

   "O"

   Puteri itu mengangguk-angguk "apakah dengan demikian berarti, bahwa Pangeran Kuda Padmadata tidak selalu dibayangi oleh kekejamannya"

   Dalam pada itu, ternyata Mahisa Agni dipendapa sedang menceriterakan apa yang telah terjadi, sehingga Pangeran Kuda Padmadata mendapat keterangan tentang kematian Ki Dukut Pakering.

   Pangeran itu menundukkan kepalanya.

   Bagaimanapun juga Ki Dukut adalah gurunya.

   Meskipun Pangeran Kuda Padmadata sendiri pernah berniat untuk memburu dan membunuhnya, namun berita kematiannya telah menggetarkan jantungnya pula.

   "Namun dengan demikian penderitaannya telah berakhir"

   Desis Witantra "selama ini ia selalu disiksa oleh satu keinginan yang tidak pernah dapat dicapainya.

   Kematian baginya adalah jalan terbaik untuk mengurangi dosa-dosa yang masih akan dilakukannya.

   Pangeran tidak perlu mencemaskan masa langgengnya, karena justru pada saat terakhir ia masih sempat mengucapkan lontaran perasaannya dalam pertaubatan, la masih sempat melihat kepada diri sendiri dan mengakui segala dosa-dosanya"Pangeran Kuda Padmadata menarik nafas dalam-dalam.

   Katanya "Sukurlah jika ia tidak terjerumus sampai batas terakhir.

   Mudah-mudahan pengakuan segala dosa-dosanya pada saat terakhir itu akan didengar oleh Sang Pencipta"

   "Apapun juga yang terjadi dengan Ki Dukut Pakering, namun itu adalah yang terbaik baginya "desis Witantra kemudian.

   "Ya. Memang tidak ada jalan pelepasan yang lebih baik baginya "ulang Pangeran Kuda Padmadata. Dengan demikian, maka Pangeran Kuda Padmadata harus mengikhlaskan gurunya pergi sebagaimana ia harus mengikhlaskan adiknya. Bahkan hilangnya Ki Dukut, agaknya akan dapat memberikan ketenangan kepada keluarganya. Sementara itu, Ki Wastu yang sedang pergi bersama cucu laki-lakinya, terkejut juga ketika ia kembali dan menemukan tamu-tamunya di pendapa. Dengan gembira ia menemui mereka yang sudah duduk di pendapa dan membawanya cucunya bersamanya. Putera Pangeran Kuda Padmadata itu sudah mengenal tamu-tamunya,. terutama Mahisa Bungalan. Karena itu, maka iapun segera menjadi akrab dan tidak segan-segan untuk ikut serta berceritera. Ki Wastupun mengangguk-angguk pula ketika Pangeran Kuda Padmadatapun kemudian memberitahukan kepadanya, apa yang telah terjadi dengan Ki Dukut Pakering. Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara berat ia bergumam "Orang itu adalah musuh bebuyutan kakang Kasang Jati. Ternyata ia justru terbunuh di tangan Ki Mahisa Agni""Aku hanya lantaran untuk menutup segala tingkah lakunya. Tetapi ia menyesali segala perbuatannya di saat- saat yang paling menentukan"

   Jawab Mahisa Agni.

   "Sukurlah"

   Desis Ki Wastu "mudah-mudahan ia masih mendapat jalan"

   Dalam pada itu, maka Pangeran Kuda Padmadatapun telah mempersilahkan tamu-tamunya untuk tinggal beberapa hari.

   Namun agaknya Mahisa Bungalan telah menjadi lain.

   Ia tiba-tiba saja ingin segera pulang ke rumahnya.

   Ia rasa-rasanya bukan lagi seorang petualang yang berada di segala tempat pada segala waktu tanpa teringat untuk pulang.

   Meskipun demikian, mereka telah bermalam pula di istana Pangeran Kuda Padmadata untuk semalam.

   Ken Padmi yang mendapat tempat sebuah ruangan yang luas dan dihiasi dengan perkakas yang lengkap serta tirai kain halus dan mengkilap, justru menjadi tidak dapat tidur nyenyak.

   Rasa-rasanya ia tidak berada di dunianya.

   Namun karena lelah dan letih, akhirnya Ken Padmipun telah tertidur juga di atas pembaringan kayu berukir dan disungging dengan warna-warna cerah.

   Ternyata Ken Padmipun tidak dapat menghindarkan diri dari mimpi yang indah tentang sebuah dunia yang sangat asing baginya.

   Bunga-bunga yang besar dan berbau harum semerbak memenuhi taman.

   Ketika ayam jantan berkokok menjelang fajar, Ken Padmi terbangun.

   Ia masih mencium harumnya bau sedap malam yang sudah menjadi semakin susut menjelang dini hari.

   Pagi-pagi sekali tamu-tamu di istana Pangeran Kuda Padmadata itupun sudah terbangun.

   Mereka segeramembersihkan diri dan berbenah.

   Mereka sudah mengatakan kepada Pangeran Kuda Padmadata, bahwa mereka akan kembali ke Singasari.

   Pangeran Kuda Padmadata tidak dapat menahan mereka terlalu lama di Kediri.

   Dengan mengucap terima kasih, maka Pangeran itu telah melepas mereka.

   "Meskipun kita tidak perlu lagi berburu kejahatan bersama-sama, tetapi aku harap kalian masih akan sering datang mengunjungi kami"

   Minta Pangeran Kuda Padmadata.

   "Terima kasih"

   Jawab Mahisa Agni "kami akan selalu datang pada saat-saat mendatang"

   Demikianlah, maka iring-iringan kecil itupun telah meninggalkan Kediri.

   Mereka menuju ke Singasari dan langsung jnenuju ke rumah Ki Mahendra.

   Perjalanan ke Singasari memang cukup panjang.

   Mereka akan sampai setelah malam.

   Namun mereka adalah petualang-petualang, yang sudah terlalu sering berada di tempat terbuka.

   Namun di antara mereka ternyata terdapat Ken Padmi yang tidak mempunyai kebiasaan seperti ketiga orang yang bersamanya.

   Karena itu, maka setiap kali, merekapun harus beristirahat dan berhenti.

   Namun hal itu penting juga bagi kuda mereka yang lelah.

   Sekali-sekali mereka berhenti di pinggir sebuah sungai yang jernih.

   Mereka memberi kesempatan kuda mereka makan rerumputan segar, sementara mereka sendiri dapat mencuci kaki mereka dalam arus yang jernih itu.

   Tetapi kadang-kadang merekapun berhenti di warung- warung.

   Meskipun mereka juga memberi kesempatan kepada kuda-kuda mereka untuk makan rerumputan,namun yang penting adalah bagi para penunggangnya sendiri.

   Dalam pada itu, maka menjelang kota raja, mereka telah melalui sebuah hutan yang tidak terlalu lebat.

   Hutan yang merupakan daerah perburuan bagi para bangsawan.

   Meskipun ada beberapa orang yang lebih senang berburu di hutan yang lebat dan pepat, yang jarang disentuh kaki manusia, namun ada juga yang lebih senang berburu di hutan yang memang menjadi tempat yang disiapkan untuk perburuan itu.

   Dengan demikian maka perburuan itu tidak terlalu berbahaya, sebagaimana jika mereka berada di hutan yang lebat dan pepat.

   Tetapi hutan itu sama sekali tidak menarik.

   Mahisa Bungalanlah yang seolah-olah menjadi sangat tergesa-gesa.

   Namun ia mempunyai alasan yang dapat disampaikan kepada paman-pamannya.

   "Jika kita cepat sampai, maka Ken Padmi akan cepat dapat beristirahat"

   Berkata Mahisa Bungalan. Namun Witantra menjawab "Tetapi jangan kau paksa ia sekarang menjadi sangat letih dalam perjalanan. Sekali- sekali ia memang memerlukan beristirahat. Ketahanannya memang agak berbeda dengan kita yang selalu bertualang"

   Mahisa Bungalan hanya dapat mengangguk-angguk. Tetapi ia masih saja nampak tergesa-gesa betapapun ia berusaha menahan diri"

   Namun dalam pada itu, Ken Padmi sendiri memang merasa sangat letih.

   Untunglah, meskipun Ken Padmi bukan seorang yang terbiasa bertualang, namun ia sudah membiasakan diri berlatih olah kanuragan.

   Latihan-latihan yang berat, telah membantunya mengatasi kelelahamMeskipun demikian, ia memang memerlukan waktu- waktu untuk beristirahat.

   Sehingga karena itu, maka Mahisa Bungalan tidak dapat memaksanya.

   Sekali-sekali Ken Padmi ingin berteduh di bawah sebatang pohon yang rindang, ketika wajahnya menjadi merah terbakar teriknya matahari.

   Bahkan sekali-sekali Ken Padmi ingin meneguk air kelapa yang bergayutan di pelepahnya.

   Ketika langit mulai dibayangi warna merah, mereka telah berada di antara hutan yang tidak terlalu pepat.

   Mereka bersepakat untuk melanjutkan perjalanan mereka melintasi hutan itu.

   Bagi Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan, perjalanan itu sama sekali bukannya sesuatu yang asing.

   Apalagi hutan yang mereka lalui adalah hutan yang terlalu sering di sentuh oleh orang-orang yang memiliki kegemaran berburu, tetapi tidak berani memasuki hutan yang lebat dan pepat, yang justru masih menyimpan binatang-binatang buas yang tidak terhitung jumlahnya.

   Namun bagi Ken Padmi, perjalanan itu terasa sangat berat.

   Sekali-sekali mereka harus merunduk karena pepohonan yang berdaun lebat bergayutan rendah.

   Namun sekali-sekali terdapat sebatang pohon tua yang patah dan melintang di tengah jalan.

   Justru karena itu, maka Mahisa Agni dan Witantra telah berpendapat bahwa sebaiknya mereka menghentikan perjalanan mereka dan menunggu sampai fajar di esok hari.

   Ken Padmi sendiri sependapat.

   Meskipun ia tidak pernah bertualang, tetapi ia merasa lebih baik berhenti daripada melakukan perjalanan yang sangat berat di malam hari."Kita akan mencari tempat yang paling baik"

   Berkata Mahisa Bungalan.

   Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan sendiri mengenal tempat itu dengan baik.

   Karena itu, maka merekapun mengetahui bahwa tidak terlalu jauh dari tempat itu, terdapat sebatang pohon yang besar dan sebuah mata air dibawahnya.

   "Kita akan berhenti di tempat yang tidak terlalu jauh dari air itu"

   Berkata Mahisa Agni.

   "Ada tempat yang barangkali cukup baik di dekat mata air itu"

   Desis Mahisa Bungalan.

   Perlahan-lahan merekapun maju terus, mendekati mata air.

   Ternyata, bahwa tidak terlalu jauh dari sebatang pohon yang besar, berdaun lebat yang bagaikan bukit hitam di gelapnya malam, terdapat beberapa langkah tempat terbuka yang dapat mereka pergunakan untuk berhenti.

   "Tempat ini cukup baik"

   Berkata Mahisa Agni.

   "Ya. Dan tidak terlalu dekat dengan jalan yang menghubungi daerah ini dengan kota raja"

   Sahut Witantra. Namun dalam pada itu, terasa kekhawatiran Ken Padmi terhadap binatang merayap yang tidak dapat dilihatnya. Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun bertanya kepada kedua pamannya "Apakah kita diperkenankan menyalakan api?"

   Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Asal kita cukup berhati-hati. Api yang tidak terkendali akan dapat menimbulkan ancaman bagi hutan ini"

   Dengan demikian, maka Mahisa Bungalanpun kemudian membuat sebuah perapian di tengah-tengah tempat terbukayang tidak terlalu luas itu.

   Namun ia harus membatasi agar api tidak menjilat dan membakar hutan itu.

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ken Padmi duduk ditepi perapian sambil memeluk lututnya.

   Jika sekali-sekali ia melayangkan pandangannya, maka terasa juga kengerian melihat pohon-pohon raksasa disekitarnya.

   Ia terbiasa hidup disebuah padepokan kecil yang juga di penuhi oleh pepohonan.

   Tetapi pohon buah- buahan yang tidak terlalu rapat dan tumbuh di atas kebun yang selalu dibersihkan.

   Namun hutan itu rasa-rasanya menyesakkan nafasnya.

   Mahisa Agni dan Witantra duduk beberapa langkah dari Keri Padmi, sementara Mahisa Bungalan yang gelisah, berada dihadapan gadis itu, berseberangan perapian.

   Meskipun demikian, baik Mahisa Bungalan maupun Ken Padmi hanya duduk sambil berdiam diri.

   Mahisa Agnilah yang kemudian berbicara dari tempatnya memecah keheningan "Jika kau letih, beristirahatlah Ken Padmi.

   Mungkin kau tidak terbiasa tidur di tempat seperti ini.

   Tetapi mungkin kau sekali sekali pernah juga tidur sambil memeluk lutut seperti itu"

   Ken Padmi berpaling. Ia mencoba untuk tersenyum sambil menjawab "Satu pengalaman baru bagiku paman"

   "Bagus. Jika kau anggap hal ini sebagai satu pengalaman, maka kau tidak akan menganggapnya sebagai satu siksaan"

   Sahut Witantra. Ken Padmi tidak menjawab lagi, meskipun ia masih saja tersenyum. Namun dengan demikian Mahisa Bungalan mendapat kesempatan untuk ikut berbicara "Apakah kau memerlukan tempat untuk berbaring?"

   Ken Padmi termangu-mangu. Tetapi setelah ia meman dang berkeliling, yang terdapat hanya rerumputan keringdan reruntuhan dedaunan, maka iapun menggeleng "Tidak. Aku dapat tidur sambil duduk seperti ini"

   "Baiklah"

   Sahut Mahisa Bungalan "cobalah untuk tidur. Aku akan berjaga-jaga bersama kedua paman itu"

   Ken Padmi mengangguk.

   Namun ia tidak segera berusaha untuk memejamkan matanya.

   Meskipun ia meletakkan dagunya pada lututnya, tetapi matanya masih tetap memandangi api yang menyala.

   Namun dalam pada itu, keempat orang yang sedang beristirahat itu terkejut ketika mereka mendengar desir langkah beberapa orang mendekati.

   Hampir diluar sadarnya, Mahisa Bungalanpun telah bangkit berdiri dan bersiap menghadapi kemungkinan- kemungkinan yang dapat terjadi.

   Ternyata kemudian Ken Padmi, Mahisa Agni dan Witantrapun telah bangkit pula ketika suara langkah itu semakin dekat.

   Ketika gerumbul perdu terkuak, maka mereka melihat beberapa orang muncul dari balik dedaunan yang gelap.

   Cahaya perapian yang menjangkau wajah-wajah itu membayangkan cahaya kemerahan yang samar.

   Namun salah seorang dari orang-orang yang datang itu tiba-tiba telah berdesis "Paman Mahisa Agni dan paman Witantra"

   Mahisa Agni dan Witantra menarik nafas dalam-dalam. Yang datang itu adalah seorang Pangeran di Singasari yang menurut kelengkapan yang dibawanya, agaknya Pangeran itu sedang berburu.

   "Pangeran Wirapaksi"

   Desis Mahisa Agni."Ya paman. Agaknya paman juga sedang berburu?"

   Jawab Pangeran itu. Mahisa Agni menggeleng. Jawabnya "Tidak Pangeran. Kami dalam perjalanan kembali ke Singasari. Kami baru saja mengunjungi saudara kami di Kediri"

   Pangeran Wirapaksi memandang Mahisa Bungalan sejenak. Kemudian katanya "Kau juga baru kembali bersama paman Mahisa Agni, Mahisa Bungalan?"

   "Ya Pangeran"

   Jawab Mahisa Bungalan "aku sedang mengikuti paman Mahisa Agni dan paman Witantra. Apakah Pangeran sedang berburu?"

   "Ya. Aku mengantar adimas Pangeran Indrasunu dari Kediri. Adimas Pangeran yang sedang berada di Singasari ingin berburu di malam hari. Karena itu, kami telah mengantarnya"

   Jawab Pangeran Wirapaksi.

   "O, jadi diantara iring-iringan ini terdapat seorang Pangeran dari Kediri?"

   Bertanya Mahisa Agni. Belum lagi Pangeran Wirapaksi menjawab, seorang yang masih berusia muda maju selangkah. Melihat sikap yang tengadah, maka Mahisa Agni dapat meraba sifat dan watak Pangeran yang masih muda itu.

   "Siapakah mereka itu kakangmas?"

   Bertanya anak muda itu.

   "Mereka adalah para Senopati di Singasari. Tetapi yang seorang ini, agaknya sudah mendapat tempat pula dilingkungan keprajuritan meskipun belum secara resmi diterima sebagai prajurit"

   Jawab Pangeran Wirapaksi, yang kemudian memperkenalkan Pangeran itu "Pangeran Indrasunu adalah adik iparku.

   Ia adalah saudara muda isteriku yang aku ambil dari lingkungan para bangsawan diKediri, yang sebenarnya masih juga bertalian darah dengan keluargaku"

   Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya "Selamat datang di Singasari Pangeran"

   Pangeran yang masih muda itu tidak mengacuhkannya. Bahkan seolah-olah tidak mendengarnya. Yang dipandanginya kemudian adalah Ken Padmi yang berdiri di sebelah perapian.

   "Siapakah anak itu?"

   Tiba-tiba Pangeran itu bertanya "nampaknya seperti seorang perempuan, tetapi ia mengenakan pakaian yang aneh"

   "Ia adalah kemenakanku Pangeran"

   Jawab Mahisa Agni "ia memang seorang gadis. Tetapi karena perjalanan kami berkuda, maka ia terpaksa mengenakan pakaian seorang laki-laki"

   Jawab Mahisa Agni.

   "Kenapa berkuda?"

   Bertanya Pangeran Indrasunu.

   "Perjalanan yang, paling memungkinkan kami tempuh. Jika kami berjalan kaki, maka kami akan memerlukan waktu yang terlalu lama"

   Jawab Mahisa Agni. Pangeran Indrasunu itu mengangguk-angguk. Namun tatapan matanya kemudian seolah-olah tidak lepas dari Ken Padmi. yang wajahnya menjadi kemerah-merahan oleh cahaya api.

   "Jadi kalian bukan pemburu di sini?"

   Tiba-tiba saja Pangeran Indrasunu bertanya.

   "Bukan Pangeran"

   Jawab Mahisa Agni "kami hanya singgah sebentar"

   "Kenapa kalian tidak meneruskan perjalanan saja"

   Berkata Pangeran Wirapaksi "bukankah Singasari tidak- terlalu jauh lagi?""Kami sudah terlalu letih Pangeran"

   Jawab Mahisa Agni "agaknya kami lebih senang untuk beristirahat barang sebentar. Besok menjelang dini hari, kami akan berangkat lagi"

   "Baiklah"

   Berkata Pangeran Wirapaksi "kami akan pergi ke belik itu. Mungkin ada seekor binatang buas yang ingin minum di malam hari"

   "Silahkan Pangeran"

   Jawab Mahisa Agni "mudah- mudahan Pangeran berhasil. Tetapi agaknya hutan ini sudah menjadi semakin rindang, sehingga binatang tidak lagi banyak tinggal di sini, tetapi mereka telah berpindah ke hutan sebelah yang masih lebat dan pepat"

   Pangeran Wirapaksi tersenyum.

   Sekilas ia berpaling kepada Pangeran yang masih muda itu sambil berdesis "Berburu di hutan rimba memerlukan pengalaman yang cukup.

   Mungkin aku dapat melakukannya.

   Agaknya hutan rimba di sebelah memang dapat memberikan kegembiraan tersendiri betapapun gawatnya.

   Tetapi adimas Indrasunu masih memerlukan waktu untuk melakukannya"

   "Akupun dapat melakukannya"

   Sahut Pangeran yang masih muda itu "tetapi tidak hanya satu dua malam. Sementara ini aku tidak mempunyai banyak waktu"

   Pangeran Wirapaksi mengangguk-angguk "Ya. Adimas benar"

   Pangeran Indrasunu tidak segera menyahut. Tetapi kembali tatapan matanya tertuju kepada gadis yang berpakaian seperti laki-laki. dan berdiri di sebelah perapian itu. Tiba-tiba saja ia bertanya "Siapa namanya?"

   Mahisa Agni terkejut. Tergagap ia menjawab "Namanya Ken Padmi""Nama yang manis"

   Desis Pangeran Indrasunu. Pujian itu benar-benar tidak menyenangkan hati Mahisa Bungalan. Namun ia masih tetap berdiam diri.

   "Jadi kalian akan pergi ke Singasari?"

   Bertanya Indrasunu kemudian.

   "Ya Pangeran. Tetapi kami akan singgah di rumah saudara kami yang tidak berada di Kota Raja meskipun tidak terlalu jauh letaknya. Baru kemudian kami akan kembali ke barak kami masing-masing. Sementara Mahisa Bungalanpun akan mulai memasuki lingkungan keprajuritan"

   "Ia akan melalui pendadaran jika ia ingin menjadi seorang prajurit"

   Sahut Indrasunu. Lalu "He, apa kau kira, karena kalian adalah Senopati prajurit, begitu saja dengan mudah dapat membawa kemanakan, anak atau tetangga- tetangga dekat memasuki tugas keprajuritan?"

   "Tentu tidak Pangeran. Tentu anak itupun akan melalui pendadaran"

   Jawab Mahisa Agni "dan pendadaran itu memang sudah disiapkan. Bukan oleh kami berdua, tetapi oleh orang lain yang bertugas"

   Pangeran Indrasunu mengangguk-angguk. Namun ia- pun kemudian bertanya "Tetapi kenapa kalian tidak mengenakan tanda-tanda keprajuritan sekarang ini"

   "Perjalanan kami adalah perjalanan keluarga"

   Jawab Mahisa Agni.

   "Tetapi apa salahnya kalian tetap mengenakan pakaian keprajuritan"

   Bantah Pangeran yang masih muda itu.

   "Mereka memiliki ketentuan khusus"

   Sahut Pangeran Wirapaksi "bagi keduanya ketentuan tidak terlalu mengikat.

   Selain karena tugas-tugas khusus yang sering merekalakukan, juga karena mereka telah cukup tua sehingga seolah-olah kepada mereka Maharaja di Singasari memberikan banyak kebebasan untuk berbuat sesuai dengan keinginan hati mereka"

   "Ah tentu tidak"

   Sahut Pangeran Indrasunu "ketentuan keprajuritan berlaku bagi siapa saja yang masih disebut prajurit. Kecuali jika ia sudah mengundurkan diri"

   Dalam pada itu, Witantralah yang menyahut "Kami sudah mengundurkan diri. Tetapi kami kadang-kadang masih menerima tugas tertentu"

   Pangeran Indrasunu mengerutkan keningnya. Namun kemudian berkata "Ah, segalanya itu bukan urusanku. Aku akan berburu malam ini. He, bukankah nama perempuan itu Ken Padmi?"

   "Ya Pangeran"

   Jawab Mahisa Agni. Pangeran Indrasunu tidak menjawab lagi. Iapun kemudian berkisar dari tempatnya dan berkata kepada Pangeran Wirapaksi "Marilah. Kita melanjutkan perburuan ini"

   Pangeran Wirapaksipuri kemudian melangkah surut sambil minta diri kepada Mahisa Agni, Witantra, Mahisa Bungalan dan gadis yang tidak dikenalnya sebelumnya.

   "Aku akan melanjutkan perburuan ini"

   Berkata Pangeran Wirapaksi.

   "Silahkan Pangeran"

   Jawab Mahisa Agni "mudah- mudahan Pangeran berhasil"

   Pangeran Wirapaksi tertawa.

   Ia sendiri sudah mengerti, bahwa berburu di hutan yang sudah menjadi semakin jarang itu, tidak akan banyak memberikan hasil.

   Namun Pangeran Wirapaksi juga tidak dapat membawa Pangeranmuda itu berburu di hutan rimba yang masih pepat dan liar meskipun Pangeran Wirapaksi sendiri sering melakukannya dengan para pengawalnya.

   Dalam pada itu, sepeninggal pemburu itu, Mahisa Bungalan berdesis "Apakah paman pernah melihat Pangeran muda itu sebelumnya?"

   Mahisa Agni dan Witantra menggeleng.

   "Belum"

   Jawab Mahisa Agni "nampaknya ia seorang Pangeran yang manja"

   "Mungkin. Sikapnya kurang wajar dan memberikan kesan yang kurang baik"

   Desis Mahisa Bungalan.

   Mahisa Agni dan Witantra tidak menyahut.

   Mereka mengerti bahwa Mahisa Bungalan tentu tidak senang melihat sikap Pangeran yang beberapa kali bertanya tentang Ken Padmi itu.

   Karena itu, maka kedua orang tua itupun telah kembali ketempatnya.

   Sambil duduk Mahisa Agni berkata"Kita akan beristirahat"

   "Jika kau sempat, tidurlah Ken Padmi"

   Berkata Witantra "kau tentu letih. Besok, sebelum dini hari, kita akan melanjutkanper jalanan"

   "Aku akan mencoba tidur sambil duduk saja paman"

   Jawab Ken Padmi.

   "Jika demikian, beringsutlah sedikit. Jangan menghadap ke perapian"

   Berkata Witantra selanjutnya.

   Ken Padmipun kemudian beringsut.

   Tetapi ia tidak terlalu jauh dari perapian.

   Setiap kali ia selalu melihat rerumputan disekelilingnya.

   Nampaknya ia selalu mencemaskan bila binatang melata mengganggunya.

   KenPadmi mengerti, gigitan ular dapat berakibat jauh lebih gawat dari patukan senjata.

   Namun ia merasa heran, bahwa Witantra, Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan sama sekali tidak menghiraukannya, seandainya seekor ular merambat dikakinya dan mematuk tumitnya.

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Namun oleh kelelahan, Ken Padmi dapat juga tidur sambil duduk dengan meletakkan kepalanya dilututnya.

   Namun setiap kali ia terbangun apabila tubuhnya mulai condong ke samping.

   Namun dalam pada itu, ternyata istirahat yang dilakukan oleh Ken Padmi dengan caranya itu, dapat juga sekedar mengurangi keletihannya.

   Ketika menjelang dini hari mereka bersiap-siap, maka tubuhnya telah menjadi sedikit segar.

   Apalagi ketika kemudian ia telah mencuci muka dan tangannya di belil sebelah.

   "Semalam Pangeran itu tentu menunggui belik ini"

   Berkata Mahisa Agni.

   "Tetapi agaknya tidak ada seekor binatangpun yang mendekat, sehingga mereka beringsut semakin ke tengah. Mungkin mereka menemukan seekor kijang atau seekor rusa"

   Desis Witantra.

   "Jika mereka gagal dengan cara ini, mungkin Pangeran muda itu akan membawa sepasukan prajurit"

   Sahut Mahisa Agni.

   "Binatang yang tersisa akan dikeroyak dengan sepasukan berkuda. Mereka akan menggiring binatang yang ada di hutan ini ke satu tujuan"

   Desis Witantra. Orang-orang yang sedang berburu itu tinggal menunggu. Mereka akan melemparkan anak panah dan lembingkepada binatang-binatang yang sedang melarikan diri"

   Sahut Mahisa Bungalan.

   "Tidak selalu Mahisa Bungalan"

   Jawab Mahisa Agni "kadang-kadang, ada juga pemburu-pemburu yang ikut mengejar binatang buruan itu dan memanahnya dari atas punggung kuda"

   Mahisa Bungalan tidak menjawab.

   Iapun kemudian membenahi dirinya sebagaimana dilakukan oleh Ken Padmi.

   Sejenak kemudian merekapun telah bersiap untuk melakukan perjalanan.

   Sebelum matahari terbit, mereka berempat telah meninggalkan perapian yang telah dipadamkan sehingga sisa-sisa apinya tidak akan berbahaya lagi bagi hutan itu.

   Perlahan-lahan mereka menuju keluar hutan dan turun ke jalan.

   Sejenak kemudian, maka kuda-kuda merekapun telan berlari menuju ke Singasari.

   Sebenarnyalah seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni dan Witantra, mereka tidak langsung menuju ke kota raja.

   Tetapi mereka akan singgah di rumah Mahendra, untuk menitipkan Ken Padmi di rumah itu.

   Ken Padmi merasa gelisah juga ketika ia menjadi semakin dekat dengan rumah yang dituju.

   Ia merasa seolah- olah ia telah merendahkan dirinya mengikuti seorang laki- laki yang belum mempunyai ikatan apapun juga.

   Namun ia selalu berusaha untuk menenangkan hatinya bahwa kepergiannya itu sepenuhnya disetujui oleh orang tuanya, sehingga ia akan dapat membagi tanggung jawab jika ada orang lain yang membicarakannya.

   Ketika matahari terbit, terasa perjalanan itu semakin segar.

   Embun yang bergayutan didedaunanpun mulai susut dan akhirnya lenyap sama sekali.Ternyata bahwa tujuan mereka memang sudah tidak terlalu jauh lagi.

   Mereka menempuh jalan samping, sehingga mereka sama sekali tidak memasuki kota raja.

   Namun dari jalan yang mereka lalui mereka dapat melihat gerbang kota yang megah.

   Ketika matahari mulai terasa menggatali kulit, maka iring-iringan itupun memasuki sebuah padukuhan yang besar.

   Mereka menyelusuri jalan padukuhan, menuju ke sebuah rumah yang berhalaman cukup luas.

   Kedatangan iring-iringan itu telah mengejutkan seisi rumah.

   Mahendra yang kebetulan tidak sedang bepergian, telah dengan tergopoh-gopoh menyambut mereka.

   Namun iapun terkejut ketika ia melihat seorang perempuan ikut pula bersama Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan.

   "Aku akan menjelaskannya nanti"

   Berkata Mahisa Agni.

   Mahendrapun kemudian mempersilahkan tamunya naik.

   Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun telah ikut menyambut pula.

   Setelah duduk sejenak, serta setelah hidangan di suguhkan, maka mulailah Mahisa Agni menceriterakan segala sesuatunya yang telah terjadi dalam perjalanan mereka.

   Mahisa Agni telah menceriterakan tentang peristiwa yang terjadi di padepokan Kenanga.

   Selengkapnya.

   Mahendra menarik natas dalam-dalam.

   Kemudian katanya "Jadi Ki Dukut Pakering yang diburu dengan sia- sia itu akhirnya telah datang menyerahkan diri"

   "Demikianlah yang telah terjadi"

   Jawab Mahisa Agni.Namun kemudian sambil mengangguk-angguk Mahendra berkata "Dan gadis ini adalah Ken Padmi, dari padepokan Kenanga.

   Ken Padmi menundukkan kepalanya.

   Yang bertanya itu adalah Mahendra, ayah Mahisa Bungalan.

   Karena itu, rasa- rasanya wajahnya menjadi panas.

   "Baiklah"

   Berkata Mahendra "aku terima kau di rumah ini .seperti anakku sendiri. Kau akan mempunyai dua orang adik yang nakal. Tetapi aku kira ia akan dapat membantumu"

   Ken Padmi hanya dapat menunduk saja.

   Rasa-rasanya ia berada di dunia yang masih sangat asing.

   Namun agaknya sikap orang-orang di rumah itu akan cukup baik terhadapnya.

   Demikianlah, maka Ken Padmi mulai dengan satu kehidupan baru.

   Apa yang berlaku di rumah Mahendra agak berbeda dengan apa yang berlaku di rumahnya, di padepokan kecil yang jauh dari kota raja itu.

   Namun sebagaimana yang telah dilakukannya, mengikuti orang-orang yang masih belum mempunyai ikatan tertentu itu, maka ia telah berusaha untuk menyesuaikan dirinya.

   Sebenarnyalah, ia kemudian menganggap Mahisa Pukat dan Mahisa Murti sebagai adik-adiknya.

   Tetapi seperti yang dikatakan oleh Mahendra, kedua anak itu memang agak nakal.

   Tetapi keduanya tidak pernah mengganggunya dengan sungguh-sungguh.

   Bahkan semakin lama, hubungan merekapun menjadi semakin akrab.

   Namun dalam pada itu, Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan tidak dapat tinggal terlalu lama.

   Mereka harus menghadap dan menyatakan diri, bahwa merekatelah kembali.

   Sehingga karena itu, maka setelah berada di rumah dua tiga hari, Mahisa Bungalanpun bersiap-siap untuk pergi ke Kota Raja.

   Dengan demikian, maka Ken Padmipun harus ditinggalkannya di rumahnya.

   Ia tidak akan dapat mengajaknya ke Kota Raja dalam keadaan yang belum menentu itu.

   "Tentu ia akan tinggal di sini"

   Berkata Mahendra "setelah kau selesai mengurus dirimu sendiri dalam hubungannya dengan rencanamu untuk memasuki tugas keprajuritan, maka kau harus segera kembali untuk menyelesaikan hubungan dengan Ken Padmi.

   Kita masjh harus pergi ke padepokan Kenanga untuk mengurus segala- galanya.

   Baru kemudian kau akan dapat membawanya ke Kota Raja"

   Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.

   Iapun sadar bahwa persoalannya dengan Ken Padmi masih memerlukan waktu dan penyelesaian.

   Namun seperti yang dikatakan oleh avahnva.

   ia akan menyelesaikan persoalannya lebih dahulu.

   Dan hal itupun telah dikatakannya pula kepada Ken Padmi.

   Dengan demikian, maka setelah segala persiapan selesai, maka Mahisa Bungalanpun telah mengikuti Mahisa Agni dan Witantra ke Kota Raja.

   Mereka akan menghadap Maharaja Singasari untuk melepaskan hasil perjalanan mereka terakhir dan kematian seseorang yang menamakan dirinya Ki Dukut Pakering, yang pernah menjadi guru dalam olah kanuragan dari Pangeran Kuda Padmadata di Kediri.

   Namun dalam pada itu, telah terjadi yang sama sekali tidak diduga-duga.

   Sepeninggal Mahisa Bungalan, maka telah datang ke rumah Mahendra sebuah iring-iringan kecil.Diantara mereka terdapat seorang Pangeran muda dari Kediri yang bernama Pangeran Indrasunu.

   Dengan tergopoh-gopoh Mahendra telah menerima iring-iringan itu.

   Tidak ada orang yang telah dikenalnya di antara mereka yang ada di dalam iring-iringan itu.

   Namun menilik pakaian yang dikenakan, maka mereka adalah para bangsawan dan pengiringnya.

   "Aku mengetahui tempat ini atas petunjuk Pangeran Wirapaksi"

   Berkata Pangeran Indrasunu.

   "O"

   Mahendra mengangguk-angguk. Jawabnya "Pangeran Wirapaksi memang sudah mengenal tempat ini"

   Mahendra kemudian mempersilahkan tamu-tamunya untuk duduk di pendapa.

   "Tentu kau terkejut, kenapa tiba-tiba saja aku datang kemari"

   Berkata Pangeran Indrasunu.

   "Ya. Aku menjadi sangat terkejut, karena aku belum mengenal tamu-tamuku"

   Sahut Mahendra.

   "Aku Pangeran Indrasunu dari Kediri"

   Jawab Pangeran yang masih muda itu.

   "O"

   Mahendra mengangguk-angguk "jadi Pangeran berasal dari Kediri"

   "Ya. Dan kakak perempuanku adalah isteri Pangeran Wirapaksi"

   Berkata Pangeran Indrasunu pula. Mahendra mengangguk-angguk. Katanya "Jadi Pangeran ini adalah adik ipar Pangeran Wirapaksi"

   "Ya. Bukankah kau sudah mengenal kakangmas Wirapaksi?"

   Bertanya Pangeran Indrasunu.

   "Tentu. Tentu aku sudah mengenalnya"

   Jawab Mahendra."Baiklah. Dan kau tentu tahu, bahwa Pangeran Wirapaksi adalah seorang bangsawan yang berpengaruh di Singasari"

   Berkata Pangeran muda itu pula.

   Mehendra mengerutkan keningnya.

   Ia tidak tahu maksud Pangeran itu.

   Tetapi ia tidak membantahnya.

   Pangeran Wirapaksi memang seorang yang berpengaruh.

   Ia seorang -Senopati yang baik diantara Senopati-senopati yang lain dari kalangan para bangsawan.

   Umurnya masih tergolong muda, tetapi ia memang lebih tua dari Pangeran Indrasunu.

   Sebenarnyalah Pangeran Wirapaksipun mempunyai darah Kediri meskipun ia juga berdarah Singasari.

   Sejenak Pangeran Indrasunu terdiam.

   Namun kemudian ia berkata "Ki Mahendra, apakah benar bahwa Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan berada di rumah ini?"

   Mahendra menjadi semakin heran mendengar pertanyaan itu. Namun iapun menjawab "Ya Pangeran. Mereka memang berada di sini. Tetapi mereka baru saja kembali ke Kota Raja. Mereka sudah terlalu lama meninggalkan kewajiban mereka"

   "Jadi mereka telah pergi ke Kota Raja?"

   Pangeran Indrasunu terkejut"kapan mereka berangkat?"

   "Hari ini"

   Jawab Mahendra "jika Pangeran mengambil jalan yang juga dilalui oleh mereka, tentu Pangeran akan berpapasan"

   "Tetapi aku tidak bertemu dengan mereka"

   Desis Pangeran itu.

   "Apakah Pangeran mempunyai keperluan dengan mereka?"

   Bertanya Mahendra. Pangeran Indrasunu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan suara sendat ia berkata "Ki Mahendra.Aku hanya ingin bertanya, apakah mereka kembali ke rumah ini bersama seorang gadis kemenakan Ki Mahisa Agni"

   Wajah Mehendra menegang sejenak. Namun kemudian ia menjawab dengan hati-hati "Ya Pangeran. Mereka memang kembali dengan seorang gadis kemenakan kakang Mahisa Agni, yang juga kemenakanku"

   "O"

   Pangeran Indrasunu mengangguk-angguk.

   Sejenak ia termangu-mangu.

   Namun kemudian ia berkata "dari manakah sebenarnya gadis itu? Aku bertemu dengan gadis itu di hutan perburuan, menjelang gadis itu datang ke rumah ini.

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Aku saat itu sedang berburu.

   Sementara gadis itu sedang beristirahat bersama Ki Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan sambil menghangatkan diri di depan perapian"

   Mahendra tidak segera menjawab.

   Ia mencoba mencari sasaran dan arah pertanyaan Pangeran Indrasunu itu.

   Untuk sesaat Pangeran Indrasunu terdiam.

   Dipandanginya wajah Mahendra yang memancarkan pertanyaan itu.

   Namun kemudian Pangeran yang masih muda itupun bertanya pula "Apakah gadis itu ada di rumah sekarang?"

   Mahendra benar-benar menjadi bingung. Tetapi ia menjawab sebagaimana adanya "Ya Pangeran. Gadis itu ada di rumah"

   "Apakah ia tidak turut ke Kota Raja"

   Bertanya Pangeran muda itu.

   "Tidak. Ia berada di rumah, karena perjalanan ke Kota Raja bukannya satu tamasya"

   Jawab Mahendra."Baiklah. Jika demikian aku akan berterus terang kepadamu Ki Mahendra, karena gadis itu sebagaimana pengakuanmu, adalah kemenakan Mahisa Agni dan itu berarti kemanakanmu juga"

   Pangeran Indrasunu itupun berhenti sejenak, lalu katanya pula "karena itu, aku dapat mengatakannya kepada Mahisa Agni, tetapi aku dapat juga mengatakannya kepadamu"

   Mahendra menjadi semakin berdebar-debar.

   Sementara itu Pangeran yang masih muda itu berkata, selanjutmu "Ki Mahendra.

   Aku baru melihat sekilas gadis itu.

   Teiapi aku merasa tertarik kepadanya.

   Sekarang aku datang untuk melihat, apakah aku benar-benar memang tertarik.

   Jika aku benar-benar tertarik kepadanya, aku akan membawanya ke Kediri"

   Jantung Mahendra bagaikan dihentak oleh sebongkah batu padas.

   Ditahankannya gejolak perasaan itu di dadanya.

   Namun bagaimanapun juga, nampak pada wajahnya betapa ia menahan diri.

   Tetapi Pangeran yang masih muda itu menangkap kesan itu lain.

   Ia tahu bahwa Mahendra terkejut mendengar keterangannya.

   Namun ia menganggap bahwa kemudian Mahendra itu merasa dirinya sangat beruntung, karena kemanakannya akan diambil oleh seorang Pangeran.

   Karena itu maka katanya "Ki Mahendra.

   Aku baru akan melihatnya.

   Jika aku tertarik seperti sentuhan perasaanku pada malam itu, aku baru akan mengambilnya.

   Jika ternyata aku tidak tertarik, kau jangan menjadi kecewa karenanya"

   Dada Mahendra bagaikan menjadi pecah karenanya.

   Namun bagaimanapun juga ia berusaha untuk menahan diri.

   Pangeran itu adalah Pangeran dari Kediri yang kedatangannya di Singasari merupakan tamu seorang bangsawan Singasari yang masih berdarah Kediri pula.Namun yang merasa dirinya sudah menjadi bagian dari Singasari dalam keseluruhan.

   Baru setelah gejolak di dadanya itu mereda, Mahendra menjawab "Pangeran.

   Sebenarnyalah kemanakanku itu masih terlalu kanak-kanak untuk mempersoalkan hubungan dengan seorang laki-laki.

   Aku merasa berbahagia sekali karena Pangeran telah berkenan untuk datang dan merasa tertarik kepadanya, meskipun mungkin hal itu tidak akan berkelanjutan.

   Tetapi aku mohon maaf, bahwa aku kira kemanakanku itu masih memerlukan waktu untuk mengerti perasaan seorang laki-laki"

   Pangeran Indrasunu mengerutkan keningnya.

   Ia agak heran mendengar jawaban Mahendra, yang dikiranya akan menerima permintaannya itu dengan gembira sekali.

   Namun ternyata Pangeran yang masih muda itu kemudian menganggap bahwa Mahendra hanya sekedar berbasa basi saja.

   Karena itu maka katanya "Jangan berbelit-belit Ki Mahendra.

   Sebaiknya kau panggil kemanakanmu dan aku akan menilainya sekali lagi.

   Mungkin aku memerlukannya dan aku akan membawanya ke Kediri.

   Bahkan mungkin aku akan dapat mengambilnya sebagai isteri yang sebenarnya, karena ternyata ada juga seorang Pangeran di Kediri yang mempunyai seorang isteri gadis pedesan"

   Mahendra masih saja menahan diri. Tetapi ia berkata di dalam hati "Jika anak ini tidak segera pergi, mungkin aku akan kehilangan kesabaran"

   Tetapi sementara itu Pangeran itu masih berkata "Ki Mehendra, jika kau pernah mendengar nama Pangeran Kuda Padmadata dari Kediri, maka kau akan mengetahui bahwa gadis padepokan yang dibawanya ke istananya itu ternyata dapat juga berusaha menyesuaikan diri.

   Karenaitu, jika kemanakanmu itu memang mempunyai keberuntung an yang baik, mungkin ia akan dapat aku angkat menjadi isteriku yang sebenarnya"

   Mahendra menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia ingin melepaskan segala kesal didalam hatinya bersama dengan pelepasan nafasnya yang panjang.

   Katanya kemudian dengan hati-hati "Aku mohon maaf sekali lagi Pangeran.

   Aku harap Pangeran mempertimbangkan masak-masak bersama Pangeran Wirapaksi.

   Mungkin Pangeran Wirapaksi akan dapat memberikan beberapa pendapat tentang hal ini kepada Pangeran"

   "Kenapa aku harus minta pendapatnya?"

   Bertanya Pangeran Indrasunu "aku sudah dewasa.

   Aku sudah dapat membuat pertimbangan-pertimbangan tersendiri.

   Karena itu, aku kira aku tidak perlu mendapat nasehat dari orang lain.

   Sebenarnyalah aku juga telah mengatakannya bahwa aku akan datang kemari.

   Yang menunjukkan rumah ini kepadaku juga Pangeran Wirapaksi meskipun ia tidak tahu pasti maksud kedatanganku.

   Tetapi ia tentu dapat menduga-duga karenanya"

   "Meskipun demikian, aku mohon Pangeran mempertimbangkannya sekali lagi. Sebaiknya Pangeran memang berbicara dengan Pangeran Wirapaksi, apakah yang sebaiknya Pangeran lakukan. Segalanya bagi kebaikan segala pihak, agar tidak ada yang menyesal di kemudian hari"

   Berkata Mahendra sambil menahan dadanya yang akan meledak.

   Tetapi Pangeran itu tertawa, katanya "Karena itu aku ingin bertemu sekali lagi dengan kemanakanmu itu agar aku tidak kecewa dan menyesal.

   He, apakah aku perlu menemuiorang tuanya jika ternyata aku menyukainya dan akan membawanya ke Kediri?"

   Mahendra hampir saja kehabisan akal dan bertindak kasar terhadap Pangeran dari Kediri itu.

   Namun dengan susah payah ia berusaha mengekang diri.

   Jika ia bertindak, langkah Pangeran Indrasunu masih belum jelas.

   Mungkin Pangeran itu tidak benar-benar akan membawa Ken Padmi setelah Pangeran itu melihatnya sekali lagi.

   Karena itu, maka Mahendra akhirnya mengambil keputusan untuk mempertemukannya sekali lagi dengan Ken Padmi.

   Namun demikian ia berpesan "Pangeran.

   Aku akan memanggil gadis itu.

   Ia akan membawa hidangan kemari.

   Tetapi Pangeran jangan memberikan keputusan dihadapan gadis itu.

   Biarlah ia berlalu tanpa mengetahui maksud kehadiran Pangeran.

   Baru kemudian Pangeran mengatakannya segala sesuatunya kepadaku.

   Apakah Pangeran bersedia?"

   Sejenak Pangeran Indrasunu itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia berkata "Baiklah. Tetapi aku tidak biasa dibatasi dengan ketentuan-ketentuan seperti itu"

   "Mungkin Pangeran tidak terbiasa. Tetapi hal ini penting sekali bagiku"

   Sahut Mahendra. Pangeran Indrasunu tidak menolak lagi. Sementara ia menunggu dengan para pengawalnya, maka Mahendra pun pergi ke belakang untuk menemui Ken Padmi agar gadis itu menyuguhkan hidangan kepada tamu-tamunya.

   "Minuman panas dan makanan apa saja yang ada"

   Desis Mehendra.

   Ken Padmi sama sekali tidak memikirkan maksud- maksud lain dari tamu-tamunya.

   Karena itu, makaia samasekali tidak membenahi dirinya.

   Pakaiannya dan bahkan ia sama sekali tidak menyeka keringat di wajahnya.

   Justru Mahendra dengan sengaja membiarkannya, agar ada kesan yang sederhana bahkan agak kotor atas gadis yang bernama Ken Padmi itu.

   Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun sama sekali tidak menyangka bahwa tamu-tamunya itu mempunyai kepentingan tertentu terhadap Ken Padmi, yang mereka ketahui, seorang gadis yang mempunyai ikatan khusus dengan kakak mereka, Mahisa Bungalan.

   Sebenarnyalah, sejenak kemudian Ken Padmi telah menghidangkan minuman dan makanan kepada tamu- tamunya.

   Namun gadis itu terkejut ketika ia melihat bahwa tamu itu adalah Pangeran yang dijumpainya di hutan perburuan.

   Meskipun demikian Ken Padmi berusaha untuk tidak memberikan kesan apapun juga.

   Ia meletakkan hidangannya dihadapan para tamunya.

   Kemudian iapun beringsut surut.

   Sejenak Ken Padmi bergeser menjauh, namun iapun segera meninggalkan pendapa.

   Dalam pada itu, Pangeran Indrasunu sengaja memperhatikan gadis itu baik-baik.

   Memang ada kesan bahwa gadis itu sangat sederhana dan bahkan agak kotor.

   Karena itu, maka kesan yang didapatkannya jauh berbeda dengan isteri Pangeran Kuda Padmadata.

   Perempuan yang kemudian menjadi isteri Pangeran Kuda Padmadata itupun seorang perempuan padepokan.

   Namun ketika ia bertemu, maka perempuan itu sama sekali tidak lagi dapat dibedakan dengan perempuan-perempuan berdarah bangsawan.

   Baik cara berpakaian, cara berbicara dan sikapnya dalam keseluruhan.Sedangkan perempuan yang dihadapinya itu benar-benar seorang perempuan yang sederhana dan sikapnyapun masih dapat dilihat jelas, sikap seorang gadis padepokan.

   Namun ketika Pangeran Indrasunu memandang wajah gadis itu, maka darahnya tersirap.

   Gadis yang sederhana itu adalah gadis yang sangat cantik.

   Justru keringat di kening dan wajah yang kemerah-merahan, membuat gadis itu seolah-olah semakin cantik.

   Karena itu, maka ketika gadis itu telah meninggalkan pendapa, Pangeran Indrasunu menarik nafas dalam-dalam.

   Dipandanginya Mahendra sejenak.

   Kemudian katanya "Ki Mahendra.

   Ternyata kemanakanmu memang seorang gadis yang cantik.

   Aku benar-benar tertarik kepadanya.

   Karena itu, maka aku beritahukan kepadamu bahwa kemanakanmu itu aku kehendaki dan akan aku bawa ke Kediri.

   Kau dapat mengucap sukur atas karunia yang kau terima karena satu diantara keluargamu telah dikehendaki oleh seorang Pangeran dari Kediri, meskipun untuk sementara ia akan menjadi isteri peminggir.

   Tetapi jika ia berhasil menyesuaikan diri, maka ada kemungkinan ia akan menjadi isteriku yang sebenarnya"

   Betapa panasnya telinga Mahendra mendengar kata-kata Pangeran yang masih muda itu.

   Hampir saja ia berteriak mengusirnya.

   Namun sekali lagi ia berusaha untuk menahan dirinya.

   Dengan tersendat-sendat ia berkata "Pangeran.

   Aku berterima kasih atas perhatian Pangeran terhadap kemanakanku itu.

   Tetapi sudah barang tentu bahwa aku tidak akan dapat menyerahkannya segera.

   Meskipun ia kemanakanku, tetapi yang membawanya kemari bukannya aku, tetapi kakang Mahisa Agni dan Witantra.

   Karena itu, maka segala sesuatunya tergantung sekali kepada keduanya.

   Jika kedua sependapat, maka akupun tidak akan dapatmencegahnya.

   Sebaliknya jika keduanya berkeberatan, maka aku tidak akan dapat memaksanya.

   Wajah Pangeran Indrasunu menjadi merah padam.

   Dengan suara lantang ia berkata "Ki Mahendra.

   Apakah kau sadar, dengan siapa kau berhadapan?"

   "Aku sadar sepenuhnya Pangeran"

   Jawab Mahendra.

   "Aku bukan saja seorang Pangeran terpenting di Kediri. Tetapi aku adalah adik ipar Pangeran Wirapaksi dari Singasari"

   Geram Pangeran itu.

   "Aku mengerti sepenuhnya Pangeran"

   Jawab Mahendra "

   
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Akupun mengenal Pangeran Wirapaksi sebaik-baiknya"

   "Nah, jika demikian, kenapa kau masih ngelantur untuk menunggu Mahisa Agni dan Witantra?"

   Bertanya Pangeran itu.

   Jantung Mahendra benar-benar bagaikan membara.

   Dipandanginya Pangeran Indrasunu yang masih muda itu.

   Meskipun demikian Mahendra masih menahan diri dan berkata "Pangeran.

   Justru aku mengenal Pangeran Wirapaksi dengan baik, maka aku telah bertindak sesuai dengan cara yang paling baik bagi segala pihak.

   Pangeran Wirapaksi bukan seseorang yang akan memaksakan kehendaknya terhadap orang lain"

   Pangeran Indrasunu menegang sejenak. Katanya "Kau jangan memutar balikkan keteranganmu. Bagaimana pun juga aku mempunyai hak untuk mengambil kemanakanmu itu"

   "Kau bukan orang Singasari"

   Bantah Mahendra yang hampir kehabisan kesabaran "hak apa yang dapat kau sebut untuk memaksakan kehendakmu itu.

   Pangeran, kembalilah.

   Laporkan semuanya ini kepada Pangeran Wirapaksi.

   Maka kaulah yang akan mendapat nasehatnya, bahwa sebenarnyakau telah bersalah.

   Tidak seorangpun bangsawan Singasari yang akan bertindak sekasar Pangeran"

   Wajah Pangeran Indrasunu menjadi merah padam. Dengan garang ia berkata "Mahendra. Kau tahu betapa besarnya kekuasaanku di Kediri"

   "Berapapun besarnya kekuasaanmu di Kediri, maka kekuasaan itu tidak akan dapat melimpah sampai ke Singasari. Apalagi Kediri termasuk daerah Singasari pula"

   Jawab Mehendra.

   Kemarahan Pangeran Indrasunu tidak dapat dibendung lagi.

   Dengan demikian maka iapun telah memberikan isyarat kepada para pengawalnya.

   Sehingga dalam pada itu, seorang pengawal yang bertubuh tinggi, tegap berdada bidang telah melangkah maju sambil berkata "Sudahlah Ki Mahendra.

   Jangan memaksa aku untuk bertindak.

   Lakukan apa yang dikehendaki oleh Pangeran Indrasunu.

   Kau tidak akan mempunyai kesempatan lagi.

   Seandainya hal ini kau anggap salah dan kau laporkan kepada para penguasa di Singasari, maka Pangeran Wirapaksi akan dapat mencegah segala tindakan yang akan diambil oleh para penguasa di Singasari"

   "Kalian salah mengerti tentang Singasari"

   Berkata Mahendra "di Singasari para penguasa berusaha untuk bertindak adil. Bahkan Pangeran Wirapaksipun akan berusaha untuk bertindak adil"

   Tetapi orang bertubuh tinggi, tegap dan berdada bidang itu berkata mantap "Mungkin aku memang tidak banyak mengetahuinya. Tetapi serahkan saja gadis itu. Dan kau akan luput dari tindak kekerasan"

   "Ki Sanak"

   Berkata Mahendra "kaupun salah hitung atas kami.

   Kekerasan adalah warna hidupku sejak aku muda.

   Aku adalah salah seorang, hamba di Singasari yang dikenalsebagai seorang petualang yang dalam pengembaraan selalu dibayangi oleh tindakan kekerasan.

   Tetapi sudah tentu bahwa tidak semua kekerasan dapat dibenarkan.

   Dalam persoalan ini aku mohon agar kalian tidak mempergunakan kekerasan.

   Aku mohon sekali lagi, agar kalian menghubungi Pangeran Wirapaksi lebih dulu, sementara aku menunggu kakang Mahisa Agni dan Witantra"

   "Aku tidak pernah bekerja dengan lamban"

   Jawab orang bertubuh raksasa itu "aku adalah pengawal Pangeran Indrasunu yang hanya tunduk kepada perintah Pangeran Indrasunu"

   "O"

   Mahendra mengangguk-angguk "kau memang aneh Ki Sanak. Tetapi baiklah. Jika Pangeran Indrasunu memaksa, maka aku akan mempertahankannya, Aku bertanggung jawab atas keselamatan kemanakanku itu. Karena itu, maka akupun akan mempertahankannya"

   "Kau mencari perkara Ki Sanak"

   Berkata orang bertubuh raksasa itu "

   Kau hanya seorang diri. Kau lihat, kami datang bersama beberapa orang"

   "Kau boleh membawanya jika kau sudah tidak melihatnya lagi Ki Sanak"

   Berkata Mahendra "karena itu, maka aku tidak peduli berapa orang yang datang ke halaman rumahku"

   Wajah orang itu menegang. Tiba-tiba saja ia berpaling kepada Pangeran Indrasunu. Dengan suara ragu ia berkata "Tetapi sudah tentu bahwa kami tidak akan melakukan pembunuhan di tlatah Singasari atau orang Singasari"

   "Lakukan perintahku"

   Bentak Pangeran Indrasunu "tetapi sebaiknya jangan kau bunuh orang itu.

   Lumpuhkan saja.

   Biarlah ia menyaksikan betapa kemanakannya merasa bahagia karena ia dikehendaki oleh seorang Pangeran"Orang bertubuh raksasa itu mengangguk sambil menjawab "Baiklah Pangeran.

   Aku akan melumpuhkannya.

   Mungkin ia akan cacat seumur hidupnya.

   Tetapi ia akan merasa bahagia kelak, jika kemanakannya itu datang menengoknya dan membawa oleh-oleh yang terlalu baik baginya"

   Mahendra tidak menyahut. Namun kemudian orang bertubuh tinggi tegap itu bertanya "Apakah kau akan melawan aku?"

   Mahendra menjawab "Ya. Aku akan mempertahankan hakku diatas tanahku"

   "Baiklah. Aku mohon Ki Sanak turun ke halaman"

   Berkata orang bertubuh raksasa itu. Mahendra tidak menunggu lagi. Ia benar-benar telah kehilangan kesabaran. Karena itu, maka iapun segera bangkit dan melangkah turun ke halaman tanpa menghiraukan tamunya"

   Orang-orang Kediri itu memang merasa heran melihat sikap Mahendra yang terlalu yakin akan dirinya.

   Namun dalam pada itu merekapun segera mengikutinya turun ke halaman pula.

   Di halaman Mahendra berdiri tegak sambil berkata "Marilah.

   Apa yang kalian kehendaki? Memukuli aku sampai pingsan atau membuat tubuhku cacat? Tentu satu tantangan bagi Singasari.

   Kakang Mahisa Agni dan Witantra adalah prajurit-prajurit Singasari.

   Aku menjadi cacat karena aku mempertahankan kemanakan yang mereka bawa kepadaku"

   Orang bertubuh raksasa itu mengkerutkan keningnya.

   Namun Pangeran Indrasunu berkata "Jangan kau harapkan bahwa Senopati Singasari itu akan dapat menuntut apapunjuga karena sikap sekarang ini.

   Kakangmas Wirapaksi akan dapat bertindak atas mereka.

   Bahkan saudara-saudaramu itu akan dapat dilepas dari jabatannya"

   "Demikian mudahnya?"

   Bertanya Mahendra.

   "Apakah kesulitannya? Kakangmas Wirapaksi mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk berbuat demikian"

   Jawab Pangeran Indrasunu.

   "Jika demikian, aku akan menentangnya sekaligus. Bukan hanya karena Pangeran Indrasunu akan mengambil kemanakanku, tetapi juga karena Pangeran Wirapaksi akan mengganggu kedudukan saudara-saudaraku"

   Sikap Mahendra memang sangat menjengkelkan Pangeran yang masih muda itu sehingga iapun kemudian hampir berteriak "He, kau menunggu apa lagi"

   Orang bertubuh raksasa itu memang menjadi ragu-ragu. Tetapi ketika Pangeran Indrasunu membentaknya, maka iapun segera mempersiapkan diri. Katanya "Nah kau dengar, bahwa Pangeran Indrasunu telah memerintahkan kepadaku untuk segera bertindak"

   "Lakukanlah, apa yang harus kau lakukan"

   Sahut Mahendra. Orang bertubuh raksasa itupun kemudian beringsut maju. Namun ia masih berusaha untuk memperingatkan Mahendra. Katanya "Ki Sanak, apakah kau benar-benar tidak dapat mengambil jalan lain?"

   "Aku tidak mempunyai jalan apapun yang dapat aku pergunakan untuk mempertahankan kemanakanku itu"

   Jawab Mahendra. Namun dalam pada itu Pangeran Indrasunu telah membentak sekali lagi "Cepat. Jangan menunggu akukehabisan kesabaran, sehingga aku sendiri yang akan bertindak"

   Orang bertubuh raksasa itu menarik nafas dalam-dalam.

   Tetapi ia sudah bersiap untuk bertindak.

   Ketika ia melangkah maju, iapun berkata "Nampaknya kau tidak mempunyai kesempatan.

   Sebetulnya aku segan melakukan hal ini.

   Aku lebih senang berhadapan dengan Senopati yang manapun juga, meskipun ia Senopati Singasari"

   "Lakukan tugasmu. Tetapi jika kau mengalami kesulitan, hal itu terpaksa aku lakukan untuk membela diri"

   Jawab Mahendra.

   Orang bertubuh raksasa itu tidak menjawab lagi.

   Ia mulai berkisar, dan tangannyapun mulai bergerak.

   Mahendrapun telah mempersiapkan diri.

   Ia akan menghadapi apapun juga yang terjadi.

   Bahkan seandainya Pangeran Indrasunu dan semua pengawalnya akan turun ke arena" -oo0dw0oo-

   Jilid 24 KERIBUTAN ternyata telah didengar oleh Mahisa Pukat dan Mahisa Murti.

   Karena itu, maka merekapun telah mengintip dari balik seketheng.

   Bahkan Ken Padmipun telah mendengarnya pula.

   Perlahan-lahan ia beringsut mendekat sambil bertanya "Apa yang terjadi?"

   "Ayah akari berkelahi. Meskipun ayah sudah semakin tua, tetapi ia masih saja berkelahi"

   Desis Mahisa Murti.

   "la membela diri"

   Sahut Mahisa Pukat "apakah orang- orang tua harus membiarkan dirinya dipukuli?""Tentu tidak"

   Jawab Mahisa Murti "nampaknya ayahpun tidak mau dipukuli. Baginya lebih baik pukul- pukulan dari pada dipukuli saja"

   "Ssst"

   Ken Padmi berdesis.

   Namun agaknya gadis itu dapat menerka apa yang telah terjadi.

   Ketika sekali ia mendengar namanya disebut oleh Pangeran muda yang masih saja membentak-bentak itu, maka tahulah Ken Padmi, apa yang telah terjadi.

   Dalam pada itu, ternyata Pangeran Indrasunu itupun masih membentak orang bertubuh raksasa itu "Hancurkan orang itu Ia lebih sayang kepada Ken Padmi itu dari pada nyawanya sendiri"

   Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun mulai menduga- duga, apakah sebenarnya yang telah terjadi. Namun mereka sama sekali tidak menyebut apapun juga selain memperhatikan keadaan itu dengan seksama.

   "Jika ada orang lain yang melibatkan diri, akupun akan turun"

   Desis Mahisa Pukat.

   "Tentu"

   Sahut Mahisa Murti "tetapi biarlah kita tunggu apa yang terjadi"

   Ken Padmi sendiri tidak mengatakan sesuatu.

   Namun debar jantungnya serasa menjadi semakin cepat.

   Tiba-tiba saja iapun teringat aoa yang telah terjadi di padepokannya sejak ia meningkat dewasa.

   Dan iapun mulai menilai kepergiannya dari padepokan kecilnya, la meninggalkan padepokannya untuk menghindari kemungkinan- kemungkinan yang buruk yang dapat terjadi atas dirinya.

   Tiba-tiba di tempat inipun telah terjadi pula hal yang serupa.

   Bahkan ia bertanya di dalam hati "Apakah ayah Mahisa Bungalan itu akan mampu bertahan, la sudah melihatkemampuan Mahisa Bungalan sendiri, Mahisa Agni dan Witantra.

   Tetapi bagaimana dengan Mahendra.

   Sejenak kemudian ia melihat, Mahendra mulai bergeser menghindar ketika lawannya yang bertubuh raksasa itu menyerang.

   Namun lawannya itupun telah memburunya, sehingga Mahendra baru berkisar sekali lagi.

   Rasa-rasanya Ken Padmi ingin meloncat turun ke halaman.

   Namun karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih berada di balik seketheng, maka iapun masih fetap berdiri termangu-mangu.

   Dalam pada itu, di halaman talah terjadi pertempuran antara Mehendra melawan orang bertubuh raksasa itu.

   Atas perintah Pangeran Indrasunu seseorang telah menutup pintu regol agar tidak seorangpun dapat masuk.

   Orang bertubuh raksasa itupun kemudian menyerang Mahendra semakin cepat.

   Terasa betapa kekuatannya menghentak-hentak pada ayunan tangan dani kakinya.

   Mahendra ternyata masih saja selalu-menghindar, ia berloncatan mengimbangi kecepatan gerak lawanya.

   Dengan demikian serangan-serangan beruntun dari orang bertubuh raksasa itu sama sekali tidak mengenainya.

   Orang bertubuh raksasa itu bukan orang yang kasar.

   Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sebenarnya ia masih mempunyai beberapa pertimbangan, untuk dengan langsung menghukum lawannya yang menurut pendapatnya memang tidak bersalah.

   Namun setelah serangannya beberapa kali gagal, muka diluar sadarnya ia bergerak semakin cepat pula.

   Tetapi orang bertubuh raksasa itu masih belum mempergunakan kekuatan sepenuh tenaganya.

   Ia masih ingin mengenai lawannya untuk sekedar menjajagi dayatahannya.

   Namun tamyata bahwa Mahendra tidak dapat dikenainya.

   Orang bertubuh raksasa itu mulai menilai lawannya.

   Apalagi ketika beberapa lama mereka berkelahi, ia masih belum menyentuh berhasil lawannya, maka Pangeran Indrasunu mulai berteriak membentak-bentak.

   "Apakah kau tidak mampu melakukannya he?"

   Teriak Pangeran yang masih muda itu.

   Orang bertubuh raksasa itu mulai gelisah.

   Sementara Mahendrapun ternyata dapat mengerti, bahwa orang bertubuh raksasa itu bukan orang yang kasar sebagaimana nampak pada tubuhnya.

   Namun karena bentakan-bentakan Pangeran Indrasunu sajalah maka orang bertubuh raksasa itu menjadi semakin garang, la mulai mengerahkan kemampuannya.

   Dengan demikian maka geraknyapun menjadi semakin cepat dan sambaran angin pada ayunan tangannyapun menjadi semakin deras.

   Karena dengan demikian, maka Mahendra masih belum juga dapat disentuhnya, maka orang bertubuh raksasa itu akhirnya sampai juga ke puncak ilmunya.

   "Bukan niatku mencelakaimu, apalagi membunuhmu KiSanak. Tetapi aku menjalankan perintah Pangeran indrasunu"

   Desis orang itu.

   "Ya. Aku mengerti"

   Jawab Mahendra "meskipun demikian, adalah kewajibanku untuk mempertahankan diriku"

   Orang bertuhuh raksasa itu tidak ingin mendapat penilaian yang buruk dari Pangeran Indrasunu.

   Karena itu, maka dengan segenap kemampuannya lapun menyerang Mahendra semakin lama semakin cepat.

   Akhirnya, orangbertubuh raksasa yang telah sampai ke puncak kemampuannya itu bertempur bagaikan badai.

   Itulah yang ditunggu oleh Mahendra.

   Dengan demikian ia dapat menentukan takaran perlawanannya, kerena sebenarnyalah kemumpuan orang bertubuh raksasa itu, bukannya imbangan ilmunyu.

   Dengan demikian, sebelum ia mendapat gambaran tingkat kemampuun lawannya, Mahendra masih mencari-cari agar ia tidak dengan serta merta mecelakai orang itu.

   Apalagi sebenarnyalah orang bertubuh raksasa itu menurut penilaiannya bukannya seorang yang jahat.

   Yang dilakukannya itu adalah sekedar menjalankan perintah semata-mata.

   Namun sementara itu, orang-orang yang menyaksikan pertempuran itupun menjadi berdebar-debar.

   Mereka melihat bahwa orang bertubuh raksasa itu telah sampai kepuncak ilmunya.

   Pangeran Indrasunupun mengerti, bahwa orang bertubuh raksasa itu telah mengerahkan segenap kemampuannya.

   Karena itu, maka menurut penilaiannya, sebentar lagi maka Mahendrapun akan segera jatuh terkapar di tanah.

   Berdasar atas perhitungan itu, maka tiba-tiba saja Pangeran Indrasunu itu telah menjatuhkan perintah kepada pengawalnya yang lain "Cari gadis itu.

   dan bawa ia kemari"

   Dua orang pengawalpun segera meninggalkan halaman naik ke pendapa.

   Mereka langsung memasuki ruang dalam untuk mencari Ken Padmi yang mereka sangka ada di dalam rumah itu.

   Ken Padmi melihat kedua orang yang naik ke pendapa itu dari balik pintu seketheng.

   Mahaisa Murti dan Mahisa Pukatpun melihat pula.

   Karena itu, maka Mahisa Pukatpun berkata "Biarlah mereka mencarimu kemari Kami berduaakan menyongsong mereka untuk mengucapkan selamat datang"

   Ken Padmi termangu-mangu.

   Tetapi karena ia tidak siap dalam pakaian tempurnya, maka iapun tidak menjawab.

   Sebenarnyalah kedua orang pengawal itu telah memasuki rumah Mahendra sampai ke longkangan dan kemudian ke bagian belakang rumah yang cukup besar itu.

   Mereka memasuki dapur dan ruangan-ruangan yang lain Beberapa orang yang berada di rumah itu menjadi gelisah.

   Namun seorang pelayan laki-laki kemudian berdesis diantara kawan-kawannya di belakang dapur "Ki Mahendra sedang bertempur di halaman"

   Dua orang itu menjelajahi setiap bilik yang ada. Akhirnya mereka turun ke longkangan gandok. Langkah mereka tertegun ketika mereka melihat tiga orang anak-anak muda berada di belakang pintu seketheng. Seorang diantara mereka adalah Ken Padmi.

   "Jangan bersembunyi"

   Geram salah seorang dari kedua pengawal itu.

   Namun jawaban Mahisa Murti telah mengejutkan kedua pengawal itu.

   Katanya "Kami sedang mengintip permainan yang asyik di halaman.

   He, apakah kau juga ingin bermain- main seperti itu? Nampaknya kau dapat menjadi kawan barmain yang baik"

   Kedua pengawal itu menegang. Mereka justru berhenti beberapa langkah dari ketiga anak-anak muda itu. Dalam pada itu, justru Mahisa Murtilah yang melangkah mendekat sambil bertanya "Siapa yang kalian cari?"

   "Aku akan mengambil gadis itu. Pangeran Indrasunu menghendakinya"

   Sahut salah seorang pengawal itu.Mahisa Murti tertawa pendek. Katanya "Jangan ganggu kakakku, ia belum lama berada di rumah ini"

   "Minggir anak bengal"

   Bentak pengawal yang iain "biarkan aku menjalankan tugasku"

   "Jangan tergesa-gesa"

   Jawab Mahisa Murti "kalian harus mendengarkan keteranganku. Gadis itu adalah kakakku. Aku berdua tentu bertanggung jawab atasnya.

   "Karena itu, jangan kau lakukan perintah Pangeran Indrasunu itu. Kembalilah dan katakan bahwa Ken Padmi tidak mau keluar dari persembunyiannya"

   "Anak iblis"

   Bentak pengawal itu "aku tidak punya waktu untuk menyaksikan kau melucu seperti itu"

   "Aku tidak melucu. Sama sekali tidak. Aku berkata sebenarnya. Karena itu, pergilah. Jangan menunggu aku mengusirmu dengan kekerasan"

   Wajah kedua pengawal itu menjadi merah membara. Karena itu salah seorang diantara keduanya maju sambil membentak "Cukup. Aku hanya memerlukan Ken Padmi yang dikehendaki Pangeran Indrasunu"

   "He, mudah sekali menurut dugaanmu. Dikehendaki oleh siapapun, tetapi kalau orang yang berkepentingan tidak mau, kau tidak dapat memaksa"

   Bentak Mahisa Pukat yang tidak sabar. Kedua pengawal itupun menjadi, semakin marah. Yang seorang membentak pula "Belum tentu kalau gadis itu tidak mau. Yang kami perlukan bukan kau"

   "Jika ia mau, ia tidak akan bersembunyi"

   Sahut Mahisa Pukat "ia tentu sudah berlari turun ke halaman dan memeluk kaki Pangeran itu, Tetapi ia tidak berbuat demikian""Persetan"

   Kedua pengawal itu sudah kehabisan kesabaran, selangkah mereka maju sambil bersiap menghadapi segala kemungkinan, sementara salah seorang dari keduanya berkata "Marilah Ken Padmi, jangan kau korbankan orang-orang di sekitarmu.

   Jika kau mendengar perintah Pangeran Indrasunu, maka saudara-saudaramu akan selamat semuanya"

   Ken Padmi memandang kedua pengawal itu. Iapun sebenarnya ingin menyelesaikan persoalan itu langsung dengan kedua pengawal itu. Namun agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun sudah siap pula"

   "Keduanya adalah adik Mahisa Buiigalnfi"

   Berkata Ken Padmi di dalam-hatinya "tentu keduanyapun memiliki ilmu yang cukup. Bahkan mungkin jauh lebih baik dari aku sendiri"

   Karena itu, maka Ken Padmipun tidak beringsut dari tempatnya.

   Dibiarkannya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyelesaikannya.

   Sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

   Karena jtu, maka keduanyapun melangkah mendekat.

   Sementara Mahisa Pukat akhirnya kehilangan kesabaran dan berkata "Sebaiknya kalian kembali kepada Pangeran itu.

   Katakan, Ken Padmi tidak mau datang kepadanya"

   "Persetan"

   Geram salah seorang pengawal "tutup mulutmu atau aku robek sampai ketelinga"

   "Jangan hanya berbicara saja. Lakukan jika kalian mampu"

   Geram Mahisa Murti.

   Ternyata pengawal yang seorang itupun tidak dapat menahan diri lagi.

   Tiba-tiba saja ia telah meloncat menerkam dengan garangnya.Tetapi Mahisa Murti sempat mengelak.

   Bahkan ketika pengawal itu menggenggam senjata di tangan, Mahisa Murtipun telah menarik pisau belati panjangnya.

   Dalam pada itu Mahisa Pukatpun telah bersiap pula.

   Seperti Mahisa Murti ia memegang sebuah belati panjang.

   Sementara itu lawannya mempergunakan sebilah pedang.

   Namun demikian, ketika mereka kemudian terlibat Dalam pertempuran, pisau belati panjang di tangan kedua anak muda itu mampu mengimbangi pedang yang lebih besar dan lebih panjang.

   Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun telah bertempur pula.

   Agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sengaja ingin bertempur terpisah, sehingga keduanyapun telah bergeser saling menjauhi.

   Dalam pada itu, agaknya Mahendra dapat mengetahui apa yang terjadi.

   Sambil bertempur ia dapat mendengar meskipun tidak jelas, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah terlibat dalam perselisihan dengan pengawal Pangeran itu.

   Dan Mahendrapun sudah dapat menerka bahwa mereka tentu akan bertempur.

   Ketika benturan-benturan senjata kemudian terjadi, maka kedua pengawal itu telah menjadi berdebar-debar.

   Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa kedua anak- anak muda itu mempunyai kekuatan yang cukup besar dan kecepatan bergerak yang mendebarkan.

   Justru karena itu, maka kedua pengawal itupun menjadi semakin mengerahkan segenap kemampuannya.

   Pedang merekapun berputaran semakin cepat.

   Namun dalam pada itu, kedua pengawal itu semakin jelas melihat kenyataan, bahwa kedua anak muda itu memiliki ilmu yang cukup tinggi.Dalam pada itu, di halaman Mahendra bertempur dengan sengitnya pula.

   Bukan karena ilmu keduanya seimbang, tetapi Mahendra sengaja sekedar mengimbangi tingkat kemampuan lawannya, sehingga dengan demikian seolah-olah kedua orang itu memiliki kemampuan setingkat.

   Pangeran Indrasunu menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran.

   Pangeran muda itupun melihat, seolah-olah kemampuan Mahendra dengan orang yang bertubuh raksasa itu memang seimbang.

   Pangeran muda itu sama sekali tidak menyangka, bahwa sebenarnya Mahendra hanya sekedar mengimbangi kemampuan lawannya saja.

   Apalagi Mahendra mengetahui bahwa sebenarnya lawannya bukan orang yang terlalu jahat.

   Orang itu sudah mencoba menghindari pertengkaran.

   Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk mengelakkannya.

   Sehingga karena itu, maka ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali bertempur.

   Mahendrapun sadar, jika orang bertubuh raksasa itu dapat dikalahkannya, maka ia tentu akan menerima hukuman.

   


Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Pedang Inti Es Karya Okt

Cari Blog Ini