Panasnya Bunga Mekar 3
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja Bagian 3
Panasnya Bunga Mekar Karya dari SH Mintardja
Dengan ragu-ragu Mahisa Bungalanpun pergi ke pakiwan.
Untuk menghangatkan badannya, maka iapun kemudian pergi ke sumur untuk menimba air, mengisi tempayan di pakiwan.
Beberapa saat lamanya ia menarik senggot turun dan melepaskannya naik.
Kemudian menuang air di dalam upih ke dalam tempayan di pakiwan.
Namun tiba-tiba saja ia menjadi berdebar-debar ketika ia melihat dalam keremangan dini hari, seorang gadis pergi mendekatinya.
Namun tiba-tiba saja langkah gadis itu terhenti.
Wajahnya menegang sejenak ketika ia menyadaribahwa yang sedang menimba air itu adalah Mahisa Bungalan.
"O"
Terdengar gadis itu berdesah "aku kira, aku kira kakang Gemak Werdi atau paman Makerti atau anak-anak padepokan ini"
Mahisa Bungalanpun menjadi bingung sesaat. Namun kemudian ia memaksa diri untuk menjawab "Apakah ada bedanya? Aku terbiasa melakukannya pula di rumahku. Juga selama aku berada di banjar padukuhan di Watan"
"Tetapi, tetapi disini banyak anak-anak padepokan yang dapat melakukannya"
Desis Ken Padrni.
"Ah"
Sahut Mahisa Bungalan "tidak ada bedanya. Biarlah aku mengisi jambangan di pakiwan itu. Apakah kau akan mandi?"
Ken Padrni menundukkan kepalanya.
Ia merasa bingung, apakah yang sebaiknya dilakukan, sehingga karena itu, maka ia berdiri saja sambil menundukkan kepalanya.
Tetapi gadis itu terkejut ketika Mahisa Bungalan melepaskan senggot timba sambil berkata "Jambangan telah penuh.
Silabkan kau mandi lebih dahulu .Aku akan melihat-lihat kebun padepokan ini"
"O"
Ken Padrni masih bingung.
Ia tidak tahu, apakah yang akan dikatakannya.
Namun iapun kemudian melihat Mahisa Bungalan meninggalkan sumur dan berjalan kekebun di belakang padepokan.
Sejenak Ken Padrni masih termangu-mangu.
Namun ia hampir terlonjak ketika ia mendengar suara seseorang "Apakah yang kau renungkan, Ken Padrni?"
"Tidak, tidak apa-apa"
Desisnya gagap.Makerti tersenyum. Sementara Ken Padrni meneruskan "Kau mengejutkan aku, paman Makerti"
"O, sejak kapan kau menjadi demikian mudah, terkejut dan menjadi gagap?"
Bertanya Makerti. Ken Padmi menundukkan wajahnya yang menjadi kemerahan. Sementara Makerti berkata "Jika kau akan mandi, mandilah. Aku akan mengawani Mahisa Bungalan melihat-lihat kebun belakang"
Ken Padmi tidak menjawab.
Tetapi ketika Makerti meninggalkannya, ia memadanginya dari belakang sehingga hilang di balik sudut rumahnya.
Sejenak gadis itu termangu-mangu.
Namun iapun kemudian masuk ke dalam pakiwan untuk mandi.
Betapa sejuknya air di jambangan, yang rasa-rasanya lebih sejuk dari pagi sebelumnya.
Namun dalam pada itu, percakapannya yang pendek dengan Mahisa Bungalan itu rasa-rasanya telah memecahkan batas antara keduanya.
Dengan demikian keduanya merasa telah berkenalan, sehingga keduanya tidak lagi.
merasa canggung untuk menyapa jika mereka berpapasan.
Sikap dan sifat Ken Padmi ternyata telah mengikat Mahisa Bungalan untuk tidak tergesa-gesa meninggalkan padepokan itu.
Bahkan ketika Makerti dan Gemak Werdi minta diri untuk kembali ke rumah masing-masing, Mahisa Bungalan tidak menolak permintaan Ki Selabajra untuk tinggal barang satu dua hari di padepokan itu.
"Kau ragu-ragu meninggalkan padepokan itu Gemak Werdi?"
Bertanya Makerti diperjalanan, beberapa saat setelah mereka memasuki bulak.Gemak Werdi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia menjawab "Tidak paman. Aku tidak ragu- ragu"
Makerti mengangguk-angguk.
Ia melihat sesuatu dalam tatapan mata Gemak Werdi.
Tetapi ia tidak bertanya apapun juga.
Ia yakin bahwa yang tersangkut itu akan hilang karena kesadaran diri Gemak Werdi.
Sebagai seorang yang lebih tua Makerti mengerti, bahwa ada sesuatu perasaan yang menyentuh hati anak muda itu terhadap Ken Padmi di padepokan Kenanga.
Namun agaknya Gemak Werdipun menyadari keadaannya, sehingga ia telah memandang kemungkinan yang luas yang dapat terjadi di padepokan itu.
Sementara itu, Mahisa Bungalan telah mencoba menyesuaikan dirinya dengan kehidupan di padepokan kecil itu.
Semakin lama ia menjadi semakin tidak canggung lagi.
Pagi-pagi ia bangun dan melakukan pekerjaan seperti murid-murid padepokan yang lain.
Bahkan kadang-kadang iapun telah pergi ke sawah pula bersama para cantrik.
Dalam pada itu, batas antara Mahisa Bungalan dengan Ken Padmipun menjadi semakin kabur Meskipun mereka seakan-akan hanya bertemu sekejap dan berbicara sepatah, tetapi pertemuan itupun menjadi semakin sering.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak akan tetap berada di padepokan itu.
Ia sadar, bahwa ia akan meninggalkan padepokan itu pada suatu saat.
Dan iapun mulai memikirkan untuk melanjutkan perjalanannya yang tanpa tujuan, sebelum ia menetap pada waktu ikatan tugas keprajuritan.
Itulah sebabnya, maka betapapun ia kerasan tinggal di padepokan itu, namun iapun mulai menyatakan niatnya untuk meneruskan perjalanan kepada Ki Selabajra."Jangan tergesa-gesa ngger.
Tinggallah barang satu dua bulan disini"
Berkata orang tua itu.
Mahisa Bungalan tersenyum.
Jawabnya "Maaf Kiai.
Aku tidak dapat mengingkari maksud perjalananku sejak aku meninggalkan kampung halamanku.
Aku ingin pergi menjelajahi daerah yang luas untuk mengembangkan pengalamanku sebelum aku mengikat diri pada suatu tugas tertentu"
"Tugas apakah yang angger maksudkan?"
Bertanya Ki Selabajra.
"Apa saja. Bukankah pada suatu saat aku harus mempunyai pegangan hidup tertentu? Tetapi rasa-rasanya bekal hidup ini tidak lengkap tanpa pengenalan lingkungan yang agak luas"
Ki Selabajra mengangguk-angguk.
Ia mengerti, bahwa agaknya demikianlah panggilan hidup Mahisa Bungalan.
Sehingga karena itu, maka sudah barang tentu ia tidak akan dapat menahannya lebih lama lagi.
Namun dalam pada itu, sebagai orang tua ia melihat sesuatu yang menyentuh hati Mahisa Bungalan di padepokan itu.
Tetapi Ki Selabajra tidak berani mengatakannya.
Meskipun diam-diam ia memperhatikan hubungan antara Mahisa Bungalan dan anak gadisnya, tetapi perkenalan mereka masih terlalu singkat, sehingga jika hal itu memang terjadi, maka keduanya tentu baru tersentuh oleh pengenalan lahiriah.
"Pada suatu saat Mahisa Bungalan akan meninggalkan padepokan ini "
Berkata Ki Selabajra di dalam hatinya "sebulan dua bulan ia akan tetap mengingat padepokan ini, dan mungkin juga Ken Padrni.
Tetapi perjalanannya yang semakin jauh dan pengenalannya yang semakin banyak, maka la tentu akan segera melupakannya.
Demikian pulaagaknya dengan Ken Padrni.
Ia melihat sepintas seorang anak muda yang mengagumkan.
Namun jika anak muda itu telah tidak dilihatnya lagi, maka iapun akan melupakannya"
Karena itulah maka Ki Selabajra tidak begitu memperhatikan hubungan antara anak gadisnya dengan Mahisa Bungalan.
Ia menganggap bahwa yang terjadi itu hanyalah sentuhan perasaan sesaat dari seorang anak muda dan seorang gadis padepokan.
Apalagi ketika pada suatu saat, Mahisa Bungalan benar- benar telah minta diri kepadanya.
Ketika mereka berada di dalam sanggar setelah menyaksikan latihan yang berat di malam hari, maka Mahisa Bungalanpun menyampaikan maksudnya, bahwa, di keesokan harinya ia akan melanjutkan perjalanannya.
Ki Selabajra mengangguk-angguk.
Saat yang demikian memang pasti akan datang.
Setelah beberapa kali ia minta agar Mahisa Bungalan menunda keberangkatannya, maka agaknya ia sudah tidak akan dapat mencegah keberangkatan anak muda itu lagi meninggalkan padepokan Kenanga, Demikianlah, ketika fajar menyingsing, maka Mahisa Bungalanpun telah mempersiapkan dirinya.
Betapa segarnya ia mandi di pancuran, di belakang padepokan.
Apalagi Mahisa Bungalan tahu, bahwa sudah menjadi kebiasaan Ken Padrni untuk mandi di dini hari, sehingga ia tidak mau mengganggunya mempergunakan pakiwan, meskipun seakan-akan di luar kehendaknya sendiri, Mahisa Bungalan telah menimba air dan mengisi jambangan pakiwan itu sehingga penuh.Ketika matahari mulai naik ke punggung bukit, maka Mahisa Bungalanpun telah siap.
Sekali lagi minta diri kepada Ki Selabajra untuk meneruskan perjalanan.
"Tolong, sampaikan salamku kepada Makerti dan Gemak Werdi"
Berkata Mahisa Bungalan kemudian. Ki Selabajra mengangguk-angguk. Namun katanya "Aku masih ingin menahan sesaat keberangkatan angger. Aku mempersilahkan angger menunggu makan pagi yang sudah disiapkan"
Agaknya Ken Padmipun telah mengetahui dari ayahnya, bahwa Mahisa Bungalan akan meninggalkan padepokan itu.
Karena itu, ketika ia menghidangkan makan dan minuman panas, setiap kali ia memandang sekilas wajah anak muda itu, seolah-olah ia ingin memahatkan bentuk wajah itu di dalam dinding ingatannya untuk selama- lamanya.
Tetapi sebagai seorang gadis, Ken Padrni tidak dapat berbuat lain.
Betapapun hatinya bergejolak, namun setiap kali ia hanya dapa menundukkan wajahnya dan sekali- sekali mencuri pandang.
Namun apabila kebetulan tatapan mata mereka bertemu, maka wajahnya menjadi merah, dan seolah-olah telinganya tersentuh bara api tempurung.
Namun bagaimanapun juga, tidak seorangpun yang dapat mencegah keberangkatan Mahisa Bungalan.
Bahkan kemudian hampir seisi padepokan telah mengantarkannya sampai ke regol.
Ketika Ki Selabajra sedang berbicara dengan seorang muridnya, maka Ken Padmi berbisik di telinga Mahisa Bungalan yang berjalan di hadapannya "Apakah kau tidak akan kembali ke padepokan ini?"Mahisa Bungalan berpaling.
Di luar sadarnya, tiba-tiba saja Mahisa Bungalan menyahut "Tentu.
Pada suatu saat aku akan kembali ke padepokan ini"
Pembicaraan itu terputus.
Ken Padmipun memperlambat langkahnya, sehingga jaraknya dari Muhisa Bungalan menjadi semakin panjang, karena ayahnya sudah mulai mendekati Mahisa Bungalan lagi.
Namun dalam pada itu, meskipun tidak terucapkan, seolah-olah Ken Padmi telah berkata dengan sepenuh hati "Aku akan menunggu kedatanganmu kembali"
Dalam pada itu ,maka Mahisa Bungalanpun kemudian benar-benar meninggalkan padepokan itu.
Dengan mengucapkan banyak terima kasih iapun kemudian minta diri kepada segenap isi padepokan yang mengantarkanya sampai ke pintu.
Kemudian, betapapun beratnya, namun Mahisa Bungalan telah mengayunkan kakinya meneruskan perjalanannya.
Baru ketika Mahisa Bungalan hilang ditikungan, maka orang-orang padepokan itu melangkah memasuki regol halaman.
Ki Selabajra tidak melepaskan perhatiannya kepada anak gadisnya yang tidak dapat menyembunyikan perasaan kecewanya.
Tetapi seperti yang pernah terbersit di hatinya, bahwa perasaan itu tentu hanya perasaan sesaat.
"Sebentar saja ia akan melupakannya. Demikian juga angger Mahisa Bungalan"
Berkata Ki Selabajra di dalam hatinya.
Sementara itu, diperjalanannya, Mahisa Bungalanpun merasa gelisah.
Seolah ada yang menahannya untuk tetap tinggal di padepokan itu.
Namun Mahisa Bungalanpun menggeretakkan giginya.
Katanya kepada diri sendiri "Akutidak boleh terganggu oleh perasaan yang lemah ini.
Aku harus meneruskan perjalanan yang sudah aku rencanakan sebelumnya"
"Langkah Mahisa Bungalan rasa-rasanya menjadi semakin panjang. Ia ingin segera menjadi semakin jauh dari padepokan yang tidak sengaja telah mempersilahkannya singgah. Beberapa saat kemudian Mahisa Bungalan memaksa dirinya untuk mengalihkan perhatiannya kepada keadaan di sekitarnya. Sawah yang hijau. Air yang tergenang memberikan warna yang segar. Di kejauhan nampak beberapa buah padepokan yang bagaikan beberapa buah pulau yang hijau kehitam-hitaman.
"Daerah ini termasuk daerah yang subur"
Desisnya sambil memandangi beberapa orang yang sibuk bekerja di sawah.
Ketika kemudian matahari melampaui puncak langit, maka terasa lehernya menjadi haus.
Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun kemudian singgah di sebuah halaman rumah di padepokan yang kemudian dilaluinya untuk minta seteguk air.
"Silahkan"
Pemiliknya mempersilahkannya dengan ramah "di sudut padukuhan ini pun telah disediakan jambangan air bagi orang-orang yang kepanasan di perjalanan"
"O"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk "aku mohon maaf"
Ketika Mahisa Bungalan merasa lehernya menjadi segar kembali, maka setelah mengucapkan terima kasih, maka iapun meneruskan perjalanannya.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi di luar padukuhan itu, ketika ia melalui bayangan di bawah sebatang pohonpreh yang rimbun, maka timbullah keinginannya untuk beristirahat sejenak.
Sambil duduk di alas akar yang bagaikan jam raksasa mencengkeram bumi, Mahisa Bungalan bersandar pada batangnya yang besar.
Angin yang sejuk mengusap wajahnya yang kotor oleh debu.
Namun Mahisa Bungalan tidak membiarkan dirinya menjadi mengantuk.
Karena itu, maka iapun berusaha untuk memperhatikan keadaan di sekelilingnya dengan saksama.
Namun dalam pada itu, maka perhatiannya tertarik kepada segumpal debu yang berhamburan.
Ia melihat beberapa ekor kuda menuju ke arahnya.
Karena itulah, maka iapun kemudian bergeser agar tidak menarik perhatian beberapa orang berkuda yang tentu akan lewat dijalan itu pula.
Sejenak kemudian, maka beberapa ekor kuda itupun menjadi semakin dekat.
Ternyata bahwa bukan orang-orang berkuda itulah yang tertarik kepada Mahisa Bungalan, tetapi justru Mahisa Bungalanlah yang tertarik kepada mereka.
Karena itu, meskipun ia duduk bergeser, namun akhirnya ia menjengukkan kepalanya untuk melihat, siapakah orang-orang berkuda itu.
Tiba-tiba saja hatinya menjadi ber-debar-debar.
Diantara mereka terdapat seorang anak muda dengan pakaian yang baik dan terawat.
Bahkan nampaknya ia memang dengan sengaja mengenakan pakaian yang lain dari pakaiannya sehari-hari.
Sementara pengiringnyapun mempergunakan pakaian yang baik-baik pula.
"Nampaknya mereka bukan orang-orang bepergian seperti kebanyakan orang bepergian"
Gumam Mahisa Bungalan di dalam hatinya.Dadanya justru berdesir ketika ia melihat orang-orang berkuda itu disapa oleh seorang petani yang sedang bekerja di sawah.
Tetapi jarak itu sudah agak jauh, sehingga Mahisa Bungalan tidak mendengar dengan jelas apakah yang dikatakan oleh orang-orang berkuda itu.
Namun yang dilihatnya kemudian, kuda-kuda itu sudah berpacu kembali.
"Nampaknya mereka datang dari padukuhan di sekitar tempat ini"
Berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya. Ternyata Mahisa Bungalan tidak dapat menahan perasaan ingin tahunya. Sekali-sekali dipandanginya petani yang sedang bekerja di sawahnya itu.
"Agaknya petani itu mengenal orang-orang berkuda itu"
Desisnya.
Karena Mahisa Bungalan tidak dapat menahan perasaan ingin tahunya, maka iapun kemudian berjalan mendekati petani yang sedang bekerja di sawah itu.
Kedatangannya membuat petani itu heran.
Apalagi ketika Mahisa Bungalan bertanya "Ki Sanak, apakah aku boleh bertanya tentang orang-orang berkuda itu?"
Petani itu mengerut keningnya. Dengan heran ia bertanya pula "Siapakah kau Ki Sanak?"
"Aku adalah seorang perantau yang tidak mempunyai tujuan. Aku lewat jalan ini seperti aku lewat jalan-jalan yang belum pernah aku kenal sebelumnya"
Petani itu meletakkan cangkulnya. Dengan tatapan mata yang tajam ia bertanya "Apakah kepentinganmu dengan orang-orang berkuda itu?"
"Tidak ada kepentingan apa-apa Ki Sanak. Tetapi nampaknya mereka tidak sedang dalam perjalanan biasa"Petani itu nampak menjadi bimbang. Lalu katanya "Kau tidak mempunyai kepentingan apapun juga. Kau tidak mengenal daerah ini, sehingga tidak ada sangkut paut segelugutpun dengan orang-orang berkuda itu, juga dengan aku"
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya.
Ia sudah terlanjur mengatakan keasingannya dengan daerah ini.
Dan ia pun telah menyebut dirinya sebagai seorang perantau.
Dengan demikian maka ia memang tidak mempunyai kepentingan apapun dengan orang-orang berkuda itu.
Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Bungalan ingin menyebut dirinya bukan sebagai orang yang asing sama sekali dengan daerah jni.
Karena itu maka katanya kemudian "Ki Sanak.
Aku memang orang yang asing dengan daerah ini.
Aku memang seorang perantau.
Namun meskipun sedikit sekali ada juga sentuhannya dengan daerah ini, karena aku masih keluarga meskipun agak jauh dengan daerah padepokan Kenanga"
"He?"
Petani itu terbelalak "kau mempunyai hubungan darah dengan Ki Selabajra di padepokan Kenanga?"
"Ya. Apakah Ki Sanak mengenal paman Selabajra?"
"Aku mengenalnya meskipun tidak secara pribadi dan akrab. Tetapi aku pernah bertemu. Tetapi lebih daripada itu, namanya memang sudah dikenal oleh banyak orang. Juga oleh orang-orang dari padukuhan ini"
Petani itu berhenti, lalu "tetapi jika demikian, kau seharusnya mengetahui siapakah orang-orang itu. He, apakah kau sudah terlalu lama tidak berkunjung ke padepokan Kenanga?"
"Aku baru saja dari padepokan Kenanga meskipun hanya beberapa hari. Baru hari ini aku meninggalkanpadepokan itu, karena aku akan meneruskan perantauanku, meskipun paman Selabajra menahanku"
Petani itu termangu-mangu. Kemudian katanya "Aneh Agaknya Ki Selabajra benar-benar tidak ingin mengumumkan hubungannya dengan padepokan Watu Kendeng"
"Aku tidak mengerti"
Desis Mahisa Bungalan.
"Apakah Ki Selabajra tidak pernah menyebut padepokan Watu Kendeng yang terkenal itu?"
"Tidak Ki Sanak"
Petani itu menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Aneh Jika kau datang dari padepokan itu, apalagi hari ini, kau tentu mengetahui serba sedikit tentang orang-orang berkuda itu.
Kecuali jika kedatangan mereka ke padepokan Kenanga memang tidak memberitahukan terlebih dahulu"
"Apakah hubungan mereka dengan padepokan Kenanga?"
"Itulah yang aneh jika keluarga padepokan itu sendiri tidak mengetahui"
Jawab petani itu. Mahisa Bungalan menjadi semakin ingin tahu. Karena itu, maka iapun mendesaknya "Jika kau mengetahui Ki Sanak, apakah salahnya jika kau mengatakannya?"
"Anak muda, rumahku tidak terlalu jauh dari padepokan Watu Kendeng. Karena itu, aku pernah mendengar serba sedikit keinginan keluarga Watu Kendeng untuk menjadi keluarga dari padepokan Kenanga"
Dada Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Sementara petani itu berkata selanjutnya"Apakah kau mengetahui bahwa Padepokan Kenanga mempunyai seorang anak gadis?""Ya. Ken Padmi"
Sahut Mahisa Bungalan.
Petani itu mengangguk-angguk.
Dengan menyebut nama gadis itu, petani itupun menjadi semakin percaya bahwa Mahisa Bungalan memang seorang yang mempunyai hubungan dengan Kenanga.
Maka katanya selanjutnya "Nah, jika kau mengetahui bahwa padepokan Kenanga mempunyai seorang gadis, maka kau tentu dapat menduga, apakah hubungan kedatangan orang orang berkuda dari padepokan Watu Kendeng itu ke padepokan Kenanga"
"Apa maksudmu Ki Sanak?"
"Ah, bukankah sudah jelas? Padepokan Watu Kendeng mempunyai seorang anak muda yang tampan dan memiliki ilmu yang mantap mewarisi seluruh ilmu padepokan Watu Kendeng. Sedangkan padepokan Kenanga mempunyai seorang gadis yang memiliki kelebihan dari gadis kebanyakan, karena gadis padepokan Kenanga mewarisi ilmu yang temurun dari ayahnya"
Tiba-tiba saja dada Mahisa Bungalan menjadi bergejolak.
Keterangan itu membuatnya berdebar-debar, seolah-olah jantungnya berdenyut semalkin cepat.
Namun dengan susah payah ia berusaha untuk melenyapkan kesan itu dari wajahnya.
Meskipun demikian, kata-katanyapun kemudian menjadi gagap "Baik, baiklah Ki Sanak.
Aku minta diri.
Aku mengucapkan terima kasih atas keterangan Ki Sanak"
Petani itupun mengangguk sambil menjawab "Itulah yang aku dengar dari orang-orang padepokan Watu Rendeng.
Aku tidak tabu pasti, apakah yang aku dengar ini benar atau salah"Mahisa Bungalanpun kemudian minta diri.
Dengan langkah yang ragu-ragu ia meneruskan perjalanan.
Namun rasa-rasa-nya hatinya lidak tenang karena ia telah mendengar keterangan petani di sawah itu tentang kedatangan orang-orang Watu Rendeng ke padepokan Kenanga.
Karena itu, beberapa langkah kemudian ia berhenti.
Dari kejauhan ia melihat petani itu bekerja kembali di sawahnya.
"Apakah benar-benar kata-katanya"
Pertanyaan itu selalu mengganggunya. Meskipun ia sudah berusaha menjawab "Benar atau tidak benar, apakah hubungannya dengan perjalananku?. Aku akan meneruskan perjalanan. Yang terjadi di padepokan itu adalah urusan orang-orang padepokan itu sendiri"
Namun bagaimanapun juga ia tidak dapat mengingkari kegelisahannya. Bahkan ketika kemudian ia melihat petani itu beristirahat di gubugnya, ia berkata kepada diri sendiri "Aku akan membuktikan, apakah yang dikatakannya itu benar"
Tetapi Mahisa Bungalan tidak mau dilihat oleh petani itu.
Karena itulah, maka ia telah mencari jalan lain, menuju ke padepokan Kenanga.
Pengalamannya merantau telah membawanya melalui sebuah jalan sempit dan kemudian menelusuri pematang menuju ke sebatang pohon yang dilihatnya dari kejauhan.
Ia mengenal pohon itu tumbuh di pinggir jalan yang dilaluinya dari padepokan Kenanga sehingga jika ia sudah mencapai pohon itu, maka ia akan dapat dengan mudah mengikuti jalan kembali ke padepokan itu.
Meskipun ada kemungkinan petani disawah itu melihatnya dari kejauhan saat-saat ia menelusuri pematang,tetapi agaknya petani itu tidak akan dapat mengenalinya atau karena petani itu tidak akan memperhatikannya lagi.
Langkah Mahisa Bungalan yang gelisah itu semakin lama menjadi semakin cepat.
Ia sadar, bahwa kaki-kaki kuda akan dapat melangkah lebih cepat dari kakinya.
Namun ia berjalan terus menuju ke padepokan Kenanga.
"Aku akan mencapai padepokan itu di malam hari"
Berkata Mahisa Bungalan kepada diri sendiri "tetapi itu lebih baik daripada aku tidak melibat sama sekali, apakah yang akan terjadi di padepokan itu"
Oleh kegelisahannya, Mahisa Bungalan berjalan tanpa berhenti menuju ke padepokan yang baru ditinggalkannya di pagi hari.
Meskipun ia baru sekali melalui jalan ke arah sebaliknya, namun ia mengenal jalan itu dengan baik, sehingga ia tidak akan mudah tersesat.
Sementara itu, beberapa orang berkuda itu benar-benar sekelompok orang dari padepokan Watu Kendeng.
Seperti yang dikatakan oleh petani di tengah sawah, itu, orang- orang Watu Kendeng memang sedang menuju ke padepokan Kenanga.
Tetapi kedatangan mereka memang tildak diberitahukan lebih dahulu kepada Ki Selabajra, sehingga orang-orang padepokan Kenanga tidak mengira bahwa pada hari itu, orang-orang dari padepokan Watu Kendeng akan datang dengan maksud tertentu, bukan sekedar kunjungan dari sebuah padepokan ke padepokan yang lain.
Karena itulah, maka ketika sekelompok orang-orang berkuda itu mendekati regol padepokan Kenanga, maka orang-orang di padepokan itu terkejut karenanya.
Seorang cantrik dengan tergopoh-gopoh menyongsong orang-orang berkuda itu dan bertanya, siapakah mereka."He, apakah kau tidak mengenal kami?"
Orang-orang Watu Kendeng itu justru bertanya. Cantrik itu terheran-heran. Sementara salah seorang Watu Kendeng itu meneruskan "Kami datang dari padepokan Watu Kendeng"
"O"
Cantrik itu meng-angguk "silahkan. Aku akan menyampaikannya kepada Ki Selabajra"
Cantrik itupun kemudian berlari-lari masuk ke ruang dalam mencari Ki Selabajra.
Dengan nafas terengah-engah ia mengatakan bahwa di luar sekelompok tamu dari Watu Kendeng telah datang.
Tetapi Ki Selabajra tersenyum "Aku sudah melihatnya.
Silahkan mereka duduk di pendapa.
Aku akan berganti pakaian sepantasnya untuk menerima mereka"
Cantrik itu kemudian dengan tergesa-gesa mendapatkan sekelompok tamu dari Watu Kendeng itu dan mempersilahkannya naik ke pendapa Sementara itu, beberapa orang murid yang lain telah mengamati tamu mereka dari jarak yang jauh di halaman padepokan.
Namun karena tamu itu nampaknya datang dengan maksud baik, maka merekapun telah kembali ketugas masing-masing.
Sejenak kemudian, maka Ki Selabajrapun keluar dari ruang dalam memasuki pendapa.
Sambil tersenyum cerah, iapun kemudian duduk menemui tamunya yang sudah duduk di atas tikar yang terbentang.
Seperti kebiasaan merekapun memenuhi sapa adat.
Mereka saling mempertanyakan keselamatan masing- masing dan keluarga yang mereka tinggalkan.
Sementara itu Ki Watu Kendeng telah memperkenalkan para pengiringnya.Sementara itu, para cantrikpun kemudian telah mempersiapkan jamuan bagi para tamu yang ada di pendapa.
Setelah mereka menerima jamuan yang dihidangkan, serta setelah mereka minum seteguk dan makan sepotong makanan, maka mulailah mereka memasuki pembicaraan yang sebenarnya.
"Ki Watu Kendeng"
Bertanya Ki Selabajra dari padepokan Kenanga "sebenarnya kedatangan kalian di padepokan ini agak mengejutkan hatiku.
Sukurlah jika kalian hanya sekedar menengok keselamatan kami.
Tetapi jika ada keperluan lain, maka hati kami dari padepokan ini menjadi berdebar-debar karenanya"
Ki Watu Kendeng tersenyum pula. Jawabnya "Kami minta maaf Ki Kenanga, bahwa kedatangan kami agaknya telah merisaukan hati keluarga padepokan ini. Adalah kesalahan kami, bahwa kami tidak memberitahukan terlebih dahulu kedatangan.kami ini"
Ki Selabajra mengangguk-angguk. Katanya "Kunjungan kalian sangat menggembirakan hati kami"
"Terima kasih"
Sahut Ki Watu Kendeng "selebihnya, selain karena kami ingin menengok keselamatan keluarga di padepokan ini, kami ingin melanjutkan pembicaraan yang pernah kita lakukan beberapa saat yang lalu"
Ki Selabajra mengerutkan keningnya. Seolah-olah ia sedang mengingat, pembicaraan yang manakah yang dimaksud oleh Ki Watu Kendeng itu.
"Ki Watu Kendeng"
Desis Ki Selabajra dengan kerut- merut di kening "aku minta maaf, bahwa mungkin sudah menjadi sifat orang-orang tua.
Aku kurang dapat mengingat lagi, pembicaraan yang manakah yang kau maksud itu?"Wajah Ki Watu Kendeng menegang sejenak.
Namun kemudian iapun tersenyum pula sambil menjawab "Mungkin kau benar, bahwa orang-orang tua memang menjadi pelupa.
Mungkin aku juga sudah lupa pula, apakah hal ini pernah kita bicarakan.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi seingatku, aku pernah mengatakannya Ki Selabajra mengangguk-angguk.
jawabnya "Ya, memang mungkin.
Tetapi persoalan yang manakah yang kau maksud?"
Sekali lagi wajah Ki Watu Kendeng menegang.
Namun iapun berusaha dengan susah payah untuk menghapus kesan itu dari wajahnya.
Katanya kemudian "Baiklah Ki Kenanga.
Daripada pembicaraan ini akan berkepanjangan karena kau masih harus mengingat-ingat masalahnya, baiklah aku mengulanginya saja.
Kedatanganku kemari, adalah karena aku didesak oleh anakku.
Ia pernah mendengar bahwa kita telah bersetuju, bahwa pada suatu saat kita akan mempertemukan anak-anak kita dalam hubungan keluarga"
Wajah Ki Selabajra menjadi merah.
Tetapi seperti Ki Watu Kendeng, iapun berusaha untuk melenyapkan kesan itu dari wajahnya.
Bahkan kemudian ia mengangguk- angguk sambil tersenyum.
Katanya "Aku benar-benar sudah menjadi pikun Ki Watu Kendeng.
Rasa-rasanya aku benar-benar orang yang tidak mampu lagi mengingat sesuatu yang pernah terjadi"
Ia berhenti sejenak, lalu "tetapi apakah aku masih diperkankan mohon bertanya, apakah aku memang pernah bersetuju dengan Ki Watu Kendeng mengenai hal yang sangat penting ini"
"Ah"
Rasa-rasanya betapa sulitnya untuk menahan diri "bukankah kita pernah berbicara tentang anak-anak kita.Bukankah kita pernah menyinggung masa depan padepokan kita.
Dan bukankah kira pernah berbincang panjang lebar tentang segala sesuatu yang menyangkut keluarga kita masing-masing.
Jika kau masih belum teringat saat-saat itu, biarlah aku berceritera tentang sebuah pertemuan di padepokan Serut Sari"
Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam.
Sambil mengangguk-angguk ia berkata "Aku minta maaf.
Aku minta maaf sebesar-besarnya.
Sekarang aku ingat segalanya.
Kita pernah bertemu dalam pembicaraan yang menyenangkan di padepokan Serut Sari.
Kita pernah berbicara tentang keluarga kita masing-masing.
Aku ingat, ketika kita berbicara bahwa kita mempunyai anak kita masing-masing.
Kau seorang anak laki-laki dan aku seorang anak perempuan"
"Nah, bukankah kita sudah bersepakat, bahwa kita akan mengikat diri dalam suatu ikatan keluarga yang besar?"bertanya Ki Watu Kendeng "anakku pernah bertemu dengan anakmu meskipun hanya sepintas di perjalanan, saat anakku pergi berburu. Ceriteranya tentang anak gadismu, mengingatkan aku pada pembicaraan kita itu"
Ki Selabajra menanik nafas dalam-dalam.
Kemudian katanya "Ki Watu Kendeng.
Aku tidak ingkar, bahwa aku pernah mengatakan alangkah senangnya untuk mengikat diri dalam satu keluarga.
Tetapi aku tidak bermaksud mengambil suatu keputusan saat itu.
Bukankah anak gadisku yang akan menjalani hubungan yang paling akrab, karena ialah yang akan menerima lamaran anak laki- lakimu.
Karena itu, sebagai orang tua, aku akan mengarahkan perhatiannya kepada anakmu.
Dan aku akan bertanya kepadanya, apakah ia dapat menerima lamaran ini"Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk.
Katanya "Itulah sakap yang bijaksana.
Sebaiknya kau memang bertanya kepada anak gadismu.
Perkawinan bukan hubungan antara dua orang tanpa ikatan batin.
Karena itu, maka aku akan menjunjung tinggi keputusan anak gadismu itu"
"Terima kasih"
Desis Ki Selabajra "aku sangat berterima kasih atas sikapmu itu"
Namun dalam pada itu, anak muda yang berada diantara mereka yang datang dari Watu Kendeng itu nampak menjadi gelisah. Sekali-sekali ia mencoba memandang Ki Watu Kendeng. Tetapi orang itu sama sekali tidak berpaling kepadanya.
"Karena itu Ki Watu Kendeng"
Berkata Ki Kenanga "aku akau mempersilahkan kalian bermalam barang satu atau dua malam. Aku akan bertanya kepada anakku, apakah ia sudah suap untuk memasuki dunia kekeluargaan"
Ki Watu Kendeng menjadi termangu-mangu.
Dalam keragu-raguan itulah ia berpaling memandang pengikut- pengikutnya seorang demi seorang, seakan-akan ia ingin bertanya, apakah yang sebaiknya dilakukan.
Tetapi tidak seorangpun dari mereka yang memberikan kesan yang meyakinkan.
Setiap orang menjadi ragu-ragu dan tidak mengerti apa yang sebaiknya dilakukan Karena itu, maka Ki Watu Kendengpun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil berkata "Tetapi Ki Kenanga, jarak antara padepokan kita tidak terlalu jauh.
Apakah tidak sebaiknya aku kembali ke padepokan.
Sepekan atau dua pekan lagi, aku dan datang kemari"
Ki Kenanga mengerutkan keningnya.
Di luar sadarnya ia memandang wajah seorang anak muda yang datang diantara orang-orang Watu Kendeng itu.
Dan KiSelabajrapun segera mengetahui, bahwa anak muda itu tentu anak laki-laki Ki Watu Kendeng, yang ingin memperisteri Ken Padmi.
Dalam pada itu, Ki Kenangapun kemudian menjawab "Segalanya terserah kepada Ki Watu Kendeng.
Tetapi jika kau akan bermalam di padepokan kecil ini, kami akan mengucapkan terima kasih atas kesediaan itu"
Ki Watu Kendeng tersenyum, katanya "Aku dapat datang setiap saat.
Biarlah hari ini kami kembali ke Watu Kendeng.
Sepekan lagi aku akan datang.
Mudah-mudahan aku akan dapat mendengar keputusan anak gadismu.
Meskipun demikian, aku mohon, agar niat ini akan dapat terjadi dengan baik dan selamat, meskipun sekali lagi aku mengerti, bahwa siapapun tidak akan dapat memaksa kesediaan sebuah hati, Tetapi setidak-tidaknya yang tua-tua dapat berdoa untuk kepentingan anak-anaknya.
"Ya, ya Ki Watu Kendeng. Pengertian sepenuhnya itu agaknya telah membesarkan hati kami. Seperti aku katakan, aku akan berusaha sebaik-baiknya"
Untuk beberapa saat kemudian, Ki Watu Kendeng masih berada di pendapa padepokan Kenanga.
Meskipun keperluannya telah selesai, tetapi ia masih sempat berbicara panjang lebar tentang berbagai macam keadaan di padepokan masing-masing.
Tentang sawah dan ladang, tentang musim dan tentang binatang- binatang liar.
Sementara itu, anak muda Watu Kendeng itu rasa- rasanya menjadi semakin gelisah.
Ia duduk saja sambil menunduk, sementara ayahnya dapat berbincang dan kadang-kadang tertawa berkepanjangan.
Baru ketika kemudian mereka mendapat jamuan makan, anak muda itu sempat bergeser mendekati ayahnya.
Sambilberbisik ia bertanya "Jadi, kita masih harus menunggu beberapa hari lagi?"
Ayahnya berpaling kepadanya dengan kerut-merut di dahinya. Jawabnya "Tentu Pramuja. Itu sudah lajim. Ki Selabajra akan bertanya lebih dahulu kepada anak gadisnya, apakah ia bersedia atau tidak"
"Jika tidak?"
Desak anaknya.
"Apaboleh buat. Kita tidak akan dapat memaksakan kehendak kita atas Ken Padmi"
Anak muda itu menggeretakkan giginya. Dengan wajah yang merah padam ia berkata "Ayah jangan terlalu lemah. Kita dapat menekan Ki Kenanga agar ia memberikan anak gadisnya"
"Yang akan kawin bukan Ki Kenanga. Tetapi anak gadisnya, Ken Padmi"
"Ayahnya mempunyai wewenang untuk menentukan jodoh anak gadisnya"
Tiba-tiba seseorang berdesis dikebalakang Ki Watu Kendeng. Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Orang yang berdesis itu adalah adiknya. Adik kandungnya.
"Kau jangan memberikan pandangan yang salah kepada anakmu. Aku sudah memenuhi permintaannya melamar gadis Padepokan ini. Tetapi aku bukan seseorang yang tidak tahu adat, sehingga aku akan memaksakan kehendakku atas orang lain"
Adik kandung Ki Watu Kendeng itu tertawa.
Katanya "Kakang memang seorang yang baik hati.
Tetapi kebaikan kakang adalah gambaran dari kelemahan hati kakang"Ki Watu Kendeng tidak sempat menjawab.
Dalam pada itu, maka Ki Selabajrapun kemudian mempersilahkan tamunya untuk makan bersama-sama.
Baru setelah mereka selesai makan dan beristirahat sejenak, maka Ki Watu Kendengpun kemudian minta diri untuk kembali ke padepokannya.
"Aku akan kembali dalam waktu sepekan. Aku akan menerima segala keputusan Ki Selabajra setelah diperbincangkan dengan gadis yang akan menjalaninya"
"Baiklah Ki Watu Kendeng Kami sangat menghargai kesudian Ki Watu Kendeng berkunjung ke padepokan ini. Betapa besar rasa terima kasih kami, tidak dapat kami katakan disini"
Namun dalam pada itu, Pramuja menjadi semakin gelisah.
Sejak ia bertemu Ken Padmi di perjalanan ketika ia pergi berburu, serta setelah sempat berbicara satu dua patah kata dalam pertemuan yang tidak sengaja itu, hatinya bagaikan di cengkam oleh bayangan wajah gadis padepokan Kenanga itu.
Tetapi ayahnya sudah terlanjut minta diri dan ia tidak akan dapat memaksa ayahnya untuk berbuat lain.
Betapapun kecewa hatinya, namun iapun kemudian ikut pula mohon diri dan mengikuti ayahnya kembali ke padepokannya.
"Jangan gelisah"
Tiba-tiba saja pamannya berbisik di telinganya.
Kuda Pramuja menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia tidak sempat bertanya lebih banyak lagi, karena orang- orang padepokan Kenanga yang mengantar mereka sampai ke regol.Baru diperjalanan, ia mendekati pamannya sambil bertanya "Apakah maksud paman sebenarnya? "Pramuja"
Desis pamannya "ayahmu memang orang yang sangat baik.
Ia bukan jenis orang yang dapat memaksakan kehendaknya atas orang lain.
Tetapi itu memang kelemahannya, sehingga seakan-akan ia menerima saja nasib buruk sekalipun yang menimpanya dan menimpa anaknya.
Ia tidak akan berusaha apapun juga seandainya lima hari lagi Ki Kenanga itu menjawab "Maaf Ki Watu Kendeng.
Anakku tidak mau"
"Jadi bagaimana menurut paman?"
Bertanya Kuda Pramuja.
"Aku akan berusaha Pramuja"
Jawab pamannya.
"aku akan menempuh jalanku sendiri. Mudah-mudahan aku berhasil, meskipun aku harus sedikit menakut-nakuti orang"
Kuda Pramuja termangu-mangu. Namun kemudian ia bertanya "Apakah orang-orang dari padepokan Kenanga itu dapat ditakut-takuti paman? Mereka memiliki murid-murid pilihan yang akan dapat mempertahankan sikap dan pendirian mereka, jika terjadi kekerasan"
Pamannya tertawa. Tetapi ia segera terdiam ketika ia melihat beberapa orang pengiring berpaling kepadanya. Bahkan Ki Watu Kendengpun berpaling pula sambil bertanya "Ada apa?"
"Tidak kakang. Tidak ada apa-apa. Aku sedang mengajari Pramuja untuk .menjadi seorang suami yang baik kelak "
Jawab adiknya. Ki Watu Kendengpun tersenyum. Tetapi ia tidak tahu apakah sebenarnya yang dibicarakan oleh anak dan adiknya itu.Dalam pada itu, Pramujapun bertanya "Bagaimana pendapat paman tentang orang-orang padepokan Kenanga?"
"Mereka memang mengagumkan bagi orang-orang padukuhan terpencil. Juga mungkin masih harus diperhitungkan oleh orang-orang dari perguruan Watu Kendeng. Tetapi bagiku, mereka bukan apa-apa Pramuja. Jika aku sekedar menyadap ilmu Watu Kendeng, barangkali aku masih juga seperti ayahmu. Baik hati dan membiarkan kepentingan diri sendiri tersisihkan. Tetapi yang semuanya itu sebenarnya hanyalah gambaran dari kelemahan hati"
Kuda Pramuja mengangguk-angguk. Ia mencoba mengerti keterangan pamannya. Namun iapun kemudian bertanya "Apa yang akan paman lakukan untuk itu?"
Pamannya tersenyum. Jawabnya "Serahkan kepadaku. Aku akan melakukannya tanpa sepengetahuan ayahmu"
"Apa yang akan paman lakukan itu?"
Pamannya masih saja tersenyum. Sambil menggeleng ia berkata "Aku belum tahu"
"Paman merahasiakannya?"
Pamannya memandang Pramuja sambil menahan tertawanya.
Katanya "Mudah-mudahan aku berhasil.
Aku memang harus menunjukkan bahwa padepokan Watu Kendeng bukannya padepokan yang lemah, dan bukan pula yang lemah lembut menghadapi persoalan- persoalan penting bagi hidup seorang penghulunya"
Kuda Pramuja tidak mendesak lagi.
Tetapi ia percaya bahwa pamannya akan dapat menyelesaikan persoalannya.
Pamannya tentu berhasil mempengaruhi sikap dankeputusan Ki Kenanga untuk memberikan anak gadisnya kepada anak padepokan Watu Kendeng.
Demikianlah, maka kuda-kuda itupun berlari tidak terlalu kencang di bulak panjang.
Sementara itu Kuda Pramuja masih saja selalu dibayangi oleh kegelisahannya, bahwa maksudnya, akan urung karena sikap ayahnya.
"Untunglah ada paman di sini"
Katanya di dalam hati. Dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang berjalan kembali ke padepokan Kenanga sudah menjadi semakin dekat. Ia terkejut ketika dari kejauhan ia melihat beberapa ekor kuda berjalan ke arah yang berlawanan dengan arah perjalanannya.
"Orang-orang Watu Kendeng"
Desisnya.
Karena itu, maka Mahisa Bungalan kemudian menepi dan duduk di belakang sebatang pohon yang tumbuh di pinggir jalan bulak.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika iring-iringan orang berkuda itu telah lewat, maka Mahisa Bungalanpun kemudian berdiri termangu-mangu.
Sambil memandangi debu yang berhamburan ia berdesis "Ternyata mereka tidak terlalu lama berada di padepokan Kenanga.
Tetapi apakah dengan demikian pertanda bahwa sudah ada pembicaraan sebelumnya, sehingga kedatangannya itu hanyalah sekedar mematangkan persoalan saja?"
Mahisa Bungalan justru menjadi semakin gelisah. Sementara langit telah menjadi semakin buram. Seburam hari anak muda itu. -oo0dw0oo-
Jilid 03
"APAKAH aku akan kembali ke padepokan Kenanga?"
Bertanya Mahisa Bungalan kepada diri sendiri "bukankah dengan demikian berarti bahwa aku harus menemukan alasan yang tepat, kenapa aku kembali?"
Mahisa Bungalan masih saja termangu-mangu. Namun seolah-olah di luar sadarnya, kakinyapun kemudian melangkah menyusuri jalan kembali.
"Entahlah, apa yang akan aku lakukan kemudian. Tetapi rasa-rasanya aku ingin melihat kembali, apa yang terjadi di padepokan itu"
Berkata Mahisa Bungalan di dalam hati. Mahisa Bungalan sadar, bahwa ia akan memasuki padepokan itu setelah hari menjadi malam. Dan tiba-tiba saja timbullah niatnya untuk tidak menampakkan diri meskipun ia berada di sekitar padepokan itu.
"Di siang hari aku akan berkisar menjauh"
Katanya "tetapi di malam hari aku akan dapat mendekati dan melihat suasana padepokan itu barang satu dua hari"
Demikianlah, maka ketika malam kemudian turun, Mahisa Bungalan telah mendekati padepokan Kenanga.
Tetapi ia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan.
Padepokan itu masih tetap tenang seperti saat ia meninggalkannya.
Ia tidak melihat kesihukan dan kegelisahan.
Namun dengan demikian, hatinya sendirilah yang gelisah.
Seolah-olah ia,melihat dua padepokan yang terpisah tidak terlalu jauh itu sudah bersepakat untuk mengikat persaudaraan diantara mereka.
Adalah kebetulan bahwa padepokan Kenanga, mempunyai seorang gadis, sementara padepokan Watu Kendeng mempunyai seorang anak laki- laki."Aku akan menunggu, apakah yang akan terjadi selanjutnya"
Katanya kepada diri sendiri.
Dengan hati-hati Mahisa Bungalan mengawasi regol padepokan itu dari jarak yang agak jauh.
Ia tidak merasakan dinginnya malam dan desing nyamuk di telinganya.
Perhatiannya seakan-akan terpateri pada regol gerbang padepokan Kananga yang sudah tertutup, meskipun ia tahu, pintu itu tidak pernah diselarak.
Namun dalam pada itu, yang tidak diketahui oleh Mahisa Bungalan adalah, bahwa di ruang dalam, Ki Kenanga sedang duduk di hadap anak-anak gadisnya yang manunduk.
Dengan sareh Ki Kenanga mengatakan, apa yang telah terjadi di siang yang baru lewat.
Ia mengatakan, apakah keperluan para tamu dari padepokan Watu kendeng.
Ken Padmi memang sudah menduga.
Ia pernah bertemu dengan Kuda Pramuja.
Ia pernah berbicara di luar sadarnya, ketika ia bertemu dengan anak muda itu yang sedang pergi berburu.
Entah pura-pura atau sebenarnya.
Kuda Pramuja bertanya kepadanya, arah jalan ke hutan perburuan.
Tetapi setelah ia menunjukkan jalan, anak muda itu masih banyak berbicara.
Anak muda itu bertanya namanya, rumahnya dan kenapa ia pergi ke sawah seorang diri, meskipun sebenarnya ia mempunyai banyak kawan saat itu yang berada di kotak sawahnya masing-masing.
Untuk beberapa hari, kawan-kawannya memang mengganggunya.
Seolah-olah ia sudah berkenalan akrab dengan anak muda yang membawa kelengkapan berburu bersama dua orang pengiringnya itu.
"Ken Padmi"
Berkata ayahnya "semuanya tergantung kepadamu.
Kau yang akan menjalani.
Karena itu, kaulahyang harus memutuskan, meskipun orang tua harus kau dengar pendapatnya.
Apalagi kau seorang gadis.
Tetapi terhadap angger Kuda Pramuja, aku tidak berpendapat sesuatu.
Ia adalah anak muda yang termasuk anak muda yang wajar.
Tidak ada keberatannya, tetapi juga tidak ada kelebihannya.
Mungkin ia pewaris ilmu padepokan Watu Kendeng.
Tetapi demikianlah, nampaknya tidak lebih dari kemampuan kita di sini.
Karena itu, terserah kepadamu"
Ken Padmi masih tetap menundukkan kepalanya sambil membisu.
Di luar sadarnya, mulai terbayang di angan- angannya, seorang anak muda yang baru saja meninggalkan padepokannya.
Anak muda yang rendah hati dan memiliki ilmu yang luar biasa.
Ayahnya yang dikagumi oleh semua orang di padepokan itu sebagai seorang yang memiliki ilmu yang pilih tanding, ternyata tidak mampu mengimbangi ilmu anak muda itu.
"Ken Padmi"
Berkata Ki Kenanga seterusnya"
Kau harus manjawab pertanyaanku, karena pada suatu saat, akupun harus menjawab pertanyaan Ki Watu Kendeng. Jangan segan. Ki Watu Kandeng adalah seorang yang berhati seluas lautan. Ia termasuk seorang yang sabar dan mengerti perasaan orang lain"
Ken Padmi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih tetap diam.
"Baiklah"
Berkata Ki Kenanga "menurut orang kebanyakan, jika seorang gadis ditanya tentang saat perkawinannya sama sekali tidak manjawab, maka itu berarti bahwa ia setuju.
Karena itu, sepekan lagi, jika Ki Watu Kendang datang kemari, maka aku akan mengiakan lamarannya bagi anaknya, Kuda Pramuja"
"Ayah"
Tiba-tiba saja Ken Padmi berdesis. Tetapi suaranya terputus di kerongkongan. Seperti semula, iapunmenundukkan kepalanya dalam-dalam sambil bermain- main dengan kukunya sendiri.
"Apa yang akan kau katakan?"
Bertanya ayahnya.
Ken Padmi tidak menyahut.
Ki Kenanga menarik nafas dalam-dalam.
Kemudan katanya "Jawabku adalah jawabmu.
Jika tafsiranku atas kediamanku salah, maka kaulah yang akan menyesal.
Bukan aku.
Aku hanya sekedar mengatakan, apa yang menurut dugaanku kau kehendaki"
Ken Padmi mengangkat wajahnya sesaat Namun wajah itupun tunduk kembali.
"Mudah-mudahan semuanya dapat berlangsung dengan baik. Meskipun kau dan aku. belum mengenal anak muda itu dengan baik, sifat dan wataknya, tingkah lakunya, namun jika ia seperti ayahnya, maka ia adalah anak yang baik"
"Ayah"
Sekali lagi Ken Padmi berdesis. Ki Selabajra mengerutkan keningnya. Ia tidak menyahut. Ia berharap bahwa anaknya akan mengatakan sesuatu. Namun kemudian Ki Kenanga hanya melihat anaknya menunduk sambil menggelengkan kepalanya perlahan- lahan.
"He, kau keberatan?"
Bertanya Ki Kenanga.
Ken Padmi diam kembali.
Dan kepalanyapun menunduk pula dalam-dalam.
Namun dengan demikian, Ki Selabajra telah mengetahui isi hati anak gadisnya.
Ternyata anak gadisnya tidak dapat menerima Kuda Pramuja.Bagi Ki Kenanga, penolakan itupun wajar, anak gadisnya belum begitu mengenal anak muda dari padepokan Watu Kendeng itu.
Jika ia mendapat kesempatan untuk menentukan sikap, tentu ia akan menyatakan keberatannya.
Mungkin jika ia mendapat kesempatan untuk berkenalan lebih mendalam, akibatnya akan berbeda.
Karena Ken Padmi masih tetap diam, maka ayahnyapun akhirnya berkata "Baiklah anakku.
Meskipun kau lebih banyak diam, tetapi aku mengerti, apa yang kau maksudkan.
Jika pada saatnya Ki Watu Kendeng itu datang maka aku akan menjelaskan, bahwa kau masih belum ingin berumah tangga.
Itu adalah alasan yang paling baik untuk dikatakan, tanpa menyebut alasan-alasan yang lain.
Sementara kau akan mendapat kesempatan untuK mengenalnya lebih dalam, sehingga mungkin pada suatu saat.
hatimu akan tersentuh pula oleh anak muda itu"
"Ah"
Ken Padmi terdesah.
Tetapi tidak ada kata-kata lain yang diucapkannya.
Karena tidak ada lagi yang dipersoalkan, maka Ki Selabajra itupun berkata "Nah, sekarang pergilah beristirahat.
Cobalah merenungi dirimu sendiri.
Meskipun kali ini kau masih belum dapat menerima lamaran anak padepokan Watu Kendeng itu, namun lamaran ini adalah pertanda, bahwa di mata orang lain, kau benar-benar sudah dewasa"
Seperti tersisih dari panasnya bara, maka Ken Padmi pun segera masuk ke dalam biliknya.
Ia menarik nafas dalam- dalam, seolah-olah ia sudah terlepas dari bencana yang bagaikan tidak terelakkan.
Namun dalam pada itu, gadis itupun segera merebahkan dirinya.
Semakin lama ia menerawangi dirinya sendiri,maka rasa-rasanya ia menjadi semakin gelisah.
Agaknya seperti yang dikatakan oleh ayahnya, bahwa ia memang sudah menjadi seorang gadis yang dewasa.
Bukan saja ujud lahiriahnya saja, tetapi hatinyapun telah menjadi dewasa pula.
Ternyata bahwa ia mulai menilai seorang anak muda yang sudah hadir di hatinya.
Namun bagaikan bayangan yang nampak sekilas, kemudian secepat ia datang, maka iapun telah pergi.
Tetapi tiba-tiba saja yang datang kemudian mengetuk pintu padepokannya adalah justru anak muda yang lain.
Anak muda dari padepokan Watu Kendeng.
Meskipun ia tidak dapat menunjukkan cacat anak muda itu karana ia belum banyak mengenalnya, namun rasa-rasanya ia tidak akan dapat melepaskan diri dari sejuknya bayangan yang pernah meneduhi hatinya meskipun hanya sesaat.
Malam itu, Ken Padmi benar-benar menjadi gelisah, tetapi agaknya ayahnyapun menjadi gelisah pula.
Sampai jauh malam ia masih mendengar ayahnya mundar-mandir di ruang dalam.
Kemudian didengarnya derit pintu depan ketika ayahnya melangkah keluar ke pendapa menghirup, sejuknya udara.
Tetapi itupun tidak lama, karena sebentar kemudian, ayahnyapun telah membuka pintu kembali dan melangkah masuk ke ruang dalam.
Tidak kurang gelisahnya adalah Mahisa Bungalan.
Ia masih tetap mengawasi regol halaman padepokan.
Namun ia sama sekali tidak melihat sesuatu yang mencurigakan, sehingga ketika malam menjadi semakin larut, maka iapun menganggap bahwa untuk malam itu, ia sudah cukup lama mengawasi regol padepokan Kenanga.
Karena itu, maka Mahisa Bungalan kemudian berdiri sambil mengeliat.
Rasa-rasanya badannya memang menjadi letih."Aku akan mencari tempat untuk beristirahat.
Jika mungkin tidur barang sekejap di manapun yang mungkin"
Katanya kepada diri sendiri.
Namun ketika Mahisa Bungalan baru saja melangkah, maka iapun segera merendahkan badannya dan berlindung di balik dedaunan.
Dalam keremangan malam ia melihat bayangan yang lewat dengan cepatnya di sepanjang jalan menuju ke regol halaman.
Jantung Mahisa Bungalan menjadi tegang.
Bahkan iapun kemudian bergeser untuk dapat mengikuti bayangan itu lebih jelas.
"Siapakah orang itu"
Desisnya dengan curiga.
Apalagi ketika ia melihat orang itu termangu-mangu di depan regol yang nampaknya tertutup.
Dada Mahisa Bungalan menjadi semakin berdebaran ketika ia melihat orang itu tidak mengetuk pintu regol atau atau berusaha membukanya.
Tetapi bagaikan terbang ia telah meloncat, hinggap di atas dinding halaman, kemudian hilang di dalamnya.
"Aneh"
Desis Mahisa Bungalan.
Tetapi oleh keinginannya untuk mengetahui perkembangan yang terjadi di padepokan itu, maka Mahisa Bungalanpun kemudian dengan hati-hati mendekati dinding.
Tetapi ia tidak menyusulnya lewat halaman depan.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan hati-hati ia berkisar dan menyusuri dinding melingkar ke belakang.
Sejenak Mahisa Bungalan memperhatikan suasana.
Ketika ia yakin tidak ada seorangpun di halaman belakang, maka iapun telah meloncat pula masuk ke dalamnya.Untuk sesaat Mahisa Bungalan termangu-mangu.
Ia tidak tahu, kemanakah bayangan yang telah memasuki halaman itu bersembunyi.
Karena itu, maka iapun menjadi semakin berhati-hati.
Ia mencoba mendengarkan setiap bunyi dan melihat setiap gerak.
Tetapi Mahisa Bungalan terkejut, karena orang yang memasuki halaman rumah itu ternyata tidak bersembunyi.
Ia agaknya berada di pendapa padepokan itu dan dengan lantang ia menyatakan kehadirannya.
"Ki Kenanga"
Terdengar suara memanggil di pendapa "Apakah aku boleh bertemu barang sejenak?"
Kehadiran orang itu telah mengejutkan Ki Kenanga yang baru saja merebahkan dirinya.
Karena itu, maka iapun dengan tergesa-gesa segera bangkit dan melangkah keluar dari biliknya.
Pada saat yang bersamaan, Ken Padmipun telah berada di pintu biliknya.
Namun yang kemudian dicegah oleh ayahnya yang berkata "Tinggallah di dalam.
Jangan ikuti aku keluar.
Aku belum tahu, siapakah yang memanggilku"
"Tetapi nampaknya agak kurang wajar ayah"
Sahut anaknya.
"Mungkin. Tetapi biarlah aku mencoba menemuinya. Mungkin aku akan dapat menyelesaikan"
Ken Padmi ter-mangu-mangu.
Tetapi ia tidak dapat mencegah ayahnya yang kemudian melangkah manuju ke pintu depan.
Dengan hati yang berdebar-debar Ken Padmi masih berdiri di tempatnya.
Ia tidak dapat membiarkan ayahnya sendiri menghadapi suatu keadaan yang tidak pasti.Diluar sadarnya.
Ken Padmi memandang ke pintu yang menghubungkan ruang dalam dan ruang belakang.
Yang tinggal di rumah itu selain ia sendiri dan ayannya, adalah salah seorang murid ayahnya yang sudah hampir menyelesaikan latihan-latihannya, yang kebetulan adalah saudara sepupunya sendiri.
Sementara murid-murid ayahnya yang lain berada di gandok sebelah kiri dan kanan.
Di rumah yang lain tinggal beberapa orang cantrik dan para pembantu padepokan itu.
Ken Padmi menarik nafas dalam-dalam.
Ia mencoba mengusir ketegangan yang tersangkut di hatinya.
Dalam pada itu, ayahnya telah membuka pintu dengan hati-hati Di bawah cahaya lampu di pendapa ia melihat seorang laki-laki yang berdiri tegak beberapa langkah di muka pintu.
"Siapakah kau?"
Bertanya Ki Selabajra.
"Apakah Ki Kenanga tidak ingat aku lagi? Baru siang tadi aku datang ke rumah ini"
Jawab orang itu. Ki Selabajra termangu-mangu sejenak. Namun iapun segera ingat bahwa orang itu adalah salah seorang yang berada di dalam iring-iringan yang datang dari Watu Kendeng.
"O"
Ki Selabajra mengangguk-angguk "aku masih ingat. Bukankah Ki Sanak diperkenalkan sebagai adik Ki Watu Kendeng?"
"Tepat Kiai. Aku adalah adik Ki Watu Kendeng"
Ki Selabajra mengangguk-angguk. Kemudian katanya "Marilah Ki Sanak. Silahkan duduk. Mungkin ada sesuatu yang ingin kau sampaikan sehingga kau datang pada waktu yang asing bagi sebuah kunjungan"Apakah kau menjadi sakit hati karena kunjungan ini?"
Bertanya orang itu. Ki Selabajra mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih tetap mencoba tersenyum. Katanya "Silahkan duduk"
Orang itupun kemudian duduk di pendapa berhadapandengan Ki Selabajra.
Sementara dengan sangat hati-hati, Mahisa Bungalan telah bergeser mendekat, meskipun ia tidak dapat terlalu dekat dengan pendapa.
Namun lamat-lamat ia dapat mendengarkan pembicaraan kedua orang itu.
Kadang-kadang beberapa bagian dapat didengarnya dengan jelas, tetapi kadang-kadang seolah-olah ia hanya mendengar orang berguman tanpa arti.
Meskipun demikian, dalam keseluruhan Mahisa Bungalan dapat mengerti, apa yang sedang dipercakapkan.
"Ki Selabajra"
Berkata tamunya "aku minta maaf, bahwa aku datang jauh malam dan bukan waktunya untuk berkunjung"
Ki Selabajra tersenyum, betapa kecutnya.
Orang itu telah menyakiti hatinya.
Bukan saja karena kedatangannya jauh malam tetapi juga pertanyaannya, apakah ia menjadi sakit hati.
Justru pertanyaannya itulah yang sebenarnya membuatnya kecewa.
Meskipun demikian, ia masih tetap menahan diri.
"Ki Kenanga"
Berkata orang itu "kedatanganku kali ini, sama sekali tidak ada hubungannya dengan kakang Watu Kendeng, meskipun persoalannya memang bersangkut paut"
Ki Kenanga mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih mencoba mengangguk-angguk sambil berkata "Tentu persoalan yang sangat penting""Ya"
Jawab adik Ki Watu Kendeng "persoalannya menyangkut masa depan seseorang"
Ki Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai meraba persoalan apakah yang akan disampaikan oleh adik Ki Watu Kendeng itu.
"Ki Selabajra"
Berkata orang itu "aku sudah mendengar apa yang dikatakan oleh kakang Watu Kendeng kepadamu siang tadi. Akupun telah mendengar jawabanmu"
Ki Selabajra mengangguk-angguk. Katanya "Ya, kau tentu sudah mendengar dan mengerti, persoalan apakah yang sedang kami hadapi"
"Kakang Watu Kendeng akan datang sepekan lagi untuk mendengarkan keputusan anak gadisnya"
Berkata orang itu.
"Ya Ki Sanak. Aku akan memberikan jawaban kira-kira sepekan lagi"
Jawab Ki Selabajra.
"Baiklah Ki Kenanga. Waktu itu tidak jauh dan tidak terlalu dekat. Waktu yang kau berikan adalah wajar sekali untuk sesuatu persoalan yang sangat penting"
"Ya Ki Sanak"
"Tetapi, sebelum waktu itu datang, agaknya hatikulah yang gelisah melampaui kegelisahan hati kakang Watu Kendeng. Bagiku waktu yang sepekan itu terlalu panjang. Apalagi setelah sepekan, jawabmupun belum pasti pula"
"Ki Sanak. Jawaban yang akan aku berikan tentu sesuai dengan jawaban anakku yang akan menjalani. Karena itu, maka adalah wajar pula bahwa aku harus mendapat kepastian lebih dahulu, apakah jawab anakku itu"
"Itulah yang aku tidak telaten. Aku tidak dapat membiarkan kemanakanku berada dalam kegelisahan berlama-lama. Karena itu, aku mohon, bahwa Ki Selabajratelah menentukan sikap, bahwa permintaan kemanakanku itu akan dapat diterima"
"Ah"
Desah Ki Selabajra "tentu aku tidak dapat memutuskannya sendiri"
"Ki Selabajra"
Berkata adik Ki Watu Kendeng itu "kedatanganku atas kehendaku itu akan dapat diterima. Itu saja. Dan aku harap kau tidak akan memberikan jawaban lain sepekan yang akan datang"
Wajah Ki Selabajra menjadi tegang.
Dipandanginya tamunya yang ternyata benar-benar telah dengan sengaja menyakiti hatinya.
Meskipun demikian, ia masih menahan hati.
Bahkan kemudian bertanya "Aku tidak mengetahui Ki Sanak.
Apakah kau ingin memaksakan kehendak kemenakanmu, atau sebenarnya kau sekedar didorong oleh kecintaanmu kepada kemanakamnu sehingga kau tidak sampai hati melihat anak itu bersedih"
"Kedua-duanya"
Jawab tamunya "aku memang tidak dapat melihat kemanakanku itu selalu gelisah, ja benar- benar mencintai anak gadismu. Karena itu, jika lamaran itu kau tolak, maka akibatnya akan sangat parah bagi anak Watu Kendeng itu"
"Tetapi sebaliknya Ki Sanak"
Jawab Ki Selabajra "jika jawaban anakku ternyata lain, dan ia dipaksa untuk menerima lamaran itu, maka hidupnyalah yang akan tersiksa disepanjang umurnya"
"Tentu tidak Ki Selabajra. Pada umumnya seorang anak gadis tidak akan menentang keputusan ayahnya. Ia akan tunduk dengan ikhlas. Seterusnya tergantung, bagaimana mereka membangun rumah tangganya. Jika suami yang diberikan oleh orang tuanya itu seorang laki-laki yang baik, maka rumah tangga itupun akan menjadi baik. Tetapi jikalaki-laki itu seorang laki-laki yang buruk, barulah kau dapat mengatakan, malanglah nasib perempuan yang demikian"
Ki Selabajra termangu-mangu sejenak. Kemudian iapun bertanya "Apakah angger Kuda Pramuja itu seorang laki- laki yang baik?"
"Aku adalah taruhannya. Jika ia kelak ternyata men jadi laki-laki yang buruk, maka aku akan mematahkan lehernya kerena ia sudah ingkar pada kewajibannya "
Jawab adik Ki Watu Kendeng. Ki Selabajra tidak segera menjawab. Tetapi nampak keragu-raguan membayang diwajahnya. Bahkan sebuah pertanyaan telah membersit "Apakah benar seperti yang dikatakan oleh orang itu?"
Namun akhirnya Ki Selabajra menjawab "Ki Sanak.
Aku dapat mengerti.
Tetapi aku susah berniat untuk menyerahkan keputusannya kepada anak gadisku.
Ia adalah anakku satu-satunya.
Seperti Ki Watu Kendeng ingin membahagiakan anaknya, akupun ingin berbuat demikian.
Aku akan bertanya kepadanya, apakah ia bersedia atau tidak"
"Jika tidak"
Potong tamunya itu. Pertanyaan itu sangat tidak disukai oleh Ki Selabajra. Tetapi ia harus menjawab. Dan jawabnyapun tidak diharapkan pula oleh tamunya.
"jika anakku tidak bersedia, apaboleh buat Ki Sanak Aku tidak akan dapat menerima lamaran itu"
Jawab Ki Selabajra kemudian.
Wajah adik Watu Kendeng itu menjadi merah.
Dengan nada yang patah-patah ia berkata "Aku memperingatkan sekali lagi.
Jika kelak kakang Watu Kendeng datang kemari, maka aku tidak mau mendengar jawaban laindaripada lamaran itu diterima.
Aku tidak selemah kakang Watu Kendeng yang menunggu dengan sabar, apa saja yang akan kau katakan, meskipun akhirnya yang aku katakan itu terdengar sangat pahit dihatinya"
"Jadi, apakah benar menurut tanggapanku. Bahwa kau telah memaksakan kehendakmu?"
"Ya"
Sahut adik Ki Watu Kendeng serta merta "aku memang tidak mempunyai istilah yang lebih tepat.
Aku memang ingin memaksakan kehendakku, agar kau dapat mengatur anak perempuan.
Aku hanya ingin mendengar bahwa lamaran kemenakanku itu dapat kau terima.
Aku tidak peduli apakah yang akan kau lakukan terhadap anak perempuan itu"
"Sayang Ki Sanak"
Jawab Ki Selabajra "bahwa keinginanmu untuk mendengar jawaban seperti yang kau kehendaki itu bertentangan dengan keinginanku.
Keinginanku adalah, bahwa kau maupun Ki Watu Kendeng melihat kenyataan yang ada pada hati anak gadisku.
Tidak lebih dan tidak kurang"
"Ki Selabajra"
Berkata tamunya yang wajahnya mulai menegang "jangan mencoba membantah keinginanku. Aku mempunyai seribu cara untuk memaksamu"
Wajah Ki Selabajrapun menjadi merah padam.
Tetap ia masih menyadari keadaannya.
Ia masih mencoba untui menahan diri.
Namun dalam pada itu, yang berada di belakang pintu, yang memisahkan pendapa dan ruang dalam, rasa-rasanya dadanya bagaikan terbakar.
Ken Padmi yang sudah memanggil saudaranya yang kebetulan adalah murid ayahnya itu, mendengarkan setiap kalimat yang diucapkan oleh tamu dan ayahnya.
Karena itu, maka rasa- rasanya jantungnya tidak kuat lagi menahan dentang yang seakan-akan hendak meledakkan isi dadanya itu.Hampir saja Ken Padmi meloncat ke pintu, jika saudara sepupunya tidak menggamitnya dan berbisik "Jangan tergesa-gesa Ken Padmi.
Kita menunggu, apa yang akan dilakukan oleh paman Selabajra"
Dalam pada itu, Ki Selabajrapun berkata "Ki Sanak Aku adalah seorang ayah.
Anak bagiku adalah mutiara yang tidak ada batas nilainya, sehingga bagiku, nilainya sama dengan nyawaku sendiri.
Kepahitan yang akan dialami oleh anakku, adalah kepahitanku sendiri.
Anakku adalah penerus hidupku.
Karena itu, aku akan mempertahankannya.
Jika ia bersedia menerima lamaran itu, hanyalah karena ia bersedia.
Bukan karena kau takut- takuti sekarang ini.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi jika ia tidak bersedia, maka akupun akan melindunginya dengan segenap kemampuan yang ada padaku"
Tiba-tiba adik Ki Watu Kendeng itu tertawa.
Katanya "Ki Selabajra.
Jangan berbicara tentang mempertahankan dan melindungi anakmu dengan kekerasan.
Mungkin kau mengira, karena kau adalah seorang guru yang disegani di padepokan ini, .maka kau telah menganggap bahwa kau akan mempertahankan dan melindungi anakmu.
Tetapi pandanganmu seperti juga pandangan kakang Watu Kendeng, adalah picik dan sempit sekali"
Ki Selabajra menggeretakkan giginya. Namun ia masih bertahan untuk tidak berbuat sesuatu, meskipun dengan demikian terasa dadanya menjadi sesak.
"Ki Selabajra"
Berkata tamunya "memang bagi daerah ini dan sekitarnya, maka perguruan Kenanga dan Watu Kendeng merupakan dua perguruan yang sulit dicari bandingnya.
Dua perguruan yang jaraknya tidak terlalu jauh dan dipimpin oleh dua orang tua yang baik, sabar dan lemah hati"Ki Selabajra telah berkeringat di seluruh rubuhnya, justru karena ia mempertahankan nalarnya agar tidak bergejolak dan tidak terkendali.
"Tetapi Kiai"
Berkata tamunya lebih lanjut "di luar kedua padepokan ini, ternyata masih terbentang daerah yang luas sekali.
Aku yang sudah menjelajahi hampir seluruh daerah di negeri ini, sudah melihat, betapa kecilnya arti kedua padepokan terpencil ini.
Karena itu, kau jangan membanggakan diri kepadaku.
Mungkin kau dapat menengadahkan wajahmu kepada orang-orang di sekitar ini.
Mungkin sampai daerah yang agak jauh.
Tetapi tidak kepadaku.
Kepada seorang yang pernah mendapat gelar, Alap-alap Wereng atau di tempat lain aku disebut Gagak Branang, sedangkan di daerah yang jauh menjorok ke Barat aku dipanggil Macan kejiman"
Ki Selabajra bagaikan duduk diatas api. Ia menjadi sangat gelisah meskipun ia masih tetap bertahan pada sikapnya.
"Nah, Ki Selabajra. Mudah-mudahan kau menyadari keadaanmu. Aku tidak akan berbuat apa-apa sekarang. Tetapi aku akan ikut datang bersama kekang Watu Kendeng yang lemah hati itu sepekan lagi. Dan kau tidak mempunyai pilihan. Kau harus mengatakan bahwa lamaran Kuda Pramuja dapat diterima dengan baik dan ikhlas"
Ki Selabajra tidak dapat menahan hatinya lagi.
Dengan jantung yang berdenyut lebih cepat, ia menjawab dengan gagap karena kemarahan yang menghentak-hentak dadanya "Tidak usah sepekan lagi.
Sekarang aku dapat menjawab meskipun aku berhadapan dengan Alap-alap Wereng Gagak Branang atau Macan Kejiman.
Anakku tidak mau menjadi isteri kemanakanmu itu.
Anakku sudah menjawab.
Ia masih belum ingin kawin sampai waktu yang belum ditentukan"Wajah orang yang pernah mendapat bermacam-macam gelar itupun menjadi merah padam.
Sejenak ia justru membeku di tempatnya.
Giginya terdengar gemeretak dan tangannya meremas ujung kain panjangnya.
"Ki Selabajra"
Ia menggeram "kau jangan bermain-main dengan api.
Kau belum tahu siapa aku.
Tetapi aku sudah tahu, sampai dimana kemampuan pemimpin padepokkan Kenanga.
Kau tidak lebih dari kakang Watu Kendeng.
Karena itu, pikirkan sekali lagi.
Aku masih berbaik hati untuk memberimu waktu sampai sepekan, karena kau adalah bakal tersangkut ke dalam lingkungan keluarga kami"
Jika Ki Selabajra tidak sadar bahwa ia adalah seorang ayah yang sedang terlibat ke dalam pembicaraan dengan pihak lain, dan bukan dengan orang yang duduk di hadapannya itu, maka ia tentu sudah tidak akan dapat menahan diri lagi.
Justru karena Ki Selabajra masih menghormati Ki Watu Kendeng, maka ia masih mencoba bertahan agar ia tidak menjadi mata gelap.
Ki Selabajra"
Berkata orang itu "aku akan pergi.
Sudah aku katakan, bahwa aku tidak akan berbuat apa-apa kali ini.
Tetapi sepekan lagi, kau jangan mencoba bermain-main dengan Macan Kajiman yang juga bergelar Gagak Branang dan yang juga dipanggil Alap-alap Wereng.
Adalah wajar, bahwa justru didaerah kelahiran seseorang tidak banyak dikenal.
Tetapi di seputar negeri ini hampir setiap orang pernah menyebut gelarnya"
Damikian dahsatnya gejolak di dada Ki Selabajra, sehingga ia sama sekali tidak dapat menjawab kata-kata itu.
Bahkan ketika orang itu kemudian berdiri dan melangkah pergi.
Ki Selabajra masih saja mematung dengan gemetar.Baru ketika orang itu turun ke halaman, maka Ki Selabajra menggeram.
Perlahan-lahan ia berdiri sambil memandang ke dalam gelap.
Tetapi ia masih melihat tamunya itu meninggalkan halaman rumahnya dengan meloncati dinding.
"Gila"
Ia menggeram. Ki Selabajra itu terkejut ketika ia mendengar pintu yang didorong kuat-kuat. Ketika ia berpaling, ia melihat Ken Padmi dan saudara sepupunya berdiri di muka pintu.
"Aku hampir tidak sabar lagi ayah"
Geram Ken Padmi. Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya "Akupun harus berjuang mempertahankan kesadarannya. Tetapi apakah kau mendengar seluruh pembicaraan kami?"
"Ya ayah. Aku mendengarnya. Dan karena itu, aku menjadi gemetar"
"Sudahlah. Masuklah kembali ke dalam bilikmu. Beristirahatlah. Besok kita akan membicarakan, apakah yang sebaiknya kita lakukan. Aku mengerti, bahwa orang itu tentu merasa mempunyai kelebihan dari orang-orang Kenanga dan Watu Kendeng. Namun, apapun yang akan terjadi, aku tidak .akan menyerahkan kepadanya. Aku masih akan mencoba berbicara dengan Ki Watu Kendeng. Aku kira ia tidak mudah dipengaruhi oleh sikap seperti sikap orang yang mempunyai bermacam-macam gelar itu. Justru karena itu, aku masih menghormatinya dan aku akan memberikan jawaban sebaik-baiknya"
Ken Padmi menarik nafas dalam-dalam.
Sekali lagi ia mencoba membayangkan, sikap orang yang dengan deksura telah menghina keluarganya, Menghina perguruannya.
Namun dalam pada itu, iapun menyadari, bahwa jika tidakada kelebihan apapun juga, orang itu tentu tidak akan berani berlaku sedemikian kasarnya.
Sementara itu, di dalam kegelapan malam.
Mahisa Bungalan berdiri dengan jantung bergetar.
Untuk sesaat Mahisa Bungalan masih tetap berdiri di tempatnya Ia masih mendengar Ki Salabajra berbicara dengan anak dan kemanakannya.
Namun kemudian, merekapun telah masuk kembali ke dalam rumahnya, sehingga pendapa itupun menjadi sepi.
Mahisa Bungalan yang masih berada di tempatnya itupun menarik nafas dalam-dalam.
Serba sedikit ia mengerti apa yang telah terjadi kepadepokan itu.
Ia mengerti bahwa orang-orang Watu Kendeng telah melamar Ken Padmi.
Sementara mereka menunggu jawaban yang akan diberikan sepekan lagi, maka telah datang seseorang yang mengaku mempunyai beberapa sebutan yang mendebarkan untuk memasakkan kehendaknya, agar lamaran itu dapat diterima.
"Curang"
Berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya "seharusnya tidak seorang yang dapat memaksakan kehendaknya seperti itu"
Namun Manisa Bungalan justru sedikit milihat sepercik kesempatan.
Dengan tingkah laku orang itu, maka Ki Salabajra tentu membuat pertimbangan-pertimbangan lain yang justru merugikan orang-orang Watu Kendeng sendiri.
Apalagi ketika ia melihat sikap Ken Padmi setelah orang Watu Kendeng itu meninggalkan padepokkan Kenanga.
Bahkan ia hampir pasti, bahwa Ken Padmi tidak akan menerima lamaran itu.
Meskipun demikian, ancaman orang itu bukannya hal yang dapat diabaikan.
Mahisa Bungalan tidak dapt membayangkan, apa yang akan terjadi sepekan lagi, jikaSelabajra memberikan jawaban yang tidak mereka kehendaki.
Ketika padepokan itu menjadi semakin sepi, maka Mahisa Bungalanpun mulai bergesar meninggalkan tempatnya.
Ia masih mendengar suara orang berbicara sepatah-patah di dalam rumah itu.
Namun ia tidak dapat menangkap isinya.
Yang diketahuinya malam itu pada padepokan Kenanga, ternyata telah mengikatnya untuk berada tidak jauh dari padepokkan itu.
Di siang hari Mahisa Bungalan memang berusaha untuk tidak diketahui oleh seorangpun dari padepokkan itu.
Bahkan kadang-kadang ia memasuki hutan yang tidak terlalu jauh dari padepokkan Kenanga untuk sekedar berburu dan mengisi waktunya yang menggelisahkan.
Tetapi di malam hari, Mahisa Selalu berada dekat dengan padepokkan itu.
Seolah-olah ia mempunyai kewajiban untuk ikut menjaganya.
Di hari ketiga, ketika Mahisa Bungalan mendekati padepokan itu, ia terkejut karena dilihatnya di pendapa duduk Gemak Werdi dan Makerti.
Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu.
Namun kemudian ia menyadari, bahwa Ki Selabajra memerlukan kedua orang muridnya yang telah meninggalkan padepokannya itu untuk menenangkan hatinya.
Dangen sangat ber-hati-hati Mahisa Bungalan memasuki padepokan itu dari belakang.
Kemudian ia mulai merayap mendekati pendapa.
Dari balik tanaman perdi ia dapat melihat pembicaraan yang bersungguh-sungguh di pendapa.
Meskipun ia tidak dapat mendengar dengan jelas, tetapi Mahisa Bungalan mengetahui apa yang sedang mereka bicarakan, sementara Ken Padmi sendiri tidak ikut dalam pembicaraan di pendapa itu.Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalanpun dapat mengetahui, bahwa padepoka Kenanga itu telah dicengkam oleh kegelisahan.
Agaknya mereka mulai dibayangi oleh ancaman dari orang yang memiliki berbagai macam sebutan itu.
Ketika Mahisa Bungalan itu berusaha mendekat beberapa jengkal lagi, maka ia masih sempat mendengar Gemak Werdi berkata "Siapapun orang itu guru, namun kita tidak akan membiarkan nama perguruan kita diinjak- injak.
Aku akan menunjukkan, bahwa perguruan ini bukannya sekedar tempat melonjak-lonjak"
Ki Selabajra mengangguk-angguk.
Tetapi ia berkata "Jangan kehilangan pertimbangan Gemak Werdi.
Bukan karena dibayangi oleh ketakutan.
Tetapi pengalaman kita mengatakan, bahwa tiba-tiba saja kita dihadapkan pada kekuatan yang tidak terduga-duga.
Beberapa saat yang lampau, padepokan ini telah digetarkan oleh kehadiran seorang anak muda yang bernama Mahisa Bungalan.
Mungkin kita harus melihat kenyataan lagi, bahwa orang itu benar-benar seorang yang mumpuni meskipun sifat dan wataknya berlawanan dari sifat dan watak Mahisa Bungalan yang rendah hati"
Gemak Werdi tidak menyahut. Bahkan kepalanyapun tertunduk dalam-dalam. Ia memang harus mengakui kenyataan itu.
"Meskipun demikian"
Berkata Ki Selabajra "Bukan berarti bahwa kita tidak akan mempertahankan harga diri kita.
Tetapi hendaknya dapat diketahui, bahwa mungkin kita akan berhadapan dengan kekuatan yang tidak dapat kita imbangi.
Dalam keadaan yang demikian, maka aku tidak akan mempunyai pilihan lain daripada bertahan sampai kesempatan yang terakhir.
Apalagi Ken Padmi sama sekali tidak bermaksud menerima lamaran itu.
Tidakada cara yang lebih baik bagiku dan anak gadisku, dari pada mempertahankan diri sampai batas"
Ia berhenti sejenak, lalu "tetapi aku tidak menghendaki demikian bagi orang lain meskipun ia adalah murid-muridku.
Biarlah aku dan Ken Padmi sajalah yang akan mempertaruhkan segala- galanya.
Karena aku adalah ayahnya, dan Ken Padmi adalah sasaran dari tindak kekerasan itu"
"Kami adalah murid-murid padepokan ini"
Tiba-tiba Makerti berdesis "tidak ada kehormatan yang lebih tinggi bagi kami daripada kesempatan mempertahankan nama baik dan harga diri perguruan kami, apapun yang terjadi"
"Tidak ada yang memberati aku"
Sambung Gemak Werdi "karena itu, kami mohon untuk menentukan sikap menghadapi keadaan ini"
Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam, sementara dada Mahisa Bungalanpun menjadi berdebar-debar, bagai manapun juga kedua orang murid perguruan Kenanga yang sudah meninggalkan padepokan itu masih juga mempunyai ikatan yang tidak terputuskan.
Apalagi Gemak Werdi yang menjadi agak binal karena kebanggaannya, justru karena itu baru saja keluar dari padepokan itu.
Seolah-olah ia adalah orang yang memiliki kemampuan yang paling tinggi di seluruh Singasari.
Namun pertemuannya dengan Ki Lambun dan apalagi kemudian dengan Mahisa Bungalan, telah membuka hatinya, bahwa ia masih teramat kecil diantara orang-orang berilmu yang berkeliaran di tlatah Singasari.
Dalam pada itu, Ki Selabajra berkata "Aku tidak ingin masalah pribadiku ini akan menyeret kalian ke dalam kesulitan.
Karena itu, biarkan persoalan yang menyangkut pribadi, dan bukan karena padepokan kita ini, akan kami hadapi secara pribadi juga""Itu tidak mungkin guru"
Jawab Makerti "kami merasa mempunyai ikatan yang tidak terlepaskan dengan padepokan ini. Sedangkan kami tidak dapat memisahkan, antara guru sebagai guru kami di padepokan ini. dengan, guru sebagai pribadi"
Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian katanya "Aku sudah mengatakan semua isi hatiku.
Aku berterima kasih atas kesediaan kalian membantu kesulitanku secara pribadi.
Tetapi aku sudah mengatakan, bahwa akibat dari persoalan ini mungkin akan sangat panjang dan jauh"
"Apapun yang akan terjadi"
Desis Gemak Werdi "kami adalah keluarga padepokan Kenanga"
Akhirnya Ki Selabajra tidak dapat menolak uluran kesetiaan murid-muridnya. Mereka sudah menempatkan diri pada kesiagaan, apapun yang akan terjadi.
"Guru"
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Berkata Gemak Werdi "aku mohon ijin untuk menyiapkan adik-adik seperguruanku yang meskipun belum menyelesaikan pendidikannya di padepokan ini, namun diantara mereka yang sudah sampai ketingkat tertinggi, tentu akan dapat membantu jika keadaan memang memaksa"
"Jika mereka bersedia, terserahlah kepadamu Gemak Werdi"
Berkata Ki Selabajra "aku hanya dapat berbesar hati dan berulang kali mengucapkan terima kasih"
Sementara itu, maka Gemak Werdi dan Makertipun minta ijin kepada gurunya untuk pergi ke Sanggar menemui murid-murid perguruan Kenanga yang sudah mencapai tingkat tertinggi.Sepeninggal murid-muridnya, maka Ki Selabajrapun kemudian masuk pula ke ruang dalam.
Didapatinya Ken Padmi sedang berbaring menelungkup di pembaringannya.
Ketika Ki Selabajra menjenguknya, maka dengan tergesa-gesa gadis itu menyeka matanya.
"Kau menangis?"
Bertanya ayahnya dengan heran.
Ia jarang sekali melihat Ken Padmi menangis sejak kanak- kanak.
Pertanyaan itu.
bagaikan desakan yang memecahkan bendungan batinnya.
Karena itu.
maka seolah-olah air matanya tidak dapat tertampung lagi dipelupuknya.
Ken Padmi menangis terisak-isak.
Ayahnya terdiam.
Perlahan-lahan ia melangkah masuk dan duduk dibibir pembaringan anaknya.
Ia menyadari, bahwa Ken Padmi adalah seorang gadis.
Menghadapi benturan kekerasan, ia dapat bertahan untuk mencucurkan air matanya.
Tetapi menghadapi persoalan manusiawinya sebagai seorang gadis yang meningkat dewasa, maka Ken Padmi telah menangis.
Sebenarnyalah banyak sekali yang menyesak di dada gadis itu.
Bukan saja karena lamaran yang mempunyai akibat yang luas bagi padepokannya dan murid-murid ayahnya.
Tetapi seolah-olah mulai membayang lagi wajah ibunya yang sudah tidak ada disisinya lagi.
"Ken Padmi"
Berkata ayahnya "aku mengerti, kenapa kau menangis. Tetapi katakanlah, persoalan yang sebenarnya yang bergejolak dihatimu"
Ken Padmi tidak segera menjawab.
Tetapi air matanya masih saja mengalir."Katakan Ken Padmi, supaya aku dapat menimbang buruk dan baiknya.
Jika kau tetap diam, maka aku tidak mengerti, yang manakah yang sebenarnya paling balik buatmu.
Aku sama sekali tidak berniat untuk membuat hatimu bertambah pedih.
Tetapi aku ingin membantumu, menyelesaikan masalah yang kau anggap baik"
"Ayah"
Suara Ken Padmi seolah-olah tersumbat di kerongkongannya "aku telah menyebabkan seluruh padepokan ini gelisah"
"Mereka adalah keluarga kita yang baik"
Sahut ayahnya.
"Justru karena itu ayah"
Sahut Ken Padmi "aku tidak sampai hati untuk mengorbankan segalanya yang pernah ada di padepokan ini"
"Mereka menyatakan kesediaan meraka dengan ikhlas"
Berkata ayahnya.
"Ayah"
Tiba-tiba saja suara Ken Padmi menjadi sangat dalam "bagaimana jika aku menerima lamaran itu?"
Ayahnya terkejut. Dan sementara itu, seseorang yang bergeser ke balik dinding, di dalam gepapnya malam disisi rumah itupun terkejut pula.
"Kenapa begitu Ken Padmi?"
Bertanya ayahnya.
"Biarlah aku menyelesaikan masalahku sendiri setelah perkawinan itu berlangsung. Namun dengan demikian, aku tidak akan mengorbankan saudara-saudara seperguruanku. Dan bahkan mungkin para cantrik dan para pelayan yang tidak tahu menahu persoalannya"
"Apa yang akan kau lakukan?"
Bertanya ayahnya dengan jantung yang tegang.
Di luar, melekat dinding, Mahisa Bungalanpun menjadi sangat gelisah pula menunggu jawaban Ken Padmi yangmasih terisak.Sejenak Mahisa Bungalan yang berada diluar dinding tidak mendengar suara apapun juga.
Namun rasa- rasanya jantungnya berdebaran ketika ia mendengar Ken Padmi menangis.
"Ayah"
Berkata Ken Padmi kemudian "mungkin aku akan disebut seorang pengkhianat, atau seorang perempuan yang tidak wajar, atau sebutan apapun. Tetapi barangkali itu lebih baik, karena tidak akan menyangkut orang lain kecuali aku sendiri"
"Apakah yang akan kau lakukan?"
Desak ayahnya.
"Ayah"
Jawab Ken Padmi "aku akan menerima lamaran itu. Aku akan kawin dengan anak muda dari Watu Kendeng itu. Tetapi, yang akan aku lakukan setelah itui adalah perang tanding"
"Kau kehilangan pegangan"
Desis ayahnya yang terkejut mendengar jawaban anaknya itu.
Sementar itu, Mahisa Bungalan terkejut pula.
Bahkan, rasa-rasanya jantungnya semakin cepat berdegup di dalam dadanya.
Dalam pada itu itu, Ken Padmipun meneruskan "Aku kira aku tidak akan mempunyai jalan lain.
Jika aku menerima lamaran itu, maka tidak akan ada perselisihan antara padepokan ini dangan padepokan Watu Kendeng.
Orang yang mempunyai seribu macam sebutan itu tidak akan berbuat sesuatu.
Jika kemudian terjadilah persoalan antara aku dan suamiku, itu adalah persoalan yang tidak seharusnya dicampunri oleh orang lain"
Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam.
Namun terdengar ia menjawab "Kau jangan menganggap seperti itu.
Kau jangan menganggap bahwa persoalan suami isteri adalah persoalan yang tidak akan dicampuri oleh orang lain.
Sedangkan, apakah sebenarnya hak orang itumencampuri persoalanmu sekarang, sebelum kau menjadi isteri kemanakannya?"
Ken Padmi termangu-mangu. Namun ia tidak dapat menjawab pertanyaan ayahnya.
"Dipandang dari sudut hak, maka ia sudah melanggar. Ia tidak wenang mencampuri persoalanmu sekarang ini. Dan iapun tidak mempunyai wewenang untuk memaksakan kehendaknya kepadamu dan kepada siapapun"
Ken Padmi tidak menjawab.
Dan ayahnyapun berkata seterusnya "Karena itu Ken Padmi.
Sebaiknya kau tidak menjerumuskan dirimu ke dalam lingkungan yang akan dapat menyiksa batinmu.
Biarlah kita berdiri atas sikap dan pendirian kita, apapun yang akan terjadi.
Aku adalah ayahmu, dan aku akan mempertahankan jika kau memang tidak berniat untuk menyerah dirimu"
Ken Padmi tidak menjawab. Tetapi terdengar isaknya menjadi semakin keras.
"Sudahlah. Tidurnya dengan nyenyak. Padepokan ini sudah siap menghadapi, sementara akupun akan tidur nyenyak pula. Karena apapun yang akan terjadi, sudah menjadi tekad kita bersama untuk menerima dengan ikhlas. Ken Padmi tidak menjawab. Iapun kemudian menyembunyikan wajahnya yang menelungkup dibawah lengannya. Sejenak kemudian, Ki Selabajrapun meninggalkan bilik Ken Padmi. Sementara itu, Mahisa Bungalan masih melekat dinding dengan jantung yang berdegupan. Mahisa Bungalan harus mengerutkan tubuhnya di balik rimbunnya tanaman perdu disisi rumah itu, ketika ia mendengar pintu butulan bederit. Kemudian iapun melihatKi Selabajra keluar dari pintu butulan menuju ke sanggarnya. Mahisa Bungalanpun dapat menduga, apa yang akan dilakukannya. Di saat-saat terakhir menjelang hari yang menentukan itu, maka ia telah berada di dalam sanggar bersama murid-muridnya yang sudah meninggalkah padepokan, dan tiga orang murid yang sudah mencapai tataran tertinggi.
"Kita akan menghadapi kemungkinan yang sangat berat"
Berkata Ki Selabajra "karena itu, terserahlah kepada kalian. Aku seharusnya mengerti, bahwa kalian tidak boleh terlihat ke dalam kemungkinan yang masih belum waktunya kalian alami"
Tetapi seperti Gemak Werdi dan Makerti, maka ketiga rang murid itupun menyatakan kesediannya untuk mengalami apapun juga. Apalagi salah seorang dari mereka adalah kemanakan Ki Selabajra sendiri.
"Aku akan menyampaikannya kepada ayah"
Berkata kemanakannya itu "tentu ayah juga akan datang dl ihari yang ditentukan itu"
"Tidak"
Jawab Ki Selabajra dengan serta merta "aku tahu bahwa ayahmu tentu akan datang.
Tetapi justru arena itu aku larang kau memberitahukan hal ini kepada ayahmu.
Ia adalah saudaraku yang akan menjadi sandaran alur keluarga kita.
Jika ia mengalami bencana seperti aku akan mengalaminya, maka sandaran jalur keluarga kita akan lenyap bersama-sama"
Kemanakan Ki Selabajra itu menarik nafas dalam-ialam.
Tetapi ia tidak berani membantah.
Apalagi ia dapat mengerti keterangan pamannya itu."Nah, berlatihlah di saat-saat yang gawat ini sebaik- baiknya.
Meskipun aku tahu, bahwa tiga empat hari tidak akan ada artinya"
Meskipun demikian, maka murid-murid padepokan Kenanga itupun segera tenggelam ke dalam latihan yang berat.
Pada saat-saat yang gawat itu, Ki Selabajra sekan- akan teleh menuangkan segenap dasar-dasar ilmunya sampai tuntas.
Namun iapun menyadari, bahwa selain landasan-landasan ilmu itu, maka pengalaman dan kesempatan mengembangkannyapun sangat penting pula artinya.
Dan itulah yang kesempatannya tidak dipunyai leh murid-muridnya itu.
Apa lagi ketiga muridnya yang masih belum dinyatakan selesai meskipun sudah berada pada tingkat yang terakhir.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalanpun masih tetap berada dihalaman padepokan itu.
Bahkan iapun telah bergeser mendekati sanggar.
Namun ia tidak menampakkan dirinya.
Sejenak Mahisa Bungalan menjadi ragu-ragu.
Apakah ia akan menyatakan kehadirannya untuk menenangkan perasaan orang-orang dari padepokan Kenanga, atau sama sekali tidak.
Namun akhirnya, Mahisa Bungalanpun justru menjauh.
Ia masih dibayangi oleh perasaan segan.
Ia sudah terlanjur minta diri untuk meninggalkan padepokan itu, sehingga memang agak aneh jika tiba-tiba ia sudah berada di padepokan itu lagi.
Ada sepercik parasaan malu di dalam dirinya, justru karena di padepokan itu ada seorang gadis yang meningkat dewasa.
Meskipun demikian, Mahisa Bungalan tidak akan meninggalkan padepokan itu.
Di hari-hari yang dekat, akan ada sekelompok orang-orang Watu Kendeng yang datangkepadepokan itu untuk menanyakan, apakah lamarannya diterima atau ditolak.
Menurut pengamatannya, setelah ia mendengar pembicaraan antara Ki Selabajra dan adik Ki Watu Kendeng, meka ia dapat menarik kesimpulan, bahwa Ki Selabajra sendiri tidak akan memaksakan kehendaknya.
Tetapi adiknya yang mempunyai beberapa macam sebutan itulah yang telah menakut-nakuti orang-orang dari padepokan Kenanga.
Ketika malam menjadi semakin malam, itu sementara orang-orang padepokan Kenanga masih meneruskan latihan-latihanya yang berat, maka Mahisa Bungalanpun dengan hati-hati telah meninggalkan padepokan itu untuk kembali ke tempat persembunyiannya, di pinggir sebuah hutan yang tidak begitu besar.
Untuk menghindari kesulitan yang tidak dikehendakinya, maka Mahisa Bungalan telah mencari tempat untuk tidur diatas dahan-dahan yang lebat tetapi tidak terlalu tinggi.
Dengan menyilangkan beberapa potong kayu dari dahan kedahan, dan diikat dengan lulup maka Mahisa Bungalan telah membuat pembaringan yang menyenangkan sejak ia berada di tempat itu.
Hampir setiap hari, Mahisa Bungalan selalu mengawasi padepokan Kenanga.
Di siang hari ia menunggui jalan memasuki padukuhan itu dari arah Watu Kendeng meskipun dari kejauhan, sedangkan di malam hari, ia bahkan selalu mandekati padepokan itu.
Sepekan setelah lamaran Ki Watu Kendeng disampaikan, maka hati Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar.
Ia sendiri tidak mengerti, kenapa ia menjadi sangat gelisah.
Bukan karena ia menjadi silau terhadap orang yang memiliki bermacam-macam gelar itu.
Tetapi ia selalu menjadi gelisah jika ia mengingat niat Ken Padmi untuk menerima saja lamaran itu untuk menghindarikemungkinan yang tebih buruk, yang dapat terjadi atas padepokan Kenanga.
"Itu bukan urusanku"
Tiba-tiba saja Mahisa Bungalan menggeram.
Namun kemudian ia tidak dapat menghindari kenyataan, bahwa ia telah berada di sekitar padepokan itu untuk sepekan lamanya.
Di hari yang kelima, Mahisa Bungalan sama sekali tidak melepaskan pengawasannya atas jalan yang memasuki padepokan Kenanga dari arah Watu Kendeng seperti yang pernah diketahuinya.
Ia memperhatikan segenap orang yang datang.
Apalagi jika ia melihat debu yang mengepul oleh sentuhan kaki kuda.
Tetapi sampai menjelang matahari turun di ujung Barat, ia tidak melihat iring-iringan dari padepokan Watu Kendeng, sehingga justru karena itu, ia menjadi semakin gelisah karenanya.
Namun ketika langit menjadi suram, barulah ia melihat iring-iringan dari kejahuan.
Karena itulah, maka apun segera berusaha berlindung di balik sebatang pohon beberapa langkah dari jalan.
Tidak ada seorangpun yang memperhatikan gerumbul- gerumbul perdu yang berserakan diantara rumput ilalang yang tumbuh liar di pinggir sebuah sungai kecil.
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena itu, maka merekapun tidak melihat, bahwa ada orang yang dengan sengaja telah menunggu kehadiran mereka.
Dari kejauhan, Mahisa Bungalan tidak berani memastikan apakah diantara mereka terdapat orang yang bergelar diantaranya Gagak Branang itu.
"Kenapa mereka menunggu sampai menjelang senja"
Guman Mahisa Bungalan.Namun menurut dugaan Mahisa Bungalan, hal itu telah disengaja oleh adik Ki Watu Kendeng.
Ia akan dapat berbuat banyak di malam hari.
Dalam kegelapan, ia mampu melawan banyak orang padepokan Kenanga dengan caranya.
Tetapi tiba-tiba iapun berguman "Tetapi hal ini akan lebih baik pula bagiku.
Aku akan dapat menonton pertunjukkan itu dari jarak yang tidak terlalu jauh.
Bahkan jika mungkin dapat mendengarkan percakapan mereka.
Mahisa Bungalan yang pernah tinggal di padepokan Kenanga telah mengenal keadaan padepokan itu dengan baik, sehingga ia akan dapat menempatkan diri untuk mengamati keadaan padepokan itu.
Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun segera mempersiapkan diri.
Tetapi ia masih menunggu beberapa saat dengan gelisah agar gelap segera turun menyelimuti seluruh padepokan Kenanga.
"Tentu tidak akan segera terjadi sesuatu"
Berkata Mahisa Bungalan kepada dirinya sendiri "Mula-mula mereka akan dijamu.
Baru kemudian mereka akan berbicara tentang gadis itu.
Pada saat itulah.
Paman anak muda dari Watu Kendeng itu akan menunjukkan, apakah yang telah dikatakanlah itu sekedar ancaman atau benar-benar akan disertai dengan sikap dan perbuatan"
Dalam pada itu, maka iring-iringan itupun telah diterima oleh Ki Selabajra dengan sebaik-baiknya.
Tidak terkesan sama sekali di wajahnya, bahwa ia pernah mendapat ancaman dari orang yang pernah mendapat gelar Macan Kajiman yang ada juga di dalam iring-iringan itu.
Namun dalam pada itu, Macan Kajiman itu menggamit seorang pengiringnya yang berada di sampingnya.
Denganberbisik ia berkata "Tidak akan lepas lagi.
Gadis itu tentu akan dapat dibawa Ke Watu Kendeng"
"Untunglah Kuda Pramuja yang mempunyai seorang paman yang mengerti tentang keadaannya"
Jawab pengiringnya.
Macan Kajiman mengerutkan keningnya.
Namun kemudian ia berbisik di telinga pengiringnya "Kau adalah pengikutku yang setia.
Jangan hiraukan orang-orang Watu Kendeng.
Juga jangan hiraukan Kuda Pramuja.
Jika gadis itu sudah di Watu Kendeng, kau tahu apa yang harus kau lakukan.
Kesannya adalah gadis itu melarikan diri"
Pengiring Macan Kajiman itu tersenyum.
Namun mereka tidak dapat berbicara, lebih banyak lagi, karena iring-iringan itu telah dipersilahkah naik ke pendapa.
Ketika para tamu dari Watu Kendeng itu telah duduk di atas tikar pandan yang putih, maka mulailah mereka seperti yang terbiasa, saling bertanya tentang keselamatan di perjalanan, dan keluarga yang ditinggalkan.
Namun dalam pada itu, pengiring Macan Kajiman yang juga disebut Alap-alap Wereng itu menjadi sangat gelisah, la memang bukan orang Watu Kendeng.
Tetapi ia adalah memang pengawal Macan Kajiman itu.
Meskipun demikian, ia tidak dapat mengerti, kenapa hal itu sampai hati dilakukannya.
Ia sudah terbiasa melakukan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya dan kehendak Macan Kajiman.
Tetapi terhadap orang lain.
Tidak terhadap keluarga sendiri.
Jika Macan Kajiman yang juga bernama Gagak Branang itu memaksakan kehendaknya kepada Ki Selabajra agar memberikan anak gadisnya kepada anak Watu Kendeng, itu masih dapat dimengerti.
Tetapi menurut tangkapannya yang sekilas, sesudah gadis itu berada di Watu Kendeng, maka gadis itu akandilarikannya, tetapi dengan kesan, bahwa gadis itu telah melarikan dirinya sendiri.
"Rencana yang paling gila"
Geram pengikutnya itu.
Betapa kasar jiwanya, tetapi ia masih belum dapat mengerti jalan pikiran Gagak Branang yang gila itu.
Meskipun demikian ia tidak dapat membantah atau mencegahnya.
Jika hal itu harus terjadi, maka ia hanya akan melaksanakan saja.
Tentu ia harus memanggil pengikut Gagak Branang yang lain dan memberikan kesempatan kepadanya untuk melarikan gadis itu, sementara ia dan Gagak Branang akan berpura-pura ikut kehilangan, dan barangkali ikut mencarinya pula.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam.
Seorang dari Watu Kendeng yang duduk di sampingnya mendengar seolah-olah orang itu berdesah, sehingga karena itu iapun bertanya lirih "Kenapa kau berdesah?"
"Pengikut Gagak Branang itu mengerutkan keningnya, jawabnya "Tidak apa-apa. Dan aku tidak berdesah. Tetapi aku hanya berdesis saja"
Orang Watu Kendeng yang duduk di sampingnya hanya mengangguk-angguk saja.
Ia tidak mengerti, apa yang sedang dipikirkan oleh orang yang duduk di sebelahnya itu.
Seorang pengikut adik Ki Watu Kendeng yang kebetulan sedang berkunjung ke padepokan itu.
Sejenak kemudian, setelah kebiasaan untuk saling bertanya tentang keselamatan itu selesai, maka mulailah beberapa orang cantrik menghidangkan sekedar makanan dan minuman.
Sementara orang-orang yang berada di pendapa itu makan dan minum sambil berbicara tentang keadaan serta padepokan masing-masing, maka malampun mulai turunmenyelubungi padepokan Kenanga.
Di pendapa, di ruang dan bilik, dan di sudut-sudut rumah lampu minyak sudah mulai dipasang.
Namun orang-orang yang berada di pendapa itu nampaknya masih saja belum sampai kepada maksud pembicaraan yang sebenarnya.
"Aku tidak telaten"
Geram Macan Kajiman kepada pengikutnya "aku akan mulai dengan maksud yang sebenarnya"
"Jangan Ki Lurah"
Desis pengikutnya "hal itu akan menimbulkan suasana yang kurang menyenangkan. Mungkin akan timbul ketegangan"
"Itulah yang aku inginkan"
Sahut adik Ki Watu Kendeng.
"Bukan ketegangan dengan orang-orang Kenanga. Tetapi ketegangan dengan orang-orang Watu Kendeng sendiri, karena mereka merasa dilampaui"
Macan Kajiman yang juga disebut Gagak Branang itu menggeram. Namun iapun kemudian berdesah "Itulah yang sangat menjengkelkan. Jika aku tidak mempedulikan semuanya, maka aku kira aku akan cepat selesai"
"Namun akhirnya akan rusak juga jika orang-orang Kenanga tidak memenuhi keinginanku"
Desis Gagak Branang.
"Bersabarlah sedikit"
Desis pengikutnya yang mengenal sifat Gagak Branang itu Karena itulah, maka adik Ki Watu Kendeng itu terpaksa memaksa dirinya untuk tetap duduk dengan menahan gejolak kegelisahannya.
Seolah-olah pembicaraan mereka sama sekali tidak mengarah ke makna kedatangan orang-orang Watu Kendeng ke padepokan Kenanga yang sudah direncanakan sebaik-baiknya itu.
Baru setelah dadanya menjadi hampir retak oleh ketidak- sabaran, maka barulah Ki Watu Kendeng beringsut sambil berkata "Ki Kenanga.
Tentu Ki Kenanga sudah mengerti mengapa kami sekelompok kecil ini datang ke padepokan Kenanga.
Beberapa hari yang lalu, kamu sudah pernah datang kemarikan mengajukan satu masalah yang menyangkut anak gadis padepokan Kenanga.
Karena itu, maka seperti yang telah kami katakan, sekarang kami datang untuk bertanya, keputusan yang diambil oleh anak gadis Ki Kenanga itu"
Ki Kenanga menarik nafas dalam-dalam.
Bagaimanapun juga, terasa jantungnya bergetar.
Apalagi ketika sekilas dilihatnya, adik Ki Watu Kendeng yang memandanginya dengan tajamnya.
Setelah beringsut sejengkal, maka Ki Selabajra itupun berkata dengan nada yang gelisah "Ki Watu kendeng.
Betapa rasa terima kasih kami atas kunjungan Ki Watu Kendeng, dan apalagi Ki Watu Kendeng berkenan memandang anak gadis padepokan yang tidak berarti ini"
Gagak Branangpun mulai berdebar-debar. Jika orang itu tidak memenuhi keinginannya, maka ia tentu tidak, akan dapat menahan diri iagi.
"Ki Watu Kendeng"
Ki Selabajra meneruskan "seperti yang aku katakan, karena bukan aku yang akan menjalaninya, maka akupun telah menyampaikan lamaran yang sangat kami hargai itu kepada anak gadisku"
Ki Watu Kendeng mengerutkan keningnya. Sementara wajah-anak laki-lakinya pun menjadi tegang."Gila"
Geram Gagak Branang "kenapa ia harus berputar- putar seperti orang mabuk tuak"
Sementara itu Ki Selabajra meneruskan "Ki Watu Kendeng, sebagai orang tua, maka aku tidak lebih dari sekedar mengatakan apa yang dikatakan oleh anakku"
"Ya, ya Ki Selabajra"
Ki Watu Kendengpun seolah-olah tidak sabar lagi menunggu.
"Sebelumnya, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya. Bukan maksud anakku menolak lamaran Ki Watu Kendeng bagi anak laki-laki yang tidak bercacat, angger Kuda Pramuja, tetapi sekedar karena merasa kekecilan diri dan kekurangannya. Apalagi anakku masih terlalu muda, sehingga saat ini, ia masih belum dapat menerima lamaran itu, karena anakku masih belum berhasrat dan belum memikirkan hari-hari perkawinan"
Jawaban itu membuat wajah Ki Watu Kendeng menegang sejenak, seperti juga wajah-wajah orang Watu Kendeng yang lain.
Apalagi wajah Gagak Branang yang menjadi merah padam.
Dadanya yang bagaikan akan meledak, membuat nafasnya menjadi sesak.
Dalam pada itu, Ki Watu Kendengpun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata "Ki Kenanga.
Betapa besar harapan kami, bahwa lamaran kami akan dapat diterima.
Tetapi ternyata bahwa angger Ken Padmi masih belum memikirkan masalah perkawinan.
Tetapi Ki Selabajra, apakah hal itu berarti bahwa kami masih dapat menunggu dan berharap, bahwa pada suatu saat, jika Ken Padmi telah menjadi semakin dewasa, lamaran kami ini akan dapat kami sampaikan sekali lagi"Pertanyaan itu diluar dugaan Ki Selabajra.
Karena itu, maka iapun menjadi bingung.
Bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu tanpa menyinggung perasaannya, tetapi juga tidak membebani jiwanya untuk masa yang panjang.
Ketika ia berbicara tentang anak gadisnya, dan hanya dengan sepintas dan bergurau, ia tidak menolak permintaan Ki Watu Kendeng untuk mengikat tali kekeluargaan, maka Ki Watu Kendeng itu menganggap bahwa ia boleh mengharapkan kemungkinan itu dapat benar-benar terjadi.
Namun dalam pada itu, selagi Ki Selabajra mencari jawaban yang paling baik, maka terdengar seseorang berkata lantang "Kenapa kami masih harus menunggu dan sekedar berharap?"
Semua orang berpaling ke arah suara itu.
Dengan tegang mereka memandang Gagak Branang yang wajahnya menjadi merah.
Hal itulah yang telah diduga lebih dahulu oleh Ki Selabajra.
Karena itu, maka ia justru tidak begitu terkejut karenanya, meskipun ia tidak segera menjawab.
"Kakang Watu Kendang"
Berkata orang itu "apakah kakang hanya dapat mengelus dada sambil memeluk nasib malang?"
Ki Watu Kendeng memandang adiknya dengan tegang. Kemudian iapun bertanya "Apakah maksudmu?"
"Jangan merajuk seperti kanak-kanak kakang. Berkatalah dengan tegas, bahwa gadis itu kau perlukan bagi Kuda Pramuja, Jangan bertanya, boleh atau tidak boleh. Tetapi katakanlah sesuai dengan yang kau harapkan"
Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian jawabnya "Kita berada dalam lingkungan hidupyang luas.
Itulah sebabnya kita harus menyangkutkan kepentingan kita sendiri dengan kepentingan orang lain.
Jika di dalam hidup yang saling berhubungan ini kita hanya memikirkan kepentingan kita sendiri tanpa menghiraukan kepentingan orang lain, maka pergaulan kita akan sering terganggu"
"Dalam banyak hal, yang kakang katakan itu benar. Tetapi satu hal ini adalah hal yang tidak dapat sekedar memikirkan kepentingan orang lain. Kakang harus memikirkan hari depan Kuda Pramuja yang akan meneruskan jalur keluarga kakang. Apakah kakang rela melihat hidupnya selalu dibayangi oleh kekecewaan dan kesepian?"
Ki Selabajra mengerutkan keningnya.
Ketika ia memandang wajah Ki Watu Kendeng, maka nampak betapa bedanya bayangan sifat dan watak pada kedua kakak beradik itu.
Apalagi ternyata dengan sareh Ki Watu Kendeng berkata "Tetapi bukan berarti bahwa kita sudah kehilangan kesempatan untuk selama-lamanya"
Adiknya justru menggeram.
Katanya "Kakang akan menunggu sampai berapa tahun.
Di tahun pertama, Ki Kenanga akan menjawab seperti yang dikatakannya sekarang.
Mungkin di tahun kedua ia masih berkata bahwa anaknya belum ingin kawin.
Tetapi di tahun ketiga, tahu- tahu gadis itu sudah kawin dengan orang lain"
"Ah. jangan terlalu berprasangka. Kita masih mempunyai kesempatan untuk berbicara di hari-hari kemudian"
Sahut kakaknya.
Tatapi seperti yang diduga oleh Ki Selabajra, maka Gagak Branang itu berkata "Kakang tidak perlu menunggu.
Kedatangan kita kali ini adalah keputusan terakhir.
Kitadatang untuk mengambil gadis itu.
Boleh atau tidak boleh, mau atau tidak mau"
Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wajah Ki Watu Kendeng menjadi tegang. Apalagi ketika adiknya berkata "Kakang, serahkan persoalannya kepadaku"
Tetapi yang ada di pendapa itu menjadi berdebar-debar, ketika Ki Watu Kendeng justru menjawab "Itu bukan watakku.
Aku adalah seorang yang menyadari keadaan diri dan padepokanku.
Apalagi masih ada kesempatan di hari mendatang, sedangkan seandainya gadis itu menolak sekalipun, aku tidak akan dapat memaksa"
"Kakang terlalu baik hati. Tetapi tentu tidak para pengikut kakang. Aku akan mengajari mereka, bagaimana seharusnya menghadapi masalah-masalah yang besar seperti ini. Kuda Pramuja harus yakin akan hari depannya. Dan hari depan anak itu sebagian adalah tanggung jawab kakang pula"
Berkata adiknya.
Wajah Ki Watu Kendeng menjadi semakin tegang.
Dipandanginya wajah adiknya yang menyala.
Katanya "Kau jangan menodai nama baik perguruan Watu Kendeng.
Kami adalah sekelompok orang yang mempelajari olah kanuragan bukan untuk memaksakan kehendak kami kepada orang lain"
"Aku tahu kakang orang baik. Tetapi kakang juga silau melihat perguruan Kenanga. Kakang mungkin pernah mendangar bahwa Ki Selabajra memiliki ilmu yang tinggi dan kemampuan aji yang sulit tandingnya"
Gagak Branang itu berhenti sejenak, lalu katanya melanjutkan "kakang, serahkan orang-orang Kenanga ini kepadaku dan kepada Kuda Pramuja beserta pengiringnya.
Semuanya akan selesai dengan baik.
Baik bagi kakang dan baik bagi Kuda Pramuja.
Jika Ki Kenanga tidak berkeras kepala, makaakibatnya akan baik juga bagi Ki Kenanga dan anak gadisnya itu"
"Aku tidak sependapat"
Berkata Ki Watu Kendeng dengan tegas.
Lalu "Aku masih menghormati pergaulan antara manusia.
Aku masih belum memilih jalan kehidupan seperti binatang di rimba.
Siapa yg kuat, ia berhak memaksakan kehendaknya pada yang lemah, sampai membunuh sekalipun tanpa tanggung jawab.
Tetapi itu terjadi di dunia binatang yang hanya hidup dalam naluri kebinatangannya.
Sedangkan tidak pada kita.
Kita mempunyai nalar budi dan perasaan.
Dengan demikian kita tidak akan dapat bertindak sekasar itu"
"Kakang terlalu banyak pertimbangan. Sekarang, silahkan kakang bertanya kepada Kuda Pramuja. Apakah prasetianya bagi bakal isterinya"
Berkata Gagak Branang. Ki Watu Kendeng termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia memandang anaknya sambil bertanya "Katakan. Apa yang kau kehendaki sebenarnya"
Kuda Pramuja ragu-ragu sejenak.
Dipandanginya wajah pamannya yang merah.
Kemudian Katanya "Aku sudah prasetia ayah.
Jika aku datang sekali lagi ke padepokan Kenanga seperti sekarang, maka itu berarti bahwa aku harus membawa Ken Padmi kaluar dari padepokan ini ke Padepokan Watu Kendeng"
"Kau gila"
"Benar ayah. Jika perkawinan ini urung apapun alasannya bagiku lebih baik aku mati bersama leburnya padepokan Kenanga yang akan menjadi karang abang"
"Cukup"
Bentak Ki Watu Kendeng "tentu pamanmu yang mengajari kau berbuat demikian.
Sabelum pamanmu pulang ke padepokan, kau tidak pernah mengatakandemikian.
Kau hanya mengatakan bahwa kau bertemu dengan Ken Padmi, dan kau merasa tertarik sekali kepada gadis itu, tanpa memilih antara hidup dan mati"
"Tetapi sekarang aku memilihnya ayah"
Jawab Kuda Pramuja "aku benar-benar memilih mati daripada urung"
Ki Watu Kendeng menjadi tegang. Kamudian katanya lantang "Kau jangan menjadi gila karena pengaruh pamanmu. Aku tidak mengajarimu berbuat demikian. Dan kau tidak boleh berbuat demikian"
Kuda Pramuja menjadi ragu-ragu. Tiba-tiba saja kepalanyapun tertunduk dalam-dalam.
"Kakang"
Gagak Brananglah yang menyahut "Mungkin kakang dapat memaksa anak itu diam.
Mungkin kakang dapat memaksa anak itu kembali tanpa gadis yang diinginkan.
Tetapi hatinya menjadi patah.
Dan iapun siap untuk membunuh dirinya sendiri.
Siang atau malam, pagi atau sore, bahkan mungkin sekarang di pendapa ini"
"Tidak"
Ki Watu Kendeng memotong "ia adalah anak laki.
Anak perguruan Watu Kendeng.
ia tidak akan secepat itu menjadi kehilangan akal dan putus asa, jika kau tidak mengajarinya.
Alangkah rendahnya seseorang yang mati membunuh diri.
Apalagi karena perkawinan yang gagal"
"Jika ia menusuk dadanya dengan kerisnya, maka ia adalah orang yang paling hina. Tetapi jika ia mati dengan keris di tangan dan yang telah dibasuhnya dengan darah lawan, maka ia adalah seorang pahlawan yang tidak gentar memberikan korban bagi suatu keinginan yang diyakininya"
Wajah Ki Watu Kendeng menjadi merah seperti darahnya. Dengan lantang ia bertanya kepada anaknya"He, Kuda Pramuja. Apakah benar kau ingin berbuat gila demikian?"
Pendekar Cacad Karya Gu Long Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen